Tiga Guru Besar Baru UNAIR Akan Dikukuhkan UNAIR NEWS – Rektor Universitas Airlangga akan mengukuhkan tiga guru besar baru, Rabu (24/5). Ketiga guru besar tersebut menjadi bukti bahwa UNAIR melahirkan ilmuwan-ilmuwan baru untuk mengabdikan diri kepada masyarakat. Ketiga guru besar yang akan dikukuhkan adalah Prof. Dr. R. Tatang Santanu Adikara, M.Sc., drh (Fakultas Kedokteran Hewan), Prof. Dr. Drs. H. Widi Hidayat, M.Si., Ak., CA., CMA (Fakultas Ekonomi dan Bisnis), dan Prof. Dr. I Dewa Gede Ugrasena, dr., Sp.A (K) (Fakultas Kedokteran). Sebelum dikukuhkan, Pusat Informasi dan Humas (PIH) UNAIR menggelar jumpa pers bersama ketiga guru besar yang dihadiri para awak media, Selasa (23/5). Dalam jumpa pers yang dipimpin langsung Sekretaris PIH Dr. Bimo Aksono, mereka memaparkan tentang materi orasi ilmiah. Prof. Tatang menyampaikan ringkasan orasi berjudul “Peran Akupunktur dalam Ilmu Anatomi dan Kesejahteraan Masyarakat”. Tatang yang juga Guru Besar FKH aktif ke-26 menggunakan soft laser untuk pada titik-titik akupunktur pada hewan yang ia sebut dengan laserpunktur. “Laserpunktur bisa digunakan untuk meningkatkan kesehatan hewan, peningkatan produktivitas berat badan, produksi susu, peningkatan stamina hewan-hewan pacu dan paduan, dan juga peningkatan kemampuan reproduksi,” tutur Guru Besar UNAIR ke-456 dalam jumpa pers tersebut. Konsep ke depan, laserpunktur dapat digunakan untuk mempersiapkan jenis-jenis unggulan asli ras Indonesia. Ada pula Prof. Widi yang menyampaikan orasi berjudul “Optimalisasi Kinerja Entitas melalui Sinergi Internal dan
Eksternal Audit”. Dalam jumpa pers tersebut, Guru Besar FEB aktif ke-21 menyampaikan bahwa entitas pemerintah dan bisnis perlu bersinergi demi perbaikan tata manajemen. “Agar proses audit internal dan eksternal tidak menjadi beban,” tegas Guru Besar UNAIR ke-457. Terakhir, Prof. Ugrasena juga menyampaikan orasi berjudul “Strategi Meningkatkan Kesintasan Kanker pada Anak dalam Situasi yang Penuh Tantangan”. Guru Besar FK aktif ke-107 itu menyebutkan, angka sintas yang rendah pada anak dengan penyakit kanker. Ugrasena yang juga Guru Besar UNAIR ke-458 mengidentifikasi setidaknya ada sembilan yang membuat angka sintas tersebut rendah. Di antaranya adalah keterlambatan tiba di fasilitas medis, keterbatasan finansial, keterbatasan tenaga, ketersediaan macam obat yang minim, malnutrisi, dan keterbatasan kapasitas tenaga medis. Penulis: Defrina Sukma S Editor: Nuri Hermawan
Tiga Guru Besar Diskusikan Masalah Pemberitaan Hoax UNAIR NEWS – Maraknya berita abal-abal atau yang lebih dikenal dengan istilah berita hoax, tengah menjadi hal yang hangat diperbincangkan. Berbagai kalangan pun tidak segan-segan membentuk sebuah komunitas untuk melawan maraknya pemberitaan hoax di media sosial. Selain itu, pemerintah juga turut ambil andil untuk membuat kebijakan mengenai maraknya kasus berita
