PERKEMBANGAN EKONOMI KEUANGAN DAN KERJA SAMA INTERNASIONAL TRIWULAN I 2002
Perkembangan Ekonomi Dunia Pasar Keuangan dan Pasar Komoditas Perkembangan Kerja Sama Internasional Artikel
DIREKTORAT RISET EKONOMI DAN KEBIJAKAN MONETER
BANK INDONESIA
PERKEMBANGAN EKONOMI KEUANGAN DAN KERJA SAMA INTERNASIONAL TRIWULAN I 2002
Perkembangan Ekonomi Dunia Pasar Keuangan dan Pasar Komoditas Perkembangan Kerja Sama Internasional A r t i ke l
Bagian Studi Ekonomi dan Lembaga Internasional Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter
Bank Indonesia
i
Tulisan dalam Tinjauan Triwulanan Perkembangan Ekonomi, Keuangan, dan Kerja Sama Internasional ini bersumber dari berbagai publikasi dan pendapat pribadi para penulis dan bukan merupakan pendapat dan kebijakan Bank Indonesia. Pengutipan diizinkan dengan menyebutkan sumbernya.
Redaksi sangat mengharapkan komentar, saran, dan kritik demi perbaikan terbitan ini. Redaksi juga mengharapkan sumbangan artikel, karangan, atau laporan untuk dapat dimuat dalam terbitan ini.
Alamat Redaksi: Bagian Studi Ekonomi dan Lembaga Internasional Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Gedung B, Lantai 20 Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10110 Telepon: (021) 381-8227, 381-7335, 381-8250 ; Faksimili: (021) 345-2917; E-mail:
[email protected]
ii
Pengantar Redaksi Perekonomian global dalam triwulan I 2002 mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang ditandai oleh membaiknya kondisi dua kekuatan ekonomi dunia yaitu ekonomi Amerika Serikat dan negara-negara Euro. Kombinasi antara kebijakan moneter dan fiskal yang sangat ekspansif serta rendahnya harga minyak dunia sepanjang tahun 2001 telah memberikan stimulus terhadap bangkitnya ekonomi Amerika Serikat. Sementara itu, bangkitnya kembali perekonomian Amerika Serikat telah membantu pulihnya kondisi ekonomi Euro antara lain melalui pangsa ekspor Euro di Amerika Serikat. Sementara itu, ditengah membaiknya kinerja ekonomi di Amerika Serikat dan Euro, kondisi ekonomi Jepang masih dihadapkan ketidakpastian menyusul kontraksi yang terjadi pada tiga triwulan terakhir tahun 2001. Kendati perekonomian Jepang pada tahun 2001 masih tumbuh positif sebesar 0,4%, namun kontraksi yang mulai terjadi sejak triwulan II 2001 terus meningkat hingga triwulan IV 2001 dan diperkirakan akan terus berlangsung hingga triwulan I 2002. Sejalan dengan membaiknya ekonomi Amerika Serikat dan Euro, perekonomian negaranegara di Asia dan Amerika Latin juga memperlihatkan kondisi yang semakin membaik, kecuali Argentina. Di negara-negara Asia terutama yang terkena imbas oleh melemahnya perekonomian global, indikasi pemulihan semakin terlihat terutama pada sektor industri elektronik yang mengalami “rebound”, yang ditunjang oleh kebijakan moneter dan fiskal yang longgar. Sementara itu, perekonomian di negara-negara Amerika Latin, khususnya Meksiko, Brazil dan Chili juga menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang disebabkan oleh meningkatnya ekspor negara tersebut ke Amerika Serikat selama dua bulan pertama tahun 2002. Dapat ditambahkan bahwa sebagian besar ekspor Meksiko, Brazil dan Chile ditujukan ke Amerika Serikat. Berbeda dengan negara-negara Amerika Latin lainnya, kontraksi yang terjadi di Argentina pada triwulan IV 2001 diperkirakan akan terus berlanjut hingga triwulan I 2002. Perubahan kepemimpinan yang terjadi pada bulan Januari 2002 yang mendevaluasi mata uang peso sebesar 29% dan mengakhiri sistem Currency Board System (CBS) telah menimbulkan ketidakpastian terhadap perekonomian Argentina. Selanjutnya Bab II akan membahas dampak perkembangan ekonomi dan kebijakan ekonomi terhadap pasar uang, pasar valuta asing, pasar saham dan pasar obligasi. Selain itu,
v
Bab II juga mengulas perkembangan harga komoditas internasional terutama minyak dan emas. Mulai pulihnya perekonomian dunia yang ditopang oleh kebijakan moneter dan fiskal yang ekspansif yang diterapkan sebelumnya di berbagai negara telah menyebabkan stance kebijakan moneter dan fiskal di berbagai negara bergeser dari longgar menjadi lebih netral. Namun, pelaku pasar ternyata memberikan reaksi yang berlainan di berbagai negara terhadap pergeseran stance kebijakan tersebut. Dalam Bab III, dibahas hasil sidang pada berbagai lembaga dan fora regional dan internasional. Sepanjang triwulan I 2002, Indonesia telah menghadiri berbagai forum internasional mengenai kerja sama ekonomi, moneter, dan keuangan internasional; kerja sama pembangunan ekonomi regional/internasional; dan integrasi perekonomian dan perdagangan internasional. Kerja sama ekonomi, moneter, dan keuangan internasional dalam periode tersebut telah dibahas dalam forum SEACEN dan EMEAP. Kerja sama pembangunan ekonomi regional/ internasional dibahas dalam Konferensi Financing for Development. Sementara integrasi perekonomian dan perdagangan internasional dibahas dalam forum APEC Economic Committee dan G-15 Expert Group. Bab terakhir (Bab IV) menyajikan beberapa artikel yang berjudul Fostering Sustained Growth, Melemahnya Yen Serta Dampaknya Terhadap Ekonomi Asia, dan Tinjauan Umum Dampak “the New Basel Accord” Terhadap Perekonomian. Dalam kesempatan ini tim penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak khususnya rekan-rekan di Bagian Studi Ekonomi dan Lembaga Internasional, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter-Bank Indonesia, mahasiswi dari Universitas Sam Ratulangi Menado, Sdri. Christine Henny Lydia Pepah dan Sdri. Indira Maya Kader, dan Direktorat Luar Negeri serta satuan kerja lain yang telah membantu dan berperan serta dalam penyusunan laporan PEKKI triwulan I 2002.
Tim Penyusun
vi
PERKEMBANGAN EKONOMI DUNIA
PENDAHULUAN Lesunya perekonomian dunia yang terjadi sejak pertengahan tahun 2000 mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Perkembangan ini ditandai dengan mulai membaiknya kondisi dua kekuatan ekonomi dunia yaitu ekonomi Amerika Serikat dan negara-negara Euro. Sejalan dengan membaiknya ekonomi Amerika Serikat, perekonomian negara-negara Amerika Latin kecuali Argentina dan beberapa negara Asia juga semakin memperlihatkan kondisi yang membaik. Sinyal membaiknya perekonomian dunia juga ditandai oleh menguatnya kembali harga saham dan komoditas dalam skala global. Sementara itu, di tengah membaiknya kinerja ekonomi di berbagai kawasan, kondisi ekonomi Jepang masih dihadapkan ketidakpastian menyusul kontraksi ekonomi yang terjadi pada triwulan IV 2001. Mulai terlihatnya indikasi pemulihan ekonomi dunia pada triwulan laporan terutama merupakan dampak positif dari ditempuhnya kebijakan moneter dan fiskal yang sangat ekspansif di berbagai kawasan terutama di Amerika Serikat dan beberapa negara industri baru di Asia. Ruang gerak bagi ekspansi kebijakan makroekonomi tersebut semakin terbuka karena beberapa indikator memperlihatkan kondisi yang kondusif seperti, inflasi yang rendah, posisi fiskal yang kuat, serta berkurangnya tingkat kerentanan (vulnerability). Kondisi tersebut telah memungkinkan otoritas moneter dan fiskal melakukan respon terhadap situasi yang sangat sulit khususnya paska tragedi 11 September 2001. Pada tahun 2001, perekonomian dunia tumbuh sebesar 2,5%, dimana negara-negara maju sebagai penyumbang utama mengalami pertumbuhan sebesar 1,1%. Sementara itu, negara-negara berkembang mengalami pertumbuhan sebesar 4,0%. Selanjutnya, pada tahun 2002 perekonomian dunia diperkirakan akan terus membaik dengan tumbuh sekitar 2,7%. Dalam hal ini, negara-negara industri maju diperkirakan akan tumbuh sekitar 1,4%, sementara negaranegara berkembang diperkirakan akan tumbuh sekitar 4,3%. Di negara-negara industri maju, kebijakan moneter dan fiskal diperkirakan masih akan diarahkan guna mempertahankan kesinambungan pemulihan ekonomi.
Perkembangan Ekonomi Dunia
1
Kendati mulai memperlihatkan perbaikan, po-
Pertumbuhan Ekonomi Dunia Proyeksi 1999
2000
2001
2002 2003
tensi risiko (downside risk) yang dihadapi perekonomian dunia masih tetap perlu
Output Dunia Negara Industri Maju Amerika Serikat Jepang Jerman Perancis Italia Inggris Kanada
3,6 3,0 4,1 0,8 1,8 3,0 1,6 2,3 5,1
4,7 3,5 4,1 2,2 3,0 3,4 2,9 3,0 4,4
2,5 1,1 1,2 0,4 0,6 2,0 1,8 2,4 1,5
2,7 1,4 2,3 1,0 0,7 1,3 1,2 2,0 2,0
4,1 2,8 3,4 0,8 2,7 3,0 2,8 2,8 3,8
Negara Berkembang Afrika Asia China India ASEAN-4
3,9 2,5 6,1 7,1 6,8 2,8
5,7 2,9 6,7 8,0 5,4 5,0
4,0 3,7 5,6 7,3 4,1 2,5
4,3 3,4 5,8 7,0 5,1 3,1
5,7 4,2 6,6 7,8 5,5 4,4
Laju Inflasi Negara Maju Negara Berkembang
1,4 6,8
2,3 6,1
2,2 5,7
1,2 5,7
1,8 4,6
Serikat, nilai tukar US dollar
5,3
12,4
0,3
2,1
6,6
yang overvalue dan nilai
7,7 2,1
11,6 15,9
-1,1 3,2
1,9 6,0
6,4 7,9
tukar euro yang undervalue,
5,0 4,6
11,7 15,2
-1,1 3,0
0,6 4,4
6,2 7,0
Volume Perdagangan Dunia Impor Negara Maju Negara Berkembang Ekspor Negara Maju Negara Berkembang
diwaspadai1. Pertama, masih terjadinya ketimpangan (economic imbalance) dalam perekonomian global yang terutama ditandai dengan masih tingginya defisit transaksi berjalan dan rendahnya saving rate di Amerika
Sumber : World Economic Outlook (Maret 2002)
serta tingginya tingkat utang rumah tangga dan korporasi di sejumlah negara. Dengan mulai pulihnya ekonomi Amerika Serikat, kondisi
ketimpangan tersebut dalam jangka pendek diperkirakan akan semakin melebar. Oleh karena itu, diperlukan berbagai langkah struktural dan kerjasama internasional guna mengatasi ketimpangan tersebut sehingga dapat mempertahankan kesinambungan pemulihan ekonomi global. Kedua, menyusul terjadinya “rebound” sejak akhir tahun 2001, harga saham secara global memperlihatkan kembali gejala ke arah “overpricing” atau dihargai terlalu tinggi sebagai akibat terjadinya ekspektasi yang berlebihan terhadap kemungkinan peningkatan laba yang diraih perusahaan-perusahaan di sejumlah negara. Apabila realisasi perolehan laba perusahaanperusahaan tersebut mengecewakan, maka sangat besar kemungkinan terjadi kemerosotan kepercayaan di pasar keuangan yang sangat tajam, yang pada gilirannya akan kembali menimbulkan negative wealth effect secara mendadak. Hal ini karena di negara-negara industri, harga asset khususnya harga saham semakin berperan penting sebagai determinan pengeluaran 1
2
Lihat World Economic Outlook Maret 2002.
Perkembangan Ekonomi Dunia
konsumsi. Di sejumlah negara maju, perkembangan harga saham tersebut semakin memegang peranan penting dalam perumusan kebijakan makroekonomi. Ketiga, risiko regional dan global yang timbul karena dampak negatif (adverse effect) dari kesulitan ekonomi yang masih dihadapi Jepang dan Argentina, meskipun masing-masing tengah menghadapi permasalahan ekonomi yang berbeda. Melemahnya yen secara berkelanjutan sebagai respon terhadap resesi ekonomi yang dihadapi Jepang semakin mengurangi daya saing produk beberapa negara industri baru di Asia. Pada triwulan laporan, perekonomian Amerika Serikat sebagai lokomotif ekonomi dunia mulai memperlihatkan indikasi pemulihan yang lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Hal ini terlihat dari semakin menguatnya kepercayaan dunia usaha dan konsumen (business and consumer confidence) serta pasar modal, meningkatnya konsumsi rumah tangga secara signifikan, meningkatnya kembali penyerapan tenaga kerja, serta semakin stabilnya kinerja produksi industri sektor manufaktur. Kombinasi antara kebijakan moneter dan fiskal yang sangat ekspansif serta rendahnya harga minyak dunia sepanjang tahun 2001 telah memberikan stimulus terhadap bangkitnya ekonomi Amerika Serikat tersebut. Sebagaimana diketahui, kebijakan moneter yang ekspansif tersebut ditempuh dengan penurunan suku bunga Fed Fund oleh Federal Reserve sepanjang tahun 2001 dari 6.5% menjadi 1.75%. Sedangkan, kebijakan fiskal yang ekspansif ditempuh antara lain melalui penurunan pajak. Meskipun berbagai indikator dalam perekonomian Amerika Serikat mulai membaik, kewaspadaan masih diperlukan terhadap kemungkinan timbulnya beberapa risiko yang dapat membuat proses pemulihan ekonomi Amerika Serikat terganggu (unsustainable). Hal ini terutama apabila perolehan laba perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat tidak setinggi dari yang diharapkan, ekses kapasitas produksi yang dapat menimbulkan hambatan terhadap peningkatan investasi, serta kesinambungan peningkatan harga saham tidak dapat dipertahankan. Menyikapi kondisi ekonomi seperti itu, Federal Reserve diperkirakan akan tetap menempuh kebijakan moneter yang cenderung netral sampai terlihat perbaikan kondisi ekonomi cukup sustainable. Sementara itu, kebijakan fiskal dipekirakan akan lebih dititik beratkan pada upaya untuk mencapai keseimbangan fiskal dalam jangka menengah dan mengatasi tekanantekanan yang berasal dari sistem jaminan sosial. Di kawasan Euro, tanda-tanda perbaikan ekonomi terlihat dari tingkat kepercayaan dunia usaha yang mulai menguat dan produksi sektor industri yang mulai memperlihatkan Perkembangan Ekonomi Dunia
3
peningkatan. Pada triwulan I 2002 pertumbuhan ekonomi kawasan Euro meningkat sebesar 0,7%, jauh lebih baik apabila dibandingkan dengan kontraksi sebesar 0,2% yang terjadi pada triwulan sebelumnya. Menyikapi perkembangan situasi ekonomi terakhir, stance kebijakan moneter bank sentral Eropa (ECB) dalam beberapa bulan mendatang diperkirakan akan tetap “neutral bias” dengan tetap mempertahankan suku bunga pada tingkat 3,25% sementara menunggu arah perkembangan ekonomi selanjutnya. Di sisi fiskal, negara-negara yang mengalami defisit diperkirakan akan berupaya untuk memperkuat posisi fiskal pada saat pemulihan ekonomi semakin kuat. Hal ini ditempuh guna menyediakan ruang gerak agar proses “automomatic stabilizer” dapat berfungsi ketika perekonomian kembali mengalami perlambatan. Berbeda dengan membaiknya kondisi perekonomian di dua kekuatan ekonomi dunia di atas, kinerja perekonomian Jepang justru semakin terpuruk, —menyusul kontraksi sebesar 2,2% pada triwulan IV 2001—, yang ditandai dengan semakin melemahnya tingkat kepercayaan dan memburuknya kondisi sektor perbankan. Kemajuan restrukturisasi sektor perbankan dan perusahaan tetap menjadi kunci utama bagi pemulihan kepercayaan dan terciptanya prospek pertumbuhan ekonomi Jepang yang sustainable. Dalam skala makro, kemerosotan ekonomi Jepang disebabkan oleh masih lemahnya permintaan baik domestik maupun eksternal. Melemahnya permintaan domestik tersebut antara lain tercermin dari perkembangan retail sales yang mengalami kontraksi dalam kurun waktu satu tahun terakhir, dimana kontraksi terbesar terjadi pada bulan Februari 2002 sebesar 6,8%. Melemahnya permintaan domestik tercermin pula pada kecenderungan deflasi yang hingga kini masih terus berlangsung. Kondisi ini tidak mendorong sektor produksi untuk meningkatkan produksinya. Disisi lain, kemerosotan ekonomi Jepang juga diakibatkan oleh melemahnya permintaan dunia terhadap produk Jepang, yang pada gilirannya mengakibatkan penurunan surplus neraca perdagangan Jepang secara terus menerus dalam dua tahun terakhir. Mulai membaiknya kondisi ekonomi di negara-negara industri maju berperan besar dalam menopang kegiatan ekonomi di negara-negara berkembang, sejalan dengan berbagai langkah yang terus ditempuh guna memperkuat struktur fundamental ekonomi, mengurangi kerentanan terhadap kejutan (shock), serta meningkatkan produktivitas. Tanda-tanda pemulihan ekonomi semakin tampak di beberapa negara Asia, seperti Cina, Korea Selatan dan beberapa negara ASEAN. Selain itu, beberapa negara di kawasan Amerika Latin seperti Chili, Brazil dan Meksiko juga menunjukkan perkembangan positif. Demikian pula dengan Rusia, Australia dan Selandia Baru yang memperlihatkan kinerja ekonomi yang mulai membaik.
4
Perkembangan Ekonomi Dunia
Di negara-negara Asia terutama yang terkena imbas oleh melemahnya perekonomian global –kecuali Cina dan India—, indikasi pemulihan ekonomi semakin terlihat terutama pada sektor industri elektronik yang mengalami rebound, yang ditopang dengan kebijakan moneter dan fiskal cukup longgar di sejumlah negara. Hal yang paling menonjol dari kondisi perekonomian Asia adalah semakin pesatnya pertumbuhan ekonomi Cina yang mengalami pertumbuhan spektakuler yakni sebesar 7,5% pada triwulan laporan, menyusul ekspansi sebesar 6,6% pada triwulan IV 2001. Kendati demikian, kekhawatiran mulai merebak di dalam negeri Cina sehubungan dengan masuknya Cina menjadi anggota organisasi perdagangan dunia (World Trade Organization) yang diperkirakan akan meningkatkan jumlah pengangguran karena meningkatnya tuntutan efisiensi, yang pada gilirannya akan berdampak pada rendahnya pengeluaran konsumen. Sementara itu, sejalan dengan mulai membaiknya perekonomian Amerika Serikat — sebagai tujuan utama ekspor—, sejumlah negara Amerika Latin juga menunjukkan perbaikan, kecuali ekonomi Argentina yang pada tahun 2002 diperkirakan masih akan mengalami kontraksi. Dampak penularan (contagion effect) akibat krisis ekonomi yang mengguncang Argentina terhadap perekonomian negara-negara di kawasan Amerika Latin dan kawasan lainnya dalam kenyataannya sangat terbatas. Perekonomian Meksiko dan Brazil yang memiliki hubungan perdagangan yang sangat erat dengan Amerika Serikat memperlihatkan kinerja mulai membaik. Pada tahun 2002, perekonomian Meksiko dan Brazil masing-masing diperkirakan tumbuh sebesar 1,7% dan 2,5%. Sedangkan perekonomian Argentina diperkirakan masih akan mengalami kontraksi sebesar 8,4%, setelah berturut-turut mengalami kontraksi sebesar 0,8% dan 3,7% pada tahun 2000 dan 2001. Dalam pada itu, perekonomian di negara-negara Oceania khususnya perekonomian Australia dan Selandia Baru juga memperlihatkan perbaikan melalui pertumbuhan yang sama sebesar 2,4%. Membaiknya perekonomian Australia pada triwulan laporan terutama sebagai akibat meningkatnya permintaan domestik yang ditopang oleh tingkat suku bunga yang sangat rendah.
PERKONOMIAN NEGARA-NEGARA INDUSTRI MAJU Amerika Serikat Perekonomian Amerika Serikat (AS) pada triwulan pertama tahun 2002 diperkirakan tumbuh sebesar 5,0% (q-o-q), pertumbuhan tertinggi selama dua tahun terakhir. Pertumbuhan Perkembangan Ekonomi Dunia
5
ekonomi tersebut meningkat lebih pesat Grafik PDB, Inflasi dan Tingkat Pengangguran AS (%)
dibandingkan pertumbuhan pada triwulan IV 2001 yang mencapai 1,7% (q-o-q). Hal tersebut didukung oleh kebijakan moneter
8
dan fiskal yang ekspansif, yang men-
6
Sep-01
Des -00
Mar-00
J un-99
Sep-98
Inflasi
Des -97
Mar-97
PDB
J un-96
sektor manufaktur dan pendukungnya.
Sep-95
-2
Des -94
kegiatan investasi ini terlihat terutama di Mar-94
0
J un-93
rakat, investasi, dan ekspor. Peningkatan
Sep-92
2
Des -91
dorong pengeluaran konsumsi masya-
Mar-91
4
J un-90
PD B, Inflasi, Tingkat Pe ngangguran
10
Fenomena ini di dukung pula oleh
Tingkat Pengangguran
penurunan inventory yang lebih kecil yang mengindikasikan pulihnya aktivitas bisnis setelah pada triwulan IV 2001 mengalami
stagnasi. Pada triwulan II 2002, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan tetap tumbuh tinggi sebesar 5,0% (q-o-q). Walaupun dalam triwulan III dan IV 2002 laju pertumbuhan ekonomi akan mengalami penurunan, pengeluaran konsumen diharapkan masih akan meningkat pada paruh kedua tahun 2002 seiring dengan meningkatnya lapangan pekerjaan dan pendapatan masyarakat. Laju inflasi - Indeks Harga Konsumen (IHK)- pada triwulan I 2002 diperkirakan mencapai 1,3% (y-o-y), lebih rendah dibanding inflasi pada triwulan IV 2001 yang naik sebesar 1,9% (y-o-y). Inflasi ini merupakan terkecil sejak tahun 1986. Untuk tahun 2003, inflasi -IHKdiprakirakan akan mengalami kenaikan sebesar 2,5%. Sementara itu, indeks harga produsen diperkirakan akan me-
Grafik Perkembangan Indeks PMI di AS (%) 70
ningkat sebesar 0,7% (m-o-m) di bulan
60
Maret 2002 melesat tajam dibandingkan
50
bulan Desember 2001 yang mengalami
40
deflasi sebesar 0,6% (m-o-m). Pening-
30
katan harga pada bulan Maret tersebut 20
terutama dipengaruhi oleh melonjaknya
10
harga minyak mentah seiring dengan
0
Feb-02
Apr-01
Jun-00
Ags-99
Okt-98
Des-97
Feb-97
Apr-96
Jun-95
Ags-94
Okt-93
Des-92
Feb-92
Apr-91
Jun-90
situasi yang memanas antara Palestina dengan Israel. Selain itu, peningkatan
6
Perkembangan Ekonomi Dunia
harga juga dipengaruhi oleh kenaikan harga komoditas dan perkiraan menguatnya permintaan. Pengeluaran masyarakat pada triwulan I 2002 terlihat meningkat cukup tajam dibandingkan triwulan sebelumnya, meskipun kembali menunjukkan penurunan terutama menjelang akhir bulan Maret 2002 akibat naiknya harga minyak mentah dunia dan perkiraan naiknya suku bunga seiring dengan menguatnya tekanan inflasi. Namun demikian pengeluaran konsumsi masyarakat yang merupakan dua pertiga dari perekonomian Amerika Serikat diharapkan masih akan cukup baik seiring dengan tetap tingginya keyakinan akan pemulihan ekonomi Amerika Serikat mulai triwulan I 2002. Di sisi tenaga kerja, kondisi pada bulan Maret 2002 masih belum menggembirakan karena tingkat pengangguran masih mencapai level 5,7% dari jumlah angkatan kerja atau tidak berubah dibandingkan bulan Desember 2001. Kondisi ini diperkirakan berada pada posisi yang sama pada bulan April sampai Juni 2002 dan selanjutnya akan membaik dalam bulanbulan berikutnya. Di sisi eksternal, posisi neraca Grafik Neraca Perdagangan AS
berjalan Amerika Serikat untuk tahun 2002 5
diperkirakan masih mengalami defisit sebe-
0
sar –4,0%, sedikit lebih baik dari tahun 2001 yang mengalami defisit sebesar –4,1%. Meskipun ekonomi dunia yang mulai
-5 -10 -15 -20 -25
membaik pada triwulan I 2002 akan mendorong peningkatan ekspor Amerika
-30 -35 -40
Jan-02
Mei-01
Sep-00
Jan-00
Mei-99
Sep-98
Jan-98
Mei-97
Sep-96
Jan-96
Mei-95
Sep-94
Jan-94
Mei-93
Sep-92
Jan-92
Serikat, di sisi lain impor di Amerika juga akan meningkat tajam. Pola ini diperkirakan akan terus berlanjut hingga tahun 2003. Jika
Grafik Suku Bunga Fed Fund April 1999 - Maret 2002
kondisi ini menjadi kenyataan, maka diperkirakan defisit neraca berjalan
(sama dengan level pada tahun 2001) dan terus meningkat menjadi US$ 477 miliar pada tahun 2003 (4,2% dari nilai PDB).
Fed Fund Target
28/02/02
Perkembangan Ekonomi Dunia
31/12/01
31/10/01
31/08/01
29/06/01
30/04/01
2/28/2001
12/30/2000
10/31/2000
8/31/2000
6/30/2000
4/28/2000
2/29/2000
12/31/1999
29/10/99
8/31/1999
6/30/1999
ekonomi yang masih berlangsung, dan
Fed Fund Effective
4/30/1999
Dengan memperhatikan recovery
Persen
mencapai US$ 413 miliar pada tahun 2002
7.5 7.0 6.5 6.0 5.5 5.0 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0
7
diwarnai oleh angka pengangguran yang masih tinggi, maka hingga pertengahan tahun 2002 ini diperkirakan Fed Res masih belum menaikkan suku bunga Fed Fund yang saat ini mencapai 1,75%. Fed Res diperkirakan akan mempertimbangkan kenaikan Fed Fund sebesar 25 bp pada FOMC tanggal 27 Juni 2002 mendatang untuk mencegah perekonomian mengalami overheating.
Eropa Barat Negara-negara Euro Pada triwulan laporan, kinerja ekonomi negara-negara yang tergabung dalam Euro mulai menunjukkan perbaikan ditandai oleh ekspansi sebesar 0,7%, setelah kontraksi sebesar -0.2% pada triwulan IV 2001. Membaiknya kondisi ekonomi Euro tidak terlepas dari bangkitnya kembali perekonomian Amerika Serikat, yang pada dasarnya merupakan negara tujuan ekspor utama sebagian besar negara-negara Euro, yaitu menyerap sekitar seperlima ekspor Euro. Tanda-tanda perbaikan ekonomi terlihat dari kepercayaan dunia usaha dan konsumen yang menguat, yang salah satunya tercermin dari peningkatan German IFO index secara berturutturut dalam empat bulan sejak Desember 2001. Secara keseluruhan tahun 2002 perekonomian Euro diperkirakan tumbuh sebesar 1,2%, lebih rendah dibanding tahun 2001 yang tumbuh sebesar 1,5%. Pada tahun 2003 perekonomian diperkirakan akan mengalami percepatan dengan laju pertumbuhan sekitar 2,3%. Membaiknya perekonomian Euro terutama pada pertengahan tahun 2002 ditopang oleh kebijakan moneter yang longgar dan kondisi eksternal yang menguntungan. Meskipun stimulus kebijakan moneter dalam perekonomian Euro tidak sebesar perekonomian Amerika Serikat, perekonomian Euro secara umum menghadapi ketimpangan makroekonomi yang lebih ringan sehingga risiko yang dapat mengganjal proses pemulihan ekonomi yang sustainable diperkirakan relatif akan lebih kecil. Sementara itu tingkat profitabilitas perusahaan-perusahaan di Euro relatif lebih kuat dibandingkan di Amerika Serikat, yang pada gilirannya diperkirakan akan menjadi penopang bangkitnya kembali kegiatan investasi. Kendati demikian, beberapa risiko diperkirakan berpotensi menghadang proses pemulihan ekonomi seperti, kemungkinan tertundanya kebangkitan ekonomi Jerman, serta berbagai kelemahan struktural terutama di pasar tenaga kerja. Sementara itu tekanan laju inflasi tampak masih cukup kuat. Dalam tiga bulan pertama tahun 2002, laju inflasi masih tetap bergerak di atas ceiling rate yang ditetapkan bank sentral
8
Perkembangan Ekonomi Dunia
Eropa sebesar 2,0% (y-o-y). Pada Grafik PDB, Inflasi dan Tingkat Pengangguran Kawasan Euro (%)
bulan Januari 2002 laju inflasi mencapai 2,7% (m-o-m), yang
4
10
PDB, Inflasi
3.5
8
3 2.5
6
2 1.5
4
1
2
0.5 0
0
Mar-02
Sep-01
Mar-01
Sep-00
Mar-00
Inflasi
Sep-99
Mar-99
Sep-98
Mar-98
Sep-97
Mar-97
Sep-96
PDB
Tingkat pengangguran
Tingkat Pengangguran
12
4.5
merupakan level tertinggi sejak bulan Juni 2001. Tingginya laju inflasi tersebut terutama disumbang oleh meningkatnya pajak, harga makanan, serta harga barang dan jasa yang terkait dengan pemanfaatan momentum pengenalan penggunaan uang kertas Euro, seperti harga makanan di restoran dan tiket bioskop.
Pada bulan Februari 2002, inflasi mengalami penurunan menjadi 2,4%, dan selanjutnya meningkat kembali mencapai 2,5% pada bulan Maret 2002, sebagai akibat melonjaknya harga minyak sebesar 38%. Secara keseluruhan, laju inflasi diperkirakan akan mencapai 1,5% (y-o-y) pada tahun 2001 dan akan menurun menjadi 1,2% (y-o-y) pada tahun 2002. Menyikapi kegiatan ekonomi yang mulai membaik dan tekanan laju infalsi yang masih kuat, bank sentral Eropa (ECB) diperkirakan akan tetap mempertahankan tingkat suku bunga pada tingkat 3,25% dalam triwulan II 2002. Peningkatan suku bunga diperkirakan akan terjadi apabila harga minyak terus melambung. Perekonomian Jerman pada tahun 2001 mengalami ekspansi sebesar 0,6%, yang merupakan pertumbuhan ekonomi terendah sejak tahun 1993. Pada tahun 2002, perekonomian diperkirakan akan tetap melaju lambat pada tingkat sekitar 0,75%. Pemulihan ekonomi diharapkan akan terjadi mulai semester kedua tahun 2002, sehingga dapat mendorong kegiatan ekonomi pada tahun 2003 yang diperkirakan akan tumbuh 2,2%. Salah satu penyebab lambatnya pertumbuhan ekonomi tahun 2002 ini adalah merosotnya manufacturing order yang dipicu oleh lemahnya permintaan factory dan demand goods. Sementara itu, laju inflasi di Jerman pada bulan Januari 2002 memperlihatkan tekanan, mencapai 2,2% (y-o-y), lebih tinggi dibandingkan bulan Desember 2001 yang mencapai 1,5% (y-o-y). Tekanan inflasi tersebut terutama bersumber dari kondisi cuaca yang mempengaruhi harga buah dan sayur. Untuk tahun 2003, tingkat inflasi diperkirakan akan sedikit mengalami peningkatan menjadi 1,5%. Perkembangan Ekonomi Dunia
9
Tingkat pengangguran di Grafik Produksi di Sektor Industri Kawasan Euro (%)
Jerman diperkirakan mengalami penu-
8.00
runan pada bulan Maret 2002, pertama
6.00
31/01/02
31/05/01
30/09/00
31/01/00
31/05/99
30/09/98
31/01/98
31/05/97
30/09/96
31/01/96
31/05/95
30/09/94
kan oleh antisipasi perusahaan-
-2.00
31/01/94
runan tingkat pengangguran disebab-
0.00
31/05/93
2.00
30/09/92
kalinya dalam 15 bulan terakhir. Penu-
31/01/92
4.00
perusahaan terhadap kemungkinan
-4.00 -6.00
pulihnya ekonomi. Jumlah pengang-
-8.00
gur turun sebanyak 140.000 orang, menjadi 4,16 juta orang. Keyakinan makin menurunnya tingkat pengang-
guran juga diperkuat dengan semakin membaiknya business confidence di Jerman. Tingginya business confidence ini didorong oleh semakin membaiknya perekonomian Amerika Serikat yang merupakan 10% pasar ekspor Jerman. Perekonomian Perancis pada tahun 2001 hanya tumbuh 2%, selanjutnya untuk tahun 2002 diperkirakan tumbuh sebesar 1,5%, yang merupakan pertumbuhan paling lambat sejak tahun 1996. Sementara itu, pada triwulan I 2002, ekonomi Perancis diperkirakan tumbuh 0,3%, dan pada triwulan II 2002 diperkirakan tumbuh sebesar 0,5%. Sementara itu, pada tahun 2001 laju inflasi mencapai 1,6%. Laju inflasi diperkirakan menurun menjadi 1,4% pada tahun 2002 dan meningkat lagi menjadi 1,8% pada tahun 2003. Di sektor eksternal, setelah mengalami penurunan drastis sejak tahun 1998, neraca perdagangan Perancis pada tahun 2001 mengalami surplus dan diperkirakan akan terus berlanjut. Bahkan untuk periode 2002-2003, surplus tersebut diperkirakan akan meningkat seiring dengan membaiknya terms of trade. Sementara itu, surplus neraca transaksi berjalan diperkirakan akan tetap berlangsung, didukung oleh surplus pendapatan jasa dan investasi. Surplus transaksi berjalan Perancis diperkirakan mengalami kenaikan dari 2% (dari PDB) pada periode 2001-2002, menjadi 2,7% pada tahun 2003. Pada tahun 2002 perekonomian Italia diperkirakan hanya akan tumbuh 1,2%, dan selanjutnya akan meningkat menjadi 2,8% pada tahun 2003. Sedangkan pada tahun 2000 dan 2001, perekenomian Italia tumbuh masing-masing sebesar 2,9% dan 1,8%. Penyebab utama melambatnya pertumbuhan ekonomi pada perode 2001-2002, yaitu lesunya perekonomian
10
Perkembangan Ekonomi Dunia
dunia dan lambatnya pertumbuhan Grafik Consumer Confidence Kawasan Euro (%)
investasi akibat belum jelasnya insentif
5
yang diberikan oleh pemerintahan baru.
0
Sementara itu, permintaan domestik
-5 -10
tetap ditopang oleh peningkatan
-15
konsumsi swasta, akibat naiknya tingkat
-20 -25
penyerapan tenaga kerja dan dampak
-30
pemotongan pajak oleh pemerintah.
-35
Jan-02
May-01
Sep-00
Jan-00
May-99
Sep-98
Jan-98
May-97
Sep-96
Jan-96
May-95
Sep-94
Jan-94
May-93
Sep-92
Jan-92
Pada bulan Maret 2002, laju inflasi Italia mencapai 2,6% (y-o-y) dan 0,2% (m-o-m), meningkat dari 2,5% (y-o-y)
pada bulan Februari. Tekanan inflasi terutama bersumber dari melonjaknya harga minyak, harga makanan, serta pengenalan mata uang Euro. Kendati demikian, untuk keseluruhan tahun 2002 laju inflasi diperkirakan akan mencapai 2,1%, lebih rendah dari tahun 2001 yang mencapai 2,7%. Defisit perdagangan Italia untuk Januari 2002 mencapai 1,643 miliar euro, naik dari posisi 1,143 miliar euro pada bulan Januari 2001. Sementara itu, surplus transaksi berjalan untuk tahun 2001 mencapai 0,3%, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 0,6% pada tahun 2002. Pada tahun 2001 perekonomian Belgia melambat menjadi 1,1% dan diperkirakan akan terus melambat mencapai 0,7% pada tahun 2002. Melambatnya ekonomi Belgia salah satunya merupakan akibat melemahnya kinerja sektor perdagangan di mana surplus transaksi berjalan tahun 2001 mengalami penurunan menjadi 3,8% dari PDB, dibandingkan dengan surplus tahun 2000 yang mencapai 4,6%. Di pihak lain, tekanan laju inflasi terus meningkat, mencapai 2,4% pada tahun 2001. Sementara itu, sejalan dengan melonjaknya harga minyak dan makanan, tekanan laju inflasi diperkirakan akan terus menguat pada tahun 2002. Tingkat pengangguran di Belgia pada bulan Maret 2002 mencapai 10,8%. IMF telah mendesak pemerintah Belgia untuk berusaha mengurangi tingginya tingkat pensiun awal dan memastikan bahwa program tenaga kerja pemerintah tidak merugikan program tenaga kerja sektor swasta.
Perkembangan Ekonomi Dunia
11
Pada tahun 2001, perekonomian Belanda tumbuh 1,1% dan diperkirakan akan meningkat menjadi 1,4% pada tahun 2002. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi pada tahun 2002 ditopang oleh kemungkinan perbaikan ekonomi Amerika Serikat dan Eropa. Rendahnya pertumbuhan ekonomi pada tahun 2001 terutama akibat dari biaya upah yang tinggi dan resesi dunia yang menyebabkan berkurangnya permintaan untuk barang dan jasa Belanda. Sementara itu, laju inflasi Belanda pada tahun 2001 mencapai 5,1%, namun diperkirakan akan menurun menjadi 2,7% pada tahun 2002. Sumber utama penyebab inflasi adalah melonjaknya harga minyak dan tingginya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Belanda. Sementara itu, tingkat pengangguran tahun 2001 berada pada level 2% dan diperkirakan akan terus mengalami kenaikan, mencapai 2,4% untuk tahun 2002.
