1
IMPLEMENTASI PERANAN PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN (Studi Kasus di Kejaksaan Negeri Surakarta)
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untukMelengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh: Dheddy Iscahyanto NIM. E.0003135
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008
2
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
IMPLEMENTASI PERANAN PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN (Studi Kasus di Kejaksaan Negeri Surakarta)
Disusun oleh : DHEDDY ISCAHYANTO NIM : E. 0003135
Disetujui untuk Dipertahankan Dosen Pembimbing
EDY HERDYANTO, S.H., M.H. NIP. 131472195
3
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi) IMPLEMENTASI PERANAN PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN (Studi Kasus di Kejaksaan Negeri Surakarta)
Disusun oleh : DHEDDY ISCAHYANTO NIM : E. 0003135
Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada : Hari
: Selasa
Tanggal : 12 Februari 2008
TIM PENGUJI
(1) Bambang Santoso, S.H., M.Hum…………
(
) Ketua
(2) Kristiyadi, S.H., M.H………………………
(
) Sekretaris
(3) Edy Herdyanto, S.H., M.H…………………
(
) Anggota
Mengetahui : Dekan
Mohammad Jamin, S.H., M.Hum NIP. 131 570 154
4
MOTTO
Sesungguhnya Allah tidak akan merubah suatu kaum kecuali mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (Q.S. Ar-Ra’d: 11)
Barang siapa berjalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan baginya menuju Surga. (HR. Bukhari Muslim)
Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda
5
PERSEMBAHAN
Karya tulis ini aku persembahkan kepada: 1. Ayah (Alm) dan ibu tercinta yang selalu memberi doa dan kasih sayang. 2. adikku tersayang. 3. Teman-temanku yang aku banggakan. 4. almamaterku.
6
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang serta diiringi rasa syukur Alhamdulillah penulis panjatkan, penulisan hukum (Skripsi) yang berjudul “IMPLEMENTASI PERANAN PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN (Studi Kasus di Kejaksaan Negeri Surakarta)” dapat penulis selesaikan. Penulisan hukum ini membahas mengenai implementasi peranan penuntut umum dalam proses penuntutan tindak pidana perkosaan, dan hambatan-hambatan yang muncul dalam proses penuntutan tindak pidana perkosaan. Akhir-akhir ini sering terjadi tindak pidana perkosaan, hal tersebut dapat diketahui melalui pemberitaan di media cetak maupun elektronik. Tindak pidana tersebut disebabkan oleh beberapa hal yaitu banyak beredarnya VCD porno, situssitus porno diinternet, dll. Tindak pidana perkosaan harus mendapatkan perhatian dari pihak terkait untuk memberantasnya. Jaksa sebagai salah satu aparat penegak hukum dituntut harus mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya secara profesional dalam memberantas tindak pidana perkosaan. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan hukum ini, maka saran serta kritik dari semua pihak sangat penulis harapkan untuk memperkaya karya tulis ini. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, saran, dan dorongan bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini. Ucapan terima kasih ini penulis sampaikan terutama kepada :
7
1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum UNS yang telah memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini. 2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, sekaligus pembimbing penulisan hukum (skripsi) yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan atas tersusunnya skripsi ini. 3. Bapak W.T Novianto, S.H, M.Hum selaku Pembimbing Akademik penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Negeri Surakarta yang telah memberikan nasehat, bimbingan dan dorongan kepada penulis. 4. Bapak Momock Bambang S, S.H, selaku Kepala Kejaksaan Negeri Surakarta yang telah memberi ijin penulis melakukan penelitian di Kejaksaan Negeri Surakarta. 5. Ibu Reki Nurhayati, S.H, selaku KASUBAG Pembinaan di Kejaksaan Negeri Surakarta, terima kasih atas wawancaranya, waktunya dan semua keterangan yang penulis perlukan demi tersusunnya skripsi ini. 6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu pengetahuan umumnya dan ilmu hukum khususnya kepada penulis sehingga dapat dijadikan dasar dalam penulisan skripsi ini dan semoga dapat penulis amalkan. 7. PPH Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang berkenan memberikan kesempatan bagi penulis untuk melakukan penelitian serta menyelesaikan penulisan hukum ini. 8. Seluruh staf tata usaha dan karyawan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang ada di bagian transit, perpustakaan, pendidikan, pengajaran dan bagian-bagian yang lain, terima kasih atas bantuannya.
8
9. Ayah (Alm) dan ibu tercinta yang telah memberikan segalanya
pada
penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dan semoga penulis dapat membalas budi jasa yang telah engkau berikan. 10. Adikku tercinta venny yang telah memberikan dorongan kepada penulis 11. Yelina Rachma Pranamawati yang telah memberiku semangat dan dorongan begitu besar kepada penulis. 12. Buat semua teman-teman FH UNS, Budi, Johans, fajar, Ndaru, Joko, Anto, Rhisang, Itok, Yonthis, Reyan, Ayi, Pandu, Kiki, Erik terima kasih buat semuanya dan semua teman-temanku Fakultas Hukum 2003 yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. 13. Teman-teman Kost Dewantoro, Aji, Andi, Isa, Murto, Niko, Ulung, Ucup, Adi, Wisnu, dan Mas Gunung, terima kasih buat semuanya. 14. Teman-teman “Casa de Kost”, widoyo, tepost, mas saliwung, yonthis, boncu. Thank’s for all bro!! 15. Teman-teman magetan, budi, aji, andi sawike, dita, nana, mayang, simin, terima kasih atas semuanya. 16. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu tersusunnya skripsi ini.
Surakarta, Januari 2008
Penulis
9
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN........................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN.........................................................................
iii
HALAMAN MOTTO......................................................................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN......................................................................
v
KATA PENGANTAR......................................................................................
vi
DAFTAR ISI....................................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………
xii
ABSTRAK........................................................................................................
xiii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN...........................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah............................................................
1
B. Perumusan Masalah...................................................................
3
C. Tujuan Penelitian.......................................................................
3
D. Manfaat Penelitian.....................................................................
4
E. Metode Penelitian......................................................................
5
F. Sistimatika Penulisan Hukum....................................................
10
TINJAUAN PUSTAKA................................................................
12
A.
Kerangka Teori.....................................................................
12
1.
Tinjauan Tentang Jaksa/Penuntut Umum…………….
12
a. Pengertian Jaksa………………………………….
12
b. Pengertian Penuntut Umum………………….......
13
c. Tugas dan wewenang Penuntut Umum…………..
13
Tinjauan Umum tentang Penuntutan………………...
17
a. Pengertian Penuntutan...........................................
17
b. Penuntutan Tindak Pidana di Pengadilan..............
18
Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Perkosaan....
30
a. Pengertian tindak pidana........................................
30
b. Pengertian tindak pidana Perkosaan.......................
31
2.
3.
10
c. Perumusan Tindak Pidana Perkosaan Dalam KUHP B. BAB III
32
Kerangka Pemikiran……………………………………….
34
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...............................
35
A. Implementasi peranan penuntut umum dalam proses penuntutan tindak pidana perkosaan………………………… B.
35
Hambatan-hambatan yang muncul dalam proses penuntutan tindak pidana perkosaan……………………………………..
69
PENUTUP.......................................................................................
72
A. Kesimpulan................................................................................
72
B. Saran..........................................................................................
73
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................
74
BAB IV
LAMPIRAN-LAMPIRAN................................................................................
11
DAFTAR GAMBAR
Bagan 1.
Model Analisis Interaktif
9
Bagan 2.
Kerangka Pemikiran
34
12
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I
Surat Izin Penelitian dari Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Lampiran II
Surat Keterangan telah melakukan Penelitian dari Kejaksaan Negeri Surakarta
Lampiran III
Surat
dakwaan
No.Register
Perkara
:
PDM-
122/SKRTA/Ep.2/10/2006 Surat Tuntutan No.Register Perkara : 122/SKRTA/Ep.2/10/2006 Lampiran IV
Visum Et Repertum No.Pol : R/VER-47/VII/2006/Poliklinik
Lampiran V
Surat
dakwaan
No.
Register
Perkara
:
PDM-
209/SKRTA/Ep.2/09/2006 Surat
tuntutan
No.Register
Perkara
:
104/SKRTA/Ep.1/09/2006 Lampiran VI
Visum Et Repertum No.Pol : R/VER-36/VI/2006/Poliklinik
Lampiran
Surat Edaran Jaksa Agung Nomor : SE. 001/J.A/4/1995
VII
PDM-
13
ABSTRAK DHEDDY ISCAHYANTO, E.0003135, IMPLEMENTASI PERANAN PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN (Studi Kasus di Kejaksaan Negeri Surakarta). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Penulisan Hukum (Skripsi). 2008. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi peranan penuntut umum dalam proses penuntutan tindak pidana perkosaan dan hambatan-hambatan yang muncul dalam proses penuntutan tindak pidana perkosaan. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dan apabila dilihat dari tujuannya termasuk penelitian hukum empiris. Lokasi penelitian di Kejaksaan Negeri Surakarta. Jenis data yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan yaitu dengan wawancara, observasi dan studi pustaka baik berupa peraturan perundangundangan, buku-buku, tulisan, dan dokumen lainnya. Analisis data kualitatif model interaktif. Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa implementasi peranan penuntut umum dalam proses penuntutan tindak pidana perkosaan antara lain : melakukan penuntutan terhadap tindak pidana perkosaan yang dimulai dari Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) sampai P31 (Surat Pelimpahan Perkara Acara Pemeriksaan Biasa yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri untuk diadakan persidangan), membuat surat tuntutan dan melaksanakan penetapan hakim setelah kasus tersebut diputus oleh hakim dan telah dinyatakan berkekuatan hukum tetap. Hambatan-hambatan yang muncul dalam proses penuntutan tindak pidana perkosaan antara lain : Kurangnya pemenuhan syarat formil maupun syarat materiil dalam BAP yang dibuat oleh penyidik sehingga BAP harus bolak balik dari jaksa kepada penyidik, korban perkosaan balita sehingga menyulitkan Penuntut Umum meminta keterangan dan munculnya hal-hal baru dalam persidangan yang tidak diduga oleh JPU sehingga JPU harus mencari bukti-bukti baru.
14
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kejahatan merupakan suatu realita yang tumbuh di dalam kehidupan masyarakat.
Seiring
dengan
perkembangan
jaman,
kejahatanpun
terus
berkembang juga. Dengan demikian permasalahan kejahatan banyak bermunculan dan semakin kompleks. Kejahatan timbul di mana saja, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Semakin hari kejahatan semakin meningkat secara signifikan, hal itu tentu saja akan menimbulkan keresahan dan terganggunya ketentraman dalam
masyarakat sehingga akan membahayakan
masyarakat itu sendiri.
Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, telah ditegaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Itu berarti bahwa Indonesia menjunjung tinggi hukum yang berdasarkan pancasila dan Undang– Undang Dasar 1945. Negara melindungi dan menjamin hak–hak asasi manusia, misalnya hak asasi manusia dibidang hukum yaitu segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Untuk menciptakan suasana yang tentram dan tertib dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara maka diperlukan aturan hukum atau norma/kaidah untuk menjamin hak–hak dan kewajiban masyarakat itu sendiri.
Mengingat meningkatnya kasus kejahatan yang semakin kompleks tersebut maka perlu dilakukan penanganan secara serius oleh aparat penegak hukum bersama dengan masyarakat dan melakukan upaya–upaya yang bersifat preventif untuk mengatasi kejahatan, sehingga akan tercipta stabilitas keamanan dalam masyarakat.
15
Sebagaimana tersirat dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP dijelaskan bahwa tujuan hukum acara pidana adalah mencari dan mendapatkan atau setidaktidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkaplengkapnya dari suatu tindak pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara tepat dengan tujuan untuk mencari pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu tindak pidana, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah orang tersebut terbukti melakukan tindak pidana sehingga dapat dipersalahkan.
Pada akhir–akhir ini sering terjadi tindak pidana perkosaan, hal tersebut dapat kita ketahui melalui pemberitaan yang disampaikan dalam media cetak maupun elektronik. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pihak-pihak yang berwenang untuk mengatasi tindak pidana perkosaan, akan tetapi belum mencapai hasil yang maksimal. Tindak pidana perkosaan di sebabkan oleh beberapa hal,diantaranya: Banyaknya peredaran VCD porno di pasaran, situs–situs porno yang dapat djumpai dengan mudah didalam internet dan tayangan televisi yang berbau porno. Tindak pidana perkosaan perlu mendapatkan perhatian yang serius oleh para pihak yang terkait karena tindak pidana ini akan menyebabkan trauma bagi korban yang mengalaminya. Maka diperlukan lembaga yang memberi perlindungan bagi korban perkosaan dan sanksi hukum yang berat bagi pelaku tindak pidana perkosaan sehingga hal tersebut dapat mengurangi atau menekan terjadinya tindak pidana perkosaan.
Tindak pidana perkosaan merupakan tindak pidana yang mengancam kehormatan orang lain, dalam Pasal 285 KUHP tindak pidana perkosaan tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Pada umumnya perkosaan dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan di luar pernikahan dan dengan kekerasan maupun ancaman. Sehingga akan mengakibatkan penderitaan/trauma bagi korbannya.
16
Berdasarkan kasus–kasus tindak pidana perkosaan yang sering terjadi maka diperlukan peraturan perundang–undangan yang mempunyai sanksi berat dan aparat penegak hukum yang solid untuk menegakkan supremasi hukum. Peran penuntut umum sebagai salah satu aparat penegak hukum dituntut harus mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya secara profesional. Yaitu melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana perkosaan dan meminta kepada hakim untuk memutus perkara tersebut. Dalam melaksanakan tugas penuntutan, penuntut umum harus berdasarkan pada fakta-fakta di persidangan dan berdasarkan keterangan saksi-saksi. Tugas penuntut umum yang terakhir yaitu melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Semua tindakan yang dilakukan oleh penuntut umum tersebut merupakan salah satu upaya untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat dan terpenuhinya rasa keadilan.
Dengan melihat fakta–fakta yang terjadi tersebut, maka penulis tertarik untuk mengambil judul: IMPLEMENTASI PERANAN PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN (Studi kasus di Kejaksaan Negeri Surakarta).
B. Perumusan Masalah Sehubungan dengan beberapa hal yang penulis telah kemukakan tersebut, maka permasalahan–permasalahan pokok yang akan dibahas antara lain : 1. Bagaimanakah
implementasi peranan penuntut umum dalam proses
penuntutan tindak pidana perkosaan? 2. Hambatan–hambatan apa saja yang muncul dalam proses penuntutan tindak pidana perkosaan?
C. Tujuan Penelitian Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis (Soerjono Soekanto, 1986 : 42). Adapun tujuan penelitian ini adalah :
17
1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui peranan jaksa dalam proses penuntutan tindak pidana perkosaan b. Untuk mengetahui apa saja hambatan–hambatan yang muncul dalam proses penuntutan tindak pidana perkosaan. 2. Tujuan subyektif a. Untuk memperdalam pengetahuan penulis dalam bidang hukum acara pidana, khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana perkosaan b. Sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang ilmu hukum di fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
D. Manfaat penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis a. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang dapat dipergunakan dalam penulisan karya ilmiah di bidang hukum. b. Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat ditemukan metode yang efektif guna mencegah bahkan memberantas kejahatan tersebut dikemudian hari. c. Untuk lebih dapat mendalami teori–teori yang telah dipelajari selama kuliah di Fakultas Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Manfaat Praktis a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi berbagai pihak mengenai Peranan jaksa dalam menjalankan tugas dan kewajibannya melakukan penuntutan terhadap suatu tindak pidana, dalam hal ini tindak pidana perkosaan. b. Memberikan tambahan pengetahuan mengenai apa yang dikategorikan sebagai tindak pidana perkosaan.
