ANALISIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOBA (STUDI TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN)
TESIS
Oleh
K O L A
E
A
S
A S A R JA
N
PA
C
H
S
AGUSTINA WATI NAINGGOLAN 077005001/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
ANALISIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOBA (STUDI TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh AGUSTINA WATI NAINGGOLAN 077005001/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Judul Tesis
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: ANALISIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOBA (STUDI TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN) : Agustina Wati Nainggolan : 077005001 : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Chainur Arrasjid, SH) Ketua
(Dr. Sunarmi, SH,. MHum) Anggota
Ketua Program Studi
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH)
(Syafruddin S. Hasibuan, SH,. MH., DFM) Anggota
Direktur
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B,. MSc)
Tanggal lulus: 15 Juli 2009
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Telah diuji pada Tanggal 15 Juli 2009
PANITIA PENGUJI TESIS Ketua
: Prof. Chainur Arrasjid, SH
Anggota
: 1. Dr. Sunarmi, SH. MHum 2. Syafruddin S. Hasibuan, SH,. MH., DFM 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH,. MH 4. Dr. T. Kheizerina Devi Azwar, SH., CN., MHum
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
ABSTRAK
Didasari oleh keprihatinan terhadap penyalahgunaan narkoba di Indonesia yang sudah sampai pada titik yang membahayakan kelangsungan hidup bangsa dan ketahanan nasional karena sasarannya sudah mencapai seluruh lapisan masyarakat sehingga pemerintah menyatakan perang terhadap narkoba, serta menghimbau agar pelakunya dihukum seberat-beratnya. Tetapi dalam kenyataan, pelaku tindak pidana narkoba dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Meningkatnya tindak pidana narkoba tidak terlepas dari ringannya putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Dengan latar belakang di atas, maka permasalahan yang diteliti yaitu apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam membuat putusan terhadap tindak pidana narkoba, mengapa putusan hakim tidak membuat efek jera dan apakah putusan hakim telah mencapai tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Untuk menjawab permasalahan tersebut dilakukan penelitian hukum normatif dengan mempergunakan bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Teknik yang dipergunakan dalam pengumpulan data berupa studi dokumen dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hakim dalam menjatuhkan pidana didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan dan juga hal-hal yang memberatkan dan meringankan pidana. Hakim dalam menjatuhkn pidana belum menerapkan ketentuan pidana yang terdapat dalam Undang-Undang secara maksimal. Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa putusan hakim belum memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana narkoba. Hakim dalam menjatuhkan putusan terkesan ringan, karena jarang hakim memidana dengan batas maksimum yang ditentukan undang-undang. Hal ini mengakibatkan pelaku tindak pidana narkoba mengulangi lagi perbuatannya sehingga tujuan pemidanaan yang menimbulkan penjeraan tidak tercapai. Dari penelitian adanya disparitas penjatuhan pidana. Disparitas pidana ini akan berdampak negatif baik bagi yang dijatuhi hukuman berat maupun yang dijatuhi hukuman ringan. Bagi yang dijatuhi pidana berat akan menjadi korban ketidakadilan hukum sehingga tidak percaya dan tidak menghargai hukum sedangkan bagi yang diputus ringan akan beranggapan bahwa melanggar hukum bukanlah hal yang menakutkan sehingga akan mengulangi lagi perbuatannya lagi. Dengan demikian rasa keadilan akan terabaikan. Adapun hal-hal yang menyebabkan timbulnya disparitas pidana adalah perangkat peraturan perundang-undangan yang menetapkan batas maksimum dan batas minimum pemberian hukuman yang memberi peluang kepada hakim untuk menjatuhkan putusan yang berbeda, kemudian sumber daya aparat penegak hukum baik dari dalam diri hakim maupun dari luar diri hakim, dan yang terakhir keadaan diri terdakwa. Melalui penelitian ini disarankan agar undang-undang yang mengatur tentang narkoba baik Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 disempurnakan. Kepada hakim diharapkan bekerja secara profesional dan dalam menjatuhkan hukuman harus bersikap objektif.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Melakukan pengawasan terhadap kinerja hakim agar menindak hakim yang melakukan penyimpangan dan yang lebih penting lagi untuk menghindarkan terjadinya disparitas pidana sebaiknya ditinjau kembali rentang antara batas maksimum dan batas minimum pidana.
Kata Kunci: Putusan Hakim, Tindak Pidana dan Narkoba.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
ABSTRACT
Departing on high concern with drug abuse in Indonesia reaching a dangerous point for nation survival and national defense because it’s target has penetrated to each level of community, has force the government to proclaime the fight against drug, and perpetrator should be subject to severe sentence. But in reality, even the number of drug abuser increased overtime. The increase in drug criminal could not be separated from the trivial or mild judgment imposed by the jury. For the reason, the problems under research included what is the rationale of judges in imposing the judgment on drug criminal, why jury judgment does not fuction as deterrent and whether the judgement of jury has achieved the law objectives, justice, law certainity and effectiveness. To answer the problem above, a normative law research has been conducted by using primary, secondary and tertiary law materials. The technic of data collection was document study and interview. The result of research indicated that the imposition of criminal punishment by Judge was based on considerations. The judge, in imposing the punishment, applied the maximum punishment according to regulations contained in the Law. Also, the result of research indicated that the decision of judge did not result in the deterring effect on drugs abusers. This allowes the perpetrator to do the same activity, in other words the goal of management to produce the deterring effect has failed. In this research there was disparity in criminal punishment. This disparity of criminals punishment would bring the negative impact on those who were punished heavely or punished mildly. Those who received the heavy punishment would feel law discrimination, thus they did not believe and appreciate the law, and for those who were punished mildly would assume that breaking the law was not a threatening matter, or they would repeat their activity. Therefore, the utilization of the law would be ignored. The cause of criminal disparity included the law enforcers who determined the maximum and minimum limit of punishment have allowed the judge as decision imposer differently and also human power of the law enforcers either internal or external to judge, and finally the personal condition of suspect. Trough this research, it should be recommended that the law regulating the drug matters either Law No. 5/1997 regarding psychotropic or the Law No. 22/1997 regarding Drug and Narcotics should be improved. It is expected for the Judge to work professionally and must be objective in imposing the punishment. There should be supervision on judge performance by warning the judges who make some distortions, and the most important is to prevent the criminal disparity from occurring, and the time range of maximum and minimum limit of criminal should be reviewed. Keywords : Judgment of Jury, Criminal Matter and Drugs.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkahnya yang memberikan kesehatan dan waktu sehingga penulisan tesis ini diselesaikan dengan baik. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para Komisi Pembimbing yaitu: Bapak Prof. Chainur Arrasyid, SH, Ibu Dr. Sunarmi, SH. MHum dan Bapak Syafruddin, SH,. MH., DFM yang telah bersusah payah memberikan bimbingan, koreksi dan perbaikan demi penyelesaian tesis ini. Demikian juga rasa terima kasih Penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Suhaidi, SH,. MH dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi, SH,. CN., M.Hum selaku Dosen Pembanding yang walaupun sebagai kapasitas Dosen Pembanding namun telah memberikan bimbingan yang sangat berharga kepada Penulis. Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada: 1. Bapak Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia yang telah memberi beasiswa buat penulis dalam mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Kepala Kantor Wilayah Sumatera Utara yang telah memberi kesempatan buat Penulis untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 3. Ibu
Martiningsih,
Bc.
IP.
SH,
selaku
Mantan
Kepala
Lembaga
Pemasyarakatan Wanita Klas II A Medan yang memberi izin buat penulis untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 4. Ibu Etty Nurbaiti, Bc. IP. SH, selaku Kepala Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas II A Medan yang banyak memberi sumbangan pikiran untuk penyelesaian tesis ini.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
5. Bapak Pendastaren Tarigan, SH,. MS dan Bapak Dr. Faisal Akbar, SH, M.Hum yang telah memberi rekomendasi buat Penulis untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 6. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, SpA(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis untuk menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 7. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara beserta seluruh staf atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini. 8. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum beserta seluruh Bapak/Ibu Dosen pada Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum yang telah memberi ilmunya kepada Penulis semasa perkuliahan. 9. Rekan-rekan mahasiswa kelas Hukum dan HAM yang senasib dan sependeritaan dalam menyelesaikan perkuliahan. Secara khusus Penulis memohon kepada Tuhan, kiranya almarhum kedua orang tua saya, Niman Nainggolan (ayahanda) dan Tianna Simamora (Ibunda) ditempatkan di sisi kananNya. Penulis menyampaikan terima kasih kepada suami tercinta Binsar Sihombing yang telah memberikan semangat dan dukungan selama Penulis melaksanakan pendidikan hingga penyelesaian tesis ini, juga buat anak-anak tersayang Martha Romauli Sihombing dan Yohana Masniora Sihombing yang menjadi sumber inspirasi bagi Penulis. Terlebih anak saya Yohana Masniora Sihombing merupakan limpahan karunia buat penulis, sebab selagi penulis sibuk-sibuknya kuliah, Tuhan mengaruniakannya buat Penulis. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang memberikan dorongan bagi penyelesaian tesis ini yang namanya tidak bisa disebut satu persatu.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu Penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan tesis ini. Akhir kata Penulis mohon ma’af bila ada kata yang tidak berkenan. Medan,
Juni 2009
Penulis,
AGUSTINA WATI NAINGGOLAN, SH 077005001/HK
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
RIWAYAT HIDUP
Nama
: AGUSTINA WATI NAINGGOLAN
Tempat/Tgl Lahir
: Sidikalang, 26 Agustus 1968
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Kristen Protestan
Pekerjaan
: Pegawai Negeri Sipil
Pendidikan
:
Sekolah Dasar Negeri 173104 Tarutung, lulus tahun 1981.
Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Tarutung, lulus tahun 1984.
Sekolah Menengah Atas Negeri Tarutung, lulus tahun 1987.
Fakultas Hukum Universitas Darma Agung Medan, lulus tahun 1992.
Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, lulus tahun 2009.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK............................................................................................................ i ABSTRACT.......................................................................................................... iii KATA PENGANTAR...........................................................................................iv RIWAYAT HIDUP............................................................................................. vii DAFTAR ISI.........................................................................................................viii DAFTAR TABEL................................................................................................ x BAB I
PENDAHULUAN………………………………………………..... 1 A. Latar Belakang..............……………………………………….... 1 B. Perumusan Masalah……………………………………………. 19 C. Tujuan Penelitian……………………………………………….. 20 D. Manfaat Penelitian…………………………………………….... 20 1. Manfaat Teoritis...................................................................... 20 2. Manfaat Praktis........................................................................ 21 E. Keaslian Penelitian……………………………………………... 21 F. Kerangka Teori dan Konsepsi………………………………..…. 21 1. Kerangka Teori……………………………………………... 21 2. Kerangka Konsepsi…………………………………………. 28 G. Metode Penelitian……………………………………………..... 31 1. Jenis Penelitian…………………………………………….... 31 2. Bahan-bahan Hukum yang Digunakan…………………...... 31 3. Teknik Pengumpulan Data………………………………….. 32 4. Analisis…………………………………………………….... 33
BAB II
DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMBUAT PUTUSAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOBA………………………….............................. 34 A. Aturan Hukum Tindak Pidana Narkoba………………………... 34 B. Tugas dan Kewajiban Hakim………………………………….... 44 C. Bentuk-bentuk Putusan Hakim………………............................. 49 1. Putusan Bebas……………………………………………..... 50 2. Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum……………….. 52 3. Putusan Pemidanaan………………………………………... 58 D. Pertimbangan Yuridis dan Pertimbangan Non Yuridis Serta Hal-hal yang Memberatkan dan Meringankan Penjatuhan Pidana........................................................................................... 60 1. Pertimbangan yang Bersifat Yuridis………………………... 61
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
2. Pertimbangan yang Bersifat Non Yuridis…………………... 66 3. Hal-hal yang Memberatkan dan Meringankan Pidana…....... 68 BAB III
DAMPAK PUTUSAN HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOBA………………………………....... 72 A. Tujuan Pemidanaan…………………………………………....... 72 B. Penjatuhan Hukuman terhadap Tindak Pidana Narkoba……...... 78 C. Putusan Hakim Tidak Membuat Jera Pelaku Tindak Pidana Narkoba……………………………………………………….... 82
BAB IV
HAL-HAL YANG MENYEBABKAN TIMBULNYA DISPARITAS DALAM PENJATUHAN PIDANA UNTUK KASUS NARKOBA……………………………………………...... 94 A. Perangkat Peraturan Perundang-undangan………………............ 94 B. Yang Bersumber pada Diri Hakim…………………………....... 103 C. Keadaan-Keadaan Diri Terdakwa…………………………......... 114
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN………………………………......... 118 A. Kesimpulan…………………………………………………....... 118 B. Saran……………………………………………………............. 122
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………123
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
DAFTAR TABEL
Nomor 1
Judul
Halaman
Data Kasus Tindak Pidana Narkoba di Indonesia Tahun 2001 Tahun 2007………………………………….................................
1
Jumlah Tersangka Pelaku Tindak Pidana Narkoba Tahun 2001 Tahun 2007 Berdasarkan Kewarganegaraan.………………….…
1
Pelaku Tindak Pidana Narkoba Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2001 - Tahun 2007………………………………..............
2
Pelaku Tindak Pidana Narkoba Berdasarkan Usia Tahun 2001 Tahun 2007………………………………….................................
2
5
Data Kasus Narkoba di Poltabes MS Tahun 2004 - Tahun 2008…
2
6
Data Kasus Narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas II A Medan Tahun 2004 - Tahun 2008………………...........
3
Data Kasus Narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas II A Medan Tahun 2004 - Tahun 2008………………...........
3
Contoh Kasus Narkoba yang Diputus PN Medan dari Tahun 2004 sampai 2008………………………............................
18
9
Hal-Hal yang Meringankan Pidana…………………….……........
71
10
Putusan Hakim Atas Kasus-Kasus Narkoba Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 di Pengadilan Negeri Medan …………......
83
11
Pengulangan Tindak Pidana…………………..………………......
92
12
Hal-Hal yang Menyebabkan Pengulangan Tindak Pidana………..
93
13
Disparitas Putusan Pengadilan Negeri Medan…………………....
108
14
Putusan Pengadilan Negeri Medan…………………………..........
111
2
3
4
7
8
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Pemerintah sedang gencar-gencarnya memerangi penyalahgunaan narkoba.
Penyalahgunaan narkoba sudah sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan, mulai dari anak sekolah hingga orang dewasa bahkan pegawai pemerintahan, baik yang miskin maupun yang kaya tidak pandang bulu semuanya korban penyalahgunaan narkoba. Kasus tindak pidana narkoba di Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Dapat dilihat pada tabel berikut:75 Tabel 1. Data Kasus Tindak Pidana Narkoba di Indonesia Tahun 2001 - 2007 Tahun No 1 2 3
Kasus Narkotika Psikotropika Bahan adiktif Jumlah % Kenaikan
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Jumlah Total
1.907 1.648 62 3.617 .
2.040 1.632 79 3.751 3,7
3.929 2.590 621 7.140 90,3
3.874 3.887 648 8.409 17,8
8.171 6.733 1.348 16.252 93,3
9.422 5.658 2.275 17.355 6,8
11.380 9.289 1.961 22.630 30,4
40.723 31.437 6.994 79.154 214
Ratarata per tahun 8.145 6.287 1.399 15.831 53,5
Sumber: Badan Narkotika Nasional.
Tabel 2. Jumlah Tersangka Pelaku Tindak Pidana Narkoba Tahun 2001 - 2007 Berdasarkan Kewarganegaraan Tahun No 1 2
Warga Negara
WNI WNA Jumlah % Kenaikan
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Jumlah Total
4.874 50 4.924 .
5.228 82 5.310 3,7
9.638 79 9.717 90,3
11.242 81 11.323 17,8
22.695 85 22.760 93,3
31.571 64 31.635 6,8
36.101 68 36.169 30,4
121.349 509 121.858 214
Ratarata per tahun 24.270 102 24.372 53,5
Sumber: Badan Narkotika Nasional. 75
WWW. BNN. COM diakses tanggal 18 September 2008.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Tabel 3. Pelaku Tindak Pidana Narkoba Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2001 2007 Tahun No 1 2
Warga Negara Pria Wanita Jumlah
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Jumlah Total
4.561 363 4.874
4.900 410 5.228
8.923 794 9.638
10.263 1.060 11.242
21.046 1.734 22.695
29.423 2.212 31.571
33.134 3.035 36.101
112.250 9.608 121.349
Ratarata per tahun 22.450 1.922 24.270
Sumber: Badan Narkotika Nasional.
Tabel 4. Pelaku Tindak Pidana Narkoba Berdasarkan Usia Tahun 2001 - 2007 Tahun No 1 2 3 4 5
Warga Negara <16 thn 16 - 19 thn 20 – 24 thn 25 – 29 thn >29 thn Jumlah
2001
2002
2003
2004
25 501 1.428 1.366 1.604
23 494 1.755 1.368 1.652
87 500 2.457 2.417 4.256
71 763 2.879 2.888 4.722
4.924
5.310
9.717
11.323
2006
2007
127 1.668 5.503 6.442 9.040
175 2.447 8.383 8.105 12.525
110 2.617 8.275 9.278 15.889
618 8.990 30.680 31.882 49.688
Ratarata per tahun 124 1.798 6.136 6.376 9.938
22.780
31.635
36.169
121.858
24.372
2005
Jumlah Total
Sumber: Badan Narkotika Nasional.
Di wilayah hukum Poltabes Medan juga cenderung mengalami peningkatan antara tahun 2004 sampai dengan tahun 2006 walaupun di tahun 2007 dan 2008 mengalami penurunan. Menurut hasil wawancara permulaan dengan Bripka Pol. Muhammad Fairus Abadi hal ini disebabkan tersangka lebih pintar menyembunyikan diri, sehingga pihak penyidik sulit untuk mencari informasinya76. Dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5. Data Kasus Narkoba di Poltabes MS Tahun 2004 - 2008 No 1 2
Warga negara Pria Wanita Jumlah
2004 448 22 470
2005 545 38 583
Tahun 2006 622 24 646
Total 2007 492 41 533
2008 494 31 525
2601 156 2757
Rata – rata per tahun 520,2 31,2 551,4
Sumber: Sat Narkoba Poltabes MS. 76
Hasil wawancara dengan Bripka Pol. Muhammad Fairus Abadi tanggal 28 Januari 2009.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Walaupun data Sat. Narkoba Poltabes MS menunjukkan penurunan tetapi penempatan kasus narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas IIA Medan dan Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Medan cenderung mengalami peningkatan disebabkan karena kasus yang ditempatkan di kedua lembaga pemasyarakatan tersebut bukan hanya dari Poltabes MS tetapi juga dari Poldasu dan pindahan dari lembaga pemasyarakatan yang ada di daerah wilayah hukum Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara. Peningkatan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 6. Data Kasus Narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas IIA Medan Tahun 2004 - 2008 No 1 2
Penghuni Tahanan Narapidana Jumlah
2004 203 2689 2892
2005 206 2807 3013
TAHUN 2006 840 2009 2849
TOTAL 2007 2270 1568 3838
2008 2223 2085 4308
5754 11158 16900
Rata – rata per tahun 1148,4 2231,6 3380
Sumber: Lembaga Pemasyakatan Anak Klas IIA Medan.
Tabel 7. Data Kasus Narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Medan Tahun 2004 - 2008 No 1 2
Penghuni Tahanan Narapidana Jumlah
2004 288 2727 3015
TAHUN 2005 2006 320 352 2496 2435 2816 2787
TOTAL 2007 387 2403 2790
2008 425 2390 2815
14223
Rata – rata per tahun
2844,6
Sumber: Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Medan.
Narkoba sebenarnya merupakan obat yang sangat diperlukan dalam bidang pengobatan dan ilmu pengetahuan, sehingga ketersediaannya perlu dijamin, melalui kegiatan produksi dan impor. Namun sebaliknya, narkoba dapat juga menimbulkan bahaya yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau dipergunakan tanpa
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
pembatasan dan pengawasan yang seksama. Penyalahgunaan narkoba dapat menyebabkan kematian, ketagihan dan terkena berbagai penyakit, meningkatnya kekerasan dan kriminalitas serta hancurnya sebuah masyarakat atau hilangnya generasi (lost genearation) sehingga kalau masyarakat sudah ketagihan dan terkena berbagai penyakit dapat mengancam ketahanan nasional. Apalagi dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat mengakibatkan peredaran gelap narkoba semakin meluas dan berdimensi internasional. Untuk mengantisipasi semakin luasnya penyalahgunaan narkoba dan pemberantasan peredaran gelap narkoba, maka pemerintah mengeluarkan UndangUndang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika yang mengatur: a. Cara penyediaan dan penggunaan narkoba untuk keperluan pengobatan dan ilmu pengetahuan (Pasal 4 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 dan Pasal 4 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997. b. Mencegah dan menanggulangi bahaya–bahaya yang dapat ditimbulkan oleh akibat sampingan dari penggunaan dan penyalahgunaan narkoba (Pasal 46 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 dan Pasal 52 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997). c. Rehabilitasi terhadap pecandu narkoba (Pasal 38 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 dan Pasal 48 - 50 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997). d. Pembinaan, pengawasan dan pemusnahan (Pasal 45, 50, 53 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 dan Pasal 52, 55, 60 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
e. Peran serta masyarakat, penyidikan dan ketentuan pidana (Pasal 54, 55-58, 59-72 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 dan Pasal 57-59, 63-69, 78-100 UndangUndang No. 22 Tahun 1997. Penyalahgunaan narkoba mendorong adanya peredaran gelap, sedangkan peredaran gelap narkoba menyebabkan meningkatnya penyalahgunaan yang makin luas dan berdimensi internasional. Oleh karena itu, diperlukan upaya pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba dan upaya pemberantasan peredaran gelap narkoba. Penyelenggaraan konferensi tentang narkotika/psikotropika pertama kali dilaksanakan oleh The United Nations Conference for the Adaption of Protocol on Psychotropic Substances mulai tanggal 11 Januari - 21 Februari 1971 di Wina, Austria telah menghasilkan Convention Psycotropic Substances 197177. Materi muatan konvensi tersebut didasarkan pada revolusi The United Nations Economic and Sosial Council Nomor 1474 (XLVIII) tanggal 24 Maret 1970 merupakan aturanaturan untuk disepakati menjadi kebiasaan internasional sehingga harus dipatuhi oleh semua negara, bagi kepentingan pergaulan bangsa-bangsa yang beradab. Konvensi tersebut mengatur kerjasama internasional dalam pengendalian dan pengawasan produksi, peredaran dan penggunaan psikotropika, serta mencegah, pemberantasan penyalahgunaannya dengan membatasi penggunaan hanya bagi pengobatan dan ilmu pengetahuan.