Inggris Dalam triwulan I 2002, perekonomian Inggris mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan, terutama sejak bulan Februari 2002. Hal ini tercermin dari pertumbuhan produksi industri manufaktur yang mulai tercatat positif (0,4%) pada bulan Februari 2002. Kenaikan di bulan Februari ini adalah awal kenaikan tingkat produksi yang selama lima bulan terakhir ini mengalami penurunan terus-menerus. Hal tersebut disebabkan semakin banyaknya perusahaan di Inggris memproduksi bahan kimia dan komputer. Produksi bahan kimia mengalami kenaikan sebesar 2,4% pada bulan Februari 2002. Tanpa kenaikan tersebut, keuntungan keseluruhan untuk manufaktur hanya mencapai 0,1%. Sementara itu produksi komputer dan peralatan proses informasi (information-processing equipment) lainnya mengalami pertumbuhan 1,7% untuk Februari 2002 (m-o-m). Kondisi ini meningkatkan optimisme produsen atas Grafik PDB dan Inflasi Inggris (%)
pemulihan ekonomi yang lebih cepat. 3
4.5 4
rapa sektor penting, terutama produksi
2
2.5
1.5
2 1.5 1 0.5 0
Inflasi
3
PDB
Dengan perbaikan produksi pada bebe-
2.5
3.5
bahan kimia, dan information related
1
equipment, laju pertumbuhan PDB pada
0.5
triwulan I 2002 diperkirakan sebesar
0
Jan-02
Sep-01
Inflasi
Mar-01
Sep-00
Mar-00
Sep-99
Mar-99
Sep-98
Mar-98
Sep-97
Mar-97
PDB
0,2% (q-o-q). Pelaku usaha optimis bahwa pertumbuhan ekonomi pada triwulan II akan lebih baik, seiring dengan
12
Perkembangan Ekonomi Dunia
kecenderungan perbaikan perekonomian dunia, khususnya Amerika Serikat yang akan mendorong kenaikan permintaan terhadap barang-barang produksi Inggris. Amerika Serikat merupakan negara tujuan ekspor utama Inggris yang menyerap 14% dari ekspor Inggris. Amerika Serikat juga merupakan investor asing terbesar di Inggris. Dengan perkembangan yang menggembirakan ini, Bank of England memprediksi bahwa perekonomian Inggris akan tumbuh sekitar 2% dalam paruh pertama tahun 2002. Tanda-tanda percepatan pertumbuhan ekonomi Inggris meningkatkan ekspektasi bahwa BOE akan meningkatkan suku bunga benchmark-nya dalam tahun ini, setelah sejak bulan November 2001 hingga akhir Maret 2002 suku bunga benchmark Inggris bertahan pada tingkat 4%. Sementara itu, laju inflasi tahunan Inggris dalam triwulan I 2002 cenderung lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya, dimana pada bulan Januari dan Februari 2002 masingmasing sebesar 2,6% (y-o-y) dan 2,2% (y-o-y), mendekati target laju inflasi yang ditetapkan Pemerintah sebesar 2,5% (y-o-y).
Jepang Perkembangan ekonomi Jepang masih belum menunjukkan tanda-tanda menggembirakan, bahkan nampaknya semakin memburuk. Kondisi perekonomian Jepang semakin menurun sejak pertengahan tahun 2000, bahkan dalam tiga triwulan terakhir tahun 2001 terusmenerus mengalami kontraksi. Kontraksi terbesar terjadi dalam triwulan IV 2001 yang mencapai -2,2% (y-o-y) setelah dalam dua triwulan sebelumnya berturut-turut mengalami kontraksi sebesar -0,4% (y-o-y) dan -0,5% (y-o-y). Dengan demikian, sepanjang tahun 2001 ekonomi Grafik PDB, Inflasi dan Tingkat Pengangguran Jepang (%)
Jepang mengalami kontraksi sebesar 0,4%. Kontraksi ekonomi Jepang semakin
6
diperparah dengan berlanjutnya kecen-
5
derungan deflasi yang dalam bulan Januari
3
4
2
dan Februari 2002 masing-masing men-
1
capai –0,8% (y-o-y), sedikit membaik
-1
dibandingkan dengan bulan Desember 2001
-2 -3
Jan-02
Sep-01
Mar-01
Sep-00
Inflasi
Mar-00
Sep-99
PDB
Mar-99
Sep-98
Mar-98
perekonomian
Sep-97
Mar-97
sebesar –0,9% (y-o-y). Memburuknya
0
Tingkat Pengangguran
Jepang terutama disebabkan oleh rendahPerkembangan Ekonomi Dunia
13
nya permintaan domestik. Melemahnya Grafik Tankan Manufacturing Survey Index
permintaan domestik antara lain tercermin
20.0
dari pertumbuhan retail sales yang terus-
10.0
menerus mengalami kontraksi dalam kurun
0.0 -10.0
waktu satu tahun terakhir, dimana kontraksi
-20.0
terbesar terjadi dalam bulan Desember
-30.0 -40.0
2001 dan Februari 2002 masing-masing
-50.0 31/12/2001
30/06/2001
31/12/2000
30/06/2000
31/12/1999
30/06/1999
31/12/1998
30/06/1998
31/12/1997
30/06/1997
-60.0
sebesar -6,8% (y-o-y). Dalam hal ini, terdapat beberapa faktor penyebab masih lemahnya permintaan domestik. Pertama, fungsi intermediasi
perbankan belum sepenuhnya pulih. Terhambatnya fungsi intermediasi perbankan disebabkan oleh besarnya kredit bermasalah yang mengakibatkan bank-bank mengalami kerugian besar sehingga memaksa mereka lebih bersikap hati-hati dalam menyalurkan kreditnya. Tahun lalu, perbankan dan pemerintah Jepang telah menghapusbukukan kredit bermasalah sekitar 70 triliun yen atau 12% dari PDB Jepang sehingga posisinya tinggal 33 triliun yen per 31 Maret 2001. Kedua, beban utang baik utang swasta maupun utang pemerintah masih cukup besar. Kelesuan ekonomi membuat dunia usaha semakin sulit untuk mengembalikan utang kepada perbankan sehingga meningkatkan jumlah kredit macet. Sementara itu, utang pemerintah juga semakin bertambah guna membiayai ekspansi fiskal dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi. Besarnya utang tersebut menyebabkan dunia usaha dan pemerintah lebih bersikap hati-hati dalam mengalokasikan pengeluarannya. Dengan pembatasan utang pemerintah sebesar 30 triliun yen untuk tahun fiskal 2002/2003 yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan Jepang,
Grafik Pertumbuhan Retail Sales Jepang April 1997 - Februari 2002 (%YoY)
maka total outstanding utang pemerintah
10.0 8.0
pada bulan Maret 2003 diperkirakan
6.0
mencapai 693 triliun yen atau lebih dari 40%
4.0 2.0
PDB Jepang. Ketiga, kondisi ketenaga-
0.0 -2.0
kerjaan kian memburuk. Resesi ekonomi
-4.0 -6.0
berkepanjangan telah menyebabkan
-8.0 31/12/2001
31/08/2001
30/04/2001
31/12/2000
31/08/2000
30/04/2000
31/12/1999
31/08/1999
30/04/1999
31/12/1998
31/08/1998
30/04/1998
31/12/1997
31/08/1997
30/04/1997
-10.0
peningkatan jumlah pengangguran sehingga menurunkan potensi pendapatan sektor rumah tangga. Hal ini pada gilirannya
14
Perkembangan Ekonomi Dunia
menurunkan daya beli masyarakat dan selanjutnya berdampak pada menurunnya tingkat konsumsi yang menyumbang 60% terhadap PDB Jepang. Dari sisi sektor produksi, merosotnya perekonomian Jepang dipicu oleh melemahnya aktivitas produksi industri teknologi informasi dan industri manufaktur yang berorientasi ekspor. Penurunan aktivitas di kedua sektor industri tersebut menimbulkan dampak negatif berantai terhadap kinerja sektor-sektor lainnya terutama industri nonmanufaktur. Implikasi selanjutnya adalah menurunnya pendapatan dunia usaha, menurunnya pengeluaran investasi, meningkatnya pengangguran, berkurangnya pendapatan pekerja, dan akhirnya tingkat konsumsi juga mengalami penurunan. Dunia usaha nampaknya masih pesimis terhadap prospek ekonomi Jepang. Hal ini terlihat dari hasil survei Tankan dalam bulan Maret 2002 yang menghasilkan indeks –38, tidak berubah dibandingkan bulan Desember 2001 dan merupakan indeks terendah dalam 3 tahun terakhir. Selain melemahnya permintaan domestik, menurunnya permintaan luar negeri juga berdampak buruk terhadap perekonomian Jepang. Menurunnya permintaan luar negeri terhadap produk-produk ekspor Jepang terlihat dari pertumbuhan surplus neraca perdagangan Jepang yang masih mengalami kontraksi dan mencapai –11,3% (y-o-y) dalam bulan Februari 2002. Penurunan permintaan tersebut merupakan dampak dari kondisi ekonomi dunia yang sedang lesu khususnya ekonomi Amerika Serikat dan Eropa Barat sebagai pasar terbesar produkproduk ekspor Jepang. Namun demikian, melihat trend pertumbuhan surplus neraca perdagangan Jepang sejak awal tahun 2001 yang menunjukkan kecenderungan kontraksi yang mengecil, ke depan nampaknya dimungkinkan untuk tumbuh positif. Hal ini sejalan dengan mulai pulihnya perekonomian Amerika Serikat, Eropa, dan beberapa negara Grafik Pertumbuhan Neraca Perdagangan Jepang April 1997 - Februari 2002 (%)
emerging lainnya dalam triwulan I 2002 sehingga kinerja sektor eksternal Jepang diharapkan terus membaik.
250 200 150
Berbagai kebijakan telah ditempuh
100 50
baik oleh Pemerintah maupun Otoritas Moneter Jepang dalam rangka membawa
0 -50 -100
30/11/2001
31/08/2001
31/05/2001
28/02/2001
30/11/2000
31/08/2000
31/05/2000
29/02/2000
30/11/1999
31/08/1999
31/05/1999
28/02/1999
30/11/1998
31/08/1998
31/05/1998
28/02/1998
31/10/1997
31/07/1997
berkepanjangan. Dari sisi fiskal, pemerintah
-150 30/04/1997
Jepang keluar dari krisis ekonomi yang
terus-menerus melakukan ekspansi melalui
Perkembangan Ekonomi Dunia
15
paket stimulus fiskal yang dibiayai dengan penjualan obligasi pemerintah. Akibatnya, defisit fiskal terus membengkak dan menempatkan Pemerintah Jepang sebagai pengutang terbesar di dunia sehingga peringkat obligasi Pemerintah Jepang terancam turun. Dari sisi moneter, Bank of Japan juga telah berupaya menempuh kebijakan moneter yang longgar dengan menurunkan official discount rate menjadi 0,1%, sementara suku bunga antarbank diarahkan mendekati level 0% (near-zero interest rate policy). Namun, berbagai langkah kebijakan tersebut nampaknya belum mampu mengeluarkan Jepang dari krisis ekonomi sehingga Pemerintah Jepang mencanangkan program reformasi secara menyeluruh dari mulai sektor fiskal, keuangan, dunia usaha, dan birokrasi.
PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASIA (NON-JEPANG) Cina Perekonomian Cina –negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia— diperkirakan akan mengalami kenaikan cukup signifikan pada triwulan I 2002, sehingga target pertumbuhan sebesar 7% sepanjang tahun 2002 akan terpenuhi. Pertumbuhan ekonomi sepanjang triwulan I 2002 tersebut diperkirakan akan mencapai 7,5% (y-o-y), naik dibandingkan pertumbuhan triwulan IV 2001 yang mencapai sebesar 6,6%. Membaiknya pertumbuhan ekonomi Cina terutama didorong oleh membaiknya kondisi perekonomian Amerika Serikat, serta meningkatnya investasi asing yang masuk ke Cina setelah negara tersebut masuk dalam keanggotaan World Trade Organization. Selain kedua aspek tersebut,
Grafik PDB dan Inflasi Cina (%)
tingginya pertumbuhan ekonomi Cina 14
30
12
25
10
20
8
15
6
10
4
5
mengesankan tersebut nampaknya
2
0
masih belum cukup besar untuk
0
-5
menyerap seluruh tenaga kerja.
pada triwulan I 2002 juga didukung
Mar-02
Sep-01
Des-00
Inflasi
Mar-00
Jun-99
Sep-98
Des-97
Mar-97
Jun-96
Sep-95
Des-94
Mar-94
PDB
pemerintah dan masyarakat. Namun Inflasi
PDB
oleh relatif tingginya pengeluaran
demikian, pertumbuhan ekonomi yang
Seiring dengan membaiknya perekonomian, tingkat pengangguran di Cina juga menunjukkan peningkatan
16
Perkembangan Ekonomi Dunia
cukup signifikan. Pemerintah Cina mencatat kenaikan pengangguran di perkotaan sebesar 3,6% pada akhir tahun 2001. Salah satu upaya yang ditempuh pemerintah Cina untuk mendorong pertumbuhan ekonomi adalah dengan menurunkan suku bunga pada bulan Februari 2002. Penurunan tingkat suku bunga tersebut merupakan yang pertama kalinya, setelah lebih dari dua setengah tahun, dalam rangka meningkatkan pengeluaran dan investasi pada paruh kedua tahun 2002. Membaiknya kondisi perekonomian Amerika akhir-akhir ini berdampak cukup signifikan terhadap kinerja ekspor Cina. Pada dua bulan pertama triwulan I 2002, ekspor Cina tumbuh pesat. Pada periode Januari-Februari 2002, ekspor mengalami pertumbuhan sebesar 14,1% dibanding tahun sebelumnya. Sementara itu, pada periode yang sama impor tumbuh 3,2%, jauh lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 8,2%. Dengan perkembangan ekspor dan impor tersebut, surplus neraca perdagangan Cina pada triwulan I 2002 tercatat sebesar USD 6 milyar. Kenaikan ekspor tersebut diperkirakan akan mendorong kenaikan tingkat harga akibat berkurangnya kelebihan supply yang dapat dijual di pasar lokal. Problem deflasi yang selama beberapa periode dialami Cina, nampaknya masih akan terjadi pada triwulan I 2002, bahkan pada bulan Januari 2002, Indeks Harga Konsumen turun sebesar 1%, yang merupakan penurunan terbesar dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Kecenderungan turunnya harga tersebut berlanjut pada bulan kedua triwulan I 2002, Laju inflasi di Cina, pada awal triwulan I 2002 menunjukkan penurunan dibanding tahun sebelumnya. Kecenderungan turunnya indek harga konsumen tersebut tidak berlanjut pada bulan Februari, sebagai dampak naiknya permintaan konsumen berkaitan dengan perayaan tahun baru. Namun, untuk bulan-bulan selanjutnya Cina diperkirakan masih akan dilanda deflasi sejalan dengan kecenderungan masyarakat untuk meningkatkan tabungan dan mengurangi konsumsi menyusul masuknya Cina dalam WTO, serta meningkatnya jumlah pengangguran. Sebagai ilustrasi, Cina Petroleum & Chemical Corp. atau Synopec, telah merencanakan untuk mem-PHK-kan sekitar 37,000 pekerja pada tahun 2002, Province Liaoning di Cina akan mem-PHK-kan lebih dari separuh pegawai sipil (540,000 pekerja) akibat ditutupnya perusahaan metal dan tambang. Kondisi tersebut diperburuk dengan tindakan dunia usaha menurunkan tingkat harga untuk mempertahankan daya saing produk mereka. Upaya meningkatkan pengeluaran masyarakat untuk menahan meningkatnya pengangguran dan mengatasi pertumbuhan ekonomi yang menurun telah mendorong anggaran Pemerintah Cina kemungkinan mencatat defisit sebesar 19% menjadi 309,8 miliar yuan pada Perkembangan Ekonomi Dunia
17
tahun laporan. Pemerintah pusat Cina merencanakan akan melakukan pengeluaran sebesar 1,37 triliun yuan pada tahun 2002 atau 10,1% lebih besar dari tahun 2001. Penerimaan pajak diharapkan tumbuh sebesar 7,7% menjadi 1,06 triliun yuan, melambat dari 21% kenaikan pada tahun lalu. Penerimaan pajak Pemerintah Cina pada dua bulan pertama 2002 tercatat meningkat 13% menjadi 266 miliar yuan ($32 miliar). Selama dua bulan pertama, Pemerintah Cina telah menerima 18,8 miliar yuan dari pajak pendapatan perorangan, lebih besar 29,3% dari tahun lalu dan, sebesar 11,9 miliar yuan dari pajak pendapatan perusahaan, lebih besar 45,9% dari tahun lalu. Menyadari bahwa akan terjadi kelebihan penawaran di pasar, maka dalam rangka mendorong pengeluaran, Pemerintah Cina akan terus menaikkan gaji pegawai berpendapatan rendah dan para petani. Disamping itu upaya Pemerintah Cina untuk mendorong permintaan domestik juga dilakukan dengan menambah uang di proyek-proyek publik dan kesejahteraan masyarakat. Konsekuensi utama dari kebijakan tersebut adalah membesarnya defisit anggaran pemerintah, yang diperkirakan akan mengalami kenaikan sebesar 19% dari tahun sebelumnya, hingga mencapai USD37,4 miliar, senilai 3% dari PDB.
Hong Kong Setelah mengalami kinerja yang buruk dalam dua triwulan terakhir tahun 2001, kinerja ekonomi Hong Kong pada triwulan I 2002 tampaknya belum menunjukkan perkembangan yang signifikan, meskipun tanda-tanda pemulihan ekonomi mulai terlihat di Hong Kong. Hal tersebut antara lain di tandai oleh belum pulihnya kinerja ekspor dan consumer spending, yang mendorong tertahan-
Grafik PDB dan Inflasi Hong Kong (%)
nya pemulihan ekonomi Hong Kong
8
20
6
15
pada triwulan I 2002. Namun, muncul-
PDB
2 0
5
-2
0
-4 -5
Inflasi
4 10
nya tanda-tanda pemulihan ekonomi di Hong Kong terutama pada bulan terakhir triwulan I 2002 dan membaik-
-6
-10
-8
Mar-02
Sep-01
Mar-01
Inflasi
Sep-00
Mar-00
Sep-99
Mar-99
Sep-98
Mar-98
Sep-97
Mar-97
Sep-96
PDB
nya perekonomian global tahun ini tampaknya telah mendorong keyakinan pemerintah bahwa ekonomi Hong Kong akan tumbuh 1% tahun 2002,
18
Perkembangan Ekonomi Dunia
lebih tinggi dari angka pertumbuhan tahun lalu sebesar 0,1%. Tanda pemulihan ekonomi tersebut dicerminkan antara lain oleh membaiknya beberapa indikator ekonomi seperti membaiknya aktivitas bisnis, maupun mulai meningkatnya output, order dan purchasing. Dari sisi domestik, kegiatan ekonomi yang menurun yang dialami Hong Kong selama tiga triwulan terakhir tahun lalu serta melemahnya domestic demand yang terus berlangsung sampai dengan triwulan I 2002, mendorong tingkat harga di Hong Kong kembali mengalami penurunan. Setelah mengalami periode deflasi sejak tahun 1998, pada bulan Februari tahun 2002 Composite Price index (CPI) masih menunjukkan kecenderungan menurun dan mencapai -2,3 % (y-o-y) pada periode tersebut. Kecenderungan menurunnya tingkat harga tersebut tidak terlepas dari semakin memburuknya kondisi lapangan kerja seiring dengan penurunan kegiatan ekonomi selama ini. Meningkatnya angka pengangguran, yang pada dua bulan pertama tahun 2002 mencapai angka tertinggi yakni 6,7% dan 6,8% pada bulan Januari dan Februari 2002, serta melemahnya permintaan terhadap sektor properti telah mendorong domestic demand di Hong Kong semakin melemah. Sementara itu, di sisi eksternal, kinerja ekonomi Hong Kong yang belum membaik pada triwulan I 2002 tercermin pada kinerja ekspor yang belum menunjukkan perbaikan yang signifikan. Sampai dengan bulan Februari tahun ini, ekspor Hong Kong masih terus mengalami penurunan meskipun sedikit melambat dan mencatat penurunan 9,1% (y-o-y) pada periode tersebut. Penurunan ekspor pada bulan tersebut merupakan penurunan terendah sejak bulan Agustus tahun lalu. Namun demikian, membaiknya kondisi ekonomi global tahun ini diharapkan akan mendorong ekspor Hong Kong semakin membaik. Di sisi lain, dalam bulan yang sama, impor mencatat penurunan sebesar 19,8% dibanding periode yang sama tahun lalu didorong oleh menurunnya permintaan konsumen menyusul tingginya angka pengangguran di Hong Kong. Dengan perkembangan tersebut, defisit perdagangan Hong Kong pada bulan Februari mencapai HK$2,8 miliar, menurun dari HK$17,6 miliar pada periode yang sama tahun lalu. Menurunnya ekspor Hong Kong yang terus berlangsung saat ini, diperkirakan tidak akan berpengaruh signifikan terhadap neraca transaksi berjalan. Salah satu penyebab kecilnya pengaruh tersebut adalah struktur ekspor Hong Kong yang sebagian besar merupakan import-dependent. Dengan kondisi tersebut, neraca pembayaran diperkirakan akan tetap mengalami surplus sebesar 2,6% tahun 2002 dan sedikit menurun menjadi 2,1% pada tahun 2003. Perkembangan Ekonomi Dunia
19
Sementara itu, seiring dengan kegiatan ekonomi yang menurun, defisit anggaran pemerintah Hong Kong terus meningkat hingga mencapai dua puluh kali lebih besar dari perkiraan semula. Dalam tahun anggaran yang berakhir tanggal 31 Maret 2002, defisit anggaran mencapai HK$65,6 (USD8,4 miliar) atau mencapai 5,2% dari PDB. Angka tersebut membengkak dari defisit tahun fiskal sebelumnya yang hanya mencapai HK$7,8 miliar. Diperkirakan defisit anggaran akan terus berlangsung dalam tahun-tahun mendatang setelah pemerintah mengisyaratkan akan menunda kenaikan pajak sampai dengan tahun 2006 seiring dengan kegiatan ekonomi yang masih melemah dan angka pengangguran yang tinggi. Dalam rangka memperkecil defisit anggaran, selain menerapkan kenaikan pajak, pemerintah juga telah merencanakan untuk : (i) memotong pembayaran pegawai sipil sebesar 4,75% pada 1 Oktober 2002, (ii) menaikkan pajak minuman keras, (iii) menghapus duty-free pada tembakau dan minuman keras lainnya, serta (iv) mengenakan pajak HK$18 bagi mereka yang datang maupun pergi dari wilayah kepabean Hong Kong. Dengan kebijakan tersebut, pemerintah mengharapkan dapat memperkecil defisit sampai dengan HK$45,2 miliar pada tahun anggaran 2002/2003.
Korea Selatan Perekonomian Korea menunjukkan pertumbuhan yang semakin membaik. PDB triwulan IV 2001 tumbuh sebesar 3,7% (y-o-y), jauh di atas laju pertumbuhan triwulan sebelumnya yang hanya mencapai 1,8%, sehingga sepanjang tahun 2001 PDB tumbuh sebesar 3%. Walaupun pertumbuhan PDB Korea melambat, setelah pada tahun 2000 mampu tumbuh sebesar 9,3%, namun perekonomian Korea termasuk salah satu yang dapat ‘survive’ di tengah terjadinya global economic slowdown. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV 2001 tersebut didorong oleh pengeluaran domestik yang kuat, termasuk pengeluaran pemerintah, sehingga secara agregat pengeluaran domestik mampu mengkompensasi penurunan ekspor yang terjadi pada periode yang sama. Perkembangan ekonomi Korea pada triwulan I 2002 diwarnai oleh penurunan aktivitas perdagangan internasional. Nilai ekspor Korea sepanjang triwulan I 2002 kembali terkontraksi walaupun dengan laju yang melambat, yaitu sebesar 10,4% (y-o-y), sementara impor terkontraksi 11,4% (y-o-y). Dengan perkembangan tersebut surplus neraca perdagangan Korea pada 2 bulan pertama triwulan I 2002 mencapai US$760,3 juta. Setelah menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV 2001, angka penjualan retail dan wholesale mengalami penurunan pada 2 bulan pertama triwulan I 2002.
20
Perkembangan Ekonomi Dunia
Indeks penjualan retail menurun dari 144,4 pada akhir tahun 2001 menjadi
Grafik PDB dan Inflasi Korea (%)
131,8 pada bulan Januari 2002, dan
15
10 9
menurun lagi menjadi 130,7 pada bulan
10
8
Februari 2002. Indeks penjualan
6
PDB
wholesale juga menurun dari 134,5
5 0
4
menjadi 128,6 pada bulan Januari
3
2002, dan menjadi 118,8 pada bulan
-5
Februari 2002. Menurunnya penjualan
-10
2 1 0
Mar-02
Sep-01
Mar-01
Sep-00
PDB
Mar-00
Sep-99
Mar-99
Sep-98
Mar-98
turunnya produksi sektor manufaktur.
Sep-97
Mar-97
retail dan wholesale juga diikuti oleh
Inflasi
7 5
Inflasi
Indeks produksi melambat dari 164,7 pada akhir tahun 2001 menjadi 142,5 pada bulan Februari 2002. Namun penurunan angka penjualan dan produksi tersebut tidak menurunkan persepsi dan ekspektasi konsumen dan kalangan bisnis di Korea, karena penurunan tersebut merupakan fenomena musiman. Indeks consumer confidence yang menggambarkan persepsi konsumen terhadap kondisi perekonomian menunjukkan peningkatan dari 89,2 pada bulan Desember 2001 menjadi 100,5 pada bulan Februari 2002. Sementara itu indeks consumer expectation meningkat dari 100,9 menjadi 107,7. Optimisme kalangan bisnis juga meningkat dengan melonjaknya indeks business confidence. Indeks yang pada akhir 2001 sebesar 105,1 bahkan sempat meningkat mencapai 141,90 pada bulan Februari 2002, sebelum sedikit terkoreksi menjadi 140,8 pada bulan Maret 2002. Indikator sektor bisnis lainnya, jumlah persediaan barang (inventories) menunjukkan penurunan yang cukup signifikan, yaitu menurun menjadi 118 dari level 124,5. Kombinasi perkembangan meningkatnya consumer confidence, consumer expectation, dan business confidence, serta menurunnya persediaan barang mengindikasikan bahwa aktivitas produksi sektor industri manufaktur akan segera meningkat. Perkembangan sektor moneter diwarnai dengan meningkatnya jumlah uang beredar. M1 sepanjang triwulan I 2002 meningkat sebesar 5,06%, sementara M2 meningkat 2,77%. Peningkatan jumlah uang beredar tersebut mendorong kenaikan harga barang-barang konsumsi sebesar 1,63%. Sementara itu, Bank of Korea tetap mempertahankan benchmark suku bunga Perkembangan Ekonomi Dunia
21
pada level 4%, dan diperkirakan akan menaikkan suku bunga untuk meredam laju inflasi segera setelah perekonomian semakin membaik. Indikasi akan meningkatnya aktivitas sektor riil yang didukung oleh perkembangan di sektor moneter tersebut akan sangat menunjang pencapaian perkiraan Pemerintah mengenai pertumbuhan ekonomi Korea sebesar 4% pada tahun 2002.
Singapura Perkembangan ekonomi Singapura pada triwulan IV 2001 diwarnai dengan pertumbuhan PDB sebesar 5,6% (qoq) atau lebih tinggi dibandingkan perkiraan sebesar 4,3%. Dengan demikian PDB sepanjang tahun 2001 terkontraksi sebesar 2%. Membaiknya perekonomian pada triwulan IV didorong oleh permintaan domestik dan sedikit membaiknya ekspor. Kuatnya permintaan domestik tercermin pada meningkatnya penjualan retail. Indeks penjualan retail meningkat dari 133,6 pada akhir triwulan III menjadi 166,8 pada akhir triwulan IV. Meningkatnya penjualan retail mendorong aktivitas produksi sektor manufaktur dimana indeks produksi pada periode yang sama meningkat dari 99,5 menjadi 100,3. Lebih jauh lagi, persepsi kalangan bisnis juga menjadi semakin optimis yang tercermin pada meningkatnya purchasing manager index dari 45,6 menjadi 48,3. Ekspor Singapura pada triwulan IV meningkat 3,43% (qoq) dibandingkan triwulan III terkontraksi sebesar 5,96%, namun dibanding tahun sebelumnya masih terkontraksi 18,13%. Sementara itu, impor masih terkontraksi walaupun dengan laju kontraksi yang menurun, yaitu dari 2,70% menjadi 1,05%. Dengan perkembangan ini, surplus neraca perdagangan Singapura meningkat dari S$7.495 juta menjadi S$8.026 juta, sehingga posisi neraca pembayaran membaik dari defisit S$2.230 juta menjadi surplus S$3.959 juta. Posisi cadangan devisa juga meningkat dari S$137,55 miliar menjadi S$140 miliar. Namun perkembangan positif tersebut tidak diikuti secara langsung oleh angka pengangguran. Perusahaan-perusahaan masih terus melakukan pengurangan tenaga kerja sejalan dengan masih lesunya ekspor, sehingga angka pengangguran tetap meningkat menjadi 4,7% pada akhir tahun 2001 dari sebesar 3,8% pada akhir triwulan III 2001. Perkembangan ekspor, yang merupakan kontributor utama terhadap seluruh perekonomian Singapura, yang masih lemah mengakibatkan Pemerintah memperkirakan PDB masih akan terkontraksi sebesar 2% pada triwulan I 2002. Ekspor pada bulan Februari 2002 kembali
22
Perkembangan Ekonomi Dunia
terkontraksi sebesar 19,2% (y-o-y). Grafik PDB dan Inflasi Singapura (%)
Menurunnya ekspor, disamping karena 15
masih lemahnya permintaan pasar inter-
3 2.5
10
nasional, juga disebabkan oleh apresiasi
2 1.5
harga barang-barang Singapura relatif lebih mahal. Dollar Singapura pada sepanjang
0 -0.5
-5
-1 -1.5
-10
-2
Dec-01
Mar-02
Jun-01
Dec-00
Jun-00
Dec-99
PDB
Jun-99
Dec-98
Jun-98
Dec-97
Jun-97
Dec-96
0,76% menjadi S$1,8314/USD, sebelum
0.5 0
Jun-96
bulan Januari – Februari 2002 terapresiasi
1
Inflasi
dollar Singapura yang mengakibatkan
PDB
5
Inflasi
kembali melemah menjadi S$1,8432/USD pada akhir triwulan I 2002. Menurunnya ekspor secara tidak langsung menekan impor, mengingat sebagian besar impor Singapura merupakan impor bahan baku dari produk ekspor, sehingga impor bulan Februari 2002 ikut menurun sebesar 18,2% (y-o-y). Disamping itu, hadirnya produkproduk serupa dari negara pesaing, seperti Cina yang memiliki biaya produksi relatif rendah sehingga harga produknya lebih murah, semakin menekan ekspor Singapura. Faktor-faktor lain yang menunjukkan kecenderungan akan terjadinya kontraksi PDB tersebut adalah sedikit menurunnya penjualan retail yang pada triwulan IV 2002 merupakan penggerak perekonomian. Indeks penjualan retail bulan Februari 2002 menurun menjadi 91,9. Namun, Pemerintah tetap optimis perekonomian akan segera bangkit pada triwulantriwulan berikutnya sejalan dengan perkiraan membaiknya perekonomian Amerika, sehingga sepanjang tahun 2002 ini perekonomian akan tumbuh antara 1% - 3%. Optimisme pemerintah tersebut didasari oleh sedang dilakukannya negosiasi kesepakatan perdagangan bebas dengan Amerika yang memasuki tahap akhir. Proses negosiasi yang dimulai pada bulan November 2001 tersebut diperkirakan akan mencapai kesepakatan yang penandatanganannya akan dilakukan oleh kedua pihak dalam waktu dekat. Sebelumnya Singapura telah menjalin perdagangan bebas dengan Jepang, Australia, New Zealand, Canada, Mexico dan Eropa (European Free Trade Area). Dalam kesepakatan tersebut pihak Amerika akan melonggarkan persyaratan “rules of origin” (produk ekspor harus diproduksi di dalam negeri) bagi eksportir Singapura, sehingga eksportir Singapura dapat menekan biaya produksi dengan merelokasi pabriknya ke luar negeri yang upah buruh dan sewa tanahnya lebih murah, seperti Indonesia, Vietnam, Kamboja, dan Perkembangan Ekonomi Dunia
23
sebagainya. Selain itu Singapura juga akan membuka pasar industri jasa, termasuk perbankan, pendidikan dan kesehatan, terhadap perusahaan-perusahaan Amerika, sehingga investasi di sektor jasa diperkirakan akan meningkat. Implementasi kesepakatan perdagangan bebas dengan Amerika diperkirakan akan mendongkrak PDB Singapura sebesar 0,7 percentage point. Disamping itu, pemerintah juga sedang mempersiapkan kebijakan untuk melakukan pemotongan pajak atas perusahaan dan perorangan. Hal ini ditujukan untuk menarik investasi baru, terutama investasi di sektor jasa. Dengan mendorong sektor jasa, pemerintah mencoba memperbaiki struktur perekonomian Singapura untuk mengurangi ketergantungan perekonomian terhadap ekspor produk IT, yang terbukti rentan terhadap external shocks. Monetary Authority of Singapore atau bank sentral Singapura secara paralel juga melakukan upaya untuk mendorong aktivitas perekonomian dengan terus memompa likuiditas ke dalam perekonomian. Jumlah uang beredar, baik M1, M2 dan M3 mengalami peningkatan masing-masing sebesar 7,95%, 2,79% dan 2,59% (y-o-y), pada bulan Februari 2002. Pertumbuhan jumlah uang beredar tersebut sedikit meningkatkan harga barang-barang konsumsi sebesar 0,1% dalam dua bulan pertama triwulan I 2002. Namun, dibandingkan tahun sebelumnya masih terjadi deflasi sebesar 0,6% (y-o-y), sedikit lebih tinggi dibandingkan deflasi bulan sebelumnya sebesar 1,1%.
Taiwan Setelah mengalami kontraksi pada tahun 2001, perekonomian Taiwan pada tahun 2002 ini diperkirakan akan tumbuh sebesar 2,5%. Optimisme bahwa perekonomian Taiwan akan semakin membaik mulai terlihat di awal triwulan I 2002, yang ditandai dengan meningkatnya ekspor di bulan Januari sebesar 9,2% (y-o-y) dibandingkan tahun sebelumnya. Membaiknya kinerja ekspor Taiwan tersebut sempat terganggu dengan terhentinya pengiriman barang ke luar negeri berkaitan dengan libur tahun baru. Meningkatnya ekspor tersebut ternyata tidak berlanjut pada bulan-bulan berikutnya. Ekspor Taiwan cenderung semakin turun sepanjang bulan Februari akibat turunnya pengiriman barang ekspor karena libur tahun baru. Dampak libur tahun baru tersebut adalah turunnya ekspor Taiwan di bulan Februari sebesar 28,1% dari tahun sebelumnya. Penurunan tersebut lebih besar dari yang diperkirakan, yaitu sebesar 20,5%. Dengan demikian, pada dua bulan pertama triwulan I 2002 ekspor Taiwan turun sebesar 11,1% dari tahun sebelumnya.
24
Perkembangan Ekonomi Dunia
Memasuki bulan Maret, kinerja ekspor Taiwan diprediksikan akan
Grafik PDB dan Inflasi Taiwan (%)
naiknya permintaan perangkat kom-
dengan membaiknya kondisi perekonomian Amerika Serikat. Berdasarkan perkiraan pemerintah Taiwan, kenai-
4 3
4
2
2 1
0
0
-2 -4
-1
-6
-2 Mar-02
Dec-01
Jun-01
Dec-00
Jun-00
PDB
Dec-99
Jun-99
Dec-98
Jun-98
dorong pertumbuhan ekonomi pada
Dec-97
Jun-97
Dec-96
Jun-96
kan permintaan tersebut akan men-
5
8 6
PDB
puter dan telepon seluler seiring
10
Inflasi
membaik didorong oleh perkiraan
Inflasi
tahun 2002 ke level 2,3%. Optimisme terhadap kenaikan permintaan ekspor semakin besar di akhir triwulan I 2002 hingga akhir triwulan II 2002. Meningkatnya permintaan ekspor dari Amerika Serikat tersebut, diperkirakan akan mendorong pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2002 sebesar 0,5%. Memasuki triwulan I 2002, laju inflasi di Taiwan menunjukkan kenaikan menyusul kebijakan pemerintah Taiwan untuk menurunkan subsidi bagi alkohol dan rokok, sebagai konsekuensi keanggotaan Taiwan dalam World Trade Organization. Indeks harga konsumen pada Januari 2002 naik 0,5% dari bulan Desember 2001, namun jika dibandingkan tahun sebelumnya, laju inflasi di bulan Januari tersebut turun sebesar 1,7%. Pada bulan Februari, laju inflasi di Taiwan masih menunjukkan kenaikan sebesar 0,4% dari bulan Januari atau naik 1,4% dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini terutama didorong oleh kenaikan permintaan konsumen menjelang perayaan Tahun Baru Cina (Imlek). Meskipun sempat mengalami kenaikan pada dua bulan pertama tahun 2002, laju inflasi di Taiwan diperkirakan akan mengalami penurunan pada beberapa bulan mendatang, akibat belum pulihnya kondisi perekonomian sebagian besar negara di dunia dan relatif tingginya angka pengangguran di Taiwan. Kondisi tersebut mulai nampak di akhir triwulan I 2002, dimana pada bulan Maret terjadi penurunan Indeks Harga Konsumen di Taiwan sebesar 0,3% dibandingkan bulan Februari. Prediksi bahwa Indeks Harga Konsumen akan cenderung turun sepanjang tahun 2002, memberikan peluang bagi bank sentral Taiwan untuk melanjutkan kebijakan penurunan tingkat suku bunga pada tahun 2002, atau minimal mempertahankan tingkat suku bunga untuk tidak berubah.
Perkembangan Ekonomi Dunia
25
Malaysia Setelah mengalami pertumbuhan negatif dalam dua triwulan terakhir tahun lalu, ekonomi Malaysia pada triwulan I 2002 tampaknya akan sedikit membaik. Indikasi membaiknya ekonomi Malaysia semakin kuat menyusul membaiknya lingkungan eksternal seiring dengan tandatanda pemulihan ekonomi global. Sementara itu, pengaruh positif dari serangkaian kebijakan yang berorientasi pada pertumbuhan (pro-growth policy) yang diterapkan pemerintah sejak akhir tahun 1998, serta kebijakan untuk mendorong domestic demand sejak tahun lalu menyusul perlambatan ekonomi global, telah menjadi faktor lainnya yang mendorong optimisme tersebut. Menyusul perkembangan tersebut, Bank Negara Malaysia (BNM) memperkirakan ekonomi akan tumbuh 3,5% tahun 2002, meningkat dari angka pertumbuhan tahun lalu sebesar 0,4%. Optimisme atas pemulihan ekonomi Malaysia tersebut didukung oleh perkembangan ekonomi global yang semakin membaik pada triwulan pertama tahun ini, terutama di Amerika Serikat dan negara maju lainnya. Membaiknya lingkungan ekonomi global diharapkan akan memperbaiki kinerja ekspor barang semi-konduktor dan barang-barang elektronik lainnya yang selama ini menjadi tumpuan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Meskipun sektor eksternal dalam triwulan pertama tahun ini belum menunjukkan perbaikan signifikan, namun tanda-tanda membaiknya kinerja ekspor mulai tampak seiring dengan mulai meningkatnya order barang-barang elektronik yang merupakan produk unggulan ekspor Malaysia. Kenaikkan order tersebut dicerminkan oleh meningkatnya produksi industri pada bulan Februari 2002 setelah dalam satu tahun terakhir terus mengalami penurunan. Pada bulan Februari, produksi industri tumbuh 2,9% (y-o-y) meningkat dibanding bulan sebelumnya yang mengalami kontraksi sebesar 6,7% (y-o-y). Sementara itu, pada bulan yang sama sektor manufaktur, yang menyumbang 2/3 terhadap produk industri, mengalami pertumbuhan 3,8%. Dari sisi domestik, tekanan permintaan yang masih lemah akibat belum membaiknya kinerja ekonomi domestik secara signifikan, telah mendorong tingkat inflasi di negara tersebut tetap berada pada level yang rendah. Rendahnya tingkat inflasi tersebut juga didorong oleh nilai tukar yang stabil dan harga barang-barang impor yang menurun. Meskipun inflasi pada bulan terakhir triwulan I 2002 meningkat menjadi 2,1% (y-o-y) dari 1,2% (y-o-y) pada bulan sebelumnya, inflasi selama tahun 2002 diperkirakan akan berada pada level 1,8%, lebih rendah dibanding target inflasi bank sentral sebesar 2%. Dengan tingkat inflasi yang moderat tersebut, Bank Negara Malaysia (BNM) mengesampingkan kekhawatiran pengaruh kenaikan harga minyak saat ini terhadap kenaikan harga di negara tersebut.