18
E. Metode Penelitian Metode yang akan digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Penelitian hukum yang digunakan oleh peneliti ini adalah termasuk dalam penelitian hukum empiris karena dalam penelitian ini penulis memperoleh data primer atau data yang pertama kali didapatkan dilapangan atau dalam masyarakat. 2. Sifat Penelitian Dilihat dari sifatnya penelitian ini termauk penelitian deskritif, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala–gejala lainnya (Soerjono Soekanto, 1986: 10). Maksud penelitian ini terutama untuk mempertegas hipotesa–hipotesa, agar dapat membantu di dalam memperkuat teori–teori lama atau didalam kerangka menyusun teori–teori baru. 3. Pendekatan Penelitian Pendekatan
penelitian
dalam
penulisan
hukum
ini
menggunakan pendekatan penelitian secara kualitatif. Disini memusatkan perhatiannya pada prinsip–prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan–satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia, pola–pola yang di analisis gejala–gejala sosial budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola–pola yang berlaku. (Burhan Ashofa, 2004:20 – 21). 4. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kejaksaan Negeri Surakarta dengan pertimbangan di Kejaksaan Negeri Surakarta terdapat beberapa kasus mengenai tindak pidana perkosaan sehingga penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai proses penuntutannya.
19
5. Jenis Data Data yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian adalah sebagai berikut : a. Data Primer Data primer adalah “data asli“ yang diperoleh peneliti dari tangan pertama, dari sumber asalnya yang pertama yang belum diolah dan diuraikan orang lain (Hilman Hadikusuma, 1995:65). Dalam hal ini data atau keterangan diperoleh dari Kejaksaan Negeri Surakarta. b. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan dokumentasi, yang merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain, yang sudah tersedia dalam bentuk buku–buku atau dokumentasi yang biasanya disediakan diperpustakaan, atau milik pribadi peneliti. (Hilman Hadikusuma, 1995:65). 6. Sumber Data Sumber data adalah tempat dimana data diperoleh. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : a. Sumber Data Primer Sumber data primer yaitu sumber pertama diman sebuah data dihasilkan, seperti pihak–pihak yang terkait secara langsung dengan obyek penelitian. Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data hasil penelitian yang diperoleh dari keterangan jaksa di Kejaksaan Negeri Surakarta. b. Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder yaitu data yang digunakan sebagai bahan penunjang data primer, data–data sekunder tersebut terdapat dalam buku–buku ilmu hukum yang memuat teori–teori dan pandangan pendapat dari para ahli, atau dalam dokumentasi resmi dari pemerintah yang memuat peraturan perundang–undangan, keputusan-
20
keputusan pengadilan, akta–akta Notaris, laporan–laporan, surat–surat dan masih banyak lagi. Menurut Soerjono Soekanto data sekunder ini meliputi : (a). Bahan Hukum Primer Bahan–bahan hukum yang mengikat, terdiri atas : 1. Peraturan Perundang–undangan yang terdiri dari : a. KUHP b. KUHAP c. UU No. 16 tahun 2004 Tentang Kejaksaan R.I (b). Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti : 1. Hasil karya ilmiah para sarjana 2. Hasil penelitian. 3. Buku-buku (c). Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya kamus,
ensiklopedia, indeks kumulatif dan
lain–lain ( Soerjono Soekanto, 1986:52). 7. Instrumen Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan tekhnik pengumpulan data sebagai berikut : (a). Wawancara Wawancara yaitu suatu tekhnik pengumpulan data dengan mengadakan Tanya jawab dengan responden yaitu para pihak yang berkaitan dengan penelitian yaitu jaksa Kejaksaan Negeri Surakarta.
21
(b). Studi Pustaka Studi pustaka adalah pengumpulan data dengan mempelajari peraturan perundangan–undangan, buku, tulisan, dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. 8. Analisis Data Dalam penelitian, teknik analisis data merupakan suatu hal yang sangat penting untuk menguraikan dan memecahkan masalah yang diteliti berdasarkan data-data yang sudah dikumpulkan sehingga akan tercapai sebuah kesimpulan.
Dalam penulisan hukum ini penulis menggunakan teknik analisis data secara kualitatif, yaitu suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga perilaku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. (Soerjono Soekanto 1986:250)
Teknik analisis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik analisis kualitatif model interaktif (Interactive model of analysis). Teknik analisis kualitatif model interaktif yaitu suatu teknik analisa data dengan menggunakan tiga komponen dengan bagan sebagai berikut : a. Reduksi Data Reduksi data merupakan komponen pertama dalam analisis data yang merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, dan abstraksi data dari fieldnote. b.Penyajian Data Penyajian Data merupakan suatu rakitan organisasi informasi, deskripsi dalam bentuk narasi yang memungkinkan simpulan penelitian dapat dilakukan.
22
c. Penarikan Kesimpulan Merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh peneliti yang perlu diverifikasi, berupa suatu pengulangan dari tahap pengumpulan data yang terdahulu dan dilakukan secara lebih teliti setelah data tersaji. (HB Sutopo, 1993:91-93).
Ketiga komponen tersebut saling berkaitan sehingga dengan aktivitas yang dilakukan melalui siklus antara komponen-komponen akan diperoleh data yang mewakili dan sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Sehingga apabila dianggap kurang penulis dapat atau wajib kembali melakukan pengumpulan data khusus bagi dukungan yang diperlukan. Hal tersebut tergambar dalam bagan berikut ini :
Pengumpulan data
Penyajian Data
Reduksi Data
Penarikan Kesimpulan
Proses analisis interaksi dimulai pada waktu pengumpulan data. Penelitian selalu memuat reduksi data dan sajian data. Setelah data terkumpul, tahap selanjutnya peneliti mulai melaksanakan usaha penarikan kesimpulan berdasarkan apa yang terdapat dalam reduksi data dan sajian data. Apabila data yang ada dalam reduksi data dan sajian data kurang lengkap, maka kembali ke pengumpulan data. Sehingga antara tahap satu dan tahap yang lainnya harus terus barhubungan dengan membuat suatu siklus.
23
F. SISTEMATIKA PENULISAN HUKUM Untuk mempermudah penulisan hukum ini, maka penulis dalam penelitiannya membagi menjadi 4 (empat) bab, dan tiap–tiap bab dibagi dalam sub–sub yang disesuai kan dengan lingkup pembahasannya.
Adapun sistematika penulisan hukum atau skripsi ini adalah sebagai berikut : BAB I
: PENDAHULUAN Pada bab ini akan diuraikan mengenai pendahuluan yang terdiri dari : Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian,
Manfaat
Penelitian,
Metode
Penelitian,
dan
Sistematika Penulisan Hukum. BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan diuraikan mengenai tinjauan pustaka yang terdiri dari kerangka teori dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori berisi Tinjauan Umum Tentang Jaksa/Penuntut Umum, Tinjauan Umum Tentang Penuntutan, Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Perkosaan. Sedangkan dalam kerangka pemikiran berisi pemikiran mengenai peranan jaksa di Kejaksaan Negeri Surakarta dalam proses penuntutan tindak pidana perkosaan.
BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai implementasi peranan penuntut umum dalam proses penuntutan tindak pidana perkosaan. Selain itu penulis akan menguraikan hambatanhambatan yang muncul dalam proses penuntutan tindak pidana perkosaan.
BAB IV
: PENUTUP Dalam bab ini akan diuraikan kesimpulan dari jawaban permasalahan-permasalahan yang menjadi obyek penelitian. Selain itu juga akan diuraikan saran-saran yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kinerja aparat penegak hukum
24
dalam menegakkan supremasi hukum dan untuk mengurangi tindak pidana perkosaan.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
25
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Jaksa / Penuntut Umum a. Pengertian Jaksa Pengertian jaksa dari sudut etimologi bahasa, ada beberapa pendapat yang mengemukakan. Menurut konsep pemikiran dari R. TRESNA, menyatakan “Bahwa nama jaksa atau yaksa berasal dari India dan gelar itu di Indonesia di berikan kepada pejabat yang sebelum pengaruh hukum hindu masuk di Indonesia, sudah biasa melakukan pekerjaan yang sama”. (R Tresna dalam Ilham Gunawan, 1994:41). Dari sisi lain, menurut pandangan pemikiran cendekiawan kejaksaan yaitu SAHERODJI, menjelaskan bahwa : “Kata Jaksa berasal bahasa sansekerta yang berarti pengawas (Superintedant) atau pengontrol yaitu pengawas soal–soal kemasyarakatan”. (Saherodji dalam Ilham Gunawan, 1994:42). Kemudian sesuai dengan lampiran Surat Keputusan Jaksa Agung R.I tahun 1978, menyatakan bahwa pengertian Jaksa ialah : Jaksa asal kata dari Seloka Satya Adhy Wicaksana yang merupakan Trapsila Adhyaksa yang menjadi landasan jiwa dan raihan cita–cita setiap warga Adhyaksa.
Menurut Bab I ketentuan umum
Pasal 1 ayat 6a Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang undang–undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diangkat dan diberhentikan oleh jaksa agung. Dalam melakukan tugas penuntutan, Jaksa bertindak untuk dan atas nama negara, dengan
26
keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah serta demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan menurut Undang–undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang–undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang–undang.
b. Pengertian Penuntut Umum Pengertian penuntut umum menurut C. S. T. Kansil, penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang–undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim (pasal 13 KUHAP). (C.S.T Kansil, 1986:357). Rumusan penuntut umum ditegaskan kembali dalam Bab I Ketentuan Umum pasal 1 ayat 6b, Pasal 13 Kitab Undang–undang Hukum Acara Pidana, Undang– undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
c. Tugas dan Wewenang Penuntut Umum Ada beberapa bidang tugas dan wewenang Kejaksaan yang diatur menurut Undang–Undang Nomor 16 Tahun 2004 (Pasal 30) yaitu sebagai berikut : 1) Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : a)
Melakukan penuntutan
b)
Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
c)
Melakukan pengawasan terhadap putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan dan keputusan lepas bersyarat
27
d)
Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang–undang
e)
Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik
2) Dibidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik didalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. 3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan : a)
Peningkatan kesadaran hukum masyarakat
b)
Pengamanan kebijakan penegakan hukum
c)
Pengawasan peredaran barang cetakan
d)
Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara
e)
Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama
f)
Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal
Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seorang terdakwa dirumah sakit, tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal–hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan, atau dirinya sendiri. (Pasal 31 Undang–Undang Nomor 16 Tahun 2004).
Mengenai tugas dan wewenang kejaksaan di tegaskan kembali dalam Pasal 27 KUHAP.
28
Kewenangan Penuntut Umum secara normatif dirumuskan oleh KUHAP melalui pasal 14 yaitu : 1) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dan penyidik atau penyidik pembantu. 2) Mengadakan
prapenuntutan
apabila
ada
kekurangan
pada
penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (3) dan (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik. 3) Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik. 4) Membuat surat dakwaan 5) Melimpahkan perkara ke pengadilan. 6) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan. 7) Melakukan penuntutan. 8) Menutup perkara demi kepentingan hukum. 9) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang–undang ini. Adapun yang dimaksud dengan “Tindakan lain” adalah : meneliti identitas tersangka, meneliti barang bukti, penelitian tersebut dengan memperhatikan secara tegas batas wewenang dan fungsi antara penyidik penuntut umum dan pengadilan. 10) Melaksanakan penetapan hakim. Penuntut umum menuntut perkara tindak pidana yang terjadi dalam daerah hukumnya menurut ketentuan undang–undang. (Pasal 15).
29
Penuntut Umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili. (Pasal 137 KUHAP).
Hal yang paling urgen untuk dibahas berkaitan dengan kewenangan diatas diantaranya adalah Prapenuntutan. Prapenuntutan muncul bersamaan dengan diundangkannya KUHAP melalui Undang– undang Nomor 8 Tahun 1981.
Mengamati kewenangan penuntut umum, maka menarik untuk dibahas adalah prapenuntutan (vide pasal 14 huruf b KUHAP). Menurut Andi Hamzah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan prapenuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan oleh penyidik. (Andi Hamzah dalam Bambang Waluyo, 2000 : 60). Prapenuntutan merupakan tahap yang amat penting bagi penuntut umum, yang menginginkan tugas penuntutan berhasil baik. Agar prapenuntutan dapat berdaya guna dan berhasil guna, kiranya perlu diperhatikan faktor–faktor tertentu (Puslitbang Kejaksaan Agung RI dalam Bambang Waluyo, 2000:62) yang pada pokoknya : a) Pembinaan hubungan kerja sama antara penyidik dengan penuntut umum,
baik
sebelum
atau
lebih–lebih
sesudah
adanya
pemberitahuan penyidikan kepada penuntut umum. Pembinaan hubungan kerja sama dan koordinasi ini dimaksudkan untuk terarahnya penyidikan oleh penyidik, baik mengenai diri tersangka, perbuatan yang disangkakan maupun pembuktian sehingga dapat dihindarkan hasil penyidikan yang berlarut–larut dan mondar mandir berkas perkara antara penyidik dengan penuntut umum. b) Kewajiban penelitian kelengkapan hasil penyidikan meliputi antara lain kelengkapan berita acara, keabsahan tindakan penyidik,
30
kesempurnaan alat bukti yang sah, alasan dan dasar penahanan tersangka, kecocokan benda sitaan/barang bukti dengan daftar yang tercantum dalam berkas perkara dan faktor–faktor lain yang dinilai perlu. c) Apabila jaksa peneliti/jaksa penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan belum lengkap, dalam waktu
hari harus
memberitahukan kepada penyidik disertai petunjuk–petunjuk yang terperinci.
Pasal–pasal didalam KUHAP yang perlu dicermati berkaitan dengan prapenuntutan pada pokoknya adalah pasal 14 huruf b, Pasal 109, 110, 138, 139, dan Pasal 140.
2. Tinjauan Umum Tentang Penuntutan a. Pengertian Penuntutan Menurut Pasal 1 butir 7 KUHAP, Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang–undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Dari rumusan pasal diatas secara singkat proses penuntutan dan tuntutan pidana sebagai berikut : 1) Pelimpahan perkara pidana yang disertai surat dakwaan ke pengadilan yang berwenang. 2) Pemeriksaan disidang pengadilan 3) Tuntutan pidana. 4) Putusan hakim.
Yang diatur dalam bidang penuntutan adalah cara–cara yang harus
ditempuh
dalam
menegakkan
ketertiban
umum
dalam
masyarakat, sekaligus bertujuan melindungi hak–hak asasi tiap
31
individu baik yang menjadi korban maupun si pelanggar hukum. (Suharto RM, 1994 : 4).
b. Tujuan Penuntutan. Tujuan tindakan penuntutan adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak–tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap–lengkapnya dari suatu perkara pidana yang didakwakan dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan pengadilan guna menentukan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan. Berbicara mengenai tujuan tuntutan pidana tidak dapat dilepaskan dengan hak–hak asasi manusia dalam negara hukum yang mempunyai sifat universal seperti pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi maka tindakan pemerintah dalam arti tindakan aparatur negara yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum untuk terjaminnya peradilan yang bebas selalu dikaitkan dengan sendi yang utama yaitu jaminan perlindungan terhadap hak asasi. Dalam usaha mencapai tujuan penuntutan seperti yang diuraikan diatas juga perlu diingat salah satu asas “Praduga tak bersalah”, maka wajar apabila tersangka dan terdakwa dalam proses peradilan pidana wajib mendapat hak–haknya, antara lain hak untuk segera diperiksa di tingkat penyidikan, pemeriksaan di pengadilan dan memperoleh keputusan hakim. (Suharto RM, 1994 : 17–18).
b. Penuntutan Tindak Pidana Di Pengadilan a) Surat Dakwaan (1) Pengertian Surat Dakwaan Apabila melihat dalam kamus peristilahan Hukum dalam praktek yang diterbitkan Kejaksaan Agung tahun 1985 memberi batasan surat dakwaan : “ Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat tindak pidana dilakukan”. (Pasal 143 (2) b KUHAP).
32
Cermat adalah ketelitian jaksa penuntut umum dalam mempersiapkan surat dakwaan yang didasarkan kepada undang– undang yang berlaku bagi terdakwa, tidak terdapat kekurangan dan atau kekeliruan yang dapat mengakibatkan batalnya surat dakwaan atau dakwaan tidak dapat dibuktikan.
Jelas yaitu penuntut umum harus mampu merumuskan unsur–unsur delik yang didakwakan sekaligus memadukan dengan uraian perbuatan materiil ( fakta ) yang dilakukan terdakwa dalam surat dakwaan.
Lengkap adalah uraian dakwaan harus mencakup semua unsur–unsur yang ditentukan undang–undang secara lengkap.
