JUSTICE COLLABORATOR DALAM PEMERIKSAAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI Septian Pradipta Nugraha Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Email :
[email protected]
ABSTRAKSI
Perlindungan hukum bagi justice collaborator sangat penting dilakukan dalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi. Hal ini dikarenakan begitu pentingnya peranan justice collaborator dalam mengungkap adanya tindak pidana korupsi. Kurangnya perlindungan hukum yang diberikan terhadap justice collaborator dan tidak terdapatnya peraturan perundang-undangan yang secara spesifik mengatur justice collaborator membuat peran justice collaborator menjadi tidak leluasa dan cenderung tertekan dengan kesaksian yang akan, sedang dan telah ia lakukan dalam pemeriksaan tindak pidana korupsi khususnya. Kata Kunci : Justice Collaborator, Perkara Tindak Pidana Korupsi.
ABSTRACT Protection of the law for justice collaborator is very important in the investigation of corruption crimes. because the fundamental importance of the role of justice collaborator in exposing the corruption. Lack of legal protection given to the justice collaborator and the absence of legislation that specifically regulates justice collaborator. It is making role becomes more flexible and tend to be depressed by the testimony, is and has he done in the investigation of corruption in particular. Keywords: Justice Collaborators, Case of Corruption.
A. PENDAHULUAN Di
Indonesia
langkah-langkah
pembentukan
hukum
positif
guna
menghadapi masalah korupsi telah dilakukan selama beberapa masa perjalanan sejarah dan melalui beberapa masa perubahan peraturan perundang- undangan.1 Istilah korupsi sebagai istilah yuridis baru digunakan pada tahun 1957, yaitu 1
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, Hlm.22.
2
dengan adanya Peraturan Penguasa Militer yang berlaku didaerah kekuasaan Angkatan Darat (Peraturan Militer Nomor PRT/PM/06/1957). 2 Dari segi represif, kesukaran memberantas korupsi terletak pada kesulitan dalam hal membuktikan kejahatan korupsi disidang pengadilan. 3 Hukum pembuktian konvensional dalam KUHAP yang berpijak pada landasan Asas Presumption
of
Innocence
memang
tidak
memang
tidak
menunjang
mempermudah pembuktian perkara korupsi disidang pengadilan.4 Karena itu, upaya yang luar biasa dibidang pembuktian perlu dilakukan penyimpangan dari hukum pembuktian umum dengan cara memasukkan ketentuan- ketentuan baru sebagai pengecualian kedalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya dirubah Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). 5 Justice collaborator merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk membongkar suatu kejahatan yang terorganisir, seperti jaringan mafia termasuk korupsi yang biasanya dilakukan secara berjamaah. Kategori extraordinary crime (kejahatan luar biasa) bagi tindak pidana korupsi jelas membutuhkan extraordinary measures / extraordinary enforcement (penanganan yang luar biasa).6 Oleh karenanya perlindungan hukum sangat diperlukan bagi Justice Collaborator terhadap kegiatan yang melawan hukum.7 Peran Justice Collaborator sangat signifikan guna menangkap otak pelaku yang lebih besar sehingga tindak pidana dapat tuntas dan tidak berhenti pada di pelaku yang berperan minim dalam tindak pidana korupsi. Adapun syarat penetapan untuk menjadi seorang Justice Collaborator yang diatur dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011 adalah tindak pidana yang diungkap merupakan tindak pidana serius atau terorganisir. Hal ini terkait dengan keberadaan Justice Collaborator yang memperkuat pengumpulan alat bukti dan barang bukti di persidangan. 2
Ibid. Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung, 2008, Hlm. 12. 4 Firman Wijaya, Whistle Blower dan Justice Collaborator Dalam Perspektif Hukum, 2012, Penaku, Jakarta. Hlm. 11 5 Ibid. 6 Adami Chazawi, Op.cit, Hlm. 10. 7 Ibid. 3
3
