ISSN 1693-7945
PERANAN INDUSTRI PENGOLAHAN PANGAN PADA KOMODITAS PADI Oleh: Wiwik Ambarsari Fakultas Pertanian (FP) Universitas Wiralodra
PENDAHULUAN Pangan di Indonesia dapat didefinisiskan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 dan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 yaitu segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Pada pengertian pangan ini mengandung arti bahwa pangan yang dapat berasal dari hasil pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, dan peternakan yang dapat diolah maupun tidak dapat diolah. Mengingat, kebutuhan akan pangan semakin meningkat dikarenakan jumlah penduduk yang semakin meningkat, tingkat pengetahuan akan pangan semakin meningkat mengenai hal kandungan gizinya, mutunya, keamanan dan kenyamanannya, serta selera konsumen terhadap pangan yang menginginkan kembali ke alam dengan produk organik (alami) tanpa pengawet buatan yang dapat membahayakan bagi kesehatan tubuh sudah mulai tumbuh. Industri pangan terus mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan (science) dalam berbagai bidang untuk dapat memenuhi tuntutan konsumen atau manusia secara luas. Hal ini memberikan ruang gerak atau tantangan bagi industri pengolahan pangan sebagai pabrik pangan agar dapat memberikan kebutuhan pangan yang sesuai dengan tuntutan selera konsumen tersebut dan jumlah pangan yang semakin meningkat. Tentunya dibutuhkan suatu sistem yang dapat mengolah bahan makanan yang dapat mengatasi permasalahan tersebut dan didukung oleh teknologi yang semakin modern, yaitu industri pengolahan pangan yang modern. Kebutuhan pangan utama bagi masyarakat Indonesia adalah salah satunya beras yang berasal dari padi, seperti yang telah menjadi kebijakan Departemen Pertanian yang telah menetapkan 17 komoditas menjadi prioritas pembangunan pertanian lima tahun mendatang (2005 – 2010), diantaranya adalah padi, jagung, kedelai, kelapa, cengkeh, tanaman obat, pisang, jeruk, bawang merah, anggrek, sapi, kambing dan domba, unggas, kelapa sawit, karet dan kakao. Empat belas komoditas yang menjadi mandat prioritas Puslitbang/Balai Besar yang berada di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Pertanian, teridentifikasi tujuh komoditas yang memiliki prospek untuk dikembangkan agroindustrinya yaitu: padi, jagung, kelapa, cengkeh, pisang, jeruk, dan hasil ternak. Kebijakan tersebut menjadi jelas bahwa padi sebagai salah satu komoditas yang harus dikembangkan melalui industrinya agar memberikan nilai tambah bagi produknya. Hal ini dilihat dari turunan gabah (http://www.litbang.deptan.go.id) sebagai dasar bagi industri pengolahan pangan lanjutan menjadi beras (55%), beras patah dan menir (25%) untuk tepung beras, dan limbah sekam (20%). Tentunya pemerintah berpikir keras agar komoditas padi dapat dikembangkan melalui pengolahan industri pangannya agar mutu beras dan gabah semakin baik sehingga dibutuhkan sarana dan prasarana penanganan pascapanen dalam industrinya yang paling mutakhir, mulai dari panen, mesin perontokan (Power thresher) padi yang modern, pengeringan atau mesin pengeringan padi, penggilingan, lantai jemur sesuai dengan anjuran, dan sarana penunjang lainnya. Dewasa ini, sudah banyak produk-produk beras seperti beras organik, beras aromatik, ataupun beras pintar. Selain itu, kue-kue sudah mulai mencoba untuk menggunakan tepung beras dengan melepaskan tepung terigu yang berasal dari gandum. 1
ISSN 1693-7945
Berdasarkan kondisi ini bagaimana industi pengolahan pangan dapat menjawab permasalahan pangan yang berasal dari komoditas padi sehingga lebih berkembang lagi dalam pemenuhan kebutuhan pangan manusia dengan melihat peranan industri pengolahan pada komoditas padi. RANCANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN PANGAN Industri pengolahan pangan yang menjadi pabrik pangan sebelum melakukan kegiatan industrinya maka terlebih dahulu harus direncanakan agar hasil yang diperoleh sebagai keluaran dapat diharapkan dan sesuai dengan keinginan, terutama memiliki kualitas yang baik, kuantitas yang sesuai dengan kebutuhan pasar, dan memiliki kontinuitas yang stabil. Perlu diperhatikan pengertian dari rancangan, industri pengolahan, dan pangan. Menurut Legowo (2013) bahwa pengertian dari rancangan (design) itu sendiri adalah suatu kegiatan atau usaha melalui pertimbangan logis dan perhitungan, yang bila dilaksanakan nanti akan memberikan hasil yang pasti atau dapat diprediksi (predictable). Pengertian industri pengolahan (plant), yaitu suatu unit atau perusahaan atau pabrik pengolahan. Bentuk dari pangan (food) adalah berupa makanan dan minuman. Berdasarkan ketiga pengertian tersebut maka rancangan industri pengolahan pangan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dilakukan di dalam industri atau pabrik makanan atau minuman berdasarkan pertimbangan dan perhitungan sehingga akan memberikan hasil yang pasti dan dapat diprediksi pada saat awal merencanakannya. Ruang rancangan yang meliputi pabrik yang baru atau pengembangan pabrik yang