Berbeda dengan batasan yang diberikan oleh A. Karim Nasution, Tuduhan adalah : “Suatu surat atau akta yang memuat suatu perumusan dari tindak pidana yang dituduhkan yang sementara dapat disimpulkan dari surat pemeriksaan pendahuluan yang merupakan dasar bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan, yang apabila ternyata cukup alat bukti terdakwa dapat dijatuhi hukuman”. (A.Karim Nasution dalam Suharto RM, 1994:32). Tetapi apabila diperhatikan beberapa rumusan tentang surat dakwaan tersebut diatas dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud surat dakwaan ialah :
“Suatu surat dakwaan yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa berdasarkan dari hasil penyidikan yang akan dijadikan dasar pemeriksaan di muka sidang pengadilan” (Suharto RM, 1994 :32).
33
(2) Fungsi Surat Dakwaan Dalam pasal 139 KUHAP mengatur sebagai berikut : Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan yuridis untuk dapat atau tidaknya dilimpahkan ke pengadilan.
Apabila penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, penuntut umum dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan (vide Pasal 140 ayat 1 KUHAP).
Hakikatnya,
surat
dakwaan
berfungsi
sebagai
dasar
pemeriksaan bagi hakim didalam sidang pengadilan. Betapa pentingnya surat dakwaan ini sehingga KUHAP mengancam apabila tidak memenuhi persyaratan tertentu maka batal demi hukum (vide Pasal 143 ayat 3 KUHAP). Dikutip selengkapnya pasal 143 KUHAP, yang menegaskan sebagai berikut : (1). Penuntut umum melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai surat dakwaan. (2). Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi : (a) Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka (b) Uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan (3). Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum.
34
(4). Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan penyampaian
surat
pelimpahan
perkara
tersebut
ke
Pengadilan Negeri.
Di dalam sidang pengadilan, fokus pemeriksaan harus tetap pada pembuktian surat dakwaan. Apabila tidak terbukti, terdakwa dibebaskan dan apabila terbukti sebagai tindak pidana maka terdakwa dijatuhi pidana. Dengan demikian, tersangka hanya dapat dipidana jika terbukti telah melakukan delik yang disebut dalam dakwaan. Jika terdakwa terbukti melakukan delik tetapi tidak disebut dalam dakwaan, maka ia tidak dapat dipidana. (Andi Hamzah dalam Bambang Waluyo, 2000 :65).
(3). Bentuk Surat Dakwaan Mengingat pentingnya surat dakwaan untuk dapat dibuktikan bahwa perbuatan yang disebut dalam surat dakwaan itu benar– benar telah terjadi dan hakim yakin bahwa terdakwa yang salah, maka surat dakwaan perlu dibuat dengan bentuk tertentu, dengan tujuan jangan terjadi suatu perbuatan yang merupakan tindak pidana dan sifatnya mengganggu keamanan, ketertiban hukum dalam masyarakat lepas dari tuntutan pidana.
Berdasarkan bervariasinya bentuk tindak pidana yang dilakukan terdakwa, maka surat dakwaan juga berkembang mengikuti lajunya ilmu pengetahuan dan praktek peradilan.
Bentuk surat dakwaan adalah penting bagi penuntut umum dalam rangka menyusun strategi penuntutan untuk menghadapi banyak ragamnya kejahatan yang terjadi.
35
Penyusunan surat dakwaan dikenal ada 5 (lima) bentuk (Kejaksaan Agung dalam Bambang Waluyo, 2000:66-68). (a). Tunggal Dakwaan tunggal, apabila jaksa penuntut umum berpendapat dan yakin benar bahwa : (i) Perbuatan yang dilakukan terdakwa hanya merupakan satu tindak pidana saja (ii) Terdakwa melakukan satu perbuatan, tetapi termasuk dalam
beberapa
ketentuan
pidana
(eendaadsche
samenloop = Concursus Idealis) sebagaimana dimaksud dalam pasal 63 ayat 1 KUHP (iii)Terdakwa
melakukan
perbuatan
yang
berlanjut
(Voorgezette handeling), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat 1 KUHP (b). Kumulatif (Cumulative Ten Laste Legging ) Dalam satu surat dakwaan, beberapa tindak pidana yang masing–masing berdiri sendiri, artinya tidak ada hubungan antara tindak pidana yang satu terhadap yang lain, didakwakan secara serempak. Yang penting dalam hal ini, bahwa subjek pelaku tindak pidana adalah terdakwa yang sama. Konsekuensi pembuktiannya adalah bahwa masing–masing dakwaan harus dibuktikan. (c). Subsidiair (Subsidiair Ten Laste Legging) Dalam surat dakwaan, didakwakan beberapa perumusan tindak pidana, dan perumusan itu disusun sedemikian rupa secara bertingkat dari dakwaan yang paling berat sampai dakwaan yang paling ringan. Jadi pada hakikatnya, dalam bentuk surat dakwaan subsider ini, hanya satu tindak pidana saja yang sebenarnya akan didakwakan kepada terdakwa.
36
(d). Alternatif ( Alternatif Ten Laste Legging ) Dalam surat dakwaan, didakwakan beberapa perumusan tindak pidana, tetapi pada hakikatnya yang merupakan tujuan utama ialah hanya ingin membuktikan satu tindak pidana saja diantara rangkaian tindak pidana yang didakwakan. Dalam hal itu Jaksa Penuntut Umum belum mengetahui secara pasti, apakah tindak pidana yang satu atau yang lain yang dapat dibuktikan, dan ketentuan manakah yang akan diterapkan oleh hakim. Jadi, disini Jaksa Penuntut Umum mengajukan bentuk dakwaan yang
bersifat
pembuktiannya
alternatif
atau
pilihan.
Konsekuensi
adalah apabila dakwaan yang dimaksudkan
telah terbukti maka yang lain tidak perlu dihiraukan lagi. (e). Kombinasi Sekarang ini dalam praktek berkembang, bentuk surat dakwaan yang disusun secara kombinasi, yang didalamnya mengandung bentuk dakwaan kumulatif, yang masing-masing dapat terdiri pula dari dakwaan subsidair dan atau alternatif atau dapat juga antara bentuk subsidair dengan kumulatif. Dimuka sudah diutarakan betapa penting surat dakwaan dalam persidangan pidana, bukan saja untuk penuntut umum dan hakim, tetapi penting pula bagi terdakwa. Jadi, surat dakwaan sangat penting bagi jaksa, terdakwa, dan hakim. (i). Jaksa sendiri, sebagai dasar untuk melakukan penuntutan perkara ke pengadilan dan kemudian untuk dasar pembuktian dan pembahasan yuridis dalam tuntutan pidana (requisitoir) serta selanjutnya dasar untuk melakukan upaya hukum. (ii).Terdakwa,
Sebagai
dasar
dalam
pembelaan
dan
menyiapkan bukti-bukti kebalikan terhadap apa yang telah didakwakan terhadapnya. (iii).Hakim,
sebagai
dasar
untuk
pemeriksaan
disidang
pengadilan dan putusan yang akan dijatuhkan tentang
37
terbukti/tidaknya kesalahan terdakwa sebagaimana dimuat dalam surat dakwaan.
b) Melimpahkan Perkara (1) Apabila berkas perkara telah diterima dari penyidik telah diperiksa
oleh penuntut umum dan terdapat cukup alasan
untuk didakwa telah melakukan tindak pidana sebagaimana diuraikan dan diancam pidana dengan dasar tersebut, penuntut umum mempunyai wewenang melakukan penuntutan atas suatu perkara dan perkara itu segera dilimpahkan tanggung jawabnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili dan minta agar segera mengadili atas dakwaan sebagaimana dimaksud dalam surat dakwaan yang dilampirkan (2) Penuntut umum meminta agar pengadilan menetapkan hari persidangan untuk mengadili perkara tersebut dan menetapkan panggilan menghadap kepada terdakwa serta para saksi (3) Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara ke pengadilan
Dasar pelimpahan berkas perkara pidana diatur dalam pasal 139 KUHAP. yang berbunyi : ”Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segara menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan”.
Apabila isi dari pasal 139 KUHAP diatas diteliti maka dengan jelas tersirat adanya sikap mandiri yang berada pada penutut umum, hal ini dapat dilihat dalam pasal tersebut dimana
38
penuntut umum diberi wewenang menentukan ”Melakukan tindakan untuk melimpahkan berkas perkara ke pengadilan”.
Sikap mandiri penuntut umum juga dapat dilihat dalam ketentuan yang mengatur wewenang penuntut umum dalam melakukan penuntutan. Yaitu pasal 137 KUHAP.
Dengan sikap mandiri yang dimiliki penuntut umum maka : (1) Penuntut umum harus betul-betul memahami, mempelajari hasil penyidikan yang telah diterima dari penyidik (2) Penuntut Umum harus dapat mengantisipasi kemungkinan yang terjadi dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, bagaimana kalau terdakwa mengajukan alibi, bukti balik atau saksi dan terdakwa menarik keterangan dari hasil penyidikan
Dalam penyelesaian perkara pidana Jaksa Agung mempunyai kebebasan bertindak yang biasa disebut : ”Freies Ermessen Discretion” artinya hak jaksa agung mengambil keputusan menurut pendapat sendiri, kebebasan wewenang eksekusi dengan secara selektif dan kasuistis. (Peristilahan hukum dalam praktek, Kejaksaan Agung RI, 1985). (1) Apabila kepentingan umum menghendaki bahwa agar penuntut umum tidak melimpahkan perkara ke pengadilan (2) Apa dasar hukum bagi penuntut umum tidak untuk melakukan penuntutan (vervolgings uitsluitings gronden) (3) Ada alasan yang cukup penuntut umum menangguhkan penuntutan
39
Dalam melimpahkan perkara suatu tindak pidana ke pengadilan diatur dalam Pasal 143 KUHAP yang bunyinya sebagai berikut :
Ayat 1 Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan Negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai surat dakwaan. Dalam pasal 143 ayat 1 KUHAP tersebut ada kata melimpahkan dan dalam penjelasan yang dimaksud dengan ” surat pelimpahan perkara ” adalah surat pelimpahan perkara itu sendiri lengkap beserta surat dakwaan dan berkas perkara. Menurut penjelasan tersebut tidak disinggung tentang arti yuridis dari pelimpahan perkara, yang dijelaskan hanya maksud dari pelimpahan perkara.
Apabila penuntut umum yakin bahwa berkas perkara sudah memenuhi syarat dilimpahkan ke pengadilan untuk di sidangkan dan dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan serta menyiapkan barang bukti yang mendukung pembuktian. Sesudah itu tinggal melimpahkan perkara dengan bentuk acara pemeriksaan yang cocok dengan jenis tindak pidana yang akan diajukan ke muka sidang pengadilan.
Meskipun semula penuntut umum sudah mempunyai ketetapan bahwa surat dakwaan sudah lengkap, namun masih diberi kesempatan untuk mengubah surat dakwaan satu kali selambat-lambatnya 7 hari sebelum sidang di mulai. Mengenai perubahan surat dakwaan diatur dalam Pasal 144 KUHAP.
c) Mempersiapkan Tindakan Penuntutan (1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan ia harus segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi
40
persyaratan yuridis untuk dapat dilimpahkan ke pengadilan, artinya penuntut umum melimpahkan wewenang dan tanggung jawab suatu perkara yang telah diterima dari penyidik kepada pengadilan
untuk
menetapkan
hari
persidangan
untuk
mengadili perkara dan menetapkan panggilan terdakwa dan para saksi (2) Penuntut umum harus meneliti kelengkapan alat bukti yang akan digunakan untuk pembuktian di muka sidang pengadilan. Menyiapkan barang bukti yang telah disita yang ada hubungannya dengan tindak pidana yang dilakukan terdakwa
Setelah hari sidang ditetapkan oleh hakim yang bersangkutan selanjutnya penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada terdakwa untuk menghadiri sidang secara sah dengan memuat tanggal, hari, serta jam kapan sidang dimulai, sedangkan panggilan harus diterima oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya 3 hari sebelum sidang dimulai.
Surat panggilan kepada terdakwa dialamatkan tempat tinggal terdakwa
atau
apabila
tempat
tinggalnya
tidak
diketahui
disampaikan di tempat kediaman terakhir.
Apabila terdakwa tidak ada di tempat tinggalnya atau tempat kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui Kepala Desa yang berdaerah hukum tempat tinggal terdakwa atau tempat kediaman terakhir.
Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak
dikenal
surat
panggilan
ditempatkan
pada
tempat
pengumuman di gedung pengadilan yang berwenang mengadili perkara itu.
41
Penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada saksi yang memuat tanggal, hari, serta jam kapan sidang dimulai.
d) Melaksanakan Penuntutan di Sidang Pengadilan Penuntut
umum
harus
bersikap
aktif,
korektif,
dan
profesional dalam acara pembuktian. Dengan demikian, kebenaran materiil tercapai dan sekaligus dakwaan dapat dibuktikan. Oleh karena dalam mempertahankan dan membuktikan surat dakwaan, selain kemampuan berdiskusi dan meyakinkan, hakim juga harus berlandaskan pada etika profesi hukum.
Jadi dalam mempertahankan dan membuktikan dakwaan tidak dilakukan dengan sewenang-wenang, membabi buta, tanpa mengindahkan norma-norma hukum, kesopanan dan kesusilaan, dan sebagainya.
Apabila hakim telah yakin bahwa terdakwa terbukti atas dakwaan yang diajukan dimuka sidang pengadilan dan terbukti salah baru penuntut umum membacakan surat tuntutan pidana kepada terdakwa di hadapan hakim sebagai berikut :
Pertama–tama penuntut umum menguraikan fakta-fakta dan alat-alat bukti yang lain dimuka sidang pengadilan atas dakwaan yang diajukan.
Mengaitkan alat-alat bukti yang sudah dibuktikan sehangga dapat menggambarkan tindak pidana yang dilakukan terdakwa. Apabila unsur tindak pidana yang dilakukan terdakwa telah terpenuhi oleh alat-alat bukti yang diajukan dalam sidang, sehingga terdakwa dapat dinyatakan salah.
42
Apabila unsur yuridis dari tindak pidana terdakwa diatas telah terpenuhi seterusnya penuntut umum mengajukan tuntutan pidana sesuai dengan rasa keadilan dalam masyarakat dan penuntut umum yakin bahwa keadilan tersebut bersumber kepada rasa keadilan dari Ketuhanan Yang Maha Esa.
Maksud tindakan penuntutan tersebut diatas mempunyai tujuan yang jelas antara lain mencari dan menemukan kebenaran sejati untuk memenuhi keinginan para pencari keadilan dan berusaha agar terlaksananya keamanan, ketertiban, yang bermuara kepada kepastian hukum yang berintikan keadilan yang hidup ditengah masyarakat, sehingga masyarakat merasa aman tanpa ancaman dan hidup terasa terayomi.
Dengan demikian seseorang yang didakwa melakukan tindak pidana dan belum dinyatakan bersalah ia mempunyai hak segera mendapat pemeriksaan oleh pengadilan untuk mendapat putusan seadil-adilnya.
Menurut mantan Jaksa Agung Muda Pembinaan, M. Sutadi, mengingatkan
bahwa
Kejaksaan/Jaksa
akan
dianggap
mampu/berhasil melaksanakan tugasnya terutama sebagai Penuntut Umum apabila pada argumentasi dalam menyampaikan tinggi rendahnya tuntutan pidana benar-benar dapat diterima oleh masyarakat
karena
berdasarkan
kepatutan/kewajaran
atau
kebudayaan yang dianut oleh masyarakat. Sebab ujung tombak tugas dari kejaksaan/Jaksa adalah menegakkan keadilan yang didasarkan atas kemanusiaan yang adil dan beradap (M. Sutadi dalam Bambang Waluyo, 2000:70).
43
Sehubungan dengan hal itu, Jaksa Agung antara lain telah menerbitkan Surat Edaran Nomor : SE-003/JA/8/1988, tentang Pedoman Tuntutan Pidana. Pedoman tersebut dimaksudkan untuk : (1) Mewujudkan tuntutan pidana yang lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (2) Mewujudkan tuntutan pidana yang dapat membuat jera pelaku tindak pidana, mampu menimbulkan dampak pencegahan, dan merupakan daya tangkal bagi yang lainnya (3) Mewujudkan kesatuan kebijaksanaan penuntutan, sejalan dengan asas kejaksaan adalah satu dan tidak dapat dipisahkan (4) Menghindarkan adanya disparitas pidana tuntutan pidana untuk perkara-perkara sejenis antara satu daerah dengan daerah lainnya, dengan memperhatikan asas kasuistik pada perkaraperkara pidana
Tindakan penuntutan juga tidak terlepas dengan tujuan pembangunan nasional, dimana tidak hanya mengejar kebutuhan lahiriah ataupun kepuasan batiniah saja, tetapi keseimbangan antara keduanya sehingga akan tercapai masyarakat adil dan makmur yang berdasarkan pancasila.
3. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Perkosaan a. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit ini. Dan sampai sekarang belum ada keseragaman dari terjemahan strafbaar feit namun sering digunakan dalam beberapa literatur maupun juga berbagai perundang-undangan adalah : 1) Tindak Pidana
44
2) Peristiwa Pidana 3) Delik 4) Pelanggaran Pidana 5) Perbuatan yang boleh dihukum 6) Perbuatan yang dapat dihukum 7) Perbuatan Pidana
Pengertian tindak pidana mereka membagi menjadi 2 aliran yaitu mereka yang menamakan diri aliran dualisme yaitu memisahkan antara perbuatan dengan orang, dan aliran yang kedua adalah monoisme yaitu pandangan yang tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dengan unsur-unsur mengenai orangnya.
Menurut Moeljatno unsur atau elemen perbuatan pidana adalah : 1) Kelakuan dan akibat 2) Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan 3) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana 4) Unsur melawan hukum yang obyektif 5) Unsur melawan hukum yang subyektif (Moeljatno, 2000:63).
b. Pengertian Tindak Pidana Perkosaaan Tindak Pidana yang berkaitan dengan kesusilaan telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu pada Bab XIV mengenai Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Begitu juga tindak pidana perkosaan telah diatur pula dalam Bab XIV ini tepatnya dalam Pasal 285 KUHP.
45
Isi Pasal tersebut antara lain : ”Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perkosaan berasal dari kata ” perkosa ” yang berarti paksa, gagah, kuat, perkasa. Memperkosa berarti menundukkan dengan kekerasan, menggagahi, melanggar
(menyerang,
dsb)
dengan
kekerasan.
Sedangkan
pemerkosaan diartikan sebagai proses, cara, perbuatan memperkosa; melanggar dengan kekerasan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka pengertian perkosaan adalah : 1) Suatu hubungan kelamin yang dilarang dengan seseorang wanita tanpa persetujuannya. 2) Persetubuhan yang tidak sah oleh seorang pria terhadap seorang wanita yang dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kemauan/kehendak wanita yang bersangkutan. 3) Perbuatan hubungan kelamin yang dilakukan seorang pria terhadap seorang wanita yang bukan istrinya atau tanpa persetujuannya, dilakukan ketika wanita tersebut ketakutan atau dibawah kondisi ancaman lainnya. ( Suryono Ekotama dkk, 2001 : 99).
c. Perumusan Tindak Pidana Perkosaan dalam KUHP Rumusan pada Pasal 285 KUHP menyebutkan bahwa ”Barangsiapa yang dengan kekerasan atau dengan ancaman memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, karena perkosaan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun”.
46
Mencermati dari pasal 285 KUHP diatas, diketahui bahwa perkosaan memiliki unsur ” memaksa ” dan ” dengan kekerasan ”. Tindak pidana pada pasal 285 KUHP ini mirip dengan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 289 KUHP yang dirumuskan sebagai berikut : ” Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan
yang
menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.
Menurut konstruksi yuridis peraturan perundang-undangan di indonesia ( KUHP ), perkosaan adalah perbuatan memaksa seorang wanita yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Kata-kata ” memaksa dan ” dengan ancaman kekerasan ” disini sudah menunjukkan betapa mengerikannya perkosaan tersebut. Pemaksaan hubungan kelamin pada wanita yang bukan istrinya untuk bersetubuh dan tidak dikehendakinya akan menyebabkan kesakitan hebat pada wanita itu. ( Suryono Ekotama dkk, 2001 : 96 ).
47
B. Kerangka Pemikiran
Tindak pidana perkosaan
Penyelidikan dan penyidikan
PENUNTUTAN
PUTUSAN HAKIM
Peranan jaksa Penuntut Umum dalam penuntutan Hambatan - hambatan
Tindak pidana perkosaan diatur dalam KUHP, yaitu pasal 285 KUHP. Pada akhir-akhir ini tindak pidana perkosaan banyak terjadi dalam masyarakat. Korbannya pun bermacam-macam, mulai dari anak-anak dibawah umur sampai orang dewasa. Tidak jarang akibat perbuatan tindak pidana perkosaan akan meninggalkan trauma yang berkepanjangan bagi korbannya. Penyebab tindak pidana tersebut akibat pengaruh minuman keras, banyaknya peredaran VCD porno, tayangan televisi dan gambar yang berbau pornografi serta situs-situs porno yang banyak terdapat dalam internet.
Apabila tindak pidana itu sudah terbukti dengan berdasarkan cukup bukti dan saksi, maka penuntut umum segera melakukan tindakan penuntutan ke pengadilan. Terkadang penuntut umum mengalami hambatan-hambatan dalam proses penuntutannya.
48
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Implementasi Peranan penuntut umum dalam proses penuntutan tindak pidana perkosaan Berdasarkan hasil penelitian di Kejaksaan Negeri Surakarta, penulis mengambil beberapa contoh kasus sebagai perbandingan dalam menganalisa. Contoh kasus yang akan diambil yaitu kasus perkosaan. Sebelum pembahasan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penuntutan yang dilakukan oleh jaksa selaku penuntut umum dalam membuat tuntutan pidana untuk menyelesaikan perkara maka perlu kiranya diketahui terlebih dahulu mengenai deskripsi kasus sebagai berikut : 1. Kasus Tindak Pidana Perkosaan yang dilakukan oleh terdakwa Marno als Mira. a. Nomor Register Perkara : PDM-122/SKRTA/Ep.2/10/2006 b. Identitas Terdakwa Nama lengkap
: MARNO als. MIRA
Tempat lahir
: Klaten
Umur/tanggal lahir
: 40 Tahun/06 Juni 1966
Jenis kelamin
: Laki-laki
Kebangsaan
: Indonesia
Tempat tinggal
: Karangdowo RT.05/06 Klaten atau Rejosari RT.15 RW.14 Ngemplak Banjarsari Surakarta.
Agama
: Islam
Pekerjaan
:-
Pendidikan
: SMP
c. DAKWAAN PRIMAIR
49
Bahwa ia terdakwa MARNO als MIRA pada hari jum’at tanggal 21 juli 2006 sekira pukul 22.30 WIB atau setidak-tidaknya pada waktuwaktu lain pada bulan juli tahun 2006 atau setidak-tidaknya pada waktu lain masih dalam tahun 2006, bertempat di sebuah tempat kost yang terletak di daerah Ngemplak RT 15 RW 14 Banjarsari Surakarta atau setidak-tidaknya pada suatu
tempat tertentu yang masih termasuk di
daerah hukum di Pengadilan Negeri Surakarta dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seorang wanita (yaitu saksi korban EVI M) untuk melakukan persetubuhan dengan dirinya di luar perkawinan, perbuatan tersebut dilakukan oleh terdakwa dengan cara sebagai berikut: Bahwa pada awal mulanya terdakwa telah kedatangan tamu yaitu DARWIS (belum tertangkap) bersama EVI (saksi korban) yang ingin bermalam ditempat kost terdakwa, selanjutnya sambil mengobrol mereka bertiga memutar VCD porno di dalam kamar kost terdakwa. Oleh karena sudah terangsang, selanjutnya DARWIS (belum tertangkap) memaksa saksi Korban EVI untuk melayani hawa nafsunya yang sudah memuncak, dikarenakan saksi korban EVI bertubuh kecil dan mempunyai daya pikir atau intelektual yang kurang, maka akhirnya DARWIS berhasil melaksanakan niatnya menyetubuhi saksi korban EVI secara paksa dengan disaksikan oleh terdakwa yang berbaring di sebelah saksi korban. Pada saat DARWIS melakukan gerakan tubuhnya naik turun secara teratur atau melaksanakan aksinya menyetubuhi saksi korban EVI, DARWIS sempat menciumi terdakwa yang sedang berbaring di sebelah saksi korban, hingga akhirnya terdakwa juga ikut terangsang. Setelah DARWIS melampiaskan hawa nafsunya, selanjutnya DARWIS menyuruh terdakwa untuk melakukan hal yang sama terhadap saksi korban. Awalnya terdakwa agak risih untuk melakukanya namun setelah alat kemaluanya terdakwa (penisnya) diolesi dengan hand body dan dikocok-kocok oleh DARWIS serta dikarenakan sebelumnya terdakwa
50
telah melihat VCD porno dan juga telah melihat adegan persetubuhan antara DARWIS dengan saksi korban, maka terdakwa juga ikut terangsang sehingga alat kelaminya berdiri tegang dan beberapa saat kemudian terdakwa memasukkan ke dalam alat kelamin (vagina) saksi korban EVI sambil tangannya memegang kedua tangan saksi korban EVI dengan maksud agar saksi korban EVI tidak meronta. Pada saat alat kelamin (penis) terdakwa akan dimasukkan ke dalam alat kelamin saksi korban (vagina), saksi korban sempat meronta dan menolaknya dikarenakan saksi korban masih merasakan sakit pada alat kelamin/vaginanya akibat dipaksa melayani hawa nafsu DARWIS sebelumnya, namun oleh terdakwa dipaksa untuk tetap melayaninya. Setelah alat kelamin terdakwa (penisnya) masuk ke dalam alat kelamin (vagina) saksi korban EVI, selanjutnya terdakwa menggoyang atau menggerakkan badannya naik turun secara teratur untuk beberapa saat kemudian. Pada saat itu terdakwa menggerakkan anggota badannya naik turun secara teratur, saksi korban EVI berusaha meronta dan menjerit minta tolong, namun hal tersebut bukannya membuat terdakwa menghentikan aksinya tetapi malah semakin giat dan keras menggerakkan atau menggoyangkan badan secara naik turun, dan akhirnya terdakwa mencapai puncak kepuasan (orgasme) dengan mengeluarkan air maninya di dalam alat kelamin saksi korban EVI. Bahwa akibat perbuatan terdakwa tersebut, saksi korban secara physikhis mengalami traumatic dan juga mengalami luka pada alat kelamin ditemukan luka robek baru di selaput dara pada jam 2, 5, 9, 12, sekitar kemaluan kanan dan kiri luka lecet dan memar, terdapat luka lecet di lubang kemaluan bagian bawah, semua luka tersebut diakibatkan trauma benda tumpul, sebagaimana diterangkan dalam Visum Et Repertum No.Pol: R/VER-47/VII/2006/Poliklinik tanggal 31 Juli 2006 yang dibuat dan ditandatangani oleh Dr. NARIYANA pada poliklinik Bhayangkara Polwil Surakarta.
51
Perbuatan terdakwa tersebut sebagai mana diatur dan diancam pidana melanggar pasal 285 KUHP. SUBSIDAIR Bahwa ia terdakwa MARNO als. MIRA pada waktu dan tempat sebagaimana diterangkan dalam dakwaan KESATU PRIMAIR tersebut di atas, dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa orang lain untuk melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan, atau membiarkan orang lain untuk melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan, karena salahnya telah melakukan perbuatan merusak kesusilaan, perbuatan tersebut dilakukan oleh terdakwa dengan cara sebagai berikut : Bahwa pada awal mulanya terdakwa telah kedatangan tamu yaitu DARWIS (belum tertangkap) bersama EVI (saksi korban) yang ingin bermalam di tempat kost terdakwa, selanjutnya sambil mengobrol mereka bertiga memutar VCD porno di dalam kamar kost terdakwa. Oleh karena sudah terangsang, selanjutnya DARWIS (belum tertangkap) memaksa saksi Korban EVI untuk melayani hawa nafsunya yang sudah memuncak, dikarenakan saksi korban EVI bertubuh kecil dan mempunyai daya pikir atau intelektual yang kurang, maka akhirnya DARWIS berhasil melaksanakan niatnya menyetubuhi saksi korban EVI secara paksa dengan disaksikan oleh terdakwa yang berbaring di sebelah saksi korban. Pada saat DARWIS melakukan gerakan tubuhnya naik turun secara teratur atau melaksanakan aksinya menyetubuhi saksi korban EVI, DARWIS sempat menciumi terdakwa yang sedang berbaring di sebelah saksi korban, hingga akhirnya terdakwa juga ikut terangsang. Setelah DARWIS melampiaskan hawa nafsunya, selanjutnya DARWIS menyuruh terdakwa untuk melakukan hal yang sama terhadap saksi korban. Awalnya terdakwa agak risih untuk melakukanya namun setelah alat kemaluanya terdakwa (penisnya) diolesi dengan hand body dan dikocok-kocok oleh DARWIS serta dikarenakan sebelumnya terdakwa telah melihat VCD porno dan juga
52
telah melihat adegan persetubuhan antara DARWIS dengan saksi korban, maka terdakwa juga ikut terangsang sehingga alat kelaminya berdiri tegang dan beberapa saat kemudian terdakwa memasukkan ke dalam alat kelamin (vagina) saksi korban EVI sambil tangannya memegang kedua tangan saksi korban EVI dengan maksud agar saksi korban EVI tidak meronta. Pada saat alat kelamin (penis) terdakwa akan dimasukkan ke dalam alat kelamin saksi korban (vagina), saksi korban sempat meronta dan menolaknya dikarenakan saksi korban masih merasakan sakit pada alat kelamin/vaginanya akibat dipaksa melayani hawa nafsu DARWIS sebelumnya, namun oleh terdakwa dipaksa untuk tetap melayaninya. Setelah alat kelamin terdakwa (penisnya) masuk kedalam alat kelamin (vagina) saksi korban EVI, selanjutnya terdakwa menggoyang atau menggerakkan badannya naik turun secara teratur untuk beberapa saat kemudian. Pada saat itu terdakwa menggerakkan anggota badannya naik turun secara teratur, saksi korban EVI berusaha meronta dan menjerit minta tolong, namun hal tersebut bukannya membuat terdakwa menghentikan aksinya tetapi malah semakin giat dan keras menggerakkan atau menggoyangkan badan secara naik turun, dan akhirnya terdakwa mencapai puncak kepuasan (orgasme) dengan mengeluarkan air maninya di dalam alat kelamin saksi korban EVI. Bahwa akibat perbuatan terdakwa tersebut, saksi korban secara physikhis mengalami traumatic dan juga mengalami luka pada alat kelamin ditemukan luka robek baru di selaput dara pada jam 2, 5, 9, 12, sekitar kemaluan kanan dan kiri luka lecet dan memar, terdapat luka lecet di lubang kemaluan bagian bawah, semua luka tersebut diakibatkan trauma benda tumpul, sebagai mana diterangkan dalam Visum Et Repertum No.Pol : R/VER-47/VII/2006/Poliklinik tanggal 31 Juli 2006 yang dibuat dan ditandatangani oleh Dr. NARIYANA pada poliklinik Bhayangkara Polwil Surakarta.