Saksi pelaku yang bekerjasama/Justice Collaborator, mau memberikan keterangan yang signifikan, relevan, dan andal untuk mengungkap suatu tindak pidana, bukan pelaku utama, dan kesediaan mengembalikan aset yang diperolehnya. Juga adanya ancaman yang nyata atau kekhawatiran adanya ancaman tekanan fisik dan psikis terhadap saksi pelaku atau keluarganya. Di Indonesia pemberlakuan justice collaborator sudah pernah diterapkan dalam kasus skandal cek pelawat pemilihan Deputy Senior Gubernur Bank Indonesia, Miranda Swaray Goltom yang melibatkan 31 Anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 kepada terpidana Agus Condro Prayitno. Pemberian status justice collaborator kepada mantan anggota DPR dari Fraksi PDI-P itu justru sebelum keluarnya peraturan bersama Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia, Jaksa Agung, KPK dan LPSK. Kini Agus Condro telah bebas, setelah menjalani hukuman lebih ringan dari vonis Pengadilan Tipikor.8 Dengan diadakannya kerja sama antara aparat penegak hukum dengan justice collaborator untuk mengungkap kasus tindak pidana korupsi yang dijadikan bahan pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan pidanannya maka, tersangka sekaligus saksi tersebut perlu mendapatkan jaminan perlindungan hukum maupun keselamatannya terkait bentuk – bentuk dari perlindungan hukum itu baik dalam instrumen internasional maupun nasional serta prospek pengaturan perlindungan hukum bagi Justice Collaborator dalam peraturan perundangundangan di Indonesia. Namun, didalam instrumen internasional maupun instrumen nasional perlindungan hukum bagi justice collaborator belum diatur secara spesifik mengenai justice collaborator dan bentuk-bentuk perlindungan hukumnya terkait kesaksian yang akan diberikan dalam pemeriksaan perkara pidana korupsi didalam instrumen hukum nasional. Hal ini menyebabkan seorang justice collaborator merasa tertekan baik secara fisik maupun psikis dalam memberikan kesaksian yang berkaitan dengan kasus yang ia lakukan secara berjamaah. Selain itu, negara dan penegak hukum juga perlu memperhatikan perlindungan hukum bagi Justice Collaborator, karena saksi pelaku tersebut juga turut membantu tugas-tugas negara dalam pemberantasan korupsi. Namun secara 8
Firman Wijaya,Op.cit,Hlm. 68.
4
faktual, pemerintah dan instansi yang berwenang belum memberikan penghargaan dan perlindungan secara maksimal kepada para Justice Collaborator di Indonesia. Bahkan, banyak Justice Collaborator juga menerima hukuman yang sama dengan para tersangka lainnya. Artinya, perannya untuk mengungkap kejahatan secara lebih luas, lebih dalam, lebih cepat sama sekali tidak diperhitungkan sama sekali oleh para penegak hukum terutama peraturan yang mengaturnya. 9 Seharusnya tidak semua Justice Collaborator harus dihukum sekalipun sanksi hukumnya tetap diterapkan. Jika Justice Collaborator, dan perannya tidak secara signifikan berhubungan langsung dengan subyek korban, maka mereka perlu diperlakukan secara berbeda, sekalipun tetap dihukum.
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan hal tersebut diatas, karya tulis ini mengangkat rumusan masalah yaitu mengenai : 1. Bagaimana bentuk-bentuk perlindungan hukum bagi Justice Collaborator atas kesaksian yang diberikan dalam pemeriksaaan perkara tindak pidana korupsi baik yang diatur dalam Instrumen internasional maupun Instrumen nasional ? 2. Bagaimana prospek pengaturan tentang Justice Collaborator atas kesaksian yang diberikan dalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia ?
C. METODE Penulisan karya tulis ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Sumber bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, yang diperoleh dari Penelusuran Pustaka Pribadi, Perpustakaan Pusat Universitas Brawijaya, Penelusuran Pustaka di Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Universitas Brawijaya, Penelusuran melalui media Internet. 9
Ibid, Hlm.11.