sudah beroperasi memiliki beberapa faktor yang mempengaruhinya, yaitu faktor teknis dan faktor non teknis. Faktor-faktor teknis, meliputi : (1) perencanaan dan pengembangan produk, (2) perencanaan proses, (3) perencanaan dan pemilihan lokasi pabrik, dan (4) perencanaan fasilitas produksi. Faktor-faktor non teknis, meliputi: (1) perencanaan biaya dan analisis ekonomi, dan (2) aspek hukum, paten, dan kontrak. Faktor-faktor teknis meliputi: (1) Perencanaan & Pengembangan Produk Sebelum perusahaan atau pabrik pengolahan didirikan atau beroperasi, maka harus menentukan terlebih dahulu produk apa yang akan diproduksi. Hal ini dikarenakan pada produk yang telah ditentukan dan diproduksi tidak dapat diubah dalam jangka waktu pendek. (2) Perencanaan Proses Proses adalah langkah-langkah merubah bahan mentah (baik secara fisik, kimiawi, dan mikrobiologis) menjadi produk olahan dengan menggunakan peralatan, tenaga kerja, dan bahan pembantu sehingga diperoleh nilai tambah yang tinggi. Proses dipilih atas pertimbangan teknis dan ekonomis agar prosesnya tepat dan efisien, sehingga keuntungan optimal. Pada perencanaan proses terdapat factor-faktor pemilihan proses, seperti : a. Jenis dan macam ralatan, seperti kapasitas, sistem proses Batch atau Continous, harga atau biaya, suku cadang, dan maintenance. b. Spesifikasi bahan mentah dan hasil olahan, seperti keunggulan dan kelemahan (sensory & hidden characteristics). c. Sumber daya dan tenaga kerja, seperti fasilitas daya, tenaga ahli, dan buruh. (3) Perencanaan dan Pemilihan Lokasi Pabrik Pemilihan lokasi perusahaan atau pabrik yang tepat akan menunjang kegiatan produksi dan kegiatan lain secara optimal. Pabrik dengan lokasi yang tepat maka akan diperoleh keuntungankeuntungan, diantaranya: (a) memperoleh bahan baku yang baik dan mudah, (b) jangkauan pasar yang layak, (c) tenaga kerja yang memadai, (d) sarana transportasi yang cukup, serta (e) listrik, air, dan yang lainnya. Terkadang permasalahan di dalam seputar lokasi timbul pada saat akan mendirikan pabrik baru dan pabrik yang ada akan diubah. Jika pabrik yang sudah akan diubah maka akan ada beberapa perubahan yang harus dipertimbangkan, diantaranya adalah (a) adanya perubahan kapasitas akibat tingkat permintaan yang signifikan, (b) ada perubahan daerah distribusi, (c) ada perubahan biaya yang kritis seperti tenaga kerja, bahan baku, dan energy, (d) ada perubahan nilai barang karena banjir, prestise, dan perbaikan relasi. 2
ISSN 1693-7945
Pada perencanaan dan pemilihan lokasi terdapat faktor pemilihan lokasi. Faktor pemilihan lokasi didasarkan pada (1) lokasi bahan baku dan (2) pasar, jika bahan baku bersifat labil seperti tebu, ikan, dan susu, maka lokasi pabrik harus didekatkan dengan sumber bahan baku maka dinamakan lokasi sumber bahan baku. Akan tetapi jika sifat bahan bakunya relative stabil seperti kue, mie, sosis maka lokasi pabrik didekatkan pada pasar maka dinamakan lokasi pasar produk; Sedangkan untuk komoditas padi yang akan diolah menjadi beras, dimana sifat dari gabah adalah stabil sehingga maka pabrik gilingan padi maka lebih baik ditempatkan dekat pasar. (3) fasilitas transportasi dipilih yang memudahkan serta biaya yang minim; (4) ketersediaan tenaga kerja yang terampil, ahli, dan buruh sehingga semua posisi diperoleh dengan mudah; (5) sumber listrik dan sumber air tersedia cukup banyak dan mudah; dan (6) faktor-faktor lain, seperti : (a) memiliki rencana kedepan misalnya untuk perluasan perusahaan, (b) dimungkinkan adanya perluasan kota, (c) keadaan fasilitas maintenance mesin produksi, (d) keberadaan fasilitas umum sebagai pelayanan terbaik bagi konsumen, dan (e) kondisi dan harga tanah setiap tahunnya akan meningkat. (4) Perencanaan Fasilitas Produksi Pada perencanaan dalam fasilitas produksi yang menjadi perhatian adalah harus mengkaji proses beserta fasilitas produksi yang dibutuhkan untuk pembuatan produk yang diinginkan dan fasilitas mencakup mesin dan peralatan yang diperlukan untuk proses produksi, serta bangunan beserta ruang-ruang yang disediakan untuk keperluan tersebut. Faktor-faktor dalam merencanakan fasilitas yang sangat mempengaruhi kinerja industry atau pabrik, diantaranya adalah (1) ketergantungan (dependability) antara proses dan fasilitasnya, (2) kualitas dan spesifikasi produk yang diinginkan, (3) skala ekonomi, (4) kapasitas atau cakupan kemampuan proses, (5) spesifikasi peralatan, (6) fleksibilitas proses, dan (7) perawatan & penggantian peralatan. PENGEMBANGAN KOMODITAS PADI PASCA PANEN Pengembangan produk sedikitnya terdapat 3 (tiga) bahasan, yaitu (1) dasar pengembangan produk, (2) proses pengembangan produk, dan (3) mengakomodasi selera konsumen (Legowo, 2013). Komoditas padi menghasilkan gabah dan jerami. Jerami merupakan limbah atau hasil samping dari produksi padi, dimana dapat diolah menjadi mulsa tanaman, campuran bata, kertas, dan bahan pakan ternak. Gabah yang merupakan cikal bakal atau bahan mentah atau bahan baku yang berasal dari tanaman pangan yang dapat diperoses