KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA (Studi di Kejaksaan Negeri Medan)
JURNAL ILMIAH
Diajukan Untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi persyaratan untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh : WANSEPTEMBER SITUMORANG 080200252
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013
KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA (Studi di Kejaksaan Negeri Medan)
JURNAL ILMIAH Diajukan Untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi persyaratan untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Oleh : WANSEPTEMBER SITUMORANG 080200252 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Mengetahui : Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU
Dr. M. Hamdan, SH., MH NIP. 195703261386011001 Editor
Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum NIP. 197407252002122002
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013
ABSTRAK Kegiatan pembuktian dalam perkara pidana pada dasarnya untuk memperoleh kebenaran, yakni kebenaran dalam batasan-batasan yuridis bukan dalam batasan yang mutlak. Pembuktian dalam perkara pidana dapat diartikan suatu upaya mendapatkan keterangan-keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu keyakinan atas dasar benar tidaknya perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa. Dalam melakukan pembuktian terhadap perkara pidana tersebut terdapat beberapa kendala dalam pembuktian perkara pidana dimana dalam hal ini jaksa penuntut umum harus mencari bukti-bukti yang kuat untuk dapat dilakukan penuntutan dan dapat diajukan dalam persidangan dan upaya dalam menghadapi kendala tersebut. kendala apa saja dan upaya apa saja yang dilakukan jaksa penuntut umum dalam mengatasi kendala tersebut sehingga pengadilan yang bersifat singkat, sederhana dan biaya ringan dapat dilakukan. Dari latar belakang tersebut, penulis mengangkat judul “Kendala-kendala yang Dihadapi Penuntut Umum Dalam Proses Pembuktian Perkara Pidana”. Permasalahan dalam skripsi ini adalah: Apakah fungsi jaksa penuntut umum dalam proses perkara pidana, kendala-kendala apa saja yang dihadapi oleh jaksa penuntut umum dalam proses pembuktian dan upaya-upaya apa saja dalam menghadapi kendala-kendala tersebut.Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulisan skripsi ini menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data lapangan dan data kepustakaan. Analisis terhadap data yang diperoleh dilakukan dengan cara analisis kualitatif yaitu analisis yang dilakukan secara deskriptif, kemudian hasil analisis tersebut dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara deduktif. Hasil penelitian dari skripsi ini dapat diketahui bahwa terdapat 2 kendala dalam melakukan pembuktian dalam tahap penyidikan dan penuntutan yakni kendala non yuridis dan yuridis, sedangkan kendala dalam tahap persidangan adalah kendala-kendala yang terdapat dalam terdakwa dan saksi-saksi. Upaya yang dilakukan dalam menghadapi kendala tersebut dalam tahap penyidikan dan penuntutan ada 2 yakni tahap prapenuntuan dengan adanya pemeriksaan tambahan dan tahap penuntutan dengan meneliti secara cermat serta mempelajari perkara pidana. Sedangkan dalam sidang jaksa dapat memberikan kasus tersebut kepada pengadilan apabila hakim mengembalikan berkas tersebut. Dan tidak ada alasan bahwa hakim menolak memeriksa perkara pidana yang diberikan padanya.
A. PENDAHULUAN Bidang hukum adalah bidang yang tergolong cukup parah kondisinya dan sangat sering dibicarakan dan diperjuangkan dalam era reformasi ini. Dalam kondisi negara yang tidak menentu ini, hukum dituntut peran aktifnya untuk turut menyelesaikan persoalan bangsa dan perbaikan kondisi bangsa dalam bidang hukum melalui penegakan hukum.1 Penegakan hukum bagi semua pelaku tindak pidana perlu dilakukan. Berkaitan dengan hukum, dalam hal ini hukum pidana, dibagi menjadi dua, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil (hukum acara pidana).2 Hukum pidana materiil memuat aturan-aturan yang menetapkan dan merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, aturan-aturan yang memuat syarat-syarat untuk dapat dijatuhkan pidana dan ketentuan mengenai sanksi pidana. Namun hukum pidana materiil tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya hukum pidana formil (hukum acara pidana). Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merupakan pengganti hukum acara pidana sebelumnya, yaitu het herzeine inlandsch reglement atau HIR (Staatblad 1941 Nomor 44) maka terwujudlah kodifikasi dan unifikasi hukum acara pidana di Indonesia yang diharapkan dapat memberikan perlindungan terhadap keluhuran
1
Djoko Prakoso, Eksistensi Jaksa di Tengah-tengah Masyarakat, (Jakarta: Cetakan Pertama Ghalia, 1985), hal. 23 2 Ibid
harkat dan martabat manusia (human dignity) Indonesia serta perlindungan hak-hak asasi manusia (human rights).3 Indonesia merupakan negara hukum modern yang salah satu cirinya adalah corak negara kesejahteraan yaitu welfare state, dalam arti melindungi kepentingan seluruh rakyat. Konsep ini merupakan landasan filosofis yuridis sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea IV yang kemudian dijabarkan dalam Pasal 1 ayat 3. Berkaitan dengan hal tersebut diatas, hukum tidak boleh ketinggalan
dalam
proses
pembangunan,
sebab
pembangunan
yang
berkesinambungan menghendaki adanya konsepsi hukum yang mendorong dan mengarahkan pembangunan sebagai cerminan dari tujuan hukum modern, salah satu tujuan hukum yaitu keadilan menurut pancasila yaitu keadilan yang seimbang artinya adanya keseimbangan diantara kepentingan individu, kepentingan masyarakat dan kepentingan penguasa. Dimana untuk memperoleh kebenaran atas suatu peristiwa yang terjadi diperlukan suatu proses kegiatan yang sistematis dengan menggunakan ukuran dan pemikiran yang layak.4 Hal tersebut haruslah melalui mekanisme yang benar serta memerlukan pembuktian yang akurat dalam proses pelaksanaannya. Proses pembuktian perkara pidana terdapat kendala-kendala yang dihadapi oleh Jaksa Penuntut Umum dalam proses penyelesaiannya. Penulisan skripsi bertujuan untuk mengetahui kendala-kendala tersebut dan penulis ingin mengetahui bagaimana upaya-upaya yang dilakukan oleh Kejaksaan sebagai 3
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 1984), hal. 36 4 Ibid
Penuntut Umum dalam menangani masalah tersebut. Oleh sebab itu, penulis melakukan riset pada Kejaksaan Negeri Medan. Berdasarkan uraian-uraian di atas tersebut inilah yang melatarbelakangi penulis tertarik untuk melakukan suatu penelitian dengan mengambil judul dalam tugas akhir penulisan skripsi: “KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA (STUDI DI KEJARI MEDAN).”