5
Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan studi kepustakaan. Studi pustaka dilaksanakan melalui tahap-tahap identifikasi bahan hukum yang diperlukan, yang meliputi bahan hukum Primer, Sekunder, dan Tersier, serta inventarisasi data yang diperlukan tersebut. Data yang sudah terkumpul, kemudian diolah melalui tahap pemeriksaan, penandaan, dan penyusunan secara sistematis. Analisis data dilakukan pada instrumen internasional dan instrumen nasional yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi justice collaborator atas kesaksian yang diberikan dalam pemeriksaan tindak pidana korupsi dengan metode penafsiran hukum gramatikal dan tata bahasa, dilakukan secara kualitatif dengan menguraikan data yang telah diperoleh dari studi kepustakaan dan menghubungkannya, kemudian disajikan dalam bentuk kalimat yang teratur, sistematis, logis, dan efektif, sehingga mempermudah intepretasi yang digunakan adalah intepretasi gramatikal untuk memperoleh makna dibalik kata-kata dalam setiap data.
D. PEMBAHASAN 1. Bentuk-bentuk Perlindungan Hukum Bagi Justice Collaborator Atas Kesaksian yang Diberikan Dalam Pemeriksaaan Perkara Tindak Pidana Korupsi yang Diatur Didalam Instrumen Internasional Maupun Nasional Suatu pengungkapan atau kesaksian kebenaran dalam suatu scandal crime ataupun Serious Crime oleh justice collaborator jelas merupakan ancaman
nyata
bagi
pelaku
kejahatan.10
Pelaku
kejahatan
akan
menggunakan berbagai cara untuk membungkam dan melakukan aksi pembalasan sehingga kebijakan perlindungan seharusnya bersifat prevensial (mencegah sebelum terjadi) kehadiran justice collaborator memang sulit dibantah dapat menjadi alat bantu, sekalipun seorang justice collaborator berani mengambil resiko yang sangat berbahaya bagi keselamatan fisik
10
Ibid, Hlm. 10.
6
maupun psikis dirinya, dan keluarganya, resiko terhadap pekerjaan dan masa depannya.11 Maka perlu dirancang landasan hukum maupun bentuk-bentuk perlindungan hukum yang kuat dan skema perlindungan yang jelas dan terukur bagi justice collaborator dalam pengungkapan tindak pidana tertentu khususnya tindak pidana korupsi terutama dilingkungan aparat publik yang terkait dengan mal administrasi, penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan yang membahas kepentingan umum. Dalam realitasnya justice collaborator seringkali kurang mendapatkan perlindungan hukum dalam proses hukumnya. Bedasarkan penjabaran diatas sangatlah patut adanya perlindungan hukum bagi justice collaborator dalam mengungkap fakta tindak pidana korupsi di Indonesia. Terhadap orang-orang yang kritis dan berani mencegah dan mengungkap korupsi yang telah ia lakukan bersama rekanrekannya, kebalikannya seringkali diberikan sanksi dengan merekayasa seolah-olah yang bersangkutan melakukan perbuatan indisipliner atau perbuatan
melawan
hukum.
Justice
collaborator
perlu
diberikan
perlindungan hukum, sehingga ia tidak selalu menjadi korban dengan harapan justice
collaborator
yang lain mampu bekerjasama
dan
mempermudah aparat hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana korupsi guna menemukan alat bukti serta menangkap tersangka yang lain. Untuk mengetahui seberapa jauh perlindungan hukum yang diberikan kepada justice collaborator di Indonesia, maka dapat dikaji dari beberapa peraturan perundang-undangan yang ada baik itu berasal dari Intrumen internasional maupun nasional antara lain:
a) United Nations Convention Against Corruption/ UNCAC (selanjutnya disebut Undang – undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Konvensi PBB Anti Korupsi). Bentuk-bentuk perlindungan hukum bagi justice collaborator atas kesaksian yang diberikan dalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi 11
Ibid.
