PERAN PERPUSTAKAAN NASIONAL RI DALAM MEMASYARAKATKAN PERPUSTAKAAN SEBAGAI SARANA MEWUJUDKAN MASYARAKAT SADAR INFORMASI 1 Oleh: Gani Gaos Saputra 2 Futurolog terkenal Alvin Toffler, dalam serial bukunya di tahun 1980-an, memprediksi bahwa berkat kemajuan menakjubkan di bidang teknologi komunikasi dan informasi, masyarakat dunia di abad-21 akan berkembang menjadi masyarakat informasi. Karakteristik yang menonjol dari masyarakat informasi adalah kemampuannya dalam menciptakan, mendistribusikan, mendifusikan, menggunakan dan memanipulasi informasi untuk berbagai kebutuhan atau kepentingan hidupnya. Masyarakat informasi juga memiliki ciri-ciri inklusif dan berorientasi pada pembangunan dimana mereka dapat membuat, mengakses, memanfaatkan dan berbagi informasi guna mengembangkan kualitas hidupnya. Menurut Toffler, masyarakat informasi merupakan transisi dari dua peradaban masyarakat sebelumnya, yaitu peradaban masyarakat agraris (8000 SM sampai 1700) dan masyarakat industri (1700 sampai 1970-an). Apa yang diramalkan Toffler tiga dekade lalu kini telah menjadi kenyataan dimana informasi seolah telah menjadi nafas baru dalam kehidupan masyarakat. Laporan PBB dalam World Summit on the Information Society pada Desember 2003 lalu di Geneva, misalnya, menyebutkan bahwa revolusi digital di bidang teknologi komunikasi dan informasi telah menciptakan platform baru bagi aliran informasi, ide dan pengetahuan secara bebas di seluruh dunia. Hal ini dimungkinkan berkat kehadiran internet yang telah menjadi sumberdaya global yang vital baik bagi masyarakat di negara-negara maju maupun negara-negara berkembang. Berkat kehadiran internet, sumberdaya informasi yang berlimpah kini dapat diakses oleh siapa pun melewati batas-batas ruang dan waktu. Tersedianya sumberdaya informasi yang berlimpah seperti saat ini telah membuka peluang bagi mereka yang dapat memanfaatkannya secara cerdas untuk berbagai kepentingan seperti berbisnis, berkarier, meningkatkan pengetahuan, menambah relasi/jaringan atau pendidikan. Namun, bagi sebagian lain sumberdaya tersebut boleh jadi tidak banyak berarti bahkan mungkin membingungkan karena tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan informasi yang membanjir seperti itu. Karenanya, agar bisa survive dan berkembang di era informasi, masyarakat dari semua kalangan dituntut untuk mengembangkan apa yang disebut dengan keterampilan literasi informasi, yaitu kemampuan untuk menyadari kapan informasi dibutuhkan, mengindentifikasi jenis dan sumbersumbernya, menelusuri dan mengakses informasi secara efektif dan efisien, mengevaluasi secara kritis, menata dan mengintegrasikannya ke dalam pengetahuan, menggunakan informasi secara legal dan etis serta mengkomunikasikannya kepada orang lain. Dengan kemampuannya itu, setiap orang berpeluang untuk mampu membuat keputusan yang lebih baik atas berbagai problema yang dihadapinya mulai dari problema pribadi, rumahtangga, karier dan pekerjaan, lingkungan masyarakat sekitar sampai menyangkut hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan warga dunia. Istilah literasi informasi mulai digunakan di kalangan pustakawan dan pendidik sejak awal 1990-an seiring dengan pesatnya perkembangan internet. UNESCO menekankan pentingnya mengintegrasikan keterampilan literasi informasi ke dalam tiga keterampilan dasar literasi yang dikenal sebelumnya yaitu: membaca, menulis dan berhitung sehingga keterampilan literasi yang wajib dikuasai oleh setiap orang kini mencakup empat hal, yaitu: membaca (reading), menulis (writing), berhitung (arithmetic) dan meneliti (research). Dengan bekal kemampuan literasi tersebut, setiap orang diharapkan memperoleh kesempatan untuk berpartisipasi aktif dan mendapatkan manfaat dari berkembangnya era informasi saat ini. Seberapa penting kemampuan literasi informasi bermanfaat dalam kehidupan nyata?. Dua kasus di bawah ini kiranya dapat memberikan gambaran. Kasus pertama terkait dengan peristiwa tsunami yang melanda wilayah Asia Tenggara dan Asia Selatan tanggal 26 Desember 2004 lalu, dimana beberapa ratus orang di pantai Phuket Thailand bisa terselamatkan dari bencana tersebut berkat seorang anak kecil yang melek informasi. Tilly Smith, seorang gadis kecil berusia 10 tahun asal Oxshott Inggris, telah menyelamatkan lebih dari 100 jiwa di pantai Phuket Thailand ketika tsunami menghantam wilayah itu berkat kemampuannya membaca tanda-tanda bakal datangnya tsunami yang dia pelajari dalam pelajaran geografi dua minggu sebelumnya. Karena kemampuannya dalam menerapkan infomasi yang diperolehnya, dia mengajak orang-orang sekitarnya menjauh dari pantai sehingga mereka pun lolos dari keganasan tsunami. 1
Disusun dalam rangka mengikuti “Lomba National Penulisan Artikel tentang Perpustakaan Nasional RI. Tahun 2007 Tenaga Ahli pada PT. Indoprima Consultant.