53
Perbuatan terdakwa tersebut sebaimana diatur dan diancam pidana melanggar pasal 289 KUHP. d. TUNTUTAN Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan persidangan berturut-turut berupa keterangan saksi-saksi yang terdiri dari saksi EVI MIRANDA, saksi MIRANTI, saksi WAHYUNI, surat Visum Et Repertum No.Pol. R/VER-47/VII/2006/Poliklinik tanggal 31 Juli 2006 yang dibuat dan ditanda tangani oleh Dr. Nariyana pada poliklinik Bhayangkara Polwil Surakarta dan keterangan terdakwa MARNO als.MIRA. Barang bukti 1 (satu) potong celana dalam warna biru tua dan 1 (satu) potong celana pendek warna ungu tua. Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, maka sampailah kepada pembuktian mengenai unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan yaitu : Primair melanggar pasal 285 KUHP, yang unsur-unsurnya : 1. Unsur Barang Siapa Yang dimaksud barang siapa adalah manusia sebagai subyek hukum yaitu sesuai dengan identitas dan dakwaan bahwa terdakwa MARNO als.MIRA sehat jasmani dan rohani, mampu bertanggung jawab secara hukum, dan selama proses persidangan tidak ditemukan alasan yang menghapus tanggung jawab pidana atas diri terdakwa. 2. Unsur dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita untuk melakukan persetubuhan dengan dirinya di luar perkawinan. Bahwa berdasarkan keterangan para saksi dan adanya barang bukti Visum Et Repertum No.Pol. R/VER-47/VII/2006/Poliklinik tanggal 31 Juli 2006 yang dibuat dan ditanda tangani oleh Dr.Nariyana dan keterangan terdakwa telah terdapat persesuaian yaitu : - Bahwa pada hari jum’at tanggal 21 Juli 2006 sekitar pukul 23.00 WIB di tempat kost terdakwa MARNO als.MIRA Kp.Ngemplak Rt.01/15
54
Banjarsari Surakarta, terdakwa telah melakukan persetubuhan dengan saksi korban EVI MARINDA. - Bahwa hal tersebut telah terlaksana dengan cara pada waktu DARWIS (belum tertangkap) bersama-sama dengan terdakwa dan korban berada di dalam kamar kost terdakwa sedang menonton VCD porno, tiba-tiba sdr. DARWIS dengan memaksa korban membuka baju korban, namun korban menolak, setelah korban menolak, DARWIS dengan kata-kata mengancam “Kalau kamu ngomong sama ibu kost, kamu saya bunuh”. - Bahwa mendengar kata-kata tersebut, korban takut, setelah baju korban dapat dibuka, DARWIS dengan cara mencumbu rayu, menciumi pipi dan sambil meremas-remas payudara korban dan korban diperlakukan tersebut juga tidak mau, namun DARWIS terus memaksa korban. - Bahwa setelah dapat diperlakukan tersebut, kemudian terdakwa dengan cara memegangi tangan korban kemudian DARWIS telah membuka pakaiannya dan dalam keadaan penis DARWIS sudah tegang kemudian tubuh DARWIS menindih tubuh korban, dan kemaluannya dimasukkan ke dalam kemaluan korban, namun sebelum kemaluannya dapat dimasukkan ke kemaluan korban, tangan korban dipegangi DARWIS, kemudian terdakwa ganti memegangi kaki korban, setelah dapat dipegangi terdakwa, kemaluan DARWIS dimasukkan ke kemaluan korban. Setelah dapat masuk, oleh DARWIS kemaluannya digerakgerakkan dan mengeluarkan air mani (sperma) di kemaluan korban. - Setelah itu kemaluan terasa sakit dan korban tidak merasakan nikmat, kemudian selang beberapa waktu, terdakwa juga melakukan hal yang sama yaitu dengan cara tangan korban dipegangi oleh DARWIS, korban dalam keadaan telanjang dan tubuh lemas sehingga korban sudah tidak berdaya, kemudian terdakwa dengan kemaluan yang sudah tegang menindih tubuh korban, setelah ditindih sambil memegangi tangan korban, dan DARWIS ganti memegangi kaki korban, kemaluan terdakwa dimasukkan ke kemaluan korban, dan digerak-gerakkan naik turun hingga mengeluarkan sperma di kemaluan korban.
55
- Bahwa setelah kejadian tersebut, korban tambah tak berdaya sambil rebahan didalam kamar tersebut, kemudian DARWIS pamit pada korban pergi keluar sebentar, dan terdakwa pergi kekamar mandi, kemudian terdakwa masak makanan. - Bahwa setelah kejadian tersebut, datang teman terdakwa bernama BAYU melihat korban berada di situ, BAYU juga ikut manyetubuhi korban, dan terdakwa membiarkan saja. - Bahwa setelah di setubuhi BAYU, kemudian BAYU pergi juga dan saat terdakwa sedang di kamar mandi, korban berusaha mencari pertolongan, dengan cara lari ke kamar ibu kost saksi MIRANTI dan sembunyi di bawah tempat tidur kamar ibu kost. Pada waktu sembunyi tersebut, berdasarkan keterangan saksi MIRANTI, korban dalam keadaan sangat ketakutan, apalagi kalau melihat terdakwa semakin takut, kemudian oleh saksi MIRANTI di bawa ke Poltabes hingga menjadi perkara ini. Berdasarkan 47/VII/2006/Poliklinik
Visum
Et
Tanggal
31
Repertum Juli
2006
No.pol.R/VERyang
dibuat
dan
ditandatangani oleh Dr.NARIYANA pada Poliklinik Bhayangkara Polwil Surakarta, yang kesimpulannya saksi korban EVI MIRANDA secara Physikhis mengalami traumatik dan mengalami luka lecet pada alat kelamin, ditemukan luka robek baru selaput dara pada jam 2, 5, 9, dan 12, sekitar kemaluan kanan dan kiri luka lecet dan memar, terdapat luka lecet dilubang kemaluan bagian bawah yang diakibatkan benda tumpul. Bahwa terdakwa adalah bukan suami sah korban. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka terdakwa secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana melanggar pasal 285 KUHP.
56
Karena dakwaan Primair melanggar pasal 285 telah dapat dibuktikan, maka dakwaan Subsidair melanggar pasal 289 KUHP tidak perlu dibuktikan lagi. Sebelum sampai pada tuntutan pidana atas diri terdakwa, maka jaksa mengemukakan hal hal yang menjadi pertimbangan mengajukan tuntutan pidana, yaitu: Hal-hal yang memberatkan : - Perbuatan terdakwa merusak masa depan saksi korban EVI MIRANDA. - Berdasarkan
penelitian
dari
BAPAS,
saksi
korban
mengalami
keterbelakangan mental Hal-hal yang meringankan : - Terdakwa mengakui terus terang dan menyesali perbuatannya. - Terdakwa belum pernah di hukum. - Terdakwa bersikap sopan di persidangan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, jaksa penuntut umum dalam perkara ini dengan memperhatikan ketentuan Undang-undang yang bersangkutan: MENUNTUT Supaya majelis hakim Pengadilan Negeri Surakarta yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan : 1. Menyatakan
terdakwa
MARNO
als
MIRA
terbukti
bersalah
melakukan tindak pidana “Perkosaan“ sebagaimana diatur dalam Pasal 285 KUHP dakwaan Primair. 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa MARNO als MIRA dengan Pidana penjara 6 (enam)tahun dikurangi selama terdakwa dalam tahanan, dengan perintah terdakwa tetap di tahan. 3. menyatakan barang bukti berupa : - 1 (satu) potong celana dalam berwarna biru tua, dikembalikan pada saksi korban EVI MIRANDA
57
- 1 (satu) potong celana pendek warna ungu tua, dikembalikan pada terdakwa MARNO als MIRA 4. menetapkan supaya terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp.2.500,00(dua ribu lima ratus rupiah). Demikian surat tuntutan pidana ini dibacakan dalam sidang yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum Enik Sri Suprapti, SH.
e. Analisis Berdasarkan kasus posisi yang telah diuraikan tersebut dapat diketahui bahwa perbuatan perkosaan yang dilakukan oleh terdakwa sangat keji dan bertentangan dengan kaidah hukum serta kaidah kesusilaan yang berkembang dalam masyarakat. Sesuai dengan asas legalitas, jaksa penuntut umum wajib menuntut pelaku tersebut apabila terdapat cukup alasan yang menyatakan bahwa terdakwa telah melanggar hukum. Sehingga jaksa penuntut umum harus hati-hati dalam melaksanakan tugas penuntutan tersebut karena jaksa penuntut umum harus memperhatikan dan mengutamakan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat. Agar pelaksanaan penuntutan dapat berhasil maka jaksa penuntut umum harus melaksanakan penuntutan sesuai dengan prosedur yang terdapat dalam KUHAP. Kasus perkosaan ini termasuk ke dalam proses pemeriksaan biasa, yang mana di dalam melakukan penuntutan terhadap perkara tersebut membutuhkan waktu yang lama dan jaksa penuntut umum harus bisa membuktikan dakwaan yang diajukan di muka pengadilan. Peranan penuntut umum dalam proses penuntutan yaitu dimulai pada saat
kejaksaan
mendapat
Surat
Pemberitahuan Dimulainya
Penyidikan (SPDP) maka Kepala Kejaksaan Negeri membuat P-16 yaitu Surat Perintah Penunjukan Jaksa Penuntut Umum untuk mengikuti perkembangan penyidikan perkara tindak pidana yang dibuat oleh
58
penyidik kepolisian, jaksa yang ditunjuk oleh Kepala Kejaksaan Negeri mempunyai wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap proses penyidikan sampai Berita Acara Pemeriksaan (BAP) diserahkan ke Kejaksaan Negeri. Pada saat BAP diserahkan maka Kepala Kejaksaan Negeri membuat P-16A yaitu Surat Perintah Penunjukan Jaksa Penuntut Umum untuk penyelesaian perkara tindak pidana, saat inilah jaksa benarbenar menjadi penuntut umum di mana penuntut umum berwenang melakukan prapenuntutan dan penuntutan. Dalam hal pelaksanaan prapenuntutan, Berita acara Pemeriksaan (BAP) yang diterima dari penyidik kemudian diteliti oleh Penuntut Umum. Pada tahap ini penuntut umum dituntut untuk teliti dan cermat. BAP tersebut harus memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dapat dilimpahkan ke pengadilan, seperti yang digariskan oleh pasal 139 KUHAP. Apabila dalam pemeriksaan BAP ditemukan kekurangan, maka penuntut umum menerbitkan P-18 yaitu Surat yang menyatakan hasil penyidikan belum lengkap dan pengembalian berkas perkara untuk dilengkapi disertai dengan petunjuk-petunjuk yang terperinci. Apabila BAP telah lengkap penuntut umum menerbitkan P21 yaitu Surat Pemberitahuan Hasil Penyidikan sudah lengkap. Perlu diketahui pada tahap prapenuntutan ini merupakan tahap yang amat penting bagi penuntut umum yang menginginkan tugas penuntutan
berhasil
baik.
Keberhasilan
penuntut
umum
dalam
prapenuntutan akan sangat mempengaruhi penunutut umum dalam membuat surat dakwaan dan keberhasilan pembuktian di persidangan. Setelah BAP dinyatakan lengkap dan telah diadakan penyerahan tersangka dan barang bukti, maka langkah pertama yang dilakukan penuntut umum adalah membuat surat dakwaan (P-29). Penuntut umum harus jeli dan teliti dalam merumuskan tindak pidana dan ketentuan pasal yang bisa dikenakan kepada terdakwa, karena kesalahan dalam membuat
59
surat dakwaan baik kesalahan merumuskan tindak pidananya maupun ketentuan pasalnya maka dapat mengakibatkan perkara tersebut batal demi hukum dan dapat menyebabkan terdakwa bebas. Setelah penuntut umum membuat surat dakwaan maka selanjutnya membuat P-31 yaitu Surat Pelimpahan Perkara Acara pemeriksaan biasa yang ditujukan ke Pengadilan Negeri untuk diadakan persidangan. Tugas penunutut umum dalam persidangan adalah membuktikan dakwaannya dengan disertai bukti-bukti yang mendukung dalam penuntutan perkara. Penuntut umum harus bersikap aktif, korektif dan profesional dalam acara pembuktian. Sehingga kebenaran materiil dan unsur-unsur tindak pidana dalam pasal-pasal yang dikenakan pada terdakwa dapat dibuktikan. Menurut jaksa Reki Nurhayati. SH berkaitan dengan tindak pidana perkosaan, untuk membuktikan adanya tindak pidana perkosaan diperlukan adanya Visum Et Repertum, bukti Visum Et Repertum tersebut sangat penting untuk mengetahui ada tidaknya perbuatan melanggar hukum dan untuk mengetahui akibat yang ditimbulkan dari suatu perbuatan dalam hal ini perkosaan. Jaksa tersebut juga mengatakan bahwa dalam menangani kasus-kasus kesusilaan peranan Visum Et Repertum sangat penting bagi jaksa yaitu untuk pembuktian di persidangan dan apabila hal tersebut tidak ada maka jaksa tidak yakin bahwa kasus tersebut dapat dimenangkan di persidangan. Setelah acara pemeriksaan di persidangan selesai dan jaksa merasa mendapat cukup bukti maupun saksi maka tugas/peranan jaksa yang paling menentukan dalam proses penuntutan adalah membuat surat tuntutan. Surat tuntutan merupakan uraian mengenai hasil pemeriksaan di persidangan
yang
memuat
tentang
identitas
terdakwa,
dakwaan,
keterangan saksi-saksi dan surat-surat termasuk Visum Et Repertum, keterangan korban dan terdakwa, barang bukti , unsur-unsur tindak pidana,
60
dan pertimbangan jaksa yang meliputi hal-hal yang memberatkan dan halhal yang meringankan serta tuntutan pidana. Surat tuntutan tersebut diajukan ke sidang pengadilan dan kemudian tugas/peranan penuntut umum yang terakhir yaitu melaksanakan penetapan hakim setelah kasus tersebut diputus oleh hakim dan telah dinyatakan berkekuatan hukum tetap. 2. Kasus Tindak Pidana Perkosaan yang dilakukan oleh terdakwa ABDUL JALIL als.BINTANG a. Nomor Register Perkara : PDM-209/SKRTA/Ep.2/09/2006 b. Identitas Terdakwa : Nama lengkap :
ABDUL JALIL als. BINTANG
Tempat lahir
Surakarta
:
Umur/tgl lahir :
27 Tahun / 18 April 1979
Jenis kelamin
:
Laki - laki
Kebangsaan
:
Indonesia
Tempat tinggal :
Perumnas Mojosongo JI. Malabar Dalam I No.14 RT.01 RW.17 Mojasongo Jebres Surakarta
Agama
:
Islam
Pekerjaan
:
Tenaga Honarer DPU
Pendidikan
:
SMP
c. Dakwaan : KESATU PRIMAIR Bahwa ia terdakwa ABDUL JALIL als. BINTANG pada hari Jum'at tanggal 9 Juni 2006 sekira pukul 18.30 WIB atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain pada bulan Juni tahun 2006 atau setidak-tidaknya pada waktu lain masih dalam tahun dua ribu enam, bertempat di sebuah rumah jaga pintu air yang terletak di Jln. Ahmad Yani depan terminal Tirtonadi Surakarta atau setidak-tidaknya pada suatu tempat tertentu yang masih termasuk di daerah hukum Pengadilan Negeri Surakarta,
61
dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak (yaitu Saksi korban YULIANA KRISTIANINGRUM) melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, perbuatan tersebut dilakukan oleh Terdakwa dengan cara sebagai berikut : Bahwa pada awal mulanya terdakwa bersama isterinya (Saksi NOVI) dengan mengendarai sepeda motor menjemput saksi korban YULIANA
dengan
maksud
diajak
putar-putar
kota
Surakarta.
Sesampainya di daerah Ringin Semar, saksi NOVI dengan MBERIT pergi untuk suatu keperluan, dan saksi korban disuruh menunggu di depan terminal Tirtonadi bersama dengan terdakwa. Selanjutnya terdakwa bersama saksi korban YULIANA menuju di depan terminal Tirtonadi tepatnya disebuah bangunan/rumah jaga pintu air (bangunan tersebut merupakan tempat biasanya terdakwa bekerja). Sesampainya ditempat pintu air didepan terminal Tirtonadi, terdakwa mengajak ngobrol saksi korban kurang lebih selama 30 menitan, oleh karena terdakwa sudah tidak kuat menahan nafsu birahinya selanjutnya terdakwa memaksa saksi korban untuk masuk ke dalam rumah jaga pintu air, namun saksi korban menolak. Oleh karena saksi korban menolak, maka Terdakwa memaksa sambil menakut-nakuti Saksi korban dengan katakata : " kuwi ono wong reseh sering ngganggu, kowe yen ora gelem mlebu kamar mengko mesti diganggu” (itu disana ada orang reseh sering mengganggu, kamu kalo tidak mau masuk kedalam kamar nanti pasti diganggu oleh mereka). Oleh karena merasa takut, maka saksi korban menuruti kemauan terdakwa untuk masuk kedalam rumah jaga pintu air, dan sesampainya di dalam ruangan terdakwa langsung melaksanakan aksinya yaitu dengan cara tangan kirinya menarik secara paksa tubuh saksi korban kearah belakang sambil tangan kanannya membekap mulut saksi korban, namun sambil menjerit dan menangis saksi korban berusaha berontak atau melawan untuk melepaskan diri, tetapi terdakwa tetap menarik secara paksa tubuh saksi korban ke
62
belakang
hingga
terduduk.