77
Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal 1.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Selanjutnya diadakan konvensi Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika pada tahun 1988 (Convention Againts Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988)78. Konvensi ini membuka kesempatan bagi negara-negara yang mengakui dan meratifikasinya untuk melakukan kerjasama dalam penanggulangan penyalahgunaan dan pemberantasan peredaran gelap narkoba, baik secara bilateral maupun multilateral. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika mengatur ketentuan pidana. Tindak pidana di bidang psikotropika sebagaimana diatur dalam undang-undang ini adalah kejahatan79. Penyalahgunaan narkoba serta peredaran dan perdagangan gelap dapat digolongkan ke dalam kejahatan internasional. Kejahatan internasional ini membuktikan adanya peningkatan kuantitas dan kualitas kejahatan ke arah organisasi kejahatan transnasional, melewati batas-batas negara dan menunjukkan kerjasama yang bersifat regional maupun internasional80. Konferensi tingkat menteri sedunia yang diselenggarakan di Napoli pada November 1994, telah membahas tentang kejahatan transnasional terorganisasi (organized transnational crime). Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Convention of Psychotropic Substance 1971 berdasarkan UU No. 8 Tahun 1996. Ratifikasi terhadap konvensi tentang substansi psikotropika tersebut memberikan konsekuensi hukum. Oleh karena 78
Ibid, hal. 2. Lihat Pasal 68 UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. 80 Siswantio Sunarso, Op.Cit, hal 3. 79
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
itu, pemerintah Indonesia berkewajiban untuk menanggulangi pemberantasan kejahatan penyalahgunaan narkoba tersebut. Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkoba, telah banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah mendapat putusan hakim di sidang pengadilan. Penegakan hukum ini diharapkan mampu sebagai faktor penangkal terhadap merebaknya peredaran dan penyalahgunaan narkoba, tapi dalam kenyataannya justru semakin intensif dilakukan penegakan hukum semakin meningkat pula peredaran narkoba tersebut. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1977 tentang Psikotropika dan UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana narkoba cukup berat, di samping dikenakan hukuman badan, juga dikenakan hukuman denda, tetapi pada kenyataannya hukuman tersebut tidaklah membuat jera pelakunya malah semakin meningkat dan berulang-ulang sebab sesudah selesai menjalani hukuman atau pidananya tidak berapa lama meghirup udara bebas sudah berbuat lagi. Hal ini disebabkan oleh faktor penjatuhan pidana tidak memberikan dampak atau different effect terhadap para pelakunya81. Berdasarkan pengamatan terhadap kinerja pengadilan dalam memproses pelaku kejahatan di sidang pengadilan, diketahui bahwa vonis hakim terhadap tindak pidana narkoba belum seberat ketentuan dalam undang-undang di dalam penjatuhan pidananya. Aturan hukum menetapkan hukuman maksimal, tetapi sebagian hakim lainnya tidak pernah menerapkan hukuman maksimal tersebut. Padahal Undang81
Ibid. hal 8.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dengan tegas mengatur sanksi pidana termasuk pidana mati82. Pidana mati adalah suatu upaya yang radikal untuk meniadakan orang-orang yang tak dapat diperbaiki lagi, dan dengan adanya pidana mati ini maka hilanglah pula kewajiban untuk memelihara mereka dalam penjara-penjara yang demikian besarnya.83 Akan tetapi, jika ditinjau melalui pendekatan filosofis kemanusiaan bahwa hukuman dengan pidana mati sangat pantas dijatuhkan kepada para penyalah guna narkoba tersebut, terutama terhadap jaringan dan para pengedarnya. Oleh karena akibat dari perbuatan tersebut sangat berat bobot kejahatannya, yang pada akhirnya dapat menghancurkan hampir kebanyakan generasi muda dari sebuah bangsa.84 Tindak pidana narkoba merupakan tindak pidana khusus. Sebagaimana tindak pidana khusus, hakim diperbolehkan untuk menghukum dua pidana pokok sekaligus, 82
Lihat, Pasal 59 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika yang mengatur pidana mati sebagai berikut: (1) Barangsiapa: a. menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) ; atau b. memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika golongan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; atau c. mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3); atau d. Mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan; atau e. secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika golongan I dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah ), dan paling banyak Rp. 750.000.000 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 750,000,000.00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). (3) Jika tindak pidana dalam Pasal ini dilakukan oleh korporasi, maka di samping dipidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi dikenakan pidana denda sebesar Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Hukuman mati pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika diatur dalam Pasal 80, 81 dan 82. 83 Andi Hamzah, dkk, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di Masa Depan. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hal. 27. 84 Moh. Taufik Makaro dkk, Tindak Pidana Narkotika, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005), hal. 47.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
pada umumnya hukuman badan dan pidana denda. Hukuman badan berupa pidana mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara. Tujuannya agar pemidanaan itu memberatkan pelakunya supaya kejahatan dapat ditanggulangi di masyarakat, karena tindak pidana narkoba sangat membahayakan kepentingan bangsa dan negara.85 Sanksi pidana yang dijatuhkan oleh para hakim terhadap para pelaku kejahatan masih dinilai belum memberikan rasa takut dan dipengaruhi oleh normanorma di luar norma hukum, tampaknya masih melekat dan menjadi kendala terhadap penegakan hukum secara konsekuen86. Juga otoritas hakim yang begitu besar dalam memutuskan perkara yang mengakibatkan banyak terjadi disparitas putusan dalam perkara yang sejenis. Hal ini ditandai dengan adanya perbedaan secara substansial yang tajam antara putusan hakim Pengadilan Negeri yang satu dengan yang lain atau hakim Pengadilan Tinggi dan hakim Mahkamah Agung mengenai perkara yang sama, padahal semuanya mengacu pada peraturan yang sama87 Disparitas putusan hakim dalam kasus narkoba dapat terjadi terhadap pemakai yang satu dengan yang lain atau antara pengedar yang satu dengan pengedar yang lain atau hukuman untuk pengedar lebih ringan hukumannya daripada pemakai. Hakim dalam kedudukannya yang bebas diharuskan untuk tidak memihak (impartial judge). Sebagai hakim yang tidak memihak dalam menjalankan profesi, mengandung makna, hakim harus selalu menjamin pemenuhan perlakuan sesuai hak-
85
Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2004), hal. 93. Siswanto Sunarso, Op.Cit, hal. 9. 87 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, (Yogyakarta: UII Press, 2007). 86
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
hak asasi manusia khususnya bagi tersangka atau terdakwa. Hal demikian telah menjadi kewajiban hakim untuk mewujudkan persamaan kedudukan di depan hukum bagi setiap warga negara (equally before the law)88. Penegakan hukum sebagai salah satu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi (Wayne La Favre 1964) dengan mengutip pendapat Roscoe Pound, maka La Favre menyatakan bahwa pada hakikatnya diskresi berada di antara hukum dan moral (etika dalam arti sempit)89. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika menetapkan pengguna psikotropika yang menderita sindrom ketergantungan berkewajiban untuk ikut serta dalam pengobatan dan/atau perawatan. Pengobatan dan/atau perawatan dilakukan pada fasilitas rehabilitasi90. Demikian juga Pasal 45 UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika menyebutkan: “Pecandu narkotika wajib menjalani pengobatan dan/atau perawatan”. Pasal 47 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika menyatakan:
88
Andy Hamzah dan Bambang Waluyo, Delik-Delik terhadap Penyelenggaraan Peradilan (Conterm of Court), (Jakarta: Sinar Grafika, 1988). 89 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 7. 90 Lihat Pasal 37 UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
(1) Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat: a. memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika atau b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pacandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika (2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman 91. Baik Undang-Undang tentang Psikotropika No. 5 Tahun 1997 maupun Undang-Undang tentang Narkotika No. 22 Tahun 1997 memberi kewenangan kepada hakim untuk memutus di pusat rehabilitasi ketergantungan narkoba apabila pelaku tindak
pidana
ketergantungan.
hanyalah
sebagai
Rehabilitasi
pecandu
dimaksudkan
atau
yang
untuk
menderita
memulihkan
sindrom dan/atau
mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosialnya. Tetapi kenyataan jarang hakim mempergunakan kewenangannya ini. Tidak jarang hakim memutus perkara tindak pidana narkoba yang merupakan pecandu dan yang menderita sindrom ketergantungan dengan hukuman penjara/pidana penjara ditambah lagi dengan denda yang apabila denda tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan pengganti denda. Dalam penjelasan Pasal 47 UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika disebutkan: Penggunaan kata memutuskan bagi pecandu narkotika yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika mengandung pengertian bahwa putusan hakim tersebut merupakan vonis (hukuman) bagi pecandu narkotika yang bersangkutan. 91
Lihat Pasal 47 UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Sedangkan penggunaan kata menetapkan bagi pecandu narkotika yang tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika mengandung pengertian bahwa penetapan hakim tersebut bukan merupakan vonis (hukuman) bagi pecandu narkotika yang bersangkutan. Penetapan tersebut dimaksudkan untuk memberikan suatu penekanan bahwa pecandu narkotika tersebut walaupun tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika, tetapi tetap wajib menjalani pengobatan dan perawatan. Biaya pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika sepenuhnya menjadi beban dan tanggung jawab negara, karena pengobatan dan perawatan tersebut merupakan bagian dari masa menjalani hukuman. Sedangkan bagi pecandu narkotika yang tidak terbukti bersalah biaya pengobatan dan/atau perawatan selama dalam status tahanan tetap menjadi beban Negara, kecuali tahanan rumah dan tahanan kota.92 Masalah pokok penegakan hukum termasuk di bidang tindak pidana narkoba terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut93: 1
Faktor hukumnya sendiri.
2
Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3
Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum.
4
Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5
Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. 92 93
Lihat penjelasan Pasal 47 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Ibid hal 8.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Penegakan hukum terhadap kejahatan di Indonesia, khususnya dalam hal pemidanaan, seharusnya merujuk pada pendekatan norma hukum yang bersifat menghukum pelaku kejahatan sehingga dapat memberikan efek jera. Dalam sistem pemasyarakatan fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar memberi efek jera, tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegerasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan.94 Pemidanaan berarti upaya negara untuk memelihara kebutuhan dan kepentingan para warga negara secara bersama-sama atau sendiri-sendiri yang tidak seluruhnya dapat dilakukan oleh warga negara itu sendiri. Jadi jika seorang warga negara dirugikan oleh orang lain dan ia sendiri tidak boleh melakukan pembalasan, maka kebutuhan dan kepentingan tadi diwakili atau dijalankan oleh negara.95 Hal ini memberi wacana kepada para pelaku kejahatan agar mampu menangkap aspirasi keadilan masyarakat. Kenyataan empiris di bidang pemidanaan secara umum masih menganut memperbaiki terpidana di Lembaga Pemasyarakatan sehingga memberikan gambaran bahwa kejahatan tersebut hanya terhenti sesaat dan akan muncul kembali dalam lingkungan kehidupan sosial masyarakat. Secara sosisologis maka penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role)96. Kedudukan (status) merupakan posisi tertentu di dalam struktur kemasyarakatan yang mungkin tinggi, sedang atau rendah. Kedudukan tersebut merupakan suatu wadah yang isinya adalah suatu hak-hak dan kewajibankewajiban tertentu. Hak-hak dan kewajiban tadi merupakan peranan atau role. Oleh 94
Lihat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Harsono H.S, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, (Jakarta: Djambatan, 1995), hal 45. 96 Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal 19. 95
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
karena itu, seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya dinamakan pemegang peranan (role occupant) Dalam tulisan ini penegak hukum dibatasi pada hakim saja. Seorang penegak hukum, sebagaimana halnya dengan warga masyarakat lainnya, lazimya mempunyai beberapa kedudukan dan peranan sekaligus. Dengan demikian tidaklah mustahil, bahwa antara pelbagai kedudukan dan peranan timbul konflik (status conflict and conflict of roles)97. Masalah peranan dianggap penting, oleh karena pembahasan mengenai penegak hukum sebenarnya lebih banyak tertuju pada diskresi. Peranan yang seharusnya dari kalangan penegak hukum tertentu, telah dirumuskan di dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman98. Peranan yang ideal dapat dilihat dalan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang isinya adalah: “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Di samping peranan yang ideal, lembaga pengadilan mempunyai peranan yang seharusnya. Peranan itu dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 sebagai berikut:
97 98
Ibid. hal 21. Ibid. hal 23.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
1. Pasal 2 ayat (1) yang isinya: “Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diserahkan kepada badan-badan peradilan dan ditetapkan dengan undang-undang, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya”. 2. Pasal 4 ayat (2) yang isinya adalah: “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan”. 3. Pasal 5 yang isinya adalah sebagai berikut: a. Pengadilan mengadili menurut hukum dan tidak membeda-bedakan orang. b. Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan 4. Pasal 16 ayat (1): “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. 5. Pasal 25 (1): “Segala putusan pengadilan selain memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum yang tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”. 6. Pasal 28 ayat (1): “Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Faktor fasilitas sarana pendukung untuk penegakan hukum sangat diperlukan. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dll.99 Sarana dan fasilitas untuk rehabilitasi ketergantungan narkoba, banyak yang kurang memadai, padahal setiap hari banyak korban yang berjatuhan tanpa ada upaya perawatan.100 Peran serta masyarakat sesuai kewajibannya dituntut untuk ikut bersama-sama pemerintah melakukan pencegahan penyalahgunaan narkoba. Misalnya memberi laporan kepada penegak hukum bila mengetahui penyalahgunaan narkoba. Peran serta masyarakat sangat diperlukan untuk mengungkapkan kasus tindak pidana narkoba. Tetapi dalam kenyataan masyarakat kurang memberi laporan karena masalah keamanan dirinya dan kurangnya jaminan untuk si pelapor.101 Apalagi pelaku-pelaku kejahatan di bidang narkoba mempunyai jaringan yang amat rapi dan sering menggunakan kekerasan. Di samping peran serta masyarakat, aparat penegak hukum yang termasuk dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) yaitu: kepolisian, kejaksaan, lembaga peradilan sampai pada lembaga pemasyarakatan termasuk pengacara harus
99
Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 81. 100 Siswanto Sunarso, loc.ci. 101 Ibid. hal. 158.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
benar-benar bekerja secara jujur dan profesional demi tegaknya hukum. Khusus dalam tulisan ini penulis ingin menyoroti kinerja hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkoba. Hakim sebagai bagian dari lembaga peradilan berperan sangat penting demi tegaknya supremasi hukum. Bukan itu saja, hakim juga dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia bagi orang-orang yang ingin mencari kebenaran dan keadilan. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan kebebasan hakim dalam melaksanakan wewenang judicialnya tidaklah mutlak sifatnya. Karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang menjadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan. Tetapi kenyataan, putusan-putusan
yang dibuat oleh hakim sering
mengundang kontroversial. Tidak jarang terjadi terhadap pelaku tindak pidana yang satu dijatuhkan pidana berat sedangkan terhadap pelaku tindak pidana lainnya dijatuhi hukuman ringan atau bahkan dibebaskan, padahal pasal yang dilanggar adalah sama. Menurut KUHAP hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Hakim dalam proses persidangan berkedudukan sebagai pemimpin. Kedudukan ini memberi hak untuk mengatur jalannya persidangan dan mengambil tindakan ketika terjadi ketidaktertiban di dalam sidang. Guna keperluan keputusan hakim berhak dan harus menghimpun keterangan-
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
keterangan dari semua pihak terutama dari saksi dan terdakwa termasuk penasehat hukumnya. Hakim yang berkedudukan sebagai pimpinan dalam proses persidangan dalam usaha penerapan hukum demi keadilan harus menyadari tanggung jawabnya sehingga bila ia berbuat dan bertindak tidaklah sekedar menjatuhkan putusan, melainkan juga bahwa dari keseluruhan perbuatannya itu senantiasa diarahkan guna mewujudkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Inilah yang harus diwujudkan hakim dalam sidang pengadilan yang sekaligus sebagai realisasi dari tanggung jawabnya. Meningkatnya penyalahgunaan narkoba dari tahun ke tahun tidak terlepas dari ringannya putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Sehubungan dengan itu, ada baiknya penulis menggambarkan 10 contoh kasus narkoba yang diputus oleh Pengadilan Negeri yang menjadi bahan penelitian penulis. Tabel 8. Contoh Kasus Narkoba yang Diputus PN Medan dari Tahun 2004 sampai 2008 No
No. Perkara
Pasal yang Dilanggar
Pidana Penjara
1
2.498/Pid.B/2004/PN.Medan
59(1) huruf a UU No. 5/1997
4 Tahun
2
1.500/Pid.B/2004/PN.Medan
82(1) huruf a UU No. 22/1997
12 Tahun
3
2.200/Pid.B/2005/PN.Medan
59(1) huruf a UU No. 5/1997
4 Tahun
4
1.920/Pid.B/2005/PN.Medan
82(1) huruf a UU No. 22/1997
7 Tahun
5
2.234/Pid.B/2006/PN.Medan
60(4) huruf a UU No. 5/1997
2 Tahun
6
5.089/Pid.B/2006/PN.Medan
85 huruf a UU No. 22/1997
3 Bulan
7
2.637/Pid.B/2007/PN.Medan
59(1) huruf c UU RS No. 5/1997
4 Tahun
8
3.916/Pid.B/2007/PN.Medan
82(1) huruf a UU RI No.22/1997
6 Tahun
Denda Rp.15.000.000 Subsidair 3 bulan Rp.10.000.000 Subsidair 5 bulan Rp.15.000.000 Subsidair 3 bulan Rp.1.000.000 Subsidair 3 bulan Rp.2.000.000 Subsidair 2 bulan Rp.150.000.000 Subsidair 2 bulan Rp.3.000.000 Subsidair 3 bulan
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Lanjutan Tabel 8 9
1.570/Pid.B/2008/PN.Medan
62 UU RI No. 5/1997
1 Tahun
10
4.200/Pid.B/2008/PN.Medan
71(1) huruf a UU RI No.22/1997
8 Tahun
Rp.1.000.000 Subsidair 1 bulan Rp.1.000.000 Subsidair 8 bulan
Sumber: Pengadilan Negeri Medan.
Dari tabel contoh kasus di atas, terlihat adanya perbedaan penjatuhan putusan oleh hakim dan putusan yang dijatuhkan terkesan ringan bila dibandingkan dengan ketentuan undang-undang yang mengatur pidana dalam undang-undang narkoba. Padahal, seperti diutarakan di atas, seharusnya hakim dalam menjatuhkan putusan harus memperhatikan 3 (tiga) unsur yang penting yaitu: keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan maka penulis tertarik untuk meneliti tentang putusan hakim yang diberi judul Analisis terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan).
B.
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam membuat putusan tentang tindak pidana penyalahgunaan narkoba di Pengadilan Negeri Medan? 2. Mengapa putusan hakim tidak membuat efek jera terhadap pelaku tindak pidana narkoba?
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
3. Apakah putusan hakim dalam tindak pidana narkoba telah mencapai tujuan hukum yaitu memberi rasa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan?
C.
Tujuan Penelitian Pada dasarnya tujuan penelitian adalah untuk mencari pemahaman tentang
masalah-masalah yang telah dirumuskan. Adapun tujuan penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar pertimbangan hakim dalam membuat putusan terhadap pelaku tindak pidana narkoba di Pengadilan Negeri Medan. b. Untuk mengetahui dan menganalisis mengapa putusan hakim tidak membuat efek jera terhadap pelaku tindak pidana narkoba. c. Untuk mengetahui dan menganalisis putusan hakim dalam tindak pidana narkoba apa telah mencapai tujuan hukum yaitu memberi rasa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.
D.
Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis sebagai berikut: a. Memberi masukan dan sumbangan pemikiran dalam rangka penyusunan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana narkoba. b. Memberi sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan hukum khususnya hukum pidana.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan memberi manfaat untuk kepentingan penegakan hukum, sehingga dapat dijadikan masukan dalam cara berpikir dan cara bertindak hakim dalam mengambil keputusan guna mewujudkan tujuan hukum.
E.
Keaslian Penelitian Penelitian ini berdasarkan pemikiran dari penulis sendiri dan belum pernah
diteliti oleh orang lain sebelumnya baik judul dan permasalahan yang sama, sehingga penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian baru dan keasliannya dapat dipertanggungjawabkan secara akademis dan ilmiah sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan obyektif dalam menemukan kebenaran.
F.
Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD
1945 mempunyai konsekuensi untuk menegakkan hukum, yang artinya setiap tindakan yang dilaksanakan oleh siapapun di negara ini serta akibat yang harus ditanggungnya harus didasarkan kepada hukum dan diselesaikan menurut hukum juga. Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat diterapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Menurut Lawrence M. Friedman sebagai suatu sistem atau subsistem dari sistem kemasyarakatan maka hukum mencakup struktur hukum (structure), substansi
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
hukum (substance) dan budaya hukum (legal culture).102 Struktur mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut yang umpamanya mencakup tatanan lembagalembaga hukum formal, hubungan antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dan seterusnya. Substansi mencakup isi norma-norma hukum beserta perumusannya maupun cara menegakkannya yang berlaku bagi pelaksanaan hukum maupun pencari keadilan. Budaya hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dituruti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).103 Max Weber104 dalam teori paksaan (dwang theory) mengemukakan bahwa penguasa mempunyai monopoli terhadap sarana-sarana paksaan secara fisik yang merupakan dasar bagi tujuan hukum untuk mencapai tata tertib dan ketertiban. Paksaan dimaksudkan hanya dapat dilakukan oleh kelompok orang-orang yang mempunyai wewenang untuk berbuat demikian (dalam hal ini seperti kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan). Dalam penjelasan Pasal 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 disebutkan kebebasan dalam melaksanakan wewenang judisial bersifat tidak mutlak karena tugas
102
Lawrence Friedman, America Law An Introduction, sebagaimana diterjemahkan oleh Wisnu Basuki, (Jakarta: PT Tatanusa, 1984), hal. 24. 103 Soerjono Soekanto, Op.Cit. hal. 60. 104 Sudjono Dirjosiswono, Pengantar tentang Psikologi Hukum, (Bandung: Alumni, 1983) hal. 73.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.105 Tugas hakim adalah menjatuhkan putusan yang mempunyai akibat hukum bagi pihak lain. Hakim tidak dapat menolak menjatuhkan putusan apabila perkaranya sudah mulai diperiksa. Bahkan perkara yang telah diajukan kepadanya tetapi belum mulai diperiksa tidak mungkin ia menolaknya106. Untuk menemukan hukum ada beberapa aliran yaitu107: 1. Aliran legisme yang berpendapat bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang, sedangkan peradilan berarti semata mata penerapan undangundang pada peristiwa yang konkrit. Hukum dan undang-undang adalah identik. Yang dipentingkan di sini adalah kepastian hukum. 2.
