PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI DAERAH ( Studi Implementasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Wilayah Cilacap )
SKRIPSI
Oleh : MUCHAMMAD FAHMI ROSADI E1A009125
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2014
i
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI DAERAH ( Studi Implementasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Wilayah Cilacap )
SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh : MUCHAMMAD FAHMI ROSADI E1A009125
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2014 ii
SURAT PERNYATAAN
Saya, yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : MUCHAMMAD FAHMI ROSADI NIM
: E1A009125
Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI DAERAH ( Studi Implementasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Wilayah Cilacap )
Yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya sendiri, tidak menjiplak hasil karya orang lain, maupun dibuatkan orang lain. Apabila dikemudian hari ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut diatas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari Fakultas, termasuk pencabutan gelar Sarjana Hukum (SH.) yang saya sandang.
Purwokerto, Februari 2014
MUCHAMMAD FAHMI ROSADI E1A009125
iv
ABTRAK PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI DAERAH ( Studi Implementasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Wilayah Cilacap ) Oleh : MUCHAMMAD FAHMI ROSADI E1A009125 Dalam suatu pemberantasan korupsi, tahap penyidikan merupakan salah satu bagian penting dari tahap yang harus dilalui untuk menuju suatu pembuktian tindak pidana korupsi dan akan menghasilkan putusan yang mampu mendekati kebenaran materiil. Oleh sebab itu keberadaan tahap penyidikan tidak bisa dilepaskan dari adanya ketentuan perundangan yang mengatur tindak pidana korupsi yang penyidikannya dilakukan oleh KPK, Kepolisian dan Kejaksaan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisis penerapan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan di wilayah Cilacap dan mengetahui hambatan yang dihadapi oleh penyidik di wilayah Cilacap. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis sosiologis dan menggunakan spesifikasi penelitian deskriptif. Metode Pengambilan informan dengan menggunakan Purposive Sampling dengan criterian based selection dan metode analisis data secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian, kewenangan penyidikan yang dilakukan di Cilacap dilakukan oleh Kejaksaan dan Kepolisian. Dalam proses penyidikan, penyidik bisa menggunakan upaya paksa khusus terhadap tersangka untuk menemukan barang bukti dan dapat menggunakan ilmu bantu lain di tingkat pemeriksaan. Selain itu dalam proses penyidikan, penyidik bisa melakukan gelar perkara untuk menemukan alat bukti baru dan keterangan lain mengenai perkara. Faktor yang menghambat penyidikan di wilayah Cilacap yaitu faktor hukum, penegak hukum, sarana prasarana, masyarakat dan wilayah geografis.
Kata Kunci : Penyidikan, Tindak Pidana Korupsi, Daerah
ABTRACT v
THE INVESTIGATION OF CORRUPTION IN THE REGION ( The Study of Implementation Investigation of Corruption in Cilacap) By : MUCHAMMAD FAHMI ROSADI E1A009125 In the fight against corruption, the investigation stage was one of the important part from the procedure that must be followed to get a proof of corruption, and will produced a decision which could approach the material truth. There fore the existence of investigation stage cant be separated from the existence of legislative provision that arranged corruption which the investigation was did by KPK, the police, and the attorney according to Act Number 30 Year 2002 about corruption eradication commission. The purposes of this research is to know and to analyze the applying investigation of corruption which commited in Cilacap and also to knowing the obstacle which faced by the investigator in Cilacap. Approaching method that used in this research was socio-juridical and the specification of this research was descriptive research. The Informant taking method with used Purposive Sampling with criterian based selection and data analyze method used qualitative method. Based on the result of research, the investigation which commited in Cilacap was did by the attorney and the police. In the investigation process, investigator can used the special force against suspect to find the evidence and can used criminal psycology in the interrogation level. In addition, in the process of investigation, the investigator may conduct his case to find new evidence and other information about the case. The obstacle factor the investigation in the Cilacap is a law factor, law enforcement, infrastructure, society and geographic area.
Key word : Investigation, Corruption, Region
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul: PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI DAERAH ( Studi Implementasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Wilayah Cilacap ). Skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Dalam proses penulisan ini, penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak secara langsung ataupun tidak langsung. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis akan menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; 2. Dr. Hibnu Nugroho, S.H.,M.H., selaku Pembimbing Skripsi I yang telah memberikan arahan
dan
bimbingan dengan
penuh
kesabaran
sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini; 3. Handri Wirastuti Sawitri, S.H.,M.H., selaku Pembimbing Skripsi II yang telah memberikan arahan dan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini; 4. Pranoto, S.H., M.H. selaku Dosen Penguji Skripsi yang memberi masukan dan bimbingan bagi kesempurnaan skripsi penulis; 5. Kedua orang tua tercinta, yang tidak pernah habis memberikan doa, kasih sayang, pengorbanan, dorongan dan semangat dari kecil hingga dewasa dan sepanjang penulisan skripsi ini.
vii
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, mengingat keterbatasan pengetahuan, waktu dan terbatasnya literatur. Namun dangan segala kerendahan hati penulis mohon maaf sekaligus sumbang saran maupun kritik konstruktif yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini ada manfaatnya bagi kita semua.
Purwokerto,
Februari 2014
Penulis
viii
HALAMAN PERSEMBAHAN
Puji syukur selalu terpanjatkan kehadirat Allah SWT beserta Sholawat dan salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada Rasullah SAW, karya sederhana ini akhirnya terseesaikan. Dengan penuh kerja keras ku persembahkan skripsi ini untuk orang-orang yang penulis sayangi yaitu : 1. Secara khusus skripsi ini kupersembahkan kepada kedua orang tuaku, Drs. Muchammad Suprayogo dan Musyarofah terima kasih telah merawat, menjaga, membimbing, melindungi serta selalu mendoakan dan memberikan dukungan baik moril maupun materiil yang pastinya tidak ternilai dan tidak dapat terbayar oleh apapun; 2. Kedua saudaraku, Qorianita Khajar Ikhsani dan Qurrotun Imammah yang selalu memberi dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini; 3. Untuk para Dosen di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, terima kasih yang sebesar - besarnya atas ilmu, bimbingan, kritik, saran, masukan dan lain sebagainya guna menjadikan penulis pribadi yang lebih baik di masa depan; 4. Saryono Hanadi, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang memberikan motivasi dan bimbingan dari semester awal hingga akhir; 5. Untuk Masayu Novalina, yang selalu memberi doa dan dukungan untuk cepat terselesainya skripsi ini serta sudah mengisi dan memberi warna dalam hari-hariku selama masa kuliah ini dan semoga seterusnya; 6. Keluarga besar UKM Law Football Club Fakultas Hukum Unsoed, yang memberi pengalaman berharga mengenai organisasi maupun dalam bermain sepakbola dan futsal;
ix
7. Keluarga besar UKM Unsoed Football Club, yang telah memberi pengalaman baru dalam berorganisasi di UKM Universitas serta kekeluargaan yang sangat erat di organisasi ini; 8. Keluarga besar Milanisti Indonesia Sezione Purwokerto, yang selalu memberi keceriaan selama ini karena kalian lebih dekat dari saudara dan lebih besar dari keluarga; 9. Tim Sepakbola dan Futsal Fakultas Hukum Unsoed yang memberi pengalaman berharga mengenai kekeluargaan dan semangat pantang menyerah baik saat bermain maupun saat mendampingi kalian di dalam maupun luar lapangan; 10. Sahabatku Saikhu, Ajeng, Marno, Irvan, Dwina, Widya, Irfan Shidiq, Agung, Dita dan Yenita yang berawal dari kelompok PLKH kalian sudah aku anggap seperti keluarga sendiri karena kalianlah yang selalu peduli satu sama lain ketika senang maupun sedih; 11. Sahabatku Ali, Bayu Sendi, Tyas, Raymon, Subkhan, Rosi, Almas, Ardian Rizky, Tyo dan Egi yang selalu memberi keceriaan baik saat futsal maupun saat main bareng, kalianlah yang selalu bisa bikin tertawa, semoga kalian cepat menyusul menjadi Sarjana Hukum; 12. Sahabatku Fahmi Fiqi, Rizqo, Alvian, Desi, Avry, Harley dan Damas dari kalianlah aku belajar mengenai tanggung jawab dan kedewasaan; 13. Rekan seperjuangan, Rizka, Barkah, Daniel, Singgih dan Ohan yang sama-sama berjuang dalam menyelesaikan skripsi kita. Kita harus sukses setelah ini; 14. Teman-teman kosan Adi Primanto, Bogo, Adi dan Dika yang selalu meramaikan suasana di kosan sehingga menjadikan semangat selama di Purwokerto; 15. Serta pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
HALAMAN MOTTO x
“Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, Maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan” (Bung Karno)
“Ada kualitas yang harus dimiliki orang untuk menang, yaitu tujuan yang jelas, tahu yang diinginkan, dan semangat membara untuk meraihnya” (Napoleon Hill)
"Kenapa seorang juara selalu menang, Karena mereka punya mental dan kemauan kuat untuk juara." (Muchammad Fahmi Rosadi)
DAFTAR ISI xi
HALAMAN HALAMAN JUDUL ................................................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN..................................................................................
iii
SURAT PERNYATAAN .........................................................................................
iv
ABSTRAK ................................................................................................................
v
ABSTRACT..............................................................................................................
vi
KATA PENGANTAR..............................................................................................
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ..............................................................................
ix
HALAMAN MOTTO ..............................................................................................
xi
DAFTAR ISI.............................................................................................................
xii
BAB I. PENDAHULUAN A. Pendahuluan ..................................................................................................
1
B. Perumusan Masalah.......................................................................................
5
C. Tujuan Penelitian...........................................................................................
6
D. Kegunaan Penelitian .....................................................................................
6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian, Tujuan dan Azas dalam Hukum Acara Pidana 1. Pengertian Hukum Acara Pidana .............................................................
7
2. Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Pidana.................................................
9
3. Pihak Pihak Dalam Acara Pidana.............................................................
11
4. Azas – Azas Berlakunya Undang – Undang ............................................
12
5. Azas – Azas Hukum Acara Pidana...........................................................
13
B. Penyidikan 1. Pengertian Penyidikan .............................................................................. xii
24
2. Pengertian Penyidik..................................................................................
27
3. Kewenangan Lembaga Penyidik Dalam Penyidikan Tipikor ..................
29
C. Lembaga Penyidikan Tipikor di Indonesia 1. Komisi Pemberantasan Korupsi ...............................................................
36
2. Kepolisian.................................................................................................
38
3. Kejaksaan .................................................................................................
41
D. Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana.........................................................................
44
2. Korupsi .....................................................................................................
47
a. Pengertian Korupsi...............................................................................
47
b. Sebab – Sebab Tindak Pidana Korupsi................................................
50
BAB III. METODE PENELITIAN 1. Metode Pendekatan ........................................................................................
53
2. Spesifikasi Penelitian .....................................................................................
53
3. Lokasi Penelitian............................................................................................
54
4. Sumber Data...................................................................................................
54
5. Metode Pengumpulan Data............................................................................
55
6. Metode Penyajian Data ..................................................................................
55
7. Metode Penentuan Informan..........................................................................
56
8. Metode Validitas Data ...................................................................................
56
9. Metode Analisis Data.....................................................................................
57
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Data Sekunder .....................................................................
58
B. Hasil Penelitian Data Primer..........................................................................
93
C. Pembahasan....................................................................................................
105
xiii
BAB V. PENUTUP A. Simpulan ........................................................................................................
145
B. Saran ..............................................................................................................
147
DAFTAR PUSTAKA
xiv
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akhir – akhir ini akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hakhak ekonomi masyarakat, karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Karena hal itu, korupsi merupakan salah satu dari sekian istilah yang kini telah akrab di telinga masyarakat Indonesia, hampir setiap hari media massa memberitakan berbagai kasus korupsi yang dilakukan oleh aparatur negara baik pegawai negeri ataupun pejabat negara. Dalam kepustakaan kriminologi, korupsi merupakan salah satu kejahatan jenis “white collar crime” atau kejahatan kerah putih. Akrabnya istilah korupsi di kalangan masyarakat telah menunjukkan tumbuh suburnya perhatian masyarakat terhadap korupsi, “white collar crime” mampu menarik perhatian masyarakat karena para pelakunya adalah orang-orang yang dipersepsikan oleh masyarakat sebagai orang-orang terkenal atau cukup
2
terpandang namun merekalah yang membuat kemelaratan dalam masyarakat.1 Timbulnya kejahatan jenis tersebut menurut menurut J.E. Sahetapi dikutip oleh Usman dalam Jurnalnya diungkapkan bahwa : “Timbulnya kejahatan jenis seperti ini menunjukan bahwa sudah tidak hanya kemiskinan saja yang menjadi penyebab timbuknya kejahatan, melainkan faktor kemakmuran dan kemewahan merupakan faktor pendorong orang-orang melakukan kejahatan.”2 Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa. Pada saat ini kinerja aparat penegak hukum dalam menangani masalah-masalah hukum khususnya yang terkait dengan tindak pidana korupsi dipertanyakan kembali. Sudah menjadi rahasia umum bahwa aparat kepolisian, kejaksaan, kehakiman adalah lembaga-lembaga yang melanggengkan korupsi sehingga menjadi suatu sistem yang buruk dalam penegakan hukum. Bahkan karena sudah melembaganya korupsi di lingkungan aparat penegak hukum itu sendiri hingga akhirnya timbul suatu idiom tentang Kasih Uang Habis Perkara. Berbagai kebijakan pemerintah tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemberantasan korupsi antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik 1 Teguh Sulista dan Aria Zurnetti, Hukum Pidana: Horizon Baru Pasca Reformasi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011) Hal. 63 2 Usman. “Analisis Perkembangan Teori Hukum Pidana”. Jurnal Ilmu Hukum.Volume 2 Nomor 1.Hal. 68 ( Juni 2013 )
3
Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan dalam hal ini masih banyak peraturan-peraturan lain yang mengatur mengenai hal-hal yang berkaitan dengan korupsi. Pemberantasan korupsi yang sudah dilakukan, dirasakan tidak cukup hanya dengan perluasan perbuatan yang dirumuskan sebagai korupsi serta cara- cara yang konvensional, diperlukan metode dan cara tertentu agar mampu membendung meluasnya korupsi. Salah satu cara adalah ialah dengan menetapkan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), sehingga pemberantasaannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa. Karena itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang menangani pemberantasan tindak pidana korupsi. Kewenangan badan khusus tersebut harus bersifat independen serta bebas korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara maksimal, optimal, intensif, efektif, profesional dan berkesinambungan. Badan khusus itu disebut Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-
4
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi dalam bertindak pastilah terdapat kendala maupun hambatan dalam upaya pemberantasan korupsi. Kendala tersebut dapat dilihat pada realita saat ini yaitu terkait dengan masalah pemeriksaan pada tingkat penyidikan. Bahwa sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa penyidik adalah pejabat polisi Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil. Hal yang menjadi kelemahan penyidikan tipikor daerah, bisa dilihat jika lemahnya suatu penyidikan tersebut bisa menyebabkan pengadilan menjatuhkan putusan bebas terhadap pelaku korupsi. Bahkan jika dijatuhi hukumanpun, sewaktu – waktu pihak tersebut melakukan banding bisa saja pengadilan membebaskan terdakwa karena lemahnya penyidikan tipikor daerah.3 Dengan adanya pengadilan tipikor daerah, semua kasus Tipikor yang ada di daerah akan disidik oleh penyidik kepolisian dan kejaksaan. Jika dalam hal supervisi KPK tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan maksimal terhadap semua penyidikan, maka dalam penyidikan tanggung jawab sepenuhnya nantinya akan jatuh kepada kepolisian dan kejaksaan. Namun jika kualitas kejaksaan dan kepolisian masih seperti
3
Diunduh dari : http://www.suaramerdeka.com/ v2/ index.php /read/ cetak/ 2011 /05 /09 /145909 /Prospek-Peradilan-Tipikor-Daerah-. Diakses tanggal 22 Mei 2013 Pukul 17.00 WIB
5
dulu, hal ini dikhawatirkan akan memberatkan hakim Tipikor dalam menyidangkan perkara. Oleh karena itu patut dicermati kinerja kepolisian dan kejaksaan sebagai penidik di daerah dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi yang ada di daerah. Dan berdasarkan latar belakang tersebut penulis memberi judul skripsi PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI DAERAH ( Studi Implementasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Wilayah Cilacap ). A. Rumusan Masalah Berdasarkan hal – hal yang telah diuraikan dalam latar belakang, maka disusunlah perumusan masalah sebagai berikut : 1.
Bagaimana penyidikan tipikor yang dilakukan di wilayah Cilacap?
2.
Apakah ada hambatan dalam pelaksanaan penyidikan Tipikor di wilayah Cilacap?
B. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1.
Mengetahui penyidikan Tipikor di wilayah Cilacap.
2.
Mengetahui hambatan dalam pelaksanaan penyidikan Tipikor di Cilacap.
C. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan berguna untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum. Dan sebagai
6
tambahan wacana referensi acuan penelitian yang sejenis dari permasalahan yang berbeda dibidang Hukum Acara Pidana. 2. Kegunaan praktis a. Sebagai salah satu acuan kepustakaan Hukum Acara Pidana khususnya mengenai penyidikan Tipikor. b. Sebagai masukan kepada pihak-pihak yang terkait seperti aparatur pemerintah, mahasiswa, advokat dalam memberikan penyelesaian terhadap penyidikan Tipikor di daerah.
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian, Tujuan dan Azas dalam Hukum Acara Pidana 1. Pengertian Hukum Acara Pidana Menurut Wirjono Prodjodikoro yang dikutip oleh C.S.T. Kansil Hukum Acara Pidana Adalah: “Peraturan yang mengatur tentang bagaimana cara alat- alat perlengkapan pemerintah melaksanakan tuntutan, memperoleh Keputusan Pengadilan, oleh siapa Keputusan Pengadilan itu harus dilaksanakan, jika ada seseorang atau kelompok orang yang melakukan perbuatan pidana.”4
Perbedaannya dengan hukum pidana adalah Hukum Pidana merupakan peraturan yang menentukan tentang perbuatan yang tergolong perbuatan pidana. Syarat- syarat umum yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan dapat dikenakan sanksi pidana, pelaku perbuatan pidana dapat dihukum dan macam- macam hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelaku perbuatan pidana. Hukum Acara Pidana disebut Hukum Pidana Formil (Formeel Strafrech), sedang Hukum Pidana disebut sebagai Hukum Pidana Materiil (Materieel Strafrecht). Jadi, Kedua hukum tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat. Hukum Acara Pidana mempunyai tugas untuk: 1.
4
Mencari dan mendapatkan kebenaran materiil;
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1986), Hal. 345
8
2.
Memperoleh keputusan oleh hakim tentang bersalah tidaknya seseorang atau sekelompok orang yang disangka/didakwa melakukan perbuatan pidana;
3.
Melaksanakan keputusan hakim. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
menjadi pedoman dalam proses beracara para penegak hukum tidak memberikan definisi tentang hukum acara pidana, yang ada hanyalah berbagai pengertian mengenai bagian-bagian tertentu dari hukum acara pidana, misalnya pengertian penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan, dan lain-lain.5 Untuk mengetahui pengertian tentang acara pidana, maka didasarkan pada pendapat (doctrine) dari para sarjana. Pengertian hukum acara pidana menurut Moeljatno, seperti yang dikutip oleh Sutomo bahwa: Hukum acara pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang berisikan dasar-dasar dan aturan yang menentukan dengan cara dan prosedur macam apa ancaman pidana yang ada pada suatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan, bagaimana cara dan prosedur dapat dilaksanakan apabila ada sangkaan bahwa orang telah melakukan delik tersebut.6 Simons juga memberikan pengertian hukum acara pidana yaitu hukum yang mengatur bagaimana negara dengan alat-alat perlengkapannya
5 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indoensia (Jakarta: Balai Aksara, 2001) Hal. 4 6 Sutomo, Handout Hukum Acara Pidana (Surabaya: Fakultas Hukum Airlangga, 2007) Hal. 1
9
mempergunakan
haknya
menghukum
dan
menjatuhkan
hukuman
(memidana).7 De Bosch Kemper yang dikutip oleh Andi Hamzah, memberikan pengertian hukum acara pidana, yaitu keseluruhan asas-asas dan peraturan undang-undang mengenai mana negara menjalankan hak-haknya karena terjadi pelanggaran undang-undang.8 Van Bemellen seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah dalam bukunya, memberikan penjelasan hukum acara pidana adalah sebagai berikut: Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya dugaan terjadinya pelanggaran undang-undang hukum pidana. 1. Negara melalui alat-alat penyidik kebenaran; 2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu; 3. Mengambil perbuatan-perbuatan yang perlu guna mengungkap si pelaku dan kalau perlu menahannya; 4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijs material) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa kepada hakim tersebut; 5. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib; 6. Upaya hukum untuk melawan keputusan sendiri; 7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib itu.9 Dari uraian diatas dapat dimengerti bahwa Hukum Acara Pidana tidak semata- mata menerapkan Hukum Pidana. Akan tetapi lebih menitikberatkan pada proses dari pertanggungjawaban seseorang atau sekelompok orang yang diduga dan/atau didakwa telah melakukan perbuatan pidana. Selain itu jika
7
Ibid, Hal. 3 Ibid, Hal. 3 9 Andi Hamzah, Op. Cit, Hal. 15 8
10
dalam hukum acara pidana dijalankan hanya berdasarkan kekuatan undangundang dan acara pidana dijalankan jika terjadi tindak pidana. 2. Tujuan Dan Fungsi Hukum Acara Pidana Tujuan Hukum Acara Pidana sangat erat hubungannya dengan tujuan Hukum Pidana, yaitu menciptakan ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat. Hukum Pidana memuat tentang rincian perbuatan yang termasuk perbuatan pidana, pelaku perbuatan pidana yang dapat dihukum, dan macam- macam hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelanggar hukum pidana. Sebaliknya Hukum Acara Pidana mengatur bagaimana proses yang harus dilalui aparat penegak hukum dalam rangka mempertahankan hukum pidana materiil terhadap pelanggarnya. Tujuan hukum acara pidana pada hakikatnya mencari kebenarann materiil. Kebenaran materiil yang merupakan kebenaran yang senyatanya didapatkan dengan pembuktian. Selanjutnya menurut R. Soesilo memberikan pendapat mengenai tujuan hukum acara pidana yaitu: “Hakikatnya memang mencari kebenaran. Para penegak hukum mulai dari polisi, jaksa sampa kepada hakim dalam menyidik, menuntut, dan mengadili perkara senantiasa harus berdasarkan hal yang sungguhsungguh terjadi. Untuk itu dibutuhkan petugas-petugas selain yang berpengalaman luas, berpendidikan bermutu, dan berotak cerdas juga berkepribadian yang teguh, yang kuat mengelakan dan menolak segala godaan.”10
10
R. Soesilo, Op. Cit, Hal. 19
11
Menurut Andi Hamzah11 tujuan hukum acara pidana mencari kebenaran itu hanyalah tujuan antara. Tujuan akhir sebenarnya ialah mencapai
suatu
ketertiban,
ketentraman,
kedamaian,
keadilan
dan
kesejahteraan dalam masyarakat. Selain itu sesuai dengan definisi-definisi di atas, bahwa hukum acara pidana mempunyai suatu tujuan untuk membentuk aparat penegak hukum yang bertanggung jawab serta menghormati hak asasi manusia. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa kedua hukum tersebut saling melengkapi, karena tanpa hukum pidana, hukum acara pidana tidak berfungsi. Sebaliknya tanpa hukum acara pidana, hukum pidana juga tidak dapat dijalankan (tidak berfungsi sesuai dengan tujuan). Fungsi dari Hukum Acara Pidana adalah mendapatkan kebenaran materiil,putusan hakim, dan pelaksanaan keputusan hakim. 3. Pihak- Pihak Dalam Acara Pidana Pihak- pihak yangh turu serta dalam proses pelaksanaan Hukum Acara Pidana adalah sebagai berikut : a. Tersangka dan terdakwa Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku perbuatan pidana (Pasal 1 Butir 14 KUHAP). Sedangkan terdakwa adalah Seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan. 11
Andi Hamzah, Op. Cit.
