TESIS
PENJATUHAN PIDANA MATI DALAM TINDAK PIDANA TERORISME BOM BALI (STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI DENPASAR)
NI MADE DWI KRISTIANI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
1
TESIS
PENJATUHAN PIDANA MATI DALAM TINDAK PIDANA TERORISME BOM BALI (STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI DENPASAR)
NI MADE DWI KRISTIANI NIM : 1190561025
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
PENJATUHAN PIDANA MATI DALAM TINDAK PIDANA TERORISME BOM BALI (STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI DENPASAR)
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI MADE DWI KRISTIANI NIM. 1190561025
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 13 JUNI 2014
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. I Ketut Mertha, S.H., M.Hum.
Dr. I Gede Artha, S.H., M.H.
NIP. 19461231 197602 1 001
NIP. 19580127 198503 1 002
Mengetahui
Ketua Program Studi
Direktur Program Pascasarjana
Magister (S2) Ilmu Hukum
Universitas Udayana
Universitas Udayana
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,MH.,LL.M
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S.(K)
NIP. 196111011986012001
NIP. 195902151985102001
Tesis Ini Telah Diuji Pada Hari Selasa, Tanggal 03 Juni 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor : 1448/UN 14.4/HK/2014, Tanggal 2 Juni 2014
Ketua
:
Prof. Dr. I Ketut Mertha, S.H., M.Hum
Sekretaris
:
Dr. I Gede Artha, S.H., M.H
Anggota
:
1. Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, S.H., M.S 2. Dr. I Dewa Made Suartha, S.H., M.H 3. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, S.H., M.Hum
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Ni Made Dwi Kristiani
Program studi
: Ilmu Hukum
Judul Tesis
: Penjatuhan Pidana Mati Dalam Tindak Pidana Terorisme Bom Bali (Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Denpasar)
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Denpasar, 19 Mei 2014 Yang menyatakan
Ni Made Dwi Kristiani
UCAPAN TERIMA KASIH
Om Swastiastu, Puji syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas asung kertha wara nugraha-Nya Tesis dengan judul “PENJATUHAN PIDANA MATI DALAM TINDAK PIDANA TERORISME BOM BALI (STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI DENPASAR)” ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari bahwa tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi dalam menyusun tesis ini, penulisan tesis ini tidak akan berhasil dengan baik tanpa adanya dukungan dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1.
Bapak Prof. Dr. I Ketut Mertha, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing, memberikan masukan, arahan serta saran-saran dalam penyusunan Tesis ini.
2.
Bapak Dr. I Gede Artha, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II dan juga selaku
Pembimbing
Akademik
yang
telah
bersedia
penuh
kesabaran
membimbing dan memberikan petunjuk, masukan serta saran-saran dengan dalam penyusunan Tesis ini 3.
Bapak Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD., KEMD., yang merupakan Rektor Universitas Udayana.
4.
Ibu Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K)., yang merupakan Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana.
5.
Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H., M.H., yang merupakan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.
6.
Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.H., LL.M., yang merupakan Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.
7.
Bapak Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, S.H.,M.Hum., yang merupakan Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.
8.
Bapak Sugeng Riyono, S.H., M.Hum., yang merupakan Ketua Pengadilan Negeri Denpasar, yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian di Pengadilan Negeri Denpasar.
9.
Bapak I Made Suardana, S.H., yang merupakan Panitera Muda Hukum Pengadilan Negeri Denpasar dan seluruh staf serta pegawai Pengadilan Negeri Denpasar yang telah bersedia membantu menyediakan data-data bagi penelitian Tesis ini.
10. Bapak Hasoloan Sianturi, S.H., M.H., yang merupakan Hakim Pengadilan Negeri Denpasar yang telah bersedia membantu menjadi informan bagi penelitian Tesis ini. 11. Bapak Cening Budiana, S.H., yang merupakan Hakim Pengadilan Negeri Denpasar yang telah bersedia membantu menjadi informan bagi penelitian Tesis ini.
12. Bapak Putu Gde Hariadi, SH., yang merupakan Hakim Pengadilan Negeri Denpasar yang telah bersedia membantu menjadi informan bagi penelitian Tesis ini. 13. Bapak Jaya Kesuma, SH.MH yang merupakan Kepala Kejaksaan Negeri Denpasar, yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian di Kejaksaan Negeri Denpasar. 14. Bapak Romulus Halolongan, S.H., yang merupakan Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Denpasar yang telah bersedia membantu menjadi informan bagi penelitian Tesis ini. 15. Bapak Eddy Arta Wijayam S.H., yang merupakan Koordinator
Penuntutan
Pidana Umum Kejaksaan Negeri Denpasar yang telah bersedia membantu menjadi informan bagi penelitian Tesis ini. 16. Ibu Ni Luh Oka Ariani Adikarini, S.H., yang merupakan Jaksa di bagian Pidana Umum Kejaksaan Negeri Denpasar yang telah bersedia membantu menjadi informan bagi penelitian Tesis ini. 17. Seluruh Pegawai Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan pelayanan administrasi selama penulis menempuh kuliah di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana. 18. Kedua orang tua saya (alm) Bapak I Made Sumertha S.H., dan Ibu Made Sukerni, kakak Eka Dharmayanti, adik Disna Triantini dan semua keluarga serta
I Putu Agus Pradipta Putra yang selalu memberikan dukungan, doa serta kepercayaan dalam menyelesaikan Tesis ini. 19. Teman-teman dekat penulis yaitu Krisna Sintia Dewi, Arya Prima Dewi, Eva Ditayani Antari, Kade Richa Mulyawati, Budi Prasetyo, teman-teman di Magister Ilmu Hukum, dan teman-teman Simas yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, terima kasih atas semangat, dukungan, kebersamaan dan pengalaman yang telah diberikan selama ini. Meskipun Tesis ini telah selesai, namun di dalamnya masih jauh dari sempurna, hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan, pengetahuan yang penulis miliki. Maka dari itu diharapkan adanya kritik, saran, bimbingan dan petunjuk dari semua pihak sehingga dapat melengkapi dan menyempurnakan Tesis ini. Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak dan semoga Tesis ini dapat diterima serta bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya. Om Shanti, Shanti, Shanti Om.
Denpasar, 19 Mei 2014
Penulis
ABSTRAK Penelitian mengenai penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme Bom Bali dilakukan dengan tujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis secara mendalam mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme Bom Bali. Selain itu tujuan penelitian ini juga untuk mengetahui peranan pidana mati sebagai upaya pencegahan dalam tindak pidana terorisme. Penjatuhan dan pelaksanaan pidana mati bagi tiga terdakwa Bom Bali mengundang banyak perhatian masyarakat sehingga bermunculan pro dan kontra terhadap pelaksanaan pidana mati tersebut. Dari pro dan kontra tersebut muncul pertanyaan apakah dengan pidana mati dapat mencegah dan menanggulangi tindak pidana terorisme di Indonesia. Hakim menggunakan acuan dari KUHP dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yakni Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada kasus terorisme Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002, yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang No. No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 2 Tahun 2002 Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada kasus terorisme Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah merupakan penelitian hukum yuridis empiris dengan sifat penelitian deskriptif yang menggunakan sumber data primer dan sekunder dengan teknik studi dokumen dan wawancara serta sumber bacaan yang berkaitan dengan permasalahan. Penelitian ini mempergunakan teknik non probability sampling, yaitu purposive sampling dalam penentuan sample penelitian. Adapun keseluruhan data yang telah didapat akan dianalisis secara kualitatif atau lebih dikenal dengan istilah analisis deskriptif kualitatif. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diketahui Hakim dalam menjatuhkan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme memiliki pertimbangan-pertimbangan yang didasarkan atas perspektif yuridis, filosofis, dan sosiologis, serta tidak terlepas dari pertimbangan hati nurani dan menilai secara objektif terhadap tindak pidana yang dilakukan. Penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme belum sepenuhnya dapat dijadikan sarana pencegahan. Namun pidana mati cukup efektif dalam upaya memberikan efek jera. Pidana mati merupakan upaya terakhir dalam usaha pemberantasan terorisme, bukanlah sebagai upaya pencegahan tindak pidana terorisme. Kata Kunci : Dasar Pertimbangan Hakim, Pidana mati, Terorisme
ABSTRACT Research regarding the imposition of the death penalty for the Bali bombing terrorist acts carried out in order to describe and analyze in depth of the basic considerations the judge in imposing the death penalty for the crime of terrorism Bom Bali. Other than the purpose of this study was also to determine the role of the death penalty as an effort to prevent the criminal act of terrorism. The imposition and execution of the death penalty for the Bali bombings of three defendants invite the public attention so that the emerging pros and cons of the implementation of the death penalty. The pros and cons of the question whether the punishment with the death penalty can be prevent and counter terrorism in Indonesia. The judge use the reference of the Penal Code and replacement of government regulation Act (Government Regulation) Government Regulation No. 1 of 2002 on the eradication of terrorism and Government Regulation No. 2 of 2002 on the implementation of Government Regulation No. 1 of 2002 on the eradication of terrorism in terrorism cases Bali bombing on 12 October 2002, which was passed into Law No. 15 of 2003 concerning the establishment of Government Regulation No. 1 of 2002 on combating terrorism and Law No.16 of 2003 on the establishment of Government Regulation No. 2 of 2002 enactment of Government Regulation No. 1 on the eradication of terrorism in the case of the Bali bombing of 12 October 2002. Methods used in this study is an empirical legal research juridical nature of the descriptive research using primary and secondary data sources to study the document and interview techniques as well as reading materials related to the problem. The research uses non-probability sampling technique, is purposive sampling in the determination of the research sample. As for all the data that has been in can be analyzed qualitatively or better known as the analysis of qualitative descriptions . Based on research that has been done, it can be seen the judge in imposing the death penalty for the crime of terrorism have considerations based on the perspective of juridical, philosophical and sociological, and not apart from considerations of conscience and objectively assess the offenses committed. The imposition of the death penalty for the crime of terrorism have not been fully able to be used as a means of prevention . But the death penalty is quite effective in providing a deterrent effect . Capital punishment is a last resort in efforts to eradicate terrorism, not as an act of terrorism prevention. Keywords : Basic Considerations Magistrate, Death Penalty, Terrorism
RINGKASAN Tesis ini membahas mengenai penjatuhan dan pelaksanaan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme Bom Bali. Tesis ini terdiri dari 5 (lima) bab, yaitu bab pendahuluan, bab tinjauan umum, bab ketiga dan keempat adalah pembahasan serta bab yang terakhir adalah penutup. Bab I, Menguraikan latar belakang mengenai penyebab munculnya permasalahan dalam penelitian ini. Pada kasus terorisme Bom Bali, terdapat tiga pelaku yang dijatuhi pidana mati oleh Hakim Pengadilan Negeri Denpasar. Pidana mati merupakan satu jenis pidana paling kontroversial dari semua jenis pidana. Terdapat pandangan-pandangan yang pro dan kontra terhadap eksistensi pidana mati tersebut. Satu sisi ada yang ingin tetap mempertahankannya berdasarkan ketentuanketentuan yang berlaku untuk memberikan efek jera dan mencegah terjadinya pelanggaran yang lebih parah. Sisi lainnya ada yang menginginkan penghapusan pidana mati karena dianggap bertentangan dengan kemanusiaan. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam bab ini juga menguraikan rumusan masalah, ruang lingkup permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, orisinalitas penelitian, landasan teoritis, kerangka berpikir, hipotesis, dan metode penelitian. Bab II, Menguraikan tinjauan umum mengenai pidana mati dan terorisme yang dibagi menjadi tiga subbab. Sub bab pertama adalah mengenai pengertian pidana dan jenis pidana. Subbab kedua adalah mengenai pidana mati dari segi sejarah pidana mati di Indonesia dan pidana mati dalam Ketentuan Perundang-Undangan Indonesia. Subbab ketiga adalah mengenai tindak pidana terorisme dari segi pengertian, karakteristik, tipologi, dan sejarah terorisme. Bab III, Menguraikan mengenai pembahasan dari permasalahan yang pertama dalam penelitian ini, yang terdiri dari dua aspek, yaitu pertama dasar hukum penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme berdasarkan KUHP dan Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme dan yang kedua adalah mengenai dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana mati tersebut dari perspektif yuridis, filosofis, dan sosiologis. Bab IV, Menguraikan mengenai pembahasan dari permasalahan yang kedua dalam penelitian ini, yang terdiri dari proses penjatuhan dan pelaksanaan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme yang terkait dengan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme. Bab V, merupakan bab penutup yang menguraikan simpulan dari hasil pembahasan yaitu Hakim dalam menjatuhkan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme memiliki pertimbangan yang didasarkan atas perspektif yuridis, filosofis, dan sosiologis yang tidak terlepas dari pertimbangan hati nurani dan menilai secara objektif terhadap tindak pidana yang dilakukan. Penjatuhan pidana mati belum sepenuhnya dapat dijadikan sarana pencegahan, namun cukup efektif dalam upaya memberikan efek jera yang merupakan upaya terakhir dalam usaha pemberantasan terorisme. Sehingga saran yang dapat diberikan adalah untuk memeriksa dan
mengadili perkara tindak pidana terorisme sebaiknya dibentuk Pengadilan Khusus dengan suatu Undang-Undang yang memiliki hukum acara khusus agar hambatan hukum yang dihadapi dalam penanganan kasus tindak pidana ini dapat diselesaikan dan sebagai sarana pencegahan dalam tindak pidana terorisme, sebaiknya lebih mengoptimalkan kekuatan intelijen nasional dan aparat hukum terkait agar dapat berjalan secara sistematis dan berkelanjutan.
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN ....................................................................... i HALAMAN SAMPUL DALAM ..................................................................... ii HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER .................................. iii HALAMAN PENGESAHAN TESIS .............................................................. iv HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS ............................. v SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ................................................. vi HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH ...................................................... vii HALAMAN ABSTRAK ................................................................................... xi HALAMAN ABSTRACT ................................................................................. xii RINGKASAN .................................................................................................... xiii DAFTAR ISI...................................................................................................... xv DAFTAR TABEL ............................................................................................. xviii BAB I
PENDAHULUAN ................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 13 1.3 Ruang Lingkup Masalah ............................................................... 13 1.4 Tujuan Penelitian .......................................................................... 14 a. Tujuan Umum ........................................................................... 14 b. Tujuan Khusus .......................................................................... 14 1.5 Manfaat Penelitian ........................................................................ 15 a. Manfaat Teoritis ....................................................................... 15
b. Manfaat Praktis ......................................................................... 15 1.6 Orisinalitas Penelitian ................................................................... 16 1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir .................................... 20 1.7.1 Landasan Teoritis .............................................................. 20 1.7.2 Kerangka Berpikir ............................................................. 44 1.8 Hipotesis ....................................................................................... 46 1.9 Metode Penelitian ......................................................................... 46 1.9.1 Jenis Penelitian.................................................................. 47 1.9.2 Sifat Penelitian .................................................................. 48 1.9.3 Sumber Data...................................................................... 48 1.9.4 Teknik Pengumpulan Data ................................................ 49 1.9.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian................................ 50 1.9.6 Teknik Analisis Data ......................................................... 50 BAB II Tinjauan Umum tentang Pidana Mati dan Terorisme .............................. 52 2.1 Pengertian Pidana dan Jenis Pidana .............................................. 52 2.2 Pidana Mati ................................................................................... 58 2.3 Tindak Pidana Terorisme .............................................................. 66 BAB III Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Terorisme ..................................................................... 86 3.1 Dasar Hukum Penjatuhan Pidana Mati dalam Tindak Pidana Terorisme Berdasarkan KUHP dan Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme………………………………………………………...86 3.2 Dasar Pertimbangan Hakim dalam Penjatuhan Pidana Mati dalam Tindak Pidana Terorisme Perspektif Filosofis, Sosiologis dan Yuridis…………………………………………………………... 97
BAB IV Pengaruh Penjatuhan Pidana Mati dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme…………………………... ........................ 116 4.1 Proses Penjatuhan Pidana Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Terorisme .................................................................................... 116
4.2 Pelaksanaan Pidana Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Terorisme……………………………………………………. ... 122 BAB V
PENUTUP…………………………………………………………... 146 5.1 Simpulan ..................................................................................... 146 5.2 Saran…………………………………………………………….147
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR INFORMAN LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1.
Terpidana Mati Tindak Pidana Terorisme Bom Bali……………120
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kemerdekaan bangsa Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 tidak dapat dilepaskan dari cita-cita pembaharuan hukum. Di dalam pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia itu sekaligus juga terkandung di dalamnya pernyataan untuk merdeka dan bebas dari ikatan belenggu penjajahan hukum kolonial. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia, disamping merupakan didorong oleh keinginan luhur bangsa Indonesia untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas. Keinginan luhur untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas itu ingin dicapai dengan membentuk pemerintah Negara Indonesia yang disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar. Pengakuan terhadap hak asasi manusi merupakan salah satu perwujudan konsep negara hukum, baik dalam bentuk rechtstaat maupun rule of law. Indonesia sebagai negara yang menganut konsep negara hukum sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI 1945), mengakui hak asasi manusia. Pengakuan terhadap hak asasi manusia dinyatakan dalam UUDNRI 1945 sebagai hukum dasar yang berlaku di Indonesia. Sebelum amandemen terhadap UUD 1945, pengakuan terhadap hak asasi
manusia diatur dalam ketentuan Pasal 28 UUD 1945. Sedangkan pasca amandemen terhadap UUD 1945, pengaturan mengenai hak asasi manusia semakin dirinci sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 dan Pasal 28-28I UUDNRI 1945. Khusus mengenai hak untuk hidup diatur dalam Pasal 28A, yang dinyatakan sebagai berikut : “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Hak asasi manusia merupakan hak alamiah yang melekat dalam setiap individu sejak lahir sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Marjono Reksodiputro, hak asasi manusia adalah hak-hak yang sedemikian melekat pada sifat manusia sehingga tanpa hak-hak itu kita tidak mempunyai martabat sebagai manusia (inheirent dignity) dan oleh karena itu hak-hak tersebut tidak boleh dilanggar atau dicabut.1 Salah satu hak asasi manusia yang yang dijunjung tinggi adalah hak untuk hidup. Selain itu dalam ketentuan Pasal 4 dan Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM) juga mengatur mengenai hak untuk hidup yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Dalam instrumen hukum internasional, pengakuan terhadap hak untuk hidup diatur dalam ketentuan Pasal 6 International Convention on Civil and Politic Rights (ICCPR) atau Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik, yang dibentuk pada tanggal 23
1
Marjono Reksodiputro, 1994, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku III, Pusat Pelayanan Keadilan dan Bantuan Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.h.7
Maret 1976.2 Dalam Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik, hak untuk hidup diakui sebagai non-derogable rights yaitu hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara pihak, walau dalam keadaan darurat sekalipun.3 Oleh karena itu, dalam keadaan apapun hak untuk hidup seseorang tidak boleh dibatasi atau dikurangi. Hak untuk hidup merupakan hal yang bertentangan dengan keberadaan pidana mati. Hal ini karena pidana mati dianggap telah membatasi hak untuk hidup seseorang, sedangkan hak untuk hidup merupakan hak yang tidak boleh dibatasi dalam keadaan apapun. Penjatuhan pidana mati telah dianggap merampas hak hidup seseorang, sehingga keberadaan pidana mati merupakan hal yang kontroversial apabila dikaji berdasarkan perspektif HAM, ada pihak yang pro maupun kontra terhadap pidana mati. Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik diharapkan mentaati ketentuan Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik yang pada dasarnya menghendaki adanya penghapusan hukuman mati di setiap negara, yang tercantum dalam ketentuan Pasal 6 ayat 6 Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik.4 Di Indonesia pidana mati masih ditempatkan sebagai pidana terberat dan merupakan
2
Sri Utari, 2006, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 36. 3 M. Lutfi Chakim, 2011, Ruang Lingkup Hak Sipil dan Politik Dalam Konstitusi, ICCPR, dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, http://lutfichakim.blogspot.com/2011/08/ruang-lingkup-haksipil-dan-politik.html, diakses tanggal 10 Maret 2012. 4 Makaarim, 2007, Beberapa Pandangan tentang Hukuman Mati (Death Penalty) dan Relavansinya dengan Perdebatan Hukum di Indonesia, http://makaarim.wordpress.com/2007/10/22/beberapa-pandangan-tentang-hukuman-mati-deathpenalty-dan-relevansinya-dengan-perdebatan2-hukum-di-indonesia/, diakses tanggal 8 Maret 2012.
salah satu bentuk pidana pokok yang diatur berdasarkan ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Masih dianutnya pidana mati sebagai jenis pidana dalam KUHP dapat dikatakan bertentangan dengan asas lex superior derogat legi inferiori. Asas lex superior derogat legi inferiori merupakan asas yang menyatakan bahwa hukum yang lebih tinggi mengalahkan hukum yang lebih rendah. Dalam Konstitusi Negara Indonesia yaitu dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 secara tegas dinyatakan mengenai jaminan atas hak hidup yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable right), namun di dalam peraturan perundang-undangan (KUHP) masih menganut pidana mati dimana pidana mati merupakan salah satu tindakan merampas
hak
hidup
seseorang.
Jadi
dalam
penjatuhan
pidana
mati
mengenyampingkan asas lex superior derogat legi inferiori dan merupakan pelanggaran terhadap konstitusi. Dalam Rancangan KUHP tahun 2012 pidana mati masih ditempatkan sebagai pidana terberat. Hal ini tercantum dalam Pasal 66 yang dinyatakan bahwa “Pidana mati merupakan pidana yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif”. Dalam Pasal 87 dinyatakan bahwa “Pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat”. Dalam Rancangan KUHP tahun 2012 terdapat pula ketentuan yang menyatakan bahwa “Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun bukan karena terpidana melarikan diri, maka pidana mati
tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden”, hal tersebut diatur dalam Pasal 90. Sementara dalam konsideran Rancangan KUHP tahun 2012 tersebut menyatakan bahwa rancangan KUHP ini merupakan perwujudan upaya pembaharuan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan kenyataan yang pernah terjadi khususnya dalam kasus tindak pidana terorisme, negara Indonesia menerapkan suatu aturan yang menjatuhkan pidana mati bagi pelakunya yaitu Amrozi cs dengan menggunakan asas retroaktif (asas yang berlaku surut), yaitu pada kasus peristiwa peledakan bom Bali I pada tanggal 12 Oktober 2002. Peristiwa tersebut menelan korban 202 jiwa dari 21 negara. Atas pertimbangan adanya situasi genting dengan terjadinya peristiwa tersebut, maka pemerintah mengambil keputusan dengan menetapkan Perpu No.1 Tahun 2002 menjadi UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU No. 16 Tahun 2003 Tentang Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 2 Tahun 2002 tentang pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Peledakan Bom Bali. Dalam undang-undang tersebut dicantumkan mengenai pelaksanaan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme. Sehingga pemerintah Republik Indonesia sebagai yang bertanggung jawab atas keselamatan bangsa dan Negara, memandang perlu untuk sesegera mungkin memiliki landasan hukum yang kokoh dan
komprehensif untuk memberantas tindak pidana terorisme, yang dituangkan dalam kedua undang-undang tersebut. Pada tanggal 1 Oktober 2005, di Bali kembali terjadi aksi tindak pidana terorisme dengan tiga kejadian pengeboman secara bersamaan namun pada lokasi yang berbeda. Lokasi tersebut terjadi satu di wilayah Kuta dan dua di wilayah Jimbaran. Tempat yang dijadikan sasaran pengeboman tersebut terjadi di Restoran RAJA’s Kuta Square, Kafe Nyoman Jimbaran, dan Kafe Menega Jimbaran. Dampak yang ditimbulkan serupa dengan dampak bom Bali pertama, namun tidak sedasyat bom Bali pertama tersebut. Sedikitnya 22 orang tewas dan 196 korban luka-luka. Bahkan setelah adanya eksekusi dari terpidana bom Bali pertama yang dilakukan pada tahun 2008, masih tetap ada terjadi tindak pidana terorisme di Indonesia. Tindak pidana terorisme tersebut salah satunya terjadi di Jakarta tepatnya di Hotel JW Marriott, Ritz-Carlton yang terjadi pada 17 Juli 2009. Dampak yang ditimbulkan dalam kejadian tersebut masih serupa dengan kasus-kasus terorisme di Indonesia lainnya. Terdapat 9 orang tewas dan 41 orang luka-luka akibat kejadian tersebut. Setelah diadakannya Undang-Undang Terorisme tersebut yang juga mengadakan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme, maka timbul problema dalam masyarakat mengenai pelaksanaan hukuman mati ini, apakah melanggar HAM atau tidak. Mantan menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa hukuman mati adalah bagian yang sah dari sistem hukum nasional. Selain itu
menurut Yusril Ihza Mahendra biaya yang ditanggung oleh abolisi hukuman mati tidak setimpal dengan keuntungan yang diperoleh.5 Sesama mantan menteri Kehakiman dan HAM, Muladi menyatakan hal yang sama. Menurut Muladi korban yang ditimbulkan oleh pelaku justru merupakan pelanggaran HAM yang lebih besar.6 Terorisme bukanlah kejahatan biasa (ordinary crime), namun telah menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) karena sifatnya yang luas dan sistematik dan telah menewaskan ratusan bahkan ribuan orang yang tidak bersalah. Terorisme merupakan musuh umat manusia yang telah menimbulkan rasa takut dan mengancam perdamaian dan keamanan umat manusia serta membahayakan nilai-nilai kemanusiaan dan telah melanggar prinsip di dalam hukum internasional. Peristiwa terorisme merupakan isu global yang memengaruhi kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak untuk memerangi terorisme sebagai musuh internasional. Dalam perkembangan aksi teroris saat ini telah membuat dunia menjadi tidak aman. Saat ini tidak ada tempat yang aman dan dapat dikatakan bebas dari ancaman teroris. Ancaman teroris dapat terjadi kapan saja dan di mana saja serta dapat mengancam keselamatan jiwa setiap orang. Karena dampak yang dirasakan tidak hanya bagi warga Indonesia mengenai keamanan, tetapi dapat memengaruhi dan menimbulkan pendapat yang negatif bagi mancanegara. Berdasarkan data periode 2005, 2006, dan 2012 yang diperoleh dari Kejaksaan Republik Indonesia, masih terlihat adanya penjatuhan pidana mati dalam
5 6
Al Araf dkk, 2010, Menggugat Hukuman Mati di Indonesia, Imparsial, Jakarta, h. xvi Ibid
tindak pidana terorisme. Dalam tahun 2005, terdapat 3 orang yang dijatuhi pidana mati. Dalam periode tahun 2006, terdapat 3 orang lagi yang dijatuhi pidana mati. Sedangkan dalam periode tahun 2012 terdapat 2 orang yang dijatuhi pidana mati.7 Hukum memiliki beberapa fungsi, salah satunya adalah mengatur dan membina perilaku manusia. Hukum memiliki suatu sanksi untuk mengatur dan menjadi pedoman dalam bertingkah laku dimasyarakat, sehingga hukum diposisikan pula sebagai sarana pengendalian sosial. Dalam hal ini, maka hukum adalah suatu sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari ancaman-ancaman maupun perbuatan-perbuatan yang membahayakan. Penjatuhan pidana sebagai penderitaan kepada pelanggar hanya merupakan obat terakhir (Ultimum Remedium) yang hanya dijalankan jika usaha-usaha lain seperti pencegahan sudah tidak berjalan. Salah satu bentuk pidana yang paling berat tersebut adalah pidana mati. Pidana mati merupakan satu jenis pidana paling kontroversial dari semua jenis pidana, baik di negara-negara yang menganut sistem Common Law, maupun di negara-negara yang menganut sistem Civil Law. Terdapat pandangan-pandangan yang pro dan kontra terhadap eksistensi pidana mati tersebut. Satu sisi ada yang ingin tetap mempertahankannya berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk memberikan efek jera dan mencegah terjadinya pelanggaran yang lebih parah. Sisi lainnya ada yang menginginkan penghapusan pidana mati dalam sistem hukum pidana karena dianggap bertentangan dengan kemanusiaan. 7
Kejaksaan Republik Indonesia, 2012, Sumber Data Sunprolapnil Bidang Tindak Pidana Umum per-20 Desember 2012, http://www.kejaksaan.go.id/laporan _tahunan.php?idc=7&idsc=5, (diakses tanggal 13 Mei 2013)
Beberapa Negara Amerika Serikat dan Negara-negara Uni Eropa, telah melakukan penghapusan terhadap pidana mati dalam sistem hukum mereka. Bagi kebanyakan negara, soal pidana mati itu tinggal mempunyai arti dari sudut kultur historis karena kebanyakan negara-negara tidak mencantumkan lagi pidana mati dalam kitab undang-undangnya.8 Negeri Belanda juga telah menghapuskan pidana mati itu pada tahun 1870, berdasarkan Stb. 162 tanggal 17 September 1870.9 Di Indonesia ketentuan pidana mati masih diberlakukan dalam hukum positif, antara lain dalam KUHP dan undang-undang pidana khusus lainnya. Adapula negara lainnya seperti Gambia, dimana secara de jure mengatur pidana mati tetapi dalam tempo 10 tahun terakhir tidak pernah menjatuhkan atau mengeksekusinya. Dengan alasan tertentu beberapa negara mengaktifkan kembali (reinstated) pidana mati tersebut. Gambia pada tahun 1993 menghapuskan pidana mati, tetapi di bawah rezim militer pada Tahun 1995 mengaktifkan kembali pidana mati tersebut. Negara Brazil menghapuskan pidana mati pada tahun 1882 tetapi mengaktifkan kembali pidana mati pada tahun 1969 untuk kejahatan politik, dan kemudian mencabutnya kembali pada tahun 1979.10 Mengenai pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme ini, jika dikaitkan dengan Pasal 6 Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, masih
8
Syaiful Bakhri, 2009, Perkembangan Stelsel Pidana Indonesia, Total Media, Yogyakarta, h.15 I Made Widnyana, 1988, Pidana dan Permasalahannya, Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, (Selanjutnya disebut I Made Widnyana I), h.13 10 Muladi, 2003, Pengkajian Hukum Tentang Asas-Asas Pidana Indonesia Dalam Perkembangan Masyarakat Masa Kini dan Mendatang, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, h.136 9
memberikan peluang untuk diterapkannya pidana mati. Karena terorisme dapat dikualifikasikan kejahatan genosida, dimana pada kasus bom Bali terdapat ratusan korban jiwa dari penduduk sipil, baik warga negara Indonesia sendiri maupun warga negara asing. Selain itu kerugian lainnya adalah baik itu dari segi materiil seperti harta benda, fasilitas penduduk, dan non materiil seperti rasa trauma dan penderitaan dari keluarga korban yang ditinggalkan. Mempertahankan hukuman mati bertentangan dengan beberapa prinsip dan standar internasional mengenai pemidanaan. Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoner tahun 1957 dan Konvenan Sipil Politik pada tahun 1966 menyatakan bahwa tujuan dari pemidanaan adalah untuk merehabilitasi pelaku kejahatan.11 Dilihat dari beberapa Instrumen HAM tersebut dan ketentuan di atas, terlihat masih adanya kerancuan dalam ketentuan tersebut. Disatu sisi HAM menganggap setiap tindakan penghilangan nyawa secara paksa merupakan pelanggaran atas hak untuk hidup. Namun disisi lain hukuman mati masih tetap dipertahankan sebagai sarana dalam menanggulangi beberapa jenis tindak pidana tertentu yang akan mengancam keselamatan umat manusia.12 Belum adanya rumusan tentang tujuan pemidanaan dalam hukum positif Indonesia menyebabkan banyak sekali rumusan jenis dan bentuk sanksi pidana yang
11
Zainal Abidin, 2005, Position Paper Advokasi RUU KUHP Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan Dalam Rancangan KUHP, Elsam, Jakarta, h.2 12 Ibid, h. 107
tidak konsisten dan tumpang tindih.13 Barda Nawawi Arief dan Muladi menyatakan bahwa hubungan antara penetapan sanksi pidana dan tujuan pemidanaan adalah titik penting dalam menentukan strategi perencanaan politik kriminal. Menentukan tujuan pemidanaan dapat menjadi landasan untuk menentukan cara, sarana, atau tindakan yang akan digunakan.14 Dilihat dari sudut politik kriminil, maka tidak terkendalikannya perkembangan kriminalitas yang semakin meningkat, justru dapat disebabkan oleh tidak tepatnya jenis sanksi pidana yang dipilih dan ditetapkan.15 Dalam Rancangan KUHP tahun 2012 Pasal 101, dijelaskan bahwa sistem pemidanaan yang dianut adalah sistem pemidanaan dua jalur (double track system). Double track system ini pertama kali dikemukakan oleh Soedarto. Menurut Soedarto, dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro Semarang pada tanggal 21 Desember 1974, sistem dua jalur tersebut di samping pelaku tindak pidana dapat dijatuhi sanksi pidana (criminal punishment) dapat juga dikenakan berbagai tindakan (treatment).16 Peran aparat penegak hukum, terutama hakim sangat berperan dalam implementasi hukuman mati di Indonesia, selain ditunjang oleh adanya hukum yang mengatur dan mengakui adanya hukuman mati untuk dijatuhkan pada pelaku kejahatan-kejahatan tertentu di Indonesia. Hakim berperan penting, dimana ia
13
Ibid, h.131 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, PT. Alumni, Bandung, h.95. 15 Ibid, h.89 16 M. Sholehuddin, 2007, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.25 14
mengkonkritkan sanksi pidana yang terdapat dalam suatu peraturan dengan menjatuhkan pidana bagi terdakwa dalam kasus tertentu.17 Hakim dan aparat penegak hukum lainnya tidaklah mendapatkan kebebasan sepenuhnya tanpa
pedoman atau
kendali/kontrol. Perumusan tujuan dan pemidanaan dimaksudkan sebagai fungsi pengendali/kontrol dan sekaligus memberikan dasar filosofis, dasar rasionalitas dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah.18 Penerapan pidana mati dimaksudkan untuk mencegah terjadinya tindak kriminal. Ide dasar hukuman mati adalah sebagai bentuk pembalasan terhadap kejahatan. Terkait dengan penerapannya, harus dilakukan seselektif mungkin. Terpidana tidak boleh terlalu lama menunggu waktu untuk dieksekusi. Upaya mencegah tindak pidana terorisme dengan menjatuhkan pidana mati bagi pelakunya masih dipertanyakan efektifitasnya, sehingga mempengaruhi posisi pidana mati dalam sistem pemidanaan di masa akan datang. Meskipun di Indonesia telah ada penjatuhan pidana mati bagi beberapa pelaku tindak pidana terorisme, namun masih saja ada terjadi tindak pidana terorisme di beberapa wilayah di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, maka mengenai penjatuhan pidana mati perlu untuk dikaji, khususnya dalam tindak pidana terorisme. Bahasan tersebut akan dikaji penulis dalam bentuk thesis yang berjudul “PENJATUHAN PIDANA MATI
17
Tongat, 2004, Pidana Seumur Hidup (Dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia), UMMPress, Malang, h.57 18 Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 107
DALAM TINDAK PIDANA TERORISME BOM BALI (STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI DENPASAR)”. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat ditarik dua rumusan masalah yaitu : 1. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme bom Bali? 2. Apakah penjatuhan pidana mati dapat menjadi sarana pencegahan terhadap tindak pidana terorisme?
