PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP POST-LARVA UDANG VANAME DIBERI HORMON PERTUMBUHAN REKOMBINAN DENGAN LAMA PERENDAMAN BERBEDA
DITA PUJI LAKSANA
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:
PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP POSTLARVA UDANG VANAME DIBERI HORMON PERTUMBUHAN REKOMBINAN DENGAN LAMA PERENDAMAN BERBEDA adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.
Bogor, Desember 2012
DITA PUJI LAKSANA C14080088
ABSTRAK DITA PUJI LAKSANA. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup post-larva udang vaname diberi hormon pertumbuhan rekombinan dengan lama perendaman berbeda. Dibimbing oleh MUHAMMAD ZAIRIN Jr dan ALIMUDDIN. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan lama waktu perendaman hormon pertumbuhan rekombinan ikan kerapu kertang (rElGH) dosis 15 mg/L yang menghasilkan pertumbuhan tertinggi pada post-larva udang vaname fase PL-2. Penelitian ini menggunakan 5 perlakuan dengan 3 ulangan. Perlakuan yang diberikan adalah lama perendaman 1 jam, 2 jam, dan 3 jam. Sebanyak 1500 ekor PL-2 direndam dalam kantong plastik kemasan berisi air laut mengandung rElGH dan serum albumin sapi (BSA) 0,01%. Dua jenis kontrol dibuat, yakni udang vaname PL-2 tidak diberi perlakuan (kontrol), dan direndam dalam air mengandung BSA 0,01% dan protein Escherichia coli tanpa rElGH (kontrol pCold). Selanjutnya, udang dipelihara selama 18 hari di dalam akuarium, dan diberi pakan naupli Artemia dan pakan komersial flake hingga kenyang sebanyak 7 kali; 5 kali pakan flake dan 2 kali pakan Artemia per hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata biomassa (36.289,87±1459,56 mg), pertumbuhan spesifik (29,81±0,87 g%), dan panjang tubuh (20,08±0,42 mm) tertinggi (p<0,05) diperoleh pada perlakuan perendaman selama 3 jam. Biomassa udang perlakuan perendaman selama 3 jam lebih tinggi sekitar 66,0% dibandingkan dengan kontrol (21.872,20±2529,40 mg). Kelangsungan hidup udang perlakuan hidup udang yang direndam dengan rGH tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan kontrol dan kontrol pCold. Dengan demikian, perendaman post-larva udang vaname selama 3 jam dalam air mengandung rElGH 15 mg/L dapat meningkatkan pertumbuhan, dan aplikasi teknologi ini dapat berguna untuk meningkatkan produksi budidaya udang vaname. Kata kunci: hormon pertumbuhan rekombinan, lama perendaman, post-larva udang vaname, biomassa.
ABSTRACT DITA PUJI LAKSANA. Growth and survival of white shrimp post-larvae administered recombinant growth hormone by different immersion time. Supervised by MUHAMMAD ZAIRIN Jr and ALIMUDDIN. This research was conducted to determine the optimum immersion time of recombinant giant grouper hormone (rElGH) at a dose of 15 mg/L that generates highest growth of white shrimp post-larvae at PL-2 phase. This research consisted of five treatments and threeplicates. The treatments were immersion time for 1, 2 and 3 hours. A total of 1,500 PL-2 shrimp were bath immersed in a plastic packing containing 1-L sea water, 15 mg/L rElGH and 0.01% bovine serumalbumin (BSA). Two kinds of control was performed, namely it was without any treatment (control), and immersed in water containing 0.01% BSA and total protein of Escherichia coli without rElGH (pCold control). PL were further maintained for 18 days in the aquarium, fed nauplii Artemia and flake commercial diet, 7 times feeding; 5 times by flake and 2 times by nauplii Artemia, at satiation. The results showed that the highest of the average biomass (36,289.87±1459,56 mg), specific growth (29,81±0,87 g%), and body length (20.08±0,42 mm) were obtained in 3 hours immersion treatment (p<0.05). Biomass of PL in 3 hours immersion treatment was approximately 66.0% higher compared to the control (21,872.19±2529,40 mg). Survival of shrimp in all treatment and control were similar (p>0.05). Thus, the bath immersion time of post-larvae for 3 hours in water containing 15 mg/L rElGH could be used to increase growth, and the application of this technology can be useful to increase aquaculture production. Keywords: recombinant growth hormone, different immersion time, post-larvae vaname, biomass
PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP POST-LARVA UDANG VANAME DIBERI HORMON PERTUMBUHAN REKOMBINAN DENGAN LAMA PERENDAMAN BERBEDA
DITA PUJI LAKSANA
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Teknologi & Manajemen Perikanan Budidaya Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
SKRIPSI Judul
: Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Post-Larva Udang Vaname diberi Hormon Pertumbuhan Rekombinan Dengan Lama Perendaman Berbeda
Nama
: Dita Puji Laksana
NRP
: C14080088
Disetujui, Pembimbing 1
Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. M. Zairin Junior, M.Sc. NIP. 19590218 198601 1 001
Dr. Alimuddin, S.Pi, M.Sc. NIP. 19700103 199512 1 001
Diketahui, Ketua Departemen Budidaya Perairan
Dr.Ir. Sukenda, M.Sc NIP. 19671013 199302 1 001
Tanggal lulus:
KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan segenap rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi dengan judul: “Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Post-Larva Udang Vaname diberi Hormon
Pertumbuhan Rekombinan Dengan Lama
Perendaman Berbeda”. Penelitian dilakukan pada bulan April-Juni 2012 di Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, dan Laboratorium Nutrisi, Balai Budidaya Air Payau Situbondo. Pada kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih sebesarbesarnya kepada berbagai pihak dalam penyelesain skripsi ini, di antaranya: 1. Prof. Dr. M. Zairin Jr, selaku pembimbing 1 yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penelitian dan penulisan. 2. Dr. Alimuddin, selaku pembimbing 2 yang memberikan banyak arahan, masukan, dan bimbingan selama penelitian dan penulisan. 3. Dr. M. Agus Suprayudi, M.Si, selaku dosen tamu pada pelaksanaan ujian akhir 4. Kedua orang tua tercinta, Sutesih dan Jaedi, S.Pd yang selalu memberikan semangat, do’a, kasih sayang, dan kesabaranya. Serta kakak tercinta K.N Tedy Zakaria yang selalu memberikan motivasinya selama ini. 5. Anna Octavera, S.Pi, M.Si, Pustika Ratnawati, S.Pi, Ika Rahmawaty, S.Pi, Jasmadi, S.Pi, Darmawan Setia budi, S.Pi, M.Fuadi, S.Pi yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian. 6. Teman-teman seperjuangan di Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, Nurlatifa S.Pi, Hikma S.Pi, Sri Setyo S.Pi, Rima S.Pi, Aminah S.Pi, Yadi Apriadi S.Pi, M. Firdaus S.Pi, Fajar M S.Pi, Ahmad Fattaya S.Pi dan tim mahasiswa S2 dan S3. 7. Teman dan sahabat seperjuangan BDP 45, terima kasih atas semangat, do’a, dan seluruh tawa, canda, tangis, dan kenangan yang kalian berikan. 8. Sahabat terdekat yang tiada henti memberikan semangat dan motivasi Jasmine, Yulia, Faridah, Dora, Fitria DK, Lystia, Iceuk, Titi, Santi,
Anggih, Ina, Dian, Fetina dan teman-teman SMA Muhammadiyah Cirebon. 9. Keluarga besar BBAP Situbondo, ibu Siti Subaedah, ibu Gemi Triastutik, Ibu Zeany, pak Aris, pak Ahmad, Sendy, dan teman seperjuangan Yudi, Tegar, Imam, Deny, Agung, Beny. 10. Keluarga besar Wismaku, Nurunajah, dan keluarga besar IKABON 45. 11. Keluarga besar Departemen Budidaya Perairan, BDP 43, BDP 44, BDP 46, dan BDP 47. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis, ilmu pengetahuan, masyarakat, dan berbagai pihak yang membutuhkan. Bogor, Desember 2012 Dita Puji Laksana
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cirebon pada tanggal 6 Desember 1989, penulis merupakan anak ke-2 dari dua bersaudara. Pendidikan formal yang telah ditempuh penulis adalah di SDN 1 Karangkendal pada tahun 1996 sampai 2002, melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Kapetakan pada tahun 2002 sampai 2005 dan melanjutkan di SMA Muhammadiyah Cirebon pada tahun 2005 sampai 2008. Pada tahun 2008, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai mahasiswa Departemen Budidaya Perairan, Fakultas perikanan dan Ilmu Kelautan melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Pergurun Tinggi Negri (SNMPTN). Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai pengurus dan anggota Himpunan Mahasiswa Akuakultur (HIMAKUA) 2010 dan 2011, anggota dan pengurus Ikatan Kekeluargaan Cirebon periode 2009-2010. Penulis juga pernah aktif sebagai asisten praktikum Dasar-Dasar Genetika Ikan pada tahun 2010-2011 dan 2011-2012, dan asisten praktikum ikhtiologi pada periode 2010, 2011, dan 2012. Penulis merupakan penerima beasiswa DIKTI (PPA/BBM) pada tahun 2011-2012. Penulis juga pernah terlibat diberbagai kepanitiaan diantaranya IGTS 2009 (IPB Gooes to School), OMBAK (Orientasi Mahasiswa Baru Perikanan dan Kelautan), AQUAFEST 2011, dll. Penulis pernah mengikuti magang kerja di BPBAT Cijengkol-Subang dengan komoditas “Ikan patin Pangasionodon hypopthalmus” pada tahun 2011. Penulis juga melaksanakan praktik lapang di BBRPBL Gondol-Bali pada tahun 2011 dengan komoditas “Abalon Haliotis squamata”. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gerlar Sarjana Perikanan pada Departemen Budidaya Perairan, FPIK IPB, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Pertumbuhan dan Kelangsungan
Hidup
Post-Larva
Udang
Vaname
Diberi
Hormon
Pertumbuhan Rekombiann dengan Lama Perendaman Berbeda” dibimbing oleh Bapak Prof. Dr. M. Zairin Junior dan Dr. Alimuddin S.Pi, M.Sc.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xiii I. PENDAHULUAN .................................................................................
