PERAN PERAWAT TERHADAP KETEPATAN WAKTUTANGGAP PENANGANAN KASUS CEDERA KEPALA DI INSTALASI GAWAT DARURAT RSUD Dr.MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan
Oleh : Ruly Ambar Sekar NIM S11034
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2015
The image cannot be display ed. Your computer may not hav e enough memory to open the image, or the image may hav e been corrupted. Restart y our computer, and then open the file again. If the red x still appears, y ou may hav e to delete the image and then insert it again.
LEMBAR PERSETUJUAN
Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul :
PERAN PERAWAT TERHADAP KETEPATAN WAKTU TANGGAP PENANGANAN KASUS CEDERA KEPALA DI INSTALASI GAWAT DARURAT RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA
Oleh : Ruly Ambar Sekar NIM. S11034
Telah disetujui untuk dapat dipertahankan dihadapan Tim Penguji
Pembimbing Utama
Pembimbing Pendamping
Wahyu Rima Agustin S.Kep., Ns., M.Kep NIK.201279102
Ika Subekti Wulandari S.Kep.,Ns., M.K NIK.201189097
ii
iii
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya, akhirnya peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Peran Perawat Terhadap Ketepatan Waktu Tanggap Penanganan Kasus Cedera Kepala Di Instalasi Gawat Darurat RSUD Dr. Moewardi Surakarta”. Dalam penyusunan skripsi ini, peneliti banyak mendapat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. Dra. Agnes Sri Harti, M.Si, selaku ketua STIKes Kusuma Husada Surakarta. 2. Wahyu Rima Agustin, S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku Ketua Program Studi S1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta. 3. Wahyu Rima Agustin, S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku Pembimbing Utama yang telah memberikan masukan dan arahan selama penyusunan skripsi. 4. Ika Subekti Wulandari, S.Kep.,Ns.,M.Kep , selaku Pembimbing Pendamping yang juga telah memberikan masukan dan arahan selama penyusunan skripsi. 5. Happy Indri Hapsari, S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku Penguji skripsi yang juga telah memberikan masukan dan arahan selama sidang skripsi. 6. Seluruh dosen dan staf akademik Program Studi S – 1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta. 7. Direktur RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang memberikan ijin dan arahan untuk peneliti dalam melakukan penelitian skripsi. 8. Orang tua tercinta, yaitu Bapak Sastro Sakat Suwito, Ibu Kasiyem, seluruh keluarga besar, kakak – kakak dan keponakan tersayang, yang selalu memberikan dukungan, motivasi, doa dan kasih sayangnya sepanjang waktu. 9. Teman-teman angkatan 2011 / S11 tersayang, yang saling mendukung dan membantu dalam proses pembuatan skripsi ini. Semoga segala bantuan dan kebaikan, menjadi amal sholeh yang akan mendapat balasan yang lebih baik dari Allah SWT.
iv
Selanjutnya peneliti sangat mengharapkan masukan, saran dan kritik demi perbaikan skripsi ini sehingga dapat digunakan untuk pengembangan ilmu dan pelayanan keperawatan.
Surakarta, 08 Juli 2015
Ruly Ambar Sekar NIM.S11034
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .....................................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN ...........................................................................
ii
SURAT PERNYATAAN...............................................................................
iii
KATA PENGHANTAR ...............................................................................
iv
DAFTAR ISI .................................................................................................
vi
DAFTAR TABEL .........................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
x
ABSTRAK ....................................................................................................
xi
ABSTRACT ..................................................................................................
xii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .......................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................
7
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................
8
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................
9
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori .......................................................................
11
2.1.1 Cedera Kepala ............................................................
11
2.1.2 Waktu Tanggap atau Respon Time .............................
19
2.1.3 Konsep Peran Perawat ..............................................
27
2.1.4 Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Peran Perawat ......................................................................
31
2.1.5 Faktor – Faktor yang mempengaruhi Waktu Tanggap ......................................................................
32
2.2 Kerangka Teori ......................................................................
33
2.3 Fokus Penelitian ....................................................................
34
2.4 Keaslian Penelitian ................................................................
36
BAB III METODOLOGI 3.1 Jenis Dan Rancangan Penelitian ............................................
vi
41
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ...............................................
42
3.3 Populasi dan Sampel
...........................................................
43
3.3.1 Populasi .......................................................................
43
3.3.2 Sampel ........................................................................
43
3.4 Instrumen dan Pengumpulan Data .........................................
46
3.4.1 Instrumen .....................................................................
46
3.4.2 Pengumpulan Data .......................................................
48
3.4.2.1 Data .................................................................
48
3.4.2.2 Prosedur Pengumpulan Data ...........................
48
3.5 Analisa Data ..........................................................................
52
3.6 Keabsahan Data ......................................................................
53
3.7 Etika Penelitian ......................................................................
55
BAB IV HASIL PENELITIAN
BAB V
4.1. Diskripsi Tempat Penelitian ..................................................
58
4.2. Karakteristik Partisipan ..........................................................
59
4.3. Hasil Penelitian ......................................................................
60
PEMBAHASAN
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ............................................................................
111
6.2 Saran ......................................................................................
113
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
vii
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel
Judul Tabel
Halaman
1.1
Skala GCS (Nurarif, 2013)
12
1.2
Skala Australia Triage (2000)
24
1.3
Keaslian Penelitian
36
viii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar
Judul Gambar
Halaman
1.1
Gambaran Kasus Cedera Kepala
67
4.2
Initial Assasment
70
4.3
Pengelolaan Prioritas Pasien
72
4.4
Perawat Sebagai Care Giver
76
4.5
Iklim Kerja Kondusif
80
4.6
Kendala Pelayanan
85
4.7
Kebutuhan Perbaikan Manajemen
88
4.8
Kebutuhan Peningkatan Kualitas SDM 91
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Lampiran
Keterangan
1.
Surat Ijin Studi Pendahuluan
2.
Surat Keterangan Studi Pendahuluan
3.
Surat Ijin Penelitian
4.
Surat Keterangan Penelitian
5.
Surat Pengajuan Ethical Clearance
6.
Surat Ethical Clearance
7.
Penjelasan Penelitian
8.
Lembar Persetujuan Partisipan
9.
Pedoman Pertanyaan
10.
Data Demografi
11.
Lembar Catatan Lapangan/Observasi
12.
Transkip Wawancara
13.
Analisa Data Tematik
14.
Gambar/ Foto Wawancara Penelitian
15.
Lembar Konsultasi Proposal Skripsi
16.
Lembar Bukti Penanganan Pasien Cedera Kepala
17.
Jadwal Penelitian
x
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian utama dikalangan usia produktif khususnya di negara berkembang (Japardi, 2005). Cedera kepala adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis (Miranda, 2014). Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia 10-60 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan (Fauzi, 2002). Data insiden cedera kepala di Eropa pada tahun 2010 adalah 500 per 100.000 populasi. Insiden cedera kepala di Inggris pada tahun 2005 adalah 400 per 100.000 pasien per tahun (Irawan, 2010). Insiden cedera kepala di India setiap tahunnya adalah 160 per 100.000 populasi (Critchley et al,2009). Prevalensi cedera secara nasional adalah 8,2 persen, prevalensi tertinggi ditemukan di Sulawesi Selatan (12,8%) dan terendah di Jambi (4,5%). Provinsi yang mempunyai prevalensi cedera lebih tinggi dari angka nasional sebanyak 15 provinsi. Riskesdas 2013 pada provinsi Jawa Tengah menunjukkan kasus cedera sebesar 7,7 % yang disebabkan oleh kecelakaan sepeda motor sebesar 40,1 %. Cedera mayoritas dialami oleh kelompok
1
2
umur dewasa yaitu sebesar 38,8% dan lanjut usia (lansia) yaitu 13,3% dan anak–anak sekitar 11,3%(Depkes,2013). Di negara berkembang seperti Indonesia, perkembangan ekonomi dan industri memberikan dampak frekuensi cedera kepala cenderung semakin meningkat, dan merupakan salah satu kasus yang paling sering dijumpai di ruang gawat darurat rumah sakit (Miranda, 2014). Instalasi Gawat Darurat (IGD) sebagai gerbang utama penanganan kasus gawat darurat di rumah sakit memegang peranan penting dalam upaya penyelamatan hidup klien. Standar IGD sesuai Keputusan Menteri Kesehatan tahun 2009 bahwa indikator waktu tanggap di IGD adalah harus ≤ 5 menit. Waktu tanggap dari perawat pada penanganan pasien gawat darurat yang memanjang dapat menurunkan usaha penyelamatan pasien. Hasil penelitian Vitrise (2014) di Instalasi Gawat Darurat RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado di dapatkan hasil, waktu tanggap perawat dalam penanganan kasus gawat darurat di IGD RSUP Prof Dr. R. D. Kandou Manado rata-rata lambat yaitu lebih dari 5 menit. Wilde (2009) telah membuktikan secara jelas tentang pentingnya waktu tanggap bahkan pada pasien selain penderita penyakit jantung. Mekanisme waktu tanggap, disamping menentukan keluasan rusaknya organ-organ dalam, juga dapat mengurangi beban pembiayaan. Kecepatan dan ketepatan pertolongan yang diberikan pada pasien yang datang ke IGD memerlukan standar sesuai dengan kompetensi dan kemampuannya sehingga dapat menjamin suatu penanganan gawat darurat dengan waktu
3
tanggap yang cepat dan penanganan yang tepat. Hal ini dapat dicapai dengan meningkatkan sarana, prasarana, sumber daya manusia dan manajemen IGD rumah sakit sesuai standar (Kepmenkes, 2009). Yoon et al (2003) mengemukakan faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi keterlambatan penanganan kasus gawat darurat antara lain karakter pasien, penempatan staf, ketersediaan tandu dan petugas kesehatan, waktu kedatangan pasien, pelaksanaan manajemen, strategi pemeriksaan dan penanganan yang dipilih. Hal ini bisa menjadi pertimbangan dalam menentukan konsep tentang waktu tanggap penanganan kasus di IGD rumah sakit. Salah satu indikator keberhasilan penanggulangan medik penderita gawat darurat adalah kecepatan memberikan pertolongan yang memadai kepada penderita gawat darurat baik pada keadaan rutin sehari-hari atau sewaktu bencana. Keberhasilan waktu tanggap sangat tergantung kepada kecepatan yang tersedia serta kualitas pemberian pertolongan untuk menyelamatkan nyawa atau mencegah cacat sejak di tempat kejadian, dalam perjalanan hingga pertolongan rumah sakit (Moewardi, 2003). Pada kasus cedera kepala di IGD suatu rumah sakit orang yang berperan dalam melakukan pertolongan pertama adalah perawat. Peran perawat sangat dominan dalam melakukan penanganan kasus cedera kepala. Ketepatan waktu tanggap adalah suatu bentuk dari penanganan kasus cedera kepala yang dilakukan oleh perawat dalam menangani kasus gawat darurat. Pasien yang mengalami cedera kepala akan mengalami pembengkakan otak atau terjadi perdarahan dalam tengkorak, tekanan intrakranial akan
4
meningkat dan tekanan perfusi akan menurun. Tubuh memiliki refleks perlindungan (respons/ refleks cushing) yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan intraserebral meningkat,
tekanan
darah
sistemik
meningkat
untuk
mencoba
mempertahankan aliran darah otak. Saat keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun (bradikardia) dan bahkan frekuensi respirasi berkurang. Tekanan dalam tengkorak terus meningkat hingga titik kritis tertentu dimana cedera kepala memburuk dan semua tanda vital terganggu dan berakhir dengan kematian penderita (Widyawati, 2012). Hasil penelitian Haryatun (2005) dengan menghitung waktu pelayanan pasien gawat darurat, cedera kepala dari pasien masuk pintu IGD RSUD Dr.Moewardi Surakarta sampai siap keluar dari IGD didapatkan rata-rata waktu tanggap pelayanan selama 98,33 menit (kategori I resusitasi yaitu pasien memerlukan resusitasi segera, seperti pasien dengan epidural atau sub dural hematoma, cedera kepala berat), 79,08 menit (kategori II pasien emergency, seperti pasien cedera kepala di sertai tanda-tanda syok, apabila tidak dilakukan pertolongan segera akan menjadi lebih buruk), 78,92 menit (kategori III pasien urgent, seperti cedera kepala disertai luka robek, rasa pusing), 44,67 menit (kategori IV pasien semi urgent, keadaan pasien cedera kepala dengan rasa pusing ringan, luka lecet atau luka superficial ), 33,92 menit (Kategori V “false emergency”, pasien datang bukan indikasi kegawatan menurut medis, cedera kepala tanpa keluhan fisik), terdapat perbedaan yang signifikan waktu tanggap tindakan keperawatan pada pasien
5
cedera kepala kategori I – V dan pasien cedera kepala kategori I memperoleh waktu tindakan keperawatan lebih lama dan pasien cedera kepala kategori V memperoleh waktu keperawatan yang lebih cepat. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan waktu tanggap tindakan pada pasien cedera kepala kategori I – V . Pasien cedera kepala di instalasi gawat darurat memerlukan tindakan keperawatan yang cepat. Keterlambatan tindakan keperawatan pasien cedera kepala dapat
menyebabkan kecacatan yang menetap karena kerusakan
jaringan otak atau bahkan menimbulkan kematian. Angka kematian dan kecatatan akibat kegawatan peraturan medik ditentukan tingkat kecepatan, kecermatan dan ketepatan pertolongan (Haryatun 2005). Perawat yang bertugas di IGD adalah perawat yang dituntut untuk melakukan tindakan kegawat daruratan secara cepat, tepat dan tanggap khususnya pada penanganan pasien cedera kepala. Bagi perawat di IGD tuntutan tersebut akan menjadi beban kerja tersendiri dalam menangani pasien yang datang di IGD, dengan jumlah, tingkat kegawatan pasien, situasi dan kondisi yang datang tidak bisa di perkirakan. Beban kerja sosial merupakan beban kerja yang berkaitan dengan hubungan seorang pekerja dengan lingkungan kerjanya. Kondisi demikian sudah menjadi tantangan setiap hari bagi seorang perawat bahwa harus senantiasa ramah, murah senyum, komunikatif dalam memberikan pelayanan (Widodo, 2007). Hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 30 Desember 2014 di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, jumlah pasien cedera kepala pada
6
tahun 2014 yang dikategorikan pasien dengan cedera kepala ringan sebanyak 143 pasien yang dirawat inap dan 59 pasien yang di rawat jalan sedangkan pasien cedera kepala kategori cedera kepala berat sebanyak 116 pasien yang dirawat inap dan 98 pasien yang dirawat jalan. Dari hasil wawancara dengan salah satu perawat IGD RSUD Dr. Moewardi, perawat mengatakan bahwa peran perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala itu belum sesuai yang diharapkan karena untuk menjalankan peran perawat sesuai dengan standart operasional prosedur (SOP) itu masih sulit, banyak kendala yang sering ditemui misalnya untuk berkomunikasi dalam jam kerja saja sulit karena banyaknya pasien dan banyak masalah lain yang akhirnya perawat tidak bisa menjalankan perannya dengan baik atau sesuai dengan SOP yang berlaku. Berdasarkan fenomena yang terjadi di RSUD Dr. Moewardi, perawat di IGD dituntut untuk selalu menjalankan perannya di berbagai situasi dan kondisi yang meliputi tindakan penyalamatan pasien secara profesional khusunya penanganan pada pasien cedera kepala. RSUD Dr. Moewardi adalah Rumah Sakit Daerah Surakarta yang merupakan rumah sakit dengan tipe kelas A yang jumlah pasiennya diharapkan lebih banyak dari rumah sakit lain di daerah Surakarta dan sumber daya manusia (perawat) dapat mendukung penelitian ini khusunya perawat di IGD yang menangani kasus cedera kepala, oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian kualitatif tentang peran perawat terhadap ketepatan waktu tanggap
7
penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat RSUD Dr.Moewardi Surakarta.
1.2 Rumusan Masalah Cedera kepala adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, frakturtulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis. Pasien yang mengalami cedera kepala akan mengalami pembengkakan otak atau terjadi perdarahan dalam tengkorak, tekanan intrakranial akan meningkat dan tekanan perfusi akan menurun. Saat keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun (bradikardia) dan bahkan frekuensi respirasi berkurang. Tekanan dalam tengkorak terus meningkat hingga titik kritis tertentu dimana cedera kepala memburuk dan semua tanda vital terganggu dan berakhir dengan kematian penderita. Oleh sebab itu pasien dengan cedera kepala memerlukan tindakan keperawatan yang cepat dan tepat. Keterlambatan tindakan keperawatan pasien cedera kepala dapat menyebabkan kecacatan dan kematian. Perawat di IGD dituntut untuk selalu menjalankan perannya di berbagai situasi dan kondisi yang meliputi tindakan penyalamatan pasien secara profesional khusunya penanganan pada pasien cedera kepala. Berdasarkan latar belakang tersebut rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, bagaimanakah peran perawat terhadap ketepatan waktu tanggap
8
penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat RSUD Dr.Moewardi Surakarta ?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Umum Mengidentifikasi peran perawat terhadap ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat RSUD Dr.Moewardi Surakarta . 1.3.2 Khusus 1. Mengetahui persepsi perawat mengenai kasus cedera kepala. 2. Mengetahui tindakan perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat RSUD Dr. Moewardi Surakarta . 3. Mengetahui faktor – faktor yang mendukung perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat RSUD Dr. Moewardi Surakarta. 4. Mengetahui faktor – faktor yang menghambat perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat Surakarta.
RSUD Dr. Moewardi
9
5. Mengetahui harapan perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap
penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat
darurat RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
1.4 Manfaat 1.4.1 Bagi Rumah Sakit Penelitian
ini
diharapkan
jadi
bahan
masukan
untuk
meningkatkan pelayanan di rumah sakit, terutama perawat dalam melakukan
perannya
melaksanaan
ketepatan
waktu
tanggap
penanganan pada kasus kegawat daruratan di instalasi gawat darurat khususnya pasien dengan cedera kepala. 1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan Dapat di jadikan sebagai bahan bacaan dan referensi guna meningkatkan mutu pendidikan terutama pada pengetahuan peran perawat terhadap ketepatan waktu tanggap penanganan
kegawat
daruratan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat . 1.4.3 Bagi Peneliti lain Sebagai bahan acuan serta referensi bagi peneliti lain dan penelitian lanjutan yang berhubungan dengan peran perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat sebagai salah satu acuan untuk penelitian selanjutnya.
10
1.4.4 Bagi Peneliti Untuk menambah pengetahuan dan memperdalam ilmu peneliti tentang penelitian kualitatif dan dapat melaksanaan peran perawat terhadap ketepatan waktu tanggap penanganan
kasus
kegawat daruratan di instalasi gawat darurat khususnya kasus cedera kepala.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Cedera Kepala 2.1.1.1 Definisi Cedera kepala merupakan cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak (Morton, 2012). Cedera kepala adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis (Miranda, 2014). 2.1.1.2 Klasifikasi Berdasarkan beratnya, cedera kepala dibagi atas ringan, sedang dan berat(Advanced, 2004).Pembagian ringan, sedang dan berat ini dinilai melalui Glasgow Coma Scale (GCS). GCS merupakan instrument standar yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran pasien trauma kepala (Irawan, 2010).
11
12
Tabel 1.1.Skala GCS (Nurarif, 2013). Dewasa Buka Mata ( Eye ) Spontan Berdasarkan perintah verbal Berdasarkan rangsang nyeri Tidak memberi respon Respon Verbal Orientasi baik Percakapan kacau Kata – kata kacau Mengerang Tidak memberi respon Respon Motorik Merurut perintah Melokalisir rangsang nyeri Menjauhi rangsang nyeri Fleksi abnormal Ekstensi abnormal Tidak memberi respon
Respon 4 3 2 1 5 4 3 2 1 6 5 4 3 2 1
Skor nilai GCS : 14 – 15 : Nilai normal/ Composmentis/ Sadar penuh 12 – 13 : Apatis/ acuh tak acuh 11 – 12 : Delirium 8 – 10
: Somnolent
5–7
: Sopor Koma
1–4
: Koma
1) Ringan : Skala Koma Glasgow (Glasglow Coma Scale, GCS) 14 – 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran, amnesia, tetapi kurang dari 30
13
menit, tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada contusia cerebral dan hematoma. 2) Sedang : GCS 9 – 13, kehilangangan kesadaran, amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak, diikuti contusio cerebral, laserasi dan hematoma intra cranial 3) Berat
: GCS 3 – 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam, juga meliputi contusio cerebral, laserasi, atau hematoma intra cranial.
2.1.1.3 Etiologi Mekanisme cedera kepala meliputi cedera akselerasi, deselerasi, akselerasi – deselerasi, coup – countre coup, dan cedera rotasional (Nurarif, 2013). 1. Cedera
akselerasi
terjadi
jika
objek
bergerak
menghantam kepala yang bergerak (Misalnya, alat pemukul menghantam kepala atau peluru yang di tembakkan ke kepala). 2. Cedera deselerasi terjadi jika kepala yang bergerak membentur obyek diam, seperti pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika ketika kepala membentur kaca depan mobil.
