RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor /PUU-VII/2009 Tentang UU Tindak Pidana Terorisme “Tindak pidana terorisme”
I.
PARA PEMOHON 1. Umar Abduh; 2. Haris Rusly; 3. John Helmi Mempi; 4. Hartsa Mashirul H.R, selanjutnya disebut Para Pemohon.
Kuasa Hukum: Ulung Purnama, S.H., Malvin Barimbing, S.H., Royke Bagalatu, S.H. dan Ridwan Sihombing, S.H. , Para Advokat yang tergabung dalam “Pusat Advokasi Publik” berkantor di Graha Permata Pancoran Blok A-1, Jl. Raya Pasar Minggu Kav. 32, Pancoran, Jakarta Selatan-12780.
II.
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI : Pemohon dalam permohonan sebagaimana dimaksud menjelaskan, bahwa
ketentuan yang
mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang adalah : ⌧ Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
⌧ Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ”menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
III. KEDUDUKAN PEMOHON (LEGAL STANDING) Bahwa menurut ketentuan Pasal 51 Ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, maka orang atau pihak dimaksud
1
haruslah; a. menjelaskan kualifikasinya dalam permohonannya, yaitu apakah yang sebagai perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum, atau lembaga negara; b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, dalam kualifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf (a), sebagai akibat diberlakukannya undang-undang yang dimohonkan pengujian Atas dasar ketentuan tersebut maka dengan ini Pemohon perlu terlebih dahulu menjelaskan kualifikasinya, hak konstitusi yang ada pada Pemohon, beserta kerugian spesifik yang akan dideritanya secara sebagai berikut : Para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.
IV.
NORMA-NORMA YANG DIAJUKAN UNTUK DIUJI. A. NORMA MATERIIL - Sebanyak 2 (dua) norma, yaitu : 1. Pasal 5 “Tindak pidana terorisme yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dikecualikan dari tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik, dan tindak pidana dengan tujuan politik yang menghambat proses ekstradisi”.
2. Pasal 17 ayat (1) “Dalam hal tindak pidana terorisme dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya”.
3. Pasal 17 ayat (3) “Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus”.
2
4. Pasal 45 “Presiden dapat mengambil langkah-langkah untuk merumuskan kebijakan dan langkah-langkah operasional pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang ini”.
B. NORMA UUD 1945 SEBAGAI ALAT UJI -
Sebanyak 5 (lima) norma, yaitu : 1.
Pasal 27 ayat (3) “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.”
2.
Pasal 28D ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
3.
Pasal 28G ayat (1) “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekeuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”
4.
Pasal 28I ayat (4) “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”
5.
Pasal 30 ayat (1) “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha-usaha pertahanan dan keamanan negara”.
V.
Alasan-Alasan Pemohon Dengan Diterapkan UU a quo Bertentangan Dengan UUD 1945, karena : 1. bahwa Pasal 5 UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme telah mengacaukan dan tidak memberi kejelasan hukum karena memisahkan Aksi Terorisme dari tujuan, motif dan tindakan politik. Padahal Aksi Terorisme tidak mungkin bisa dipisahkan dari tujuan, motif dan tindakan politik atau ideologis. Mengingat Aksi Terorisme merupakan kegiatan yang tidak terpisah dengan tujuan, motif dan tindakan politik - ideologis. Mengingat Aksi Terorisme yang terjadi di Indonesia terbukti tidak ada yang bermotif perdata, pidana atau
3
kriminal, bahkan aksi-aksi terorisme yang terjadi di Indonesia tersebut senyatanya merupakan ide, agenda serta dikendalikan dan didanai pihak asing (luar negeri) sehingga Aksi Terorisme sudah masuk dalam kategori sebagai fakta aksi subversif terhadap NKRI. Pasal 5 UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang mengecualikan dari tujuan, motif dan tindakan politik maka secara otomatis Pasal 5 UU Tindak Pidana Terorisme tersebut menjadi alasan kekebalan hukum bagi para pelaku aksi terorisme, jika aksi terorisme tersebut dilakukan didasarkan dan atau diatasnamakan sebagai tindakan dengan motif dan tujuan politik. Kondisi dan kedudukan hukum dalam Pasal 5 UU Tindak Pidana Terorisme seperti ini jelas bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
