KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI KEJAKSAAN NEGERI PAYAKUMBUH
JURNAL
Diajukan guna memenuhi salah satu syarat Untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh RIZKI FERDIAN. A 1110005600111
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM TAMAN SISWA PADANG PADANG 2014 i
KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI KEJAKSAAN NEGERI PAYAKUMBUH (Rizki Ferdian A. NPM: 1110005600111. Fakultas Hukum Universitas Taman Siswa Padang) ABSTRAK Kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi dilandasi oleh Pasal 284 ayat (2) KUHAP jo. Pasal 26 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.Pasal 44 ayat (4) serta Pasal 50 ayat 1, 2, 3, dan 4 Undang - undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 30 ayat (1) butir d Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. Kejaksaan Negeri Payakumbuh melakukan penyidikan terhadap kasus korupsi pada tahun 2005, yang dilakukan oleh pemegang kas Badan Kepegawaian Daerah hingga tahap penuntutan di Pengadilan. Berdasarkan pembahasan tersebut, penulis tertarik merumuskan masalah dalam penelitian ini, Bagaimanakah kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Metode pendekatan yang di gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis sosiologis yaitu penelitian hukum yang menggunakan data sekunder sebagai data awalnya, yang kemudian dilanjutkan dengan digabungkan dengan data primer atau lapangan yang diperoleh dari hasil wawancara. Berdasarkan penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut : Kejaksaan Negeri Payakumbuh memiliki landasan yuridis dalam hal penyelidikan tindak pidana korupsi di Payakumbuh yang telah berhasil melakukan proses penyidikan hingga tahap penuntutan pada perkara korupsi. Kendala dalam penyidikan yang ditemui oleh Kejaksaan : (1) Tidak adanya standarisasi mengenai subjek / orang yang disebut sebagai saksi / saksi ahli. Untuk mengatasi kendala tersebut diharapkan kedepannya ada upaya penetapan ketetapan bersama antara Ketua Mahkamah Agung dan Jaksa Agung yang menjelaskan tentang keterangan ahli. (2) Jumlah personil jaksa penyidik yang masih kurang, kedepan hendaknya kejaksaan melakukan penambahan personil jaksa penyidik serta memberdayakan peningkatan Sumber Daya Manusia dan profesionalisme sebagai jaksa penyidik bidang tindak pidana khusus.
kewenangan melakukan penyidikan termasuk penyelidikan tindak pidana korupsi, namun pada waktu masih berlakunya Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971, atas dasar ketentuan yang terdapat di dalam pasal 284 ayat (2) KUHAP dan juga pada beberapa putusan Mahkamah Agung RI, misalnya putusan Mahkamah Agung RI tanggal 2 juli 1987 Nomor 536/K/Pid/1987 dengan terdakwa2 : (1) Drs. Widodo Sukarna dan (2) Ir. Rudi Pamaputera dalam kasus yang dikenal dengan kasus gedung Artaloka dan putusan Mahkamah Agung RI tanggal 28 September 1995 Nomor 255/Pid/1995 dengan terdakwa Tan Eddy Tanzil alias Tan Tju Fuan alias Tan Tjoe Hong3, jaksa memang memiliki wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi yang di maksud oleh Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971. Oleh karena perumusan dari ketentuan yang terdapat di dalam pasal 3 Undang- Undang nomor 3 Tahun1971 adalah sama dengan perumusan dari ketentuan yang terdapat di dalam pasal 26 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999, maka dapat terlihat bahwa jaksa tetap atau memang memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi yang di maksud oleh
PENDAHULUAN Kejaksaan merupakan salah satu lembaga negara yang memiliki wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, selain Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kewenangan penyidikan yang dilakukan oleh ketiga lembaga tersebut, dianggap oleh beberapa kalangan dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan ketidak pastian hukum. Selain itu kewenangan kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi juga dipermasalahkan karena dianggap tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Hal tersebut sungguh ironi mengingat kewenangan kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi telah ada sejak berdirinya lembaga tersebut, dimana kejaksaan telah melakukan penyidikan tindak pidana korupsi yang jumlah nya tidak sedikit. Dengan kata lain kejaksaan telah memberikan sumbangsih yang bisa dikatakan cukup signifikan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.1 Tidak adanya peraturan yang secara tegas menegaskan bahwa kejaksaan memiliki
2 1
3
Salahudin Luthfie , kewenangan kejaksaan, FHUI, hlm9
1
Varia Peradilan Tahun III, Nomor 37 hlm 18-56 Varia Peradilan TahunXI, Nomor 130 hlm 23- 59
Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian di ubah dengan Undang- Undang 20 Tahun 2001. Dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, jaksa dengan sendirinya melakukan juga penyelidikan karena sebelum jaksa melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, sudah harus dimulai dengan penyelidikan. Pemberantasan korupsi adalah dengan mengandalkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (untuk selanjutnya disebut UU PTPK). Dalam penanganan tindak pidana korupsi Jaksa berperan sebagai penyidik dan juga sebagai penuntut umum. Kewenangan Kejaksaan dalam penanganan tindak pidana korupsi adalah berdasarkan ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP jo. Pasal 26 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 50 ayat 1, 2, 3, dan 4 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 30 ayat (1) butir d Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. Kejaksaan adalah salah satu institusi penegak hukum yang diberi wewenang dalam penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Tinjauan Umum Tentang Kewenangan Kejaksaan Dalam Penyidikan Pengertian Penyidikan
mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya." Berdasarkan rumusan tersebut, tugas utama penyidik adalah : - Mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti-bukti tersebut membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi - Menemukan tersangka Sejak diundangkannya UU No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, maka kejaksaan diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d : "(1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undangundang." Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d adalah Kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan undangundang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undangundang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan dalam pasal 26 UU No 31 Tahun 1999 kurang menjelaskan siapa yang berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, karena pasal 26 UU No. 31 Tahun 1999 hanya menentukan bahwa: "Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.