26
Perkembangan Ekonomi Dunia
Meskipun tanda-tanda memGrafik PDB Konstan dan Inflasi Malaysia (%)
baiknya kinerja ekspor semakin kuat, 15
7
berlangsung sejak satu tahun terakhir
10
6
masih berlangsung sampai dengan
5
Februari, ekspor mengalami penurunan sebesar 15% dibanding periode
3 -5
2
-10
1
-15
0
Sep-01
Mar-01
Sep-00
Mar-00
PDB
Sep-99
Mar-99
Sep-98
Mar-98
Sep-97
Mar-97
seiring dengan perkembangan eko-
4 0
Sep-96
yang sama tahun lalu. Sementara itu,
5
Inflasi
bulan Februari tahun ini. Pada bulan
PDB
namun penurunan ekspor yang telah
Inflasi
nomi domestik masih lemah, impor mengalami penurunan 8,1% (y-o-y) pada periode yang sama. Penurunan ekspor yang lebih besar dibanding penurunan impor tersebut telah menyebabkan mengecilnya surplus perdagangan Malaysia. Selama dua bulan pertama tahun 2002, surplus perdagangan menurun 11,4% menjadi 8,2 miliar ringgit. Namun, meningkatnya order atas barang ekspor diperkirakan akan memberi pengaruh positif atas kinerja ekspor Malaysia dalam triwulan mendatang. Menyusul perkembangan tersebut, serta pemulihan ekonomi global yang semakin menguat, pemerintah Malaysia memperkirakan ekspor akan tumbuh 4,4% tahun 2002. Pada sisi lain, meningkatnya arus investasi ke negara tersebut pada triwulan I 2002, menyusul meningkatnya kegiatan FDI maupun porfolio investment terutama di pasar saham serta repatriasi hasil ekspor, telah mendorong surplus meningkatnya capital account. Seiring dengan perkembangan tersebut, cadangan devisa Malaysia per 30 Maret 2002 mengalami kenaikan hingga mencapai USD 32,7 miliar, angka tertinggi sejak September 2000. Cadangan devisa yang mencapai angka tersebut cukup untuk meng-cover lima kali utang luar negeri jangka pendek pemerintah. Dengan jumlah cadangan devisa yang semakin meningkat, lembaga pemeringkat utang Moodys’s telah menaikkan outlook utang luar negeri Malaysia “Baa2” dari “stable” menjadi ‘positif’. Kenaikan rating sebelumnya juga telah dilakukan lembaga pemeringkat lain yaitu S&P setelah pemerintah Malaysia dinilai berhasil mempertahankan kebijakan nilai tukar ringgit yang di-peg terhadap US dollar maupun kemajuan yang telah dicapai negara tersebut dalam merestrukturisasi sektor korporasi.
Perkembangan Ekonomi Dunia
27
Membaiknya rating Malaysia tersebut akan berdampak positif bagi perusahaan dalam rangka memperoleh sumber pembiayaan di pasar modal internasional menyusul rencana Malayan Banking, bank terbesar di negara tersebut, dan perusahaan lainnya menjual obligasi dalam waktu dekat. Rencana tersebut dilakukan setelah Mahathir mendorong perbankan dan perusahaan lain untuk melakukan akuisisi dalam rangka meningkatkan daya saing. Sebelumnya, pada awal bulan Maret 2002, pemerintah telah menjual obligasi senilai USD750 juta. Dari sisi fiskal, penjualan obligasi pemerintah tersebut merupakan bagian dari kebijakan ekspansi fiskal yang dilakukan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Untuk tahun 2002, pemerintah akan melanjutkan kebijakan ekspansi fiskal tersebut dengan tetap memperhatikan “fiscal prudence”. Kebijakan ekspansi fiskal yang berhati-hati tersebut tercermin dari rencana pemerintah untuk melakukan konsolidasi posisi fiskal pemerintah serta menurunkan target defisit fiskal dari 6,5% terhadap PDB pada tahun 2001 menjadi 5,1% tahun 2002.
Filipina Filipina sempat mengalami penurunan PDB pada tahun 2001 namun masih lebih baik dibandingkan dengan ekonomi negara-negara Asia timur lainnya. PDB Filipina tahun 2001 mencapai 3,4% sedangkan perkiraan tahun ini mengalami sedikit penurunan yaitu sebesar 2,5% yang disebabkan oleh melemahnya ekspor. Pada dasarnya Filipina tidak bergantung pada ekspor hasil industri tapi bergantung pada sektor jasa dan pertanian, sehingga menurunnya ekspor industri tidak terlalu berdampak buruk terhadap perekonomian Filipina. PDB Filipina tahun 2003 diprakirakan akan meningkat sebesar 3,6% yang disebabkan oleh kenaikan ekspor dan menguatnya permintaan Amerika Serikat serta perbaikan pada sektor teknologi informasi (TI). Inflasi bulanan terus menerus menurun pada paruh kedua tahun 2001, yang tercatat sebesar 6.1%. Inflasi Filipina pada tahun 2002 diperkirakan akan lebih rendah dari pada inflasi tahun 2001, yaitu sebesar 4-5%. Namun inflasi diperkirakan akan meningkat pada tahun 2003 sebesar 5,7%. Instabilitas mata uang peso, tingginya harga minyak dan meningkatnya biaya makanan sebagai akibat dari gangguan sementara di sisi penawaran telah mendorong meningkatnya inflasi pada paruh pertama tahun 2001.
28
Perkembangan Ekonomi Dunia
Melambatnya tingkat inflasi telah menyebabkan bank sentral
Grafik PDB dan Inflasi Filipina (%) 7
Filipina menurunkan suku bunga
12
6 10
5 4
pengeluaran. Namun seluruh tekanan tersebut kini telah berkurang. Meskipun perekonomian Filipina pada tahun
6
1 4
0 -1
2
-2 -3
0
Jan-02
Sep-01
Mar-01
Sep-00
Mar-00
PDB
Sep-99
Mar-99
Sep-98
Mar-98
Sep-97
negara tetangganya, namun penuru-
2
Mar-97
2001 lebih baik dibandingkan dengan
8
3
PDB
rangka mendorong pinjaman dan
Inflasi
sebesar 6,25% sejak awal 2001 dalam
Inflasi
nan suku bunga oleh bank sentral masih diperlukan untuk mendorong pengeluaran masyarakat dan meningkatkan pinjaman oleh sektor perbankan. Filipina mengalami penurunan inflasi secara tak terduga di bulan Februari mencapai 3,4% sebagai akibat dari menguatnya mata uang peso yg menjadikan produk impor menjadi lebih murah. Faktor yang mempengaruhi inflasi rendah antara lain ekonomi yang lambat yang membatasi tekanan permintaan. Dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah dalam mengontrol harga minyak yang diperkirakan akan menurun tahun ini diharapkan dapat membantu mencapai target inflasi. Sektor eksternal Filipina diperkirakan akan membaik di tahun 2002 seiring dengan pulihnya ekonomi Amerika. Dalam tahun 2002, pendapatan ekspor dan harga produk ekspor diperkirakan akan meningkat. Impor bahan mentah, barang setengah jadi dan barang modal meningkat menyusul mulai pulihnya kegiatan sektor manufaktur sebagai akibat dari pulihnya permintaan eksternal. Kondisi ini akan terus berlanjut hingga tahun 2003, dimana ekspor diprakirakan tumbuh sebesar 11,8%. Impor Filipina pada periode yang sama juga diprakirakan akan meningkat, sehingga surplus perdagangan akan meningkat menjadi US$1 miliar pada tahun 2003.
Thailand Setelah mengalami perlambatan pertumbuhan pada tahun 2001 sebesar 1,8%, perekonomian Thailand diperkirakan akan tumbuh sebesar 3% di tahun 2002, yang diharapkan bersumber dari ekspor. Mulai pulihnya perekonomian Amerika Serikat diharapkan akan Perkembangan Ekonomi Dunia
29
mengakhiri penurunan ekspor Thailand yang cukup drastis tahun lalu. Disamping itu, penurunan suku bunga sejak akhir tahun lalu juga diharapkan akan memicu pengeluaran domestik yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada triwulan IV 2001, perekonomian Thailand mulai mengalami rebound sebagai akibat dari peningkatan pengeluaran konsumen dan manufaktur yang mulai kembali membaik. PDB pada triwulan IV 2001 tumbuh sebesar 1,6% setelah pada triwulan III 2001 mengalami pertumbuhan sebesar nol persen. Ekspor Thailand yang diharapkan akan mendorong pertumbuhan di tahun 2002 diperkirakan meningkat 2,3% pada tahun 2002 setelah pada tahun 2001 turun sebesar 7% sebagai akibat turunnya tingkat pertumbuhan ekonomi di negara-negara pangsa pasar ekspor Thailand terbesar seperti Amerika Serikat, kawasan Eropa dan Jepang. Walaupun demikian, pada bulan Februari 2002 ekspor Thailand ternyata masih mengalami penurunan yaitu sebesar 8,1% dibandingkan dengan tahun sebelumnya menjadi $4,7 miliar, setelah pada bulan Januari 2002 juga turun sebesar 6,4%. Sementara itu, impor juga mengalami penurunan pada bulan Februari 2002 sebesar 13,7% dibandingkan dengan tahun sebelumnya menjadi $4,3 miliar. Hal ini mengindikasikan bahwa kebangkitan ekonomi Amerika Serikat kemungkinan membutuhkan waktu yang lebih lama dari pada yang diperkirakan untuk dapat kembali menggairahkan permintaan terhadap barang-barang ekspor Thailand. Amerika Serikat menyumbang seperlima (20%) dari total ekspor Thailand, sementara Eropa dan Jepang masing-masing menyumbang 16% dan 15%. Sementara itu, penurunan ekspor yang diimbangi dengan penurunan impor ini telah meningkatkan surplus transaksi berjalan Thailand dari $820 juta pada bulan Februari tahun 2001 menjadi $989 juta pada bulan yang sama tahun 2002. Inflasi untuk triwulan I 2002
Grafik PDB dan Inflasi Thailand (%) 8.0
4
6.0
2
inflasi antara nol sampai dengan 1%.
0
4.0
-2
2.0
-4
0.0
-6
-2.0
-8 -10
-4.0
-12
-6.0
-14
-8.0
-16
Mar-02
Sep-01
Inflasi
Mar-01
Sep-00
Mar-00
Sep-99
Mar-99
Sep-98
Mar-98
Sep-97
Mar-97
PDB
Sementara itu, IHK pada bulan Maret Inflasi
PDB
sebesar 0,6%, masih di dalam target
2002 meningkat sebesar 0,3% dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Kenaikan inflasi pada bulan Maret 2002 tersebut sebagai akibat dari meningkatnya harga minyak mentah yang mendorong naiknya biaya transportasi
30
Perkembangan Ekonomi Dunia
dan produksi. Harga minyak mentah internasional pada bulan Maret 2002 meningkat sebesar 19% dari 10% pada bulan Februari. Kenaikan IHK tersebut dikhawatirkan akan membatasi bank sentral dalam melonggarkan kebijakan suku bunga setelah sejak bulan Desember 2001 turun menjadi 2%. Bank sentral Thailand pada bulan Desember 2001 telah menurunkan suku bunga benchmark-nya sebesar seperempat percentage point, disusul penurunan berikut pada bulan Januari 2002 dalam besaran yang sama sehingga menjadi 2% dalam rangka menggairahkan permintaan domestik untuk mengimbangi menurunnya ekspor yang telah menghambat pertumbuhan. Penurunan suku bunga tersebut merupakan penurunan yang pertama kali dalam dua setengah tahun. Pemerintah Thailand mengharapkan agar menurunnya suku bunga akan meningkatkan pinjaman dan investasi. Penurunan suku bunga telah mendorong perusahan Toyota Motor (Thailand) Co. dan perusahaan pembuat mobil lainnya menawarkan pinjaman dengan biaya lebih murah yang berdampak pada meningkatnya penjualan kendaraan. Pengeluaran konsumen pada triwulan pertama tahun 2002 mencatat kecenderungan meningkat seiring dengan meningkatnya consumer confidence. Naiknya permintaan untuk perumahan telah mendorong produksi manufaktur tumbuh sebesar 2,4% di bulan Februari dibandingkan dengan setahun yang lalu, meningkat dari pertumbuhan 1,5% di bulan Januari. Business confidence di Thailand pada triwulan pertama 2002 ini meningkat akibat naiknya pengeluaran konsumen dan ekspektasi rebound di Amerika Serikat. Di lain pihak penggunaan kapasitas pabrik di Thailand masih jauh dari optimal. Pada bulan Februari tercatat penggunaan kapasitas pabrik secara nasional baru sebesar 54,4% dan selama hampir dua tahun terakhir ini belum dapat melebihi 60%. Rendahnya penggunaan kapasitas ini dipengaruhi oleh menurunnya ekspor yang menghambat pertumbuhan produksi dan investasi Defisit anggaran Thailand pada bulan Februari 2002 mengalami peningkatan dua kali lipat sebagai akibat dari kebijakan Pemerintah Thailand yang melakukan pengeluaran lebih besar untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Defisit anggaran tersebut meningkat menjadi 22 miliar baht ($507 juta) dari 10,7 miliar baht pada bulan yang sama tahun lalu. Defisit untuk lima bulan pertama tahun fiskal yang dimulai bulan Oktober tersebut membengkak 40% menjadi 121 miliar baht, lebih separuh dari ceiling pemerintah sebesar 200 miliar bath untuk keseluruhan tahun. Baik pemerintah maupun perusahaan umum milik negara akan terus meningkatkan pengeluaran untuk mempertahankan pertumbuhan ekonominya. Perkembangan Ekonomi Dunia
31
PEREKONOMIAN RUSIA Pada triwulan I 2002, perekonomian Rusia tumbuh sebesar 3% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Kecenderungan penurunan laju pertumbuhan telah dimulai sejak tahun 2001 dimana PDB Rusia hanya tumbuh sebesar 5%, menurun dari pertumbuhan ekonomi tahun 2000 sebesar 9%. Penurunan laju pertumbuhan ini disebabkan kecenderungan penurunan harga minyak sehingga mengakibatkan turunnya penerimaan ekspor minyak yang menyumbang seperempat dari keseluruhan ekspor Rusia. Harga minyak mentah turun lebih dari 3% setelah selama enam bulan sempat tinggi akibat cadangan minyak Amerika Serikat yang menumpuk dan OPEC serta Rusia meningkatkan penawaran minyak di pasar dunia pada triwulan I 2001. Mempertimbangkan besarnya dampak fluktuasi harga minyak terhadap perekonomian Rusia, banyak para analis dan lender asing menyatakan bahwa pemerintah Rusia seyogianya memfokuskan pada upaya melonggarkan ketentuan untuk mendorong kegiatan penyediaan jasa dan pembuatan barang jadi dari pada mengandalkan pada sumber daya mineral seperti minyak dan metal. Tekanan laju inflasi Rusia tahun 2002 diperkirakan cenderung menurun sejalan dengan melemahnya permintaan di dalam negeri. Pada bulan Maret 2002 laju inflasi melambat menjadi 1,1% dari 1,2% pada bulan Februari dan 3,1% pada bulan Januari. Dengan demikian laju inflasi dalam triwulan I 2001 mencapai 5,4% lebih rendah dari triwulan yang sama tahun sebelumnya yang sebesar 7,1%. Kenaikan harga tertinggi terjadi pada perumahan dan jasa publik seperti gas alam, pemanasan (heating), listrik dan air panas. Peme-
Grafik PDB dan Inflasi Rusia (%)
rintah Rusia mentargetkan laju inflasi 140
15
120
tahunan untuk tahun 2002 sebesar
100
12%-14%, lebih rendah dari tahun
5
80
2001 yang sebesar 18,6%.
0
60 40
Inflasi
PDB
10
Di sisi fiskal, pertumbuhan
-5 20 -10
ekonomi yang pada tahun 2001 hanya
0
Sep-01
Mar-01
Inflasi
Sep-00
Mar-00
Sep-99
Mar-99
Sep-98
Mar-98
Sep-97
Mar-97
PDB
sebesar 3,5% telah mendorong pemerintah Rusia untuk mempertimbangkan pengurangan pajak bagi
32
Perkembangan Ekonomi Dunia
pengusaha kecil untuk meningkatkan enterpreneurship, sehingga dapat menggerakkan perekonomian. Pengusaha kecil akan dibebaskan dari pajak yang berbelit-belit, seperti corporate tax on profit, pajak penjualan dan pajak properti. Sementara itu, Pemerintah Rusia sedang mempertimbangkan untuk memberikan keringanan kepada perusahaan dengan pendapatan tahunan di bawah 10 juta rubles ($320,000) dan perusahaan dengan tenaga kerja kurang dari 20 orang untuk menggantikan seluruh bentuk pajak dengan mengenakan pajak pendapatan sebesar 8% atau pajak keuntungan sebesar 20%. Saat ini pengusaha kecil membayar pajak perusahaan, pajak pertambahan nilai dan unified social tax sebesar 24%. Anggaran negara pada bulan Januari 2002 mengalami surplus sebesar 82,9 miliar rubles. Penerimaan Pemerintah pusat Rusia pada bulan Januari 2002 mencapai 161,2 miliar rubles, jauh lebih tinggi dari penerimaan pada bulan yang sama tahun sebelumnya sebesar 94,6 miliar rubles. Penerimaan pajak pada Januari 2002 menyumbang sebesar 111,4 miliar rubles, lebih tinggi dari bulan yang sama tahun sebelumnya sebesar 88,9 miliar rubles. Sementara itu pengeluaran pemerintah pada bulan Januari 2002 mencapai 78,3 miliar rubles, lebih rendah dari pengeluaran bulan yang sama tahun sebelumnya sebesar 60,6 miliar rubles. Sebagian dari surplus anggaran bulan Januari 2002 tersebut telah digunakan untuk membiayai utang dalam negeri sebesar 21,7 miliar rubles dan utang luar negeri sebesar 12,3 miliar rubles. Utang luar negeri Rusia keseluruhan pada bulan Januari 2002 sebesar $130,9 miliar. Utang tersebut terdiri dari utang kepada Paris Club sebesar $42,3 miliar dan kepada negara lainnya sebesar $14,8 miliar. Rusia juga menerima pinjaman dari lembaga keuangan internasional seperti IMF, Bank Dunia dan European Bank of Reconstruction and Development dengan nilai masingmasing sebesar $7,7 miliar, $7,2 miliar, dan $200 juta. Di sisi eksternal, turunnya harga minyak dan melambatnya permintaan dunia akan mengurangi surplus neraca perdagangan dan neraca berjalan dari level yang tertinggi tahun 2000-2001. Kendati demikian, sektor eksternal Rusia berada pada posisi yang baik. Neraca berjalan tahun 2001 diperkirakan surplus sebesar US$34 miliar, lebih rendah dari tahun sebelumnya sebesar US$46 miliar, atau setara 11% dari PDB. Nilai ekspor mengalami penurunan sejak paruh kedua tahun 2001 sejalan dengan menurunnya harga minyak dan metal, sementara impor meningkat akibat dari pertumbuhan pendapatan riil dan apresiasi nilai tukar rubel. Beberapa perbaikan harga komoditas ekspor Rusia, melambatnya permintaan domestik dan melambatnya apresiasi riil nilai tukar rubles diharapkan menjadikan
Perkembangan Ekonomi Dunia
33
neraca perdagangan Rusia surplus, yaitu sekitar US$37 miliar – US$38 miliar untuk tahun 2002 dan tahun mendatang.
PEREKONOMIAN NEGARANEGARA OCEANIA Australia Perekonomian Australia pada triwulan IV 2001 tumbuh sebesar 4,1% dari tahun sebelumnya, dan merupakan salah satu negara industri yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang tercepat. Perekonomian Australia pada tahun lalu tetap mengalami pertumbuhan yang berarti sementara negara partner dagang utama Amerika Serikat dan Jepang mengalami resesi. Pertumbuhan ekonomi tahun lalu disebabkan oleh tingginya konsumsi domestik, pesatnya pembangunan yang disebabkan oleh rendahnya suku bunga selama tiga dekade, serta pemberian uang muka secara cuma-cuma bagi mereka yang baru pertama kali mendirikan rumah. Pinjaman yang murah serta pemberian bantuan pembangunan perumahan oleh Pemerintah Australia sebesar A$10,000 telah meningkatkan pengeluaran masyarakat untuk rumah. Peningkatan pembelian rumah telah mendorong meningkatnya pengeluaran masyarakat serta impor untuk pembelian alat-alat rumah dan alat-alat listrik. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut dicerminkan oleh peningkatan penjualan retail. Pada bulan Februari 2002, penjualan retail meningkat sebesar 0,3% dari bulan sebelumnya menjadi A$14.12 miliar ($7.5 miliar) dan meningkat sebesar 7,1% dibandingkan bulan yang sama tahun sebelumnya. Sementara itu, pengeluaran konsumsi telah meningkatkan penjualan di beberapa departemen store seperti David Jones Ltd. dan Coles Myer Ltd.. Penjualan di departemen store tercatat meningkat sebesar 1,1%, sementara penjualan barang-barang rekreasi meningkat sebesar 2,6%. Tingginya pertumbuhan ekonomi Australia juga dicerminkan oleh tingginya kegiatan industri manufaktur pada triwulan I 2002 yang mencapai tingkat tertinggi selama delapan tahun terakhir. Sekitar 46% dari perusahaan yang di survey menyatakan terdapat peningkatan produksi, sementara 57% mengharapkan terdapat pertumbuhan yang lebih tinggi pada triwulan II 2002. Dunia usaha yang di survey tersebut menyumbang A$59 miliar ($26 miliar) atau seperempat dari seluruh kegiatan industri di Australia. Rendahnya tingkat pengangguran pada bulan Februari 2002 juga merupakan salah satu indikator yang menunjukkan bahwa perekonomian Australia tumbuh tinggi. Setelah sempat
34
Perkembangan Ekonomi Dunia
mencapai level tinggi pada bulan Grafik PDB dan Inflasi Australia (%)
Januari sebesar 7%, tingkat pengang-
sebesar 6,6%, terendah dalam satu
mencapai 7% pada bulan Januari 2002
7
6
6 5
5
PDB
tahun. Tingkat pengangguran yang
7
4
4
3 3
2
2
tersebut juga masih lebih rendah dibanding tingkat pengangguran pada
1
1
0
0
-1
Sep-01
Mar-01
Sep-00
Mar-00
PDB
Sep-99
Mar-99
Sep-98
Mar-98
Sep-97
Tingginya perekonomian
Mar-97
Sep-96
tahun 1990-an sebesar 10,8%.
Inflasi
guran pada bulan Februari turun
Inflasi
Australia yang salah satu faktor disebabkan oleh kuatnya permintaan domestik diikuti oleh peningkatan tajam impor Australia. Pada bulan Februari 2002, neraca perdagangan Australia mengalami defisit sebesar $604 juta, lebih tinggi dari angka perkiraan semula sebesar $500 juta. Trend neraca perdagangan yang menurun tersebut telah berlangsung selama delapan bulan. Ekspor barang dan jasa pada bulan Februari 2002 turun 0,3% (m-o-m) setelah sebelumnya naik sebesar 4.3% (m-o-m). Ekspor barang mengalami penurunan 1,2% (m-o-m) pada bulan yang sama, sementara ekspor jasa turun sebesar 2,9% (m-o-m). Sebaliknya impor barang dan jasa meningkat 2,6% (m-o-m) setelah sebelumnya naik 3,5% pada bulan Januari 2002. Impor barang naik sebesar 2,5% (m-o-m) sementara impor jasa naik sebesar 2,8% (m-o-m). Dalam pelaksanaan kebijakan moneter, Bank sentral Australia masih mempertahankan suku bunga rendah sebesar 4,25% setelah tahun lalu sempat menurun sebesar 2 percentage point dalam rangka merespon pertumbuhan global yang menurun. Suku bunga rendah tersebut telah berlangsung selama 28 tahun. Sementara itu, Indeks Harga Konsumen pada triwulan IV 2001 meningkat 3,1% dari tahun sebelumnya, atau berada diatas target 2%–3%. Indeks harga konsumen untuk triwulan I 2002 diperkirakan meningkat 0,8% dari triwulan sebelumnya atau sebesar 2,9% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Dengan inflasi tahunan yang berada diatas terget, perekonomian yang tumbuh sebesar 4% setiap tahunnya serta tingkat pertumbuhan tenaga kerja yang lebih tinggi dari perkiraan, para ekonom memperkirakan pemerintah Australia akan menaikkan target suku bunga overnight cash pada bulan Mei menjadi sebesar 5,25%.
Perkembangan Ekonomi Dunia
35
Selandia Baru Perekonomian Selandia Baru mengalami pertumbuhan dari 0,2% pada triwulan III 2001 menjadi 0,6% pada triwulan IV 2001. Pertumbuhan ekonomi tersebut, yang masih di bawah angka perkiraan sebesar 1,2%, disebabkan oleh rendahnya suku bunga yang mendorong peningkatan konsumsi masyarakat. Secara keseluruhan, perekonomian Selandia Baru pada tahun 2001 mengalami pertumbuhan sebesar 2,4% (y-o-y), lebih rendah dari pertumbuhan tahun sebelumnya sebesar 3,8%. Dalam rangka mendorong perusahaan-perusahaan meningkatkan penyerapan tenaga kerja serta dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyakarat dalam mengkonsumsi dan membeli rumah baru, bank sentral Selandia Baru telah menurunkan suku bunga sebanyak lima kali dalam satu tahun. Suku bunga rendah yang mendorong konsumsi masyarakat telah mengoffset penurunan ekspor Selandia Baru sebagai akibat penurunan permintaan dunia. Pengeluaran rumah tangga untuk pembelian furniture, appliances, komputer dan mobil pada triwulan IV 2001 tumbuh sebesar 1,4%. Demikian pula pengeluaran untuk pembelian rumah tumbuh sebesar 20%. Sementara itu pengeluaran untuk jasa mengalami penurunan sebagai akibat dari berkurangnya agen penerbangan. Selain itu, suku bunga rendah yang meningkatkan pengeluaran masyarakat juga meng-offset penurunan jumlah turis ke Selandia Baru yang selama ini menyumbang sebesar 11% dari perekonomian Selandia Baru. Selama bulan Desember 2001 tercatat turis asing yang datang ke Selandia Baru turun 7,3%. Pada bulan Februari 2002, bank sentral Selandia Baru menaikkan suku bunga benchmark (benchmark interest rate) sebesar 25 bp dari 4.75% menjadi 5%. Kenaikan benchmark interest rate yang tidak diduga sebelumnya tersebut dalam
Grafik PDB dan Inflasi Selandia Baru (%) 8
5
rangka mengantisipasi risiko per-
4
cepatan inflasi dan overheating eco-
3
nomy. Kenaikkan benchmark interest
6
PDB
5 4 3
2
2 1
1 0
Inflasi
7
rate diperkirakan masih akan berlanjut menjadi 5,5% sampai dengan bulan
0
-1
Mei mendatang.
-2
-1
Sep-01
Dec-00
Inflasi
Mar-00
Jun-99
Sep-98
Dec-97
Mar-97
Jun-96
Sep-95
Dec-94
Mar-94
PDB
Setelah meningkat sebesar 1,8% pada tahun 2001, Indeks Harga Konsumen Selandia Baru sampai
36
Perkembangan Ekonomi Dunia
dengan bulan Maret 2002 diperkirakan meningkat sebesar 3%. Hal ini sejalan dengan survey terhadap dunia usaha yang menyebutkan bahwa 25% responden merencanakan untuk menaikkan harga produk pada tahun mendatang. Perkiraan kenaikan harga tersebut juga tercermin dari meningkatnya jumlah tenaga kerja sebesar 16,000 pada triwulan IV 2001 dan gaji sebesar 3,3% pada bulan November 2001. Consumer confidence index pada triwulan IV 2001 sebesar 118,7, meningkat dari 115,8 pada triwulan sebelumnya. Indeks kepercayaan masyarakat yang berada di atas 100 mencerminkan bahwa lebih banyak masyarakat yang optimis terhadap perkembangan ekonomi Selandia Baru. Hal ini telah mendorong meningkatnya pembangunan perumahan yang tercermin pada izin pembangunan rumah yang meningkat sebesar 56% dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu, penjualan ritel juga meningkat sebesar 2,1% pada periode yang sama. Business confidence di Selandia Baru meningkat pada bulan Maret 2002 dan mencapai angka tertinggi selama tujuh bulan terakhir. Di sisi eksternal, surplus neraca perdagangan Selandia Baru pada bulan Februari 2002 membengkak dari yang diperkirakan sebelumnya yaitu sebesar NZ$269 juta setelah pada bulan Januari mengalami defisit sebesar $246 juta. Surplus perdagangan Selandia Baru pada bulan Februari 2002 tidak sebesar bulan yang sama tahun sebelumnya sebesar NZ389 juta. Surplus neraca perdagangan tersebut disebabkan oleh peningkatan ekspor pada bulan Januari 2002 sebesar 16%, sementara impor turun sebesar 7%. Kenaikkan ekspor pada bulan Februari sejalan dengan trend kenaikkan pada bulan yang sama selama lima tahun terakhir, namun impor yang mempunyai trend meningkat pada bulan yang sama justru pada bulan Februari 2002 mengalami penurunan. Hal ini yang menjadikan surplus neraca perdagangan yang diluar perkiraan sebelumnya. Defisit neraca berjalan Selandia Baru selama tahun 2001 turun menjadi $3,8 miliar atau 3,25% dari PDB. Pada triwulan IV 2001, defisit neraca berjalan sebesar $1,84 juta, 16% di atas ekspektasi masyarakat.
PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA AMERIKA LATIN Meksiko Setelah mengalami kontraksi sebesar 0,3% pada tahun 2001, perekonomian Meksiko pada tahun 2002 diperkirakan akan tumbuh sebesar 1,5%. Pertumbuhan tersebut diharapkan bersumber dari peningkatan permintaan akan barang-barang ekspor Meksiko, terutama
Perkembangan Ekonomi Dunia
37
permintaan dari Amerika Serikat yang Grafik PDB dan Inflasi Meksiko (%)
diperkirakan akan pulih pada triwulan
10
30
8
25
Kontraksi yang terjadi pada
6
20
4 15 2
Inflasi
PDB
II 2002.
tahun 2001 tersebut disebabkan oleh
10
resesi yang terjadi di Amerika Serikat
-2
5
(menyumbang 90% dari ekspor
-4
0
Meksiko) yang berakibat pada me-
0
Mar-02
Jan-02
Sep-01
Mar-01
Sep-00
Mar-00
Sep-99
Mar-99
Sep-98
Mar-98
Sep-97
Mar-97
PDB
Inflasi
nurunnya permintaan domestik. Hal ini menjadikan perusahaan-perusahaan di Meksiko mengurangi tenaga kerjanya sejumlah 230,000 orang,
sehingga tingkat pengangguran pada bulan Desember mencapai 2,5%, lebih tinggi dari bulan yang sama tahun sebelumnya sebesar 1,9%. Namun pada bulan Februari 2002 terjadi penurunan tingkat pengangguran dari 3% pada bulan Januari menjadi 2,7% pada bulan Februari 2002. Tingkat pengangguran pada bulan Januari sebesar 3% merupakan tingkat pengangguran tertinggi sejak bulan Februari 1999. Penurunan tingkat pengangguran tersebut merupakan tanda bahwa kegiatan ekonomi di Meksiko telah mulai pulih. Tingkat pengangguran yang tinggi pada bulan Januari 2002 dicerminkan oleh hasil industri yang menurun sebesar 3,3% dibandingkan dengan bulan yang sama tahun sebelumnya. Demikian pula dengan hasil industri manufaktur, produksi rakitan berorientasi ekspor dan output konstruksi turun masing-masing sebesar 4,5%, 14% dan 0,2%. Melambatnya pertumbuhan ekonomi Meksiko memberi arti pada relatif stabilnya harga makanan. Relatif stabilnya harga telah menyebabkan inflasi pada tahun 2001 hanya sebesar 4,86%. Bahkan inflasi pada triwulan I 2002 mengalami penurunan menjadi 4,66%. Pada tahun 2002, penurunan arus modal masuk akan menyebabkan melemahnya mata uang peso yang pada gilirannya akan menjadikan bank sentral Meksiko mengalami kesulitan untuk mencapai target inflasi sebesar 4,5% untuk tahun 2002 dan 3% untuk tahun 2003. Inflasi pada bulan Maret 2002 tercatat sebesar 0,51% dibandingkan dengan bulan sebelumnya, yang didominasi oleh tarif hotel dan restoran akibat hari libur Paskah serta kenaikan tarif listrik. Di sisi eksternal, defisit perdagangan pada bulan Februari 2002 meningkat menjadi $732 juta dibanding bulan sebelumnya sebesar $722 juta. Ekspor minyak pada bulan Februari
38
Perkembangan Ekonomi Dunia
2002 turun sebesar 8,8% menjadi $739 juta dibanding bulan Januari 2002 sebesar $810 juta. Berkurangnya angka ekspor minyak disebabkan oleh turunnya harga minyak yang terjadi antara bulan November 2001 dan Januari 2002, serta menguatnya peso. Namun penurunan angka ekspor minyak tersebut diimbangi dengan kenaikan ekspor non-migas sebesar 3,4% dari $10,77 miliar pada bulan Januari menjadi $11,14 miliar pada bulan Februari 2002. Secara keseluruhan ekspor Meksiko pada bulan Februari meningkat 2,9% dari bulan Januari sebesar $11,59. Pulihnya perekonomian Amerika Serikat sebagai pasar utama Meksiko merupakan salah satu penyebab naiknya ekspor. Sedangkan impor untuk bulan Februari meningkat sebesar 2,9% menjadi $12,66 miliar dari $12,31 miliar bulan Januari. Impor bulan Februari tersebut merupakan penurunan sebesar 3,6% dari bulan yang sama tahun sebelumnya dan merupakan impor terendah dalam tujuh bulan terakhir. Pada triwulan I 2002, penerimaan pemerintah turun sekitar 17 miliar peso seiring dengan berkurangnya penerimaan pajak akibat resesi dan menurunnya pendapatan dari ekspor minyak yang menyumbang lebih dari sepertiga penerimaan pemerintah Meksiko. Oleh karena itu, pada tahun 2002 pemerintah Meksiko merencanakan untuk mengurangi pengeluarannya sebesar 10,1 miliar peso ($1,1 miliar) atau sekitar 7%. Pengeluaran tahun 2002 dianggarkan sebesar 1,46 triliun peso dengan tujuan untuk mempertahankan anggaran defisit sebesar 0,65% terhadap PDB serta untuk menahan kenaikan inflasi sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang ingin menggairahkan kembali permintaan dan berusaha untuk keluar dari krisis. Penurunan pengeluaran tersebut akan dilakukan dengan menurunkan transfer kepada pemerintah negara bagian dan lokal (state and local authorities).
Brazil Perekonomian Brazil pada tahun 2002 diperkirakan akan tumbuh sebesar 1,8% setelah mengalami pertumbuhan sebesar 1,5% pada tahun 2001 sebagai akibat dari penurunan Brazilian Real dan energy rationing. Angka perkiraan tersebut dengan mengasumsikan bahwa perekonomian Amerika Serikat telah pulih serta krisis yang terjadi di Argentina tidak terlalu berpengaruh pada perekonomian Brazil. Inflasi pada tahun 2002 diperkirakan meningkat menjadi 4,4% dan untuk tahun 2003 sebesar 2,8%. Sementara itu, inflasi pada bulan Maret 2002 diperkirakan meningkat, setelah sempat turun selama empat bulan, sebagai akibat dari meningkatnya harga minyak internasional yang menyebabkan meningkatnya harga gasoline. Harga gasoline merupakan komponen yang Perkembangan Ekonomi Dunia
39
besar dalam menyumbang IPCA Grafik PDB dan Inflasi Brazil (%)
index. Inflasi yang diukur dengan IPCA
6
10
5
index kemungkinan naik dari 0,36%
8
4
2
4
1
2
0
Inflasi
PDB
pada bulan Maret menjadi 0,46% pada
6
3
bulan April 2002. Perusahaan minyak pemerintah Petroleo Brasileiro SA
0
-1 -2 -3
telah meningkatkan harga bensin
-4
sebesar 11,6% pada bulan Februari
Mar-02
Sep-01
Mar-01
Sep-00
Mar-00
Sep-99
Mar-99
Sep-98
Mar-98
Sep-97
Mar-97
PDB
-2
Inflasi
2002 dalam rangka mengimbangi kenaikkan harga minyak dunia. Sementara itu, minyak mentah (crude
oil) dan brent crude meningkat masing-masing sebesar 20% dan 22%. Inflasi secara bulanan tercatat sebesar 0,52% dan 0,36% untuk dua bulan pertama tahun 2002 dan meningkat menjadi sebesar 0,6% pada bulan Maret 2002 yang didominasi oleh dampak dari kenaikan harga gasoline sebesar 4,2% dan elektrik sebesar 2,2%. Kenaikan inflasi tersebut telah menyebabkan Pemerintah Brazil membatasi penurunan suku bunga benchmark. Komite kebijakan moneter Brazil telah menurunkan suku bunga selama dua bulan secara berturut-turut (Februari dan Maret) sebesar 25 bp, sehingga suku bunga turun dari 19% menjadi 18,50%. Presiden bank sentral Brazil mengemukakan bahwa meningkatnya harga minyak telah menjadikan pemerintah sulit untuk menurunkan suku bunga. Pemerintah mentargetkan suku bunga riil pada tahun 2002 sebesar 8%. Disamping itu, harga minyak yang meningkat tersebut juga menurunkan surplus perdagangan Brazil mengingat negara tersebut merupakan net importir minyak. Kendati demikian, para investor tetap optimis mengenai prospek arus masuk investasi asing dan upaya pemerintah untuk memperpanjang utang yang akan jatuh tempo sebelum pemilihan umum bulan Oktober 2002. Brazil dan Meksiko saat ini hampir mendekati implementasi penandatanganan perjanjian penurunan tarif dan peningkatan kuota untuk otomotif dalam rangka mencapai perdagangan besar khusus kendaraan tahun 2006. Saat ini, kedua negara tersebut telah memiliki batasan perdagangan kendaraan setiap tahunnya sebesar 50,000 kendaraan dengan tarif 8%. Dalam hal perdagangan dengan negara lain, Brazil dan Meksiko mengenakan tarif masing-masing sebesar 35% dan 22%. Selanjutnya, kedua negara tersebut juga merencanakan
40
Perkembangan Ekonomi Dunia
menurunkan tarif menjadi 1,1% pada akhir tahun 2002 dan akan terus diturunkan untuk empat tahun kedepan sehingga menjadi nol persen. Pemerintah Brazil mentargetkan surplus anggaran tahunan, diluar pembayaran bunga pinjaman, untuk tiga tahun mendatang sebesar 3,5% dari PDB. Target tersebut dalam rangka mengurangi beban utang Pemerintah Brazil. Saat ini Brazil sedang mengupayakan untuk menurunkan total pinjaman pemerintah bersih menjadi kurang dari 50% terhadap PDB dari sebelumnya sebesar 54,5% atau 680 miliar reals ($294 miliar) pada bulan Februari 2002. Selama ini Pemerintah Brazil mengalami defisit tahunan pada anggaran sektor publik keseluruhan, termasuk pembayaran bunga pinjaman sebesar 62 miliar reals atau 5,3% dari PDB pada tahun 2001.
