perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI ( Studi Pada Kejaksaan Negeri Karanganyar )
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum Minat Utama : Hukum Pidana Ekonomi
OLEH : EKA YULIASTUTI NIM : S.330908004
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
commit to user i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI ( Studi Pada Kejaksaan Negeri Karanganyar )
Disusun Oleh : EKA YULIASTUTI NIM : S.330908004
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing
Jabatan
Nama
Tanda Tangan Tanggal
Pembimbing I Prof.Dr.Adi Sulistiyono, SH.,MH NIP. 196302091988031003
……….
Pembimbing II Ismunarno, SH.,M.Hum NIP. 196604281990031001
……….
Mengetahui Ketua Program Pascasarjana Ilmu Hukum
Prof. Dr. H. Setiono, SH., MS. NIP. 130 345 735
commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI ( Studi Pada Kejaksaan Negeri Karanganyar ) Disusun Oleh : EKA YULIASTUTI NIM : S.330908004 Telah disetujui oleh Tim Penguji : Jabatan
Nama
Tanda Tangan
Tanggal
Ketua
Prof. Dr. H. Setiono, SH., MS NIP. 130 345 735
……………
………
Sekretaris
Prof. Dr. Jamal Wiwoho, SH., MH NIP. 196111081987021001
……………
……….
Anggota
1. Prof. Dr. Adi Sulistiyono, SH., MH NIP. 196302091988031003
……………
……….
2. Ismunarno, SH.,M.Hum NIP. 196604281990031001
……………
……….
Mengetahui,
Ketua Program Studi Prof. Dr. H. Setiono, SH., MS ………………………… Ilmu hukum NIP. 130 345 735 Direktur Program Pasca Sarjana
Pror.Drs. Suranto, MSc,Ph.D NIP. 131 472 192
…………………………....
commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama
: EKA YULIASTUTI
NIM
: S. 330908004
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul : ”Problematika Yang Dihadapi Jaksa Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi “ (Studi Pada Kejaksaan Negeri Karanganyar) Adalah benar-benar karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda Citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila terbukti dikemudian hari bahwa pernyataan saya tersebut diatas tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik, yang berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, Juli 2010 Yang Membuat Pernyataan
EKA YULIASTUTI
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Problematika Yang Dihadapi Jaksa Dalam Penyidikan
Tindak
Pidana
Korupsi”
(Studi
Pada
Kejaksaan
Negeri
Karanganyar). Dalam penulisan ini, penulis banyak memperoleh bimbingan dan dorongan moril serta bantuan yang berupa informasi dari berbagai pihak. Atas bantuan maupun bimbingan yang diberikan kepada penulis, maka dengan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus dan mendalam kepada : 1.
Bapak Prof. Drs. Suranto, MSc.,Ph.D., Selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2.
Bapak Prof. Dr. H. Setiono SH.,M.S., selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3.
Ibu Pror. Dr. Hartiwiningsih, SH.,M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi MagisterIlmu Hukum, yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan studi.
4.
Bapak Prof. Dr. Adi Sulistiyono, SH.,MH., selaku Pembimbing I yang banyak membantu kelancaran penulis dalam menempuh studi serta dalam menyelesaikan penulisan Tesis.
5.
Bapak Ismunarno, SH.,M.Hum selaku Pembimbing II yang dengan tulus ikhlas membimbing dan mengarahkan penulis.
6.
Bapak / Ibu Tim Penguji Tesis Program Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
7.
Bapak Kepala Kejaksaan Negeri Karanganyar yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk mengadakan penelitian di Kejaksaan Negeri Karanganya serta Bapak Faisal Banu selaku Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus yang telah bersedia membimbing penulis selama penulis mengadakan penelitian di Kejaksaan Negeri Karanganyar.
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
8.
digilib.uns.ac.id
Ayah dan Ibu ku tercinta, yang selalu memberikan Doa yang tak terhingga kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan studi di Universitas Sebelas Maret Surakarta.
9.
Adik-adik ku tersayang, Ahmad dan Wahyu, terimakasih atas kecintaan kalian berdua, dan atas dukungannya.
10. Rekan-rekan
mahasiswa
konsentrasi
Hukum
Pidana
Ekonomi
Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 11. Semua Pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dalam penyusunan tesis ini.
Penulis menyadari bahwa apa yang penulis sampaikan dalam penulisan Tesis ini masih jauh dari sempurna, namun demikian penulis berharap semoga dapat bermanfaat bagi siapa peneliti selanjutnya. Meskipun dalam penulisan ini banyak kesalahan dan kekhilafan, maka dimohon saran demi penyempurnaan penulisan ini. Akhirnya, semoga Allah SWT senantiasa memberikan petunjuk dan bimbingan kepada kita semua. Amin.
Surakarta, Juli 2010
Penulis
commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ………………………………………………
i
HALAMAN PERSETUJUAN ……………………………………
ii
PENGESAHAN ……………………………………………………
iii
PERNYATAAN …………………………………………………..
iv
KATA PENGANTAR ……………………………………………..
v
DAFTAR ISI ………………………………………………………
vii
ABSTRAK ………………………………………………………..
ix
ABSTRACT ………………………………………………………
x
BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………
1
A. Latar Belakang Masalah ……………………………
1
B. Perumusan Masalah …………………………………
7
C. Tujuan Penelitian ……………………………………
8
D. Manfaat Penelitian …………………………………..
8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……………………………….. A. Landasan Teori ……………………………………. 1. Arti dan Pengertian Korupsi ………………….
11 11 11
2. Lembaga-lembaga Yang Berwenang dalam proses Penanganan Tindak Pidana Korupsi 1). Lembaga Kejaksaan ………………………
26
2). Kepolisian …………………………………..
27
3). Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) ….
32
3. Teori Penegakan Hukum …………………….
34
B. Penelitian Yang Relevan …………………………….
40
C. Kerangka Berpikir ………………………………….
41
commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III. METODE PENELITIAN ………………………………. A. Jenis Penelitian ……………………………………….
42
B. Jenis dan Sumber data ……………………………….
45
C. Tehnik Pengumpulan Data …………………………..
46
D. Tehnik Analisa Data ………………………………….
46
E. Jadwal Penelitian ……………………………………..
48
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………..
49
A. Hasil Penelitian ………………………………………
49
1. Keadaan dan Gambaran Lokasi Penelitian ………
49
2. Pengertian Penyelidikan dan Penyidikan ………
58
B. Hasil Wawancara …………………………………….
76
C. Pembahasan …………………………………………..
81
BAB V. PENUTUP …………………………………………………
104
A. Kesimpulan …………………………………………….
104
B. Implikasi ………………………………………………..
115
C. Saran ……………………………………………………
116
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………….. LAMPIRAN
commit to user viii
42
119
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Eka Yuliastuti, S. 330908004, 2010, Problematika Yang Dihadapi Jaksa Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi (Studi Pada kejaksaan Negeri Karanganyar). Tesis : Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Pelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisa mengenai Problematika yang Dihadapi Jaksa Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi (Studi Pada Kejaksaan Negeri Karanganyar). Jenis penelitian dalam penulisan ini adalah non-doktrinal, dengan mendasarkan pada konsep hukum ke-5. Bentuk penelitian yang digunakan adalah diagnostik. Analisis datanya menggunakan analisis kualitatif. Berdasarkan deskripsi hasil penelitian dan pembahasan sehubungan dengan masalah yang dikaji dapat disimpulkan bahwa problematika yang dihadapi jaksa dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi (studi pada kejaksaan negeri karanganyar) adalah : (1) Pembuatan Undang-undang atau perundang-undangan yang masih rancu sehingga menyulitkan jaksa dalam proses penyidikan dan dukungan produk legislatif yang kurang memadai baik di Pusat (undang-undang), maupun di daerah (Perda), Obyeknya rumit karena berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu, (2) Kurangnya personil penyidik kejaksaan, sarana dan prasarana yang belum memadai, kurang profesionalnya sumberdaya manusia atau penyidik dari Kejaksaan, Pelaku dilindungi korps / atasan / teman-temanya, Modus operandinya canggih baik dalam bidang pembukuan dan menggunakan media elektronik, dan pelaku menggunakan cara-cara untuk mengaburkan kasus baik dalam bentuk fisik maupun psikis. Selanjutnya upaya-upaya yang dilakukan jaksa dalam menghadapi problematika tersebut adalah : Mempersiapkan para penegak hukum yang mempunyai keahlian khusus, mengadakan penataran kepada petugas-petugas yang terkait dalam penyidikan tindak pidana korupsi untuk lebih menguasai peraturan tentang tindak pidana korupsi, meminta kepada pembuat undangundang untuk membenahi sistem perundang-undangan yang ada seperti yang terdapat dalam pasal 2 dan 3 undang-undang tindak pidana korupsi, jaksa dan hakim sering bingung dalam menafsirkan isi darinpasal-pasal tersebut. Sebagai implikasinya, Apabila sumberdaya manusia tidak ditingkatkan, akan terjadi stagnasi perkara korupsi, sehingga penyidikan kasus perkara korupsi terhambat, disarankan adanya peningkatan SDM melalui studi lanjut program strata II (Magister) dan strata III (Doktor) serta pelatihan yang relevan.
commit to user ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Eka Yuliastuti S.330908004. The Problems Encountered by The Public Prosecutors in Investigating the Corruption Offenses (A Study at the District Court of Karanganyar). Thesis: The Graduate Program in Law Science, Sebelas Maret University, Surakarta, 2010. The objective of this research is to investigate and analyze the problems encountered by public prosecutors in investigating the corruption offenses (a study at the District Court of Karanganyar). This research used a non-doctrinal and method based on the fifth law concept. Its data were analyzed by using a qualitative analysis technique. Based on the results of the analysis on the problems encountered by the public prosecutors in investigating the corruption offenses, conclusions are drawn as follows: (1) The drafting of the prevailing laws and regulations is still contradictory so that it puts the public prosecutors in trouble to conduct investigation; the supports of legislative products, either from the central ones (central legislations) or the local ones (local legislations) are less adequate; and its object is very complicated because it shall include multi disciplinary sciences. (2) The public prosecutors lack investigators; the infrastructures and facilities are less adequate; the prevailing investigators are less professional; the corruption offenders are protected by their corps/ordinates/colleagues; its modus operandi (operating method) is sophisticated through the use of uneasily investigated book keeping methods and electronic devices; and the corruption offenders use certain ways to make the cases physically and non-physically undetectable. The efforts taken by the public prosecutors to encounter such problems are as follows: The public prosecutors prepare the law enforcers with special skills, conduct training to those related to the investigation of corruption offenses so that they master the laws and regulations against the corruption offenses, and call for improvement of the prevailing legislation systems to the law and regulation makers. For example, they require Articles 2 and 3 of the Corruption Act to be improved as the public prosecutors and judges are often confused in interpreting their contents. As an implication, if the ability of the human resources is not improved, the corruption offenses will remain stagnant or even become higher and the investigation of the corruption offenses will also be impended. Therefore, the ability of the human resources shall be improved through dispatching them to do graduate and postgraduate programs and to attend variety of relevant training.
commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Akhir-akhir ini masalah korupsi sedang hangat-hangatnya dibicarakan publik, terutama dalam media massa baik lokal maupun nasional. Banyak para ahli mengemukakan pendapatnya tentang masalah korupsi ini. Pada dasarnya, ada yang pro ada pula yang kontra. Akan tetapi walau bagaimanapun korupsi ini merugikan negara dan dapat merusak sendi-sendi kebersamaan bangsa. Pada hakekatnya, korupsi adalah “benalu sosial” yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan pada umumnya. Dalam prakteknya, korupsi sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas, oleh karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang eksak. Disamping itu sangat sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Namun akses perbuatan korupsi merupakan bahaya latent yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. Sejalan dengan dinamika masyarakat pelaksanaan pembangunan berkembang cukup pesat, tetapi dalam berbagai bidang pembangunan nasional negara Indonesianseperti Ideologi, Ekonomi, Sosial Budaya, pertahanan dan keamanan terdapat adanya faktor penghambat yang berasal dari aparatur negara yang justryseharusnya menjadi pengemban untuk mewujudkan cita-cita bangsa yaitu berupa perbuatan tindak pidana korupsi. Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga akan menduduki status sosial yang tinggi dimata masyarakat. Korupsi sudah berlangsung lama, sejak zaman Mesir Kuno, Babilonia, Roma sampai abad
commit to user 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pertengahan dan sampai sekarang. Korupsi terjadi diberbagai negara, tak terkecuali di negara-negara maju sekalipun. Strategi preventif dibuat dan dilaksanakan dan diarahkan pada hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya korupsi. Strategi detektif dibuat dan diarahkan agar apabila agar apabila suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi maka perbuatan tersebut akan dapat diketahui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan seakuratakuratnya sehingga dapat ditindak lanjuti dengan tepat. Strategi represif dibuat dan dilaksanakan untuk memberikan sanksi hukum yang setimpal secara tepat kepada pihak-pihak yang terlibat dalam Korupsi. In sum, an effective anti-corruption strategy is likely to remove the opportunities for corruption; raise the salaries of civil servants and politicians; ensure a high degree of policing through effective application of the formal rule of law and the informal controls which encompass values; culture, moral and society responsiveness; and provide a negative publicity as a deterrent.1 In Indonesia, corruption was a serious problem during the Dutch colonial period as the salaries of the Dutch East India Company’s personnel were inadequate. Clive Day bservant that these personnel “were underpaid and exposed to every temptation that was offered by the combination of a weak native organization, extraordinary opportunities in trade, and an almost complete absence of checks from home or in Java” (Day, 1966: 00-103). Corruption became endemic during President Sukarno’s rule because his disastrously inflationary budgets eroded civil service salaries to the point where people simply could not live on them and where financial accountability virtually collapsed because of administrative deterioration” (Mackie, 1970: 87-88).2 Di Indonesia masalah korupsi sepertinya tidak pernah berakhir melanda kehidupan masyarakat di Indonesia. Dari awal Negara Republik Indonesia berdiri 1 Abdullah, N. R. W. (2008). Eradicating corruption: The Malaysian experience, JOAAG, Vol. 3. No. 1, Jurnal Internasional, www.google.com, Download Tanggal 2 Juli 2010. 2 Jon S.T. Quah, National University of Singapore, Asian Review of Public Administration, Vol XI, , No 2 Juli-Desember 1999), Comparing Anti-corruption Measures in Asian Countries: Lessons to be Learnt, www.google.com, Download Tanggal 1 Juni 2010.
commit to user 2
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hingga saat ini, pemerintah dan rakyat senantiasa disibukkan dalam urusan pemberantasan korupsi. Apabila kita perhatikan, beberapa peraturan di bidang korupsi, jika diamati setiap konsiderans maupun penjelasan umum perundangundangan, maka ternyata bahwa setiap pergantian atau perubahan undang-undang senantiasa didasarkan pada
“pertimbangan-pertimbangan” bahwa korupsi telah
banyak merugikan keuangan dan perekonomian negara, perundang-undangan yang ada tidak lagi efektif memberantas tindak pidana korupsi yang semakin meningkat dan kompleks. Korupsi di Indonesia diyakini telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan masyarakat dan penyelenggara negara. Pada tatanan penyelenggaraan negara, korupsi menjalar mulai dari level pejabat lembaga negara di tingkat pusat hingga level yang terendah sekalipun. Aparat negara saat ini sebagian besar sudah terkontaminasi praktek korupsi baik secara terang-terangan maupun terselubung. Corruption is a serious problem affecting democracy and the economy and engendering grave consequences for the security of goods and persons. Corruption is to economic life and public life what doping is to sports, namely an illicit, camouflaged means of breaking the rules to gain undue advantage.3 Meluasnya praktek korupsi di negara-negara yang sedang berkembang menimbulkan kesan bahwa kata korupsi barangkali kata yang paling dikutuk orang, bahkan sampai timbul ungkapan bahwa kebudayaan negara berkembang korupsi merupakan ciri yang sukar diberantas. Fakta sejarah memang membuktikan bahwa tidak sedikit negara yang runtuh karena salah satu penyebab utamanya adalah korupsi, akan tetapi banyak pula negara yang berhasil keluar dari kemelut Korupsi, baik negara-negara yang sekarang sudah maju seperti Inggris, Perancis dan Belanda maupun yang masih setengah maju seperti Korea Selatan dan Singapura.4 3 Thomas Cassuto , Efective Legal And Practical Measures For Combating Corruption : The French System, Jurnal Internasional, , www.google.com Download Tanggal 16 Juni 2010.
4 Junaidi Soewartojo, 2005, Korupsi Pola Kegiatan dan Penindakannya Serta Peran pengawasan dalam penanggulangan, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 25.
commit to user 3
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Semakin banyak bukti menumpuk tentang korupsi di negara-negara berkembang, agaknya jelas bahwa pengaruh buruk jauh lebih besar daripada manfaat sosialnya. Begitu pula dengan Tindak Pidana Korupsi dengan sedikit memikirkan usaha-usaha untuk memberantas Tindak Pidana Korupsi. Modus operandi korupsi terbentang dari yang paling sederhana sampai yang paling canggih. Paling sederhana adalah mengambil uang dari brankas atau rekening dinas di suatu instansi. Versi yang lebih canggih banyak variannya, misalnya berupa penundaan pencairan dana proyek oleh pejabat kepada kontraktor pembangunan. Modus operandi delik korupsi berbeda dengan delik pada umumnya disamping modus operandinya lebih rumit, juga dilakukan oleh mereka yang pada umumnya mempunyai kadar intelektual atau pendidikan yang cukup tinggi, sebab itulah Erwin E. Sutetherland menggolongkan mereka pada apa yang disebut “white collar crime” (penjahat kerah putih)5. Bahkan muncul pula istilah “political corruption” oleh karena pelaku tindak pidana korupsi di identifikasikan sebagai konspirasi antar pejabat negara dan
masyarakat yang bersifat kompleks. Istilah tersebut
menggambarkan pula keprihatinan masyarakat dan para ahli yang baik karena tindak pidana korupsi sangat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah secara substansial, disamping mengakibatkan meningkatkan biaya-biaya pelayanan sosial sebaliknya menurunkan kualitas pelayanan sosial.6 Permasalahan dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi berdampak pada gangguan stabilitas politik dan keamanan masyarakat, merusak lembaga dan nilainilai demokratis, nilai-nilai etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkesinambungan dan melemahkan penegakan hukum. Korupsi dalam perkembangannya kini bukan hanya merupakan kejahatan yang berdiri sendiri tetapi juga berhubungan sinergi dengan bentuk-bentuk kejahatan lain, seperti kejahatan terorganisir dan kejahatan ekonomi termasuk pencucian uang. Lebih jauh kasus 5 Muladi, Beberapa Dimensi Dari Tindak Pidana Korupsi, Makalah Penataran Hukum Pidana Nasional ke IV kerjasama indonesia –Belanda, hal 3 6 Ibid, hal 2
commit to user 4
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kasus korupsi juga mengancam aset-aset yang merupakan sumber daya dari Negara sehingga berpotensi menimbulkan kemiskinan rakyat. Korupsi di Indonesia dirasakan semakin meluas dan meningkat, baik dari jumlah kasus yang terjadi maupun jumlah kerugian keuangan negara serta kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana terhadap kehidupan perekonomian nasional, kehidupan berbangsa dan bernegara. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi dipandang sebagai kejahatan luar biasa. Pemberantasan tindak pidan korupsi menjadi perhatian serius pemerintah, dengan adanya ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No.XI/MPR/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta dengan adanya UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Politik hukum di Indonesia menempatkan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan metode penegakan hukum secara luar biasa diantaranya dengan menghilangkan hambatan prosedur dalam pelaksanaan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Diberlakukannya UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai Undang-undang hukum pidana khusus yang memuat tentang hukum pidana materiil dan formil sebenarnya diharapkan mampu sebagai perangkat hukum untuk memberantas korupsi, baik secara preventif maupun represif. Berdasarkan keputusan Jaksa Agung RI Nomor. KEP-518/A/J.A/11/2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung RI Nomor. KEP-123/J/A/11/1994 tanggal 7 November tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana Korupsi, modus operandi terungkapnya perkara korupsi dapat karena adanya inisiatif penyidik sendiri atau karena adanya laporan/ informasi tentang telah terjadinya tindak pidana korupsi.
commit to user 5
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pada hakikatnya, Kejaksaan sebagai institusi yang berwenang menangani Tindak Pidana Korupsi dapat bertindak baik sebagai penuntut umum yang mendapatkan hasil penyidikan (BAP) dari kepolisian mengenai tindak pidana korupsi dan dapat pula bertindak penyidik langsung tindak pidana korupsi. Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara atau Dominus Litis mempunyai kedudukan sentra dalam penegakan hukum, karena hanya institusi kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah sebagaimana menurut hukum acara pidana. Disamping sebagai penyandang Dominus Litis ( Procureur die de procesvoering vaststels ) kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana ( executive amtenaar ). Masyarakat sangat mendambakan institusi Kejaksaan dapat berfungsi secara optimal dalam menegakkan supremasi hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta dapat menjadi tulang punggung reformasi. Sebab pada dasarnya makna reformasi adalah kembali kejalur hukum dan konstitusi sebagai prasyarat bagi tegaknya demokrasi dan civil society yang dicita-citakan. Dalam hal penanganan tindak pidana korupsi kejaksaan dapat melakukan penyidikan tindak pidana korupsi dengan dasar pasal 30 ayat (1) huruf d UndangUndang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Selanjutnya sebagai Penuntut Umum Tunggal (KUHAP), Kejaksaan akan melakukan penuntutan Tindak Pidana Korupsi. Penanganan Tindak pidana di Kejaksaan dimulai dengan penyelidikan yang dilakukan oleh seksi intelijen. Apabila ditemukan bukti permulaan yang cukup, maka proses penyidikan diteruskan oleh seksi pidana khusus. Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor SE-007/A/J.A/11/2004 tanggal 26 November 2004 tentang Mempercepat Proses Penanganan Perkara-Perkara Korupsi se Indonesia menggariskan agar penyidikan diselesaikan dalam waktu 2 (dua) bulan. Untuk mendorong kinerja kejaksaan, Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
commit to user 6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Strategi penegakan hukum tersebut menjadi semakin relevan berhubung dengan instruksi presiden Nomor 5 tahun 2004 tertanggal 9 Desember 2004 tentang Percepatan pemberantasan Korupsi. Instruksi Presiden yang salah satu diantaranya ditujukan kepada khusus kepada Jaksa Agung berisi: a. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidanan korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang Negara. b. Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Jaksa/penuntut Umum dalam rangka penegakan hukum. c. Meningkatkan kerjasama dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis transaksi Keuangan, dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengendalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi. Selain Kejaksaan, KPK dan Kepolisian juga berwenang menangani kasus Tindak Pidana Korupsi. Akan tetapi dalam kenyataan yang terjadi, Kejaksaan sering mengalami hambatan-hambatan dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi. Kejaksaan seringkali dinilai kurang kooperatif. Sorotan tajam yang mengemukakan terhadap institusi penegakan hukum termasuk kejaksaan RI, baik dalam tugas penyidikan maupun dalam tugas penuntutan antara lain karena Kejaksaan RI dipandang tidak mandiri dan independent sebagaimana terlihat pada penyelesaian perkara-perkara. Perbedaan kewenangan penyidikan sebelum dan sesudah berlakunya KUHAP akan jelas sekali terlihat dengan mengetahui siapa yang dimaksud dengan penyidik menurut ketentuan acara pidana sebelum KUHAP. Menurut Reglement Indonesia yang diperbarui (S.1941 Nomor 44) pasal 53 (1) yang dimaksud dengan penyidik ialah Kepala Distrik, Kepala Onderdistrik, Polisi umum yang sekurang-kurangnya
commit to user 7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berpangkat pembantu inspektur polisi dan pegawai polisi yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Di dalam praktek, seringkali ditemukan pula bahwa untuk tindak pidana korupsi hanya berupa informasi saja yang dilaporkan. Bila informasi perkara korupsi tersebut hanya melingkupi satu kabupaten maka cukup ditangani Kepala Kejaksaan Negeri setempat, namun bila meliputi beberapa kabupaten maka ditangani oleh Kejaksaan Tinggi. Kejaksaan Negeri Karanganyar pada tahun 2007 hanya dapat menyelesaikan pencapaian penanganan perkara penyelidikan, penyelidikan masing-masing sejumlah 2 (dua) perkara / kasus Tindak Pidana Korupsi yang terjadi diwilayah hukum Kejaksaan Negeri Karanganyar. Sedangkan untuk tahun 2008 sama sekali tidak dapat menyelesaikan pencapaian penanganan perkara baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan sampai ke tahap penuntutan. Hal ini berarti bahwa Kejaksaan Negeri Karanganyar pada tahun 2007-2007 tidak dapat memenuhi target sebagaimana dalam S.E Jaksa Agung yang ditindak lanjuti dengan Surat JAM PIDSUS. Dari latar belakang masalah tersebut bahwa ternyata Jaksa Penyidik didalam hal menangani proses penyidikan tindak pidana korupsi menimbulkan problematika. Apa yang menyebabkan terjadinya problematika penyidikan tindak pidana korupsi inilah yang layak untuk diteliti agar dapat menemukan faktor yang menjadi penyebab terjadinya problematika, padahal sudah ada Instruksi Presiden serta surat Edaran Kejaksaan Agung tentang percepatan penanganan kasus tindak pidana korupsi. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk menulis sebuah karya ilmiah berbentuk tesis dengan judul “PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI”
commit to user 8
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. PERUMUSAN MASALAH Guna memberikan arah dalam pembahasan masalah maupun untuk mencapai tujuan penelitian, maka akan dilakukan identifikasi terhadap permasalahan yang perlu diteliti dan dibahas. Berdasarkan latar belakang masalah di atas permasalahan yang akan diteliti meliputi : 1. Apakah problematika yang dihadapi Jaksa dalam penyidikan Tindak Pidana Korupsi.? 2. Apakah upaya yang dapat dilakukan Jaksa untuk mengatasi problematika tersebut.? C. TUJUAN PENELITIAN Untuk dapat mencapai sasaran yang di inginkan sebagai pemecahan masalah sesuai dengan rumusan masalah yang ditetapkan, maka dalam penelitian ini mempunyai tujuan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui Problematika yang dihadapi Jaksa dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi. 2. Untuk mengetahui bagaimana usaha yang dapat dilakukan Jaksa dalam mengatasi problematika penyidikan Tindak Pidana Korupsi.