B. Permasalahan Sesuai dengan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah : 1. Apakah fungsi Jaksa Penuntut Umum dalam proses penyelesaian perkara pidana? 2. Kendala-kendala apa saja yang dihadapi oleh Jaksa Penuntut Umum dalam proses pembuktian perkara pidana? 3. Upaya-upaya apa saja yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam menyelesaikan kendala-kendala yang dihadapai dalam proses pembuktian perkara pidana?
C. Metode Penelitian Metode diartikan sebagai suatu jalan atau suatu cara untuk mencapai sesuatu. Sebagaimana tentang tata cara penulisan harus dilakukan, maka metodologi penulisan hukum yang digunakan oleh penulis mencakup antara :
1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan oleh penulis ialah metode penelitian hukum normatif dan juga metode penelitian empiris yaitu dengan melakukan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan, penelitian kepustakaan yakni penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan, khususnya buku-buku yang berkaitan, perundang-undangan dan kepustakaan hukum yang berkaitan dengan Pembuktian, sedangkan penelitian lapangan adalah penelitian yang dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung (observasi) dan wawancara langsung dengan obyek yang berkaitan langsung. 2. Sumber Data Penelitian hukum normatif yang disebut juga penelitian hukum doctrinal ini, penulis menggunakan data sekunder yang mempunyai kekuatan mengikat kedalam yang bersumber dari : a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari : 1) Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 2) Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat 3) Peraturan Perundang-Undangan : a) Undang-Undang Kejaksaan dan peraturan yang setaraf, b) Peraturan Pemerintah dan peraturan yang setaraf, c) Keputusan Presiden dan peraturan yang setaraf, d) Keputusan Menteri, 4) Peraturan-peraturan daerah a) Badan hukum yang tidak dikodifikasi, seperti hukum adat.
b) Yurisprudensi. b.
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, atau pendapat pakar hukum.
c.
Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus (hukum), ensiklopedia dan juga hasil wawancara. d. Data primer adalah data yang diperoleh dari responden (objek penelitian), data primer diperoleh melalui wawancara
3. Alat Pengumpulan Data Skripsi ini dalam pengerjaannya dipergunakan beberapa metode untuk dapat mengumpulkan data yang dipergunakan dalam pendalaman penyusunan dan penyelesaian karya ilmiah ini antara lain : a. Melalui Studi Kepustakaan (Library Research) Yakni melalui penelitian dengan berbagai sumber bacaan dari bahan pustaka yang dapat berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier b. Melalui Penelitian Lapangan (Field Research) Yakni penelitian secara langsung berupa metode wawancara dengan beberapa Kejaksaan Negeri Medan. Yakni seputar tugas dan hal-hal apa saja yang dilakukan dalam proses menyelesaikan perkara pidana, mengenai kendala-kendala dalam menyelesaikan pembuktian terhadap
suatu tindak pidan serta upaya-upaya apa yang dilakukan dalam menanggulangi kendala tersebut. 4.
Analisa Data Setelah semua data sekunder dan data primer diperoleh, maka data
dianalisis secara kualitatif yaitu menganalisa secara lengkap dan komprehensif keseluruhan data yang diperoleh sehingga menjawab permasalahan-permasalahan dalam skripsi ini. D. HASIL PENELITIAN 1.
Kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia Keberadaan institusi Kejaksaan sebagai penegak hukum telah dikenal
di Indonesia jauh sebelum masa penjajahan. Meskipun mengalami pergantian nama dan pemerintah, fungsi dan tugas kejakaksaan tetap sama yaitu melakukan penuntutan terhadap perkara-perkara kriminal dan bertindak sebagai penggugat atau tergugat dalam perkara perdata.5 Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, menurut Pasal 24 ayat 1 UUD 1945, ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan mengenai badan-badan lain tersebut dipertegas dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan mengenai badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman meliputi Kepolisian Negara RI, Kejaksaan RI, dan badan-badan lain yang diatur dengan undang-undang.
