Peraih Nobel Bidang Ekonomi Akan Berikan Kuliah Umum di UNAIR UNAIR NEWS – Universitas Airlangga akan menjadi salah satu kampus jujugan The 6th ASEAN Event Series “Bridges Dialogue For A Culture Of Peace”. Acara yang akan diselenggarakan 20 Februari 2017 tersebut akan mendatangkan pembicara utama yang merupakan peraih nobel bidang ekonomi kelas dunia, Prof. Robert. F. Engle III. Guna membahas kesiapan acara, International Peace Foundation (IPF) mengunjungi UNAIR pada Kamis (16/6). Kunjungan dilakukan oleh Uwe Morawetz selaku Ketua IPF didampingi Daniel Bednarik selaku direktur program. Kunjungan rombongan IPF tersebut disambut oleh Rektor UNAIR, Prof. Dr. Moh. Nasih, SE., MT., Ak, beserta jajarannya bertempat di Ruang Rektor, Kantor Manajemen UNAIR. Dalam sambutannya, Prof Nasih secara singkat memperkenalkan UNAIR pada kedua delegasi IPF. Acara dilanjutkan dengan pembahasan persiapan acara oleh Uwe yang disusul dengan diskusi dari kedua belah pihak mengenai beberapa kesepakatan dalam pelaksanaan “Bridges” nantinya. Selain membahas teknis dan kesiapan acara, Uwe dan Daniel juga mengunjungi beberapa lokasi di UNAIR, yakni gedung Airlangga Convention Center (ACC) dan Aula Garuda Mukti yang bertempat diKampus C UNAIR. Wakil Rektor III periode 2010-2015 yang saat ini juga menjabat sebagai Sekretaris Badan Pengembangan Otonomi UNAIR, Prof. Soetjipto, dr., MS, Ph.D, mengatakan, “Bridges” merupakan acara yang digagas IPF untuk mendukung perdamaian serta proyek-proyek ilmiah dari universitas dan institusi yang
berhubungan dengan penelitian pencegahan konflik dan strategi solusi konflik. Di samping itu, “Bridges” ditujukan untuk mempromosikan kegiatan perdamaian, pemahaman, dan pertukaran sosial antara masyarakat, budaya, dan tradisi. Acara rutin seperti ini sudah pernah dilakukan oleh IPF sejak 2003 lalu. Negara-negara yang pernah menyelenggarakan diantaranya Thailand, Filipina, Malaysia, Kamboja, Vietnam, dan Singapura. Tahun 2017 nanti acara diselenggarakan di Indonesia, salah satunya bertempat di UNAIR. Nantinya, acara akan diselenggarakan dalam bentuk kuliah umum dan talkshow interaktif. Prof. Engle merupakan salah satu ekonom kelas dunia yang menerima nobel dibidang ekonomi pada 2003 silam. Bersama temannya Clive Granger, dia membuat metode analisis rangkaian waktu ekonomi volatilitas yang bervariasi dengan waktu. Saat ini, Prof. Engle mengajar di Stern School of Bussiness, New York University.
Rektor UNAIR, Prof. Dr. Moh. Nasih, SE., MT., Ak, beserta jajarannya berfoto bersama selepas menerima kunjungan dari
International Peace Foundation (IPF) Di UNAIR nanti, Prof. Engle akan memberikan kuliah umum berjudul The Prospect for Global Financial Stability” di gedung ACC. Kuliah umum dibarengi talkshow akan mendatangkan Gubernur Bank Indonesia dan Chairul Tanjung yang merupakan pengusaha sukses Indonesia. Selain pengusaha sukses, Chairul Tanjung juga merupakan guru besar UNAIR bidang Ilmu Kewirausahaan. Menurut Prof. Nasih, pemilihan tema ekonomi yang akan disampaikan oleh peraih nobel bidang ekonomi tersebut merupakan momen yang tepat dan relevan dengan permasalahan ekonomi Indonesia saat ini. Ia berharap, acara tersebut selain dapat menjadi gaung internasional bagi UNAIR, sekaligus dapat menjadi sarana diskusi mengenai stabilitas ekonomi, khususnya di wilayah Jawa Timur. “Acara berskala internasional ini memerlukan kehati-hatian karena akan membuat UNAIR menjadi sorotan untuk mendapat kepercayaan dan pengakuan dunia. Sehingga persiapan dilakukan secara matang agar tidak membahayakan kedepannya,” ujar Prof. Nasih. (*)
nama
baik
UNAIR
Penulis : Okky Putri Editor : Binti Q. Masruroh
Kebun Binatang Mini ala Fakultas Kedokteran Hewan UNAIR NEWS – Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga tak hanya memiliki fasilitas akademik yang menunjang kegiatan belajar mahasiswa, tetapi juga berbagai fasilitas pendukung
yang unik. Salah satu fasilitas penunjang unik yang dimiliki oleh FKH UNAIR adalah kebun binatang mini. Layaknya kebun binatang pada umumnya, instalasi satwa itu dihuni oleh tiga hewan yang berbeda. Di FKH UNAIR, hewan-hewan yang dipiara itu adalah iguana (Iguana iguana), kucing (Felis catus), dan ular (Boa constrictor imperator). Secara rinci, iguana yang dimiliki terdiri dari 11 ekor iguana dewasa, 8 ekor anak iguana, dan 11 telur iguana. Hewan ular terdiri dari 2 pasang jantan dan 2 pasang betina. Kucing yang dipelihara juga terbilang belasan. Hewan-hewan itu sebagian berasal dari milik mahasiswa yang menaruh minat terhadap hewan-hewan melata. Contohnya, iguana. “Awalnya, karena ada minat dari mahasiswa FKH yang juga bergabung dengan komunitas lain di luar. Mereka ingin mendirikan suatu mini zoo yang ada di kampus. Akhirnya, kita berdiskusi dengan teman-teman lain dan dosen. Dan, usul kita diterima,” tutur Fajar, salah satu perintis penangkaran iguana. Dalam pemeliharaan iguana, mahasiswa secara bergantian memberi makan sayur-sayuran sejenis kangkung, sawi, dan kecambah. Setiap harinya, kebutuhan pangan sebelas ekor iguana dicukupi dengan 20 ikat kecil kangkung, dan kecambah seharga Rp5ibu – Rp10 ribu. Terkadang, mahasiswa juga memberikan wortel kepada iguana.