2
Sementara, kasus kedua menceritakan bagaimana sebuah perusahaan manufaktur di Amerika Serikat harus kehilangan ratusan ribu dollar akibat kelalaiannya dalam memanfaatkan sumberdaya informasi yang ada. Ceritanya, untuk kepentingan proyek riset tertentu, perusahaan tersebut telah memperkerjakan tim riset yang terdiri dari tiga orang ilmuwan dan empat teknisi. Sebagai hasilnya, perusahaan mengklaim telah menghasilkan penemuan yang layak dipatenkan. Namun, sebelum mengabulkan permohonan hak paten, kantor paten meminta jasa pustakawan untuk melakukan penelusuran informasi terkait klaim penemuan tersebut. Akhirnya, sang pustakawan menemukan bahwa inovasi yang diklaim perusahaan tersebut sebenarnya telah ada setahun sebelumnya sehingga permohonan hak paten perusahaan tersebut terpaksa ditolak meskipun perusahaan telah membelanjakan $500.000 untuk proyek tersebut. Pengeluaran tersebut seharusnya dapat dihindarkan jika perusahaan membelanjakan sekitar $300 sebagai biaya yang dibutuhkan untuk mereview literatur terkait dengan proyeknya itu. Kedua ilustrasi di atas menggambarkan betapa pentingnya kemampuan literasi informasi bagi masyarakat baik sebagai individu maupun institusi. Bagi setiap individu, literasi informasi merupakan sarana pemberdayaan pribadi karena dia mampu mencari informasi dan membangun argumentansinya sendiri sehingga tidak mudah didikte oleh pendapat siapa pun termasuk pendapat yang datang dari kalangan yang dianggap pakar sekalipun. Literasi informasi juga mendorong seseorang untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat karena dengan terpuaskannya rasa ingin tahu, dia lebih termotivasi lagi untuk terus mencari pengetahuan. Bahkan dengan adanya interaksi dengan gagasan dan nilai dari budaya lain, seseorang akan terbebas dari kepicikan berpikir sehingga lebih mampu bersikap toleran terhadap berbagai perbedaan. Literasi informasi juga menjadi tuntutan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat baik sosial, ekonomi, politik, budaya dan pendidikan. Dalam dunia bisnis, misalnya, ketersediaan informasi yang akurat merupakan asset yang tidak ternilai, karena memungkinkan para pebisnis membuat keputusan-keputusan bisnis yang tepat pula. Para pemimpin bisnis kini semakin menyadari pula bahwa SDM perusahaan yang memiliki kemampuan literasi informasi tinggi merupakan asset yang berharga bagi perusahaan. Dalam dunia pendidikan, banyak kalangan pakar dan praktisi pendidikan menekan bahwa dunia pendidikan di era informasi membutuhkan model pembelajaran baru yang didasarkan pada pemanfaatan sumberdaya informasi dunia nyata, serta pembelajaran yang aktif dan terintegrasi. Model pembelajaran ini pada gilirannya menuntut interaksi yang lebih erat antara pembelajaran di ruang kelas dengan perpustakaan sebagai sarana penyedia sumberdaya informasi yang terorganisir. Dalam dunia politik, literasi informasi dibutuhkan guna menjamin tegaknya kehidupan demokrasi yang sehat. Warga negara dengan tingkat literasi informasi akan mampu bersikap lebih rasional dalam menentukan pilihan-pilihan politiknya. Sikap warga negara yang rasional pada gilirannya akan berdampak positif bagi partai-partai politik karena untuk merebut hati pemilih mereka akan lebih berorientasi untuk menjual program-programnya ketimbang mengedepankan unsur-unsur primordialisme. Literasi informasi dan peran perpustakaan Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya literasi informasi sebagai suatu tuntutan keterampilan hidup (life skill) di era informasi tidak akan berarti jika hal itu tidak diimbangi oleh kemampuan masyarakat sendiri dalam mengakses informasi yang dibutuhkan. Bagi sebagian kecil masyarakat, kehadiran teknologi informasi dan komunikasi memang telah memudahkan mereka dalam mengakses informasi khususnya melalui jaringan internet. Akan tetapi, bagi sebagian besar lainnya mendapatkan akses informasi nampaknya masih menjadi suatu kemewahan karena sebagian besar mereka belum tersentuh sama sekali oleh kemajuan teknologi tersebut. Fenomena ketimpangan dalam mengakses informasi ini kini telah menjadi salah-satu isu global yang dikenal dengan istilah pembelahan digital (digital divide). Harapan awalnya, ketika internet diperkenalkan kepada masyarakat sekitar satu dekade lalu, teknologi ini dapat memberikan kemudahan akses informasi kepada seluruh lapisan masyarakat. Namun dalam perkembangannya, harapan tersebut terkesan berlebihan, karena dalam kenyataannya teknologi ini hanya dapat dinikmati oleh segelintir elite. Sebagai gambaran, pada tahun 2003 lalu hanya tujuh persen dari 6,4 milyar penduduk dunia yang memiliki akses ke web (NielsenNet Rating, August 2003). Masyarakat pengakses internet juga masih terkonsentrasi di kawasan Amerika Utara, Eropa dan Asia Pasifik, sementara di belahan dunia lainnya terutama di kawasan Afrika, pedesaan India dan wilayah Asia Selatan dan Tenggara aksesnya masih relatif terbatas. Akibatnya, peluang bangsa-bangsa yang lebih miskin untuk mendapatkan Gani Gaos Saputra -2
