Tinjauan tentang disparitas putusan hakim pada tindak pidana perkosaan (studi kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)
Oleh: Putrie Tiaraningtyas NIM: E 0001199
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Hukum Pidana a
Pengertian Hukum Pidana Ilmu hukum membagi hukum menjadi beberapa golongan hukum berdasarkan kriteria tertentu. Berdasarkan kriteria “isi” atau substansi hukumnya biasanya hukum dibagi menjadi dua golongan, yaitu hukum publik dan hukum privat. Hukum pidana masuk dalam lingkungan hukum publik sebab hukum pidana mengatur tentang hubungan-hubungan hukum dan atau perbuatan orang atau badan hukum dalam kaitannya dengan kepentingan umum atau publik yang dalam hal ini diwakili oleh negara. Mengenai pengertian dan definisi hukum pidana masih menjadi perdebatan di kalangan pakar maupun praktisi hukum. Para pakar hukum menyusun rumusan atau definisi hukum pidana berdasarkan pendapatnya masing-masing sehingga tidak ada satu rumusan hukum pidanapun yang dapat diterima oleh semua pihak atau sebagai suatu rumusan yang dianggap paling sempurna.
Prof. Simons memberikan dalam bukunya Leerboek Nederlands Strafrecht 1937 memberikan definisinya sebagai berikut : “Hukum pidana adalah kesemuanya perintah-perintah dan larangan-larangan yang diadakan oleh negara dan yang diancam dengan seuatu nestapa (pidana) barang siapa yang tidak menaatinya, kesemuanya aturan-aturan yang menentukan syaratsyarat bagi akibat hukum itu dan kesemuanya aturan-aturan untuk mengadakan (menjatuhi) dan menjalankan pidana tersebut” (Moeljatno,2002 :7) Mr. W.F.C. Van Hattum berpendapat bahwa hukum pidana merupakan keseluruhan asas dan peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat hukum lainnya, sebagai pemelihara ketertiban 10 suatu perbuatan yang bersifat dengan melarang dilakukannya melanggar hukum dan mengaitkan pelanggarannya dengan penderitaan khusus berupa pemidanaan. (Soemitro,1991 :2) Sedangkan menurut Prof. Moelyatno, SH : “Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk; 1) Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut; 2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagai mana yang telah diancamkan; 3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. (Bambang Poernomo, 1985 : 22) Dari berbagai definisi tersebut di atas jelas terlihat perbedaan dalam merumuskan pengertian definisi hukum pidana. Akan tetapi pada hakekatnya hukum pidana mengandung dua unsur pokok yaitu adanya norma dan sanksi. Norma mempunyai inti sebagai nilai-nilai dalam suatu rangkaian konsepsi abstrak yang hidup di antara kelompok manusia sebagai kesatuan yang harus ditaati oleh setiap orang dalam pergaulan dan
perhubungan hidup bermasyarakat, dan mempunyai tugas untuk menjamin ketertiban hukum dalam masyarakat. Sedangkan yang dimaksud sanksi yakni ancaman pidana dan mempunyai tugas supaya tugas yang sudah ditetapkan itu dapat ditaati dan atau sebagai akibat hukum atas pelanggaran norma. (Bambang Poernomo, 1985 : 36)
b
Sumber-sumber Hukum Pidana Sumber hukum pidana Indonesia adalah sumber hukum tertulis. Disamping itu ada hukum tidak tertulis yakni hukum pidana adat yang oleh beberapa daerah masih digunakan dengan dasar hukum UU No.1 Drt/1951. Sumber utama hukum pidana Indonesia adalah hukum pidana yang terkodifikasi yaitu KUHP (dan KUHAP dalam hukum pidana formal). Selain KUHP sebagai sumber hukum pidana Indonesia, masih terdapat peraturan-peraturan hukum pidana lain yang tersebar dalam peraturan perundang-undangan lain seperti : 1) Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu UU No.3/1971; 2) Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yaitu UU No.23/2004; 3) Undang-undang Narkotika, yaitu UU No.9/1976; 4) Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, yaitu UU No.14/1994 Dan masih banyak lagi peraturan perundangan yang lain. Selain sumber-sumber hukum pidana dalam bentuk peraturan perundang-undangan diatas masih terdapat lagi sumber hukum pidana yang dapat dicari didalam kebiasaan-kebiasaan hukum, pendapat ahli hukum, yurisprudensi, keputusan-keputusan Mahkamah Agung serta perjanjian-perjanjian internasional baik secara bilateral maupun multilateral.
c
Asas-asas Hukum Pidana Asas-asas dalam hukum pidana dapat dibagi kedalam dua golongan, yaitu : 1) Asas yang dirumuskan dalam KUHP atau perundang-undangan yang lain; 2) Asas yang tidak dirumuskan dan menjadi asas hukum pidana yang tidak tertulis dan dianut dalam yurisprudensi. (Bambang Purnomo, 1985 : 36) Ad. 1) Asas yang dirumuskan dalam perundang-undangan, meliputi asas umum berlakunya hukum pidana dan asas berlakunya hukum pidana menurut tempat dan waktu, antara lain : a) Asas legalitas atau asas Nullum Delictum Noella Poena Sine Praevia Lege Poenale. Asas legalitas ini tercermin dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP yang isinya, “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuasaan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”. Dari bunyi rumusan hukum diatas, dapat ditarik dua hal pokok, yaitu : (1) Suatu tindak pidana atau delik harus dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan; (2) Peraturan perundang-undangan itu harus sudah ada sebelum tindak pidana atau delik itu terjadi. b) Asas Lex Temporis Delicti. Yang artinya suatu perbuatan pidana harus diadili berdasarkan peraturan yang ada pada waktu perbuatan tersebut dilakukan.