Setelah
saksi
korban
jatuh
terduduk/terjerembab ke belakang, selanjutnya terdakwa membaringkan tubuh saksi korban secara paksa, hingga posisi saksi korban terlentang di lantai. Sesaat kemudian sambil tangan kanannya masih membekap mulut dan tangan kirinya tetap mencekik leher saksi korban, terdakwa duduk diatas perut bagian bawah saksi korban dan selanjutnya terdakwa memaksa saksi korban untuk membuka celana jeans panjang dan celana dalamnya sambil tangannya menekan/mencekik leher saksi korban lebih keras, namun saksi korban berusaha berontak dan melawan. Oleh karena kalah tenaga dan mulai kesulitan bernafas, maka saksi karban menyanggupi untuk membuka sendiri celana jeans panjang dan celana dalamnya, yang kemudian dilorotkan sampai batas lututnya. Setelah melihat celana jeans panjang dan celana dalam saksi korban sudah dibuka/dilorotkan, maka terdakwa juga membuka celana panjang dan celana dalam yang dipakainya. Selanjutnya terdakwa melorotkan celana dalam saksi korban dengan menggunakan kakinya hingga ke bawah, dan dengan menggunakan kedua lututnya terdakwa membuka paksa ujung pangkal kaki atau bagian paha saksi korban, dan setelah bagian paha saksi korban terbuka, maka terdakwa segera memasukkan secara paksa alat kelaminnya (penisnya) yang sudah dalam kondisi berdiri tegang ke dalam alat kelamin (vagina) saksi korban, yang kemudian diteruskan oleh terdakwa menggerakan tubuhnya dengan gerakkan naik turun secara teratur untuk waktu beberapa saat kemudian. Pada saat terdakwa menggerakkan anggota badannya naik turun, saksi korban berusaha meronta dan menjerit minta tolong, namun hal tersebut bukannya membuat terdakwa menghentikan aksinya, tetapi malah semakin giat dan keras menggerakan atau menggoyangkan badan secara naik turun. Setelah saksi korban menangis sambil mengatakan bahwa dirinya
saat
itu
sedang haid
atau
menstruasi,
terdakwa
baru
63
menghentikan aksinya dan mencabut alat kelaminnya yang diteruskan dengan mencium pipi kanan dan pipi kiri saksi korban. Bahwa akibat perbuatan terdakwa tersebut, saksi korban secara physikhis mengalami traumatic dan juga mengalami luka pada alat kelamin ditemukan luka robek sampai dasar pada jam 1, 6, 8, 9, 11 yang diakibatkan trauma benda tumpul, sebagaimana diterangkan dalam Visum Et Repertum No.Pol: R/VER-36/VI/2006/Poliklinik tanggal 30 Juni 2006 yang dibuat dan ditanda tangani oleh Dr. M. FATHONI pada Poliklinik Bhayangkara Polwil Surakarta. Perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana melanggar Pasal 81 Undang-Undang RI. No. 23 Tahun 2002. SUBSIDAIR Bahwa ia terdakwa ABDUL JALIL als. BINTANG pada waktu dan tempat sebagaimana diterangkan dalam dakwaan PRIMAIR tersebut di atas, dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, perbuatan tersebut dilakukan oleh terdakwa dengan cara sebagai berikut : Bahwa pada awal mulanya terdakwa bersama isterinya (Saksi NOVI) dengan mengendarai sepeda motor menjemput saksi korban YULIANA
dengan
maksud
diajak
putar-putar
kota
Surakarta.
Sesampainya di daerah Ringin Semar, Saksi NOVI dengan MBERIT pergi untuk suatu keperluan, dan Saksi korban disuruh menunggu didepan terminal Tirtonadi bersama dengan terdakwa. Selanjutnya terdakwa bersama saksi korban YULIANA menuju di depan terminal Tirtonadi tepatnya disebuah bangunan/rumah jaga pintu air (bangunan tersebut merupakan tempat biasanya terdakwa bekerja). Sesampainya ditempat pintu air didepan terminal Tirtonadi, terdakwa mengajak ngobrol saksi korban kurang lebih selama 30 menitan, oleh karena
64
terdakwa sudah tidak kuat menahan nafsu birahinya selanjutnya terdakwa memaksa Saksi korban untuk masuk ke dalam rumah jaga pintu air, namun saksi korban menolak. Oleh karena saksi korban menolak, maka terdakwa memaksa sambil menakut-nakuti saksi korban dengan kata-kata : " kuwi ono wong reseh sering ngganggu, kowe yen ora gelem mlebu kamar mengko mesti diganggu " (itu disana ada orang reseh sering mengganggu, kamu kalo tidak mau masuk ke dalam kamar nanti pasti diganggu oleh mereka). Oleh karena merasa takut, maka saksi korban menuruti kemauan terdakwa untuk masuk ke dalam rumah jaga pintu air, dan sesampainya di dalam ruangan terdakwa langsung melaksanakan aksinya yaitu dengan cara tangan kirinya menarik secara paksa tubuh saksi korban kearah belakang sambil tangan kanannya membekap mulut saksi korban, namun sambil menjerit dan menangis saksi korban berusaha berontak atau melawan untuk melepaskan diri, tetapi terdakwa tetap menarik secara paksa tubuh saksi korban ke belakang hingga terduduk. Setelah saksi korban jatuh terduduk/terjerembab ke belakang, selanjutnya terdakwa membaringkan tubuh saksi korban secara paksa, hingga posisi saksi korban terlentang dilantai. Sesaat kemudian sambil tangan kanannya masih membekap mulut dan tangan kirinya tetap mencekik leher saksi korban, terdakwa duduk diatas perut bagian bawah saksi korban dan selanjutnya terdakwa memaksa saksi korban untuk membuka celana jeans panjang dan celana dalamnya sambil tangannya menekan/mencekik leher saksi korban lebih keras, namun saksi korban berusaha berontak dan melawan. Oleh karena kalah tenaga dan mulai kesulitan bernafas, maka saksi karban menyanggupi untuk membuka sendiri celana jeans panjang dan celana dalamnya, yang kemudian dilorotkan sampai batas lututnya. Setelah melihat celana jeans panjang dan celana dalam saksi korban sudah dibuka/dilorotkan, maka terdakwa juga membuka celana panjang dan celana dalam yang dipakainya. Selanjutnya terdakwa
65
melorotkan celana dalam saksi korban dengan menggunakan kakinya hingga kebawah, dan dengan menggunakan kedua lututnya terdakwa membuka paksa ujung pangkal kaki atau bagian paha saksi korban, dan setelah bagian paha saksi korban terbuka, maka terdakwa segera memasukkan secara paksa alat kelaminnya (penisnya) yang sudah dalam kondisi berdiri tegang ke dalam alat kelamin (vagina) saksi korban, yang kemudian diteruskan oleh terdakwa menggerakan tubuhnya dengan gerakkan naik turun secara teratur untuk waktu beberapa saat kemudian. Pada saat terdakwa menggerakkan anggota badannya naik turun, saksi korban berusaha meronta dan menjerit minta tolong, namun hal tersebut bukannya membuat terdakwa menghentikan aksinya, tetapi malah semakin giat dan keras menggerakan atau menggoyangkan badan secara naik turun. Setelah saksi korban menangis sambil mengatakan bahwa dirinya
saat
itu
sedang haid
atau
menstruasi,
terdakwa
baru
menghentikan aksinya dan mencabut alat kelaminnya yang diteruskan dengan mencium pipi kanan dan pipi kiri saksi korban. Bahwa akibat perbuatan terdakwa tersebut, saksi korban secara physikhis mengalami traumatic dan juga mengalami luka pada alat kelamin ditemukan luka robek sampai dasar pada jam 1, 6, 8, 9, 11 yang diakibatkan trauma benda tumpul, sebagaimana diterangkan dalam Visum Et Repertum No.Pol: R/VER-36/VI/2006/Poliklinik tanggal 30 Juni 2006 yang dibuat dan ditanda tangani oleh Dr. M. FATHONI pada Poliklinik Bhayangkara Polwil Surakarta. Perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana melanggar Pasal 82 Undang-Undang RI. No. 23 Tahun 2002. ATAU
66
KEDUA PRIMAIR Bahwa ia terdakwa ABDUL JALIL als. BINTANG pada waktu dan tempat sebagaimana diterangkan dalam dakwaan KESATU PRIMAIR tersebut diatas, dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seorang wanita (yaitu saksi korban YULIANA KRISTIANINGRUM) untuk melakukan persetubuhan dengan dirinya di luar perkawinan, perbuatan tersebut dilakukan oleh terdakwa dengan cara sebagai berikut : Bahwa pada awal mulanya terdakwa bersama isterinya (Saksi NOVI) dengan mengendarai sepeda motor menjemput saksi korban YULIANA
dengan
maksud
diajak
putar-putar
kota
Surakarta.
Sesampainya di daerah Ringin Semar, saksi NOVI dengan MBERIT pergi untuk suatu keperluan, dan saksi korban disuruh menunggu didepan terminal Tirtonadi bersama dengan terdakwa. Selanjutnya terdakwa bersama saksi korban YULIANA menuju di depan terminal Tirtonadi tepatnya disebuah bangunan/rumah jaga pintu air (bangunan tersebut merupakan tempat biasanya terdakwa bekerja). Sesampainya ditempat pintu air di depan terminal Tirtonadi, terdakwa mengajak ngobrol saksi korban kurang lebih selama 30 menitan, oleh karena terdakwa sudah tidak kuat menahan nafsu birahinya selanjutnya terdakwa memaksa saksi korban untuk masuk ke dalam rumah jaga pintu air, namun saksi korban menolak. Oleh karena saksi korban menolak, maka terdakwa memaksa sambil menakut-nakuti saksi korban dengan kata-kata : " kuwi ono wong reseh sering ngganggu, kowe yen ora gelem mlebu kamar mengko mesti diganggu " (itu disana ada orang reseh sering mengganggu, kamu kalo tidak mau masuk kedalam kamar nanti pasti diganggu oleh mereka). Oleh karena merasa takut, maka saksi korban menuruti kemauan terdakwa untuk masuk kedalam rumah jaga pintu air, dan sesampainya di dalam ruangan terdakwa langsung melaksanakan aksinya yaitu dengan cara tangan kirinya menarik secara paksa tubuh saksi korban kearah
67
belakang sambil tangan kanannya membekap mulut saksi korban, namun sambil menjerit dan menangis saksi korban berusaha berontak atau melawan untuk melepaskan diri, tetapi terdakwa tetap menarik secara paksa tubuh saksi korban ke belakang hingga terduduk. Setelah saksi korban jatuh terduduk/terjerembab ke belakang, selanjutnya terdakwa membaringkan tubuh saksi korban secara paksa, hingga posisi saksi korban terlentang dilantai. Sesaat kemudian sambil tangan kanannya masih membekap mulut dan tangan kirinya tetap mencekik leher saksi korban, terdakwa duduk diatas perut bagian bawah saksi korban dan selanjutnya terdakwa memaksa saksi korban untuk membuka celana jeans panjang dan celana dalamnya sambil tangannya menekan/mencekik leher saksi korban lebih keras, namun saksi korban berusaha berontak dan melawan. Oleh karena kalah tenaga dan mulai kesulitan bernafas, maka saksi karban menyanggupi untuk membuka sendiri celana jeans panjang dan celana dalamnya, yang kemudian dilorotkan sampai batas lututnya. Setelah melihat celana jeans panjang dan celana dalam saksi korban sudah dibuka/dilorotkan, maka terdakwa juga membuka celana panjang dan celana dalam yang dipakainya. Selanjutnya terdakwa melorotkan celana dalam saksi korban dengan menggunakan kakinya hingga ke bawah, dan dengan menggunakan kedua lututnya terdakwa membuka paksa ujung pangkal kaki atau bagian paha saksi korban, dan setelah bagian paha saksi korban terbuka, maka terdakwa segera memasukkan secara paksa alat kelaminnya (penisnya) yang sudah dalam kondisi berdiri tegang ke dalam alat kelamin (vagina) saksi korban, yang kemudian diteruskan oleh terdakwa menggerakan tubuhnya dengan gerakkan naik turun secara teratur untuk waktu beberapa saat kemudian. Pada saat terdakwa menggerakkan anggota badannya naik turun, saksi korban berusaha meronta dan menjerit minta tolong, namun hal tersebut bukannya membuat terdakwa menghentikan aksinya, tetapi malah
68
semakin giat dan keras menggerakan atau menggoyangkan badan secara naik turun. Setelah saksi korban menangis sambil mengatakan bahwa dirinya
saat
itu
sedang haid
atau
menstruasi,
terdakwa
baru
menghentikan aksinya dan mencabut alat kelaminnya yang diteruskan dengan mencium pipi kanan dan pipi kiri saksi korban. Bahwa akibat perbuatan terdakwa tersebut, saksi korban secara physikhis mengalami traumatic dan juga mengalami luka pada alat kelamin ditemukan luka robek sampai dasar pada jam 1, 6, 8, 9, 11 yang diakibatkan trauma benda tumpul, sebagaimana diterangkan dalam Visum Et Repertum No.Pol: R/VER-36/VI/2006/Poliklinik tanggal 30 Juni 2006 yang dibuat dan ditandatangani oleh Dr. M. FATHONI pada Poliklinik Bhayangkara Polwil Surakarta Perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana melanggar Pasal 285 KUHP. SUBSIDAIR Bahwa ia terdakwa ABDUL JALIL als. BINTANG pada waktu dan tempat sebagaimana diterangkan dalam dakwaan KESATU PRIMAIR tersebut diatas, dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa orang lain untuk melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan, atau membiarkan orang lain untuk melakukan tindakantindakan melanggar kesusilaan, karena salahnya telah melakukan perbuatan merusak kesusilaan, perbuatan tersebut dilakukan oleh terdakwa dengan cara sebagai berikut : Bahwa pada awal mulanya terdakwa bersama isterinya (saksi NOVI) dengan mengendarai sepeda motor menjemput saksi korban YULIANA
dengan
maksud
diajak
putar-putar
kota
Surakarta.