7
diatur dalam pasal 37 ayat (2) dan ayat (3) United Nations Convention Against Corruption/ UNCAC yang menyatakan bahwa Negara wajib mempertimbangkan, memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus yang tertentu, mengurangi hukuman dari seorang pelaku dan mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan “kekebalan dari penuntutan” bagi orang yang memberikan kerja sama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu tindak pidana. Namun, kembali lagi pada sistem hukum nasional negara Indonesia yaitu melalui lembaga yang khusus memberikan perlindungan saksi dan korban ternyata masih belum menjangkau justice collaborator. Sehingga apa
yang menjadi amanat dalam undang-undang tersebut belum
terealisasikan.
b) United
Nation
Convention
Against
Transnational
Crimes/UNCATOC (selanjutnya disebut Undang–undang
Organized Nomor 5
Tahun 2009 tentang Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional).
Perlindungan hukum bagi justice collaborator diatur dalam pasal 24 ayat (1) UNCATOC yang menyatakan sebagai berikut negara memberikan perlindungan yang efektif dari kemungkinan pembalasan atau intimidasi terhadap saksi-saksi dalam proses pidana yang memberikan kesaksian mengenai tindak pidana. Pasal tersebut hanya mengatur mengenai perlindungan terhadap “saksi” bukan untuk justice collaborator. Hal ini tidak memberikan peluang bagi justice collaborator untuk mendapatkan perlindungan hukum terkait perannya yang sangat signifikan.
c) KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana) Bentuk-bentuk perlindungan hukum bagi Justice Collaborator dalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi di dalam KUHAP memang tidak mengerucut kepada hak-hak saksi namun dalam KUHAP mengatur 8
perlindungan hukum terhadap hak-hak terdakwa. Perlindungan hukum terhadap Justice Collaborator dengan statusnya sebagai tersangka dalam KUHAP diatur dalam pasal 50-55, 57-65 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Namun dalam penerapanya pasal-pasal tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Hal itu disebabkan belum mengatur secara spesifik mengenai bentuk perlindungan yang seharusnya didapatkan justice collaborator.
d) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya dirubah menjadi Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Pengertian “saksi” tidak dijelaskan secara rinci dalam undang-undang ini, namun undang-undang ini telah mencantumkan mengenai saksi dalam Pasal 15 butir a yaitu: “Memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan atau memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi”. Pada bagian penjelasan pasal 15 butir a menyatakan: “Yang dimaksud dengan “memberikan perlindungan”, dalam ketentuan ini melengkapi juga pemberian jaminan keamanan dengan meminta bantuan kepolisian atau penggantian identitas pelapor/saksi atau melakukan evakuasi termasuk perlindungan hukum”. Dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tidak diatur secara spesifik mengenai jenis-jenis saksi, tersangka, dan terdakwa yang terlibat dalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi serta untuk perlindungan hukum bagi saksi, tersangka, dan terdakwa tidak diatur dalam undang-undang ini. Berdasarkan uraian diatas, maka seorang justice collaborator dalam hal ini masih belum diakui keberadaannya dan eksistensinya dalam Undangundang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya dirubah menjadi Undang-undang Nomor 20 tahun 9
2001. Sehingga tanpa adanya perlindungan hukum akan sangat rentan mendapat intimidasi dari pihak-pihak yang ia laporkan terkait tindak pidana korupsi yang ia lakukan.
e) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang-undang ini tidak mencantumkan secara jelas mengenai siapa saja saksi yang dimaksud dalam undang-undang tersebut. Namun, dalam undang-undang ini memberikan pengertian terhadap “saksi” yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) yaitu: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri”. Undang-undang ini juga mencantumkan dalam pasal 8 bahwa: “Perlindungan dan hak Saksi dan Korban diberikan sejak tahapan penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”. Bentuk-bentuk perlindungan hukum bagi justice collaborator atas kesaksian yang diberikan dalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi disetarakan dengan saksi pada umumnya yaitu berupa perlindungan terhadap hak–hak saksi yang diatur dalam Pasal 5–10 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Hak-hak saksi pelaku yang bekerjasama/Justice Collaborator dalam Undang-Undang ini telah diatur guna memenuhi rasa aman sebagai standar pelayanan instansi yang berwenang dalam melaksanakan bentuk-bentuk perlindungan hukum yang telah diperjanjikan sebelumnya baik atas permintaan sendiri maupun melalui orang lain ataupun instansi yang berwenang yang dalam hal ini meliputi sarana prasarana, fasilitas, Instansi yang akan memberikan perlindungan hukum, dan kepentingan pihak Justice Collaborator.