5
Marwan Effendy, Kejaksaan RI, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hal. 64
Selanjutnya, Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 2 menegaskan bahwa : 1. Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam undang-undang ini disebut Kejaksaan lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. 2. Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka. 3. Kejaksaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) adalah satu dan tidak terpisahkan. Mencermati isi Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 di atas, dapat diidentifikasi beberapa hal, yaitu : 1) Kejaksaan sebagai suatu lembaga pemerintahan; 2) Kejaksaan melakukan kekuasaan (kewenangan) di bidang penuntutan dan kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang 3) Kekuasaan (kewenangan) itu dilakukan secara merdeka; 4) Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan. Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-undang ini dijelaskan bahwa Kejaksaan adalah satu-satunya lembaga pemerintahan pelaksanaan kekuasaan negara yang mempunyai tugas dan wewenang di bidang penuntutan dalam penegakan hukum dan keadilan di lingkungan peradilan umum. Kemudian Penjelasan
Pasal 2 ayat
2 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan” adalah landasan pelaksaan tugas dan wewenangnya di bidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan, sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku, dan tata kerja kejaksaan. Oleh karena itu, kegiatan penuntutan di pengadilan oleh Kejaksaan tidak akan berhenti hanya karena jaksa yang semula bertugas
berhalangan. Dalam hal demikian, tugas penuntutan oleh Kejaksaan akan tetap dilakukan sekalipun oleh Jaksa Pengganti. Pasal 3 menetapkan bahwa bahwa Kejaksaan adalah satu dan tak dapat dipisah-pisahkan.6 Menilik pengaturan Pasal 1 dan Pasal 3 undang-undang tersebut, dapat ditarik beberapa hal penting, yaitu :7 1. Kejaksaan sebagai alat negara penegak hukum 2. Tugas utama Kejaksaan adalah sebagai penuntut umum 3. Kejaksaan harus menjujung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara 4. Kejaksaan adalah satu dan tak dapat dipisah-pisahkan 2.
Tugas dan Kewenangan Kejaksaan Republik Indonesia Sewaktu pemerintahan jajahan Belanda mengundangkan IR (Inlandsch
Reglement atau Reglemen Bumi Putra) dan RO (Reglement op de Rechterlijke). IR merumuskan antara lain Hukum Acara Pidana, sedangkan RO merumuskan Badan Penuntut Umum pada Pengadilan Bumi Putera maupun pengadilan golongan Eropa di Hindia Belanda. Setelah berkali-kali diubah dan ditambah, pada akhirnya tahun 1941, IR diganti menjadi HIR (Herziene Inlandsch Reglement atau Reglemen Bumi Putra yang diperbaharui kemudian menjadi Reglemen Indonesia yang Diperbaharui). HIR mengatur Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana untuk pengadilan-pengadilan bumi putera sedangkan jaksa (magistraat) pada pengadilan tersebut berada pada tangan resident atau
6
Ibid Ibid
7
asisten resident di kabupaten-kabupaten. Setiap magistraat membawahi beberapa jaksa.8 Menurut sistem HIR jaksa mempunyai tugas dan wewenang yang sangat menentukan (centralfigur) dalam pemeriksaan pendahuluan yang mencakup penyidikan (opsporing), penyidikan lanjutan (nasporing) dan melakukan penuntutan. Pada masa ini jaksa diberi tugas dan wewenang selaku lembaga (badan atau dinas) Negara yang dinamakan Openbaar Ministeire (badan penuntut umum) yang mempunyai tugas pokok antara lain :9 1. Mempertahankan segala peraturan negara; 2. Melakukan penuntutan terhadap segala tindak pidana; dan 3. Melaksanakan putusan pengadilan pidana yang berwenang. Pemeriksaan pendahuluan merupakan pemeriksaan tahap penyidikan atau pemeriksaan sebelum dimajukan di depan persidangan pengadilan. Pemeriksaan pendahuluan dimaksudkan sebagai persiapan pemeriksaan di muka pengadilan dan atas dasar pemeriksaan ini suatu tuntutan yang diajukan akan diputus oleh hakim. 3.
Fungsi Jaksa Penuntut Umum Dalam Proses Penyelesaian Perkara Pidana Dalam Acara Pemeriksaan Perkara Di Sidang Pengadilan Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga negara yang melaksanakan
kekuasaan Negara, khususnya di bidang penuntutan yang melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya, sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan. Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 8
R.M. Surachman, Andi Hamzah, Op.Cit, hal. 31 Marwan Effendy, Op.Cit, hal. 120
9
yang menggantikan Undang-Unadng Nomor 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan sebagai satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supermasi hukum perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia serta pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).10 Kedudukan Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum berada di lingkungan kekuasaan pemerintah (eksekutif). Berdasarkan
Pasal 2 ayat (1)
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, berfungsi melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan di samping melaksanakan fungsi kekuasaan lain yang diberikan oleh undang-undang. Fungsi kejaksaan dalam kepidanaan mencakup aspek preventif maupun aspek represif, sedangkan dalam keperdataan dan tata usaha negara, kejaksaan berfungsi sebagai Pengacara Negara. Fungsi kejaksaan dalam aspek preventif, sebagaimana terlihat dalam ketentuan Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, berupa peningkatan kesadaran hukum masyarakat, pengamanan kebijakan penegakan hukum, pengamanan peredaran barang cetakan, pengawasan aliran kepercayaan, pencegahan penyalahgunaan atau penodaan agama, penelitian dan pengembangan hukum secara statistik kriminal. Dalam aspek represif, sebagaimana terlihat dalam Pasal 30 ayat (1) Undangundang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan
Republik
Indonesia,
kejaksaan berfungsi melakukan penuntutan dalam perkara pidana, melaksanakan penetapan Hakim dan putusan pengadilan, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan pelepasan bersyarat, melengkapi berkas perkara tertentu
10
Penjelasan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
yang berasal dari Penyidik Kepolisian Republik Indonesia (Polri) atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Melalui fungsi seperti ini, dalam proses peradilan pidana eksistensi kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum mempunyai kedudukan dan peranan yang strategis dalam suatu Negara hukum. Hal ini karena lembaga kejaksaan mengemban tugas dan tanggung jawab dalam proses penyaringan antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan. Dalam posisi yang strategis ini, jaksa sebagai pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang harus mampu mengemban tugas dalam rangka penegakan hukum. 4.
