31
BAB II KEWENANGAN PENYIDIK MENGELUARKAN SURAT PERINTAH PENGEHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
A.
Pengertian Tindak Pidana Korupsi Kamus besar bahasa Indonesia memuat pengertian korupsi sebagai
berikut: penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.34 Menurut Andi Hamzah arti kata harafiah dari kata korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, katakata yang menghina atau memfitnah.35 Kata korupai berasal dari bahasa Latin Corruptio yang kemudian muncul dalam Bahasa Inggris dan Prancis Corruption, serta dalam bahasa Belanda Korruptie.36 Sedangkan Black’s Law Dictionary mendefinisikan korupsi sebagai berikut : ”Corruption is an act done with an intent to give advantages inconsistent with official duty and the rights of others. The act of an official or fiduciary person who unlawfully and wrongfully uses his station or character to procure some benefit for himself or for another person contrary to duty and the rights of others.37
Transparency International menyatakan : 34
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka,1989) 35
Andi Hamzah (a), Korupsi di Indonesia: Masalah dan Pemecahannya, Cet 3, (Jakarta : Gramedia,1991), hal 9. 36
Andi Hamzah (b), Delik-Delik Tersebar di Luar KUHP , (Jakarta : Pradnya Paramitha, 1985), hal 143. 37 Black’s Law Dictionary v. 240
Universitas Sumatera Utara
32
”Corruption involves behavior on part of officials in the public sector wether politicians or civil servants, in which they improperly and unlawfully enrich themselves, or those close to them, by the missue of the public power entrusted them.”(korupsi mencakup perilaku dari pejabatpejabat di sektor publik, baik politikus ataupun pegawai negeri , dimana mereka secara tidak benar dan secara melanggar hukum memperkaya diri sendiri atau pihak lain yang dekat dengan mereka, dengan cara menyalahgunakan kewenangan publik yang dipercayakan kepada mereka.)
Pengertian tindak pidana korupsi juga telah dirumuskan oleh pemerintah di dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, secara keseluruhan dapat dilihat pada Bab II ( Tindak Pidana Korupsi), salah satu yang Penulis kutip adalah pengertian korupsi pada Pasal 2 ayat (1) undang-undang ini yang menyatakan : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
B.
Tindak Pidana Korupsi Sebagai Extraordinary Crime Tindak pidana korupsi termasuk ke dalam tindak pidana khusus karena
bersumber pada peraturan perundang-undangan di luar KUHP.38 Di Indonesia tindak pidana korupsi dipayungi oleh Undang-Undang no. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. selain tindak pidana khusus, tindak pidana korupsi juga digolongkan sebagai Extraordinary Crime atau kejahatan luar biasa yang juga membutuhkan 38
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung : PT. Alumni, 2006), hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
33
penanganan luar biasa pula. Istilah extraordinary crime pada mulanya digunakan sebagai istilah untuk menyebut kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan, seperti terorisme, genosida dan pelanggaran berat terhadap Hak Asasi Manusia.
39
Dikatakan extraordinary atau luar biasa disebabkan karena hal-hal sebagai berikut: 1.
Bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional dan akibat yang ditimbulkan tindak pidana korupsi tersebut selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.40
2.
Tindak pidaan korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak –hak ekonomi masyarakat, maka tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.41
3.
Karena korupsi di Indonesia sudah sedemikian parahnya, akibatnya tidak hanya dari kerugian rakyat banyak, melainkan merusak moral dan karakter bangsa serta sendi-sendi kehidupan nasional, akibat lebih luasnya adalah memperlemah karakter bangsa
sehingga
tidak
bersikap
disiplin,
malas,
tidak
39
www.majalahkonstan.com/index2.php?option=com_content, diakses pada Rabu, 1 September 2010, pukul 18:33:03 WIB. 40
Lihat bagian “menimbang” huruf a dan b, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 41 Lihat penjelasan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK bagian I Umum, paragraf 2.
Universitas Sumatera Utara
34
bertanggung-jawab, tidak jujur, tidak proaktif , tidak percaya diri, dan tidak memiliki semangat berjuang untuk mandiri, sebaliknya mudah menyerah serta mencari jalan pintas.42 4.
Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah begitu meluas dalam masyarakat, perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik jumlah kasus yang terjadi, kerugia keuangan negara maupun kualitas tindak pidananya.43
5.
Tindak pidana korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, hak sosial, ekonomi, pembangunan, akan tetapi merupakan salah satu bentuk penghancuran secara sistematis dan memporakporandakan harkat dan martabata manusia dan lebih daripada itu akibat daripaad korupsi yang telah terstruktur dan mumbudaya maka tidak menutup kemungkinan akan mengancam keutuhan NKRI
(ada
perlakuan
yang
tidak
adil
dan
tidak
berprikemanusiaan, untuk itulah dibutuhkan penanganan yang luar biasa agar diperoleh hasil yang luar biasa.44 6.
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia saat ini sudah pada titik yang tidak dapat ditolerir, begitu mengakar, membudaya dan sistematis. Kerugian negara atas menjamunya praktek korupsi
42
A.M. Fatwa, http://www.mpr.go.id/pimpinan2/?p=18, diakses pada Kamis, 2 September 2010 pukul 10:29:45 WIB. 43
Abdul Rahman Saleh, www.arsip.pontianakpost.com/berita/default.asp?Berita=Pinyuh&id, diakses Kamis, 2 September 2010, pukul 20:19:08 WIB. 44
Cornelius Tangkere www.legalitas.org/?./problematika-dan-urgensi-pengadilan-tindakpidana-korupsi, diakses pada Kamis, 2 September 2010, pukul 16:22:15 WIB.
Universitas Sumatera Utara
35
sudah
tidak
terhitung
Djojohadikusumo
lagi.
Tahun
1993,
soemitro
menyebutkan
bahwa
kebocoran
dana
pembangunan antara lain tahun 1989-1993 sekitar 3% dan hasil penelitian World Bank bahwa kebocoran dana pembangunan mencapaiu 45% namun saat ini sepertinya jumlah tersebut sudah meningkat drastis.45
Penggolongan tindak pidana korupsi sebagai extraordinary crime tidak begitu saja disetujui oleh semua pihak, salah satu pihak yang tidak menyetujui ialah Prof. Indriyanto Seno Adji. Menurut Beliau tindak pidana korupsi belum dapat digolongkan seagai tindak pidana extraordinary crime melainkan hanyalah sebagai extraordinary crime melainkan hanyalah Serious Crime.46 Karena yang disebut sebagai Extraordinary Crime sifatnya sistemik secara keseluruhan, merusak sistem ketatanegaraan dan sistem perpolitikan, akibatnya pun meluas, sementara yang terjadi di Indonesia korupsinya belum melumpuhkan sistem ketatanegaraan, artinya masih normal, pusat-pusat kekuasaan legislatif , eksekyif dan yudikatif tidak lumpuh.47 Dalam hal ini Penulis tidak sependapat dengan Prof. Indriyanto, menurut pendapat Penulis bahwa korupsi memang seharusnya digolongkan sebagai salah satu extraordinary crime atau kejahatan yang luar biasa sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa pula untuk memberantasnya 45
Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, ( Jakarta, Juli 2001), hal 1. 46 Indriyanto Seno Haji http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=15775&cl=Berita, diakses pada Jumat, 3 September 2010, pukul 16:54:37 WIB. 47
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
36
karena tindak pidana korupsi telah merampas hak sosial, politik dan kemanusiaan rakyat yang seharusnya memperoleh kesempatan untuk menikmati pelayananpelayanan publik seandainya bagian-bagian tersebut tidak irampas oleh para koruptor. Masalah korupsi dapat dikatakan sebagai masalah utama di Indonesia, karena hampir tidak ada sektor di masyarakaat yang bebas dari korupsi. Korupsi tertanam secara mendalam dilapisan masyarakat dan berbagai institusi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan, bahkan pengadilan. Khusus korupsi di pengadilan, mantan Ketua Muda Mahkamah agung (MA) Asikin Kusumah Atmadja menyatakan bahwa jumlah hakim korup di Indonesia mencapai sekitar 50%.48 Berdasarkan survei yang dilakukan oleh lembaga-lembaga independen anti korupsi, Indonesia masuk dalam jajaran salah satu negara terkorup di dunia.49 Tentunya masalah korupsi sudah ada sebelum rezim Soeharto berkuasa. kemudian
mengalami
peningkatan
yang
cukup
tinggi
di
masa
pemerintahan Beliau, Dengan runtuhnya kekuasaan Soeharto di tahun 1998. angka kelajuan korupsi sedikit menurun- walaupun ternyata belum menghasilkan penurunan yang cukup signifikan Tingginya tingkat korupsi
tersebut mendapat sorotan dari
organisasi dan lembaga asing. Berdasarkan penelitian Transparency International (TI) misalnya, selama 5 tahun berturut-turut (1995-2000), Indonesia selalu menduduki posisi 10 besar negara paling korupsi di 48
Tim Gabungan Pembrantasan Tindakan Pidana Korupsi, Op. cit., hal 2. Soren Davidsen, et, all, Menghentikan Korupsi di Indonesia 2004-2006, Sebuah Survey Tentang Berbagai Kebijakan dan Pendekatan Pada tingkat Nasional, (Jakarta : USINDO, 2007), hal 13. 49
Universitas Sumatera Utara
37
dunia.