lebih lanjut melalui pabrik penggilingan padi sehingga menghasilkan beras utuh, beras patah, beras menir, dedak, dan sekam. Beras utuh adalah pangan pokok yang dibutuhkan hampir seluruh masyarakat Indonesia, sedangkan beras patah atau beras menir dapat diperoses lebih lanjut menjadi tepung yang dapat diolah lagi menjadi panganan lainnya seperti kue kering, kue basah, mie, dan sebagainya dalam industri pengolahan pangan. Dedak dapat dijadikan campuran pakan ternak dan sekam yang dapat menjadi campuran media tanam, shampo, dan lainnya. Melihat potensi yang sangat besar dari turunan gabah maka perlu diperhatikan dalam penanganan panen dan pasca panen baik penjemuran dan penyimpanan hingga saat penggilingan. Proses penggilingan harus memenuhi beberapa persyaratan yang dilakukan, seperti kandungan kadar air, tentunya hal ini dilakukan dengan pengeringan baik melalui penjemuran di terik matahari atau dapat dilakukan dengan mesin pengeringan khusus jika tidak ada sinar matahari atau pun ada sinar matahari. Pada penjemuran gabah dibutuhkan tempat yang cukup luas dengan aturan tertentu sehingga memudahkan untuk mengambilnya kembali dan proses pengeringan selanjutnya. Ruang penjemuran merupakan bagian dari fasilitas yang harus dimiliki dalam usaha bisnis komoditas padi. Pada saat kadar air cukup sekitar 14 persen maka penggilingan gabah dapat dilakukan. Hasil dari proses penggilingan gabah akan dihasilkan beberapa produk seperti beras patah, beras menir, gabah, dan sekam. Turunan ini akan bisa diproses lebih lanjut lagi menghasilkan produk pangan lainnya dan ini membutuhkan banyak tenaga kerja sehingga peluang membuka lapangan pekerjaan terjadi karena beberapa industri akan menangani produk turunan tersebut. Misalnya dari tepung beras dapat dibuat bihun, mie yang terbuat dari tepung beras, atau kue-kue kering yang dibuat di khusus 3
ISSN 1693-7945
pabrik bihun atau pabrik mie, dan lain sebagainnya. Inilah peranan industri pengolahan pangan, dimana selain memberikan produk pangan, disamping itu pula berperan membuka lapangan pekerjaan yang terampil dan ahli sampai pada buruh. Pengembangan komoditas padi dilakukan setelah pasca panen sehingga dalam pengembanganya banyak hal yang harus dipertimbangkan. Maka beberapa uraian di bawah ini menjadi dasar bagi pengembangan gabah lebih lanjut harus benar-benar diperhatikan. Siklus hidup produk Siklus hidup produk adalah suatu konsep penting yang memberikan pemahaman tentang dinamika kompetitif suatu produk. Siklus Hidup Produk (Product Life Cycle) ini yaitu suatu grafik yang menggambarkan riwayat produk sejak diperkenalkan ke pasar sampai dengan ditarik dari pasar. Siklus Hidup Produk (Product Life Cycle) ini merupakan konsep yang penting dalam pemasaran karena memberikan pemahaman yang mendalam mengenai dinamika bersaing suatu produk. Konsep ini dipopulerkan oleh Levitt (1978) dalam http://jurnal-sdm.blogspot.com/ yang kemudian penggunaannya dikembangkan dan diperluas oleh para ahli lainnya. Berbagai pendapatan mengenai tahap – tahap yang ada dalam Siklus Hidup Produk (Product Life Cycle) suatu produk. Ada yang menggolongkannya menjadi introduction, growth, maturity, decline dan termination. Daur hidup produk terbagi menjadi empat bagian (Swastha, 1984 dalam http://jurnal-sdm.blogspot.com/), yaitu: 1. Tahap perkenalan (introduction) Pada tahap ini, barang mulai dipasarkan dalam jumlah yang besar walaupun volume penjualannya belum tinggi. Barang yang di jual umumnya barang baru (betul-betul baru) Karena masih berada pada tahap permulaan, biasanya ongkos yang dikeluarkan tinggi terutama biaya periklanan. Promosi yang dilakukan memang harus agresif dan menitikberatkan pada merek penjual. Distribusi barang tersebut masih terbatas dan laba yang diperoleh masih rendah. 2. Tahap pertumbuhan (growth) Tahap pertumbuhan ini, penjualan dan laba akan meningkat dengan cepat karena permintaan sudah sangat meningkat dan masyarakat sudah mengenal barang bersangkutan maka usaha promosi yang dilakukan oleh perusahaan tidak seagresif tahap sebelumnya. Pesaing sudah mulai memasuki pasar sehingga persaingan menjadi lebih ketat. Cara lain yang dapat dilakukan untuk memperluas dan meningkatkan distribusinya adalah dengan menurunkan harga jualnya. 3. Tahap kedewasaan (maturity) Pada tahap kedewasaan, kita dapat melihat bahwa penjualan masih meningkat dan pada tahap berikutnya tetap. Laba produsen maupun laba pengecer mulai turun. Persaingan harga menjadi sangat tajam sehingga perusahaan perlu memperkenalkan produknya dengan model yang baru. Usaha periklanan biasanya mulai ditingkatkan lagi untuk menghadapi persaingan. 4. Tahap kemunduran (decline) Hampir semua jenis barang yang dihasilkan oleh perusahaan selalu mengalami kekunoan atau keusangan dan harus di ganti dengan barang yang baru. Tahap ini, barang baru harus sudah dipasarkan untuk menggantikan barang lama yang sudah kuno meskipun jumlah pesaing sudah berkurang tetapi pengawasan biaya menjadi sangat penting karena permintaan sudah jauh menurun. Apabila barang yang lama tidak segera ditinggalkan tanpa mengganti dengan barang baru maka perusahaan hanya dapat beroperasi pada pasar tertentu yang sangat terbatas. Pengembangan Produk Pengembangan produk baru dapat dikatakan pula sebagai produk yang diperbaharui. Produk pangan dapat dikatakan dalam tahap pengembangan produk atau produk baru dapat dikatakan, yaitu: (1) adanya perubahan kecil dari suatu produk yang sudah ada apakah dalam kemasan dan ukuran, (2) terjadinya perubahan besar atau perubahan total dari produk yang sudah ada, (3) produk yang baru dibuat, tetapi produk sejenis sudah dibuat oleh perusahaan lain, atau sudah ada di luar negeri, dan (4) produk baru, belum pernah ada sebelumnya. (Legowo, 2013). 4