hoax tersebut. Untuk hal itu, sebagai institusi pendidikan, Universitas Airlangga turut merespon isu tersebut dengan menggelar kegiatan talkshow Gelar Inovasi Guru Besar, Kamis (16/3). Kegiatan bertema “Peran Aktif Masyarakat Menghadapi Hoax di Media Sosial” dihadiri tiga pembicara dari lintas keilmuan yakni Prof. Dr. Didik Endro Purwoleksono, S.H., M.H., guru besar Fakultas Hukum, Prof. Dra. Rachmah Ida, M.Com., Ph.D., guru besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, dan Prof. Dr. Cholichul Hadi, Drs., M.Si., guru besar Fakultas Psikologi. Pada kegiatan tersebut dimoderatori langsung oleh Dr. Yayan Sakti Suryandaru, S.Sos., M.Si. Dalam pembukaan diskusi, Yayan menjelaskan bahwa hoax memang menjadi suatu hal menarik untuk didiskusikan. Selain itu, Yayan juga sedikit mengulas peranan hoax yang ikut serta mewarnai pesta demokrasi baik di luar negeri dan tanah air. Hadir sebagai pembicara pertama, Prof. Dra. Rachmah Ida, M.Com., Ph.D., guru besar FISIP UNAIR menjelaskan, hoax sejatinya tidak menimbulkan kekhawatirkan jika hanya pada tataran kecil. Satu hal yang menjadikan hoax satu hal yang berbahaya jika hal itu mengarah pada suatu hal yang besar, negara misalnya. “Hoax bisa menjadi sebuah hal yang besar jika hal itu berdampak pada sebuah sistem yang lebih besar seperti negara, politik, dan suatu institusi. Jika hanya pada tataran yang kecil, hoax memang tidak begitu menjadi sebuah permasalahan,” terangnya. Menambahkan pernyataan Prof. Ida. Pemateri kedua yakni guru besar Fakultas Psikologi UNAIR Prof. Dr. Cholichul Hadi, Drs., M.Si., menjelaskan, fenomena hoax yang dilakukan oleh setiap individu merupakan salah satu perlikau menyimpang. Terlebih, jika hal itu dilakukan secara terus menerus. “Buatlah diri sendiri ini menjadi hebat, jangan pesimis dan terpaku pada orang lain,” terangnya.
pandangan selanjutnya disampaikan oleh guru besar FH UNAIR Prof. Dr. Didik Endro Purwoleksono, S.H., M.H. Selaku pemateri ketiga, Prof. Didik menjelaskan bahwa untuk meneggakkan hukum mengenai hoax bukanlah perkara mampu atau tidaknya, melainkan mau atau tidak. “Dalam tataran hukum mengenai hoax ini bukan soal mampu tidaknya, tapi mau atau tidak,” tegasnya. Dari pihak penyelenggara, Dr. Eduardus Bimo Aksono H, drh. M.Kes., selaku sekretaris Pusat Informasi dan Humas (PIH) UNAIR menyampaikan dihadapan hadirin bahwa kegiatan gelar inovasi guru besar merupakan salah satu bentuk kepedulian para guru besar di UNAIR untuk ikut serta memecahkan isu-isu yang sedang berkembang di masyarakat. “Semoga hasil diskusi ini bisa memberikan banyak pelajaran dan proses pencerahan di masyarakat,” jelasnya.
