KOORDINASI DAN SUPERVISI KPK TERHADAP PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI KEJAKSAAN NEGERI SEMARANG
SKRIPSI
Oleh: SUBIYANTORO E1A009121
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013
KOORDINASI DAN SUPERVISI KPK TERHADAP PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI KEJAKSAAN NEGERI SEMARANG
SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Oleh : SUBIYANTORO E1A009121
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013
ii
iii
iv
ABSTRAK KOORDINASI DAN SUPERVISI KPK TERHADAP PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI KEJAKSAAN NEGERI SEMARANG Oleh: SUBIYANTORO E1A009121 Penelitian ini berjudul “Koordinasi dan Supervisi KPK Terhadap Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Semarang”. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis sosiologis. Penelitian ini bersumber dari data primer yaitu wawancara terhadap Penyidik Tindak Pidana Korupsi di Semarang dan data sekunder yang diperoleh dari peraturan perundangundangan, buku-buku literatur, karya ilmiah, dokumen-dokumen maupun suratsurat resmi yang ada hubungannya dengan objek penelitian. Koordinasi dan supervisi adalah tugas Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan undang-undang dalam memberantas tindak pidana korupsi melalui Kejaksaan dan Kepolisian dengan menjalin hubungan kerja dan sebagai counterpartner bagi kedua lembaga tersebut serta melakukan pengawasan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan dan Kepolisian. Berdasarkan hasil penelitian terhadap pelaksanaan koordinasi dan supervisi KPK sebagai bentuk penghubung dan pengawas dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Semarang, praktiknya yang dilakukan KPK dalam bentuk Surat Perintah Dimulainya Penyidikan, dengar pendapat, musyawarah dan pengambilalihan kasus tindak pidana korupsi.
Kata Kunci : Koordinasi dan Supervisi, penyidikan tindak pidana korupsi.
v
ABSTRACT COORDINATION AND SUPERVISION OF CORRUPTION ERADICATION COMMISION (KPK) AGAINST THE CORRUPTION INVESTIGATION IN SEMARANG By: SUBIYANTORO E1A009121 This research titled "Coordination and supervision of Corruption Eradication Commission (KPK) Against the Corruption Investigation in Semarang". The research method used in this research was socio-juridical approach. This research sourced from the primary data was the interviews with Corruption investigators in Semarang and the secondary data obtained from the legislation, literature books, papers, documents and official papers which had related with the object of research. Coordination and supervision was the task of the Corruption Eradication Commission (KPK) under the law in eradicating corruption through the Procuratorate and the police to establish a working relationship and as a counterpartner for both institutions and conduct surveillance in the eradication of corruption committed by the Prosecutor and the Police. Based on the results of research on the implementation of the coordination and supervision of Corruption Eradication Commission (KPK) as a liaison and supervisor form of in terms of eradication of corruption committed by the State Prosecutor in Semarang, its practice in the form of Warrant Commencement of Investigation, hearings, deliberations and takeover cases of corruption.
Keywords: Coordination and Supervision, investigation of corruption.
vi
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul: KOORDINASI DAN SUPERVISI KPK TERHADAP PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI KEJAKSAAN NEGERI SEMARANG Skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Dalam proses penulisan ini, penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak secara langsung ataupun tidak langsung. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis akan menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Dr. Angkasa, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; 2. Dr. Hibnu Nugroho,S.H., M.H., selaku Pembimbing Skripsi I yang telah memberikan arahan dan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;
vii
4. Pranoto, S.H., M.H., selaku Pembimbing Skripsi II yang telah memberikan arahan dan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini; 5. Weda Kupita, S.H., M.H., selaku Dosen Penguji Skripsi yang memberi masukan dan bimbingan bagi kesempurnaan skripsi penulis; 6. Saryono Hanadi, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang memberikan motivasi dan bimbingan dari semester awal hingga akhir; 7. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah memberikan banyak ilmu kepada penulis selama mengikuti kuliah di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; 8. Seluruh staf karyawan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah banyak membantu dalam proses menuju kelulusan; 9. Kedua orang tua tercinta, yang tidak pernah habis memberikan doa, kasih sayang, pengorbanan, dorongan dan semangat dari kecil hingga dewasa dan sepanjang penulisan skripsi ini; 10. Rekan seperjuangan dalam penelitian skripsi; 11. Teman-teman penulis yang selalu memotivasi dan mendukung penulis; 12. Keluarga Besar UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) LFC (Law Football Club) dan UFC (Unsoed Football Club) ; 13. AKP Ibnu Suka, S.H., selaku Kasubmit 2 Unit 3 Tipikor di Polrestabes Semarang. 14. Agung Dedi Dwi Handes, S.H., M.H., selaku Jaksa Fungsional di Kejaksaan Negeri Semarang. 15. Pardiono, S.H., selaku Kepala Bidang Eksaminasi di Kejaksaan Tinggi Jawa viii
Tengah. 16. Bripka Arif Pu’anto, S.H., selaku Penyidik Pembantu Penyidik Tindak Pidana Korupsi di Polres Semarang. 17. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, mengingat keterbatasan pengetahuan, waktu dan terbatasnya literatur. Namun dengan segala kerendahan hati penulis mohon maaf sekaligus sumbang saran maupun kritik konstruktif yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini ada manfaatnya bagi kita semua.
Purwokerto, 21 November 2013
Penulis
ix
Daftar Isi
HALAMAN HALAMAN JUDUL ..............................................................................................ii HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................. iii SURAT PERNYATAAN......................................................................................iv ABSTRAK ............................................................................................................v ABSTRACT .........................................................................................................vi PRAKATA ..........................................................................................................vii DAFTAR ISI ..........................................................................................................x BAB I
PENDAHULUAN .........................................................................1 A. Latar Belakang ..........................................................................1 B. Perumusan Masalah ..................................................................8 C. Tujuan Penelitian ......................................................................8 D. Manfaat Penelitian ....................................................................8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................10 A. Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Pidana ...............................10 B. Asas-asas Hukum Acara Pidana .............................................13 C. Koordinasi dan Supervisi ....................................................... 24 1. Pengertian Koordinasi .................................................24 2.
Ruang Lingkup Koordinasi .......................................27 x
3. Masalah-masalah Yang Dihadapi ...............................28 4. Pengertian Supervisi ...................................................29 D. Komisi Pemberantasan Korupsi ..............................................30 1. Latar Belakang Pembentukan KPK ............................30 2. Rencana Strategis KPK ...............................................31 3. Tugas dan Wewenang KPK ........................................35 4. Struktur Organisasi KPK ............................................36 E. Penanganan Tindak Pidana Korupsi .......................................46 1. Wewenang Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi oleh POLRI .................................................................46 2. Wewenang Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi oleh Kejaksaan ............................................................49 3. Wewenang Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi oleh KPK......................................................................53 4. Hubungan KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan ....55 BAB III
METODE PENELITIAN............................................................57 A. Metode Pendekatan ................................................................57 B. Spesifikasi Penelitian ..............................................................58 C. Lokasi Penelitian .....................................................................58 D. Sumber Data ............................................................................59 E. Metode Pengumpulan Data .....................................................61 F. Metode Penyajian Data ............................................................63 G. Metode Penentuan Informan ...................................................63 H. Metode Validitas Data ............................................................64 x
I. Metode Analisis Data...............................................................65 BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..........................66 A. Hasil Penelitian Data Sekunder ...............................................66 B. Hasil Penelitian Data Primer....................................................74 C. Pembahasan .............................................................................87 1. Koordinasi Penyidikan
dan
Supervisi
Tindak
Pidana
KPK
Terhadap
Korupsi
Di
Kejaksaan Negeri Semarang ....................................87 2. Pelaksanaan Koordinasi dan Supervisi KPK Terhadap Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di Kejaksaan Negeri Semarang ..................................114 BAB V
PENUTUP...................................................................................133 A. Simpulan ...............................................................................133 B. Saran .....................................................................................134
DAFTAR PUSTAKA
x
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi adalah masalah dalam perekonomian bagi setiap bangsa di dunia, baik dalam lingkungan pemerintahan maupun lingkungan swasta. Selain merupakan alat untuk memperkaya diri bagi para pelakunya, Korupsi juga merugikan keuangan baik dalam sistem negara maupun dalam perusahaaan atau badan terkait. Indonesia adalah negara hukum banyak pengaturan yang dibuat untuk menekan tingginya angka korupsi di negara Indonesia. Menurut Fockema Andrea yang dikutip Andi Hamzah dalam bukunya, kata korupsi berawal dari bahasa latin corruptio atau corruptus (Webster student Dictionary(1960)). Selanjutnya disebutkan bahwa Corruptio itu berasal pula dari kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Prancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptive, corruptive (korruptie). Dari Bahasa Belanda inilah kata itu turun ke Bahasa Indonesia yaitu “korupsi”.1 Praktik korupsi bukanlah merupakan suatu tindak pidana baru didalam lingkungan pejabat negara atau pejabat swasta di Indonesia. Pemerintah telah Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 2005, hlm. 4. 1
2
berupaya untuk menanggulangi praktik ini diantaranya dengan membuat peraturan khusus terkait tindak pidana korupsi dan membuat lembaga/badan khusus untuk menangani kasus tersebut. Tindakan ini dilakukan sebagai bentuk nyata pemerintah dalam menanggulangi korupsi yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan
nasional,
sehingga harus
ditanggulangi
dalam
rangka
mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Sebagai langkah awal dari pemberantasan korupsi pemerintah menjadikan korupsi adalah tindak pidana khusus dan mengeluarkan peraturan mengenai hal tersebut yang mana merupakan peraturan yang berjalan diluar KUHP (Lex Specialis Derogate Legi Generali). Ini menjadikan penanganan terhadap korupsi dapat berjalan dengan peraturan yang dapat berkembang di masyarakat dan mengikuti perkembangan zaman. Hal ini menunjukkan pemerintah bertindak tegas dalam menanggulangi korupsi yang telah, sedang, dan akan merugikan negara baik dari segi ekonomi maupun dalam segi perkembangan negara. Peraturan tersebut diantaranya pada Masa Peraturan Penguasa
Militer
dengan
mengeluarkan
Peraturan
Militer
Nomor
PRT/PM/06/1957 hingga pada masa Undang-Undang yang terbaru dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
3
Pidana Korupsi dan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.2 Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi membawa kemajuan terhadap peran pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Dalam Undang-Undang tersebut dimuat tentang peradilan khusus tindak pidana korupsi dan mengamanatkan tentang pembentukan badan pemberantasan korupsi. Dimana dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tercantum dalam Pasal 43 ayat (1), yaitu : “Dalam waktu paling lambat 2 (Dua) tahun sejak undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. Merujuk akan hal tersebut Pemerintah pada tahun 2002 melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakan badan khusus dalam menangani kasus korupsi dan merupakan badan “super body”. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukanlah badan pertama yang dibentuk oleh pemerintah untuk menangani kasus korupsi. Sejak tahun 1967 pemerintah telah melakukan pembentukan badan serupa untuk menangani kasus korupsi. Badan khusus ini diantaranya adalah Tim Pemberantasan Korupsi yang dibentuk pada tahun 1967, Komite Anti Korupsi (KAK) yang dibentuk pada tahun 1970, Komisi Empat yang dibentuk pada tahun 1970,
2
Evi Hartanti, TINDAK PIDANA KORUPSI EDISI KEDUA, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 22-23.
4
Operasi Tertib (OPSTIB) yang dibentuk pada tahun 1977, Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang dibentuk pada tahun 1982, Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) yang dibentuk pada tahun 1999, dan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) yang dibentuk pada tahun 1999.3 Dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan korupsi. Sebagai badan yang diharapkan bertindak luar biasa dalam memberantas korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diserahi 5 (lima) tugas sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu: a. Melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. b. Melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; intansi yang berwenang adalah termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, inspektorat pada Departemen atau Lembaga Pemerintah Non-Departemen. c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi. e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara. Tugas koordinasi, supervisi, penindakan, pencegahan dan monitoring merupakan tugas-tugas yang tidak dapat dilepaskan satu sama lain. Antara yang satu dengan yang lain saling berhubungan dalam pemberantasan korupsi. Hanya saja dalam pelaksanaan, bisa saja tugas tertentu lebih terlihat dibanding 3
http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberantasan_Korupsi, diakses pada tanggal 2 Maret 2013.
5
yang lain. Dalam hal ini, amatan publik tentunya lebih melihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pelaksaan tugas penindakannya. Sementara tugas lainnya seperti koordinasi dan supervisi tidak begitu terlihat. Padahal tugas ini merupakan tugas utama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mendukung institusi penegak hukum lainnya seperti Kejaksaan, Kepolisian dalam mempercepat pemberantasan korupsi. Hal ini menunjukkan, tugas dan wewenang koordinasi dan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan salah satu kewenangan strategis yang diberikan pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di samping itu, tugas dan wewenang koordinasi serta supervisi ini tepat mendukung dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai mekanisme pemicu (trigger mechanism) badan atau institusi lainnya dalam mempercepat
pemberantasan
korupsi.
Sebagai
koordinator,
tentunya
koordinasi dan supervisi menjadi tugas yang menjadi perhatian utama. Untuk efektivitas pelaksanaan tugas tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga diberikan tugas penindakan dengan tanpa harus mencabutnya dari institusi penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan. Berbeda dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kinerja pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan tidak dapat maksimal karena memiliki sejumlah hambatan seperti kewenangan yang terbatas dan regulasi yang tidak menunjang. Hambatan lain yang muncul adalah karena kedudukannya dibawah eksekutif menyebabkan independensi kedua institusi hukum tersebut diragukan. Intervensi politik serta munculnya
6
faktor non-teknis seperti praktik korupsi di internal penegak hukum menjadi penyebab terhambatnya upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh kedua institusi tersebut. Hambatan tersebut sesungguhnya dapat diminimalisir dengan adanya koordinasi dan kerjasama antara semua institusi penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian dan Kejaksaan. Jika koordinasi dan kerja sama ini dilakukan dengan baik maka akan semakin memudahkan untuk menindak para pelaku korupsi. Oleh karenanya memberdayakan institusi lain seperti Kepolisian dan Kejaksaan dalam kerangka penguatan tugas koordinasi dan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai sangat urgent untuk dilakukan. Selain dari aspek penindakan, fungsi koordinasi dan supervisi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang juga harus diperkuat adalah pada aspek pencegahan. Dibanding dengan langkah penindakan, kerja supervisi dan koordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada bagian pencegahan sudah dilakukan sejak 2004 lalu meski tidak mendapatkan perhatian publik maupun media secara luas. Koordinasi dan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada aspek pencegahan juga dinilai penting dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi menjadi lebih maksimal. Luasnya kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diberikan oleh undang-undang menjadikan penelitian ini tidak mungkin bisa mencakup semua kewenangan tersebut. Oleh karena itu, sesuai dengan latar
7
belakang pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yaitu belum efektifnya lembaga penegak hukum yang lama dalam pemberantasan korupsi, maka penelitian ini akan dititik-beratkan pada kebijakan dan pelaksanaan koordinasi dan supervisi dibidang penindakan. Hal ini bukan berarti penindakan lebih penting dari pada pencegahan, akan tetapi diharapkan dalam kesempatan yang lebih luas kedepan, penelitian yang lebih komprehensif tentang kebijakan dan pelaksanaan koordinasi dan supervisi di bidang pencegahan dapat dilakukan. Bahkan, untuk menigkatkan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam upaya memimpin pemberantasan korupsi di Indonesia, keseimbangan antara lima tugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti yang diatur di Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi sangat dibutuhkan. Dalam rangka membangun kembali kepercayaan publik terhadap peran dan citra lembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Maka salah satu mekanisme dalam sub system peradilan pidana, kordinasi dan supervisi yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), perlu untuk diberdayakan secara lebih optimal. Berkaitan dengan hal tersebut penulis akan meneliti peran koordinasi dan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam tindak pidana korupsi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas koordinasi dan supervisi dilakukan KPK untuk mempercepat pelaksanaan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan bekerja sama dengan instansi dan badan yang menangani tindak pidana
8
korupsi, judul yang dikemukakan adalah: “Koordinasi dan Supervisi KPK Terhadap Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Kejaksaan Negeri Semarang” B. Perumusan Masalah 1. Mengapa koordinasi dan supervisi KPK terhadap penyidikan tindak pidana korupsi dilakukan di Kejaksaan Negeri Semarang? 2. Bagaimanakah pelaksanaan koordinasi dan supervisi KPK terhadap penyidikan tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Semarang? C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan masalah-masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini maka tujuan penelitian ini antara lain sebagai berikut : 1. Mengetahui mengapa pelaksanaan koordinasi dan supervisi KPK terhadap penyidikan tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Semarang. 2. Memberikan gambaran dan menganalisa pelaksanaan koordinasi dan supervisi KPK terhadap penyidikan tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Semarang. D. Kegunaan Penelitian 1. Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah kepustakaan ilmu hukum khususnya hukum acara pidana, sehingga hukum dapat selalu selaras dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
9
2. Secara Praktis Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak-pihak terkait dari Komisi Pemberantasan Korupsi khususnya dalam hal penyidikan, sebagai bahan pertimbangan. Hal ini juga dapat memberikan gambaran kepada kalangan akademis dan masyarakat menegenai mekanisme koordinasi dan supervisi yang dilakukan oleh KPK sebagai “counter partner”dengan lembaga Kepolisian dan Kejaksaan yang dapat dilaksanakan dengan lebih efisien dan efektif.
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Pidana Tujuan Hukum Acara Pidana pada hakekatnya adalah mencari kebenaran dan mengarahkan pada posisi untuk mencapai kedamaian, para penegak hukum mulai dari polisi, jaksa sampai kepada hakim dalam menyidik, menuntut, dan mengadili perkara harus senantiasa berdasar kebenaran dan hal-hal yang sungguh terjadi. Selain itu para penegak hukum hendaknya dalam menjalankan fungsi dan wewenang senantiasa berpedoman kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai landasannya. Dalam pedoman pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman, tujuan acara pidana dijelaskan sebagai berikut: “Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan Hukum Acara Pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang didakwakan melakukan pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan, demikian pula setelah putusan pengadilan dijatuhkan dan segala upaya hukum telah dilakukan dan akhirnya putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka hukum acara pidana mengatur pula pokok-pokok acara pelaksanaan dan pengawasan dari putusan tersebut”.4 Dari rumusan tersebut dapat dilihat bahwa hukum acara pidana mempunyai tujuan atau fungsi sebagai berikut: 4
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktik, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 4.
11
1. Sebagai sarana untuk mencari suatu kebenaran materiil dari suatu tindak pidana yang terjadi; 2. Menemukan orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana; 3. Meminta pengadilan untuk memutuskan bersalah atau tidaknya tersangka; dan 4. Melaksanakan dan kemudian mengawasi pelaksanaan dari putusan tersebut.5 Menurut pendapat S. Tanusoebroto dalam bukunya mengemukakan tujuan Hukum Acara Pidana adalah: Tujuan Hukum Acara Pidana adalah mengatur tata cara dalam rangka ikhtiar untuk menentukan kebenaran daripada felt yang disangka telah diperbuat orang sehingga terbukalah kemungkinan justru untuk mencegah dilakukannya penuntutan terhadap seseorang yang telah bersalah untuk dijatuhi sanksi pidana.6 Sedangkan Loebby Luqman sebagaimana dikutip oleh Bambang Poernomo merumuskan tujuan Hukum Acara Pidana sebagai berikut: “Tujuan ilmu Hukum Acara Pidana mempunyai kesamaan dengan tujuan hukum dengan sifat kekhususan yaitu mempelajari hukum mengenai tatanan penyelenggaraan proses perkara pidana dengan memperhatikan perlindungan masyarakat serta menjamin hak manusia dan mengatur susunan serta wewenang alat perlengkapan Negara penegak hukum untuk mencapai kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan sarana peraturan hukum acara pidana itu susunan dan wewenang alat perlengkapan Negara penegak hukum dalam proses perkara pidana mempunyai tugas mencari dan menemukan fakta menurut kebenaran, mengadakan tindakan penuntutan secara tepat dan memberikan putusan dan pelaksanaannya secara adil.”7
5
Hibnu Nugroho, Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Media Prima Aksara, Jakarta, 2012, hlm. 32. 6 S. Tanusoebroto, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana Cetakan Pertama, Armico, Bandung, 1984, hlm. 9. 7 Bambang Poernomo, Pola Dasar dan Azaz Hukum Acara Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1993, hlm. 29.
12
Secara lebih ringkas dikemukakan oleh Van Bemmelen seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah dalam bukunya, menemukan tiga fungsi acara pidana sebagai berikut: a. Mencari dan menemukan kebenaran; b. Pemberian keputusan oleh hakim, dan; c. Pelaksanaan keputusan.8 Dari ketiga fungsi tersebut yang paling memegang peranan penting adalah fungsi “mencari kebenaran” karena merupakan tumpuan kedua fungsi berikutnya. Karena pada hakekatnya fungsi Hukum Acara Pidana berawal pada tugas mencari kebenaran hukum yang menjadi landasan bagi tugas selanjutnya. Bila sudah ditemukan kebenaran yang selengkap-lengkapnya dan sebenar-benarnya maka proses hukum dapat dilanjutkan dan dilaksanakan dalam memperoleh kepastian hukum yang adil dalam pelaksanaan keputusan. Menurut R. Soesilo, Hukum Acara Pidana fungsinya adalah melaksanakan hukum pidana materiil artinya memberi peraturan, cara bagaimana Negara dan alat-alatnya dapat mewujudkan wewenangnya untuk memidana atau membebaskan pidana.9 Dari beberapa pendapat sarjana mengenai tujuan dan fungsi Hukum Acara Pidana harus senantiasa memperhatikan hak-hak asasi manusia dan konsekuensi bagi penegak hukum untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KUHAP dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggung 8 9
Andi Hamzah, Op. Cit, hlm. 8-9. R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Politea, Bogor, 1982, hlm.12.
13
jawab, kebenaran materiil merupakan hal yang paling penting dalam pelaksanaan KUHAP. Landasan atau garis-garis tujuan yang hendak dicapai KUHAP pada dasarnya telah ditelaah pada huruf e konsiderans yang merumuskan sebagai berikut: “Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu dibidang Hukum Acara Pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing kearah tegaknya hukum, keadilan, dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang 1945”.
