1
PENYELESAIAN PERKARA PIDANA PADA TAHAP PRA PENUNTUTAN (Studi Pada Kejaksaan Negeri Kisaran)
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Departemen Hukum Pidana
Oleh : Yulya Arisma NIM : 080200038 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA KETUA DEPARTEMEN
Dr.M.Hamdan., SH.M.H NIP.19570326198601101
PEMBIMBING II
Dr.Mahmud Mulyadi SH.M.Hum NIP.1974040120021001
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012
2
PENYELESAIAN PERKARA PIDANA PADA TAHAP PRAPENUNTUTAN (STUDI KEJAKSAAN NEGERI KISARAN) ABSTRAKSI Hubungan antara Kejaksaan sebagai instansi penuntut umum dengan pihak Kepolisian sebagai instansi penyidik telah mempunyai suatu hubungan koordinasi yang cukup baik. Penyelesaian suatu perkara tindak pidana sesuai dengan prosedur yang termuat dalam KUHAP. Akan tetapi pihak Kejaksaan sendiri mempunyai masalah dengan tunggakan-tunggakan perkara yang belum atau yang tidak dapat terselesaikan tersebut paling banyak ditemukan pada tahap prapenuntutan. Disharmonisasi antara Kepolisian dan Kejaksaan dapat terjadi karena keterbatasan personil dari penyidik untuk melakukan pencarian atas diri tersangka saat mengalami kesulitan dan membutuhkan waktu yang tidak singkat. Permasalahan skripsi yang diangkat ada 2 yaitu tentang “Bagaimanakah penyelesaian perkara pidana pada tahap prapenuntutan di Kejaksaan Negeri Kisaran dan “Hambatan-hambatan yang ada di Kejaksaan Negeri Kisaran dan solusinya. Metode yang digunakan dalam skripsi ini antara lain ada dua pendekatan yaitu pendekatan yuridis empiris dengan pendekatan yuridis normatife yang mencakup penelitian terhadap azas hukum, sistematika hukum, penelitian, taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum, dan perbandingan hukum. Keseluruhan bahan/data tersebut kemudian dilakukan penganalisaan datanya dengan menggunakan analisis kualitatif. Berdasarkan tinjauan umum dapat dipahami bahwa penyelesaian Perkara Pidana pada tahap Prapenuntutan sering kali terjadi adanya bolak-balik berkas antara penyidik ke penuntut umum, untuk itu pihak aparat penegak hukum mengambil langkah-langkah untuk dapat menyelesaikan perkara tersebut dengan cara apabila berkas perkara telah masuk, maka Jaksa yang ditunjuk sebagai peneliti melakukan penelitian terhadap berkas perkara. Bila berkas perkara telah memenuhi syarat formil maupun materil, Jaksa akan menyatakan berkas perkara telah lengkap (P-21), akan tetapi bila ada yang belum lengkap, Jaksa akan memberitahukan kepada penyidik dengan surat (P-18) dan selanjutnya petunjuk dengan surat (P-19). Hambatan-hambatan yang terdapat dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap prapenuntutan banyak ditemukan dari segi Undang-Undang, aparat penegak Hukum, dan Hambatan dari Budaya Hukum.
3
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 butir 1 KUHAP menjelaskan bahwa penyelesaian suatu perkara pidana yang diselesaikan oleh para penegak hukum telah mempunyai wewenang dari masing-masing instansi penegak hukum yaitu, kewenangan Polisi sebagai penegak hukum. Pasal 1 butir 6 KUHAP juga menjelaskan bahwa kewenangan Kejaksaan adalah sebagai penuntut umum dan Pasal 1 butir 8 KUHAP menjelaskan bahwa Hakim mempunyai wewenang sebagai pejabat peradilan negara. 1 Hubungan antara Kepolisian sebagai instansi penyidik dengan Kejaksaan sebagai instansi Penuntut Umum didalam KUHAP telah memberi landasan diferensiasi fungsi secara instansional. Hubungan tersebut berupa pemberian kewenangan kepada Kepolisian sebagai instansi penyidik tunggal tanpa campur tangan Jaksa sebagai penyidik atau penyidik lanjutan maupun sebagai koodinator alat-alat penyidik. Selain itu Jaksa dijernihkan wewenangnya sebagai instansi Penuntut Umum,yang mana Jaksa hanya berwenang untuk melakukan penuntutan saja dan tidak dibenarkan lagi ikut campur tangan dalam proses penyidikan. 2 Polisi berwenang untuk menyelidiki dan membuat pertimbangan tindakan apa yang akan diambil dalam saat yang sangat singkat pada penangkapan pertama suatu delik. Misalnya, Polisi melihat seorang gadis tergeletak dengan pakaian koyak-koyak, wajah yang luka-luka, kemudian ada seorang laki-laki melarikan diri. Polisi dalam hal ini harus cepat bertindak, apakah ia menembak orang yang melarikan diri itu, ataukah berteriak menyebut dirinya polisi dan berlari meminta orang itu berhenti. Semua pihak dalam hal ini mengandung resiko.3 Penyidikan suatu perkara diarahkan kepada pembuktian, sehingga tersangka dapat dituntut kemudian dipidana. Penyidikan yang dengan pembebasan tentu akan merugikan nama baik Polisi dalam masyarakat. Sebelum penyidikan dimulai, harus sudah dapat diperkirakan delik apa yang telah terjadi dan dimana tercantum delik itu dalam Undang-Undang. Hal ini penting
1
Penerbit : Alumni AHM-PTHM, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Jakarta, S.R.Sianturi,
Hlm 199. 2
Hukum Acara Pidana Dalam Diskusi, Lembaga Bantuan Hukum Surabaya, Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, 1982, Hlm 32. 3 Skolniek, Sosial Control in The Advesary System, 1967, Hlm 191
4
sekali, karena penyidikan diarahkan kepada keadaan yang terjadi yang cocok dengan perumusan delik tersebut.4 Penuntut Umum dapat pula mengubah Pasal Perundang-undangan pidana yang dicantumkan oleh penyidik, disinilah letak hubungan yang tidak terpisahkan antara Polisi dan Penuntut Umum, sehubungan dengan wewenang penyidikan Polisi. Pembatasan kewenangan tersebut tepat dan logis mengingat masalah penahanan merupakan masalah yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang yang berkaitan pula dengan hak asasi manusia, namun apabila kurang hati-hati dan bijaksana dapat menjadi sumber penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang.5 Hubungan antara pihak Kejaksaan sebagai instansi Penuntut Umum dengan pihak Kepolisian sebagai instansi penyidik telah mempunyai suatu hubungan koordinasi yang cukup baik. Penyelesaikan suatu perkara tindak pidana sesuai dengan prosedur yang termuat dalam KUHAP, akan tetapi, pihak Kejaksaan sendiri mempunyai masalah dengan tunggakan-tunggakan perkara yang belum atau yang tidak dapat terselesaikan tersebut paling banyak ditemui dalam tahap prapenuntutan. 6 Disharmonisasi antara kepolisian dan kejaksaan dapat terjadi karena keterbatasan personil dari penyidik untuk melakukan pencarian atas diri tersangka saat mengalami kesulitan dan membutuhkan waktu yang tidak singkat. hal inilah yang juga dalam praktek penuntut umum sering menemui kendala. Kendala yang dimaksud antara lain : 1. Penyidik sering tidak dapat memenuhi petunjuk penuntut umum ataupun petunjuknya sulit dimengerti penyidik, sehingga menyebabkan berkas perkara bolak-balik penuntut umum ke penyidik dan sebaliknya. 2. Banyak berkas perkara yang dikembalikan penuntut umum untuk disempurnakan penyidik, tidak dikembalikan lagi ke penuntut umum. 7 Penyelesaian perkara pidana yang mengakibatkan keterbatasan personil dalam hal penanganan perkara terdapat kesulitan dari penyidik dalam menafsirkan ataupun dalam hal pemenuhan petunjuk dari penuntut umum guna penyempurnaan berkas perkara. Penyidik dalam 4
Jur Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Hlm 83. Ibid, Hlm 191. 6 Pedoman Pelaksanaan KUHAP, dikeluarkan oleh, Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Cetakan Kedua, Hlm 88 7 Bambang Waluyo,SH, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika,Hlm 61 5
5
melaksanakan petunjuk dari penuntut umum dalam penyempurnaan berkas perkara, baik dalam hal hubungan pribadi antara penyidik dan penuntut umum yang kurang baik. 8 Ketentuan-ketentuan yang termuat didalam Hukum Acara Pidana sebagian besar mengatur tentang tata cara mempertahankan Hukum Pidana Materiel. Kedua bidang ilmu (pidana materil, dan pidana formil) harus sejalan dan saling berhubungan satu dengan yang lain, agar lalu lintas hukum ditengah mayarakat tidak terganggu dan menjaga agar tidak terjadi benturan kepentingan ditengah masyarakat. Benturan kepentingan yang terjadi diantara individu dan masyarakat, dilakukan dengan tindakan untuk mengembalikan keseimbangan akibat benturan dimaksud. Tindakan hukum yang dilakukan berakhir pada pencaharian kebenaran,baik kebenaran materil maupun kebenaran formil dengan alat kelengkapan yang dimiliki oleh satu Negara dan warga Negara.9 Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk mengambil mengambil judul : “PENYELESAIAN PERKARA PIDANA PADA TAHAP PRA PENUNTUTAN “ B.Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan di bahas dalam skripsi ini adalah : 1. Bagaimanakah penyelesaian perkara pidana pada tahap prapenuntutan di Kejaksaan Negeri Kisaran ? 2. Hambatan-hambatan apa sajakah dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap prapenuntutan dan bagaimana solusinya yang ada di Kejaksaan Negeri Kisaran ? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Adapun tujuan dan manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Selanjutnya berdasarkan permasalahan yang dikemukakan diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah : 1. Untuk lebih mengetahui mekanisme penyelesaian kasus tentang hukum di Negara Indonesia dalam hal tingkat keadilan
8
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian, Pemantapan Terpadu sesama Aparatur Penegak Hukum dalam Penanganan dan Penyelesaian Perkaraperkara Pidana, 1992, Hlm 3. 9 Utrecht, Rangkuman Sari Kuliah Hukum Pidana II, Bandung, 1965, Hlm 29.