1.3. Ruang Lingkup Masalah Ruang
Lingkup
penelitian
merupakan
bingkai
penelitian,
yang
menggambarkan batas penelitian, mempersempit permasalahan, dan membatasi areal penelitian.19 Untuk mencegah agar isi dan uraian tidak menyimpang dari pokokpokok permasalahan, maka perlu diberikan batasan-batasan mengenai ruang lingkup masalah yang akan dibahas. Ruang lingkup dalam penulisan ini akan mengkaji mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme, khususnya pada kasus terorisme bom Bali yang berkaitan dengan rumusan masalah pertama. Dalam rumusan masalah kedua akan dikaji mengenai
19
Bambang Suggono, 2005, Metodelogi Penelitian Hukum, Cet.7, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.111
dapat atau tidaknya penjatuhan pidana mati menjadi sarana pencegahan terhadap tindak pidana terorisme. Kedua hal tersebut dikaji dengan beberapa teori dalam hukum pidana yang relevan dengan KUHP dan Rancangan KUHP tahun 2012 di Indonesia, dimana kedua permasalahan tersebut berkaitan dengan tujuan pemidanaan khususnya pidana mati. Pidana mati merupakan pidana yang paling berat dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Jika dilihat dalam konteks hukum pidana, sanksi pidana mati masih diakui eksistensinya sebagai sanksi terakhir yang dijatuhkan pada tindak pidana tertentu saja. Dalam KUHP dan Rancangan KUHP tahun 2012, masih terlihat adanya sanksi pidana mati tersebut.
1.4.Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum 1. Untuk mengkaji dan menganalisis sanksi pidana mati terkait dalam sistem pemidanaan Indonesia. 2. Untuk memberikan kontribusi bagi ilmu hukum pada umumnya dan sistem pemidanaan di Indonesia pada khususnya. b. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui dan memahami mengenai dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Denpasar dalam menjatuhkan pidana mati bagi
pelaku tindak pidana terorisme bom Bali, serta alasan-alasan yuridis dan non yuridis penjatuhan pidana mati tersebut. 2. Untuk mengetahui dan memahami mengenai penjatuhan pidana mati terkait sebagai sarana pencegahan terhadap tindak pidana terorisme di Indonesia.
1.5.Manfaat Penelitian a.
Manfaat Teoritis Manfaat teoritis adalah manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian
sebuah karya ilmiah dengan pengembangan wawasan keilmuan peneliti, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pengembangan ilmu hukum. Manfaat teoritis yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah dapat memberi masukan yang dianggap berguna dan bermanfaat untuk pengembangan studi ilmu hukum terkait dengan penjatuhan pidana mati di Indonesia, apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim untuk menjatuhkan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme serta pidana mati dijadikan sebagai sarana pencegahan khususnya dalam tindak pidana terorisme.
b. Manfaat Praktis Manfaat praktis penelitian ini bukan hanya ditujukan bagi penulis sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi institusi penegak hukum, khususnya hakim dan juga
bermanfaat bagi kalangan masyarakat termasuk mahasiswa, khususnya mahasiswa fakultas hukum untuk mendalami hukum pidana, terkait hal pemidanaan. Bagi institusi, penelitian ini bermanfaat guna memberikan sumbangan pemikiran guna pengembangan studi di bidang hukum pidana, khususnya terkait dengan penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom Bali. Adanya penjatuhan pidana mati terkait tindak pidana terorisme dapat menjadi dasar pertimbangan para hakim dalam memutus perkara suatu tindak pidana agar dapat bertindak secara proporsional sehingga mencerminkan keadilan bagi masyarakat. Bagi penulis sendiri, penelitian ini bermanfaat untuk membantu penulis mengetahui, memahami serta mengkaji lebih dalam mengenai penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom Bali, terkait pada dasar pertimbangan hakim untuk menjatuhkan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme bom Bali serta penjatuhan pidana mati tersebut dijadikan sebagai upaya pencegahan. Sedangkan bagi masyarakat, penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan manfaat serta masukan pengetahuan yang berkaitan dengan sanksi pidana mati dalam tindak pidana terorisme sebagai upaya pencegahan terhadap tindak pidana terorisme.
1.6.Orisinalitas Penelitian Usulan penelitian dalam bidang ilmu hukum yang diajukan penulis merupakan hasil dari gagasan dan pemikian dari penulis sendiri, berdasarkan implementasi dari
penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme oleh Hakim Pengadilan Negeri Denpasar. Dari informasi yang ada dan penelusuran yang dilakukan di Kepustakaan Pascasarjana Universitas Udayana dan informasi dari beberapa Universitas lainnya maka penelitian yang penulis ajukan, belum pernah ada yang melakukan penelitian mengenai hal tersebut sebelumnya. Namun penulis menyadari bahwa terdapat beberapa tulisan ilmiah lain yang memiliki bahasan hampir sama dengan penelitian ini yaitu berkaitan dengan pidana mati, antara lain: 1.
Judul Penelitian
: HUKUMAN MATI DAN HAK ASASI MANUSIA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Penulis
: Mohammad, S.H.,M.H.
Universitas
: Universitas Madura
Hal yang dikaji
:
-
Pidana Mati Dalam Perundang-undangan Indonesia
- Efektifitas Penjatuhan Hukuman Mati Di Indonesia - Hukuman Mati Ditinjau Dari Penegakan HAM Di Indonesia 2.
Judul Penelitian
: IMPLEMENTASI
PIDANA
MATI
TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN Penulis
: Jacky Situmorang (NIM: 020200156)
Universitas
: Universitas Sumatera Utara (2008)
TERHADAP
Hal yang dikaji
:
- Mengapa pidana mati masih digunakan dalam kebijakan penanggulangan kejahatan. - Perkembangan pidana mati dalam berbagai ketentuan pidana di Indonesia. - Implementasi pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan. 3.
Judul Penelitian
: PENERAPAN PIDANA MATI DITINJAU DARI PRESPEKTIF
HUKUM
ISLAM
DAN HUKUM
POSITIF Penulis
: Nevey Varida Ariani (NIM : 00120096 / 00400463)
Universitas
: Universitas Muhammadiyah Malang (2005)
Hal yang dikaji
:
-
Jenis-jenis kejahatan yang diancam dengan pidana mati menurut perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif.
4.
Penerapan pidana mati dalam perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif
Judul Penelitian
: KEBIJAKAN
PEMBERANTASAN
TINDAK
PIDANA TERORISME DI INDONESIA Penulis
: Gede Agung Patra Wicaksana
Universitas
: Universitas Udayana (2008)
Hal yang dikaji
:
-
Urgensi penggunaan asas retroaktif dalam kebijakan pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia
-
Peran Intelijen dalam kebijakan pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia
5.
Judul Penelitian
:
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG UNDANG NO 15 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME
Penulis
:
Elias Zadrach Leasa
Universitas
:
Universitas Udayana
Hal yang dikaji
:
-
Kebijakan kriminalisasi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme
-
Kebijakan pidana dan pemidanaan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme
6.
Judul Penelitian
: HAK ASASI MANUSIA DALAM HUKUMAN MATI SERTA IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA
Penulis
: Dwi Kuncahyo
Universitas
: Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Hal yang dikaji
:
-
Hukuman mati terkait dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia.
-
Implementasi pidana mati di Indonesia dalam bingkai Hak Asasi Manusia.
1.7. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir 1.7.1. Landasan Teoritis Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasikan teori-teori hukum umum/khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan hukum, norma-norma dan lain-lain yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian.20 Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan asas-asas hukum, doktrin, konsep hukum, dasar hukum dan teori-teori hukum sebagai landasan teoritis. Asas hukum adalah suatu pemikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasari adanya suatu norma hukum”.21 Asas-asas hukum sangatlah penting yang menjadi landasan berpijak serta pedoman yang menjiwai suatu Peraturan Perundangundangan. Asas-asas hukum yang digunakan dalam penelitian ini, yakni meliputi asas-asas hukum yang selayaknya diperlukan untuk dapat mewujudkan proses hukum yang adil. Asas tersebut antara lain adalah asas non retroaktif dan asas tiada pidana tanpa kesalahan. Dalam hal menjatuhkan pidana mati dalam tindak pidana terorisme, didasarkan pada Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak pidana Terorisme dan Perpu No.2 tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002. Dalam pemberlakuan kedua Perpu tersebut terlihat
20
Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2009, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 64. 21 M. Marwan dan Jimmy. P, 2009, Kamus Hukum; Dictionary Of Law Complete Edition, cetakan pertama, Reality Publisher, Surabaya, h. 56.
adanya eksistensi asas retroaktif, yaitu asas berlaku surut yang digunakan dengan alasan negara dalam keadaan darurat, sifat darurat keberlakuan asas retroaktif ini tidak berada dalam keadaan yang merugikan hak asasi tersangka/terdakwa, dan substansi dari suatu aturan yang bersifat retroaktif harus tetap memperhatikan substansi secara tegas dan tidak menimbulkan multitafsir.22 Asas retroaktif ini masih menjadi polemik karena bertentangan dengan Pasal 28 huruf I angka (1) UUDNRI 1945, yang menyatakan bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. dimana Perpu ini dikeluarkan pada 18 Oktober 2012 setelah terjadinya kasus terorisme bom Bali pada 12 Oktober 2012. Terkait asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straft zonder schuld) untuk menjatuhkan pidana kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, harus dilakukan bilamana ada unsur kesalahan pada diri orang tersebut. Setiap orang yang dijatuhi pidana harus terbukti melakukan suatu kesalahan sehingga penjatuhan pidana dapat secara proporsional diterapkan sesuai dengan kesalahannya. Doktrin adalah pendapat para sarjana hukum terkemuka yang memiliki pengaruh besar terhadap hakim dalam mengambil keputusan perkara. Pendapatpendapat para pakar dalam bidangnya masing-masing yang berpengaruh”.23 Doktrin yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengenai pidana mati dan terorisme.
22
O.C Kaligis, 2003, Terorisme:Tragedi Umat Manusia, O.C Kaligis & Associates, Jakarta, h.44 Ibid, h. 176.
23
Kata teroris (pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari kata latin “terrere” yang kurang lebih berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata teror juga bisa menimbulkan kengerian.24 Pada dasarnya, istilah terorisme merupakan konsep yang memiliki konotasi yang sangat sensitif karena terorisme menyebabkan terjadinya pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa.25 Pengertian Terorisme pertama kali dibahas dalam European Convention on the Suppression of Terrorism (ECST) di Eropa Tahun 1977. Dikaitkan dengan HAM terorisme merupakan bagian serangan yang meluas atau sistematik yang diketahui bahwa serangan itu ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih-lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang yang tidak bersalah (sebagaimana yang terjadi di Bali).26 Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, seorang pakar Hukum Pidana Internasional mengatakan bahwa “sangat tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik mengenai dapat diterima secara universal dan kadang-kadang menimbulkan kesulitan mengadakan pengawasan atas makna terorisme itu. Terorisme memiliki kaitan antara delik politik dan delik kekerasan, sehingga definisi terorisme adalah persoalan politik”.27 Menurut Syed Hussein Alatas, terroris (pengganas) adalah mereka yang merancang ketakutan sebagai senjata persengketaan terhadap lawan dengan serangan pada manusia yang tidak terlibat, atau harta benda tanpa menimbang salah atau benar 24
Abdul Wahid, dkk, 2004, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM, dan Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, h.22 25 Ibid 26 Ibid 27 O.C Kaligis, Op.cit, h.35
dari segi agama atau moral, berdasarkan atas perhitungan bahwa segalanya itu boleh dilakukan bagi mencapai tujuan matlamat persengketaan.28 T. P. Thornton, terorisme didefinisikan sebagai penggunaan teror sebagai tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijaksanaan dan tingkah laku politik dengan cara-cara ekstra normal, khususnya dengan penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan.29 Purwadarminta mengartikan terorisme sebagai praktik-praktik tindakan teror dengan menggunakan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai sesuatu.30 James Adams memberikan rumusan mengenai terorisme yaitu penggunaan atau ancaman kekerasan fisik oleh individu-individu atau kelompok-kelompok untuk tujuan-tujuan politik, baik untuk kepentingan atau untuk melawan kekuasaan yang ada apabila tindakan-tindakan terorisme itu dimaksudkan untuk mengejutkan, melumpuhkan, atau mengintimidasi suatu kelompok sasaran yang lebih besar dari pada korban-korban secara langsung.31 Ansyaad Mbai yang merupakan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme mengungkapkan bahwa terorisme dapat dipahami sebagai tindakan kekerasan yang menargetkan warga sipil untuk mendapatkan tujuan politik dan ideologis.32 Tujuan penjatuhan pidana mati terkait tidak pidana terorisme, bukan saja untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku tapi juga sebagai suatu upaya 28 29
Abdul Wahid, dkk., Op.Cit, h.30 Mahrus Ali, 2012, Hukum Pidana Terorisme Teori dan Praktik, Gramata Publishing, Jakarta,
h.2 30
Ibid Ibid 32 Aulia Rosa Nasution, 2012, Terorisme Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Dalam Perspektif Hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. xiii 31
pencegahan terhadap tindak pidana terorisme itu sendiri. Pidana mati merupakan suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya. Dalam Rancangan KUHP tahun 2012 Pasal 87, dinyatakan bahwa “pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat”. Dasar hukum yang dijadikan landasan atau pedoman dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, KUHP, Undang - Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Perpu No. 1 Tahun 2012 tentang Pemberantasan Tindak pidana Terorisme dan Perpu No.2 tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002. Adapun konsep dan teori hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut :
1. Konsep Negara Hukum Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III menyebutkan bahwa perlindungan adalah tempat berlindung atau melindungi.33 Pemberian perlindungan hukum tidak terlepas dari negara hukum. Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (Machstaat). Menurut Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim yang dimaksud negara hukum adalah : “Negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya”.34 Berkaitan dengan keadilan, John Rawls menyatakan bahwa terdapat dua prinsip keadilan (two principles of justice), yaitu : First : each person is two have an equal right to the most extensive basic liberty compatible with a similar liberty for other. Second : social and economic inequalities are to be arranged so that they are both (a) reasonably expected to be everyone’s advantage, and (b) attached to positions an offices open to all.35 Prinsip-prinsip tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : pertama, ditentukan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Kedua, ditentukan bahwa ketimpangan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga (a) dapat diharapkan memberi keuntungan bagi semua orang dan (b) semua posisi jabatan terbuka bagi semua orang.
33
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III Depdiknas, 2001, Balai Pustaka, h.410. Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim, 1993, Hukum Tata Negara Indonesia. Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia dan CV. Sinar Bakti, Jakarta, h.155. 35 John Rawls, 1971, A Theory of Justice, The Belknap Press of Harvard of Harvard University Press, Cambridge Massachusetts, h.60. 34
Indonesia merupakan negara hukum yang berlandaskan Pancasila. Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa dengan adanya negara hukum Pancasila, maka terwujudlah perlindungan hak asasi manusia bagi setiap warga negara, yang mana pengakuan yang berkaitan dengan perlindungan dalam hukum sebagai suatu pelaksanaan hak asasi manusia yang dapat dipertanggung jawabkan dan tidak diskriminatif. Dalam hal ini hubungan hukum yang terjadi antara pemerintah dengan warga Negara tergantung dari sifat dan kedudukan pemerintah dalam melakukan suatu tindakan hukum tersebut. Pemerintah mempunyai dua kedudukan yaitu pemerintah sebagai wakil dari badan hukum publik (publiek recht person, public legal entility) dan pemerintah sebagai pejabat dari jabatan pemerintah. Ketika pemerintah melakukan tindakan hukum dalam kapasitasnya sebagai badan hukum, tindakan itu diatur dan tunduk pada administrasi negara. Baik tindakan hukum keperdataan maupun tindakan hukum publik dapat menjadi peluang munculnya suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan dapat melanggar hak-hak dari subyek hukum warga negara. Dalam negara hukum kekuasaan negara dan politik tidaklah absolut, karena adanya pembatasan-pembatasan terhadap kewenangan dan kekuasaan negara dan politik tersebut. Hal ini semata-mata bertujuan untuk menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dari pihak penguasa. Oleh karena itu dalam suatu negara hukum, hukum akan memainkan peranan yang penting, serta berada di atas
kekuasaan negara dan politik yang menimbulkan munculnya istilah pemerintah di bawah hukum (goverment under the law).36 Adapun beberapa istilah yang dikenal untuk menyebut negara hukum antara lain Rechtstaat (Belanda), Rule of Law (Inggris), Etat de Droit (Prancis), dan Stato di Doritto (Italia).37 Konsep negara hukum ini serupa dengan pandangan Krabbe yang mengemukakan istilah souvereiniteit van het recht (kedaulatan hukum) yang artinya semua harus tunduk pada hukum, baik pemerintah maupun yang diperintah (rakyat) harus tunduk pada hukum.38 Ajaran kedaulatan hukum menempatkan hukum pada kedudukan tertinggi. Dengan demikian, negara melalui pemerintahan ditingkat pusat maupun di tingkat daerah untuk dapat mewujudkan ketertiban masyarakat memerlukan adanya suatu sistem pengendalian masyarakat, yang salah satu upayanya adalah melalui hukum.39 Plato menyatakan konsep negara hukum adalah sebuah negara haruslah berdasarkan peraturan yang dibuat rakyat. Dalam sejarah ketatanegaraan selanjutnya dikenal negara hukum sempit sebagai ajaran Immanuel Kant yang memandang negara sebagai alat perlindungan hak asasi dan pemisahan kekuasaan.40 Indonesia menganut konsep negara hukum yang secara konstitusional diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUDNRI 1945. Menurut Friedman, negara hukum
36
Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung, h.2 Ibid. 38 Djokosutono, 1982, Kuliah Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 78. 39 Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta, 1989, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, Remadja Karya, Bandung, h. 11. 40 I Made Subawa dkk, 2005, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Wawasan, Denpasar, h.56 37
mengandung arti pembatasan kekuasaan negara oleh hukum.41 Munir Fuady berdasarkan sejarah munculnya konsep negara hukum berpandangan bahwa negara hukum merupakan suatu sistem kenegaraan yang diatur berdasarkan hukum yang berlaku yang berkeadilan yang tersusun dalam suatu konstitusi, dimana semua orang dalam negara tersebut, baik yang diperintah maupun yang memerintah, harus tunduk pada hukum yang sama, sehingga setiap orang yang sama diperlakukan sama dan setiap orang yang berbeda diperlakukan berbeda dengan dasar pembedaan yang rasional. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa dalam negara hukum kewenangan pemerintah dibatasi berdasarkan suatu prinsip distribusi kekuasaan, sehingga pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang dan tidak melanggar hak-hak rakyat dan karenanya kepada rakyat diberikan peran sesuai kemampuan dan perannya secara demokratis.42 Unsur-unsur Rechtstaat menurut Frederich Julius Stahl terdiri atas 4 (empat) unsur pokok, yaitu: 43 a. Asas legalitas (pemerintahan berdasarkan undang-undang); b. Pembagian kekuasaan; c. Perlindungan hak-hak asasi manusia; dan d. Adanya peradilan administrasi. Berbeda dengan unsur-unsur Rechtstaat yang dikemukakan di atas, konsep Rule of Law yang dikemukakan oleh A.V. Dicey meliputi 3 (tiga) unsur yaitu : 41
Friedman, 1960, Legal Theory, Stren & Stou Limited, London, h. 456. Munir Fuady, Op. Cit., h. 3. 43 Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, h. 8-9. 42
-
Supremacy of law;
-
Equality before the law; dan
-
The constitution based on individual rights.44 Selain unsur-unsur negara hukum yang dikemukakan di atas, beberapa
prinsip yang harus ada dalam suatu negara hukum juga dirumuskan berdasarkan hasil konferensi South-East Asian and Pacific Confrence of Jurist di Bangkok. Adapun prinsip-prinsip tersebut yaitu:45 1. Prinsip perlindungan konstitusional terhadap hak-hak individu secara prosedural dan substansial; 2. Prinsip badan pengadilan yang bebas dan tidak memihak; 3. Prinsip kebebasan menyatakan pendapat; 4. Prinsip pemilihan umum yang bebas; 5. Prinsip kebebasan untuk berorganisasi dan beroposisi; dan 6. Prinsip pendidikan kewarganegaraan (civic education). Sebagai negara hukum (negara hukum formil), Immanuel Kant menyebutkan ada 4 (empat) unsur yang ditetapkan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan yaitu: 1. Perlindungan terhadap hak asasi manusia; 2. Pemisahan kekuasaan; 3. Setiap tindakan pemerintah berdasarkan atas undang-undang; 4. Adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri.46 Sri Soemantri Martosoewignjo menyatakan pandangannya mengenai 4 (empat) unsur yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu:47 44
Astim Riyanto, 2006, Teori Konstitusi, Yapemdo, Bandung, h. 256. Ibid, h. 257 46 I Made Subawa, dkk., Loc. Cit.
45
1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan; 2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia; 3. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara; 4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechtsterlijke controle).