B. Asas-asas Hukum Acara Pidana Suatu hukum menggunakan asas sebagai landasan berpijak dalam operasional pelaksanaannya, begitu pula hukum acara pidana. Dalam hukum acara pidana terdapat beberapa asas-asas penting yang perlu diketahui. Menurut Andi Hamzah,10 terdapat sembilan asas penting dalam hukum acara pidana yaitu: 1. Peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan; Suatu peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan. Berdasarkan penjelasan umum KUHAP Butir 3 Huruf e ditegaskan sebagai berikut:
10
Andi Hamzah, Op. Cit, hlm. 23.
14
Peradilan harus dilaksanakan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas jujur, dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan. Berdasarkan ketentuan tersebut juga ditegaskan dalam ketentuan Pasal 59 ayat (1), (2), dan (3) KUHAP yang pada intinya bahwa tersangka dan terdakwa berhak: a) Segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik; b) Segera diajukan kepada penuntut umum oleh penyidik; c) Berhak perkaranya diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum; dan d) Berhak segera diadili oleh pengadilan. KUHAP menunjukkan sistem peradilan cepat, dengan banyak menggunakan istilah “segera”. Menurut Andi Hamzah11 bahwa istilah “satu kali dua puluh empat jam” lebih pasti dari pada istilah “segera”. Demikianlah sehingga ketentuan yang sangat bagus ini perlu diwujudkan dalam praktik penegak hukum. Ia mengharapkan sebaiknya dalam pembuatan peraturan perundang-undangan yang akan dihindari istilah “segera”, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan semacamnya dan diganti dengan “satu kali dua puluh empat jam”, “tiga kali dua puluh empat jam”, “dua bulan”, dan seterusnya. Mengenai pelimpahan berkas dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding juga diatur sedemikian rupa, agar tercapai pengadilan yang bersifat tepat. Pasal 110 11
Ibid. hlm. 19.
15
KUHAP mengatur tentang hubungan penuntut umum dan penyidik dengan kata “segera.” Pasal 140 ayat (1) KUHAP, bahwa: Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan. Berdasarkan pasal tersebut yang juga terdapat kata secepatnya, berarti penegak hukum dalam melakukan pemeriksaan tidak boleh ditunda-tunda dalam penyelesaian dan harus sesuai dengan tanggung jawab. Dalam KUHAP Tentang asas sederhana dan biaya ringan: a) Penggabungan pemeriksaan perkara pidana dengan tuntutan ganti rugi yang bersifat perdata oleh seorang korban yang mengalami kerugian sebagai akibat langsung dari tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa (Pasal 98); b) Banding tidak dapat diminta terhadap putusan acara cepat; c) Pembatasan penahanan dengan memberi sanksi dapat dituntut ganti rugi pada sidang praperadilan, tidak kurang artinya sebagai pelaksanaan prinsip mempercepat dan menyederhanakan poses penahanan; d) Demikian juga peletakan asas diferensiasi fungional, nyata-nyata memberi
kesederhanaan
penanganan
fungsi
dan
wewenang
penyidikan, agar tidak terjadi penyidikan bolak-balik, timpang tindih dan saling bertentangan. Proses
perkara
pidana
dengan
biaya
ringan
diartikan
menghindarkan sistem administrasi perkara dan mekanisme bekerjanya
16
para petugas yang mengakibatkan beban biaya bagi yang berkepentingan atau masyarakat (social cost) yang tidak sebanding, karena biaya yang dikeluarkan lebih besar dari hasil yang diharapkan. Menurut Andi Hamzah12, peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim) merupakan bagian dari hak asasi manusia. Begitu pula peradilan yang bebas, jujur, dan tidak memihak yang ditonjolkan dalam undang-undang tersebut. Secara ringkasnya menurut Sudikno Mertokusumo13 Sederhana adalah sederhana peraturannya, sederhana untuk dipahami dan tidak berbelit-belit. Cepat berarti tidak berlarut-larut proses penyelesaiannya. Biaya ringan berarti biaya untuk mencari keadilan itu dapat terpikul oleh rakyat. Itu semuanya dengan tanpa mengorbankan ketelitian untuk mencari kebenaran dan keadilan. 2. Praduga tak bersalah (Presumption of innocence); Asas ini di lihat dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP, bahwa: Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Asas ini merupakan asas penghormatan kepada seseorang yang berhadapan dengan hukum dikatakan tidak bersalah sebelum adanya putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. 12
Ibid, hlm. 11. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1996, hlm. 123. 13
17
3. Oportunitas; Penuntut Umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan delik jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum. Asas ini merupakan wewenang dari Kejaksaan Agung sesuai dengan ketentuan Pasal 35 huruf (c) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, bahwa: Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan suatu perkara demi kepentingan umum. A.Z. Abidin seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah memberi suatu rumusan tentang asas oportunitas adalah asas hukum yang memberikan wewenangnya kepada Penuntut Umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum.14 4. Pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum; Pada dasarnya setiap persidangan adalah terbuka untuk umum kecuali persidangan mengenai perkara kesusilaan atau terdakwanya anakanak. Hal ini sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP, bahwa: Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak. Apabila hakim tidak membuka sidang tersebut untuk umum maka hakim melanggar ketentuan ketentuan dan mengakibatkan putusan hakim
14
Ibid, hlm. 14.
18
pengadilan menjadi “batal demi hukum.” Terhadap ketentuan ini ada kecualinya mengenai
perkara
yang menyangkut
kesusilaan
dan
terdakwanya terdiri dari anak-anak, dalam hal ini persidangan dapat dilakukan dengan tertutup. Menurut pendapat Andi Hamzah15 bahwa ketentuan yang terdapat di dalam pasal tersebut terlalu limitatif, seharusnya hakim diberikan kebebasan untuk menentukan sesuai situasi dan kondisi apakah sidang tersebut terbuka atau tertutup untuk umum. Yahya Harahap16 berpendapat bahwa semua sidang pengadilan terbuka untuk umum. Pada saat majelis hakim hendak membuka sidang, harus menyatakan “sidang terbuka untuk umum.” Setiap orang yang hendak mengikuti jalannya persidangan, dapat hadir memasuki ruang sidang. Pintu dan jendela ruangan sidang pun terbuka, sehingga dengan demikian makna prinsip persidangan terbuka untuk umum benar-benar tercapai. Asas pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum disebut sebagai asas demokrasi. Asas ini memberi makna yang mengarahkan tindakan penegakan hukum di Sistem Peradilan Indonesia (SPP) Indonesia harus dilandasi jiwa “persamaan” dan “keterbukaan” serta musyawarah dan mufakat dari majelis peradilan dalam mengambil keputusan. 5. Semua orang diperlakukan sama didepan hakim;
15
Andi Hamzah, Op. Cit M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hlm. 110. 16
19
Penjelasan Umum Butir 3a KUHAP bahwa perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan. Jadi sesuai dengan ketentuan pasal tersebut di atas telah ditegaskan bahwa peradilan memberikan perlakuan yang sama kepada setiap orang di dalam pemeriksaan hakim tanpa adanya pembedaan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Sudikno Mertokusumo, dimuka hukum semua orang adalah sama (equality before the law). Pengadilan tidak hanya mengadili berdasarkan undang-undang seperti yang tercantum dalam Pasal 20AB, tetapi mengadili menurut hukum.17 6. Peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan tetap; Ini berarti pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Untuk jabatannya hakim-hakim ini diangkat oleh Kepala Negara. Berdasarkan rumusan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa: Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Prinsip ini sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut undangundang, yakni sistem pembuktian undang-undang secara negatif. Mewajibkan hakim mencari kebenaran hakiki (ultimate truth) di dalam
17
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit.
20
membuktikan
kesalahan
terdakwa
berdasarkan
batas
minimum
pembuktian menurut undang-undang dengan alat bukti yang sah.18 7. Tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum; Asas ini memberikan harkat dan martabat kepada tersangka atau terdakwa bahwa mereka sederajat dengan manusia lainnya. Bantuan hukum dapat diperoleh oleh tersangka sejak saat di tangkap atau di tahan pada semua tingkat pemeriksaan. Berdasarkan Pasal 69 sampai dengan 74 KUHAP dirumuskan bahwa tersangka atau terdakwa mendapatkan: 1. Bantuan hukum dapat diberikan sejak tersangka ditangkap atau ditahan (Pasal 69); 2. Bantuan hukum diberikan pada semua tingkat pemeriksaan (Pasal 69); 3. Penasehat hukum dapat menghubungi tersangka atau terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu (Pasal 70 ayat (1)); 4. Pembicaraan antara penasehat hukum saat menghubungi tersangka tidak didengar oleh penyisik dan penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut keamanan negara (Pasal 71 ayat (1) dan ayat (2)); 5. Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penuntut umum guna kepentingan pembelaan (Pasal 72); 6. Penasehat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka atau terdakwa (Pasal 73). Pengecualian dari pasal tersebut di atas terdapat pada ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP merupakan kewajiban dari aparat penegak hukum menegaskan bahwa dalam hal tersangka atau terdakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana 15 tahun penjara atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri,
18
M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 112.
21
pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka. Menurut
Andi
Hamzah19
pembatasan-pembatasan
hanya
dikenakan jika penasehat hukum menyalahgunakan hak-haknya tersebut. Kebebasan-kebebasan dan kelonggaran-kelonggaran tersebut hanya dari segi yuridis semata-mata bukan dari segi politik, sosial dan ekonomi. 8. Akusator dan inkusitor (Accusatoir dan Inqusitoir); Kebebasan
memberi
dan
mendapatkan
nasihat
hukum
menunjukkan bahwa KUHAP telah menganut asas akusator. Ini artinya perbedaan antara pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang pengadilan pada asasnya telah dihilangkan. Prinsip akusator menempatkan kedudukan
tersangka atau
terdakwa dalam setiap pemeriksaan sebagai subyek, bukan obyek pemeriksaan, karena itu kedudukan tersangka atau terdakwa harus didudukkan dalam kedudukan yang mempunyai harkat dan martabat. Kesalahan (tindak pidana) yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa menjadi obyek dalam prinsip akusator.20 Menurut Andi Hamzah21, prisnsip inkusitor adalah menempatkan tersangka atau terdakwa sebagai obyek yang dapat diperlakukan dengan sewenang-wenang. Sedangkan menurut L. J. Van Apeldoorn yang dimaksud akusator dan inkusitor adalah:
19
Andi Hamzah, Op. Cit, hlm. 21. ibid, hlm. 22. 21 Loc. Cit 20
22
Sifat accusatoir ialah prinsip, bahwa dalam acara pidana, pendakwa (penuntut umum) dan terdakwa berhadapan sebagai pihak yang sama haknya. Penuntut umum dan terdakwa melakukan pertarungan hukum (rechtsstriid) di muka hakim yang tidak berpihak; Kebalikannya ialah asas inquisitoir dalam mana hakim sendiri mengambil tindakan untuk mengusut, hakim sendiri bertindak sebagai pendakwa, jadi dalam mana tugas dari orang yang menuntut, orang yang mendakwa dan hakim disatukan dalam satu orang.22 9. Pemeriksaan Hakim yang langsung dan lisan. Pemeriksaan di tingkat pengadilan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Ini berbeda dengan acara perdata di mana tergugat dapat diwakili oleh kuasanya. Menurut Andi Hamzah23 hal ini berkaitan dengan tujuan hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materiil, di mana hakim melakukan pemeriksaan di tingkat pengadilan haruslah secara langsung. Pemeriksaan hakim juga dilakukan secara lisan, artinya bukan tertulis antara hakim dan terdakwa. Asas-asas dalam proses penyidikan ini diperlukan untuk menjadi pedoman pelaksanaan tugas bagi para penegak hukum dalam melaksanakan tugas penyidikan. Dengan mengingat bahwa proses penyidikan akan bersentuhan dengan pembatasan hak-hak asasi manusia, maka kedudukan dari asas-asas dalam proses penyidikan tidak boleh dikesampingkan.24 Selain Sembilan asas utama dalam hukum acara pidana diatas, ada beberapa asas dalam proses penyidikan: 22
338.
23
L. J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2009, hlm.
Ibid Hibnu Nugroho, Op.Cit, hlm. 32.
24
23
1. Asas Legalitas Asas Legalitas ini secara tegas dirumuskan dalam konsiderans KUHAP huruf a, merumuskan: “Bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa KUHAP sebagai landasan Hukum Acara Pidana adalah Undang-Undang yang asas hukumnya berdasarkan asas legalitas. 2. Asas Diferensiasi Fungsional Prinsip Diferensiasi Fungsional merupakan penegasan pembagian tugas dan wewenang jajaran aparat penegak hukum secara instational KUHAP meletakkan suatu asas penjernihan (Clarification) dan modifikasi (modification) fungsi dan wewenang antara setiap instansi penegak hukum sehingga terbina saling toleransi dan koordinasi dalam proses penegakkan hukum yang saling berkaitan dan berkelanjutan antara instansi yang satu dengan instansi yang lain sampai ke taraf pelaksanaan eksekusi dan pengawasan pengamatan pelaksanaan eksekusi. Mulai taraf permulaan penyidikan sampai kepada pelaksanaan putusan pengadilan. 3. Asas Saling Koordinasi
24
Meskipun KUHAP telah mengatur pembagian wewenang secara instantional, akan tetapi KUHAP sendiri memuat ketentuan yang menjalin instansi-instansi penegak hukum dalam suatu hubungan kerja sama yang dititik beratkan bukan hanya untuk menjernihkan tugas dan wewenang dan efisiensi kerja tetapi juga diarahkan untuk terbinanya suatu tim aparat penegak hukum yang dibebani tugas tanggung jawab dalam mengawasi dalam “system checking” antar sesama mereka. C. Koordinasi dan Supervisi 1. Pengertian Koordinasi Dalam
sebuah
organisasi
setiap
pimpinan
perlu
untuk
mengkoordinasikan kegiatan kepada anggota organisasi yang diberikan dalam menyelesaikan tugas. Dengan adanya penyampaian informasi yang jelas, pengkomunikasian yang tepat, dan
pembagian pekerjaan kepada
para bawahan oleh pimpinan maka setiap individu bawahan akan mengerjakan pekerjaannya sesuai dengan wewenang yang diterima. Tanpa adanya koordinasi setiap pekerjaan dari individu karyawan maka tujuan lembaga tidak akan tercapai. Malayu S.P Hasibuan berpendapat bahwa: “Koordinasi adalah kegiatan mengarahkan, mengintegrasikan, dan mengkoordinasikan unsurunsur manajemen dan pekerjaan-pekerjaan para bawahan dalam mencapai tujuan organisasi”.25
25
Malayu S.P Hasibunan, Manajemen Dasar, Pengertian, dan Masalah, Edisi Revisi, Bumi Aksara, Jakarta, 2006, hlm,.85.
25
Koordinasi adalah proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan- kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemendepartemen atau bidang- bidang fungsional) pada suatu organisasi untuk mencapai tujuan secara efisien dan efektif.26 Menurut E. F. L. Brech dalam bukunya, The Principle and Practice of Management yang dikutip Handayaningrat, Koordinasi adalah mengimbangi dan menggerakkan tim dengan memberikan lokasi kegiatan pekerjaan yang cocok kepada masing-masing dan menjaga agar kegiatan itu dilaksanakan dengan keselarasan yang semestinya di antara para anggota itu sendiri.27 Menurut James AF Stoner Koordinasi adalah proses pemaduan sasaran dan kegiatan dari unit-unit kerja yang terpisah untuk dapat mencapai tujuan organisasi secara efektif.28 Sedangkan menurut G. R. Terry dalam bukunya, Principle of Management yang dikutip Handayaningrat, koordinasi adalah suatu usaha yang sinkron atau teratur untuk menyediakan jumlah dan waktu yang tepat dan mengarahkan pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan harmonis pada sasaran yang telah ditentukan.29 Menurut tinjauan manajemen, koordinasi menurut Terry meliputi: 1. Jumlah usaha baik secara kuantitatif, maupun secara kualitatif 26
T. Hani Handoko, Manajemen Edisi Kedua, BPFE, Yogyakarta, 2003, hlm.195. Soewarno Handayaningrat, Pengantar Studi Administrasi dan Management, Gunung Agung, Jakarta, 2002, hlm.54. 28 Achmad Basyuni, Materi Diklat Pegawai Provinsi DKI Jakarta, 2009 29 Soewarno Handayaningrat, Loc.cit. 27
26
2. Waktu yang tepat dari usaha-usaha tersebut 3. Directing atau penentuan arah usaha-usaha tersebut. Berdasarkan defenisi di atas maka dapat disebutkan bahwa koordinasi memiliki syarat-syarat yakni: 1. Sense of Cooperation, perasaan untuk saling bekerja sama, dilihat per bagian. 2. Rivalry, dalam organisasi besar, sering diadakan persaingan antar bagian, agar saling berlomba 3. Team Spirit, satu sama lain per bagian harus saling menghargai. 4. Esprit de Corps, bagian yang saling menghargai akan makin bersemangat. Selanjutnya koordinasi memiliki sifat-sifat sebagai berikut: 1. Koordinasi adalah dinamis, bukan statis. 2. Koordinasi menekankan pandangan menyeluruh oleh seorang manajer dalam kerangka mencapai sasaran. 3. Koordinasi hanya meninjau suatu pekerjaan secara keseluruhan. Berdasarkan pengertian di atas jelaslah bahwa koordinasi adalah tindakan seorang pimpinan untuk mengusahakan terjadinya keselarasan, antara tugas dan pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang atau bagian yang satu dengan bagian yang lain. Dengan koordinasi ini diartikan sebagai suatu usaha ke arah keselarasan kerja antara anggota organisasi sehingga tidak terjadi kesimpang siuran, tumpang tindih. Hal ini berarti pekerjaan akan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Draf Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang dimaksud dengan koordinasi adalah bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, KPK memberikan pengarahan, pedoman, petunjuk, atau melakukan
27
kerjasama dengan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik berpotensi korupsi.30 Jadi dapat disimpulkan bahwa koordinasi merupakan proses pengintegrasian tujuan dan aktivitas di dalam suatu perusahaan atau organisasi agar mempunyai keselarasan di dalam mencapai tujuan yang ditetapkan,
pengkoordinasian
dimaksudkan
agar
para
manajer
mengkoordinir sumber daya manusia dan sumber daya lain yang dimiliki organisasi
tersebut.
Kekuatan
suatu
organisasi
tergantung
pada
kemampuannya untuk menyusun berbagai sumber dayanya dalam mencapai suatu tujuan. 2. Ruang Lingkup Koordinasi Koordinasi itu penting agar orang-orang dan organisasi atau departemen-departemen menjalankan tugas dan perannya dengan efektif. Ruang lingkup koordinasi meliputi 5 (lima) peranan dalam fungsi-fungsi manajemen dimana meliputi: a. Perecanaan dan Koordinasi Perencanaan akan mempengaruhi koordinasi, maksudnya semakin baik dan terincinya rencana maka akan semakin mudah melakukan koordinasi. Jika perencanaan disusun dengan baik dan hubungan rencana jangka panjang dan rencana jangka pendek terintegrasi dengan baik serta harmonis maka penerapan koordinasi akan lebih mudah. b. Pengorganisasian dan Koordinasi Pengorganisasian berhubungan dengan koordinasi. Jika organisasi baik maka pelaksanaan koordinasi akan lebih mudah. c. Pengarahan dan Koordinasi
30
Febri Diansyah. Dkk, Laporan Penelitian Penguatan Pemberantasan Korupsi melalui Fungsi Koordinasi dan Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Indonesia Corruption Watch, Jakarta, 2011. hlm. 21.
28
Pengarahan mempengaruhi koordinasi, artinya dengan menggunakan bermacam-macam variasi dalam intensitas directing force akan membantu menciptakan koordinasi. d. Pengisian jabatan dan Koordinasi Penempatan karyawan membantu koordinasi. Jika setiap pejabat sudah ditempatkan sesuai dengan keahliannya maka koordinasi akan lebih mudah. e. Pengendalian dan Koordinasi Pengendalian berhubungan langsung dengan koordinasi. Penilaian yang terus menerus atas kemajuan perusahaan akan membantu menyelaraskan usaha-usaha sehingga tujuan yang ditentukan semula dihasilkan, diperoleh dan tercapai dengan baik. 31 Dengan demikian, tindakan-tindakan perbaikan yang terjadi karena control membantu dalam mendapatkan koordinasi yang dibutuhkan. 3. Masalah-masalah yang Dihadapi Paul R. Lawrence dan Jay W. Lorch yang dikutip oleh Handoko dalam bukunya, telah mengemukakan empat tipe perbedaan dalam sikap dan cara kerja diantara bermacam individu-individu dan departemendepartemen
dalam
suatu
organisasi
yang
mempersulit
tugas
pengkoordinasian secara efektif, yaitu: 1. Perbedaan dalam orientasi terhadap tujuan tertentu. Para anggota departemen yang berbeda mengembangkan pandangan mereka sendiri tentang bagaimana cara mencapai kepentingan organisasi yang baik. 2. Perbedaan dalam orientasi waktu dalam hal ini adanya suatu penekanan terhadap suatu permasalahan yang harus dipecahkan dengan segera atau dalam periode waktu yang pendek, sehingga adanya suatu permasalahan yang kurang mendapatkan perhatian. 3. Perbedaan dalam orientasi pribadi dalam menangani suatu permasalahan sehingga dibutuhkan adanya suatu integritas dan tanggung jawab dalam setiap individu sehingga dapat diselesaikan tepat waktu. 4. Perbedaan dalam formalitas struktur. Setiap tipe satuan dalam suatu organisasi atau lembaga memiliki metoda-metoda dan standar-standar 31
Achmad Basyuni, Loc.cit.