D. MANFAAT PENELITIAN Agar hasil dari kegiatan penelitian yang dicapai tidaklah sia-sia, maka setiap penelitian berusaha untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
commit to user 9
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan landasan teoritis bagi pengembangan disiplin ilmu hukum acara pidana pada umumnya. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan dan pengetahuan tentang penelaahan ilmiah serta menambah literatur atau bahan-bahan informasi ilmiah yang dapat digunakan untuk melakukan kajian dan penulisan ilmiah bidang hukum lainnya. 2. Manfaat Praktis a. Meningkatkan pengetahuan penulis tentang masalah-masalah dan ruang lingkup yang dibahas dalam penelitian ini. b. Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi aparat penegak hukum agar dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan dan dasar pengambilan keputusan ataupun kebijakan.
commit to user 10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori 1. Arti Dan Pengertian Korupsi Istilah korupsi sudah dikenal dan ada dalam khasanah hukum Indonesia sejak adanya Penguasa Militer Nomor PRT / PM-08 / 1958 tentang Penyelidikan Harta Benda. Istilah ini dapat dilihat dalam pasa 1 ayat (a) yang menyatakan bahwa mengadakan penyelidikan harta benda seseorang yang disangka melakukan korupsi menurut Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt / Pm/ 06 / 1957 Penguasa Militer Berwenang pula mengadakan penyelidikan terhadap harta setiap orang atau badan di dalam daerah yang kekayaannya diperoleh secara mendadak dan mencurigakan. ‘Corruption’ is a very broad term. It covers fraud (theft through misrepresentation), embezzlement (misappropriation of corporate or public funds) and bribery (payments made in order to gain an advantage or to avoid a disadvantage). The different types of corruption are likely to be closely linked.
It is not easy to define a corrupt deal in a few words because
there are a number of elements to the transaction. It is an act of theft (and hence an offence against human relationships), but it is a very particular kind of theft. One definition that has the virtue of simplicity (but which needs unpacking) is “the act by which ‘insiders’ profit at the expense of ‘outsiders’ ”. This can convey the ideas of abuse of position, offending against relationships, and underhandedness.7 Para ahli hukum dalam memberikan pengertian korupsi sangatlah bervariasi, sedangkan dalam peraturan perundang-undangan KUHP maupun 7 Bryan R Evans, The Cost of corruption, A discussion paper on corruption, development and the poor, Jurnal Internasional, www.google.com. Download tanggal 20 juni 2010.
commit to user 11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalam undang-undang tindak pidana korupsi sama sekali tidak terdapat satu pasalpun yang memberikan definisi korupsi secara jelas. Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimanamana. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap negara dihadapkan pada masalah korupsi. Tidak berlebihan jika pengertian korupsi selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perubahan jaman. Kata Korupsi dalam bahasa latin “Corruptio” atau “Corruptus”. Dari bahasa latin lalu diturunkan dalam bahasa Inggris sebagai “Corruptie” yang selanjutnya menurut bahasa Indonesia dikenal dengan istilah “Korupsi”. Arti harfiah dan kata corrupt sebagaimana ditemukan dalam The Lexion Webster Dictionary8 diartikan kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian , sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan,dsbnya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.9 Secara harfiah arti korupsi10 dapat berupa : kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejadan dan ketidakjujuran11. Perbuatan yang buruk, sepeti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya. Perbuatan yang kenyataaan yang menimbulkan keadaan bersifat buruk, penyuapan dan bentuk-bentuk ketidakjujuran, sesuatu yang dikorup, seperti kata diubah atau diganti secara tidak tepat dalam satu kalimat. Pengertian tindak pidana korupsi adalah salah satu dari hukum pidana khusus disamping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti adanya penyimpangan hukum acara serta apabila ditinjau dari materi yang diatur maka secara langsung atau tidak langsung dimaksudkan untuk menekan seminimal mungkin kebocoran dan penyimpangan keuangan dan perekonomian negara. 8
Henry Campbell Black, 1990, Black’s Law dictionary, ST. Paul Minn West Publishing, hal. 35. W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, hlm 118. 10 Lilik Mulyadi, ibid, hlm. 16 11 WJS Poerwadarminta, Loc cit. hlm 33 9
commit to user 12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sedangkan dalam definisi yang formal adalah merupakan tindakan yang dilakukan oleh seorang pejabat kekuasaan untuk mengambil secara melawan hukum sejumlah harta kekayaan yang terbilang atau yang seharusnya akan dibilangkan sebagai harta kekayaan negara, sebagian literatur merumuskan korupsi merupakan tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status uang yang menyangkut pribadi ( perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri ) atau melanggar aturan-aturan pelaksana beberapa tingkah laku pribadi. Definisidefinisi ini tidak statis karena pemahaman masyarakat tentang apa yang disebut corup itu berkembang, sepanjang waktu masyarakat lambat laun mampu membuat perbedaan yang lebih tajam antara suap dan tindakan timbal balik atau transaksi dan semakin mampu membuat perbedaan ini berlaku dalam praktek. Dalam arti sempit, korupsi berati pengabaian standar perilaku tertentu oleh pihak yang berwenang demi memenuhi kepentingan diri sendiri. Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan ( BPKP ) mendefinisikan korupsi sebagai tindakan yang merugikan kepentingan umum dan masyarakat luas demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Baharudin Loppa12 membagi korupsi menurut sifatnya dalam 2 (dua) bentuk yaitu sebagai berikut : 1. Korupsi yang bermotif terselubung Yakni korupsi sepintas kelihatannya bermotif politik tetapi secara tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapatkan uang belaka. Contoh, seorang pejabat menerima suap dengan janji akan menerima si pemberi suap menjadi Pegawai Negeri atau di angkat dalam suatu jabatan. Namun dalam kenyataannya setelah menerima suap, pejabat itu tidak memperdulikan lagi janji kepada orang yang memberi suap tersebut yang pokok adalah mendapatkan uang tersebut. 12
Baharudin Loppa dalam Evi Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika. Jakarta, hal. 10
commit to user 13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Korupsi yang bermotif ganda Yaitu seseorang melakukan korupsi secara lahiriyah kelihatannya hanya bermotifkan mendapatkan uang tetapi sesungguhnya bermotif lain yaitu kepentingan politik. Contoh, seseorang yang membujuk dan menyogok seorang pejabat agar dengan menyalahgunakan kekuasaannya pejabat itu dalam mengambil keputusan memberikan suatu fasilitas pada si pembujuk itu meskipun sesungguhnya si penyogok tidak memikirkan apakah fasilitas itu akan memberikan hasil kepadanya. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia kecuali korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkausa dan mereka
yang
berada
dalam
lingkungannya
tidak
tergoda
untuk
menyembunyikan perbuatannya namun walaupun demikian motif korupsi tetap dijaga rahasianya. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik, kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang. Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik pembenaran hukum. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas yang mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan politik atau umum ( masyarakat ). Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan. Menurut Carl J. Friesnich sebagaimana dikutip oleh Martiman Prodjohamidjojo, mengatakan bahwa apabila seseorang memegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu seperti seorang pejabat yang bertanggung jawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak diperbolehkan Undang-undang, membujuk untuk mengambil langkah
commit to user 14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang menolong siapa saja yang menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-benar mambahayakan kepentingan umum.13 Secara hukum, pengertian korupsi adalah “tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi”. Sedangkan definisi korupsi menurut organisasi transparansi internasional adalah sebagai berikut : “Perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercaya kepada mereka”. Korupsi di mana pun dan kapan pun akan memiliki ciri khas, ciri tersebut bisa bermacam-macam di antaranya14 : 1. Melibatkan lebih dari satu orang; 2. Korupsi tidak hanya berlaku dikalangan pegawai negeri atau anggota birokrasi negara, tetapi terdiri juga dari Organisasi usaha swasta; 3. Korupsi dapat mengambil bentuk menerima sogok, uang kopi, salam tempel, uang semir, uang pelancar, baik dalam bentuk tunai, benda atau wanita; 4. Umumnya serba rahasia, kecuali sudah membudaya; 5. Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik yang tidak selalu uang; 6. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau masyarakat umum; 7. Setiap perbuatan korupsi melanggar norma-norma, tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat; 8. Di bidang swasta korupsi dapat berbentuk menerima pembayaran uang dan sebagainya untuk membuka rahasia perusahaan, tempat seorang bekerja, mengambil komisi yang seharusnya hak perusahaan. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 dan 3 mendefinisikan korupsi antara lain sebagai berikut:
13 Martiman Prodjohamidjojo, 2001. Kekuasaan Kehakiman dan Kewenangan Mengadili. Ghalia Indonesia, Jakarta. hlm.10 14 Ibid, hlm.10
commit to user 15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a.
Setiap orang yang sengaja melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korupsi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
b.
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain
atau
suatu
korporasi,
menyalahgunakan
kewenangan,kesempatan atau sarana yanga ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara....” Menurut Undang-undang No.3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (LN 19 tahun 1971). Rumusan delik pada Undangundang N0.3 tahun 1971 mengambil oper rumusan delik korupsi dan Undang-undang No.24 (Prp) tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baik redaksi mengenai perbuatan-perbuatan maupun sistmatikanya. Sehingga ada dua kelompok delik korupsi yaitu delik korupsi yang selesai (vooltoid) dan delik percobaan (poging) serta delik permufakatan (convenant). Menurut Undang-undang No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, rumusan delik korupsi mengoper sebagian besar delik korupsi menurut rumusan Undang-undang No.3 tahun 1971, dengan perubahan sebagai berikut: 1.
Memperluas subyek delik korupsi.
2.
Memperluas pengertian pegawai negeri.
3.
Memperluas pengertian delik korupsi.
4.
Memperluas jangkauan berbagai modus operandi keuangan negara.
5.
Delik korupsi dirumuskan secara tegas sebagai delik formil.
6.
Subyek korupsi dikenakan sanksi.
7.
Guna mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah memberantas delik korupsi sanksi pida berbeda dengan sanksi pidana undang-undang sebelumnya.
commit to user 16
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8.
Akan dibentuk tim gabungan yang dikoordinasi oleh Jaksa Agung, agar dalam proses penanganan delik korupsi tersangka/terdakwa memperoleh perlindungan hak-hak asasi.
9.
Penyidik, penuntut, dan hakim dapat langsung meminta keterangan keuangan tersangka/terdakwa pada Gubernur Bank Indonesia diterapkan pembuktian terbalik terbatas.
10. Partisipasi masyarakat berperan dalam pemberantasan delik korupsi. 11. Akan dibentuk komisi pemberantasan tindak pidana korupsi, dua tahun mendatang. Delik korupsi menurut Undang-undang ini, dibagi dalam dua kelompok besar, yakni, kelompok pertama, Bab II tentang tindak pidana korupsi terdiri dari pasal 2 sampai dengan pasal 20, dan kelompok kedua, Bab III tentang tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidan korupsi. Sedangkan definisi umum tentang korupsi tidak diberikan oleh undamg-undang ini. Di dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, rumusan delik korupsi mengoper sebagian besar dari delik korupsi menurut Undang-undang No. 31 tahun 1999, dengan beberapa perubahan yang antara lain penyebutan unsur-unsur yang langsung yang terdapat dalam pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan 12 Undang-undang No. 20 Tahun 2001. Perumusan tindak pidana korupsi dalam pasal-pasal Undang-Undang Nomor 31 tahun1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi, dimulai dengan kata “setiap orang”, yang diberi makna orang atau perseorangan atau termasuk korporasi. Sedangkan yang dimaksud korporasi adalah sekumpulan orang atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum dan dapat terjadi subyek tindak pidana korupsi.
commit to user 17
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Lebih lanjut perumusan ciri-ciri tindak pidana korupsi15 sebagai berikut : 1. Suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan; 2. Penipuan terhadap badan pemerintah, lembaga swasta atau masyarakat umum; 3. Dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus; 4. Dilakukan dengan rahasia, kecuali dalam keadaan dimana orang-orang yang berkuasa atau bawahannya menganggap tidak perlu; 5. Melibatkan lebih dari satu orang atau pihak; 6. Adabya kewajiban dan keuntungan bersama, dalam bentuk unag atau lainnya; 7. Terputusnya kegiatan ( korupsi ) pada mereka yang menghendaki keputusan yang pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya; 8. Adanya bentuk usaha menutupi perbuatan korupsi dalam bentuk-bentuk pengesahan hukum; dan 9. Menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif pada mereka yang melakukan korupsi. Pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah korupsi bermacammacam pula, dan artinya pula tergantung dari segi mana pendekatan itu dilakukan. Pendekatan sosiologis misalnya, seperti yang halnya yang dilakukan oleh Syed Husien Alatas dalam bukunya “ He Sociology of Corruption” yang menyatakan bahwa istilah korupsi apabila seorang pegawai negeri menerima pemberian yand di sodorkan oleh swasta dengan maksud untuk mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa agar memberikan perhatian istimewa untuk kepentingan si pemberi. Akan lain halnya bila dilakukan pendekatan normatif, atau pendekatan politik maupun ekonomi. Hunington16 menyatakan : ”Akan tetapi tidak berati dengan adanya pola korupsi ditingkat atas ini mengganggu stabilitas politik asal saja jalan-jalan untuk mobilitas keatas melalui partai politik atau birokrasi tetap terbuka. Namun jika pemain-pemain politik dari generasi muda melihat mereka akan dikesampingkan, tidak diberi kesempatan untuk hasil-hasil yang telah dicapai 15
SH. Alatas, 1987, Korupsi Sifat, Sebab dan Fungsi, Penerbit LP3ES, Jakarta, vii. Mochtar lubis dan James C. Scoot, 1977, Bunga Rampai Mengenai Etika Pegawai Negeri, LP3ES, Jakarta, hal. 67. 16
commit to user 18
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
oleh generasi tua atau jika kolonel-kolonel dalam angkatan melihat tidak ada harapan untuk naik pangkat dan kesempatn yang ada hanya bagi para jendral, maka sistem terbuka tersebut akan digoncangkan oleh kekuasaan. Dalam masyarakat seperti ini korupsi politik dari stabilitas politik kedua-duanya tergantung pada mobilitas keatas”. Lain halnya jika melihat korupsi sebagai perbuatan-perbuatan yang dapat dikualifikasikan sebagia tindak pidaan korupso secara tegas diatur dalam pasal-pasal Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasa Tindak Pidana Korupsi. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus, oleh karena itu disamping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti halnya adanya penyimpangan hukum acara pidana. Apabila dikaji secara mendalam maka tindak pidana korupsi sebenarnya tidaklah terlepas dari dan berkaitan erat dengan perbuatanperbuatan tindakan lain yang diatur dalam perundang-undang lainnya lainnya, misalnya undang-undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan lain sebagainya. Tindak pidana korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri, tetapi menyangkut berbagai hal yang sifatnya kompleks, dengan faktor penyebab seseorang pelaku berbuat korupsi antara lain faktor internal maupun eksternal. Hal ini dikatakan oleh Sarlito W. Sarwono, bahwa aspek-aspek penyebab seseeorang berbuat korupsi antara lain : a. Dorongan dari dalam diri sendiri ( keinginan, hasrat, kehendak dan sebagainya); b. Rangsangan dari luar ( dorongan teman-teman, adanya kesempatan, kurang kontrol dan sebagainya); Korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari kewajiban-kewajiban normal suatu peran instansi pemerintah, karena kepentingan pribadi
commit to user 19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(keluarga, golongan, kawan, teman), demi mengejar status dan gengsi, atau melanggar peraturan dengan jalan melakukan atau mencari pengaruh bagi kepentingan pribadi. Menurut Bambang Poernomo17 berbicara kejahatan korupsi akan berhubungan dengan faktor-faktor : 1.
2.
3.
4. 5.
Kelemahan dalam kegiatan penegakkan hukum yang berkaitan manipulasi penyelenggaraan penerapan hukum secara tidak adil dan kekebalan bagi para pelanggar hukum dengan beraneka imbalan yang diatur dengan rapi; Mekanisme kegiatan dewan legislatif sebagai badan pembentuk undang-undang yang secara politis dikendalikan oleh suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilu sering berkaitan dengan aktivitas industriawan dan perdagangan; Melalui sistem kontrak pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha akan lebih mudah menjurus untuk mendatangkan banyak uang bagi pihak-pihak yang bersangkutan; Sistem koneksi di berbagai bidang; Penyelenggaraan pemilihan dengan pemungutan suara berbeda dalam lingkungan kegiatan politik.
Korupsi umumnya dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan dalam suatu jabatan sehingga karakteristik kejahatan korupsi selalu berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasan, dalam perspektif kejahatan yang terorganisir, korupsi pada akhirnya dijadikan sebagai modus operandi untuk membangun diri sendiri sebagai kekuatan besar dari kejahatan terorganisasi. Didalam korupsi yang terorganisasi tidak terdapat kegiatan besar-besaran yang dipakai oleh seorang oknum tunggal. Korupsi yang terorganisir lahir dari birokrasi dan menjungkirbalikkan struktur organisasi yang ada. Berbeda dengan kejahatan yang terorganisasi yang membangun struktur organisasinya dilakukan oleh anggota mereka sendiri. Didalam korupsi yang terorganisir terdapat beberapa kepala organisasi sedangkan pada kejahatan terorganisir hanya seorang kepala yang berkuasa. Pada umumnya berbagai kepala di dalam korupsi yang terorganisir 17 Bambang Poernomo, 1994. Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di Luar Kodifikasi, Ghalia Indonesia, Jakarta. hal. 24
commit to user 20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bertindak secara otonom meskipun seringkali mereka saling tergantung satu sama lain. Mereka akan menenggang korupsi yang dilakukan oleh pihak lain. Banyak faktor yang menyebabkan orang melakukan korupsi. Salah satu faktor tersebut adalah kemiskinan. Menurut Jeremy Pope18 kemiskinan merupakan faktor penyebab korupsi, meskipun bukan satu-satunya. Terjadinya korupsi menurut Badan Pengawasan keuangan dan Pembangunan ( BPKP ) tahun 1997 disebabkan aspek individu pelaku korupsi seperti sikap tamak, moral dan iman yang lemah sehingga tidak dapat menahan godaan hawa nafsu serta penghasilan kurang mencukupi kebutuhan hidup yang wajar. Faktor yang kedua adalah aspek organisasi, seperti kurang adanya teladan dari pimpinan, tidak adanya kultur organisasi yang benar dan manajemen cenderung meniyupi korupsi di dalam organisasinya. Ketiga, aspek masyarakat tempat iindividu dan organisasi berada seperti iindividu dan organisasi berada seperti nilai-nilai yang berlaku di masyarakat yang ternyata kondusif untuk terjadinya korupsi. Masyarakat kurang menyadari bahwa yang paling dirugikan oleh setiap praktek korupsi bukan hany Negara, namun masyarakat luas luas juga akan terkena dampak korupsi itu. Andi Hamzah19 menginventarisasikan beberapa penyebab korupsi, yakni : 1. Kurangnya gaji pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin meningkat; 2. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi. Beberapa pasal yang ada dalam KUHP di pandang jurang memadai untuk masyarakat Indonesia yang pejabat-pejabatnya cenderung melakukan penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan diri sendiri; 3. Manajemen yang kurang baik atau kontrol yang kurang efektif dan efisien, yang memberikan peluang orang untuk korupsi; 4. Modernisasi pengembangbiakan korupsi.
18
Rohim, 2008, Modus Operandi tindak Pidana Korupsi, PT, Pena Multi Media, Jakarta, hal. 14 Andi Hamzah dalam Parman Suparman, Korupsi di Indonesia, masalah dan pemecahannya, Gramedia, Jakarta, hlm. 15 19
commit to user 21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam Undang-undang nomor 31 tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi jo Undang-undang nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur mengenai hal-hal sebagai berikut : 1. Perumusan Delik Sebagai Delik Formil Adanya kata “dapat” dalam ketentuan pasal 2 UUPTK menunjukkan bahwa delik sudah dianggap selesai apabila dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang dirumuskan tanpa melihat adanya akibat. Sehingga adanya kerugian negara / perekonomian atau tidak bukanlah merupakan hal yang senantiasa essetialita artinya tidak merupakan unsur yang mutlak sehingga tidak perlu dibuktikan secara obyektif. 2. Pidana Minimal Khusus Penggunaan ancaman pidana minimal khusus beralasan agar pelaku korupsi dapat dijatuhi pidana seberat-beratnya. Namun yang menjadi masalah adalah belum adanya atau tidak disertai dengan aturan atau pedoman pemidanaan yang menerapkan ancaman pidana khusus tersebut. Hal ini disebabkan dalam KUHPidana sendiri tidak mengatur masalah ini, sehingga tidak jelas apakah pidana minimal ini dapat diperingan ( dalam faktor yang meringankan ) dan dapat diperberat ( dalam faktor yang memberatkan ). 3. Pengembalian Kerugian Negara Tidak Menghapus dipidanya Pelaku Penjelasan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 ditegaskan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapus dipidananya seorang pelaku. Upaya pengembalian kerugian negara tetap ada dan tidak dapat dianggap sebagai alasan pembenar atau pemaaf kesalahan tersangka atau terdakwa20.