6
2. Untuk mengetahui peran antara aparat hukum dengan penegak hukum dalam hal penyelesaian suatu perkara 3. Untuk mengetahui kewajiban dan tanggung jawab sebagai penegak hukum dan masyarakat yang mencari keadilan Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoretis Diharapkan penulisan skripsi ini mempunyai kegunaan bagi keberadaan dan perkembangan ilmu hukum khususnya mengenai hukum acara pidana tentang prapenuntutan 2. Manfaat Praktis a. Menambah wawasan dan cakrawala bagi pihak-pihak yang terkait dalam melakukan suatu tindak pidana yang melanggar Hukum b. Sebagai masukan bagi pihak-pihak yang terkait dengan materi penulisan skripsi ini D. Keaslian Penulisan Keaslian penulisan skripsi ini benar merupakan hasil dari pemikiran dengan mengambil panduan dari buku-buku dan sumber lain yang berkaitan dengan judul skripsi. Adapun yang menjadi judul penulisan skripsi ini adalah : ‘PENYELESAIAN PERKARA PIDANA PADA TAHAP PRA PENUNTUTAN”. Kalaupun ada yang sama tetapi pembahasannya berbeda baik masalah,tujuan dan metodenya. Jadi Judul skripsi ini belum ada atau tidak ada yang sama dengan judul yang ada di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Hukum Acara Pidana Menurut Sudarto Gautama, Hukum Acara Pidana adalah aturan-aturan yang memberikan petunjuk apa yang harus dilakukan oleh para penegak hukum dan pihak-pihak lain yang terlibat didalamnya apabila ada persangkaan bahwa hukum pidana dilanggar. Fungsi hukum acara pidana adalah menegakkan/menjalankan hukum pidana. Hukum Acara Pidana beroprasi sejak adanya sangkaan tindak pidana walaupun tanpa adanya permintaan dari korban kecuali tindakan pidana yang ditentukan lain oleh UU. 10 10
Ibid, Hlm 30.
7
Tugas pokok Hukum Acara Pidana adalah :11 1. Mencari kebenaran materil. (kebenaran selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketetapan-ketetapan hukum acara pidana secara jujur, tepat dengan tujuan untuk mencari siapa pelaku yang dapat didakwakan melanggar hukum pidana dan selanjutnya minta pemeriksaan dan putusan pengadilan guna menentukan adakah bukti suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah pelakunya bisa dipersalahkan. 2. Memberikan putusan hakim 3. Melaksanakan putusan Hakim Ruang lingkup acara pidana: tata cara peradilan termasuk pengkhususannya misalnya peradilan anak, ekonomi, dan lain-lain.Tujuan hukum pidana: mencari kebenaran materiil sekaligus
perlindungan
terhadap
hak-hak
asasi
manusia.
2. Pengertian Prapenuntutan. KUHAP memperkenalkan suatu istilah baru, tetapi KUHAP tidak memberi batasan pengertian prapenuntutan itu. Pasal 1 menyebutkan bahwa definisi-definisi istilah yang dipakai KUHAP tidak memuat definisi prapenuntutan, padahal itulah istilah baru ciptaan sendiri. Pasal 14 KUHAP menyebutkan pengertian dari prapenuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan oleh penyidik. 12 Ketentuan Hukum Acara Pidana (Undang-undang Nomor 8 tahun 1981) telah pula memuat ketentuan penggabungan gugatan ganti kerugian terhadap korban/keluarga korban kejahatan. Ketentuan tentang penggabungan gugatan ganti kerugian yang diatur dalam Undangundang Nomor 8 Tahun 1981 tersebut menunjukkan bahwa. Hukum Acara Pidana tidak lagi semata-mata mempertahankan ketentuan pidana materil, namun telah bergeser kepada proses pemenuhan hak korban tindak pidana melalui putusan Peradilan Pidana, dengan kata lain antara instansi yang satu dengan yang lain tidak berada dibawah atau diatas instansi yang lain,yang ada ialah koordinasi pelaksanaan fungsi penegakan hukum antar instansi. 13 Prapenuntutan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak diatur dalam bab tersendiri. Tetapi terdapat didalam bab penyidikan dan bab penuntutan, 11 12