Aliran Begriffsjurisprudenz yang berpendapat undang-undang sekalipun tidak lengkap tetap mempunyai peran penting, tetapi hakim mempunyai peran yang lebih aktif. Di samping undang-undang masih ada sumber hukum lain antara lain kebiasaan.
3. Aliran yang berlaku sekarang yang berpendapat bahwa sumber hukum tidak hanya undang-undang atau peradilan saja. Di samping undang-undang dan peradilan masih terdapat hukum yang tumbuh di dalam masyarakat, yaitu hukum kebiasaan. Pekerjaan hakim kecuali bersifat praktis dan rutin juga ilmiah, sikap 105
Lihat penjelasan umum Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman. 106
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993) hal. 40. 107 Ibid, hal. 42-45.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
pembawaan tugasnya menyebabkan ia harus selalu mendalami ilmu pengetahuan hukum untuk memantapkan pertimbangan-pertimbangan sebagai dasar dari putusannya. Salah satu tujuan hukum adalah memberi kemanfaatan bagi orang lain. Hal ini didasarkan pada konsep pemikiran Utilities. Penganut aliran Utilities menganggap bahwa
tujuan
hukum
adalah
semata-mata
memberikan
pemanfaatan
atau
kebahagiannya yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat (the greatest happiness for the greatest number). Jeremy Bentham berpendapat adanya negara dan hukum semata-mata hanya demi manfaat sejati, yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat.108 Menurut Max Weber Guru Besar Universitas Kekaisaran Jerman pada sistem hukum rasional yang memberikan panduan adalah hukum itu sendiri. Kaidah hukum ada yang berwujud sebagai peraturan-peraturan tertulis, keputusan-keputusan pengadilan maupun keputusan-keputusan lembaga-lembaga pemasyarakatan109. Penerapan suatu sistem rasional dalam sistem peradilan dituangkan dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Putusan hakim yang memberi efek jera kepada si pelaku tindak pidana narkoba akan dapat menurunkan tingkat kriminal. Untuk itulah peranan hukum diperlukan sebagai a tool of social engineering seperti yang dikemukakan oleh Roscoe Pound. Untuk dapat
108
Hari Land, Modern Jurisprodensi, (Kuala Lumpur: International Law Book Service, 1994), hal. 67-69. 109 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 3.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
memahami lebih dalam mengenai bagaimana hukum berfungsi dalam masyarakat perlu diperhatikan pendapat Rudolf Von Jhering yang menyatakan: “Law were only way to achive the end namely social control.”110 Kategori kepentingan dalam masyarakat menurut Roscoe Pound ada 3 yaitu: 1. Publik Interest a. Kepentingan negara untuk menjaga eksistensi dan hakikat negara. b. Kepentingan negara untuk mengawasi kepentingan sosial. 2. Individual Interest a. Kepentingan dalam hubungan rumah tangga (interest in domestic relations). b. Kepentingan mengenai harta benda (interest of substance). 3. Interest of Personality a. Kepentingan perlindungan integritas badaniah (pyssical intergrity). b. Kehendak bebas (freedom of will). c. Reputasi (reputation). d. Keadaan pribadi perorangan (privacy). e. Kebebasan untuk memilih agama dan mengeluarkan pendapat (freedom of believe and opinion)111. Romli Atmasasmita menggunakan istilah “ tindak pidana “ dibanding dengan penggunaan istilah “perbuatan pidana” untuk pelaku kejahatan Narkoba. Hal ini
110
Ronny H. Soemitro, Masalah-masalah Sosiologi Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hal. 60. 111 Bismar Nasution dan Mahmul Siregar, Bahan Kuliah Teori Hukum, Program Studi Ilmu Hukum, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, 2007.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
dilatarbelakangi oleh suatu alasan bahwa istilah “tindak pidana” terkait unsur pertanggungjawaban pidana serta pertimbangan lain112, yakni bahwa peristilahan tersebut sudah baku dan telah dipergunakan oleh tim penerjemah KUHP pada Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu kejahatan dan pelanggaran yang memuat perincian berbagai jenis tindak pidana yang terdapat dalam buku II dan buku III KUHP. Tujuannya adalah guna melindungi kepentingan hukum yang dilanggar. Kepentingan hukum pada dasarnya dapat dirinci dalam 3 (tiga) jenis yaitu113: 1. Kepentingan hukum perorangan. 2. Kepentingan hukum masyarakat. 3. Kepentingan hukum negara. Tindak pidana narkoba merupakan kejahatan dan pelanggaran.114 Sanksi hukum berupa pidana, diancamkan kepada pelaku tindak pidana kejahatan dan pelanggaran (punishment). Sanksi pidana umumnya adalah alat pemaksa agar seseorang mentaati norma-norma yang berlaku, dimana tiap-tiap norma mempunyai sanksi sendiri-sendiri dan pada tujuan akhir yang diharapkan adalah upaya pembinaan (treatment)115
112
Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 26. 113 Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 9. 114 Moh. Taufik Makaro, dkk, Op.Cit, hal. 43. 115 Ibid, hal. 46.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Lembaga Pengadilan memberikan tempat bahkan membantu kepada mereka yang dirampas hak-haknya dan memaksa kepada pihak-pihak agar bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan yang merugikan pihak lainnya Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa kehadiran lembaga itu merupakan operasionalisasi dari ide rumusan konsep-konsep hukum yang notabene bersifat abstrak. Melalui lembaga dan bekerjanya lembaga-lembaga itulah hal-hal yang bersifat abstrak tersebut dapat diwujudkan ke dalam kenyataan116. Kehadiran hukum dalam pergaulan hidup di negara Pancasila ini tidak sekedar menunjukkan pada dunia luar bahwa negara ini berdasarkan atas hukum, melainkan adanya kesadaran akan fungsi-fungsi yang dimiliki oleh hukum itu sendiri. Sejalan dengan itu Baharuddin Lopa memberikan gambaran berbagai fungsi hukum tersebut yaitu:117 1. Hukum sebagai alat perubahan sosial (as a tool of social engineering). Jadi hukum adalah kekuatan untuk mengubah masyarakat (change agent). 2. Hukum juga berfungsi sebagai alat untuk mengecek benar tidaknya sesuatu tingkah laku (as a tool of justification). 3. Hukum berfungsi pula sebagai “as a tool of social control” yaitu mengontrol pemikiran dan langkah-langkah kita agar kita selalu terpelihara tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum.
116
Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 4. 117 Baharuddin Lopa, Permasalahan Pembinaan dan Penegakan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hal. 32.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Apabila
diperhatikan fungsi ketiga hukum itu dapat diperoleh gambaran
bahwa peraturan hukum yang beroperasi di lembaga peradilan, selain input instrument memberi pula legitimasi pengadilan untuk melaksanakan peradilan. Pengadilan diberi wewenang untuk membuat norma hukum substantif yang dianggapnya memuaskan, patut atau adil bagi kasus konkrit. Oleh sebab itu, pengadilan berfungsi sebagai organ pembuat undang-undang. Dalam menjatuhkan sanksi, pengadilan selalu bertindak sebagai organ pembuat undang-undang karena pengadilan melahirkan hukum.118 2. Kerangka Konsepsi Konsep adalah definisi operasional dari berbagai istilah yang dipergunakan dalam tulisan ini. Sebagaimana yang dikemukakan M. Solly Lubis, bahwa kerangka konsep adalah merupakan konstruksi konsep secara internal pada pembaca yang mendapat stimulasi dan dorongan konseptual dari bacaan tinjauan pustaka.119 Dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia, analisa maksudnya adalah: Proses pemecahan masalah yang dimulai dengan dugaan akan kebenarannya; telaah terhadap suatu masalah.120 Putusan Pengadilan merupakan output suatu proses peradilan di sidang pengadilan yang meliputi proses pemeriksaan saksi-saksi, pemeriksaan terdakwa,
118
. Hans Kelsen, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-dasar Ilmu Normatif sebagai ilmu hukum Deskriftif –Empirik, Alih bahasa : H. Sumardi, (Jakarta : Media Indonesia, 2007), hal 181. 119 M. Solly Lubis, disampaikan pada waktu kuliah Politik Hukum Kelas Hukum dan HAM Sekolah Pascasarjana USU, Medan. 120 H. Nur Azman, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Bandung: Penabur Ilmu, 2001), hal. 18.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
pemeriksaan barang bukti, ketika proses pembuktian dinyatakan selesai oleh hakim, tiba saatnya hakim mengambil keputusan.121 Menurut KUHAP Pasal 1 butir 11 putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Berdasarkan Pasal 191 KUHAP putusan pengadilan dapat digolongkan dalam 3 macam yaitu: 1. Putusan bebas dari segala tuduhan hukum. 2. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum. 3. Putusan yang mengandung pemidanaan. Menurut Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 penyalahguna adalah orang menggunakan narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter. Narkoba (narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya) yakni zat-zat kimiawi yang dimasukkan dalam tubuh manusia (baik secara oral, dihirup maupun intravena, suntik) dapat mengubah pikiran, suasana hati atau perasaan dan perilaku seseorang.122 Narkoba yang populer di kalangan masyarakat terdiri dari 3 (tiga) golongan yakni, narkotika, psikotropika, obat/zat berbahaya lainnya. Ketiga golongan narkoba ini ditetapkan dalam undang-undang. 121
Rusli Muhammad, Op.Cit. hal. 115. Muchlis Catio, Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba di Lingkungan Pendidikan, (Jakarta: Badan Narkotika Nasional, 2006), hal. 9. 122
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Tindak pidana adalah perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman pidana. Tindak pidana di bidang narkoba antara lain berupa perbuatan-perbuatan seperti memproduksi, atau mengedarkan secara gelap, maupun penyalahgunaan narkoba, merupakan perbuatan yang merugikan masyarakat dan negara.123 Menurut Moh. Taufik Makaro, tindak pidana narkoba dapat diartikan dengan suatu perbutan yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum narkoba, dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dan ketentuan-ketentuan lain yang termasuk dan atau tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut.124 Menurut Soerjono Soekanto Kepastian Hukum adalah kepastian oleh karena hukum dan kepastian dalam hukum itu sendiri. Kepastian hukum mengharuskan diciptakannya peraturan-peraturan umum atau kaedah-kaedah hukum yang berlaku umum. Agar tercipta suasana yang aman dan tenteram di dalam masyarakat, maka kaedah termaksud harus ditegakkan dan dilaksanakan dengan tegas.125 Keadilan merupakan keadaan serasi yang membawa ketenteraman di dalam hati orang, yang apabila diganggu akan menimbulkan kegoncangan126 Manfaat Hukum adalah untuk menghindarkan kegoncangan dalam masyarakat, maka hukum menciptakan pelbagai hubungan tertentu di dalam masyarakat. Hubungan ini bermacam-macam wujudnya.127 123
Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2004), hal. 64-65. Moh. Taufik Makaro, Op.Cit. hal. 41. 125 Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, (Jakarta: Alumni, 1981), hal. 38-39. 126 Ibid, hal. 40. 124
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
G.
Metode Penelitian Metode penelitian yang dipergunakan dalam menjawab permasalahan yang
timbul dalam tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Penelitian yang dilaksanakan dalam tesis ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian terhadap masalah dengan melihat dari segi peraturanperaturan yang berlaku. 2. Bahan-bahan Hukum yang Digunakan Dalam penelitian hukum normatif data yang dipergunakan adalah data sekunder. Untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya, diperlukan sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder.128 a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Norma atau kaidah dasar yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. 2. Undang-Undang Dasar 1945. 3. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 4. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. 5. Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
127
Wirjono Prodjodikoro sebagaimana dikutip oleh R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hal. 57. 128 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2005), hal. 141.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
6. Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. 7. Putusan-Putusan Pengadilan yang berkaitan dengan tindak pidana narkoba. 8. Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Buku-buku hukum. 2. Bahan-bahan kuliah penemuan hukum. 3. Artikel di jurnal hukum. 4. Komentar-komentar atas putusan pengadilan. 5. Tesis, disertasi hukum. 6. Karya dari kalangan hukum yang ada hubungannya dengan penelitian ini. c. Bahan Hukum Tertier Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang pada penelitian ini adalah: 1. Kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia. 2. Majalah-majalah yang ada hubungannya dengan penelitian ini. 3. Koran yang memuat tentang kasus narkoba dan putusan pengadilan tentang tindak Pidana Narkoba. 3. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik secara studi kepustakaan berupa studi dokumen dan teknik pendukung lainnya yaitu wawancara terhadap informan yaitu Hakim Pengadilan Negeri Medan, Petugas Lembaga Pemasyarakatan, Kepolisian, Terpidana, dan Keluarga.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
4. Analisis Pada penelitian hukum normatif, pengolahan bahan hakikatnya kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat
klasifikasi
terhadap
bahan-bahan
hukum
tertulis
tersebut
untuk
memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam analisis bahan dalam penelitian ini adalah: a. Memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang narkoba dan penegakan hukum. b. Membuat sistematik dari Pasal-Pasal tersebut sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu (yang selaras dengan penegakan hukum terhadap penyalahgunaan narkoba). c. Bahan yang berupa peraturan perundang-undangan ini dianalisis secara kualitatif, dengan menggunakan logika berfikir dalam menarik kesimpulan secara metode deduktif, yaitu kerangka pemikiran diarahkan kepada aspekaspek normatif yang terkandung dalam hukum positif. Sehingga hasil dari analisis ini diharapkan dapat menjawab permasalahan yang dikemukakan dalam tulisan ini.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
BAB II DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMBUAT PUTUSAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOBA
A.
Aturan Hukum Tindak Pidana Narkoba Tindak Pidana Narkoba diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Sebelum membahas aturan hukum tindak pidana narkotika terlebih dahulu perlu dijelaskan penggolongan narkotika. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Narkotika digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan yaitu:129 4. Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. 5. Narkotika golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan
ilmu
pengetahuan
serta
mengakibatkan
potensi
tinggi
mengakibatkan ketergantungan. 6. Narkotika golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.
129
Lihat penjelasan Pasal 22 Tahun 1997.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Narkotika
golongan
I
hanya
dapat
digunakan
untuk
kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan dan dilarang digunakan untuk kepentingan lainnya.130 Yang termasuk narkotika golongan I adalah: 3. Tanaman papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya. 4. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman Papaver Somniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinnya. 5. Opium masak terdiri dari: a. candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau penambahan bahan-bahan lain, dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan. b. jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain. c. jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing. 4. Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaccac termasuk buah dan bijinya. 5. Daun koka daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaccac yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia. 6. Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokain. 7. Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina. 8. Tanaman ganja, semua tanaman genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis. 9. Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk stereo kimianya. 10. Delta 9 tetrahydrocannabinol dan semua bentuk stereo kimianya. 11. Asetorfina: 3-0-acetiltetrahidro-7a-(1-hidroksi- 1-metilbutil)-6, 14-endoetenooripavina. 12. Acetil-alfa-metilfentanil: N-[1-(a-metilfenetil)-4- piperidil] asetanilida 13. Alfa-metilfentanil: N-[1(a-metilfenetil)-4- piperidil] propionanilida 14. Alfa-metiltiofentanil: N-[1-]1-metil-2-(2-tienil) etil]-4-piperidil] propionanilida 15. Beta-hidroksifentanil: N-[1-(betahidroksientil)-4-4 piperidil] propionanilida
130
Lihat Pasal 5 UU No. 22 Tahun 1997.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
16. Beta-hidroksi-3-metilfentanil: -[1[(beta-hidroksifenetil)-3-metil-4-fentanil piperidil] propionanilida 17. Desomorfina: dihidrodeoksimorfina 18. 18. Etorfina:tetrahidro-7a-(1-hidroksi-1- metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina 19. Heroina: diacetilmorfina 20. Ketobemidona: 4-metahidroksifenil-1-metil-4 propionilpiperidina 21. 3-metilfentanil: N-(3-metil-1-fenetil-4- piperidil)propionanilida 22. 3-metiltiofentanil: N-[3-metil-1-[2-(2-tienil) etil]-4-piperidil] propionanilida 23. MPPP: 1-metil-4-fenil-4-piperidinol propianat (ester) 24. Para-fluorofentanil: 4-fluoru-N-(-1-fenetil-4- piperidil) propionanilid 25. PEPAP: 1-fenetil-4-fenil-4-piperidinol asetat (ester0 26. Tiofentanil: N-[1-[2-(2-tienil)etil]-4-piperidil] propionanilida.
Yang termasuk Narkotika golongan II yaitu: 1. 2. 3. 4. 5.
Alfasetilmetadol; Alfa -3-asetoksi-6-dimetil amino- 4,4-difenilheptana Alfameprodina; Alfa-3-etil-1-metil-4-fenil-4propionoksipiperidina Alfametadol; Alfa-6-dimetilamino-4,4-difenil-3- heptanol Alfaprodina; Alfa-1,3-dimetil-4-fenil-4- propionoksipiperidina Alfentanil; N-[1-[2-(4-etil-4,5-dihidro-5-okso-1Htetrazol-1-il)etil]4(metolsimetil)-4-piperinidil)-N-fenilpropanamida 6. 6. Allipronida: 3-allil-1-metil-4-fenil-4propionoksipiperinida 7. Anileridina: asam-1-para-aminofenetil-4-fenilpi peridina)-4-karboksilat etil ester 8. Asetilmetadol: 3-asetiksi-6dimetilamino-4-4-defenilheptana 9. Benzetidin: Asam 1-2-benzilosietil-4-fenilpoperidina-4-karboksilat etil ester. 10. Benzilmorfina: 3-benzilmorfina 11. Betameprodina : beta-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina 12. Betametadol : beta-6-dimetilamino-4-4-definil-3-heptanol 13. Betaprodina : beta-1, 3-metil-4-fenil-4-propionoksipepiridina 14. Betasetilmetadol : beta-3-asetoksi-6dimentilamino-4, 4-dipenilheptana 15. Beziltramida ; 1-(3-siano-3, 3-defenilpropil)-4-(2-okso-3-propionil-1-benzimida zolinil)-piperidina 16. Dekstromoramida : (+)-4-[2-metil-4-okso-3, 3-defenil-4-(1-piolidina) butylmorfolina 17. Diampromida : N-[2-(metilfenetilamino)-propil] propionanilida 18. dietiltiambutena : 3-dietilamino-1, 1-di-92-tienil)-1-1-butena 19. difenosilat ; asam-1-(3-siano-3, 3-difenilpropil)-4-penilpiperidina-4karboksilat etil ester 20. Difenoksin : asam-1-(3-siano-3, 3difenilpropil)-4-fenilisopekotik 21. Dihidroprifina 22. Dimefeptanol ; 6-dimetilamino-4, 4-definil-3-heptanol 23. Dimenoksadol ; 2-dimentilaminoetil-1-etokso-1, 1-difenilasetat
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
24. Dimetiltiambutena ; 3-dimetilamino-1, 1-di-(2-teinil)-1-butena 25. Dioksafetil butirat ; etil-4-morfolino-2, 2-definilbutirat 26. Dipipanona ; 4-, 4-difenil-6-piperdina-3-heptanona 27. Drotebanol : 3, 4-dimetiksi-17-metilmorfina-6b, 14-diol 28. Eksgonina, termasuk ester dan deviratnya yang setara dengan ekgonina dan kokaina. 29. Erilmetiltiambutena : 3-etilmetilamino-1, 1-di-92-tienil)-1-butena. 30. Etokseridina : asam 1-[2[92-hidrosietoksi0-etil]-4-fenipiperidina-4karboksilateil ester 31. Etinitazena ; 1-dietilaminoetil-2-para-etoksibenzil-5-niteobenzimedazol 32. Furetidina : asam 1-(-2-tetrahidrifurfurit loksietil)-4-penilpiperidina-4karboksilat etil ester) 33. Hidrokodona : dihidrokodeinona 34. Hidroksipetidina : asam-4-meta-hidroksifenil-1-1 metilpiperidina-4-karboksilat etil ester 35. Hidromorfinol : 14-hidroksidihidromorfina 36. Hidromorfona : dihidromorfinona 37. Isometadona : 6-dimetilamino-5-metil-4, 4-difeni-3-heksanona 38. Fenadoksona : 6-morfolino-4, 4-definul-3-heptanona 39. Fenampromida : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-propionanilida 40. Fenozosina : 2-hidroksi-5, 9-metil-2-finetil-6, 6-benzomorfan 41. Fenomorfan : 3-hidroksi-N-fenetilmorfina 42. Fenoperidina : asam-1-(3-hidroksi-3-fenilpropil)-4-fenipiperidina-4karboksilat etil ester 43. Fentanil ; 1-fenetil-4-N-propionilpiperidina 44. Klonitazena : 2-para-klobenzil-1-dietilaminoetil-5-nitrobenzimidazol 45. Kodoksima : dihidrokodeinona-6-karboksimetiloksima 46. Levofenasilmorfan : (1),-hidroksi-N-fensilmorfinan 47. Levomoramida : (-)-4-[2-metil-4-okso-3, 3-difenil-4(1-pirolidinil) butyl merfolina 48. Levometorfan : (-)-3-hidroksi-N-metilorfinan 49. Levorfanol : (-)-3-hidroksi-N-metiforfinan 50. Metadona : 6-dimetilamino-4, 4-defenil-3-heptanona 51. Merdona intermediat : 4-siano-2-dimetilamino-4, 4-difenil butane 52. Metazosina : 2-hidroksi-2, 5, 9-trimetil-6, 7-benzomorfan 53. Metildesorfina : 6-metil-delta-6-deoksimorfina 54. Metilhidromorfina : 6-metildihidromorfinona 55. Metopon : 5-metildihidromorfinona 56. Mirofina : mutristilbenzilmorfina 57. Moramida intermediat : asam (2-metil-3-morfolina-1, 1-difenipropana karboksilat 58. Morferidina : asam 1-(2-morfolionetil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester 59. Morfina-N-oksida
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
60. Morfin matabromida dan turunan morfina nitrogen pentafelent lainnya termasuk bagian turunan morfina N-oksida, salah satunya kodeina-n-oksida. 61. Morfina 62. Nikomorfina : 3,6-dinikotinilmorfina 63. Norasimetadol : (+)-alfa-3-asetoksi-6-metilamino-4, 4-difenilheptona 64. Norlevorfanol : (-)-3-hidroksimorfinan 65. Normetadona : 6-dimetilamino-4, 4-difenil-3-heksanona 66. Normorfina : dimetilmorfina atau N-dementil tedmorfina 67. Norpipanona : 4, 4-definel-6-piperidino-3-heksanona 68. Oksikodina : 14-hidrosidihidrokodeinona 69. Osimorfona : 14-hodroksidihidromorfinona 70. Opium 71. Petidina intermediat A : 4-siano-1-metil-fenilpiperidina 72. Petidina intermediat B : asam 4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester 73. Petidina intermediat C : asam-1-metil-4-fenilpoperidina-4-karboksilat 74. Petidina : asam-1-metil4-genilpiperidina-4-karboksilat etil ester 75. Pimonodina : asam 4-fenil-1-93-fenilamino propel)-piperidina-4-karboksilat etil ester 76. Piritamida : asam 1—(3-siano-3, 3 difenilpropil)-4(1-piperidino)piperdina-4-karboksilat amina 77. Proheptasina : 1,3-metil-fenil-4-propionolsizasiklo heptana 78. Properidina : asam 1-metil-4-fenilpiperodina-4-karboksilat iso propel ester. 79. rasemetorfan : (+)-3-metoksi-N-metilmorfinan 80. Rasemoramida : (+)-4-{2-metil-4-okso-3, 3-difenil-4 -(1-pirolidina) 81. Rasemorfan : (+)-4-{2-metil-4-okso-3, 3-difenil-4 -(1-pirolidina) 82. Sufentanil :N-(4-(metoksimetil)-1[2-(2-tienil)-etil-4-piperidil] propiononalida. 83. Tabaina 84. Tabakon : asetilidihodrokodeinona 85. Tilinida : (+)-etil-trans-2-(demetilaminl)-1-fenil-3sikloheksana-Ikarboksilat. 86. Trimeperina : 1,2,5-trimetil-4-fenilpropionool. Yang termasuk narkotika golongan III adalah : 1. Asetilidohodrokkodeina 2. Dekstropropoksideina : a-(+)-deimetilamino-1,2-defenil-3-mmetil-2-butanol propional 3. Dihidrokodeina 4. Etilmorfina : 3-etil morfina 5. Kodeina : 3-etil morina 6. Nikodikodina : 6-nikotiniljidrokedeina : 6-nikonilkodeina 7. Nikokodina
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
8. Norkoeina : N-demetikkodeina 9. Polkodina : morfonliniletilmofrina 10. Propiram : N-(1-metil-2-piperlainoetil)-N-2-pridilpropionammida 11. Garam–garam dari narkotika golongan tersbut di atas 12. campuran atau sediaan opium dengan bahan lain bukan narkotika 13. campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika 14. campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika. Demikian pembagian golongan narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997. Perbuatan-perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana narkotika dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sebagai berikut: 1. Mmenanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika golongan I dalam bentuk tanaman atau bukan tanaman tanpa hak dan melawan hukum (Pasal 78). 2. Memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika golongan II dan golongan III tanpa hak dan melawan hukum (Pasal 79). 3. Memproduksi,
mengolah,
mengekstraksi,
mengkonversi,
merakit,
atau
menyediakan narkotika Golongan I, II, dan III tanpa hak dan melawan hukum (Pasal 80). 4. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika Golongan I, II dan III tanpa hak melawan hukum (Pasal 81). 5. Mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
menukar narkotika Golongan I, II dan III tanpa hak dan melawan hukum (Pasal 82). 6. Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 78 sampai dengan Pasal 82 (Pasal 83). 7. Menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain tanpa hak dan melawan hukum (Pasal 84). 8. Menggunakan narkotika untuk diri sendiri tanpa hak dan melawan hukum (Pasal 85). 9. Orang tua/wali pecandu belum cukup umur yang sengaja tidak dilapor (Pasal 86). 10. Pecandu sudah cukup umur atau keluarganya (orang tua/wali) yang sengaja tidak dilapor (Pasal 88). 11. Menggunakan anak belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana narkotika (Pasal 87). 12. Pengurus pabrik obat yang tidak melaksanakan kewajiban menurut Pasal 41 dan 42, yaitu tidak mencatumkan label pada kemasan narkotika dan mempublikasikan narkotika di luar media cetak ilmiah kedokteran/farmasi (Pasal 89). 13. Menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di pengadilan (Pasal 92). 14. Nahkoda atau kapten penerbang yang tanpa hak melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan Pasal 24 dan Pasal 25, antara lain tidak membuat berita acara muatan narkotika, tidak melapor adanya muatan narkotika kepada Kepala Kantor Pabean setempat (Pasal 93).