Dan
berdasarkan
penelitian
Political
and
Economic
Risk
Consultancy (PERC) tahun 1997- Indonesia menempati posisi negara terkorup di Asia. Pada tahun 2001 peringkat Indonesia turun menjadi negara terkorup ke-2 di Asia setelah Vietnam. 50
C.
Peraturan
Perundang-undangan
tentang
Korupsi
Setelah
Era
Reformasi Di era reformasi, pemerintahan yang berkuasa untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan berbagai upaya, diantaranya menerbitkan berbagai peraturan perundang-undangan yang diharapkan bisa berlaku secara efektif undang-undang tersebut di antaranya:
Nomor 1
Peraturan Perundang- Penjelasan undangan TAP MPR No.XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
2
Undang-Undang No. 28 Tahun Tentang Penyelenggaraan Negara 1999 yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
3
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 1999 Keputusan Presiden No. 127 Tahun 1999
4 5
50
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara Tentang Pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara dan Sekretaris Jenderal Komisi
Tim Gabungan Pembrantasan Tindakan Pidana Korupsi, Op. cit., hal 1.
Universitas Sumatera Utara
38
Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara Peraturan Pemerintah No. 19 Tentang Pembentukan Tim Tahun 2000 Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
6
7
Keputusan Presiden No. 44 Tentang Pembentukan Tahun 2000 Ombudsman Nasional
Komisi
8
Undang-Undang No. 20 Tahun Tentang Perubahan Atas Undang2001 Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
9
Undang-Undang No. 30 Tahun Tentang Komisi Pemberantasan 2002 Tindak Pidana Korupsi (KPK)
Tabel 2.1 Peraturan Perundang-undangan Korupsi Setelah Era Reformasi
D.
Kedudukan KPK Berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 1. Sejarah Singkat Berdirinya KPK Sejak awal pemerintah orde baru, Presiden Soeharto sudah
membentuk beberapa komisi anti korupsi dalam usaha pemberantasan korupsi, diantaranya pada tahun 1967 di bentuk Tim Pemberantasan Korupsi yang berada di bawah Kejaksaan Agung dan pada tahun 1970, pemerintah juga pernah membentuk komisi empat di mana komisi bertugas untuk
menemukan penyimpangan
ini
di Pertamina, Bulog, dan
Universitas Sumatera Utara
39
Penebangan Hutan. 51
Pada masa pemerintahan Ahdurahman Wahid
sebagai presiden juga pernah di bentuk
Tim Gabungan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK), di mana lembaga ini dibentuk sebagai lembaga sementara sampai terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun keberadaan lembaga-lembaga tersebut sepertinya belum juga dapat memuaskan masyarakat dilihat dari kinerja dan hasil yang diberikan oleh lembaga-lembaga tersebut. Sesuai pernyataan pada bagian sebelumnya, dengan adanya kenyataan sosiologis bahwa korupsi sebagai extraordinary crime sudah sangat merajalela dan semakin rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia maka upaya luar biasa (extraordinary efforts) yang dipilih Indonesia pada era reformasi untuk berperang melawan fenomena korupsi adalah membentuk Komisi Pemberantasan
Korupsi
dan
Pengadilan
Tindak
Pidana
Korupsi
berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ide awal pembentukan KPK dimaksudkan
untuk
menjawab
kelemahan-kelemahan
pengadilan
konvensional dalam berbagai aspek, misalnya kelemahan kualitas dan integritas sebagian hakim, ketiadaan akuntabilitas pengadilan yang menyebabkan maraknya praktek mafia peradilan dengan melibatkan aparat
51
Teten Masduki dan Danang Widyoko, “ Menunggu Gebrakan KPK” Jentera edisi 8 Tahun III ( Maret 2005 ), hal 42.
Universitas Sumatera Utara
40
penegak hukum yang bersifat korup dalam setiap proses penanganan perkara tindak pidana korupsi. 52 Menurut kesimpulan hasil survey yang diadakan oleh Transparency Internasional Indonesia (TIII), inisiatif/pemicu terjadinya penyimpangan dalam suatu proses sendiri.
Kondisi
masyarakat peradilan
peradilan justru ini
terhadap
semakin kinerja
berasal dari pihak pengadilan itu
memperburuk
lembaga
tingkat
peradilan
sehingga
dalam setiap tingkatannya selaku penyelenggara
yudikatif dianggap belum dapat berperan
kepercayaan lembaga kekuasaan
maksimal sebagai wadah
integrasi dan penyeimbang kepentingan negara, hukum, maupun masyarakat. Pembentukan
KPK merupakan pelaksanaan dari Pasa 43 Undang-
Undang No, 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah di ubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , di mana dinyatakan perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak fidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, meskipun terjadi keterlambatan waktu pemhentukannya.53 Selain itu dibentuknya KPK juga dilatarbelakangi alasan karena lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efisien dan efektif dalam memberantas tindak pidana korupsi. 52
Mengadili eksistensi pengadilan tipikor” www.legalitas.org/?q=node/44, diakses pada Kamis, 9 September 2010, pukul 15:20:34 WIB 53 Undang- undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 43 ayat (1) menyatakan : ’’Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak undang –undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”
Universitas Sumatera Utara
41
Jaksa dan kepolisian dianggap tidak efektif dalam menyelesaikan berbagai perkara tindak pidana korupsi, demikian juga dengan lembaga-lembaga yang pernah dibentuk sebelumnya. Banyaknya kasus korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum menjadi rendah. Hal tersebut mengakibatkan timbulnya anggapan bagaimana mungkin memberantas korupsi bila aparat penegak hukum yang seharusnya memberantas korupsi justru terlibat korupsi pula (bagaimana kita dapat membersihkan lantai yang kotor dengan sapu yang, kotor). Karena itulah KPK, sebagai lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnva bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, memiliki kewenangan yang luar biasa, berdasarkan pada klasifikasi tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Kewenangan-kewenangan yang di miliki oleh KPK akan di bahas lebih lanjut pada bagian berikutnya dalam skripsi ini.
2. Tugas Dan Wewenang KPK Sebagai lembaga yang berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism) KPK memiliki tugas dan wewenang yang cukup berbeda, diantaranya melakukan kordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam kasus korupsi. Hal ini berbeda dengan kewenangan yang dimiliki oleh komisi-komisi anti korupsi yang pernah di bentuk sebelumnya. Selain itu dalam pelaksanaan tugasnya, KPK
Universitas Sumatera Utara
42
bertanggung jawab hanya kepada publik atau kepada masyarakat, KPK hanya memberi laporan secara berkala saja kepada presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 54 Kedudukan KPK yang independen dalam hal ini merupakan jawaban dari persoalan penegakan hukum kasus korupsi di Indonesia. Pada kebanyakan kasus korupsi melibatkan pejabat tinggi, elit politik, elit ekonomi atau pengusaha- pengusaha besar. Kondisi ini menyebabkan kejaksaan atau kepolisian seringkali tidak dapat leluasa untuk menegakkan hukum karena terbentur dengan campur tangan (intervensi) pihak lain. Selain itu perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK akan diadili oleh pengadilan khusus anti korupsi 55, yang berbeda dengan pengadilan konvensional. Perbedaan ini terlihat dari jumlah hakimnya, pengadilan korupsi dipimpin oleh lima (S) majelis hakim. Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK, KPK mempunyai tugas melakukan: 56 1. Kordinasi
dengan
instansi
yang
berwenang
melakukan
berwenang
melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi 2. Supervisi
terhadap,
instansi
yang
pemberantasan tindak pidana korupsi 3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan terhadap tindak pidana korupsi 57
54 55
56
Indonesia (c) , Op. cit pasal 20 ayat (1) Ibid pasal 53. I bid, pasal 6.