1
II. BAHAN DAN METODE ......................................................................
4
2.1. Rancangan Perlakuan........................................................................ 2.2. Produksi rElGH................................................................................ 2.3. Parameter Yang Diamati 2.3.1 Pertumbuhan Bobot Spesifik ................................................... 2.3.2 Pertumbuhan Panjang.............................................................. 2.3.3 Laju Pertumbuhan Spesifik ..................................................... 2.3.4 Tingkat Kelangsungan Hidup ..................................................
4 4
2.4 Analisis Proksimat ............................................................................
7
2.5 Analisis Statistik ...............................................................................
7
III. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................
8
3.1. Hasil 3.1.1 Pertumbuhan Bobot dan Biomassa Post-larva Udang Vaname ................................................................................. 3.1.2 Bobot Rerata dan Kelangsungan Hidup ................................... 3.1.3 Peningkatan Panjang ............................................................... 3.1.4 Proksimat Udang Vaname ....................................................... 3.2. Pembahasan .....................................................................................
8 8 10 11 12
IV. KESIMPULAN.....................................................................................
20
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................
21
LAMPIRAN ................................................................................................
25
6 6 6 7
x
DAFTAR TABEL Halaman 1. Rancangan perlakuan perendaman rGH......................................................
4
2. Laju pertumbuhan spesifik (SGR), kelangsungan hidup (KH), panjang, bobot dan biomassa rerata post-larva udang vaname yang direndam dengan 15 mg/L rElGH dengan lama waktu perendaman berbeda, kontrol pCold, dan kontrol .....................................................................................
9
3. Kandungan proksimat (bobot basah, %) post-larva udang vaname perlakuan rElGH terbaik (3 jam perendaman) dan kontrol ..........................
11
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Pertumbuhan bobot rerata post-larva udang vaname yang dipelihara selama 3 minggu antara perlakuan yang diberi hormon pertumbuhan rekombinan ikan kerapu kertang (rElGH), kontrol, dan kontrol pCold (placebo). Placebo: post-larva udang vaname direndam dengan pCold dan BSA; kontrol: post-larva udang vaname tidak diberi perlakuan rElGH dan BSA; 1 jam: post-larva udang vaname direndam dengan rElGH 15 mg/L+BSA selama 1 jam; 2 jam: post-larva udang vaname direndam dengan rElGH 15 mg/L+BSA selama 2 jam; 3 jam: post-larva udang vaname direndam dengan rElGH 15 mg/L+BSA selama 3 jam................... 10 2.
Pertambahan panjang post-larva udang vaname yang dipelihara selama 18 hari antara perlakuan yang diberi hormon pertumbuhan rekombinan ikan kerapu kertang (rElGH), kontrol, dan kontrol pCold (placebo). Placebo: post-larva udang vaname direndam dengan pCold dan BSA; kontrol: post-larva udang vaname tidak diberi perlakuan rElGH dan BSA; 1 jam: post-larva udang vaname direndam dengan rElGH 15 mg/L+BSA selama 1 jam; 2 jam: post-larva udang vaname direndam dengan rElGH 15 mg/L+BSA selama 2 jam; 3 jam: post-larva udang vaname direndam dengan rElGH 15 mg/L+BSA selama 3 jam……………………. ............... 11
3. Ukuran post-larva udang vaname yang direndam dengan hormon pertumbuhan rekombinan ikan kerapu kertang (rElGH) dosis 15 mg/L dengan lama waktu perendaman A: kontrol pCold; B: kontrol; C: 1 jam; D: 2 jam; E: 3 jam dengan frekuensi perendaman satu kali. Pemeliharaan udang dilakukan selama 18 hari setelah perendaman… .............................. 14 4. Mekanisme kerja hormon pertumbuhan dan IGF-1 pada ikan ..................... 18
xii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Skema kultur bakteri untuk produksi hormon pertumbuhan rekombinan ikan kerapu kertang (rElGH) ....................................................................... 26 2. Alur perlakuan perendaman dan pemeliharaan post-larva udang vaname...... 27 3. Analisis sidik ragam (ANOVA) dan Uji lanjut Tukey’s................................ 28 4. Data sampling total penelitian ...................................................................... 31 5. Hasil SDS-PAGE hormon pertumbuhan rekombinan ikan gurame (Og-mGH), ikan mas (Cc-mGH), dan kerapu kertang (El-mGH) ................. 32
xiii
I.
PENDAHULUAN
Budidaya udang di Indonesia sudah lama dikembangkan. Jenis udang yang banyak dibudidayakan adalah udang windu, tetapi karena serangan penyakit white spot syndrome virus (WSSV) produksi udang windu menurun. Sebagai pengganti udang windu, udang vaname diintroduksi ke Indonesia pada tahun 2001 dengan keunggulan lebih tahan terhadap infeksi WSSV, pertumbuhan lebih cepat, dapat ditebar dengan kepadatan tinggi hingga 150 ekor/m2, dan diminati oleh pasar dunia. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menargetkan peningkatan produksi udang vaname sebanyak 74,75% atau sekitar 699 ribu ton selama periode 2010 sampai 2014 (Tribunnews 2010). KKP menargetkan peningkatan produksi 15% dari tahun 2011 sebesar 460 ribu ton menjadi 529 ribu ton (KKP 2012). Nilai ekspor udang ditargetkan akan mengalami peningkatan US$ 1,9 miliar pada tahun 2012 dari pencapaian ekspor 2011 yaitu US$ 1,3 miliar (Bisnis Indonesia 2012). Hal ini menunjukan bahwa permintaan udang luar negri semakin tinggi. Namun demikian, dewasa ini budidaya udang vaname mengalami permasalahan, yakni pertumbuhan menurun dan ketahanan terhadap penyakit, serta nilai konversi pakan relatif tinggi. Jika keadaan tersebut diabaikan, maka budidaya udang vaname akan mengalami keterpurukan seperti halnya pada budidaya udang windu. Oleh karena itu dibutuhkan solusi yang dapat meningkatkan pertumbuhan, kelangsungan hidup, dan daya tahan terhadap penyakit. Salah satu solusi dari permasalahan budidaya udang vaname adalah mengaplikasikan rekombinan
bioteknologi
(recombinant
seperti
growth
penggunaan
hormone/rGH).