10
f) Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi Perlindungan hukum justice collaborator dipertimbangkan bedasarkan beberapa aspek kemasyarakatan, yang meliputi landasan hukum, proses penahanan di Rutan/Rumah Tahanan, dan pidana penjara yang dilaksanakan bedasarkan
peraturan
perundang-undangan/instrumen
nasional
yang
berlaku.12 Proses Penahanan Dirumah Tahanan bedasarkan peraturan perundangundangan/istrumen yang berlaku sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap justice collaborator atas kesaksian yang diberikan dalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi, harus memenuhi 2 (dua) ketentuan, meliputi: a) Penempatan justice collaborator di blok khusus (Blok register H), serta b) Pengawasan khusus dalam pemenuhan hak–hak: 1) Menjalankan ibadah, 2) Menerima kunjungan 3) Pelayanan makanan, 4) Pelayanan kesehatan, 5) Memperoleh informasi (bacaan dan siaran media massa), dan 6) Politik dan keperdataan13 Di Indonesia,
justice collaborator tetap akan menjalani pidana penjara
apabila terbukti bersalah dan terlibat dalam perbuatan pidana yang dihadapinya. Meskipun demikian, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ia tetap memperoleh perlindungan hukum seperti perlindungan keamanan dan pemenuhan atas hak-haknya. Namun dalam keputusan presiden ini masih belum diatur secara khusus/spesifik mengenai remisi bagi justice collaborator dan prosedur apa saja yang ia lakukan untuk mendapatkan remisi tersebut. Bedasarkan ketentuan tersebut, sangat beralasan apabila justice collaborator patut mendapatkan perlakuan tersebut. 12
Kemenkumham Dirjen Pemasyarakatan, Aspek Landasan Hukum Justice Collaborator (Dikutip Firman Wijaya, Whistle Blower dan Justice Collaborator Dalam Perspektif Hukum, 2012, Penaku, Jakarta). 13
Ibid.
11
g) Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 Tentang Strategi Nasional Pencegahan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025 Dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014. Dalam Peraturan Pemerintah ini tidak diatur mengenai perlindungan hukum bagi justice collaborator atas kesaksian yang diberikan dalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi, namun didalam Peraturan Pemerintah ini cenderung bentuk perlindungan hukumnya mengarah pada Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
h) Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor
4 Tahun 2011 Tentang
Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) Dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborators) Didalam Perkara Tindak Pidana Tertentu Dalam penerapannya Pasal 9 Point C dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) Dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborators) Didalam Perkara Tindak Pidana Tertentu telah diatur mengenai perlindungan hukum bagi Justice Collaborators sebagai berikut: 1) Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus bagi Justice Collaborators; 2) Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara paling ringan diantara terdakwa lain yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud. 3) Dalam
pemberian
perlakuan
khusus
tersebut,
hakim
harus
mempertimbangkan rasa keadilan bagi masyarakat. Namun, Surat Edaran ini belumlah cukup untuk memberikan perlindungan hukum bagi justice collaborator. Karena ketika justice collaborator itu muncul maka ia harus dilindungi mulai tahap penyelidikan, penyidikan,
dan
penuntutan,
hingga
tahap
pemeriksaan
persidangan.sedangkan Surat Edaran ini hanya melindungi
12
di
justice