14
3. Cedera akselerasi – deselerasi sering terjadi dalam kasus kecelakaan kendaraan bermotor dan episode kekerasan fisik. 4. Cederacoup – countre coup terjadi jika kepala berbentur yang menyebabkan otak bergerak dalam ruang kranial dan dengan kuat mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta area kepala yang pertama kali terbentur. Sebagai contoh pasien dipukul di bagian kepala belakang. 5. Cedera rotasional terjadi jika pukulan atau benturan menyebabkan otak berputar dalam rongga tengkorak, yang mengakibatkan perenggangan atau robeknya neuron dalam substansia alba serta robeknya pembuluh darah yang memfiksasi otak dengan bagian dalam rongga tengkorak. 2.1.1.4 Manifestasi Klinis Pada pemeriksaan klinis biasa yang dipakai untuk menentukan cedera kepala menggunakan pemeriksaan GCS yang dikelompokkan menjadi cedera kepala ringan, sedang, dan berat seperti diatas. Nyeri yang menetap atau setempat, menunjukkan adanya fraktur (Smeltzer, 2002). 1. Fraktur kubah kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur.
15
2. Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika cairan cerebro spinal keluar dari telinga dan hidung. 3. Laserasi atau kontusio otak ditunjukkan oleh cairan spinal berdarah hematom pada cedera kepala : a) Epidural hematom (EDH) : hematom antara durameter
dan
tulang,
biasanya
sumber
perdarahannya adalah robeknya arteri meningica media. Ditandai dengan penurunan kesadaran dengan ketidaksamaan neurologis sisi kiri dan kanan (hemiparesis/plegi, pupil anisokor, reflek patologis satu sisi). Gambaran CT scan area hiperdens dengan bentuk bikonvek diantara 2 sutura. Jika perdarahan > 20 cc atau > 1 cm midline shift> 5mm dilakukan operasi untuk menghentikan perdarahan. b) Subdural hematom (SDH) : hematom dibawah lapisan durameter dengan sumber perdarahan dapat berasal dari bridging vein, arteri atau vena cortical sinus
venous.
Subdural
hematom
adalah
terkumpulnya darah antara durameter dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut dapat terjadi dalam waktu
16
48 – 2 hari, 2 minggu atau beberapa bulan. Gejala – gejalanya adalah nyeri kepala, binggung, mengantuk, berpikir lambat, kejang dan udem pupil dan secara klinis ditandai dengan penurunan kesadaran, disertai adanya lateralisasi yang paling sering berupa hemiparese/plegi. Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan gambaran hiperdens yang berupa bulan sabit (cresent). Indikasi operasi jika perdarahan tebalnya > 1cm dan terjadi pergeseran garis tengah > 5mm. c) Intraserebral
hematom
(ICH)
:
perdarahan
intraserebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. Pada pemeriksaan CT Scan indikasi dilakukan operasi adanya daearah hiperdens, diameter > 3cm, perifer, adanya pergeseran garis tengah. 2.1.1.5
Patofisiologi Sebagian besar cedera otak tidak disebabkan oleh cedera langsung terhadap jaringan otak, tetapi terjadi sebagai akibat kekuatan luar yang membentur sisi luar tengkorak.
Pada
cedera
deselerasi,
kepala
biasanya
membentur suatu objek seperti kaca depan mobil, sehingga
17
terjadi deselerasi tengkorak yang berlangsung tiba – tiba. Otak tetap bergerak kearah depan, membentur bagian dalam tengkorak tepat di bawah titik berbentur kemudian berbalik arah membentur sisi yang berlawanan dengan titik bentur awal. Jika otak membengkak atau terjadi perdarahan dalam tengkorak, tekanan intrakranial akan meningkat dan tekanan perfusi akan menurun (Widyawati, 2012). Tubuh memiliki refleks perlindungan (respons/ refleks cushing) yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan intraserebral meningkat, tekanan darah sistemik meningkat untuk mencoba mempertahankan aliran darah otak. Saat keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun (bradikardia) dan bahkan frekuensi respirasi berkurang. Tekanan dalam tengkorak terus meningkat hingga titik kritis tertentu dimana cedera kepala memburuk dan semua tanda vital terganggu dan berakhir dengan kematian penderita. Jika terdapat
peningkatan
intrakranial,
hipotensi
akan
memperburuk keadaan. Harus dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan sistolik 100 – 110 mmHg pada penderita cedera kepala (Widyawati, 2012).
18
2.1.1.6 Komplikasi Komplikasi utama trauma kepala adalah perdarahan, infeksi, edema dan herniasi melalui tontronium. Infeksi selalu menjadi ancaman yang berbahaya untuk cedera terbuka dan edema dihubungkan dengan trauma jaringan. Ruptur vaskular dapat terjadi sekalipun pada cedera ringan, keadaan ini menyebabkan perdarahan di antara tulang tengkorak dan permukaan serebral. Kompresi otak di bawahnya
akan
menghasilkan
efek
yang
dapat
menimbulkan kematian dengan cepat atau keadaan semakin memburuk (Wong, 2009). 2.1.1.7 Penanganan Cedera Kepala Stabilisasi kardiopulmoner mencakup prinsip – prinsip ABC (Airway, Breathing, Circulation). Keadaan hipoksemia,
hipotensi,
anemia
akan
cenderung
memperhebat peninggian Tekanan intra kranial dan menghasilkan prognosis yang lebih buruk. Semua cedera kepala
berat
memerlukan
tindakan
intubasi
pada
kesempatan pertama. 1. Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau gangguan – gangguan di bagian tubuh lainnya.
19
2. Pemeriksaan neurologis mencakup respons mata, motorik, verbal, pemeriksaan pupil, reflek okulosefalik dan reflek okuloves tubuler. Penilaian neurologis kurang bermanfaat bila tekanan darah penderita rendah (syok). 3. Penanganan cedera – cedera dibagian lainnya. 4. Pemberian pengobatan seperti : anti edema serebri, anti kejang dan natrium bikarbonat. 5. Tindakan pemeriksaan diagnostik seperti : Scan tomografi computer otak, angiografi serebral dan lainnya (Satyanegara, 2010). 2.1.2 Waktu Tanggap atau Respon Time Penanganan gawat darurat ada filosofinya yaitu Time Saving it’s Live Saving, artinya seluruh tindakan yang dilakukan pada saat kondisi gawat darurat haruslah benar-benar efektif dan efisien. Hal ini mengingatkan pada kondisi tersebut pasien dapat kehilangan nyawa hanya dalam hitungan menit saja. Berhenti nafas selama 2-3 menit pada manusia dapat menyebabkan kematian yang fatal (Sutawijaya, 2009 ). Waktu tanggapmerupakan kecepatan dalam penanganan pasien, dihitung sejak pasien datang sampai dilakukan penanganan (Suhartati et al, 2011). Standar IGD sesuai Keputusan Menteri Kesehatan tahun 2009 bahwa indikator waktu tanggap di IGD adalah
20
harus ≤ 5 menit. Waktu tanggap pelayanan merupakan gabungan dari waktu tanggap saat pasien tiba di depan pintu rumah sakit sampai mendapat tanggapan atau respon dari petugas instalasi gawat darurat dengan waktu pelayanan yaitu waktu yang di perlukan pasien sampai selesai. Waktu tanggap pelayanan dapat di hitung dengan hitungan menit dan sangat dipengaruhi oleh berbagai hal baik mengenai jumlah tenaga maupun komponen - komponen lain yang mendukung seperti pelayanan laboratorium, radiologi, farmasi dan administrasi. Waktu tanggap dikatakan tepat waktu atau tidak terlambat apabila waktu yang diperlukan tidak melebihi waktu ratarata standar yang ada (Haryatun, 2005). Hasil penelitian Haryatun (2005) dengan menghitung waktu pelayanan pasien gawat darurat, cedera kepala dari pasien masuk pintu IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta sampai siap keluar dari IGD didapatkan rata-rata waktu tanggap pelayanan selama 98,33 menit (kategori I resusitasi yaitu pasien memerlukan resusitasi segera, seperti pasien dengan epidural atau sub dural hematoma, cedera kepala berat), 79,08 menit (kategori II pasien emergency, seperti pasien cedera kepala di sertai tanda-tanda syok, apabila tidak dilakukan pertolongan segera akan menjadi lebih buruk), 78,92 menit (kategori III pasien urgent, seperti cedera kepala disertai luka robek, rasa pusing), 44,67 menit (kategori IV pasien semi urgent, keadaan pasien cedera kepala dengan rasa pusing ringan, luka lecet
21
atau luka superficial ), 33,92 menit (Kategori V “false emergency”, pasien datang bukan indikasi kegawatan menurut medis, cedera kepala tanpa keluhan fisik), terdapat perbedaan yang signifikan waktu tanggap tindakan keperawatan pada pasien cedera kepala kategori I – V dan Pasien cedera kepala kategori I memperoleh waktu tindakan keperawatan lebih lama dan pasien cedera kepala kategori V memperoleh waktu keperawatan yang lebih cepat. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan waktu tanggap tindakan pada pasien cedera kepala kategori I – V. Triage
diambil
dari
bahasa
Perancis
“Trier”
artinya
mengelompokkan atau memilih (Krisanty, 2009). Triage mempunyai tujuan untuk memilih atau menggolongkan semua pasien yang memerlukan pertolongan dan menetapkan prioritas penanganannya (Oman, 2008). Triage memiliki fungsi penting di IGD terutama apabila banyak pasien datang pada saat yang bersamaan. Hal ini bertujuan untuk memastikan agar pasien ditangani berdasarkan urutan kegawatannya untuk keperluan intervensi. Triage juga diperlukan untuk penempatan pasien ke area penilaian dan penanganan yang tepat serta membantu untuk menggambarkan keragaman kasus di IGD (Gilboy, 2005). Fitzgerald et al (2009) menyatakan di Australia pengembangan sistem Triage lebih formal dimulai dengan pengamatan perilaku Triage perawat. Sementara ada banyak variabilitas dalam sistem
22
Triage,
pengamatan
ini
mengidentifikasi
beberapa
tindakan
konsisten dan berbeda berikut penilaian. Tindakan ini ditentukan oleh urgensi pasien dan termasuk : 1. Untuk segera menghubungi tenaga medis dan resusitasi segera. 2. Untuk menetapkan pasien ke dokter tersedia berikutnya. 3. Untuk menempatkan data pasien di depan daftar tunggu. 4. Untuk menempatkan data pasien dalam urutan dalam daftar tunggu. 5. Untuk mendorong pasien untuk mencari bantuan di tempat lain atau lain waktu. Triage adalah fungsi penting di Emergency Department, dimana banyak pasien dapat hadir secara bersamaan. Urgensi mengacu pada kebutuhan untuk time critical intervensi, tidak identik dengan tingkat keparahan. Pasien Triage untuk menurunkan ketajaman kategori mungkin aman untuk menunggu lebih lama untuk penilaian dan pengobatan tetapi mungkin masih memerlukan masuk rumah sakit. Kriteria Triage : 1. Daerah penilaian Triage harus segera dapat diakses dan jelas tanda pos (tanda Triage). Daerah Triage harus memungkinkan untuk: a. Pemeriksaan pasien b. Alat komunikasi antara area masuk dan Penilaian
23
c. Privasi 2. Akan ada strategi untuk melindungi staf 3. Standar yang sama untuk Triage kategorisasi harus menerapkan semua pengaturan Emergency Department. Harus diingat namun bahwa gejala dilaporkan oleh orang dewasa mungkin kurang signifikan dari pada gejala yang sama ditemukan pada anak dan dapat membuat anak urgensi yang lebih besar. 4. Korban trauma harus dialokasikan Triage kategori menurut urgensi klinis mereka secara objektif. Seperti dengan situasi klinis lain, ini akan mencakup pertimbangan sejarah berisiko tinggi serta pemeriksaan fisik singkat (umum penampilan +/fisiologis pengamatan). 5. Pasien dengan kesehatan mental atau masalah-masalah kelakuan harus Triage menurut mereka klinis dan situasional urgensi, seperti dengan pasien Emergency Department lain. Mana masalah fisik dan perilaku hidup berdampingan, Triase tertinggi sesuai
kategori
harus
diterapkan
berdasarkan
gabungan
presentasi. Persyaratan peralatan : 1. Peralatan darurat 2. Fasilitas untuk menggunakan standar pencegahan (fasilitas cuci tangan, sarung tangan) 3. Perangkat komunikasi yang memadai (telepon atau interkom dll)
24
4. Fasilitas untuk rekaman Triage informasi.
Tabel 1.2 Skala Kategori Triage Australia (Australian College of Emergency Medicine. 2000) Skala Kategori Triage Australia
Ketajaman (Waktu tunggu maksimal)
Kategori 1
Segera
Kategori 2
10 menit
Kategori 3
30 menit
Kategori 4
60 menit
Kategori 5
120 menit
Keterangan : 1. Kategori 1 Kondisi segera mengancam kehidupan, kondisi yang memerlukan intervensi sesegera mungkin agresif dan ancaman terhadap kehidupan (atau risiko kerusakan). Klinis deskriptor (hanya untuk indikasi) : Gagal jantung, sesak nafas, risiko langsung ke saluran napas, pernapasan < 10 menit, tekanan darah < 80 (dewasa), GCS < 9, kejang berkepanjangan, intravena overdosis dan tidak responsif atau hipoventilasi, gangguan perilaku berat dengan ancaman kekerasan berbahaya. 2. Kategori 2 Penilaian dan pengobatan dalam waktu 10 menit, kondisi pasien cukup serius atau memburuk begitu cepat bahwa ada potensi ancaman terhadap kehidupan, atau kegagalan sistem organ, jika tidak ditangani dalam waktu sepuluh menit
25
kedatangan atau pengobatan waktu kritis yang penting potensi pengobatan waktu-kritis (misalnya simtoma para klinis) untuk membuat dampak signifikan pada hasil klinis tergantung pada perawatan yang bermula dalam beberapa menit kedatangan pasien di Emergency Department atau sangat nyeri. Airway risiko, stridor parah atau grogling dengan tekanan, kesulitan pernapasan yang parah, perfusi menurun, heat rate< 50, hipotensi dengan efek hemodinamik, perdarahan banyak, nyeri dada mungkin jantung GCS < 13, akut hemiparesis/dysphasia, demam dengan tanda-tanda kelesuan (semua usia), asam atau alkali splash mata memerlukan irigasi terutama pasien multi trauma (memerlukan respon cepat), trauma lokal parah terutama fraktur, amputasi berisiko tinggi, perilaku/kejiwaan: kekerasan atau agresif ancaman terhadap diri sendiri atau orang lain membutuhkan atau diperlukan pengekangan berat agitasi atau agresi. 3. Kategori 3 Penilaian dan pengobatan mulai dalam waktu 30 menit berpotensi mengancam kehidupan kondisi pasien mungkin kemajuan untuk hidup atau mengancam ekstremitas, atau mungkin menyebabkan signifikan morbiditas, jika penilaian dan pengobatan tidak dimulai dalam waktu tiga puluh menit kedatangan. Atau urgensi situasional ada potensi buruk jika time
26
critical pengobatan tidak dimulai dalam waktu tiga puluh menit. Klinis deskriptor (hanya untuk indikasi): hipertensi, kehilangan darah yang cukup banyak, sesak napas, SAO2 90-95%, kejang, demam, muntah, dehidrasi, cedera kepala ringan sakit cukup parah, dada sakit, sakit perut tanpa risiko tinggi, cedera ekstremitas, luka parah, trauma akut, perilaku/kejiwaan: risiko sangat sedih, menyakiti diri akut psikosis atau berpikir teratur situasional krisis, disengaja merugikan diri, gelisah / ditarik dan berpotensi agresif. 4. Kategori 4 Penilaian dan pengobatan mulai dalam waktu 60 menit. Berpotensi mengancam kehidupan kondisi pasien mungkin kemajuan untuk hidup atau mengancam ekstremitas, atau mungkin menyebabkan signifikan morbiditas, jika penilaian dan pengobatan tidak dimulai dalam waktu tiga puluh menit kedatangan.
Klinis
deskriptor
(hanya
untuk
indikasi),
perdarahan ringan, sesak nafas ringan, cedera dada tanpa sakit tulang
rusuk
atau
kesulitan
pernapasan,
kesulitan
menelan,cedera kepala ringan, tanpa kehilangan kesadaran, muntah atau diare tanpa dehidrasi, trauma ekstremitas kecil terkilir pergelangan kaki, mungkin fraktur, tidak ada gangguan neurovaskular, bengkak sendi panas, tidak nyeri perut, perilaku/kejiwaan : Masalah kesehatan mental semi mendesak di
27
bawah pengawasan dan/atau risiko tidak langsung untuk diri sendiri atau orang lain. 5. Kategori 5 Penilaian dan pengobatan mulai dalam 120 menit kurang urgen kondisi pasien kronis atau cukup kecil bahwa gejala atau hasil klinis tidak akan secara signifikan terpengaruh jika penilaian dan pengobatan tertunda sampai dua jam dari kedatangan. Klinis deskriptor (hanya untuk indikasi), sakit yang minimal dengan tidak ada risiko tinggi, luka kecil - kecil lecet, luka kecil (tidak memerlukan jahitan), perilaku/kejiwaan: Dikenal pasien dengan gejala kronik sosial krisis, klinis pasien baik. 2.1.3 Konsep Peran Perawat Perawat menurut UU RI. No. 23 tahun
1992 tentang
kesehatan, perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimiliki, diperoleh melalui pendidikan keperawatan. Tyailor C. Lilis C. Lemone (1989) mendefinisikan perawat adalah seseorang yang berperan dalam merawat atau memelihara, membantu dengan melindungi seseorang karena sakit, luka dan proses penuaan. Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan dari masyarakat sesuai dengan kedudukannya di masyarakat. Peran perawat adalah seperangkat tingkah laku yang dilakukan oleh
28
perawat sesuai dengan profesinya. Peran perawat dipengaruhi oleh keadaan sosial dan bersifat tetap (Kusnanto, 2004). Peran perawat adalah tingkah laku perawat yang diharapkan oleh orang lain untuk berproses dalam sistem sebagai pemberi asuhan, pembela pasien, pendidik, koordinator, kolaborator, konsultan, dan pembaharu (Ali, 2002). 1. Peran Perawat Peran perawat dalam melakukan perawatan diantaranya: a. Care giver atau Pemberi asuhan keperawatan Perawat memberikan asuhan keperawatan profesional kepada pasien meliputi pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi
hingga
evaluasi.
Selain
itu,
perawat
melakukan observasi yang kontinu terhadap kondisi pasien, melakukan pendidikan kesehatan, memberikan informasi yang terkait dengan kebutuhan pasien sehingga masalah pasien dapat teratasi (Susanto, 2012). b. Client advocate atau Advokator Perawat
sebagai
advokator
berfungsi
sebagai
perantara antara pasien dengan tenaga kesehatan lain. Perawat membantu pasien dalam memahami informasi yang didapatkan, membantu pasien dalam mengambil keputusan terkait
tindakan
medis
yang
akan
dilakukan
serta
memfasilitasi pasien dan keluarga serta masyarakat dalam
29
upaya peningkatan kesehatan yang optimal (Kusnanto, 2004). c. Client educator atau Pendidik Perawat sebagai pendidik menjalankan perannya dalam memberikan pengetahuan, informasi, dan pelatihan ketrampilan kepada pasien, keluarga pasien maupun anggota masyarakat dalam upaya pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan (Susanto, 2012). Perawat sebagai pendidik bertugas untuk memberikan pengajaran baik dalam lingkungan klinik, komunitas, sekolah, maupun pusat kesehatan masyarakat (Brunner & Suddarth, 2003). Perawat sebagai pendidik berperan untuk mendidik dan mengajarkan individu, keluarga, kelompok dan masyarakat, serta tenaga kesehatan lain sesuai dengan tanggung jawabnya. Perawat sebagai pendidik berupaya untuk memberikan pendidikan atau penyuluhan kesehatan kepada klien dengan evaluasi yang dapat meningkatkan pembelajaran (Wong, 2009). d. Change agent atau Agen pengubah Perawat sebagai agen pengubah berfungsi membuat suatu perubahan atau inovasi terhadap hal-hal yang dapat mendukung tercapainya kesehatan yang optimal. Perawat mengubah cara pandang dan pola pikir pasien, keluarga,
30
maupun masyarakat untuk mengatasi masalah sehingga hidup yang sehat dapat tercapai (Susanto, 2012). e. Peneliti Perawat sebagai peneliti yaitu perawat melaksanakan tugas untuk menemukan masalah, menerapkan konsep dan teori, mengembangkan penelitian yang telah ada sehingga penelitian
yang
dilakukan
dapat
bermanfaat
untuk
peningkatan mutu asuhan dan pelayanan keperawatan (Susanto, 2012). Perawat sebagai peneliti diharapkan mampu memanfaatkan hasil penelitian untuk memajukan profesi keperawatan (Sudarma, 2008). f. Consultant atau Konsultan Perawat sebagai tempat untuk konsultasi bagi pasien, keluarga dan masyarakat
dalam
mengatasi
masalah
kesehatan yang dialami klien. Peran ini dilakukan oleh perawat sesuai dengan permintaan klien (Kusnanto, 2004). g. Collaborator atau Kolaborasi Peran perawat sebagai kolaborator yaitu perawat bekerja sama dengan anggota tim kesehatan lainnya dalam memberikan pelayanan kepada klien (Susanto, 2012).