12
b. Penuntut Umum (Jaksa) Penuntut umum adalah lembaga yang baru ada setelah HIR berlaku. Sebelum itu belum ada penuntut umum, yang ada adalah magistrate yang masih berada di bawah residen atau asisten residen. Tetapi setelah HIR berlaku, penuntut umum ada dan berdiri sendiri dibawah procureur general. c. Penyidik dan Penyelidik Penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang- undang untuk melakukan penyidikan (butir 1 Pasal 1 KUHAP). Sedangkan penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang- undang ini untuk melakukan penyelidikan (butir 4 Pasal 1 KUHAP). d. Penasihat Hukum Penasihat hukum adalah seseorang yang membantu tersangka atau terdakwa sebagai pendamping dalam pemeriksaan. 4. Azas- Azas Berlakunya Undang- Undang a. Azas Retroaktif, bahwa undang- undang tidak berlaku surut. b. Lex Posterior Derogate Lex Priori, bahwa undang- undang yang berlaku kemudian membatalkan undang- undang terdahulu sejauh itu mengatur hal yang sama.
13
c. Lex Superior Derogate Legi Inferior, bahwa undang- undang yang dibuat oleh penguasa tinggi mempunyai derajat yang lebih tinggi. d. Lex Specialis derogate Legi Generalis, bahwa undang- undang khusus mengalahkan undang- undang umum. 5. Asas – Asas Hukum Acara Pidana Suatu hukum menggunakan asas sebagai landasan berpijak dalam operasional pelaksanaannya, begitu pula hukum acara pidana. dalam hukum acara pidana terdapat beberapa asas-asas penting yang perlu diketahui. Menurut Andi Hamzah,12 terdapat sembilan asas penting dalam hukum acara pidana yaitu: 1. Peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan; Suatu peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan. Berdasarkan penjelasan umum KUHAP Butir 3 Huruf e ditegaskan sebagai berikut: Peradilan harus dilaksanakan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas jujur, dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.
Berdasarkan ketentuan tersebut juga ditegaskan dalam ketentuan Pasal 59 ayat (1), (2), dan (3) KUHAP yang pada intinya bahwa tersangka dan terdakwa berhak: a. Segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik; b. Segera diajukan kepada penuntut umum oleh penyidik; 12
Ibid, Hal. 23
14
c. Berhak perkaranya diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum; dan d. Berhak segera diadili oleh pengadilan. KUHAP menunjukkan sistem peradilan cepat, dengan banyak menggunakan istilah “segera”. Menurut Andi Hamzah13 bahwa istilah “satu kali dua puluh empat jam” lebih pasti dari pada istilah “segera”. Demikianlah sehingga ketentuan yang sangat bagus ini perlu diwujudkan dalam praktik penegak hukum. Ia mengharapkan sebaiknya dalam pembuatan peraturan perundang-undangan yang akan dihindari istilah “segera”, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan semacamnya dan diganti dengan “satu kali dua puluh empat jam”, “tiga kali dua puluh empat jam”, “dua bulan”, dan seterusnya. Mengenai pelimpahan berkas dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding juga diatur sedemikian rupa, agar tercapai pengadilan yang bersifat tepat. Pasal 110 KUHAP mengatur tentang hubungan penuntut umum dan penyidik dengan kata “segera.” Pasal 140 ayat (1) KUHAP, bahwa: Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan. Berdasarkan pasal tersebut yang juga terdapat kata secepatnya, berarti penegak hukum dalam melakukan pemeriksaan tidak boleh ditunda-tunda dalam penyelesaian dan harus sesuai dengan tanggung jawab. Dalam KUHAP Tentang asas sederhana dan biaya ringan: 13
Andi Hamzah, Op. Cit, Hal. 19
15
a. Penggabungan pemeriksaan perkara pidana dengan tuntutan ganti rugi yang bersifat perdata oleh seorang korban yang mengalami kerugian sebagai akibat langsung dari tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa (Pasal 98); b. Banding tidak dapat diminta terhadap putusan acara cepat; c. Pembatasan penahanan dengan memberi sanksi dapat dituntut ganti rugi pada sidang praperadilan, tidak kurang artinya sebagai pelaksanaan prinsip mempercepat dan menyederhanakan poses penahanan; d. Demikian juga peletakan asas diferensiasi fungional, nyata-nyata memberi
kesederhanaan
penanganan
fungsi
dan
wewenang
penyidikan, agar tidak terjadi penyidikan bolak-balik, timpang tindih dan saling bertentangan. Proses
perkara
pidana
dengan
biaya
ringan
diartikan
menghindarkan sistem administrasi perkara dan mekanisme bekerjanya para petugas yang mengakibatkan beban biaya bagi yang berkepentingan atau masyarakat (social cost) yang tidak sebanding, karena biaya yang dikeluarkan lebih besar dari hasil yang diharapkan. Menurut Andi Hamzah tentang peradilan cepat yaitu : “Peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim) merupakan bagian dari hak asasi manusia. Begitu pula peradilan yang bebas, jujur, dan tidak memihak yang ditonjolkan dalam undang-undang tersebut.” 14 Secara ringkasnya menurut Sudikno Mertokusumo yaitu : 14
Ibid, Hal. 11
16
“Sederhana adalah sederhana peraturannya, sederhana untuk dipahami dan tidak berbelit-belit, cepat berarti tidak berlarut-larut proses penyelesaiannya, biaya ringan berarti beaya untuk mencari keadilan itu dapat terpikul oleh rakyat semuanya dengan tanpa mengorbankan ketelitian untuk mencari kebenaran dan keadilan.” 15
2. Praduga tak bersalah (Presumption of innocence); Asas ini dapat di lihat dalam Penjelasan Umum butir 3c KUHAP, bahwa: Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Asas ini merupakan asas penghormatan kepada seseorang yang berhadapan dengan hukum dikatakan tidak bersalah sebelum adanya putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Pengaturan asas praduga tidak bersalah dalam KUHAP merupakan salah satu upaya untuk melindungi hak-hak tersangka dari tindakan sewenang-wenang dari aparat hukum. Namun menurut Rohmini tentang pengaturan asas praduga tidak bersalah yaitu : “Pengaturan asas praduga tidak bersalah dalam Penjelasan Umum Butir 3c KUHAP, dapat menjadi kendala dalam pelaksanaannya, karena ketentuan tersebut tidak di atur dalam batang tubuh tetapi hanya dalam penjelasan.13 Kendala dalam penerapan asas praduga tidak bersalah dalam perkara pidana bukan karena pengaturannya tidak secara tegas dalam batang tubuh KUHAP, tetapi lebih kepada kesadaran hukum dari aparat hukumnya, yang kurang
15
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Yogyakarta: Liberty, 2003) Hal. 123
17
memperhatikan hak-hak tersangka yang kepentingan untuk pembelaan hukum.”16
juga
mempunyai
Sebagaimana dikemukakan oleh Soekanto, bahwa : “Penegakan hukum yang baik tidak hanya dilandasi faktor hukum (undang- undang) yang baik dan lengkap melainkan juga dipengaruhi oleh aparat penegak hukum, fasilitas, dan budaya hukum masyarakat.”17 Senada dengan pendapat tersebut Winarta18
mengemukakan
bahwa: “Melemahnya penegakan hukum di Indonesia, dikarenakan aparat penegak hukum yang belum menunjukkan sikap profesional dan tidak memiliki integritas serta moral yang tinggi.”
Oleh karenanya dapat disebutkan bahwa
budaya hukum yang
merupakan salah satu faktor yang turut mempengaruhi bekerjanya sistem hukum adalah kesadaran hukum dari para pelaksana fungsi kekuasaan kehakiman. Penerapan asas presumption of innocence dalam perkara pidana merupakan akibat proses pemidanaan oleh para penegak hukum, seperti penyidik dan penuntut umum berhadapan dengan tersangka atau terdakwa sering dihadapkan
dengan hak asasi manusia, sehingga asas ini
kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999,
16
Mien Rohmini, Perlindungan HAM melalui Asas Praduga tak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan dalam Hukum pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Bandung: Alumni, 2003) Hal. 67. 17 Frans H.Winarta, Pencapaian Supremasi Hukum yang Beretika dan Bermoral, Vol. 20 No. 1 (Jakarta: Pro Justitia, 2003) Hal. 8 18 E. Nurhaini Butarbutar, Sistem Peradilan dalam Negara Hukum Republik Indonesia (Jakarta: Legalitas, 2010) Hal. 10
18
tentang Hak Asasi Manusia. Meskipun sebenarnya hak asasi yang merupakan hak kodrati yang melekat pada manusia tidak membutuhkan legitimasi yuridis untuk memberlakukannya, namun sifat negara yang sekuler dan positivistik mengakibatkan eksistensi hak kod- rati manusia tersebut memerlukan landasan yuridis dalam mengatur kehidupan bersama-sama dengan manusia yang lain. Proses pemidanaan tersebut sering tidak mengindahkan hak-hak tersangka, yang seharusnya dilindungi karena perbuataan pidana yang disangkakan kepadanya tidak selalu terbukti. Dijatuhkannya putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap terhadap perkara tersebut, maka
peristiwa
yang
disangkakan atau diajukan oleh pihak yang
berkepentingan dianggap sebagai suatu kebenaran. Sesuai dengan fungsi hukum sebagai alat untuk merubah masyarakat (a tool social engineering) maka diharapkan putusan hakim dapat merubah pola tingkah
laku
masyarakat ke arah yang lebih baik sehingga tujuan negara yang sudah dituangkan dalam
alinea
keempat
Pembukaaan UUD 1945 dapat
diwujudkan. 3. Oportunitas; Penuntut Umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan delik jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum. Asas ini merupakan wewenang dari Kejaksaan Agung sesuai dengan ketentuan Pasal 35 huruf (c) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, bahwa:
19
Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan suatu perkara demi kepentingan umum. A.Z. Abidin19 seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah memberi suatu rumusan tentang asas oportunitas adalah “Asas hukum yang memberikan wewenangnya kepada Penuntut Umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum.” 4. Pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum; Pada dasarnya setiap persidangan adalah terbuka untuk umum kecuali persidangan mengenai perkara kesusilaan atau terdakwanya anakanak. Hal ini sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP, bahwa: “Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.” Apabila hakim tidak membuka sidang tersebut untuk umum maka hakim melanggar ketentuan ketentuan dan mengakibatkan putusan hakim pengadilan menjadi “batal demi hukum.” Terhadap ketentuan ini ada kecualinya mengenai
perkara
yang menyangkut
kesusilaan dan
terdakwanya terdiri dari anak-anak, dalam hal ini persidangan dapat dilakukan dengan tertutup. Menurut pendapat Andi Hamzah20 bahwa: “Ketentuan yang terdapat di dalam pasal tersebut terlalu limitatif, seharusnya hakim diberikan kebebasan untuk menentukan sesuai
19 20
Ibid, Hal. 14 Andi Hamzah, Op. Cit
20
situasi dan kondisi apakah sidang tersebut terbuka atau tertutup untuk umum.” Yahya Harahap berpendapat bahwa: “Semua sidang pengadilan terbuka untuk umum. Pada saat majelis hakim hendak membuka sidang, harus menyatakan “sidang terbuka untuk umum.” Setiap orang yang hendak mengikuti jalannya persidangan, dapat hadir memasuki ruang sidang. Pintu dan jendela ruangan sidang pun terbuka, sehingga dengan demikian makna prinsip persidangan terbuka untuk umum benar-benar tercapai. Asas pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum disebut sebagai asas demokrasi. Asas ini memberi makna yang mengarahkan tindakan penegakan hukum di Sistem Peradilan Indonesia (SPP) Indonesia harus dilandasi jiwa “persamaan” dan “keterbukaan” serta musyawarah dan mufakat dari majelis peradilan dalam mengambil keputusan.” 21 5. Semua orang diperlakukan sama didepan hakim; Penjelasan Umum Butir 3a KUHAP bahwa perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan. Jadi sesuai dengan ketentuan pasal tersebut di atas telah ditegaskan bahwa peradilan memberikan perlakuan yang sama kepada setiap orang di dalam pemeriksaan hakim tanpa adanya pembedaan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Sudikno Mertokusumo, dimuka hukum semua orang adalah sama (equality before the law). Pengadilan tidak hanya mengadili berdasarkan undang-undang seperti yang tercantum dalam Pasal 20AB, tetapi mengadili menurut hukum.22 Menurut Barda Nawawi Arif23 bahwa :
21 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) edisi kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003) Hal. 110 22 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit. 23 Barda Nawawi Arif, Op. Cit
21
“Adanya pembedaan perlakuan hukum dari apara penegak hukum, berdasarkan asas kesamaan didepan hukum (equality before the law), seharusnya secara hukum tidak ada perbedaan perlakuan yang diberikan oleh aparat penegak hukum kepada sesama tersangka, karena proses hukum yang digunakan merupakan proses hukum yang adil dan jujur (dueprocess model) dalam sistem penegakan hukum yang in concreto.” Dalam due process model, perbedaan perlakuan hukum antara tersangka satu dengan tersangka lainnya oleh majelis hakim berdasarkan penggunaan hak subyektifnya berakibat telah terjadinya pelanggaran asas kesamaan kedudukan di depan hukum (equality before the law) yang dianut oleh KUHAP. 6. Peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan tetap; Ini berarti pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Untuk jabatannya hakim-hakim ini diangkat oleh Kepala Negara. Berdasarkan rumusan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa: Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Prinsip ini sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut undangundang, yakni sistem pembuktian undang-undang secara negatif. Mewajibkan hakim mencari kebenaran hakiki (ultimate truth) di dalam
22
membuktikan
kesalahan
terdakwa
berdasarkan
batas
minimum
pembuktian menurut undang-undang dengan alat bukti yang sah.24
7. Tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum; Asas ini memberikan harkat dan martabat kepada tersangka atau terdakwa bahwa mereka sederajat dengan manusia lainnya. Bantuan hukum dapat diperoleh oleh tersangka sejak saat di tangkap atau di tahan pada semua tingkat pemeriksaan. Berdasarkan Pasal 69 sampai dengan 74 KUHAP dirumuskan bahwa tersangka atau terdakwa mendapatkan: a. Bantuan hukum dapat diberikan sejak tersangka ditangkap atau ditahan (Pasal 69); b. Bantuan hukum diberikan pada semua tingkat pemeriksaan (Pasal 69); c. Penasehat hukum dapat menghubungi tersangka atau terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu (Pasal 70 ayat (1)); d. Pembicaraan antara penasehat hukum saat menghubungi tersangka tidak didengar oleh penyisik dan penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut keamanan negara (Pasal 71 ayat (1) dan ayat (2)); e. Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penuntut umum guna kepentingan pembelaan (Pasal 72); f. Penasehat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka atau terdakwa (Pasal 73). Pengecualian dari pasal tersebut di atas terdapat pada ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP merupakan kewajiban dari aparat penegak hukum menegaskan bahwa dalam hal tersangka atau terdakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana 15 tahun penjara atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka. 24
M. Yahya Harahap, Op. Cit, Hal. 112
23
Menurut Andi Hamzah25 bahwa : “Pembatasan-pembatasan hanya dikenakan jika penasehat hukum menyalahgunakan hak-haknya tersebut. Kebebasan-kebebasan dan kelonggaran-kelonggaran tersebut hanya dari segi yuridis sematamata bukan dari segi politik, sosial dan ekonomi.” 8. Akusator dan inkusitor (Accusatoir dan Inqusitoir); Kebebasan
memberi
dan
mendapatkan
nasihat
hukum
menunjukkan bahwa KUHAP telah menganut asas akusator. Ini artinya perbedaan antara pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang pengadilan pada asasnya telah dihilangkan. Prinsip akusator menempatkan kedudukan
tersangka atau
terdakwa dalam setiap pemeriksaan sebagai subyek, bukan obyek pemeriksaan, karena itu kedudukan tersangka atau terdakwa harus didudukkan dalam kedudukan yang mempunyai harkat dan martabat. Kesalahan (tindak pidana) yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa menjadi obyek dalam prinsip akusator.26 Menurut Andi Hamzah27, prisnsip inkusitor adalah menempatkan tersangka atau terdakwa sebagai obyek yang dapat diperlakukan dengan sewenang-wenang. Sedangkan menurut L. J. Van Apeldoorn28 yang dimaksud akusator dan inkusitor adalah: Sifat accusatoir ialah prinsip, bahwa dalam acara pidana, pendakwa (penuntut umum) dan terdakwa berhadapan sebagai pihak yang sama haknya. Penuntut umum dan terdakwa melakukan pertarungan hukum (rechtsstriid) di muka hakim yang 25
Andi Hamzah, Op. Cit, Hal. 21 ibid, Hal. 22 27 Loc. Cit 28 L. J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita, 2009) 26
Hal.338
24
tidak berpihak; Kebalikannya ialah asas inquisitoir dalam mana hakim sendiri mengambil tindakan untuk mengusut, hakim sendiri bertindak sebagai pendakwa, jadi dalam mana tugas dari orang yang menuntut, orang yang mendakwa dan hakim disatukan dalam satu orang. 9. Pemeriksaan Hakim yang langsung dan lisan. Pemeriksaan di tingkat pengadilan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Ini berbeda dengan acara perdata di mana tergugat dapat diwakili oleh kuasanya. Menurut Andi Hamzah29 hal ini berkaitan dengan tujuan hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materiil, di mana hakim melakukan pemeriksaan di tingkat pengadilan haruslah secara langsung. Pemeriksaan hakim juga dilakukan secara lisan, artinya bukan tertulis antara hakim dan terdakwa. B. Penyidikan 1. Pengertian Penyidikan Salah satu rangkaian dalam menyelesaikan kasus dalam acara pidana
termasuk
tindak
pidana
korupsi
adalah
melakukan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana ataupun tindak pidana korupsi. Salah satu hal yang paling penting dalam suatu tindakan pemberantasan korupsi adalah pada saat penyidikan. Tahap penyidikan merupakan salah satu bagian penting dalam rangkaian tahap- tahap yang harus dilalui suatu kasus menuju
29
Ibid
25
pengungkapan terbukti atau tidaknya dugaan telah terjadinya suatu tindak pidana. Oleh sebab itu keberadaan tahap penyidikan tidak bisa dilepaskan dari adanya ketentuan perundangan yang mengatur mengenai tindak pidannanya.30 Penyidikan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang tercantung dalan Pasal 1 angka 2 diartikan : “Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.” Penyidikan merupakan rangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti agar dapat ditemukan tersangka.31 Sedangkan menurut K. wantjik Saleh yang dikutip dalam jurnal hukum Sahuri Lasmadi32, penyidikan sendiri diartikan yaitu: “Usaha dan tindakan untuk mencari dan menemukan kebenaran tentang apakah betul terjadi suatu tindak pidana, siapa yang melakukan perbuatan itu, bagaimana sifat perbuatan itu serta siapakah yang terlibat dengan perbuatan itu.” Penyidik sendiri menurut Pasal 45 angka 1 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 adalah : “Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan Penyidik melaksanakan fungsi penyidikan tindak pidana korupsi.” 30 Hibnu Nugroho, Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Jakarta: Media Aksara Prima, 2012) Hal. 67 31 Hibnu Nugroho, Kedaulatan rakyat (18 Juli 2012) Hal. 1 32 Sahuri Lasmadi, “Tumpang Tindih Kewenangan Penyidikan Pada Tindak Pidana Korupsi Pada Perspektif Sistem Peradilan Pidana”. Jurnal Ilmu Hukum , Volume 2, 3 ( Juli 2010 ) Hal. 10
26
Dalam penyidikan sendiri ada yang disebut penyidik yaitu orang yang melakukan penyidikan yang terdiri dari pejabat yang dijelaskan pada Pasal 1 butir 1 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana. Pejabat penyidik sendiri terdiri dari Penyidik Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil.33 Tahap penyidikan terhadap suatu perkara biasanya dilakukan setelah penyidik mengetahui adanya suatu peristiwa yang diduga merupakan suatu tindak pidana. Disamping itu, penyidikan juga akan dimulai apabila penyidik menerima laporan ataupun pengaduan tentang dugaan telah terjadinya suatu tindak pidana. Sehubungan
dengan
hal
tersebut,
Yahya
Harahap34
memberikan penjelasan mengenai penyidik dan penyidikan yaitu : “Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan ketentuan umum Pasal I Butir 1 dan 2, Merumuskan pengertian penyidikan yang menyatakan, penyidik adalah pejabat Polri atau pejabat pegawai negeri tertentu yang diberi wewenang oleh undangundang. Sadangkan penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang suatu tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya.” Sedangkan Andi Hamzah35 menyimpulkan bahwa definisi dari Pasal 1 butir 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu :
33
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Jakarta: Sinar Grafika, 2000) Hal. 112 34 Ibid., Hal. 115 35 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, 2000, Hlm.119
27
“Penyidikan dalam acara pidana hanya dapat dilakukan berdasarkan undang-undang, hal ini dapat disimpulkan dari katakata “menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.” Dalam bahasa Belanda ini sama dengan opsporing. Menurut de Pinto yang dikutip dalam jurnal Bambang Tri Bawono36 menyebutkan bahwa menyidik (opsporing) berarti: “Pemeriksaan permulaan oleh pejabat- pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang- undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum.” Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa penyidikan merupakan suatu proses atau langkah awal yang merupakan suatu proses penyelesaian suatu tindak pidana yang perlu diselidik dan diusut secara tuntas di dalam sistem peradilan pidana, dari pengertian tersebut, maka bagian-bagian dari hukum acara pidana yang menyangkut tentang Penyidikan adalah ketentuan tentang alatalat bukti, ketentuan tentang terjadinya delik, pemeriksaan di tempat kejadian, pemanggilan tersangka atau terdakwa, penahan sementara, penggeledahan, pemeriksaan dan introgasi, berita acara, penyitaan, penyampingan perkara, pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembalian kepada penyidik untuk disempurnakan. 2. Pengertian Penyidik
36
Bambang Tri Bawono, “Tinjauan Yuridis Hak – Hak Tersangka dalam Pemeriksaan Pendahuluan”, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 245 ( Agustus 2011 ) Hal. 62
28
Dalam melakukan proses penyidikan tentunya ada pejabat yang berwenang melakukan penyidikan tersebut. Pejabat tersebut lebih dikenal dengan penyidik. Menurut Pasal 6 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ditegaskan bahwa penyidik adalah : a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP karena kewajibanya menurut Pasal 7 KUHAP mempunyai wewenang : a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal dari tersangka; d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. Mendengarkan orang ahli yang diperlukan dalam hubunganya dengan pemeriksaan perkara; i. Mengadakan penghentian penyidikan; j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang
menjadi
dasar
hukumnya
masing-masing
dan
dalam
29
pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP. Dalam melaksanakan tugasnya, penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku. Penyidik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP mempunyai wewenang melakukan tugas masing masing pada umumnya di seluruh wilayah Indonesia, khususnya di daerah hukum masing-masing dimana ia diangkat sesuai dengan ketentuan undang-undang. 3. Kewenangan Lembaga Penyidik Dalam Penyidikan Tipikor Dalam perjalanan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi semakin membantu dalam penanganan kasus – kasus tindak pidana korupsi di Indonesia. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berdasarkan Pasal 2 dan 3 Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang untuk selanjutnya disebut Komisi Pemberantsan Korupsi adalah lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan apapun. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 yaitu : “Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervise, monitor, penyelidikan, penyidikan,
30
penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku.”
Komisi pemberantasan korupsi dalam hal penanganan tipikor harus sesuai dengan Hukum Acara Pidana yang berlaku sebagai ketentuan yang memuat tata cara dan suatu proses perkara pidana, mengatur hak dan kewajiban bagi mereka yang bersangkut paut dalam proses perkara serta mengatur pelaksanaan peradilan menurut Undang-Undang.
Pengertian
hukum
acara
pidana
menurut
Moeljatno37 bahwa: “Hukum acara pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang berisikan dasar-dasar dan aturan yang menentukan dengan cara dan prosedur macam apa ancaman pidana yang ada pada suatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan, bagaimana cara dan prosedur dapat dilaksanakan apabila ada sangkaan bahwa orang telah melakukan delik tersebut.” Sedangkan menurut Wirjono Projodikoro hukum acara pidana erat
hubungannya
dengan
hukum
pidana.
Wirjono
Projodikoro38 memberi pengertian hukum acara pidana: “Hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara, bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa yakni kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara yang mengadakan hukum pidana.” Tugas Komisi Pemberantasan Korupsi sendiri dapat dilihat dalam Pasal 6 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 yaitu : a. 37
Melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan tindak pidana korupsi.
Topo Santoso,”Polisi dan Jaksa Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum. Volume 10 ( September 2001 ) Hal. 12 38 Ibid. Hal. 2
31
b.
c. d. e. f. g.
h. i. j.
Melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; instansi yang berwenang adalah termasuk Badan Pemeriksaan Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara, inspekorat pada Departemen atau Lembaga Pemerintah Non- Departemen. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Melakukan tindakan- tindakan pencegahan tindak pidana korupsi. Menyelenggarakan monitor tehadap penyelenggaraan pemerintah Negara. Melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan tindak pidana korupsi. Melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; instansi yang berwenang adalah termasuk Badan Pemeriksaan Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara, inspekorat pada Departemen atau Lembaga Pemerintah Non- Departemen. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Melakukan tindakan- tindakan pencegahan tindak pidana korupsi. Menyelenggarakan monitor tehadap penyelenggaraan pemerintah Negara.
Salah satu tugas dari Komisi Pemberantasan Korupsi adalah melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Salah satu hal yang paling penting dalam suatu tindakan pemberantasan korupsi adalah pada saat penyidikan. Tahap penyidikan merupakan salah satu bagian penting dalam rangkaian tahap- tahap yang harus dilalui suatu kasus menuju pengungkapan terbukti atau tidaknya dugaan telah terjadinya suatu tindak pidana. Oleh sebab itu keberadaan tahap penyidikan tidak bisa
32
dilepaskan dari adanya ketentuan perundangan yang mengatur mengenai tindak pidannanya.39 Dalam sejarah hukum acara pidana bahwa sebelum berlakunya KUHAP, kekuasaan melakukan penyidikan dimiliki oleh kejaksaan. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) Undang- Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia yang berbunyi:
“Mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinir alat- alat penyidik menurut ketentuan- ketentuan dalam Undang- Undang Hukum Acara Pidana dan lain- lain peraturan negara”.
Penjelasan pasal tersebut menyatakan untuk kesempurnaan tugas penuntutan, jaksa perlu sekali mengetahui sejelas- jelasnya semua pekerjaan yang dilakukan dalam bidang penyidikan perkara pidana dari permulaan sampai akhir yang seluruhnya itu harus dilakukan atas dasar hukum. Hal ini dapat dilihat bahwa yang memimpin dalam hal penyidikan pada periode sebelum berlakunya KUHAP adalah kejaksaan, yaitu dengan tugas selaku pengawas dan koordinator di bidang penyidikan yang dilakukan oleh pihak- pihak lain, termasuk polisi. Dalam perkembangan selanjutnya, dengan lahirnya Undangundang Kepolisian yang baru pada tahun 2002, menyatakan polisi dapat melakukan penyidikan untuk semua tindak pidana. Dalam arti 39
Hibnu Nugroho, Op.Cit., Hal. 67
33
kata baik polisi maupun kejaksaan mempunyai kewenangan yang dalam melakukan penyidikan tindak pidana khusus. Dari ketiga lembaga penyidikan tersebut dapat menimbulkan tumpang tindihnya kewenangan antara sub sistem dalam sistem peradilan pidana tentang siapa yang berwenang melakukan penyidikan pada perkara tindak pidana korupsi setelah keluarnya Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimulai dengan rumusan Pasal 26 Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, merumuskan: “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang Pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang ini.”
Hal ini sama dengan rumusan Pasal 39 Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Secara Gramatikal arti kalimat berdasarkan hukum acara yang berlaku tentunya merujuk kepada Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana, karena selain KUHAP tidak ada lagi hukum acara pidana lain yang berlaku di Indonesia. Hal tersebut juga berarti bahwa terhadap tindak pidana korupsi, harus dilakukan penyidikan berdasarkan Pasal 106 sampai 136 KUHAP oleh penyidik menurut Pasal 1 angka 1 sampai 5, yaitu polisi. Sedangkan penuntutan tindak pidana dilakukan menurut Pasal
34
137 sampai 144 KUHAP oleh penuntut umum menurut Pasal 1 angka 6 dan 7 KUHAP, yaitu Jaksa. Berdasarkan uraian dan pemikiran tersebut di atas, jelas bahwa masalah kewenangan masing-masing sub sistem dalam sistem peradilan pidana sangat menentukan sekali dalam rangka penegakan hukum terutama pada tindak pidana korupsi, agar kepastian hukum dan kesebandingan hukum dapat tercapai. Hal ini sebagaima sebagaimana dijelaskan oleh Muladi40, bahwa : “Sistem peradilan didalamnya terkandung gerak sistemik dari subsistem – subsistem pendukung ( Kepolisian, Kejaksaan, KPK, Pengadilan ) yang secara keseluruhan dan merupakan satu kesatuan (totalitas) berusaha mentrasformasikan masukan menjadi keluaran yang menjadi tujuan sistem peradilan pidana yang berupaya resosialisasi pelaku tindak pidana (jangka pendek), pencegahan kejahatan (jangka menengah) dan kesejahteraan sosial (jangka panjang). Untuk itu perlu adanya sinkronisasi pelaksanaan penegakan hukum dikalangan subsistem-subsistem. Jika keterpaduan subsistemsubsistem dalam sistem peradilan pidana tidak terwujud, masyarakat dapat beranggapan bahwa sistem peradilan pidana menyebabkan timbulnya kejahatan.”
Berdasarkan hal tersebut diatas maka, diantara ketiga lembaga pemberantasan tipikor tersebut yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan KPK harus adanya hubungan yang sinergis dan kerjasama yang baik begitu pula dalam halnya penyidikan di tingkat daerah. Menurut “ Kamus besar bahasa Indonesia “bahwa yang dikatakan 40
harmonisasi
adalah
pengharmonisan,
pencarian
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2000) Hal. 7
35
keselarasan.
Dalam
hal
ini
dapat
dikatakan
bahwa
pengharmonisasian atau pencarian keselarasan antara hukum pidana formil yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 dengan Undang- Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Karena hal inilah yang bisa menjadi satu hambatan dalam penyidikan tindak pidana korupsi jika tidak ada hubungan sinergis diantara ketiga lembaga tersebut. Penerapan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang telah terjadi di daerah sesuai dengan Pasal 50 angka 1 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 mengenai penyidik di daerah yaitu : “Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara telah dilakukan penyidikan oleh kepolisisan atau kejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 (empat Belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan.” Selain itu, jika penyidikan sudah dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan maka lembaga tersebut wajib melakukan koordinasi terus menerus dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam perkara lain jika Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan, maka sesuai dengan Pasal 50 ayat (3) Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 yaitu kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan. Jika penyidikan dilakukan secara bersamaan maka penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan segera dihentikan. Oleh karena itu juga untuk menghindari terjadi tumpang tindih, penyidik
36
Polri yang telah menyepakati untuk melakukan penandatangan MoU.41 Pada intinya MoU tersebut berisi tentang kesepakatan bahwa KPK akan memberitahukan kepada institusi kepolisian dan kejaksaan pada saat mulai melakukan penyidikan suatu kasus dengan menerbitkan SPDP (Surat Penghentian Dimulainya Penyidikan), karena selama ini yang telah melakukan hal tersebut baru antara lembaga kepolisian dengan kejaksaan, sedang KPK tidak pernah melakukan hal tersebut baik kepada kepolisian maupun kejaksaan. Hubungan fungsional dan koordinatif antara Kejaksaan dan Kepolisian dengan Komisi Pemberantasan Korupsi dapat dilihat dalam Pasal 6 huruf a Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas – tugas : “Koordinasi
dengan
instansi
yang
berwenang
melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi”
Tugas tersebut haruslah dilaksanakan dengan baik oleh penyidik dalam penyidikan tipikor di daerah agar berjalanya pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan peraturan yang berlaku. C. Lembaga Penyidikan Tipikor di Indonesia 1. Komisi Pemberantasan Korupsi
41
Hibnu Nugroho, Op. Cit hlm. Hal. 104
37
Korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang sampai hingga saat ini masih terus dilakukan upaya untuk menanganinya. Karena korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)
sehingga pemberantasannya harus
dilakukan dengan cara- cara luar biasa juga. Aparat penegak hukum di Indonesia mengalami kesulitan bahkan kurang maksimal dalam mengatasi pemberantasan korupsi. Kenyataannya bahwa lembaga Negara sebelumnya yang menangani tipikor belum berfungsi efektif dan efisiensi42. Oleh Karena itu dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi ini sebagai lembaga independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun untuk melakukan pemberantasan korupsi. Dalam ketentuan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi tidak ditemukan pengertian tentang korupsi. Akan tetapi, dengan memperhatikan kategori tindak pidana korupsi sebagai delik formil, maka Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 mengatur secara tegas mengenai unsur-unsur pidana dari tindak pidana korupsi dimaksud. Pasal 2 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999, menyatakan sebagai berikut : “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara.” 42
hal. 40.
Ganjar Laksmana B, “Penyidik Independen KPK”, Tempo edisi 8- 14 Oktober 2012,
38
Selanjutnya dalam Pasal 3 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999, menyatakan : “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara.”
Dari hal tersebut diatas bisa dilihat pengertian Korupsi menurut
Huntington
adalah
perilaku
pejabat
publik
yang
menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi.43 Komisi
Pemberantasan
Tindak
Pidana
Korupsi
yang
berdasarkan Pasal 2 dan 3 Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang untuk selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan apapun. 2. Kepolisian Kepolisian merupakan salah satu lembaga yang bertugas melakukan penyidikan, termasuk di dalamnya adalah melakukan 43
Diunduh dari : http://www.psychologymania.com/2012/11/pengertian-tindak-pidanakorupsi.html . Diakses tanggal 22 Mei 2013 Pukul 15.00 WIB
39
penyidikan tindak pidana korupsi. Disamping itu kepolisian juga mempunyai tugas lain, tugas kepolisian utamanya bersangkut paut dengan penegakan hukum, pemeliharaan ketertiban dan keamanan umum, meliputi: tugas bidang penegakan hukum sebagai penyelidik dan penyidik (yustisi), tugas social dan kemanusiaan, tugas pendidikan kesadaran hukum, dan tugas menjalankan pemerintahan (bestuurlijk) terbatas. Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP, menyebutkan bahwa salah satu instansi yang diberi wewenang untuk melakukan Penyidikan ialah “Pejabat Polisi Negara RI”. Namun agar seseorang pejabat Kepolisian diberi jabatan sebagai Penyidik, maka ia harus memenuhi “syarat kepangkatan” menurut penjelasan Pasal 6 ayat (2) KUHAP ditentukan bahwa syarat kepangkatan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang berwenang akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Kemudian dalam penjelasannya dikatakan
kepangkatan
yang
ditentukan
dengan
Peraturan
Pemerintah itu diselaraskan dengan kepangkatan Penuntut Umum dan Hakim pengadilan umum.44 Penyidikan terhadap tindak pidana korupsi dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, penyidik Kepolisian bukan lagi sebagai penyidik
44
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan, dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), Sinar Grafika, Jakarta, 2002. Hal. 110-111.
40
tunggal sebagaimana diatur dalam KUHAP dan Undang-Undang kepolisian, melainkan munculnya penyidik lain yang diakui oleh undang-undang sebagai penyidik yaitu penyidik kejaksaan dan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam perkembangan selanjutnya, dengan lahirnya Undangundang Kepolisian yang baru pada tahun 2002, menyatakan polisi dapat melakukan penyidikan untuk semua tindak pidana. Dalam arti mempunyai kewenangan yang dalam melakukan penyidikan tindak pidana khusus. Dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP, dapat diketahui bahwa tidak semua pejabat polisi negara adalah penyidik. Ketentuan ini mengatur bahwa yang bisa menjadi penyidik adalah pejabat polisi negara yang telah ditunjuk dan diangkat sebagai penyidik sesusai dengan Surat Keputusan Kapolri tanggal 24 Desember 1983 Nomor Pol. SKEP/619/XII/1983, tentang ketentuan Penunjukan Penyidik dan Kepangkatan Penyidik Pembantu dalam Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dari ketentuan diatas dapat diartikan bahwa kepolisian mempunyai wewenang dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi namun yang bisa menjadi penyidik diatur sesuai
41
dengan aturan tentang penunjukan dan pengangkatan penyidik kepolisian itu sendiri. 3. Kejaksaan Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga Negara yang melaksanakan kekuasaan Negara, khususnya di bidang penuntutan. Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya di bidang penuntutan, di mana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan.45 Selain itu kejaksaan mempunyai kewenangan yang lainnya sesuai dengan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 bahwa salah satu kewenangan kejaksaan dibidang pidana yaitu melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang. Pengertian Jaksa dan Kejaksaan berdasarkan Pasal 1 ayat (6) a dan ayat (6) huruf b KUHAP, sebagai berikut : a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
45
Hibnu Nugroho, Op.Cit. hal.87.
42
b. Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Rumusan pada Pasal 1 ayat (6) a KUHAP ini mengenai “Jaksa” diperluas dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pada bagian ketentuan umum sebagai berikut : a.
Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain berdasarkan undang- undang.
b.
Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
c.
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
d.
Jabatan fungsional adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi kejaksaan yang karena fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas kejaksaan. Dari pengertian tersebut dapat disebutkan bahwa pengertian
Jaksa berkolerasi dengan aspek “jabatan” atau “pejabat fungsional”, sedangkan pengertian “penuntut umum” berkolerasi dengan aspek “fungsi” dalam melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hukum hakim di depan persindangan.
43
Sedangkan yang dimaksud Kejaksaan menurut Pasal 6 Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia memberikan pengertian : a.
Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam undangundang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
b. Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka. c. Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah satu dan tidak terpisahkan. Berdasarkan ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP jo.Pasal 17 PP No.27 Tahun 1983 jo.Pasal 26 Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 jo.Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.Pasal 44 ayat (4) serta Pasal 50 ayat 1,2,3,4 Undang-Undang nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.Pasal 30 huruf d Undang-Undang nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan adalah salah satu institusi penegak hukum yang diberi wewenang melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 17 PP No.27/1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, menegaskan bahwa :
44
“Wewenang penyidikan dalam tindak pidana tertentu yang diatur secara khusus oleh undang - undang tertentu dilakukan oleh Penyidik, Jaksa dan Pejabat penyidik yang berwenang lainnya yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undangan”. D. Tindak Pidana Korupsi 1. Tindak Pidana a. Pengertian Tindak pidana pada hakikatnya merupakan istilah yang berasal dari terjemahan kata strafbaarfeit dalam bahasa Belanda. Kata
strafbaarfeit
terjemahan
dalam
kemudian bahasa
diterjemahkan Indonesia.
dalam
Beberapa
berbagai
kata
yang
dipergunakan untuk menterjemahkan strafbaarfeit oleh sarjanasarjana di Indonesia antara lain: tindak pidana, delict, perbuatan pidana. Menurut P.A.F. Lamintang46 mengenai tindak pidana tersebut yaitu: “Pembentuk undang-undang tidak memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan “strafbaarfeit”, maka timbulah di dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan “strafbaar feit” tersebut”
Dari sekian banyak pandangan mengenai istilah apa yang paling tepat untuk “strafbaar feit”, pembentuk undang-undang 46
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Keempat (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000) 181
45
akhirnya menyatakan bahwa istilah yang cocok untuk“strafbaar feit” tersebut adalah tindak pidana. Alasan yang mendasari hal tersebut adalah aspek socio-yuridis, dimana hampir semua perundang-undangan pidana memakai istilah tindak pidana. Berkaitan dengan pengertian tindak piidana, dikenal dua pandangan, yaitu pandangan monistis dan pandangan dualistis. Pandangan monistis memberikan menjelaskan bahwa didalam pengertian perbuatan pidana / tindak pidana sudah tercakup didalamnya
perbuatan
yang
dilarang
(criminal
act)
dan
pertanggungjawaban pidana / kesalahan (criminal responsibility). Sedangkan dalam pandangan dualistis, memberikan pandangan bahwa dalam tindak pidana hanya terdapat perbuatan yang dilarang (criminal act), dan pertanggungjawaban pidana / kesalahan (criminal responsibility) tidak menjadi unsur tindak pidana.47 Sarjana yang menganut paham monisme adalah Simons, menurut Simons yang dikutip dalam bukunya P.A.F. Lamintang48 yang dimaksud dengan tindak pidana adalah “Tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.” Dengan mendasarkan pada pengertian tersebut, unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk adanya suatu tindak pidana adalah: 47 48
Tongat, Op. Cit, Hal. 105 -106 Ibid, Hal. 185
46
1) Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif (berbuat) maupun perbuatan negatif (tidak berbuat). 2) Diancam dengan pidana 3) Melawan hukum 4) Dilakukan dengan kesalahan 5) Oleh orang yang mampu bertanggungjawab. Lain dengan Simons, J. Baumann49 mengatakan bahwa tindak pidana adalah Perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dilakukan dengan kesalahan. Sedangkan Wiryono Prodjodikoro berpandangan tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dipidana.50 Sarjana yang menganut paham dualisme adalah Moeljatno, menurutnya yang dimaksud dengan perbuatan pidana adalah perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melangggar larangan tersebut. Dengan mendasarkan pada pengertian tersebut, unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk adanya suatu tindak pidana adalah: 1) Adanya perbuatan (manusia); 2) Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (hal ini merupakan syarat formil, terkait dengan berlakunya Pasal 1 ayat (1) KUHP; 3) Bersifat melawan hukum (hal ini merupakan syarat materiil, terkait dengan diikutinya ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif).51
49
Sudarto, Op. Cit, Hal. 31-32 Tongat, Op. Cit, Hal. 106 51 Ibid, Hal. 107 50
47
Selain Moeljatno, sarjana lain yang tergolong menganut pandangan dualism adalah Pompe. Menurut Pompe52 yaitu: Dalam hukum positif stafbaarfeit tidak lain feit (tindakan) yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang dan dalam hokum positif sifat melawan hukum dan kesalahan bukanlah syarat mutlak untuk adanya tindak pidana”. Jika dicermati secara seksama, terdapat persamaan dalam pandangan monisme dan dualisme. Baik pandangan monisme dan dualisme, keduanya mengharuskan bahwa untuk adanya pidana harus terdapat tindak pidana (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility). Adapun perbedaannya telah dijelaskan pada penjelasan sebelumnya. 2. Korupsi a.
Pengertian Ditinjau dalam sudut pandang etimologi, korupsi merupakan istilah asing yang diserap dalam bahasa Indonesia, Dalam Webster Studen Dictionary, Korupsi merupakan istilah yang berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata dalam bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Perancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptie (korruptie),
52
Ibid, Hal. 10
48
dapat atau patut diduga istilah korupsi berasal dari bahasa Belanda dan menjadi bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”53. Di dalam Black’s Law Dictionary dalam bukunya Marwan Effendi54 menyebutkan tentang korupsi itu sendiri yaitu “Suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hakhak dari pihak lain. Pengertian korupsi secara harafiah menurut A. I. N. Kramer SR mengartikan kata korupsi sebagai: busuk, rusak atau dapat disuap.55 Sedangkan perbendaharaan
arti kata
korupsi bahasa
yang
telah
Indonesia,
diterima disimpulkan
dalam oleh
Poerwadarminta bahwa korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya56. Beberapa pengertian dalam sudut pandang etimologi tersebut pada akhirnya nampak bahwa korupsi memiliki pengertian yang sangat luas. Sependapat dengan ini adalah pengertian dari
53
Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi bersama KPK (Jakarta: Sinar Grafika, 2009)
Hal. 6 54
Marwan Effendy, SIstem Peradilan Pidana: Tinjauan terhadap Beberapa Perkembangan Hukum Pidana (Jakarta: Referensi, 2012) Hal. 80 55 John M. Echols dan Hassan Shadaly, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997) Hal. 149 56 W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1976) Hal. 524
49
Encyclopedia Americana yang dikutip dalam bukunya Andi Hamzah57 yaitu: “Korupsi adalah suatu hal yang sangat buruk dengan bermacam ragam artinya, bervariasi menurut waktu, tempat, dan bangsa.” Beberapa
sarjana
mencoba
mendefinisakan
korupsi,
Baharudin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmer58, menguraikan arti istilah korupsi dari berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangut bidang kepentingan umum. Sedangkan Sudarto59 menjelaskan pengertian korupsi dari unsur-unsurnya sebagai berikut: 1) Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu badan. 2) Perbuatan itu bersifat melawan hukum. 3) Perbuatan itu secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan / atau perekonomian negara, atau perbuatan itu diketahui atau patut disangka oleh si pembuat bahwa merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Selain itu, perlu diperhatikan mengenai pernyataan dari World Bank60 yang dikutip dalam bukunya Marwan Effendy berdasarkan hasil penelitiannya yang menjelaskan bahwa:
57
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005) Hal. 6 58 Evi Hartanti, 2007, Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) Hal. 9 59 Ibid, Hal. 18 60 Marwan Effendy,Op. Cit, Hal. 81
50
“Korupsi adalah “An Abuse Of Public Power For Private Gains” atau penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan untuk kepentingan pribadi.” Dalam sudut pandang normatif, pengertian korupsi dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 dijelaskan pengertian korupsi melalui unsur-unsur dari tindak pidana korupsi. unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 ayat (1) adalah: 1) Melawan hukum, 2) Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, 3) Dapat merugikan keuangan negara atau perekomian negara.
Sedangkan unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam Pasal 3 adalah: 1) Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, 2) Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, 3) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. b. Sebab-Sebab Tindak Pidana Korupsi Korupsi merupakan suatu perbuatan, oleh karenanya terdapat alasan-alasan atau sebab-sebab mengapa orang melakukan perbuatan korupsi. Andi Hamzah61 membuat hipotesis mengenai sebab-sebab korupsi sebagai berikut: 1) Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat; 61
Andi Hamzah, Op.Cit, Hal. 13–23
51
2) Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia; 3) Manajemen yang kurang baik dan control yang kurang efektif dan efisien; 4) Modernisasi
Marwan
Effendy
turut
mengambil
bagian
dalam
menemukan jawaban dari sebab-sebab korupsi, dengan berangkat dari pengertian korupsi yang disampaikan oleh Sheldon S. Steinberg dan David T. Ausytern62 yang menyatakan bahwa “Korupsi adalah perbuatan tidak etis yang merusak sendisendi pemerintahan yang baik yang disebabkan oleh minimnya integritas, sistem karier dan penggajian yang tidak berbasis kinerja serta standar pelayanan minimal dan perilaku masyarakat yang serba instan dalam setiap urusan.” Mengenai korupsi tersebut Patrick Glynn, Stephen J. Korbin, dan Moise Naim dalam buku terjemahan Kimberly Ann Elliot63 berpandangan bahwa: “Korupsi disebabkan sebagai akibat dari perubahan politik secara sistematis, sehingga memperlemah atau mengahancurkan tidak saja lembaga sosial dan politik, tetapi juga hukum. Pendapat mereka tersebut nampak terbukti dalam perubahan politik di Indonesia yang kini sedang dalam tahap reformasi. Sebelum reformasi atau ketika orde baru, korupsi menjadi sistemik dan hierarkis. Kemudian dengan jatuhnya orde baru yang kemudian munculnya pengenalan sistem pemilihan umum yang baru di tahun 1999 dan implementasi desentralisasi di tahun 2001 membuat pola 62
Marwan Effendy, Op. Cit, Hal. 83-84 Kimberly Ann Elliot, Corruption and The Global Economy, Edisi Pertama (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 1999) Hal. 11 63
52
korupsi era orde baru menyusut, tetapi dalam perkembangannya justru korupsi dalam skala kecil semakin meningkat karena pemain lama yakni para pejabat kakap sudah absen. Meningkatnya korupsi dalam skala kecil ini melah ternyata telah membuat suatu budaya yang dapat memaklumi keikutsertaan dalam korupsi.64
64
Ibid
53
BAB III METODE PENELITIAN 1.
Metode Pendekatan Metode pendekatan dalam penelitian kualitatif ini menggunakan pendekatan yuridis sosiologis. Kajian aspek hukumnya secara yuridis sosiologis yaitu penelitian yang menggunakan fakta-fakta empiris yang diambil dari perilaku manusia baik perilaku verbal yang didapat melalui wawancara atau perilaku nyata yang dilakukan melalui pengamatan langsung dengan peneliti ikut terlibat langsung dalam penelitian yang dimaksud. Dipilihnya penelitian kualitatif ini didasarkan alasan bahwa: (1) hukum dalam penelitian ini diartikan sebagai makna-makna simbolik sebagaimana termanifestasikan dan tersimak dalam dan dari aksi-aksi serta interaksi warga masyarakat; (2) agar dapat mengungkap dan mendapatkan makna yang mendalam dan rinci terhadap obyek penelitian dari informan.65
2.
Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif yaitu suatu penelitian yang hanya menggambarkan obyek yang menjadi pokok permasalahan saja.66 Pada penelitian ini penulis akan menggambarkan bagaimana penyidikan yang dilakukan terhadap kasus tindak pidana korupsi di daerah.
65 Sutandyo Wignyosoebroto, Keragaman Dalam Konsep Hukum, Tipe Kajian dan Metode Penelitiannya, Makalah Lokakarya, (Semarang: Yayasan Dewis Sartka,2006) hal. 2. 66 Ronny Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990) Hal. 13
54
3.
Lokasi Penelitian Peneliti menggunakan lokasi penelitian di Kejaksaaan Negeri Cilacap, Polres Cilacap.
4.
Sumber Data Dalam penelitian ini, data yang digunakan oleh peneliti adalah: a.
Data sekunder Data sekunder akan dibagi dan diuraikan ke dalam tiga bagian yaitu: a.1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat, terdiri dari: a.1.1.
Peraturan dasar, yaitu Undang-Undang Dasar 1945,
a.1.2.
Peraturan Perundang-undangan, antara lain: 1.2.1. Undang–Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) 1.2.2. Undang–Undang Nomor 31
tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 1.2.3. Undang–Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
55
1.2.4. Undang–Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. a.2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, terdiri dari: a.2.1.Pustaka di bidang ilmu hukum, a.2.2.Hasil penelitian di bidang hukum, a.2.3.Artikel-artikel ilmiah, baik dari koran maupun internet. a.3. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu kamus besar Bahasa Indonesia, kamus hukum, dan kamus-kamus ilmiah lainnya. b.
Data primer Data primer adalah data yang diambil langsung dari informan penelitian yakni Penyidik Tipikor di wilayah Cilacap yaitu Kejaksaan dan Kepolisian.
5.
Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah wawancara, kepustakaan dan dokumentasi.
6.
Metode Penyajian Data
56
Data yang berupa bahan-bahan hukum yang telah diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk teks naratif, uraian-uraian yang disusun secara sistematis, logis, dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh. 7.
Metode Penentuan Informan Proses penetuan sampel dalam penelitian ini menggunakan Purposive Sampling, Snowball Sampling dan Criterian Based Selection. Melalui pengambilan sampel menggunakan Purposive Sampling dengan Criterian Based selection, maka peneliti cenderung memilih narasumber yang dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui masalah secara mendalam. Melihat fokus kajian dalam penelitian ini, maka disajikan atau ditentukan sebagai informan dalam penelitian ini adalah: 1. Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Cilacap Sunarko,S.H.,M.H. 2. Anggota Sub Unit Tindak Pidana Korupsi Reserse Kriminal Kepolisian Resort Cilacap Brigadir Polisi Triawan
8.
Metode Validitas Data Cara yang digunakan untuk menguji validitas atau kebenaran data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini adalah dengan triangulasi. Triangulasi
yang
digunakan
adalah
triangulasi
sumber
yaitu
57
membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif. Menurut Moleong, triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.67 9.
Metode Analisis Data Data bahan-bahan hukum yang diperoleh akan dianalisis secara normatif-kualitatif. Normatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai norma hukum positif. Kualitatif karena data yang diperoleh, kemudian disusun secara sistematis, untuk selanjutnya dianalisa secara kualitatif, untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.68
67
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. (Bandung: PT Remaja Rosada Karya,2006) Hal. 330 68 Ibid. Hal. 98
58
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Daerah ( Studi Implementasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi
di Wilayah Cilacap )
menggunakan pendekatan Yuridis Sosiologis, oleh karena itu penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer berupa pendapat langsung dari informan, yaitu penyidik dari Kejaksaan Negeri dan Kepolisian Resort di wilayah Kabupaten Cilacap. Data sekunder diperoleh dari peraturan perundang-undangan, literatur dan doktrin yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Implementasi penyidikan
yang
diteliti oleh penulis adalah penyidikan yang dilakukan oleh kejaksaan dan kepolisian terhadap tindak pidana korupsi di wilayah Cilacap. A. Hasil Penelitian Data sekunder Penyidikan merupakan bagian terpenting dalam proses penegakan hukum, karena berdasarkan hasil penyidikan yang baik akan menghasilkan surat dakwaan yang tepat, sehingga proses persidangan akan berjalan dengan benar serta menghasilkan putusan yang mampu mendekati kebenaran materiil. Asas-asas dalam proses penyidikan diperlukan untuk menjadi pedoman pelaksana tugas bagi para penegak hukum dalam melaksanakan tugas penyidikan. Dengan mengingat bahwa proses penyidikan akan
59
bersentuhan dengan pembatasan hak-hak asasi manusia sebagai tersangka, maka kedudukan dari asas-asas penyidikan tidak boleh dikesampingkan. Hal ini juga sama halnya terhadap penyidikan dalam tindak pidana korupsi karena tahap-tahap penyidikan merupakan salah satu bagian penting dalam rangkaian tahap-tahap yang harus dilalui suatu kasus menuju pengungkapan terbukti atau tidaknya dugaan telah terjadinya suatu tindak pidana. Oleh sebab itu keberadaan tahap penyidikan tidak bisa dilepaskan dari adanya ketentuan perundangan yang mengatur mengenai tindak pidananya. Hal ini berlaku baik penyidikan tersebut dilakukan oleh kejaksaan maupun kepolisian. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyidikan dirumuskan di dalam pasal-pasal di beberapa peraturan perudangundangan yaitu: 1. Pengaturan Perundangan Mengenai Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Indonesia
sebagai
Negara
hukum
sebagaimana
yang
dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah mengatur tentang perlindungan terhadap terjaminnnya hukum bagi setiap orang. Hal tersebut dirumuskan dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa:
60
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Dengan melihat pasal tersebut, walaupun tidak disampaikan mengenai penyidikan itu sendiri terjaminnya hukum bagi setiap orang merupakan hak konstitusional yang wajib diberikan oleh Negara. Termasuk halnya dalam penyidikan. Artinya setiap warga negara mempunyai hak diperlakukan sama dimuka hukum (equality before the law) dan hak untuk mendapatkan keadilan (access to justice). b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana merupakan salah satu acuan dalam beracara untuk menangani kasus-kasus hukum pidana. Dan sampai saat ini yang masih berlaku di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Salah satu tahapan dalam beracara yang tertuang dalam KUHAP adalah tahap penyidikan. Tahap penyidikan merupakan salah satu bagian penting dalam rangkaian tahap-tahap yang harus dilalui suatu kasus menuju pengungkapan terbukti atau tidaknya dugaan telah terjadinya suatu tindak pidana. Oleh sebab itu keberadaan tahap penyidikan tidak bisa dilepaskan dari adanya ketentuan perundangan yang mengatur mengenai tindak pidananya.
61
Penyidikan menurut Pasal 1 angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana diartikan : “Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”
Dalam melaksanakan penyidikan dilakukan oleh penyidik sesuai dengan bunyi Pasal 1 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu : “Penyidik adalah pejabat pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melaksanakan penyidikan.
Lebih lanjut, menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP, menyebutkan bahwa: Penyidik adalah : a. Pejabat polisi Negara Republik Indonesia; b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
62
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur
tugas
dan
wewenang
kepolisian
dalam
melakukan
penyidikan. Hal itu bisa kita lihat Berdasarkan Pasal 14 huruf f yang dirumuskan bahwa salah satu tugas kepolisian yaitu: “Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.”
Dengan melihat rumusan pasal tersebut menunjukan bahwa salah satu tugas dari kepolisian adalah melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana termasuk tindak pidana korupsi dengan peraturan perundangan yang berlaku. Jadi jelas bahwa Kepolisian berwenang dalam melakukan proses penyidikan terhadap tersangka suatu tindak pidana. d. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia merupakan peraturan perundang-undangan terbaru yang mengatur mengenai kejaksaan di Indonesia. Dalam hal mengenai wewenang jaksa dalam melakukan penyidikan diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d yaitu : “Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.”
63
Berdasarkan ketentuan tersebut, jelas bahwa jaksa hanya berwenang untuk melakukan Penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 5 KUHAP, yaitu serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan Penyidikan menurut cara yang diatur dalam KUHAP. e. TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang ditetapkan pada tanggal 13 Nopember 1998 merupakan tindak lanjut atas ketidaksesuaian lagi Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum mengenai tindak pidana korupsi. Dikatakan tidak sesuai lagi karena setelah diberlakukan selama 28 (dua puluh delapan) tahun berlaku ternyata telah terjadi perkembangan tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para penyelenggara negara dengan para pengusaha.69 Sebuah Aide Memorie Bank Dunia yang diterbitkan pada Oktober 1998 menyatakan bahwa benar terjadi korupsi pada proyek-proyek di Indonesia yang didanai Bank Dunia
69
Ermasyarah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi bersama KPK, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 9.
64
dan dana bantuan dari lembaga-lembaga internasional lainnya sehingga disimpulkan bahwa korupsi di Indonesia sudah melembaga.70 Dalam konsideransnya ada dua pertimbangan pokok lahirnya TAP MPR ini: 1) Bahwa dalam penyelenggaraan negara telah terjadi praktikpraktik usaha yang lebih menguntungkan sekelompok tertentu yang menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para pejabat negara dengan para pengusaha sehingga merusak sendi-sendi penyelenggara negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional; 2) Bahwa dalam rangka rehabilitasi seluruh aspek kehidupan nasional yang berkeadilan, dibutuhkan penyelenggara negara yang dapat dipercaya melalui usaha pemeriksaan harta kekayaan para pejabat negara dan mantan pejabat negara serta keluarganya yang diduga berasal dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan mampu membebaskan diri dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. TAP
MPR
ini
bertujuan untuk memfungsikan secara
proporsional dan benar lembaga-lembaga negara yang ada, sehingga penyelenggaraan negara dapat berlangsung sesuai dengan UUD 1945. Penyelenggara negara pada lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan 70
Artidjo Alkostar, Korupsi Politik di Negara Modern (Yogyakarta: FH UII Press, 2008),
Hal. 85
65
yudikatif
harus
melaksanakan
fungsinya
dengan
baik
dan
bertanggungjawab kepada masyarakat, bangsa, dan negara dengan sikap jujur, adil, terbuka, dan terpercaya serta mampu membebaskan diri dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.71 Dari TAP MPR ini, lahirlah
Undang-Undang
Nomor
28
Tahun
1999
tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang ditetapkan pada tanggal 19 Mei 1999 agar TAP MPR ini dapat dijalankan. f. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme disahkan pada tanggal 19 Mei 1999, sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa undang-undang ini dirumuskan karena undangundang ini diamanatkan secara langsung oleh TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dalam undang-undang ini sangat rinci merumusakan fokus upaya tata kelola negara yang bebas dari KKN
71
antara
lain
melalui
Ermansyah Djaja, Op. Cit, hal 16 – 17.
definisi
penyelenggara
negara,
66
penyelenggaraan negara yang bersih, korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam Pasal 1 secara berututan72. Adapun bunyi Pasal 1 tersebut adalah berikut: Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang funsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Penyelenggara Negara yang bersih adalah Penyelenggara Negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya. 3. Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. 4. Kolusi adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara. 5. Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Selain itu, undang-undang ini dalam Pasal 2 nya secara tegas merumusakan siapa-siapa saja yang terkategori sebagai penyelenggara negara, adapun bunyi Pasal 2 tersebut adalah sebagai berikut: Penyelenggara Negara meliputi: 1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; 2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara 3. Menteri; 4. Gubernur; 5. Hakim;
72
Servas Pandur, 2011, Testimoni Antasari Azhar Untuk Hukum dan keadilan, Laras indra Semesta, Jakarta, hal. 365.
67
6. 7.
Pejabat negara lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan Pejabat lain yang memilki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penyelenggara yang dimaksud Pasal 2 tersebut pun memiliki hak secara limitatif sebagaimana tercantum dalam Pasal 4. Berkaitan dengan mewujudkan penyelenggara yang bersih dan bebas dari KKN, undang-undang
ini
mewajibkan
kepada
penyelenggara
untuk
melakukan pemeriksaan kekayaan dalam rangka pencegahan praktek KKN bagi penyelenggara negara. Kewajiban pemeriksaan kekayaan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 5 yang berbunyi: Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk: 1. mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum memangku jabatannya; 2. bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat; 3. melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat;
Pelaksanaan
kewajiban
pemeriksaan
kekayaan
bagi
penyelenggara negara dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara. Undang-undang ini memungkinkan untuk adanya peluang peran serta masyarakat dalam mewujudkan penyelenggara negara yang bebas dari KKN. Peluang tersebut diberikan undang-undang ini dalam Pasal 8, kemudian dalam Pasal 9 ayat (1) peran serta
68
masyarakat diwujudkan dalam beberapa bentuk sebagaimana bunyi pasal tersebut sebagai berikut: (1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diwujudkan dalam bentuk: a. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang penyelenggaraan negara; b. Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari Penyelenggara Negara; c. Hak menyampaikan suatu saran dan pendapat secara bartanggungjawab terhadap kebijakan Penyelenggara Negara; dan d. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal: 1) Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam bentuk a, b, dan c; 2) Diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, dan saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pelaksanaan peran serta masyarakat tersebut dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara.
Pasal
10
Peraturan
Pemerintah
ini
memberikan
perlindungan hukum bagi masyarakat dalam melaksanakan bentukbentuk peran serta masyarakat tersebut dengan ketentuan melakukan pemberitahuan baik secara tertulis maupun lisan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia atau instansi yang berwenang. g. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan undang-undang yang menggantikan
69
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam considerans Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dinayatakan bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat
sehingga
perlu
diganti
dengan
Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Sisi penting Undang-Undang ini adalah mengakui bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan risiko korupsi yang terjadi selama ini di Negara RI adalah: 1) Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; 2) Menghambat
pertumbuhan
dan
kelangsungan
negara
pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.73 Dalam undang-undang ini terdapat beberapa perubahan yang bersifat fundamental, diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Perumusan Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi dirumuskan pengertiannya dalam Pasal 2 ayat (1) sebagai berikut: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau 73
Ibid, Hal. 366.
70
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,” Dari pasal tersebut dapat dilihat bahwa terdapat tiga unsur dalam tindak pidana korupsi yakni: a) Melawan hukum; b) Memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi; c) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Berkaitan dengan unsur melawan hukum, penjelasan Pasal 2 ayat (1) menyatakan secara tegas bahwa melawan hukum dalam undang-undang ini adalah melawan hukum secara formil dan materiil. Adapun bunyi penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut adalah berikut: “Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perudangundangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.” Ketentuan
perumusan
ini
merupakan
ketentuan
yang
menguntungkan bagi Penuntut Umum karena mempermudah dalam menjerat terdakwa karena tidak perlu membuktian bahwa perbuatan yang didakwakan telah melanggar ketentuan pasal yang mana. Dalam perkembangannya, ketentuan sifat melawan hukum materiil berhenti diterapkan sejak tahun 2006 karena ketentuan ini dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konsitusi karena
71
digugat oleh Ir. Dawud Djatmiko dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006. Senada dengan Putusan Mahmakah Konstitusi tersebut, Andi Hamzah74 mengemukakan bahwa: “Dengan adanya kata “tidak sesuai dengan rasa keadilan dan seterusnya, hal ini menjadi sangat luas sehingga sangat sulit bagaimana hakim dapat menyatakan bahwa unsur rasa keadilan masyarakat itu terbukti. Dapatkah dikatakan jika ada demonstrasi menuntut seseorang sebagai koruptor merupakan manifestasi rasa keadilan masyarakat. Jika demikian halnya, orang dapat mengumpulkan seribu orang dengan bayaran untuk berdemonstrasi menunut orang sebagai koruptor, misalnya dengan motif politik. Gejala seperti ini sangat berbahaya bagi kepastian hukum dan telah terlihat pada beberapa kasus pilkada. Mencantumkan kata-kata “rasa keadilan masyarakat” sangat bersifat karet, dan menjadi sama dengan penyingkiran asas legalitas Jaman Nazi dengan kata-kata yang sama yaitu “rasa keadilan masyarakat” (the sound sense of justice of the people) menuntut agar seseorang dipidana maka orang itu harus dipidana, walaupun tidak tercantum di dalam undang-undang. Setiap orang dapat mengatasnamakan masyarakat untuk menuduh orang telah melakukan korupsi.” Berkaitan dengan unsur memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi, nampak bahwa unsur ini merupakan tujuan dari korupsi. Istilah “memperkaya” sebagai suatu unsur (bestanddeel) merupakan istilah yang baru dalam hukum pidana di Indonesia mengingat bahwa dalam KUHP tidaklah dikenal istilah demikian.75 Secara
harafiah,
istilah
“memperkaya”
mengandung
makna
mempunyai banyak harta (uang dan sebagainya), pengertian istilah “memperkaya” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah 74
Ermasnjah Djaja, Op. Cit, Hal. 34 -35 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, (Jakarta: Rajawali Press, 2005), Hal. 174. 75
72
menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya, atau orang yang sudah kaya menjadi bertambah kaya.76 Unsur memperkaya ini tidak seperti unsur melawan hukum yang diberikan penjelasannya oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, berbeda dengan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 yang dalam penjelasan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dinyatakan sebagai berikut: “Perkataan "memperkaya diri sendiri" atau "orang lain" atau "suatu badan" dalam ayat ini dapat dihubungkan dengan Pasal 18 ayat (2), yang memberi kewajiban kepada terdakwa untuk memberikan keterangan tentang sumber kekayaannya sedemikian rupa, sehingga kekayaan yang tak seimbang dengan penghasilannya atau penambahan kekayaan tersebut, dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.” Dengan memperbandingkan ketentuan tersebut, nampak bahwa terdapat kemunduran dalam kebijakan formulasi dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 khususnya yang berkaitan dengan pemahaman unsur “memperkaya”, namun kekurangan ini sebenarnya tertutupi dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang memberikan kewajiban bagi penyelenggara negara untuk melaporkan kekayaannya. Lebih dari itu, UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 dapat dijalankan secara efektif karena memiliki peraturan pelaksanaanya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 76
Ibid., Hal. 174 – 175.
73
65
Tahun
1999
tentang
Tata
Cara
Pemeriksaan
Kekayaan
Penyelenggara Negara dan dengan disahkannya Undang-Undang ini telah memunculkan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Berkaitan dengan unsur terakhir yakni dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, undang-undang ini memberikan makna dalam penjelasan dalam Pasal 2 ayat (1) sebagai berikut: “Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.” Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang perumusannya dititikberatkan pada perbuatan yang dilarang, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tindak pidana formil adalah tindak pidana yang telah dianggap terjadi atau selesai dengan telah dilakukannya perbuatan yang dilarang dalam undang-undang.77 Konsekuen dari klasifikasi tindak p[idana korupsi menjadi tindak pidana formil dapat dilihat dalam Pasal 4 yang menyatakan bahwa: “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.”
77
Tongat, Op. Cit., Hal. 118 – 119.
74
Pengertian korupsi tidak hanya dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1) saja, melainkan pula dirumuskan dalam Pasal 3 yaitu: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” Dari rumusan pasal tersebut, diketahui beberapa unsur dalam pengertian tindak pidana korupsi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 3, adapun unsur-unsur dalam Pasal 3 tersebut adalah sebagai berikut: a) Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, b) Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, c) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Perumusan dalam ketentuan Pasal 3 ini memiliki perbedaan dengan perumusan dalam ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1). Perbedaan pertama dalam Pasal 3 ini adalah tidak mencantumkan unsur sifat melawan hukum secara eksplisit, unsur sifat melawan hukum dalam pasal ini lebih bersifat implisit dimana apabila semua unsur dalam pasal ini dapat dipenuhi maka hal tersebut secara otomatis telah membuktikan adanya sifat melawan hukum. Logika yang demikian pada hakikatnya mudah dipahami oleh karena setiap tindak pidana
75
pada hakikatnya selalu dianggap bersifat melawan hukum, dimana justru karena perbuatan itu dianggap bersifat melawan hukum maka perbuatan itu dirumuskan sebagi perbuatan pidana.78 Perbedaan kedua dalam perumusan Pasal 3 ini adalah pencantuman unsur “menguntungkan”, berbeda dengan perumusan dalam Pasal 2 ayat (1) yang mencantumkan unsur “memperkaya”. Kedua perbedaan ini menunjukan peluang kemudahan bagi Penuntut Umum karena kedua unsur tersebut relatif lebih mudah dibuktikan, dimana unsur pertama tidak perlu membuktikan sifat melawan hukumnya perbuatan dan unsur kedua tidak perlu membuktikan apakah ada peningkatan harta kekayaan. Dalam prakteknya, perumusan tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 merupakan perumusan yang paling banyak diterapkan dalam formulasi surat dakwaan oleh penuntut umum dimana “semestinya” Pasal 2 ayat (1)
dikualifikasikan
sebagai
dakwaan
primair
dan
pasal
3
dikulifikasikan sebagai dakwaan subsiadair.79 2) Ancaman Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dirumuskan beberapa perubahan dalam ancaman pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi. Dalam undang-undang ini dikenal ancaman pidana mati
78 79
Ibid., Hal. 214. Andi Hamzah, Op. Cit., Hal. 191
76
sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) yang bunyinya sebagai berikut: “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.” Istilah “keadaaan tertentu” tersebut diberikan makna dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.” Dengan adanya ancaman pidana mati ini, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 merupakan undang-undang yang paling keras dan berat di ASEAN.80 Dalam perkembangannya, penjelasan ini dinyatakan tidak berlaku karena Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah merumuskan baru penjelasan pasal tersebut. Perubahan ancaman pidana selain ancaman pidana mati adalah ancaman pidana minimum baik untuk pidana penjara ataupun denda, konsep ancaman pidana minimum ini merupakan konsep baru yang tidak dikenal dalam KUHP.
80
Andi Hamzah, Op. Cit., Hal. 73
77
Menurut Barda Nawawi Arief81 yaitu : “rumusan ancaman pidana minimum ini terdapat kekurangan yakni tidak merumuskan pedoman pemidanaan untuk menerapkan ancaman pidana minimum ini. Seharusnya undang-undang khusus di luar KUHP membuat aturan tersendiri untuk penerapannya, karena ini merupakan konsekuensi logis dari Pasal 103 KUHP.” Tanpa adanya pedoman pemidanaan pidana minimal ini maka tidak dapat ditentukan apakah pidana minimal dapat diperingan atau dapat diperberat. Kejanggalan lain nampak dalam pola pidana minimalnya, ada delik yang diancam dengan pidana maksimalnya 20 tahun penjara dan pidana minimalnya pidana 4 tahun penjara seperti dalam Pasal 2 dan Pasal 12. Sedangkan ada delik yang diancam dengan pidana maksimalnya 20 tahun penjara namun ancaman pidana minimalnya 1 tahun penjara seperti dalam Pasal 3. Padahal untuk delik lainnya, pidana minimal 1 tahun diancam dengan pidana maksimal 5 tahun penjara seperti dalam Pasal 9 dan Pasal 11.82 Barda Nawawi Arief83 juga mengkritik konsep sistem perumusan kumulatif dan sistem perumusan kumulatif alternatif dalam ancaman pidana undang-undang ini yaitu: “Konsep yang dipergunakan tidaklah jelas karena konsep tersebut menimbulkan pertanyaan sederhana yang paling mendasar yakni mengapa delik korupsi berupa memperkaya diri dalam Pasal 2 diancam dengan pidana secara kumulatif sedangkan menyalahgunakan kewenangan dalam Pasal 3 diancamn dengan pidana secara kumulatif alternatif. Padahal
81
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana, 2008), Hal. 149 82 Ibid., Hal. 150 83 Ibid.
78
kedua delik ini ancaman pidana maksimumnya sama dan bobot kualitas deliknya juga sama.” Menurutnya secara teoritis, delik yang diancam dengan pidana kumulatif lebih berat daripada yang diancam dengan kumulatif alternatif. Ini berarti pembentuk undang-undang menganggap delik memperkaya
diri
dipandang
lebih
berat
daripada
delik
menyalahgunakan kewenangan. Padahal dilihat dari sudut pandang masyarakat dan sudut pandang hakikat korupsi sebagai delik jabatan, perbuatan menyalahgunakan kewenangan dirasakan lebih berat atau lebih jahat daripada memperkaya diri atau setidak-tidaknya kedua delik tersebut sama berat atau sama jahatnya. Patut perlu dicatat pula menurutnya, bahwa konsep kumulatif mengandung kelemahan karena bersifat imperatif dan kaku apabila dilihat dari sudut pandang kebijakana operasionalisasi pidana.84 3) Peran Serta Masyarakat Peran serta masyarakat yang diatur dalam undang-undang ini diatur secara khusus dalam BAB V yang terdiri dari Pasal 41 dan Pasal 42. Masyarakat diberikan peluang oleh undang-undang ini untuk berperan serta, adapun bentuk peran serta tersebut diatur dalam Pasal 41 ayat (2). Urgensi diakomodirnya peran serta masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana korupsi dapat dilihat dalam Deklarasi Manila yang dihasilkan oleh “The Asian Regional Ministerial Meeting of Transnational Crime” pada 23 – 25 Maret 1998, urgensi peran serta 84
Ibid, Hal. 150 – 151.
79
masyarakat dalam deklarasi tersebut adalah untuk melibatkan peran masyarakat secara aktif dalam memberantas korupsi, khususnya dalam mengembangkan
tindakan
pencegahan
dan
pengawasan
yang
memajukan “a culture of accountability and transparency” atau budaya pertanggungjawaban dan keterbukaan.85 Adapun bentuk peran serta masyarakat dalam udang-undang ini merupakan bentuk peran serta yang mirip diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN seperti yang dirumuskan dalam Pasal 41 ayat (2) yaitu: Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk : a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi; b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi; c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi; d. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari; e. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal : 1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c; 2) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
85
Barda Nawawi Arief, Op. Cit.,Hal. 139.
80
Berbeda dengan ketentuan peran serta masyarakat dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, peran serta masyarakat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 memberikan amanat bagi pemerintah untuk memberikan penghargaan kepada masyarakat yang berjasa membantu upaya menanggulangi tindak pidana korupsi dimana ketentuan tersebut dapat dilihat dalam pasal 43 ayat (1): “Pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi.” Undang-undang
ini
sebenarnya
memerintahkan
kepada
Pemerintah untuk membuat dua Peraturan Pemerintah dalam rangka melaksanakan tata cara peran serta masyarakat dan tata cara pemberian penghargaan
bagi
masyarakat
yang
berjasa,
namun
dalam
kenyataannya hingga disusunnya penelitian ini amanat penyusunan peraturan pemerintah tersebut belum terealisasi.86 4)Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Agar undang-undang ini dapat dilaksankan sebagaimana mestinya, pembentuk Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengamanatkan agar dibentuk lembaga baru yang dinamakan dengan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. amanat ini termaktub dalam Pasal 43, dimana dalam Pasal 43 ayat (2) dinyatakan bahwa Komisi tersebut mempunyai tugas dan wewenang melakukan
86
Andi Hamzah, Op. Cit., Hal. 117
81
koordinasi
dan
supervisi,
termasuk
melakukan
penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan. “Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disahkan pada tanggal 16 Agustus 1999. Melihat ketentuan dalam Pasal 43 ayat (2) tersebut nampak bahwa dengan hadirnya Komisi yang dimaksud akan merubah sistem peradilan pidana, karena selama ini penyidikan dan penuntutan dilakukan oleh polisi sedangkan penuntutan dilakukan oleh jaksa. Dengan kata lain, hadirnya Komisi tersebut akan menghadirkan pula sistem peradilan pidana khusus tindak pidana korupsi. h. Undang-Undang
Nomor
30
Tahun
2002 Tentang
Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bentuk pada Desember 2003. Dalam Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa KPK dibentuk karena lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. KPK memiliki visi mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi dan misi penggerak perubahan untuk mewujudkan bangsa yang antikorupsi. KPK memiliki lima juga tugas utama yaitu :
82
1.
Penyelidikan-Penyidikan-Penuntutan
2.
Koordinasi
3.
Supervisi
4.
Pencegahan
5.
Monitoring Tugas-tugas tersebut diatas sesuai dengan Pasal 6 Undang –
Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yaitu : a. Melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan tindak pidana korupsi. b. Melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; insatansi yang berwenang adalah termasuk Badan Pemeriksaan Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksaan Kekayaan Pemyelenggara Negara, inspekorat pada Departemen atau Lembaga Pemerintah Non- Departemen. c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. d. Melakukan tindakan- tindakan pencegahan tindak pidana korupsi. e. Menyelenggarakan monitor tehadap penyelenggaraan pemerintah Negara. Salah satu tugas dari Komisi Pemberantasan Korupsi adalah melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Salah satu hal yang paling penting dalam suatu tindakan pemberantasan korupsi adalah pada saat penyidikan. Dalam penyidikan sendiri ada yang disebut penyidik yaitu orang yang melakukan penyidikan yang terdiri dari pejabat yang dijelaskan pada Pasal 1 butir 1 Kitab Undang – Undang Hukum
83
Pidana. Pejabat penyidik sendiri terdiri dari Penyidik Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Penyidik sendiri menurut Pasal 45 angka 1 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 adalah : “Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan Penyidik melaksanakan fungsi penyidikan tindak pidana korupsi.” Dari uraian pasal tersebut diatas dapat dilihat bahwa penyidik dari Komisi Pemberantasan Korupsi hanya melaksanakan tugas penyidikan mengenai perkara-perkara tindak pidana korupsi saja yang biasanya melibatkan pejabat-pejabat negara dengan nominal korupsi diatas 1 Milyar. Sedangkan
mengenai
penyidik
selain
dari
Komisi
Pemberantasan Korupsi juga ada penyidik dari Kepolisian dan Kejaksaan. Dan KPK harus terus berkoordinasi dengan Instansi lain yang berwenang dalam menangani tindak pidana korupsi yaitu Kepolisian dan Kejaksaan. Hal ini sesuai dengan Pasal 6 huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang dirumuskan sebagai berikut: “Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pembernatasan tindak pidana korupsi” Selain itu dalam hal penyidikan dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan harus melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, hal ini sesuai dengan Pasal 50 angka 1 yaitu :
84
“Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan” Selain itu penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan haruslah terus berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi sesuai dengan Pasal 50 angka 2 yaitu : “Penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan koordinasi secara terus menerus dengan Komisi Pemberantasan Korupsi” Lain halnya dalam hal penyidikan yang dilakukan bersamaan oleh ketiga lembaga tersebut seperti yang dirumuskan dalam Pasal 50 angka 4 yaitu : “Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh Kepolisian dan/atau Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian atau Kejaksaan tersebut segera dihentikan” Jadi dalam hal di atas Komisi Pemberantasan Korupsi yang berwenang dalam malaksanakan penyidikan dalam tindak pidana korupsi tersebut. 2. Lembaga Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Daerah Sekalipun perundang-undangan di bidang tindak pidana korupsi telah dirumuskan, perundang-undangan ini tentu tidak akan dapat berjalan efektif apabila tidak ada lembaga penegak hukum di bidang tindak pidana korupsi. Lembaga yang demikian dibutuhkan karena pada hakikatnya perundang-undangan hanyalah sekumpulan
85
peraturan, agar sekumpualn tersebut dapat ditaati maka dibutuhkan aparat penegak hukum. Berikut adalah lembaga penegak hukum yang didirikan dalam rangka menanggulangi tindak pidana di Indonesia. a. Kepolisian Dalam konteks sistem peradilan pidana, Polisi merupakan lembaga yang memiliki kekuasaan pada sub sistem penyidikan. Definisi penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Adapun dalam Pasal 1 KUHAP turut pula didefinisikan penyidik yakni pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Ketentuan dalam kepolisian diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam undang-undang tersebut diatur mengenai tugas pokok dari kepolisian. Pengaturan menganai tugas pokok kepolisian diatur dalam Pasal 13, dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa tugas pokok kepolisian adalah: 1) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 2) Menegakkan hukum; dan 3) Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat
86
Agar dapat menjalankan tugas pokok tersebut, kepolisian diberikan beberapa tugas sebagaimana diatur dalam Pasal 14 undangundang kepolisian. Diantara beberapa tugas tersebut, terdapat satu tugas yang kemudian dengan tugas ini dapat membuktikan bahwa kepolisian memgang kekuasaan sub sistem penyidikan, tugas tersebut adalah melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundangundangan lainnya. Tugas tersebut terlihat dalam Pasal 14 huruf g Undang-Undang Kepolisian. Khusus tindak pidana korupsi, tugas ini tidak dapat dijalankan begitu saja karena adanya Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, dalam pasal tersebut dinyatakan
bahwa
KPK
berwenang
melakukan
penyelidikan,
penuntutan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang: 1) Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; 2) Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau 3) Menyangkut kerugian negara paling sedikit rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Dengan demikian, Kepolisian dapat menjalankan tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi apabila tindak pidana korupsi yang dilakukan tidaklah memenuhi keadaan yang diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
87
b. Kejaksaan Seperti halnya Kepolisian, Kejaksaan juga bertindak sebagai pemegang kekuasaan dalam sub sistem penuntutan dalam sistem peradilan pidana. Kejaksaan tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Perlu dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan penuntutan, karena penuntutan adalah wilayah kekuasaan dari kejaksaan. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Kejaksaan dinyatakan bahwa penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Selanjutnya yang dimaksud dengan penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Kemudian yang dimaksud dengan jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undangundang. Sebagai salah satu pemegang peran dalam sistem peradilan pidana, jaksa mempunyai tugas dan kewenangan dalam bidang pidana
88
yang diatur dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Kejaksaan, dalam Pasal tersebut dinyatakan bahawa tugas dan kewenangan jaksa adalah: 1) Melakukan penuntutan; 2) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; 3) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; 4) Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; 5) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Terkait dengan point pertama yakni melakukan penuntutan, dalam perkara tindak pidana korupsi tidak dapat dilakukan secara otomatis karena telah berlaku Undang-Undang KPK. Dengan adanya undang-undang ini, jaksa hanya dapat melakukan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi diluar tiga keadaan yang dirumuskan dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Tiga keadaan tersebut adalah tindak pidana korupsi yang: 1) Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; 2) Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau 3) Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). 3. Prosedur Dilakukan Penyidikan a. Penyidikan Kepolisian
89
Tugas dan wewenang dari penyelidik salah satunya adalah menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana sesuai dengan Pasal 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Penyelidik dalam hal ini polisi sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 4 KUHAP, atas laporan/pengaduan tersebut mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Di dalam penyidikan berdasarkan Pasal 1 angka 2 KUHAP, penyidik/polisi mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Di dalam Pasal 4 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, dasar dilakukan penyidikan adalah: a. b. c. d. e.
Laporan polisi/pengaduan; Surat perintah tugas; Laporan hasil penyelidikan (LHP); Surat perintah penyidikan; dan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 21 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia menyatakan: “Bukti permulaan adalah alat bukti berupa Laporan Polisi dan 1 (satu) alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukan penangkapan.”
90
Dari Pasal 184 KUHAP menjabarkan bahwa alat bukti yang sah sebagai berikut: a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa. Atas pengertian dan penjelasan di atas dapat diketahui polisi dengan adanya laporan polisi/pengaduan dan keterangan saksi korban dapat menindaklanjuti laporan tersebut. b. Penyidikan Kejaksaan Proses penyidikan yang dilakukan oleh Pihak Kejaksaan terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi juga berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI No.KEP-518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 November 2001 tentang Perubahan
Keputusan
Jaksa
Agung
Republik
Indonesia No.Kep 132/J.A/11/1994 tanggal 7 November 1994 tentang Administrasi
Perkara
Tindak
Pidana
dan
kelaziman
praktik
penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi, modus operandi terungkapnya perkara korupsi dapat karena adanya inisiatif penyidik sendiri atau karena laporan atau informasi seseorang tentang telah terjadinya tindak pidana korupsi. Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu
peristiwa
yang
merupakan
tindak
pidana,
penyidik
memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum yaitu yang biasa dikenal dengan SPDP/Surat Pemberitahuan dimulainya Penyidikan
91
sesuai dengan Pasal 109 ayat (1) KUHAP. Setelah bukti-bukti dikumpulkan dan yang diduga tersangka telah ditemukan, maka penyidik menilai dengan cermat, apakah cukup bukti untuk dilimpahkan kepada Penuntut Umum atau ternyata bukan merupakan tindak pidana. Jika penyidik berpendapat bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana maka penyidikan dihentikan demi hukum “Pemberhentian Penyidikan” ini diberitahukan kepada Penuntut Umum dan kepada tersangka/keluarganya. Namun, jika peristiwa tersebut merupakan peristiwa tindak pidana, maka setelah dilakukan penyidikan, berkas diserahkan kepada Penuntut Umum (Pasal 8 ayat (2) KUHAP). c. Penyidikan Terhadap Pejabat Negara Prosedur pemeriksaan atau penyidikan merupakan administrasi yang harus ditempuh untuk melakukan suatu kegiatan pemeriksaan dalam rangkaian tindakan kepolisian, sehingga pemeriksaan yang dilakukan memenuhi syarat yuridis dan administrative. Adapun prosedur penyidikan meliputi : a. Prosedur umum berdasarkan KUHAP ( Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.) b. Prosedur khusus berdasarakan Undang-undang yang mengaturnya yang ditujukan kepada : -
Kepala Daerah / wakil
92
-
Anggota MPR,DPR dan DPD
-
Anggota DPRD
-
Dewan Gubernur BI
-
Hakim
-
Jaksa
-
Notaris
-
Kepala Desa Prosedur pemanggilan atau penyidikan terhadap Kepala Daerah
dan Wakilnya berdasarkan Pasal 36 (1) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 8 tahun 2005 : a. Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik. b. Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh hari) terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan. c. Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan diperlukan persetujuan tertulis sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2). d. Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah : 1. Tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan, atau 2. Disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara. e. Tindakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) setelah dilakukan wajib dilaporkan kepada presiden paling lambat dalam waktu 2 kali 24 jam.
93
Adapun tata caranya berdasarkan Pasal 36 ayat (1) Undangundang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden RI, dengan tata cara yaitu: a. Penyidik mengajukan surat permohonan persetujuan tertulis untuk memeriksa Kepala Daerah / Wakil melalui Bareskrim Mabes Polri, dengan menyebut status terperiksa sebagai tersangka atau saksi, serta mencantumkan identitas penyidiknya. b. Permohonan disertai dengan laporan hasil kemajuan perkara. c. Dalam hal terperiksa sebagai saksi, harus menyebutkan siapa tersangkanya. d. Sebelum mulai pemeriksaan, terlebih dahulu dokumen asli persetujuan tertulis Presiden diperlihatkan / untuk dibaca terperiksa. B. Hasil Penelitian Data Primer 1. Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Daerah ( Studi Implementasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Wilayah Cilacap ) Informan dalam penelitian ini adalah penyidik kepolisian serta penyidik kejaksaan dan dilakukan di Kabupaten Cilacap. Wawancara dilakukan secara semi terstruktur berkaitan tentang penerapan penyidikan tindak pidana korupsi di wilayah Kabupaten Cilacap. Berdasarkan hasil wawancara terhadap informan di kota tersebut maka diperoleh data sebagai berikut: 1. Penyidik Kepolisian Wilayah Cilacap 1.1.
Peraturan
kepolisian
Mengenai
penyidikan
yang
dilakukan
oleh
94
Berdasarkan hasil wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan selaku anggota Sub Unit Tindak Pidana Korupsi Reserse Kepolisian Resort Cilacap, bahwa kepolisian mempunyai peran utama dalam hal penyidikan suatu tindak pidana.87 Penyidikan merupakan suatu proses atau langkah awal yang merupakan suatu proses penyelesaian suatu tindak pidana yang perlu diselidik dan diusut secara tuntas di dalam sistem peradilan pidana, hal ini juga sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, bahwa kedudukan penyidik Polri dalam hal tugas penyidikan merupakan pemegang peran utama melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana. Mengenai penyidikan kasus tindak pidana korupsi, menurut Brigadir Polisi Triawan, setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, Kedudukan Penyidik Kepolisian hanya sub ordinat Tindak
dibawah penyidik KPK, sebagai sentral penyidikan Pidana
Korupsi,
dengan
kewenangan
Koordinasi,
supervisi, dan pengambilalihan perkara, serta menetapkan Standar Pelaporan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi.88 1.2.
Prosedur penyidikan oleh kepolisian. Menurut Brigadir Polisi Triawan89 mengenai kewenangan penyidikan yaitu:
87
Hasil Wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan, anggota Sub Unit Tindak Pidana Korupsi Reserse Kepolisian Resort Cilacap pada tanggal 26 November 2013 88 Hasil Wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan., Op.Cit 89 Hasil Wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan., Op.Cit
95
“Berdasarkan aturan yang berlaku saat ini bahwa kewenangan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang biasa dilakukan oleh lembaga penyidik kepolisian adalah tindak pidana korupsi yang kerugian negaranya di bawah satu miliar rupiah, tidak mendapat perhatian dari masyarakat serta tindak pidana korupsi tersebut tidak dilakukan oleh aparat penegak hukum dan penyelenggara negara.” Untuk prosedur penyidikan sendiri, sama seperti tindak pidana lainnya yaitu menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana sesuai dengan Pasal 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Penyelidik dalam hal ini polisi sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 4 KUHAP, atas laporan/pengaduan tersebut mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Di dalam penyidikan berdasarkan Pasal 1 angka 2 KUHAP, penyidik/polisi mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dalam hal akan melaksanakan penyidikan tindak pidana korupsi sendiri, kepolisian selalu berkoordinasi dengan lembaga lain yang berwenang yaitu kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi sesuai dengan Undang-Undang KPK. Namun dalam melakukan koordinasi ada struktur yang berbeda dalam instansi kepolisian, yaitu dari penyidik kepolisian di tingkat Polres melaporkan ke Polda dan Polda melaporkan ke Mabes Polri guna
96
melaporkan penyidikan yang sedang dilakukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.90 Dalam hal koordinasi bertujuan agar tidak terjadi tumpang tindih dalam proses penyidikan. Oleh karena itu juga untuk menghindari terjadi tumpang tindih, penyidik Polri, Kejaksaan Agung
dan
penandatangan
KPK
telah
MoU.
menyepakati Berdasarkan
untuk
melakukan
Memorandum
of
Understanding (MoU) yang telah ditandatangani bersama oleh KPK, POLRI dan Kejaksaan, dalam pasal 8 menyebutkan apabila KPK, POLRI atau Kejaksaan melakukan penyidikan dalam satu kasus yang sama, maka yang mempunyai wewenang adalah lembaga yang lebih dahulu melakukan penyidikan. 1.3.
Struktur penyidikan tipikor oleh kepolisian Menurut Brigadir Polisi Triawan91 mengenai struktur penyidikan tindak pidana korupsi yaitu: “Tindak pidana korupsi merupakan jenis pidana yang berbeda dengan tindak pidana lain pada umumnya, ada ciri khusus yang melekat pada pelaku tindak pidana tersebut. Maka penanganan tindak pidana korupsi juga memerlukan personil khusus yang menangani kasus tersebut. Personil tersebut sendiri untuk tingkat Polres masih dibawah Satuan Reserse Kriminal yaitu Sub Unit Tindak Pidana Korupsi, sedang pada tingkat Polda terdapat satuan khusus yang disebut Satuan Tipikor Direktorat Kriminal Polda dan tingkat Mabes adalah Direktorat III/Tipikor dan White Collar Crime Badan Reserse dan Kriminal Polri.”
90 91
Hasil Wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan., Op.Cit Hasil Wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan., Op.Cit
97
Salah satu ciri khas yang dimiliki anggota kepolisian adalah sistem komando di dalam proses pelaksanaan tugas. Penyidik sebagai salah satu sistem bagian dari anggota Polri tentu saja terikat pada sistem komando tersebut. Selain itu dalam melakukan gelar perkara, kepolisian mengundang kejaksaan dan juga BPKB. 1.4.
Faktor yang menghambat proses penyidikan tindak pidana korupsi oleh kepolisian Suatu
perundangan
normatif
di
dalam
pelaksanaan
penyidikan pastilah memiliki hambatan dalam bekerjanya. Hambatan tersebut bisa berasal dari dalam maupun luar. Brigadir Polisi Triawan92 menyatakan bahwa hambatan itu bisa berasal dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang dimaksud adalah faktor yang ada dalam instansi kepolisian tersebut. Faktor tersebut adalah : a. Kualitas Sumber Daya Manusia Dapat diketahui bahwa salah satu permasalahan yang dihadapi oleh penyidik kepolisian adalah masalah kualitas SDM yang belum memadai. Padahal pada sisi lain untuk menangani kasus tipikor diperlukan SDM yang memiliki kualitas dan pengalaman memadai. Akibat pendidikan yang kurang, muncul rasa rendah diri pada saat harus menyidik pihak tersangka yang dari segi pendidikan jauh lebih tinggi. b. Sarana Prasarana Modus operandi tindak pidana korupsi yang canggih tentu membutuhkan penanganan yang lebih canggih pula. Sebagai institusi penyidik tentu saja faktor sarana dan fasilitas pendukung penyidikan yang dibutuhkan oleh polri juga tidak boleh tertinggal dan harus mendapat perhatian. Satu hal yang 92
Hasil Wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan., Op.Cit
98
masih kurang mengenai sarana dan prasarana. Saat ini sarana yang disediakan terhadap kepolisian masih sebatas biaya penyidikan itupun dirasa kurang memadahi dalam hal untuk melakukan penyidikan tipikor. Selain itu hanya ada alat transportasi yang diberikan untuk menangani kasus tindak pidana korupsi. Seharusnya dengan modus operandi yang semakin canggih, kepolisian juga dibekali sarana yang canggih pula seperti untuk melakukan penyadapan maupun peralatan lain yang diperlukan untuk melakukan penyidikan. c. Kebudayaan dalam institusi kepolisian Salah satu faktor penghambat lain dalam kepolisian adalah budaya dalam institusi kepolisian sendiri. Salah satu ciri khas yang dimiliki anggota kepolisian adalah sistem komando di dalam pelaksanaan tugas. Penyidik sebagai salah satu bagian dari anggota kepolisian tentu saja terikat pada sistem komando tersebut. Masih melekatnya sistem komando tersebut menyebabkan masih kurangnya keterbukaan antara atasan dan bawahan. Padahal dalam tugas penyidikan suatu tindak pidana korupsi sangat dibutuhkan banyak pertimbangan serta masukan agar sikap, langkah dan arahan yang dijalankan oleh penyidik di lapangan menjadi lebih professional dan proporsional. Selain faktor internal dari kepolisian sebagai penghambat dalam pelaksanaan tugas penyidikan, juga ada faktor eksternal sebagai penghambat dalam terlaksananya penyidikan suatu tindak pidana korupsi yaitu : a. Masyarakat Dalam hal terlaksananya penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian terdapat peran dari masyarakat sendiri. Faktor penghambat dari masyarakat biasanya adalah kurang terbuka terhadap lingkungan dan aktifitas yang terjadi di lingkungan itu sendiri. Sehingga kurang tanggap jika ada tindak pidana korupsi yang ada di lingkungannya. Selain itu masyarakat juga tidak terbuka dalam memberi informasi dan masih saling menutupi jika ada suatu tindak pidana. Hal inilah yang menjadi penghambat bagi penyidik dalam melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. 2. Penyidik Kejaksaan di Wilayah Cilacap
99
2.1.
Peraturan
mengenai
penyidikan
yang
dilakukan
oleh
kejaksaan Berdasarkan hasil wawancara dengan Sunarko, S.H.,M.H. bahwa peraturan mengenai penyidikan yang dilakukan oleh kejaksaan mengenai tindak pidana korupsi telah sesuai berdasarkan .Pasal 30 huruf d Undang-Undang nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan adalah salah satu institusi penegak hukum yang diberi wewenang melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.93 Menurutnya, sebagai landasan pijak Kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi mengacu kepada Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999
jo. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai hukum materil dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai hukum pidana formil, serta Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. 2.2.
93
Prosedur Penyidikan oleh Kejaksaan
Hasil Wawancara dengan Sunarko, S.H.,M.H., Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Cilacap pada tanggal 19 November 2013
100
Menurut Sunarko, S.H.,M.H.94 mengenai kewenangan penyidikan yang dilakukan oleh kejaksaan yaitu : “Kewenangan Kejaksaan menjadi lebih sempit semenjak ditetapkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 yang pada Undang-Undang sebelumnya selain memiliki wewenang penyelidikan juga memiliki wewenang dalam penyidikan. Dalam pelaksanaan tugas dan wewenang untuk membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum serta instansi lainnya.” Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu
peristiwa
yang
merupakan tindak
pidana, penyidik
memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum yang dikenal dengan SPDP/Surat Pemberitahuan dimulainya Penyidikan sesuai dengan
Pasal
109
ayat
(1)
KUHAP. Setelah bukti-bukti
dikumpulkan dan yang diduga tersangka telah ditemukan, maka penyidik menilai dengan cermat, apakah cukup bukti untuk dilimpahkan kepada Penuntut Umum atau ternyata bukan merupakan tindak pidana. Jika penyidik berpendapat bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana maka penyidikan dihentikan demi hukum atau pemberhentian penyidikan
dan
diberitahukan
kepada
Penuntut Umum dan kepada tersangka/keluarganya. Namun, jika peristiwa tersebut merupakan peristiwa tindak pidana, maka setelah dilakukan penyidikan, berkas diserahkan kepada Penuntut Umum
94
Hasil Wawancara dengan Sunarko, S.H.,M.H., Op.Cit
101
sesuai Pasal 8 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Mengenai kasus korupsi yang ditangani oleh kejaksaan sendiri pada tahun 2013 mencapai 11 perkara. Salah satu yang sudah sampai vonis adalah kasus PLTU Bunton dengan total korupsi 2 Milyar rupiah. 2.3.
Struktur Penyidikan Tipikor oleh Kejaksaan Mengenai struktur penyidkan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kejaksaan menurut Sunarko,S.H.,M.H. tidak seperti kepolisian yang tetap struktur organisasi dalam melakukan penyidikan, di kejaksaan tidak ada.95 Dalam gelar perkara Kejaksaan dikenal dengan “ekspose” yang biasanya dilakukan dikalangan jaksa saja, BPKP akan disertakan bila perkara yang ditangani memerlukan audit dari BPKP. Dan selanjutnya dalam hal penuntut umum bisa dilakukan oleh orang yang sama dengan penyidik, sehingga nantinya tidak ada istilah bolak – balik perkara dari masyarakat.
2.4.
Faktor yang menghambat proses penyidikan tindak pidana korupsi oleh kejaksaan Suatu
perundangan
normatif
di
dalam
pelaksanaan
penyidikan pastilah memiliki hambatan dalam bekerjanya.
95
Hasil Wawancara dengan Sunarko, S.H.,M.H., Op.Cit.
102
Hambatan tersebut bisa berasal dari dalam maupun luar. Menurut Sunarko,S.H.,M.H. menyatakan bahwa hambatan itu bisa berasal dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang dimaksud adalah faktor yang ada dalam kejaksaan tersebut.96 Faktor tersebut adalah : a. Jumlah Personil Dapat diketahui bahwa salah satu permasalahan yang dihadapi oleh penyidik kejaksaan adalah kurangnya personil dalam penyidikan tindak pidana korupsi. Berbeda halnya dengan kepolisian, untuk kejaksaan tidak ada masalah mengenai sumber daya manusia para penyidiknya karena semua penyidik adalah lulusan dari sarjana hukum dengan rekruitmen PNS setelah melalui tahap seleksi. Oleh karena itu kurangnya personel kejaksaan bisa menjadi hambatan untuk penanganan secara cepat kasus tindak pidana korupsi. b. Sarana Prasarana Modus operandi
tindak pidana
korupsi
yang canggih
tentuembutuhkan penanganan yang lebih canggih pula. Sebagai institusi penyidik tentu saja faktor sarana dan fasilitas pendukung penyidikan yang dibutuhkan oleh kejaksaan juga tidak boleh tertinggal dan harus mendapat perhatian. Satu hal yang masih kurang mengenai sarana dan prasarana. Saat ini
96
Hasil Wawancara dengan Sunarko, S.H.,M.H., Op.Cit.
103
sama seperti kepolisian, kejaksaan juga masih hanya diberikan fasilitas transportasi dan biaya operasional. Mengenai biaya operasional dalam penanganan kasus korupsi kadang masih kurang. Adanya target dari pimpinan yang ketat tetapi tidak diimbangi dengan pemenuhan fasilitas dan sarana yang memadahi sering menjadikan tekanan psychis bagi penyidik. Dalam hal menangani kasus korupsi pasti langsung berhadapan dengan uang yang jumlahnya tidak sedikit. Hal inilah yang menjadi tantangan untuk penyidik kejaksaan agar jangan sampai tergelincir terhadap tindakan yang melanggar hukum sendiri, sekalipun dengan meinimnya fasilitas. Oleh karena itu sarana dan prasarana saat ini menjadi hambatan yang cukup besar yang dialami oleh kejaksaan dalam melaksanakan penyidikan tindak pidana korupsi. Selain faktor internal dari kepolisian sebagai penghambat dalam pelaksanaan tugas penyidikan, juga ada faktor eksternal sebagai penghambat dalam terlaksananya penyidikan suatu tindak pidana korupsi yaitu : a. Keterbukaan Saksi Dalam hal terlaksananya penyidikan yang dilakukan oleh kejaksaan terdapat peran dari saksi yang mengetahui suatu perkara. Hal yang menjadi penghambat kejaksaan adalah saksi yang belum terbuka dan masih menutupi suatu kasus yang
104
mereka ketahui. Padahal keterangan saksi sangat penting perihal penyidikan yang dilakukan oleh kejaksaan. b. Masyarakat Faktor penghambat dari masyarakat biasanya adalah kurang terbuka terhadap lingkungan dan aktifitas yang terjadi di lingkungan itu sendiri. Sehingga kurang tanggap jika ada tindak pidana korupsi yang ada di lingkungannya. Selain itu masyarakat juga tidak terbuka dalam memberi informasi dan masih saling menutupi jika ada suatu tindak pidana. Hal inilah yang menjadi penghambat bagi penyidik dalam melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. Selain itu justru masyarakat yang sering menutupi ada suatu perkara korupsi di wilayahnya agar wilayahnya tidak mendapat preseden buruk dari masyarakat lain. c. Wilayah dan Geografis Tidak dapat dipungkiri bahwa wilayah Kabupaten Cilacap merupakan wilayah yang cukup luas di provinsi Jawa Tengah. Ada 23 kecamatan yang berada di kabupaten ini. Hal ini merupakan salah satu hambatan yang dialami oleh kejaksaan dalam menangani tindak pidana korupsi. Karena dengan sarana transportasi yang masih menggunakan transportasi darat, kejaksaan harus menjangkau wilayah-wilayah yang jauh dari pusat kabupaten cilacap dengan kondisi jalan yang berbeda-
105
beda. Oleh karena itu hal inilah yang menjadi hambatan dalam efisiensi penyidikan korupsi di wilayah Cilacap.97
C. Pembahasan 1. Penyidikan Tipikor Yang Dilakukan di Wilayah Cilacap Implementasi penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan di wilayah cilacap sudah sesuai dengan asas-asas penting sebuah penyidikan yang berlaku yaitu : 1. Asas Legalitas Menurut asas ini yang dijelaskan oleh Yahya Harahap98 seperti yang dikutip oleh Hibnu Nugroho adalah : “ketentuan dalam KUHAP menganut asas legalitas kerena meletakan kepentingan hukum dan perundang-undangan di atas kepentingankepentingan yang lain sehingga menciptakan bangsa yang takluk di bawah “supremasi Hukum”, yang selaras dengan ketentuan-ketentuan perundangan dan perasaan keadilan bangsa Indonesia”
Berdasarkan hasil wawancara dengan penyidik yang menjadi informan dalam penelitian ini yaitu penyidik kepolisian dan kejaksaan ( Brigadir Polisi Triawan dan Sunarko,S.H.,M.H.) sepakat bahwa proses penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian maupun kejaksaan telah sesuai dengan undang-undang yang berlaku bagi kedua instansi tersebut dalam melaksanakan penyidikan.
97 98
Hasil Wawancara dengan Sunarko, S.H.,M.H., Op.Cit. Hibnu Nugroho., Op.Cit. Hal. 33
106
Dalam hal penyidikan yang dilaksanakan oleh kepolisian dalam menangani perkara tindak pidana korupsi sudah sesuai dengan amanat Undang-Undang
Nomor
30
Tahun
2002
Tentang
Komisi
Pemberantasan Korupsi. Selain itu, mengenai penyidikan terlepas dari undang-undang tersebut telah sesuai dengan ketentuan UndangUndang Nomor 2 Tahun 2002, bahwa kedudukan penyidik Polri dalam hal tugas penyidikan merupakan pemegang peran utama melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana walaupun menurutnya setelah lahir Undang-Undang KPK kedudukan kepolisian hanya sebagai sub ordinat di bawah KPK.99 Hal ini juga sama dengan Kejaksaan bahwa penyidikan yang dilakukan oleh kejaksaan sebagai landasan pijak kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi mengacu kepada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai hukum materil dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai hukum pidana formil, serta Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Dalam hal prosedur penyidikan yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan tidak ada perbedaan dan juga telah sesuai dengan prosedur 99
Hasil Wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan
107
yang berlaku yaitu dengan tidak memberikan perlakuan yang diskriminatif pada tersangka dan juga memberikan hak-hak yang diberikan oleh undang-undang terhadap tersangka. Jadi dari keterangan kedua narasumber bisa disimpulkan bahwa penyidikan terhadap tindak pidana korupsi tidak berbeda dengan aturan yang berlaku dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana. 2. Asas Praduga Tak Bersalah Asas praduga tak bersalah merupakan salah satu bukti penghargaan KUHAP pada hak asasi manusia. Hal ini senada dengan pendapat kedua penyidik baik kepolisian maupun kejaksaan. Dalam hal dilaksanakannya penyidikan selalu menghormati hak dari tersangka itu sendiri, karena saat ini penegakan hukum di Indonesia telah menganut asas aqusatoir sehingga penyidik melaksanakan penyidikan
tidak
menggunakan
cara-cara
penyidikan
dengan
menggunakan kekerasan dan sudah tidak sesuai pada masa sekarang karena pengakuan terdakwa tidak lagi menjadi alat bukti.100 3. Asas Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan Dalam pelaksanakan penyidikan, asas ini merupakan salah satu asas penting proses suatu penyidikan bagi para penegak hukum. Penjabaran
100
Hasil Wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan;Sunarko,S.H.,M.H.
108
asas ini tercermin dalam ketentuan adanya batas waktu penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai pada proses persidangan yang berkekuatan hukum tetap. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan dalam penelitian ini (Brigadir Polisi Triawan dan Sunarko,S.H.,M.H.) pelaksanaan asas ini sudah diusahakan semaksimal mungkin untuk dilaksanakan dalam proses penyidikan namun kadang terkendala oleh tersangka maupun saksi yang kurang kooperatif dalam memberikan keterangan sehingga proses penyidikan tidak cepat terselesaikan. 4. Asas Diferensiasi Fungsional Dalam KUHAP diatur pembagian tugas dan wewenang atas aparat penegak hukum, mulai dari permulaan penyidikan hingga eksekusi. Dari
tahapan tersebut
selalu terjalin hubungan fungsi
yang
berkelanjutan dan pengawasan antar lembaga penegak hukum. Menurut keterangan narasumber, bahwa fungsi ini selama ini sudah dilaksanakan oleh kepolisian maupun kejaksaan namun dalam melaksanakan penyidikan ada pembagian tugas antara kepolisian dan kejaksaan. Jika penyidikan yang dilakukan
di kepolisian, polisi hanya
mempunyai tugas melakukan penyidikan suatu tindak pidana korupsi
109
dan setelah
selesai
penyidikan
dilimpahkan kejaksaan untuk
dilaksanakan penuntutan.101 Berbeda dengan kejaksaan sendiri yang bisa melakukan penyidikan sendiri dan kemudian dilanjutkan ke tahap penuntutan bisa dilakukan oleh orang yang sama dengan penyidik, sehingga nantinya tidak ada istilah bolak – balik perkara dari masyarakat.102 5. Asas Saling Koordinasi Asas saling koordinasi dianut oleh KUHAP berkaitan erat dengan asas diferensiasi fungsional, sehingga dapat dikatakan bahwa sekalipun terjadi pembagian kewenangan yang tegas antara masing-masing instansi penegak hukum, namun ada hubungan koordinasi di antara instansi tersebut dalam proses penegakan hukum itu sendiri.103 Dalam hal pelaksanaan koordinasi ketika melaksanakan penyidikan yang dilakukan oleh kejaksaan maupun kepolisian ketika menangani tindak pidana korupsi di daerah, menurut narasumber sudah dilaksanakan koordinasi ketika akan memulai suatu penyidikan. Dalam hal penyidik mana yang didahulukan, adalah penyidik yang mempunyai alat bukti yang cukup dalam hal mengetahui suatu tindak pidana korupsi. Jadi selalu ada koordinasi antara kepolisian dan
101
Hasil Wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan, Op.Cit. Hasil Wawancara dengan Sunarko,S.H.,M.H., Op.Cit. 103 Hibnu Nugroho, Op.Cit. Hal.35 102
110
kejaksaan ketika melakukan suatu penyidikan agar tidak terjadi tumpang tindih antara kedua instansi tersebut. Selain itu, menurut Sunarko,S.H.,M.H. menambahkan ketika kejaksaan memulai suatu penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, kejaksaan
akan
selalu
berkoordinasi
dengan
kepolisian
dan
melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi tentang kasus yang ditangani. Namun sebaliknya KPK sendiri tidak pernah melakukan supervise dan koordinasi kepada kejaksaan yang ada di wilayah Cilacap.104 Dengan demikian bisa kita simpulkan bahwa bahwa instansi penegak hukum di wilayah cilacap sudah melaksanakan penyidikan sesuai dengan asas saling koordinasi antar instansi penegak hukum. Namun berkebalikan dengan KPK sendiri yang belum pernah melakukan supervise maupun koordinansi dengan instansi penegak hukum di daerah kususnya wilayah Cilacap sebagai objek penelitian. 6. Asas Persamaan di Muka Hukum Ketentuan dalam KUHAP mengenai asas ini tidak ada satu pasal pun yang
mengarah
pada
suatu
kelompok
dan
memberikan
ketidakistimewaan kepada kelompok lain. Namun menurut kedua narasumber pada penerapan penyidikan tindak pidana korupsi ada prosedur tambahan jika tindak pidana tersebut 104
Hasil Wawancara dengan Sunarko, S.H.,M.H., Op.Cit.
111
menjerat pejabat negara. Ada prosedur
khusus yang harus
diperhatikan dan diberikan terhadap pejabat negara yang terkena kasus korupsi. Tetapi untuk hal persamaan di muka hukum sama dengan tersangka lainnya yaitu dengan menjunjung tinggi HAM dengan tetap mendapat perlindungan yang memadai. Karena pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dilakukan pra peradilan.105 7. Asas akusator dan inqusitoir Dalam proses pemeriksaan terhadap tersangka, penyidik tidak diperkenankan untuk melakukan tekanan dalam bentuk apapun pada tersangka. Karena KUHAP sendiri tidak menjadikan pengakuan tersangka sebagai salah satu jenis alat bukti. Dengan hal tersebut menyebutkan bahwa sudah menganut asas akusatoir. Mengenai asas ini menurut narasumber sudah dilakukan oleh kepolisian maupun kejaksaan, karena sudah tidak ada lagi perlakuan yang tidak manusiawi terhadap tersangka. Hal itu ditujukan dengan penyidikan
yang
manusiawi
dengan
pendekatan
psikologi,
kriminalistik, psikiatri dan ilmu bantu yang lain tetapi tetap tidak menghilangkan ketegasan dari penyidik itu sendiri sehingga tersangka tetap menghormati penyidik. Sehingga penyidik tetap mendapatkan hasil penyidikan yang diinginkan.106
105
Hasil Wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan;Sunarko,S.H.,M.H. Hasil Wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan;Sunarko,S.H.,M.H.
106
112
Dari asas-asas tersebut di atas sangat penting untuk diperhatikan dan dilaksanakan oleh penyidik karena penyidikan merupakan bagian terpenting dalam proses penegakan hukum, karena berdasarkan hasil penyidikan yang baik akan mengasilkan surat dakwaan yang baik pula dan tepat sehingga akan sesuai dengan perkara yang sedang ditangani serta menghasilkan putusan yang mampu mendekati kebenaran materiil. Hal ini sesuai dengan pendapat K. wantjik Saleh107 yang dikutip dalam jurnal hukum Sahuri Lasmadi, penyidikan sendiri diartikan yaitu: “Usaha dan tindakan untuk mencari dan menemukan kebenaran tentang apakah betul terjadi suatu tindak pidana, siapa yang melakukan perbuatan itu, bagaimana sifat perbuatan itu serta siapakah yang terlibat dengan perbuatan itu.”
Dalam implementasi suatu penyidikan tentu saja menggunakan pendekatan sistem peradilan pidana yang berlaku, hal ini sesuai dengan pendapat Romli Atmasasmita yang dikutip oleh Hibnu Nugroho108 yaitu: “Pendekatan system peradilan pidana menitikberatkan pada koordinasi dan sinkronisasi dengan disertainya pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) dan menggunakan hukum sebagai instrument untuk menetapkan the administration of justice”
107 Sahuri Lasmadi, “Tumpang Tindih Kewenangan Penyidikan Pada Tindak Pidana Korupsi Pada Perspektif Sistem Peradilan Pidana”. Jurnal Ilmu Hukum , Volume 2, 3 ( Juli 2010 ) Hal. 10 108 Hibnu Nugroho, Op.Cit., Hal. 47
113
Dalam hal penegakan tindak pidana korupsi di daerah ada dua penegak hukum yang lebih dominan dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidana korupsi yaitu kepolisian dan kejaksaan walaupun komando penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi tetap ada di KPK setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Keberadaan lembaga – lembaga yang berbeda dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi sebenarnya dikhawatirkan akan menjadi kelemahan dalam penanganan tindak pidana ini karena mempunyai target tersendiri bagi tiap lembaga. Karena menurut KUHAP mengatur kewenangan penyidikan jatuh kepada kepolisian. Sedangkan kejaksaan hanya melakukan fungsi korektif yaitu pada saat penuntutan agar terjadi keteraturan dalam suatu penanganan sebuah perkara pidana. Berbeda halnya jika kejaksaan melaksanakan fungsi penyidikan maka akan dikhawatirkan munculnya ego sektoral dari kejaksaan itu sendiri. Namun kondisi beberapa lembaga yang menangani tindak pidana korupsi tersebut, diharapkan oleh pemerintah sebagai upaya mendorong percepatan penanganan kasus-kasus korupsi. Dari hal di atas menurut R. Soesilo109 memberikan pendapat mengenai tujuan hukum acara pidana yaitu: “Hakikatnya memang mencari kebenaran. Para penegak hukum mulai dari polisi, jaksa sampa kepada hakim dalam menyidik, menuntut, dan mengadili perkara senantiasa harus berdasarkan hal yang sungguh109
R. Soesilo, Op. Cit, Hal. 19
114
sungguh terjadi. Untuk itu dibutuhkan petugas-petugas selain yang berpengalaman luas, berpendidikan bermutu, dan berotak cerdas juga berkepribadian yang teguh, yang kuat mengelakan dan menolak segala godaan.”
Oleh karena itu dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi harus ada hubungan yang sinergis antara instansi penegak hukum yang berwenang menangani tindak pidana korupsi. Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia pada proses penyidikan, hubungan antara penyidik dengan JPU sangatlah erat, sehingga KUHAP memberikan sarana pra penuntutan. Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Pasal 110 KUHAP yang berbunyi: (1) Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum. (2) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. (3) Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum. (4) Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik.
115
Dari pasal pasal tersebut diatas, menurut Hibnu Nugroho110 pasal ini meletakan kewajiban kepada penyidik untuk melakukan hal-hal sebagai berikut yaitu : 1. Apabila telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan secepatnya wajib diserahkan kepada penuntut umum. 2. Menerima kembali berkas penyidikan dari penuntut umum, apabila menurut penilaian penuntut umum hasil penyidikan yang telah dilakukan oleh penyidik dianggap kurang lengap. 3. Secepat mungkin melengkapi kekurangan yang diperlukan sesuai petunjuk penuntut umum.
Sedangkan kewajiban dari penuntut umum adalah melakukan koreksi hasil penyidikan dari penyidik dalam waktu singkat sesuai ketentuan pasal tersebut yaitu tidak melebihi 14 hari sejak diterimanya berkas penyidikan. Apabila menurut penilaian penilaian penuntut umum hasil penyidikan masih kurang tajam, maka penuntut umum wajib memberi petunjuk hal-hal mana saja yang harus dipertajam guna kepentingan pembuatan surat dakwaan dan requisitoir nantinya. Menurut Yahya Harahap111 mengenai kewenangan penyidikan yaitu: “Dalam hal yang menyangkut tindak pidana khusus secara jelas diatur dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP yang merupakan ketentuan peralihan dari HIR ke KUHAP yang masih menyisakan kewenangan penyidikan kepada kejaksaan. Namun setelah berlakunya KUHAP fungsi penyidikan yang diserahkan kepada lembaga kepolisian.” 110 111
Hibnu Nugroho, Op.Cit. Hal. 59 Yahya Harahap, Op.Cit., Hal. 357
116
Namun dalam beberapa tindak pidana khusus jaksa masih mempunyai wewenang melakukan penyidikan seperti dalam tindak pidana ekonomi dan tindak pidana korupsi oleh karena undang-undang pidana khusus itu sendiri mengatur kewenangan tersebut.112 Selain itu mengenai wewenang penyidikan oleh kejaksan diperkuat setelah lahirnya ketentuan
Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia merupakan peraturan perundang-undangan terbaru yang mengatur mengenai kejaksaan di Indonesia. Dalam hal mengenai wewenang jaksa dalam melakukan penyidikan diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d yaitu : “Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.”
Selanjutnya mengenai pengaturan penanganan perkara tindak pidana korupsi menurut Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, badan khusus tersebut
disebut
Komisi
pemberantasan
korupsi
yang
memiliki
kewenangan melakukan koordinasi dan supervise, termasuk melakukan penyelidikan,
penyidikan,
dan
penuntutan.
Adapun
mengenai
pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggungjawaban, tugas dan wewenang keanggotaannya diatur dengan undang-undang. 112
Ibid.
117
Kewenangan
Komisi
Pemberantasan
Korupsi
dalam
melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang termasuk dalam kategori sebagai berikut: 1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara, 2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan/atau 3. Menyangkut kerugian negara l.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
paling
sedikit
Rp
Dari kategori tersebut dapat diartikan bahwa kewenangan kepolisan maupun kejaksaan dalam menangani kasus tindak pidana korupsi yang jumlahnya di bawah 1 miliar rupiah.113 Namun dalam hal tertentu menurut Sunarko,S.H.,M.H.114 menerangkan bahwa: “Untuk kasus-kasus dimana KPK mempunyai kewenangan untuk menyidik, misalnya untuk kasus diatas 1 Miliar, maka pihak penyidik harus menunggu jawaban dari KPK apakah kasus tersebut akan diambil alih oleh KPK atau tidak. Jika ternyata pihak KPK akan mengambil alih kasus tersebut maka pihak penyidik harus menyerahkan kasus tersebut kepada KPK, namun jika pihak KPK menolak maka penyidikan dilanjutkan oleh penyidik baik kasus itu ketika ditangani kejaksaan maupun kepolisian. Dengan kata lain KPK memiliki prioritas dalam menangani suatu kasus tindak pidana korupsi.
113 114
Evi Hartati., Op.Cit. Hal. 69 Hasil Wawancara dengan Sunarko, S.H.,M.H., Op.Cit
118
Jadi penyidik Kepolisian maupun Kejaksaan bisa menangani kasus tindak pidana korupsi di atas 1 Miliar jika kasus tersebut tidak dimabil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam hal penerapan penyidikan yang ada di instansi kepolisian dilakukan dengan mengacu pada KUHAP. Yaitu setelah adanya indikasi korupsi kepolisian mempunyai intelejen dan mengumpulkan data guna melakukan penyelidikan dan selanjutnya melaksanakan penyidikan dengan mencari keterangan saksi dan tersangkanya dan melakukan penyitaan jika diperlukan. Jadi sesuai dengan sistem peradilan hukum pidana, tugas penyelidikan, dan penyidikan korupsi dilakukan oleh penyidik polisi. Di Indonesia sejak bergulirnya era reformasi. Kondisi penegakan hukum khususnya terhadap tindakan hukum tindak pidana korupsi, kondisinya sudah dianggap sebagai darurat tindak terhadap korupsi. karena itulah dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi. Meskipun sudah ada Komisi Pemberantasan Korupsi, bukan berarti penyidik polisi tidak berhak lagi mengusut kasus korupsi. Pengusutan terhadap tindak pidana korupsi merupakan salah satu tugas polisi
dalam
rangka
penegakan
hukum.
Dalam
Undang-Undang
Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 14 ayat (1) g, disebutkan bahwa :
119
“Polisi bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya”
Korupsi termasuk dalam salah satu tindak pidana sehingga dapat dilakukan tindakan hukum oleh penyidik polisi. Dengan demikian, keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi bukan sebagai penghambat kerja polisi. Namun demikian berdasarkan ketentuan undang-undang secara substansial, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melakukan hubungan
fungsional
atas
kewenangan,
seperti
tindakan
hukum
koordinasi, supervisi, bersama penyidik kepolisian dan kejaksaan atau bahkan pengambilalihan terkait kasus korupsi sesuai dengan persyaratan yang ditentukan undang-undang. Untuk pelaksanaan penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian Menurut Brigadir Polisi Triawan115 yaitu: “Tindak pidana korupsi merupakan jenis pidana yang berbeda dengan tindak pidana lain pada umumnya, ada ciri khusus yang melekat pada pelaku tindak pidana tersebut. Maka penanganan tindak pidana korupsi juga memerlukan personil khusus yang menangani kasus tersebut. Personil tersebut sendiri untuk tingkat Polres masih dibawah Satuan Reserse Kriminal yaitu Sub Unit Tindak Pidana Korupsi, sedang pada tingkat Polda terdapat satuan khusus yang disebut Satuan Tipikor Direktorat Kriminal Polda dan tingkat Mabes adalah Direktorat III/Tipikor dan White Collar Crime Badan Reserse dan Kriminal Polri.” Salah satu ciri khas yang dimiliki anggota kepolisian adalah system komando di dalam proses pelaksanaan tugas. Penyidik sebagai
115
Hasil Wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan., Op.Cit
120
salah satu sistem bagian dari anggota Polri tentu saja terikat pada sistem komando tersebut. Sementara itu Proses penyidikan yang dilakukan oleh Pihak Kejaksaan terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi juga berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI No.KEP-518/A/ J.A/11/2001 tanggal 1 November 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia
No.Kep-132/J.A/11/1994 tanggal 7 November 1994 tentang
Administrasi Perkara Tindak Pidana dan kelaziman praktik penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi, modus operandi terungkapnya perkara korupsi dapat karena adanya inisiatif penyidik sendiri atau karena laporan atau informasi seseorang tentang telah terjadinya tindak pidana korupsi. Dalam
hal
penyidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan juga
mengacu pada aturan yang ada dalam KUHAP. Ketika penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum (dikenal dengan SPDP/Surat Pemberitahuan dimulainya
Penyidikan
sesuai
dengan Pasal 109 ayat (1) KUHAP). Setelah bukti-bukti dikumpulkan dan yang diduga tersangka telah ditemukan, maka penyidik menilai dengan cermat, apakah cukup bukti untuk dilimpahkan kepada Penuntut Umum atau ternyata bukan merupakan tindak pidana. Jika penyidik berpendapat bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana maka penyidikan dihentikan demi hukum
121
“Pemberhentian
Penyidikan”
ini
diberitahukan
kepada
Penuntut
Umum dan kepada tersangka/keluarganya. Namun, jika peristiwa tersebut merupakan peristiwa tindak pidana, maka setelah dilakukan penyidikan, berkas diserahkan kepada Penuntut Umum hal ini sesuai dengan Pasal 8 ayat (2) KUHAP. Mengenai kasus korupsi yang ditangani oleh kejaksaan sama seperti kepolisian yaitu di bawah 1 miliar. Namun kejaksaan bisa menangani kasus diatas 1 Miliar jika penyidikan yang dilakukan oleh kejaksaan tersebut tidak diambil alih oleh KPK. Untuk struktur penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kejaksaan menurut Sunarko,S.H.,M.H. tidak seperti kepolisian yang tetap struktur organisasi dalam melakukan penyidikan, di kejaksaan tidak ada. Mengenai prosedur melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi baik yang dilakukan oleh Kejaksaan maupun Kepolisian sama dengan tindak pidana umum lainya yaitu mengacu pada KUHAP. Menurut Pasal 102 KUHAP, dalam memulai penyidikan didahului oleh penyelidikan, sumber tindakan yang dilakukan oleh penyelidik berdasar pada empat hal, yaitu diketahui sendiri oleh petugas, laporan, pengaduan dan tertangkap tangan. Selain itu karena kewajibannya penyelidik mempunyai wewenang antara lain menerima laporan/ pengaduan, mencari keterangan dan barang
122
bukti, menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan memeriksa tanda pengenal, Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggug jawab. Penyidik wajib dengan inisiatif sendiri melakukan tindakan yang dianggap perlu untuk penyidikan, segera setelah ia menerima laporanlaporan atau timbul dugaan yang beralasan bagi penyidik tentang adanya tindak pidana korupsi. Pada saat dimulainya penyidikan, penyidik memberitahukan kepada penuntut umum perihal dimulainya penyidikan tindak pidana. Hal ini berkaitan dengan fungsi pengawasan fungsional dalam sistem peradilan pidana oleh penuntut umum. Pemberitahuan ini disebut dengan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Penyidikan dimulai ketika penyidik berpendapat bahwa telah terdapat bukti permulaan yang cukup,
maka
selanjutnya
penyidik
memerintahkan agar tindak pidana korupsi tersebut diteruskan ke tahap penyidikan. Menurut UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup adalah: “Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan baik secara biasa maupun secara elektronik atau optik.”
123
Berdasarkan ketentuan tersebut maka agar penyelidikan tindak pidana korupsi dapat ditingkatkan menjadi penyidikan maka harus diperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu berupa sekurang-kurangnya 2 alat bukti. Selanjutnya menurut ilmu kriminalistik, penyidik dalam mencari tersangka/saksi/korban
apabila
ditemukan,
maka
perlu
diadakan
identifikasi yang berguna untuk: a. Melakukan penyidikan lebih terarah b. Mencari hubungan tersangka dengan korban c. Mempermudah membuat daftar orang yang dicurigai Dan Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan untuk melakukan penangkapan, penggeledahan dan penyitaan, pemeriksaan dan penyitaan surat, Mengambil sidik jari dan membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik. Kemudian ketika seseorang diperiksa oleh penyidik,
menurut
kedua narasumber (Brigadir Polisi Triawan dan Sunarko,S.H.,M.H.) menyebutkan bahwa pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik pada prinsipnya untuk menggali informasi tentang tindak pidana yang dilakukan, tetapi tersangka berhak untuk memberikan keterangan secara bebas dan tanpa tekanan, serta kepada tersangka tidak boleh diajukan pertanyaan yang menjerat.
124
Jadi dalam proses pemeriksaan oleh penyidik yang dilakukan di Cilacap bisa dilihat bahwa tersangka selama dalam proses pemeriksaan tidak boleh ditekan, diintimidasi, diancam, memberikan keterangan diluar apa yang tersangka ketahui, dipaksa untuk melakukan sesuatu. Penyidik harus mencari serta menemukan kebenaran tentang apakah benar telah terjadi tindak pidana, Siapa yang melakukannya, bagaimana sifat perbuatan itu serta siapa-siapa yang ikut terlibat dalam perkara itu. Dalam rangka mencarai bukti-bukti maka denagan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang berlaku tentang rahasia Bank, Bank wajib memberikan keterangan tentang keadaan keuangan tersangka dan dengan meperlihatkan surat-surat Bank dari tersangka, istri/suami, anak yang diminta oleh Jaksa. Permintaan izin untuk memerintah keadaan keuangan tersangka diajukan pada Menteri Keuanagan, izin mana yang harus diberikan dalam waktu paling lama dua minggu terhitung tanggal penyampaian permintaan tesebut.apabila dalam jangka waktu dua minggu ternyata permintaan izin tersebut belum juga diminta jawabannya, maka izin tersebut dianggap telah diberikan oleh Menteri Keuangan. Selain itu dalam menggali informasi dari tersangka maupun saksi menurut narasumber bahwa institusi Kejaksaan maupun Kepolisian menggunakan pendekatan ilmu bantu Psikologi Kriminal. Konsep-konsep utama psikologi dipergunakan untuk penegakan hukum agar tercapai keadilan, yaitu dengan menggunakan tehnik-tehnik tertentu yang lazim diterapkan
oleh
psikologi
sehingga
penyidik
dalam
melakukan
125
pemeriksaan terhadap tersangka tidak perlu marah-marah dan dapat mengarahkan tersangka agar dapat memberikan jawaban-jawaban yang benar, terlepas dari kenyataan apakah dia bersalah atau tidak, serta dalam psikologi kriminal dihadapkan pihak penyidik sebagai pemeriksa dapat menghadapi si pelaku tindak pidana secara lebih baik demi untuk memperlancar jalannya pemeriksaan dalam tingkat penyidikan. Dalam melakukan pemeriksaan biasanya digunakan metode: a. Interview; b. Interogasi; c. Konfrontasi. Dalam
pemeriksaan
terhadap
tersangka
menurut
kedua
narasumber pelaku tindak pidana korupsi perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut : a. Penyidik memberitahukan kepada tersangka tentang hakhaknya, terutama haknya untuk mendapatkan bantuan hukum; b. Memberitahukan kepada saksi atau orang lain yang terkait untuk tidak menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang dapat memberi kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor .
126
c. Saksi diperiksa dengan tidak disumpah kecuali apabila ada cukup alasan untuk diduga bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di pengadilan. Saksi diperiksa secara tersendiri, tetapi boleh dipertemukan yang satu dengan yang lain dan mereka wajib memberikan keterangan yang sebenarnya. Penyidik menanyakan kepada tersangka apakah memiliki saksi atau ahli yang menguntungkan yang akan diajukan olehnya. Bilamana ada maka hal tersebut dicatat dalam
Berita
Acara
Pemeriksaan,
kemudian
penyidik
memanggil dan memeriksa saksi tersebut. d. Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun. e. Penyidik mengusahakan
untuk
mengetahui
peranan
tersangka dalam tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa (apakah sebagai dader, mede dader, mede pleger, uitlokker, atau peran lainnya). f. Setelah memperoleh keterangan penyidik mencatat keterangan tersebut ke dalam berita acara yang kemudian ditandatangani oleh penyidik dan oleh yang memberikan keterangan tersebut setelah mereka menyetujui isinya. Dalam hal tersangka atau saksi tidak tidak mau membubuhkan tandatangannya, penyidik
127
mencatat hal itu dalam berita acara dengan menyebut alasannya. g. Agar diperoleh keterangan, petunjuk-petunjuk dan bukti-bukti yang kuat, maka hasil pemeriksaan tersangka atau saksi yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan baik secara sendiri-sendiri maupun secara keseluruhan dievaluasi guna mengembangkan dan mengarahkan pemeriksaan selanjutnya atau untuk membuat simpulan dari hasil penyidikan yang telah dilakukan. Dari hasil evaluasi tersebut penyidik dapat menyusun resume untuk pemberkasan dan penyerahan berkas perkara. Selain itu menurut Brigadir Polisi Triawan, ketika memasuki tahap pemeriksaan terhadap tersangka maupun mengambil keterangan terhadap saksi, penyidik selain menggunakan ilmu bantu Psikologi Kriminal seharusnya bisa menggunakan alat Lie Detector agar mengetahui kebenaran informasi yang diberikan oleh tersangka maupun saksi apakah benar apa bohong. Namun kendala yang dihadapi belum tersedianya alat tersebut di Kepolisian. Selanjutnya, dalam penyidikan yang dilakukan di Cilacap, menurut Sunarko,S.H.,M.H.116 yaitu:
116
Hasil Wawancara dengan Sunarko, S.H.,M.H., Op.Cit
128
“Penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita surat-surat dan kiriman-kiriman melaului jawatan pos, telegraf, telepon dan lain-lain yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara pidana korupsi yang diperiksa.”
Jadi bisa dilihat bahwa ada kewenangan khusus terhadap penyidik untuk melakukan upaya paksa khusus guna menemukan bukti-bukti dugaan tindak pidana korupsi. Menurut Brigadir Polisi Triawan117, terhadap tersangka dapat dilakukan penangkapan apabila terdapat bukti permulaan yang cukup yaitu yang meliputi antara lain: a. Laporan Polisi; b. Berita Acara Pemeriksaan Polisi; c. Laporan Hasil Penyelidikan; d. Keterangan Saksi/ Ahli; dan e. Barang Bukti.
Setelah
dilakukan
penangkapan,
dalam
proses
penyidikan
selanjutnya penyidik bisa melakukan penahanan terhadap tersangka. Menurut Pasal 21 KUHAP Penahanan dapat dilakukan dengan syarat antara lain: a. Tersangka/ terdakwa diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup; b. Memenuhi syarat subjektif; c. Memenuhi syarat objektif; 117
Hasil Wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan, Op.Cit
129
d. Dilakukan oleh Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim
Mengenai lamanya penahanan sesuai dengan KUHAP yaitu maksimum 20 hari dan dapat diperpanjang oleh penuntut umum maksimum 40 hari. Dan yang berwenang memberi perpanjangan penahanan itu atas dasar permintaan dan laporan pemeriksaan pada tingkat penyidikan ialah Ketua Pengadilan Negeri. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang- undang. Penyidik setiap waktu berwenang memasuki setiap tempat yang dipandangnya perlu dalam hubungannya dengan tugas pemeriksaan, dan jika keadaan mengharuskannya, dibantu dengan alat kekuasaan negara lainnya. Adapun penggeledahan yang dilakukan di wilayah Cilapap menurut kedua narasumber (Brigadir Polisi Triyawan dan Sunarko, S.H.,M.H.) dengan tata cara penggeledahan sebagai berikut : a. Dilakukan oleh Penyidik; b. Surat Ijin dari Ketua Pengadilan Negeri; c. Memperlihatkan surat tugas penggeledahan; d. Pendamping atau saksi dalam melakukan penggeledahan;
130
e. Membuat berita acara penggeledahan (Pasal 33ayat (5) KUHAP). Apabila penghuni sebuah rumah menolak untuk dimasuki rumahnya, penyidik hanya dapat masuk bersama-sama dua orang saksi. Dalam waktu dua kali dua puluh empat jam tentang pemasukan rumah itu dibuat berita acaranya dan selanjutnya tembusannya disampaikan kepada penghuni rumah yang bersangkutan untuk kepentingannya. Kewajiban membuat berita acara tersebut berlaku juga apabila penyidik melakukan penyitaan. Mengenai benda yang dapat disita menurut Pasal 39 KUHAP adalah : a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; c. Benda yang dipergunakan penyidikan tindak pidana;
untuk
menghalang-halangi
d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; e. Benda lain yang mempunyai hubungan lansung dengan tindak pidana yang dilakukan
131
Dan tata cara penyitaan menurut Brigadir Polisi Triawan118 selalu berpedoman dengan KUHAP yaitu dengan cara: a. Dilakukan oleh Penyidik; b. Surat Ijin dari Ketua Pengadilan Negeri; c. Memperlihatkan tanda pengenal; d. Memperlihatkan barang yang akan disita kepada saksi; e. Membungkus benda sitaan; f. Menyimpan benda sitaan di RUPBASAN.
Selanjutnya setelah penyidik mempelajari dan meneliti perkara tindak pidana korupsi penyidik dapat melanjutkan ke pelimpahan perkara ataupun
menghentikan
penyidikan.
Jika
penyidik
menghentikan
penyidikan, Pasal 109 ayat (2) KUHAP memberikan kewenangan kepada penyidik untuk menghentikan penyidikan dengan alasan: a. Perkara tidak cukup bukti; b. Bukan merupakan tindak pidana; c. Dihentikan demi hukum (berkaitan dengan ne bis in idem, tersangka meninggal dunia, dan daluwarsanya perkara). Dan Penghentian penyidikan ditandai dengan dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
118
Hasil Wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan, Op.Cit
132
Lain halnya jika perkara tersebut dilanjutkan dengan pelimpahan perkara ke Penuntut Umum. Pelimpahan perkara dari penyidik kepada penuntut umum dilakukan dengan dua tahap, yaitu: 1. Tahap pertama, penyidik hanya menyerahkan berkas perkaranya saja kepada penuntut umum sesuai dengan Pasal 8 ayat (3) huruf a KUHAP dengan tahapan: a. Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik melimpahkan berkas perkara ke penuntut umum; b. Dalam waktu 7 hari penuntut umum harus memberitahukan dan mengembalikan berkas perkara apabila berkas dinyatakan belum lengkap sehingga perlu dilakukan penyidikan tambahan; c. Dalam waktu 14 hari penyidik harus mengembalikan hasil penyidikan tambahan (Pasal 138 ayat (2) KUHAP).
2. Tahap kedua, penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum sesuai dengan Pasal 8 ayat (3) butir b KUHAP yaitu dengan tahapan: a. Penyidikan dinyatakan selesai apabila dalam waktu 14 hari Penuntut Umum tidak mengembalikan berkas perkara atau dalam waktu kurang dari itu dinyatakan berkas telah lengkap. b. Setelah berkas dinyatakan lengkap, pelimpahan tahap kedua adalah penyerahan tersangka dan barang bukti (Pasal 8 ayat (3) huruf b KUHAP)
Dalam proses penyidikan untuk menemukan tersangka maupun barang bukti biasanya dilakukan gelar perkara. Gelar perkara dilakukan dalam rangka menangani tindak pidana korupsi tersebut secara tuntas
133
sebelum diajukan kepada Penuntut Umum. Tujuan dilaksanakan gelar perkara
antara
lain
untuk
mencegah
terjadinya
pra
peradilan,
memantapkan penetapan unsur-unsur pasal yang dituduhkan, sebagai wadah komunikasi antar penegak hukum serta mencapai efisiensi dan penuntasan dalam penanganan perkara. Gelar perkara sendiri bisa dilakukan ketika sedang dilakukanyya penyidikan maupun sudah sampai tahap pengadilan jika itu dianggap perlu untuk kepentingan penegakan hukum. Dalam melakukan gelar perkara yang dilakukan oleh penyidik kepolisian mengundang kejaksaan dan juga BPKB. Hal ini sesuai dengan nota kesepahaman antara Kepolisian, Kejaksaan dan BPKB. Hal ini sesuai dengan Pasal 5 ayat (4) dalam Nota Kesepahaman Nomor KEP-1093/K106/2007 antara Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan yaitu : “Dalam setiap penyelidikan dan/atau penyidikan baik yang dilakukan oleh Kejaksaan maupun POLRI, BPKP menugaskan auditor professional untuk melakukan audit investigative atau penghitungan kerugian keuangan negara sesual dengan permintaan.”
Sementara itu, gelar perkara oleh Kejaksaan dikenal dengan “ekspose” yang biasanya dilakukan dikalangan jaksa saja, BPKP akan disertakan bila perkara yang ditangani memerlukan audit dari BPKP sesuai dengan Nota Kesepahaman antara Kejaksaan Republik Indonesia,
134
Kepolisian Republik Indonesia dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Dalam pelaksanaan penanganan perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan kejaksaan terdapat hal yang berbeda dari penyidikan yang dilakukan kepolisian, karena di kejaksaan pelapor, penyidik dan penuntut umum dalam kasus tindak pidana korupsi dilakukan oleh orang yang sama, sehingga nantinya tidak ada istilah bolak – balik perkara dari masyarakat. Berbeda dengan wewenang kepolisian yang hanya ada pada tingkat penyidikan. Dalam beberapa kasus dimana kasus korupsi dilakukan oleh pejabat negara, maka harus ada perizinan yang harus dilengkapi sebelum melakukan penyidikan yaitu: 1. Jika yang melakukan korupsi adalah anggota DPRD tingkat II, maka harus ada izin dari Gubernur untuk memeriksanya. 2. Jika yang melakukan korupsi adalah anggota DPRD tingkat I, maka harus ada izin dari Menteri Dalam Negeri untuk memeriksanya. 3. Jika yang melakukan korupsi adalah kepala daerah, maka harus ada izin dari presiden untuk memeriksanya. Setelah didapat bukti-bukti permulaan yang cukup dalam proses penyidikan, maka dapat dilakukan penangkapan terhadap tersangka. Hal ini juga sama dengan proses penyidikan terhadap tersangka yang bukan
135
sebagai pejabat negara. Penangkapan ini menggunakan surat perintah penangkapan yang ditandatangani penyidik dan kepala Kejaksaan Negeri. Penangkapan tersebut dilanjutkan dengan pemeriksaan awal untuk menentukan apakah penangkapan tersebut aka dilanjutkan dengan penahanan. Jika harus ditahan, maka hal tersebut dilakukan untuk memudahkan penyidikan agar pelaku tidak kabur untuk melenyapkan barang bukti maupun mempengaruhi para saksi. Penahanan dapat dilakukan selama 20 hari dan apabila dirasa kurang dapat diperpanjang maksimum 40 hari atas persetujuan ketua Pengadilan Negeri. Mengenai siapa yang diprioritaskan melakukan penyidikan oleh Kejaksaan maupun Kepolisian tidak ada. Namun yang mempunyai bukti permulaan yang cukup dan mempunyai keyakinan tentang tindak pidana korupsi lah yang bisa memulai melakukan penyelidikan hingga penyidikan namun tetap harus melakukan koordinasi agar tidak terjadi tumpang tindih dalam melaksanakan tugas penyidikan. 2. Faktor yang Menghambat Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Wilayah Cilacap Pada hakikatnya persoalan efektifitas hukum seperti yang diungkapkan Syamsuddin Pasamai119 dalam bukunya Sosiologi dan Sosiologi Hukum yaitu:
119
Diunduh Dari : http://sarmyendrahendy.blogspot.com/2012/06/dalamrealitakehidupan-bermasyarakat.html ( Pada Tanggal 28 Januari 2014 Pukul 9.47 WIB )
136
“Persoalan efektifitas hukum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan persoalan penerapan, pelaksanaan dan penegakan hukum dalam masyarakat demi tercapainya tujuan hukum. Artinya hukum benar-benar berlaku secara filosofis, juridis dan sosiologis”
Untuk menmbahas ketidakefektifan hukum, ada baiknya juga memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas suatu penerapan hukum. Hal ini sejalan dengan penerpanan suatu penyidikan seperti apa yang diungkapkan Ishaq120 dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Hukum yang menyebutkan: “Dalam proses penegakan hukum, ada faktor-faktor yang mempengaruhi dan mempunyai arti sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada isi faktor tersebut.”
Dari pendapat tersebut, Soerjono Soekanto121 mengambil kesimpulan bahwa bahwa faktor tersebut ada lima, yaitu : 1. Hukumnya sendiri. 2. Penegak hukum. 3. Sarana dan fasilitas. 4. Masyarakat. 5. Kebudayaan.
Mendasarkan pada pendapat Soerjono Soekanto dan penelitian yang dilakukan, maka diperoleh data bahwa faktor yang menghambat
120 121
Ibid. Ibid.
137
implementasi penyidikan tindak pidana korupsi di wilayah Cilacap, dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Faktor hukumnya sendiri, yang akan dibatasi pada undang-undang saja, undang-undang dalam arti materiel adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah Keberadaan suatu perundang-undangan dalam suatu sistem hukum merupakan faktor yang sangat menentukan bagi tercapainya suatu tertib hukum karena untuk itulah salah satu tujuan dibentuknya undang-undang. Terlebih lagi undang-undang merupakan sumber hukum yang utama, yang mana kaidah-kaidah hukum yang banyak itu memang berasal dari perundang-undangan, yang menuliskan hukum dalam berbagai undang-undang dan membukukannya dalam kitab undang-undang.122 Dalam hal penyidikan setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Kedudukan Penyidik Kepolisian hanya sub ordinat dibawah penyidik KPK jadi ketentuan penyidikan tidak sepenuhnya dipegang oleh Kepolisian seperti yang diatur dalam KUHAP. Walaupun demikian koordinasi antar ketiga lembaga tersebut bisa mengurangi hambatan tentang wewenang melakukan penyidikan yang dilakukan oleh instansi yang berwenang karena untuk tindak 122
2001), 147.
J. Van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia,
138
pidana korupsi di bawah 1 miliar masih dilaksanakan oleh kepolisian maupun kejaksaan. 2. Faktor penegak hukum Faktor penegak hukum ini dititikberatkan kepada Kepolisian dan Kejaksaan yang melaksanakan tugas penyidikan terhadap tindak pidana korupsi di daerah. Untuk instansi kejaksaan masalah sumber daya manusia sebagai penyidik mungkin tidak mengalami masalah dikarenakan memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi di bidang hukum. Namun
demikian
upaya
meningkatkan
keprofesionalan
aparat
kejaksaan secara terus menerus perlu ditingkatkan. Salah satu kebijaksanaan pemerintah guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang mengacu pada syarat keterampilan, keahlian, dan profesi, dengan memperakukan fungsi jabatan jaksa dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidana korupsi. Menurut Sunarko,S.H.,M.H. yang menjadi kendala penegak hukum kejaksaan adalah jumlah personel kejaksaan yang menangani kasus tindak pidana korupsi di wilayah Cilacap yang masih sangat minim sehingga perlua ada tambahan personel dengan rekruitmen baru dan kualitas jaksa dengan sumber daya manusia yang unggul.123 Lain halnya dengan hambatan penegak hukum kepolisian. Menurut Brigadir Polisi Triawan, hambatan dari penegak hukum
123
Hasil Wawancara dengan Sunarko, S.H.,M.H., Op.Cit
139
untuk kepolisian adalah masalah sumber daya manusia penyidik sendiri. Masalah SDM merupakan masalah kompleks yang tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat.124 Ketersediaan SDM yang memadai berkaitan erat salah satunya dengan masalah rekruitmen. Menurut Suwarni sebenarnya dalam melakukan rekruitmen anggota kepolisian apabila dilihat dari sisi pendidikan saat ini telah mengalami peningkatan. Namun demikian untuk pendidikan khusus dirasakan masih perlu penanganan yang konsisten dan juga berkelanjutan125 Untuk faktor ini ada juga hambatan jika penegak hukumnya itu sendiri memerlukan ilmu bantu yaitu ketika pada tahap pemeriksaan belum adanya ahli psikologi kriminal dan terbatasnya jumlah personel. Namun dalam perjalanannya di wilayah Cilacap dalam hal wewenang melakukan pemeriksaan karena harus adanya permintaan terlebih dahulu dari pihak penyidik, yang tentunya membatasi gerak psikologi dari kepolisian maupn kejaksaan untuk lebih berperan dalam melakukan penyidikan. 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penyidikan. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penyidikan akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut, antara lain peralatan yang memadai, keuangan yang
124
Hasil Wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan., Op.Cit Suwarni, Perilaku Polisi Studi Atas Budaya Organisasi dan Pola Komunikasi, (Bandung : Nusa Media, 2009), Hal. 79 125
140
cukup, kalau hal-hal tersebut tidak dipenuhi maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuanya. Faktor keuangan atau ekonomi adalah faktor yang paling berpengaruh dalam hal sarana. Faktor ekonomi ini dilihat dari sudut pandang kejaksaan dan kepolisian. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam melaksanakan penyidikan suatu tindak pidana korupsi tentu memerlukan biaya operasional yang cukup besar. Karena penyidikan ini sendiri menangani kasus yang berhubungan dengan uang. Hal inilah yang disebutkan oleh kedua narasumber (Brigadir Polisi Triawan dan Sunarko,S.H.,M.H.) yaitu dalam hal menangani kasus korupsi pasti langsung berhadapan dengan uang yang jumlahnya tidak sedikit. Hal inilah yang menjadi tantangan untuk penyidik kejaksaan dan kepolisian agar jangan sampai tergelincir terhadap tindakan yang melanggar hukum sendiri, sekalipun dengan meinimnya fasilitas. Oleh karena itu sarana dan prasarana saat ini menjadi hambatan yang cukup besar yang dialami oleh kejaksaan dalam melaksanakan penyidikan tindak pidana korupsi.126 Modus
operandi
tindak
pidana
korupsi
yang
canggih
tentuembutuhkan penanganan yang lebih canggih pula. Sebagai institusi penyidik tentu saja faktor sarana dan fasilitas pendukung penyidikan yang dibutuhkan oleh Kejaksaan dan Kepolisian juga tidak
126
Hasil Wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan;Sunarko,S.H.,M.H
141
boleh tertinggal dan harus mendapat perhatian. Satu hal yang masih kurang mengenai sarana dan prasarana. Seharusnya dengan modus operandi yang semakin canggih, penyidik juga dibekali sarana yang canggih pula seperti untuk melakukan penyadapanmaupun peralatan lain yang diperlukan untuk melakukan penyidikan. Dalam proses pemeriksaan juga diperlukan alat-alat khusus untuk mengungkap kebenaran yang diberikan oleh saksi seperti menggunakan alat Lie Detector. Namun alat ini belum tersedia di Kepolisian maupun Kejaksaan, sehingga hal ini juga bisa menjadi penghambat. 4. Faktor masyarakat Dalam pelaksanaan penyidikan hambatan yang dijumpai salah stunya dari masyarakat sendiri. Dalam hal ini masyarakat yang dimaksud adalah saksi yang mengetahui tindak pidana korupsi tersebut. Dalam hal terlaksananya penyidikan yang dilakukan oleh penyidik terdapat peran dari saksi yang mengetahui suatu perkara. Hal yang menjadi penghambat penyidik adalah saksi yang belum terbuka dan masih menutupi suatu kasus yang mereka ketahui. Padahal keterangan saksi sangat penting perihal penyidikan yang dilakukan oleh kejaksaan maupun kepolisian.127 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
127
Hasil Wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan;Sunarko,S.H.,M.H
142
Dalam penerapan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, banyak masyarakat menolak melaporkan suatu kasus korupsi di wilayahnya. Faktor penghambat dari masyarakat biasanya adalah kurang terbuka terhadap lingkungan dan aktifitas yang terjadi di lingkungan itu sendiri. Sehingga kurang tanggap jika ada tindak pidana korupsi yang ada di lingkungannya. Selain itu masyarakat juga tidak terbuka dalam memberi informasi dan masih saling menutupi jika ada suatu tindak pidana. Hal inilah yang menjadi penghambat bagi penyidik dalam melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi.128 Faktor ini terbentuk juga disebabkan oleh faktor pendidikan. Faktor pendidikan dapat di klasifikasikan menjadi pendidikan formal dan informal. Pendidikan formal yaitu suatu jenjang pendidikan yang ditentukan oleh Pemerintah seperti Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan seterusnya. Sedangkan pendidikan informal adalah pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka memberantas buta hukum. Masyarakat
yang kurang pendidikan, baik itu pendidikan
formal maupun informal membentuk suatu “phobia hukum.” Phobia hukum adalah suatu ketakutan berhadapan dengan hukum yang ketakutan tersebut lahir tanpa suatu alasan yang jelas.
128
Hasil Wawancara dengan Brigadir Polisi Triawan;Sunarko,S.H.,M.H
143
Phobia hukum tersebut apabila dibenturkan dengan asas perundangan Indonesia yaitu asas fiksi hukum adalah sesuatu yang tidak akan pernah bertemu. Tidak akan mungkin seorang yang mempunyai phobia terhadap hukum akan coba mengenal hukum. Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab seharusnya semakin meningkatkan sosialisasi hukum kepada masyarakat, yang bisa di lakukan oleh lembaga Pemerintah atau Pemerintah bisa ikut mengajak organisasi keadvokatan untuk melakukan program sosialisasi hukum mengenai tindak pidana korupsi. 6. Wilayah yang luas Dalam hal penanganan suatu tindak pidana korupsi pasti diharapkan agar sesuai dengan asas cepat, sederhana dan biaya ringan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa wilayah Kabupaten Cilacap merupakan wilayah yang cukup luas di provinsi Jawa Tengah. Ada 23 kecamatan yang berada di kabupaten ini. Hal ini merupakan salah satu hambatan yang dialami oleh kejaksaan dalam menangani tindak pidana korupsi. Karena dengan sarana transportasi yang masih menggunakan transportasi darat, kejaksaan harus menjangkau wilayah-wilayah yang jauh dari pusat kabupaten cilacap dengan kondisi jalan yang berbedabeda. Oleh karena itu hal inilah yang menjadi hambatan dalam efisiensi penyidikan korupsi di wilayah Cilacap.129
129
Hasil Wawancara dengan Sunarko, S.H.,M.H., Op.Cit.
144
Dalam proses penyidikan faktor ini sangat menghambat ketika penyidik harus melakukan penyidikan dengan cepat, namun tempat kejadian berada jauh dari pusat kota Cilacap. Tentu mobiltas penyidik menjadi terhambat dalam mencari bukti-bukti yang terkait dengan tindak pidana korupsi tersebut.
145
BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Penyidikan yang dilakukan di wilayah Cilacap yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Cilacap dan Kepolisian Resort Cilacap yaitu : a. Dalam melaksanakan proses penyidikan, prosedur yang dilaksanakan oleh penyidik sama dengan tindak pidana lain yaitu sesuai dengan peraturan yang ada di KUHAP yaitu dari tahap penyelidikan hingga pelimpahan perkara ke Penuntut Umum. Hanya saja dalam melakukan pemeriksaan terhadap tindak pidana korupsi, penyidik memerlukan ilmu bantu lain yaitu dengan pendekatan Psikologi Kriminal untuk menggali informasi yang diperlukan dari tersangka. b. Dalam melakukan gelar perkara, kepolisian mengundang kejaksaan dan juga BPKB. Pada Kejaksaan dikenal gelar perkara dikenal dengan istilah “ekspose” yang biasanya dilakukan dikalangan jaksa saja, BPKP akan disertakan bila perkara yang ditangani memerlukan audit dari BPKP. c. Di kejaksaan
pelapor, penyidik dan penuntut umum dalam kasus
tindak pidana korupsi dilakukan oleh orang yang sama, sehingga nantinya tidak ada istilah bolak – balik perkara dari masyarakat.
146
Sedangkan kepolisian wewenangnya hanya melakukan penyidikan saja. d. Dalam beberapa kasus dimana kasus korupsi dilakukan oleh pejabat negara, maka harus ada perizinan yang harus dilengkapi sebelum melakukan penyidikan. 2. Faktor-faktor yang menghambat penerapan penyidikan tindak pidana korupsi antara lain: a. Faktor hukumnya sendiri, bahwa aturan yang ada saat ini dalam penanggulangan korupsi mempersempit kewenangan kepolisian dalam melakukan penyidikan karena ada dua lembaga lain yang berwenang melakukan penyidikan yaitu Kepolisian dan Kejaksaan. Namun bisa diatasi dengan adanya koordinasi yang berkelanjutan. b. Faktor penegak hukum, kurangnya personel dari penyidik kepolisian maupun kejaksaan dalam menangani perkara tindak pidana korupsi. Selain itu juga SDM dari penyidik yang masih perlu ditingkatkan karena biasanya pelaku tindak pidana korupsi mempunyai intelektual yang tinggi. Hal lain yang dirasa kurang adalah tidak adanya personel lain yang mempunyai keahlian di bidang ilmu lain dalam proses penyidikan seperti Ahli Psikologi Kriminal yang dirasa kurang. c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung, selain masalah biaya operasional, Modus operandi tindak pidana korupsi yang canggih tentu membutuhkan penanganan yang lebih canggih pula. Seharusnya dengan modus operandi yang semakin canggih, penyidik juga dibekali
147
sarana yang canggih pula seperti untuk melakukan penyadapanmaupun peralatan lain yang diperlukan untuk melakukan penyidikan. Agar penyidik terhindar dari ancaman suap. d. Faktor masyarakat, hal yang menjadi penghambat penyidik adalah saksi yang belum terbuka dan masih menutupi suatu kasus yang mereka ketahui. Padahal keterangan saksi sangat penting perihal penyidikan yang dilakukan oleh kejaksaan maupun kepolisian; e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Dalam penerapan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, banyak masyarakat menolak melaporkan suatu kasus korupsi di wilayahnya. Faktor penghambat dari masyarakat biasanya adalah kurang terbuka terhadap lingkungan dan aktifitas yang terjadi di lingkungan itu sendiri. Karena takut terbongkarnya suatu aib di lingkungannya. f. Faktor wilayah geografis, fator wilayah penyidikan yang luas dan kondisi geografis alam di wilayah Cilacap bisa menghambat terciptanya asas penyidikan yang cepat, sederhana dan biaya ringan.
B. Saran Beberapa saran dapat diberikan berkaitan dengan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Perlu adanya kerja sama baik di kalangan pemerintah, penegak hukum maupun masyarakat dalam upaya perwujudan pemberantasan korupsi
148
supaya tujuan dalam pemberantasan korupsi dapat tercapai dengan baik; 2. Perlunya meningkatkan pendidikan bagi para penyidik baik penyidik kepolisian maupun kejaksaan sehingga dalam melaksanakan tugas penyidikan penyidik tersebut mempunyai pengetahuan yang lebih karena pelaku tindak pidana korupsi pada umumnya berasal dari kaum intelek. 3. Perlu penambahan personel dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidana korupsi, terutama yang mempunyai keahlian dalam ilmu bantu lain yang menunjang dalam proses penyidikan. 4. Pemenuhan sarana dan prasarana dari pemerintah untuk kelancaran proses penyidikan yang dilakukan oleh kejaksaan maupun kepolisian.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Literatur
Arief, Barda Nawawi. 2005, Pembaharuan Kejaksaan Dalam Konteks Sistim Peradilan Pidana Terpadu dalam Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana , Bandung : PT. Citra Aditya Bakti; Butarbutar, E. Nurhaini. 2010. “Sistem Peradilan dalam Negara Hukum Republik Indonesia,” Jakarta: Legalitas ; Djaja, Ermansjah. 2008. Memberantas Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi. Balikpapan : Sinar Grafika; Djamal, Abdoel. 2007. Pengantar Hukum Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit PT Raja Grafindo Persada; Effendy, Marwan. 2012, SIstem Peradilan Pidana: Tinjauan terhadap Beberapa Perkembangan Hukum Pidana, Jakarta: Referensi; Elliot, Kimberly Ann. 1999, Corruption and The Global Economy, Edisi Pertama, Terjemahan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia; Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi Total. Jakarta : Sinar Grafika; Harahap, Yahya. 2008. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan Kuhap Penyidikan dan Penuntutan. Edisi Kedua. Cetakan Kesepuluh. Jakarta: Sinar Grafika; Hartanti, Evi. 2005. Tindak Pidana Korupsi. Semarang: Sinar Grafika; Jefry, Mochammad. 2004. Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Penyidikan Korupsi. Palembang : Universitas Sriwijaya; Kholiq, Abdul. 2000. Buku Pedoman kuliah hukum pidana. Yogyakarta: Fakultas Hukum UII; Lamintang, P.A.F. 2000, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Cetakan Keempat, Bandung: Citra Aditya Bakti; Makarao, Mohammad Taufik, Suharsil. 2002. Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek. Jakarta : Ghalia Indonesia; Marpaung, Leden. 2005. Azas, Teori, Praktek Hukum Pidana. Jakarta : Sinar Grafika; -----------------------. 2011. Proses Penanganan Perkara Penyidikan). Jakarta: Sinar Grafika;
(Penyelidikan dan
Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Surabaya: Kencana; Mertokusumo, Sudikno. 2003. Mengenal Hukum Edisi Kelima. Yogyakarta: Liberty;
Moeljatno. 2000. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta : Rineka Cipta; Moleong, Lexi. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosada Karya; Nugroho, Hibnu. 2012. Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. Jakarta: Media Prima Aksara; Raharjo, Satjipto. 1983. Hukum dan Pembaharuan Sosial: Suatu Tujuan Teoritis serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia. Bandung: Alumni; Rohmini, Mien. 2003. Perlindungan HAM melalui Asas Praduga tak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan dalam Hukum pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Bandung : Alumni; Salam, Mochamad Faisal. 2001. Hukum Acara Pidana Dalam teori Dan Praktek. Bandung : Mandar Maju; Sidharta, Bernanrd Arief. 1991. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penelitian Tentang Fungsi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia. Bandung : Mandar Maju; Soekanto, Soerjono. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit PT Raja Grafindo Persada. Cetakan Pertama; Sulista, Teguh & Zurnetti, Aria. 2011. Hukum Pidana: Horizon Baru Pasca Reformasi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada; Suyatno. 2005. Korupsi Kolusi dan Nepotisme. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan; Soemitro, Rony Hanitijo. 2008. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: PT Grafindo Persada; Sutomo. 2008. Handout Hukum Acara Pidana. Surabaya: Fakultas Hukum Universitas Airlangga; Wignyosoebroto, Sutandyo. 2006. Keragaman Dalam Konsep Hukum, Tipe Kajian dan Metode Penelitiannya. Makalah Lokakarya. Semarang: Yayasan Dewi Sartka; Winarta Frans. 2003. “Pencapaian Supremasi Hukum yang Beretika dan Bermoral”, Vol. 20 No. 1, Jakarta : Pro Justitia; Wiryono, R. 2005. Pembahasan Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ngunut : Sinar Grafika; Waluyo, Bambang. 2002. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Edisi Pertama. Cetakan Ketiga. Jakarta : Sinar Grafika; Waluyo,R. 2009. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta : Sinar Grafika. Peraturan Perundang- Undangan
Indonesia, Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia; _______, Undang- Undang nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia; _______, Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; _______, Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; _______, Undang- Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia; _______, Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia Komisi Pemberantasan Korupsi.Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; _______,Undang- Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia; _______, Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; _______, Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Jurnal
Bawono, Bambang Tri. 2011. Tinjauan Yuridis Hak – Hak Tersangka dalam Pemeriksaan Pendahuluan. Jurnal Ilmu Hukum ( Online ) .Volume 24.Nomor 2. (http://cyber.unissula.ac.id/ ), diakses 25 Juli 2013); Lasmadi, Sahuri. 2010. Tumpang Tindih Kewenangan Penyidikan Pada Tindak Pidana Korupsi Pada Perspektif Sistem Peradilan Pidana. Jurnal Ilmu Hukum (Online), Volume 2, Nomor 3 ( http:// online-journal.unja.ac.id , diakses 23 Juli 2013); R, Mukhlis. 2012. Pergeseran Kedudukan dan Tugas Penyidik Polri dengan Perkembangan Delik-Delik diluar KUHP. Jurnal Ilmu Hukum (Online), Volume 3, Nomor 1,( http://ejournal.unri.ac.id, diakses 23 Juli 2013) ; Usman. 2012. Analisis Perkembangan Teori Hukum Pidana. Jurnal Ilmu Hukum (Online), Volume 2 Nomor 1.( http://online-journal.unja.ac.id/, diakses 24 Juli 2013 ); Topo Santoso. 2001. Polisi dan Jaksa Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum (Online). Volume 10. Nomor 1. ( http://psi.ut.ac.Di/ Jurnal / 101topo . Ham, diakses 5 Desember 2013 ).
Karya Ilmiah, Majalah dan Koran Laksmana B, Gandjar; Penyidik Independen Komisi Pemberantasan Korupsi; Majalah Tempo edisi 8- 14 Oktober 2012; Nugroho. Hibnu. 2012. Analisis Penyidik Independen Komisi Pemberantasan Korupsi; Kedaulatan Rakyat 18 Juli 2012;
Internet
Azhar, Antasari. 17 Maret 2009 : Persamaan Persepi , Solusi Hambatan Perizinan Pemeriksaan Kepala Daerah. http://www.hukumonline.com/. diakses tanggal 20 Maret 2013; Maryam, Siti. 26 Februari 2012 : Proses Pemeriksaan Perkara Pidana di Indonesia. http://hukum.kompasiana.com/ . diakses tanggal 4 April 2013; Nugroho, Hibnu. 9 Mei 2011 : Prospek Peradilan Tipikor Daerah http://www.suaramerdeka.com/ . diakses tanggal 20 Maret 2013;
.
Pasamai, Samsudin. 26 Juni 2014 : Faktor Yang Mempengaruhi Efektifitas Hukum. http://sarmyendrahendy.blogspot.com/2012/06/dalamrealita-kehidupanbermasyarakat.html diakses tanggal 28 Januari 2014.