hormon rGH
pertumbuhan
dianggap
lebih
menguntungkan dan aman untuk pangan daripada teknologi transgenesis (proses introduksi gen ke sel suatu organisme) yang terkait dengan isu keamanan pangan. Hormon pertumbuhan merupakan polipeptida esensial yang dibutuhkan oleh vertebrata untuk pertumbuhan dan perkembangan organisme secara normal (Anathy et al. 2001). Hormon pertumbuhan dapat memacu pertumbuhan ikan dengan cara meningkatkan selera makan ikan sehingga dapat memperbaiki
1
konversi pakan (Donaldson et al. 1979; Utomo 2010). Hormon pertumbuhan di dalam tubuh memiliki berbagai peran di antaranya meningkatkan massa otot, meningkatkan sintesis protein, merangsang glukoneogenesis dalam hati, dan merangsang sistem imun. Pemberian rGH pada larva nila dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan meningkatkan daya tahan terhadap stres dan infeksi penyakit (Acosta et al. 2009). Jumlah hormon pertumbuhan di dalam tubuh ikan berkisar 0,2-111,2 ng/mL plasma darah (Björnsson et al. 1988; Takahashi et al. 1991; Farbridge et al. 1992; Björnsson et al. 1998; Björnsson et al. 2000; Einarsdottir et al. 2002; Arnesen et al. 2003; Drennon et al. 2003; Nordgarden et al. 2005; Utomo 2010). Untuk meningkatkan hormon pertumbuhan di dalam tubuh ikan dapat memanfaatkan rGH yang menunjukkan fungsi yang sama dengan GH endogen yang terdapat dalam ikan (Moriyama & Kawauchi 1990; Tsai et al. 1995; BenAtia et al. 1999; Xu et al. 2001; Li et al. 2003; Promdonkoy et al. 2004; Acosta et al. 2007; Utomo 2010). Penggunaan rGH ikan gurame (Og-rGH), ikan kerapu kertang (El-rGH), dan ikan mas (Cc-rGH) yang diinjeksi pada ikan nila meningkatkan bobot tubuh masing-masing sebesar 16,99%, 20,94%, dan 18,09% dibandingkan ikan kontrol yang hanya diinjeksi dengan fosfat buffer salin (Lesmana 2010). Aplikasi rGH dapat dilakukan melalui penyuntikan, secara oral melalui pakan, dan perendaman. Metode perendaman adalah metode yang efektif karena dapat dilakukan secara masal dibandingkan metode injeksi. Selain itu metode perendaman juga dapat meminimalkan leaching pada saat pemberian pakan mengandung rGH. Metode perendaman rGH pada udang vaname telah dilakukan oleh Santiesteban et al. (2010). Perendaman post-larva 2 dengan dosis rGH ikan nila 100
µg/L mampu meningkatkan bobot tubuh sebesar 42,2%. Frekuensi
perendaman yang dilakukan adalah 7 kali, dan hal ini kurang praktis. Sonnenschein (2001) merendam udang di dalam larutan hormon somatotropin rekombinan sapi (bST) dengan dosis 300 mg/L selama 1 jam dengan 1 kali perendaman, dan memberikan hasil bahwa bobot udang lebih besar 38% dan 11% lebih panjang dibandingkan kontrol. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian efektivitas rGH dengan sekali perendaman pada PL-2 udang vaname. Perendaman
2
PL udang vaname dengan dosis 15 mg/L dengan frekuensi perendaman 1 kali selama 1 jam mempunyai peningkatan bobot 37,77% lebih berat dari kontrol (Subaedah belum dipublikasikan). Selanjutnya, lama waktu perendaman diduga berpengaruh terhadap efektivitas rGH dalam memacu pertumbuhan udang vaname, sehingga pada penelitian ini dilakukan pengujian lama waktu perendaman berbeda. Waktu perendaman yang paling efektif adalah 60 menit sampai 120 menit (Sonnenschein 2001). rGH yang digunakan adalah rGH ikan kerapu kertang seperti yang telah dibuktikan aktivitasnya oleh Subaedah (2012 belum dipublikasikan). Selanjutnya, metode perendaman dianggap lebih efisien diterapkan pada fase benih karena dapat menurunkan tingkat stres pada saat perlakuan, sehingga dapat memaksimalkan penyerapan rGH (Moriyama dan Kawauchi 1990; Ratnawati 2012). Berdasarkan hasil SDS-PAGE (sodium deodecyl sulfate– poly acrylrilamide gel electrophoresis) (Lampiran 4), jumlah rGH ikan kerapu kertang dalam total protein Escherichia coli lebih banyak dibandingkan ikan mas dan ikan gurame (Irmawati komunikasi pribadi). Hal ini dapat berdampak pada efisiensi biaya produksi rGH. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan lama waktu perendaman rekombinan hormon pertumbuhan ikan kerapu kertang pada larva udang vaname yang paling efektif dalam arti meningkatkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup tertinggi. Perlakuan waktu yang digunakan adalah 1 jam, 2 jam, dan 3 jam perendaman dengan dosis 15 mg/L.
3
II.
2.1
BAHAN DAN METODE
Rancangan Perlakuan Penelitian ini terdiri dari lima perlakuan dengan masing-masing tiga kali
ulangan (Tabel 1). Perendaman hanya dilakukan satu kali, dan dilakukan dalam plastik kemas yang biasa digunakan untuk pengemasan post-larva udang vaname (Lampiran 2). Pemeliharaan post-larva udang vaname dilakukan di Laboratorium Nutrisi Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo. Post-larva udang vaname dipelihara selama 18 hari dan diberi pakan khusus post-larva berupa flake merek green marine dengan kadar protein 48%, dan naupli Artemia. Pakan diberikan sekenyangnya (ad libitum) dan diberikan 7 kali/hari; 5 kali pakan buatan dan 2 kali naupli Artemia. Pergantian air dilakukan saat pembersihan sisa pakan dilakukan setiap hari pada pagi hari dan pergantian air dilakukan 2 hari sekali. Air yang digunakan untuk pemeliharaan sebelumnya telah diberi perlakuan terlebih dahulu dengan menggunakan kaporit dan tiosulfat. Tabel 1. Rancangan perlakuan perendaman rGH Perlakuan 1 2 3 4 5
2.2
Notasi P1 P2 P3 K
Lama perendaman dan dosis rHP 3 mg/L rGH+ BSA 0,01%+ 1 jam perendaman 3 mg/L rGH+ BSA 0,01%+ 2 jam perendaman 3 mg/L rGH+ BSA 0,01%+ 3jam perendaman 0 mg+ 0 % BSA 10 mg/L protein Escherchia coli tanpa rGH+ KpCold 0,01%BSA
Produksi Protein rGH Bakteri yang digunakan adalah E. coli BL21 yang mengandung konstruski
pCold-I (vektor ekspresi) dan ElGH (hormon pertumbuhan kerapu kertang) (Lesmana 2010). pCold konstruksi vektor ekspresi tersebut mengandung gen GH ikan kerapu kertang (ElGH). Bakteri dikultur awal pada tabung L dalam 6 mL media kultur LB+NaOH cair yang mengandung ampisilin, tabung L yang berisi kultur bakteri diinkubasi di dalam shaker selama 16-18 jam dengan kecepatan 200 rpm pada suhu 37ºC. Subkultur dilakukan dengan cara mengambil 1% dari kultur
4
bakteri awal dan dimasukan ke dalam 100 mL media LB+NaOH cair yang baru, kemudian media subkultur diinkubasi di dalam shaker selama 2 jam dengan kecepatan 200 rpm dan suhu 37ºC. Setelah subkultur diinkubasi selama 2 jam, induksi produksi rGH dilakukan dengan cara memberikan kejutan suhu 15ºC pada subkultur selama 30 menit. Setelah perlakuan kejutan suhu, IPTG (isopropyl-b-Dthiogalac-topyranoside) ditambahkan sebanyak 600 µL, dan kemudian subkultur diinkubasi di dalam shaker selama 24 jam dengan kecepatan 250 rpm dan suhu 15ºC. Bakteri hasil subkultur dikumpulkan dengan cara sentrifugasi media kultur cair bakteri dengan kecepatan 12.000 rpm selama 3 menit pada suhu 4ºC. Sentrifugasi menghasilkan natan dan supernatant. Supernatant kemudian dibuang, proses ini dilakukan sampai semua bakteri hasil kultur habis. Pelet bakteri yang dihasilkan dari sentrifugasi kemudian dicuci dengan PBS (phosphate buffer salin) sebanyak 2 kali untuk menghilangkan kotoran ataupun sisa media kultur. Pelet bakteri yang telah dicuci dengan PBS dapat disimpan di deep-freezer (-80ºC) atau langsung dilisis. Alur kultur bakteri dapat dilihat di Lampiran 1. Lisozim digunakan untuk melisis dinding sel bakteri. Pelet hasil sentrifugasi dicuci dengan 1 mL bufer 1x tris-EDTA (TE) dengan cara pipeting sampai rata. Setelah itu campuran pelet dan 1 mL buffer 1xTE diinkubasi selama 20 menit pada suhu 37ºC, disentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit pada suhu 4ºC, dan kemudian supernatant di dalam tube dibuang. Tahap selanjutnya adalah menambahkan 500 µL larutan lisozim (10 mg lisozim dalam 1 mL bufer 1xTE). Campuran larutan lisozim dan pelet dihomogenasi menggunakan pipet, diinkubasi pada suhu 37ºC selama 20 menit, disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm pada suhu 4ºC selama 15 menit, dan supernatant kemudian dibuang. Pelet yang terbentuk merupakan protein rGH dalam bentuk badan inklusi. Pelet rGH dicuci dengan PBS sebanyak 2 kali seperti pencucian pada saat pemanenan bakteri subkultur, pelet yang telah dicuci kemudian disimpan di deepfreezer (-80ºC) hingga digunakan.