31
2.1.4 Faktor –Faktor Yang Mempengaruhi Peran Perawat. Dalam menilai ketrampilan seseorang yang dalam hal ini waktu tanggap perawat, bisa saja dipengaruhi adanya faktor lain keadaan ini tergantung dari motivasi perawat dalam mempraktikkan ketrampilan kerja yang didapat dari pendidikannya. Banyak faktorfaktor yang mempengaruhi prestasi kerja, menurut Mangkunegara (2007) faktor-faktor tersebut antara lain: Faktor kemampuan dan Faktor motivasi. Motivasi merupakan kemauan atau keinginan didalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertindak (Depkes RI, 2002). Widiasih (2008), menyatakan keberhasilan pelayanan gawat darurat dipengaruhi oleh 3 kesiapan, yaitu kesiapan mental artinya petugas harus siap dalam 24 jam dan tidak dapat ditunda, kemudian kesiapan pengetahuan teoritis dan fatofisiologi berbagai organ tubuh yang penting dan keterampilan manual untuk tindakan dalam pertolongan pertama. Yang ketiga kesiapan alat dan obat-obatan darurat yang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam memberikan pertolongan kepada pasien gawat darurat. Nursalam (2001), menjelaskan peran perawat dalam intervensi keperawatan harus berdasarkan pada kewenangan dan tanggung jawab secara profesional meliputi tindakan dependen, independen dan interdependen.
32
2.1.5 Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Waktu Tanggap. Yoon et al (2003) mengemukakan faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi keterlambatan penanganan kasus gawat darurat antara lain karakter pasien, penempatan staf, ketersediaan tandu dan petugas kesehatan, waktu ketibaan pasien, pelaksanaan manajemen, strategi pemeriksaan dan penanganan yang dipilih. Hal ini bisa menjadi pertimbangan dalam menentukan konsep tentang waktu tanggap penanganan kasus di IGD rumah sakit. Hasil penelitian Sabriyati (2012) menyatakan bahwa faktor yang lebih dominan berhubungan dengan ketepatan waktu tanggap IGD
Bedah
yaitu
ketersediaan
petugas
Triage.
Menurut
Sastrohadiwiryo (2002) semakin lama seseorang bekerja semakin banyak kasus yang ditanganinya sehingga semakin meningkat pengalamannya, sebaliknya semakin singkat orang bekerja maka semakin sedikit kasus yang ditanganinya.
33
2.2 KERANGKA TEORI Faktor yang mempengaruhi waktu tanggap: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Konsep kepala:
Karakter pasien Penempatan staf Ketersediaan tandu dan petugas kesehatan Waktu ketibaan pasien Pelaksanaan manajemen Strategi pemeriksaan dan penanganan yang dipilih Lama kerja Petugas Triage
cedera
1. Definisi cedera kepala 2. Klasifikasi 3. Etiologi 4. Manifestasi klinis 5. Patofisiologi 6. Komplikasi 7. Penanganan cedera kepala
Konsep waktu tanggap:
Konsep peran perawat :
1. Ketepatan waktu tanggap 2. Pengelompok aan pasien sesuai Triage
1. Care giver/ Pemberi asuhan keperawatan 2. Client advocate atau Advokator 3. Client educator atau Pendidik 4. Change agent atau
Agen
pengubah Faktor yang mempengaruhi peran perawat : 1. 2. 3. 4. 5.
Kemampuan perawat. Motivasi perawat Kesiapan mental perawat Pengetahuan perawat Kesiapan alat dan obat-obatan darurat
5. Peneliti 6. Consultant atau Konsultan 7. Collaborator atau Kolaborasi
34
2.3 FOKUS PENELITIAN
Kasus cedera kepala
Waktu tanggap
Faktor penghambat
Peran perawat dalam penanganan cedera kepala
Harapan
Faktor pendukung
Keterangan : : Diteliti
Cedera kepala adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis. Pasien yang mengalami cedera kepala akan mengalami pembengkakan otak atau terjadi perdarahan dalam tengkorak, tekanan intrakranial akan meningkat dan tekanan perfusi akan menurun. Saat keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun
35
(bradikardia) dan bahkan frekuensi respirasi berkurang. Tekanan dalam tengkorak terus meningkat hingga titik kritis tertentu dimana cedera kepala memburuk dan semua tanda vital terganggu dan berakhir dengan kematian penderita. Oleh sebab itu pasien dengan cedera kepala memerlukan tindakan keperawatan yang cepat dan tepat. Keterlambatan tindakan keperawatan pasien cedera kepala dapat menyebabkan kecacatan dan kematian. Perawat di IGD dituntut untuk selalu menjalankan perannya di berbagai situasi dan kondisi yang meliputi tindakan penyalamatan pasien secara profesional khusunya penanganan pada pasien cedera kepala. Perawat yang bertugas di IGD adalah perawat yang dituntut untuk melakukan tindakan kegawat daruratan secara cepat, tepat dan tanggap khususnya pada penanganan pasien cedera kepala. Bagi perawat di IGD tuntutan tersebut akan menjadi beban kerja tersendiri dalam menangani pasien yang datang di IGD, dengan jumlah, tingkat kegawatan pasien, situasi dan kondisi yang datang tidak bisa di perkirakan. Pada penelitian ini akan dilakukan penelitian tentang mengidentifikasi peran perawat
dan
mengetahui persepsi perawat mengenai kasus cedera kepala serta tindakan perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat, harapan perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat, faktor – faktor yang mendukung dan menghambat perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di
36
instalasi gawat darurat terhadap ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala.
2.4 KEASLIAN PENELITIAN Tabel 1.3 Keaslian penelitian Nama peneliti
Judul penelitian
Nunuk Haryatun ( 2005 ).
Perbedaan Waktu Tanggap Tindakan Keperawatan Pasien Cedera Kepala Kategori 1 – V Di Instalasi Gawat Darurat Rsud Dr. Moewardi
Vitrise Maatilu ( 2014 ).
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Response Time Perawat Pada Penanganan Pasien Gawat Darurat Di Igd Rsup Prof. Dr . R. D. Kandou Manado
Metode yang di Hasil penelitian gunakan Jenis penelitian 1. Terdapat perbedaan : kuantitatif,non yang signifikan waktu eksperimental tanggap tindakan Metode : keperawatan pada deskriptif pasien observasional cedera kepala kategori I - V. 2. Pasien cedera kepala kategori I memperoleh waktu tindakan keperawatan lebih lama dan pasien cedera kepala kategori V memperoleh waktu keperawatan yang lebih cepat. Jenis penelitian : 1. Response time kuantitatif perawat dalam Metode : survey penanganan kasus analitik gawat darurat di IGD RSUP Prof Dr. R. D. Kandou Manado ratarata lambat yaitu lebih dari 5 menit. 2. Tidak adanya hubungan antara pendidikan perawat dengan response time perawat pada penanganan pasien gawat darurat. 3. Tidak adanya
37
Wa Ode Nur Faktor-Faktor Isnah Sabriyati Yang Berhubungan ( 2012 ). Dengan Ketepatan Waktu Tanggap Penanganan Kasus Pada Response Time I Di Instalasi Gawat Darurat Bedah Dan NonBedah Rsup Dr. Wahidin Sudirohusodo
hubungan antara pengetahuan perawat dengan response time perawat pada penanganan pasien gawat darurat. 4. Tidak adanya hubungan antara lama kerja perawat dengan response time perawat pada penanganan pasien gawat darurat. 5. Tidak adanya hubungan antara pelatihan perawat dengan response time perawat pada penanganan pasien gawat darurat. Jenis penelitian : Waktu tanggap kuantitatif penanganan kasus IGD Metode bedah yang tepat penelitian : sebanyak 67,9% dan cross sectional tidak tepat 32,1%. study Waktu tanggap penanganan kasus IGD Non-Bedah yang tepat sebanyak 82,1% dan tidak tepat 17,9%. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pola penempatan staf dengan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus di IGD Bedah (p = 0,67) dan Non-Bedah (p = 0,062). Terdapat hubungan yang bermakna antara ketersediaan stretcher dengan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus IGD Bedah ((p = 0,006; PR = 9,217) dan Non-Bedah (p = 0,026; PR = 1,995). Terdapat
38
Etty Nurul Gambaran Afidah, (2013) Pelaksanaan Peran
Jenis penelitian : kualitatif Advokat Perawat Metode Di penelitian : Rumah Sakit pendekatan Negeri Di fenomenologis Kabupaten Semarang
hubungan yang bermakna antara ketersediaan petugas triase dengan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus IGD Bedah (p = 0,006; PR = 2,97), namun tidak terdapat hubungan yang bermakna di IGD NonBedah (p = 0,207). Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara waktu tiba pasien dengan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus IGD Bedah (p = 0,407) dan Non- Bedah (p = 1,000). Faktor yang lebih dominan berhubungan dengan ketepatan waktu tanggap IGD Bedah yaitu ketersediaan petugas triase (PR = 3,555) dan ketersediaan stretcher (PR = 3,555). Pada IGD Non-Bedah, faktor yang dominan yaitu ketersediaan stretcher (PR = 1,239). Penelitian ini menghasilkan 3 tema yaitu definisi peran advokasi perawat, pelaksanaan tindakan peran advokasi perawat dan faktor yang mempengaruhi pelaksanaan peran advokasi perawat. Definisi peran advokasi perawat yaitu tindakan perawat untuk memberikan informasi dan bertindak atas nama
39
Virgianti Nur Hubungan Faridah, (2009) Pengetahuan
Perawat Dan Peran Perawat Sebagai Pelaksana Dalam Penanganan Pasien Gawat Darurat Dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler
pasien. Pelaksanaan tindakan peran advokasi meliputi memberi informasi, menjadi mediator dan melindungi pasien. Faktor yang mempengaruhi pelaksanaannya terdiri dari faktor penghambat dan faktor pendukung. Faktor yang menjadi penghambat antara lain: kepemimpinan dokter, lemahnya dukungan organisasi, kurangnya perhatian terhadap advokasi, kurangnya jumlah tenaga perawat, kondisi emosional keluarga, terbatasnya fasilitas kesehatan dan lemahnya kode etik. Sementara itu faktor yang mendukung meliputi: kondisi pasien, pengetahuan tentang kondisi pasien, pendidikan keperawatan yang semakin tinggi, kewajiban perawat dan dukungan instansi rumah sakit. Jenis penelitian : 1. Responden yang Observasional mempunyai peran Metode kurang 0 %, penelitian : kemudian peran yang ”cross cukup sebesar 36,36 sectional”. % dan responden yang mempunyai peran yang baik sebesar 63,64 % yang merupakan kelompok yang terbanyak.
40
2. Pengetahuan perawat tentang penanganan pasien gawat darurat dengan gangguan sistem kardiovaskuler dengan tingkat pengetahuan baik sebesar 63,64 % yang merupakan kelompok terbesar, sedangkan tingkat pengetahuan cukup sebesar 27,27 % dan tingkat pengetahuan kurang sebesar 9,09 %. 3. Dari hasil uji statistik dengan menggunakan analisa Spearman’s rho didapatkan nilai rho = 0,455 dengan taraf signifikasi 0,033 pada derajat kemaknaan 0,05. Bila dibandingkan dengan nilai rho tabel yaitu 0,428 dapat dilihat bahwa rho hitung lebih besar daripada nilai rho tabel maka terdapat hubungan pengetahuan terhadap peran perawat sebagai pelaksana dalam penanganan pasien gawat darurat dengan gangguan sistem kardiovaskuler.
BAB III METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis deskriptif yang diarahkan untuk mengidentifikasi peran perawat dan persepsi perawat mengenai kasus cedera kepala, tindakan perawat, harapan, faktor – faktor
yang mendukung dan menghambat
peran perawat terhadap
ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala. Lokasi penelitian ini di IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta dengan jumlah partisipan 5 perawat yang bekerja di ruang IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi peneliti sebagai instrumen inti dan instrumen penunjang yaitu berupa smartphone yang dilengkapi dengan perekam suara voice recorder, bolpoin, dan kertas untuk field note. Data dikumpulkan melalui indepth interview yang diolah menjadi transkip kemudian dilakukan observasi untuk menyajikan gambaran realistis perilaku atau kejadian, untuk menjawab pertanyaan dan untuk evaluasi. Analisis data pada penelitian ini menggunakan tujuh analisis model Colaizzi dalam memahami serta menginterprestasikan data. Penelitian ini telah melalui pertimbangan etik dan kriteria keabsahan data yang harus dipenuhi dalam penelitian kualitatif.
3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologis
deskriptif
41
yang
diarahkan
untuk
42
mengidentifikasi peran perawat dan mengetahui persepsi, harapan, faktor – faktor yang mendukung dan menghambat peran perawat terhadap ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di IGD RSUD Dr Moewardi Surakarta. Penelitian kualitatif efektif digunakan untuk memperoleh informasi yang spesifik mengenai nilai, opini, perilaku dan konteks sosial menurut keterangan populasi (Saryono, 2010). Pendekatan fenomenologis merupakan pendekatan yang berusaha untuk memahami makna dari berbagai peristiwa dan interaksi manusia didalam situasinya yang khusus. Fenomenologi menggambarkan riwayat hidup seseorang dengan cara menguraikan arti dan makna hidup serta pengalaman suatu peristiwa yang di alaminya (Sutopo, 2006).
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Instalasi Gawat Darurat (IGD) sebagai gerbang utama penanganan kasus gawat darurat di rumah sakit memegang peranan penting dalam upaya penyelamatan hidup klien. RSUD Dr. Moewardi adalah rumah sakit daerah Surakarta yang merupakan rumah sakit dengan tipe kelas A yang jumlah pasiennya diharapkan lebih banyak dari rumah sakit lain di daerah Surakarta dan sumber daya manusia (perawat) dapat mendukung
penelitian
ini
khususnya perawat di ruang IGD yang menangani kasus cedera kepala, oleh karena itu penelitian ini dilakukan di IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Ruangan yang digunakan dalam proses wawancara adalah ruang istirahat, ruang partisipan dan ruangan kepala ruang IGD RSUD Dr. Moewardi
43
Surakarta. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari – Maret 2015 sesuai dengan surat pengajuan penelitian di RSUD Dr. Moewardi Surakarta (Jadwal terlampir).
3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi Pada kasus cedera kepala di Instalasi Gawat Darurat suatu Rumah Sakit, orang yang berperan dalam melakukan pertolongan pertama adalah perawat. Peran perawat sangat dominan dalam melakukan penanganan kasus cedera kepala. Ketepatan waktu tanggap adalah suatu bentuk dari penanganan kasus cedera kepala yang dilakukan oleh perawat dalam menangani kasus gawat darurat, oleh karena itu populasi pada penelitian ini adalah 33 perawat yang bekerja di ruang IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta. 3.3.2 Sampel Pada penelitian peran perawat terhadap ketepatan waktu tanggap penananganan kasus cedera kepala di IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta dibutuhkan tehnik sampling dan kriteria partisipan sesuai dengan kebutuhan peneliti. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling yaitu metode pemilihan partisipan dalam suatu penelitian dengan menentukan terlebih dahulu kriteria yang akan dimasukkan dalam
44
penelitian, dimana partisipan yang diambil dapat memberikan informasi yang berharga bagi penelitian (Sutopo, 2006). Untuk memenuhi kecukupan sample peneliti menggunakan kriteria yang digunakan dalam
penelitian. Jika dalam sample
penelitian sudah tercapai kriteria penelitian, maka akan dilakukan pengambilan data sesuai sample yang memenuhi kriteria peneliti. Data mengenai perawat yang pernah menangani kasus cedera kepala diperoleh dari buku dokumentasi perawat dan rekomendasi kepala ruang kemudian dikonfirmasi langsung ke partsisipan. Jumlah perawat yang pernah menangani kasus cedera kepaala adalah 5 perawat yang telah memenuhi kriteria peneliti, sehingga penelitian ini menggunakan 5 partisipan. Karakteristik kelima partisipan yang bersedia dilakukan wawancara adalah sebagai berikut: partisipan satu (P1) adalah seorang laki – laki usia 43 tahun, pendidikan terakhir D4 emergency dengan pengalaman kerja di IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta selama 23 tahun. Partisipan kedua (P2) seorang laki – laki usia 34 tahun, pendidikan terakhir S1 ners dengan pengalaman kerja di IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta selama 8 tahun. Partisipan yang ketiga (P3) seorang perempuan usia 44 tahun, pendidikan terakhir S1 keperawatan dengan pengalaman kerja di IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta selama 8 tahun. Partisipan keempat (P4) seorang perempuan usia 37 tahun, pendidikan terakhir D3 keperawatan
45
dengan pengalaman kerja di IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta selama 12 tahun. Partisipan kelima (P5) seorang laki – laki usia 43 tahun, pendidikan terakhir D3 keperawatan dengan pengalaman kerja di IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta selama 15 tahun. Jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini telah dianggap memenuhi dan mencapai saturasi data dimana tidak ditemukannya tema baru atau penambahan sample itu dihentikan, jika datanya sudah jenuh dan pengambilan data akan langsung dihentikan oleh peneliti. Sampel yang diambil pada partisipan sesuai kriteria penelitian pada partisipan adalah : 1. Perawat yang bekerja Di IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta. 2. Mampu berkomunikasi dengan baik. 3. Pendidikan minimal Diploma III Keperawatan. 4. Telah bekerja minimal 1 Tahun di IGD. 5. Mempunyai pengalaman menangani pasien cedera kepala. 6. Mempunyai pengalaman atau pernah mengikuti pelatihan kegawat daruratan. 7. Bersedia menjadi partisipan.
46
3.4 Instrumen dan Pengumpulan Data 3.4.1 Instrumen Pada penelitian ini menggunakan dua instrumen penelitian yaitu : 1. Instrumen Inti Penelitian Pada inti penelitian peran perawat terhadap ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala
di IGD di
RSUD Dr. Moewardi Surakarta adalah peneliti itu sendiri. Pada penelitian kualitatif yang menjadi alat atau penelitian adalah peneliti itu sendiri (Sugiyono, 2012). Peneliti sendiri adalah seorang mahasiswa dari program studi S1 keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta yang ingin melakukan penelitian dan ingin mendalami tentang peran perawat dalam menangani kasus kegawat daruratan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta khususnya ketepatan waktu tanggap dan penanganan kasus cedera kepala. 2. Instrumen Penunjang Penelitian Supaya hasil wawancara dapat terekam dengan baik, dan peneliti memiliki bukti telah melakukan wawancara kepada informan atau sumber data, maka dalam penelitian ini dibutuhkan alat penunjang penelitian sebagai berikut : a. Lembar Inform Consent berfungsi sebagai bukti persetujuan informan dalam penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti.
47
b. Lembar alat pengumpul data mengenai nama, usia, alamat, dan lama kerja c. Lembar pertanyaan berfungsi untuk pedoman dalam melakukan wawancara penelitian. d. Voice recorder Smartphone
berfungsi untuk merekam
suara semua percakapan atau pembicaraan. Penggunaan voice recorder dalam wawancara perlu memberi tahu kenapa informan apakah dibolehkan atau tidak. e. Alat tulis berfungsi untuk menulis segala sesuatu yang penting dalam penelitian. f. Lembar catatan lapangan berfungsi untuk catatan peneliti dalam penelitian yang telah dilakukan. g. Lembar observasi berfungsi sebagai alat pengumpul data dalam melakukan observasi. h. Kamera berfungsi untuk memotret kalau peneliti sedang melakukan pembicaraan dengan informan/sumber data. Dengan adanya foto ini, maka dapat meningkatkan keabsahan penelitian akan lebih terjamin, karena peneliti betul – betul melakukan pengumpulan data.Kamera yang digunakan adalah kamera handphone 8 megapixel.