Penulis : Nuri Hermawan Editor
: Defrina Sukma
Pengukuhan Guru Universitas Airlangga
Besar
Pengukuhan Guru Besar Universitas Airlangga atas nama: 1. Prof. Dr. Moh. Yasin, M.Si 2. Prof. Dr. Utari Kresnoadi, drg., M.S., Sp.Pros(K) 3. Prof. Dr. Mirni Lamid, drh., M.P
Tiga Guru Diskusikan Demokrasi
Besar UNAIR Keadilan dan
UNAIR NEWS – UNAIR kembali menghelat acara Gelar Inovasi Guru Besar. Kali ini, Rabu (19/10), di Ruang Kahuripan 300, Kantor Manajemen UNAIR, acara sumbang intelektual dari Gubes UNAIR tersebut bertajuk “Demokrasi dan Keadilan : Mimpi yang Harus Direalisasikan”. “Melalui forum ini, kita gandakan pemikiran-pemikiran para Guru Besar UNAIR untuk masyarakat Indonesia,” ujar Drs. Suko Widodo, M.Si, Ketua Pusat Informasi dan Humas UNAIR saat memberikan sambutan. Gelar Inovasi tersebut menghadirkan tiga Gubes, yaitu Guru Besar FISIP Prof. Drs. Ramlan Surbakti, M.A., Ph.D, Guru Besar FEB Prof. Dr. Djoko Mursinto, S.E., M.Ec, dan Guru Besar FISIP Prof. Dr. Hotman Siahaan, Drs. Acara yang dimoderatori oleh Dr. Suparto Wijoyo, SH., M.Hum tersebut dihadiri oleh kurang lebih 150 peserta dari berbagai kalangan. Mulai dari sivitas akademika, hingga perwakilan dari instansi pemerintah. Kondisi Demokrasi Indonesia Dalam pembahasan Gelar Inovasi tersebut, Prof. Hotman menyatakan bahwa di Indonesia banyak perlakuan diskriminasi namun mengatasnamakan demokrasi, hal tersebut terjadi karena voting yang selalu mengesahkan suara mayoritas. “Dulu di Aceh, punya laksamana laut perempuan terhebat di
masanya, Laksamana Malahayati. Nah sekarang, perempuan naik motor pakai celana jeans saja dilarang oleh sebuah peraturan,” jelas Prof. Hotman memberikan contoh. Dekan FISIP Periode 2001-2007 tersebut menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia sudah terlampau inflasi. “Partai politik yang menggagas demokrasi saja sudah tidak demokrasi. Mana mungkin pemimpin parpol digantikan oleh anggota parpol yang lainnya, ini kan sudah tidak demokrasi, wong mereka yang mbandani,” jelasnya. Senada dengan Prof. Hotman, Prof. Ramlan Surbakti menambahkan, bahwa kesenjangan sosial tidak selalu buruk. Sesuai survei di Amerika, Prof. Ramlan mengungkapkan bahwa kesenjangan sosial itulah yang mampu memotivasi manusia untuk saling bersaing. Kendati demikian, pemerintah selayaknya tetap melakukan kewajibannya untuk menentukan dan memiliki arah terkait apa yang harus diurus oleh sebuah negara. “Harus jelas bentuk dan arahnya, apa yang benar-benar harus diurus oleh negara, supaya demokrasi ini mampu memberikan kesejahteraan pada masyarakat. Percuma demokrasi tapi gak sejahtera, mending otoriter, tapi rakyatnya sejahtera,” jelas Prof. Ramlan. Mengenai carut marut demokrasi di Indonesia, Prof. Djoko Mursinto menilai bahwa demokrasi dapat dimulai dari pedesaan. Sebagai Guru Besar dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Prof. Djoko menyatakan bahwa pembangunan desa dan pembangunan kawasan pedesaan akan lebih berhasil bila di desa tersebut berdiri BUMDes (Badan Usaha Milik Desa). (*) Penulis : Dilan Salsabila Editor : Faridah Hari
Bahas Solusi Pro dan Kontra Kebijakan Pengampunan Pajak UNAIR NEWS – Setelah sukses dengan acara Gelar Inovasi Guru Besar bertema “Stem Cell: Harapan untuk Kehidupan yang Lebih Baik”, Universitas Airlangga kembali mengadakan acara serupa dengan tema berbeda. Kali ini, tema yang akan diangkat adalah mengenai isu pengampunan pajak atau tax amnesty. Acara yang akan diselenggarakan pada Selasa depan (27/9) tersebut, menghadirkan tiga guru besar UNAIR yang berkompeten yang dalam bidangnya, ialah Guru Besar FEB UNAIR Prof. Tjiptohadi Sawarjuwono, M.Ec., Ph.D, Guru Besar FISIP UNAIR Prof. Kacung Marijan, MA., Ph.D, dan Guru Besar FH UNAIR Prof. Dr. Tatiek Sri Djatmiati, M.S., acara akan dimoderatori oleh Dr. Sarwirini, S.H., M.S. Seperti yang pernah dituturkan Ketua Badan Perencanaan dan Pengembangan (BPP) Universitas Airlangga Badri Munir Sukoco, Ph.D, acara gelar inovasi guru besar ini diselenggarakan untuk menunjukkan kepedulian para pakar UNAIR atas permasalahan di masyarakat. Sehingga harapannya, guru besar UNAIR dapat memberikan sumbangsih pemikiran mereka atas permasalahan yang sedang perkembang di masyarakat. Seminar dengan tajuk “Tax Amnesty: Antara Harapan dan Kenyataan” ini mengundang pimpinan UNAIR, mahasiswa dan dosen fakultas ekonomi se-Surabaya, kepala dinas di lingkungan Jawa Timur, pengusaha, Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) Cabang Surabaya, dan tokoh masyarakat yang memiliki kepentingan dengan ekonomi dan pajak. Tax Amnesty atau pengampunan pajak memang sedang ramai diperbincangkan oleh masyarakat saat ini, utamanya ekonom. Pasalnya, UU Pengampunan Pajak yang diajukan pemerintah sudah disahkan DPR dan berlaku sejak 1 Juli 2016 melalui UU 11/2016.