ISSN 1693-7945
Pengembangan produk terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya sehingga harus diperhatikan, diantaranya adalah faktor eksternal dan faktor internal. Faktor ekternal sebagai ancaman dan peluang bagi perusahaan/industri, yaitu (1) munculnya produk sejenis dengan benerapa kelebihan, (2) munculnya produk baru, (3) pergeseran keinginan konsumen, dan (4) siklus hidup produk cenderung pendek saat ini. Faktor internal sebagai kekuatan dan kelemahan perusahaan/industri, diantaranya: (1) memperbaiki performa produk, (2) melakukan diversifikasi produk, (3) mempertahankan segmen pasar/pangsa pasar baru, (4) mengotimalkan sumber daya manusia (SDM), dan (5) menjaga/meningkatkan keuntungan perusahaan (Legowo, 2013). Proses Pengembangan Produk Hal-hal yang menjadi perhatian perusahaan di dalam proses pengembangan suatu produk, diantaranya adalah: (1) hubungan kebutuhan pasar dan pengembangan produk dan (2) tahap-tahap proses pengembangan produk baru. (Legowo, 2013) Pasar & Pengembangan Produk Pasar adalah cerminan kebutuhan konsumen produk pangan. Kebutuhan pangan terus meningkat karena selera & jumlah konsumen (penduduk) yang meningkat. Tahun 1984-1989, peningkatan peredaran produk pangan baru di pasar dunia mencapai 63 persen, yaitu dari 5.617 menjadi 9.200 produk. Sekitar 17 persen diproduksi oleh 20 pabrik pangan besar. Indonesia pada tahun 2000 terdapat 916.812 industri makanan dan minuman, yakni 5.612 (0,16%) industri besar & menengah, 82.430 (9,11%) industri kecil, dan 828.140 (90,28%) industri rumah tangga. Fakta saat ini terdapat lebih dari 18.000 item makanan yang berbeda di supermarket saat ini, yang diproses untuk tingkat yang lebih besar atau lebih kecil, dan ribuan produk baru diperkenalkan setiap tahun. Pemasaran memegang peranan penting dalam keberlanjutan produk dalam industri. Terdapat 4 (empat) kunci pokok yang harus diperhatikan di dalam pemasaran produk pangan disebut 4P+, diantaranya : 1. Product (Produk), yaitu macam dan karakteristik produk (+) Perspective (Perspektif) adalah sudut pandang terhadap produk pangan (sosial, agama, politis, dan isu lain). 2. Place (Tempat), yaitu ruang atau tempat keberadaan konsumen. 3. Price (Harga), yaitu nilai tukar produk atas dasar kegunaan & penerimaan konsumen. 4. Promotion (Promosi), yaitu pengenalan dan pendekatan produk pada konsumen. Pengembangan Kualitas Produk Bagian Research dan Development (R&D) dalam pengembangan kualitas produk pangan perlu fokus pada beberapa hal, yaitu: (1) flavor produk (food flavors), (2) pencarian bahan (ingredients sourcing), (3) formulasi ulang (reformulation), (4) proses pengolahan (processing), (5) pengemasan (packaging), dan (6) sifat fisik produk (physical characteristics). Pertimbangan untuk Formulasi 1. Mencari alternatif bahan (alternate ingredients), yaitu mempertimbangkan bahan pengganti yang relatif lebih murah. 2. Konsolidasi penggunaan bahan (ingredients consolidation), bila perlu mengurangi jumlah atau jenis bahan, atau mencari pemasok dengan harga relatif rendah. 3. Standarisasi produk (product standardization), perubahan formula harus tetap mengacu pada standar produk. Pertimbangan Pengembangan Proses Pengolahan 1. Meningkatkan efisiensi proses dan memperkecil limbah yang dihasilkan. 2. Mengembangkan proses yang bersifat kontinyu dan sebaliknya mengurangi/ mengganti proses batch. 3. Mengatur atau menjaga keseragaman produk akhir, sehingga memudahkan untuk pengemasan atau efisiensi penanganan selanjutnya. Pada tahapan pengembangan produk yaitu tahap evaluasi selera konsumen perlu diperhatikan mengingat agar konsumen dapat menerima terhadap suatu produk yang diproduksi (Legowo, 2013 dan Luthfianto dan Siswiyanti, 2013). Hal ini dapat ditentukan berdasarkan: (1) Jumlah komplain dari konsumen, (2) Menghitung jumlah produk yang terjual/dikonsumsi dan yang tersisa, (3) 5
ISSN 1693-7945
