UNAIR Kukuhkan Empat Guru Besar Baru Bidang Kesehatan dan Sosial UNAIR NEWS – Universitas Airlangga akan mengukuhkan empat guru besar baru pada Sabtu (8/7) mendatang. Keempat guru besar baru tersebut diharapkan dapat senantiasa mengalirkan pembaruan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupan berbangsa. Keempat guru besar baru yang akan dikukuhkan adalah Prof. Dr. Emy Susanti, Dra., MA, Prof. Dr. Bambang Soeprijanto, dr., Sp.Rad(K)A, Prof. Dr. Bagong Suyanto, Drs., M.Si., dan Prof. Dr. Ririh Yudhastuti, drh., M.Sc. Dalam jumpa pers yang digelar Kamis (6/7) di Ruang Sidang B Kantor Manajemen UNAIR, keempat profesor baru menyampaikan buah pikirannya di hadapan awak media. Guru Besar bidang Sosiologi Gender Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Prof. Emy merupakan guru besar UNAIR sejak berdiri ke-459 dan profesor FISIP aktif ke-17. Prof. Emy yang juga guru besar UNAIR sejak PTN-BH ke-167 akan menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Perempuan, Relasi Kuasa dan Sosiologi Gender” saat pengukuhan titel barunya. “Pemahaman tentang kesetaraan gender perlu diperkuat dengan landasan teori atau penguatan jaringan (networking). Untuk memperkuat pemahaman itu, kami di Pusat Studi Gender dan Anak UNAIR sering bekerjasama dengan kawan-kawan dari LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat),” tuturnya. Profesor kedua yang menyampaikan gagasannya kepada awak media adalah Prof. Bambang. Prof. Bambang merupakan Guru Besar bidang Radiologi Fakultas Kedokteran. Dia adalah guru besar UNAIR sejak berdiri ke-460 dan profesor FK aktif ke-108.
Nantinya, Prof. Bambang yang juga guru besar UNAIR sejak PTNBH ke-168 akan menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Inovasi Radiologi di Era Molekuler dan Digital”. Prof. Bambang menyampaikan, perkembangan dunia radiologi terus berjalan. Ia juga menambahkan bahwa teknologi inovasi radiologi di era molekuler dan digital yang menjadi bahan pidatonya, masih perlu proses panjang untuk diterapkan di Indonesia. “Kita perlu menyelesaikan tahap infeksi penyakit yang ada di masyarakat, baru radiologi dalam level molekuler dan sel ini bisa diterapkan perlahan,” imbuhnya. Guru Besar bidang Sosiologi Ekonomi FISIP Prof. Bagong merupakan guru besar UNAIR sejak berdiri ke-461 dan profesor FISIP aktif ke-18. Prof. Bagong yang juga guru besar UNAIR sejak PTN-BH ke-169 akan menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Sosiologi Ekonomi: Dinamika Kapitalisme dan Gaya Hidup Masyarakat Konsumer di Era Posmodern”. Prof. Dr. Drs. Bagong Suyanto, M.Si menawarkan satu pendekatan baru di bidang sosiologi ekonomi. Menurut Prof. Bagong, konsumen dieksploitasi oleh produsen tentang gaya konsumsi mereka. Beragam promosi perusahaan dan kekuatan industri membuat konsumen tidak bisa membedakan antara keinginan dan kebutuhan. “Ketika gengsi masyarakat lebih mengedepan, berbelanja menjadi sebuah gaya hidup,” ujarnya. Terakhir, Guru Besar bidang Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat merupakan guru besar UNAIR sejak berdiri ke-462 dan profesor FKM aktif ke-11. Prof. Ririh yang juga guru besar UNAIR sejak PTN-BH ke-170 akan menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Meramal Wabah Demam Berdarah Dengue”. Prof. Ririh menyarankan agar pemerintah dan masyarakat bisa mengantisipasi penyebaran penyakit DBD dengan memperhatikan siklus cuaca. Ahli kesehatan lingkungan itu juga mengatakan,