Sehingga, tema Tax Amnesty relevan untuk dibicarakan sebab menyangkut sosialisasi pembayaran pajak oleh masyarakat. Seperti yang sudah diketahui, kebijakan Tax Amnesty atau pengampunan pajak dikeluarkan dengan tujuan untuk “menyehatkan” kondisi kas negara. Namun dalam perjalanannya, muncul sejumlah perspektif bernuansa pro dan kontra. Bagi pihak yang pro, kebijakan tersebut memang bisa menyehatkan kondisi kas negara, namun bagi yang kontra, ada asumsi kalau langkah eksekutif itu hanya memberi keuntungan pada pengusahapengusaha besar. Untuk itu, Sekretaris Pusat Informasi dan Humas UNAIR mengatakan, tema Tax Amnesty sangat relevan didiskusikan oleh pakar UNAIR dan masyarakat yang berkaitan langsung. “UNAIR sebagai intitusi pendidikan yang lebih netral, memiliki pakar-pakar yang akan memberi tanggapan terkait pro kontra pengampunan pajak. UNAIR ingin memberikan kontribusi bagi carut marut pro kontra tax amnesty,” ujar Bimo. Menyikapi hal tersebut, Universitas Airlangga turut ambil andil untuk mengupas baik-buruk dari kebijakan Tax Amnesty. Sekaligus, memberi solusi konkret bagi pemerintah terkait apa saja yang mesti dilakukan agar kebijakan ini tidak salah sasaran, apalagi berdampak negatif. Yang mesti diperhatikan pula, isu stratregis ini tidak hanya berkisar di satu bidang. Melainkan, melingkupi banyak aspek mulai ekonomi, sosial, politik, dan hukum. (*) Penulis : Binti Q. Masruroh Editor : Nuri Hermawan
Perkembangan Teknologi Ubah Sejarah Kehidupan UNAIR NEWS – Teknologi berhasil mengubah sejarah kehidupan manusia. Pernyataan itu disampaikan oleh Prof. Dr. Henri Subiakto, Drs., S.H., M.Si, ketika memberikan keterangan pers kepada wartawan, Kamis (28/4). Ia pun menjelaskan bagaimana perkembangan teknologi oleh mesin cetak dapat mengubah tatanan agama pada masa abad 15. Sampai sekarang, teknologi masih berkembang menuju ke arah teknologi komunikasi digital. Perubahan itu banyak terjadi di lini kehidupan manusia baik digital maupun riil. Teknologi memunculkan kolektivitas sosial hingga ekonomi. Tak sedikit warga dunia maya –atau yang kerap disebut dengan netizen– menunjukkan kepedulian baik di dunia niskala (virtual) maupun nyata, tentang peristiwa kemanusiaan yang berada di belahan bumi lain. Warga dunia maya adalah warga dunia masa depan. Mereka adalah generasi yang lahir pada dekade 90-an yang dekat dan melek dengan konektivitas internet dan teknologi. Para generasi digital native sudah biasa terpapar dengan perkembangan berbagai hal di bidang teknologi. Sedangkan, generasi sebelumnya yang tak begitu melek disebut sebagai digital immigrant. Pada akhirnya, menurut Prof. Henri, keberadaan teknologi telah mengubah arah kapital. Saat ini, yang terjadi dalam dunia komunikasi digital adalah pelayanan Over the Top (OTT). Layanan OTT adalah titik pertemuan antara sektor telekomunikasi dengan sektor penyiaran dan sektor internet. Layanan OTT ini memungkinkan pengguna untuk memperoleh manfaat internet yang tidak disediakan oleh operator komunikasi maupun operator internet. Dengan berbagai kreativitas dan inovasi, dari generasi inilah
lahir berbagai macam teknologi pintar. Berdasarkan kegunaannya, jenis OTT dibagi menjadi lima. Pertama, OTT Komunikasi yang memungkinkan pengguna berkomunikasi secara daring (dalam jaringan) berbasis internet dan tepat waktu melalui aplikasi seperti WhatsApp, LINE, Messengers, dan sejenisnya. Kedua, OTT media konten yang memungkinkan pengguna untuk mengakses tayangan konten seperti video dan musik, seperti YouTube, Netflix, Soundcloud, dan sejenisnya. Ketiga, OTT Dagang yang memungkinkan pengguna dan pengusaha melakukan transaksi perdagangan melalui PayPal, OLX, Grab, Uber, Go-Jek, dan Bukalapak. Keempat, OTT Media Sosial yang memungkinkan pengguna untuk berinteraksi lewat dunia maya seperti Facebook, Twitter, Path, LinkedIn, Tumblr, dan sejenisnya. Kelima, OTT Pengumpul Informasi yang memungkinkan pengguna mengakses layanan informasi dan bank data seperti Google Search, Google Maps, Google Earth, Mozilla Firefox, Yahoo! Search, dan sejenisnya. “Ada perubahan konseptual seiring dengan perkembangan komunikasi digital. Kalau dulu para intelektual mengabdi pada kapital. Segalanya bisa dibeli dengan uang, tetapi sekarang tidak. Sekarang justru kapital yang mengabdi pada teknologi. Pada tahun 2014, WhatsApp dibeli dengan harga senilai $19 miliar Dolar Amerika Serikat. Itu ada hampir seperlima APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) Indonesia,” tutur Prof. Henri. Menurut pandangan Guru Besar UNAIR di bidang Ilmu Komunikasi tersebut, bisnis yang menguntungkan di masa depan adalah bisnis di bidang OTT. Layanan OTT berhasil menghubungkan antara pihak yang membutuhkan dengan pihak yang memiliki sumber daya. Misalnya, layanan Go-Jek yang berhasil menghubungkan antara pengguna yang butuh kendaraan dengan pengemudi sepeda motor yang butuh tambahan penghasilan. Hal tersebut serupa dengan layanan yang ditawarkan oleh Uber dan Grab.
“OTT menghubungkan orang yang butuh dengan orang yang punya. E-commerce (e-dagang), Go-Jek, Nebengers, dan Uber adalah bentuk economy sharing. Ini mengubah model bisnis secara luar biasa,” tutur Guru Besar bidang Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNAIR. Keberadaan OTT media sosial dan mesin pencarian juga bisa mengancam keberadaan media konvensional seperti televisi, radio, dan koran. Prof. Henri mengatakan bahwa kelemahan media konvensional adalah micro-targeting perilaku konsumen. Di sisi lain, keberadaan OTT media sosial dan mesin pencarian berhasil meraup keuntungan yang tak sedikit. Sehingga, model bisnis digital seperti ini cukup menjanjikan di masa depan. Oleh karena itu, para pembuat keputusan –yang sebagian masih tergolong digital immigrant– harus bisa beradaptasi dengan perubahan teknologi yang masif. “Anak cucu kita nantinya hidup di dunia internet, tidak hanya fisik. Kehidupan kita bermigrasi. Ini yang tidak dipahami oleh digital immigrant. Ini menyentuh seluruh aspek kehidupan. Siapkah kita?,” tegas Prof. Henri. (*) Penulis: Defrina Sukma S Editor : Dilan Salsabila
Guru Besar ini Capai Gelar Profesor Dalam Waktu Satu Minggu UNAIR NEWS – Di bidang endokrinologi, penyakit diabetes mellitus masih menjadi perhatian utama dalam hal pencegahan dan penanganan. Walaupun diabetes mellitus merupakan kasus
terbanyak di bidang endokrinologi, namun kasus nodul tiroid –yang lebih dikenal sebagai benjolan di kelenjar gondok– belum mendapatkan perhatian khusus layaknya diabetes mellitus, walaupun jumlah kasusnya tidak dapat dikatakan sedikit. Nodul tiroid merupakan suatu kondisi di mana secara klinis dikenal sebagai pembesaran kelenjar tiroid. Apabila seseorang mengidap penderita nodul tiroid, kelenjar tiroid akan mengalami perubahan secara struktural dan atau fungsional. Pernyataan itu disampaikan oleh Prof. Dr. dr. Ari Sutjahjo, Sp.PD., K-EMD., FINASIM dalam orasi ilmiahnya berjudul ‘Pengelolaan Nodul Tiroid yang dapat Diterapkan pada Keterbatasan Sarana’. Orasi tersebut ia sampaikan pada prosesi pengukuhan Guru Besar Universitas Airlangga di Aula Garuda Mukti, Kantor Manajemen UNAIR, Sabtu (30/4). “Oleh karena secara anatomi letak kelenjar tiroid berada di permukaan, maka nodul tiroid dengan mudah dapat terdeteksi dengan pemeriksaan fisik maupun dengan menggunakan saran diagnostik seperti ultrasonografi, scintigraphy, dan CT-Scan,” tutur Prof. Ari dalam orasi ilmiahnya. Dalam hal menangani nodul tiroid, masyarakat perlu memahami gejala-gejala dan pengetahuan umum tentang penyakit yang menyerang kelenjar gondok itu. “Penyuluhan serta edukasi yang lebih banyak dan merata terhadap masyarakat terkait arti dari nodul tiroid, keluhan-keluhan yang dapat timbul akibat adanya nodul tiroid. Serta komplikasi yang dapat terjadi serta langkah apa yang perlu dilakukan akan sangat dibutuhkan oleh masyarakat,” imbuh Prof. Ari. Terkait dengan pendidikan medis, Prof. Ari menuturkan bahwa mahasiswa jenjang S-1 Pendidikan Dokter selayaknya diberi kesempatan lebih banyak untuk melakukan praktik di poli endokrinologi agar mendampingi para dokter. Sedangkan untuk pendidikan spesialis dua, ia mengatakan bahwa Indonesia masih kekurangan jumlah ahli di bidang endokrinologi, maka dari itu jumlah ahli endokrin perlu diperbanyak.
Proses Cepat Prof. Ari bisa dikatakan sebagai pengajar yang berhasil mengurus persyaratan sebagai profesor hanya dalam kurun waktu satu pekan. Surat keputusannya sebagai guru besar berhasil ia sandang ketika ia berhasil mencapai kredit poin sebesar 1.050 dari 850 poin sebagaimana syarat pengangkatan guru besar. Awalnya, ia tak bermaksud mengajukan berkas-berkas menjadi guru besar. Prof. Ari hanya ingin mengajukan surat pensiun mengingat ia sudah berusia ke-65 tahun pada tahun 2016. Namun, takdir berkata lain. Pihak FK UNAIR menganggap bahwa kredit poin yang ia miliki bisa mengantarkan dirinya menjadi guru besar baru di bidang ilmu penyakit dalam. “Pihak fakultas melihat nilai saya mencukupi untuk proses guru besar, maka saya disarankan melengkapi berkas pengurusan itu. Saya pun mengajukan berkas ke kementerian pada awal Januari 2016,” ujar guru besar kelahiran 10 Februari 1951 itu. Ia pun berhasil menyandang status guru besar hanya dalam total waktu satu bulan. Dirjen Pendidikan Tinggi Kemenristekdikti Prof. Ali Ghufron menyetujui suratnya dalam waktu satu minggu, dan menunggu tanda tangan Menristekdikti sekitar tiga minggu. “Akhirnya, surat keputusan diterbitkan per tanggal 1 Februari 2016,” tutur guru besar kelahiran Kediri itu. Pada 30 April, Prof. Ari resmi dikukuhkan oleh Rektor UNAIR sebagai Guru Besar bidang Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNAIR. Sejak UNAIR diresmikan pada tahun 1954, Prof. Ari merupakan Guru Besar UNAIR ke-447. Sedangkan, sejak UNAIR berstatus Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH), Prof. Ari merupakan guru besar ke-155. Prof. Ari juga menjadi Guru Besar FK UNAIR yang ke-106. (*) Penulis: Defrina Sukma S Editor : Dilan Salsabila
Pentingnya Interdepedensi Organisasi
Pendekatan dalam
UNAIR NEWS – “Mengelola Inovasi dan Kreatifitas di Organisasi dengan Menggunakan Pendekatan Interdepedensi yang Berbasis Budaya Lokal” menjadi judul pidato orasi ilmiah Prof. Dr. Cholicul Hadi, M.Si., saat pengukuhan Gubes yang dilaksanakan di Aula Garuda Mukti Kantor Manajemen UNAIR, Sabtu (30/4). Guru Besar dalam Bidang Psikologi Industri dan Organisasi Fakultas Psikologi UNAIR tersebut, mengangkat unsur terpenting dalam sebuah organisasi yakni sikap saling bergantung, ia melihat bahwa kinerja pada sebuah kelompok atau organisasi dinilai lebih tinggi dengan pola kerja sama dan saling ketergantungan (interdepedensi, -red), baginya dengan adanya interdepedensi akan terbentuk pola-pola bagi para aktor yang otonom dan kompleks untuk mengelola kepentingan bersama. Guru Besar ke-448 yang dimiliki UNAIR sejak berdiri pada tahun 1954 tersebut menambahkan, bahwa dalam konteks kekinian pelaku di dalam sebuah organisasi dituntut untuk mengembangkan sebuah inovasi dan kreativitas yang baginya terkadang membuat kecenderungan otonomi individual menjadi semakin kental. “Jika kecenderungan otonomi individual terjadi maka akan mempersulit terjadinya kerjasama dan interdepedensi,” jelas Alumnus Psikologi UNAIR 1988. Guru besar kelahiran Ngawi, 23 Maret 1964 tersebut juga menjelaskan bahwa istilah kreativitas dan inovasi dinilai lebih mendapatkan tempat dalam situasi kompetisi bebas dan global saat ini, dengan kreativitas dan inovasi baginya dunia
organisasi bisa terus mempertahankan eksistensi. Guru besar ke-156 UNAIR PTN-BH tersebut menilai bahwa kreativitas dan inovasi merupakan dua hal yang saling terkait, meski memiliki definisi berbeda keduanya memiliki hubungan yang sangat terkait. Meski demikian, bapak dua orang anak ini menegaskan bahwa dalam praktiknya di lapangan persoalanpersoalan semacam gesekan antaranggota yang muncul sering disebabkan oleh sebuah organisasi yang tidak mampu melakukan kedua hal tersebut (kreativitas dan inovasi, -red) secara konsisten dan tidak adanya dukungan dari anggota yang bisa memenuhi tuntutan persaingan. “Untuk itulah dorongan kreativitas dan inovasi harus tetap dimaknai bukan dalam artian individualistik, tetapi kolektivitas kelompok, iniliah pentingnya interdepedensi,” jelasnya. Pendekatan Interdepedensi Pada pertengahan pidatonya, guru besar ke-4 yang dimiliki oleh Fakultas Psikologi UNAIR tersebut menegaskan bahwa interdepedensi dengan bentuk manajemen merupakan hal yang sangat diperlukan untuk mengelola kompleksitas relasi antarindividu dalam organisasi yang saat ini diwarnai dengan dorongan inovasi dan kreativitas yang otonom dan kompetitif. Pendekatan Interdepedensi baginya memiliki akar tradisi budaya yang cukup kuat di Indonesia. Banyak istilah-istilah yang digunakan dalam masyarakat yang secara langsung merujuk pada pentingnya sebuah interdepedensi dalam sebuah organisasi. “Istilah tiji tibeh (mati siji mati kabehi), holopus kuntul baris, rame ing gawe sepi ing pamrih, sejatinya merupakan bentuk dari nilai-nilai lokal yang mengakar di masyarakat kita, penting makanya menerapkan hal-hal yang demikian ini dalam organisasi,” tuturnya. (*) Penulis : Nuri Hermawan
Editor
: Dilan Salsabila