KULIAH UMUM KEBANKSENTRALAN Kuliah Umum Kebanksentralan bersama Anggota Dewan Gubernur Bapak Hendar dan Bapak Adrianus Mooy, di Universitas Nusa Cendana Kupang pada tanggal 13 Februari 2016
Laporan Kuliah Umum
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan karunia dan rahmatnya
kita dapat menyelesaikan rangkaian acara Kuliah Umum Kebanksentralan
bersama Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia, yang dilaksanakan pada tanggal 13 Februari 2015 di Kampus Universitas Nusa Cendana Kupang
Nusa Tenggara Timur.
Kegiatan ini merupakan rangkaian kegiatan Board Seminar Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional (BS KEKR) yang diselenggarakan oleh Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) Bank Indonesia. Pada acara kuliah umum kebanksentralan tersebut hadir juga sebagai narasumber Bapak Adrianus Mooy, Gubernur Bank Indonesia periode 1988
1993, Bapak Mooy menyampaikan
kepada para mahasiswa tentang pengalaman beliau selama menjabat sebagai gubernur Bank Indonesia. Kuliah umum tersebut berlangsung sangat menarik dan mahasiswapun sangat antusias dalam mengikuti acara tersebut. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada tim dari Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Timur, atas bantuan dan suportnya, sehingga acara kuliah umum tersebut dapat berjalan dengan baik dan lancar.
Kuliah Umum Kebanksentralan | 1
Kuliah Umum Kebanksentralan | 2
Bapak Hendar Deputi Gubernur Bank Indonesia
Mengelola Ekonomi Indonesia di Tengah Tantangan Perekonomian Global dan Domestik
Kuliah Umum Kebanksentralan | 3
Kuliah Umum Kebanksentralan | 4
Kuliah Umum Kebanksentralan | 5
Kuliah Umum Kebanksentralan | 6
Kuliah Umum Kebanksentralan | 7
Kuliah Umum Kebanksentralan | 8
Kuliah Umum Kebanksentralan | 9
Kuliah Umum Kebanksentralan | 10
Kuliah Umum Kebanksentralan | 11
Kuliah Umum Kebanksentralan | 12
Kuliah Umum Kebanksentralan | 13
Kuliah Umum Kebanksentralan | 14
Kuliah Umum Kebanksentralan | 15
Kuliah Umum Kebanksentralan | 16
Kuliah Umum Kebanksentralan | 17
Kuliah Umum Kebanksentralan | 18
Kuliah Umum Kebanksentralan | 19
Kuliah Umum Kebanksentralan | 20
Prof. Dr. Adrianus Mooy Gubernur Bank Indonesia Periode 1988 – 1993
“Do Your Best and Let God Do The Rest”
Kuliah Umum Kebanksentralan | 21
Do Your Best and Let God Do The Rest By. Adrianus Mooy
Bapak Rektor beserta seluruh jajaran civitas akademika Universitas Nusa Cendana, mahasiswa, dan para undangan yang saya hormati. Selamat siang dan salam sejahtera bagi kita semua. Saya bersyukur, berterimakasih untuk kesempatan ini, tentunya kepada Bank Indonesia yang telah mengundang saya untuk mengambil bagian dalam mengunjungi kawan-kawan ke Nusa Tenggara Timur. Saya sebagai orang yang asal NTT dan saya bangga, namun saya akui memang jarang berkunjung ke NTT. Kalau orang yang masih aktif diundang itu biasa, kalau orang yang sudah tinggalkan Bank Indonesia sudah 23 tahun, namun masih diingat dan diundang itu suatu kebanggaan luar biasa dan saya berterima kasih untuk kesempatan yang diberikan. Ada satu peribahasa yang mengatakan pada waktu kita masih kecil atau masih muda, pandangan kita itu ke depan, kita tentu ingin tahu apa yang kira-kira akan terjadi di depan. Pada waktu kita dewasa atau setengah-baya, kita tertuju pada apa yang terjadi sekarang ini. Kalau sudah tua, biasanya melihat ke belakang. Jadi terbalik. Tadi Bapak Hendar (Deputi Gubernur Bank Indonesia) sudah memberitahukan apa yang terjadi sekarang ini dan apa yang sedang dikerjakan ke depan. Hal itu tentu membantu saudarasaudara semua. Memang orang katakan, yesterday is history, tomorrow is mistery, but today is a gift, a present. Makanya, today Bagian saya tentu adalah