vektor virus Dengue Aedes aegypti akan berkembang secara optimum pada saat anomali cuaca seperti sekarang dan pada musim hujan. Penulis: Tim UNAIR News
Tiga Guru Besar Baru UNAIR Akan Dikukuhkan UNAIR NEWS – Rektor Universitas Airlangga akan mengukuhkan tiga guru besar baru, Rabu (24/5). Ketiga guru besar tersebut menjadi bukti bahwa UNAIR melahirkan ilmuwan-ilmuwan baru untuk mengabdikan diri kepada masyarakat. Ketiga guru besar yang akan dikukuhkan adalah Prof. Dr. R. Tatang Santanu Adikara, M.Sc., drh (Fakultas Kedokteran Hewan), Prof. Dr. Drs. H. Widi Hidayat, M.Si., Ak., CA., CMA (Fakultas Ekonomi dan Bisnis), dan Prof. Dr. I Dewa Gede Ugrasena, dr., Sp.A (K) (Fakultas Kedokteran). Sebelum dikukuhkan, Pusat Informasi dan Humas (PIH) UNAIR menggelar jumpa pers bersama ketiga guru besar yang dihadiri para awak media, Selasa (23/5). Dalam jumpa pers yang dipimpin langsung Sekretaris PIH Dr. Bimo Aksono, mereka memaparkan tentang materi orasi ilmiah. Prof. Tatang menyampaikan ringkasan orasi berjudul “Peran Akupunktur dalam Ilmu Anatomi dan Kesejahteraan Masyarakat”. Tatang yang juga Guru Besar FKH aktif ke-26 menggunakan soft laser untuk pada titik-titik akupunktur pada hewan yang ia sebut dengan laserpunktur. “Laserpunktur bisa digunakan untuk meningkatkan kesehatan
hewan, peningkatan produktivitas berat badan, produksi susu, peningkatan stamina hewan-hewan pacu dan paduan, dan juga peningkatan kemampuan reproduksi,” tutur Guru Besar UNAIR ke-456 dalam jumpa pers tersebut. Konsep ke depan, laserpunktur dapat digunakan untuk mempersiapkan jenis-jenis unggulan asli ras Indonesia. Ada pula Prof. Widi yang menyampaikan orasi berjudul “Optimalisasi Kinerja Entitas melalui Sinergi Internal dan Eksternal Audit”. Dalam jumpa pers tersebut, Guru Besar FEB aktif ke-21 menyampaikan bahwa entitas pemerintah dan bisnis perlu bersinergi demi perbaikan tata manajemen. “Agar proses audit internal dan eksternal tidak menjadi beban,” tegas Guru Besar UNAIR ke-457. Terakhir, Prof. Ugrasena juga menyampaikan orasi berjudul “Strategi Meningkatkan Kesintasan Kanker pada Anak dalam Situasi yang Penuh Tantangan”. Guru Besar FK aktif ke-107 itu menyebutkan, angka sintas yang rendah pada anak dengan penyakit kanker. Ugrasena yang juga Guru Besar UNAIR ke-458 mengidentifikasi setidaknya ada sembilan yang membuat angka sintas tersebut rendah. Di antaranya adalah keterlambatan tiba di fasilitas medis, keterbatasan finansial, keterbatasan tenaga, ketersediaan macam obat yang minim, malnutrisi, dan keterbatasan kapasitas tenaga medis. Penulis: Defrina Sukma S Editor: Nuri Hermawan
Momok Malaria dan Pentingnya Inovasi Penanganan UNAIR NEWS – Penelitian yang berkaitan dengan penyakit malaria selalu menarik dilakukan di Indonesia. Sebab, malaria masih menjadi momok di negeri ini. Memang, “kedahsyatan” malaria tidak sehebat dulu, pada era 90-an atau 2000-an awal. Obat malaria kini sudah jauh lebih gampang didapatkan. Namun, tetap saja penyakit tersebut rentan diidap oleh mereka yang berada di daerah perifer. “Kesadaran masyarakat di sana tentang penyakit ini belum benar-benar bagus. Upaya penyuluhan tetap penting untuk terus digiatkan,” kata Prof. Indah S. Tantular, peneliti dari Institute of Tropical Disease (ITD). Secara umum, malaria masih menjadi masalah kesehatan utama dunia karena menyebabkan