PERAN PERAWAT DALAM MENANGANI PASIEN DENGAN GANGGUAN IMA (INFARK MIOKARD AKUT)DI INSTALASI GAWAT DARURAT RUMAH SAKIT Dr. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI “Untuk Memenuhi PersyaratanMencapai Sarjana Keperawatan”
Oleh : Merlyn Gischa Sofyana NIM. S11026
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2014
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Merlyn Gischa Sofyana NIM
: NIM. S11026
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1.
Karya tulis saya, skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (sarjana), baik di STIKes Kusuma Husada Surakarta maupun di perguruan tinggi lain.
2.
Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing dan masukan Tim Penguji.
3.
Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
4.
Pernyataan ini saya buat sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di perguruan tinggi ini. Surakarta, 16 Januari 2015 Yang membuat pernyataan,
Merlyn Gischa Sofyana NIM. S11026
iii
iv
v
vi
vii
viii
ix
x
xi
xii
xiii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Infark miokard merupakan nekrosis miokard yang berkembang cepat oleh karena ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen otot-otot jantung (Muhammad, 2011). IMAdisebabkan oleh nekrosis iskemik pada miokard akibat sumbatan akutpada arteri koroner (Davey, 2005).Jenis penyakit yang paling sering mendapat perhatian adalah penyakit jantung yang merenggut cukup banyak korban meninggal secara cepat yaitu infark miokard akut (IMA) atau secara awam diistilahkan sebagai serangan jantung. Infark
miokard
akut
(IMA)
didefinisikan
sebagai
nekrosis
miokardium yang disebabkan oleh tidak adekuatnya pasokan darah akibat sumbatan akut pada arteri koroner. Sumbatan ini sebagian besar disebabkan oleh ruptur plak ateroma pada arteri koroner yang kemudian diikuti oleh terjadinya trombosis, vasokontriksi, reaksi inflamasi. (Muttaqin, 2012). IMA sangat mencemaskan karena sering berupa serangan mendadak, umumnya pada pria usia 35-55 tahun, tanpa ada keluhan sebelumnya (Robbins, 2007). Tanda dan gejala dari IMA terjadi nyeri dada yang terjadi secara mendadak dan terus-menerus tidak mereda, nyeri sering disertai dengan sesak nafas, pucat, dingin, diaphoresis berat, pening atau kepala terasa melayang dan mual muntah. Keluhan yang khas ialah nyeri dada restrostenal seperti diremas-remas, ditekan, ditusuk, panas atau tertindih barang berat. Nyeri dapat 1
2
menjalar ke lengan (umumnya kiri), bahu leher, rahang bahkan kepunggung dan epigastris (Kasron, 2012). Sakit dada yang terutama dirasakan di daerah sternum, bisa menjalar ke dada kiri atau kanan,ke rahang,ke bahu kiri dan kanan dan pada lengan. Walau sifatnya dapat ringan, tapi rasa sakit itu biasanya berlangsung lebih dari setengah jam.Jarang ada hubunganya dengan aktifitas serta tidak hilang dengan istirahat.Pemeriksaan fisik pada IMA tidak ada yang karakteristik. Bila telah terjadi komplikasi seperti gagal jantung, maka dapat ditemukan irama gallop (bunyi jantung ketiga) atau ronki basah(Eliot, 2005). Infark Miokard Akut menempati peringkat pertama sebagai penyebab kematian di Amerika Serikat. Dilaporkan setiap tahunnya terdapat sekitar 476.124 kematian yang disebabkan oleh serangan jantung. Sekitar 1.100.000 warga Amerika mengalami serangan jantung, 650.000 serangan pertama kali dan 450.000 serangan ulangan. Penduduk dengan pendidikan rendah ternyata lebih besar angka kejadiannya dikarenakan ketidakpatuhaannya dalam melakukan pengobatan dan rehabilitasi secara teratur (Muhammad, 2011). Direktorat Jendral Pelayanan Medik Indonesia meneliti, bahwa pada tahun 2007 jumlah pasien penyakit jantung yang menjalani rawat inap dan rawat jalan di rumah sakit di Indonesia adalah 239.548 jiwa. Kasus terbanyak adalah penyakit infark miokard akut (13,49%) dan kemudian diikuti oleh gagal jantung (13,42%) dan penyakit jantung lainnya (13,37%)(Depkes, 2006).
2
3
Menurut Laporan Profil Kesehatan Kota Semarang tahun 2010 menunjukkan bahwa kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah sebanyak 96.957 kasus dan sebanyak 1.847 (2%) kasus merupakan kasus IMA. Penyakit jantung dan pembuluh darah merupakan penyakit tidak menular yang menjadi penyebab utama kematian dan selama periode tahun 2005 sampai dengan tahun 2010 telah terjadi kematian sebanyak 2.941 kasus dan sebanyak 414 kasus (14%) diantaranya disebabkan oleh infark miokard akut. Peran perawat adalah peran sebagai pelaksana layanan keperawatan (care provider), pengelola (manager), pendidik (educator) bagi individu, keluarga dan masyarakat, serta sebagai peneliti dan pengembang ilmu keperawatan (Asmadi, 2005).Proses perawatan tidak hanya sekedar sembuh dari penyakit tertentu, namun dengan keterampilan yang dimilki perawat, peran perawat pelaksana mampu meningkatkan kesehatan fisik, dan mengembalikan emosional dan spiritual (Perry dan Potter, 2005). Pelayanan gawat daruratmerupakan pelayanan profesional yang didasarkan pada ilmu dan metodologi yang berbentuk bio-psiko-sosiospiritual yang komprehensif ditujukan kepada klien atau pasien yang mempunyai masalah aktual dan potensial, mengancam kehidupan, terjadi secara mendadak atau tidak diperkirakan (Maryuani, 2009). Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit mempunyai tugas menyelenggarakan pelayanan asuhan medis dan asuhan keperawatan sementara serta pelayanan pembedahan darurat, bagi pasien yang datang dengan gawat darurat medis (Depkes RI, 2006).
3
4
Peran perawat dalam menangani IMA secara lebih lanjut sangat penting dalam mengidentifikasi pasien IMA yang beresiko tinggi kejadian kematian. Penilaian klinis terhadap infark dan fungsi ventrikuler akan dilakukan dalam waktu 24 sampai 48 jam tetapi dalam penanganan IMA tergantung
dalam
fasilitas
lokal.
Secara
electrocardiography yang dilakukan perawat
umum,
penggunaan
sudah maksimal
untuk
mendeteksi iskemia (Mahmarian, 2013). Angka mortalitas dan morbiditas komplikasi IMA yang masih tinggi seperti
keterlambatan
mencari
pengobatan,kecepatan
serta
ketepatan
pengkajian dan diagnosis keperawatan.Kecepatan penanganan perawat dinilai antara onset nyeri dada sampai tibadi IGD rumah sakit dan mendapat penanganan di rumah sakit (Sudoyo, 2010). Pada saat melakukan intervensi perawat melakukan dokumentasi dan mencatat frekuensi jantung, irama, dan perubahan tekanan darah sebelum, selama, dan sesudah
aktifitas
sesuai
indikasi. Selanjutnya perawat
mengimplementasi dengan menentukan respons pasien terhadap aktifitas dan dapat menghindari penurunan oksigen miokardia
yang memerlukan
penurunan tingkat aktifitas atau kembali menjalani bed rest (tirah baring). Evaluasi tentang kecepatan dan ketepatan penanganan terhadappasien IMA diperlukan untuk mencegah timbulnya komplikasi (Ardiansyah, 2012). Pada banyak kejadian penderita IMA yang justru meninggal atau mengalami kecacatan yang diakibatkan oleh kesalahan dalam melakukan pertolongan
(kesalahan
petugas).
4
Peranperawat
tentang
tindakan
5
kegawatdaruratan di IGD pada pasien IMA memegang porsi besar dalam menentukan keberhasilan pertolongan pertama. Di samping itu dibutuhkan juga sikap yang benar dalam memberikan tindakan kegawatdaruratan pada pasien IMA (Setiono, 2010). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di RSU Dr. Moewardi Surakarta dari banyaknya pasien yang datang ke IGD RSU Dr. Moewardi Surakarta diantaranya adalah penderita Infark Miokard Akut yang merupakan pasien rujukan dari Rumah Sakit lain.Angka kejadian yang terjadi pada tahun 2013-2014 di RSU Dr. Moewardi Surakarta sebanyak 825 pasien.Jumlah perawat sebanyak 63 orang.Peran perawat disini sangatlah penting dalam menangani pasien dengan gangguan IMA untuk mengurangi tingkat mortalitas pasien IMA, dikarenakan perbandingan jumlah perawat tidak sebanding dengan jumlah pasien yang datang. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Peran Perawat dalam menangani pasien dengangangguan IMA di IGD RSU Dr. Moewardi Surakarta.
1.2 Rumusan masalah Penanganan perawat pada pasien IMA sangat penting karena IMA sangat berbahaya jika tidak segera ditangani.Peran perawat disini dituntut memberikan pelayanan yang tepat, cepat dan cermat dengan tujuan mendapatkan kesembuhan tanpa kecacatan.Kejadian yang sering terjadi dilapangan
peran
perawat
dalam
5
menangani
IMA
masih
belum
6
tepat.Dikarenakan belum mengetahui sepenuhnya Standar Operasional Pelaksanaan dalam menangani IMA. Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan maka rumusan masalah
dari
penelitian
ini
adalah
“Bagaimana
peran
perawat
dalammenangani pasien dengangangguan IMA (Infarction Myocardial Acute) di IGD RSU. Dr. Moewardi Surakarta ?”.
1.3 Tujuan penelitian 1.3.1
Tujuan umum Mengetahuinya peran perawat dalammenangani pasien dengangangguan IMA (Infarction Myocardial Acute) di IGD RSU. Dr. Moewardi Surakarta.
1.3.2 Tujuan khusus 1. Mengidentifikasi bagaimana perawat melakukan pengkajian pada pasien IMA. 2. Mengidentifikasi bagaimana perawat merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien IMA. 3. Mengidentifikasi bagaimana perawat melakukan intervensi pada pasien IMA. 4. Mengidentifikasi bagaimana perawat melakukan implementasi pada pasien IMA. 5. Mengidentifikasi bagaimana perawat melakukan evaluasi pada pasien IMA.
6
7
6. Mengidentifikasi makna asuhan keperawatan yang dilakukan oleh perawat pada pasien IMA.
1.4. Manfaat penelitian 1. Bagi Rumah Sakit Dapat di gunakan sebagai acuan untuk meningkatkan pengetahuan tentang peran perawat IGD dalam penanganan pasien IMA. 2. Bagi Institusi pendidikan Sebagai masukan bagi institusi Prodi S-1 Keperawatan Stikes Kusuma Husada Surakarta dalam mengembangkan ilmu keperawatan sebagai
bahan
kajian
untuk
penelitian
keperawatan
kegawatdaruratandalam menangani IMA. 3. Bagi Peneliti lain Dapat di gunakan sebagai bahan dan sumber untuk pengembangan penilitian selanjutnya. 4. Bagi Peneliti Menambah pengetahuan, pengalaman, dan wawasan peneliti tentang
peran
perawat
IGD
dalam
menangani
kegawatdaruratan di IGD RSU. Dr. Moewardi Surakarta.
7
pasien
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan teori 2.1.1 Pengertian Infark Miokard Akut adalah nekrosis daerah miokardial yang biasanya disebabkan oleh suplai darah yang terhambat atau terhenti terlalu lama. Yang paling sering akibat adanya trombus akut atau mendadak pada coronary artherosclerotic stenosis, dan manifestasi klinis pertama adalah iskemia jantung, atau adanya riwayat angina pectoris (Riulantono, 2011).Infark miokard akut adalah kematian jaringan otot jantung (miokard) yang disebabkan oleh insufisiensi suplai atau banyaknya darah baik relatif maupun secara absolut (Muwarni, 2011). Infark Miokard Akut oleh orang awam disebut serangan jantung yaitu penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah koroner sehingga aliran darah ke otot jantung tidak cukup sehingga menyebabkan otot jantung mati (Rendi dan Margareth, 2012). 2.1.2 Etiologi Selama
kejadian
iskemia,
terjadi
beragam
abnormalitas
metabolisme, fungsi dan struktur sel. Miokard normal memetabolisme asam lemak dan glukosa menjadi karbon dioksida dan air. Akibat kadar
8
9
oksigen yang berkurang, asam lemak tidak dapat dioksidasi, glukosa diubah menjadi asam laktat dan pH intrasel menurun (Selwyn, 2005). Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri koroner, maka terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST (STEMI). Perkembangan perlahan dari stenosis koroner tidak menimbulkan STEMI karena dalam rentang waktu tersebut dapat terbentuk pembuluh darah kolateral. Dengan kata lain STEMI hanya terjadi jika arteri koroner tersumbat cepat. Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST yang disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak. Erosi dan ruptur plak ateroma produksi vasokonstriktor, endotelin-1, dan angiotensin II yang berperan dalam migrasi dan pertumbuhan sel (Riulanto, 2011). Setiap bentuk penyakit arteri koroner dapat menyebabkan IMA. Penelitian angiografi menunjukkan bahwa sebagian besar IMA disebabkan oleh trombosis arteri koroner. Gangguan pada plak aterosklerotik yang sudah
ada
(pembentukan
fisura)
merupakan
suatu
nidus
untuk
pembentukan trombus (Robbins, 2007). Infark terjadi jika plak aterosklerotik mengalami fisur, ruptur, atau ulserasi, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner (Sudoyo, 2010). Penyebab lain infark tanpa aterosklerosis koronaria antara lain emboli arteri koronaria, anomali arteri koronaria kongenital, spasme
9
10
koronaria terisolasi, arteritis trauma, gangguan hematologik, dan berbagai penyakit inflamasi sistemik (Libby, 2008).