Mekanisme Pembuktian Dalam Proses Perkara Pidana Penyelesaian perkara pidana haruslah melalui tahap-tahap penyelesaian
terhadap tindak pidana tersebut. Dalam menyelesaikan perkara pidana terdapat beberapa tahapan yakni :11 3. Pada Tahap Penyidikan 4. Pada Tahap Penuntutan 5. Pada Tahap Pemeriksaan sidang pengadilan 1. Pada Tahap Penyidikan Aparat kepolisian (penyidik) merupakan aparat Negara terdepan dalam menangani proses pemeriksaan tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat. Bidang peradilan, penyidik mengadakan penyelidikan atas kejahatan dan pelanggaran menurut ketentuan dalam undang-undang hukum acara. Oleh sebab 11
M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 91
itu, penyidik dapat melakukan serangkaian tindakan penyidikan untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menenmukan tersangkanya sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat 2 jo Pasal 6 KUHAP.12 Upaya penyidik untuk melakukan pembuktian tentang suatu peristiwa pidana, harus benar-benar sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya selaku penyidik dan dibenarkan oleh undang-undang hukum acara pidana. Kewajiban penyidik untuk segera melakukan tindakan penyidikan adalah berdasarkan pengaduan seseorang yang mengalami, melihat, menyaksikan atau menjadi korban dalam peristiwa pidana, berdasarkan hasil penyelidikan terhadap suatu peristiwa pidana dengan disertai berita acara penyelidikan dan dengan adanya orang yang tertangkap tangan melakukan tindakan tersebut. 2. Pada Tahap Penuntutan Sebagaimana diketahui pemeriksaan pada tahap penyidikan merupakan dasar dari penuntutan demikian pula penuntutan tidak mungkin terjadi jika tidak ada penyidikan dari penyidik sebelumnya, kecuali dalam hal tindak pidana khusus, jaksa penuntut umum dapat langsung melakukan penyidikan dan penuntutan. Penuntutan sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 butir ke 7 KUHAP menyatakan bahwa : “Penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.”13
12
Ibid Andi Hamzah, Op.Cit, hal. 164
13
Penuntut Umum sebelum melakukan penuntutan perkara pidana, terlebih dahulu mempelajari dan meneliti kelengkapan berkas perkara yang diterima dari penyidik, apakah cukup alat-alat bukti untuk membuktikan kesalahan tersangkah/terdakwa atau dengan kata lain apakah sudah memenuhi syarat pembuktian untuk dilimpahkan ke sidang pengadilan. Adapun penelitian yang dilakukan Penuntut Umum sebagai upaya pembuktian pada tahap penuntutan ialah : -
Meneliti kebenaran identitas tersangka.
-
Menanyakan kepada tersangka apakah sangkaan yang dibuat dalam BAP dibenarkan oleh tersangka.
-
Menayakan apakah barang bukti yang ada dalam berita acara penyitaan diakui oleh tersangka.
-
Menanyakan apakah tersangka ditahan dan sejak kapan penahanan tersangka.