29
yang berbeda untuk mengevaluasi terhadap tujuan yang hendak dicapai.32 4. Pengertian Supervisi Sebagai salah satu dari fungsi manajemen, pengertian supervisi telah berkembang secara khusus. Secara umum yang dimaksud dengan supervisi adalah melakukan pengamatan secara langsung dan berkala oleh atasan terhadap pekerjaan yang dilaksanakan oleh bawahan untuk kemudian apabila ditemukan masalah, segera diberikan petunjuk atau bantuan yang bersifat langsung guna mengatasinya.33 Muninjaya menyatakan bahwa supervisi adalah salah satu bagian proses atau kegiatan dari fungsi pengawasan dan pengendalian (controlling).34 Swanburg melihat dimensi supervisi sebagai suatu proses kemudahan sumber-sumber yang diperlukan untuk penyelesaian suatu tugas ataupun sekumpulan kegiatan pengambilan keputusan yang berkaitan erat dengan perencanaan dan pengorganisasian kegiatan dan informasi dari kepemimpinan dan pengevaluasian setiap kinerja karyawan.35 Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan supervisi adalah kegiatan-kegiatan yang terencana seorang manajer melalui aktifitas bimbingan, pengarahan, observasi, motivasi dan evaluasi pada stafnya dalam melaksanakan kegiatan atau tugas sehari32
T. Hani Handoko, Op.cit, hlm.197. Azrul Azwar, Pengantar Administrasi Kesehatan Edisi Ketiga, Binarupa Aksara, Jakarta, 1996, hlm.54. 34 A.A.G. Muninjaya, Manajemen Kesehatan, EGC, Jakarta, 1999, hlm. 37. 35 R. C. Swanburg, Pengantar Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan, Terjemahan, EGC, Jakarta, 2000, hlm. 126. 33
30
hari.36 Definisi supervisi juga ditemukan dalam Draf Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dikatakan bahwa supervisi adalah tindakan pemantauan, pengawasan,
penelitian,
menjalankan
tugas
dan
atau
penelaahan
wewenangnya
terhadap yang
instansi
berkaitan
yang dengan
pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik berpotensi korupsi.37
D. Komisi Pemberantasan Korupsi 1. Latar Belakang Pembentukan KPK Korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang sampai hingga saat ini masih terus dilakukan upaya untuk menanganinya. Karena korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) sehingga pemberantasannya harus dilakukan dengan caracara luar biasa juga. Aparat penegak hukum di Indonesia mengalami kesulitan bahkan kurang maksimal dalam mengatasi pemberantasan korupsi. Kenyataannya bahwa lembaga Negara sebelumnya yang menangani tipikor belum berfungsi efektif dan efisiensi. Oleh karena itu dibentuklah KPK ini sebagai lembaga independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun untuk melakukan pemberantasan korupsi.
hlm. 56.
36
Arwani dan Heru Supriyanto, Manajemen Bangsal Keperawatan, EGC, Jakarta, 2005,
37
Ibid.
31
KPK yang berdasarkan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang untuk selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah : “lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”. Latar belakang dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi dimulai sejak dikeluarkannya TAP MPR No.XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), Undang - Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1991 Tentang Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK merupakan lembaga yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun. Komisi ini dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan daya guna dan daya hasil terhadap upaya pemberantasan korupsi. 2. Rencana Strategis KPK Berdasarkan waktu, strategis Komisi Pemberantasan Korupsi dapat dibagi menjadi Strategi Jangka Pendek, Strategi Jangka Menengah, dan
32
Strategi Jangka Panjang. Sedangkan berdasarkan tugasnya, strategi Komisi Pemberantasan Korupsi dapat dibagi menjadi Strategi Pembangunan Kelembagaan, Strategi Pencegahan, Strategi Penindakkan dan Strategi Penindakkan dan Strategi Penggalangan Keikutsertaan Masyarakat. 1. Strategi berdasarkan waktu 1.1 Strategi Jangka Pendek (yang segera memberi hasil) -
Penindakan
-
Membangun nilai etika
-
Membangun
system
pengendalian
terhadap
lembaga
pemerintah agar menjadi lebih efisien dan professional. 1.2 Strategi Jangka Menengah -
Membangun proses perbankan, proses pengangguran, proses pengadaan dan infrastruktur di instansi pemerintah yang mendorong efisiensi dan efiktifitas.
-
Memotivasi terciptanya kepemimpinan yang efisien dan efektif.
-
Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan pemerintah serta meningkatkan akses masyarakat terhadap pemerintah.
1.3 Strategi Jangka Panjang -
Membangun dan mendidik masyarakat untuk menangkal korupsi yang terjadi di lingkungannya.
33
-
Membangun tata pemerintahan yang baik sebagai bagian penting dalam system pendidikan nasional.
-
Membangun system kepegawaian (perekrutan, penggajian, penilaian kinerja dan pembangunan) yang berkualitas.
2. Strategi Berdasarkan Tugas 2.1 Strategi Pembangunan Kelembagaan Penyusunan
struktur
organisasi,
kode
etik,
rencana
strategis, rencana kinerja, anggaran, prosedur operasi standar, dan penyusunan system manajemen SDM, rekruitmen penasihat dan pegawai serta pengembangan pegawai, penyusunan manajemen keuangan,
penyusunan
teknologi
informasi
pendukung,
penyediaan peralatan dan fasilitas, dan penyusunan mekanisme pengawasan internal. 2.2 Pencegahan Strategi Pencegahan adalah bertujuan terbentuknya suatu system pencegahan Tindak Pidana Korupsi yang handal, yaitu antara lain dengan: - Peningkatan
efektifitas
system
pelaporan
kekayaan
Penyelenggara Negara, penyusunan system pelaporan gratifikasi dan sosialisasi. Penyusunan system pelaporan pengaduan masyarakat dan sosialisasi.
34
- Pengkajian dan penyampaian saran perbaikan atas system administrasi pemerintah dan pelayanan masyarakat yang berindikasikan korupsi. 2.3 Penindakan Strategi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam hal tugas kategori penindakan bertujuan untuk meningkatnya penyelesaian perkara Tindak Pidana Korupsi. Adapun cara yang ditempuh adalah sebagai berikut : - Pengembangan system dan prosedur peradilan pidana korupsi yang ditangani langsung oleh KPK. - Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi oleh KPK. - Pengembangan mekanisme, system dan prosedur supervisi oleh KPK atas penyelesaian perkara korupsi yang dilaksanakan oleh Kepolisian dan Kejaksaan. - Identifikasi kelemahan Undang-Undang dan konflik antar Undang-Undang yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi. 2.4 Strategi Penggalangan Keikutsertaan Masyarakat Strategi
ini
bertujuan
untuk
terbentuknya
suatu
keikutsertaan dan partisipasi aktif dari segenap komponen bangsa dalam memberantas Tindak Pidana Korupsi, strategi ini dilakukan antara lain dengan:
35
- Kerja sama dengan lembaga-lembaga publik, lembagalembaga kemasyarakatan, sosial, keagamaan, profesi, dunia usaha, swadya masyarakat (LSM) dan perumusan peran masing-masing dalam pemberantasan korupsi. - Kerja sama dengan mitra pemberantasan korupsi di luar negeri secara bilateral maupun multilateral. - Kampanye anti korupsi nasional yang terintegrasi untuk membentuk budaya anti korupsi. - Pengembangan data base profil korupsi. - Pengembangan dan penyediaan akses informasi korupsi kepada publik. 3. Tugas dan Wewenang KPK a. Tugas Komisi Pemberantasan Korupsi Komisi
Pemberantasan
Korupsi
mempunyai
tugas-tugas
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, sebagai berikut: 1) Melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan tindak pidana korupsi. 2) Melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; intansi yang berwenang adalah termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, inspektorat pada Departemen atau Lembaga Pemerintah Non-Departemen. 3) Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. 4) Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi. 5) Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara.
36
b. Wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi Kewenangan-kewenangan
yang
dimiliki
Komisi
Pemberantasan Korupsi sebagaimana diamanatkan didalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi
Pemberantasan
Korupsi,
sebagai
pendukung
pelaksanaan tugas – tugas sebagaimana dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. c. Kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi berkewajiban : - Memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi; - Memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau memberikan bantuan untuk memperoleh data lain yang berkaitan dengan hasil penuntutan tindak pidana korupsi yang ditanganinya; - Menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan; - Menegakkan Sumpah Jabatan; - Menjalankan tugas, tanggungjawab dan wewenangnya berdasarkan asas-asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. 4. Struktur Organisasi KPK Terdiri dari Pimpinan (Ketua dan 4 Wakil Ketua), Tim Penasehat (4
Anggota)
1
KPK.
Lampiran
Keputusan
Pimpinan
Pemberantasan Korupsi No. KEP. /2004 Tanggal 10 Februari 2004. a. Pimpinan Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Komisi
37
Peran pemimpin menjadi penting terutama dalam hal pemberian contoh untuk tidak berbuat korupsi. Pemimpin yang mampu menjaga citra ini akan disegani oleh bawahan, tetapi sebaliknya apabila pemimpin juga korup maka bawahan tidak segan untuk korup juga. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Ketua dan Wakil Ketua) bekerja secara kolektif, pengambilan keputusan dilakukan secara bersama-sama. Kode
Etik
Pimpinan
(Keputusan
Pimpinan
Komisi
Pemberantasan Korupsi No. KEP-06/P.KPK/02/2004) Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi adalah Pejabat Negara, Penyidik dan Penuntut Umum dan merupakan penanggung jawab tertinggi Komisi Pemberantasan Korupsi. Untuk mencegah dan menghindari terjadinya penyalahgunaan kewenangan oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, maka diberlakukan Kode Etik Pimpinan sebagai norma dalam mengelola Komisi Pemberantasan Korupsi. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi wajib menganut nilai-nilai dasar pribadi: 1) 2) 3) 4) 5)
Terbuka, transparan dalam pergaulan internal maupun eksternal; Bekerja kolektif / bersama-sama; Berani, tegas dan rasional dalam membuat keputusan; Berintegritas / bermartabat; Tangguh, tegar dalam menghadapi berbagai godaan, hambatan, ancaman dan intimidasi; dan 6) Selalu meningkatkan pengetahuan dan kapasitas dirinya.
38
Nilai-nilai dasar tersebut wajib diterapkan dalam perilaku dan ucapan keputusan, tanpa toleransi sedikitpun atas penyimpangannya (zero tolerance). Kewajiban Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10)
11) 12) 13) 14) 15) 16)
Beribadah sesuai agama yang diyakini Taat hukum dan etika Menggunakan sumber daya public secara efisien, efektif dan tepat Tegas dalam menerapkan prinsip, nilai dan keputusan yang disepakati; Menentukan apa yang patut, layak, pantas dilakukan dan yang tidak Tampil ketika keputusan sulit harus diambil Tidak berpihak Menerima konsekuensi keputusan Tidak berhenti belajar dan mendengar Bertindak tegas tanpa beban; meningkatkan kinerja yang berkualitas; meninggalkan kebiasaan kelembagaan yang negative; menghilangkan sifat arogansi individu dan sektoral; tidak arogan Menghindari benturan kepentingan Berkomitmen dan loyal kepada Komisi Pemberantasan Korupsi lebih dari komitmen dan loyalitas kepada teman sejawat; menyampingkan kepentingan pribadi atau golongan; Memberitahukan kepada Pimpinan lain mengenai pertemuan dengan pihak lain Menolak dibayari makan, biaya akomodasi dan bentuk kesenangan lain oleh siapa pun Independen Membatasi pertemuan di ruang publik
Masa Jabatan Pimpinan KPK Masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah 4 tahun, bisa diperpanjang untuk masa jabatan. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti bila meninggal dunia, berakhir masa jabatannya atau mengundurkan diri. Bisa juga diberhentikan karena
39
menjadi terdakwa, berhalangan tetap, atau karena dikenai sanksi. Saat menjadi tersangka bisa diberhentikan sementara. Pemberhentian Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi ditetapkan oleh Presiden. Pimpinan yang berhenti atau diberhentikan wajib mengembalikan setiap dokumen kerja Komisi Pemberantasan Korupsi; dan tidak mengungkapkan informasi rahasia Komisi Pemberantasan Korupsi. b. Tim Penasehat Tim Penasehat yang diangkat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berfungsi memberikan nasehat dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi. Calon Tim Penasehat dipilih
oleh
panitia
seleksi
Komisi
Pemberantasan
Korupsi
berdasarkan keinginan dan masukan masyarakat. c. Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang: 1) Berhubungan dengan tersangka atau pihak lain terkait kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi tanpa alasan yang sah; 2) Menangani perkara korupsi yang pelakunya memiliki hubungan keluarga dengannya; 3) Menjabat Komisaris atau Direksi Perseroan, organ yayasan, pengawas atau pengurus koperasi, dan jabatan lain serta kegiatan terkait jabatan tersebut. 4) Melanggar dipidana penjara 5 tahun. Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan ancaman pidana pokoknya ditambah 1/3. d. Deputi dan Direktorat Komisi Pemberantasan Korupsi
40
(Berdasarkan Keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi No. KEP-07/P.KPK/02/2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Pemberantasan Korupsi). 1. Deputi Bidang Pencegahan Deputi bidang pencegahan memiliki fungsi: pendaftaran dan pemeriksaan laporan harta kekayaan penyelenggara negara; penerimaan
laporan
penyelenggaraan
dan
penetapan
pendidikan
anti
status
gratifikasi
korupsi;
sosialisasi
pemberantasan korupsi; kampanye anti korupsi. Deputi bidang pencegahan menaungi empat direktorat dan satu secretariat Deputi bidang pencegahan. Keempat direktorat tersebut memiliki fungsi dan tugas sendiri antara lain sebagai berikut : 1. Direktorat Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara Fungsi
:
Memantau
dan
klarifikasi
harta
kekayaan
penyelenggara negara; meneliti laporan atau pengaduan masyarakat; menyelidiki harta kekayaan penyelenggara negara yang diduga korupsi; dan meminta pejabat yang berwenang membuktikan dugaan tersebut. 2. Direktorat Gratifikasi Fungsi : Penelitian Laporan dan Pengaduan masyarakat identifikasi
penerimaan
gratifikasi;
pencarian
bukti;
41
penyerahan gratifikasi yang menjadi milik negara kepada Menteri Keuangan. 3. Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Fungsi : sosialisasi sosialisasi peran dan fungsi Komisi Pemberantasan Korupsi; pendidikan dan pelatihan manajemen kinerja di instansi pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) / Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), masyarakat dan swasta; penyelenggaraan seminar, workshop anti korupsi; menyusun dan menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan; penyusunan dan pengembangan materi pendidikan dan pelatihan; evaluasi pelaksanaan; menjalin kerja sama dengan lembaga anti korupsi luar negeri. 4. Direktorat Penelitian dan Pengembangan Fungsi : analisis kebutuhan; penelitian dan pengembangan manajemen
kinerja
sector
public;
penelitian
dan
pengembangan kode etik anti korupsi; kerja sama penelitian dengan instansi lain; evaluasi dan penyusunan laporan; pengumpulan, pengidentil, kasian, pengkajian kasus-kasus korupsi; penelitian produk hukum yang tidak mendukung pemberantasan korupsi; penelitian dan penilaian praktik dan prosedur lembaga dan pemerintah daerah yang rawan korupsi; penelitian dan pengembangan lain. 5. Direktorat Deputi Bidang Pencegahan
42
Fungsi
:
menyiapkan
rumusan
kebijakan
teknis
kesekretariatan; koordinasi dengan semua satuan kerja; pengumpulan, pelaksanaan
pencatatan, rencana
dan
dan
penyusunan
program
kerja;
laporan
pelaksanaan
ketatausahaan. 2. Deputi Bidang Pendidikan Deputi Bidang Pendidikan memiliki fungsi perumusan kebijakan teknis kegiatan justisial; perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan tindakan hukum lain dan pengadministrasiannya; kerja sama dengan instansi dan lembaga terkait; memberi saran, pendapat dan pertimbangan hukum kepada Pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi. Deputi Bidang Pendidikan menaungi tiga direktorat dan satu secretariat Deputi Bidang Penindakan. Ketiga direktorat tersebut memiliki fungsi dan tugas sendiri antara lain sebagai berikut: 1. Direktorat Penyelidikan Fungsi : perumusan rencana dan program kerja penyelidikan; perumusan kebijakan teknis; penerimaan, analisis, dan penelitian informasi, pengaduan, laporan dan menyiapkan pendapat
dan
saran;
pelaksanaan
penyelidikan
dan
penghentian penyelidikan; penyampaian saran kepada deputi agar penyelidikan dapat ditingkatkan ke penyidikan dan usul penghentian penyelidikan; kerja sama koordinasi, pemberian
43
bimbingan dan petunjuk teknis kepada satuan tugas penyidik tipikor. 2. Direktorat Penyidikan Fungsi : perumusan rencana dan program kerja; perumusan kebijakan teknis; penerimaan, analisis, penelitian hasil penyelidikan; penyampaian
penyidikan saran
agar
dan
pemberkasan
penyidikan
perkara;
ditingkatkan
ke
penuntutan; pengambil alihan penyidikan yang dilakukan kepolisian atau kejaksaan; pembinaan kerja sama dan koordinasi penyidikan; pemberian bimbingan kepada satuan tugas. 3. Direktorat Penuntutan Fungsi : Perumusan rencana kerja teknis; penyempurnaan berkas perkara untuk dilakukan penuntutan; penerimaan perkara dan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti, melakukan penuntutan, melaksanakan penetapan hakim, putusan
pengadilan,
serta
tindakan
hukum
lain;
pengambilalihan penuntutan yang sedang dilakukan kepolisian atau kejaksaan; pemantauan jalannya persidangan dan menelaah tuntutan jaksa penuntut umum; bimbingan teknis kepada satuan tugas. 4. Sekretariat Deputi Bidang Penindakan
44
Fungsi
:
koordinasi pelaksanaan
perumusan semua rencana
kebijakan
satuan dan
teknis
kerja; program
kesekretariatan;
penyusunan kerja;
laporan
pelaksanaan
ketatausahaan; pengelolaan administrasi perkara; barang bukti dan tahanan; pengamanan teknis atas pelaksanaan tugas. 3. Deputi Bidang Informasi Data Deputi ini memiliki fungsi : penyusunan rencana dan program pengelolaan informasi serta pengembangan sistem informasi; pengolahan data dan informs; hasil pelaksanaan program
dan
kegiatan
Komisi
Pemberantasan
Korupsi;
pengembangan jaringan informasi instansi pemerintah dan masyarakat; monitor upaya pencegahan dan penindakan pada instansi negara. Deputi bidang informasi dan data menaungi tiga direktorat dan secretariat Deputi bidang informasi dan data. Ketiga direktorat tersebut mempnyai fungsi dan tugas sendiri antara lain sebagai berikut : 1. Direktorat Pengelolaan Informasi dan Data Fungsi : penyusunan rencana; pengumpulan dan pengolahan data, penyiapan bahan analisis kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi; penyelenggaraan administrasi basis data. 2. Direktorat Pembinaan Jaringan Kerja antar Komisi dan Instansi
45
Fungsi : penyusunan rencana dan pengembangan sistem aplikasi; pengembangan teknologi informasi; pengembangan dan
pemeliharaan
jaringan
informasi
dengan
instansi
pemerintah dan masyarakat. 3. Direktorat Monitor Fungsi : Pengkajian sistem pengelolaan administrasi disemua lembaga negara; perumusan saran Komisi Pemberantasan Korupsi kepada pimpinan lembaga negara untuk melakukan perubahan pengelolaan
jika
berdasarkan
administrasi
hasil
tersebut
pengkajian, berpotensi
sistem korupsi,
perumusan laporan KPK kepada Presiden, DPR, dan BPK bila saran perubahan KPK tidak diperhatikan. 4. Sekretariat Deputi Bidang Informasi dan Data Fungsi : perumusan kebijakan teknis; koordinasi semua satuan kerja; penyusunan laporan pelaksanaan kerja dan program kerja; pengamanan teknis atas pelaksanaan tugas. 4. Deputi Bidang Pengawasan Internal Deputi ini memiliki fungsi : perumusan kebijakan pengawasan di lingkungan; pengawasan internal dan pemrosesan pengaduan masyarakat; pemberian saran kepada Pimpinan KPK atas hasil pengawasan internal dan pemrosesan pengaduan masyarakat. Deputi ini menaungi dua direktorat dan satu secretariat untuk melaksanakan tugas dan fungsinya antara lain :
46
1. Direktorat Pengawasan Internal Fungsi : pemeriksaan ketaatan, efisiensi dan efektifitas pelaksanaan tugas dan kegiatan unit kerja di lingkungan KPK evaluasi pelaksanaan program kerja. 2. Direktorat Pengaduan Masyarakat Fungsi : pemeriksaan khusus terhadap indikasi penyimpangan unit kerja dan SDM KPK; pemrosesan pengaduan masyarakat terkait
pegawai
KPK
maupun
penyelenggara
negara;
pelimpahan hasil pemeriksaan kepada Deputi Penindakan. 3. Sekretariat
Deputi
Bidang
Pengawasan
Internal
dan
Pengaduan Masyarakat Fungsi : perumusan kebijakan teknis koordinasi semua kerja penyusunan
kerja
dan
program
kerja
pelaksanaan
ketatausahaan.
E. Penanganan Tindak Pidana Korupsi 1. Wewenang Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi Oleh POLRI Berdasarkan Pasal 14 huruf g Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua pihak tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya”.
47
Terkait dengan kewenangan penyidik POLRI dalam penyidikan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, wewenang kepolisian dalam proses pidana antara lain diatur dalam Pasal 16 yang menyebutkan bahwa wewenang tersebut antara lain : a. Melakukan penangkapan,penahanan,penggeledahan dan penyitaan; b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyelidikan; d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. Mengadakan penghentian penyidikan; i. Menyerahakan berkas perkara kepada Penuntut Umum; j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka untuk melakukan tindak pidana; k. Memberi petunjuk dan bantuan penyidik kepada penyidik PNS serta menerima hasil penyidikan penyidik PNS umtuk diserahkan kepada Penuntut Umum; l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Proses penanganan perkara korupsi oleh penyidik POLRI menggunakan prosedur sebagaimana perkara tindak pidana umum, yaitu berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Setiap penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian selalu ditindaklanjuti dengan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada penuntut umum, kemudian penuntut umum melakukan prapenuntutan, meneliti kelengkapan berkas perkara baik formal maupun materiilnya dan
48
memberi petunjuk. Proses penuntutan ke pengadilan dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Hukum acara yang digunakan dalam tindak pidana korupsi adalah Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurut Wiryono, penyelidik dan penyidik dari institusi POLRI masih mempunyai kewenagan melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan sebagai berikut: a. Ketentuan yang dapat dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi sifatnya adalah membatasi kewenangan dari komisi Pemberantasan Korupsi melakukan penyelidikan dan penyidikan perkara korupsi. b. Di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi tidak ada ketentuan yang menyebutkan bahwa penyelidik dan penyidik dari instansi POLRI tidak mempunyai kewenangan lagi melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi. c. Ketentuan dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menentukan pengaturan pemberantasan korupsi KPK dengan Kepolisian.38
38
Andi Hamzah, Op.cit, hlm. 75 - 77
49
2. Wewenang Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi Oleh Kejaksaan Salah satu fungsi Jaksa sebagai aparatur negara dalam proses penegakan hukum dan keadilan adalah dengan senantiasa bertindak berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagai upaya untuk menciptakan kondisi masyarakat yang tentram dan tertib. Pada Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaaan Republik Indonesia ditentukan bahwa jaksa adalah fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang. Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, penegakkan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Menurut Evi Hartanti, Jaksa sebagai penuntut umum dalam perkara pidana harus mengetahui secara jelas semua pekerjaan yang harus dilakukan penyidik dari permulaan hingga terakhir yang seluruhnya harus dilakukan berdasarkan hukum. Jaksa akan mempertanggungjawabkan
50
semua perlakuan terhadap terdakwa itu mulai tersangka disidik, kemudian diperiksa perkaranya, lalu ditahan, dan akhirnya apakah penuntutannya yang dilakukan oleh Jaksa itu sah dan benar atau tidak menurut hukum,sehingga benar-benar rasa keadilan masyarakat dipenuhi.39 Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 30 menjelaskan: 1) Di bidang pidana kejaksaaan mempunyai tugas dan wewenang : a. Melaksanakan penuntutan b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c. Melakukan pemgawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang; e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. 2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khususnya dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
Wewenang kejaksaan sebelum berlakunya ketentuan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana masih mempunyai kewenangan melakukan penyidikan terhadap perkara-perkara pidana disamping melaksanakan tugas penuntutan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 39
Nomor
76,
TLN
Evi Hartanti, Op.cit, hlm. 32.
