PERAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES DIVERSI (Studi di Kejaksaan Negeri Langkat)
JURNAL Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara Oleh: MICHAEL STEFANUS SIMBOLON 120200551 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016
PERAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES DIVERSI (Studi di KEJAKSAAN NEGERI LANGKAT) JURNAL Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara Oleh: MICHAEL S. SIMBOLON 120200551 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui oleh: Penanggungjawab,
(Dr. M. Hamdan, SH., M.H.) NIP: 195703261986011001
Editor,
(Dr. Edi Yunara, SH., M.Hum) NIP: 196012221986031003
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016
ABSTRAK Michael Stefanus Simbolon* Edi Yunara** Marlina*** Upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, perlu segera dilakukan. Salah satu upaya cara pencegahan dan penanggulangan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum saat ini melalui penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan payung hukum bagi peradilan pidana anak, dalam Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak menegaskan bahwa proses diversi harus diterapkan dalam berbagai tahapan, yang salah satunya adalah pada tahap penuntutan yang dilakukan oleh Penuntut Umum Anak. Penuntut Umum Anak harus dapat mengerti tentang kondisi anak dan harus mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak. Keberhasilan mencapai kata sepakat di dalam proses diversi tergantung kepada para pihak yag berperkara tersebut, maka diperlukan perubahan pola pikir masyarakat yang selama ini mengarah kepada keadilan retributif (pembalasan) menuju keadilan restoratif (musyawarah). Berdasarkan pokok pemikiran diatas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu bagaimana pengaturan mengenai diversi menurut UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan bagaimana penerapan konsep diversi pada tahap penuntutan di Kejaksan Negeri Langkat serta apa saja yang menjadi faktor penghambat dalam melakukan diversi di Kejaksaan Negeri Langkat. Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif dan empiris yang bersifat kualitatif, dan menggunakan jenis data primer yang diperoleh dengan menggunakan metode wawancara serta jenis data sekunder yang diperoleh dengan metode studi pustaka (library research), dengan mengkaji berbagai literature, peraturan perundang-undangan, dan pendapat para ahli. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa upaya diversi yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan peraturan pelaksanaan lainnya telah menjadi alternatif penyelesaian untuk menangani anak yang berkonflik dengan hukum melalui mekanisme non formal yang melibatkan Penuntut Umum Anak sebagai fasilitator, Pembimbing Kemasyarakatan, pelaku, korban dan orang tua. Penerapan konsep diversi wajib dilakukan di setiap tahap, khususnya pada tahap penuntutan oleh Penuntut Umum Anak. Faktor-faktor yang menjadi penghambat penerapan proses diversi pada lembaga Kejaksaan Negeri Langkat adalah faktor internal yang berasal dari lembaga kejaksaan itu sendiri, dimana masih kurangnya Penuntut Umum Anak dan faktor eksternal yang berasal dari masyarakat yang masih mempunyai sifat balas dendam dalam menyelesaikan masalah di persidangan serta tidak terlihatnya keseriusan pemerintah dalam menjalankan proses diversi tersebut. *
Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Pembimbing I dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. *** Pembimbing II dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. **
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsep negara hukum yang dimiliki Indonesia memiliki fungsi penegakan hukum yang memiliki peranan penting, karena merupakan bagian dari proses kegiatan hukum nasional. Penegakan hukum merupakan usaha untuk menegakkan norma-norma dan sekaligus nilai-nilai yang ada dibelakang norma tersebut. Penegakan hukum bukan hanya berbicara mengenai aturan-aturan atau pasal-pasal yang berada dalam peraturan perundang-undangan, tetapi berbicara mengenai banyak faktor, antara lain perilaku orang-orang yang terlibat didalamnya seperti pelaku kejahatan, korban kejahatan, para penegak hukum yang merupakan bagian dari sistem peradilan pidana (criminal justice system). Sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan.1 Penanggulangan yang dimaksud adalah usaha mengendalikan kejahatan agar berada dalam batasbatas toleransi dengan menyelesaikan sebagian besar laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dengan mengajukan pelaku kejahatan ke sidang pengadilan untuk diputus bersalah, serta mendapat pidana dan disamping itu yang paling penting adalah untuk mencegah pelaku untuk mengulangi kejahatan. Terjadinya suatu perbuatan yang melawan hukum atau tindak pidana dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa mengenal usia, jenis kelamin, dan lain sebagainya.