Universitas Sumatera Utara
43
4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan korupsi 5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan negara Dalam melakukan tugas koordinasi KPK berwenang: 58 1. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi 2. Menetapkan sistem pelaporan dalam
kegiatan pemberantasan tindak
pidana korupsi 3. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait 4. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi 5. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi
Dalam melaksanakan tugas supervisinya, KPK berwewenang:59 1. Melakukan pengawasan, penelitian atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan
57
Mengenai kewenang penyidikan oleh KPK akan Penulis uraikan lebih lanjut pada bagian selanjutnya. 58 59
Ibid., pasal 7. Ibid., pasal 8.
Universitas Sumatera Utara
44
pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik. 2. Mengambil ahli penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau ke jaksaan Dalam melaksanakan tugas pencegahan, KPK berwenanguntuk:60 1. Melakukan
pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta
kekayaan 2. Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi 3. Menyelenggarakan program pendidikan anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan 4. Merancang
dan
mendorong
terlaksananya
program
sosialisasi
pemberantasan tindak pidana korupsi 5. Melakukan kampanye anti korupsi kepada masyarakat umum 6. Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Sedangkan melaksanakan tugas monitor KPK berwenang untuk :61 1. Melakukan pengkajian terhadap sistem pengolahan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah 2. Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengolahan administrasi tersebut berpotensi korup
60 61
Ibid, pasal 13. Ibid., pasal 14.
Universitas Sumatera Utara
45
3. Melaporkan kepada presiden RI, DPRdan BPK, jika saran KPK mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK berlandaskan pada lima (5) asas sebagai berikut:62 1. Asas kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadiian dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang KPK. 2. Asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja KPK dalam menjalankan tugas dan fungsinya. 3. Asas akuntabilitas yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan KPK harus dapat dipertangung jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4. Asas kepentingan umum , yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif . 5. Asas
proporsionalitas yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan
antara tugas, wewenang, tanggung jawab dan kewajiban KPK
62
Ibid., pasal 5.
Universitas Sumatera Utara
46
3. Kewenangan KPK Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Kriteria tindak pidana korupsi di mana KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan adalah tindak pidana korupsi yang:63 1. Melibatkan
aparat penegak hukum penyelenggara negara, dan orang
lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara 2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat 3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (Satu milyar rupiah) Jika ternyata dalam perjalanan terdapat kasus korupsi yang tidak memenuhi kriteria tersebut, maka penanganan kasus tersebut bukanlah oleh KPK melainkan oleh institusi penegak hukum lainnya yang berwenang untuk itu, seperti kepolisian dan kejaksaan. Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. KPK berwenang;64 1. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan 2. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk bepergian ke luar negeri
63 64
Ibid, pasal 11 Ibid., pasal 12.
Universitas Sumatera Utara
47
3. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan
lainnya
tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa 4. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka terdakwa atau pihak lain yanjg terklait 5. Memerintahkan
kepada
pimpinan
atau
atasan
tersangka
untuk
memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya 6. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait 7. Menghentikan
sementara
suatu
transaksi
keuangan
,transaksi
perdagangan dan perjanjian lainya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang di lakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungan dengan tindak pidana korupsi yang sedang di periksa 8. Meminta bantuan lnterpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara
lain
untuk
melakukan
pencarian,
penangkapan,
dan
penyitaan barang bukti di luar negeri 9. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan. dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani. Dari
uraian
kewenangan
di
atas,
terlihat
bahwa
undang-undang,
memberikan kewenangan yang sangat besar dan luas kepada penyidik
Universitas Sumatera Utara
48
KPK jika dibandingkan dengan penyidik kepolisian dan kejaksaan. Hal tersebut dikarenakan besarnya
tugas yang diemban oleh KPK seiring
dengan makin parahnya tindak pidana korupsi merajalela di Indonesia, sementara institusi kepolisian dan kejaksaan dinilai kurang ‘bergigi’ dalam penanganan tindak pidana korupsi yang terjadi. Dalam menjalankan fungsinya terkait dengan kewenangan yang dimilikinya , selain berdasarkan pada Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK , KPK juga tidak lepas dari pengaturan sebagai mana diatur oleh undang-undang No 8 Tahun 1981 (KUHAP). Hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 38 ayat (1 ) undang- undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yang menyatakan bahwa: 65 (1)
Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyelidikan , dan penuntutan yang diatur dalam Undang undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalan pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam undang- undang ini.
Selain KUHAP dalam menjalankan fungsi dan kewenangan KPK juga mengacu pada pengaturan di dalam undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, di mana dinyatakan dalam Pasa1 39 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK: Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang 65
Ibid., pasal 38.
Universitas Sumatera Utara
49
berlaku dan berdasarkan undang undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 hahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi, kecuali ditentukan tain dalam undang-undang ini.
Dengan berlakunya beberapa undang-undang dalam pelaksanaan fungsi dan wewenang penyidikan KPK bukanlah menunjukkan terjadi tumpang tindih hukum/ peraturan perundang-undangan, karena tetap berlaku asas lex generalis derogat lex specialis, di mana ketentuan hukum yang khusus
akan
mengenyampingkan
hukum
yang
umum,
jadi
dalam
melaksanakan fungsi penyidikannya, KPK tetap berdasar pada ketentuan peraturan umum yaitu KUHAP, kecuali terdapat hal lain yang diatur oleh Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang tentang KPK. Salah satu perbedaan kewenangan dalam proses penyidikan yang dimaksud adalah pengaturan dalam Pasal 40 undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yang menyatakan: Komisi pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana kurupsi.66
Pengaturan dalam
Pasal ini tentunya sangat kontroversial dan
menimbulkan banyak pertayaan, pasalnya penyidik biasa, seperti kepolisian dan kejaksaan memiliki wewenang untuk
66
mengeluarkan Surat Perintah
Ibid., pasal 40
Universitas Sumatera Utara
50
Penghentian penyidikan (SP3)67, lalu apa yang, melatarbelakangi pengaturan pasal ini dalam undang- undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK dan bagaimana akibat keberlakuan pasal ini terhadap proses penyidikan perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK ? Semua akan di bahas lebih lanjut pada bab 3 dan 4 skripsi ini.
E. Kewenangan Melakukan Penyidikan Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi
Kewenangan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi dimiliki oleh 3 instansi penegak hukum di Indonesia, yaitu POLRI, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini diatur dengan jelas oleh KUHAP, Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dan UndangUndang No. 30 tahun 2002 tentang KPK. Berlakunya ketiga undang-undang ini diharapkan tidak menimbulkan persaingan dalam makna negatif di antara tiga institusi tersebut, melainkan menjadi cambukan untuk turut serta dalam proses pemberantasan korupsi di negeri kita sehingga mereka dapat berjalan dengan sinergis. Dan apabila ada hal-hal atau yang bersinggungan, maka digunakanlah asas hukum lex specialis derogat lex generalis, di mana ketentuan undang-undang yang khusus mengenyampingkan undang-undang yang umum. Dalam hal ini KUHAP merupakan undang-undang yang umum,
67
Dalam skripsi ini Penulis hanya akan membahas masalah Surat Perintah
Penghentian Penyidikan (SP3), bukan penuntutan.
Universitas Sumatera Utara
51
sedangkan undang-undang khusus adalah undang- undang No. 30 Tahun 2002 dan undang-undang No. 16 tahun 2004. Keberlakuan KUHAP merupakan realisasi , unifikasi dan kodifikasi dalam bidang
hukum acara pidana. Tujuannya agar
masyarakat dapat
menghayati kewajiban dan haknya dan pembinaan sikap para penegak hukum sesuai fungsi
wewenangnya.68 Setiap instansi aparat harus merupakan sub
sistem yang mendukung total system proses pengakuan hokum dalam suatu kesatuan yang menyeluruh. Keberlakuan KUHAP merupakan langkah pembinaan menuju suatu pelembagaan alat- alat kekuasaan penegak hukum dalam suatu pola law enforcement centre.69 Law enforcement centre adalah suatu lembaga yang menghimpun alatalat penegak kekuasaan hukum dalam sistem penegak yang terpadu dalam suatu sentra penegakan hukum. Dalam sentra ini berlangsung proses pengakan hukum dari penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Sehingga dalam penertiban aparat yang pertama dilakukan ialah pemolaaan dan penjernihan fungsi dan wewenang di antara sesama instansi penegak hukum.70 Pada masa sebelum keberlakuan KUHAP, terdapat beberapa pejabat yang mempunyai kewenangan penyidik. Sehingga KUHAP mencoba melakukan pembidangan tugas antara instansi terkait, pembidangan tersebut tidak berarti mengkotak-kotakkan tugas,
68
Djoko Prakoso, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim Dalam Proses Hukum Acara Pidana (s.n Bina Aksara : 1987 ), hal 5. 69
M. Yahya harahap Op. cit., hal 62.
70
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
52
wewenang dan tanggung jawab, tapi mengandung koordinasi dan sinkronisasi.71 Sebelum kita sampai pada uraian mengenai SP3, terlebih dahulu dijelaskan mengenai proses penyelidikan dan penyidikan perkara pidana. 1. Tinjauan Umum Tentang Penyelidikan Penyelidikan
merupakan
tahap
persiapan
atau
permulaan
dari
penyidikan. KUHAP merumuskan pengertian penyelidikan adalah Serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang di duga sebagai suatu tindak pidana guna menentukan dapat atau tindaknya di lakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang- undang.72
Penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan penyidikan, akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. Berdasarkan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupkan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang, mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.73 Pengertian penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian "tindakan pengusutan"' sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti sesuatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana. Karena penyelidikan merupakan tahap persiapan atau permulaan dari 71
Djoko Prakoso, Op. cit., hal 6.
72
Indonesia (a, Op. cit., pasal 1 angka 5. M. Yahya Harahap, Op. cit., hal 101.
73
Universitas Sumatera Utara
53
penyidikan, Soesilo Yuwono mengatakan bahwa lembaga penyelidikan mempunyai fungsi sebagai "penyaring", apakah suatu peristiwa dapat dilakukan penyidikan atau tidak. Sehingga kekeliruan pada tindakan penyidikan yang sudah bersifat upaya paksa terhadap seseorang dapat dihindarkan sedini mungkin.74 Penegasan dan pembedaan pengertian antara penyelidikan dan penyidikan sangat berguna demi untuk kejernihan fungsi pelaksanaan penegakan hukum sehingga:75 1. Telah tercipta penahapan tindakan guna menghindarkan cara-cara penegakan hukum yang tergesa-gesa seperti yang dijumpai pada masamasa lalu. Akibat dari cara-cara penindakan yang tergesa-gesa dapat menimbulkan sikap dan tingkah laku aparat penyidik kepolisian sering tergelincir ke arah mempermudah dan menganggap sepele nasib seseorang yang diperiksa. 2. Dengan adanya tahapan penyelidikan, diharap tumbuh sikap rasa hatihati dan rasa tanggung jawab hukum yang lebih bersifat manusiawi dalam melaksanakan tugas penegakan hukum. Meng hindari cara-cara penindakan
yang
men.jurus
kepada
mengutamakan
pemerasan
pengakuan daripada menemukan keterangan dan bukti-bukti. Apalagi jika pengertian dan tujuan penahapan pelaksanaan fungsi penyelidikan dan penyidikan dihubungkan dengan
Pasal 17 KUHAP (Perintah
74
Soesilo Yuwono Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP, ( Bandung : Alumni, 1982), hal. 137. 75
M. Yahya Harahap, Op. cit., hal 102.
Universitas Sumatera Utara
54
penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup) semakin memperjelas pentingnya arti penyelidikan, sebelum dilanjutkan dengan tindakan penyidikan agar tidak terjadi tindakan yang melangar hak-hak asasi yang merendahkan harkat martabat manusia. Mengigat pentingnya fungsi penyelidikan dalam kaitannya dengan fungsi penyidikan dengan segala konsekuensinya (terutama ganti rugi dan rehabilitasi), maka banyak hal yang harus mendapat perhatian dan ketelitian dari pejabat penyelidik dalam melaksanakan tugas-tugas penyelidikan yang dimaksud. Adapun hal-hal yang harus mendapatkan perhatian dan ketelitian tersebut antara lain:76 1. Penyelidikan sebagai rangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Karena untuk dapat menentukan suatu peristiwa sebagai suatu tindak pidana atau bukan merupakan suatu tindak pidana memerlukan pengetahuan
pengalaman
yang
memadai,
maka
seyogyanya
penyelidikan ditangani oleh petugas-petugas penyidik yang memenuhi syarat ditinjau dari pengetahuan dan pengalamannya. Oleh karena itu adalah bijaksana apabila penugasan para pejabat penyelidik yang melakukan penyelidikan dilakukan secara selektif. 2. Penyelidikan sebagai suatu usaha untuk menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan terhadap suatu tindak pidana. 76
Harun M. Husein, Penyidikan dan Penentuan Dalam Proses Pidana (Jakarta : Rineka Cipta, 1991), hal 56.
Universitas Sumatera Utara
55
Setelah seorang penyelidik mendapat kepastian bahwa suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, benar-benar merupakan suatu tindak pidana, maka ia masih harus menentukan apakah terhadap tindak pidana itu dapat atau tidak dilakukan penyidikan. Hal
ini erat
kaitannya dengan upaya penyidikan dalam mengumpulkan bahanbahan berupa keterangan-keterangan maupun benda- benda
yang
diperlukan bagi dilakukannya tindakan penyidikan atas tindak pidana tersebut. Jadi yang menjadi inti dari tindakan penyelidikan itu adalah mengarah
kepada
pengungkapan
bukti-bukti
tentang
telah
dilakukannya suatu tindak pidana oleh seseorang yang di curigai sebagai pelakunya. Oleh karena itu pada tahap ini meskipun masih termasuk tahap penyelidikan, penyelidik sudah harus mendapat gambaran tentang: tindak pidana apa yang terjadi, kapan dan dimana terjadinya tindak pidana itu, bagaimana pelakunya melakukan tindak pidana itu, apa akibat- akibat yang di timbulkannya, siapa yang melakukannya dan benda-benda apa yang dapat di pergunakan sebagai barang bukti. Adapun yang merupakan Penyelidik yang berwenang melakukan penyelidikan pada perkara pidana secara umum di atur oleh KUHAP dalam pasal 1 angka 4 sebagai berikut: Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang- undang ini untuk melakukan penyelidikan.77 Selanjutnya dalam Pasal 4 KUHAP 77
juga di
Indonesia (a), Op. cit., pasal 1 angka 4.
Universitas Sumatera Utara
56
sebutkan bahwa yang berwenang melakukan fungsi penyelidikan adalah setiap pejabat negara Republik Indonesia.78 Tegasnya penyelidikan adalah setiap pejabat POLRI, sedangkan Jaksa atau pejabat lain tidak berwenang melakukan penyelidikan. Penyelidikan merupakan monopoli tunggal POLRI.
2.Tinjauan Umum Tentang Penyidikan Kamus Besar Indonesia, terbitan Balai Pustaka cetakan kedua 1989 halaman 837, menemukan yang di maksud penyidikan adalah serangkaian penyidikan
yang
diatur
oleh
undang-
mengumpulkan bukti pelaku tindak pidana.
undang 79
untuk
mencari
dan
Penyidikan suatu istilah yang di
maksudkan sejajar dengan pengertian opsporing atau onderzoek (Belanda ) dan investigation (Inggris)atau penyiasatan atau siasat (Malaysia )menurut de Pinto, menyidik (opsporing) berarti: 80
Pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum.
KUHAP merumuskan pengertian penyidikan sebagai berikut :
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang 78
Ibid., pasal 4.
79
Harun M. Husein, Op. cit., hal 1.
80
Andi hamzah (a), Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika, Mei 2005),
hal 118.
Universitas Sumatera Utara
57
tentang tindak tersangkanya. 81
pidana
yang
terjadi
dan
guna
menemukan
Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagai berikut: 82 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Ketetentuan tentang alat-alat penyidik Ketentuan tentang diketahuinya terjadinya delik Pemeriksaan di tempat kejadian Pemanggilan tersangka atau terdakwa Penahanan sementara Penggeledahan Pemer - iksaan atau interogasi Berita acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat) 9. Penyitaan 10. Pengenyampingan perkara 83 Sebelum suatu penyidikan dimulai dengan konsekuensi penggunaan upaya paksa, terlebih dahulu perlu di
tentukan secara
cermat berdasarkan segala data dan fakta yang di peroleh dari hasil penyelidikan bahwa suatu peristiwa yang semula diduga sebagai sesuatu tindak pidana adalah benar-benar merupakan suatu. Terhadap tindak pidana yang telah terjadi itu dapat dilakukan peyidikan, dengan demikian penyidikan merupakan tindak lanjut dari suatu penyelidikan. 84 Pada tindakan peyelidikan, penekanan di letakkan pada tindakan mencari dan 81
Ibid., pasal 1 angka 2.
