PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN (STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI DI SURAKARTA)
NASKAH HASIL PENELITIAN Disusun Untuk Melengkapi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta
Oleh Nama
: AYUDYA HARINDHA PRANASTY
NIM
: 11100005
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA 2015
ABSTRAKSI
Tujuan dari penelitian hukum ini adalah untuk mengkaji isi, maksud, pelaksanaan dan penerapan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, mengkaji konsekuensi yuridis Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang tindak pidana penipuan dan meneliti bentuk pertanggungjawaban pelaku tindak pidana penipuan dan memberikan masukan agar Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dapat diterapkan sebagaimana mestinya. Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif. Sifat penelitian menggunakan deskriptif. Sumber data penelitian menggunakan data primer dan data sekunder. Alat pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan.Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif dengan model interaktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk pertanggungjawaban terdakwa terhadap tindak pidana penipuan yang dilakukan oleh terdakwa berdasarkan Putusan No. 28/Pid.B/2014/PN.Ska adalah dengan menjalankan masa pemidanaan selama 2 (dua) tahun dan 9 (sembilan). Konsekuensi yuridis dalam tindak pidana penipuan yang dilakukan oleh terdakwa bahwa putusan hakim berdasarkan pada Pasal 378 KUHP dan menggugurkan Pasal 372 KUHP, hal ini sudah tepat karena perkara yang dilakukan adalah tindak picana penipuan bukan tindak pidana penggelapan.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, Pasal 1 ayat (1) dan (3) ditegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk Republik, berdasarkan atas hukum (Rechtstaat) dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka. Ini berarti bahwa Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan menjamin semua warga negara sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Sistem bekerjanya hukum merupakan salah satu proses penegakan hukum. Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan atau apa yang boleh dilakukan serta apa yang dilarang. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja orang yang secara nyata berbuat melawan hukum, melainkan juga perbuatan hukum yang mungkin akan terjadi dan kepada alat perlengkapan negara untuk bertindak menurut hukum. Kejahatan merupakan salah satu perbuatan yang melawan hukum dan ini merupakan fenomena yang kompleks yang harus dipahami dari berbagai sisi yang berbeda. Hal ini dibuktikan dalam keseharian, kita dapat menangkap berbagai komentar tentang suatu peristiwa kejahatan yang berbeda-beda satu
dengan yang lain.
Perkembangan teknologi informasi, pengetahuan, bahkan perkembangan hukum, ikut pula berimbas kepada perkembangan kejahatan. Sederhananya, peraturan perundangundangan yang semakin banyak dan rumit seolah-olah memaksa pelaku kejahatan untuk semakin kreatif dan inovatif dalam melaksanakan kejahatannya. Kejahatan sebagai fenomena sosial yang terjadi dimuka bumi mungkin tidak akan ada habis-habisnya.
Tindak pidana di masyarakat dapat terjadi kapan saja dan di mana saja. Jenis tindak pidana itu sendiri beraneka ragam, mulai dari pencurian, pemerkosaan, narkotika, perjudian dan penipuan. Proses penanganan tindak pidana ini membutuhkan orang-orang tertentu yang diharapkan mampu mengungkap tentang kebenaran materiil dalam hukum pidana di Indonesia, dengan keberadaan hukum berdasarkan uraian diatas, jika terjadi suatu pelanggaran tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pelaku tindak pidana, maka akan ditindak tegas sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dewasa ini, Indonesia dihadapkan pada permasalahan yang tergolong baru. Seiring dengan perkembangan yang ada, tindak pidana penipuan juga mengalami perkembangan yang cukup menyita perhatian. Tindak pidana penipuan yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan berbagai modus yang bermacam-macam telah membuat para penegak hukum semakin harus berpikir lebih keras untuk dapat membuktikannya. Banyak hal yang menjadi faktor dari kejahatan penipuan tersebut misalnya faktor kemiskinan, lingkungan, dan adanya kesempatan ataupun keinginan untuk memperoleh uang tanpa harus bekerja keras. Banyak modus dilakukan oleh pihakpihak yang ingin mengeruk keuntungan pribadi dengan cara melawan hukum, ada juga dengan cara mengaku sebagai orang pintar atau orang sakti yang bisa menggandakan uang atau menjadi kaya tanpa harus bekerja keras, melakukan tindak pidana penipuan dengan modus dunia maya, penggandaan uang palsu, gendam, pengobatan alternatif hingga melakukan penipuan dengan modus penggunaan alat tertentu sebagai alat penggandaan uang. Kejahatan yang semakin meningkat dan sering tersebut merupakan hal yang sangat diperhatikan, sehingga mengundang pemerintah (negara) sebagai pelayan, pelindung masyarakat untuk menanggulangi meluasnya dan bertambahnya kejahatan yang melanggar nilai-nilai maupun norma-norma yang hidup dan berlaku di dalam suatu masyarakat sehingga kejahatan tersebut oleh negara dijadikan sebagai perbuatan pidana
untuk tindak pidana. Hukum pidana merupakan sarana yang penting dalam penanggulangan kejahatan atau mungkin sebagai obat dalam memberantas kejahatan yang meresahkan dan merugikan masyarakat pada umumnya dan korban pada khususnya. Penanggulangan kejahatan tersebut dapat dilakukan secara preventif (pencegahan) dan refresif (penindakan). Bentuk penanggulangan tersebut dengan diterapkannya sanksi terhadap pelaku tindak pidana, sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya. Sanksi pidana kepada pelaku merupakan bentuk tanggungjawab dalam pelanggaran pidana yang dilakukannya.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dan untuk menegaskan pokok permasalahan sebagai pedoman dari masalah yang akan diteliti, serta untuk mencapai sasaran yang hendak dicapai, maka dapat dirumuskan masalah-masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban pelaku tindak pidana penipuan ? 2. Bagaimana konsekuensi yuridis pasal 378 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana pada tindak pidana penipuan ?
C. Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian yang bersifat deskriptif. Sumber data penelitian menggunakan data primer dan data sekunder. Alat pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan.Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif dengan model interaktif.
BAB II HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian dan Pembahasan Tindak Pidana merupakan suatu tindakan yang melanggar hukum yang telah dilakukan baik secara sengaja maupun secara tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum (PAF Lamintang 1997: 193). Apabila seseorang melakukan Tindak Pidana maka perbuatannya tersebut harus dipertanggungjawabkan. Tindak pidana penipuan adalah tindak pidana dengan adanya akibat (gevolgsdelicten) dan tindak pidana berbuat (gedragsdelicten) atau delik komisi atau tindak pidana aktif (Andi Hamzah 2010: 112). Tindak pidana penipuan disebut tindak pidana aktif karena dalam melakukan tindak pidana terdapat gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat. Tindak pidana penipuan yang diatur dalam Pasal 378 KUHP sesungguhnya hanyalah tindakan yang didasari atas maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum baik menggunakan nama palsu, martabat palsu, tipu daya atau dengan rangkaian perkataan-perkataan bohong guna membujuk atau mempengaruhi orang lain agar mengikuti keinginan si pelaku seperti menyerahkan barang dan atau uang, memberi hutang atau menghapus piutang. Sehingga dalam penipuan tidak ada unsur paksaan atau kekerasan dalam melakukan tindak pidana melainkan dengan tipu muslihat yang dapat mempengaruhi jalan pikiran orang lain yang menjadi korban tindak pidana penipuan. Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana maka prinsip utama yang berlaku adalah harus adanya kesalahan pada pelaku (Moeljatno 2002 : 56) dimana
harus terpenuhi unsur-unsur sebagai berikut; perbuatan manusia, memenuhi rumusan undang-undang (Wirjono Prodjodikoro 2002: 5) dan bersifat melawan hukum (Moeljatno 2002: 1). Dan tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab (Bambang Purnomo 1997: 92). Terhadap pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana penipuan, maka di sini Hakim mengacu kepada aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan tindak pidana penipuan. Dalam KUHP sendiri sebagai hukum positif telah mengatur apa yang dimaksud dengan penipuan sebagai tindak kejahatan (Amir Ilyas 2012: 28) serta ancaman pidana yang dapat diberikan. Berdasarkan putusan hakim tersebut maka bentuk pertanggungjawaban terdakwa terhadap tindak pidana penipuan yang dilakukannya adalah dengan menjalani pertanggungjawaban pidananya selama 2 (dua) tahun dan 9 (sembilan) bulan, walaupun masih di bawah dakwaaan penuntut umum. Hal ini menurut penulis bahwa putusan hakim tersebut dari sisi pidana sudah tepat karena dengan berdasarkan Pasal 378 KUHP secara garis besar menyebutkan bahwa: diancam karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun, Barangsiapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat (hoedanigheid) palsu, dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang (Moeljatno 2002: 72). Penggunaan pasal 378 KUHP untuk menjerat terdakwa dirasa sudah tepat karena terdakwa memiliki maksud untuk menguntungkan diri sendiri. Terdakwa juga menggunakan nama palsu yakni Gus Soleh untuk membuat korban percaya terhadap keadaan terdakwa yang dapat menggandakan uang. Terdakwa juga menggunakan rangkaian kebohongan dimana ada keris yang berukuran lebih besar yang dapat
menghasilkan uang lebih. Tindakan terdakwa yang merayu korban agar membeli keris tentu dimaksudkan agar korban mau menyerahkan uang kepada terdakwa agar dapat digunakan untuk memenuhi kepentingan pribadi terdakwa. Seorang hakim memang tetap dituntut oleh masyarakat untuk berlaku adil, namun sebagai manusia hakim dalam memberikan putusannya tidaklah mungkin memuaskan semua pihak baik korban, terdakwa atau penuntut umum. Tetapi walaupun begitu hakim tetap diharapkan menghasilkan putusan yang seadil-adilnya sesuai fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan yang didasari pada aturan dasar hukum yang jelas (asas legalitas) dan disertai dengan hati nurani hakim
dalam
memutuskan
perkara
dan
hal
tersebut
terbukti
bahwa
pertanggungjawaban terdakwa terhadap tindak pidana yang dilakukannya tidak menyentuh ganti rugi uang yang telah dikeluarkan oleh korban. Dimana dengan penipuan yang dilakukan terdakwa tersebut maka pertanggungjawaban terdakwa hanya berupa menjalankan masa pemidanaan di lembaga pemasyarakatan dan tidak ada ketentuan dari hakim kepada terdakwa untuk mengembalikan uang yang menjadi hak korban kepada korban.