Iguana-iguana yang dipelihara oleh FKH UNAIR. (Foto: Alifian Sukma) Lain iguana, lain pula dengan ular. Menurut Fajar, salah satu keuntungan dalam memelihara ular adalah jadwal makan dan buang kotoran yang tidak perlu setiap hari. “Kita bisa ninggal sewaktu-waktu. Ular makannya kan dua minggu sekali. Makannya tikus gede yang putih itu satu ekor. Itu cukup dua minggu. Jadi, kita tidak perlu perawatan setiap hari seperti iguana yang harus kita kasih makan. Kalau mau buang kotoran itu sekitar sepuluh hari sekali,” tutur Fajar. Fajar mengatakan, keempat ekor itu membawa gen albino. Sehingga, jika dikawinkan, mereka akan menghasilkan anakan yang albino juga. Ular yang dipelihara memiliki panjang sekitar 150 sentimeter. Kedua pasang ular itu ditaruh di dalam sebuah lemari kaca berukuran 2,5 meter. Begitu pula dengan hewan piaraan seperti kucing. Menurut Reza Indra Pahlevy, selaku Ketua Divisi Pet pada Kelompok Minat dan Profesi Veteriner Pet and Wild Animal, kelompoknya kini tengah memelihara belasan kucing yang berkeliaran di sekitar kampus.
Program memelihara kucing liar itu baru berjalan sejak awal Mei 2016. Belasan kucing itu ditempatkan di tiga home range (daerah jelajah), yakni di salah satu sudut lantai dua, di lantai satu yang berdekatan dengan kandang iguana, dan di sudut hall lantai satu. “Untuk merawat kucing ini, kita sediakan home range dulu. Awalnya, kita lakukan pengenalan selama dua minggu. Baru mereka akan menetap di sini biar kucingnya nggak explore, atau cari pasangan di luar kampus,” tutur Reza. Pada daerah jelajah, kucing disediakan rumah kayu, tempat makan dan minum, serta bak pasir. Secara teori, daerah jelajah juga merupakan sumber makan bagi hewan. Reza mengatakan, di daerah jelajah di sudut hall lantai satu, ada satu kucing pejantan dan enam kucing betina.
Salah satu spot yang sengaja disiapkan untuk kucing liar yang dipelihara oleh FKH (Foto: Alifian Sukma) “Ada bak pasir untuk menampung kotoran kucing agar kucing itu punya insting kalau buang kotoran, ya, di pasir. Ada tempat
air minum dan makanan. Kenapa tempat makanan agak lebar (nampan, red), karena kita melatih agar kucing itu tidak bertengkar. Karena di sini banyak keluhan kucing jantan sama jantan bertengkar,” imbuh Reza. Tingkatkan kompetensi Melihat mahasiswa yang begitu menyayangi hewan, Wakil Dekan II FKH UNAIR Dr. Mufasirin, drh., M.Si, mengatakan bahwa pimpinan FKH bangga dengan keaktifan anak didiknya. “Mereka memiliki kompetensi tidak hanya pada hewan-hewan domestik tetapi juga hewan liar. Ini merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh dokter hewan lulusan UNAIR,” tutur Mufasirin. Menurutnya, keberadaan kelompok minat cukup penting dalam mewadahi minat mahasiswa. Bagi Mufasirin, mahasiswa tidak hanya wajib menjalani kurikulum pendidikan yang telah diatur, tetapi juga harus mengembangkan kemampuan diri melalui kelompok minat. Sebagai pimpinan, ia juga mendukung kegiatan mahasiswa, salah satunya melalui fasilitas tempat, pendanaan, dan kegiatan diskusi. Penulis: Defrina Sukma S. Editor: Nuri Hermawan
Aktivitas Masjid Ulul ‘Azmi Kampus C UNAIR Semakin Semarak UNAIR NEWS – Kegiatan untuk memakmurkan masjid “Ulul ‘Azmi” di kampus C Universitas Airlangga Jl. Mulyorejo Surabaya, semakin semarak dan bersinergi positif. Sejak diresmikan penggunaannya
Jumat 27 Mei 2016 oleh Ketua Ikatan Alumni UNAIR, setiap hari terus dihiasi dengan beragam aktivitas. Apalagi di bulan Ramadhan 1437-H ini, tiada henti dari aktivitas mulai salat wajib berjamaah, salat Jum’at, ceramah agama pasca salat Dhuhur, takjil dan buka puasa bersama, serta salat tarawih lengkap dengan ceramah agamanya. Pada salat Subuh, yang semula dikhawatirkan tidak ada yang ikut berjamaah, ternyata menurut laporan Agoes Widiastono melalui WhatsApp Grup takmir masjid, setiap salat Subuh minimal terdapat jamaah sebanyak satu baris. Bahkan terkadang lebih, sedangkan pada hari Minggu lebih banyak lagi. Hal itu sangat disyukuri karena area kampus C ini hanya ada Asrama Mahasiswa (putri) dan rumah sakit, tetapi tidak ada rumah dinas atau permukiman sivitas akademika. “Alhamdulillah… Jamaah salat Subuh pagi ini lebih dari satu shof,” tulis Cak Agoes “Awo”, Selasa (21/6). Diantara yang menyempatkan berjamaah salat Subuh di masjid baru ini antara lain ada yang dosen, karyawan, juga mahasiswa, dan warga sekitar kampus maupun warga yang sedang menunggu familinya dirawat di RS UNAIR. Kemudian setiap selesai salat Dhuhur, pada bulan Ramadhan ini diisi dengan “kultum” yang disampaikan oleh beberapa penceramah baik internal dan eksternal UNAIR. Misalnya “kultum” setiap hari Senin disampaikan oleh KH. Abdurrahman Navis, Lc., M.HI., Pengasuh Ponpes Nurul Huda Surabaya dan Ketua Bidang Fatwa MUI Jatim. Hari Selasa oleh Prof. Dr. Moch. Amin Alamsyah, hari Rabu Dr. M. Hadi Subhan, SH., MCN., hari Kamis oleh Drs. H. Suherman Rosyidi. Sedang hari Jumat langsung oleh pengkhutbah/khatib salat Jumat.
Jamaah salat Subuh di Masjid “Ulul ‘Azmi” kampus C UNAIR jl. Mulyorejo, diikuti antara 1 hingga 2 baris jamaah. (Foto: Takmir), Ulul A Menjelang Magrib dan waktu berbuka puasa, suasana masjid menjadi lebih semarak. Bersamaan dengan menyalanya lampu-lampu penghias taman dan ornamen masjid sehingga menjadi indah, para jamaah juga mulai berdatangan. Setelah membatalkan puasa dengan takjil, dilanjutkan salat Magrib berjamaah, dan buka bersama. Menurut Agoes Widiastono, alumni FEB yang aktif menyampaikan laporan ini, rata-rata setiap hari takmir menyediakan 400-500 bungkus nasi. Bahkan ketika kampus ini banyak dihadiri tamu peserta sebuah rekruitmen yang dilaksanakan di Kampus C, takmir sempat menyediakan hingga 700 bungkus nasi. Pembagian “nasbung” ini diorganisir oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNAIR. ”Alhamdulillah… Antrean buka puasa lancar dan rapi, makan buka bareng, sore kemarin sudah disediakan 400 bungkus, ternyata masih kurang,” kata Agoes, Senin kemarin.