No.3209)
tanggal
31
Desember
1981
51
mengakibatkan perubahan fundamental di dalam sistem peradilan pidana, yang berakibat pada perubahan fundamental di dalam sistem penyidikan. Perubahan ini merupakan perubahan yang paling mendasar berupa hilangnya wewenang penyidikan Kejaksaan yang semula diatur oleh HIR maupun Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Pokok-Pokok Kejaksaan Republik Indonesia. Saat itu masih disisakan kepada Kejaksaan mengenai “Kewenangan penyidik lanjutan”, namun kewenangan tersebut hilang dari tugas kejaksaan. Dengan lahirnya KUHAP melepas wewenang penyidikan dari instansi Kejaksaan dan sepenuhnya diserahkan kepada POLRI. “Dengan berlakunya KUHAP wewenang penyidikan hanya dibebankan kepada POLRI sebagai penyidik tunggal. Akan tetapi dengan adanya ketentuan Pasal 284 ayat (2) masih memperkenankan penyidik lain selain POLRI yaitu Jaksa untuk melakukan penyidikan bagi pelaku tindak pidana tertentu, diantaranya tindak pidana korupsi”.40
Dalam pasal 284 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa; “Dalam waktu dua tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan UndangUndang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada UndangUndang tertentu sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”. Dalam penjelasan Pasal tersebut, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “Ketentuan khusus acara pidana” sebagaimana tersebut pada 40
Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktik, Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm. 138.
52
Undang-Undang adalah ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada: 1. Undang-Undang tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi). 2. Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Untuk menciptakan kesatuan pendapat mengenai makna dari Pasal 284 ayat (2) KUHAP tersebut, dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. Pada Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP disebutkan: “Penyidik menurut ketentuan khusus acara pidana sebagai mana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh Penyidik, Jaksa dan Pejabat yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan”. Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa “wewenang penyidik tindak pidana tertentu yang diatur secara khusus oleh Undang-Undang tertentu dilakukan oleh Penyidik, Jaksa, dan Pejabat Penyidik yang berwenang lainnya untuk ditunjuk berdasarkan Undang-Undang”.
53
Jadi, dengan berlakunya KUHAP dimana ditetapkan bahwa tugastugas penyidikan diserahkan sepenuhnya kepada pejabat penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 6 KUHAP, maka Kejaksaan tidak lagi berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap perkara-perkara tindak pidana umum. Namun demikian sesuai dengan ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP jo Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, Jaksa berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu ( Tindak pidana khusus). 3. Wewenang Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi Oleh KPK KPK adalah lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan harus terbebas dari pengaruh manapun, KPK seperti lembaga lainnya juga memiliki kewenangan untuk melaksanakan tugas dan tujuannya. Secara garis besar wewenang KPK dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dapat disimpulkan dengan rincian; wewenang yang menjadi tugas KPK, hak-hak dalam melakukan wewenang, wewenang yang berkaitan dengan teknik pelaksanaan tugas dan lain-lain. Khusus KPK, tidak memiliki wewenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3) perkara korupsi. Penangnanan perkara korupsi oleh KPK harus tuntas dan jelas, untuk itu KPK dibekali dengan kewenangan yang luas untuk mengatasi berbagai hambatan yang ada. KPK dapat bekerja sama dengan lembaga penegak
54
hukum negara lain berdasarkan perjanjian internasional atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. a. Penyidikan oleh KPK. Apabila penyelidik KPK menemukan bukti permulaan yang cukup: 1. Penyelidik melaporkan kepada KPK (kurun waktu 7 hari); kemudian 2. KPK melakukan penyidikan sendiri atau melimpahkan kepada penyidik polisi atau penyidik kejaksaan. Kepolisian atau Kejaksaan wajib berkoordinasi dan melaporkan perkembangan penyidikan kepada KPK. Apabila penyelidik KPK tidak menemukan bukti permulaan yang cukup: 1. Penyelidik melaporkan kepada KPK; dan 2. KPK menghentikan penyelidikan. b. Penyidikan oleh KPK : 1. Berdasarkan bukti permulaan yang cukup, penyidik KPK dapat melakukan penyitaan terhadap alat bukti atau barang yang diduga terkait korupsi, tanpa seijin Ketua PN Penyitaan disertai berita acara penyitaan yang salinannya diberikan kepada tersangka atau keluarganya.
55
2. Kepolisian dan kejaksaan wajib memberitahukan penyidikan perkara korupsi yang mereka tangani kepada KPK, paling lambat 14 hari kerja sejak dimulainya penyidikan. 3. Kepolisian dan Kejaksaan tidak berwenang lagi dan wajib menghentikan penyidikannnya apabila KPK melakukan penyidikan pada perkara / kasus yang sama. Penuntutan oleh KPK setelah menerima berkas perkara dari penyidik, dalam 14 hari kerja Penuntut Umum KPK wajib melimpahkan berkas perkara kepada pengadilan.
4. Hubungan KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan Hubungan fungsional dan koordinatif antara Kejaksaan dan Kepolisian dengan KPK dapat dilihat dengan jelas dalam penjabaran Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi seperti telah disebut di atas. Dalam pasal tersebut terlihat betapa besar peran, tugas dan wewenang dari KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Selanjutnya, mengenai hal ini dijelaskan dalam Penjelasan Umum dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK: a. Dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai “counterpartner” yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif; b. Tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan;
56
c. Berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism); d. Berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada, dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyidikan, penyelidikan, dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.
Dari penjelasan umum ini, maka disimpulkan bahwa komisi harus menjadikan Kepolisian maupun Kejaksaan sebagai counter partner yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif. Hal ini dapat dipahami mengingat keberadaan KPK tidak sampai pada daerah-daerah terutama Kabupaten dan Kotamadya. Apabila KPK melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sendiri akan mengakibatkan timbulnya berbagai kesulitan serta pembengkakan pembiayaan yang sangat besar. Sehingga untuk penyidikan dan penuntutan dilaksanakan oleh Kejaksaan Negeri atau Kejaksaan Tinggi secara teknis dan praktis dengan tetap bekerjasama dan supervisi oleh KPK. Demikian pula tentang fungsi KPK untuk tidak memonopoli penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan serta fungsi lainnya, yaitu sebagai pemicu dan pemberdaya institusi dan fungsi melakukan suipervisi dan memantau instansi yang telah ada, menandakan bahwa dalam hubungan fungsional antara KPK dengan Kejaksaan dan/atau Kepolisian akan tetap memberikan peran yang besar kepada kedua lembaga terdahulu itu untuk melaksanakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
57
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan Penelitian
ini
menggunakan
penelitian
kualitatif dengan
metode
pendekatan yuridis empiris (sosiologis). Penelitian kualitatif menurut Bodgan dan Taylor adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa katakata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.41 Dipilihnya penelitian kualitatif ini didasarkan alasan bahwa: (1) hukum dalam penelitian ini diartikan sebagai makna-makna simbolik sebagaimana termanifestasikan dan tersimak dalam dan dari aksi-aksi serta interaksi warga masyarakat; (2) agar dapat mengungkap dan mendapatkan makna yang mendalam dan rinci terhadap objek penelitian dari informan.42 Dalam penelitian ini penulis akan terfokus pada mereka yang terlibat atau pernah terlibat dalam proses penyidikan. Dengan informan tersebut diharapkan akan terbuka informasi baru yang belum pernah terungkap sebelumnya mengenai koordinasi dan supervisi yang dimiliki KPK dalam penyidikan tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
41
Idi Subandy Ibrahim, Dari Nalar Keterasingan Menuju Nalar Pencerahan, Jalasutra, Yogyakarta, 2004, hlm. 170. 42 Sutandyo Wignyosoebroto, Keragaman Dalam Konsep Hukum, Tipe Kajian dan Metode Penelitiannya, Makalah Lokakary, Yayasan Dewis Sartka, Yogyakarta, 2006, hlm. 2.
58
Penelitian ini akan mengkonstruksikan hukum sebagai refleksi kehidupan masyarakat itu sendiri yang menekankan pada pencarian-pencarian, keajegankeajegan empirik dengan konsekuensi selain mengacu pada hukum tertulis juga mengadakan observasi terhadap tingkah laku yang benar-benar terjadi.43 B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan menggambarkan keadaan atau gejala dari objek yang akan diteliti.44 Menurut Hadari Nawawi, deskriptif dapat diartikan sebagai suatu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana keadaannya. Dalam penelitian ini penulis akan menggambarkan koordinasi dan supervisi yang dimiliki oleh KPK pada saat penyidikan dan mengetahui hambatan-hambatan apa saja dalam penerapan peran koordinasi dan supervisi pada saat proses penyidikan. C. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ditentukan secara purposive dengan mendasarkan pada alasan-alasan yang rasional, keterbatasan dana dan keperluan informasi. Lokasi penelitian dilakukan di Kota Semarang. Lokasi penelitian berada di
43
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998, hlm. 11. 44 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986, hlm. 9.
59
Kejaksaan Negeri Semarang, Kejaksaan Tinggi Jawa tengah, Polrestabes Semarang, dan Polres Semarang. D. Sumber Data Data yang diperlukan untuk dipakai dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder, adapun penjelesan atas data tersebut adalah sebagai berikut:45 a. Data primer Data primer adalah data yang diambil langsung dari informan penelitian yakni Kepala Bagian Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Kejaksaan Negeri Semarang, Kepala Eksaminasi Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, Kepala Penyidikan Tipikor Polrestabes Semarang dan Penyidik Tipikor Polres Semarang. b. Data sekunder Data sekunder adalah data yang bersifat kepustakaan yang terbagi atas beberapa jenis yaitu: 1. Bahan hukum primer Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yang diurut berdasarkan hirarki. Peraturan perundang-undangan yang digunakan penulis sebagai bahan hukum primer yaitu: a. Undang-Undang Dasar 1945;
45
Ibid, hal. 51-52.
60
b. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; c. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korups; d. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia; e. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi; f. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia; 2. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder, yakni bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks (textbook) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh, jurnal hukum, yurisprudensi dan hasilhasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian. Dalam penulisan ini, bahan hukum sekunder yang digunakan berupa buku-buku teks yang berkaitan dengan penelitian yaitu mengenai korupsi, KPK dan koordinasi dan supervisi. 3. Bahan
hukum
tersier
adalah
bahan
hukum
yang
memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus
61
hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.46 Dalam penelitian ini, bahan hukum tersier yang digunakan adalah kamus umum bahasa Indonesia.
E. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitan ini, data yang dipergunakan ditentukan dengan cara: 1) Data Primer Terhadap data primer dipergunakan metode wawancara dan observasi. Untuk metode wawancara, peneliti menggunakan jenis wawancara semi terstruktur. Wawancara semi terstuktur adalah jenis wawancara campuran antara wawancara terstuktur dan wawancara tidak terstruktur. Wawancara terstruktur bertujuan untuk mengetahui infromasi baku di mana peneliti memiliki panduan wawancara sedangkan wawancara tidak terstruktur yaitu wawancara yang berjalan mengalir
sesuai
topik.47
Untuk
metode
observasi,
peneliti
menggunakan jenis observasi tidak terlibat. Dalam jenis observasi ini, peneliti tidak terlibat dalam kegiatan yang dilakukan oleh yang diamati.48
Observasi
dimaksudkan
untuk
mendukung
metode
wawancara 2) Data Sekunder 46
Soerdjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Pers, Jakarta, 1981, hlm. 296. 47 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung, 2008, hlm. 74. 48 Ronny Hanitijo Soemitro, Op.cit, hlm. 55.
62
a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer diperoleh dengan cara studi pustaka yaitu mengumpulkan bahan-bahan kepustakaan yang berupa peraturan perundang-undangan yang diinventarisasi, diklasifikasi dan direlevansikan yang ada kaitannya dengan korupsi, KPK, koordinasi
dan
supervisi
yang
selanjutnya
dikaji
secara
keseluruhan. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder diperoleh dengan cara ,melakukan inventarisasi terhadap buku literatur, dokumen dan artikel sebagai bahan yang diperoleh, dicatat kemudian dipelajari berdasarkan relevansi-relevansinya dengan pokok permasalahan yang diteliti yang selanjutnya dilakukan pengkajian sebagai satu kesatuan yang utuh. Sehingga dalam penelitian ini bahan hukum primer dan bahan
hukum
sekunder
yang
akan
digunakan
kemudian
dikumpulkan dengan menggunakan metode kepustakaan dan dokumenter. 1. Metode Kepustakaan adalah suatu cara pengumpulan data dengan melakukan penelusuran terhadap bahan pustaka (literature, perundang-undangan, hasil penelitian, majalah ilmiah, bulletin ilmiah, jurnal ilmiah, dan sebagainya)
63
2. Metode dokumenter adalah suatu cara pegumpulan bahan dengan menelaah terhadap dokumen-dokumen pemerintah maupun non-pemerintah (media masa, internet, aturan suatu instansi, arsip ilmiah, dan sebagainya).
F. Metode Penyajian Data Dalam penelitian ini, data yang diperoleh dari informan penelitian melalui wawancara maupun data pendukung akan disajikan dalam bentuk teks naratif dan disusun secara sistematis sebagai kesatuan yang utuh. Metode penyajian data dalam penelitian ini akan disajikan dalam bentuk teks naratif, yaitu menyajikan data yang sudah diolah dalam uraian bentuk teks narasi. Penyajian teks naratif ini merupakan sebuah uraian yang disusun secara sistematis, logis dan rasional. Ada pun dalam arti keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh. G. Metode Penentuan Informan Proses pemilihan dan cara menetapkan sampel dalam penelitian ini menggunakan Purposive sampling, Snowball sampling, dan Criterian based selection.49 Melalui pengambilan sampel menggunakan purposive sampling dengan criterian based selection, maka peneliti cenderung memilih narasumber
49
HB. Sutopo, Suatu Pengantar Kualitatif, dasar teori dan praktik, Pusat Penelitian UNS, Surakarta, 1998, hlm. 2.
64
yang dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui masalah secara mendalam. Konsep sampel dalam penelitian kualitatif berkaitan dengan bagaimana informasi atau situasi sosial tertentu yang dapat memberikan informasi yang mantap dan terpercaya mengenai elemen-elemen yang ada. Pemilihan sampel atau informan dalam penelitian ini dilakukan secara purposive sampling dimana sampel atau informan sudah ditentukan oleh peneliti sebelum dilakukan penelitian. Melihat fokus kajian dalam penelitian ini, maka yang dijadikan atau ditentukan sebagai informan dalam penelitian ini adalah: 1. Kepala Bidang Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Semarang dengan Agung Dedi Dwi Handes, S.H., M.H. 2. Kepala Bidang Eksaminasi Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah dengan Pardiono, S.H. 3. Kasubmit 2 Unit 3 Tipikor Polrestabes Semarang dengan AKP Ibnu Suka, S.H. 4. Penyidik Pembantu Penyidik Tindak Pidana Korupsi Polres Semarang dengan Bripka Arif Pu’anto, S.H. H. Metode Validitas Data Cara yang digunakan untuk menguji validitas, keansihan, keabsahan, atau kebenaran data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan Triangulasi. Menurut Moleong, triangulasi merupakan teknik
65
pemeriksaan keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.50 Patton membagi Triangulasi menjadi empat jenis yaitu:51 a. Triangulasi sumber, membandingkan dan mengecek kembali derajad kepercayaan data yang diperoleh melalui waktu dan alat berbeda dalam metode kualitatif. b. Triangulasi metode, yaitu dengan menggunakan 2 (dua) strategi yang pertama mengecek kembali derajad kepercayaan data melalui beberapa teknik pengumpulan data, yang kedua mengecek kembali derajat kepercayaan data dengan metode yang sama. c. Triangulasi peneliti, yaitu dengan mengecek kembali derajat kepercayaan data yang diperoleh melalui penelitian atau pengamatan lain. d. Triangulasi teori, yaitu dengan mengecek kembali derajat kepercayaan data yang diperoleh melalui penelitian dengan topic yang sama dan datanya dianalisis dengan menggunakan beberapa perspektif teoritis yang berbeda. Triangulasi
yang
digunakan
adalah
triangulasi
sumber
yaitu
membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif. I. Metode Analisis Data Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtut logis, tidak tumpang tindih, dan efektif. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan teori-teori dalam hukum pidana (materiel dan formil) dan pidana khusus, kemudian diambil simpulan dari hasil analisis yang telah dilakukan.
50
Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, PT. Remaja Rosada Karya, Bandung, 2006,hlm. 30. 51 Ibid
66
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian Koordinasi dan Supervisi KPK Terhadap Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di Kejaksaan Negeri Semarang menggunakan pendekatan Yuridis Sosiologis, oleh karena itu penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer berupa pendapat langsung dari informan, yaitu jaksa fungsional dan penyidik polisi yang menjalankan penyidikan tindak pidana korupsi di wilayah Kota Semarang. Data sekunder diperoleh dari peraturan perundang-undangan, literature dan doktrin yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Peran Koordinasi dan Supervisi KPK yang diteliti oleh penulis adalah dasar pelaksanaan koordinasi dan supervisi pada tingkat penyidikan kasus tindak pidana korupsi dan pelaksanaan dari peran tersebut. A. Hasil Penelitian Data Sekunder Tugas Koordinasi dan Supervisi KPK dalam penanganan suatu tindak pidana korupsi pada lembaga lain berdasarkan pasal 6 huruf a dan b UU No. 30 Tahun 2002 meliputi Melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi dan melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; intansi yang berwenang adalah termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, inspektorat pada Departemen atau Lembaga
67
Pemerintah
Non-Departemen.