13
M. Yahya Harahap, Op.cit, Hlm 13. Hadari Djenawi, Pokok-Pokok Pikiran dalam KUHAP, Bandung, 1981, Hlm 96.
R.Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP) serta komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor,Politea,1980),Hlm 32
8
yakni, pada Pasal 109 KUHAP dan Pasal 138 KUHAP. Lembaga prapenuntutan ini bersifat mutlak, karena tidak ada suatu perkara pidana pun sampai ke pengadilan tanpa melalui proses prapenuntutan, sebab dalam hal ini penyidik telah melakukan penyelidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik wajib memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum. 14 Definisi dari Prapenuntutan itu sendiri yakni Pengembalian berkas perkara dari penuntut umum kepada penyidik karena penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata kurang lengkap disertai petunjuk untuk melengkapinya. Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas perkara.15 Pengertian dari tingkat prapenuntutan, yakni, Antara dimulainya Penuntutan dalam arti sempit (perkara dikirim ke pengadilan) dan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik. Prapenuntutan merupakan tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan oleh penyidik. Guna untuk mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk yang dilengkapi penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.16 Andi Hamzah melihat ada kelemahan tahapan prapenuntutan. Polisi dan jaksa kurang koordinasi, sehingga berkas dan tersangka seolah dipimpong. Menurut Andi, praktik demikian tidak sejalan dengan esensi peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Idealnya, sejak penyidik menerbitkan SPDP(Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan), jaksa sudah intens terlibat mendampingi proses penyidikan, sehingga sejak awal jaksa sudah bisa memantau kelemahan proses penyidikan, atau mengetahui siapa lagi saksi yang perlu dimintai keterangan. 17 KUHAP telah menggariskan pembagian wewenang secara instansional, KUHAP juga mengandung ketentuan-ketentuan Prapenuntutan yang dilakukan sebelum suatu perkara diajukan ke pengadilan. Hal ini dimaksudkan untuk mempersiapkan tindakan penuntutan di depan sidang
14
R.Soesilo, www.Artikel Hukum.com Diakses pada tanggal 29 Maret 2012,pkl.15.00 wib Moeljatno, www.Hukum Online.com diakses pada tanggal 29 maret 2012,pkl.15.00 wib 16 Ibid, Hlm 34. 17 Ibid, Hlm 164
15
9
pengadilan dan menentukan keberhasilan penuntutan, artinya tindakan prapenuntutan sangat penting guna mencari kebenaran materiil yang akan menjadi dasar dalam proses penuntutan. 18 Penyidikan dinyatakan selesai maka berdasarkan Pasal 110 ayat (1) KUHAP, penyidik wajib untuk segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum. Hal ini untuk memenuhi asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan. Berkas perkara diterima oleh Jaksa atau Penuntut Umum untuk dipelajari dan diteliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan tersebut. Bila terdapat kekurangan baik secara formil maupun materil maka Jaksa atau Penuntut Umum segera memberitahukan kepada penyidik untuk dilengkapi. Jaksa atau Penuntut Umum menyatakan berkas telah lengkap maka perkara tersebut segera dilimpahkan ke pengadilan dan proses prapenuntutan telah selesai kemudian masuk ke proses Penuntutan. 19 Menurut E.Bonn-Sosrodanukusumo, seorang jaksa mempunyai daerah hukum masingmasing sesuai dengan daerah hukum Kejaksaan Negeri dimana dia diangkat, jadi seorang jaksa di Kejaksaan tinggi atau di Kejaksaan Agung hanya dapat menuntut orang jika ia terlebih dahulu diangkat untuk Kejaksaan Negeri yang daerah Hukumnya dilakukan Delik itu. 20 Dinamika masyarakat yang mengedepankan supremasi hukum diantisipasi dengan perubahan yang cukup fundamental terhadap peraturan perundang-undangan dan kelembagaan dilingkungan Kejaksaan. Lembaga Prapenuntutan lahir sebagai bentuk responsif terhadap berlakunya KUHAP, yang mengisyaratkan differensiasi dan spesialisasi tugas dan wewenang penyidikan. Lembaga Prapenuntutan merupakan jembatan antara Penyidik dengan Jaksa Peneliti untuk mensukseskan proses penuntutan dan menghantarkan berkas perkara ke Pengadilan. 21 Proses prapenuntutan selain dapat menghilangkan kewenangan penyidikan oleh penuntut umum dalam perkara tindak pidana umum juga dalam melakukan pemeriksaan tambahan, bilamana penyidik Polri menyatakan telah melaksanakan petunjuk penuntut umum secara optimal. Penuntut umum tidak dapat melakukan penyidikan tambahan secara menyeluruh, artinya penuntut umum hanya dapat melakukan pemeriksaan tambahan terhadap saksi - saksi tanpa dapat melakukan pemeriksaan terhadap tersangka. 22 18 19
M. Yahya Harahap, Op.cit, Hlm 136 Abd.Hakim Nusantara,dkk, Penjelasan KUHAP dan Peraturan Pelaksanaan, Djambatan, Jakarta, 1986,
Hlm 21 20
Sinar Grafika,Hukum Acara Pidana Indonesia,edisi kedua,Hlm 165 Ibid, Hlm 21. 22 Moch.Anwar, Beberapa Ketentuan Umum Dalam Buku Pertama KUHAP, Bandung, Alumni, 1982, 21
Hlm 32
10
Undang-undang No.5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan dan Keppres No.86 Tahun 1999 mengatur Lembaga Prapenuntutan Kejaksaan didaerah tingkat II. Lembaga Prapenuntutan Sub Seksi Prapenuntutan kedudukannya dalam posisi Struktural dan peranannya dibidang teknis administratif, sedangkan Jaksa Fungsional peranannya dalam proses prapenuntutan adalah sebagai Peneliti teknis yuridis. Sub Seksi Prapenuntutan dan Jaksa Peneliti dalam menjalankan tugasnya terikat birokrasi formal yang implementasinya terbentur dengan beberapa kendala yang menghambat mekanisme penanganan berkas perkara berupa perlambatan akselerasi untuk menghantarkan berkas perkara ke proses penuntutan.23 Pedoman pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman menunjuk Pasal 14 KUHAP tersebut dengan kaitannya dengan Pasal 110 ayat (3) dan (4)KUHAP serta Pasal 138 KUHAP sebagai prapenuntutan yang menurut pendapat saya kurang tepat.24 Pasal 110 KUHAP tersebut bertautan dengan pasal 138 KUHAP, perbedaannya ialah Pasal 110 KUHAP terletak di bagian wewenang penyidik, sedangkan Pasal 138 KUHAP di bagian wewenang Penuntut Umum, seandainya sistematika KUHAP tidak memisahkan kedua wewenang tersebut, maka kedua pasal tersebut dapat digabung menjadi satu pasal saja. Kedua Pasal tersebut sebenarnya dapat disatukan kalau sistematika KUHAP berbentuk lain, yang timbul dalam praktik ialah, apabila Penuntut Umum setelah meneliti hasil pemeriksaan penyidik dipandang sudah cukup, tetapi penyidik tidak tepat mencantumkan pasal undang-undang pidana yang didakwakan, maka Penuntut Umum secara langsung bertanggung jawab atas kebijakan Penuntut.25 Ketentuan di dalam Pasal 30 ayat (1) butir e Undang-Undang Kejaksaan, diadakan sedikit perubahan terhadap ketentuan didalam KUHAP yang tidak memungkinkan pemeriksaan tambahan oleh jaksa sendiri. Pasal ini dikatakan sebagai berikut, “melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik “ 26 Istilah prapenuntutan ialah, tindakan Penuntut Umum untuk memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan oleh penyidik. Inilah yang terasa janggal, karena memberi 23
Ibid M.Yahya Harahap, Penambahaan, Permasalahan, dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini, Jakarta 1985, Hlm 92 25 Tanusuboto, Peranan Praperadilan dalam Hukum Acara Pidana, Bandung, 1983, Hlm 134 26 R.Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Hlm 197. 24
11
petunjuk kepada penyidik untuk menyempurnakan penyidikan disebut prapenuntutan. Hal seperti ini dalam aturan lama (HIR)termasuk penyidikan lanjutan. 27 3. Pengertian Penyidik Penyidik dalam anggapan umum yang disebut sebagai penyidik adalah hanya pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (Polri), namun secara Yuridis formal tidak demikian, karena selain Polri masih ada Penyidik lain seperti Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), Jaksa dan Perwira TNI Angkatan Laut. Ketentuan yang mengatur hal ini,antara lain dapat disimak dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP.28 Bahasa belanda ini sama dengan opsporing. Menurut De Pinto,menyidik (opporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh Undang-undang setelah mereka mendengar kabar yang sekedar beralasan bahwa ada yang terjadi sesuatu pelanggaran hukum. 29 4. Pengertian Penyelidik Penyelidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan penyelidikan (Pasal 1 butir 4 KUHAP). Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang (Pasal 1 butir 5 KUHAP).30 F. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian Fungsi metode penelitian adalah alat untuk mengetahui Sesuatu masalah yang akan diteliti. Dari segi penelitian hukum, penelitian hukum dibedakan berdasarkan 2 kelompok, yaitu, Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang mencakup penelitian terhadap asas hukum, sistematika hukum, penelitian, taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum
27
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia,Edisi Revisis,CV Sapta Artha Jaya Jakarta,Hlm 164 Ibid 29 Andi Hamzah,Hukum Acara Pidana Indonesia,Edisi Kedua,Sinar Grafika,Hlm 120 30 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan,Sinar Grafika,Hlm 41
28
12
dan perbandingan hukum. Penelitian hukum empiris yaitu penelitian yang mencakup penelitian terhadap identifikasi hukum (Hukum tidak tertulis) dan penelitian terhadap efektivitas hukum. 31 2. Sumber Data Data yang di pergunakan adalah data Primer didukung oleh data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. a. Bahan Hukum Primer, yaitu : data yang asli diperoleh dari tangan awal, dari sumber asalnya yang pertama yang belum diolah dan diuraikan orang lain yang diperoleh dari keterangan dan penjelasan pihak-pihak di objek penelitian. b. Bahan Hukum Skunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi Kepustakaan yaitu melakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berhubungan dengan pra penuntutan serta hubungan antara penyidik dengan penuntut umum, serta buku ataupun majalah yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat. c. Bahan hukum tersier berupa bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan hukum skunder seperti kamus bahasa hukum maupun kamus umum. 3. Metode Pengumpulan Data Metode Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan (Library Research). Metode pengumpulan data yang dilakukan dengan studi kepustakaan dilakukan guna mencari bahan literatur dan konsep terkait dengan penyelesaian perkara tindak pidana pada tahap prapenuntutan. Metode Research dilakukan dengan melalui wawancara dilapangan pada pihak Kepolisian, Jaksa,dan Hakim, serta instansi-instansi yang terkait. 4. Analisis Data Analisa data dapat dilakukan dengan menggunakan analisa kualitatif sesuai dengan sifat penelitian
31
maka analisa data dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan cara mempelajari,
Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 2003, Hlm 15
13
memahami data yang ada, selanjutnya dianalisis dengan metode induktif dan deduktif, sehingga dapat di tarik kesimpulan dalam rangka menjawab permasalahan dalam skripsi ini. 32 G. Sistematika Penulisan Sebagai karya ilmiah, skripsi ini memiliki sistematika yang teratur,terperinci di dalam penulisannya agar dimengerti dan dipahami maksud dan tujuannya. Tulisan ini terdiri dari lima Bab yang akan diperinci lagi dalam sub Bab,adapun kelima bab itu terdiri dari : BAB I
Pendahuluan Dalam bab ini yang merupakan bab pendahuluan,diuraikan hal-hal yang bersifat umum, permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan,keaslian penulisan,tinjauan kepustakaan,dan metode penulisan, sebagai penutup bab ini diakhiri dengan memberikan sistematika penulisan dari skripsi ini.