-
Pada Tahap pemeriksaan sidang pengadilan Pemeriksaan perkara dipersidangan merupakan suatu proses pidana dalam
membuktikan bersalah tidaknya terdakwa. Pemeriksaan dimuka umum yang dilakukan terhadap terdakwa merupakan sendi pertama dari pemeriksaan dipersidangan. Hal ini berarti bahwa terdakwa harus diperlakukan dengan wajar dan tidak sewenang-wenang. Setelah sidang dibuka maka hakim ketua pertama-tama menanyakan identitas terdakwa sebagaimana dimaksud lama Pasal 155 ayat 1 KUHAP.14
14
Rusli Muhammad, Op.Cit, hal. 70
Setelah itu Penuntut Umum atas permintaan hakim ketua sidang membacakan surat dakwaan dan setelah itu hakim menanyakan kepada terdakwa apakah ia sudah mengerti atas dakwaan yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum. Apabila terdakwa belum mengerti maka atas permintaan hakim maka Jaksa Penuntut Umum harus memberikan penjelasan yang diperlukan (Pasal 155 ayat 2 KUHAP). Jika terdakwa atau penuntut umum tidak mengajukan keberatan atas dakwaan penuntut umum maka hakim melanjutkan dengan melakukan pemeriksaan terhadap alat-alat bukti (Pasal 184 ayat 1 KUHAP) yakni pemeriksaan saksi-saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan terakhir keterangan terdakwa. Pemeriksaan
keterangan
saksi-saksi
agar
memperoleh
kekuatan
pembuktian yang sah maka saksi-saksi tersebut harus disumpah sesuai dengan agama masing-masing ketentuan ini diatur dalam Pasal 160 ayat 3 KUHAP. Hakim juga dapat meminta keterangan ahli sebagai upaya pembuktian perkara pidana yang sedang ia periksa. Setelah pemeriksaan saksi dan ahli selesai jika ada barang bukti maka hakim memperlihatkan kepada terdakwa dan saksi ataupun ahli tentang kebenaran barang bukti. Setelah pemeriksaan sidang dipandang telah selesai maka Penuntut Umum mengajukan tuntutan pidana secara tertulis. Kemudian terdakwa atau penasehat hukumnya mengajukan pembelaan. Jika rangkaian pemeriksaan seluruhnya telah selesai maka majelis hakim beserta panitera mengadakan musyawarah untuk mempertimbangkan segala
sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan disidang atas dasar surat dakwaan dan kemudian mengambil keputusan.15 5.
Kendala-kendala yang Dihadapi oleh Kejaksaan Dalam Melakukan Pembuktian Perkara Pidana Pada Tahap Penyidikan dan Penuntutan Kendala-kendala yang dijumpai dalam penyidikan dan penuntutan
perkara pidana yang menghambat penyelesaian kasus perkara pidana tersebut antara lain :16 A. Kendala yang bersifat non yuridis : 1. Kompleksitas dari perkara pidana tersebut (terlalu rumitnya kasus tersebut) 2. Dilakukan oleh sekelompok orang atau instansi yang sangat terorganisasi dalam melakukan tindak pidana tersebut. 3. Waktu terjadinya tindak pidana baru terungkap setelah bukti-bukti tersebut hilang (dalam kasus pemerkosaan) dan terungkap setelah tenggang waktu yang lama (dalam kasus korupsi). 4. Pengalihan hasil-hasil dan tindakkan tersebut dilakukan dengan sangat rapi. Contohnya dalam tindak pidana korupsi uang hasil korupsi tersebut dilakukan pencucian uang 5. Terdakwa beralasan sakit B. Kendala yang bersifat yuridis 1. Orang yang melakukan tindak pidana tersebut adalah orang-orang penting dalam pemerintahan 2. Saksi menarik keterangannya di dalam persidangan
15
Ibid Ibid
16
3. Perbedaan persepsi dalam menangani kasus tindak pidana tersebut antar jaksa dan hakim dalam proses pembuktian di persidangan 4. Perbedaan persepsi antara penyidik dan jaksa penuntut umum mengenai petunjuk dari penuntut umum dalam proses pemeriksaan berkas 5. Surat-surat yang dibutuhkan sebagai barang bukti susah untuk didapatkan Proses penyidikan perkara pidana merupakan bagian yang sangat penting di dalam sistem peradilan pidana karena merupakan jembatan yang menghubungkan antara tahap penuntutan dan tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Dimana pada tahap penuntutan ini juga menjadi filter atau penyaring terhadap suatu berkas kasus perkara tersebut layak atau tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan. Sebagaimana dinyatakan dalam KUHAP, bahwa tujuan daripada penuntutan adalah melimpahkan perkara pidana ke pengadilan yang berwenang dengan permintaan supaya perkara tersebut diperiksa dan diputuskan oleh hakim di sidang pengadilan.17 6. Kendala-kendala yang Dihadapi oleh Kejaksaan Dalam Melakukan Pembuktian Perkara Pidana Pada tahap Sidang Pengadilan Kendala-kendala yang dihadapi Penuntut Umum dalam pembuktian di dalam sidang pengadilan menurut Irma Hasibuan selaku Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Medan adalah :18 1. Apabila perkara tersebut telah dilimpahkan ke pengadilan ternyata pada hari sidang yang telah ditentukan penuntut umum tidak dapat menghadirkan
17
Andi Hamzah, Op Cit, hal. 263 Irma Hasibuan, Wawancara, Kejaksaan Negeri Medan, tanggal 21 Januari 2013s/d 13 Februari 2013 18