5
2.3 Parameter Yang Diamati Parameter-parameter yang diamati pada penelitian ini sebagai berikut:
2.3.1 Pertumbuhan Harian Pertumbuhan harian adalah pertumbuhan bobot rerata tiap hari, dihitung dengan rumus:
Keterangan :
t
= Periode pengamatan (hari)
Wi
= Bobot rerata individu ikan waktu ke-i (gram/ekor)
Wo
= Bobot rerata individu ikan waktu ke-0 (gram/ekor)
GR
= Pertumbuhan harian (gram/hari)
2.3.2 Pertumbuhan Panjang Pertumbuhan panjang adalah pertumbuhan panjang rerata yang dihitung dengan rumus berikut:
Keterangan : PP
= Pertumbuhan Panjang (cm/ekor)
Pt
= Panjang rerata individu pada waktu ke-t (cm/ekor)
Po
= Panjang rerata individu pada waktu ke-0 (cm/ekor)
2.3.3 Laju Pertumbuhan Spesifik Pertumbuhan spesifik adalah persentase pertambahan bobot ikan setiap harinya, yang dihitung dengan rumus:
Keterangan : t
= Periode pengamatan (hari)
Wi
= Bobot rerata individu ikan waktu ke-i (gram/ekor)
Wo
= Bobot rerata individu ikan waktu ke-0 (gram/ekor)
SGR
= Laju pertumbuhan spesifik (%)
6
2.3.4 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup (KH) adalah persentase jumlah ikan yang hidup setelah dipelihara (dalam waktu tertentu) dibandingkan dengan jumlah pada awal pemeliharaan. KH dihitung dengan rumus: KH= Nt/No x 100% Keterangan : Nt
2.4
= Jumlah ikan yang dihasilkan pada waktu t (ekor)
No
= Jumlah ikan awal pada saat ditebar (ekor)
KH
= Tingkat kelangsungan hidup (%)
Analisis Proksimat Analisis proksimat dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi, Departemen
Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Prosedur analisis proksimat disesuaikan dengan standar yang diberlakukan di Laboratorium Nutrisi. Analisis proksimat dilakukan pada perlakuan kontrol dan perlakuan terbaik. Pengujian proksimat dimaksudkan untuk mengevaluasi pengaruh pemberian rElGH terhadap kandungan gizi pada post-larva udang.
2.5
Analisis Statistik Efektivitas perlakuan
rGH ditentukan berdasarkan pertumbuhan harian
(growth rate), laju pertumbuhan spesifik (specific growth rate) kelangsungan hidup ikan, dan biomassa. Data yang diperoleh akan dianalisis menggunakan metode sidik ragam (ANOVA), uji lanjut Tukey’s (SPSS 16.0), dan Microsoft Excel 2007.
7
III. 3.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
3.1.1 Pertumbuhan Bobot dan Biomassa Post-Larva Udang Vaname Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai pertumbuhan (panjang rerata, SGR, bobot individu, biomassa) post-larva yang direndam dengan rGH lebih tinggi daripada kontrol dan kontrol pCold (total protein Escherichia coli tanpa rGH) (Tabel 2). Pertumbuhan terbaik pada post-larva udang vaname yang direndam rElGH 15 mg/L adalah pada 3 jam perendaman dibandingkan dengan perlakuan 1 dan 2 jam. Bobot rerata post-larva udang vaname tertinggi (p<0,05) diperoleh pada perlakuan 3 jam, yakni 46,40 mg/ekor. Nilai SGR terbaik juga ditemukan pada perlakuan perendaman 3 jam (29,81%), sedangkan nilai SGR terendah pada perlakuan pCold (25,10%). Nilai biomassa tertinggi (p<0,05) terdapat pada perlakuan 3 jam perendaman (36.289,87 mg), sedangkan biomassa terendah pada perlakuan kontrol pCold (15.684,22 mg). Panjang rerata tertinggi (p<0,05) juga terdapat pada perlakuan 3 jam perendaman (20,08 mm). Peningkatan pertumbuhan PL udang vaname menunjukkan bahwa rElGH aktif menginduksi pertumbuhan udang. Peningkatan bobot rerata tertinggi pada perlakuan perendaman 3 jam mencapai 109,95% lebih berat dibandingkan dengan kontrol. Peningkatan biomassa dan panjang udang perlakuan 3 jam perendaman adalah masing-masing sebesar 66,0% dan 26,05% lebih tinggi dibandingkan kontrol.
3.1.2 Bobot Rerata dan Kelangsungan Hidup Kelangsungan hidup udang udang vaname yang diberi rGH tidak berbeda nyata dengan (p>0,05) kontrol dan kontrol pCold (Tabel 2).
8
Tabel 2. Laju pertumbuhan spesifik (SGR), kelangsungan hidup (KH), panjang, bobot dan biomassa rerata post-larva udang vaname yang direndam dengan 15 mg/L rElGH dengan lama waktu perendaman berbeda, kontrol pCold, dan kontrol. Parameter SGR (g%) Bobot rerata (mg/ekor) Biomassa (mg) Panjang (mm) KH (%)
1 jam 27,15±0,53bc
2 jam 28,45±0,85cd
Perlakuan 3 jam 29,81±0,87d
4 (kontrol) 25,71±0,63ab
5 (pCold) 25,10±0,53a
28,42±2,65ab
36,09±5,59bc
46,10±6,88c
21,96±2,58a
19,66±1,91a
21379,19±2004,55b
29774,66±1931,66c
36289,87±1459,56d
21872,19±2529,400b
15684,22±1705,34a
17,93±0,73b
19,70±0,70bc
20,08±0,42c
15,93±0,81a
15,88±0,62a
71,65±2,05a
80,16±16,41a
75,94±9,76a
94,89±0,56a
76,03±4,65a
Keterangan: Data berdasarkan rerata dari 3 ulangan untuk masing-masing perlakuan. Huruf berbeda pada baris yang sama adalah berbeda nyata (p<0,05).
9 9
Gambar 1. Pertumbuhan bobot rerata post-larva udang vaname yang dipelihara selama 3 minggu antara perlakuan yang diberi hormon pertumbuhan rekombinan ikan kerapu kertang (rElGH), kontrol, dan kontrol pCold (placebo). Placebo: postlarva udang vaname direndam dengan pCold dan BSA; kontrol: post-larva udang vaname tidak diberi perlakuan rElGH dan BSA; 1 jam: post-larva udang vaname direndam dengan rElGH 15 mg/L+BSA selama 1 jam; 2 jam: post-larva udang vaname direndam dengan rElGH 15 mg/L+BSA selama 2 jam; 3 jam: post-larva udang vaname direndam dengan rElGH 15 mg/L+BSA selama 3 jam. Pada Gambar 1 terlihat bahwa pertambahan bobot terjadi pada setiap perlakuan. Pertambahan bobot sudah terlihat mulai dari 6 hari (pengambilan contoh ke-2) setelah perendaman pada setiap perlakuan. Perendaman 1 jam, 2 jam, dan 3 jam mengalami pertumbuhan yang signifikan dari hari ke-6 sampai hari ke-18 (pengambilan contoh ke-4) pemeliharaan, tetapi kontrol pCold mengalami pertumbuhan bobot terendah sampai 18 hari setelah perendaman. Dari Gambar 1 juga dapat terlihat bahwa perendaman selama 3 jam mengalami pertumbuhan tertinggi dibandingkan dengan perlakuan perendaman 1 jam dan 2 jam.
3.1.3 Peningkatan Panjang Pada Gambar 2 terlihat bahwa pertambahan panjang post-larva udang vaname baik yang diberi rGH maupun kontrol mengalami peningkatan selama masa pemeliharaan. Namun demikian, post-larva yang diberi rGH terlihat lebih panjang daripada kontrol dan kontrol pCold. Panjang tubuh udang tertinggi terdapat pada perlakuan 3 jam perendaman, yakni 20,08 mm pada akhir 10
pemeliharaan, sedangkan panjang terendah terdapat pada perlakuan kontrol pCold (15,88 mm).
Gambar 2. Pertambahan panjang post-larva udang vaname yang dipelihara selama 18 hari antara perlakuan yang diberi hormon pertumbuhan rekombinan ikan kerapu kertang (rElGH), kontrol, dan kontrol pCold (placebo). Placebo: post-larva udang vaname direndam dengan pCold dan BSA; kontrol: post-larva udang vaname tidak diberi perlakuan rElGH dan BSA; 1 jam: post-larva udang vaname direndam dengan rElGH 15 mg/L+BSA selama 1 jam; 2 jam: post-larva udang vaname direndam dengan rElGH 15 mg/L+BSA selama 2 jam; 3 jam: post-larva udang vaname direndam dengan rElGH 15 mg/L+BSA selama 3 jam. 3.1.4 Proksimat udang vaname Kandungan gizi udang (protein, lemak, kadar air, dan kadar abu) ditampilkan pada Tabel 3. Penggunaan rGH pada udang menurunkan kadar protein, tetapi kadar abu, lemak, dan air sedikit lebih tinggi dibandingkan kontrol. Tabel 3. Kandungan proksimat (bobot basah, %) post-larva udang vaname perlakuan rElGH terbaik (3 jam perendaman) dan kontrol. Perlakuan
Kadar Air
Kadar Abu
Protein
Lemak
Serat kasar dan BETN
Kontrol
79,57
2,60
11,92
1,98
3,93
3 jam 79,59 2,69 10,87 1,55 5,3 perendaman Keterangan : Analisis proksimat dilakukan di Laboratorium Nutrisi departemen BDP, FPIK, IPB.