Melakukan uji organoleptik, dan (4) Menggunakan sistem Quality Function Deployment (QFD). QFD dalam industri pangan digunakan sebagai alat bantu untuk menunjang pengembangan produk, QFD mengandung unsur uji organoleptik dan uji lain yang dianggap perlu, dan dewasa ini bahwa QFD merupakan bagian penting dari Total Quality Managemant (TQM). Jadi QFD merupakan salah satu bentuk metode atau cara untuk mengevaluasi tahapan pengembangan produk pada tahap evaluasi produk terhadap selera konsumen dari produk yang diproduksi. Pengertian QFD (Quality Function Deployment) adalah penyebaran fungsi mutu yang merupakan metode yang berawal dari peta konseptual yang terdiri dari berbagai matriks yang saling berhubungan. Peta tersebut merupakan bentuk rumah yang memiliki beberapa ruang atau segmen disebut house of quality. Tahapan pengembangan produk QFD dapat dilihat pada Gambar 1. Penjelasan Ruang/Segmen pada Peta QFD pada Gambar 1, pengembangan komoditas padi khususnya gabah, yaitu: Ruang I (WHATs): berisi pernyataan kebutuhan konsumen (voice of the customer), misalnya konsumen membutuhkan beras yang organik. Sisi sebelah kanan adalah penilaian kompetitif yang dinyatakan dalam supaya suatu penilaian beban maksimum. Ruang II (HOWs): berisi kebutuhan produk, yang mencakup karakteristik produk yang terukur. Pada tahap ini misalnya bagaiman dapat disediakan input bahan-bahan baku yang dibutuhkan tanpa bahan pemutih, mesin lebih efisien dalam menghasilkan beras utuh. Ruang III (Relationship): merupakan ruang yang menghubungkan WHATs dan HOWs yang diberi tanda simbol-simbol.
V Correlation Matrix II Hows (Functiona Characteristics) I Whats (Customers Requirements)
III Relation Matrix
Customers Competitive Assesment (Rating)
IV Target Values
Gambar 1. House of Quality Ruang IV: dibawah Ruang III berisi nilai target yang dituju yaitu tingkat capaian produk akan mencukupi kebutuhan pelanggan akan dihitung dan dinyatakan sebagai score absolute dan score yang berhubungan dengan nilai target tersebut. Ruang V (Roof): merupakan Korelasi Matriks. Menandai adanya hubungan positif dan hubungan negatif antara karakteristik teknik pada produk beras.
JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN Hal-hal yang perlu diperhatikan di dalam pengolahan pangan yaitu kualitas dari produk pangan yang memiliki jaminan dan keamanannya sehingga konsumen tidak dirugikan dan memiliki rasa aman untuk mengkonsumsinya. Alasan ini menyebabkan pemerintah Indoensia mengatur jaminan mutu dan keamanan pangan dalam peraturan menteri, yaitu Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 20/Permentan/OT.140/2/2010 tentang Sistem Jaminan Mutu Pangan Hasil Pertanian. Pengertian mutu berdasarkan aturan ini adalah nilai pangan yang ditentukan atas 6
ISSN 1693-7945
dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi, dan standar perdagangan terhadap bahan makanan, makanan, dan minuman. Keamanan pangan merupakan kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Peraturan Menteri ini pun mengungkapkan persyaratan mutu pangan sehingga keamanan pangan terjamin, yaitu pada Bagian Satu adalah Mutu dan Kemanan Pangan pada Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. Pasal 4 terdiri atas 4 ayat diantaranya : (1) Mutu dan keamanan pangan hasil pertanian dapat diperoleh melalui program jaminan mutu dan keamanan pangan; (2) Program jaminan mutu dan keamanan pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada kegiatan budidaya, pasca panen dan pengolahan; (3) Program jaminan mutu dan keamanan pangan pada budidaya, pasca panen, dan pengolahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup persyaratan dasar dan/atau sistem jaminan mutu dan keamanan pangan. Pada Pasal 5, terdiri atas : (1) Persyaratan dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) meliputi bidang tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan serta (2) Persyaratan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan penerapan GAP/GFP, GHP dan GMP yang ditetapkan dengan Peraturan tersendiri. Pada Pasal 6, yaitu : Sistem jaminan mutu dan keamanan pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) pada budidaya, pasca panen, dan pengolahan pangan hasil pertanian dilakukan dengan penerapan manajemen mutu dan keamanan pangan berdasarkan sistem HACCP. Persyaratan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan penerapan GAP/GFP, GHP dan GMP yang ditetapkan dengan Peraturan tersendiri. Maksud dari pernyataan ayat 2 dalam Pasal 4 ini, dimana GAP/GFP adalah singkatan dari Good Agriculture Practices/Good Farming Practices yaitu suatu pedoman yang menjelaskan cara budidaya tumbuhan/ternak yang baik agar menghasilkan pangan bermutu, aman, dan layak dikonsumsi. GHP adalah singkatan dari Good Handling Practices adalah suatu pedoman yang menjelaskan cara Penanganan Pasca Panen Hasil Pertanian yang baik agar menghasilkan pangan bermutu, aman, dan layak dikonsumsi. GMP adalah singkatan dari Good Manufacturing Practices adalah suatu pedoman yang menjelaskan cara Pengolahan Hasil Pertanian yang baik agar menghasilkan pangan bermutu, aman, dan layak dikonsumsi. Pada dasarnya dalam jaminan mutu dan keamanan pangan harus dilakukan mulai dari budidaya, pasca panen, dan pengolahan pangan. Penerapan ketiga pedoman mutu dan jaminan keamanannya dilakukan dengan system HACCP, yaitu Program Keamanan Pangan