sharing ke belakang. Saudara-saudara tentunya ingin tahu history. Kadangkadang kita perlu belajar juga dari sejarah. Jadi saya ingin membagi pengalaman saya yang terbagi dalam dua bagian, bagian yang sifatnya lebih pribadi/personal, dan yang terkait dengan tugas pekerjaan saya selama ini. Saya, terus terang aja, saya sedang mengerjakan beberapa paper, sehingga saya tidak ada waktu sempat untuk bikin slides untuk hari ini karena ternyata PR-nya banyak sekali. Ada dua pekerjaan lagi menunggu di Jakarta. Oleh karena itu, saya pilih untuk datang duduk disini saja karena sifatnya hanya sharing pengalaman, tidak perlu menyiapkan slides. Seperti yang saya katakan tadi, saya berasal dari daerah ini, bahkan dari desa kecil, di pulau kecil, namanya Pulau Rote. Saya juga pernah di Kupang. Kalau dihitung-hitung, kira-kira 12 tahun saya tinggal di pulau Rote, disitu pun berpindah-pindah tempat misalnya untuk mencari kelas empat saja musti pindah. Lalu saya datang ke Kupang untuk melanjutkan SMP & SMA. Jadi saya 6 tahun di Kupang, lalu melanjutkan kuliah di Jogja selama 5 tahun, kemudian saya berpindah sekolah ke Amerika selama 6 tahun. Saya kembali ke Indonesia, ke Eropa 2 tahun, PBB 2 kali, selama 9 tahun. Selebihnya ada di di Indonesia. Selama berada di Indonesia itu, sebagian besar dihabiskan bekerja di Bappenas 17 tahun, mengawal Repelita I, II, III, dan IV. Pada Repelita yang ke-5 saya di Bank Indonesia. Selama itu, saya bertugas lain mengajar di UI, sejak tahun 1965 sampai dengan 1993. Sementara, mengajar di Univeristas Gajah Mada cuma sebentar. Setiap kali saya berulang tahun, saya selalu mencoba melihat ke belakang, hal itu mengingatkan saya dari mana saya datang, bagaimana saya bisa sampai di tempat ini, dan itu membuat saya kadang-kadang bertanya pada diri sendiri: did that be Bagaimana mungkin bisa terjadi? Berbeda dengan keadaan saudara-saudara hari ini, jauh lebih baik daripada keadaan saya, ditinjau dari program pendidikan, untuk pekerjaan. Tapi, dari pengalaman saya melihat bahwa Tuhan itu punya rencana bagi setiap kita. Tapi Tuhan mengungkapkan rencana master plan-nya itu tidak sekaligus. Kalau kita berpikir seperti orang Bappenas dengan melihat tahapan-tahapan, Tuhan mengharapkan dalam setiap tahapan, anda harus lakukan dengan sepenuh hati dan tulus agar berhasil. Kalau berhasil, maka Tuhan akan tuntun kita ke tahapan berikut. Kuliah Umum Kebanksentralan | 22
Tuhan menyuruh saya masuk SMA jurusan sosial yang pada saat itu baru dibuka di Kupang meskipun saya merasa ilmu pasti yang saya miliki cukup kuat. Bersyukurnya di SMA tersebut saya mendapat tawaran beasiswa ke Universitas Gajah Mada, dimana saya mendapat kesempatan untuk banyak belajar karena banyak mahasiwa yang datang kesitu umumnya rata-rata berkemampuan lebih. Nah, demikian satu waktu, mendadak, kita lagi belajar bersama, ada diberitahu besok ada ujian bahasa inggris. Hah? Kita ga pernah dapat bahasa inggris, tiba-tiba ujian bahasa inggris. Ngapain ujian bahasa inggris? Mau dikirim ke Amerika kalau dulu. Ini surprise banget gitu ya. Jadi, ikut aja. Nah, kebetulan lagi, lolos. Jadi, berangkat ke Amerika. Di Amerika memang programnya hanya 2 tahun, untuk mengambil master saja. Tapi professor saya nasehatin saya, saya mau kamu mengambil S2-S3 paralel. Wah, saya bilang ini berat. Baru pertama kali datang ke Amerika, harus mengambil full class. Jadi full credit. Full itu biasanya anak disana hanya ambil 9. Kalo disini SKS, itu credit point. Di sana itu, harus 12, dan itu bacaannya minta ampun. Saya bilang amu harus coba . Jadi saya coba. 12 bulan, saya bisa meraih master. Jadi, satu bulan pertama sudah setengah jalan juga untuk S3-nya. Karena mata pelajaran yang saya