kematian yang cukup tinggi. Malaria diperkirakan menginfeksi 300-500 juta penduduk dunia setiap tahun, dengan angka kematian mencapai 2,5 juta. Metode standar yang digunakan untuk diagnosik malaria adalah mikroskopis dengan pewarna Giemsa. Namun, metode tersebut memiliki kelemahan. Antara lain, memerlukan tenaga ahli yang berpengalaman dan waktu yang cukup lama untuk menemukan parasit di sampel darah yang dilihat lewat mikroskop. Tim ITD UNAIR, yang didukung pula oleh peneliti ITS, membuat modifikasi mikroskop, yang sudah sempat dijelaskan di bagian awal tulisan ini. Untuk memaksimalkan fungsi mikroskop tersebut, dipakailah pewarna Acridine Orange (AO) guna membantu melihat parasit dalam sampel darah. Metode ini berguna untuk skrining cepat malaria. Yang menarik, paramedis awam pun bisa melihat parasit yang ada di darah, kalau memang pasien mengidap malaria. Pasalnya, parasit akan tampak berpendar tatkala ditilik melalui mikroskop. Jadi,
selain terobosan soal modifikasi mikroskop, Indah S. Tantular dan tim juga melakukan inovasi di ranah pemilihan pewarna yang tepat untuk mendukung upaya diagnostik parasit malaria. Dengan mikroskop dan AO, diagnosa malaria bisa berlangsung hanya satu atau dua menit. Yang tak kalah menarik, mereka juga meramu formula untuk memeriksa G6PD (Glucose-6-phosphate dehydrogenase) pasien malaria. Jadi, saat pasien dinyatakan positif malaria, pemeriksaan G6PD dapat langsung dilakukan. Bila kadar G6PD yang bersangkutan tergolong rendah, pasien itu tidak dianjurkan untuk meminum obat primaquin. Obat tersebut, saat ini, sangat umum digunakan dalam penyembuhan malaria. “Kalau G6PD-nya deficiency, dan tetap memaksa minum pramaquin, sangat mungkin terjadi hematuria (pendarahan yang gejalanya dapat disaksikan dari urine. Urine yang keluar tampak mengandung darah, Red),” urai Indah. Bila G6PD-nya rendah, pasien perlu dicarikan obat atau alternatif lain untuk penyembuhan. Jangan sampai, pengobatan justru menimbulkan masalah baru. Formula hasil kreasi Indah dan tim sejatinya cukup sederhana. Penerapannya pun simpel. Bentuknya, berupa cairan yang jernih. Cairan tersebut, nantinya dicampur dengan darah penderita malaria. Bila warnanya berangsur pucat setelah sekitar dua puluh menit pencampuran, bisa dipastikan yang bersangkutan memiliki G6PD rendah. Sedangkan bila warnanya cerah mencolok oranye, berarti dia tidak memiliki masalah kalaupun mengonsumsi primaquin. “Biasanya, untuk pemeriksaan G6PD ini dibutuhkan banyak alat, inkubasi, dan waktu yang berjam-jam. Namun, dengan larutan yang kami buat, pemeriksaan bisa berjalan sekitar dua puluh menit,” kata dia. Jadi, bila dijumlahkan, waktu yang dibutuhkan untuk pemeriksaan malaria plus pengecekan G6PD, hanya sekitar tiga puluh menit, atau bahkan kurang! (*)
Editor: Defrina Sukma Satiti
Modifikasi Mikroskop untuk Diagnosa Cepat Malaria Modifikasi Mikroskop untuk Diagnosa Cepat Malaria UNAIR NEWS – Para peneliti dari Universitas Airlangga (UNAIR) tak pernah miskin terobosan. Selalu saja ada langkah inovatif yang berpengaruh positif bagi masyarakat. Pemikiran yang dicurahkan dalam berbagai produk tak pernah lepas dari azas kebermanfaatan. Salah satu peneliti yang selama ini aktif di Institute of Tropical Disease (ITD) adalah Prof. Indah S. Tantular , dr., M.Kes., Ph.D., Sp.Par-K. Peraih gelar doktor dari Universitas Nagoya Jepang itu, bersama timnya, melakukan inovasi