berdasarkan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) adalah suatu konsepsi manajemen mutu untuk memberikan jaminan keamanan dari produk pangan dengan menerapkan SNI (Standar Nasional Indonesia). Penerapan GMP sebagai Persyaratan Kelayakan Dasar dalam Penerapan System HACCP Pada setiap industri pengolahan pangan yang akan menerapkan sistem keamanan pangan model HACCP harus merencanakan, merancang/mendisain dan mengimplementasikan suatu program persyaratan kelayakan dasar atau sering disebut dengan istilah "prerequisite programs". Persyaratan kelayakan dasar dapat diartikan sebagai suatu ukuran untuk mengetahui suatu unit pengolahan pangan sudah memenuhi persyaratan, baik dalam segi/aspek sanitasi dan hygiene maupun dalam aspek cara berproduksi. Program persyaratan kelayakan dasar atau prerequisite programs ini menurut Bernard dan Parkinson (1999) dalam Sudibyo (2008) merupakan suatu fondasi yang harus dan perlu dipenuhi oleh setiap industri pangan guna menghasilkan produk pangan yang aman dan bermutu ditinjau dari aspek keamanan dan kesehatan. Pada dasarnya, program persyaratan kelayakan dasar terdiri dari dua bagian, yaitu cara produksi pangan yang baik (CPPB) atau good manufacturing practice (GMP) dan standard prosedur operasional sanitasi atau sanitation standard operating procedure (SSOP). Indonesia, sesuai dengan peraturan yang ada di Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan yang sekarang berubah menjadi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menerbitkan pedoman cara produksi pangan yang baik (CPPB) atau GMP. Pedoman penerapan GMP ini disusun berdasarkan pedoman umum higiene pangan dan peraturan perundang-undangan di bidang pangan, terutama yang mengatur mengenai produksi pangan. 7
ISSN 1693-7945
Menurut Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM, 1996 dalam Sudibyo, 2008) bahwa tujuan penerapan GMP adalah menghasilkan produk akhir pangan yang bermutu, aman dikonsumsi, dan sesuai dengan selera atau tuntutan konsumen, baik konsumen domestik maupun internasional. Tujuan khusus penerapan GMP adalah : (1) Memberikan prinsipprinsip dasar yang penting dalam produksi pangan yang dapat diterapkan sepanjang rantai pangan mulai dari produksi primer sampai konsumen akhir, untuk menjamin bahwa pangan yang diproduksi aman dan layak untuk dikonsumsi; (2) Mengarahkan industri agar dapat memenuhi berbagai persyaratan produksi, seperti persyaratan lokasi, bangunan dan fasilitas, peralatan produksi, bahan, proses, mutu produk akhir, serta persyaratan penyimpanan dan distribusi; dan (3) Mengarahkan pendekatan dan penerapan sistem HACCP sebagai suatu cara untuk meningkatkan keamanan pangan. Pedoman penerapan GMP ini berguna bagi pemerintah sebagai dasar untuk mendorong dan menganjurkan industri pangan untuk menerapkan cara produksi pangan yang baik dalam rangka : (1) Melindungi konsumen dari penyakit atau kerugian yang diakibatkan oleh pangan yang tidak memenuhi persyaratan, (2) Memberikan jaminan kepada konsumen bahwa pangan yang dikonsumsi merupakan pangan yang layak, (3) Mempertahankan atau meningkatkan kepercayaan terhadap pangan yang diperdagangkan secara internasional, dan (4) Memberikan bahan acuan dalam program pendidikan kesehatan di bidang pangan kepada industri dan konsumen. Industri pangan sebagai acuan dalam menerapkan praktek cara produksi pangan yang baik dalam rangka : (1) Memproduksi dan menyediakan pangan yang aman dan layak bagi konsumen; (2) Memberikan informasi yang jelas dan mudah dimengerti kepada masyarakat, misalnya dengan pelabelan dan pemberian petunjuk mengenai cara penyimpanan dan penyediaannya, sehingga masyarakat dapat melindungi pangan terhadap kemungkinan terjadinya kontaminasi dan kerusakan pangan, yaitu dengan cara penyimpanan, penanganan dan penyiapan yang baik; dan (3) Mempertahankan atau meningkatkan kepercayaan dunia internasional terhadap pangan yang diproduksinya (Ditjen POM, 1996 dalam Sudibyo 2008). Standar prosedur operasi sanitasi atau sanitation standard operating procedure (SSOP) juga merupakan salah satu unsur/komponen program persyaratan kelayakan dasar yang penting untuk mengimplementasikan dan menjaga sistem HACCP berjalan dengan baik dan sukses dan bahkan SSOP yang sudah tertulis dan terdokumentasi dengan baik telah direkomendasikan dan dimandatorikan untuk diimplementasikan secara wajib dalam industri pangan beresiko tinggi seperti pada industri pengolahan ikan dan daging oleh US FDA dan USDA (Katsuyama dan Jantschke, 1999 dalam Sudibyo 2008). Program persyaratan kelayakan dasar atau prerequisite programs yang perlu dipersiapkan oleh setiap industri pangan untuk mendukung penerapan sistem manajemen HACCP menurut Codex Alimentarius Commission atau CAC (2003) dalam Sudibyo (2008) pada General Principles of Food Hygiene mencakup : (1) desain bangunan, (2) fasilitas dan peralatan produksi, (3) pengendalian proses produksi atau operasi (pengendalian bahaya, sistem pengendalian higiene, persyaratan bahan mentah, pengemasan, pengolahan air, manajemen