Disamping kegiatan di masjid berjalan terus, lanjutan pembangunan di sekitar masjid Ulul ‘Azmi kampus C UNAIR ini juga masih berjalan terus, terutama untuk ekterior dan pembangunan pertamanan, area parkir, dsb. (*) Penulis : Bambang Bes
Rangkuman Berita UNAIR di Media Tentang Hari Ini (21/6) Saat Tubuh Cooling Down, Pilih Buah Berbuka puasa menjadi nikmat yang luar bisa di bulan Ramadhan ini. Tak jarang, ketika berbuka, ada yang langsung makan besar seperti balas dendam. Bahkan setelah berbuka puasa, di atas jam 20.00 beberapa orang memiliki kebiasaan makan lagi dengan porsi besar, seperti nasi atau mie goreng. Kebiasaan ini tidak baik bagi tubuh. Pukul 19.00 ke atas, tubuh sedang melakukan cooling down. Kalau terbiasa makan di atas waktu tersebut, yang terjadi kadar gula, kolestrol, dan berat badan bakal naik. Jika lapar, sebaiknya mengkonsumsi buah atau sayur. Menurut dr Budi Widodo SpPD, spesialis penyakit dalam Universitas Airlangga, berbuka yang manis sering diartikan kurang tepat. Menurut beliau, makanan berbuka yang tepat adalah kurma sesuai sunnah Rasul. Manis dalam kurma mudah dicerna tubuh. Puasa yang dijalankan dengan benar akan membawa dampak baik untuk kesehatan, jika salah akan berpotensi menimbulkan penyakit. Jawa Pos, 21 Juni 2016 halaman 40 Selepas Skripsi, Langsung Siap Dilamar
Sekolah pranikah bertujuan untuk membangun sebuah bangsa yang kuat. Dari keluarga yang kuat, terbentuk masyarakat yang kuat pula. Programnya meliputi delapan pos pengembangan yakni advokasi keluarga, pendidikan orang tua dan anak, sahabat anak dan remaja, pos ekonomi keluarga, serta pendidikan politik dan pembinaan lansia. Salah seorang pesertanya adalah Nisa Rahmi, mahasiswi Jurusan Manajemen Universitas Airlangga. Nisa menyatakan siap menikah begitu selesai menuntaskan skripsi. Selepas sidang, jika ada seorang laki-laki yang mengkhitbah (melamar), dia akan menerima dengan tangan terbuka. Jawa Pos, 21 Juni 2016 halaman 30 Bangkai Tiga Paus Dikubur tepi Tambak Setelah terbengkalai selama tiga hari, bangkai tiga ekor ikan paus yang terdampar di pantai utara, Kecamatan Gending, Kabupaten Probolinggo, akhirnya dikuburkan. Proses penguburan dilakukan secara manual oleh warga setempat. Penguburan tiga bangkai ini sekaligus mengakhiri masa monitoring yang dilakukan tim relawan gabungan dari Balai Pengawasan Sumber Daya Pesisir Laut (BPSPL) Denpasar, Fakultas Kedokteran Hewan, UNAIR Surabaya. Dari 32 ekor ikan paus yang terdeteksi terdampar pada Rabu lalu, terdapat 15 ekor yang mati. Sementara, 17 ekor paus lain yang berhasil dievakuasi saat ini diperkirakan telah kembali ke laut dalam. Sindo, 21 Juni 2016 halaman 8 Penulis : Afifah Nurrosyidah Editor : Nuri Hermawan
Rangkuman Berita UNAIR Media (17/6 s/d 19/6)
di
RS UNAIR Raih Akreditasi Paripurna Jumlah rumah sakit yang terakreditasi bertambah. Tahun ini, Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) memberikan sertifikat akreditasi paripurna kepada dua rumah sakit di Surabaya, salah satunya adalah Rumah Sakit Universitas Airlangga. Hasil akreditasi RS UNAIR dirilis kemarin Selasa, 7 Juni 2016 dan sertifikat baru akan diserahkan 27 Juni. Banyak hal yang dinilai tim KARS sebelum akhirnya menetapkan RS UNAIR sebagai rumah sakit yang terakreditasi paripurna. Diantaranya, keberhasilan rumah sakit, perbaikan mutu pelayanan, serta kualitas sumber daya manusia. Direktur RS UNAIR Prof. Nasronudin mengungkapkan, untuk mencapai tingkat paripurna, rumah sakit harus lulus penilaian 15 program kerja. Diantaranya, akses dan kontinuitas pelayanan, manajemen pemberian obat, pendidikan pasien dan keluarga, serta keselamatan pasien. Jawa Pos, 18 Juni 2016 halaman 36 Tim Unair Selidiki Penyebab Terdamparnya Paus di Perairan Probolinggo Kawanan ikan paus pilot yang mati terdampar di pantai utara Desa Pesisir Kecamatan Gending, Kabupaten Probolinggo, terus bertambah. Jika dua hari sebelumnya hanya 10 ekor, pada hari ketiga kemarin jumlah paus mati menjadi 12 ekor. Tujuh peneliti dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga yang diketuai oleh M. Yunus, drh., Ph.D, mulai meneliti penyebab fenomena paus terdampar dengan mengambil tiga sampel dari tiga paus pilot yang sudah mati. Bersama para anggota lainnya yang terdiri dari Muhammad Achsinul Fikri Ma’ruf, Dohan Mahendra, Ruth Tyas, Akbar Haryo,
dan Happy Ferdyansyah, ia mengatakan ada berbagai penyebab, yakni karena adanya rob atau gelombang pasang tidak beraturan yang mengakibatkan alur migrasi koloni paus pilot berputarputar. Sembilan paus yang telah mati dikubur di sekitar pantai dengan 6-7 meter, sedangkan sisanya masih proses penyelamatan. Sindo, 18 Juni 2016 halaman 3 Unair Fasilitasi Penanya Hasil TPA Dinas Pendidikan Kota Surabaya menggandeng dua perguruan tinggi negeri (PTN) pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ini. Salah satunya adalah Universitas Airlangga dalam pelaksanaan Tes Potensi akademik (TPA). Dalam pelaksanaannya, UNAIR membuat soal TPA, mengoreksi hasil, sampai memfasilitasi jika ada sejumlah pihak yang menanyakan hasil TPA. Mengingat UNAIR telah ditunjuk dinas pendidikan sebagai tim independen yang menjalankan TPA, Rektor UNAIR Prof. Nasih menegaskan bahwa UNAIR tidak terlibat pada try out TPA yang didakan oleh sejumlah lembaga bimbingan belajar. Selain itu, UNAIR juga sangat menjamin kerahasiaan soal TPA. Jawa Pos, 18 Juni 2016 halaman 43 Olah Daun Sirsak Jadi Pengganti Massa Tulang Mahasiswa S-1 Teknobiomedik Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga berhasil membuat pengganti massa tulang (bone filler) berbahan dasar ekstrak daun sirsak. Mereka adalah Andini Isfandiary, Imroatus Solikhah, Rhisma Dwi Laksana, Yukiko Irliyani, dan Ahmad Nurianto menyatakan bahwa inovasi tersebut guna mencari alternatif pengobaan bagi pasien pasca pengangkatan massa tulang atau amputansi. Daun sirsak sendiri mengandung sifat antikanker yang kemudian digunakan untuk melapisi bone filler tersebut. Untuk membuat bone filler ukuran 10 x 10 sentimeter, mereka menghabiskan biaya hingga Rp 2 juta. Sedangkan, waktu pembuatan diperkirakan 2 hari. Jawa Pos, 19 Juni 2016 halaman 32 dan Surya, 20
Juni 2016
halaman 16 Lilies Handayani, Alumni UNAIR Atlet sekaligus Pelatih Panahan Lilies Handayani adalah atlet pertama Indonesia yang berhasil menyumbangkan medali di perhelatan bergengsi Olimpiade Seoul 1988. Saat itu, pemanah alumni Fakultas Hukum Universitas Airlangga ini turun di nomor beregu bersama Nurfitriyana Saiman dan Kusumawardhani. Perjuangan ketiga srikandi Indonesia itu mengilhami sebuah rumah produksi untuk mengangkatnya dalam film layar lebar berjudul 3 Srikandi. Film ini rencananya akan dirilis awal Agustus mendatang bertepatan dihelatnya Olimpiade Rio. Sosok Lilies akan diperankan oleh Chelsea Islan. Saat ini, ketiga anak Lilies terjun ke dunia panahan, yaitu Dellie Threesyadinda, Irvaldy Ananda Putra, dan Della Adisty Handayani. Dua putri Lilies, Dellie dan Della saat ini tengah bergabung di pelatnas untuk persiapan SEA Games. Sedangkan Aldy, akan bertarung di skala nasional dengan bergabung di Pusat Pelatihan Daerah Jatim proyeksi PON XIX Jabar. Radar, 19 Juni 2016 halaman 8, Surya, 17 Juni 2016 halaman 16, Sindo, 17 Juni 2016 halaman 13
Prof. H.J. Glinka, Sang Filantropi Ilmu Antropologi UNAIR ASRAMA Biara Soverdi di Jl. Polisi Istimewa Kota Surabaya, suatu sore. Seorang laki-laki berkebangsaan Polandia duduk di kursi putar sambil menatap layar komputernya. Disampingnya tergeletak sebungkos rokok filter kesukaannya. Ia ambil
sebatang demi sebatang, lalu dinyalakan dan dihisapnya, habis. Prof. Dr. Habil Josef Glinka, SVD sangat menikmati sekali suasana sore hari itu. Pria kelahiran Chorzow, Polandia, 7 Juni 1932 yang akrab disapa Pater Glinka itu, bersemangat sekali ketika mengisahkan pergulatannya dalam mengembangkan ilmu antropologi ragawi di Indonesia, khususnya di Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya. Kepada UNAIRNEWS yang menemani di sore itu, Romo Glinka agak keberatan disebut “Bapak Antropologi”, walau saat ini tokoh senior Antropolog yang ada adalah dia. ”Bukan saya. Yang tepat sahabat saya, Lie Gwan Liong. Dia yang merintis jurusan Antropologi di FISIP UNAIR. Karena Gwan Liong juga akhirnya saya sampai di sini,” katanya. Lie Gwan Liong yang dimaksudkan adalah yang kemudian lebih kita kenal dengan Adi Sukadana. Sepeninggal Prof. Dr. Teuku Jacob (UGM, yang wafat tahun 2007 dalam usia 77 tahun), kini di usia 84 tahun Prof. Glinka adalah Guru Besar Antropologi Ragawi paling senior di Indonesia. Hanya saja, Prof. Teuku Jacob sudah “melahirkan” Professor baru yaitu Prof. Etty Indriati, sedangkan Prof. Glinka dalam 27 tahun mengabdi sebagai Guru Besar Antropologi FISIP UNAIR belum menghasilkan professor, tetapi melahirkan 13 orang Doktor bidang Ilmu Antropologi.
sudah
”Mudah-mudahan dalam waktu dekat, diantara 13 Doktor itu segera ada yang menjadi Professor Antropologi di UNAIR,” ujar Prof. Glinka sangat berharap. 30 Tahun di Surabaya H.J. Glinka muda datang ke Indonesia pada 27 Agustus 1965. Ia datang karena informasi dari seorang diplomat Polandia di Jakarta bahwa ada seorang antropolog yang menikah dengan wanita Polandia saat studi di Moskow. Dialah Prof. Ave, ahli antropologi budaya. Lalu ia mereferensikan kepada Glinka untuk datang ke Universitas Indonesia menemui dr. Munandar di Bagian
Anatomi. Munandar bukan ahli antropologi tetapi pernah melakukan penelitian di Kalimantan, dan ia merasa terkejut dengan kedatangan Glinka. Setelah berdialog, Munandar berkisah bahwa di Surabaya ada temannya, yaitu Lie Gwan Liong di Bagian Anatomi FK UNAIR. Gwan Liong mengundang Glinka ke Surabaya. Suatu hari di ruang Anatomi FK UNAIR tiba-tiba para staf ”kaget”: “Kok ada Londo baru” (karena sebelumnya pernah ada “Londo” yang lain yaitu Prof. Snell). Gwan Liong yang kemudian dikenal dengan nama Adi Sukadana, mengaku senang dengan kehadiran Glinka dan langsung mengajaknya makan siang di rumahnya. ”Adi merupakan keluarga Indonesia pertama yang saya datangi. Dia seorang dokter yang rajin belajar antropologi dari Prof. Snell (sebelum pulang dari Indonesia),” kenang Prof. Glinka. Kemudian Pastor lulusan Seminari Tinggi SVD di Pieniezno (Polandia) tahun 1957 ini pergi ke Flores untuk memenuhi Romo Yosef Diaz Viera yang merekrut banyak Pastor untuk ditugaskan di sana, sekaligus melanjutkan jejak pamannya untuk mengajar di Seminari Tinggi Ledalero, Flores (1966-1985). Selama di Flores, setiap tahun Glinka mengunjungi Adi Sukadana di Surabaya. Karena Glinka adalah Antropolog lulusan Universitas Mickiewicz, Poznan, Polandia, yang kebetulan disertasi doktoralnya mengenai Indonesia, maka dirayulah dia untuk bergabung dalam organisasi Anatomi Indonesia yang didalamnya antara lain ada Adi Sukadana dan Teuku Yacob. Supaya lebih integral, lalu Adi mengajak untuk menggabungkan antara antropologi budaya yang ia kuasai dengan bioantropology yang dikuasai Glinka. Setelah cukup lama menunggu “proses”, peraih Profesor dari Uniwersytet Jagiellonski, Krakow tahun 1977 ini diajak bergabung di Bagian Anatomi UNAIR. Maka tahun 1984 Prof. Glinka datang ke UNAIR, dan ternyata SK pembentukan Departemen Antropologi UNAIR sudah turun, kemudian tahun 1985 Jurusan Antropologi FISIP UNAIR resmi dibuka.