Asas ini ada pengecualiannya karena adanya ketentuan pasal 1 ayat 2 yang menyatakan apabila sesudah perbuatan dilakukan terjadi perubahan aturan pidana yang lebih meringankan dibanding aturan yang yang lama, maka aturan pidana baru ini yang harus dipakai. c) Alasan Penghapus Pidana: (1) Alasan pembenar (2) Alasan pemaaf (3) Alasan penghapus penuntutan d) Asas-asas dalam bidang peradilan pidana yang terdapat dalam Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu : Asas Oportunitas memberi kelonggaran kepada penegak hukum untuk tidak meneruskan suatu perkara dengan penuntutan, apabila dengan penuntutan tersebut merugikan kepentingan umum. (Soemitro1991 :44) e) Undang-undang Kejaksaan, UU No. 5/1991 (1) Asas oportunitas (2) Asas
kerjasama
yang
sebaik-baiknya
dengan
instansi lain. (3) Penahanan dan perlakuan terhadap orang yang ditahan
oleh
pejabat-pejabat
lain
dilakukan
berdasarkan hukum, dan lain-lain. f) Asas-asas pokok negara hukum, meliputi : (1) Asas Legalitas, yaitu : asas yang menghendaki agar segala sesuatu tindakan baik orang sebagai individu maupun
para
bertentangan
penguasa dengan
negara hukum
harus
tidak
agar
dapat
perlindungan hukum dan dibenarkan menurut hukum yang berlaku;
(2) Asas Perlindungan Hak Asasi Manusia, yaitu : hukum harus menjunjung tinggi hak asai manusia sesuai dengan martabat dan harkatnya sebagai manusia; (3) Asas Peradilan Bebas, yaitu : badan peradilan diberi kebebasan dari campur tangan dan pengaruh kekuasaan negara yang lain. (UU No.4 Tahun 2004, tentang
Undang-Undang
Pokok
Kekuasaan
Kehakiman)
Ad.2) Asas hukum pidana yang tidak dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Biasanya asas hukum pidana yang tidak dirumuskan merupakan
asas-asas
yang
tidak
tertulis.
Alasan
terdapatnya asas ini karena adanya kesepakatan bahwa sumber hukum itu tidak hanya undang-undang saja. (Bambang Purnomo, 1985 : 80) Namun demikian walaupun tidak tertulis tetapi asas ini dianggap telah berlaku dalam praktek-praktek hukum pidana. Asas-asas yang tidak tertulis ini dalam hukum pidana ini meliputi : a) Tidak dipidana tanpa kesalahan (geen straaf zonder schuld); b) Pemeriksaan dilakukan dalam sidang terbuka; c) Pemeriksaan dilakukan oleh hakim majelis, oleh sekurang-kurangnya tiga orang hakim, kecuali dalam hal yang ditentukan dalam undang-undang; d) Kewajiban hakim untuk mengundurkan diri bila masih ada hubungan kekeluargaan tertentu dengan tertuduh, hakim ketua, hakim lain, jaksa maupun panitera;
e) Pemberian bantuan hukum kepada tersangka sejak dikenakan penangkapan dan atau penahanan; f) Diadakan kemungkinan untuk mengganti kerugian dan rehabilitasi
bila
terjadi
penangkapan,
penahanan,
penuntutan atau peradilan tanpa alasan yang sah atau karena
kekeliruan
orangnya
atau
hukum
yang
diterapkan; g) Peradilan dilakukan “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”; h) Peradilan adalah peradilan negara, artinya ditutup kemungkinan untuk adanya lagi peradilan swapraja atau peradilan adat seperti halnya jaman Hindia Belanda; i) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan; j) Kecuali
upaya
hukum
banding
dan
kasasi,
dimungkinkan upaya hukum khusus, yaitu Peninjauan Kembali
terhadap
putusan
hakim
yang
telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap; dan lain-lain.
d
Aliran-aliran Dalam Hukum Pidana Aliran-aliran dalam ilmu hukum pidana tidaklah mencari dasar hukum atau pembenaran dari pidana, tetapi berusaha memperoleh suatu sistem hukum pidana yang praktis dan bermanfaat. Secara garis besar, aliran-aliran ini dapat dibagi dalam dua aliran yaitu: 1) Aliran Klasik Aliran ini menghendaki hukum pidana yang tersusun sistematis dan menitik beratkan kepada kepastian hukum. Dengan pandangannya yang indeterministis mengenai kebebasan kehendak manusia aliran ini menitik beratkan kepada perbuatan dan tidak kepada orang yang melakukan tindak pidana. Hukum pidana yang dikehendaki adalah hukum pidana perbuatan (daadstrafrecht).
Perumusan undang-undang dan perbuatan yang melawan hukum merupakan titik sentral yang menjadi perhatian hukum pidana. Perbuatan disini diartikan secara abstrak dan dilihat secara yuridis, terlepas dari orang yang melakukannya. Aliran ini ingin mengobyektifkan hukum pidana dari sifat-sifat pribadi si pelaku. Aliran ini sangat membatasi kebebasan hakim untuk menetapkan jenis pidana dan ukuran pemidanaan. Dikenallah sistem “the definite sentence” yang sangat kaku, seperti yang terlihat di dalam Code Perancis 1971. Peranan
hakim dalam
menentukan kesalahan seseorang sangat dikurangi. 2) Aliran Neo Klasik Dalam perkembangan selanjutnya sistem yang kaku ini ditinggalkan karena pengaruh aliran modern, dan timbullah apa yang dikenal dengan aliran Neo-klasik. Aliran ini menitik beratkan pada pengimbalan dari kesalahan si pembuat. Hal ini terlihat pada Code Penal Perancis tahun 1810 yang memberikan kekuasaan pada hakim dalam pemidanaan dengan mengijinkan para hakim menetapkan pidana penjara antara minimum dan maksimum yang telah ditentukan dalam undangundang. Sistem ini dikenal dengan sebutan “the indefinite sentence”. Aliran klasik ini berpijak pada tiga tiang: a) Azas legalitas, yang menyatakan bahwa tiada pidana tanpa undang-undang, tiada tindak pidana tanpa undang-undangdan tiada penuntutan tanpa undang-undang; b) Azas kesalahan, yang berisi bahwa orang hanya dapat dipidana untuk tindak pidana yang dilakukannya dengan sengaja atau karena kealphaan; c) Azas pengimbalan (pembalasan) yang sekuler, yang berisi bahwa pidana secara konkrit tidak dikenakan dengan maksud untuk mencapai sesuatu hasil yang bermanfaat, melainkan setimpal dengan berat ringannya perbuatan yang dilakukan.
Dalam aliran ini undang-undang harus dirumuskan secara jelas dan tidak memberikan kesempatan untuk adanya penafsiran oleh hakim. Undang-undang juga harus diterapkan secara sama terhadap semua orang. Disini dapat dilihat bahwa undang-undang menjadi kaku (rigid) dan terstruktur dan tentu saja tidak memihak/netral (impartial). Alasan utama penjatuhan pidana adalah untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat dan untuk mencegah orang melakukan kejahatan. Pencegahan datang tidak dari pidana yang berat akan tetapi dari pidana yang patut, tepat dan pasti. Dua tokoh utama aliran klasik adalah Cesare Beccaria dan Jeremy Bentham. (Muladi dan Barda Nawawi 1998: 25-26) 3) Aliran Modern Aliran ini timbul pada abad 19 yang menjadi pusat perhatiannya adalah si pembuat. Aliran ini sering juga disebut aliran positif karena dalam mencari sebab kejahatan menggunakan metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati dan mempengaruhi penjahat secara positif sejauh dia masih dapat diperbaiki. Perbuatan seseorang tidak dapat dilihat secara abstrak dari sudut yuridis semata-mata terlepas dari orang yang melakukannya tetapi harus dilihat secara konkrit bahwa dalam kenyataannya perbuatan seseorang itu dipengaruhi watak pribadinya, faktorfaktor biologis maupu faktor lingkungan kemasyarakatannya. Jadi aliran ini bertitik tolak pada pandangan determinisme. Karena manusia dipandang tidak mempunyai kebebasan kehendak tetapi dipengaruhi watak dan lingkungannya, maka ia tidak dapat dipersalahkan
atau
dipertanggungjawabkan
dan
dipidana.