B. Konsekuensi Yuridis Pasal 378 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana pada Tindak Pidana Penipuan Pada perkara ini terdakwa dijerat Pasal 378 KUHP tentang Penipuan. Setelah itu Majelis Hakim menimbang apakah ada alasan yang dapat menjadi dasar untuk menghapuskan pidana atas diri terdakwa, baik alasan pemaaf maupun alasan pembenar (Roslan Saleh 1982: 75-76). Namun, pada perkara ini Majelis Hakim tidak menemukan dasar untuk menghapuskan pidana atas diri terdakwa. Oleh karena itu terdakwa dinyatakan harus dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Pada perkara ini
putusan yang dijatuhkan Majelis Hakim kepada terdakwa lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum dimana Penuntut Umum juga memberikan dakwaan alternatif yaitu Pasal 372 KUHP. Surat dakwaan atas nama terdakwa Achmad Soleh alias Gus Soleh dengan Nomor 17/skrta/Euh.2/04/2014 disusun secara dakwaan alternatif. Dakwaan kesatu perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana Pasal 378 KUHP, atau dakwaan kedua terdakwa diatur dan diancam pidana Pasal 372 KUHP. Bentuk surat dakwaan alternatif adalah antara dakwaan yang satu dengan yang lain saling mengecualikan, atau one that subtitutes for another. Pengertian yang diberikan kepada bentuk dakwaan yang bersifat alternatif. Antara satu dakwaan dengan dakwaan yang lain tersirat perkataan “atau” yang memberi pilihan kepada hakim untuk menerapkan salah satu di antara dakwaan-dakwaan yang diajukan. Bersifat dan berbentuk alternative accusation atau alternative tenlastelegging dengan cara pemeriksaan: Memeriksa dahulu dakwaan secara keseluruhan, kemudian dari hasil pemeriksaan atas keseluruhan dakwaan, hakim memilih dan menentukan dakwaan mana yang tepat dan terbukti dipertanggungjawabkan kepada terdakwa. Tujuan yang hendak dicapai bentuk surat dakwaan alternatif adalah untuk menghindari pelaku terlepas atau terbebas dari pertanggungjawaban hukum pidana (crime liability) dan memberikan pilihan kepada hakim menerapkan hukum yang lebih tepat. Pasal 378 KUHP dan Pasal 372 KUHP itu pada dasarnya mirip khususnya tentang delik-delik kekayaan (vermogenst delicten). Ada juga yang menyebutnya sebagai delik yang berkaitan dengan harta benda, tetapi dalam Pasal 372 KUHP itu delik penggelapan sedangkan Pasal 378 KUHP itu delik kecurangan. Pasal 372 KUHP itu berada pada sub rumpun atau sub-kamar “penggelapan”, sedangkan Pasal 378 KUHP itu berada pada rumpun atau kamar “kecurangan”. Oleh karena itu, perbuatan pidana yang ada dalam
Pasal 372 KUHP dengan Pasal 378 KUHP itu berbeda. Maka dakwaan yang tepat digunakan adalah jenis atau bentuk dakwaan alternatif. Dalam hal kesamaan uraian perbuatan antara dakwaan kesatu Pasal 378 KUHP dengan uraian perbuatan dalam dakwaan kedua Pasal 372 KUHP harus dihindari. Karena Pasal 378 KUHP dan Pasal 372 KUHP adalah 2 (dua) hal pasal yang berbeda unsurunsurnya. Oleh karena itu, uraian perbuatannya juga pasti berbeda. Penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian dalam Pasal 362 KUHP. Hanya bedanya kalau dalam pencurian barang yang diambil untuk dimiliki itu belum berada dalam tangan pelaku, sedangkan dalam kejahatan penggelapan, barang yang dimiliki itu sudah berada dalam tangan si pelaku bukan karena kejahatan atau sudah dipercayakan kepadanya. Sedangkan dalam Pasal 378 KUHP tentang Penipuan hal yang menjadi khusus atau membedakan dengan pasal yang lain dalam KUHP adalah unsur “tipu muslihat atau rangkaian kebohongan” dan unsur “menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu barang kepadanya”. Berdasarkan hal tersebut maka Hakim telah tepat dalam menjatuhkan putusan dengan berdasarkan tindak pidana berdasarkan Pasal 378 KUHP, dimana dalam penipuan, dimilikinya suatu benda oleh seseorang dilakukan dengan cara melawan hukum, yaitu dengan perbuatan yang tidak sah: memakai nama palsu, tipu muslihat, atau rangkaian kebohongan. Seorang yang melakukan penipuan, dengan kata-kata bohongnya itu, menyebabkan orang lain menyerahkan suatu benda kepadanya. Tanpa adanya kebohongan tersebut, belum tentu orang yang bersangkutan akan menyerahkan benda itu secara sukarela. Dalam penggelapan, dimilikinya suatu benda terjadi bukan karena perbuatan yang melawan hukum (bukan karena perbuatan yang tidak sah), melainkan karena suatu perbuatan yang sah (bukan karena kejahatan). Perbuatan dimilikinya barang itu dilakukan dengan kesadaran bahwa si pemberi dan penerima barang sama-sama