Ada beberapa penyebab lain terjadinya IMA menurutMuwarni(2011) yaitu: 1. Sindroma klasik : sumbatan total yang erjadi secara tiba-tiba pada arteri. 2. Koronaria besar oleh trombosis. 3. Hiperkolesterolemia atau meningkatnya kadar kolesterol dalam pembuluh darah. 2.1.3 Faktor resiko IMA Faktor risiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga, sedangkan faktor risiko yang masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik, antara lain kadar serum lipid, hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa, dan diet yang tinggi lemak jenuh, kolesterol, serta kalori (Santoso, 2005). Secara garis besar terdapat dua jenis faktor resiko bagi setiap orang untuk terkena IMA menurut Kasron(2012) yaitu faktor resiko yang bisa dimodifikasi dan faktor resiko yang tidak bisa dimodifikasi. 1. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi
10
11
Merupakan faktor resiko yang bisa dikendalikan sehingga dengan intervensi tertentu maka bisa dihilangkan. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya : a.
Merokok
b.
Konsumsi alkohol
c.
Infeksi
d.
Hipertensi sistemik
e.
Obesitas
f.
Kurang olahraga
g.
Penyakit diabetes
2. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi Merupakan faktor yang tidak bisa diubah atau dikendalikan, yaitu diantaranya : a.
Usia
b.
Jenis kelamin
c.
Riwayat keluarga
d.
RAS
e.
Geografi
f.
Tipe kepribadian
g.
Kelas sosial
11
12
2.1.4 Klasifikasi IMA a. Infark Miokard Akut diklasifikasikan berdasar EKG 12 sandapan dibagi menjadi menjadi 2 (dua) : 1. Infark miokard akut ST-elevasi (STEMI) : oklusi total dari arteri koroner yang menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan miokardium. Keluhan nyeri terjadi secara mendadak dan terus-menerus tidak mereda. Biasanya diatas region sternal bawah dan abdomen bagian atas. Yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG. Perubahan enzim CPKMB, LDH, AST. 2. Infark miokard akut non ST-elevasi (NSTEMI) : oklusi sebagian dari
arteri
koroner
tanpa
melibatkan
seluruh
ketebalan
miokardium, sehingga tidak ada elevasi segmen ST pada EKG. Perubahan enzim CKMB 3. Infark miokard akut unstable angina pectoris (UAP) :keadaan klinis diantara angina pectoris stabil dan infark miokardium. Nyeri dada angina biasanya berlokasi dibawah sternum (retrosternal) dan kadang menjalar ke leher, rahang, bahu dan kadang lengan kiri atau keduanya. Angina pectoris
ditandai
dengan nyeri dada yang berakhir 5-15 menit. Perubahan EKG (gelombang T terbalik > 0,2 mV dan atau depresei segmen ST > 0,05). Perubahan enzim terjadi kenaikan khas pada CKMB, protein troponin T dan I dan myoglobin.
12
13
b. Menurut Rendy dan Mrgareth (2012), jenis-jenis miokard infark terbagi menjadi 2 (dua) menurut lokasi yaitu: 1. Miokard infark subendokardial Daerah subendokardial merupakan daerah miokard yang amat peka terhadap iskemia dan infark. Miokard infark subendokardial terjadi akibat aliran darah subendokardial yang relatif menurun dalam waktu lama sebagai akibat perubahan derajat penyempitan arteri koroner atau dicetuskan oleh kondisi-kondisi seperti hipotensi, perdarahan, hipoksia. 2. Miokard infark transmural Pada lebih dari 90% pasien miokard infark transmural berkaitan dengan trombosis koroner. Trombosis sering terjadi di daerah yang mengalami penyempitan arterosklerotik. Penyebab lain lebih jarang ditemukan, termasuk disini misalnya perdarahan dalam plague arterosklerotik dengan hematom intramural, spasme yang umumnya terjadi ditempat arterosklerotik yang emboli koroner.
1.1.5 Gejala dan tanda IMA Gambaran klinis infark miokard umumnya berupa nyeri dada substernum yang terasa berat, menekan, seperti diremas-remas dan terkadang menjalar ke leher, rahang, epigastrium, bahu, atau lengan kiri, atau hanya rasa tidak enak di dada. IMA sering didahului oleh serangan angina pektoris pada sekitar 50% pasien. Namun, nyeri pada IMA
13
14
biasanya berlangsung beberapa jam sampai hari, jarang ada hubungannya dengan aktivitas fisik dan biasanya tidak banyak berkurang dengan pemberian nitrogliserin, nadi biasanya cepat dan lemah, pasien juga sering mengalami diaforesis. Pada sebagian kecil pasien (20% sampai 30%) IMA tidak menimbulkan nyeri dada.Silent IMA ini terutama terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus dan hipertensi serta pada pasien berusia lanjut (Sudoyo, 2010).Myocardial infark ditandai dengan nyeri dada menetap, tidak hilang dengan istirahat dan minum nitrogliserin.Kemudian menyebar luas sehingga dapat menyebabkan hypotensi, shock, aritmia dan gagal jantung.Pasien tampak banyak keringat, muka pucat, dyspnea, nausea, vomit, cemas dan gelisah. 1.1.6 Penatalaksanaan di ruang emergensi Tujuan
tatalaksana
di
IGD
adalah
mengurangi
atau
menghilangkan nyeri dada, mengidentifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI. Pasien dengan IMA harus terus dipantau oleh elektrokardiografi. Perawat memantau lewat monitor semua aktifitasnya yang merugikan pasien karena kematian terjadi paling sering dalam 24 jam pertama. Kegiatan fisik pasien harus dibatasi paling sedikit 12 jam, dan rasa sakit dan / atau kecemasan harus diminimalkan dengan analgesik yang sesuai.
14
15
Meskipun penggunaan agen antiaritmia profilaksis dalam 24 jam pertama tidak dianjurkan, atropin, lidocaine, alat pacu jantung transkutan atau alat pacu jantung transvenous, defibrillator, dan epinephrine harus segera tersedia. Sementara perhatian utama adalah untuk mencegah kematian, merawat orang-orang
untuk
korban
IMA
bertujuan
untuk
meminimalkan
ketidaknyamanan pasiendari marabahaya dan untuk membatasi tingkat kerusakan miokard. Menurut William Wijns (2006) perawatan dapat dibagi menjadi empat tahap: 1. Perawatan darurat ketika pertimbangan utama adalah membuat diagnosis yang cepat dan risiko awal stratifikasi, untuk menghilangkan rasa sakit dan untuk mencegah atau mengobati serangan jantung. 2. Perawatan awal di mana pertimbangan utama adalah untuk memulai secepat mungkin reperfusi terapi untuk membatasi ukuran infark dan untuk mencegahekstensi infark dan perluasan dan untuk mengobati komplikasi langsung seperti kegagalan pompa, shock dan aritmia yang mengancam jiwa. 3. Perawatan selanjutnya di mana komplikasi yang biasanya terjadi kemudian dibahas. 4. Penilaian dan langkah-langkah untuk mencegah perkembangan risiko penyakit arteri koroner, infark baru,gagal jantung dan kematian.
15
16
1.1.7 Tatalaksana umum 1. Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin dapat diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. 2. Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi oksigen <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.2) Nitrogliserin : Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. 3. Nitrat :merupakan obat yang diberikan untuk menanggulangi spasme arteri koroner dan menurunkan miokard akan oksigen dengan menurunkan tekanan baik preload maupun afterload. Menyebabkan relaksasi dari otot polos pembuluh darah melalui stimulasi dari prosuk cyclic
guanosine
monophosphate
intraseluler,
mengakibatkan
penurunan tekanan darah. Nitrat sublingual dapat di berikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat di berikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. 4. Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis
16
17
160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya diberikan peroral dengan dosis 75-162 mg. 5. Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit, tekanan darah sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam. 1.1.8 Peran perawat Peran perawat menurut konsorium ilmu kesehatan terdiri dari sebagai berikut (Hidayat, 2008) terdiri dari : 1. Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan Peran ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan. 2. Peran sebagai advokat pasien Peran ini dilakukan perawat dalam membantu pasien dan keluarganya dalam menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan atau informasi lain khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan kepada pasien. Juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien
17
18
yang meliputi hak atas pelayanan sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang penyakitnya dan hak atas privasi. 3. Peran edukator Peran ini dilakukan dengan membantu pasien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan, sehingga terjadi perubahan perilaku dari pasien setelah dilakukan pendidikan kesehatan.
4. Peran koordinator Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan kebutuhan pasien. 5. Peran kolaborator Peran perawat di sini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi dan
lain-
lain
dengan
berupaya
mengidentifikasi
pelayanan
keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan selanjutnya. 6. Peran konsultan Di sini perawat berperan sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan.Peran
18
19
ini dilakukan atas permintaan pasien terhadap informasi tentang tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan. 7. Peran pembaharu Peran ini dapat dilakukan dengan mengadakan perencanaan, kerja sama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan keperawatan. 2.1.9 Klasifikasi perawat gawat darurat Klasifikasi perawat gawat darurat menurut Depkes RI (2006), mengelompokkan berdasarkan fungsinya sebagai berikut: 1. Fungsi independen, fungsi mandiri berkaitan dengan pemberian asuhan (care), 2. Fungsi dependen, fungsi yang didelegasikan sepenuhnya atau sebagian dari profesi lain, 3. Fungsi kolaboratif, yaitu melakukan kerjasama saling membantu dalam program kesehatan (perawat sebagai anggota tim kesehatan).
1.2 Asuhan Keperawatan pada pasien IMA Menurut Ardiansyah (2012) asuhan keperawatan pada pasien IMA adalah sebagai berikut : 1. Pengkajian. a. Kualitas
nyeri
dada
:
seperti
terbakar,
tercekik,
menyesakkan nafas atau seperti tertindih barang berat.
19
rasa
20
b. Lokasi dan radiasi : retrosternal dan prekordial kiri, radiasi menurun ke lengan kiri bawah dan pipi, dagu, gigi, daerah epigastrik dan punggung. c. Faktor pencetus : mungkin terjadi saat istirahat atau selama kegiatan. d. Lamanya dan faktor-faktor yang meringankan : berlangsung lama, berakhir lebih dari 20 menit, tidak menurun dengan istirahat, perubahan posisi ataupun minum Nitrogliserin. e. Tanda dan gejala : Cemas, gelisah, lemah sehubungan dengan keringatan, dispnea, pening, tanda-tanda respon vasomotor meliputi : mual, muntah, pingsan, kulit dinghin dan lembab, cekukan dan stress gastrointestinal, suhu menurun. f. Pemeriksaan fisik : mungkin tidak ada tanda kecuali dalam tandatanda gagalnya ventrikel atau kardiogenik shok terjadi. BP normal, meningkat atau menuirun, takipnea, mula-mula pain reda kemudian kembali normal, suara jantung S3, S4 Galop menunjukan disfungsi ventrikel, sistolik mur-mur, M. Papillari disfungsi, LV disfungsi terhadap suara jantung menurun dan perikordial friksin rub, pulmonary crackles, urin output menurun, Vena jugular amplitudonya meningkat ( LV disfungsi ), RV disfungsi, ampiltudo vena jugular menurun, edema periver, hati lembek.