Sesampainya di daerah Ringin Semar, saksi NOVI dengan MBERIT pergi untuk suatu keperluan, dan saksi korban disuruh menunggu didepan terminal Tirtonadi bersama dengan terdakwa. Selanjutnya terdakwa
69
bersama saksi korban YULIANA menuju di depan terminal Tirtonadi tepatnya disebuah bangunan/rumah jaga pintu air (bangunan tersebut merupakan tempat biasanya terdakwa bekerja). Sesampainya ditempat pintu air didepan terminal Tirtonadi, terdakwa mengajak ngobrol saksi korban kurang lebih selama 30 menitan, oleh karena terdakwa sudah tidak kuat menahan nafsu birahinya selanjutnya terdakwa memaksa saksi korban untuk masuk ke dalam rumah jaga pintu air, namun saksi korban menolak. Oleh karena saksi korban menolak, maka terdakwa memaksa sambil menakut-nakuti saksi korban dengan kata-kata : " kuwi ono wong reseh sering ngganggu, kowe yen ora gelem mlebu kamar mengko mesti diganggu " (itu disana ada orang reseh sering mengganggu, kamu kalo tidak mau masuk kedalam kamar nanti pasti diganggu oleh mereka). Oleh karena merasa takut, maka saksi korban menuruti kemauan terdakwa untuk masuk kedalam rumah jaga pintu air, dan sesampainya di dalam ruangan terdakwa langsung melaksanakan aksinya yaitu dengan cara tangan kirinya menarik secara paksa tubuh saksi korban kearah belakang sambil tangan kanannya membekap mulut saksi korban, namun sambil menjerit dan menangis saksi korban berusaha berontak atau melawan untuk melepaskan diri, tetapi terdakwa tetap menarik secara paksa tubuh saksi korban ke belakang hingga terduduk. Setelah saksi korban jatuh terduduk/terjerembab ke belakang, selanjutnya terdakwa membaringkan tubuh saksi korban secara paksa, hingga posisi saksi korban terlentang dilantai. Sesaat kemudian sambil tangan kanannya masih membekap mulut dan tangan kirinya tetap mencekik leher saksi korban, terdakwa duduk di atas perut bagian bawah saksi korban dan selanjutnya terdakwa memaksa saksi korban untuk membuka celana jeans
panjang
dan
celana
dalamnya
sambil
tangannya
menekan/mencekik leher saksi korban lebih keras, namun saksi korban berusaha berontak dan melawan. Oleh karena kalah tenaga dan
70
mulai kesulitan bernafas, maka saksi korban menyanggupi untuk membuka sendiri celana jeans panjang dan celana dalamnya, yang kemudian dilorotkan sampai batas lututnya. Setelah melihat celana jeans panjang dan celana dalam saksi korban sudah dibuka/dilorotkan, maka terdakwa juga membuka celana panjang dan celana dalam yang dipakainya. Selanjutnya terdakwa melorotkan celana dalam saksi korban dengan
menggunakan
kakinya
hingga
kebawah,
dan
dengan
menggunakan kedua lututnya terdakwa membuka paksa ujung pangkal kaki atau bagian paha saksi korban, dan setelah bagian paha saksi korban terbuka, maka terdakwa segera memasukkan secara paksa alat kelaminnya (penisnya) yang sudah dalam kondisi berdiri tegang ke dalam alat kelamin (vagina) saksi korban, yang kemudian diteruskan oleh terdakwa menggerakan tubuhnya dengan gerakkan naik turun secara teratur untuk waktu beberapa saat kemudian. Pada saat terdakwa menggerakkan anggota badannya naik turun, saksi korban berusaha meronta dan menjerit minta tolong, namun hal tersebut bukannya membuat terdakwa menghentikan aksinya, tetapi malah semakin giat dan keras menggerakan atau menggoyangkan badan secara naik turun. Setelah saksi korban menangis sambil mengatakan bahwa dirinya saat itu sedang haid atau menstruasi, terdakwa baru menghentikan aksinya dan mencabut alat kelaminnya yang diteruskan dengan mencium pipi kanan dan pipi kiri saksi korban. Bahwa akibat perbuatan terdakwa tersebut, saksi korban secara physikhis mengalami traumatic dan juga mengalami luka pada alat kelamin ditemukan luka robek sampai dasar pada jam 1, 6, 8, 9, 11 yang diakibatkan trauma benda tumpul, sebagaimana diterangkan dalam Visum Et Repertum No.Pol: R/VER-36/VI/2006/Poliklinik tanggal 30 Juni 2006 yang dibuat dan ditanda tangani oleh Dr. M. FATHONI pada Poliklinik Bhayangkara Polwil Surakarta
71
Perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana melanggar Pasal 289 KUHP. d. TUNTUTAN Nomor Register Perkara : PDM-104/SRKTA/Ep.1/09/2006 Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan yaitu berupa keterangan saksi-saksi yang terdiri dari saksi YULIANA KRISTIANINGRUM (saksi korban), SUMARNO (orang tua saksi korban), MEIRINA (temannya saksi korban), NOVI (istri dari terdakwa ABDUL
JALIL)
dan
Visum
Et
Repertum
No.Pol
:
R/VER-
36/VI/2006/Poliklinik, petunjuk, keterangan terdakwa dan barang bukti yang diajukan dalam persidangan yang berupa : 1 (satu) lembar tikar plastik warna merah, 1 celana jeans warna biru muda dan 1 celana dalam warna krem milik saksi korban YULI, 1 celana jeans warna hijau tua milik terdakwa dan 1 (satu) unit sepeda motor merk JINCHENG No.Pol AD 4674 QA. Petunjuk Sebagaimana bunyi pasal 188 KUHAP adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lainnya maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Memperhatikan bunyi pasal 188 KUHAP tersebut, jika dikaitkan dengan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan antara keterangan para saksi dan pengakuan terdakwa dimuka persidangan, dimana satu dengan yang lainnya saling bersesuaian, jelas menunjukkan telah terjadi suatu tindak pidana dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang anak di bawah umur melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain (melanggar Pasal 81 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, maka sampailah kepada pembuktian mengenai unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan. Yang unsur-unsurnya antara lain :
72
1) Barang siapa Bahwa unsur ini pengertiannya menunjuk kepada seseorang atau pelaku yang dapat bertanggung jawab yang telah melakukan perbuatan melanggar hukum dan diancam pidana. Sebagaimana yang dirumuskan dan didakwakan dalam Surat Dakwaan serta fakta-fakta yang terungkap di depan persidangan ialah terdakwa, sebagai orang bertanggung jawab atas perbuatannya dan terdakwa di depan persidangan dalam keadaan sehat jasmani dan rohani sehingga tidak diketemukan adanya alasan pemaaf dan pembenar pada diri terdakwa. Dengan demikian unsur ini telah terbukti. 2) Dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, keterangan para saksi dan keterangan terdakwa, diperoleh fakta bahwa terdakwa dalam melakukan aksinya mengajak berhubungan badan dengan saksi korban YULI dalam keadaan sadar, sehat dan tidak ada gangguan jiwa. Berdasarkan pemeriksaan para saksi dan keterangan terdakwa di persidangan telah terungkap fakta, bahwa terdakwa dalam aksinya melampiaskan
hawa
nafsunya
terhadap
saksi
korban
mengajak
berhubungan badan dengan cara memaksa dan menakut-nakuti saksi korban. Hal ini dapat disimak dari keterangan saksi korban dan terdakwa di depan persidangan yaitu sebagai berikut : Benar bahwa setelah mereka berdua (yaitu terdakwa dan saksi korban YULIANA KRISTIANINGRUM) berada disebuah bangunan jaga pintu air di depan terminal Tirtonadi, terdakwa telah mengajak mengobrol saksi korban, hingga akhirnya terdakwa mengajak masuk ke dalam rumah jaga pintu air, sambil terdakwa menakut-nakuti saksi korban (dengan katakata : "KUWI ONO WONG RESEH SERING NGGANGGU, KOWE YEN ORA GELEM MLEBU KAMAR MENGKO MESTI DIGANGGU / ITU ADA ORANG RESEH YANG SERING MENGGANGGU, KAMU KALAU TIDAK MAU MASUK KE DALAM KAMAR, NANTI PASTI
73
KAMU DIGANGGU OLEH MEREKA " dan terdakwa juga mengancam tidak akan segera mengantarkan pulang ke tempat kost apabila saksi korban tidak mau masuk kedalam ruangan. Bahwa selanjutnya saksi korban mau masuk ke dalam bangunan/rumah jaga pintu air, karena takut akan kata-kata serta ancaman terdakwa, dan biar segera diantar pulang ke tempat kost. Sesampainya didalam ruangan, tiba-tiba terdakwa menarik paksa tubuh saksi korban kearah belakang hingga jatuh tertentang dan akhirnya terbaring dilantai dan memaksa saksi korban untuk berhubungan badan dengan terdakwa. Atas ajakan terdakwa terserbut, saksi korban meronta dan menolaknya, akan tetapi terdakwa tetap memaksa dengan cara naik dan menduduki tubuh saksi korban tepat diatas perut, sambil tangannya membungkam mulut dan mencekik leher saksi korban, dan memaksa saksi korban untuk melayani hawa nafsunya, namun saksi korban tetap menolak dan meronta. Bahwa selanjutnya terdakwa memaksa saksi korban untuk membuka celana jeans dan celana dalamnya, namun saksi korban tetap tidak mau dan meronta. Oleh karena saksi korban tidak mau, maka terdakwa semakin keras menekan/mencekik leher saksi korban dan membungkam mulutnya semakin ditekan lebih keras, hingga saksi korban kesulitan untuk bernapas, dan karena semakin sulit bernapas, akhirnya saksi korban mau dan bersedia membuka celana jeans dan celana dalamnya. Setelah celana panjang jeans dan celana dalam saksi korban dilepaskan, kemudian terdakwa juga melepaskan celana panjang dan celana dalamnya dan terdakwa memasukkan alat kelaminnya ke dalam alat kelamin saksi korban sambil tangannya masih mencekik leher dan membungkam mulut saksi korban dengan maksud agar saksi korban agar tidak berteriak dan meronta. Pada waktu itu terdakwa telah menggerakkan anggota tubuhnya naik turun secara teratur untuk beberapa waktu lamanya, hingga akhirnya saksi korban meronta serta menolak sambil mengatakan bahwa saksi korban sedang haid/menstruasi. Oleh karena saksi korban menangis sambil mengatakan bahwa ia sedang haid / menstruasi, maka terdakwa
74
menghentikan aksinya/kegiatannya dan mencabut alat kelaminnya dari dalam alat kelamin saksi korban. Dengan demikian unsur ini telah terbukti. 3) Telah memaksa seorang anak Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, keterangan para saksi dan keterangan terdakwa, diperoleh fakta bahwa terdakwa dalam melakukan aksinya mengajak berhubungan badan dengan saksi korban dengan cara memaksa dan menakut-nakuti saksi korban. Hal ini dapat kita simak dari keterangan saksi korban dan terdakwa di depan persidangan yaitu sebagai berikut : Benar bahwa setelah mereka berdua (yaitu terdakwa dan saksi korban YULIANA KRISTIANINGRUM) berada disebuah bangunan jaga pintu air di depan terminal Tirtonadi, terdakwa telah mengajak mengobrol saksi korban, hingga akhirnya terdakwa mengajak masuk ke dalam rumah jaga pintu air, sambil terdakwa menakut-nakuti saksi korban (dengan katakata : "KUWI ONO WONG RESEH SERING NGGANGGU, KOWE YEN ORA GELEM MLEBU KAMAR MENGKO MESTI DIGANGGU / ITU ADA ORANG RESEH YANG SERING MENGGANGGU, KAMU KALAU TIDAK MAU MASUK KE DALAM KAMAR, NANTI PASTI KAMU DIGANGGU OLEH MEREKA " dan terdakwa juga mengancam tidak akan segera mengantarkan pulang ke tempat kost apabila saksi korban tidak mau masuk kedalam ruangan. Bahwa selanjutnya saksi korban mau masuk ke dalam bangunan/rumah jaga pintu air, karena takut akan kata-kata serta ancaman terdakwa, dan biar segera diantar pulang ke tempat kost. Sesampainya didalam ruangan, tiba-tiba terdakwa menarik paksa tubuh saksi korban kearah belakang hingga jatuh tertentang dan akhirnya terbaring dilantai dan memaksa saksi korban untuk berhubungan badan dengan terdakwa. Atas ajakan terdakwa terserbut, saksi korban meronta dan menolaknya, akan tetapi terdakwa tetap memaksa dengan cara naik dan menduduki tubuh saksi korban tepat diatas perut, sambil
75
tangannya membungkam mulut dan mencekik leher saksi korban, dan memaksa saksi korban untuk melayani hawa nafsunya, namun saksi korban tetap menolak dan meronta. Bahwa selanjutnya terdakwa memaksa saksi korban untuk membuka celana jeans dan celana dalamnya, namun saksi korban tetap tidak mau dan meronta. Oleh karena saksi korban tidak mau, maka terdakwa semakin keras menekan/mencekik leher saksi korban dan membungkam mulutnya semakin ditekan lebih keras, hingga saksi korban kesulitan untuk bernapas, dan karena semakin sulit bernapas, akhirnya saksi korban mau dan bersedia membuka celana jeans dan celana dalamnya. Setelah celana panjang jeans dan celana dalam saksi korban dilepaskan, kemudian terdakwa juga melepaskan celana panjang dan celana dalamnya dan terdakwa memasukkan alat kelaminnya ke dalam alat kelamin saksi korban sambil tangannya masih mencekik leher dan membungkam mulut saksi korban dengan maksud agar saksi korban tidak berteriak dan meronta. Pada waktu itu terdakwa telah menggerakkan anggota tubuhnya naik turun secara teratur untuk beberapa waktu lamanya, hingga akhirnya saksi korban meronta serta menolak sambil mengatakan bahwa saksi korban sedang haid/menstruasi. Oleh karena saksi korban menangis sambil mengatakan bahwa ia sedang haid/menstruasi, maka terdakwa
menghentikan
aksinya/kegiatannya
dan
mencabut
alat
kelaminnya dari dalam alat kelamin saksi korban. Bahwa di persidangan telah terungkap fakta bahwa saksi korban YULIANA KRISTIANINGRUM masih berumur kurang lebih 16 Tahun (Saksi korban YULI saat ini masih berstatus pelajar kelas 1 SMAK) merupakan anak kandung dari pasangan Sumarno dan Tumijem (sesuai dengan Akta Kelahiran No.Ind : 2694/3403/1989, Saksi YULIANA KRIATIANINGRUM lahir pada tg1 22 Juli 1989). Dengan demikian unsur ini telah terbukti.
76
4) Melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain Berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan, keterangan para saksi dan keterangan terdakwa, diperoleh fakta bahwa terdakwa telah berhasil melakukan aksi kejahatannya yaitu melakukan hubungan badan atau persetubuhan dengan saksi korban YULIANA dengan cara memaksa dan menakut-nakuti saksi korban. Hal ini dapat kita simak dari keterangan saksi korban dan terdakwa di depan persidangan sebagai berikut : Benar bahwa setelah mereka berdua (yaitu terdakwa dan saksi korban YULIANA KRISTIANINGRUM) berada disebuah bangunan jaga pintu air di depan terminal Tirtonadi, terdakwa telah mengajak mengobrol saksi korban, hingga akhirnya terdakwa mengajak masuk ke dalam rumah jaga pintu air, sambil terdakwa menakut-nakuti saksi korban (dengan katakata : "KUWI ONO WONG RESEH SERING NGGANGGU, KOWE YEN ORA GELEM MLEBU KAMAR MENGKO MESTI DIGANGGU / ITU ADA ORANG RESEH YANG SERING MENGGANGGU, KAMU KALAU TIDAK MAU MASUK KE DALAM KAMAR, NANTI PASTI KAMU DIGANGGU OLEH MEREKA " dan terdakwa juga mengancam tidak akan segera mengantarkan pulang ke tempat kost apabila saksi korban tidak mau masuk ke dalam ruangan. Bahwa selanjutnya saksi korban mau masuk ke dalam bangunan/rumah jaga pintu air, karena takut akan kata-kata serta ancaman terdakwa, dan biar segera diantar pulang ke tempat kost. Sesampainya di dalam ruangan, tiba-tiba terdakwa menarik paksa tubuh saksi korban kearah belakang hingga jatuh tertentang dan akhirnya terbaring dilantai dan memaksa saksi korban untuk berhubungan badan dengan terdakwa. Atas ajakan terdakwa tersebut, saksi korban meronta dan menolaknya, akan tetapi terdakwa tetap memaksa dengan cara naik dan menduduki tubuh saksi korban tepat diatas perut, sambil tangannya membungkam mulut dan mencekik leher saksi korban, dan memaksa saksi korban untuk melayani hawa nafsunya, namun saksi korban tetap menolak dan meronta. Bahwa selanjutnya terdakwa memaksa
77
saksi korban untuk membuka celana jeans dan celana dalamnya, namun saksi korban tetap tidak mau dan meronta. Oleh karena saksi korban tidak mau, maka terdakwa semakin keras menekan/mencekik leher saksi korban dan membungkam mulutnya semakin ditekan lebih keras, hingga saksi korban kesulitan untuk bernapas, dan karena semakin sulit bernapas, akhirnya saksi korban mau dan bersedia membuka celana jeans dan celana dalamnya. Setelah celana panjang jeans dan celana dalam saksi korban dilepaskan, kemudian terdakwa juga melepaskan celana panjang dan celana dalamnya dan terdakwa memasukkan alat kelaminnya ke dalam alat kelamin saksi korban sambil tangannya masih mencekik leher dan membungkam mulut saksi korban dengan maksud agar saksi korban agar tidak berteriak dan meronta. Pada waktu itu terdakwa telah menggerakkan anggota tubuhnya naik turun secara teratur untuk beberapa waktu lamanya, hingga akhirnya saksi korban meronta serta menolak sambil mengatakan bahwa saksi korban sedang haid/menstruasi. Oleh karena saksi korban menangis sambil mengatakan bahwa ia sedang haid/menstruasi, maka terdakwa
menghentikan
aksinya/kegiatannya
dan
mencabut
alat
kelaminnya dari dalam alat kelamin saksi korban. Bahwa akibat perbuatan terdakwa terhadap saksi korban tersebut, maka alat kelamin/selaput dara saksi korban mengalami luka pada jam 5, 6, 8, 9 dan 11 (sebagaimana diterangkan dalam Visum Et Repertum No.Pol : R/VER-36/VI/2006/Poliklinik yang dibuat dan ditandatangani oleh Dr. M. FATHONI, dokter yang memeriksa pada Poliklinik Polwil Surakarta pada tanggal 21 Juni 2006, dengan kesimpulan sebagai berikut : telah diperiksa seorang anak perempuan bernama YULIA KRISTIANINGRUM dan telah diketemukan luka robek lama sampai dasar pada jam 1, 6, 8, 9 , 11 pada selaput dara korban yang diakibatkan oleh trauma benda tumpul). Dengan demikian unsur ini telah terbukti. Berdasarkan uraian-uraian seperti tersebut, maka terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dengan kekerasan
78
atau ancaman kekerasan memaksa seorang anak dibawah umur melakukan persetubuhan dengannya (melanggar Pasal 81 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak) sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum yaitu dakwaan KESATU PRIMAIR. Oleh karena dakwaan KESATU PRIMAIR telah terbukti, maka dakwaan selanjutnya tidak perlu buktikan lagi. Sebelum penuntut umum menyampaikan tuntutan pidana atas diri terdakwa, maka perlu dikemukakan hal-hal yang menjadi pertimbangan mengajukan tuntutan pidana, yaitu Hal-hal yang memberatkan : - Perbuatan terdakwa sangat meresahkan masyarakat. - Perbuatan terdakwa membuat perasaan traumatic kepada saksi korban YULIANA KRISTIANINGRUM serta merusak masa depannya. Hal-hal yang meringankan : - Terdakwa mengakui terus terang dan menyesali perbuatannya. - Terdakwa bersikap sopan dan berjanji untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya. - Terdakwa masih berusia muda, dan mempunyai tanggungan keluarga. Berdasarkan uraian dimaksud Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini, dengan memperhatikan ketentuan Undang-undang yang bersangkutan. MENUNTUT Supaya Hakim / Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surakarta yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan : 1. Menyatakan terdakwa ABDUL JALIL als. BINTANG, bersalah telah melakukan tindak pidana dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang anak dibawah umur melakukan persetubuhan dengannya sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 81 Undang Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
79
sebagaimana
dalam
surat
dakwaan
Nomor
Reg.
PDM
-
209/0.3.11/Ep.2/10/2006 tanggal 21 September 2006. 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa ABDUL JALIL als. BINTANG berupa pidana penjara selama 9 (sembilan) tahun dengan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara, dan terdakwa juga diharuskan membayar denda sebesar Rp. 60.000.000,(enam puluh juta rupiah) Subsidair selama 6 (enam) bulan kurungan, dengan perintah terdakwa tetap ditahan. 3. Menyatakan barang bukti berupa : - 1 (satu) lembar tikar plastik warna merah, 1 celana jeans warna biru muda dan 1 celana dalam warna krem milik saksi korban YULI, 1 celana jeans warna hijau tua milik terdakwa dirampas untuk dimusnahkan, sedangkan 1 (satu) unit sepeda motor merk JINCHENG No.Pol AD 4674 QA dikembalikan kepada orang tua terdakwa. 4. Menetapkan agar terdakwa, membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah)
e. Analisis Sebenarnya kasus yang kedua ini sama dengan kasus pertama yang telah diuraikan sebelumnya yaitu kasus perkosaan. Akan tetapi pada kasus yang kedua ini korbannya seorang anak dibawah umur. Dalam pelaksanaan penuntutan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum dalam kasus kedua ini sama dengan pelaksanaan penuntutan pada kasus pertama yaitu dimulai pada saat BAP masuk sampai pelaksanaan penetapan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pelaksanaan penuntutan dalam kasus kedua ini tidak jauh beda dengan kasus yang pertama. Dalam kasus ini penuntut umum menggunakan keterangan para saksi yaitu saksi korban, 3 orang saksi, keterangan terdakwa, bukti-bukti dan Visum Et Repertum. Menurut Jaksa
80
Reki Nurhayati.SH dalam pembuktian kasus perkosaan, Visum Et Repertum sangat penting dan dalam hal ini korbannya di bawah umur maka harus dibuktikan juga dengan akta kelahiran. Mengenai pembuktian ini, penuntut umum tidak mengalami kesulitan karena sikap kooperatif dari terdakwa untuk mengakui perbuatannya sehingga pengakuan terdakwa inilah yang dapat menguatkan dakwaan yang diajukan oleh penuntut umum. Perbedaan pemberian tuntutan pidana antara kedua kasus tersebut pastilah
terdapat
pertimbangan-pertimbangan
tersendiri
yang
dikemukakan jaksa penuntut umum yaang menangani kasus tersebut. Dari analisis kedua perkara perkosaan tersebut maka dapat diketahui bahwa pada prinsipnya jaksa penuntut umum dalam menetapkan tuntutan pidana harus berpedoman pada Surat Edaran Nomor : SE.001/J.A/4/1995 tentang Pedoman Tuntutan Pidana . Mengenai berat ringannya tuntutan pidana terhadap suatu kasus perkosaan, jaksa penuntut umum harus memperhatikan faktor-faktor yang tercantum dalam Surat Edaran tersebut, yaitu : a). Perbuatan Terdakwa b). Keadaan diri pelaku tindak pidana c). Dampak perbuatan terdakwa Dalam hal perbuatan terdakwa, penuntut umum dalam memberikan tuntutan pidana harus melihat cara perbuatan tersebut dilakukan yaitu dengan cara sadis, kekerasan atau paksaan. Suatu tindak pidana perkosaan yang dilakukan dengan paksaan dan kekerasan yang disertai ancaman tentu akan dijadikan hal yang memberatkan hukuman. Perbuatan terdakwa dilakukan secara berulang-ulang atau hanya sekali saja. Dari kedua kasus yang dibahas dalam penelitian diatas, korban perkosaan adalah murni perkosaan yang dapat dicirikan sebagai berikut :
81
a). Korban perkosaan belum pernah berhubungan/kenal dengan pihak pelaku sebelum perkosaan. b). Korban perkosaan yang pernah berhubungan/kenal dengan pihak pelaku sebelum perkosaan. Pada kasus ini korban perkosaan belum pernah berhubungan/kenal dengan pihak pelaku. Kasus
pertama, Korban hanya kenal dengan
DARWIS (teman terdakwa) dan tidak mengenal terdakwa sebelumnya. Pada kasus yang kedua, Korban hanya dikenalkan oleh NOVI (teman korban) kepada terdakwa. Faktor lainnya adalah kondisi fisik yang lemah. Pada kasus pertama, korban bertubuh kecil dan mempunyai daya pikir atau intelektual yang kurang. Dan korban diancam akan dibunuh apabila ngomong sama ibu kost. Kasus yang kedua, korban dipaksa dengan cara menindih dan mencekik leher korban serta membungkam mulutnya. Sehingga korban korban kesulitan bernafas sehingga akhirnya korban bersedia melayani terdakwa. Dalam mengajukan tuntutan atas kedua kasus diatas, penuntut umum mengemukakan hal-hal yang menjadi pertimbangan. Yaitu hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan. Hal-hal yang memberatkan antara lain : a). Dalam kasus I : Perbuatan terdakwa merusak masa depan saksi korban Evi Miranda dan Berdasarkan penelitian dari BAPAS, saksi korban mengalami keterbelakangan mental. b). Dalam kasus II : Perbuatan terdakwa sangat meresahkan masyarakat. Perbuatan terdakwa membuat perasaan traumatik kepada saksi korban Yuliana Kristianingrum serta merusak masa depannya.
Hal-hal yang meringankan : a). Dalam kasus I : Terdakwa mengakui terus terang dan menyesali perbuatannya. Terdakwa belum pernah dihukum dan Terdakwa bersikap sopan di persidangan.
82
b). Dalam kasus II : Terdakwa mengakui terus terang dan menyesali perbuatannya. Terdakwa bersikap sopan dan berjanji untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya. Terdakwa masih berusia muda dan mempunyai tanggungan keluarga.
B. Hambatan-Hambatan Yang Muncul Dalam Proses Penuntutan Tindak Pidana Perkosaan. Perkosaan merupakan suatu tindak pidana kesusilaan yang banyak terjadi dimasyarakat. Tindak pidana ini bisa terjadi di mana saja baik dalam lingkup keluarga maupun lingkup masyarakat. Tindak pidana ini memerlukan perhatian yang serius dari aparat penegak hukum dalam hal ini kejaksaan yaitu menjalankan tugas dan fungsinya melakukan penuntutan terhadap tindak pidana perkosaan. Sehingga akan menciptakan keamanan, ketertiban, kenyamanan dan ketentraman dalam masyarakat. Karena tindak pidana perkosaan yang akhir-akhir ini sering terjadi, sangat meresahkan masyarakat khususnya kaum wanita. Oleh karena dampak dari tindak pidana perkosaan sangat besar yaitu diantaranya mengakibatkan trauma yang berkepanjangan bagi korbannya maka keseriusan aparat penegak hukum dalam memberantas tindak pidana perkosaan ini sangat diperlukan. Tugas jaksa sebagai penuntut umum diantaranya adalah membuat tuntutan pidana terhadap suatu tindak pidana dan kemudian dirumuskan dalam surat tuntutan pidana. Pembuatan tuntutan pidana merupakan bagian dari proses penuntutan yang sangat penting yaitu untuk menentukan jenis pidana dan berat ringannya pidana yang akan dikenakan pada terdakwa sehingga mampu memberikan rasa keadilan yang seadil-adilnya bagi terdakwa, korban maupun masyarakat luas. Di dalam mengajukan tuntutan pidana, penuntut umum harus berdasarkan pada fakta-fakta yang ada dalam persidangan baik fakta yang
83
diperoleh dari keterangan terdakwa, saksi dan alat bukti lainnya yang kemudian satu sama lainnya dikaitkan sehingga dapat diperoleh fakta-fakta yang meyakinkan bahwa tindak pidana tersebut memang benar-benar terjadi dan terdakwa yang melakukan tindak pidana tersebut. Bahwa perlu diketahui, pemberian pidana tidak bertujuan untuk pembalasan saja tetapi untuk mendidik si pelaku tindak pidana agar menjadi manusia yang baik, yang berguna bagi bangsa, negara maupun bagi masyarakat luas. Tidak menutup kemungkinan bagi jaksa sebagai penuntut umum dalam proses penuntutan suatu tindak pidana, akan menemui kendala/hambatanhambatan. Berkaitan dengan hambatan-hambatan yang timbul dalam proses penuntutan, jaksa Reki Nurhayati. SH mengatakan bahwa hambatan yang muncul itu antara lain : a). Pemenuhan syarat formil maupun materiil dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibuat oleh penyidik. Apabila dalam BAP terdapat kekurangan mengenai syarat formil dan syarat materiil maka oleh jaksa penuntut umum BAP tersebut dikembalikan kepada penyidik untuk dilengkapi dengan disertai petunjuk yang terperinci. Sehingga tidak menutup kemungkinan BAP tersebut harus bolak-balik dari penyidik ke jaksa penuntut umum, sampai BAP benar-benar memenuhi persyaratan untuk diajukan ke pengadilan. Jadi pada tahap prapenuntutan ini, jaksa penuntut umum harus jeli dan teliti karena akan berpengaruh pada pembuatan surat dakwaan dan keberhasilan dalam pembuktian di persidangan. b).Korban perkosaan anak-anak/BALITA Penuntut umum kesulitan dalam meminta keterangan mengenai terjadinya tindak pidana perkosaan yang menimpa dirinya. Hal itu dikarena kan korban masih anak-anak, sehingga tidak mengetahui kalau telah menjadi korban tindak pidana perkosaan. Oleh karena itu penuntut umum harus menggunakan pendekatan secara khusus untuk menggali keterangan dari korban. c). Muncul hal-hal baru dalam persidangan. Misalnya tuntutan mengenai suatu perkara yang diajukan penuntut umum termasuk dalam pidana tetapi dalam
84
proses pembuktian di persidangan, perkara tersebut masuk juga dalam perkara perdata. Tentu saja hal itu tidak diduga oleh jaksa penuntut umum, sehingga penuntut umum harus mencari bukti-bukti baru yang akan diajukan dalam proses pembuktian di persidangan. Bahwa Visum Et Repertum sangat penting bagi jaksa penuntut umum. Apabila Visum Et Repertumnya sangat lemah dan tidak memberi petunjuk bahwa telah terjadi tindak pidana perkosaan, maka tidak menutup kemungkinan jaksa akan mengalami kesulitan dalam pembuktian dan perkara tersebut tidak dapat dimenangkan dalam persidangan.
lxxxv
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Implementasi Peranan Penuntut Umum Dalam Proses Penuntutan Tindak Pidana Perkosaan a. Jaksa sebagai Penuntut Umum mempunyai tugas/peran utama melakukan penuntutan terhadap berbagai kasus tindak pidana dan melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. b. Perkara perkosaan ini digolongkan ke dalam acara pemeriksaan biasa. c. Proses penuntutan dalam kasus perkosaan ini harus didasarkan pada surat dakwaan yang dibuktikan di sidang Pengadilan dan diakhiri dengan tuntutan hukum (Requisitoir) sebagaimana diatur dalam KUHAP dan tata cara penuntutan pidana harus berpedoman pada Surat Edaran yang diterbitkan oleh Kejaksaan Agung yaitu Surat Edaran Nomor : SE-003/JA/8/1988 yang telah diperbaharui dengan Surat Edaran Nomor : SE. 001/J.A/4/1995 Tentang Pedoman Tuntutan Pidana. 2. Hambatan-Hambatan Yang Muncul Dalam Proses Penuntutan Tindak Pidana Perkosaan a. Kurangnya pemenuhan syarat formil maupun syarat materiil dalam Berita Acara pemeriksaan (BAP) yang dibuat oleh penyidik. Sehingga BAP harus bolak-balik dari jaksa ke penyidik untuk dilengkapi sampai memenuhi persyaratan untuk di ajukan ke persidangan. b. Korban perkosaan anak-anak/BALITA sehingga akan menyulitkan penuntut umum dalam meminta keterangan. c. Munculnya hal-hal baru dalam persidangan yang tidak diduga oleh penuntut umum, sehingga penuntut umum tidak siap dan harus mencari bukti-bukti baru.
lxxxv
lxxxvi
B. Saran-saran Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang telah diuraikan diatas, penulis akan mencoba memberikan saran-saran sebagai berikut : 1. Menjalin hubungan kerjasama yang baik antara penyidik dengan penuntut umum, baik sebelum atau lebih-lebih sesudah adanya pemberitahuan penyidikan kepada penuntut umum. Hal tersebut untuk menghindari hasil penyidikan yang berlarut-larut dan mondar-mandir berkas perkara antara penyidik dengan penuntut umum. 2. Penuntut umum dalam mengajukan tuntutan pidana kasus perkosaan harus memperhatikan kepentingan korban, sehingga tuntutan pidana itu tidak semakin merugikan korban yang notabene adalah pihak yang dirugikan dalam suatu tindak pidana perkosaan. 3. Penuntut Umum harus jeli dan teliti dalam merumuskan suatu tindak pidana dan pasal yang akan dikenakan kepada terdakwa. Karena akan sangat berpengaruh terhadap surat dakwaan. Apabila ada kesalahan dalam merumuskan tindak pidana dan pasal yang dikenakan, maka akan berakibat fatal yaitu perkara tersebut batal demi hukum dan terdakwa akan dibebaskan.
lxxxvi
lxxxvii
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Waluyo. 2000. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika Burhan Ashofa. 2005. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta CST Kansil. 1989. Pengantar ilmu hukum dan tata hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Hari Sasongko dan Lily Rosita. 2003. Komentar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Surabaya: CV.Mandar Maju HB. Sutopo. 2002. Metode Penelitian Kuantitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Ilham Gunawan. 1994. Peran Jaksa Dalam Menegakkan hukum dan stabilitas politik. Jakarta: Sinar Grafika Moeljatno. 1999. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika Moeljatno. 1987. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina aksara M. Sudradjat Bassar. 1986. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP. Bandung: CV. Remadja Karya Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press Suharto RM. 2004. Penuntutan dalam praktek peradilan. Jakarta: Sinar Grafika Suryono Ekotama dkk. 2001. Abortus Provokatus bagi korban perkosaan perspektif victimologi, kriminologi dan hukum pidana. Yogyakarta: Universitas Atmajaya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, Tentang Kejaksan Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, Tentang Kejaksaan Republik Indonesia Surat Edaran Nomor : SE. 001/J.A/4/1995 Tentang Pedoman Tuntutan Pidana.
Hilman Hadikusuma. 1995. Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum. Bandung: Mandar Maju.
lxxxvii