ambil itu sudah panjang. Nah, tinggal satu tahun itu. Saya lengkapin aja persyaratan untuk itu. Sehingga dalam 2 tahun, saya selesaikan ujian teori untuk S3. Dalam 2 tahun. Jadi, setelah 2 tahun kan pada disuruh pulang. Saya, engga disuruh pulang. Tapi, diperpanjang untuk menyelesaikan disertasi untuk doktor. Nah ini, tapi tidak semuanya ini jalannya mulus ya. Hanya tinggal disertasi, tapi lama. Saya juga kesal. I have given my best, do your best. Tapi kenapa jadi begini? Profesor saya yang pertama, yang membina saya, dia pindah ke Yunani. Profesor yang kedua ganti, kamu punya topik disertasi, itu saya ga suka. Padahal itu sudah satu tahun lebih. Ganti. Sudah ganti, dua tahun, satu tahun lagi dibimbing, dia pindah lagi ke Chicago. Karena outstander, memang Arthur S. Goldberger. Memang keduanya ahli ekonometri, dengan Klein. Tapi ya, saya tidak berpikir pulang juga. Tapi kalo yang lain berpikir pulang. Saya pikir, ya sudah. Jadi tiap minggu itu, saya dengan mobil Chevrolet tua berangkat ke Chicago. Menempuh perjalanan 142 kilometer, satu arah, untuk berkonsultasi dengan profesor disana. Lalu pulang kembali lagi. Tapi akhirnya tahun 1965 saya pulang, tapi sebelum saya pulang, saya sudah ditelepon oleh mereka yang membiayai bahwa saya tidak langsung pulang ke Jogja, tetapi harus tinggal di Jakarta, membantu pemerintah di Jakarta. Lalu kemudian, tahun 1967, Pak Widjojo mengambil posisi penting di pemerintahan. Disitu saya bergabung dengan orang-orang UI (Fakultas Ekonomi). Kebetulan saya di Jakarta, jadi dekan Pak Ali Wardhana waktu itu bilang ya mumpung disini, kamu ngajar sekaligus ekonometri, dan economic model.Saya satu-satunya orang Gajah Mada yang dengan orang UI. Orang-orang UI ini kemudian dikenal sebagai Berkeley Mafia. Saya tidak pernah belajar di Berkeley, saya tidak pernah belajar di UI, hanya mengajar di UI, malah sampai dua puluh tahun lebih hingga saya memperoleh guru besar saya tahun 1987 dari UI. Atas permintaan Pak Widjojo dengan dasar bahwa Master saya di bidang keuangan, saya diminta pegang biro keuangan dalam negeri di Bappenas. Jadi tahun 68, pindah ke Bappenas. Selesaikan Repelita I, wah, nanti itu kita bisa liat bagaimana Repelita I itu bergumul, karena saya menangani makro-nya. Sebelum Repelita I itu kan, anda-anda tahu inflasi tahun 66 itu 650%. Jadi apa yang kita kerjakan adalah, pertama tentu harus inflasi dulu. Dan itu tentu tawar-tawar dengan Bank Indonesia. Tahun 67 turun jadi 120%, tahun 68 jadi 10%. Lalu kita berani membuat Repelita I tahun 69, walaupun modalnya dengkul. Saya katakan modalnya dengkul karena apa? Modal dengkul karena dengan laju pertumbuhan yang negatif, inflasi yang setinggi itu, dapatnya dulu utangnya hanya sebesar $2,4 miliar. Tapi $2,4 miliar dolar waktu itu Buktinya apa? Lihat itu tugu monas itu, di atasnya ada emas. Itu emasnya Pak Hendar dari Bank Indonesia, disuruh pasang disitu supaya tahu bahwa Indonesia ga miskin kok. Jadi, cadangan emasnya Bank Indonesia dipasang di situ. Kuliah Umum Kebanksentralan | 23
Tahun 68 itu, anggaran pemerintah, itu untuk bayar gaji aja tidak punya duit. Harus pinjam $100 juta dari Jepang untuk bayar gaji. Jadi anda bisa pikir kok nekat aja bikin Repelita I tahun 69 padahal tahun 68 ini ga punya duit bayar gaji. Oleh karena itu, pada waktu itu kan Pak Ali Wardhana yang sudah duluan diangkat jadi Menteri Keuangan. Jadi, dalam fungsinya, Ia memberikan kesaksian. Dia tolak menjadi menteri keuangan. Saya ini belum pernah jadi presiden, kamu ini juga belum pernah jadi menteri keuangan. Mari kita samasama belajar membangun, berbakti kepada negara. Saya selalu pikir satu joke, Pak Harto memang belajar. Pak Ali juga belajar, hingga menjadi