manfaat dari internet menjadi sangat terbatas pula. Di Dunia Ketiga, biaya untuk pengadaan peralatan/fasilitas teknologi informasi umumnya masih jauh dari jangkauan masyarakat, karena pemenuhan kebutuhan untuk itu harus bersaing dengan kebutuhan sumberdaya untuk bertahan hidup. Sebagai negara berkembang, Indonesia termasuk negara yang tidak diuntungkan dalam fenomena ketimpangan digital tersebut. Seperti negara berkembang lainnya, ada beberapa faktor yang menyebabkan ketimpangan digital masih menghinggapi sebagian besar masyarakat Indonesia, antara lain, standar pendidikan yang relatif rendah, masih tingginya angka buta aksara, minimnya budaya baca dan lebih dominannya tradisi lisan, hambatan bahasa, persaingan ketat untuk mendapatkan anggaran pembangunan yang relatif terbatas, kurangnya staf professional dan teknis yang terampil, serta pasokan listrik yang tidak stabil. Di tengah fenomena ketimpangan digital seperti itu, institusi perpustakaan sebenarnya berpeluang besar untuk memainkan peran sebagai jembatan dalam mengatasi ketimpangan yang ada, karena institusi ini pada dasarnya dibangun untuk melayani kepentingan seluruh masyarakat. Agar institusi perpustakaan dapat menjadi basis bagi berkembangnya masyarakat informasi, maka para pengelola perpustakaan selayaknya mengkaji kembali azas-azas pelayanannya. Dalam hal ini, gagasan yang dikemukakan oleh Craeford dan Gorman seperti dikutip oleh Awcock tentang beberapa prinsip atau asas baru untuk perpustakaan nampaknya layak untuk dipertimbangkan. Menurut kedua tokoh, perpustakaan seharusnya dikelola dengan lima prinsip, yaitu: (1) Perpustakaan melayani seluruh umat manusia; (2) Menghargai semua bentuk pengetahuan dikomunikasikan; (3) Gunakan teknologi secara tepat untuk meningkatkan pelayanan; (4) Lindungi akses bebas terhadap pengetahuan; dan (5) Hormati masa lalu dan ciptakan masa depan. 1.
Perpustakaan Melayani Seluruh Umat Manusia. Perpustakaan terutama perpustakaan umum harus terbuka bagi semua kalangan masyarakat tanpa membeda-bedakan latar belakangnya. Kaya dan miskin, tua dan muda, profesional dan pengangguran, kulit berwarna dan putih, pebisnis dan keluarga, terpelajar dan sekedar hobby, dan sebagainya dapat memanfaatkan fasilitas perpustakaan yang tersedia. Bahkan di negara lain, banyak anggota masyarakat miskin dan tidak berpunya mencari tempat yang nyaman untuk sekedar berlindung dari cuaca dingin dan hujan dengan duduk dan membaca surat kabar di dalam perpustakaan. Warga masyarakat yang sedang kebingungan melakukan apa pada hari-hari yang sulit, pergi ke perpustakaan untuk membaca sambil bersantai, dan mungkin secara tidak sengaja mendapatkan gagasan baru untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat. Warga masyarakat dari berbagai etnis yang tidak memiliki latar belakang pengetahuan yang memadai tentang lingkungan tempat tinggalnya dan para wisatawan domestik dari mancanegara yang masih asing terhadap kota atau daerah yang didatanginya, pergi ke perpustakaan umum untuk mendapatkan berbagai informasi yang mereka perlukan. Anggota masyarakat penyandang cacat fisik dapat memanfaatkan perpustakaan umum untuk mendapatkan berbagai informasi yang berguna untuk menambah semangat dan kualitas hidup mereka.
2.
Menghargai Semua Bentuk Pengetahuan Dikomunikasikan. Perpustakaan harus memelihara dan menjaga dengan baik berbagai jenis koleksinya mulai dari bahan stensilan sampai dengan multi-media dalam bentuk elektronik atau digital. Berbagai jenis rekaman pengetahuan tersebut dikoleksi dan bahkan dilindungi dengan undang-undang deposit untuk melindungi hasil budaya lokal maupun nasional sepanjang masa. Memang di era digital saat ini, perpustakaan harus berpacu untuk mengumpulkan bahan-bahan yang terekam dalam bentuk digital seperti CD, dan multimedia lailnnya, namun perpustakaan juga tetap harus memelihara rekaman pengetahuan dalam bentuk kertas dan yang lainnya untuk keperluan yang akan datang. 3.