48
3.4.2 Pengumpulan Data 3.4.2.1 Data Data yang dihasilkan dari penelitian ini berupa data verbal atau transkip verbatim yang didapatkan dari hasil wawancara
mendalam
dengan
tehnik
wawancara
semistruktur kepada perawat yang mempunyai pengalaman menangani kasus cedera kepala di IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Hasil yang didapatkan selama proses wawancara kemudian ditransfer ke dalam notebook berupa file MP3 dan didengarkan terus menerus untuk ditulis dalam bentuk transkip wawancara. Hal tersebut dilakukan pada semua data rekaman
partisipan. Data yang sudah
dalam bentuk transkip kemudian dibaca berulang kali untuk diinterprestasikan menjadi sebuah hasil penelitian. 3.4.2.2 Prosedur pengumpulan data 1. Tahap persiapan Pengumpulan data akan di mulai setelah peneliti menyelesaikan ujian proposal dan diperbolehkan melakukan pengambilan data dilapangan. Peneliti mengurus surat ijin pengambilan data yang di keluarkan oleh Program Studi S1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta kepada Direktur RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Pengurusan surat ijin
dan
49
keterangan laik etik ke bagian diklat. Ijin
yang
diberikan oleh Direktur RSUD Dr. Moewardi Surakarta selanjutnya dipergunakan oleh peneliti sebagai ijin masuk dalam pengambilan data kepada perawat dengan berkoordinasi mengenai kriteria inklusi partisipan kepada kepala ruang IGD RSUD Dr. Moewardi surakarta. Partisipan
yang
memenuhi
kriteria
inklusi
kemudian diberikan penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian serta dampak yang mungkin terjadi pada proses pengumpulan data. Peneliti memberitahu kepada partisipan bahwa akan dilakukan perekaman wawancara dan pengambilan gambar serta observasi mengenai peran perawat terhadap ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala, setelah diberikan penjelasan partisipan diminta kesediaannya untuk menanda tangani lembar persetujuan menjadi partisipan. Selanjutnya peneliti dan partisipan membuat kontrak waktu dan tempat untuk proses pengambilan data. 2. Tahap pelaksanaan Pada tahap pelaksanaan peneliti menyiapakan instrumen inti dan penunjang. Instumen ini disiapkan
50
dengan melatih ketrampilan wawancara kepada perawat yang bukan menjadi partisipan, kemudian peneliti melakukan
pengembangan
diri
terhadap
proses
wawancara. Instrumen penunjang yang disiapkan meliputi buku, catatan, bolpoint, pedoman pertanyaan dan kamera untuk mendokumentasikan gambar pada saat wawancara. Alat perekam yang sudah di pastikan dapat digunakan kembali diperiksa dengan baik. Lembar
obseravasi,
buku
catatan
dan
bolpoint
disiapkan dengan baik kemudian peneliti bertemu dengan partisipan. Peneliti datang sesuai dengan waktu dan tempat yang telah disepakati sebelumnya dengan partisipan. Peneliti melakukan wawancara secara mendalam. Peneliti menggunakan pedoman pertanyaan yang berisi garis besar pertanyaan yang diajukan kepada partisipan, pertanyaan wawancara dikembangkan dari jawaban partisipan tetapi tetap tidak keluar dari pedoman yang telah dibuat. Partisipan diberikan kebebasan untuk memberikan informasi selengkapnya dan seleluasa mungkin. Sehingga pertanyaan dan hasil wawancara yang diperoleh bervariasi untuk setiap partisipan.
51
Partisipan 1 waktu wawancara pukul 10.30 – 10.45 wib (15 menit) hari selasa tanggal 14 – 04 – 2015 tempat diruang tindakan non bedah IGD. Partisipan 2 Waktu wawancara pukul 10.55 – 11.10 wib (15 menit) hari selasa tanggal 14 – 04 – 2015 tempat ruang tindakan
non
bedah
IGD.
Partisipan
3
waktu
wawancara pukul 11.20 – 11.40 wib (20 menit) hari selasa tanggal 14 – 04 – 2015 tempat diruang tindakan non bedah IGD. Partisipan 4 waktu wawancara pukul 11.45 – 12.10 wib (25 menit) hari selasa tanggal 14 – 04 – 2015 tempat diruang tindakan non bedah IGD. Partisipan 5 waktu wawancara pukul 16.55 – 17.30 wib (35 menit) hari rabu, tanggal 15 – 04 – 2015 tempat diruang kepala ruang IGD. 3. Tahap terminasi Tahap
terminasi
adalah
tahap
akhir
dari
pengumpulan data yang dilakukan terminasi dengan melakukan validasi terhadap data yang telah ditemukan kepada partisipan. Setelah dilakukan pengambilan data wawancara selanjutnya akan dilakukan observasi guna menyajikan gambaran realistis perilaku atau kejadian, dan untuk memvalidasi hasil wawancara dengan hasil observasi apakah sama dan akan memberikan umpan
52
balik terhadap pengambilan data yang telah dilakukan. Peneliti memperlihatkan hasil transkip wawancara dan interprestasi peneliti kepada partisipan, jika partisipan mengatakan apa yang ditulis peneliti telah sesuai dengan apa yang dimaksud oleh partisipan dan dilakukan terminasi dengan pemberian reward sebagai ucapan terima kasih telah bersedia berpartisipasi dalam penelitian dan menyampaikan bahwa proses penelitian telah selesai.
3.5 Analisa Data Prinsip pokok dari teknik analisis kualitatif ialah mengolah dan menganalisa data-data yang terkumpul menjadi data yang sistematis, teratur dan terstruktur serta memiliki makna. Pada penelitian ini menggunakan model metode fenomenologi deskriptif dengan metode Colaizzi (Cresswell, 2013).Adapun metode analisa data colaizziadalah sebagai berikut : 1. Membuat deskriptif partisipan tentang fenomena dari informan dalam bentuk narasi yang bersumber dari wawancara. 2. Membaca kembali secara keseluruhan deskriptif informasi dari informan untuk memperoleh perasaan yang sama seperti pengalaman informan. Peneliti melakukan 3 – 4 kali membaca transkip untuk merasa hal yang sama seperti informan.
53
3. Mengidentifikasi kata kunci melalui penyaringan pernyataan informan yang signifikan dengan fenomena yang diteliti. Pernyataan – pernyataan yang merupakan pengulangan dan mengandung makna yang sama atau mirip maka pernyataan ini diabaikan. 4. Memformulasikan arti dari kata kunci dengan cara mengelompokkan kata
kunci
yang
sesuai
pernyataan
penelitian,
selanjutnya
mengelompokkan lagi kata kunci yang sejenis. Peneliti sangat berhati – hati agar tidak membuat penyimpangan arti dari pernyataan informan dengan merujuk kembali pada pernyataan informan yang signifikan cara yang perlu dilakukan adalah menelaah kalimat satu dengan yang lain. 5. Mengorganisasikan arti – arti yang telah teridentifikasi dalam beberapa kelompok tema. Setelah tema – tema terorganisir, peneliti memvalidasi kembali kelompok tema tersebut. 6. Mengintergrasikan semua hasil penelitian ke dalam suatu narasi yang menarik dan mendalam sesuai dengan topik penelitian. 7. Mengembalikan semua hasil penelitian pada masing – masing informan lalu diikutsertakan pada deskripsi hasil akhir penelitian.
3.6 Keabsahan Data Dalam pengujian keabsahan data pada penelitian ini dicapai dengan melakukan pengecekan keabsahan temuan untuk menjamin kepercayaan hasil penelitian. Menurut Polit dan Beck (2010) pada penelitian kualitatif,
54
hasil penelitian dipandang memenuhi kriteria ilmiah bila mempunyai tingkat kepercayaan tertentu (trustworthiness) yang dapat dicapai dengan berpegang pada 4 prinsip yaitu : 1. Credibility Pada penelitian ini kredibilitas dicapai dengan melakukan validasi kembali hasil wawancara kepada partisipan. Peneliti memperlihatkan data dan interprestasi peneliti yang telah ditulis dalam bentuk transkip wawancara dan catatan lapangan untuk dilihat dan dibaca partisipan apakah ada diantara ungkapan dan pernyataan yang tidak sesuai dengan maksud partisipan. Partisipan juga diberi kesempatan untuk memberi tambahan informasi untuk lebih menyempurnakan dalam memberikan gambaran yang sebenarnya dirasakan oleh partisipan. Peneliti juga berkonsultasi dengan pembimbing dan penguji terkait dengan pengmpulan data yang diperoleh. Prinsip ini untuk mengetahui apakah kebenaran
hasil
penelitian
kualitatif
dapat
dipercaya
dalam
mengungkapkan kenyataan yang sesungguhnya (kesesuaian antara konsep peneliti dengan konsep partisipan). 2. Pengujian Transferability Peneliti melibatkan pembimbing dalam penulisan dan pelaporan hasil agar mudah dipahami oleh pembaca, selain itu peneliti membuat uraian yang diteliti dan secermat mungkin sehingga menghasilkan deskripsi yang padat dan dapat digunakan pada setting lain dengan konsep dan karakteristik yang sama.
55
3. Pengujian Depenability Peneliti sebagai instrumen kunci dapat membuat kesalahan dalam menginterprestasikan data sehingga timbul ketidak percayaan pada peneliti. Agar penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, peneliti melibatkan seseorang yang berkompeten dibidangnya yaitu selalu melibatkan pembimbing dan penguji selama penelitian, analisa
data
dan
penulisan
hasil
penelitian
untuk
menjaga
dependebilitas hasil penelitian. 4. Pengujian Confirmability Aspek confirmability dipenuhi peneliti dengan melakukan konfirmasi kembali terhadap hasil interprestasi kepada partisipan dan pembimbing serta mengintegrasikannya dengan catatan lapangan dan hasil observasi.
3.7 Etika Penelitian Etika penelitian adalah suatu sistem nilai normal yang harus dipatuhi oleh peneliti saat melakukan aktivitas penelitian yang melibatkan partisipan, meliputi kebebasan dari adanya ancaman, kebebasan dari adanya eksploitasi keuntungan dari penelitian tersebut, dan resiko yang didapatkan. Poliet et al (2004) menyatakan bahwa penelitian kualitatif harus memenuhi lima prinsip etik sebagai berikut :
56
1. Autonomy Pada penelitian ini partisipan diberikan hak untuk ikut serta dalam penelitian maupun tidak tanpa ada paksaan. Prinsip ini dipenuhi dengan memberi penjelasan mengenai maksud dan tujuan dari penelitian serta akibat – akibat yang akan terjadi bila bersedia menjadi partisipan. Partisipan
juga
diperkenankan
untuk
mundur
saat
penelitian
berlangsung jika merasa tidak nyaman dan dirugikan. Partisipan yang bersedia
ikut
serta
dalam
penelitian
kemudian
dipersilahkan
menandatangani lembar informed consent tanpa paksaan dari peneliti. 2. Beneficience Peneliti memastikan bahwa penelitian yang dilakukan bebas dari bahaya fisik, maupun emosional dan eksploitasi serta memberikan mafaat bagi partisispan. Upaya peneliti untuk memenuhi prinsip beneficience
yaitu
dengan
menghindari
pertanyaan
yang
memungkinkan dapat menyebabkan ketidaknyamanan partisipan dan dapat menstimulus timbulnya emosional serta peneliti tidak memaksa partisipan untuk mengungkapkan hal – hal yang tidak ingin diceritakan. 3. Non Maleficence Peneliti meminimalisasi dampak yang merugikan bagi partisipan dengan menjelaskan tentang proses penelitian secara rinci sehingga partisipan memahami dan dapat terhindar dari kerugian yang mungkin ditimbulkan. Pada saat wawancara peneliti memperhatikan partisipan terkait adanya perasaan sedih atau marah. Proses wawancara mendalam
57
menyesuaikan dengan keadaan partisipan karena membutuhkan waktu yang
dapat
menggangu
aktivitas
partisipan.
Peneliti
akan
memperhatikan hal tersebut, jika terjadi keadaan yang tidak memungkinkan maka peneliti akan menghentikan proses wawancara. Apabila partisipan masih bersedia dan mau untuk di wawancara, peneliti dan partisipan akan
membuat kesepakatan melakukan
wawancara ulang sesuai dengan kontrak waktu yang akan ditentukan oleh peneliti dan partisipan. 4. Anonimity Hak anonimity dipenuhi oleh peneliti dengan cara tidak mencantumkan nama, akan tetapi dengan kode yang hanya dimengerti oleh peneliti. kode yang digunakan adalah P1 untuk partisispan 1, P2 untuk partisispan 2, P3 untuk partisispan 3, P4 untuk partisipan 4, P5 untuk partisipan 5 dan seterusnya. Data yang sudah didapat juga disimpan peneliti dalam bentuk file di dalam Compact Disk dengan nama folder yang hanya diketahui peneliti. 5. Justice Peneliti memenuhi prinsip ini dengan menghargai partisipan sesuai dengan norma yang berlaku, memperlakukan semua partisipan secara adil dengan tidak membeda – bedakan dan memberikan penjelasan penelitian yang sama, kebebasan yang sama dalam menentukan waktu dan tempat penelitian perlakuan yang sama selama proses wawancara dan reward yang sama sebagai ucapan terima kasih.
BAB IV HASIL PENELITIAN
Pada bab 4 ini dipaparkan hasil penelitian terkait peran perawat terhadap ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Tema – tema yang didapatkan dari penelitian ini diperoleh berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada 5 perawat IGD yang pernah menangani kasus cedera kepala. Dalam bab ini juga di jelaskan mengenai diskripsi tempat penelitian, karakteristik partisipan dan hasil penelitian. 4.1 Diskripsi tempat penelitian Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi merupakan Rumah Sakit milik Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang berada di Jalan Kolonel Sutarto 132 Surakarta. Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi merupakan Rumah Sakit tipe A yang berada di kota surakarta dan menjadi Rumah Sakit rujukan nasional. Instalasi gawat darurat di RSUD Dr. Moewardi memiliki beberapa
jenis pelayanan meliputi Disaster dan
Bencana, Triage dan Observasi Non Bedah, Resusitasi, Kamar Operasi Mayor, Kamar Operasi Minor dan observasi bedah, Ponek , NICU (Neonatal Intensive Care Unit), Intermediate care, dan one day care. Sumber daya manusia di IGD terdiri dari Dokter Spesialis (on site) 2 yaitu Satuan Medik Fungsional anak dan obgyn, dokter umum sebanyak 13 orang, non medis sebanyak 28 orang dan perawat sebanyak 33 orang.
58
59
Perawat dengan pendidikan S1 keperawatan berjumlah 9 orang, D III keperawatan sebanyak 22 orang dan D IV keperawatan sebanyak 2 orang. Instalasi gawat darurat memiliki jam kerja yang dibagi menjadi 3 shift yaitu pagi, siang dan malam yang terdiri dari 1 shift 7 jam kerja dan 6 perawat yang bertugas.
4.2 Karakteristik partisipan Karakteristik kelima partisipan yang bersedia dilakukan wawancara adalah sebagai berikut: partisipan satu (P1) adalah adalah seorang laki – laki usia 43 tahun, pendidikan terakhir D4 emergency dengan pengalaman kerja di IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta selama 23 tahun. Partisipan kedua (P2) seorang laki – laki usia 34 tahun, pendidikan terakhir S1 ners dengan pengalaman kerja di IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta selama 8 tahun. Partisipan yang ketiga (P3) seorang perempuan usia 44 tahun, pendidikan terakhir S1 keperawatan dengan
pengalaman kerja di IGD RSUD Dr.
Moewardi Surakarta selama 8 tahun. Partisipan keempat (P4) seorang perempuan usia 37 tahun, pendidikan terakhir D3 keperawatan dengan pengalaman kerja di IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta selama 12 tahun. Partisipan kelima (P5) seorang laki – laki usia 43 tahun, pendidikan terakhir D3 keperawatan dengan pengalaman kerja di IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta selama 15 tahun.
60
4.3 Hasil penelitian Fenomena mengenai peran perawat terhadap ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat RSUD Dr.Moewardi Surakarta dieksplorasi melalui hasil wawancara dengan lima partisipan perawat berdasarkan panduan wawancara semistruktur yang telah dibuat sebelumnya. Wawancara dilakukan selama 15 sampai 35 menit dimana waktu dan tempat sesuai yang telah di sepakati antara peneliti dan partisipan sebelumnya. Penelitian ini menghasilkan 8 tema berdasarkan hasil analisis tematik yang dilakukan. Analisis tema disusun mulai dari pencarian kata kunci, pengelompokkan kategori yang kemudian membentuk sub tema, kemudian dari sub tema akan membentuk sebuah tema dari hasil penelitian. Penelitian ini menemukan gambaran kasus cedera kepala, initial assasment, pengelolaan prioritas pasien, perawat sebagai care giver, iklim kerja kondusif, kendala pelayanan, kebutuhan perbaikan manajemen dan kebutuhan peningkatan kualitas SDM. Berikut akan dijelaskan masing – masing tema yang ditemukan. 1. Tujuan khusus 1: Mengetahui persepsi perawat mengenai kasus cedera kepala Persepsi perawat mengenai kasus cedera kepala di dapatkan satu tema yaitu gambaran kasus cedera kepala. Berikut akan dijelaskan mengenai tema yang muncul.
61
Pada kasus cedera kepala hal pertama yang dilakukan perawat dalam
menangani
pasien
cedera
kepala
yang
menentukan
pengelompokkan kasus cedera kepala antara lain cedera kepala ringan, cedera kepala sedang dan cedera kepala berat. Gambaran kasus cedera kepalayang dilihat perawat berdasarkan hasil wawancara di dapatkan empat sub tema yaitu 1) Penyebab cedera kepala, 2) Manifestasi klinis cedera kepala ringan, 3) Manifestasi klinis cedera kepala sedang, 4) Manifestasi klinis cedera kepala berat. 1).
Penyebab
cedera
kepala
merupakan
faktor
yang
mempengaruhi perawat dalam melakukan penanganan kasus cedera kepala. Trauma kecelakaan merupakan penyebab terjadinya cedera kepala. Dua orang partisipan mengatakan bahwa penyebab terjadinya cedera kepala adalah trauma kecelakaan. “Cedera kepala ringan yaa, cedera kepala yang bisa disebabkan oleh kecelakaan ataupun trauma pada kepala..” (P2). “... kasus cedera kepala ringan itu yo, karena trauma, trauma itu bisa langsung, atau tidak langsung jadi ini menggangu..menganggu, keseimbangan, karena trauma kepala ya...” (P5). Ungkapan kedua partisipan diatas menunjukkan bahwa penyebab terjadinya cedera kepala yaitu trauma kecelakaan baik langsung maupun tidak langsung yang nantinya akan berpengaruh pada tingkat kegawatan cedera kepala yang dibagi atas tiga kategori yaitu cedera kepala ringan, cedera kepala sedang dan cedera kepala berat. Penyebab cedera kepala lain yang dapat menyebabkan kasus cedera kepala adalah benturan seperti yang diungkapkan oleh partisipan 4 berikut ini :
62
“... suatuu, kejadian, yang melibatkan, kepala ya, karena benturan atau apa..” (P4).
mungkin,
Benturan adalah salah satu penyebab cedera kepala yang dapat membuat kepala seseorang mengalami gangguan baik mengalami luka di bagian kepala luar maupun bagian kepala dalam yang akan menjadikan seseorang mengalami cedera kepala baik ringan, sedang maupun berat. 2). Pengumpulan data lain yang dilakukan perawat dalam menunjang gambaran kasus cedera kepala selain trauma kecelakaan yaitu manifestasi klinis cedera kepala ringan. Manifestasi klinis cedera kepala ringan yaitu pemeriksaan klinis biasa yang dipakai untuk menentukan cedera kepala ringan yaitu dilihat dari pasien sadar, diungkapkan oleh 3 partisipan berikut ini : “... biasanya pasien itu masih dalam kondisi sadarrr...” (P2). “...yang jelas kalau.. cedera kepala ringan itu... yang pasti itu pasiennya masih sadar...” (P4). “...kalau dilihat dari nilai GCSnya itu ya empat belass lima belass, ya ituuu...” (P2). “... cedera kepala yang ringan itu, ee, GCSnya, istilah kami seperti itu, itu anatara dua belas sampai, lima belas...” (P3). “...untuk GCSnya masih lima belas...” (P4). Sadar merupakan salah satu manifestasi klinis pasien cedera kepala ringan yang menunjukkan nilai GCS antara 14 sama 15 yang dimana pasien masih dalam kondisi sadar. Selain sadar biasanya pasien
63
dengan cedera kepala ringan disertai dengan perasaan mual, berikut pernyataan dari 2 partisipan. “... keluhannya paling sering muall,pusingg...” (P2). “...termasuk nyeri itu pasti, jadi kadang rasa mual, mungkin terjadi, perdarahan juga memungkinkan...” (P5).
bisa,
Mual salah satu manifestasi klinis yang sering terjadi pada kasus cedera kepala yang banyak dikeluhkan oleh pasien cedera kepala ringan. Selain mual biasanya pasien juga mengeluhkan adanya nyeri kepala berikut pernyataan dari 2 partisipan. “... biasanya, tidak di ikuti dengan, katakanlah, pingsan, mual, muntah, paling – paling Cuma nyeri kepala lah, seperti itu...” (P3). “...termasuk nyeri itu pasti, jadi kadang rasa mual, mungkin terjadi, perdarahan juga memungkinkan...” (P5).
bisa,
Nyeri kepala adalah keluhan yang pasti dialami oleh pasien cedera kepala yang ditimbulkan karena terjadinya trauma kepala atau benturan yang mengenai kepala selain nyeri kepala, pusing juga salah satu manifestasi klinis yang ditimbulkan akibat cedera kepala ringan yang diungkapkan oleh 2 pasrtisipan sebagai berikut : “... masih dibisa diajak bicara, cuman dia mengeluh pusing...” (P4). “... keluhannya paling sering muall,pusingg...” (P2). 3). Pernyataan diatas merupakan manifestasi klinis cedera kepala ringan yang diungkapkan oleh perawat, selain cedera kepala ringan adapun manifestasi klinis cedera kepala sedang yaitu dimana pasien
64
sudah mengalami penurunan kesadaran sesuai pernyataan 4 partsipan sebagai berikut : “ Cedera kepala sedang ee, itu sudah mulai mengalamai penurunan kesadaran yaa..” (P2). “...tapi kesadarannya masihhh, ini masih, antara itu delapan sampai, duabelas...” (P3). “...bisa di ikuti dengan mual muntah, atau pingsan, tapi kesadarannya masihhh, ini masih, antara itu delapan sampai, duabelas....” (P3). “...dia pas saat jatuh, kadang ditanya itu dia itu, pas kejadiannya itu dia sempat gak sadar, terus ada mual, kadang ya disertai muntah, terus terkadang ada, benjolan ya dikepala itu, semacam hematoma...” (P4). “...dia itu mengalami, hehhh (batuk kecil), mengalami hilang kesadaran sesaat..” (P5). Penurunan kesadaran pada pasien cedera kepala sedang ditandai dengan penurunan nilai GCS antara 8 sampai 13, berikut pernyataan dari 4 partisipan. “...GCSnya..sembilan sampai tiga belas...” (P2). “...kalau cedera kepala sedang, itu kan GCSnya, antara delapan sampai, dua belas seperti itu...” (P3). “...GCSnya itu.. dia itu somnolent...” (P4). “Ya, sedang ituu, tu, ada, apa itu namanya, istilah hitungan, GCS ya, itu nanti, GCS 7...” (P5). Selain adanya penurunan kesadaran, perawat juga menyebutkan bahwa pasien dengan cedera kepala sedang sering juga mengalami mual muntah sesuai dengan pernyataan 2 partisipan berikut :
65
“...bisa di ikuti dengan mual muntah, atau pingsan, tapi kesadarannya masihhh, ini masih, antara itu delapan sampai, duabelas....” (P3). “...dia pas saat jatuh, kadang ditanya itu dia itu, pas kejadiannya itu dia sempat gak sadar, terus ada mual, kadang ya disertai muntah, terus terkadang ada, benjolan ya dikepala itu, semacam hematoma...” (P4). Pasien dengan cedera kepala sedang biasanya juga disertai adanya hematoma di kepala akibat dari trauma ataupun benturan yang disebabkan secara langsung maupun tidak langsung yang dapat melukai bagian kepala. “...terus terkadang ada, hematoma...” (P4).
benjolan ya dikepala itu,
semacam
Manifestasi lain pasien cedera kepala sedang yaitu gelisah, gelisah yang timbul diakibatkan oleh adanya penurunan kesehatan yang sering dialami oleh pasien cedera kepala sedang. “... teruss, sokk memungkinkan kadang, gelisah juga..” (P5). 4). Sedangkan untuk manifestasi klinis cedera kepala berat perawat menyebutkan bahwa pasien dengan cedera kepala berat itu sudah mengalami penurunan kesadaran dengan nilai kesadaran koma berikut penyataan ke 3 partisipan. “...kemudian kalau yang berat itu sudah terjadi penurunan kesadaran dengan GCS tiga sampai delapan...” (P2). “... Kalau cedera kepala, berat, ya itu, dibawahnya, delapan...” (P3). “...kemudian kalau yang berat itu sudah terjadi penurunan kesadaran dengan GCS tiga sampai delapan...” (P2). “...cedera kepala berat itu yaa, cenderung tidak sadar...” (P5).