terdakwa dan saksi-saksi dalam pengadilan dengan acara pemeriksaan singkat, dan perkaranya dikembalikan ke Kejaksaan. 2. Suatu perkara dilimpahkan ke pengadilan oleh penuntut umum dengan acara pemeriksaan singkat. Kemudian oleh hakim kepada penuntut umum dengan permintaan agar perkara yang bersangkutan dilimpahkan ke pengadilan dengan acara pemeriksaan biasa, dimana menurut hakim pembuktian terhadap kasus tersebut tidak mudah sifatnya. 3. Terdakwa mencabut keterangan yang telah diberikannya kepada penyidik sehingga mempengaruhi kepada upaya pembuktian dakwaan. Apabila dalam perkara tersebut tersedia bukti minimal berupa keterangan terdakwa dan hanya alat bukti lainnya. 4. Kekuatan pembuktian terhadap saksi-saki baik yang berdiri sendiri maupun yang dibacakan. Hal-hal tersebut merupakan kendala-kendala yang dihadapi Jaksa dalam proses persidangan di pengadilan dalam hal pembuktian terhadap perkara pidana yang sedang diselesaikan untuk mendapat putusan hakim terhadap kasus pidana tersebut. Pembuktian yang dianut oleh KUHAP adalah pembuktian berdasarkan undang-undang yang menentukan tentang jenis dan banyaknya alat bukti yang harus ada, ini diperlukan agar hakim dapat menjatuhkan pidana bagi seorang terdakwa dimana apabila jenis dan banyaknya alat bukti belum dapat menimbulkan keyakinan pada diri hakim, maka hakim belum akan mengambil
keputusan terhadap perkara tersebut. Hakim akan meminta kembali kepada Jaksa Penuntut Umum untuk melengkapi bukti-bukti yang lebih akurat.19 7. Upaya yang Dilakukan oleh Kejaksaan Untuk Mengatasi Kendala-kendala Dalam Melakukan Pembuktian Perkara Pidana Pada Tahap Penyidikan dan Penuntutan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 yaitu tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dimana dalam Pasal 30 ayat 1 disebutkan bahwa kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penuntutan dalam perkara pidana, dan melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.20 Menurut pendapat Ibu Irma Hasibuan SH, kendala-kendala dalam pembuktian perkara pidana pada tahap penyidikan dan penuntutan ada 2 yakni kendala non yuridis dan kendala yuridis. Untuk mengatasi kendala tersebut, menurut ibu Irma perlu diadakannya beberapa upaya yakni dengan diadakannya pemeriksaan tambahan.21 Pemeriksaan tambahan dilakukan adalah untuk memperoleh kepastian penyelesaian perkara dalam rangka pelaksanaan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan, serta menjamin kepastian hukum, hak-hak azasi pencari keadilan baik tersangka/terdakwa, saksi korban maupun kepentingan umum.22 Oleh karena Kejaksaan adalah satu-satunya instansi penegak hukum yang mempunyai wewenang melakukan penuntutan terhadap perkara-perkara tindak pidana umum, maka upaya pembuktian terhadap suatu kasus pidana berada di pundak Jaksa
19
Djoko Prakoso, Penyidik…… Op.Cit, hal. 20 RM.Surachman dan Andi Hamzah, Op Cit, hal. 38 21 Irma Hasibuan, Wawancara, Kejaksaan Negeri Medan, tanggal 21 Januari 2013s/d 13 Februari 2013 22 Ibid 20
Penuntut Umum.23 Dalam prakteknya upaya mengatasi kendala pembuktian perkara pidana di Kejaksaan Negeri Medan menurut Ibu Irma Hasibuan, SH juga dapat dilakukan dengan 2 tahap untuk mengatasi kendala-kendala non yuridis dan yuridis tersebut yakni :24 -
Pertama : Tahap Prapenuntutan
-
Kedua
: Tahap Penuntutan
Pada tahap prapenuntutan inilah pembuktian perkara pidana dilakukan setelah Jaksa Penuntut Umum menerima berkas perkara dari penyidik/penyidik pembantu. Setelah diterima berkas perkara hasil penyidikan dari penyidik sebagaimana dalam kententuan KUHAP, maka Jaksa Penuntut Umum segera mempelajari dan meneliti secara seksama kelengkapan berkas tersebut, apakah berkas tersebut telah memenuhi syarat formil maupun materil untuk dilimpahkan ke pengadilan.25 Penelitian yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum antara lain yaitu : 26 -
Kelengkapan Berita Acara Pemeriksaan
-
Keabsahan tindakan penyidik yang berkaitan dengan penggeledahan, penyitaan, laporan dan alat-alat bukti
-
Tindakan lain yang harus memenuhi ketentuan Undang-Undang. Setelah mempelajari apakah memenuhi syarat formil maka selanjutnya
Jaksa Penuntut Umum mempelajari dan meneliti isi serta materi berkas perkara hasil penyidikan apakah syarat materil telah terpenuhi yaitu apakah terdapat cukup alasan menurut hukum untuk melakukan penuntutan dan mengajukannya 23
Ibid., hal. 39 Ibid 25 Marwan Effendy, Op Cit, hal. 142 26 Ibid 24