BAB II
Hasil Penelitian Pada bab ini dijelaskan tentang Kedudukan Kejaksaan dalam sistem peradilan pidana, Kinerja Kejaksaan, dan hubungan proses penyidikan dan prapenuntutan dalam konteks penuntutan.
BAB III
Pembahasan Pada bab ini dijelaskan tentang hambatan-hambatan dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap prapenuntutan yang dilihat dari aspek Undang-Undang, hambatan dari segi hukum, hambatan dari segi budaya hukum dan solusinya.
BAB IV
Penutup Berisi kesimpulan-kesimpulan terhadap pembahasan pada bab-bab sebelumnya dan beberapa saran sehubungan dengan pembahasan, dengan harapan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
32
Ibid Hlm. 56
14
BAB II PENYELESAIAN PERKARA PIDANA PADA TAHAP PRA PENUNTUTAN, DI KEJAKSAAN NEGERI KISARAN.
A. Kedudukan Kejaksaan dalam Sistem Peradilan Pidana. Istilah Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana (SPP) kini telah menjadi suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan. Menurut Barda Nawawi Arief, Sistem Peradilan Pidana (SPP) pada hakikatnya identik dengan Sistem Penegakan Hukum Pidana (SPHP). Sistem Penegakan Hukum Pidana pada dasarnya merupakan sistem kekuasaan atau kewenangan menegakkan hukum. Kekuasaan atau kewenangan menegakan hukum ini dapat diidentikkan pula dengan istilah “Kekuasaan kehakiman”. 33 Independensi Sistem Peradilan Pidana atau ketidak tergantungan mengandung makna kebebasan, kemerdekaan, kemandirian atau tidak berada dibawah kendali atau kontrol dari lembaga atau kekuasaan lain. Bertolak dari pemikiran kekuasaan Kehakiman secara luas sebagaimana telah diuraikan dimuka, maka kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri (independen) harus pula terwujud dalam keseluruhan proses penegakan hukum pidana. Artinya, keseluruhan kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana (kekuasaan Penyidikan atau Polisi, kekuasaan penuntutan atau Jaksa dan kekuasaan mengadili atau hakim) seharusnya merdeka dan mandiri, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah atau eksekutif. Pengertian kekuasaan yang merdeka dan mandiri juga seharusnya diperluas, tidak hanya pada kekuasaan peradilan atau kekuasaan mengadili saja tetapi kekuasaan yang merdeka dan mandiri pada keseluruhan proses dalam system peradilan pidana.34 Selanjutnya menurut Muladi, Sistem Peradilan Pidana harus dilihat sebagai open system, sebab pengaruh lingkungan seringkali berpengaruh terhadap keberhasilan sistem tersebut mencapai tujuannya. Sebagai contoh, Muladi mengemukakan keberhasilan sistem Peradilan baik dinegara Belanda maupun Jepang dalam rangka masukan crime rate
disebabkan karena
partisipasi masyarakat dalam sistem peradilan pidana yang sudah melembaga. 35 33
Barda Nawawi Arief, Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Jakarta, 1968, Hlm 90 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, Hlm 8 35 Ibid, Hlm 10 34
15
Sistem Peradilan pidana (Criminal Justice System) harus dilihat sebagai The network of courts and tribunals which deal with criminal law and his envorcement. Pemahaman pengertian sistem dalam hal ini harus dilihat dalam konteks baik sebagai Phsycal System dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan maupun sebagai Abstract System dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain berada dalam ketergantungan. 36 Menurut Undang-Undang pokok Kejaksaan tersebut, Kejaksaan selain bertugas melakukan penuntutan juga berwenang mengadakan penyidikan tambahan atau lanjutan serta melakukan pengawasan dan koordinasi terhadap alat-alat penyidik. Ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 disebutkan, ”Mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alat penyidik menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan Negara.” 37 KUHAP memberikan uraian pengertian Jaksa dan Penuntut Umum, pada Pasal 1 butir 6a dan b KUHAP serta Pasal 13 KUHAP, ditegaskan bahwa, Jaksa adalah pejabat yang diberikan wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim (Pasal 1 butir 6a jo Pasal 13 KUHAP). Rumusan pengertian ini ditegaskan kembali dalam Pasal 1 butir 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. 38 KUHAP juga menjelaskan dasar hukum pengabdian Jaksa Penuntut Umum dan lembaga Kejaksaan Republik Indonesia utamanya adalah :39 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. 2. Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1991 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia.