82
Andi Hamzah (b), Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Wewenang Kepolisian dan Kejaksaan Di Bidang Penyidikan, ( Jakarta : Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI, 2001), hal 8. 83
Penulis tidak akan membahas lebih lanjut mengenai bagian-bagian hukum acara yang menyangkut penyidikan seperti yang sudah disebutkan di atas. Penulisan bagian-bagian tersebut dimaksudkan agar pembaca mengetahui ruang lingkup yang menjadi bagian dari hukum acara yang menyangkut penyidikan. 84
Harun M. Husein, Op. cit., hal 87.
Universitas Sumatera Utara
58
menemukan suatu peristiawa yang di anggap atau diduga sebagai tindak pidana. Pada penyidikan, titik berat tekanannya di letakkan pada tindakan mencari serta mengumpulkan bukti, supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang serta agar dapat menemukan dan menentukan
pelakunya. 85
Hampir
tidak
ada
perbedaan
antara
penyelidikan dan penyidikan, namun di tinjau dari beberapa segi, terdapat perbedaan antara kedua tindakan tersebut: 86 1. Dari segi pejabat pelaksana, pejabat penyelidik terdiri dari “semua anggota” POLRI, dan pada dasarnya pangkat dan wewenangnya berada di bawah pengawasan penyidik 2. Penyelidik memiliki kewenangan yang sangat terbatas, hanya meliputi
penyelidikan atau mencari dan menemukan data atas
suatu tindakan yang diduga merupakan tindakan yang diduga merupakan tindak pidana. Hanya dalam hal-hal telah mendapat perintah dari pejabat penyidik, barulah penyelidik melakukan tindakan yang disebut pasal 5 ayat (1) huruf b (penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, penyitaan, dan sebagainya). Adapun yang merupakan Penyidik menurut Pasal 6 KUHAP adalah: 87 1) a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang 85
M. Yahya Harahap, Op. cit., hal 109.
86
Ibid.
87
Indonesia (a), Op. cit., pasal 6.
Universitas Sumatera Utara
59
2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Berdasarkan ketentuan di atas, penyidikan merupakan kewenangan dari pejabat polisi negara Republik Indonesia (POLRI) dan pegawai negeri sipil yang ditunjuk (PPNS). Agar para pejabat yang dimaksud mempunyai kewenangan menyidik maka harus memenuhi syarat-syarat kepangkatan tertentu. Syaratsyarat kepangkatan penyidik diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983.88
a. Pejabat Polisi Negara Rebublik Indonesia (POLRI) Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai pejabat penyidik harus memenuhi syarat kepangkatan dan pengangkatan sebagai berikut:89 a. Sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi b. Atau berpangkat Bintara di bawah Pembantu Letnan Dua apahila dalam suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat Pembantu Letnan Dua c. Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian RI.
Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang, sebagaimana diatur Pasal 7 ayat (1) KUHAP, yaitu:90
88
M. Yahya harahap, Op. cit., hal 111.
89
Ibid. Indonesia, Op. cit., pasal 7 ayat (1)
90
Universitas Sumatera Utara
60
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan. dan penyitaan e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang, g. Memangil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara i. Mengadakan penghentian penyidikan91 j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab Menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP, pada daerah terpencil, terdapat keterbatasan tenaga Polri dengan pangkat tertentu untuk diangkat menjadi penyidik. Pasal 10 KUHAP menyatakan pejabat polisi dapat diangkat sebagai penyidik pembantu dengan syarat kepangkatannya sebagai berikut:92 a. Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi b. Atau pegawai negeri sipil dalam lingkungan Kepolisian Negara dengan syarat sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (Golongan II/a) c. Diangkat oleh Kepala Kepolisian RI atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing masing.
b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil Terminologi kepolisian sebagai penyidik tunggal, secara teknis yuridis tidak tepat. Istilah penyidik tunggal dapat menimbulkan penafsiran keliru, yaitu seolah-olah Polri hanya satu-satunya pejabat penyidik. Menurut Pasal 6 KUHAP penyidik terdiri dari polisi dan PPNS. Oleh karena itu lebih tepat
91
Mengenai penghentian penyidikan akan dibahas lebih lanjut pada sub bab berikutnya dalam penulilisan ini. 92
M. Yahya Harahap, Op. cit., hal 111.
Universitas Sumatera Utara
61
disebut penyidik Polri daripada Polri sebagai penyidik tunggal.93 Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP mengatur PPNS dapat mempunyai wewenang menyidik. Pada dasarnya wewenang yang
mereka miliki bersumber pada ketentuan
undang-undang pidana khusus
yang telah menetapkan sendiri
pemberi
wewenang penyidikan. Misalnya Undang- Undang Merek No. 19 Tahun 1992 yang diubah menjadi Undang-Undang No.14 Tahun 1997. Pasal 80 undangundang ini menegaskan kewenangan melakukan penyidikan tindak pidana merek dilimpahkan kepada PPNS.94 Wewenang penyidikan yang dimiliki oleh PPNS hanya terbatas sepanjang tindak pidana yang diatur dalam undang-undang pidana khusus itu. Hal ini sesuai dengan pembatasan wewenang yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang menyatakan:95 Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a (Polri). Hubungan koordinasi antara PPNS dan Penyidik POLRI ialah:96 a. PPNS kedudukannya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik POLRI.
93
Harun M. Husein, Op. cit., hal 88.
94
M. Yahya Harahap, Op. cit., hal 113. Indonesia, Op. cit., pasal 7 ayat (2)
95
96
M. Yahya Harahap, Op. cit., hal 113.
Universitas Sumatera Utara
62
b. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik POLRT memberikan petunjuk kepada PPNS tertentu dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan. c. PPNS harus melaporkan kepada penyidik POLRI tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik jika dari penyidikan tersebut ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum. d. Apabila PPNS telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan harus diserahkan kepada penuntut umum melalui POLRI e. Apabila PPNS menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan kepada penyidik POLRI, penghentian penyidikan itu harus diberitahukan kepada penyidik POLRI dan penuntut umum.
c. Penyidik Kejaksaan Kewenangan
institusi
Kejaksaan
untuk
melakukan
penyidikan
sebenarnya tidak di atur KUHAP, namun Penulis menggolongkan Kejaksaan sebagai salah satu institusi yang berwenang melakukan penyidikan ke dalam sub bab ini agar terlihat pembedaan berdasarkan kewenangan yang dimiliki antara penyidik Polri dan Kejaksaan serta penyidik KPK . Undang–undang yang mengatur mengenai kewenangan Kejaksaan sebagai penyidik sudah berganti sebanyak 3 kali yaitu : yang pertama UndangUndang No.15 Tahun 1961 yang mengatur secara implisit kewenangan
Universitas Sumatera Utara
63
Kejaksaan untuk melakukan penyidikan segala tindak pidana.97 Kemudian undang- undang tersebut dicabut dan diganti denagan Undang-Undang No. 5 Tahun 1991. Alasannya karena sudah tidak selaras dengan pembaruan hukum nasional yaitu pemberlakuan KUHAP dan lebih mengkonsentrasikan perannya di bidang penuntutan. Undang-undang ini kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No.16 Tahun 2004. Undang-undang ini memberi wewenang penyidikan lagi pada Kejaksaan namun hanya tidak pidana khusus.98 Tindak pidana khusus yan g di maksud adalah perkara pidana korupsi99 dan hak asasi manusia.100 Berdasarkan ketentuan pasal 53 dan 54 Statuta Roma, penuntut umum mempunyai kewenangan untuk menyidik.101 Statuta Roma atau Rome Statute of The International Criminal Court adalah persetujuan yang di sepakati pada tahun 1998 oleh United Nations Diplomats Conference of Plenipotentiaries on Establishment of an International Criminal Court untuk membentuk International Criminal Court (ICC) atau Pengadilan Pidana Internasional. ICC adalah Pengadilan Internasional yang permanen dan independen untuk melakukan penyidikan dan mengadili pelaku kejahatan internasional seperti
97
Indonesia (d), Undang-Undang No. 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan–Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia. 98
Indonesia (b), Op. cit., pasal 30 ayat (1) huruf d
99
Ibid.
100
Indonesia (e), Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, LN. No.191 Tahun 2000 TLN No.3911. 101
http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d+lain+1&f=statuta%20Roma.htm, diakses pada Jumat, 17 September 2010, pukul 19:08:30 WIB.