Gunakan Teknologi Secara Tepat Untuk Meningkatkan Pelayanan. Penggunaan teknologi terutama teknologi informasi di perpustakaan bukan sesuatu yang baru lagi. Tetapi pemanfaatan teknologi ini pada beberapa perpustakaan terutama di Indonesia nampaknya masih sangat lambat. Teknologi komputer telah banyak digunakan untuk menangani kegiatan rutinitas kerumahtanggaan perpustakaan (library housekeeping) yang mencakup bidang pengadaan, pengatalogan, pengawasan sirkulasi, pengawasan serial dan penyediaan katalog online untuk umum. Pemanfaatan teknologi ini diakui mampu meningkatkan efisiensi pengelolaan perpustakaan dan selanjutnya memberikan kemudahan dan efisiensi bagi pengguna perpustakaan. Disamping itu, pemanfaatan teknologi informasi untuk remote access dan penggunaan bahan-bahan digital yang Gani Gaos Saputra -3
semakin banyak dikoleksi oleh perpustakaan juga semakin penting. Penyediaan bahan-bahan referens dalam bentuk CD multimedia dan bahan-bahan interaktif dan tutorial lainnya mengharuskan perpustakaan untuk menyediakan sejumlah komputer dan peralatan lainnya serta prasarana jaringan baik lokal maupun global untuk pendukungnya. 4.
Lindungi Akses Bebas Terhadap Pengetahuan. Di negara-negara maju timbul perdebatan tentang apakah pelayanan perpustakaan bisa tetap diberikan secara gratis atau beberapa pelayanan akan dikenakan biaya seperti pelayanan yang menggunakan teknologi komputer. Di Indonesia, sejauh ini pada dasarnya pelayanan perpustakaan umum adalah gratis, meskipun timbul pertanyaan tentang kemungkinan mengutip pembayaran untuk beberapa jenis pelayanan karena terbatasnya pendanaan dari pemerintah. Diharapkan dengan pengutipan biaya tersebut, perpustakaan mampu memperkenalkan beberapa pelayanan baru yang sebelumnya belum bisa diselenggarakan. Marilyn Mason dalam artikelnya yang diterbitkan dalam Library Journal baru-baru ini mengingatkan bahwa sebaiknya perpustakaan dan pemerintah yang demokratis harus selalu bergandengan-tangan untuk memberikan pelayanan dengan prinsip persamaan kepada semua anggota masyarakat. Jika beberapa pelayanan dikutip pembayaran, kemungkinan besar anggota masyarakat dari kalangan miskin dan tidak berpunya tidak mempunyai akses yang sama terhadap sebahagian pelayanan perpustakaan. Penggunaan internet pun harus dipikirkan apakah akan dikenakan pembayaran karena bila hal itu dilakukan maka persamaan hak (equity) terhadap akses pengetahuan tidak bisa berjalan. Dalam hal tertentu dimana pengguna tidak melakukan sendiri penelusuran, tetapi meminta pustakawan untuk melakukannya untuk mereka (seperti peneliti dan pebisnis), kemungkinan pengutipan biaya dapat dilakukan. 5.
Hormati Masa Lalu Dan Ciptakan Masa Depan. Prinsip ini merupakan tantangan dan sekaligus peluang terbesar bagi dunia perpustakaan. Perpustakaan memiliki tugas publik untuk melindungi atau memelihara bukti-bukti dokumenter dari peradaban, karena tanpa sumber rekaman masa lalu, ilmu pengetahuan dan pembelajaran modern tidak akan pernah ada dan riset dalam beberapa disiplin tidak mungkin dilakukan. Pelajaran sejarah tidak akan dipelajari dan pengabaian ini akan berlaku dalam setiap bidang usaha manusia. Perpustakaan memegang peranan penting, walaupun sering diabaikan, dalam memberikan sumbangan pada pengembangan masyarakat kita Undang-undang deposit seharusnya melindungi berbagai koleksi termasuk pengetahuan-pengetahuan lokal/tradisional yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Koleksi seperti itu merupakan bukti pentingnya masa lalu seperti halnya masa sekarang dan bahkan untuk memprediksi masa yang akan datang. Meskipun ada yang meramalkan penghapusan perpustakaan berkaitan dengan perkembangan dunia elektronik yang dapat diakses oleh setiap orang dari mana saja dan kapan saja, tetapi banyak yang tidak mempercayainya. Pustakawan publik harus berbicara dengan bangga tentang suatu masa depan yang memikat dengan perpustakaan tetap dihati masyarakatnya. Karenanya, perpustakaan harus tetap berdiri tegar sebagai simbol pentingnya pengetahun dan pembelajaran.