1
Bahan kuliah Mahmud Mulyadi , Hukum Acara Pidana, hal.3
Salah satunya yaitu orang yang belum dewasa atau anak-anak baik sebagai pelaku, saksi maupun sebagai korban tindak pidana. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.2 Anak memiliki karekteristik yang spesifik dibandingkan dengan orang dewasa dan merupakan salah satu kelompok rentan yang haknya masih terabaikan, oleh karena itu hak anak menjadi penting diprioritaskan. UndangUndang Dasar 1945 disebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.3 Peran strategis anak sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa telah disadari oleh masyarakat internasional yang melahirkan sebuah konvensi yaitu Konvensi Anak (Convention of the Rights of the Child) yang intinya menekankan posisi anak yang harus mendapatkan hak-hak yang dimilikinya. 4 Perhatian internasional terhadap hal ini telah menjadikan banyak negara melakukan reformasi hukum terkhusus yang berkaitan dengan anak. Indonesia memiliki beberapa komponen dalam sistem peradilan pidana, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga permasyarakatan yang 2
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Undang-undang Dasar 1945 Pasal 38B ayat (2) 4 Romli Atmasasmita, dkk., Peradilan anak di Indonesia (Bandung:Mandar Maju, 1997) Hal.8 Dalam preambul konvensi yang kemudian secara normatif dijabarkan dalam batang tubuhnya, mengandung norma-norma antara lain tentang: a.Pengakuan bahwa demi perkembangan anak secara penuh dan harmonis, maka anak harus dapat tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluaranya dengan penuh kasih sayang dan pengertian; b.Anak dengan berbagai kekurangmatangan fisik dan mental, membutuhkan perhatian dan penjagaan serta secara khusus termasuk kebutuhan akan perlindungan hukum; 3
diharapkan dapat bekerja secara integratif sesuai dengan fungsi dan tugas masingmasing dalam mekanisme peradilan pidana.5 Kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga permasyarakatan ini memiliki tugas, wewenang, dan hak yang berbeda namun memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk menciptakan kehidupan yang tentram dalam masyarakat dan memberikan faedah yang sebesar-besarnya kepada masyarakat. Sesuai dengan pengaturan di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi. POLRI sebagai penyidik memiliki waktu 30 hari untuk melakukan proses diversi pada anak yang melakukan tindak pidana tersebut, apabila Diversi dinyatakan gagal ataupun dari pihak keluarga tidak setuju maka dilanjutkan ke tahap penuntutan. Jaksa Penuntut Umum memiliki peran yang penting dalam berlangsungnya proses diversi dengan melibatkan korban, pelaku, keluarga korban dan pelaku, masyarakat serta pihak-pihak yang berkepentingan dengan suatu tindak pidana yang terjadi untuk mencapai kesepakatan dan penyelesaian dalam penanganan kasus anak. Diversi dilaksanakan pada tahap penuntutan dikarenakan tidak berhasilnya proses diversi pada tahap penyidikan oleh pihak POLRI. Jaksa Penuntut Umum yang menangani kasus tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa pastinya berbeda proses penuntutannya apabila yang melakukan tindak pidana tersebut
5
Ibid
adalah orang yang belum dewasa atau anak-anak, dikarenakan adanya proses diversi terlebih dahulu. Proses diversi yang dilakukan oleh lembaga Kejaksaan pastinya memiliki prosedur sesuai dengan peraturan yang berlaku yang perlu untuk diketahui dan dipahami dengan baik melalui penerapannya secara langsung. Berdasarkan uraian diatas, Penulis pada akhirnya tertarik untuk membuat skripsi dengan judul “Peran Jaksa Penuntut Umum dalam Proses Diversi (Studi di Kejaksaan Negeri Langkat)” yang kemudian akan dibahas pada babbab selanjutnya dalam skripsi ini. B. Perumusan Masalah Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi “Peran Jaksa Penuntut Umum dalam Proses Diversi (Studi di Kejaksaan Negeri Langkat)” adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaturan mengenai diversi menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak? 2. Bagaimana penerapan diversi pada tahap penuntutan di Kejaksaan Negeri Langkat? 3. Apa yang menjadi faktor penghambat Jaksa Penuntut Umum dalam melaksanakan diversi di Kejaksaan Negeri Langkat?
C. Metode Penelitian Sistematika penulisan yang baik dan benar, haruslah menggunakan metode penelitian yang benar. Penelitian yang digunakan oleh penulis dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Jenis dan Sifat Penelitian Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian Normatif-Empiris. Penelitian Normatif yaitu penelitian yang dilakukan berdasarkan perundang-undangan dan penelitian empiris yaitu penelitian terhadap kenyataan atau fakta yang terjadi dalam penerapan hukum di masyarakat.6 Penelitian Normatif dalam hal ini, digunakan untuk menganalisa konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, dan peraturan berupa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, UndangUndang Nomor 5 Tahun 1981 tentang Hukum Pidana (KUHP), UndangUndang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak , UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun, Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor. PER006
A/J.A/04/2015
Pedoman Pelaksanaan Diversi
Pada
Tingkat
Penuntutan, yang memang berkaitan dengan topik bahasan dalam skripsi ini. Penelitian empiris yang dimaksudkan pada skripsi ini yaitu studi lapangan yang dilakukan pada Kejaksaan Negeri Langkat untuk memperoleh data dan untuk melihat bagaimana proses pelaksanaan diversi
6
LawEducation,http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/metode-penelitianhukum. Diakses pada tanggal 1 Mei 2016 pukul 20.30 WIB
pada Kejaksaan Negeri Langkat sehingga dapat dijadikan bahan mengembangkan konsep diversi dalam tahap penuntutan. Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah Penelitian Kualitatif, yaitu penelitian yang menekankan pada kajian mendalam terhadap konsepkonsep, teori-teori, pandangan para ahli, dan kaitannya dengan tujuan dari sistem peradilan yang digunakan di Indonesia serta mempelajari juga datadata yang didapatkan dan diolah dari Kejaksaan sehingga dapat menambah wawasan dan pandangan yang kemudian dimaksudkan untuk memberikan data yang berdasar secara teoritis dan empiris. 2. Metode Pendekatan Pendekatan penelitian dalam skripsi ini adalah pendekatan kualitatif, yaitu dengan menganalisis permasalahan dalam penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum, yang mengacu pada norma–norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, sejarah dan filsafat peradilan dan pemidanaan di Indonesia maupun di dunia, kemudian meneliti mengenai pelaksanaan diversi pada Kejaksaan Negeri Langkat, guna mengetahui bagaimana proses diversi dalam penanganan kasus anak . 3. Jenis dan Sumber Data Penelitian Normatif-Empiris menggunakan jenis data primer dan data sekunder. Data primer didapat melalui studi lapangan (field research) dan data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari objek penelitian melainkan melalui studi pustaka (library research). Peneliti mendapat data yang sudah jadi yang dikumpulkan oleh pihak lain
dengan berbagai cara atau metode, baik secara komersial maupun nonkomersial. Data sekunder yang dipakai penulis adalah sebagai berikut: a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang terkait, antara lain: 1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1981 tentang Hukum Pidana (KUHP) 4) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 5) Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia 6) Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun 7) Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor. PER-006 A/J.A/04/2015 Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntutan b. Bahan hukum sekunder, berupa buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi, artikel-artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan
dan sebagainya yang diperoleh baik melalui media cetak maupun media elektronik. c. Bahan hukum tersier, yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus hukum, jurnal ilmiah, dan bahan-bahan lain yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini. Data Primer yang didapatkan melalui studi lapangan bersumber dari responden yang secara langsung terlibat dalam penanganan kasus tindak pidana yang dilakukan anak melalui proses diversi. Studi lapangan ini dilakukan dengan melalui wawancara mendalam (in-depth interview) serta melalui pedoman wawancara (interview guide). 4.
TeknikPengumpulan Data Pengumpulan data dari penulisan skripsi ini dilakukan melalui teknik studi pustaka (literature research) dan juga melalui bantuan media elektronik, yaitu internet dan televi serta studi lapangan (field research) yaitu mengumpulkan data dan hasil wawancara. Penulis mengumpulkan, mengkomparasikan hasil wawancara dengan peraturan perundangundangan dan mensinkronkan data, menafsirkan, dan menemukan data dari buku-buku, jurnal dinamika hukum, artikel, dan arti-arti yang berhubungan dengan judul skripsi untuk memperoleh data dari sumber ini.
5.
Analisis Data Pada penelitian hukum ini analisis data dilakukan dengan menyusun data agar data-data tersebut dapat ditafsirkan, maka biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya. 7 Metode analisis data yang dilakukan penulis adalah kualitatif, yaitu dengan: a. Menginterpretasikan
data
primer
yang
didapatkan
melalui
wawancara para Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Langkat agar dapat
dituangkan
dalam
bentuk
kalimat
pada
pembahasan
permasalahan di skripsi ini. b. Mencari sumber-sumber bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang dapat digunakan sebagai referensi pengerjaan skripsi ini. c. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang akurat dan relevan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini. d. Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibah
7
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,(Depok:Universitas Indonesia Press, 1994), hal. 69
PEMBAHASAN A. PENGATURAN MENGENAI DIVERSI MENURUT UNDANGUNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 1. Sejarah Penerapan Konsep Diversi di Indonesia Anak nakal perlu dilindungi dari tindakan-tindakan yang dapat menghambat perkembangannya, sehingga dalam penanganannya perlu dibuat hukum pidana anak secara khusus, baik menyangkut hukum pidana materil, hukum pidana formil, maupun hukum pelaksanaan pidananya. Peraturan perundang-undangan yang mengatur secara materil mengenai perlindungan anak, diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dan secara formil serta pelaksanaan pidananya dibentuk Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak yang sekarang berubah menjadi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dibentuknya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 didasarkan bahwa kenakalan anak merupakan perbuatan anti sosial yang dapat meresahkan masyarakat, namun hal tersebut diakui sebagai gejala umum yang harus diterima sebagai suatu fakta sosial, oleh karena itu diperlakuan terhadap anak nakal harus berbeda dengan perlakuan terhadap orang dewasa sehingga perlu ditangani secara khusus. Upaya untuk menghindari efek atau dampak negatif proses peradilan pidana terhadap anak telah dilakukan oleh United Nations Standart Minimum
Rules for the Administration of Juvenile (The Beijing Rules) yang telah memberikan pedoman yaitu dengan memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan kebijakan dalam menangani atau menyelesaikan masalah pelanggaran anak dengan tidak mengambil jalan formal, melainkan menghentikan atau tidak meneruskan, melepaskan dari proses pengadilan, mengembalikan atau menyerahkan kepada masyarakat dan juga dapat diubah menjadi bentuk-bentuk kegiatan pelayanan sosial lainnya. Tindakan-tindakan itu disebut diversi (diversion) sebagaimana tercantum dalam Rule 11.1, 11.2, dan 17.4 Standart Minimum Rules for the Administration of Juvenile (The Beijing Rules) tersebut. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana sebagaimana yang dituliskan dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Konsep Diversi dilakukan untuk menemukan suatu bentuk penyelesaian yang win-in solution.8 Pertimbangan dilakukannya diversi didasarkan pada alasan untuk memberikan keadilan kepada pelaku yang telah terlanjur melakukan tindak pidana serta memberikan kesempatan pada pelaku untuk memperbaiki dirinya. Ketentuan Peradilan Pidana Anak diatur didalam Bab II mulai dari Pasal 6 sampai dengan Pasal 15, Pasal 29, Pasal 42,52 dan Pasal 65.9
8 9
Marlina, Op.Cit., hal.73 Ibid.
2. Tujuan dan Objek Diversi a. Tujuan Diversi Tujuan diversi dijabarkan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang menentukan tujuan dari diversi itu yaitu:10 Mencapai perdamaian antara korban dan Anak; Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan; Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan; Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak. b. Objek Diversi Anak haruslah ditangani secara berbeda dengan orang dewasa. UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak lahir untuk mengatasi permasalahan tentang model penanganan hukum yang berlaku bagi anak, yaitu dengan adanya diversi. Objek diversi adalah anak. Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.11 3. Perkara yang Diupayakan Diversi a. Tidak setiap perkara yang dilakukan oleh anak dapat dilakukan diversi. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) dikaitkan dengan Pasal 7 10 11
Elisabeth,dkk., Op. Cit., hal. 38 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, maka dapat diketahui bahwa perkara anak yang wajib diupayakan diversi pada waktu dilakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan sidang di Pengadilan Negeri. Tindak Pidana yang wajib dilakukan diversi, yaitu: b. Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun, penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa ketentuan “pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun” mengacu pada hukuman pidana, c. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana.12 4. Pihak-Pihak yang Terkait dalam Pelaksanaan Diversi pada Tahap Penuntutan Beberapa pihak yang terkait dalam proses diversi pada tahap penuntutan tersebut terdiri dari penuntut umum, Anak dan orangtua/walinya, korban atau anak korban dan orangtua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional.
12
Kualifikasi Tindak Pidana Berat dapat ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan undang-undang yang belum terkodifikasi namun berisi pengaturan mengenai perbuatan yang dikategorikan kejahatan dengan diberikan sanksi pidana penjara. Tindak pidana berat juga dapat dilihat dari nilai ketercelaannya dimata masyarakat dan beratnya sanksi yang diberikan.
B. PENERAPAN KONSEP DIVERSI PADA TAHAP PENUNTUTAN DI KEJAKSAAN NEGERI LANGKAT Sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa anak yang berhadapan dengan hukum wajib dilakukan proses diversi pada setiap tahap khususnya tahap penuntutan, dimana diversi tersebut bertujuan untuk menghindarkan anak dari proses peradilan.
Berdasarkan skema di atas dapat diketahui penerapan konsep diversi. Proses pelaksanaan Diversi yang dilaksanakan di Kejaksaan Negeri Langkat merupakan kewajiban yang dimiliki oleh Jaksa Penuntut Umum khususnya Penuntut Umum Anak pada tahap sebelum penuntutan di Pengadilan. Pelaksanaannya selain diatur dalam undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak secara teknis dilaksanakan pula berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 65 tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun. Pada Kejaksaan Negeri Langkat sama halnya Kejaksaan Negeri lainnya yang
harus
menangani
anak
yang
berkonflik
dengan
hukum
harus
mempertimbangkan kategori tindak pidana dan umur anak serta hasil penelitian pembimbing Kemasyarakatan dari BAPAS. Penuntut Umum Anak sebagai fasilitator bersama pembimbing kemasyarakatan dengan pelaku, korban, dan orang tua dipertemukan di dalam ruangan anak (RKA), melakukan musyawarah yang dimaksud untuk mendapatkan kesepakatan penyelesaian perkara, namun jika tidak mencapai adanya kesepakatan maka proses pemeriksaan akan dilanjutkan pada tahap penuntutan di Pengadilan.
C. FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PELAKSANAAN PROSES DIVERSI DI KEJAKSAAN NEGERI LANGKAT
1. Faktor Internal Tujuan driversi untuk melindungi anak dari proses peradilan pidana, tidak selalu berjalan dengan mudah. Isi dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana memang sudah
baik, dengan adanya kewajiban penerapan diversi, namun di dalam prakteknya masih banyak terdapat faktor-faktor yang dapat menghambat proses diversi tersebut, hal ini dapat dilihat dari minimnya tingkat keberhasilan dalam proses musyawarah di Kejaksaan Negeri Langkat ini hanya 1 (satu) perkara yang berhasil, dari total 5 (lima) perkara yang diupayakan diversi di Kejaksaan Negeri Langkat.13 Faktor-faktor yang menjadi alasan gagalnya proses diversi pada tahap penuntutan di Kejaksaan Negeri Langkat yaitu: a. Penuntut Umum Anak yang Belum Cukup dan Memadai Kejaksaan Negeri Langkat mempunyai 15 (lima belas) orang Jaksa dan diantaranya hanya terdapat 1 (satu) orang jaksa yang sudah memiliki Surat Keputusan dari Jaksa Agung dan sudah mengikuti pelatihan sebagaimana yang menjadi syarat untuk dapat ditetepkan sebagai Penuntut Umum Anak. Tentunya dengan jumlah 1 (satu ) orang Penuntut Umum Anak sangat kurang mengingat jumlah volume perkara anak yang cukup tinggi di Kejaksaan Negeri Langkat.14 b. Tidak Adanya Sosialisasi dari Kejaksaan Kepada Masyarakat Tentang Diversi Masyarakat secara umum belum mengetahui tentang apa diversi itu dan bagaimana proses diversi itu yang diterapkan dalam kasus anak yang berhadapan dengan hukum. Masyarakat seharusnya sudah mengetahui
13
Wawancara dengan Miranda Dalimunte sebagai Penuntut Umum Anak pada Kejaksaan Negeri Langkat pada tanggal 15 Juni 2016 pukul 10.59 WIB 14 Wawancara dengan Miranda Dalimunte sebagai Penuntut Umum Anak pada Kejaksaan Negeri Langkat pada tanggal 15 Juni 2016 pukul 10.40 WIB
tentang adanya penerapan diversi pada persidangan anak yang berhadapan dengan hukum melalui sosialisasi yang dilakukan oleh pihak Kejaksaan. Pengetahuan masyarakat tentang adaya proses diversi pada anak yang berhadapan dengan hukum tersebut seharusnya dapat menimbulkan dampak positif bagi aparat penegak hukum kususnya pada Penuntut Umum Anak dalam melakukan proses diversi.15 2. Faktor Eksternal Faktor-faktor eksternal dari kejaksaan, yaitu: a.
Minimnya
jumlah
Pembimbing
Kemasyarakatan
pada
Balai
Pemasyarakatan (BAPAS) Balai Pemasayarakatan (BAPAS) tidak terdapat di Kabupaten Langkat, namun berada di Kota Medan hal itu dapat menyulitkan pihak Kejaksaan dalam berkordinasi untuk mengetahui perkembangan Anak yang berkonflik dengan hukum. 16 Sudah 2 (dua) tahun undang-undang Nomor 11 tahun 2012 berlaku, tetapi pemerintah khususnya Kemetrian Hukum dan HAM belum memulai adanya pembangunan BAPAS di Kabupaten Langkat. Melihat dari peran BAPAS yang sangat penting dalam
melakukan penelitian
maupun pendampingan bagi anak yang berhadpan dengan hukum.
15
Wawancara dengan Miranda Dalimunte sebagai Penuntut Umum Anak pada Kejaksaan Negeri Langkat pada tanggal 15 Juni 2016 pukul 10.58 WIB 16 Wawancara dengan Miranda Dalimunte sebagai Penuntut Umum Anak pada Kejaksaan Negeri Langkat pada tanggal 15 Juni 2016 pukul 11.04 WIB
b. Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) dan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) yang Jauh dari Kejaksaa Negeri Langkat Tidak adanya Lembaga Penempatan Anak Sementara, menyulitkan Kejaksaan Negeri Langkat untuk melakukan penahanan terhadap anak untuk kepentingan penyidikan.17 Kesulitan tersebut dikarenakan letak LPAS yang jauh dari Kejaksaan Negeri Langkat yang dapat sulitnya Penuntut Umum untuk memantau anak tersebut. Akan menjadi lebih baik ketika LPAS dan LPAK dibangun di setiap Kabupaten/Kota. c.
Pandangan Masyarakat Terhadap Perbuatan Tindak Pidana Faktor lain yang dapat mengahambat jalannya proses diversi
tersebut datang dari diri masyarakat itu sendiri. Masyarakat disini diposisikan sebagai pihak daripada keluarga korban atau keluarga pelaku yang tidak mau atau menolak melakukan proses diversi yang ditawarkan oleh Penuntut Umum dalam tahap penuntututan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Penolakan tersebut dikarenakan tingginya ego daripada masyarakat (para pihak) untuk meyelesaikan masalah melalui proses peradilan.18 Minimnya kemauan dari diri masyarakat dan kurangnya kesadaran atas pentingnya tujuan dari diversi itu dapat menyulitkan Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Langkat dalam mencapai kata sepakat dalam proses
17
Wawancara dengan Miranda Dalimunte sebagai Penuntut Umum Anak pada Kejaksaan Negeri Langkat pada tanggal 15 Juni 2016 pukul 11.00 WIB 18 Wawancara dengan Miranda Dalimunte sebagai Penuntut Umum Anak pada Kejaksaan Negeri Langkat pada tanggal 15 Juni 2016 pukul 11.04 WIB
divers. Kebanyakan masyarakat masih saling mementingkan egonya masing-masing, dan masih melihat kepada tujuan dari pembalasan terhadap suatu tindak pidana yang dilakukan oleh anak, sehingga proses diversi itu gagal dan dilanjutkan ke tahap pemeriksaan berkas di persidangan. d. Adanya Kelemahan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, jika kita lebih memperhatikan tentang isi dari UndangUndang tersebut masih terdapat kelemahan-kelemahan di dalamnya. Kelemahan atau kekurangan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak itu dapat menjadi faktor penghambat berjalannya diversi khusunya di Kejaksaan Negeri Langkat.
PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah disampaikan pada pembahasan dalam skripsi ini, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Konsep Diversi yang diatur di dalam undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, diterapkan sebagai salah satu bentuk alternatif penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum melalui non-litigasi.. Pelaksanaan konsep ini diwajibkan bagi setiap aparat penegak hukum sesuai tahap penanganan perkara, termasuk tahap penuntutan. Para pihak yang terkait di tahap penuntutan juga telah ditentukan sesuai dengan tugas dan fungsinya agar dapat berkoordinasi melaksanakan diversi sesuai tujuannya. 2. Proses pelaksanaan Diversi yang dilaksanakan di Kejaksaan Negeri Langkat merupakan kewajiban yang dimiliki oleh Jaksa Penuntut Umum khususnya Penuntut Umum Anak pada tahap sebelum penuntutan di Pengadilan. Pelaksanaannya selain diatur dalam undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak secara teknis dilaksanakan pula berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 65 tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun. Pada Kejaksaan Negeri Langkat sama halnya Kejaksaan Negeri lainnya yang harus menangani anak yang berkonflik dengan hukum harus mempertimbangkan kategori tindak pidana dan umur anak serta hasil penelitian pembimbing Kemasyarakatan dari BAPAS. Penuntut Umum
Anak sebagai fasilitator bersama pembimbing kemasyarakatan dengan pelaku, korban, dan orang tua dipertemukan di dalam ruangan anak (RKA), melakukan musyawarah yang dimaksud untuk mendapatkan kesepakatan penyelesaian perkara, namun jika tidak mencapai adanya kesepakatan maka proses pemeriksaan akan dilanjutkan pada tahap penuntutan di Pengadilan. 3. Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Penuntut Umum Anak di Kejaksaan Negeri Langkat, penyelesaian perkara Anak yang berkonflik dengan hukum sangat jarang melalui proses Diversi. Adapun Upaya Diversi yang berhasil mencapai kesepakatan hanya satu dari lima musyawarah Diversi yang pernah terlaksana. Hal ini tentunya disebabkan oleh beberapa faktor penghambat, baik yang berasal dari internal maupun eksternal. Fasilitator di Kejaksaan (Penuntut Umum Anak) yang berwenang melaksanakannya dalam tahap ini sangat minim dan pengetahuan masyarakat tentang adanya konsep Diversi ini juga perlu ditingkatkan. menyepakati sebuah alternatif penyelesaian yang lebih melindungi anak dan tetap memperbaiki pelaku anak. B. Saran Berdasarkan kesimpulan yang dikemukakan diatas, maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: 1. Diharapkan meningkatkan
Pemerintah jumlah
melalui Penuntut
Lembaga Umum
Kejaksaan
Anak
untuk
harus
lebih
menghindari
penunjukan Penuntut Umum yang melakukan penuntututan terhadap tindak
pidana yang dilakukan oleh orang dewasa pada kasus anak. Hal itu dapat merugikan anak, karena Penuntut Umum yang melakukan penuntutan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa (bukan Penuntut Umum Anak) belum tentu memahami tentang kondisi dan jiwa anak serta kepentingan terbaik bagi anak 2. Diharapkan aparat penegak hukum khususnya pihak Penuntut Umum Anak meningkatkan sosialisasi terhadap masyarakat mengenai pentingnya perlindungan anak melalui proses diversi (menyelesaikan masalah secara non litigasi), apa yang menjadi tujuan dari diversi, agar masyarakat tersebut dapat menghilangkan sifat pembalasan (retributif) dalam menyelesaikan suatu tindak pidana melainkan secara musyawarah terhadap kasus anak yang berhadapan dengan hukum. 3. Diharapkan pemerintah lebih serius dan mendukung dalam menerapkan proses diversi tersebut dengan cara membangun sarana dan prasarana serta infrastruktur untuk menunjang proses diversi tersbut, seperti mempercepat pembangunan BAPAS di setiap Kabupaten/Kota, memperbanyak jumlah LPAS dan LPKA dan penambahan jumlah Pembimbing Kemasyarakatan.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku Agus, Yoachim, (2015), Keadilan Restoratif, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta Djamil, M. Nasir, (2013), Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta Dkk., Elisabeth,(2014), Diversi dan Keadilan Restoratif:Kesiapan Aparat Penegak Hukum dan Masarakat, Pustaka Indonesia, Medan E.Y Kanter dan S.R Sianturi, (2002) Asas-Asas Hukum Pidana di Indoesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta Hamzah, Andi, (2008), Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta Soekanto, Soerjono, (1994), Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Depok Soesilo, R. (1996), Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar- komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor Wahyuno, Agung dan Siti Rahayu. (1993) Tinjauan Tentang Peradilan Anak di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta Waluyo, Bambang, (2014) Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta B. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indosesia Tahun 1994 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejasaan Republik Indonesia Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (dua belas) Tahun.
Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER-006 /A/J.A/04/ 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi pada Tingkat Penuntutan C. Jurnal Yutirsa Yunus, Analisis Konsep Retoratif Justice melalui Sistem Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Jurnal Rechtsvinding, Volume 2 nomor 2, Agustus 2013. D. Website www.repository.usu.ac.id. http://www.mahkamahagung.go.id/rbnews.asp?bid=4085 LawEducation,http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/metodepenelitian-hukum. Diakses pada tanggal 1 Mei 2016 pukul 20.30 WIB