2. Teori Pidana dan Pemidanaan Pidana merupakan suatu akibat yang timbul dari suatu perbuatan tindak pidana yang dijatuhkan pada pelaku tindak pidana tersebut. Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana (strafbaar feit).48 Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 10 terdapat stelsel KUHP yang membedakan pidana menjadi dua kelompok yaitu : 1. Pidana Pokok, yang terdiri dari a. Pidana mati; b. Pidana penjara; c. Pidana tutupan; (ditambahkan berdasarkan UU No.20 Tahun 1946) d. Pidana kurungan; dan 47
Sri Soemantri Martosoewignjo, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, h. 29. 48 Adami Chazawi, 2011, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana Pelajaran Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, h.24
e. Pidana denda. 2. Pidana Tambahan, yang terdiri dari : a. Pidana pencabutan hak-hak tertentu; b. Pidana perampasan barang-barang tertentu; c. Pidana pengumuman keputusan hakim. Masalah penjatuhan pidana atau pemidanaan sangatlah penting dalam hukum pidana dan peradilan, karena merupakan konkretitasasi dari peraturan pidana dalam undang-undang yang bersifat abstrak. Penjatuhan beberapa macam sanksi pidana pada dasarnya merupakan otoritas negara, dimana negara berhak menjatuhkan pidana kepada warganya. Hal ini berkaitan erat dengan pengertian subjectief strafrecht (jus puniendi) sebagai hak atau wewenang untuk menentukan dan menjatuhkan pidana.49 Selain negara tidak ada suatu subyek hukum lain yang mempunyai jus puniendi. Terdapat berbagai macam pendapat mengenai teori pemidanaan, diantaranya dapat dikelompokkan ke dalam tiga golongan besar, yaitu : 1. Teori Pembalasan atau teori absolute (vergeldings theorien) Teori pembalasan menentukan bahwa setiap pelaku kejahatan harus dipidana. Hal ini menunjukkan bahwa pemidanaan seseorang didasarkan pada perbuatan yang telah dilakukan dan tidak melihat akibat-akibat yang dapat ditimbulkan dari penjatuhan pidana itu. Penjatuhan pidana dimaksudkan
49
20
Wirjono Prodjodikoro, 1989, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Eresco, Bandung, h.
untuk memberikan penderitaan bagi pelaku kejahatan dan memberikan rasa keadilan. Jadi pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan dimana dasar pembenar dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.50 Nigel Walker memberikan 3 (tiga) pengertian mengenai pembalasan (retribution), yaitu : a) Retaliatory retribution, adalah dengan sengaja membebankan suatu penderitaan yang pantas diderita seorang penjahat dan yang mampu menyadari bahwa beban penderitaan itu akibat kejahatan yang dilakukannya; b) Distributive retribution, adalah pembatasan terhadap bentuk-bentuk pidana yang dibebankan dengan sengaja terhadap mereka yang telah melakukan kejahatan. Mereka ini telah memenuhi persyaratanpersyaratan lain yang dianggap perlu dalam rangka mempertanggungjawabkan mereka terhadap bentuk-bentuk pidana; c) Quantitative retribution, adalah pembatasan terhadap bentuk-bentuk pidana yang mempunyai tujuan lain dari pembalasan, sehingga bentuk-bentuk pidana itu tidak melampaui suatu tingkat kekejaman yang dianggap pantas untuk kejahatan yang telah dilakukan.51 Asas pembalasan (talio) telah dikenal dalam perundang-undangan Hammurabi. Begitu pula pada bangsa-bangsa kuno yang beradab lainnya seperti bangsa Mesir dengan hukum Romawi dan hukum Islamnya. Namun jauh sebelumnya asas pembalasan telah dikenal pula dalam early Germanic System.52
50
I Gede Widhiana Suarda, 2011, Hukum Pidana:Materi Penghapus, Peringanan dan Pemberat Pidana, Bayu Media, Jember, h.14 51 J.E.Sahetapy, 1979, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Alumni, Bandung, h.153 52 Ibid, h.153-154
Pembalasan dalam bentuk pidana dianggap suatu syarat keadilan, namun syarat keadilan ini oleh para penganut teori pembalasan dilihat secara tidak sama. Hal tersebut dilihat dari adanya teori pembalasan kuno yang dianut oleh Immanuel Kant, Hegel, Thomas Aquino dan teori pembalasan modern yang dianut oleh Van Bemmelen, Pompe, dan Leo Polak. Kant berpendapat bahwa barang siapa yang melakukan kejahatan harus dipidana. Tuntutan pembalasan menjadi suatu syarat yang etis dengan tujuan keadilan bukan tujuan-tujuan lain yang dapat membenarkan dijatuhkan pidana.53 Menurut Hegel, persyaratan dipidananya penjahat berdasarkan keadilan dialektik, dengan melihat kejahatan sebagai pengingkaran hukum. oleh karena itu setiap kejahatan harus dipidana. Namun harus ada keseimbangan antara pidana dan kejahatan yang diperbuat. Keseimbangan tersebut bukan keseimbangan jenis (soortelijke gelijkheid) melainkan keseimbangan nilai (waarde).54 Selanjutnya mereka yang termasuk dalam penganut teori pembalasan modern mempunyai pandangan-pandangan yang lebih halus. Pompe melihat pembalasan sebagai akibat dari dilanggarnya norma-norma, diperkosanya ketertiban hukum dan oleh karena itu sudah tepat yang bersangkutan dipidana. Pompe menekankan bahwa kesalahan dalam hal ini bercorak suatu kesalahan
53 54
Ibid, h.154 Ibid, h.155
yuridis karena menyangkut hukum pidana. Akibat dari suatu perbuatan pidana sangat memegang peranan, sehingga beliau setuju dengan adanya pidana yang ringan, karena pemidanaan bukan untuk menderitakan tetapi bagaimana membatasi kebebasan pelaku kejahatan.55 Mengenai teori pembalasan, Van Bemmelen menyatakan bahwa si penjahat hendaknya tidak diperbolehkan menikmati kejahatannya. Ia harus merasakan nestapa untuk melihat kesalahannya. J.E.Sahetapy menyimpulkan teori pembalasan sebagai berikut : 1) Teori pembalasan hanya melihat pidana dalam kaitannya dengan masa lampau, tidak dalam pertaliannya dengan masa depan si terpidana; 2) Teori pembalasan belum memberi tempat yang wajar kepada beberapa asas, yaitu asas oportunitas, grasi, amnesty, abolisi, daluwarsa, ddan sebagainya; 3) Teori pembalasan yang kuno telah diperhalus dengan teori pembalasan yang modern dan secara teoritis-akademis teori pembalasan masih mempunyai relevansi.56
2. Teori tujuan atau teori relatif (doel theorien) Teori tujuan atau teori relatif ini berdasar pada pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat.57 Teori tujuan
55 56
Ibid, h.157 Ibid, h.163
melihat pada akibat-akibat yang timbul karena adanya pemidanaan, tidak melihat pada kejahatan yang telah terjadi. Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan karena orang melakukan kejahatan melainkan dengan tujuan supaya orang tidak melakukan kejahatan.58 Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat tersebut, maka pidana itu memiliki 3 (tiga) macam sifat, yaitu : -
Bersifat menakut-nakuti (afchrikking);
-
Bersifat memperbaiki (verbetering/reclasering);
-
Bersifat membinasakan (onschadelijk maken).59 Melihat alasan penjatuhan pidana mati oleh hakim J. Bernett di Inggris
pada abad ke-18, “engkau akan digantung bukan karena engkau mencuri kuda, melainkan agar kuda-kuda tidak akan dicuri lagi”.60 Pidana yang dijatuhkan disini bukanlah karena orang membuat kejahatan melainkan agar orang tidak melakukan kejahatan. Jadi terlihat bukan aspek pembalasannya tetapi aspek menakutkan (pencegah) dari pidana mati tersebut. Dalam teori tujuan ini terdapat sifat pencegahan yang terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu : -
57
Pencegahan umum (general preventie);
Adami Chazawi, Op.Cit, h.161 I Gede Widhiana Suarda, Op.Cit, h.15 59 Adami Chazawi, Op.Cit, h.162 60 J.E.Sahetapy, Op.Cit, h.164 58
-
Pencegahan khusus (speciale preventie).61 Teori pencegahan umum meletakkan pelaksanaan pidana harus
dilakukan secara kejam dan dimuka umum untuk mencapai dan mempertahankan tata tertib masyarakat melalui pemidanaan.62 Sehingga dengan ancaman pidana yang berat sebagai sarana untuk menakut-nakuti agar orang tidak melakukan kejahatan. Pelopor teori ini antara lain Von Feuerbach dan Muller. Feuerbach
mengemukakan
teorinya
mengenai
tekanan
jiwa
(Psychologische Zwang Theorie) dalam bukunya yang berjudul Lehbuch des Peinlichen Rechts (1801). Feuerbach beranggapan bahwa suatu ancaman pidana merupakan usaha preventif terjadinya tindak pidana. Apabila orang telah mengetahui sebelumnya bahwa ia diancam pidana karena melakukan tindak pidana, diharapkan akan menekan hasratnya untuk melakukan perbuatan tersebut sehingga harus dicantumkan dalam undang-undang.63 Selain Feuerbach, terdapat adagium yang diperkenalkan oleh Francis Bacon (1561-1626) yaitu “moneat lex, priusquam feriat” dimana undang-undang harus memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya.64 Dari adagium tersebut dapat diartikan bahwa undang-undang merupakan upaya pencegahan dini dengan tujuan mengurangi pelanggaran undang-undang. 61
Adami Chazawi, Loc.Cit Ibid, h.163 63 Fajrimei A Gofar, 2005, Position Paper Advokasi RUU KUHP Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP, Elsam, Jakarta, h.4 64 Ibid 62
Dalam teori pencegahan khusus tujuan pidana adalah mencegah pelaku kejahatan yang telah dipidana agar ia tidak mengulang lagi melakukan kejahatan, dan mencegah agar orang yang telah berniat buruk untuk tidak mewujudkan niatnya itu ke dalam bentuk perbuatan nyata. Jadi teori pencegahan khusus ini meletakkan pencegahan pada pelaku kejahatan. Pelopor teori ini adalah Van Hamel. Dalam konsep Rancangan KUHP Tahun 2012, dalam Pasal 54 ayat (1) dinyatakan bahwa pemidanaan bertujuan untuk : a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Pada Pasal 54 ayat (2) juga dinyatakan bahwa Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. 3. Teori Gabungan Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat.65 Dalam teori gabungan dengan mengedepankan pembalasan, pembalasan tersebut tidak serta merta boleh melampaui batas dari apa 65
Ibid, h.166
yang perlu dan cukup untuk dapat dipertahankannya tata tertib masyarakat.66 Pompe berpendapat bahwa pidana tiada lain adalah pembalasan pada penjahat, tetapi juga bertujuan untuk mempertahankan tata tertib hukum agar kepentingan umum dapat diselamatkan dan terjamin dari kejahatan.67 Zevenbergen berpandangan bahwa makna setiap pidana adalah suatu pembalasan, tetapi mempunyai maksud melindungi tata tertib hukum sebab pidana itu adalah mengembalikan dan mempertahankan ketaatan pada hukum dan pemerintahan.68 Dalam teori gabungan dengan menitikberatkan pada tata tertib hukum dan masyarakat, dipelopori oleh Thomas Aquino dan Vos. Thomas Aquino berpandangan bahwa dasar pidana ialah kesejahteraan umum. Untuk adanya pidana, harus terdapat kesalahan pada perbuatan yang dilakukan dengan sukarela, dimana pidana tersebut bersifat pembalasan. Sifat pembalasan tersebut merupakan sifat umum dari sebuah pidana, namun tetap dengan tujuan pertahanan dan perlindungan tata tertib masyarakat.69
3. Teori Ganjaran (Desert Theory) Munculnya Desert Theory pertama kali dikemukakan oleh Andrew Von Hirsch dan Andrew Asworth. Dalam bahasa Indonesia Desert Theory dapat disebut teori ganjaran yang merupakan teori yang menggambarkan pemikiran tentang
66
Ibid Ibid, h.167 68 Ibid 69 Ibid, h.168 67
proporsionalitas dalam pemidanaan. Desert theory diterjemahkan sebagai “the dessert rational rest on the idea that penal sanction should fairly reflectthe degree of reprehensibleness (that is, the harmfulness and culpability) of the actor conduct”.70 Pandangan ini menyatakan bahwa beratnya sanksi pidana harus seimbang dengan kesalahan dari pelaku. Teori ini amat berkolerasi dengan adagium “only the guilty ought to be punished” atau dalam literatur hukum pidana Indonesia dikenal sebagai asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straft zonder schuld).
71
Karenanya adalah
terlarang untuk menjatuhkan sanksi pidana pada seseorang yang tidak bersalah dan penjatuhan pidana pun harus diukur berdasarkan besar kecilnya kesalahan yang dibuat oleh seorang pelaku tindak pidana.72 Desert theory
mensyaratkan adanya perimbangan antara kesalahan dan
hukuman (ganjaran). Sungguh sulit menilai kesalahan karena hal itu merupakan suatu yang abstrak. Ukuran yang dipakai untuk menimbang besar kecilnya kesalahan sangat erat kaitannya dengan jenis pidana yang dilakukannya.73 Secara umum ukuran untuk menyatakan suatu tindak pidana masuk dalam katagori berat atau ringan bergantung kepada beberapa hal, antara lain diantaranya : a. Nilai kerugian materiil yang ditimbulkan sebagai akibat dari tindak pidana yang terjadi
70
Eva Achjani Zulfa, 2011, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubak Agung, Bandung, h.38 Ibid , h.39 72 Ibid 73 Ibid 71
b. Pandangan atau penilaian masyarakat terhadap suatu perbuatan pada saat waktu tertentu. c. Dampak dari perbuatan pelaku terhadap korbannya. d. Modus operandi tindak pidana yang dilakukan pelaku.74 Mengenai Desert Theory ini, Gerry A. Ferguson menyatakan bahwa ganjaran yang setimpal, didasari bukan pada balas dendam namun lebih tepatnya adalah beratnya sanksi seharusnya didasarkan atas beratnya perbuatan yang dilakukan. Dengan demikian, sanksi ganjaran yang setimpal harus sebanding dengan perbuatan yang dilakukan dan tingkat kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku kejahatan.75
4. Teori Perlindungan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III menyebutkan bahwa perlindungan adalah tempat berlindung atau melindungi.76 Pemberian perlindungan hukum tidak terlepas dari negara hukum. Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (Machstaat). Menurut Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim yang dimaksud negara hukum adalah : “Negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya”.77 Indonesia merupakan negara hukum yang berlandaskan Pancasila. Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa dengan adanya
74
I Gede Artha, 2012, Reformulasi Pengaturan Putusan Bebas Dan Upaya Hukumnya Bagi Penuntut Umum Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, h.201 75 M. Sholehuddin, Op.cit, h. 63 76 Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III Depdiknas, Loc.Cit. 77 Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim, Loc.Cit.
negara hukum Pancasila, maka terwujudlah perlindungan hak asasi manusia bagi setiap warga negara, yang mana pengakuan yang berkaitan dengan perlindungan dalam hukum sebagai suatu pelaksanaan hak asasi manusia yang dapat dipertanggung jawabkan dan tidak diskriminatif. Salah satu ciri lain dari negara hukum adalah adanya asas persamaan di muka hukum (equality before the law) dimana tersangka atau terdakwa juga mendapat pelayanan hukum berupa perlindungan hukum. Pancasila merupakan landasan idiil yang menjadi sumber dari asas-asas perlindungan hukum. UUD Negara RI 1945 sebagai asas konstitusional (struktural), dan Undang-Undang sebagai asas operasional. Dalam Pancasila konsep perlindungan hukum mempunyai landasan idiil (filosofis) hukumnya pada sila ke -5 yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Pengertian keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia di dalamnya terkandung suatu hak seluruh rakyat Indonesia untuk diperlakukan sama di depan hukum. Konsep perlindungan hukum juga memperoleh landasan konstitusional dalam pembukaan UUD 1945 pada alenia ke-4, yaitu : “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang didasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi atau keadilan sosial .....”. Dalam hal ini hubungan hukum yang terjadi antara pemerintah dengan warga Negara tergantung dari sifat dan kedudukan pemerintah dalam melakukan suatu
tindakan hukum tersebut. Pemerintah mempunyai dua kedudukan yaitu pemerintah sebagai wakil dari badan hukum publik (publiek recht person, public legal entility) dan pemerintah sebagai pejabat dari jabatan pemerintah. Ketika pemerintah melakukan tindakan hukum dalam kapasitasnya sebagai badan hukum, tindakan itu diatur dan tunduk pada administrasi negara. Baik tindakan hukum keperdataan maupun tindakan hukum publik dapat menjadi peluang munculnya suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan dapat melanggar hak-hak dari subyek hukum warga negara. Perlindungan hukum merupakan konsep yang universal dari negara hukum. Perlindungan hukum diberikan apabila terjadi pelanggaran maupun tindakan yang bertentangan dengan hukum yang dilakukan pemerintah. Perlindungan hukum terdiri dari dua bentuk yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. 1. Perlindungan Hukum Preventif Preventif artinya rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitive. Dalam hal ini artinya perlindungan hukum yang preventif ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk
bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan. Menurut Philipus M. Hadjon preventif merupakan keputusan-keputusan dari aparat pemerintah yang lebih rendah yang dilakukan sebelumnya. Tindakan preventif adalah tindakan pencegahan78. Jika kita bandingkan dengan teori perlindungan hukum yang represif, teori perlindungan hukum yang preventif dalam perkembangannya agak ketinggalan, namun akhir-akhir ini disadari pentingnya teori perlindungan hukum preventif terutama dikaitkan dengan azas feis ermesen (discretionaire bevoegdheid). Dengan adanya teori ini sebelum pemerintah menerapkan bestemming plannen, rakyat dapat mengajukan keberatan atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusannya79 2. Perlindungan Hukum Represif Perlindungan hukum represif berfungsi untuk menyelesaikan sengketa yang muncul apabila terjadi suatu pelanggaran. Saat ini di Indonesia terdapat berbagai badan yang secara partial menangani perlindungan hukum bagi rakyat. Perlindungan hukum bagi seluruh lapisan masyarakat terdiri dari : a. Perlindungan hukum aktif, yaitu upaya untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar.
78 79
Hadjon dkk, 2002, Pengantar Administrasi Negara, Gajah Mada University,Yogyakarta, h.3 Ibid
b. Perlindungan hukum pasif, untuk mengupayakan pencegahan atas upaya yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak secara tidak adil, termasuk di dalamnya adalah : 1) Mewujudkan ketertiban dan ketentraman. 2) Mewujudkan kedamaian sejati. 3) Mewujudkan keadilan bagi seluruh warga masyarakat. 4) Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.80
1.7.2 Kerangka Berpikir Berdasarkan landasan teoritis dan landasan teori yang digunakan untuk membahas masalah penelitian, dapat disusun kerangka berpikir sebagai berikut :
80
Abdul Manan, 2006, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenede Media, Jakarta, h.23
1. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme bom bali?
Teori Negara Hukum
data
Penjatuhan Pidana Mati Dalam Tindak
Teori Pidana dan
Pidana Terorisme
Pemidanaan
Bom Bali (Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Denpasar)
Teori Ganjaran (Desert Theory) 2. Apakah penjatuhan pidana mati dapat menjadi sarana pencegahan terhadap tindak pidana terorisme?
Teori Perlindungan data
1. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana mati bagi para pelaku tindak pidana terorisme bom Bali yaitu berdasarkan atas kerugian yang ditimbulkan yang bersifat materiil dan immateril dan rasa ketakutan masyarakat secara luas, sehingga menimbulkan dampak yang luas terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan hubungan internasional. Dasar pertimbangan lainnya adalah tindak pidana terorisme merupakan kejahatan yang terorganisir dan tergolong kejahatan luar biasa. 2. Penjatuhan pidana mati dalam kasus bom Bali belum seutuhnya dapat dijadikan sebagai sarana pencegahan tindak pidana terorisme. Hal tersebut dapat dilihat masih adanya kasus bom bali II serta tindak pidana terorisme diberbagai tempat di Indonesia.
1.8. Hipotesis Berdasarkan landasan teoritis yang telah diuraikan di atas, maka terhadap permasalahan-permasalahan yang diajukan dapat ditarik hipotesis sebagai berikut: 1.
Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana mati bagi para pelaku tindak pidana terorisme bom Bali yaitu berdasarkan atas kerugian yang ditimbulkan yang bersifat materiil dan immateril dan rasa ketakutan masyarakat secara luas, sehingga menimbulkan dampak yang luas terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan hubungan internasional. Dasar pertimbangan lainnya adalah tindak pidana terorisme merupakan kejahatan yang terorganisir dan tergolong kejahatan luar biasa.
2.
Penjatuhan pidana mati dalam kasus bom Bali belum dapat seutuhnya dijadikan sebagai sarana pencegahan tindak pidana terorisme. Hal tersebut dapat dilihat masih adanya kasus bom Bali II serta tindak pidana terorisme diberbagai tempat di Indonesia.
1.9. Metode Penelitian Dalam rangka memperoleh, kemudian mengumpulkan, serta menganalisis setiap data atau informasi yang bersifat ilmiah, tentunya dibutuhkan suatu metode dengan tujuan agar suatu karya tulis ilmiah memiliki susunan yang sistematis, terarah, dan konsisten. Adapun metode penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.9.1
Jenis Penelitian Dalam penelitian hukum empiris dapat dipakai berbagai jenis penelitian
diantaranya penelitian berlakunya hukum dan penelitian yang bertujuan untuk mengidentifikasi hukum yang hidup.260 Penelitian hukum yuridis empiris terdiri dari 4 komponen yaitu : 1) penelitian terhadap identifikasi hukum (hukum tidak tertulis), 2) penelitian terhadap efektifitas hukum, 3) penelitian perbandingan hukum, dan 4) penelitian sejarah hukum.261 Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum yuridis empiris yang khusus meneliti mengenai efektifitas hukum yang membahas mengenai bagaimana hukum beroperasi dalam masyarakat.262 Terkait dengan penelitian dalam penulisan karya ilmiah ini, dilakukan dengan cara melihat peraturan yang mengaturnya dan kemudian melihat dan meneliti secara langsung mengenai penerapan penjatuhan pidana mati dalam kasus bom Bali yang dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Denpasar dengan pertimbangan-pertimbangan dan dasar hukum yang digunakan. Sehingga mengetahui efektif atau tidaknya penjatuhan pidana mati
260
Ade Saptomo, 2009, Pokok-Pokok Metodelogi, Penelitian Hukum Empiris Murni, Sebuah Alternatif, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, h.42 261 H.Zainuddin Ali,M.A, 2010, Metode Penelitian Hukum, Cetakan ke-2, Sinar Grafika, Jakarta, h.30-45 262 Ibid, h.31
dalam penjatuhan pidana bagi pelakunya dan apakah dapat dijadikan sarana pencegahan dan penanggulangan bagi tindak pidana terorisme. 1.9.2
Sifat Penelitian Sifat penelitian dalam penulisan tesis ini adalah deskriptif. Menurut Moh.
Nazir, penelitian deskriptif adalah penelitian yang mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandanganpandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari satu fenomena.263 Penelitian deskriptif juga bertujuan untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat264. Terkait dengan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan dari penjatuhan sanksi pidana mati sebagai sarana pencegahan dan penanggulangan dalam tindak pidana terorisme. 1.9.3
Sumber Data Sumber data yang dipergunakan untuk menunjang pembahasan permasalahan
di atas, adalah sumber data yang diperoleh dari dua sumber, yaitu : 1. Sumber Data Primer
263
Soejono dan H. Abdurrahman, 1999, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Pertama, Rineka Cipta, Jakarta, h. 21. 264 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Ed.1-4, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 25.
Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber pertama, melalui penelitian265, baik berupa data menyangkut putusan Pengadilan khususnya penjatuhan sanksi pidana mati dalam tindak pidana terorisme dan data yang diperoleh dari hasil wawancara dari informan. 2. Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder yaitu memberikan penjelasan mengenai sumber data primer (buku ilmu hukum, jurnal hukum, laporan hukum, dan media cetak atau elektronik).266 Bahan hukum sekunder
yang dipergunakan dalam
penelitian ini disebutkan dalam sumber bacaan. 1.9.4
Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu :
1. Teknik Studi Dokumen Studi dokumen adalah langkah awal setiap penelitian hukum (baik normatif maupun empiris), karena penelitian hukum selalu bertolak dari premis normatif.267 Terkait hal ini dengan mengumpulkan data yang bersumber dari kepustakaan yang relevan dengan permasalahan, dimana dengan membaca dan mencatat kembali data kemudian dikelompokkan secara sistematis. 2. Teknik Wawancara
265 266
Ibid., h. 30. Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
h.82 267
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Op.Cit, h. 68.
Wawancara adalah cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu.268 Dalam hal ini data diperoleh melalui proses interview kepada pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan penelitian di lapangan seperti Hakim Pengadilan Negeri Denpasar yang memutus kasus terorisme di Bali, guna memperoleh informasi dan data yang lebih pasti dan akurat. 1.9.5
Teknik Penentuan Sampel Penelitian Dalam kaitannya dengan penentuan sampel, maka terdapat 2 (dua) cara atau
teknik yang dapat dipergunakan yaitu teknik probability sampling dan teknik non probability sampling. Penelitian ini mempergunakan teknik non probability sampling, yaitu purposive sampling. Dimana penentuan sampel dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh si peneliti, yang mana penunjukan dan pemilihan sampel berdasarkan pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama dari populasinya.269 Sampel yang dimaksud adalah beberapa hakim khususnya yang pernah memeriksa, mengadili dan memutus tindak pidana terorisme di Pengadilan Negeri Denpasar, dan Jaksa yang terkait dengan kasus terorisme tersebut. 1.9.6
Teknik Analisis Data Proses analisis data merupakan pekerjaan untuk menemukan tema-tema dan
merumuskan hipotesa-hipotesa, meskipun sebenarnya tidak ada formula yang pasti 268
Burhan Ashshofa, 1998, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Kedua, PT Rineka Cipta, Jakarta,
h. 95. 269
Fakultas Hukum Universitas Udayana, Op.cit, h. 74-75.
untuk dapat digunakan untuk merumuskan hipotesa, hanya saja analisis data tema dan hipotesa tersebut lebih diperdalam dengan menggabungkannya dengan sumbersumber data yang ada.270 Adapun keseluruhan data yang telah didapat akan dianalisis secara kualitatif atau lebih dikenal dengan istilah analisis deskriptif kualitatif. Keseluruhan data yang terkumpul baik data primer maupun data sekunder akan diolah dan dianalisis secara sistematis yang dipaparkan dalam bentuk uraian-uraian yang berhubungan dengan teori ataupun asas hukum yang terdapat dalam Hukum Pidana sehingga memperoleh suatu kesimpulan dan gambaran yang jelas dalam pembahasan masalah.
270
Ibid., h. 66.
BAB II TINJAUAN UMUM
2.1. Pengertian Pidana dan Jenis Pidana a. Pengertian Pidana Crime is the primary norm; punishment is the sanction. Crime without punishment, or at least the theat of punishment, may be impractical, but it is not illogical (kejahatan akan selalu berkaitan dengan masalah pidana, sebab kejahatan secara primer berupa norma, pidana sebagai suatu sanksi. Kejahatan tanpa pidana atau tanpa ancaman pidana mungkin tidak bisa dilaksanakan, tapi hal itu tidak berarti tidak logis).271 Istilah pidana sering diartikan sama dengan istilah hukuman. Hukuman adalah suatu pengertian umum sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau nestapa yang
271
Herbert L. Packer, 1968, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press, California, h. 18
sengaja ditimpakan kepada seseorang.272 Sedangkan pidana merupakan suatu pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana. Sebagai suatu pengertian khusus, masih juga ada persamaannya dengan pengertian umum, sebagai suatu sanksiatau nestapa yang menderitakan.273 Pidana dalam hukum pidana merupakan suatu alat dan bukan tujuan dari hukum pidana, yang apabila dilaksanakan tiada lain adalah berupa penderitaan atau rasa tidak enak bagi yang bersangkutan disebut terpidana. Soedarto memberikan pengertian pidana sebagai penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.274 Sedangkan Roeslan Saleh mengartikan pidana sebagai reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan Negara pada pelaku delik itu.275 Berdasarkan pengertian pidana diatas, dapat diketahui unsur-unsur dan ciri-ciri yang terkandung dalam istilah pidana, yaitu : 1. Pidana itu hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan. 2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang) 3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut Undang-undang 4. Pidana itu merupakan pernyataan pencelaan oleh Negara atas diri seseorang karena telah melanggar hukum.276 272
Andi hamzah, 1986, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi, Cetakan Pertama, PT Pradnya Paramita, Jakarta, (Selanjutnya disebut dengan Andi Hamzah I), h.1 273 Ibid 274 Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, PT.Refika Aditama, Bandung, h.6 275 Mahrus Ali, Op.Cit, h.186 276 Ibid.
Sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling banyak digunakan dalam menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan perbuatan pidana.277 Sanksi pidana merupakan suatu pembalasan (berupa penderitaan) yang dijatuhkan penguasa terhadap seseorang tertentu yang dianggap bertindak secara salah melanggar aturan perilaku yang pelanggaran terhadapnya diancamkan dengan pidana.278 Sanksi pidana diartikan sebagai suatu nestapa atau penderitaan yang ditimpakan kepada seseorang yang bersalah melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana, dengan adanya sanksi tersebut diharapkan orang tidak akan melakukan tindak pidana.279 Pengertian sanksi pidana menurut Herbert L.Packer dalam bukunya yang berjudul The Limits of Criminal Sanction adalah : “Sanksi pidana tersebut dimaksudkan sebagai upaya menjaga ketentraman (atau keamanan) dan pengaturan (kontrol) lebih baik dari masyarakat. Pada dasarnya sanksi pidana merupakan suatu pengenaan suatu derita kepada seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan suatu kejahatan (perbuatan pidana) melalui suatu rangkaian proses peradilan oleh kekuasaan (hukum) yang secara khusus diberikan
277
Ibid, h.193 Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana : Komentar atas Pasal-Pasal dari Kitab UU Hukum Pidana dan Padanannya dalam Kitab UU Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Media Tama, Jakarta, h.458 279 Mahrus Ali, Op.Cit.,h.194 278
untuk hal itu, yang dengan pengenaan sanksi pidana tersebut diharapkan orang tidak melakukan tindak pidana lagi”.280 Pidana adalah reaksi atas delik yang banyak berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik.281 Penjatuhan pidana bagi pelaku merupakan kewenangan negara dalam rangka menciptakan kehidupan yang tertib dan aman di wilayah yurisdiksinya. Istilah pidana didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan oleh negara kepada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum atas perbuatan yang dilakukannya yang telah melanggar aturan hukum pidana. Dalam hukum pidana saat ini, dikenal beberapa subjek hukum pidana yang dapat dikatagorikan sebagai pelaku. Pelaku adalah mereka yang memenuhi semua unsur yang dirumuskan dalam undang-undang mengenai suatu delik. 282 Penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan merupakan suatu proses dalam penyelesaian perkara pidana. Penjatuhan pidana tersebut merupakan suatu akibat hukum yang harus diterima oleh seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Akibat hukum itu pada umumnya berupa hukuman pidana.283 Penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana memiliki tujuan yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran yang dijadikan dasar pengancaman dan penjatuhan sanksi pidana. Jeremy Bentham menyatakan bahwa tujuan pemidanaan
280
Ibid, h.195 Bambang Waluyo, 2004, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 9 282 Lamintang, Djisman Samosir, 1976, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, h. 40 283 S.R Sianturi, 1996, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Alumni, Jakarta, h. 442 281
adalah untuk mencegah dilakukannya kejahatan pada masa yang akan datang, di lain pihak Immanuel Kant menyatakan bahwa pembenaran pidana dan tujuan pidana adalah pembalasan terhadap serangan kejahatan atas ketertiban sosial dan moral. Menurut Leo Polak pemidanaan harus memenuhi 3 syarat yaitu : 1. Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum objektif. 2. Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Jadi pidana tidak boleh dijatuhkan dengan maksud prevensi. 3. Sudah tentu beratnya pidana harus seimbang dengan beratnya delik.284 Dalam Rancangan KUHP Nasional, telah diatur tentang tujuan penjatuhan pidana, yaitu : 1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat. 2. Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikan orang yang baik dan berguna. 3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. 4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
b. Jenis Pidana 284
Andi Hamzah, 1994, Azaz-Azaz Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, (Selanjutnya disebut dengan Andi Hamzah II), h. 34
Sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling banyak digunakan di dalam menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. Jenis pidana tercantum di dalam Pasal 10 KUHP. Jenis-jenis pidana ini juga berlaku bagi delik yang tercantum diluar KUHP, kecuali ketentuan undang-undang itu menyimpang. Dalam KUHP, pidana digolongkan menjadi 2 yaitu : a. Pidana pokok, yang terdiri dari 5 jenis pidana : 1. Pidana mati; 2. Pidana penjara; 3. Pidana kurungan; 4. Pidana denda; 5. Pidana tutupan. b. Pidana tambahan yang terdiri dari 3 jenis pidana : 1. Pencabutan hak-hak tertentu’ 2. Perampasan barang-barang tertentu; 3. Pengumuman putusan Hakim. Berbeda dengan KUHP, dalam Rancangan KUHP Tahun 2012 mengenai jenis pidana terdapat dalam 3 pasal, yaitu : 1. Pasal 65 yang menyatakan bahwa Pidana pokok terdiri atas: a. pidana penjara; b. pidana tutupan;
c. pidana pengawasan; d. pidana denda; dan e. pidana kerja sosial. 2. Pasal 66 yang mengatur mengenai pidana mati yang merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. 3. Pasal 67 mengatur mengenai pidana tambahan terdiri atas : a. pencabutan hak tertentu; b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan; c. pengumuman putusan hakim; d. pembayaran ganti kerugian; dan e. pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup. Berdasarkan rumusan KUHP dan Rancangan KUHP tersebut di atas terlihat adanya perubahan jenis pidana baik yang tergolong pidana pokok maupun pidana tambahan. Dari pidana pokok perubahan tersebut terdapat pada pidana mati yang dalam Rancangan KUHP tidak lagi digolongkan dalam pidana pokok, namun dinyatakan sebagai pidana yang bersifat khusus. Selain itu dalam Rancangan KUHP materi pidana tambahan terdapat penambahan jenis pidana yaitu perampasan tagihan, pembayaran ganti kerugian, dan pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup.
2.2. Pidana Mati a. Sejarah Pidana Mati di Indonesia Pidana mati merupakan pidana terberat, karena berkaitan dengan hak hidup seseorang. Hal ini menimbulkan pro dan kontra terhadap pidana mati itu sendiri dalam perspektif mereka masing-masing serta tujuan dan akibat dari pidana mati tersebut. Ditinjau dari sejarah pemidanaan, hukuman mati lahir bersama dengan lahirnya manusia di muka bumi, dengan budaya hukum retaliasi (hukuman berdasarkan teori pembalasan mutlak).285 Pidana mati dapat dikatakan sebagai salah satu pidana tertua dari jenis pidana lainnya, seperti pidana ganti kerugian (denda), dan pidana fisik (cambuk, pemotongan anggota tubuh, pasung dan lain sebagainya). Zaman dahulu hukum adat di beberapa daerah di Indonesia mengenal pidana mati dengan cara yang kejam. Di Aceh seorang istri yang berzina akan dibunuh.286 Di Sulawesi Selatan pada masa pemerintahan Aru Palaka pidana mati dijatuhkan pada semua tersangka kejahatan berat yang dilakukan terhadap raja dan adat.287 Di daerah Sulawesi Tengah seorang wanita kabisenya, yaitu bangsawan yang berhubungan dengan pria batua atau budak harus dipidana mati.288 Beberapa suku di Kalimantan
285
Yon Artiono Arba’i, 2012, Aku Menolak Hukuman Mati Telaah Atas Penerapan Pidana Mati, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, h. 8 286 Ibid, h. 17 287 Ibid 288 Ibid
pun akan menghukum mati orang yang terbukti bersumpah palsu dengan cara ditenggelamkan.289 Di pulau Bonerate, para pencuri dipidana mati dengan cara kaki tangannya diikat kemudian ditidurkan di bawah terik matahari tanpa diberi makan.290 Di Bali sanksi terhadap pelaku perkawinan sumbang dahulu dijatuhi pidana mati dengan ditenggelamkan ke laut karena terpidana tidak boleh dikuburkan secara terhormat.291 Perkawinan sumbang merupakan persetubuhan yang dilakukan seseorang dengan istri pendeta, kakak atau adik perempuan dari pendeta, istri guru, saudara perempuan bapak, saudara perempuan ibu, istri pihak bapak atau pihak ibu, saudara perempuan nenek atau kakek dari pihak bapak maupun ibu istri atau menantu, mertua perempuan atau laki-laki dan anak cucu dari saudara laki-laki atau perempuan.292 Awal eksistensi hukuman mati di Indonesia secara yuridis-historis diatur dalam KUHP, yang sebagian besar berasal dari Belanda yaitu Wetboek van Strafrecht (WvS). Dalam perkembangannya, sejak Tahun 1870 Belanda menghapus pidana mati kecuali dalam hukum pidana militernya.293 Indonesia hingga sekarang masih mengakui dan mempertahankan pidana mati dalam beberapa undang-undang bahkan dalam Rancangan KUHP Tahun 2012. Penghapusan pidana mati di Belanda tidak diikuti oleh Indonesia karena berdasar atas beberapa pertimbangan yaitu : a) Kemungkinan perbuatan-perbuatan yang mengancam kepentingan hukum di sini jauh lebih besar daripada di Negeri Belanda mengingat negeri ini 289
Ibid Ibid 291 Ibid, hal.19 292 Ibid 293 Ibid, h.15 290
wilayahnya sangat luas dan terdiri dari berbagai suku dan golongan dengan adat dan tradisi yang berbeda. Hal ini sangat potensial menimbulkan perselisihan dan kekacauan yang besar dikalangan masyarakat. b) Alat perlengkapan keamanan yang dimiliki oleh disini adalah sangat kurang atau tidak sesempurna dan selengkap seperti di Belanda.294 Pidana mati dalam pengaturan dan penerapannya dilaksanakan pada keadaankeadaan tertentu yang khusus dan tergolong sangat mendesak. Oleh sebab itu pidana mati diancamkan pada jenis kejahatan tertentu yang dipandang sangat berat baik dari segi perbuatan dan akibat yang ditimbulkannya. Pemisahan secara dalam sistem dari infrastruktur hingga administrasibirokrasi terjadi di awal abad 20.295 Pada masa ini hukuman harus melalui sebuah proses administrasi (tata cara) pengadilan serta eksekusi pidana mati atau hukuman penyiksaan dilakukan dalam sebuah arena publik tetapi dalam sebuah tempat yang terisolir dan tertutup.296 Pada masa Orde Lama, ancaman pidana mati tidak saja diatur dalam KUHP, namun dicantumkan pula dalam peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh pemerintah pada masa itu, diantaranya yaitu : 1. Pada masa demokrasi liberal (1950-1959), dikeluarkan Undang-Undang Darurat No.12 Tahun 1951 tentang Senjata Api yang diundangkan pada 4 September 1951. 294
Adami Chazawi, Op.cit, h. 30 Al Araf dkk, Op.cit, h. 5 296 Ibid, h.6 295
2. Pada masa demokrasi terpimpin (1959-1966), dikeluarkan Penetapan Presiden No.5 Tahun 1959 tentang wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan, yang diundangkan pada 27 Juli 1959. 3. Pada tanggal 16 November diundangkan pula Perpu No.21 Tahun 1959 mengenai tindak pidana ekonomi. 4. Pada tahun 1963 diterbitkan Undang-Undang No.11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi yang diundangkan pada 16 Oktober 1963. 5. Pada tahun 1964 diterbitkan Undang-Undang No.31/PNPS/1964 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok
Tenaga
Atom
dan
Undang-Undang
No.2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati. Kemudian memasuki masa Orde Baru, yaitu pada masa 1970-an ancaman pidana mati dijatuhkan kepada orang-orang yang dituduh terlibat gerakan Partai Komunis Indonesia.
297
Prosesi pidana mati pada masa ini berada dalam wewenang
Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa). Hukuman mati secara formil menjadi kebijakan negara dalam efektifitas mengendalikan struktur politik. Prosesi hukuman mati untuk para terdakwa kasus kriminalitas dalam periode ini terbilang sedikit. Hal ini terlihat dengan kembali munculnya pidana mati
pada tahun 1982 yang
sebelumnya tidak ada kasus pidana mati sejak masa pembersihan PKI.298
297 298
Ibid, h.9 Ibid, h.11
Pemerintah pada tahun 1997 mengambil kebijakan populis melalui penerbitan Undang-Undang no 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Kedua undang-undang tersebut mencantumkan ancaman pidana mati sebagai pidana terberatnya dengan tujuan menanggulangi maraknya peredaran serta pemakaian narkoba dimasa itu. Pelaksanaan hukuman mati dalam KUHP diatur dalam Pasal 11 yang menyatakan bahwa “Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri”. Mengenai pelaksanaan pidana mati menurut Pasal 11 KUHP, R. Soesilo berpendapat bahwa cara tersebut tidak lagi sesuai dengan perkembangan dan jiwa revolusi Indonesia. Sehingga dengan Penpres No.2/1964 pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan cara ditembak sampai mati disuatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama.299 Hal ini berdasar atas ketentuan-ketentuan sebagai berikut : 1. Waktu dan tempat pelaksanaannya ditentukan oleh Kepala Polisi Komisariat Daerah tempat kedudukan Pengadilan tersebut, setelah mendengar nasehat dari Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan pidana mati itu. 2. Kepala Polisi Komisariat atau perwira yang ditunjuk olehnya bersama-sama dengan Jaksa tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab, juga pembela/pengacara terhukum atas permintaannya sendiri atau permintaan terhukum, menghadiri pelaksanaan pidana mati itu. 3. Terhukum diberitahukan tentang akan dilaksanakan pidana mati itu oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tiga kali dua puluh empat jam sebelumnya saat pelaksanaan, dan 299
R.Soesilo, 1965, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor, h.27
pada terhukum diberikan kesempatan untuk mengemukakan sesuatu keterangan atau pesanan pada hari-hari terakhir. Apabila terhukum adalah seorang wanita sedang hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dilakukan empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan. 4. Untuk pelaksanaan pidana mati iru Kepala Polisi Komisariat tersebut membentuk sebuah regu penembak, semuanya dari Brigade Mobile, terdiri dari seorang Bintara, dua belas orang Tamtama, dibawah pimpinan seorang Perwira, untuk tugasnya ini regu penembak tidak mempergunakan senjata organiknya, dan sampai selesainya tugas itu regu penembak ini berada dibawah perintah Jaksa Tinggi/Jaksa. 5. Pidana mati dilaksanakan tidak dimuka umum dan dengan cara sederhana mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden. 6. Dicatat di sini, bahwa pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan Militer juga dilakukan menurut Penpres No.2/1964 sebagaimana diutarakan di atas, dengan ketentuan bahwa kata-kata Kepala Polisi Komisariat Daerah, Jaksa Tinggi/Jaksa. Brigade Mobile dan Polisi berturutturut harus dibaca : “Panglima/Komandan Daerah Militer”, “Jaksa Tentara/Oditur Militer” dan “Militer”.300
b. Pidana Mati Dalam Ketentuan Perundang-Undangan Indonesia Dalam realitas hukum, eksistensi sanksi pidana mati dipertahankan dalam sejumlah perundang-undangan. Mengenai pidana mati, yang dalam Rancangan KUHP diatur dan dinyatakan bahwa pidana tersebut bersifat khusus dan tidak lagi tergolong dalam pidana pokok. Hal ini menunjukan bahwa hukum pidana di Indonesia mulai mengalami pergerakan untuk mengurangi penjatuhan pidana mati dalam penegakan hukum di Indonesia. Namun dalam KUHP yang merupakan acuan bagi undang-undang dalam hukum pidana khusus masih menganut pidana mati. Lambroso berpendapat bahwa tidak satupun faktor dari luar yang dapat memperbaiki orang tersebut hanyalah pidana mati karena dengan pidana matilah
300
Ibid
masyarakat dapat diselamatkan dari tindakan kriminal orang-orang yang masuk dalam kategori tersebut.301 Secara normatif, hukuman mati yang diterapkan di negara-negara modern khususnya Indonesia hanya dijatuhkan terhadap perbuatan yang tergolong kejahatan luar biasa, Bahkan beberapa pasal dalam KUHP mengatur tindak
pidana yang
diancam pidana mati, diantaranya : a. Pasal 104, mengenai makar membunuh kepala negara. b. Pasal 111 ayat (2) mengenai mengajak negara asing guna menyerang Indonesia. c. Pasal 124 ayat (3) mengenai membantu musuh waktu Indonesia dalam masa perang. d. Pasal 140 ayat (1) mengenai membunuh kepala negara sahabat. e. Pasal 140 ayat (3) dan Pasal 340 mengenai pembunuhan yang direncanakan f. Pasal 365 yang mengatur mengenai pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih berkawan pada waktu malam atau dengan jalan membongkar dan sebagainya, yang menjadikan orang terluka berat atau mati. g. Pasal 444, mengatur mengenai pembajakan di wilayah perairan Indonesia yang mengakibatkan kematian. h. Pasal 368 ayat (2) mengenai pemerasan yang mengakibatkan kematian.
301
Yahya AZ, 2007, Problematika Penerapan Pidana Mati dalam Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM), PUSHAM UII, Yogyakarta, h. 230.
Selain dalam KUHP, sanksi pidana mati juga terdapat di luar KUHP yaitu sebagai berikut : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) 2. Undang-Undang No.12 Tahun 1951 tentang Senjata Api 3. Penpres No.5 Tahun 1959 tentang Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung Dalam Hal Memperberat Ancaman Hukuman Terhadap Tindak Pidana yang Membahayakan Pelaksanaan Perlengkapan Sandang Pangan. 4. Perpu No. 21 Tahun 1959 tentang Memperberat Ancaman Hukuman Terhadap Tindak Pidana Ekonomi 5. Undang-Undang
No.11/PNPS?1963
tentang
Pemberantasan
Kegiatan
Subversi 6. Undang-Undang No.31/PNPS/1964 tentang Ketentuan Pokok Tenaga Atom 7. Undang-Undang No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika 8. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika 9. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi 10. Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM 11. Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme 12. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
2.3. Tindak Pidana Terorisme a. Pengertian Terorisme dan Tindak Pidana Terorisme Istilah terorisme mulai digunakan pada akhir abad ke-18 yaitu menunjuk aksiaksi kekerasan yang dilakukan pemerintah guna menjamin ketaatan rakyat.302 Kata teroris (pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari kata latin “terrere” yang kurang lebih berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata teror juga bisa menimbulkan kengerian.303 Pada dasarnya, istilah terorisme merupakan konsep yang memiliki konotasi yang sangat sensitif karena terorisme menyebabkan terjadinya pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa.304 Pengertian Terorisme pertama kali dibahas dalam European Convention on the Suppression of Terrorism (ECST) di Eropa Tahun 1977. Dikaitkan dengan HAM terorisme merupakan bagian serangan yang meluas atau sistematik yang diketahui bahwa serangan itu ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih-lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang yang tidak bersalah (sebagaimana yang terjadi di Bali).305 Definisi tindakan terorisme menurut Black Law Dictionary adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana Amerika, atau negara bagian Amerika, dan jelas dimaksudkan untuk : a.mengintimidasi penduduk sipil; b.mempengaruhi kebijakan pemerintah;
302
Ali Masyhar, 2009, Gaya Indonesia Menghadang Terorisme, Cv. Mandar Maju, Bandung, h.41 Abdul Wahid, dkk., Op.cit, h.22 304 Ibid 305 Ibid 303
c.mempengaruhi penyelenggaraan pembunuhan.306
negara
dengan
cara
penculikan
dan
Dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, terorisme adalah penggunaan kekerasan atau ancaman untuk menurunkan semangat, menakut-nakuti, dan menakutkan, terutama untuk tujuan politik.307 Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, seorang pakar Hukum Pidana Internasional mengatakan bahwa “sangat tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik mengenai dapat diterima secara universal dan kadang-kadang menimbulkan kesulitan mengadakan pengawasan atas makna terorisme itu. Terorisme memiliki kaitan antara delik politik dan delik kekerasan, sehingga definisi terorisme adalah persoalan politik”.308 Menurut Syed Hussein Alatas, terroris (pengganas) adalah mereka yang merancang ketakutan sebagai senjata persengketaan terhadap lawan dengan serangan pada manusia yang tidak terlibat, atau harta benda tanpa menimbang salah atau benar dari segi agama atau moral, berdasarkan atas perhitungan bahwa segalanya itu boleh dilakukan bagi mencapai tujuan matlamat persengketaan.309 T. P. Thornton, terorisme didefinisikan sebagai penggunaan teror sebagai tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijaksanaan dan tingkah laku politik dengan cara-cara ekstra normal, khususnya dengan penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan.310
306
Ibid, h.24 Ibid, h.31 308 O.C Kaligis, Op.cit, h.35 309 Abdul Wahid, dkk., Op.cit, h.30 310 Mahrus Ali, Op.cit, h.2 307
Purwadarminta mengartikan terorisme sebagai praktik-praktik tindakan teror dengan menggunakan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai sesuatu.311 James Adams memberikan rumusan mengenai terorisme yaitu penggunaan atau ancaman kekerasan fisik oleh individu-individu atau kelompok-kelompok untuk tujuan-tujuan politik, baik untuk kepentingan atau untuk melawan kekuasaan yang ada apabila tindakan-tindakan terorisme itu dimaksudkan untuk mengejutkan, melumpuhkan, atau mengintimidasi suatu kelompok sasaran yang lebih besar dari pada korban-korban secara langsung.312 Ansyaad Mbai yang merupakan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme mengungkapkan bahwa terorisme dapat dipahami sebagai tindakan kekerasan yang menargetkan warga sipil untuk mendapatkan tujuan politik dan ideologis.313 Hikmahanto Juwana mengatakan, terorisme sulit didefinisikan meskipun secara faktual dapat dirasakan dan dapat dilihat adanya karakteristik tertentu dari terorisme.314 Istilah terorisme merupakan istilah yang belum menemukan keseragaman dalam pendefinisiannya, hal ini tergantung dari perspektif mana melihatnya. Dalam hukum pidana terorisme sering dikelompokkan dalam fenomena kriminalitas yang bersifat konvensional dan sarat dengan kepentingan politik tertentu. Terorisme dapat dipahami sebagai tindakan kekerasan yang menargetkan warga sipil untuk mendapatkan tujuan politik dan ideologis. Menjadi sebuah 311
Ibid Ibid 313 Aulia Rosa Nasution, Op.cit, h. xiii 314 Mahrus Ali, Op.cit, h.1 312
keniscayaan bagi kita untuk mencermati berbagai sebab, karakteristik, dan tujuan terorisme.315 Terorisme bukanlah kejahatan biasa, namun telah menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) karena sifatnya yang luas dan sistematik yang telah menewaskan ribuan orang yang tidak bersalah.316 Terorisme merupakan musuh umat manusia yang telah menimbulkan rasa takut
dan
mengancam
perdamaian
dan
keamanan
umat
manusia
serta
membahayakan nilai-nilai kemanusiaan dan telah melanggar prinsip-prinsip di dalam hukum Internasional maupun kebiasaan internasional.317 Adanya perbedaan antara aksi militer dengan terorisme dari perspektif tujuannya diperlihatkan oleh pengertian dari David Fromkin yang merupakan salah satu kalangan pakar sosial politik Barat yang menyatakan bahwa “military action is aimed
at
physical
consequences”.318
destruction
while
terrorism
aims
at
psychological
Aksi militer bertujuan untuk pemusnahan secara fisik dan
terorisme bertujuan untuk menimbulkan akibat yang bersifat psikologis. Terorisme menurut Petrus Reinhard Golose adalah setiap tindakan yang melawan hukum dengan cara menebarkan teror secara meluas kepada masyarakat, dengan ancaman atau cara kekerasan baik yang diorganisasi maupun tidak, serta menimbulkan akibat berupa penderitaan fisik dan psikologis dalam waktu 315
Aulia Rosa Nasution, Loc.cit Ibid, h. xvii 317 Ibid, h. xviii 318 Ari Wibowo, 2012, Hukum Pidana Terorisme Kebijakan Formulatif Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, h.61 316
berkepanjangan sehingga dikategorikan sebagai tindak kejahatan yang luar biasa (extra crime) dan kejahatan terhadap kemanusian (crime against humanity).319 Rumusan pengertian mengenai terorisme menurut James Adams yaitu penggunaan atau ancaman kekerasn fisik oleh individu-individu atau kelompokkelompok untuk tujuan-tujuan politik, baik untuk kepentingan atau untuk melawan kekuasaan yang ada apabila tindakan-tindakan terorisme itu dimaksudkan untuk mengejutkan, melumpuhkan atau mengintimidasi suatu kelompok sasaran yang lebih besar daripada korban-korban secara langsung.320 Pengertian terorisme menurut Knet Lyne Oot mengandung beberapa pengertian yaitu : 1. Sebuah aksi militer atau psikologis yang dirancang untuk menciptakan ketakutan atau membuat kehancuran ekonomi atau material. 2. Sebuah metode pemaksaan terhadap suatu tindakan orang lain. 3. Sebuah tindakan kriminal yang bertendensi mencari publisitas. 4. Tindakan kriminal bertujuan politis. 5. Kekerasan bermotif politis. 6. Sebuah aksi kriminal guna memperoleh tujuan politis atau ekonomis.321 Menurut E. V. Walter proses teror memiliki tiga unsur, yaitu :322 1. Tindakan atau ancaman kekerasan. 2. Reaksi emosional terhadap ketakutan yang amat sangat dari pihak korban atau calon korban. 3. Dampak sosial yang mengikuti kekerasan atau ancaman kekerasan dan rasa ketakutan yang muncul kemudian. Terorisme merupakan masalah nasional maupun transnasional bahkan internasional membutuhkan penanganan serius yang diwujudkan dalam berbagai kebijakan pemerintah. 319
Aulia Rosa Nasution,Op.cit, h. 6 Mahrus Ali, Op.cit, h. 2 321 Ari Wibowo, Op.cit, h. 62 322 Mahrus Ali, Op.cit, h. 3 320
Dalam Pasal 1 Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan telah disahkan menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dinyatakan bahwa : “Terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara sistematis dengan maksud
untuk
menghancurkan
kedaulatan
bangsa
dan
negara
dengan
mambahayakan bagi badan, nyawa, moral, harta benda, dan kemerdekaan orang atau menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, kebutuhan pokok rakyat, lingkungan hidup, moral, peradaban, rahasia negara, kebudayaan, pendidikan, perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitas umum atau fasilitas internasional.” Beberapa definisi mengenai terorisme dikemukakan oleh beberapa lembaga antara lain : a. US Central Inteligence Agency (CIA) Terorisme internasional adalah terorisme yang dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan/atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga, atau pemerintah asing.323 b. US Federal Bureau of Investigation (FBI) Terorisme adalah penggunaan kekerasan tidak sah atau kekerasan seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah pemerintah, penduduk sipil elemenelemennya untuk mencapai tujuan sosial atau politik.324 c. US Departments of States and Defense Terorisme adalah kekerasan bermotif politik dan dilakukan oleh agen negara atau kelompok subnasional terhadap sasaran kelompok non kombatan. Biasanya dengan maksud untuk mempengaruhi audien. Terorisme
323 324
Abdul Wahid, dkk., Op.cit, h. 24 Ibid
Internasional adalah terorisme yang melibatkan warga negara atau wilayah lebih dari satu negara.325 d. The Arab Convention on the Suppression of Terrorism (1998) terorisme adalah tindakan atau ancaman kekerasan, apapun motif dan tujuannya, yang terjadi untuk menjalankan agenda tindak kejahatan individu atau kolektif, yang menyebabkan teror ditengah masyarakat, rasa takut dengan melukai mereka, atau mengancam kehidupan, kebebasan, atau keselamatan, atau bertujuan untuk menyebabkan kerusakan lingkungan atau harta publik maupun pribadi menguasai dan merampasnya, atau bertujuan untuk mengancam sumber daya nasional. Disebut juga bahwa tindak kejahatan terorisme adalah tindak kejahatan dalam rangka mencapai tujuan teroris di negara-negara yang menjalin kontak, atau melawan warga negara, harta milik atau kepentingannya yang diancam hukuman dengan hukuman domestik.326 e. Treaty on Cooperation among the States members of the Commonwealth of Independent States in Combating Terrorism, 1999 Terorisme adalah tindakan illegal yang diancam hukuman di bawah hukuman pidana yang dilakukan dengan tujuan merusk keselamatan publik, mempengaruhi pengambilan kebijakan oleh penguasa atau moneter penduduk, dan mengambil bentuk : 1) Kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang biasa atau orang yang dilindungi hukum; 2) Menghancurkan atau mengancam untuk menghancurkan harta benda dan objek materiil lain sehingga membahayakan kehidupan orang lain; 3) Menyebabkan kerusakan atas harta benda atau terjadinya akibat yang membahayakan bagi masyarakat; 4) Mengancam kehidupan negarawan atau tokoh masyarakat dengan tujuan mengakhiri aktivitas publik atau negaranya atau sebagai pembalasan terhadap aktivitas tersebut; 5) Menyerang perwakilan negara asing atau staf anggota organisasi internasional yang dilindungi secara internasional, begitu juga tempattempat bisnis atau kendaraan orang-orang yang dilindungi secara internasional; 6) Tindakan lain yang dikategorikan sebagai teroris di bawah perundangundangan nasional atau instrument legal yang diakui secara internasional yang bertujuan memerangi terorisme.327 f. Konvensi PBB tahun 1937, terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk
325
Ibid Ibid, h. 25-26 327 Ibid, h. 26-27 326
teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas.328 g. US Departement of Defense tahun 1990 Terorisme adalah perbuatan melawan hukum atau tindakan yang mengandung ancaman dengan kekerasan atau paksaan terhadap individu atau hak milik untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat dengan tujuan politik, agama, atau ideologi.329 Jadi istilah terorisme merupakan sebuah konsep yang memiliki arti bahwa kekerasan yang dilakukan secara sistematik dan terorganisasi dengan maksud menakut-nakuti dengan sasaran penduduk sipil demi kepentingan politik. Tidak jarang aksi terorisme ini menimbulkan efek yang sangat merugikan, karena tidak hanya merusak fasilitas umum namun juga berakibat pada hilangnya nyawa dan penyengsaraan orang-orang yang tidak berdosa. Aksi terorisme dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Secara etimologis kata tindak pidana berasal dari bahasa Belanda yaitu Strafbaar feit yang artinya perbuatan yang dilarang oleh peraturan hukum pidana dan dikenakan sanksi pidana bagi yang melanggarnya. Menurut beberapa sarjana Strafbaar feit memiliki beberapa istilah lain selain tindak pidana, yaitu diantaranya peristiwa pidana, pelanggaran pidana, perbuatan pidana, delik, dan perbuatan yang dapat dihukum. Terdapat dua golongan dalam memberikan pendapat mengenai tindak pidana, yaitu golongan pertama adalah aliran monistis dan golongan kedua adalah aliran dualistis. Golongan monistis ini terdiri dari D. Simons, Van Hamel, E. Mezger, J. Bauman, Karni, dan Wirdjono Prodjodikoro. Aliran monistis memandang bahwa
328 329
Ibid, h. 29 Ibid, h. 30
strafbaar feit tidak dapat dipisahkan dengan orangnya, selalu dibayangkan adanya si pembuat yang dipidana. Oleh karena itu unsur-unsur mengenai diri orangnya tidak dipisahkan dengan unsur mengenai perbuatan. Mengenai perbuatan termasuk dalam kategori segi objektif, dan mengenai orang/si pembuat dikategorikan dalam segi subjektif. Sehingga hal tersebut menjadi unsur tindak pidana. Unsur tindak pidana (segi objektif) dan syarat untuk dapat dipidana (segi subjektif) tidak dipisah.330 Sedangkan aliran dualistis memandang adanya pemisahan antara dilarangnya suatu perbuatan serta akibatnya (sanksi), dan dapat dipertanggung jawabkan si pembuat. Jika perbuatan yang sifatnya dilarang itu telah dilakukan/terjadi (konkret), baru melihat pada orangnya jika orang itu mempunyai kemampuan bertanggung jawab sehingga perbuatan itu dapat dipersalahkan kepadanya dan dijatuhi pidana.331 Aliran dualistis ini terdiri dari H. B. Vos, Pompe, dan Moeljatno. Dengan melihat kedua aliran tersebut, maka diperlukan syarat-syarat untuk menentukan suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana. Syarat tersebut adalah : 1. Adanya syarat yang melekat pada perbuatannya; 2. Adanya syarat yang melekat pada orangnya; 3. Tindakan yang dilakukan bersifat melawan hukum; 4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang dan bagi pelanggarnya diancamkan pidana.
330 331
Adami Chazawi, Op.cit, h.76-77 Ibid, h.76
Tindak pidana (crime) dapat diidentifikasi dengan timbulnya kerugian (harm), yang kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana atau criminal liability332. Jadi pengertian dari tindak pidana adalah suatu tindakan yang dilarang dan bersifat melawan hukum yang diancam dengan pidana oleh undang-undang karena dari tindakan tersebut menimbulkan pertanggungjawaban pidana. Pengertian tersebut menjadi tolak ukur untuk mempertanggungjawabkan kejahatan terorisme sebagai salah satu tindak pidana, bahkan tindak pidana yang berkualifikasi pemberatan. Dalam Perpu No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa “tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini”. Mengenai unsur-unsur tindak pidana terorisme ini terdapat dalam Bab III, Pasal 9 s/d Pasal 12 Perpu No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Jadi tindak pidana terorisme adalah suatu tindakan yang memenuhi unsurunsur yang dilarang dan bersifat melawan hukum yang diancam dengan pidana oleh
332
Bismar Nasution, 23 Desember 2009, Kejahatan Korporasi Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabanny,file:///D:/D%27Lis/tugas%20kriez/S2/Bahanbahan/TP%20Korporasi/Kejahat an%20Korporasi%20%C2%AB%20BISMAR%20NASUTION.htm, diakses pada tanggal 20 Oktober 2012.
undang-undang karena dari tindakan tersebut menimbulkan pertanggungjawaban pidana.
b. Karakteristik Terorisme dan Tipologi Terorisme Dengan melihat beberapa definisi mengenai terorisme tersebut di atas, dapat diperoleh beberapa karakteristik yang pada umumnya tersirat dan tersurat pada definisi-definisi tersebut. Karakteristik tersebut antara lain, bentuk kejahatan yang terorganisir; adanya kebutuhan dan dukungan financial; membutuhkan akses senjata dan bahan peledak; aksi yang dipertahankan dengan dukungan politik tertentu.333 Divisi riset Federal (kongres AS) dalam laporan berjudul The Sociology and Psychologi of Terrorism : Who become a Terrorist and Why?, menyebutkan ada lima ciri dari kelompok teroris yakni: separatis-nasionalis, fundamentalis-relegius, relegius baru, revolusioner sosial, dan teroris sayap kanan.334 Menurut Loudewijk F. Paulus karakteristik terorisme ditinjau dari empat macam pengelompokan, yaitu : 1) Karakter organisasi yang meliputi : organisasi, rekrutmen, pendanaan, dan hubungan internasional. 2) Karakteristik operasi meliputi : perencanaan, waktu, taktik, dan kolusi. 3) Karakteristik perilaku yang meliputi : motivasi, dedikasi, disiplin, keinginan membunuh, dan keinginan menyerah hidup-hidup.
333 334
Ari Wibowo, Op.cit, h. 57 Abdul Wahid, dkk., Op.cit h. 33
4) Karakteristik sumber daya, antara lain meliputi: latihan/kemampuan, pengalaman perorangan dibidang teknologi, persenjataan, perlengkapan, dan transportasi.335 Selain
keempat
karakteristik
di
atas,
Loudewijk
F.
Paulus
juga
menggolongkan beberapa karakteristik lainnya jika dilihat dari jenis terorisme gaya baru, yaitu : 1) Ada maksimalisasi korban secara sangat mengerikan. 2) Keinginan untuk mendapatkan liputan di media massa secara internasional secepat mungkin. 3) Tidak pernah ada yang membuat klaim terhadap terorisme yang sudah dilakukan. 4) Serangan terorisme itu tidak pernah bisa diduga karena sasarannya sama dengan luasnya permukaan bumi.336 Dari karakteristik-karakteristik terorisme gaya baru tersebut dapat menyerang tempat ibadah, hotel, supermarket, kantor pemerintahan, tempat hiburan, lembaga pendidikan, alat transportasi, dan fasilitas umum lainnya tanpa bisa dikendalikan. Menurut pendapat James H. Wolfe terdapat delapan karakteristik terorisme, yaitu : 1) Terorisme dapat didasarkan pada motivasi yang bersifat politis maupun nonpolitis.
335 336
Mahrus Ali, Op.cit, h. 6 Abdul Wahid, dkk., Op.cit, h. 34
2) Objek sasaran bisa dari sipil (fasilitas umum) maupun non sipil (fasilitas militer). 3) Aksi terorisme dapat ditujukan untuk mengintimidasi atau mempengaruhi kebijakan pemerintah negara. 4) Aksi terorisme dilakukan melalui tindakan yang tidak menghormati hukum internasional atau etika internasional. 5) Aktivitas teroris menciptakan perasaan tidak aman dan merupakan gangguan psikologis untuk masyarakat. 6) Persiapan atau perencanaan aksi teror bisa bersifat multinasional, yaitu aksi tersebut dapat dilakukan baik dari warga negara Indonesia itu sendiri, warga negara asing, atau gabungan dari warga negara Indonesia dengan warga negara asing. 7) Tujuan jangka pendek aksi terorisme adalah mendapat perhatian media massa dan untuk menarik perhatian publik. 8) Aktivitas terorisme memiliki nilai mengagetkan dengan maksud menyita perhatian publik.337 Berkaitan dengan karakteristik keempat di atas, pelanggaran dalam hukum internasional dapat dilihat dalam peristiwa bom Bali yang terjadi pada 12 Oktober 2012. Dalam peristiwa tersebut terdapat unsur sengaja untuk menyerang penduduk sipil yang mayoritas para korbannya adalah warga negara asing.
337
Ibid, h.35-36
a) b) c) d) e)
Abdul Latif mengemukakan bahwa karakteristik terorisme antara lain : Membenarkan penggunaan kekerasan. Penolakan terhadap adanya moralitas. Penolakan terhadap berlakunya proses politik. Meningkatnya totaliterisme. Menyepelekan kemauan masyarakat beradab untuk mempertahankan diri.338 Mengenai karakteristik terorisme ini, Paul Wilkinson juga memberikan
pendapatnya yaitu dalam aksi teror yang sistematik, rapi, dan dilakukan oleh teroris politis memiliki karakteristik sebagai berikut : 1) Merupakan intimidasi yang memaksa. 2) Memakai pembunuhan dan penghancuran secara sistematis sebagai sarana untuk suatu tujuan tertentu. 3) Korban bukan tujuan, melainkan sarana untuk menciptakan perang urat syaraf, yakni membunuh satu untuk menakuti seribu orang. 4) Target aksi teror dipilih, bekerja secara rahasia, tetapi tujuannya adalah publisitas. 5) Pesan aksi itu cukup jelas, meski pelaku tidak selalu menyatakan diri secara personal. 6) Para pelaku kebanyakan dimotivasi oleh idealism yang cukup keras, misalnya berjuang demi agama dan rasa kemanusiaan.339 Bijak Subianto mengatakan bahwa paling tidak terdapat sebelas karakteristik terorisme, yaitu :
338 339
Mahrus Ali, Loc.cit, h. 6 Ibid, h. 8-9
1. Aksi terorisme merupakan suatu bentuk penggunaan kekerasan (oleh suatu kelompok) untuk menekan pemerintah dan/atau masyarakat, agar menerima tuntutan perubahan sosial maupun politik yang secara umum bernuansa dan/atau menggunakan cara-cara yang bersifat radikal. 2. Spektrum motivasi yang melatarbelakangi gerakan dan aksinya memiliki spektrum yang beragam. 3. Komunitas yang sangat spesifik dalam artian ada semacam komunitas manusia yang terus menerus dicaci maki, ditekan,
sehingga terjadi
perlawanan dengan aksi terorisme untuk mempertahankan dirinya dalam bentuk pembalasan. 4. Aksi terorisme bekerja secara profesional dan dilindungi oleh suatu bentuk organisasi. 5. Sangat sulit dilacak 6. Upaya memerangi terorisme multidimensi dan multidisipliner, dalam arti dapat diselesaikan secara hukum, politik, administrasi, dan sebagainya. 7. Secara organisatoris baik dalam pembinaan, pengembangan, dan operasinya memiliki sayap politik, ekonomi, sosial, dan sayap militer. 8. Selalu mengadakan kerjasama yang melampaui batas wilayah negara, baik pertukaran intelijen, pelatihan, dan perlengkapan operasi. 9. Dari segi penampilan para teroris sering mengecoh aparat keamanan dan masyarakat luas dengan penampilan fisik dan identitas yang sering berubah.
10. Aksi teroris lebih gesit dan lincah daripada aparat yang bertanggungjawab menanganinya. 11. Adanya doktrin-doktrin dalam operasi terorisme yang harus digunakan sebagai petunjuk pelaksaan, teknis, dan taktis di lapangan.340 Dalam menganalisa tindak pidana terorisme, tidak hanya diperlukan karakteristik dari terorisme itu saja, namun penting pula diketahui mengenai tipologi terorisme. Analisa tipologi merupakan salah satu upaya dalam pemberantasan terorisme. Tipologi terorisme digunakan untuk mengetahui penyebab, strategi, dan tujuan yang hendak dicapai dari terorisme tersebut. Mengenai tipologi terorisme ini, Paul Wilkinson menggolongkannya menjadi 4 (empat) macam, yaitu : 1. Terorisme Epifenomenal merupakan terorisme yang berciri-ciri tidak terencana rapi dan terjadi dalam kontek perjuangan yang sengit. 2. Terorisme Revolusioner merupakan tipologi terorisme kedua yang bertujuan untuk mengadakan revolusi atau perubahan radikal atas sistem yang ada dengan ciri-ciri selalu berkelompok, struktur kepemimpinan, program, ideologi, konspirasi, elemen para militer. 3. Terorisme Sybrevolusioner yang bermotifkan politis dengan ciri-ciri dilakukan oleh kelompok kecil bahkan individu dan sulit diprediksi. 4. Terorisme Represif yang merupakan terorisme yang bermotifkan menindas individu atau kelompok yang tidak dikehendaki oleh penindas dengan cara 340
Ibid ,h. 6-7
likuidasi yang berciri-ciri teror massa, terdapat aparat teror, polisi rahasia, teknik penganiayaan, penyebaran rasa kecurigaan dimasyarakat.341 Mulai menggolongkan tipologi terorisme menjadi 5 (lima) macam yang dikutip dari National Advisory Committee dalam the Report of the Task Force on Disorder and Terrorism. Tipologi terorisme tersebut yaitu : a. Terorisme politik, yaitu tindakan kriminal yang dilakukan dengan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam masyarakat dengan tujuan politik. b. Terorisme non-politik, yaitu terorisme yang dilakukan untuk kepentingan pribadi termasuk aktivitas kejahatan terorganisasi. c. Quasi terorisme adalah gambaran aktivitas yang bersifat isidental untuk melakukan kekerasan yang menyerupai terorisme, tapi tidak mengandung unsur esensialnya. d. Terorisme politik terbatas menunjuk pada perbuatan terorisme yang dilakukan untuk tujuan politis tetapi tidak untuk menguasai pengendalian negara. e. Terorisme pejabat atau negara (official or state terrorism) adalah terorisme yang terjadi di suatu bangsa yang tatanannya didasarkan atas penindasan.342 Berdasarkan macam-macam tipologi terorisme tersebut dapat membantu menganalisa cara-cara yang umum digunakan dalam tindakan terorisme, diantaranya adalah pengeboman/teror bom, pembajakan, serangan militer dan pembunuhan, perampokan, penculikan dan penyanderaan, dan dengan cara serangan bersenjata.
341 342
Abdul Wahid, dkk., Op.cit, h. 35 Mahrus Ali, Op.cit, h. 9
Motif dari tindak pidana terorisme tersebut bersifat kompleks, karena tidak hanya dari faktor psikologis, namun juga faktor politik, agama, sosiologis, sosial budaya dan faktor lain yang bersumber daripada tujuan yang ingin dicapai.
c. Sejarah Terorisme Fenomena terorisme sebenarnya sudah lebih dahulu ditunjukkan, daripada mengenal istilah teror dan terorisme. Istilah teror dan terorisme mulai popular pada abad ke-18. Grant Wardlaw dalam buku Political Terrorism (1982) menyebutkan bahwa manifestasi terorisme sistematis muncul sebelum Revolusi Perancis, tetapi baru mencolok sejak paruh kedua abad ke-19. Dalam suplemen kamus yang dikeluarkan Akademi Perancis tahun1798, terorisme lebih diartikan sebagai sistem rezim teror.343 Menjelang terjadinya Perang Dunia I terorisme hampir terjadi di seluruh belahan dunia. Pertengahan abad ke-19, terorisme mulai banyak dilakukan di Eropa Barat, Rusia, dan Amerika. Hal tersebut terjadi karena negara tersebut meyakini bahwa terorisme adalah cara yang paling efektif untuk melakukan revolusi politik maupun sosial dengan membunuh orang-orang yang berpengaruh. Pada tahun 1890-an aksi terorisme Armenia melawan pemerintah Turki dan berakhir dengan bencana pembunuhan missal terhadap warga Armenia pada Perang Dunia I. Aksi terorisme tersebut diidentikkan sebagai bagian dari gerakan sayap kiri yang berbasiskan ideologi. 343
Mubarok, Muna Madrah, 2012, Stigma Media dan Terorisme, Bandar Publishing, Aceh, h.24
Diakhir abad ke-19, memasuki abad ke-20, dan menjelang Perang Dunia II aksi terorisme digunakan sebagai teknik perjuangan revolusi. Pada jaman Revolusi Perancis inilah kata teror mulai dikaitkan pada politik. Kata teror digunakan untuk menyebut tindakan pemerintah yang mempergunakan kekerasan secara brutal dan berlebihan dengan cara memenggal 40.000 orang yang dituduh melakukan kegiatan anti pemerintah. Sebelum Perang Dunia II terjadi bentuk pertama terorisme yaitu dilakukan dengan cara pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah. Bentuk kedua terorisme terjadi di Aljazair pada tahun 1950-an dengan serangan terhadap masyarakat sipil untuk melawan apa yang disebut sebagai terorisme negara oleh Algerian Nationalist dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan. Bentuk ketiga terorisme dikenal dengan istilah Terorisme Media berupa serangan kepada siapa saja untuk tujuan publisitas yang muncul pada tahun 1960-an.344 Fenomena terorisme meningkat sejak memasuki tahun 1970-an. Terorisme mengalami perkembangan, tidak hanya dalam politik tetapi sudah masuk dalam sengketa ideologi, fanatisme agama, perjuangan kemerdekaan, pemberontakan, gerilya, dan sebagai sarana menegakkan kekuasaan.345 Memasuki tahun 1990-an, tindakan terorisme mengalami perkembangan dari segi anggotanya yang multibangsa serta tidak mengenal batas negara. Pelaku
344
Ibid Gede Agung Patra Wicaksana, 2008, Kebijakan Pembrantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia (Tesis), Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, h. 51 345
terorisme membentuk kelompok dengan berbasis jaringan, bukan basis negara. Aksi ini terlihat pada tragedi WTC yang menewaskan ribuan orang. Terorisme adalah tindakan kekerasan dengan menggunakan segala cara untuk mencapai suatu tujuan, baik dalam bentuk pembajakan, penyanderaan, pengeboman, dan sebagainya. Tindakan tersebut tentu saja sangat merugikan masyakarat sipil yang tidak jarang menjadi korban. Tindakan terorisme bukanlah tindakan kriminal biasa, karena dilakukan tidak spontan, melainkan dilakukan secara sistematis, terorganisir, dam terencana secara apik sehingga menimbulkan dampak yang luas.
BAB III DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA MATI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME
3.1. Dasar Hukum Penjatuhan Pidana Mati dalam Tindak Pidana Terorisme Berdasarkan KUHP dan Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum (Machstaat) yang berlandaskan Pancasila. Setiap perbuatan warga harus ada keselarasan dengan normanorma hukum atau perbuatan mana yang dilakukan warga yang dikategorikan melawan hukum. Mengikuti beberapa pendapat ahli, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat 4 (empat) unsur yang terkandung dalam suatu negara hukum yaitu : 1. Pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia. 2. Legalitas (pemerintahan berdasarkan undang-undang). 3. Pembagian kekuasaan. 4. Peradilan administrasi. Sebagai negara hukum, Indonesia mengacu pada beberapa unsur tersebut dalam proses penyelenggaraan pemerintah. Beberapa unsur negara hukum yang berhubungan dengan kejahatan terorisme adalah pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dan legalitas. Penanganan tindak pidana terorisme secara hukum
berarti mewujudkan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, tuntutan menegakkan independensi peradilan, dan bentuk implementasi hukum.346 Melalui produk hukum, negara wajib melindungi harkat dan martabat manusia. Bentuk penghormatan dan perlindungan yang harus diberikan oleh negara adalah berupa penegakan hukum terhadap setiap perbuatan yang dikategorikan kejahatan. Penegakan hukum tersebut akan menentukan citra negara hukum. Negara hukum wajib menempatkan rakyat sebagai subjek yang harus dilindungi. Bentuk perlindungan yang ditunjukkan berupa penegakan hukum (law enforcement). Penegakan hukum dalam kejahatan terorisme diwujudkan dengan bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme. Selain itu digunakan pula peraturan lainnya yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Penegakan hukum tersebut
merupakan
perlindungan
hukum
represif
yang
berfungsi
untuk
menyelesaikan permasalahan yang timbul akibat tindak pidana terorisme yang terjadi. Berkaitan dengan penegakan hukum dalam tindak pidana terorisme ini, tidak terlepas dari penjatuhan pidana bagi pelaku. Beberapa pelaku tindak pidana terorisme dijatuhi pidana mati. Penjatuhan pidana mati dalam kasus tindak pidana terorisme bom Bali didasarkan pada beberapa ketentuan dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UndangUndang Tindak Pidana Terorisme. Khusus mengenai Undang-Undang Tindak Pidana
346
Abdul Wahid, dkk., Op. Cit, h.67
Terorisme, digunakan 2 (dua) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), yakni Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakukan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002. Penggunaan Perpu ini bertujuan untuk mengatur pemberantasan tindak pidana terorisme didasarkan pertimbangan bahwa terjadinya terorisme diberbagai tempat telah menimbulkan kerugian baik materiil maupun immaterial sehingga mendesak untuk dikeluarkan Perpu guna segera dapat diciptakan suasana yang kondusif bagi pemeliharaan ketertiban dan keamanan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip hukum. Perpu tersebut didasarkan pada komitmen nasional dan internasional dengan membentuk peraturan perundang-undangan nasional yang mengacu pada konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan terorisme. Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional. Kejahatan tersebut menimbulkan
bahaya
terhadap
keamanan,
perdamaian
dunia,
merugikan
kesejahteraan masyarakat, serta terganggunya hubungan antar negara. Perpu ini juga memuat ketentuan khusus terhadap tindak pidana terorisme yang terkait dengan kegiatan terorisme internasional. Ketentuan khusus ini bukan merupakan wujud perlakukan yang bersifat diskriminatif, melainkan merupakan
komitmen pemerintah untuk mewujudkan ketentuan Convention Against Terrorist Bombing Tahun 1997 dan Convention on the Supression of Financing Terrorism tahun 1999. Penerbitan Perpu itu didasarkan pada hak prerogatif Presiden, sesuai dengan Pasal 22 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000, yang pada Pasal 3 Ayat (4), menegaskan, dalam keadaan hal ihwal kegentingan yang memaksa Presiden berhak menerbitkan Perpu. Perpu tersebut kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Awal gagasan penyusunan undang-undang pemberantasan terorisme di Indonesia bertolak pada kenyataan perkembangan situasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan peperangan tidak kunjung selesai antara pasukan TNI dan GAM. Ketika penyusunan tengah dilakukan dan hampir final maka terjadi peristiwa Bom Bali I (Tahun 2002) sehingga penyusunan draft ruu dipercepat dan diubah bentuk menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang RI No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan disahkan DPR RI dengan Undang-Undang RI 15 Tahun 2003.347 Dengan undang-undang tersebut maka ancaman dan serangan terorisme baik yang bersifat internasional maupun kegiatan terorisme lokal atau nasional yang
347
Romli Atmasasmita, 2014, Pemberantasan Terorisme dari Aspek Hukum Nasional dan Internasional, Bahan Pendidikan & Pelatihan Hakim PerkaraTerorisme & Peradilan Umum Seluruh Indonesia tanggal 10-15 Maret 2014, Jakarta, (Selanjutnya disebut Romli Atmasasmita I), h.2
memuat aspek internasional juga dapat mencegah intervensi pihak asing dengan alasan memerangi terorisme internasional.348 Berkaitan dengan hal tersebut, dalam penanggulangan tindak pidana terorisme di Indonesia tidak terlepas dari adanya kebijakan hukum pidana sebagai bentuk reaksi sosial dan masyarakat. Hal ini dikemukakan oleh March Ancel yang menyatakan bahwa “Criminal Policy is the rational organization of the control of crime by society”349 (upaya rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan). Sehingga peran besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak terelakkan.350 Berkaitan dengan sanksi yang dijatuhkan pada para terdakwa tindak pidana terorisme bom Bali, dijelaskan dalam putusan pengadilan. Setiap putusan pengadilan harus disertai dengan bahan pertimbangan yang menjadi dasar hukum dan alasan putusan tersebut. Hal ini ada di dalam Pasal 14 ayat 2 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa : “Dalam sidang permusyawarahan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan”.
348
Romli Atmasasmita, 2004, Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional, Cv. Utomo, Bandung, (Selanjutnya disebut Romli Atmasasmita II), h.87 349 March Ancel, 1965, Social Defence a Modern Approach Criminal Problem, Rontledge and Kega Paul, London, h.208-209 350 Johannes Andenaes, 1965, The General Parts of the Criminal Law of Norway, Frend B Rthman and Co, Swett Maywell Ltd, London, h.86-90
Pasal 1 angka 11 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 mengenai Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa : “putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemindahan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan dalam hal serta cara yang diatur undang-undang ini. Jadi seorang terdakwa dapat dijatuhi pidana apabila terdakwa jika di dalam persidangan terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana. Oleh karena itu, dalam persidangan hakim harus menyebutkan perbuatan terdakwa yang mana sesuai fakta terungkap dipersidangan dan memenuhi rumusan pasal tertentu dari suatu peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, hakim harus merumuskan perbuatan terdakwa yang memenuhi rumusan pasal yang menunjukan adanya tindak pidana terorisme. Untuk menjatuhkan pidana mati bagi ketiga pelaku dalam kasus pengeboman yang terjadi pada tanggal 12 Oktober 2002 bertempat di Legian Kuta Bali tersebut, Hakim mengambil keputusan dengan mengacu pada beberapa pasal yaitu dalam bentuk primair, subsidair, lebih subsidair, dan lebih subsidair lagi. Untuk dasar hukum primairnya didasarkan pada Pasal 14 jo Pasal 6 Perpu No. 1 Tahun 2002 jo Pasal 1 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 jo Pasal 1 Perpu No. 2 Tahun 2002 jo Pasal 1 Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal ini mengenai Tindak Pidana Terorisme berupa peledakan bom di Bali dengan ancaman mati atau pidana penjara seumur hidup.
Kemudian untuk dasar hukum yang subsidair yaitu Pasal 6 Perpu No. 1 Tahun 2002 jo Pasal 1 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 jo Pasal 1 Perpu No. 2 Tahun 2002 jo Pasal 1 Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dasar hukum yang lebih subsidair adalah Pasal 15 jo Pasal 6 Perpu No. 1 Tahun 2002 jo Pasal 1 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 jo Pasal 1 Perpu No. 2 Tahun 2002 jo Pasal 1 Undang-Undang No. 16 Tahun 2003. Terdakwa bersama teman-temannya telah melakukan Tindak Pidana Terorisme berupa peledakan bom di Bali. Lebih subsidair lagi adalah Pasal 9 Perpu No. 1 Tahun 2002 jo Pasal 1 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 jo Pasal 1 Perpu No. 2 Tahun 2002 jo Pasal 1 Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 jo Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP. Terdakwa telah memperoleh, menguasai, membawa, mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut suatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud melakukan tindak pidana terorisme. Dalam Pasal 6 Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menjadi Undang-Undang, dinyatakan bahwa : “setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital
yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati …” Maksud dari kekerasan menurut Ketentuan Umum Pasal 1 angka 4 UndangUndang No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya. Sedangkan pengertian ancaman kekerasan menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu setiap perbuatan yang dengan sengaja dilakukan untuk memberikan pertanda atau peringatan mengenai suatu keadaan yang cenderung dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas. Dengan melihat kasus terorisme bom Bali, yang mengakibatkan 202 orang meninggal dunia, 325 orang luka-luka sehingga akibat dari kejadian tersebut telah menimbulkan adanya kekerasan yaitu banyaknya orang yang meninggal dunia dan banyaknya orang yang terluka hingga pingsan dan menjadi tidak berdaya. Adanya ancaman kekerasan juga terlihat dari peristiwa bom Bali tersebut. Ancaman kekerasan tersebut berupa perasaan takut dan khawatir yang melanda warga negara Indonesia, khususnya warga masyarakat Bali. Tidak menutup kemungkinan pula
ancaman tersebut juga berimbas pada warga negara asing yang sedang dan akan berkunjung ke Bali. Lebih khusus lagi, penjatuhan pidana mati bagi pelaku adalah karena tidak hanya sebagai orang yang langsung bertindak sebagai pelaku, namun juga sebagai otak atau pencetus dan perencana tindak pidana terorisme tersebut. Oleh karena itu Hakim mengacu pula pada Pasal 14 Undang-Undang No. 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu : “setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme dipidana dengan pidana mati …” Pasal 14 Undang-Undang No. 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tersebut relevan dengan Pasal 55 KUHP. Dasar hukum tersebut mempertimbangkan unsur dari adanya keterlibatan dalam hal orang yang melakukan, turut serta melakukan, menyuruh orang lain melakukan perbuatan. Digunakannya dasar hukum Pasal 55 KUHP tersebut karena dalam Perpu No. 1 Tahun 2002 jo Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak memberikan penjelasan secara spesifik tentang apa yang dimaksud dengan pengertian “orang yang melakukan, turut serta melakukan, menyuruh orang lain melakukan perbuatan”.
