PEWARNA ALAMI; Sumber dan Aplikasinya pada Makanan & Kesehatan, oleh Dr. Mutiara Nugraheni, S.T.P., M.Si. Hak Cipta © 2014 pada penulis GRAHA ILMU Ruko Jambusari 7A Yogyakarta 55283 Telp: 0274-4462135; 0274-882262; Fax: 0274-4462136 E-mail:
[email protected] Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun, secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya, tanpa izin tertulis dari penerbit. ISBN: 978-602-262-133-1 Cetakan ke I, tahun 2014
PRAKATA
K
eprihatian terhadap munculnya banyak penyakit degeneratif yang diduga kuat akibat dari pola makan tidak sehat dan konsumsi makanan tidak sehat telah memunculkan banyak ide untuk kembali ke alam. Salah satu kandungan dalam tanaman yang dapat digunakan sebagai pencegah penyakit adalah zat warna alami. Sebab zat warna alami yang terdapat dalam tanaman termasuk senyawa fitokimia yang berdasarkan penelitian mampu berperan sebagai antioksidan, mencegah penyakit diabetes mellitus, sebagai anti kanker, anti-inflamasi, hipoglikemia, hipokolesterolemia, hipolipidemia dan sebagainya. Sehingga pewarna alami yang berasal dari tanaman merupakan salah satu upaya untuk menjaga kesehatan dan memberikan keamanan pangan bagi konsumen. Buku ini membahas pewarna alami yang ditinjau dari sumber, dan aplikasi pewarna alami tersebut pada makanan dan kesehatan yang didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan baik di Indonesia maupun di luar negeri. Buku ini disusun sebagai referensi bagi masyarakat serta pelaku industri yang bergerak di bidang boga dan ilmu pangan. Buku ini juga dilengkapi dengan metode ekstraksi dan aplikasinya bagi pada makanan serta pengaruhnya terhadap kesehatan. Sehingga, buku ini dapat digunakan oleh masyarakat yang memiliki ketertarikan di bidang boga dan pangan dan memiliki komitmen tinggi terhadap dihasilkannya produk pangan fungsional yang memiliki fungsi primer (pemenuhan nutrisi), sekunder (pemenuhan sensori) dan tersier (pencegahan penyakit). Penulis menyadari bahwa buku ini masih banyak kekurangan, karena keterbatasan yang dimiliki penulis. Sehingga masukan yang konstruktif sangat diharapkan demi perbaikan dan penyempurnaan buku pengetahuan bahan pangan hewani ini. Penulis berharap, buku ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya. Yogyakarta, Juli 2013 Penulis
DAFTAR ISI
PRAKATA DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN BAB II WARNA 2.1 Definisi 2.2 Metode Pengukuran Warna
v vii 1 5 5 7
BAB III
PIGMEN SEBAGAI PEWARNA MAKANAN 3.1 Pigmen 3.2 Alasan Penggunaan Pewarna Tambahan 3.3 Nilai Penting Pewarna Makanan 3.4 Keamanan Pewarna Makanan
11 11 11 12 13
BAB IV
PEWARNA 4.1 Pewarna Alami 4.2 Zat warna yang Identik dengan Zat Warna Alami 4.3 Pewarna sintetis 4.4 Perubahan Fisiko Kimia Zat Warna
21 21 26 28 31
BAB V
KAROTENOID 5.1 Definisi 5.2 Klasifikasi 5.3 Distribusi 5.4 Aspek Metodologi 5.5 Karotenoid Sebagai Pewarna Makanan 5.6 Stabilitas Karotenoid 5.7 Aplikasi Karotenoid pada Makanan
33 33 33 34 35 39 47 49
BAB VI
ANTHOSIANIN 6.1 Definisi 6.2 Klasifikasi 6.3 Distribusi
57 57 59 60
viii
Pewarna Alami: Sumber dan Aplikasinya pada Makanan & Kesehatan 6.4 6.5 6.6 6.7
Aspek Metodologi Anthosianin Sebagai Pewarna Makanan Stabilitas Anthosianin Aplikasi Anthosianin pada Makanan
60 62 78 80
BAB VII
BETALAIN 7.1. Definisi 7.2 Klasifikasi 7.3 Distribusi 7.4 Aspek Metodologi 7.5 Betalain Sebagai Pewarna Makanan 7.6 Stabilitas Betalain 7.7 Aplikasi Betalain pada Makanan
97 97 98 98 99 101 107 107
BAB VIII
KLOROFIL 8.1 Definisi 8.2 Sumber 8.3 Stabilitas 8.4 Klorofil Sebagai Pewarna Makanan 8.5 Aplikasi Klorofil Sebagai Pewarna Alami
111 111 112 113 114 120
BAB IX
ZAT WARNA LAIN 9.1 Karamel 9.2 Turmeric 9.3 Daun Jati 9.4 Secang 9.5 Kluwak 9.6 Kulit Bawang Merah 9.7 Abu Merang 9.8 Teh 9.9 Tinta Cumi 9.10 Daun Jambu Biji
125 125 129 134 136 140 141 142 144 146 148
BAB X
PEWARNA DAN KESEHATAN 10.1 Karotenoid 10.2 Antosianin 10.3 Betalain 10.4 Klorofil 10.5 Zat Warna Lain
151 151 155 159 162 164
DAFTAR PUSTAKA GLOSSARY
167 179 -oo0oo-
Pendahuluan
BAB I
1
PENDAHULUAN
P
ada umumnya bahan makanan mengandung beberapa unsur atau senyawa seperti air, karbohidrat, protein, lemak, vitamin, enzim, pigmen dan lain-lain. Kandungan jenis bahan tersebut bergantung pada sifat alamiah dari bahan makanan tersebut. Adakalanya makanan yang tersedia tidak mempunyai bentuk yang menarik meskipun kandungan gizinya tinggi, dengan arti lain kualitas dari suatu produk makanan sangat ditentukan oleh tingkat kesukaan konsumen terhadap makanan tersebut. Umumnya pengolahan makanan selalu berusaha untuk menghasilkan produk yang berkualitas baik. Kualitas makanan adalah keseluruhan sifat-sifat dari makanan tersebut yang berpengaruh terhadap penerimaan dari konsumen. Teknologi pengolahan pangan dewasa ini berkembang cukup pesat, termasuk di Indonesia. Untuk memperoleh produk pangan olahan yang bercita rasa lezat, berpenampilan menarik, tahan lama, mudah dalam pengangkutan dan pendistribusiannya digunakan berbagai bahan pendukung yang lazim disebut bahan tambahan makanan (BTM, food additives). Salah satu BTM yang sering digunakan masyarakat adalah bahan pewarna. Bahan pewarna saat ini seakan-akan sudah tidak bisa dipisahkan dari makanan dan minuman olahan. Berbagai makanan yang dijual di toko, warung dan para pedagang keliling hampir selalu menggunakan bahan pewarna. Warna ini biasanya menyesuaikan dengan rasa yang ingin ditampilkan pada produk tersebut. Misalnya untuk rasa jeruk diberi warna oranye, rasa stroberi dengan warna merah, rasa nanas dengan warna kuning, rasa leci dengan warna putih, rasa anggur dengan warna ungu, rasa pandan dengan warna hijau, dan seterusnya. Secara umum bahan pewarna yang sering digunakan dalam makanan olahan terbagi atas pewarna sintetis (buatan) dan pewarna natural (alami). Pewarna sintetis pada umumnya terbuat dari bahan-bahan kimia. Misalnya tartrazin untuk warna kuning, allura red untuk warna merah, dan seterusnya. Kadang-kadang pengusaha yang nakal juga menggunakan pewarna bukan makanan (non food grade) untuk memberikan warna pada makanan.
Pewarna makanan alami sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu, seperti daun suji, kunyit, kesumba dan sebagainya. Bahan alami tersedia dalam jumlah yang berlimpah. Namun penggunaan pewarna makanan alami semakin lama semakin ditinggalkan produsen makanan. Hal ini disebabkan oleh karena kurang praktis dalam pemakaiannya terkait dengan belum adanya pewarna alami yang dijual di pasaran sehingga produsen makanan harus membuat sendiri pewarna makanan yang dibutuhkan tersebut. Di samping itu kelemahan dari penggunaan pewarna alami adalah warna yang kurang stabil yang bisa disebabkan oleh perobahan pH, proses oksidasi, pengaruh cahaya dan pemanasan, sehingga intensitas warnanya sering berkurang selama proses pembuatan makanan. Akibatnya produsen makanan banyak yang beralih ke pewarna makanan sintetis.