Pengertian penyidik diatur dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang terdapat pada pasal 1 butir 1 yang berbunyi sebagai berikut ; "Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau PPNS tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan." Sedangkan pada pasal 1 butir 2 KUHAP menjelaskan mengenai pengertian penyidikan, sebagai berikut ; "penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang undang ini untuk
Sedangkan diketahui bahwa dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah pihak Kepolisian sebagai penyidik tunggal dan kejaksaan merupakan lembaga penuntut umum. Namun ada pandangan dan asumsi yang bertitik tolak dari materi Tindak Pidana Korupsi sebagai bagian dari Hukum Pidana Khusus (Ius Speciale, Ius Singulare/Bijzonder Strafrecht) maka sebenarnya pihak kejaksaan yang berhak melakukan penyidikan terhadap pelaku Tindak
2
Pidana Korupsi.4
Instansi lainnya yang bersangkutan setelah menerima laporan maka melakukan pengaduan tindak pidana dengan menyerahkan kepada Kepala Kejaksaan Republik Indonesia dalam hal terdapat indikasi tindak pidana khusus, seperti korupsi, dan lain-lain; 5. Bahwa dengan bertitik tolak kepada Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor R- 124/F/Fpk. 1/7/1995 tanggal 24 Juli 1995 dalam angka 2 berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1604/K/Pid/1990 tanggal 10 November 1994 dalam perkara tindak pidana korupsi atas nama terdakwa Nusrul Yasid bin Abu Yazid yang telah ditolak Majelis Hakim dengan alasan bahwa berkas perkara tidak sah, oleh karena perkara disidik Penyidik Umum/Polri dan berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 55 Tahun 1991 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI dimana pada Bab II Bagian Pertama Pasal 4 angka 6 adanya Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus yang mana pasa Pasal 22 angka 3 Keppres 55 Tahun 1991 membawahi Direktorat Tindak Pidana Korupsi dan Keputusan Jaksa Agung RI Nomor K-EP-035/J.A/3/1992 tanggal 22 Maret 1992 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI pada Bab XVIII Bagian Pertama pasal 569 tentang Kejaksaan Negeri dimana pasal 573 angka 6 susunan Organisasi Kejaksaan Tinggi adalah Asisten Tindak Pidana Khusus yang terdiri dari Seksi Tindak Pidana Korupsi (Pasal 627 ayat (1) angka 2). Sedangkan untuk tingkat Kejaksaan Negeri yang tergolong Tipe A Pasal 692 ayat (1) angka 5 salah satu bagian adalah seksi Tindak Pidana Khusus dan berdasarkan Pasal 708 ayat (1) angka 2 salah satu subseksi Tindak Pidana Korupsi adalah subseksi Tindak Pidana Korupsi dan pada Kejaksaan Negeri Tipe B berdasarkan Pasal 718 ayat (1) angka 5 adalah Seksi Tindak Pidana Khusus, Perdata dan Tata Usaha Negara; 6. Ketentuan Pasal 39 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menentukan bahwa: "Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang
Pengertian Wewenang Kejaksaan dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Kewenangan Jaksa untuk melakukan penyidikan perkara tindak pidana korupsi didukung oleh argumentasi-argumentasi sebagai berikut:5 1. Bahwa sebagai bagian dari hukum pidana khusus (ius singulars, ius special/byzonder strafrecht) maka modus operandi dan aspek pembuktian dari tindak pidana korupsi harus ditangani secara lebih spesifik sehingga dibutuhkan ketrampilan dan profesionalisme tertentu; 2. Keppres Nomor 228 Tahun 1967 tanggal 2 desember 1967 tentang pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi di mana ditentukan Ketua Timnya adalah Jaksa Agung; 3. Apabila bertitik tolak secara yuridis berdasarkan ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: "Dalam jangka waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap, semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana disebutkan pada undangundang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi", dan penjelasannya kemudian berdasarkan ketentuan pasal 32 huruf b Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 (LNRI 1991-59; TLNRI 3451) tentang Kejaksaan Republik Indonesia serta pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 beserta penjelasannya yang telah diterangkan di muka maka dimungkinkan untuk tindak pidana korupsi disidik dan dituntut oleh pihak kejaksaan; 4. Instruksi Presiden RI Nomor 15 Tahun 1983 dan Keppres RI Nomor 15 Tahun 1991 dimana, pada pokoknya ditentukan bahwa dalam pedoman pelaksanaan pengawasan maka Para Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen/Pemimpin 4 Lilik Mulyadi,Tindak Pidana Korupsi ( Tinjauan Khusus Terhadap Proses Penyidikan,peradilan,Serta upaya Hukumnya Menurut Undang- Undang Nomor 31 tahun 1999)PT.Citra Aditya Bhakti, Bandung ,2000,hlm 45 5 Ibid, hal 48-49.
3
tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer". Sedangkan yang dimaksud dengan mengkoordinasikan dalam kewenangan Jaksa Agung sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undangundang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan. Kewenangan Jaksa untuk melakukan penyidikan lebih ditegaskan lagi oleh pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang menentukan : “pasal (1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang, butir(d) melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-undang, yang kemudian di dalam penjelasannya disebutkan: Kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dari pertimbangan hukum pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-V/2007 tanggal 27 Maret 2008 dapat diketahui bahwa pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 disamping tidak bertentangan dengan dengan pasal 28 D ayat (1) dan pasal 28 G ayat (1) UUD 1945, juga hanya merupakan pintu masuk bagi pembuat undang-undang untuk memberikan kewenangan kepada Kejaksaan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. Maka, dalam pengertian di atas dimulai dari proses penyelidikan, Jaksa melanjutkan ke proses penyidikan guna menemukan tersangka. Terkait dengan tugas dan wewenang Kejaksaan sebagaimana disebut "terhadap tindak pidana tertentu" adalah tindak pidana korupsi. Berdasarkan Pasal 26 UU PTPK bahwa hukum acara yang digunakan untuk perkara tindak pidana korupsi baik di tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi adalah KUHAP, kecuali ditentukan lain dalam UU PTPK. Pasal 1 angka 6 KUHAP menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk melaksanakan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim sedangkan
Jaksa itu sendiri adalah pejabat yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Berdasarkan Pasal 284 ayat (2) KUHAP bahwa Jaksa/Penuntut Umum selain sebagai penuntut juga bertindak sebagai penyidik untuk tindak pidana khusus. Dengan demikian apabila dikaitkan dengan UU PTPK maka Jaksa/Penuntut Umum selain berwenang sebagai penuntut juga berwenang sebagai penyidik. Berdasarkan ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP jo. Pasal 17 PP No. 27 Tahun 1983 jo. Pasal 26 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.Pasal 44 ayat (4) serta Pasal 50 ayat 1, 2, 3, dan 4 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 30 ayat (1) butir d Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. , Kejaksaan adalah salah satu institusi penegak hukum yang diberi wewenang dalam penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Apabila ditemukan suatu tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya maka berdasarkan Pasal 27 UU PTPK dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung. Dalam Pasal 35 UU No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan disebutkan bahwa: Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang: a. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegak hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan; b. Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang; c. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum; d. Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara, e. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada f. Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana; g. Mencegah atau menangkal orang tertentu masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya 4
dalam perkara pidana sesuai peraturan perundang-undangan.
