UNIVERSITAS INDONESIA
KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum
SALAHUDDIN LUTHFIE NPM. 0906581694
FAKULTAS HUKUM PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU HUKUM PEMINATAN HUKUM DAN SISTEM PERADILAN PIDANA JAKARTA JUNI 2011
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh Nama NPM Program Studi Judul Tesis
: : : : :
Salahuddin Luthfie 0906581694 Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Kewenangan Kejaksaan Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, Peminatan Hukum dan Sistem Peradilan Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Prof. H. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A. Ketua Sidang / Penguji
……………………………...
Prof. Dr. jur. Andi Hamzah Pembimbing / Penguji
……………………………...
Dr. Surastini Fitriasih, S.H., M.H. Anggota Sidang / Penguji
……………………………...
Ditetapkan di
: Jakarta
Tanggal
: 7 Juni 2011
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmatNya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum pada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, Peminatan Hukum dan Sistem Peradilan Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada: (1) Prof. Dr. jur. Andi Hamzah, selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengerahkan saya dalam penyusunan tesis ini; (2) Prof. H. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A. dan Dr. Surastini Fitriasih, S.H., M.H., selaku penguji yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan masukan dan saran, sehingga tesis ini menjadi lebih baik; (3) Prof. Dr. Rosa Agustina, S.H., M.H., selaku Ketua Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, beserta seluruh pimpinan dan staf, yang telah banyak memberikan kemudahan dalam pengurusan administrasi selama studi ini berlangsung; (4) Seluruh pengajar pada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, Peminatan Hukum dan Sistem Peradilan Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mentransfer ilmunya, sehingga sangat berguna dalam penyusunan tesis ini; (5) Para pimpinan dan rekan-rekan di Kejaksaan Agung R.I. dan wilayah, rekanrekan di KPK, rekan-rekan Polri, dan seluruh pihak yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu, yang telah banyak membantu dalam usaha memperoleh data yang saya perlukan; (6) Istri, anak-anak, kedua orang tua dan seluruh keluarga tercinta, yang telah memberikan begitu banyak dukungan materiil dan moril; dan
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
(7) Rekan-rekan Kelas Pagi Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, Peminatan Hukum dan Sistem Peradilan Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Angkatan Tahun 2009, yang telah banyak membantu saya dalam menyelesaikan tesis ini.
Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah banyak membantu. Semoga Tesis ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu hukum.
Jakarta, 7 Juni 2011
Salahuddin Luthfie
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ========================================================== Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Salahuddin Luthfie
NPM
: 0906581694
Program Studi
: Pascasarjana Magister Ilmu Hukum
Peminatan
: Hukum dan Sistem Peradilan Pidana
Fakultas
: Hukum
Jenis Karya
: Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exlusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta Pada tanggal : 7 Juni 2011 Yang menyatakan
Salahuddin Luthfie
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
ABSTRAK
Nama Program Studi Judul
: Salahuddin Luthfie : Pascasarjana Magister Ilmu Hukum : Kewenangan Kejaksaan Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi
Tesis ini membahas tentang dasar pemikiran kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi, tugas dan wewenang kejaksaan di negaranegara lain, dan mekanisme penanganan perkara korupsi di kejaksaan. Tipe penelitian yang dilakukan adalah yuridis-normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dasar pemikiran kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi harus dilihat dari aspek historis, sosiologis, lingkungan strategis, dan yuridis; peranan jaksa berkaitan dengan penyidikan, ada empat kelompok yang dianut oleh berbagai negara, yaitu: jaksa memiliki wewenang penyidikan tindak pidana, jaksa memiliki wewenang penyidikan tindak pidana tertentu, jaksa tidak memiliki wewenang penyidikan namun diberikan wewenang supervisi penyidikan, jaksa tidak memiliki wewenang penyidikan dan supervisi penyidikan; mekanisme penanganan tindak pidana korupsi di kejaksaan terdiri dari 4 (empat) tahap, yaitu tahap penyelidikan, tahap penyidikan, tahap penuntutan, serta tahap upaya hukum dan eksekusi, dimana pelaksanaannya dilakukan oleh bidang intelijen dan bidang tindak pidana khusus, yang struktur organisasinya berkarakter birokratis, sentralistis, pertanggungjawaban hierarkis dan sistem komando.
Kata kunci: wewenang, penyidikan, korupsi
vii Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
ABSTRACT
Name Study Program Title
: Salahuddin Luthfie : Postgraduate Magister of Legal Studies : The Authority of the Prosecution Service in the Investigation of Corruption
This thesis discusses the rationale for the authority of the prosecution service in the investigation of corruption, tasks and powers of the prosecution services in other countries, and mechanisms of corruption cases handling in the prosecution service. This type of research is the juridical-normative. The results of research reveal that the rationale for the authority of the prosecution service in the investigation of corruption should be viewed from the aspect of historical, sociological, strategic environment, and juridical; the role of the prosecutor relating to the investigation, there are four groups adopted by various countries: the prosecutor have the authority to criminal investigations, the prosecutor have the authority of certain criminal investigations, the prosecutor do not have the authority of investigations but given the authority supervising the investigations, the prosecutor do not have the authority to investigations and supervise the investigations; mechanisms of corruption cases handling in the prosecution service consists of four stages, stage of inquiry, investigation, prosecution, legal remedy and execution, and the implementation is done by the intelligence and special crime division, the organizational structure characterized by bureaucratic, centralized, hierarchical accountability and command system.
Key words: authority, investigation, corruption
viii Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................ HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... KATA PENGANTAR .................................................................................... HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ................... ABSTRAK ...................................................................................................... DAFTAR ISI ................................................................................................... DAFTAR TABEL ........................................................................................... DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
i ii iii iv vi vii ix xi xii
1.
PENDAHULUAN .................................................................................. 1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1.2. Rumusan Masalah ......................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................... 1.4. Manfaat Penelitian ......................................................................... 1.5. Kerangka Pemikiran ...................................................................... 1.5.1. Kerangka Teori ................................................................. 1.5.2. Kerangka Konseptual ........................................................ 1.6. Metode Penelitian .......................................................................... 1.6.1. Bentuk dan Jenis Penelitian .............................................. 1.6.2. Metode Pengumpulan Data ............................................... 1.6.3. Penyajian dan Analisis Data ............................................. 1.7. Sistematika Penulisan ....................................................................
1 1 9 10 10 11 11 15 16 16 16 17 17
2.
KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI ............................................................. 2.1. Korupsi .......................................................................................... 2.1.1. Pengertian Korupsi ........................................................... 2.1.2. Sejarah Perundang-undangan Korupsi ............................. 2.1.2.1. Latar Belakang Lahirnya Peraturan Perundangundangan Korupsi ................................................ 2.1.2.2. Perumusan Tindak Pidana Korupsi ..................... 2.2. Kejaksaan Dalam Sistem Peradilan Pidana ................................... 2.2.1. Jaksa Sebagai Penegak Hukum ........................................ 2.2.2. Sistem Peradilan Pidana ................................................... 2.2.3. Kedudukan Kejaksaan Dalam Peradilan Pidana ............... 2.2.3.1. Sebagai Penuntut Umum ..................................... 2.2.3.2. Sebagai Penyidik ................................................. 2.3. Dasar Pemikiran Kewenangan Kejaksaan Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi ..................................................................
3.
KEWENANGAN KEJAKSAAN DI BEBERAPA NEGARA ........... 3.1. Perbandingan Hukum .................................................................... 3.2. Sistem Penuntutan ......................................................................... 3.2.1. Sistem Penuntutan di Negara-Negara yang Menganut Asas Oportunitas ............................................................... 3.2.2. Sistem Penuntutan di Negara-Negara yang Menganut
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
19 19 19 22 23 25 37 37 38 40 40 43 45 60 60 60 63
Asas Legalitas ................................................................... 3.3. Selayang Pandang Kewenangan Kejaksaan di Beberapa Negara 3.3.1. Peran Jaksa dan Polisi dalam Penyidikan ......................... 3.3.2. Kejaksaan Negara Belanda ............................................... 3.3.2.1. Peran Kejaksaan dalam Penyidikan ..................... 3.3.2.2. Kedudukan, Tugas dan Wewenang Kejaksaan .... 3.3.2.3. Peran Kejaksaan di Pengadilan ............................ 3.3.2.4. Peran Kejaksaan dalam Eksekusi ........................ 3.3.3. Kejaksaan Negara Inggris dan Wales ............................... 3.3.3.1. Peran Kejaksaan dalam Penyidikan ..................... 3.3.3.2. Kedudukan, Tugas dan Wewenang Kejaksaan .... 3.3.3.3. Peran Kejaksaan di Pengadilan ............................ 4.
5.
MEKANISME PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI KEJAKSAAN ........................................................................................ 4.1. Birokrasi dan Organisasi Kejaksaan .............................................. 4.2. Struktur Organisasi Kejaksaan Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi .............................................................................. 4.3. Prosedur Penanganan Tindak Pidana Korupsi di Kejaksaan .... 4.3.1. Tahap Penyelidikan .......................................................... 4.3.2. Tahap Penyidikan ............................................................. 4.3.3. Tahap Penuntutan ............................................................. 4.3.4. Tahap Upaya Hukum dan Eksekusi ..................................
65 66 66 71 73 75 84 85 88 89 91 95 98 98 105 115 115 124 131 137
PENUTUP .............................................................................................. 145 5.1. Kesimpulan .................................................................................... 145 5.2. Saran .............................................................................................. 149
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
151
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Data Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK Tahun 2004 s/d 2010 .......................................................
7
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1. Gambar 4.2. Gambar 4.3. Gambar 4.4. Gambar 4.5. Gambar 4.6. Gambar 4.7. Gambar 4.8. Gambar 4.9.
Struktur Organisasi Kejaksaan Agung …………………….... Struktur Organisasi Intelijen Kejaksaan Agung …………….. Struktur Organisasi Intelijen Kejaksaan Tinggi ……………. Struktur Organisasi Intelijen Kejaksaan Negeri …………….. Struktur Organisasi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Struktur Organisasi Direktorat Penyidikan …………………. Struktur Organisasi Direktorat Penuntutan …………………. Struktur Organisasi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Struktur Organisasi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri
108 109 110 110 112 113 113 114 114
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Korupsi di Indonesia yang terjadi dalam 32 tahun pemerintahan orde baru yang dilakukan oleh keluarga Soeharto dan kroninya membuat masyarakat tercengang. Setelah orde baru berlalu, hingga saat ini tidak ada tanda-tanda kesadaran pemerintah bahwa ”disamping krisis ekonomi yang dirasakan nyata oleh masyarakat, terdapat pula krisis hukum yang sudah sampai tahap menyedihkan”.1 Sepanjang yang bisa diamati, praktik korupsi sudah begitu meruyak di Indonesia. Begitu parahnya, bentuk penyalahgunaan wewenang itu malah dianggap sebagai sebuah praktik yang lumrah. Melihat kondisi itu, tidak heran kalau dalam beberapa tahun terakhir lembaga riset Political and Economic Risk Consultancy (PERC) selalu menempatkan Indonesia sebagai juara korupsi di Asia. Predikat serupa datang pula dari Transparency International yang selalu menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia.2 Korupsi juga telah mempengaruhi kehidupan ketatanegaraan dan merusak sistem perekonomian dan masyarakat dalam skala besar.3 Salah satu alasan gagalnya penegakan hukum terhadap ”merajalelanya korupsi” adalah tidak adanya konsensus tentang perbuatan apa yang merupakan korupsi yang patut dipidana. Mardjono Reksodiputro menerangkan beberapa pendekatan yang mungkin dapat menerangkan mengapa terjadi ketiadaan konsensus tersebut. Pendekatan pertama melihat hukum pidana sebagai sumber ketertiban sosial yang berfungsi menyelesaikan dan mencegah konflik. Hukum dilihat sebagai hasil konsensus. Penegakan bertujuan mempertahankan konsensus. Pendekatan kedua menganggap hukum pidana sebagai ”alat” dalam konflik sosial, 1
Mardjono Reksodiputro. “Korupsi dalam Sistem Hukum”. Mencuri Uang Rakyat: 16 Kajian Korupsi di Indonesia. Ed. Hamid Basyaib, Richard Holloway, dan Nono Anwar Makarim. Jakarta: Aksara Foundation, 2002. hal. 25. 2 Saldi Isra dan Eddy O.S. Hiariej. “Perspektif Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia”. Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan. Ed. Wijayanto dan Ridwan Zachrie. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009. hal. 554. 3 Indriyanto Seno Adji. Korupsi dan Hukum Pidana. Jakarta: Kantor Pengacara & Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji & Rekan, 2002. hal. sampul.
1 Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
2
dan terutama dipakai untuk mempertahankan kekuasaan atau hak-hak istimewanya dari kelompok yang memegang kekuasaan terhadap kelompokkelompok lainnya. Hukum dilihat sebagai hasil konflik antara berbagai kelompok yang berbeda kepentingan.4 Korupsi telah merajalela dalam seluruh dimensi kehidupan bangsa tidak dapat disangkal.5 Kwik Kian Gie pernah memberikan gambaran betapa besar kekayaan negara yang dikorup (per tahun), yang disebutkan melebihi APBN.6 Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis multidimensional serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi, yaitu dampak dari kejahatan ini, maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh melalui keseimbangan langkah-langkah yang tegas dan jelas dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya pemerintah dan para penegak hukum.7 Penegak hukum yang terlibat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi adalah penyidik, penuntut umum, dan hakim. Penentu akhir dalam pemberantasan tindak pidana korupsi adalah hakim, namun demikian hakim tidak bisa bertindak aktif diluar konteks perkara yang diajukan ke persidangan oleh penuntut umum (jaksa). Sementara yang aktif untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan salah satunya adalah jaksa. Oleh sebab itu tidak berlebihan apabila disebutkan bahwa kejaksaan menjadi salah satu penentu keberhasilan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Demikian pula sebaliknya, apabila sampai saat ini pemberantasan tindak pidana korupsi dinilai gagal atau belum berhasil, atau setidaknya belum optimal, maka yang dianggap gagal, atau belum berhasil salah satunya adalah kejaksaan. Menurut Soerjono Soekanto, hukum dan penegakan hukum merupakan sebagian faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan
4
Mardjono Reksodiputro. 2002. Op. Cit. hal. 27. IGM Nurdjana. Korupsi Dalam Praktik: Bisnis Pemberdayaan Penegakan Hukum, Program Aksi dan Strategi Penanggulangan Masalah Korupsi. Jakarta: Gramedia Pustaka utama, 2005. hal. 1. 6 http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=311. 7 Evi Hartanti. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika, 2005. hal. 2. Universitas Indonesia 5
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
3 akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.8 Oleh karena itu, keberadaan kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum, mempunyai kedudukan yang sentral dan peranan yang strategis dalam suatu negara hukum karena kejaksaan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan, sehingga keberadaannya dalam kehidupan masyarakat harus mampu mengemban tugas penegakan hukum. Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang antara lain melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undangundang.9 Kewenangan dalam ketentuan tersebut sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.10 Pada waktu HIR masih berlaku sebagai hukum acara pidana di Indonesia, penyidikan dianggap bagian dari penuntutan. Kewenangan yang demikian menjadikan penuntut umum (jaksa) sebagai koordinator penyidikan, bahkan jaksa dapat melakukan sendiri penyidikan.11 Setelah berlakunya KUHAP terjadi perubahan yang sangat penting. Perubahan yang dibawa oleh KUHAP mengakibatkan pembagian kewenangan sebagai berikut:12 a. Kepolisian (1)Dibidang penyidikan, kepolisian mendapat porsi sebagai penyidik tindak pidana umum. (2)Kepolisian mempunyai kewenangan melakukan penyidikan tambahan.
8
Soerjono Soekanto. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Rajawali, 1983. hal. 5. 9 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401. Pasal 30 ayat (1) huruf d. 10 Ibid. Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d. 11 Marwan Effendy. Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005. hal. 145. 12 Topo Santoso. Polisi dan Jaksa: Keterpaduan atau Pergulatan. Depok: Pusat Studi Peradilan Pidana Indonesia (Centre for Indonesian Criminal Justice Studies), 2000. hal. 5. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
4
(3)Kepolisian berperan sebagai koordinator dan pengawas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). b. Kejaksaan (1)Dibidang penyidikan, kejaksaan mendapat porsi sebagai penyidik tindak pidana khusus yang meliputi tindak pidana korupsi dan tindak pidana ekonomi, walaupun ini sifatnya sementara. (2)Untuk penyidikan tindak pidana umum, polisi memegang kewenangan penyidikan penuh, sedangkan jaksa tidak berwenang. Setelah digantinya Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kewenangan kejaksaan dalam penegakan hukum berkaitan dengan penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 HIR hampir seluruhnya dicabut, bahkan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kewenangan dibidang penuntutan bukan lagi monopoli kejaksaan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memisahkan secara tegas fungsi yang menyangkut penyidikan dan penuntutan, meskipun kejaksaan masih diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu seperti yang dinyatakan pada Pasal 284 ayat (2), tetapi sifatnya hanya sementara. Ketika Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisan Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diberlakukan, fungsi penyidikan dan penuntutan dalam penanganan tindak pidana korupsi yang sebelumnya merupakan sebagian tugas dan wewenang kejaksaan juga mengalami perubahan. Ironisnya, pembuat undang-undang bertindak ambigu karena produk legislasi yang dihasilkan tidak mempunyai landasan filosofi yang jelas untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi, baik masalah hukum masa kini (ius constitutum) maupun masalah implementasi hukum (ius contituendum).13
13
Romli Atmasasmita. Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum. Bandung: CV. Mandar Maju, 2001. hal. 92. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
5
Di satu sisi, KUHAP memisahkan fungsi penyidikan dan penuntutan, kecuali terhadap tindak pidana tertentu (tindak pidana korupsi dan tindak pidana ekonomi), namun di sisi lain, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, kejaksaan diberi lagi kewenangan untuk menyidik pelanggaran HAM berat [sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), dan Pasal 21 ayat (1)], bahkan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, kejaksaan juga diberikan kewenangan untuk menyidik tindak pidana pencucian uang (sebagaimana diatur dalam Pasal 74). Hal tersebut menunjukkan eksistensi kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana tertentu yang ditentukan oleh undang-undang. Penyidikan suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian opsporing (Belanda) dan investigation (Inggris) atau penyiasatan atau siasat (Malaysia).14 Dalam KUHAP, definisi penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan merurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.15 Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.16 KUHAP merupakan peraturan umum dalam arti hukum acara pidana yang bersifat umum. Sesuai dengan asas “tidak ada peraturan tanpa kekecualian” (there is no rule without exception) maka perlu diamati tentang “kekecualian” peraturan tersebut. Kekecualian tersebut adalah “aturan/ketentuan khusus acara pidana”. “Aturan/ketentuan khusus acara pidana” dicantumkan pada Pasal 284 ayat (2) KUHAP, yang perumusannya sebagai berikut: “Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai
14
Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2002. hal. 118. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209. Pasal 1 angka 2. 16 Ibid. Pasal 1 angka 1. Universitas Indonesia 15
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
6
ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.”17 Menurut Indriyanto Seno Adji, Pasal 284 ayat (2) KUHAP telah menimbulkan 2 (dua) interpretasi yang berbeda diantara lembaga kepolisian dengan lembaga kejaksaan. Bagi kejaksaan, yang dimaksudkan dengan jangka waktu “2 (dua) tahun” hanyalah penanganan perkara-perkara tindak pidana umum saja. Sedangkan jaksa tetap merupakan penyidik tindak pidana tertentu, yaitu tindak pidana ekonomi dan korupsi. Hal tersebut dipertegas melalui Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. 18 Agar ada kesatuan pendapat mengenai makna dari Pasal 284 ayat (2) KUHAP, dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. Pada Pasal 17 PP No. 27 Tahun 1983 tersebut dinyatakan bahwa penyidik menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa, dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.19 Menurut Harun M. Husein, ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP harus dihubungkan dengan Pasal 17 PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, dimana kewenangan jaksa tidak hanya meliputi tugas penuntutan sebagaimana diatur dalam KUHAP, tetapi juga berwenang melakukan penyidikan terhadap setiap tindak pidana yang memiliki ketentuan acara pidana yang bersifat khusus.20 Kejaksaan memiliki landasan yuridis dalam hal kewenangan melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Namun kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi tersebut seringkali dipermasalahkan oleh beberapa kalangan karena dinilai tidak memiliki dasar hukum yang jelas, diantaranya adalah permohonan uji materiil terhadap Pasal 30 ayat (1) huruf d 17
Leden Marpaung. Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan & Penyidikan). Jakarta: Sinar Grafika, 2009. hal. 166. 18 Indriyanto Seno Adji. Arah Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji dan Rekan, 2001. hal. 5. 19 Evi Hartanti. Op. Cit. hal. 39. 20 Harun M. Husein. Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 1991. hal. 7. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
7
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia mengenai kewenangan kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi,
dimana
Mahkamah
Konstitusi
dalam
putusannya
menyatakan
permohonan tersebut tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).21 Menarik untuk diperhatikan produktivitas lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi, yaitu Kejaksaan, Polri, dan KPK, dimana hal tersebut dapat dilihat dari tabel sebagai berikut: Tabel 1 Data Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan, Kepolisan, dan KPK Tahun 2004 s/d 2010 22 TAHUN
KEJAKSAAN
POLRI
KPK
2004
523
311
2
2005
546
215
12
2006
588
225
26
2007
636
155
23
2008
1.348
190
47
2009
1.533
427
37
2010
1.718
277
46
Dari data kuantitatif di atas, dapat dibayangkan apabila kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, padahal dapat dikatakan bahwa sebagian besar elemen bangsa sepakat bahwa kompleksnya permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis multi-dimensional serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi, yaitu dampak dari kejahatan ini, maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh melalui keseimbangan langkah-langkah yang tegas dan jelas dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya pemerintah dan para penegak hukum.
21
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-V/2007 tanggal 27 Maret 2008. Sumber: elaborasi data Direktorat Penuntutan Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung dan KPK. Universitas Indonesia 22
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
8
Dalam kaitan dengan kebijakan penuntutan yang berkaitan dengan penyidikan tersebut, tahun 1999 di Bangkok dalam The Asia Crime Prevention Foundation (ACPF) Working Group Meeting on “The Role of the Prosecutor in the Changing World”, dikelompokkan peran kejaksaan dalam dua sistem yang dianut oleh kejaksaan di berbagai negara, yaitu:23 1) Mandatory Prosecutorial System Jaksa dalam menangani suatu perkara hanya berdasarkan alat-alat bukti yang sudah ada dan tidak terhadap hal-hal yang diluar yang sudah ditentukan, kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu. 2) Discretionary Prosecutorial System Jaksa dapat melakukan berbagai kebijakan tertentu dan bisa mengambil berbagai tindakan dalam penyelesaian/penanganan suatu perkara. Dalam sistem ini, jaksa dalam mengambil keputusan, selain mempertimbangkan alat-alat bukti yang ada, juga mempertimbangkan faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya suatu tindak pidana, keadaan-keadaan dimana tindak pidana itu dilakukan, atribut-atribut pribadi dari terdakwa dan korban, tingkat penyesalan terdakwa, tingkat pemaafan dari korban, dan pertimbangan-pertimbangan kebijakan publik. Menurut Andi Hamzah, mengenai peranan jaksa berkaitan dengan penyidikan, ada 4 (empat) kelompok yang dianut oleh berbagai negara, yaitu:24 - Jaksa memiliki wewenang penyidikan tindak pidana, seperti kejaksaan di Belanda, Prancis, Jerman, Austria, Jepang, dan Korea; - Jaksa memiliki wewenang penyidikan tindak pidana tertentu, seperti kejaksaan di Rusia, Georgia, Thailand, dan China; - Jaksa tidak memiliki wewenang penyidikan namun diberikan wewenang supervisi penyidikan tindak pidana, seperti kejaksaan di Inggris dan Wales;
23
Marwan Effendy. Op. Cit. hal. 86. Andi Hamzah. “Penyampaian Masukan Rencana Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia”. Disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Badan Legislasi DPR RI, tanggal 9 Februari 2011. Catatan: Wewenang Jaksa Agung (Attorney General) Amerika Serikat adalah yang paling powerful di dunia, wewenangnya sama dengan wewenang Jaksa Agung RI ditambah wewenang Kapolri dan ditambah dengan wewenang Menteri Hukum HAM RI minus Imigrasi. Universitas Indonesia 24
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
9
- Jaksa tidak memiliki wewenang penyidikan dan supervisi penyidikan tindak pidana, seperti kejaksaan di Malta. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan tersebut di atas menunjukkan eksistensi kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi, namun demikian beberapa kalangan tetap saja mempermasalahkan kewenangan tersebut. Oleh karena itu polemik mengenai wewenang kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi masih layak untuk diteliti. 1.2. Rumusan Masalah Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat dan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Hal ini menimbulkan bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis mengakibatkan tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa. Hal tersebut menyebabkan upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Salah satu cara luar biasa dalam memberantas tindak pidana korupsi tersebut diantaranya melalui pemberian wewenang penyidikan terhadap beberapa lembaga, sehingga upaya pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut diharapkan dapat lebih optimal. Kejaksaan merupakan salah satu lembaga negara yang memiliki wewenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, selain Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Kewenangan penyidikan yang dilakukan oleh tiga lembaga berbeda tersebut, dituding oleh beberapa kalangan dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan ketidakpastian hukum, selain itu kewenangan kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi juga dipermasalahkan karena dinilai tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Hal tersebut sungguh ironi mengingat kewenangan kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi telah Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
10
ada sejak berdirinya lembaga tersebut, dimana kejaksaan telah melakukan penyidikan tindak pidana korupsi yang jumlahnya tidak sedikit, atau dengan kata lain kejaksaan telah memberikan sumbangsih yang boleh dibilang cukup signifikan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, yang menjadi pernyataan permasalahan (statement of the problem) yang akan diteliti adalah polemik mengenai wewenang kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi, dengan pertanyaan penelitian (research questions) sebagai berikut: 1) Apakah yang menjadi dasar pemikiran kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi? 2) Bagaimanakah tugas dan wewenang kejaksaan di negara-negara lain? 3) Bagaimanakah mekanisme penanganan tindak pidana korupsi di kejaksaan? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1) Untuk memperoleh gambaran tentang dasar pemikiran kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi. 2) Untuk memperoleh gambaran tentang tugas dan wewenang kejaksaan di negara-negara lain. 3) Untuk memperoleh gambaran tentang mekanisme penanganan tindak pidana korupsi di kejaksaan. 1.4. Manfaat Penelitian Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian ini dan tujuan yang ingin dicapai maka diharapkan penelitian ini memberikan manfaat sebagai berikut: 1) Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran bagi pengembangan dan pengkajian ilmu hukum khususnya hukum acara pidana yang berkaitan dengan polemik tentang wewenang kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi. 2) Manfaat Praktis Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
11
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan oleh para praktisi hukum dalam rangka penegakan hukum pidana khususnya pemberantasan tindak pidana korupsi guna meminimalisir terjadinya polemik tentang wewenang kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi. 1.5. Kerangka Pemikiran 1.5.1. Kerangka Teori Menurut Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi berarti disini usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Sistem ini dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat ”diselesaikan”, dengan diajukannya pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan diputus bersalah serta mendapat pidana.25 Sistem peradilan pidana dapat digambarkan secara singkat sebagai suatu sistem yang bertujuan untuk ”menanggulangi kejahatan”,
salah satu usaha masyarakat
untuk
mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterimanya.26 Dengan pengertian demikian maka cakupan sistem peradilan pidana sebagai berikut: (a) mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, (b) menyelesaikan kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, serta (c) berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi perbuatannya. Komponenkomponen yang bekerjasama dalam sistem ini adalah terutama instansi-instansi (badan-badan) yang kita kenal dengan nama: kepolisian - kejaksaan - pengadilan dan pemasyarakatan.27 Masing-masing sub-sistem dalam sistem peradilan pidana tersebut (kepolisian - kejaksaan - pengadilan - pemasyarakatan) sering terlalu 25
Mardjono Reksodiputro. “Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan)”. Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Ketiga. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007. hal. 84. 26 Mardjono Reksodiputro. “Mengembangkan Pendekatan Terpadu Dalam Sistem Peradilan Pidana (Suatu Pemikiran Awal)”. Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007. hal. 140. 27 Ibid. 140-141. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
12
dipengaruhi oleh tujuan-tujuan sendiri, dan mudah melupakan adanya tujuan bersama keseluruhan sistem (yang biasanya digariskan dalam kebijakan kriminal atau ”criminal policy” pemerintah). Pendekatan keterpaduan (integrated approach) yang diharapkan itu, masih harus lebih dibuktikan lagi dalam pelaksanaan hasil-hasil pertemuan bersama yang dikenal sebagai rapat kerja Makehjapol (Mahkamah Agung, Kehakiman, Kejaksaan Agung dan Polri). Melalui pertemuan-pertemuan semacam ini, harus dihasilkan kebijakan-kebijakan penegakan hukum yang jelas yang disepakati dan dilaksanakan secara konsisten oleh semua sub-sistem. Disamping itu tentu harus ada jaminan bahwa kebijakankebijakan tadi benar-benar ditaati pelaksanaannya oleh masing-masing subsistem. Kepastian (pelaksanaan) hukum semacam inilah yang antara lain diharapkan masyarakat, misalnya dalam penanggulangan masalah korupsi.28 Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, maka ada tiga kerugian yang dapat diperkirakan:29 1) kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama; 2) kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah(-masalah) pokok masing-masing instansi (sebagai sub-sistem dari sistem peradilan pidana); dan 3) karena tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana. Lebih lanjut Mardjono Reksodiputro menerangkan bahwa desain prosedur (procedural design) sistem peradilan pidana (SPP) dapat dibagi tiga: (a) tahap pra-adyudikasi (pre-adjudication), (b)tahap adyudikasi (adjudication), dan (c) tahap pasca-adyudikasi (post-adjudication).
28
Mardjono Reksodiputro. “Menumbuhkan dan Mengembangkan Disiplin Nasional (Suatu Perspektif Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana)”. Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007. hal. 138-139. 29 Mardjono Reksodiputro. “Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan)”. Op. Cit. hal. 85. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
13
Ketiga urutan tersebut memang menunjukkan desain prosedur, tetapi belum jelas adalah tahap mana dari ketiga tahap tersebut yang dominan. Sebenarnya bilamana kita tengok kembali diskusi-diskusi yang “alot” pada penyusunan KUHAP 1981, sudah terasa bagaimana adanya gesekan dan benturan antara “kewenangan penyidikan”
atau
“investigation
(police)
powers”
dengan
kewenangan
penuntutan/pendakwaan” atau “prosecutorial (public prosecutor) powers”.30 Negara Indonesia adalah Negara Hukum.31 Prinsip penting negara hukum adalah supremasi hukum yang memiliki jaminan konstitusional dalam proses politik yang dijalankan oleh kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Supremasi hukum akan selalu bertumpu pada kewenangan yang ditentukan oleh hukum. Lembaga kejaksaan sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif yang terkait dengan kekuasaan kehakiman dalam penegakan hukum, memiliki tugas dan wewenangnya yang ditetapkan dalam hukum (peraturan perundang-undangan), karena secara konstitusional Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaam (machsstaat).32 Dalam pelaksanaan supremasi hukum, UUD 1945 tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power), tetapi pembagian kekuasaan (distribution of powers). Hal ini dapat dilihat dalam UUD 1945, bahwa Presiden, selain mempunyai kekuasaan eksekutif juga mempunyai kekuasaan legislatif, misalnya membuat Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah, disamping itu Presiden juga mempunyai kekuasaan yudikatif, misalnya memberikan grasi, amnesti, abolisi.33 Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum (berdasarkan peraturan perundang-undangan) dituntut untuk berperan guna menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, antara lain 30
Mardjono Reksodiputro. Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Revisi 26 Januari dan 21 April 2010). Makalah yang disempurnakan untuk Kuliah Umum di Universitas Batanghari Jambi - Pertama kali disampaikan pada Seminar Komisi Hukum Nasional 9 Desember 2009. Jambi: Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Batanghari, 24 April 2010. hal. 4-5. 31 UUD 1945. Pasal 1 ayat (3) perubahan ketiga. 32 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-V/2007 tanggal 27 Maret 2008. hal. 17. 33 Ibid. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
14
dilakukan melalui fungsi penyidikan dan penuntutan, dalam hal penyidikan, yakni terhadap tindak pidana tertentu34, yaitu sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Mengenai kewenangan penyidikan dan penuntutan, Mardjono Reksodiputro memandang terdapat beberapa kekeliruan di Indonesia, diantaranya yang ingin beliau luruskan adalah sebagai berikut:35 - Kepolisian dan kejaksaan harus bekerjasama dalam proses SPP, secara “in tandem” (keduanya bekerjasama secara erat). Bagian kepolisian yang mempunyai wewenang penyidikan, sebagai ahli dengan wewenang upayapaksa yang diberi undang-undang, hanya “Divisi Reserse Kriminal (Reskrim)” (Bel : de rechterlijke politie, Ing : criminal investigation division – CID). Dan kalau divisi ini dahulu dinamakan “hulp-magistraat” (magistrat-pembantu), jangan merasa “terhina”. Ini sekedar “istilah” dan bukan untuk merendahkan kepolisian, seperti juga ada istilah “magistrat – duduk” (hakim) dan “magistrat berdiri” (penuntut umum). Mungkin tidak akan merasa “terhina” kalau pejabat reskrim dinamakan sebagai “magistrat-pendamping”. - Tidak dikenal “monopoli” wewenang kepolisian (police powers), karena publik juga punya wewenang kepolisian (terutama dalam hal “tertangkap tangan”), begitu pula : instansi Imigrasi, instansi Bea Cukai, instansi Pajak, dan instansiinstansi lain yang ditentukan oleh undang-undang. Tidak pula dikenal “monopoli” wewenang pendakwaan (prosecutorial powers). Dalam KUHAP untuk tindak pidana ringan, kepolisian dapat mendakwa di pengadilan. Di luar negeri dikenal adanya
“private prosecutor”
(disamping “state/public
prosecutor”) atau “special prosecutor” (dalam hal tersangka/terdakwa adalah hakim, menteri atau presiden). Di Inggris ”prosecution” diserahkan oleh Directorate of Prosecution kepada Advokat Swasta (Barrister).
34 35
Ibid. hal. 18. Mardjono Reksodiputro. 2010. Op. Cit. hal. 7-8. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
15
- Perbedaan wewenang kepolisian dengan wewenang penuntut umum/kejaksaan, harus dilihat dalam pengertian “division of powers” (pembagian kewenangan) dan bukan “separation of powers” (pemisahan kewenangan). Tujuan pembagian kewenangan ini adalah untuk “saling mengawasi” (check and balances). Saling mengawasi dalam kewenangan berimbang, dengan tujuan sinergi (disinilah letak pengertian SPP Terpadu). 1.5.2. Kerangka Konseptual Penulisan tesis ini menggunakan beberapa batasan istilah atau definisi yang berkaitan dengan tema yang dibahasnya dengan memberikan pengertian dari mengutip perumusan definisi-definisi dan istilah penting dari kamus, pendapat ahli dan ketentuan perundang-undangan. Penulis berharap dengan adanya pembatasan ini akan dapat menyamakan persepsi terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam menyusun tesis ini. Pembatasan istilah tersebut adalah sebagai berikut: Wewenang: Serangkaian hak yang melekat pada jabatan atau seorang pejabat untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas pekerjaan dapat terlaksana dengan baik; hak dan kekuasaan; kompetensi; yurisdiksi; otoritas.36 Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.37 Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.38 Tindak pidana: perbuatan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.39
36
Andi Hamzah. Kamus Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986. hal. 633. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Op. Cit. Pasal 2 ayat (1). 38 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Op. Cit. Pasal 1 angka 2. 39 Andi Hamzah. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 1994. hal. 88. Universitas Indonesia 37
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
16
Korupsi (dari latin corruptio = penyuapan; dan corrumpore = merusak) yaitu gejala bahwa para pejabat badan-badan negara menyalahgunakan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.40 Corruption: The act of doing something with an intent to give some advantage inconsistent with official duty and the rights of others; a fiduciary’s or official’s use of a station or office to procure some benefit either personally or for someone else, contrary to the rights of others.41 1.6. Metode Penelitian Metode penelitian diperlukan guna mendapatkan data yang dipergunakan sebagai bahan pembahasan dan analisis untuk menjawab permasalahan yang dirumuskan sehingga dapat dipercaya serta dapat dipertanggungjawabkan. Untuk kepentingan itulah maka metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari sistematika sebagai berikut: 1.6.1. Bentuk dan Jenis Penelitian Bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif serta ditunjang dengan pengalaman dan pengamatan penulis yang telah lebih dari 10 (sepuluh) tahun bertugas sebagai jaksa di Kejaksaan Agung (Kejagung) dan beberapa Kejaksaan Negeri (Kejari) di Indonesia. Pemilihan jenis penelitian ini didasarkan pada pemikiran bahwa pada dasarnya penelitian ini hendak menganalisis tentang dasar pemikiran kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi, tugas dan wewenang kejaksaan di negara-negara lain, dan mekanisme penanganan tindak pidana korupsi di kejaksaan. 1.6.2. Metode Pengumpulan Data Berdasarkan bentuk dan jenisnya, data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder merupakan data utama dalam penelitian ini. Data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan berupa bahan hukum primer (primary
40
Hassan Shadily, et al., ed. Ensiklopedia Indonesia (Jilid 4). Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve dan Elsevier Publishing Projects, 1983. hal. 1876. 41 Bryan A. Garner, et al., ed. Black’s Law Dictionary (7th ed.). St. Paul, Minn.: West Group, 1999. hal. 348. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
17
sources), bahan hukum sekunder (secondary sources), dan bahan hukum tersier (tertiary sources). Bahan hukum primer (primary sources) yakni bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang diurut berdasarkan hierarki perundangundangan, mulai UUD 1945, TAP MPR, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan aturan lain dibawah Undang-Undang, serta bahan hukum asing sebagai pembanding bahan hukum yang ada untuk mengkaji permasalahan yang telah dirumuskan. Bahan hukum sekunder (secondary sources) adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku teks, jurnal-jurnal, pendapat para ahli, kasus-kasus hukum, serta simposium yang dilakukan pada pakar untuk mengkaji permasalahan yang telah dirumuskan. Bahan hukum tersier (tertiary sources) adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, kamus bahasa, ensiklopedia, dan lain-lain. Sebagai data pendukung maka data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui pengalaman dan pengamatan penulis yang telah lebih dari 10 (sepuluh) tahun bertugas sebagai jaksa di Kejaksaan Agung (Kejagung) dan beberapa Kejaksaan Negeri (Kejari) di Indonesia, dimana terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam beberapa proses penanganan perkara tindak pidana korupsi di berbagai daerah. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan penulis tersebut, selanjutnya dituangkan serta dianalisis untuk mengkaji permasalahan yang telah dirumuskan. 1.6.3. Penyajian dan Analisis Data Seluruh data yang diperoleh, baik data sekunder maupun data primer, kemudian dianalisis secara kualitatif selanjutnya dipaparkan. Analisis dilakukan secara kualitatif karena data yang diperoleh dari penelitian lapangan tidak dihitung secara statistik, melainkan dikaitkan dengan teori-teori dan pendapat para pakar yang diperoleh dari penelitian pustaka agar dapat menjelaskan atau menjawab permasalahan yang dirumuskan. 1.7. Sistematika Penulisan Tesis disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masingmasing bab terdiri atas beberapa subbab guna lebih memperjelas ruang lingkup Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
18
dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masingmasing bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai berikut: Bab 1, merupakan pendahuluan yang berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab 2, merupakan pembahasan tentang kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi, yang berisikan uraian tentang korupsi, yakni pengertian korupsi dan sejarah perundang-undangan korupsi, kemudian uraian tentang kejaksaan dalam sistem peradilan pidana, yakni jaksa sebagai penegak hukum, sistem peradilan pidana, dan kedudukan kejaksaan dalam sistem peradilan pidana, selanjutnya uraian tentang dasar pemikiran kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi. Bab 3, merupakan pembahasan tentang kewenangan kejaksaan di beberapa negara, yang berisikan pengertian perbandingan hukum, kemudian uraian tentang sistem penuntutan, yakni sistem penuntutan di negara-negara yang menganut asas oportunitas dan sistem penuntutan di negara-negara yang menganut asas legalitas, selanjutnya selayang pandang kewenangan kejaksaan di beberapa negara, yakni peran jaksa dan polisi dalam penyidikan, kejaksaan negara Belanda, kejaksaan negara Inggris dan Wales. Bab 4, merupakan pembahasan tentang mekanisme penanganan tindak pidana korupsi di kejaksaan, yang berisikan uraian tentang birokrasi dan organisasi kejaksaan, kemudian uraian tentang struktur organisasi kejaksaan dalam penanganan tindak pidana korupsi, selanjutnya uraian tentang prosedur penanganan tindak pidana korupsi di kejaksaan, yakni tahap penyelidikan, tahap penyidikan, tahap penuntutan, serta tahap upaya hukum dan eksekusi. Bab 5, merupakan penutup yang berisikan kesimpulan dan saran.
Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
BAB 2 KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
2.1. Korupsi 2.1.1. Pengertian Korupsi Menurut Fockema Andreae kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Prancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptie (korruptie). Kita dapat memberanikan diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu korupsi.42 Dalam Ensiklopedia Indonesia, korupsi (dari latin corruptio = penyuapan; dan corrumpore = merusak) yaitu gejala bahwa para pejabat badan-badan negara menyalahgunakan
terjadinya
penyuapan,
pemalsuan
serta
ketidakberesan
lainnya.43 Dalam Black Law Dictionary, pengertian korupsi (corruption) adalah “the act of doing something with an intent to give some advantage inconsistent with officially duty and the rights of others; a fiduciary’s or official’s use of a station or office to procure some benefit either personally or for someone else, contrary to the rights of others”.44 Menurut Max Weber, pengertian korupsi (corruption) adalah “behaviour which deviates from the formal duties of a public role because of privateregarding (personal, close family, private clique) pecuniary or status-gains; or violates rules against the exercise of certain types of regarding behaviour”.45
42
Andi Hamzah. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005. hal. 4. 43 Hassan Shadily, et al., ed. Op. Cit. hal. 1876. 44 Bryan A. Garner, et al., ed. Op. Cit. hal. 348. 45 Robert Klitgaard. Controlling Corruption. Los Angeles: University of California Press, 1988. hal. 23.
19 Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
20 Pengertian korupsi secara harfiah dapat berupa:46 a. Kejahatan, kebusukan, dapat
disuap, tidak bermoral,
kebejatan dan
ketidakjujuran. b. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. c. Perbuatan yang kenyataannya menimbulkan keadaan yang bersifat buruk; Perilaku yang jahat dan tercela, atau kebejatan moral; Sesuatu yang dikorup, seperti kata yang diubah atau diganti secara tidak tepat dalam suatu kalimat; Pengaruh-pengaruh yang korup. Menurut Harkristuti Harkrisnowo, korupsi adalah suatu virus yang tersembunyi di Indonesia, menghancurkan sistem kelembagaan masyarakat, menyebar di seluruh lembaga negara. Jadi penyebaran kejahatan jenis ini menjadi terinstitusi dan kemungkinan
sebagai
bagian dari
budaya.47
Mardjono
Reksodiputro menerangkan bahwa isu yang beredar di masyarakat adalah tentang pemberian ”hadiah” untuk memperoleh ”fasilitas” (tempat dan perlindungan) dalam tahanan polisi, yang penting juga perlindungan dari ancaman fisik dan mental sesama tahanan di lembaga pemasyarakatan. Tuduhan berat dalam penanganan kriminil polisi adalah bahwa ”imbalan” yang dapat diminta termasuk ”tutup mata” terhadap kejahatan dan pelakunya. Lebih berat dari itu adalah bahwa ”penutupan perkara” yang sedang disidik, dengan alasan tidak cukup bukti, juga diperdagangkan. Ini menimbulkan kehebohan terutama bila menyangkut perkara tersangka koruptor ”kakap”.48 Syed Hussein Alatas mengemukakan bahwa kita menyebut korupsi apabila seorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh seseorang dengan maksud untuk mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa kepada kepentingan-kepentingan si pemberi. Terkadang perbuatan menawarkan pemberian seperti itu atau hadiah lain yang juga tercakup dalam konsep itu. Pemerasan yakni permintaan pemberian atau hadiah seperti itu dalam pelaksanaan 46
Lilik Mulyadi. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya. Bandung: PT. Alumni, 2007. hal. 78. 47 Harkristuti Harkrisnowo. “Combatting Corruption in Indonesia: an Imposible Mandat?”. Newsletter KHN, Edisi Mei-Juni 2004. hal. 32. 48 Mardjono Reksodiputro. 2002. Op. Cit. hal. 37. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
21
tugas-tugas publik juga bisa dipandang sebagai korupsi. Sesungguhnya istilah itu terkadang juga dikenakan pada pejabat-pejabat yang menggunakan dana rakyat yang mereka urus bagi keuntungan mereka sendiri; dengan kata lain, mereka yang bersalah melakukan penggelapan diatas harga yang dibayar oleh publik.49 Korupsi pada hakikatnya bukan sekedar masalah kriminal, melainkan juga masalah sosial. Menurut B. Sudarso dalam bukunya Korupsi di Indonesia, menghadapi masalah korupsi yang sudah meluas dan berurat berakar, yang oleh sementara kalangan dikatakan sudah merupakan “way of life”, orang setengah putus asa dan acuh tak acuh. Malahan, ada pendapat yang menyebutkan bahwa sebaiknya kita tidak berbicara mengenai korupsi lagi, tetapi pembangunan saja. Pada saat-saat tertentu memang seakan-akan timbul harapan bahwa penyakit itu akan sungguh-sungguh dapat diatasi, tetapi saat-saat penuh harapan demikian biasanya tidak berlangsung lama yang segera disusul oleh keraguan, keprihatinan, kekecewaan, dan kemudian sinisme.50 Ketika pembicaraan tentang korupsi dikaitkan dengan penyebab terjadinya korupsi, pada umumnya orang akan berpaling untuk menghubungkannya tumbuh suburnya korupsi dengan sebab yang paling gampang untuk dikaitkan, misalnya, kurangnya gaji pejabat, buruknya ekonomi, mental pejabat kurang baik, administrasi dan manajemen yang kacau yang menghasilkan adanya prosedur yang berliku-liku, dan sebagainya.51 Baharuddin Lopa menyatakan bahwa tampaknya masalah korupsi ini selalu ada. Ia akan ada dalam masyarakat primitif (tradisional), ia akan ada di suatu masyarakat yang sedang membangun, dan bahkan ia akan ada di suatu masyarakat yang sudah maju sekalipun. Rupa-rupanya perbuatan korupsi ini sejak semula lahir bersama kelahirannya dunia ini dan agaknya umurnya pun akan seumur dengan dunia, apabila kita tidak mulai dari sekarang bersungguh-sungguh mencegah/memberantasnya.52 49
Syed Hussein Alatas. Sosiologi Korupsi. Penerjemah Al Gozie Usman. Jakarta: LP3ES, 1986. Terjemahan dari The Sociology of Corruption, Singapore: Donald Moore Press, 1968. hal. 1. 50 Djoko Prakoso. Peranan Pengawasan dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Aksara Persada Indonesia, 1990. hal. 70. 51 Ibid. 52 Baharuddin Lopa. Korupsi, Sebab-Sebabnya dan Penanggulangannya. Jakarta: Prisma 3, 1986. hal. 24. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
22
Namun demikian, sebenarnya alasan kurangnya gaji, buruknya ekonomi, serta tidak teraturnya sistem administrasi dan manajemen tidak lagi merupakan penyebab utama timbulnya korupsi. Hal ini dapat dilihat di negara-negara maju, manakala gaji pejabat sudah tinggi, ekonomi sudah berkembang serta tumbuh dengan pesatnya, administrasi dan manajemen sudah teratur dan modern, toh masih terjadi banyak korupsi. Lihat saja kasus mantan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka, yang dituduh menerima suap dari perusahaan industri pesawat terbang Amerika Serikat sebesar 500 juta yen (± USD 2,48 juta). Cara Tanaka melakukan ini adalah bahwa ia selaku Perdana Menteri Jepang telah memberikan fasilitas khusus kepada All Nippon Airways sehingga lancarlah penjualan pesawatpesawat terbang keluaran Lockhead Aircraft Corporation, dan sebagai balas jasa, Tanaka diberi hadiah (sogokan).53 Dengan memperhatikan uraian tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa sebagian besar masalah korupsi akan senantiasa berkaitan erat dengan lingkaran elit pemegang kekuasaan, baik dalam jajaran birokrasi pemerintahan maupun organisasi yang lain. Itulah sebabnya dapat disebutkan bahwa ruang lingkup korupsi tidak akan jauh dan selalu berkutat pada pemegang kekuasaan atau setidaknya berhubungan erat dengan pemegang kekuasaan karena memang hanya orang yang memegang kekuasaan sajalah yang dapat menyimpangkan kekuasaan yang dimilikinya. Selain itu dengan menyadari kompleksnya permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis multi-dimensional serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi, yaitu dampak dari kejahatan ini, maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh melalui keseimbangan langkah-langkah yang tegas dan jelas dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya pemerintah dan para penegak hukum.
2.1.2. Sejarah Perundang-undangan Korupsi Memperhatikan sejarah perkembangan perundang-undangan yang mengatur korupsi terlihat adanya upaya yang rasional dalam memberantas tindak pidana korupsi. Dari berbagai peraturan yang pernah ada hingga Undang-Undang Nomor
53
Djoko Prakoso. Op. Cit. hal. 72 Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
23
20 Tahun 2001 menunjukkan adanya pembaharuan hukum. Pembaharuan hukum ini tidak hanya terbatas pada substansi atau segi-segi materiil dari korupsi saja, namun juga hukum formilnya atau hukum acaranya. Berkenaan dengan hukum acaranya, dalam hal ini masalah upaya penegakan hukum, jadi berkaitan dengan kewenangan penegakan hukum juga mengalami perkembangan. 2.1.2.1. Latar Belakang Lahirnya Peraturan Perundang-undangan Korupsi Alasan yang menjadi dasar dikeluarkannya peraturan tentang korupsi selalu bermuara pada pemikiran bahwa peraturan perundang-undangan yang ada dirasa kurang efektif dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dalam konsiderans masing-masing peraturan perundang-undangan tersebut, yakni sebagai berikut: 1) Konsiderans Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor Prt/Peperpu/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda - Bahwa untuk perkara-perkara pidana yang menyangkut keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan atau kelonggaran-kelonggaran lainnya dari masyarakat, misalnya, baik koperasi, wakaf, maupun yang lainnya yang bersangkutan dengan kedudukan si pembuat pidana, perlu diadakan tambahan berupa aturan pidana, pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan yang dapat memberantas perbuatan-perbuatan yang disebut perbuatan korupsi. - Bahwa dalam hubungan pemberantasan perbuatan-perbuatan korupsi sebagaimana dimaksud di atas, perlu diadakan pula peraturan yang memungkinkan penyitaan dan perampasan harta benda yang kurang/tidak terang siapa pemiliknya atau yang dicurigai cara memperolehnya. 2) Konsiderans Undang-Undang Nomor 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan,
Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi Bahwa untuk perkara-perkara pidana yang menyangkut keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan atau kelonggaran-kelonggaran lainnya dari negara atau masyarakat, bank, koperasi, wakaf, dan lain-lain atau yang bersangkutan dengan kedudukan si petindak pidana, perlu diadakan beberapa aturan pidana khusus dan peraturan-peraturan khusus tentang pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan yang dapat Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
24
memberantas perbuatan-perbuatan itu disebut tindak pidana korupsi. 3) Konsiderans Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi - Bahwa perbuatan-perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan/perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional. - Bahwa Undang-Undang Nomor 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi berhubung dengan perkembangan masyarakat kurang mencukupi untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan, dan oleh karenanya undang-undang tersebut perlu diganti. 4) Konsiderans Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, butir c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, karena itu perlu diganti dengan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. 5) Konsiderans Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, butir a dan b - Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.. - Bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum, dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dari beberapa konsiderans sebagaimana tersebut di atas, tercermin suatu proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang ditujukan agar hukum pidana khusus lebih efektif untuk menangkal korupsi. Lebih dari itu, merupakan komitmen positif dari penyelenggara negara untuk secara aktif berusaha memberantas korupsi. Komitmen ini diwujudkan dengan cara mengganti Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
25
peraturan perundang-undangan yang dianggap kurang akomodatif terhadap permasalahan penanganan tindak pidana korupsi. 2.1.2.2. Perumusan Tindak Pidana Korupsi Sebelum membahas mengenai siapa yang berwenang dalam penyidikan tindak pidana korupsi, terlebih dahulu akan dibahas sejarah perkembangan perumusan tindak pidana korupsi itu sendiri. Hal ini dimaksudkan bahwa penegakan hukum akan terkait erat dengan pemaknaan terhadap korupsi itu sendiri. 1) Periode Penguasa Perang Militer Sebelum keluarnya Peraturan Penguasa Militer, KUHP telah mengatur korupsi atau yang dikenal dengan delik jabatan. Pasal-pasal yang dimaksud adalah yang terdapat dalam Bab XXVIII yaitu penggelapan Pasal 415; pemalsuan Pasal 416; menerima suap Pasal 418, Pasal 419, dan Pasal 420; serta menguntungkan diri sendiri secara tidak sah Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435.54 Perbuatan-perbuatan yang merupakan delik jabatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh pejabat (ambtenaar) berupa tindakan penggelapan, pemalsuan, menerima suap, dan menguntungkan diri sendiri yang dilarang. Pasal-pasal yang telah disebutkan merupakan perbuatan korupsi sebelum adanya Peraturan Penguasa Militer tentang perbuatan korupsi.55 a) Perumusan korupsi menurut Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM06/1957 tentang Tata Cara Menerobos Kemacetan Memberantas Korupsi Pasal 1 (1)Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga, baik untuk kepentingan diri sendiri, untuk kepentingan orang lain atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian bagi keuangan perekonomian negara; (2)Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah ataupun selama suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, yang dengan mempergunakan 54
Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1981. hal. 125. Soedjono Dirdjosisworo. Fungsi Perundang-undangan Pidana dalam Penanggulangan Korupsi di Indonesia. Bandung: Sinar Baru, 1984. hal. 16. Universitas Indonesia 55
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
26
kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan, langsung atau tidak langsung membawa keuntungan materiil baginya. Memperhatikan perumusan pasal tersebut, perumusan subjek/pelaku yang dapat dijerat dengan korupsi adalah sangat luas, yaitu ”tiap perbuatan yang dilakukan
oleh
siapapun
juga”.
Disamping
itu,
perbuatan
yang
dikategorikan sebagai korupsi juga sangat luas, yaitu ”menggunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan”. Selain itu, kewenangan yang dimiliki oleh penguasa militer sangat besar. Hal ini lebih dimaksudkan untuk mempermudah penanganan tindak pidana korupsi, sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-06/1957 tentang Tata Cara Menerobos Kemacetan Memberantas Korupsi, yang antara lain berbunyi: ”Peraturan ini bermaksud menetapkan suatu tata kerja yang dapat
melancarkan
usaha-usaha
memberantas
apa
yang
dinamakan korupsi.” b) Perumusan korupsi menurut Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM08/1957 tentang Penilikan Harta Benda Dalam ketentuan ini tidak memperluas perumusan korupsi, tetapi lebih merupakan upaya terobosan untuk mempermudah pelaksanaan penguasa militer dalam memberantas korupsi. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1 butir a, yang berbunyi sebagai berikut: ”Selain wewenang mengadakan penilikan terhadap harta benda seseorang yang disangka melakukan korupsi menurut Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-06/1957 tanggal 9 April 1957 Penguasa Militer berwenang pula mengadakan penilikan terhadap harta benda setiap orang atau badan di dalam daerahnya yang kekayaannya diperoleh secara mendadak dan mencurigakan.” Penilikan harta benda tersebut dapat dilakukan penyitaan dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 yang berbunyi: ”Harta benda orang atau badan yang dengan sengaja atau karena kelalaian tidak diterangkan pemiliknya atau pengurusnya, harta benda yang tidak terang siapa pemiliknya, dan harta benda orang yang kekayaannya oleh penilik pembantu harta benda Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
27
dianggap diperoleh secara mendadak dan mencurigakan, dapat disita oleh penilik pembantu harta benda.” Lebih lanjut, kewenangan yang besar yang dimiliki oleh Penguasa Militer tersebut, didukung dengan kewenangan untuk menyelesaikan harta benda yang disita menjadi milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang berbunyi sebagai berikut: (1)Harta benda yang disita karena dengan sengaja atau kelalaiannya tidak diterangkan oleh pemiliknya atau pengurusnya menjadi milik negara. (2)Kecuali apabila penyitaan masih diperlukan berhubung dengan suatu perkara pidana, maka harta benda yang disita karena oleh penilik pembantu harta benda dianggap diperoleh secara mendadak dan mencurigakan: a. dihapuskan penyitaannya dan dikembalikan kepada pemiliknya setelah ternyata harta benda itu tidak diperoleh karena perbuatan yang merugikan keuangan negara, dan setelah oleh si pemilik dapat diperlihatkan kepada Penguasa Militer bukti yang sah tentang pelunasan pajak istimewa yang ditetapkan untuk itu, atau b. menjadi milik negara apabila ternyata harta benda itu diperoleh dari perbuatan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara. (3)Harta benda yang dimaksud dalam ayat (2) a pasal ini sebagian atau seluruhnya menjadi milik negara, apabila si pemilik dalam waktu 30 hari tidak dapat memperlihatkan kepada Penguasa Militer bukti yang sah tentang pelunasan pajak istimewa yang ditetapkan untuk itu. c) Perumusan korupsi menurut Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM011/1957 tentang Penyitaan dan Perampasan Harta Benda yang Asal Mulanya Diperoleh dengan Perbuatan yang Melawan Hukum Hal menarik dari ketentuan ini adalah ditentukannya perbuatan melawan hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yang berbunyi sebagai berikut: Perbuatan melawan hukum adalah tiap-tiap perbuatan yang: (1)mengganggu orang lain; (2)bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat; (3)bertentangan dengan kesusilaan; (4)bertentangan dengan ketelitian, keseksamaan, atau kecermatan yang harus diperhatikan dalam pergaulan masyarakat terhadap tubuh atau benda orang lain.
Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
28
Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksudkan dalam huruf b dan c tersebut disita Penguasa Militer menjadi milik negara.56 Dalam pelaksanaannya, Penguasa Militer mendengarkan petunjuk/nasihat Jaksa Agung.57 Memperhatikan ketentuan Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM06/1957, Prt/PM-08/1957, dan Prt/PM-011/1957 tersebut dapat dilihat hal-hal penting, antara lain, disamping hal-hal yang berhubungan dengan keadaan darurat sebagaimana telah diuraikan di atas, maka pada ketiga peraturan penguasa militer tersebut tercermin bahwa pihak penguasa pada saat itu menetapkan kehendak politik (political will), dengan tekad yang sungguhsungguh berusaha memberantas korupsi di Indonesia. Kemudian, kehendak politik yang dituangkan dengan peraturan penguasa militer tersebut merupakan modal berharga untuk dikembangkan dan disempurnakan dalam rangka membuat undang-undang tentang penanggulangan korupsi yang dapat memenuhi tuntutan kebutuhan dan cita masyarakat Indonesia. Dengan demikian, dari perkembangan peraturan penguasa militer tersebut, terdapat upaya pembaharuan bagaimana mengefektifkan perbuatan tindak pidana korupsi, baik dalam perumusan delik maupun keleluasaan penanganan tindak pidana korupsi. d) Perumusan korupsi menurut Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor Prt/Peperpu/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda Ketika Undang-Undang Keadaan Bahaya Nomor 74 Tahun 1957 berlaku dan menggantikan Regeling of de Staat van Oorlog en van Beleg, maka ketiga peraturan tersebut di atas diganti.58 Lebih lanjut Soedjono Dirdjosisworo menyatakan bahwa: ”Maksud dan tujuan dari Peraturan Penguasa Perang ini adalah agar dengan peraturan penguasa diberantas perbuatan-perbuatan korupsi yang pada waktu itu sangat merajalela sebagai akibat
56
Lihat Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-011/1957 tentang Penyitaan dan Perampasan Harta Benda yang Asal Mulanya Diperoleh dengan Perbuatan yang Melawan Hukum. Pasal 2. 57 Ibid. Pasal 3. 58 Soedjono Dirdjosisworo. Op. Cit. hal. 55. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
29
dari suasana bahwa seakan-akan pemerintah sudah tidak berwibawa lagi.”59 Peraturan
Penguasa
Perang
Pusat
Angkatan
Darat
Nomor
Prt/Peperpu/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda tersebut memuat halhal baru dalam hal perumusan tindak pidana korupsi yang tidak ditentukan dalam peraturan-peraturan sebelumnya. Perumusan tersebut dikelompokkan dalam dua hal, yaitu perbuatan korupsi pidana dan perbuatan korupsi lainnya. Di dalam Pasal 2 diatur yang dimaksud dengan perbuatan korupsi pidana adalah: (1)Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran dari masyarakat. (2)Perbuatan yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dan yang dilakukannya dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan. (3)Kejahatan-kejahatan yang tercantum dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 50 Peraturan Penguasa Perang Pusat ini dan dalam Pasal 209, Pasal 210, Pasal 418, Pasal 419, dan Pasal 420 KUHP. Sementara itu, dalam Pasal 3 menentukan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan korupsi lainnya adalah sebagai berikut: (1)Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau badan lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat. (2)Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan. 59
Ibid. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
30
Urgensi adanya perumusan korupsi dengan dua macam bentuk korupsi tersebut dimaksudkan untuk mengefektifkan dengan memperluas jaring terhadap pelaku korupsi dikaitkan dengan keadaan yang ada pada saat itu. Mencermati ketentuan ini rupanya masih berusaha untuk mempertahankan ide pokok untuk menindak orang-orang yang melakukan perbuatan yang tidak merupakan suatu perbuatan pidana, tetapi dianggap bertentangan dengan rasa kewajaran, yaitu perbuatan tercela, sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pasal 3 tersebut dengan perbuatan berupa korupsi lainnya.60 Namun demikian, berlakunya Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor Prt/Peperpu/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda tersebut meliputi daerah-daerah yang dikuasai oleh Angkatan Darat saja. Tidak berlaku bagi daerah-daerah yang tidak dikuasai oleh Angkatan Darat, dan oleh karenanya maka Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut mengeluarkan juga peraturan yang nada dan isinya sama dengan Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor Prt/Peperpu/013/1958, yaitu Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut tanggal 17 April 1958 Nomor Prt/Z.I/1/7 yang diberlakukan untuk daerah yang dikuasai Angkatan Laut. 2) Periode Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi Pada tanggal 9 Juni 1960 dikeluarkan peraturan tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yaitu Perpu Nomor 24 Tahun 1960. Perpu tersebut kemudian disahkan menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 sejak tanggal 1 Januari 1961 yang kemudian disebut dengan Undang-Undang Nomor 24 Prp. Tahun 1960.
60
Hermien Hadiati Koeswadji. Korupsi di Indonesia, Dari Delik Jabatan Ke Tindak Pidana Korupsi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1994. hal. 50. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
31
Dari penjelasan dapat diketahui bahwa Perpu tersebut dimaksudkan dalam hal ihwal yang memaksa dan bersifat darurat.61 Secara garis besar, rumusan korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah sebagai berikut: a) Tindakan seseorang yang dengan atau karena suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara
langsung
atau
tidak
langsung
merugikan
keuangan
atau
perekonomian negara, daerah, atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lainnya yang menggunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat. b) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahaan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan. c) Kejahatan-kejahatan tercantum dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 21 peraturan ini, Pasal 209, Pasal 210, Pasal 415 sampai dengan Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 KUHP. Meskipun dibuat dalam keadaan memaksa, kehadiran undang-undang ini mempunyai arti penting dalam perkembangan hukum pidana. Menurut Soedjono Dirdjosisworo, undang-undang tersebut dibuat dengan tujuan untuk membahas suatu perbuatan kejahatan tertentu, dalam hal ini khususnya korupsi yang saat itu merajalela. Disamping itu pula darimana undang-undang, yaitu tentang pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidana korupsi terjalin ketentuan-ketentuan pidana beserta sanksinya dan pedoman hukum acaranya yang khusus untuk delik ini (pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan). Adanya unsur kontrol sosial dalam bentuk kebijaksanaan penanggulangan korupsi dan aspek acara pidana di dalamnya, telah memuat unsur-unsur penting dalam hukum pidana yang telah berkembang, seperti di negeri Belanda sebagaimana dikemukakan oleh C.H.J. Enschede dan Heider sebagai berikut:
61
Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
32
”Bila tindak pidana dilihat dari segi peranannya sebagai alat kontrol sosial, maka kita berpendapat bahwa kaidah-kaidahnya mempunyai pengaruh-pengaruh dalam masyarakat, dan hanya ingin mempertahankannya, dimana pelanggaran norma juga dapat dicegah. Sekarang pelaksanaan hukum pidana, dalam hal ini tidak hanya berlaku untuk sanksi-sanksi sebagai akibat dari proses pidana, akan tetapi juga bagi naskah-naskah undang-undang dan untuk jalannya proses pengusutan sampai akhirnya kepada pelaksanaan peraturan pengadilan mempunyai pengaruh di berbagai lingkungan.”62 3) Periode Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menyadari akan kelemahan-kelemahan peraturan perundang-undangan yang ada, maka dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini menampakkan adanya banyak penyempurnaan jika dibandingkan dengan peraturan-peraturan yang terdahulu, yaitu terutama dalam perumusan tindak pidana korupsi.63 Ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 menentukan, dihukum karena tindak pidana korupsi ialah: (1)a. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau sesuatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatanperbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; b. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatannya atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; c. Barang siapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 KUHP; d. Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri, seperti dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu; 62 63
Soedjono Dirdjosisworo. Op. Cit. hal. 60. Hermien Hadiati Koeswadji. Op. Cit. hal. 60. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
33
e. Barang siapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya, seperti tersebut dalam Pasal 418, Pasal 419, dan Pasal 420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib. (2)Barang siapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk melakukan percobaan atau permufakatan untuk melakukan tindak pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, dan e pasal ini. Memperhatikan ketentuan Pasal 1 ayat (1) a, syarat adanya dilakukannya lebih dahulu suatu kejahatan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi dihapuskan dan diganti dengan istilah “dengan melawan hukum”. Ini merupakan sarana dan mengandung pengertian, baik formal maupun materiil. Oleh sebab itu, sebenarnya pada ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 ini lebih dekat pada ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM06/1957 tentang Tata Cara Menerobos Kemacetan Memberantas Korupsi, yang telah dihapus sebelumnya, yaitu kembali pada perumusan yang luas. Lebih lanjut, dapat dilihat bahwa disamping perumusan korupsi sebagaimana yang dimaksud di atas, terdapat ketentuan tentang dapat dijatuhkannya pidana terhadap penyertaan dan percobaan terhadap kelima macam perbuatan korupsi tersebut. Dimasukkannya permufakatan jahat dan percobaan ini merupakan hal baru mengingat hal ini belum dijumpai dalam perumusan sebelumnya. Ketentuan ini dapat disebut sebagai suatu perluasan atas pengertian perbuatan pidana korupsi yang ancaman pidananya disamakan dengan delik-delik korupsi lainnya. Dalam hal istilah pegawai negeri, maka terlihat adanya perluasan pengertian pegawai negeri tersebut. Bahwa pegawai negeri ialah meliputi orang-orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah atau yang menerima gaji atau upah dari suatu badan atau badan hukum yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau badan hukum lain yang
Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
34
menggunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran serta fasilitas-fasilitas dari negara atau masyarakat.64 4) Periode Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Perumusan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini terbagi atas beberapa pengertian, yaitu: a) Korupsi sebagaimana yang dimaksud Pasal 2 ayat (1): Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). b) Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). c) Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 13 yang diambil dari pasal-pasal KUHP secara garis besar dapat dikelompokkan dalam empat kelompok: 1. Perbuatan yang bersifat penyuapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209, Pasal 210, Pasal 418, Pasal 419, dan Pasal 420 KUHP. 2. Perbuatan yang bersifat penggelapan, yaitu Pasal 415, Pasal 416, dan Pasal 417 KUHP. 3. Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 423 dan Pasal 425 KUHP (knevelarij, extortion atau kerakusan).