2. bahwa secara langsung atau tidak langsung seseorang yang melakukan tindakan teror dengan tujuan dan motif politik memiliki derajat yang lebih tinggi serta kekebalan hukum dibandingkan warga negara Indonesia lainnya, sehingga hukum memberi keabsahan kepada para teroris untuk melakukan tindakan apapun, termasuk aksi terorisme yang mengusung dan melaksanakan agenda asing atau subversif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menimbulkan keresahan, kekacauan hukum, potensi ancaman serta hilangnya rasa aman sebagaimana diamanatkan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
3. bahwa Pasal 17 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme secara jelas justru memberi kekebalan hukum kepada para pelaku aksi terorisme, jika aksi teror yang dilakukan tersebut didasarkan dan atau diatasnamakan sebagai tindakan atas perintah resmi suatu organisasi tertentu atau disebut korporasi, artinya manakala suatu korporasi membayar sekelompok orang untuk melakukan tindak pidana teror kemudian korporasi tersebut mengakui secara resmi dan sah bahwa aksi terorisme tersebut "...dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi. dan sekalipun akibat dari tindakan teror tersebut menimbulkan korban jiwa maupun harta benda, maka perbuatan tersebut tidak dapat dipidanakan kepada sekelompok orang yang melakukan aksi teror tersebut karena menurut pasal ini "... tuntutan dan penjatuhan pidana dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.".
4. bahwa Pasal 17 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme akan dan telah melukai rasa keadilan dalam masyarakat, mengingat hal ini terbukti bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Setidaknya pasal ini mengatur dan menetapkan secara sah telah 'melepaskan tuntutan' pidana kepada pelaku teror karena secara sengaja mengalihkan tuntutan hukum dan penjatuhan pidana hanya berlaku terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. Akibat adanya pasal ini jelas akan memicu tumbuhnya teroris bayaran, baik yang lepas dari struktur organisasi atau terikat dengan suatu korporasi untuk melakukan
4
aksi terorisme, sepanjang tuntutan hukum dan penjatuhan pidana diambil alih oleh suatu korporasi. Dengan demikian hal ini akan menimbulkan kekacauan hukum dan potensi keresahan, ancaman atau hilangnya rasa aman sebagaimana diamanatkan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
5. Bahwa Pasal 17 ayat (3) UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, karena batasan pengertian "pengurus" menjadi tidak jelas dimana tanggungjawab hukum bagi masing-masing pelaku, karena dalam prinsip hukum pidana: Tidak ada hukuman tanpa kesalahan. Maka selain hal itu akan melukai rasa keadilan dalam masyarakat, keadaan ini terbukti telah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pengalaman menimpakan suatu kesalahan terhadap "pengurus" secara membabibuta telah dialami bangsa Indonesia pada tragedi 1965, pada saat itu menjadi tidak jelas siapa individu yang harus memikul tanggung jawab hukum atas kesalahan yang dituduhkan kepada Partai Komunis Indonesia, sehingga selain mengakibatkan terjadinya pembantaian terhadap "pengurus" korporasi juga terjadi proses peradilan yang tidak terukur dan berkeadilan karena telah mengorbankan "pengurus' Partai Komunis Indonesia hingga sampai di tingkat desa yang sejatinya tidak terhubung dengan tanggung jawab hukum yang harus mereka pikul.
6. bahwa Pasal 45 UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 mengingat kata "dapat" memiliki makna "tidak wajib" sehingga keadaan ini bertentangan dengan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, dengan demikian menjadi jelas bahwa "mengambil langkah-langkah operasional pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini" merupakan tugas dan tanggung jawab negara yang wajib dijalankan oleh Pemerintah.
7. bahwa dalam UU No 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak mengatur dan menetapkan pasal-pasal tentang kewenangan dan monopoli dalam pelaksanaan pemberantasan aksi terorisme kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia, demikian halnya dengan UU Kepolisian No 2 Tahun 2002 juga tidak mengatur dan menetapkan pasal tentang kewenangan Polri terhadap pembertantasan aksi Terorisme tersebut. Maka dengan disahkannya UU TNI No 34 Tahun 2004 September 2004 yang secara tegas dan jelas mengatur tentang Tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan a. Operasi Militer untuk perang; b. Operasi militer selain perang, yaitu :1. Mengatasi gerakan separatis bersenjata ;2. Mengatasi pemberontakan bersenjata; 3. Mengatasi aksi terorisme; 4. Mengamankan wilayah perbatasan; 5. Mengamankan obyek
5
vital nasional yang bersifat strategis; 6. Melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri; 7. Mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya.
8. dengan tumpang tindih dan kekacauan pelaksanaan serta bertentangannya UU No 15 Tahun 2003 dengan UU TNI No 34 Tahun 2004 dan UUD 1945 kiranya hal ini cukup alasan bagi Mahkamah untuk membatalkan UU No 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tersebut.
VI.
PETITUM 1. Mengabulkan Permohonan Para Pemohon untuk sebagian atau seluruhnya. 2. Menyatakan bertentangan dengan UUD 1945, pasal-pasal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang (LNRI Nomor 106 Tahun 2002 dan TLNRI Nomor 4284 Tahun 2003) yang membuka peluang tindak pidana terorisme dapat dilakukan dengan dalih politik atau dengan dalih perintah dari korporasi (organisasi) dan juga peraturan yang membatasi alat-alat Negara RI selain Kepolisian RI, untuk dapat melaksanakan tugas pokoknya melakukan operasi militer selain perang dalam mengatasi aksi terorisme, yang menyebabkan sistem perlindungan negara kepada warga negara terhadap ancaman aksi terorisme menjadi tidak maksimal, yaitu: a. Pasal 5 yang berbunyi: " Tindak pidana terorisme yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dikecualikan dari tindak pidana politik, tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik, dan tindak pidana dengan tujuan politik, yang menghambat proses ekstradisi."; b. Pasal 17 ayat (1) yang berbunyi: "Dalam hal tindak pidana terorisme dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya."; c. Pasal 17 ayat (3) yang berbunyi: "Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus."; d. Pasal 45 sepanjang mengenai kata "dapat". 3. Menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat
6
hukumnya pasal-pasal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang (LNRI Nomor 106 Tahun 2002 dan TLNRI Nomor 4284 Tahun 2003) berikut ini: a. Pasal 5 yang berbunyi: " Tindak pidana terorisme yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dikecualikan dari tindak pidana politik, tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik, dan tindak pidana dengan tujuan politik, yang menghambat proses ekstradisi."; b. Pasal 17 ayat (1) yang berbunyi: "Dalam hal tindak pidana terorisme dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya."; c. Pasal 17 ayat (3) yang berbunyi: "Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus."; d. Pasal 45 sepanjang mengenai kata "dapat". 4. Menyatakan pasal-pasal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang (LNRI Nomor 106 Tahun 2002 dan TLNRI Nomor 4284 Tahun 2003) yang dikabulkan menjadi berbunyi sebagai berikut:
Pasal 45: "Presiders mengambil langkah-langkah untuk merumuskan kebijakan dan langkahlangkah operasional pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini." 5. Dengan kekacauan dan tumpang tindih kewenangan pelaksanaan pemberantasan aksi terorisme antara UU No 15 Tahun 2003 dengan dengan UU TNI No 34 Tahun 2004 dan UUD 1945 maka patut kiranya Mahkamah membatalkan secara keseluruhan terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. 6. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
7
ATAU Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)
8