66
Akibat yang ditimbulkan dari kesadaran koma yaitu pasien tidak ada respon ditunjukan dengan pasien tidak bisa berkomunikasi baik secara verbal maupun non verbal. “...Kalau berat itu pasiennya, biasanya itu dah, ndak bisa diajak komunikasi, ngak bisa diajak komunikasi, dia di rangsang nyeri pun, kadang cuma mengerang, kadang gak respon...” (P4). Hal yang dirasakan oleh pasien dengan cedera kepala berat adanya nyeri hebat
yang bisa ditimbulkan oleh adanya kerusakan
sistem jaringan otak yang terjadi akibat trauma hebat dikepala. “...atau bahkan dek’e(dia), iniii, apaa, tu, namanya, eee, gelisah, nyeri hebat, ee, dia ndak, tau apa yang dikatakan...” (P5). Semua hasil wawancara di atas adalah mendukung ditemukannya sebuah tema yaitu gambaran kasus cedera kepala.Dari wawancara perawat di atas menjelasakan bagaimana perawat menggambarkan 3 kategori kasus cedera kepala baik yang ringan, sedang, maupun berat. yang nantinya akan berpengaruh dalam penanganan kasus cedera kepala yang yang dilakukan oleh perawat. Skema mengenai tema gambaran kasus cedera kepala dapat dilihat pada gambar 4.1 berikut ini.
67
1. Trauma kecelakaan 2. Benturan
1. 2. 3. 4.
Penyebab cedera kepala
Sadar Mual Nyeri kepala Pusing
Manifestasi klinis cedera kepala ringan
1. Penurunan kesadaran 2. Mual muntah 3. Hematoma 4. Gelisah
Manifestasi klinis cedera kepala sedang
Gambaran kasus cedera kepala
1. Kesadaran koma 2. Tidak ada respon 3. Nyeri hebat
Manifestasi klinis cedera kepala berat
Gambar 4.1 Skema Tema: Gambaran Kasus Cedera Kepala
2. Tujuan khusus 2: Mengetahui tindakan perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Tindakan yang dilakukan perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di dapatkan tiga tema yaitu Initial assasment, Pengelolaan prioritas pasien, Perawat sebagai Care giver.Berikut akan dijelaskan mengenai tema – tema yang muncul. 1) Tema : Initial assasment Tindakan pertama yang dilakukan oleh perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera
68
kepala adalah Initial assasment, Initial assasment yang dilakukan oleh perawat ketika melakukan waktu tanggap penanganan pasien cedera kepala yang didapat dari hal wawancara yaitu Menilai kondisi pasien dan Primary survey. Menilai kondisi pasien merupakan hal pertama yang biasa dilakukan perawat ketika menghadapi pasien dengan cedera kepala, setelah melakukan penilaian kondisi pasien perawat kemudian melakukan Primary survey untuk melihat dan mengatasi kegawatan pasien cedera kepala. Menilai kondisi pasienbiasanya dilakukan untuk mengetahui tingkat kegawatan pasien cedera kepala, perawat melakukan pemeriksaan awal untuk mengetahui kondisi pasien secara langsung dan untuk menentukan penanganan ketika berhadapan dengan pasien. Pernyataan diatas di dukung oleh 3 partisipan sebagai berikut : “...jadi pasien datang kita lihat kondisinya....” (P1). “...yang pertama tau kondisi pasien kemudian...” (P2). “.. kita itu langsung tau dengan keadaan paling ndak itu ...” (P3). Selain Menilai kondisi pasien hal yang perawat lakukan selanjutnya adalah
melakukan
Primary surveyguna mengatasi
masalah dan melakukan penangan kepada pasien cedera kepala yang dari hasil wawancara primary survey didalamnya terdapat atas tiga komponen utama yang biasa perawat lakukan ketika
69
menghadapi pasien cedera kepala diantara yang pertama adalah pemeriksaan airway yang di dukung dengan pernyataan dari 2 partisipan. “..yang penting, airwaynya dulu ya, yang pentingkan..” (P4). “.... kita memposisikan pasien itu, seaman mungkin, ya, termasuk posisi, airwayne supaya lancar, bagaimana, pemberian oksigen..” (P5). Pemeriksaan airway dilakukan awal guna menentukan masalah dan melakukan tindakan penanganan segera kepada pasien cedera kepala setelah masalah airway telah tertangani dengan baik, perawat melakukan pengelolaan breathing guna memberikan suplay oksigen kepada pasien cedera kepala. Pernyataan tersebut di dukung oleh pernyataan 3 partisipan sebagai berikut. “... yang sering untuk CKB terutama oksigenasi.. diberikan oksigen..” (P2). “... untuk cedera kepala langsung paling ndak kita pertama – tama itu memberikan oksigenasi, seperti itu..” (P3). “..... jadi dari pasien datang, itu langsung kita, pasang oksigen monitor itu langsung, infus, laborat..” (P4). Setelah tertangani masalah airway dan breathing pada pasien cedera kepala perawat melakukan tindakan menilai kesadaran pasien/
disability.
Pernyataan
tersebut
di
dukung dengan
pernyataan dari 2 partisipan. “...cek GCS, GCSnya berapa ....” (P1). “.. untuk kesadarannya pasien ya secepatnya...” (P3).
70
Wawancara terhadap tindakan awal yang dilakukan oleh perawat yaitu Initial assasment diantaranya menilai kondisi pasien setelah itu melakuan tindakan primary survey guna mengatasi masalah kegawatan pasien cedera kepala. Skema mengenai tema Initial assasment dapat dilihat pada gambar 4.2 berikut ini. Melakukan pemeriksaan awal 1. Pemeriksaan Airway 2. Pengelolaan Breathing 3. Menilai kesadaran pasien/ Disability
Menilai kondisi pasien Initial assasment Primary survey
Gambar 4.2 Skema Tema: Initial assasment 2) Tema: Pengelolaan prioritas pasien Pengelolan prioritas pasientindakan perawat dalam memilah pasien kedalam kelompok pasien berdasarkan kegawatannnya. Dari hasil wawancara, perawat mengungkapkan pengelolaan prioritas pasien terdapat 2 tindakan keperawatan yang dilakukan ketika menghadapi pasien cedera kepala dalam melakukan ketepatan waktu tanggap yaitu pengelompokkan pasien dan Waktu tanggap penanganan pasien cedera kepala. pengelompokkan pasien adalah tindakan yang dilakukan perawat dalam Penilaian kegawatan pasien yang tujuannya mempermudah perawat dalam memberikan penanganan sesuai
71
tingkat
kegawatan
pasien.
Terdapat
4
partisipan
yang
mengungkapkan pernyataan tersebut. “..Yaaa, ituu untuk Triageee nya kita harus tepatt! tepat dalam arti kita eee nrima pasienn, lihat kondisinyaa..” (P1). “... kalau di IGD ngeeh (ya),masalahnya kalau Triage itukan kami konsepnya Triage kan, untuk pemilihan ngehh (ya)..” (P3). “..misalnya Triage itu langsung, memeriksaa, dan menentukan, kemana, kalau ke kalau itu cedera kepala otak berat itu langsung ke resusitasi...” (P4). “..kita harus tanggap, dia ini di Triage kan ke garis mana, apakah dia, ke hijau atau kuning, atau merah, itu secepat mungkin kita harus, bisa mengambil, sikap!, karena itu akan menentukan..” (P5). Tindakan pengelompokkan pasien ini biasanya dilakukan menggunakan kategori Triage yang mengelompokkan pasien berdasarkan kategori kegawatan pasien serta memprioritaskan penanganan pasien kegawatdaruratan. Selain pengelompokkan pasien, waktu yang dibutuhkan perawat pada saat melakukan penanganan pasien menggunakan waktu tanggap penanganan pasien cedera kepala. Waktu tanggap yang dibutuhkan perawat dalam menangani pasien cedera kepala yaitu waktu tanggap kurang dari 5 menit. Hal ini di dukung oleh pernyataan dari 4 partisipan sebagai berikut : “.. Pasien datang untuk segera kita tanggani, kalau disini dii, buat waktu tanggap kurang dari lima menit yaa...” (P2). “... secepatnya ya bisa dikatakanlah, nol detik, seperti itu yen (kalau) saya langsung (sambil senyum)...” (P3).
72
“..Pasien datang, kalau disini itu, dulu itu dikasih waktu, paling ndak lima belas menit sudah selesai semua, jadi dari pasien datang...” (P4). “Waktu tanggap Triage tu yoo, yoo, apa tuu, namanya, seketika itu juuga, seketika kita melihat ada pasien..” (P5). Waktu tanggap penanganan pasien cedera kepala kurang dari 5 menit menurut perawat adalah waktu tanggap rata – rata yang digunakan dalam melakukan penanganan kasus cedera kepala. Pengelompokkan pasien dan waktu tanggap penanganan pasien cedera kepala dilakukan ketika perawat berhadapan dengan pasien cedera kepala di instalasi gawat darurat. Skema mengenai tema Pengelolaan prioritas pasien dapat dilihat pada gambar 4.3 berikut ini. Penilaian kegawatan pasien
Pengelompokkan pasien
Waktu tanggap kurang dari 5 menit
Waktu tanggap penanganan pasien cedera kepala
Pengelolaan prioritas pasien
Gambar 4.3 Skema Tema: Pengelolan prioritas pasien 3) Tema: Perawat sebagai Care giver Tugas pokok sebagai perawat adalah memberikan asuhan keperawatan atau Perawat sebagai Care giver. Dari hasil wawancara perawat memberikan asuhan keperawatan itu terdapat tiga tindakan perawat yang biasanya dilakukan dalam ketepatan waktu tanggap yaitu Membuat asuhan keperawatan, Intervensi mandiri perawat, Intervensi kolaborasi perawat.
73
Membuat asuhan keperawatanadalah tugas seorang perawat agar semua tindakan perawat dapat terdokumentasi dengan baik. Perawat dapat mendokumentasikan kegiatan keperawatan ketika perawat berhadapan dengan pasien dari tindakan awal yang dilakukan kepada pasien sampai pasien evaluasi akhir kepada pasien. Berikut peryataan dari 2 partisipan. “..kalau disini keperawatan...” (P2).
yang
pertama
memberi
asuhan
“..ya.. kita mencatat, termasuk mencatat, kejadian, terus, jam, terus apa yang kita laksanakan, apa yang kita berikan..” (P5). Setelah terdokumentasi dengan baik perawat melakukan beberapa Intervensi mandiri perawat.
Dari hasil wawancara
perawat tindakan mandiri perawat yaitu menjaga keamanan dan kenyamanan pasien hal ini ditunjukkan dengan pernyataan dua partisipan sebagai berikut : “..kemudian nursing treatment, apa yang bisa kita lakukan untuk perawat paling kita lakukan posisi, mengatur posisi...” (P2). “..yaa, kita mengamankan, pasien, situasi lingkungan, kita berikan tempat, tempat yang tepat, artine tepat, sesuai posisi nyaman , aman, aman, itu yoo, terbebas dari jatuh, ee, dari apa itu namanya, dari privacy..” (P5). “..yaa, kita mengamankan pasien situasi lingkungan, kita berikan tempat , tempat yang tepat, artine tepat, sesuai posisi, nyaman, aman, aman, itu yoo, terbebas dari jatuh, ee, dari apa itu namanya, dari privacy..” (P5). Disamping menjaga keamanan dan kenyamanan pasien perawat juga memberikan intervensi mandiri yaitu dengan perawat pendidik pasien dan keluarga. dari hasil wawancara
Perawat
74
pendidik pasien dan keluarga dengan cara memberikan informasi dan mengajarkan cara pencegahan penyakit. Berkaitan dengan perawat sebagai edukator, perawat biasanya Memberikan edukasi kepada pasien maupun keluarga pasien hal ini di dukung pernyataan dari 2 responden sebagai berikut : “... yang kedua edukasi terutama untuk pasien yang ada di IGD...” (P2). “..pekerjaaan perawat ya seperti, masang infus, ambil darah, teruss memberikan.. edukasi sama keluarganya.. tentang, kondisi disini...” (P4). Selain
memberikan
edukasi
perawat
selalu
Mengkomunikasikan segala sesuatunya yang berkaitan dengan keadaan pasien ataupun situasi dan kondisi pada saat di ruang instalasi gawat darurat ini sesuai dengan pernyataan partisipan ke 5. “..pemberian pelayanan itu benar-benar tertulis, termasuk kayak inform konsent, sama keluargane, teruss apa itu, apapunlah kita konfirmasikan....” (P5). Memberikan edukasi dan mengkomunikasikan keadaan atau kondisi pasien adalah peran perawat sebagai educator selain itu perawat juga melakukan beberapa tindakan untuk menenangkan pasien maupun keluarga atau mencegah kepanikan yang dapat mempengaruhi
pemberian
pelayanan
salah
satunya
yaitu
memberikan Dukungan psikologis pernyataan ini di dukung oleh pernyataan partisipan ke 3 sebagai berikut : “.. apalagi itu kasusnya yang anak kecil, ada yang remaja, ada yang tua, kita support mental untuk menenangkan juga, seperti itu..” (P3).
75
Peran perawat sebagai pendidik dilakukan perawat sebagai upaya penyampaian informasi juga sekaligus memberikan pelatihan pencegahan penyakit yang biasa dilakukan ketika perawat mengkomunikasikan serta memberikan dukungan psikologis baik untuk pasien maupun keluarga guna memperlancar pelayanan kesehatan pada pasien cedera kepala. Selain tindakan mandiri perawat, perawat juga melakukan intervensi kolaborasi perawat yang biasanya kolaborasi dengan dokter berikut pernyataan dari empat partisipan sebagai berikut. “.. untuk GCSnya berapa penanganannya gimana nanti kita kolaborasi dengan dokter yang harus kita kolaborasikan dengan tepat!....” (P1). “.. kalau untuk terapi itu memang ee, kita, ee, menunggu dari dokter nggeh...” (P3). “..terus kita berikan, injeksi yang biasanya yang antibiotik, sama anti nyeri, anti mualid itu dulu nanti setelah, itu semua, dilakukan, terus dokternya baru, memberikan advis, yang lain – lain, pertama kali seperti itu...” (P4). “..harus secepatnya untuk, dikonsulkan kepada, berwenang artinya, kebagian, dokter resus yaa..” (P5). Peran perawat sebagai Care giver
yang
terdiri dari perawat
mendokumentasikan asuhan keperawatan dan melalukan tindakan keperawatan baik secara mandiri maupun berkolaborasi dengan tenaga medis lain dalam melakukan penanganan kasus cedera kepala. Skema mengenai tema Perawat sebagai Care giver dapat dilihat pada gambar 4.4 berikut ini.
76
Mendokumentasikan kegiatan keperawatan v1. Menjaga keamanan dan kenyamanan pasien 2. perawat pendidik pasien dan keluarga Kolaborasi dokter
dengan
Membuat asuhan keperawatan
Intervensi perawat
mandiri
Perawat sebagai Care giver
Intervensi kolaborasi perawat
Gambar 4.4 Skema Tema: Perawat sebagai Care giver 3. Tujuan khusus 3: Mengetahui faktor – faktor yang mendukung perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat
RSUD Dr.
Moewardi Surakarta. Faktor – faktor yang mendukung perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat di dapatkan satu tema yaituiklim kerja kondusif.Berikut akan dijelaskan mengenai tema yang muncul. Peran perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di dukung oleh beberapa faktor yang mendukung agar peran seorang perawat dapat berjalan dengan baik agar dapat memberikan pelayanan yang baik kepada setiap pasien. iklim kerja kondusifyang didapatkan dari hasil wawancara menunjukkan faktor yang sangat mempengaruhi perawat dalam memberikan
77
ketepatan waktu tanggap. iklim kerja yang kondusi itu dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu motivasi internal, kerjasama tim baik, pemanfaatan sarana dan prasarana. Motivasi internal perawat yang sering mempengaruhi kinerja perawat dalam menjalankan perannnya sabagai seorang perawat sangat mempengaruhi karena berkaitan dengan perasaan, situasi dan kondisi yang
dirasakan
oleh
perawat
dari
hasil
wawancara
perawat
mengungkapkan ilmu yang dimiliki, amanah, tujuan menolong hal tersebut yang dirasakan perawat selama ini guna memotivasi diri untuk memberikan pelayanan kepada pasien. Ilmu yang dimiliki perawat selama ini adalah sebagai modal perawat dalam melakukan peran serta memberikan pelayanan kepada pasien hal ini sesuai dengan yang di ungkapkan oleh partisipan 1 sebagai berikut : “... kalau saya, perawat ya, inii, jadi ilmu yang sudah kita dapat kita terapkan ke pelayanan ke pasien itu aja...” (P1). Selain untuk mengaplikasikan ilmu yang telah dimiliki perawat, perawat juga mempunyai tanggung jawab memberikan pelayanan kepada pasien sebagai suatu amanah yang harus dijalankan berikut pernyataan dari partisipan 5. “..yaa sebagai tadi amanah tadi yang paling anu, membuat saya itu, apa, itu, namanya, ee, memotivasi, memotivasi saya bisa memberikan yang terbaik..” (P5). Jika perawat mempunyai tanggung jawab memberikan pelayanan maka hal tersebut sebagai suatu tujuan menolong kepada pasien dan sebagai seorang perawat harus berupaya sebaik mungkin dalam
78
memberikan pelayanan hal ini sesuai dengan pernytaan dari partisipan 1 sebagai berikut : “..kita misinya menolong ya, jadi kalau cedera kepala itu...” (P1). Motivasi internal perawat dalam memberikan atau menjalankan perannya
dalam
melakukan
ketepatan
waktu
tanggap
sangat
berpengaruh pada pemberian pelayanan kepada pasien selain itu dari hal wawancara perawat mengungkapkan kerjasama TIM baik juga dapat mendukung dalam memberikan pelayanan yang baik. Kerjasama TIM baik dipengaruhi oleh dua hal yaitu komunikasi efektif dan kerja tim baik. Komunikasi efektif dapat mendukung perawat dalam melakukan penanganan kasus cedera kepala dimana komunikasi yang baik antar anggota tim, perawat dengan anggota tim sesama perawat maupun perawat dengan anggota tim medis lain akan meningkatkan kerjasama tim yang baik dan akan membantu perawat dalam menjalankan perannya serta
guna memberikan pelayanan
kesehatan yang baik kepada setiap pasien. Hal tersebut di dukung oleh pernyataan dari 3 partisipan sebagai berikut : “... kalau pasien itu katakanlah, masih sadar nggeh (ya) bisa komunikasi jelas, tetap semua tindakan yang kami lakukan, kita komunikasikan terlebih dahulu...” (P3). “.. kita berkomunikasi ya, komunikasi efektif seperti itu juga komunikasi dengan teman sejawat...” (P3). “..morning report itukan kita, tiap hari tu ya, usul, untuk perbaikan tu setiap hari, kita usul sama, kepala ruang itu, dilakukan perbaikan – perbaikan..” (P4).
79
“..musyawarah setiap kali kita kumpul mungkin, morning pagi, coffe morning, itu kita bisa, memberikan suatu, apa itu namanya, suatu laporan, laporan permasalahan..” (P5). Setelah terjalinnya kerjasama tim yang baik karena komunikasi yang efektif terwujud dengan baik, maka akan berdampak pada kerja tim baik dimana terlihat hasil dari kerjasama yang terjalin antar anggota tim dan antar anggota tim medis lain sehingga terciptanya pelayanan kesehatan yang baik. Hal ini di dukung oleh 2 partisipan sebagai berikut : “...itu penanganan pasien kita TIM, kita ngakk sendiri...” (P2). “...pasien itu mau CT-Scan katakanlah, seperti itu, ya kita kerjasamanya, untuk ke manajemen rumah sakit itu..” (P3). “... teman- teman saling membantu, kemudian saling mengingatkan itu ya meningkatkan kerjasama TIM itu aja..” (P2). Selain kerja sama tim baik dari hal wawancara perawat mengungkapkan bahwa pemanfaatan sarana dan prasaranayang baik juga
akan
mendukung
perawat
dalam
melakukan
perannya.
Pemanfaatan sarana dan prasarana tentunya bisa diaplikasikan oleh perawat karena terpenuhinya sarana dan prasarana yang memadai sehingga perawat dapat memanfaatkan hal tersebut ketika berhadapan dengan pasien. Hal ini sesuai pernyataan dari 3 partisipan sebagai berikut : “.. kalau disini, dilihat dari sarana dan prasarana sudah, sudah cukup ya...” (P2). “... ada trolie emergency ya ada, jadi kita tidak punya alasan untuk memperpanjang, kita tanggap terhadap pasien..” (P3).
80
“..Insyaallah kalau alat kan ada semua, disini itu sebener’e, enak mbak, rumah sakit paling enak kalau saya anuu...” (P4). “..yang mendukung itu, alat - alat ada monitor ada, kita tinggal pasang- pasang, dah..” (P4). “ ... kemudian dari pembagian ruangannya sudah baik..” (P2). Pemanfaatan saran dan prasarana yang baik adalah suatu bentuk pemanfaatan yang dilakukan perawat agar semua pasien tertangani dengan baik sehingga terciptannya suatu bentuk pelayanan yang baik kepada setiap pasien. Skema mengenai tema Iklim kerja kondusif dapat dilihat pada gambar 4.5 berikut ini. 1. Ilmu yang dimiliki 2. Amanah 3. Tujuan menolong
Motivasi internal
1. Komunikasi efektif 2. Kerja tim baik
Kerjasama TIM baik
Sarana dan prasarana yang memadai
Pemanfaatan saran dan prasarana
Iklim kerja kondusif
Gambar 4.5 Skema Tema: Iklim kerja kondusif 4. Tujuan khusus 4: Mengetahui faktor – faktor yang menghambat perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat
RSUD Dr.
Moewardi Surakarta. Faktor – faktor yang menghambat perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di instalasi
81
gawat darurat di dapatkan satu tema yaitukendala pelayanan Berikut akan dijelaskan mengenai tema yang muncul. Peran perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di hambat oleh beberapa faktor yang menghambat yaitu kendala pelayanan yang didapatkan dari hasil wawancara menunjukkan faktor yang sangat menghambat perawat dalam memberikan ketepatan waktu tanggap. kendala pelayanan itu dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu birokrasi rumah sakit pendidikan, kedisiplinan SDM, tidak ada penanggung jawab pasien, pasien melebihi kapasitas, keterbatasaan sarana dan prasarana. Perawat mengungkapkan panjangnya birokrasi rumah sakit pendidikan yang dapat menghambat perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala adalah salah satu faktor yang menghambat. Birokrasi panjang menjadi salah satu penghambat perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala. Berikut pernyataan dari 2 partisipan mengenai kendala pelayanan yang berkaitan dengan birokrasi rumah sakit pendidikan. “.. namanya juga rumah sakit pendidikankan itu terbentur pada residencedisini...harus lapor ke senior ke seniornya lagi, baru ke staf...” (P1). “.. Jadi, untuk prosedur-prosedur rumah sakit pendidikan tadi, jadi kita kendalanya atau waktunya mungkin mundur, untuk laporan...” (P1) “..yaa, komunikasi sama prosedur e, untuk, inii, penanganan selanjutnya...” (P1).
82
“..kita kadang kita itu mau bertindak, bingung maksud’e bingung, kalau belum ada, gedhok (keputusan yang sah), kalau belum ada hitam diatas putih, kadang kita ndak berani..” (P4). Pernyataan tersebut di dukung oleh hasil observasi, pada saat pasien tiba di IGD perawat melakukan langsung melihat kondisi pasien setelah itu perawat mencari dokter residence untuk melaporkan keadaan pasien, jadi untuk penanganan ke pasien sedikit terganggu untuk laporan. Birokrasi yang panjang yang mengakibatkan terhambatnya pelayanan dalam memberikan waktu tanggap penanganan yang dirasakan oleh perawat selama ini. selain itu kedisiplinan SDM juga menjadi salah satu hal yang dapat menghambat pelayanan perawat dalam memberikan ketepatan waktu tanggap pelayanan kasus cedera kepala yang mengakibatkan kurang maskimalnya perawat dalam melakukan pelayanan kesehatan kepada pasien. Dalam hal wawancara kedisplinan SDM ini terjadi karena Dokter belum datang sesuai dengan pernyataan satu partisipan sebagai berikut. “Ya.. itu anuu mbk, dokternya juga, bisa, kita udah telfon, kan langsung kita hubungi, langsung kita telpon, kalau bedah kan stanby disini, cuman kadang pas overan, pas, jam- jam operan, itukan kadang’ii, e, belum datang, tapi yo, kadang, kadang belum dateng..” (P4). Kedisplinan SDM yang belum dilakukan oleh perawat maupun tim medis lain tentunya sangat menghambat dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Faktor penghambat itu tidak muncul dari tenaga medis saja tetapi dari pasiennya juga bisa menjadi faktor menghambat, dalam hal wawancara perawat juga mengungkapkan tidak
83
ada penanggung jawab pasien juga penyebab terhambatnya perawat dalam memberikan pelayanan. Ada dua hal yang menghambat perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala yang muncul dari pasien yaitu ketidakhadiran keluarga dan pasien tanpa identitas. Ketidakhadiran keluarga dapat menjadi faktor yang menghambat perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap karena seoarang pasien membutuhkan penanggung jawab yang dapat membantu pasien tersebut mengurus semua admistrasi yang berkaitan dirumah sakit yang menyangkut pasien tersebut, tetapi jika hal ini tidak dilakukan oleh keluarga pasien maka penanganan pasien juga akan ikut terlambat diarenakan prosedur administrasi belum terpenuhi. Hal ini di dukung oleh pernyataan dari 2 partisipan sebagai berikut. “...katakanlah, CT-Scan keluarga belum dateng, aaa, juga jadi itu molor untuk dilakukan tindakannya...” (P3). “..teruss, mungkin dari pihak, keluarga sendiri, keluargane itu juga bisa menghambat..” (P5).
belum ada
“..penolong itu kita suruh, e, untuk melengkapi apa, prosedur, administrasi dinya ndak mau katakanlah...” (P3). Selain ketidak hadiran keluarga yang dapat mengahambat pelayanan, pasien tanpa identitasjuga dapat menghambat perawat dalam melakukan pelayanan hal ini diungkapkan oleh partisipan 4 sebagai berikut. “..teruss, masalah keduanya itu kalau Mr.X, kalau Mr.X ndak ada identitas itu..” (P4).
84
Perawat ingin memberikan pelayanan yang tebaik kepada setiap pasien, perawat selalu berupaya dalam melakukan tugasnya dengan baik, tetapi hal ini tidak bisa dialakukan dengan baik jika pasien melebihi kapasitas. Pada saat pasien banyak perawat terkadang sering telat memberikan penanganan hal ini diungkapkan oleh 3 partisipan sebagai berikut. “.. kemudian kalau pasien, kebetulan banyakk, itu kemungkinan, kita cepat mengatasi juga, sering telat karenaa, kalau dibedah pasti.. pasiennya kadang datangnya bareng...” (P2). “.. kita kadangkan kalau pas banyak – banyak’e pasien, itu mbk, kadang, e, kendalanya kan seperti itu...” (P4). “..sing (yang) menghambat, itu biasane disisni, sokk, kadang, meluapnya pasien..” (P5). Selain
pasien
yang
melebihi
kapasitas
perawat
juga
mengungkapkan keterbatasaan sarana dan prasarana menjadi salah satu faktor penghambat perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap. Keterbatasaan sarana dan prasaranayang diungkapkan oleh perawat terdiri dari 2 hal yaitu keterbatasan SDM dan keterbatasan alat dan tempat. Keterbatasan SDM diungkapkan oleh partisipan 2 yang menjadi salah satu faktor yang menghambat perawat dalam memberikan ketepatan waktu tanggap pelayanan kepada pasien. “..kemungkinan yang pertama keterbatasan SDMnya...” (P2). Keterbatasan SDM tersebut dinilai perawat sangat mempengaruhi mengingat rumah sakit yang menjai tempat perawat bekerja adalah rumah sakit rujukan yang jumlah pasien sangat banyak. Selain
85
keterbatasan SDM, Keterbatasan alat dan tempat yang juga dapat mempengaruhi perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala berikut penyataan dari partisipan 5. “..terus, sokk kadang keterbatasan, alat karena yow, apa itu namanya, pasien banyakk..” (P5). “ .. sepandai - pandai kita merawat, kalau kita tidak punya alat atau tempat sing (yang) untuk, menempatkan pasien yang, di yang dimaksud, ini namanya juga bohong..” (P5). Kendala pelayanan yang perawat ungkapkan menjadikan kurang maksimalnya perawat dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien khusunya pasien dengan cedera kepala hal ini juga didukung oleh hasil observasi pada saat pasien banyak atau pasien melebihi kapasitas, pasien harus rela ditempatkan pada tandu seadannya guna menunggu mendapatkan ruang perawatan. Skema mengenai tema Kendala pelayanan dapat dilihat pada gambar 4.6 berikut ini. Birokrasi panjang
Birokrasi rumah sakit pendidikan
Dokter belum datang
Kedisiplinan SDM
1. Ketidakhadiran keluarga 2. Pasien tanpa identitas
Pasien banyak
1. Keterbatasan SDM 2. Keterbatasan alat dan tempat
Tidak ada penanggung jawab pasien Pasien melebihi kapasitas
Keterbatasan Sarana dan Prasarana
Gambar 4.6 Skema Tema: Kendala pelayanan
Kendala Pelayanan
86
5. Tujuan khusus 5: Mengetahui harapan perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap
penanganan kasus cedera kepala di
instalasi gawat darurat RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Harapan perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat
RS
Dr.Moewardi Surakarta di dapatkan dua tema yaitu kebutuhan perbaikan manajemen dan kebutuhan peningkatan kualitas SDMBerikut akan dijelaskan mengenai tema yang muncul. 1) Tema : Kebutuhan perbaikan manajemen Perawat telah mengungkapkan beberapa hal mengenai peran perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala yang dialami perawat selama ini baik dari peran perawat maupun faktor pendukung dan penghambat dalam mejalankan perannya, tentunya dari itu semua perawat mempunyai harapan, harapan agar perawat dapat menjalankan perannya dengan baik dan dapat memberikan pelayanan kesehatan yang baik kepada pasien. Harapan yang pertama yang diungkapkan oleh perawat adalah harapan akankebutuhan perbaikan manajemen,kebutuhan perbaikan manajemen yanng diharapkan oleh perawat yaitu perbaikan dari segi manajemen pelayanan yang mencakup pelayanaan pasien, birokrasi dan manajemen. Perawat mengungkapkan pelayanan pasien selama ini perlu adanya peningkatan pelayanan karena selama ini pelayanan pasien
87
belum baik masih banyak kekurangan hal ini diungkapkan oleh partisipan satu sebagai berikut : “...untuk pelayanan aja, jadi kita mungkin waktu tanggap darurat ke penerimaan pasien tepat..” (P1). “..untuk manajemen disini, ya, itu aja pelayanan dan penanganan pasien itu lebih ditingkatkan lagi...” (P1). Selain perbaikan dari manajemen palayanan pasien perawat juga berharap dari segi Birokrasi dapat diperbaiki karena sistem birokrasi yang ada selama ini dinilai terlalu panjang oleh perawat berikut pernyataan partisipan 3. “...dari segi birokrasi, nya bisa di inii, diperpendek seperti itu...” (P3). Selanjutnya harapan perawat dalam hal perbaikan manajemen agar manajemen pelayanan kepada pasien dapat ditingkatkan dengan baik sehingga pasien mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik pula. Hal ini diungkapkan oleh partisipan 5 sebagai berikut : “..kalau saya sich, cuma, berharap ya baik, artine manajemen, baik..” (P5). Tema kebutuhan perbaikan manajemenperawat berharap agar pelayanan pasien dapat diperbaiki lagi dan dari segi birokrasi dan manajemen juga dapat ditingkatkan lagi sehingga perawat dapat memberikan pelayanan kesehatan yang baik kepada setiap pasien dan dapat menajalankan perannya dengan optimal. Skema
88
mengenai tema kebutuhan perbaikan manajemen dapat dilihat pada gambar 4.7 berikut ini. Pelayanaan palayanan Birokrasi
Manajemen pelayanan
Kebutuhan perbaikan manajemen
Manajemen Gambar 4.7 Skema Tema: Kebutuhan perbaikan manajemen 2) Tema : Kebutuhan peningkatan kualitas SDM Harapan perawat mengenai kebutuhan peningkatan kualitas SDM terdiri dari harapan akan kompetensi perawat, komunikasi antar TIM, dan etos kerja. Kompetensi perawat yang harus ditingkatkan terus sesuai dengan kemajuan dan perkembanagan ilmu keperawatan baik dari segi pendidikan dan pelatihan serta ketrampilan. Pendidikan dan pelatihan perawat berharap agar selalu diperbaharui sesuai dengan perkembangan ilmu keperawatan baik untuk pendidikan maupun untuk pelatihannya. Berikut pernyataan dari 4 partsisipan. “...jadi yang untuk pendidikan pelatihan harus di update terus...” (P2). “...ya, kan, ilmu itu berkembang , ya, tidak ada salahnya untuk selalu ditambah untuk pelatihannya..” (P3). “..Pelatihan, pelatihan itu juga, soal’e sinikan, berkembang terus, terus, pelatihan-pelatihan..” (P4).
89
“...ya, kan yang namanyan pelayanan pendidikan, kan berkembang ilmu kesehatan kan berkembang, ya, kita, selalu meningkatkan, meningkatkan..” (P5). “..dari segi pendidikan dan pelatihan yaa, Itu memang sangat penting sekali, dan itu tidak bisa lepas ya, antara pelatihan pendidikan, dan pengalaman..” (P5). Selain
dari
segi
pendidikan
dan
pelatihan
perawat
mengungkapkan ingin meningkatkan keterampilan sebagai seorang perawat agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik serta dapat memberikan pelayanan kesehatan kepada semua pasien hal ini sesuai dengan pernyataan 2 partsisipan sebagai berikut : “...kalau mau ada yang mau belajar mungkin bisa ikut belajar, boleh lagi, kalau dari pengetahuan dan keterampilan..” (P2). “...karyawan di IGD katakanlah, belum lama, atau dipindah la itu mungkin, skillnya gak ini, gak pinter – pinter menurut saya seperti itu...” (P3). Harapan perawat dalam meningkatkan keterampilan juga dukung dengan harapan perawat yang lain yaitu harapan meningkatkan komunikasi antar TIM
agar dapat melakukan
penanganan pasien lebih cepat dan tertangani dengan baik. Komunikasiyang diharapkan oleh perawat komunikasi yang terjadi antar anggota tim sesama perawat maupun anggota tim medis lain supaya terbentuknya suatu kerjasama antar anggota tim untuk memberikan
pelayanan
kesehatan
kepada
diungkapkan oleh 2 partisipan sebagai berikut :
pasien
hal
ini
90
“...di IGD ada perawat ,ada dokter, residence , jadi komunikasi antar TIM baik, saya kira pelayanan juga akan baik..” (P2). “Iya komunikasi, itu, tapi kadang yo, piye ya mbk jeneng’e teman, ( ya gimana ya mbk namanya juga teman)..” (P4). “..saya ya semaksimal mungkin tapi saya juga butuh dukungan dari teman, jadi dari partner, itu harus ada kerjasama..” (P4). Harapan meningkatkan menyebutkan
perawat etos
selanjutnya
kerjadalam
pentingnya
yaitu
hal
meningkatkan
perawat
wawancara ethos
dapat perawat
kerja
yang
didapatkan dari dua hal yaitu jujur dan profesional sebagai seorang perawat. Bersikap jujur sangat penting sebagai seorang perawat, jujur dalam bekerja akan meningkatkan kinerja perawat dalam memberikan pelayanan kepada pasien hal ini diungkapkan oleh partisipan 4 sebagi berikut : “...kita tu, seharus’e kerja tu ya apa adanya..” (P4). Profesional juga menjadi suatu harapan dari perawat agar kedepannya semua perawat dapat bekerja secara profesional kepada semua pasien berikut pernyataan partisipan 5. “..... perawat kesehatan ya, bisa profesional, yo, go internasional katakanlah..” (P5). Tema kebutuhan peningkatan kualitas SDMperawat berharap untuk kedepannya bisa ditingkatkan lagi guna menunjang peningkatan kualitas pelayanan rumah sakit kepada setiap pasien yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Skema mengenai tema
91
kebutuhan peningkatan kualitas SDMdapat dilihat pada gambar 4.8 berikut ini. 1. Pendidikan dan pelatihan 2. Ketrampilan
Kompetensi perawat
Komunikasi
Komunikasi antar TIM
1. Jujur 2. Profesional
Etos kerja
Kebutuhan peningkatan kualitas SDM
Gambar 4.8 Skema Tema: Kebutuhan peningkatan kualitas SDM
BAB V PEMBAHASAN
Tema – tema yang ditemukan dalam penelitian ini membentuk sebuah keterkaitan yang dapat menggambarkan peran perawat terhadap ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat RS Dr.Moewardi Surakarta. Tema yang ditemukan selama penelitian ini akan dijelaskan untuk bisa melihat hubungan antar fenomena. Keterkaitan antar tema akan menggambarkan bagaimana peran perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat yang dimulai dari persepsi perawat mengenai kasus cedera kepala, tindakan apa saja yang perawat lakukan dalam ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala, faktor pendukung dan penghambat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera dan harapan perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera. 1. Persepsi perawat mengenai kasus cedera kepala Tema gambaran kasus cedera kepala yang dipersepsikan oleh perawat adalah gambaran kasus cedera kepala yang dilihat dari penyebab cedera kepala, manifestasi klinis cedera kepala ringan, manifestasi klinis cedera kepala sedang dan manifestasi klinis cedera kepala berat. untuk penyebab cedera kepala perawat menyebutkan bahwa penyebab cedera kepala itu akibat dari trauma kecelakaan atau karena benturan baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal tersebut telah sesuai dengan konsep teori penyebab
92
93
cedera kepala Nurarif (2013) bahwa penyebab cedera kepala itu terjadi atas cedera akselerasi terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang bergerak (Misalnya, alat pemukul menghantam kepala atau peluru yang di tembakkan ke kepala), cedera deselerasi terjadi jika kepala yang bergerak membentur obyek diam, seperti pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika ketika kepala membentur kaca depan mobil. Cedera akselerasi – deselerasi sering terjadi dalam kasus kecelakaan kendaraan bermotor dan episode kekerasan fisik, cedera coup – countre coup terjadi jika kepala berbentur yang menyebabkan otak bergerak dalam ruang kranial dan dengan kuat mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta area kepala yang pertama kali terbentur Sebagai contoh pasien dipukul di bagian kepala belakang, cedera rotasional terjadi jika pukulan atau benturan menyebababkan otak berputar dalam rongga tengkorak, yang mengakibatkan perenggangan atau robeknya neuron dalam substansia alba serta robeknya pembuluh darah yang memfiksasi otak dengan bagian dalam rongga tengkorak (Nurarif, 2013). Mansjoer dkk (2000), mekanisme cedera kepala adalah trauma tumpul dengan kecepatan tinggi (tabrakan otomobil), kecepatan rendah (terjatuh, dipukul) dan trauma tembus (luka tembus peluru dan cedera kepala lainnya). Persepsi perawat mengenai gambaran kasus cedera kepala juga dilihat dari manifestasi klinis cedera kepala ringan yaitu pasien cedera kepala ringan dengan manifestasi klinis pasien yang masih sadar nilai GCS 15-14, pasien merasakan mual, nyeri kepala, pusing hal ini juga sesuai konsep teori dari
94
Nurarif (2013) dan Mansjoer dkk (2000) mengenai kasus cedera kepala Skala Koma Glasgow (Glasglow Coma Scale, GCS) 14 – 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran dan tidak, amnesia, tetapi kurang dari 30 menit, tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada contusia cerebral dan hematoma, tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang, pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing, pasien dapat menderita abrasi,laserasi,atau hematoma kulit kepala. Perawat juga mengungkapkan menifestasi klinis pasien dengan cedera kepala sedang yaitu pasien yang sudah mengalami penurunan kesadaran dengan nilai GCS 7 – 13, pasien mengalami mual muntah, adanya hematoma dan pasien nampak gelisah hal ini sesuai dengan konsep kasus cedera kepala sedang dari Nurarif (2013) dan Mansjoer dkk (2000) yaitu pasien dengan cedera kepala sedang GCS 9 – 13, kehilangangan kesadaran, amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam, konkusi, dapat mengalami fraktur tengkorak, muntah, diikuti contusio cerebral, laserasi dan hematoma intra cranial, tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle, mata rabun, hemotimpanum,otorea atau rinorea cairan serebrospinal). Manifestasi klinis pasien dengan cedera kepala berat perawat menyebutkan bahwa pasien cedera kepala berat adalah pasien yang tingkat kesadaran koma dengan GCS 8 – 3, pasien juga tidak ada respon dan pasien mengalami nyeri hebat hal ini sesuai dengan konsep kasus cedera kepala sedang dari Nurarif (2013) dan Mansjoer dkk (2000) yaitu GCS 3 – 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam, juga
95
meliputi contusio cerebral, laserasi, atau hematoma intra cranial,tanda neurologis fokal, cedera kepala penetrasiatau teraba fraktur depresikranium. Pernyataan perawat diatas mengenai kasus cedera kepala yaitu perawat mengambarkan kasus cedera kepala dari penyebab terjadinya cedera kepala dan manifestasi klinis kasus cedera kepala ringan, sedang dan berat yang telah diketahui selama menjalankan praktek klinik di rumah sakit dan pernyataan tersebut juga telah sesuai dengan teori selama ini. 2. Tindakan perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat RSUD Dr. Moewardi Surakarta . 1) Tema : Initial assasment Tindakan yang dilakukan
perawat dalam melakukan ketepatan
waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala yaang pertama dimulai dari initial assasment yaitu perawat melakukan tindakan keperawatan dimulai dari menilai kondisi pasien dari melakukan pemeriksaan awal ketika menghadapi pasien. Pemeriksaan awal yang dilakukan perawat adalah melakukan observasi awal yang menjadi kunci utama untuk menentukan tindakan penanganan pasien. Hal ini telah sesuai dengan konsep teori menurut Stevenson (2004) tujuan observasi adalah untuk memantau kemajuan pasien, sehingga memastikan deteksi cepat dari efek samping atau keterlambatan dalam pemulihan. Neiderhauser dan Arnold (2004) mengidentifikasi pentingnya menilai status resiko kesehatan pasien, dan indikasi untuk intervensi.