dengan tajuk “Modifikasi Mikroskop Fluoresens untuk Diagnosa Cepat Malaria”. Nomor paten produk itu P00201000244, yang dipublikasikan dengan nomor 051.4628 A pada 6 Oktober 2011. “Dengan mikroskop ini, pengecekan darah untuk melihat parasit malaria dapat dilakukan dengan cepat, mudah, dan murah,” kata dia. Sejatinya, mikroskop fluoresens sudah ada di pasaran. Gunanya pun sama, sebagai alat bantu diagnosis malaria atau penyakit lain yang berasal dari parasit. Namun, alat tersebut cenderung berukuran besar dengan harga mahal. Untuk menghidupkannya, dibutuhkan aliran listrik yang prima. Indah S. Tantular dan kawan-kawan melihat hal itu sebagai sebuah tantangan untuk dipecahkan. Mereka pun memodifikasi
mikroskop biasa, dengan pengubahan filter tertentu di dalamnya. Lantas, dipakailah lampu halogen sebagai pelengkap. Meski kemudian, jenis lampu itu juga diganti dengan LED. Mikroskop fluoresense hasil modifikasi itu tidak kalah bermanfaat dengan versi yang lebih besar dan umum digunakan selama ini. Ada beberapa kelebihan mikroskop modifikasi ini. Pertama, harganya relatif lebih murah, hanya tiga sampai tujuh juta rupiah. Sedangkan mikroskop yang ada di pasaran harganya di atas seratus juta rupiah. Kedua, ukurannya lebih kecil dan bisa dijinjing ke mana-mana. Ini cocok untuk dibawa ke daerahdaerah perifer (daerah terluar atau terpencil). Ketiga, daya listrik yang dipakai cukup ringan. Bisa dengan daya AC/DC dari air aki mobil. Dengan demikian, aki mobil puskesmas bisa dimanfaatkan untuk mengoperasionalkannya. Jelas lebih praktis. “Sekarang sedang dikembangkan terobosan penggantian halogen dengan LED. Pastinya, akan makin praktis. LED listriknya cukup dari baterai,” urai peer reviewer Nepal Medical College Journal tersebut. Ditanya soal produksi massal temuan itu, Indah mengatakan, semua masih dalam proses. Sedang ada komunikasi, antara ITD dengan pemerintah pusat. Yang jelas, pihaknya siap untuk mendiskusikan ini lebih lanjut dengan pihak-pihak terkait. Selama ini, timnya sudah sering menggunakan mikroskop yang dimaksud saat melakukan pengabdian masyarakat ke daerah perifer. Terutama, di Indonesia bagian timur. Hasil inovasi ini dapat memberikan kontribusi positif pada pemerintah. Khususnya, dalam program pengendalian dan pembasmian malaria. Alat ini sederhana, ringan, compact, praktis dan gampang digunakan di mana saja dan kapan saja. “Pencegahan dan penanggulangan malaria adalah tugas kita bersama. Diagnosa penyakit yang cepat, akan bermuara pada pengobatan yang sedini mungkin. Pengaruhnya pun pasti bagus
untuk kesehatan pasien. Pengembangan ilmu pengetahuan untuk menangani penyakit ini amat diperlukan,” kata dia. (*) Editor: Defrina S. Satiti
Prof. Nasronudin dan Optimisme Membangun Keunggulan Riset UNAIR NEWS – Prof. Dr. Nasronudin, dr., Sp.PD, K-PTI, FINASIM lahir di Ponorogo dan menyelesaikan pendidikan dasar hingga menengah di kota reog tersebut. Selama ini, Guru Besar Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga (UNAIR) ini selama ini bergiat di spesialisisasi penyakit dalam dengan sub spesialis penyakit infeksi. Sosoknya menjadi rujukan dari banyak pertanyaan seputar penyakit populer belakangan ini antara lain Zika, demam berdarah dengue, HIV/AIDS, kaki gajah, malaria, tifoid, toksoplasma, dan lain sebagainya. Sejak dulu, tamatan pendidikan dokter Universitas Brawijaya pada 1983 ini sudah moncer. Seusai