dengan
artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya. Sementara itu, ancaman pidananya ditujukan pada orangnya. b. Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana (yang ditujukan pada orangnya) ada hubungan yang erat. Oleh karena itu, perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula. 2. E.Utrecht dalam Evi Hartanti7, menerjemahkan straafbaarfeit dengan istilah peristiwa pidana yang juga la sebut sebagai delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen-positif atau suatu melalaikan nalaten-negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu). Peristiwa pidana merupakan suatu peristiwa hukum (rechtsfeit), yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum. Tindakan semua unsur yang disinggung oleh suatu ketentuan pidana dijadikan unsur yang mutlak dari peristiwa pidana. Hanya sebagian yang dapat dijadikan unsur-unsur mutlak suatu tindak pidana. Yaitu perilaku manusia yang bertentangan dengan hukum (unsur melawan hukum), oleh karena itu dapat dijatuhi suatu hukuman dan adanya seorang pembuat dalam arti kata bertanggung jawab.
Mengacu pada Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 yang menggantikan Undangundang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan R.I., Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Di dalam undang-undang Kejaksaan yang barn ini, Kejaksaan RI sebagai lembaga Negara yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan hares melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya (Penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004). Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pengertian Tindak Pidana dan Dasar Hukumnya Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strajbaar feit. Istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strajbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar, dan feit. Straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sementara itu feit diterjemahkan dengan perbuatan,peristiwa pidana seperti: 1. Moeljatno dalam Adami Chazawi6 menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefinisikan sebagai "perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut." Istilah perbuatan pidana lebih tepat dengan alasan sebagai berikut: a. Perbuatan yang dilarang adalah perbuatannya (perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang),
Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Dasar Hukumnya Menurut Kamus Hukum Fockema Andreae dalam Andi Harnzah8, kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus (Webster Student Dictionary: 1960). Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata latin. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Prancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptive. Dari bahasa Belanda inilah 7
Evi Hartanti, Op. Cit., hlm. 5. Andi Hanizah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hlm. 4. 8
6 Adami Chazawi,2002, pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta : RajaGrafindo persada.hlm 67-68
5
kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu "korupsi." Pasal 2 ayat (1) UU PTPK berbunyi sebagai berikut: "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (Dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,(Satu milyar rupiah)."
d. Unsur merugikan keuangan/perekonomian negara. Unsur merugikan keuangan/perekonomian negara yaitu tindakan memperkaya diri tersebut telah dilakukan dalam kapasitas negara, keuangan Negara yang mengakibatkan kerugian tersebut cenderung dilakukan oleh seseorang/subjek yang terikat dinas/jabatan tertentu yang berkaitan dengan negara APBN ataupun APBD.
Jadi bagian inti Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001, unsur-unsur tindak pidana korupsinya adalah: a. Melawan hukum; b. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; c. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara. Dapat dikatakannya suatu perkara telah mengandung tindak pidana korupsi jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut, yaitu: a. Unsur subjek; Unsur subjek adalah unsur pelaku, yaitu seseorang pribadi, dan/atau korporasi (badan hukum). Jika si pelaku sudah dengan nyata ditetapkan berdasarkan ketentuan yang berlaku, maka telah memenuhi unsur tindak pidana. b. Unsur melawan hukum; Unsur melawan hukum dapat diartikan sebagai unsur di mana suatu perbuatan telah melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan juga telah melanggar norm-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Perkara korupsi adalah perkara yang memperoleh prioritas untuk didahulukan penanganannya guns penyelesaian yang secepatnya (Pasal 25 UU Tipikor). Namun demikian, dalam kenyataannya perkara korupsi bukan termasuk perkara yang dapat diselesaikan dengan cepat, bahkan sebaliknya sangat lama dan melelahkan. Bagaimana ticlak, dalam perkara korupsi saksi yang harus diperiksa tidak pernah sedikit, rats-rats 20 orang. Dokumen yang disita dan harus diperiksa di persidangan pun bertumpuk-tumpuk. KUHAP sebenarnya telah menyediakan sistem pembuktian yang tidak remit. Ada 5 jenis alat bukti yang dapat digunakan secara simultan. Bukti berupa satu keterangan saksi yang membenarkan dakwaan Penuntut Umum ditambah dengan satu alat bukti contohnya surat, sudah cukup memenuhi 2 (dua) alat bukti sah untuk menghukum terdakwa. Satu keterangan saksi ditambah dengan keterangan (pengakuan) terdakwa atau satu keterangan saksi dengan bukti petunjuk, sudah memenuhi 2 (dua) alat bukti .9 Dalam tindak pidana umum terdakwa yang dijadikan saksi (mahkota) bagi terdakwa, lain mempunyai hak untuk menolak memberikan keterangan sebagai saksi di bawah sumpah. Di dalam perkara korupsi hak itu tidak ada karena Pasal 35 UU Tipikor hanya memberikan hak kepada ayah/ibu, kakek/nenek, anak/cucu, suami/istri, dan saudara kandung dari terclakwa untuk mengundurkan diri menjadi saksi, sehingga sesama terclakwa yang dijadikan saksi bagi terdakwa lain wajib
Bentuk Pembuktian dalam Tindak Pidana Korupsi
c. Unsur tujuan memperkaya baik diri sendiri maupun orang lain; Unsur tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain yaitu jika seseorang telah dengan sengaja melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan yang berlaku di mana memiliki tujuan baik terselubung maupun tidak terselubung memperkaya dirinya atau orang lain. Hal ini jelas terlihat dengan adanya penambahan kekayaan baik bersifat harta bergerak maupun harta tidak bergerak.