Peran Perpustakaan Nasional RI Dengan merujuk pada paradigma baru pengelolaan perpustakaan seperti diuraikan di atas tidak berlebihan kiranya bahwa perpustakaan merupakan pusat literasi informasi dan sarana pembelajaran sepanjang hayat bagi masyarakat. Namun, untuk mewujudkan potensi tersebut, ada dua hal penting yang dapat diidentifikasi sebagai tantangan. Tantangan pertama adalah bagaimana meningkatkan kesadaran seluruh lapisan masyarakat mengenai pentingnya keterampilan literasi Gani Gaos Saputra -4
informasi bagi mereka. Hal ini penting mengingat sebagian besar masyarakat kita masih belum menyadari besarnya nilai manfaat dari keterampilan literasi informasi dan/atau problema-problema yang harus mereka hadapi akibat minimnya kemampuan di bidang itu. Minimnya kesadaran tersebut bukan hanya ditemukan di kalangan masyarakat akar rumput tetapi juga di kalangan elit. Tantangan kedua adalah bagaimana memberdayakan peran perpustakaan sendiri sehingga mampu menjawab harapan dan kebutuhan masyarakat saat ini. Harus diakui bahwa masih banyak anggota masyarakat yang memandang sebelah mata perpustakaan sebagai tidak lebih dari gudang tempat menyimpan buku yang penuh kotoran, debu dan serangga perusak buku. Persepsi miring ini menjadi tantangan tersendiri bagi institusi perpustakaan dan profesi pustakawan dimana di era informasi saat ini, perpustakaan seharusnya dapat menjadi titik akses bagi masyarakat dari semua kalangan yang ingin mendapatkan informasi baik secara online maupun offline. Sementara, peran pustakawan pun bukanlah sebagai sebatas clerical dunia perpustakaan, tetapi lebih dari itu adalah sebagai mitra bagi masyarakat dalam menemukan informasi terbaik dari berbagai alternatif sumber mulai dari website, buku, media massa, video sampai brosur dan famplet. Terkait dengan kedua tantangan tersebut, Perpustakaan Nasional RI (PERPUSNAS) seharusnya dapat memainkan peran strategis. Pertama, bagaimana meningkatkan kesadaran seluruh lapisan masyarakat tentang pentingnya kemampuan literasi informasi bagi mereka. Kedua, seiring dengan upaya peningkatan kesadaran masyarakat tersebut, bagaimana membina perpustakaanperpustakaan yang ada di tanah air sehingga dapat lebih berperan secara nyata sebagai basis pelayanan masyarakat informasi. Kemampuan PERPUSNAS dalam menjawab kedua tantangan tersebut dapat memberikan kontribusi penting dalam membangun masyarakat Indonesia menuju masyarakat yang semakin sadar informasi. Peran tersebut sejalan dengan visi-misi dari Perpustakaan Nasional RI sendiri dimana visinya adalah memberdayakan potensi perpustakaan dalam meningkatkan kualitas kehidupan bangsa, sedangkan misinya adalah 1) membina, mengembangkan dan mendayagunakan semua jenis Perpustakaan; 2) melestarikan Bahan Pustaka (Karya Cetak dan Karya Rekam) sebagai Hasil Budaya Bangsa; dan 3) menyelenggarakan Layanan Perpustakaan. Salah-satu upaya strategis yang dapat dilakukan oleh PERPUSNAS dalam menjawab kedua tantangan tersebut adalah dengan memprakarsai kegiatan kampanye nasional tentang penyadaran literasi informasi masyarakat dan kaitannya dengan peran perpustakaan dan pustakawan. Kegiatan kampanye ini penting mengingat, pesan-pesan tentang peningkatan kemampuan literasi informasi serta peran perpustakaan dan pustakawan di dalamnya seharusnya dapat disebarluaskan kepada seluruh khalayak dan diharapkan dapat direspon secara positif oleh mereka. Inti pesan yang perlu disampaikan kepada khalayak sasaran dalam kampanye ini, yaitu: “Literasi informasi adalah tuntutan keterampilan hidup yang sangat penting di era informasi saat ini. Perpustakaan dan pustakawan dapat membantu khalayak sasaran mengembangkan keterampilan tersebut”. Inti pesan tersebut selanjutnya dapat dirumuskan secara spesifik sesuai dengan karakteristik masing-masing khalayak sasaran. Dalam hal ini, khalayak sasaran dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: khalayak sasaran internal dan eksternal. Khalayak sasaran internal terdiri dari kalangan perpustaan dan pustakawan, sedangkan khalayak sasaran eksternal terdiri kelompok-kelompok masyarakat yang merupakan stakeholder atau berpotensi sebagai stakeholder dari perpustakaan/pustakawan. Tabel berikut ini adalah penjabaran lebih lanjut inti pesan kampanye berdasarkan kelompok sasarannya.