resmi menjadi dokter, dia langsung mendaftar CPNS dan diterima di Departemen Kesehatan. Dia ditempatkan di Rumah Sakit Umum Provinsi Riau, Pekanbaru, hingga 1984. Setahun kemudian, dia diangkat sebagai PNS Pusat dan mengabdi di RSU Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Enam bulan kemudian, dia didaulat menjadi kepala Puskesmas Sedanau Kecamatan Bunguran Barat. Lantas, pada 1987, dipindahkan ke Puskesmas Dabosingkep yang memiliki fasilitas rawat inap. Melihat perjalanan di awal pengabdiannya, bisa
menjadi cermin betapa pengalaman pemilik 22 penghargaan ini tidak perlu diragukan. Bahkan, sejak usianya masih tergolong muda. Pada 1991, Nasronudin melanjutkan pendidikan dokter spesialis di bagian ilmu penyakit dalam RSUD Dr. Soetomo – FK UNAIR dan lulus pada 1996. Pada 1997, dokter teladan provinisi Riau pada 1987 ini menjalankan tugas wajib kerja sarjana kedua di RSU Pembalah Batung Amuntai, Kalimantan Selatan. Pada 1999, bertolak ke Surabaya sebagai staf di Bagian-SMF Imu Penyakit Dalam RSUD Dr. Soetomo – FK UNAIR dan berlangsung hingga saat ini. Saat masih menjadi staf, Nasronudin menyempatkan diri untuk melanjutkan studi di program doktor di Pascasarjana UNAIR periode September tahun 2002. Dua tahun tujuh bulan setelahnya, dia dinyatakan lulus sebagai wisudawan terbaik dengan predikat cumlaude. Sementara gelar konsultan penyakit tropik dan infeksi diperoleh pada 2003. Pada tahun 2004, Nasronudin memenangkan Young Investigator Award di Kyoto Jepang. Nasronudin memrakarsai dan menjadi kepala UPIPI (Unit Perawatan Intermediet dan Penyakit Infeksi) RSUD Dr. Soetomo – FK UNAIR pada periode 2004-2009. Penulis belasan buku di bidang penyakit dalam dan infeksi yang banyak dijadikan rujukan dunia kedokteran/kesehatan ini menjabat Ketua Institute Of Tropical Disease (ITD) pada 2008-2015. Saat ini, dia dipercaya sebagai Direktur RS Universitas Airlangga sekaligus Direktur Utama Institut Ilmu Kesehatan (Airlangga Health Science Institute). “Indonesia memiliki kekayaan mikroorganisme, flora, fauna, dan aspek-aspek lain yang dapat menjadi modal pengembangan ilmu kedokteran. Semua itu merupakan media yang representatif untuk penelitian di bidang pencegahan penyakit, diagnosis penyakit, pengujian obat, pembuatan obat, dan sebagainya. Negeri ini harus optimistis kalau bisa unggul di level dunia,” ujar dia.
Pada beberapa tahun yang lalu, Nasronudin bersama dengan tim peneliti dari berbagai universitas di Indonesia dan Australia berkolaborasi untuk membuat obat herbal antidengue. Pada tahun 2013, UNAIR meluncurkan informasi resmi mengenai hasil metode dan uji klinis fase III. Sampai awal tahun 2016, tim peneliti sudah mengajukan ijin edar terhadap obat tersebut ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). (*) Editor: Defrina Sukma Satiti
Sekjen IDI Pusat Ukir Namanya di Prasasti Alumni FK UNAIR UNAIR NEWS – Sekretaris Jendral (Sekjen) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Pusat, dr. M. Adib Kumaidi, Sp.OT., hadir di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga, dan turut mencatatkan namanya dalam dinding “Prasasti Alumni FK UNAIR”. M Adib Kumaidi merupakan satu diantara 150 alumni FK UNAIR angkatan 1992-1993, yang Sabtu (2/4) kemarin berdatangan dari berbagai pelosok tanah air dan memenuhi halaman kampus almamaternya. Meskipun domisili dan aktivitasnya banyak dilakukan di Jakarta, namun