collaborator yang telah memasuki tahap persidangan dan tentunya hakimlah yang meberikan perlindungan hukum tersebut. Bedasarkan perlindungan hukum bagi justice collaborator yang ditinjau dari berbagai peraturan perundang-undangan ditemukan bahwa didalamnya masih sangat minim, bahkan tidak mengenai atau menjangkau perlindungan hukum bagi justice collaborator. Pemberian perlindungan terhadap saksi dan korban pada prinsipnya harus merupakan pemberian seperangkat hak yang dapat dimanfaatkan dan diperolehnya dalam posisinya sebagai salah satu elemen dalam proses peradilan pidana dan adanya perlindungan terhadap saksi termasuk saksi pelaku yang berkerjasama adalah merupakan salah satu bentuk penghargaan atau kontribusi para justice collaborator dalam proses penegakan hukum pidana. Oleh karena
itu, perlu segera
didorong adanya
percepatan
pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia dan revisi atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai ujung tombak dalam memberikan perlindungan hukum terhadap justice collaborator. Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 33 United Nations Convention Against Corruption/ UNCAC dan Pasal 15 butir a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
2. Prospek
Pengaturan
Justice
Collaborator
Dalam
Peraturan
Perundang-Undangan Di Indonesia Justice collaborator memiliki peranan yang sangat dominan dalam membantu membongkar dan mengungkap kasus korupsi. Dilihat dari posisi jutice collaborator, maka ada sebuah posisi yang strategis yang dimiliki oleh seorang justice collaborator. Hal itu dikarenakan, seorang justice collaborator adalah orang yang ikut berperan dalam terjadinya suatu tindak pidana terorganisir dan dilakukan secara berjamaah seperti tindak pidana korupsi. Namun dalam hal ini posisi dari justice collaborator bukan merupakan pelaku utama dari terjadinya suatu tindak pidana korupsi. Orang yang demikian tersebut dapat dijadikan sumber informasi dalam kaitannya 13
dengan adanya tersangka dan alat bukti lain dalam tindak pidana korupsi yang belum ditemukan oleh penyidik. Oleh karena itu, perlindungan hukum yang maksimal sangatlah dibutuhkan bagi Justice Collaborator untuk tetap menjaga konsistensinya dalam mengungkap tindak pidana korupsi. Secara historis, istilah justice collaborator sering digunakan untuk menunjukkan seseorang pelaku yang bekerjasama dengan aparat hukum yang berupaya mengungkap ketidakjujuran dan penyimpangan yang dilakukan oleh dirinya dan rekan-rekanya dalam suatu tindak pidana korupsi.14 Upaya ini tentu bukan pekerjaan yang mudah karena ia harus mengungkapkan dengan jujur apa yang telah ia lakukan dengan rekanrekannya dalam suatu tindak pidana terorganisir yang dalam hal ini ia juga akan mendapatkan beban atas yang diungkapnya dalam kesaksian tersebut. Beban tersebut akan ditanggung oleh justice collaborator itu sendiri terkait kehilangan pekerjaan, pidana yang dijatuhkan hakim, dan beban psikis serta fisik bagi dirinya. Rocky Marbun menyebutkan bahwa problematika muatan tentang Justice Collaborator dalam perundang-undangan di Indonesia baik dalam Surat Edaran Mahkamah Agung maupun Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban ternyata membutuhkan detail arah dan kebijakan politik hukum pidana yang jelas, karena keduannya terutama Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) Dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborators) Didalam Perkara Tindak Pidana Tertentu telah diatur mengenai perlindungan hukum bagi Justice Collaborators dalam fungsinya sebagai surat dinas yang memuat penjelasan atau petunjuk tentang tata cara pelaksanaan suatu peraturan perundangundangan dalam ruang lingkup kewenangannya, namun kenyataanya justru membutuhkan petunjuk lebih lanjut terkait persoalan tersebut.15 Dalam
peraturan
perundang-undangan
di
Indonesia,
Justice
Collaborator tidak secara spesifik diatur baik dari segi perlindungan hukumnya maupun mengenai Justice Collaborator itu sendiri. Program 14 15
Surya Jaya, Perlindungan Justice Collaborator Dalam Sistem Pengadilan, NN, Hlm 13. Firman Wijaya, Op.cit, Hlm. 38.