9 Amin Sutikno, 2007, Dakwaan dan Pembuktian Dalam Perkara Korupsi. Varia Peradilan No. 260 Juli 2007.
6
memberikan keterangan sebagai saksi yang disumpah asalkan perkaranya dipisah (di-splits). Secara teoritis asasnya Ilmu Pengetahuan Hukum Acara Pidana mengenal 3 (tiga) teori tentang sistem pembuktian10, yaitu berupa: Kesatu, Sistem Pembuktian menurut UndangUndang Secara Positif (Positief Wettelijke Bewijs Theorie) dengan tolak ukur sistem pembuktian tergantung kepada eksistensi alatalat bukti yang secara limitatif disebut dalam undang-undang. Singkatnya, undang-undang telah menentukan adanya alat-alat bukti mana dapat dipakai hakim, cara bagaimana hakim harus mempergunakannya, kekuatan alat-alat bukti tersebut dan bagaimana caranya hakim harus memutus terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili. Kedua, Sistem Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim polarisasinya hakim dapat menjatuhkan putusan berclasarkan "keyakinan" belaka dengan tidak terikat oleh Hukum Positif (ius constitutum) yang mengatur tentang Tindak Pidana Korupsi antara lain berupa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kemudian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2000, Keppres Nomor 11 Tahun 2005, Inppres Nomor 5 Tahun 2004 dan lain sebagainya. Ketiga, Sistem Pembuktian menurut Undang-undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke Bewijs Theorie) yaitu hakim hanya boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa apabila alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan Undang-undang dan didukung pula
adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti yang bersangkutan. Ketentuan hukum positif Indonesia tentang tindak pidana korupsi diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. Pada UU tersebut maka ketentuan mengenai pembuktian perkara korupsi terdapat dalam Pasal 12B ayat (1) huruf a dan b, Pasal 37, Pasal 37 A dan Pasal 38B. Apabila dicermati maka UU tindak pidana korupsi mengklasifikasikan 3 (tiga) pembuktian pembalikan beban. Pertama, pembalikan beban pembuktian dibebankan kepada terdakwa untuk membuktikan dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi. Pembalikan beban pembuktian ini berlaku untuk tindak pidana suap, menerima gratifikasi yang nilainya sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juts) rupiah atau lebih (Pasal 12B ayat (1) huruf a) dan terhadap, harta benda yang belum didakwakan yang ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi (Pasal 38B). Apabila mengikuti polarisasi pemikiran pembentuk UU sebagai kebijakan legislasi, ada beberapa pembatasan yang ketat terhadap penerapan pembalikan beban pembuktian dikaitkan dengan hadiah yang wajar bagi pejabat. Pembatasan tersebut berorientasi kepada aspek hanya diterapkan kepada pemberian (gratifikasi) dalam delik suap, pemberian tersebut dalam jumlah Rp. 10.000.000,00 atau lebih, berhubungan dengan jabatannya (in zijn bediening) dan yang melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan kewajiban (in strijd metzijn plicht) dan harus melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kedua, pembalikan beban pembuktian yang bersifat semi terbalik atau berimbang (pembuktian secara terbatas) terbalik di mana beban pembuktian diletakkan baik terhadap terdakwa maupun jaksa penuntut umum secara berimbang terhadap obiek pembuktian yang berbeda secara berlawanan (Pasal 37A). Ketiga, sistem konvensional di mana pembuktian tindak pidana korupsi dan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana korupsi dibebankan sepenuhnya kepada jaksa penuntut umum. Aspek ini dilakukan terhadap tindak pidana suap menerima gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta) rupiah (Pasal 12B ayat (1) huruf (b) dan tindak pidana korupsi pokok.
10
Lilik Mulyadi, 2007, Asas Pembalikan Beban Pembuktian terhadap Tindak Pidana Korupsi dalain Sistem Hukum Pidana Indonesia Dihubungkan dengan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa, Bandung: Universitas Padjajaran.
7
pemegang kas kantor Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kota Payakumbuh berdasarkan Surat Keputusan Walikota Payakumbuh Nomor 900.04/52/Wk-Pyk/2005 tanggal 19 Januari 2005. Terdakwa Amris telah didakwa dengan Dakwaan Subsider oleh Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Payakumbuh sesuai Nomor Register Perkara PDS-02/PYKBH/0309 tanggal 30 Maret 2009, di mana dalam Dakwaan Primer perbuatan terdakwa Amris selaku Pemegang Kas diancam pidana berdasarkan pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP, sedangkan dalam Dakwaan Subsider Perbuatan terdakwa Amris selaku Pemegang Kas diancam pidana berdasarkan pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Perbuatan korupsi Amris dimulai dengan pada tahun 2005, sesuai dengan APBD dan APBD Perubahan Kota Payakumbuh tahun anggaran 2005, Unit Kerja Badan Kepegawaian Daerah mendapatkan Alokasi Anggaran sesuai Dokumen Anggaran Satuan Kerja (DASK) sebesar Rp. 3.847.901.336,- (tiga milyar delapan ratus empat puluh tujuh juta sembilan ratus satu ribu tiga ratus tiga puluh enam rupiah). Untuk pengelolaan anggaran ini berdasarkan Surat Keputusan Walikota Payakumbuh Nomor : 900.04/52/Wk-Pyk/2005 tanggal 19 Januari 2005 ditunjuklah Drs.YUSUF YATIM selaku Kepala Badan Kepegawaian Daerah/ Atasan Langsung /Pengguna Anggaran dan Terdakwa AMRIS selaku Pemegang Kas Badan Kepegawaian Daerah. Tata cara pencairan anggaran oleh Pemegang Kas berdasarkan SK Walikota No. 900.112/939/WK-Pyk/2004 Tanggal 30 Nopember 2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan dan Pelaksanaan APBD adalah Pemegang Kas mengajukan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) yang dibuat oleh Pemegang Kas yang diketahui oleh kepala Unit Kerja dan SPP yang diajukan didasarkan kepada DASK dan Surat Keputusan Otorisasi (SKO), SPP ini
Kewenangan Kejaksaan Melakukan Penyidikan Perkara Tindak Pidana Koerupsi di kejaksaan Negeri Payakumbuh Kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi yang terjadi di wilayah Payakumbuh penulis mewawancarai 2 (dua) orang penyidik, yaitu Jaksa Penyidik Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Payakumbuh dan Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Payakumbuh. Dalam penanganan perkara korupsi, Kepala Seksi bidang Tindak Pidana Khusus bekerjasama dengan dua orang Jaksa Penyidik. Dalam perkara korupsi atas nama Amris ini Jaksa Penyidik bertindak langsung sebagai Penyidik dan sekaligus Jaksa Penuntut Umum. Perkara korupsi yang terjadi pada tahun 2005 ini adalah perkara korupsi yang proses penyidikannya dilakukan langsung oleh Jaksa Penyidik pada Kejaksaan Negeri Payakumbuh. Perkara korupsi atas nama terdakwa Amris dalam perkara penyelewengan sisa UUDP Tahun 2005 ini berawal dari hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tahun 2005, bahwa didapat temuan penyelewengan anggaran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga menindaklanjuti temuan BPK tersebut, Kejaksaan melakukan penyidikan atas kasus tersebut.”11 Di sini penulis lebih mengkhususkan perkara korupsi yang merugikan keuangan/perekonomian negara melalui penyalahgunaan anggaran atas nama terdakwa Amris. Sampel yang telah diteliti penulis adalah proses penyidikan pada kasus/perkara Tindak Pidana Korupsi di Kejaksaan Negeri Payakumbuh pada tahun 2009, yaitu pada kantor Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kota Payakumbuh atas nama Amris. Amris adalah mantan Pemegang Kas pada kantor Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kota Payakumbuh pada tahun anggaran 2005. Adapun kasus posisinya adalah sebagai berikut: bahwa pada tahun 2005 Amris diangkat sebagai 11 Hasil wawancara dengan Selmadera Shulha Sovma, Jaksa Penyidik Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Payakumbuh, pada hari Senin tanggal 7 April 2014, Pukul 08.30 WIB bertempat di kantor Kejaksaan Negeri Payakumbuh.