Untuk membentuk persepsi mengenai pengertian tersebut, maka digunakan pendekatan berdasarkan teori-teori dalam hukum pidana yang kemudian dikaitkan dengan hukum positif di Indonesia yaitu KUHP. Dalam KUHP khususnya Pasal 55 mengatur mengenai penyertaan (Deelneming). Pasal 55 KUHP menyatakan bahwa : [1] Dipidana sebagai pelaku tindak pidana : 1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; 2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. [2] Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya. Dari perumusan Pasal 55 KUHP tersebut yang dapat diklasifikasikan sebagai pelaku ada 4 (empat) macam yaitu : 1) Mereka yang melakukan sendiri suatu perbuatan pidana (plegen). 2) Mereka yang menyuruh melakukan suatu perbuatan pidana (doen plegen). 3) Mereka yang turut serta melakukan suatu perbuatan pidana (medeplegen). 4) Mereka yang dengan sengaja menggerakkan (menganjurkan) orang lain untuk melakukan suatu perbuatan pidana (uitloking).351 Dengan dasar persepsi yang telah terbentuk dari pengertian dan maksud dalam unsur-unsur pasal tersebut serta dikaitkan dengan fakta-fakta yang terjadi pada lokasi kejadian, yang terjadi dipersidangan, dan keterangan-keterangan para saksi maka aksi terorisme bom Bali tersebut memang dikehendaki oleh para pelaku. Para pelaku telah 351
I Made Widnyana, 1992, Sari Kuliah Hukum Pidana II, Yayasan Yuridika Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, (Selanjutnya disebut I Made Widnyana II) hal.33
memiliki kesadaran akan tugas-tugasnya dalam rangka mewujudkan tujuan yang hendak dicapainya, yaitu perang terhadap Amerika dan sekutunya. Tujuan tersebut terlaksana karena adanya kerjasama yang telah disepakati dan terperinci dengan tugasnya masing-masing diantara para pelaku. Penjatuhan pidana mati pada beberapa terdakwa berkaitan dengan Pasal 55 KUHP berdasar pada terdapatnya syarat Doen Plegen pada beberapa pelaku, yaitu bahwa si penyuruh tidak harus melakukan sendiri secara langsung melainkan cukup dengan menyuruh orang lain. Hal tersebut didasarkan pada keterangan-keterangan para saksi yang juga sekaligus sebagai pelaku tindak pidana terorisme tersebut. Dari fakta-fakta dan bukti-bukti tersebut terlihat adanya peranan pelaku yang bekerja di belakang layar sebagai koordinator peledakan bom di Bali ini yang juga dapat dikatakan sebagai Actor Intellectual atau Intellectual Dader. Selain adanya Actor Intellectual, adapula pelaku yang bertugas sebagai eksekutor, seperti pelaksana dilapangan, peracik dan perakit bom, pembeli bahan-bahan peledak, dan sebagainya. Maka menurut KUHP pelaku terbukti bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-sama merencanakan tindak pidana terorisme. Dalam tindak pidana terorisme bom Bali yang terjadi pada tanggal 12 Oktober 2002 tersebut, sebanyak 3 (tiga) pelaku yang dijatuhi pidana mati. Penjatuhan pidana mati tersebut dilakukan karena terbukti telah merencanakan dan menggerakkan orang lain untuk aksi yang mereka lakukan. Ketentuan pasal ini ditujukan terhadap Actor Intellectual. Maksud merencanakan dalam ketentuan ini adalah tindakan yang
termasuk mempersiapkan baik secara fisik, financial, maupun sumber daya manusia yang mendukung aksi terorisme yang mereka inginkan. Makna menggerakkan orang lain ini adalah melakukan hasutan dan provokasi untuk tercapainya suatu tujuan dengan memberikan hadiah atau uang atau janji-janji. Dalam suatu jaringan teroris, terdapat beberapa tingkatan pelaku, yaitu pada tingkat pertama adalah para teroris pemegang kendali operasi termasuk menyusun rencana dan menetapkan tujuan, pengawas dari sebuah jaringan teroris. Bagian ini merupakan bagian yang tergolong sedikit anggotanya, tetapi memiliki pengaruh sangat besar dalam jaringannya. Berkaitan dengan terorisme bom Bali tersebut, bagian ini dilakukan oleh Imam Samudera yang disebut sebagai perencana penentu sasaran dan pengendali operasi. Sedangkan Amrozi dan Ali Gufron disebut sebagai perencana pengeboman. Akhirnya Hakim Pengadilan Negeri Denpasar memutuskan untuk menjatuhkan pidana mati bagi ketiga pelaku terorisme bom Bali tersebut. Tingkatan yang kedua adalah para pelaku pelaksana lapangan aksi-aksi terorisme. Pada tingkatan ketiga adalah para pendukung aktif yang merupakan bagian yang cukup besar dalam suatu jaringan teroris. Tugas mereka adalah menjaga kelangsungan kegiatan bagian lain dilapangan seperti, menyediakan dan menjaga jaringan komunikasi, menyiapkan dan menyediakan tempat persembunyian dan tempat perencanaan, melaksanakan kegiatan pengintaian dan menyediakan dukungan pendanaan dan logistik.
3.2. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Mati dalam Tindak Pidana Terorisme Perspektif Yuridis, Filosofis, dan Sosiologis Dalam menjatuhkan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme, seorang hakim tidak saja hanya berpedoman pada undang-undang, namun hakim juga mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain karena seorang hakim memiliki kebebasan mandiri untuk menentukan putusannya. Selain kebebasan mandiri, seorang hakim memiliki kebebasan mutlak dan tidak dicampuri oleh pihak lain. Hal ini disebabkan untuk menjamin agar putusan pengadilan benar-benar obyektif serta kebebasan yang dimiliki harus berdasarkan rasa keadilan baik terhadap terdakwa maupun masyarakat dan bertanggung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam menjatuhkan putusan, hakim mengalami tingkat kesulitannya tersendiri, karena banyak hal yang harus dipertimbangkan. Terdapat beberapa pendekatan-pendekatan yang dipergunakan hakim dalam mempertimbangkan pemidanaan, diantaranya : 1. Pendekatan Keseimbangan Yaitu keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara yaitu masyarakat, korban, dan terdakwa.352 2. Pendekatan Seni (art) dan Intuisi
352
Bagir Manan, 2007, Menjadi Hakim Yang Baik, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, h.51
Pemidanaan adalah diskresi hakim, maka dalam penjatuhan pidana hakim akan menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku. Hal ini disebut dengan seni menjatuhkan pidana. Sebagai suatu seni, hakim lebih ditentukan oleh intuisi daripada pengetahuan.353 3. Pendekatan Keilmuan Bertolak dari proses pemidanaan harus dilakukan secara sistematik dan kehati-hatian, khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi putusan.354 4. Pendekatan Pengalaman Pengalaman-pengalaman yang panjang sangat berpengaruh pada cara-cara hakim menjatuhkan putusan seperti pemidanaan.355 Penjatuhan pidana mati bagi 3 (tiga) pelaku tindak pidana terorisme bom Bali tersebut para Hakim memiliki alasan-alasan dan dasar pertimbangan sendiri. Dalam kasus terorisme bom Bali tersebut, tidak semua pelaku dijatuhi pidana mati. Penerapan berat ringannya pidana yang dijatuhkan tentu bagi seorang hakim disesuaikan dengan apa yang menjadi motivasi dan akibat perbuatan si pelaku. Majelis Hakim dapat menyimpulkan dan mempertimbangkan putusannya dari bukti-bukti, kenyataan-kenyataan atau keadaan-keadaan yang diketahui selama melakukan pemeriksaan terhadap pelaku di depan persidangan Pengadilan. Untuk alat bukti yang di hadirkan di dalam persidangan harus saling berkaitan antara alat bukti 353
Ibid, h.55-56 Ibid, h. 56 355 Ibid 354
satu dengan alat bukti yang lainnya. Hal tersebut dilakukan agar hakim dapat membuktikan dan memberikan keyakinan hakim serta hakim mendasari pada hati nurani, tanpa ada kepentingan apapun. Pertimbangan-pertimbangan hakim juga berpedoman pada 3 (tiga) hal yaitu : 1. Perspektif yuridis yang merupakan unsur pertama dan utama yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan; 2. Perspektif filosofis, mempertimbangkan pada kebenaran dan keadilan; 3. Perspektif sosiologis yaitu mempertimbangkan tata nilai budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Dengan
pertimbangan-pertimbangan
tersebut
keadilan
yang
dicapai,
diwujudkan, dan dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim adalah keadilan yang berorientasi pada keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral justice), dan keadilan masyarakat (social justice).356 Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat yang tentunya memcerminkan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksudkan disini adalah keadilan substantif (materiil) yang sesuai dengan hati nurani hakim, bukanlah keadilan prosedural (formil). Tindak pidana terorisme adalah suatu kejahatan yang tidak dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa. Terorisme dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa dan dikategorikan pula sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against
356
Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, h.126
humanity). Sehingga pemberantasan dan penanggulangannya tentu berbeda dengan kejahatan-kejahatan biasa. Dengan menjatuhkan pidana mati pada pelaku tindak pidana terorisme, maka hal tersebut dapat memberikan efek jera di tengah masyarakat. Pidana mati diberikan dalam rangka untuk menghukum pelaku kejahatan yang dianggap tidak bisa kembali ke masyarakat karena kejahatan yang mereka lakukan termasuk dalam kualifikasi kejahatan luar biasa. Salah satu alasan penjatuhan pidana mati oleh Hakim dalam tindak pidana terorisme, dapat dikaitkan dengan teori tujuan atau teori relatif (doel theorien) yang bersifat menakut-nakuti dalam teori pemidanaan. Alasan Hakim menjatuhkan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme adalah bukan karena pelaku membuat kejahatan, melainkan agar orang lain tidak melakukan kejahatan. Jadi terlihat di sini bukanlah menekankan pada aspek pembalasannya tetapi lebih pada aspek menakutkan (pencegah) dari pidana mati tersebut. Menurut salah satu Hakim pada Pengadilan Negeri Denpasar, dalam wawancara pada tanggal 27 Februari 2014 yaitu Hakim Hasoloan Sianturi memberikan pendapatnya mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan suatu putusan pidana dalam proses peradilan, khususnya dalam hal mengadili suatu kejahatan. Dikatakan bahwa hakim dalam mengadili suatu perkara melakukan serangkaian tindakan dimulai dari menerima, memeriksa, dan memutus
perkara
pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak disidang pengadilan. Hal tersebut sesuai dengan isi dari Pasal 1 angka 9 KUHAP.
Dari serangkaian tindakan-tindakan tersebut, seorang hakim dituntut untuk mempertimbangkan hasil pemeriksaan di depan persidangan yaitu dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa, bukti surat dan barang bukti hingga mendapatkan fakta-fakta dalam persidangan yang akan dijadikan tolak ukur untuk memberikan vonis kepada terdakwa. Lebih lanjut Hasoloan Sianturi kurang setuju terhadap penerapan sanksi pidana mati dalam menilai keefektifan dari suatu pidana terhadap kejahatan yang dilakukan. Hal tersebut dinilai kurang sesuai dengan hati nurani dan ajaran agama yang dianut oleh Hasoloan Sianturi sendiri. Meskipun dalam tindak pidana tersebut terdapat ancaman maksimumnya adalah pidana mati. Dari beberapa negara saat ini, seperti Swiss, Australia, Italia, Jerman telah menghapus pidana mati, namun demikian di negara lain sampai saat ini masih mempertahankan pidana mati sebagai sarana pemulih atas perbuatan-perbuatan yang sangat tercela, perbuatan yang sangat menggoncangkan rasa keadilan di tengahtengah masyarakat. Pidana mati dapat diterapkan ketika tindak pidana terorisme menimbulkan korban dalam skala besar dan pelakunya dianggap sudah sulit untuk diperbaiki.357 Dalam wawancara pada tanggal 17 Maret 2014, Hakim Putu Gde Hariadi yang merupakan Hakim Pengadilan Negeri Denpasar memiliki pendapat bahwa pelaku tindak pidana terorisme Bom Bali merupakan pelaku yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, karena pelaku melakukan tindak pidana
357
Sakidjo, et. Al., 1990, Hukum Pidana; Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 75
terorisme tersebut didasarkan atas kesadaran, niat dan terencana. Ini memberikan konsekuensi bahwa dari hal tersebut sudah patut hakim memberikan pertimbangan untuk menjatuhkan pidana yang seberat-beratnya kepada pelaku, bahkan hukuman mati sekalipun. Karena dalam Undang-Undang Terorisme dan KUHP masih diakuinya pidana mati sebagai salah satu jenis pidana. Hal ini tentu didukung dari bukti-bukti serta dampak yang ditimbulkan dari perbuatan pidana tersebut. Namun hakim harus cermat dan teliti dalam mempertimbangkan hukuman mati tersebut, karena pelaku tindak pidana terorisme memiliki peran dan tugas yang berbeda-beda dalam pelaksanaannya. Hakim Pengadilan Negeri Denpasar lainnya yaitu Cening Budiana memiliki pendapat yang sama dengan Hakim Putu Gde Hariadi. Meskipun Cening Budiana menjatuhkan pidana seumur hidup bagi salah satu pelaku tindak pidana terorisme Bom Bali, namun tidak menutup kemungkinan Cening Budiana akan menjatuhkan pidana mati bagi pelaku. Penjatuhan pidana tersebut didasarkan atas pertimbanganpertimbangan yang berdasar pada aspek yuridis, filosofis, dan sosiologis. Dengan lebih mencermati fakta-fakta hukum dalam persidangan, bukti-bukti, serta dampak yang ditimbulkan dari peristiwa tersebut. Hakim harus memiliki hati nurani yang bersifat objektif dalam menangani suatu perkara. Hakim harus mempertimbangkan keadilan dari semua pihak, yaitu pihak korban, pelaku, dan masyarakat. Bom Bali tersebut tidak hanya merugikan masyarakat Bali saja, namun juga berdampak pada masyarakat Indonesia bahkan hingga tingkat Internasional.
Dasar pertimbangan dalam penjatuhan pidana mati ini yang juga berkorelasi dengan Desert Theory (teori ganjaran) yang menggambarkan pemikiran tentang proporsionalitas dalam pemidanaan. Jadi beratnya sanksi pidana harus seimbang dengan kesalahan yang dilakukan pelaku. Penjatuhan pidana harus diukur berdasarkan besar kecilnya kesalahan yang dibuat oleh pelaku tindak pidana. Sehingga pertimbangan Hakim menjatuhkan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme dirasa cukup adil dan berdasar pertimbangan-pertimbangan lainnya. Pertimbangan penjatuhan pidana mati secara perspektif yuridis masih sah untuk dijatuhkan pada beberapa tindak pidana karena sampai saat ini masih jelas secara formal termuat dalam Pasal 10 KUHP dinyatakan dan diakuinya pidana mati sebagai pidana pokok. Hal tersebut berkaitan dengan konsep negara hukum, yaitu menurut Friedman, negara hukum mengandung arti pembatasan kekuasaan negara oleh hukum. Maka Majelis Hakim menyimpulkan bahwa karena belum adanya peninjauan maupun pencabutan atas pidana mati, maka dengan demikian pidana mati masih diperlukan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Hukum Pidana Positif. Sehingga penjatuhan pidana mati tidak melebihi batas kekuasaan negara karena telah sesuai dengan aturan hukum yang ada di Indonesia. Penjatuhan pidana mati tetap diputuskan oleh Majelis Hakim dengan pertimbangan filosofis yakni siapapun yang melakukan tindak pidana terorisme dan bertentangan dengan kehidupan manusia yang beradab, haruslah dipandang sebagai masalah hukum dan penegakan hukum, dan juga merupakan masalah sosial budaya
yang berkaitan erat dengan masalah sosial, budaya, ekonomi, dan ketahanan bangsa dan negara. Kebijakan tersebut adalah upaya pencegahan yang ditujukan untuk memelihara keseimbangan dan kewajiban melindungi kehidupan berbangsa dan bernegara serta rasa keadilan bagi masyarakat. Berkaitan dengan pertimbangan hakim dari perspektif yuridis, berkorelasi dengan teori dari Zevenbergen berpandangan bahwa makna setiap pidana adalah suatu pembalasan, tetapi mempunyai maksud melindungi tata tertib hukum sebab pidana itu adalah mengembalikan dan mempertahankan ketaatan pada hukum dan pemerintahan. Pertimbangan yang ditinjau dari perspektif sosiologis adalah terlihat pada perbedaan penjatuhan pidana terhadap pelaku yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme yang telah disebutkan di atas. Hal ini dikaji dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa : “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa : “Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa”.
Pasal 5 ayat (1) dan pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut dijadikan dasar pertimbangan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana ringan atau berat terhadap pelaku tindak pidana terorisme. Pelaku tindak pidana terorisme tersebut tidak hanya 1 (satu) pelaku, melainkan beberapa pelaku karena mereka bekerja secara jaringan dan memiliki peran dan tugas masing-masing. Artinya, meskipun tindak pidana teorisme tersebut termasuk tindak kejahatan luar biasa, maka seorang hakim juga harus mempertimbangkan nilai-nilai atau norma-norma hukum yang berlaku di masyarakat dan sifat baik para pelaku selain melihat berat ringannya peran yang dilakukan dari masing-masing pelaku. Misalnya, norma yang berlaku di Madura adalah bahwa bagi pengganggu istri orang harus dibunuh, karena perbuatan tersebut melecehkan harga diri dan seluruh keluarga. Pada sebagian besar masyarakat Madura, nilai-nilai hukum yang ada di masyarakat tersebut dijunjung tinggi dan berlaku sampai saat ini dengan tujuan untuk mempertahankan hak-haknya dari gangguan orang lain, sehingga hal tersebut menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana ringan pada terdakwa. Demikian juga dalam persidangan, jika pelaku tindak pidana terorisme selalu menunjukkan sifat kooperatif, sopan, dan berkata jujur, semua itu menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan yang pidana yang lebih ringan dari pidana pelaku lainnya. Dari fakta-fakta yang dikumpulkan di persidangan, pelaku terbukti telah merencanakan dan melakukan tindak pidana terorisme yang dengan sengaja
menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas dan menimbulkan korban secara massal yakni berupa hilangnya nyawa kurang lebih sebanyak 202 (dua ratus dua) orang serta korban luka-luka kurang lebih 325 (tiga ratus dua puluh lima) orang dari berbagai bangsa dan negara. Selain itu mengakibatkan terjadinya kerusakan fasilitas publik berupa rusaknya jaringan telepon, listrik, saluran air PDAM yang menelan nilai kerugian ratusan juta rupiah. Menghancurkan dan merusak pula bangunan-bangunan disekitar tempat terjadinya tindak pidana terorisme sejumlah 422 (empat ratus dua puluh dua) unit. Persiapan yang dilakukan oleh para terdakwa tergolong persiapan matang. Dimulai dari pertemuan-pertemuan yang dilakukan para terdakwa di beberapa tempat guna membicarakan rencana dan target pengeboman yang akan mereka lakukan. Kemudian dari pertemuan tersebut dipersiapkan pula akomodasi seperti rumah kontrakan yang digunakan sebagai tempat untuk mengadakan pertemuan dan tempat untuk merakit bom. Tipe rumah yang disiapkan pun adalah rumah yang memiliki garasi untuk memudahkan para terdakwa bekerja merakit bom. Persiapan selanjutnya adalah melakukan survei kelapangan dengan cara berkali-kali melewati Jalan Legian Kuta untuk melihat banyaknya orang asing yang berada di Bali untuk menentukan sasaran peledakan bom. Rangkaian-rangkaian kegiatan yang telah dilakukan dalam rangka melakukan pengeboman di Legian dan Renon tersebut bermula dari pertemuan-pertemuan para
terdakwa pada bulan Agustus 2002 hingga persiapan-persiapan yang dilakukan di Bali pada bulan Oktober 2002 terdapat tenggang waktu yang cukup yaitu sekitar 2 bulan sehingga terdapat kesempatan yang matang bagi
terdakwa untuk berpikir
tenang dalam membuat rencana peledakan bom Bali. Berdasarkan rangkaianrangkaian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa telah terjadi perbuatan perencanaan untuk melakukan tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh terdakwa dan unsur merencanakan untuk melakukan tindak pidana terorisme telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum. Perencanaan terhadap kasus terorisme bom Bali ini berkaitan pula dengan niat batin para pelaku yang menjadi tujuan terdakwa untuk memerangi orang Amerika dan sekutunya. Hal tersebut diwujudkan dengan cara merencanakan peledakan bom di Bali dengan pertimbangan Bali banyak didatangi oleh wisatawan asing yang oleh terdakwa dianggap sebagai orang-orang Amerika dan sekutunya. Meskipun tujuan utama adalah memerangi warga negara Amerika dan sekutunya, namun para terdakwa menyadari bahwa tindakan yang mereka lakukan akan berdampak pula pada beberapa orang yang bukan sasaran target untuk diperangi, seperti misalnya warga negara Indonesia khususnya masyarakat Bali. Dari perencanaan tersebut dilanjutkan dengan pembagian tugas masing-masing terdakwa. Tindakan-tindakan para tersangka dilakukan dengan kesadaran penuh, yakni hendak melakukan pembalasan terhadap perlakukan orang-orang Amerika di Afghanistan dan untuk itu terdakwa menyadari akibat yang timbul dari perbuatannya
tersebut. Terdakwa juga bahkan memang menghendaki akibat yang terjadi dengan peledakan bom di Kuta Bali tersebut dengan harapan warga asing yang dianggap oleh terdakwa sebagai orang Amerika dan sekutunya tersebut menjadi celaka dan menderita atau tidak berdaya bahkan mati. Sehingga tindakan terdakwa tersebut adalah merupakan kesengajaan. Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja adalah merupakan sikap batin pelaku. Pelaku mengetahui, menghendaki atau mengerti tentang perbuatan yang dilakukan serta akibat dari perbuatannya tersebut, dengan melihat dari rangkaian-rangkaian perbuatan pelaku, keterangan serta hasil pemeriksaan saksi-saksi di depan persidangan. Tindakan pengeboman tersebut dilakukan secara melawan hukum, membuat, menerima, menyerahkan, menguasai, membawa, memiliki, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, dan mempergunakan bahan peledak dan bahan-bahan kimia lainnya yang berbahaya dalam rangka kerjasama untuk tujuan melakukan tindak pidana terorisme. Para terdakwa yang telah dipidana mati merupakan orang yang cukup mengerti mengenai masalah bom karena telah mempelajarinya dan berlatih membuat bom di Afghanistan. Peledakan bom Bali yang terjadi pada tanggal 12 Oktober 2002 tersebut tidak hanya dilakukan di Paddy’s Pub dan Sari Club Kuta, namun dilakukan juga peledakan bom di Jalan Puputan Renon Denpasar. Kondisi ini menimbulkan suasana mencekam dan rasa ketakutan masyarakat yang meluas karena tidak hanya tertuju pada masyarakat Indonesia pada umumnya serta masyarakat Provinsi Bali pada
khususnya, namun tindakan terorisme tersebut juga berdampak besar bagi masyarakat Internasional. Turis-turis asing beramai-ramai meninggalkan Bali. Wisatawan yang merencanakan untuk berlibur di Indonesia, khususnya Bali membatalkan niat mereka. Peristiwa tindak pidana terorisme bom Bali ini menjadi perhatian masyarakat internasional. Pelaku tindak pidana bom Bali tidak hanya dari warga negara Indonesia saja, tetapi juga terdapat andil warga negara asing, seperti Singapura. Hal ini menunjukkan bahwa tindak pidana ini telah bersifat kejahatan lintas negara, terorganisasi dan bahkan dapat diduga bahwa tindak pidana ini bersifat Internasional. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan Resolusi Nomor 1438 (2002) yang simpati kepada Pemerintah dan Rakyat Indonesia serta para korban dan keluarganya; dan menyerukan kepada semua negara berdasarkan Resolusi Nomor 1373 (2001) untuk bekerjasama mendukung dan membantu Pemerintah Indonesia untuk mengungkap semua pelaku yang terkait dengan peristiwa itu dan membawanya ke Pengadilan.358 Sebelum melakukan tindak pidana terorisme bom Bali, para pelaku juga melakukan tindak pidana terorisme dengan cara pengeboman dibeberapa tempat di wilayah Indonesia seperti di beberapa gereja di Batam. Terdakwa bom Bali juga menyimpan dan memiliki senjata api yang tidak memiliki ijin kepemilikan sejata oleh negara. Jadi tindakan tersebut telah melanggar peraturan dan dapat mengancam
358
O.C. Kaligis, Op.Cit, h.62
keamanan dan keselamatan masyarakat apabila sampai terjadi penyalahgunaan dari senjata api tersebut. Senjata api tersebut digunakan untuk menunjang rencana yang akan mereka lakukan, salah satunya adalah pengumpulan dana. Mereka secara bersama-sama menyediakan dana untuk tujuan melakukan tindak pidana terorisme. Dana yang diperoleh untuk melakukan tindak pidana terorisme bom Bali itu diperoleh dari perbuatan pidana seperti perampokan dan cara lainnya karena dana yang diperlukan dalam jumlah cukup besar. Berdasarkan fakta dipersidangan Majelis Hakim mempertimbangkan keterangan para saksi, yaitu dalam hal perampokan yang dilakukan pada Toko Emas Elita di Serang. Salah satu pelaku yang dijatuhi pidana mati yang merupakan actor intellectual tindak pidana terorisme tersebutlah yang memberikan pinjaman 2 (dua) pucuk senjata api kepada para pelaku lainnya. Hasil rampokan kemudian diserahkan dan diterima oleh salah satu terpidana mati. Dari hal tersebut terlihat bahwa pelaku mengetahui sumber dana tersebut merupakan hasil kejahatan. Meyakinkan pula secara yuridis bahwa pelaku dengan sengaja menyediakan dan mengumpulkan dana untuk tujuan digunakan dalam melakukan tindak pidana terorisme. Para terdakwa tidak bersedia
memberi keterangan dan tidak bersedia
disumpah. Demikian pula Penasehat Hukum para terdakwa keberatan apabila terdakwa juga memberikan keterangan sebagai saksi dan beranggapan bahwa hal tersebut bertentangan dengan Pasal 168 KUHAP. Namun Majelis Hakim sudah
memberikan alasan dan telah menjelaskan bahwa pengertian saksi yang dapat mengundurkan diri sebagai saksi dengan alasan karena sama-sama sebagai terdakwa sebagaimana bunyi Pasal 168 KUHAP harus diartikan bahwa diantara saksi dan terdakwa harus terdapat hubungan saudara dan antara saksi dan terdakwa sama-sama sebagai terdakwa yang diajukan dalam satu berkas perkara yang sama. Selain itu penolakan terdakwa untuk saling bersaksi di depan persidangan terdakwa lainnya menurut Majelis Hakim adalah tidak sah. Hal tersebut berdasar pada Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1989 K/SIP/89 tanggal 21 Maret 1990 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pengertian sama-sama sebagai terdakwa dalam pengertian Pasal 168 KUHAP tersebut adalah apabila antara saksi-saksi dan terdakwa adalah samasama selaku terdakwa yang diajukan dalam satu berkas perkara. Dalam kasus bom Bali ini, antara perkara para terdakwa dan perkara para saksi tersebut diajukan dalam berkas perkara yang berbeda. Alat bukti petunjuk merupakan salah satu alat bukti yang dapat memberikan keyakinan hakim akan terjadinya suatu peristiwa dengan mengkaitkannya dengan alat-alat bukti lain yang digunakan dalam perkara ini. Alat bukti petunjuk ini antara lain adalah didapat dari keterangan para saksi dan juga para terdakwa bom Bali tersebut. Keterangan tersebut diberikan di bawah sumpah dihadapan penyidik. Meskipun di depan persidangan terdapat ketidaksediaan saksi (terdakwa) untuk memberikan keterangannya, namun keterangan dalam penyidikan dapat digunakan sebagai pertimbangan hakim untuk memberikan keyakinan Hakim akan terjadinya
suatu peristiwa dengan mengkaitkannya dengan alat-alat bukti lain yang digunakan dalam kasus terorisme bom Bali ini. Selain keterangan dari saksi-saksi yang sekaligus juga menjadi terdakwa, dipertimbangkan pula keterangan dari saksi-saksi lainnya. Dari keterangan saksisaksi tersebut dijelaskan bahwa dampak dari tindakan terorisme tersebut menyebabkan rasa takut, was-was, dan khawatir serta menimbulkan suasana teror yang berakibat pada rasa traumatis. Secara meluas masyarakat Bali merasa tercekam dalam perasaan ketakutan dan kengerian yang dibalut suasana teror karena masyarakat Bali seakan tidak percaya bahwa Bali yang selama ini selalu penuh dengan ketenangan dan kedamaian tiba-tiba terjadi peristiwa terorisme bom Bali yang mengguncang Indonesia hingga internasional. Perekonomian masyarkat Bali juga mengalami penurunan yang sangat drastis, karena tempat dimana sebagian besar masyarakat Bali mencari rejeki untuk menopang kehidupan menjadi hancur lebur. Artshop, restoran, dan hotel sepi kunjungan wisatawan, yang mengakibatkan perusahaan tersebut tutup. Ini berdampak pada meningkatnya tingkat penggangguran. Tidak hanya berpengaruh pada perekonomian masyarakat Bali saja, namun bagi Indonesia karena berkaitan dengan rusaknya citra kepariwisataan. Dengan rusaknya citra pariwisata Indonesia maka berpengaruh pada pendapatan negara dan pendapatan masyarakatnya. Hal ini berdampak pada perekonomian yang tidak stabil hingga menimbulkan krisis moneter dan banyaknya
masyarakat yang kehilangan pekerjaan serta beberapa usaha harus menutup usahanya. Dampak perekonomian tersebut merupakan kerugian yang bersifat meluas. Pada praktiknya hakim berani menjatuhkan pidana mati dengan alasan untuk memenuhi rasa keadilan dan hati nurani karena hakim dalam putusannya harus berdasarkan pada kerangka hukum yaitu penegakan hukum dan penegakan keadilan. Atas putusan hakim tersebut yang melakukan penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme, haruslah diterima dan dihargai asal saja putusan yang tersebut berdasarkan pada rasa keadilan masyarakat. Hakim tidak dapat hanya berpatokan pada Undang-Undang saja, tetapi juga hakim bertolak pada hati nurani, lebih dari itu hakim boleh saja menjatuhkan pidana mati asal putusan tersebut tidak memiliki kepentingan atau objektifitas dijunjung tinggi. Mengenai dasar pertimbangan hakim yang menjatuhkan pidana mati tersebut dilakukan berdasarkan perspektif sosiologis, yaitu dengan mempertimbangkan tata nilai budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Apabila terjadi kekosongan hukum dalam peraturan perundang-undangan formal (hukum positif) maka hakim akan diwajibkan untuk berkreativitas, menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagai dasar putusannya (Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman).