20
Putusan MA RI Nomor 14012/Pid/1999 tertanggal 15 Juni 1999
commit to user 22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Menurut Lilik Mulyadi21 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan
Tindak
Pidana
Korupsi
sebenarnya
tidak
mencantumkan definisi korupsi secara langsung, tetapi rumusan definisi korupsi menurut Undang-undang ini dapat di interpretasikan dari rumusan perbuatan-perbuatan yang dapat di hukum karena tindak pidana. Penjelasan undang-undang nomor 20 tahun 2001 ini secara tegas menyatakan bahwa penegakkan hukum untuk pemberantasan korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti menghadapi berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakkan hukum secara luar biasa melalui pembentukan sebuah “badan khusus negara”
yang mempunyai
wewenang luas, independen, serta bebas dari kekuasaan manapun untuk upaya pemberantasan korupsi, mengingat korupsi sudah dikategorikan sebagai extra ordinary crime. Lebih jauh melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 dibentuk komisi Pemberantasan tindak Pidana Korupsi ( KPK ), yang tenaga penyidiknya diambilkan dari Kepolisian RI dan Kejaksaan RI. Menurut Romli22 pembentukan korupsi ini merupakan paradigma baru dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dengan pertimbangan sebagai berikut : 1. Korupsi di Indonesia sudah merupakan kejahatn yang sistematik dan meluas sehingga bukan saja merugikan keuangan negara melainkan juga merupakan pelanggaran terhadap hak ekonomi dan sosial masyarakat luas; 2. Penyelesaian kasus korupsi dengan karakteristik tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan metode-metode dan lembaga-lembaga yang bersifat konvensional melainkan harus dengan metode baru dan lembaga baru; 21
Lilik Mulyadi,2000, Tindak Pidana Korupsi, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, hlm. 5. Romli Atmasasminta, 1995, Kapita Selekta hukum Pidana dan Kriminologi, CV. Bandar maju. Bandung, hlm. 2. 22
commit to user 23
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia sudah saatnya dilakukan dengan senjata pamungkas yang dapat melindungi hak asasi seluruh rakyat Indonesia dan sekaligus dapat membatasi hak asasi seorang tersangka atau terdakwa. Senjata pamungkas ini hanya dapat dibenarkan dalam bentuk undang-undang dan tidak dalam bentuk peraturan perundang-undangan lainnya. Corruption takes many forms. It may be incidental (bribes to junior public officials, little macro-economic cost, but hard to curb), systematic (affects whole areas of government and harms revenue, trade and development) or systemic (makes honesty irrational and has a huge developmental impact). Corruption infringes the fundamental human rights to fair treatment, unbiased decision-making, and secure civil and political status. Through corruption the public services on which the poor depend are starved of funds, foreign investors are driven away, and environmental protection measures are flouted23. Selanjutnya menurut David Bayle24 menginvetarisasi “biaya-biaya” yang terjadi sebagai akibat perilaku korupsi, yaitu : 1.
2.
3.
4. 5. 6.
Tindak Korupsi mencerminkan kegagalan mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan pemerintah ( misalnya, korupsi dalam pengangkatan jabatan pejabat atau salah alokasi sumberdaya menimbulkan in efisiensimdan pemborosan ); Korupsi akan segera menular ke sektor swasta dalam bentuk upaya mengejar laba dengan cepat ( dan berlebihan ) dalam situasi yang sulit diramalkan, atau melemahkan investasi dalam negeri, dan menyisihkan pendatang baru, dan dengan demikian mengurangi partisipasi dan pertumbuhan sektor swasta; Korupsi mencerminkan kenaikan harga administrasi ( pembayar pajak harus ikut menyuap, karena membayar beberapa kali lipat untuk pelayanan yang sama ); Korupsi merupakan bentuk pembayaran yang tidak sah, hal ini akan mengurangi jumlah dana yang disediakn untuk publik; Korupsi merusak mental aparat pemerintah, melunturkan keberanian yang diperlukan untuk mematuhi standar etika yang tinggi; Korupsi dalam pemerintahan menurunkan rasa hormat kepada kekuasaan, dan akhirnya menurunkan legitimasi pemerintah;
23 Bryan R Evans, The cost of corruption, A discussion paper on corruption development and the poor, Jurnal Internasional, www.google.com. Download Tanggal 12 Juli 2010. 24 David Bayle dalam Rohim, 2008, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, PT. Pena Multimedia, Jakarta, hlm. 15.
commit to user 24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7.
Jika elite politik dan pejabat tinggi pemerintah secara luas dianggap korup, maka public akan menyimpulkan tidak ada alasan bagi public untuk tidak boleh kurup juga; 8. Seorang pejabat atau politisi yang korup adalah pribadi yang hanya memikirkan dirinya sendiri tidak mau berkorban demi kemakmuran bersama dimasa mendatang; 9. Korupsi menimbulkan kerugian yang sangat besar dari sisi produkvitas, karena waktu dan energi habis untuk menjalin hubungan guna menghindari atau mengalahkan sistem, daripada untuk meningkatkan kepercayaan dan memberikan alasan obyektif mengenai permintaan layanan yang dibutuhkan; 10. Karena korupsi merupakan ketidakadilan yang dilembagakan mau tidak mau akan menimbulkan perkara yang harus dibawa ke pengadilan dan tuduhan-tuduhan palsu yang digunakan pada pejabat yang jujur untuk tujuan pemerasan; 11. Bentuk korupsi yang paling menonjol dibeberapa negara yaitu “uang pelicin“, atau “uang rokok “ menyebabkan keputusan ditimbang berdasarkan uang, bukan berdasarkan kebutuhan manusia. Persoalan korupsi yang sekarang telah menjadi gurita dalam sistem pemerintahan di Indonesia merupakan gambaran dari bobroknya tata pemerintahan di negara ini. Fenomena ini telah menghasilkan kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan serta buruknya pelayanan publik. Akibat dari korupsi penderitaan selalu dialami oleh masyarakat, terutama yang berada di bawah garis kemiskinan. The fight against corruption is central to the struggle for human rights. Corruption has always greased the wheels of the exploitation and injustice which characterise our world. From violent ethnic cleansing to institutionalized racism, political actors have abused their entrusted powers to focus on gains for the few at great cost for the many. For too long the anti-corruption and human rights movements have been working in parallel rather than tackling these problems together. Through this first and innovative report on human rights and corruption, the International Council on Human Rights Policy (ICHRP) has provided an important conceptual mendations emphasise a need to address the
commit to user 25
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
destructive relationship between corruption and human rights and find ways to mitigate its negative impacts, which can be direct, indirect and remote25.
2. Lembaga - Lembaga Yang Berwenang dalam Proses Penanganan dan Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi 1. Lembaga Kejaksaan Undang - Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI memberikan penegasan dasar hukum kewenangan penyidikan Tindak Pidana Korupsi bagi Kejaksaan antara lain : Dalam Penjelasan Umum Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI sebagai berikut : “ Kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk menempuh beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk melakukan penyidikan, misalnya Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. Pasal 30 ayat (1) huruf d undang-undang Nomor 16 tahun 2004 secara implisit menyebutkan : Di bidang Pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-undang. Hal ini ditegaskan pula dalam penjelasan pasal 30 ayat (1) huruf d sebagai berikut : Kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2002 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undangundang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 jo 25 Corruption and Human Rights: Making the Connection, 2009. International Council on Human Rights Policy. Versoix, Switzerland. www.google.com. Download Tanggal 3 Juli 2010
commit to user 26
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2. Kepolisian Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) mempunyai kewenangan sebagai penyidik dalam tindak pidana korupsi berdasarkan ketentuan pasal 1 butir ke 1 KUHAP dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tugas26 dan wewenang27 kepolisian negara republik Indonesia tersirat dalam ketentuan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai berikut : Pasal 13 : Tugas pokok Kepolisian Negara Indonesia adalah: a. b. c.
Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat; Menegakkan hukum; Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam pasal 14 : (1). Dalam pelaksanaan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam pasal 13, kepolisian negara republik indenesia bertugas : a). Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai dengan kebutuhan; b). Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;
26 27
Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 14 UU Nomor 2 tahun 2002
commit to user 27
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c). Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; d). Turut serta dalam pembinaan hukum nasional; e). Memelihara ketertiban dan menjaga keamanan masyarakat umum; f). Melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentukbentuk pengamanan swakarsa; g). Melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan peundang-undangan lainnya; h). Menyelenggaraka identifikasi kepolosian, kedokteran kkepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan kepolisian; i). Melindungi keselmatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan / atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasai manusia. j). Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan / atau pihak yang berwenang. k). Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingan dan lingkup tugas kepolisian; serta l). Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundangundangan. (2). Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 ) huruf f diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pasal 16 : (1). Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk ; a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
commit to user 28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Melarang setiap orang untuk meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. Mengadakan penghentian penyidikan; i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; k. Memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. (2). Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, adalah tindakan penyidikan dan penyelidikan
yang dilaksanakan jika
memenuhi syarat sebagai berikut : a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. Menghormati hak asasi manusia. Dalam
proses
pemeriksaan
tindak
pidana
korupsi
memang
mendapatkan prioritas utama dalam penyelesaian dibandingkan dengan perkara lainnya, hal ini secara tegas disebutkan dalam pasal 25 Undangundang Nomor 31 tahun 1999 sebagai berikut : “ penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya.”
commit to user 29
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Oleh karena dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak mengatur mengenai proses penyidikan dan pemeriksaan perkara secara khusus, maka proses pemeriksaan dan penyidikan tindak pidana korupsi tetap mengacu kepada ketentuan pasal 7 ayat (1) kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tentang wewenang Penyidikan (POLRI). Wewenang tersebut antara lain adalah : a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan terdakwa; i. Mengadakan penghentian penyidikan; j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Dalam melakukan tugasnya maka penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku, antara lain membuat berita acara pelaksanaan tentang : 1. Pemeriksaan tersangka; 2. Penangkapan; 3. Penahanan; 4. Penggeledahan; 5. Pemasukkan rumah; 6. Penyitaan benda; 7. Pemeriksaan surat; 8. Pemeriksaan ditempat kejadian; 9. Pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan; 10.Pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan KUHAP ( pasal 75 KUHAP). Penyidikan menurut pasal 1 angka 2 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-
commit to user 30
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya. Dari rumusan tersebut maka unsur-unsur pengertian penyidikan itu sebagai berikut28 : 1). Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang mengandung berbagai kegiatan / pekerjaan yang antara satu dengan yang lainnya saling berhubungan atau yang satu merupakan kelanjutan dari yang lainnya. 2). Pekerjaan penyidikan dilakukan oleh pejabat publik yang disebut dengan penyidik yang oleh pasal 1 angka 1 didefinisikan sebagai “ Pejabat Negara Polisi Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan”. 3). Pekerjaan-pekerjaan dalam penyidikan itu didasarkan dan diatur menurut Undang-undang. 4). Tujuan dari pekerjaan penyidik ialah (1) mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi (2) menemukan tersangkanya. Dari unsur keempat dapat disimpulkan bahwa sebelum dilakukan penyidikan telah diketahui adanya tindak pidana, tetapi tindak pidana tersebut belum terang dan belum diketemukan siapa pembuatnya / pelakunya. Jadi masih bersifat dugaan terjadinya tindak pidana berdasarkan hasil penyelidikan sehingga dasar untuk menarik dugaan adanya / terjadinya tindak pidana tersebut adalah adanya alat bukti permulaan, yang dalam praktek didasarkan pada adanya laporan polisi atau hasil temuan penyidik. Dalam
proses
penyelesaian
kasus
korupsi
maka
terdapat
penyimpangan / perbedaan mengenai kewenangan penyidik antara lain
28
UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
commit to user 31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalam ketentuan pasal 30 UU Nomor 31 tahun 1999 yang disebutkan antara lain “ “ Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana yang sedang diperiksa”. 3. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) KPK ini terbentuk berdasarkan amanat Undang-undang No.30 tahun 2002 , KPK dalam melaksanakan tugas dan wewenang bersifat independent dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Berdasarkan undang-undang tersebur, KPK memiliki kewenangan atribusi karena telah ditentukan dalam perundang-undangan, yang mempunyai tugas sangat luas, bukan hanya tugas penyelidikan dan penyidikan, tetapi juga tugas lain yang strategis dan sama pentingnya dalam upaya pemberantasan korupsi. Tugas KPK yang pertama adalah Koordinasi dengan berbagai instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, seperti Kejaksaan dan Kepolisian serta badan-badan lain yang berkaitan seperti BPK, BPKP, Inspektorat Jendral dan Badan Pengawasan Daerah. Pelaksanaan koordinasi KPK, adalah menjaga agar pelaksanaan undangundang tidak saling tumpang tindih. Bersama instansi yang telah ada dapat disusun suatu jaringan kerja ( networking ) dan menempatkan instansi yang telah ada sebagai Counterpartner yang kondusif sehingga sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif.29 Tugas Koordinasi, meliputi : a). Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan korupsi; b). Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan korupsi; c). Meminta informasi tentang kegiatan tentang kegiatan pemberantasan korupsi kepada instansi yang terkait; d). Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang terkait; 29 Ruslan, Fungsi Koordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), available at Bening Kliping Edisi 320 / Minggu II / Agustus 2004, dikutip dari pikiran Rakyat, 31 Juli 2004, hal. 20.
commit to user 32
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
e). Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan korupsi. Tugas koordinasi ini, dalam keadaan tertentu dapat berkembang ke tugas supervisi seperti melakukan pengawasan, penelitian atau penelaahan terhadap instansi, yang menjalankan tugas dan wewenang di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi dan selanjutnya dengan alasan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang institusi tersebut. Terkait dengan hal ini kewengan KPK adalah terkait dan bebas, artinya disatu sisi KPK adalah pelaksana dari pada Undang-undang, tetapi disatu sisi sesuai dengan tugas lapangan, KPK berhak membuat langkah-langkah lebih konkrit sesuai dengan tugasnya yang telah diamanatkan Undang-undang. Selain itu KPK bertugas juga untuk memantau instansi yang melaksanakan pelayanan publik. Pengambilalihan tugas penyidikan dan penuntutan oleh KPK tersebut, dengan pertimbangan : •
Laporan masyarakat mengenai tindak pidana Korupsi yang tidak ditindak lanjuti.
•
Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
•
Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya.
•
Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi.
•
Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif atau legislatif, atau
•
Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
commit to user 33
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Teori Penegakan Hukum Hukum tumbuh, hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Hukum merupakan sarana menciptakan ketertiban bagi kedamaian dalam hidup sesama warga masyarakat. Hukum tumbuh dan berkembang bila warga masyarakat itu sendiri menyadari makna kehidupan hukum dalam kehidupannya. Sedangkan tujuan arti hukum itu sendiri adalah untuk mencapai suatu kedamaian dalam masyarakat.30 Oleh karena itu hukum melindungi kepentingan manusia, misalnya kemerdekaan, transaksi manusia satu dengan yang lain dalam masyarakat pasar dan sebagainya. Disamping itu juga untuk mencegah selanjutnya menyelesaikan pertentangan yang dapat menumbuhkan perpecahan antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan lembaga. Berdasarkan fungsi hukum, baik sebagai sarana rekayasa sosial maupun sebagai sarana kontrol sosial, maka setiap peraturan yang diciptakan untuk dijalankan sesuai dengan tujuan dan makna yang dikandungnya. Warga masyarakat (individu) sebagai pihak yang dituju oleh suatu peraturan wajib dengan lapang hati dan penuh pengertian patuh kepada hukum tersebut. Adanya peraturan-peraturan hukum dan lembaga-lembaga serta aparat penegak hukum yang dilengkapi dengan sarana dan fasilitas yang diperlukan tanpa didukung oleh kesadaran warga masyarakat sebagai individu anggota masyarakat, maka kemungkinan hukum itu mengalami banyak hambatan dalam penerapannya, karena perilaku individu bermacam-macam. Dalam suatu masyarakat yang pluralistik, penyimpangan yang dilakukan seseorang menjadi kebiasaan bagi lainnya. Dalam keadaan demikian diperlukan kontrol sosial, dalam arti mengendalikan tingkah laku pekerti warga masyarakat agar selalu tetap konform dengan keharusan-keharusan norma, hampir selalu dijalankan dengan berdasarkan kekuatan sanksi.31 Seringkali
30
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian hukum, Penerbit Universitas Indonesia Press, Jakarta,
hlm 13. 31 Soetandyo Wignjosoebroto, 1986, Mengembangkan Ketaatan di Sanubari Warga Masyarakat Lewat Proses Belajar, makalah FISIP UNAIR, Surabaya, hlm 19
commit to user 34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kontrol sosial tidak terlaksana secara penuh dan konsekuen, bukan karena kondisi-kondisi obyektif yang tidak memungkinkan, tetapi karena sikap toleran (manggung) agen-agen kontrol sosial terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Mengambil sikap toleran yaitu sementar pelanggar norma lepas dari sanksi yang seharusnya dijatuhkan.32 Disamping itu kadar ketaatannya juga dipengaruhi oleh sanksi dari peraturannya atau dari hukumnya. Sehingga tidak jarang pula terlihat kesenjangan antara perilaku yang diharapkan dengan maksud dan tujuan peraturan dengan perilaku yang diwujudkan. Keefektifan hukum bila dikaitkan dengan badan-badan penegak hukumnya, maka faktor-faktor yang mempengaruhinya antara lain adalah Undang-undang yang mengaturnya harus dirancang dengan baik ( perancangan undang-undang ) dan mereka yang bekerja sebagai pelaksana hukum harus memusatkan tugasnya dengan baik pula. Sistem hukum merupakan cerminan dari nilai-nilai dan standar elit masyarakat, masing-masing mempunyai kepentingan sendiri-sendiri sesuai dengan kepentingan kelompok mereka. Berbicara masalah hukum pada dasarnya membicarakan fungsi hukum di dalam masyarakat. Untuk memahami bagaimana fungsi hukum itu, ada baiknya dipahami dulu bidang pekerjaan hukum. Selanjutnya dikatakan bahwa pelaksanaan penegakan hukum adalah pelaksanaan suatu kebijakan atau suatu komitmen yang bersangkutan dengan 5 faktor, yaitu : 1. Faktor hukumnya sendiri; 2. Faktor penegak hukum; 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4. Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum berlaku atau diterapkan;
32
Ibid hal 58
commit to user 35
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5. Faktor budaya, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa didalam pergaulan hidup. Kelima faktor tersebut saling berkaitan erat, karena merupakan esensi dari penegakan hukum dan merupakan tolak ukur dari efektivitas penegakan hukum.33 Purnadi Purbacaraka yang dikutip oleh Soerjono Soekanto menyebutkan terdapat ada 9 ( sembilan ) pengertian yang diberikan oleh masyarakat mengenai arti hukum yaitu34 : a. b. c. d. e. f. g. h. i.
Hukum sebagai ilmu pengetahuan. Hukum sebagai disiplin. Hukum sebagai kaedah. Hukum sebagai tata hukum. Hukum sebagai petugas (hukum). Hukum sebagai keputusan penguasa. Hukum sebagai proses pemerintahan. Hukum sebagai perikelakuan yang ajeg atau sikap tindak yang teratur. Hukum sebagai jalinan nilai-nilai. Dalam pandangan lain hukum merupakan salah satu proses (produksi)
manusia (sebagai aktor) dalam membangun dunianya yang dapat dicermati dan ditelaah melalui interaksi yang berlangsung dimasyarakat. Fenomena ini mampu menampilkan hukum lebih mengedepankan persoalan-persoalan yang berkembang dimasyarakat. Aktivitas masyarakat terus menerus dalam kehidupan sehari-hari memberikan makna penting bagi pembentukan hukum35. Dalam pada itu I.S. Susanto mengungkapkan bahwa untuk memahami makna hukum akan sangat ditentukan oleh persepsi orang tentang apa yang disebut hukum36. Disisi lain Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa untuk memahami apa yang merupakan hukum perlu dipahami adanya relasi hukum, sains, fiksi dan mistisme. Adanya pergeseran dari logika analitis menjadi logika sintesis, 33
Satjipto Rahardjo, Op.cit., hlm, 5 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1993, Perihal Kaedah Hukum. PT Citra Aditya Bakti. Bandung, hlm. 4. 35 Anthon f. Susanto, 2004. Wajah Peradilan Kita, konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana. PT. Refika Aditama, Bandung, hlm. 26 36 Anthon F susanto, 2007. Hukum dari Concilience Menuju Paradigma Hukum Konstruktif-Transgresif. PT. Refika Aditama, Bandung, hlm. 23. 34
commit to user 36
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan tawaran keilmuwan bagi hukum yang asalnya berada pada domain terkotak menuju wilayah hukum integrasi dan rumit37. Sementara Van Hoecke atau Meuwismen menyebutkan beberapa ciri objektif dari hukum adalah sebagai berikut38 : 1). Hukum itu untuk bagian terbanyak ditetapkan oleh kekuasaan atau kewibawaan yang berwenang; 2). Hukum memiliki satu sifat lugas dan obyektif; 3). Hukum itu berkaitan dengan tindakan-tindakan dan perilaku manusia yang dapat diamati; 4). Hukum itu memiliki suatu cara keberadaan tertentu yang dinamakan keberlakuan ( berlaku, gelding ) yaitu aspek moral, aspek sosial dan aspek yuridis; 5). Hukum itu memiliki suatu bentuk tertentu, suatu struktur formal; 6). Hukum itu menyangkut obyek dan isi dari hukum. Syarat pertama untuk pelaksanaan Undang-undang yang efektif adalah bahwa mereka yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan suatu keputusan hukum mengetahui betul apa yang harus mereka lakukan seperti halnya yang diharapkan oleh pembentuk undang-undang untuk kepentingan masyarakat. Berhubungan dengan itu, maka bekerjanya hukum oleh penegak hukum haruslah menunjukkan rumusan yang jelas dan mudah dipahami serta dapat dikerjakan. Oleh karena itu dengan meminjam model dari Seidman, suatu peraturan dibuat atau dikeluarkan tentunya berisi harapan-harapan yang hendaknya dilakukan oleh subyek hukum sebagai pemegang peran. Faktorfaktor yang turut menentukan bagaimanan respon yang akan diberikan oleh pemegang peran antara lain39 : 1). Sanksi-sanksi yang terdapat didalamnya 37
Anton F Susanto, Loc cit, hal, 28. Meuwismen terjemahan B. Arief Sidharta, 2007, Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, hal 35-37. 39 Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT, Suryandaru Utama, Semarang, hlm. 16 38
commit to user 37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2). Aktivitas dari lembaga pembuat hukum 3). Seluruh kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lainnya yang bekerja atas diri pemegang peran. Hukum sebagai idealisme memiliki hubungan yang erat dengan konseptualisasi keadilan secara abstrak. Apa yang dilakukan oleh hukum adalah untuk mewujudkan ide dan konsep keadilan yang diterima oleh masyarakatnya kedalam bentuk yang konkret, berupa pembagian atau pengolahan sumber daya kepada masyarakat. Hal demikian itu berkaitan erat dengan
perkembangan
masyarakat
atau
negara
yang
berorientasi
kesejahteraan dan kemakmuran. Hakikat dari pengertian hukum sebagai suatu sistem norma, maka sistem hukum itu merupakan cerminan dari nilai-nilai dan standar elit masyarakat, masing-masing mempunyai kepentingan sendirisendiri sesuai dengan kepentingan kelompok meraka. Berkenaan dengan hal tersebut maka guna memaknai hukum sebagai cita hukum haruslah dipahami sebagai dasar sekaligus pengikat dalam pembentukan perundang-undangan. Aspek nilai yang terkandung dalam cita hukum semakin penting artinya dan secara instrumental berfungsi, tertutama bagi para pembuat kebijakan ( tecnical policy ). Dimensi nilai ini bukan saja pada saat pembentukan peraturan hukum melainkan juga pada saat peraturan itu hendak di implementasikan. Secara konseptual, maka inti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidahkaidah yang mantab dan mengejawantahkan dan sikap sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.40 Konsepsi yang mempunyai dasar filosofis tersebut, memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga akan tampak lebih konkrit. 40 Soerjono soekanto, Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan Hukum, PT. Radja Grafindo, Jakarta, 1983, hal 5.
commit to user 38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Manusia didalam pergaulan hidup, pada dasarnya mempunyai pandangan-pandangan tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang huruk. Pandangan-pandangan tersebut senantiasa terwujud didalam pasanganpasangan tertentu, misalnya, ada pasangan nilai ketertiban dan nilai ketentraman, pasangan nilai kepentingan umum dan nilai pribadi, dan seterusnya. Penegakan
hukum
perundang-undangan,
bukanlah
walaupun
semata-mata
didalam
berarti
kenyataan
di
pelaksanaan Indonesia
kecenderungannya adalah demikiian, sehingga pengertian law enforcement begitu populer. Selain itu, ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan penegakan
hukum
sebagai
pelaksanaan
keputusan-keputusan
hakim.
Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi.41 Ada 2 ( dua ) fungsi yang dapat dijalankan oleh hukum didalam masyarakat yaitu, pertama sebagai sarana kontrol sosial ( social control ) dan kedua, sebagai sarana untuk melakukan sosial engineering. Proses sosial engineering dengan hukum ini oleh Chambliss dan Seidman dibayangkan bahwa efektivitas menanamkan kekuatan yang menentang unsur-unsur baru dari masyarakat dalam proses perkembangan kecepatan menanamkan unsurunsur yang baru. Perubahan-perubahan yang dikehendaki itu apabila berhasil pada akhirnya akan melembaga sebagai pola-pola tingkah laku yang baru di masyarakat. Hukum mempunyai pengaruh langsung atau tidak langsung didalam mendorong terjadinya perubahan sosial. Cara-cara mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu dinamakan 41
Wayne La-Favre 1964 Didalam Soerjono Soekanto, Op Cit Hal 7.
commit to user 39
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“socila engineering” atau “social planning”.42 Oleh karena itu agar hukum benar-benar dapt mempengaruhi perlakuan warga masyarakat maka hukum harus disebarluaskan, sehingga melembaga dalam masyarakat. Adanya alatalat komunikasi tertentu merupakan salah satu syarat bagi penyebaran dan pelembagaan hukum. Komunikasi hukum tersebut dapat dilakukan secara formal yaitu, melalui suatu tata cara yang terorganisasi dan resmi. B. Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan dengan penelitian yang dilaksanakan oleh penulis tentang korupsi, adalah penelitian yang dilaksanakan oleh 1. Nama : Erry Purdyanto Marwantono 2. Judul : Kebijakan Penanganan Tindak Pidana Korupsi di kejaksaan Negeri Surakarta. Tahun : 2006 Penelitian tersebut mengkaji mengenai penanganan tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Surakarta dan mengapa penanganan tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Surakarta memakan waktu yang lama. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah bahwa penanganan perkara korupsi di Kejaksaan Negeri Surakarta diawali oleh penyelidikan yang dilakukan oleh seksi intelijen. Apabila ditemukan bukti permulaan cukup, maka hasil penyelidikan ditindaklanjuti dengan penyidikan dan penuntutan oleh seksi pidana khusus.
42
Soerjono Soekanto, 2007. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 122.
commit to user 40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C. Kerangka Berpikir Dalam penelitian ini terhadap permasalahan yang diteliti dapatlah dibuat alur pikir/bagan sebagaimana dalam teorinya Soerjono Soekanto adalah sebagai berikut :
KORUPSI
PENYIDIK
KPK
KEJAKSAAN
KEPOLISIAN
PROBLEMATIKA
Apakah Problematika yang dihadapi Jaksa dalam penyidikan Tindak Pidana Korupsi Apakah Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi problematika Gambar 2. Kerangka Berpikir
commit to user 41
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Sebelum penulis mengemukakan jenis penelitian yang akan digunakan, maka terlebih dahulu akan diuraikan secara singkat mengenai metode. Metode menurut Setiono43 adalah suatu alat untuk mencari jawaban dari pemecahan masalah, oleh karena itu suatu metode atau alatnya harus jelas terlebih dahulu apa yang akan dicari. Metode penelitian adalah suatu cara atau jalan untuk memecahkan masalah yang ada dengan cara mengumpulkan, mengembangkan atau menguji kebenaran suatu ilmu pengetahuan. Metode penelitian sangat mementukan dalam suatu penelitian karena mutu, nilai dan validitas suatu hasil penelitian sangat ditentukan oleh pemilihan metode penelitian secara tepat. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis penelitian deskriptif (descriptve research) adalah untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai fenomena atau kenyataan sosial. Penelitian ini dimaksudkan untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai sesuatu fenomena atau kenyataan sosial, dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti. Jenis penelitian ini tidak melakukan pengujian hipotesis. Hasil penelitian ini bisa menjadi masukan bagi kegiatan penelitian berikutnya. Berdasarkan pada masalah yang diteliti maka pendekatan terbaik yang dapat dipergunakan adalah jenis penelitian empiris. Apabila dilihat dari sifatnya maka merupakan penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu penelitaian yang 43 Setiono, 2005, Pemahaman Terhadap Metodelogi Penelitian Hukum, Program Pasca Sarjana UNS, Surakarta, hal 1.
commit to user 42
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lain.44 Burhan Ashshofa mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Data tersebut berupa kata-kata yang tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar belakang individu secara holistik (utuh) 45. Menurut Lexy J. Moleong, kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai merupakan sumber data utama. Penelitian kualitatif pada hakekatnya ialah mengamati orang dalam hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya46. Dalam upaya menemukan fakta dan data secara ilmiah, maka peneliti menetapkan penelitian ini dengan menggunakan pendekatan metode kualitatif melalui studi kasus dengan pertimbangan bahwa tujuan studi kasus adalah untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter-karakter yang khas dari kasus, ataupun status dari individu. Studi kasus digunakan untuk keperluan penelitian, mencari kesimpulan dan diharapkan dapat ditemukan pola, kecenderungan, arah dan lainnya yang dapat digunakan untuk membuat perkiraan-perkiraan masa depan. Moleong mengatakan bahwa metode kualitatif ini digunakan karena beberapa pertimbangan. Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda. Kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakekat hubungan antara peneliti dengan responden47. Dalam mempelajari hukum, tentunya tidak boleh lepas dari 5 (lima) konsep hukum yang menurut Soetandyo Wignjosoebroto seperti dikembangkan oleh Setiono (2005) adalah sebagai berikut : 44
Lexy J. Moeloeng, 1998, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, hal 196. Burhan Ashsofa, 2001, metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal, 21-22. 46 Ibid, hlm 112 47 Lexy j. Moleong, ibid, hal, 5. 45
commit to user 43
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Hukum adalah asas-asas moral atau kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal (yang menurut bahasa Setiono disebut sebagai hukum alam). 2. Hukum merupakan norma atau kaidah yang bersifat positif di dalam sistem perundang-undangan. 3. Hukum adalah keputusan-keputusan badan peradilan dalam penyelesaian kasus atau perkara (in concreto) atau apa yang diputuskan oleh hakim. 4. Pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial yang empirik. 5. Manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi mereka (yang menurut bahasa Setiono disebut sebagai hukum yang ada dalam benak manusia). Dalam penelitian ini penulis mendasarkan pada konsep hukum yang ke-5, yang menurut Soetandyo Wignjosoebroto, seperti yang dikembangkan oleh Setiono (2005), hukum dalam hal ini dikonsepsikan sebagai manifestasi maknamakna simbolik para pelaku sosial sebagai tampak dalam interaksi mereka (hukum yang ada dalam benak manusia). Dalam penelitian ini, penulis ingin menggali pendapat-pendapat, ide-ide, pikiran-pikiran dari pelaku peristiwa secara langsung dan mendalam sehingga diperoleh informasi dan data-data yang akurat, yang penulis perlukan dalam penulisan ini. Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran secara mendalam tentang Problematika Yang Dihadapi Jaksa Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi, dalam tahap penyidikan yang meliputi pemanggilan saksi, pemanggilan dan pemeriksaan tersangka, penggeledahan, penyitaan, penangkapan serta penahanan dan pemberkasan. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan penelitian anatar lain: 1. Kejaksaan Negeri Karanganyar. 2. Perpustakaan Pascasarjana UNS.
commit to user 44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Perpustakaan Fakultas Hukum UNS.
B. Jenis dan Sumber Data Bahan penelitian yang digunakan pada tipe penelitian hukum emperis berupa hasil wawancara mendalam ( in depth interview ) dengan responden maupun nara sumber dan hasil observasi tentang Problematika yang dihadapi Jaksa dalam Proses Penyidikan tindak pidana korupsi. Bahan-bahan berupa bahan hukum, baik hukum primer ( primary sources or authorites), maupun bahan hukum sekunder (secondary sources or authorities) dan dilengkapi dengan bahan hukum tersier yang diperoleh dari penelitian dari penelitian kepustakaan yang merupakan data sekunder. a. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh dari penelitian lapangan berupa keterangan dan penjelasan yang diberikan para responden / nara sumber, antara lain dari jaksa di Kejaksaan Negeri Karanganyar. b. Data sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan perpustakaan. Penelitian ini memperhatikan materi penelitian yang dijadikan pokok pembahasan dan guna menentukan identifikasi data. Adapun materi penelitian ini dapat disajikan sebagai berikut : 1. Bahan hukum primer, merupakan dokumen hukum yang mempunyai kekuatan mengikat, terdiri dari : a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( KUHP ). b. Undang-Undang No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. c. Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. d. Undang-Undang no 20 tahun 2001 Tentang Perubahan atas UndangUndang No 31 tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi. e. Undang-undang Nomor 20 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK )
commit to user 45
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Bahan hukum sekunder : merupakan bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, berupa bahan pustaka seperti Rancangan peraturan perundang-undangan ( RUU ), buku, majalah, hasil penelitian hukum, makalah, jurnal elektronik, hasil karya ilmiah yang berkaitan dengan judul tesis, dan hasil-hasil terdahulu yang relevan. 3. Bahan Hukum Terseir Merupakan bahan pelengkap yang berfungsi membantu dalam memahami bahan hukum primer maupun sekunder yang meliputi kamus hukum.
C. Tehnik Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data, penulis mempergunakan tehnik pengumpulan data sebagai berikut : a. Wawancara Wawancara dilakukan secara mendalam untuk mendapatkan data yang penulis perlukan, maka penulis mengadakan wawancara dengan pejabat di wilayah kantor kejaksaan. b. Studi kepustakaan Merupakan tehnik pengumpulan data dengan cara membaca buku-buku literatur, majalah, koran dan peraturan-peraturan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti.
D. Tehnik Analisa Data Setelah data selesai dikumpulkan dengan lengkap, maka tahap berikutnya adalah menganalisis data. Analisis data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif, sebab data yang diperoleh bukan berupa angka-angka yang akan dianalisis secara statistik. Sedangkan tehnik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah model analisis interaktif atau Interactive Model of Analysis.
commit to user 46
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan analisis kualitatif dengan interaktif model, yaitu :
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Penyajian Data
Penarikan Kesimpulan Gambar 3. Gambar 3 Model Analisis Interaktif a. Reduksi data, merupakan proses pemilihan, pemusatan dan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis dilapangan. b. Penyajian data, sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dengan melihat suatu penyajian data dapat diketahui apa yang terjadi dan kemungkinan untuk mengerjakan sesuatu pada analisis ataupun tindakan penyajian data itu sendiri dapat diketahui apa yang terjadi dan ataupun tindakan penyajian data itu sendiri dapat berupa kalimat-kalimat, cerita-cerita, maupun tabel-tabel. c. Verifikasi, sejak permulaan pengumpulan data dilakukan pencatatan, pertimbangan pada peraturan-peraturan, pernyataan-pernyataan, konfigurasi yang mungkin, arahan sebab akibat, dan proporsi untuk mengetahui apa dari hal-hal yang kemudian ditarik kesimpulan.
commit to user 47
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kesimpulan tersebut pada awalnya kurang jelas kemudian semakin meningkat secara eksplisit dan memiliki landasan yang kuat. Kesimpulan akhir tidak akan terjadi sampai proses pengumpulan data berupa pengumpulan yang cepat sebagai pemikiran kedua yang timbul melintas dari pikiran pada waktu melihat kembali pada catatan lapangan.
E. Jadwal Penelitian Ada tiga tahapan penelitian yang akan dilaksanakan, yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap penyusunan program. Adapun jadwal kegiatan pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut : Kegiatan
Bulan Februari X
April
1
Penyusunan Proposal
2
Pengumpulan Data
X
X
3
Analisis Data
X
X
4
Penyusunan Laporan
X
X
5
Perbaikan,
Penggandaan,
commit to user 48
Agustus
X
X
Penyerahan hasil penelitian
Maret
X
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
HASIL PENELITIAN 1. Keadaan dan Gambaran Lokasi Penelitian Kejaksaan Negeri adalah Kejaksaan di Ibukota Kabupaten atau di Kotamadya atau di Kota Administratif dengan daerah hukum meliputi wilayah Kabupaten atau Kotamadya dan atau Kota Administratif. Selanjutnya dalam pasal 27 ayat 1 Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI menyebutkan bahwa “Kepala Kejaksaan Negeri adalah pimpinan Kejaksaan Negeri yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang Kejaksaan di daerah hukumnya. Selanjutnya dalam pasal 27 ayat 2 di sebutkan bahwa Kepala Kejaksaan Negeri dalam melaksanakan tugasnya di bantu oleh beberapa unsur pembantu pimpinan dan unsur pelaksana. Kejaksaan Negeri menyelenggarakan fungsi : a. Perumusan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis berupa pemberian bimbingan serta pemberian perizinan sesuai dengan tugasnya; b. Pelaksanaan pembangunan sarana dan prasarana, pembinaan manajemen, administrasi, organisasi, dan ketatalaksanaan serta pengelolaan atas milik negara yang menjadi tanggung jawabnya; c. Pelaksanaan dan pengendalian pelaksanaan penegakkan hukum baik preventif maupun represif yang berintikan keadilan di bidang pidana, pelaksanaan intelijen yustisia di bidang ketertiban dan ketentraman umum, pemberian bantuan, pertimbangan, pelayanan dan penegakkan hukum di bidang perdata dan tata usaha negara serta tindakan hukum dan tugas-tugas lain, untuk menjamin kepastian hukum, kewibawaan pemerintah dan penyelamatan kekayaan negara, berdasarkan peraturan
commit to user 49
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung. d. Penempatan seorang tersangka atau terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa atau tempat lain yang layak berdasarkan penetapan hakim karena tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri; e. Pemberian pertimbangan hukum kepada instansi pemerintah di daerah hukum kejaksaan negeri yang bersangkutan, penyusunan peraturan perundang-undangan serta peningkatan kesadarn hukum masyarakat; f. Koordinasi, pemberian bimbingan dan petunjuk teknis serta pengawasan baik di dalam maupun dengan instansi terkait atas pelaksanaan tugas. Selanjunya Kepala Kejaksaan Negeri mempunyai tugas : a. Memimpin dan mengendalikan Kejaksaan Negeri dalam melaksanakan tugas, wewenang dan fungsi Kejaksaan didaerah hukumnya serta membina aparatur Kejaksaan di lingkungan Kejaksaan Negeri yang bersangkutan agar berdaya guna dan berhasil guna; b. Melakukan dan /atau mengendalikan kebijakan pelaksanaan penegakkan hukum dan keadilan baik preventif maupun represif yang menjadi tanggung
jawabnya
bersangkutan
sesuai
di
daerah
dengan
hukum
peraturan
Kejaksaan
Negeri
perundang-undangan
yang dan
kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung; c. Melakukan
penyelidikan,
penyidikan,
prapenuntutan,
pemeriksaan
tambahan, penuntutan, eksekusi dan tindakan hukum lain berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung; d. Melakukan koordinasi penangkapan perkara pidana tertentu dengan instansi terkait meliputi penyelidikan, penyidikan dan melaksanakan tugas-tugas yustisial lain berdasarkan peraturan peundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.
commit to user 50
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
e. Melakukan pencegahan dan penangkapan terhadap orang yang terlibat dalam suatu perkara pidana untuk masuk kedalam atau keluar meninggalkan wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia, peredaran barang cetakan yang dapat menggangu ketertiban umum, penyalahgunaan dan atau penodaan agama serta pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan ketertiban masyarakat dan negara berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung; f. Melakukan tindakan hukum di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, mewakili Pemerintah dan Negara didalam dan diluar pengadilan sebagai usaha menyelamatkan kekayaan negara berdasarkan peraturan perundangundangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung; g. Membina dan melakukan kerjasama dengan instansi Pemerintah dan organisasi lain didaerah hukumnya untuk memecahkan masalah yang timbul terutama yang menyagkut tanggungjawabnya; h. Pemberian perijinan sesuai dengan bidang tugasnya dan melaksanakan tugas-tugas
lain
berdasarkan
peraturan
perundang-undangan
dan
kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung. Kejaksaan Negeri dibagi dalam 4 seksi yakni : 1.
Seksi Intelijen Seksi Intelijan mempunyai tugas melakukan kegiatan intelijen yustisial di bidang :
a.
Ideologi;
b.
Politik;
c.
Ekonomi;
d.
Keuangan;
e.
Sosial budaya, dan
f.
Pertahanan keamanan untuk mendukung kebijaksanaan penegakkan hukum dan keadilan baik preventif maupun represif melaksanakan dan
commit to user 51
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
atau turut serta menyelenggarakan ketertiban dan ketentraman umum serta pengamanan pembangunan nasional dan hasilnya didaerah hukum Kejaksaan Negeri yang bersangkutan. Dalam melaksanakan tugas, Seksi Intelijen menyelenggarakan fungsi yaitu : a)
Penyiapan perumusan kebijaksanaan teknis di bidang intelijen berupa bimbingan, pembinaan dan pengamanan teknis;
b)
Penyiapan rencana, pelaksanaan dan penyiapan bahan pengendalian kegiatan intelijen penyelidikan, pengamanan dan penggalangan dalam rangka kebijaksanaan penegakan hukum baik preventif maupun represif untuk menaggulangi hambatan, tantangan, politik, ekonomi, keuangan dan sosial budaya;
c)
Pelaksanaan kegiatan produksi dan sarana intelijen, membina dan meningkatkan kemampuan, ketrampilan dan integritas kepribadian aparat intelijan yustisial membina aparat dan mengendalikan kekayaan di lingkungan Kejaksaan Negeri yang bersangkutan;
d)
Pengamanan teknis terhadap pelaksana tugas satuan kerja di bidang personil,
kegiatan
materiil,
pemberitaan
dan
dokumen
dengan
memperhatikan koordinasi; e)
Kerjasama dengan instansi pemerintah dan organisasi lain didaerah terutama dengan aparat intelijen.
Sub Seksi Intelijen terdiri dari : (a)
Subseksi sosial dan politik, mempunyai tugas melakukan kegiatan intelijen yustisial penyelidikan, pengamanan dan penggalangan untuk menanggulangi hambatan, tantangan, ancaman dan gangguan serta mendukung operasi yustisi mengenai masalah ideologi dan sosial politik, media massa, barang cetakan, orang asing, cegah tangkal, sumberdaya manusia, pertahanan dan keamanan, tindak pidana perbatasan dan
commit to user 52
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pelanggaran wilayah perairan, aliran kepercayaan, penyalahgunaan dan atau penodaan agama, persatuan dan kesatuan bangsa, lingkungan hidup, penyuluhan hukum serta penanggulangan tindak pidana umum dan narkoba; (b)
Subseksi ekonomi dan moneter, mempunyai tugas melakukan kegiatan intelijen yustisial penyelidikan pengamanan dan penggalangan untuk menanggulangi hambatan, tantangan, ancaman dan gangguan serta mendukung operasi yustisi mengenai masalah investasi, produksi, distribusi, keuangan perbankan, sumberdaya alam dan pertanahan, penanggulangan tindak pidana ekonomi, korupsi serta pelanggaran Zona Ekonomi Ekslusif;
(c)
Subseksi
produksi
dan
Sarana
Intelijen,
mempunyai
tugas
melakukan kegiatan dibidang produksi berupa laporan berkala, insidentil dan perkiraan keadaan pembinaan aparat intelijen terhadap kemampuan dan integritas aparat intelijen di lingkungan Kejaksaan Negeri dan menyelenggarakan administrasi intelijen, penyiapan dan pemberian penerangan serta publikasi mengenai berbagai masalah yang menyagkut kegiatan Kejaksaan. 2. Seksi Tindak Pidana Umum Seksi Tindak Pidana Umum mempunyai tugas melaksanakan pengendalian dan atau pelaksanaan prapenuntutan, pemeriksaan tambahan, penuntutan, melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan, pengawasan terhadap keputusan lepas bersyarat dan tindakan hukum lainnya dalam perkara tindak pidana umum. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud tersebut diatas, Seksi Tindak Pidana Umum menyelenggarakan fungsi : (a). Penyiapan perumusan kebijaksanaan teknis dibidang tindak pidana umum berupa pemberian bimbingan, pembinaan dan pengamanan teknis;
commit to user 53
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(b). Penyiapan rencana, peleksanaan dan penyiapan bahan pengendalian kegiatan prapenuntutan, pemeriksaan tambahan, penuntutan dalam perkara tindak pidana terhadap keamanan negara dan ketertiban umum, tindak pidana terhadap orang dan harta benda serta tindak pidana umum lain yang diatur diluar Kitab Undang-undang Hukum Pidana; (c). Penyiapan bahan pengendalian dan / atau pelaksanaan penetapan Hakim dan Putusan Pengadilan, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat dan tindakan hukum lain dalam perkara tindak pidan umum serta pengadministrasiannya; (d). Pembinaan kerjasama dan melakukan koordinasi dengan instansi serta pemberian bimbingan dan petunjuk teknis dalam penanganan perkara tindak pidana umum kepada penyidik; (e). Penyiapan bahan saran, konsepsi tentang pendapat dan atau pertimbangan hukum Jaksa Agung mengenai perkara tindak pidana umum dan masalah hukum lainnya dalam kebijaksanaan penegakkan hukum; (f). Peningkatan kemampuan, ketrampilan dan integritas kepribadian aparat tindak
pidana
umum
daerah
hukum
Kejaksaan
Negeri
yang
bersangkutan; (g). Pengadministrasian dan pembuatan laporan di daerah hukum Kejaksaan Negeri yang bersangkutan. Seksi Tindak Pidana Umum terdiri dari : (a). Subseksi prapenuntutan, mempunyai tugas melakukan urusan pemberian pertimbangan, pengendalian dan petunjuk
mengenai penerimaan
pemberitahuan penyidikan, penghentian penyidikan, hasil penyidikan serta penerimaan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti/ sitaan, mengadministrasikan dan mendokumentasikannya;
commit to user 54
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(b). Subseksi penuntutan, mempunyai tugas melakukan urusan penuntutan terhadap
perkara
tindak
pidana
umum
hasil
penyidikan
serta
pengadministrasian dan pendokumentasian; (c). Subseksi Upaya Hukum Eksekusi dan Eksaminasi, mempunyai tugas melakukan administrasi dan urusan perlawaanan, banding, kasasi, peninjauan kembali dan grasi dan pelaksanaan penetapan putusan hakim yang telah mempunyai kepastian hukum tetap, melakukan eksaminasi perkara tertentu. 3. Seksi Tindak Pidana Khusus Seksi tindak Pidana Khusus mempunyai tugas melakukan pengendalian kegiatan penyelidikan, penyidikan, prapenuntutan, pemeriksaan tambahan, penuntutan, melaksanakan penetapan dan putusan pengadilan, pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat dan tindakan hukum lainnya dalam perkara tindak pidana khusus di daerah hukum kejaksaan negeri yang bersangkutan. Dalam melaksanakan tugasnya Seksi Tindak Pidana Khusus menyelenggarakan fungsi : (a). Penyiapan perumusan kebijaksanaan teknis di bidang tindak pidana khusus berupa pemberian bimbingan, pembinaan dan pengamanan teknis; (b). Penyiapan rencana, pelaksanaan dan pengendalian kegiatan penyelidikan, penyidikan, prapenuntutan, pemeriksaan tambahan, penuntutan dan pengadministrasiannya; (c). Pelaksanaan penetapan hakim dan putusan pengadilan, pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat dan tindakan hukum lain dalam perkara tindak pidana khusus serta pengadministrasiannya;
commit to user 55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(d). Pembinaan kerjasama dan koordinasi dengan instansi terkait dan memberi bimbingan serta petunjuk teknis kepada penyidik dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, ekonomi dan tindak pidana khusus yang lain serta pengadministrasiannya; (e). Penyiapan bahan sarana konsepsi tentang pendapat dan atau pertimbangan hukum Jaksa Agung mengenai perkara tindak pidana khusus dan masalah hukum lain dalam kebijaksanaan hukum; (f). Peningkatan kemampuan, ketrampilan dan integritas kepribadian aparat tindak pidana khusus. Seksi Tindak Pidana Khusus tediri dari : (a)
Subseksi penyidikan, mempunyai tugas melakukan segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan penyidikan tindak pidana khusus serta menyiapkan bahan, membuat telaahan dan memberikan bimbingan tknis terhadap kegiatan penyidikan tindak pidana khusus;
(b)
Subsekksi penuntutan, mempunyai tugas melakukan segala kegiatan yang berkaitan dengan penuntutan perkara tindak pidana khusus serta menyelenggarakan administrasi dan dokumentasi;
(c)
Subseksi upaya hukum, eksekusi dan eksaminasi, mempunyai tugas melakukan segala kegiatan yang berhubungan dengan upaya hukum eksekusi dan eksaminasi.
4.
Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara Seksi Perdata tata usaha Negara mempunyai tugas melakukan dan atau pengendalian kegiatan penegakan, bantuan, Pertimbangan dan pelayanan hukum serta tindakan hukum lain kepada negara, pemerintah dan masyarakat di bidang perdata dan tata usaha negara. Dalam melaksanakan tugas, Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara menyelenggaraka fungsi :
commit to user 56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(a). Penyiapan perumusan kebijaksanaan teknis dibidang perdata dan tata usaha negara berupa pemberian bimbingan, pembinaan dan pengamanan teknis; (b). Pengendalian kegiatan penegakkan hukum, bantuan pertimbangan dan mewakili kepentingan negara dan pemerintah; (c). Pelaksanaan gugatan uang pengganti atas putusan pengadilan, gugatan ganti kerugian dan tindakan hukum lain terhadap perbuatan yang melawan hukum yang merugikan keuangan negara; (d). Pemberian bantuan hukum terhadap masyarakat yang menyangkut pemulihan dan perlindunagn hak dengan memperhatikan kepentingan umum sepanjang negara atau pemerintah tidak menjadi tergugat; (e). Pelaksanaan tindakan hukum didalam maupun diluar pengadilan mewakili kepentingan keperdataan dari negara pemerintah dan masyarakat baik berdasarkan jabatan maupun kausa khusus. (f). Pembinaan kerjasama maupun koordinasi dengan instansi terkait serta memberikan bimbingan dan petunjuk teknis dalam penangan masalah perdata dan tata usaha negara di daerah hukum kejaksaan negeri yang bersangkutan; (g). Pemberian saran konsepsi tentang pendapat dan atau pertimbangn hukum Jaksa Agung mengenai perkara dan tata usaha negara dan masalah hukum lain dalam kebijakan penegakkan hukum; (h). Peningkatan kemampuan, ketrampilan dan integritas kepribadian aparat tindak pidana khusus di daerah hukum Kejaksaan Negeri yang bersangkutan.
commit to user 57
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara terdiri dari : (a). Subseksi perdata dan tata usaha negara, mempunyai tugas melakukan pengendalian
kegiatan
penegakkan,
bantuan,
pertimbangan
dan
pelayanan hukum serta tindakan hukum lain kepada negara, pemerintah dan masyarakat di bidang perdata dan tata usaha negara; (b). Subseksi pemulihan dan perlindungan hak, mempunyai tugas melakukan penyiapan
bahan
pengendalian
penegakan,
bantuan,
pelayanan,
pertimbangan dan tindakan hukum lain kepada negara, pemerintah dan masyarakat di bidang perdata dan tata usaha negara dan masyarakat. 2.
Pengertian Penyelidikan dan Penyidikan Khusus terhadap tindak pidana korupsi selain fungsi penuntutan dan
eksekusi kejaksaan juga mempunyai peranan sebagai lembaga penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-undang nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. a.
Penyelidikan penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat auat tidaknya dilakukan [enyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ( pasal 1 butir 5 KUHAP ). Penyelidikan merupakan tahap awal sebelum dimulainya suatu penyidikan. Dalam penyelidikan suatu perkara, penyelidik belum dapat menggunakan upaya paksa ( misal : penangkapan, penahanan, penyitaan dan lain-lain ) Penyelidikan dapat dikatakan sebagai bagian tak terpisahkan dari penyidikan. Mekanisme atau langkah-langkah dalam penyelidikan antara lain48 :
48
Faisal Banu, Jaksa Penyidik Kejaksaan Negeri Karanganyar
commit to user 58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Pimpinan mengeluarkan / menerbitkan surat perintah penyidikan. Disitu tertera nama-nama personil yang bertugas melakukan penyelidikan yang di sebut dengan jaksa penyelidik. Tujuan utam dari penyelidikan menemukan suatu peristiwa itu sebagai suatu tinda pidana atau bukan, bila peristiwa tersebut ditetapkan sebagai tindak pidana maka ditingkatkan menjadi penyidikan bila bukan tindak pidana maka dilakukan penghentian penyelidikan. 2. Setelah jaksa menerima surat perintah maka tim tersebut membuat target operasi dan rencana penyelidikan / rencana pengumpulan bahan keterangan. 3.
Melakukan pengumpulan data dan keterangan yang meliputi : Melakukan pemanggilan kepada sumber-sumber yang dianggap mengetahui persoalan yang dituangkan dalan berita acara permintaan keterangan maupun catatan wawancara. Terhadap orang yang diperiksa bisa juga diminta bahan keterangan, misalnya korupsi pengadaan motor dinas, jaksa meminta data berupa : •
Peraturan
perundangan
yang
mengatur
tata
cara
pengadaan motor dinas untuk pemerintah daerah. •
Dokumen-dokumen yang berupa : -. Dokumen persiapan yang berisi pemberitahuan undangan lelang, proses ambissing atau penjelasan lelang dan dokumen perintah kerja atau kontrak perjanjian. -. Dokumen pelaksanaan dan atau pertanggung jawaban meliputi
kwitansi-kwitansi
dokumen
lain
yang
ataupun
berkaitan
dokumen-
dengan
proses
pengadaan motor, pembelian, pemeriksaan barang dan pertanggung jawaban keuangan.
commit to user 59
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Catatan : bahwa dokumen-dukumen yang diminta dalam tahap tersebut masih berupa fotokopi karena yang asli masih berada ditangan yang bersangkutan. Setelah itu membuat laporan penyelidikan operasi intelijen yustisial dan matrik hasil operasi. Bila ditemukan dugaan korupsi masuk ke tahap penyidikan. Jadi, sebelum dilakukan penyidikan, dilakukan penyelidikan dulu oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan untuk mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindakan pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan suatu tondak pidana. Kewenangan penyelidik, diatur dalam pasal 5 KUHAP : a). Karena kewajibannya mempunyai wewenang : (1). Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana. (2). Mencari keterangan dan barang bukti. (3). Menyuruh berhenti seseorang yang di curigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri. (4). Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. b). Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa : 1). Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan. 2). pemeriksaan dan penyitaan surat. 3). Mengambil sidik jari dan memotret seseorang. 4). Membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik.
commit to user 60
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pasal 5 ayat (2) KUHAP mewajibkan penyidik yang tersebut dalam pasal 5 ayat (1)a itu merupakan kewenangan sesungguhnya yang dimiliki penyidik atau polri pada umumnya. Pada ayat (1)b dapat dikatakan kewenangan yang semu karena dapat melekukan tindakan jika ada perintah penyidik. Pada tahap penyelidikan kadang-kadang penyidik menggunakan atau dibantu oleh seorang informan. Informan artinya orang yang memberikan informasi atau orang yang biasa membantu memberikan suatu keterangan kepada seorang penyidik yang sedang menyelidiki atau menyidik suatu tindak pidana tertentu. Sebenarnya bukan hanya informan, tetapi kewajiban bagi setiap orang untuk menyampaikan laporan atau pengaduan kepada penyelidik atau penyidik ( pasal 108 KUHAP ) apabila sebagai berikut ini : 1.
Mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana;
2.
Mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketentraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa terhadap hak milik;
3.
Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana.
b.
Penyidikan Penyidikan menurut pasal 1 butir 2 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Setelah menemukan suatu peristiwa yang di duga terdapat indikasi terjadinya tindak pidana korupsi, maka penyidik kejaksaan negeri dalam penyidikan di tuntut untuk :
commit to user 61
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
•
Mencari serta mengumpulkan barang bukti
•
Membuat terang suatu tindak pidana, dan
•
Menemukan dan menentukan pelakunya.
Mengawali tahap penyidikan, kepala seksi tindak pidana khusus kejaksaan negeri menerbitkan surat perintah penyidikan yang berisi personil penyidikan dan dasar penyidikan. Selanjutnya dibuat rencana penyidikan yang berisi jadwal penyidikan, siapa saja saksi yang akan diperiksa, barang bukti yang akan dikumpulkan dan arah pertanyaan terhadap saksi. Secara garis besar rencana penyidikan merupakan blue print penyidikan. Blue prin berguna sebagai alat kendali, pengawasan, dan arah penyidikan. Tahap-tahap penyidikan meliputi : a. Pemanggilan saksi Sebelum dilakukan penyidikan sudah dilakukan penyelidikan. Pada saat penyelidikan, penyelidik sudah meletakkan dasar-dasar pemeriksaan. Pemetaan terhadap kasus dan saksi-saksi yang akan diperiksa sudah dilakukan juga dalam tahap penyelidikan. Hal ini akan memudahkan
pemanggilan
saksi
dalam
penyidikan
sehingga
pemanggilan saksi yang tidak perlu atau tidak ada kaitannya dengan perkara dapat dihindari. Pasal 1 butir 26 KUHAP “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidik, penuntutan dan praperadilan tentang suatu perkara pidan yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”. Dari rumusan pasal 1 butir 36 KUHAP di atas, maka yang disebut sebagai saksi harus : a) Seseorang yang mendengar sendiri b) Melihat sendiri
commit to user 62
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c) Mengalami sendiri peristiwa pidananya d) Orang
yang
bersangkutan
dapat
menjelaskan
sumber
pengetahuan akan apa yang ia dengar, ia lihat, dan ia alami sendiri. Pemanggilan saksi memuat identitas saksi dan untuk apa saksi dipanggil. Surat panggilan tersebut ditandatangani oleh kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) atu kepala seksi pidana khusus Kejaksaan selaku pejabat penyidik. Pasal 112 KUHAP (1). Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat pemanggilan yang dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari orang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut. (2). Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya. Berdasarkan pasal diatas antara tanggal hari diterimanya Surat panggilan dengan hari tanggal
orang
yang
dipanggil
diharuskan
memenuhi panggilan, harus ada tenggang waktu yang layak ( minimal 3 hari
sebelum
hari
pemeriksaan
).
Biasanya
penyidik
sangat
memperhatikan tenggang waktu pemanggilan karena hal ini berkaitan dengan konsekuensi yuridis yang mungkin terjadi. Apabila saksi tidak mau hadir tanpa lasan yang sah dan sudah dipanggil secara layak sebanyak tiga kali maka sesuai dengan pasal 112 ayat (2) KUHAP penyidik dapat mendatangkannya secra paksa.
b. Pemanggilan dan Pemeriksaan Tersangka Pemanggilan tersangka biasanya dilakukan setelah penyidik memeriksa beberapa saksi dan yakin bahwa seseorang akan menjadi
commit to user 63
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tersangka. Terhadap kasus ini penyidik juga menerapkan pola pemanggilan tersangka seperti uaraian diatas. Berdasarkan Pasal 112 ayat (1) KUHAP surat panggilan tersangka memuat identitas tersangka, pasal yang dilanggar dan ditandatangani oleh kepala kejaksaan negeri atau kepala seksi pidana khusus selaku pejabat penyidik. Pada saat penyidik akan melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, penyidik wajib memberitahu kepada tersangka akan haknya untuk mencari dan mendapatkan bantuan hukum (pasal 114 KUHAP). Pasal 114 KUHAP “Dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang apa haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasehat hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 56”. Sesuai dengan ketentuan diatas terhadap penasehat hukum yang mendampingi tersangka dapat dijelaskan dua hal sebagai berikut : 1. Bantuan hukum dari penasehat hukum benar-benar murni berdasar “hak” yang diberikan hukum kepadanya dengan syarat, tersangka dianggap mampu untuk mencari penasehat hukum. Pengertian mampu disini adalah mampu dalam hal materi atau mampu untuk membayar penasehat hukum. Syarat kedua, disamping tersangka sendiri mampu, juga tindak pidananya tidak diancam dengan hukuman mati atau lima belas tahun ke atas atau kalau tidak mampu, diancam dengan tindak pidana kurang dari lima tahun (lihat Pasal 56). Pada sisi seperti ini diserahkan kepada kehendak tersangka apakah dia akan mempergunakan haknya mencari atau mendapatkan bantuan hukum dari penasehat hukum. Kepadanya diberikan
kebebasan
untuk
menunjuk
penasehat
yang
dikehendakinya. Jadi apabila ancaman hukuman tindak pidana yang disangkakan kepadanya kurang dari lima tahun, kepada
commit to user 64
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tersangka yang mampu di beri hak untuk mencari dan mendapatkan penasehat hukum yang disukainya. 2. Pemberian bantuan hukum oleh penasehat hukum, bukan sematamata hak tersangka, tetapi telah berubah sifatnya menjadi “kewajiban” penyidik atau menjadi kewajiban dari aparat penegak hukum pada semua tingkat pemeriksaan, baik pada tingkat penuntutan maupun persidangan. Hak tersangka dan kewajiban penyidik ( aparat penegak hukum ) berjumpa disebabkan beberapa faktor : •
Tindak pidana yang diancam kepada tersangka / terdakwa merupakan ancaman hukuman mati atau ancaman pidana lima belas tahun ke atas;
•
Bagi mereka yang tidak mampu untuk mempunyai atau mendatangkan bantuan penasehat hukum, sedang ancaman pidana yang disangkakan atau didakwakan kepadanya lima tahun atau lebih.
Karena ancaman pidana terhadap Tindak Pidana Korupsi di atas lima belas tahun dan bahkan dalam keadaan tertentu dapat diancam pidana mati, maka pada saat pemeriksaan tersangka korupsi, wajib didampingi penasehat hukum. Bahkan apabila tersangka tidak mampu menunjuk penasehat hukum maka penyidik Kejaksaan Negeri wajib menyediakan penasehat hukum bagi tersangka. Sesuai dengan Pasal 115 ayat (1) KUHAP maka penasehat hukum hanya mendampingi tersangka dalam pemeriksaan secara pasif saja. Artinya penasehat hukum hanya melihat serta mendengar jalannya pemeriksaan terhadap tersangka. Dalam pemeriksaan terhadap tersangka penyidik memeriksa tersangka berdasarkan unsur-unsur pasal Tindak Pidana Korupsi dan
commit to user 65
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dihubungkan dengan keterangan para saksi serta barang bukti yang didapat. c.
Penggeledahan Penggeledahan dapat dilakukan terhadap badan atau suatu tempat yang dicurigai menyimpan hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan korupsi. Untuk Tindak Pidana Korupsi penyidik jarang melakukan penggeledahan badan. Yang sering dilakukan adalah penggeledahan tempat. Pasal 33 KUHAP 1) Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan; 2) Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisianNegara Republik Indonesia dapat memasuki rumah; 3) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya; 4) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir; 5) Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah,, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan. Pasal 33 KUHAP tersebut mengatur penggeledahan dalam keadaan biasa, sedangkan pasal 34 KUHAP sebagai berikut : Pasal 34 KUHAP 1) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 33 ayat (5) penyidik dapat melakukan penggeledahan : a. Pada halaman rumah tersangka berttempat tinggal, berdiam atau ada dan yang ada di atasnya; b. Pada setiap tempat lain tersangak bertempat tinggal, berdiam atau ada;
commit to user 66
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya; d. Di tempat penginapan dan tempat umum lainnya. 2) Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan seperti dimaksud dalam ayat (1) penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan atau yang di duga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidan tersebut dan untuk itu wajib seegera melaporkan kepada Ketua pengadilan Negeri setempat duna memperoleh persetujuannya. Penyidik sebelum melakukan penggeledahan sudah mendapatkan informasi dari petugas intel tentang kemungkinan keberadaan hal-hal yang berkaitan dengan perkara tindak pidana korupsi disuatu tempat atau penyidik mendapatkan pengakuan dari tersangka atau saksi stau penyidik mempunyai dugaan kuat akan hal tersebut. Langkah ini dilakukan agar penggeledahan mendapatkan hasil yang maksimal.
d. Penyitaan Sebelum melakukan penyitaan penyidik sudah menginventarisasi barang bukti yang akan disita dalam rencana penyidikan. Barangbarang yang akan disita sangat berkaitan erat dengan pembuktian perkara tindak pidana korupsi. Dimana kemungkinan besar tanpa barang bukti, perkara tidak dapat diajukan ke sidang pengadilan. Oleh karenanya
penyidik
melakukan
penyitaan
untuk
memperkuat
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan. Pasal 1 butir 16 KUHAP “Penyitaan adalahserangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan”. Sebagaimana halnya penggeledahhan KUHAP juga mengatur tata cara penyitaan. Tata cara ini untuk menjamin hak-hak para pihak yang
commit to user 67
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mungkin dirugikan dengan adanya penyitaan dan pengawasan pengawasan pwnyitaan yang dilakukan oleh penyidik. KUHAP mengatur tata car penyitaan dal keadaan normal dan dalam keadaan luar biasa. Dalam keadaan normal KUHAP memberikan tata cara penyitaan yang sangat ketat yaitu sebagai berikut : 1. Harus ada “surat izin” penyitaan dari ketua Pengadilan Negeri Sebelum penyidik melakukan penyitaan, lebih dulu meminta izin Ketua Pengadilan Negeri setempat. Dalam permintaan tersebut, penyidik memberi permintaan dan alasan-alasan pentingnya dilakukan penyitaan, gunna dapat memperoleh barang bukti baik sebagai barang bukti untuk penyidikan, penuntutan, dan umtuk barang bukti dalam persidangan pengadilan. 2. Memperlihatkan atau menunjukkan tanda pengenal Syarat kedua yang harus dipenuhi penyidik, menunjukkan “tanda pengenal” jabatan kepada orang dari mana benda itu akan disita. Hal ini perlu agar ada kepastian bagi orang yang bersangkutan bahwa dia benar-benar berhadapan dengan petugas penyidik (Pasal 128 KUHAP). 3. Memperlihatkan benda yang akan disita Penyidik memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang dari mana benda itu akan disita, atau kalau tidak kepada orang yang bersangkutan, dapat juga dilakukan terhadap keluarganya. Hal ini untuk “menjamin” adanya kejelasan atas benda yang disita. 4. Penyitaan dan memperlihatkan benda sitaan harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi. Syarat atau tata cara selanjutnya, ada kesaksian dalam penyitaan dan memperlihatkan barang yang akan disita. Dengan ketentuan ini, pada saat penyidik akan melakukan penyitaan, harus membawa saksi ketempat pelaksanaan sita, sekurang-kurangnya tiga
commit to user 68
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
orang. Saksi pertama dan utama ialah kepala desa atau ketua lingkungan (ketua RT/RW), ditambah dua orang saksi lainnya ( pasal 129 ayat (1) ). 5. Membuat berita acara penyitaan Pembuatan berita acara diatur dalam pasal 129 ayat (2), yang menjelaskan : •
Setelah berita acara selesai dibuat, penyidik membacakan dihadapan atau kepada orang dari mana benda itu disita atau kepada keluarganya dan kepada ketiga orang saksi.
•
Jika mereka telah dapat menerima dan menyetujui isi berita acara, penyidik memberi tanggal pada berita acara.
•
Kemudian sebagai tindakan akhir dari pembuatan berita acara penyitaan (penyidik, orang yang besangkutan atau keluarganya
dan
ketiga
orang
saksi
masing-masing
membubuhkan tanda tangan pada berita acara). Apabila orang yang bersangkutan atau keluarganya tidak mau membubuhkan tanda tangan, penyidik membuat catatan tentang hal itu serta menyebut alasan penolakan membubuhkan tanda tangan. 6. Menyampaikan turunan berita acara penyitaan Kewajiban penyidikdalam penyampaian turunan berita acara penyitaan, pembuat undang-undang sangat cenderung agar tindakan penyidik dalam melaksanakn wewenang melakukan penyitaan, benar-benar diawasi dan terkendali. 7. Membungkus benda sitaan Demi untuk menjaga keselamatan benda sitaan, pasal 130 KUHAP telah menentukan cara-cara pembungkusan benda sitaan, antara lain :
commit to user 69
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
• Dicatat beratnya atau jumlahnya menurut jenis masingmasing benda sitaan. Kalau jenisnya sulit ditentukan, sekurang-kurangnya dicatat ciri maupun sifat khasnya. • Dicatat hari tanggal penyitaan. • Tempat dilakukan penyitaan. • Identitas orang dari mana benda itu akan disita. • Kemudian diberi lak dan cap jabatan dan ditanda tangani oleh penyidik. Seandainya benda sitaan tidak mungkin dibungkus sesuai dengan ketentuan pasal 130 ayat (1) diatas, ayat (2) pasal tersebut menentukan : •
Membuat catatan selengkapnya seperti apa yang disebut pada ayat (1) diatas.
•
Catatan itu ditulis diatas tabel yang ditempelkan atau dikaikan dengan benda sitaan. Sedangkan dalam keadaan luar biasa penyitaan dilakukan
dengan prosedur sebagai berikut : 1. Tanpa “surat izin” ketua pengadilan Penyidik tidak perlu lebih dulu melapor dan meminta surat izin dari ketua pengadilan, dapat langgsung mengadakan penyitaan. Dengan demikian bilamana penyidik “harus segera bertindak” dan tidak mungkin mendapatkan surat izin terlebih dahulu, dalam keadaan seperti ini penyotaan dilakukan tanpa surat izin ketua pengadilan negeri. 2. Hanya terbatas atas benda bergerak saja Obyek penyitaan dalam keadaan yang sangat perludan mendesak sangat dibatasi hanya ‘Benda bergerak” saja. 3.
Wajib segera” melaporkan’ guna mendapatkan persetujuan Segera sesudah penyitaan, apakah penyitaan berhasil atau
commit to user 70
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tidak, penyidik “wajib” segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat, sambil meminta “persetujuan”.
e.
Penangkapan dan Penahanan Sebelum melakukan penangkapan dan penahanan penyidik biasanya sudah mempertimbangkan berbagai aspek. Pertimbangan tersebut dituangkan dalam laporan perkembangan penyidikan yang disampaikan kepada pimpinan secara berjenjang. Tindakan selektif dan hati-hati dari penyidik melakukan penangkapan dan penahanan sesuai dengan uraian pasa 1 butir 20 KUHAP dan pasal 1 butir 21 KUHAP Pasal 1 butir 20 KUHAP “penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengengkangan sementara waktu kekbebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undangundang ini”. Pasal 1 butir 21 KUHAP “Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalm undangundang ini”. Penangkapan terhadap tersangaka didahului dengan terbitnya Surat Perintah Penagkapan yang ditandatangani oleh Kepala Kejaksaan Negeri ( Kejari ) atau Kepala Seksi tindak Pidana Khusus sebagai pejabat penyidik. Surat Perintah Penangkapan tersebut memuat : •
Identitas tersangka ( nama, umur, tempat tinggal, tanggal lahir, dll ).
•
Alasan singkat dilakukannya penangkapa.
•
Uraian singkat dilakukannya penegkapan
commit to user 71
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
•
Uraian singkat Tindak Pidana Korupsi yang disangkakan kepada tersangka.
•
Tempat
dimana
pemeriksaan
terhadap
tersangka
akan
dilakukan. Setelah dilakukan penegkapan, penyidik harus membuat Berita Acara Penangkapan dan memberitahukan penengkapan tersebut kepada keluarga tersangka. Berdasarkan pasal 19 ayat (1) KUHAP penengkapan hanya dapat dilakukan untuk paling lama satu hari. Pasal 19 ayat ( 1 ) KUHAP “Penagkapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17, dapat dilakukan paling lama satu hari”. Setelah batas waktu penangkapan habis penyidik dapat melakukan penahanan terhadap tersangka. Berdasarkan pasal 22 ayat (1) KUHAP jenis penahanan dapat berupa : •
Penahanan Rumah Tahanan Negara ( Rutan );
•
Penahanan Rumah;
•
Panahanan Kota. Apabila diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan penyidikan
yang belum selesai dapat memintakan perpanjangan penahanan kepada penuntut umum paling lama 40 hari ( Pasal 24 ayat (2) KUHAP ). Khusus untuk Tindak Pidana Korupsi yanh diperiksa dengan ancaman pidana lebih dari 9 tahun, maka penahanan dapat dimintakan perpanjangan selama 30 hari kepada Ketua Pengadilan Negeri ( Pasal 29 ayat ( 1,2, dan 3 ) KUHAP. Penahanan teresbut dapat diperpanjang lagi untuk paling lama 30 hari yang dimintakan oleh penyidik secara bertahap ( Pasal 29 ayat ( 2, 4 ) KUHAP ).
commit to user 72
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Seluruh masa penahanan dari tersangka dikemudian hari akan dikurangkan dari jumlah hukuman pidana yang kelak dijatuhkan oleh Hakim. Sebagaimana halnya penangkapan, penyidik Tindak Pidana Korupsi harus mempunyai alasan kuat terhadap penahanan yang dilakukan terhadap tersangka. Dengan kata lain penahanan tidak boleh dilakukan secara membabi buta atau bersifat menzolimi. Alasan penahanan diatur dalam pasal 21 ayat (1) dan (4) KUHAP. Pasal 21 ayat (1) KUHAP “Perintah penahanan atau penahanan lanjut dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barng bukti dan atau mengulangi tindak pidana”. Pasal 21 ayat (4) KUHAP “Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal” : a.
Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; b. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 282 ayat (3), pasal 296, pasal 335 ayat (1), pasal 351 ayat (1), pasal 353 yayat (1), pasal 372, pasal 378, pasal 378, pasal 379 a, pasal 453, pasal 454, pasal 455, pasal 459, pasal 480 dan pasal 506 Kitab Undangundang Hukum Pidana, pasal 23 dan 26 Rechtenordonantie ) pelanggaran terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad tahun 1931 nomor 471, pasal 1, pasal 4 undangundanh Tindak Pidana Imigrasi ( Undang-undang nomor 8 Drt. Tahun 1955. Lembaran negara tahun 1955 nomor 8 ), pasa; 36 ayat ( 7 ), pasal 41, pasal 42, pasal 43, pasal 43 dan pasal 48 undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika ( Lembaran Negara tahun 1976 nomor 37, Tambahan Lembaran Negara nomor 3086 ).
commit to user 73
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Alasan penahanan sebagaimana tersebut dalam pasal 21 ayat (1) KUHAP di atas sering disebut sebagai syarat subyektif penahanan. Alasan ini hanya ada dalam pikiran penyidik namun sangat menentukan nasib seseorang. Berdasarkan KUHAP alasan ini sah-sah saja dan hanya dipunyai oleh aparat penegak hukum ( dalam hal ini penyidik ) tanpa bisa diganggu gugat. Alasan penahanan sebagaimana tersebut dalam tersebut dalam pasal 21 ayat (4) KUHAP diatas sering disebut sebagai syarat obyektif penahanan. Disebut obyekti karena telah secara limitatif memberikan batasan yang jelas terhadap tindak pidana apa saja yang dapat dilakukan penahanan. Karena Tindak Pidana Korupsi diancam dengan pidana penjara lima tahun, maka ia telah memenuhi syarat subyektif.
f.
Pemberkasan Berdasarkan pasal 50 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, pada awal penyidikan sebelum dilakukannya pemberkasan penyidik Kejaksaan harus memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan. Pasal 50 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 ” dalam hal suatu Tindak Pidana Korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh Kepolisian atau kejaksaan, instansi wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 ( empat belas ) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan”. Setelah semua tahap yang diuraikan diatas dilalui, maka penyidik dengan kekuatan sumpah jabatan segera melakukan pemberkasan terhadap hasil penyidikan. Sesuai dengan pasal 121 KUHAP Berita Acara yang terangkum dalam Berkas Perkara memuat persyaratan sebagai berikut :
commit to user 74
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
•
Memberi tanggal pada berita acara.
•
Memuat tindak pidana yang disangkakan dengan menyebut waktu, tempat, dan keadaan sewaktu tindak pidana dilakukan, nama dan tempat tinggal tersangka dan saksi-saksi, keterangan mengenai tersangka dan saksi (umur, kebangsaan, agama, dan lain-lain ).
•
Catatan mengenai akta dan atau benda.
•
Serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara.
Tahap selanjutnya semua berkas tersebut dijilid dengan rapi oleh peyidik Kejaksaan Negeri. Berkas tersebut memuat antara lain ; 1. Sampul berkas perkara 2. Daftar isi berkas perkara 3. Resume 4. Laporan polisi 5. Surat perintah penyidikan 6. Surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) 7. Berita acara pemeriksaan saksi 8. Berita acara pemeriksaan tersangka 9. Surat kuasa khusus didampingi penasehat hukum 10. Surat perintah penangkapan 11. Berita acara penangkapan 12. Surat perintah penyitaan 13. Surat tanda penerimaan 14. Berita acara penahanan 15. Permintaan persetujuan ijin penyitaan 16. Surat ketetapan persetujuan ijin penyitaan 17. Surat perintah penahanan
commit to user 75
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
18. Berita acara penahanan 19. Permintaan perpanjangan penahanan 20. Surat perpanjangan penahanan 21. Surat perintah perpanjangan penahanan 22. Berita acara perpanjangan penahanan 23. Daftar saksi 24. Daftar tersangka 25. Daftar barang bukti. Setelah semua berkas perkara dijilid dengan rapi, maka tahap selanjutnya semua berkas tersebut diserahkan kepada
Penuntut
Umum untuk dilakukan penuntutan.
B.
HASIL WAWANCARA Dalam proses penyidikan perkara korupsi, maka Kejaksaan Negeri Karanganyar selalu menggunakan prosedur penyidikan perkara sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang, yaitu berpedoman pada ketentuan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan UU nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, antara lain dikemukakan oleh FAISAL BANU, Penyidik tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Karanganyar, yang diwawancarai tanggal 24 Maret 2010 menyebutkan antara lain sebagai berikut :
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam proses Penyidikan Tindak Pidana Korupsi disebabkan oleh faktor internal, yaitu kurangnya atau terbatasnya personil kejaksaan sehingga menyebabkan problematika didalam penyidikan kasus korupsi. Di Kejaksaan Negeri Karanganyar sendiri hanya memiliki 11 orang jaksa penyidik, sedangkan pelaku tindak pidana korupsi semakin meningkat dari tahun ke tahun. Disamping itu juga terbatasnya pemahaman dan pengetahuan jaksa penyidik mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat diklasifikasikan sebagai kasus
commit to user 76
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
korupsi misalnya mengenai ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang atau jabatan. Faktor eksternal yaitu kurangnya informasi dari masyarakat mengenai tindak pidana korupsi. Masyarakat yang diharapkan bisa membantu dalam pengungkapan kasus korupsi justru terkadang malah menjadikan atau memberikan informasi yang kurang akurat. Karena didalam masyarakat kita selalu ada perkataan ewuh-pekewuh. Mereka cenderung selalu beranggapan bahwa tidak mungkin seseorang itu masuk penjara karena saya, padahal orang tersebut sudah sangat baik sama saya. Itulah yang menyebabkan juga terjadinya problematika dalam penyidikan. 2. Penyidikan perkara korupsi memang tidak mudah, selain jaksa dituntut harus memahami ketentuan perundang-undangan tindak pidana korupsi, jaksa juga harus dapat memahami ketentuan perundang-undangan lain yang berhubungan atau berkaitan dengan kasus yang terjadi. Misalnya dalam kasus pengadaan motor dinas oleh PEMDA, maka jaksa harus juga mengetahui seluk beluk tentang undang-undang yang berlaku dan tata cara pengadaan motor dinas tersebut. 3. Problem lain yang mempengaruhi dalam penyidikan tindak pidana korupsi adalah bahwa perkara korupsi pada umumnya sangat rumit atau kompleks karena selalu berkaitan dengan berbagai peraturan, berbagi instansi atau berbagai disiplin ilmu. Hal ini mempersulit upaya penentuan kualifikasi perbuatan tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi tidak mungkin dilakukan oleh satu orang tanpa melibatkan orang lain atau teman seprofesinya. Karena tindak pidana korupsi sendiri sudah termasuk kedalam kategori kejahatan yang terorganisir, yang tidak mungkin dilakukan oleh satu orang saja tanpa melibatkan orang lain. 4. Kurang lengkapnya sarana dan prasarana yang dimiliki oleh Kejaksaan seperti misalnya alat penyadap, senjata api, alat perekam, juga menjadikan salah satu problematika dalam penyidikan kasus korupsi yang di sidik oleh jaksa. 5. Pelaku atau subyek hukum perkara korupsi selalu mendapat perlindungan dari korps, atasan maupun rekan kerjanya, sehingga menyulitkan penyidik dalam mendapatkan data atau informasi yang terkait dengan perkara tersebut. Kasuskasus korupsi umumnya dilakukan oleh orang-orang yang profesional dalam
commit to user 77
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bidangnya, sehingga penyidikan harus dilakukan melalui pendekatan multi disiplin, baik dari segi perundang-undangan yang berlaku maupun petunjukpetunjuk teknis dilapangan. Hal ini tentu saja memerlukan waktu yang cukup lama, memerlukan kecermatan, ketelitian, serta analisa yang cukup mendalam. Problematika didalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi : 1. Dari segi perundang-undangan itu sendiri, yaitu dengan adanya dualisme kewenangan penyidikan antara Polisi dan Jaksa, sementara dalam KUHAP khususnya mengenai tahap-tahap dalam penyidikan juga terdapat problematika yang antara lain dan biasa terjadi adalah : a.
Problemetika dalam tahap pemanggilan saksi : saksi bertempat tinggal jauh, identitas saksi tidak lengkap / saksi tidak diketahui alamatnya secara jelas, saksi sudah tidak lagi bekerja di instansi tertentu (misal saksi bekerja dalam satu instansi yang terkait dengan kasus korupsi),
dan saksi tidak mau
memberikan keterangan. Dalam hal pemeriksaan saksi : yaitu ketika saksi lupa tentang peristiwanya, saksi tidak lagi memegang atau memiliki dokumen yang berhubungan dengan si pelaku korupsi, dan saksi sudah tidak lagi menjabat suatu jabatan yang ada relevansinya dengan perkara tersebut, saksi sakit atau meninggal dunia sehingga tidak bisa memberikan keterangan. b.
Pemanggilan dan pemeriksaan tersangka : -. Problematika dalam hal pemanggilan tersangka, antara lain : ketika tersangka tidak berada ditempat, ketika tersangka melarikan diri atau tersangka tidak mau memberikan keterangan. -. Dalam hal pemeriksaan tersangka problematikanya biasanya adalah tersangka tidak ada atau tersangka tidak mau diperiksa, dan tersangka memberikan keterangan yang berbelit-belit. Maka akan dilakukuan upaya paksa dengan membuat prosedur-prosedur penangkapan dan penangkapan hanya berlaku selama 24 jam.
c. Penggeledahan Prosedur ideal dari penggeledahan adalah minta ijin terlebih dahulu kepada ketua pengadilan negeri tentang akan dilaksanakannya proses penggeledahan.
commit to user 78
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Apabila sudah mendapatkan ijin maka langsung dilakukan penggeledahan. Tetapi apabila tidak mendapatkan ijin dari ketua pengadilan negeri setempat maka penggeledahan akan tetap dilakukan dengan mengacu pada ketentuan KUHAP pasal 34 ayat 1 dan 2. d. Penyitaan Penyitaan dilakukan ketika saksi/ penguasa tidak mau memberikan atau menyerahkan dokumen atau surat yang ada kaitannya dengan tindak pidana, si penyimpan dokumen dengan sengaja menyembunyikan atau memusnahkan dokumen tersebut. Tujuan dari penyitaan adalah : menjamin dokumen dalam posisi aman di tangan penyidik, sehingga pada saat diperlukan di sidang pembuktian dokumen tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti dipersidangan. e.
Penangkapan dan penahanan, biasanya problematika yang terjadi adalah : orang tersebut atau si tersangka telah melarikan diri, adanya perlawanan dari si tersangka maupun orang yang mendukungnya.
f.
Pemberkasan Dalam hal pemberkasan problematika yang dihadapi oleh jaksa adalah : Membutuhkan waktu ketelitian dan kecermatan didalam menyusun urutanurutan di dalam berkas.
2. Ketidakcermatan jaksa penyidik dalam menangani penyidikan kasus korupsi. Akibatnya, banyak proses penyidikan yang terhambat atau bahkan terhenti dan tidak terlaksana sebagaimana mestinya akibat ketidakcermatan jaksa. Banyaknya jaksa yang kurang cermat dalam menangani Penyidikan kasus korupsi, sehingga dalam proses penyidikannya pun memakan waktu yang cukup lama yang bisa berakibat si pelaku korupsi melarikan diri, bersembunyi disuatu tempat atau pelaku bahkan menghilangkan barang bukti hasil kejahatannya tersebut. Padahal harapan dari masyarakat pada umumnya Jaksa bisa secermat mungkin dalam menangani penyidikan kasus korupsi, sehingga pelaku korupsi tersebut bisa dijerat dengan pasal-pasal dan ketentuan yang berlaku.
commit to user 79
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Rancunya produk perundang-undangan yang berlaku misalnya Undang-undang nomor 32 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa pemeriksaan terhadap kepala daerah baru dapat dilakukan setelah mendapat ijin dari Presiden, sehingga proses penyidikan tindak pidana korupsi menjadi terhambat. Selain itu juga faktor intern lembaga
penegak
hukum
kurang
didukung
dengan
kemampuan
atau
profesionalitas, ketepatan, kecermatan dan kecepatan sumberdaya manusia dalam menyelesaikan penyidikan tindak pidana korupsi. adanya produk perundangundangan yang justru tidak mendukung penyidikan tindak pidana korupsi segera dapat dilakukan, antara lain surat ijin pemeriksaan bagi pimpinan atau kepala daerah atau institusi tertentu dari atasan langsung, adanya produk perundangundangan didaerah yang justru membuka peluang dan menghambat penyidikan tindak pidana korupsi, misalnya peraturan daerah (PERDA). 4. Kurang profesionalnya dari jaksa dan sumberdaya manusia yang terlibat dalam proses penyidikan perkara korupsi tersebut. Hal ini sangat berpengaruh terhadap proses penyidikan tindak pidana korupsi. seperti di katakan sebelumnya bahwa proses penyidikan tindak pidana korupsi memanglah tidak semudah yang dibayangkan, karena proses penyidikan perkara korupsi memang tidak mudah dilakukan karena disamping ketatnya prosedur birokrasi yang dilalui, minimnya informasi atau data awal untuk bisa dilakukan penyidikan juga disebabkan data yang sering hilan atau dihilangkan. Disamping itu juga kurang profesionalnya sumberdaya manusia sehingga mempengaruhi proses penyidikan tindak pidana korupsi. Disisi lain perkara-perkara korupsi sulit untuk dideteksi sehingga sulit juga untuk dilakukan penyidikannya, hal ini disebabkan canggihnya cara-cara yang ditempuh, baik yang menyangkut masalah pembukuan pertanggungjawaban dan pekerjaan fisik maupun non fisik. Terbatasnya jumlah personil penyidik dari kejaksaan atau sumberdaya manusia, kurangnya profesionalitas dan kemampuan jaksa merupakan kendala yang tersendiri yang erat kaitannya dengan proses penyidikan.
commit to user 80
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C.
PEMBAHASAN Fungsi
hukum
yang
diharapkan
adalah
melakukan
usaha
untuk
menggerakakn masyarakat agar bertingkah laku sesuai dengan cara-cara baru untuk mencapai suatu keadaan masyarakat sebagaimana yang dicita-citakan. Oleh karena hukum dapat diartikan sebagai cara untuk menyalurkan kebijakankebijakan yang telah diputuskan sebelumnya melalui perumusan kedalam bentuk perundang-undangan. Sehingga pada gilirannya kebijakan kebijakan tersebut dapat dikomunikasikan dengan jelas dan terbuka kepada masyarakat dan menjadi sandaran bagi masyarakat untuk melakukan pelbagai perbuatan hukum sebagaimana dalam rumusan kebijakan tersebut. Untuk dapat menunjukkan tujuan dimaksud, maka penuangannya kedalam bentuk hukum haruslah memenuhi persyaratan tertentu. Kegagalan mewujudkan salah satu nilai-nilai dalam masyarakat dapat menimbulkan hasil yang tidak sesuai dengan apa yang menjadi harapan dari isi peraturan tersebut. Sehingga pada gilirannya kekuatan-kekuatan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan lain sebagainya mulai dari tahap undang-undang, penegak hukum , faktor sarana atau fasilitas, faktor masyarakat dan faktor budaya. Sehingga pada gilirannya, setiap produk hukum diterbitkan tidak dapat dilihat secara formal semata, melainkan lebih dari itu. Oleh karena hukum berada dalam bagian kehidupan sosail, bukan berada diruang hampa. Demikian pula dalam penerapan hukum (produk hukum) dimaksud, kekuatan-kekuatan sosial mempunyai pengaruh yang sangat besar. Terlebih untuk dapat diterimanya suatu hukum dengan penerapan hukum yang maksimal, maka Gustav Radbruch dalam Esmi warassih menyebutkan49 adanya tiga nilai dasar yang ingin dikejar dan perlu mendapat perhatian serius dari para pelaksana hukum, yaitu nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Oleh karena hukum merupakan bagian dari sistem-sistem yang ada seperti sosial, politik, ekonomi, maka bekerjanya hukum tidak bisa dipisahkan dari masyarakat sebagai basis bekerjanya hukum tersebut. Sehingga dengan demikian 49
Ibid, hal 13
commit to user 81
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hukum itu mempunyai 2 (dua) sisi, yaitu sisi nilai/ide/keadilan, kedua sisi kenyataan sehari-hari (realitas sosial). Akibat sering terjadi ketegangan, disaat hukum diterapkan. Ketika hukum yang sarat dengan nilai hendak diwujudkan, maka ia harus berhadapan dengan berbagai macam faktor yang mempengaruhi dari lingkungan sosialnya.50 Untuk menganalisa permasalahan sebagaimana dalam tesis ini, maka penulis akan berpedoman kepada teori Soerjono Soekanto yang dikenal dengan teori penegakan hukum yaitu undang-undang, penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan. Sehingga pada gilirannya akan diketahui jawaban dari perumusan masalah yang penulis kemukakan yaitu mengenai problematika yang dihadapi Jaksa dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi serta Upaya-Upaya apa saja yang dilakukan jaksa dalam menghadapi problematika tersebut.
1.
Problematika Yang Dihadapi Jaksa dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Korupsi a. Undang-undang Undang-undang dalam arti materiel adalah51 peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah. Dengan demikian, maka Undang-undang dalam meteriel (selanjutnya disebut undang-undang) mencakup : • Peraturan pusat yang berlaku untuk semua warga negara atau suatu golongan tertentu saja maupun yang berlaku umum disebagian wilayah negara. • Peraturan setempat yang hanya berlaku di suatu tempat atau daerah saja. Hukum dalam bentuk peraturan adalah perwujudan dari kebijakan publik penguasa, dan kebijakan itu sendiri merupakan proses politik. Hukum
50
Pramudya. Op, cit. hlm. 6 Purbacaraka dan Soerjono soekanto, 1979, dalam soerjono soekanto, faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, PT. Raja Grafindo, hlm 11 51
commit to user 82
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
adalah produk politik, karena fungsi dan peran hukum sangat dipengaruhi dan seringkali diintervensi oleh kekuatan-kekuatan politik. Dalam hal pembuatan suatu produk hukum, dalam kenyataannya seringkali merupakan aspirasi dari kelompok elit menuju kelompok massa, dikarenakan nilai-nilai yang dianut oleh kelompok elit dimaksud tidaklah sama dengan nilai-nilai yang dipahami oleh kelompok massa. Meskipun dalam perkembangannya konsep dimaksud seringkali diterobos dengan adanya
konsep
legalitas
dari
kompromi
kelompok-kelompok
yang
berkepentingan, meskipun pada gilirannya hal tersebut belumlah dapat dikatakan adanya suatu jaminann dalam menjawab kebutuhan keadilan rakyat yang sesungguhnya. Bila dilihat hukum sebagai suatu bentuk perundang-undangan, maka dapat disebutkan bahwa hukum merupakan produk politik. Oleh karena hukum sebagai produk politik, maka Mahfud MD dan Benny K Harman memandang hukum dari sisi yuridis sosio-politis, yaitu adanya keterkaitan erat antara hukum dan politik dengan menghadirkan sistem politik sebagai variabel yang mempengaruhi rumusan dan pelaksanaan hukum. Sehingga proses dan konfigurasi politik sangat mempengaruhi karakter produk hukum dan karakter kekuasaan kehakiman52. Untuk dapat mewujudkan tujuan yang telah diputuskan dalam suatu bentuk peraturan perundang-undangan, maka penuangannya kedalam bentuk hukum dimaksud haruslah memenuhi persyaratan tertentu. Lon. L Fuller dalam Esmi warassih menyebutkan haruslah dicermati apakah peraturan tersebut memenuhi 8 (delapan) asas atau princples of legality berikut ini : 1. Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan artinya tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc. 2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat tersebut harus diumumkan. 3. Peraturan tidak boleh berlaku surut. 4. Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti. 52
Moh. Mahfud MD. 1998. Politik hukum di Indonesia, Jakarta : LP3ES. Hlm 5-8
commit to user 83
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5. Suatu sisitem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain. 6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dilakukan. 7. Peraturan tidak boleh sering dirubah-rubah. 8. Harus ada kecocokoan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaan sehari-hari. Dari pasal 284 ayat (2) KUHAP dapat ditarik kesimpulan bahwa ada dua macam perkara yang wewenang penyidikannya berbeda, yaitu perkara yang terdapat aturan khusus acara pidananya yang diatur dalam undang-undang tertentu. Terhadap perkara semacam ini untuk sementara waktu tidak diberlakukan ketentuan dalam KUHAP. Adapun macam kedua adalah perkara-perkara pidana pada umumnya yang harus mengikuti ketentuan dalam KUHAP. Pasal 284 ayat (2) menyebutkan bahwa : " Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut dalam undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi". Sementara dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan, yang dimaksud dengan ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undangundang tertentu "ialah ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada, antara lain : Undang-undang tentang pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi ( undang-undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955). Undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (Undang-undang nomor 3 tahun 1971), dengan catatan bahwa semua ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut dalam Undang-undang tertentu akan ditinjau kembali, diubah atau dicabut dalam waktu sesingkatsingkatnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terhadap perkara-perkara pidana yang tidak diatur dalam undang-undang tertentu yang ketentuan acara
commit to user 84
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pidananya berbeda (seperti perkara korupsi, subversi, ekonomi dan sebagainya), maka semua ketentuan KUHAP berlaku, termasuk dalam wewenang penyidikan. Dalam soal ini, dapat diambil contoh masalah siapa yang berwenang melakukan penyidikan. Menurut pasal 6 KUHAP, seperti telah diuraikan diatas, penidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan atas perkaraperkara pidana umum seperti itu. Wewenang jaksa terutama adalah penuntutan tetapi dalam perkara korupsi Jaksa dapat juga langsung melakukan penyidikan. Ketentuan khusus acara pidana telah dijelaskan pada penjelasan resmi pasal 284 ayat (2) KUHAP sebagaimana telah dikemukakan di atas. Hal ini diperjelas lagi oleh Peraturan Pemerintah nomor 27 Tahun 1983. Pasal 17 peraturan pemerintah tersebut mengatur : "Penyidik menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa dan pejabat penyidik yang berwenag lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan". Jadi disini terdapat dualisme kewenangan antara Polisi dan jaksa. Dalam kasus korupsi Polisi dan jaksa sama-mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan. Hal ini didasarkan pada ketentuan yang berlaku dalam undang-undang. Adapun argumentasi mengapa pihak kepolisian berwenang melakukan penyidikan terhadap perkara tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut: 1) Bahwa melalui visi dari jawaban pemerintah atas Pandangan Umum para anggota DPR-GR mengenai rancangan mana diusulkan agar kata "penyidik" pada pasal 5 diganti dengan kata "Jaksa" sesuai dengan pasal 4 dan 6 Undang-Undang Nomor : 24 Prp 1960, maka jawaban pemerintah dengan tegas menentukan bahwa karena kewenangan dalam pasal 11,12 dan 13 Randangan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi itu menurut Undang-
commit to user 85
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang ketentuan-ketentuan Pokok kepolisian "Negara terdapat pula pada kepolisian negara, maka dipakai kata "penyidik". Sedangkan pengganti kata "penyidik" oleh "Jaksa" dalam pasal-pasal yang bersangkutan ini akan menimbulkan kesan seolah-olah jaksalah yang mempunyai wewenang itu". 2) Bahwa berdasarkan Keputusan Kapolri NOPOL KEP/14/XII/93 dan NOPOL Skep/15/XII/93 tanggal 13 Desember 1993 tentang penyempurnaan Pokok Organisasi dan Prosedur beserta susunan personalia dan perlengkapan badan pada tingkat kewilayahan Polri dan Ditserse Polisi Nopol TR/211A/VI/95 tanggal 21 April tentang pembentukan bagian Reserse Tindak Pidana Korupsi pada tingkat Polda besrta unit-unit Reserse Tindak Pidana Korupsi kepada tingkat Polres/Polresta dimana ditentukan bahwa pada tingkat Polda dibentuk Kepala bagian Tindak Pidana Korupsi (Kabag Tipikor) dibawah Kadit Serse sedang pada tingkat Polres/Polresta dibertuk unit Tipikor dibawah Kasatserse. 3) Ketentuan pasal 14 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 28 tahun 1997 (LNRI 1997 Nomor 81, TLNRI Nomor 3710) tanggal 7 Oktober 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menentukan bahwa Kepolisian Negara Repunlik Indonesia yang menerangkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Peraturan perundang-undangan lainnya. Sedangkan mengenai asumsi dasar bahwa pihak Kejaksaan berhak melakukan penyidikan perkara tindak pidana korupsi didukung argumentasiargumentasi sebagai berikut : 1) Bahwa sebagia bagian dari hukum pidana khusus (ius singulare, ius specialle/bijzonder strafrech), maka modus operandi dan aspek pembuktian tindak pidana korupsi harus ditangani secara lebih spesifik, sehingga dibutuhkan keterampilan dan profesionalisme tertentu.