8
dikirimkan ke BPKD untuk dilakukan pemeriksaan apakah dana yang diajukan dalam SPP telah sesuai dengan SKO dan juga apakah Surat Pertanggungjawaban (SPJ) bulan sebelumnya telah disahkan dan jika SPP dianggap lengkap, maka diterbitkanlah SPM yang ditandatangani oleh Kepala BPKD akan tetapi jika SPP tidak lengkap ataupun SPJ bulan sebelumnya belum dipertanggungjawabkan SPP dikembalikan kepada Pemegang Kas untuk diperbaiki. Terdakwa Amris selaku pemegang kas telah melakukan langkah ataupun tata cara pencairan anggaran sehingga pada pencairan anggaran triwulan I dari bulan Januari sampai dengan bulan Maret dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan SPJ pun telah disahkan begitu juga pada triwulan II dari bulan April sampai bulan Juni, penyampaian SPJ dilaksanakan per tiap bulannya. Pada triwulan III dari bulan Juli sampai dengan bulan September, pada Badan Kepegawaian Daerah telah dimulai kegiatankegiatan yang dialokasikan dalam rekening Belanja Operasional dan Pemeliharaan (BOP), pada kurun waktu tersebut mulai terjadi masalah penyampaian SPJ oleh terdakwa, terjadi keterlambatan penyerahan SPJ ataupun adanya SPJ yang belum lengkap dan disahkan. Hal tersebut terjadi karena terdakwa melakukan pembayaran uang kegiatan-kegiatan yang diminta oleh Pimpinan kegiatan dengan sistem Bon yang uangnya diambilkan dari dana lain yang ada dalam kas pemegang kas dan pembayaran Bon ini dilakukan oleh Pimpinan Kegiatan dengan cara menyerahkan SPJ kegiatannya namun penyerahan SPJ ini dilakukan secara bertahap hingga SPJ tidak lengkap dan saat terdakwa akan melakukan pencairan dana berikutnya, BPKD mengembalikan lagi SPP karena lampirannya SPJ belum lengkap dan keadaan ini tidak dibenahi oleh terdakwa dan hal yang sama terjadi pada triwulan IV dari bulan Oktober sampai dengan bulan Desember 2005. Pengajuan SPP tetap terdakwa lakukan dan ditandatangani oleh Atasan Langsung dan dikirimkan ke BPKD demikian juga oleh
BPKD, SPP dari BKD tetap saja diproses dan dikeluarkan SPMU oleh kepala BPKD walaupun ada catatan mengenai belum ada pengesahan SPJ bulan sebelumnya. Dengan kondisi pengajuan SPP tanpa adanya lampiran pengesahan SPJ sebelumnya dan tetap dikeluarkannya SPMU hingga terdakwa dapat melakukan pencairan dana membuat tidak terkontrolnya uang yang ada pada terdakwa karena ternyata terdakwa tidak melakukan pembuatan buku Pemegang Kas serum dengan yang telah ditentukan dalam Pedoman Umum Penyusunan dan Pelaksanaan APBD yakni: Buku Kas Umum, Buku Kas Kasir Pengeluaran, Buku Kas kasir Penerimaan, Buku Pembantu Pengeluaran Perkegiatan, Buku Pembantu Pengeluaran Per Perincian Objek, Buku Simpanan Bank, Buku Panjar, dan Buku PPN/PPh. Terdakwa hanya melaksanakan pembuatan Buku Kas Umum (BKU) sedangkan buku-buku yang lain tidak dibuat sama sekali walaupun terdakwa selaku pemegang kas mempunyai Pembantu Pemegang Kas. Dalam pelaksanaannya, BKU tidak tertata rapi tentang uang masuk dan uang keluar, terhadap pembuatan BKU juga tidak dilakukan pemeriksaan oleh Pengguna Anggaran ataupun Atasan Langsung terdakwa. Bahwa akibat tidak dilaksanakannya pembukuan pemegang kas dan pelaksanaan pembukuan kas umum yang tidak tertib ternyata menyebabkan terjadinya pengeluaranpengeluaran anggaran ganda, yaitu dalam mata anggaran perjalanan dinar. SPJ-SPJ tersebut tidak dapat terdakwa lengkapi dan serahkan kepada BPKD sehingga pada perhitungan anggaran akhir tahun, SPJ anggaran BKD tahun 2005 tidak dimasukan ke BPKD oleh terdakwa dan baru diserahkan ke BPKD oleh terdakwa pada bulan Maret 2006. Tidak diserahkannya SPJ oleh terdakwa telah ditindaklanjuti oleh kepada BPKD dengan melayangkan surat-surat teguran, surat-surat peringatan (SP) baik kepada terdakwa selaku Pemegang Kas dan kepada Kepala BKD selaku Pengguna Anggaran.
9
Terjadinya SPJ yang tidak disahkan, pengeluaran yang menyimpang, dan adanya sisa UUDP yang tidak disetorkan, telah melanggar ketentuan-ketentuan dalam perundang-
Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara pasal 53 ayat (1): "Bendahara penerimaan/bendahara pengeluaran bertanggung jawab secara fungsional atas
Rekapitulasi Perkara Tindak Pidana Korupsi pada Kejaksaan Negeri Payakumbuh Tahun 2009 No 1.