11
3.2 Pembahasan Hormon pertumbuhan rekombinan telah dilaporkan dapat memacu pertumbuhan udang (Sonnenschein 2001; Santiesteban et al. 2010). Pada penelitian ini juga pertumbuhan PL udang vaname meningkat signifikan dibandingkan dengan kontrol setelah diberi perendaman rElGH dengan lama waktu berbeda. Penelitian ini menggunakan rElGH dengan dosis 15 mg/L, metode yang digunakan adalah perendaman mengacu pada penelitian Santiesteban et al. (2010) yang merendam PL-2 udang vaname dengan hormon pertumbuhan ikan nila (TiGH). Berbeda dengan penelitian Santiesteban (2010) yang melakukan perendaman sebanyak 7 kali pada PL-2 udang vaname dengan menggunakan rTiGH, pada penelitian ini hanya dilakukan 1 kali perendaman. Penelitian penggunaan rekombinan hormon pertumbuhan yang dilakukan oleh Sonnenschein (2001) menggunakan bovine somatotropin (bST) dengan metode perendaman dengan frekuensi 1 kali selama 1 jam, Sonnenschein (2001) menyatakan bahwa waktu perendaman dapat mempengaruhi keefektifan penyerapan hormon pertumbuhan. Lama perendaman dalam penelitian ini adalah 1 jam, 2 jam, dan 3 jam, hal tersebut didasarkan pada pernyataan bahwa waktu perendaman yang paling efektif adalah 60 menit sampai 120 menit (Sonnenschein 2001). Hasil terbaik di penelitian ini (biomassa tertinggi) diperoleh pada lama perendaman 3 jam. Peningkatan pertumbuhan PL udang vaname menunjukkan bahwa rElGH aktif menginduksi pertumbuhan udang, dapat dilihat pada Gambar 1 pertumbuhan udang yang direndam dengan rGH mempunyai pertumbuhan lebih tinggi daripada kontrol dan kontrol pCold. Peningkatan biomassa yang direndam dengan rElGH selama 2 jam sekitar 36,13% lebih besar dibandingkan kontrol, sedangkan perlakuan 3 jam perendaman mengalami peningkatan biomassa 66,0% dengan peningkatan panjang 26,05% lebih tinggi daripada kontrol. Pada penelitian Subaedah (belum dipublikasikan) penggunaan dosis 15 mg/L pada post-larva fase PL-2 yang direndam selama 1 jam menunjukan hasil lebih baik dari perlakuan lainya, yaitu 37,77% lebih berat dari kontrol. Efektivitas rGH dapat dipengaruhi oleh jenis rGH yang digunakan, ikan uji/organisme uji, metode, dosis dan diduga waktu perendaman. Penggunaan rGH, frekuensi, dan dosis berbeda pada udang 12
dapat terlihat pada penelitian ini, karena pada hasil penelitian Santiesteban et al. (2010) yang menggunakan rGH ikan nila dengan dosis 100
µg/L dengan
frekuensi pemberian 7 kali mampu meningkatkan bobot tubuh sebesar 42,20% dan lebih panjang 5,20% daripada kontrol, sedangkan pada penelitian ini perlakuan terbaik untuk biomassa dan panjang adalah perlakuan 3 jam perendaman dengan dosis 15 mg/L dan hanya dilakukan 1 kali perendaman dengan peningkatan bobot 66% dan peningkatan panjang 26,05% daripada kontrol. Penelitian ini juga menunjukan hasil lebih tinggi daripada penelitian Sonnenschein
(2001) yang menggunakan rGH (bovine somatotropin, bST)
dengan dosis 300 mg/L yang direndam selama 1 jam dengan hasil udang yang direndam lebih besar 38% dan lebih panjang 11% daripada kontrol. Pada pengambilan kontoh ke-2 (6 hari setelah perendaman) dalam penelitian ini, mulai terlihat bahwa post-larva yang diberi rElGH 15 mg/L mengalami peningkatan bobot lebih tinggi daripada kontrol, pada pengambilan contoh ke-3 dan ke-4 (12 dan 18 hari setelah perendaman) semakin terlihat bahwa post-larva yang direndam dengan rElGH 15 mg/L bobotnya lebih tinggi daripada kontrol dan kontrol pCold, perendaman 3 jam menunjukkan pertumbuhan lebih tinggi daripada perlakuan 1 jam dan 2 jam perendaman. Penelitian ini menunjukan bahwa ada peningkatan biomassa selama masa pemeliharaan pada setiap perlakuan. Post-larva yang diberi perlakuan rElGH 15 mg/L menunjukan bahwa biomassa perlakuan 2 jam dan 3 jam perendaman berbeda nyata (p<0,05; Lampiran 3) dengan kontrol dan kontrol pCold, yaitu 29.774,66±1.931,66 mg (2 jam perendaman) dan 36.289,87±1.459,56 mg (3 jam perendaman), sedangkan untuk perlakuan 1 jam perendaman tidak berbeda nyata (p>0,05;
Lampiran
3),
21.872,19±2.529,40 mg,
yaitu
21.379,19±2.004,55
mg
dengan
kontrol
tetapi berbeda nyata (p<0,05; Lampiran 3) dengan
kontrol pCold (15.684,22±1.705,34). Perbedaan tersebut diduga karena waktu penyerapan perlakuan 2 dan 3 jam lebih lama daripada perlakuan 1 jam. Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 3, terlihat pada gambar bahwa post-larva udang vaname yang direndam dengan rElGH 15 mg/L lebih besar daripada kontrol dan kontrol pCold, tetapi post-larva yang direndam selama 3 jam dengan rGH lebih besar dari perlakuan 2 dan 1 jam perendaman. Biomassa pada kontrol pCold 13
paling rendah jika dibandingkan dengan kontrol biasa, hal ini diduga bahwa protein yang dihasilkan oleh pCold memberikan efek negatif pada pertumbuhan, sehingga pertumbuhan post-larva yang diberi pCold lebih rendah dari kontrol biasa. Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa metode, dosis, dan jenis rGH dapat mempengaruhi efektivitas rGH pada ikan atau organisme uji.
A
B
C
D
E
Gambar 3. Ukuran post-larva udang vaname yang direndam dengan hormon pertumbuhan rekombinan ikan kerapu kertang (rElGH) dosis 15 mg/L dengan lama waktu perendaman A: kontrol pCold; B: kontrol; C: 1 jam; D: 2 jam; E: 3 jam dengan frekuensi perendaman satu kali. Pemeliharaan udang dilakukan selama 18 hari setelah perendaman. Pertumbuhan spesifik post-larva yang diberi rElGH lebih baik daripada kontrol. Perendaman selama 1 jam menunjukkan nilai 27,15±0,53 (g%), perendaman selama 2 jam menunjukkan nilai pertumbuhan spesifik sebesar 28,45±0,85 (g%), sedangkan nilai pertumbuhan spesifik perendaman selama 3 jam sebesar 29,81±0,87 (g%). Hasil tersebut menunjukkan berbeda nyata (Lampiran 3) terhadap kontrol dan kontrol pCold yang mempunyai nilai pertumbuhan spesifik masing-masing 25,71±0,63 (g%) dan 25,10±0,53 (g%). Berbanding lurus dengan nilai pertumbuhan spesifik post-larva yang direndam dengan rGH, panjang rerata dari 3 perlakuan perendaman juga berbeda nyata (Lampiran 3) dengan kontrol dan kontrol pCold yaitu 17,93 ±0,73 mm (1 jam perendaman); 19,70±0,70 mm (2 jam perendaman), dan 20,08 ±0,42 mm (3 jam perendaman) dengan kontrol (15,93±0,81 mm) dan kontrol pCold (15,88±0,62 mm). Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan Santiesteban et al. (2010) yang menyatakan bahwa pemberian rGH pada post-larva udang vaname dapat meningkatkan bobot dan panjang post14
larva tersebut. Perlakuan kontrol pCold mempunyai biomassa dan SGR terendah di antara perlakuan lainya, diduga bahwa protein yang dihasilkan oleh pCold menyebabkan efek negatif pada pertumbuhan. Di antara 3 perlakuan lama perendaman, perendaman 3 jam menunjukkan hasil terbaik dari 2 perlakuan lainya dalam pertumbuhan spesifik dan panjang tubuh udang. Dengan hasil tersebut diduga bahwa pemberian rGH pada larva udang menunjukan hasil yang berbanding lurus antar bobot dan panjang tubuh. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Moriyama dan Kawauchi (2004) pemberian rsGH (recombinant salmon growth hormone)
pada Haliotis discus hannai yang menunjukkan bahwa