commit to user 86
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2) Pasal 284 ayat (2) KUHAP jo. Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983. 3) Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN jo. Instruksi Presiden Nomor 30 Tahun 1998 tanggal 2 Desember tentang Pemberantasan KKN, yang berisi antara lain : Pertama segera mengambil tindakan pro aktif, efektif dan efisien dalam memberantas koruspi, kolusi dan nepotisme guna memperlancar dan meningkatkan
pelaksanaan
pembangunan
nasional
dalam
rangka
terwujudnya nasional bangsa Indonesia. 4) Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tanggal 19 Mei 1999 tentang penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN, yang berisi antara lain kewenangan Jaksa sebagai penyidik tercantum dalam pasal 1, 12, 17, 18, 20, 21, dan 22 beserta penjelasannya. 5) Keputusan Presiden Nomor 86 tahun 1999 Tanggal 30 Juli 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI, dimana dalam pasal 17 disebutkan: " Jaksa agung Muda Tindak Pidana khusus mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan tambahan, penuntutan, pelaksanaan penetapan hakim dan putusan pengadilan, pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat dan tindakan hukum lain mengenai tindak pidana ekonomi, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana khusus lain berdasarkan peraturan perundangundangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung". 6) Undang-undang Nomor 32 Tahun 1999 tanggal 16 Agustus 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana dalam pasal 27 disebutkan : " Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dibentuk Tim gabungan dibawah koordinasi Jaksa agung". Akan tetapi justru Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi, memberikan kewenangan kepada Jaksa untuk melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana korupsi. Alasan yuridis yang mendasari kewenangan Jaksa melakukan penyidikan
commit to user 87
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tindak Pidana Korupsi dapat ditafsirkan di dalam Pasal 39 ayat (1), pasal 44 ayat (3),(4), dan pasal 50.
b. Penegak Hukum / Birokrat Sebagai fenomena sosial, hukum tidak berdiri sendiri, tetapi bertautan dengan subsistem lainnya. Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa tatanan hukum dibangun diantara dua rentang tatanan lainnya, yaitu tatanan kesusilaan dan tatanan kebiasaan. Meskipun tatanan hukum tidak sepenuhnya cerminan dari tatanan kebiasaan atau realitas sosial (law as mirro of sociey), namun hukum belum sepenuhnya dapat melepaskan diri dari tatanan kebiasaan. Dengan ungkapan lain, proses penjauhan dan pelepasan diri dari tatanan kebiasaan belum berjalan secara seksama53. Di sisi lain, penerapan suatu sistem hukum yang tidak berasal atau ditumbuhkan dari kandungan masyarakat merupakan masalah, khususnya dinegara-negara yang sedang berubah karena terjadi ketidaksesuaian antara nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem hukum dari negara lain dengan nilai-nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat itu sendiri. Robert Seidman menyatakan hukum menyatakan para pemegang peran mampu memberikan motifasi, baik yang berkehendak untuk meyesuaikan diri dengan norma (conform) maupun yang berkehendak untuk menyesuaikan diri dengan keharusan norma (nonconform)54. Seorang penegak hukum, sebagaimana halnya dengan warga masyarakat lainnya, lazimnya mempunyai beberapa kedudukan dan peranan sekaligus. Dengan demikian tidaklah mustahil, bahwa antara pelbagai kedudukan dan peranan timbul konflik (status conflik dan conflik of roles). Kalau didalam kenyataannya terjadi suatu kesengajaan antara peranan yang
53 54
Satjipto Rahardjo, 2006. Loc,cit. hlm.17. Ibid, hlm. 42
commit to user 88
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
seharusnya dan peranan yang sebenarnya dilakukan atau peranan aktual, maka terjadi suatu kesengajaan peranan (role-distance). Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapatkan pengertian dari golongan sasaran, disamping mampu membawakan atau menjalankan peran yang dapat diterima oleh mereka. Kecuali dari itu, maka golongan panutan harus dapat memanfaatkan unsur-unsur pola tradisional tertentu, sehingga menggairahkan partisipasi dari golongan sasaran atau masyarakat luas. Halangan-halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari golongan panutan atau penegak hukum, mungkin berasal dari dirinya sendiri atau dari lingkungan. Halangan-halangan yang memerlukan penanggulangan tersebut, adalah : 1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi. 2. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi. 3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi. 4. Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material. 5. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme. Dari uaraian tersebut dapat di temukan adanya problematika dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi yang berasal dari penegak hukum yaitu :
commit to user 89
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Terdapatnya penghentian Penyidikan Alasan penghentian penyidikan disebutkan dalam pasal 109 ayat (2) KUHAP, meliputi : a. Tidak terdapat cukup bukti. Apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka jika diajukan kedepan sidang pengadilan. Atas dasar ketidak cukupan bukti inilah penyidik berwenang melakukan penghentian penyidikan. Ditinjau dari satu segi pemberian wewenang ini membina sikap mental penyidik untuk tidak secara serampangan mengajukan begitu saja segala hasil penyidikan yang telah dilakukan. Penyidik diharapkan lebih selektif mengajukan setiap kasus yang mereka periksa, apakah cukup bukti atau tidak sebelum perkara dilimpahkan kapada Penuntut Umum. b. Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana. Apabila dari penyidikan dan pemeriksaan, penyidik berpendapat bahwa apa yang disangkakan terhadap tersangka bukan merupakan perbuatan pelanggaran dan kejahatan, dalam hal ini berwenang melakukan penghentian penyidikan. Atau tegasnya, jika apa yang disangkakan bukan kejahatan maupun pelanggaran yang termasuk kompetensi peradilan umum, jika tidak merupakan pelanggaran dan kejahatan seperti yang diatur dalam KUHp atau dalam peraturan perundang-undangan tindak pidana khusus yang termasuk dalam ruang lingkup wewenang peradilan umum, penyidikan beralasan untuk dihentikan. Hal tersebut justru merupakan keharusan bagi penyidik untuk menghentikan pemeriksaan penyidikan. c. Penghentian penyidikan demi hukum
commit to user 90
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penghentian penyidikan atas dasar alasan demi hukum pada pokoknya sesuai dengan alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana yang diatur dalam Bab VIII Kitab Undangundang Hukum Pidana sebagaimana yang dirumuskan dalam ketentuan pasal 76, 77, 78, antara lain : (1) Nebis in idem, seseorang tidak dapat lagi dituntut untuk yang kedua kalinya atas dasar perbuatan yang sama, terhadap mana atas perbuatan itu orang yang bersangkutan telah pernah diadili dan telah diputus perkaranya oleh Hakim atau pengadilan yang berwenang untuk itu di indonesia, serta putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (2) Tersangka meninggal dunia (pasal 77 Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Dengan meninggalnya tersangka, dengan sendirinya penyidikan harus dihentikan. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal pada abad modern, yakni kesalahn tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang adalahh menjadi
tanggung
jawab
sepenuhnya
dari
pelaku
yang
bersangkutan. (3) Karena kadaluwarsa, seperti yang dijelaskan dalam pasal 78 KUHP, apabila telah dipenuhi tenggang waktu penutupan seperti yang diatur dalam pasal 78 KUHP dengan sendirinya menurut hukum penuntutan terhadap pelaku tindak pidana tidak boleh lagi dilakukan. 2. Kurang Profesionalnya Jaksa Kejaksaan Negeri karanganyar dinilai kurang profesional dalam menjalankan tugasanya dalam menangani kasus korupsi. Hal ini dapat dilihat dalam kasus dugaan korupsi dana peningkatan kerja DPRD kabupaten Karanganyar senilai 450 juta. Berkas perkara dari Polres karanganyar sempat dikembalikan sampai lima kali. Padahal menurut
commit to user 91
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Purwanto selaku kepala Pengadilan Negeri Karangnyar mengemukakan bahwa pihaknya sebagai aparat penegak hukum menilai Kejaksaan Negeri karangnyar tidak profesional dalam menangani kasus dugaan korupsi tersebut. Menurut dia semua kasus harua ada akhirnya, dan tidak bisa dikatung-katungkan begitu saja55. Selain itu masih adanya yang masih bisa disuap.
3. Terbatasnya jumlah personil penyidik dari kejaksaan. Adanya keterbatasan jumlah personil penyidik Kejaksaan menjadikan suatu problematika dari penyidikan, karena proses penyidikan yang diharapkan bisa segera selesai dilaksanakan tetapi karena kurangnya jumlah personil penyidik maka proses penyidikan tidak bisa selesai dengan cepat. Sebagaimana diketahui bahwa jumlah anggota penyidik kejaksaan karanganyar sendiri hanya 11 orang, padahal di setiap tahun kasus korupsi yang terjadi di Kabupaten karanganyar lebih dari 10 kasus. Hal ini menyebabkan terjadinya beban berat dalam proses penyidikan sehingga penyidikan berjalan dengan lambat atau bahkan penyidikan kasus korupsi teresbut berhenti ditempat. 4. Manajemen sumber daya manusia Sebagai penyidik, kurang profesionalitas dan terspesialisasi, kecermatan dan kecepatan suatu tim dalam menyelesaikan penyidikan suatu kasus yang dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana korupsi didukung dengan kemampuan masing-masing individu penegak hukum atau petugas. Jadi diharapkan agar penyidik tindak pidana korupsi tersebut benar-benar merupakan seseorang yang profesional, tepat dan cermat dalam menangani penyidikan kasus korupsi.
55
Purwanto, Kompas, 24 Oktober 2003
commit to user 92
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Faktor Sarana atau Fasilitas. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana tersebut antara lain mencakup, tenaga manusiia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi, maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya. 1. Kurangnya sarana dan prasaran yang dimiliki oleh Kejaksaan Adanya sarana dan prasarana yang belum memadai, ketepatan, kecermatan, dan kecepatan suatu tim penyidik dalam meyelesaikan proses penyidikan suatu kasus, selain tergantung pada tingkat profesionalisme dan spesialisasi masing-masing individu juga memerlukan dukungan sarana dan prasarana yang memadai yang dapat menunjang keberhasilan dan kecepatan proses penyidikan. Sarana dan prasarana yang dimaksud antara lain adalah seperti ruang kerja yang memadai, kendaraan operasional, alat perekam, alat penyadap, kamera foto, komputer akses internet, foto kopi, video. Kerena sepanjang pengetahuan penulis ketika melaksanakan
penelitian,
Kejaksaan
Negeri
Karanganyar
belum
dilengkapi dengan komputer yang berakseskan internet juga belum dilengkapi dengan foto kopi.
4. Faktor Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk
mencapai kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum
commit to user 93
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tersebut. Masyarakat Indonesia mempunyai kecendrungan yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah, bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola prilaku penegak hukum tersebut. Seseorang dapat diharapkan atau bertingkah laku sesuai dengan perubahan yang dikehendaki oleh hukum. Bilamana tidak adanya komunikasi tentang makna peraturan, maka setidaknya masyarakat tetap bertingkah laku sesuai dengan apa yang telah menjadi pandangan dan ataupun nilai-nilai yang telah melembaga. Oleh karena komunikasi hukum merupakan salah satu faktor dalam membentuk pemahaman, penerimaan dan penataan masyarakat pada isi Undang-undang. Dalam hal ini setidaknya B. Kutschincky sebagaimana dalam soerjono Soekanto56 menyebutkan adanya 3 (tiga) indikator dalam hal kesadaran hukum yaitu : 1. Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum (law awarenes) 2. Pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum (law acquintance) 3. Pola-pola perikelakuan (legal behavior). Untuk memasukkan nilai-nilai baru ke dalam masyarakat memerlukan perubahan sikap dari anggota-anggota masyarakat. Oleh karena hukum yang dipakai sebagai sarana untuk merubah tingkah laku tentunya mengandung nilai-nilai yang telah dipahami benar oleh masyarakat. Oleh WJ. Chambliss dan RB. Seidman menyebut bahwa adressat hukum sebagai pemegang peran, yang diminta untuk memenuhi peran sebagaimana yang diharapkan dalam hukum tersebut. Meskipun dalam pencapaian peran yang diharapkan tersebut terdapat ketidak cocokkan dengan peran yang dilakukan. Oleh karena hukum mempunyai suatu fungsi 56
Soerjono Soekanto, op.cit hlm 159
commit to user 94
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalam masyarakat, maka hukum merupakan lembaga yang bekerja dimasyarakat. Dalam hal ini dapat dilibatkan sikap individu anggota masyarakat terhadap pemahaman dimaksud, sehingga berhasil tidaknya penerapan yang telah dituangkan dalam bentuk hukum itu dapat dilihat dari pemahaman yang melatar belakanginya. Mengacu Soerjono Soekanto, maka apabila dikaitkan fakta dari hasil penelitian maka akan didapat sebuah problematika penyidikan yang muncul dari masyarakat, yaitu : a. Pelaku (subyek hukum) dilindungi Korps, atasan atau temen-temannya. Pada umumnya kasus-kasus yang berkualifikasi tindak pidana korupsi ada saling keterkaitan, baik dengan organisasi, atasan maupun dengan teman-teman pelaku. Sering terungkap bahwa suatu kasus korupsi dilakukan berdasarkan kebijaksanaan organisasi atau atasan atau juga memang merupakan kerjasama atau kolusi antar atasan dan pelaku atau antara pelaku dengan teman-teman seorganisasinya. Untuk menjaga nama baik organisasi atau untuk melindungi kepentingan atasan itu sendiri. Pelaku sering menggunakan cara-cara untuk mengaburkan kasus atau perkara korupsi baik dalam bentuk psikis maupun fisik, berupa ancaman melalui surat maupun telpon, pemberitaan negatif, unjuk rasa kepada para penegak hukum. b. Masyarakat cenderung juga melindungi si pelaku korupsi. hal itu didasarkan masih adanya perkataan ewuh-pekewuh dalam masyarakat kita yang mana masyarakat diharapkan dapat membantu proses penyidikan tetapi karena alasan suatu hal dan ewuh-pekewuh dari sekelompok masyarakat yang mengetahui adanya Tindaka Pidana Korupsi tadi proses penyidikan tindak pidana korupsi tidak bisa segera dilaksanakan dan akhirnya terpaksa mengalami sebuah problematika yang panjang.
commit to user 95
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
d. Ada juga masyarakat yang melaporkan tentang terjadinya Tindak Pidana Korupsi. Seperti hasil wawancara penulis dengan warga masyarakat "…terhadap kasus-kasus yang menyangkut indikasi penyelewengan keuangan negara termasuk tindak pidana khusus seperti korupsi, kami memasukkan pengaduan atau aopran secara tertulis pada kejaksaan setempat, sedangkan terhadap kasus-kasus tindak pidana umum kami melaporkannnya kepada kepolosian…" (Wawancara tanggal 30 dan 31 Agustus 2010). Seperti yang terdapat didalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi masyarakat dapat berperan serta membantu upaya dan pemberantasan tindak pidana korupsi, peran serta masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk : 1. Hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi. 2. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi. 3. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 hari. 4. Hak untuk memperoleh pelayanan dalam reformasi adanya dugaan telah terjadinya tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi. 5. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum
Jadi, faktor budaya masyarakat disini tidak selalu cenderung melindungi si pelaku korupsi tetapi juga melaporkan telah terjadinya suatu tindak pidana korupsi. Masyarakat yang cenderung melindungi pelaku tindak
commit to user 96
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pidana korupsi umumnya adalah masyarakat yang mempunyai hubungan dengan si pelaku saja.
5. Faktor Kebudayaan
Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatu padu dengan faktor
masyarakat
sengaja
dibedakan,
karena
didalam
pembahasannya
diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non materiel. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan. Kebudayaan (system) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Dengan mendasarkan kepada teori penegakan hukum dari Soerjono Soekanto, maka faktor kebudayaan yang dimaksud adalah budaya hukum dari masyarakat tersebut adalah : 1. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman. 2. Nilai jasmani/kebendaan dan nilai rohani/keakhlakan. 3. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme. Untuk membangun budaya hukum atau membuat hukum lebih bertenaga (empowerment hukum) di masyarakat perlu adanya :
commit to user 97
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Melihat hukum sebagai causa (penyebab) dengan ini maka hukum diciptakan untuk mengubah masyarakat untuk menjadi lebih baik. Dengan demikian hukum akan dilihat sebagai suatu mekanisme untuk melakukan perubahan. 2. Melihat hukum positif dalam perpektif agama sebagai sesuatu yang baik dan harus ditaati. Dengan ini kita tidak menganggap hukum yang berlaku di masyarakat semata-mata ciptaan manusia yang selalu salah, namun melihat bahwa hukum itu adalah subordinasi dari hukum Tuhan yang diciptakan sebagai perpanjangan hukum Tuhan yang saling terkait. 3. Menganggap bahwa jika kita mencederai hukum maka kita mencederai manusia lain, jika kita mencederai manusia lain maka kita juga mencederai Tuhan. 4. Melihat diri kita pribadi sebagai cermin dari aparat hukum (bukan berarti dengan demikian lalu main hakim sendiri) tetapi dengan berfikir caracara aparat kita akan selalu berusaha untuk menjadi contoh keteladanan. Sebagai aparat hukum tentunya kita akan aware bahwa kita harus selalu berperilaku dalam koridor ketentuan hukum.
2.
Upaya-upaya
yang
dapat
dilakukan
Jaksa
Untuk
Mengatasi
Problematika Tersebut Di Indonesia masalah korupsi sepertinya tidak pernah berakhir melanda kehidupan masyarakat Indonesia. Dari awal Negara Republik Indonesia berdiri hingga saat ini, pemerintah dan masyarakat senantiasa disibukkan dalam urusan pemberantasan kejahatan korupsi. Cukup banyak peraturan perundang-undangan pemberantasan korupsi yang dibuat dan berganti dalam kurun waktu keberadaan negara ini. Berturut-turut peraturan perundang-undangan silih berganti, mulai dari KUHP, peraturan Penguasa militer Nomor : PRT/PM/06/1957 tertanggal 9
commit to user 98
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
April
1957,
Peraturan
Penguasa
Perang
Pusat
Nomor
:
PRT/PEPERPU/013/1958 tertanggal 16 April 1957, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor : 24 tahun 1960 (yang disahkan menjadi undang-undang berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961), Undangundang Nomor 3 tahun 1971, Undang-undang Nomor 31 tahun 1999, Undangundang Nomor 20 tahun 2001 sampai dengan terakhir Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setiap pergantian atau perubahan perundang-undangan senantiasa didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan bahwa korupsi telah banyak merugikan keuangan dan perekonomian negara, perundang-undangan yang ada tidak lagi efektif memberantas tindak pidanna korupsi yang semakin meningkat dan kompleks. Akan tetapi anehnya, setiap pergantian atau perubahan atas perundang-undangan pemberantasan tindak pidana korupsi, senantiasa terjadi pada masa-masa peralihan situasi politik. Apakah hal itu secara kebetulan atau sengaja dijadikan isu politik untuk men-“suci”-kan diri bagi pemerintah yang sedang berkuasa ataupun pihak-pihak yang ingin berkuasa, tidak dapat diketahui dengan pasti. Namun yang jelas, setiap kali terungkap kasus-kasus korupsi yang besar, segera menyentakkan dan meresahkan masyarakat. Selanjutnya diikuti dengan peningkatan tuntutan masyarakat agar kasus-kasus korupsi dimaksud segera diselesaikan melalui proses peradilan. Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 didasarkan pada alasan-alasan sebagaimana dapat dicermati dalam Penjelasan Umum Undang-undang tersebut yang menyatakan bahwa penegakan hukum untuk pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan berbagai metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, indepanden serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantsan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya secara optimal, intensif, profesional serta berkesinambungan.
commit to user 99
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Mengingat pemberantasan tindak pidana korupsi selama ini sudah dilaksanakan oleh lembaga Kejaksaan, maka menerik untuk dikaji, sejauh mana peranan kejaksaan dalam pelaksanaan penegakan hukum setelah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) terbentuk. Upaya-upaya yang telah dilaksanakan khususnya oleh Kejaksaan dalam mengatasi kendala-kendala atau problematika tersebut diatas demi tegaknya hukum dan lancarnya pemberantasan tindak pidana korupsi adalah : a.
Kejaksaan jika telah menangani suatu kasus tindak pidana korupsi, maka sebaiknya diberi tembusan surat perintah penyelidikan/penyidikan kepada Kapolres dan / atau Kapolda, agar tidak terjadi tumpang tindih. Demikian pula sebaliknya jika penyidik Polri mulai menangai suatu tindak pidana korupsi, maka harus diupayakan agar Surat Pemberitahuan dimulainya Penyidikan sesegera mungkin dikirim ke Kejaksaan dengan Tembusan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Setempat.
b.
Aparat Kejaksaan harus bekerja secara independen tanpa intervensi atau dipengaruhi oleh lembaga lain, sehingga hasil penyidikan dan penuntutan murni mengacu kepada undang-undang yang berlaku.
c.
Penanganan kasus-kasus tindak pidana korupsi diselesaikan secara CTT (cepat, tepat dan tuntas). Cepat artinya tidak berlarut-larut; Tepat artinya sesuai pedoman yang ada (profesional), dan Tuntas tidak menimbulkan masalah-masalah yang baru yaitu mempercepat penyidikan dalam waktu 3 bulan sudah harus dilimpahkan ke Pengadilan dan adanya pengendalian serta pengawasan dari pejabat struktural yang terkait seperti Asisten Tindak Pidana Khusus / Kepala kejaksaan Negeri / kepala Seksi Tindak Pidana Khusus dalam kegiatan penyidikan dan kegiatan penuntutan.
d. Jaksa Penyidik dari kejaksaan dalam melakukan penyidikan berusaha meminta kepada pembuat undang-undang untuk membenahi sistem perundang-undangan yang ada. Karena tanpa adanya sistem perundangundangan yang baik, maka proses penyidikan tindak pidana korupsi tidak akan bisa berjalan sebagaimana yang diharapkan. Seperti kita ketahui bahwa
commit to user 100
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang bersifat luar biasa atau extraordinary crime atau biasa juga disebut dengan kejahatan kerah putih. Dimana korupsi sendiri merupakan kejahatan yang dilakukan oleh orangorang yang berkuasa atau Pejabat Tinggi Negara. e. Mempersiapkan para penegak hukum untuk mempunyai keahlian khusus dalam menangani tindak pidana korupsi, memberikan pengetahuan tentang penguasaan hukum dan peraturan-peraturan tindak pidana korupsi kepada petugas-petugas yang menangani tindak pidana korupsi. Misalnya dengan mengadakan pendidikan Jaksa Tindak Pidana Korupsi, sehingga ada Jaksa Khusus dalam menangani tindak pidana korupsi. Mengadakan penataran kepada petugas-petugas yang terkait dalam penanganan tindak pidana korupsi untuk lebih menguasai peraturan tindak pidana korupsi. Mengadakan pertemuan-pertemuan antara sesama penegak hukum dan instansi yang terkait, untuk mendapatkan kesatuan persepsi dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi. f. Jaksa penyidik tindak pidana korupsi memberikan bimbingan kepada masyarakat umum agar melaporkan setiap pelaku kejahatan tindak pidana korupsi yang mereka ketahui, jangan berusaha melindungi si pelaku korupsi dengan berbagai alasan. Sebagaimana kita ketahui bahwa peran serta masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana korupsi sangatlah penting, mengingat bahwa, pertama, banyak pejabat penegak hukum yang masih ada hubungan dengan pelaku korupsi pada masa sebelumnya. kedua, hukum (pidana)
mempunyai
kemampuan
terbatas
sebagai
sarana
untuk
menanggulangi kejahatan (korupsi). g. Dalam rangkaian tahap penyidikan upaya-upaya yang dilakukan oleh Jaksa Penyidik adalah : •
Dalam hal pemanggilan saksi Apabila saksi bertempat tinggal jauh maka harus dipersiapkan panggilan jauh-jauh hari sebelumnya dengan menggunakan sarana tercepat. Apadila identitas saksi tidak diketahui secara jelas maka
commit to user 101
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
jaksa penyidik memnita info kepada orang yang relevan dan bila saksi tidak bekerja di suatu instansi tertentu maka akan disisir dari nama kota untuk mengetahui secara pastidimana saksi tinggal, misal dikelurahan ditanyakan kepada Kepala Desa, RT, atau RW setempat. •
Pemanggilan dan pemeriksaan tersangka Apabila
tersangaka
tidak
berada
ditempat
maka
penyidik
memberikan tenggang waktu kepada tersangka dan apabila tersangka berusaha melarikan diri maka akan dilakukan upaya paksa, tetapi apabila tersangka memberikan keterangan yang berbelit-belit mak penyidik tidak akan memaksa tersangka karena itu merupakan hak ingkar dari tersangka yang harus dihargai. •
Penggeledahan Prosedur ideal dari penggeledahan adalah meminta ijin kepada ketua pengadilan negeri setempat, dan setelah itu langsung dilakukan penggeledahan.