menteri keuangan yang paling lama, 15 tahun. Pak Harto juga belajar, dan itu saya catatin. Saya waktu itu masih staf, jadi ya selalu ada di belakang. Pada waktu awal-awal pembangunan, para teknokrat itu (Pak Widjojo dan yang lain-lain itu) yang berbicara, melapor. Kasih pandangan, nasihat gitu. Tahu apa? Pak Harto datang, Pak Harto jadi kayak murid, teknokrat jadi kayak guru. Setelah I dan II Repelita, saya mulai lihat perubahan. Kali ini Pak Harto yang berbicara, kita yang mencatat. Disitu ketahuan bagaimana semua mau belajar. Tapi, kita-kita yang waktu itu memang baru tamat juga dari Amerika, juga tidak punya pengalaman. Mungkin pada waktu itu, saya juga tidak tahu, sebab pada waktu itu mungkin belum banyak orang yang spintar, atau merasa pintar. Masalahnya juga begitu berat, tidak ada juga yang keluar mau jadi menteri ini. Kita ini nekat saja mau jadi menteri. Tapi saya bilang, kita semua ingat karena pada waktu John F. Kennedy diangkat jadi presiden, ada katakatanya yang mungkin anda-anda ingat not what your country can do for you, anda, tapi tanyakan apa yang bisa anda perbuat bagi negara. Jadi itu yang kita lakukan. Karena memang, mau minta apa dari negara? Misalnya dijanjikan nanti dapat rumah, dapat segala macam, itu ga ada satupun. Karena dulu ya tidak ada. Sampai saya, itu Tuhan baik lagi, saya sampai bergumul. Saya selalu berkata, saya bawa mobil tua itu, mau tidak mau bawa ke Jakarta, itu saya omprengkan. Taxi gelap itu. Lalu, ya itu hidup. Tapi di tengah-tengah segala pergumulan, segala barang apapun yang kita punya jual satu persatu. Sementara kalau ada tawaran, dari PBB, mencari ahli ekonometri Indonesia. Dan kebetulan saya memang, semua bilang saya yang pertama. Tidak ada yang sebelumnya mengambil ekonometri. Mengapa saya ambil ini? Karena saya tetap punya minat di ilmu pasti. Dan itu memang, ilmu pasti saya tetap kuat sehingga ya memang, dosen saya, Arthur Goldberger itu, kalau ada pilihan itu, tiap kali saya selalu disuruh kerjakan di papan tulis. Jadi, niat saya di pasti itu tetap ada. Dan saya banyak belajar dari kawan-kawan dari fakultas teknik. Lalu kemudian, dia selalu kasih contoh permainan baseball. Saya belum pernah tahu permainan baseball itu kayak apa. Saya jadi perlu belajar dari orang Amerika ini, kalau tidak. Nasehat saya itu do your best, tapi juga belajar dari kawan-kawan. Kalau melihat ada kawan yang lebih ini, dekati, belajar dari dia. Jadi, jangan segan-segan. Habis itu, saya ke Bangkok. Tapi kemudian, baru mau diperpanjang jadi staf permanen, Jakarta panggil pulang. Repelita II mau disusun. Tapi kembali di Repelita I. Saking Repelita itu, semua mau ini supaya laju pertumbuhan yang dari negatif itu, suruh bikin targetnya 5%. Anda-anda kalau bisa baca lagi Repelita itu, kalau saya tanggung jawab untuk bagian depannya, makro-nya, saya ga berani. Ga berani karena datanya, dan hampir ga mungkin. Jadi apa yang saya buat adalah bahwa tidak ada target makro. Tidak ada target makro, hanya target sektoral parsial. Jadi misalnya, produksi padi mau dinaikkan jadi berapa, produksi ini berapa. Lalu, saya hanya katakan, kalau semua target parsial ini bisa tercapai, kira-kira akan serasi dengan pertumbuhan 5%. Tapi itu pun, saya tidak berani menulis 5% dengan angka -i-m. Tujuannya supaya laporannya begitu cepat dibaca, nanti ngarang ini gitu ya rupanya . Anda bisa baca di Repelita 1 buku 1 halaman 279, ada di situ. Persis apa yang saya katakan. Karena saya yang nulis. Tapi, anehnya adalah hasilnya adalah, kita mencapai 7%. Kenapa gitu ya? Ada 2 faktor yang selalu saya katakan, yang memegang peranan. Pertama dulu, waktu itu ya, waktu Bung Karno kan boleh dikatakan, Kuliah Umum Kebanksentralan | 24