Tingkat Penyelidikan Adanya dugaan Penyelewengan dalam Pelaksana kegiatan pengadaan Pengadaan Pakaian Dinas beserta Perlengkapannya Tahun 2007 pada Dinas Kesehatan Kabupaten Lima Puluh Kota.
2.
Adanya dugaan penyelewengan pada pekerjaan / pelaksanaan proyek perluasan kebun gambir seluas 250 Ha di Kenagarian Sialang Kec. Kapur IX, Kab. Lima Puluh Kota terhadap dana APBN TP TA 2007 sebesar ± Rp. 1,9 Milyar.
3.
Adanya dugaan penyalahgunaan keuangan Koperasi Simpan Pinjam Bina Bersama Kelurahan Padang Kaduduk, Kec. Payakumbuh Utara Kota Payakumbuh terhadap keuangan Negara TA 2005 s/d 2007 sebesar ± Rp. 159.977.637,(seratus lima puluh sembilan juta sembilan ratus tujuh puluh tujuh ribu enam ratus tiga puluh tujuh rupiah) oleh Pengurus Koperasi Bina Bersama. Dugaan penyalahgunaan Keuangan Negara terhadap Pengadaan Sistem Informasi Kepegawaian (SIWEG) BKD Kota Payakumbuh TA. 2005 sebesar Rp. 217.000.000,- (dua ratus tujuh belas juta rupiah).
4.
Tingkat Penyidikan An. Adrimas, Dkk Dugaan penyimpangan/ penyalahgunaan keuangan pada kantor Satpol PP Kota Payakumbuh Tahun 2007. An. Edi Ahmad Kepala Satgas Solok PT. Sang Hyang Seri Penyalahgunaan bantuan bencana alam pada Dinas Tanaman Pangan Kab.50 Kota Tahun 2005.
Tingkat Penuntutan An. Amris Penyimpangan Pengelolaan anggaran pada kantor BKD Kota Payakumbuh TA 2005.
Dinas Kesehatan Kab.50 Kota Penyelewengan pelaksanaan kegiatan Pengadaan pakaian Dinas serta Perlengkapan Tahun 2007 pada Dinas Kesehatan Kab.50 Kota
An. Danis Ilyas, SH Penyimpangan Pengelolaan dana APBD Kota Payakumbuh TA 1998/1999 dan TA 1999/2000.
undangan sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Daerah pasal 3 ayat (1): "Keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan."
Eksekusi -
An. Boy Syamsir Dugaan penyimpangan/ penyalahgunaan keuangan pada kantor Satpol PP Kota Payakumbuh Tahun 2006.
pengelolaan uang yang menjadi tanggung jawabnya kepada Kuasa Bendahara Umum Negara/Bendahara Umum Daerah." PP No. 105 tahun 2000 tentang pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah Pasal 4"Pengelolaan Keuangan Daerah dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang10
undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan." Terdakwa selaku pemegang kas dengan tidak menjalankan ketentuanketentuan tersebut telah memperkaya terdakwa sebesar Rp. 190.873.971,- atau orang lain Nuryatini sebesar Rp. 9.000.000,-. Tindakan terdakwa tidak menyetorkan sisa UUDP tahun 2005 pada BKD Kota Payakumbuh telah mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp. 190.873.971,sesuai dengan laporan hasil audit investigatif BPKP Perwakilan Provinsi Sumatera Barat No. LAP378/PW03/5/2008 tanggal 24 Desember 2008. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang dimaksud dengan keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Lebih lanjut dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003, keuangan negara meliputi: hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman, kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga, penerimaan negara, pengeluaran negara, penerimaan daerah, pengeluaran daerah, kekayaan negara. Kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah, kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum, dan kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Terjadinya pengeluaran dana anggaran yang menyalahi aturan dan adanya sisa UUDP yang tidak setorkan terdakwa selaku Pemegang kas tidak terlepas dari turut lalainya atau tidak adanya pengawasan dari Pengguna Anggaran/Atasan Langsung Pemegang Kas yang dalam hal ini adalah Drs. YUSUF YATIM dan juga Kepala BPKD Kota Payakumbuh. Dari uraian singkat dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut, maka Jaksa Penuntut
Umum menuntut terdakwa Amris sesuai Tuntutan Pidana (Requisitoir) Nomor Register PDS-02/PYKBH/0509 tanggal 05 Agustus 2009 yang pada pokoknya menuntut Supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Payakumbuh yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan sebagai berikut: 1. Menyatakan terdakwa AMRIS terbukti bersalah dan menyakinkan melakukan Tindak Pidana Korupsi Secara BersamaSama sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dalam dakwaan PRIMAIR; 2. Menjatuhkan Pidana terhadap terdakwa AMRIS dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan 6 (enam) bulan dikurangi masa tahanan yang telah dijalam dan pidana Benda sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) subsidiair 6 (enam) bulan kurungan; 3. Menghukum terdakwa AMRIS untuk membayar uang pengganti sebesar Rp.190.873.971 (seratus sembilan puluh juta delapan ratus tujuh puluh tiga ribu sembilan ratus tujuh puluh satu rupiah) apabila terdakwa tidak membayar paling lama dalam waktu. 1 (satu) bulan sesudah putusan Pengadilan Negeri mempunyai kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya disita oleh Jaksa dan dilelang untuk negara, jika hartanya tidak mencukupi dipidana dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun, 4. Menyatakan Barang bukti (terlampir); 5. Menetapkan supaya terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah). Dikarenakan dakwaan Jaksa Penuntut Umum adalah Dakwaan Subsidaritas, maka majelis Hakim akan mempertimbangkan dakwaan primer terlebih dahulu, apabila dakwaan Primair telah terbukti, maka majelis Hakim tidak akan mempertimbangkan dakwaan Subsidair. Akan tetapi apabila Dakwaan Primair tidak terbukti, maka majelis Hakim kemudian mempertimbangkan Dakwaan Subsidair. 11
Dalam Dakwaan Primair Pasal yang didakwakan adalah Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut: 1. Setiap orang, 2. Melawan hukum, 3. Memperkaya diri sendiri atau, orang lain atau korporasi, 4. Dapat merugikan keuangan Negara/perekonomian Negara, 5. Pelaku tindak pidana: adalah mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan, dan yang turut serta melakukan.