Pertanggungjawaban seseorang berdasar kesalahan harus diganti dengan sifat berbahayanya si pembuat. Bentuk pertanggungan
jawab
kepada
si
pembuat
lebih
bersifat
tindakan
untuk
perlindungan masyarakat. Dalam aliran ini undang-undang harus dirumuskan secara jelas akan tetapi tetap memberikan kesempatan untuk adanya penafsiran oleh hakim. Menurut aliran ini pidana harus tetap diorientasikan pada sifat-sifat si pembuat. Aliran modern ini dipelopori antara lain oleh Lombroso, Lacassagne dan Ferri. (Muladi dan Barda Nawawi 1998: 32)
2. Tinjauan Tentang Tindak Pidana a
Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana juga merupakan pengertian yuridis yang berbeda dengan pengertian berbuat jahat atau kejahatan atau dimana ini dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis. Dalam membicarakan tindak pidana maka akan langsung tertuju pada pada perkataan strafbaarfeit dimana pembentuk undang-undang menggunakan istilah strafbaarfeit untuk menyebutkan apa yang kita kenal dengan tindak pidana. Dimana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak memberikan penjelasan mengenai perkataan straafbaarfeit tersebut. Perkataan feit dalam bahasa Belanda diartikan “sebagian dari kenyataan”, sedang strafbaar berarti “dapat dihukum”, sehingga secara harfiah perkataan strafbaarfeit berarti “sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum” yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan, atau tindakan. (Lamintang, 1997:181) Dengan adanya pendapat tersebut diatas maka timbul doktrindoktrin dan berbagai pendapat tentang apa sebenarnya yang disebut dengan strafbaarfeit tersebut, pendapat tersebut misalnya : 1) Simons Dalam rumusannya strafbaarfeit itu adalah :
“Tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh sesorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat di hukum”. Alasan dari Simon mengapa strafbaarfeit harus dirumuskan seperti di atas karena : a) Untuk adanya suatu strafbaarfeit itu disyaratkan bahwa di situ terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan undang-undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban seperti itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. b) Agar suatu tindakan seperti itu dapat dihukum maka tindakan itu harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dengan undang-undang. c) Setiap strafbaarfeit sebagai setiap pelanggaran tehadap suatu larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakekatnya merupakan tindakan melawan hukum atau merupakan suatu onrechtmatige handeling (Lamintang, 1997 : 184) Jadi sifat melawan hukum itu timbul dari suatu kenyataan bahwa tindakan manusia tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, hingga pada dasarnya sifat tersebut bukan suatu unsur dari delik yang mempunyai arti yang tersendiri seperti halnya dengan unsur yang lain. 2) Pompe Perkataan strafbaarfeit secara teoretis dapat dirumuskan sebagai suatu : “Pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku itu adalah penting demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.” (Moeljatno, 2002 : 57) Menurut beliau sangatlah berbahaya untuk mencari suatu penjelasan mengenai hukum positif yakni semata-mata dengan
menggunakan pendapat secara teoretis. Perbedaan antara hukum positif dengan teori adalah semu. Oleh karena itu yang terpenting dalam teori itu adalah tidak seorangpun dapat dihukum kecuali tindakannya benar-benar melanggar hukum dan telah dilakukan dalam bentuk schuld, yakni dengan sengaja atau tidak dengan sengaja. Dengan demikian sesuailah sudah apabila pendapat menurut hukum positif kita itu disatukan dalam teori yang berbunyi geen straf zonder schuld atau “tidak dapat sesuatu hukuman dapat dijatuhkan terhadap seseorang tanpa adanya suatu kesengajaan atau ketidaksengajaan”, yang berlaku baik hukum positif maupun hukum dalam teori. Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk menjatuhkan hukuman itu tidak cukup apabila disitu terdapat suatu strafbaarfeit tetapi harus ada juga strafbaar person atau seseorang yang dapat dihukum, dimana seseorang tersebut tidak dapat dihukum apabila strafbaarfeit yang telah dilakukan itu tidak bersifat wederchtelijk dan ia telah lakukan baik dengan sengaja ataupun tidak sengaja. 3) Moeljatno Untuk lebih jelasnya dalam membahas masalah tindak pidana maka Moeljatno menguraikan istilah tindak pidana. Perbuatan pidana adalah : “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan (yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang sedang ancaman pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan kejahatan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang) , sedang
ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.” (Moeljatno 1982 : 37) Melihat pengertian di atas, maka penulis lebih cenderung untuk lebih setuju pendapat Moeljatno, dengan alasan pengertian tersebut mengandung arti perbuatan itu adalah keadaan yang dibuat oleh seseorang atau suatu hal yang dilakukan dan selanjutnya perbuatan tersebut menunjuk pada akibat ataupun yang menimbulkan akibat. Adapun terjemahan dari strafbaarfeit penulis cenderung memakai istilah tindak pidana dengan alasan bahwa selain kata tersebut banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, juga dari para pembentuk undang-undang sekarang sudah banyak menggunakan istilah tindak pidana. Misal Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 11 Tahun 1981 tentang Tindak Pidana Suap. Perbedaan pemakaian istilah tidak menjadikan masalah asalkan diketahui apa yang dimaksudkannya, dan dalam hal ini yang terpenting adalah isi dari pengertian istilah dari tindak pidana tersebut. Inti dalam teori tentang tindak pidana adalah bahwa “tiada seorangpun dapat dipidana kecuali tindakannya itu benar-benar bersifat melanggar hukum dan telah dilakukan berdasarkan suatu bentuk kesalahan, yaitu sengaja atau tidak sengaja.” b
Unsur-unsur Tindak Pidana Jika kita menjabarkan suatu rumusan delik kedalam unsurunsurnya, maka kita akan menjumpai pertama kali adalah tindakan manusia, dengan seseorang melakukan tindakan yang terlarang dan melanggar undang-undang. Sungguh pun demikian setiap tindak pidana yang terdapat dalam KUHP itu dapat kita jabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua unsur yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri pelaku atau yang berhubungan dengan diri
pelaku, dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalamnya, sedangkan unsur objektif adalah unsur yang berhubungan dengan keadaan, yaitu suatu keadaan dimana tindakan dari pelaku dapat dilaksanakan. Unsur subjektif dan unsur objektif terdiri dari : 1) Unsur subjektif : a) Kesengajaan atau kealphaan. b) Maksud dari suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP. c) Merencanakan terlebih dahulu, seperti yang terdapat dalam kejahatan menurut Pasal 340 KUHP. d) Perasaan takut seperti yang terdapat dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP. 2) Unsur objektif a) Sifat melawan hukum b) Kualitas dari pelaku, misalnya seorang pegawai negeri sipil melakukan kejahatan yang diatur dalam menurut Pasal 415 KUHP. c) Kausalitas, yaitu hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat. Sehubungan mengemukakan
dengan
unsur-unsur
pendapatnya
bahwa
di
delik, dalam
Vos suatu
dalam delik
dimungkinkan adanya beberapa unsur, yaitu : 1) Unsur perbuatan atau kelakuan orang, dalam hal berbuat atau tidak berbuat. 2) Unsur akibat dari perbuatan, yang terjadi dalam delik selesai. unsur akibat ini dapat dianggap telah ternyata pada suatu perbuatan dan kadang-kadang unsur akibat tidak dipentingkan di dalam delik formil, akan tetapi kadang-kadang unsur akibat dinyatakan dengan tegas yang terpisah dari perbuatannya seperti di dalam delik materiil.
3) Unsur kesalahan, yang diwujudkan dengan kata-kata sengaja (opzet) atau alpa (culpa). 4) Unsur melawan hukum. 5) Unsur-unsur lain menurut rumusan undang-undang, dan dibedakan menjadi segi objektif dan segi subjektif. ( Bambang Poernomo, 1987 : 104)
c
Jenis-jenis Tindak Pidana Mengenai tindak pidana ini dibagi dalam beberapa jenis, yakni : 1) Kejahatan dan Pelanggaran Buku II KUHP memuat kejahatan dan buku III KUHP memuat pelanggaran. Kriteria yang digunakan dalam KUHP ini bersifat kuantitatif, yakni bahwa kejahatan di pidana lebih berat daripada pelanggaran. Sedangkan kriteria yang bersifat kualitatif, kejahatan disebut dengan rechtdelict yaitu perbuatan yang secara otomatis dianggap bertentangan dengan keadilan meskipun peraturan perundang-undangan
tidak
mengancamnya
dengan
pidana.
Sedangkan pelanggaran disebut sebagai wetsdelict yaitu perbuatan yang oleh masyarakat baru dirasakan sebagai tindak pidana karena ada peraturan perundangan yang mengaturnya. 2) Delik Formil dan Delik Materiil Yang dimaksud dengan delik formil disini adalah delik yang selesai setelah selesai dilakukannya perbuatan. Sedangkan delik materiil adalah delik yang selesai setelah timbul akibat yang dilarang. 3) Delik Comissionis dan Delik Omissionis
Delik comissionis adalah delik yang berupa berbuat sesuatu. Sedangkan delik omissionis adalah delik yang berupa tidak berbuat sesuatu. Antara kedua delik tersebut ada yang dinamakan delik comissionis per omissionen comissa yakni delik tersebut seharusnya dilakukan dengan berbuat sesuatu akan tetapi dalam hal ini pelaku tidak berbuat sama sekali.
4) Delik Dolus dan Delik Culpa Delik dolus yaitu delik yang dilakukan dengan sengaja. Sedangkan delik culpa adalah delik yang dilakukan dengan kealphaan. 5) Delik Aduan dan Delik Bukan Aduan Delik aduan yaitu delik yang penuntutannya tergantung pada adanya aduan dari pihak yang dirugikan. Delik bukan aduan tidak lain adalah delik biasa, tanpa adanya aduan dari siapapun pelakunya dapat dituntut. d
Tempat dan Waktu Terjadinya Tindak Pidana Untuk dapat menentukan secara pasti tentang waktu dan tempat terjadinya sesuatu tindak pidana itu tidaklah mudah. Hal ini disebabkan pada hakekatnya tindak pidana merupakan suatu tindakan manusia, sebab pada waktu melakukan tindakannya seringkali manusia telah menggunakan alat yang yang dapat bekerja atau dapat menimbulkan akibat pada waktu dan tempat yang lain dimana orang tersebut telah menggunakan alat-alat yang bersangkutan. Dapat pula terjadi bahwa perbuatan dari seorang pelaku telah menimbulkan akibat pada waktu dan tempat yang lain daripada waktu dan tempat dimana
pelaku tersebut telah melakukan perbuatannya. Jadi tempus delicti adalah waktu dimana terjadinya suatu tindak pidana dan yang dimaksud dengan locus delicti adalah tempat dimana tindak pidana berlangsung.
Mengenai
tempus
delicti
sekiranya
dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmu pengetahuan, apabila yang harus dianggap sebagai tempus delicti tersebut adalah seluruh waktu yang ada antara saat dimulainya sesuatu tindak pidana, hingga saat tindak pidana itu selesai dilakukan oleh pelakunya. ( Lamintang , 1997 : 230 ) Menurut Van Bemmelen, yang harus dipandang sebagai tempat dilakukannya tindak pidana itu pada dasarnya adalah tempat dimana seorang pelaku telah melakukan perbuatannya secara materiil. Yang harus dianggap sebagai locus delicti itu adalah : 1) Tempat dimana seorang pelaku itu telah melakukan sendiri perbuatannya. 2) Tempat dimana alat yang telah dipergunakan oleh seorang itu bekerja. 3) Tempat di mana akibat langsung dari sesuatu tindakan itu telah timbul. 4) Tempat dimana akibat konstitutif itu telah timbul. (Lamintang, 1997:232)
e
Tindak Pidana Perkosaan Pengertian tindak pidana perkosaan Istilah “perkosaan” sering digunakan untuk suatu tindakantindakan atau perbuatan-perbuatan tertentu yang modusnya merugikan orang dan melanggar hak-hak asasi manusia, seperti “perkosaan” hakhak sipil, “perkosaan” ekologis (lingkungan hidup), “perkosaan” terhadap harkat kemanusiaan dan lain-lain. Hal tersebut seperti deskripsi yang disampaikan Susetiawan bahwa perkosaan merupakan istilah yang lazim digunakan pada bentuk tindakan pemaksaan dalam hubungan seks. Jika ditelusuri, perkosaan memiliki makna yang tidak harus dipahami secara sempit, sebagai istilah khusus dalam hubungan seks, tetapi mengambarkan bentuk budaya perampasan hak yang berlangsung dalam kehidupan manusia (Eko Prasetyo dan Suparman Marzuki, 1997: 52-53).
Perkosaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan: 1) paksa, kekerasan 2) gagah, kuat, perkasa. Sedangkan memperkosa berarti menundukkan dengan kekerasan, menggagahi, melanggar dengan kekerasan. Tindakan ini dianggap melanggar hukum yang berlaku (Kamus Bahasa Indonesia, 1989: 673). Hal itu menunjukkan bahwa unsur utama yang melekat pada tindakan perkosaan adalah adanya perilaku kekerasan yang terkait dengan hubungan seksual, yang dilakukan dengan jalan melanggar hukum. Artinya tidak selalu kekerasan yang terkait dengan hubungan seksual dapat dikategorikan sebagai perkosaan. Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, “perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan dengan cara yang menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar. Dalam pengertian seperti ini, apa yang disebut perkosaan, di satu pihak dapat dilihat sebagai suatu perbuatan ialah perbuatan seseorang yang secara paksa hendak melampiaskan nafsu seksualnya dan di lain pihak dapatlah dilihat pula sebagai suatu peristiwa (ialah pelanggaran norma-norma dan dengan demikian juga tertib sosial)” (Eko Prasetyo dan Suparman Marzuki, 1997: 25). Pendapat Darma Weda lebih condong pada pengertian perkosaan secara kriminologis, bahwa terjadinya perkosaan yaitu dengan penetrasi secara paksa atau masuknya penis dengan cara pemaksaan kedalam vagina. Dalam perkosaan tidaklah selalu harus masuknya penis ke dalam vagina. Bisa saja yang dimasukkan ke dalam vagina bukan penis si pelaku, tetapi jari, kayu, botol atau apa saja baik ke dalam vagina maupun mulut atau anus” (Made Darma Weda, 1996: 72). Meskipun rumusan mengenai perkosaan itu tampak cukup jelas, namun sering dengan perkembangan zaman dan munculnya berbagai
macam bentuk penyimpangan seksual atau kejahatan kesusilaan, seperti pemaksaan seksual dengan melalui dubur (anus), mulut dan lainnya, maka beberapa pakar cenderung memperluas pengertian perkosaan. Pengertian perkosaan seperti itu merupakan pengertian yang mencakup hubungan seksual secara luas yang dilakukan secara paksa (dengan kekerasan), yang tidak semata-mata menekankan pada soal penetrasi kedalam vagina, namun juga melalui anus (dubur), mulut dan lainnya, yang bisa jadi akibatnya jauh lebih fatal dibandingkan melalui vagina. Perkosaan ini sudah menjangkau pengertian hubungan seksual tidak hanya pada soal pemaksaan bersetubuh, namun juga pemaksaan berhubungan seks dengan organ-organ tubuh lain yang menurut pelaku dapat memberikan (mendatangkan) kepuasan. Adanya perbedaan pendapat dari para ahli dapat disimpulkan beberapa unsur utama perkosaan yaitu: 1) Perilaku pemaksaan kehendak bersetubuh. 2) Persetubuhan yang dilakukan tidak dengan istrinya / diluar pernikahan. 3) wanita dibuat tidak bisa melawan, sehingga dengan terpaksa mengikuti kehendaknya. Dari pernyataan tersebut berarti perkosaan masih menempatkan perempuan semata-mata sebagai korbannya dan tidak memungkinkan lelaki menjadi korban perkosaan. Menyikapi perkosaan tidak hanya memandang dari satu aspek semata, seperti pada masalah bentuk pemaksaan hubungan seksualnya, namun harus pula dipandang dari aspek lain yang terkait dengan kerugian yang diderita korban. Kerugian korban ini sebagai cermin terampasnya hak-hak asasi perempuan akibat perilaku tidak bermoral dan tidak manusiawinya pelaku. Perkosaan Dalam Rumusan KUHP dan Unsur-unsurnya. 1) Perkosaan Dalam Rumusan KUHP
Perkosaan dirumuskan oleh KUHP dalam salah satu pasalnya yaitu Pasal 285 KUHP, yang isinya menyatakan bahwa: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita berhubungan dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan lama penjara paling lama dua belas tahun”. Pasal 291 ayat 2: “Jika perkosaan tersebut mengakibatkan matinya perempuan itu, ancaman menjadi lima belas tahun”.
2) Unsur-unsurnya Dari pengertian Pasal 285 KUHP di atas, dapat diketahui unsur-unsur tindak pidana perkosaan itu. Adapun unsur-unsur tersebut adalah: a) Barang siapa b) Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan c) Memaksa d) Seorang wanita bersetubuh dengan dia e) di luar perkawinan. Macam-macam, Karakteristik dan Modus Operandi Perkosaan. 1) Macam-macam Perkosaan Menurut Kriminolog Mulyana W. Kusuma didalam bukunya berjudul “Suatu Pengantar Ringkas Kriminologi dan Masalah Kejahatan”, perkosaan dapat digolongkan antara lain : a) Sadistic Rape; Perkosaan sadistis artinya pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak. Pelaku perkosaan telah nampak menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksnya, melainkan melalui serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban. b) Angea Rape;
Yakni penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan perasaan geram dan marah yang tertahan. Disini tubuh korban seakanakan
merupakan
objek
terhadap
siapa
pelaku
yang
memproyeksikan pemecahan atas frustasi-frustasi, kelemahan, kesulitan dan kekecewaan hidupnya. c) Domination Rape; Yakni suatu perkosaan yang terjadi ketika pelaku mencoba untuk gigih atas kekuasaan dan superioritas terhadap korban. Tujuannya adalah penaklukan seksual, pelaku menyakiti korban namun tetap memiliki keinginan berhubungan seksual. d) Seduktive Rape; Suatu perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang, yang tercipta oleh kedua pihak. Pada mulanya korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak sampai sejauh kesenggamaan. Pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena tanpa itu tak mempunyai rasa bersalah yang menyangkut seks. e) Victim Participated Rape; Yakni
perkosaan
yang
terjadi
(berlangsung)
dengan
menempatkan korban sebagai pencetusnya. f) Exploitation Rape; Perkosaan yang menunjukkan bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi wanita yang bergantung padanya secara ekonomis dan sosial. Misalnya, istri yang diperkosa oleh suaminya atau pembantu rumah
tangga
yang
diperkosa
majikannya
sedangkan
pembantunya tidak mempersoalkan (mengadukan) kasusnya kepada pihak yang berwajib. (Mulyana W. Kusuma, 1984: 4) 2) Karakteristik Perkosaan
Karakteristik utama (khusus) tindak pidana perkosaan menurut
Kadish yaitu: bukan ekspresi agresivitas (sexual