sedikit bermusuhan dengan barat, karena perang dingin antara timur dan barat. Dan kita tidak mau masuk salah satu, jadi kita katakan kita non-blok, dengan Nehru, Abdul Nasser, Tito dari Yugoslavia membuat ini. Lalu ada CONEFO (conference of the new emerging forces). Itu kan semua dibiayai dari duitnya, duit dari kita ke pak Hendar ya. Saudara Pak Hendar yang dulu, yaitu Jusuf Muda Dalam, waktu jadi gubernur. Gubernur kelima ya, itu Sjafruddin, Soetikno Slamet, lalu Loekman Hakim, Soemarno, ya dia, kelima. Keenam Pak Radius, ketujuh Pak Rachmat Saleh, yang kedelapan adalah Pak Arifin Siregar, kesembilan saya, kesepuluh Sudrajad, sebelas itu Syahril, dua belas itu Burhanuddin, tiga belas, ada tiga belas itu ya. Keempat belas itu ada tapi cuman sebentar, tapi diteruskan oleh Pak Darmin, lalu, sekarang Pak Agus Martowardojo. Jadi, keuntungannya itu adalah apa? Kita bermusuhan, tapi saya selalu menyatakan bahwa keadaan berubah, dimana , musuh dari musuh saya adalah kawan saya. Mengapa saya katakan demikian? Dengan adanya G30S, dari segala pengorbanan, saya tahu, tapi ada hikmahnya. Hikhmahnya adalah komunisme menjadi musuh Indonesia. Dan komunisme adalah musuh Amerika dan negara-negara barat. Jadi, akhirnya kita jadi berkawan kembali dengan negara-negara barat.
Oleh karena itu kita memutuskan untuk, Bung Karno sudah menulis surat untuk keluar dari PBB. Akhirnya lebih baik kita keluar, lalu setelah itu masuk kembali. Masuk kembali, bahkan membentuk apa yang dinamakan donor group, jadi kelompok negara-negara yang membantu, namanya IGGI, intergovernmental group on Indonesia, ini yang diganti jadi consultative group on Indonesia. Pertama itu, IGGI belanda yang ketua, tapi kok makin kesini bikin macam-macam, Pak Harto marah, lalu kepingin ketuanya diganti. Kita ditolong oleh itu, sehingga anggaran tahun pertama, itu dari negatif, tidak bisa bayar gaji sampai kepada akhirnya bisa tercipta surplus 24 milyar, tabungan yang dipakai untuk pembangunan. Tetapi 99 itu datangnya dibantu oleh luar negeri. Sehingga anggarannya itu 133 atau 143 pada saat itu, hanya segitu. Tapi, tertolong gitu ya. Lalu kemudian keuntungan kedua yang kita peroleh adalah pada waktu Repelita 2, selesai saya dipanggil pulang, 73 saya kembali dari Bangkok. Nah, waktu Repelita 2, ada lagi surprise. Tahun 73, harga minyak itu dinaikkan OPEC dari $1 menjadi $5. Kita lagi susun, menyelesaikan Repelita 2 untuk diserahkan kepada DPR/MPR, baru bulan Desember. Tapi, bukan saja naik jadi $5, ada keputusan bahwa akan dinaikkan lagi bulan Januari, tapi tidak tahu berapa. Nah ini repot. Jadi, dengan tawar-tawar yang berlanjut pada waktu itu, ini mau pakai harga berapa di Repelitanya? Kita tidak tahu kan. Jadi, datang ke Pak Widjojo, menteri Bappenas waktu itu katakan kita coba hitung. Nah ini ekonomi betul, ekonomi selalu kerja dengan alternatif, lalu pilih kira-kira yang terbaik. Dia suruh hitung harga, tidak mungkin $5 kan, $6, $7, $8, $9, $10, $11. Tidak tidur itu malam Pak Arifin dengar itu. Besok paginya kita ketemu, beliau berterimakasih. Tapi dia pikir lagi, bagaimana kalau kita coba lagi, enam alternatif: $5,5, $6,5, $7,5, $8,5, $9,5, $10,5. Setelah kita hitung lagi, dan anehnya itu dia akhirnya memilih $10,5. Dan tau harga di januari itu akhirnya jadi berapa? Saya pun tidak tahu apakah OPEC membaca otaknya Pak Widjojo atau bagaimana, jadi OPEC memutuskan menaikkan harga dari $5 menjadi $10,9. Begitu dekat, kita tidak perlu merubah draft kita yang kita serahkan. Bayangkan umpamanya salah, kita harus merubah semuanya itu dalam waktu beberapa minggu lagi karena harus diserahkan ke DPR karena akan mulai berlaku pada 1 April tahun 74. Jadi keberuntungan kedua itu adalah itu.