14
perlindungan bagi
Justice Collaborator yang tertuang dalam Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban belum memadai sebagai landasan/pijakan hukum bagi aparat hukum untuk memberikan perlindungan hukum. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan problem ini pemerintah Indonesia seharusnya membuat atau membagi hak-hak saksi tersebut bedasarkan kategori-kategori saksi yaitu perlindungan atas hak saksi dalam prosedural pidana dan membuat peraturan perundang-undangan yang baru atau mengganti yang lama dengan peraturan perundang-undangan baru yang secara spesifik mengatur Justice Colllaborator dan perlindungan hukumnya atas kesaksian yang akan, sedang, dan telah dilakukannya. Apabila ditinjau bedasarkan peran justice collaborator pada saat ini dalam mengungkap suatu tindak pidana korupsi, maka kebutuhan akan peraturan
perundang-undangan
yang
mengatur
mengenai
justice
collaborator dan perlindungan hukum baginya sangat diperlukan mengingat peranan justice collaborator yang sangat signifikan. Sehingga diharapkan dimasa datang pengaturan secara spesifik mengenai justice collaborator dan perlindungan hukumnya dapat terpenuhi dan dapat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
15
E. PENUTUP 1. Kesimpulan Dari hasil dan pembahasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan yakni sebagai berikut: (a) Bahwa dasar hukum mengenai bentuk-bentuk perlindungan hukum bagi justice collaborator atas kesaksian yang diberikan dalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi telah diatur dalam berbagai instrumen yang terdapat : (1)Instrumen Internasional yang terdiri dari : United Nation Convention Against Tranational Organized Crimes/UNCATOC dan United Nations Convention Against Corruption/ UNCAC terdapat bentuk-bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada justice collaborator, misalnya pengurangan masa hukuman yang diberikan hakim dan perlindungan secara khusus terhadap ancaman atau intimidasi yang ditujukan terhadapnya serta keluarganya. (2)Instrumen Nasional yang terdiri dari : KUHAP, Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo.UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001, Keppres No 174 Tahun 1999, PP Nomor 55 Tahun 2012, SEMA Nomor 4 Tahun 2011 terdapat bentuk-bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada justice collaborator, misalnya memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir, memberikan keterangan tanpa tekanan, bebas dari pertanyaan yang menjerat, mendapatkan remisi, mendapatkan cuti mengunjungi keluarga, pembebasan bersyarat dsb. Namun baik dalam instrumen internasional dan nasional tersebut diatas hanya mengatur secara umum saja, tidak ada yang mengatur secara emplisit mengenai bentuk-bentuk perlindungan hukum bagi justice collaborator. (b)Dalam prospek pengaturan tentang justice collaborator dan perlindungan hukumnya dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia secara factual belum diatur secara spesifik/khusus. Dengan adanya hal tersebut, membuat
16
peranannya dalam mengungkap tindak pidana korupsi menjadi tidak leluasa dan cenderung tertekan baik secara fisik maupun psikis.
2.Saran (a) Bagi pemerintah dan instansi yang berwenang yang terkait, diharapkan dapat meningkatkan upaya-upaya perlindungan hukum secara khusus terhadap justice collaborator, sehingga dapat terealisasikan hak-haknya sampai proses pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi tersebut berakhir. (b)Sebaiknya lembaga penegak hukum, baik itu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, Kejaksaan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Mahkamah Agung (MA) membuat suatu konsep pemikiran yang seragam atau sama mengenai justice collaborator dan terlebih lagi diharapkan segera membuat peraturan perundang-undangan baru yang mengatur secara spesifik mengenai justice collaborator dan perlindungan hukumnya.