Chili Pertumbuhan ekonomi Chili pada tahun 2001 dilaporkan sebesar 3,0% setelah pada tahun sebelumnya mencapai 5,4%. Menurunnya pertumbuhan ekonomi tersebut disebabkan oleh menurunnya permintaan ekspor (sumbangan ekspor terhadap PDB sebesar 30%) dan melemahnya consumer spending. Sedangkan untuk tahun 2002 pertumbuhan ekonomi diperkirakan masih sebesar 3%. Setelah mencatat laju inflasi sebesar 3,6% selama tahun 2001 atau 2,6% pada triwulan IV 2001, consumer price index bulan Maret dilaporkan masih berada pada level 2,6% (y-o-y). Laju inflasi selama triwulan I 2002 disebabkan oleh meningkatnya biaya pendidikan hingga 2,7% dan tingginya harga minyak (bahan bakar tanpa timbal meningkat hingga 2,1%). Domestic demand diperkirakan akan tetap lemah hingga akhir tahun 2002, sehingga inflasi dapat ditekan pada level 2,4%. Pada tanggal 12 Maret Bank Sentral kembali menurunkan benchmark lending rate dari 5,5% menjadi 4,75% yang merupakan level terendah sejak tahun 1970-an. Penurunan suku bunga yang ketiga tahun 2002 atau kedelapan sejak bulan Oktober 2001 tersebut, diharapkan akan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan consumer spending. Namun harapan tersebut tidak terwujud karena Chili menghadapi angka pengangguran tertinggi pada bulan Februari sejak bulan Maret 1999. Angka pengangguran di Chili hingga bulan Februari mencapai 8,3% dari 8% di bulan Januari, menandai bahwa diturunkannya suku bunga tidak berhasil mendorong investasi di Perkembangan Ekonomi Dunia
41
sektor korporasi dan penciptaan lapangan kerja. Rendahnya penjualan me-
10
8
8
7
6
6
4
5
2
4
0
3
-2
2
-4
1
-6
0
Mar-02
Sep-01
Inflasi
Mar-01
Sep-00
Mar-00
Sep-99
Mar-99
Sep-98
Mar-98
Sep-97
Mar-97
PDB
nyebabkan perusahaan-perusahaan memberhentikan dua dari enam pegaInflasi
PDB
Grafik PDB dan Inflasi Chili (%)
wainya yang pada akhirnya akan semakin memperlemah consumer spending. Surplus neraca perdagangan di bulan Februari meningkat hingga US$373,5 juta dari US$148,3 juta tahun sebelumnya atau dari US$114,7 juta pada bulan Januari. Meningkatnya
surplus neraca perdagangan terjadi setelah impor mengalami penurunan yang tajam. Hal tersebut menandai bahwa penurunan suku bunga sejak tahun lalu gagal memulihkan consumer demand. Konsumen lebih berhati-hati untuk membelanjakan uangnya akibat tekanan inflasi. Pada bulan Februari dilaporkan ekspor turun menjadi US$1,34 miliar dari US$1,42 miliar bulan Januari, sedangkan impor menurun drastis menjadi US$964,9 juta dari US$1,27 miliar. Resesi ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat yang merupakan mitra dagang dan pasar utama Chili (terutama pasar tembaga) juga menjadi penyebab melambatnya pertumbuhan ekonomi Chili. Defisit anggaran di tahun 2002 diperkirakan meningkat 0,5% terhadap PDB dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 0,3% dari PDB (118 miliar peso atau US$178,7 juta). Defisit anggaran yang meningkat tersebut disebabkan oleh pengeluaran pemerintah untuk program tenaga kerja dan pendidikan yang melebihi pendapatan dari pajak dan ekspor tembaga.
Argentina Perekonomian Argentina pada triwulan I 2002 diperkirakan masih akan mengalami kontraksi. Hal ini tercermin dari merosotnya ouput industri dan investasi domestik sebagai akibat dari tingginya faktor ketidakpastian dan meningkatnya laju inflasi. Di pihak lain, permintaan domestik juga diperkirakan merosot tajam sebagai dampak dari meningkatnya angka pengangguran, menurunnya kepercayaan investor, pembekuan dana pihak ketiga serta menurunnya tingkat pendapatan dan konsumsi rumah tangga.
42
Perkembangan Ekonomi Dunia
Kontraksi ekonomi Argentina Grafik PDB dan IHK Argentina (%)
yang terjadi pada triwulan IV 2001 diperkirakan masih berlanjut pada tri-
10
wulan I 2002. Kontraksi yang terjadi di
5
10 8 6
0
4 -5
2
tor-faktor yang menyebabkan terjadinya kontraksi di triwulan I 2002 adalah
-15
-4
Mar-02
Jan-02
Sep-01
Mar-01
Sep-00
PDB
Mar-00
Sep-99
Mar-99
Sep-98
Mar-98
produksi industri sebesar 15% di bulan
-2
Sep-97
18,4% di bulan Januari, merosotnya
0
-10
Mar-97
output industri yang turun sebesar
Inflasi
PDB
triwulan I 2002 diperkirakan sebesar 2% (m-o-m) atau 10,7% (y-o-y). Fak-
12
Inflasi
Februari, turunnya investasi domestik serta nilai peso yang masih terdepresiasi. Sementara itu, kondisi perekonomian di tahun 2002 diperkirakan masih mengalami kontraksi sebesar 8,4%, jauh lebih buruk dibandingkan dengan tahun 2001 yang mencatat kontraksi sebesar 4,5%. Kontraksi tersebut terutama disebabkan oleh keterbatasan likuiditas, tidak berjalannya sistem pembayaran dan intermediasi perbankan, serta merosotnya tingkat pendapatan. Kondisi resesi ekonomi di Argentina menyebabkan tingkat pengangguran mencapai 18,3% di akhir tahun 2001 dan diperkirakan akan meningkat di triwulan I 2002. Hal ini tercermin dari meningkatnya jumlah pekerja yang mengalami PHK, dimana pada bulan Februari dan Maret 2002 mencapai masing-masing 75.000 dan 65.000 pekerja. Selain itu, tingkat kemiskinan juga meningkat, dimana populasi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan mencapai 40%. Naiknya harga barang kebutuhan pokok dan tingginya tingkat pengangguran menjadi penyebab meningkatnya tingkat kemiskinan. Untuk mengatasi kemiskinan, pemerintah menaikkan pajak ekspor gandum, jagung dan kedelai dalam upaya mengumpulkan dana sebesar US$ 1 miliar untuk orang miskin. Sementara itu, pendapatan dari ekspor akan digunakan untuk mencegah semakin melemahnya nilai peso dengan meminta eksportir menukar pendapatan dolar dengan peso Argentina. Di pihak lain, Indeks Harga Konsumen (IHK) pada triwulan I 2002 mencapai 9,7% (y-o-y). Hal ini ditandai dengan meningkatnya IHK bulan Maret sebesar 4% dibandingkan dengan bulan Februari 2002 dan merupakan peningkatan IHK bulanan terbesar sejak tahun 1991. Faktor-faktor yang menyebabkan tingginya laju inflasi ini adalah kenaikan harga Perkembangan Ekonomi Dunia
43
barang-barang dan masih terdepresiasinya nilai peso. Sementara itu, IHK pada tahun 2002 diperkirakan meningkat sebesar 15,9%, jauh berbeda dengan tahun 2001 yang mengalami kontraksi –1,1%. IHK pada tahun 2002 ini diperkirakan dapat meningkat lebih tajam apabila masih terjadi depresiasi mata uang peso dan dilepasnya kontrol harga. Dalam kaitannya dengan trade balance, surplus perdagangan Argentina di bulan Februari meningkat sebagai akibat merosotnya nilai impor sebesar 64% yang disebabkan oleh devaluasi peso. Hal ini menjadikan surplus perdagangan naik tajam dari $100 juta pada bulan Februari 2001 menjadi $1.2 miliar pada Februari 2002. Sementara nilai ekspor Argentina tidak berubah, yaitu sebesar $1.86 miliar, nilai impor turun menjadi sebesar $627 miliar. Namun demikian, nilai ekspor Argentina diperkirakan masih akan meningkat sebagai respon dari depresiasi nilai tukar peso dan membaiknya ekonomi regional dan global. Perkembangan perekonomian Argentina yang telah diuraikan diatas tak terlepas dari perkembangan politik yang terjadi di Argentina. Perubahan kepemimpinan yang terjadi pada bulan Januari 2002 membawa dampak pada perekonomian. Pemerintahan baru dibawah Presiden Eduardo Duhalde mendevaluasi mata uang peso sebesar 29% dan mengakhiri sistem Currency Board System (CBS) yang selama ini dianut. Selanjutnya, diperkenalkan sistem nilai tukar yang baru, yaitu dual exchange rate, dimana regim ini menganut dua kelompok nilai tukar. Pertama, fixed rate yang ditujukan untuk transaksi perdagangan dan keuangan dengan rate 1,4 peso per US$. Kedua, free floating rate yang digunakan pada transaksi selain kedua transaksi diatas. Setelah berjalan selama sebulan (Januari 2002), sistem fixed rate dihapus dan kini Argentina menganut sistem Free Floating Rate. Sampai bulan Februari 2002, nilai peso telah terdepresiasi sebesar 17% dan mencapai nilai terendah sebesar 2,4 peso per dolar. Selain itu, pemerintah Argentina juga menyatakan secara resmi default atas utang-utangnya yang bernilai US$ 95 miliar. Kebijakan ekonomi dari pemerintahan baru yang dianggap kontroversial adalah pembatasan pengambilan uang dari bank dan transfer ke luar negeri, pembekuan tabungan serta penkorversian tabungan dolar menjadi peso. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga perbankan agar tidak mengalami collapse. Namun, tindakan ini tidak populer dan memicu kerusuhan yang terjadi di hampir seluruh negeri. Negara-negara tetangga Argentina, seperti Brazil, Uruguay, Chili, Bolivia dan Paraguay, menghimbau IMF untuk turun tangan mengatasi krisis yang terjadi di Argentina karena dikhawatirkan akan mengganggu transaksi perdagangan dan menghambat pertumbuhan ekonomi di kawasan Amerika Latin.
44
Perkembangan Ekonomi Dunia
Walaupun perekonomian Argentina belum pulih dari krisis, tampaknya investor mulai kembali ke Argentina. Hal ini dimungkinkan oleh adanya rencana pemerintah dalam rangka stabilisasi ekonomi dan pinjaman baru dari IMF sebesar $20 miliar. Namun demikian, IMF mensyaratkan pemerintah Argentina untuk mengembangkan kebijakan fiskal dan moneter yang komprehensif sebelum dana bantuan tersebut dikucurkan. Oleh karena itu, walaupun perekonomian Argentina masih tetap dilanda resesi, diharapkan akan terjadi pertumbuhan ekonomi di paruh kedua tahun 2002. Namun hal ini sangat tergantung dari kondisi perekonomian di Amerika Serikat mengingat konsumen terbesar dari ekspor Argentina adalah Amerika Serikat.
Perkembangan Ekonomi Dunia
45
PASAR KEUANGAN DAN PASAR KOMODITAS
PENDAHULUAN Tanda-tanda pemulihan ekonomi dunia yang mulai nampak jelas dalam triwulan I 2002 berdampak luas terhadap perkembangan pasar keuangan dan pasar komoditas internasional. Membaiknya kinerja ekonomi tersebut tidak terlepas dari kombinasi kebijakan moneter dan fiskal yang ekspansif yang sebelumnya diterapkan di berbagai negara dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi domestiknya. Sejalan dengan semakin membaiknya kondisi ekonomi global, stance kebijakan moneter dan fiskal di berbagai negara bergeser dari longgar menjadi lebih netral. Namun, pelaku pasar ternyata memberikan reaksi yang berlainan di berbagai negara terhadap pergeseran stance kebijakan tersebut. Di pasar uang, perubahan arah kebijakan moneter dari easing bias policy ke neutral bias policy menimbulkan reaksi yang berbeda antara pelaku pasar di negara-negara maju dan di negara-negara berkembang. Di negara-negara maju, suku bunga dipandang sudah berada pada titik terendah sehingga tidak ada lagi ruang gerak bagi otoritas moneter untuk menurunkan suku bunga. Dengan semakin membaiknya kondisi ekonomi domestik, yang diperkirakan akan berdampak inflatoir, pelaku pasar di negara-negara maju memiliki ekspektasi bahwa suku bunga dimungkinkan kembali untuk meningkat. Hal ini tercermin dari meningkatnya kembali suku bunga pasar uang antarbank dalam denominasi mata uang negara-negara maju pada triwulan I 2002 setelah sepanjang tahun 2001 cenderung menurun. Sebaliknya di negara-negara berkembang, suku bunga masih dimungkinkan untuk turun dalam rangka memacu ekonomi agar tumbuh lebih cepat sehingga membentuk ekspektasi penurunan suku bunga di kalangan pelaku pasar. Kondisi ini dikonfirmasi oleh menurunnya suku bunga pasar uang antarbank di beberapa negara Asia pada triwulan I 2002. Di pasar modal, perkembangan pasar obligasi dan pasar saham juga terkait erat dengan ekspektasi pelaku pasar terhadap kondisi ekonomi dan perkembangan suku bunga. Ekspektasi peningkatan suku bunga oleh bank sentral juga terjadi di pasar obligasi khususnya di negara Amerika Serikat dan Eropa. Hal ini antara lain tercermin dari penurunan harga obligasi sebagai instrumen fixed income di negara tersebut. Sebaliknya, kondisi perekonomian Jepang yang
46
Pasar Keuangan dan Pasar Komoditas
masih memburuk disertai dengan kecenderungan deflasi telah mendorong peningkatan hargaharga obligasi di Jepang. Membaiknya perekonomian dunia juga semakin menggairahkan bursa saham. Indeks harga saham dunia cenderung meningkat selama triwulan I 2002, melanjutkan trend penguatan indeks harga saham dalam periode sebelumnya. Trend penguatan indeks harga saham di Asia terlihat lebih tajam dibandingkan dengan trend penguatan indeks harga saham di negara-negara maju. Namun, laju peningkatan indeks harga saham di negara-negara maju agak tertahan karena kecenderungan meningkatnya harga minyak dunia dan munculnya ekspektasi peningkatan suku bunga oleh otoritas moneter. Peningkatan harga minyak tersebut dikhawatirkan meningkatkan tekanan inflasi (cost-push and imported inflation) karena negaranegara maju pada umumnya merupakan negara-negara pengimpor minyak terbesar. Di pasar valuta asing, nilai tukar mata uang dunia bergerak bervariasi. Sebagian mata uang bergerak melemah terhadap dolar AS, sementara sebagian lainnya justru bergerak menguat. Pergerakan nilai tukar mata uang tersebut juga tidak terlepas dari membaiknya kondisi ekonomi global yang dimotori oleh kebangkitan ekonomi AS sebagai lokomotif ekonomi dunia. Kinerja ekonomi AS yang membaik berdampak ganda terhadap perkembangan pasar valuta asing. Di satu sisi, perkembangan tersebut akan meningkatkan permintaan terhadap produkproduk ekspor dari negara-negara lain sehingga berdampak apresiatif terhadap mata uang domestik negara-negara mitra dagang AS. Di sisi lain, membaiknya ekonomi AS juga menarik minat investor untuk menanamkan modalnya dalam aset-aset berdenominasi dolar AS sehingga berdampak apresiatif terhadap dolar AS atau berdampak depresiatif terhadap mata uang domestik negara-negara asal investor. Kombinasi dari kedua dampak tersebut dan struktur perekonomian dalam negeri akan mewarnai arah pergerakan mata uang di pasar valuta asing. Di pasar komoditas, sejalan dengan membaiknya kinerja ekonomi di berbagai kawasan, permintaan terhadap beberapa komoditas mulai menunjukkan peningkatan terutama komoditas utama seperti minyak dan emas. Meningkatnya permintaan tersebut menjadi faktor utama yang memicu harga-harga komoditas cenderung meningkat sepanjang triwulan I 2002. Kondisi ini menyebabkan pasar komoditas kembali bergairah setelah tahun lalu mengalami kelesuan akibat merosotnya harga-harga komoditas seiring dengan menurunnya permintaan dunia.
PASAR UANG Indikasi pemulihan ekonomi dunia dalam triwulan I 2002, yang ditandai oleh optimisme pemulihan ekonomi di AS, telah mempengaruhi perkembangan pasar keuangan di AS, Eropa Pasar Keuangan dan Pasar Komoditas
47
dan Asia. Menyusul indikasi
Persen
Grafik Suku Bunga Fed Fund April 1999 - Maret 2002
pemulihan ekonomi tersebut, pelonggaran kebijakan moneter
7.5 7.0 6.5 6.0 5.5 5.0 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0
yang diterapkan negara-negara
Fed Fund Effective
besar sejak tahun lalu, pada triwulan I 2002 mulai menunjukkan perubahan arah. Dalam Fed Fund Target
periode tersebut, easing bias 28/02/02
31/12/01
31/10/01
31/08/01
29/06/01
30/04/01
2/28/2001
12/30/2000
10/31/2000
8/31/2000
6/30/2000
4/28/2000
2/29/2000
12/31/1999
29/10/99
8/31/1999
6/30/1999
4/30/1999
policy yang diterapkan beberapa bank sentral selama ini mulai beralih ke neutral bias
Suku Bunga Pasar Uang Negara-Negara Maju (6 bulan) (%)
policy. Kebijakan untuk mem-
5.37 5.43
*%3/,%25
3.25
3.59
3.54
86'/,%25
0DUHW 'HVHPEHU
pada level 1,75% yang berlaku sejak Desember tahun lalu,
0.10
-3</,%25
-XQL 0DUHW
0.10
diikuti pula oleh bank sentral di 0.13 0.08 0.09
1.98
2.33
2.52
4.42 4.37
4.71 3.91
4.14
4.48
Fed Res dalam triwulan I 2002 4.40
QH VU H 3
pertahankan suku bunga oleh
berbagai belahan dunia lainnya. (852/,%25
6HSWHPEHU
Di kawasan Eropa, European Central Bank (ECB) dan Bank of England (BOE) terakhir kali menurunkan benchmark suku
bunga masing-masing 50bp menjadi 3,25% dan 4% pada bulan Agustus tahun lalu. Di kawasan Asia, kebijakan yang sama diikuti pula oleh sebagian besar bank sentral di kawasan tersebut seperti Cina, Hong Kong, Korea dan Malaysia. Kebijakan neutral bias tersebut, tampaknya dilakukan untuk menstabilkan proses pemulihan ekonomi yang mulai berlangsung saat ini sehingga kebijakan menaikkan suku bunga dipandang terlalu dini. Hal ini juga dikarenakan tanda pemulihan ekonomi yang mulai tampak pada triwulan akhir tahun lalu diyakini semata-mata bukan karena kebijakan moneter yang sangat longgar, melainkan juga didorong oleh penurunan harga minyak yang tajam saat itu. Sementara itu, bank sentral negara Filipina, Thailand, dan Indonesia sampai dengan triwulan I 2002 masih menurunkan suku bunga.
48
Pasar Keuangan dan Pasar Komoditas
Di negara maju, kebijakan Grafik Suku Bunga Pasar Uang Asia1)
mempertahankan suku bunga neutral bias policy- oleh berbagai
bank sentral telah mendorong
suku bunga di pasar uang cende-
baiknya kondisi ekonomi domestik di negara tersebut. Kecenderu-
ngan ini berbeda dibanding
dengan periode sebelumnya
-DNDUWD
0DUHW
dimana suku bunga pasar cenderung menurun seiring dengan
1.13
QH UVH 3
rung meningkat menyusul mem-
6LQJDSXUD
-XQL
0DOD\VLD
6HSWHPEHU
7KDLODQG 'HVHPEHU
.RUHD 0DUHW
1) Interbank rate
penurunan suku bunga bank sentral. Di pasar uang London, pada akhir triwulan I 2002, suku bunga poundsterling mencapai 4.39%, meningkat dari 4,14% pada akhir triwulan sebelumnya. Demikian pula suku bunga dolar AS dan euro, masing-masing meningkat dari 1,98% dan 3,25% pada akhir triwulan IV 2001 menjadi 2,33% dan 3,59% pada akhir triwulan I 2002. Sementara untuk yen pada akhir triwulan I 2002, suku bunga mata uang tersebut di pasar London berada pada level 0,095%, relatif tidak berbeda dengan level pada akhir triwulan sebelumnya yang mencapai 0,10%. Hal ini sesuai dengan langkah BOJ untuk mempertahankan suku bunga mendekati nol sehubungan dengan masih lesunya kondisi perekonomian negara tersebut. Di kawasan Asia, suku bunga pasar uang dalam triwulan I 2002 menunjukkan perkembangan yang berbeda dengan pasar uang di negara maju. Selama periode tersebut, suku bunga pasar uang di Asia bergerak seragam, cenderung menurun meskipun bank sentral di kawasan ini menempuh kebijakan moneter yang berbeda. Bank sentral Korea dan Malaysia mulai menerapkan neutral bias policy, sementara bank sentral Indonesia, Filipina dan Thailand masih menerapkan easing bias policy. Pada akhir triwulan I 2002, suku bunga pasar uang di Indonesia (Jibor 6 bulan), Malaysia, Thailand, dan Korea masing-masing berada pada level 17,39%, 3,24%, 2,38% dan 4,73%, menurun dari 17,93%, 3,27%, 2,44% dan 4,79% pada akhir periode sebelumnya. Sementara di Singapura, suku bunga SIBOR dengan jatuh tempo 6 bulan mengalami kecenderungan yang sama sebelum kembali mengalami koreksi dan mencapai level 1,125% pada akhir triwulan I Pasar Keuangan dan Pasar Komoditas
49
2002. Kecenderungan suku bunga yang menurun di pasar uang Asia ini tampaknya sejalan dengan pandangan bank sentral di kawasan Asia untuk mendorong percepatan pemulihan ekonomi dikawasan ini.
PASAR MODAL Pasar Obligasi Perkembangan pasar obligasi selama triwulan I 2002 tidak terlepas dari perkembangan lingkungan ekonomi global saat ini. Tanda pemulihan ekonomi global yang berlangsung saat ini, kecuali Jepang, telah mendorong yield obligasi pemerintah meningkat. Kenaikan yield obligasi tersebut menyusul meningkatnya spekulasi pasar terhadap kemungkinan bank sentral menaikkan suku bunga. Diperkirakan kenaikan yield obligasi pemerintah akan berlanjut dalam triwulan mendatang seiring dengan meningkatnya ekpektasi kenaikan suku bunga tersebut. Hal ini berbeda dengan perkembangan obligasi pada triwulan sebelumnya, dimana yield obligasi cenderung menurun seiring dengan penurunan suku bunga. US treasury note, setelah mengalami periode penurunan pada triwulan sebelumnya, pada triwulan pertama tahun ini menunjukkan kecenderungan meningkat terutama sepanjang bulan terakhir periode tersebut. Selama periode tersebut, yield benchmark 10 year-US note meningkat dan mencapai level tertinggi dalam sembilan bulan terakhir menyusul perkembangan positif berbagai indikator ekonomi negara tersebut. Spekulasi terhadap kenaikan suku bunga oleh Fed Res menyusul tanda pemulihan ekonomi di negara tersebut telah memunculkan kekhawatiran di kalangan investor atas menurunnya daya Grafik Perkembangan Yield Obligasi Pemerintah (%)
tarik obligasi pemerintah
10.00
sehingga mendorong obligasi
9.00 8.00
terkoreksi dan yield meningkat.
7.00 6.00
Perkembangan yang
5.00 4.00
sama juga terjadi pada obligasi
3.00 2.00
pemerintah di kawasan Eropa.
1.00
Harga obligasi pemerintah yang
US
UK
Japan
China
t-0 1 Ja n02
Oc
1
l-0 1 Ju
Ap r-0
t-0 0 Ja n01
0
l-0 0
Oc
Ju
Ap r-0
9
t-9 9 Ja n00
Oc
Ju
Ap r-9
l-9 9
0.00
Korea
Singapore
cenderung menurun, seiring dengan tanda pemulihan ekonomi di kawasan ini, telah
50
Pasar Keuangan dan Pasar Komoditas
menurunkan minat beli terhadap Grafik Yield Obligasi Pemerintah Indonesia (%)
obligasi pemerintah dan beralih
14
ke asset yang lebih beresiko
13
seperti saham dan corporate
12
debt. Dalam triwulan I 2002,
11
yield benchmark 10 year
10 9
German bond meningkat 26bp
8
menjadi 5,2% pada akhir
7
triwulan, tertinggi dalam triwulan
6 Apr- May- Jun01 01 01
Jul01
Aug- Sep- Oct- Nov- Dec- Jan- Feb- Mar01 01 01 01 01 02 02 02
II tahun lalu. Kendati memburuk pada triwulan I tahun ini, pada triwulan II diperkirakan perkem-
bangan harga obligasi pemerintah di kawasan ini tidak akan seburuk triwulan I. Dengan indikasi pemulihan ekonomi yang moderat di kawasan ini, dan kebijakan penurunan suku bunga yang tidak seagresif di AS, yield obligasi Jerman 2 dan 10 tahun pada triwulan II diperkirakan akan meningkat lebih lambat dibanding kenaikan pada triwulan sebelumnya menyusul perkirakan bahwa ECB tidak akan segera menaikkan suku bunga dalam waktu dekat ini. Berbeda dengan perkembangan obligasi di AS dan Eropa, harga obligasi pemerintah Jepang dalam triwulan I 2002 cenderung meningkat setelah ekonomi negara tersebut belum juga menunjukkan tanda-tanda pulih dari resesi ekonomi. Hasil indeks Tankan yang tidak menunjukkan kenaikan kepercayaan atas prospek ekonomi negara tersebut, mengindikasikan negara tersebut akan mengalami periode resesi yang lebih panjang. Selain karena faktor tersebut, kenaikan harga obligasi pemerintah didorong pula oleh ekspektasi pengalihan investasi dari deposito perbankan ke pasar utang oleh investor dan pemerintah daerah menyusul kebijakan pembatasan jaminan pemerintah atas deposito. Sementara itu, rencana pemerintah menurunkan tingkat kupon obligasi berjangka waktu 10 tahun tidak berpengaruh signifikan atas harga obligasi pemerintah. Sementara di negara Asia lainnya seperti Cina, Korea dan Singapore, harga obligasi pemerintah cenderung menurun seiring dengan perkembangan positif di kawasan tersebut. Berbeda dengan kecenderungan penurunan harga obligasi negara Asia lainnya, harga obligasi pemerintah Indonesia beberapa triwulan terakhir cenderung meningkat karena menurunnya faktor risiko. Membaiknya kondisi sosial dan politik di Indonesia, yang akan memberi pengaruh positif terhadap upaya pemulihan ekonomi, tampaknya telah berhasil mendorong minat investor Pasar Keuangan dan Pasar Komoditas
51
untuk membeli obligasi Indonesia sehingga mendorong harga obligasi meningkat dan yield menurun.
Pasar Saham Mengawali tahun 2002, pergerakan indeks saham di berbagai belahan dunia menunjukkan kecenderungan menguat walaupun masih diselingi oleh beberapa koreksi. Kenaikan saham pada triwulan I 2002 tersebut merupakan kelanjutan dari penguatan saham pada periode sebelumnya seiring dengan mulai munculnya tanda-tanda pemulihan ekonomi global. Optimisme pemulihan ekonomi di AS yang semakin kuat pada triwulan I 2002, yang berdampak positif pada pemulihan ekonomi di kawasan lainnya, serta ekspektasi keuntungan perusahaan-perusahaan seiring dengan pemulihan ekonomi, telah mewarnai trend kenaikan indeks saham sepanjang tiga bulan pertama tahun ini. Selama periode tersebut, trend penguatan indeks saham di Asia terlihat lebih tajam dibanding trend penguatan saham di negara-negara maju. Pada triwulan I 2002, indeks saham utama Amerika (Dow Jones, Nasdaq dan S&P 500) cenderung menguat. Perkembangan berbagai indikator utama di negara tersebut, antara lain membaiknya US consumer confidence, berkurangnya pemutusan hubungan kerja, pertumbuhan sektor manufaktur, serta meningkatnya ekspektasi atas keuntungan perusahaan telah memperkuat indeks harga saham. Menyusul berbagai perkembangan positif tersebut, indeks Dow Jones selama periode tersebut menguat hingga mencapai posisi 10.635 pada tanggal 19 Maret 2002, tertinggi dalam delapan bulan terakhir, sebelum kembali menurun dan mencapai 10403,94 pada akhir triwulan I. Meskipun indeks saham sempat mengalami koreksi, sebagai dampak ekspektasi kenaikan suku bunga oleh Federal Reserve, selama periode triwulan I 2002 indeks saham Dow Jones tetap mengalami pertumbuhan sebesar 1,41%. Optimisme pemulihan ekonomi AS juga berdampak positif terhadap perkembangan saham di kawasan dunia lainnya. Di pasar saham Eropa, pemulihan ekonomi AS dan kebangkitan
Prosentase kenaikan harga saham pada Triwulan I 2002
52
DJIA
NKY 225
Stoxx 50
JCI
STI
SET
Kospi
1.41%
4.25%
2.20%
25.07%
7.42%
20.21%
15.56%
Pasar Keuangan dan Pasar Komoditas
ekonomi Euro terutama di tiga ekonomi terbesar kawasan Euro
—yaitu
Jerman,
Grafik Indeks Saham AS, Kawasan Euro dan Jepang (%) 16,000.00 NKY 225
Perancis, dan Italia— telah
14,000.00 12,000.00
memberi pengaruh positif terhadap indeks saham. Namun, dalam triwulan I ter-
10,000.00
DJIA
8,000.00 6,000.00 4,000.00 DJ Stoxx 50 2,000.00
saham lebih lanjut sempat
29/03/02
28/02/02
29/01/02
29/12/01
29/11/01
29/10/01
29/09/01
29/08/01
29/07/01
29/06/01
29/05/01
29/04/01
29/03/01
tertahan oleh penurunan sa-
28/02/01
29/12/00
29/01/01
sebut, penguatan indeks
ham perusahaan peralatan elektronik. Penurunan saham Grafik Perkembangan Indeks Saham Asia (%)
tersebut berlangsung setelah 2500.00
JP. Morgan Chase & Co. mengumumkan turunnya
2000.00
pengeluaran perusahaan-
1500.00
perusahaan telekomunikasi.
1000.00
STI
Kospi
Namun demikian, menguat-
JCI 500.00
nya indeks DJ Stoxx 50
5/03/02
5/02/02
5/01/02
5/12/01
5/11/01
5/10/01
5/09/01
5/08/01
5/07/01
5/06/01
5/05/01
5/04/01
5/03/01
5/02/01
laporan menunjukkan bahwa
SET 0.00 5/01/01
sebesar 2,2% selama periode
penurunan saham tersebut tidak berpengaruh secara signifikan terhadap saham Euro. Sementara itu, optimisme pemulihan ekonomi global, perkiraan pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat menyusul kuatnya domestic spending, serta meningkatnya ekspor di Inggris telah mendorong saham di negara tersebut bergerak meningkat selama periode laporan. Di kawasan Asia, optimisme pemulihan ekonomi di AS dan mulai bangkitnya ekonomi di kawasan ini telah mendorong indeks saham Jepang, Korea, Singapore dan Thailand mengalami pergerakan yang sama dengan pasar saham di kawasan lain. Di Jepang, indeks saham menguat didorong oleh optimisme peningkatan ekspor negara tersebut menyusul pulihnya ekonomi AS. Selain karena faktor tersebut, kenaikan saham juga didorong oleh optimisme pasar bahwa pemerintah akan segera turun tangan menyelesaikan kredit macet Pasar Keuangan dan Pasar Komoditas
53
perbankan, menyusul desakan G-7 agar pemerintah Jepang mencegah collapse-nya sistem perbankan negara tersebut. Selama tiga bulan pertama tahun ini, indeks Nikei 225 meningkat dari posisi 10871,49 pada awal periode menjadi 11333,11 pada akhir triwulan, atau meningkat 4.25%. Di pasar saham Korea, masuknya investor asing telah mendorong penguatan indeks harga saham di negara tersebut. Kepastian pengambilalihan perusahaan pembuat memory chip, Hynix Semiconductor Inc., oleh perusahaan komputer Amerika, Micron Technology Inc., yang mendorong saham perusahan elektronik dan komputer meningkat, menandai masuknya investor asing ke pasar saham Korea. Sentimen positif di pasar saham Korea tersebut juga didorong oleh rencana Daimler Chrysler AG untuk membeli saham Hyundai. Menyusul perkembangan tersebut, indeks Kospi Korea selama triwulan I 2002 mencatat pertumbuhan 19,77% dari posisi 747,72 pada awal periode menjadi 895,58 pada akhir triwulan I 2002. Di Thailand, selain dipengaruhi oleh optimisme perkembangan ekonomi global serta kenaikan harga minyak dunia, kenaikan saham didorong pula oleh perkembangan domestik di negara tersebut. Optimisme keberhasilan upaya BOT untuk memperbaiki neraca perbankan telah mendorong saham-saham perbankan meningkat. Sementara itu, kenaikan indeks tersebut juga dipengaruhi oleh meningkatnya saham perusahaan minyak di Thailand menyusul kenaikan harga minyak dunia. Di Indonesia, perkembangan bursa saham diwarnai oleh kenaikan harga-harga saham perusahaan yang akan dan telah didivestasi. Perusahaan telekomunikasi seperti Indosat dan Telkom merencanakan akan melakukan divestasi, sementara BPPN telah melakukan proses divestasi saham BCA. Tindakan tersebut telah menyebabkan harga saham ketiga perusahaan meroket sehingga mendorong IHSG meningkat sebesar 25,07% dalam triwulan I 2002.
PASAR VALUTA ASING Setelah dalam triwulan sebelumnya perkembangan pasar valuta asing diwarnai oleh kecenderungan melemahnya hampir seluruh mata uang utama dunia terhadap dolar AS, sepanjang triwulan I 2002, nilai tukar beberapa mata uang utama dunia bergerak bervariasi. Sebagian mata uang melemah terhadap dolar AS, seperti euro, yen, dan won Korea. Namun, mata uang yang lain seperti rupiah, bath, peso Filipina, dan dolar Singapura justru menguat terhadap dolar AS. Pola pergerakan mata uang tersebut juga relatif stabil kecuali untuk yen dan
54
Pasar Keuangan dan Pasar Komoditas
rupiah yang bergerak lebih flukIndeks Nilai Tukar Nominal Euro dan Yen Oktober 2001 – Maret 2002 (1 Jan 2001 = 100)
tuatif terutama dalam bulan Maret
bangan indeks nilai tukar mata
120.00
110
100.00
90
90.00
USD/EUR100
bangan ekonomi AS sebagai loko-
28/03/2002
18/03/2002
06/03/2002
22/02/2002
12/02/2002
31/01/2002
21/01/2002
09/01/2002
28/12/2001
Indeks Nilai Tukar Nominal Asia Oktober 2001 – Maret 2002 (1 Jan 2001 = 100)
motif ekonomi dunia. Pereko-
jukkan tanda-tanda pemulihan
18/12/2001
terutama bersumber dari perkem-
06/12/2001
80 26/11/2001
85.00
faktor-faktor eksternal yang
nomian AS yang mulai menun-
100
INDEKS NILAI TUKAR EURO
95.00
14/11/2001
tersebut juga dipengaruhi oleh
INDEKS NILAI TUKAR YEN 105.00
02/11/2001
mestik, pergerakan mata uang
120
23/10/2001
Selain faktor-faktor do-
130
110.00
11/10/2001
dolar AS.
YEN/USD
115.00
01/10/2001
uang beberapa negara terhadap
140
Nilai Tukar Nominal
125.00 Indeks Nilai Tukar (1 Jan 2001 = 100)
2002. Hal ini terlihat dari perkem-
120.00
115.00
JPY
KRW
THB
PHP
IDR
SGD
berdampak ganda terhadap per110.00
kembangan pasar valuta asing. Di satu sisi, perkembangan tersebut akan meningkatkan permintaan
105.00
100.00
terhadap produk-produk ekspor 26/03/2002
18/03/2002
08/03/2002
28/02/2002
20/02/2002
12/02/2002
04/02/2002
25/01/2002
17/01/2002
09/01/2002
01/01/2002
24/12/2001
14/12/2001
06/12/2001
28/11/2001
20/11/2001
12/11/2001
02/11/2001
25/10/2001
17/10/2001
09/10/2001
berdampak apresiatif terhadap
01/10/2001
95.00
dari negara-negara lain sehingga
mata uang domestik negaranegara mitra dagang AS. Di sisi lain, membaiknya ekonomi AS juga menarik minat investor untuk menanamkan modalnya dalam aset-aset berdenominasi dolar AS sehingga berdampak apresiatif terhadap dolar AS atau berdampak depresiatif terhadap mata uang domestik negara-negara asal investor. Dampak yang berlawanan tersebut saling tarik-menarik dan akan menentukan apakah dampak apresiasi atau depresiasi yang lebih kuat, tergantung dari struktur ekonomi masing-masing negara dan keterkaitannya dengan ekonomi AS. Lebih menariknya aset-aset berdenominasi dolar AS menyebabkan permintaan terhadap dolar AS meningkat. Dengan perkataan lain, terjadinya pergeseran portofolio ke dalam asetaset berdenominasi dolar AS telah menurunkan permintaan terhadap hard currencies pesaing Pasar Keuangan dan Pasar Komoditas
55
dolar AS seperti euro dan yen. Dampak pergeseran portofolio tersebut lebih dominan mempengaruhi melemahnya euro dan yen dibandingkan dengan potensi apresiasi nilai tukar euro dan yen sebagai dampak membaiknya kinerja ekonomi AS. Akibatnya, sepanjang periode laporan nilai tukar euro melemah 2,0% dari 88,95 US cents per euro pada akhir Desember 2001 menjadi 87,17 US cents pada akhir Maret 2002. Sementara itu, tekanan depresiasi terhadap yen semakin diperberat dengan berlanjutnya krisis ekonomi Jepang. Dibuka pada posisi 131,66 yen per dollar AS pada awal periode laporan, nilai tukar yen cenderung melemah hingga mencapai titik terendah 134,71 yen per dollar AS pada tanggal 8 Februari 2002. Selanjutnya, yen kembali bergerak menguat sebelum akhirnya ditutup pada posisi 132,73 yen per dolar AS pada akhir periode laporan atau melemah sekitar 0,8% sepanjang periode laporan. Prospek ekonomi domestik yang masih suram dan ancaman deflasi mendorong para investor Jepang mengalihkan dananya ke luar negeri terutama ke AS yang mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitan ekonomi. Dampak pelarian modal tersebut meng-offset peningkatan ekspor sehingga secara neto masih memberikan tekanan depresiasi terhadap yen. Kecenderungan melemahnya yen berpengaruh signifikan terhadap nilai tukar won Korea yang juga cenderung terdepresiasi. Nilai tukar won terkait erat dengan yen karena kedua negara memiliki karakteristik produk ekspor relatif sama sehingga saling bersaing memperebutkan pangsa ekspor di pasar internasional. Melemahnya yen dipersepsi oleh pasar akan memperlemah daya saing produk-produk ekspor Korea sehingga akan menurunkan permintaan terhadap produk-produk ekspor Korea. Akibatnya, pasar bereaksi dengan menurunkan permintaan terhadap mata uang Korea sehingga nilai tukar won cenderung melemah. Sepanjang periode laporan, won melemah 1,0% dari 1.313,5 won per dolar AS pada akhir Desember 2001 ke posisi 1.327 won pada akhir Maret 2002. Bila membaiknya ekonomi AS membawa dampak neto terhadap melemahnya euro dan yen, maka terhadap beberapa mata uang Asia lain justru berdampak sebaliknya. Nilai tukar rupiah, baht, peso Filipina, dan dolar Singapura masing-masing menguat sebesar 5,9%, 1,6%, 1,2%, dan 0,1% ke posisi Rp9.825, 43,50 baht, 51,00 peso, dan S$1,8432 pada akhir periode laporan. Meningkatnya permintaan AS terhadap produk-produk ekspor dari negaranegara ASEAN menyebabkan naiknya permintaan terhadap mata uang domestik masing-masing negara sehingga bergerak menguat. Dalam pada itu, nilai tukar rupiah mengalami apresiasi terbesar sehingga menempatkan rupiah sebagai mata uang berkinerja terbaik di antara mata uang negara-negara ASEAN sepanjang periode laporan.