Universitas Sumatera Utara
64
genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan , dan kejahatan perang.102 ICC sifatnya melengkapi keberadaan sistem peradilan nasional sebuah negara. ICC hanya akan memproses suatu perkara apabila suatu negara tidak memiliki kemauan atau kemampuan untuk menyidik dan menuntut perkara tersebut.103 Meskipun Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma, namun ketentuanketentuan dalam Statuta Roma telah diadopsi ke dalam hukum nasional. Antara lain dengan menyempurnakan hukum acara pidana yang merupakan hukum acara untuk perkara pelanggaran hak asasi manusia dengan mengundangkan Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UndangUndang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 104 Berdasarkan uraian tersebut, KUHAP menegaskan instansi Kejaksaan sebagai lembaga penuntut umum saja, namun pada pengaturan undang-undang yang lebih khusus instansi Kejaksaan dapat berfungsi menjadi dua, yaitu sebagai penyidik dan penuntut umum.
F.
Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) 1. Pengertian Surat Perintah Penghentian Penyidikan Terdapat kemungkinan pada setiap penyidikan perkara pidana penyidik
menemukan _jalan buntu sehingaa tidak mungkin lagi melanjutkan penyidikan, dalam situasi demikian, oleh undang-undang (KUHAP), penyidik diberi 102
, pada Jumat, 17 september 2010, pukul 19:15:34 WIB.
diakses
103
http://ucupneptune.blogspot.com/2008/01/international-criminal-courticc.html, Jumat, 17 september 2010, pukul 19:44:24 WIB. 104
, di akses pada Jumat, 17 september 2010, pukul 19:55:21 WIB.
Universitas Sumatera Utara
65
kewenangan untuk melakukan penghentian penyidikan. KUHAP tidak merumuskan
dengan
jelas
apa
yang
penyidikan melainkan hanya memberikan
dimaksud
dengan
penghentian
perumusan tentang penyidikan
saja. Selain itu pengaturan tentang tata cara penghentian penuntutan diatur dengan lebih rinci dan jelas, sedangkan mengenai penghentian penyidikan pengaturannya tidak lengkap. Akan tetapi dapat dirumuskan bahwa penghentian penyidikan adalah tindakan penyidik menghentikan penyidikan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana karena untuk membuat suatu terang peristiwa yang diduga dan menentukan pelaku sebagai tersangkanya tidak terdapat cukup bukti atau dari hasil penyidikan diketahui bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum. 105 Dalam setiap proses dimulainya penyidikan, penyidik memiliki kewajiban untuk memberitahukannya kepada penuntut umum. Begitu pula ketika dilakukan penghentian penyidikan, penyidik wajib memberikan pemberitahuan. Hal ini dinyatakan dalam KUHAP pasal 109 ayat (2):106 a. Jika yang melakukan penghentian itu penyidik Polri pemberitahuan penghentian penyidikan disampaikan kepada: penuntut umum dan atau keluarganya. b. Apabila penghentian penyidikan dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil pemberitahuan penghentian harus segera disampaikan
105
Harun M. Husein, Op. cit., hal 311.
106
M. Yahya Harahap, Op. cit., hal 154.
Universitas Sumatera Utara
66
kepada: penyidik Polri sebagai pejabat yang berwenang melakukan koordinasi atas penyidikan dan penuntut umum. Bahkan jika bertitik tolak pada angka 11 Lampiran Kep. Menkeh No. M. 14PW. 03/ 1983, pemberitahuan penghentian penyidikan juga meliputi pemberitahuan kepada: penasehat hukum dan saksi pelapor atau korban.107 Untuk setiap
penghentian penyidikan yang dilakukannya, penyidik yang
berwenang wajib mengeluarkan
Surat Perintah
Penghentian
Penyidikan
(SP3). Jadi yang dimaksud dengan SP3 adalah surat perintah yang dikeluarkan oleh penyidik sebagai bukti telah dihentikannya
penyidikan
suatu tindak pidana.
2. Alasan-Alasan Penghentian Penyidikan KUHAP menyebutkan secara terbatas alasan yang dipergunakan penyidik untuk melakukan penghentian penyidikan. Alasan terbatas ini harus dapat dipertanggungjawabkan di depan persidangan bila ada pihak yang berwenang mengajukan gugatan praperadilan. Alasan penghentian penyidikan diatur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP , yaitu karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan peristiwa pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum. a. Karena Tidak Cukup Bukti Apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk
107
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
67
membuktikan kesalahan tersangka jika diajukan ke depan sidang pengadilan, maka penyidik berwenang melakukan penghentian penyidikan.108 Untuk dapat mengetahui bahwa dalam suatu penyidikan tidak terdapat cukup bukti, maka harus diketahui kapankah hasil penyidikan dipandang sebagai cukup bukti. Untuk dapat dinyatakan sebagai cukup bukti ialah tersedianya minimal dua alat bukti yang sah untuk membuktikan bahwa benar telah terjadi suatu tindak pidana dan tersangkalah sebagai pelaku yang bersalah melakukan tindak pidana itu. Menurut Pasal 184 ayat (1) yang dimaksud alat bukti yang sah adalah keterangan saksi. keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.109 Terhadap penghentian dengan alasan karena tidak cukup bukti, suatu perkara pidana tidak golongkan ke dalam nebis in idem karena keputusan penghentian penyidikan bukanlah merupakan putusan badan peradilan. Jika di kemudian hari ditemukan bukti-bukti baru yang dapat menjadi dasar penuntutan, penyidikan atas perkara pidana dapat di buka kembali. b. Karena Bukan Merupakan Tindak Pidana Apabila dari hasil penyidikan dan pemeriksaan penyidik berpendapat bahwa apa yang disangkakan terhadap tersangka bukan merupakan perbuatan pidana, maka penyidik berwenang
melakukan
penghentian penyidikan.
Terhadap penghentian penyidikan dengan alasan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak
pidana, maka penyidik tidak dapat mengadakan
108
Ibid., hal 151.
109
Indonesia (a) Op. cit., pasal 184 ayat (1).
Universitas Sumatera Utara
68
penyidikan ulang karena perkara tersebut bukan merupakan lingkup hukum pidana, kecuali bila ditemukan indikasi yang kuat membuktikan sebaliknya. c. Penyidikan Dihentikan Demi Hukum Dilakukannya penghentian penyidikan dengan alasan demi hukum pada pokoknya sesuai dengan alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana yang diatur dalam Bab VII KUHP di antaranya:110 1.
Nebis in idem Seseorang tidak dapat lagi dituntut untuk kedua kalinya atas dasar perbuatan yang sama, di mana atas perbuatan tersebut orang yang bersangkutan sudah pernah diadili dan telah diputus perkaranya oleh hakim atau pengadilan yang berwenang untuk itu di Indonesia serta putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Asas nebis in idem ini merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap hak asasi manusia sekaligus bertujuan untuk tegaknya kepastian hukum.
2.
Tersangka Meninggal Dunia Dengan meninggalnya tersangka, maka penyidikan harus dihentikan. Sesuai dengan prinsip pertanggungjawaban hukum pidana yang berlaku, bahwa tanggung-jawab seseorang dalam hukum pidana hanya ditimpakan kepada pelaku tindak pidananya, tidak dapat dialihkan kepada ahti warisnya. Jadi kesalahan tindak pidana yang dilakukan seseorang adalah menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pelaku yang bersangkutan.
110
M. Yahya Harahap, Op. cit., hal 152.
Universitas Sumatera Utara
69
Dengan demikian ketika tersangka meninggal, penyidikan dengan sendirinya berhenti dan hapus menurut hukum. 3. Daluarsa (lewat waktu) Setelah melampaui tenggang waktu tertentu terhadap suatu tindak pidana tidak dapat dilakukan pcnuntutan dengan alasan tindak pidana tersebut telah melewati batas waktu atau daluarsa (Pasal 78 KUHP). Jjika terhadap seorang pelaku tindak pidana telah hapus wewenang untuk menuntutnya, tentu percuma melakukan penyidikan dan pemeriksaan terhadap orang itu. Mengenai masalah daluarsa diatur dalam ketentuan Bab VIII Pasal 78 sampai Pasal 82 tentang hapusnya hak menuntut pidana dan menjalankan pidana. 4. Tersangka menderita sakit jiwa Seorang penderita sakit jiwa, baik yang terus menerus maupun yang kumat-kumatan
secara
hukum
tidak
mampu
mempertanggung-
jawabkan perbuatannya. Tidak dapat diketahui dengan pasti apakah perbuatannya itu dilakukan secara sadar atau apakah ia paham akibat dari perbuatan yang akan dilakukannya. Mengenai hal lm diatur dalam Pasal 44 KUHP Dalam hal penghentian penyidikan dengan alasan ini tidak dapat dilakukan penyidikan ulang, kecuali ternyata terdapat bukti yang kuat bahwa sebenarnya keadaan tersebut adalah rekayasa pelaku. 5. Adanya pencabutan pengaduan dalam hal tindak pidana yang disidik itu adalah tindak pidan aduan. (Pasal 75 KUHP).111 111
Harun M. Huseain, Op. cit., hal 314.