expression of aggression) (Atmasasmita 1995: 108). Artinya, perwujudan keinginan seks yang dilakukan secara agresif, bersifat menyerang atau memaksa lawan jenis (pihak) lain yang dapat dan dianggap mampu memenuhi kepentingan nafsunya. Karakteristik umum tindak pidana perkosaan: a) Agresifitas, merupakan sifat yang melekat pada setiap tindak pidana perkosaan; b) Motivasi kekerasan lebih menonjol dibandingkan dengan motivasi seksual semata-mata; c) Secara psikologis, tindak pidana perkosaan lebih banyak mengandung masalah kontrol dan kebencian dibandingkan dengan hawa nafsu; d) Tindak pidana perkosaan dapat dibedakan ke dalam tiga bentuk yaitu: anger rape, power rape dan sadistis rape. Dan ini direduksi dari anger dan violation, control dan domination, erotis; e) Ciri pelaku perkosaan: mispersepsi pelaku atas korban, mengalami pengalaman buruk khususnya dalam hubungan personal (cinta), terasing dalam pergaulan sosial, rendah diri, ada ketidak seimbangan emosional (Kadish, dari Atmasasmita, 1995:109); f) Korban perkosaan adalah partisipatif. Menurut Meier dan Miethe, 4,19% tindak pidana perkosaan terjadi karena kelalaian (partisipasi) korban; g) Tindak pidana perkosaan secara yuridis sulit dibuktikan (Romli Atmasasmita, 1995: 110). Diantara karakteristik perkosaan diatas, ciri kekerasan dan sulitnya dilakukannya pembuktian perlu mendapatkan perhatian utama. Kekerasan yang menimpa korban bukan hanya berdampak
merugikan
ketahanan
fisiknya,
namun
juga
ketahanan
psikologisnya. Begitu pun terhadap masalah pembuktian, pihak penegak hukum mengalami kesulitan mencari bukti-bukti untuk mengungkap kasus perkosaan karena tidak adanya dukungan dari pihak korban.
3) Modus Operandi Perkosaan Setiap kejahatan yang terjadi terutama yang direncanakan tentulah didahului oleh suatu modus operandi. Sehubungan dengan kasus perkosaan, ada suatu penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Universitas Airlangga mengenai modus operandi perkosaan sebagai berikut: Perkosaan dengan modus operandi diancam dan dipaksa (66,3%), dirayu (22,5%), dibunuh (6,1%), diberi obat bius (5,1%). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pelaku dalam menjalankan aksinya telah menggunakan cara-cara pemaksaan kehendak, pengancaman dan kekerasan. Disamping perkosaan itu sendiri termasuk kejahatan yang berkarakter kekerasan, modus operandi yang dilaksanakan juga mengandung kekerasan.(Bagong Suyanto dan Emi Susanti Hendrarso, 1996: 9) Modus
operandi
si
pemerkosa
dalam
Berita
Acara
Pemeriksaan lebih cenderung pada usaha mengajak korban ke tempat yang aman (41,94%) atau korban dirayu (21,5%). (Made Darma Weda, 1996: 75) Apabila dikonklusikan, modus operandi perkosaan setidaktidaknya sebagai berikut: a) Diancam dan dipaksa b) Dirayu c) Dibunuh d) Diberi obat bius e) Diberi obat perangsang
f) Dibohongi dan diperdaya, dan lainnya. Modus operandi perkosaan seperti itu sangat mungkin di kemudian hari dapat berkembang dan dapat bermodus operandi lain lagi. Karena modus operandi kejahatan itu selain terkait dengan posisi korban atau objek yang menjadi sasarannya, juga terkait dengan perkembangan sosial, budaya, ekonomi dan politik yang terjadi dan bergolak ditengah masyarakat
3. Tinjauan Tentang Pidana Dan Pemidanaan a
Pengertian Pidana dan Pemidanaan Istilah
“hukuman”
yang
merupakan
istilah
umum
dsan
konvensional dapat mempunyai arti luas dan berubah-ubah. Oleh karena “pidana” merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifatnya yang khas. Untuk memberikan gambaran yang lebih luas, berikut ini dikemukakan beberapa pendapat atau definisi dari para sarjana sebagai berikut: 1) Sudarto, SH: Yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. 2) Roeslan Saleh: Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu. 3) Van Hamel Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggarnya, yaitu
karena semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan negara. (Martiman Projohamidjojo, 1997 : 57-58) Dari definisi diatas dapatlah disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut: 1) Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; 2) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang); 3) Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.(Muladi dan Barda Nawawi 1998: 4) Alf Ross manambahkan secara tegas dan eksplisit bahwa pidana itu harus juga merupakan pernyataan pencelaan terhadap diri pelaku. Istilah pemidanaan bersinonim dengan perkataan penghukuman. Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya.
b
Teori Pemidanaan Menurut hukum pidana subyektif, negaralah yang berhak menjatuhkan pidana kepada warga negaranya. Dilain pihak negara juga berkewajiban menjamin kesejahteraan dan keselaatan rakyatnya. Walaupun saling bertentangan tetapi pada kenyataannya tanpa pidana yang diancamkan maka negara akan menjadi tidak terkendali bahkan banyak sekali masyarakat yang tidak mendapat kesejahteraan karena haknya dilanggar oleh orang lain. Sehingga hal itu memacu munculnya teori-teori pemidanaan. Terdapat beberapa teori yang memberikan dasar pada perlunya pemidanaan, teori tersebut antara lain : 1) Teori absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings theorieen); 2) Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen); 3) Teori gabungan
Adapun yang dimaksud dengan teori-teori diatas adalah: 1) Teori Absolut Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.(Muladi dan Barda Nawawi 1998: 10) Menurut Johanes Andenaes tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori absolut “ialah untuk memuaskan tuntutan keadilan” (to satisfy the claims of justice) sedangkan pengaruhpengaruhnya yang menguntungkan adalah sekunder. Sedangkan menurut Imanuel Kant tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dengan jelas dalam pendapatnya, sebagai berikut: “...Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakatnya) pembunuh terakhir yang masih berada di dalam penjara harus di pidana mati sebelum revolusi/keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang harusnya menerima ganjaran dari perbuatannya dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat, karena apabila tidak demikian mereka semua dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum”. Menurut Kant, pidana merupakan suatu tuntutan kesusilaan. Kant memandang pidana sebagai “ Kategorische Imperatief” yakni: seseorang harus dipidana oleh hakim karena ia telah melakukan kejahatan. Pidana bukan merupakan suatu alat untuk
mencapai suatu tujuan, melainkan mencerminkan keadilan. (Muladi dan Barda Nawawi 1998: 11-12) Sedangkan Hegel berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekwensi dari adanya kejahatan. Karena kejahatan adalah pengingkaran terhadap ketertiban hukum negara yang merupakan “Negation der Negation” (peniadaan atau pengingkaran terhadap pengingkaran).
2) Teori Relatif Menurut teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu teori ini menurut J. Andenaes dapat disebut sebagai “teori perlindungan masyarakat” (the theory of social defence). Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat antara lain : a) Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat; b) Memperbaiki
kerugian
yang
diderita
akibat
terjadinya
kejahatan; c) Untuk memperbaiki penjahat; d) Untuk membinasakan penjahat; e) Untuk mencegah kejahatan. Oleh karena itu teori ini sering juga disebut teori tujuan (Utilitarian Theory).
Jadi dasar pembenaran adanya pidana
menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan) melainkan “ne peccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan).
3) Teori Gabungan Disebut teori gabungan karena sekalipun pemidanaan merupakan pembalasan sebagai asas dari pidana dan beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun pidana juga mempunyai berbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam prevensi general. Penjatuhan pidana bukan semata-mata sebagai pembalasan dendam. Yang paling penting adalah pemberian bimbingan dan pengayoman. Pengayoman sekaligus kepada masyarakat dan kepada terpidana sendiri agar menjadi insaf dan dapat menjadi warga negara yang baik. (Bambang Waluyo,2000 : 2-3) Mengenai tujuan pemidanaan, para pakar masih belum ada kesepakatan pendapat. Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang hendak dicapai dengan pemidanaan, yaitu : a) Untuk perbaikan pribadi si penjahat itu sendiri; b) Untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatan; c) Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tak mampu melakukan kejahatan lain.(Martiman Prodjohamidjojo,1997 :58)
4. Tinjauan Tentang Disparitas Pidana a
Pengertian Disparitas Pidana Disparitas pidana (disparity of sentencing) menurut Cheang (1977: 2) seperti yang dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi 1998 dalam hal ini adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (same offence) atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan (offences comparable seriousness)
tanpa
dasar
pembenaran
yang
jelas.
Disparitas
pemidanaan mempunyai dampak yang dalam karena didalamnya terkandung perimbangan konstitusional antara kebebasan individu dan hak negara untuk memidana.
Disparitas pidana akan berakibat fatal, bilamana dikaitkan dengan ”correction
administration”.
Terpidana
yang
setelah
memperbandingkan pidana kemudian menjadi korban akan menjadi terpidana yang tidak menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hukum tersebut merupakan salah satu target didalam tujuan pemidanaan. Dari sini akan nampak suatu persoalaan yang serius, sebab akan merupakan suatu indikator dan manifestasi daripada kegagalan suatu sistem untuk mencapai persamaan keadilan di dalam negara hukum
dan
sekaligus
akan
melemahkan
kepercayaan
masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan hukum pidana. (Muladi dan Barda Nawawi 1998: 53-54) Sesuatu yang tidak diharapkan akan terjadi bilamana disparitas pidana tersebut tidak dapat diatasi, yakni timbulnya demoralisasi dan sikap anti rehabilitasi di kalangan terpidana yang dijatuhi hukuman pidana lebih berat daripada yang lain di dalam kasus yang sebanding.
b
Faktor Penyebab Disparitas Pidana Mengingat kompleksitas daripada kegiatan pemidanaan dapat diperkirakan bahwa faktor-faktor tersebut akan bersifat multi kausal dan multi dimensional. Adapun pada dasarnya suatu disparitas pidana dapat disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu: 1) Diparitas pidana dapat dimulai dari hukum itu sendiri Di Indonesia hakim mempunyai kebebasan yang sangat luas untuk memilih jenis pidana yang dikehendaki sehubungan dengan penggunaan sistem alternative di dalam pengancaman pidana di dalam undang-undang. Sebagai contoh adalah Pasal 188 KUHP yang isinya sebagai berikut: “barang siapa karena tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah, jika karenanya timbul bahaya bagi nyawa orang lain, atau jika karenanya diakibatkan matinya kealphaannya menyebabkan
kebakaran, ledakan atau banjir, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu orang.” Dari isi pasal tersebut tampak bahwa beberapa pidana pokok sering kali diancamkan kepada pelaku perbuatan yang sama secara alternatif, artinya hanya satu antara pidana pokok yang diancamkan tersebut dapat dijatuhkan hakim dan hal ini diserahkan kepadanya untuk memilih sendiri manakah yang paling tepat. Disamping itu hakim juga mempunyai kebebasan untuk memilih beratnya pidana (strafmaat) yang akan dijatuhkan, sebab yang ditentukan oleh pengundang-undang hanyalah maksimum dan minimumnya. Sebagai penjelasan dapat dikemukakan disini Pasal 12 ayat 2 KUHP yang menyatakan bahwa pidana penjara selama waktu tetertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama satu tahun. (Muladi dan Barda Nawawi 1998: 56-57) Disamping minimum umum dan maksimum umum tersebut, pada setiap pasal tindak pidana dicantumkan maksimum khususnya (untuk masing-masing tindak pidana). Misalnya Pasal 362 KUHP yang mengatur tindak pidana pencurian mencantumkan ancaman pidana lima tahun penjara sebagai maksimum khusus. Dalam batas-batas maksima dan minima tersebut menurut Ruslan Saleh seperti yang dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi 1998 hakim bebas bergerak untuk mendapatkan pidana yang tepat. Secara ideoleogis sebenarnya disparitas pidana tersebut dapat dibenarkan, sebagai pencerminan salah satu karakteristik aliran modern (positive school) yang berkembang pada abad 19, yakni “Let the punishment fit the criminal”. Sesuai dengan pandangan salah satu pelopornya yakni Cesare Lambroso (1835-1909). (Muladi dan Barda Nawawi 1998: 57-59) 2) Disparitas dapat bersumber pada diri hakim baik yang eksternal maupun internal
Sifat
internal
dan
eksternal
ini
kadang-kadang
sulit