2
Pewarna Alami: Sumber dan Aplikasinya pada Makanan & Kesehatan
Bahan pewarna sintetis yang boleh digunakan untuk makanan (food grade) pun harus dibatasi jumlahnya. Karena pada dasarnya, setiap benda sintetis yang masuk ke dalam tubuh kita akan menimbulkan efek. Beberapa negara maju, seperti Eropa dan Jepang bahkan telah melarang penggunaan pewarna sintetis tersebut. Misalnya saja pewarna tartrazine, telah mulai ditinggalkan oleh negara tertentu. Mereka lebih merekomendasikan pewarna alami, seperti beta karoten. Saat ini pewarna sintetis masih sangat diminati oleh para produsen makanan. Pertama adalah masalah harga. Pewarna kimia tersebut dijual dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan pewarna alami. Masalah ini tentu saja sangat diperhatikan oleh produsen, mengingat daya beli masyarakat Indonesia yang masih cukup rendah. Faktor kedua adalah stabilitas. Pewarna sintetis memiliki tingkat stabilitas yang lebih baik, sehingga warnanya tetap cerah meskipun sudah mengalami proses pengolahan dan pemanasan. Sedangkan pewarna alami mudah mengalami degradasi atau pemudaran pada saat diolah dan disimpan. Misalnya kerupuk yang menggunakan pewarna alami, maka warna tersebut akan segera pudar manakala mengalami proses penggorengan. Di negara maju, suatu zat pewarna buatan harus melalui berbagai prosedur pengujian sebelum digunakan sebagai pewarna makanan. Proses pembuatan zat warna sintetis biasanya melalui perlakuan pemberian asam sulfat atau asam nitrat yang seringkali terkontaminasi oleh arsen atau logam berat lain yang bersifat racun. Pada pembuatan zat pewarna organik sebelum mencapai produk akhir, harus melalui suatu senyawa dulu yang kadang - kadang berbahaya dan sering kali tertinggal dalam hal akhir, atau terbentuk senyawa- senyawa baru yang berbahaya. Namun sering sekali terjadi penyalahgunaan pemakaian pewarna untuk sembarang bahan pangan, misalnya zat pewarna tekstil dan kulit untuk mewarnai bahan pangan. Bahan tambahan pangan yang ditemukan adalah pewarna yang berbahaya terhadap kesehatan seperti Amaran, Auramin, Methanyl Yellow dan Rhodamin B. Timbulnya penyalahgunaan bahan tersebut disebabkan karena ketidaktahuan masyarakat mengenai zat pewarna untuk pangan, dan juga disebabkan karena harga zat pewarna untuk industri jauh lebih murah dibandingkan dengan harga zat pewarna. Kemajuan teknologi pangan memungkinkan zat pewarna dibuat secara sintetis. Dalam jumlah yang sedikit, suatu zat kimia bisa memberi warna yang stabil pada produk pangan. Pemakaian zat pewarna sintetis dalam makanan dan minuman mempunyai dampak positif bagi produsen dan konsumen, diantaranya dapat membuat suatu makanan lebih menarik, meratakan warna makanan, mengembalikan warna bahan dasar yang hilang selama pengolahan dapat menimbulkan hal - hal yang tidak diinginkan dan bahkan memberikan dampak yang negatif bagi kesehatan konsumen. Sumber daya alam bahan obat dan obat tradisional di Indonesia merupakan aset nasional yang perlu terus digali, diteliti, dikembangkan dan dioptimalkan pemanfaatannya. Negara kita merupakan suatu negara dengan wilayah yang mempunyai tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, potensi sumber daya tu mbuhan yang ada merupakan suatu aset dengan nilai keunggulan komparatif dan sebagai modal dasar utama dalam upaya pemanfaatan dan pengembangannya untuk menjadi komoditi yang kompetitif. Konsep back to nature yang telah berkembang selama ini pada dasarnya dapat mengatasi masalah pangan yang di hadapi bangsa Indonesia, karena secara langsung konsep tersebut mendukung berkembangnya produk-produk alami yang berbasis sumber daya lokal. Dukungan terhadap konsep tersebut antara lain dengan memposisikan sumber daya lokal Indonesia sebagai komoditas berharga yang perlu dikembangkan demi kelangsungan perekonomian bangsa dan peningkatan kualitas gizi masyarakat. Salah satu sumber daya lokal adalah tumbuhan asli Indonesia yang beraneka ragam seperti sayuran dan buah dengan berbagai khasiat dan kegunaan yang dapat mendukung kesehatan. Sumber daya lokal Indonesia yang sangat beragam dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pangan rakyat. Diversifikasi pangan sesuai kekayaan alam lokal perlu menjadi kebijakan pemerintah dan merupakan bagian sangat penting dari strategi pangan. Untuk itu, perlu didorong pengembangan pangan berbasis sumber daya lokal, yakni tumbuh-tumbuhan yang kaya akan zat gizi dan non-gizi. Potensi untuk menduniakan pangan tradisional Indonesia sangat terbuka dengan memanfaatkan seoptimal mungkin sumber daya lokal yang tersedia melimpah di Indonesia. Pigmen alami dapat menjadi salah satu pilihan untuk meningkatkan ketahanan dan kualitas pangan karena pigmen alami merupakan salah satu zat non gizi yang mampu memberikan nutrisi bagi tubuh. Selain itu, pigmen