20
21
2. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi a. Nyeri berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap sumbatan arteri. Intervensi : a) Observasi karakteristik, lokasi, waktu, dan perjalanan rasa nyeri dada tersebut. b) Anjurkan pada klien menghentikan aktifitas selama ada serangan dan istirahat. c) Bantu klien melakukan tehnik relaksasi, misal; nafas dalam, perilaku distraksi, visualisasi, atau bimbingan imajinasi. d) Pertahankan Olsigenasi dengan bikanul contohnya ( 2-4 L/ menit ). e) Monitor tanda-tanda vital ( Nadi& tekanan darah ) tiap dua jam. f) Kolaborasi dengan tim kesehatan dalam pemberian analgetik. b. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan faktor-faktor listrik, penurunan karakteristik miokard. Intervensi : a) Pertahankan tirah baring selama fase akut b) Kaji dan laporkan adanya tanda – tanda penurunan COP, TD c) Monitor haluaran urin d) Kaji dan pantau TTV tiap jam e) Kaji dan pantau EKG tiap hari
21
22
f) Berikan oksigen sesuai kebutuhan g) Auskultasi pernafasan dan jantung tiap jam sesuai indikasi h) Pertahankan cairan parenteral dan obat-obatan sesuai advis i) Berikan makanan sesuai diitnya j) Hindari valsava manuver, mengejan ( gunakan laxan ). c. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan, iskemik, kerusakan otot jantung, penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah arteri koronaria. Intervensi : a) Monitor Frekuensi dan irama jantung b) Observasi perubahan status mental c) Observasi warna dan suhu kulit atau membran mukosa d) Ukur haluaran urin dan catat berat jenisnya e) Kolaborasi : Berikan cairan IV l sesuai indikasi f) Pantau pemeriksaan diagnostik dan laboratorium, missal ; EKG, elektrolit, GDA( Pa O2, Pa CO2 dan saturasi O2 ). Dan pemberian oksigen. d. Resiko kelebihan volume cairan ekstravaskuler berhubungan dengan penurunan perfusi ginjal, peningkatan natrium atau retensi air , peningkatan tekanan hidrostatik, penurunan protein plasma. Intervensi : a) Observasi adanya oedema dependen b) Timbang BB tiap hari
22
23
c) Pertahankan masukan total caiaran 2000 ml/24 jam dalam toleransi kardiovaskuler d) Kolaborasi : pemberian diet rendah natrium, berikan diuretik. e. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan aliran darah ke alveoli atau kegagalan utama paru, perubahan membran alveolar- kapiler ( atelektasis , kolaps jalan nafas atau alveolar edema paru atau efusi, sekresi berlebihan atau perdarahan aktif ). Intervensi : a) Catat frekuensi & kedalaman pernafasan, penggunaan otot bantu pernafasan b) Auskultasi paru untuk mengetahui penurunan atau tidak adanya bunyi nafas dan adanya bunyi tambahan misal krakles, ronki dll. c) Lakukan tindakan untuk memperbaiki atau mempertahankan jalan nafas misalnya , batuk, penghisapan lendir dll. d) Tinggikan kepala atau tempat tidur sesuai kebutuhan atau toleransi pasien e) Kaji toleransi aktifitas misalnya keluhan kelemahan atau kelelahan selama kerja atau tanda vital berubah
23
24
1.3 Algoritma IMA Timbulnya gejala
Menyediakan ambulance di pintu masuk
Perawat menentukan Triase pasien gawat darurat menurut:
Memulai perawatan gawat darurat : -
Keadaan pasien gawat darurat menuju pintu masuk
-
Monitor jantung Terapi O2 IV D5 Cek darah Nitrogliserin Aspirin
Tanda dan gejala IMA 12 lead EKG Penanganan secara cepat
Dokter mengevaluasi pasien gawat darurat - Riwayat - Pemeriksaan fisik - Interpretasi EKG
Belum pasti Pasien IMA ? Ya
Konsultasi Tidak
Belum pasti Untuk terapi fibrinolitik Ya
Konsultasi Tidak
Terapi fibrinolitik
Konsultasi lebih jauh
Indikasi pengobatan lain: - Obat lain untuk IMA (beta bloker, heparin, aspirin, nitrat) - Mengirim ke lab untuk pembedahan CABG 2.1 Gambar Algoritma IMA
24
Melakukan pendidikan dan mengikuti instruksi
Mengakui
Bebas
25
1.4 Kerangka teori
Penyebab IMA:
Terjadi •
STEMI
dimodifikasi.
•
NSTEMI
-
Hipertensi sistemik
•
UAP
-
Kurang olahraga
-
Penyakit diabetes
1. Faktor
-
yang
dapat
Penatalaksanaan di IGD algoritma IMA
Jika tidak segera
Jika segera
ditangani :
ditangani :
• Disfungsi otot
• Menghentikan
Merokok
2. Faktor yang tidak dapat
jantung
dimodifikasi.
• Aritmia
-
Usia
• Perluasan infark
-
Jenis kelamin
-
Riwayat keluarga
-
RAS
perkembangan serangan jantung • Menurukan
• Ruptur miokard
beban
• Trombus mural
jantung
kerja
• Aneurima ventrikel kiri
Peran perawat
2.2 Gambar Kerangka Teori Kasron (2012). Willian wijns (2006)
25
26
1.5 Fokus penelitian
Peran perawat di IGD
Makna
Pengkajian
Evaluasi
IMA
Diagnosa keperawatan
Intervensi
Implementasi
2.3 Gambar Fokus Penelitian
Peran perawat dalam pemberian asuhan keperawatan meliputi pengkajian, mendiagnosa keperawatan, penanganan IMA, mengevaluasi pasien IMA.Peran perawat di ruang IGD sangat penting dalam melakukan pelayanan tersebut.Sehingga perawat dapat memahami makna yang terkandung dalam pelayanan yang diberikan kepada pasien.
26
27
2.5 Keaslian penelitian
Peneliti dan tempat penelitian
Judul
Desain penelitian
Lilik yulaikok mubasiroh, Penelitian kepatuhan Deskriptif di Poli jantung RSU Dr. pasien infark miokard Harjono Ponorogo infark dalam melakukan pengobatan secara teratur Mamat supriyono, di Faktor-faktor resiko Observasional RSUP Kariadi Semarang yang berpengaruh dan RS Telogorejo terhadap kejadian Semarang penyakit jantung coroner pada kelompok usia < 45 tahun
Hasil Dari hasil penelitian ini kiranya perlu adanya penanganan yang komprehensif dan menyeluruh dari petugas kesehatan dalam hal ini perawat, dalam memberikan asuhan keperawatan secara biopsikososial. Analisa multivariate menunjukkan bahwa faktor-faktor yang terbukti berpengaruh terhadap kejadian PJK dan merupakan faktor risiko PJK pada kelompok usia < 45 tahun adalah: dislipidemia (p=0,006 dan OR=2,8 ; 95% CI=1,3-6,0), kebiasaan merokok (p=0,011 dan OR=2,4 ; 95% CI=1,2-4,8), adanya penyakit DM (p=0,026 dan OR=2,4; 95% CI=1,2-5,9) dan penyakit DM dalam keluarga (p=0,018 dan OR=2,3 ; 95% CI=1,1-4,5).
28
Peneliti dan tempat penelitian Inne pratiwi RDUP. Dr. semarang
Judul
Desain penelitian
farissa, Komplikasi pada Deskriptif Kariadi pasien AMI STElevasi yang mendapat maupun tidak mendapat terapi reperfusi
Virgianti Nur Faridah, Hubungan 2009, RSUD Dr. pengetahuan perawat Soetomo Surabaya dan peran perawat sebagai pelaksana dalam penanganan pasien gawat darurat dengan gangguan sistem kardiovaskuler Mahmud, 2009, di RSU Peran perawat dalam Pamangat Kalimantan informed consent pre Barat operasi di ruang bedah RSU Pamangat Kalimantan Barat Cheng Han Lee. Taiwan Trends in the Incidence and
Hasil Terdapat 105 kasus pasien STEMI yang terdiri atas 20% pasien yang direperfusi dan 80% tidak direperfusi. Komplikasi yang sering terjadi pada pasien yang direperfusi adalah perdarahan minor (19,1%), gagal jantung (14,3%), dan kematian (9,5%), sedangkan pada pasien yang tidak direperfusi adalah gagal jantung (25%), henti jantung (16,7%), dan kematian (15,5%).
Cross sectional
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan pengetahuan dan perawat sebagai pelaksana dengan nilai rho hitung 0,455 dengan taraf signifikasi 0,033.
Kualitatif pendekatan fenomenologi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap perawat dalam melaksanakan peran advocate, counsellor dan consultant dalam pengajuan informed consent belum sepenuhnya sesuai dengan kewenangan perawat.
Data klaim
Kejadian AMI meningkat, tetapi obat berbasis pedoman untuk AMI yang kurang dimanfaatkan di Taiwan.
29
Peneliti dan tempat penelitian
Judul Management of Acute Myocardial Infarction From 1999 to 2008: Get With the Guidelines Performance Measures in Taiwan
Desain penelitian
Hasil Program peningkatan mutu , seperti GWTG , harus dipromosikan untuk meningkatkan perawatan AMI dan hasil di Taiwan .
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan rancangan penelitian Jenis penelitian ini adalah kualitatif yaitu penelitian untuk menemukan atau mengembangkan pengetahuan yang memerlukan keterlibatan peneliti dalam mengidentifikasi pengertian atau relevansi fenomena tertentu terhadap individu dengan rancangan penelitian deskriptif study fenomenologi(Nursalam, 2011). Peneliti memilih metode kualitatif karena peneliti ingin memahami secara holistic peran perawat dalam menangani pasien dengan gangguan IMA di IGD RSU Dr.Moewardi Surakarta.Fenomena peran perawat dalam merawat pasien dengan gangguan IMA tidak dapat digambarkan secara kuantitatif karena hal ini berkaitan dengan subyektivitas pengalaman manusia. Fenomenologi merupakan pendekatan yang dipakai oleh peneliti. Polit & Beck (2006) menyatakan bahwa studi fenomenologi merupakan suatu pendekatan yang essensial terkait dengan pengalaman alamiah manusia sepanjang hidupnya dan memberikan gambaran suatu fenomena yang diteliti melalui hasil daya titik yang mendalam dari peneliti, diperoleh dari data-data hasil wawancara, tulisan serta pengamatan suatu fenomena yang diteliti.
30
31
Pendekatan deskriptif fenomenologi dinilai dapat menjelaskan fokus permasalahan dan realitas yang diteliti secara jelas dan lengkap karena peneliti akan berusahamemahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orangorang yang biasa dalam situasi tertentu (Maleong, 2006.). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran perawat dalam menangani pasien IMA.
3.2 Tempat dan waktu penelitian 3.2.1 Tempat penelitian Penelitian ini dilakukan di IGD RSU Dr. Moewardi Surakarta, yang merupakan rumah sakit tipe A yang menjadi rujukan bagi Rumah Sakit lain di Surakarta dalam penanganan kasus gawat darurat. Ruangan yang digunakan dalam proses wawancara adalah ruang istirahat perawat di IGD di RSU Dr. Moewardi Surakarta. 3.2.2 Waktu penelitian Penelitian ini dilakukan selama periode Februari-Maret 2015.
3.3 Populasi dan sampel Populasi yang digunakan adalahperawat yang bertugas di ruang IGD RSU Dr. Moewardi Surakarta sebanyak 63 orang. Tehnik pengambilan sampel di lakukan dengan cara Purposive sampling yaitu peneliti memilih dari populasi secara tidak acak yang memenuhi kriteria sampel yang ditentukan (Bhisma Murti, 2006).
32
Partisipan dalam penelitian yaitu sebagian dari keseluruhan obyek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Setiadi, 2013).Partisipan sebanyak 5-10 orang hingga tercapai saturasi (Afriyanti, 2014). Dengan kriteria inklusi : 1. Pengalaman bekerja minimal 3 tahun di RSU Dr. Moewardi Surakarta. 2. Pendidikan minimal D3 Keperawatan. 3. Bersedia menjadi partisipan kooperatif. 4. Perawat yang berpengalaman menangani pasien IMA. Kriteria ekslusi : 1. Perawat yang tidak masuk shift. 2. Perawat yang cuti. 3. Perawat yang tiba-tiba sakit disaat wawancara
3.4 Instrumen dan prosedur pengumpulan data 1. Instrumen Pada penelitian ini digunakan dua macam instrumen yaitu instrumen inti dan instrumen penunjang sebagai berikut: a. Instrumen inti Peneliti merupakan instrumen kunci pada penelitian ini.Peneliti sebagai instrumen inti berusaha untuk meningkatkan kemampuan diri dalam melakukan wawancara mendalam.Usaha yang dilakukan berlatih wawancara terlebih dahulu sebelum pengambilan data kepada
33
partisipan.Pada saat latihan wawancara peneliti berusaha responsive dalam berkomunikasi.Keterampilan wawancara kemudian diperbaiki seiring dengan seringnya melakukan wawancara pada partisipan berikutnya. b. Intrumen penunjang Alat bantudalam pengumpulan data yang digunakan yaitu: a. Data demografi atau biodata meliputi nama, umur, alamat, pendidikan. b. Alat tulis meliputi buku dan bolpoin c. Alat perekam atau smartphone yang dilengkapi program voice recorder
yang
mempermudah
peneliti
membuat
transkip
wawancara. Program tersebut telah dilakukan uji coba sebelumnya dan mampu merekam suara selama 60 menit. Hasil rekaman dapat disimpan dalam bentuk file MP3. Alat perekam diisi daya penuh sebelum digunakan dan menggunakan flight mode on agar tidak terganggu pada saat proses wawancara. d. Pedoman wawancara berisi daftar pertanyaan terbuka yang telah diuji cobakan sebelumnya kepada perawat yang memenuhi kriteria inklusi di Rumah Sakit yang berbeda sebelum ditanyakan kepada partisipan.