56
Pasar Keuangan dan Pasar Komoditas
PASAR KOMODITAS Perkembangan pasar komoditas internasional sepanjang triwulan I 2002 ditandai dengan kecenderungan meningkatnya harga-harga komoditas terutama komoditas utama seperti minyak dan emas. Sejalan dengan membaiknya ekonomi di berbagai kawasan, permintaan terhadap beberapa komoditas mulai menunjukkan peningkatan sehingga mendorong naiknya hargaharga komoditas tersebut. Kondisi ini menyebabkan pasar komoditas kembali bergairah setelah tahun lalu mengalami kelesuan akibat merosotnya harga-harga komoditas seiring dengan menurunnya permintaan dunia. Harga minyak sebagai komoditas utama meningkat pesat dari $19,30 per barrel pada akhir Desember 2001 menjadi $25,60 per barrel pada akhir Maret 2002 atau meningkat 32,6% dalam periode laporan. Pada awal periode laporan, harga minyak telah menunjukkan kecenderungan meningkat hingga ditutup pada posisi $21,58 per barrel pada tanggal 4 Januari 2002. Selama dua pekan kemudian, harga minyak cenderung kembali menurun hingga mencapai posisi penutupan terendah, yaitu $17,94 per barrel pada tanggal 17 Januari 2002. Setelah itu, harga minyak bergerak naik kembali selama hampir satu bulan hingga ke posisi penutupan $21,87 per barrel pada tanggal 11 Februari 2002. Kecenderungan menurunnya harga minyak kembali terjadi selama lebih dari sepekan kemudian sebelum akhirnya kembali bergerak menguat dan ditutup pada posisi tertinggi $25,60 per barrel pada akhir periode laporan. Kecenderungan meningkatnya harga minyak dipicu oleh beberapa faktor. Pertama, impor minyak AS diperkirakan meningkat baik untuk memenuhi cadangan minyak strategisnya yang diperkirakan meningkat maupun untuk menghadapi sisa musim dingin. Harga Spot Minyak Mentah Brent April 2001 - Maret 2002
Sementara itu, badai salju yang melanda kawasan timur AS dari Georgia
31
sampai Carolina telah menghambat
tersebut. Kedua, negara-negara OPEC telah mengurangi produksi minyaknya
27 US$ per barrel
arus pasokan minyak ke kawasan
29
25 23 21 19
2/03/02
2/02/02
2/01/02
2/12/01
2/11/01
2/10/01
2/09/01
2/08/01
2/07/01
2/06/01
untuk memperpanjang pembatasan
15 2/05/01
produsen non-OPEC telah berjanji
17 2/04/01
sementara Rusia sebagai negara
ekspor minyaknya. Langkah penguPasar Keuangan dan Pasar Komoditas
57
rangan produksi minyak OPEC Harga Spot Emas April 2001 - Maret 2002
dimaksudkan untuk mentaati kuota produksi minyak OPEC yang telah di-
310
sepakati bersama pada bulan Desem300
hari. Dalam tahun 2001, produksi 280
minyak OPEC lebih besar 565.000
270
barrel per hari dibandingkan dengan
2/03/02
2/02/02
2/01/02
2/12/01
2/11/01
2/10/01
2/09/01
2/08/01
Kelebihan produksi minyak OPEC
2/07/01
250 2/06/01
kuota produksi yang disepakati. 2/05/01
260
2/04/01
US$ per troy oz
ber 2001 sebesar $1,5 juta barrel per 290
tersebut telah mendorong produsen non-OPEC ikut meningkatkan produksinya sehingga menekan turun
harga minyak dunia pada waktu itu. Namun dalam bulan Januari 2002, produksi minyak ke-10 negara anggota OPEC telah menurun 640.000 barrel per hari sehingga kembali mendorong naik harga minyak dunia. Sementara itu, komitmen Rusia untuk tetap membatasi ekspor minyaknya dimaksudkan untuk menghindari ketegangan hubungan dengan negara-negara OPEC. Ketiga, membaiknya kinerja ekonomi di berbagai kawasan diperkirakan akan meningkatkan permintaan minyak dunia terutama untuk mendukung kegiatan sektor industri. Perkembangan harga komoditas utama lainnya, yaitu emas, juga menunjukkan kecenderungan meningkat. Sepanjang periode laporan, harga spot emas di bursa London meningkat 8,5% dari $278,95 per troy oz pada akhir Desember 2001 menjadi $302,65 per troy oz pada akhir Maret 2002. Tingkat harga emas tertinggi dicapai pada tanggal 8 Februari 2002 yang ditutup pada posisi $303,75 per troy oz. Kecenderungan meningkatnya harga emas terutama pada akhir periode laporan dipicu oleh kebijakan Pemerintah Jepang yang membatasi cakupan asuransi terhadap dana pihak ketiga di sektor perbankan. Kebijakan tersebut mendorong para investor/deposan mengalihkan portofolio asetnya dari simpanan di bank menjadi emas sebelum berlaku efektif mulai 1 April 2002. Hal ini menyebabkan peningkatan permintaan emas sehingga harga emas cenderung meningkat.
58
Pasar Keuangan dan Pasar Komoditas
PERKEMBANGAN KERJA SAMA INTERNASIONAL
PENDAHULUAN Pada triwulan I 2002, Indonesia telah berpartisipasi dalam berbagai forum internasional mengenai kerjasama ekonomi, moneter dan keuangan internasional maupun integrasi ekonomi dan perdagangan internasional. Kerja sama ekonomi, moneter dan keuangan internasional dalam periode laporan telah dibahas dalam forum SEACEN dan EMEAP. Kerja sama pembangunan ekonomi regional/internasional dibahas dalam Konferensi Financing for Development. Sementara integrasi ekonomi dan perdagangan internasional dibahas dalam forum APEC Economic Committee dan G-15 Expert Group. Selama triwulan laporan, SEACEN telah menyelenggarakan dua pertemuan, yaitu SEACEN Board of Directors Meeting ke-43 dan SEACEN Interim Executive Committee Meeting. Forum SEACEN Board of Directors Meeting ke-43 membahas isu-isu mengenai laporan perkembangan kegiatan SEACEN selama tahun 2001, usulan program untuk tahun 2002, anggaran untuk tahun 2002 serta pertemuan Gubernur SEACEN ke-21. Forum SEACEN Interim Executive Committee Meeting mengangkat isu mengenai Term of Reference untuk Exco dan penyusunan kriteria untuk anggota baru SEACEN. Sementara itu, pada triwulan laporan EMEAP telah menyelenggarakan satu kali Workshop dan satu kali pertemuan tingkat Deputi. Forum EMEAP Workshop membahas isu mengenai dampak ekonomi makro New Basel Accord terhadap negara anggota EMEAP, sedangkan pertemuan EMEAP tingkat Deputi mengangkat isu mengenai: (i) Laporan Working Group EMEAP dan pemilihan Chairman dan Vice-Chairman Working Group EMEAP yang baru, (ii) Perkembangan ekonomi terkini negara anggota EMEAP, (iii) Temuan dari Workshop on Macroeconomic Impact of the New Basel Accord, dan (iv) Lainnya. Sementara itu, Konferensi Financing for Development membahas upaya-upaya memerangi kemiskinan dan mengesahkan Konsensus Monterrey. Di bidang integrasi ekonomi dan perdagangan internasional, pertemuan APEC Economic Committee membahas berbagai isu yang meliputi: (i) APEC Tasking Statement, Economic Outlook, kajian mengenai manfaat Perkembangan Kerja Sama Internasional
59
dari Trade and Investment Liberalization Facilitation (TILF), Knowledge Base Economy (KBE), New Economy, dan aktivitas lain yang terkait dengan Economic Committee. Sementara itu, Forum G-15 Expert Group memfokuskan pada isu-isu: (i) transparency dan standard dan codes, (ii) arus modal, (iii) reformasi lembaga keuangan internasional, (iv) highly leverage institutions, dan (v) poverty reduction.
KERJA SAMA EKONOMI, MONETER, DAN KEUANGAN INTERNASIONAL 43rd SEACEN Board of Directors’ Meeting di Malaysia Pada tanggal 25 Februari 2002 telah diselenggarakan 43rd SEACEN Board of Directors’ Meeting di Malaysia. Agenda dari Sidang meliputi: (i) Progress Report on Activities, (ii) Proposed Programme for Operating Year 2002, (iii) Budget for Operating Year 2002, (iv) 21st Meeting of the Board of Governors, dan (v) isu lainnya. Berkaitan dengan progress report on activities, selama periode laporan telah dilaksanakan 8 proyek penelitian, 6 proyek telah dijadwalkan sebelumnya dan 2 proyek penelitian merupakan proyek tambahan untuk mengantisipasi dampak tragedi 11 September 2001. Sementara itu, selama periode laporan juga telah dilaksanakan 3 seminar, 2 workshop, dan 1 meeting. Beberapa meeting yang telah dijadwalkan terpaksa ditunda pelaksanaannya sebagai dampak tragedi 11 September. Untuk sisa masa kerja 2001 yang berakhir pada 31 Maret 2002, dijadwalkan masih akan dilaksanakan beberapa kegiatan, yaitu : course on balance of payment management, seminar on financial system oversight, workshop on communication strategy for monetary policy, dan workshop on current options and possible convergence. Mengenai usulan program SEACEN tahun 2002, berdasarkan usulan yang disampaikan oleh masing-masing anggota SEACEN, melalui media korespondensi, disepakati daftar kegiatan SEACEN tahun 2002 sebagai berikut : a.
Empat topik penelitian, yaitu dua penelitian core program : (i) Economic Openness and Effectiveness of Counter-Cyclical Macroeconomic Policies in The Global Economic Slowdown: Experience of the SEACEN Countries, (ii) Efficacy of Monetary Transmission Mechanism : Experiences of the SEACEN Countries, serta dua penelitian supplementary programs : (i) Issues in External Debts Concepts, Monitoring Procedures, Reporting and Crisis Prevention in the SEACEN Countries, dan (ii) China in the WTO Impact on Trade
60
Perkembangan Kerja Sama Internasional
and Investment in the SEACEN Countries. b.
Enam training course, yaitu lima core-program meliputi : banking supervision, monetary policies and strategies, payment and settlement system, dan macroeconomic management, serta satu supplementary program, yaitu : foreign exchange and financial derivatives.
c.
Lima seminar core-program, yaitu seminar : central bank surveillance, international finance and capital market, senior bank supervisors, senior bank management of central banks on financial system oversight, dan policy forum for Governors/Deputy Governors on national institutional arrangements for financial supervision. Dua seminar supplementary programs, yaitu seminar : legal and regulatory aspecs of financial stability, dan e-finance : challenges for central banks.
d.
Lima kegiatan workshop, meliputi : operational risk and coorporate governance, new capital accord, prevention of money laundering and financial criminality-legal aspects, dan techniques of inflation projection. Dalam Operating Year 2002, Indonesia akan menjadi tuan rumah bagi penyelenggaraan
SEACEN-CPSS Course on Payment Systems for Emerging Economies di Bali pada tanggal 58 Agustus 2002 dan SEACEN-BIS Seminar : Central Bank Surveillance of the Structure and Functioning of Financial Markets di Bali tanggal 11-13 Juni 2002. Untuk menunjang pelaksanaan kegiatan yang diusulkan pada Operating Year 2002, besarnya anggaran pengeluaran tahun 2002 diusulkan dan kemudian disepakati sebesar RM 4,980,000, dengan cost sharing masing-masing anggota sebesar RM 452,727. Anggaran untuk tahun 2002 tersebut turun 2,7% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal tersebut disebabkan telah selesainya proyek komputerisasi, pengalihan pembiayaan beberapa proyek penelitian dan gaji serta tunjangan perumahan Visiting Research Economist ke supplementary budget, serta penghapusan biaya pengadaan katalog publikasi. Pertemuan Board of Directors (BOD) tersebut juga menetapkan bahwa pertemuan Board of Governors Conference (BOG) SEACEN Centre ke-21 akan diselenggarakan bersamaan dengan Konferensi SEACEN Governors ke 37 di Ulanbaatar, Mongolia pada tanggal 25-27 Juni 2002. Selain itu, pertemuan juga membahas mengenai perbedaan keberadaan Executive Committee (Exco) dan BOD serta pembagian tugas antara Exco dengan BOD. Kesepakatan yang dicapai adalah sebagai berikut : a.
Keberadaan BOD masih tetap dipertahankan, namun dengan struktur keanggotaan akan dikembalikan ke format lama, yaitu keanggotaan BOD hanya terdiri dari tiga pejabat, yaitu : Perkembangan Kerja Sama Internasional
61
Gubernur Bank Negara Malaysia, Deputy Gubernur Bank Negara Malaysia, dan Executive Director SEACEN. Tugas BOD tersebut adalah menetapkan kebijakan yang berkaitan dengan masalah-masalah governance, yang meliputi tiga aspek utama, yaitu : (i) budget/ financial, (ii) staffing, dan (iii) activities. b.
Keberadaan Exco yang sudah ditetapkan oleh BOG akan tetap dipertahankan, dengan tugas utama adalah memutuskan aspek-aspek yang lebih bersifat operasional, seperti kegiatan riset, seminar, training, dan workshop.
c.
Dalam rangka memelihara koordinasi antara BOD dengan Exco, maka anggota BOD yang sekaligus juga merupakan anggota Exco memberikan laporan secara rutin yang disampaikan pada setiap sidang Exco. Laporan BOD tersebut disepakati untuk dijadikan agenda permanen dalam setiap Exco Meeting.
SEACEN Interim Executive Committee (Exco) Meeting di Singapura Pada tanggal 13 Maret 2002 telah diselenggarakan SEACEN Interim Executive Committee (Exco) meeting di Singapura. Dalam pertemuan tersebut dibahas dua hal utama yaitu (i) Term of Reference untuk Exco, dan (ii) Penyusunan kriteria untuk anggota baru SEACEN. Berkenaan dengan pembahasan Term of Reference Exco, Bank Indonesia mengingatkan peserta Sidang mengenai peranan Exco sesuai dengan hasil pertemuan SEACEN Board of Governors tahun lalu di Singapura bahwa selain berfungsi sebagai pengawas SEACEN Centre (supervisory role), Exco berfungsi untuk memberikan masukan (advisory role) kepada Board of Governors mengenai SEACEN Centre. Selain itu, Bank Indonesia menekankan pula perlunya hubungan (link) antara Exco dengan SEACEN Board of Directors. Dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa Executive Director SEACEN Centre akan menjadi link antara Exco dengan Board of Directors. Dalam kaitan ini, Executive Director akan melaporkan hasil pertemuan Board of Directors dalam pertemuan Exco. Secara keseluruhan, Term of Reference Exco yang disepakati terdiri atas tiga bagian utama yaitu (i) The Exco in the SEACEN Framework yang mengatur hubungan Exco dengan SEACEN Board of Governors, SEACEN Board of Directors, dan SEACEN Centre, (ii) Responsibilities of the Exco yang pada intinya mengatur peran Exco sesuai dengan kewenangan yang didelegasikan oleh SEACEN Board of Governors kepada Exco, dan (iii) Structure and Operation of the Exco yang mengatur chairmanship, representation, decision making process, dan meetings dari Exco.
62
Perkembangan Kerja Sama Internasional
Sementara itu, dalam pembahasan mengenai kriteria keanggotaan baru SEACEN, Exco membahas usulan kriteria yang diajukan SEACEN Centre dan rencana keanggotaan Brunei, Fiji, dan Pakistan. Para peserta sidang sepakat bahwa penerimaan anggota baru SEACEN tetap dilakukan secara case-by-case basis dengan mengacu kepada kriteria yang disepakati. Dalam kaitan ini, Bank Indonesia meminta SEACEN Centre untuk mengajukan usulan mengenai jenis keanggotaan SEACEN berikut kriterianya pada pertemuan Exco tahun mendatang. Mengenai rencana keanggotaan Brunei dan Fiji, disepakati bahwa penilaian atas rencana keanggotaan kedua negera tersebut akan dilakukan setelah kedua negara tersebut melakukan permohonan secara resmi. Sementara itu atas rencana keanggotaan Pakistan yang telah mengajukan permohonan secara resmi tidak tercapai konsensus karena Pakistan belum memperoleh rekomendasi minimal dari dua negara anggota, dan yang terlebih penting lagi, keanggotaan Pakistan dikhawatirkan akan merubah karakter dasar dari SEACEN.
Executives’ Meeting of East Asia Pacific Central Banks (EMEAP) Tingkat Deputi ke-23 di Bali, Indonesia Pada tanggal 19 Maret 2002 telah diselenggarakan EMEAP Deputies’ Meeting ke-23 di Bali, Indonesia dengan didahului EMEAP Workshop on Macroeconomic Impact of the New Basel Accord pada tanggal 18 Maret 2002. Dalam EMEAP Workshop dibahas topik tentang Macroeconomic Impact of the New Basel Accord, dan dihadiri oleh sebelas anggota EMEAP, yaitu Australia, Cina, Filipina, Hong Kong, Indonesia, Jepang, Korea, Malaysia, Selandia Baru, Singapura dan Thailand. Pembicara pada Workshop ini berasal dari Bank for International Settlements (BIS) yaitu Norman Chan, Deputy Chief Executive Hong Kong Monetary Authority. Beberapa kesimpulan yang bisa ditarik, yaitu: (i)
secara umum disepakati bahwa ketentuan New Basel Accord memberikan dampak positif dalam meningkatkan kinerja perbankan pada khususnya dan sektor finansial pada umumnya. Kesepakatan tersebut meliputi perbaikan Basel Accord I antara lain kepekaan yang lebih tinggi dalam mengukur risiko, khususnya risiko kredit, dan memberikan “fleksibilitas” bagi pengawas dalam menentukan kecukupan modal. Namun ketentuan tersebut bersifat internasional, tidak mengakomodasi kondisi negara-negara EMEAP, Perkembangan Kerja Sama Internasional
63
khususnya Asia sehingga menimbulkan permasalahan bagi bank dan pengawas serta mempunyai konsekuensi terhadap kondisi ekonomi makro; (ii) mengingat negara-negara EMEAP pada akhirnya harus mengimplementasikan New Basel Accord, diskusi ini banyak memfokuskan kepada persyaratan agunan khususnya agunan tanah/rumah yang tidak diakui oleh ketentuan baru dalam kaitannya dengan peran Small Medium Enterprises (SMEs) di Asia, serta penentuan waktu implementasi ketentuan tersebut; (iii) secara umum negara EMEAP menyetujui diperlukannya implementasi secara bertahap dan perlunya dilakukan beberapa penyesuaian terhadap ketentuan mengenai agunan tanah/ rumah yang digunakan oleh SMEs. Dalam EMEAP Deputies’ Meeting ke-23 yang dihadiri oleh sebelas negara anggota EMEAP, (Deputi Gubernur Bank Indonesia bertindak sebagai chairman), agenda yang dibahas meliputi: (i) Working Group Report on Existing Work and Initiatives, (ii) Recent Economic Developments dan (iii) Finding of the EMEAP Workshop on Macroeconomic Impact of the New Basel Accord Pada sesi pertama empat Working Group EMEAP, yaitu Bank Supervision, Payment and Settlement Systems, Financial Markets dan IT Expert Forum, melaporkan progres dari masing-masing Working Group. Disamping itu, pada sesi ini juga telah dilakukan pemilihan terhadap chairman dan vice-chairman untuk keempat Working Group. a.
Working Group on Bank Supervision melaporkan bahwa sampai saat ini belum terdapat progres yang berarti setelah pertemuan para Deputi terakhir bulan November yang lalu di Auckland, Selandia Baru tahun 2001, mengingat pertemuan Working Group on Bank Supervision baru akan diselenggarakan di Bali bulan Mei 2002 mendatang. Chairman dari Working Group yang baru adalah Bank Negara Malaysia setelah sebelumnya dipegang oleh Hong Kong Monetary Authority.
b.
Working Group on Payment and Settlement Systems melaporkan bahwa mereka telah menyelesaikan tugas pertama dan telah pula menghasilkan dan mempublikasikan laporan mengenai risiko nilai tukar di kawasan EMEAP pada bulan Desember 2001. Sementara itu, EMEAP Red Book akan selesai dalam beberapa bulan. Isu yang akan dibahas selanjutnya dalam Working Group adalah (i) mempublikasikan hasil dari kegiatannya, (ii) melanjutkan studi mengenai penurunan risiko penyelesaian devisa, dan
64
Perkembangan Kerja Sama Internasional
(iii) melanjutkan kegiatan payment and settlement risk. Chairman dari Working Group on Payment and Settlement Systems adalah Bank of Japan untuk jangka waktu dua tahun dengan Vice-Chairman adalah Reserve Bank of Australia. c.
Sementara itu, Chairman dari Working Group on Financial Markets yang baru adalah Hong Kong Monetary Authority dengan Bank of Korea sebagai Vice-Chairman setelah Chairman sebelumnya dipegang oleh Reserve Bank of Australia. Dalam laporan oleh Working Group on Financial Markets, para Deputi EMEAP sepakat atas usulan yang disampaikan oleh Hong Kong Monetary Authority dengan klarifikasi sebagai berikut : (i) surveillance merupakan core dari Working Group ini, (ii) frekuensi pertemuan adalah empat kali dalam setahun untuk Working Group dan dua kali setahun dari pertemuan forum diselenggarakan back-to-back dengan pertemuan Working Group, (iii) non-anggota hanya bertindak sebagai nara sumber dalam forum tukar pandangan.
d.
Working Group on IT Expert Forum melaporkan bahwa pertemuan pertama telah diselenggarakan di Tokyo bulan Februari 2002 dengan tuan rumah Bank of Japan. Dalam pertemuan diperoleh kesimpulan bahwa kendati dalam rangka efisiensi berbagai sistem dan proyeksi berada di luar bank sentral (outsource) namun critical system dan infrastruktur IT harus tetap berada di dalam bank sentral (in-house) dan saat ini sedang diupayakan untuk mengembalikannya ke bank sentral (in-house) dalam upaya mempertahankan kemampuan mengontrol. Pada sesi kedua (Recent Economic Development), para Deputi EMEAP menyepakati
tanda-tanda pemulihan ekonomi pada paruh kedua tahun 2002. Keyakinan ini berdasarkan pada dampak serangan 11 September yang lebih kecil daripada yang diantisipasi, rebound perekonomian Amerika Serikat yang solid, dan hampir selesainya koreksi terhadap nilai aset IT yang terkait dengan industri. selain itu, para Deputi juga membahas tentang : i)
perkembangan ekonomi regional; secara keseluruhan mencatat pertumbuhan yang lebih rendah pada tahun 2001 yang mencerminkan kondisi ekonomi global yang berlawanan. Beberapa negara kendati menunjukkan tingkat pertumbuhan yang lebih lambat tetap mengalami pertumbuhan tinggi dibandingkan dengan negara lainnya di kawasan, sementara sebagian besar lainnya mengalami pertumbuhan yang moderat dan sisanya masih mengalami kontraksi.
ii)
pertumbuhan ekonomi yang melambat; sebagian besar negara mendukung kebijakan progrowth atau kebijakan moneter yang longgar melalui penurunan suku bunga yang Perkembangan Kerja Sama Internasional
65
dikombinasikan dengan kebijakan fiskal yang ekspansioner dengan membiarkan defisit fiskal. Ekonomi di kawasan juga menerapkan structural adjustment baik di sektor keuangan, termasuk perbankan, dan sektor riil. Bahkan beberapa ekonomi menerapkan reformasi yang lebih besar melalui diversifikasi sehingga menjadikan broader based economy. iii) restruksturisasi perbankan; upaya-upaya telah dilakukan untuk menurunkan non-performing loans. Mengingat bahwa permasalahan sektor perbankan juga terkait dengan sektor korporasi, para Deputi EMEAP menyetujui bahwa untuk menjadikan restrukturisasi perbankan membuahkan hasil maka diperlukan pula restrukturisasi korporasi. iv) Inflasi dikawasan tetap rendah bahkan beberapa negara mengalami deflasi. v)
Outlook pada tahun 2002 diharapkan lebih baik dengan pertumbuhan ekonomi diperkirakan lebih tinggi seiring dengan perbaikan ekonomi dunia dan structural adjustment yang dilakukan di banyak negara.
vi) depresiasi Yen; para Deputi mengkhawatirkan dampak yang ditimbulkan pada perekonomian Asia lainnya, sehingga mempertanyakan strategi kebijakan nilai tukar Jepang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Para Deputi menunjukkan kehati-hatiannya bahwa nilai tukar seyogianya tidak digunakan untuk mengkompensasi dampak structural adjustment. Pada sesi berikutnya, dibahas temuan dari Workshop on Macroeconomic Impact of the New Basel Accord tanggal 18 Maret 2002, yaitu: (i)
Para Deputi EMEAP menyetujui pembentukan drafting group yang akan dipimpin oleh Simon Topping dari Hong Kong Monetary Authority yang akan bertugas menyusun paper berisikan komentar/tanggapan terhadap New Proposal, kekhawatiran-kekhawatiran terhadap New Proposal, serta rekomendasi yang diberikan.
(ii) Draft paper tersebut harus disampaikan kepada Working Group on Banking Supervision yang akan menyelenggarkan pertemuan di Bali pada bulan Mei 2002 mendatang. (iii) Draft yang telah direvisi tersebut akan dibagikan kepada para Deputi EMEAP (iv) Paper tersebut akan dibagikan kepada para Gubernur anggota EMEAP pada pertemuan di Malaysia bulan Juli mendatang. (v) Paper tersebut akan berlandasan perubahan terhadap Basel Accord.
66
Perkembangan Kerja Sama Internasional
KERJA SAMA PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL/INTERNASIONAL Konferensi Financing for Development di Monterrey, Meksiko Konferensi internasional mengenai Pendanaan bagi Pembangunan (Financing for Development) diselenggarakan di Monterrey, Meksiko pada tanggal 18-22 Maret 2002 dihadiri oleh 48 Kepala Negara/Pemerintahan dan sekitar 300 pejabat setingkat Menteri, para pimpinan lembaga internasional serta perusahaan multinasional dan lembaga swadaya internasional. Agenda acara dimulai dengan pembacaan statement oleh Presiden Meksiko, Vicente Fox sebagai President of the Conference; Secretary-General of the United Nations, Kofi Anan; President of the United Nations General Assembly, Han Seung-Soo; President of The World Bank, James D. Wolfensohn; Managing Director of the International Monetary Fund (IMF), Horst Kohler; dan Director-General of the World Trade Organization (WTO), Mike Moore. Acara dilanjutkan dengan mendengarkan statement dari seluruh delegasi. Secara umum pembicara-pembicara tersebut di atas menyatakan komitmennya untuk meningkatkan kerjasama dan bersatu memerangi kemiskinan (poverty) dengan target tingkat kemiskinan di dunia menurun menjadi setengahnya pada tahun 2015. Untuk mencapai target tersebut perlu ditingkatkan penyediaan dana kepada negara-negara miskin dan berkembang. Namun diingatkan bahwa agar penggunaan dana efektif diperlukan suatu kondisi yang mendukung di negara penerima seperti antara lain good governance, penegakan hukum, pemberantasan korupsi, dan liberalisasi perdagangan. Konferensi ditutup dengan pengesahan Konsensus Monterrey pada intinya berisi: i.
Adanya globalisasi dan semakin kuatnya saling ketergantungan antar negara menuntut suatu ikilm dan kerjasama internasional yang mendukung upaya pembangunan melalui peningkatan kerjasama dan kemitraan antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang.
ii.
Sebagai dasar peningkatan kerjasama dan kemitraan tersebut di atas, negara-negara berkembang perlu melakukan pembenahan dalam pengelolaan pembangunan dengan bertumpu pada pengerahan dan pemanfaatan sumberdaya domestik secara efektif, efisien dan berkesinambungan seraya memperkuat upaya penegakan hukum dan pemerintahan yang bersih, demokratis dan akuntabel.
iii.
Kesepakatan untuk meningkatkan upaya penyelesaian masalah utang luar negeri negara berkembang melalui penerapan prinsip burden sharing antara kreditur dan debitur, baik Perkembangan Kerja Sama Internasional
67
antar pemerintah maupun antar pemerintah dengan swasta. Mekanisme penyelesaian utang luar negeri dapat dilakukan melalui skema debt swaps. IMF dan World Bank diminta untuk mengkaji kemungkinan memanfaatkan ketersediaan SDR (Special Drawing Right) guna membantu keperluan pembiayaan pembangunan di negara-negara berkembang. Disamping itu, IMF dan World Bank juga diminta untuk mempertimbangkan debt relief dalam rekomendasi kebijakannya kepada negara penerima dana yang mengalami perubahan fundamental debt sustainability akibat adanya bencana alam, gejolak perdagangan atau konflik internal. Kebijakan debt relief juga direkomendasikan pelaksanaannya melalui Paris Club dan London Club dalam kerangka meningkatkan sumber dana yang diperlukan untuk mencapai sustainable growth and development. iv. Kesepakatan untuk meningkatkan koordinasi dan koherensi kebijakan di antara lembagalembaga internasional yang menangani bidang moneter, keuangan, perdagangan dan pembangunan. Dalam kaitan ini juga ditekankan perlunya meningkatkan partisipasi negara berkembang dalam proses pengambilan keputusan di berbagai lembaga internasional khususnya IMF dan World Bank. v.
Komitmen negara-negara maju untuk meningkatkan jumlah bantuan pembangunan kepada negara-negara berkembang. Presiden Amerika Serikat menyatakan rencananya untuk menganggarkan dana sebesar USD 5 milyar untuk 3 tahun ke depan. Perdana Menteri Spanyol selaku Presiden Uni Eropa (UE) menyatakan bahwa UE menganggarkan sekitar USD 8 – 10 miliar per tahun dalam jangka waktu 3 tahun. Namun demikian, ditegaskan oleh Amerika Serikat dan UE tentang adanya persyaratan bagi calon negara penerima bantuan, yaitu serius dalam memberantas korupsi, mendukung liberalisasi perdagangan dan investasi, menegakkan hukum, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, kesehatan dan pendidikan. Dalam kesempatan konferensi internasional tersebut terdapat pula beberapa side events
yang dilaksanakan secara pararel/simultan. Side events dimaksud merupakan pertemuan International Business Forum yang pada intinya membahas implementasi consensus Monterrey khususnya peranan sektor swasta. Dalam pertemuan tersebut didiskusikan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan arus dana swasta dari negara-negara maju ke negaranegara miskin dan berkembang dengan menciptakan beberapa mekanisme atau skim tertentu antara lain mekanisme pembiayaan utang, pengembangan jaringan informasi antar investor, pendanaan infrastruktur, dana restrukturisasi perusahaan, modal ventura dan kredit UKM.
68
Perkembangan Kerja Sama Internasional
Bagi Indonesia kiranya Konsensus Monterrey ini dapat dijadikan sebagai rujukan bagi perumusan kebijakan dan pelaksanaan pembangunan nasional yang lebih terpadu dan berkelanjutan, antara lain yang berkaitan dengan peningkatan langkah-langkah pembenahan tata pemerintahan, penegakan hukum, penguatan kelembagaan dan peningkatan efektifitas bantuan asing, sehingga dapat memulihkan kepercayaan masyarakat internasional khususnya negara dan lembaga kreditur dan kalangan investor. Namun demikian, diperlukan komitmen yang tegas dan usaha yang keras bagi pemerintah RI dalam mewujudkan hal tersebut di atas, terutama peningkatan koordinasi di dalam negeri, yakni antara pemerintah pusat-daerah, antar instansi/lembaga pemerintahan, dan antara pemerintah dengan lembaga legislatif (DPR). Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa pencairan bantuan/pinjaman luar negeri yang dikaitkan dengan performance yang dipersyaratkan dalam Letter of Intent (LOI) dan policy matrix yang memerlukan komitmen tingkat koordinasi yang baik pada semua pihak yang terkait.
INTEGRASI PEREKONOMIAN DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL Sidang APEC Economic Committee (EC) di Mexico City, Meksiko Pada tanggal 25-26 Februari 2002 telah diselenggarakan pertemuan Economic Committee (EC) APEC di Mexico City. Pertemuan dipimpin oleh EC Chair yang baru Dr. Choong Yong Ahn, Presiden dari Korea Institute of International Economic Policy (KIEP), dan dihadiri oleh para ekonom dari negara-negara anggota. Pertemuan pada hari pertama membahas tema APEC 2002 yang terkait dengan Economic Committee, yaitu APEC Tasking Statement, Economic Outlook, dan kajian mengenai manfaat dari Trade and Investment Liberalization Facilitation (TILF). Selanjutnya pada hari kedua, pertemuan membahas isu-isu Knowledge Base Economy (KBE), New Economy, dan aktivitas lain yang terkait dengan EC. Dalam APEC Tasking Statement, terdapat dua isu utama yang terkait dengan Economic Committee, yaitu (i) pengarahan para menteri agar EC melanjutkan kajian untuk implementasi rekomendasi KBE, serta (ii) komitmen Leaders untuk bekerja sama agar terorisme internasional tidak mengganggu kegiatan ekonomi dan pasar. Terkait dengan penugasan para menteri tersebut, EC telah memasukkan kajian-kajian terkait dengan KBE yaitu mengenai Knowledge Clearing House (KCH) website, Igniting Policies, dan KBE Indicators dalam program kerja tahun 2002. Sedangkan terkait dengan counter-terrorism, pertemuan membahas mengenai peranan EC untuk menindaklanjuti pernyataan para Leaders tersebut. Disepakati bahwa EC Perkembangan Kerja Sama Internasional
69
akan memfokuskan pada pelaksanaan program kerja yang telah ditetapkan untuk tahun 2002. Hal ini mengingat isu counter-terrorism tersebut sudah dan sedang ditangani melalui Finance Minister Process atau fora-fora lain, ataupun kajian-kajian mendalam mengenai hal tersebut seperti yang dilakukan oleh OECD. Dalam hal ini, EC akan bekerja sama dengan Finance Minister Process dan fora-fora lain apabila diperlukan. Dalam sesi Economic Outlook, khususnya mengenai isu Economic Performance and Prospect, EC Chair menjelaskan tentang template dan persiapan penyusunan APEC Economic Outlook 2002. Dikemukakan agar ekonomi anggota dapat menyampaikan template uraian dan serta perkembangan dan outlook ekonomi masing-masing negara sebelum 1 Mei 2002, mengingat draft awal economic outlook tersebut akan disampaikan pada Senior Official Meeting (SOM) II pada pertengahan Mei 2002. Updating data dan outlook masih dimungkinkan hingga laporan final disusun untuk disampaikan pada Deputies Meeting September 2002. Terkait dengan isu “Microbanking Regulation and Supervision in the Asia Pasific Region”, Meksiko menyampaikan bahwa progress penyusunannya telah mencapai banyak kemajuan dan sesuai jadwal. Selain itu, Meksiko juga menjelaskan mengenai persiapan simposium yang akan dilakukan tanggal 25-26 Juli 2002 di Mexico City. Terkait dengan hal tersebut, Indonesia menyampaikan bahwa cakupan kajian perlu diperjelas dengan memfokuskan pada fungsi intermediasi (simpanan dan kredit) dari microbanking untuk Usaha Kredit Menengah (UKM) meskipun dapat pula dikaitkan dengan perannya untuk pengentasan kemiskinan. Mengenai supervisi dan regulasi terhadap microbanking di beberapa negara berkembang pada umumnya masih relatif terbatas. Mengenai persiapan untuk penyusunan APEC Economic Outlook 2003, EC Chair meminta kesediaan ekonomi anggota untuk secara sukarela bertindak sebagai koordinator. Menanggapi hal ini, untuk Bab I APEC Secretariat akan membantu untuk pemrosesan template sehingga ekonomi anggota yang bertindak sebagai koordinator dapat memfokuskan pada penyusunan laporannya. Dalam hal ini, anggota diharapkan dapat lebih menjelaskan kebijakankebijakan yang ditempuh dalam uraian template tersebut, agar kandungan analisis kebijakan dalam economic outlook dapat lebih diperkaya. Sedangkan untuk Bab 2, Thailand sedang mempertimbangkan untuk bertindak sebagai koordinator meskipun tema untuk isu struktural yang akan diangkat dalam economic outlook tahun 2003 masih dalam proses perumusan. Apabila pada akhirnya tidak ada negara anggota yang bersedia menjadi koordinator, maka EC Chair akan bertindak sebagai koordinator.