96
Perawat dalam melakukan primary survey ketika berhadapan dengan pasien yaitu melakukan pemeriksaan airway, pengelolaan breathing dan menilai kesadaran pasien/ Disability. Hal tersebut telah sesuai dengan teori dari jordan (2000) bahwa pengkajian keperawatan gawat darurat meliputi pengkajian primer dan pengkajian sekunder. Pengkajian primer merupakan pengkajian yang dilakukan untuk memperoleh data dasar tentang kondisi kegawatdaruratan pasien sedangkan pengkajian sekunder merupakan pengkajian yang dilakukan untuk memperoleh data lanjut dari data dasar untuk menemukan abnormalitas secara lebih menyeluruh (Jordan, 2000; Iyer & Camp, 2004; Depkes, 2005). Perawat ketika menghadapi pasien cedera kepala melakukan tindakan primary survey dan melakukan tindakan secondary survey. Menurut Kartikawati (2013) setelah dilakukan primary survey dan masalah yang terkait dengan jalan nafas, pernafasan, sirkulasi, dan status kesadaran telah selesai dilakukan tindakan, maka tahapan selanjutnya adalah secondary survey. Pada secondary survey pemeriksaan lengkap dari head to toe. Komponen secondary survey meliputi huruf F – I yang terdiri dari Full set of vital sign (tanda - tanda vital), five intervensions (5 intervensi), and facilitation of family presence (dan memfasilitasi kehadiran keluarga), Give comfort measure (memberikan kenyamanan), History and head – to – toe examination (riwayat pasien dan pemeriksaan mulai
97
dari kepala sampai kaki), Inspect the posterior surface (periksa permukaan bagian belakang) (Kartikawati, 2013). Tindakan secondary survey yang dilakukan perawat dalam melakukan penanganan kasus cedera kepala yaitu full set of vital sign dalam hal ini perawat melakukan pemeriksaan tekanan darah, nadi, five intervensions untuk 5 intervensi perawat mengungkapakan melakukan monitoring kepada pasien dan pemeriksaan CT- Scan, and facilitation of family presence disini perawat selalu melibatkan keluarga dalam hal yang menyangkut kepentingan pasien. Give comfort measure perawat selalu memberikan posisi yang nyaman dan aman kepada pasien. History and head – to – toe examination untuk history perawat melakukan pengkajian pada pasien dengan menanyakan keluhan jika pasien masih kooperatif. Dan untuk head – to – toe examination pemeriksaan mulai dari kepala sampai kaki, perawat melakukan tindakan head – to – toe examination kepada pasien cedera kepala memeriksa kondisi pasien, luka pasien dari kepala sampai kaki walaupun terkadang perawat tidak melakukan dengan detail tetapi perawat selalu melakukan pemeriksaan head – to – toe examination pada pasien cedera kepala. Inspect the posterior surface yaitu memeriksa permukaan bagian belakang pasien, hal ini perawat tidak melakukan dengan detail perawat hanya melihat kondisi secara keseluruhan yang dialami oleh pasien cedera kepala.
98
2) Tema : Pengelolaan prioritas pasien Melakukan tindakan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala perawat juga melakukan pengelolaan pasien cedera kepala tindakan ini dilakukan oleh perawat karena berkaitan dengan pengelompokkan pasien cedera kepala guna menentukan kegawatan dan penanganan pasien, perawat juga mengungkapakan dalam hal melakukan pengelolaan pasien, perawat menggunakan triage sebagai alat untuk menilai kegawatan pasien cedera kepala dan untuk menentukan penanganannya. Hal ini didukung konsep teori Oman (2008) triage mempunyai tujuan untuk memilih atau menggolongkan semua pasien yang memerlukan pertolongan dan menetapkan prioritas penanganannya triage memiliki fungsi penting di IGD terutama apabila banyak pasien datang pada saat yang bersamaan. Hal ini bertujuan untuk memastikan agar pasien ditangani berdasarkan urutan kegawatannya untuk keperluan intervensi. Triage juga diperlukan untuk penempatan pasien ke area penilaian
dan
penanganan
yang
tepat
serta
membantu
untuk
menggambarkan keragaman kasus di IGD (Gilboy, 2005). Melakukan pengelolaan prioritas pasien perawat juga menyebutkan waktu tanggap penanganan pasien cedera kepala juga mempengaruhi tindakan pengelolaan pasien. Waktu yang dibutuhkan perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala adalah waktu tanggap kurang dari 5 menit. Hal ini sesuai dengan teori dari Standar IGD sesuai Keputusan Menteri Kesehatan tahun 2009 bahwa
99
indikator waktu tanggap di IGD adalah harus ≤ 5 menit. Waktu tanggap yang dibutuhkan perawat dalam melakukan penanganan pasien cedera kepala lebih lama dari standart waktu tanggap. Hasil penelitian Haryatun (2005) dengan menghitung waktu pelayanan pasien gawat darurat, cedera kepala dari pasien masuk pintu IGD RSUD Dr.Moewardi Surakarta
sampai siap keluar dari IGD
didapatkan rata-rata waktu tanggap pelayanan selama 98,33 menit (kategori I resusitasi yaitu pasien memerlukan resusitasi segera, seperti pasien dengan epidural atau sub dural hematoma, cedera kepala berat), 79,08 menit (kategori II pasien emergensi, seperti pasien cedera kepala di sertai tanda-tanda syok, apabila tidak dilakukan pertolongan segera akan menjadi lebih buruk), 78,92 menit (kategori III pasien urgent, seperti cedera kepala disertai luka robek, rasa pusing), 44,67 menit (kategori IV pasien semi urgent, keadaan pasien cedera kepala dengan rasa pusing ringan, luka lecet atau luka superficial ), 33,92 menit (Kategori V “false emergency”, pasien datang bukan indikasi kegawatan menurut medis, cedera kepala tanpa keluhan fisik), terdapat perbedaan yang signifikan waktu tanggap tindakan keperawatan pada pasien cedera kepala kategori I – V dan Pasien cedera kepala kategori I memperoleh waktu tindakan keperawatan lebih lama dan pasien cedera kepala kategori V memperoleh waktu keperawatan yang lebih cepat. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan waktu tanggap tindakan pada pasien cedera kepala kategori I – V.
100
Perawat selama ini melakukan waktu tanggap penanganan rata – rata waktu yang dibutuhkan adalah kurang dari 5 menit waktu tanggap pasien cedera kepala. Wilde (2009) telah membuktikan secara jelas tentang pentingnya waktu tanggap bahkan pada pasien selain penderita penyakit jantung. Mekanisme waktu tanggap, disamping menentukan keluasan rusaknya organ-organ dalam, juga dapat mengurangi beban pembiayaan. Waktu tanggap dari perawat pada penanganan pasien gawat darurat yang memanjang dapat menurunkan usaha penyelamatan pasien (Vitriase, 2014). 3) Tema : Perawat sebagai Care giver Peran perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala adalah peran perawat sebagai care giver,
perawat
sebagai
care
giver
yaitu
terdiri
dari
perawat
mendokumentasikan asuhan keperawatan dan melalukan tindakan keperawatan baik secara mandiri maupun berkolaborasi dengan tenaga medis lain dalam melakukan penanganan kasus cedera kepala. Hal ini sesuai dengan teori Susanto (2012) peran perawat sebagai care giver atau pemberi asuhan keperawatan yaitu Perawat memberikan asuhan keperawatan profesional kepada pasien meliputi pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi hingga evaluasi. Selain itu, perawat melakukan observasi yang kontinu terhadap kondisi pasien, melakukan pendidikan kesehatan, memberikan informasi yang terkait dengan kebutuhan pasien sehingga masalah pasien dapat teratasi.
101
Perawat selalu mendokumentasikan kegiatan keperawatan dari pasien datang jam berapa sampai tindakan apa saja yang telah dilakukan oleh perawat yang nantinya akan di evaluasi oleh perawat. Disamping itu perawat juga melakukan intervensi mandiri perawat, intervensi mandiri perawat yang sering dilakukan oleh perawat ketika menghadapi pasien cedera kepala yaitu menjaga keamanan dan kenyamanan. Menjaga keamanan dan kenyamanan pasien ditujukan agar pasien terbebas dari jatuh dan pasien merasa aman serta nyaman sehingga dapat mendukung proses penanganan pasien hal ini sesuai dengan fungsi independen perawat yaitu merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang lain, dimana perawat dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara mandiri dengan keputusan sendiri dalam melakukan tindakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia (Widyawati, 2012). Perawat sebagai pendidik pasien dan keluarga juga salah satu intervensi mandiri perawat, perawat selalu memberikan edukasi kepada pasien maupun keluarga pasien tentang kondisi pasien dan situasi yang ada di IGD dan perawat juga selalu mengkomunikasikan segala hal yang berkaitan dengan pasien baik dalam pemberian pelayanan atau inform konsent kepada pasien dan keluarga. Kasus cedera kepala ini banyak ditemui dirumah sakit dan bisa dialami oleh siapa saja dari anak – anak, remaja, dan orang dewasa dalam hal ini perawat selalu memberikan dukungan psikologis kepada pasien cedera kepala, dukungan psikologis dalam hal ini diberikan oleh perawat melalui support mental hal ini
102
sesuai dengan konsep teori peran dan fungsi perawat gawat darurat Musliha (2010) diantaranya memberikan dukungan emosional terhadap pasien dan keluarganya. Selain intervensi mandiri perawat, perawat juga melakukan in tervensi kolaborasi. Intervensi kolaborasi yang dilakukan oleh perawat yaitu intervensi kolaborasi dengan dokter maupun tenaga medis lain guna menunjang penanganan pasien cedera kepala. Perawat dalam hal ini selalu berkolaborasi dengan dokter mengenai obat dan penanganan lanjutan yang akan diberikan kepada pasien agar pasien tertangani dengan cepat dan tepat. Hal ini sesuai dengan fungsi perawat interdependen adalah fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling ketergantungan diantara tim satu dengan yang lainnya. Fungsi ini dapat terjadi apabilabentuk pelayanan membutuhkan kerjasama tim dalam pemberian pelayanan. Keadaan ini tidak dapat diatasi dengan tim perawat saja melainkan juga dari dokter ataupun lainnya (Widyawati, 2012). 3. Faktor – faktor yang mendukung perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap
penanganan kasus cedera kepala di
instalasi gawat darurat RSUD Dr. Moewardi Surakarta . Faktor yang mendukung perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala yaitu iklim kerja kondusif yang di dukung oleh motivasi internal, kerjasama tim baik dan pemanfaatan sarana dan prasarana. Reichers dan Scheinder (1990, dalam
103
Aluguro, 2004) menyatakan iklim kerja diartikan sebagai persepsi tentang kebijakan, praktek-praktek dan prosedur-prosedur organisasional yang dirasa dan diterima oleh individu-individu dalam organisasi, ataupun persepsi individu terhadap tempatnya bekerja. Pernyataan serupa dikemukakan oleh Keith dan Davis (2001, dalam Pramono, 2004) yang menyatakan iklim kerja menyangkut lingkungan yang ada atau yang dihadapi
individu
yang
berada
dalam
suatu
organiasi
yang
mempengaruhi seseorang yang melakukan tugas atau suatu pekerjaan. Individu dalam suatu organisasi menganggap iklim kerja merupakan sebuah atribut, dimana atribut ini digunakan dalam perwujudan bagi keberadaan mereka di dalam organisasi. Motivasi internal perawat adalah salah satu faktor yang mendukung
perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap
penanganan karena berkaitan dengan ilmu yang dimiliki perawat, amanah dan tujuan menolong pasien hal ini sesuai dengan teori faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi kerja, menurut Mangkunegara (2007) faktorfaktor tersebut antara lain: Faktor kemampuan dan Faktor motivasi. Motivasi merupakan kemauan atau keinginan didalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertindak (Depkes RI, 2002). Dan sebagai perawat IGD juga harus siap dalam kondisi apapun untuk melakukan pelayanan gawat darurat kepada setiap pasien sesuai dengan teori Widiasih (2008) dalam memberikan bantuan pelayanan gawat darurat petugas harus mempunyai 3 unsur kesiapan, antara lain adalah kesiapan
104
pengetahuan dan keterampilan karena erat kaitannya dengan upaya penyelamatan langsung terhadap pasien. Perawat dalam menciptakan iklim kerja yang kondusif juga membutuhkan kerjasama tim baik yang diungkapkan oleh perawat bahwa kerjasama tim baik itu didukung oleh komunikasi yang efektif dan kerja tim baik hal ini didukung oleh konsep teori Amriany dkk (2004). Karyawan akan merasa bahwa iklim organisasi menyenangkan apabila suatu pekerjaan benar-benar dihargai, karyawan merasa diperlakukan secara pantas, memperoleh pekerjaan yang menantang dan memuaskan secara intrinsik, serta karyawan memperoleh kesempatan untuk maju. Menurut Hutahaean (2005) iklim organisasi yang positif akan memunculkan perilaku-perilaku inovatif yang muncul dari pemikiranpemikiran baru yang tidak terkekang dan mendapatkan dukungan dari perusahaan, dan para karyawan mempunyai persepsi yang positif terhadap keberfungsian organisasi. Hasil penelitian Rahmawatie, dkk (2007) menunjukkan hubungan yang signifikan antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja perawat pelaksana. 4. Faktor – faktor
yang menghambat perawat dalam melakukan
ketepatan waktu tanggap
penanganan kasus cedera kepala di
instalasi gawat darurat RSUD Dr. Moewardi Surakarta . Faktor yang menghambat perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat yaitu kendala pelayanan, kendala pelayanan terdiri dari birokrasi rumah
105
sakit pendidikan, kedisplinan SDM, tidak ada penanggung jawab pasien, pasien melebihi kapasitas, keterbatasan sarana dan prasarana. Untuk faktor penghambat birokrasi rumah sakit pendidikan ini perawat mengungkapkan panjangnya birokrasi rumah sakit pendidikan dalam hal pelaporan kepada dokter residen yang dinilai perawat mengakibatkannya waktu penangan pasien mundur, hal ini sesuai dengan teori dari Green dkk (2006) yang mengemukakan bahwa bahkan pada perubahan yang sangat kecil dan sederhana dalam penempatan staf sangat berdampak pada keterlambatan penanganan di IGD. Hal ini dapat terjadi karena pada IGD Bedah, terdapat tambahan staf residen bedah umum dan pada IGD Non-Bedah, penanganan awal sepenuhnya dilakukan oleh dokter dan perawat triase. Perawat juga mengungkapkan bahwa selama ini memberikan pelayanan yang baik kepada setiap pasien, perawat selalu berupaya dalam melakukan tugasnya dengan baik, tetapi hal ini tidak bisa dialakukan dengan baik jika Pasien melebihi kapasitas hal ini telah sesuai dengan teori American College of Emergency Physician (2008) menuliskan
bahwa
pada
IGD
yang
mengalami
permasalahan
berlimpahnya jumlah pasien yang ingin mendapatkan pelayanan, menempatkan seorang dokter di wilayah triase dapat mempercepat proses pemulangan pasien atau discharge untuk pasien minor dan membantu memulai penanganan bagi pasien yang kondisinya lebih sakit. Selain itu tidak ada penanggung jawab pasien juga dapat menyebabkan
106
terhambatnya proses penanganan pasien karena segala sesuatu yang berkaitan dengan administrasi yang menyangkut tentang tindakan pasien itu juga harus ada penangung jawab baik pasien itu sendiri maupun keluarga dekat atau kerabat. Perawat juga mengungkapkan pasien yang terkadang datang tanpa identitas itu juga sangat menghambat perawat dalam melakukan penanganan karena ini berkaitan dengan dokumentasi keperawatan dan perkembanagan pasien hal ini juga akan berpengaruh pada penanganan pasien. Kedisiplinan SDM juga salah satu faktor yang menghambat perawat dalam melakukan tugas dan perannya mengingat perawat memberikan jasa pelayanan kesehatan yang akan berpengaruh pada kelangsungan hidup pasien. Menurut (Nursalam, 2011), mengatakan disiplin adalah setiap perseorangan dan juga kelompok yang menjamin adanya kepatuhan terhadap perintah dan berinisiatif untuk melakukan suatu tindakan yang diperlukan seandainya tidak ada perintah. Jika dispilin tidak diterapkan dalam kerja berarti tidak adanya kepatuhan terhadap perintah dan tidak adanya inisiatif melakukan suatu tindakan dalam melakukan pekerjaan khusunya para tenagan medis yang bekerja untuk pasien yang membutuhkan pelayanan kesehatan yang menyangkut kesehatan setiap pasien. Faktor penghambat karena kurangnya sarana dan prasarana yang diungkapkan oleh perawat yang mengakibatkan telatnya pemberian pelayanan kepada pasien ini juga sesuai dengan teori Canadian of
107
Association Emergency Physician (2012) menuliskan bahwa kejadian kurangnya stretcher untuk penanganan kasus yang akut berdampak serius terhadap kedatangan pasien baru yang mungkin saja dalam kondisi yang sangat kritis. Notoatmodjo (2003) dimana sarana dan prasarana yakni suatu alat penunjang yang mendukung pelayanan kesehatan. Dimana hal tersebut sesuai dengan teori Muninjaya (2004) dukungan peralatan untuk staf pegawai rumah sakit bertujuan untuk meningkatkan kinerja mereka. 5. Harapan perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat RSUD Dr. Moewardi Surakarta . 1) Tema : Kebutuhan perbaikan manajemen Harapan perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat
RS
Dr.Moewardi Surakarta yaitu kebutuhan perbaikan manajemen. Dalam hal ini perawat mengungkapkan kebutuhan perbaikan manajemen yang diharapkan oleh perawat yaitu perbaikan dari segi manajemen pelayanan yang mencakup pelayanan pasien, birokrasi dan manajemen. Menurut Andrew F. Sikula (dalam buku Hasibuan, 2008). manajemen pada umumnya dikaitakan dengan aktivitas – aktivitas perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengendalian (controlling), penempatan (staffing), pengarahan (leading), pemotivasian (motivating), komunikasi (communicating) dan pengambilan keputusan yang dilakukan oleh setiap organisasi
108
dengan tujuan untuk mengkoordinasikan berbagai sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan sehingga akan dihasilkan suatu produk atau jasa secara efisien. Kebutuhan perbaikan manajemen akan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kepada pasien rumah sakit. Mutu pelayanan kesehatan adalah derajat dipenuhinya kebutuhan masyarakat atau perorangan terhadap asuhan kesehatan yang sesuai dengan standart profesi yang baik dengan pemanfaatan sumber daya secara wajar, efisien, efektif dalam keterbatasan secara aman dan memuaskan pelanggan sesuai dengan norma dan etika yang baik (Bustami, 2011). Meningkatkan mutu pelayanan berarti juga akan berdampak pada kepuasan pelayanan kesehatan yang dirasakan oleh pasien yang datang ke rumah sakit menurut Ningsih dkk (2013) kepuasan pasien dapat dipengaruhi oleh mutu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit sebagai provider, dimana mutu pelayanan kesehatan bagi pasien berarti empati, respek dan tanggap akan kebutuhannya, dalam hal ini kebutuhan pelayanan yang diberikan oleh petugas kesehatan. Sedangkan mutu pelayanan kesehatan bagi petugas berarti bebas melakukan segala sesuatu secara profesional. Untuk meningkatkan derajat kesehatan pasien dan masyarakat sesuai dengan ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang memadai serta terlindungi oleh aturan perundang – undangan yang berlaku.