Dalam
pemberantasan
korupsi
Komisi
Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga yang diharapkan sebagai lembaga pemicu bagi lembaga penegak hukum lain dalam penanganan tindak pidana korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi juga merupakan lembaga yang dibentuk sebagai lembaga yang mempunyai wewenang lebih daripada kedua lembaga hukum lain yaitu kepolisian dan kejaksaan dalam penanganan tindak pidana korupsi, terutama dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Pusat perhatian penelitian ini adalah berkaitan dengan proses pelaksanaan peran koordinasi dan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penyidikan tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Semarang. Fokus perhatiannya adalah pada telah terjadinya koordinasi dan supervisi yang dilakukan KPK pada lembaga Kejaksaan. Apakah KPK sudah melakukan peran tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan untuk mengetahui hambatan dan pelaksanaan peran tersebut dalam penanganan tindak pidana korupsi. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai koordinasi dan supervisi dalam penyidikan tindak pidana korupsi dirumuskan di dalam pasal-pasal di beberapa peraturan perundang-undangan yaitu : 1. Pengaturan Perundangan Mengenai Koordinasi dan Supervisi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia a. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
68
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini berpedoman pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mana Undang-Undang tersebut sudah diganti karena sudah tidak relevan dan efektif dengan perkembangan dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Dalam Pasal 43 ayat (1) UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat suatu rumusan yang mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi, bahwa : “Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun semenjak UndangUndang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.” Dimana dalam Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tercantum peran koordinasi dan supervisi pada lembaga KPK yang termuat : “Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” b. Undang-Undang
Nomor 30
Tahun
2002 Tentang
Komisi
Pemberantasan Korupsi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan suatu langkah yang patut diapresiasi oleh masyarakat Indonesia. Dengan adanya Undang-
69
Undang ini, diharapkan dapat menemui jalan yang efektif dalam pemberantasan korupsi dimana dibentuk suatu lembaga khusus dan bertugas mengkoordinir lembaga penegak hukum lain. Pengaturan tentang tugas KPK dalam koordinasi dan supervisi diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas : a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. c. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia Berdasarkan Pasal 30 ayat (1) huruf d tentang Kejaksaan Republik Indonesia bahwa dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang. Dinyatakan dalam penjelasan Pasal ini bahwa kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya adalah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun
70
2001 jo Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam melakukan kerja sama dengan lembaga lain diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, bahwa Dalam pelaksanaan tugas dan wewenang, kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. d. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisan Negara Republik Indonesia Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) huruf f tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia
bertugas
melakukan
koordinasi,
pengawasan,
dan
pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. Hubungan dalam kerja sama atau koordinasi dengan lembaga lain diatur lebih lanjut dalam Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa Hubungan dan Kerja sama Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan badan, lembaga, serta instansi di dalam dan di luar negeri didasarkan atas sendi-sendi hubungan fungsional, saling menghormati, saling
membantu,
mengutamakan
kepentingan
umum,
serta
memperhatikan hierarki. Selanjutnya dirumuskan dalam pasal 42 ayat
71
(2) bahwa Hubungan dan kerja sama di dalam negeri dilakukan terutama dengan unsur-unsur pemerintah daerah, penegak hukum, badan,
lembaga,
instansi
lain,
serta
masyarakat
dengan
mengembangkan asas partisipasi dan subsidiaritas. 2. Prosedur Pelaksanaan Peran Koordinasi dan Supervisi KPK Berdasarkan ketentuan Pasal 6 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi dan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam melakukan tugas tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 7 – 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, merumuskan : “Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang: a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi; b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi; c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait; d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.” Berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, bahwa :
72
(1) Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelahaan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik. (2) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. (3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi. (4) Penyerahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan memuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan Kepolisian atau Kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Selanjutnya berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, bahwa: Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan: a. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti; b. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan; c. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya; d. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi; e. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau f. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
73
Dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi memuat tentang pemberitahuan pengambil alihan perkara korupsi, bahwa: “Dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Komisi Pemberantasan Korupsi memberitahukan kepada Penyidik atau Penuntut umum untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.” Berdasarkan
paparan-paparan
normatif
diatas,
dapat
diambil
kesimpulan bahwa dalam melaksanakan peran koordinasi dan supervisi KPK kepada lembaga penegak hukum lain dalam penanganan tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut: 1. Dalam melaksanakan tugas koordinasinya selain melakukan koordinasi dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi kepada lembaga penegak hukum lain KPK juga melakukan prosedur sebagai berikut : a. Menetapkan sistem pelaporan. b. Meminta informasi pada instansi yang terkait pemberantasan korupsi. c. Melakukan dengar pendapat dengan instansi yang terkait pemberantasan korupsi. d. Meminta laporan instansi dalam pencegahan tindak pidana korupsi. 2. Dalam
melaksanakan
tugas
supervisinya
KPK
melakukan
pengawasan, penelitian, dan penelahaan pada instansi yang
74
mempunyai tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain itu KPK juga berwenang mengambil alih penyidikan dan penuntutan, dengan syarat sebagai berikut : a. Adanya laporan dari masyarakat bahwa tidak ditindak lanjutinya laporan mengenai tindak pidana korupsi. b. Terlalu lamanya penanganan tindak pidana korupsi dengan alasan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. c. Penanganan tindak pidana korupsi untuk menutupi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya. d. Adanya unsur korupsi yang terjadi dalam penanganan tersebut. e. Adanya hambatan lain dari unsur lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif serta adanya hambatan lain yang tidak bisa diselesaikan oleh kepolisian dan kejaksaan. B. Hasil Penelitian Data Primer Informan penelitian ini adalah jaksa serta polisi dalam penanganan tindak pidana korupsi di Kota Semarang. Wawancara dilakukan secara semi terstruktur berkaitan tentang peran koordinasi dan supervisi KPK terhadap penyidikan tindak pidana korupsi. Berdasarkan hasil wawancara di Kota Semarang maka diperoleh data sebagai berikut: 1. Jaksa di Wilayah Kota Semarang 1.1. Peraturan mengenai peran koordinasi dan supervisi KPK terhadap proses penyidikan
75
Berdasarkan hasil wawancara dengan Agung Dedi Dwi Handes, S.H., M.H. Jaksa Fungsional di Kejaksaan Negeri Semarang, bahwa peraturan peran koordinasi dan supervisi KPK sudah diatur secara baik namun baru sebatas peran koordinasinya saja selama ini yang dilakukan. Untuk peran supervisi lembaga Kejaksaan mempunyai lembaga internal dan peraturan dari Kejaksaan Agung sendiri yang melaksanakan peran supervisi dalam Kejaksaan hanya beberapa kali saja dilakukan oleh KPK. Proses pengenalan peran koordinasi dan supervisi yang dimiliki KPK secara langsung dikenalkan dan adanya pembelajaran di wilayah Kejaksaan Negeri Semarang baru terjadi tahun 2012.52 Hal yang hampir sama juga diungkapkan oleh Kepala Eksaminasi Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah Pardiono, S.H., bahwa peraturan mengani peran koordinasi dan supervisi sudah baik, namun pelaksanaan supervisi dilakukan oleh lembaga pengawas kejaksaan sendiri dengan dasar aturan pada Peraturan Jaksa Agung
039/A/JA/10/2010 tentang tata kelola
Administrasi Kejaksaan. Jadi peran KPK dalam supervisi baru sebatas peraturan saja. Proses pengenalan tugas ini di wilayah Semarang sendiri baru terjadi tahun 2012, namun pada tahun 2010
52
Hasil wawancara dengan Agung Dedi Dwi Handes, S.H., M.H., Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Semarang pada tanggal 9 Juli 2013
76
adanya perwakilan yang dikirim dalam seminar oleh KPK menyangkut tugas penyidikan oleh KPK.53 1.2. Pelaksanaan Peran Koordinasi dan Supervisi KPK Terhadap Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Menurut Agung Dedi Dwi Handes, S.H., M.H. berdasarkan aturan normatif KPK melakukan koordinasi dan supervisi pada proses
penyidikan
sampai
penuntutan
di
lembaga/instansi
pemberantas tindak pidana korupsi. Namun, dalam praktiknya pelaksanaan peran koordinasi dan supervisi ini dari KPK cenderung bersifat pasif. Dimana Kejaksaan pada setiap kasus tindak pidana korupsi mengirimkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) sebagai bentuk koordinasi agar tidak terjadi tumpang tindih penanganan kasus tindak pidana korupsi. Selain itu juga biasanya, KPK datang ke kejaksaan untuk pemanggilan tersangka atau saksi tindak pidana korupsi, meminjam ruangan dalam pemeriksaan tersangka dan saksi, dan juga peminjaman ruang sidang pada tindak pidana korupsi tertentu. Dan juga pernah diadakan dengar pendapat pada kasus Walikota Semarang oleh KPK dengan melibatkan Kejaksaan Negeri dan Kepolisian. Waktu dalam penerapan peran ini tidak menentu hanya tidak bisa ditentukan kapan waktunya dalam koordinasi ini.54 53
Hasil wawancara dengan Pardiono, S.H., Kepala Eksaminasi Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah pada tanggal 9 Juli 2013 54 Hasil wawancara dengan Agung Dedi Dwi Handes, S.H., M.H., Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Semarang pada tanggal 9 Juli 2013
77
Menurut Pardiono, S.H. pelaksanaan peran koordinasi dan supervisi KPK dalam tindak pidana korupsi di Kejaksaan hanya meminta laporan terkait penyidikan terhadap suatu tindak pidana korupsi saja yaitu berupa SPDP. Dan beberapa kali melakukan kunjungan di kejaksaan tinggi jawa tengah untuk melakukan monitoring pada kasus tindak pidana korupsi yang sudah ditangani atau sedang ditangani kejaksaan tinggi.55 1.3. Faktor-faktor yang menghambat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi Menurut Agung Dedi Dwi Handes, S.H., M.H., pada Kejaksaan Negeri Semarang hambatan dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi yang ditemui adalah sebagai berikut: a.
Dari intern aparatur sendiri yang kurang dalam kemampuan yang minim pengetahuan yang tidak menguasai teknologi, sedangkan kejahatan berkembang dengan kecepatan teknologi, penguasaan peraturan yang begitu banyak sehingga cukup menyulitkan
pemahaman
dari
aparatur
tertentu.
Harus
mengimbangi terhadap banyaknya peraturan yang terkotakkotak. b.
Dari ekstern berupa perbuatan korupsi yang semakin kompleks, semakin sulit terhadap pembuktiannya.
55
Hasil wawancara dengan Pardiono, S.H., Kepala Eksaminasi Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah pada tanggal 9 Juli 2013
78
c.
Korupsi dilakukan bersama-sama otomatis banyak pihak-pihak yang diperiksa dan diminta keterangannya yang menyulitkan.
d.
Kasus penanganan dibatasi oleh limit sesuai dengan hukum acara, yang mana dalam hukum acara dibatasi oleh tempo waktu tertentu, sedangkan dilapangan pihak-pihak yang korupsi sering menghilangkan barang bukti menyembunyikan informasiinformasi yang dibutuhkan, dan dokumen-dokumen terkait tindak pidana korupsi tersebut.
e.
Dalam perbankan harus meminta ijin kepada Bank Indonesia untuk membuka rekening, jadi kejaksaan itu bersifat pasif karena
menerima
hasil
rekening
transaksi
keuangan
mencurigakan informasi dari PPATK. f.
Tempat dilakukan persidangan korupsi yang hanya di ibu kota provinsi itu cukup menyulitkan kejaksaan yang berada di daerah-daerah di luar ibu kota provinsi, baik dari segi operasional maupun waktu. Dimana menghadirkan saksi-saksi yang berkaitan.56 Menurut Pardiono, S.H. Pada Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah
hambatan yang ditemui dalam proses penindakan kasus korupsi adalah sebagai berikut :
56
Hasil wawancara dengan Agung Dedi Dwi Handes, S.H., M.H., Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Semarang pada tanggal 9 Juli 2013
79
a.
Pada pemeriksaan orang atau tersangka pelaku tindak pidana korupsi, dikarenakan orang yang terlibat dalam perkara tindak pidana korupsi ini merupakan orang yang pintar jadi pembuktian sering kali mengalami kendala.
b.
Pada proses pencarian dokumen yang diduga merupakan alat bukti dalam mengungkap kasus tindak pidana korupsi sangat sulit, karena pada proses ini kebanyakan administrasi sudah lengkap sehingga sulit dalam pengungkapan bukti.
c.
Pencarian hasil dari korupsi yang berupa uang atau asset, dikarenakan
tersangka
korupsi
sering
menyimpan
atau
mengalihkan kekayaan atau hasil korupsi kepada pihak lain, keluarga atau orang ketiga. Bahkan bank, yang merupakan tindakan money laundry. d.
Hambatan berupa izin dalam pengungkapan kasus korupsi yang melibatkan
pejabat
kedudukan
yang
yang tinggi
berpengaruh pada
dan
lembaga
mempunyai pemerintahan.
Memerlukan waktu yang sangat lama, sehingga menghambat penindakan kasus korupsi sehingga sering kali tersangka kasus korupsi mengalihkan harta kekayaan atau harta hasil korupsi kepada pihak lain.
80
e.
Menarik asset tersangka korupsi. Hambatan berupa rahasia bank dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi juga menjadi kendala para penyidik tindak pidana korupsi di Semarang.57
1.4. Pengaruh peran koordinasi dan supervisi KPK Menurut Agung Dedi Dwi Handes, S.H., M.H. pengaruh peran koordinasi dan supervisi KPK dalam peningkatan kerja pada Kejaksaan Negeri Semarang terjadi yaitu berupa sinergi dengan lembaga lain, penambahan wawasan. Pada prinsipnya peran koordinasi dan supervisi ini memberikan dampak yang positif pada penyidikan dan penanganan tindak pidana korupsi.58 Menurut Pardiono, S.H. terjadi peningkatan kerja dimana berlomba-lomba menangani tindak pidana korupsi antara KPK, Kepolisian dan Kejaksaan. Dimana pada rentan tahun 2005 – 2011 adanya target penanganan tindak pidana korupsi dikalangan kejaksaan setiap tahunnya, yaitu : a. Kejaksaan Tinggi Kelas I adalah 10 kasus tindak pidana korupsi. b. Kejaksaan Tinggi Kelas II adalah 7 kasus tindak pidana korupsi. c. Kejaksaan Negeri Kelas I adalah 5 kasus tindak pidana korupsi. 57
Hasil wawancara dengan Pardiono, S.H., Kepala Eksaminasi Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah pada tanggal 9 Juli 2013 58 Hasil wawancara dengan Agung Dedi Dwi Handes, S.H., M.H., Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Semarang pada tanggal 9 Juli 2013
81
d. Kejaksaan Negeri Kelas II adalah 3 kasus tindak pidana korupsi. e. Cabang Kejaksaan Negeri adalah 1 kasus tindak pidana korupsi. Namun pada tahun 2011 – 2013 berdasarkan optimalisasi jaksa agung mengisyaratkan agar lebih banyak penanganan tindak pidana korupsi lebih dari 10 bisa juga sampai 25 perkara tindak pidana korupsi berkat supervisi dan monitoring pimpinan dan pengaruh faktor eksternal yaitu KPK. Sehingga penanganannya tidak terbatas pada tuntutan kerja setiap tahunnya demi memberantas tindak pidana korupsi.59 2. Polisi Di Wilayah Kota Semarang 2.1. Peraturan mengenai peran koordinasi dan supervisi KPK terhadap proses penyidikan Menurut AKP Ibnu Suka, S.H. Kasubmit II Unit 3 Tindak Pidana Korupsi di POLRESTABES Semarang, bahwa peraturan yang menyangkut mengenai peran koordinasi dan supervisi KPK pada tingkat penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sudah cukup baik dalam peraturannya. Namun dalam pengenalan peran koordinasi ini kepada POLRESTABES Semarang baru dimulai di tahun 2012 melalui
acara
bersama
KPK,
Kepolisian
dan
Kejaksaan.
Kekurangannya hanya terletak pada pengaturan supervisi antar 59
Hasil wawancara dengan Pardiono, S.H., Kepala Eksaminasi Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah pada tanggal 9 Juli 2013
82
lembaga hukum, penyadapan dan supervisi terhadap aturan atau data nasabah atau pelaku yang berada dibank, ini masih sangat lemah dan masih banyak intervensi yang masuk dalam pelaksanaan peraturan tersebut.60 Berdasarkan hasil wawancara dengan Bripka Arif Pu’anto, S.H. Penyidik Pembantu Tipikor Polres Semarang, bahwa peraturan mengenai peran koordinasi dan supervisi yang dimiliki KPK sudah baik dan tidak ditemui masalah dalam peraturan tersebut. Bahwa selama ini peraturan mengenai koordinasi antar lembaga masingmasing lembaga pemberantas
tindak
pidana korupsi
sudah
memilikinya, misalnya selama ini selain mengacu pada UndangUndang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi juga mengacu pada Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, namun dalam peran supervisi polisi masih berpacu pada Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dimana supervisi dilakukan oleh Kompolnas atau atasannya. Pengenalan mengenai peran ini baru dilakukan di tahun 2012 melalui pelatihan bersama, namun sebagai penegak hukum diwajibkan tahu semua aturan meskipun belum ada pengenalan dari lembaga itu sendiri.61
60
Hasil wawancara dengan AKP Ibnu Suka, S.H., Penyidik Polri Kasubmit 2 Unit 3 Tipikor Polrestabes Semarang pada tanggal 10 Juli 2013 61 Hasil wawancara dengan Bripka Arif Pu’anto, S.H., Penyidik Pembantu Tipikor Polres Semarang pada tanggal 10 Juli 2013.
83
2.2. Pelaksanaan Peran Koordinasi dan Supervisi KPK Terhadap Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Menurut AKP Ibnu Suka, S.H. pelaksanaan peran koordinasi dan supervisi yang dilakukan secara langsung oleh KPK di wilayah Polrestabes Semarang belum pernah dilakukan. Hanya pada setiap kasus tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Polrestabes Semarang mengirimkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada KPK. Laporan ini hanya pada kasus tipikor saja, tidak ada pembukuan SPDP masuk kedalam berkas Tindak pidana tersebut. Untuk pengawasan dan koordinasi hanya dengan kejaksaan itu juga hanya lisan agar tidak ada tumpang tidih penyidikan di kasus yang sama. Untuk supervisi belum pernah dilakukan KPK karena belum ada laporan dari masyarakat terkait pengurusan tindak pidana korupsi karena selalu ditangani dengan baik oleh Polrestabes Semarang.62 Hal berbeda diungkapkan Bripka Arif Pu’anto, S.H. bahwa berdasarkan penyidikan tindak pidana korupsi selama ini selain mengirimkan SPDP kepada KPK sebagai bentuk koordinasi, KPK juga pernah melakukan dengar pendapat dengan Kepolisian Daerah Semarang bersama dengan Kejaksaan terkait dugaan kasus korupsi Walikota Semarang.63 Meskipun dirasa peran ini masih sangat pasif 62
Hasil wawancara dengan AKP Ibnu Suka, S.H., Penyidik Polri Kasubmit 2 Unit 3 Tipikor Polrestabes Semarang pada tanggal 10 Juli 2013 63 Hasil wawancara dengan Bripka Arif Pu’anto, S.H., Penyidik Pembantu Tipikor Polres Semarang pada tanggal 10 Juli 2013.
84
dilakukan oleh KPK kepada instansi di wilayah Semarang. Sama halnya dengan apa yang diungkapkan oleh AKP Ibnu Suka, S.H. bahwa terkait supervisi belum pernah dilakukan karena supervisi masih dipengaruhi lembaga pengawas kepolisian dan dari atasan sendiri. 2.3. Faktor-faktor yang menghambat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Dimana menurut AKP Ibnu Suka, S.H, selaku penyidik polri dalam penanganan kasus korupsi, dalam penangan kasus tindak pidana korupsi ada 3 pokok masalah yang ditemui selama menjabat sebagai penyidik polri. Dimana ketiga masalah ini merupakan hal yang membuat lamanya proses penyidikan perkara tindak pidana korupsi. Ketiga hal tersebut adalah : a.
Proses permulaan Pembuktian dan pengumpulan pembuktian yang berada di bank. Hal ini memakan waktu dalam proses penyelidikan, penyidikan pada tersangka atau terpidana yang melakukan korupsi. Ini disebabkan adanya aturan perbankan dimana dalam uu perbankan sendiri mengatur untuk menjaga kerahasian pada simpanan nasabah. Dimana ini dirasakan oleh penyidik polri dikawasab polrestabes semarang memakan waktu yang lama dan berjenjang karena menyangkut proses perijinan dan pembuatan
85
surat kuasa yang dilakukan penyidik agar dapat membuka rekening nasabah yang merupakan tersangka atau terpidana kasus korupsi. b.
Tidak adanya kewenangan kepolisian dalam proses penyadapan. Hal ini memang tidak ada dalam aturan kepolisian sebagai penyidik dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan pada tersangka atau terpidana kasus korupsi. Dimana hal ini tidak diatur
dalam
regulasi
yang
dimiliki
Kepolisian
dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi. c.
Proses Penggeledahan dan Penyitaan pada harta kekayaan koruptor Dimana dalam proses penggeledahan dan penyitaan barang-barang hasil korupsi atau menemukan barang-barang hasil korupsi harus melalui ijin dari pengadilan negeri setempat. Dimana pada polrestabes semarang hal ini beberapa kali menjadi hambatan karena membutuhkan waktu dan proses yang lama, dimana ditakutkan koruptor akan menyembunyikan hasil dari korupsi yang dilakukan. 64 Menurut arif Bripka Pu’anto, S.H. Pada polres semarang
hambatan yang ditemui dalam penindakan kasus korupsi yang
64
Hasil wawancara dengan AKP Ibnu Suka, S.H., Penyidik Polri Kasubmit 2 Unit 3 Tipikor Polrestabes Semarang pada tanggal 10 Juli 2013
86
dilakukan di semarang secara teknis tidak ditemui kendala yang berarti namun dalam proses penyidikan ditemukan kendala berupa : a.
Keterangan
tersangka
pemeriksaan
perkara
yang yang
berubah-ubah menyulitkan
dalam dalam
proses meminta
keterangan suatu perkara. b.
Adanya intervensi dari pihak luar berupa masuknya intervensi dari lembaga atau intansi lain. Hal ini dilakukan karena jabatannya lebih tinggi untuk melindungi bawahannya yang terkena kasus korupsi.
c.
Pengumpulan bukti yang berupa dokumen dari suatu lembaga, Karena korupsi terjadi bertahun-tahun dan sudah lama menjalar dalam intansi atau lembaga tersebut.65
2.4. Pengaruh peran koordinasi dan supervisi KPK Berdasarkan hasil wawancara dengan AKP Ibnu Suka, S.H. pengaruh dari adanya peran koordinasi dan supervisi KPK pada proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan menimbulkan adanya sinergi yang lebih baik dengan lembaga pemberantas tindak pidana korupsi lainnya seperti kejaksaan dan KPK. Adanya peningkatan kerja dari lembaga kepolisian terutama Polrestabes Semarang dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi karena merasa terpacu untuk lebih baik pengaruh itu bukan hanya dari KPK saja tapi dari atasan juga yang memberikan motivasi 65
Hasil wawancara dengan Bripka Arif Pu’anto, S.H., Penyidik Pembantu Tipikor Polres Semarang pada tanggal 10 Juli 2013.
87
kepada Polrestabes Semarang. Dengan adanya peran ini mengurangi tumpang tindih dalam kewenangan melakukan penyidikan antara kepolisian, kejaksaan dan KPK karena adanya unsur koordinasi yang terjadi, dimana pernah terjadi tumpah tindih penyidikan antara Polrestabes Semarang dengan Kejaksaan Negeri Semarang.66 Hal serupa juga diutarakan oleh penyidik Polres Semarang Bripka Arif Pu’anto, S.H. bahwa dengan adanya peran koordinasi dan supervisi ini terjadi peningkatan kerja dalam penanganan tindak pidana korupsi, dimana polisi menjadi lebih aktif dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi karena terpacu untuk lebih baik dalam pemberantasan korupsi antara kejaksaan dan KPK. Hal ini mulai terasa dalam pemanggilan saksi dan tersangka tindak pidana korupsi dan juga peran di masyarakat dalam pendidikan dan pengenalan pencegahan dan pengawasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Polres Semarang.67
C. Pembahasan 1.
Koordinasi dan Supervisi KPK Terhadap Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di Kejaksaan Negeri Semarang Dalam membangun hubungan koordinasi dan supervisi oleh KPK 66
dikarenakan
korupsi
merupakan
kejahatan
luar
biasa
Hasil wawancara dengan AKP Ibnu Suka, S.H., Penyidik Polri Kasubmit 2 Unit 3 Tipikor Polrestabes Semarang pada tanggal 10 Juli 2013 67 Hasil wawancara dengan Bripka Arif Pu’anto, S.H., Penyidik Pembantu Tipikor Polres Semarang pada tanggal 10 Juli 2013.
88
(extraordinary crime) karena korupsi merupakan pelanggaran HAM (Hak sosial dan hak ekonomi). Muladi menyatakan hal ini disebabkan sifat korupsi yang sudah sistimatik, endemic, berakar (ingrained) dan flagrant yang mengakibatkan kerugian finansial dan mental.68 Oleh sebab itu diperlukan pola pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif, untuk mencapai suatu efektivitas dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang sudah terjadi di semua bidang diperlukan peran koordinasi dan supervisi oleh lembaga yang berdiri secara independent dan memiliki kewenangan yang berbeda dengan lembaga penegak hukum lain dalam pemberantasan tindak pidana korupsi (super body).69 Tugas
dan
wewenang koordinasi dan supervisi harus
dilaksanakan sesuai dengan sifat dasar keberadaan KPK sebagaimana dijabarkan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu: Pertama, menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai “counterpartner” yang kondusif 68
Muladi, “Konsep Total Enforcement dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Kerangka Politik Hukum”, Makalah disampaikan pada forum koordinasi dan konsultasi dalam rangka intersifikasi pemberantasan tindak pidana korupsi, Jakarta, 8 Nopember 2006, hlm. 14, dalam http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/121277-D%2000943Kedudukan%20dan%20kewenangan-Pendahuluan.pdf, diakses tanggal 21 Oktober 2013. 69 Sebagai bentuk pengamalan dalam dasar filosofis pembentukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang tertuang dalam konsideran menimbang huruf a dan b, yaitu : a. bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi dampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara professional, intensif dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional; b. bahwa lembaga pemerintah yang menangani tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.