Universitas Sumatera Utara
70
G.
Kewenangan Penyidik Mengeluarkan SP3 Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi 1. Penyidik POLRI dan Kejaksaan KUHAP memberikan kewenangan kepada penyidik, dalam hal Ini
POLRI dan Kejaksaan untuk menghentikan penyidikan yang telah dimulainya. Hal ditegaskan Pasal 109 ayat (2) yang memberi wewenang kepada penyidik untuk menghentikan penyidikan yang sedang berjalan. Menurut M. Yahya Harahap, rasio pemberian wewenang penghentian penyidikan ini antara lain:112 a. Untuk menegakkan prinsip peradilan yang yang cepat, tepat dan biaya ringan dan sekaligus untuk tegaknya kepastian hukum dalam kehidupan masyarakat. b. Supaya penyidikan terhindar dari tuntut kemungkinan ganti kerugian, sebab kalau perkaranya diteruskan, tapi ternyata tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut ataupun menghukum dengan sendirinya memberikan hak kepada tersangka untuk menuntut ganti kerugian berdasar pasal 95 KUHAP.
Dalam proses penyidikan suatu perkara tindak pidana korupsi yang terjadi, terutama perkara korupsi besar, kejaksaan (dalam hal ini Kejaksaan Agung) selaku penyidik yang berwenang mengeluarkan SP3 terhadap perkara yang sedang dilakukan penyidikan, kerap kali mengeluarkan SP3 untuk tersangkanya. Di mata masyarakat yang menghendaki agar pelaku korupsi diproses secara hukum dan diganjar hukuman seberat-beratnya, maka 112
M. Yahya Harahap, Op. cit., hal 150.
Universitas Sumatera Utara
71
pemberian SP3 dianggap sebagai tindakan yang melukai rasa keadilan dan harapan masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi113. Hal inilah yang seringkali menjadi bahan tudingan bahwa kejaksaan tidak serius untuk menyelesaikan perkara korupsi yang ditangani. Dari data yang berhasil dihimpun ICW, hingga saat ini terdapat 25 tersangka kasus korupsi besar yang dihentikan penyidikannya, baik oleh Kejaksaan Agung maupun oleh Kejaksaan Tinggi di daerah. Terdapat empat pola yang pemberian SP3 yang
dilakukan oleh
kejaksaan terkait dengan tindak pidana korupsi yang ada selama ini, yaitu:114 1. Penerbitan SP3 dilakukan secara diam-diam 2. Pengumuman SP3 diberikan apabila telah tercium oleh masyarakat banyak. 3. SP3 diberikan kepada para tersangka korupsi yang mengakibatkan kerugian ne,,ara dalam jumlah sangat besar 4. Pemberian SP3 dilakukan pada saat berkurang atau tidak adanya perhatian masyarakat terhadap kasus korupsi tersebut Selain empat pola di atas, hal lain yang selalu dikaitkan dengan pemberian SP3 oleh kejaksaan terhadap para tersangka kasus korupsi adalah adanya indikasi suap (judicial corruption) dalam setiap penerbitan SP3. Hal ini terkait dengan kedudukan Jaksa Agung yang merupakan bagian dari eksekutif dan berada langsung di bawah Presiden.
113 114
Emerson Yuntho, Op. cit. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
72
No
Tersangka
1
Ginandjar Kartasasmita
2
Alm. Faisal Abda
3
Praptono Tjitrohupojo
4
Sjamsul Nursalim
5
Djoko Ramiadji
6
Siti Hardijanti Rukmana
7
Faisal Ab’daoe
8
Rosano Barack
9
Prajogo Pangestu
10
16
Abdul Latief (mantan Dirut Manaker) Abdillah Nussi (mantan Dirut Jamsostek) Yudo Swasono ( mantan Kepala Badan Perencanaan dan Pengembangan Depnaker) Soewardi (Mantan Dugaan Korupsi Asrama Gubernur Jateng) Haji Donohudan Johanes Kotjo Dugaan Korupsi BapindoKanidotekx Robby Tjahjadi Dugaan Korupsi BapindoKanidotekx Prijadi Dugaan Korupsi di BRI
17
Djoko Santoso
Dugaan Korupsi di BRI
18
The Nin King
Dugaan Korupsi di BRI
11 `12
13 14 15
Perkara
Honggopati
Jumlah kerugian Dugaan Korupsi Technical AS$ 24,8 Assistance Contract juta (TAC) Dugaan Korupsi Technical As $ 24,8 Assistance Contract juta (TAC) Dugaan Korupsi Technical AS$ 24,8 Assistance Contract juta (TAC) Dugaan Korupsi Dana Rp 10 BLBI Triliun Dugaan Korupsi AS$ 105 juta Penerbitan Commersial dan Rp Paper oleh PT. Hutama 181,35 Karya untuk Proyek JORR miliar Dugaan Korupsi AS$ 20,4 Pipanisasi di Jawa juta Dugaan Korupsi AS$ 20,4 Pipanisasi di Jawa juta Dugaan Korupsi AS$ 20,4 Pipanisasi di Jawa juta Dugaan Korupsi Proyek Rp 331 Penanaman Hutan oleh miliar PT.MHP Dugaan Korupsi Rp 7,1 miliar Jamsostek Dugaan Korupsi Rp 7,1 miliar Jamsostek Dugaan Korupsi Rp 7,1 miliar Jamsostek
Rp 19 miliar Rp 300 miliar Rp 300 miliar Rp 572,2 miliar Rp 572,2 miliar Rp 572,2
Universitas Sumatera Utara
73
19
Joko S Tjanda
20
Marimutu Sinivasan
21
Sukamdani Gitosarjono
22
Adriansyah
23
Bob Hasan (mantan Ketua Dewan Pengurus Apkindo)
24
Tjipto Wignjoprajitno (Ketua Badan Eksekutif Apkindo) Raja DL Sitorus
25
miliar Rp 572,2 miliar Dugaan Korupsi Rp 1,8 pemberian fasilitas kredit triliun ke PT. Texmaco Dugaan Korupsi Rp. 418 Penyalahgunaan BLBI miliar oleh PT. BDI Dugaan Korupsi Rp. 418 Penyalahgunaan BLBI miliar oleh PT. BDI Dugaan penyalahgunaan AS$ 86 juta dan di Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) Dugaan penyalahgunaan AS$ 86 juta dan di Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) Dugaan Kasus Korupsi Rp 213,5 Torganda di Riau miliar Dugaan Korupsi di BRI
Sahid
Tabel3.1 Perkara Dugaan Korupsi Yang Diberikan Sp3 Oleh Kejaksaan115
2. Penyidik KPK Sebagai produk yang lahir dari usaha sungguh-sungguh untuk keluar dari krisis yang timbul akibat praktik korupsi yang sangat merugikan dan membahayakan negara, KPK memiliki tugas dan wewenang yang didasarkan pada evaluasi kelemahan penegakan hukum yang selama ini menjadi harapan dalam pemberantasan korupsi secara represif dan preventif. Dengan berdasarkan pada undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, komisi ini menjalankan tugas dan kewenangan penyidikan seperti yang dinyatakan dalam Pasal 6 undang-undang KPK.
115
Dokumentasi ICW, diolah dari berbagai media.
Universitas Sumatera Utara
74
Tugas dan kewenangan yang dimiliki KPK memang berbeda dari kewenangan yang dimiliki oleh penyidik biasanya, mulai dari tugas koordinasi,
surpervisi,
penyelidikan,
penyidikan
dan
penuntutan,
pencegahan, serta monitor terhadap penyelenggara pemerintahan negara. Dengan banyaknya kewenangan yang dimilikinya KPK seringkali disebut sebagai lembaga superbody , hal ini terutama karena dimilikinya tiga kewenangan sekaligus dalam
proses pemeriksaan perkara korupsi yaitu
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Berikut Penulis paparkan mengenai prosedur penyidikan yang dilakukan oleh penyidik KPK: 116 I. Persiapan Penyidikan , Terdiri Dari: a. Persiapan Penyidikan sebelum penerimaan laporan kejadian tindak pidana korupsi b. Persiapan Penyidikan setelah penerimaan laporan kejadian tindak pidana korupsi II. Pengembangan penyidikan (dilakukan gelar perkara di hadapan pimpinan) III. Pelaksanaan Penyidikan. terdiri dari: a. Pemberitahuan dimulainya penyidikan dengan mengajukan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) untuk ditandatangani pimpinan b. Permintaan bantuan teknis, data, dan informasi 116
KPK, Prosedur Operasi Baku Kegiatan Penyidikan, 2008, diperoleh dari narasumber, Penyidik KPK
Universitas Sumatera Utara
75
c. Pemanggilan saksi dan tersangka d. Penangkapan e. Penahanan f. Penggeledahan g.