109
2) Tema : Kebutuhan peningkatan kualitas SDM Harapan perawat mengenai kebutuhan peningkatan kualitas SDM terdiri dari harapan akan kompetensi perawat, kerjasama antar TIM, dan ethos kerja. Kompetensi perawat yang harus ditingkatkan terus sesuai dengan kemajuan dan perkembanagan ilmu keperawatan baik dari segi pendidikan dan pelatihan serta ketrampilan. Dalam hal Pendidikan dan pelatihan perawat berharap agar selalu diperbaharui sesuai dengan perkembangan ilmu keperawatan baik untuk pendidikan maupun untuk pelatihannya. Perawat ingin selalu meningkatkan pengetahuannya agar dapat memberikan pelayanan yang baik kepada pasien sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki perawat. Hal ini sesuai dengan teori Irmayanti et all (2007) bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang yaitu pendidikan, media, keterpaparan informasi, pengalaman, dan juga lingkungan. Pelatihan merupakan metode yang terorganisir untuk memastikan bahwa individu memiliki pengetahuan dan keterampilan tertentu dalam mengerjakan kewajiban dan tanggung jawab pekerjaan yang lebih baik (Marquis & Huston, 2006). Kerjasama antar tim juga dapat meningkatkan kualitas SDM, karena komunikasi dapat meningtkatkan kerjasama tim yang dapat mempermudah perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala Menurut Baker et all (2005) kerja
110
tim sangat dibutuhkan diantara tim medis untuk meningkatkan keselamatan pasien melalui pengurangan kesalahan-kesalahan akibat adanya kerjasama tim antara petugas medis. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan Sarwono (Darmanelly, 2000) bahwa kerjasama tim dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kesesuaian, mempercayai anggota tim, kesediaan untuk mengalah, kemampuan menyampaikan kritik, kesediaan memperbaiki diri, solidaritas kelompok, tanggung jawab, dan pemantaun secara berkala. Etos kerja perawat juga dapat meningkatkan kualitas SDM dalam hal ini perawat menungkapkan ingin jujur dan profesional dalam bekerja hal ini sudah sesuai dengan konsep teori Suatu pandangan dan sikap terhadap kerja dikenal dengan istilah etos kerja (Anoraga, 2001). Tasmara (2002) mengatakan bahwa etos kerja adalah suatu totalitas kepribadian dari individu serta cara individu mengekspresikan, memandang, meyakini dan memberikan makna terhadap sesuatu yang mendorong individu untuk bertindak dan meraih hasil yang optimal (high performance). Dalam hal ini perawat mengatakan bahwa ingin bekerja jujur dalam setiap menjalankan perannya ketika berhadapan dengan pasien dan bekerja, baik dalam melakukan hal yang menyangkut pelayanan pasien yang datang di ruang instalasi gawat darurat dan perawat juga berharap perawat juga dapat bersikap profesional dalam menjalankan
111
tugasnya sebagai seorang perawat yang nantinya akan menciptakan suatu bentuk pelayanan kesehatan yang baik.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai kesimpulan dari penelitian yang telah didapat mengenai tema-tema yang telah dianalisa. Kesimpulan akan menjelaskan dan menjawab dari tujuan – tujuan khusus dan masalah – masalah yang sudah dirumuskan. Selain itu, pada bab ini akan dijelaskan mengenai saran yang dapat diberikan untuk praktisi dan penelitian selanjutnya. 6.1 Kesimpulan Peran perawat terhadap ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat menghasilkan 8 tema dari 5 tujuan khusus sebagai berikut: 6. Gambaran kasus cedera kepala yang dipersepsikan oleh perawat yaitu gambaran kasus cedera kepala yang dilihat dari penyebab cedera kepala, manifestasi klinis cedera kepala ringan, manifestasi klinis cedera kepala sedang dan manifestasi klinis cedera kepala berat. 7. Tindakan keperawatan dalam melakukan ketepatan waktu tanggap ada tiga yaitu initial assasment, pengelolaan prioritas pasien dan perawat sebagai care giver. Initial assasment adalah tindakan perawat yang terdiri dari dua komponen yaitu menilai kondisi pasien dan melakukan primary survey, pengelolaan prioritas pasien yang terdiri dari pengelompokkan pasien dan waktu tanggap penanganan pasien cedera kepala, perawat sebagai care giver yang diaplikasikan dengan membuat
112
113
asuhan keperawatan, intervensi mandiri perawat dan intervensi kolaborasi perawat 8. Faktor yang mendukung perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap adalah iklim kerja kondusif. Iklim kerja kondusif faktor yang mendukung perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat yang dipengaruhi 3 komponen yaitu motivasi internal, kerjasama tim baik, pemanfaatan sarana dan prasarana. 9. Faktor yang menghambat perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap adalah kendala pelayanan. Kendala pelayanan faktor
yang
menghambat perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat dipengaruhi oleh 5 komponen yaitu birokrasi rumah sakit pendidikan, kedisiplinan SDM, tidak ada penanggung jawab pasien, pasien melebihi kapasitas, keterbatasan sarana dan prasarana. 10. Harapan
perawat
dalam
melakukan
ketepatan
waktu
tanggap
penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat adalah kebutuhan perbaikan manajemen yaitu manajemen pelayanan, dan kebutuhan peningkatan kualitas SDM yaitu kompetensi perawat, komunikasi antar tim, dan ethos kerja.
114
6.2 Saran 1. Bagi Rumah Sakit a. Memberikan pendidikan dan pelatihan yang spesifik mengenai manajemen emergency cedera kepala. b. Melengkapi sarana prasarana ruangan untuk dapat membantu dalam upaya penanganan pasien. c. Menggunakan hasil penelitian ini sebagai masukkan dalam mengembangkan kualitas pelayanan kepada pasien. d. Memberikan reward kepada perawat IGD atas usaha yang maksimal dalam memberikan pelayanan kesehatan sebagai upaya meningkatkan motivasi kerja perawat IGD. 2. Bagi Institusi Pendidikan Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan, sebagai bahan bacaan dan referensi guna meningkatkan mutu pendidikan mengenai peran perawat terhadap ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat. 3. Bagi Peneliti lain Pada penelitian ini didapatkan hasil mengenai peran perawat terhadap ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat, untuk penelitian selanjutnya dibutuhkan pengembangan penanganan
secara
luas
mengenaiketepatan
waktu
tanggap
kasus cedera kepala terkait dengan time waiting for
physician initial assessment (waktu tunggu penilaian awal)dan length of
115
stay (waktu tinggal pasien di IGD), yang dilakukan di tempat yang berbeda serta perbedaan partisipan dan fenomena yang terjadi. 4. Bagi Peneliti Pada penelitian ini dapat
menambah pengetahuan dan
memperdalam ilmu peneliti tentang penelitian kualitatif, serta pengalaman dalaam melaksanaan penelitian peran perawat terhadap ketepatan waktu tanggap penanganan
kasus kegawat daruratan di
instalasi gawat darurat khususnya kasus cedera kepala.
Lampiran 17
DAFTAR PUSTAKA Advanced Trauma Life Support For Doctors. 7th edition. 2004 Afidah, 2013. Gambaran Pelaksanaan Peran Advokat Perawat Di Rumah Sakit Negeri Di Kabupaten Semarang. Diakses 26 november 2014 Afiyanti yati dan rachmawati imami. 2014. Netodologi penelitian kualitatif dalam riset keperawatan. PT.raja grafindo. Jakarta Ali, Zaidin H. 2002. Dasar-Dasar Keperawatan Profesional. Jakarta: EGC. Aluguro, Kukuh Sudarmanto. 2002. Analisis Pengaruh Iklim Kerja Terhadap Kepuasan Kerja Pegawai di Sekretariat Daerah Kota Semarang. Program Studi Magister Manajemen Universitas Diponegoro Semarang. American College of Emergency Physician. (2008). Emergency Department Crowding: High-Impact Solutions. (On Line), (http://ebookbrowse.com/emergency-department-crowdinghigh-impactsolutions-acep-task-force-on-boarding-april-2008-pdf-d319291546, Amriany dkk. (2004). Iklim Organisasi Yang Kondusif Meningkatka Kedisiplinan Kerja. Jurnal Indonesia Psikologi Anima. Hal. 179-193 Anoraga, Pandji. 2001. Psikologi Kerja. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Australian College of Emergency Medicine. 2000. The Australian Triage Scale. Carlton Vic.: Publisher. Baker, D.P., et al. 2005. Medical teamwork and patient safety:the evidence-based relation. Publication No.050053. (Rockville,MD:Agency for healthcare research and quality. http://ahrg.gov/qual/medteam, Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol.1. Jakarta: EGC. Bustami, 2011. Penjamin Mutu Pelayanan Kesehatan & Askeptabilitasnya : Penerbit Erlanggan, Jakarta. Canadian Association emergency Physician.(2012).overcrowding. (On Line), (http://www.caep.ca/advocacy/overcrowding). Critchley G, Memon A. Epidemiology of Head Injury in head injury: a multidisciplinary approach, ed. Peter C. Whitfield, Elfyn O. Thomas, Fiona Summers, Maggie Whyte and Peter J. Hutchinson. Cambridge University Press. 2009. P 1-9.
Lampiran 17
Cresswell, J. W. (2013). Qualitative researche. 3th ed. Thousand Oaks: Sage Publications. Darmanelly. 2000. Analisis terhadap kerjasama tim dalam rangka meningkatkan mutu layanan puskesmas di wilayah Kota Pontianak tahun 2000. Skripsi. Jakarta: Universitas Indonesia. Departemen Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesda s%202013.pdf, Diakses tanggal 10 Desember 2014 Departemen kesehatan RI, 2002 Standar Tenaga Keperawatan Di Rumah Sakit, Direktorat Pelayanan Keperawatan Direktoral Jenderal Pelayanan Medik. Diakses tanggal 24 november 2014. Departemen kesehatan (2005). Pedoman Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat Di Rumah Sakit. Direktoral Keperawatan Dan Pelayanan Medik, Direktoral Jenderal Bina Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Etty Nurul Afidah, (2013).Gambaran Pelaksanaan Peran Advokat Perawat Di Rumah Sakit Negeri Di Kabupaten Semarang. Diakses pada tanggal 26 November 2014. Faridah, (2009). Hubungan Pengetahuan Perawat Dan Peran Perawat Sebagai Pelaksana Dalam Penanganan Pasien Gawat Darurat Dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler. Diakses pada tanggal 27 November 2014 Fitzgerald, Gerald and Jelinek, George and Scott, Deborah A. and Gerdtz, Marie F. (2009) Emergency department triage revisited.Emergency Medicine Journal. Diakses pada tanggal 10 desember 2014. Green L.V., Soares J., Giglio J.F., Green R.A.,.(2006). Using Queueing Theory to Increase the Effectiveness of Emergency Department Provider Staffing, (On Line), (http://www.hbs.edu/units/tom/seminars/2007/docs/lgreen3.pdf, diakses tanggal 20 Juli 2012) Gilboy, N. (2005). Australasian triage scale.Australia: Emergency Department. Haryatun. 2005.Perbedaan Waktu Tanggap Tindakan Keperawatan Pasien Cedera Kepala Kategori 1 – V Di Instalasi Gawat Darurat Rsud Dr. Moewardi. Diakses pada tanggal 24 November 2014.
Lampiran 17
Hutahaean, E. S. (2005). Kontribusi Pribadi Kreatif Dan Iklim Organisasi Terhadap Perilaku Inovatif. Jurnal PESAT. Hal. 159-167. Hudak and Gallo, 2012. Keperawatan kritis volume 1 & 2 edisi 8.EGC,jakarta. Hasibuan, S. P, Malayu. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : CV Haji Masagung.
Irawan H, Setiawan F, Dewi, Dewanto G. Perbandingan Glasgow Coma Scale dan Revised Trauma Score dalam Memprediksi Disabilitas Pasien Trauma Kepala di Rumah Sakit Atma Jaya. Majalah Kedokteran Indonesia. 2010. Available from http://indonesia.digitaljournals.org/ index.php/idnmed/article/download/.../745. Diakses tanggal 24 November 2014. Irmayanti et al, 2007. MPKT Modul 1. Lembaga Penerbitan FEUI : Jakarta. Iyer, P. W. dan Camp, N. H. (2004). Dokumentasi Keperawatan: Suatu Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta: EGC Japardi I. Penatalaksanaan Cedera Kepala Secara Operatif. 2005. Available from http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi61.pdf. Diakses tanggal 25 November 2014. Jordan. K,S (2000). Emergency Nursing Core Curriculum. Fiftth Edition. Saunders Company. USA. P 356 – 358. Kartikawati, 2013. Buku Ajar Dasar – Dasar Keperawatan Gawat Darurat. Salemba Medika. Jakarta Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia.(2009). Standar Instalasi Gawat Darurat (IGD)Rumah Sakit. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Diakses tanggal 26 November 2014 Krisanty, P. (2009). Asuhan keperawatan.Jakarta: Trans Info Media. Kusnanto. 2004. Pengantar Profesi dan Praktik Keperawatan Profesional.Jakarta: EGC. Oman, Kathleen S. (2008). Panduan belajar keperawatan emergensi. Jakarta : EGC. Pramono, Agus. 2004. Analisis Keterampilan Kerja dan Iklim Kerja terhadap Kualitas Pelayanan Keperawatan di Ruang Rawat Inap RSU H.Sahudin
Lampiran 17
Kutacane. Medan: Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Polit, D. F, Beck, C.T and Hungler, B.P.(2004). Nursing researce : princples and methods.7th edition. Philadelpia : lippincottt willian & wilkins. Polit, D.F & Beck, C.T. 2010.generalization in quantitative and qualitative research : myths and strategies. Internasional journal of nursing studies, 47,1451 – 1458. Mangkunegara, A. P, 2007. Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia, Cetakan ketiga. Bandung : Penerbit PT Refika Adi tama. Mansjoer dkk,2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3 jilid 2.jakarta:media aesculapius fakultas kedokteran universitas indonesia. Marquis, B. L. & Huston, C.J. 2006. Leadership roles and management functions in nursing: theory and application. Philidelphia: Lippincott William & Wilkins. Miranda, dkk. 2014. Gambaran Ct Scan Kepala Pada Penderita Cedera Kepala Ringan Di BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode 2012 – 2013. Diakses tanggal 24 November 2014. Moleong. Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya. Muninjaya, A. A. Gde. 2004. Manajemen Kesehatan. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. Musliha, 2010. Keperawatan Gawat Darurat Plus Contoh Askep Dengan Pendekatan NANDA, NIC, NOC. Nuha medika, yogyakarta. Muwardi, 2003. Materi Pelatihan PPGD. Surakarta. Neiderhauser, V. Arnold, M. (2004) Assess health risk status for intervention and risk reduction. Nurse Practitioner; 29: 2, 35–42. Ningsih dkk, 2013. Analisis Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan Pada Rumah Sakit Islam Karawang. Notoadmojo, Soekidjo. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-prinsip Pasar. Jakarta : PT. Rineka Cipta Nurfaise. Hubungan Derajat Cedera Kepala Dan Gambaran CT Scan Pada Penderita Cedera Kepala Di RSU dr. Soedarso Periode Mei – Juli 2012.
Lampiran 17
2012. Available from jurnal.untan.ac.id/index.php/jfk/ article/download/1778/1726. Diakses tanggal 25 November 2014. Nurarif, 2013. aplikasi asuahan keperawatan berdasarkan diagnosa medis dan NANDA NIC – NOC, edisi revisi jilid 1 & 2.media action publishing .yogyakarta. Nursalam & Pariani (2001), Pendekatan Praktis; Metodologi Riset Keperawatan, Sagung Seto, Jakarta. (hal 64 – 66). Nursalam (2011), Manajemen Keperawatan: Aplikasi Dalam Keperawatan Profesional Edisi 3. Salemba Medika, Jakarta.
Praktik
Rahmawatie, Dyah dan Utami, RB. (2007). Hubungan Iklim Organisasi Dengan Kepuasan Kerja Perawat Pelaksana Di Ruang Rawat Inap RS PKU Muhammadiyah Karanganyar. http://www.skripsistikes.wordpress.com Saryono. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif dalam Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika. Sastrohadiwiryo. S., B. 2002. Manajemen Tenaga Kerja Indonesia ; Pendekatan Administrasi dan Operasional. Jakarta : Buki Aksara. Sudarma, M. 2008. Sosiologi Untuk Kesehatan. Jakarta : Salemba Medika.[online].http://books.google.co.id/books?id=1N7yMcvYLhYC& pg=PA30IA40&dq=pengertian+peran&hl=id&sa=X&ei=X_yEUengA4 GMrgf98oDABA&redir_esc=y#v=onepage&q=pengertian%20peran&f= false. Diakses tanggal 27 November 2014. Sugiyono. 2012. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta Suhartati et al . (2011). Standar Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat di Rumah Sakit. Jakarta: Kementrian Kesehatan Susanto, Tantut. 2012. Buku Ajar Keperawatan Keluarga. Jakarta: Trans Info Media. Sutopo, HB. 2006. Metode Penelitian Kualitatif, Surakarta: UNS Press. Satyanegara.ilmu bedah saraf edisi IV.gramedia pustaka utama.tanggerang,2010. Stevenson, T. (2004) Achieving best practice in routine observation of hospital patients. Nursing Times; 100: 30, 34. Tasmara, Toto. 2002. Etos Kerja Islami. Jakarta: Gema Insani Press.
Lampiran 17
Triage In The Emergency Department The Western Australian Centre For Evidence Informed Healthcare Practice Curtin University.2011. Online document available at: www.wacebnm.curtin.edu. au/workshops/Triage.pdf Diakses pada tanggal 10 desember 2014. Virgianti Nur Faridah, (2009).Hubungan Pengetahuan Perawat Dan Peran Perawat Sebagai Pelaksana Dalam Penanganan Pasien Gawat Darurat Dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler. Diakses pada tanggal 27 November 2014. Vitriase. 2014. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Response Time Perawat Pada Penanganan Pasien Gawat Darurat Di IGD RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Diakses tanggal 24 November 2014 Wilde, E. T. (2009). Do Emergency Medical System Response Times Matter for Health Outcomes?.New York: Columbia University. Wa Ode Nur Isnah Sabriyati ( 2012 ).Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Ketepatan Waktu Tanggap Penanganan Kasus Pada Response Time I Di Instalasi Gawat Darurat Bedah Dan Non-Bedah Rsup Dr. Wahidin Sudirohusodo. Di akses tanggal 24 November 2014. Widiasih, Ni Luh (2003), Peran Perawat Anastesi Dalam Kegawatdaruratan, Surabaya (Makalah disampaikan pada Seminar Kursus Penyegaran Keperawatan Anastesi). (hal 27 – 34). Penulis adalah Staf Pengajar STIKES Muhammadiyah Lamongan. Wong, D. L., Hockenberry, M., Wilson, D., Winkelstein, L. M., & Schwartz, P. (2009). Buku ajar keperawatan pediatrik Wong (6th ed.). (E. K. Yudha, D. Yulianti, N. B. Subekti, E. Wahyuningsih, M. Ester, Penyunt., & N. J. Agus Sutarna, Penerjemah). Jakarta: EGC. Widodo. 2007.Hubungan Beban Kerja Dengan Waktu Tanggap Perawat Gawat Darurat Menurut Persepsi Pasien Di Instalasi Gawat Darurat Rsu Pandan Arang Boyolali. Diakses tanggal 25 November 2014. Widyawati, 2012. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : prestasi pustaka Yoon, P., Steiner, I., Reinhardt, G.(2003). Analysis of factos influencing length of stay in the emergency departments, (Online). (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17472779,) Diakses tanggal 26 November 2014.
Lampiran 17