70
Perkembangan Kerja Sama Internasional
Dalam konteks Trade and Investment Liberalization Facilitation, sebagai tindak lanjut dari Shanghai Accord, terdapat tiga proyek penelitian dalam program kerja EC tahun 2002 yang terkait dengan keuntungan dari TILF. Jepang melaporkan progres penelitian mengenai keuntungan dari fasilitas investasi dikawasan APEC dengan menggunakan Computable General Equilibrium (CGE) Model, dengan mencoba mengkuantifikasi aliran dan stock FDI antar negara, hambatan terhadap investasi, dan perilaku FDI. Korea melaporkan progres penelitian mengenai keuntungan dari fasilitas perdagangan dengan menggunakan hasil survei terhadap perusahaanperusahaan dikawasan APEC. Sementara itu, Kanada menyampaikan rencana penelitian mengenai fasilitas perdagangan yang terkait dengan custom, standard and conformance, dan mobilitas bisnis. Berkaitan dengan implementasi KBE, pertemuan membahas progress dari tiga program kerja yaitu KCH website, igniting policies, dan KBI indicators. Korea melaporkan progres pembangunan infrastruktur dan isi dari KCH website yang direncanakan akan diluncurkan sebelum AFMM bulan Oktober 2002. Kanada menyampaikan rencana KBE Task Force untuk beberapa menu igniting policies KBE, antara lain program-program kerjasama R&D, HRD assistance, long-term learning, fasilitasi e-commerce, dan promosi e-government dalam kawasan APEC. Sementara itu Australia melaporkan draft paper mengenai KBE indicators yang secara sukarela dan bertahap akan dimasukkan dalam laporan APEC Economic Outlook mulai tahun 2002, yang dikelompokkan ke dalam empat aspek yaitu lingkungan bisnis, infrastruktur Information, Communication and Technology (ICT), sistim inovasi dan pengembangan SDM. Dalam hal ini, Indonesia belum menyampaikan data-data untuk penyusunan KBI Indicator tersebut mengingat tidak semua data tersedia di Indonesia. Dalam pembahasan New Economy, terdapat empat proyek penelitian mengenai new economy dalam program kerja EC tahun 2002 yang dilaporkan dalam pertemuan dengan perkembangan sebagai berikut : a)
Australia melaporkan bahwa progress penelitian “Innovation in service Industries Including e-commerce” sesuai dengan jadwal, yaitu sedang diselesaikan analisis mengenai karakteristik dan pentingnya industri jasa dalam kawasan APEC. Selanjutnya penelitian akan melakukan analisis studi kasus dan merumuskan rekomendasi kebijakan yang dapat ditarik oleh negara anggota APEC.
b)
Kanada melaporkan bahwa bagian pertama dari penelitian “New Economy: Economic Growth in the Information Age” telah hampir menyelesaikan studi kasus di Kanada, yang Perkembangan Kerja Sama Internasional
71
pada intinya menyimpulkan bahwa produktivitas tenaga kerja pada sektor produksi ICT merupakan faktor utama dari peningkatan produktivitas ekonomi keseluruhan. c)
Jepang meminta masukan lebih lanjut dari hasil studi yang telah diselesaikan sebelumnya mengenai pentingnya kewirausahaan dalam new economy dikawasan APEC.
d)
Taiwan melaporkan hasil studi yang menarik mengenai “Transforming Digital Divide into Digital Opportunities” yang pada intinya membuktikan terjadinya kesenjangan IT yang semakin melebar antara negara maju dengan negara berkembang serta antara perusahaan besar dan kecil. Untuk itu, hasil studi merekomendasikan perlunya kebijakan untuk pengembangan infrastruktur, liberalisasi pasar, penurunan biaya transaksi, serta peningkatan capacity building dibidang IT. Selanjutnya, pertemuan juga membahas usulan penelitian untuk program kerja EC
tahun 2003. Dalam hubungan ini, Amerika Serikat mengusulkan kajian mengenai “Debt Restructuring Process in the APEC Economies”. Usulan ini didukung oleh banyak negara anggota, termasuk Indonesia, dengan pertimbangan pentingnya isu tersebut dan pelajaran kebijakan yang dapat ditarik untuk proses pemulihan ekonomi di banyak negara anggota APEC. Namun demikian, pertemuan mencatat pentingnya diadakan koordinasi dengan Ministerial Meeting Process agar dihindari kemungkinan overlapping dari cakupan pekerjaan dan untuk pembahasan rekomendasi kebijakan yang akan dihasilkan. Selain itu, Kanada mengemukakan beberapa topik kajian yang terkait dengan KBE dan KBE indicators, dan untuk itu diminta untuk menyampaikan usulan konkrit untuk disampaikan kepada negara anggota APEC. Usulan program kerja EC tahun 2003 tersebut akan dibahas lebih lanjut pada pertemuan EC pada SOM selanjutnya.
Sidang G-15 Expert Group di Kuala Lumpur, Malaysia Pada tanggal 26 Februari 2002 telah diselenggarakan Sidang G-15 Expert Group on Reform of the International Financial Architecture di Kuala Lumpur, Malaysia. Sidang ini dipimpin oleh Deputi Gubernur Bank Negara Malaysia (Dato’ Huang Sin Cheng) dan dihadiri oleh 19 peserta dari 17 negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Tujuan Sidang adalah untuk menyampaikan dan menyamakan persepsi di antara negaranegara G-15 yang mewakili kelompok G-77 mengenai isu-isu yang berkaitan dengan topik di atas. Sidang ini merupakan tindak lanjut dari sidang Pemimpin Negara G-15 ke-sebelas di
72
Perkembangan Kerja Sama Internasional
Jakarta (30-31 Mei 2001). Walaupun telah banyak kemajuan yang dicapai dalam upaya mereformasi International Financial Architecture (IFA), namun hal-hal yang terkait dengan kepentingan negara-negara berkembang masih terbatas. Oleh karena itu, agar suara kelompok negara berkembang lebih didengar pada berbagai forum internasional maka negara G-15 perlu untuk menyelenggarakan Sidang tersebut. Hasil sidang ini selanjutnya akan dilaporkan kepada para Pemimpin Negara G-15 dan Menteri Luar Negeri dalam pertemuan Summit G-15 pada bulan Juli 2002 mendatang. Materi yang dibahas dalam sidang meliputi 5 isu utama, yaitu (i) transparency dan standards dan codes; (ii) capital flows, (iii) reform of the international financial institution, (iv) highly leverage institutions; dan (v) poverty reduction. Uraian singkat dari masing-masing topik adalah sebagai berikut: (i)
Transparency dan Standards dan Codes Sidang mengakui adanya peningkatan kepentingan dan kemajuan dalam upaya peningkatan transparency dan pemenuhan standards dan codes yang memenuhi kriteria internasional dalam rangka memelihara stabilitas keuangan internasional dan mencegah terjadinya krisis. Bagi pelaku pasar, transparency penting karena data dan informasi yang diperoleh merupakan landasan untuk mengurangi kesenjangan dalam pencapaian progres serta untuk meningkatkan kepentingan negara-negara berkembang yang belum sepenuhnya memperoleh perhatian dunia internasional. Kesenjangan informasi ini terjadi terutama antara sektor pemerintah dan swasta, dimana sektor pemerintah telah banyak dituntut agar lebih terbuka. Selanjutnya dengan semakin pentingnya capital flows maka kepada sektor swasta juga dituntut keterbukaan yang lebih besar. Mengenai standard dan codes yang berlaku secara internasional, dengan adanya perbedaan tingkat pembangunan, struktur sektor keuangan dan kapasitas insitusional pada masing-masing negara, maka standard dan codes disarankan untuk tidak dimasukkan sebagai conditionality International Financial Institution (IFI). Selanjutnya, diharapkan adanya bantuan teknis bagi negara-negara berkembang sehingga dapat segera memenuhi standard dan codes yang berlaku secara internasional.
(ii) Capital Flows Sidang memandang perlunya pengelolaan risiko yang berkaitan dengan capital flows agar dapat diperoleh manfaat yang optimal. Dalam hal ini, Sidang berpendapat bahwa kebijakan Perkembangan Kerja Sama Internasional
73
perekonomian dalam negeri memegang peranan penting. Namun, hal ini juga perlu didukung dengan surveillance pada tingkat global. Sidang selanjutnya menekankan perlunya aturan internasional agar sistem keuangan dunia dapat berfungsi secara efisien. Dalam kaitan ini, Sidang merekomendasikan beberapa hal antara lain peningkatan global framework untuk memelihara stabilias keuangan dunia, peningkatan peran surveillance oleh IFIs, pemberian technical assistance dan peningkatan kerja sama melalui berbagai forum, termasuk kelompok negara-negara berkembang. (iii) Highly Leverage Institutions (HLIs) Sidang mendukung pelaksanaan inisiatif-inisiatif baru terutama yang berasal dari Financial Stability Forum (FSF), BIS dan kelompok sektor swasta untuk mengatasi risiko sistematik yang ditimbulkan oleh kegiatan HLIs, termasuk hedge funds. Sidang berpendapat bahwa perkembangan industri HLIs dewasa ini perlu diwaspadai kerena berpotensi menimbulkan risiko sistemik, mengancam stabilitas pasar keuangan dunia, dan mengurangi perlindungan bagi investor. Berkaitan dengan hal tersebut, Sidang merekomendasikan agar HLIs dikenakan kewajiban antara lain pelaporan dan disclosure, penerapan manajemen risiko, dan praktek dealing yang benar. (iv) Reform of the International Financial Institution Pembahasan Sidang difokuskan pada upaya reformasi IMF, terutama menyangkut aspek kuota, peningkatan likuiditas, fasilitas pinjaman, conditionality, dan keterlibatan swasta dalam mencegah dan mengatasi krisis. Sidang berpendapat bahwa diperlukan pembagian kuota yang lebih seimbang bagi negara-negara berkembang. Likuiditas IMF perlu ditingkatkan agar IMF dapat memenuhi kebutuhan anggotanya dengan segera. Mengenai penggunaan dana IMF yang berkepanjangan, Sidang berpendapat bahwa dalam memutuskan penggunaan dana tersebut, IMF perlu mempertimbangkan keadaan masingmasing negara. Mengenai conditionality, Sidang menyatakan perlunya tanggung jawab bersama antara pemerintah dan IMF atas suatu program IMF. Berkaitan dengan keterlibatan sektor swasta, Sidang menyambut baik usulan IMF mengenai sovereign debt-restructuring namun masih ada beberapa catatan, seperti masalah hukum dan politik sebelum usulan tersebut dapat diterapkan. Dalam hal terjadinya krisis dan kaitannya dengan lalu lintas modal, Sidang memandang perlu keterlibatan sektor swasta, termasuk dalam upaya restrukturisasi utang.
74
Perkembangan Kerja Sama Internasional
(v) HIPC and Poverty Issues Sidang mengakui pentingya fasilitas PRGF dalam membantu negara miskin untuk mencapai stabilitas finansial dan memerangi kemiskinan. Sidang menekankan agar persyaratan PRGF disederhanakan agar lebih banyak negara yang dapat memanfaatkan fasilitas tersebut.
Perkembangan Kerja Sama Internasional
75
ARTIKEL
A. FOSTERING SUSTAINED GROWTH By : Achjar Iljas1
RECENT ECONOMIC RECESSION The development of the global economy, which has marked its downturn towards the end of 2000, has brought adverse effects across the globe. Induced by economic policies directed to prevent economic overheating, particularly in the US and Europe, the major developed countries experienced a sharp economic downturn that has led to decreasing consumer and business confidence and widening unemployment. The slowdown has spread to developing economies in the form of deteriorating external sector due to the drop of overseas demand that has pushed commodity prices lower, and the significant decline in foreign investment. Furthermore, flight-to-quality capital outflows triggered by increased risks have put additional pressure on some emerging economies. For the EMEAP countries, while the global economic slowdown undoubtedly posed economic setbacks, the extent of the impact varied across countries. Commonly, the slowdown has major bearings on the member countries’ external balance, mostly the export growth and foreign investment. However, each country reacted specifically since economic structure and the strength of economic fundamentals vary across countries. In countries with relatively less exposure to external developments such as China, growth remains strong. In the more open countries, such as Singapore and Japan, weaker external demand had seriously hampered exports resulting in much weaker growth or even contractions. In the mean time, as the slowdown exposed more risks, flight-to-quality capital flows have driven foreign investors away from some emerging economies in the region, which in turn put a strain on the balance of payments. As a result, a number of economies have been relying on domestic spending for growth, including eased monetary policy and increased government expenditure, taking into account the existing
1
Deputy Governor of Bank Indonesia
76
Artikel
fundamentals. In some economies whereby structural problems remain to be solved such as bank restructuring and non-performing loans, the challenge they face are obviously more complex. Similarly, the Asian countries, especially those hit by the 1997 economic crisis, are not spared by the adverse external environment which has hampered economic recovery as external demand played important role in these economies. Nevertheless, the structural reform programs that have been initiated before the start of last year’s economic slowdown have helped these countries strengthened their resilience. Recent developments, however, have cast light of recovery. Early signs of economic rebound in the northern hemisphere, such as regaining consumer confidence and increasing retail sales, have raised some optimism in the Asia Pacific region, most notably through the return of export growth. Apparently, the quick policy response in the form of a series of interest rate cuts by most developed countries and some emerging economies last year has helped create the needed environment for economic recovery. While we should welcome the emerging positive signs, at this juncture we should not feel complacent until we are confident that the recession has really bottomed out. Moreover, question remains as to the speed of the recovery, and more importantly the sustainability of the returning growth. Sustained growth is needed to preserve and augment the welfare of nations worldwide.
CHALLENGES FOR SUSTAINING ECONOMIC GROWTH The path to foster sustained growth is unlike a toll-free road as there are numerous challenges ahead. While globalization and integration have its noticeable advantage for the world economy, the downside risk remains. The global interconnection have allowed for an extensively free mobility of capital flows that help speed up economic progress worldwide. However, the easy reversibility of capital flows may create serious risk to an economy. Large amount of capital outflow driven by either real economic distress or mere negative sentiment have proven to be able to create a major setback on a country’s economy which will in turn threaten the sustainability of growth. Recent external developments have become a true test for an economy’s resilience as well as the effectiveness of the world’s economic system. Apparently, the recent economic slowdown has led to economic difficulties for most economies around the globe. It is appreciable
Artikel
77
though that the fair economic practice was still maintained as the slowdown was not followed by protectionism. In the mean time, serious attention must be placed on the development of the world currencies. The depreciative trend of yen, for instance, most likely affects the performance of the Asian currencies, especially for the economies which exports compete with those of Japan. Obviously the fluctuations of the world major currencies will affect the stability of the EMEAP country’s currencies. Domestically, challenges lay in both fundamental and structural aspects. The formula for establishing sound macroeconomic fundamentals would be unique for each economy as the characteristic varies. Furthermore, as structural problems have proven to create a serious hurdle for an economy’s resilience and for growth to be sustainable, structural adjustments in both financial real sector needs to be completed. High amount of debt and structural problems ranging from banking to legal system and political stability are among the factors that impinge a sustainable growth. Additionally, there may be a more subtle indication of inhibiting problems The disconnection between real and financial developments is to name one. The quick rebound of equity prices after the September 11 attack suggests investor’s optimism of an earlier and stronger recovery than may actually represented by the indicators of real economic development. Furthermore, whereas consumer confidence may be expected to increase demand, excess capacity seems likely to limit investment, while on the other hand the banking system may not be as resilient as they appear to be due to their limited capacity to absorb losses. Therefore, the synergy of measures in both structural and fundamental aspects would play an important role in enhancing the resilience and ensuring a sustained growth.
WHAT IS REQUIRED FOR SUSTAINED GROWTH? Fostering sustained growth takes comprehensive efforts in more ways than one, and require measures stem from national and international level. With the challenge of globalization and integration that carries the risk of capital flows reversibility, it is crucial to make efforts to create symmetric risks between creditor / investors and the recipient country so as to reduce moral hazards. The recent series of interest rate cuts by most developed countries and some emerging countries as the policy response to the recent economic setback has created a good environment for recovery. However, the positive development should be taken into account cautiously. The movement of the world major currencies should be closely monitored so as to enable a quick
78
Artikel
and appropriate policy to maintain financial stability in the Asia Pacific region. Not less important is the commitment not to apply protectionism as it would inhibit the process of recovery. Furthermore at the national level, responsibility lays on each country to strive for sound economic fundamental and keep structural reform in progress in both financial and real sector. Appropriate macroeconomic policies tailored to suit each country’s specific character will facilitate a more sustained growth. Reliable financial system is important to support the effectiveness of these policies. Consequently, it is necessary to develop and deepen the financial market as well as maintain the market liquidity. Well-established and resilient economic infrastructures, such as sound financial institutions and well developed financial markets, reliable legal system and sufficient technology will facilitate a more sustained growth. Those aspects, plus a stable domestic environment ranging from social politics and national security to natural preservation will help maintain consumer and business confidence which is necessary to push a country’s economy steadily back up. Additionally, a good risk management of capital flows will increase the resilience towards external developments. Reinforcing domestic-driven growth would also be beneficial to reduce an economy’s vulnerability to unfavorable external developments. International measures would also play important role in fostering sustained growth. International surveillance such as performed under IMF Article IV, financial sector surveillance sponsored by APEC and surveillance on capital flows initiated by South East Asian Expert Group are among the surveillance efforts that help sustain sound economic growth. Regional cooperation such as conducted within EMEAP framework is a good forum for exchanging views and learning lessons from member countries’ experiences. Early warning system developed from these experiences should be able to prevent crisis and ensure a more sustained growth. In addition, it is also important to establish a sound international financial architecture. The elements of transparency, international standard and codes, capital flows, private sector involvements, etc. are expected to allow for a stable world financial system and in turn help maintain a steady economic growth.
WAY FORWARD Drawing lessons from the recent economic slowdown, the global interlink leave a country vulnerable to any external developments. While the impact varies depending on the economic structure and the strength of economic fundamentals, most countries have the capability to pick
Artikel
79
up from the early signs of global economic upturn. Nevertheless, the sustainability of the returning growth is not yet assured. The EMEAP economies are fully aware of the need to maintain sustained growth. Facing the various challenges, the endeavor calls for determined efforts both at the national and regional / international levels. As part of the endeavor, the coming workshop and meeting of EMEAP Deputies on Denpasar, Bali on March 18-19, 2002 aims to strengthen measures to foster a more sustained growth within the Asia Pacific region and represent concerted efforts to reinforce regional cooperation among central banks and monetary authorities within the region. The forum would be an excellent venue to exchange views on the global situation and the appropriate policy response at regional and international level that would respond to the challenges under the changing global environment. The cooperation includes efforts to explore ways and means to promote crisis prevention and resolution measures. The preceding workshop on the macroeconomic impact of the new Basel Accord would be a valuable contribution. Furthermore, technical assistance that incorporates crucial subjects such as risk management of capital flows would be a constructive contribution as well. All of these measures would contribute to fostering sustained growth.
80
Artikel
B. MELEMAHNYA YEN SERTA DAMPAKNYA TERHADAP EKONOMI ASIA1 Oleh : Christine Henny Lydia Pepah2
TREND NILAI TUKAR YEN Sepanjang tahun 2001 hingga awal tahun 2002 nilai tukar yen terus mengalami kecenderungan depresiasi. Pada akhir Januari 2002 nilai tukar yen telah mencapai 135.20 per US dollar atau mengalami depresiasi sekitar 15% apabila dibandingkan dengan level pada akhir tahun 2002. Kendati demikian, nilai tukar yen sempat mengalami koreksi (rebound) dan mencapai 128.56 per US dollar pada 12 Maret 2002. Mencermati berbagai perkembangan yang terjadi sepanjang tahun 2001, tercatat dua periode di mana nilai tukar yen mengalami depresiasi atau anjlok secara signifikan; yakni periode Maret hingga April 2001 dan Desember 2001. Dalam kedua periode tersebut, yen melemah kurang lebih 10 yen terhadap US dollar. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terdepresiasi yen secara cukup tajam dalam kedua periode tersebut. Faktor yang cukup berperan besar adalah pelonggaran kebijakan moneter. Namun, selain itu ekspektasi pasar juga sangat menentukan terdepresiasinya yen tersebut, yakni: prakiraan terhadap kemungkinan semakin memburuknya kondisi ekonomi Jepang, (ii) tekanan penyesuaian neraca (balance sheet adjustment) di sektor korporasi dan kekhawatiran terhadap semakin memburuknya sistem keuangan, serta (iii) dugaan kuat bahwa otoritas ekonomi Amerika Serikat akan mentolerir terderpresiasinya yen. Dalam kedua periode tersebut, otoritas moneter –yang dilaksanakan oleh Bank of Japan— secara aktif melakukan intervensi di pasar valuta asing, yang tampaknya ditujukan guna mencegah kemungkinan terjadinya “dollar crash” paska tragedi 11 September di Amerika Serikat. Kendati demikian, tidak terdapat cukup bukti bahwa Bank of Japan melakukan intervensi untuk membuat yen semakin melemah. Melihat intervensi di pasar valuta asing yang dilakukan otoritas moneter Jepang di masa lalu, terdapat kecenderungan pola “asimetri” yang dapat diobservasi, yakni ketika yen 1
Disarikan dari tulisan Masayuki Matsushima (Bank of Japan)
2
Mahasiswi, International Business Administration (IBA) Program, Universitas Sam Ratulangi, Manado, Peserta Praktek Kerja Lapangan di Bagian Studi Ekonomi dan Lembaga Internasional, Direktorat Riset Eonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Nanang Hendarsah (Peneliti Ekonomi Yunior di Bagian Studi Ekonomi dan Lembaga Internasional, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia) yang telah membantu memberikan masukan dan editing dalam proses penyusunan artikel ini.
Artikel
81
terapresiasi, otoritas moneter melakukan intervensi secara lebih aktif daripada ketika yen terdepresiasi, dan hal ini mungkin dapat dipandang sebagai suatu kecenderungan atau “policy bias” yang mengarah pada melemahnya yen. Namun dengan mencermati perkembangan nilai tukar yen dalam 20 tahun terakhir, yaitu sejak diberlakukannya regim “free float” pada tahun 1973 sampai tahun 1995, nilai tukar yen terus terapresiasi dengan lonjakan-lonjakan yang tajam, kendati terdapat beberapa periode pendek di mana yen terdepresiasi. Dengan melihat perspektif waktu yang panjang tersebut, maka menjadi suatu hal yang wajar apabila otoritas moneter melakukan intervensi dengan menjual yen daripada membeli yen, yaitu untuk meredam lonjakan tajam atau “sharp swing” di pasar.
DAMPAK MELEMAHNYA YEN TERHADAP PEREKONOMIAN JEPANG Terdepresiasinya yen sepanjang tahun 2001 dapat membawa pengaruh positif terhadap perekonomian Jepang. Beberapa pengaruh positif tersebut antara lain: (i) meningkatnya keuntungan yang dapat diraih perusahaan pengekspor, (ii) pertumbuhan ekonomi yang bersumber dari naiknya ekspor, dan (iii) dampak terhadap harga yaitu berkurangnya tekanan “deflasi” . Pada tingkat tertentu, dampak positif ini akan bergantung pada beberapa faktor seperti struktur ekonomi (ketergantungan terhadap ekspor, dsb) dan perilaku perusahaan (corporate behavior). Dalam tahun-tahun terakhir ini, melemahnya yen dipandang tidak akan memberikan pengaruh positif yang besar terhadap perekonomian secara keseluruhan karena apresiasi yen pada sebagian tahun 1980-an telah membawa perubahan signifikan terhadap struktur perekonomian dan perilaku perusahaan di Jepang. Secara terperinci dapat dijelaskan sebagai berikut:
Dampak Terhadap Laba Perusahaan Ekspor/Impor Pada umumnya sebagian besar harga ekspor dan impor adalah dalam US dollar, sehingga melemahnya yen akan meningkatkan laba perusahaan pengekspor yang didenominasi dalam yen. Di sisi lain, melemahnya yen mengurangi laba perusahaan pengimpor, kecuali apabila mereka dapat membebankan harga impor yang tinggi ke harga jual di dalam negeri. Dalam skala makro, Jepang secara berkelanjutan menikmati surplus perdagangan, sehingga laba yang lebih besar yang diraih perusahaan pengekspor akan mengimbangi rendahnya laba yang diraih perusahaan pengimpor, yang pada gilirannya dapat meningkatkan tingkat keuntungan perusahaan Jepang secara keseluruhan.
82
Artikel
Kendati demikian, dampak sesungguhnya dari keuntungan perusahaan tersebut akan tergantung pada seberapa banyak perusahaan melakukan lindung nilai (hedging) perkiraan pendapatan dan pengeluaran dalam valuta asing (kebanyakan dalam US dollar). Semakin besar jumlah yang harus dilindung nilai, semakin sedikit peningkatan keuntungan yang dapat diraih dari melemahnya yen, setidaknya dalam jangka pendek.
Dampak Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Jepang Depresiasi yen akan meningkatkan keuntungan ekspor dan memberi ruang bagi perusahaan pengekspor untuk mengurangi harga ekspor mereka yang di-denominasi dalam mata uang asing (sehingga menghasilkan daya saing lebih baik). Pada dasarnya, harga ekspor yang lebih rendah cenderung bermuara pada tingginya volume ekspor. Sementara itu, melemahnya yen akan mengurangi laba perusahaan pengimpor dan pada akhirnya memaksa mereka untuk menaikkan harga penjualan dalam negeri. Hal ini pada gilirannya dapat mengakibatkan penurunan permintaan volume impor. Dengan demikian net effect dari melemahnya yen adalah meningkatnya real net export dan kemudian mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi di mana besarnya pertumbuhan akan bergantung pada sumbangan net export terhadap PDB. Namun, dampak kuantitatif dari meningkatnya net export akan tergantung pada beberapa faktor seperti: kecepatan penyesuaian volume perdagangan terhadap perubahan fluktuasi nilai tukar dan derajat substitusi (relative substitutability) dari barang yang diperdagangkan. Pengalaman historis dan berbagai simulasi memperlihatkan bahwa dalam kasus Jepang, dampak dari pergerakan nilai tukar terhadap volume perdagangan, tidak seperti yang umumnya diperkirakan. Sebagai contoh, perhitungan model ekonometrik oleh Bank of Japan (BOJ) memperlihatkan bahwa 10% depresiasi yen berdampak positif sekitar 0,1% terhadap pertumbuhan PDB tahun pertama, dan hanya sekitar 0,3% selama tahun kedua saat terjadi penyesuaian volume. Tentu saja hasil dari model perhitungan tersebut harus diartikan dengan hati-hati, karena hanya mengandalkan data historis dengan latar belakang struktur ekonomi yang ada. Secara umum, kajian tersebut menyimpulkan bahwa dampak melemahnya yen terhadap pertumbuhan ekonomi Jepang sangat minim. Salah satu alasan mengapa perubahan nilai tukar tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap volume perdagangan kemungkinan akibat dari meningkatnya ekspansi investasi dan produksi oleh perusahaan Jepang di luar negeri. Selama periode melemahnya Artikel
83
yen pada akhir tahun 1980-an, banyak perusahaan terkemuka di Jepang (khususnya pada sektor perlengkapan listrik dan otomotif) melakukan penanaman modal besar-besaran di luar negeri dan mengalihkan banyak fasilitas produksinya ke negara-negara lain. Hasilnya, sebagian besar dari hasil ekspor perusahaan-perusahaan tersebut secara permanen disubstitusi oleh produksi lokal dari cabang perusahaan Jepang di luar negeri. Bahkan, peningkatan dalam divisi produksi secara horisontal telah meningkatkan volume ekspor atau “reverse import” ke Jepang. Perusahaan-perusahaan ini mengalami kesulitan dalam menyesuaikan volume perdagangan untuk mengambil keuntungan dari melemahnya yen secara cukup tajam. Selama mereka menganggap melemahnya yen sebagai suatu fenomena sementara, perusahaan-perusahaan ini diperkirakan tidak akan mengurangi kegiatan produksi di luar negeri secara signifikan.
Dampak Terhadap Harga (Laju Inflasi) Telah diuraikan di atas bahwa depresiasi yen akan memicu peningkatan harga di dalam negeri melalui peningkatan harga impor. Seperti halnya dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi, dampak dari melemahnya yen terhadap harga atau laju inflasi tergantung pada berbagai faktor. Sebagai contoh, apabila “J Curve Effect” sangat kuat, maka akan terjadi peningkatan defisit perdagangan nominal secara temporer, yang pada gilirannya akan mengakibatkan penurunan permintaan domestik, dan selanjutnya akan meng-offset tekanan (naik) atas harga. Seberapa besar perusahaan importir dapat mengalihkan kenaikan dalam harga impor ke harga domestik, juga akan bergantung pada trend permintaan domestik dan kekuatan daya saing. Dalam kasus ini, model ekonometrik Bank of Japan memperlihatkan bahwa depresiasi yen sebesar 10% berdampak kurang dari 0,1% terhadap kenaikkan harga konsumen selama tahun pertama, dan 0,1% selama tahun ke dua. Perlu dicatat di sini adalah terjadinya kemajuan pesat globalisasi dalam satu dekade terakhir yang secara implisit dan eksplisit menghadapkan perusahaan-perusahaan Jepang pada suatu mega-kompetisi dalam skala global. Dalam konteks ini, harga domestik cenderung konvergen menuju harga global, dan perusahaan-perusahaan lokal di Jepang mengalami penurunan kemampuan untuk mempengaruhi harga domestik. Tidak dapat dipungkiri bahwa harga domestik di Jepang masih lebih tinggi dibandingkan dengan harga internasional. Perbedaan atau “discrepancy” ini telah berlangsung dalam waktu yang lama walaupun telah ada keterbukaan pasar dan berbagai kebijakan liberalisasi. Hal ini
84
Artikel
karena “main bank system” terus ‘mengikat’ perusahaan-perusahaan untuk melaksanakan transaksi “keiretsu”. Namun demikian, sejak paruh kedua tahun 1990-an, telah terjadi ekspansi yang cepat dalam bentuk pengalihan penggunaan sumber daya dalam negeri ke sumber daya impor yang lebih murah (import substitution). Dua faktor penyebab pengalihan ini adalah: (i) industrialisasi yang cepat di Asia, dan (ii) semakin mudahnya memperoleh informasi melalui komputerisasi global dan meluasnya jaringan internet. Kecenderungan ini menyebabkan berkurangnya tekanan terhadap harga konsumen di dalam negeri Jepang dari harga barang impor. Salah satu penelitian mengungkapkan bahwa 70%–80% dari penurunan pada Consumer Price Index (CPI) saat ini berhubungan dengan competitive imports. Dengan berlanjutnya tekanan global tersebut ketidaksesuaian antara harga dalam negeri dan harga internasional semakin menipis dan dorongan terhadap harga konsumen yang timbul akibat melemahnya yen menjadi semakin terbatas. Upaya untuk mempercepat ketidaksesuaian tersebut juga dapat dicapai melalui antara lain: rasionalisasi perusahaan, merombak struktur industri, dan pengalihan produksi pada barang-barang di mana Jepang memiliki keuntungan “comparative”.
DAMPAK MELEMAHNYA YEN TERHADAP PEREKONOMIAN ASIA Terdepresiasinya yen dapat berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi di negaranegara Asia melalui beberapa cara. Untuk mengarah langsung pada kesimpulan, dampak terdepresiasinya yen terhadap ekonomi Asia akan berbeda secara kualitatif dan kuantitatif, tergantung pada berbagai kondisi yang ada.
Dampak Terhadap Pasar Valuta Asing dan Daya Saing Dampak dari melemahnya yen terhadap mata uang di negara-negara Asia akan tergantung pada sistim nilai tukar yang dianut oleh negara tertentu, apakah floating atau fixed, dan hubungan dagang dengan Jepang, apakah “subtitute atau supplement”. Selain itu, dampak tersebut juga akan tergantung pada persepsi pasar yang muncul seperti yang terjadi di masa lalu, idiosyncratic nature dari mata uang masing-masing negara (misalnya tingkat deviasi dari equilibrium pasar sebelum melemahnya yen), sistim keuangan, dan posisi eksternal negara yang bersangkutan. Artikel
85
Banyak negara-negara Asia memberlakukan floating exchange rate setelah krisis. Fluktuasi dari nilai tukar dari mata uang negara-negara Asia ini pada dasarnya menggambarkan posisi ekternal dan kekuatan ekonomi masing-masing. Melemahnya yen yang berawal pada tahun 2000 adalah akibat dari faktor-faktor yang khususnya terjadi di Jepang, seperti stagnasi perekonomian Jepang dan ketidakstabilan sistim keuangan yang menyebabkan keterlambatan dalam menghapus non-performing loans. Secara umum, berbagai faktor di dalam negeri Jepang tersebut hanya memiliki dampak kecil terhadap mata uang Asia. Sementara itu, hubungan antara yen dan mata uang di Asia adalah merupakan mekanisme ekonomi yang alami melalui hubungan dagang dengan Jepang. Sebagai contoh, jika depresiasi yen memperkuat daya saing ekspor Jepang dan mempengaruhi ekspor negara-negara lain di Asia, maka merupakan sesuatu yang alami apabila mata uang negara-negara Asia juga akan melemah dalam nilai sama. Selama ekspor negara-negara Asia tidak hanya berupa barang yang sepenuhnya dapat substitutable penuh dengan ekspor Jepang, tingkat melemahnya mata uang negara-negara Asia (terhadap mata uang lain selain yen, dan khususnya terhadap USD), akan lebih kecil dibandingkan dengan melemahnya yen. Data terakhir memperlihatkan bahwa mata uang negara-negara Asia memang bergerak menurut mekanisme ini dan perubahan dalam bentuk effective rates-nya (atas dasar sekeranjang mata uang) lebih kecil. Melemahnya nilai tukar yang sejalan dengan logika ekonomi dapat dilihat sebagai penyesuaian yang alami dan wajar menurut floating exchange rate. Tidak ada alasan untuk diyakini bahwa melemahnya nilai tukar akan menyebabkan larinya modal atau menyulut krisis mata uang. Saat ini mayoritas negara-negara Asia memiliki cadangan devisa yang terus meningkat, dan apabila mereka mengurangi akumulasi cadangan devisanya (atau jika otoritas moneter tidak lagi menjual mata uangnya sendiri untuk memperoleh USD), maka hal tersebut secara logika dapat meyebabkan mata uangnya terapresiasi. Fakta membuktikan bahwa pergerakan nilai tukar yang sejalan dengan mekanisme floating system tidak menimbulkan kekhawatiran berarti. Terdapat beberapa negara masih mematok (peg) mata uangnya terhadap USD (RRC, Hongkong, dan Malaysia). Melemahnya yen telah menyebabkan menguatnya mata uang mereka terhadap yen dan dengan sendirinya menaikkan nilai tukar efektif riil-nya. Sebagai akibatnya, beberapa dampak terhadap ekspor tidak dapat dihindari. Tetapi, apabila melihat trend jangka panjang, level nilai tukar efektif riil mata uang RMB (RRC) saat ini tidaklah lebih tinggi dibandingkan pada sekitar tahun 1998, dan mata uang MYR (Malaysia) masih cukup rendah dibandingkan level saat
86
Artikel
sebelum krisis. Selain itu, negara-negara ini menerapkan patokan (peg) terhadap mata uangnya karena menilai bahwa dalam sistem nilai tukar peg, manfaat jangka panjang yang diperoleh dari stabilitas nilai tukar lebih besar dari ongkos yang ditimbulkan dari fluktuasi nilai tukar real effective. Oleh karena itu, tidaklah tepat untuk menyimpulkan bahwa negara-negara ini menanggung ongkos tertentu hanya karena melemahnya yen dalam beberapa tahun terakhir.
Dampak Terhadap Penanaman Modal Melemahnya yen akan membawa dampak lain terhadap perekonomian Asia selain terhadap nilai tukar, perdagangan, dan daya saing ekspor seperti diuraikan di atas. Misalnya, melemahnya yen akan memberikan sedikit insentif bagi perusahaan Jepang untuk melakukan investasi langsung di negara-negara Asia. Namun, investasi langsung pada dasarnya juga dipengaruhi oleh trend nilai tukar jangka menengah dan panjang. Selama perusahaan-perusahaan Jepang tidak menganggap melemahnya yen saat ini sebagai gejala permanen, kemungkinan tidak akan ada trend penurunan ekspansi produksi di luar negeri dalam jangka panjang. Sebagaimana telah diuraikan di atas, perekonomian Jepang tengah berada dalam proses penyesuaian struktural dalam merespon mega-kompetisi, di mana perbedaan atau ketidaksesuaian antara harga dalam negeri dan harga internasional harus dipersempit. Tekanan-tekanan ini tampaknya tidak mempengaruhi perusahaan-perusahaan Jepang untuk mengurangi produksi luar negeri mereka. Berkurang atau tidaknya investasi dari Jepang ke negara-negara di Asia tidak hanya tergantung pada melemahnya yen. Faktor penting lainnya adalah persaingan dengan negara lain di Asia sebagai tujuan investasi. Ketika perusahaan-perusahaan Jepang melakukan investasi di wilayah Asia, mereka tidak hanya mencari cost competitiveness (baik biaya investasi terhadap fixed maupun liquid asset, dan biaya operasional termasuk upah dan gaji), tapi juga mempertimbangkan potensi sumber lokal untuk suku cadang dan komponen, potensi pertumbuhan konsumsi pasar dalam negeri, dan kondisi infrastruktur bisnis (termasuk sistim akuntansi dan hukum serta tingkat kebebasan transaksi modal). Karena itu terlalu cepat untuk menyatakan bahwa melemahnya yen sebagai penyebab berkurangnya investasi Jepang di beberapa negara, di mana penurunan investasi ini bisa saja hanya suatu kebetulan semata.
Artikel
87
Dampak Konvergensi Permintaan dari Jepang Seperti telah diuraikan sebelumnya, melemahnya yen tidak hanya membawa dampak positif terhadap perekonomian Jepang dari sudut pandang kuantitatif. Bagaimanapun, selama masih memberikan dampak positif, depresiasi tersebut dapat menyebabkan naiknya permintaan dari Jepang (makin tinggi ekspor ke Jepang akibat “income effect” yang secara potensial memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara di Asia). Dari perspektif jangka panjang, melemahnya yen akan menimbulkan kontraksi atau penurunan pada ketidaksesuaian antara harga dalam negeri dan harga internasional di Jepang. Hal tersebut dapat mengurangi satu dari sekian banyak faktor yang menghambat masuknya investasi langsung (FDI) ke Jepang dari negara lain. Selanjutnya, masuknya investasi langsung ke Jepang diharapkan dapat membawa dampak positif terhadap perekonomian negara-negara Asia berupa selain menyebabkan tingkat pertumbuhan ekonomi Jepang yang lebih tinggi juga menaikkan ekspor ke Jepang.
88
Artikel
BOKS : DAMPAK MELEMAHNYA YEN TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA Melemahnya nilai tukar yen terhadap mata uang US dollar kemungkinan memberikan dampak positif terhadap perekonomian Jepang, misalnya dalam bentuk peningkatan keuntungan perusahaan pengekspor, mendorong pertumbuhan ekonomi yang bersumber dari naiknya ekspor, dan berkurangnya tekanan deflasi. Di sisi lain, melemahnya yen juga dapat mempengaruhi perekonomian negara-negara di Asia melalui berbagai jalur, misalnya jalur nilai tukar, perdagangan, daya saing ekspor, dan arus penanaman modal. Indonesia sebagai salah satu negara di Asia yang menjalin hubungan ekonomi cukup erat dengan Jepang diperkirakan turut merasakan dampak dari melemahnya yen tersebut. Melemahnya yen dapat mempengaruhi Indonesia melalui 3 (tiga) jalur , yaitu: (i) jalur nilai tukar, (ii) jalur utang luar negeri pemerintah, dan (iii) jalur perdagangan/ekspor impor.
JALUR NILAI TUKAR RUPIAH Melemahnya yen terhadap US dollar dalam beberapa tahun terakhir telah memberikan dampak regional (contagion effect) terhadap mata uang negara-negara Asia pada umumnya. Hal tersebut terlihat dari tingginya korelasi antara pergerakan mata uang Asia dan yen Jepang. Won Korea, dollar Taiwan, dan dollar Singapura, merupakan tiga mata uang di Asia yang sangat terpengaruh oleh fluktuasi nilai tukar yen. Melemahnya yen kerap diikuti oleh melemahnya mata uang ketiga negara tersebut. Hal ini disebabkan ketiga negara tersebut merupakan negara industri baru di Asia yang menghasilkan produk ekspor yang berperan sebagai substitusi bagi produk ekspor Jepang. Sehingga, melemahnya yen akan mengakibatkan daya saing ketiga negara tersebut menurun, yang pada gilirannya diantisipasi oleh pasar dengan menekan ketiga mata uang negara tersebut. Sementara itu pengaruh melemahnya yen terhadap mata uang rupiah tidak sebesar yang dialami oleh ketiga mata uang Asia tersebut, karena Indonesia lebih merupakan penghasil produk “complementer” bagi ekspor Jepang. Kendati demikian, dalam situasi tertentu misalnya dalam kondisi di mana sentimen di dalam negeri tidak dominan, fluktuasi yen kerap mempengaruhi fluktuasi nilai tukar rupiah melalui dampak penularan dari fluktuasi mata uang regional, dimana melemahnya yen akan diikuti dengan melemahnya rupiah.