peningkatan bobot diikuti oleh peningkatan panjang cangkang abalon. Nilai tingkat kelangsungan hidup pada penelitian ini menunjukan bahwa perlakuan 1 jam, 2 jam, dan 3 jam tidak berbeda nyata (p>0,05; Lampiran 3) dengan kontrol pCold dengan nilai masing-masing 71,65±2,05 % (1 jam), 94,89±0,56 % (2 jam), 75,94±9,76% (3 jam), sedangkan untuk kelangsungan hidup kontrol yaitu 94,89±0,56%, dan kontrol pCold 76,03±4,65%. Jika dilihat dari hasil penelitian, maka pendapat Acosta et al. (2009) yang menyatakan pemberian rGH pada larva dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan meningkatkan daya tahan terhadap stres dan infeksi penyakit tidak terbukti pada penelitian ini. Serupa dengan penelitian ini, dalam penelitian Santiesteban et al. (2010) pemberian rGH ikan nila melalui metode perendaman juga tidak menunjukan peningkatan kelangsungan hidup. Dari hasil penelitian Sonnenchein (2001) tidak terlihat pengaruh rGH pada udang terhadap kelangsungan hidupnya. Penggunaan GH pada larva lobster Amerika yang diinjeksi dengan human growth hormone tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kelangsungan hidup lobster (Charmantier et al. 1989; Santiesteban et al. 2010). Banyak faktor yang mempengaruhi nilai tingakat kelangsungan hidup pada udang, di antaranya kualitas air, daya tahan tubuh udang, penyakit yang menyerang, dan faktor lainya. Diduga pemberian rGH pada udang yang tidak berpengaruh pada kelangsungan hidup karena sifat imun udang yang short term memory, selain itu penelitian menggunakan metode packing pada perlakuannya sehingga diduga hal tersebut berpengaruh pada kelangsungan hidup. Dapat dilihat bahwa perlakuan 3 jam mempunyai nilai kelangsungan hidup lebih rendah dari perlakuan 2 jam, maka 15
diduga bahwa semakin lama waktu perendaman berpengaruh pada kelangsungan hidup, diduga rGH jika terlalu lama diberikan akan bersifat racun bagi udang. Selain itu, penurunan kelangsungan hidup terkait daya dukung air yang semakin menurun jika semakin lama digunakan untuk perendaman rGH. Kandungan gizi udang kontrol dan hasil perlakuan terbaik berdasarkan biomassa yaitu perlakuan 3 jam dilihat melalui analisa proksimat. Dapat dilihat pada Tabel 3 bahwa udang yang direndam dengan rGH kadar mempunyai kadar protein lebih rendah (10,87%) jika dibandingkan dengan kontrol (11,92%). Kadar lemak udang yang direndam dengan rGH (1,55%) juga relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan kontrol (1,98%), tetapi kadar abu dan kadar air perlakuan 3 jam mempunyai hasil relatif lebih tinggi. Penurunan kadar protein juga terjadi pada penelitian Aminah (2012), yang menunjukkan bahwa ikan sidat yang diberi rGH dengan dosis 3 mg/L melalui metode perendaman mengalami penurunan kadar protein sebesar 6,60% dari kontrol (15,91% menjadi 14,86%). Hasil serupa juga ditunjukan pada penelitian Handoyo (2012), ikan sidat yang diberi rElGH mempunyai kadar protein lebih rendah dari kontrol. Dalam penelitian ini tidak terdapat kenaikan kadar lemak, melainkan terjadi kenaikan kadar abu dan air pada udang yang diberi rGH, hasil proksimat tersebut berbeda dengan hasil analisis proksimat penelitian Aminah (2012) dan Handoyo (2012) yang menunjukkan kenaikan kadar lemak dan penurunan kadar abu dan air pada sidat yang diberi rGH. Penurunan kadar protein dan lemak diduga digunakan udang untuk memenuhi kebutuhan energinya. Pada penelitian ini pemberian pakan dianggap sama. Menurut Donaldson (1979) GH dapat meningkatkan nafsu makan yang mengakibatkan perilaku udang lebih aktif, sehingga udang yang diberi rGH lebih banyak menggunakan protein dan lemak untuk memenuhi kebutuhan energinya daripada kontrol, diduga karena GH bekerja dalam merangsang pemecahan lemak dan sintesis protein untuk energi daripada ikan kontrol. Protein merupakan sumber energi utama, sehingga protein dalam pakan diharapkan secara optimum digunakan untuk pertumbuhan (Hariyadi et al. 2005; Aminah 2012). Rekombinan GH merupakan salah satu bioteknologi yang dapat meningkatkan pertumbuhan, rGH tidak termasuk dalan GMO (geneticaly modified organism), dan rGH tersebut tidak diturunkan atau bertahan lama di 16
dalam tubuh, diduga efek rGH hanya 3-4 bulan bertahan di dalam tubuh. Oleh karena itu perlu pemberian rGH kembali untuk tetap mempertahankan laju pertumbuhan udang yang telah diberi rGH. Handoyo (2012) ikan sidat pada fase glass eel direndam dengan rGH lalu dilanjutkan pada fase elver diberi rGH melalui pakan. Ikan sidat yang direndam dengan rGH pada fase glass eel lalu dilanjutkan pemberian rGH melalui pakan pada fase elver menunjukkan hasil pertumbuhan lebih besar 102,90% dari kontrol. Mengacu pada penelitian tersebut, maka diduga pemberian rGH pada udang melalui perendaman pada fase larva kemudian dilanjutkan pemberian rGH melalui pakan pada fase pembesaran akan meningkatkan pertumbuhan dan biomassa udang lebih tinggi daripada hanya melalui perendaman. Pada penelitian ini, penggunaan rGH untuk udang dapat meningkatkan biomassa yang cukup signifikan, terlihat bahwa udang yang diberi perlakuan perendaman menggunakan rGH biomassanya lebih tinggi dari kontrol. Hal tersebut dapat mempercepat masa produksi dan meningkatkan produksi udang. Oleh karena itu penggunaan rGH dapat dijadikan solusi dalam budidaya udang saat ini yakni penurunan angka produksi udang. Perlakuan perendaman dianggap aman dilakukan pada post-larva udang vaname dibandingkan dengan metode injeksi. Selain dapat mengurangi stres yang akan berpengaruh pada penyerapan rGH, metode perendaman juga lebih efesien jika diaplikasikan pada fase larva. Mekanisme masuknya rGH ke dalam tubuh melalui metode perendaman belum diketahui, tetapi pada ikan diduga masuknya growth hormone melalui insang. Menurut Sherwood dan Harvey (1986) dalam Moriyama dan Kawauchi (1990) pemberian GnRH (gonadotropin releasing hormone) terlihat berpengaruh pada plasma ikan mas setelah pemberian melalui insang. Radiolabeled-BSA (bovine serum albumin) ditemukan pada insang dan pada epidermis ikan rainbow trout setelah peredaman dalam larutan dan diduga bahwa masuknya larutan tersebut melalui insang (Smith 1982 dalam Moriyama dan Kawauchi 1990). Pada udang belum diketahui secara pasti masuknya rGH ke dalam tubuh udang, tetapi diduga sama dengan ikan masuknya rGH pada udang juga melalui insang, dan ruas antar karapas. Penggunaan post-larva fase PL-2 dimaksudkan agar rGH dapat terserap optimal tidak hanya melalui insang, tetapi 17
juga melalui kulit udang, karena pada saat larva epidermis kulit masih sangat tipis memudahkan rGH masuk ke dalam tubuh. Mekanisme kerja hormon pada udang belum diketahui secara pasti berbeda dengan mekanisme kerja hormon pada ikan yang sudah diketahui, karena perbedaan organ yang mengatur kerja hormon antara ikan dan udang. Mekanisme kerja hormon pada ikan yaitu hormon yang masuk di dalam tubuh ikan dialirkan oleh peredaran darah dan akan diserap oleh organ hati, paru-paru, ginjal, dan berbagai organ lainya (Affandi dan Tang 2002). Hormon dialirkan dengan memanfaatkan sirkulasi darah sehingga dapat tersebar ke seluruh organ target. Reseptor hormon umumnya bersifat spesifik terhadap ligan, dan reseptor terdiri dari beberapa rangkaian molekul protein yang bersifat sangat khusus (Partodihardjo 1980; Affandi 2002 dalam Ratnawati 2012). Kerja hormon pertumbuhan dipermudah oleh pankreas korteks adrenal dan tiroid yang bekerja bersama dalam memacu katabolisme lemak dan karbohidrat (Calduch-Giner et al. 2000 dalam Wals 2002).