36
Gordon B Davis, Manajement Information System Peradilan Pidana, Bandung, 1974, Hlm 81 RM. Surachman., Op. cit, Hlm. 35. 38 Lambock V. nahattands, Undang-Undang Kejaksaan, Jakarta, 2004, Hlm. 3. 39 Ibid, Hlm.57. 37
16
3. Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor. Kep-035/JA/3/1992 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia. Mencermati tugas dan wewenang diatas ternyata kewenangan melakukan pengawasan keputusan lepas bersyarat diabaikan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan. Penyusunan peraturan pemerintah daerah sebagai pelaksanaan Undang-Undang pemasyarakatan, maka kewenangan Kejaksaan perlu diangkat kembali, karena tidak ada kesan saling bertentangan atau tumpang tindih. Hal ini perlu diperhatikan dalam penyusunan dan pembahasan RUU KUHAP baru sebagai jus constituendum.40 Lembaga Kejaksaan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 telah diberikan kewenangan untuk melaksanakan kekuasaan Negara dibidang penuntutan. Kejaksaan memiliki peran yang sangat penting dalam proses penegakan hukum pidana, karena dapat tidaknya perkara pidana masuk ke pengadilan adalah tergantung sepenuhnya oleh Kejaksaan (Penuntut Umum). Peran yang amat besar inilah seharusnya dibarengi dengan idenpedensi dalam melaksanakan kewenangannya tersebut, karena tanpa indepedensi dari Kejaksaan maka akan sangat sulit mengarapkan indepedensi kekuasaan peradilan pidana. Praktek peradilan pidana, meskipun hakim bebas tetap terikat dengan apa yang didakwakan oleh penuntut umum. Hakim tidak boleh memutus apa yang tidak didakwakan oleh Penuntut Umum. 41 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 pasal 2 ayat (3) dinyatakan bahwa kekuasaan Kejaksaan dilakukan secara merdeka, namun bila dikaitkan dengan kedudukan Kejaksaan sebagai lembaga eksekutif maka suatu kemustahilan bila kejaksaan dapat menjalankan kekuasaan dan kewenangan dialakukan secara merdeka. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, maka jelas bahwa kedudukan kejaksaan adalah sebagai lembaga eksekutif yang melakukan tugas dan wewenang dibidang yudikatif, sehingga sangat mustahil Kejaksaan dalam menjalankan tugasnya benar-benar merdeka atau independen. 42 Jaksa dihubungkan dengan aspek jabatan, sedangkan penuntut umum berhubungan dengan aspek fungsi dalam melakukan suatu penuntutan dalam persidangan. Sejak berlakunya 40
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Hlm 41 Ibid, Hlm 90. 42 Namawi Arief, Sistem Peradilan Pidana Terpadu Dalam Kaitannya dengan Pembaharuan Kejaksaan, Bandung, 2003, Hlm 130. 41
17
KUHAP dan Undang-Undang Kejaksaan, Jaksa atau penuntut umum tidak berwenang melakukan penyidikan karena, hal tersebut merupakan kewenangan dari Kepolisian dan Pegawai Negri Sipil tertentu. Mengenai penuntutan ini, Negara Indonesia menganut sistem tertutup artinya tertutup kemungkinan jaksa atau penuntut umum melakukan penyidikan meskipun dalam arti insidental dalam perkara-perkara berat khususnya dari segi pembuktian dan masalah teknik yuridisnya. 43 B. Hubungan Kepolisian dan Kejaksaan dalam Penyelesaian Perkara Pidana pada Tahap Pra Penuntutan. Susunan organisasi, perlengkapan dan latihan bagi dinas Kepolisian serta sikap dan kebiasaan-kebiasaan dalam dinas Kepolisian adalah sangat penting bagi sistem peradilan pidana. Dinas Kepolisian menjalankan kekuasaannya dalam pengertian yang negatif terhadap tindakan yang diambil oleh aparat-aparat lain dalam sistem peradilan pidana. Undang-Undang Kepolisian Tahun 1958 mencerminkan dan menetapkan struktur dinas Kepolisian yang digariskan untuk mengayomi masyarakat.44 Fungsinya sebagai seorang asisten penuntut, ia diberi kuasa untuk mengambil langkahlangkah paksaan yang lebih berat dari pada perwira penyidik kejahatan lain, yang terpenting adalah kekuasaannya untuk mensahkan penahanan seorang tersangka untuk jangka waktu sampai dengan empat puluh delapan jam. Berbicara secara seksama Polisi berada dibawah yurisdiksi kantor penuntut umum (Kejaksaan Negeri). Sehubungan dengan kegiatannya dalam penyidikan kejahatan, dalam prakteknya kepolisian biasanya beroprasi dengan tingkat kebebasan yang luas.45 Polisi dan Jaksa merupakan dua institusi penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat. Kedua institusi ini seharusnya dapat bekerja sama dan berkoordinasi dengan baik untuk mencapai tujuan dan sistem ini, yaitu menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima masyarakat. Dua periode berlakunya hukum acara pidana, yaitu sebelum dan sesudah berlakunya KUHAP, terdapat perbedaan penting dilihat dari aspek penyidikan tindak pidana baik tindak
43
Lilik Mulyadi., Op. cit, hlm. 24. M.L. Hc. Hulsman, Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, 1984, Hlm 27 45 Ibid, Hlm 30 44
18
pidana umum maupun penyidikan tindak pidana khusus serta kewenangan dari lembaga polisi dan kejaksaan. 46 Pada masa sebelum KUHAP, keterlibatan serta pengetahuan jaksa dalam penyidikan sangat besar. Disamping itu, tidak diperlukan adanya penghubung seperti prapenuntutan. Hal ini berlangsung terus sampai munculnya keinginan polisi untuk tidak lagi menjadi pihak kedua dalam bidang penyidikan. Polisi ingin menjadi penanggung jawab dalam kepolisian yustisiil atau kepolisian represif, tidak lagi di bawah jaksa. Hal ini memunculkan suatu persaingan profesionalitas antara polisi dan jaksa, sebab pihak jaksa atas alasan sejarah, perbandingan dengan negara lain, serta efektifitas penyidikan dan penuntutan tetap menginginkan memegang peran dalam bidang penyidikan.47 KUHAP semakin jelas untuk menjelaskan adanya pemisahan fungsi antara polisi dan jaksa. Antara mereka dihubungkan dengan suatu bentuk koordinasi fungsional, karena adanya perbedaan persepsi antara penyidik dengan Jaksa penuntut umum terhadap penerapan PasalPasal dalam KUHAP, yaitu pemberitahuan dimulainya penyidikan, pemberitahuan dihentikannya penyidikan, perpanjangan penahanan, serta penyerahan berkas perkara yang jika belum lengkap dilakukan prapenuntutan.48 Integrated Criminal Justice System menurut Sukarton Marmosudjono, adalah sistem peradilan perkara pidana terpadu, yang unsur-unsurnya terdiri dari persamaan persepsi tentang keadilan dan penyelenggaraan peradilan perkara pidana secara keseluruhan dan kesatuan. Pelaksanaan peradilan terdiri dari beberapa komponen seperti penyidikan, penuntutan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Integrated Criminal Justice System adalah suatu usaha untuk mengintegrasikan semua komponen tersebut sehingga peradilan dapat berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan.49 Topo Santoso berpendapat, studi Tentang Hubungan Polisi dan Jaksa dalam Penyidikan Tindak Pidana Pada Periode Sebelum dan Sesudah Berlakunya Kitab Undang-undang Hukum
46
Tirtamidjaya Husein, Kedudukan Polisi dan Jaksa, Jakarta, 1953, Hlm 178 Romli Amasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Bandung, 1996, Hlm 57 48 P. Romashkin, www.artikel hukum.com, diakses pada Pkl 18.00 wib 49 Rahardjo, Satjipto, Studi Kepolisian Indonesia : Metodologi dan Substansi, Semarang, 19 –20 Juli 1993. 47
19
Acara Pidana. Terdapat check dan balance antara Kepolisian dan Kejaksaan serta pengadilan yang terlihat dalam proses penyidikan antara jajaran aparat penegak hukum secara Instansional. 50 Hubungan antara pihak Kepolisian dan Jaksa dalam Criminal Justice System yang memiliki pola hubungan yang strategis, karena pada tahap ini proses penyidikan tindak pidana pada pelimpahan berkas perkara mulai dilaksanakan. Keberhasilan tahap ini akan sangat menentukan tahap berikutnya,yaitu penuntutan. Sebaliknya apabila terdapat kegagalan dalam hal penyidikan, maka akan berpengaruh pada tahap penuntutan.51 Differensiasi fungsional tentang pembagian tugas wewenang antara jajaran aparat penegak hukum secara instansional. KUHAP meletakkan suatu asas penjernihan (clarification) dan modifikasi (modification) fungsi dan wewenang antara instansi penegak hukum. KUHAP menetapkan pengelompokan fungsi dan wewenang setiap instansi penegak hukum, tetapi walaupun adanya prinsip differensiasi fungsional, hubungan kerjasama antara setiap instansi penegak Hukum cukup erat. Hal ini dimaksudkan supaya jelas siapa atau instansi mana yang bertanggung jawab melakukan penyelidikan/penyidikan melakukan penuntutan dan wewenang mengadili. KUHAP telah menggariskan pembagian wewenang secara instansional. KUHAP juga mengandung ketentuan yang mengatur tentang adanya hubungan kerjasama antara aparat penegak hukum yang berupa penjernihan tugas dan wewenang. 52 Undang-Undang Nomor. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa, “Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”. Undang-Undang Nomor. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI Pasal 2 (1) menyebutkan bahwa, ”Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.53