ke sidang pengadilan.27 Apabila dalam penelitian ternyata tidak memenuhi syarat formil dan syarat materil maka berkas tersebut dikembalikan kepada penyidik dengan disertai petunjuk-petunjuk yang jelas dan terperinci. Pemeriksaan tambahan Jaksa Penuntut Umum harus memperhatikan hal-hal yakni :28 1. Tidak dilakukan terhadap tersangka 2. Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya dan dapat meresahkan masyarakat 3. Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 hari setelah dilaksanakan ketentuan pada Pasal 110 dan Pasal 138 ayat 2 KUHAP 4. Prinsip koordinasi dan kerja sama dengan penyidik Pada Tahap Penuntutan kegiatan persiapan pelimpahan perkara ke pengadilan yakni untuk menentukan apakah perkara tersebut diajukan secara biasa, singkat atau cepat. Setelah itu Penuntut Umum membuat surat dakwaan sesuai dengan Pasal 140 ayat 1 KUHAP.29 Surat dakwaan untuk perkara biasa dibuat sesuai dengan ketentuan Pasal 143 ayat 2 KUHAP, sedangkan surat dakwaan untuk perkara dengan acara pemeriksaan singkat dibuat sesuai dengan ketentuan Pasal 203 KUHAP.30 Untuk pelimpahan perkara dengan acara pemeriksaan cepat dapat dibagi dua bagian yaitu : terhadap perkara pidana ringan (Pasal 205 KUHAP) dan terhadap perkara pelanggaran lalu lintas jalan (Pasal 211 KUHAP).31 27
Ibid Ibid 29 M. Yahya Harahap, Pembahasan……. Op Cit, hal. 148 30 Ibid 31 Ibid 28
Pembuktian perkara pidana pada tahap penyidikan dan penuntutan ini menurut Irma Hasibuan adalah penentu terhadap kasus pidana tersebut. Karena dalam
tahap
inilah
sering
sekali
mendapat
kendala-kendala
dalam
pembuktiannya.32 Sekalipun terdakwa telah mengakui perbuatannya tetap saja Jaksa Penuntut Umum harus melakukan pembuktian.33 Menurut Irma Hasibuan kasus atau perkara yang sangat sulit dalam melakukan pembuktian terhadap kasus tersebut adalah perkara-perkara dalam rana Tindak Pidana Khusus seperti Korupsi, Pencucian Uang, dan lain-lain. Dimana menurut Irma Hasibuan memerlukan waktu yang lama dalam membuktikan perkara tersebut.34 8. Upaya yang Dilakukan oleh Kejaksaan Untuk Mengatasi Kendala-kendala Dalam Melakukan Pembuktian Perkara Pidana Pada Tahap Sidang Pengadilan Mengenai pelimpahan berkas perkara pada tahap sidang pengadilan setelah ditentukan waktu persidangan atas suatu perkara yang dilimpahkan, maka penuntut umum melakukan pemanggilan terhadap tersangkah dan saksi-saksi. Dalam hal pembuktian perkara pidana di depan persidangan Jaksa Penuntut Umum haruslah mempelajari kasus yang sedang ditangani.35 Menurut Irma Hasibuan kendalakendala yang dihadapi Penuntut Umum dalam pembuktian di dalam sidang pengadilan adalah : Apabila perkara tersebut telah dilimpahkan ke pengadilan ternyata pada hari sidang yang telah ditentukan penuntut umum tidak dapat menghadirkan terdakwa dan saksi-saksi dalam pengadilan dengan acara pemeriksaan singkat, dan perkaranya dikembalikan ke Kejaksaan.36
32
Ibid Ibid 34 Ibid 35 M. Yahya Harahap, Pembahasan……. Op Cit., hal. 256 36 Irma Hasibuan, Wawancara, Kejaksaan Negeri Medan, tanggal 21 Januari 2013s/d 13 Februari 2013 33
Suatu perkara dilimpahkan ke pengadilan oleh penuntut umum dengan acara pemeriksaan singkat. Kemudian oleh hakim kepada penuntut umum dengan permintaan agar perkara yang bersangkutan dilimpahkan ke pengadilan dengan acara pemeriksaan biasa, dimana menurut hakim pembuktian terhadap kasus tersebut tidak mudah sifatnya. Sehubungan dengan kendala di atas menurut Irma Hasibuan upaya yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum dalam hal ini adalah ditempuh dengan jalan melimpahkan kembali berkas perkara tersebut dengan pemeriksaan biasa sejak perkara dilimpahkan, sehingga perkara menjadi tanggung jawab pengadilan dan karena mana tidak dapat dilakukan pengembalian perkara ke Kejaksaan seperti dalam acara pemeriksaan singkat. Apabila dalam hal tersebut terdakwa dan saksi-saksi juga tidak dapat hadir maka dilakukan pemanggilan paksa terhadap terdakwa dan saksi-saksi.37 Terdakwa mencabut keterangan yang telah diberikannya kepada penyidik sehingga mempengaruhi kepada upaya pembuktian dakwaan. Apabila dalam perkara tersebut tersedia bukti minimal berupa keterangan terdakwa dan hanya alat bukti lainnya, maka upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut adalah dengan dengan menggunakan Putusan Mahkamah Agung Nomor 85 K/Kr/1961 menyatakan bahwa pengakuan terdakwa tidak dapat ditiadakan karena alasan tidak mengerti sehingga membuat para terdakwa tidak dapat berkata bohong dan tidak dengan sesuka hati mencabut keterangannya di depan sidang pengadilan.38
37
Ibid Ibid
38
E. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan pembahasan yang telah penulis paparkan mulai Bab I sampai dengan Bab IV maka dapatlah penulis simpulkan sebagai berikut : 1. Kegiatan pembuktian dalam perkara pidana pada dasarnya untuk memperoleh kebenaran, yakni kebenaran dalam batasan-batasan yuridis bukan dalam batasan yang mutlak karena kebenaran yang mutlak sukar diperoleh berdasarkan hukum acara pidana. Pembuktian dalam perkara pidana dapat diartikan suatu upaya mendapatkan keterangan-keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu keyakinan atas dasar benar tidaknya perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa. Bahwa hakim maupun jaksa penuntut umum tidak boleh mempergunakan alat bukti lain untuk membuktikan kesalahan seseorang terdakwa selain dari pada apa yang telah diatur dalam Pasal 184 ayat 1 jo Pasal 39 KUHAP 2. Kendala-kendala yang dijumpai dalam penyidikan dan penuntutan perkara pidana yang menghambat penyelesaian kasus perkara pidana tersebut ada 2 (dua) hambatan antara lain : 1) Kendala yang bersifat non yuridis 2) Kendala yang bersifat yuridis