89
sehingga pemberantasan korupsi dapat dijalankan secara efisien dan efektif; Kedua, tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan,
dan
penuntutan;
Ketiga,
sebagai
pemicu
dan
pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism).70 Dari penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK harus menjalin hubungan fungsional dengan Kepolisian dan Kejaksaan sebagai counterpartner yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif. Dengan demikian keberadaan KPK dengan segala tugas dan wewenangnya, tetap memberikan peran yang besar bagi Kepolisian dan Kejaksaan dalam melakukan tugas dan kewenangannya dalam tindak pidana korupsi. Sehingga diharapkan pada praktiknya antara Kepolisian dan Kejaksaan dengan KPK dapat saling menghormati dan bekerja sama sesuai dengan tugas dan wewenang
masing-masing
demi
terberantasnya
tindak
pidana
korupsi.71 Dapat dilihat pada kasus korupsi Walikota Semarang pada tahun 2012 dengan tersangka berinisial SHS dimana terbukti memberikan uang Rp. 304.000.000,- (tiga ratus empat juta rupiah) kepada 38 anggota DPRD, atau Rp. 8.000.000,- (delapan juta rupiah) 70
Rizki Fajar, Skripsi: “Peranan KPK Sebagai Koordinasi dan Supervisi Dalam Proses Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan Terhadap Tindak Pidana Korupsi”, Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman, 2010, hlm. 39. 71
Ibid.
90
perorangnya, terkait pembahasan anggaran. Dia juga terbukti menyetujui pemberian uang Rp. 40.000.000,- (empat puluh juta rupiah) kepada 26 anggota Badan Anggaran DPRD Semarang terkait rapat pembahasan anggaran tambahan penghasilan pegawai.72 Kasus suap ini terbongkar setelah KPK mendapat laporan dari masyarakat akan adanya suap atas penyusunan APBD tahun 2012 lalu KPK menangkap AZ (Sekretaris Daerah Semarang) bersama kedua anggota Dewan lainnya pada 24 November 2011 di depan kantor DPRD Semarang bersama uang dugaan suap Rp. 40.000.000,- (empat puluh juta rupiah). KPK menduga kuat uang itu untuk memuluskan pembahasan program Tambahan Penghasilan Pegawai pada APBD 2012 senilai Rp. 100.000.000.000,- (seratus milyar rupiah).73 Wali Kota Semarang SHS ditetapkan sebagai tersangka atas pengembangan dari kasus suap APBD dengan terdakwa Sekretaris Daerah Kota Semarang AZ serta dua anggota DPRD Semarang, berinisial APS dan S. Dimana pada persidangan SHS terbukti melanggar ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Vonis ini jauh lebih rendah dibanding tuntutan jaksa selama lima tahun dan denda Rp. 250.000.000,- yang merupakan dakwaan primer mengacu pada pasal 5
72
http://www.tempo.co/read/news/2012/08/14/063423451/Vonis-Rendah-KPK-BandingKasus-Wali-Kota-Semarang, diakses pada tanggal 21 Oktober 2013. 73 http://www.tempo.co/read/news/2012/06/08/063409236/Ada-Bukti-Intervensi-KasusWalikota-Semarang, diakses pada tanggal 21 Oktober 2013.
91
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, sehingga KPK melakukan banding pada putusan tersebut.74 a. Karena Adanya Kasus Korupsi yang Telah Memenuhi Ketentuan Kewenangan KPK. Bukan tanpa alasan KPK melakukan kewenangannya pada kasus korupsi di wilayah Kejaksaan Negeri Semarang yang dilakukan oleh walikota Semarang (SHS) dan Sekretaris Daerah Semarang (AZ) yang melibatkan 2 anggota DPRD Semarang (APS dan S). Apabila dilihat dalam ketentuan penindakan kasus korupsi yang dapat diambil alih oleh KPK berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 11 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu :75 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang : a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara Negara; b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau c. Menyangkut kerugian Negara paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Dalam hal ini apabila dilihat lebih lanjut dimana pada kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh walikota Semarang pada tahun 2012 memenuhi unsur yang merupakan kewenangan Komisi 74
http://www.tempo.co/read/news/2012/08/14/063423451/Vonis-Rendah-KPK-BandingKasus-Wali-Kota-Semarang, diakses pada tanggal 21 Oktober 2013. 75 Febri Diansyah. Dkk, Op.Cit.hlm 22.
92
Pemberantasan Korupsi dalam melakukan kewenangannya dalam hal penindakan dan melaksanakan koordinasi dan supervisi pada lembaga Kejaksaan dan Kepolisian di Semarang dan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi tersebut. Dalam unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 11 Undang-Undang
Nomor
30
Tahun
2002
tentang
Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam kasus walikota Semarang pada tahun 2012 sebagai berikut: a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara Negara. Dimana dalam kasus penyuapan untuk memperlancar program Tambahan Penghasilan Pegawai dalam APBD tahun 2012 kepada 2 (dua) anggota DPRD yang dilakukan oleh Sekretaris Daerah Kota Semarang atas perintah Walikota Semarang, para pelaku penyuapan dalam jabatannya merupakan penyelenggara Negara. Dimana unsur penyelenggara Negara ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme merumuskan bahwa :
93
“Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Dimana diatur lebih lanjut dalam pasal 2 angka 6 UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme merumuskan bahwa pejabat Negara yang lain dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan yang berlaku dalam hal ini penulis mengambil Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Pemerintahan
perundang-undangan
Daerah tersebut
dimana dapat
dalam
peraturan
ditemukan
unsur
penyelenggara Negara dalam pemerintahan daerah yang memuat tentang Walikota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Hal
ini
yang
menjadikan
dasar
KPK
mempunyai
kewenangan penindakan dan koordinasi dan supervisi di wilayah Kejaksaan Negeri Semarang dan Polrestabes Semarang dalam kasus ini karena pelaku penyuapan dalam program Tambahan Penghasilan Pegawai dalam APBD tahun 2012 merupakan penyelenggara Negara yang diatur oleh ketentuan perundang-undangan dalam penyelenggaraan Negara dalam pemerintahan daerah. Pelaku SHS dan AZ merupakan pejabat
94
penyelenggara Negara yang menjalankan fungsi eksekutif dalam pemerintahan daerah kota Semarang dan pelaku S serta APS merupakan pejabat penyelenggara Negara yang menjalankan fungsi legislatif pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Semarang. b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat. Kasus korupsi yang melibatkan Walikota Semarang, Sekretaris Daerah Semarang dan anggota DPRD Semarang ini dapat terungkap tidak lepas dari peran serta masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK menerima informasi dari masyarakat adanya praktik suap yang akan dilakukan di Kota Semarang76. Atas dasar informasi ini KPK berhasil melakukan operasi tangkap tangan terhadap Sekretaris Daerah Semarang yang sedang melakukan penyuapan dengan 2 anggota DPRD Semarang. Pemberian informasi ini sebagai bentuk pemberantasan korupsi melalui informasi masyarakat tidak begitu saja diterima oleh KPK karena adanya prosedur yang harus dilakukan oleh seorang informan sebagai bentuk pertanggungjawaban, karena hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.71 tahun 2000, tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat
76
http://nasional.inilah.com/read/detail/1800275/kronologi-penangkapan-sekda-anggotadprd-semarang#.UmkS4fLmZH0, diakses tanggal 25 Oktober 2013.
95
dan
Pemberian
Penghargaan
dalam
Pencegahan
dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK), karena dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang ini pelapor harus memberikan data diri yang jelas kepada KPK agar pelaporan ini ditindak lanjuti tidak hanya itu dalam Pasal 3 ayat 1 pelapor harus menyertakan bukti permulaan dalam pelaporan dugaan kasus korupsi kepada KPK. Pelaporan masyarakat ini menurut lambaga masyarakat yang ada di wilayah Semarang karena masyarakat mulai resah dengan jalannya pemerintahan di Semarang ini disebabkan kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah dan tertutupnya proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.77 Dengan hal ini tentu saja masyarakat menaruh perhatian khusus atas rencana dalam pembentukan APBD tahun 2012 dimana diketemukan penyuapan atas salah satu program yang akan masuk dalam APBD tersebut. Partisipasi masyarakat ini tentu sejalan dengan rencana strategi KPK dalam masyarakat yaitu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menangkal korupsi yang terjadi dilingkungannya. Atas dasar pelaporan dan keresahan masyarakat inilah KPK dapat melakukan kewenangannya dalam penindakan kasus korupsi yang melibatkan Walikota Semarang, Sekretaris Daerah 77
http://www.tempo.co/read/news/2012/06/08/063409273/Intervensi-Kasus-WalikotaSemarang-Langgar-UU-Tipikor, diakses tanggal 21 Oktober 2013.
96
Semarang dan anggota DPRD Semarang, sebagai tindakan lanjutan atasan pelaporan serta bukti permulaan yang diberikan oleh pelapor yang mengetahui akan terjadinya transaksi penyuapan dalam pembentukan APBD tahun 2012 kota Semarang. c. Menyangkut
kerugian
Negara
paling
sedikit
Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Kerugian Negara atau daerah berdasarkan Pasal 1 ayat 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharan Negara: “Kerugian Negara atau daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” Dari kasus korupsi Walikota Semarang dalam penyuapan yang dilakukan oleh Sekretaris Daerah Semarang kepada 2 anggota DPRD atas perintah Walikota Semarang dalam rangka memuluskan program tambahan penghasilan pegawai dalam APBD tahun 2012 . Apabila dilihat kasus penyuapan ini memang belum mencapai angka yang ditetapkan oleh KPK yaitu sebesar RP. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) karena apabila dirinci dana keseluruhan dalam kasus ini hanya sebesar Rp. 344.000.000,- (tiga ratus empat puluh empat juta rupiah) dimana kepada 38 anggota DPRD Semarang masing-masing sebesar Rp. 8.000.000,- (delapan juta rupiah) dan kepada 26
97
anggota Badan Anggaran sebesar Rp. 40.000.000,- (empat puluh juta rupiah).78 Namun apa yang dilakukan oleh tersangka adalah menyangkut
kerugian
Negara
pada
program
tambahan
penghasilan pegawai tersebut dimana mencapai angka Rp. 100.000.000.000,- (seratus milyar rupiah) dimana dana ini akan diambil dalam APBD yang dapat merugikan keuangan daerah Semarang akibat perbuatan korupsi yang sudah direncanakan oleh Walikota Semarang ini. Hal ini yang membuat KPK dapat melakukan kewenangannya dalam kasus ini karena jumlah kerugian Negara yang akan ditimbulkan akibat perbuatan Walikota Semarang ini telah lebih dari Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) dan melakukan penyuapan pada penyelenggara Negara dalam rencana korupsi tersebut. Kewenangan KPK dalam kasus ini memang telah terpenuhi dan dapat dilakukan penindakan pada para pelaku korupsi, dilihat lebih lanjut dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, kewenangan pertama dan kedua adalah melakukan koordinasi dan supervisi sebelum penyelidikan, penyidikan dan penuntutan pada tindak pidana korupsi.
Koordinasi
dan
supervisi
ini
dilakukan
sebagai
pemberintahuan kepada lembaga pemberantasan korupsi lainnya di 78
. http://www.tempo.co/read/news/2012/08/14/063423451/Vonis-Rendah-KPKBanding-Kasus-Wali-Kota-Semarang, diakses tanggal 21 Oktober 2013.
98
wilayah hukum kasus yang akan ditangani terjadi dan telah masuk dalam ranah kewenangan KPK. Hal ini dinyatakan oleh Agung Dedi Dwi Handes, S.H., M.H, bahwa KPK pernah melakukan koordinasi dan supervisi dalam kasus korupsi yang dilakukan oleh walikota Semarang pada tahun 2012 dan melakukan pelatihan pada penyidik tindak pidana korupsi yang melibatkan Kejaksaan, Kepolisian dan KPK sendiri.79 Hal yang sama dinyatakan oleh Pardiono, S.H, bahwa pada tahun 2012 KPK melakukan koordinasi dan supervisi untuk melakukan penelitian dan pengawasan pada kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh walikota Semarang dan anggota DPRD Semarang dalam penyusunan APBD 2012.80 Dirumuskan dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi bahwa wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, apabila tidak dilakukan koordinasi dan supervisi pada kasus yang sudah memenuhi kewenangan KPK terhadap lembaga pemberantasan korupsi lainnya akan timbul benturan kewenangan diantara para lembaga pemberantas korupsi. Pada kasus ini wilayah hukum berada di wilayah Kejaksaan Negeri Semarang dimana sesuai dengan rumusan Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 79
Hasil wawancara dengan Agung Dedi Dwi Handes, S.H., M.H., Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Semarang pada tanggal 9 Juli 2013 80 Hasil wawancara dengan Pardiono, S.H., Kepala Eksaminasi Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah pada tanggal 9 Juli 2013
99
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan Negeri berkedudukan di hukumnya
meliputi
ibukota kabupaten/kota yang daerah
daerah
kabupaten/kota.
Hal
ini
yang
menjadikan kenapa koordinasi dan supervisi harus dilakukan KPK meskipun suatu kasus telah masuk dalam kewenangannya berdasarkan Undang-Undang dan wilayah kerja KPK yang meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia namun pada setiap wilayah Negara telah terbagi wilayah hukum pada lembaga penanganan tindak pidana korupsi lainnya seperti Kejaksaan dan Kepolisian. b. Menghindarkan Overlapping Penanganan Tindak Pidana Korupsi. Dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system), peran aparatur penegak hukum khususnya penyidik sangatlah strategis. Penyidik merupakan pintu gerbang utama dimulainya tugas pencarian kebenaran materiil. Melalui proses penyidikan upaya penegakan hukum berawal karena itu kewenangan untuk melakukan penyidikan suatu tindak pidana perlu memperoleh kejelasan, tidak saja terkait institusi mana yang berwenang menyidik
tetapi
juga
seberapa
luas
kewenangan
tersebut
dilaksanakan guna menghindari munculnya tumpang tindih (overlapping)
penanganan
perkara
menyebabkan terlanggarnya rasa keadilan.
korupsi
yang
dapat
100
Menurut Agung Dedi Dwi Handes, S.H., M.H, menyatakan bahwa dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kejaksaan pernah beberapa kali terjadi overlapping penanganan kasus tindak pidana korupsi dengan Polrestabes Semarang atau Polres Semarang. Meskipun sudah mengirimkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada KPK, namun dilapangan pernah beberapa kali terjadi kesalahpahaman dengan lembaga pemberantas hukum lainnya dalam penanganan perkara. Meskipun dapat dilaksanakan dengan koordinasi dengan lembaga tersebut, ada pula kasus yang sampai berkas pemeriksaan dikembalikan karena kejaksaan dan kepolisian menangani kasus yang sama.81 Dinyatakan juga oleh Bripka Arif Pu’anto, S.H. bahwa dalam penanganan kasus korupsi di Semarang pernah beberapa kali menangani penyelidikan dan penyidikan yang mana juga dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Semarang, sebagai penyelesaiannya dilakukan musyawarah dengan Kejaksaan Negeri dan mengirimkan SPDP kepada KPK.82 Hal ini memang dapat terjadi dalam penanganan kasus korupsi oleh penyidik apabila dilihat lebih lanjut dalam pengertian penyidikan yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) KUHAP dan pengertian penyidik dalam Pasal 1 ayat (1) KUHAP yang mana 81
Hasil wawancara dengan Agung Dedi Dwi Handes, S.H., M.H., Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Semarang pada tanggal 9 Juli 2013 82 Hasil wawancara dengan Bripka Arif Pu’anto, S.H., Penyidik Pembantu Tipikor Polres Semarang pada tanggal 10 Juli 2013.
101
dapat kita lihat implementasi pada Pasal 1 ayat (1) dalam UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang mana merupakan penyidik dalam golongan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, dimana munculnya penyidik dalam golongan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang berlandaskan KUHAP dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dimana semua penyidik tersebut mempunyai wewenang dalam penanganan pemberantasan tindak pidana korupsi. Menurut Agung Dedi Dwi Handes, S.H., M.H, menyatakan bahwa dalam pelaksanaan tugas pemberantasan tindak pidana korupsi di wilayah Semarang berlandaskan pada Undang-Undang yang ada (KUHAP, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia)
sehingga
apa
yang
dilakukan
oleh
kejaksaan
berlandaskan atas hukum.83 Hal ini ditambahkan oleh Pardiono, S.H. mengatakan bahwa dalam pelakskanaan tugas pemberantasan korupsi jaksa mengacu juga pada Peraturan Jaksa Agung Nomor
83
Hasil wawancara dengan Agung Dedi Dwi Handes, S.H., M.H., Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Semarang pada tanggal 9 Juli 2013
102
039/A/JA/10/ 2010 tentang Administrasi Manajemen Kejaksaan.84 Menurut Bripka Arif Pu’anto, S.H. bahwa dalam menjalankan tugasnya sebagai penyidik pada tindak pidana korupsi di wilayah Semarang mengacu pada KUHP, KUHAP dam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.85 Diberikannya
kewenangan
pada
institusi
lain
untuk
melakukan penyidikan, di satu sisi akan memudahkan dalam pengungkapan suatu kasus tindak pidana mengingat banyaknya kendala yang dihadapi oleh aparat penyidik KPK, Kepolisian dan Kejaksaan dalam melaksanakan tugas penyidikan, seperti kendala sumber daya manusia, sarana-prasarana, anggaran, dan sebagainya, sehingga keterlibatan institusi tersebut dalam tugas penyidikan dapat membantu proses penegakan hukum. Namun disisi lain hal tersebut dapat menimbulkan disharmonis yang memicu terjadinya tarik menarik kewenangan antar institusi karena masing-masing institusi mempunyai kewenangan yang diatur oleh Undang-Undang dengan adanya permasalahan tersebut tentu akan menghambat dalam proses penegakan hukum terutama dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini sama dengan apa yang dikatakan oleh Paul R. Lawrence dan Jay W. Lorch yang dikutip oleh 84
Hasil wawancara dengan Pardiono, S.H., Kepala Eksaminasi Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah pada tanggal 9 Juli 2013 85 Hasil wawancara dengan Bripka Arif Pu’anto, S.H., Penyidik Pembantu Tipikor Polres Semarang pada tanggal 10 Juli 2013.
103
Handoko dalam bukunya, yang mempersulit pengkoordinasian adalah perbedaan dalam formalitas struktur. Setiap tipe satuan dalam suatu organisasi atau lembaga memiliki metoda-metoda dan standar-standar yang berbeda untuk mengevaluasi terhadap tujuan yang hendak dicapai.86 Ketidakpastian hukum yang bersumber pada pemerintah (administrasi Negara) terkait pembagian wewenang yang tidak jelas dan berbagai bentuk overlapping, hubungan antar berbagai lingkungan jabatan dan lembaga.87 Atas dasar inilah pelaksanaan koordinasi dan supervisi oleh KPK dilaksanakan di Kejaksaan Negeri Semarang agar tidak terjadi tumpang tindih penanganan kasus dengan berlandaskan asas Diferensiasi Fungsional dan asas saling koordinasi suatu asas penjernihan (Clarification) dan modifikasi (modification) fungsi dan wewenang antara setiap instansi penegak hukum sehingga terbina saling toleransi dan koordinasi dalam proses penegakkan hukum yang saling berkaitan dan berkelanjutan antara instansi yang satu dengan instansi yang lain sampai ke taraf pelaksanaan eksekusi dan pengawasan pengamatan
pelaksanaan
eksekusi.
Mulai
taraf
permulaan
penyidikan sampai kepada pelaksanaan putusan pengadilan. Hal ini dapat terlihat pada kasus penyuapan yang dilakukan walikota Semarang pada tahun 2012 dimana KPK melakukan 86
T. Hani Handoko, Op.cit, hlm.197. Bagir manan, Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam UU No. 4 Tahun 2004, Cetakan Pertama, FH UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 20. 87
104
koordinasi dan supervisi kepada lembaga Kejaksaan Negeri Semarang dan juga Polrestabes Semarang dimana pada dasarnya masing-masing
lembaga
mempunyai
kewenangan
dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun dengan adanya asas Lex specialis derogate lex generalis memberikan kewenangan khusus kepada KPK melakukan penindakan dan melakukan koordinasi dan supervisi kepada dua lembaga tersebut. Ini dilakukan agar tidak terjadi overlapping dalam penanganan kasus tindak
pidana
korupsi
oleh
Kejaksaan
Negeri
Semarang,
Polrestabes Semarang dan Komisi Pemberantasan Korupsi. c. Hambatan dalam penanganan tindak pidana korupsi. Pasca reformasi bergulir di Indonesia, bentuk sistem pemerintahan yang awalnya sentralis bergeser pada distribusi kewenangan ke daerah. Dengan dasar amandemen UUD 1945, kemudian diundangkannya untuk pertama kali Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah , maka desentralisasi sistem pemerintahan diterapkan di Indonesia. Semangat otonomi daerah ini dilihat secara positif oleh sejumlah kalangan, karena diharapkan bisa mengoreksi sentralisasi seumber daya, keuangan, dan kekuasaan yang selama ini berada di Ibu Kota Negara,
105
kemudian bisa terdistribusi secara rasional melalui konsep otonomi daerah. Desentralisasi kewenangan ternyata juga berakibat pada desentralisasi korupsi. Tingkat korupsi di daerah tidak kalah hebat dan
menghancurkan
dibanding
pusat.
Berdasarkan
catatan
Indonesia Corruption Watch tahun 2010 terdapat 148 kelapa daerah yang pernah terkait korupsi dan ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi, yaitu: 19 Gubernur, 1 Wakil Gubernur, 17 Walikota, 8 Wakil Walikota, 84 Bupati, dan 19 Wakil Bupati.88 Pergeseran kewenangan ke daerah yang tidak diikuti oleh pembenahan institusi penegak hukum dan perombakan system yang memberi peluang korupsi menjadikan daerah sebagai tempat korupsi baru. Modus korupsi yang dilakukan beragam, mulai dari korupsi
konvensional
dalam
pengadaan
barang
dan
jasa,
penyalahgunaan keuangan dana bantuan sosial untuk kepentingan politik, penggelapan bantuan beras, hingga korupsi kebijakan dalam konsensi sumber daya alam seperti hutan dan tambang. Hal ini dapat terlihat pada kasus walikota Semarang dimana akibat pelaksanaan desentraliasasi penyelenggara Negara dalam pemerintahan daerah dapat melaksanakan fungsinya sendiri. Dalam hal menjalankan fungsinya sebagai eksekutif bersama dengan lembaga legislatif dapat menyusun dan membentuk Anggaran 88
Febri Diansyah. Dkk, Op.Cit. hlm. 16.