Khalayak Sasaran
Inti Pesan
Respon yang Diharapkan dari Kelompok Sasaran menurut Ranah Pikir, Sikap, dan Tindakan
Gani Gaos Saputra -5
Kalangan perpustakaan dan pustakawan perpustakaan/ pustakawan sekolah, universitas, umum, perusahaan, instansi pemerintah dll Administratur perpustakaan Pendukung perpustakaan lainnya
Masyarakat bisnis: Para pemimpin bisnis/CEO KADIN Asosiasi-asosiasi bisnis lainnya
Para pemimpin/ tokohtokoh masyarakat: Tokoh-tokoh LSM Tokoh-tokoh pendidikan Tokoh-tokoh ORMAS lainnya yang berpengaruh Para pembuat kebijakan: Para pemimpin & pejabat pemerintah di tingkat pusat dan daerah yang berperan dalam mengendalikan dan mendanai perpustakaan
Kalangan dunia pendidikan: Administratur sekolah dan lembaga pendidikan lainnya Komite /Dewan Sekolah Para guru
Teknologi sedang mengubah bagaimana kita hidup, belajar, bekerja dan mengatur/ memerintah. Kalangan perpustakaan dan pustakawan harus berbicara tentang pentingnya literasi informasi dan peran penting perpustakaan dan pustakawan
Keputusan yang baik tergantung informasi yang baik. Literasi informasi penting untuk tenaga kerja/SDM yang kompetitif
Para tokoh masyarakat perlu menyadari pentingnya literasi informasi dan perpustakaan adalah pusat informasi, budaya dan pembelajaran sepanjang hayat
Seluruh warga negara membutuhkan keterampilan literasi informasi jika mereka ingin berperan dalam ekonomi informasi global baru. Perpustakaan dan pustakawan memainkan peran penting dalam upaya ini
Literasi informasi penting jika para anak didik ingin ikut ambil bagian dalam masyarakat informasi global
Kalangan Pekerja dari Semua Tipe
Literasi informasi itu penting bagi keberhasilan di pasar tenaga kerja
Pengguna dan pengguna potensial perpustakaan: Orangtua, anak-anak, guru, mahasiswa dan pembelajar dari kalangan orang dewasa
Literasi informasi adalah keterampilan hidup yang penting di era informasi saat ini
Pikir: Perpustakaan dan pustakawan mempunyai peran penting dalam membantu masyarakat menjadi sadar informasi. Sikap: Dalam lingkungan informasi yang kompleks dan kaya, khalayak sasaran mempunyai peluang unik untuk menunjukkan nilai perpustakaan dan pustakawan. Tindakan: Mengambil peran kepemimpinan dalam mendidik masyarakatnya tentang pentingnya literasi informasi dan peran penting perpustakaan dan pustakawan di dalamnya.
Pikir: Untuk berhasil di abad 21, bisnis harus didukung SDM yang memiliki kemampuan untuk menemukan, menganalisis dan menggunakan informasi. Sikap: Pustakawan adalah mitra penting dalam membangun masyarakat dan angkatan kerja yang melek informasi Tindakan: Bermitra dengan kalangan perpustakaan untuk menciptakan peluang-peluang pembelajaran bagi SDM-nya dan mendorong para calon karyawan memiliki keterampilan literasi informasi yang mereka butuhkan untuk berhasil di dunia kerja. Pikir: Masyarakat kita harus menghadapi tantangan baru dari literasi informasi Sikap: Pustakawan mempunyai kepakaran berharga dalam membangun masyarakat yang melek informasi. Tindakan: Bermitra dengan perpustakaan untuk mengembangkan program dan strategi untuk membantu masyarakatnya menjadi melek informasi Pikir: Perpustakaan adalah inti dari infrastruktur informasi bangsa Sikap: Adalah penting bagi setiap warga negara mempunyai sumberdaya dan keterampilan yang mereka butuhkan untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan demokrasi dan masyarakat informasi global. Tindakan: Meningkatkan pendanaan untuk seluruh tipe perpustakaan dan dukungan kebijakan yang melindungi hak-hak masyarakat atas informasi dalam kerangka demokrasi.
Pikir: Perpustakaan berperan penting bagi keberhasilan staf, para pelajar dan mahasiswa Sikap: Perpustakaan dan pustakawan adalah mitra penting dalam peningkaran proses belajar dan mengajar. Tindakan: mengintegrasikan literasi informasi ke dalam kurikulum. Mengalokasikan dana untuk menjamin keberadaan dan layanan perpustakaan di lingkungan lembaga pendidikan guna mendukung guru dan siswa menjadi pengguna informasi yang efektif. Pikir: Memahami pentingnya keterampilan literasi informasi agar bisa bersaing di pasar tenaga kerja. Sikap: Menyadari bahwa perpustakaan dan pustakawan merupakan sumberdaya penting untuk pengembangan keterampilan literasi informasi yang mereka butuhkan Tindakan: Memanfaatkan pelayanan dan sumberdaya yang tersedia di berbagai perpustakaan Pikir: Saya (anak-anak saya) harus menjadi melek informasi agar berhasil dalam hidup di era informasi saat ini Sikap: Perpustakaan dan pustakawan dapat membantu saya dan keluarga saya mempelajari keterampilan yang penting ini. Tindakan: Mendukung perpustakaan umum, sekolah, pendidikan tinggi dan lainnya sebagai pusat yang penting untuk literasi informasi dan pembelajaran sepanjang hayat
Gani Gaos Saputra -6
Setelah kelompok sasaran dan intisari pesan (key-message) dirumuskan, langkah selanjutnya yang harus dipikirkan adalah bagaimana agar pesan-pesan tersebut bisa sampai dan dipahami oleh kelompok sasaran. Secara umum, ada lima pendekatan atau strategi yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan tersebut. Kelima pendekatan tersebut adalah komunikasi personal (personal communication), komunikasi massa (mass communication), pendidikan (education), hubungan masyarakat (Public Relations/PR) dan advokasi (advocacy). 1. Komunikasi Personal Pendekatan personal seringkali menjadi cara yang paling efektif untuk menyampaikan pesanpesan terutama jika pendekatan tersebut dilakukan oleh individu atau organisasi yang kredibel seperti PERPUSNAS ini. Melalui pendekatan ini, kelompok sasaran lebih terkoneksi dengan pesan kampanye dan memahami signifikansi pesan tersebut dikaitkan dengan kehidupan dan pekerjaannya. Beberapa contoh pendekatan personal diantaranya: • Pemanfaatan pertemuan-pertemuan tatap muka dengan para stakeholder dan masyarakat • Forum-forum masyarakat, presentasi dan lokakarya • Event-event sosial seperti pameran atau festival. • Permainan peran (role plays) • Informasi dari mulut ke mulut 2.