34
e. Peneliti juga melakukan pencatatan sebagai media observasi non verbal saat pengumpulan data dengan menggunakan lembar catatan lapangan dan lembar observasi. 2. Prosedur pengumpulan data a. Fase pra interaksi Pengumpulan data dimulai setelah peneliti menyelesaikan ujian proposal dan diperbolehkan melakukan pengambilan data dilapangan. Peneliti mengurus surat ijin penelitian untuk pengambilan data yang dikeluarkan oleh Program Studi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta kepada Direktur RSU. Dr.Moewardi Surakarta. Pengurusan surat ijin studi pendahuluan kebagian diklat dilakukan pada tanggal 24 November 2014 dan surat studi pendahuluan terbit pada tanggal 29 Desember 2014. Ijin yang diberikan oleh direktur Rumah Sakit selanjutnya dipergunakan peneliti sebagai pengambilan data kepada perawat dengan berkoordinasi mengenai kriteria inklusi partisipan kepada kepala ruang IGD RSU Dr.Moewardi Surakarta. Partisipan yang memenuhi kriteria inklusi kemudian diberikan penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian serta dampak yang mungkin terjadi pada proses pengumpulan data.
35
b. Fase pelaksanaan 1. Wawancara mendalam Sumber data yang sangat penting dalam penelitian kualitatif adalah berupa manusia yang dalam posisi sebagai narasumber atau informan. Informasi dari sumber data ini dikumpulkan dengan teknik wawancara, dalam penelitian kualitatif khususnya dilakukan dalam bentuk yang disebut wawancara mendalam (in-depth interviewing)yaitu wawancara yang dilakukan untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka di mana informan yang diwawancara diminta pendapat dan ide-idenya, peneliti mencatat apa yang dikemukakan oleh informan (Sugiyono, 2013). Wawancara akan dihentikan oleh peneliti ketika semua jawaban dari partisipan jenuh (Sutopo, 2006). 2. Dokumen Studi dokumentasi adalah teknik pengumpulan data dengan mempelajari catatan-catatan mengenai suatu data. Dokumen tertulis merupakan sumber data yang memiliki posisi penting dalam penelitian kualitatif (Sutopo, 2006). Sumber data dan dokumen pada penelitian ini diperoleh dari buku dan jurnal yang membahas peran perawat dan penyakit akut miokard infark.
36
Data dari sumber tersebut kemudian dianalisis sehingga dapat memperkuat hasil penelitian peneliti.
c. Fase terminasi Tahap terakhir dalam pengumpulan data dilakukan terminasi dengan melakukan validasi terhadap data yang ditemukan kepada partisipan.Peneliti memperlihatkan hasil transkip wawancara dan interpretasi peneliti kepada partisipan. Semua partisipan mengatakan bahwa apa yang ditulis peneliti telah sesuai dengan apa yang dimaksud partisipan. Setelah semua data divalidasi dan sesuai dengan apa yang dimaksud oleh partisipan, maka dilakukan terminasi dengan pemberian reward (penghargaan) sebagai ucapan terima kasih karena telah bersedia berpartisipasi dalam penelitian dan menyampaikan bahwa proses penelitian telah selesai.
3.5 Analisa data Menurut Polit & Beck (2006) analisa data dalam penelitian ini menggunakan metode fenomenologis deskriptif dengan metode Colaizzi, adapun langkah – langkah analisa data adalah sebagai berikut : 1. Peneliti menggambarkan fenomena dari pengalaman hidup partisipan yang diteliti. 2. Peneliti mengumpulkan gambaran fenomena partisipan.
37
3. Peneliti membaca semua protocol atau transkrip untuk mendapatkan perasaan yang sesuai dari partisipan. Kemudian mengidentifikasi pernyataan partisipan yang relevan. Serta membaca transkrip secara berulang–ulang hingga ditemukan kata kunci dari pernyataan – pernyataan. 4. Kemudian peneliti mencari makna dan dirumuskan kedalam tema. a. Merujuk kelompok tema kedalam transkrip dan protocol asli untuk memvalidasi. b. Memperhatikan perbedaan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain dan menghindari perbedaan diantara kelompok tema tersebut. 5. Peneliti mengintegrasikan hasil ke dalam deskripsi lengkap dari fenomena yang diteliti. 6. Merumuskan deskripsi lengkap dari fenomena yang diteliti sebagai pernyataan tegas dan didentifikasi kembali 7. Kembali kepada partisipan untuk langkah validasi akhir / verifikasi tema – tema segera setelah proses verbatim dilakukan dan peneliti tidak mendapatkan data tambahan baru selama verifikasi.
3.6 Keabsahan data Menurut Afriyanti (2014) keabsahan data dibagi menjadi 4, yaitu : 1. Kredibility (validitas internal) Merupakan ukuran tentang kebenaran data yang diperoleh dengan instrumen, yakni apakah instrumen itu sungguh-sungguh mengukur
38
variabel yang sesungguhnya. Bila ternyata instrumen tidak mengukur apa yang seharusnya diukur maka data yang diperoleh tidak sesuai dengan kebenaran, sehingga hasil penelitiannya juga tidak dapat dipercaya, atau dengan kata lain tidak memenuhi syarat validitas. 2. Transferability (validitas eksternal) Berkenaan dengan masalah generalisasi, yakni sampai dimanakah generalisasi yang dirumuskan juga berlaku bagi kasus-kasus lain diluar penelitian. Dalam penelitian kualitatif, peneliti tidak dapat menjamin keberlakuan hasil penelitian pada subyek lain. Hal ini disebabkan karena penelitian kualitatif tidak bertujuan untuk menggeneralisir, karena dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan sampling acak, atau senantiasa bersifat purposive sampling. 3. Dependebility(dependabilitas) Merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Reliabilitas menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran tetap konsisten bila dilakukan ulang terhadap gejala yang sama dengan alat pengukur yang sama.Untuk dapat mencapai tingkat reliabilitas dalam penelitian ini, maka dilakukan dengan tekhnik ulang atau check recheck.
39
4. Confirmability (konfirmabilitas) Peneliti harus berusaha sedapat mungkin memperkecil faktor subyektifitas. Penelitian akan dikatakan obyektif bila dibenarkan atau di ”confirm” oleh peneliti lain. Maka obyektifitas diidentikkan dengan istilah ”confirmability”.
3.7 Etika penelitian 1. Informed consent (lembar persetujuan) Merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan responden dengan memberikan
lembar
persetujuan
menjadiresponden.
Tujuannya
agar
responden mengetahui maksud dan tujuan peneliti serta dampak yang diteliti selama pengumpulan data. Jika responden setuju, maka diminta untuk menandatangani lembar persetujuan. Namun peneliti harus tetap menghormati hakresponden bila tidak bersedia (Setiadi, 2013). 2. Anonimity (tanpa nama) Merupakan masalah etika dengan tidak memberikan nama responden pada alat bantu penelitian, cukup dengan kode yang hanya dimengerti oleh peneliti (Setiadi, 2013). 3. Confidentially (kerahasiaan)
40
Merupakan masalah etika dengan menjamin kerahasiaan informasi yang diberikan oleh responden. Peneliti hanya melaporkan kelompok data tertentu saja (Setiadi, 2013).
BAB IV HASIL PENELITIAN
Pada bab ini akan dijelaskan hasil penelitian mengenai peran perawat dalam menangani pasien dengan gangguan IMA di IGD RS Dr. Moewardi Surakarta. Batasan dalam bab ini akan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu batasan tentang karakteristik partisipan dan hasil dari analisis tematik. Pada penelitian ini telah ditemukan tema-tema yang memberikan sebuah gambaran mengenai peran perawat dalam menangani pasien dengan gangguan IMA. 4.1 Deskripsi tempat penelitian RSU Dr. moewardi merupakan salah satu Rumah Sakit Negri tipe A terbesar yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang berada di daerah Surakarta. RS Dr. moewardi terletak di jalan Kolonel Sutarto No 132 Surakarta. Angka kejadian yang terjadi pada tahun 2013-2014 di RSU Dr. Moewardi Surakarta sebanyak 825 pasien.Berdasarkan data survey di IGD RSU Dr. Moewardi Surakarta memiliki 4 stase pelayanan pasien yang terdiridari Ruang Periksa yaitu Penanganan pasien mulai dari triase, pemeriksan,observasi dan tindakan, kamar operasi minor( OK Minor), kamar operasimayor, HCU dan ruang obsgyn. Sumber daya manusia di IGD terdiri dari Dokter Spesialis (on site) 2 yaitu Satuan Medik Fungsional anak dan obgyn, dokter umum sebanyak 13 orang, non medis sebanyak 28 orang dan perawat sebanyak 33 orang. Perawat dengan S1 keperawatan berjumlah
41
42
9 orang, D III keperawatan sebanyak 22 orang dan D IV keperawatan sebanyak 2 orang. Instalasi gawat darurat memiliki jam kerja yang dibagi menjadi 3 shift yaitu pagi, siang dan malam yang terdiri dari 1 shift 7 jam kerja dan 6 perawat yang bertugas.
4.2 Karakteristik Partisipan di IGD RSU Dr. Moewardi Surakarta Partisipan dalam penelitian ini yaitu perawat di ruang IGD RSU Dr. Moewardi Surakarta.Wawancara dilakukan pada tanggal 16-25 April 2015. Peneliti mengambil 5 partisipan, 1 perawat laki-laki dan 4 perawat perempuan dan berkisar antara umur 26-46 tahun dan masing-masing telah mempunyai pengalaman dalam bekerja dan para perawat di ruang IGD mempunyai berbagai pengalaman pelatihan untuk pembaharuan ilmu-ilmu baru tentang IGD. 4.3 Karakteristik partisipan 4.3.1 Partisipan 1 (P1) Tn.A berusia 35 tahun, pendidikan terakhir D3 Keperawatan. Tn.A bekerja menjadi Pegawai Negeri Sipil selama 10 tahun di RSU Dr. Moewardi Surakarta dan telah mengikuti pelatihan PPGD, GADAR, BLS. Wawancara kepada partisipan 1 ini dilakukan pada tanggal 16 April 2015 pada pukul 13.35 – 13.40 WIB. 4.3.2 Partisipan 2 (P2) Ny.I berusia 26 tahun, pendidikan terakhir D3 Keperawatan. Ny. I bekerja menjadi Pegawai Tetap selama 3 tahun di RSU
43
Dr.Moewardi Surakarta dan telah mengikuti pelatihan BLS, PPGD. Wawancara kepada partisipan 2 ini dilakukan pada tanggal 18 April 2015 pada pukul 14.50 – 15.00 WIB. 4.3.3 Partisipan 3 (P3) Ny. W berusia 46 tahun, pendidikan terakhir D3 Keperawatan. Ny. W bekerja menjadi Pegawai Negri Sipil selama 10 tahun di RSU Dr. Moewardi Surakarta dan telah mengikuti pelatihan PPGD, GADAR, BLS. Wawancara kepada partisipan 3 ini dilakukan pada tanggal 22 April 2015 pada pukul 13.26 – 13.36 WIB. 4.3.4 Partisipan 4 (P4) Ny. D berusia 39 tahun, pendidikan terakhir D3 Keperawatan. Ny. W bekerja menjadi Pegawai Tetap selama 5 tahun di RSU Dr. Moewardi Surakarta dan telah mengikuti pelatihan PPGD, GADAR, BLS. Wawancara kepada partisipan 4 ini dilakukan pada tanggal 22 April 2015 pada pukul 13.48 – 14.00 WIB. 4.3.5 Partisipan 5 (P5) Ny. T berusia 30 tahun, pendidikan terakhir S1 Keperawatan. Ny. T bekerja menjadi Pegawai Negri Sipil selama 8 tahun di RSU Dr. Moewardi Surakarta dan telah mengikuti pelatihan PPGD, GADAR, BLS. Wawancara kepada partisipan 5 ini dilakukan pada tanggal 27 Juni 2015 pada pukul 13.00 – 13.10 WIB.