Artikel
89
JALUR UTANG LUAR NEGERI Secara umum, komposisi utang luar negeri pemerintah Indonesia dalam mata uang yen sangat besar karena sebagian besar utang luar negeri berasal dari Jepang. Penarikan utang luar negeri dari Jepang tersebut pada gilirannya akan dikonversi kedalam mata uang dollar AS dan masuk sebagai cadangan devisa di bank sentral. Besarnya porsi US dollar dalam komposisi cadangan devisa bank sentral di seluruh dunia merupakan hal yang wajar karena peran US dollar sebagai mata uang terkuat. Dengan komposisi cadangan devisa yang sebagian besar berdenominasi dalam US dollar maka melemahnya nilai tukar yen terhadap US dollar akan memberikan keuntungan bagi Indonesia karena akan memperoleh yen yang lebih banyak untuk pembayaran kembali utang ke kreditur Jepang (repayment) pada saat jatuh tempo
JALUR PERDAGANGAN/EKSPOR IMPOR Masing-masing negara Asia memiliki karakteristik hubungan dagang yang berbeda satu sama lain dengan Jepang. Produk negara-negara seperti Korea, Singapura dan Taiwan bersaing (competitive) di pasar internasional dengan produk Jepang terutama untuk produk-produk elektronik dan suku cadangnya. Khusus untuk produk otomotif, Jepang mulai memperoleh saingan yang cukup ketat dari produk Korea Selatan. Di pihak lain, Indonesia meskipun mulai memproduksi produk elektronik namun masih lebih banyak didominasi oleh “consumer good” bukan “business electronic component” sebagaimana dihasilkan oleh Korea, Taiwan dan Singapura. Secara umum, produk ekspor Indonesia sebagian besar masih merupakan ekspor produk “tradisional” seperti bahan mentah yang pada dasarnya dibutuhkan atau sebagai complement bagi industri di Jepang. Dengan demikian, melemahnya nilai tukar yen, diperkirakan tidak akan memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap kinerja ekspor Indonesia, tetapi akan mengurangi daya saing produk ekspor negara-negara industri baru di Asia seperti Korea, Taiwan dan Singapura. Di pihak lain, apabila mata uang yen melemah secara berkelanjutan, diperkirakan akan meningkatkan impor Jepang ke Indonesia karena produk Jepang akan menjadi lebih murah apabila diukur dalam mata uang US dollar.
90
Artikel
C. TINJAUAN UMUM DAMPAK THE NEW BASEL ACCORD TERHADAP PEREKONOMIAN Oleh : Indira Maya Kader1 Integrasi pasar keuangan dunia yang berlangsung cepat didukung dengan kemajuan teknologi dan inovasi instrumen pasar keuangan yang pesat telah membuat mobilitas aliran modal antar negara semakin tinggi, dan transaksi keuangan antar negara semakin kompleks. Hal ini semakin meningkatkan peranan lembaga perantara keuangan, khususnya perbankan. Kompleksitas dari transaksi keuangan cenderung meningkatkan risiko yang dihadapi oleh perbankan. Hal ini harus diwaspadai mengingat kegagalan perbankan (banking failure) dapat menyebabkan terjadinya systemic failure dalam sistem keuangan yang membahayakan bagi perekonomian. Krisis keuangan di Asia yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 membuktikan bahwa lemahnya sistem perbankan dalam era globalisasi dan integrasi pasar beresiko sangat tinggi dan telah mendorong terjadinya krisis yang mendalam. Karena itu, untuk memperkuat sistem perbankan dalam kerangka meningkatkan stabilitas ekonomi dan keuangan global, Bank for International Settlement pada bulan Juni 2001 telah mengajukan proposal untuk menggantikan Basel Capital Accord yang pertama kali dipublikasikan pada tahun 1988 dan telah diamandemen pada tahun 1996. The New Basel Accord ini dijadwalkan untuk dapat diimplementasikan dalam tahun 20042. The New Basel Capital Accord (Basel Accord II) yang pada intinya meningkatkan sensitivitas risiko perbankan dalam menjalankan kegiatan usahanya menjadi tantangan tersendiri bagi pembuat kebijakan. Di satu sisi, jika seluruh perbankan dalam perekonomian dapat mengaplikasikan ketentuan baru tersebut, maka kepercayaan terhadap sistem perbankan akan meningkat dan perekonomian akan mendapat manfaat nyata dari pemenuhan ketentuan tersebut. Di lain pihak, memaksakan pemenuhan terhadap ketentuan tersebut, sementara perbankan belum siap dan belum mampu memenuhi ketentuan tersebut, akan beresiko terhambatnya proses restrukturisasi perbankan, bahkan berisiko pada penutupan bank, yang pada gilirannya membahayakan perekonomian nasional. 1
Mahasiswi, International Business Administration (IBA) Program, Universitas Sam Ratulangi, Manado, Peserta Praktek Kerja Lapangan di Bagian Studi Ekonomi dan Lembaga Internasional, Direktorat Riset Eonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia
2
Bank for International Settlements.,”The New Basel Accord: an explanatory note”, January 2001. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Yati Kurniati (Peneliti Ekonomi Yunior di Bagian Studi Ekonomi dan Lembaga Internasional, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia) yang telah membantu memberikan masukan dan editing dalam proses penyusunan artikel ini.
Artikel
91
Paper singkat berikut ini diharapkan dapat memberikan gambaran umum mengenai proposal Basel Accord II dan kemungkinan dampaknya terhadap perbankan khususnya, dan perekonomian pada umumnya.
LATAR BELAKANG PROPOSAL BASEL CAPITAL ACCORD II The Basel Committee on Banking Supervision pertama kali mengeluarkan Basel Capital Accord pada bulan Juli tahun 1988. Hal ini terutama didasari oleh keprihatinan dari bank sentral negara-negara G-10 terhadap kecenderungan menurunnya permodalan bank-bank utama dunia secara persisten sampai ke tingkat yang mengkhawatirkan akibat ketatnya persaingan. Sejak saat itu, sektor keuangan dan perbankan mengalami transformasi secara signifikan sehingga mendorong para pemilik bank untuk mengelola usahanya dengan prinsip kehati-hatian. Dalam Basel Capital Accord I tersebut, bank-bank devisa di negara-negara G-10 diwajibkan untuk memelihara modal minimum (CAR) 8% terhadap aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR). Dalam hal ini, modal dibagi ke dalam dua tingkatan, yaitu Tier 1 yang mencakup penyertaan pemegang saham (shareholders’ equity) dan laba yang ditahan (retained earnings), dan Tier 2 yang mencakup modal di luar kedua komponen tersebut. Bank wajib memelihara minimal setengah dari modalnya dalam bentuk Tier 1. Sesuai dengan kelompok debiturnya, bobot risiko aktiva tersebut diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu 0%, 20%, 50%, dan 100%. Ini berarti beberapa jenis aktiva tidak terkait dengan persyaratan modal (bobot risiko 0%), sementara tagihan terhadap bank memiliki bobot 20% atau ekuivalen dengan 1,6% dari nilai tagihan tersebut. Tagihan kepada BUMN dan tagihan yang dijamin oleh perusahaan milik penerintah pusat negara lain memiliki bobot 50%. Tagihan kepada sektor swasta non-bank memiliki bobot 100% atau ekuivalen dengan 8% dari nilai tagihan (sesuai persyaratan modal minimum). Selain di sisi on-balance sheet, pembobotan risiko tersebut juga dilakukan di sisi off-balance sheet yang mencakup jaminan yang diberikan bank, komitmen-komitmen, tagihan-tagihan forward, dan lain-lain. Namun dalam tahun 1996, terjadi perubahan mendasar dimana posisi-posisi perdagangan obligasi, saham, valuta asing dan komoditas dikeluarkan dari perhitungan risiko kredit, namun dikaitkan langsung dengan open position bank untuk setiap instrumen. Tujuan utama dari Basel Capital Accord adalah memastikan kecukupan tingkat permodalan dalam sistem perbankan international dan meningkatkan ruang gerak bank-bank
92
Artikel
dalam menjalankan kegiatan usahanya. Nampaknya kedua tujuan tersebut telah tercapai terutama di negara-negara maju. Sepanjang tahun 1990-an, Basel Capital Accord tersebut telah menjadi standard yang diterima dunia, terbukti dengan diterapkannya the Basel Framework terhadap sistem perbankan di lebih dari 100 negara. Namun demikian, penerapan ketentuan permodalan tersebut masih menimbulkan konflik, antara lain bank cenderung mengurangi portofolionya dalam bentuk kredit. Dengan demikian, bobot risiko aktivanya akan menurun dan rasio modalnya akan meningkat. Selain menimbulkan moral hazard, ketentuan lama tersebut dianggap masih belum memasukkan faktor-faktor lain yang dapat meminimalkan risiko kredit, seperti agunan dan jaminan. Dengan adanya beberapa kekurangan tersebut maka the Basel Committee memutuskan bahwa ketentuan lama tersebut perlu diubah. Pada bulan Juni 1999, komite tersebut mengusulkan proposal untuk mengganti Capital Accord yang lama karena pembobotan faktor risikonya dianggap kurang sensitif. Setelah menerima masukan dari kalangan industri dan pengawas di sektor keuangan the Basel Committee melakukan penyempurnaan terhadap proposalnya dan telah mempublikasikan proposal akhir sekitar akhir 2001. Basel Capital Accord direncanakan akan diimplementasikan pada tahun 2004.
SEKILAS MENGENAI THE NEW BASEL CAPITAL ACCORD Konsep dasar New Basel Capital Accord memuat tiga inovasi mendasar, yang masingmasing dirancang untuk memperbesar sensitivitas risiko dalam ketentuan baru tersebut. Inovasi pertama melengkapi standar kuantitatif yang berlaku saat ini dengan dua pilar tambahan berkaitan dengan supervisory review dan market disipline. Kedua pilar tambahan tersebut dimaksudkan sebagai faktor penyeimbang pilar kuantitatif (pilar 1) dalam proses penilaian/ perhitungan modal. Inovasi kedua mengizinkan bank-bank yang memiliki kemampuan manajemen risiko yang baik untuk menggunakan sistem internalnya sendiri dalam melakukan evaluasi risiko kredit, bahkan membuat standar bobot risiko untuk masing-masing kelompok aktiva. Hal ini dikenal sebagai internal ratings based (IRB). Inovasi yang ketiga memungkinkan bank untuk menggunakan sistem grading dari lembaga-lembaga pemeringkat swasta dengan mengklasifikasikan tagihan-tagihan luar negerinya (sovereign claims) menjadi lima kelompok risiko dan tagihan-tagihan kepada sektor korporasi dan bank menjadi tiga kelompok risiko. Selain itu, terdapat sejumlah usulan untuk mengurangi pembobotan risiko di satu sisi dan menambah pembobotan untuk risiko yang lain. Artikel
93
Tiga Pilar The New Accord Basel Accord II terdiri dari tiga pilar utama yang secara bersama memperkokoh dan menyehatkan sistem keuangan. The Basel Committee menekankan aplikasi yang tepat dari ketiga pilar tersebut dan berencana untuk secara aktif bekerja sama dengan para pengawas perbankan untuk mengimplementasi semua aspek dari Accord tersebut secara efektif.
Pillar Pertama : Persyaratan Modal Minimum Pilar pertama tetap mempertahankan definisi modal yang berlaku saat ini dan persyaratan minimum modal (CAR) 8% terhadap aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR). Perhitungan risiko dalam konsep yang baru ini akan diperluas mencakup perusahaan induk yang terkait dengan grup bank. Revisi tersebut difokuskan pada perbaikan ukuran risiko, yaitu perhitungan denominasi dari rasio modal. Metode pengukuran risiko kredit menjadi lebih jelas dibandingkan dengan yang berlaku saat ini. Dalam konsep baru tersebut untuk pertama kalinya diusulkan pengukuran operational risk, sementara pengukuran market risk tidak berubah. Dalam hal pengukuran risiko kredit, terdapat dua pilihan: pertama standardised approach, dan kedua internal rating based (IRB) approach. Dalam Pendekatan IRB terdapat dua macam pendekatan yaitu foundation dan advanced. Penggunaan dari pendekatan IRB akan tergantung pada persetujuan supervisor, berdasarkan pada standard yang ditentukan oleh Basel Committee.
Standardized approach untuk risiko kredit Pendekatan standardized secara konsep sama dengan Accord 1988, namun lebih sensitive terhadap risiko. Bank mengalokasikan suatu timbangan risiko terhadap setiap aktiva dan posisi off-balance sheet, untuk kemudian mendapatkan jumlah keseluruhan nilai aktiva tertimbang menurut risiko. Berdasarkan Accord I yang berlaku saat ini, besarnya timbangan risiko secara individu tergantung pada kategori dari peminjam (yaitu : negara, perbankan atau korporasi). Dalam Accord yang baru, timbangan risiko disesuaikan dengan referensi rating yang dikeluarkan oleh lembaga rating external yang diakui.
94
Artikel
The Internal Ratings Based (IRB) approach Dalam pendekatan IRB, perbankan diperkenankan menggunakan estimasi internal atas creditworthiness debiturnya untuk menilai risiko kredit dalam portfolio mereka, dengan metodologi dan standard disclosure yang ketat. Pendekatan ini memiliki dua metode, yaitu : (i) foundation method, dimana bank melakukan estimasi terhadap kemungkinan default dari setiap debiturnya dan (ii) advanced method dimana bank yang memiliki proses alokasi internal yang sudah berkembang diperkenankan memberikan input lain yang diperlukan. Dengan kedua metode ini, pendekatan IRB memiliki kisaran timbangan risiko yang lebih beragam dibandingkan pendekatan standardized, sehingga lebih sensitive terhadap risiko.
Pillar Kedua: Supervisory Review Process Proses pengawasan membutuhkan pengawas untuk memastikan bahwa setiap bank menjalankan proses internal dengan baik untuk menilai kecukupan modalnya berdasarkan evaluasi risiko secara cermat. Konsep baru tersebut menekankan pentingnya manajemen bank mengembangkan proses penilaian modal secara internal dan meningkatkan permodalannya secara bertahap sesuai dengan profil dan pengendalian risiko yang dimiliki bank. Supervisor akan bertanggung jawab untuk mengevaluasi sejauh mana bank menilai kecukupan modalnya sesuai dengan risiko yang dimiliki. Proses internal ini selanjutnya akan menjadi hal pokok dalam pengawasan dan intervensi. Implementasi proses pengawasan ini dalam banyak kasus akan memerlukan dialog yang lebih intensif antara pengawas dan bank-bank yang diawasi. Penerapan kerangka kerja yang baru ini memerlukan pelatihan dan keahlian dari pengawas bank, dimana Basel Committee dan BIS’s Financial Stability Institute diharapkan memberikan bantuannya.
Pilar Ketiga : Market Disipline Pilar ketiga dalam konsep yang baru tersebut adalah mendorong market disipline melalui peningkatan transparansi manajemen bank. Transparansi tersebut diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik bagi pelaku pasar terhadap profil risiko bank dan posisi kecukupan modalnya. Konsep baru tersebut menetapkan standard transparansi (disclosure requirements) dan beberapa rekomendasi, termasuk cara perhitungan kecukupan modal dan metode penilaian risiko. Rekomendasi tersebut diterapkan untuk seluruh bank, dengan Artikel
95
syarat-syarat yang lebih rinci untuk keperluan pengawasan terhadap metodologi internal untuk risiko kredit, teknik-teknik untuk mengurangi risiko kredit dan sekuritisasi asset.
DAMPAK THE NEW BASEL CAPITAL ACCORD TERHADAP PEREKONOMIAN Tujuan utama dari pengaturan “Capital Adequacy Ratio” (CAR) adalah untuk memberlakukan tingkat permodalan yang tepat sesuai dengan risk exposure yang dihadapi oleh perbankan. Dari sudut pandang ini, “the New Accord (Basel Accord II)” lebih baik dibandingkan “Basel Accord I” karena lebih risk sensitive. Basel Accord II akan mendorong perbankan untuk mengembangkan sistem manajemen risikonya seperti meningkatkan internal (credit) rating systems, mengurangi ketergantungan pada kolateral dan meningkatkan fokusnya pada borrower risk, serta mengembangkan operational risk management systems. Basel Accord II juga mensyaratkan peningkatan kualitas disclosure yang dapat memudahkan investor dan pasar dalam menjalankan peranan pengawasan terhadap perbankan. Dengan demikian, implementasi dari Basel Accord II diharapkan dapat memperkuat sistem perbankan dan meningkatkan kepercayaan pasar terhadap sistem keuangan. Sistem perbankan yang sehat akan meningkatkan aktivitas ekonomi karena dana akan dialokasikan secara lebih efisien ke sektorsektor yang paling produktif. Hal ini sangat penting terutama bagi ekonomi negara-negara Asia yang mengandalkan sektor perbankan sebagai sumber pembiayaan eksternal. Dengan sistem perbankan yang sehat, akses terhadap dana-dana internasional menjadi lebih terbuka, sehingga dapat memperluas sumber-sumber untuk membiayai proses pemulihan ekonomi. Namun, kiranya kita perlu waspada terhadap dampak negatif yang mungkin dapat meng-offset kebaikankebaikan yang diharapkan dari proposal Basel Accord II tersebut, khususnya bagi perbankan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Dampak peningkatan persyaratan permodalan Proposal Basel Accord II menambahkan jenis risiko baru dimasukkan dalam perhitungan persyaratan permodalan, yaitu operational risk. Capital charge terhadap operational risk yang diperhitungkan dengan menggunakan basic indicator approach3 tampak terlalu tinggi dan tidak mencerminkan kondisi operasional perbankan di negara-negara berkembang yang relatif lebih
3
Basic indicator approach mewajibkan bank mempertahankan modal sebesar persentase yang tetap terhadap gross income. Pendekatan ini cenderung lebih banyak diterapkan oleh negara-negara berkembang.
96
Artikel
sederhana dibandingkan dengan operasional perbankan di negara maju yang sudah sangat kompleks. Konsekuensinya, bank akan dikenakan persyaratan modal yang lebih tinggi. Sementara itu, internal measurement approach yang mensyaratkan capital charge yang lebih rendah sulit untuk diimplementasikan, mengingat pendekatan ini memerlukan investasi pembangunan sistem penunjang operasi perbankan yang mahal dan sulit untuk dapat dipenuhi oleh perbankan dalam kondisi saat ini. Dengan demikian, proposal Basel Accord II untuk memasukkan operational risk dan market risk ke dalam perhitungan persyaratan permodalan akan menyebabkan perbankan menjadi sulit untuk memenuhi persyaratan CAR. Implementasi dari Basel Accord II akan meningkatkan persyaratan modal minimum, yang pada gilirannya akan menjadi beban baik bagi pemerintah maupun bank-bank di Asia. Sebagaimana diketahui bahwa proses restrukturisasi perbankan akan mamakan waktu cukup lama untuk memenuhi seluruh aspek yang direkomendasikan dalam Basel Accord II. Selama proses restrukturisasi —yang memakan banyak biaya— berlangsung, bank-bank tidak dapat secara optimal menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan sehingga mengganggu perputaran roda ekonomi. Dengan mempertimbangkan situasi tersebut, implementasi Basel Accord II kemungkinan akan menghambat program rekapitalisasi karena CAR bank-bank dapat merosot di bawah tingkat minimum yang dipersyaratkan. Studi yang dilakukan bank sentral Filipina mengungkapkan bahwa capital charge terhadap operational risk akan menyebabkan turunnya CAR sebanyak 335 basis point. Saat ini sebagian besar bank-bank di Filipina memiliki CAR di atas 10%, namun belum memperhitungkan operational risk dan market risk. Sehingga, bila capital charge terhadap risiko-risiko tersebut diperhitungkan maka CAR tersebut akan turun di bawah persyaratan minimum. Di Indonesia, krisis ekonomi dan perbankan telah menurunkan modal bank secara dramatis. Pada akhir tahun 1998 sistem perbankan di Indonesia mengalami negatif net worth sebesar $11 miliar, kredit bermasalah (Non Performing Loan-NPL) mencapai 70% dari total kredit, dan pengucuran kredit baru terhenti. Setelah program rekapitalisasi, dari 145 bank, 138 diantaranya telah memenuhi CAR 8% dan NPL secara signifikan menurun menjadi 12,1% dari total kredit. Namun, pencapaian CAR 8% tersebut bahkan belum memperhitungkan market risk seperti yang disyaratkan dalam Basel Accord I, apalagi operational risk yang dipersyaratkan dalam Basel Accord II.
Artikel
97
Dampak Terhadap Akses dan Biaya Dana Sensitivitas terhadap risiko yang lebih besar dalam Basel Accord II, menjadikan negaranegara tidak lagi diklasifikasikan atas kelompok OECD dan bukan OECD, namun dikelompokkan berdasarkan risiko. Hal ini menyulitkan bagi negara berkembang yang dinilai beresiko tinggi. Kita sadari bahwa ketersediaan dana dan ongkos pembiayaan terkait erat dengan rating suatu negara. Hal ini akan mempengaruhi negara yang memiliki rating rendah dalam pembiayaan proyek pembangunannya. Dengan pembebanan capital charge yang tinggi untuk exposure yang lebih beresiko, akan membuat lembaga keuangan internasional yang sebelumnya merupakan pemberi pinjaman yang agresif, cenderung akan lebih konservatif dalam meningkatkan exposure-nya di negara berkembang. Pengurangan dana yang dialokasikan ke negara-negara berkembang pada gilirannya akan menyebabkan biaya dana untuk perbankan di negara berkembang menjadi lebih mahal.
Dampak Terhadap Industri Kecil dan Menengah (SME) Sektor industri kecil dan menengah (small-medium enterprises–SMEs) banyak berfungsi menjadi pendorong pertumbuhan di negara-negara berkembang. Oleh karena itu, kebijakan investasi di negara-negara berkembang banyak diarahkan untuk melindungi dan mengembangkan sektor industri tersebut. Namun, implementasi dari Basel Accord II dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap ketersediaan dana dan biaya financing bagi sektor ini. Jika Basel Accord I cenderung bias dalam men-support retail dan consumer banking, yaitu menganggap SME dan retail lending mempunyai risiko yang sama dengan blue-chip multinationals, hal ini tidak berlaku lagi dalam Basel Accord II. Dalam Basel Accord II, tagihan terhadap SMEs dianggap lebih beresiko sehingga memerlukan persyaratan modal yang lebih tinggi, yang pada gilirannya dapat meningkatkan biaya financing bagi SME. Di lain pihak, dalam hal pembiayaan terhadap perusahaan besar, terutama perusahaan multinational, perbankan domestik di negara berkembang akan mendapat persaingan berat dari bank asing. Sebagian besar bank asing telah menerapkan sistem manajemen risiko yang membuat bank-bank asing tersebut dapat menggunakan internal-ratings based (IRB) approach untuk menghitung credit risk, sehingga bank asing ini memiliki perhitungan risk-based capital yang lebih rendah. Berarti, bank asing dapat menyalurkan kredit dengan biaya yang lebih rendah
98
Artikel
dibandingkan bank-bank domestik yang sebagian besar masih menggunakan standardized approach. Dengan demikian, bank-bank asing mempunyai kesempatan besar untuk memperkuat posisinya dalam pasar wholesale banking, dimana mereka umumnya berkonsentrasi sejak pertama mereka masuk ke dalam sistem perbankan domestik suatu negara. Alhasil, dampak dari implementasi Basel Accord II terhadap lending kepada SMEs masih mendua. Industri SMEs mungkin menderita karena biaya pinjaman yang lebih tinggi dari penerapan Basel Accord II, namun industri ini dapat memperoleh manfaat dari persaingan retail banking dalam perbankan domestik karena kemungkinan pasar wholesale banking akan dikuasai oleh bank-bank asing.
Dampak Terhadap Perekonomian Pada akhirnya, mempertimbangkan bahwa sebagian besar perbankan di Asia sedang dalam proses restrukturisasi, timing dari penerapan Basel Accord II menjadi kurang tepat. Kenaikan persyaratan permodalan dalam kondisi perekonomian yang sedang menurun akan memperburuk kondisi perekonomian negara-negara berkembang, khususnya di Asia. Persyaratan modal yang tinggi tidak hanya berlaku pada bisnis, tetapi juga berlaku bagi negara. Karena itu, jika sektor usaha dan pemerintah menghadapi kondisi dimana ketersediaan dana sulit dan berbiaya tinggi, diperkirakan downward spiral effect akan terjadi. Di Indonesia, bank-bank masih lebih memprioritaskan proses konsolidasi internal untuk memperbaiki kualitas aktiva dibandingkan dengan menyalurkan kredit baru. Oleh karena itu, meningkatkan persyaratan modal bagi bank dalam masa krisis akan mendorong bank bersikap risk averse. Lebih jauh lagi, hal ini akan memperpanjang masalah credit crunch dan berdampak pada sektor riil karena ekonomi Indonesia sebagian besar masih terkait dengan kredit bank. Jika bank tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik, maka proses pemulihan ekonomi akan terhambat.
IV. PENUTUP Fleksibilitas sangat diperlukan dalam tahapan implementasi Basel Accord II terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia yang sedang dalam proses pemulihan ekonomi dari krisis. Terlebih, sistem perbankan Indonesia bahkan belum dapat menerapkan ketentuan Basel Accord I sepenuhnya. Artikel
99
Referensi : Amando M. Tetangco, Jr., “Comments on Mr. Topping’s Presentation: Impact of the New Basel Accord on Banks in Asia”, Bangko Sentral ng Pilipinas. Dipresentasikan dalam EMEAP workshop on Macroeconomic Impact of the New Basel Capital Accord, Jimbaran, Bali, Maret 2002. Bank Indonesia, “Position paper on the Impact of the New Basel Accord”, bahan EMEAP workshop on Macroeconomic Impact of the New Basel Capital Accord, Jimbaran, Bali, Maret 2002. Phillip Lowe, “Macroeconomic Implications of the New Basel Capital Accord”, Bank for International Settlements. Tayangan dipresentasikan dalam EMEAP workshop on Macroeconomic Impact of the New Basel Capital Accord, Jimbaran, Bali, Maret 2002. Bank for International Settlements, “The New Basel Capital Accord: an explanatory note”, January 2001. Simon Topping, “ Impact of The New Basel Accord on Banks in Asia”, Hong Kong Monetary Authority. Tayangan dipresentasikan dalam EMEAP workshop on Macroeconomic Impact of the New Basel Capital Accord, Jimbaran, Bali, Maret 2002. Stefan Hohl, “New Capital Accord (Basel II)”, Bank for International Settlements. Tayangan dipresentasikan dalam EMEAP workshop on Macroeconomic Impact of the New Basel Capital Accord, Jimbaran, Bali, Maret 2002.
100
Artikel
Lampiran
Tabel 11) Pertumbuhan Ekonomi Negara Maju dan Negara Berkembang
dalam persen Kelompok Negara/Negara Dunia Negara-negara maju Negara-negara industri utama Amerika Serikat Inggris Italia Jepang Jerman Kanada Perancis Negara-negara maju lainnya Negara-negara berkembang Berdasarkan kawasan Afrika Asia ASEAN-4 China Timur Tengah, Malta dan Turki Amerika Latin Argentina Brazilia Chile Columbia Berdasarkan sumber penerimaan ekspor Pengekspor minyak Bukan pengekspor minyak Negara industri baru Asia (NIEs) Hong Kong SAR Korea Singapura Taiwan Negara-negara ASEAN Indonesia Philipina Malaysia Thailand Negara-negara dalam transisi Eropa Tengah dan Timur Negara Persemakmuran Independen dan Mongolia Rusia Di luar Rusia 1) Produk Domestik Bruto riil. Sumber : IMF, World Economic Outlook, Maret 2002
102
Lampiran
1998
1999
2000
2001
Proyeksi 2002 2003
4,2 3,4 3,2 4,4 3,0 2,0 1,8 1,4 4,3 1,9 4,3 5,8
2,8 2,7 2,8 4,3 3,0 1,8 -1,0 2,0 3,9 3,5 2,2 3,5
3,6 3,3 2,9 4,1 2,1 1,6 0,7 1,8 5,1 3,0 4,9 3,9
4,7 3,9 3,5 4,1 3,0 2,9 2,2 3,0 4,4 3,6 5,2 5,7
2,5 1,2 1,1 1,2 2,4 1,8 -0,4 0,6 1,5 2,0 1,6 4,0
2,7 1,6 1,4 2,2 2,0 1,2 -1,0 0,7 2,0 1,3 2,3 4,3
4,1 3,0 2,8 3,4 2,8 2,8 0,8 2,7 2,8 3,0 3,7 5,7
3,1 6,5 3,6 8,8 5,1 5,4 8,1 3,6 7,6 3,2
3,5 4,0 -9,2 7,8 4,1 2,1 3,9 -0,1 3,4 0,4
2,5 6,2 2,5 7,1 1,1 0,1 -3,4 0,5 -1,1 -4,1
2,9 6,7 5,0 8,0 6,0 4,0 -0,8 4,4 5,4 2,8
3,7 5,6 2,5 7,3 2,0 0,7 -3,7 1,5 3,0 1,5
3,4 5,8 3,1 7,0 3,1 1,1 -8,4 2,5 3,0 2,5
4,2 6,6 4,4 7,8 4,5 4,2 3,9 3,5 4,5 3,3
4,8 5,9 5,8 5,0 5,0 8,4 6,8
3,4 3,6 -2,3 -5,1 -6,7 0,4 4,7
1,3 4,2 7,9 3,0 10,9 5,9 5,4
5,0 5,8 8,2 10,5 8,8 9,9 5,9
4,5 4,0 0,8 0,1 3,0 –2,2 -1,9
2,6 4,5 2,8 1,5 4,5 2,0 1,7
4,1 5,8 5,1 3,6 5,5 5,1 4,8
4,5 5,2 7,5 -1,8 1,6 2,6
-13,2 -0,5 -7,5 -10,4 -0,8 2,3
0,8 3,4 6,1 4,3 3,6 2,0
4,8 4,0 8,3 4,4 6,3 3,8
3,3 3,4 0,4 1,5 5,2 3,1
3,7 4,0 2,5 2,0 3,5 3,0
4,7 4,2 5,5 4,5 4,0 4,0
1,1 0,9 1,5
-2,8 -4,9 1,6
4,6 5,4 2,8
7,9 8,3 6,9
6,4 5,4 8,8
3,8 3,4 4,7
4,4 4,5 4,1
1997
Tabel 2 Pertumbuhan Produk Nasional Bruto Riil per Kapita
dalam persen Kelompok Negara/Negara
1996
1997
1998
2,5 2,4 2,6 2,2 1,0 4,8 0,5 -0,4 0,7
2,8 2,6 3,5 3.1 1.8 1.6 1.2 3.2 1,5
Negara-negara industri lainnya
3,0
Negara-negara berkembang Berdasarkan kawasan Afrika Asia Timur Tengah, Malta dan Turki Amerika Latin
Proyeksi 2002 2003
1999
2000
2001
2.1 2.3 3,4 2.6 1.8 -1.3 2.0 3.0 3.1
2,8 2.4 3,2 1.7 1.6 0.5 1.8 4.2 2.6
3,3 3.0 3.3 2.7 2.9 2.0 2.9 3.5 3.2
0.6 0.5 0.1 2.0 1.7 -0.5 0.3 0.5 1.6
0.6 0.4 0.4 1.5 1.1 -1.2 0.7 -0.4 0.9
2.5 2.4 2.8 2.5 2.6 0.7 2.5 1.8 2.6
3,6
1.5
4.3
4.6
0.9
1.5
3.1
4,9
5.8
3.5
3.9
5.7
4.0
4.3
5.7
3,0 6,7 2,6 1.8
3.2 6.6 5.6 5.3
3.6 4.0 3.9 2.3
2.6 6.1 1.1 0.2
2.9 6.7 6.0 4.0
3.7 5.6 2.0 0.9
3.4 5.8 3.1 1.1
4.2 6.6 4.5 4.2
Negara-negara industri baru Asia (NIEs)
5,1
4,7
-3.5
7.0
7.1
-0.2
1.9
4.3
Negara-negara dalam transisi
-0,6
1.6
-0,8
3.6
6,3
5.2
3.5
4.0
Negara-negara maju Negara-negara industri utama Amerika Serikat Inggris Italia Jepang Jerman Kanada Perancis
Sumber : IMF, World Economic Outlook, Maret 2002
Lampiran
103
Tabel 3 Tingkat Pengangguran di Negara-negara Maju
dalam persen Kelompok Negara/Negara
1997
Negara-negara maju
Proyeksi 2002 2003
1998
1999
2000
2001
6,9
6,8
6,4
5,8
6,0
6,6
6.3
6,6 5.0 7.1 11,7 3,4 9,8 9,1 12,3
6,3 4,5 6.3 11,8 4,1 8.9 8,3 11,8
6,1 4,2 6,0 11,4 4,7 8,2 7,6 11,2
5,7 4,0 5,6 10,6 4,7 7,5 6,8 9,5
6,0 4,8 5,1 9,5 5,1 7,4 7,2 9.0
6,7 6,0 5,4 9,4 5,8 7,8 8,0 9.4
6.4 5.6 5.4 8.9 5.7 7.6 7.5 9.0
Negara-negara maju lainnya
7,8
8,1
7,3
6,2
6,2
6,3
5.9
Negara industri baru Asia (NIEs)
2,5
5,4
5,2
3,8
4,3
4,2
3.3
Negara-negara industri utama Amerika Serikat Inggris Italia Jepang Jerman Kanada Perancis
Sumber : IMF, World Economic Outlook, Maret 2002
104
Lampiran
Tabel 4 Laju Inflasi Negara Maju dan Negara Berkembang
dalam persen Kelompok Negara/Negara Negara-negara maju Negara-negara industri utama Amerika Serikat Inggris*) Italia Jepang Jerman Kanada Perancis Negara-negara maju lainnya Negara-negara berkembang Berdasarkan kawasan Afrika Asia China Timur Tengah, Malta dan Turki Amerika Latin Argentina Brazilia Chile Columbia Berdasarkan sumber ekspor Pengekspor minyak Bukan pengekspor minyak Negara industri baru Asia (NIEs) Hong Kong SAR Korea Singapura Taiwan Negara-negara ASEAN Brunei Darussalam Indonesia Philipina Malaysia Thailand Negara-negara dalam transisi Eropa Tengah dan Timur Negara Persemakmuran Independen dan Mongolia Rusia Di luar Rusia
1997
1998
1999
2000
2001
Proyeksi 2002 2003
2,1 2,0 2,3 2,8 1,9 1,7 1,5 1,6 1,2 2,3 10,9
1,5 1,3 1,5 2,7 2,0 0,7 0,6 1,0 0,9 2,4 10,6
1,4 1,4 2,2 2,3 1,7 -0,3 0,7 1,8 0,3 1,3 6,9
2,3 2,3 3,4 2,1 2,6 -0,8 2,1 2,7 0,8 2,4 6,1
2,3 2,1 2,8 2,1 2,7 –0,7 2,4 2,8 1,8 3,0 5,7
1,2 1,1 1,4 2,3 2,1 -1,1 1,1 1,6 1,4 1,9 5,6
1,8 1,7 2,4 2,4 1,6 -0,5 1,2 1,8 1,4 2,0 4,5
14,6 4,8 2,8 28,3 12,9 0,5 6,9 6,1 18,5
10,9 7,7 -0,8 28,1 9,9 0,9 3,2 5,8 18,7
12,3 2,5 -1,4 23,7 8,9 -1,2 4,9 3,3 10,9
14,2 1,9 0,4 19,5 8,1 5,0 7,0 3,8 9,2
12,6 2,6 0,7 17,3 6,4 4,9 6,8 3,6 8,0
9,0 2,9 0,8 16,8 7,4 8,0 5,8 2,4 7,1
6,2 2,8 1,1 12,3 5,6 5,0 3,6 3,1 5,3
20,1 9,0 3,4 5,9 3,1 1,3 1,9
18,0 9,8 4,4 0,9 5,3 -1,1 2,4
17,2 5,9 -4,0 0,8 0,1 0,2
13,8 5,3 1,1 -3,7 2,3 1,4 1,3
12,1 5,1 1,9 –1,6 4,1 1,0 –
11,5 5,0 1,1 --2,5 2,4 1,1 0,4
10,2 4,0 1,9 -2,6 1,6 1,6
1,7 6,6 5,9 2,6 5,6 27,3 41,8 19,1 14,7 29,6
-0,4 58,4 9,7 5,1 8,1 21,8 17,2 25,0 27,7 19,3
-0,1 20,7 6,6 2,8 0,3 44,1 11,0 70,5 85,7 41,8
1,5 3,8 4,3 1,6 1,5 20,2 12,8 25,0 20,8 34,9
2,5 12,5 6,1 1,4 1,7 15,9 9,6 19,8 20,7 18,1
n,a, 9,4 5,0 1,8 1,0 11,0 7,0 13,4 14,1 11,9
n,a, 7,7 5,1 2,5 2,4 2,4 5,8 10,5 10,8 10,0
*) Indeks harga eceran di luar bunga hipotik, Sumber : IMF, World Economic Outlook, Maret 2002
Lampiran
105
Tabel 5a Pengeluaran Pemerintah di Beberapa Negara Industri Utama
miliar mata uang masing-masing Negara
1997
1998
1999
2000
2001
Amerika Total (dolar) Defisit/surplus (% PDB)
1.621,8 -0,03
1.693,3 0,62
1,700,0 1,71
1,788,3 2.58
1.902,9 n.a.
Inggris Total (pound) Defisit/surplus (% PDB)
306.579 -2.58
313.836 -0.38
324.393 1,52
n.a. n.a.
n.a. n.a.
Italia Total (lira) Defisit/surplus (% PDB)
595,0 –1,57
611,3 –2,31
327,2 0,1
369,3 -1.24
n.a. n.a.
Jerman Total (mark) Defisit/surplus (% PDB)
1.214,65 –2,9
1.233,9 0.9
n.a. n.a.
n.a. n.a.
n.a. n.a.
Kanada Total (dolar) Defisit/surplus (% PDB)
186,95 0,61
193,58 0,33
201,44 0,92
210,96 1,34
n.a. n.a.
Perancis Total (frank) Defisit/surplus (% PDB)
3.789,2 -3,5
n.a. n.a.
n.a. n.a.
n.a. n.a.
n.a. n.a.
Sumber : - IMF. International Financial Statistics, Maret 2002
106
Lampiran
Tabel 5b Pengeluaran Pemerintah di Beberapa Negara Berkembang1)
Kelompok Negara/Negara
1997
1998
: Total (triliun rupiah) Defisit/surplus (%) Philipina : Total (miliar peso) Defisit/surplus (%) Malaysia : Total (miliar ringgit) Defisit/surplus (%) Singapura : Total (miliar dolar Sing) Defisit/surplus (%)
112,893 -0.67 466,69 0,33 59,109 2,35 29,222 9.70
174,92 -2.95 511,08 -10,82 60,371 -1,76 25,56 16.72
223,462 -1.14 585,43 23,35 68,210 -3,17 26,70 10.26
n.a. n.a. 638,7 -26,99 n.a. n.a. 30,068 11.38
299,7 -34,3 706,433 n.a. n.a. n.a. n.a. n.a.