50
Topo Santoso, Hubungan Polisi dan Jaksa dalam Penyidikan Tindak Pidana, Jakarta, 1976, Hlm 88. Ibid, Hlm 90 52 Adji Oemar Seno, Hukum Acara Pidana dalam Prospeksi, Jakarta, 1976, Hlm 11 53 Swadiri Erlangga Sudjana, Kewenangan Kepolisian dan Kejaksaan, Jakarta, 1997, Hlm 71 51
20
Undang-Undang Nomor. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, khususnya dalam Pasal 5 disebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Kemudian, di dalam Pasal 13 disebutkan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: 54 1. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 2. menegakkan hukum dan; 3. memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Pada tahap pra ajudikasi, memang posisi jaksa sebagai penuntut umum amat bergantung pada peran yang dimainkan oleh polisi dalam tahap penyelidikan dan penyidikan. Meskipun didalam KUHAP kewenangan Jaksa tidak lagi sebesar peranan yang dimainkannya ketika HIR masih berlaku, yang menyatakan kewenangan penyelidikan dan penyidikan pun menjadi kompetensinya.Namun demikian dalam perkara-perkara yang termasuk dalam golongan tindak pidana khusus, jaksa masih memegang kewenangan ini. 55 C. Kinerja Kejaksaan Negeri Kisaran dalam Penyelesaian Perkara Pidana pada Tahap Prapenuntutan Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan. Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan. Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya dibidang penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan. 56 Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Selain berperan dalam perkara pidana, Kejaksaan juga memiliki peran lain dalam Hukum Perdata dan Tata Usaha Negara, yaitu dapat mewakili Pemerintah dalam Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara sebagai Jaksa Pengacara Negara. Jaksa sebagai pelaksana kewenangan 54
Undang-Undang Kepolisian No 2 Tahun 2002 Ibid, Hlm 37 56 Goenawan Goetomo, Sejarah Perkembangan Kejaksaan di Indonesia pada abad ke abad, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1974, Hlm 25. 55
21
tersebut diberi wewenang sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan, dan wewenang lain berdasarkan Undang-Undang. 57 Mendorong
tercapainya
reformasi
birokrasi
Kejaksaan,
khususnya
dalam
mewujudkan result oriented government inilah maka dilaksanakan evaluasi kinerja Kejaksaan. Evaluasi kinerja Kejaksaan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi objektif kinerja Kejaksaan saat ini dalam menerapkan berbagai prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya manusia dan pencapaian hasil-hasil organisasi Kejaksaan.58 Selain itu juga para Aparat Penegak hukum yang ada di Kejaksaan Negeri Kisaran memiliki pertimbangan dalam hal penyelesaian perkara pidana untuk melakukan penelitian berkas perkara secara cermat, yaitu dengan memperhatikan kelengkapan berkas baik dari segi formil maupun materil. Selanjutnya apabila berkas sudah memiliki persyaratan tersebut, maka perkara dianggap layak untuk dibawa ke Persidangan. Pertimbangan dalam penyelesaian perkara pidana guna untuk memberikan kejelasan atau membuat titik terang suatu tindak pidana agar mempermudah aparat penegak hukum dalam memproses hukum yang sedang berlangsung agar dapat mencari kebenaran yang hakiki. 59 Kebijakan Aparat penegak hukum untuk menangani kasus-kasus yang masuk pada Kejaksaan Negeri Kisaran dengan melakukan koordinasi kepada penyidik untuk melengkapi kekurangan-kekurangan. Kekurangan-kekurangan tersebut tidak begitu prinsip terutama kelengkapan formil saja, dan biasanya Penegak Hukum dalam hal ini Jaksa berkoordinasi dengan penyidik untuk melengkapi berkas sebagai syarat formil yang ada dalam berkas perkara tersebut agar proses penyelesaian perkara pidana dapat segera disidangkan. 60 Menurut Hendri Dwi Zulianto Jaksa pada Kejaksaan Negeri Kisaran mengatakan bahwa, hubungan antara pihak Kejaksaan dan Kepolisian dalam hal penyelesaian perkara pidana khususnya pada tahap prapenuntutan secara formalitas adalah terkait dengan berkas perkara saja sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 110 KUHAP dan Pasal 138 KUHAP. Secara materil juga dilakukan pertemuan konteks koordinasi yaitu, pertemuan antara koordinator bidang-bidang 57
Amin S.M, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Jakarta, 1957, Hlm 34. Ibid, Hlm 18 59 Wawancara dengan Bos Faomasi J.L, Jaksa Fungsional pada Kejaksaan Negeri Kisaran, Pada Tanggal 25-05-2012, Pkl. 10.00 Wib. 60 Wawancara dengan Bona Fernandes, M.T Simbolon, Jaksa Fungsional pada Kejaksaan Negeri Kisaran, Pada Tanggal 25-05-2012, Pkl. 10.40 Wib. 58
22
yang terkait dalam suatu perkara yang bertujuan demi kelancaran dan kesuksesan suatu perkara terutama dalam pembuktian. Hubungan itu harus terpelihara dengan baik, apabila relasi sudah tidak baik lagi maka akan menghambat proses kelancaran penyelesaian perkara. 61
61
Wawancara dengan Hendrik Dwi Zulianto, Jaksa Fungsional pada Kejaksaan Negeri Kisaran, pada Tanggal 26-05-2012, Pkl, 11.00 Wib.
23
BAB III HAMBATAN-HAMBATAN YANG ADA DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA PADA TAHAP PRAPENUNTUTAN YANG ADA DI KEJAKSAAN NEGERI KISARAN DAN SOLUSINYA
A. Hambatan Penyelesaian Perkara Pidana pada Tahap Prapenuntutan di Kejaksaan Negeri Kisaran 1. Hambatan dari Undang-Undang Hukum merupakan kumpulan kaidah-kaidah dan norma yang berlaku di masyarakat, yang keberadaannya sengaja dibuat oleh masyarakat dan diakui oleh masyarakat sebagai pedoman tingkah laku kehidupannya, dengan tujuan untuk menciptakan ketentraman di masyarakat. Hukum sebagai instrument dasar yang sangat penting dalam pembentukan suatu negara berpengaruh dalam seluruh aspek kehidupan dalam masyarakat, karena hukum merupakan alat pengendalian sosial, agar tercipta suasana yang aman tentram dan damai. 62 Tingkat prapenuntutan, yaitu“bahwa prapenuntutan terletak antara dimulainya penuntutan dalam arti sempit (perkara dikirim ke pengadilan) dan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik”Prapenuntutan adalah, dalam melakukan penuntutan, jaksa dapat melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.63 Berdasarkan pada perumusan Pasal 30 ayat (1) huruf e Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, pada kenyataannya masih terdapat banyak hambatan dalam melakukan pemeriksaan tambahan meskipun dalam penjelasan telah dijelaskan bahwa antara lain sebagai berikut :64 1. Tidak dilakukan terhadap tersangka 62
Roger Hawthorn, Problems of the Criminal Justice System, Australia, 1988, Hlm 20
63
Andi Hamzah, Op.cit, Hlm 164 Undang-Undang Kejaksaan No 16 Tahun 2004, Tentang Kejaksaan.
64
24
2. Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya dan atau dapat meresahkan masyarakat dan atau dapat membahayakan keselamatan negara 3. Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 hari setelah dilakukan ketentuan Pasal 110 dan Pasal 138 ayat (2) KUHAP 4. Prinsip koordinasi dan kerja sama dengan penyidik.
Eksistensi Kejaksaan menunjukkan bahwa, keberadaan Negeri Republik Indonesia sebagai Negara hukum. Negara hukum yang dimaksudkan bukanlah sekedar Negara hukum dalam artian formal. Menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah Negara hukum dalam artian lebih luas, yaitu negara hukum dalam arti materil yang berarti hukum ditinjau dari segi isinya, yang dalam pelaksanaannya haruslah mempertimbangkan dua kepentingan yaitu manfaat hukum (doelmatigheid) dan kepastian hukum (rechmatigheid). Sehubungan dengan itu, maka dapat dipastikan bahwa pada hakikat terhadap eksistensi Kejaksaan dalam proses penegakan hukum dalam melakukan penuntutan terhadap perkara-perkara pidana di Indonesia adalah untuk mencapai tujuan hukum, yakni kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan hukum bagi pencari keadilan. 65 Kejaksaan dimana disebutkan bahwa, di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf a Undang-Undang Kejaksaan terdapat istilah prapenuntutan, selengkapnya berbunyi, dalam melakukan penuntutan, jaksa dapat melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.”66
65
Soerjono Soekanto., Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1983),
66
Undang-Undang Kejaksaan No 16 Tahun 2004, Tentang Tugas dan Wewenang Kejaksaan.
hlm 5.