Selama enam dekade sebenarnya kita katakan kita mengisi kemerdekaan ini dengan pembangunan, tapi ga pernah bisa membangun. Bahkan, ekonominya jadi terbengkalai. Sehingga tantangan pertama adalah bagaimana dalam keadaan seperti itu kita tetap bisa membangun. Oleh karena itu, pada keadaan itu, kita tahu bahwa nanti tantangan berikutnya adalah bagaimana bisa membangun terus menerus? Nah, jadi waktu harga minyak mulai naik, kita mulai tahu bahwa kita harus membangun diri. Dan oleh karena itu,
Kuliah Umum Kebanksentralan | 25
program-program inpres yang sudah kita dengar, inpres SBY, inpres kesehatan, inpres kabupaten, inpres desa, inpres pasar, demi untuk membangun infrastruktur. Karena kita tahu, tahun 85 harga minyak mulai turun. Jadi, itu yang kita lakukan dan kita selalu menggunakan satu skenario yang scenario Jadi, selalu kita memberi gambaran pada Pak Harto, kalau kita tidak lakukan apa-apa sekarang ini, akan terjadi malapetaka. Walaupun belum terjadi, semuanya baik-baik. Karena kita tahu bahwa orang Indonesia itu akan berpikir kondisi kita baik-baik kenapa harus susah-susah. Jadi tidak pernah kita lalu menjadi reaktif dan ikut proaktif. Untuk itu harus ada skenario seperti itu sehingga kita berani. Nah, sekarang ini saya tidak tahu, Pak Hendar yang lebih tahu apakah ada seperti itu. Lalu kemudian, apa yang terjadi adalah mulai melakukan deregulasi. Deregulasi ekspor dulu, deregulasi pajak, semuanya. Habis itu, saya tahun 88, diminta ke Bank Indonesia. Jadi, tugas saya utama adalah melanjutkan deregulasi tapi kali ini di perbankan. Di perbankan karena apa? Kita mau mendorong swasta, kita mau mendorong perbankan juga, swasta itu cari dananya dari mana? Satu-satunya lewat perbankan. Nah itu yang tadi sudah disampaikan oleh Pak Hendar itu. Aset perbankan itu mencapai 85% dari seluruh total asset keuangan. Pada saat itu, BI juga punya instrumen yang dinamakan Kredit Likuiditas Bank Indonesia. Jadi, punya instrument yang lebih banyak lagi. Memang fungsinya, tugasnya itu lebih banyak. Dan oleh karena itu juga diberikan alat-alat yang juga lebih baik. Tapi bukan itu saja, dia kerjasama bauran antara rencana kebijakan moneter dan fiskal itu sangat erat. Dan keuntungan pada waktu itu adalah kebetulan yang di Bappenas, yang di keuangan, dan yang di BI, ini kolega semua. Kebanyakan tamatan UI, walaupun saya dari Gama, dan saya diangkat orang UI. Ya sudah, jadi, komunikasinya ga terpecah. Oleh karena itu, pada waktu itu, ada yang dinamakan dewan moneter. Dewan moneter ini memang kalau diliat komposisinya, ketuanya menteri keuangan, tapi dalam kenyataannya yang pegang peranan Bank Indonesia. Memang dalam konteks negara demokrasi sekarang, kalau ketuanya disana bisa kacau kita. Tapi pada waktu itu tidak demikan. Bank Indonesia yang memegang peranan. Karena kita yang menguasai masalah makro itu. Tapi, intinya adalah kita tidak menerapkan hanya dengan satu pengaturan pada suku bunga. Lalu, supaya mendorong juga pertumbuhan, supaya nilai tukar rupiah juga naik, inflasi, ya mana mungkin. Saya selalu kasih contoh satu. Kita di SMA belajar. Ada persamaan simultan. Kalau ada dua variabel yang tidak diketahui (unknown), harus punya paling sedikit dua kesamaan. Kalau ga, ga bisa dicari nilainya. Jadi kalau punya dua sasaran (atau tujuan), ya diperlukan juga paling sedikit dua kegiatan. Artinya, perlu ada koordinasi atau bauran antara berbagai kebijakan. Paling sedikit moneter dan fiskal, tapi juga