dipisahkan, karena sudah terpadu sebagai atribut seseorang yang dalam arti luas yang menyangkut pengaruh latar belakang sosial, pendidikan, agama, pengalaman, perangai dan pelaku sosial. Selanjutnya persepsi hakim terhadap “philosophy of punishment” dan “the aims of punishment” yang oleh Mollu Cheang dikatakan sebagai “the basic difficulty”, sangat memegang peranan penting didalam penjatuhan pidana. Seorang hakim mungkin berpikir bahwa tujuan berupa ”deterence” hanya bisa dicapai dengan pidana penjara. Namun di lain pihak dengan tujuan yang sama, hakim lain berpendapat bahwa pengenaan denda akan lebih efektif. (Muladi dan Barda Nawawi 1998: 59) Seorang hakim yang memandang “classical school” lebih baik daripada “positive school” akan memidana lebih berat, sebab pandangannya adalah “let the punishment fit the crime”, dan sebaliknya yang berpandangan modern (positive school) akan memidana lebih ringan sebab ia akan berfikir bahwa “punishment fit the criminal”. Sebagai contoh dalam hal ini faktor-faktor jenis kelamin (sex), residivisme dan umur (age). Wanita cenderung dipidana lebih ringan dan jarang sekali dipidana mati. Pidana terhadap residivist akan lebih berat dan bahkan menurut KUHP Indonesia (Pasal 486, Pasal 487 dan Pasal 488 KUHP) secara formal dapat dijadikan dasar hukum untuk memperberat pidana. Dengan demikian masalah umur juga sangat berperan. Dilandasi filsafat yang mendasari “juvenile court” maka pidana terhadap “young offenders” akan lebih ringan (Pasal 47 KUHP) dan bahkan pada Pasal 45 KUHP disertakan alternatifalternatif lain bagi hakim berupa sistem tindakan (maatregelen). Disamping faktor-faktor yang melekat pada si pelaku tindak pidana tersebut (yang sebenarnya jumlahnya banyak), terdapat pula faktor obyektif yang akan mempengaruhi hakim yang antara lain ialah “impressions of the seriousness of cases” yang oleh Cristhie, Andenaes dan Skribeckk digambarkan sebagai berikut:
“in cases that are patentkly mild or grave, the defendant can be clearly perceived wich is measure by the criteria for sentencing. Hence there is a relatively high degree of concord among the judges. Conversely, in cases of intermediate gravity, ambiquity is more apt to characterise the judge’s preception of the defendant with a resulting increase in disparity”. Di dalam hal disparitas pidana yang penting adalah sampai sejauh manakah disparitas tersebut mendasarkan diri atas “reasonable justifications”.
c
Akibat Timbulnya Disparitas Pidana Timbulnya disparitas pidana merupakan suatu indikator dan manifestasi daripada kegagalan suatu sistem untuk mencapai persamaan keadilan di dalam negara hukum dan sekaligus akan melemahkan
kepercayaan
masyarakat
terhadap
sistem
penyelenggaraan hukum pidana. Bilamana disparitas pidana tersebut tidak dapat diatasi, akan timbul demoralisasi dan sikap anti rehabilitasi di kalangan terpidana yang dijatuhi pidana yang lebih berat daripada yang lain didalam kasus yang sebanding.
B. Kerangka Pemikiran Sejarah kaum perempuan adalah sejarah peminggiran peran dan pola ketimpangan relasi. Relasi sosial antara laki-laki dan perempuan masih diwarnai tindakan kuasa-menguasai, perwujudannya seringkali muncul sebagai tindak kekerasan terhadap perempuan. Sedangkan yang dimaksud kekerasan terhadap perempuan adalah segala tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan yang berakibat, atau berkecenderungan untuk mengakibatkan kerugian dan penderitaan secara fisik, seksual maupun psikologis terhadap perempuan, baik perempuan dewasa atau anak perempuan dan remaja. Pasal 2 Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan
mengidentifikasikan jenis kekerasan terhadap perempuan dalam dua wilayah yakni kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan dan dibenarkan oleh negara serta kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam keluarga dan dalam masyarakat luas yang mana tindak pidana perkosaan termasuk didalamnya. Masalah utama berpusat pada tidak adanya hukum yang secara khusus memberikan perlindungan pada korban kekerasan tersebut. Dalam KUHP sebagian kasus yang tergolong kekerasan terhadap perempuan dirumuskan dalam pengertian yang sempit (terbatas). Menurut Pasal 1 butir 8 KUHAP disebutkan hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Dalam mengadili suatu perkara hakim memiliki kebebasan bersifat tidak mutlak seperti disebutkan dalam Pasal 28 UU No.4 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan tentang hakim dan kewajibannya. Kondisi hukum di Indonesia saat ini mendekati titik nadir, yang mana proses penegakan hukumnya dipandang bersifat diskriminatif, inkonsisten, tidak memakai parameter yang obyektif dan mengedepankan kelompok tertentu. Titik berat yang di kedepankan adalah disparitas pidana atau perbedaan dalam penjatuhan pidana terutama dalam kasus perkosaan. Dari sisi sosiologis kondisi disparitas pidana di mata publik merupakan bukti ketiadaan keadilan sedangkan secara yuridis formal kondisi seperti ini tidak dapat dikatakan melanggar hukum karena: undang-undang hanya menentukan batas minimum dan maksimum pidana, adanya kebebasan hakim yang merupakan pilar negara hukum dan juga setiap kasus memiliki karakteristik masingmasing yang tidak mungkin disamakan. Oleh karena itu perlu diteliti mengenai apa yang melatarbelakangi terjadinya disparitas pidana serta upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi timbulnya disparitas putusan hakim dalam menangani tindak pidana perkosaan. Adapun kerangka pemikiran dalam penulisan hukum ini dapat dilihat pada skema di bawah ini :
Kekerasan Terhadap Perempuan (Pasal 2 Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan)
Kekerasan Fisik, Seksual dan Psikologis yang terjadi dalam keluarga dan masyarakat : Pemukulan, pelecehan dan ancaman seksual,Perkosaan, dll
Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan dan dibenarkan oleh Negara: Di India melakukan metode kontrasepsi sterilisasi ketika perempuan berumur 21 tahun
Kepastian hukum
Hukum pidana Pasal 285 KUHP
Pasal 28 UU No.4 Tahun 2004 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman
Penyidikan Penuntutan Mengadili Eksekusi Pengawasan dan Pengamatan Napi
Wewenang Hakim : a.menerima perkara b. memeriksa : 1. subyeknya 2. peristiwanya 3. kesalahannya 4. menghub dgn hk yg ada 5. menjatuhkan pidana
Timbul Disparitas Putusan Hakim
Obyek yang diteliti: Latar belakang timbulnya disparitas pidana, upaya yang dlakukan untuk mengatasi dampak timbulnya disparitas putusan hakim