Tindakan
hakim
seperti
ini
memerankan
fungsi
rechtsvinding. Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Dalam bahan Pendidikan dan Pelatihan Hakim Perkara Terorisme dan Peradilan Umum Seluruh Indonesia yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 12 Maret 2014, Roki Panjaitan yang merupakan seorang Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengungkapkan bahwa pentingnya pemberantasan terorisme di Indonesia didasarkan pada pertimbangan : •
Terorisme merupakan kejahatan kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara.
•
Terorisme merupakan kejahatan internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia, serta merugikan kesejahteraan masyarakat.
•
Kejahatan terorisme sebagai tindak pidana yang sangat kejam, mempunyai implikasi yang bisa merusak hubungan persahabatan antar negara, menimbulkan saling curiga antara negara bahkan antara kompenen atau elemen dalam negeri kita sendiri. Khusus mengenai tindak terorisme yang terjadi di Bali, Roki Panjaitan
menyatakan bahwa implikasi atas kejadian bom Bali tersebut telah menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas serta mengakibatkan hilangnya nyawa dan kerugian harta benda. Selain itu memberikan dampak yang luas terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan hubungan internasional serta
mengancam perdamaian dan keamanan internasional. Berdasarkan pertimbangan tersebut pelaku tindak pidana terorisme dapat diancamkan sanksi pidana dengan minimum khusus untuk memperkuat fungsi penjeraan terhadap para pelaku tindak pidana terorisme.
BAB IV PENGARUH PENJATUHAN PIDANA MATI DALAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME
4.1
Proses Penjatuhan Pidana Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Terorisme Terorisme merupakan masalah nasional yang harus diperangi oleh seluruh
stakeholder di negara Indonesia, bahkan seluruh dunia karena terorisme merupakan extraordinary crime. Oleh karena itu dibutuhkan penindakan secara optimal dan sinergis di dalam menangani masalah tersebut. Terorisme jika tidak ditangani dengan baik, maka sangat membahayakan keadaan suatu negara tidak terkecuali negara Indonesia itu sendiri.359 Langkah pemerintah Indonesia dalam menanggulangi kejahatan terorisme melalui aparat hukum telah diupayakan semaksimal mungkin. Salah satunya adalah menjatuhkan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme. Hal ini dilakukan agar tujuan dari sistem pemidanaan dapat dicapai. Pencegahan individu atas hukuman berarti bahwa pelaku kriminal seharusnya dapat dicegah melakukan kejahatan baru. Cara yang paling sering digunakan adalah dengan cara menjebloskan pelaku ke penjara, tanpa melanggar hak hidupnya. Namun, dengan menjatuhkan pidana mati bagi pelaku dirasa efektif sebagai alat pencegah 359
Nurhadi Syahputra, 2013, Korupsi, Narkoba, Terorisme Sama Bahayanya, Bali Post, Tgl. 3 Desember, h. 6, kolom 2
kejahatan karena adanya jaminan penuh bahwa kejahatan tidak akan bisa dilakukan lagi secara berulang oleh pelaku yang sama. Hukuman mati diperlukan untuk melindungi masyarakat. Untuk menanamkan rasa ketakutan pada masyarakat, eksekusi pidana mati seringkali dipublikasikan. Semua pidana memiliki tujuan yang sama yaitu memberikan pengaruh dalam mencegah kejahatan, namun pidana matilah yang dianggap paling efektif. Pidana mati tersebut termasuk dalam kategori pencegahan umum, artinya hukuman memberikan pengaruh kesadaran hukum publik sehingga tindakan kriminal dipandang sebagai suatu hal yang tidak diinginkan. Sebagai negara hukum, Indonesia tentu mendasarkan norma ancaman, penerapan, dan pelaksanaan hukuman mati pada peraturan perundang-undangan. Dalam praktik peradilan, pengadilan sudah berulang kali menjatuhkan pidana mati bagi pelaku kejahatan narkotika serta terorisme. Muladi mengemukakan bahwa ke depannya pandangan hukuman pidana mati di Indonesia dapat dirumuskan sebagai pidana perkecualian yang bersifat khusus, sesuai dengan sistem pemasyarakatan.360 Adanya pelimpahan perkara ke pengadilan mengharuskan subsistem pengadilan melakukan rangkaian kegiatan yang menyangkut persidangan. Bekerjanya subsistem pengadilan diawali dengan menerima pelimpahan perkara dari penuntut umum dan kemudian dilanjutkan dengan memutus perkara pidana tersebut
360
Muladi, 1995, Hak Azasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang (Selanjutnya disebut Muladi II), h. 157
berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak menurut ketentuan yang ada pada undang-undang. Khusus untuk proses penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom Bali dalam persidangan pertama dilakukan pembacaan Surat Dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum yang dilaksanakan di Gedung Wanita Nari Graha Denpasar pada tanggal 12 Mei 2003. Pada sidang selanjutnya adalah pembacaan eksepsi yaitu tanggapan dan atau keberatan dari Penasehat Hukum Terdakwa atas Surat Dakwaan yang telah dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum dan begitu seterusnya hingga dianggap cukup. Hakim kemudian menginjak materi selanjutnya yaitu mengenai pemeriksaan barang bukti dan berakhir dengan penjatuhan vonis oleh Hakim. Untuk tindak pidana terorisme bom Bali ini seperti yang telah dijelaskan di atas, tiga terdakwa dijatuhi vonis hukuman mati dan terdakwa lainnya divonis dengan hukuman yang berbeda-beda. Kendala yang dihadapi oleh Hakim dalam melaksanakan proses penjatuhan pidana mati tersebut antara lain : 1. Hakim harus benar-benar mempertimbangkan dengan baik, karena pidana mati tidak dapat diperbaiki lagi atau diganti kerugiannya apabila terdapat kesalahan dalam memutus pidana tersebut. 2. Dalam hal mensinkronkan keterangan-keterangan dengan fakta-fakta, buktibukti dengan berita acara pemeriksaan (BAP) itu memerlukan waktu yang tidak sebentar, bahkan bisa dikatakan agak lama dan cukup sulit.
3. Dalam proses menjatuhkan vonis, dari pihak korban menuntut agar terdakwa dijatuhkannya pidana mati, namun dari pihak terdakwa meminta agar tidak sampai dipidana mati. Adanya perbedaan pendapat tersebut membuat hakim harus jeli mempertimbangkan hasil yang akan diputuskannya. Karena hakim tidak boleh mempertimbangkan dari satu sisi saja, melainkan harus dapat mencakup keadilan bagi semua pihak. Tidak hanya dari sisi korban, pelaku, namun juga dari sisi masyarakat itu sendiri. Adapun proses penjatuhan pidana mati terhadap terpidana kasus bom Bali tertera dalam tabel sebagai berikut :
Terpidana Mati Tindak Pidana Terorisme Bom Bali No.
Nama/Jenis
Kasus
Kelamin/
Tahun
Tahun Vonis
Tahun
Kejadian
Mati
Eksekusi
Keterangan
Warga Negara 1.
Amrozi bin H Peledakan
12
Nurhasyim / L Bom Bali I Oktober
2
/ WNI
(Terorisme)
2002
Imam
Peledakan
12
Samudera / L / Bom Bali I Oktober WNI
3
(Terorisme)
Ali Gufron / L Peledakan / WNI
2002
12
Bom Bali I Oktober (Terorisme)
2002
Agustus 10 November - Peninjauan Kembali kedua dicabut - Peninjauan Kembali yang diajukan ditolak 2003 2008 Mahkamah Agung 30 Agustus 2007, kemudian mengajukan PK ketiga. - Permohonan terdakwa untuk uji materi UU No.2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati ditolak Mahkamah Konstitusi dalam Persidangan 21 Oktober 2008 - Dieksekusi sekitar pukul 00.25 WIB di Bukit Nirbaya Nusakambangan Cilacap Jawa Tengah 7 Agustus 10 November - Peninjauan Kembali kedua dicabut - Peninjauan Kembali yang diajukan ditolak 2003 2008 Mahkamah Agung 30 Agustus 2007, kemudian mengajukan PK ketiga. - Permohonan terdakwa untuk uji materi UU No.2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati ditolak Mahkamah Konstitusi dalam Persidangan 21 Oktober 2008 - Dieksekusi sekitar pukul 00.25 WIB di Bukit Nirbaya Nusakambangan Cilacap Jawa Tengah 2 Oktober 10 November - Peninjauan Kembali kedua dicabut - Peninjauan Kembali yang diajukan ditolak 2002 2008 Mahkamah Agung 30 Agustus 2007, kemudian mengajukan PK ketiga. - Permohonan terdakwa untuk uji materi UU No.2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati ditolak Mahkamah Konstitusi dalam Persidangan 21 Oktober 2008 7
- Dieksekusi sekitar pukul 00.25 WIB di Bukit Nirbaya Nusakambangan Cilacap Jawa Tengah
Penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme ini bertujuan untuk upaya mengembalikan rasa keadilan masyarakat. Pelaku harus dijatuhi derita yang berupa pidana yang dapat memberikan pengajaran bagi pelaku-pelaku tindak pidana terorisme lainnya menjadi jera. Dengan dijatuhi pidana mati, pelaku juga terhindar dari adanya tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat. Kemudian pidana mati juga berfungsi untuk dijadikan pelajaran bagi setiap masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana yang serupa, agar tidak dibebankan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Efek jera pidana mati merupakan faktor penting dalam upaya orang mengurungkan niatnya untuk melakukan tindak pidana. Sehingga jumlah tindak pidana terorisme dapat ditekan.182 Hingga saat ini Kejaksaan Negeri (Kejari) Denpasar baru sekali melakukan eksekusi mati terpidana kasus terorisme bom Bali. Wakil Kejaksaan Tinggi Made Suryatmaja mengatakan untuk seluruh Indonesia terdapat ratusan kasus yang dijatuhi pidana mati. Namun untuk wilayah Bali ada beberapa kasus diantaranya kasus narkotika dan pembunuhan berencana. Untuk kasus narkotika yaitu kasus Bali Nine yang dijatuhi pidana mati adalah Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, serta seorang warga negara asing kebangsaan Inggris Lindsay June Sandiford. Untuk kasus pembunuhan berencana putusan pidana mati dijatuhi pada pelaku pembunuhan
182
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, 2009, Kontroversi Hukuman Mati Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, Kompas, Jakarta, h.65
keluarga polisi di Karangasem yaitu Putu Suaka. Semua kasus tersebut sudah memiliki kekuatan hukum tetap (incrath).183
4.2. Pelaksanaan Pidana Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Terorisme Instrumen hukum internasional, khususnya ICCPR tidak sama sekali melarang pidana mati melainkan membatasi penerapannya. Hal itu dalam konteks Indonesia dikukuhkan dalam Putusan MK No 2-3/PUU-V/2007 yang menyatakan bahwa di masa yang akan datang perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati hendaklah memperhatikan empat syarat yang merupakan hal penting yaitu : 1. Pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif. 2. Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun. 3. Pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa. 4. Eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh.
183
Fajar Bali, 2013, Incrath Vonis Mati Segera Diproses, Fajar Bali, Tgl. 10 Desember, h. 2, Kolom 3
Dalam menjalankan tugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, ditunjuk sebagai pelaksana pidana mati yang dijatuhkan kepada terpidana berdasarkan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Kepolisian Negara Republik Indonesia menjalankan tugas sebagai pelaksana pidana mati, memiliki suatu peraturan yang memuat tata cara bertindak yang terarah dan terorganisir agar pelaksanaan pidana mati dilakukan secara profesional dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia. Peraturan tersebut yakni Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 12 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati. Dalam menjalankan tugas eksekusi mati pada ketiga pelaku terorisme bom Bali, digunakan acuan Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 38) yang kemudian ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden dengan Undang-Undang. Dalam persidangan kasus Bom Bali I, tim pengacara muslim yang diberikan kuasa mewakili ketiga terpidana mati bom Bali tersebut yang terdiri dari Wirawan Adnan, S.H.; H.M. Mahendradatta, S.H.,M.A., M.H.; H. Achmad Michdan, S.H.;
Akhmad Kholid, S.H.; Qadar Faisal, S.H.; Gilroy Arinoviandi, S.H.; Sutejo Sapto Jalu, S.H.; Hery Susanto, S.H.; Guntur Fattahillah, S.H.; dan Abdul Rahim, S.H., melakukan uji materiil UU No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer. Perkara yang diajukan oleh Tim Pembela Muslim yaitu mengajukan permohanan pengujian undang-undang tentang norma-norma yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 38) yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden dengan Undang-Undang. Dalam petitum Pemohon mengajukan permohonan pengujian formil dengan alasan-alasan sebagai berikut : 1. Bahwa Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 merupakan undang-undang yang pembentukannya didasarkan pada Penetapan Presiden Republik Indonesia. Penetapan Presiden a quo, kemudian menjadi undang-undang adalah karena diundangkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden dengan Undang-Undang. Penetapan Presiden a quo merupakan Penetapan Presiden yang dimaksudkan Pasal 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1969, yang menyatakan bahwa : “ Terhitung sejak disahkannya undang-undang ini, menyatakan penetapanpenetapan Presiden dan peraturan-peraturan Presiden sebagaimana termaksud dalam Lampiran IIA dan IIB undang-undang ini, sebagai undang-undang dengan
ketentuan, bahwa materi penetapan-penetapan Presiden, dan peraturan-peraturan Presiden tersebut ditampung atau dijadikan bahan bagi penyusunan undangundang yang baru. 2. Bahwa Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 juncto Undang-Undang No. 5 Tahun 1969 disahkan oleh Presiden Republik Indonesia dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong. 3. Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong bukanlah lembaga perwakilan rakyat, sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945, karena DPR GR dibentuk atas dasar Penpres dan anggotanya diangkat oleh Presiden, sedang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagaimana dimaksud oleh Pasal 19 Amandemen UUD 1945 anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. 4. Bahwa pembentukan undang-undang menurut UUD 1945 adalah sebagaimana domaksud dalam Pasal 20 Perubahan UUD 1945, namun pemnbentukan Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 juncto Undang-Undang No. 5 Tahun 1969 tidak sesuai dengan Pasal 20 UUD 1945. Dengan demikian tata cara pelaksanaan pidana mati dengan ditembak hingga mati oleh regu penembak, yang selama ini dijalankan di Indonesia merupakan tata cara yang didasarkan pada undang-undang yang pembentukannya tidak sesuai dengan UUD 1945. Menurut Pemohon, Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 juncto UndangUndang No. 5 Tahun 1969, adalah undang-undang yang materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian untuk undang-undangnya bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 28 I ayat (1) perubahan kedua yang menyatakan bahwa :
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak nuntuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Dengan melihat pasal tersebut, alasan keberatan Pemohon adalah sebagai berikut : 1. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer menentukan bahwa pidana mati dengan cara ditembak hingga mati. Kalimat ini menimbulkan tafsir bahwa kematian yang akan diterima oleh terpidana langsung terjadi dalam satu kali tembakan, namun harus dilakukan secara berkali-kali hingga dinyatakan mati. Dengan demikian, terjadi penyiksaan sebelum terpidana akhirnya mati. 2. Dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer menegaskan lebih lanjut atas kemungkinan tidak terjadinya kematian dalam satu kali tembakan, sehingga diperlukan tembakan pengakhir. Ini berarti bahwa sebelum tembakan pengakhir tersebut dilakukan, berarti undang-undang mengakui bahwa terpidana masih hidup, padahal terpidana sudah dalam keadaan berlumuran darah sehingga mengalami keadaan yang amat menyiksa, sebelum akhirnya mati dengan tembakan pengakhir.
3. Dalam hal menembakkan sasaran tembakan, terdapat dua sasaran yang harus dilakukan oleh regu penembak. Pada Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer, ditentukan bahwa sasaran ditembakan pada jantung terpidana. Sedangkan pada Pasal 14 ayat (4) dinyatakan bahwa sasaran ditembakkan pada kepala tepat di atas telinga terpidana sebagai tembakan pengakhir apabila terpidana dinyatakan belum mati. Dengan demikian, tata cara ini tidak memberikan kepastian akan tiadanya unsur penyiksaan dalam proses kematian terpidana. 4. Meskipun seorang warga negara Indonesia berstatus terpidana mati, namun menurut UUD 1945, khususnya Pasal 28 I ayat (1), tetap dijamin hak asasi manusianya, sehingga penyiksaan terhadapnya dengan menggunakan tata cara pelaksanaan pidana mati berdasarkan Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 merupakan pelanggaran atas hak konstitusionalnya. Dengan demikian materi pada undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Tim Pengacara Muslim dalam pengujian tersebut menghadirkan beberapa saksi ahli yang terdiri dari ulama, pastur, serta beberapa pakar dibidang ilmu yang diyakini akan dapat memberikan keterangan mengenai pelaksanaan eksekusi mati sesuai dengan keahliannya masing-masing. Menanggapi permohonan pengujian formil dari pihak Pemohon, Mahkamah Konstitusi memiliki pertimbangan-pertimbangan yang menjadi jawaban atas dalildalil Pemohon mengenai pengujian formil yang ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 dilihat dari bentuk hukumnya adalah memang benar semula Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 yang tidak dikenal dalam UUD 1945, karena UUD 1945 memang tidak mengatur produk hukum dengan nama Penetapan Presiden. Akan tetapi hal tersebut telah dikoreksi dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1969 atas perintah Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 dan Ketetapan MPRS Nomor XXXIX/MPRS/1968. Kedua Ketetapan MPRS tersebut isinya adalah perintah untuk melakukan peninjauan kembali terhadap status hukum atas Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden. Dengan melihat Konsideran Undang-Undang No. 5 Tahun 1969 dapat disimpulkan bahwa Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 termasuk Penetapan Presiden (Penpres) yang dinyatakan sebagai undang-undang, yaitu menjadi UndangUndang Nomor 2/PNPS/1964. Dengan demikian bentuk hukumnya sudah sesuai dengan UUD 1945. Dilihat dari prosedur pembentukannya, Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 tidak sesuai dengan UUD 1945, karena UUD 1945 memang tidak mengenal produk hukum Penetapan Presiden. Namun setelah Undang-Undang No. 5 Tahun 1969 menyatakan Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 berlaku, maka prosedur pembentukannya sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 yang mengungkapkan bahwa ditetapkan oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Mengenai status lembaga DPR GR, merupakan DPR yang sah pada awal Orde Baru sebelum DPR hasil pemilihan umum terbentuk. Presiden dan DPR GR pada
masa itu adalah Presiden dan DPR yang sah pada masa transisi ketatanegaraan dari Orde Lama ke Orde Baru dan telah diterima dan diakui oleh rakyat Indonesia. Dasar keberlakuan Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 hingga sekarang adalah Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Sehingga mengenai undang-undang yang baru yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan pidana mati belum ada, maka masih digunakannya Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 tersebut sebagai dasar pelaksanaan pidana mati. Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan pula terhadap dalil Pemohon yang berkaitan dengan uji materiil Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 tersebut di atas, khususnya Pasal 1, Pasal 14 ayat (3) dan ayat (4), dan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945. Pertimbangan pertama menanggapi hal tersebut, Mahkamah Konstitusi mengacu pada Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia). Dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan mengenai definisi penyiksaan yang telah merujuk dan mengutip Pasal 1 Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment yang telah diratifikasi tersebut. Definisi penyiksaan yang dimaksud adalah : “Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderiataan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan hukumannya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapa pun dan atau pejabat publik”. Rasa sakit yang disebut sebagai penyiksaan dalam pelaksanaan pidana mati, bukanlah sesuatu yang terjadi secara sengaja dan melawan hukum untuk tujuan tertentu di luar kehendak mereka yang dieksekusi. Rasa sakit yang timbul dan melekat dalam pelaksanaan pidana mati adalah sesuatu yang terjadi secara alamiah dan wajar. Rasa sakit tersebut akan timbul dan melekat dalam tiap cara pelaksanaan pidana mati, seperti halnya rasa sakit yang dialami oleh wanita yang melahirkan dengan tujuan medis. Ukuran yang harus dipedomani adalah menghindari pelaksanaan pidana mati yang menimbulkan penderitaan terpidana tersebut secara berkepanjangan. Siksaan yang dirasakan diukur bukan hanya dari sisi subjektif terpidana sendiri melainkan juga dari sisi objektif masyarakat. Pelaksanaan pidana mati dengan cara ditembak sesungguhnya dapat berlangsung dengan cepat apabila tembakan tepat mengenai jantung terpidana. Apapun cara yang digunakan baik itu dengan cara dipancung, digantung ataupun ditembak mati dapat menimbulkan kematian secara cepat jika dilakukan dengan tepat. Hal tersebut dikemukakan sesuai dengan keterangan dari
para ahli dibidang tersebut. Tidak ada satu cara pun yang menjamin tiadanya rasa sakit dalam pelaksanaannya, bahkan semuanya mengandung resiko terjadinya ketidaktepatan dalam pelaksanaannya. Maka permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum dan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer pada Pasal 1 dinyatakan bahwa pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan, dilakukan dengan ditembak sampai mati. Pada pasal-pasal berikutnya yang diatur dalam Bab II undang-undang tersebut dijelaskan mengenai tata cara pelaksanaan pidana mati tersebut. Eksekusi pidana mati tersebut dilaksanakan dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama. Namun apabila ditentukan lain oleh Menteri Kehakiman, pidana mati dapat tidak dilaksanakan dalam daerah hukum pengadilan dalam tingkat pertama. Pidana mati yang dijatuhkan atas dirinya beberapa orang di dalam satu putusan, dilaksanakan secara serempak pada waktu dan tempat yang sama, kecuali jika terdapat hal-hal yang tidak memungkinkan pelaksanaan tersebut. Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab untuk pelaksanaannya, kemudian memberikan nasehat kepada Kepala Polisi Daerah (KAPOLDA) tempat kedudukan pengadilan tingkat pertama tersebut. KAPOLDA kemudian menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati. Selain itu juga KAPOLDA bertanggung jawab atas
keamanan dan ketertiban sewaktu pelaksanaan pidana mati serta menyediakan tenaga-tenaga serta alat-alat yang diperlukan untuk itu. KAPOLDA atau perwira yang ditunjuk olehnya menghadiri pelaksanaan pidana mati tersebut bersama-sama dengan Jaksa Tinggi atau jaksa yang bertanggung jawab atas pelaksanaannya. Menunggu pelaksanaan pidana mati, Terpidana ditahan dalam penjara atau ditempat lain yang khusus ditunjuk oleh Jaksa Tinggi/Jaksa. Tiga kali dua puluh empat jam sebelum saat pelaksanaan pidana mati, Jaksa Tinggi/Jaksa memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana mati tersebut. Jaksa Tinggi/ Jaksa menerima keterangannya atau pesan terpidana apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu. Pembela terpidana atas permintaannya sendiri atau atas permintaan terpidana, dapat menghadiri pelaksanaan pidana mati. Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan empat puluh (40) hari setelah anaknya dilahirkan. Pidana mati dilaksanakan tidak dimuka umum dan dengan cara sesederhana mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden. Untuk pelaksanaan pidana mati, KAPOLDA membentuk sebuah regu penembak dari Brigade Mobile (Brimob) yang terdiri dari seorang Bintara (sekarang disebut dengan Brigadir), 12 orang tamtama di bawah pimpinan seorang perwira. Khusus untuk melaksanakan tugasnya ini, regu penembak tidak mempergunakan senjata organiknya. Regu penembak ini dibawah perintah Jaksa Tinggi/Jaksa sampai selesainya pelaksanaan pidana mati. Terpidana dibawa ke tempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan polisi yang cukup dan terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rohani. Terpidana
berpakaian sederhana dan tertib. Setibanya ditempat pelaksanaan pidana mati, Komandan Pengawal menutup mata si terpidana dengan sehelai kain, kecuali jika terpidana tidak menghendakinya. Terpidana dapat menjalani pidananya secara berdiri, duduk atau berlutut. Jika dipandang perlu, Jaksa Tinggi/ Jaksa dapat memerintahkan agar terpidana diikat tangan dan kakinya ataupun diikatkan pada sandaran yang khusus dibuat untuk itu. Setelah terpidana siap ditempat dimana dia akan menjalankan pidana mati, maka regu penembak dengan senjata lengkap menuju ketempat yang ditentukan oleh Jaksa. Jarak antara terpidana dan tempat regu penembak tidak boleh melebihi 10 meter dan tidak boleh kurang dari 5 meter. Apabila semua persiapan telah selesai, maka Jaksa memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati dan para pengiring terpidana menjauhkan diri dari terpidana. Dengan menggunakan pedangnya sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak memberikan perintah supaya bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan Regunya untuk membidik pada jantung terpidana dan dengan menyentakkan pedangnya ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak. Apabila terpidana belum menunjukkan tanda kematian maka dilakukan tembakan pengakhir dengan sasaran tembak pada kepala. Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana dapat minta bantuan seorang dokter. Untuk penguburan terpidana diserahkan kepada keluarganya atau sahabat terpidana, terkecuali jika berdasarkan kepentingan umum Jaksa memutus lain. Jika tidak ada kemungkinan pelaksanaan penguburan oleh keluarganya atau sahabat
terpidana maka penguburan diselenggarakan oleh Negara dengan cara agama/ kepercayaan yang dianut terpidana. Eksekusi pelaku tindak pidana terorisme dilaksanakan pada tanggal 10 November 2008 pukul 00.15. Eksekusi ketiga terpidana mati terorisme bom Bali dilakukan sesuai dengan tata cara pelaksanaan pidana mati yang diatur pada UndangUndang Nomor 2/PNPS/1964. Pelaksanaan pidana mati tersebut dilakukan di depan tiga regu tembak di Lembah Nirbaya, Pulau Nusakambangan Kabupaten Cilacap Jawa Tengah. Ketiga jenazah terpidana dimakamkan dikampung halaman mereka masing-masing.184 Tidak dilakukannya pelaksanaan pidana mati di Bali terhadap pelaku Bom Bali tersebut memiliki beberapa pertimbangan. Dalam wawancara yang dilakukan pada tanggal 18 Maret 2014, Jaksa Eddy Arta Wijaya yang merupakan salah satu perwakilan dari Kejaksaan Negeri Denpasar untuk melaksanakan pidana mati tersebut, pertimbangan itu adalah dari segi kemanan dan efisiensi, baik itu efisiensi waktu dan biaya. Pertimbangan keamanan tersebut ditujukan untuk keamanan pelaku dan pelaksanaan eksekusi tersebut. Selain itu, apabila dilaksanakan di Bali, hal ini akan memberikan citra bahwa pidana mati tersebut bersifat pembalasan dendam dari masyarakat Bali terhadap ketiga terpidana mati tersebut. Pertimbangan lainnya adalah untuk mengefisiensikan waktu dan biaya. Karena terpidana telah menjalani masa tahanan di LP Nusa Kambangan, apabila dilaksanakan di Bali kembali membutuhkan
184
Yon Artiono Arba’I, Op.cit, h.163
waktu perjalanan dan akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dalam perjalanan tersebut memiliki resiko yang cukup tinggi bagi keamanan terpidana dan petugas. Sependapat dengan Eddy Arta Wijaya, salah seorang Jaksa di Kejaksaan Negeri Denpasar Ni Luh Oka Ariani Adikarini menyatakan bahwa pertimbangan pelaksanaan eksekusi dilakukan di wilayah Nusa Kambangan dikarenanakan faktor keamanan dan biaya. Dalam pelaksanaan pidana mati, terdapat pula faktor penghambat yang dihadapi oleh aparat Kejaksaan. Salah satu faktor penghambat tersebut adalah dibutuhkannya waktu yang cukup lama untuk melaksanakan eksekusi terhadap terpidana. Hal tersebut terjadi karena adanya upaya hukum yang diajukan oleh pihak terpidana. Seperti yang terjadi pada kasus terorisme Bom Bali tersebut, ketiga terpidana mengajukan upaya Peninjauan Kembali (PK) hingga tiga (3) kali. Padahal pada saat itu upaya PK hanya bisa dilakukan satu (1) kali saja, namun untuk sekarang upaya PK dapat dilakukan hingga tiga (3) kali. Bentuk-bentuk pemidanaan yang dijatuhkan tidaklah terlepas dari latar belakang filosofi yang melahirkan teori-teori tujuan pemidanaan, maka apabila pidana mati dimaksudkan sebagai upaya pembalasan (Vergeldings Theorien) akan menimbulkan dua pandangan yaitu kecendrungan memuaskan atau dapat saja tidak memuaskan. Jika disesuaikan dengan upaya pembalasan, terpidana harus menerima penderitaan seimbang dengan korbannya. Sementara itu, tujuan pemidanaan yang lain adalah lebih menitikberatkan sebagai prevensi dengan maksud agar orang lain jera untuk tidak melakukan kejahatan.
Jika dilihat dari filosofi pemidanaan, menurut Hasoloan Sianturi saat penulis wawancara pada tanggal 28 Februari 2014 menyatakan bahwa, filosofi pemidanaan tersebut mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan jaman. Dilihat dari jaman terdahulu, filosofi pemidanaan ditekankan pada aspek pembalasan. Kemudian sesuai dengan perkembangan jaman, filosofi tersebut mengalami pergeseran, yaitu menekankan pada aspek rehabilitasi bagi pelaku tindak pidana. Tujuan pemidanaan selain memiliki unsur sebagai pencegahan, juga untuk memperbaiki terpidana, di samping mempertahankan tata tertib hukum. Pidana mati bertujuan sebagai pembalasan maupun pembelajaran bagi masyarakat agar masyarakat menjadi jera untuk tidak mengulangi atau meniru tindakan yang melanggar hukum. Hal ini terkait dengan teori Feurbach mengenai tekanan jiwa dalam usaha preventif terjadinya tindak pidana. Namun ternyata maksud dan tujuan itu tidak sepenuhnya tercapai sesuai dengan yang diharapkan, karena kasus tindak pidana terorisme tetap masih terjadi di Indonesia meskipun sudah terjadi eksekusi pidana mati terhadap pelaku kejahatan terorisme tersebut. Dalam wawancara yang penulis lakukan pada tanggal 17 Maret 2014 dengan Kasi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Denpasar Romulus Halolongan, memberikan pendapatnya mengenai tujuan dari suatu pidana. Berbagai jenis pidana, seperti pidana penjara ataupun pidana mati tidaklah memberikan efek apapun. Terkadang pemikiran seorang terdakwa suatu tindak pidana yang diancam atau divonis pidana mati akan berpikir tidak akan sampai dieksekusi. Hak tersebut dikarenakan masih adanya grasi, amnesty, dan abolisi dalam peradilan di Indonesia. Jadi dalam pemikiran masyarakat,
pidana mati itu hanyalah gertakan vonis, namun pelaksanaannya dapat dikurangkurangi menjadi lebih ringan. Berbeda dengan pemikiran masyarakat, para teroris memiliki keyakinan dan kebenarannya sendiri. Mereka tidak akan takut akan hukuman mati, karena dalam melancarkan aksinya tidak jarang para teroris bersedia mengorbankan nyawanya demi tujuan yang hendak mereka capai. Mengenai penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme, dapat dikatakan sebagai suatu sarana yang rasional, karena bertolak ukur dari adanya suatu keefektifan dari jenis pidana tersebut, dengan meletakkan pada keberhasilan suatu sarana dalam mencapai tujuan.185 Untuk melakukan evaluasi terhadap efektifitas dari general deterrence tidak mudah dilakukan, karena mekanisme pencegahan tersebut tidak diketahui dan tidak sedikit tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Tolok ukur yang digunakan untuk menentukan keberhasilan dalam mencapai suatu tujuan sanksi pidana
tersebut
adalah
aspek
kepentingan
masyarakat,
yaitu
memberikan
perlindungan pada masyarakat. Namun pengaruh pidana mati terhadap masyarakat secara keseluruhan merupakan terra incognita, suatu wilayah yang tidak diketahui.186 Oleh sebab itu dalam hal mencegah tindak pidana terorisme, penggunaa sanksi pidana mati sebagai sarana upaya pencegahan tidak dapat bekerja secara sendiri. Sehingga sangat dibutuhkan peranan sarana-sarana kontrol sosial untuk dapat mencegah tindak pidana terorisme, seperti orang tua, kebiasaan-kebiasaan, lingkungan, dan pemahaman agama serta moral. 185
Barda Nawawi Arief, 1994, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Universitas Diponegoro, Semarang, hal.95 186 Ibid, hal.101
Permasalahan terorisme tidaklah semata-mata bagaimana memberantas atau memerangi terorisme melalui tindakan-tindakan represif melainkan harus merupakan langkah komprehensif dan berkesinambungan untuk mencegah, meneliti, dan menangkal kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan terorisme, kegiatan teroris, dan organisasi teroris. Selain itu diperlukan pula upaya menghentikan pendanaan dan pembekuan aset-aset yang mendukung kegiatan teroris.187 Dalam hal penanggulangan terorisme tidak hanya mencegah adanya terorisme dari segi paham maupun perwujudan aksi teror, tetapi juga siap menghadapi hingga meniadakannya. Penanggulangan terorisme berkaitan erat dengan kepentingan nasional, keselamatan bangsa dan negara. Upaya penanggulangan memerlukan penanganan dan keahlian khusus mencakup strategi, bentuk, cara, serta alat yang digunakan. Romulus
Halolongan
juga
memberikan
pendapatnya
mengenai
penanggulangan kejahatan, khususnya dalam tindak pidana terorisme. Sebelum melakukan penanggulangan, hal yang paling utama dilakukan adalah pencegahan. Beberapa upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Membuat sistem hukum yang diperuntukkan agar dapat mencegah tindak pidana terlebih dahulu. Terlepas dari adanya pidana atau sanksi pidana untuk terdakwa tindak pidana terorisme. Memperbaiki atau memperbaharui sistem hukum terlebih dahulu agar dapat bekerja secara berkesinambungan dalam upaya pencegahan tindak pidana terorisme. 187
Romli Atmasasmita, Op.cit, h.100
2. Dalam upaya pencegahan yang kedua, mengamankan aliran dana yang diduga untuk melakukan tindak pidana terorisme 3. Memiliki tim khusus untuk mencegah dan mngurus tindak pidana terorisme untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat dan negara. Sebagai contoh, di negara Amerika memiliki tim khusus yang bernama FBI untuk mencari, melacak, menangkap, dan mengurus tindakan lainnya dari pelaku suatu tindak pidana. 4. Dipertimbangkannya anggaran untuk menanggulangi suatu tindak pidana, khususnya terorisme. Karena untuk pelaksanaan operasionalnya membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan bersifat diluar dugaan. Beberapa
faktor
kendala
yang
dihadapi
dalam
pencegahan
dan
penanggulangan tindak pidana terorisme di Indonesia adalah sebagai berikut : 1) Belum optimalnya penegakan hukum dalam penanggulangan kejahatan terorisme. 2) Rendahnya dukungan masyarakat dalam memerangi kejahatan terorisme. Hal ini diperkuat dengan adanya sekelompok masyarakat yang memberikan dukungan kepada kelompok teroris. Sehingga terlihat semakin rendahnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia serta rasa kesadaran bela negara. 3) Masih tingginya angka kemiskinan di Indonesia sebagai faktor pemicu suburnya gerakan terorisme di Indonesia 4) Kurangnya dukungan media dalam pemberantasan terorisme
5) Kurangnya kerja sama antar lembaga penegak hukum dalam penanggulangan dan pemberantasan terorisme 6) Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang disalahgunakan oleh kelompok teroris. 7) Kurang diperbaharuinya Undang-Undang Terorisme untuk mengatur situasi dan
kondisi
masyarakat
serta
peristiwa
terorisme
dan
yang
melatarbelakanginya sekarang karena dibandingkan dengan saat situasi dan kondisi ketika penyusunan undang-undang tersebut sudah jauh berbeda. Dengan berpedoman pada adagium dari Francis Bacon, suatu undang-undang dapat dijadikan upaya pencegahan dini dengan tujuan mengurangi pelanggaran undang-undang. Keseriusan
pemerintah
Indonesia
dalam
menanggulangi
terorisme
ditunjukkan dengan menghadirkan pasukan khusus antiteror Tentara Nasional Indonesia (Kopassus). Sesuai dengan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Pasal 7 Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dijelaskan mengenai peran dan tugas yang melibatkan TNI dalam penanggulangan terorisme. TNI dalam penanggulangan terorisme memiliki tiga (3) pola operasi. Pola pertama adalah operasi pencegahan yang dilaksanakan untuk mencegah niat
permusuhan, baik antar kelompok masyarakat dengan pemerintah (konflik vertikal) maupun antar masyarakat (konflik horizontal).188 Pola kedua adalah operasi penindakan, yaitu dilaksanakan apabila operasi pencegahan tidak berhasil. Operasi penindakan dalam rangka mengatasi konflik vertikal bertujuan untuk membatasi ruang gerak teroris, pemberontak, atau perusuh serta menggagalkan dan mengatasi berbagai langkah destruktif musuh. Pelaksanaan operasi penindakan dilakukan dengan mendayagunakan segala potensi yang tersedia, baik itu dari segi personil maupun alat sestem senjata dan sistem sosial.189 Dihadapkan dengan ancaman terorisme sebagai musuh bersama, operasi pencegahan dilakukan oleh TNI sesuai dengan rencana yang ditetapkan untuk membatalkan atau mencegah aksi terorisme. Jadi aspek preventif merupakan langkah penting pada tahapan ini. Dalam konteks ini diperlukan kebijakan untuk merumuskan kebijakan pencegahan dengan mempertimbangkan pengalaman sejarah masa lalu, perbandingan penanganan di berbagai negara, dan mempertimbangkan aspek sosial budaya masyarakat. Pola ketiga adalah operasi pemulihan keamanan, yakni dilaksanakan untuk konsolidasi kekuatan, rehabilitasi, dan stabilisasi daerah yang rusak baik secara fisik, maupun non fisik akibat konflik sebelumnya. Dikaitkan dengan penanggulangan terorisme pada tahap pemulihan, TNI dapat berkoordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). BNPT ini diatur dalam Peraturan Presiden No.
188 189
Marthen Luther Djari, 2013, Terorisme dan TNI, CMB Press, Jakarta, h.155 Ibid, h.152-154
46 Tahun 2010 dengan mengemban tugas strategis dalam pemberantasan terorisme dengan
menyusun
kebijakan,
strategi
dan
upaya-upaya
nasional
bidang
penanggulangan terorisme serta mengkoordinasikan dengan instansi pemerintah terkait.190 Indonesia sebagai bagian dari anggota Asean, mengalami kemajuan dalam hubungan antara Negara anggota Asean di dalam Konvensi Asean tersebut adalah pengakuan terhadap isu yurisdiksi kriminal (State Jurisdiction) yang bersifat transnasional selain yurisdiksi teritorial dan nasional dalam menangani pencegahan dan pemberantasan terorisme lintas batas Negara. Pengakuan yurisdiksi kirminal transnasional ini sejalan dengan Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional Teorganisasi Tahun 2000 yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang RI No. 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan BangsaBangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi). 191 Menurut Romli Atmasasmita, dalam tulisannya yang berjudul Pemberantasan Terorisme dari Aspek Hukum Nasional dan Internasional Bahan Pendidikan dan Pelatihan Hakim Perkara Terorisme dan Peradilan Umum Seluruh Indonesia, yang diselenggarakan pada tanggal 10-15 Maret 2014 di Jakarta, disebutkan bahwa dalam strategi
menghadapi
terorisme
di
Indonesia,
diwujudkan
melalui
konsep
deradikalisasi yang memiliki asumsi bahwa terorisme identik dengan radikalisme.
190 191
Ibid, h.160 Romli Atmasasmita I, Op.cit, h. 16
Sehingga upaya mengurangi sikap dan perilaku radikal merupakan tujuan utama untuk mencegah adanya ideologi terorisme yang berkembang. Strategi baru pencegahan terorisme perlu diperkuat dengan perubahan paradigma baik dalam hukum pidana materiel dan hukum pidana formil. Perubahan hukum pidana materiel dilaksanakan dengan beberapa langkah sebagai berikut: a. Menetapkan instrumen internasional berkaitan dengan terorisme sebagai tindak pidana di dalam hukum nasional; b. Kriminalisasi dengan berpegang teguh pada prinsip hukum dan ICCPR serta mengkriminalisasi pendanaan untuk terorisme c. Merumuskan kembali ketentuan tentang “partisipasi” dan “conspiracy” serta konsep hukum tentang “recruitment” dalam kelompok teroris d. Menegaskan kembali kepemilikan barang-barang untuk tujuan tindakan terorisme Perubahan hukum pidana formil dilaksanakan dengan cara sebagai berikut: a) Mengintegrasikan
mekanisme
hukum
materiil,
hukum
formal
dan
mengintensifkan informasi dari masyarakat serta perlindungan saksi. b) Pengendalian dengan membolehkan laporan hasil intelijen sebagai alat bukti c) Menggiatkan teknik penyadapan dan pengawasan judicial d) Merumuskan kembali masa penahanan dan teknik interogasi e) Memperkuat langkah anti-pendanaan terorisme
Selain perubahan hukum pidana materiel dan formil di atas, untuk memperkuat implementasinya, diperlukan mekanisme kerjasama internasional yang memadai sehingga diharapkan “proactive law enforcement” memberikan hasil yang signifikan dalam penuntasan kasus terorisme. Dalam suatu wawancara siaran langsung pada salah satu televisi swasta, pada acara Apa Kabar Indonesia yang tayang pada tanggal 14 Desember 2013 pukul 20.44 WITA, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), H. Ansyaad Mbai menyatakan bahwa pemerintah Indonesia sudah mengutamakan tindakan pencegahan terlebih dahulu dalam upaya memberantas dan menanggulangi terorisme di Indonesia. Hal yang harus dicegah adalah paham-paham radikal yang merupakan embrio dari terorisme. Paham-paham radikal tersebut adalah paham takfir yang memandang bahwa orang lain itu adalah kafir dan pemahaman jihad adalah perang, namun di Indonesia bukanlah tempat perang. Jadi di sini perlu diluruskan pemahaman mengenai jihad dan takfir itu sendiri. Upaya yang dilakukan adalah dengan melibatkan peran serta seluruh masyarakat Indonesia, baik itu dari aparat pemerintah, tokoh agama, pendidik dan LSM dengan melalui sarana tempat ibadah, lembaga pendidikan, dan LAPAS. Dalam memerangi paham radikal ini diperlukan sikap toleransi dan saling mendengarkan antar sesama umat manusia. Dalam tulisannya yang berjudul Radikal Terorisme di Indonesia, H. Ansyaad Mbai juga menyampaikan pendapatnya dalam Pendidikan dan Pelatihan Hakim PerkaraTerorisme dan Peradilan Umum Seluruh Indonesia di Jakarta pada Maret
2014, menuliskan bahwa penanggulangan radikalisme dan terorisme dapat berjalan optimal, dengan memaksimalkan partisipasi aktif dari berbagai komponen masyarakat untuk bersatu padu memberantas terorisme. Hal tersebut dilakukan dengan menggunakan dua hal yaitu Hard Approach yang merupakan pendekatan dengan menekankan pada penjaminan keamanan dan penegakan hukum, dan Soft Approach yaitu pendekatan yang komprehensif, persuasif, penuh kelembutan, dan kasih sayang dalam dalam penanggulangan radikalisme dan terorisme.
BAB V PENUTUP 5.1
Simpulan Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka dapat ditarik simpulan terhadap
kedua permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Hakim dalam menjatuhkan pidana mati bagi ketiga pelaku tindak pidana terorisme bom Bali memiliki pertimbangan-pertimbangan yang didasarkan atas perspektif yuridis yaitu terbukti melanggar Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juncto Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan KUHP, perspektif filosofis yaitu tindak pidana terorisme bertentangan dengan rasa kemanusiaan yang beradab, dan perspektif sosiologis yaitu merugikan ekonomi, sosial, politik, hubungan
internasional
maupun
psikologis
masyarakat.
Pertimbangan-
pertimbangan tersebut tidak terlepas dari pertimbangan hati nurani hakim. Hakim juga menilai secara objektif terhadap tindak pidana yang dilakukan, karena tindak pidana terorisme merupakan kejahatan yang terorganisir dan tergolong kejahatan luar biasa. Selain itu hakim juga memiliki pertimbangan yang bersifat memberatkan bagi ketiga terdakwa. Sehingga sanksi pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme jika dilihat dari peranan pelaku, dampak atau akibat perbuatan tersebut maka penjatuhan pidana mati adalah wajar dan sah.
2.
Dalam hal sebagai upaya pencegahan tindak pidana terorisme, penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme dapat dijadikan upaya pencegahan, namun belum berjalan secara optimal. Efek jera diberikan bagi masyarakat, dengan maksud agar masyarakat memahami dan mengetahui begitu dasyat dan luar biasanya dampak dari tindakan terorisme. Sehingga memiliki konsekuensi yang besar pula yaitu adanya pidana mati. Pidana mati merupakan upaya terakhir dalam usaha pencegahan dan pemberantasan terorisme.
5.2 1.
Saran Untuk memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana terorisme yang semakin canggih, sebaiknya diperkuat dengan suatu Undang-Undang Terorisme yang telah diperbaharui sesuai dengan perkembangan jaman dan teknologi informatika.
Bagi
Hakim
diharapkan
tetap
memperhatikan
dan
mempertimbangkan putusan kasus terorisme terkait dengan putusan-putusan terdahulu untuk menjaga konsistensi putusan demi kepastian hukum dalam mengadili perkara terorisme yang terjadi di Indonesia. 2.
Sebagai sarana pencegahan dalam tindak pidana terorisme, sebaiknya pidana mati tetap dipertahankan sebagai pidana terberat. Selain lebih mengoptimalkan jenis pidana yang diberikan kepada para pelaku tindak pidana terorisme, tindakan pencegahan juga harus didukung lebih oleh kekuatan intelijen nasional dan aparat hukum terkait agar dapat berjalan secara sistematis dan berkelanjutan. Penting untuk mensosialisasikan pemahaman nilai-nilai agama secara benar dan utuh kepada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU : Abidin, Zainal, 2005, Position Paper Advokasi RUU KUHP Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan Dalam Rancangan KUHP, Elsam, Jakarta Ali, H.Zainuddin,M.A, 2010, Metode Penelitian Hukum, Cetakan ke-2, Sinar Grafika, Jakarta Ali, Mahrus, 2012, Hukum Pidana Terorisme Teori dan Praktik, Gramata Publishing, Jakarta Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Ed.1-4, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Ancel, March, 1965, Social Defence a Modern Approach Criminal Problem, Rontledge and Kega Paul, London Andenaes, Johannes, 1965, The General Parts of the Criminal Law of Norway, Frend B Rthman and Co, Swett Maywell Ltd, London Araf, Al, dkk, 2010, Menggugat Hukuman Mati di Indonesia, Imparsial, Jakarta Marjono Reksodiputro, 1994, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku III, Pusat Pelayanan Keadilan dan Bantuan Hukum Universitas Indonesia, Jakarta Arief, Barda Nawawi, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung __________________, 1994, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Universitas Diponegoro, Semarang Arba’i, Yon Artiono 2012, Aku Menolak Hukuman Mati Telaah Atas Penerapan Pidana Mati, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta Ashshofa, Burhan, 1998, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Kedua, PT Rineka Cipta, Jakarta Atmasasmita, Romli, 2004, Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional, Cv. Utomo, Bandung
AZ, Yahya, 2007, Problematika Penerapan Pidana Mati dalam Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM), PUSHAM UII, Yogyakarta Bakhri, Syaiful, 2009, Perkembangan Stelsel Pidana Indonesia, Total Media, Yogyakarta Chazawi, Adami, 2011, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana Pelajaran Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta Djokosutono, 1982, Kuliah Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2009, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar Bali Friedman, 1960, Legal Theory, Stren & Stou Limited, London Fuady, Munir, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung Gautama, Sudargo, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung Gofar, Fajrimei A., 2005, Position Paper Advokasi RUU KUHP Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP, Elsam, Jakarta Hadjon
dkk, 2002, Pengantar University,Yogyakarta
Administrasi
Negara,
Gajah
Mada
Hamzah, Andi, 1986, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi, Cetakan Pertama, PT Pradnya Paramita, Jakarta ____________, 1994, Azaz-Azaz Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta Kaligis, O.C, 2003, Terorisme:Tragedi Umat Manusia, O.C Kaligis & Associates, Jakarta Kusnadi, Moh., dan Harmaily Ibrahim, 1993, Hukum Tata Negara Indonesia. Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia dan CV. Sinar Bakti, Jakarta Lamintang, Djisman Samosir, 1976, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung Lubis, Todung Mulya dan Alexander Lay, 2009, Kontroversi Hukuman Mati Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, Kompas, Jakarta Luther Djari, Marthen, 2013, Terorisme dan TNI, CMB Press, Jakarta
Manan, Abdul, 2006, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenede Media, Jakarta Manan, Bagir, 2007, Menjadi Hakim Yang Baik, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta Martosoewignjo, Sri Soemantri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung Marwan, M., dan Jimmy. P, 2009, Kamus Hukum; Dictionary Of Law Complete Edition, cetakan pertama, Reality Publisher, Surabaya Masyhar, Ali, 2009, Gaya Indonesia Menghadang Terorisme, Cv. Mandar Maju, Bandung Mubarok, Muna Madrah, 2012, Stigma Media dan Terorisme, Bandar Publishing, Aceh Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung Muhtaj, Majda El, 2009, Dimensi-Dimensi HAM, Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Rajawali Pers, Jakarta Muladi, 2003, Pengkajian Hukum Tentang Asas-Asas Pidana Indonesia Dalam Perkembangan Masyarakat Masa Kini dan Mendatang, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta ______, 1995, Hak Azasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang ______, dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, PT. Alumni, Bandung Nasution, Aulia Rosa, 2012, Terorisme Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Dalam Perspektif Hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta Packer, Herbert L. 1968, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press, California Priyatno, Dwidja, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, PT.Refika Aditama, Bandung
Prodjodikoro, Wirjono, 1989, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Eresco, Bandung Rasjidi, Lili dan B. Arief Sidharta, 1989, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, Remadja Karya, Bandung Rawls, John, 1971, A Theory of Justice, The Belknap Press of Harvard of Harvard University Press, Cambridge Massachusetts Reksodiputro, Marjono, 1994, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku III, Pusat Pelayanan Keadilan dan Bantuan Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. Remmelink, Jan, 2003, Hukum Pidana : Komentar atas Pasal-Pasal dari Kitab UU Hukum Pidana dan Padanannya dalam Kitab UU Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Media Tama, Jakarta Rifai, Ahmad, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta Riyanto, Astim, 2006, Teori Konstitusi, Yapemdo, Bandung Sahetapy, J.E., 1979, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Alumni, Bandung Sakidjo, et. Al., 1990, Hukum Pidana; Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Ghalia Indonesia, Jakarta Saptomo, Ade, 2009, Pokok-Pokok Metodelogi, Penelitian Hukum Empiris Murni, Sebuah Alternatif, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta Sianturi, S.R., 1996, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Alumni, Jakarta Soejono dan H. Abdurrahman, 1999, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Pertama, Rineka Cipta, Jakarta Soesilo, R. 1965, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta KomentarKomentarnya lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor Sholehuddin, M., 2007, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta Suarda, I Gede Widhiana, 2011, Hukum Pidana:Materi Penghapus, Peringanan dan Pemberat Pidana, Bayu Media, Jember
Subawa, I Made dkk, 2005, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Wawasan, Denpasar Suggono, Bambang, 2005, Metodelogi Penelitian Hukum, Cet.7 , PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta Tongat, 2004, Pidana Seumur Hidup (Dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia), UMMPress, Malang Utari, Sri, 2006, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar Wahid, Abdul, Sunardi, Muhammad Imam Sidik, 2004, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM, dan Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung Waluyo, Bambang, 2004, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta Wibowo, Ari, 2012, Hukum Pidana Terorisme Kebijakan Formulatif Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta Widnyana, I Made, 1988, Pidana dan Permasalahannya, Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar ________________, 1992, Sari Kuliah Hukum Pidana II, Yayasan Yuridika Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar Zulfa, Eva Achjani, Bandung
2011, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubak Agung,
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2012 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakukan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002.
DISERTASI : Artha, I Gede, 2012, Reformulasi Pengaturan Putusan Bebas Dan Upaya Hukumnya Bagi Penuntut Umum Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.
TESIS : Wicaksana, Gede Agung Patra, 2008, Kebijakan Pembrantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia (Tesis), Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar.
LAIN-LAIN Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III Depdiknas, 2001, Balai Pustaka Bahan Pendidikan dan Pelatihan Hakim Perkara Terorisme dan Peradilan Umum Seluruh Indonesia yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 10-15 Maret 2014
MAJALAH DAN KORAN Fajar Bali, 2013, Incrath Vonis Mati Segera Diproses, Fajar Bali, Tgl. 10 Desember
INTERNET : M. Lutfi Chakim, 2011, Ruang Lingkup Hak Sipil dan Politik Dalam Konstitusi, ICCPR, dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, http://lutfichakim.blogspot.com/2011/08/ruang-lingkup-hak-sipil-danpolitik.html, diakses tanggal 10 Maret 2012. Makaarim, 2007, Beberapa Pandangan tentang Hukuman Mati (Death Penalty) dan Relavansinya dengan Perdebatan Hukum di Indonesia, http://makaarim.wordpress.com/2007/10/22/beberapa-pandangan-tentanghukuman-mati-death-penalty-dan-relevansinya-dengan-perdebatan-hukum-diindonesia/, diakses tanggal 8 Maret 2012. http://www.kejaksaan.go.id/laporan_tahunan.php?idc=7&idsc=5
DAFTAR INFORMAN 1. Nama
: Hasoloan Sianturi, S.H., M.H
TTL
: Sisakae / 01 Agustus 1959
NIP
: 19590801 198612 1 001
Jabatan
: Hakim Pengadilan Negeri Denpasar
Pendidikan: S2
2. Nama TTL
: Cening Budiana, S.H : Bebetin / 21 Juli 1959
NIP Jabatan
: 19590721 198803 1 002 : Hakim Pengadilan Negeri Denpasar
Pendidikan: S1
3. Nama TTL
: Putu Gde Hariadi, S.H., M.H : Bangli / 04 Juli 1970
NIP Jabatan
: 19700704 199403 1 002 : Hakim Pengadilan Negeri Denpasar
Pendidikan: S2
4. Nama TTL NIP
: Romulus Halolongan, S.H : Jakarta / 29 Agustus 1972 : 19720829 199803 1 005
NRP.
: 69872083
Jabatan
: Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri Denpasar
5. Nama TTL NIP
: Eddy Arta Wijaya, S.H : Kintamani / 03 November 1974 : 197410031999031001
NRP.
: 69974144
Jabatan
: Kasubsi Penuntutan Pidum Kejaksaan Negeri Denpasar
6. Nama TTL NIP
: Ni Luh Oka Ariani Adikarini, S.H., M.H : Denpasar / 25 Januari 1974 : 197401252003122003
NRP.
: 40474316
Jabatan
: Jaksa Pidum Kejaksaan Negeri Denpasar