Berdasarkan Putusan majelis Hakim Pengadilan Negeri Payakumbuh Nomor 69/Pid.B/2009/PN.PYK tanggal 20 Agustus 2009, dengan pertimbangan bahwa majelis Hakim dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa selalu berpedoman pada maksud dan tujuan pemidanaan itu sendiri yaitu dimaksudkan untuk membuat seseorang menderita ataupun sebagai tindakan pembalasan atas perbuatannya, akan tetapi pemidanaan itu sendiri haruslah memberi manfaat bagi anggota masyarakat pada umumnya dan pada khususnya berguna pula bagi pribadi terdakwa agar tidak lagi mengulangi perbuatannya, dan juga untuk pencegahan dan pendidikan baik bagi terdakwa maupun masyarakat pada umumnya. Maka amar putusan Pengadilan Negeri Payakumbuh Nomor 69/Pid.B/2009/PN.PYK tanggal 20 Agustus 2009 berbunyi sebagai berikut:
Berdasarkan hasil audit investigatif BPKP Perwakilan Propinsi Sumatera Barat No: LAP-378/PW03/5/2008 tanggal 24 Desember 2008 pihak yang bertanggung jawab adalah: 1 . Pemegang kas yang tidak melaksanakan pengelolaan dan pertanggungjawaban dana APBD sebagaimana seharusnya dan tidak sesuai dengan tujuan peruntukannya; 2 . Pengguna anggaran (Kepala Badan Kepegawaian Daerah) yang menandatangani pengajuan SPP walaupun tidak dilengkapi dengan SPJ bulan sebelumnya dan tidak melaksanakan pemeriksaan kas yang ada pada pemegang kas dan menyetujui pembayaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya; 3 . Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) yang tetap memproses pengajuan SPP menjadi SPM walaupun tidak dilengkapi dengan SPJ bulan sebelumnya.
1. Menyatakan terdakwa Amris tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana Dakwaan Primair. 2. Membebaskan terdakwa dari Dakwaan Primair tersebut. 3. Menyatakan terdakwa Amris telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "Korupsi yang dilakukan secara bersama-sama." 4. Menghukum terdakwa Amris oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). 5. Menyatakan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan. 6. Menetapkan masa penahanan vang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. 7. Menetapkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan. 8. Menghukum terdakwa Amris untuk membayar uang pengganti sebesar Rp.190.873.971,- (seratus sembilan puluh juta delapan ratus tujuh puluh tiga ribu sembilan ratus tujuh puluh satu rupiah) dengan ketentuan apabila terdakwa tidak membayar paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka
Maka berdasarkan fakta hukum di persidangan tersebut dihubungkan dengan tata cara pencairan anggaran, maka proses pencairan anggaran BKD yang tidak prosedural, di mana dalam hal ini tanpa dilengkapi SPJ bulan sebelumnya, yang dilakukan oleh terdakwa tidak dapat begitu saja cair tanpa diketahui dan ditandatangani oleh kepala unit kerja yaitu kepala BKD dan SPP yang diajukan didasarkan kepada DASK dan Surat Keputusan Otorisasi (SKO), SPP ini dikirimkan ke BPKD untuk dilakukan pemeriksaan apakah dana yang diajukan dalam SPP telah sesuai dengan SKO. 12
bahkan kepada Kejaksaan Agung.12
harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, jika terpidana tidak memiliki harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti dipidana dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan. 9. Menetapkan barang bukti (terlampir); dikembalikan kepada Penuntut Umum untuk dipergunakan sebagai barang bukti dalam perkara lain. 10. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah). Atas putusan tersebut Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding.
Kendala yang Ditemui Sehubungan dengan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Negeri Payakumbuh melakukan beberapa upaya untuk mengatasi kendala yang ditemui sehubungan dengan penyidikan tindak pidana korupsi, antara lain :13 a.) Kejaksaan melakukan upaya koordinasi yang
Dalam penelitian ini, Jaksa Penyidik menjelaskan bahwa tahapan penuntutan baik yang penyidikannya dari Kepolisian ataupun Kejaksaan tidak ada bedanya. Proses ini hanya sedikit berbeda dalam proses prapenuntutan, yaitu dalam pembuatan berkas perkaranya saja. Jika penyidiknya langsung dari Kejaksaan sangat tidak memungkinkan adanya pembuatan berkas yang berulang-ulang karena Jaksa Penyidik tersebut sudah dapat dengan jelas menggambarkan peristiwa pidananya dari hasil penyidikannya, sehingga hal ini dapat mengefesienkan waktu dan dana yang diperlukan dalam proses penuntutan perkara korupsi, selain adanya himbauan melalui Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: B-005/A/Fd.1/01/2009 tanggal 22 Januari 2009 perihal Mempercepat proses penanganan perkara-perkara korupsi seIndonesia dapat secara langsung teraplikasi. Dalam proses penuntutan tersebut, masih dimungkinkan adanya perbedaan pendapat dalam penerapan pasal saja, sehingga pemecahan masalahnya dapat dilakukan melalui diskusi kelompok, juga melalui ekspose atau gelar perkara sehingga semua pihak yang terlibat dapat dengan maksimal melakukan proses penuntutan perkara korupsi. Kejaksaan sebagai suatu institusi dengan sistem komando mengharuskan adanya koordinasi vertikal antar Jaksa Penuntut Umum dalam setiap tindakan. Khususnya dalam perkara korupsi bahwa adanya Rencana Tuntutan (Rentut) yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum kepada Kepala Kejaksaan Negeri, kepada Kepala Kejaksaan Tinggi, dan
dilakukan
berkesinambungan Badan
Pemeriksa
Pembangunan
dengan
secara Kepala
Keuangan
Perwakilan
dan
Sumatera
Barat untuk memberikan rekomendasi kepada pegawai nya yang ditunjuk sebagai auditor dan dapat dimintai keterangannya sebagai saksi ahli dalam kasus tindak pidana korupsi. Auditor yang diutus sebagai saksi ahli harus dapat dimintai keterangannya dalam memberikan hasil audit yang bisa menjelaskan sebagai
hasil
pelapor
audit adanya
sekalisgus indikasi
penyelewengan keuangan Negara pada
12 Hasil wawancara dengan Selmadera SS, SH, Jaksa Penyidik Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Payakumbuh, pada hari Jum'at tanggal 11 April 2014, Pukul 09.00 WIB bertempat di kantor Kejaksaan Negeri Payakumbuh.