44
4.4 Hasil Penelitian Berdasarkan hasil wawancara terhadap lima partisipan dari perawat IGD diketahui peran perawat dalam menangani pasien dengan gangguan IMA. Wawancara dilakukan selama kurang lebih 10 sampai 15 menit, waktu dan tempat sudah disepakati oleh partisipan sebelumnya dan saat wawancara dipilih tempat yang jauh dari keramaian supaya partisipan dapat mengungkapkan jawaban yang diberikan oleh peneliti secara mendalam dan terbuka mengenai peran, tindakan dan respon partisipan dalam menangani pasien dengan gangguan IMA. Penelitian ini menghasilkan 11 tema berdasarkan hasil analisis tematik yang dilakukan, yaitu:1) primery survey, 2) secondary survey, 3) dasar perumusan diagnosa, 4) jenis diagnosa, 5) intervensi kolaborasi, 6) tindakan live saving,7) implementasi kolaborasi, 8) tipe evaluasi, 9) respon emosional, 10) motivasi kinerja, 11) prinsip penanganan pasien. Berikut akan di jelaskan tema-tema yang di temukan.
4.5 Analisa tematik 4.5.1 Tujuan khusus 1 : Mengidentifikasi bagaimana perawat melakukan pengkajian pada pasien IMA. Mengidentifikasi bagaimana perawat melakukan pengkajian pada pasien IMA di dapatkan dua tema yaitu 1) primery survey dan2) secondary survey dari tema di atas didapatkan empat kategori
45
yaitu pengkajian breathing, pengkajian circulation, pengkajian EKG dan pengkajian laborat. a. Primery survey disusun oleh pengkajian breathing dan pengkajian circulation. Pengkajian breathing yang diungkapkan oleh ke tiga partisipan seperti berikut : “…kalo pasien sesek kita kasih O2…” (P1) “…kalo dia mengeluh sesak langsung kita berikan bantuan oksigen…” (P2) “…misalkan pasiennya sesak ya kita kasih oksigen...” (P5) Ungkapan partisipan tersebut menunjukkan bahwa pengkajian
breathing adalah keluhan pasien terhadap sesak
nafas yang dirasakan. Selain kategori pengkajian breathing tema dari primery survey juga disusun oleh kategori pengkajian circulation yang diungkapkan oleh tiga partisipan sebagai berikut: “…kondisinya gimana, infus apa ambil darah…” (P1) “…adakah perdarahan…” (P3) “…biasanya ada perubahan pada system peredaran darah…” (P5) Ungkapan partisipan tersebut menunjukkan bahwa pengkajian circulation merupakan pengkajian pada volume cairan yang diberikan pada pasien dan mengkaji perdarahan yang ada pada pasien IMA.
46
Komponen primery survey terhadap IMA dapat dilihat pada gambar 4.1 Pengkajian breathing Primery survey Pengkajian circulation
Gambar 4.1 Skema tema primery survey
b. Secondary survey disusun oleh pengkajian EKG dan pengkajian laboratorium. Pengkajian EKG yang diungkapkan oleh keempat partisipan berikut ini: “…ya kita harus melakukan pemeriksaan EKG…” (P1) “…memasang monitor dan melakukan EKG…” (P2) “…kita lakukan perekaman EKG…” (P4) “…mungkin kita lakukan perekaman EKG ada irama yang tidak normal atau tidak…” (P5) Ungkapan partisipan tersebut diatas menyatakan bahwa pengkajian EKG adalah tindakan perekaman EKG untuk mengetahui irama yang normal atau irama yang tidak normal pada pasien.
47
Selain kategori pengkajian EKG tema dari secondary survey juga disusun oleh kategori pengkajian laboratorium yang diungkapkan pada ketiga partisipan sebagai berikut: “…untuk pemeriksaan laboratnya untuk enzimnya troponin I atau ckmb…”(P2) “…kita perlu juga bekerja sama dengan laborat mungkin ya untuk pemeriksaan enzim…” (P3) “…bekerja sama dengan laborat mungkin untuk pemeriksaan enzim…” (P5) Ungkapan partisipan diatas mempersepsikan bahwa pengkajian laboratorium merupakan tindakan pemeriksaan enzim pada pasien IMA. Komponen secondary survey dapat dilihat pada gambar 4.2 Pengkajian EKG Secondary survey Pengkajian laboratorium
Gambar 4.2 Skema tema secondary survey
4.5.2 Tujuan khusus 2 : Mengidentifikasi bagaimana perawat melakukan diagnosa keperawatan pada pasien IMA. Mengidentifikasi bagaimana perawat melakukan diagnosa keperawatan pada pasien IMA didapatkan dua tema yaitu 1) dasar perumusan diagnosa dan 2) jenis diagnosa dari tema di atas
48
didapatkan empat kategori yaitu data subyektif, data obyektif, diagnosa resiko dan diagnosa aktual. a. Dasar perumusan diagnosa disusun oleh data subyektif dan data obyektif. Data subyektif
yang diungkapkan oleh kelima
partisipan seperti berikut : “…kita sebagai perawat kan cuma menganamnesis terus riwayat dahulu ada penyakit jantung ndag itu harus di anamnesisnya harus komplit…” (P1) “…terus ada tanda nyeri dada…” (P1) “…apabila pasien nyeri dada…” (P2) “…merumuskan itu ya mulai dari kita anamnesa tersebut …” (P3) “…nyerinya berapa kualitasnya, kemudian skala nyerinya, penjalarannya kemana…” (P3) “…kalo kita ya mungkin bisa dari anamnesa terus kita mendiagnosa pasien tersebut gitu mbak…” (P5) Ungkapan partisipan tersebut menunjukkan bahwa data subyektif merupakan data yang kita peroleh dari hasil anamnesa pasien misalkan rasa nyeri yang diungkapkan saat partisipan melakukan anamnesa. Selain kategori data subyektif tema dari dasar perumusan diagnosa juga disusun oleh kategori data obyektif yang diungkapkan oleh keempat partisipan sebagai berikut: “…kita merumuskan permasalahan-permasalahan kepada pasien tersebut…” (P3) “…biasanya pasien IMA mengeluh nyeri ya…” (P4) “…jika pasien merasakan nyeri, nah bisa juga dari nyerinya itu…” (P5) “…adakah perubahan dan respon pasien adakah nyeri…” (P5)
49
Ungkapan partisipan tersebut menunjukkan bahwa data obyektif merupakan data yang kita peroleh dari pasien atau perasaan pasien saat pengkajian. Komponen dasar perumusan diagnosa dapat dilihat pada gambar 4.3
Data subyektif Dasar perumusan diagnosa Data obyektif
Gambar 4.3 Skema tema dasar perumusan diagnosa b. Jenis diagnosa di susun olehdiagnosa resiko dan diagnosaaktual. Diagnosa resiko yang diungkapkan ke dua partisipan berikut: “…apabila pasien sudah mengeluh nyeri dada terus sudah ada ekg yang khasnya misalkan st elevasi atau kipatologis…kita bisa diagnosa keperawatannya pasti yang pertama itu gangguan pertukaran gas atau penurunan curah jantung…” (P2) “…Kita rumuskan bagaimana nyerinya, kemudian resikoresikonya, biasanya kan terjadi oksigenasinya kan berkurang, kita rumuskan juga…” (P4)
Ungkapan
partisipantersebut
menunjukkan
bahwa
dalam merumuskan diagnosa harus mengetahui jenis diagnosa,
50
terutama diagnosa IMA dengan melihat ciri khas grafik EKG munculnya st elevasi. Selain kategori diagnosa resiko tema dari jenis diagnosa juga disusun oleh kategori diagnosaaktual yang diungkapkan oleh satu partisipan sebagai berikut: “…kita bisa diagnosa keperawatannya pasti yang pertama itu gangguan pertukaran gas atau penurunan curah jantung…” (P2)
Ungkapan
partisipan
tersebut
menyatakan
bahwa
diagnosa aktual merupakan diagnosa yang muncul pada pasien IMA yaitu gangguan pertukaran gas atau penurunan curah jantung. Komponen jenis diagnosa dapat dilihat pada gambar 4.4
Diagnosa resiko Jenis diagnosa Diagnosaaktual
Gambar 4.4 Skema tema jenis diagnosa
51
4.5.3 Tujuan khusus 3 : Mengidentifikasi bagaimana perawat melakukan intervensi pada pasien IMA. Mengidentifikasi bagaimana perawat melakukan intervensi pada pasien IMA di dapatkan satu tema yaitu 1) prioritas intervensi dari tema di atas didapatkan tiga kategori yaitu kolaborasi oksigen, kolaborasi obat dan kolaborasi diit. Kolaborasi oksigen diungkapkan oleh keempat partisipan sebagai berikut: “…Pasien-pasien jantung kondisi darurat ya harus segera ditangani, terus kalo pasien sesek kita kasih O2…” (P1) “…jadi pasien yang mengalami AMI itu penatalaksanaan pertama kita harus memberikan bantuan O2 terlebih dahulu …” (P2) “…mungkin kita bisa memberikan dengan oksigen juga, …” (P3) “…kita memberikan tindakan sesuai petunjuk dokter misalkan pasiennya sesak ya kita kasih oksigen...” (P5)
Ungkapan partisipan tersebut menyatakan bahwa kolaborasi oksigen merupakan penanganan atau tindakan yang dilakukan partisipan saat pasien mengalami sesak nafas. Tindakan tersebut diantaranya adalah memberikan bantuan oksigen. Selain kategori kolaborasi oksigen tema dari intervensi kolaborasi juga disusun oleh kategori kolaborasi obat yang diungkapkan oleh keempat partisipan sebagai berikut: “…biasanya dari dokter bisa dikasih morfin nitrogliserin ntg aspirin atau aspiret…” (P2)
atau
“…pemberian obat streptokinase dalam 1 jam pertama…” (P3) “…pemberian obat-obat streptokinase kita harus memberikan dalam waktu kurang dari 6-12 jam…” (P4) “…kita kasih obat streptokinase…” (P5)
52
Ungkapan partisipan tersebut menunjukkan bahwa kolaborasi obat merupakan pemberian obat-obatan pada pasien IMA yaitu obat streptokinase dan obat aspirin atau aspiret. Selain kategori dari kolaborasi obat, tema intervensi kolaborasi juga disusun oleh kategori
kolaborasi diit yang
diungkapkan oleh ke tiga partisipan berikut: “…nutrisi juga perlu karena perlu pasien diit juga, gizi yaa…” (P3) “…pasien jantung kan juga ada diitnya, pengaturan diit dari ahli nutrisi…” (P4) “…ahli gizi untuk diit pasien…” (P5) Ungkapan
partisipan
tersebut
menunjukkan
bahwa
kolaborasi diit merupakan tindakan kolaborasi pada ahli gizi untuk mengatur diit pasien IMA. Komponen intervensi kolaborasi dapat dilihat pada gambar 4.5
Kolaborasi oksigen
Kolaborasi obat
Kolaborasi intervensi
Kolaborasi diit Gambar 4.5 Skema tema kolaborasi intervensi
53
4.5.4 Tujuan khusus 4 : Mengidentifikasi bagaimana perawat melakukan implementasi pada pasien IMA. Mengidentifikasi
bagaimana
perawat
melakukan
implementasi pada pasien IMA di dapatkan dua tema yaitu 1) tindakan live saving dan 2) implementasi kolaborasi dari tema di atas didapatkan
tiga
kategori
yaitu
managementbreathing,
managementcirculation dan pemberian obat. a. Tindakan live saving disusun olehmanagement breathing dan managementcirculation.