alumnus FK UNAIR angkatan 1992 ini bersemangat hadir dan bernostalgia bersama teman satu almamaternya. Tentu saja, kehadirannya pun dimanfaatkan rekan-rekan sejawatnya untuk berdiskusi seputar masalah kedokteran yang sedang hangat, misalnya tentang wajib kerja dokter spesialis, dokter layanan primer (DLP) yang masih menjadi pro-kontra. Peresmian prasasti ini dilakukan oleh Dekan FK UNAIR Prof. Dr. Soetojo, dr., Sp.U(K), dan dihadiri Rektor UNAIR Prof. Dr. H. Mohammad Nasih, SE., MT., Ak., CMA., Ketua IKA FK Dr. Pudjo
Hartono, dr., Sp.OG(K), Wakil Rektor II Dr. Mohammad Madyan, dan undangan lainnya. Dengan diresmikannya Prasastri Alumni dari tiga angkatan kelulusan ini maka menambah kelengkapan Prasasti Alumni FK UNAIR yang sudah terpahat kokoh di dinding kampus sejak alumni pertama era NIAS (Netherlands Indische Artsen School – cikal bakal FK UNAIR) tahun 1923. NIAS sendiri didirikan tahun 1913. Prasasti Alumni FK ini dibuat untuk mereka yang telah menyelesaikan pendidikan dokter di kampus Karangmenjangan Surabaya ini. Otomatis dalam prasasti ini juga memuat lulusan NIAS (meluluskan sejak tahun 1923), lulusan Djakarta Ika Dai Gaku (di era jaman Jepang), hingga lulusan FK UNAIR. Rektor
UNAIR
Prof.
Moh
Nasih
dalam
sambutannya
juga
mengapresiasi positif adanya tradisi mencatatkan nama alumni pada prasasti di dinding kampus almamaternya. Pencantuman nama pada prasasti seperti ini, menurut Rektor, setidaknya ada dua makna. Pertama, secara historis akan selalu mengingatkan para alumni, dimana pun mereka bertugas, untuk selalu ingat kepada almamater. Kedua, sebagai alumni yang namanya tercatat pada prasasti, maka secara otomatis akan turut bertanggungjawab menjaga dan menjunjung nama baik almamater. Apalagi keberadaan alumni juga penting dalam perankingan universitas, yaitu sebagai employer reputation.
DUA alumni FK angkatan 1992-1993 secara simbolis mencatatkan namanya di papan prasasti alumni FK UNAIR. (Foto: Humas FK) ”Karena itu, kami juga titip pesan kepada almamater FK untuk ikut bersama-sama membesarkan almamater UNAIR ini, sehingga baik-buruk dan maju-mundurnya universitas juga bisa dilihat dari para alumninya dan professinya,” kata Pak Rektor. Sedangkan Ketua IKA FK UNAIR Dr. Pudjo Hartono, dr., Sp.OG(K) mengajak semua alumni untuk mensyukuri bahwa namanya terpampang pada dinding almamater kampus kharismatik ini. Karena itu, ia mengajak rekan sejawatnya untuk selalu ingat terus pada almamater, kemudian menjaga namanya dengan tetap menjaga professi ini sebagai professi mulia, serta mendorong semua alumni menjaga baik nama almamater. Dekan FK UNAIR Prof. Soetojo juga berharap para alumni FK UNAIR turut berkontribusi mendukung almamater sebagai upaya FK menunjang UNAIR untuk menuju sasaran yang dibebankan pemerintah yaitu menjadi 500 perguruan tinggi terbaik dunia. ”Karena itu, FK menyatakan siap menjadi salah satu motor
penggerak UNAIR untuk menggapai sasaran tersebut,” tandas Guru Besar Urologi FK UNAIR itu. (*) Penulis: Eighty Mardyan, dr., Sp.OG(K), Humas FK. Editor: Bambang Bes
Dua Fakultas di Kampus A yang Termasuk Ikon Kota Surabaya UNAIR NEWS – Kampus A Universitas Airlangga (UNAIR) tergolong bangunan bersejarah alias Cagar Budaya. Letaknya, di Jalan Mayjend Prof Moestopo. Ada dua Fakultas di sana. Yakni, Fakultas Kedokteran (FK) dan Fakultas Kedokteran Gigi (FKG). Keduanya, menjadi bagian dari ikon Kota Surabaya.