106
Pendapatan dan Belanja Daerah sendiri tanpa ada lagi campur tangan dari pemerintah karena adanya otonomi daerah yang dijalankan. Hal ini menjadi celah terjadinya korupsi yang terencana secara bersama-sama dengan anggota legislatif untuk menjalankan korupsi itu dilakukan suap pada anggota badan pembentuk peraturan daerah tesebut. Pada dasarnya pemberantasan tindak pidana korupsi sudah dilakukan oleh lembaga pemberantasan kourpsi lainnya selain KPK yaitu Kejaksaan dan Kepolisian, namun terbatasnya kewenangan dan peralatan dalam pengusutan tindak pidana korupsi yang dimiliki oleh Kejaksaan dan Kepolisian menjadikan proses pemberantasan
korupsi
ini
mengalami
beberapa
kendala.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Agung Dedi Dwi Handes, S.H., M.H, menyatakan bahwa dalam peraturan dan ketentuan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Semarang dapat dilihat sendiri dalam undang-undang tentang Kejaksaan bahwa kewenangan dalam penanganan kasus tindak pidana
korupsi
tidak
seluas
seperti
kewenangan
Komisi
Pemberantasan Korupsi, peralatan yang digunakan oleh KPK juga bersifat khusus tidak semua penyidik pada lembaga pemberantasan korupsi lain memilikinya.89 Hal yang sama dinyatakan oleh AKP Ibnu Suka, S.H., bahwa kewenangan Kepolisian dalam pengusutan 89
Hasil wawancara dengan Agung Dedi Dwi Handes, S.H., M.H., Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Semarang pada tanggal 9 Juli 2013.
107
kasus korupsi memang tidak seluas apa yang dimiliki oleh KPK bahkan dari segi peralatan, peralatan yang dimiliki oleh KPK sangat khusus dari penyadapan hingga yang lainnya.90 Terbatasnya kewenangan lembaga Kepolisian dan Kejaksaan dalam penanganan tindak pidana korupsi di daerah menimbulkan beberapa hambatan dalam penanganan tindak pidana korupsi. Hambatan ini berupa lamanya proses pencarian alat bukti tindak pidana korupsi, baik karena aturan maupun atas jabatan. Hambatan yang terjadi dalam penanganan tindak pidana korupsi di Semarang disampaikan oleh Agung Dedi Dwi Handes, S.H., M.H, bahwa dalam pengumpulan alat bukti permulaan dalam tindak pidana korupsi sering kali mengalami hambatan tidak hanya itu pengumpulan bukti pada perbankanpun membutuhkan waktu yang lama karena lamanya proses perijinan. Keterbatasan kewenangan yang dimiliki oleh Kejaksaan dan peralatan yang belum memadai dalam memberantas korupsi yang selalu berkembang.91 AKP Ibnu Suka, S.H., menyatakan bahwa hamabatan karena keterbatasan kewenangan yang dimiliki oleh Kepolisian dapat dilihat pada penanganan pada kasus-kasus yang melibatkan bank dan dalam penyitaan ada semacam usaha untuk memperpanjang waktu pemeriksaan dan usaha untuk menghilangkan barang bukti. 90
Hasil wawancara dengan AKP Ibnu Suka, S.H., Penyidik Polri Kasubmit 2 Unit 3 Tipikor Polrestabes Semarang pada tanggal 10 Juli 2013 91 Hasil wawancara dengan Agung Dedi Dwi Handes, S.H., M.H., Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Semarang pada tanggal 9 Juli 2013.
108
Kepolisian tidak bisa melakukan penyadapan kepada terduga pelaku korupsi tidak seperti KPK yang mempunyai kewenangan seperti itu.92 Terbentuknya KPK sebagai lembaga yang superbody dengan segala kewenangan yang dimilikinya seperti menkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, melakukan supervisi terhadap tindak pidana korupsi serta kewenangan lain dalam hal pengumpulan alat bukti serta perlengkapan yang canggih dalam pemberantasan korupsi merupakan bentuk dari penyempurnaan lembaga pemberantasan korupsi yang pernah dan telah terbentuk di Indonesia. Dalam banyak kasus korupsi sering melibatkan pejabat tinggi, dan pelaku ekonomi.93 Situasi ini menyebabkan Kejaksaan atau Kepolisian sering tidak leluasa untuk menegakkan hukum.94 Tidak leluasanya Kejaksaan dan Kepolisian dalam penanganan tindak pidana korupsi karena dua lembaga ini bukanlah lembaga yang khusus untuk pemberantasan tindak pidana korupsi. Sehingga kewenangan yang dimiliki masih berupa kewenangan terbatas untuk memberantas korupsi tidak seperti KPK yang secara khusus dibentuk untuk pemberantasan tindak pidana korupsi.
92
Hasil wawancara dengan AKP Ibnu Suka, S.H., Penyidik Polri Kasubmit 2 Unit 3 Tipikor Polrestabes Semarang pada tanggal 10 Juli 2013 93 Teten Masduki dan Danang Widoyoko, “Menunggu Gebrakan KPK”, Jantera, hlm. 45, dalam http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/121277-D%2000943Kedudukan%20dan%20kewenangan-Pendahuluan.pdf, diakses tanggal 21 Oktober 2013 94
Ibid.
109
Hambatan dalam penanganan tindak pidana korupsi ini merupakan bentuk nyata masih lemahnya lembaga pemberantasan tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan Negeri dan Kepolisian. Hal ini dapat diminimalisir bahkan dihilangkan dengan koordinasi dan supervisi yang dimiliki KPK. Atas dasar masih terbatasnya wewenang Kejaksaan Negeri dalam penanganan tindak pidana korupsi, koordinasi dan supervisi sangat perlu dilakukan KPK dalam penanganan tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Semarang guna menghilangkan hambatan yang terjadi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Semarang. d. Adanya Intervensi Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penjelasan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia dari tahun ke tahun semakin sistematis merasuki seluruh sendi kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Selama kurang lebih 30 tahun tidak semakin berkurang, bahkan semakin bertambah baik dari sisi kuantitatif maupun dari sisi kualitatif. Dari sisi kualitatif kejahatan korupsi merupakan kejahatan white collar crime kejahatan yang lebih sering dilakukan oleh para pejabat atau pemegang kekuasaan dari suatu lembaga dalam urusan penyelenggaran Negara, baik lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Pada cirinya korupsi dilakukan bukan hanya oleh satu
110
orang saja namun melibatkan beberapa orang baik yang menjalankan tugas pada lembaga yang sama maupun yang menjalankan tugas pada lembaga yang berbeda, tidak hanya itu keterlibatan orang lain dalam korupsi dapat dilakukan karena loyalitas terhadap pimpinan yang menjalankan suatu lembaga tersebut. Tindak pidana korupsi yang terjadi dikalangan para pejabat pemerintahan tidak hanya bermotifkan demi mencari uang semata banyak korupsi yang terjadi bermotifkan politik yang terselubung dalam melakukan korupsi. Tindak pidana korupsi ini yang melibatkan banyak elemen yang terkait dan motif yang berbeda dari masing-masing pelaku tindak pidana korupsi yang sering menimbulkan intervensi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di kalangan pejabat atau lembaga pemerintah yang mempunyai
kedudukan
yang tinggi.
Masuknya
Intervensi-
intervensi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi selain menghalang-halangi penyidikan dan pengungkapan oknum yang terlibat, dilakukan juga sebagai pencitraan dimana agar nama lembaga pelaku tindak pidana korupsi tidak menjadi buruk di masyarakat. Pada kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan Walikota Semarang yang berinisial SHS dan Sekretaris Daerah Semarang yang berinisial AZ yang melibatkkan 2 anggota DPRD Semarang,
111
masuknya intervensi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sudah terlihat sejak awal persidangan AZ dengan saksi SHS, dalam persidangan masuknya pendukung SHS yang memenuhi ruang sidang memberikan rasa tidak aman kepada para saksi lain dalam memberikan keterangan sehingga berbelit-belit dan keterangan yang diberikan dalam BAP sangat berbeda dengan apa yang diungkapkan kepada Hakim di persidangan. Pada kasus dengan tersangka SHS intervensi dilakukan oleh 5 Anggota Komisi Hukum DPR dengan meminta ke beberapa pihak lembaga penegak hukum termasuk Mahkamah Agung untuk mengembalikan sidang SHS ke Semarang. Sebelumnya KPK bersama Mahkamah Agung dan
penegak
hukum
di
Semarang
telah
sepakat
untuk
menyidangkan SHS di Jakarta. Permintaan kelima anggota DPR ini dilakukan diluar sepengetahuan resmi Komisi, dan terdapat penyalahgunaan wewenang dimana seharusnya merujuk pada legislatif sedangkan kasus ini berada di ranah yudikatif. Masuknya intervensi dalam penanganan tindak pidana korupsi bukanlah hal baru dalam pengungkapan suatu kasus tindak pidana korupsi. Agung Dedi Dwi Handes, S.H., M.H, mengatakan bahwa selalu ada intervensi politik yang dilakukan oleh pihakpihak lain di luar dari suatu kasus tersebut. Intervensi banyak dilakukan pada kasus yeng melibatkan kepala daerah atau orang lembaga penyelenggara Negara yang sudah memiliki kedudukan
112
yang cukup vital. Alasan dari intervensi yang dilakukan oknumoknum ini pada penanganan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan bermacam-macam banyak yang beralasan sebagai bentuk pengawasan yang pada dasarnya untuk menghalang-halangi penyidikan.95 Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Jaksa fungsional Kejaksaan Negeri Semarang, AKP Ibnu Suka, S.H., menyatakan bahwa intervensi politis dalam setiap kasus tindak pidana korupsi pasti akan selalu ada, baik yang dilakukan oleh pejabat maupun yang dilakukan oleh pegawai biasa. Upaya-upaya ini dilakukan baik dari tersangka maupun pihak lain untuk menggagalkan penyelidikan pada dirinya atau instansi dimana terjadinya korupsi.96 Banyaknya intervensi yang dilakukan dalam penanganan tindak pidana korupsi baik di pusat menimbulkan kekhawatiran dari masyarakat dan banyak pertanyaan tentang eksistensi dari penegak
hukum
yang
rentan
terjadinya
korupsi
dalam
pengungkapan kasus korupsi yang sedang ditangani, terlebih di daerah dimana belum adanya lembaga yang independent dan superbody seperti KPK. Hal tersebut membawa KPK menjadi lembaga pengawas kepada lembaga penegak hukum lainnya di daerah dengan tugas koordinasi dan supervisi yang dimilikinya, 95
Hasil wawancara dengan Agung Dedi Dwi Handes, S.H., M.H., Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Semarang pada tanggal 9 Juli 2013. 96 Hasil wawancara dengan AKP Ibnu Suka, S.H., Penyidik Polri Kasubmit 2 Unit 3 Tipikor Polrestabes Semarang pada tanggal 10 Juli 2013
113
kebutuhan lembaga pengawas di luar jajaran badan Kejaksaan dan Kepolisian sangat diperlukan seperti yang diungkapkan oleh Agung Dedi Dwi Handes, S.H., M.H, bahwa lembaga eksternal yang independent dalam penanganan tindak pidana korupsi sangat diperlukan sebagai fungsi check and balance masing-masing lembaga pemberantasan korupsi. Selain itu koordinasi dan supervisi KPK sebagai pengawas di Kejaksaan Negeri Semarang membawa pengaruh kepada peningkatan kerja yang optimal dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.97 Banyaknya intervensi baik yang bersifat politik maupun sebagai bentuk menjaga nama baik lembaga, sebagai bentuk corruptor fights back membawa pada pentingnya pengawasan oleh lembaga independent dan superbody pemberantasan tindak pidana korupsi dalam hal ini KPK melakukan koordinasi dan supervisi pada
Kejaksaan
Negeri
Semarang.
Hal
ini
bertujuan
menghilangkan intervensi dari pihak yang tidak berkepentingan dan meredam bahkan menghilagkan hambatan yang timbul dalam penanganan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan Negara. Pengusutan kasus dengan waktu yang lama akibat dari adanya intervensi yang masuk dapat langsung ditangani dengan adanya koordinasi dari berbagai pihak pemberantas korupsi dan KPK dapat melakukan tugas supervisinya yaitu pengambilalihan 97
Hasil wawancara dengan Agung Dedi Dwi Handes, S.H., M.H., Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Semarang pada tanggal 9 Juli 2013.
114
kasus
kepada
Kejaksaan
dan
Kepolisian
guna
mencegah
terbebasnya pelaku tindak pidana korupsi dari hukuman yang diputuskan atau mencegah gagalnya penyelidikan pada kasus tersebut. 2. Pelaksanaan Koordinasi dan Supervisi KPK Terhadap Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di Kejaksaan Negeri Semarang Mengambil pengertian penegakan hukum menurut Satjipto Rahardjo, bahwa penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan
keinginan-keinginan
hukum
menjadi
kenyataan.
Sedangkan keinginan-keinginan hukum itu sendiri adalah pikiranpikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum98, maka dalam proses penegakan hukum oleh para pejabat penegak hukum disini terkait erat dengan peraturanperaturan hukum yang telah ada. Oleh karenanya menurut Satjipto Rahardjo, perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan.99 Memperhatikan pengertian penegakan hukum menurut Satjipto Rahardjo di atas, dapat disimpulkan bahwa pembuat hukum (undangundang) juga dapat diartikan sebagai komponen yang turut menentukan dalam sistem peradilan pidana, karena bagaimanapun 98
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. 24. 99 Ibid.
115
juga tindakan-tindakan dalam proses penegakan hukum yang dilakukan oleh para pejabat penegak hukum juga terikat aturan-aturan hukum yang berlaku hasil perumusan para pembuat hukum (undangundang). Dengan selarasnya tindakan antara komponen penegak hukum secara terstruktur, substansial maupun kultural sebagai suatu sistem dengan bertumpu pada konsep keseimbangan, maka penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia diharapkan dapat mencapai keinginan-keinginan sesuai hukum. Pelaksanaan peran koordinasi dan supervisi KPK merupakan penegakan hukum terhadap penyidikan tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Semarang yang dipengaruhi oleh komponenkomponen
yang
terkandung
dalam
hukum
(undang-undang)
sebagaimana teori yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman seperti yang dikutip oleh Esmi Warassih100 yang selaras dengan komponen yang disampaikan oleh Satjipto Rahardjo, yaitu: 1. Komponen Subtansi (substance) yaitu berupa norma-norma hukum baik itu peraturan-peraturan, keputusan-keputusan, dan sebagainya yang semuanya dipergunakan oleh para penegak hukum maupun oleh mereka yang diatur. Dalam koordinasi dan supervisi oleh KPK terhadap penyidikan tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Semarang berdasarkan norma-norma hukum baik itu peraturan-peraturan, keputusan-keputusan, dan sebagainya yang 100
Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Surya Alam Utama, Semarang, 2005, hlm. 82
116
semuanya dipergunakan oleh para penegak hukum maupun oleh mereka yang diatur yang berkaitan dengan koordinasi dan supervisi KPK. Suatu peraturan atau norma hukum yang sudah dirumuskan dalam bentuk tertulis (ius costitutum) pasti ada ide atau konsep yang membentuknya (ius constituendum). Substansi hukum dalam wujudnya sebagai peraturan perundang-undangan, telah diterima sebagai instrumen resmi yang memperoleh aspirasi untuk dikembangkan, yang diorientasikan secara pragmatis untuk menghadapi masalah-masalah sosial yang kontemporer. Hukum dengan karakter yang demikian itu lebih dikenal dengan konsep hukum law as a tool of social engineering dari Roscoe Pound, atau yang di dalam terminologi Mochtar Kusumaatmadja disebutkan sebagai hukum yang berfungsi sebagai sarana untuk membantu perubahan masyarakat.101 Karakter hukum positif dalam wujudnya sebagai peraturan peraturan perundang-undangan, di samping ditentukan oleh suasana atau konfigurasi politik momentum pembuatannya, juga berkaitan erat dengan komitmen moral serta profesional dari para anggota legislatif itu sendiri. Oleh karena semangat hukum (spirit of law) yang dibangun berkaitan erat dengan visi pembentuk
101
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung, 1986, hlm. 11.
117
undang-undang, maka dalam konteks membangun hukum yang demokratis, tinjauan tentang peran pembentuk undang-undang penting dilakukan.102 Berdasarkan hal tersebut, Indonesia yang menganut sistem hukum positif (asas legalitas) berpegang pada pembentukan hukum (undang-undang) sebagai rekayasa sosial dengan memperhatikan masalah korupsi yang merupakan masalah serius yang terjadi di Indonesia, lembaga penegak hukum dalam pemberantasan korupsi yaitu Kejaksaan dan Kepolisian yang belum terintegrasi dengan baik
karena
mempunyai
wewenang
masing-masing
dalam
pemberantasan korupsi dan Independesi yang dimiliki oleh lembaga tersebut masih sangat lemah mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi. Negara melalui pembentuk Undang-Undang menganggap pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum tersebut tidaklah cukup diperlukan lembaga super body yaitu lembaga yang independent yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan korupsi. KPK merupakan lembaga yang terwujud dari visi pembentuk undang-undang dalam pemberantasan tindak pidana korupsi
lembaga
ini
dibentuk
dengan
tujuan
penyatuan
kewenangan dalam penanganan tindak pidana korupsi yang 102
C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991, hlm. 53.
118
dimiliki Kejaksaan dan Kepolisian dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan juga memiliki kewenangan khusus dalam penanganan tindak pidana korupsi hal ini dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan serta dapat menjadi pemicu bagi Kejaksaan dan Kepolisian dengan kewenangan koordinasi dan supervisi yang dimilikinya. Substansi peran tersebut dapat dilihat dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi: Dengan pengaturan dalam undang-undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi: a. Dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai “counterpartner” yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif; b. Tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan; c. Berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism); d. Berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada, dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyidikan, penyelidikan, dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan. Dapat dilihat dari pernyataan Agung Dedi Dwi Handes, S.H., M.H. pengaruh peran koordinasi dan supervisi KPK dalam peningkatan kerja pada Kejaksaan Negeri Semarang terjadi yaitu berupa sinergi dengan lembaga lain, penambahan wawasan. Pada prinsipnya peran koordinasi dan supervisi ini memberikan dampak yang positif pada penyidikan dan penanganan tindak pidana
119
korupsi.103 Berdasarkan hasil wawancara denga AKP Ibnu Suka, S.H. pengaruh dari adanya peran koordinasi dan supervisi KPK pada
proses
penyelidikan,
penyidikan,
dan
penuntutan
menimbulkan adanya sinergi yang lebih baik dengan lembaga pemberantas tindak pidana korupsi lainnya seperti kejaksaan dan KPK. Adanya peningkatan kerja dari lembaga kepolisian terutama Polrestabes Semarang dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi karena merasa terpacu untuk lebih baik pengaruh itu bukan hanya dari KPK saja tapi dari atasan juga yang memberikan motivasi kepada Polrestabes Semarang. Dengan adanya peran ini mengurangi tumpang tindih dalam kewenangan melakukan penyidikan antara kepolisian, kejaksaan dan KPK karena adanya unsur koordinasi yang terjadi, dimana pernah terjadi tumpah tindih penyidikan antara Polrestabes Semarang dengan Kejaksaan Negeri Semarang.104 Hal ini dapat terlihat pada penanganan kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan walikota Semarang dimana KPK dalam menangani kasus menjadikan Kejaksaan Negeri Semarang dan Polrestabes Semarang sebagai counterpartner untuk membantu KPK dan melakukan pengambilalihan kasus yang berada dalam lingkup wilayah Kejaksaan Negeri Semarang dan Polrestabes 103
Hasil wawancara dengan Agung Dedi Dwi Handes, S.H., M.H., Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Semarang pada tanggal 9 Juli 2013 104 Hasil wawancara dengan AKP Ibnu Suka, S.H., Penyidik Polri Kasubmit 2 Unit 3 Tipikor Polrestabes Semarang pada tanggal 10 Juli 2013
120
Semarang. Dimana selain itu KPK melakukan pemantauan pada penanganan korupsi sebelumnya yang melibatkan Sekretaris Daerah Semarang. Pada dasarnya penyidik Kejaksaan dan Kepolisian yang menangani perkara tindak pidana korupsi telah mengetahui substansi pelaksanaan koordinasi dan supervisi diletakkan pada pembangunan sinergi berupa membentuk jaringan kerja yang kuat pada setiap lembaga penegak hukum yang mempunyai kewenangan masing-masing dalam pemberantasan korupsi agar tidak saling tumpang tindih dan terpacunya kinerja dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. 2. Komponen Struktur (structure) Struktur (structure), dalam hal ini sistem hukum merupakan kerangka atau rangkaian, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Di Indonesia jika berbicara tentang struktur sistem hukum, maka termasuk didalamnya struktur institusi penegak hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan (LP). Struktur dalam permasalahan ini dititikberatkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi yang menjalankan peran koordinasi dan supervisi terhadap penyidikan tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Semarang
121
sesuai dengan permasalahan yang ada, yaitu sudah sesuai dengan undang-undang atau tidak dalam pelaksanaanya. Berdasarkan hasil wawancara dengan penyidik Kejaksaan Negeri Semarang yang menjadi informan dalam penelitian ini mengatakan bahwa dalam penyidikan tindak pidana korupsi agar lebih berjalan optimal diperlukannya koordinasi dan supervisi dari lembaga yang independen dan yang diberikan kewenangan khusus oleh undang-undang yaitu KPK. Peran koordinasi dan supervisi oleh KPK bukan hanya sebagai eksistensi KPK didalam jajaran lembaga pemberantas korupsi di Indonesia namun juga sebagai lembaga pemicu (trigger mechanism) dan juga lembaga pengawas (controlling) agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan penyidikan dan tidak ditanggapinya laporan dari masyarakat.105 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi
tidak
memberikan
definisi
khusus
mengenai koordinasi dan supervisi. Bila merujuk Draf Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang dimaksud dengan koordinasi adalah bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, KPK memberikan pengarahan, pedoman, petunjuk, atau melakukan kerjasama dengan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan
105
Hasil wawancara dengan Agung Dedi Dwi Handes, S.H., M.H., Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Semarang pada tanggal 9 Juli 2013
122
publik berpotensi korupsi.106 Definisi supervisi juga ditemukan dalam Draf Penjelasan dikatakan bahwa supervisi adalah tindakan pemantauan, pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik berpotensi korupsi.107 Jika dihubungkan
dengan
wewenang
KPK
dalam
pelaksanaan
koordinasi dan supervisi dalam Pasal 7 dan 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dengan pengertian yang diberikan adalah sangat relevan. Sehingga sekalipun tidak dimuat dalam Undang-Undang tersebut, tidak keliru juga bila definisi tersebut menjadi rujukan dalam membahas tugas koordinasi dan supervisi KPK. Pendapat mengenai pelaksanaan koordinasi dan supervisi KPK di Kejaksaan Negeri Semarang disampaikan oleh Agung Dedi Dwi Handes, S.H., M.H, bahwa memang tidak ada sesuatu yang khusus dalam pelaksanaan koordinasi dan supervisi yang dilakukan oleh KPK. Hanya saja jika dicermati lebih lanjut dalam Pasal 6 UU KPK memang kewenangan KPK jauh lebih khusus dalam hal ini dibandingkan dengan Kejaksaan dan Kepolisian dalam melakukan pemberantasan korupsi. Karena disini KPK
106 107
Febri Diansyah. Dkk, Op.Cit. hlm. 21. Ibid. hlm. 25.
123
berperan sebagai lembaga pengawas dari dua penegak hukum lain dalam melaksanakan tugas memberantas korupsi.108 Urgensi pelaksaanaan koordinasi dan supervisi KPK terhadap Kejaksaan Negeri Semarang sebetulnya bukanlah masalah baru. Apabila kita mengamati masalah kejahatan tindak pidana korupsi yang selalu bermetafora setiap waktunya dan semakin meluas jangkauannya baik pada pejabat tinggi hingga pejabat daerah dalam melaksanakan tugasnya. Kerja sama antara lembaga penegakan hukum mempunyai peranan penting dalam penegakkan hukum. Melihat kedudukan penegak hukum yang rawan akan terjadinya
praktik
memberantas
korupsi
korupsi,
maka
dalam sudah
menjalankan
tugasnya
sepatutnya
lembaga
pemberantas korupsi saling melakukan koordinasi dan adanya lembaga yang independent dalam melakukan supervisi pada lembaga lainnya. Bentuk pelaksanaan koordinasi dan supervisi yang dapat diberikan KPK kepada Kejaksaan Negeri Semarang adalah pasifaktif. Maksud dari pasif adalah fungsi KPK sebagai lembaga yang mengontrol jalannya kasus tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan sampai selesai. Sedangkan aktif adalah fungsi KPK sebagai lembaga lanjutan apabila dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi oleh kejaksaan mendapati hambatan yang tidak bisa 108
Hasil wawancara dengan Agung Dedi Dwi Handes, S.H., M.H., Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Semarang pada tanggal 9 Juli 2013.
124
ditangani dan lamanya penanganan tindak pidana korupsi. Fungsi ini bukan berarti KPK lebih tinggi dari penegak hukum lainnya. Peran dan fungsi KPK yang melakukan pengawasan dalam penanganan tindak pidana korupsi adalah untuk memastikan berjalannya penanganan kasus dengan baik dan tidak terjadi masalah baik dari factor intern maupun ekstern lembaga penegak hukum. Hal ini menandakan tidak adanya perbedaan tingkatan antar penegak hukum. Dapat dikatakan KPK dengan penegak hukum lainnya adalah dalam hal memberantas tindak pidana korupsi
dengan
kewenangan
yang
berbeda
dari
lembaga
pemberantas korupsi lainnya. Fungsi pasif-aktif yang dimaksud adalah: a.
Sebelum
dimulainya
penyidikan.
KPK
melakukan
pengkoordinasian dengan menetapkan sistem pelaporan dan pengawasan dengan meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini diwujudkan dalam bentuk Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan yang dikirimkan oleh Kejaksaan dan Kepolisian apabila akan atau sedang melakukan penanganan kasus tindak pidana korupsi. Seperti apa yang disampaikan oleh Agung Dedi Dwi Handes, S.H., M.H, bahwa dalam menjalankan tugas pemberantasan tindak pidana korupsi di wilayah Semarang Jaksa penyidik harus memberikan laporan SPDP ini kepada
125
KPK sebagai bentuk pemberian informasi dan agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas penyidikan.109 b.
Saat dimulainya penyidikan atau penanganan perkara. KPK hanya melakukan pengawasan dan apabila dirasa perlu dapat melakukan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi dan dapat juga mengambil alih penyidikan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh Kejaksaan atau Kepolisian. Pada kasus walikota Semarang KPK melakukan dengar pendapat dengan Kejaksaan dan Kepolisian
guna
memperoleh
informasi
dan
meminta
persetujuan pemindahan persidangan walikota Semarang ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta. Agung Dedi Dwi Handes, S.H., M.H, menyatakan bahwa dalam kasus yang melibatkan walikota Semarang KPK melakukan pertemuan dan dengar pendapat dari instansi/lembaga penegak hukum yang berada di daerah Semarang. Pada kasus tersebut juga KPK melakukan pengambilalihan penanganan kasus karena adanya laporan dari masyarakat terhadap KPK dimana ranahnya memang kewenangan dari KPK.110
109
Hasil wawancara dengan Agung Dedi Dwi Handes, S.H., M.H., Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Semarang pada tanggal 9 Juli 2013. 110 Hasil wawancara dengan Agung Dedi Dwi Handes, S.H., M.H., Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Semarang pada tanggal 9 Juli 2013.
126
Fungsi pasif-aktif ini diberikan oleh KPK kepada penyidik Kejaksaan dan Kepolisian dimaksudkan supaya adanya suatu penangan korupsi yang terintegritas dengan baik. Hal ini memberikan kejelasan penangan perkara yang dilakukan oleh lembaga pemberantas korupsi. Penyidik dalam koordinasi dan pengawasan KPK, dimana KPK dapat mengambil tindakan kepada kasus tindak pidana korupsi apabila terjadi masalah yang menyebabkan penanganan tidak optimal. Tindakan tersebut dapat berupa: a.
Bersama-sama Kejaksaan dan Kepolisian bermusyawarah apabila terjadi overlapping penanganan tindak pidana korupsi. Penentuan ini dapat dilakukan dengan siapa yang terlebih dahulu mengeluarkan SPDP Kejaksaan atau Kepolisian menentukan siapa yang menangani perkara atau KPK sendiri yang menangani perkara tersebut, atau dengan adanya pembuatan keputusan bersama dalam hal penanganan tindak pidana korupsi.
b.
Melakukan dengar pendapat dan meminta informasi apabila terjadi
perkara
yang
mengalami
hambatan
dalam
penanganannya dan terjadi intervensi dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi atau melakukan pengambilalihan pada kasus yang ditangani oleh Kejaksaan atau Kepolisian.
127
c.
Melakukan pemindahan penanganan perkara dari daerah ke KPK atau pengadilan tindak pidana korupsi yang berada di Jakarta. Hal ini dilakukan karena adanya intervensi atau kejanggalan dalam putusan hakim mengenai penanganan tindak pidana korupsi. Tindakan tersebut berdasarkan pada Peraturan Bersama
Kapolri Bersama Jaksa Agung dalam rapat koordinasi dengan KPK Nomor Pol: 2 tahun 2006 – Nomor KEP-019/A/JA/03/2006 tanggal 7 Maret 2006, yang isinya menetapkan koordinasi penanganan perkara-perkara tindak pidana korupsi melalui dari tahap penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.111 Dimana termuat dalam keputusan bersama KPK melakukan kegiatan koordinasi antara lain seperti : a. Mengirimkan rekapitulasi data Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Kapolri dan Jaksa Agung setiap bulan, serta secara periodik setelah 3 (tiga) bulan meminta laporan hasil perkembangan penyidikan yang telah dilakukan. b. Meneruskan laporan pengaduan masyarakat tentang kemacetan, keterlambatan, dan adanya penanganan perkara yang tidak tepat oleh kepolisian dan kejaksaan berdasarkan SPDP yang telah dilaporkan. Selain itu KPK juga secara aktif meminta laporan perkembangan penanganan perkara yang sedang dilakukan. c. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.112
111
Laporan Tahunan KPK Tahun 2006: Membangun Kepercayaan Mewujudkan Kepastian Hukum dalam Febri Diansyah. Dkk, Laporan Penelitian Penguatan Pemberantasan Korupsi melalui Fungsi Koordinasi dan Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Indonesia Corruption Watch, Jakarta, 2011, hlm. 28. 112 Febri Diansyah. Dkk, Op.cit. hlm. 28.
128
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan pelaksanaan koordinasi dan supervisi oleh KPK tidak hanya dilakukan secara pasif berupa pengawasan dan kontrol saja kepada lembaga pemberantas korupsi yang dilakukan dengan pengiriman SPDP dan informasi dalam penanganan tindak pidana korupsi. Fungsi aktif juga
dilakukan
oleh
KPK
dengan
menangani
langsung
permasalahan yang timbul dalam penanganan tindak pidana korupsi
bahkan
menangani
penyidikan
yang
merupakan
kewenangannya di wilayah hukum Kejaksaan Negeri Semarang. Pelaksanaan koordinasi dan supervisi ini dilakukan secara terstruktur dengan landasan Undang-Undang dan ketentuan hukum yang ada karena pada dasarnya lembaga pemberantas korupsi di negeri ini mempunyai kewenangan yang sama yang diberikan oleh Undang-Undang. 3. Komponen kultur hukum (legal culture), merupakan sikap manusia terhadap
hukum
dan
sistem
hukum,
didalamnya
terdapat
kepercayaan tentang nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum juga dapat dikatakan sebagai apa atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan struktur hukum itu. Seorang menggunakan atau tidak menggunakan hukum, dan patuh atau tidak terhadap hukum sangat bergantung pada kultur hukumnya. Kita dapat mengatakan bahwa kultur hukum seseorang dari lapisan bawah akan berbeda dengan mereka yang berada
129
dilapisan atas. Demikian pula kultur hukum seorang pengusaha berbeda dengan orang-orang yang bekerja sebagai pegawai negeri dan seterusnya. Jadi tidak ada dua orang laki-laki maupun wanita yang memiliki sikap yang sama terhadap hukum.113 Budaya hukum ini adalah suatu jaringan nilai-nilai dan sikap yang berhubungan dengan hukum, sehingga menentukan kapan dan mengapa, atau orang berpaling kepada hukum atau kepada
pemerintah,
atau
meninggalkannya.114
Friedman,
menelaah budaya hukum dari pelbagai perspektif. Ia menganalisa budaya hukum nasional yang dibedakan dari sub-budaya hukum yang berpengaruh secara positif atau negatif terhadap hukum nasional. Ia juga membedakan budaya hukum internal dan budaya hukum eksternal. Budaya hukum internal merupakan budaya hukum warga masyarakat yang melaksanakan tugas-tugas hukum secara khusus, seperti Polisi, Jaksa, Hakim dan Penyidik KPK dalam menjalankan tugasnya, sedangkan budaya hukum eksternal merupakan budaya hukum masyarakat pada umumnya, misalnya bagaimana sikap dan pengetahuan masyarakat terhadap ketentuan perpajakan, perceraian dan sebagainya.115 113
Esmi Warassih, Op. Cit, hlm. 93 Friedman, Lawrence M,1984.”What is a Legal System” dalam American Law,W.W.Norton and Company, New York, dalam Ino Susanti, Jurnal Ilmu Hukum, Vol.1, No1. edisi Januari: Membangun Budaya Hukum Masyarakat Penegak Hukum Hermeneutik (Studi Lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai, Lampung, 2012, hlm. 36. 115 M.Syamsudin, Jurnal UNISIA, Vol. XXX No. 64 Juni 2007: Korupsi dalam Perspektif Budaya Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2007, hlm 188 114
130
Penulis
mendasarkan
pada
budaya
hukum
internal
koordinasi dan supervisi dikalangan KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian pada dasarnya memiliki kultur checks and balances dimana ditambahkan satu organ yang bersifat independent. Budaya hukum checks and balances didasarkan bahwa kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan kedalam cabang-cabang dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Hal ini dapat dilihat dari pembagian kewenangan Kejaksaan, Kepolisian dan KPK dalam penanganan tindak pidana korupsi dimana semua lembaga ini mempunyai kewenangan yang sama yang diatur oleh undang-undang yeng berbeda dengan merujuk pada undangundang
pemberantasan
tindak
pidana
korupsi.
Sehingga
pelaksanaan koordinasi oleh KPK kepada Kejaksaan Negeri Semarang
merupakan
bentuk
saling
mengawasi
dengan
kedudukan yang sama sebagai lembaga pemberantasan tindak pidana korupsi yang disusun secara khusus untuk memberantas tindak pidana korupsi. Pelaksananaan
koordinasi
dilakukan
dengan
cara
mengirimkan SPDP kepada KPK untuk memberikan informasi penanganan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Semarang seperti yang dikatakan oleh Agung Dedi Dwi Handes,
S.H.,
M.H,
bahwa
dalam
menjalankan
tugas
131
pemberantasan tindak pidana korupsi di wilayah Semarang Jaksa penyidik harus memberikan laporan SPDP ini kepada KPK sebagai bentuk pemberian informasi dan agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas penyidikan.116 Budaya hukum organ yang bersifat independent dalam koordinasi dan supervisi pemberantasan korupsi dimiliki oleh KPK sebagai lembaga yang dibentuk khusus untuk memberantas tindak pidana korupsi, meskipun kewenangan yang sama dimiliki oleh Kejaksaan dan Kepolisian. Namun dapat dilihat dari tujuan dibentuknya KPK yaitu lembaga yang independent yang tidak dapat diusik oleh lembaga lain dalam memberantas korupsi selain itu KPK dapat melakukan supervisi pada kedua lembaga tersebut apabila ditemukan suatu hal yang menghambat penanganan tindak pidana korupsi. Koordinasi dan supervisi yang dilakukan pada
dasarnya
adalah
untuk
mensinergikan
lembaga
pemberantasan hukum yang ada dan menanggulangi hambatan yang timbul dalam penanganan tindak pidana korupsi. Agung Dedi Dwi Handes, S.H., M.H, menyatakan bahwa dalam
kasus
yang
melibatkan
walikota
Semarang
KPK
melakukan pertemuan dan dengar pendapat dari instansi/lembaga penegak hukum yang berada di daerah Semarang. Pada kasus tersebut juga KPK melakukan pengambilalihan penanganan kasus 116
Hasil wawancara dengan Agung Dedi Dwi Handes, S.H., M.H., Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Semarang pada tanggal 9 Juli 2013.
132
karena adanya laporan dari masyarakat terhadap KPK dimana ranahnya memang kewenangan dari KPK.117 Berdasarkan hal tersebut pelaksanaan koordinasi dan supervisi KPK di Kejaksaan Negeri Semarang adalah pengawasan oleh setiap lembaga yang bertumpu pada KPK kepada lembaga pemberantasan
hukum
lain
sebagai
counterpartner
dan
pengambilalihan kasus apabila terjadi hambatan penanganan kasus tindak pidana korupsi oleh KPK sebagai lembaga yang independent yang tidak bisa di intervensi oleh pihak lain.
117
Hasil wawancara dengan Agung Dedi Dwi Handes, S.H., M.H., Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Semarang pada tanggal 9 Juli 2013.
133
BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Koordinasi dan supervisi KPK terhadap penyidikan tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Semarang terjadi karena: a. Adanya kasus korupsi yang telah memenuhi ketentuan kewenangan KPK. b. Menghindarkan overlapping penanganan tindak pidana korupsi. c. Hambatan dalam penanganan tindak pidana korupsi. d. Adanya intervensi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. 2. Pelaksanaan koordinasi dan supervisi KPK di Kejaksaan Negeri Semarang dilakukan melalui: a. Penetapan sistem pelaporan terhadap penanganan tindak pidana korupsi berupa pengiriman Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada KPK, b. Pengiriman informasi kepada KPK dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi, c. Melakukan musyawarah dengan Kejaksaan dan Kepolisian apabila terjadi overlapping dalam penanganan tindak pidana korupsi,
134
d. Melakukan dengar pendapat apabila ditemui hambatan dan dalam pengambilalihan kasus korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan dan Kepolisian, e. Meminta laporan hasil penanganan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan dan Kepolisian. B. Saran Meningkatkan upaya koordinasi dan supervisi kepada Kejaksaan dan Kepolisian agar penanganan tindak pidana korupsi tidak tertinggal dengan perkembangan tindak pidana korupsi yang dinamis melalui: 1.
Melakukan penambahan pegawai KPK yang kompeten dalam pelaksanaan operasional tugas, karena dinilai masih sedikitnya pegawai komisi pemberantasan korupsi sehingga koordinasi dan supervisi ini belum dapat dilakukan secara optimal.
2.
Melakukan pelatihan dan pengenalan tugas koordinasi dan supervisi KPK kepada penyidik di daerah sehingga akan tercipta penyidik yang mempunyai kemampuan yang baik dalam memberantas tindak pidana korupsi dan dalam menjalin hubungan antar sesama lembaga pemberatas tindak pidana korupsi.
135
DAFTAR PUSTAKA Literatur: Apeldoorn, L. J. Van, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita. Arwani dan Heru Supriyanto, 2005, Manajemen Bangsal Keperawatan, Jakarta: EGC. Azwar, Azrul, 1996, Pengantar Administrasi Kesehatan Edisi Ketiga, Jakarta: Binarupa Aksara. Basyuni, Achmad, 2009, Materi Diklat Pegawai Provinsi DKI Jakarta, Jakarta. Hamzah, Andi, 2004, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktik, Jakarta: Ghalia Indonesia. Hamzah, Andi, 2005, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta: Rajawali Pers. Handayaningrat, Soewarno, 2002, Pengantar Management, Jakarta: Gunung Agung.
Studi
Administrasi
dan
Handoko, T. Hani, 2003, Manajemen Edisi Kedua, Yogyakarta: BPFE. Harahap, M. Yahya, 2003, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) edisi kedua, Jakarta: Sinar Grafika. Hartanti, Evi, 2007, TINDAK PIDANA KORUPSI EDISI KEDUA, Jakarta: Sinar Grafika. Hasibunan, Malayu S.P, 2006, Manajemen Dasar, Pengertian, dan Masalah, Edisi Revisi, Jakarta: Bumi Aksara. Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni. Ibrahim, Idi Subandy, 2004, Dari Nalar Keterasingan Menuju Nalar Pencerahan, Yogyakarta: Jalasutra. Kusumaatmadja, Mochtar, 1986, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bandung: Binacipta. Manan, Bagir, 2004, Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam UU No. 4 Tahun 2004, Cetakan Pertama, Yogyakarta: FH UII Press. Mertokusumo, Sudikno, 1996, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty.
136
Moleong, Lexy J., 2006, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, Bandung: PT. Remaja Rosada Karya. Muninjaya, A.A.G., 1999, Manajemen Kesehatan, Jakarta: EGC. Nugroho, Hibnu, 2012, Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Jakarta: Media Prima Aksara. Poernomo, Bambang, 1993, Pola Dasar dan Azaz Hukum Acara Pidana, Yogyakarta: Liberty. Prodjodikoro, Wiryono, 1981, Hukum Acara Pidana Indonesia, Bandung: Sumur. Rahardjo, Satjipto, 2009, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta: Genta Publishing. Salam, Faisal, 2001, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktik, Bandung: Mandar Maju. Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia. Soekanto, Soerjono, 1981, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia Pers. Soemitro, Ronny Hanitijo, 1998, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia. Soesilo, R., 1982, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Bogor: Politea. Sugiyono, 2008, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta. Sutopo, HB., 1998, Suatu Pengantar Kualitatif, dasar teori dan praktik, Surakarta: Pusat Penelitian UNS.. Swanburg, R. C., 2000, Pengantar Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan, Terjemahan, Jakarta: EGC. Tanusoebroto, S, 1984, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana Cetakan Pertama, Bandung: Armico. Warassih, Esmi, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang: Surya Alam Utama. Wignyosoebroto, Sutandyo, 2006, Keragaman Dalam Konsep Hukum, Tipe Kajian dan Metode Penelitiannya, Makalah Lokakary, Yogyakarta: Yayasan Dewis Sartka. Disertasi, Tesis, Skripsi, Jurnal dan Paper:
137
Diansyah, Febri, Dkk, 2011, “Laporan Penelitian Penguatan Pemberantasan Korupsi melalui Fungsi Koordinasi dan Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)”, Jakarta: Indonesia Corruption Watch. Rizki Fajar, 2010, Skripsi: “Peranan KPK Sebagai Koordinasi dan Supervisi Dalam Proses Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan Terhadap Tindak Pidana Korupsi”, Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman. Susanti, Ino, 2012, Jurnal Ilmu Hukum, Vol.1, No1. edisi Januari: Membangun Budaya Hukum Masyarakat Penegak Hukum Hermeneutik (Studi Lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Januari, Lampung: Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai. Syamsudin, M, 2007, Jurnal UNISIA, Vol. XXX No. 64 Juni 2007: Korupsi dalam Perspektif Budaya Hukum, Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia. Peraturan Perundang-undangan: Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia KPK, Lampiran Keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi No. KEP. /2004 Tanggal 10 Februari 2004 Internet: http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberantasan_Korupsi, tanggal 2 Maret 2013
diakses
pada
http://www.tempo.co/read/news/2012/08/14/063423451/Vonis-Rendah-KPKBanding-Kasus-Wali-Kota-Semarang, diakses pada tanggal 21 Oktober 2013. http://www.tempo.co/read/news/2012/06/08/063409236/Ada-Bukti-IntervensiKasus-Walikota-Semarang, diakses pada tanggal 21 Oktober 2013.
138
http://www.tempo.co/read/news/2012/06/08/063409273/Intervensi-KasusWalikota-Semarang-Langgar-UU-Tipikor, diakses tanggal 21 Oktober 2013. http://nasional.kompas.com/read/2012/06/02/21125534/PN.Semarang.Tersinggun g.Alasan.KPK, diakses tanggal 21 Oktober 2013. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fd1a5ca6ddad/pengadilan-walikotasemarang-layak-di-jakarta, diakses tanggal 21 Oktober 2013 http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/121277-D%2000943Kedudukan%20dan%20kewenangan-Pendahuluan.pdf, Oktober 2013
www.antikorupsi.org, diakses tanggal 5 Maret 2013 www.kpk.go.id, diakses tanggal 5 Maret 2013 www.legalitas.org, diakses tanggal 5 Maret 2013
diakses
tanggal
21