Management
breathing
yang
diungkapkan oleh kedua partisipan seperti berikut : “…kalo sesek ya tambah AGD…” (P1) “…pemberian bantuan ventilasi, bisa menggunakan ventilasi biasa atau mekanik…” (P2) Ungkapan partisipan tersebut menunjukkan bahwa managementbreathing merupakan tindakan yang mengurangi sesak terhadap pasien IMA. Bantuan ventilasi dan AGD pun bbisa menjadi salah satu tindakan pada management breathing. Selain kategori managementbreathing tema dari tindakan live saving juga disusun oleh kategori management circulation yang diungkapkan oleh satu partisipan sebagai berikut:
“…observasi ketat pemberian streptokinase tiap 1 jam agar tidak terjadi perdarahan…” (P3)
54
Ungkapan
partisipan
tersebut
menyatakan
bahwa
managementcirculation merupakan tindakan observasi ketat pada
pemberian
streptokinase
untuk
mengatasi
sitem
vaskularisai pasien. Komponen tindakan live saving dapat dilihat pada gambar 4.6
Management breathing Tindakan live saving Management circulation Gambar 4.6 Skematema tindakan live saving
b. Implementasi kolaborasi disusun oleh pemberian obat yang diungkapkan oleh keempat partisipan berikut: “…biasanya dari dokter dikasih morfin atau nitrogliserin ntg aspirin atau aspiret dan papidogril…” (P2) “…kolaborasi dengan dokter kemudian perlu juga bekerja sama dengan laborat mungkin untuk pemeriksaan enzim dan perlu juga kita bekerja sama dengan fisioterapi mungkin untuk membantu mobilisasinya yaa, nutrisi juga perlu karena perlu pasien diit juga, gizi yaa.…” (P3) “…dalam hal ini kita kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetik untuk pengurang nyerinya, kemudian streptokinasenya…” (P4) “…evaluasinya ya kita kasih obat streptokinase, biasanya ada perubahan pada sisem vaskularisasi (peredaran darah)…” (P5)
55
Ungkapan partisipan tersebut menunjukkan bahwa pemberian obat merupakan pemberian morfin, aspirin dan streptokinase dan pemberian analgetik adalah salah satu tindakan kolaborasi pada implementasi pasien. Komponen implementasi kolaborasi dapat dilihat pada gambar 4.7 Pemberian obat
Implementasi kolaborasi
Gambar 4.7 Skema tema implementasi kolaborasi
4.5.5 Tujuan khusus 5 : Mengidentifikasi bagaimana perawat melakukan evaluasi pada pasien IMA. Mengidentifikasi bagaimana perawat melakukan evaluasi pada pasien IMA di dapatkan satu tema yaitu 1) tipe evaluasi. Dari tema di atas didapatkan dua kategori yaitu evaluasi obyektif dan evaluasi subyektif. Evaluasi obyektif yang dilakukan diungkapkan oleh ke tiga partisipan seperti berikut : “…kemudian kita observasi…” (P3) “…selain itu kita ketahui juga untuk ukur vital sign nya…” (P3) “…vital sign nya seperti apa…” (P4) “…evaluasinya ya vital signya seperti apa…” (P5)
56
Ungkapan partisipan tersebut menunjukkan bahwa evaluasi obyektif merupakan pemeriksaan vital sign untuk mengetahui perkembangan pasien. Selain kategori evaluasi obyektif tema dari tipe evaluasi disusun oleh kategori evaluasi subyektif yang diungkapkan oleh satu partisipan berikut: “…bagaimana perasaannya adakah pengurangan nyeri, gitu…” (P4)
Ungkapan partisipan tersebut menunjukkan bahwa evaluasi subyektif merupakan keadaan dimana pasien mengungkapkan keadaan yang dirasa misalkan perasaan saat ini atau sudahkah hilang nyeri yang dirasa pasien. Komponen tipe evaluasi dapat dilihat pada gambar 4.8
Evaluasi obyektif Tipe evaluasi Evaluasi subyektif
Gambar 4.8 Skema tema tipe evaluasi
57
4.5.6 Tujuan khusus 5: Mengidentifikasi makna asuhan keperawatan yang dilakukan oleh perawat pada pasien IMA. Mengidentifikasi makna asuhan keperawatan yang dilakukan oleh perawat pada pasien IMA di dapatkan tiga tema yaitu 1) respon emosional, 2) motivasi kinerja dan 3) prinsip penanganan pasien dari tema di atas didapatkan empat kategori yaitu simpatik, kepuasan diri, ibadah dan cepat. a. Tema respon emosional disusun oleh simpatik dan kepuasan diri. Simpatik diungkapkan oleh satu partisipan seperti berikut : “… pada masyarakat, kita juga merasa iba juga sama pasien…” (P1)
Ungkapan dari partisipan tersebut menunjukkan bahwa simpatik adalah perasaan iba yang timbul pada partisipan saat melakukan tindakan. Selain itu tema respon emosional juga disusun oleh kategori kepuasan diri yang diungkapkan keempat partisipan sebagai berikut: “…bisa menyelamatkan pasien itu ya kesenangan tersendiri, seperti itu…” (P2) “…perasaannya kalo kita bisa memberikan asuhan keperawatan engan baik, dengan maksimal kemudian pasien bisa pulang dengan sehat gitu ya senang sekali, puas ya…” (P3) “…perasaannya akan senang sekali ya…” (P4) “…perasaannya ya senang, apalagi kalo pasiennya sembuh wah tambah senang…” (P5)
58
Ungkapan partisipan tersebut menunjukkan bahwa kepuasan diri merupakan perasaan senang dan senang sekali saat menyelamatkan pasien dengan gangguan IMA. Komponen respon emosional dapat dilihat pada gambar 4.9
Simpatik Respon emosional Kepuasan diri
Gambar 4.9 Skema tema respon emosional b. Motivasi kinerja disusun oleh ibadah yang diungkapkan oleh satu partisipan sebagai berikut: “…kita itu tanggungjawab dengan masyarakat…” (P1) “…ya ibarat disini kan untuk mencari ladang ibadah…” (P2) “…itung-itung nambah pahala mbak kita disini nolong orang…” (P5) Ungkapan partisipan tersebut menunjukkan bahwa ibadah merupaka motivasi kinerja yang baik dalam melakukan tindakan, motivasi kerja yang bagus akan mendapatkan imbalan yang sesuai dengan kinerjanya. Bekerja dengan motivasi yang tinggi merupakan ibadah dapat menyelamatkan pasien.
59
Komponen motivasi kinerja dapat dilihat pada gambar 4.10
Ibadah
Motivasi kinerja
Gambar 4.10 Skema tema motivasi kinerja c. Prinsip
penanganan
pasien
disusun
oleh
cepat
dan
menyelamatkan pasien. Kategori cepat diungkapkan oleh satu partisipan sebagai berikut: “…maknanya ya kita harus secara cepat ya, cepat, tepat sesuai dengan prosedur yang ada…” (P4) Ungkapan partisipan tersebut menunjukkan bahwa cepat adalah kecepatan dan ketepatan tindakan yang kita lakukan pada saat mulai pengkajian sampai evaluasi pasien IMA. Selain itu tema prinsip penanganan pasien yang juga disusun oleh kategori menyelamatkan pasien diungkapkan oleh satu partisipan sebagai berikut: “…maknanya ya menyelamatkan pasien sesuai dengan kemampuan kita mbak…” (P5)
Ungkapan dari partisipan tersebut menunjukkan bahwa dalam tindakan harus mengutamakan prinsip penanganan pasien untuk menyelamatkan pasien dengan keadaan gawat darurat.
60
Komponen prinsip penanganan pasien dapat dilihat pada gambar 4.11
Cepat Prinsip penanganan pasien Menyelamatkan pasien
Gambar 4.11 Skema tema prinsip penanganan pasien
61
4.6 Skematik
Motivasi kinerja
Respon emosional
Pengkajian IMA: 1. Primery survey 2. Secondary survey
Evaluasi IMA 1. Tipe evaluasi
Diagnosa IMA: 1. Dasar perumusan diagnosa 2. Jenis diagnosa
Pasien IMA
Implementasi IMA 1. Tindakan live saving 2. Implementasi kolaborasi
Prinsip penanganan pasien
Intervensi IMA 1. Prioritas intervensi
62
Pasien datang dengan keluhan IMA, dilakukan pengkajian yaitu primerysurvey dan secondary survey. Setelah dilakukannya pengkajian, partisipan mendiagnosa dengan mengkaji dasar perumusan diagnosa dan jenis diagnosa. Motivasi kinerja para partisipan. Setelah partisipan selesai merumuskan diagnosa IMA, langkah selanjutnya adalah melakukan intervensi dalam tahap ini partisipan melakukan prioritas intervensi. Setelah didapatkan prioritas intervensi IMA, partisipan melakukan implementasi dengan melakukan tindakan live saving terhadap pasien IMA dan melakukan implementasi kolaborasi dengan tim medis. Adapun implementasi yang dilakukan harus mengutamakan prinsip penanganan pasien. Selanjutnya melakukan tindakan evaluasi terhadap pasien IMA, disini partisipan dengan mengetahui tipe evaluasinya yang berupa hasil dari tindakan yang dilakukan. Setelah asuhan keperawatan muncul respon emosional terhadap .
BAB V PEMBAHASAN
5.1 Primery survey Hasil penelitian menunjukkan bahwa primery survey yang dilakukan oleh beberapa partisipan merupakan pengkajian breathing dan pengkajian circulation. Pada pengkajian breathing partisipan mengkaji sesak nafas yang dirasa pasien. Sedangkan pada pengkajian circulation partisipan melakukan pengkajian berupa resusitasi cairan atau perbaikan volume. Primery
survey
adalah
kegiatan
yang
komprehensif
dan
menghasilkan kumpulan data mengenaistatus kesehatan klien, kemampuan klien untuk mengelola kesehatan dan perawatan terhadap dirinya sendiri, serta hasil konsultasi medis (terapis) atau profesi kesehatan lainnya (Taylor, Lillis dan LeMone, 1996 dalam Nursalam, 2008). Dalam sumber lain menyatakan primery survey merupakan pendekatan pada klien sehingga ancaman kehidupan segera dapat secara cepat diidentifikasi dan tertanggulangi dengan efektif, padaprimery survey ada tahapan yang harus dilakukan yaitu airway, breathing, circulation, disability dan eksposure. (Krisanty, 2002). Pertolongan kepada pasien gawat darurat dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan survei primer untuk mengidentifikasi masalah-masalah
63
64
yang mengancam hidup pasien, barulah selanjutnya dilakukan survei sekunder. Tahapan pengkajian primer meliputi : A: Airway, mengecek jalan nafas dengan tujuan menjaga jalan nafas disertai control servikal; B: Breathing, mengecek IPPA (Inspeksi, Palpasi, perkusi, Auskultasi), mengecek pernafasan dengan tujuan mengelola pernafasan agar oksigenasi adekuat; C: Circulation, pemeriksaan syok, memeriksa nadi pasien, mengecek sistem sirkulasi disertai kontrol perdarahan, perbaikan volume cairan; D: Disability, mengecek status neurologis seperti GCS yang meliputi pemeriksaan respon buka mata, respon verbal dan respon motorik; E: Exposure, enviromental control, buka baju penderita tapi cegah hipotermia, (Holder, 2002). Pernyataan mengenai primery survey yang dilakukan partisipan didapatkan 2 pengkajian yaitu: pengkajian breathing dan pengkajian circulation. Padahal menurut teori terdapat 5 pengkajian pada tahap primery survey, meliputi: Airway, Breathing, Circulation, Disability, dan Exposure. Berarti pada tahap ini partisipan belum melakukan tindakan secara menyeluruh untuk primery survey karena yang dilakukan masih belum sesuai dengan teori. Akibat dari primery survey tidak dilakukan adalah pasien dapat mengalami syok hipovolemik karena kehilangan cairan tubuh yang lain, trauma kapitis dapat terjadi terutama apabila ada penurunan kesadaran selanjutnya pasien dapat mengalami perdarahan intrakranial yang menyebabkan
kematian
dengan
sangat
cepat
karena
memerlukan
pemeriksaan evaluasi keadaan neurologis selain itu melepas baju pasien
65
juga dilakukan untuk evaluasi kelainan atau injury tapi diusahakan pasien terjaga kehangatannya agar tidak terjadi hipotermi
5.2 Secondary survey Hasil penelitian menunjukkan bahwa secondary survey merupakan pengkajian EKG dan pengkajian laborat. Pemeriksaan EKG dilakukan saat kita melakukan pengkajian pasien IMA untuk mengetahui adakah irama yang tidak normal dan pemeriksaan laboratorium partisipan melakukan tindakan pemeriksaan enzim. Secondary survey merupakan aktivitas lain dimana perawat gawat darurat dapat mengantisipasi termasuk insersi gastic tube untuk dekompresi saluran pernafasan untuk mencegah muntah dan aspirasi dan analisa laboratorium darah, Tim resusitasi juga melakukan suatu pengkajian head to toe yang lebih komprehensif (Krisanty, 2002). Pada
buku
lain
mengatalkan
secondary
survey
merupakan
penanganan lanjutan setelah dilakukannya primery survey. Pemeriksaan secara lengkap dilakukan secara head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik. (Nursalam, 2011).