“Selanjutnya bulan Juli 1985 saya pindah ke Surabaya sampai saat ini. Jadi saya tinggal di Surabaya sudah 30 tahun lebih,” tuturnya seraya menunjukkan raut gembiranya karena 50 tahun kehadirannya di Indonesia baru saja dipestakan di Flores, walau ia tidak bisa datang kesana. Setelah menjalani peran rutin sebagai Guru Besar asing dan pengembangan ilmu antropologi di Indonesia, khususnya selama 27 tahun di UNAIR, tahun 2012 Prof. Glinka minta pensiun karena fisik yang sudah tidak kuat untuk naik-turun tangga. Kendati demikian, Prof. Glinka masih sering dimintai konsutasi, sharing keilmuan, penguji eksternal dalam ujian doktor, seminar, dsb.
Prof. H.J. Glinka bersama kader-kader dibimbingnya. (Foto: Istimewa)
Antropolog
yang
PERCAKAPAN dengan Prof. Glinka: Apa motivasi Anda sampai betah di UNAIR? Motivasi saya karena Adi yang minta, dan saya bisa membantu.
Misi yang lain tidak ada. Pertimbangan utama saya adalah pengembangan antropologi. Karena itu tahun 1984 saya minta Adi menulis surat ke bos saya di Roma. Ternyata beliau menyetujui, maka Februari 1984 saya pindah ke Surabaya. Bagaimana proses awal dalam adaptasi mengajar di UNAIR? Akomodasi di UNAIR pada awalnya tidaklah enteng. Bayangkan, saya mengajar di seminari di lingkungan Katolik, siswanya laki-laki. Kemudian saya datang disini tetapi tidak tahu siapa mahasiswa yang Muslim, Kristen, Katolik, juga ada cewek dan laki-laki. Ritmenya beda dari yang di Flores. Lalu saya dengan Adi membagi kuliah. Tentu saja jatah mengajar saya banyak, sebab dosen yang lain muda-muda, belum lulus, dan kebanyakan bukan dari antropologi. Praktis kami berdua saja. Tetapi bersyukur pelan-pelan Jurusan Antropologi berkembang. Bagaimana liku-liku dalam berjuang untuk Antropologi UNAIR? Dalam minggu-minggu awal kami mengajar 14 jam/minggu. Saya juga menulis hand out sendiri untuk mahasiswa. Onny Joeliana, Totok (Toetik Kusbardiati), Myta (Myrtati Dyah Artaria) antara lain mahasiswa angkatan pertama. Pada suatu waktu tahun 1990 ada tragedi; Adi Sukadana sakit ketika sedang di lapangan dalam penelitian di Banyuwangi. Sempat mendapat perawatan di RS tetapi dalam beberapa hari kemudian Adi meninggalkan kita untuk selamanya. Setelah itu situasi berubah total. Saya terpaksa mengambilalih semua mata kuliah yang diajarkan Adi, baik yang di FK, di FKG dan di FISIP. Jadi berat sekali. Akhirnya saya pergi ke Rektor, saat Rektor UNAIR Prof. Dr. Soedarso Djojonegoro. Kepada Rektor saya bertanya: ”Apakah Antropologi UNAIR akan mati bersama saya?” Dijawab “Oh tidak, Antro harus terus berkembang”. “Kalau begitu beri saya asisten”. Waktu itu Myta dan Onny sudah selesai skripsi. Saya maunya keduanya, tetapi dibilang jatahnya hanya satu, maka Myta yang masuk. Itu mungkin karena Jakarta melihat bahwa Antropologi masih
merupakan jurusan baru. Setelah ada asisten maka beban saya sedikit lebih ringan. Siapa kira-kira kader Prof. Glinka untuk Antropologi UNAIR kedepan? Setelah 1,5 tahun kemudian, saya dapatkan Totok (Toetik Kusbardiati). Kemudian Myta sekolah ke Amerika, dan Totok bersama saya meneruskan mengajar. Setelah saya dorong terus, akhirnya Totok juga mau belajar. Ia memilih ke Hamburg, Jerman, dan lulus dengan predikat summa cumlaude. Peran Totok dalam pengembangan dan pengabdian di bidang antropologi juga bagus, terutama sepulang dari Jepang dan Kualalumpur serta membawa Sertifikat Internasional Antropologi Forensik. Ketika di Indonesia ada musibah besar dimana-mana Totok sering diminta membantu bersama Tim DVI (Disaster Victim Investigation), karena yang ahli dibidang itu di Indonesia hanya dua; dua-duanya perempuan. Karena itu sepeninggal Prof. Teuku Yacob, maka pusat antropologi di Indonesia saya kira bukan lagi di Yogyakarta tetapi di Surabaya (UNAIR). Harapan Anda terhadap masa depan Jurusan Antropologi UNAIR? Sejak beberapa tahun lalu saya sudah bilang ke Dekan dan Rektor, yaitu peremajaan! Karena orang yang mau menggantikan saya ini perlu sepuluh tahun, perlu doktoral, spesialisasi, dsb. Itu yang saya rasa kurang. Saya berharap yang masih bertahan menekuni antropologi hendaknya tetap bertahan dan berkembang. Saya optimis Antropologi UNAIR akan segera melahirkan Professor baru, sekarang pun sudah kelihatan siapa kandidat-kandidatnya. Bagaimana rasanya bisa ikut antropologi di Indonesia?
mewarnai
pengembangan
ilmu
Makin lama makin puas, sebab melihat perkembangannya yang baik sekali, serta dikerjakan secara betul-betul. Cuma saya agak kecewa bahwa para kader antropologi kok juga disibukkan dengan
hal-hal birokrasi manajemen, tentu penelitiannya menjadi tersita.