Komunikasi Massa Komunikasi personal merupakan cara yang sangat efektif dalam kampanye masyarakat untuk lingkup kelompok sasaran terbatas. Namun untuk menjangkau kelompok sasaran yang lebih luas pendekatan ini menjadi kurang efektif sehingga diperlukan pendekatan yang lebih tepat, yaitu dengan menggunakan pendekatan komunikasi massa. Beberapa contoh komunikasi dengan menggunakan pendekatan ini adalah publikasi melalui penggunaan: • Bahan-bahan cetak, misalnya, billboard, brosur, kartun, komik, famplet, poster dan buku • Sarana audiovisual, seperti kaset, video, CD dan DVD • Websites email discussion lists dan Web Logs (blogs). • Wawancara media, artikel dan pengumuman (announcements) di surat kabar, majalah, publikasi elektronik via internet. • Tayangan di radio dan televisi. • Penyebaran pesan-pesan SMS via telepon bergerak dan personal digital assistants (PDAs) 3.
Pendidikan dan Latihan Meningkatnya kesadaran kelompok sasaran terhadap suatu isu atau topik dalam prakteknya tidak selalu diikuti dengan perubahan-perubahan pada sikap dan tindakannya. Agar kampanye menghasilkan manfaat jangka panjang perlu dipertimbangkan pendekatan lain yang tujuannya adalah untuk membekali kelompok sasaran dengan keterampilan dan insentif untuk berubah. Pendekatan yang relevan untuk maksud tersebut adalah dengan memberikan/ menawarkan kelompok-kelompok sasaran untuk mengikuti kegiatan pendidikan dan latihan (DIKLAT), lokakarya, kunjungan kerja dan sebagainya.
4.
Public Relations (PR) Public Relations atau 'PR' terutama dirancang untuk membangun dan menjaga reputasi atau kredibilitas dari pihak penyelenggara kampanye. Lebih jauh, pengertian PR menurut The Chartered Institute of Public Relations di Inggris adalah sebagai upaya terencana dan berkelanjutan untuk membangun dan mempertahankan goodwill dan hubungan timbal balik antara suatu organisasi dengan khalayak dan para stakeholdernya. Dalam konteks program kampanye literasi informasi ini, kegiatan “PR” dapat mencakup penyelenggaraan konferensi pers oleh PERPUSNAS mengenai pelaksanaan kampanye dan hasil-hasilnya. Selain itu, pelibatan kalangan selebritis dalam penyampaian pesanpesan kepada kelompok sasaran merupakan cara yang efektif pula dalam kampanye melalui pendekatan “PR” ini.
5.
Advokasi dan Lobi Advokasi dan upaya-upaya lobi mungkin agak samar-samar ketika dimasukkan sebagai pendekatan kampanye, namun pendekatan menjadi penting untuk menjamin kesinambungan Gani Gaos Saputra -7
dukungan dari pemerintah dan masyarakat. Terkait kampanye literasi informasi ini, beberapa contohcontoh pendekatan advokasi dan lobi yang dapat dilakukan oleh PERPUSNAS adalah: • Pembentukan aliansi strategik dengan instansi-instansi pemerintah terkait, organisasiorganisas kemasyarakatan dan organisasi-organisasi komersial. • Pendekatan kepada kalangan politisi di semua level dan para pengambil keputusan strategis di pemerintahan terkait penyediaan sumber-sumber untuk meningkatkan kemampuan literasi informasi masyarakat. Masing-masing pendekatan tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri sehingga pelaksanaan program kampanye yang efektif perlu mempertimbangkan penggunaan semua pendekatan tersebut. Penutup Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan bahwa salah-tujuan berdirinya republik ini adalah untuk mewujudkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang cerdas. Cerdas dalam pengertian di sini tentu memiliki makna yang luas. Dikaitkan dengan kemampuan sebagai bangsa, kecerdasan pada prinsipnya adalah modal bagi terciptanya kondisi yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan. Jadi, kriteria bangsa yang cerdas, dapat berarti: (i) mampu memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupannya; (ii) mampu menghadapi segala tantangan kehidupan secara kreatif dan; (3) mampu untuk memproduksi hal hal yang bernilai dalam masyarakat. Mewujudkan seluruh komponen masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang sadar informasi atau masyarakat yang memiliki kemampuan literasi informasi yang tinggi menjadi sangat relevan dikaitkan dengan amanah konstitusi itu. Sebagai masyarakat sadar informasi, masyarakat Indonesia seharusnya menjadi masyarakat yang menyadari kekuatan di balik informasi/pengetahuan; terdorong dan mampu mencari pengetahuan secara mendalam melalui penggunaan berbagai sumberdaya informasi secara lebih baik; cinta belajar karena mampu mencari dan merasakan kenikmatan dalam proses pembelajaran tersebut; mengetahui kapan mereka membutuhkan informasi dan bagaimana mengumpulkan, melakukan sintesis- analisis, menafisirkan dan mengevaluasi informasi di sekitarnya. Kesadaran ini penting untuk ditanamkan karena di era informasi saat ini, perubahan berlangsung begitu cepat sehingga apa yang dinilai sebagai kemajuan spektakuler saat ini akan cepat menjadi usang dalam beberapa waktu mendatang. Seiring dengan upaya peningkatan kemampuan literasi informasi masyarakat, perpustakaan seharusnya mampu berada di garda terdepan karena institusi ini menyediakan titik akses yang strategis terhadap berbagai informasi yang dibutuhkan masyarakat, baik yang bersumber dari komputer, buku, instansi pemerintah, film atau sejumlah sumberdaya lainnya yang mungkin. Atas pelayanannya itu, masyarakat pun relatif tidak harus mengeluarkan banyak biaya sehingga pelayanan yang tersedia terbuka bagi siapa saja termasuk kalangan yang kurang mampy dari segi ekonomi. Dengan demikian, perpustakaan juga mengemban misi pemerataan informasi bagi masyarakat. Terkait itu semua, Perpustakaan Nasional RI (PERPUSNAS) sebagai institusi yang diberikan mandat oleh bangsa dan negara untuk membina dan mengembangkan institusi perpustakaan yang ada di tanah air dapat memainkan peran strategis dengan berupaya untuk lebih mendekatkan perpustakaan dengan masyarakat luas, antara lain dengan menyelenggarakan kampanye nasional peningkatan literasi informasi masyarakat dikaitkan dengan peran perpustakaan dan pustakawan sebagaimana diusulkan dalam tulisan ini. ooo000ooo
Jakarta, 24 Agustus 2007 Referensi: _________. A Library Advocate’s Guide to Building Information Literate Communities. Australian Library and Information Association. 2001 Alvin Toffler. Gelombang Ketiga (Edisi Terjemahan). Penerbit Pantja Simpati. Jakarta. 1992 Aiyepeku, W.O. 1994. Towards a Functional Infoliteracy Campaign in African States. White paper prepared for UNESCO, the U.S. National Commission on Libraries and Information Science, and the National Forum on Information Literacy. See recommended bibliographic citation format at the end of the paper for use when quoting from or reproducing this paper. Gani Gaos Saputra -8
Heri Abi. Sosiologi Informasi: Suatu Kajian Tentang Dinamika Informasi dan Dampaknya bagi Masyarakat. http://www.heri_abi.staff.ugm.ac.id Powered by Joomla! Generated: 7 August, 2007, 15:09 Kagan, A. Ed. The Growing Gap Between the Information Rich and The Information Poor, Both Within Countries and Between Countries. A Composite Policy Paper. 2002 L. Sulistyo-Basuki,Ph.D Professor.A Rethinking of the National Library’s Roles in Bibliographic Controlin The ICT Age, with Special Reference to the Region of Southeast Asia Prof. L. Sulistyo-Basuki Dept. Of Library and Information Science Faculty of Humanities Universitas Indonesia. 2005 Pawit M. Yusup, Drs., M.S. Prosedur Pengadaan koleksi dan sumber-sumber informasi di Perpustakaan. Fikom Unpad. 2003 Rao, M. Struggling with the Digital Divide: Internet Infrastructure, Content and Culture. E-OTI On the Internet. 2000 Ridwan Siregar. Peran Perpustakaan Umum Dalam Pemberdayaan Masyarakat. Program Studi Perpustakaan Dan Informasi Universitas Sumatera Utara. 2004 Sayers, Richard. Principles of awareness-raising: Information literacy, a case study. Bangkok: UNESCO Bangkok, 2006. Zdravka Pejova . Information Literacy: An Issue which Requests Urgent Action in Developing Countries and Countries in Transition Head of Information and Library Service International Center for Promotion of Enterprises, Ljubljana, Slovenia, 2002
Gani Gaos Saputra -9