66
Secondary survey (penilaian rinci atau fokus) adalah pemeriksaan sistematis head-to-toe dari setiap bagian dari tubuh pasien, termasuk menilai tanda-tanda vital dan memperoleh riwayat pasien. Perawat melakukan secondary survey untuk memastikan kondisi medis atau identifikasi trauma. Hal ini akan memungkinkan identifikasi perubahan kondisi pasien (Holder, 2002). Pemeriksaan secondary surveydibagi dalam beberapa tahap yaitu F: Full set of vital sign,perawat melakukan pemeriksaan vital sign, lima intervensi (monitor jantung, pemasangan NGT, pemasangan kateter urine, pemeriksaan laboratorium darah, monitoring saturasi oksigen), mensupport system dari keluarga, G: Give comfort measure, pada tahap ini dilakukan tindakan farmakologi dan non farmakologis untuk pengurang nyeri dan kecemasa pasien,H: History and head to toe, disini tindakan yang dilakukan adalah History menggunakan prinsip SAMPLE yaitu S: Subyektif (keluhan utama), A:Allergies ( adakah alergi terhadap makanan atau obat-obatan), M: Medication (obat-obat yang sedang dikonsumsi), P: Past medical history (riwayat penyakit), L: Last oral intake (masukan oral terakhir, apakah benda padat atau cair), E: Event (riwayat masuk rumah sakit) (Price, 2005). Pada penelitian partisipan menyatakan bahwa secondary survey merupakan kegiatan pemeriksaan EKG dan pemeriksaan laboratorium. Padahal menurut teori secondary survey merupakan pemeriksaan secara lengkap secara subyektif yaitu F: Full set of vital sign, G: Give comfort measure, H: History and head to toe. Pada tahap secondary survey juga
67
dilakukan trias AMI yaitu nyeri, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan EKG. Yang pertama yaitu nyeri, IMA memiliki ciri nyeri yang khas yaitu menjalar ke lengan kiri, bahu, leher sampai ke epigastrium, akan tetapi pada orang tertentu nyeri yang terasa hanya sedikit dan terdapat rasa penekanan yang luar biasa pada dada atau perasaan akan datangnya kematian. Yang kedua adalah pemeriksaan laboratorium disini perawat melakukan pemeriksaan troponin T dan I, pemeriksaan LDH (Laktat Dehidrogenisasi) dan pemeriksaan enzim berupa CPK-MB/CPK,LDH/HBDH, AST/SGOT. Dan yang terakhir adalah pemeriksaan EKG, perubahan EKG yang terjadi pada fase awal adanya gelombang T tinggi dan simetris. Setelah ini terdapat elevasi segmen ST.Perubahan yang terjadi kemudian ialah adanya gelombang Q/QS yang menandakan adanya nekrosis.Pada kenyataannya partisipan belum melakukan tindakan secondary survey secara keseluruhan.
5.3 Dasar perumusan diagnosa Hasil penelitian menyatakan bahwa dasar perumusan diagnosa merupakan hasil dari anamnesa yang dirumuskan pada permasalahanpermasalahan yang timbul pada pasien. Selain itu, salah satu partisipan juga mengungkapkan bahwa dasar perumusan diagnosa didapatkan menurut riwayat dahulu pada pasien IMA, riwayat dahulu didapatkan atas dasar anamnesa pada pasien tersebut. Pada penelitian ini didapatkan dasar perumusan diagnosa dari data subyektif dan data obyektif.
68
Dasar perumusan diagnosa merupakan hasil dari pengkajian yang dilakukan saat wawancara kepada pasien, pengkajian fisik, observasi, review rekam medic atau keperawatan, dan hasil diagnostic serta kolaborasi dengan teman sejawat, sehingga data yang diperoleh digunakan untuk dasar perumusan diagnosa pasien. Dengan adanya dasar perumusan diagnosa, perawat akan lebih jelas menentukan tindakan (Nursalam, 2011). Dasar perumusan diagnosa terdiri atas bagian respons klien.Di dalam bukunya, Stole hanya menampilkan diagnosa keperawatan dengan respons klien saja karena kondisi spesifik klien yang timbul dari kondisi klien yang nyata karena tidak diidentifikasi. Apabila perawat dapat mengidentifikasi kondisi yang mempengaruhi respons klien, maka dapat dituliskan dua diagnosa yang terdiri dari data obyektif dan data subyektif.Data subyektif berisi data dari pasien melalui anamnesis (wawancara) yang merupakan ungkapan langsung sedangkan data obyektif berisi data dari hasil observasi melalui pemeriksaan fisik pasien (Stolte, 2004). Partisipan dalam penelitian ini menyatakan bahwa dasar perumusan diagnosa merupakan mengkaji data subyektif dan data obyektif yang didapat dari menganamnesa pasien saat masuk IGD. Hasil penelitian ini sama dengan teori yang menyatakan bahwa dasar perumusan diagnosa merupakan wawancara kepada pasien, pengkajian fisik sampai dengan riwayat pasien sehingga data yang diperoleh dapat dijadikan acuan partisipan untuk menjadi dasar merumuskan diagnosa.
69
5.4 Jenis diagnosa Hasil penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa dalam mendiagnosa pasien dengan gangguan IMA memiliki berbagai jenis diagnosa salah satunya adalah gangguan pertukaran gas yang ditandai dengan ST elevasi
atau qipatologis. Salah satu partisipan juga
mengungkapkan bahwa nyeri dan kekurangan oksigen dapat dijadikan jenis diagnosa pada pasien IMA. Pada penelitian ini didapatkan 2 jenis diagnosa yaitu diagnosa aktual dan diagnosa resiko. Pada diagnosa gangguan pertukaran gas dapat dimasukkan ke dalam diagnosa aktual. Jenis diagnosa merupakan pernyataan yang menguraikan respon aktual atau potensial klien terhadap masalah kesehatan yang perawat mempunyai izin dan berkompeten untuk mengatasinya (Carpenito, 2000). Jenis diagnosa disini dibagi menjadi 2 bagian yaitu diagnosaaktual dan diagnosa resiko. Diagnosaaktual adalah diagnosis yang telah divalidasikan melalui batasan karakteristik mayor yang diidentifikasi atau menjelaskan masalah nyata saat ini sesuai dengan data klinik yang ditemukan.. Sedangkan diagnosa resiko merupakan keputusan klinis tentang individu, keluarga atau komunitas yang sangat rentan untuk mengalami masalah dibanding individu atau menjelaskan masalah kesehatan nyata akan terjadi jika tidak di lakukan intervensi (Carpenito, 2000). Diagnosa keperawatan yang muncul pada penyakit IMA antara lain yaitu ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan pengembangan paru
70
tidak optimal, penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi, nyeri akut berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai darah dan oksigen dengan kebutuhan myocardium akibat sekunder dari penurunan suplai darah ke myocardium, intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan perfusi perifer akibat sekunder dari ketidakseimbangan antara suplai okssigen myocardium dengan kebutuhan (Muttaqin, 2012). Dalam penelitian ini partisipan menyatakan bahwa jenis diagnosa didapatkan dari pasien saat mengeluh nyeri dengan itu partisipan bisa merumuskan jenis diagnosa misalkan diagnosa resiko. Menurut teori jenis diagnosa merupakan tahapan dimana pasien mengungkapkan perasaannya secara aktual dengan masalah kesehatannya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh partisipan.
5.5 Intervensi kolaborasi Hasil penelitian menyatakan bahwa intervensi kolaborasi merupakan keadaan dimana partisipan melakukan kolaborasi diit, kolaborasi obat dan kolaborasi oksigen. Ini dilakukan untuk mengurangi sesak yang dirasa pada pasien IMA. Selain itu kolaborasi pemberian obat turut dilakukan pada saat intervensi kolaborasi, beberapa obat diberikan diantaranya yaitu obat streptokinase, morfin dan aspiret. Disini pemberian morfin adalah untuk analgetik pasien Tidak kalah pentingnya kolaborasi pemberian diit juga dilakukan untuk pasien IMA karena untuk mengatur gizi pasien tersebut.
71
Intervensi kolaborasi merupakan suatu proses didalam pemecahan masalah yang merupakan awal tentang sesuatu apa yang akan dilakukan, bagaimana dilakukan, kapan dilakukan, siapa yang melakukan dari semua tindakan keperawatan (Dermawan, 2012). Menurut panduan AHA (2010) mengenai pengobatan pasien IMA menggunakan pengobatan MONACO yaitu Morfin, mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI, Oksigen, oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi oksigen <90%, 3. Nitrat, merupakan obat yang diberikan untuk menanggulangi spasme arteri koroner dan menurunkan miokard akan oksigen dengan menurunkan tekanan baik preload maupun afterload, Aspirin, merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada spektrum sindroma koroner akut, Clopidogrel, dosis awal 300-600 mg, dilanjutkan dosis pemeliharaan 1 x 75 m. Intervensi kolaborasi disini dibagi menjadi tiga tahapan yaitu kolaborasi oksigen, kolaborasi obat dan kolaborasi diit. Pada kondisi seperti ini partisipan melakukan tindakan sesuai dengan arahan dokter untuk menanggulangi komplikasi-komplikasi yang muncul pada pasien IMA. Menurut teori intervensi kolaborasi merupakan suatu pemecahan masalah yang dilakukan oleh beberapa tenaga kesehatan lainnya. Dalam hal ini ungkapan partisipan sesuai dengan teori intervensi kolaborasi.
72
5.6 Tindakan live saving Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
tindakan
live
saving
merupakan tindakan yang berhubungan dengan keselamatan pasien. Partisipan menyatakan tindakan live saving adalah pemeriksaan darah untuk hasil yang lebih lanjut, tindakan live saving juga bisa diartikan dengan management breathing dan management circulation.Pada management breathing partisipan melakukan tindakan pemberian ventilasi, sedangkan pada managemen circulation partisipan mengobservasi secara ketat dalam pemberian obat. Tindakan live saving merupakan bagian dari sistem kesehatan yang menekankan pada proses pelaporan, analisis, dan pencegahan kesalahan medis yang sering menyebabkan kejadian yang merugikan kesehatan. Keselamatan pasien adalah system pelayanan dalam suatu rumah sakit yang memberikan asuhan pasien yang aman (Yaqin, 2012). Identifikasi dan pemecahan masalah tersebut merupakan bagian utama dari pelaksanaan tindakan live saving. Keselamatan pasien merupakan hal yang teramat penting dari sebuah pelayanan kesehatan oleh karena itu penelitian ini menjelaskan bagaimana partisipan melakukan tindakan live saving. Tindakan
live
saving
melibatkan
system
pelayanan
yang
meminimalkan kemungkinan kejadian adverse eror, system ini mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan
73
suatu tindakan (Panduan Nasional keselamatan Pasien Rumah Sakit, Depkes R.I.2006). (Setiowati,
2010)
mengemukakan
bahwa
tindakan
live
savingmerupakan suatu hal yang penting karena membangun budaya keselamatan pasien adalah suatu cara untuk membangun program keselamatan pasien secara keseluruhan, karena jika kita lebih fokus pada keselamatan pasien maka akan lebih mengahasilkan hasil keselamatan yang lebih apabila dibandingkan hanya berfokus pada program keselamatan pasien saja. Pada penelitian lain menyatakan bahwa tindakan live saving merupakan sesuatu yang jauh lebih penting daripada sekedar efisiensi pelayanan. Berbagai resiko akibat tindakan medik dapat terjadi sebagai bagian dari pelayanan kepada pasien (Pinzon 2008). Pada penelitian ini partisipan melakukan tindakan live saving pada pasien. Tindakan yang dilakukan tersebut merupakan tindakan untuk menyelamatkan pasien dari masa kritis. Diantaranya adalah memberikan bantuan ventilasi pada pasien. Sementara pada teori mengungkapkan bahwa tindakan live saving merupakan tindakan pencegahan terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan, hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh partisipan.
74
5.7 Implementasi kolaborasi Hasil penelitian menyatakan bahwa implementasi kolaborasi merupakan kolaborasi dengan dokter pemberian obat streptokinase dan morfin untuk sitem vaskularisasi. Pemberian analgetik juga perlu untuk pengurang nyeri. Implementasi kolaborasi merupakan tindakan keperawatan atas dasar kerjasama sesama tim keperawatan atau dengan tim kesehatan lainnya, seperti dokter. Contohnya dalam pemberian obat oral, obat injeksi, infus, keter urine, dan lain-lain. Serta respon klien setelah pemberian merupakan tanggungjawab dan menjadi perhatian perawat (Haryanto, 2007). Dalam buku Carpenito, (2000) menyatakan implementasi kolaborasi merupakan tindakanperawat dalam pemberian obat karena perawat merupakan mata rantai terakhir dalam proses keperawatan. Menurut American Heart Association (2010) mengenai pengobatan pasien
IMA
menggunakan
pengobatan
MONACO
yaitu
Morfin,
mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI, Oksigen, oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi oksigen <90%, 3. Nitrat, merupakan obat yang diberikan untuk menanggulangi spasme arteri koroner dan menurunkan miokard akan oksigen dengan menurunkan tekanan baik preload maupun afterload, Aspirin, merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI
75
dan efektif pada spektrum sindroma koroner akut, Clopidogrel, dosis awal 300-600 mg, dilanjutkan dosis pemeliharaan 1 x 75 m. Dalam
hasil
penelitian,
partisipan
mengungkapkan
bahwa
implementasi kolaborasi yang dilakukan adalah tindakan pemberian obatobatan pada pasien IMA. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa implementasi kolaborasi merupakan pemberian obat-obatan morfin, oksigen, nitrat, aspirin, clopidogril.
5.8 Tipe evaluasi Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe evaluasi merupakan obervasi ulang kepada pasien dan mengkaji vital sign apakah ada perkembangan. Tipe evaluasi merupakan kriteria pencapaian yang diharapkan dan merupakan kegiatan penting pada pasien (Urden, 2000). Tipe evaluasi terdapat 2 jenis yaitu evaluasi obyektif dan evaluasi subyektif. Mengevaluasi pencapaian tujuan dari interaksi yang telah dilaksanakan adalah pengertian dari evaluasi objektif. Brammer dan McDonald (1996) menyatakan bahwa meminta klien untuk menyimpulkan tentang apa yang telah didiskusikan merupakan sesuatu yang sangat berguna pada tahap ini. Pengertian evaluasi subyektif merupakan menanyakan perasaan klien setelah berinteraksi dengan perawat (Sears, 2004).