dan supervisi, dokumentasi dan rekaman, prosedur penarikan produk), (4) pemeliharaan (maintenance) dan sanitasi (pemeliharaan dan pembersihan, program pembersihan, sistem pengendalian hama dan penyakit menular, (5) pengelolaan dan pengolahan limbah, dan keefektifan pemantauan), (6) higiene/kebersihan personil/karyawan (status kesehatan karyawan, kebersihan personil, tingkah laku personil, prosedur penerimaan tamu/pengunjung), (7) transportasi (persyaratan, penggunaan dan pemeliharaannya), (8) informasi produk dan kesadaran (identifikasi lot, informasi produk, labelling), dan pendidikan konsumen; serta pelatihan. Prinsip HACCP dan Implementasinya Dalam Industri Pangan Sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan hazard analysis critical control point (HACCP) pada dasarnya terdiri dari tujuh prinsip (CAC, 1997; Ditjen POM, 1996; NACMCF, 1999 dalam Sudibyo, 2008) sebagai berikut : (1) Analisis bahaya dan penetapan risiko, yaitu identifikasi secara hati-hati bahaya yang mungkin timbul/terdapat pada bahan pangan, mulai dari pemanenan 8
ISSN 1693-7945
bahan mentah dan ingredien, pengolahan, distribusi, pengangkutan dan konsumsi pangan; (2) Identifikasi titik kendali kritis atau CCP (critical control point), yaitu suatu titik, proses atau prosedur yang jika pengendaliannya kurang baik akan menimbulkan risiko bahaya keamanan pangan yang tinggi; (3) Penetapan batas kritis yang harus dipenuhi untuk setiap CCP yang telah ditentukan/teridentifikasi; (4) Penetapan prosedur pemantauan untuk setiap CCP yang perlu dimonitor; (5) Menentukan tindakan koreksi (corrective action) yang segera diambil untuk memperbaiki sistem jika terjadi penyimpangan pada batas kritisnya; (6) Penetapan dan pengembangan sistem dokumentasi yang efektif terhadap catatan operasi (recordkeeping) dan merupakan bagian dari dokumen rancangan HACCP; dan (7) Penetapan prosedur verifikasi yang menunjukkan bahwa sistem HACCP telah berjalan dengan baik. Penerapan dan pengembangan sistem HACCP dalam industri pangan, tahap pertama yang harus dilakukan oleh setiap industri pangan adalah perlu adanya komitmen dan manajemen kepemimpinan perusahaan industri pangan dengan fokus keamananan pangan serta pemenuhan terhadap persyaratan kelayakan dasar sistem HACCP. Adanya komitmen dan manajemen kepemimpinan dari perusahaan industri pangan berarti dari pihak manajemen puncak hingga seluruh karyawan/staf yang terlibat dalam proses produksi pangan harus mendukung dan melaksanakan program keamanan pangan yang dicanangkan dalam kebijakan perusahaannya. Tanpa adanya komitmen dan manajemen kepemimpinan yang baik maka program tersebut tidak akan berhasil dilaksanakan. Persyaratan kelayakan dasar untuk penerapan sistem HACCP yang sangat penting untuk diperhatikan oleh pemilik atau pimpinan atau penanggung jawab manajemen perusahaan industri pangan adalah pemenuhan terhadap persyaratan cara produksi pangan yang baik atau good manufacturing practice (GMP) termasuk higiene dan sanitasinya (IFST, 1991 dalam Sudibyo, 2008). Salah satu buku petunjuk yang dipakai sebagai acuan untuk memenuhi persyaratan GMP di Indonesia adalah buku "Pedoman Penerapan Cara Produksi Pangan yang Baik" oleh Departemen Kesehatan (Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan, 1996 dalam Sudibyo, 2008). Aspek-aspek yang perlu diperhatikan meliputi : pengadaan bahan mentah, disain bangunan dan fasilitas pabrik, proses pengolahan pangan, bahan pengemas, mutu produk akhir, keterangan produk, higiene dan kesehatan karyawan, pemeliharaan fasilitas dan program sanitasi, penyimpanan, transportasi, laboratorium dan pemeriksaan, manajemen dan pengawasan, dokumentasi/pencatatan dan penarikan produk (recall) serta pelatihan dan pembinaan karyawan. Hasil penelitian yang berjudul Penyiapan Kelayakan Persyaratan Dasar dan Penyusunan Rencana HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) Untuk Produksi Mie Kering Pada PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor memiliki tujuan untuk mempersiapkan kelayakan persyaratan dasar dan menyusun rencana HACCP (HACCP Plan) pada produksi mie kering pada PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor sebagai studi kasus oleh Sudibyo (2008). Penelitian ini dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : Pertama, melakukan evaluasi terhadap kondisi kelayakan persyaratan dasar atau good manufacturing practice (GMP) di perusahaan PT Kuala Pangan sebelum mengimplementasikan system HACCP. Kedua, menyusun rencana HACCP untuk produksi mie kering pada PT Kuala Pangan sesuai dengan SNI 01. 4852-1998 yang terdiri dari 7 prinsip HACCP dan 12 langkah penerapan sistem HACCP. Ketiga, memberikan rekomendasi rencana pengembangan sistem HACCP di perusahaan yang akan diimplementasikan dan disertifikasikan ke lembaga akreditasi sistem HACCP. Berdasarkan pengamatan dan inspeksi yang dilakukan di lapangan atas penerapan cara produksi pangan yang baik atau GMP, masuk dalam tingkat (rating) kategori B (baik) dan ditemukan 13 penyimpangan atau ketidaksesuaian, yaitu 1 kategori serius, 6 kategori mayor dan 6 kategori minor. Penyimpangan-penyimpangan tersebut perlu diperbaiki terlebih dahulu sebelum menerapkan HACCP. Bahaya kimia seperti logam-logam berat (Pb, Cu, Hg dan As) berasal dari bahan baku tepung terigu dan garam perlu dikendalikan sebagai control point (CP) dengan cara kontrol terhadap pemasok/supplier karena pada perusahaan tidak ada tahap untuk mengeliminasi bahaya kimia pada proses produksinya, sedangkan bahaya biologis pada bahan baku tepung terigu dan tepung telur (E. coli, coliform group, Salmonella dan Staphylococcus) akan dikendalikan pada tahap pengeringan sebagai titik kendali kritis atau CCP, 9
ISSN 1693-7945
dan untuk air perlu dikendalikan dengan penerapan sanitation standard operating procedure (SSOP). Bahaya mikrobiologi (Staphylococcus dan biofilm) karena adanya kontaminasi juga dikendalikan pada proses dan peralatan produksi, terutama yang berasal dari kontaminasi alat dan karyawan. Semua bahaya pada tahapan proses produksi dan peralatan yang berasal dari kontaminasi alat dan karyawan ini dikendalikan dengan SSOP dan GMP (higiene karyawan). Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa untuk menerapkan dan mengembangkan sistem HACCP di perusahaan adalah program kelayakan persyaratan dasar atau GMP perlu diperbaiki terlebih dahulu sebelum implementasi sistem HACCP, dan rencana HACCP (HACCP Plan) yang telah disusun perlu difinalisasi dan diimplementasikan di perusahaan sebelum disertifikasikan ke Lembaga/Badan Sertifikasi HACCP. PENUTUP Peranan industri pengolahan pangan sebagai bagian dari agroindustri dalam sistem agribisnis dalam memproduksi pangan sudah tidak diragukan lagi manfaatnya dan keuntungannnya di dalam menyediakan pangan dalam bentuk jumlah, kualitas, dan kontinuitas. Hal ini dikarenakan dengan industrilah semua kebutuhan ketiga faktor bisnis dapat ditentukan dan dapat diprediksi dengan memulai suatu perencanaan (design), pengembangan, dan permasalahan yang akan timbul baik secara teknis maupun non teknis sampai pada memenuhi kebutuhan selera konsumen baik dari segi kandungan gizi, keamanan produk dari mutunya maupun kenyamanannya bagi kesehatan tubuh, dan selain itu peranan industri pengolahan pangan membuka lapangan kerja sehingga mengurangi pengangguran sebagai salah satu mengatasi permasalahan pemerintah Indonesia dan memberikan pendapatan pada pelaku industri selain bagi negara dalam bentuk devisa. Pada implementasinya industri pengolahan pangan khususnya komoditas padi perlunya keterbukaan pada jaringan pasar yang luas seperti koperasi di dalam memasarkan pengembangan dari produk industrinya karena berkaitan dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang cepat dan modern, seperti halnya promosi melalui internet, yaitu kaitannya manajemen pemasaran. Tentunya proses industri pangan ini tidak terlepas dari jaminan mutu dan keamanan pangan yang telah dilakukan oleh pemerintah melalui peraturannya, ini harus diperhatikan secara serius oleh pengusaha pada industri pengolahan pangan karena berkaitan dengan kesehatan manusia, artinya mati dan hidupnya manusia tergantung pangan. DAFTA PUSTAKA Khan, R. S., Grigora, J., Winger, R., and Winc, A. 2013. Functional Food Product Development Opportunities and Challenges for Food Manufacturers. Review Journal. Institute of Food Nutrition and Human Health, Massey University, Private Bag 102904, North Shore City 0745, Auckland, New Zealand. Dalam Trends in Food Science & Technology. Volume 30. (2013) Page: 27-37. Legowo, A.M. 2013. Industri Pengolahan Pangan. Pascasarjana Magister Agrisibnis. Undip. Semarang. Luthfianto, S. dan Siswiyanti. 2013. Implementasi Quality Function Deployment (QFD) dalam Perancangan Produk Alat Penetas Telur Rak Putar. Jurnal nasional dalam sumber http://www.google.com. Diakses 29 Oktober 2013. Marsigit, W. 2010. Pengembangan Diversifikasi Produk Pangan Olahan Lokal :Bengkulu untuk Menunjang Ketahanan Pangan Berkelanjutan. Jurnal dalam Agritech. Vol. 30. No.4. Page: 256-264. Jurusan Teknologi Fakultas Pertanian. Universitas Bengkulu. Bengkulu Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 20/Permentan/OT.140/2010 tentang Sistem Jaminan Mutu Pangan Hasil Pertanian. Dalam Berita Negara Republik Indonesia. www.djpp.depkumham.go.id. Diakses 2 Oktober 2013. 10
ISSN 1693-7945
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Pangan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Sudibyo, A. 2008. Penyiapan Kelayakan Persyaratan Dasar dan Penyusunan Rencana HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) untuk Produksi Mie Kering pada PT. Kuala Pangan di Citeureup, Bogor. Tugas Akhir Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Weick, C.W. 2001. Agribusiness Technology in 2010: Directions and Challenges. Eberhardt School of Business, University of the Pacific, Stockton, CA 95211, USA. Journal Technology in Society. Volume 23. (2010). Page:59–72. Publishered: Elsevier Science Ltd All rights reserved.
11