saja
waktu
untuk
Adakah kenangan secara khusus saat bersama di UNAIR? Tentu ada. Tahun 1998 saya mau diusir oleh ICMI karena dituduh mengkristenkan anak-anak Islam. Tetapi waktu mereka mendengar isu itu dan saya akan diusir, mahasiswa demonstrasi ke Rektorat membela saya. Onny dan Nanang Krisdinanto juga berjasa dengan menuliskan di Surabaya Post. Sampai pada saat hari libur, Prof. Soedarso (Rektor) datang ke saya untuk memastikan status saya tidak ada pengusiran. Anehnya, ketika berita itu tersebar, sampai-sampai UI dan beberapa universitas lain mengontak saya untuk merekrutnya. Saya tidak mau. Dari perjuangan seperti itu, masih keberatan disebut “Bapak Antropologi” atau “Duet Bapak Antropologi”? Adi Sukadana. Bukan saya. Karena dia perintisnya. Ia juga mengumpulkan buku dan benda antropologi lain dan dijadikan museum. Tapi diantara kami berdua sudah ada persetujuan: saya di bidang bio-antropologi (antropologi ragawi) dan Adi yang prasejarah atau Antropologi Budaya. Duet? Ya kami memang berjuang bersama.
Ratusan koleksi buku-buku milik Prof. Glinka siap dihibahkan kepada perpustakaan FISIP UNAIR. (Foto: Bambang Bes) Ratusan buku Ilmu Antropologi di rumah Prof. Glinka ini, kelak akan dikemanakan? Saya sudah menulis surat wasiat, untuk buku-buku antropologi semua akan saya serahkan ke UNAIR, sedangkan yang lain terserah. Selain buku antropologi (ragawi dan budaya – letaknya disendirikan) juga ada majalah, ensiklopedi, dan buku-buku teologi. Diantara buku-buku itu ada yang usianya sudah puluhan tahun, tapi kebanyakan berbahasa Jerman, Rusia, Inggris, dan Belanda, dan kebanyakan tentang anatomi. Karena itu ketika dulu saya membimbing kandidat Doktor, banyak mereka baca-baca disini. Konon Prof. Glinka menguasai enam bahasa (poliglot)? Apa saja itu? Bahasa yang saya mengerti ada sembilan, tetapi hanya empat yang benar-benar saya kuasai. Bahasa Jerman dan Polandia saya dapat sejak bayi, karena mama saya asli Jerman dan ayah
Polandia, dan saya lahir di Polandia. Jadi itu sebagai bahasa ibu. Yang lain bahasa Indonesia, Inggris, Ibrani, Yunani, dan Perancis. Bahasa Perancis pernah sempat lupa (hilang), anehnya setelah di Perancis 2-3 hari, saya ingat dan mengerti lagi. Menguasai banyak bahasa memang membahagiakan karena memungkinkan banyak pengetahuan bisa dipelajari. Jadi di rak ini ada buku dalam sembilan bahasa. Adakah niatan untuk pulang ke Polandia?. Tidak. Di Polandia saya kenal siapa? Teman-teman sudah banyak yang mati. Sebab disana itu daerah industri pertambangan, mereka bekerja keras sehingga usia 40-50 sudah payah. Di kampung saya paling tinggal dua atau tiga teman tersisa, sedang disini banyak. Itu saya buktikan ketika pergi ke Soverdi (SWD) dan Ordo, bahwa pastor yang ada disana baru lahir setelah saya pergi ke Indonesia. Seorang teman baru saja dari Polandia dan separo dari misionaris yang ada, ia tidak kenal. Prof Glinka mencintai Kota Surabaya? Benar. Karena di kota ini saya mendapat kebanggaan. Saya sudah memproduksi 13 Doktor di UNAIR baik sebagai promotor dan copromotor. Saya sudah menulis oto-biografi berbahasa Polandia, ketika kawan-kawan saya membaca, mereka takjub dan merasa masih seperti “anak kecil”. Itu karena mereka baru mencetak 2–3 Doktor, sedang saya sudah 13. Dari biografi itu kawan saya melihat semua peristiwa hidup saya. Kata mereka: sepertinya Tuhan menyiapkan saya untuk UNAIR. Saya tidak mau studi, disuruh studi. Lalu biara memerintahkan dan saya studi sosiologi dan antropologi. Lalu saya mengembangkannya di UNAIR bersama Adi Sukadana. Kenangan bersama Adi dan kebersamaan selama 27 tahun yang saya tanam di UNAIR sungguh sangat indah. Ini yang saya banggakan. (*) Pewawancara: BAMBANG BES
Pentingnya Media Sosial untuk Membangun Citra UNAIR NEWS – Media sosial saat ini memiliki fungsi yang penting untuk membangun citra sosial, baik untuk kepentingan individu maupun kelompok. Di media sosial, kita memiliki banyak kesempatan untuk menulis gagasan, opini, dan berbagai hal untuk membangun citra diri. Dulu, persaingan untuk membangun citra diri hanya terbatas pada media cetak. Namun kini, media sosial menawarkan berbagai kemungkinan itu. Pernyataan itu disampaikan oleh Redaktur Tempo Endri Kurniawati dalam workshop “Menulis Opini dalam Media Sosial” yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, Rabu (15/6). Selain Endri, hadir pula Nieke Indrietta selaku Ketua Biro Tempo Jawa Timur. Keduanya memberikan materi seputar penulisan opini. Pada kesempatan tersebut, Endri mengungkapkan agar masyarakat lebih berhati-hati dalam memposting atau menyebarluaskan informasi, baik berita tertulis maupun foto. Hal tersebut dikarenakan adanya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) nomor 11 tahun 2008. Selain itu, Endri juga membagi tips seputar penulisan opini untuk dimuat di media massa. “Pilihlah tema yang disukai media massa, karena itu akan sangat menentukan naskahmu dimuat atau tidak. Tema itu berkaitan dengan kejadian yang sedang in saat ini. Media tidak akan menerima tulisan yang topiknya tidak ada kaitannya dengan kejadian. Atau, pilihlah tema yang berkaitan dengan hari peringatan yang luput dari jangkauan masyarakat,” ujar Endri.
Endri juga berujar, orisinalitas itu perlu. “Jangan menulis tema yang sudah banyak orang bahas,” ungkapnya. Selepas kedua pembicara memaparkan materi, peserta diajak untuk praktik menulis opini secara langsung. Tiap tim peserta membentuk kelompok sebanyak tiga orang. Sebagai apresiasi kepada para peserta, tiga naskah terpilih akan dipublikasikan pada media blog resmi milik Tempo. Dicky Murdian Putra selaku ketua panitia acara mengatakan, penulisan opini penting untuk dipahami masyarakat luas. Mengingat, saat ini banyak penulisan ide dan gagasan yang marak di media sosial. “Sekarang ini banyak orang yang suka berpendapat dan beropini di media masaa, tapi mereka belum tau penulisan yang baik dan benar bagaimana. Kita sering melihat di media sosial banyak yang asal ngomong. Padahal dibalik itu semua ada undang-undang yang mengatur,” ujar Dicky. Dengan terselenggaranya acara, Dicky berharap para peserta memiliki wawasan yang baru dan ilmu yang diperoleh bisa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Dicky juga mengatakan, HIMA ILKOM memiliki media “Club Koma” yang menghimpun mahasiswa Ilmu Komunikasi untuk mewadahi tulisan mereka. “Kami memiliki club bernama “Club Koma” yang menghimpun anakanak yang suka menulis, ingin jadi jurnalis, dan ingin karyanya dimuat di media. Kami menerbitkan majalah setiap bulannya, dengan tema berganti-ganti sesuai edisi,” pungkas Dicky. (*) Penulis: Binti Q. Masruroh Editor: Nuri Hermawan
Rangkuman Berita UNAIR Media Hari Ini (20/06)
di
Sekrup Tulang Hambat Pertumbuhan Bakteri Lima mahasiswa Teknobiomedik Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga membuat skrup tulang anti bakteri. Bahan kitosan sebagai coating ini mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus di sekitar luka. Imroatus, Andini, Nurul, Bagus, dan Rhisma mengatakan bahwa keunggulan dari skrup itu diantaranya biodegadrable karena tulang terfiksasi. Penelitian ini berawal dari penanganan kasus patah tulang yang dilakukan fiksasi internal tulang menggunakan sekrup dan pelat berbasis logam, yaitu platina dan stainless steel. Kandidat biodegradable bone screw memiliki beberapa sifat, yaitu nontoksik, biokompatibel, biodegradable, sintesisnya mudah, dan meningkatkan sifat mekanik. Sindo, 20
Juni 2016 halaman 13 dan 14
Beri Beasiswa Total Rp 4,5 M PLN Disjatim dukung kemajuan dunia pendidikan dan pondok pesantren melalui program LAZIS (Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan Shodaqoh). Melalui Program Cahaya Pintar, PLN Disjatim menggulirkan Rp 4,5 milyar yang diwujudkan dalam bentuk bantuan beasiswa kepada 20 mahasiswa berasal dari ITS, Universitas Airlangga, UIN Sunan Ampel, dan Universitas Brawijaya Malang. Setiap mahasiswa yang telah diseleksi akan menerima bantuan Rp 5 juta per tahun. Maksimal beasiswa pendidikan diberikan selama empat tahun. Mahasiswa penerima beasiswa harus memenuhi syarat tertentu, salah satunya adalah indeks prestasi kumulatif (IPK) stabil tiap semester.
Jawa Pos, 20 Juni 2016 halaman 5 dan Surya, 20 Juni 2016 halaman 12 Penulis : Afifah Nurrosyidah Editor: Defrina Sukma S.
Libatkan Mahasiswa, FKH UNAIR Ternakkan Iguana Hingga Belasan Ekor UNAIR NEWS – Iguana adalah salah satu kelompok hewan reptil yang berasal dari negara kawasan Amerika Latin. Meski demikian, karena kecocokan iklim dan cuaca, tak ada salahnya mengembangbiakkan iguana di Indonesia. Atas nama hobi dan pengembangan ilmu pengetahuan, iguana juga bisa ditangkar di lingkungan kampus. Fajar Dany Prabayudha, drh., adalah salah satu perintis penangkaran iguana (Iguana iguana) di Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Airlangga (UNAIR). Kini, FKH UNAIR telah memiliki 11 ekor iguana dewasa, 8 ekor anak iguana, dan 11 telur iguana. Belasan ekor iguana itu dimiliki oleh pihak fakultas (5 ekor), dan mahasiswa (6 ekor). Karena iguana memiliki anakan, maka jumlah anakan itu dibagi setara dengan pemilik. “Kalau siklus reproduksi iguana tidak sulit sama sekali. Di Indonesia, bisa setahun dua kali. Setelah pendirian kandang diresmikan sejak Januari 2016, tiga betina bertelur pada 21 Maret 2016, dan menetas 15 Juni 2016 kemarin,” tutur Fajar. Penangkaran iguana terbentuk karena saran mahasiswa yang
bergabung dengan kelompok minat reptil, baik di lingkungan kampus maupun di luar kampus. Cita-cita mereka sama, yaitu ingin mendirikan kebun binatang mini di kampus. Pada saat kru News Room berkunjung ke kandang iguana berukuran 4,5 meter x 4,5 meter di FKH UNAIR, ditemui sebelas ekor iguana dewasa bertengger dan melata, sambil sesekali mengerlipkan mata sayunya. Kandang tersebut berisikan beberapa tanaman hijau berdahan, rumput, dan kubangan air.
Telur-telur iguana dalam masa inkubasi yang disimpan dalam wadah plastik. (Foto: Alifian Sukma) “Perlu untuk iguana exercise, tempat bertelur berupa pasir, dan lain-lain. Perlu diperhatikan juga adanya dahan di dalam kandang untuk panjatan iguana. Karena iguana akan merasa nyaman jika berada pada dahan yang lebih tinggi,” tutur Fajar. Di FKH, ada dua spesies iguana yang ditangkar, yaitu iguana hijau dan merah. Namun, anakan iguana ditaruh secara terpisah dengan induknya. “Anakan memang ditaruh sendiri. Takutnya, kalau pejantan yang dewasa terlalu dominan, bisa jadi digigit
dan diburu,” tutur Fajar. Libatkan mahasiswa Dalam merawat iguana, Fajar bersama mahasiswa lainnya secara bergantian memberikan suplai makanan kepada hewan herbivora tersebut. “Karena ini dari mahasiswa dan untuk mahasiwa, maka yang support makanan, ya, mahasiswa. Misalnya, Senin dan Selasa, (yang memberi makan) adalah mahasiswa angkatan 2013. Giliran Rabu dan Kamis, mahasiswa angkatan 2014. Jadi setiap hari ada kontak dengan mahasiswa,” tutur Fajar yang kini melanjutkan pendidikan spesialis dokter hewan. Karena tergolong herbivora, mahasiswa biasanya memberi makan sayur-sayuran sejenis kangkung, sawi, dan kecambah. Kebutuhan pangan sebelas ekor iguana dicukupi dengan 20 ikat kecil kangkung, dan kecambah seharga Rp 5 ribu hingga Rp 10 ribu. Kadang-kadang, mahasiswa juga memberikan wortel kepada hewan bersisik dan berpaku ini. Pemberian makan ini cukup dilakukan selama sekali sehari. Dalam keseharian, iguana juga butuh berjemur. Semakin besar iguana, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk berjemur. Waktu yang dibutuhkan bersifat relative, karena bergantung kebutuhan dan metabolisme iguana. Di kampus FKH, karena kandang berlokasi di luar ruangan, iguana bisa mengatur sendiri kebutuhan terhadap panas sinar matahari. Fajar mengatakan, tidak ada kendala yang berarti ketika menangkar iguana. Menurutnya, iguana adalah hewan yang cepat beradaptasi dengan manusia. Terlebih, iguana yang dibiakkan di kampus FKH bukanlah keturunan terdekat dari iguana yang berasal dari Amerika Latin.