3) Kendala-kendala yang dihadapi Penuntut Umum dalam pembuktian di dalam sidang pengadilan. 3. Upaya yang dilakukan kejaksaan atau jaksa penuntut umum dalam mengatasi kendala dalam pembuktian terhadap perkara pidana dalam tahap sidang dipengadilan adalah dengan mengupayakan agar perkara tersebut dapat diselesaikan secepat mungkin. Dan apabila terdapat kendala dalam hal pengembalian berkas perkara oleh hakim kepada kejaksaan dikarenakan adanya perkara tersebut bukan dengan pengadilan singkat melainkan biasa maka jaksa dapat melakukan pengadilan biasa sehingga hal tersebut bukan tanggung jawab jaksa lagi melainkan menjadi tanggung jawab pengadilan. Bahwa penilaian atas kekuatan pembuktian dari semua alat bukti diserahkan kepada kebijakasanaan hakim. Tidak ada satu alat bukti yang sempurna dan mengikat hakim tanpa adanya keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa. B. Saran Setelah diketahui bagaimana sempurnanya teori-teori pembuktian, namun dalam prakteknya masih ada kendala-kendala dalam hal pembuktian perkara pidana tersebut. Oleh karenanya dalam kesempatan ini penulis ingin mengutarakan saran-saran yang diharapkan dapat memberikan masukan sebagai upaya pembuktian perkara pidana antara lain : 1. Agar terdakwa tidak terlepas dari dakwaan/tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum, hendaklah ada beberapa jaksa secara khusus untuk memeriksa kembali kelengkapan ataupun syarat formil dan materilnya
2. Hendaknya dalam pembuktian perkara pidana ini haruslah dikerjakan dengan teliti dan lebih memahami tentang pembuktian. Dan hendaklah Jaksa Penuntut Umum memberikan petunjuk yang jelas dan terperinci terhadap penyidik sehingga penyidik lebih mengetahui kekurangannya dalam melakukan kelengkapan barang-barang bukti sehingga pengadilan singkat, sederhana dan biaya ringan dapat terwujudkan. 3. Perlu adanya kesungguhan dari aparat penegak hukum khususnya kejaksaan sebagai satu-satunya instansi pemerintah yang diberi wewenang oleh undang-undang melakukan penuntutan untuk memonitor setiap adanya perkara pidana, pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat meresahkan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Chazawi,Adam,2008, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, PT.Alumni, Bandung Effendy, Marwan, 2005, Kejaksaan RI, Posisi dan Fungsinya dan Persfektif Hukum,Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Faal, M, 1991, Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi (Dikresi di Kepolisian), PT. Pradya Paramita, Jakarta Hamzah, Andi,1984, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Gahlia Indonesia, Jakarta _________ dan Dahlan Iradan, 1987, Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana, Bina Aksara, Jakarta Harahap,Yahya,2000,Pembahasan Permasalahan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan Banding, Kasasi, Sinar Grafika, Jakarta ____________, 2006,Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), Sinar Grafika, Jakarta Karjadi,M, 1995, Himpunan Undang-Undang Terpenting Bagi Penegakan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta Kuffal, HMA, 2008, Penerapan KUHAP Dalam Praktek Hukum, UMN Press, Malang Muhammad, Rusli, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Mulyadi, Lilik, 2007, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif Teoritis dan Parktek, PT. Alumni Bandung, Bandung ____________, 2007, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Penerbit PT. Alumni Bandung, Bandung Prodjohamirdjojo, Martiman, 2001, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Korupsi, CV Mandar Maju, Bandung Prodjodikroso, Wiryono, 1962, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sumur, Bandung Prakoso, Djoko, 1985, Eksistensi Jaksa di Tengah-tengah Masyarakat, Gahlia Indonesia, Jakarta
B. Internet http://www.google.co.id/search?hl=id&source=hp&q=+KendalaKendala+Yang+ Di+Hadapi+Penuntut+Umum+Dalam+Proses+Pembuktian+Perkara+Pidana&gbv =2&oq=+Kendala Kendala+Yang+Di+Hadapi+Penuntut+Umum+Dalam+Proses+Pembuktian+Perk ara+Pidana&gs_l=heirloomhp.12...2420.2420.0.3209.1.1.0.0.0.0.71.71.1.1.0...0.0...1ac.LQK3prkcG6s http://andi-pkl.blogspot.com/2012/12/ jaksa-agung-ri.html http://yusril.ihzamahendra.com/2010/08/20/kedudukan-kejaksaan-dan-posisi-jaksaagung-dalam-sistem-presidensial-di-bawah-uud-1945-oleh-prof-dr-yusril-ihza-mahendra pendahuluan-hampir-seluruh-negara-modern-di-du/
C. Undang-Undang Herzien Inlandsch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (RIB) Kitab Undang-Undang Hukun Acara Pidana Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
D. Wawancara Irma Hasibuan, Jaksa penuntut umum di Kejaksaan Negeri Medan