13
Hasil Wawancara dengan Salmadera Shulha Sovma, kasubsi penyidikan Bidang Tindak Pidana Khusus pada kejaksaan Negeri Payakumbuh. Pada hari senin tanggal 22 April 2014, pukul 11.00 WIB, bertempat di Kantor Kejaksaan Negeri Payakumbuh. 13
saat
penyidikan
hingga
tahap
pembuktian di persidangan pada kasus
pembuktian di persidangan.
korupsi
b.) Dalam hal masih kurang nya personel
yang
terjadi
di
Badan
Kepegawaian Daerah Payakumbuh.
jaksa sebagai penyidik yang ada di
2. Kendala
Kejaksaan Negeri Payakumbuh, Pihak
Penyidik
Kejaksaan Negeri melakukan upaya
Payakumbuh dalam upaya penyelesaian
koordinasi
penyidikan tindak pidana korupsi ada 2
dan
meningkatkan
kerja
yang
ditemui
pada
oleh
Kejaksaan
Jaksa Negeri
sama dengan pihak Kepolisian Resor
(dua), sebagai berikut:
Payakumbuh guna bisa mempercepat
a. Tidak adanya standarisasi mengenai
penyelesaian perkara korupsi dalam hal
subjek/orang yang disebut sebagai
Pemberantasan tindak pidana korupsi
ahli.
yang
terjadi
di
wilayah
Kabupaten
hukum
b. Masih terbatasnya jumlah prsonel
Payakumbuh
jaksa
penyidik
Tindak
Pidana
Khusus yang ada pada Kejaksaan Negeri Payakumbuh.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas,
3. Upaya mengatsi kendala yang ditemui
maka penulis mengemukakan beberapa
sehubungan dengan Penyidikan Tindak
kesimpulan sebagai berikut:
Pidana Korupsi sebagai berikut :
1. Kejaksaan memiliki
Negeri landasan
melaksanakan
Payakumbuh yuridis
a.)
dalam
koordinasi
kewenangannya
Kejaksaan yang
berkesinambungan
melakukan dilakukan
dengan
Badan
Pemeriksa
korupsi.
Kewenangan
Perwakilan Sumatera Barat untuk memberikan
terhadap
perkara
korupsi
tersebut
dan
secara
melakukan penyidikan pada perkara penyidikan
Keuangan
Kepala
upaya
Pembangunan
rekomendasi kepada pegawai nya yang ditunjuk
terlihat dalam hal, mapunya kejaksaan
sebagai
melakukan penyidikan hingga tahap
keterangannya sebagai saksi ahli dalam kasus
14
auditor
dan
dapat
dimintai
tindak pidana korupsi. Auditor yang diutus
sebagai auditor (BPKP) yang diminta
sebagai
keterangannya
saksi
ahli
harus
dapat
dimintai
sebagai
ahli
dalam
keterangannya dalam memberikan hasil audit
persidangan korupsi adalah orang yang
yang bisa menjelaskan hasil audit sekalisgus
bersertifikasi,
sebagai pelapor adanya indikasi penyelewengan
khusus oleh Mahkamah Agung sebagai
keuangan Negara pada saat penyidikan hingga
ahli/ saksi ahli sehingga kemampuan
tahap pembuktian di persidangan.
yang terotentikasi mampu menjelaskan
b.)
Dalam hal masih kurang nya
diberikan
kasus posisi kerugian keuangan Negara,
personel jaksa sebagai penyidik yang ada di
dalam
Kejaksaan
tindak pidana korupsi.
Negeri
Payakumbuh,
sertifikasi
Pihak
proses
penyelesaian
Kejaksaan Negeri melakukan upaya koordinasi
Kedepan
dan meningkatkan kerja sama dengan pihak
Payakumbuh
Kepolisian Resor Payakumbuh guna bisa
personel jaksa penyidik tindak pidana
mempercepat penyelesaian perkara korupsi
khusus oleh lembaga yang berada di tingkat
dalam hal Pemberantasan tindak pidana korupsi
lebih tinggi, serta memberdayakan sumber
yang terjadi di wilayah hukum Kabupaten
daya manusia dan profesionalisme sebagai
Payakumbuh.
jaksa penyidik tindak pidana khusus. Agar
Saran
proses penyelesaian perkara korupsi yang
Agar pidana
kewenangan korupsi
di
penyidikan Kejaksaan
hendaknya di
kejaksaan
perkara
berikan
Negeri
penambahan
tindak
ada dan masih berjalan dapat terselesaikan
Negeri
dengan wanktu yang relaif singkat dan tidak
Payakumbuh di masa yang datang tidak lagi
terlalu lama.
dihadapkan pada masalah serupa, adapun saran
DAFTAR PUSTAKA
yang penulis ajukan adalah sebagai berikut:
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada,2002. Al. Andang L. Binawan, Korupsi Kemanusiaan Menafsirkan Korupsi (dalam) Masyarakat, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2006. Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
a. Untuk kendala tidak adanya standarisasi mengenai subjek/orang yang disebut sebagai ahli: agar instansi yang bertugas
15
Amin Sutikno, Dakwaan dan Pembuktian Dalam Prekara Korupsi, Varia Peradilan No. 260 Juli 2007. Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008. Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, dan Syarif Fadiflah, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Bandung: Refika Aditaina.2008.
Peraturan Hukum Pidana. Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi String, Payakumbuh Haluan, Selasa, 23 Juli 2013 02:20. Sumber http://www.harianhaluan.com/index.php/be rita/sumbar/25076-kejaksaan-payakumbuhbidik-19-kasus-korupsi Sinar Harapan, Jumat, 4 Juni 2004 Diduga Terlibat Korupsi APBD 2003 Polisi Segera Tahan 24 Anggota DPRD Payakumbuh. SIDAK / CIDAC 2009 Kamis, 5 Desember 2013. Sumber: http://infokorupsi.com/id/korupsi.php?ac=1 138&l=diduga-terlibat-korupsi-apbd-2003polisi-segera-tahan-24-anggota-dprdpayakumbuh
R. Wiyono, Pembahasan Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi edisi kedua, jakarta : Sinar Grafika, 2009. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010. Salahudin Luthfie, Kewenangan Kejaksaan, FHUI 20011. Soekanto, Soerjono. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2011. Amiruddin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.2012 Undang- Undang No. 1 Tahun 1946. Tentang
16