menyadari perbuatan mereka, namun pada akhirnya dimilikinya benda tersebut oleh penerima barang dipandang sebagai perbuatan yang tidak dikehendaki (melawan hukum), sehingga secara yuridis penerapan dakwaan dari penuntut umum pada Pasal 372 KUHP di rasa kurang tepat dan yang tepat adalah pada Pasal 378 KUHP.
BAB III KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini maka dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut: 1. Bentuk pertanggungjawaban terdakwa terhadap tindak pidana penipuan yang dilakukan adalah dengan menjalani masa pemidanaan selama 2 (dua) tahun dan 9 (sembilan) bulan. Karena dalam kasus yang menjadi bahan penelitian ini tindak pidana yang dilakukan terdakwa termasuk dalam bentuk penipuan pokok yang mana menggunakan pasal 378 KUHP. Pada pasal 378 KUHP disebutkan bahwa penipuan diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. 2. Konsekuensi yuridis pasal 378 KUHP dalam kasus tindak pidana penipuan yang menjadi bahan penelitian ini adalah putusan hakim berdasarkan pada Pasal 378 KUHP dan menggugurkan Pasal 372 KUHP, hal ini sudah tepat karena perkara yang dilakukan adalah tindak pidana penipuan bukan tindak pidana penggelapan. Dimana tindakan yang dilakukan oleh terdakwa terdapat unsur-unsur seperti: a. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan cara melawan hukum. b. Dengan menggunakan satu atau lebih alat penggerak penipuan seperti: nama palsu, jabatan atau martabat palsu, keadaan palsu, tipu muslihat dan rangkaian kebohongan. c. Menggerakkan orang lain utnuk menyerahkan suatu barang atau uang, memberi utang atau menghapus utang.
Karena tindakan terdakwa memenuhi unsur-unsur tersebut maka tindakan terdakwa dikenai tindak pidana penipuan dan hakim menggunakan pasal 378 KUHP untuk menjadi dasar dari hukuman pidana bagi terdakwa.
DAFTAR PUSTAKA
Amir Ilyas. 2012. Asas-Asas Hukum Pidana. Makasar : Rangkang Education. Andi Hamzah. 2010. Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP, Jakarta : Sinar Grafika. Bambang Poernomo. 1987. Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Ghalia Indonesia Chairul Huda, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta : Prenada Media. Djoko Prakoso, 1987. Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. Yogyakarta : Liberty. E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta : Sinar Grafika. HB. Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar Teori dan Terapannya dalam penelitian. Surakarta : Universitas Sebelas Maret Press. Moeljatno, 2002, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta P.A.F Lamintang, 1997, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung, Citra Aditya Rahmat Hakim, 2000, Hukum Pidana dalam Islam (Fiqih Jinayah), Bandung : Pustaka Setia. R. Soesilo. 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor : Politeia. R. Soegandhi, 1981, KUHP dan Penjelasannya, Surabaya : Usaha Nasional. Roeslan Saleh. 1982. Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta : Ghalia Indonesia. S.R Sianturi. 1996. Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya. Jakarta : Alumni Ahaem-Peteheam Soerjono Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press. Topo Santoso, 2001, Menggagas Hukum Pidana Islam : Penerapan Syariat Islam dalam Konteks Modernitas. Bandung : Asy Syaamil Press dan Grafika. Wirjono Prodjodikoro, 2002, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung : Refika Aditama
Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana