1
ANALISIS PERBANDINGAN DUA PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA PERKOSAAN DI PENGADILAN NEGERI GORONTALO
Wahyudin H. Sabudi Pembimbing I: Prof. Dr. Fenty U. Puluhulawa, SH., M.Hum Pembimbing II: Nirwan Junus, SH., MH JURUSAN ILMU HUKUM ABSTRAK Artikel ini dibuat untuk menjelaskan penerapan sanksi tindak pidana terhadap pelaku tindak pidana perkosaan pada putusan nomor: 101/Pid.B/2012/Pn.Gtlo dan putusan nomor: 192/Pid.B/2011/Pn.Gtlo serta menganalisis perbandingan pertimbangan hakim dalam memutus perkara nomor 101/Pid.B/2012/Pn.Gtlo dengan putusan nomor: 192/Pid.B/2011Pn.Gtlo. Penelitian ini menggunakan penelitian normatif dengan lokasi penelitian di Pengadilan Negeri Gorontalo. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa penerapan sanksi pidana terhadap pelaku perkosaan dalam dua putusan ini telah dipertimbangkan berdasarkan pertimbangan yuridis yaitu dakwaan dan tuntutan jaksa, dan fakta-fakta hukum yang ada. Pertimbangan hakim dalam hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa yang termuat dalam kedua putusan ini belum objektif, hanya karena terdakwa bersikap sopan dalam persidangan saja dapat meringankan vonis yang diberikan oleh hakim. Hakim yang menangani kedua putusan ini berbeda, sehingga pertimbangan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan pun otomatis berbeda. Perbandingan pertimbangan hakim dalam memutus kedua perkara ini sangat jelas bersifat subjektif karena adanya bias dalam menjatuhkan hukuman pada kedua perkara ini. Pembuktian kedua kasus ini bersifat objektif, sementara pertimbangan dalam menjatuhkan hukuman masih kental dengan subjektifitas. Kata Kunci: Pemerkosaan, putusan hakim, tindak pidana A. PENDAHULUAN Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 yang menjujung tingi hak dan kewajiban bagi warga Negaranya. Bagi warga Negara Indonesia haruslah taat dan sadar pada Hukum, dan kewajiban Negara untuk menegakan dan menjamin kepastian hukum bagi warga negaranya.
2
Masalah keadilan dan hak asasi manusia dalam kaitannya dengan penegakan hukum pidana memang bukan merupakan pekerjaan yang sederhana untuk
direalisasikan.
Banyak
peristiwa
dalam
kehidupan
masyarakat
menunjukkan bahwa kedua hal tersebut kurang memperoleh perhatian yang serius dari pemerintah, padahal sangat jelas dalam Pancasila, sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia, masalah perikemanusiaan dan perikeadilan mendapat tempat sangat penting sebagai perwujudan dari sila kemanusiaan yang adil dan beradab serta sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Paham hak asasi manusia dan kebebasan yang dibawa pemikiran sekuler ke Indonesia, mengutamakan kepentingan pribadi dan melupakan kepentingan umum.1 Keadaan yang mengalami pasang surut dalam cerminan kecemerlangan dalan keburaman jutaan wajah umat manusia. Hampir menjadi kenyataan, bahwa penindasan (pelanggaran) terhadap HAM menempati bagian dari sejarah, dengan fenomena yang berulangkali, bahwa rekaman sejarah terhadap nasib hak-hak asasi juga senantiasa menyuarakan bagian-bagian pembelaannya yang heroik atas musnahnya kemerdekaan itu sendiri. Bahkan problem HAM telah berkembang sedemikian penting, sehingga menjadi dilema global. Hukum tertulis tidak dapat dengan segera mengikuti arus perkembangan masyarakat. Dengan berkembangnya masyarakat, berarti berubahnya nilai-nilai yang dianutnya, dan nilai-nilai dapat mengukur segala sesuatu, misalnya tentang rasa keadilan masyarakat.2 Suatu kenyataan bahwa di dalam pergaulan hidup manusia, individu maupun kelompok, sering terdapat adanya penyimpanganpenyimpangan terhadap norma-norma pergaulan hidupnya, terutama yang dikenal sebagai norma hukum. Dimana dalam pergaulan manusia bersama, penyimpangan norma hukum ini disebut sebagai kejahatan.3
Setiap perbuatan pidana harus
terdiri dari unsur-unsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan
1
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (suatu kajian filosofis dan sosiologis), Toko Gunung Agung, Jakarta, 2002, hlm 239 2 Adami Chawazi, Pelajaran Hukum Pidana: bagian 2, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005 3 Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hlm 49
3
akibat yang ditimbulkan karenanya. Keduanya memunculkan kejadiaan dalam alam lahir (dunia).4 Namun dalam kenyataan penerapan dalam pasal-pasal belum menyentuh rasa keadilan, vonis yang dijatuhkan hakim pada para pemerkosa rendah dibandingkan dengan standar maksimal pidana yang telah ditetapkan dalam Pasal 285 KUHP. Berdasarkan data yang diperoleh dari Pengadilan Negeri Gorontalo, mengenai putusan pengadilan terhadap kasus perkosaan, selama kurang lebih tiga tahun terakhir, Pengadilan Negeri gorontalo telah memutus perkara perkosaan sebanyak 54 kasus. Jumlah kasus ini terhitung dari bulan Juni 2010 – Agustus 2013. Sebagai contohnya adalah putusan nomor perkara :192/Pid.B/2011/ PN.GTLO. Berdasarkan putusan ini terdakwa hanya dijatuhi hukuman penjara selama 3 tahun. Hal ini berbanding terbalik dengan putusan nomor perkara :101/Pid.B/2012/PN.Gtlo, yang memberikan vonis hukuman penjara terhadap terdakwa selama 8 tahun. Padahal kedua putusan ini merupakan putusan atas tindak pidana yang sama yaitu tindak pidana perkosaan. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hakim dalam menyelesaikan perkara yang diajukan, wajib mempehatikan dengan sungguhsungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.5 Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian guna menyusun skripsi dengan judul : “ANALISIS
PERBANDINGAN
DUA
PUTUSAN
TINDAK
PIDANA
PERKOSAAN DI PENGADILAN NEGERI GORONTALO” Adapun yang menjadi rumusan permasalahan dari penelitian ini yaitu bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana perkosaan dalam putusan nomor : 101/ Pid.B/ 2012/PN.GTLO dan putusan nomor 4
Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm 64 Fence Wantu Idee Des Recht Kepastian hukum, Keadilan dan Kemanfaatan (Implemtasi dalam Proses Peradilan Perdata) .Yogyakarta.PustakaPelajar, 2011, hlm.88. 5
4
192/Pid.B/2011/PN.GTLO serta bagaimana perbandingan pertimbangan putusan hakim dalam putusan nomor: 101/ Pid.B/ 2012/PN.GTLO dengan putusan nomor 192/ Pid.B/ 2011/PN.GTLO.
B. METODE PENELITIAN Dalam penulisan dan penyusunan proposal penelitian ini metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian normatif pendekatan kasus (Case Approach). Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukukan telaah terhadap kasus kasus yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang ada di Pengadilan Negeri Gorontalo. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis deduksi. Metode deduksi merupakan metode yang berpangkal dari pengajuan premis mayor yang kemudian diajukan premis minor, kemudian dari kedua premis tersebut ditarik suatu kesimpulan atau conclusion.
C. PEMBAHASAN Berdasarkan putusan nomor: 101/Pid.B/2012/Pn.Gtlo ini, Jaksa Penuntut Umum membuat surat dakwaan berbentuk dakwaan subsidaritas yaitu primair melanggar Pasal 285 KUHP tentang perkosaan, subsidair melanggar pasal 289 KUHP tentang perbuatan cabul. Penerapan dakwaan subsidairitas ini, dikarenakan berdasarkan penelitian pada materi dakwaan ini dipergunakan karena, suatu akibat yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana menyentuh atau menyinggung beberapa ketentuan pidana. Oleh karena itu, penuntut umum memilih untuk menyusun dakwaan yang berbentuk subsider, dimana tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok terberat yaitu pasal 285 KUHP, ditempatkan pada lapisan atas dan tindak pidana yang diancam dengan pidana yang lebih ringan dalam hal ini, pasal 289 KUHP ditempatkan di bawahnya. Konsekuensi pembuktiannya, jika satu dakwaan telah terbukti, maka dakwaan selebihnya tidak perlu dibuktikan lagi. Penerapan sanksi pidana terhadap terdakwa yaitu dengan dakwaan yang diberikan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam Surat Dakwaan Penuntut Umum terhadap terdakwa Tulus Nugroho yaitu pidana penjara 10 tahun. Setelah
5
dianalisis, tuntutan dakwaan dalam surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum ini sudah tepat karena sudah memenuhi syarat formil dan materill. Sebagaimana fakta-fakta yang terungkap dipersidangan serta diperkuat dengan adanya alat bukti berupa keterangan saksi-saksi, hasil Visum Et Repertum serta keterangan terdakwa dan memperhatikan barang bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum di persidangan dan semua itu dapat dipandang saling berhubungan satu sama lain maka majelis Hakim telah mempertimbangkan bahwa unsur-unsur dari pasal yang didakwakan telah sesuai dengan fakta-fakta yang ditemukan dalam persidangan tersebut. Adapun fakta-fakta tersebut adalah, di mana TN telah terbukti melakukan Delik Perkosaan, yaitu dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita yang dalam hal ini ialah SRN untuk bersetubuh dengan Terdakwa di luar perkawinan. SRN sudah berusaha melawan namun takut setelah terdakwa mengancam pada saat kejadian di kamar kost kakak korban SRN bertempat dikelurahan Wongkaditi, Kecamatan Kota Utara Kota Gorontalo pada tanggal 17 Mei 2012, pukul 03.00 wita. Saat kejadian korban merasakan sakit, dan korban merasa ketakutan dan trauma setelah kejadian tersebut, SRN sempat dirawat inap di RS Aloe Saboe Kota Gorontalo. Berdasarkan hasil penelitian terhadap materi perkara putusan nomor: 192/Pid.B/2011/Pn.Gtlo ini, bentuk dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini adalah dakwaan tunggal. Dalam dakwaan ini, terdakwa hanya dikenai satu perbuatan saja, tanpa diikuti dengan dakwaan-dakwaan lain. Yaitu terdakwa didakwa melanggar pasal 285 KUHP tentang perkosaan. Dengan dakwaan Penuntut Umum, hukuman pidana penjara 4 tahun. Fakta-fakta tersebut adalah, terdakwa AM telah terbukti melakukan tindak pidana perkosaan, yaitu dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita yang dalam hal ini ialah HP untuk bersetubuh dengan Terdakwa di luar perkawinan. HP sudah berusaha menolak ajakan terdakwa dan melawan namun takut setelah terdakwa mengancam pada saat kejadian di kamar rumah nenek terdakwa bertempat di Kelurahan Botu Kota Timur Kota Gorontalo pada tanggal 26 Januari 2011, pukul 21.00 wita. Saat itu korban HP baru mengenal
6
terdakwa setelah pada tanggal 24 Januari 2011 terdakwa mengajak kenalan sambil meminta nomor handphone korban. Setelah dianalisis oleh penulis, surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum yang hanya memberikan tuntutan 4 tahun pejara terhadap terdakwa dengan artian seperempat dari maksimal 12 tahun dalam hukuman tindak pidana perkosaan ini sudah sesuai aturan yang berlaku. Jika dilihat dari syarat materill surat dakwaan ini, tentang bagaimana tindak pidana itu dilakukan dan apakah yang mendorong terdakwa melakukan tindak pidana perkosaan tersebut, seperti yang sudah diuraikan dalam posisi kasus ini diatas maka disimpulkan bahwa pelaku melakukan tindak pidana perkosaan ini, Jaksa Penuntut Umum menilai adanya peranan korban dalam kasus ini. Korban telah memberikan peluang terhadap terdakwa secara tidak langsung, dengan kata lain korban sudah ada perasaan suka terhadap terdakwa, dan mau diajak jalan-jalan oleh terdakwa setelah sebelumnya pelaku dan korban sudah saling mengenal dan saling tukar nomor handpone. Berdasarkan dua posisi kasus sebagaimana telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa putusan dalam perkara tersebut diatas telah sesuai dengan ketentuan baik hukum pidana formil maupun hukum pidana materil dan syarat dapat dipidananya seorang terdakwa, hal ini didasarkan pada pemeriksaan dalam persidangan, dimana alat bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, termasuk di dalamnya keterangan saksi yang saling bersesuaian ditambah dengan keterangan terdakwa yang mengakui secara jujur perbuatan yang dilakukannya. Oleh karena itu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gorontalo menyatakan bahwa unsur perbuatan terdakwa telah mencocoki rumusan delik yang terdapat dalam Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dengan demikian perbuatan terdakwa merupakan yang bersifat melawan hukum dan tidak terdapat alasan pembenar. Terdakwa juga adalah orang yang menurut hukum mampu bertanggung jawab dan dia melakukan perbuatan dengan sengaja serta tidak ada absan pemaaf. Sehingga dengan demikian putusan majelis hakim yang memberikan pemidanaan sudah tepat. Sebagaimana maksud dari pemidanaan itu sendiri adalah bukan sematamata untuk membalas dendam (represif) atas perbuatan pidana yang telah
7
dilakukan terdakwa, tetapi juga bertujuan edukatif dan korektif bagi terdakwa, agar terdakwa memperbaiki sikap dan perbuatannya sehingga bisa kembali menjadi warga masyarakat yang berguna, disamping itu pemidaan juga bersifat previntif yaitu untuk mencegah dilakukannya perbuatan pidana dan untuk mengayomi negara dan masyarakat. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia, merupakan pemberian makna kepada pidana dalam sistem hukum Indonesia. Meskipun pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu nestapa, namun pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. Secara normatif, pengadilan adalah tempat untuk mendapatkan keadilan. Hal itu tersandang dari namanya “pengadilan” dan dari irah-irah putusan Hakim yang menjadi gawangnya. Menurut irah-irah itu, dalam menyelesaikan perkara Hakim tidak bekerja “demi hukum” atau “demi undang-undang”, melainkan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Frase “Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi simbol bahwa Hakim bekerja mewakili Tuhan Yang Maha Esa. Frase itu juga menjadi jaminan bahwa Hakim dalam menyelesaikan perkara akan bekerja secara jujur, bersih, dan adil karena ia mengatas namakan Tuhan. Sebab jika tidak demikian, maka Hakim yang tidak berlaku jujur, bersih, dan adil, kelak di “pengadilan terakhir” ia harus mempertanggungjawabkan perbuatan dan perilakunya di hadapan Tuhan Yang Maha Adil. Dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, hakim terikat dengan hukum acara, yang mengatur sejak memeriksa dan memutus. Dan hasil pemeriksaan itulah nantinya yang akan menjadi bahan pertimbangan untuk mengambil putusan. Fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan merupakan bahan utama untuk dijadikan pertimbangan dalam suatu putusan, sehingga ketelitian, kejelian dan kecerdasan dalam mengemukakan/ menemukan fakta suatu kasus merupakan faktor penting dan menentukan terhadap hasil putusan. Hakim sebelum memutuskan suatu perkara memperhatikan dakwaan Jaksa Penuntut Umum, keterangan para saksi yang hadir dalam persidangan, keterangan
8
terdakwa, alat bukti, syarat subjektif dan objektif seseorang dapat dipidana. Dalam amar putusan nomor 101/Pid.B/2012/Pn.Gtlo ini, hakim menyebutkan dan menjatuhkan sanksi berupa: 1.
Menyatakan terdakwa TN bersalah melakukan tindak pidana “dengan kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan”
2.
Menjatuhkan pidana kepada terdakwa TN dengan pidana penjara selama 8 (delapan) tahun penjara
3.
Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan:
4.
Menetaapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan
5.
Membebankan terdakwa membayar biaya perkara ini sebesar 2.000,(dua ribu rupiah)
Hal-hal yang yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara tersebut : 1.
Mempertimbangkan bahwa kejadian tersebut terjadi pada Kamis 17 Mei 2012.
2.
Bahwa terdakwa dalam melakukan keinginanya untuk menyetubuhi korban SRN dilakukan dengan ancaman kekerasan dan paksaan.
3.
Hakim mempertimbangkan berkas perkara atas nama terdakwa.
4.
Hakim mempertimbangkan barang bukti yang diajukan dalam persidangan dan telah dibenarkan oleh terdakwa.
5.
Bahwa hakim mempertimbangkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum dengan nomor registrasi PDM-003/GORON/0712, tertanggal 11 September 2012.
6.
Hakim mempertimbangkan bahwan atas dakwaan Penuntut Umum tersebut
terdakwa
tidak
mengajukan
permohonan
keringanan
hukuman. 7.
Hakim mempertimbangkan bahwa atas permohonan keringanan hukuman pidana tersebut, Penuntut Umum tetap pada tuntutan pidananya, dan terdakwa tetap pada permohonannya.
9
8.
Hakim mempertimbangkan keterangan dari saksi-saksi yang telah memberikan keterangan di bawah sumpah.
Hal-hal yang memberatkan : - Pebuatan terdakwa meresahkan masyarakat - Perbuatan terdakwa merusak masa depan saksi korban - Terdakwa terbelit-belit dalam memberikan keterangan dipersidangan. Hal-hal yang meringankan : - Terdakwa belum pernah dihukum. Berdasarkan amar putusan nomor 192/Pid.B/2011/Pn.Gtlo, hakim menyebutkan dan memutuskan sanksi berupa : 1.
Menyatakan terdakwa ANWAR MISILU alias ANWAR telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “ PERKOSAAN”
2.
Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 3(tiga) tahun
3.
Menetapkan
masa
penahanan
yang
telah
dijalani
Terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. 4.
Menetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan
5.
Menetapkan barang bukti berupa 1 buah celana dalam warna coklat, dirampas untuk dimusnahkan
6.
menetapkan terdakwa dibebankan untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,-
Hal-hal yang yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara tersebut : 1.
Mempertimbangkan bahwa kejadian tersebut terjadi pada Rabu 26 Januari 2011.
2.
Bahwa terdakwa ANWAR dalam melakukan keinginanya untuk menyetubuhi korban HP dilakukan dengan paksaan.
3.
Hakim mempertimbangkan berkas perkara atas nama terdakwa.
4.
Hakim mempertimbangkan barang bukti yang diajukan dalam persidangan dan telah dibenarkan oleh terdakwa.
10
5.
Bahwa hakim mempertimbangkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
6.
Hakim mempertimbangkan keterangan dari saksi-saksi yang telah memberikan keterangan di bawah sumpah.
Hal-hal yang memberatkan : - Perbuatan terdakwa telah merugikan Saksi Korban dan keluarganya - Perbuatan terdakwa dilakukan diluar ikatan perkawinan Hal-hal yang meringankan : -
Terdakwa mengakui kesalahan dan menyesali perbuatannya
-
Terdakwa bersikap sopan selama persidangan
-
Terdakwa belum pernah dihukum
-
Terdakwa masih berusia muda dan masih dapat dibina kembali.
Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan harus mencerminkan rasa keadilan dan dituntut untuk mempunyai keyakinan berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan berdasarkan keadlian yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-undang yang mengatur dan menjadi dasar dari seluruh peraturan yang ada dalam Republik Indonesia. Seberat ataupung seringan apa pun pidana yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim, tidak akan menjadi masalah selama tidak melebihi batas maksimum atapun minimum pemidanaan yang yang diancamkan oleh pasal dalam Undang-undang tersebut. Tujuan pemidanaan adalah bukan semata-mata untuk membalas dendam atas perbuatan yang telah dilakukan oleh terdakwa, tetapi juga bertujuan edukatif dan korektif bagi terdakwa, agar terdakwa memperbaiki sikap dan perbuatannya sehingga dapat kembali menjadi warga masyarakat yang berguna, disamping itu pemidanaan juga bertujuan untuk mencegah dilakukannya perbuatan pidana dan untuk mengayomi negara dan masyarakat. Sebagaimana menurut Sholehuddin tujuan pemidanaan yaitu: memberikan efek penjeraan dan penangkalan, pemidanaan sebagai rehabilitasi, pemidanaan sebagai wahana pendidikan moral, atau merupakan proses reformasi.6
6
Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, Raja Grafindo Persada,Jakarta, 2003, hal. 45.
11
Dalam menjatuhkan pemidanaan, Hakim juga harus mempertimbangkan beberapa aspek baik dari aspek yuridis, maupun pertimbangan dari aspek psikologis dan sosiologis.Aspek yurudis merupakan aspekyang pertama dan utama dengan berpatokan kepada undang-undang yang berlaku.7 Sebelum pertimbangan-pertimbangan yuridis ini di buktikan dan dipertimbangkan oleh Majelis Hakim, maka Majelis Hakim terlebih dahulu Majelis Hakim akan menarik fakta-fakta dalam persidangan yang timbul dan dan merupakan konklusi komulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa dan barang bukti yang diajukan dan diperiksa dipersidangan. Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa Kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Dalam sistem peradilan Eropa Kontinental hakim tidak terikat pada putusan pengadilan yang pernah dijatuhkan mengenai perkara yang serupa.8 Dalam menjatuhkan pidana tersebut di atas adalah mengenai hal-hal yang meringankan dan memberatkan terhadap terdakwa. Hal-hal yang meringankan dan menberatkan tersebut juga mengakibatkan adanya perbedaan ancaman pidana terhadap terdakwa yang di muat dalam putusan hakim. Berkaitan dengan hal-hal apa saja yang harus di pertimbangkan oleh hakim sebelum menjatuhkan pidana, baik perundang-undangan, yurisprudensi, dan ilmu hukum tidak memberikan pedoman yang pasti dan mengikat mengenai hal tersebut bagi hakim. Memang dengan adanya kebebasan bagi hakim dalam pemidanaan tampaknya sangat mudah bagi hakim dalam menentukan pidana. Kebebasan yang dimiliki oleh hakim tersebut bukanlah berarti kebebasan yang mutlak yang tak terbatas dan tidak boleh mengakibatkan terjadinya
7
Ahmad Rivai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Prespektif Hukum Progresif, Sinar Grafika,Jakarta, 2010, hlm.126 8 Fence M. Wantu, 2011, Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan(Implementasi dalam Proses Peradilan Perdata) cetakan pertama. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 211
12
kesewenangan hakim dalam menentukan pemidanaan. Hal ini karena, kebebasan yang di miliki oleh hakim tidak mengandung arti dan maksud untuk menyalurkan kehendaknya dengan kesewenang-wenangan subyektif, selain itu, ia harus memperhitungkan sifat dan seriusnya delik yang di lakukan, keadaan yang meliputi perbuatan-perbuatan yang di hadapkan kepadanya. Mengenai hal-hal yang memberatkan dan meringankan yang ada dalam putusan ini hanya mengikuti putusan-putusan yang memuat tentang hal yang meringankan dan memberatkan yang telah ada sebelumnya. Ini yang menyebabkan hukuman-hukuman khususnya dalam perkara perkosaan belum maksimal. Fakta yang terlihat dari hal-hal yang meringankan terdakwa dalam putusan yang memberikan vonis 3 tahun hukuman penjara yang telah diuraikan sebelumnya, menunjukkan bahwa putusan hakim bersifat subyektif. Hanya karena terdakwa bersikap sopan dan mengakui serta menyesali perbuatannya saja telah menjadikan ringannya vonis yang diterimanya. Tidak ada aturan tertulis yang menjelaskan tentang dasar yang menjadikan ukuran sikap sopan terdakwa dalam persidangan. Disparitas pemidanaan menjadi issu utama dalam sistem peradilan pidana, terutama berkaitan erat dengan pertanyaan apakah suatu putusan hakim sudah memenuhi rasa keadilan. Makna disparitas pemidanaan akan tercermin dari putusan jumlah pidana yang dijatuhkan atas satu pelanggaran hukum yang sama, namun memperoleh hukuman yang berbeda. Lebih spesifik, disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa kategori, yakni disparitas antara tindak pidana yang sama, disparitas pidana antara tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang sama, disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim, dan juga disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama. Karenanya disparitas dapat dipahami sebagai suatu keadaan yang berkenaan dengan adanya perbedaan dalam penjatuhan pidana untuk kasus yang serupa atau setara keseriusannya, tanpa ada alasan pembenaran yang jelas. Hakim
yang
menangani
kedua
putusan
ini
berbeda,
sehingga
pertimbangan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan pun
13
otomatis berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa putusan hakim bersifat subjektif. Dengan adanya kebebasan hakim dalam hal mempetimbangkan berat ringannya vonis terhadap terdakwa menjadikan hakim hanya melihat dari sisi terdakwa saja. Hakim hanya melihat dari fakta yang ada di persidangan. Kebebasan seorang hakim dalam menjatuhkan vonis terhadap terdakwa perkosaan, dalam mempertimbangkan berat ringannya putusan yang akan diberikan terkecoh dengan sikap sopan terdakwa dalam persidangan.
D. PENUTUP Berdasarkan uraian dibab-bab diatas, maka penulis menarik kesimpulan bahwa penerapan sanksi pidana terhadap pelaku perkosaan dalam perkara putusan nomor 101/Pid.B/2012/Pn.Gtlo dan putusan nomor 192/Pid.B/2011/Pn.Gtlo di pertimbangkan berdasarkan pertimbangan yurdis yaitu dakwaan dan tuntutan jaksa, dan fakta-fakta hukum baik melalui keterangan-keterangan saksi, keterangan terdakwa, maupun alat-alat bukti. Dengan terpenuhinya unsur-unsur dalam
kedua
putusan
hakim
tersebut,
maka
terdakwa
harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya, sesuai dengan putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim, dengan menjalani Pidana penjara selama 8 tahun pada putusan nomor 101/Pid.B/2012/Pn.Gtlo dan pada putusan nomor 192/Pid.B/2011 /Pn.Gtlo dengan pidana penjara 3 tahun. Dalam memutus perkara, Majelis hakim mempunyai banyak pertimbangan dengan terpenuhinya unsur-unsur sesuai dengan pasal yang didakwakan dan tidak ada alasan pembenar, dan hal-hal yang meringankan dan memberatkan serta yang diperkuat dengan adanya keyakinan Hakim, sehingga dinyatakan bersalah. Meskipun dua perkara ini memuat jenis perkara yang sama, yaitu perkara perkosaan namun Majelis Hakim memiliki pertimbangan yang berbeda untuk kedua perkara ini. Bias dalam menjatuhkan hukuman tampaknya banyak terjadi pada
waktu
hakim
mengidentifikasi
pertimbangan-pertimbangan
dalam
menjatuhkan hukuman. Hakim terjebak dalam pertimbangan-pertimbangan dalam hal
perilaku
terdakwa
pada
persidangan
14
dibandingkan
dengan
waktu
membuktikan bersalah tidaknya pelaku. Pembuktian kasus lebih objektif, sementara pertimbangan menjatuhkan hukuman kental dengan subjektivitas. Dalam menangani perkara tindak pidana perkosaan dipengadilan, apakah perbuatan terdakwa telah memenuhi semua unsur yang terkandung dalam Pasal 285 KUHP, maka sebaiknya Jaksa Penuntut Umum memberikan tuntutan dakwaan seberat-beratnya. Adapun saran dari penulis adalah: dalam menjatuhkan pidana penjara hakim dalam menangani kasus perkosaan sebaiknya memberikan vonis selamalamanya 12 tahun penjara. Diharapkan agar dalam penyelenggaraan peradilan di pengadilan, aparat hukum yang berperan dalam peradilan dalam tindak pidana perkosaan, sebaiknya adanya komposisi yang sebanding atau jika perlu, jaksa penuntut, majelis hakim dan panetera adalah perempuan. Menurut saya setelah adanya kejadian seperti ini seharusnya orang tua atau wali memperdalam pelajaran spiritual bagi anak dan menanamkan nilai-nilai moral dan kesopanan secara terus menerus sehingga dimasa mendatang anak dapat terhindar dari halhal yang terjadi pada masa lampau dan menjadikanya sebagai pelajaran agar hal ini tidak terjadi dimasa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (suatu kajian filosofis dan sosiologis), Toko Gunung Agung, Jakarta, 2002 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (bagian 2), Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Prespektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2010 Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008 Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003
15