25
2. Hambatan dari Aparat Penegak Hukum. Integrated Criminal Justice System menurut Sukarton Marmosudjono, adalah sistem peradilan perkara pidana terpadu, yang unsur-unsurnya terdiri dari persamaan persepsi tentang keadilan dan penyelenggaraan peradilan perkara pidana secara keseluruhan dan kesatuan. Pelaksanaan peradilan terdiri dari beberapa komponen seperti penyidikan, penuntutan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Integrated Criminal Justice System adalah suatu usaha untuk mengintegrasikan semua komponen tersebut sehingga peradilan dapat berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan.67 Sistem peradilan pidana harus merupakan kesatuan terpadu dari usaha-usaha untuk menangulangi kejahatan yang sesungguhnya terjadi dalam masyarakat. Apabila kita hanya memakai sebagian ukuran statistik kriminalitas, maka keberhasilan sistem peradilan pidana akan dinilai berdasarkan jumlah kejahatan yang sampai alat penegak hukum. Beberapa banyak yang dapat diselesakan kepolisian, kemudian diajukan oleh kejaksaan ke pengadilan dan dalam pemeriksaan di pengadilan dinyatakan bersalah dan dihukum. Masih banyak yang tidak terlihat, tidak dilaporkan mungkin pula tidak diketahui, misalnya dalam hal kejahatan dimana korbanya tidak dapat ditentukan atau “crimes without victims” dan karena itu tidak dapat di selesaikan.68 Undang-Undang Nomor. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara RI menyebutkan bahwa, Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 2 (1) menyenbutkan bahwa, ”Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.69 Penegak hukum dapat dibedakan dalam pengertian luas dan pengertian yang sempit. Arti luas, penegak hukum adalah setiap orang yang mentaati hukum. Sedangkan dalam arti sempit, 67
68 69
Kejaksaan.
Ramelan, Bahan Kuliah Hukum Aacara Pidana, Universitas Trisakti Fakultas Hukum, 2005, hlm.113
Ibid, Hlm 36 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, Tentang
26
terbatas pada orang yang diberi wewenang memaksa oleh undang-undang untuk menegakkan hukum. Menurut Marjono Reksodiputro, istilah penegak hukum dalam arti sempit hanya berarti Polisi, tetapi dapat juga mencakup Jaksa. Sedangkan di Indonesia, pengertian tersebut biasanya diperluas lagi dan meliputi juga para Hakim, dan ada kecenderungan kuat memasukkan pula dalam pengertian penegak hukum ini adalah para Advokat.70 Hambatan yang terjadi pada aparat penegak hukum dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap prapenuntutan terkait dengan sumber daya masyarakat Jaksa yang rendah kerapkali memberikan petunjuk yang diberikan tidak jelas. Menyulitkan untuk penyidik untuk memenuhinya. Belum lagi bila Jaksa punya kepentingan terhadap berkas perkara sering memberikan petunjuk yang menyimpang dari substansi perkara sehingga menyebabkan para aparat penegak hukum sangat merasa kesulitan dalam hal penyelesaian dan pemecahan suatu perkara.71 3. Hambatan Dari Budaya Hukum Sebagai institusi peradilan, kewenangan kejaksaan dapat langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Karena itu, sebagai salah satu ujung tombak dalam penegakan hukum, peran kejaksaan diharapkan dapat menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Sistem peradilan pidana terpadu adalah bagian yang tak terpisahkan dari sistem penegakan hukum. Sistem Peradilan Pidana terdapat empat sub-sistem yakni: 72 1. Kepolisian. 2. Kejaksaan. 3. Pengadilan. 4. Lembaga Pemasyarakatan. Pengaturan mengenai tugas dan wewenang kejaksaan Republik Indonesia secara normtif dapat dilihat dari beberapa kententuan Undang-undang mengenai kejaksaan sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal 30 UU No 16 Tahun 2004 Pasal 30 yaitu:73 1. Bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : 70
71
HMA. Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, UMM Press, 2007, hlm.176
Wawancara dengan Hendrik Sipahutar, Jaksa Fungsional pada Kejaksaan Negeri Kisaran, pada Tanggal 22-05-2012, Pkl. 11.00 Wib. 72 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm.257 73 Ibid, Hlm 4.
27
a.
Melakukan penuntutan.
b. Melakukan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan dan keputusan lepas bersyarat. d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang. e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan kepengadilan yang dalam pelaksanaannya dikordinasikan dengan penyidik. 2. Bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak didalam maupun
diluar
pengadilan
untuk
dan
atas
nama
negara
atau
pemerintah.
3. Bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut meyelenggarakan kegiatan: a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat. b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum. c. Pengamanan peredaran barang cetakan. d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara. Kejaksaan juga dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi lainnya. Tugas dan wewenang Kekejaksaan Republik Indonesia tersebut, Jaksa Agung juga memiliki tugas dan wewenang yaitu: 74 1. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan 2. Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh Undang-undang. 3.Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. 4. Mengajukan kasasi demi kepentingan umum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana. Serangkaian tugas kepolisian, salah satu tugas yang mendapatkan perhatian adalah tugas dalam rangka menegakkan hukum. Sebagai penegak hukum, Polisi masuk dalam jajaran sistem peradilan pidana, sebagai salah satu subsistem. Subsistem yang lain adalah kejaksaan, kehakiman, dan pemasyrakatan. Sistem peradilan pidana, Polisi merupakan pintu gerbang bagi 74
Ibid, Hlm 30
28
para pencari keadilan. Sesuatu dimulainya posisi awal ini menempatkan Polisi pada posisi yang tidak menguntungkan, karena dalam hal ini hubungan antara pihak Kepolisian dan masyarakat belum sepenuhnya terjalin hubungan yang harmonis dalam penyelesaian perkara pidana, baik dari segi hukum yang psitif maupun negatifnya. 75 Tahap pra ajudikasi, memang posisi jaksa sebagai penuntut umum amat bergantung pada peran yang dimainkan oleh polisi dalam tahap penyelidikan dan penyidikan. Meskipun didalam KUHAP kewenangan Jaksa tidak lagi sebesar peranan yang dimainkannya ketika HIR masih berlaku. Menyatakan kewenangan penyelidikan dan penyidikan pun menjadi kompetensinya. Perkara-perkara yang termasuk dalam golongan tindak pidana khusus, jaksa masih memegang kewenangan ini. 76 Faktor penghambat dari budaya hukum itu sendiri yang menghambat terwujudnya penyelesaian perkara yang cepat, sederhana, dan biaya ringan dari segi aspek legal culture. Misalnya masyarakat yang menjadi korban kejahatan (Victim), terkadang sering membuat laporan tindak pidana tidak didukung dengan bukti permulaan yang cukup. Laporan-laporan yang demikian akan menyulitkan penegak hukum seperti penyidik maupun Jaksa untuk menyelesaikannya, dan terkadang sering mendesak perkara untuk cepat diselesaikan padahal bukti tidak cukup.77 B. Solusi untuk Mengatasi Hambatan Penyelesaian Perkara Pidana pada Tahap Prapenuntutan di Kejaksaan Negeri Kisaran Sistem peradilan pidana pada dasarnya merupakan sistem fisik berupa kerjasama secara terpadu antar sub sistem untuk mencapai tujuan tertentu dan sistem abstrak berupa persamaan persepsi antar sub sistem terhadap pandangan, sikap, nilai bahkan filosofi yang mendasari sistem tersebut. Pencapaian tujuannya pun karenanya harus diupayakan melalui kerjasama, kesamaan pandangan, sikap dan nilai dari masing-masing sub sistem. Mengingat tugas dan kewenangan
75
Wawancara dengan Faisal Napitupulu, Kabag Operasional di Kapolres Asahan, Pada Tanggal 28-052012, Pkl, 11.00 Wib 76 Prodjohamidjojo M, Penjelasan Sistematis dalam Bentuk Tanya Jawab KUHAP, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, Hlm 74. 77
Wawancara dengan Bona Fernandes M.T Simbolon, Jaksa Fungsional pada Kejaksaan Negeri Kisaran, pada Tanggal 26-05-2012, Pkl 10.00 Wib.
29
jaksa yang melingkupi setiap proses dalam peradilan pidana, maka jaksa memiliki peranan besar dalam upaya peningkatan aspek publik ke peradilan pidana. Upaya peningkatan akses publik dapat dilakukan oleh pihak kejaksaan sejak awal mulainya proses peradilan pidana di kepolisian hingga akhir dari proses tersebut yaitu di LAPAS. 78 Beberapa contoh peran yang dapat dimainkan oleh pihak kejaksaan dalam upaya peningkatan aspek publik ke peradilan pidana misalnya :79 1. Dalam proses praajudikasi, upaya perlindungan terhadap hak-hak tersangka atau terdakwa dalam perkara tindak pidana umum memang menjadi kewenangan pihak kepolisian, Kejaksaan dapat berfungsi sebagai pemantau berjalannya proses penyelidikan atau penyidikan dimana dengan pola keterpaduan yang ada dalam sistem yang berjalan sesungguhnya memungkinkan jaksa untuk melakukan hal tersebut. 2. Dalam proses penuntutan, jaksa berposisi sebagai wakil dari negara. Hal tersebut menempatkan jaksa seolah-olah tidak memiliki kepentingan atas individu orang-perorangan ataupun pihak lain yang sebetulnya menderita kerugian atas tindak pidana yang terjadi.