Gambar 4. Mekanisme kerja hormon pertumbuhan dan IGF-1 pada ikan (Moriyama dan Kawauchi 2001). Rekombinan hormon pertumbuhan yang masuk ke dalam tubuh ikan langsung ditransportasikan oleh pembuluh darah menuju organ target, yakni hati untuk memacu produksi insulin-like-growth factor (IGF-1). Mekanisme kerja hormon seperti yang berada pada Gambar 4. Hormon pertumbuhan akan terkait pada reseptornya yang terletak di hati, kemudian hati akan menstimulasi sintesis 18
dan pelepasan IGF-I. IGF-1 berperan dalam regulasi metabolisme protein, karbohidrat, lipid, mineral yang ada di dalam sel, diferensiasi, dan perkembangan sel yang pada ahirnya akan menghasilkan pertumbuhan (Moriyama 2001). Metode perendaman yang digunakan di dalam penelitian ini adalah metode packing, udang direndam dengan rGH di dalam plastik yang biasa digunakan untuk pengiriman benih pada umumnya. Metode ini dimaksudkan untuk mempermudah petani yang akan menggunakan rGH. Pemberian rGH dilakukan pada saat transportasi, sehingga udang yang siap tebar adalah udang yang telah diberi rGH. Namun demikian, ada kendala di mana jarak pengiriman udang dianjurkan kurang dari 3 jam. Dari hasil penelitian ini perlakuan perendaman dengan lama waktu 3 jam menunjukkan kelangsungan hidup yang lebih rendah dari perlakuan 2 jam. Transportasi PL udang melebihi 3 jam tanpa pergantian air diduga akan menurunkan kelangsungan hidup secara signifikan. Dengan aplikasi penggunaan rGH pada udang vaname diharapkan dapat meningkatkan produksi udang dengan cara mempercepat pertumbuhan. Seperti yang telah diungkapkan oleh Toullec et al. (1991) yang mengusulkan penggunaan hormon vertebrata untuk meningkatkan produksi udang. Selain itu, udang yang diberi rekombinan hormon pertumbuhan adalah produk yang aman untuk dikonsumsi. Hal ini diungkapkan oleh Acosta et al. (2007) bahwa penggunaan rGH ikan merupakan prosedur yang aman dalam meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ikan budidaya, organisme hasil perlakuan rGH juga bukan merupakan produk GMO.
19
IV.
KESIMPULAN
Aplikasi rekombinan hormon pertumbuhan ikan kerapu kertang (rElGH) pada post-larva udang vaname fase PL-2 melalui perendaman dosis 15 mg/L dengan lama waktu perendaman berbeda dapat meningkatkan pertumbuhan dan biomassa udang. Perlakuan perendaman rElGH dengan lama waktu 3 jam merupakan waktu terbaik, dengan peningkatan biomassa 66,0% dan peningkatan panjang 26,05% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol.
20
DAFTAR PUSTAKA Acosta J, Morales R, Morales A, Alonso M, Estrada M P. 2007. Pichia patoris Exspressing Recombinant Tilapia Growth Hormone Accelerated the Growth of Tilapia. Biotechnol lett 29: 1671-1676. Acosta J, Estrada MP, Carpio Y, Ruiz O, Morales R, Martinez E, Valdes J, Borroto C, Besada V, Sanchez A, Herrera F. 2009. Tilapia Somatotropin Polypeptides : Potent Enhanchers of Fish Growth and Innate Immunity. Biotecnologia Aplicada 26: 267-272. Affandi R. 2002. Fisiologi Hewan Air. UNRI Press. Pekanbaru. Aminah. 2012. Aplikasi Hormon Pertumbuhan Rekombinan Ikan Kerapu Kertang pada Glass Eel dengan Dosis Perendaman Berbeda. [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Anathy VT, Venogupal R, Koteeswaran TJ, Pandian, Mathavan S. 2001. Cloning, Sequencing and Exspression of cDNA Encoding Growth Hormone from Indian Catfish (Heteropneustes fossilis). Journal of Bioscience 26: 315324. Arenal A, Pimentel R, Pimentel E, Martín L, Santiesteban D, Franco R, Aleström P. 2008. Growth Enhancement of Shrimp (Litopenaeus schmitti) After Transfer of Tilapia Growth Hormone Gene. Biotechnol lett 30: 845-51. Arnesen AM, Toften H, Agustsson T, Atefansson SO, Handeland SO, Björnsson BT. 2003. Osmoregulation, Feed Intake, Growth and Growth Hormone Levels in 0+ Atlantic Salmon (Salmo salar L) Transferred to Seawater at Different Stages of Smolt Development. Aquaculture 222: 167-187. Ben-Atia I, Fine M, Tandler A, Funkenstein B, Maurice S, Cavari B, Gertler A. 1999. Preparation of Recombinant Gilthead Seabream (Sparus aurata) Growth Hormone and Its Use For Stimulation of Larvae Growth by Oral Administration. Gen Comp Endocrinol 113: 155-164. Bisnis Indonesia. 2012. Ekspor Udang Diprediksi Tembus Rp 17,5 Triliun. www.bisnis.com [24 Nopember 2012]. Björnsson BT, Ogasawara T, Hirano T, Bolton JP, Bern HA. 1988. Elevated Growth Hormone Levels in Stunted Atlantic Salmon, Salmo salar. Aquaculture 73: 275-281. Björnsson BT, Stefansson GV, Berge ÅI, Hansen T, Stefansson SO. 1998. Circulating Growth Hormone Levels in Atlantic Salmon Smolts Following 21
Seawater Transfer: Effects of Photoperiod Regime, Salinity, Duration of Exposure and Season. Aquaculture 168: 121-137. Björnsson BT, Hemre GI, Bjørnevik M, Hansen T. 2000. Photoperiod Regulation of Plasma Growth Hormone Levels During Induced Smoltification of Under Yearling Atlantic Salmon. Gen Comp Endocrinol 119: 17–25. Charmantier, G., Charmantier-Daures, M., Aiken, D.E., 1989. Human Somatotropin Stimulates the Growth of Young American Lobsters, Homarus americanus (Crustacea, Decapoda). C. R. Acad. Sci. III 308, 21– 26. Donaldson EM, Fagerlund UHM, Higgs DA, McBride JR. 1979. Hormonal Enhancement of Growth. Di dalam: Hoar WS, Randall DJ, dan Brett JR, editor. Fish Physiology Vol. 8: Bioenergetics and Growth. Academic Press, California. Drennon K, Moriyama K, Kawauchi H, Small B, Silverstein J, Parhar I, Shepherd B. 2003. Development of an Enzyme-Linked Immuno Sorbent Assay For The Measurement of Plasma Growth Hormone (GH) Levels in Channel Catfish (Ictalurus punctatus): Assessment of Environmental Salinity and GH Secretogogues On Plasma GH Levels. Gen Comp Endocrinol 133: 314-322. Einarsdottir IE, Sakata S, Björnsson BT. 2002. Atlantic Halibut Growth Hormone: Structure and Plasma Levels of Sexually Mature Males and Females During Photoperiod-Regulated Annual Cycles. Gen Comp Endocrinol 127: 94-104. Farbridge KJ, Flett PA, Leatherland JF. 1992. Temporal Effect of Restricted Diet and Compensatory Increased Dietary Intake on Thyroid Function, Plasma Growth Hormone Levels and Tissue Lipid Reserves of Rainbow Trout Onchorhynchus mykiss. Aquaculture 104: 157-174. Haryadi B, Haryono A, Susilo U. 2005. Evaluasi Efisiensi Pakan dan Efisiensi Protein Pada Ikan Karper Rumput ( Ctenopharyngodon idella Val.) yang Diberi Pakan dengan Kadar Karbohidrat dan Energi yang Berbeda. Ichtyos 4:87-92. Handoyo B. 2012. Respons Benih Ikan Sidat Terhadap Hormon Pertumbuhan Rekombinan Ikan Kerapu Kertang Melalui Perendaman dan Oral [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. KKP. 2012. Revitalisasi Tambak, KKP Pacu Produksi Udang. Siaran Pers. www.KKP.go.id [24 Nopember 2012].
22
Lesmana I. 2010. Produksi dan Bioaktivitas Protein Rekombinan Hormon Pertumbuhan Dari Tiga Jenis Ikan Budidaya. [Tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Li Y, Bai J, Jian Q, Ye X, Lao H, Li X, Luo J, Liang X. 2003. Expression of Common Carp Growth Hormone in the Yeast Pichia pastoris and Growth Stimulation of Juvenile Tilapia (Oreochromis niloticus). Aquaculture 216: 329-341. Moriyama S, Kawauchi H. 1990. Growth Stimulation of Juvenile Salmonids by Immersion in Recombinant Salmon Growth Hormone. Nippon Suisan Gakkaishi 56(1):31-34. Moriyama S, Kawauchi H. 2001. Growth Regulation by Growth Hormone and Insulin-Like Growth Factor-I in Teleosts. Otsuchi Marine Science 26:2327. Moriyama S, Kawauchi H. 2004. Somatic Growth Acceleration of Juvenile Abalone, Haliotis discus hannai, by Immersion in and Intramuscular Injection of Recombinant Salmon Growth Hormone. Aquaculture 229: 469-478. Nordgarden U, Hansen T, Hemre GI, Sundby A, Björnsson BT. 2005. Endocrine Growth Regulation of Adult Atlantic Salmon in Seawater: The Effects of Light Regime on Plasma Growth Hormone, Insulin-Like Growth Factor-I, and Insulin Levels. Aquaculture 250: 862-871. Promdonkoy B, Warit S, Panyim S. 2004. Production of a Biologically Active Growth Hormone From Giant Catfish (Pangasionodon gigas) in Escherichia coli. Biotechnol Lett 26: 649-653. Putra HGP. 2011. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Gurame yang Diberi Rekombinan GH Melalui Perendaman dengan Dosis Berbeda [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Ratnawati P. 2012. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Gurame yang Diberi Hormon Pertumbuhan Rekombinan Dengan Lama Perendaman Yang Berbeda. [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Santiesteban D, Martín L, Arenal A, Franco R, Sotolongo J. 2010. Tilapia Growth Hormone Binds to a Receptor in Brush Border Membrane Vesicles from the Hepatopancreas of Shrimp Litopenaeus vannamei. Aquaculture 306: 338–342. Sonnenschein L. 2001. Method of Stimulating Growth in Aquatic Animals Using Growth Hormones. United States: United States Patent.