76
Tipe evaluasi adalah langkah terakhir dalam proses pembuatan keputusan. Perawat mengumpulkan, menyortir dan menganalisa data untuk menetapkan apakah tujuan sudah tercapai, rencana memerlukan modifikasi atau alternative baru yang harus dipertimbangkan (Hidayat, 2008). Dalam penelitian ini partisipan menyatakan bahwa dalam evaluasi mereka melakukan tindakan yaitu mengobservasi ulang dengan tindakan vital sign untuk mengetahui perkembangan pasien. Padahal menurut teori menyatakan bahwa evaluasi merupakan proses pembuatan keputusan yang dilakukan perawat untuk menetapkan apakah tujuan sudah tercapai atau mempertimbangkan rencana baru.
5.9 Respon emosional Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon emosional merupakan rasa simpatik yaitu iba atau perasaan kasihan kepada pasien IMA jika tidak cepat ditolong. Respon emosional dibagi menjdai du yaitu simpatik kepuasan diri. Simpati adalah perasaan perhatian , duka cita, / kasihan pada klien yang diciptakan oleh identifikasi pribadi perawat akan kebutuhan klien. Simpati adalah suatu hubungan memperhatikan dunia orang lain yang mencegah suatu perspektif yang jelas dari isu yang dihadapi orang itu . Simpati berpusat pada perasaan perawat bukannya perasaan klien (Balzer Riley, 2000).
77
Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat individual. Setiap individual memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan system nilai yang berlaku pada dirinya. Makin tinggi penilaian terhadap kegiatan dirasakan sesuai dengan keinginan indiviu, maka makin tinggi kepuasannya terhadap kegiatan tersebut. Jadi secara garis besar kepuasan besar kepuasan kerja dapat diartikan sebagai hal yang menyenangkan atau yang tidak menyenangkan yang mana pegawai memandang pekerjaannya (Hasibuan, 2006). Respon emosional seseorang yang muncul dipengaruhi berbagai factor seperti organobiologis, psikoedukatif dan sosiokultural. Respon emosi bergerak dari emosional responsive sampai depresi. Perasaan yang muncul pada partisipan. Rerspon emosioal pada umumnya disifatkan sebagai keadaan yang adapada individu atau organisme pada sesuatu waktu. Dengan kata lain, respon emosional disifatkan sebagai suatu keadaan kejiwaan pada organisme atau individu sebagai akibat adanya peristiwa atau persepsi yang dialami oleh organisme tertentu Walgito, 2003). Disini respon emosional berhubungan dengan kepuasan partisipan yang diartikan sebagai persepsi terhadap produk atau jasa yang telah memenuhi harapannya, Kepuasan merupakan model kesenjangan antara harapan (standard kinerja yang seharusnya) dengan kinerja aktual yang diterima pelanggan (Nursalam, 2011).
78
5.10 Motivasi kinerja Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi kinerja adalah suatu motivasi untuk melakukan tindakan agar mendapatkan apa yang diinginkan contohnya ibadah. Mencari ibadah dikatakan partisipan untuk memotivasi dirinya dalammelakukan tindakan pada pasien. Selain itu tanggungjawab juga diperlukan untuk memotivasi dalam kinerja seharihari. Motivasi merupakan karakteristik psikologis manusia yang memberi kontribusi pada tingkat komitmen seseorang, hal ini menyebabkan, menyalurkan dan mempertahankan tingkah laku manusia dalam arah tekad tertentu. Bekerja merupakan suatu bentuk aktifitas yang bertujuan untuk mendapatkan kepuasan (Nursalam, 2011). Sementara itu pengertian dari motivasi kerja merupakan suatu kondisi yang berpengaruh untuk membangkitkan, mengarahkan, dan memelihara perilaku yang berhubungan dengan lingkungan kerja. Kompetensi tersebut dapat diterjemahkan ke dalam tindakan atau kegiatankegiatan yang tepat untuk mencapai hasil kinerja. (Mangkunegaran, 2000). Menurut Mangkunegara (2005) kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawabnya yang diberikan kepadanya. Motivasi kinerja mengandung dua komponen
79
penting yaitu kompetensi berarti individu memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi tingkat kinerja dan produktivitasnya.
5.11 Prinsip penanganan pasien Hasil penelitian menyatakan bahwa prinsip penanganan pasien didasari pada kemampuan para partisipan. Partisipan menjelasakan bahwa kemampuan masing-masing partisipan adalah modal utama dalam penanganan pasien. Kemampuan partisipan yaitu kecepatan dan ketepatan dalam melakukan tindakan pada pasien IMA karena penanganan pasien IMA dilakukan secara cepat dan tepat untuk menyelamatkan pasien. Prinsip penanganan pasien merupakan memprioritaskan kondisi yang memerlukan tindakan segera, terkadang tindakan dapat dilakukan bersama dengan pengkajian.Pada prinsipnya perawat gawat darurat membutuhkan penanganan cepat dan tepat, kerja yang terus menerus, jumlah pasien yang relative banyak dan mobilitas tinggi. Kecepatan dan kualitas penolong merupakan prinsip utama dalam melakukan tindakan. (Krisanty, 2002). Pekerjaan seorang perawat sangatlah berat, dari satu sisi, seorang perawat harus menjalankan tugas yang menyangkut kelangsungan hidup pasien yang dirawat, disisilain keadaan psikologis perawat sendiri juga harus tetapterjaga, kondisi seperti inilah yang dapat menimbulkan rasa tertekan padaperawat. Sehingga dia mudah mengalami stres, beban kerja
80
merupakan ketegangan mental yang mengganggu kondisi emosional, proses berpikir, dan kondisi fisik seseorang. Berdasarkan fenomena yang terjadi, perawat yang bertugas di instalasi gawat darurat memiliki stressor yang tinggi karena perawat setiap hari akan berhadapan dengan aspek lingkungan fisik dan lingkungan psikososial yang tinggi dari pekerjaannya. Penurunan kualitas pelayanan dari perawat dapat dimungkinkan karena beban kerja yang
dirasa
perawat
berlebihan
sehingga
mengakibatkan
perawat
mengalami stres. Ketika seseorang mengalami stres dia akan cenderung melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan bahkan melakukan kesalahan ataupun sesuatu yang dapat membahayakan dirinya.Ketidak mampuan perawat dalam menjawab tuntutan lingkungan akan menimbulkan situasi stres dalam lingkungan kerja sehingga secara sadar ataupun tidak, dapat
mempengaruhi
kinerja
dan
perilaku
perawat
itu
sendiri
(Mangkunegaran, 2002). Pada prinsipnya menyelamatkan pasien IMA haruslah cepat dan tepat. Cepat dan tepat yang dimaksud adalah cepat melakukan tindakan dan tepat dalam pengobatan.Jika penolong tidak cepat dan tepat dalam menangani pasien tersebut akan terjadi kematian mendadak.
BAB VI PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian dan analisa dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 6.1 Kesimpulan 1. Pengkajian perawat dalam menangani pasien dengan gangguan IMA adalah Primery survey dan secondary survey. 2. Dalam menegakkan diagnosa keperawatan pada pasien IMA dibagi menjadi dua yaitu dasar perumusan diagnosa dan jenis diagnosa. 3. Intervensi yang dilakukan perawat dalam menangani pasien IMA adalah melakukan prioritas intervensi. 4. Implementasi yang dilakukan perawat dalam menangani pasien dengan gangguan IMA adalah tindakan live saving dan implementasi kolaborasi. 5. Pada proses evaluasi yang dilakukan perawat dalam menangani pasien dengan gangguan IMA terdapat tipe evaluasi. 6. Makna asuhan keperawatan yang dilakukan perawat dalam menangani pasien dengan gangguan IMA adalah respon emosional, motivasi kinerja dan prinsip penanganan pasien.
81
82
6.2 Saran 1. Bagi Institusi Keperawatan / Rumah Sakit Bagi institusi keperawatan khususnya perawat diperlukan penanganan pengkajian askep yang komprehensif dalam melaksanakan perannya dalam menangani pasien dengan gangguan IMA. Perawat juga harus mampu berkolaborasi dengan tim medis lainnya dalam keberhasilan tindakan. 2. Bagi Institusi Pendidikan Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi ilmu baru dan diterapkan pada proses pembelajaran. Agar para mahasiswa saat praktik dapat mengutamakan peran-peran yang dilakukan saat mengkaji askep IMA sesuai dengan yang diajarkan. 3. Bagi peneliti lain Berdasarkan simpulan hasil penelitian tersebut, penulis memberikan saran kepada peneliti lain dalam bidang sejenis yang ingin melanjutkan dan mengembangkan penelitian ini agar meneliti tentang pengkajian nyeri pada pasien dengan gangguan IMA 4. Bagi peneliti a. Belajar mengasah kemampuan meneliti dan peduli terhadap profesi perawat. b. Mendorong
penulis
untuk
memulai
dan
terus
mampu
mengembangkan diri, berpandangan luas, melatih indept interview dan melatih komunikasi.
DAFTAR PUSTAKA Afriyanti, yati. (2014). Metodologi penelitian kualitatif dalam riset keperawatan. Jakarta. Ardiansyah, Muhamad. (2012). Medikal Bedah.Yogyakarta. Diva Pres. Bhisma Murti. (2006). Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif di bidang Kesehatan. Gajah Mada University Press. Depkes RI (2006). Penyakit jantung : AMI. Diakses tanggal 27 November 2014. http://www.depkes.go.id Davey.(2005). At a Glance Medicine.Jakarta : Erlangga. Dinas Kesehatan Kota Semarang. Profil Kesehatan Kota Semarang tahun 2010 [Internet]. 2010 [updated Juli 2010; cited 2012 Januari 27]. Available from: http://dinkes-kotasemarang.go.id/ Eliot
M. Antman, Eugene Braunwald (2005). Acute Infarction;Harison’s Principles of Medicine 15th.
Myocardial
Gibson (2006). Analisa data kesehatan. Jakarta. FKM UI Hidayat.(2008). Psikologi dalam ilmu keperawatan. Surabaya. Ilyas (2007). Manajemen Keperawatan: Aplikasi dalam Praktik Keperawatan Professional (Edisi 2). Jakarta: Salemba Medika. Kasron (2012). Buku ajar gangguan sistem kardiovaskuler. Nuha medika, yogyakarta. Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP. (2008). Braunwald’s Heart Disease : A textbook of Cardiovascular Medicine. Philadephia: Elsevier. Maleong. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosda Karya. Maryuani. (2009). Asuhan Kegawatdaruratan. Trans Info Media. Jakarta. Mahmarian JJ, Mahmarian AC, Marks GF et al. (2013).Role of adenosine thallium-201 tomography for defining long-term risk in patients after acute myocardial infarction.European. Muhammad. ( 2011). Deteksi Dini dan Pencegahan 7 Penyakit Penyebab Mati Muda. Yogyakarta: MedPress Muttaqin, arif. (2012) Asuhan keperawatan klien dengan system gangguan kardiovaskuler. Salemba medika, Jakarta.
Muwarni, arita (2011). Perawatan Pasien Penyakit Dalam, Gosyen Publishing, Jakarta. Nursalam
(2011).Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatanpedoman skripsi, tesis, dan instrumen penelitian keperawatan. Jakarta: SalembaMedika.
Polit, D.F., Beck, C.T and Hungler, B.P. (2006). Nursing research: Principles and methods. 7th edition.Philadelpia.Lippincott William and willkins. Potter, P.A., & Perry, A.G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan; Konsep, Proses, dan Praktik (Edisi 4). Jakarta: EGC. Rendy, MC, Margareth TH. (2012). Asuhan keperawatan medikal bedah dan penyakit dalam, Nuha Medika, Yogyakarta. Riulantono L. I. (2012). Buku Penyakit Kardiovaskuler (PKV) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Robbins SL, Cotran RS, Kumar V.(2007). Buku Ajar Patologi Robbins. Jakarta: EGC. Santoso M, Setiawan T. (2005).Penyakit Jantung Koroner. Cermin Dunia Kedokteran. Selwyn, Andrew, Braunwald, Eugene. (2005). Harrison’s Principles of Internal Medicine Volume II.16th ed. New York : McGraw Hill. Setiono, kuswiradti.(2010). Tindakan kegawatdaruratan pada pasien jantung. Surakarta. Soekidjo Notoatmodjo. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan . Rineka Cipta. Jakarta. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk.(2010). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing. Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Sutopo, H.B. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Setiadi.(2013). Konsep dan praktik penulisan riset keperawatan.Yogyakarta. William, wijns. (2006). Management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST-segment elevation. European.