64
Lihat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
35
4. Perbuatan yang berkaitan dengan pemborongan dan rekanan serta leveransir Pasal 387, Pasal 388, dan Pasal 435 KUHP. d) Percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat, pemberian kesempatan, sarana atau keterangan terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh orang yang berada di luar Indonesia. e) Korupsi sebagaimana dimaksud Pasal 21 sampai dengan Pasal 24 yang sebenarnya bukan merupakan tindak pidana korupsi, melainkan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. - Pasal 21: ”Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam kasus korupsi ...” - Pasal 22: ”Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar ...” - Pasal 23: ”Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 241, Pasal 429, atau Pasal 430 KUHP ...” - Pasal 24: ”Saksi yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 ...” 5) Periode Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi Munculnya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 lebih dilandasi oleh adanya pemikiran
bahwa
Undang-Undang
Nomor
31
Tahun
1999
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah menimbulkan berbagai penafsiran tentang penerapan undang-undang tersebut terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
36
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan. Pasal 44 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan tidak berlaku sejak UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan, sehingga timbul suatu anggapan adanya kekosongan hukum untuk memproses tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 65 Disamping itu, juga didasari atas kesadaran pemikiran bahwa korupsi telah terjadi secara sistemik sehingga tidak hanya berdampak terhadap keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi. Keadaan yang demikian menuntut cara yang luar biasa untuk mengatasinya.66 Apabila dilihat ketentuan pasal-pasalnya, sebenarnya tidak banyak mengalami perubahan. Hanya saja terdapat hal-hal baru yang sebelumnya tidak dikenal. Hal-hal baru tersebut adalah sebagai berikut: 1. Gratifikasi yang diatur dalam Pasal 12B. Dalam penjelasannya dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. 2. Pembuktian terbalik yang diatur dalam Pasal 37, Pasal 37A, dan Pasal 38B sifatnya lebih tegas jika dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 3. Perluasan pengertian mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah berupa petunjuk. Ketentuan Pasal 26A berbunyi sebagai berikut: Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:
65
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 66 Ibid. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
37
(a) alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu dan (b)dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronis, yang berupa tulisan, suara, gambar peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Perluasan perolehan alat bukti petunjuk ini berarti akan mempermudah bagi jaksa dalam upaya membuktikan bahwa terdakwa bersalah sebagaimana yang didakwakan. Sebagaimana kita ketahui bahwa pemahaman para penegak hukum kita, kadang-kadang terlalu normatif sehingga segala sesuatu yang tidak diatur dalam KUHAP meskipun dapat membantu membuktikan kesalahan terdakwa, tidak dinilai sebagai alat bukti yang sah karena tidak diatur dalam KUHAP. Sehubungan dengan perluasan ini, maka korupsi akan lebih mudah dibuktikan, mengingat modus yang dipakai pelaku korupsi juga cenderung menggunakan sarana teknologi, baik untuk melakukan kejahatan maupun dalam rangka menutupi kejahatannya. 2.2. Kejaksaan dalam Sistem Peradilan Pidana 2.2.1. Jaksa Sebagai Penegak Hukum Menurut Soerjono Soekanto, ruang lingkup dari istilah ”penegak hukum” adalah luas sekali, oleh karena mencakup mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung berkecimpung dibidang penegakan hukum. Dari pengertian luas tadi, beliau lebih membatasi pengertiannya yaitu kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup ”law enforcement”, akan tetapi juga ”peace maintenance”. Dengan demikian mencakup mereka yang bertugas dibidang-bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan dan pemasyarakatan.67 Istilah ”penegak hukum” ini semestinya bisa dibedakan dengan istilah ”profesi hukum”. Istilah kedua tadi menurut Mardjono Reksodiputro semestinya hanya ditujukan kepada para lulusan pendidikan tinggi (fakultas) hukum yang 67
Soerjono Soekanto. 1983. Op. Cit. hal. 13. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
38
menjalankan profesi dalam masyarakat. Jadi, termasuk didalamnya mereka yang menjalankan profesi sebagai pengacara, penasehat hukum, konsultan hukum, ataupun jaksa dan hakim (tidak termasuk di dalamnya sarjana hukum yang jadi dosen atau polisi).68 Sementara
istilah
”penegak
hukum”
yang
sebenarnya
merupakan
terjemahan dari law enforcement officer yang dalam arti sempit hanya berarti polisi tetapi dapat juga mencakup jaksa. Namun, di Indonesia biasanya diperluas pula dengan para hakim dan ada kecenderungan kuat memasukkan pula dalam pengertian ”penegak hukum” ini para pengacara (advokat).69 Dalam kaitan terjadinya suatu tindak pidana, jaksa mempunyai tugas utama melakukan penuntutan. Dalam melakukan penuntutan, jaksa bertindak baik sebagai pengacara negara maupun sebagai pengacara masyarakat. Di kebanyakan negara jaksa itu adalah juga pelindung kepentingan umum sehingga sikapnya terhadap tersangka/terdakwa dan orang-orang yang diperiksanya harus objektif dan tidak memihak.70 2.2.2. Sistem Peradilan Pidana Menurut Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi berarti disini usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Sistem ini dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat ”diselesaikan”, dengan diajukannya pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan diputus bersalah serta mendapat pidana.71 Sistem peradilan pidana dapat digambarkan secara singkat sebagai suatu sistem yang bertujuan untuk ”menanggulangi kejahatan”,
salah satu usaha masyarakat
untuk
mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang 68
Mardjono Reksodiputro. “Partisipasi Profesi Hukum Sebagai Penegak Hukum Dalam Peningkatan Wibawa Penegakan Hukum (Sebuah catatan Untuk Diskusi)”. Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Ketiga. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007. hal. 78. 69 Ibid. 70 R.M. Surachman dan Andi Hamzah. Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan Kedudukannya. Jakarta: Sinar Grafika, 1996. hal. 6. 71 Mardjono Reksodiputro. “Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan)”. Op. Cit. hal. 84. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
39 dapat diterimanya.72 Dengan pengertian demikian maka cakupan sistem peradilan pidana sebagai berikut: (a) mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, (b) menyelesaikan kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, serta (c) berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi perbuatannya. Komponenkomponen yang bekerjasama dalam sistem ini adalah terutama instansi-instansi (badan-badan) yang kita kenal dengan nama: kepolisian - kejaksaan - pengadilan dan pemasyarakatan.73 Masing-masing sub-sistem dalam sistem peradilan pidana tersebut (kepolisian - kejaksaan - pengadilan - pemasyarakatan) sering terlalu dipengaruhi oleh tujuan-tujuan sendiri, dan mudah melupakan adanya tujuan bersama keseluruhan sistem (yang biasanya digariskan dalam kebijakan kriminal atau ”criminal policy” pemerintah). Pendekatan keterpaduan (integrated approach) yang diharapkan itu, masih harus lebih dibuktikan lagi dalam pelaksanaan hasil-hasil pertemuan bersama yang dikenal sebagai rapat kerja Makehjapol (Mahkamah Agung, Kehakiman, Kejaksaan Agung dan Polri). Melalui pertemuan-pertemuan semacam ini, harus dihasilkan kebijakan-kebijakan penegakan hukum yang jelas yang disepakati dan dilaksanakan secara konsisten oleh semua sub-sistem. Disamping itu tentu harus ada jaminan bahwa kebijakankebijakan tadi benar-benar ditaati pelaksanaannya oleh masing-masing subsistem. Kepastian (pelaksanaan) hukum semacam inilah yang antara lain diharapkan masyarakat, misalnya dalam penanggulangan masalah korupsi.74 Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, maka ada tiga kerugian yang dapat diperkirakan:75 1) kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama; 2) kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah(-masalah) pokok masing-masing instansi (sebagai sub-sistem dari sistem peradilan pidana); dan
72
Mardjono Reksodiputro. “Mengembangkan Pendekatan Terpadu Dalam Sistem Peradilan Pidana (Suatu Pemikiran Awal)”. Op Cit. hal. 140. 73 Ibid. 140-141. 74 Mardjono Reksodiputro. “Menumbuhkan dan Mengembangkan Disiplin Nasional (Suatu Perspektif Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana)”. Op. Cit. hal. 138-139. 75 Mardjono Reksodiputro. “Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan)”. Op. Cit. hal. 85. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
40
3) karena tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana. Menurut Barda Nawawi Arief, Sistem Peradilan Pidana pada hakikatnya merupakan ”sistem kekuasaan menegakkan hukum pidana” yang diwujudkan dalam 4 (empat) subsistem yaitu: 1. Kekuasaan ”Penyidikan” (oleh Badan/Lembaga Penyidik) 2. Kekuasaan ”Penuntutan” (oleh Badan/Lembaga Penuntut Umum) 3. Kekuasaan ”Mengadili dan Menjatuhkan putusan/pidana” (oleh Badan Pengadilan) 4. Kekuasaan
”Pelaksanaan
Putusan
Pidana”
(oleh
Badan/Aparat
Pelaksana/Eksekusi) Keempat tahap atau subsistem itu merupakan satu kesatuan Sistem Penegakan Hukum Pidana yang integral atau yang sering dikenal dengan istilah ”Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System)”.76 Lebih lanjut Mardjono Reksodiputro menerangkan bahwa desain prosedur (procedural design) sistem peradilan pidana (SPP) dapat dibagi tiga: (a) tahap pra-adyudikasi (pre-adjudication), (b)tahap adyudikasi (adjudication), dan (c) tahap pasca-adyudikasi (post-adjudication). Ketiga urutan tersebut memang menunjukkan desain prosedur, tetapi belum jelas adalah tahap mana dari ketiga tahap tersebut yang dominan. Sebenarnya bilamana kita tengok kembali diskusi-diskusi yang “alot” pada penyusunan KUHAP 1981, sudah terasa bagaimana adanya gesekan dan benturan antara “kewenangan penyidikan”
atau
“investigation
(police)
powers”
dengan
kewenangan
penuntutan/pendakwaan” atau “prosecutorial (public prosecutor) powers”.77 2.2.3. Kedudukan Kejaksaan Dalam Peradilan Pidana 2.2.3.1. Sebagai Penuntut Umum 76
Barda Nawawi Arief. Kapita Selekta Hukum Pidana Tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu. Semarang: Badan Penerbit Universitas Dipenogoro, 2006. hal. 20. 77 Mardjono Reksodiputro. 2010. Op Cit. hal. 4-5. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
41
Kedudukan kejaksaan dalam peradilan pidana di Indonesia mengalami pergeseran sejalan dengan pergeseran tugas dan kewenangan yang dimilikinya. Dalam kaitannya dengan peradilan pidana, tugas dan kewenangan kejaksaan diatur dalam hukum acara pidana, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sementara dalam kaitannya dengan kelembagaannya sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Dari masing-masing peraturan perundangundangan tersebut pada prinsipnya merupakan hasil perkembangan dari peraturan perundang-undangan sebelumnya. Untuk memahami kedudukan kejaksaan dalam peradilan pidana tidak lepas dari pemahaman terhadap undang-undang yang mengaturnya tersebut. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyebutkan sebagai berikut: ”Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam UndangUndang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.” Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyebutkan: ”Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undangundang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.” Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyebutkan: ”Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.” Pelaksanaan kekuasaan negara dibidang penuntutan diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri, dan Cabang Kejaksaan Negeri. Dengan demikian, kedudukan kejaksaan dalam peradilan pidana bersifat menentukan karena merupakan jembatan yang menghubungkan tahap penyidikan dengan tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Berdasarkan peraturan yang Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
42
berlaku di Indonesia, setiap orang baru bisa diadili jika ada tuntutan pidana dari penuntut umum. Dalam melakukan penuntutan, jaksa bertindak untuk dan atas nama negara, sehingga jaksa harus bisa menampung seluruh kepentingan masyarakat, negara, dan korban kejahatan agar bisa dicapai rasa keadilan masyarakat. Hampir di setiap yurisdiksi, jaksa itu merupakan tokoh utama dalam penyelenggaraan peradilan pidana karena jaksa memainkan peranan penting dalam proses pembuatan keputusan pengadilan. Bahkan, di negara-negara yang memberi wewenang kepada jaksa untuk melakukan penyidikan sendiri, jaksa tetap memiliki kebijakan (diskresi) penuntutan yang luas. Jaksa memiliki kekuasaan yang luas, apakah suatu perkara akan dilakukan penuntutan ke pengadilan atau tidak. Kedudukan jaksa yang demikian penting itu, oleh Harmuth Horstkotte, seorang Hakim Tinggi Federasi Jerman, memberikan julukan kepada jaksa sebagai bosnya proses perkara (master of the procedure), sepanjang perkaranya itu tidak diajukan ke muka pengadilan.78 Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa jaksa dengan berbagai sistem penuntutan tidak tertutup kemungkinan untuk mengambil kebijakan (diskresi) dalam menyelesaikan perkara. Kedudukan jaksa di berbagai yurisdiksi sebenarnya jaksa itu ”setengah hakim” (semi-judge) atau seorang ”hakim semu” (quasijudicial officer). Itulah sebabnya jaksa boleh mencabut dakwaan atau menghentikan proses perkara, bahkan diskresi putusan berupa tindakan penghentian penuntutan, penyampingan perkara, dan transaksi. 79 Fungsi yuridis semu jaksa itu berasal dari peran dan fungsi jaksa yang bersifat ganda karena sebagai jaksa: ”mempunyai kekuasaan dan wewenang yang berfungsi sebagai administrator dalam penegakan hukum yang merupakan fungsi eksekutif, sementara itu ia harus membuat putusan-putusan agak bersifat yustisial yang menentukan hasil suatu perkara pidana, bahkan hasilnya final”.80 Menurut Stanley Z. Fisher, sebagai admintrator penegakan hukum, jaksa bertugas menuntut yang bersalah; menghindarkan keterlambatan dan tunggakan78
R.M. Surachman dan Andi Hamzah. Op. Cit. hal. 6-7. Ibid. hal. 11. 80 Ibid. hal. 11-12. 79
Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
43
tunggakan perkara yang tidak perlu terjadi; karena ia mempunyai kedudukan sebagai pengacara masyarakat yang penuh antusias. Berdasarkan kedudukan jaksa sebagai pengacara masyarakat tersebut, ia akan senantiasa mengusahakan jumlah penghukuman oleh hakim yang sebanyak-banyaknya sementara sebagai ”setengah hakim” atau sebagai ”hakim semu”, jaksa juga harus melindungi yang tidak bersalah dan mempertimbangkan hak-hak tersangka. Untuk melakukan tugastugas tersebut, jaksa diberi wewenang menghentikan proses perkara sehingga jaksa harus berperilaku sebagai seorang pejabat yang berorientasi pada hukum acara pidana dan memiliki moral pribadi yang tinggi sekali.81 2.2.3.2. Sebagai Penyidik Dalam kaitannya dengan penyidikan tindak pidana korupsi, selain sebagai lembaga penuntut umum, kejaksaan bertindak sebagai lembaga penyidik. Ketentuan yang mendasari hal tersebut adalah Pasal 284 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi: ”Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana disebutkan pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.” Berdasarkan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia beserta penjelasannya, dan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP beserta penjelasannya, kejaksaan berwenang untuk menyidik tindak pidana korupsi. Di satu sisi, KUHAP memisahkan fungsi penyidikan dan penuntutan, kecuali terhadap tindak pidana tertentu (Tindak Pidana Ekonomi dan Tindak Pidana Korupsi), namun di sisi lain, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, kejaksaan diberi lagi kewenangan untuk menyidik pelanggaran HAM berat [sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), dan Pasal 21 ayat (1)], bahkan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
81
Ibid. hal. 12. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
44
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, kejaksaan juga diberikan kewenangan untuk menyidik tindak pidana pencucian uang (sebagaimana diatur dalam Pasal 74), hal tersebut menunjukkan eksistensi kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana tertentu yang ditentukan oleh undang-undang. Mengenai kewenangan penyidikan dan penuntutan, Mardjono Reksodiputro memandang terdapat beberapa kekeliruan di Indonesia, diantaranya yang ingin beliau luruskan adalah sebagai berikut:82 - Kepolisian dan Kejaksaan harus bekerjasama dalam proses SPP, secara “in tandem” (keduanya bekerjasama secara erat). Bagian Kepolisian yang mempunyai wewenang penyidikan, sebagai ahli dengan wewenang upayapaksa yang diberi undang-undang, hanya “Divisi Reserse Kriminal (Reskrim)” (Bel : de rechterlijke politie, Ing : criminal investigation division – CID). Dan kalau divisi ini dahulu dinamakan “hulp-magistraat” (magistrat-pembantu), jangan merasa “terhina”. Ini sekedar “istilah” dan bukan untuk merendahkan Kepolisian, seperti juga ada istilah “magistrat – duduk” (hakim) dan “magistrat berdiri” (penuntut umum). Mungkin tidak akan merasa “terhina” kalau pejabat reskrim dinamakan sebagai “magistrat-pendamping”. - Tidak dikenal “monopoli” wewenang kepolisian (police powers), karena publik juga punya wewenang kepolisian (terutama dalam hal “tertangkap tangan”), begitu pula : instansi Imigrasi, instansi Bea Cukai, instansi Pajak, dan instansiinstansi lain yang ditentukan oleh undang-undang. Tidak pula dikenal “monopoli” wewenang pendakwaan (prosecutorial powers). Dalam KUHAP untuk tindak pidana ringan, kepolisian dapat mendakwa di pengadilan. Di luar negeri dikenal adanya
“private prosecutor”
(disamping “state/public
prosecutor”) atau “special prosecutor” (dalam hal tersangka/terdakwa adalah hakim, menteri atau presiden). Di Inggris ”prosecution” diserahkan oleh Directorate of Prosecution kepada Advokat Swasta (Barrister). - Perbedaan wewenang kepolisian dengan wewenang penuntut umum/kejaksaan, harus dilihat dalam pengertian “division of powers” (pembagian kewenangan) dan bukan “separation of powers” (pemisahan kewenangan). Tujuan 82
Mardjono Reksodiputro. Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Revisi 26 Januari dan 21 April 2010). Op. Cit. hal. 7-8. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
45
pembagian kewenangan ini adalah untuk “saling mengawasi” (check and balances). Saling mengawasi dalam kewenangan berimbang, dengan tujuan sinergi (disinilah letak pengertian SPP Terpadu). 2.3. Dasar Pemikiran Kewenangan Kejaksaan Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Dilihat dari aspek kebijakan hukum pidana (penal policy), sasaran dari hukum pidana tidak hanya mengatur perbuatan warga masyarakat pada umumnya, tetapi
juga
mengatur
perbuatan
(dalam
arti
”kewenangan/kekuasaan”)
penguasa/aparat penegak hukum.83 Lebih lanjut Barda Nawawi Arif menyatakan bahwa: ”Dilihat dari pengertian pidana dalam arti luas (yaitu pidana dilihat sebagai suatu proses), maka kewenangan penyidikan pada hakikatnya merupakan bagian juga dari kewenangan pemidanaan.”84 Penyidikan suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian opsporing (Belanda) dan investigation (Inggris) atau penyiasatan atau siasat (Malaysia).85 Dalam KUHAP, definisi penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan merurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.86 Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.87 Menurut Andi Hamzah, bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagai berikut:88 1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik. 2. Ketentuan tentang diketahuinya terjadinya delik. 83
Barda Nawawi Arief. “Kebijakan Legislatif Tentang Kewenangan Penyidikan Dalam Konteks Kebijakan Penegakan Hukum Pidana”. Masalah-Masalah Hukum (Edisi I). FH UNDIP: Mei-Juni 1998. 84 Ibid. 85 Andi Hamzah. 2002. Op. Cit. hal. 118. 86 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Op Cit. Pasal 1 angka 2. 87 Ibid. Pasal 1 angka 1. 88 Andi Hamzah. 2002. Op. Cit. hal. 118-119. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
46
3. Pemeriksaan di tempat kejadian. 4. Pemanggilan tersangka. 5. Penahanan sementara. 6. Penggeledahan. 7. Pemeriksaan atau interogasi. 8. Berita acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat) 9. Penyitaan. 10. Penyampingan perkara. 11. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan. Sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penyidikan tindak pidana korupsi dilakukan oleh kejaksaan. Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yaitu setelah Agustus 1999, kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi memiliki keragaman pemahaman. Di satu sisi, ada yang beranggapan bahwa Polri yang berwenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Namun di sisi lain, dengan bertitik tolak dari ide bahwa materi tindak pidana korupsi sebagai bagian dari hukum pidana khusus (ius speciale, ius singulare/bijzonder strafrecht), sebenarnya kejaksaan yang memiliki wewenang penyidikan tindak pidana korupsi. Loebby Loqman mengemukakan bahwa sejak dirancangnya UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disadari bahwa undang-undang tersebut merupakan undang-undang pidana khusus, yaitu Undang-Undang Hukum Pidana yang sekaligus mengatur substansi maupun hukum acara pidana di luar KUHP dan KUHAP.89 Ketentuan hukum pidana dapat dikategorikan menjadi hukum pidana umum (ius commune) dan hukum pidana khusus (ius singulare, ius speciale, atau bijzonder strafrecht). Ketentuan hukum pidana umum dimaksudkan berlaku secara umum, seperti termaktub dalam KUHP, sedangkan yang dimaksud dengan
89
Loebby Loqman. Masalah Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, 1999. hal. 5. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
47
ketentuan hukum pidana khusus menurut Pompe A. Nolten, Sudarto, dan E.Y. Kanter90 diartikan sebagai ketentuan hukum pidana yang mengatur kekhususan subyek dan perbuatan yang khusus (bijzonder lijk feiten). Tindak pidana korupsi sebagai bagian dari tindak pidana khusus juga memiliki kekhususan dalam hukum acaranya. Apabila dibuat perbandingan antara Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, dan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni sebagai berikut: - Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: ”Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di sidang Pengadilan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.” - Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi: ”Aturan-aturan mengenai pengusutan dan penuntutan menurut peraturan biasa, berlaku bagi perkara korupsi, sekedar tidak ditentukan lain dalam peraturan ini.” - Pasal 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: ”Penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dijelaskan menurut
ketentuan-ketentuan
yang
berlaku,
sekedar
tidak
ditentukan lain dalam undang-undang ini.” Memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dapat dibandingkan bahwa redaksionalnya hampir sama. Korupsi sebagai bagian dari hukum pidana khusus, maka mempunyai hukum acara khusus yang menyimpang dari ketentuan hukum acara pidana pada umumnya. Dengan demikian, menggunakan hukum acara pidana yang bersifat khusus (lex specialist). Penyimpangan-penyimpangan 90
Lilik Mulyadi. Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan khusus Terhadap Proses Penyidikan, Penuntutan, Peradilan Serta Upaya hukumnya Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000. hal. 1. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
48
tersebut
dimaksudkan untuk
mempercepat
prosedur
dan
mempermudah
penyidikan, penuntutan, serta pemeriksaan di sidang pengadilan serta dalam rangka pembuktiannya. Sementara kekhususan hukum acara menurut UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah sebagai berikut: a. Proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan mendapatkan prioritas untuk didahulukan dan mendapatkan penyelesaian secepatnya.91 b. Perkara korupsi yang sulit pembuktiannya dapat dibentuk tim gabungan dibawah koordinasi Jaksa Agung.92 c. Demi kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberikan keterangan terhadap seluruh harta bendanya, istri, suami maupun anak yang diduga diperoleh dari korupsi.93 d. Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan berwenang untuk meminta keterangan dari bank dan Gubernur BI berkewajiban untuk memenuhi permintaan itu.94 e. Saksi dilarang menyebut identitas pelapor.95 f. Jaksa Pengacara Negara dapat melakukan gugatan perdata.96 g. Dapat diselenggarakan peradilan in-absentia dalam hal terdakwa tidak hadir di sidang pengadilan setelah dipanggil secara sah.97 h. Jaksa Agung mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam hal korupsi dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan militer.98 Polemik pemahaman tentang siapa yang berwenang untuk menyidik tindak pidana korupsi disebabkan oleh ketidakjelasan dari ketentuan Pasal 26 Undang91
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874. Pasal 25. 92 Ibid. Pasal 27. 93 Ibid. Pasal 28. 94 Ibid. Pasal 29 ayat (1) s/d (5). 95 Ibid. Pasal 31 ayat (1). 96 Ibid. Pasal 32. 97 Ibid. Pasal 38. 98 Ibid. Pasal 39. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
49
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi sebagai berikut: ”Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di sidang Pengadilan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”. Pasal tersebut tidak menjelaskan secara tegas lembaga mana yang berwenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Dengan bertitik tolak dari polemik kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi tersebut, maka pembahasan berikut difokuskan pada asumsi-asumsi yang mendasari pemahaman bahwa kejaksaan berwenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Argumen-argumen yang mendasari pemikiran bahwa kejaksaan berwenang melakukan penyidikan antara lain sebagai berikut: 1) Aspek Filosofis Kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia berkaitan dengan ide-ide keadilan masyarakat dalam mempercepat pemberantasan tindak pidana korupsi yang oleh sebagian besar kalangan dianggap sebagai kejahatan serius yang dapat mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi. Dengan demikian wewenang penyidikan dan penuntutan yang dimiliki kejaksaan dalam penanganan tindak pidana korupsi dimaksudkan agar terdapat kesatuan tindak dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Dalam hubungannnya dengan hukum acara pidana, penyidikan dan penuntutan merupakan satu kesatuan yang dikenal dengan Sistem Peradilan Pidana Terpadu (integrated criminal justice system) yang merupakan sistem yang tidak menjurus pada pengkotak-kotakan fungsi yang mengakibatkan lambannya penyelesaian tindak pidana. 2) Aspek Historis
Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
50
Kejaksaan telah melakukan penyidikan tindak pidana korupsi sejak masa berlakunya Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) sampai dengan saat ini. Secara historis kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi tersebut pada pokoknya dapat diuraikan sebagai berikut: a) Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan
Sementara
Untuk
Menyelenggarakan
Kesatuan
Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil, yang bertujuan untuk mengatur kembali adanya pengadilan di Indonesia. Sejak saat itu HIR mempunyai peranan yang penting karena HIR merupakan hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. b) Pada
masa
HIR
penyidikan
merupakan
bagian
dari
penuntutan.
Kewenangan yang demikian menjadikan penuntut umum (jaksa) sebagai koordinator penyidikan bahkan dapat melakukan sendiri penyidikan.99 c) Pada tahun 1961, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, mengatur secara tegas tentang tugas dan wewenang kejaksaan dalam penyidikan.100 d) Pada tahun 1971, disahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana secara tegas dinyatakan bahwa Jaksa Agung selaku penegak hukum dan penuntut umum tertinggi memimpin/mengkoordinir
tugas
kepolisian
represif/yustisial
dalam
penyidikan perkara-perkara korupsi.101 e) Pada tahun 1981 dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka HIR tidak berlaku dan terjadi perubahan yang fundamental dibidang penyidikan. KUHAP mengatur wewenang penyidikan dan penyidikan lanjutan dalam perkara pidana umum sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 38, 39, dan 46 HIR ditiadakan. Namun demikian, wewenang kejaksaan untuk melakukan 99
Lihat Pasal 38 jo. Pasal 39 jo. Pasal 46 ayat (1) HIR. Lihat Pasal 2 jo. Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia. 101 Lihat Pasal 3 jo. Pasal 26 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Universitas Indonesia 100
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
51
penyidikan dalam tindak pidana tertentu seperti tindak pidana ekonomi dan korupsi masih tetap ada.102 f) Pada tahun 1991 dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, kejaksaan masih memiliki wewenang penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. g) Selanjutnya dalam perkembangan penegakan hukum setelah berlakunya KUHAP, kewenangan penyidikan yang diberikan kepada kejaksaan diatur lebih lanjut dengan dikeluarkannya beberapa peraturan perundangundangan, antara lain sebagai berikut: - Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bebas Dan Bersih Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme; - Pasal 26 jo. Pasal 39 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; - Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), dan Pasal 21 ayat (1) UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia; - Pasal 44 ayat (4) dan (5), serta Pasal 50 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; - Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia; - Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 3) Aspek Sosiologis Sampai saat ini masyarakat masih memberikan kepercayaan dan menaruh harapan yang besar kepada kejaksaan sebagai lembaga pemerintah guna menangani tindak pidana korupsi, bahkan hampir setiap hari Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri, hingga Cabang Kejaksaan Negeri di seluruh Indonesia menerima unjuk rasa dari masyarakat guna menuntut dan mendorong kejaksaan untuk segera menyelesaikan dan menuntaskan perkara tindak pidana korupsi baik yang dilakukan oleh pejabat eksekutif, legislatif, 102
Lihat Pasal 284 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana beserta penjelasannya. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
52
dan yudikatif, serta para pelaku korupsi lainnya. Sehingga peran serta masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dapat terlihat dari laporan pengaduan masyarakat kepada kejaksaan (baik di pusat maupun di daerah), dan berdasarkan data yang ada pada Kejaksaan Agung sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2010 tercatat sebanyak 6.892 laporan pengaduan.103 4) Aspek Lingkungan Strategis Saat ini sistem spesialisasi fungsi yang memisahkan penyidikan dan penuntutan sudah tertinggal dari perkembangan dinamika masyarakat, dimana tuntutan strategis nasional maupun global lebih mengedepankan pendekatan masalah, dan saat ini pemberantasan korupsi internasional selalu meletakkan Jaksa Agung sebagai leading sector. Peran penting Jaksa Agung sebagai leading sector mengacu pada butir 11 Guidelines on the Role of Prosecutors, Eighth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, Havana, 27 August to 7 September 1990, dimana disebutkan bahwa: “Prosecutors shall perform an active role in criminal proceedings, including institution of prosecution and, where authorized by law or consistent with local practice, in the investigation of crime, supervision over the legality of these investigations, supervision of the execution of court decision and the exercise of other functions as representatives of the public interest.”104 Selain itu, dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi yang semakin meningkat, para wakil rakyat (DPR/MPR) beserta dengan Presiden Republik Indonesia telah mengeluarkan kebijakan penanganan pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme antara lain sebagai berikut: a) TAP MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. b) Instruksi Presiden Nomor 30 Tahun 1998 tanggal 2 Desember 1998 tentang Pemberantasan KKN yang pada pokoknya berisi antara lain, Presiden menginstruksikan Jaksa Agung untuk segera mengambil tindakan, proaktif, efektif dan efisien dalam memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme guna 103
Sumber: elaborasi Rekapitulasi Data Laporan Pengaduan Tindak Pidana Korupsi (Kejaksaan Agung Republik Indonesia). 104 http://defensewiki.ibj.org/index.php/Guidelines_on_the_Role_of_Prosecutors. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
53
memperlancar dan meningkatkan pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka terwujudnya tujuan nasional bangsa Indonesia. c) Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang ditujukan antara lain kepada Jaksa Agung untuk: - Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara. - Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam rangka penegakan hukum. - Meningkatkan kerja sama dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana korupsi. d) Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang pada pokoknya berisi antara lain: - Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor) terdiri dari unsur Kejaksaan, Polri, dan BPKP, dimana dalam pelaksanaan tugasnya dipimpin oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus; - Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor) antara lain bertugas melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai ketentuan hukum acara pidana yang berlaku terhadap kasus dan/atau indikasi tindak pidana korupsi.
5) Aspek Yuridis Kewenangan penyidikan kejaksaan diatur dalam beberapa ketentuan sebagai berikut: 1. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
54
”Penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dijalankan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku, sekedar tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.” 2. Pasal 284 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP): ”Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan/atau dinyatakan tidak berlaku lagi.” Eksistensi Pasal 284 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan dasar lanjutan untuk memperkokoh kewenangan penyidikan yang dilakukan oleh kejaksaan sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam Penjelasan Umum butir 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, yang menyebutkan ”Kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk melakukan penyidikan, misalnya Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. 3. Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP: ”Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh Penyidik Jaksa dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.” Dalam Penjelasan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, dinyatakan bahwa: ”Wewenang penyidikan dalam tindak pidana tertentu yang diatur secara khusus oleh undang-undang tertentu dilakukan Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
55
oleh penyidik, jaksa dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundangundangan. Bagi penyidik dalam Perairan Indonesia, zona tambahan, Landas kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, penyidikan dilakukan oleh perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dan pejabat penyidik lainnya yang ditentukan oleh undangundang yang mengaturnya.” 4. Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme: ”Apabila dalam hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditemukan petunjuk adanya korupsi, kolusi atau nepotisme, maka hasil pemeriksaan tersebut disampaikan kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk ditindaklanjuti.” Dalam Penjelasan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme, dinyatakan bahwa: ”Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk mempertegas atau menegaskan perbedaan yang mendasar antara tugas Komisi Pemeriksa selaku pemeriksa harta kekayaan Penyelenggara Negara dan fungsi Kepolisian dan Kejaksaan. Fungsi pemeriksaan yang dilakukan oleh Komisi Pemeriksa sebelum seseorang diangkat selaku pejabat negara adalah bersifat pendataan, sedangkan pemeriksaan yang dilakukan sesudah pejabat negara selesai menjalankan jabatannya bersifat evaluasi untuk menentukan ada atau tidaknya petunjuk tentang korupsi, kolusi dan nepotisme. Yang dimaksud dengan petunjuk dalam pasal ini adalah faktafakta atau data yang menunjukkan adanya unsur-unsur korupsi, kolusi dan nepotisme. Yang dimaksud instansi yang berwenang adalah Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Kejaksaan Agung dan Kepolisian.” 5. Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: ”Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.” Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
56
Pasal 27 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: ”Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan dibawah koordinasi Jaksa Agung.” 6. Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: ”(4) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi berpendapat bahwa perkara tersebut diteruskan, Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan penyidikan sendiri atau dapat melimpahkan perkara tersebut kepada penyidik kepolisian atau kejaksaan. (5) Dalam hal penyidikan dilimpahkan kepada kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepolisian atau kejaksaan wajib melaksanakan koordinasi dan melaporkan perkembangan penyidikan kepada Komisi Pemberantasan korupsi.” Pasal 50 ayat (1), (2), (3), dan (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: ”(1) Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan korupsi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan. (2) Penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan koordinasi secara terus menerus dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. (3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan. (4) Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisan dan/atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan.” 7. Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia: ”Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan untuk kepentingan penyidikan terhadap seseorang Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
57
yang diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berdasarkan bukti permulaan yang cukup.” Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia: ”Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut umum berwenang melakukan
penahanan
atau
penahanan
lanjutan
untuk
kepentingan penyidikan dan penuntutan.” Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia: ”Penyidikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung.” 8. Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia: ”(1) Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.” Dalam Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dinyatakan bahwa: ”Kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.” 9. Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang: ”Penyidikan tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut undang-undang ini.” Dalam Penjelasan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dinyatakan sebagai berikut: Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
58
”Yang dimaksud dengan ”penyidik tindak pidana asal” adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisan Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana pencucian uang saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai kewenangannya.” 10. Kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan ditegaskan oleh beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung, antara lain sebagai berikut: a) Putusan Mahkamah Agung Nomor 1148 K/Pid/2003 tanggal 10 Januari 2005, dalam perkara Tindak Pidana Korupsi atas nama terdakwa Drs. Anisi SY Roni yang didakwa oleh Kejaksaan Negeri Ciamis melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. Putusan Mahkamah Agung pada pokoknya menyatakan berdasarkan Penjelasan Pasal 27 huruf c Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 yang menunjuk Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, adalah merupakan dasar hukum terhadap keberadaan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sehingga dengan demikian Jaksa adalah Penyidik. b) Putusan Mahkamah Agung Nomor 1205 K/Pid/2003 tanggal 10 Oktober 2005, dalam perkara tindak pidana korupsi atas nama terdakwa Ade Rachlan yang didakwa oleh Kejaksaan Negeri Ciamis melangar Pasal 9 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 416 KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP. Putusan Mahkamah Agung pada pokoknya menyatakan berdasarkan ketentuan yang diatur didalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka Jaksa
mempunyai
kewenangan
untuk
melakukan
penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
59
c) Putusan Mahkamah Agung Nomor 1050 K/Pid/2003 tanggal 7 Juni 2006, dalam perkara Tindak Pidana Korupsi atas nama Terdakwa Drs. Muhammad Ramly Hamid yang didakwa oleh Kejaksaan Negeri Mamuju melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 ayat (1) sub b UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Putusan Mahkamah Agung pada pokoknya menyatakan bahwa selain KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981), Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 mengatur tentang penyidikan tindak pidana korupsi dimana Jaksa juga berwenang selaku Penyidik dan Penuntut atas perkara tindak pidana korupsi. 11. Kewenangan kejaksaan untuk menyidik juga ditegaskan kembali melalui Fatwa
Ketua
Mahkamah
Agung
Republik
Indonesia
Nomor
KMA1102/1/2005 yang pada pokoknya menyatakan bahwa ”berdasarkan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang”.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, pada pokoknya dapat disimpulkan bahwa sampai dengan saat ini kejaksaan memiliki kewenangan melakukan penyidikan tindak pidana tertentu, diantaranya adalah tindak pidana korupsi.
Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
BAB 3 KEWENANGAN KEJAKSAAN DI BEBERAPA NEGARA
3.1. Perbandingan Hukum Esensi studi perbandingan hukum adalah mempelajari hukum asing (foreign law), dan untuk mempelajari hukum asing dengan baik, diperlukan pemahaman mengenai keluarga-keluarga hukum (legal families). Keluarga hukum, yaitu suatu upaya pengelompokkan pelbagai hukum yang berbeda-beda ke dalam suatu sistem klasifikasi tertentu, didasarkan atas unsur-unsur fundamental, akan tetapi tanpa memperhatikan persamaan dan perbedaan di dalamnya.105 Ada pendapat yang membedakan antara Comparative Law dengan Foreign Law, yaitu:106 - Comparative Law Mempelajari
berbagai
sistem
hukum
asing
dengan
maksud
untuk
membandingkannya; - Foreign Law Mempelajari hukum asing dengan maksud semata-mata mengetahui sistem hukum asing itu sendiri dengan tidak secara nyata bermaksud untuk membandingkannya dengan sistem hukum yang lain. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan tersebut di atas, dalam bab ini penulisan dibatasi hanya sebatas dalam pengertian Foreign Law, yakni mempelajari hukum asing dengan maksud semata-mata mengetahui sistem hukum asing itu sendiri dengan tidak secara nyata bermaksud untuk membandingkannya dengan sistem hukum yang lain. 3.2. Sistem Penuntutan
Untuk memahami fungsi kejaksaan secara utuh, tidak bisa dihindari perlunya mempelajari sistem penuntutan yang dianut oleh negara-negara lain. 105
Romli Atmasasmita. Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer. Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2009. hal. ix. 106 Barda Nawawi Arief. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006. hal. 3.
60 Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
61
Dalam hal ini difokuskan pada dua legal families sistem hukum yang paling banyak dianut, yaitu sistem Eropa Kontinental (civil law) dan sistem Anglo-Saxon (common law). Negara-negara yang pernah menjajah sebagian besar negara-negara di Asia dan Afrika menganut sistem Eropa Kontinental (civil law) dan Sistem AngloSaxon (common law), dengan sendirinya sistemnya diperkenalkan pada wilayah jajahannya. Misalnya, Indonesia dan Malaysia merupakan bangsa serumpun namun sistem hukumnya berbeda. Indonesia menganut sistem Eropa Kontinental (civil law) sebagaimana halnya sistem yang dianut oleh negara yang menjajahnya, yakni Belanda. Sedangkan Malaysia menganut sistem Anglo-Saxon (common law) sebagaimana halnya sistem yang dianut oleh negara yang menjajahnya, yakni Inggris.107 Negara-negara yang menganut sistem Eropa Kontinental (civil law) adalah Belanda, Argentina, Austria, Belgia, Brazil, Kroasia, Denmark, Prancis, Jerman, Italia, Norwegia, Rusia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Vietnam, dan lain-lain.108 Negara-negara yang menganut sistem Anglo-Saxon (common law) adalah Inggris dan Wales, Australia, Kanada, Republik Irlandia, Irlandia Utara, Amerika Serikat, dan lain-lain.109 Menurut Andi Hamzah, mengenai peranan jaksa berkaitan dengan penyidikan, ada 4 (empat) kelompok yang dianut oleh berbagai negara, yaitu:110 - Jaksa memiliki wewenang penyidikan tindak pidana, seperti kejaksaan di Belanda, Prancis, Jerman, Austria, Jepang, dan Korea; - Jaksa memiliki wewenang penyidikan tindak pidana tertentu, seperti kejaksaan di Rusia, Georgia, Thailand, dan China;
107
Andi Hamzah. 2002. Op. Cit. hal. 30. 108 Ade Maman Suherman. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004. hal. 325. 109 Ibid. hal. 100. 110 Andi Hamzah. “Penyampaian Masukan Rencana Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia”. Disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Badan Legislasi DPR RI, tanggal 9 Februari 2011. Catatan: Wewenang Jaksa Agung (Attorney General) Amerika Serikat adalah yang paling powerful di dunia, wewenangnya sama dengan wewenang Jaksa Agung RI ditambah wewenang Kapolri dan ditambah dengan wewenang Menteri Hukum HAM RI minus Imigrasi. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
62
- Jaksa tidak memiliki wewenang penyidikan namun diberikan wewenang supervisi penyidikan tindak pidana, seperti kejaksaan di Inggris dan Wales; - Jaksa tidak memiliki wewenang penyidikan dan supervisi penyidikan tindak pidana, seperti kejaksaan di Malta. Dalam kaitan dengan kebijakan penuntutan yang berkaitan dengan penyidikan tersebut, tahun 1999 di Bangkok dalam The Asia Crime Prevention Foundation (ACPF) Working Group Meeting on “The Role of the Prosecutor in the Changing World”, dikelompokkan peran kejaksaan dalam dua sistem yang dianut oleh kejaksaan di berbagai negara, yaitu:111 1) Mandatory Prosecutorial System Jaksa dalam menangani suatu perkara hanya berdasarkan alat-alat bukti yang sudah ada dan tidak terhadap hal-hal yang diluar yang sudah ditentukan, kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu. 2) Discretionary Prosecutorial System Jaksa dapat melakukan berbagai kebijakan tertentu dan bisa mengambil berbagai tindakan dalam penyelesaian/penanganan suatu perkara. Dalam sistem ini, Jaksa dalam mengambil keputusan, selain mempertimbangkan alat-alat bukti yang ada, juga mempertimbangkan faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya suatu tindak pidana, keadaan-keadaan dimana tindak pidana itu dilakukan, atribut-atribut pribadi dari terdakwa dan korban, tingkat penyesalan terdakwa, tingkat pemaafan dari korban, dan pertimbangan-pertimbangan kebijakan publik. Hal yang sangat penting dalam sistem penuntutan adalah tentang kebijakan penuntutan, yaitu keputusan untuk menuntut atau tidak menuntut oleh jaksa (policy of prosecution). Dalam sistem Anglo-Saxon (common law) tidak dikenal sistem oportunitas dan legalitas secara resmi, kebijakan penuntutan bervariasi antara satu negara dengan negara lainnya. Misalnya, Inggris dan Wales mempraktekkan penyampingan perkara demi kepentingan umum. Kepentingan
111
Marwan Effendy. Op. Cit. hal. 86. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
63
umum diartikan luas, termasuk anak dibawah umur dan orang yang sudah lanjut usia.112 3.2.1. Sistem Penuntutan di Negara-Negara yang Menganut Asas Oportunitas Negara-negara yang menganut asas oportunitas diantaranya adalah Prancis, Belanda, Norwegia, Denmark, Swedia, Jepang, Korea Selatan, Indonesia, Israel, dan lain-lain.113 Belanda
menerapkan
asas
oportunitas,
dimana
dalam
prakteknya
mengartikan asas oportunitas sebagai “jaksa boleh memutuskan untuk menuntut dengan syarat atau tanpa syarat”. Kedudukan jaksa (Officier van Justitie) di Belanda sangat kuat, sehingga sering disebut sebagai semi judge (setengah hakim), karena kebebasannya secara individual untuk menuntut atau tidak menuntut. Meskipun mendapat kritikan, seakan-akan sistem ini mengurangi kepastian hukum, Belanda bangga akan sistemnya daripada sistem di Jerman yang mengharuskan jaksa menuntut setiap perkara yang ada padanya. Karena luasnya wewenang dan kebebasan jaksa di Belanda menyebabkan proses perkara pidana menjadi singkat. Seorang jaksa seringkali meminta hakim komisaris untuk pemeriksaan pendahuluan, apabila kurang alasan untuk menuntut lebih lanjut, jaksa akan kesampingkan perkaranya. Jaksa juga dapat menyampingkan perkara berdasarkan undang-undang, meskipun cukup bukti apabila dipandang penuntutan akan merugikan kepentingan umum, pemerintah, dan individual.114 Peranan yang sangat penting jaksa di Belanda dalam penuntutan, sama halnya dengan jaksa di Jepang dan Korea Selatan, yaitu pada akhir pemeriksaan sidang sebelum putusan dijatuhkan, jaksa membacakan tuntutan (requisitoir), dimana pada bagian akhir requisitoir diuraikan tentang hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa, kemudian meminta pidana tertentu yang akan dijatuhkan oleh hakim. Peranan jaka tersebut merupakan filter terhadap putusan hakim. Jaksa tidak dapat mendesak hakim untuk mengikuti tuntutannya, namun hakim juga tidak dapat mengabaikan begitu saja permintaan pidana oleh jaksa, karena apabila putusan tidak sesuai dengan tuntutan, jaksa berwenang untuk 112
Andi Hamzah. 2002. Op. Cit. hal. 32. R.M. Surachman dan Andi Hamzah. Op. Cit. hal. 15. 114 Andi Hamzah. 2002. Op. Cit. hal. 35-36. 113
Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
64
melakukan upaya hukum. Disinilah letak peranan jaksa yang sangat menentukan dalam keseluruhan proses peradilan pidana lebih dari polisi. Di Belanda, hal tersebut dinamakan pengawasan negatif/pasif dari jaksa (negatieve controle van het Openbaar Ministerie). Oleh karena itu, putusan hakim cenderung conform tuntutan tersebut. Peranan jaksa tersebut juga biasa disebut stabilisasi putusan hakim oleh jaksa (the public prosecutor is the one who stabilizes the sentencing standard).115 Apa yang diterapkan di Belanda tersebut mirip sekali dengan yang diterapkan di Jepang. Jepang juga menerapkan asas oportunitas sangat luas. Jaksa di Jepang memonopoli penuntutan pidana sama dengan jaksa di Belanda dan negara-negara skandinavia. Jaksa juga berwenang melakukan penyidikan, memerintahkan polisi untuk memulai atau menghentikan penyidikan, memberikan petunjuk kepada polisi, dan mengambil alih penyidikan. Jaksa di Jepang menerapkan apa yang disebut penundaan penuntutan apabila dipandang penuntutan tidak diperlukan karena sifat tindak pidana, usia, lingkungan tersangka (berat ringannya dan keadaan tindak pidana serta keadaan setelah dilakukan tindak pidana).116 Norwegia secara resmi menganut asas oportunitas dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidananya. Penyampingan perkara di Norwegia hampir sama dengan penerapan pidana bersyarat di Belanda. Penyampingan perkara oleh jaksa dapat disertai dengan syarat-syarat, misalnya ditentukan bahwa terdakwa tidak boleh melakukan tindak pidana dalam kurun waktu tertentu dengan tujuan agar terdakwa menjadi warga yang taat kepada hukum, atau mengganti kerugian kepada korban. Penerapan penyampingan perkara secara luas didasarkan kepada pepatah lama “minima non curat praetor” (hakim jangan diganggu dengan hal-hal sepele). Jaksa cukup mengemukakan ada keadaan khusus (special circumtances) untuk menyampingkan perkara, baik bersifat obyektif (tindak pidananya) maupun bersifat subyektif (pelakunya). Jaksa di Norwegia juga dapat menjatuhkan sanksi tanpa persetujuan hakim, yang disebut patale unnlatese. Sanksi tersebut dapat berupa denda atau ganti kerugian kepada korban, atau kedua-duanya. Pembayaran 115 116
Ibid. hal. 36. Ibid. hal. 37. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
65
denda maksimum juga merupakan jalan untuk menyampingkan perkara di Norwegia, Belanda, dan Denmark. Di Belanda hal tersebut disebut transactie dan dapat juga diterapkan pada tindak pidana serius, khusus di Denmark pembayaran denda merupakan alternatif untuk tindak pidana yang ancaman maksimalnya enam bulan penjara.117 3.2.2. Sistem Penuntutan di Negara-Negara yang Menganut Asas Legalitas Negara-negara yang menganut asas legalitas diantaranya adalah Jerman, Italia, Austria, Spanyol, Portugal, dan lain-lain.118 Jerman menganut asas legalitas, jaksa di Jerman pada prinsipnya tidak boleh menyampingkan
perkara.
Sistem
penuntutan
di
Jerman
diatur
dalam
Strafprozessordnung (Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana). Setelah menerapkan asas legalitas dengan ketat, pada perkembangannya mulai ada pengecualian-pengecualian, misalnya jaksa di Jerman dapat menyampingkan perkara termasuk pencurian dengan jalan membongkar, kejahatan kerah putih (white collar crime), pelecehan seksual kepada anak di bawah umur tanpa kekerasan, apabila jaksa menilai tingkat kesalahan rendah dan kepentingan umum tidak menghendaki penuntutan. Oleh karena Jerman menganut asas legalitas, maka penyampingan perkara memerlukan persetujuan hakim, yang pada umumnya dikabulkan. Selain itu jaksa di Jerman juga dapat menyampingkan perkara yang sifatnya pelanggaran (bukan kejahatan).119 Jaksa dan polisi di Jerman juga bekerjasama untuk semaksimal mungkin menangguhkan perkara pidana yang dilakukan oleh anak (delinquency), karena dipandang akan jauh lebih bermanfaat untuk dibina daripada dijatuhi pidana.120 Austria dan Italia menerapkan asas legalitas dengan konsisten. Tidak ada jalan bagi jaksa untuk menyampingkan perkara selain melimpahkannya ke pengadilan. Apabila ditemukan hal-hal istimewa yang memerlukan perhatian khusus, jaksa dapat meminta hakim untuk menghentikan proses persidangan. 117
121
Ibid. hal. 38. R.M. Surachman dan Andi Hamzah. Op. Cit. hal. 17. 119 Andi Hamzah. 2002. Op. Cit. hal. 39-40. 120 Peter J.P. Tak. Tasks and Powers of the Prosecution Services in the EU Member States (vol. II). Nijmegen: Wolf Legal Publishers, 2005. hal. 470. 121 Andi Hamzah. 2002. Op. Cit. hal. 40. Universitas Indonesia 118
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
66
Spanyol juga menganut asas legalitas dan jaksa tidak memihak (impartial) dalam menegakkan hukum. Jaksa di Spanyol dapat juga menuntut perdata berupa ganti kerugian bersamaan dengan penuntutan pidana, kecuali apabila korban memaafkan perbuatan terdakwa.122 3.3. Selayang Pandang Kewenangan Kejaksaan di Beberapa Negara 3.3.1. Peran Jaksa dan Polisi dalam Penyidikan Dalam sistem peradilan pidana, kepolisan dan kejaksaan merupakan mitra kerja dan keduanya memiliki peran yang sangat penting. Sesuai aturan, polisi bertugas menyelidiki tindak pidana yang terjadi. Tugas tersebut sangat penting, karena kejahatan terus berkembang, baik kuantitas maupun kualitasnya. Polisi tidak akan mampu untuk mengatasi seluruh tindak pidana yang terjadi. Dengan keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran, skala prioritas harus ditentukan. Polisi harus meningkatkan sumber daya manusianya, dan memiliki pedoman yang jelas dalam melakukan tugasnya. Apabila polisi memutuskan untuk melakukan penyidikan, maka hal tersebut biasanya akan melimpahkan hasil penyidikannya ke kejaksaan. Pada umumnya, kejaksaan akan menentukan sikap untuk melakukan atau menghentikan penuntutan, terkadang kejaksaan juga memiliki wewenang untuk menyelesaikan perkara di luar pangadilan. Di satu sisi, kejaksaan berwenang untuk menilai hasil penyidikan yang dilakukan oleh polisi, di sisi lain, kejaksaan juga berwenang untuk melakukan atau menghentikan penuntutan. Dengan demikian tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa jaksa memegang peranan yang sangat vital dalam sistem peradilan pidana. Dalam sub-bab ini, akan diuraikan secara singkat hubungan antara jaksa dan polisi terkait wewenang penyidikan dalam perspektif jaksa, diantaranya siapa yang bertanggung jawab atas hasil penyidikan; pengaruh jaksa dalam menentukan ruang lingkup penyidikan yang dilakukan oleh polisi; apakah dalam melakukan penyidikan, polisi wajib memberitahukan kepada jaksa sebelum atau selama dalam penyidikan, baik formil maupun materiil; apakah jaksa berwenang untuk memberikan petunjuk kepada polisi terkait dengan penyidikan.
122
Ibid. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
67
Di sebagian besar negara, jaksa merupakan pemimpin dalam penyidikan (head of investigation), atau penyidik utana, atau memiliki kewenangan untuk melakukan supervisi atas penyidikan yang dilakukan oleh polisi. Di negara-negara yang hukum acara pidananya didasari atau diilhami pada Napoleonic Code d’Instruction Criminelle, seperti Belgia, Prancis, Belanda, Luxembourg, Polandia, Portugal, dan Spanyol, jaksa memiliki wewenang antara lain:123 - memerintahkan polisi untuk melakukan penyidikan; - menentukan ruang lingkup penyidikan; - melakukan penyidikan sendiri; - ikut serta dalam penyidikan; dan - menentukan metode penyidikan. Namun demikian, dalam praktek, jaksa jarang menggunakan wewenangnya untuk melakukan penyidikan sendiri, kecuali dalam perkara- perkara yang menarik perhatian masyarakat. Jaksa biasanya hanya melibatkan diri dalam penyidikan perkara pembunuhan atau kejahatan kerah putih (white collar crime), dimana biasanya menarik perhatian masyarakat, atau dalam hal polisi meminta bantuan jaksa untuk turut serta dalam penyidikan. Di Denmark, pada tingkat wilayah, lembaga kepolisian dan kejaksaan digabung, dimana kepala kejaksaan merangkap sebagai kepala kepolisan wilayah tersebut. Jaksa wilayah memiliki kewenangan melakukan supervisi. Di Republik Czech, Estonia, Prancis, Jerman, Hungaria, Latvia, Lithuania, Belanda, dan Slovakia, pada prinsipnya jaksa memiliki kewenangan untuk melakukan supervisi atas penyidikan yang dilakukan oleh polisi. Pada prakteknya, wewenang supervisi tersebut biasanya tidak diterapkan secara menyeluruh pada semua perkara karena keterbatasan jumlah jaksa. Sehingga, terkadang jaksa menghadapi masalah dalam hal barang bukti yang diperoleh secara ilegal, metode penyidikan yang ilegal, pelanggaran hak asasi tersangka yang dilakukan oleh polisi. Hal tersebut tentu saja menjadi tanggung jawab jaksa selaku penanggung jawab hasil penyidikan. Berkaitan dengan hal tersebut, sistem hukum di Inggris, Wales, dan Irlandia merupakan pengecualian. Di ketiga negara tersebut, kepolisian dan kejaksaan masing-masing merupakan lembaga yang independen, dimana polisi bertanggung 123
Peter J.P. Tak. 2005. Op. Cit. hal. 464. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
68
jawab sepenuhnya atas hasil penyidikan, dan tidak memerlukan konsultasi dari jaksa dalam melakukan penyidikan.124 Di beberapa negara, polisi wajib memberitahukan kepada jaksa ketika dimulainya penyidikan. Di Finlandia, undang-undang memberikan kewenangan kepada jaksa untuk memberikan instruksi kepada polisi tentang penyidikan, yaitu pedoman pelaksanaan penyidikan, pemeriksaan tersangka, pengumpulan alat bukti, dan tindakan-tindakan lain yang diperlukan demi suksesnya penyidikan. Di Jerman, polisi hanya wajib memberitahukan kepada jaksa ketika dimulainya penyidikan perkara-perkara yang penting. Di Hungaria, dalam perkara tertentu jaksa dapat mensupervisi polisi dalam penyidikan, dimana polisi harus secara aktif dan berkelanjutan melaporkan perkembangan hasil penyidikan, sehingga memudahkan jaksa dalam menentukan strategi yang diperlukan. Di sebagian besar negara, polisi dapat memulai penyidikan segera setelah mengetahui terjadinya tindak pidana, walaupun di beberapa negara wajib memberitahukan kepada jaksa ketika dimulainya penyidikan. Di Denmark, Irlandia, Belanda, Slovakia, dan Spanyol, tersedia sarana untuk polisi berkonsultasi dengan kejaksaan dalam perkara-perkara penting. Dalam hal jaksa meminta polisi untuk melakukan penyidikan, hal tersebut diberitahukan kepada polisi, dan sesuai aturan polisi harus melaksanakannya. Hampir di semua negara, setelah menyelesaikan penyidikan, polisi harus segera mengirimkan berkas perkaranya kepada jaksa untuk dinilai kelengkapannya, baik secara formil mapun materiil.125 Di sebagian besar negara, apabila dianggap perlu, jaksa dapat petunjuk kepada polisi tentang materi dan prosedur penyidikan. Petunjuk tersebut dapat berupa pedoman umum, atau secara spesifik mengenai materi dan prosedur penyidikan. Kebanyakan, petunjuk tersebut tentang langkah-langkah yang harus ditempuh, misalnya materi pemeriksaan atas saksi atau tersangka. Petunjuk tersebut dapat diberikan secara tertulis maupun lisan. Polisi harus memenuhi petunjuk tersebut tanpa syarat. Petunjuk tersebut dapat diberikan ketika akan memulai atau selama penyidikan berlangsung. Di Inggris, Wales, dan Irlandia, pada prinsipnya jaksa tidak dapat memberikan instruksi berkaitan dengan 124 125
Ibid. hal. 465. Ibid. hal. 465-466. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
69
penyidikan yang dilakukan oleh polisi, namun dalam prakteknya, polisi sering meminta petunjuk dari jaksa dalam perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dimana biasanya mengenai keabsahan prosedur penyidikan, atau strategi yang diperlukan dalam penyidikan.126 Di banyak negara, kewenangan polisi untuk melakukan upaya paksa dibatasi, karena berpotensi melanggar hukum dan hak asasi manusia. Dalam pelaksanaan upaya paksa tertentu, biasanya yang berkaitan dengan penyimpangan hak asasi, kebebasan, dan privasi seseorang, misalnya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, penyadapan, dan lain-lain, polisi harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari jaksa atau pengadilan. Dalam hal tertangkap tangan atau keadaan yang mendesak dimana tidak mungkin untuk meminta izin terlebih dahulu, segera setelah melakukan upaya paksa polisi wajib segera melaporkannya untuk mendapat pengesahan atas upaya paksa yang telah dilakukannya kepada jaksa atau pengadilan.127 Dalam pelaksanaan penyidikan suatu tindak pidana, terkadang polisi membutuhkan metode khusus, biasanya dalam mengungkap kejahatan serius, kejahatan
terorganisir,
dan
kejahatan
transnasional,
dimana
dalam
perkembangannya menggunakan modus operandi yang semakin sulit dilacak. Terdapat beberapa kegiatan penyamaran yang digunakan oleh polisi dalam penyidikan, misalnya penggunaaan informan, penyamaran, transaksi terselubung, dan lain-lain. Hampir di semua negara, pengaturan berkaitan dengan hal tersebut diatur dengan Undang-Undang, misalnya di United Kingdom of Great Britain (Regulation of Investigatory Powers Act 2002), dimana diatur prosedurnya, seperti dalam perkara apa, dalam kondisi bagaimana, dan siapa yang berwenang dan bertanggung jawab mengeluarkan izin. Di beberapa negara, pelaksanaan metode penyamaran seperti transaksi terselubung, penggunaan informan, atau penyusupan, harus mendapat izin dari Kepala Kepolisian (Austria, Portugal, dan Slovakia). Metode ”menguntit” seseorang (surveillance) dalam waktu tertentu (biasanya tidak lebih dari 72 jam) di beberapa negara dapat dilakukan berdasarkan keputusan yang dikeluarkan oleh Kepala Kepolisian atau jaksa (Finlandia, 126 127
Ibid. hal. 466-467. Ibid. hal. 467. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
70
Belanda, dan Slovakia). Di beberapa negara, kegiatan penyamaran hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari jaksa (Jerman, Polandia, Italia, Portugal, Slovakia, Swedia, dan Belanda), di Hungaria izin dikeluarkan oleh pengadilan, kecuali dalam keadaan yang mendesak dimana tidak mungkin untuk meminta izin terlebih dahulu, segera setelah melakukan kegiatan penyamaran tersebut polisi wajib segera melaporkannya untuk mendapat pengesahan atas kegiatan yang telah dilakukannya kepada jaksa atau pengadilan. Dalam melakukan penyitaan surat berharga atau penyadapan,
harus
mendapat
izin pengadilan.
Misalnya
investigative judge (Hungaria, Italia, Belanda, dan Spanyol), atau supreme court (Latvia). Di Irlandia, untuk melakukan penyadapan, polisi harus mendapat izin terlebih dahulu dari Minister of Justice. Di Inggris dan Wales, polisi dalam melakukan kegiatan penyamaran tidak memerlukan izin dari manapun, kecuali kegiatan ”menguntit” seseorang (surveillance) harus mendapat izin pengadilan. 128 Di Belanda, Belgia, Republik Czech, Jerman, Hungaria, Italia, Polandia, Slovakia, dan Spanyol, walaupun pada prakteknya jarang dilakukan, pada prinsipnya jaksa dapat mengambil alih penyidikan dari polisi, karena di negaranegara tersebut jaksa adalah pemimpin penyidikan dan dapat memberikan instruksi kepada polisi untuk melakukan penyidikan. Alasan utama jaksa mengambil alih penyidikan biasanya dilakukan dalam perkara yang menarik perhatian masyarakat, atau tindak pidana yang dilakukan oleh politisi atau pejabat tinggi. Di Irlandia, Latvia, Lithuania, Inggris dan Wales, jaksa tidak dapat mengambil alih penyidikan dari polisi. Di Finlandia dan Denmark, jaksa hanya dapat menyidik langsung tindak pidana yang dilakukan oleh petugas polisi. Di Belanda, Belgia, Denmark dan Hungaria, jaksa dapat meminta polisi untuk melakukan penyidikan.129 Di banyak negara, walaupun polisi memiliki hak diskresi dalam penyidikan, misalnya
hanya
memberikan peringatan
kepada
pelaku
atau
langsung
menjatuhkan denda di tempat, namun biasanya hanya dalam tindak pidana ringan seperti pelanggaran lalu lintas. Bahkan di negara-negara yang menerapkan prinsip kemanfaatan, keputusan untuk melakukan penuntutan atau tidaknya suatu tindak 128 129
Ibid. hal. 468-469. Ibid. hal. 470. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
71
pidana dilakukan oleh jaksa. Di Italia dan Polandia, petugas polisi yang tidak meneruskan perkara yang disidiknya ke kejaksaan merupakan suatu kejahatan. Di Belanda, diskresi penyidikan diatur dengan jelas dalam instruksi the Board of Prosecutors-General tanggal 1 Maret 2003 tentang tentang pedoman penyidikan atau aanwijzingen voor de opsporing (State Journal 2003, 41), dimana polisi dapat menggunakan diskresi penyidikan dalam perkara yang tidak berbahaya, mengakibatkan luka atau kehancuran.130
Selanjutnya akan diuraikan secara singkat mengenai tugas dan wewenang kejaksaan di Belanda serta Inggris dan Wales. Pemilihan negara-negara tersebut dengan pertimbangan antara lain bahwa Belanda mewakili sistem Eropa Kontinental (civil law), sedangkan Inggris dan Wales mewakili sistem AngloSaxon (common law). Selain itu pemilihan juga didasari bahwa kejaksaan di Belanda telah lama eksis dan memiliki kewenangan yang sangat besar dibandingkan kejaksaan di negara-negara yang menganut sistem Eropa Kontinental (civil law) lainya, sedangkan kejaksaan di Inggris dan Wales baru berdiri pada tahun 1986, relatif baru dibandingkan dengan kejaksaan di negaranegara yang menganut sistem Anglo-Saxon (common law) lainnya. 3.3.2. Kejaksaan Negara Belanda Istilah sistem peradilan pidana terpadu atau intergrated criminal justice system kurang dikenal di Belanda, namun secara praktek, Belanda sangat baik dalam menjalankan peradilan pidana terpadu dalam arti hubungan yang serasi, seirama antara semua instansi yang terkait dalam peradilan pidana. Koordinasi dan musyawarah dilaksanakan sangat baik. Hal tersebut disebabkan antara lain karena secara organisasi atau secara struktural unsur-unsur penegak hukum ada di bawah Ministerie van Justitie (Kementerian Kehakiman). Pengadilan, Kejaksaan, Polisi Negara (Rijkspolitie), dan Imigrasi semua berada dalam organisasi dan struktur Ministerie van Justitie (Kementerian Kehakiman). Bahkan bagian Interpol dan Laboratorium Kriminal berada di bawah kementerian ini.131
130
Ibid. hal. 472. Andi Hamzah. Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara. Jakarta: Sinar Grafika, 1995. hal. 109. Universitas Indonesia 131
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
72
Setelah aneksasi oleh Perancis pada tahun 1811, lembaga penuntutan nasional (kejaksaan) model seperti ministere public di Perancis diperkenalkan di Belanda. Lembaga tersebut eksis sampai tahun 1813 ketika Belanda menjadi kerajaan yang berdaulat. Sejak itu telah terjadi perubahan yang cukup besar dalam organisasi dan kewenangan dari kejaksaan, konsep dasar dari lembaga tersebut masih utuh, yaitu organisasi nasional secara hirarkis terstruktur, yang tugas utamanya adalah untuk menuntut kasus-kasus di pengadilan. 132 Meskipun penuntutan perkara pidana merupakan tugas utama dari kejaksaan, namun dalam perkembangannya selama beberapa dekade terakhir ternyata tidak melakukan penuntutan atas seluruh tindak pidana yang terjadi. Kebijakan skala prioritas penuntutan telah diatur, termasuk didalamnya penggunaan
kewenangan
diskresi
penuntutan,
yakni
melakukan
atau
menghentikan penuntutan. Bahkan sejak tahun 1983, kejaksaan juga diberikan kewenangan untuk menyelesaikan hampir semua tindak pidana di luar pengadilan. Kewenangan untuk menghentikan penuntutan dan menyelesaikan perkara di luar pengadilan menimbulkan perubahan hubungan antara kejaksaan dan pengadilan, siapa yang bertanggung jawab atas keputusan yang diambil oleh jaksa dalam menghentikan penuntutan dan menyelesaikan perkara di luar pengadilan.133 Sejak awal tahun 1990-an, telah terjadi perubahan yang besar mengenai tugas dan wewenang kejaksaan. Peran kejaksaan dalam mengarahkan polisi untuk menerapkan hukum pidana
yang lebih
luas sebagai instrumen untuk
mengendalikan dan mengurangi perilaku yang tidak diinginkan masyarakat, semakin menambah beban tugas kejaksaan. Selanjutnya, peran kejaksaan dalam penyidikan maupun diskresi penuntutan kasus pidana serta kewenangan untuk menyelesaikan hampir semua tindak pidana di luar pengadilan, semakin menambah beban tugas kejaksaan. Perubahan-perubahan tugas dan kewenangan tersebut tentu saja membawa perubahan pada fungsi dan organisasi kejaksaan.
132
Peter J.P. Tak. “The Dutch Prosecution Service”. Tasks and Powers of the Prosecution Services in the EU Member States (vol. I). Ed. Peter J.P. Tak. Nijmegen: Wolf Legal Publishers, 2004. hal. 357. 133 Ibid. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
73
Jaksa dituntut untuk mampu menguasai seluk beluk tentang hukum pidana, baik materiil maupun formil.134 3.3.2.1. Peran Kejaksaan dalam Penyidikan Setiap Gemeente (Kota atau Kabupaten) dengan jumlah penduduk tertentu mempunyai polisi sendiri (Gemeente Politie), tetapi semuanya Rijkspolitie (Polisi Negara) dan Gemeente Politie (Polisi Kota atau Kabupaten) dibawah pimpinan Officier van Justitie (Jaksa) dalam penyidikan. Dalam penyidikan perkara pidana sejak mulai penyidikan yang dilakukan oleh Rijkspolitie (Polisi Negara) atau Gemeente Politie (Polisi Kota atau Kabupaten) segera harus dilaporkan kepada Officier van Justitie (Jaksa), karena Officier van Justitie (Jaksa) adalah pemimpin (leader) penyidikan. Khusus dalam perkara yang menyangkut lingkungan hidup, apabila menyangkut perizinan (lisence) maka ada kemungkinan penyelesaian secara administratif, perdata, atau pidana, atau kombinasinya. Hal tersebut dikenal sebagai perundingan segitiga (drie hoek overleg) antara Officier van Justitie (Jaksa), Rijkspolitie (Polisi Negara), dan Gemeente Politie (Polisi Kota atau Kabupaten).135 Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Kepolisian Negara Belanda (Sect. 2 Police Act), tugas kepolisan adalah menegakkan hukum dan membantu orang yang membutuhkannya. Dalam menegakkan hukum pidana dan melaksanakan tugas dibidang sistem peradilan pidana, polisi bertindak atas nama kejaksaan. Penegakkan hukum pidana terdiri dari pencegahan, pemberantasan, dan penindakan tindak pidana. Kejaksaan dapat memberi instruksi kepada polisi dalam hal penegakan hukum pidana. Dalam melaksanakan tugas penegakan hukum semua perwira polisi bertindak dalam kapasitas sebagai pembantu jaksa (hulpofficier van justitie). Dengan demikian, polisi dalam hal tertentu dapat bertindak untuk dan atas nama jaksa. Pada prakteknya, hampir semua perwira polisi secara reguler bertemu dengan pimpinan kepolisan setempat dan kepala kejaksaan setempat (biasa disebut tirpartite consultation) untuk membicarakan masalah penegakan hukum136 134
Ibid. hal. 357-358. Andi Hamzah. 1995. Op. Cit. hal. 110. 136 Peter J.P. Tak. 2004. Op. Cit. hal. 360. 135
Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
74
Prosedur dimulainya penyidikan, polisi berkonsultasi dengan jaksa melalui telepon, email, atau fax, dan melaporkan dimulainya penyidikan kepada kejaksaan melalui surat tertulis yang ditindaklanjuti oleh kejaksaan dengan menetapkan jaksa yang akan menangani perkara tersebut.137 Kejaksaan bertanggung jawab penuh atas penyidikan tindak pidana. Jaksa harus memastikan penyidikan dilakukan sesuai prosedur dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Secara formal, berdasarkan Pasal 148 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Pasal 13 Undang-Undang Kepolisian (Sects. 148 Code of Criminal Procedure and 13 Police Act), jaksa adalah pemimpin penyidikan. Pada prakteknya, polisi melaksanakan hampir semua penyidikan tindak pidana dibawah pengarahan dari jaksa, misalnya pasal yang dikenakan, metode penyidikan, pengumpulan barang bukti, dan lain-lain. Sejak tahun 1999, kejaksaan telah menata ulang sarana dan tata cara dalam melaksanakan kewenangannya dalam melakukan supervisi penyidikan yang dilakukan oleh polisi.138 Dalam praktek pelaksanaan penyidikan, jaksa memimpin pelaksanaan penyidikan dari awal dan bertanggung jawab atas hasil penyidikan, sedangkan polisi yang melaksanakan penyidikan. Selama penyidikan dilaksanakan, polisi berhubungan dengan jaksa setiap hari melalui telepon, email, atau fax mengenai perkara yang tengah disidik, serta polisi bertemu dengan jaksa setidaknya seminggu sekali untuk membahas perkembangan penyidikan tersebut.139 Jaksa berperan aktif menjadi bagian dalam tugas penyidikan dengan memberikan instruksi, baik lisan maupun tertulis, kepada polisi dalam tindak pidana tertentu, misalnya tindak pidana yang menarik perhatian masyarakat atau yang sulit pembuktiannya. Pada tanggal 1 Maret 2003, The Board of ProsecutorsGeneral mengeluarkan instruksi kepada polisi tentang penyidikan atau
137
Andi Hamzah. “Hasil Kunjungan Studi Banding Rancangan KUHAP dan Rancangan UndangUndang Tindak Pidana Korupsi di Den Haag, Belanda pada tanggal 14-16 Juni 2010 dan di London, Inggris pada tanggal 17-18 Juni 2010”. Jakarta: Kejaksaan Agung, 12 Juli 2010. hal 5. 138 Peter J.P. Tak. 2004. Op. Cit. hal. 361-362. 139 Andi Hamzah. 2010. Op. Cit. hal. 5-6. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
75
aanwijzingen voor de opsporing (State Journal 2003, 41), yang pada pokoknya berisi sebagai berikut:140 - Polisi harus melakukan penyidikan apabila mengetahui telah terjadi tindak pidana, kecuali dalam kasus ringan dimana tidak berbahaya, mengakibatkan luka atau kehancuran. - Untuk kejahatan yang lebih serius, penyidikan harus dilakukan lebih intensif, baik melakukan penyidikan sendiri dibawah kendali jaksa atau dilakukan penyidikan bersama antara polisi dan jaksa. Yang bertanggung jawab atas hasil penyidikan dan yang membawa perkara tersebut ke pengadilan adalah jaksa, oleh karena itu di Belanda tidak terjadi masalah bolak-balik perkas perkara antara polisi dan jaksa.141 3.3.2.2. Kedudukan, Tugas dan Wewenang Kejaksaan Kejaksaan merupakan sebuah lembaga negara dibidang penuntutan, memiliki hierarki dalam organisasinya, yang dipimpin oleh Jaksa Agung (Prosecutor General). Kedudukan kejaksaan secara struktural organisasi berada dibawah lingkungan Ministerie van Justitie (Kementerian Kehakiman), namun dalam menjalankan fungsinya kejaksaan tidak bertanggung jawab kepada kementerian kehakiman, karena kementerian kehakiman merupakan bagian kekuasaan eksekutif sedangkan fungsi kejaksaan merupakan bagian kekuasaan yudikatif.142 Lembaga kejaksaan diatur dalam 1827 Judicial Organisation Act. Pada tahun 1999, lembaga kejaksaan telah direformasi secara signifikan. Saat ini jumlah jaksa sekitar 500-an orang, dimana 25% diantaranya adalah wanita. Pengangkatan jaksa sama dengan hakim, menjadi bagian dari kekuasaan yudikatif, namun tidak seperti hakim yang bertugas seumur hidup, jaksa diangkat oleh kerajaan dan pensiun pada usia 65 tahun.143
Organisasi kejaksaan di wilayah terdiri dari dua tingkatan, yaitu kejaksaan pada pengadilan tingkat pertama (pengadilan negeri) dan kejaksaan pada 140
Peter J.P. Tak. 2004. Op. Cit. hal. 362. Andi Hamzah. 2010. Op. Cit. hal. 6. 142 Peter J.P. Tak. 2004. Op. Cit. hal. 364. 143 Ibid. 141
Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
76
pengadilan tingkat banding (pengadilan tinggi). Pada 19 (sembilan belas) district courts (pengadilan negeri), kejaksaan pada pengadilan negeri (arrondissementsparket) terdiri dari beberapa jaksa dengan susunan hierarki chief prosecutor (kepala kejaksaan), deputy chief prosecutor (wakil kepala kejaksaan), senior prosecutor, prosecutor, substitute prosecutor, dan prosecutor acting in single court sessions. Prosecutor acting in single court sessions memiliki semua kewenangan jaksa namun di pengadilan hanya dapat menghadiri persidangan dengan hakim tunggal, yaitu tindak pidana ringan yang ancaman pidananya maksimal 1 (satu) tahun penjara. Para jaksa dibantu oleh beberapa staf (parketsecretaris) yang dapat diberi tugas untuk memanggil tersangka dalam kasus ringan. Mereka membantu jaksa dalam menyiapkan penuntutan, memeriksa berkas penyidikan dari polisi untuk menilai apakah telah cukup bukti untuk dilakukan penuntutan, dan menyiapkan konsep dakwaan serta surat-surat panggilan.
Parketsecretaris
juga
dapat
diberi
tugas
untuk
melakukan
penangkapan, dimana terbatas hanya pada tindak pidana ringan. Dalam melakukan tugasnya parketsecretaris bertindak untuk dan atas nama jaksa. Pada 5 (lima) courts of appeal (pengadilan tinggi), kejaksaan pada pengadilan tinggi (kejaksaan tinggi) terdiri dari chief advocate-general (kepala kejaksaan tinggi) dan beberapa advocate-general (asisten pada kejaksaan tinggi). Tugas utamanya adalah membuktikan dakwaan pada perkara-perkara di pengadilan tingkat banding (pengadilan tinggi).144 Selain 19 kejaksaan pada pengadilan negeri (arrondissements-parket), terdapat kejaksaan nasional (national prosecution office) yang berkantor di Rotterdam. Para jaksanya memiliki kewenangan yang sama dengan para jaksa di kejaksaan pada pengadilan negeri (arrondissements-parket). Tugas utamanya adalah melakukan penyidikan dan penuntutan tindak pidana serius dan terorganisir, menarik perhatian publik, mengakibatkan kerugian negara, baik yang berskala nasional maupun internasional. Selain itu juga melakukan supervisi atas The National Crime Squad (Landelijk Recherche Team). The National Crime Squad tugas utamanya adalah melakukan penyidikan kejahatan internasional seperti perdagangan orang, terorisme, pencucian uang, dan penipuan. The national 144
Ibid. hal. 364-365. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
77
prosecution office melakukan penuntutan atas perkara yang disidik oleh The National Crime Squad (Landelijk Recherche Team). Selain itu juga memiliki kewenangan untuk berkoordinasi dan memberikan bantuan hukum atas permintaan pihak asing. Struktur organisasi the national prosecution office sama dengan struktur organisasi kejaksaan pada pengadilan negeri (arrondissementsparket).145 Diantara the national prosecution office, kejaksaan pada pengadilan tinggi, dan kejaksaan pada pengadilan negeri (arrondissements-parket) tidak memiliki hubungan hierarki. Ketiganya merupakan subordinasi dari Board of ProsecutorsGeneral. Lembaga kejaksaan dipimpin oleh Board of three to five ProsecutorsGeneral (College van procureurs-generaal). Kerajaan memilih dan mengangkat Jaksa Agung (Chief of the Board of Prosecutors-General). Kejaksaan Agung (het parket generaal) berkantor di Den Haag (The Hague). The Board of ProsecutorsGeneral memberikan instruksi secara umum kepada seluruh jaksa pada seluruh kantor kejaksaan berkaitan dengan tugas dan wewenang dalam administrasi peradilan pidana, dan kewenangan lainnya sesuai peraturan perundang-undangan, seperti mensupervisi kepolisian dalam penyidikan. The Board of ProsecutorsGeneral memiliki kewenangan tertinggi dalam penyidikan dan penuntutan, mensupervisi pelaksanaan kebijakan penuntutan dan kebijakan penyidikan.146 Tugas utama kejaksaan adalah memimpin penegakan hukum pidana. Kejaksaan memiliki peran penting dalam sistem peradilan pidana. Keputusan yang dibuat oleh jaksa sangat berdampak bagi pelaku tindak pidana, dan seringkali jaksa tidak melimpahkan berkas perkara ke pengadilan, baik dengan menghentikan penuntutan maupun menyelesaikannya di luar pengadilan. Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa kejaksaan di Belanda memiliki kewenangan yang luar biasa, setidaknya dalam penanganan tindak pidana. Selain memonopoli wewenang penuntutan dan diskresinya, kejaksaan juga berwenang untuk menentukan perkara yang akan dilimpahkan ke pengadilan, selanjutnya menentukan bentuk hukuman yang akan dijatuhkan oleh hakim.147
145
Ibid. hal. 365. Ibid. hal. 365-366. 147 Ibid. hal. 366-367. 146
Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
78
Jaksa memiliki kewenangan penuh untuk menentukan apakah suatu perkara dapat dilakukan penuntutan atau tidak. Tidak semua perkara dapat diteruskan ke tahap penuntutan, melainkan hanya perkara yang dinilai layak untuk diteruskan, yang dinilai dari segi tingkat keseriusan perkara, modus operandi, dan segi ekonomis. Jaksa juga berhak menentukan pasal apa yang akan dikenakan, dan jaksa yang memimpin dan bertanggung jawab terhadap hasil penyidikan suatu perkara pidana.148 Sejak berlakunya Code of Criminal Procedure (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) pada tahun 1926, keputusan proses peradilan pidana sangat tergantung pada kejaksaan. Sekitar 50% berkas perkara yang diterima dari kepolisian tidak dilimpahkan ke pengadilan oleh jaksa, cenderung diselesaikan sendiri. 149 Apabila proses penyidikan oleh polisi atau pre-trial investigation dibatalkan, maka berkas perkara dilimpahkan oleh polisi kepada jaksa, dimana jaksa akan menentukan sikap apakah menghentikan perkara atau menyelesaikan perkara di luar pengadilan, diantaranya dengan cara transactie.150 Kewenangan
penuntutan
melekat
secara
ekslusif
pada
kejaksaan.
Kewenangan penuntutan tidak diberikan kepada lembaga lain ataupun dilakukan secara personal (private prosecution), meskipun ketika kejaksaan menghentikan penuntutan atas suatu perkara. Monopoli penuntutan tersebut tidak mengharuskan kejaksaan untuk melakukan penuntutan atas seluruh tindak pidana yang terjadi.151 Kejaksaan dapat menghentikan penuntutan dengan pertimbangan tidak memiliki keyakinan, tidak cukup bukti, atau karena pertimbangan teknis. Jaksa juga dapat menghentikan penuntutan berdasarkan prinsip kepatutan. Berdasarkan Pasal 167 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Sect. 167 Code of Criminal Procedure) kejaksaan dapat menghentikan penuntutan dengan alasan demi kepentingan umum. Dalam beberapa kasus, jaksa dapat mencabut penuntutan dengan syarat. Pencabutan penuntutan tidak memiliki landasan hukum
148
Andi Hamzah. 2010. Op. Cit. hal. 7. Peter J.P. Tak. 2004. Op. Cit. hal. 367. 150 Ibid. 151 Ibid. 149
Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
79
yang kuat, dan secara teori juga diragukan, namun pada umumnya menerima keputusan jaksa untuk mencabut tuntutan. Syarat umum dan khusus untuk pencabutan tuntutan tidak diatur, namun dalam praktek jaksa menerapkan syarat yang sama dengan syarat penangguhan penahanan.152 Berkaitan dengan diskresi penuntutan, The Board of Prosecutors-General menerbitkan pedoman penuntutan. Seluruh jaksa harus mematuhi pedoman tersebut, kecuali terdapat keadaan khusus. Berdasarkan pedoman penuntutan tersebut, jaksa dapat menghentikan penuntutan dengan alasan demi kepentingan umum apabila memenuhi kriteria antara lain sebagai berikut:153 - bentuk selain sanksi pidana lebih baik, atau mungkin lebih efektif (misalnya sanksi disiplin, sanksi administratif, atau sanksi perdata); - penuntutan bersifat tidak sepadan, tidak adil, atau tidak efektif yang berkaitan dengan keadaan perbuatan (misalnya perbuatan tidak menyebabkan kerugian dan tidak layak untuk dijatuhi hukuman); - penuntutan bersifat tidak sepadan, tidak adil, atau tidak efektif yang berkaitan dengan keadaan pelaku (misalnya usia atau kesehatan, prospek untuk direhabilitasi, pemula); - penuntutan akan bertentangan dengan kepentingan pemerintah (misalnya untuk alasan keamanan, kedamaian dan ketentraman, atau apabila terbit peraturan baru); - penuntutan akan bertentangan dengan kepentingan korban (misalnya ganti rugi telah dibayarkan). Penghentian penuntutan dengan alasan teknis antara lain sebagai berikut:154 - error in persona; - tidak cukup bukti; - penuntutan cenderung tidak dapat diterima;
- pengadilan tidak memiliki kewenangan untuk mengadili; - perbuatan bukan merupakan tindak pidana; dan - terdapat alasan pembenar dan/atau alasan pemaaf.
152
Ibid. hal. 368. Ibid. 154 Ibid. hal. 369. 153
Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
80
Jaksa tidak diwajibkan untuk menjelaskan alasan menghentikan penuntutan karena alasan teknis maupun kebijakan, hanya diharuskan menggunakan alasan penghentian
penuntutan
berdasarkan
pedoman
yang
telah
ditentukan.
Pengkategorian tersebut tidak menjamin keseragaman aplikasi dalam penghentian penuntutan, tergantung dari masing-masing wilayah yurisdiksinya dalam menyikapi kebijakan penuntutan.155 Organisasi kejaksaan yang memberi wewenang sangat besar kepada Officier van Justitie (Jaksa) secara individual, juga mempercepat dan mempermudah penyelesaian suatu perkara.156 Pada awal tahun 1980-an, penghentian penuntutan dengan alasan kebijakan relatif tinggi. Sekitar 25% dari semua tindak pidana tidak dilanjutkan ke tahap penuntutan, dengan alasan tidak pasti dan tanpa syarat. Keadaan tersebut menimbulkan kritik tajam. Selanjutnya kejaksaan memperbaiki hal tersebut dengan mengurangi penghentian penuntutan tanpa syarat dengan melakukan lebih banyak penghentian penuntutan dengan syarat, teguran, atau transactie. Saat ini penghentian penuntutan tanpa syarat menurun tajam menjadi sekitar 5%. Penurunan prosentase penghentian penuntutan tanpa syarat tidak membuat penambahan jumlah perkara yang disidangkan dalam peradilan pidana, karena sebagian besar perkara dihentikan penuntutannya dengan syarat atau diselesaikan di luar pengadilan dengan transactie. 157 Transactie dapat dipertimbangkan sebagai bentuk pengalihan dimana pelaku secara sukarela membayar sejumlah uang kepada kas negara, atau menyepakati satu atau beberapa syarat finansial yang ditentukan oleh kejaksaan, dalam hal menghindari penuntutan dan persidangan pidana. Kemungkinan penyelesaian perkara pidana dengan cara transactie telah lama eksis, pertama kali hal tersebut dilakukan pada tahun 1838. Berdasarkan Pasal 74a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Sect. 74a Criminal Code/Penal Code), pelaku yang menawarkan kepada kejaksaan untuk membayar denda maksimum yang ditentukan undang-undang dapat menyelesaikan perkara pidananya dengan cara membayar. Pada tahun 1921
155
Ibid. Andi Hamzah. 1995. Op. Cit. hal. 110. 157 Peter J.P. Tak. 2004. Op. Cit. hal 369. 156
Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
81
penyelesaian perkara dengan cara transactie tersebut juga diadopsi. Sejak itu, sebelum persidangan, jaksa dapat mengajukan syarat transactie dalam proses peradilan pidana. Penghentian penuntutan efektif ketika syarat yang diajukan oleh jaksa dilaksanakan sepenuhnya oleh pelaku. Sampai dengan tahun 1983, penyelesaian perkara dengan cara transactie tersebut hanya untuk tindak pidana ringan yang hanya diancam dengan pidana denda. Menurut rekomendasi dari The Financial Penalties Committee, the Financial Act of 1983 menambah ruang lingkup penyelesaian dengan cara transactie termasuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara maksimal 6 tahun (Sect. 74 Criminal Code/Penal Code). Walaupun tidak berlaku untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara maksimal lebih dari 6 tahun, tidak terlalu berdampak peningkatan jumlah persidangan pidana, karena sebagian besar tindak pidana diancam dengan pidana penjara maksimal kurang dari 6 tahun.158 Syarat dan ketentuan yang digunakan dalam transactie antara lain sebagai berikut:159 a. pembayaran sejumlah uang kepada negara sejumlah minimal € 2,- (dua euro) dan tidak lebih dari ancaman maksimal denda yang ditentukan oleh undangundang; b. pelepasan hak atas barang bukti yang disita diperhitungkan dengan denda; c. penyerahan aset berharga kepada negara; d. pembayaran sejumlah uang secara tunai kepada negara, atau penyerahan aset berharga milik terdakwa, seluruhnya atau sebagian, diperhitungkan dengan dampak tindak pidana yang telah dilakukan; e. Seluruh atau sebagian digunakan sebagai kompensasi akibat tindak pidana yang telah dilakukan; f. pelaksanaan kerja sosial tanpa upah selama 120 jam kerja. Pemenuhan seluruh syarat yang ditentukan kejaksaan oleh pelaku secara sukarela, maka secara tidak langsung pelaku mengakui perbuatannya. Di satu sisi, memenuhi seluruh syarat yang ditentukan jaksa dalam menyelesaikan perkara merupakan suatu keuntungan bagi pelaku, ia terhindar dari peradilan yang terbuka 158 159
Ibid. hal. 370. Ibid. hal. 370-371. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
82
untuk umum, transactie tidak dicatat dalam catatan pidananya, dan ia tidak lagi khawatir mengenai hukuman. Pada sisi lain, dengan menerima transactie maka ia melepaskan haknya untuk diadili dalam peradilan independen (Sect. 6 European Convention of Human Rights). Kesepakatan transactie harus dibuat secara sukarela tanpa paksaan.160 Kewenangan yang hampir tanpa batas yang diberikan kepada kejaksaan pada tahun 1983, untuk menyelesaikan perkara dengan transactie tanpa intervensi pengadilan telah menimbulkan kritik. Kritik yang paling mendasar adalah bahwa peningkatan penyelesaian melalui transactie telah memasukkan a plea-bargaining system, perwujudan dari pelanggaran teori pemisahan kekuasaan, mengurangi hak perlindungan hukum terdakwa,
menguntungkan kelompok tertentu, dan
mempercayakan kewenangan kejaksaan untuk seharusnya tetap mengajukan perkara ke pengadilan. Selanjutnya, sangat mengkhawatirkan apabila hampir 90% tindak pidana diselesaikan dengan transactie, persidangan pidana yang terbuka untuk umum dan menjamin hak-hak terdakwa, hanya akan menjadi pengecualian, bukan sebuah aturan. Walaupun mendapat kritik, penerapan perluasan penyelesaian perkara dengan transactie berhasil. Lebih dari 35% tindak pidana diselesaikan oleh kejaksaan di luar pengadilan dengan transactie. Hal tersebut sesuai dengan rencana kebijakan hukum pidana nasional, dimana ditargetkan 35% tindak pidana diselesaikan di luar pengadilan dengan transactie. Penyelesaian perkara di luar pengadilan dengan transactie sangat populer dikalangan kejaksaan dan pelaku tindak pidana, karena menghemat waktu, tenaga, dan biaya. Selain itu menghindari pelaku tindak pidana dari stigmatisasi. Kebanyakan transactie dengan jumlah uang banyak dilakukan oleh korporasi yang melakukan tindak pidana, misalnya tindak pidana lingkungan hidup, dan penipuan, transactie diterima untuk menghindari publisitas negatif. Untuk mengurangi resiko penyimpangan dalam pelaksanaan transactie, the Board of Prosecutoes-General telah membuat pedoman dalam penyelesaian perkara di luar pengadilan dengan transactie. Jumlah transactie tidak boleh melebihi € 450.000,- (empat ratus lima puluh ribu euro).161
160 161
Ibid. hal. 371. Ibid. hal. 371-372. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
83
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Belanda (The Dutch Code of Criminal Procedure) memberikan hak ekslusif wewenang penuntutan kepada kejaksaan. Kewenangan penuntutan tersebut monopoli kejaksaan tanpa batasan. Korban tidak punya hak untuk melakukan penuntutan personal (private prosecution). Semua pihak yang memiliki kepentingan dengan penuntutan suatu tindak pidana dapat mengajukan keberatan atas penghentian penuntutan kepada pengadilan tingkat banding (court of appeal). Pengadilan akan menguji keabsahan diskresi kewenangan yang digunakan oleh jaksa, baik dasar hukumnya maupun manfaatnya. Pihak yang keberatan tersebut memiliki hak untuk diperiksa di pengadilan dan dapat didampingi oleh penasehat hukumnya. Pengadilan dapat memerintahkan jaksa untuk melanjutkan penuntutan apabila terbukti ada penyimpangan dalam penggunaan diskresi kewenangan tersebut. Namun dalam prakteknya pengadilan jarang mengabulkan keberatan tersebut. Sampai saat ini sekitar 1200 keberatan pernah diajukan. Selain mengajukan keberatan ke pengadilan, pihak yang berkepentingan juga dapat mengajukan keberatan kepada jaksa untuk meninjau kembali penggunaan diskresi kewenangannya, dengan membuat surat permohonan kepada atasan jaksa tersebut.162 Apabila kejaksaan memutuskan untuk membawa kasus ke pengadilan, dalam kasus yang tidak terlalu rumit, pada umumnya jaksa hanya mendasarkan atas hasil penyidikan yang dilakukan oleh polisi. Dalam kasus yang sulit pembuktiannya, jaksa dapat mengajukannya kepada investigating judge untuk preliminary judicial investigation. Apabila dinyatakan lengkap oleh investigating judge, lagi-lagi jaksa harus menentukan sikap apakah akan melanjutkan penuntutan atau tidak. Jika jaksa tidak melanjutkan penuntutan dengan syarat ataupun dengan alasan lainnya, perkara ditutup, sampai ditemukan bukti baru. 163 Apabila jaksa memutuskan untuk melanjutkan penuntutan, terdakwa dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan (district court). Prosedur keberatan tersebut diperiksa dalam persidangan tertutup yang menguji apakah layak dan adil penuntutan tersebut, persidangan dilakukan secara tertutup untuk menghindari publisitas. Pengajuan keberatan semacam itu jarang dilakukan, biasanya keberatan 162 163
Ibid. hal. 372-373. Ibid. hal. 373. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
84
tersebut ditolak oleh pengadilan dan persidangan dilanjutkan. Apabila pengadilan menilai penuntutan tidak adil, perkara akan dikesampingkan, yang biasanya didasari oleh 4 (empat) hal, yaitu:164 - penuntutan telah daluwarsa; - bukti diperoleh secara ilegal; - bukan merupakan suatu tindak pidana; dan - terdapat alasan pembenar atau alasan pemaaf. 3.3.2.3. Peran Kejaksaan di Pengadilan Apabila perkara tidak dihentikan penuntutannya atau diselesaikan di luar pengadilan, jaksa akan melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan disertai dengan surat dakwaan (tenlastelegging). Pengadilan hanya akan memeriksa sebatas dakwaan jaksa dan pengadilan akan menggelar persidangan segera setelah menerima pelimpahan dari jaksa. Sidang dimulai dengan identifikasi terdakwa dan pembacaan surat dakwaan, dan hakim mengingatkan hak terdakwa untuk tidak menjawab pertanyaan. Surat dakwaan merupakan dasar pemeriksaan di persidangan, dimana berisi identitas terdakwa, uraian tentang waktu dan tempat serta cara tindak pidana dilakukan. Pengadilan tidak berwenang untuk merubah isi dakwaan. Setelah pembacaan dakwaan, dilanjutkan dengan pembuktian. Setelah pembuktian,
persidangan
dilanjutkan
dengan
pembacaan
surat
tuntutan
(requisitoir) dari jaksa. Lalu didengarkan pembelaan dari terdakwa dan/atau penasehat hukumnya. Dan akhirnya hakim akan memutuskan perkara tersebut.165 Dalam pembuktian perkara di pengadilan, jaksa mengajukan alat bukti di depan persidangan. Cukup atau tidaknya alat bukti yang dihadirkan oleh jaksa, tergantung apakah ia telah dapat meyakinkan hakim dari alat bukti tersebut, dan alat bukti tersebut harus diperoleh secara sah menurut hukum.166 Sejak tahun 1999, kejaksaan telah mengeluarkan lebih dari 35 pedoman dalam pengajuan tuntutan pidana untuk meminimalisir disparitas tuntutan, yang dikenal dengan Polaris-gudelines. Pedoman tersebut sangat jelas dan didasari atas pedoman tolak ukur tuntutan pidana yang dikeluarkan oleh the Board of 164
Ibid. Ibid. hal. 376-377. 166 Andi Hamzah. 2010. Op. Cit. hal. 7. 165
Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
85
Prosecutors-General (State Journal 2001, 28). Untuk setiap tindak pidana diberikan poin, misalnya pencurian sepeda 10 poin, perampokan di rumah 60 poin, pencurian motor 20 poin, mengutil di toko 4 poin, pengrusakan 6 poin, penganiayaan 7 poin, pengancaman 8 poin, penyekapan 10 poin, pembongkaran paksa 15 poin, mengekspor atau mengimpor obat-obatan secara ilegal 30 poin, perampokan di pabrik 42 poin, dan lain-lain. Dalam keadaan tertentu, poin-poin tersebut dapat ditambah atau dikurangi, misalnya penggunaan senjata tanpa hak atau penganiayaan yang menimbulkan luka berat akan mendapat penambahan poin. Percobaan tindak pidana akan mendapat pengurangan poin. Residivis akan mendapat tambahan poin 50%, residivis berulang kali akan mendapat tambahan poin 100%. Kemudian poin-poin tersebut akan dikonversi dengan hukuman. Tidak semua poin diperhitungkan menjadi hukuman. Metode pengkonversian dijumlahkan. Sampai dengan 180 poin, seluruh poin dihitung. Antara 181 s/d 540 poin, setiap poin dihitung 50%. Lebih dari 540 poin, setiap poin dihitung 25%. Setiap poin dapat dikonversi dengan € 22,- (dua puluh dua euro), atau satu hari penjara, atau 2 jam kerja sosial. Dibawah 30 poin, jaksa dapat menyelesaikan di luar persidangan dengan transactie denda atau kerja sosial. Antara 30 s/d 60 poin, jaksa hanya dapat menyelesaikan di luar persidangan dengan transactie kerja sosial. 61 poin atau lebih, jaksa akan mengajukan tuntutan pidana berupa kerja sosial (<120 poin) atau pidana penjara (>120 poin). Jaksa dapat menyimpang dari pedoman tersebut, namun harus menjelaskan alasannya kepada kepala kejaksaan.167 3.3.2.4. Peran Kejaksaan dalam Eksekusi Berdasarkan Pasal 553 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Sect. 553 Code of Criminal Procedure), kejaksaan melaksanakan putusan hakim. Jaksa tidak dapat melakukan transactie mengeluarkan dari penjara sebagai kompensasi bukti yang diberikan oleh terpidana untuk mengungkap suatu kasus (HR 6 April 1999, NJ 1999, 565). Perkembangannya dalam praktek, terpidana tidak menjalani sepenuhnya pidana penjara yang telah diputuskan. Alasan pertama yang digunakan oleh jaksa adalah pidana penjara yang diputuskan melawan hukum, misalnya melebihi ancaman maksimal tindak pidana tersebut atau melebihi 167
Peter J.P. Tak. 2004. Op. Cit. hal. 378. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
86
maksimal yang dapat diputuskan (misalnya dalam sidang yang dipimpin hakim tunggal hanya dapat menjatuhkan pidana penjara maksimal 1 tahun). Alasan kedua yang dilakukan oleh jaksa adalah over kapasitas penjara. Pada tahun 2002, dengan alasan over kapasitas, sekitar 4800 terpidana dibebaskan sebelum waktunya. Dalam pelaksanaan eksekusi putusan berupa pidana penjara tersebut, jaksa memiliki hak untuk memberikan instruksi atau pertimbangan untuk pembebasan bersyarat atas diri terpidana. Tugas utama kejaksaan dalam melaksanakan putusan hakim berupa pidana penjara tersebut adalah segera melakukan eksekusi setelah putusan memiliki kekuatan hukum tetap.168 Kejaksaan memiliki peranan dalam hal pembebasan bersyarat. Berdasarkan Pasal 15-15d Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Sects. 15-15d Criminal Code/Penal Code) yang berlaku pada tanggal 1 Januari 1987, aturan tentang pembebasan bersyarat adalah:169 - terpidana dengan masa hukuman maksimal 1 tahun berhak mendapatkan pembebasan bersyarat setelah menjalani hukuman setelah 6 bulan ditambah dengan 1/3 sisa masa hukuman; dan - terpidana dengan masa hukuman lebih dari 1 tahun berhak mendapatkan pembebasan bersyarat setalah menjalani 2/3 masa hukuman. Pembebasan bersyarat dapat ditunda atau ditolak apabila:170 - terpidana yang tidak berkelakuan baik selama menjalani pidana sehingga masih dianggap perlu untuk menjalani pembinaan; atau - terpidana yang dihukum percobaan selama 4 tahun atau lebih, dan ketika masih dalam masa percobaan tersebut melakukan lagi tindak pidana sehingga ia di eksekusi; atau - terpidana yang dihukum dalam kasus yang menarik perhatian masyarakat; atau - terpidana yang ketika akan dieksekusi berusaha atau melarikan diri. Yang berwenang untuk menolak atau menunda pembebasan bersyarat adalah pengadilan (court of appeal) di Arnhem, dimana pengadilan akan memutuskan untuk menolak atau menunda pembebasan bersyarat atas permintaan 168
Ibid. hal. 379. Ibid. hal. 380. 170 Ibid. 169
Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
87
jaksa. Pada tanggal 1 Mei 2003, the Board of Prosecutors-General mengeluarkan instruksi tentang aturan mengenai jaksa yang akan mengajukan permohonan penolakan atau penundaan pembebasan bersyarat, misalnya melarikan diri setelah diketahui melakukan tindak pidana, atau berusaha atau melarikan diri dari penjara (State Journal 2003, 60).171 Selanjutnya, kejaksaan berperan dalam pelaksanaan kerja sosial (taakstraf). Kerja sosial tersebut diterapkan sebagai pengganti pidana kurungan apabila dinilai lebih bermanfaat daripada terpidana menjalani pidana kurungan. Kerja sosial yang demikian tidak boleh lebih dari 480 jam kerja, dimana pidana berupa kerja sosial yang bukan merupakan pengganti pidana kurungan adalah paling lama 240 jam kerja. Kerja sosial harus selesai dilaksanakan dalam 1 tahun, walaupun perpanjangan waktu untuk itu dimungkinkan. Ketika menjatuhkan pidana berupa kerja sosial, hakim harus menyatakan apabila kerja sosial tidak dilaksanakan maka diganti dengan pidana kurungan yang lamanya antara 1 hari s/d 8 bulan. Kejaksaan bertanggung jawab untuk mengawasi pelaksanaan kerja sosial tersebut, dimana kejaksaan dapat meminta informasi dari pegawai atau lembaga dimana terpidana menjalani kerja sosial. Apabila kejaksaan menilai terpidana tidak berkelakuan baik selama menjalani kerja sosial, maka akan memberi peringatan kepada terpidana tersebut, dan setelah diberi peringatan tidak juga berubah, maka kejaksaan akan mengeksekusi terpidana dengan pidana kurungan.172 Pelaksanaan pidana denda atau uang pengganti dilakukan oleh the Central Bureau of fine collection (Centraal Justitieel incassobureau) atas nama kejaksaan. Kejaksaan dapat menyetujui pembayaran denda secara angsuran. Jumlah keseluruhan denda harus dilunasi dalam waktu 2 tahun 3 bulan setelah putusan hakim memiliki kekuatan hukum tetap. Apabila terpidana tidak mampu membayar denda, maka akan dilakukan penyitaan atas aset terpidana, dan jika aset tersebut tidak mencukupi untuk membayar denda, akan diganti dengan pidana kurungan. Ketentuan lamanya pidana kurungan tersebut ditentukan dalam putusan hakim ketika menjatuhkan pidana denda. Pada prakteknya denda senilai € 25,- s/d € 45,dikonversi dengan satu hari kurungan, dengan ketentuan pidana kurungan tersebut 171 172
Ibid. Ibid. hal. 381-382. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
88
minimal 1 hari dan paling lama 12 bulan. Terpidana tersebut dilepaskan dari kurungan apabila membayar denda ketika menjalani pidana kurungan, yang jumlahnya diperhitungkan dengan masa penahanan yang telah dijalani. Sampai saat ini 95% pidana denda berhasil dieksekusi dengan baik.173 Kejaksaan juga berwenang untuk mengampuni terpidana. Sesuai aturan, kejaksaan berkonsultasi terlebih dahulu dengan pengadilan yang menjatuhkan pidana sebelum mengampuni terpidana. Pengampunan tersebut dapat berupa menghapuskan atau memberikan remisi masa hukuman, penundaan eksekusi, atau mengkonversi bentuk pidananya, misalnya menjadi kerja sosial. Pengampunan diberikan dengan syarat yang pada prakteknya sama dengan syarat penangguhan penahanan.174 3.3.3. Kejaksaan Negara Inggris dan Wales Sampai dengan tahun 1986, Inggris dan Wales tidak mempunyai jaksa. Penuntut Umum dalam perkara ringan adalah polisi sendiri. Untuk perkara yang rumit polisi menyewa pengacara yang disebut solicitor (pada pengadilan tingkat pertama) dan barrister (pada pengadilan tingkat banding). Solicitor dan barrister tersebut yang menjadi penuntut umum tersebut dibayar oleh polisi per kasus dalam hubungan klien (polisi) dan pengacara. Oleh karena itu solicitor dan barrister dalam situasi demikian harus memenuhi keinginan klien (polisi), sehingga tidak mempunyai keputusan akhir untuk menentukan melanjutkan atau menghentikan penuntutan suatu perkara. Keinginan polisi yang diutamakan, sekalipun perkara tersebut mengandung fakta yang lemah dan kurang bukti, sehingga kemungkinan besar tidak akan menghasilkan penjatuhan pidana oleh hakim.175 Pada tahun 1978, dibentuk Royal Comission on Criminal Procedure (Philips Commision) yang dalam kajiannya menemukan kelemahan dalam sistem penuntutan, diantaranya yaitu: - polisi sebagai penyidik tidak layak menentukan apakah suatu perkara harus dilanjutkan atau tidak penuntutannya; 173
Ibid. hal. 382-383. Ibid. hal. 383. 175 Andi Hamzah. 1995. Op. Cit. hal. 115. 174
Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
89
- polisi tidak konsisten dalam menentukan kriteria dalam melanjutkan atau menghentikan penuntutan; - polisi terlalu banyak mengajukan perkara yang lemah sehingga sering dibebaskan di pengadilan. Pada tahun 1981, Royal Comission on Criminal Procedure (Philips Commision) mengeluarkan rekomendasi agar pemerintah membentuk lembaga kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan dibidang penuntutan. Rekomendasi tersebut akhirnya disetujui dan pada tahun 1985 Undang-Undang Kejaksaan (Prosecution of Offences Act) disahkan, dan pada tanggal 1 Oktober 1986 secara resmi kejaksaan yang dinamakan Crown Prosecution Service (CPS) berdiri dan mulai beroperasi, yang dipimpin oleh Director of Public Prosecutions (DPP). Salah satu keunikan dalam sistem penuntutan di Inggris dan Wales dalam sistem penuntutannya, penuntutan dapat dilakukan oleh individu (private prosecution) tanpa
melalui
polisi
(penyidikannya)
dan
tanpa
melalui
kejaksaan
(penuntutannya). Namun demikian, berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Kejaksaan, Crown Prosecution Service (CPS) dapat mengambil alih suatu private prosecution menjadi public prosecution.176 Selain itu juga dikenal penuntutan oleh lembaga-lembaga tertentu di luar Crown Prosecution Service (CPS), misalnya kasus pajak oleh Inland Revenue and Customs and Excise, kasus kesehatan oleh Health and Safety Executive, dan lainlain. Lembaga-lembaga tersebut bertanggung jawab penuh dalam yurisdiksinya dan juga memiliki kewenangan diskresi dalam penuntutan. Apabila lembagalembaga tersebut memutuskan untuk membawa perkara ke pengadilan maka mereka menyewa pengacara yang disebut solicitor (pada pengadilan tingkat pertama) dan barrister (pada pengadilan tingkat banding), dimana hubungannya adalah hubungan antara klien dengan pengacara.177 3.3.3.1. Peran Kejaksaan dalam Penyidikan
176
Ibid. hal. 116-118. Andrew Sanders. “Prosecutions in England and Wales”. Tasks and Powers of the Prosecution Services in the EU Member States (vol. I). Ed. Peter J.P. Tak. Nijmegen: Wolf Legal Publishers, 2004. hal. 100-101. Universitas Indonesia 177
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
90
Beberapa lembaga yang berwenang melakukan penyidikan, termasuk polisi, bertanggung jawab penuh atas penyidikan yang dilakukannya. Jaksa tidak bertanggung jawab atas tindakan dan penyimpangan yang dilakukan oleh penyidik. Penyidik mempertanggungjawabkan penyidikannya kepada atasannya secara hierarkis. Namun demikian jaksa berwenang untuk melakukan penuntutan atas diri penyidik apabila ditemukan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penyidik dalam melaksanakan kewenangannya (Sect. 75 Police Act 1996).178 Walaupun polisi bertanggung jawab sepenuhnya melakukan penyidikan tindak pidana, namun dalam prakteknya, terutama untuk tindak pidana yang serius dan menarik perhatian masyarakat, polisi berkoordinasi dengan jaksa, dengan pengertian hubungan supervisi, diantaranya:179 - polisi dapat meminta petunjuk dari jaksa tentang aspek hukum penyidikan yang sedang ditangani, dimana dapat dilakukan sebelum atau selama penyidikan dilakukan, terutama dalam perkara yang serius dan sulit pembuktiannya. Petunjuk dari jaksa tersebut dapat berupa petuntuk tentang prosedur penyidikan, alat bukti, maupun tentang materi penyidikan; - setelah polisi memutuskan untuk melimpahkan hasil penyidikan kepada Crown Prosecution Service (CPS), jaksa dapat melanjutkan atau menghentikan penuntutannya, atau merevisi sangkaan. Apabila jaksa memutuskan untuk menghentikan penuntutan atau merevisi sangkaan, hal tersebut diberitahukan kepada polisi; - meskipun polisi tidak memerlukan izin dari jaksa untuk penggunaan informan, penyadapan, penahanan lanjutan, dan lain-lain, namun harus mendapatkan izin dari pengadilan (Magistrates Court), dimana permohonannya diajukan oleh polisi kepada pengadilan melalui jaksa; - jaksa dapat menolak hasil penyidikan yang dilakukan oleh polisi apabila ditemukan pelanggaran hak asasi manusia dan penyimpangan prosedur dalam penyidikan. Crown Prosecution Service (CPS) dan kepolisian bekerja secara terpisah dan independen satu sama lainnya, namun terdapat suatu keterkaitan yang sangat 178 179
Ibid. hal. 102. Ibid. hal. 103-104. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
91
erat. Crown Prosecution Service (CPS) dan kepolisian bekerja sama secara intensif dan konstruktif untuk dapat membawa sebuah perkara ke tahap penuntutan. Crown Prosecution Service (CPS) bertugas untuk memberikan petunjuk dan saran kepada polisi dalam melakukan penyidikan, misalnya menjawab pertanyaan polisi, memberikan arahan hukum, memberikan arahan mengenai bukti-bukti yang diperlukan untuk dapat sampai ke tingkat penuntutan dan prosedur yang harus dilakukan dalam pra penuntutan.180 Untuk mendukung proses penyidikan, Crown Prosecution Service (CPS) memiliki jaksa yang bertugas untuk piket menerima konsultasi penyidik. Jaksa tersebut piket di kantor polisi dari hari senin sampai jum’at mulai jam 0900 sampai dengan 1700, yang bertugas untuk memberikan konsultasi secara langsung kepada polisi yang melakukan penyidikan. Selain itu terdapat pula jaksa yang bertugas selama 24 jam sehari selama 7 hari untuk menerima konsultasi melalui telepon. Dalam jangka waktu tersebut, jaksa tersebut harus siap menerima telepon dari penyidik 24 jam penuh, dan penyidik dapat melakukan penyidikan dengan lebih terarah.181 3.3.3.2. Kedudukan, Tugas dan Wewenang Kejaksaan Dalam sistem hukum di Inggris dan Wales, Attorney General (Jaksa Agung) adalah setingkat Menteri yang bertanggung jawab mengawasi beberapa lembaga penuntutan, termasuk Crown Prosecution Service (CPS), karena terdapat beberapa lembaga yang memiliki kewenangan dibidang penuntutan. Attorney General mempertanggungjawabkan pekerjaannya di depan parlemen dan masyarakat. Attorney General juga bertindak sebagai kepala penasehat bidang hukum untuk pemerintah serta bertindak sebagai wakil dari kepentingan publik.182 Posisi Kejaksaan Agung dalam sistem hukum di Inggris dan Wales lebih bersifat administratif dan politis. Kejaksaan Agung merupakan suatu departemen yang cukup kecil karena hanya memiliki 50 orang staf, yang terdiri dari:183 - Director General
180
Andi Hamzah. 2010. Op. Cit. hal. 9. Ibid. hal. 11. 182 Ibid. 183 Ibid. hal. 12. 181
Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
92
- Director, Criminal Law and Superintedence - Deputy Director, Criminal Law (memimpin 5 lawyers) - Deputy Director, Northern Ireland and Civil (memimpin 6 civil lawyers, dan bertanggung jawab sebagai Advocate General for Northern Ireland) - Deputy Director, Strategy and Governance (memimpin tim kecil yang membidangi kebijakan sistem peradilan pidana) - Deputy Director, International Law (membidangi kebijakan yang berkaitan dengan hukum internasional) - Private Office - Press Office - Correspondence Unit - Business Support Staff. Kejaksaan Agung berkoordinasi dengan lembaga-lembaga lain yaitu, Crown Prosecution Service (CPS), The Serious Fraud Office (Komisi Pemberantasan Korupsi), Health and Safety Executive (HSE), Environment Agency, Inland Revenue, Television Licensing Authority (TVLA), Department of Social Security (DSS), Inspectorate, Treasury Solicitor, Crown Solicitor for Northern Ireland, The Military prosecuting authorities, Ministerial oversight of the Government Legal Service, dan Consultative relationship with DPP/Public Prosecution Service for Northern Ireland.184 Hubungan Attorney General dengan Crown Prosecution Service (CPS) hanya berupa pengawasan, dimana Attorney General tidak berwenang mencampuri pekerjaan Crown Prosecution Service (CPS), meskipun dalam kasus tertentu yang sangat sensitif, maka Director of Public Prosecutions (DPP) harus berkoordinasi dengan Attorney General.185 Crown Prosecution Service (CPS) memiliki kewenangan yang independen dan tidak berhubungan dengan Kejaksaan Agung Inggris. Namun demikian, Jaksa Agung mengawasi jalannya kegiatan Crown Prosecution Service (CPS) walaupun
184 185
Ibid. Ibid. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
93
tidak berwenang untuk mencampuri keputusan apakah Crown Prosecution Service (CPS) akan melakukan atau menghentikan penuntutan.186 Alasan mengapa Crown Prosecution Service (CPS) hanya dibawah pengawasan namun tidak dibawah kendali Attorney General, karena Attorney General dibawah kekuasaan eksekutif, sedangkan Crown Prosecution Service (CPS) berada dibawah kekuasaan yudikatif.187 Crown Prosecution Service (CPS) berdiri pada tahun 1986, merupakan lembaga penuntutan perkara pidana yang penyidikannya dilakukan oleh polisi di Inggris dan Wales, yang memiliki tugas antara lain:188 - memberikan petunjuk kepada polisi apakah suatu perkara dapat dilanjutkan ke tahap penuntutan atau tidak; - meneliti perkara yang disidik oleh polisi; - menentukan tuntutan bagi perkara-perkara serius; - menyiapkan perkara untuk dilimpahkan ke pengadilan; - melakukan penuntutan. Crown Prosecution Service (CPS) dipimpin oleh seorang Director of Public Prosecutions (DPP), yang dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh Chief Executive yang bertindak sebagai pelaksana tugas sehari-hari. Tugas dan fungsi Director of Public Prosecutions (DPP) adalah penuntutan perkara pidana, pengawasan permasalahan hukum, dan pengambil kebijakan peradilan pidana.189 Director of Public Prosecutions (DPP) diangkat oleh pemerintah. Biasanya berasal dari barrister (pengacara praktek) bukan dari kalangan birokrat. Director of Public Prosecutions (DPP) berkantor pusat di London dan membawahi 42 Crown Prosecution Service (CPS) yang tersebar di 42 kota, dimana masingmasing dikepalai oleh Chief Crown Prosecutor. Pada masing-masing Crown Prosecution Service (CPS), Chief Crown Prosecutor bertanggung jawab atas pengangkatan jaksa dan staf di wilayahnya.190
186
Ibid. hal. 11. Andrew Sanders. Op. Cit. hal 106. 188 Andi Hamzah. 2010. Op. Cit. hal. 9. 189 Ibid. 190 Andrew Sanders. Op. Cit. hal 106-107. 187
Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
94
Crown Prosecution Service (CPS) dalam melaksanakan kewenangannya bekerja sama dengan lembaga lainnya seperti kepolisian, pengadilan, lembaga pemasyarakatan, lembaga perlindungan saksi, lembaga penuntutan perkara perpajakan dan bea cukai, The Serious Fraud Office (Komisi Pemberantasan Korupsi).191 Dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya para jaksa berpedoman pada Code of Crown Prosecutors yang dikeluarkan oleh Director of Public Prosecutions (DPP). Code of Crown Prosecutors tersebut direvisi secara berkala sesuai kebutuhan dan perkembangan. Meskipun Director of Public Prosecutions (DPP) hanya bertanggung jawab atas penuntutan yang penyidikannya dilakukan oleh polisi, Code of Crown Prosecutors juga dijadikan acuan oleh lembagalembaga yang memiliki kewenangan dibidang penyidikan selain polisi sesuai yurisdiksinya.192 Dalam melakukan tugas penuntutan, Crown Prosecution Service (CPS) tidak terlibat langsung dalam penyidikan, melainkan hanya menerima berkas perkara dan bukti dari polisi. Lalu Crown Prosecution Service (CPS) akan meneliti dan menentukan sikap apakah perkara tersebut layak untuk dilanjutkan ke tahap penuntutan atau tidak dengan mempertimbangkan 2 aspek, yaitu:193 1. Pembuktian - Jaksa harus menentukan apakah terhadap perkara tersebut terdapat cukup bukti untuk dapat dilakukan penuntutan di pengadilan; - Apabila tidak ada kemungkinan bahwa perkara tersebut akan berhasil dituntut, maka tidak akan dimajukan ke tahap penuntutan, sepenting atau seserius apapun perkara tersebut; - Dalam pelaksanaan tugasnya, jaksa harus memiliki keyakinan bahwa penuntutan dilakukan terhadap orang/pihak yang tepat, dan dalam pelaksanaannya harus menjunjung dasar keadilan bukan hanya semata-mata penjatuhan hukuman pemidanaan. 2. Kepentingan Publik
191
Andi Hamzah. 2010. Op. Cit. hal. 9. Andrew Sanders. Op. Cit. hal 107. 193 Andi Hamzah. 2010. Op. Cit. hal. 10. 192
Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
95
- Apabila jaksa menganggap terhadap suatu perkara terdapat prospek penuntutan, ia juga harus mempertimbangkan apakah perkara tersebut menarik perhatian masyarakat atau tidak. Sehingga masing-masing perkara dilihat secara sendiri-sendiri; - Kepentingan dari korban merupakan faktor penting, sehingga dalam melakukan penuntutan, jaksa harus memperhatikan konsekuensi terhadap korban maupun keluarga korban. Namun demikian, jaksa bertindak atas nama kepentingan publik bukan atas kepentingan perseorangan. Setelah mempertimbangkan kedua faktor tersebut di atas, jaksa akan menentukan pasal yang didakwakan dan menyampaikan hal tersebut kepada polisi. Crown Prosecution Service (CPS) berwenang untuk memutuskan tidak melanjutkan suatu perkara ke pengadilan dan perkara akan dihentikan, kecuali apabila suatu keadaan baru ditemukan. Penghentian penuntutan tersebut ditentukan oleh jaksa yang menangani perkaranya dengan memberikan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik secara tegas dan jelas dasar hukumnya. Crown Prosecution Service (CPS) tidak mengenal penyelesaian perkara di luar pengadilan.194 Crown Prosecution Service (CPS) memiliki kewenangan untuk mengambil alih seluruh penuntutan secara personal (private prosecution), untuk kemudian melanjutkan atau menghentikan penuntutannya. Jaksa juga memiliki hak untuk mengajukan banding atas penangguhan penahanan dengan jaminan atau hukuman yang terlalu ringan yang diputuskan oleh pengadilan (Magistrates Court). 195 3.3.3.3. Peran Kejaksaan di Pengadilan Peradilan pidana terdiri dari 4 tingkatan, yaitu:196 - Magistrates Court, untuk menjatuhkan pidana atau memutuskan apakah suatu perkara bisa dilanjutkan ke pengadilan atau tidak; - Crown Court, persidangan yang dilakukan dalam rangka penjatuhan pidana dan dilakukan dengan sistem juri. Pengadilan ini juga menerima banding dari Magistrates’ Court; 194
Ibid. hal. 11. Andrew Sanders. Op. Cit. hal 111. 196 Andi Hamzah. 2010. Op. Cit. hal. 12-13. 195
Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
96
- Court of Appeal Criminal Division, merupakan pengadilan tingkat banding untuk perkara dari Crown Court, dan untuk sebagian besar perkara merupakan pengadilan tingkat akhir bagi terdakwa; - Supreme Court, pengadilan tingkat akhir. Dalam tingkat banding, apabila hakim pada Court of Appeal Criminal Division memutuskan bahwa ada kesalahan dalam persidangan di tingkat Crown Court, maka berkas perkara akan dikembalikan kepada Crown Court untuk disidangkan kembali dengan hakim yang berbeda. Crown Prosecution Service (CPS) hanya berperan di pengadilan pada tingkatan Magistrates Court dan Crown Court. Sedangkan pada tingkat Court of Appeal Criminal Division dan Supreme Court, Crown Prosecution Service (CPS) menggunakan jasa pengacara (barrister).197 Jaksa sebagai pengendali perkara (dominus litis) dalam sistem peradilan pidana, melimpahkan perkara ke Magistrates Court untuk disidangkan. Jaksa dapat merevisi dakwaan selama pemeriksaan dalam persidangan belum selesai, bahkan dapat mencabut kembali perkaranya. Revisi atau pencabutan perkara tersebut tergantung perkembangan fakta-fakta di persidangan atau alasan kepentingan publik, kebanyakan di tingkat Magistrates Court setelah disepakati plea-bargaining dari terdakwa, sehingga persidangan tidak dilanjutkan ke hadapan juri di Crown Court. Sebagian besar perkara yang diajukan mendapatkan gulty plea dari terdakwa. Apabila tidak ada plea-bargaining dan jaksa memutuskan untuk melanjutkan penuntutan, maka perkara akan digelar di hadapan juri dalam persidangan di Crown Court, dengan memeriksa seluruh alat bukti dan diakhiri dengan (closing speeches) dari jaksa dan terdakwa dan/atau penasehat hukumnya, dimana biasanya jaksa akan menyatakan dakwaan terbukti sedangkan terdakwa dan/atau penasehat hukumnya akan menyatakan tidak terbukti. Dalam closing speeches hanya dinyatakan terbukti atau tidak dakwaan, jaksa tidak dapat meminta bentuk dan besaran hukuman yang akan dijatuhkan. Lalu juri memutuskan terbukti atau tidak, dan hakim menjatuhkan putusan pemidanaan apabila juri memutuskan bahwa terdakwa bersalah. 198 197 198
Andrew Sanders. Op. Cit. hal 122. Ibid. hal 122-123. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
97
Jaksa memiliki hak untuk mengajukan banding apabila putusan yang dijatuhkan oleh hakim dinilai terlalu rendah, sehingga tidak memenuhi rasa keadilan. Tolak ukur yang dijadikan pedoman oleh jaksa mengenai hukuman yang dijatuhkan oleh hakim mengacu pada pedoman yang dikeluarkan oleh Attorney General secara umum, serta mempertimbangkan aspek korban.
Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
BAB 4 MEKANISME PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI KEJAKSAAN
4.1. Birokrasi dan Organisasi Kejaksaan Menurut Martin Albrow, semenjak de Gourmay, bermacam-macam gagasan luas telah muncul dibawah judul birokrasi.199 Meskipun banyak tulisan lain yang merujuk jauh sebelum de Gourmay, misalnya gagasan tentang efisiensi administrasi bukanlah hal yang khas bagi pemikiran modern atau pemikiran barat, karena Cina telah memulai pada tahun 165 SM.200 Namun demikian rumusan de Gourmay dipandang penting karena dua hal; pertama, de Gourmay menemukan tipe pemerintahan lain dari model pemerintahan yang telah ada. Ia mengidentifikasikan adanya kelompok penguasa dan suatu metode pemerintahan yang baru. Kedua, istilah ”bureau” yang berarti tempat para pejabat bekerja mendapatkan tambahan ”cracy” yang diturunkan dari kata Yunani ”kratein” yang berarti mengatur (to role) menghasilkan istilah baru yang mempunyai kekuatan dashyat menembus budaya-budaya lain kedalam bahasa-bahasa Eropa, yaitu bureaucratie (Prancis), bureaukratie (Jerman-sebelumnya burokratie), burocracia (Italia), dan bureaucracy (Inggris), yang selanjutnya melahirkan istilah-istilah bureaucrat, bureaucratism, bureaucratist, dan bureaucratization.201 Menurut Miftah Toha, penyebutan birokrasi secara umum dikenal sebagai administrasi
publik,
kadang-kadang
juga
dipakai
istilah
administrasi
pemerintahan. Administrasi publik (public administration) sebenarnya sudah ada semenjak dahulu kala. Dalam catatan sejarah peradaban manusia, di Asia Selatan termasuk Indonesia, Cina, dan Mesir kuno dahulu sudah didapatkan suatu sistem penataan pemerintahan. Sistem penataan tersebut pada saat sekarang dikenal dengan administrasi publik.202 199
Martin Albrow. Birokrasi. Penerjemah M. Rusli dan Toto Daryanto. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989. Terjemahan dari Bureaucracy, London: Macmillan, 1970. hal. 3. 200 Ibid. hal. 2. 201 Ibid. hal. 3. 202 Miftah Thoha. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada Indonesia, 2004. hal. 45.
98 Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
99
Hukum sebagai sarana kontrol sosial (social engineering) tidak dapat dihindari lagi dalam masyarakat modern. Fungsi kontrol sosial tersebut dilaksanakan melalui sarana organisasi-organisasi badan penegak hukum. Menurut Donald Black:203 ”In general, social control varies directly with organization, and, in general, it is greater a direction from more to less organization than from less, to more. This applies, for instance, to social control within an organization such as voluntary association, business, school, army, or prison. For these purposes, a group in an organization if it has one or more administrative officer. Social control in group of this kind is bureaucracy. Moreover, bureaucracy is a qualitative variable; some organization have more rules and regulations than others, more complaints, hearings, dismissals, and others penalties. Some have a standard procedure for practically everything; others are loose and flexible.” Menurut Satjipto Rahardjo, untuk dapat menunjukkan hal tersebut dibutuhkan organisasi yang sangat kompleks. Mengingat kompleksitas upaya pengorganisasian masyarakat yang sangat beragam, maka negara sebagai otoritas masyarakat diperlukan untuk campur tangan dalam usaha mewujudkan ide-ide hukum yang bersifat abstrak itu dengan sarana berbagai badan atau lembaga. Lebih lanjut Satjipto Rahardjo menjelaskan:204 “… kita tidak mengenal adanya jawatan hukum atau kantor hukum, melainkan: Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian, Pemasyarakatan, dan Perundang-undangan. Badan-badan yang tampak sebagai organisasi yang berdiri sendiri-sendiri tersebut, pada hakikatnya menggambarkan tugas yang sama, yaitu mewujudkan hukum atau penegakan hukum dalam masyarakat. Kita juga bisa menyatakan bahwa tanpa dibuatnya organisasi-organisasi tersebut, hukum tidak bisa dijalankan dalam masyarakat. Apabila keadaannya demikian, maka tentunya dalam rangka membicarakan penegakan hukum, kita tidak dapat melewatkan segi keorganisasian ini. Tujuan-tujuan hukum yang abstrak di tengahtengah suatu masyarakat yang kompleks ini hanya akan diwujudkan melalui pengorganisasian yang kompleks pula. Seperti diuraikan di muka, untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum diperlukan berbagai organisasi, yang sekaligus pada hakikatnya bertugas mengantarkan orang kepada tujuan-tujuan hukum, namun masing-masing tetap berdiri sendiri-sendiri sebagai badan yang sedikit banyak bersifat otonom.”
203 204
Donald Black. The Behavior of Law. New York: Academic Press, 1976. hal. 101. Satjipto Rahardjo. Masalah Penegakan Hukum. Jakarta: BPHN, t.t. hal. 17. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
100
Organisasi dalam masyarakat modern disusun secara birokratis berdasarkan maksud untuk mencapai tujuan yang rasional secara maksimal. Suatu organisasi mempunyai ciri ketepatan, kecermatan, kesinambungan, kedisiplinan, dan keajekan (reliabilitas). Perkembangan bentuk-bentuk organisasi modern di semua bidang (negara, gereja, partai, ataupun perkumpulan sukarela) selalu identik dengan perkembangan dan peningkatan yang berkesinambungan dengan administrasi birokrasi.205 Ciri utama organisasi modern adalah rasionalitas dan efisiensi dalam kerangka otoritas “legal rational” sehingga menggambarkan proses birokratisasi. Birokratisasi sendiri bukan merupakan suatu proses yang sederhana. Pada satu sisi berkaitan erat dengan pembentukan susunan negara, disisi lain terkait dengan lapisan dan mobilitas sosial, perubahan nilai kultural masyarakat atau proses sosial lainnya. Max Weber menyatakan bahwa:206 “Birokratisasi berarti semakin tumbuhnya penggunaan peraturan dan ketentuan-ketentuan yang dibangun secara formal rasional, pemisahan antara kehidupan umum dan pribadi, terjadinya bentuk legalitas baru yang beralasan rasional, meluasnya cara bertindak yang rasional dan pelembagaan semua faktor ini ke dalam sebuah administrasi modern.” Weber menyebutkan bahwa organisasi sebagai suatu birokrasi yang menentukan normanya sendiri untuk dilaksanakan. Organisasi memiliki peraturan dan juga memberikan perintah agar organisasi dapat berfungsi secara efektif semua peraturan harus ditaati. Dalam rangka mempertahankan ketaatan ini digunakan instrumen sanksi (punishment) bagi yang menyimpang dan ganjaran (reward) bagi yang patuh. Faktor penting di dalam birokrasi yang berfungsi menggerakkan dan mengendalikan organisasi adalah suatu inertia yang oleh Weber disebut herrschaft. Menurut Satjipto Rahadjo, pengertian herrschaft ini tidak begitu mudah digantikan dengan istilah lain, sebagaimana tampak dalam penggunaan istilah ini oleh penulis lain tentang birokrasi, antara lain, domination (Fischoff), imperatif control (Parson dan Henderson), authority (Shill) (Alan Hunt, The Sociological Movement in Law). Dalam bahasa Indonesia pengertian herrschaft ini berarti bentuk kekuasaan, sifat pengaturan masyarakat, atau sumber 205
Martin Albrow. Op. Cit. hal. 34. Aan Efendi. Kelompok-Kelompok Strategis: Studi Perbandingan tentang Negara, Birokrasi dan Pembentukan Kelas-Kelas di Dunia Ketiga. Jakarta: Yayasan Obor, 1990. hal. 227. Universitas Indonesia 206
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
101
legitimasi, yang selanjutnya dipergunakan istilah domination, yang diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi dominasi. Dalam mempelajari istilah dominasi tersebut, Weber memusatkan analisis pada jenis dominasi yang disebut dominasi rasional. Dominasi rasional ini disebut sebagai puncak atau akhir perjalanan dari proses perkembangan yang panjang masyarakat Eropa dibidang ekonomi khususnya dan berpuncak pada ekonomi kapitalis.207 Dominasi rasional sebagi faktor determinan dari birokrasi yang berfungsi sebagai pengendali dan pembenar dalam pencapaian tujuan organisasi, membentuk struktur organisasi kedalam spesialisasi, hierarki, jabatan, dan keahlian para anggota organisasi dalam rangka menggerakkan organisasi. Oleh sebab itu, tingkat penghargaan seseorang dalam organisasi selalu dikaitkan dengan struktur organisasi, baik pangkat maupun jabatan. Hubungan antara manusia sebagai anggota organisasi ditentukan oleh simbol yang melekat pada masing-masing anggota organisasi berupa pangkat atau jabatan. Orang yang memiliki simbol-simbol yang mempesona, sperti pangkat, jabatan, kedudukan, dan kekayaan akan dihargai oleh orang lain. Sebaliknya, orang yang tidak mempunyai simbol, sulit untuk mendapat tempat dalam pangung penghargaan.208 Menurut Peter M. Blau dan Marshall W. Meyer, dominasi peraturanperaturan formal yang mengikat para anggota organisasi sebagai sarana menuntut kepatuhan, didukung oleh nilai-nilai tersembunyi yang sengaja diciptakan organisasi serta lazim disebut ideologi organisasi. Mitos-mitos atau ideologiideologi tersebut menjadi bagian yang integral dari hampir semua organisasi besar, bersifat privat, atau publik. Mitos-mitos organisasi merupakan alat untuk meningkatkan esprit de corps dan pengabdian para anggota organisasi.209 Perspektif organisasi menggambarkan organisasi sebagai suatu mesin yang bekerja dengan suatu keteraturan dan keajekan tertentu, yang menekankan adanya tingkat produktivitas tertentu, taraf efisiensi tertentu, dan dikendalikan oleh suatu 207
Satjipto Rahardjo. “Hukum dan Birokrasi”. Masalah-Masalah Hukum No. 4 Tahun 1989. hal.
24. 208
Miftah Thoha. Dimensi-Dimensi Ilmu Administrasi Negara. Jakarta: CV. Rajawali, 1984. hal. 121. 209 Peter M. Blau and Marshal W. Meyer. Birokrasi dalam Masyarakat Modern. Penerjemah Gary Rachman Yusuf. Jakarta: UI Press, 1987. Terjemahan dari Bureaucracy in Modern Society, New York: Random House, 1971. hal. 73. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
102
legitimasi otoritas pimpinan. Premis dasar dari paradigma ini berpijak pada pemahaman bahwa organisasi sebagai kelompok manusia ekonomi yang rasional sehingga lewat pembagian kerja dan spesialisasi hubungan kerja secara hierarkis, maka usaha pencapaian tujuan bersama akan dapat dicapai secara efektif dan efisien. Metafora yang dipergunakan adalah organisasi sebagai suatu sistem mesin (mechanism paradigm). Perwujudan yang tampak dari model organisasi seperti ini, yaitu organisasi yang disusun berdasarkan prinsip struktur piramida, kesatuan komando, jenjang pengawasan, spesialisasi berdasarkan fungsi, pembagian kerja lini dan staf, yang dikenal sebagai prinsip-prinsip organisasi.210 Formalitas prosedur di dalam birokrasi yang sering digunakan untuk mencapai efisiensi dalam rangka mencapai tujuan organisasi, berpeluang menjadi prosedur yang bersifat kontraproduktif. Prosedur formal cenderung membuat administrasi yang berbelit-belit, yang lazim disebut red tape sehingga tidak ada keraguan bahwa birokrasi kerap kali tidak efisien. Formalitas prosedur sebagai dasar pelaksanaan administrasi organisasi, pada tahapan implementasi ternyata merupakan mekanisme birokrasi yang pada hakikatnya bersifat impersonal dan terbatas berfungsi sebagai patokan-patokan yang bersifat umum. Mekanisme birokrasi yang bersifat impersonal dan formalitas prosedur yang berfungsi sebagai patokan yang bersifat umum tersebut, tidak akan menjangkau permasalahanpermasalahan pada tahap implementasi yang bersifat khusus. Kondisi seperti itu akan menciptakan ketidakberdayaan birokrasi dan menimbulkan red-tape (kekusutan pelaksanaan birokrasi). Sifat impersonal birokrasi menjadi “pagar pengaman” untuk mengikat kepatuhan anggota organisasi, sekaligus menjadi lambang ketidakberdayaan birokrasi.211 Birokrasi yang demikian menimbulkan displacement of goal (penyampingan tujuan), yaitu perbedaan antara tujuan yang dimaksudkan dari suatu lembaga yang telah dirancang secara formal dan tujuan yang secara nyata telah dicapai. Penyampingan tujuan tersebut bisa terjadi apabila cara-cara organisasional yang telah dirancang untuk meningkatkan efisiensi menjadi tujuan dan diterapkan tanpa pandang bulu terhadap semua kasus tanpa memperhatikan akibatnya. Apabila para 210 211
Miftah Thoha. 1984. Op.Cit. hal. 133. Ibid. hal. 199. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
103
birokrat dididik untuk mentaati secara kaku peraturan-peraturan organisasi dalam rangka menjamin keseragaman dan menghindari favoritisme, bisa berakibat terjadinya ketidakmampuan yang terpola. Para pejabat bersikap terlalu seragam dan menjadi tidak peka terhadap keadaan-keadaan yang tidak diatur didalam peraturan organisasi yang telah ditetapkan sehingga tidak memungkinkan menerapkan peraturan terhadap kekhususan yang ditemukan. Penegakan hukum yang berlangsung secara formal prosedural oleh Richard A. Myren disebut dengan istilah Procedural Justice, dimana dinyatakan bahwa:212 “The substantive rule that promote the must be implemented in an imartial manner through just procedure. Those implementing mechanism comprise procedural justice, some times called formal justice. Substantive rule that are just can be unjustly administered. hile unjust substantive rule can be unjustly administered. While unjust substantive rule can be justly administered. The result in either situation in justice. Achievement of justice requires that just substantive rules be justly administered.” Menurut Satjipto Rahardjo, birokrasi yang menekankan pembatasanpembatasan secara formal prosedural membatasi penegakan hukum kedalam uraian jabatan yang dinyatakan secara jelas dan terperinci. Untuk memahami kemampatan birokrasi akibat pembatasan formal prosedural tersebut, lebih lanjut dinyatakan:213 “Sebagai suatu bentuk proses yang dilembagakan, maka ia terlibat dalam pembatasan-pembatasan oleh berbagai kendala, seperti fisik, pembiayaan, dan personalia. Tingkat keberhasilan untuk menghadapi bekerjanya kendala-kendala tersebut menentukan praktik sehari-hari. Kegagalan untuk memenuhi tuntutan kendala fisik, misalnya, masalah pembiayaan akan menyebabkan, bahwa lembaga harus berusaha untuk mencari jalannya sendiri yang sekarang lazim disebut inkonvensional agar lembaga tersebut tetap dapat beroperasi sebagaimana biasa.” Apabila organisasi terlalu menekankan prosedur-prosedur formal yang membelenggu kemampatan
keleluasaan yang
tidak
bergerak,
akan
memungkinkan
menimbulkan
organisasi
kemampatan-
menghadapi
setiap
permasalahan yang timbul.
212
Richard A. Myren. Procedural Justice. California: Brooks/Cole Publishing Company Pacific Grave, 1988. hal. 28. 213 Satjipto Rahardjo. 1989. Op. Cit. hal. 46. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
104
Lembaga
penegak
hukum
yang
harus
menjalankan
tugas
dan
kewenangannya di dalam masyarakat, tidak bisa mengabaikan pengaruh lingkungan. Lebih lanjut Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa:214 “Pengaruh lingkungan terhadap organisasi meliputi; pertama, oleh karena ia mendapatkan serta menggali sumber dayanya dari lingkungan tersebut. Kedua, lembaga tidak dapat melaksanakan tugasnya secara membuta tuli begitu saja, tetapi dituntut untuk membuat perhitungan-perhitungan yang realistik, yang tidak lain memberikan perhatian terhadap aspek efisiensi kerja lembaga penegak hukum.” Upaya lembaga penegak hukum untuk meningkatkan dan menarik keuntungan
dari
masyarakat
serta
menekan
hambatan-hambatan,
bisa
menimbulkan kecenderungan penegakan hukum yang meringankan golongan masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan menekan golongan masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan.215 Fenomena ini merupakan gambaran dari penegakan hukum yang bersifat pilih-pilih atau diskriminatif. Gambaran penegakan hukum yang demikian ternyata bisa dijelaskan dari aspek organisasi yang bersifat birokratis. Organisasi sekarang lebih membutuhkan fleksibilitas yang lebih besar daripada organisasi yang diberikan oleh model birokrasi yang lebih luwes (fleksibel) tidak dapat diketahui sampai seberapa jauh terlaksana dan diragukan apakah birokrasi bisa bersifat taransdental seluruhnya. Apabila diteliti secara cermat, bisa diketahui bahwa pengetahuan tentang sebab-sebab menurutnya taraf pascabirokratik
bukanlah
merupakan
pekerjaan
meramal
semata-mata.
Ringkasnya, tidak setiap dinamika intern bisa mengungkapkan suatu proses pengembangan.216 Transformasi birokrasi yang bersifat terbuka sangat diperlukan dalam konteks masyarakat yang sedang mengalami perubahan yang cepat. Adanya perubahan yang melanda masyarakat, berarti timbul keragaman permasalahanpermasalahan yang tidak cukup diatasi dengan model penegakan hukum yang
214
Satjipto Rahardjo. t.t. Op. Cit. hal. 21. Ibid. hal. 21. 216 Ronny Hanitidjo Soemitro. “Tahap-Tahap Perkembangan Hukum dan Birokrasi”. MasalahMasalah Hukum Nomor 4 Tahun 1984. hal. 36. Universitas Indonesia 215
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
105
menekankan birokratisasi. Urgensi transformasi birokrasi tersebut diperlukan mengingat sifat kaku dari birokrasi yang sangat sulit menghadapi keragaman permasalahan dalam masyarakat yang tidak pernah berhenti dilanda perubahan, sehingga penegakan hukum pun memerlukan birokrasi yang bersifat responsif. Penyelenggaraan penegakan hukum oleh kejaksaan dalam menjalankan tugas dan fungsinya, yang bekerja menurut tata kerja sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku, tidak bisa lepas dari apa yang disebut dengan birokrasi sebagaimana telah diuraikan di atas. 4.2. Struktur Organisasi Kejaksaan Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Ketentuan tentang kedudukan kejaksaan ini diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan.217 Jaksa Agung dibantu oleh seorang Wakil Jaksa Agung dan beberapa orang Jaksa Agung Muda.218 Jaksa Agung dan Wakil Jaksa Agung merupakan satu kesatuan unsur pimpinan.219 Jaksa Agung Muda adalah unsur pembantu pimpinan.220 Di tingkat propinsi, Kejaksaan Tinggi dipimpin oleh Kepala Kejaksaan Tinggi yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan di tingkat propinsi. Kepala Kejaksaan Tinggi dibantu oleh seorang Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi sebagai unsur pimpinan, beberapa orang Asisten sebagai unsur pembantu pimpinan, dan unsur pelaksana.221 Di tingkat kota/kabupaten, Kejaksaan Negeri dipimpin oleh Kepala Kejaksaan Negeri yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang
217
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Op. Cit. Pasal 18 ayat (1). 218 Ibid. Pasal 18 ayat (2). 219 Ibid. Pasal 18 ayat (3). 220 Ibid. Pasal 18 ayat (4). 221 Ibid. Pasal 26 ayat (1) dan (2). Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
106
kejaksaan di tingkat kota/kabupaten. Kepala Kejaksaan Negeri dibantu oleh beberapa orang Kepala Seksi dan Kepala SubBagian sebagai unsur pembantu pimpinan, dan unsur pelaksana.222 Di beberapa Kejaksaan Negeri tertentu terdapat Cabang Kejaksaan Negeri yang dipimpin oleh Kepala Cabang Kejaksaan Negeri yang bertugas mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan di sebagian daerah hukum Kejaksaan Negeri yang membawahkannya. Kepala Cabang Kejaksaan Negeri dibantu oleh beberapa orang unsur pelaksana.223 Struktur birokrasi kejaksaan merupakan birokratis sentralistik, menganut pertanggungjawaban hierarkis, dan berlaku sistem komando, hal tersebut dapat terlihat dari susunan organisasi kejaksaan mulai dari tingkat Kejaksaan Agung (Kejagung), Kejaksaan Tinggi (Kejati), Kejaksaan Negeri (Kejari), hingga Cabang Kejaksaan Negeri (Cabjari). Corak struktur birokratis tersebut terlihat dari masing-masing organisasi kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung (JA), Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati), Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari), hingga Kepala Cabang Kejaksaan Negeri (Kacabjari). Masing-masing kepala adalah penanggung jawab tertinggi di daerah hukumnya. Jaksa Agung (JA) merupakan penanggung jawab dan pimpinan tertinggi di kejaksaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Sebagai pimpinan dan penanggung jawab tertinggi, seluruh kegiatan yang dilaksanakan oleh lembaga kejaksaan, mulai dari Kejaksaan Agung (Kejagung), Kejaksaan Tinggi (Kejati), Kejaksaan Negeri (Kejari), hingga Cabang Kejaksaan Negeri (Cabjari) di seluruh Indonesia harus dipertanggungjawabkan kepada Jaksa Agung (JA) secara berjenjang. Kepala Kejaksan Tinggi (Kajati) bertindak sebagai pimpinan dan pengendali di tingkat propinsi, sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Selain sebagai pimpinan dan pengendali di daerah hukumnya (tingkat propinsi), Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) harus mempertanggungjawabkan seluruh kegiatan di daerah hukumnya kepada Jaksa Agung. 222 223
Ibid. Pasal 27 ayat (1) dan (2). Ibid. Pasal 27 ayat (3) dan (4). Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
107
Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) bertindak sebagai pimpinan dan pengendali di tingkat kota/kabupaten, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Selain sebagai pimpinan dan pengendali di daerah hukumnya (tingkat kota/kabupaten),
Kepala
Kejaksaan
Negeri
(Kajari)
harus
mempertanggungjawabkan seluruh kegiatan di daerah hukumnya kepada Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati). Kepala Cabang Kejaksaan Negeri (Kacabjari) bertindak sebagai pimpinan dan pengendali di sebagian daerah hukum Kejaksaan Negeri (Kejari) yang membawahkannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Selain sebagai pimpinan dan pengendali di daerah hukumnya (sebagian daerah hukum Kejaksaan Negeri yang membawahkannya), Kepala Cabang Kejaksaan Negeri (Kacabjari) harus mempertanggungjawabkan seluruh kegiatan di daerah hukumnya kepada Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari). Ketentuan yang menempatkan Jaksa Agung (JA) dalam penanganan tindak pidana korupsi sebagai pengendali dan penentu kebijakan secara jelas diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Kewenangan Jaksa Agung (JA) dalam penanganan tindak pidana korupsi tersebut, dalam implementasinya dilaksanakan dengan dibantu oleh Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus). Pelaksanaan tugas tersebut tidak hanya dilakukan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung), namun juga dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati), Kejaksaan Negeri (Kejari), hingga Cabang Kejaksan Negeri (Cabjari), dimana hierarkis pengendaliannya dilakukan secara berjenjang, dengan struktur organisasi sebagai berikut:
Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
108
Gambar 1 Struktur Organisasi Kejaksaan Agung224 JAKSA AGUNG WAJA
JAMBIN
JAMINTEL
PUSDIKLAT
JAMPIDUM
JAMPIDSUS
PUSLITBANG
JAMDATUN
PUSPENKUM
JAMWAS
PUSINSTAKRIM
KEJATI KEJARI CABJARI
Berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 86 Tahun 1999 tanggal 30 Juli 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) memiliki tugas dan wewenang melakukan kegiatan intelijen yutisial dibidang sosial, politik, ekonomi, keuangan, dan pertahanan keamanan untuk mendukung kebijakan penegakan hukum dan keadilan baik preventif maupun represif,
melaksanakan dan/atau turut
menyelenggarakan ketertiban dan ketentraman umum serta pengamanan pembangunan nasional dan hasil-hasilnya berdasarkan peraturan perundangundangan dan kebijakan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung. Untuk melaksanakan tugas dan wewenang tersebut, Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Keppres Nomor 86 Tahun 1999 yang pada pokoknya adalah sebagai berikut: a. merumuskan kebijaksanaan teknis kegiatan
intelijen
yustisial berupa
pemberian bimbingan dan pembinaan dalam bidang tugasnya; b. Perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian kegiatan intelijen penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan untuk mendukung kebijakan penegakan hukum baik preventif maupun represif mengenai masalah ideologi, politik, media massa, barang cetakan, orang asing, cegah tangkal, sumber daya
224
Sumber: Elaborasi Keppres Nomor 86 Tahun 1999 dan Kepja Nomor 558/A/JA/12/2003. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
109
manusia, pertahanan keamanan, tindak pidana perbatasan, dan pelanggaran wilayah perairan; c. Perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian kegiatan intelijen penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan untuk mendukung kebijakan penegakan hukum baik preventif maupun represif mengenai masalah investasi, produksi, distribusi, keuangan, perbankan, sumber daya alam dan pertanahan, penanggulangan tindak pidana ekonomi, korupsi, serta pelanggaran zona ekonomi ekslusif.
Struktur organisasi intelijen Kejaksaan Agung (Kejagung) adalah sebagai berikut: Gambar 2 Struktur Organisasi Intelijen Kejaksaan Agung225 JAMINTEL SESJAMINTEL
DIR PRODSARIN
DIR EKKEU
DIR SOSPOL
SUBDIT PRODIN
SUBDIT PAM INVPROD
SUBDIT PAM IDPOL
SUBDIT SANKOM
SUBDIT PAM SDA
SUBDIT PAM OA & CEKAL
SUBDIT PAKEM
SUBDIT PAM EKMON
SUBDIT PAM WASMED
SUBDIT PAM DISPER
SUBDIT TRANTIBUM SUBDIT PAKEM
Pelaksanaan fungsi intelijen juga dilaksanakan di Kejaksaan Tinggi (Kejati) yang dikendalikan oleh Asisten Intelijen (Asintel), dengan struktur organisasi sebagai berikut:
225
Ibid. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
110
Gambar 3 Struktur Organisasi Intelijen Kejaksaan Tinggi226 KAJATI ASINTEL
SEKSI SOSPOL
SEKSI EKMON
SEKSI PRODSARIN
SEKSI PENKUM
Pelaksanaan fungsi penyelidikan juga dilaksanakan di tingkat Kejaksaan Negeri (Kejari) yang dilaksanakan oleh intelijen Kejaksaan Negeri (Kejari) dalam hal ini Seksi Intelijen yang dipimpin oleh Kepala Seksi Intelijen (Kasi Intel). Pelaksanaan penyelidikan dilakukan oleh Subseksi Sosial Politik (Subsi Sospol) dan Subseksi Ekonomi Moneter (Subsi Ekmon). Namun terhadap penyelidikan tindak pidana korupsi dilakukan oleh Subseksi Ekonomi Moneter (Subsi Ekmon). Di daerah-daerah tertentu fungsi intelijen juga dilaksanakan di Cabang Kejaksaan Negeri (Cabjari). Adapun struktur intelijen Kejaksaan Negeri (Kejari) tersebut adalah sebagai berikut: Gambar 4 Struktur Organisasi Intelijen Kejaksaan Negeri227 KAJARI SEKSI INTEL
SUBSI SOSPOL
SUBSI EKMON
SUBSI PRODSARIN
Selain oleh Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel), Jaksa Agung (JA) juga dibantu oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) yang berdasarkan Pasal 17 Keppres Nomor 86 Tahun 1999 memiliki tugas dan wewenang
226 227
melakukan
penyelidikan,
penyidikan,
pemeriksaan
tambahan,
Ibid. Ibid. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
111
penuntutan, pelaksanaan penetapan hakim dan putusan pengadilan, pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat dan tindakan hukum lain mengenai tindak pidana ekonomi, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana khusus lainnya beradasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung (JA). Dalam melaksanakan tugas dan wewenang ini, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) menyelenggarakan fungsi sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Keppres Nomor 86 Tahun 1999 yang pada pokoknya adalah sebagai berikut: a. perumusan kebijaksanaan teknis kegiatan yustisial pidana khusus berupa pemberian bimbingan dan pembinaan dalam bidang tugasnya; b. perencanaan,
pelaksanaan,
dan
pengendalian
kegiatan
penyelidikan,
penyidikan, pemeriksaan tambahan, penuntutan, eksekusi atau melaksanakan penetapan hakim, dan putusan pengadilan, pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan
lepas
bersyarat
dan
tindakan
hukum
lain
serta
pengadministrasiannya.
Memperhatikan fungsi Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) tersebut, terlihat bahwa Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan upaya hukum, serta eksekusi. Oleh karena pelaksanaan fungsi Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) selain dilaksanakan di Kejaksaan Agung (Kejagung) juga dilaksanakan oleh jajaran kejaksaan di daerah, maka Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) mempunyai fungsi pengendalian. Adapun struktur organisasi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung adalah sebagai berikut:
Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
112
Gambar 5 Struktur Organisasi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung228 JAMPIDSUS PENGKAJI
DIR DIK
SESJAMPIDSUS
JAKSA FUNGSIONAL
SUNPROGLAP & NIL
TATA USAHA
DIR TUT
DIR UHEKSI
DIR HAM
Direktorat Penyidikan (Dir Dik) di bawah Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) bertugas untuk mengadakan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 270 Keputusan Jaksa Agung (Kepja) Nomor 558/A/JA/12/2003 tentang Perubahan atas Kepja Nomor 225/A/JA/05/2003 tentang Perubahan atas Kepja Nomor 115/JA/10/1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI, dimana Direktorat Penyidikan (Dir Dik) mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas dan fungsi Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) dalam penyelidikan dan penyidikan perkara tindak pidana korupsi, tindak pidana ekonomi, dan tindak pidana khusus lainnya. Sementara di bawah Direktorat Penyidikan (Dir Dik) terdapat Subdirektorat Tindak Pidana Korupsi (Subdit Korupsi), Subdirektorat Tindak Pidana Ekonomi dan Tindak Pidana Khusus Lainnya (Subdit TPE & TPKL), dan Subbagian Tata Usaha (Subbag TU). Tugas dari Subdirektorat Tindak Pidana Korupsi (Subdit Korupsi) secara tegas diatur dalam Pasal 273 Keputusan Jaksa Agung (Kepja) Nomor 558/A/JA/12/2003, dimana Subdirektorat Tindak Pidana Korupsi (Subdit Korupsi) mempunyai tugas melaksanakan penyelidikan, penyidikan, dan tindakan hukum lainnya dibidang perkara tindak pidana korupsi. Untuk mengetahui secara lebih jelas dapat dilihat dalam struktur organisasi sebagai berikut:
228
Ibid. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
113
Gambar 6 Struktur Organisasi Direktorat Penyidikan229 DIR DIK SUBBAG TU
SEKSI WILAYAH I
SUBDIT KORUPSI
SUBDIT TPE & TPK LAINNYA
SEKSI WILAYAH II
SEKSI WILAYAH I
SEKSI WILAYAH II
Direktorat Penuntutan (Dir Tut) melaksanakan fungsi penuntutan tindak pidana korupsi, memiliki dua subdirektorat yaitu Subdirektorat Tindak Pidana Korupsi (Subdit Korupsi), Subdirektorat Tindak Pidana Ekonomi dan Tindak Pidana Khusus Lainnya (Subdit TPE & TPKL), dengan struktur organisasi sebagai berikut: Gambar 7 Struktur Organisasi Direktorat Penuntutan230 DIR TUT SUBBAG TU
SEKSI WILAYAH I
SUBDIT KORUPSI
SUBDIT TPE & TPK LAINNYA
SEKSI WILAYAH II
SEKSI WILAYAH I
SEKSI WILAYAH II
Pelaksanaan fungsi penyidikan, penuntutan, upaya hukum dan eksekusi juga dilaksanakan di tingkat Kejaksaan Tinggi (Kejati), yaitu oleh Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus), yang membawahi 3 (tiga) Kepala Seksi (Kasi), yaitu Kepala Seksi Penyidikan (Kasi Dik), Kepala Seksi Penuntutan (Kasi Tut), dan Kepala Seksi Upaya Hukum dan Eksekusi (Kasi Uheksi). Adapun struktur organisasinya adalah sebagai berikut:
229 230
Ibid. Ibid. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
114
Gambar 8 Struktur Organisasi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi231 ASPIDSUS
SEKSI DIK
SEKSI TUT
SUBSI KORUPSI
SUBSI KORUPSI
SUBSI TPE & TPKL
SUBSI TPE & TPKL
SEKSI UHEKSI
Pelaksanaan fungsi tindak pidana khusus juga dilaksanakan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari), yaitu oleh Seksi Tindak Pidana Khusus yang dipimpin oleh seorang Kepala Seksi yaitu Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus (Kasi Pidsus), yang membawahi 2 (dua) Subseksi yaitu Subseksi Penyidikan (Subsi Dik), dan Subseksi Penuntutan (Subsi Tut). Adapun struktur organisasinya adalah sebagai berikut: Gambar 9 Struktur Organisasi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri232 KAJARI SEKSI PIDSUS
SUBSI DIK
SUBSI TUT
Memperhatikan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 86 Tahun 1999 tanggal 30 Juli 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, yang dijabarkan lebih lanjut dengan Keputusan Jaksa Agung (Kepja) Nomor 558/A/JA/12/2003 tentang Perubahan atas Kepja Nomor 225/A/JA/05/2003 tentang Perubahan atas Kepja Nomor 115/JA/10/1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI, sebagaimana terurai dalam struktur dan fungsi yang telah disebutkan di atas, antara Jaksa Agung Muda
231 232
Ibid. Ibid. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
115
Intelijen (Jamintel) dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), sama-sama memiliki kewenangan dibidang penyelidikan. Namun demikian dalam implementasinya tugas-tugas penyelidikan umumnya dilakukan oleh bidang intelijen, hanya saja karena penyelesaian perkara korupsi bermuara di bidang tindak pidana khusus, maka dalam membentuk tim penyelidik terkadang menyertakan jaksa-jaksa dari bidang tindak pidana khusus. 4.3. Prosedur Penanganan Tindak Pidana Korupsi di Kejaksaan Untuk menguraikan lebih lanjut bagaimana mekanisme masing-masing tahap pelaksanaan penanganan tindak pidana korupsi di kejaksaan, akan diuraikan secara berurutan mulai dari tahap penyelidikan, tahap penuntutan, hingga tahap upaya hukum dan eksekusi. 4.3.1. Tahap Penyelidikan Dugaan tindak pidana korupsi dapat bersumber dari berbagai macam sumber, antara lain atas dasar laporan masyarakat baik secara pribadi maupun atas dasar laporan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM). Disamping itu juga dapat diperoleh dari hasil temuan, baik atas dasar temuan dari petugas intelijen kejaksaan sendiri maupun temuan dari instansi pemerintah baik vertikal maupun horizontal yang diperoleh dari hasil pengawasan yang dilaporkan kepada Kejaksaan. Laporan instansi lain yang paling sering adalah dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Badan Periksa Keuangan (BPK). Laporan yang diperoleh tidak semuanya disertai dan didukung dengan bukti-bukti tentang adanya dugaan tindak pidana korupsi. Laporan yang bersumber dari masyarakat, baik secara pribadi maupun atas dasar laporan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM), biasanya kurang dilengkapi dan didukung dengan bukti-bukti awal sebagai pendukung adanya dugaan tindak pidana korupsi. Laporan tentang dugaan tindak pidana korupsi, yang memiliki indikasi kuat adanya tindak pidana korupsi akan ditindaklanjuti dengan membentuk tim penyelidik yang disertai dengan Surat Perintah Operasi Intelijen Yustisial. Tim yang dibentuk beranggotakan beberapa jaksa dengan jumlah yang bervariasi tergantung dari besar-kecilnya kasus dan ketersediaan tenaga jaksa, dimana dalam prakteknya biasanya terdiri dari 3 s/d 5 jaksa. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
116
Dalam Surat Perintah Operasi Intelijen Yustisial dicantumkan secara singkat dugaan korupsi yang terjadi, asal laporan dan susunan tim. Daftar nama anggota tim disusun sesuai dengan urutan kepangkatan dari yang tertinggi atau paling senior ke yang berpangkat paling rendah atau yunior. Urutan tertinggi ditunjuk sekaligus sebagai ketua tim yang bertugas sebagai koordinator. Setelah tim terbentuk, dengan koordinasi ketua tim, diadakan pembahasan tentang dugaan tindak pidana korupsi tersebut dengan pembagian tugas masingmasing, termasuk didalamnya menyiapkan rencana penyelidikan (renlid) dan time schedule
tentang
pemanggilan
terhadap
pihak-pihak
yang
diperlukan
keterangannya. Pelaksanaan operasi intelijen yustisial dapat dilakukan dengan dua cara yaitu terbuka dan tertutup. Operasi intelijen secara tertutup, dalam menggali data dan keterangan dilakukan tanpa adanya publikasi dan juga tidak diketahui oleh para
pihak-pihak
yang
dimintai
informasi.
Namun
demikian
dalam
perkembangannya dalam beberapa tahun terakhir, seiring dengan peran serta masyarakat yang tinggi dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dengan melaporkan dugaan tindak pidana korupsi kepada kejaksaan, maka operasi intelijen yustisial cenderung dilakukan secara terbuka, artinya usaha pengumpulan data dan bahan keterangan dilakukan secara terbuka. Pihak-pihak yang diperlukan keterangannya dipanggil secara terbuka. Namun demikian hasil penyelidikan ini tidak dipublikasikan. Dalam tahap penyelidikan, pengumpulan data yang diperoleh akan dikoordinasikan dengan ketua tim, dan selanjutnya ketua tim melaporkan hasilnya kepada pimpinan kejaksaan secara berjenjang. Pengumpulan data dan bahan keterangan di tingkat penyelidikan hanya sebatas data sementara, artinya data yang dihimpun belum merupakan alat bukti yang sah, demikian juga dengan Berita Acara Pemeriksaan belum bersifat proyustisia, dan data-data berupa dokumen yang dihimpun biasanya baru berupa foto copy, karena dalam tahap penyelidikan belum dapat dilakukan penyitaan. Hasil penyelidikan ini, dengan memperhatikan petunjuk pimpinan akan di ekspose di hadapan pimpinan kejaksaan. Di tingkat Kejaksaan Agung, ekspose dilakukan di hadapan Direktur Ekonomi dan Keuangan (Dir Ekkeu) pada Jaksa Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
117
Agung Muda Intelijen (Jamintel) dan/atau Direktur Penyidikan (Dir Dik) pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), dengan dihadiri oleh para Kepala Sub-Direktorat (Kasubdit) terkait, para Kepala Seksi (Kasi) terkait, dan para jaksa senior di lingkungan Intelijen dan/atau Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung. Di tingkat Kejaksaan Tinggi, ekspose dilakukan di hadapan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) dan/atau Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi (Wakajati), dengan dihadiri oleh para asisten, khususnya Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) dan/atau Asisten Intelijen (Asintel), para Kepala Seksi (Kasi) terkait, dan para jaksa senior di lingkungan Intelijen dan/atau Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi. Sedangkan di tingkat Kejaksaan Negeri, ekspose dilakukan di hadapan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari), dengan dihadiri oleh para Kepala Seksi (Kasi), terutama Kepala Seksi Intelijen (Kasi Intel) dan/atau Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus (Kasi Pidsus), para Kepala Subseksi (Kasusbsi) terkait, dan para jaksa senior di lingkungan Intelijen dan/atau Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri. Pada saat ekspose, ketua tim menyampaikan kepada peserta ekspose atas hasil temuan yang diperoleh, kemudian ditanggapi oleh para jaksa yang hadir. Dalam forum ekspose ini akan ditentukan apakah terhadap dugaan tindak pidana korupsi ditingkatkan ke tahap penyidikan, diperdalam lagi, atau dihentikan karena bukan merupakan tindak pidana korupsi, dimana dalam prakteknya keputusan sepenuhnya berada pada pimpinan kejaksaan. Hasil ekspose baik berupa kesepakatan untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan maupun dihentikan akan dilaporkan secara berjenjang untuk mendapatkan petunjuk pimpinan dengan parameter kerugian negara. Terhadap hasil penyelidikan yang diputuskan untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan dan telah dilaporkan secara berjenjang serta telah mendapatkan petunjuk, maka akan diserahkan ke bidang tindak pidana khusus. Penyerahan bundel hasil penyelidikan disertai dengan seluruh data dan dokumen yang diperoleh pada saat penyelidikan dengan disertai Berita Acara Penyerahan. Sedangkan penyelidikan yang dihentikan setelah mendapatkan persetujuan dari pimpinan akan dihentikan.
Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
118
Memperhatikan deskripsi mekanisme penanganan perkara tindak pidana korupsi pada tahap penyelidikan tersebut, setidaknya terdapat dua hal menarik, yakni sebagai berikut: 1) Birokrasi penyelidikan bersifat tertutup. Ketertutupan birokrasi kejaksaan atas hasil penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi menjadi persoalan menarik untuk dikaji, karena dengan tidak adanya transparansi atas hasil penyelidikan membuka peluang terjadinya penyimpangan birokrasi, berupa penyalahgunaan kekuasaan atau bahkan korupsi. Berbagai fenomena dan sejarah perkembangan korupsi di Indonesia, menunjukkan adanya kaitan erat antara korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan perilaku kekuasaan dan birokrasi yang melakukan penyimpangan. Untuk terhindar dari penyimpangan sudah barang tentu birokrasi harus sehat. Sementara birokrasi yang sehat adalah birokrasi yang profesional, netral, terbuka, demokratis, mandiri, serta memiliki integritas dan kompetensi dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Birokrasi yang sehat ini penting karena bila tidak, akan condong memberikan kontribusi pada penguasa dan keberpihakannya ditujukan pada segelintir orang, bekerja lamban, tidak akurat, berbelit-belit dan berkecenderungan pada motif “ujung-ujungnya duit”. Lebih dari itu, birokrasi model ini akan mudah terjebak pada korupsi, kolusi, dan nepotisme. 233 Birokrasi kejaksaan yang tertutup cenderung menjadi birokrasi yang tidak sehat dan mudah terjebak pada penyimpangan. Sejalan dengan perkembangan masyarakat
termasuk didalamnya
terjadinya peningkatan peran serta masyarakat dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi, banyak dugaan tindak pidana korupsi yang dilaporkan ke kejaksaan. Laporan dugaan tindak pidana korupsi dilakukan baik secara perorangan maupun atas nama lembaga swadaya masyarakat (LSM), serta laporan resmi dari instansi pemerintah, seperti BPK dan/atau BPKP. Laporanlaporan tersebut cenderung bersifat terbuka, bahkan LSM-LSM, selain secara 233
Mustopadidjaja. “Reformasi Birokrasi Sebagai Syarat Pemberantasan KKN”. Makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII dengan tema ”Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan”. Diselenggarakan oleh BPHN di Denpasar, 14-18 Juli 2003. hal. 8. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
119
terbuka melaporkan dugaan tindak pidana korupsi kepada kejaksaan, juga mempublikasikannya lewat media massa. Namun demikian, doktrin yang berkembang di kejaksaan, memandang tabu untuk mempublikasikan hasil-hasil penyelidikan. Sifat tertutup kejaksaan dalam pengungkapan hasil penyelidikan tindak pidana korupsi kepada publik, sebenarnya sudah tidak sesuai dengan semangat pemberantasan tindak pidana korupsi. Apalagi ketentuan mengenai hal ini sudah diatur secara jelas dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yakni sebagai berikut: (1)Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. (2)Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk: a. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi; b. Hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi; c. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi; d. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari; dst. Memperhatikan ketentuan tersebut, berarti masyarakat yang melaporkan adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi berhak untuk memperoleh laporan hasil penyelidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kejaksaan. Hal ini juga berarti bahwa hasil penyelidikan harus dapat diakses oleh publik. Namun demikian, hak untuk memperoleh jawaban perkembangan hasil penyelidikan tindak pidana korupsi ini masih belum terpenuhi, karena kejaksaan cenderung bersifat tertutup. Ketertutupan ini berlindung dibalik doktrin intelijen kejaksaan bahwa hasil operasi intelijen kejaksaan termasuk didalamnya hasil penyelidikan tindak pidana korupsi bersifat tertutup sehingga tidak dapat diakses oleh publik. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
120
Pemaknaan ketertutupan terhadap hasil penyelidikan tindak pidana korupsi ini adalah tidak tepat. Ketertutupan penyelidikan seharusnya dimaknai sebagai ketertutupan dalam memperoleh informasi atau bahan keterangan tentang adanya suatu dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi, termasuk sumber perolehan informasi dugaan tindak pidana korupsi. Sementara terhadap perolehan hasil penyelidikan sudah tidak relevan lagi untuk dimaknai secara tertutup, apalagi sumber perolehan dugaan tindak pidana korupsi biasanya sudah dinyatakan secara terbuka. Terkait dengan ketertutupan hasil penyelidikan tindak pidana korupsi, pada gilirannya berdampak pada tidak efektifnya penegakan hukum. Menurut Muladi, terdapat 3 (tiga) faktor yang mempengaruhi yaitu:234 1. Adanya strategi penegakan hukum yang tepat dan dirumuskan secara komprehensif dan integral; 2. Adanya kehendak politik untuk melaksanakan strategi tersebut; 3. Adanya “pressure” dalam bentuk pengawasan masyarakat. Ketertutupan kejaksaaan atas proses penanganan tindak pidana korupsi pada tahap penyelidikan, berarti tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat atau
publik
untuk
pengawasan/kontrol
melakukan publik
pengawasan
adalah
salah
satu
atau
kontrol.
faktor
Padahal
penentu
yang
mempengaruhi efektifitas penegakan hukum. Ketertutupan hasil penyelidikan tindak pidana korupsi berdasarkan data yang berhasil dihimpun, lebih banyak dimanfaatkan untuk menyelamatkan kebijaksanaan pimpinan kejaksaan apabila pimpinan memiliki kebijaksanaan yang
berbeda
dengan
temuan
hasil
penyelidikan,
misalnya
dengan
menghentikan penanganan perkara meskipun ditemukan fakta hukum dengan terpenuhinya unsur-unsur delik. Ketertutupan hasil penyelidikan lebih dimaksudkan untuk menghindari akuntabilitas publik atas penanganan perkara, karena dengan tanpa diketahui publik, maka pimpinan kejaksaan akan lebih leluasa untuk menentukan kebijaksanaannya, khususnya kebijaksanaan yang menyimpang baik berupa 234
Muladi. Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta: The Habibie Centre, 2002. hal. 27. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
121
penghentian perkara, pembatasan jumlah tersangka maupun kepentingankepentingan lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Ketertutupan hasil penyelidikan kepada publik juga bertentangan dengan asas akuntabilitas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bebas Dan Bersih Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme. Bahkan secara politis, sikap tertutup dalam penyelidikan tindak pidana korupsi juga bertentangan dengan TAP MPR Nomor VII/MPR/2001 tanggal 9 November 2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan, khususnya Bab IV angka 9 huruf a, yaitu terwujudnya penyelenggaraan negara yang profesional, transparan, akuntabel, memiliki kredibilitas dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. 2) Penentuan hasil penyelidikan untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan atau dihentikan, ditentukan oleh kebijaksanaan pimpinan. Keadaan ini merupakan suatu kesewenang-wenangan birokrasi, karena seharusnya yang menjadi dasar apakah suatu perkara ditingkatkan ke tahap penyidikan atau dihentikan adalah terpenuhi tidaknya atau tidaknya rumusan delik. Apabila dikembalikan pada rumusan KUHAP, penyelidikan lebih dimaksudkan sebagai kegiatan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa pidana, oleh sebab itu, apabila peristiwa pidana sudah ditemukan, idealnya harus segera ditingkatkan ke tahap penyidikan. Untuk dapat mengatakan telah terjadi suatu peristiwa pidana, harus dikembalikan pada unsur-unsur delik. Terpenuhinya unsur-unsur delik harus dibuktikan dengan alat bukti. Pengertian alat bukti yang sah menurut ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, adalah: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa. Selanjutnya, memperhatikan ketentuan Pasal 183 KUHAP, yakni sebagai berikut:
Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
122
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Syarat minimal pembuktian ini dapat menjadi pedoman bagi penyelidikan untuk menentukan apakah suatu peristiwa pidana telah terjadi, karena penyelidikan sifatnya hanyalah pendahuluan, berarti dalam pencarian alat bukti tidak terlalu detail. Namun demikian setidaknya dua alat bukti sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP ini dapat menjadi pedoman. Apabila dua alat bukti sudah terkumpul, berarti sudah cukup alasan untuk meningkatkan status dari tahap penyelidikan ke tahap penyidikan. Bertolak dari ketentuan KUHAP ini, idealnya, tidak ada alasan bagi penyelidik untuk tidak meningkatkan ke tahap penyidikan terhadap suatu dugaan tindak pidana korupsi yang sudah ditemukan peristiwa pidananya dengan minimal dua alat bukti. Terkait dengan alat bukti ini, khusus mengenai alat bukti dalam tindak pidana korupsi, yaitu alat bukti petunjuk, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah memberikan perluasan tentang pengertian perolehan alat bukti petunjuk. Alat bukti petunjuk yang menurut Pasal 188 KUHAP hanya terbatas pada: (1)Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tidak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. (2)Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari: a. keterangan saksi; b. surat; c. keterangan terdakwa. Pengertian alat bukti petunjuk yang perolehannya hanya terbatas dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa, telah diperluas dengan Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang memperluas sumber perolehan alat bukti petunjuk yaitu:
Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
123
a. Alat bukti yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang memiliki makna. Dengan perluasan pengertian perolehan alat bukti petunjuk ini, akan mengubah mindset penyelidik, bahwa pengertian perolehan alat bukti petunjuk tidak lagi hanya terbatas diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa, tetapi menjadi lebih luas. Hal ini tentu saja akan memudahkan penyelidik dalam melakukan penyelidikan, khususnya untuk menemukan alat bukti tindak pidana korupsi guna meningkatkan status dari tahap penyelidikan ke tahap penyidikan. Paradigma yang berkembang di birokrasi kejaksaan, bahwa peningkatan status dari tahap penyelidikan ke tahap penyidikan harus ditentukan oleh pimpinan secara berjenjang dengan parameter bobot kasus/kerugian negara, berarti bertentangan dengan ketentuan KUHAP, karena siapapun yang menjadi penentunya, seharusnya menggunakan parameter KUHAP ini. Ketika
penyelidik
telah
menemukan
peristiwa
pidana
dengan
terpenuhinya syarat minimal pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP, bahkan dengan telah diperluasnya pengertian alat bukti petunjuk dari Pasal 188 ayat (2) KUHAP dengan Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, akan lebih mempermudah penyelidik untuk menentukan sikapnya apakah hasil penyelidikan telah layak ditingkatkan ke tahap penyidikan atau belum, tanpa harus menunggu kebijaksanaan pimpinan maupun petunjuk pimpinan secara berjenjang. Model penentuan peningkatan tahap penyelidikan ke tahap penyidikan yang harus diserahkan kepada kebijaksanaan pimpinan kejaksaan secara berjenjang, ditunjang dengan ketertutupan hasil penyelidikan, sangat rawan terhadap penyimpangan. Apabila pimpinan kejaksaan membuat kebijaksanaan
Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
124
yang menyimpang, atau dengan kata lain penyimpangan telah direstui pimpinan, maka penyimpangan telah terlembagakan dalam bentuk formal. 4.3.2. Tahap Penyidikan 1) Tahap Persiapan Dugaan tindak pidana korupsi sebagai hasil penyelidikan yang dilakukan oleh bidang intelijen, diterima di bidang tindak pidana khusus dalam bentuk bundel berkas hasil pengumpulan data berupa Berita Acara Pemeriksaan dan dokumen-dokumen yang akan dijadikan sebagai alat bukti surat. Penyerahan bundel berkas ini disertai dengan Berita Acara Penyerahan. Atas dasar penyerahan bundel berkas dugaan tindak pidana korupsi tersebut dibentuk tim penyidik. Pembentukan tim penyidik dilakukan dengan Surat Perintah Penyidikan (P-8) yang dikeluarkan oleh Direktur Penyidikan (Dir Dik) pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) atau Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus), atau Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari). Dalam Surat Perintah Penyidikan tercantum nama tersangka berikut identitas lengkap, uraian singkat dugaan tindak pidana korupsi dan susunan tim penyidik, seperti halnya dalam tahap penyelidikan. Dengan koordinasi ketua tim, dipersiapkan rencana penyidikan (rendik), dan time schedule rencana pemanggilan terhadap para pihak yang akan dimintai keterangan sebagai saksi dengan urutan prioritas siapa yang paling menentukan. Penyusunan time schedule ini penting, mengingat sesuai dengan ketentuan KUHAP, surat panggilan harus sudah diterima oleh para pihak yang akan dimintai keterangan paling lambat 3 hari sebelum pemeriksaan. Disamping itu tidak setiap pemanggilan dengan serta merta akan dihadiri, karena berbagai kepentingan yang terkadang berbarengan dengan jadwal pemeriksaan. Oleh sebab itu perlu direncanakan apabila pemanggilan pertama tidak hadir, kapan harus dipanggil ulang dan akan diperiksa oleh penyidik yang mana. Apabila panggilan telah dilakukan tiga kali sementara tidak ada keberatan yang sah maka akan dilakukan upaya paksa. Namun demikian hal ini tergantung dari urgensi keterangan saksi. Apabila kedudukan saksi dapat digantikan oleh orang lain yang sama-sama mengetahui peristiwa pidana yang Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
125
disangkakan pada tersangka, maka dapat digantikan oleh saksi lain. Namun apabila kedudukan saksi benar-benar vital dan sangat menentukan, akan diupayakan semaksimal mungkin kehadiran saksi tersebut, meskipun harus dilakukan dengan upaya paksa. 2) Tahap Pemeriksaan Saksi Ketika panggilan kepada saksi telah disampaikan dan pada hari “h” saksi hadir, maka akan dilakukan pemeriksaan dengan mendasarkan pada berita acara hasil penyelidikan. Namun demikian tentu saja akan diperdalam, karena biasanya hasil pemeriksaan penyelidikan masih sangat sumir dan belum secara detail menguraikan tentang unsur-unsur tindak pidana korupsi. Oleh sebab itu dalam pemeriksaan tahap penyidikan harus dilakukan secara tuntas, dan mengaitkan dengan alat bukti dokumen-dokumen dan alat bukti lainnya. Dalam pemeriksaan terhadap saksi, dokumen-dokumen yang diperlukan biasanya dicantumkan secara tegas dalam surat panggilan, sesuai dengan kapasitas saksi. Dokumen-dokumen yang dibawa saksi akan disita untuk selanjutnya dipakai sebagai barang bukti. Alat bukti surat berupa dokumendokumen akan dihimpun dan selanjutnya dimintakan izin kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk disita. Penyitaan terhadap dokumen biasanya dilakukan terlebih dahulu tanpa izin sita dari Ketua Pengadilan Negeri, baru setelah disita akan dimintakan persetujuan penyitaan pada Ketua Pengadilan Negeri. Setelah saksi diperiksa yang hasilnya dituangkan dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan yang sudah pro yustisia, sebelum ditandatangani oleh saksi, kepada saksi diminta untuk membaca apakah keterangan yang diberikan sudah benar, kalau sudah benar akan ditutup dan ditandatangani oleh saksi dan penyidik. Hasil penyidikan ini akan disampaikan kepada ketua tim dan juga kepada pimpinan kejaksaan secara berjenjang, di tingkat Kejaksaan Agung (Kejagung) yaitu Direktur Penyidikan Tindak Pidana Khusus (Dir Dik), di tingkat Kejaksaan Tinggi (Kejati) yaitu Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus), dan di tingkat Kejaksaan Negeri (Kejari) yaitu Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari). Dari hasil pemeriksaan akan diketahui apakah terhadap saksi dianggap cukup, Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
126
atau keterangannya diperlukan lagi dan diminta untuk hadir kembali dalam waktu yang disepakati atau melalui pemanggilan lagi. Diskusi hasil pemeriksaan terfokus pada permasalahan yang sama. Bahkan dari hasil pemeriksaan saksi ini akan diketahui kemungkinan adanya tersangka baru selain yang telah ditetapkan sebelumnya atas dasar rekomendasi tim penyelidik. Apabila memang ditemukan tersangka baru maka akan ditetapkan tersangka baru selain dari tersangka yang sudah ada, meskipun penetapan tersangka baru atas dasar pengembangan hasil penyidikan ini tidak mudah, karena harus mendapatkan persetujuan dari pimpinan, disamping juga penetapan siapa yang jadi tersangka sudah ditetapkan sebelumnya dan merupakan kebijaksanaan pimpinan. 3) Tahap Pemeriksaan Tersangka Dalam proses penyidikan, pemeriksaan terhadap tersangka dilakukan setelah pemeriksaan terhadap saksi selesai dilakukan, hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan keterangan yang selengkap-lengkapnya terhadap suatu tindak pidana korupsi. Disamping itu keterangan tersangka dalam proses pembuktian di
persidangan
nantinya,
pembuktiannya
lemah,
tidak
dan
keterangan tersangka
semua
tersangka
mau
kekuatan mengakui
perbuatannya. Pemeriksaan tersangka mengacu pada alat bukti yang berhasil dihimpun, yang dalam perkara korupsi bukti-bukti dokumen biasanya sangat menentukan. Disamping itu karena tujuan penyidikan korupsi antara lain juga dimaksudkan untuk menyelamatkan kekayaan negara, maka pemeriksaan terhadap tersangka selain ditujukan terhadap terpenuhinya rumusan delik, juga dilakukan inventarisasi terhadap kekayaan tersangka. Inventarisasi ini dimaksudkan untuk mengembalikan kerugian negara sebagai akibat dari perbuatan tersangka. Bahkan karena pemidanaan terhadap terdakwa korupsi selain pidana penjara, dan pidana denda, juga dikenal dengan pidana pengganti berupa pengembalian kerugian negara, maka upaya untuk itu dimulai dari tingkat penyidikan untuk disita. 4) Tahap Penyitaan Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
127
Hasil penyelidikan yang antara lain berhasil menghimpun fotocopy dokumen dilengkapi dengan dokumen-dokumen lain, pada tahap penyidikan diupayakan yang asli untuk selanjutnya di sita. Penyitaan terhadap dokumen biasanya dilakukan terlebih dahulu, baru kemudian dimintakan persetujuan penyitaan kepada Ketua Pengadilan Negeri sesuai dengan daerah hukumnya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari upaya penghilangan barang bukti. Sementara terhadap harta kekayaan tersangka dimintakan izin sita dahulu baru dilakukan penyitaan terutama aset tidak bergerak, sedangkan aset yang bergerak juga dapat dilakukan penyitaan terlebih dahulu. Terhadap aset tersangka yang disimpan di bank, karena terikat dengan kerahasiaan bank, maka penyitaan harus terlebih dahulu disertai dengan izin pemeriksaan terhadap keadaan keuangan tersangka kepada Gubernur Bank Indonesia. Oleh sebab itu untuk menghindari pengalihan aset melalui bank, maka begitu seseorang yang terlibat tindak pidana korupsi dinyatakan sebagai tersangka, maka segera diikuti dengan permintaan pemblokiran atas rekening tersangka kepada bank-bank yang diduga sebagai tempat untuk menyimpan harta kekayaan tersangka. Pada saat yang bersamaan penyidik mengajukan permohonan izin kepada Gubernur Bank Indonesia untuk mendapatkan izin pemeriksaan terhadap keadaan keuangan tersangka melalui Kejaksaan Agung (Kejagung). Izin kepada Gubernur Bank Indonesia ini biasanya terkendala oleh birokrasi dari penyidik di Kejaksaan Negeri/Tinggi ke Kejaksaan Agung cq. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) baru kepada Gubernur Bank Indonesia. Dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan izin, karena birokrasi internal kejaksaan sendiri, sementara terhadap birokrasi di Bank Indonesia relatif lancar, biasanya dalam waktu 3 s/d 7 hari sudah keluar dari Bank Indonesia. Sementara untuk di internal kejaksaan, baik proses pengajuannya maupun sampainya ke wilayah bisa memakan waktu lebih dari 1 (satu) bulan. 5) Tahap Pemberkasan Setelah pengumpulan alat bukti telah berhasil dilakukan, maka hasil penyidikan ini diekspose di hadapan pimpinan kejaksaan, seperti halnya dalam Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
128
tahap penyelidikan. Ekspose dilakukan untuk menentukan apakah hasilnya layak untuk ditingkatkan ke tahap penuntutan atau tidak. Setelah dinyatakan layak, maka hasilnya dilaporkan dalam bentuk laporan perkembangan hasil penyidikan yang dilakukan secara berjenjang dengan tolak ukur jumlah kerugian negara. Setelah
laporan
perkembangan
hasil
penyidikan
mendapatkan
persetujuan dari pimpinan, akan diberkaskan dalam bentuk berkas perkara. Lalu disampaikan kepada bidang penuntutan tindak pidana khusus (Penyerahan tahap I), dimana jaksa pada bidang penuntutan tindak pidana khusus akan meneliti berkas perkara, apakah berkas tersebut sudah memenuhi syarat formil maupun materiil. Apabila belum memenuhi syarat formil dan/atau materiil, berkas akan dikembalikan kepada penyidik (P-18), yang diikuti dengan petunjuk untuk melengkapi berkas (P-19). Karena berkas dikembalikan maka penyidik akan memenuhi sesuai petunjuk dan dilakukan pemberkasan ulang untuk selanjutnya diserahkan kembali kepada bidang penuntutan tindak pidana khusus. Memperhatikan deskripsi mekanisme penanganan perkara tindak pidana korupsi pada tahap penyidikan sebagaimana telah diuraikan di atas, setidaknya terdapat dua hal menarik, yaitu: 1) Terjadi pemisahan yang tegas antara birokrasi penyelidikan dan penyidikan. Pemisahan ini mengakibatkan masing-masing fungsi seolah berjalan sendiri-sendiri. Padahal tindakan penyelidikan hanya bersifat pendahuluan, sedangkan kegiatan pokoknya berupa pengumpulan alat bukti dan penetapan tersangka dilakukan dalam tahap penyidikan. Dengan demikian sebenarnya antara penyelidikan dan penyidikan adalah suatu rangkaian yang tidak terpisahkan, namun demikian tetap dalam catatan bahwa kegiatan pokoknya adalah penyidikan bukan penyelidikan, karena terhadap suatu dugaan tindak pidana, dalam hal ini tindak pidana korupsi, yang sudah jelas peristiwanya, sudah cukup alat buktinya, berarti tidak perlu lagi dilakukan kegiatan penyelidikan, tetapi langsung penyidikan, karena penyelidikan hanya dimaksudkan untuk menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
129
Tampaknya pamahaman penyelidikan dan penyidikan di kejaksaan menjadi “salah kaprah” sehingga terjadi pemisahan antara penyelidikan dan penyidikan secara tegas. Fungsi penyelidikan seolah-olah berdiri sendiri terlepas dari fungsi penyidikan. Hal ini diperuncing dengan egoisme sektoral antara bidang intelijen dan bidang tindak pidana khusus. Terjadinya dikotomi antara fungsi penyelidikan yang dilakukan oleh bidang intelijen dan penyidikan yang dilakukan oleh bidang tindak pidana khusus, yang menimbulkan egoisme sektoral, semakin menjadi persoalan karena penyelidikan tidak dilaksanakan secara transparan. Pelaksanaan penyelidikan oleh bidang intelijen tidak mau dikontrol oleh bidang tindak pidana khusus, sehingga tidak semua penyelidikan yang dilakukan oleh bidang intelijen hasilnya dapat diketahui oleh bidang tindak pidana khusus. Hal inilah yang menyebabkan akuntabilitas menjadi diragukan. Dikotomi antara penyelidikan dan penyidikan selain bertentangan dengan KUHAP, juga bertentangan dengan hakikat sistem peradilan pidana terpadu, yang menjadi jiwa dan semangat KUHAP itu sendiri. Tiap-tiap sub-sistem dalam sistem peradilan pidana adalah terpisah, tetapi pelaksanaan fungsi subsistem yang satu mendukung bekerjanya sub-sistem yang lain. Penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan ’penyidikan’. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, panggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada Penuntut Umum. Jadi, sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan
oleh
pejabat
penyelidik,
dengan
maksud
dan
tujuan
mengumpulkan ’bukti permulaan’ atau ’bukti yang cukup’ agar dapat dilakukan
tindakan
lanjut
berupa
penyidikan.
Penyelidikan
dapat
dipersamakan dengan tindakan pengusutan sebagai usaha untuk mencari dan menemukan jejak dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan
Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
130 tindak pidana.235 Dalam konteks penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kejaksaan, terjadinya pemisahan secara dikotomik antara fungsi penyelidikan dan penyidikan menjadi sesuatu yang rancu, karena masing-masing berada dalam satu lembaga yang sama. 2) Terjadi inefisiensi pemeriksaan. Dikotomi antara fungsi penyelidikan dan penyidikan, juga terjadinya pengulangan kegiatan pemeriksaan pada tahap penyelidikan. Hal ini terjadi karena, meskipun dalam tahap penyelidikan terhadap alat bukti yang sama yaitu saksi, telah dilakukan pemanggilan dan dilakukan pemeriksaan dengan dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), namun BAP yang dibuat dalam tahap penyelidikan belum mempunyai kekuatan pembuktian, karena masih bersifat sementara dan atas dasar Surat Perintah Penyelidikan yang belum bersifat “pro-justisia”, sehingga belum dapat disusun menjadi berkas perkara. Itulah sebabnya dalam tahap penyidikan akan dilakukan pemeriksaan kembali terhadap saksi dengan dibuatkan BAP untuk yang kedua kalinya. Langkah ini sudah barang tentu tidak efektif dan tidak efisien, karena selain menghabiskan biaya dan tenaga juga menghabiskan waktu untuk sesuatu maksud yang sama. Hal ini bisa dihindari apabila pelaksanaan fungsi penyelidikan dipahami secara benar sebagimana dimaksud dalam KUHAP, yaitu ketika sudah ditemukan peristiwa pidana maka langsung ditingkatkan ke tahap penyidikan tanpa harus menunggu keseluruhan pihak-pihak terkait untuk diperiksa. Meskipun memang dijumpai ada perkara korupsi yang tidak didahului dengan tindakan penyelidikan tetapi langsung penyidikan, tetapi jumlahnya sangat terbatas. Disamping itu tidak semua pimpinan kejaksaan berani mengambil resiko, karena hal tersebut bertentangan dengan kebiasaan dan juga prosedur yang berlaku secara turun temurun. Padahal sistem peradilan pidana Indonesia menganut asas sederhana, cepat dan biaya ringan.236 Inefisiensi juga terjadi karena dalam tahap 235
M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika, 2002. hal. 101. 236 Lihat Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
131
penyidikan, hasil penyidikan juga harus dilaporkan kepada pimpinan secara berjenjang untuk mendapatkan petunjuk lebih lanjut, bahkan juga harus melalui ekspose seperti halnya pada tingkat penyelidikan. 4.3.3. Tahap Penuntutan 1) Pra-penuntutan Ketika Jaksa Penuntut Umum ditunjuk untuk meneliti kelengkapan berkas perkara dari sudut formil maupun materiil (penyerahan tahap I), di kejaksaan tahap ini dikenal dengan istilah pra-penuntutan, apabila berkas perkara dinyatakan lengkap (P-21), maka penyidik akan menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada Jaksa Penuntut Umum (penyerahan tahap II). Pada penyerahan tahap II ini Jaksa Penuntut Umum akan melengkapi berkas-berkas yang dilimpahkan ke pengadilan dengan berita acara pemeriksaan BA-10, yang dimaksudkan untuk meyakinkan apakah berkas benar-benar lengkap dan apakah sangkaan yang disangkakan kepada tersangka benar. Apabila Jaksa Penuntut Umum menemukan keraguan, akan dilakukan pemeriksaan tambahan. Terkait dengan kegiatan pra-penuntutan ini, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) memberikan petunjuk dengan Surat Nomor B025/F/Ft.1/01/2004 tangal 15 Januari 2004, yang pada pokoknya berisi sebagai berikut: a) Apabila penyidikan suatu perkara tindak pidana korupsi telah selesai dan dianggap telah cukup bukti, maka proses penuntutannya agar dilaksanakan sebagai berikut: (1)Apabila penyidikannya dilakukan di Kejaksaan Negeri/Cabang Kejaksaan Negeri maka sesuai Pasal 645 ayat (2) Keputusan Jaksa Agung Nomor Kep-115/JA/10/1999 berkas perkaranya diserahkan dan diadministrasikan ke Subseksi Penuntutan Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri yang bersangkutan untuk dilakukan penelitian oleh Jaksa Peneliti berkas perkara (P-16) yang ditunjuk Kepala Kejaksaan Negeri. (2)Apabila penyidikan dilakukan di Kejaksaan Tinggi maka sesuai Pasal 567 butir a Keputusan Jaksa Agung Nomor Kep115/JA/10/1999 berkas perkaranya diserahkan dan diadministrasikan ke Seksi Penuntutan Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi yang bersangkutan untuk dilakukan penelitian oleh Jaksa Peneliti berkas perkara (P-16) yang Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
132
ditunjuk oleh Asisten Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi setempat. (3)Apabila penyidikan dilakukan di Kejaksaan Agung maka sesuai Pasal 283 butir b dan c Keputusan Jaksa Agung Nomor Kep-115/JA/10/1999 berkas perkaranya diserahkan dan diadministrasikan ke Direktorat Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung untuk dilakukan penelitian oleh Jaksa Peneliti berkas perkara (P-16) yang ditunjuk oleh Direktur Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung. b) Selanjutnya Jaksa Peneliti berkas melakukan kegiatan prapenuntutan sesuai prosedur penelitian berkas perkara, termasuk kemungkinan memberitahukan hasil penelitian berkas perkara belum lengkap dan memberikan petunjuk penyempurnaannya (P-18 & P-19) sampai pemberitahuan berkas perkara lengkap (P-21) sesuai dengan Keputusan Jaksa Agung Nomor Kep518/A/JA/11/2001. c) Apabila berkas perkara tindak pidana korupsi dinilai sudah memenuhi syarat untuk dilimpahkan ke pengadilan, maka berkas perkara beserta tersangka dan barang buktinya dikirimkan secara berjenjang ke Kejaksaan Negeri dimana locus delicti terjadi, dimasukkan dalam Register Perkara Tahap Penuntutan Tindak Pidana Khusus (RP-9), untuk selanjutnya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri setempat. d) Setiap satuan kerja Tindak Pidana Khusus yang melaksanakan kegiatan penyidikan (Sub-seksi Penyidikan Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri, Seksi Penyidikan Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi, dan Direktorat Penyidikan Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung), kegiatan pra-penuntutan dan penuntutan (Sub-seksi Penyidikan Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri, Seksi Penyidikan Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi, dan Direktorat Penyidikan Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung), dan kegiatan eksekusi putusan pengadilan (Sub-seksi Penyidikan Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri) wajib menyelenggarakan administrasi perkara pidana khusus dengan register-registernya sesuai Keputusan Jaksa Agung Nomor Kep-518/A/JA/11/2001. Dengan memperhatikan Surat Edaran (SE) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Nomor B-025/F/Ft.1/01/2004 tangal 15 Januari 2004 tersebut terlihat jelas mekanisme penyelesaian perkara korupsi baik atas penyidikan di Kejaksaan Agung (Kejagung), Kejaksaan Tinggi (Kejati), Kejaksaan Negeri (kejari), maupun Cabang Kejaksaan Negeri (Cabjari). 2) Penuntutan
Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
133
Setelah dilakukan penyerahan tersangka dan barang bukti (penyerahan tahap II), Jaksa Penuntut Umum menyiapkan Rencana Surat Dakwaan (Rendak). Rencana Surat Dakwaan (Rendak) disusun dan dilaporkan secara berjenjang dengan tolok ukur jumlah kerugian negara, sebagaimana tahap penyelidikan dan penyidikan. Apabila Rencana Surat Dakwaan (Rendak) belum mendapatkan persetujuan, maka Rencana Surat Dakwaan (Rendak) akan diperbaiki sesuai dengan petunjuk. Setelah Rencana Surat Dakwaan (Rendak) mendapatkan persetujuan, maka segera Surat Dakwaan dan Berkas Perkara dilimpahkan ke Pengadilan Negeri. 3) Persidangan Persidangan tindak pidana korupsi, pada hakekatnya sama dengan persidangan perkara pidana yang lain, hanya saja dalam persidangan perkara tindak pidana korupsi, setiap tahap persidangan biasanya dimanfaatkan oleh pihak penuntut umum maupun terdakwa dan/atau penasehat hukumnya secara penuh, artinya setelah surat dakwaan dibacakan, maka terdakwa dan/atau penasehat hukumnya akan mengajukan keberatan atau eksepsi, lalu penuntut umum juga menyampaikan tanggapan, kemudian hakim akan memutuskan apakah perkara ini dilanjutkan atau tidak dengan putusan sela. Demikian juga dengan tahap-tahap pemeriksaan alat bukti, termasuk ahli, selain penuntut umum, terdakwa dan/atau penasehat hukumnya biasanya juga mengajukan saksi dan/atau ahli sebagai saksi dan/atau ahli a de charge. Ketika tahap pembuktian sudah selesai, maka dilanjutkan dengan tahap pembacaan tuntutan pidana. Untuk menentukan tuntutan pidananya penuntut umum mengajukan rencana tuntutan (rentut) secara berjenjang kepada pimpinan dengan kriteria besarnya kerugian negara seperti halnya pada tahap penyelidikan dan penyidikan. Oleh karena rencana tuntutan (rentut) harus dimintakan petunjuk pimpinan secara berjenjang, maka biasanya memerlukan waktu yang cukup lama. Perkara yang rencana tuntutan (rentut) hanya sampai pada Kejaksaan Negeri (Kejari), Petunjuk Tuntutan (Juktut) biasanya dapat diperoleh dalam waktu kurang dari 1 (satu) minggu. Perkara yang rencana tuntutan (rentut) sampai pada Kejaksaan Tinggi (Kejati), Petunjuk Tuntutan (Juktut) biasanya Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
134
dapat diperoleh dalam waktu ± 2 (dua) minggu. Namun terhadap perkara yang rencana tuntutan (rentut) harus mendapatkan persetujuan dari Kejaksaan Agung (kejagung), biasanya waktu yang diperlukan lebih lama bahkan hingga ± 1 (satu) bulan baru diperoleh Petunjuk Tuntutan (Juktut). Setelah mendapatkan petunjuk tuntutan (juktut), penuntut umum membacakan tuntutannya, dan kemudian ditangapi dengan pleidooi, replik dan duplik, dan akhirnya hakim akan membacakan putusannya. Memperhatikan deskripsi mekanisme penanganan perkara tindak pidana korupsi pada tahap penuntutan sebagaimana diuraikan di atas, setidaknya terdapat dua hal menarik untuk dicermati, yakni sebagai berikut: 1) Meskipun penyidikan dilakukan oleh kejaksaan, namun tetap dilakukan prapenuntutan yaitu penelitian berkas perkara. Pengulangan penanganan perkara sebagaimana pemeriksaan yang sudah dilakukan dalam tahap penyelidikan dilakukan pemeriksaan lagi dalam tahap penyidikan, kembali terjadi dalam tahap pra-penuntutan. Dalam tahap ini, meskipun sebelumnya sudah ada ekspose yang menyepakati tentang peningkatan status perkara dari tahap penyidikan ke tahap penuntutan dan lebih dari itu, penyidikan dilakukan oleh lembaga kejaksaan yang terkadang Jaksa yang menjadi Jaksa Peneliti berkas perkara (P-16) juga bertindak sebagai penyidik, ternyata juga harus melakukan penelitian atas berkas perkara atau dikenal dengan istilah pra-penuntutan, sebagaimana diatur dalam Pasal 138 ayat (1) KUHAP, yakni: “Penuntut Umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan meneliti dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan sudah lengkap atau belum”. Apabila pra-penuntutan dilakukan oleh Jaksa Peneliti, sementara penyidiknya adalah bukan penyidik kejaksaan, tetapi penyidik kepolisian (institusi antara penyidik dan penuntut berbeda) atau juga dalam perkara tertentu dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), maka kegiatan pra-penuntutan ini menjadi wajar. Namun demikian pra-penuntutan menjadi kegiatan yang tidak wajar, dan tidak bermanfaat apabila antara penyidik dan penuntut dalam satu lembaga, bahkan dalam berbagai kasus ditangani oleh Jaksa Penyidik dan Jaksa Penuntut Umum yang sama. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
135
2) Penyusunan rencana dakwaan (rendak) dan rencana tuntutan (rentut) harus mendapatkan persetujuan pimpinan secara berjenjang. Penyusunan Surat Dakwaan berdasarkan ketentuan Pasal 143 KUHAP diatur sebagai berikut: (1)Penuntut Umum melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan Surat Dakwaan; (2)Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangi serta berisi: a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka; b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan; (3)Surat Dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum; (4)Turunan Surat Pelimpahan Perkara beserta Surat Dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasehat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke Pengadilan Negeri. Memperhatikan ketentuan tersebut tidak ada yang menyebutkan bagaimana penuntut umum membuat surat dakwaan, karena KUHAP hanya menyebutkan bahwa Penuntut Umum yang membuat Surat Dakwaan. Disamping itu KUHAP tidak mengatur bagaimana prosedur pembuatan Surat Dakwaan. Apabila ternyata di dalam praktik, Penuntut Umum dalam membuat Surat Dakwaan harus terlebih dahulu membuat Rencana Surat Dakwaan dan harus mendapatkan persetujuan pimpinan secara berjenjang, sudah barang tentu hal tersebut bukan atas dasar perintah Undang-undang. Pengaturan
tentang
pembuatan
rencana
dakwaan
yang
harus
dikonsultasikan kepada pimpinan kejaksaan secara berjenjang dengan tolak ukur jumlah kerugian negara (menjadi bagian dari pengendalian tuntutan), diatur dalam aturan internal kejaksaan berupa Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) Nomor SE-003/A/JA/05/2002 tanggal 13 Mei 2002 tentang Perubahan Pengendalian Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Khusus (pedoman tuntutan pidana sebelumnya diatur dalam Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-001/JA/4/1995 tanggal 27 April 1995), yang di dalamnya antara lain mengatur pengendalian penangan tindak pidana korupsi, sebagai berikut: Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
136
A.1. huruf b. Kejaksaan Agung mengendalikan tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum terhadap perkara tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) atau lebih. A.2. huruf b. Perkara tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) sampai dengan kurang Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) pengendaliannya oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati), sedangkan yang mengakibatkan kerugian negara dibawah/kurang dari Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) pengendaliannya oleh Kejaksaan Negeri (Kejari). Pembuatan
rencana
tuntutan
(rentut)
yang
harus
mendapatkan
persetujuan dari pimpinan secara berjenjang juga merupakan hal yang menarik, karena petunjuk tuntutan dari pimpinan tentang pidana yang akan dibacakan di persidangan, hanya didasarkan atas laporan singkat tentang jalannya persidangan. Sementara dalam pembuatan laporan persidangan ini biasanya tidak sepenuhnya mampu mendeskripsikan keseluruhan yang terjadi dalam persidangan. Keseluruhan fakta yang terjadi di persidangan dengan apa yang dilaporkan terkadang menimbulkan bias, karena apa yang dialami oleh penuntut umum belum tentu sepenuhnya juga dirasakan oleh pimpinan kejaksaan. Oleh sebab itu penentuan tuntutan yang ditentukan oleh pimpinan sementara penuntut umum hanya berhak untuk mengajukan usulan berupa rencana tuntutan perlu ditinjau ulang. Bahkan apabila dikembalikan pada ketentuan Pasal 2 ayat (2) UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang menyebutkan bahwa dalam menjalankan kekuasaan negara (penuntutan dan kewenangan lain berdasarkan undang-undang) dilaksanakan secara merdeka, sementara pengertian merdeka berarti dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan lainnya, maka perlu dipertanyakan apakah model pengendalian penanganan perkara dengan penyusunan rencana tuntutan pidana ini sudah mengacu pada pengertian merdeka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tersebut. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
137
Selanjutnya apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 37 UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang menyebutkan secara jelas bahwa Jaksa Agung bertanggungjawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hati nurani. Padahal pelaksanaan tugas Jaksa Agung juga dilaksanakan oleh para jaksa di daerah. Apabila demikian halnya, apakah mungkin hati nurani penuntut umum yang menyidangkan suatu perkara sama dengan hati nurani yang dimiliki oleh pimpinan kejaksaan, padahal hati nurani hanya dapat dipahami secara personal yang dengan sendirinya memberikan kebebasan kepada masing-masing personal untuk mengekspresikannya. Model pengendalian penanganan perkara dalam bentuk rencana tuntutan (rentut) telah mematikan kemandirian jaksa untuk menyatakan kebenaran sesuai yang diyakini hati nuraninya, karena dengan adanya rencana tuntutan (rentut) keyakinan hati nurani yang diekspresikan bukan lagi hati nurani penuntut umum yang bersangkutan tetapi hati nurani pimpinan kejaksaan. Berbagai kalangan, mulai dari akademisi, pengamat hukum, lembaga swadaya masyarakat (LSM), hingga masyarakat awam, yang mengkritik tentang banyaknya tuntutan pidana terhadap perkara korupsi relatif rendah. Rendahnya tuntutan pidana dalam perkara korupsi ini berarti juga mencerminkan kebijaksanaan pimpinan kejaksaan. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan penulis, tinggi rendahnya tuntutan pidana bukan semata-mata merupakan keyakinan hati nurani pimpinan kejaksaan, namun lebih dimaknai apakah dalam perkara korupsi yang akan dituntut tersebut ada yang ”mengurus” atau tidak, atau dengan kata lain permintaan persetujuan rencana tuntutan (rentut) apakah disertai dengan sejumlah imbalan berupa materi atau tidak. Biasanya perkara korupsi yang ”diurus” oleh keluarga terdakwa dengan imbalan sejumlah materi akan dituntut ringan, sementara yang tidak ”diurus” akan dituntut lebih berat. Semakin besar imbalan materi yang disertakan dalam rencana tuntutan (rentut) semakin rendah petunjuk/persetujuan tuntutan yang diperoleh, demikian juga sebaliknya. 4.3.4. Tahap Upaya Hukum dan Eksekusi Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
138
Atas dasar putusan hakim, baik berupa pemidanaan atau pembebasan terdakwa, biasanya penuntut umum akan menyatakan pikir-pikir, baru kemudian akan menentukan sikap apakah akan mengajukan upaya hukum atau tidak. Hal ini dilakukan karena untuk menentukan sikap apakah mengajukan upaya hukum atau menerima putusan hakim tersebut, jaksa harus mendapatkan petunjuk dari pimpinan secara berjenjang. Meskipun dalam suatu perkara korupsi yang dinyatakan bebas oleh hakim, dimana dalam aturan internal kejaksaan, jaksa harus mengajukan upaya hukum kasasi, namun jaksa tidak berani menentukan sikapnya pada saat setelah pembacaan putusan hakim dalam persidangan. Demikian juga ketika putusan hakim dibawah 2/3 dari tuntutan jaksa, dimana dalam aturan internal kejaksaan, jaksa harus menyatakan banding, namun jaksa tetap menyatakan pikir-pikir dan tidak berani menyatakan sikapnya secara langsung, karena tetap harus menunggu petunjuk pimpinan secara berjenjang. Ketika putusan hakim telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dimana dalam aturan internal kejaksaan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan, jaksa harus segera melaksanakan eksekusi, namun lagi-lagi jaksa harus menunggu petunjuk pimpinan secara berjenjang. Berdasarkan
deskripsi
tentang
struktur
organisasi
dan
birokrasi
pengendalian penanganan tindak pidana korupsi terlihat bahwa birokrasi kejaksaan identik dengan sebuah officialdom. Officialdom atau kerajaan pejabat adalah kerajaan yang raja-rajanya adalah para pejabat dari suatu bentuk organisasi yang digolongkan modern. Di dalamnya terdapat tanda-tanda bahwa seseorang mempunyai yurisdiksi yang jelas dan pasti, mereka berada dalam era official yang yurisdiktif. Dalam yurisdiksi tersebut seseorang mempunyai tugas dan tanggung jawab resmi (official duties) yang memperjelas batas-batas kewenangan pekerjaannya. Mereka bekerja dalam tatanan pola hierarki sebagai perwujudan dari tingkatan otoritas dan kekuasaannya. Proses komunikasinya didasarkan pada dokumen tertulis.237 Para pemegang jabatan dalam struktur birokrasi memiliki kekuasaan yang menentukan, karena segala urusan yang berhubungan dengan
237
Miftah Thoha. 2004. Op. Cit. hal. 2. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
139 jabatan itu, orang berada dalam jabatan itu yang menentukan.238 Pemegang kekuasaan berjenjang, dibidang intelijen misalnya, mulai dari Kepala Seksi Intelijen (Kasi Intel) di Kejaksaan Negeri (Kejari) berinduk pada Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) sebagai pemegang kekuasaan, di tingkat Kejaksaan Tinggi (Kejati), mulai dari Asisten Intelijen (Asintel) berinduk ke Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati), di Kejaksaan Agung (Kejagung) dimana para pejabat struktural bidang intelijen berinduk ke Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel), dan pengendali terakhir di puncak kekuasaan adalah Jaksa Agung (JA). Para pemegang jabatan tersebut adalah penentu dalam strukturnya dan masing-masing berada dalam otoritas struktur yang ada di atasnya. Pemegang jabatan dalam hierarki atas memiliki kekuasaaan yang lebih besar dibandingkan dengan yang berada di struktur bawah. Birokrasi kejaksaan yang diidentikkan dengan officialdom tersebut, apabila dikembalikan kepada konsep birokrasi, sebenarnya adalah manifestasi dari birokrasi ala Weberian. Birokrasi ala Weberian memiliki ciri sebagai berikut:239 a. Para anggota staf bersifat bebas secara pribadi, dalam arti hanya menjalankan tugas-tugas impersonal sesuai dengan jabatan mereka; b. Terdapat hierarki jabatan yang jelas; c. Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas; d. Para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak; e. Para pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya didasarkan pada suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui ujian; f. Para pejabat memiliki gaji dan biasanya juga dilengkapi hak-hak pensiun gaji bersifat berjenjang menurut kedudukan dalam hierarki. Pejabat dapat selalu menempati posnya, dan dalam keadaan tertentu, pejabat juga dapat diberhentikan; g. Pos jabatan adalah lapangan kerja yang pokok bagi para pejabat; h. Suatu struktur karir dan promosi dimungkinkan atas dasar senioritas dan keahlian (merit), serta menurut perhitungan keunggulan (superior); i. Pejabat sangat mungkin tidak sesuai dengan pos jabatannya maupun dengan sumber-sumber yang tersedia di pos tersebut; j. Pejabat tunduk pada sistem disiplin dan kontrol yang beragam. Konsep birokrasi modern ala Weber mengandung kelemahan-kelemahan. Kelemahan tersebut sebenarnya sudah dikemukakan oleh berbagai kalangan
238 239
Ibid. hal 2-3. Martin Albrow. Op. Cit. hal. 44-45. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
140
antara lain oleh Warren Bennis yang pada tahun 1967 sudah mengemukakan bahwa kita akan bersama-sama menyaksikan jatuhnya birokrasi ala Weberian dalam 25-50 tahun mendatang.240 Bahkan Heckscher & Donellon mengajukan kritik sebagai berikut:241 “Bahwa bentuk organisasi masa depan adalah apa yang mereka namakan post bureaucratic organization. Organisasi masa depan tidak sama dengan birokrasi Weberian. Bentuk organisasi masa depan tidak hanya menempatkan diri pada koherensi internal dan pemusatan kekuasaan akan tetapi juga memusatkan pada interaksi eksternal dan interaksi sosial yang berhubungan dengannya. Kekuasaan bukan satusatunya alat yang ampuh untuk melaksanakan mekanisme birokrasi tanpa diimbangi kewenangan melalui persuasi dan dialog. Powering bukan lagi satu-satunya cara mengendalikan mesin birokrasi pemerintah tanpa harus diimbangi dengan cara-cara yang bersifat empowering.” Model struktur birokrasi kejaksaan yang sentralistik memperlihatkan mekanisme birokrasi didasarkan dan dikendalikan oleh kekuasaan. Disamping itu ada mekanisme interaksi eksternal atau interaksi dengan dunia luar dan di luar struktur organisasi sehingga sistemnya tertutup. Kedua hal penting ini secara absolut hidup dan dipelihara dalam birokrasi kejaksaan. Oleh sebab itu timbul keraguan bahwa model birokrasi kejaksaan akan sulit mencapai tujuan pemberantasan tindak pidana korupsi, mengingat kelemahan-kelemahan yang terjadi di dalamnya. Memang tidaklah salah apabila orang berharap banyak terhadap hukum, karena negara ini memanglah negara berdasarkan hukum, tetapi celakanya, hukum kita belum banyak memenuhi harapan tersebut. Salah satu penyebab mengapa hukum belum mampu memenuhi harapan masyarakat sementara negara kita adalah negara hukum, adalah penegakan hukum yang cenderung mengedepankan pemenuhan prosedur daripada substansi keadilan yang menjadi tujuannya. Tampaknya birokrasi kejaksaan sebagaimana digambarkan di atas mencerminkan sebagai birokrasi modern dalam konteks kekinian yang karena perkembangan dan tuntutan
masyarakat
tampak
menjadi
konvensional,
yang
cenderung
mengedepankan pemenuhan prosedur dan juga bersifat teknologis, dibanding dengan pencapaian tujuan. Hal ini diperparah dengan karakter yang melekat di 240 241
Miftah Thoha. 2004. Op. Cit. hal. 3. Ibid. hal. 4. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
141
dalamnya menjadi faktor kelemahan yang dapat menjadi media penyimpangan birokrasi.242 Kejaksaan, seperti juga institusi penegak hukum lainnya, tidak dapat mengabaikan perkembangan masyarakat yang senantiasa berubah. Pangeran Sakolwannokorn Warowan menyatakan bahwa:243 “If the criminal proceeding is a play, then the public prosecutor is the hero because the accomplice of the case is completed by his part. In some countries, the public prosecutor takes an even more crucial role than the judge. He is the one required by the law to shoulder the exercising of discretion as to proceed with the criminal case or to halt it. Prosecutorial function should, therefore, be discharged with a high spirit and great pride. Responsibility and prestige of the public prosecutor should be respected as no less crucial than that of the judge in terms of renumeration, dignity, and trust of intergrity, whether the defendant will be guilty or not is up to the performance of the public prosecutor rather than the judiciary. Integrity of the public prosecutor is, therefore, more crucial than other elements.” Dalam konteks birokrasi kejaksaan, apa yang dikemukakan oleh Pengeran Sakolwannokorn Worawan menjadi sesuatu yang berlebihan, bahkan juga bertolak belakang. Birokrasi kejaksaan tidak memungkinkan bagi jaksa untuk bertindak bagaikan seorang pahlawan dalam sistem peradilan pidana. Padahal seharusnya jaksa adalah figure yang unik dalam sistem peradilan pidana, yang bertindak mewakili kepentingan negara. Namun demikian sistem yang membangun birokrasi kejaksaan tidak memungkinkan untuk itu, yang terjadi justru jaksa terbelenggu oleh sistem sehingga tidak mampu bertindak, kecuali hanya menyerahkan pada kebijaksanaan pimpinan yang lebih atas. Birokrasi kejaksaan mengendaki segala urusan dari yang kecil sampai yang besar dimintakan persetujuan dan petunjuk pimpinan. Birokrasi model ini menempatkan birokrasi dalam struktur yang lebih tinggi mempunyai kekuasaan lebih dibandingkan sebaliknya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa birokrasi hierarki bawah tidak boleh melawan birokrasi hierarki atas.244 Karena birokrasi
242
Satjipto Rahardjo. “Negara Hukum Tanpa Moral dan Tanpa Disiplin”. Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Ed. Karolus Kopong Medan dan Frans J. Rengka. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003. hal. 58. 243 Suchart Traiprasit. “Public Prosecutors in the Changing Society”. Makalah disampaikan dalam 111th International Seminar, UNAFEI, Tokyo, 2003. 244 Miftah Thoha. 2004. Op. Cit. hal. 7. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
142
tidak berdaya menghadapi birokrasi atas, maka cara terbaik adalah menyerahkan diri (surrender).245 Ketidakberdayaan atau penyerahan diri ini bahkan dapat dilihat dalam bentuk tata persuratan, dimana surat-surat dinas selalu diakhiri dengan kata-kata manis “mohon arahan dan petunjuk”.246 Ciri-ciri tata persuratan tersebut sama persis dengan yang terjadi dalam birokrasi kejaksaan, dimana surat yang terkait dengan proses penanganan tindak pidana korupsi, yang berasal dari birokrasi bawah akan diakhiri dengan kata “mohon petunjuk”, sedangkan surat yang berasal dari birokrasi atas selalu diakhiri dengan kata “untuk dilaksanakan sesuai dengan petunjuk”, atau “untuk dilaksanakan dan melaporkan pelaksanaannya kepada pimpinan pada kesempatan pertama”. Padahal apabila dikembalikan pada makna penegakan hukum,247 maka birokrasi kejaksaan adalah bagian dari birokrasi yang bertugas untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum. Karena penegakan hukum adalah suatu proses, berarti akan bersentuhan dengan manajemen.248 Pencapaian tujuan hukum melalui bekerjanya birokrasi penegak hukum, dilaksanakan dalam koridor manajemen organisasi penegak hukum. Melalui organisasi serta proses-proses yang berlangsung di dalamnya, masyarakat menerima perwujudan dari tujuan-tujuan hukum itu.249 Dengan demikian keberhasilan pencapaian tujuan hukum juga sangat dipengaruhi oleh organisasi birokrasi lembaga penegak hukum, yang memiliki otonomi tersendiri.250 Dalam rangka pencapaian tujuan hukum terebut, tiap-tiap organisasi “menjalani kehidupannya sendiri”, hal tersebut terjadi karena:251 1. Menetapkan sendiri tujuan-tujuan yang ingin dicapainya. Barangkali tujuan tersebut bisa disebut sebagai penjabaran cita hukum, seperti keadilan, kedalam bentuk-bentuk yang lebih konkrit. Dengan dirumuskannya tujuan-tujuan seperti itu, maka lembaga pun lalu dapat menjalankan pekerjaanya secara seksama; 2. Ke dalam, lembaga-lembaga hukum itu nanti akan membentuk subsub bagian sesuai dengan prinsip pembagian pekerjaan yang 245
Ibid. hal. 6. Ibid. 247 Satjipto Rahardjo. t.t. Op. Cit. hal. 15. 248 Ibid. hal. 16. 249 Ibid. hal. 17. 250 Ibid. 251 Ibid. hal. 24. 246
Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
143
dibutuhkan. Dengan pembentukan sub-sub bagian ini perikehidupan lembaga itu menjadi semakin rumit pula. Hal ini kadang, mengalihkan pusat perhatian terhadap tugas-tugas penegakan hukum karena disibukkan dengan berbagai persoalan organisasi; 3. Mengembangkan nilai-nilainya sendiri. Pengembangan nilai-nilai dibutuhkan untuk menciptakan suatu pola tertentu dalam organisasi. Apabila lembaga telah membagi diri kedalam sub-sub bagian, maka penciptaan pola ini menjadi penting, yaitu untuk menciptakan suatu sistem yang terintegrasi dengan baik. Nilai-nilai yang diciptakan dan kemudian dihayati bersama akan menciptakan pengintegrasian yang demikian itu; 4. Menciptakan kaidah-kaidahnya sendiri. Ini merupakan kelanjutan dari penciptaan nilai-nilai tersebut. Kaidah-kaidah ini akan memberikan pedoman yang lebih konkrit daripada nilai-nilai tersebut. Bagaimanapun
proses
penegakan
hukum
itu
memuncak
pada
pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum itu sendiri. Sementara ketika lembaga penegak hukum bergerak, akan terjadi interaksi dengan lingkungannya, karena lembaga penegak hukum bekerja dalam suatu konteks sosial tertentu.252 Konteks “menjalankan kehidupannya sendiri” dalam perspektif birokrasi kejaksaan diwarnai dengan karakter birokrasi yang birokratis, sentralistik, berlaku sistem komando dan menganut pertanggungjawaban hierarkis, sehingga dalam interaksi sosialnya lebih berpihak pada kekuasan daripada tuntutan masyarakat. Dalam konteks kekuasaan, khususnya dikaitkan dengan kekuasaan orde baru, struktur birokrasi yang tersentralisasi dipandang perlu untuk menjamin loyalitas birokrasi yang merupakan prasyarat bagi terwujudnya stabilitas politik yang diperlukan untuk kelangsungan pembangunan nasional.253 Birokrasi model orde baru (yang masih dikembangkan di kejaksaan) diragukan mampu mengakomodasi perkembangan masyarakat yang menghendaki tercapainya good governance. 254 Tampaknya birokrasi model orde baru tersebut justru memperkuat temuan Bank Dunia yang menempatkan Indonesia sebagai bad governance. 255 Sebaiknya birokrasi kejaksaan sebagai birokrasi yang bertanggungjawab terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi, yang mau tidak mau harus 252
Ibid. hal. 21. Moeljarto Tjokrowinoto. Birokrasi dalam Polemik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. hal. 5. 254 Ibid. hal. 3. 255 Ibid. hal. 7. Universitas Indonesia 253
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
144
mengakomodasi tuntutan perkembangan masyarakat, aspirasi masyarakat, dan juga
laporan masyarakat
sebagai
bentuk partisipasi masyarakat
dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi, harus menampilkan diri sebagai birokrasi entrepreneurial, yaitu birokrasi yang memiliki birokrat dengan karakter sebagai berikut:256 1. Sensitif dan responsif terhadap peluang dan tantangan baru yang timbul (di dalam pasar); 2. Tidak terpaku pada kegiatan-kegiatan rutin yang terkait dengan fungsi-fungsi instrumental birokrasi, akan tetapi harus mampu melakukan terobosan (break-through) melalui pemikiran yang kreatif dan inovatif; 3. Mempunyai wawasan futuristik dan sistematik; 4. Mempunyai kemampuan untuk mengantisipasi, memperhitungkan, dan meminimalkan resiko; 5. Jeli terhadap potensi sumber-sumber dan peluang baru; 6. Mempunyai kemampuan untuk mengkombinasikan sumber menjadi resource-mix yang mempunyai produktivitas tinggi; 7. Mempunyai kemampuan untuk mengoptimalkan sumber yang tersedia, dengan menggeser sumber kegiatan yang berproduktivitas rendah menuju kegiatan yang berproduktivitas tinggi. Birokrasi entrepreneurial, dengan karakter yang sensitif dan responsif, tidak terpaku pada rutinitas, berwawasan futuristik, memiliki kemampuan antisipasif, jeli terhadap peluang, mampu mengkombinasikan sumber daya yang ada dan memanfaatkannya sehingga berproduktivitas tinggi, sebaiknya diadopsi oleh kejaksaan. Birokrasi kejaksaan dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi, sangat memerlukan birokrasi yang mampu mengakomodasi jaksa-jaksa yang berada dalam tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi, sehingga diharapkan, inisiatif, kreasi, tekad yang menyuarakan hati nurani dalam penegakan hukum dapat terwujud.
256
Ibid. hal. 17. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
BAB 5 PENUTUP
5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam mencari jawaban atas pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan, pada pokoknya dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) UUD 1945 secara tegas menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Prinsip penting negara hukum adalah supremasi hukum yang memiliki jaminan konstitusional dalam proses politik yang dijalankan oleh kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Supremasi hukum akan selalu bertumpu pada kewenangan yang ditentukan oleh hukum. Lembaga kejaksaan sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif yang terkait dengan kekuasaan kehakiman dalam penegakan hukum, memiliki tugas dan wewenangnya yang ditetapkan dalam hukum (peraturan perundang-undangan), karena secara konstitusional Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (machsstaat). Dalam pelaksanaan supremasi hukum, UUD 1945 tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power), tetapi pembagian kekuasaan (distribution of powers). Hal ini dapat dilihat dalam UUD 1945, bahwa Presiden, selain mempunyai kekuasaan eksekutif juga mempunyai kekuasaan legislatif, misalnya membuat Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah, disamping itu Presiden juga mempunyai kekuasaan yudikatif, misalnya memberikan grasi, amnesti, abolisi. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum (berdasarkan peraturan perundang-undangan) dituntut untuk berperan guna menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, antara lain dilakukan melalui fungsi penyidikan dan penuntutan, dalam hal penyidikan, yakni terhadap tindak pidana tertentu, yaitu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah 145 Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
146
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam penanganan tindak pidana korupsi, kewenangan penyidikan kejaksaan didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang ada sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun berdasarkan pelaksanaan kebijakan pemerintah dibidang penegakan hukum. Oleh karena itu, kewenangan kejaksaan dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu (diantaranya tindak pidana korupsi) harus dilihat dari aspek historis, aspek sosiologis, aspek lingkungan strategis, dan berdasarkan aspek yuridis. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), secara tegas dalam Pasal 284 ayat (2) beserta Penjelasannya dinyatakan bahwa kejaksaan mempunyai kewenangan dalam penanganan tindak pidana korupsi (vide: Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, dan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001). Proses penegakan hukum di Indonesia dalam hal penanganan tindak pidana termasuk didalamnya tindak pidana tertentu, merupakan suatu mekanisme yang dikenal dengan Sistem Peradilan Pidana Terpadu (integrated criminal justice system). Sistem Peradilan Pidana Terpadu (integrated criminal justice system) adalah sistem yang memandang proses penyelesaian perkara pidana sebagai satu rangkaian kesatuan sejak penyidikan, penuntutan, pemutusan perkara, hingga penyelesaian di tingkat lembaga pemasyarakatan. Jadi bukan sistem yang
akan
menjurus
kepada
pengkotak-kotakan
fungsi
yang
dapat
mengakibatkan sulit dan lambannya penyelesaian masalah yang ada. UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan merurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 angka 2 KUHAP), sedangkan penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
147
perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan (Pasal 1 angka 7 KUHAP). Ketentuan hukum sebagaimana diatur di atas menunjukkan hubungan yang erat antara penyidikan dengan penuntutan. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa penyidikan merupakan kegiatan untuk mengumpulkan alat bukti mengenai adanya suatu tindak pidana beserta pelaku tindak pidana tersebut, sementara penuntutan
merupakan
kegiatan
yang
ditujukan
untuk
mempertanggungjawabkan hasil dari kegiatan penyidikan di forum pengadilan. 2) Mengenai peranan jaksa berkaitan dengan penyidikan, ada 4 (empat) kelompok yang dianut oleh berbagai negara, yaitu: 1. Jaksa memiliki wewenang penyidikan tindak pidana, seperti kejaksaan di Belanda, Prancis, Jerman, Austria, Jepang, dan Korea; 2. Jaksa memiliki wewenang penyidikan tindak pidana tertentu, seperti kejaksaan di Rusia, Georgia, Thailand, dan China; 3. Jaksa tidak memiliki wewenang penyidikan namun diberikan wewenang supervisi penyidikan tindak pidana, seperti kejaksaan di Inggris dan Wales; 4. Jaksa tidak memiliki wewenang penyidikan dan supervisi penyidikan tindak pidana, seperti kejaksaan di Malta. Dalam kaitan dengan kebijakan penuntutan yang berkaitan dengan penyidikan tersebut, peran kejaksaan dikelompokkan dalam dua sistem yang dianut oleh kejaksan di berbagai negara, yaitu: 1. Mandatory Prosecutorial System Jaksa dalam menangani suatu perkara hanya berdasarkan alat-alat bukti yang sudah ada dan tidak terhadap hal-hal yang diluar yang sudah ditentukan, kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu. 2. Discretionary Prosecutorial System Jaksa dapat melakukan berbagai kebijakan tertentu dan bisa mengambil berbagai tindakan dalam penyelesaian/penanganan suatu perkara. Dalam sistem ini, Jaksa dalam mengambil keputusan, selain mempertimbangkan alat-alat bukti yang ada, juga mempertimbangkan faktor-faktor yang Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
148
melatarbelakangi terjadinya suatu tindak pidana, keadaan-keadaan dimana tindak pidana itu dilakukan, atribut-atribut pribadi dari terdakwa dan korban, tingkat penyesalan terdakwa, tingkat pemaafan dari korban, dan pertimbangan-pertimbangan kebijakan publik. 3) Mekanisme penanganan tindak pidana korupsi di kejaksaan terdiri dari 4 (empat) tahap, yaitu tahap penyelidikan, tahap penyidikan, tahap penuntutan, serta tahap upaya hukum dan eksekusi, dimana pelaksanaannya dilakukan oleh bidang intelijen dan bidang tindak pidana khusus, yang struktur organisasinya berkarakter birokratis, sentralistis, pertanggungjawaban hierarkis dan sistem komando. Pada tahap penyelidikan, setidaknya terdapat dua hal menarik, yaitu: 1. Birokrasi penyelidikan bersifat tertutup; 2. Penentuan hasil penyelidikan untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan atau dihentikan, ditentukan oleh kebijaksanaan pimpinan. Tahap penyidikan terdiri dari 5 (lima) tahap, yaitu: tahap persiapan, tahap pemeriksaan saksi, tahap pemeriksaan tersangka, tahap penyitaan, dan tahap pemberkasan. Pada tahap penyidikan tersebut, setidaknya terdapat dua hal menarik, yaitu: 1. Terjadi pemisahan yang tegas antara birokrasi penyelidikan dan penyidikan; 2. Terjadi inefisiensi pemeriksaan. Tahap penuntutan terdiri dari 3 (tiga) tahap, yaitu: pra-penuntutan, penuntutan, dan persidangan. Pada tahap penuntutan tersebut, setidaknya terdapat dua hal menarik, yaitu: 1. Meskipun penyidikan dilakukan oleh kejaksaan, namun tetap dilakukan pra-penuntutan yaitu penelitian berkas perkara; 2. Penyusunan rencana dakwaan (rendak) dan rencana tuntutan (rentut) harus mendapatkan persetujuan pimpinan secara berjenjang. Pada tahap upaya hukum dan eksekusi, meskipun juklak dan juknisnya jelas, namun penentuan upaya hukum maupun eksekusi harus mendapatkan persetujuan pimpinan secara berjenjang. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
149
5.2. Saran Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana telah diuraikan di atas, penulis mengusulkan sebagai berikut: 1) Polemik tentang wewenang penyidikan, selain disebabkan oleh tidak tegas dan tidak selarasnya aturan perundang-undangan yang berlaku, juga disebabkan oleh pemahaman konsep yang keliru bahwa setelah berlakunya KUHAP wewenang penyidikan merupakan monopoli kepolisian, padahal tidak dikenal “monopoli” wewenang kepolisian (police powers), karena publik juga punya wewenang kepolisian (terutama dalam hal “tertangkap tangan”), begitu pula instansi Imigrasi, instansi Bea & Cukai, instansi Pajak, dan instansi-instansi lain yang ditentukan oleh undang-undang. Perbedaan wewenang kepolisian dengan wewenang penuntut umum/kejaksaan, harus dilihat dalam pengertian “division of powers” (pembagian kewenangan) dan bukan “separation of powers” (pemisahan kewenangan). Tujuan pembagian kewenangan ini adalah untuk “saling mengawasi” (check and balances). Saling mengawasi dalam kewenangan berimbang, dengan tujuan sinergi (disinilah letak pengertian SPP Terpadu). Untuk mengatasi polemik tentang wewenang kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana tertentu (diantaranya tindak pidana korupsi), dan mengatasi terjadinya tumpang tindih fungsi penyidikan yang dilakukan oleh beberapa lembaga penegak hukum, serta demi tegaknya sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system), sebaiknya pembentuk undang-undang
segera
menyelaraskan
berbagai
ketentuan
peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan kewenangan penyidikan, sehingga lebih mengukuhkan jaminan kepastian hukum dan keadilan bagi pencari keadilan serta jaminan kepastian hukum bagi petugas penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Sebelum penyerasian itu terwujud, semua petugas penegak hukum idealnya melakukan koordinasi apabila terdapat indikasi akan terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan wewenang penyidikan diantara sesama petugas penegak hukum.
Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
150
2) Untuk meminimalisir potensi terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya, kejaksaan sebaiknya segera mereformasi birokrasinya yang berkarakter birokratis, sentralistis, pertanggungjawaban hierarkis dan sistem komando, menjadi lembaga penegak hukum yang berkarakter debirokratisasi, desentralisasi, pertanggungjawaban publik, dan independen, sehingga diharapkan para jaksa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya lebih inisiatif, kreatif, dan menggunakan hati nurani dalam penegakan hukum dapat terwujud. Dalam hal mekanisme penanganan perkara, sebaiknya kejaksaan merubah paradigma lama, diantaranya yaitu: birokrasi penyelidikan bersifat tertutup; penentuan hasil penyelidikan untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan atau dihentikan, ditentukan oleh kebijaksanaan pimpinan; pemisahan yang tegas antara birokrasi penyelidikan dan penyidikan; inefisiensi pemeriksaan; penyusunan rencana dakwaan (rendak) dan rencana tuntutan (rentut), hingga penentuan upaya hukum dan eksekusi harus mendapatkan persetujuan pimpinan secara berjenjang; yang memiliki potensi penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang, menjadi sebagai berikut: - birokrasi penyelidikan yang transparan dan dapat diakses oleh publik, sehingga lebih akuntabel; - penentuan hasil penyelidikan untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan atau dihentikan, ditentukan oleh terpenuhi atau tidaknya rumusan delik; - menghapus dikotomi penyelidikan dan penyidikan - efisiensi pemeriksaan; - mengubah mekanisme penyusunan rencana dakwaan (rendak) dan rencana tuntutan (rentut), hingga penentuan upaya hukum dan eksekusi harus mendapatkan persetujuan pimpinan secara berjenjang, dengan diterbitkannya Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) dan/atau Petunjuk Teknis (Juknis) tentang kriteria yang dapat dijadikan pedoman oleh para jaksa ketika menyusun dakwaan, tuntutan, upaya hukum, dan eksekusi.
Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU Adji, Indriyanto Seno. Arah Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji dan Rekan, 2001. ----------------------------. Korupsi dan Hukum Pidana. Jakarta: Kantor Pengacara & Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji & Rekan, 2002. Alatas, Syed Hussein. Sosiologi Korupsi. Penerjemah Al Gozie Usman. Jakarta: LP3ES, 1986. Terjemahan dari The Sociology of Corruption, Singapore: Donald Moore Press, 1968. Albrow, Martin. Birokrasi. Penerjemah M. Rusli dan Toto Daryanto. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989. Terjemahan dari Bureaucracy, London: Macmillan, 1970. Arief, Barda Nawawi. “Kebijakan Legislatif Tentang Kewenangan Penyidikan Dalam Konteks Kebijakan Penegakan Hukum Pidana”. Masalah-Masalah Hukum (Edisi I). FH UNDIP: Mei-Juni 1998. ---------------------------. Kapita Selekta Hukum Pidana Tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu. Semarang: Badan Penerbit Universitas Dipenogoro, 2006. ---------------------------. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006. Atmasasmita, Romli. Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum. Bandung: CV. Mandar Maju, 2001. -------------------------. Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer. Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2009. Black, Donald. The Behaviour of Law. New York: Academic Press, 1976. Blau, Peter M., and Marshal W. Meyer. Birokrasi dalam Masyarakat Modern. Penerjemah Gary Rachman Yusuf. Jakarta: UI Press, 1987. Terjemahan dari Bureaucracy in Modern Society, New York: Random House,1971. Dirdjosisworo, Soedjono. Fungsi Perundang-undangan Pidana dalam Penanggulangan Korupsi di Indonesia. Bandung: Sinar Baru, 1984. Efendi, Aan. Kelompok-Kelompok Strategis: Studi Perbandingan tentang Negara, Birokrasi dan Pembentukan Kelas-Kelas di Dunia Ketiga. Jakarta: Yayasan Obor, 1990. Effendy, Marwan. Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005. Garner, Bryan A., et al., ed. Black’s Law Dictionary (7th ed.). St. Paul, Minn.: West Group, 1999. Hamzah, Andi. Kamus Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986. -----------------. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 1994. -----------------. Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara. Jakarta: Sinar Grafika, 1995. -----------------. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2002. 151 Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
152
-----------------. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006. -----------------. “Hasil Kunjungan Studi Banding Rancangan KUHAP dan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi di Den Haag, Belanda pada tanggal 14-16 Juni 2010 dan di London, Inggris pada tanggal 17-18 Juni 2010”. Jakarta: Kejaksaan Agung, 12 Juli 2010. -----------------. “Penyampaian Masukan Rencana Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia”. Disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Badan Legislasi DPR RI, tanggal 9 Februari 2011. Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika, 2002. Harkrisnowo, Harkristuti. “Combatting Corruption in Indonesia: an Imposible Mandat?”. Newsletter KHN, Edisi Mei-Juni 2004, hal. 32. Hartanti, Evi. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika, 2005. Husein, Harun M. Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 1991. Isra, Saldi dan Eddy O.S. Hiariej. “Perspektif Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia”. Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan. Ed. Wijayanto dan Ridwan Zachrie. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009. Klitgaard, Robert. Controlling Corruption. Los Angeles: University of California Press, 1988. Koeswadji, Hermien Hadiati. Korupsi di Indonesia, Dari Delik Jabatan Ke Tindak Pidana Korupsi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1994. Lopa, Baharuddin. Korupsi, Sebab-Sebabnya dan Penanggulangannya. Jakarta: Prisma 3, 1986. Loqman, Loebby. Masalah Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, 1999. Marpaung, Leden. Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan & Penyidikan). Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Muladi. Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta: The Habibie Centre, 2002. Mulyadi, Lilik. Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan khusus Terhadap Proses Penyidikan, Penuntutan, Peradilan Serta Upaya hukumnya Menurut UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000. -------------------. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya. Bandung: PT. Alumni, 2007. Mustopadidjaja. “Reformasi Birokrasi Sebagai Syarat Pemberantasan KKN”. Makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII dengan tema ”Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan”. Diselenggarakan oleh BPHN di Denpasar, 14-18 Juli 2003.
Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
153
Myren, Richard A. Procedural Justice. California: Brooks/Cole Publishing Company Pacific Grave, 1988. Nurdjana, IGM. Korupsi Dalam Praktik: Bisnis Pemberdayaan Penegakan Hukum, Program Aksi dan Strategi Penanggulangan Masalah Korupsi. Jakarta: Gramedia Pustaka utama, 2005. Prakoso, Djoko. Peranan Pengawasan dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Aksara Persada Indonesia, 1990. Rahardjo, Satjipto. Masalah Penegakan Hukum. Jakarta: BPHN, t.t. ---------------------. “Hukum dan Birokrasi”. Masalah-Masalah Hukum Nomor 4 Tahun 1989. ---------------------. “Negara Hukum Tanpa Moral dan Tanpa Disiplin”. Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Ed. Karolus Kopong Medan dan Frans J. Rengka. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003. Reksodiputro, Mardjono. “Korupsi dalam Sistem Hukum”. Mencuri Uang Rakyat: 16 Kajian Korupsi di Indonesia. Ed. Hamid Basyaib, Richard Holloway, dan Nono Anwar Makarim. Jakarta: Aksara Foundation, 2002. ------------------------------. “Menumbuhkan dan Mengembangkan Disiplin Nasional (Suatu Perspektif Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana)”. Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007. ------------------------------. “Mengembangkan Pendekatan Terpadu Dalam Sistem Peradilan Pidana (Suatu Pemikiran Awal)”. Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007. ------------------------------. “Partisipasi Profesi Hukum Sebagai Penegak Hukum Dalam Peningkatan Wibawa Penegakan Hukum (Sebuah catatan Untuk Diskusi)”. Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Ketiga. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007. ------------------------------. “Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan)”. Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Ketiga. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007. ------------------------------. Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Revisi 26 Januari dan 21 April 2010). Makalah yang disempurnakan untuk Kuliah Umum di Universitas Batanghari Jambi - Pertama kali disampaikan pada Seminar Komisi Hukum Nasional 9 Desember 2009. Jambi: Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Batanghari, 24 April 2010. Sanders, Andrew. “Prosecutions in England and Wales”. Tasks and Powers of the Prosecution Services in the EU Member States (vol. I). Ed. Peter J.P. Tak. Nijmegen: Wolf Legal Publishers, 2004.
Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
154
Santoso, Topo. Polisi dan Jaksa: Keterpaduan atau Pergulatan. Depok: Pusat Studi Peradilan Pidana Indonesia (Centre for Indonesian Criminal Justice Studies), 2000. Shadily, Hassan, et al., ed. Ensiklopedia Indonesia (Jilid 4). Jakarta: Ichtiar Baruvan Hoeve dan Elsevier Publishing Projects, 1983. Soekanto, Soerjono. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Rajawali, 1983. Soemitro, Ronny Hanitidjo. “Tahap-Tahap Perkembangan Hukum dan Birokrasi”. Masalah-Masalah Hukum Nomor 4 Tahun 1984. Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1981. Suherman, Ade Maman. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004. Surachman, R.M. dan Andi Hamzah. Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan Kedudukannya. Jakarta: Sinar Grafika, 1996. Tak, Peter J.P. “The Dutch Prosecution Service”. Tasks and Powers of the Prosecution Services in the EU Member States (vol. I). Ed. Peter J.P. Tak. Nijmegen: Wolf Legal Publishers, 2004. ------------------. Tasks and Powers of the Prosecution Services in the EU Member States (vol. II). Nijmegen: Wolf Legal Publishers, 2005. “The Role of the Prosecutor in the Changing World”. The Asia Crime Prevention Foundation (ACPF) Working Group Meeting on, Bangkok, Thailand, February 15-18, 1999. Thoha, Miftah. Dimensi-Dimensi Ilmu Administrasi Negara. Jakarta: CV. Rajawali, 1984. -------------------. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada Indonesia, 2004. Tjokrowinoto, Moeljarto. Birokrasi dalam Polemik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Traiprasit, Suchart. “Public Prosecutors in the Changing Society”. Makalah disampaikan dalam 111th International Seminar, UNAFEI, Tokyo, 2003. II. PUBLIKASI ELEKTRONIK http://defensewiki.ibj.org/index.php/Guidelines_on_the_Role_of_Prosecutors http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=311 III. ATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UUD 1945. TAP MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. TAP MPR Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)/Wetboek van Strafrecht (WvS), sebagaimana diberlakukan dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 (Berita Republik Indonesia II, 9). Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
155
Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 9. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 81. Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 tentang Keadaan Bahaya. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1957 Nomor 160. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1485. Undang-Undang Nomor 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 72. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2011. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 254. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2298. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1971 Nomor 19. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2958. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 59. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3451. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bebas Dan Bersih Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4026. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250. Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
156
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164. Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-06/1957 tentang Tata Cara Menerobos Kemacetan Memberantas Korupsi. Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-08/1957 tentang Penilikan Harta Benda. Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-011/1957 tentang Penyitaan dan Perampasan Harta Benda yang Asal Mulanya Diperoleh dengan Perbuatan yang Melawan Hukum. Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 Nomor Prt/Peperpu/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda. Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut tanggal 17 April 1958 Nomor Prt/Z.I/1/7. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258. Keputusan Presiden Nomor 86 Tahun 1999 tanggal 30 Juli 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia. Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Instruksi Presiden Nomor 30 Tahun 1998 tanggal 2 Desember 1998 tentang Pemberantasan KKN. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tanggal 9 Desember 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Keputusan Jaksa Agung Nomor 115/JA/10/1999 tanggal 20 Oktober 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia. Keputusan Jaksa Agung Nomor 225/A/JA/05/2003 tanggal 5 Mei 2003 tentang Perubahan atas Keputusan Jaksa Agung Nomor 115/JA/10/1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia. Keputusan Jaksa Agung Nomor 558/A/JA/12/2003 tanggal 17 Desember 2003 tentang Perubahan atas Keputusan Jaksa Agung Nomor 225/A/JA/05/2003 tentang Perubahan atas Keputusan Jaksa Agung Nomor 115/JA/10/1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia. Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-003/A/JA/05/2002 tanggal 13 Mei 2002 tentang Perubahan atas Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SEUniversitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
157
001/A/JA/4/1995 tentang Pengendalian Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Khusus. Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor B025/F/Ft.1/01/2004 tangal 15 Januari 2004 tentang Pedoman Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-V/2007 tanggal 27 Maret 2008. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1148 K/Pid/2003 tanggal 10 Januari 2005. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1205 K/Pid/2003 tanggal 10 Oktober 2005. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1050 K/Pid/2003 tanggal 7 Juni 2006. Fatwa Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor KMA1102/1/2005.
Universitas Indonesia
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011