78
Sudarto, Peran Kejaksaan dalam Penyidikan, Penuntutan,dan Pemeriksaan Pidana dalam Sidang Pengadilan Negeri, Semarang, 1974, Hlm 12. 79 Ibid, Hlm 14
30
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Penyelesaian Perkara Pidana pada tahap Prapenuntutan sering kali terjadi adanya bolak-balik berkas antara penyidik ke penuntut umum, untuk itu pihak aparat penegak hukum mengambil langkah-langkah untuk dapat menyelesaikan perkara tersebut dengan cara apabila berkas perkara telah masuk, maka Jaksa yang ditunjuk sebagai peneliti melakukan penelitian terhadap berkas perkara. Bila berkas perkara telah memenuhi syarat formil maupun materil, Jaksa akan menyatakan berkas perkara telah lengkap (P-21), akan tetapi bila ada yang belum lengkap, Jaksa akan memberitahukan kepada penyidik dengan surat (P-18) dan selanjutnya petunjuk dengan surat (P-19). Hubungan antara Jaksa dan Kepolisian sebagai aparat penegak hukum dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap prapenuntutan secara formalitas terkait dengan berkas perkara saja sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 110 dan Pasal 138 KUHAP, akan tetapi secara materil kadang juga bisa melakukan pertemuan dalam konteks koordinasi demi kelancaran dan kesuksesan suatu perkara. Terutama dalam pembuktian. Jadi hubungan itu harus tetap terpelihara dengan baik, apabila relasi sudah tidak baik hal ini tentu juga akan menghambat proses kelancaran penyelesaian perkara pidana khususnya pada tahap prapenuntutan. 2. Hambatan-hambatan yang terdapat dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap prapenuntutan banyak ditemukan dari segi Undang-Undang, aparat penegak Hukum, dan Hambatan dari Budaya Hukum. Hambatan dari Undang-Undang itu sendiri terkait dengan Pasal 110 KUHAP dan Pasal 138 KUHAP, misalnya Pasal 110 ayat (4), menyebutkan bahwa bila Jaksa Penuntut Umum lewat tenggang waktu 14 hari tidak memberikan petunjuk, maka penyidikan dianggap selesai, sementara dalam Pasal 138 ayat (2) KUHAP menyebutkan bila Jaksa mengembalikan berkas dengan petunjuk maka dalam waktu 14 hari penyidik sudah harus melaksanakan petunjuk tersebut. Masalahnya adalah terhadap Jaksa lewat dari 14 hari tidak juga memenuhi petunjuk, maka berkas otomatis dianggap lengkap dan layak untuk disidangkan. Namun untuk penyidik bila lewat 14 hari tidak juga memenuhi petunjuk maka tidak ada konsekuensinya, sehingga ini jelas terlihat kelemahan dari KUHAP sendiri. Sedangkan hambatan dari aparat penegak hukum itu sendiri terjadi karena sumber daya masyarakat yang mepunyai
31
kedudukan Jaksa sangat rendah, kerap kali petunjuk yang diberikan tidak jelas ini tentu menyulitkan bagi penyidik untuk memenuhinya. Belum lagi bila jaksa punya kepentingan terhadap berkas perkara sering memberikan petunjuk yang menyimpang dari substansi perkara. Sedangkan dilihat dari segi budaya hukum untuk mencapai penyelesaian perkara yang cepat dan berbiaya ringan dari aspek legal culture misalnya masyarakat yang menjadi korban kejahatan (Victim), terkadang sering membuat lapran tindak pidana tidak didukung dengan bukti permulaan yang cukup, sehingga laporan-laporan yang demikian akan menyulitkan penegak hukum seperti penyidik maupun Jaksa untuk menyelesaikannya, dan terkadang masyarakat sering mendesak perkara untuk cepat diselesaikan, padahal bukti tidak cukup. B. Saran 1. Perlunya kebijaksanaan yang diambil oleh aparat penegak hukum dalam hal proses penyelesaian perkara pidana pada tahap prapenuntutan guna untuk mencapai keilan yang seimbang dan hakiki, agar masyarakat para pencari keadilan dapat diperlakukan dengan seadiladilnya dan hukum yang diterapkan dapat pula berjalan dengan sejujur-jujurnya yang sesuai dengan hati nurani para aparat penegak hukum dengan ketidak adanya ketimpang siuran terhadap penerapan hukum yang diberlakukan. 2. Perlunya koordinasi yang kuat antara penyidik dan Jaksa dalam hal menyelesaikan perkara pidana khususnya pada tahap prapenuntutan agar koordinasi tersebut dapat berjalan dengan baik dan memiliki hasil yang sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat sebagai pencari keadilan. Tidak lebih dari pada itu agar dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap prapenuntutan dipengadilan nantinya dapat dinaikkan ke tahap penuntutan.
32
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Abdussalam, R. 2007, Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : Restu Agung Arief, Barda Nawawi.2010. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung : PT.Citra Aditya Bakti. Atmasasmita, Romli, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionalisme, Binacipta, Bandung, 1996. _______, 2006, Pedoman Penulisan Hukum/Skripsi, Tim Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. ________, Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan KUHAP (bagian penyidikan dan penuntutan), Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta 2000 ________, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP (pemeriksaan sidang pengadilan, banding kasasi, dan peninjauan kembali), Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2002 Bambang Poernomo, 1988, Pola Dasar Teori Dan Azas Umum Hukum Acara Pidana, Jakarta, Liberty. Darwan Prinst, 2002, Hukum Acara Pidana: Dalam Praktik, Jakarta, Djambatan, Hamzah, Andi. 1991. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka Umum. Harahap, M. Yahya. Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan KUHAP Edisi Kedua, Jakarta : Sinar Grafika. Hamid, H, Hamurat, Pembahsan Permasalahan KUHAP Bidang Penyidikan dan Penuntutan (dalam Bentuk Tanya Jawab) 1991 Husein, Harun, M, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991 J. C. T. Simorangkir, 1984, Kamus Hukum, Jakarta, Aksara Baru.
33
Kuffal, H. M. A., 2003, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, Malang, UMM Press. Kaligis, O.C, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, P.T. Alumni Bandung. 2006 Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2005, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung. Alumni. Mulyadi, Mahmud. Hukum Acara Pidana (Bahan Kuliah Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara) M. Soebagio dan Slamet Supriatna, Dasar – Dasar Ilmu Hukum, Jakarta, Akademika Pressindo. Makarao, Mohammad Taufik dan Suhasril, Hukum Acara Pidana (dalam teori dan praktek), Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004 Nico Ngani, dkk, 1984, Mengenal Hukum Acara Pidana: Bagian Umum dan Penyidikan, Yogyakarta, Liberty. Partanto, P.A.Al Barry, MD. 1994. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya : Arkola Poernomo, Bambang.1994. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Ghalia Indonesia R. Soesilo dan M. Karjadi, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan Penjelasan Resmi dan Komentar Roeslan Saleh, 1983, Beberapa Asas Hukum Pidana dalam Perspektif, Aksara Baru, Jakarta.
Reksodiputro, Mardjono, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan (Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, Jakarta, 1997
Sidik Soenaryo, 2004, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Malang, UMM Press.
34
Siregar, Tampil Anshari. 2005. Metodologi Penelitian Hukum Penulisan Skripsi. Medan : Pustaka Bangsa Perss Soekanto, Soerjono.1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UII Press. Tresna, R.1994. Asas-Asas Hukum Pidana. Surabaya : Pustaka Tinta Mas Wasis Suprayitno. 2002. Pengantar Ilmu Hukum. Malang. UMM Press. B. Internet
http://hukumonline.com/detail.asp?id=15304&cl=Berita www.ensklopedia.com Kinerja Kejaksaan, melalui www.sumber hukum online.com C. Undang-Undang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan