KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI Sigit Budi Santosa1 Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang Jl. Danau Sentani 99 Kota Malang Abstraksi: Korupsi sampai saat ini merupakan pekerjaan rumah bagi para penegak hukum termasuk Kejaksaan. Upaya penindakan telah dilakukan, dilengkapi dengan aparat penegak hukumnya, namun akan sulit pelaksanaannya ketika dibenturkan dengan beberapa regulasi yang saling tumpang tidih dengan yang lain yang mengatur mengenai tugas, fungsi dan wewenang masingmasing penegak hukum, dalam hal ini Kejaksaan salah satunya. Fungsi jaksa dalam penindakan tindak pidana korupsi dipertanyakan, ketika didalam KUHAP memisahkan antara fungsi penyidikan dengan fungsi penuntutan. Apakah kejaksaan juga memiliki wewenang sebagai penyidik dalam tindak pidana korupsi atau tidak? Problema ini muncul ketika isi satu aturan menyatakan bahwa kejaksaan tidak memiliki kewenangan sebagai penyidik,, dan aturan lain jaksa dapat saja melakukan penyidikan tindak pidana tertentu, asalkan berdasarkan undang-undang khusus, atau ada undang-undang khusus yang memberikan kewenangan untuk itu. Kepastian hukum mengenai tugas, fungsi dan wewenang Kejaksaan harus ada, dengan demikian diharapkan tidak ada lagi kerancuan maupun kebingungan mengenai kewenangan Kejaksaan dalam tindak pidana korupsi.
Kata kunci : Tindak Pidana Korupsi,Kejaksaan,dan wewenang
Alamat 1Korespondensi:
[email protected]
78 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov.2015 Hal. 77 - 90 Hingga
A. Pendahuluan
sekarang,
banyak
kasus
Sebagaimana terjadi dalam praktik,
korupsi yang penyidikannya dilakukan
penyidikan kasus korupsi dilakukan oleh
oleh jaksa. Namun, tidak sedikit juga
Polri (Kepolisian Republik Indonesia),
terjadi silang pendapat tentang apakah
Kejaksaan, atau Komisi Pemberantasan
jaksa sesungguhnya berwenang sebagai
Korupsi (selanjutnya disebut KPK). Untuk
penyidik tindak pidana korupsi ataukah
Polri dan KPK, dasar hukum kewenangan
tidak.
penyidikan tindak pidana korupsi sudah
Pemberantasan
jelas, yaitu Polri berdasarkan Undang-
tepatnya
undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab
diundangkannya KUHAP silang pendapat
Undang-undang Hukum Acara Pidana
itu sudah ada, dan terus berlanjut sampai
(selanjutnya
sekarang.
disebut
KUHAP)
serta
Jauh
sebelum Korupsi
beberapa
Komisi
(KPK) waktu
lahir, setelah
Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang
Penulis termasuk yang berpendapat
Kepolisian Negara Republik Indonesia,
bahwa sejatinya jaksa tidak lagi memiliki
dan KPK berdasarkan pada Undang-
kewenangan
undang No. 30 Tahun 2002 tentang
pidana
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Uraian berikut akan menjelaskan dasar
Korupsi (selanjutnya disebut UU KPK No.
pemikiran dan pendapat penulis, dengan
30 Tahun 2002). Namun untuk jaksa, ada
mendasarkan
banyak undang-undang yang berkaitan
undang
dengan
kewenangan kejaksaan sebagai penyidik
kewenangan
penyidikan
tindak
jaksa
dalam
pidana
korupsi,
sebagai
korupsi.
Mengapa
pada
yang
penyidik
berbagai berkaitan
tindak
demikian?
undangdengan
tindak pidana korupsi.
sehingga dapat dan telah menimbulkan
Produk undang-undang kejaksaan
kebingungan di masyarakat. Atas dasar hal
yang dibuat oleh pemerintah Indonesia
tersebut, makalah ini akan memfokuskan
pertama kali setelah merdeka adalah
untuk
Undang-undang No. 15 Tahun 1961
membahas
kewenangan
jaksa
sebagai penyidik tindak pidana korupsi.
tentang
Apakah
Kejaksaan
sebenarnya
kewenangan
sebagai
jaksa
memiliki
penyidik
tindak
pidana korupsi ataukah tidak?
Ketentuan-Ketentuan Republik
Pokok Indonesia
(selanjutnya disebut UU Kejaksaan No. 15 Tahun 1961). Berkaitan dengan tugas jaksa sebagai penyidik, diatur dalam Pasal
B. Pembahasan
2 ayat (2) UU Kejaksaan No. 15 Tahun
Kewenangan Jaksa sebagai Penyidik
1961 yang menyatakan:
Tindak Pidana Korupsi
Santosa, Kewenangan Kejaksaan Sebagai Penyidik Tindak Pidana Korupsi “Dalam
melaksanakan
ketentuan dalam pasal mempunyai
tugas:
ketentuan1, Kejaksaan mengadakan
Pasal 2 dan Pasal 7 UU Tipikor No. 24/Prp/1960. Pasal 2 UU Tipikor No. 24/Prp/1960
penyidikan lanjutan terhadap kejahatan
menyatakan:
dan pelanggaran serta mengawasi dan
(1)
mengkoordinasikan menurut
alat-alat
penyidik
ketentuan-ketentuan
79
Aturan-aturan mengenai pengusutan
dalam
dan
penuntutan
peraturan
menurut
biasa
berlaku
bagi
korupsi,
sekedar
tidak
Undang-undang Hukum Acara Pidana
perkara
dan lain-lain peraturan Negara.”
ditentukan lain dalam peraturan ini.
Hukum Acara Pidana yang berlaku
(“peraturan biasa” yang dimaksud
pada saat itu adalah Herziene Inlandsch
adalah HIR yang masih berlaku –
Reglement
penulis.)
(selanjutnya
disebut
HIR)
(S.1941-44), yang di dalam Pasal 39 HIR disebutkan bahwa:
(2)
Perkara korupsi didahulukan untuk diusut dan dituntut.
“Pejabat yang diberikan kewenangan untuk menyidik antara lain: “Kepala desa
Pasal 7 UU Tipikor No. 24/Prp/1960 menyatakan:
serta pegawai polisi desa; kepala distrik
Jaksa berhak membuka, memeriksa dan
(wedana) dan kepala onderdistrik (Asisten
menyita surat-surat dan kiriman-kiriman
wedana atau camat) juga menteri polisi
yang melalui Jawatan Pos, Telegrap dan
yang dibantukan kepadanya; pegawai dan
Telepon, yang dapat disangka mempunyai
pejabat polisi umum (polisi negara); jaksa
hubungan perkara pidana korupsi, yang
dan pengadilan negeri; mereka yang
sedang diusut atau dituntut.
dengan peraturan itu atau supaya peraturan
Dengan demikian, berdasarkan HIR,
itu diturut orang dan yang disuruh mencari
UU Tipikor No. 24/Prp/1960, dan UU
perbuatan yang dapat dihukum yang
Kejaksaan No. 15 Tahun 1961, kejaksaan
dimaksud di dalam peraturan itu; dan
memiliki kewenangan sebagai penyidik,
Pegawai polisi yang tidak digaji.”
termasuk penyidik tindak pidana korupsi.
Keweangan
kejaksaan
sebagai
Dalam perjalanan waktu selanjutnya,
penyidik juga diatur dalam Undang-
UU Tipikor No. 24/Prp/1960
undang
diganti dengan Undang-undang No. 3
No.
24/Prp/1960
tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan
Tahun
1971
Tindak
Tindak
Pidana
Pidana
Korupsi
(selanjutnya
tentang Korupsi
tersebut
Pemberantasan (selanjutnya
disebut UU Tipikor No. 24/Prp/1960). Hal
disebut UU Tipikor No. 3 Tahun 1971).
ini dapat dilihat misalnya dalam ketentuan
Dalam UU Tipikor No. 3 Tahun 1971
80 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov.2015 Hal. 77 - 90 jaksa juga masih memiliki kewenangan
Pasal 1 angka 1 KUHAP menyatakan:
sebagai penyidik tindak pidana korupsi,
Penyidik adalah pejabat polisi negara
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal
Republik Indonesia atau pejabat pegawai
3.
negeri
Pasal 3 UU Tipikor No. 3 Tahun 1971
wewenang khusus oleh undang- undang
menyatakan:
untuk melakukan penyidikan.
Penyidikan pidana
dan
korupsi
penuntutan dijalankan
ketentuan-ketentuan sekedar
tidak
tindak menurut
yang
ditentukan
berlaku, lain
dalam
sipil
tertentu
yang
diberi
Pasal 1 angka 6 KUHAP menyatakan: a. Jaksa adalah pejabat
yang diberi
wewenang oleh undang-undang ini untuk
bertindak
sebagai
penuntut
undang-undang ini. (“ketentuan-ketentuan
umum serta melaksanakan putusan
yang berlaku” yang dimaksud adalah HIR
pengadilan yang telah memperoleh
dan UU Kejaksaan No. 15 Tahun 1961 –
kekuatan hukum tetap.
penulis)
b. Penuntut umum adalah jaksa yang
Dengan demikian, berdasarkan HIR,
diberi wewenang oleh undang-undang
UU Kejaksaan No. 15 Tahun 1961, dan
ini untuk melakukan penuntutan dan
UU Tipikor No. 3 Tahun 1971, kejaksaan
melaksanakan penetapan hakim.
masih
memiliki
kewenangan
sebagai
Dengan demikian, jelaslah bahwa
penyidik, termasuk penyidik tindak pidana
berdasarkan Pasal 1 angka 1 dan angka 6
korupsi.
KUHAP,
jaksa
tidak
memiliki
Seiring berjalannya waktu, pada
kewenangan lagi sebagai penyidik, karena
tahun 1981 diundangkanlah KUHAP yang
KUHAP menghendaki pemisahan yang
menyatakan tidak berlakunya ketentuan-
tegas antara fungsi penyidikan dengan
ketentuan
fungsi penuntutan.
dalam
HIR
sepanjang
menyangkut hukum acara pidana. Di samping
itu,
KUHAP
memisahkan
Akan tetapi jaksa masih dapat melakukan penyidikan secara kondisional
secara tegas antara fungsi penyidikan
(dengan
yang dijalankan oleh pejabat polisi
sebagaimana
negara
peralihan Pasal 284 ayat (2) KUHAP.
Republik
Indonesia
atau
syarat), diatur
yaitu dalam
dalam
hal
ketentuan
pegawai negeri sipil tertentu, dengan
Pasal 284 ayat (2) KUHAP menyatakan:
fungsi penuntutan dan melaksanakan
Dalam waktu dua tahun setelah undang-
penetapan hakim yang dijalankan oleh
undang ini diundangkan maka terhadap
jaksa, sebagaimana diatur dalam Pasal 1
semua perkara diberlakukan ketentuan
angka 1 dan Pasal 1 angka 6 KUHAP.
undang-undang ini, dengan pengecualian
Santosa, Kewenangan Kejaksaan Sebagai Penyidik Tindak Pidana Korupsi
81
untuk sementara mengenai ketentuan
memiliki kewenangan sebagai penyidik
khusus
tindak
acara
pidana
sebagaimana
pidana
korupsi,
sampai
ada
tersebut pada undang-undang tertentu,
peninjauan kembali, pengubahan atau
sampai
pencabutan terhadap UU Kejakasaan No.
ada
perubahan
dan
atau
dinyatakan tidak berlaku lagi. Penjelasan
Pasal
284
15 Tahun 1961 dan UU Tipikor No. 3 ayat
(2)
Tahun 1971 tersebut.
KUHAP menyebutkan bahwa:
Kemudian
a. Yang dimaksud dengan semua perkara
pada
diundangkanlah
tahun
1991
Undang-undang
adalah perkara yang telah dilimpahkan
Kejaksaan yang baru, yaitu Undang-
ke pengadilan.
undang No. 5 Tahun 1991 tentang
b. Yang dimaksud dengan “ketentuan khusus
acara
pidana
Kejaksaan Republik Indonesia (selanjut-
sebagaimana
nya disebut UU Kejaksaan No. 5 Tahun
tersebut pada undang-undang tertentu”
1991) yang menggantikan Undang-undang
ialah ketentuan khusus acara pidana
Kejaksaan yang lama, yaitu UU Kejaksaan
sebagaimana tersebut pada, antara lain:
No. 15 Tahun 1961. UU Kejaksaan No. 5
1. Undang-undang tentang pengusutan,
Tahun 1991 menegaskan fungsi jaksa
penuntutan dan peradilan tindak
sama
pidana ekonomi
KUHAP, yaitu sebagai Penuntut Umum.
(Undang-undang
Nomor 7 Drt. Tahun 1955); 2. Undang-undang
seperti
fungsi
jaksa
dalam
Hal ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1 tentang
angka 1 dan angka 2 serta Pasal 27 ayat (1)
pemberantasan tindak pidana korupsi
UU Kejaksaan No. 5 Tahun 1991.
(Undang-undang nomor 3 Tahun
Pasal 1 angka 1 UU Kejaksaan No. 5
1971);
Tahun 1991 menegaskan:
dengan
catatan
bahwa
semua ketentuan khusus acara
Jaksa
pidana sebagaimana tersebut pada
wewenang oleh undang-undang ini untuk
undang-undang
akan
bertindak sebagai penuntut umum serta
ditinjau kembali, diubah atau
melaksanakan putusan pengadilan yang
dicabut
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
dalam
tertentu
waktu
yang
adalah
pejabat
yang
diberi
sesingkat-singkatnya. Dengan demikian, apabila ketentuan Pasal
Pasal 1 angka 2 UU Kejaksaan No. 5
284 ayat (2) KUHAP dikaitkan dengan
Tahun 1991 menegaskan:
UU Kejaksaan No. 15 Tahun 1961 dan UU
Penuntut umum adalah jaksa yang diberi
Tipikor No. 3 Tahun 1971 yang pada saat
wewenang oleh undang-undang ini untuk
itu masih berlaku, maka jaksa masih
82 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov.2015 Hal. 77 - 90 melakukan penuntutan dan melaksana-
juga
kan penetapan hakim.
Kejaksaan lama yaitu UU Kejaksaan No.
berasal
15
dari
Tahun
ketentuan
1961
yang
UU
sudah
Pasal 27 ayat (1) UU Kejaksaan No. 5
dinyatakan tidak berlaku lagi oleh UU
Tahun 1991 menegaskan:
Kejaksaan yang baru yaitu UU No. 5
Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai
Tahun 1991. Hal ini juga sesuai dengan
tugas dan wewenang:
asas perundang-undangan lex posteriore
a. melakukan
penuntutan
dalam
derogat lex priori (Undang-undang yang
perkara pidana;
baru mengesampingkan undang-undang
b. melaksanakan penetapan hakim dan
yang lama).
putusan pengadilan; c. melakukan
Menyusul kemudian pada tahun
pengawasan
terhadap
pelaksanaan keputusan lepas bersyarat;
1999
diundangkan
Undang-undang
Tipikor baru, yaitu UU No. 31 Tahun 1999
d. melengkapi berkas perkara tertentu dan
tentang Pemberantasan Tindak Pidana
untuk itu dapat melakukan pemeriksaan
Korupsi yang baru (selanjutnya disebut
tambahan sebelum dilimpahkan ke
UU Tipikor No. 31 Tahun 1999). UU
pengadilan yang dalam pelaksanaannya
Tipikor No. 31 Tahun 1999 sesungguhnya
dikordinasikan dengan penyidik.
sudah menegaskan bahwa jaksa tidak
Dengan demikian, berdasarkan Undang-
lagi
undang Kejaksaan yang baru, yaitu UU
penyidik
Kejaksaan No. 5 Tahun 1991, jaksa tidak
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal
lagi
26 UU No. 31 Tahun 1999.
memiliki
penyidik,
dan
kewenangan oleh
sebagai karenanya
memiliki
kewenangan
tindak
pidana
sebagai korupsi
Pasal 26 UU Tipikor No. 31 Tahun 1999
kewenangan jaksa sebagai penyidik
menegaskan:
tindak pidana korupsi sebagaimana
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
diatur dalam UU Kejaksaan No. 3
di sidang pengadilan terhadap tindak
Tahun 1971 haruslah dianggap tidak
pidana korupsi, dilakukan berdasarkan
ada lagi. Mengapa demikian? Hal ini
hukum acara pidana yang berlaku,
dikarenakan kewenangan jaksa sebagai
kecuali ditentukan lain dalam Undang-
penyidik tindak pidana korupsi dalam
undang ini.
UU Kejaksaan No. 3 Tahun 1971
Hukum acara pidana yang berlaku
bersumber dari ketentuan hukum acara
adalah
pidana HIR yang sudah dinyatakan
diuraikan di bagian sebelumnya, KUHAP
tidak berlaku lagi oleh KUHAP,
memisahkan secara tegas antara fungsi
dan
KUHAP.
Sebagaimana
telah
Santosa, Kewenangan Kejaksaan Sebagai Penyidik Tindak Pidana Korupsi Penyidikan pejabat
yang polisi
dijalankan negara
oleh
Republik
83
Pasal 39 UU No. 31 Tahun 1999 menyatakan:
Indonesia atau pegawai negeri sipil
Jaksa Agung mengkoordinasikan dan
tertentu, dengan fungsi penuntutan yang
mengendalikan penyelidikan, penyidikan,
dijalankan oleh jaksa. Dengan kata lain,
dan penuntutan tindak pidana korupsi
Pasal 26 UU Tipikor No. 31 Tahun 1999
yang dilakukan bersama-sama oleh
sesungguhnya lebih menegaskan lagi, di
orang yang tunduk pada Peradilan
samping UU Kejaksaan No. 5 Tahun 1991
Umum dan Peradilan Militer. Dari frasa “Jaksa Agung mengkoor-
sendiri telah menegaskan, bahwa jaksa tidak memiliki kewenangan lagi sebagai
dinasikan
penyidik tindak pidana korupsi.
sebagian orang menafsirkan bahwa jaksa
Dengan
demikian,
sudah
terang
masih
dan
mengendalikan”
memiliki
kewenangan
itulah
sebagai
benderang lah, bahwa baik berdasarkan
penyidik tindak pidana korupsi. Padahal
KUHAP, UU Kejaksaan No. 5 Tahun
pengertian mengkoordinasikan penyidikan
1991, maupun UU Tipikor No. 31 Tahun
tidaklah
1999, jaksa sudah tidak lagi memiliki
penyidikan itu sendiri, demikian juga
kewenangan
pengertian mengendalikan penyidikan juga
sebagai
penyidik
tindak
pidana korupsi.
sama
dengan
melakukan
tidak sama dengan melakukan penyidikan
Namun persoalan kewenangan ini
itu sendiri. Andai maksud pembentuk
ternyata menjadi rancu kembali dengan
undang-undang menyamakan pengertian
adanya ketentuan Pasal 27 dan Pasal 39
“mengkoordinasikan/mengendalikan”
UU Tipikor No. 31 Tahun 1999, karena
sama dengan pengertian “melakukan”,
dari kedua pasal ini lah sebagian orang
pastilah pembentuk undang-undang akan
menafsirkan
langsung menggunakan frasa “melakukan
bahwa
jaksa
masih
memiliki kewenangan sebagai penyidik
penyidikan”
tindak pidana korupsi.
frasa
Pasal 27 UU No. 31 Tahun 1999
penafsiran berbeda. Untuk itu perlu dilihat
menyatakan:
penjelasan kedua Pasal tersebut.
Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi
yang
sulit
pembuktiannya,
lain
ketimbang yang
menggunakan
dapat
menimbulkan
Penjelasan Pasal 27 UU Tipikor No. 31 Tahun 1999 menyatakan:
maka dapat dibentuk tim gabungan di
Yang dimaksud dengan tindak pidana
bawah koordinasi Jaksa Agung.
korupsi yang sulit pembuktiannya antara lain tindak pidana korupsi di bidang perbankan,
perpajakan,
pasar
modal,
84 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov.2015 Hal. 77 - 90 perdagangan
komoditi
Menurut ketentuan Pasal 32 UU
berjangka, atau di bidang moneter dan
Kejaksaan No. 5 Tahun 1991, “meng-
keuangan yang:
koordinasikan” ini merupakan salah satu
a. bersifat lintas sektoral;
fungsi khusus dari Jaksa Agung (dalam
b.
dan
dilakukan
industri,
dengan
menggunakan
teknologi canggih; atau c. dilakukan
oleh
arti hanya dimiliki oleh Jaksa Agung, dan bukan jaksa selain Jaksa Agung - penulis),
tersangka/terdakwa
yang selengkapnya menyebutkan:
yang berstatus sebagai Penyelenggara
Jaksa
Negara sebagaimana ditentukan dalam
wewenang:
Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999
a. menetapkan
serta
tentang Penyelenggara Negara yang
kebijakan
penegakan
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi,
keadilan dalam ruang lingkup tugas dan
dan Nepotisme.
wewenang kejaksaan;
Dari penjelasan Pasal 27 UU Tipikor
Agung
mempunyai
tugas
dan
mengendalikan hukum
b. mengkoordinasikan
dan
penanganan
No. 31 Tahun 1999 tersebut nampak
perkara pidana tertentu, dengan
bahwa kasus korupsi yang secara teknis
instansi terkait berdasarkan undang-
lebih rumit/sulit, atau subyek hukumnya
undang yang pelaksanaan koordi-
merupakan
nasinya ditetapkan oleh Presiden;
Penyelenggara
Negara,
sehingga jika dipandang perlu dapat dibentuk tim gabungan dalam penanganan kasus tersebut yang dikoordinasikan oleh
c. menyampingkan
perkara
demi
kepentingan umum; d. mengajukan kasasi demi kepentingan
Jaksa Agung. Mengkoordinasikan di sini
hukum
sesuai arti kata asalnya adalah mengatur
dalam perkara pidana, perdata, dan tata
secara baik agar lebih terarah, namun
usaha negara;
tidak melakukan penyidikan itu sendiri. Penjelasan Pasal 39 UU Tipikor No. 31 Tahun 1999 menyatakan: Yang
dimaksud
dengan
dinasikan” adalah kewenangan Jaksa Agung
sesuai
dengan
ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Undangundang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan.
e. mengajukan hukum dalam
“mengkoor-
kepada
Mahkamah
pertimbangan
kepada
Mahkamah
pemeriksaan
kasasi
Agung
teknis Agung perkara
pidana; f. menyampaikan pertimbangan kepada Presiden mengenai permohonan grasi dalam hal pidana mati; g. mencegah atau melarang orang-orang tertentu untuk masuk ke dalam atau meninggalkan
wilayah
kekuasaan
Santosa, Kewenangan Kejaksaan Sebagai Penyidik Tindak Pidana Korupsi Negara
Republik
Indonesia
karena
keterlibatannya dalam perkara pidana. Penjelasan Pasal 32 huruf b UU
85
mengendalikan” adalah mengatur dan memimpin
secara
baik
agar
lebih
terarah (pada tujuan tertentu-penulis)
Kejaksaan No. 5 Tahun 1991 menye-
tanpa
butkan:
sendiri.
melakukan
penyidikan
itu
1) Yang dimaksud dengan “perkara pidana
Guna semakin memperjelas tentang
tertentu” adalah perkara-perkara pidana
persoalan “mengkoordinasikan” ini perlu
yang dapat meresahkan masyarakat
penulis tambahkan Penjelasan Umum UU
luas, dan/atau dapat membahayakan
Tipikor No. 31 Tahun 1999, Paragraf 10,
keselamatan negara, dan/atau dapat
yang selengkapnya menyatakan:
merugikan perekonomian negara;
Hal baru lainnya adalah dalam hal terjadi
2) Yang
dimaksud
dengan
“instansi
tindak
pidana
korupsi
yang
sulit
terkait” adalah instansi yang secara
pembuktiannya,
fungsional terkait dengan penanganan
gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa
perkara pidana tertentu, baik badan
Agung, sedangkan proses penyidikan
penegak
instansi
dan penuntutan dilaksanakan sesuai
pemerintah lainnya, dalam hal ini tidak
dengan peraturan perundang-undangan
termasuk badan peradilan;
yang berlaku. Hal ini dimaksudkan dalam
3) Penetapan
hukum
oleh
maupun
Presiden
tentang
rangka
maka
meningkatkan
dibentuk
efisiensi
tim
waktu
pelaksanaan koordinasi sama sekali
penanganan tindak pidana korupsi dan
tidak
sekaligus perlindungan hak asasi manusia
mengurangi
asas
kekuasaan
kehakiman yang merdeka sebagaimana dimaksud
dalam
dari tersangka atau terdakwa.
Undang-undang
Selanjutnya,
pada
tahun
2002
Nomor 14 Tahun 1970 (sekarang UU
diundangkanlah UU KPK No. 30 Tahun
No. 48 Tahun 2009 – penulis) dan tetap
2002. Pada salah satu Pasal di bagian
memperhatikan asas-asas hukum yang
Ketentuan Penutup, yaitu Pasal 71 ayat (1)
berlaku demi kepastian hukum.
UU
Berdasarkan Penjelasan Pasal 39 UU
KPK
No.
30
Tahun
2002
menyebutkan:
Tipikor No. 31 Tahun 1999 dikaitkan
Dengan berlakunya Undang-undang ini,
dengan Pasal 32 UU Kejaksaan No. 5
Pasal 27 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1991 dan Penjelasan Pasal 32 huruf
Tahun 1999 tentang Pemberantasan
b UU Kejaksaan No. 5 Tahun 1991,
Tindak
semakin nampak jelas bahwa maksud
Negara Republik Indonesia Tahun 1999
“mengkoordinasikan
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara
dan
Pidana
Korupsi
(Lembaran
86 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov.2015 Hal. 77 - 90 Republik
Indonesia
3874)
dua norma yang saling bertentangan, yaitu
sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Pasal 39 UU Tipikor No. 31 Tahun 1999
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
berhadapan dengan Pasal 42 UU KPK No.
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
30 Tahun 2002. Kedua norma yang
Tahun
berlaku
1999
Nomor
tentang
Pemberantasan
ini
dapat
menimbulkan
Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara
kebingungan tentang siapakah sebenarnya
Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor
yang berperan sebagai koordinator dan
134,
pengendali
Tambahan
Republik
Lembaran
Indonesia
Negara
Nomor
4150)
dinyatakan tidak berlaku.
dalam
penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama
Dengan demikian, salah satu Pasal yang oleh sebagian orang ditafsirkan
oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum?
sebagai dasar hukum bahwa jaksa masih
Untuk
menjawab
persoalan
memiliki kewenangan sebagai penyidik
tersebut asas lex posteriore derogat lex
tindak pidana korupsi telah dinyatakan
priori
tidak berlaku oleh UU KPK No. 30
mengesampingkan undang-undang yang
Tahun 2002.
lama)
(Undang-undang
merupakan
solusi
yang
yang
baru
tepat.
Lantas bagaimana dengan Pasal yang
Dengan demikian, berdasarkan asas lex
satunya (Pasal 39 UU Tipikor No. 31
posteriore derogat lex priori ketentuan
Tahun 1999)? Untuk menjawab hal itu
Pasal 39 UU Tipikor No. 31 Tahun 1999
penulis kutipkan ketentuan Pasal 42 UU
harus dipandang tidak berlaku lagi.
KPK
Atau dapat juga tetap berlaku, namun
No.
30
Tahun
2002,
yang
selengkapnya menyatakan: Komisi
Pemberantasan
berwenang
harus Korupsi
mengkoordinasikan
dan
dikaitkan
kriteria
dengan
sasaran
perbedaan
penanganan
kasus
korupsi, sehingga berdasarkan teori residu
mengendalikan penyelidikan, penyidikan,
maka
dan penuntutan tindak pidana korupsi yang
dikendalikan Jaksa Agung adalah residu
dilakukan bersama-sama oleh orang yang
dari
tunduk
penananganan oleh KPK. Akan tetapi
pada
peradilan
militer
dan
peradilan umum. Dengan tidak dinyatakan secara
yang
kasus
dikoordinasikan
yang
menjadi
dan
sasaran
pelaksanaannya tetap harus diingat dan dikaitkan dengan penjelasan tentang frasa
tegas oleh UU KPK No. 30 Tahun 2002,
“mengkoordinasikan/mengendalikan”
bahwa Pasal 39 UU Tipikor No. 31 Tahun
sebagaimana telah diuraikan pada bagian
1999 tidak berlaku, maka seolah-olah ada
sebelumnya makalah ini.
Santosa, Kewenangan Kejaksaan Sebagai Penyidik Tindak Pidana Korupsi Pada bagian lain dari UU KPK No. 30 Tahun 2002, masih terdapat beberapa
tidak
ada
atau
tidak
87 mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
“atau
Belakangan, pada tahun 2004 keluar
kejaksaan” dan “dan/atau kejaksaan”,
Undang-undang Kejaksaan terbaru, yaitu
yaitu
dalam
UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
ketentuan Pasal 44 ayat (4) & (5), dan
Republik Indonesia (selanjutnya disebut
Pasal 50 ayat (1), (2), (3), dan (4), dan
UU Kejaksaan No. 16 Tahun 2004).
Penjelasan
Berbeda
pasal
yang
memuat
sebagaimana
Umum.
frasa
termuat
Hal
ini
dapat
dengan
UU
Kejaksaan
menimbulkan anggapan bahwa seolah-olah
sebelumnya, yaitu UU Kejaksaan No. 5
jaksa masih memiliki kewenangan sebagai
Tahun
penyidik tindak pidana korupsi, padahal
terbaru
sudah tidak ada dasar hukum lagi yang
kewenangan penyidikan kepada kejak-
memberi kewenangan kepada jaksa untuk
saan. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal
melakukan penyidikan terhadap tindak
30 ayat (1) UU Kejaksaan No. 16 Tahun
pidana korupsi. Bukankah HIR, UU
2004.
Kejaksaan No. 15 Tahun 1961, dan UU
Pasal 30 ayat (1) UU Kejaksaan No. 16
Tipikor
Tahun 2004 menyatakan:
No.
3
Tahun
1971
yang
1991,
UU
ini
Kejaksaan
yang
memberikan
lagi
memberikan kewenangan kepada jaksa
Di bidang pidana kejaksaan mempunyai
untuk melakukan penyidikan terhadap
tugas dan wewenang:
tindak pidana korupsi sudah dinyatakan
a. melakukan penuntutan;
tidak berlaku? Oleh karena itu, adanya
b. melaksanakan penetapan hakim dan
frasa “atau kejaksaan” dan “dan/atau
putusan
kejaksaan” dalam beberapa Pasal UU
memperoleh kekuatan hukum tetap;
KPK
No.
30
Tahun
2002
tersebut
pengadilan
c. melakukan
yang
pengawasan
telah
terhadap
haruslah dianggap sebagai kekeliruan
pelaksanaan putusan pidana bersyarat,
pembentuk
putusan
menganggap memiliki
undang-undang bahwa
kejaksaan
kewenangan
yang masih
melakukan
pidana
pengawasan,
dan
keputusan lepas bersyarat; d. melakukan
penyidikan
terhadap
penyidikan tindak pidana korupsi, padahal
tindak pidana tertentu berdasarkan
berdasarkan undang-undang yang berlaku
undang-undang;
kejaksaan sudah tidak lagi memiliki kewenangan
sebagai
penyidik
e. melengkapi berkas perkara tertentu dan
tindak
untuk itu dapat melakukan pemeriksaan
pidana korupsi, serta harus dianggap
tambahan sebelum dilimpahkan ke
88 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov.2015 Hal. 77 - 90 pengadilan yang dalam pelaksanaannya
beberapa
dikoordinasikan dengan penyidik.
yang memberikan kewenangan kepada
ketentuan
undang-undang
Berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat
Kejaksaan untuk melakukan penyidi-
(1) huruf d UU Kejaksaan No. 16 Tahun
kan, misalnya Undang-Undang Nomor 26
2004, maka jaksa dapat saja melakukan
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
penyidikan
Manusia,
tindak
pidana
tertentu,
Undang-Undang
Tahun
khusus, atau ada undang-undang khusus
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
yang memberikan kewenangan untuk
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
itu.
Tahun 2001, dan Undang-Undang Nomor
huruf d UU Kejaksaan No. 16 Tahun 2004, menyatakan dan memberikan contoh
30
Tahun
tentang
31
asalkan berdasarkan undang-undang
Penjelasan atas Pasal 30 ayat (1)
1999
Nomor
2002
Pemberantasan
tentang
Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Benarkah
demikian?
Untuk
bahwa:
menjawabnya perlu kita lihat ketentuan
Kewenangan dalam ketentuan ini adalah
undang-undang yang dijadikan contoh
kewenangan sebagaimana diatur misalnya
dalam Penjelasan dan Penjelasan Umum
dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun
tersebut.
2000
tentang Pengadilan
Asasi
Ketentuan Pasal 21 ayat (1) UU No.
Manusia dan Undang-undang Nomor 31
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Tahun
Pemberantasan
Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
Pengadilan HAM No. 26 Tahun 2000),
diubah dengan Undang-undang Nomor 20
menyatakan:
Tahun 2001 jo Undang-undang Nomor 30
Penyidikan perkara pelanggaran hak asasi
Tahun
manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa
1999
tentang
2002
Hak
tentang
Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Agung.
Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan No. 16 Tahun 2004 ini
Dengan demikian, benarlah contoh yang
senada dengan apa yang termuat dalam
diberikan oleh Penjelasan dan Penjelasan
Penjelasan Umum angka 3 UU Kejaksaan
Umum di atas, sebab jika berdasarkan UU
No. 16 Tahun 2004 yang menyatakan
Pengadilan HAM No. 26 Tahun 2000
bahwa:
jaksa (baca: Jaksa Agung) memang
Kewenangan Kejaksaan untuk melakukan
memiliki kewenangan sebagai penyidik
penyidikan
tindak pidana pelanggaran hak asasi
dimaksudkan
tindak
pidana
untuk
tertentu
menampung
manusia yang berat.
Santosa, Kewenangan Kejaksaan Sebagai Penyidik Tindak Pidana Korupsi
89
Bagaimana dengan UU Tipikor No.
menjaga, agar jangan sampai semangat
31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan
yang mulia tersebut justru menciderai
UU Tipikor No. 20 Tahun 2001? Tentang
hukum itu sendiri, dengan bertindak
ini sudah penulis uraikan di bagian
melampaui hukum yang berlaku, sekalipun
sebelumnya. Sementara UU KPK No. 30
hal itu atas nama pemberantasan korupsi,
Tahun 2002, yang juga dirujuk sebagai
sebab jika demikian halnya bukankah
contoh, juga tidak ada satupun ketentuan
penegakan hukum itu menjadi penegakan
Pasal dalam UU KPK No. 30 Tahun 2002
hukum yang korup? Jika penegakan
yang memberikan kewenangan kepada
hukumnya
jaksa untuk melakukan penyidikan tindak
hukum yang ikut andil di situ menjadi
pidana korupsi, karena memang UU KPK
penegak hukum yang korup juga.
korup,
otomatis
penegak
No. 30 Tahun 2002 mengatur khusus tentang Komisi Pemberantasan Tindak
DAFTAR PUSTAKA
Pidana Korupsi, yang lebih dikenal dengan KPK.
A. Peraturan Perundang-Undangan Dengan demikian, sekalipun UU
Undang-undang
Nomor
24/Prp/1960
Kejaksaan No. 16 Tahun 2004 (UU
tentang Pengusutan, Penuntutan
Kejaksaan
dan Pemeriksaan Tindak Pidana
yang terbaru)
kewenangan penyidik
kepada tindak
berdasarkan
memberikan
jaksa
sebagai
pidana
undang-undang,
tertentu
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961
namun
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
analisis secara yuridis normatif pada uraian-uraian
sebelumnya
membuktikan
bahwa
telah
sejatinya
Korupsi.
jaksa
tidak lagi memiliki kewenangan sebagai penyidik tindak pidana korupsi.
Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan
Pidana Korupsi Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
C. Penutup
Kitab
untuk
memberantas
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991
korupsi tentu perlu didukung oleh segenap
tentang
komponen masyarakat. Namun demikian,
Indonesia.
kita semua sebagai bagian dari komponen
hukum
dan
Undang-undang
Hukum Acara Pidana.
Semangat
masyarakat
Tindak
juga
memiliki
kewajiban
kewajiban
moral
untuk
Kejaksaan
Republik
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan
Pidana Korupsi.
Tindak
90 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov.2015 Hal. 77 - 90 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan
Hak
Asasi
Manusia. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan
Tindak
Pidana Korupsi. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi
Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Indonesia.
Kejaksaan
Republik