Penyitaan
Proses penyidikan tersebut juga dibekali dengan kegiatan pendukung penyidikan, yaitu: 1. Penyadapan 2. Pembuntutan 3. Penelusuran Aset 4. Bantuan Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan 5. Pengambilan sumpah/ janji saksi atau ahli
IV. Penyelesaian dan Penyerahan Berkas Perkara, Tersangka dan Barang Bukti. Atas dasar kewenangan-kewenangan lebih tersebutlah sejak berdirinya KPK, lembaga. ini telah herhasil merampungkan proses hukum dari berbagai kasus korupsi besar yang terjadi hingga dijatuhkan putusan pengadilan. Pada tahun 2006 tercatat bahwa KPK telah menindaklanjuti 89 perkara, dan 11 perkara di antaranya telah memiliki keputusan tetap (inkracht).117 Berdasarkan table di bawah ini terlihat beberapa banyak laporan pengaduan mengenai tindak pidana korupsi yang masuk hingga tindak lanjutti oleh KPK dari tahun
117
Hasil Wawacana dengan narasumber (penyidik KPK)
Universitas Sumatera Utara
76
2005-2009 dan data di bawah ini sekaligus memperlihatkan kinerja KPK dalam kurun waktu tertentu semenjak berdirinya. Berikut datanya:
I. a. Jumlah laporan yang diterima
b. Jumlah laporan yang telah ditelaah
c. Jumlah laporan yang sedang ditelaah II. Dari Jumlah laporan yang telah ditelaah (Ib) a. Jumlah yang ditinjak lanjuti dari hasil telaahan dengan penyampaian surat kepada instansi berwenang b. Jumlah yang diteruskan ke Internal KPK c. Jumlah yang telah ditelaah namun tidak disampaikan kepada instansi yang berwewenang a.l. karena bukan tindak pidana korupsi (TPK), TPK namun tidak diikuti bukti awal, alamat pengadu tidak tercantum (di ‘file’ kan) d. Jumlah yang disampaikan kembali ke
pelapor
untuk
2005
2006
2007
2008
2009
Total
2.281
7.361
6.93
6.51
8.69
31.788
9
0
7
6.93
6.51
8.00
9
0
5
2.281
7.361
31.096
-
-
-
-
692
692
1.089
1.315
650
570
489
4113
27
108
196
218
340
889
1.050
5.850
6.02
5.53
6.49
24.962
9
9
4
88
64
183
682
1.132
1.511
910
971
1.51 1
6.134
320
153
158
144
980
480
234
226
222
1.625
115
dimintakan
keterangan tambahan dari berkas berkas yang masih dalam proses perbaikan e. Laporan yang berindikasi TPK: 1.231 (laporan ditelaah- laporan yang di ‘file’ kan) III.Dari laporan yang ditindak lanjuti(Iia) A.- Diteruskan ke Kepolisian 205 - D iteruskan ke Kejaksaan
463
Universitas Sumatera Utara
77
Diteruskan ke BPKP
112
120
86
33
7
358
- Diteruskan ke Itjen&badan lain 153 diluar BPKP Diteruskan ke BPK 33
218
80
41
39
531
49
50
81
56
269
Diteruskan ke MA
38
26
6
6
6
82
Diteruskan ke Bawasda
85
102
41
25
15
268
1.089
1.315
650
570
489
4.113
Ke Penindakan
21
52
141
153
245
612
Ke Pencegahan
5
46
41
50
61
203
Ke bidang lainny
1
10
14
15
34
74
340
889
B. Diteruskan ke internal KPK (lib)
27 108 196 218 Tabel 3.2 Pengaduan Perkara Korupsi ke KPK 2005-2009
Dari rangkaian tugas dan wewenang yang memiliki oleh KPK yang telah di uraikan sebelumnya ada satu yang menarik dalam pengaturan pasal 40 undangundang No. 30 tahun 2002 tentang KPK di mana di nyatakan : Komisi pemberantasan korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi. Bahwa keberlakuan pasal ini tentu saja menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, karena menurut hukum acara pidana yang berlaku (KUHAP) penyidik berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dengan berdasar pada alasan-alasan tertentu yang ditentukan undang-undang.118 Tentunya keberadaan pasal ini dilatarbelakagi oleh dasar filosofis dan yuridis dalam pembahasan undang-undang tersebut. Salah Satu pihak yang merasa 118
Pasal 109 ayat (2) KUHAP.
Universitas Sumatera Utara
78
haknya dilanggar dengan keberlakuan pasal ini adalah Mulyana Wirakusuma (terpidana perkara tindak pidana korupsi auditor Badan Pemeriksa Keuangan ), mereka bahkan
mengajukan uji materi
(jucial review0 ke
Mahkamah
Konstitusi terhadap Pasal 40 undang- undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Dengan adanya Pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK ini menjadi peringatan bagi KPK agar dalam menjalankan proses pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi harus menjunjung tinggi asas kehati-hatian dan kepastian hukum agar tidak terjadi pelanggaran hak terhadap tersangka yang terhadapnya sedang dilakukan proses pemeriksaan.
3. Alasan-alasan Pemberian SP3 Oleh Penyidik Pada Beberapa Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Besar di Indonesia
a. Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Technical Assistance Contract (TAC) Tersangka: Ginandjar Kartasasmita Kasus dugaan korupsi yang melibatkan Ginandjar Kartasasirrita dalam proyek Technical Assistant Contract (TAC) antara Pertamina dengan PT. Ustraindo Petro Gas (UPG) telah merugikan negara sebesar Rp. 227. 4 Milvar. Pada tanggal 12 Oktoher 2004
Kejaksaan ,Agung secara diam-diam
menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap Ginandjar Kartasasmita. tersangka kasus korupsi Technical Assistant Contract (T,4C).
Universitas Sumatera Utara
79
Pengumuman pemberian SP3 denagan
No:Prin-043/F/FJP/10/2004 baru
disampaikan kepada publik oleh Kapuspen Kejaksaan, Suhandoyo pada hari Jumat, 22 Oktober 2004 atau 20 hari setelah SP3 diterbitkan. Alasan dan pertimbangan Kejaksaan Agung dalam mengeluarkan SP3 adalah karena kasus tersebut tidak cukup bukti formal maupun materiil untuk diteruskan penyidikannya.
b. Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Jamsostek Tersangak :Abdul Latief Kasus dugaan korupsi proyek pembangunan menara .Jamsostek yang melibatkan mantan Menteri Tenaga Kerja Abdul Latief berawal dari penyalahgunaan dana Jamsostek sebesar Rp. 7, I Milyar untuk pembahasan RUU Ketenagakerjaan. Kejaksaan Tinggi DKl Jakarta kemudian mengeluarkan SP3 dengan No. NF 095/R/F/FPK.1.8/2000 terhadap kasus ini dengan alasan tidak ditemukannya unsur kerugian negara.
c. Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Bapindo Kanindotex Tersangka: Johanas Kotjo Kasus dugaan korupsi yang melibatkan tersangka Johanes Kotjo ini bermula dari tuduhan yang datang kepada tersangka bahwa ia telah melakukan korupsi terhadap uang negara sebesar Rp. 300 Milyar melalui kredit Bapindo. Dalam kasus ini, Johanes Kotjo diduga melakukan pembengkakan harga (mark up) pada p r o s e s pembelian mesin-mesin t e k s t i l m i l i k R o b b y Tjahjadi
Universitas Sumatera Utara
80
(yang juga merupakan tersangka dalam kasus ini) yang sebelumnya dikatakan sebagai aset Kanindotex Group. M a r k
up
ini terjadi ketika mereka
mengambil alih dan merekstrukturisasi utang Kanindotex. Kejaksaan Agung kemudian mengeluarkan SP3 terhadap kasus ini dengan alasan tidak di temukan cukup bukti.
Universitas Sumatera Utara