23
Takahashi A, Ogasawara T, Kawauchi H, Hirano T. 1991. Effects of Stress and Fasting on Plasma Growth Hormone Levels in The Immature Rainbow Trout. Nippon Suisan Gakkaishi 57: 231-235. Toullec, J.Y, Le Moullac G.L, Gérad C, Van Wormhoudt, A., 1991. Immunoreactive Human Growth Hormone Like Peptides in Tropical Penaeids and the Effect of Dietary hGH on Penaeus vannamei Larval Development. Aquat Living Resour 4: 125–132. Tribunnews. 2010. KKP Target Produksi Udang Nasional 699 Ribu Ton. www.tribunenews.com [24 Nopember 2012]. Tsai HJ, Lin KL, Kuo JC, Chen SW. 1995. Highly Efficient Expression of Fish Growth Hormone by Escherichia coli Cells. Appl Environ Microbiol 61: 4116-4119. Utomo DSC. 2010. Produksi dan Uji Bioaktivitas Protein Rekombinan Hormon Pertumbuhan Ikan Mas. [Tesis]. Bogor : Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Walsh G. 2002. Proteins. Biochemistry and Biotechnology. John Wiley & Sons, LTD. Xu B, Mai K, Xu Y, Miao H, Liu Z, Dong Y, Lan S, Wang R, Zhang P. 2001. Growth Promotion of Red Sea Bream, Pagrosomus major, by Oral Administration of Recombinant Eel and Salmon Growth Hormone. Chin J Oceanol Limnol 19: 141-146. Xu B, Zhang, P.J, Mai, Y.L, Miao, H.Z, 2000. Studies of the Effects of Recombinant Fish Growth Hormone on Survival and Growth Enhancement of Chinese Prawn Penaeus chinensis. Mar Sci 24: 54–56.
24
25
Lampiran 1. Skema kultur protein rekombinan hormon pertumbuhan ikan kerapu kertang (rElHP).
Suhu 150 kultur
Plate E. coli BL21 hasil transformasi pCold – ElHP
subkultur 6 ml LB+NaOH+ 6 µl Amp shake (over night)
100 ml LB+NaOH+ 100 µl Amp shake (2 jam, 370)
Cold shock 30’ subkultur
+600 µl IPTG
Pelet rElHPBL21
Sentrifuse 12.00 rpm selama 1 menit
26
Lampiran 2. Alur perlakuan perendaman dan pemeliharaan post-larva udang vaname.
27
Lampiran 3. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dan Uji lanjut Tukey’s
N Panjang
Biomassa
ABW
GR
SGR
KH
Std. Deviation 0,80829 0,62517 0,73201 0,70000 0,41932
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound 13,9254 17,9412 14,3303 17,4363 16,1149 19,7517 17,9611 21,4389 19,0417 21,1250
Kontrol Plasebo 1 jam 2 jam 3 jam
3 3 3 3 3
Mean 15,9333 15,8833 17,9333 19,7000 20,0833
Total Kontrol Plasebo 1 jam 2 jam 3 jam Total Kontrol Plasebo 1 jam 2 jam 3 jam Total Kontrol Plasebo 1 jam 2 jam 3 jam Total Kontrol Placebo 1 jam 2 jam 3 jam Total Kontrol
15 3 3 3 3 3 15 3 3 3 3 3 15 3 3 3 3 3 15 3 3 3 3 3 15 3
17,9067 21872,1950 15684,2167 21379,1893 29774,6603 36289,8670 25000,0257 21,9557 19,6567 28,4230 36,0947 46,0963 30,4453 1,2080 1,0800 1,5670 1,9937 2,5490 1,6795 25,7093 25,1023 27,1517 28,4517 29,8103 27,2451 94,8890
1,93316 2529,39716 1705,34482 2004,55403 1931,66119 1459,55589 7644,69473 2,57942 1,91276 2,65497 5,58939 6,87876 10,69086 0,14300 0,10606 0,14730 0,31064 0,38194 0,59395 0,63331 0,53415 0,52839 0,85331 0,87156 1,88777 0,55816
16,8361 15588,8241 11447,9053 16399,6011 24976,1479 32664,1292 20766,5348 15,5480 14,9051 21,8277 22,2099 29,0086 24,5249 0,8528 0,8165 1,2011 1,2220 1,6002 1,3506 24,1361 23,7754 25,8391 26,3319 27,6453 26,1997 93,5025
18,9772 28155,5659 19920,5281 26358,7776 34573,1727 39915,6048 29233,5165 28,3633 24,4082 35,0183 49,9795 63,1841 36,3657 1,5632 1,3435 1,9329 2,7653 3,4978 2,0085 27,2826 26,4292 28,4643 30,5714 31,9754 28,2905 96,2755
Plasebo 1 jam 2 jam 3 jam Total
3 3 3 3 15
76,0317 71,6510 80,1583 75,9367 79,7333
4,65546 2,04782 16,41137 9,75794 11,18483
64,4669 66,5639 39,3902 51,6966 73.5394
87,5965 76,7381 120,9264 100,1767 85,9273
28
Lampiran 3. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dan Uji lanjut Tukey’s Panjang Tukey HSD
a
Subset for alpha = 0,05 Perlakuan Placebo Kontrol 1 jam 2 jam 3 jam Sig.
N 3 3 3 3 3
1 15,8833 15,9333
2
3
17,9333 19,7000 1,000
19,7000 20,0833 ,952
,055 Biomassa
Tukey HSDa Subset for alpha = 0,05 Perlakuan Placebo 1 jam Kontrol 2 jam 3 jam Sig.
N 3 3 3 3 3
1 15684,2167
2
3
4
21379,1893 21872,1950 29774,6603 1,000
,998
36289,8670 1,000
1,000
Bobot Rata-rata Tukey HSD
a
Subset for alpha = 0,05 Perlakuan Placebo Kontrol 1 jam 2 jam 3 jam Sig.
N
1 3 3 3 3 3
2 19,6567 21,9557 28,4230
,179
3
28,4230 36,0947 ,274
36,0947 46,0963 ,107
29
Lampiran 3. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dan Uji lanjut Tukey’s SGR Tukey HSDa Subset for alpha = 0,05 Perlakuan Placebo Kontrol 1 jam 2 jam 3 jam Sig.
N
1 3 3 3 3 3
2 25,1023 25,7093
,822
3
25,7093 27,1517
,161
4
27,1517 28,4517 ,230
28,4517 29,8103 ,199
KH Tukey HSD
a
Subset for alpha = 0,05 Perlakuan 1 jam 3 jam Placebo 2 jam Kontrol Sig.
N
1 3 3 3 3 3
71,6510 75,9367 76,0317 80,1583 94,8890 ,056
30
Lampiran 4. Data sampling total penelitian Data Sampling Total
Kontrol
Panjang (mm) 15.00
Biomassa (mg) 20207.188
Bobot rata-rata (mg) 20.370
Kontrol
16.4
24782.838
Kontrol
16.4
20626.559
kontrol pCold
15.45
kontrol pCold
KH (%)
SGR
94.476
25.318
24.932
94.667
26.440
20.565
95.524
25.370
14318.900
19.220
70.952
24.995
16.6
17595.750
21.750
77.048
25.682
kontrol pCold
15.6
15138.000
18.000
80.095
24.630
1 jam
17.15
19064.651
25.522
71.143
26.570
1 jam
18.6
22515.938
29.015
73.905
27.283
1 jam
18.05
22556.979
30.732
69.905
27.602
2 jam
20.5
29186.932
42.056
66.095
29.345
2 jam
19.4
31931.921
30.972
98.190
27.645
2 jam
19.2
28205.128
35.256
76.190
28.365
3 jam
20.35
36208.300
50.150
68.762
30.323
3 jam
19.6
34872.805
38.154
87.048
28.804
3 jam
20.3
37788.496
49.985
72.000
30.304
Perlakuan
31
Lampiran 5. Hasil SDS-PAGE hormon pertumbuhan rekombinan ikan gurame (Og-mGH), ikan mas (Cc-mGH), dan kerapu kertang (El-mGH) (Handoyo, 2012).
Keterangan:
M 1 2 3 4
= Marker Pre stained protein = Protein hormon pertumbuhan rekombinan ikan gurame (rOgGH) = Protein hormon pertumbuhan rekombinan ikan mas (rCcGH) = Protein hormon pertumbuhan rekombinan ikan kerapu kertang (rElGH) dengan media 2xYT = Protein rekombinan hormon pertumbuhan ikan kerapu kertang (rElGH) dengan media 2xYT
32