Dievaluasi, ‘Website’ Semua Program Studi di FK UNAIR UNAIR NEWS – Setelah dilaksanakan pelatihan selama dua minggu sejak tanggal 13 Maret hingga 24 Maret 2017 kemarin, pelaksanaan Pekan Pemutakhiran Data Website di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga, pada Senin (27/3) pagi kemarin dievaluasi. Dihadiri langsung oleh Wakil Dekan I FK UNAIR Prof. Dr. David Sontani Perdanakusuma, dr., Sp.BP., dan langsung melakukan evaluasi dengan membuka website dari satu prodi ke prodi yang lainnya. Pertama kali yang dibuka adalah program studi Pendidikan Dokter (S-1), Prof. David langsung memuji karena laman-laman website Pendidikan Dokter itu sudah terisi sebesar 95,8 persen. Kemudian menyusur ke prodi Kebidanan, Sp2 Anestesiologi, Bedah Digestif, Sp2 Ilmu Kesehatan Anak, Obgin, prodi S-3 Kedokteran, Kesehatan Olahraga, dst. Diantara yang sudah terisi 100 persen antara lain Humas dan BKKM. “Laman sejarah dan kontak rata-rata sudah terisi. Yang belum terisi kebanyakan pada laman penelitian dan acara. Tapi saya yakin kemudian hari akan makin banyak. Jadi kalau dirata-rata
dari semua prodi sudah terisi sekitar 60 persen,” kata Prof. David S. Perdanakusuma.
BEBERAPA staf bagian TI melakukan pendampingan dalam pemutakhiran data website di FK UNAIR. (Foto: Bambang Bes) Wakil Dekan I FK UNAIR ini berharap sampai hari Rabu (29/3) prosentase isi web itu sudah bertambah lagi, yaitu yang ditayangkan di website. Sebab pada saat itulah akan diumumkan siapa saja website terbaik yang menjadi pemenang dari “lomba” dalam Pekan Pemutakhiran Data website di FK UNAIR ini. Peningkatan konten senantiasa diharapkan terus bertambah, untuk itu kepada mahasiswa masing-masing prodi diharapkan turut aktif melakukan pengisian. Sementara disela evaluasi, Ketua Unit Pengelola Data DigitalUnit Sistem Informasi (UpeDDi-USI) FK UNAIR, dr. Musofa Rusli, SpPD., berpendapat, yang terpenting diantara pengelola webprodi tersebut sudah mengetahui kisi-kisi apa saja yang bisa dimasukkan ke dalam website. Selain itu yang terpenting juga bahwa mereka sudah memulai, dan tinggal melanjutkan.
”Kalau sudah mengetahui kisi-kisi apa saja, saya yakin dalam waktu dekat akan semakin full isinya. FK banyak aktivitas. Malah nanti jika sampai terlalu banyak, maka harus selektif yang dilakukan humas,” kata dr Musofa, optimistis. (*) Penulis: Bambang Bes
Tingkatkan Neonatologi, FK UNAIR Gandeng Beatrix Children Hospital Netherland UNAIR NEWS – Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK UNAIR) akan terus berupaya untuk meningkatkan pelayanan perawatan bayi (neonatologi). Langkah terbaru yang ditempuh adalah menjalin kerjasama dengan Beatrix Children Hospital University Medisch Centrum Groningen (UMCG) Netherlands dan D Erasmus Belgium. Jalinan kerjasama itu dilaksanakan pada hari Selasa 21 Maret 2017 lalu. Pihak Beatrix Children Hospital Netherlands dan D Erasmus Belgium datang ke FK UNAIR. Mereka antara lain Prof. Arend Frederick Bos, MD.,Ph.D., Prof. Pieter J.J Sauer, MD.,Ph.D., Prof. Peter Dijk, MD.,Ph.D, juga Prof. Bart Van Overmiere, MD.,Ph.D, serta Corry Klompie (IC Nurse), dan Siebrig Ploegsma (IC Nurse). Tamu dari Eropa itu diterima di ruang Dekan Fakultas Kedokteran UNAIR oleh Wakil Dekan III FK UNAIR Prof. Dr. Ni Made Mertaniasih, dr.,Ms.,Sp.MK(K), didampingi Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo (RSDS) dr. Muhammad Faizi, Sp.A(K), dosen senior dr. Agus Harianto, Sp.A(K), Dr. dr. Risa Etika, Sp.A(K), dr. Mahendra
Tri A.S, Sp.A, dr. Dina Angelika, Sp.A, dan beberapa staf. Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSDS, dr. Muhammad Faizi, Sp.A(K) menjelaskan, selain peningkatan pelayanan, dalam kerjasama tersebut juga dibahas tentang tiga sektor strategis dalam pengembangan neonatologi. Dalam kerjasama tersebut juga disepakati tentang empat hal yang akan dilaksanakan bersama. Keempatnya adalah meningkatkan kualitas pelayanan dokter, peluang student exchange, merancang panduan nasional tata laksana penanganan bayi lahir, serta meningkatkan penelitian dosen di bidang riset internasional. Dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan dokter itu, UMCH Netherlands juga telah mengirimkan beberapa perawat ke Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo. Mereka akan praktik bersama dengan perawat dan dokter di RSDS, khususnya dalam menangani bayi. Perawat dari Beatrix Children Hospital yang merupakan rumah sakit pendidikan bagi University Medisch Centrum Groningen itu telah memberikan pelatihan selama empat hari yang berlangsung sejak tanggal 21 Maret hingga Sabtu 25 Maret 2017 kemarin. (*) Penulis: Bambang Bes.