Thailand
875,714
842,581
833,042
852,97
908.654
-317,73
-2.786,08
-3.340,84
2.205,30
n.a.
: Total (miliar peso)
46.174,3
47.108,3
49.214,2
49.365,9
n.a.
Defisit/surplus (%)
-1,49
-1,39
-2,87
-2,40
n.a. n.a.
ASEAN Indonesia
: Total (miliar baht) Defisit/surplus (%)
1999
2000
2001
Negara-negara lainnya Argentina Brasil
: Total (juta reais) Defisit/surplus (%)
Korea
: Total (miliar won) Defisit/surplus (%)
Meksiko
n.a.
n.a.
n.a.
n.a.
-29,83
n.a.
n.a.
n.a.
79,004
107.494
112.826
83.896
n.a.
-1.27
-2.97
-3.21
0.43
n.a.
: Total (miliar peso)
505,902
556,079
689,921
848,502
n.a.
Defisit/surplus (%)
-1.074,60
-1.444,60
-1.553,66
-1.274,90
n.a.
1) Data dari Triwulan I + II + III + IV, kecuali Total Data Korea tahun 2000 dari triwulan I + II + III Sumber : - IMF. International Financial Statistics, Maret 2002
Lampiran
107
Tabel 6 Harga dan Volume Perdagangan Dunia
Kelompok Negara/Negara Perdagangan barang dan jasa Perdagangan dunia Volume Deflator harga Dalam dolar AS Dalam SDR Volume perdagangan Ekspor Negara-negara maju Negara-negara berkembang Impor Negara-negara maju Negara-negara berkembang Nilai tukar dagang Negara-negara maju Negara-negara berkembang Perdagangan barang Perdagangan dunia Volume Deflator harga Dalam dolar AS Dalam SDR Harga dalam dolar AS Manufaktur Minyak Komoditas primer nonmigas Harga dalam dolar SDR Manufaktur Minyak Komoditas primer nonmigas Volume perdagangan Ekspor Negara-negara maju Negara-negara berkembang Pengekspor migas Bukan pengekspor migas Impor Negara-negara maju Negara-negara berkembang Pengekspor migas Bukan pengekspor migas Deflator harga dalam SDR Ekspor Negara-negara maju Negara-negara berkembang Pengekspor migas Bukan pengekspor migas Impor Negara-negara maju Negara-negara berkembang Pengekspor migas Bukan pengekspor migas Nilai tukar dagang Negara-negara maju Negara-negara berkembang Pengekspor migas Bukan pengekspor migas Sumber : IMF, World Economic Outlook, Maret 2002
108
Lampiran
1997
1998
1999
2000
2001
Proyeksi 2002 2003
10.5
4.2
5.3
12.4
0.3
2.1
6.6
–6.1 –0.9
–4.5 –3.1
–1.9 –2.7
–0.7 2.9
–3.3 0.2
–0.6 0.2
1.2 1.0
10,5 13.9
4.0 4.8
5,1 4.1
11,7 15.2
-0,9 3.0
0,7 4.5
6.2 7.0
9,3 11,8
5.9 –0.9
7.7 1.2
11.5 15.9
–0.8 3.3
1.4 6.2
6.5 7.9
-0,5 –0.7
1,4 –6.8
-0,3 4.7
-2,3 6.8
0,4 –2,6
1.3 –3.3
0.4 –0.1
10,6
4.6
5.6
12.8
–0.1
2.2
6.7
-6,3 –1.1
–5.4 –4.0
–1.9 –2.7
0.2 3.9
–3.4 0.1
–0.8 ---
1.2 1.1
–8.0 -5,4 -3,0
-1,8 -32,1 -14,7
-1,9 37,5 -7,0
-5,1 57.0 1.8
-2,2 -14.1 -5.5
-1,8 -17.6 –0.1
1.3 --7.2
-3.0 -0,2 2,4
-0,4 -31,2 -13,4
-2,7 36.5 -7,8
-1,6 62.8 5.6
1.3 -11,0 -2.1
–1.0 -16.9 0.8
1.1 –0.1 7.0
10.9 12.8 5.0 15.2
4.3 4.7 2.0 5.5
5.2 4.6 --5.6
12.0 15.5 6.9 17.8
–1.3 2.5 0.3 3.2
0.9 4.1 –2.9 6.2
6.5 6.7 3.0 7.6
10.0 10.2 14.1 9.5
5.9 0.4 3.1 ---
8.7 0.7 –1.1 1.0
11.9 16.5 10.8 17.4
–1.1 2.1 9.3 1.0
1.4 6.5 2.9 7.1
6.6 8.2 4.8 8.8
-2,2 1.3 1.4 1.3
–3.4 –10.7 –26.6 –6.1
–3.4 5.0 27.6 0.2
1.0 13.6 46.9 4.9
0.2 –1.9 –7.6 ---
1.1 –3.5 –13.3 0.7
1.2 1.2 --1.4
-1,6 2.3 1.0 2.5
-4,9 –4.4 -0.9 -5.0
–3.4 0.3 -2.0 0.7
3.7 6.2 3.9 6.6
–0.1 1.1 2.8 0.8
–0.1 -0.2 1.6 -0.6
0.8 1.3 1.8 1.2
-0.6 -0.9 0.4 -1.1
1.6 -6.5 -25.9 -1.2
--4.7 30.2 -0.5
-2.6 7.0 41.4 -1.5
0.4 -2.9 -10.1 -0.8
1.1 -3.3 -14.7 -0.1
0.4 -0.1 -1.7 0.3
Tabel 7 Nilai Tukar Dagang Negara Industri dan Negara Berkembang
1998
1999
2000
2001
Proyeksi 2002 2003
-0,5 -0,4 1.6 3.3 1.5 -3.7 -1.9 -0.7 ---0.7
1,4 2,1 3.5 2.2 2.0 3.2 2.0 -4.1 1.1 0.3
-0,3 0.2 -0.9 0.7 -0.5 -0.6 0.6 1.1 -0.3 -0.3
-2,3 -2,9 -2.5 1.1 -6.0 -4.5 -4.6 4.2 -2.5 -1.3
0,4 0,9 3.7 0.4 -0.2 -1.2 -0.1 -1.1 1.1 -0.4
1.3 2.0 5.4 0.1 1.0 2.9 0.9 -3.9 -0.4 0.2
0.4 0.5 1.5 -0.5 -0.2 -0.1 --0.2 -0.4 0.2
Negara-negara berkembang
-0.9
-6.5
4.7
7.0
-2.9
3.3
-0.1
Negara industri baru Asia (NIEs) Afrika Amerika Latin Asia Timur Tengah, Malta dan Turki Sub-Sahara Afrika
-1.2 -1.0 -2.4 -0.5 0.4 -2.8
0.3 -9.7 -7.1 0.4 -18.5 -9.1
-1.1 6.0 0.1 -0.7 23.5 6.7
-4.6 16.6 6.7 -3.4 28.0 12.9
-1.5 -5.5 -3.4 ---7.4 -6.0
1.1 -7.9 -2.2 0.2 -9.9 -6.8
0.1 0.4 0.2 0.3 -1.6 1.1
Kelompok Negara/Negara
1997
Negara-negara maju Negara-negara industri utama Amerika Serikat Inggris Italia Jepang Jerman Kanada Perancis Negara-negara maju lainnya
Sumber : IMF, World Economic Outlook, Maret 2002
Lampiran
109
Tabel 8 Perkembangan Harga Komoditas Primer
20011)
20022)
Kelompok Negara/Negara
1997
1998
1999
2000
Minyak (US$/barel) London Spot Brent Blend
19,12
12,72
17,70
28,31
24,41
114,3
Kopi (US$/pound) Dari Brasil (di New York)
166,80
121,81
88,92
79,80
50,50
29,2
Emas (US$/fine ounce) Inggris
331,10
294,20
278,78
279,00
278,43
73,1
Nikel (US$/pound) Inggris
314,10
209,72
272,27
391,48
270,78
73,7
47,44
46,61
45,31
47,36
48,88
...
Timah (sen $/pound) London
255,85
251,12
244,55
246,57
203,64
62,4
Tembaga (sen $/pound) Inggris
103,20
75,01
71,33
82,31
71,68
51,4
Karet (US$/pound) Semua jenis (di New York)
1) Triwulan I + II + III + IV 2001 2) Januari 2002 Sumber : IMF, International Financial Statistics, Maret 2002
110
Lampiran
Tabel 9 Cadangan Devisa Negara Industri dan Negara Berkembang1)
miliar juta SDR Kelompok Negara/Negara Cadangan internasional Negara-negara industri Negara-negara industri utama Amerika Serikat Inggeris Italia Jepang Jerman Kanada Perancis Negara-negara berkembang Negara-negara ASEAN Indonesia Philipina Malaysia Singapura Thailand
20011)
20022)
1997
1998
1999
2000
1.292,3
1.277,9
1.402,2
1.578.8
1.707.5
n.a.
603,3
573,9
614,7
677,5
707,8
n.a.
52,8 24,6 43,6 163,6 60,8 13,3 25,8
59,4 23,7 24,1 153,9 56,7 16,6 35,1
53,2 26,9 19,1 209,9 48,4 20,6 32,3
52,6 34,2 22,4 273,3 47,6 24,5 31,8
55,0 30,1 n.a. 315,3 n.a. 27,1 28,7
54,7 28,8 n.a. 318,0 n.a. 26,9 28,2
689,0
704,0
787,5
901,2
999,7
n.a.
12,4 5,6 15,5 52,8 19,5
16,2 6,7 18,2 53,2 20,6
19,4 9,9 22,3 56,0 24,9
22,0 10,2 22,7 61,5 24,7
21,8 11,0 24,3 60,0 25,8
21,8 n.a. n.a. n.a. 26,7
1) Desember 2001 2) Januari 2002 Sumber : IMF, International Financial Statistics, Maret 2002
Lampiran
111
Tabel 10 Neraca Transaksi Berjalan Negara Industri dan Negara Berkembang
dalam persen Proyeksi 2002 2003
Kelompok Negara/Negara
1999
2000
2001
Negara-negara maju Negara-negara industri utama Amerika Serikat Inggris Italia Jepang Jerman Kanada Perancis Negara-negara maju lainnya
-0,5 -1,0 -3,5 -1,1 0,5 2,4 -0,9 0,2 2,6 2,0
-1,0 -1,6 -4,5 -1,8 -0,5 2,5 -1,0 2,5 1,8 2,0
-0,8 -1,4 -4,1 -1,3 0,3 2,1 0,1 2,7 2,5 2,0
-0,8 -1,4 -4,0 -2,1 0,6 3,0 0,7 1,8 2,4 2,0
-0.8 -1.3 -4.0 -2.3 1,0 3,4 0.8 2,0 2,1 2,0
Negara industri baru Asia (NIEs) Hong Kong Korea Singapura Taiwan
7,1 7,3 6,0 25,9 2,9
5,1 5,4 2,7 23,6 2,9
4,6 5,6 2,1 23,1 2,1
4,4 6,2 1,4 20,8 3,1
4,2 7,6 0,2 20,6 3,5
Negara-negara ASEAN Indonesia Philipina Malaysia Thailand
9,2 4,1 10,0 15,9 10,2
7,9 5,2 12,1 9,4 7,5
5,5 3,4 5,6 7,5 5,4
3,7 1,0 3,6 5,1 4,8
2,9 3,5
Negara-negara dalam transisi Eropa Tengah Rusia
-5,7 11,8
-5,2 18,0
-5,1 11,2
-4,9 6,1
-5,2
Sumber : IMF, World Economic Outlook, Maret 2002
112
Lampiran
3,5
Tabel 11 Neraca Perdagangan Negara Industri dan Negara Berkembang
miliar dolar AS Kelompok Negara/Negara
1996
1997
1998
1999
2000
20011)
Negara-negara industri utama Amerika Serikat Inggris Italia Jepang Jerman Kanada Perancis
-189,4 -21.2 54,1 83,6 69.4 31.1 14.9
-196,2 -20.2 39,9 101,6 70.1 18.6 26.9
-244.7 -343.12 -36.1 -44.5 35,6 23,4 122,4 123,3 76.9 70.1 15.3 25.8 24.9 18.0
-449.6 -45.3 10,7 116,7 57.3 39.8 1.1
-144.3 -12.6 4.9 18.4 21.5 8.3 1.3
n.a. n.a. n.a. n.a. n.a. n.a. n.a.
Negara industri baru Asia (NIEs) Hong Kong Korea Singapura Taiwan
-17,8 -15.0 2.2 13,6
-20,6 -3.2 1.1 7,7
-7,8 41.6 14.8 5,9
-3,2 28.4 11.2 11,2
-8,2 16.9 11.4 8,5
-1,5 3.1 n.a. 12,6
n.a. n.a. n.a. n.a.
Negara-negara ASEAN Indonesia Philipina Malaysia Thailand
-5.9 -11.3 3.8 -9.5
10.1 -11.1 3.5 1.6
18.4 -2.8 17.5 16.2
20.6 5.0 22.6 14.0
25.0 6.9 n.a. 11.8
6.1 1.4 n.a. 2.5
n.a. n.a. n.a. n.a.
Lampiran
113
2002
1) Triwulan III 2) Triwulan I Sumber : IMF, International Financial Statistics, Maret 2002
Tabel 12 Ekspor Negara Industri dan Negara Berkembang
miliar dolar AS Kelompok Negara/Negara
1996
Negara-negara industri utama Amerika Serikat Inggris Italia Jepang Jerman Kanada Perancis
625,07 262,10 251,00 410,90 524,20 201,63 241,07
20011)
1997
1998
1999
2000
688,70 281,06 240.40 420,96 512,43 214,42 289,95
682,14 271,84 245.70 387,93 543,40 214,33 305,64
702,10 268,19 235.18 419,37 542.87 238,45 300,76
781,13 281,56 238,26 479,25 549,60 276,64 298,84
n.a. 270.4 179,74 306,99 426,78 199,72 217,64
Negara-negara berkembang Pengekspor minyak Bukan pengekspor minyak
224,50 253,94 735,10 1.633,51
200,23 1.572,79
233,37 1.655.88
340,35 1.992,73
n.a. 953,6
Negara-negara industri baru Asia (NIEs) Hong Kong SAR Korea Singapura Taiwan
180,75 129,72 124,12 115,73
188,06 136,16 109,90 121,08
174,00 132,31 114,68 110,52
173,89 143,68 137,00 121,50
201,86 172,27 137,88 147,78
142,56 114,12 92,32 62,78
49,81 20,54 78,33 55,72
53,44 24,88 78,74 57,37
48,85 29,41 73,30 54,46
48,67 36,58 84,46 58,44
62,12 39,78 98,14 69,06
10,10 23,91 22,74 49,09
Negara-negara ASEAN Indonesia Philipina Malaysia Thailand
1) Triwulan I + II + III 2001 Sumber : IMF, International Financial Statistics, Maret 2002
114
Lampiran
Tabel 13 Impor Negara Industri dan Negara Berkembang
miliar dolar AS 2000
20011)
1.059,4 318,0 220,3 311,3 473,5 220,2 289,9
1.259,3 334,4 236,6 379,5 497,8 244,8 301,0
896,51 242,00 175,9 265,6 370,5 173,6 222,3
155,8 1.664,3
150,5 1.701,5
175,1 2.009,3
36,2 997,5
208,6 144,6 132,4 113,9
184,5 93,3 104,7 104,9
179,5 119,8 111,1 111,0
212,8 160,4 134,5 n.a.
152,3 106,7 88,5 n.a.
41,7 38,6 79,0 62,9
27,3 31,5 58,3 43,0
24,0 32,6 65,0 50,3
33,5 33,8 82,2 61,9
9,2 24,4 19,2 47,4
Kelompok Negara/Negara
1996
1997
1998
1999
Negara-negara industri utama Amerika Serikat Inggris Italia Jepang Jerman Kanada Perancis
822,0 287,4 206,9 349,2 458,8 175,0 235,1
899,0 306,6 210,3 338,8 445,6 200,9 271,9
944,4 314,0 218,4 280,5 471,4 206,1 288,4
157,6 1,703,9
171,6 1.823,5
198,6 150,3 131,4 101,3
42,9 34,3 78,4 72,3
Negara-negara berkembang Pengekspor minyak Bukan pengekspor minyak Negara industri baru Asia (NIEs) Hong Kong Korea Singapura Taiwan Negara-negara ASEAN Indonesia Philipina Malaysia Thailand
1) Triwulan I + II + III + IV Sumber : IMF, International Financial Statistics, Maret 2002
Lampiran
115
Tabel 14 Utang Luar Negeri dan Debt Service Payment Negara-negara Berkembang
Kelompok Negara/Negara
1998 Total
Negara berkembang Afrika Asia Timur Tengah, Malta dan Turki Amerika Latin
2.108,4 290,4 697,0 368,1 752,3
Negara dalam transisi Eropa Tengah dan Timur Negara Persemakmuran Bebas dan Mongolia Rusia Di luar Rusia Sumber : IMF, World Economic Outlook, Maret 2002
116
Lampiran
1999
DSP
2000
Total DSP
317,1 2.145,3 26,5 291,3 98,7 702,3 35,8 384,3 156,2 767,5
Total
345,0 2.101,1 26,2 277,2 96,7 674,9 38,0 396,0 184,1 753,1
Proyeksi 2002 2003
2001
DSP
Total DSP Total DSP
351,8 2.089,0 27,4 274,5 99,2 675,7 40,9 398,4 184,3 740,3
342,2 2.113,8 26,1 266,7 101,3 686,6 42,7 413,6 172,1 746,8
Total
DSP
328,2 2.119,7 33,0 266,0 99,7 716,0 39,2 419,7 146,3 717,9
330,5 25,2 104,7 43,3 157,3
360,8 167,9
50,2 29,5
359,2 173,3
47,0 28,8
359,5 177,5
48,3 32,2
360,0 184,7
50,1 32,9
366,8 194,1
48,9 31,4
366,7 203,9
57,1 33,8
192,9 158,2 34,7
20,8 16,3 4,5
185,9 144,3 41,6
18,2 12,9 5,3
181,9 140,7 41,2
16,1 9,8 6,3
175,4 131,2 44,2
17,1 12,4 4,7
172,7 126,0 46,7
17,6 12,6 5,0
162,8 114,0 48,8
23,3 18,4 4,9
Tabel 15 Perkembangan Suku Bunga Luar Negeri
Suku Bunga
5 April
Perubahan dari
Perubahan
Benchmark
2002
Des 2000 (bp)
Terakhir*
Global
GDP-weighted average
3.05
-235
Amerika Amerika Serikat
GDP-weighted average Federal funds rate
3.26 1.75
-431 -475
Kanada
Overnight funding rate
2.00
-375
15 Jan 02 (-25bp)
Brazil
SELIC overnight rate
18.50
275
20 Mar 02 (-25 bp)
11 Des 01 (-25bp)
Proyeksi Jun 02 Sep 02 Des 02 Mar 03 Des 03 3.14
3.56
3.67
3.88 3.93
3.50 2.00
4.33 3.00
4.21 3.00
4.59 4.47 3.50 3.50
2.50
3.00
3.50
3.75 3.75
18.00 18.00 17.00 16.50 14.25
Mexico
91-day Cetes rate
7.42
-975
31 Jul 01 (-50mil)
8.50
8.00
6.00
6.00 7.00
Chile
Discount rate
4.75
-325
12 Mar 02 (-75bp)
4.50
4.50
4.50
4.75 5.75
Eropa/Afrika
GDP-weighted average
3.64
-162
3.66
3.93
4.36
4.54 4.75
Euro
Refi rate
3.25
-150
8 Nov 01 (-50bp)
3.25
3.50
4.00
4.25 4.50
Inggris
Repo rate
4.00
-200
8 Nov 01 (-50bp)
4.25
4.75
5.00
5.00 5.00
Swedia
Repo rate
4.00
0
20 Mar 01 (+25bp)
4.25
4.50
4.75
5.00 5.25
Denmark
14-day CD rate
3.55
-185
1 Feb 02 (-5bp)
3.55
3.80
4.30
4.55 4.80
Norwegia
Deposit rate
6.50
-50
13 Des 01 (-50bp)
6.50
6.50
6.50
6.50 6.50 4.50 4.50
Republik Czech
2-week repo rate
4.25
-100
1 Feb 02 (-25bp)
4.25
4.25
4.50
Hungaria
2-week repo rate
8.50
-325
19 Feb 02 (-50bp)
8.00
8.00
8.00
8.00 7.00
Polandia
28-day intervention rate
10.00
- 900
31 Jan 02 (-150bp)
8.00
8.00
8.00
8.25 8.25
Afrika Selatan
Repo rate
11.50
-502)
15 Mar 02 (+100bp)
1.75
-175
7 Des 01 (-50bp)
1.75
2.00
2.25
2.25 2.75
-66 -200 -150
5 Des 01 (-25bp) 20 Mar 02 (+25bp)
2.05 4.50 5.25
2.10 5.00 5.50
2.14 5.25 5.75
2.15 2.22 5.25 5.75 5.75 6.25
Libor1)
12.50 12.50 12.50 11.50 11.50
Swiss
3-month Swiss
Asia/Pasifik Australia Selandia Baru
GDP-weighted average Cash rate Cash rate
2.06 4.25 5.00
Jepang
Overnight call rate
0.00
-25
19 Mar 01 (-15 bp)
0.00
0.00
0.00
0.00 0.00
Hong Kong
Discount window base
3.25
-475
12 Des 01 (-25bp)
3.50
4.00
4.50
5.00 5.00
China
1-year working capital
5.31
-54
20 Feb 02 (-54 bp)
5.30
5.30
5.30
5.30 5.60
Korea
Overnight call rate
4.00
-125
19 Sep 01(-50bp)
4.00
4.25
4.50
4.50 5.25
Indonesia
1-month SBI rate
16.74
232
not applicable
India
Bank rate
6.50
-150
22 Okt 01 (-50bp)
6.50
6.50
6.50
6.50 6.50
Philipina
Reverse repo rate
7.00
-650
15 Mar 02 (-25bp)
7.00
7.00
7.25
7.25 7.50
Thailand
14-day repo rate
2.00
50
21 Jan 02 (-25bp)
2.00
2.00
2.25
2.25 2.50
Taiwan
Official discount rate
2.13
-250
27 Des 01 (-12.5bp)
2.13
2.38
2.63
2.88 2.88
15.50 15.00 14.50 14.00 12.50
* Untuk Mexico perubahan ini mencerminkan pergerakan akhir dari “corto” 1) Level saat ini dan proyeksi mengacu pada nilai tengah kisaran target SNB 2) 100bp sesuai dengan penyesuaian tekhnis atas repo rate Sumber : JP Morgan
Lampiran
117
Tabel 16a Uang Beredar di Negara-negara Industri Utama
Negara
1997
1998
1999
2000
2001
20021)
Amerika Serikat (miliar dolar)
M1 M2
1.096,9 4.051,4
1.120,4 4.406,4
1.148,3 4.675,9
1.112,3 4.966,0
1.202,8 5.364,4
1.184,8 5.468,4
Inggris (miliar pound)
M0 M2 M4
27,8 837,4 722,2
29,4 900,1 783,2
32.8 932,3 815.0
34.6 971,4 882,7
37.3 1.120,6 942.5
n.a.
Italia (triliun lira)
M1 M2
645,8 931,0
717,7 975,3
459.3 n.a.
487.2 n.a.
515.8 n.a.
n.a. n.a.
Jepang (triliun yen)
M1 M2
204,3 374,1
214,4 387,9
239,5 383,3
247.9 381,8
263,1 361,5
n.a. n.a.
Jerman (miliar deutsche mark)
M1 M2
872,9 1.265,7
930,6 1.322,1
n.a. n.a.
n.a. n.a.
n.a. n.a.
n.a. n.a.
Kanada (miliar canadian dolar)
M1 M2
169,9 377,7
179,6 380,4
199,2 388,1
225,2 444,4
n.a. n.a.
n.a. n.a.
Perancis (miliar france)
M1 M2
1.933,0 3.624,0
1.993,0 3.781,0
n.a. n.a.
n.a. n.a.
n.a. n.a.
n.a. n.a.
1) Januari 2002 Sumber : IMF, International Financial Statistics, Maret 2002.
118
Lampiran
n.a.
Tabel 16b Uang Beredar di Negara-negara Berkembang
Kelompok Negara/Negara
1996
1997
1998
1999
2000
2001
ASEAN Indonesia (triliun rupiah)
M1 M2
51.6 288,6
68.8 355,6
87.3 577,4
114.6 646,2
156.8 747,028
170.5 666.5
Philipina (miliar peso)
M1 M2
233.1 989,6
266.3 1.238,9
286.0 1.348,3
395.6 1.514,5
390.6 1.674,7
357.6 1.701.8
Malaysia (juta ringgit)
M1 M2
74.182,0 160.127,0
82.840,0 192.198,0
58.522,0 212.544,0
75,602.0 241.249,0
80.630 267.691
83.879 273.073
Singapura (juta dolar)
M1 M2
27.040,0 84.911
27.511,0 95.953
27.239,0 133.545
31,109.0 143.365
33.2621 137.636
36.114 144.826
Thailand (miliar baht)
M1 M2
423,7 3303,0
430,1 3911,6
451,0 4311,6
739.7 4.279,1
684,3 4.505,8
639,9 4.662,6
M1 M2
19.042,0 42.710,0
21.482,0 56.038,0
21.489,0 64.162,0
21,836,0 67,315,0
19.839,0 70.677,0
15.820,0 57.476,0
M1 M2
39.542,0 138.770,0
35.036,0 168.495,0
35.583,0 222.956,0
44.375,0 284.943,0
46.997 366.052,0
49.549,0 400.799,0
M1 M2
245.260,0 325.391,0 387.897,0 489,136.0 564,233 678.021,0 995.167,0 1.295.084,0 1.656.617,0 2.016.394,0 2.339.587,0 2.738.433,0
Negara-negara lainnya Argentina (miliar peso) Korea (miliar won)
Meksiko (miliar peso)
Sumber : - IMF, International Financial Statistics, Maret 2002.
Lampiran
119
Tabel 17 Perkembangan Nilai Tukar Dolar AS terhadap Mata Uang Utama
Rata-rata Periode
Dolar Kanada per $
Frank Perancis per $
Lira Italia per $
Mark Jerman per $
Pound Inggris per $
Euro Eropa per $
Yen Jepang per $
1996 1997 Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV
1,35
5,18
1.522,20
1,53
1,64
-
115,70
1,36 1,39 1,38 1,41
5,60 5,78 6,09 5,88
1.638,90 1.690,10 1.763,00 1.720,40
1,66 1,71 1,81 1,76
1,63 1,64 1,62 1,66
-
121,22 119,57 117,93 125,24
1998 Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV
1,43 1,47 1,53 1,54
6,10 6,06 5,60 5,62
1.792,63 1.782,00 1.649,00 1.659,90
1,82 1,81 1,67 1,68
1,65 1,67 1,70 1,66
1.17
128,31 138,77 136,45 113,60
1999 Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV
1,51 1,46 1,47 1,45
6,10 6,34 6,14 6,52
1.799,17 1.870,43 1.812,32 1.924,43
1,82 1,89 1,83 1,94
1,61 1,58 1,65 1,62
1.08 1.04 1.07 1.01
118,90 121,10 106,46 102,50
2000 Triwulan Triwulan Triwulan Triwulan
I II III IV
1,45 1,48 1,52 1,50
6,87 6,96 7,43 6,96
2.027,08 2,026,87 2,191,96 2,055,44
2,05 2,04 2,28 2,08
1,60 1,51 1,46 1,49
0,96 0,95 1,14 1,06
102,78 106,21 108,14 114,41
2001 Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV
1,57 1,51 1,57 1,59
6,87 7,72 7,20 7,37
2.206,07 2.279,31 2.154,52 2.176.81
2,05 2,30 2,15 2,20
1,41 1,42 1,47 1,45
1,13 1,18 0,91 0,89
125,51 124,65 119,56 131,66
2002 Triwulan I
1,59
7,52
2.222,2
2,24
1,43
0,87
132,73
Sumber : Bloomberg
120
Lampiran
Tabel 18 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah terhadap Mata Uang Utama
Akhir Periode
Rp/$
Rp/Y100
Rp/DM
Rp/FRF
Rp/EUR
Rp/GBP
1997 Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV
2.402,0 2.431,9 3.269,0 5.402,5
1.934,2 2.127,7 2.710,0 4.032,3
1.443,6 1.412,1 1.853,0 2.597,8
429,0 419,1 552,2 776,4
-
1998 Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV
8.550,0 14.950,0 10.850,0 8.000,0
6.316,2 10.526,3 7.936,5 6.940,0
4.506,7 8.245,7 6.401,6 4.776,9
1.352,1 2.459,8 1.909,2 1.424,3
-
1999 Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV
8.725,0 6.705,0 8.300,0 7.100,0
7.245,0 5.595,0 7.825,0 6.942,5
4.801,0 3.548,9 4.547,5 3.652,5
1.417,4 1.058,6 1.360,6 1.091,7
9.352,0 7.071,0 8.880,0 7.125,0
14.153,0 10.852,5 13.759,4 11.362,5
2000 Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV
7.580,0 8.760,0 8.775,0 9.675,0
7.374,0 8.250,0 9.515,0 8.456,4
3.702,5 4.280,0 3.964,2 4.651,4
1.110,1 1.283,2 1.188,5 1.390,1
7.245,0 8.375,0 7.757,0 9.120,5
12.076,4 13.250,0 11.348,8 14.415,8
2001 Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV
9.752,0 11.390,0 9.715,0 10.400,0
7.769,9 9.137,6 8.138,0 7.898,0
4.757,1 4.947,2 4.527,1 4.729,9
1.419,5 1.475,1 n.a. n.a.
8.630,1 9.670,1 8.860,0 9.270,0
13.750,3 16.120,3 14.323,3 15.127,8
2002 Triwulan I
9.825,0
7.400,0
4.379,0
n.a.
8.585,0
13.969,9
-
-
3.963,9 4.085,4 5.284,5 7.708,8
13.957,3 24.842,1 18.285,8 13.336,0
Sumber : Bloomberg
Lampiran
121
Tabel 19 Perkembangan Indeks Harga Saham di Beberapa Pasar
Akhir Periode
Hong Kong Jakarta London New York Singapura Tokyo Stock Stock Stock Stock Stock Stock Exchange Exchange Exchange Exchange Exchange Exchange Hang Seng
IHSG
FT Index Dow Jones
ST Index
Nikkei
1997 Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV
12.534,3 15.196,8 15.049,3 10.722,8
662,2 724,6 546,7 401,7
4.312,9 4.604,6 5.244,2 5.135,5
6.583,5 7.672,8 7.945,3 7.908,3
1.894,8 1.921,5 1.861,1 1.507,7
18.003,4 20.605,0 17.887,7 15.258,7
1998 Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV
11.518,7 8.543,1 7.883,5 10.048,6
541.4 445,9 276,2 398,0
5.932,2 5.832,5 5.064,4 5.882,6
8.799,8 8.952,0 7.842,6 9.181,4
1.484,4 1.009,2 939,7 1.392,7
16.527,2 15.830,3 13.406,4 13.842,2
1999 Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV
10.942,2 13.532,1 12.733,2 16.962,1
393,6 662,0 547,9 676,9
6.295,3 6.318,5 6.029,8 6.930,2
9.786,16 10.970,8 10.337,0 11.497,1
1.518,3 2.167,7 2.021,9 2.479,1
15.836,6 17.529,7 17.605,5 18,934,3
2000 Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV
17.406,5 16.155,8 15.648,0 15.095,5
583,3 515,1 415,5 416,3
6.540,2 6.312,7 6.264,1 6.222,5
10.921,9 10.447,9 10.650,9 10.786,8
2.132,6 2.038,0 1.986,7 1.926,8
20.337,3 17.441,1 15.747,0 13.785,7
2001 Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV
12.760,6 13.042,5 9.950,7 11.397,2
381,1 437,6 392,5 392,0
5.633,7 5.642,5 4.903,4 5.217,4
9.878,8 10.502,4 8.847,6 10.021,5
1.674,2 1.726,5 1.319,5 1.623,6
12.999,7 12.969,1 9.774,6 10.542,6
2002 Triwulan I Sumber : Bloomberg
122
Lampiran
11.032,9
481,8
5.271,8
10.403,9
1.803,2
11.024,9
Tabel 20 Private Capital Flows ke Emerging Market
miliar dolar AS Proyeksi 2002 2003
Kelompok Negara
1996
1997
1998
1999
2000
2001
Total Emerging Market Total Net Private Capital Inflows1) Net Foreign Direct Investment Net Portfolio Investment Net Other Investment
231.8 119.5 85.9 26.5
114.6 145.1 48.3 -78.9
65.6 155.1 -1.6 -87.9
65.1 158.9 31.5 -125.3
17.1 156.2 -5.7 -133.5
49.2 173.2 -13.1 -111.0
68.1 157.4 10.7 -100.0
96.7 165.7 11.3 -80.3
Negara-negara di Asia yang mengalami krisis2) Total Net Private Capital Inflows Net Foreign Direct Investment Net Portfolio Investment Net Other Investment
74.3 11.7 26.9 35.7
-5.6 10.2 8.9 -24.7
-31.6 11.5 -9.0 -34.1
-13.9 14.5 11.9 ---
-16.5 13.5 7.1 -37.0
-18.7 10.3 3.1 -32.0
-5.9 9.7 6.0 -21.5
-3.9 11.4 1.4 -16.7
Negara-negara di Asia lainnya Total Net Private Capital Inflows Net Foreign Direct Investment Net Portfolio Investment Net Other Investment
50.5 45.7 3.5 1.3
22.9 49.7 -0.1 -26.6
-14.2 48.5 -6.3 -56.3
10.4 43.0 0.9 -33.5
6.0 41.7 -2.7 -33.1
51.7 44.0 -6.9 14.7
24.1 49.4 1.0 -26.3
19.0 50.3 -0.8 -30.4
Afrika Total Net Private Capital Inflows Net Foreign Direct Investment Net Portfolio Investment Net Other Investment
11.3 4.3 2.8 4.2
8.6 8.1 7.0 -6.5
10.0 6.8 3.7 -0.5
11.0 8.9 8.7 -6.6
7.4 7.3 -2.4 2.4
8.1 21.9 -8.8 -5.0
7.5 10.6 3.4 -6.5
11.9 12.2 3.5 -3.8
Amerika Latin Total Net Private Capital Inflows Net Foreign Direct Investment Net Portfolio Investment Net Other Investment
66.4 40.3 38.8 -12.7
70.6 56.2 25.9 -11.7
71.3 60.6 18.7 -8.0
42.8 63.7 11.1 -32.0
44.4 63.1 4.6 -23.3
27.2 68.2 7.1 -48.2
39.7 46.9 4.4 -16.7
52.7 53.5 7.8 8.7
Timur Tengah Malta dan Turki Total Net Private Capital Inflows Net Foreign Direct Investment Net Portfolio Investment Net Other Investment
7.0 4.7 0.6 1.7
15.0 5.2 -0.9 10.7
9.8 6.3 -13.2 16.6
0.8 5.4 -4.2 -0.4
-24.8 7.7 -15.1 -17.4
-26.5 6.6 -10.1 -23.0
-9.0 7.5 -7.1 -9.4
0.1 9.0 -4.4 -4.5
Negara-negara dalam transisi Total Net Private Capital Inflows Net Foreign Direct Investment Net Portfolio Investment Net Other Investment
19,3 12.5 13.3 -3.6
3.0 15.8 7.5 -20.2
20.3 21.4 4.5 -5.6
13.9 23.4 3.1 -12.5
0.5 22.8 2.8 -25.0
7.3 22.2 2.5 -17.4
16.7 33.3 3.1 -19.6
17.0 29.3 3.9 -16.2
1) Net Foreign Direct Investment ditambah Net Portfolio Investment dan Net Other Investment 2) Indonesia, Korea, Malaysia, Philipina, dan Thailand Sumber : IMF, World Economic Outlook, Maret 2002
Lampiran
123
DAFTAR SINGKATAN
AFMM
APEC Finance Ministers ‘ Meeting
AS
Amerika Serikat
ASEAN
Association of South East Asian Nation
BOD
Board of Directors
BOG
Board of Governors
CGE
Computable General Equilibrium
CPI
Consumer Price Index
DJIA
Dow Jones Industrial Average
EC
Economic Committee
EMEAP
Executives’ Meeting of East Asia Pacific Central Banks
EXCO
Executive Committee
FDI
Foreign Direct Investment
Fed Res
Federal Reserve
FSF
Financial Stability Forum
G-7
Group-7 (Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Inggris, Perancis, Kanada, Italia)
G-15
Group-15 (Aljazair, Argentina, Brazil, Chili, India, Indonesia, Jamaika, Kuba, Malaysia, Meksiko, Mesir, Peru, Srilanka, Thailand, Venezuela, Zimbabwe)
G-20
Group-20 (Afrika Selatan, Amerika Serikat, Argentina, Australia, Brazil, Cina, Perancis, Jerman, Kanada, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Korea, Meksiko, Rusia, Saudi Arabia, Turki, Uni Eropa, IMF dan Bank Dunia)
HLIs
Highly Leverage Institutions
HKMA
Hong Kong Monetary Authority
HRD
Human Resource Development
ICT
Information, Communication and Technology
IFA
International Financial Architecture
IFI
International Financial Institution
IHK
Indeks Harga Konsumen
IHSG
Indeks Harga Saham Gabungan
IMF
International Monetary Fund
IT
Information Technology
JCI
Jakarta Composite Index
KBE
Knowledge Base Economy
KIEP
Korean Institute of International Economy Policy Lampiran
125
KCH
Knowledge Clearing House
Kospi
Korea Stock Price Index
m-o-m
month on month
NKY
Nikkei 225
OECD
Organization for Economic Cooperation and Development
OPEC
Organization of Petroleum Exporting Countries
PDB
Produk Domestik Bruto
PHK
Pemberhentian Hubungan Kerja
PMI
Purchasing Manager Index
PPN
Pajak Pertambahan Nilai
q-o-q
Quarter on Quarter
R&D
Research and Development
SIBOR
Singapore Interbank Offer Rates
S&P
Standard and Poors
SOM
Senior Official Meeting
SET
Stock Exchange of Thailand
SEACEN
South East Asia Central Banks
STI
Strait Time Index
TI
Teknologi Informasi
TILF
Trade and Investment Liberalization Facilitation
UKM
Usaha Kredit Menengah
USD
United States Dollar
WTO
World Trade Organization
y-o-y
year on year
126
Lampiran
Tim Penyusun : Nanang Hendarsah, Syahrul Baharsyah, Shinta R. I. Soekro, Yati Kurniati, Ferry Syarifuddin, Gunawan B. Padoli, M. Noor Nugroho, M. Taufik Amrozy , Evie Sylviani, Aswin Kosotali, Indah Nuryani , Sari H. Binhadi, Indira Maya Kader, Christine Henny Lydia Pepah Artikel : Achjar Iljas, Indira Maya Kader , Christine Henny Lydia Pepah Data Support : Dewi Kriswanti Editor : Difi A. Johansyah, Benny Siswanto, Aida S. Budiman, Shinta R.I. Soekro Layout dan Design : Sunarto, Oke Sofyan