Apabila
tidak
mendapatkan
ijin
dari
ketua
pengadilan maka akan tetap dilakukan penggeledahan oleh penyidik dari kejaksaan. •
Penyitaan Penyitaan dilakukan untuk mengamankan barang bukti. Dapun tujuan dari penyitaan adalah untuk menjamin barang bukti dalam posisi aman ditangan penyidik, sehingga pada saat diperlulan disidang
pembuktian
dapat
digunakan
sebagai
alat
bulti
dipersidangan. •
Penangkapan dan penahanan Dalam hal tersangka melarikan diri maka maka membutuhkan waktu yang lama untuk bisa dilakukan penahanan karena harus dilakukan terlebih dahulu pencarian terhadap tersangka ke rumahnya atau ketempat dia bekerja, apabila tidak ditemukan juga maka akan
commit to user 102
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dimasukkan kedalam daftar DPO, jika ketemu maka tersangka langsung ditangkap. •
Pemberkasan Upaya jaksa dalam hal pemberkasan adalah bahwa Jaksa akan lebih teliti dan cermat supaya pemberkasan yang dilakukan tidak terjadi kesalahan.
commit to user 103
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN Dari hasil penelitian dan pembahasan terhadap masalah yang dada, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Problematika Yang Dihadapi Jaksa Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi a. Undang-Undang Adapun argumentasi mengapa pihak kepolisian berwenang melakukan penyidikan terhadap perkara tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut: 1) Bahwa melalui visi dari jawaban pemerintah atas Pandangan Umum para anggota DPR-GR mengenai rancangan mana diusulkan agar kata "penyidik" pada pasal 5 diganti dengan kata "Jaksa" sesuai dengan pasal 4 dan 6 Undang-Undang Nomor : 24 Prp 1960, maka jawaban pemerintah dengan tegas menentukan bahwa karena kewenangan dalam pasal 11,12 dan 13 Randangan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi itu menurut UndangUndang Nomor 13 Tahun 1961 tentang ketentuan-ketentuan Pokok kepolisian "Negara terdapat pula pada kepolisian negara, maka dipakai kata "penyidik". Sedangkan pengganti kata "penyidik" oleh "Jaksa" dalam pasal-pasal yang bersangkutan ini akan menimbulkan kesan seolah-olah jaksalah yang mempunyai wewenang itu". 2) Bahwa berdasarkan Keputusan Kapolri NOPOL KEP/14/XII/93 dan NOPOL Skep/15/XII/93 tanggal 13 Desember 1993 tentang penyempurnaan Pokok Organisasi dan Prosedur beserta susunan personalia dan perlengkapan badan pada tingkat kewilayahan Polri dan Ditserse Polisi Nopol TR/211A/VI/95 tanggal 21 April tentang pembentukan bagian Reserse Tindak Pidana Korupsi pada tingkat Polda besrta unit-unit Reserse Tindak
commit to user 104
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pidana Korupsi kepada tingkat Polres/Polresta dimana ditentukan bahwa pada tingkat Polda dibentuk Kepala bagian Tindak Pidana Korupsi (Kabag Tipikor) dibawah Kadit Serse sedang pada tingkat Polres/Polresta dibertuk unit Tipikor dibawah Kasatserse. 3) Ketentuan pasal 14 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 28 tahun 1997 (LNRI 1997 Nomor 81, TLNRI Nomor 3710) tanggal 7 Oktober 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menentukan bahwa Kepolisian Negara Repunlik Indonesia yang menerangkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Peraturan perundang-undangan lainnya. Sedangkan mengenai asumsi dasar bahwa pihak Kejaksaan berhak melakukan penyidikan perkara tindak pidana korupsi didukung argumentasiargumentasi sebagai berikut : 1) Bahwa sebagia bagian dari hukum pidana khusus (ius singulare, ius specialle/bijzonder strafrech), maka modus operandi dan aspek pembuktian tindak pidana korupsi harus ditangani secara lebih spesifik, sehingga dibutuhkan keterampilan dan profesionalisme tertentu. 2) Pasal 284 ayat (2) KUHAP jo. Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983. 3) Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN jo. Instruksi Presiden Nomor 30 Tahun 1998 tanggal 2 Desember tentang Pemberantasan KKN, yang berisi antara lain : Pertama segera mengambil tindakan pro aktif, efektif dan efisien dalam memberantas koruspi, kolusi dan nepotisme guna memperlancar dan meningkatkan
pelaksanaan
pembangunan
nasional
dalam
rangka
terwujudnya nasional bangsa Indonesia. 4) Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tanggal 19 Mei 1999 tentang penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN, yang berisi
commit to user 105
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
antara lain kewenangan Jaksa sebagai penyidik tercantum dalam pasal 1, 12, 17, 18, 20, 21, dan 22 beserta penjelasannya. 5) Keputusan Presiden Nomor 86 tahun 1999 Tanggal 30 Juli 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI, dimana dalam pasal 17 disebutkan: " Jaksa agung Muda Tindak Pidana khusus mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan tambahan, penuntutan, pelaksanaan penetapan hakim dan putusan pengadilan, pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat dan tindakan hukum lain mengenai tindak pidana ekonomi, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana khusus lain berdasarkan peraturan perundangundangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung". 6) Undang-undang Nomor 32 Tahun 1999 tanggal 16 Agustus 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana dalam pasal 27 disebutkan : " Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dibentuk Tim gabungan dibawah koordinasi Jaksa agung". Akan tetapi justru Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi, memberikan kewenangan kepada Jaksa untuk melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana korupsi. Alasan yuridis yang mendasari kewenangan Jaksa melakukan penyidikan Tindak Pidana Korupsi dapat ditafsirkan di dalam Pasal 39 ayat (1), pasal 44 ayat (3),(4), dan pasal 50.
b. Penegak Hukum / Birokrat Halangan-halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari golongan panutan atau penegak hukum, mungkin berasal dari dirinya sendiri atau dari lingkungan. Halangan-halangan yang memerlukan penanggulangan tersebut, adalah :
commit to user 106
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi. 2. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi. 3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi. 4. Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material. 5. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme. Dari uaraian tersebut dapat di temukan adanya problematika dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi yang berasal dari penegak hukum yaitu : 1. Terdapatnya Penghentian Penyidikan Alasan penghentian penyidikan disebutkan dalam pasal 109 ayat (2) KUHAP, meliputi : a. Tidak terdapat cukup bukti. Apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka jika diajukan kedepan sidang pengadilan. Atas dasar ketidak cukupan bukti inilah penyidik berwenang melakukan penghentian penyidikan. Ditinjau dari satu segi pemberian wewenang ini membina sikap mental penyidik untuk tidak secara serampangan mengajukan begitu saja segala hasil penyidikan yang telah dilakukan. Penyidik diharapkan lebih selektif mengajukan setiap kasus yang mereka
commit to user 107
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
periksa, apakah cukup bukti atau tidak sebelum perkara dilimpahkan kapada Penuntut Umum. b. Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana. Apabila dari penyidikan dan pemeriksaan, penyidik berpendapat bahwa apa yang disangkakan terhadap tersangka bukan merupakan perbuatan pelanggaran dan kejahatan, dalam hal ini berwenang melakukan penghentian penyidikan. Atau tegasnya, jika apa yang disangkakan bukan kejahatan maupun pelanggaran yang termasuk kompetensi peradilan umum, jika tidak merupakan pelanggaran dan kejahatan seperti yang diatur dalam KUHp atau dalam peraturan perundang-undangan tindak pidana khusus yang termasuk dalam ruang lingkup wewenang peradilan umum, penyidikan beralasan untuk dihentikan. Hal tersebut justru merupakan keharusan bagi penyidik untuk menghentikan pemeriksaan penyidikan. c. Penghentian Penyidikan Demi Hukum Penghentian penyidikan atas dasar alasan demi hukum pada pokoknya sesuai dengan alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana yang diatur dalam Bab VIII Kitab Undangundang Hukum Pidana sebagaimana yang dirumuskan dalam ketentuan pasal 76, 77, 78, antara lain : 1). Nebis in idem, seseorang tidak dapat lagi dituntut untuk yang kedua kalinya atas dasar perbuatan yang sama, terhadap mana atas perbuatan itu orang yang bersangkutan telah pernah diadili dan telah diputus perkaranya oleh Hakim atau pengadilan yang berwenang untuk itu di indonesia, serta putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
commit to user 108
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2). Tersangka meninggal dunia (pasal 77 Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Dengan meninggalnya tersangka, dengan sendirinya penyidikan harus dihentikan. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal pada abad modern, yakni kesalahn tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang adalah menjadi
tanggung
jawab
sepenuhnya
dari
pelaku
yang
bersangkutan. 3). Karena kadaluwarsa, seperti yang dijelaskan dalam pasal 78 KUHP, apabila telah dipenuhi tenggang waktu penutupan seperti yang diatur dalam pasal 78 KUHP dengan sendirinya menurut hukum penuntutan terhadap pelaku tindak pidana tidak boleh lagi dilakukan. 2. Kurang Profesionalnya Jaksa Kejaksaan Negeri karanganyar dinilai kurang profesional dalam menjalankan tugasanya dalam menangani kasus korupsi. Hal ini dapat dilihat dalam kasus dugaan korupsi dana peningkatan kerja DPRD kabupaten Karanganyar senilai 450 juta. Berkas perkara dari Polres karanganyar sempat dikembalikan sampai lima kali. Padahal menurut Purwanto selaku kepala Pengadilan Negeri Karangnyar mengemukakan bahwa pihaknya sebagai aparat penegak hukum menilai Kejaksaan Negeri karangnyar tidak profesional dalam menangani kasus dugaan korupsi tersebut. Menurut dia semua kasus harua ada akhirnya, dan tidak bisa dikatung-katungkan begitu saja57. Selain itu masih adanya yang masih bisa disuap.
57
Purwanto, Kompas, 24 Oktober 2003
commit to user 109
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Terbatasnya jumlah personil penyidik dari kejaksaan. Adanya keterbatasan jumlah personil penyidik Kejaksaan menjadikan suatu problematika dari penyidikan, karena proses penyidikan yang diharapkan bisa segera selesai dilaksanakan tetapi karena kurangnya jumlah personil penyidik maka proses penyidikan tidak bisa selesai dengan cepat. Sebagaimana diketahui bahwa jumlah anggota penyidik kejaksaan karanganyar sendiri hanya 11 orang, padahal di setiap tahun kasus korupsi yang terjadi di Kabupaten karanganyar lebih dari 10 kasus. Hal ini menyebabkan terjadinya beban berat dalam proses penyidikan sehingga penyidikan berjalan dengan lambat atau bahkan penyidikan kasus korupsi teresbut berhenti ditempat. 4. Manajemen sumber daya manusia Sebagai penyidik, kurang profesionalitas dan terspesialisasi, kecermatan dan kecepatan suatu tim dalam menyelesaikan penyidikan suatu kasus yang dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana korupsi didukung dengan kemampuan masing-masing individu penegak hukum atau petugas. Jadi diharapkan agar penyidik tindak pidana korupsi tersebut benar-benar merupakan seseorang yang profesional, tepat dan cermat dalam menangani penyidikan kasus korupsi.
3. Faktor Sarana atau Fasilitas 1. Kurangnya sarana dan prasaran yang dimiliki oleh Kejaksaan Adanya sarana dan prasarana yang belum memadai, ketepatan, kecermatan, dan kecepatan suatu tim penyidik dalam meyelesaikan proses penyidikan suatu kasus, selain tergantung pada tingkat profesionalisme dan spesialisasi masing-masing individu juga memerlukan dukungan sarana dan prasarana yang memadai yang dapat menunjang keberhasilan
commit to user 110
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan kecepatan proses penyidikan. Sarana dan prasarana yang dimaksud antara lain adalah seperti ruang kerja yang memadai, kendaraan operasional, alat perekam, alat penyadap, kamera foto, komputer akses internet, foto kopi, video. Kerena sepanjang pengetahuan penulis ketika melaksanakan
penelitian,
Kejaksaan
Negeri
Karanganyar
belum
dilengkapi dengan komputer yang berakseskan internet juga belum dilengkapi dengan foto kopi.
4. Faktor Masyarakat Mengacu Soerjono Soekanto, maka apabila dikaitkan fakta dari hasil penelitian maka akan didapat sebuah problematika penyidikan yang muncul dari masyarakat, yaitu : " Masyarakat cenderung juga melindungi si pelaku korupsi. hal itu didasarkan masih adanya perkataan ewuh-pekewuh dalam masyarakat kita yang mana masyarakat diharapkan dapat membantu proses penyidikan tetapi karena alasan suatu hal dan ewuh-pekewuh dari sekelompok masyarakat yang mengetahui adanya Tindaka Pidana Korupsi tadi proses penyidikan tindak pidana korupsi tidak bisa segera dilaksanakan dan akhirnya terpaksa mengalami sebuah problematika yang panjang". Seperti yang terdapat didalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi masyarakat dapat berperan serta membantu upaya dan pemberantasan tindak pidana korupsi, peran serta masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk : 1. Hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi.
commit to user 111
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi. 3. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 hari. 4. Hak untuk memperoleh pelayanan dalam reformasi adanya dugaan telah terjadinya tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi. 5. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum Jadi, faktor budaya masyarakat disini tidak selalu cenderung melindungi si pelaku korupsi tetapi juga melaporkan telah terjadinya suatu tindak pidana korupsi. Masyarakat yang cenderung melindungi pelaku tindak pidana korupsi umumnya adalah masyarakat yang mempunyai hubungan dengan si pelaku saja.
5. Faktor Kebudayaan 1. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman. 2. Nilai jasmani/kebendaan dan nilai rohani/keakhlakan. 3. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.
2. Upaya-upaya
Yang
dapat
Dilakukan
Jaksa
Untuk
Mengatasi
Problematika Tersebut a. Kejaksaan jika telah menangani suatu kasus tindak pidana korupsi, maka sebaiknya diberi tembusan surat perintah penyelidikan/penyidikan kepada Kapolda dan / atau Kapolres, agar tidak terjadi tumpang tindih. Demikian
commit to user 112
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pula sebaliknya jika penyidik Polri mulai menangani tindak pidana korupsi, maka harus diupayakan agar Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan sesegera mungkin dikirim ke Kejaksaan dengan tembusan kepada Kepala kejaksaan Negeri setempat. b. Aparat Kejaksaan dituntut bekerja secara intervensi atau dipengaruhi oleh lembaga lain, sehingga hasil penyidikan dan penuntutan murni mengacu kepada undang-undang yang berlaku. c.
Penanganan kasus-kasus tindak pidana korupsi diselesaikan secara CTT (cepat, tepat dan tuntas). Cepat artinya tidak berlarut-larut; Tepat artinya sesuai pedoman yang ada (profesional), dan Tuntas tidak menimbulkan masalah-masalah yang baru yaitu mempercepat penyidikan dalam waktu 3 bulan sudah harus dilimpahkan ke Pengadilan dan adanya pengendalian serta pengawasan dari pejabat struktural yang terkait seperti Asisten Tindak Pidana Khusus / Kepala kejaksaan Negeri / kepala Seksi Tindak Pidana Khusus dalam kegiatan penyidikan dan kegiatan penuntutan.
d. Mempersiapkan para penegak hukum untuk mempunyai keahlian khusus dalam menangani tindak pidana korupsi, memberikan pengetahuan tentang penguasaan hukum dan peraturan-peraturan tindak pidana korupsi kepada petugas-petugas yang menangani tindak pidana korupsi. Misalnya dengan mengadakan pendidikan Jaksa Tindak Pidana Korupsi, sehingga ada Jaksa Khusus dalam menangani tindak pidana korupsi. Mengadakan penataran kepada petugas-petugas yang terkait dalam penanganan tindak pidana korupsi untuk lebih menguasai peraturan tindak pidana korupsi. Mengadakan pertemuan-pertemuan antara sesama penegak hukum dan instansi yang terkait, untuk mendapatkan kesatuan persepsi dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi. e. Meminta kepada pembuat Undang-undang untuk membenahi sistem perundang-undangan yang ada. Seperti yang terdapat dalam pasal 2 dan 3 Undang-undang Tindak pidana korupsi. Jaksa dan Hakim sering bingung dalam menafsirkan isi dari pasal tersebut. Karena tanpa adanya sistem
commit to user 113
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perundang-undangan yang baik, maka proses penyidikan tindak pidana korupsi tidak akan bisa berjalan sebagaimana yang diharapkan. Seperti kita ketahui bahwa tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang bersifat luar biasa atau extraordinary crime atau biasa juga disebut dengan kejahatan kerah putih. Dimana korupsi sendiri merupakan kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang berkuasa atau Pejabat Tinggi Negara. Jaksa penyidik tindak pidana korupsi memberikan bimbingan kepada masyarakat umum agar melaporkan setiap pelaku kejahatan tindak pidana korupsi yang mereka ketahui, jangan berusaha melindungi si pelaku korupsi dengan berbagai alasan. f. Dalam rangkaian tahap penyidikan upaya-upaya yang dilakukan oleh Jaksa Penyidik adalah : •
Dalam hal pemanggilan saksi Apabila saksi bertempat tinggal jauh maka harus dipersiapkan panggilan jauh-jauh hari sebelumnya dengan menggunakan sarana tercepat. Apadila identitas saksi tidak diketahui secara jelas maka jaksa penyidik memnita info kepada orang yang relevan dan bila saksi tidak bekerja di suatu instansi tertentu maka akan disisir dari nama kota untuk mengetahui secara pastidimana saksi tinggal, misal dikelurahan ditanyakan kepada Kepala Desa, RT, atau RW setempat.
•
Pemanggilan dan pemeriksaan tersangka Apabila
tersangaka
tidak
berada
ditempat
maka
penyidik
memberikan tenggang waktu kepada tersangka dan apabila tersangka berusaha melarikan diri maka akan dilakukan upaya paksa, tetapi apabila tersangka memberikan keterangan yang berbelit-belit mak penyidik tidak akan memaksa tersangka karena itu merupakan hak ingkar dari tersangka yang harus dihargai. •
Penggeledahan
commit to user 114
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Prosedur ideal dari penggeledahan adalah meminta ijin kepada ketua pengadilan negeri setempat, dan setelah itu langsung dilakukan penggeledahan.
Apabila
tidak
mendapatkan
ijin
dari
ketua
pengadilan maka akan tetap dilakukan penggeledahan oleh penyidik dari kejaksaan. •
Penyitaan Penyitaan bisa dilakukan tanpa ijin dari Ketua Pengadilan Negeri.
•
Penangkapan dan penahanan Dalam hal tersangka melarikan diri maka maka membutuhkan waktu yang lama untuk bisa dilakukan penahanan karena harus dilakukan terlebih dahulu pencarian terhadap tersangka ke rumahnya atau ketempat dia bekerja, apabila tidak ditemukan juga maka akan dimasukkan kedalam daftar DPO, jika ketemu maka tersangka langsung ditangkap.
•
Pemberkasan Upaya jaksa dalam hal pemberkasan adalah bahwa Jaksa akan lebih teliti dan cermat supaya pemberkasan yang dilakukan tidak terjadi kesalahan.
B. IMPLIKASI Dari hasil kesimpulan diatas, maka konsekuensi yang dapat ditimbulkan antara lain : 1. Peran kejaksaan pasca pembentukan Komisi Tindak Pidana korupsi bukan semakin ringan. Profesionalisme dan integritas kepribadian Jaksa menjadi tumpuan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Kegagalan dan penyalahgunaan yang dilakukan dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi akan mendorong komisi untuk mengambil tindakan terhadap aparat Kejaksaan berdasarkan Undang-undang Pemberantasan
commit to user 115
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tindak Pidana orupsi. Apabila problematika yang terjadi pada proses penyidikan tindak pidana korupsi tersebut tidak segera diminimalisir, maka akan berpengaruh luas pada upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. 2. Apabila faktor sumberdaya manusia tidak ditingkatkan, maka akan terjadi stagnasi penyidikan perkara korupsi terutama didaerah, sehingga bukan tidak mungkin penyidikan kasus korupsi terhambat.
C. SARAN 1.
a)
Pembuat
penyempurnaan
Undang-undang
diharapkan
segera
melakukan
berbagai produk Undang-undang yang berkaitan
dengan upaya penanggulangan korupsi, terutama ketentuan-ketentuan yang justru dapat menghambat proses penyidikan perkara korupsi, misalnya ketentuan mengenai penyidikan kepala daerah, anggota DPR dan MPR yang mana disebutkan harus ada persetujuan terlebih dahulu dari presiden. Ketentuan tersebut hendaknya dirubah menjadi : Penyidikan terhadap kepala daerah, anggota DPR dan MPR diberitahukan kepada Presiden”. Jadi, penyidik cukup memberitahukan adanya penyidikan terhadap pejabat negara tersebut. b) Pemerintah pusat hendaknya memberikan tambahan jumlah peyidik khususnya peyidik tindak pidana korupsi pada tiap-tiap Kejaksaan Negeri dan memberikan fasilitas sarana dan prasarana yang memadai untuk dilakakukannya penyidikan tindak pidana korupsi supaya hasil yang dicapai bisa maksimal. Selain itu juga Pemerintah harus berusaha menaikan gaji pegawai sehingga kehidupan para pegawai bertambah makmur. Dengan bertambah makmurnya pegawai diharapkan tidak melakukan tindak pidana korupsi. Selain itu juga mengadakan perbaikan-perbaikan manajemen, sehingga memperkecil peluang untuk terjadinya tindak pidana korupsi. Dari praktek penanganan tindak pidana korupsi, asal pertama terjadinya tindak pidana korupsi adalah
commit to user 116
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dari kelemahan manajemen. Menggiatkan pelaksanaan pengawas melekat, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan setempat. c) Aparat penegak hukum hendaknya segera melakukan reformasi internal, baik secara kelembagaan maupun secara pribadi. Upaya ini diharapkan dapat mendorong aparat penegak hukum untuk bersifat secara positif dalam merespons spirit moral dan keinginan Undangundang. 2. a) Perlu adanya pedoman-pedoman yang secara khusus dan terperinci dibuat sebagai dasar proses penyidikan perkara korupsi dilapangan oleh petugas, sehingga dapat dengan cepat mengidentifikasi perbuatanperbuatan yang dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Juga perlu adanya peningkatan profesionalitas sumberdaya manusia terutama dari penyidik dengan cara melalui program pelatihan baik ekstra maupun ontra kulikuler, misalnya studi lanjut ke program Strata II (Magister) dan Strata III (Doktor). b) Terhadap anggota masyarakat diharapkan agar dapat meningkatkan peran sertanya dalam membantu upaya penegakan hukum untuk sebuah penyidikan tindak pidana korupsi pada khususnya. Peran serta ini dapat berupa kontrol secara aktif terhadap lembaga-lembaga yang mempunyai potensi tejadinya Tindak Pidana Korupsi maupun memberikan masukan atau laporan tentang adanta Tindak Pidana Korupsi. oleh karena itu adanya lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap upaya penanggulangan Tindak Pidana Korupsi sangat diperlukan, karena dapat membantu petugas Penyidik Kejaksaan dalam melakukan Penyidikan. c) Memperbaiki moral. Baik moral pegawai, moral penegak hukum dan moral masyarakat atau rakyat. Sebab bila moral seseorang itu baik
commit to user 117
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
maka orang tersebut tidak akan melakukan perbuatan yang tidak baik, apalagi melakukan tindak pidana korupsi.
commit to user 118