Langganan Juara, Michael Jonatan Wisudawan Berprestasi FK UNAIR UNAIR NEWS – Kesuksesan seseorang tidak dapat seketika direngkuh secara instan. Pemahaman ini tampaknya begitu melekat sebagai prinsip bagi Michael Jonatan. Setumpuk
prestasi level nasional hingga internasional berhasil ia raih. Pantas jika mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga ini kemudian dinobatkan sebagai mahasiswa berprestasi tingkat universitas. Michael memang cukup lekat dengan segudang prestasinya. Hingga saat ini, telah terkumpul tiga penghargaan internasional dan delapan penghargaan nasional. Masing-masing terkumpul juara I hingga III. Penghargaan tersebut adalah pembuktiannya setelah mengalahkan para kompetitor mulai tingkat mahasiswa, dokter spesialis, doktor, dan profesor. “Dari sekian banyak prestasi, yang paling berkesan adalah pencapaian saya di ajang Indonesian Society of Hypertension 2017 (InaSH) yang berlangsung di Jakarta. Meski lomba ini hanya tingkat nasional, namun ini amat membanggakan karena lomba ini berkaitan dengan minat dan cita-cita saya,” kata Michael. Dalam kompetisi tersebut, Michael menyampaikan presentasi bertema hipertensi di hadapan para kompetitor dari kalangan dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, hingga para pakar di bidang hipertensi. Bahkan sebagian tim juri pun didatangkan dari Inggris dan Malaysia. Michael juga tak jarang tampil sebagai pembicara di berbagai pertemuan ilmiah, baik di tingkat nasional maupun internasional. Yang paling bergengsi adalah ketika ia presentasi dalam acara The 33th World Congress of Internal Medicine pada tahun 2016 di Bali. “Pada saat itu, saya berbicara di depan para pakar Ilmu Penyakit Dalam dari hampir seluruh dunia, seperti Jepang, Rusia, dan Inggris,” ungkapnya. Michael berkeyakinan di tingkat nasional seseorang yang unik kompetensi umum dari
bahwa nama besar UNAIR akan semakin jaya dan internasional. “Saya ingin menjadi dan punya kemampuan tambahan di luar mahasiswa kedokteran,” ungkapnya.
”Bagi saya, untuk meminimalisir gangguan pada kegiatan perkuliahan, saya lebih memilih untuk mengalokasikan waktu luang dengan mengikuti berbagai kegiatan kompetisi,” imbuh penghobi renang. Michael berkeinginan besar untuk menjadi seorang dokter spesialis jantung dan pembuluh darah. Ia menyadari untuk bisa mencapai keberhasilan diperlukan ketekunan, keberanian, kesabaran, dan memanfaatkan waktu sebaik mungkin. “Saya ingin buktikan bahwa ketika saya bersungguh-sunguh, saya bisa mencapai hal yang saya inginkan. When there is a will, there is a way,” ungkapnya. (*) Penulis: Sefya Hayu Istighfaricha Editor: Defrina Sukma