17
DAFTAR PUSTAKA
LITERATUR Abdul Wahid & M. Irfan, 2001, Perlindungan Terhadap Korban Kejahatan, Refika Aditama, Bandung. Adami Chazawi, 2005, Hukum Pidana Materiil Dan Formil KORUPSI Di Indonesia, Bayu Media, Malang. ______________, 2010, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Rajawali Pers, Jakarta. Anwar Usman & Am. Mujahidin, 2011, Justice Collaborator Dalam Perdebatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Varia Peradilan, Edisi Maret, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Jakarta. Andi Hamzah, 2010, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Arif Gosita, 2004, Masalah Korban Kejahatan, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta. Dwija Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung. Evi Hartanti, 2008, Tindak Pidana Korupsi Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta. Firman Wijaya, 2012, Whistle Blower Dan Justice Collaborator Dalam Perspektif Hukum, Penaku, Jakarta. Leden Merpaung, 2009, Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan Dan Pencegahan, Djambatan, Jakarta. Lili Rasjidi & B Arief Sidharta, 1994, Filsafat Hukum Madzab Dan Refleksi, Remaja Rosda Karya, Bandung. Mangasa Sidabutar, 2001, Hak Terdakwa Terpidana Penuntut Umum Menenpuh Upaya Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Masruchin Ruba’i, 2010, Asas-asas Hukum Pidana, UM Press, Malang. Moeljatno, 2002, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta. Muchsin, 2003, Perlindungan Dan Kepastian Hukum Bagi Investor di indonesia, Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta. O.C. Kaligis, 2006, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa, Dan Terpidana, Alumni, Bandung.
18
___________, 2008, Praktek Tebang Pilih Perkara Korupsi, Alumni, Bandung. Peter Mahmud & Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta. Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia, Kompas, Jakarta. Soeharto, 2007, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa Dan Korban Tindak Pidana Terorisme Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Refika Aditama, Bandung. Soejono & H. Abdurahaman, 2010, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta. Surya Jaya, Perlindungan Justice Collaborator Dalam Sistem Pengadilan, NN.
JURNAL Hetty Hassanah, Perlindungan Konsumen Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen, (http//jurnal.unikom.ac.id/vol3/perlindungan.html,2004).
MAJALAH/KORAN Jawa Pos, 8 Februari 2012, Pentingnya Penggunaan Justice Collaborator.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2010, Mandar Maju, Bandung. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2010, Mandar Maju, Bandung. Undang–Undang No. 7 Tahun 2006 Konvensi PBB Anti Korupsi, 2007, Pena Pustaka, Yogyakarta. Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, 2012, Pena Pustaka, Yogyakarta. Undang–Undang No 5 Tahun 2009 Konvensi PBB Transnasional, 2010, Pena Pustaka, Yogyakarta.
19
Anti
Kejahatan
Undang-Undang No 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, 2010, Mandar Maju, Bandung. Keppres No 174 Tahun 1999 Tentang Remisi Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 Tentang Strategi Nasional Pencegahan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang 2012-2025 Dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014 Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) Dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborators) Didalam Perkara Tindak Pidana Tertentu
SKRIPSI DAN DISERTASI Sidharta, 2003. Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Ke-IndonesiaAn, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katholik Parahyangan, Bandung 2004).
INTERNET Maharani Siti Sophia, LPSK Jamin Perlindungan Pengungkap Korupsi: Press Release Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban Nomor:47/PR/LPSK/IX/2012 (Online), www.lpsk.go.id. Muhammad Takdir, 2008, Peran Saksi Dan Korban Dalam Perkara Pidana Korupsi (Online), http://boyyendratamin.blogspot.com/2012/02/peransaksi-dan-korban-dalam-perkara.html. Supriyadi Widodo Eddyono, Betty Yolanda Dan Fajrimei A Gofar, Saksi Dalam Ancaman (Online), www.Perlindungansaksi.wordpress.com. W.J.S.Poerwardaminta, 2012, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Online), http://Kamusbahasaindonesia.org/perlindungan. W.J.S.Poerwardaminta, 2012, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Online), http://Kamusbahasaindonesia.org/Hukum.
20