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
15. Penyidik (PPNS/Polri) yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan Pasal 69 dan 71, antara lain tidak melakukan penyegelan dan pembuatan berita acara penyitaan; tidak memberi tahu atau menyerahkan barang sitaan; tidak memusnahkan tanaman narkotika yang ditemukan (Pasal 94). 16. Saksi yang yang memberi keterangan tidak benar di muka sidang pengadilan (Pasal 95). 17. Melakukan tindak pidana narkotika di wilayah Indonesia (Pasal 97). Perbuatan-perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana psikotropika dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 sebagai berikut: 1. Perbuatan menggunakan, memproduksi, mengedarkan, mengimpor, memiliki, menyimpan, membawa, mengangkut, mengekspor, mencantumkan label dan mengiklankan psikotropika yang bertentangan dengan ketentuan undang-undang (Pasal 59 sampai dengan Pasal 63). 2. Perbuatan
menghalangi
upaya
pengobatan/perawatan
penderita
dan
penyelenggaraan fasilitas rehabilitasi tanpa izin (Pasal 64). 3. Perbuatan tidak melaporkan adanya penyalahgunaan/pemilikan psikotropika secara tidak sah (Pasal 64). 4. Mengungkapkan identitas pelapor dalam perkara psikotropika (Pasal 66). 5. Percobaan/pembantuan (Pasal 69) dan permufakatan jahat melakukan tindak pidana psikotropika (Pasal 71). 6. Menggunakan anak belum 18 (delapan belas) tahun dalam melakukan tindak pidana psikotropika (Pasal 72).
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Subjek tindak pidana (yang dapat dipidana) menurut kedua Undang-Undang Narkoba di atas dapat berupa orang perorangan maupun korporasi. Namun di samping itu, ada pula subyek yang bersifat khusus, yaitu pimpinan rumah sakit/puskesmas/balai pengobatan, apoteker, dokter, lembaga ilmu pengetahuan, pimpinan pabrik obat dan pimpinan pedagang besar farmasi (Pasal 99 UndangUndang Narkotika; Pasal 14 jo. Pasal 60 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Psikotropika). Tujuan dibuatnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika adalah: 1. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika/psikotropika, dan 2. Memberantas peredaran gelap narkotika/psikotropika. Oleh sebab itu, semua rumusan delik dalam kedua undang-undang tersebut di atas terfokus pada penyalagunaan dan peredaran narkoba mulai dari penanaman, produksi, penyaluran, lalu lintas perederan sampai ke pemakaiannya, bukan pada kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana. Menurut pengamatan penulis, putusan hakim belum sepenuhnya menjatuhkan pidana sesuai dengan yang diancamkan oleh Undang-Undang Narkoba. Malah terkesan hukuman yang dijatuhkan sangat ringan. Sanksi pidana dan pemidanaanya baik dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 maupun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 bervariasi antara lain:
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
1. Jenis sanksi dapat berupa pidana pokok (denda, kurungan, penjara dalam waktu tertentu/seumur hidup, dan pidana mati), pidana tambahan (pencabutan izin usaha/pencabutan hak tertentu), dan tindak pengusiran (bagi warga negara asing); 2. Jumlah/lamanya pidana bervariasi: untuk denda berkisar antara Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) sampai Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk tindak pidana psikotropika, dan antara Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) sampai Rp. 7.000.000.000,00 (tujuh milyar rupiah) untuk tindak pidana narkotika; untuk pidana penjara berkisara antara 3 (tiga) bulan sampai 20 (dua puluh) tahun dan seumur hidup. 3. Sanksi pidana pada umumnya (kebanyakan) diancamkan secara kumulatif (terutama penjara dan denda). Perumusan kumulasi yang paling banyak adalah antara pidana penjara dan denda yang cukup besar (ratusan juta dan ada yang milaran rupiah). Hal ini pun dikhawatirkan tidak efektif dan dapat menimbulkan masalah, karena ada ketentuan bahwa apabila denda tidak dibayarkan, dikenakan pidana kurungan pengganti denda menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 100 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997). Ini berarti berlaku ketentuan umum dalam KUHP (Pasal 30), bahwa maksimum pidana kurungan pengganti adalah 6 (enam) bulan atau dapat menjadi makimum 8 (delapan) bulan apabila ada pemberatan (recidive/concursus). Dengan demikian, kemungkinan besar ancaman pidana denda yang sangat besar itu tidak akan efektif, karena kalau tidak dibayarkan, paling-paling hanya terkena pidana kurungan pengganti denda
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
itu mungkin tidak mempunyai pengaruh karena sekiranya terpidana membayar denda, ia pun tetap menjalani pidana penjara yang dijatuhkan secara kumulasi. 4. Untuk tindak pidana tertentu ada yang diancamkan dengan pidana minimal khusus (penjara maupun denda). 5. Adanya pemberatan pidana terhadap tindak pidana yang didahului dengan pemufakatan jahat, dilakukan secara organisasi, dilakukan oleh korporasi, dilakukan dengan menggunakan anak belum cukup umur, dan apabila ada pengulangan (recidive). 6. Menurut Undang-Undang Psikotropika (Pasal 69), percobaan atau perbantuan melakukan tindak pidana dipidana sama dengan melakukan tindak pidana, dan menurut Undang-Undang Narkotika (Pasal 83), percobaan atau pemufakatan jahat dipidana sama dengan melakukan tindak pidana.
B.
Tugas dan Kewajiban Hakim Menurut KUHAP dalam Pasal 1 ayat (8) Hakim adalah pejabat peradilan
negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Sebagai penegak hukum, hakim mempunyai tugas pokok di bidang judisial, yaitu menerima, memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam mengemban tugas penegakan hukum dan keadilan, hakim mempunyai kewajiban-kewajiban berat yang harus ditunaikan demi
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
tercapainya tujuan yang ditentukan yaitu suatu masyarakat yang adil dan makmur131. Lebih lanjut tugas hakim dapat dibedakan menjadi tugas hakim secara normatif dan tugas hakim secara konkrit dalam mengadili suatu perkara. Tugas hakim secara normatif diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yaitu: 1. Mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (Pasal 5 ayat (1). 2. Membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan (Pasal 5 ayat (2). 3. Tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal 16 ayat (1)). 4. Memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila diminta (Pasal 27 ayat (1)). 5. Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1)). 6. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 ayat (2)).
131
Rusli Muhammad, Op.Cit. hal. 49.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Di samping tugas hakim secara normatif, hakim juga mempunyai tugas secara konkrit dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara melalui tindakan secara bertahap yaitu: 1. Mengkonstatir yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa konkrit. Hakim harus mengkonstatir peristiwa konkrit yang disengketakan. Untuk dapat mengkonstatir peristiwa konkrit, peristiwa konkrit itu harus dibuktikan lebih dahulu. Tanpa pembuktian hakim tidak boleh mengkonstatir atau menyatakan suatu peristiwa konkrit itu benar-benar terjadi. Mengkonstatir berarti menyatakan benar terjadinya suatu peristiwa konkrit. 2. Mengkualifisir yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa hukumnya. Hakim menilai peristiwa yang telah dianggap benar-benar terjadi itu termasuk dalam hubungan hukum yang mana. Mengkualifisir adalah kegiatan untuk mencari dan menemukan hukumnya atau undang-undangnya untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkrit, peristiwa konkrit itu harus diarahkan kepada undangundangnya, sebaliknya undang-undangnya harus disesuaikan dengan peristiwanya yang konkrit. 3. Mengkonstituir atau memberikan konstitusinya, yaitu hakim menetapkan hukumnya dan memberi keadilan kepada para pihak yang bersangkutan. Di sini hakim mengambil kesimpulan dari adanya premis mayor (peraturan hukumnya) dan premis minor (peristiwanya). Dalam memberikan putusan, hakim perlu memperhatikan faktor yang seharusnya diterapkan secara proporsional yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Sebagai salah satu pilar untuk menegakkan hukum dan keadilan, hakim mempunyai peranan menentukan sehingga kedudukannya dijamin undang-undang. Dengan demikian, diharapkan tidak adanya direktiva/campur tangan dari pihak manapun terhadap para hakim ketika sedang menangani perkara132. Namun dalam kenyataannya hakim dalam menangani suatu perkara sering dipengaruhi oleh pihak lain. Dalam membuat suatu putusan terhadap perkara narkoba banyak dipengaruhi oleh pihak yang berkepentingan tetapi kita tetap pada aturan yang ada. Tidak boleh terpengaruh terhadap intervensi.133 Hakim dalam usaha penerapan hukum demi keadilan di persidangan harus menyadari tanggung jawabnya sehingga bila ia bertindak dan berbuat tidaklah sekedar
menerima,
memeriksa
kemudian
menjatuhkan
putusan,
melainkan
keseluruhan perbuatan itu diarahkan guna mewujudkan Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa. Inilah yang harus diwujudkan oleh hakim dalam sidang pengadilan yang sekaligus sebagai realisasi dari tanggung jawabnya. Sebelum memangku jabatannya hakim wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya. Adapun bunyi sumpah atau janji itu menurut Pasal 30 UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah sebagai berikut:
132
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, (Bandung: Alumni, 2007), hal. 75. 133 Hasil wawancara dengan Bapak Pratondo, Hakim pada Pengadilan Negeri Medan tanggal 27 Januari 2009.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Sumpah: “Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa”. Janji: “Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta berbakti kepada nusa dan bangsa”. Hakim akan tetap bekerja dan berusaha untuk mewujudkan keadilan meskipun kasus yang dihadapi tidak ada hukumnya. Bila menemukan kasus yang tidak ada hukumnya, hakim berusaha mencari dengan menggali dan menemukan hukumnya dengan bersandarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Hal ini harus dilakukan sebab sudah merupakan suatu kewajiban menurut undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 Tahun 2004 dalam Pasal 28 disebutkan: (1) Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
(2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memerhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.
C.
Bentuk-Bentuk Putusan Hakim Putusan pengadilan atau yang biasa disebut dengan putusan hakim sangat
diperlukan untuk menyelesaikan suatu perkara pidana. Dengan adanya putusan hakim diharapkan para pihak dalam perkara khususnya terdakwa dapat memperoleh kepastian hukum tentang statusnya sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya antara lain menerima putusan, melakukan upaya hukum banding, kasasi, grasi dan sebagainya. Menurut Rusli Muhammad putusan pengadilan merupakan output suatu proses peradilan di sidang pengadilan yang meliputi proses pemeriksaan saksi-saksi, pemeriksaan terdakwa, pemeriksaan barang bukti. Ketika proses pembuktian dinyatakan selesai oleh hakim, tiba saatnya hakim mengambil keputusan.134 Pasal 1 butir 11 KUHAP menyatakan: Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Ada 3 bentuk putusan pengadilan yang diatur dalam KUHAP pada Pasal 191 dan Pasal 193 yaitu:
134
Rusli Muhammad, Op.Cit. hal. 115.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
1. Putusan Bebas Putusan bebas adalah putusan yang dijatuhkan hakim kepada terdakwa apabila dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Hal ini diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP. Pada asasnya, esensi putusan bebas terjadi karena terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan Jaksa/Penuntut Umum dalam surat dakwaan.135 Dakwaan tidak terbukti diatur dalam Pasal 183 KUHAP yang menyebutkan “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Pasal ini memberi penjelasan bahwa adanya dua alat bukti yang sah belum cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana akan tetapi dari dua alat bukti yang sah itu hakim juga memperoleh keyakinan bahwa telah terjadi tindak pidana dan terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Menurut Martiman Prodjohamidjojo dakwaan tidak terbukti berarti bahwa apa yang diisyaratkan oleh Pasal 183 KUHAP tidak dipenuhi, yaitu karena:136
135 136
Lilik Mulyadi, Op.Cit. hal. 217. Martiman Prodjohamidjojo, Putusan Pengadilan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hal.
15.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
a. Tiadanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, yang disebut oleh Pasal 184 KUHAP, jadi, misalnya hanya ada satu saksi saja, tanpa diteguhkan dengan bukti lain. b. Meskipun terdapat dua alat bukti yang sah, akan tetapi hakim tidak mempunyai keyakinan atas kesalahan terdakwa, misalnya terdapat dua keterangan saksi, akan tetapi hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa. c. Jika salah satu atau lebih unsur tidak terbukti. Mengenai alat bukti diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu: Alat bukti yang sah ialah: a. Keterangan saksi. b. Keterangan ahli. c. Surat. d. Petunjuk. e. Keterangan terdakwa. Sesuai hasil wawancara penulis dengan Penyidik Sat Narkoba Poltabes MS, untuk kasus narkoba yang dilimpahkan ke PN Medan biasanya dikenai pidana. Sedangkan untuk penangguhan penahanan tidak diberikan kepada tersangka menurut kesepakatan hukum walaupun hukum mengatur tidak semua kasus harus ditahan karena penahanan mempunyai alasan yaitu untuk menimbulkan efek jera dan tidak
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
mengulangi perbuatannya karena penyalahgunaan narkoba terutama pemakai sudah kecanduan dan untuk mengulangi perbuatannya lebih besar keinginannya.137 2. Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum Dasar hukum dari putusan ini dapat dilihat pada Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.” Dari bunyi Pasal di 191 ayat (2) di atas dapat diartikan bahwa putusan hakim berupa putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa yang setelah melalui pemeriksaan di sidang pengadilan ternyata menurut pendapat majelis hakim perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana. Pelepasan dari segala tuntutan hukum dijatuhkan apabila terdapat hal-hal yang menghapuskan pidana baik yang menyangkut perbuatannya sendiri maupun yang menyangkut diri pelaku perbuatan itu, misalnya terdapat pada:138 a. Pasal 44 KUHP, yaitu orang yang sakit jiwa, atau cacat jiwanya. b. Pasal 48 KUHP tentang keadaan memaksa (overmacht) c. Pasal 49 KUHP tentang membela diri (noodweer). d. Pasal 50 KUHP, yakni melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-undang. 137
Hasil wawancara dengan Bapak Bripka Pol. Muhammad Fairus Abadi penyidik Sat.Narkoba Poltabes MS tanggal 28 Januari 2009. 138 Rusli Muhammad, Op.Cit. hal. 117-118.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
e. Pasal 51 KUHP melakukan perintah yang diberikan oleh atasan yang sah. Hal-hal yang menghapuskan pidana yang terdapat pada pasal-pasal tersebut, oleh Soedarjo139 dikatakan sebagai hal yang bersifat umum. Di samping itu dikatakan pula terdapat hal-hal yang menghapus pidana secara khusus, yang diatur secara khusus dalam pasal tertentu dalam undang-undang, misalnya Pasal 166 dan 310 ayat (3) KUHP. Dengan demikian, terdakwa yang memenuhi kriteria masing-masing pasal, baik yang mengatur hal-hal yang menghapus pidana secara khusus maupun yang bersifat umum seperti tersebut di atas, tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatan yang didakwakan itu terbukti. Menurut Pasal 67 KUHAP terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat terdakwa atau penuntut umum tidak berhak minta banding. Di atas telah dijelaskan bahwa pelepasan dari segala tuntutan hukum dibenarkan oleh hukum apabila seseorang melakukan perintah yang diberikan oleh atasan yang sah. Tetapi tidak semua perintah yang diberikan oleh atasan bisa lepas dari segala tuntutan hukum. Hakim menempatkan perintah atasan pada hal-hal yang meringankan saja. Karena sesuai fakta di persidangan perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur dari dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa. Tampak pada putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 2200/Pid.B/2005/PN.Mdn sebagai
139
Soedarjo, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana, (Jakarta: Akademi Pressindo, 1985),
hal. 58.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
berikut: bahwa adalah Heri Sulistyono yang berprofesi sebagai anggota Polri yang bertugas di Aceh. Bersama-sama dengan temannya membeli ganja di Aceh untuk dijual di Medan atas perintah atasannya yang kemudian didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan kesatu melanggar Pasal 82 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997 jo Pasal 55 ayat (1) ke 1e KUHP dan dakwaan kedua melanggar Pasal 81 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997 jo Pasal 55 ayat (1) ke 1e KUHP dan dakwaan ketiga melanggar Pasal 78 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997 jo Pasal 55 ayat (1) ke 1e KUHP. Kemudian hakim menjatuhkan putusan dengan pertimbangan yang pada pokoknya sebagai berikut: 1. Bahwa dari fakta-fakta yang terungkap di persidangan yang didasarkan atas keterangan saksi-saksi di bawah sumpah dan keterangan terdakwa, serta adanya barang bukti, selanjutnya apakah terdakwa telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan terhadap diri terdakwa tersebut, maka Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur dari dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa. 2. Bahwa setelah membaca dan mempelajari surat dakwaan dari jaksa Penuntut Umum, ternyata bahwa terdakwa dihadapkan ke depan persidangan dengan surat dakwaan yang disusun secara alternatif, sehingga oleh karenanya Majelis Hakim akan mempertimbangkan dakwaan yang lebih mencocoki dengan fakta-fakta yang terungkap di persidangan yakni dakwaan kesatu yaitu
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
melanggar Pasal 82 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 jo Pasal 55 ayat (10) ke 1 KUHP yang memiliki unsur. 3. Barang siapa secara tanpa hak dan melawan hukum mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika golongan I; terdakwa dipersalahkan sebagai orang yang melakukan, atau turut serta melakukan. 4. Bahwa tentang unsur pertama “barang siapa” yang dimaksud di sini adalah menunjuk kepada pelaku tindak pidana, baik manusia atau orang pribadi ataupun badan hukum yang dapat dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatannya, yang berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan yang dimaksud sebagai pelaku adalah orang pribadi yakni terdakwa atas nama HERI SULISTIYONO. 5. Bahwa perihal unsur kedua “secara tanpa hak dan melawan hukum mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika golongan I” bahwa unsur ini adalah bersifat alternatif yang artinya apabila salah satu keadaan saja dari beberapa keadaan yang disebut di atas sudah terpenuhi maka unsur ini dapat dinyatakan telah terbukti. 6. Bahwa oleh karena perbuatan terdakwa telah memenuhi seluruh unsur-unsur dari dakwaan Kesatu yakni melanggar Pasal 82 ayat (1) huruf a UU RI No. 22 Tahun 1997 jo Pasal 55 (1) ke 1e KUHP maka terdakwa telah terbukti secara
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan Kesatu, dan oleh karenanya kepada terdakwa patut dijatuhi pidana yang setimpal atas perbuatannya, dan dakwaan selanjutnya tidak perlu dibuktikan lagi. 7. Bahwa oleh karena terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan kesatu, maka Majelis Hakim tidak sependapat dengan penasehat hukum terdakwa yang di dalam nota pembelaannya Penasehat Hukum terdakwa pada pokoknya berpendirian bahwa tindak pidana yang dituduh dilakukan oleh terdakwa adalah pada hakikatnya bukan atas kemauan dan niat terdakwa tetapi dilakukan berdasarkan perintah yang di dalam korps Kepolisian tidak mungkin dibantah oleh terdakwa sehingga Penasehat Hukum terdakwa memohon agar terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum. 8. Bahwa hal tersebut didasari pertimbangan majelis yang pada pokoknya: jika seandainya benar keterangan yang menyatakan bahwa ada perintah dari atasan terdakwa (i.c Wadanki terdakwa), namun Majelis memandang terdakwa sebagai anggota polisi seharusnya bisa membedakan mana perintah yang masih dalam koridor ruang lingkup tugas dan jabatannya, dan mana yang sudah berada di luar koridor tugas dan jabatannya, terlebih lagi perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang (i.c. Membawa atau menjual ganja).
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
9. Bahwa oleh karena terdakwa telah terbukti bersalah dan kepada terdakwa patut dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatannya, maka kepada terdakwa patut dibebani untuk membayar biaya perkara. 10. Bahwa sebelum Majelis hakim menjatuhkan pidana atas diri terdakwa maka kami terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal meringankan sebagai berikut: Hal-hal yang memberatkan: 2. Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat dan bertentangan dengan program pemerintah dalam pemberantasan Tindak Pidana Narkotika. Hal-hal yang meringankan: 1. Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya. 2. Terdakwa menyesali perbuatannya. 3. Terdakwa belum pernah dihukum. 4. Terdakwa menurut ianya melakukan perbuatan tersebut karena disuruh oleh Wadankinya. 5. Akhirnya Majelis hakim menjatuhkan putusan dengan diktum, menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘Secara tanpa hak dan melawan hukum turut serta menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, narkotika golongan I” dan menghukum terdakwa dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun dan denda sebesar Rp.1.000.000; (satu juta Rupiah), atau apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Dari kasus di atas dapat dilihat bahwa hakim tidak memutus lepas dari segala tuntutan hukum terdakwa atas nama Herli Sulistiyono tersebut. Hakim menilai perintah atasan yang diperintahkan kepada terdakwa bukan lagi dalam lingkup tugas dan jabatannya, tetapi sudah di luar tugas dan jabatannya, apalagi perbuatan terdakwa bertentangan dengan undang-undang. Sebagai anggota Polri seharusnya bisa membedakan mana perintah tugas dengan perintah di luar tugas. Walaupun demikian hakim mempertimbangkan perintah atasan ke dalam hal-hal yang meringankan terdakwa. Dalam kasus ini, menurut pendapat penulis hakim sudah benar menerapkan hukum dengan menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa Herli Sulistiyono. Sebab dalam Pasal 51 KUHP jelas disebutkan bahwa yang tidak boleh dipidana adalah perintah yang berhubungan dengan jabatan atau pekerjaan. Sedangkan terdakwa Herli Sulistiyono melaksanakan perintah di luar tugas dan jabatannya, bahkan perbuatannya sudah melanggar Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. 3. Putusan Pemidanaan Putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: “Jika Pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”. Apabila hakim menjatuhkan putusan pemidanaan, hakim telah yakin berdasarkan alat-alat bukti yang sah serta fakta-fakta di persidangan bahwa terdakwa
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
melakukan perbuatan sebagaimana dalam surat dakwaan140. Selain itu, dalam penjatuhan pidana, jikalau terdakwa tidak dilakukan penahanan, dapat diperintahkan oleh hakim supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, atau apabila tindak pidana itu termasuk yang diatur dalam ketentuan Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP dan terdapat cukup alasan untuk itu. Dalam hal terdakwa dilakukan suatu penahanan, pengadilan dapat menetapkan terdakwa tersebut tetap berada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat cukup alasan untuk itu141. Sedangkan lamanya pidana, pembentuk undang-undang memberi kebebasan kepada hakim untuk menentukan antara pidana minimum sampai maksimum terhadap pasal yang terbukti dalam persidangan.. walaupun pembentuk undang-undang memberi kebebasan menentukan batas maksimum dan minimum lama pidana yang harus dijalani terdakwa, bukan berarti hakim bisa seenaknya menjatuhkan pidana tanpa dasar pertimbangan yang lengkap. Penjatuhan pidana tersebut harus cukup dipertimbangkan dan putusan hakim yang kurang pertimbangan dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI. Adanya kesalahan terdakwa dibuktikan dengan minimal dua alat bukti dan hakim yakin akan kesalahan terdakwa berdasarkan alat bukti yang ada dan dengan adanya dua alat bukti dan keyakinan hakim, berarti pula syarat untuk menjatuhkan pidana telah terpenuhi142.
140
Lihat Pasal 183 KUHAP. Lihat Pasal 193 ayat (2) KUHAP. 142 Pasal 183 KUHAP. 141
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Dalam hal pengadilan menjatuhkan putusan yang mengandung pemidanaan, hakim harus mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa: Hal-hal yang memberatkan143: 1. Program pemerintah gemar memerangi narkoba. 2. Bisa meresahkan masyarakat dan sebagainya. 3. Menghancurkan masa depan generasi muda. Hal-hal yang meringankan: 1. Terdakwa belum pernah dihukum. 2. Terdakwa menyesali akan perbuatannya. 3. Terdakwa bersikap sopan di pengadilan.
D.
Pertimbangan Yuridis dan Pertimbangan Non Yuridis Serta Hal-Hal yang Memberatkan dan Meringankan Penjatuhan Pidana Untuk menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan
narkoba, hakim membuat pertimbangan-pertimbangan. Menurut pengamatan dari 10 (sepuluh) kasus yang diteliti oleh penulis, hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana narkoba cenderung lebih banyak menggunakan pertimbangan yang bersifat yudiris dibandingkan yang bersifat non-yudiris.
143
Hasil wawancara dengan Bapak Pratondo, Hakim PN Medan, tanggal 27 Januari 2009.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
1. Pertimbangan yang Bersifat Yuridis Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan oleh undangundang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Pertimbangan yang bersifat yuridis di antaranya: a. Dakwaan jaksa penuntut umum. b. Keterangan saksi. c. Keterangan terdakwa. d. Barang-barang bukti. e. Pasal-pasal dalam Undang-Undang Narkotika dan Psikotropika. ad.a. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasarkan itulah pemeriksaan di persidangan dilakukan (Pasal 142 ayat (1) KUHP). Dakwaan berisi identitas terdakwa juga memuat uraian tindak pidana serta waktu dilakukannya tindak pidana dan memuat pasal yang dilanggar (Pasal 142 ayat (2) KUHP). Perumusan dakwaan didasarkan dari hasil pemeriksaan pendahuluan yang dapat disusun tunggal, kumulatif, alternatif maupun subsidair144. Dakwaan disusun secara tunggal apabila seseorang atau lebih mungkin melakukan satu perbuatan saja, misalnya hanya sebagai pemakai. Namun, kalau lebih dari satu perbuatan misalnya ketika tertangkap memakai narkoba ditemukan pula senjata api dalam hal ini
144
Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 125.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
dakwaan disusun secara kumulatif. Oleh karena itu dalam penyusunan dakwaan ini disusun sebagai dakwaan kesatu, kedua, ketiga dan seterusnya. Selanjutnya dakwaan alternatif disusun apabila penuntut umum ragu untuk menentukan peraturan hukum pidana yang akan diterapkan atas suatu perbuatan yang menurut pertimbangannya telah terbukti. Dalam praktek dakwaan alternatif tidak dibedakan dengan dakwaan subsidair karena pada umumnya dakwaan alternatif disusun penuntut umum menurut bentuk subsidair yakni tersusun atas primair atau subsidair. Dari sepuluh putusan pengadilan yang diteliti, semuanya menyebutkan bahwa dakwaan
penuntut
umum
sebagai
bahan
pertimbangan
pengadilan
dalam
menjatuhkan putusan. ad.b. Keterangan Saksi Keterangan saksi merupakan alat bukti seperti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Sepanjang keterangan itu mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri ia lihat sendiri dan alami sendiri, dan harus disampaikan dalam sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah. Keterangan saksi yang disampaikan di muka sidang pengadilan yang merupakan hasil pemikiran saja atau hasil rekaan yang diperoleh dari kesaksian orang lain tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah. Kesaksian semacam ini dalam hukum acara pidana disebut dengan istilah de auditu testimonium145. Kesaksian de auditu dimungkinkan dapat terjadi di persidangan. Oleh karena itu hakim harus cermat jangan sampai kesaksian demikian itu menjadi pertimbangan 145
SM. Amin, Hukum Acara Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pradnya Paramita), hal. 75.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
dalam putusannya. Untuk itu sedini mungkin harus diambil langkah-langkah pencegahan. Yakni dengan bertanya langsung kepada saksi bahwa apakah yang dia terangkan itu merupakan suatu peristiwa pidana yang dia dengar, dia lihat dan dia alami sendiri. Apabila ternyata yang diterangkan itu suatu peristiwa pidana yang tidak dia lihat, tidak dia dengar, dan tidak dia alaminya sendiri sebaiknya hakim membatalkan status kesaksiannya dan keterangannya tidak perlu lagi didengar untuk menghindarkan kesaksian de auditu. Keterangan saksi tampaknya menjadi pertimbangan utama dan selalu dipertimbangkan hakim dalam putusannya. Dari sepuluh putusan hakim yang diteliti oleh penulis semuanya mempertimbangkan keterangan saksi. Ad.c. Keterangan Terdakwa Menurut Pasal 184 KUHAP butir e. keterangan terdakwa digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di sidang tentang perbuatan yang dia lakukan atau yang dia ketahui sendiri atau yang dia alami sendiri146. Dalam praktek keterangan terdakwa sering dinyatakan dalam bentuk pengakuan dan penolakan, baik sebagian maupun keseluruhan terhadap dakwaan penuntut umum dan keterangan yang disampaikan oleh para saksi. Keterangan juga merupakan jawaban atas pertanyaan baik yang diajukan oleh penuntut umum, hakim maupun penasehat hukum. Keterangan terdakwa dapat meliputi keterangan yang berupa penolakan dan keterangan yang berupa pengakuan atas semua yang didakwakan kepadanya. Dengan demikian, keterangan terdakwa yang dinyatakan 146
Lihat Pasal 189 KUHAP.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
dalam bentuk penolakan atau penyangkalan sebagaimana sering dijumpai dalam praktek persidangan, boleh juga dinilai sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa merupakan bahan pertimbangan hakim dalam membuat putusan. Dari 10 (sepuluh) putusan yang diteliti semuanya mempertimbangkan keterangan terdakwa. Ad.d. Barang-barang Bukti Pengertian barang-barang bukti yang dibicarakan di sini adalah semua benda yang dapat dikenakan penyitaan dan yang diajukan oleh penuntut umum di persidangan yang meliputi147: 1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga atau diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana. 2. Benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkan tindak pidana. 3. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana. 4. Benda khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana. 5. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana. Barang-barang bukti yang dimaksud di atas tidak termasuk dalam alat bukti karena menurut KUHAP menetapkan hanya lima macam alat bukti yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Walaupun barang bukti bukan sebagai alat bukti namun penuntut umum menyebutkan barang bukti itu didalam surat dakwaannya yang kemudian mengajukannya kepada hakim dalam 147
Lihat Pasal 39 ayat (1) KUHAP.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
pemeriksaan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi bahkan bila perlu hakim membuktikannya dengan membacakannya atau memperlihatkan surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi dan selanjutnya minta keterangan seperlunya tentang hal itu148. Adanya barang bukti yang diperlihatkan pada persidangan akan menambah keyakinan hakim dalam menilai benar tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dan sudah barang tentu hakim akan lebih yakin apabila barang bukti itu dikenal dan diakui oleh terdakwa maupun para saksi. Barang bukti cenderung dipertimbangkan hakim dalam menjatuhkan putusan. Tetapi walaupun demikian, dari sepuluh putusan yang diteliti oleh penulis, ada satu putusan yang tidak mempertimbangkan barang bukti dalam putusannya. Ad.e. Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Narkotika dan Psikotropika. Hal yang sering terungkap di persidangan adalah pasal-pasal yang dikenakan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Pasal-pasal ini bermula dan terlihat dalam surat dakwaan yang diformulasikan oleh penuntut umum sebagai ketentuan hukum narkoba yang dilanggar oleh terdakwa. Dalam persidangan, pasal-pasal dalam undang-undang narkotika dan psikotropika itu selalu dihubungkan dengan perbuatan terdakwa. Penuntut umum dan hakim berusaha untuk membuktikan dan memeriksa melalui alat-alat bukti tentang apakah perbuatan terdakwa telah atau tidak memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam pasal undang-undang tentang narkoba. Apabila ternyata perbuatan terdakwa 148
Lihat Pasal 181 ayat (13) KUHAP.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
memenuhi unsur-unsur dari setiap pasal yang dilanggar, berarti terbuktilah menurut hukum kesalahan terdakwa melakukan perbuatan seperti dalam pasal yang didakwakan kepadanya. Menurut Pasal 197 huruf e KUHAP salah satu yang harus dimuat dalam surat putusan pemidanaan adalah pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan. Pasal-pasal
yang didakwakan oleh penuntut umum menjadi dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. Keseluruhan putusan hakim yang diteliti oleh penulis, memuat pertimbangan tentang pasal-pasal dalam undang-undang narkoba yang dilanggar oleh terdakwa. Tidak ada satu putusanpun yang mengabaikannya. Hal ini dikarenakan pada setiap dakwaan penuntut umum, pasti menyebutkan pasal-pasal yang dilanggar oleh terdakwa, yang berarti fakta tersebut terungkap di persidangan menjadi fakta hukum. 2. Pertimbangan yang Bersifat Non Yuridis Di samping pertimbangan yang bersifat yuridis hakim dalam menjatuhkan putusan membuat pertimbangkan yang bersifat non yuridis. Dari hasil penelitian penulis terhadap sepuluh putusan Pengadilan Negeri Medan ada beberapa pertimbangan yang bersifat non yuridis yaitu: a. Akibat perbuatan terdakwa. b. Kondisi diri terdakwa.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
ad.a. Akibat Perbuatan Terdakwa Perbuatan terdakwa dalam hal penyalahgunaan narkoba sudah barang tentu membawa akibat kepada diri sendiri ataupun kepada orang lain. Selain berakibat buruk kepada keluarga korban juga berakibat buruk kepada masyarakat luas. Seperti yang sudah dikemukakan penulis pada awal tulisan ini dampak dari penyalahgunaan narkoba ini sangat menakutkan sampai-sampai bisa menghilangkan generasi suatu bangsa (lost generation). Akibat-akibat yang seperti ini bisa menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. Mungkin karena begitu berbahayanya akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana narkoba, sehingga dari hasil penelitian penulis terhadap sepuluh putusan hakim Pengadilan Negeri Medan, semua hakim mempertimbangkan akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan terdakwa dalam menjatuhkan
putusan.
Dapat
dilihat
pada
perkara
Nomor:
2.498/Pid.B/2004/PN.Medan, Nomor : 2.200/Pid.B/2005/PN.Medan, Nomor : 1.920/Pid.B/2005/PN.Medan, Nomor : 2.234/Pid.B/2006/PN.Medan, Nomor : 5.089/Pid.B/2006/PN.Medan, Nomor : 2.637/Pid.B/2007/PN.Medan, Nomor : 3.916/Pid.B/2007/PN.Medan, Nomor : 4.200/Pid.B/2008/PN.Medan, Nomor : 1.500/Pid.B/2004/PN.Medan, Nomor : 1.570/Pid.B/2008/PN.Medan. Ad.b. Kondisi Diri Terdakwa Kondisi diri terdakwa dalam tulisan ini dapat diartikan sebagai keadaan fisik maupun psikis terdakwa sebelum melakukan kejahatan, termasuk status sosial yang melekat pada dirinya. Kondisi fisik yang dimaksud adalah usia dan tingkat kedewasaan, sementara keadaan psikis dimaksudkan adalah perasaan misalnya dalam
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
keadaan marah, gemetar, keringat dingin, pikiran kacau dan tidak normal. Sedangkan yang dimaksudkan dengan status sosial adalah predikat yang dimiliki dalam masyarakat yaitu apakah pejabat, polisi, kuli bangunan, wiraswasta dan sebagainya. Dari pengamatan penulis terhadap sepuluh putusan hakim bahwa hakim tidak mempertimbangkan status sosial terdakwa, Karena di antara putusan yang penulis teliti ada tiga putusan dalam hal ini terdakwanya berprofesi sebagai anggota Polri tetapi dalam putusannya hakim tidak mempertimbangkan. Padahal sebagai penegak hukum seharusnya memberi contoh yang baik kepada masyarakat bukan malah melanggar hukum sehingga penulis berpendapat sudah sewajarnya apabila dalam putusannya hakim mempertimbangkannya. Bila perlu hukuman untuk penegak hukum yang melakukan tindak pidana narkoba lebih berat daripada hukuman terhadap masyarakat biasa. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dilihat dari kondisi diri terdakwa. Dari 10 (sepuluh) putusan hanya 2 (dua) putusan yang mempertimbangkan kondisi diri terdakwa yaitu putusan No. 1.500/Pid. B/2004/ PN Medan dan No. 2200/Pid. B/2005/PN Medan, selebihnya yaitu sebanyak 8 (delapan) putusan tidak mempertimbangkannya. 3. Hal-hal yang Memberatkan dan Meringankan Pidana Bila
diperhatikan
setiap
putusan
hakim,
yaitu
Putusan
No.
2.498/Pid.B/2004/PN Medan, No.1.500/Pid.B/2004/PNMedan, No.2.200/Pid.B/2005/ PN Medan, senantiasa dimuat hal-hal yang memberatkan dan meringankan pidana. Hal ini memang sudah ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
menyebutkan putusan pemidanaan memuat keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa. a. Hal-hal yang Memberatkan Pidana Dalam KUHP hanya terdapat tiga hal yang dijadikan alasan memberatkan pidana, yaitu sedang memangku suatu jabatan (Pasal 52 KUHP), residive atau pengulangan (titel 6 buku 1 KUHP), dan gabungan atau samenloop (Pasal 65 dan 66 KUHP). Tetapi yang akan dibahas oleh penulis di sini adalah hal-hal yang memberatkan yang dipertimbangkan oleh hakim untuk menjatuhkan pidana dari sepuluh putusan yang diteliti oleh penulis. Dalam menjatuhkan putusannya hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan pidana, yaitu: 1. Meresahkan masyarakat Dari 10 (sepuluh) putusan yang diteliti ada 6 (enam) putusan yang memuat hal yang memberatkan adalah perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat, yaitu perkara
Nomor
2.498/Pid.B/2004/PN.Medan,
Nomor
1.500/Pid.B/2004/
PN.Medan, Nomor 1.920/Pid.B/2005/PN.Medan, Nomor 2.200/Pid.B/2005/PN Medan, Nomor 4.200/Pid.B/2008/PN.Medan dan Nomor 1.520/Pid.B/2008/ PN.Medan. 2. Bertentangan dengan program pemerintah memberantas narkoba 8 (delapan) putusan yang memberatkan terdakwa adalah perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah dalam memberantas narkoba, yaitu: perkara Nomor 3.916/Pid.B/2007/PN.Medan, Nomor 2.234/Pid.B/2006/PN.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Medan, Nomor 5.089/Pid.B/2006/PN.Medan, Nomor 2.637/Pid.B/2007/PN. Medan, Nomor 2.498/Pid.B/2004/PN.Medan, Nomor 4.200/Pid.B/2008/PN. Medan, Nomor 1.570/Pid.B/2008/PN.Medan, dan Nomor
2.200/Pid.B/2005/
PN.Medan 3. Memberi keterangan yang berbelit-belit Ada 1 (satu) putusan yang memberatkan terdakwa adalah memberi keterangan berbelit belit, yaitu: perkara Nomor 1.500/Pid.B/2004/PN.Medan., 4. Barang bukti sangat banyak. Ada 1 (satu) putusan yang memberatkan terdakwa adalah mempunyai barang bukti sangat banyak, yaitu: perkara Nomor 1.500/Pid.B/2004/PN.Medan. b. Hal-hal yang meringankan pidana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) alasan-alasan yang meringankan pidana adalah: a. Percobaan (Pasal 53 ayat (2 dan 3)). b. Membantu atau medeplichgqheid (Pasal 57 ayat (1 dan 2)). c. Belum dewasa atau minderjarigheid (Pasal 47). Hal-hal tersebut di atas merupakan alasan oleh umum sedangkan alasanalasan khusus yaitu: a. Meninggalkan anak yang perlu pertolongan (Pasal 308). b. Dengan sengaja menghilangkan nyawa anak pada saat dilahirkan karena takut akan diketahui (Pasal 341 dan 342).
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Dalam sidang pengadilan berdasarkan putusan-putusan hakim hal-hal yang meringankan adalah sebagai berikut: 1. Belum pernah dihukum. 2. Menyesali perbuatannya. 3. Mengakui perbuatannya. 4. Usia Muda. 5. Bersikap sopan di pengadilan. 6. Ibu Rumah Tangga. 7. Perintah atasan. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 9. Hal-hal yang Meringankan Pidana No 1 2 3 4 5 6 7
Hal-hal yang Meringankan Pidana Belum pernah dihukum Menyesali perbuatannya Mengakui perbuatannya Usia muda Bersikap sopan di pengadilan Ibu rumah tangga Perintah atasan
Frekuensi 9 6 6 1 3 1 1
Dari tabel di atas tampak bahwa dari sepuluh yang diteliti penulis tidak satupun putusan yang mewakili alasan-alasan yang meringankan pidana sesuai dengan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hakim tidak mempertimbangkan dalam putusannya.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
BAB III DAMPAK PUTUSAN HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOBA
A.
Tujuan Pemidanaan Seperti telah disebutkan pada awal tulisan ini, narkoba diperlukan dalam
kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan di mana penggunaan dan peredarannya harus mendapat izin dari pihak yang berwenang, karena apabila disalahgunakan dapat merusak kesehatan dan bahkan menyebabkan kematian dari orang yang menggunakannya149. Tetapi bahaya yang ditimbulkan oleh narkoba tidak membuat orang menjadi takut malahan penyalahgunaan narkoba sudah pada tingkat yang mengkhawatirkan sehingga pemerintah menyatakan perang terhadap narkoba dan pihak-pihak baik yang secara langsung maupun tidak langsung yang ikut dalam peredaran narkoba serta pihak-pihak lain yang berhubungan dengan penyalahgunaan narkoba150. Pernyataan sikap pemerintah untuk berperang terhadap peredaran gelap narkoba diimplementasikan lewat aparat penegak hukumnya supaya memidana dengan seberat-beratnya terhadap pelaku tindak pidana narkoba yang tertangkap. Dengan menghukum seberat-beratnya tentu akan timbul efek jera bagi pelaku tindak pidana narkoba sehingga ia tidak akan mengulangi perbuatannya151.
149
Lihat penjelasan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Lihat penjelasan Undang-Undang No. 5 Tahun 1997. 151 Muchlis Catio, Op.Cit, hal 5. 150
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Beberapa pendapat sarjana tentang pengertian pidana dan teori-teori pemidanaan: Menurut Roeslan Saleh, Pidana adalah reaksi atas delik dan ini berupa suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu152. Pada hakekatnya hukum pidana dilihat dari 2 segi yaitu:153 a. Segi prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi suatu upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan. b. Segi pembalasan, yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula penentuan hukum, merupakan koreksi diri dan reaksi atas sesuatu yang bersifat tidak hukum. Dengan demikian pidana adalah perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan atas perbuatan hukum. Di samping itu pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat. Menurut Muladi, pidana (punisment) selalu mengundang unsur-unsur sebagai berikut154: a. Pada hakekatnya merupakan suatu pengertian penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
152
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1978), hal. 8. Muladi dan Barda Nawawi Arif, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1998), hal. 22. 154 Ibid, hal 4. 153
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
b. Diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuatan (oleh yang berwenang). c. Dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. Pada dasarnya masalah penjatuhan pidana atau pemidanaan dibagi atas dua teori yaitu: 1. Teori Retribution atau teori pambalasan. 2. Teori Utilitarian atau teori tujuan155. Pada teori retribution atau teori pembalasan ini pemidanaan bertujuan untuk: 1. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan; 2. Pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak mengandung saranasarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat; 3. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana; 4. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar; 5. Pidana melihat kebelakang, ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik, atau memasyarakatkan kembali si pelanggar. Sedangkan pada teori utilitarian pemidanan bertujuan untuk: 1. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention); 2. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan manusia;
155
Muladi dan Barda Nawawi Arif, Op.Cit, hal. 17.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
3. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (misalnya karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana; 4. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan; 5. Pidana melihat kemuka (bersifat prospektif) pidana dapat mengandung unsur pencelaan tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. Dari kedua teori di atas baik teori retribution maupun teori utilitarian pada dasarnya adalah sama-sama memberikan sanksi pidana/hukuman terhadap penjahat atau pelanggar hukum, hanya saja sifat yang dimiliki antara kedua teori itu yang membedakannya. Menurut penulis pemberian pidana itu mengandung unsur penderitaan sekaligus unsur penjara. Akan tetapi tujuan pemidanaan atau penghukuman di sini dimaksudkan bukan hanya sekedar pemberian penderitaan dan efek jera kepada pelaku tindak pidana, agar ia menjadi takut atau merasa menderita akibat suatu pembalasan dendam terhadap konsekuensi perbuatannya, melainkan penderitaan yang diberikan itu harus dilihat secara luas, artinya penderitaan itu merupakan obat penyembuh bagi pelaku kejahatan agar ia dapat merenungkan segala kesalahannya dan segera bertobat dengan sepenuh keyakinan untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi di masa yang akan datang.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Bila dibandingkan kedua teori di atas dengan tujuan pemidanaan dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU – KUHP) Tahun 2006 sudah mengalami pergeseran Pasal 54 RUU – KUHP Tahun 2006 menyebutkan: (1) Pemidanaan bertujuan: a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. (2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Pada Pasal 54 RUU – KUHP Tahun 2006 ini jelas disebutkan bahwa tujuan pemidanaan bukan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Berbeda dengan teori retribution/teori pembalasan yang mengandung unsur pemidanaan adalah untuk menderitakan. Tim RUU – KUHP Nasional secara sadar mengadopsi aliran neo klasik dalam hukum pidana karena melihat kelemahan-kelemahan yang mendasar baik dari aliran
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
klasik maupun aliran modern (aliran positif)156. Aliran klasik yang berciri, pidana bersifat pembalasan mewujudkan kelemahan, yakni tidak memperhitungkan harkat dan martabat manusia dan terlalu mengutamakan kepentingan negara dan kepentingan umum, Peranan hakim dalam menentukan kesalahan seseorang sangat dibatasi, Pidana yang ditetapkan oleh Undang-Undang tidak mengenal sistem peringanan atau pemberatan yang berhubungan dengan faktor usia, keadaan jiwa si pelaku, kejahatan-kejahatan yang dilakukannya terdahulu maupun keadaan-keadaan khusus dari perbuatan/kejahatan yang dilakukan. Aliran modern melalui senjata ilmu pengetahuan dengan pelbagai karakteristiknya menunjukkan kelemahannya juga yakni terlalu memanjakan penjahat.157 Aliran ini menolak pandangan adanya pembalasan berdasarkan kesalahan yang subjektif. Aliran ini menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan mengadakan resosialisasi si pembuat dan sanksi bersifat mendidik. Aliran neo klasik dipandang oleh pelbagai negara sangat manusiawi dan menggambarkan perimbangan kepentingan secara proporsional. Karakteristiknya adalah sebagai berikut:158 a. Modifikasi (Perubahan) dari doctrine of free will yang dapat dipengaruhi patologi, ketidakmampuan, penyakit gila, atau lain-lain keadaan;
156
Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 47. 157 Ibid, hal. 48. 158 Vernon Fox sebagaimana dikutip Muladi dalam bukunya Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1998), hal. 42-43.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
b. Diterimanya berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan (mitigating cirlumstrances) baik fisikal, lingkungan maupun mental; c. Modifikasi dari doktrin pertanggungjawaban pidana guna menetapkan peringanan pidana dengan pertanggungjawaban sebagian di dalam hal-hal yang khusus, misalnya gila, di bawah umur, dan keadaan lain yang dapat mempengaruhi pengatahuan dan nia seseorang pada waktu terjadinya kejahatan; d. Diperkenankan masuknya kesaksian ahli (expert testimony) untuk menentukan derajat pertanggungjawaban. Tujuan pemidanaan dalam RUU – KUHP yang baru tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. Hal ini mengandung pengertian bahwa dalam setiap pemidanaan harus benar-benar dipertimbangkan mana di antara tujuan pemidanaan tersebut yang mempunyai relevansi dan kepentingan terbesar dalam kasus terkait dan harus dipertimbangkan oleh pengadilan dengan konsekuensi dijatuhkannya jenis pidana yang berbeda.159
B.
Penjatuhan Pidana terhadap Tindak Pidana Narkoba Dalam seminar tentang Prospek Mahkamah Agung di Universitas Hasanuddin
tahun 2001, telah terungkap suatu harapan bahwa Mahkamah Agung dalam era
159
Mahmud Mulyadi, Bahan Kuliah HAM dalam Perspektif Hukum Pidana, Program Studi Ilmu Hukum, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2008.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
reformasi ini harus mempunyai sifat-sifat transparansi dan akses publik akuntabilitas publik, peningkatan profesionalisme, integritas dan responsif160. Sesuai dengan hal ini Pengadilan Negeri Medan sedang berbenah untuk membuka situs di internet tentang putusan-putusan hakim agar masyarakat dapat mengetahui dan menilai putusan-putusan hakim sesuai dengan sifat transparansi dan akses publik dari badan peradilan161. Bagir Manan lebih jauh menyatakan bahwa suatu putusan hakim akan bermutu, hal ini tergantung pada tujuh hal, yakni:162 1. Pengetahuan hakim yang mencakup tentang pemahaman Konsep Keadilan dan Kebenaran; 2. Integritas hakim yang meliputi nilai-nilai kejujuran dan harus dapat dipercaya; 3. Independensi kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh dari pihak-pihak berpekara maupun tekanan publik; 4. Tatanan politik, tatanan sosial, hukum sebagai alat kekuasaan maka hukum sebagai persyaratan tatanan politik dan hukum mempunyai kekuatan moral; 5. Fasilitas di lingkungan badan peradilan; 6. Sistem kerja yang berkaitan dengan sistem manajemen lainnya termasuk fungsi pengawasan dari masyarakat untuk menghindari hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan di daerah;
160
Bagir Manan, Mahkamah Agung dalam Era Reformasi, Makalah disampaikan pada Seminar Prospek Mahkamah Agung di Universitas Hasanuddin Tahun 2001. 161 Wawancara dengan Panitera Muda Hukum pada Pengadilan Negeri Medan. 162 Bagir Manan, Op.Cit.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
7. Kondisi aturan hukum didalam aturan hukum formil dan materiil masih mengandung kelemahan. Aktualisasi dari moralitas ini tidak hanya berlaku terhadap para hakim saja, tetapi termasuk pula para penyidik, penuntut umum sebagai bagian dari criminal justice system. Dalam sistem peradilan pidana hakim sangat penting peranannya dalam penegakan hukum apalagi dihubungkan dengan penjatuhan hukuman pidana terhadap seseorang harus selalu didasarkan kepada keadilan yang berlandaskan atas hukum. Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa segala putusan peradilan selain memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula Pasal tertentu dalam dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum yang tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Selain itu didalam Pasal 28 UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadlian yang hidup dalam masyarakat. Dari ketentuan kedua Pasal tersebut di atas mengisyaratkan bahwa ternyata masalah penjatuhan pidana kepada penjatuhan pidana kepada seseorang bukanlah hal mudah. Hakim selain harus mendasarkan diri pada Peraturan Perundang-undangan, tetapi juga harus memperhatikan perasaan dan pendapat umum masyarakat. Dengan perkataan lain sedapat mungkin putusan hakim harus mencerminkan kehendak perundang-undangan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Seperti diketahui belum ada pedoman bagi hakim untuk menjatuhkan pidana kepada seseorang baik yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun Undang-Undang yang mengatur tentang narkoba. Tetapi yang ada hanya ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah jenis-jenis pidana, batas maksimun dan minimum lamanya pemidanaan. Walaupun demikian bukan berarti kebebasan hakim dalam menetukan batas maksimum dan minimum tersebut bebas mutlak melainkan juga harus melihat pada hasil pemeriksaan di sidang pengadilan dan tindak pidana apa yang dilakukan seseorang serta keadaan-keadaan atau faktor-faktor apa saja yang meliputi perbuatannya tersebut. Suatu putusan pidana sedapat mungkin harus bersifat futuristik163 artinya menggambarkan apa yang diperoleh darinya. Keputusan pidana selain merupakan pemidanaan tetapi juga menjadi dasar untuk memasyarakatkan kembali si terpidana agar dapat diharapkan baginya untuk tidak melakukan kejahatan lagi di kemudian hari sehingga bahaya terhadap masyarakat dapat dihindari. Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa salah satu dasar pertimbangan dalam menentukan berat atau ringannya pidana yang diberikan kepada seseorang terdakwa selalu didasarkan kepada asas keseimbangan antara kesalahan dengan perbuatan melawan hukum. Dalam putusan hakim harus disebutkan juga alasan bahwa pidana yang dijatuhkan adalah sesuai dengan sifat dari perbuatan, keadaan meliputi
163
Soedjono, Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 1995),
hal. 40-41.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
perbuatan itu, keadaan pribadi terdakwa. Dengan demikian putusan pidana tersebut telah mencerminkan sifat futuristik dari pemidanaan itu.
C.
Putusan Hakim Tidak Membuat Jera Pelaku Tindak Pidana Narkoba Putusan hakim juga harus dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak
pidana. Khususnya pelaku tindak pidana narkoba. Tetapi dalam peradilan, putusan hakim yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana narkoba terkesan ringan. Jarang hakim memidana terdakwa dengan batas maksimum hukuman yang ditentukan oleh Undang-Undang. Tabel berikut ini memperlihatkan hal tersebut. Dari 10 putusan PN.Medan diteliti oleh penulis tidak ada satupun putusan hakim yang menjatuhkan pidana dengan batas maksimum yang ditentukan oleh Undang-Undang narkoba baik Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika maupun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Tabel 10. Putusan Hakim Atas Kasus-kasus Narkoba Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1997 di Pengadilan Negeri Medan No
1
Umur Terdak wa
Jenis kelamin
28 Tahun
Pr
Pasal yang dilanggar 82 ayat (1) huruf a UU No. 22 tahun 1997
Pidana Penjara
Denda
12 (dua belas) Tahun
Rp. 10.000.000,subsider 05(lima) Bulan kurungan
Jumlah dan Jenis Narkoba 150 kg daun ganja
Keterangan Pasal
Hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan
Dengan Hal–hal yang memberatkan: sengaja tanpa 7. Bahwa tindak pidana narkotika saat ini hak dan senantiasa meningkatkan kualitas dan melawan kuantitasnya dan dipandang sudah hukum membahayakan sendi-sendi kehidupan menerima dan sosial masyarakat sehingga perbuatan menjadi terdakwa menerima dan menjadi perantara jual perantara dalam jual beli narkotika gol beli narkotika I tersebut dipandang inherent dengan gol I peningkatan tindak pidana narkotika tersebut 8. Cara-cara terdakwa melakukan tindak pidana dilakukan dengan persiapan dan perencanaan yang cukup rapid an sebelumnya terdakwa telah memberikan keterangan yang cukup berbelit-belit, namun pada akhirnya menerangkan keseluruhan perbuatan yang dilakukannya sebagaimana telah diterangkan oleh para sanksi didepan persidangan 9. Bahwa jumlah barang bukti yang diketemukan dan berhubungan dengan tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa relatif sangat banyak jumlahnya
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Lanjutan Tabel 10. Hal-hal yang meringankan: 1. Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya manyatakan penyesalannya serta berjanji tidak akan mengulanginya lagi. 2. Terdakwa berusia masih muda sehingga diharapkan dapat memperbaiki kelakuannya di kemudian hari 3. Terdakwa bersikap sopan di persidangan 4. Terdakwa adalah ibu rumah tangga yang harus menghindari anak-anaknya yang masih kecil dan di samping itu kehadiran terdakwa untuk merawat dan memberikan kasih sayang ditengah-tengah keluarganya sangat dibutuhkan, karena terdakwa adalah seorang ibu yang saat ini telah ditinggalkan oleh suaminya 5. Terdakwa belum pernah dihukum 2
40 Tahun
Lk
59 ayat (1) huruf a UU No.5 Tahun 1997
04 (empat) Tahun
Rp.150.000. 000,(seratus lima puluh juta rupiah) sub. 3bulan
1 (satu) plastic kecil psikotropi ka gol I shabushabu seberat 0,3 gram
Tanpa hak menggunakan psikotropika gol I
Hal-hal yang memberatkan : 1. Perbuatan terdakwa sangat meresahkan masyarakat 2. Perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah yang kini giat – giatnya memberantas narkoba Hal – hal yang meringankan : 1. Terdakwa mengaku terus terang 2. Terdakwa belum pernah dihukum 3. Terdakwa menyesali perbuatannya
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Lanjutan Tabel 10. 3
22 Tahun
Lk
59 ayat (1) e UU No. 5 Tahun 1997
04 (empat) Tahun
Rp.150.000. 000,-(seratus lima puluh juta rupiah) sub.4 bulan
½ (setengah) butir pil ekstasi warna pink
4
26 Tahun
Lk
82 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997
07 (tujuh) Tahun
Rp.1.000.00 0,- (satu juta rupiah) sub.3
14(empat belas) ball seberat 13,7
5
39 Tahun
Pr
60 ayat (4) UU No. 5 Tahun 1997
02 (dua) Tahun
Rp.2.000.00 0,- (dua juta rupiah) sub.2 bulan
19,2 butir pil ekstasi warna biru muda cap kuda 40 gram shabushabu
Tanpa hak menyimpan, memiliki, dan membawa psikotropika gol I
Hal-hal yang memberatkan : 1. Perbuatan terdakwa sangat meresahkan masyarakat serta dapat memberi contoh yang tidak baik bagi generasi muda Hal-hal yang meringankan : 1. Terdakwa belum pernah dihukum 2. Terdakwa menyesali akan perbuatannya Secara tanpa Hal-hal yang memberatkan : hak dan 1. Perbuatan terdakwa meresahkan melawan masyarakat dan bertentangan dengan hukum turut program pemerintah dalam serta pemberantasan tindak pidana menawarkan narkotika untuk dijual, Hal-hal yang meringankan : menjual, 1. Terdakwa mengakui terus terang membeli, perbuatannya menyerahkan, 2. Terdakwa menyesali perbuatannya menerima 3. Terdakwa belum pernah dihukum narkotika gol I 4. Terdakwa menurut ianya melakukan perbuatan tersebut karena disuruh oleh wadankinya Telah terbukri Hal-hal yang memberatkan : secara sah dan 1. Bahwa perbuatannya terdakwa menyakinkan menghambat program pemerintah bersalah yang sedang giat-giatnya memberantas melakukan penyalahgunaan psikotropika tindak pidana : menerima penyerahan psikotopika
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Lanjutan Tabel 10. 6
24 Tahun
Lk
85 huruf a UU No.22
03(tiga) bulan
7
37 Tahun
Lk
59 ayat (1) huruf c UU No. 5 Tahun 1997
04 (empat Tahun
Rp.150.000. 000,(seratus lima puluh juta rupiah) sub.2 bulan kurungan
03 (tiga) butir pil ekstasi coklat logo kupukupu
8
29 Tahun
Lk
06 (enam) Tahun
31 Tahun
Pr
Rp.3.000.00 0,- (tiga juta rupiah) sub.3 bulan pidana kurungan Rp. 1.000.0000,(satu juta rupiah) sub.1 bulan pidana kurungan
250 gram daun ganja
9
82 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997 tentang narkotika 62 UU No. 5 Tahun 1997
01 (satu) Tahun
-
1,2 gr ganja kering
½ kg ganja
Menggunakan Hal-hal yang memberatkan : narkotika gol I 1. Perbuatan terdakwa tidak mendorong bagi diri program pemerintah sendiri Hal-hal yang meringankan : 1. Terdakwa mengakui perbuatannya 2. Terdakwa belum pernah dihukum Tanpa hak dan Hal-hal yang memberatkan : melawan 1. Perbuatan terdakwa bertentangan hukum dengan program Pemerintah mengedarkan memberantas narkoba psikotropika Hal-hal yang meringankan : gol I jenis pil 1. Terdakwa menyesali perbuatannya ekstasi secara 2. Terdakwa belum pernah dihukum bersama sama Tanpa hak Hal yang memberatkan : menjadi 1. Perbuatan terdakwa tidak mendukung perantara program pemerintah dalam jual beli Hal-hal yang meringankan : narkotika 1. Terdakwa belum pernah dihukum Tanpa hak dan Hal-hal yang memberatkan : melawan 1. Perbuatan terdakwa bertentangan hukum dengan program pemerintah memiliki memberantas narkoba menyimpan Hal-hal yang meringankan : dana 1. Terdakwa berlaku sopan dipersidangan 2. Terdakwa belum pernah dihukum
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Lanjutan Tabel 10. 10
41 Tahun
Pr
78 (1) a UU No.22 Tahun 1997
08 (delapan) Tahun
Rp.1.000.00 0,- (satu juta rupiah) sub.1 bulan pidana kurungan
2.786,8 gram ganja
Turut melakukan tanpa hak dan melawan hukum menguasai narkotika golongan I dalam bentuk tanaman
Hal-hal yang memberatkan : 1. Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah memberantas narkoba Hal-hal yang meringankan : 1. Terdakwa belum pernah dihukum 2. Terdakwa menyesali perbuatannya
Sumber: Pengadilan Negeri Medan
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Bila dilihat pada tabel, putusan No.1 dan 8 yang dilanggar adalah Pasal 82 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997. Pidana penjara yang dijatuhkan hanya 12 tahun dan 6 tahun sangat ringan bila dibandingkan dengan paling lama 20 (dua puluh) tahun90. Seperti yang diatur dalam Pasal 82 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997. Belum lagi pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) bandingkan pada tabel pidana denda yang hanya Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan Rp.3.000.000,- (tiga juta rupiah). Demikian juga pada putusan Nomor 2 dan yang dilanggar adalah Pasal 59 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997. Dalam Pasal 59 ini pidana penjara untuk yang melakukan tindak pidana tanpa hak menyimpan, memiliki dan membawa psikotropika gol I paling singkat 4 (empat) tahun paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Pada kedua putusan di atas pidana yang dijatuhkan oleh hakim adalah pidana yang terendah baik pidana penjara maupun pidana denda. Putusan Nomor 5 juga belum menerapkan pidana secara maksimal dalam Pasal 60 ayat (4) disebutkan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah). Padahal kalau melihat dari barang buktinya sudah seharusnya hakim menjatuhkan pidana maksimal sesuai yang diatur oleh Pasal 60 ayat (4) UU Nomor 5 Tahun 1997 ini.
90
Lihat Pasal 82 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Yang lebih menarik lagi putusan Nomor 6 pada tabel di atas, hakim menjatuhkan pidana yang sangat ringan padahal Pasal 85 UU No. 22 Tahun 1997 mengatur dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun bagi barang siapa yang menggunakan narkotika golongan I bagi diri sendiri. Menurut penulis bila pemakai yang dimaksud dalam putusan ini masih tahap pemula sebaiknya hakim menjatuhkan pidana maksimal sesuai yang ditetapkan dalam Pasal 85 UndangUndang Nomor 22 Tahun 1997, agar menimbulkan efek jera sehingga tidak mengulangi lagi perbuatannya. Tetapi bila sudah kecanduan sebaiknya hakim memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan (Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997)91. Untuk hal ini dalam wawancara penulis dengan salah satu Hakim Pengadilan Negeri Medan dalam menjatuhkan putusan menempatkan terdakwa di pusat rehabilitasi kesannya bukan dihukum sehingga dalam tuntutan dan putusan jarang dilakukan. Hal tersebut bisa menimbulkan diskriminasi92. Berikut ini adalah pendapat dari seorang penyidik pada Poltabes MS yang menyatakan: “Kalau sekedar pengguna bila dilepaskan atau dimasukkan ke pusat rehabilitasi efek jera tidak akan ada karena tersangka bisa memberikan keterangan sesuka hatinya. Undang-Undang tentang Narkoba terutama Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika pengaturan tentang pidananya termasuk ringan
91 92
Lihat Pasal 47 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Hasil Wawancara dengan Bapak Pratondo, Hakim pada PN.Medan, tanggal 29 Januari
2009.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
berbeda dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika masih relevan dipakai saat ini. Pengaturan tentang pidananya sudah termasuk berat”93. Berbeda dengan pendapat Kepala Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Medan, yang menyatakan kasus Narkoba sudah mendunia. Bukan hanya tingkat atas tetapi sudah merambah ke tingkat bawah. Karena sulitnya memperoleh pekerjaan sehingga melarikan diri ke Narkoba. Sesuai dengan Undang-Undang yang mengatur tentang narkoba ada pemilahan antara bandar, pengedar, dan pemakai. Kaitannya dengan Lembaga Pemasyarakatan yang pada saat ini sudah mengalami over kapasitas sebaiknya khusus pemakai dimasukkan ke panti rehabilitasi sesuai dengan yang diatur dalam undang-undang tentang narkoba. Bila dilihat pada saat ini kasus yang paling banyak di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Medan ini adalah Kasus Narkoba 70% adalah kasus Narkoba hanya 30% lagi untuk kasus lainnya94. Tabel di atas pada putusan Nomor 9 dan 10, hakim menjatuhkan pidana penjara belum sampai batas maksimal. Apalagi pidana denda sangat jauh dari batas maksimum seperti yang diatur dalam Pasal 78 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dipidana dengan pidana penjara 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Dari 10 putusan dalam tabel di atas tidak satupun putusan yang menghukum terdakwa dengan pidana maksimal baik laki-laki maupun perempuan baik yang
93
Hasil Wawancara dengan Bripka Pol.Muhammad Fairus Abadi, Penyidik Poltabes MS Tanggal 27 Januari 2009. 94 Hasil Wawancara dengan Ibu Etty Nurbaiti, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Medan, tanggal 24 Januari 2009.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
mempunyai barang bukti sedikit maupun yang mempunyai barang bukti banyak. Semua putusan pada tabel di atas menunjukkan pelaku tindak pidana narkoba tidak merasa takut akan pidana yang dijatuhkan terhadapnya. Apalagi sesudah ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan, hukuman yang tadinya 10 (sepuluh) tahun paling lama dijalaninya 6 (enam) tahun karena pengurangan-pengurangan hukuman dan adanya pembebasan bersyarat yang didapatnya di Lembaga Pemasyarakatan. Dengan demikian tujuan pidana yang memberi efek jera tidak akan tercapai malah ada kesan terpidana akan mengulangi lagi perbuatannya. Dari wawancara penulis dengan sejumlah
narapidana di
Lembaga
Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Medan, salah satu faktor mengapa narapidana mengulangi lagi perbuatannya adalah pidana yang dijatuhkan terhadap narapidana termasuk ringan. Narapidana menganggap pidana yang dijatuhkan terhadapnya tidak membuatnya takut. Seperti yang diungkapkan salah seorang narapidana yang sudah beberapa kali masuk penjara: “Saya tidak takut terhadap hukuman yang dijatuhkan terhadap saya. Saya anggap saja istirahat dalam melakukan tindak pidana narkoba justru yang saya takuti adalah tidak bertemu dengan keluarga, tentang hukuman saya anggap ringan karena adanya pengurangan-pengurangan yang diberikan selama dalam Lembaga Pemasyarakatan. Menurut saya yang bisa membuat jera adalah hukuman penjara seumur hidup. Apalagi perkara bisa diurus ada duit habis perkara”95.
95
Hasil Wawancara dengan seorang narapidana Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA
Medan.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Senada dengan hal ini sesuai dengan wawancara penulis dengan salah seorang jaksa pada Kejaksaan Negeri Medan yang namanya dirahasiakan, memang benar urusan sogok menyogok perkara untuk meringankan hukuman. Apalagi terhadap perkara narkoba supaya bisa ditunjuk menangani perkara narkoba harus pandaipandai ke atasan96. Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap penyalahgunaan narkoba tergolong ringan. Hal ini menyebabkan pelaku tindak pidana narkoba mengulangi lagi perbuatannya sehingga tujuan pemidanaan yang menimbulkan penjeraan tidak tercapai. Dari 10 orang narapidana yang mengulangi lagi perbuatannya ada beberapa orang yang mengalami penurunan hukuman. Dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 11. Pengulangan Tindak Pidana
1 2 3 4 5 6 7
Tahun Masuk LP 2000 2000 2001 2002 2002 1993 1993
Tahun Keluar LP 2005 2004 2006 2006 2004 1995 1995
8
1996
1998
9
2007
2007
10
2006
2007
No
Pidana Penjara 7 tahun 6 tahun 7 tahun 7 tahun 3 tahun 2 tahun 3 tahun 1 tahun 6 bulan 6 bulan 1 tahun 4 bulan
Tahun Masuk Kembali 2005 2005 2008 2008 2007 2001 2001
2011 2006 2015 2012 2009 2009 2009
Pidana Penjara 8 tahun 1 tahun 7 tahun 7 tahun 15 tahun 15 tahun 15 tahun
2005
2013
9 tahun
2008
2018
2007
2010
10 tahun 2 tahun 8 bulan
Tahun Keluar
Sumber: Data Sekunder dari Napi LP Wanita Medan, 2009. Bila dilihat tabel di atas, penjatuhan hukuman tidaklah berat. Bahkan pada sebagian putusan hukumannya berkurang sehingga dengan hukuman yang
96
Hasil Wawancara dengan salah seorang Jaksa pada Kejaksaan Negeri Medan, tanggal 18 Februari 2009.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
sedemikian ini tidaklah membuat mereka jera. Bahkan ada yang baru menghirup udara bebas sudah mengulangi lagi tindak pidana narkoba, hukuman yang ringan merupakan alasan yang terbanyak dikemukakan. Dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 12. Hal-hal yang Menyebabkan Pengulangan Tindak Pidana No
Hal-hal yang Menyebabkan Frekuensi Pengulangan Tindak Pidana 1. Faktor Ekonomi 2 2. Pengaruh Kawan 2 3. Hukuman Ringan 6 Sumber: Data Sekunder Napi LP Wanita Medan, 2009.
Persentase 20 % 20 % 60 %
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa 60% penyebab terpidana mengulangi lagi perbuatannya adalah disebabkan oleh hukuman yang ringan sedangkan 20% penyebabnya adalah faktor ekonomi dan 20% lagi disebabkan pengaruh kawan.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
BAB IV HAL-HAL YANG MENYEBABKAN TIMBULNYA DISPARITAS DALAM PENJATUHAN PIDANA UNTUK KASUS NARKOBA
A.
Perangkat Peraturan Perundang-undangan Dalam hal hakim menjatuhkan putusan, terhadap pelaku tindak pidana
narkoba, akan mempunyai konsekuensi yang luas, baik yang menyangkut langsung kepada pelaku tindak pidana maupun masyarakat secara luas. Terlebih-lebih apabila putusan itu dianggap tidak tepat atau adanya disparitas penjatuhan pidana antara pelaku tindak pidana yang satu dengan pelaku tindak pidana yang lain. Padahal Pasal yang dilanggar adalah sama. Apabila perbedaan putusannya mencolok, maka akan menimbulkan reaksi yang ‘kontroversial’ dari berbagai pihak. Baik itu datangnya dari pelaku tindak pidana/terdakwa itu sendiri maupun yang datangnya dari masyarakat, sebab kebenaran dalam hal itu sifatnya adalah relatif tergantung dari mana sudut pandangnya. Adanya disparitas penjatuhan pidana akan berdampak negatif terhadap terpidana yang merasa dirugikan terhadap putusan hakim tersebut. Apabila terpidana itu membandingkannya dengan terpidana lain yang dijatuhi hukuman lebih ringan padahal tindak pidana yang dilakukan adalah sama, maka terpidana yang dijatuhi hukuman lebih berat akan menjadi korban ketidakadilan hukum sehingga terpidana tersebut tidak percaya dan tidak menghargai hukum. Sedangkan terpidana yang diputus lebih ringan akan ada anggapan bahwa melanggar hukum bukanlah hal yang menakutkan karena hukumannya ringan yang berakibat bisa saja kelak sesudah
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
selesai menjalani pidana ia berbuat kejahatan lagi sehingga tujuan pemidanaan yang menimbulkan efek jera tidak tercapai. Sesuatu yang tidak diharapkan bisa terjadi apabila disparitas penjatuhan pidana tersebut tidak dapat diatasi. Akan timbul demoralisasi dan sikap antirehabilitasi di kalangan terpidana yang dijatuhi pidana yang lebih berat dalam kasus yang sebanding. Sebenarnya masalah ini tidak dapat dipandang sederhana, sebab justru persoalannya sangat kompleks dan mengandung makna yang sangat mendalam, baik dari segi yuridis, sosiologis, maupun filosofis97. Bila dicermati secara seksama, hukum yang mengatur tentang narkoba yaitu Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika tidak mengatur secara tegas ancaman hukuman bagi pelaku tindak pidana narkoba. Adanya batas maksimal dan batas minimum memberi keleluasaan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana. Hal inilah yang menimbulkan perbedaan hukuman atau yang menyebabkan terjadinya disparitas penjatuhan pidana. Salah satu penyebab terjadinya disparitas penjatuhan pidana pada dasarnya dimulai dari hukum itu sendiri, di mana hukum tersebut membuka peluang terjadinya pidana karena adanya batas minimum dan maksimum pemberian hukuman, sehingga hakim bebas bergerak untuk mendapatkan pidana yang menurutnya tepat.98 Menurut Pratondo, hakim pada Pengadilan Negeri Medan, disparitas penjatuhan pidana pada kasus narkoba ini sifatnya kasuistis yaitu sesuai dengan kasus 97
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1998), hal. 52. 98 Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1978), hal. 4.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
itu sendiri. Ada pertimbangan yang memberatkan dan meringankan sehingga terhadap kasus yang sama hukumannya tidak sama99. Seperti dikemukakan di atas undang-undang tentang narkoba dalam pasalpasalnya mengatur batas maksimum dan minimum pidana bagi pelaku tindak pidana narkoba. Bahkan ada beberapa Pasal yang hanya mengatur batas maksimum saja. Seperti Pasal 85 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang berbunyi: Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum: a. Menggunakan narkotika golangan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. b. Menggunakan narkotika golongan II bagi diri sendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun. c. Menggunakan narkotika golongan III bagi diri sendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. Dengan adanya batas minimum dan batas maksimum dalam peraturan perundang-undangan tentang narkotika tersebut dalam prakteknya membuat para penegak hukum baik itu penuntut umum bebas membuat tuntutan pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika maupun bagi hakim dalam menjatuhkan putusan pidananya. Dari bunyi pasal di atas tampak jelas bahwa ancaman hukuman yang ada terkesan kurang tegas, sehingga hakim berpeluang secara bebas untuk menggunakan 99
Hasil Wawancara Bapak Protondo, hakim PN Medan tanggal 27 Januari 2009.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
dan memilih sendiri pidana yang paling tepat dan sesuai sepanjang tidak melebihi dari ketentuan pasal tersebut. Dengan demikian hakim mempunyai wewenang untuk memberi penilaian tersendiri untuk kasus-kasus narkoba yang ditanganinya, sehingga bisa saja penilaian yang dilakukan hakim yang satu dengan hakim yang lainnya berbeda. Tentang putusan yang kontroversial ini, Protondo, hakim Pengadilan Negeri Medan memberi tanggapan bahwa putusan yang kontroversial tidak apa-apa karena sudah menjadi tugas hakim menjatuhkan putusan. Apapun putusan yang dibuat itu sudah menjadi tugas dan tanggung jawab, apapun resiko akan dihadapi100. Pada bab terdahulu telah disinggung secara sepintas dan pemidanaannya baik dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika maupun dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Akan dikemukakan kembali beberapa pasal yang menurut sanksi pidana dan pemidanaannya sesuai dengan 10 putusan hakim yang diteliti oleh penulis. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada: a. Sanksi pidana pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 sebagai berikut: Pasal 78 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 sebagai berikut: (1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum: a. Menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai narkotika golongan I dalam bentuk tanaman, atau
100
Hasil Wawancara Bapak Protondo, hakim PN Medan tanggal 27 Januari 2009.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
b. Memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda yang paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah). (2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didahului dengan permufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp. 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah). (3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). (4) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Pasal 82 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 (1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum: a. Mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, meyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau memakai narkotika golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). b. Mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, meyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau memakai narkotika golongan II, dipidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). c. Mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau memakai narkotika golongan III, dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). (2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) didahului dengan pemufakatan jahat, maka terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: a. Ayat (1) huruf a, di pidana dengan pidana mati atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). b. Ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
c. Ayat (1) huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas tahun) dan denda paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
(3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: a. Ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.500.000.000,00
(lima
ratus
juta
rupiah)
dan
paling
banyak
Rp.3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah). b. Ayat (1) ayat b dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp.4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah). c. Ayat (1) ayat c dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling
lama
15
(lima
belas)
tahun
dan
denda
paling
banyak
Rp.2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). (4) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: a. Ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp.7.000.000.000,00 (tujuh milyar rupiah). b. Aayat (1) huruf b dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp.4.000.000.000 (empat milyar rupiah).
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
c. Aayat (1) huruf c dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp.3.000.000.000 (tiga milyar rupiah). b. Ancaman pidana pada beberapa pasal undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika sebagai berikut: Pasal 59 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 (1) Barang siapa: a. Menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); atau b. Memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika golongan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; atau c. Mengedarkan
psikotropika
golongan
I
tidak
memenuhi
ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3); atau d. Mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan; atau e. Secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika golongan I, dipidana dengan penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama
15
(lima
belas)
tahun
dan
pidana
denda
paling
sedikit
Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah). (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
penjara selama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda sebesar Rp.750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah). (3) Jika tindak pidana dalam pasal ini dilakukan oleh korporasi, maka di samping dipidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi dikenakan pidana denda sebesar Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Pasal 60 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 (1) Barang siapa: a. Memproduksi psikotropika selain yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 5; atau b. Memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam bentuk obat yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; atau c. Memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa obat yang tidak terdaftar pada departeman yang bertanggung jawab di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (2) Barang siapa menyalurkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
(3) Barang siapa menerima penyaluran psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). (4) Barang siapa menyerahkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (2), Pasal 14 ayat (3), dan Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama (3) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). (5) Barang siapa menerima penyerahan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14 ayat (3), dan Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama (3) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Apabila yang menerima penyerahan itu pengguna, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama3 (tiga) bulan. Dari beberapa pasal di atas sesuai dengan kasus yang diteliti penulis, dapat dilihat terjadinya disparitas pidana disebabkan oleh perangkat peraturan perundangundangan itu sendiri. Undang-undang memberi peluang kepada hakim untuk memutus sesuai dengan batas minimum dan batas maksimum yang ditentukan oleh undang-undang.
B.
Yang Bersumber pada Diri Hakim Di dalam sistem peradilan pidana, aparat penegak hukum merupakan pilar
yang sangat penting dalam penegakan supremasi hukum. Sehingga diharapkan aparat
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
penegak hukum ini dalam menjalankan tugasnya haruslah benar-benar bersikap profesional dan selalu menjunjung tinggi hukum dan nilai-nilai keadilan. Terjadinya disparitas penjatuhan pidana bagi terdakwa tidak terlepas dari Sumber daya Aparat Penegak Hukum. Tidak tertutup kemungkinan adanya permainan yang dilakukan oleh terdakwa dengan aparat penegak hukum baik di tingkat penyidikan, tingkat penuntutan bahkan terhadap hakim itu sendiri seperti diungkapkan oleh seorang mantan narapidana pemakai shabu-shabu yang dijatuhi pidana 6 (enam) bulan penjara denda Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) subsider 1 (satu) bulan kurungan, saya merasa hukuman saya termasuk ringan dibanding dengan teman sesama pemakai. Hal itu disebabkan perkara saya diurus. Teman saya yang lain hukumannya lebih tinggi dari saya karena dia tidak mengurus, saya merasa putusan ini sudah adil101. Berbeda dengan pengungkapan seorang narapidana yang merasa hukumannya sangat berat, ia dijatuhi hukuman 10 (sepuluh) tahun penjara denda Rp. 150.000.000,(seratus lima puluh juta rupiah) subsider 6 (enam) bulan kurungan padahal saya hanyalah korban, bermula dari ketika saya diajak seseorang untuk dipekerjakan di Medan, Saya disuruh membawa tas yang saya pikir isinya adalah pakaian ketika dilakukan pemeriksaan di bandara teman saya lari. Dari situlah saya tahu tenyata isi tas itu bukan hanya pakaian tetapi diselipkan shabu-shabu. Untuk mengurus perkara
101
Hasil Wawancara dengan mantan narapidana tanggal 15 Desember 2008.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
saya tidak punya uang, keluarga saya tidak ada di Medan, saya merasa putusan ini tidak adil102. Dari hasil wawancara penulis dengan mantan narapidana dan narapidana di atas, tampak bahwa disparitas penjatuhan pidana di samping pengaturan perundang-undangan yang kurang tegas mengatur sanksi pidana, ternyata sumber daya aparat penegak hukum juga dapat menimbulkan terjadinya disparitas terhadap putusan hakim. Bagi terdakwa yang dijatuhi hukuman ringan akan merasa hukum itu sudah memenuhi rasa keadilan. Tetapi bagi terdakwa yang tidak melakukan upaya kolusi merasa adanya ketimpangan perlakuan terhadap keadilan itu sendiri, yang mana pada akhirnya membuat terdakwa tadi cenderung tidak percaya pada hukum terlebih lagi pada sistem peradilan. Masih banyak dijumpai aparat penegak hukum yang salah menggunakan norma-norma hukum yang sudah ada baik itu yang disengaja maupun tidak. Bagi hakim sebagai pengambil keputusan akan sangat mungkin baginya untuk memanfaatkan peluang yang diberikan oleh undang-undang. Sehingga hakim akan sangat mudah untuk mempermainkan hukum. Tetapi mungkin juga disebabkan oleh kurangnya sumber daya hakim dalam memahami dan mengerti maksud dari kandungan hukum yang terdapat dalam undang-undang. Untuk terciptanya kemandirian penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung dalam instruksinya No.KMA/015/INST/VI/1998 tanggal 01 Juni 1998 menginstruksikan agar para hakim memantapkan profesionalisme dalam 102
Hasil wawancara dengan narapidana tanggal 15 Desember 2008.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
mewujudkan peradilan yang berkualitas dengan menghasilkan putusan hakim yang eksekutabel, berisikan ethos (integritas), pathos (pertimbangan yuridis yang utama), filosofis (berintikan rasa keadilan dan kebenaran), sosiologis (sesuai dengan tata nilai yang berlaku dalam masyarakat), serta logos (dapat diterima akal sehat), demi terciptanya kemandirian para penyelenggara kekuasaan kehakiman103. Bagi pencari keadilan (justiabelen) yang tidak merasa puas dengan putusan yang dijatuhkan oleh hakim dipersilahkan mengajukan upaya hakim yang ada. Dengan demikian peranan hakim sangat dominan untuk menentukan suatu putusan. Seperti yang dikemukakan hakim Pratondo, Hakim pada PN. Medan, terdakwa tidak menerima putusan yang dijatuhkannya, tidak masalah karena memutus sudah memenuhi rasa keadilan lagipula kalau terdakwa tidak merasa puas bisa mengajukan upaya hukum banding104. Sebenarnya banyak faktor yang mempengaruhi kemandirian hakim dalam melaksanakan tugas dan kewenangan, namun demikian pada prinsipnya faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut dapat datangnya dari diri hakim itu sendiri maupun dari luar diri hakim tersebut yang disebut juga dengan faktor internal dan faktor eksternal. Jadi faktor internal berkaitan dengan kualitas sumber daya hakim itu sendiri, yang dapat bermula dari cara rekruitmennya yang tidak objektif, integritas moral kurang dan tingkat pendidikan/keahlian. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang datangnya dari luar diri hakim, terutama yang berkaitan dengan sistem peradilan atau 103
Bambang Sutiyoso, Loc cit, hal.14. Hasil wawancara dengan Bapak Pratondo, Hakim Pengadilan Negeri Medan, tanggal 27 Januari 2009. 104
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
sistem penegakan hukum yang kurang mendorong kinerja hakim. Dalam hal ini dapat disebabkan karena masalah instumen hukumnya (perundang-undangan), adanya intervensi dan tekanan dari pihak luar, tingkat kesadaran hukum, sarana dan prasarana sistem birokrasi/pemerintahannya, dll105. Dengan demikian kemandirian hakim berkorelasi positif dengan penegakan supremasi hukum itu sendiri. Menurut hemat penulis yang diperlukan untuk menghindarkan disparitas penyalahan pidana ini sebenarnya adalah moral dari penegak hukum sendiri. Karena walaupun
undang-undang
sudah
bagus
mengatur
sanksi
pidana
untuk
penyalahgunaan narkoba, tetapi kalau moral dari penegak hukum itu kurang maka hukum sulit ditegakkan tetapi kalau moral dari penegak hukum sudah bagus walaupun undang-undang kurang lengkap mengatur sanksi pidana maka hukum akan bisa ditegakkan. Sifat-sifat internal dan eksternal ini seringkali tidak dapat dipisahkan atau kadang-kadang sulit dipisahkan, karena sudah terpadu sebagai atribut seseorang yang disebut sebagai kepribadian dari hakim dalam arti luas yang menyangkut pengaruhpengaruh latar belakang sosial, pendidikannya, agama, pengalaman, perangai dan perilaku sosial106. Adanya disparitas penjatuhan pidan bukan hanya tampak pada tingkat putusan hakim yang satu dengan hakim yang lain. Disparitas pidana itu bisa saja muncul pada tingkat penuntutan oleh jaksa/penuntut umum, sering dijumpai di lapangan antara 105
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 8. 106 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat (Bandung: Alumni, 1992), hal. 121-122.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
jaksa/penuntut umum yang satu dengan yang lain tuntutan pidananya berbeda-beda terhadap terdakwa terhadap yang satu dengan terdakwa yang lain dalam tindak pidana yang sama. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 13. Disparitas Putusan Pengadilan Negeri Medan
No
1
No. Putusan
1500/PID.B/2004/PN Medan
2
2200/PID.B/2005/PN Medan
3
3916/PID.B/2007/PN Medan
Pasal yang dilanggar Pasal 82 ayat (1) huruf a Undang – Undang nomor 22 tahun 1997 Pasal 82 ayat (1) huruf a Undang – Undang nomor 22 tahun 1997 Pasal 82 ayat (1) huruf a Undang – Undang nomor 22 tahun 1997
Tuntutan oleh JPU
12 tahun denda Rp.10.000.000 subsider 5 bulan
Pidana yang dijatuhkan
Jumlah barang bukti
Penjara
Denda
12 tahun
Rp.10.000.000 subsider 5 (lima) bulan kurungan
20 bungkus seberat 150 kg
10 tahun denda Rp.10.000.000 subsider 3 bulan
7 tahun
Rp.1.000.000 subsider 5 bulan
14 bungkus daun ganja kering seberat 13,7 kg
7 tahun denda Rp.3.000.000 subsider 3 bulan
6 tahun
Rp.3.000.000 subsider 3 bulan
250 gr ganja kering
ket
Sumber: Pengadilan Negeri Medan.