dengan perdagangan, perhubungan, ya gitu. Jadi, saya heran tadi mengapa BI fungsinya disempitkan dengan alat yang terbatas, tapi tetap diharapkan harus berperan aktif di dalam. Ya kalau seperti itu, ya kembalikan ke dalam undang-undang yang dulu. Undang-undang yang dulu memang lebih luas. Tapi itupun tidak berarti BI bekerja sendiri. Ini saya ngomong di DPR, bukan membela BI. Waktu harga-harga atau nilai rupiah itu turun, ditanya ke pemerintah itu itu tanya ke Bank . Setelah itu terkontrol, semua diam-diam, ga ada yang kasih tunjuk Bank Indonesia. Jadi ga fair. Ada satu lagi ni yang ingin saya soroti. Saya tidak sharing terus lagi karena 5 tahun di BI. Mungkin saya sampaikan aja. Selama 5 tahun saya di Bank Indonesia, semua tanggung jawab pada saya. Anda have done your best, do your best gitu. Saya tidak kedua kalinya lagi do my best, tapi tidak diperpanjang. Saya . Yang penting adalah I have given my best. Saya sudah memberikan yang terbaik dari diri saya. Itu pidato saya waktu serah terima di Bandung. Bahwa itu dianggap masih kurang baik, ya apa boleh buat. Tapi saya sudah senang karena I have given my best. Tapi kemudian saya kan diangkat jadi duta besar di Eropa. Baru satu tahun sudah ditelpon lagi dari -Ghali, sekjen PBB. Karena beliau mau anda menjadi wakil sekjen di Asia-P . Tapi saya lapor kepada Pak Harto dan beliau setuju. Menangani 62 negara, jadi saya sudah keliling ga tau berapa puluh. Dari Fiji, Vanuatu, Maladewa, banyak sekali negara yang Kuliah Umum Kebanksentralan | 26
saya jalani. Jadi itu sudah suatu kegembiraan bagi saya. Dulu selalu saya katakan ada motto dari inggris join the navy. Tapi saya join the united nation and see the world. Jadi saya dengan masuk PBB itu, banyak negara yang saya jalani. Pada saat jaman Sekjen PBB, Kofi Annan saya diminta kembali lagi, namun saya sudah usia 60 tahun lebih, jadi saya istirahat aja deh. Jadi tahun 2000, saya selesai dari UN, lalu kembali ke Jakarta. Saat ini saya di UPH. Saya sebenarnya tidak mau, tapi akhirnya saya merasa bahwa ini adalah suatu panggilan. Panggilan itu kenapa? Saya biasanya kalau ada yang minta, setelah saya pensiun ini, saya bilang saya pikir-pikir dulu ya. Langsung dia tanya saya sia Pada saat itu tahun 2007, Saya jawab Sudah 71 tahun . Yang menawarkan jabatan tersebut mengatakan ke Mau pikir berapa lama lagi? can do something, do it Tapi kembali lagi kepada tantangan-tantangan dalam mengelolal ekonomi Indonesia. Tadi sudah mengenai tantangan global. Ada tantangan-tantangan dari dalam lagi. Yang sebenarnya dihadapi oleh kita sekarang ini. Pertama, tantangan politik, yaitu proses demokratisasi yang kita harapkan itu membantu di dalam pengambilan keputusan yang lebih cepat dan proaktif. Tapi rasanya kok tidak terjadi. Nah, itu saya tahun 85 ketemu saudara kita yang dulu pernah bantu kita, professor dari Jepang, waktu kita di Bappenas. orang pintar di India, yang pintar saja, jumlahnya lebih besar dari seluruh penduduk korea. Tapi kenapa korea bisa maju lebih cepat daripada India? Tetapi setelah saya mengunjungi India tahun 96, ada konferensi di sana. Lalu waktu itu ketemu dengan Rao, perdana menterinya. Saya alami sendiri memang itu. Kenyataannya begitu. Itu di restoran pagi-pagi. Pesan omelette saya pikir enak juga. Tapi saya pikir, harus cepat ya. Saya musti ketemu perdana menteri. Saya pikir karena mau cepat, dia pasti ke dapur Dia perintah orang lain , one more omelette . Saya kira orang kedua akan perintah langsung. Tidak. Dia perintah lagi ke orang satu . Akhirnya berantai, omelette-nya ga datang-datang, saya tinggal pergi. Orang yang menjadi special assistant pemandu saya itu orang India. Dia lahir di New York, besar di New York. Tapi dia bilang ke saya bahwa ini masalahnya orang India. Apalagi disitu ada kasta, semua mau menunjukkan dia pintar, semua mau menunjukkan dia bos. Jadi, dia musti perintah seseorang. Bagaimana mau maju? Saya sebutkan ini karena saya mau Indonesia jangan sampai tiru begitu. Banyak orang pintar itu belum ada jadinya kalau tidak bisa semua berpikir sama. Saya sebenarnya sedikit prihatin karena sekarang ini, menteri satu ngomong ini, satu ngomong lain. Dahulu di Dewan Moneter kita boleh berbeda pendapat tetapi kita selesaikan di dalam, sehingga jawaban keluar satu jawaban. Sistem politik itu, semua ada kelebihan dan kekurangan. Memang secara menyeluruh, demokrasi itu lebih baik. Dalam artian, kelebihannya lebih banyak, kekurangannya lebih sedikit. Tetapi semua yang paling melebihkan adalah karena demokrasi melalui suatu proses, maka hasil akhirnya pasti yang terbaik. Karena semua ikut di dalam pemikiran. Kelemahannya adalah, proses itu bisa panjang sekali. Dan seperti orang sakit, dokter semua ikut, karena penyakitnya kompleks, dokter semua ikut. Akhirnya setelah berbicara berjam-jam, mereka temukan obatnya. Tapi setelah temukan obatnya, pasiennya udah mati. Ya kan? Karena prosesnya terlalu lama. Nah, kalau sistemnya otoriter, memang terbalik. Keputusan cepat, tapi bisa cepat masuk jurang juga. Nah oleh karena itu, semua sistem itu kan selalu ada cara-cara lain untuk mengimbangi kekurangan itu. Di sistem demokrasi alami, presiden diberikan hak prerogatif untuk hal-hal tertentu. Misalnya, menyatakan perang. Kalau tunggu dulu tunggu dulu, kapan kita, kalah nanti. Pak Harto juga demikian. Pak Harto tahu, yang tadi saya bilang ya, Pak Harto juga tahu bahwa memang semua dia punya, yaitu satu pimpinan. Tapi kita itu, kalau tidak lapor Pak Harto. Pak Harto tidak senang, ya tidak senang. Mengenai perbaikan kesejahteraan itu, kita minta perbaikan kesejahteraan itu juga bukan begitu saya masuk BI, minta gaji naik kepada Pak Harto. Tidak. Kita sudah kerja siang malam bikin Pakto 88, lalu 89 Kuliah Umum Kebanksentralan | 27
ada kurs, deposito, lalu perkreditan tahun 90, lalu 91 undang-undang perbankan. Baru saya berani ke Pak Harto. Saya bilang gini. Saya ke Pak Harto. Dengan adanya banyak bank, kita perlu banyak tenaga baru yang kompeten. Saya ga bisa menyediakan tenaga-tenaga terbaik karena gajinya terlalu rendah masuk di BI. Kalah dari gaji-gaji bank pemerintah, swasta, dan asing. Kalau kalah dari bank asing atau swasta, okelah. Ini kalah dari bank pemerintah, dari BNI, dari BRI, lalu dari mana gitu ya. Lalu bagaimana itu? Ya harus naik, Pak. Sambil mendengarkan, itu dinaikkan, selain kebutuhan, sekaligus juga. Semua naik, tapi yang atas naiknya sedikit, yang bawah naiknya banyak. Di samping itu ada lain-lain kasih tunjangan untuk komputer, untuk perbaikan rumah, dan lain-lain. Saya senang bahwa itu sangat membantu. Kemana saja saya pergi, banyak pegawai yang merasa berterimakasih. Saya bilang itu kebanggaan tersendiri bisa berbuat sesuatu untuk Bank Indonesia. Bagi saya Bank Indonesia tetap di hati. Demikian.
Kuliah Umum Kebanksentralan | 28
FOTO-FOTO KEGIATAN KULIAH UMUM KEBNKSENTRALAN
Kuliah Umum Kebanksentralan | 29
Kuliah Umum Kebanksentralan | 30