Salah satu dari belasan iguana yang baru menetas dan diletakkan di dalam kotak inkubator yang ada di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga (Foto: Alifian Sukma) “Ini hasil tangkaran yang sebelumnya sudah ditangkarkan di Indonesia. Jadi, bukan asli Amerika Latin banget. Kalau yang di Amerika Latin mungkin menggigit,” kata Fajar. Keberadaan iguana di kampus FKH juga dimanfaatkan oleh mahasiswa demi kebutuhan studi. Mahasiswa dapat memanfaatkan iguana untuk mengamati siklus reproduksi, berahi, maupun dalam keadaan sakit. Mahasiswa yang sedang praktikum juga diperbolehkan untuk mengambil sampel pada iguana yang diternak di kampus. Fajar juga berpesan dua hal yang perlu diperhatikan kepada para penangkar iguana di luar kampus. Pertama adalah waktu. Menurut Fajar, pemilik iguana harus menyisihkan waktu untuk memelihara iguana. “Harus punya waktu dulu karena iguana ini butuh berjemur dari pagi sampai siang,” saran Fajar. Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah kandang. “Jangan beli
(iguana) dulu, kemudian baru punya kandang. Iguana memang mudah perawatannya tidak serumit hewan lainnya,” imbuh Fajar. Penulis: Defrina Sukma S. Editor : Dilan Salsabila
Mahasiswa FST Bentuk Kader Lingkungan di MAN Surabaya UNAIR NEWS – Suasana sekolah yang rindang dan nyaman tentunya dibutuhkan untuk mendukung sarana belajar-mengajar yang kondusif di sekolah. Letak sekolah yang berada dekat dengan area mangrove dengan pengaruh cuaca yang panas, dibutuhkan adanya penghijauan agar lahan yang gersang bisa berubah rindang. Permasalahan itulah yang melatarbelakangi mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi (FST) UNAIR melakukan pengabdian masyarakat di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Surabaya, sekolah yang terletak di Jalan Wonorejo Timur No.14, Surabaya. Pengabdian masyarakat tersebut merupakan implementasi dari Program Kreatifitas Mahasiswa Pengabdian Masyarakat (PKM-M) dengan judul “ENVISCHO (Environmental School) Pemanfaatan Lahan Kosong Sebagai Integrasi Kepedulian Lingkungan dan Pendidikan Karakter Siswa-siswi MAN Surabaya”. “Sekolah ini memiliki lahan baru yang masih gersang, sehingga membutuhkan penghijauan supaya menjadi sekolah yang rindang dan nyaman bagi siswa-siswinya. Sekolah ini berada di dekat area mangrove Wonorejo, sehingga tak heran bila cuacanya panas, terlebih didukung oleh minimnya penghijauan di sekolah ini,” ujar Muhammad Yufansyah Purnama selaku ketua tim PKM-M.
Yufansyah tidak sendirian dalam menjalankan program tersebut. Ia bersama keempat rekannya yakni Pradika Annas Kuswanto, Triadna Febriani Abdiah, Aulia Sukma Hafidzah, dan Shifa Fauziyah. Diantara mereka ada yang mengambil program studi Ilmu dan Teknologi Lingkungan (ITL) dan Biologi. Solusi minimnya lahan untuk penghijauan yang ditawarkan Yufansyah dan tim yaitu dengan menerapkan urban farming, pertanian khas perkotaan dengan memanfaatkan lahan sempit. Tanaman yang ditanam adalah tanaman lokal, seperti sayursayuran, obat-obatan, atau tanaman lain berbatang herba sehingga bisa dipanen dalam satu waktu. “Tanaman yang dapat ditanam dengan metode hidroponik ini antara lain bayam, selada, dan kangkung. Tanaman tersebut bernilai jual tinggi, karena merupakan sayuran yang sering dikonsumsi oleh masyarakat,” ujar Yufansyah.
Tim PKM dari kiri ke kanan M Yufansyah, Triadna Febriani, Shifa Fauziyah, Aulia Sukma, Pradika Annas. (Foto: Istimewa) Membentuk kader lingkungan yang berkomitmen dalam menjaga
kelestarian lingkungan adalah misi besar tim PKM-M ini. Pembentukan kader tersebut tentunya terdiri atas berbagai tahap, terdiri dari brainstorming, pembekalan urban farming, pembekalan manajemen organisasi, serta pembekalan cara memasarkan produk dari urban farming. Sehingga program ini bukan hanya mengajak siswa untuk peduli lingkungan, namun juga melatih jiwa kewirausahaan mereka. “Mereka juga diberi pembekalan cara memasarkan produk dari urban farming sehingga bernilai ekonomi. Tim Envischo memberikan pelatihan untuk memanfaatkan produk daun kaca piring. Pelatihan enterpreneurship ini diberikan dengan tujuan membentuk kader lingkungan yang mandiri dan pandai memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia,” lanjut Yufansyah. Meskipun pengkaderan dilakukan di hari Sabtu, namun antusiasme siswa MAN Surabaya untuk bergabung dengan program ini sangat tinggi. Terbukti dengan jumlah kehadiran mereka yang memenuhi ruang kelas saat pengkaderan. Hal ini juga karena sekolah dan para guru, utamanya guru mata pelajaran Biologi, mendukung penuh kegiatan ini. “Program ini sangat bermanfaat untuk menambah wawasan tentang lingkungan, tentang memanajemen organisasi, dan wawasan baru yang tidak kami dapat di kelas. Harapannya, program ini berlanjut hingga beberapa tahun ke depan, sehingga permasalahan lingkungan di sekolah bisa teratasi,” ujar Mawardi, siswa kelas XI MAN Surabaya yang menjadi anggota kader lingkungan dari Program Envischo. Yufansyah selaku ketua PKM berharap, kader lingkungan yang ia bentuk bersama tim bisa berkontribusi untuk masyarakat secara luas, tidak hanya di MAN Surabaya. Selain itu, ia juga berharap kader yang telah terbentuk bisa terus berjalan hingga tahun-tahun kedepan. (*) Penulis : Binti Q. Masruroh
Editor
: Nuri Hermawan