Dari ketiga kasus narkotika di atas terlihat adanya disparitas pidana pada tingkat penuntutan oleh jaksa/penuntut umum yang satu dengan jaksa/penuntut umum yang lain terhadap kasus yang sama pasal yang dilanggar. Kemudian juga terlihat
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
adanya disparitas terhadap penjatuhan pidananya oleh hakim yang satu dengan hakim yang lain. Bisa dilihat ketiga kasus di atas tidak ada yang sama tuntutannya, Jaksa/ penuntut umum pada kasus Nomor 1 pada tabel di atas memberi tuntutan 12 (dua belas) tahun penjara denda Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) subsider 5 (lima) bulan kurungan, pada kasus ini terlihat penuntut umum sependapat dengan hakim dengan dijatuhkannya pidana sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum. Untuk kasus Nomor 2 pada tabel, jaksa penuntut umum memberi tuntutan 10 (sepuluh) tahun penjara denda Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) subsider 3 (tiga) bulan kurungan. Dalam hal ini hakim tidak sependapat dengan jaksa dengan dijatuhkannya putusan 7 (tujuh) tahun penjara denda Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) subsider 3 (tiga) bulan kurungan. Begitu juga untuk kasus yang ketiga hakim juga tidak sependapat dengan jaksa penuntut umum dengan dijatuhkan putusan 6 (enam) tahun penjara denda Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah) subsider 3 (tiga) bulan berkurang 1 (satu) tahun dari yang dituntut oleh jaksa penuntut umum. Tetapi apabila dicermati dari ketiga kasus di atas semakin sedikit barang buktinya semakin rendah pula tuntutannya, semakin banyak barang buktinya semakin tinggi pula tuntutannya. Untuk barang bukti 20 (dua puluh) bal/bungkus dengan ganja seberat 150 (seratus lima puluh) kg dituntut dengan hukuman 12 (dua belas) tahun penjara, demikian juga untuk barang bukti 14 (empat belas) bal/bungkus daun ganja seberat 13,7 (tiga belas koma tujuh) kg dituntut dengan hukuman 10 (sepuluh) tahun
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
penjara sedangkan untuk barang bukti seberat 250 (dua ratus lima puluh) gram daun ganja kering dituntut dengan hukuman 7 (tujuh) tahun penjara. Di samping disparitas pidana pada tingkat penuntutan, pada penjatuhan putusannya terjadi disparitas Majelis Hakim yang satu berbeda pendapat dengan Majelis Hakim yang lain dalam penjatuhan putusan. Seperti pada tabel di atas untuk ketiga kasus yang sama Pasal yang dilanggar hakim menjatuhkan putusan yang berbeda, ada yang memutus 12 (dua belas) tahun penjara, 10 (sepuluh) tahun penjara dan 7 (tujuh) tahun penjara. Untuk hal ini Pratondo, hakim pada Pengadilan Negeri Medan memberi komentar terjadinya putusan yang berbeda dalam kasus yang sama merupakan hal yang kasuistis sesuai dengan kasus itu sendiri, ada pertimbangan memberatkan dan ada pertimbangan yang meringankan sehingga terhadap kasus yang sama hukumannya tidak sama. Itulah sebabnya terkadang dijumpai penjatuhan pidana bagi pemakai narkoba lebih berat daripada pelaku tindak pidana narkoba yang lainnya107. Senada dengan ucapan hakim tersebut di atas dapat dilihat dalam putusan PN. Medan pada tabel berikut:
107
Hasil wawancara dengan Bapak Pratondo, Hakim Pengadilan Negeri Medan, tanggal 27 Januari 2009.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Tabel 14. Putusan Pengadilan Negeri Medan No
No. Putusan
1
1920/PID.B/2005/PN Medan
2
2234/PID.B/2006/PN Medan
Pasal yang Dilanggar Pasal 59 ayat (1) huruf e Undang – Undang nomor 5 tahun 1997 Pasal 60 ayat (1) huruf a Undang – Undang nomor 5 tahun 1997
Tuntutan oleh JPU
4 tahun denda Rp.150.000.000 subsider 3 bulan
3 tahun
Pidana yang Dijatuhkan
Jumlah Barang Bukti
Penjara
Denda
4 tahun
Rp.150.000.000 subsider 3 bulan
½ butir pil ekstasi
Rp.2.000.000 subsider 2 bulan
192 butir pil ekstasi 40 gr shabu shabu
2 tahun
Ket
Sumber: Pengadilan Negeri Medan.
Pada tabel di atas yaitu putusan Nomor 1920/Pid.B/2005/PN.Mdn, kalau dibaca dalam dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum bahwa terdakwa menggunakan ½ (setengah) butir pil ekstasi lebih berat pidananya daripada orang yang
menerima
penyerahan
psikotopika
seperti
putusan
Nomor
2234/Pid.B/2006/PN.Mdn. Padahal barang bukti pada kasus perkara hanyalah ½ (setengah) butir pil ekstasi. Sedangkan pada kasus kedua barang buktinya jauh lebih banyak yaitu 192 (seratus sembilan puluh dua) butir pil ekstasi dan 40 (empat puluh) gram shabu-shabu hukumannya hanya 2 (dua) tahun penjara dan denda sebesar Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah) bandingkan dengan hukuman hanya untuk ½ (setengah) butir pil ekstasi yang digunakannya pidananya 4 (empat) tahun penjara dan denda sebesar Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Bila dikaji lebih dalam kedua putusan di atas, tentang pertimbangan hakim terhadap hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan pada kedua putusan tersebut tidak jauh berbeda. Pada kasus pertama hal-hal yang memberatkan bahwa perbuatan terdakwa sangat meresahkan masyarakat serta dapat memberi contoh yang tidak baik bagi generasi muda. Pada kasus kedua hal-hal yang memberatkan bahwa perbuatan terdakwa menghambat program pemerintah yang sedang giat-giatnya memberantas penyalahgunaan psikotropika. Hal-hal yang meringankan pada putusan pertama sama dengan hal-hal yang meringankan pada putusan yang kedua. Bedanya pada kedua putusan ini penulis tidak menjumpai adanya pertimbangan hakim terhadap pekerjaan terdakwa. Padahal pada kasus yang kedua itu terdakwa bekerja sebagai polisi. Sebagai penegak hukum seharusnya terdakwa tahu bahwa perbuatannya sangat bertentangan dengan hukum. Terjadinya disparitas pidana disebabkan oleh persepsi hakim terhadap filsafat pemidanaan dan tujuan pemidanaan sangat memegang peranan penting didalam penjatuhan pidana. Seorang hakim mungkin berpikir bahwa tujuan serupa pencegahan hanya bisa dicapai dengan pidana penjara, namun di lain pihak dengan tujuan yang sama, hakim lain akan berpendapat bahwa pengenaan denda akan lebih efektif. Seorang hakim yang memandang aliran klasik lebih baik daripada aliran modern akan menjatuhkan pidana lebih berat, sebab perundangannya adalah pidana harus sesuai dengan perbuatannya dan sebaliknya yang berpandangan modern akan memidana lebih ringan sebab ia berpendirian, bahwa pidana harus sesuai dengan
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
orangnya. Apalagi dari segi teoritis, mengenai tujuan pemidanaan ini belum tercapai kesepakatan diantara para sarjana108. Dalam rangka penegakan hukum dan keadilan, pengadilan mempunyai peranan yang sangat penting di mana hakim sebagai orang yang melaksanakan kegiatan di bidang peradilan, harus melengkapi dirinya dengan nilai-nilai yang berkembang dan hidup dalam masyarakat tentang arti keadilan di samping menguasai norma-norma hukum tertulis. Namun demikian betapapun idealnya suatu konsepsi, faktor manusia di belakangnya merupakan hak yang tidak kalah pentingnya. Dengan demikian peranan yang diharapkan dari suatu lembaga peradilan dapat berguna sebagai wadah dalam hal109. 1. Memberikan pelayanan hukum, perlindungan hukum dan keadilan bagi masyarakat. 2. Sebagai tempat perwujudan dari kejujuran, keluhuran, kebersihan serta rasa tanggung jawab (sense of responsibility) terhadap sesama manusia, negara dan Tuhan. 3. Sebagai tempat paling utama dan yang terakhir untuk tegaknya hukum dan keadilan.
108
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 123. Anton Rasnhart, Masalah Hukum (Dari Kratologi sampai Kwitansi), (Jakarta: Aksara Persada, 1985), hal. 103. 109
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
C.
Keadaan-keadaan Diri Terdakwa Faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan kejahatan ada
2 (dua) yaitu faktor-faktor yang datangnya dari dalam diri pelaku dan faktor-faktor yang datangnya dari luar diri pelaku. Kejahatan yang datangnya dari dalam diri pelaku, bisa saja terjadi karena pelaku sudah terbiasa untuk melakukan kejahatan, artinya apabila pelaku tersebut melakukan suatu kejahatan maka dirinya akan merasa puas. Bisa juga ada kelainan jiwa dari diri pelaku atau kejahatan itu sendiri sudah menjadi profesinya sedangkan kejahatan yang datangnya dari luar diri pelaku bisa saja terjadi karena adanya pengaruh pihak lain yang mendorong pelaku untuk melakukan suatu kejahatan atau karena faktor ekonomi dan faktor lainnya yang memungkinkan seseorang untuk melakukan suatu kejahatan. Pengertian kejahatan dapat ditinjau dari berbagai segi110: 1. Dari segi Yuridis, yaitu perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang dan pelanggarnya diancam dengan sanksi. 2. Dari segi Kriminologi, yaitu perbuatan yang melanggar norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat dan mendapat reaksi negatif dari masyarakat. 3. Dari segi Psikologi, yaitu perbuatan manusia yang abnormal yang bersifat melanggar norma hukum, yang disebabkan oleh faktor-faktor kejiwaan dari si pelaku perbuatan tersebut.
110
Soedjono Dirdjosisworo, Ilmu Jiwa Kejahatan, (Bandung: PT. Karya Nusantara, 1977),
hal. 20.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Terjadinya disparitas pidana dalam penjatuhan pidana terhadap tindak pidana narkoba tidak terlepas dari keadaan-keadaan yang terdapat dalam diri terdakwa. Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi terdakwa bisa menjadi pedoman hakim untuk menjatuhkan pidana yang berbeda untuk perkara yang sama. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam menjatuhkan pidana. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 55 ayat (1) RUU KUHP Tahun 2006 yaitu: 1. Kesalahan pembuat tindak pidana; 2. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana; 3. Sikap batin pembuat tindak pidana; 4. Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana; 5. Cara melakukan tindak pidana; 6. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana; 7. Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana; 8. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana; 9. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; 10. Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya dan/atau; 11. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan. Salah satu pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana adalah hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan terdakwa. Dalam persidangan, hakim sebelum menjatuhkan pidana terhadap terdakwa untuk melakukan berat atau ringannya pidana akan dijatuhkan harus mendasarkan diri dengan melihat dan menilai keadaan-keadaan yang terdapat dalam diri terdakwa, apakah terdakwa pernah
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
dihukum sebelumnya atau tidak, sopan atau tidaknya terdakwa dalam persidangan, mengakui dan menyesali perbuatannya atau tidak. Pertimbangan juga dilakukan terhadap apa dan peranan dan posisi terdakwa serta jumlah barang bukti yang diajukan ke persidangan yang turut mempengaruhi berat atau ringannya hukuman yang dijatuhkan kepada seorang terdakwa. Seperti yang dikemukakan oleh Pratondo, hakim pada Pengadilan Negeri Medan terjadinya disparitas penjatuhan pidana bersifat kasuistis. Terjadinya perbedaan itu disebabkan oleh keadaan-keadaan seperti:111 a. Apakah terdakwa sebelumnya sudah pernah dihukum atau tidak; b. Faktor-faktor yang mendorong terdakwa melakukan tindak pidana narkoba, misalnya keadaan ekonomi, dll; c. Tingkat
pengetahuan/pemahaman
terdakwa,
misalnya:
perbedaan
tingkat
pendidikan atau profesi pelaku; d. Apa peranan terdakwa; e. Cara melakukan tindak pidana antara terdakwa yang satu dengan terdakwa yang lain berbeda; f. Jumlah barang bukti. Hakim dalam menjatuhkan pidananya, sedapat mungkin menghindari diri dari putusan yang timbul dari kehendak yang sifatnya subjektif. Walaupun hakim mempunyai kebebasan untuk itu, akan tetapi hakim tidak boleh bertindak sewenang-
111
Hasil wawancara dengan Bapak Pratondo, Hakim Pengadilan Negeri Medan, tanggal 27 Januari 2009.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
wenang karena adanya kontrol dari masyarakat yang menjadi kendali terhadap setiap putusan hakim apabila putusan tersebut tidak menunjukkan rasa keadilan masyarakat atau menjunjung perasaan keadilan masyarakat. Dalam kenyataannya sering dijumpai putusan hakim yang sangat kontradiktif dengan rasa keadilan masyarakat sehingga kewibawaan hukum itu sendiri sudah hilang di mata masyarakat.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Tindak pidana narkoba merupakan kejahatan, untuk itulah diperlukan perangkat Undang-Undang yang mengatur sanksi pidana bagi penyalahgunaan narkoba, yaitu: Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Tujuan dibuatnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang psikotropika dan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika adalah untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan narkoba dan untuk memberantas peredaran gelap narkoba. Oleh sebab itu, semua rumusan delik dalam kedua Undang-Undang tersebut di atas terfokus pada penyalahgunaan dan peredaran narkoba mulai dari penanaman, produksi, penyaluran, lalu lintas peredaran sampai ke pemakainya, bukan pada kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana. Sanksi dan pemidanaannya pada kedua undang-undang tersebut bervariasi antara lain: a. Jenis sanksi dapat berupa pidana pokok, pidana tambahan dan tindakan pengusiran. b. Jenis/lamanya pidana bervariasi.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
c. Sanksi pidana pada umumnya (kebanyakan) diancamkan secara kumulatif (terutama penjara dan denda). Yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkoba adalah: a. Pertimbangan yang bersifat yudiris antara lain: 1). Dakwaan jaksa penuntut umum yang memuat identitas terdakwa, uraian tindak pidana serta waktu dilakukan tindak pidana dan pasal yang dilanggar. 2). Keterangan saksi yaitu keterangan mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dan harus disampaikan dalam sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah. 3). Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang dia ketahui sendiri atau yang dia alami sendiri. 4). Barang-barang bukti adalah semua benda yang dapat dikenakan penyitaan dan yang diajukan oleh penuntut di persidangan. 5). Pasal-pasal dalam undang-undang narkotika dan psikotropika. b. Pertimbangan yang bersifat non yudiris ada 2 yaitu: 1). Akibat perbuatan terdakwa. 2). Kondisi diri terdakwa. c. Hal-hal yang memberatkan dan meringankan pidana.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
2. Pidana adalah suatu perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan atas perbuatan hukum. Ada 2 teori pemidanaan yaitu teori pembalasan dan teori tujuan. Kedua teori ini sama-sama memberikan sanksi pidana/hukuman terhadap penjahat atau pelanggar hukum, hanya sifat yang dimiliki antara kedua teori itu yang membedakannya. Berbeda dengan rancangan Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2006 menyebutkan tujuan pemidanaan bukan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah, memasyarakatkan, menyelesaikan konflik dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Masalah penjatuhan pidana terhadap seseorang bukanlah hal yang mudah. Hakim selain harus mendasarkan diri pada peraturan perundang-undangan, tetapi harus memperhatikan perasaan dan pendapat umum masyarakat. Putusan hakim sedapat mungkin harus mencerminkan kehendak perundang-undangan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Putusan pidana selain merupakan pemidanaan, tetapi juga menjadi dasar untuk memasyarakatkan kembali si terpidana, agar tidak melakukan kejahatan lagi dikemudian hari sehingga bahaya terhadap masyarakat dapat dihindarkan. Tetapi, kenyataan dalam praktek peradilan, putusan hakim dalam perkara narkoba sering membuat terpidana tidak merasa jera bahkan cenderung untuk mengulangi lagi perbuatannya. Hakim dalam menjatuhkan putusan belum menerapkan batas maksimal yang diterapkan oleh undang-undang. Di samping hal-hal lain seperti ekonomi, dipengaruhi teman dan lain sebagainya.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
3. Hal-hal yang menyebabkan timbulnya disparitas dalam penjatuhan pidana untuk kasus narkoba adalah: a. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang tentang narkoba baik Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika maupun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika memberi peluang untuk terjadinya disparitas pidana. b. Bersumber pada diri hakim Terjadinya disparitas pidana bisa disebabkan oleh karena hakim salah menerapkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang narkoba. Banyak faktor yang mempengaruhi kemandirian hakim dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal berkaitan dengan kualitas sumber daya hakim sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang datangnya dari luar diri hakim, terutama yang berkaitan dengan sistem peradilan. c. Keadaan-keadaan diri terdakwa Faktor-faktor seseorang melakukan kejahatan ada yang datangnya dari dalam diri pelaku dan dari luar diri pelaku. Terjadinya disparitas terhadap pelaku tindak pidana narkoba tidak terlepas dari keadaan-keadaan yang terdapat dalam diri pelaku. Dengan adanya disparitas pidana ini menyebabkan belum tercapainya rasa keadilan dalam masyarakat. Tujuan hukum yang memberi kemanfaatan juga belum tercapai karena banyak pelaku tindak pidana narkoba mengulangi lagi perbuatannya.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Kalau untuk kepastian hukum dengan dipidananya pelaku tindak pidana narkoba sudah memberi kepastian hukum bagi masyarakat, bahwa pelaku kejahatan harus mendapat hukuman.
B.
Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dikemukakan saran-saran sebagai
berikut: 1. Diperlukan penyempurnaan undang-undang tentang narkoba baik UndangUndang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika maupun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika terutama yang mengatur sanksi pidana agar barang bukti diperhitungkan juga untuk berat ringannya hukuman. 2. Diharapkan kepada hakim dalam menjalankan tugas judicialnya dilaksanakan secara profesional dan objektif sehingga dalam menjatuhkan putusannya benar-benar demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 3. Diperlukan pengawasan yang lebih ketat terhadap kinerja hakim, dan apabila ditemukan indikasi penyimpangan agar diberi sanksi yang tegas juga dalam merekrut hakim benar-benar bebas KKN agar ditemukan hakim yang berkualitas. 4. Untuk menghindari disparitas pidana sebaiknya perlu ditinjau kembali rentang dan batas maksimum dan batas minimumnya pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang yang mengatur sanksi pidana terhadap penyalahgunaan narkoba.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU Amin, SM, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Jakarta: Pradnya Paramita. Arief, Nawawi, Barda, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Prenada Media Group, 2007. Atmasasmita, Romli, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1977. Catio, Muchlis, Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba di Lingkungan Pendidikan, Badan Narkotika Nasional, 2006. Dirdjosisworo, Soedjono, Ilmu Jiwa Kejahatan, Bandung: PT. Karya Nusantara, 1977. Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1994. ________, dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di Masa Depan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984. HS. Harsono, CI Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Jakarta.: Djambatan, 1995. Kaligis, OC dan Soedjono Dirdjosisworo, Narkotika dan Peradilan di Indonesia, Bandung: PT Alumni, 2002. Kelsen, Hans, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, ahli bahasa Somardi, Jakarta: BEE Media Indonesia. Land, Hari, Modern Jurisprodensi (Kuala Lumpur International Law Book Service), 1997. Lopa, Baharuddin, Permasalahan Pembinaan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1987. Makaroh, Taufik, Suhasril dan Moh. Jakki A.S, Tindak Pidana Narkotika, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
Marzuki, Mahmud Peter, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2006. Merto, Kusumo Sudikno, Metode Penemuan Hukum, Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, Jogyakarta: UU Press, 2007. ________, dan Pittlo, A, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993. Muhammad, Rusli, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006. Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni, 1992. ________, dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1998. Mulyadi Lilik, Hukum Acara Pida Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, Bandung: Alumni, 2007. Prodjohamidjojo, Martiman, Putusan Pengadilan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983. Reinhart, Anton, Masalah Hukum (Dari Katologi Sampai Kwitansi), Jakarta: Aksara Persada, 1985. Saleh, Roeslan, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta: Aksara Baru, 1978. Sasongko, Hari, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi serta Penyuluh Masalah Narkoba, Bandung: Mandar Maju, 2003. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track Sistem dan Implementasinya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Soedjono, Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta: Reneka Cipta, 1995. Soedarjo, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana, Jakarta: Akademi Pressindo, 1985. Soekanto Soerjono, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004. _________, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
_________, Kegunaan Sosiologi Hukum bagi Kalangan Hukum, Jakarta: Alumni, 1981. Soeroso, R, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2001. Sunarso, Siswanto, Penegakan Hukum Psikotropika, dalam Kajian Sosiologi Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998. Supramono, Gatot, Hukum Narkoba Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2004. Sutiyoso, Bambang, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, Yogyakarta: 2007. Tongat, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2001.
B. MAKALAH, DIKTAT DAN MAJALAH Manan, Bagir, Mahkamah Agung dalam Era Reformasi, Makalah disampaikan pada Seminar Prospek Mahkamah Agung di Universitas Hasanuddin Tahun 2001. Nasution, Bismar dan Mahmud Siregar, Bahan Kuliah Teori Hukum, Program Studi Ilmu Hukum SpS-USU, 2007. Sunarmi, Bahan Ajar Penemuan Hukum, Kelas Khusus Departemen Hukum dan HAM, SPs USU, Medan, 2008. Syahrin, Alvi, Bahan Ajar Penemuan Hukum, Program Studi Magister Ilmu Hukum SPs USU, Medan, 2007. Majalah Tempo Edisi 19-25 Nopember 2007. Majalah Tempo Edisi 7-13 Juli 2008. Majalah Tempo Edisi 28 Juli-3 Agustus 2008.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009
C. PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar 1945. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), 2009