PENYEHATAN DAN PENYELAMATAN INDUSTRI GULA NASIONAL1 M. Husein Sawit, Erwidodo,*) Tonny Kuntohartono,**) dan Hermanto Siregar***) *)
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jl. A. Yani 70 Bogor **) Universitas Brawijaya, Jl. Mayjen Haryono No. 169 Malang ***) Institut Pertanian Bogor, Jl. Darmaga Bogor
PENDAHULUAN Produksi gula dalam negeri semakin tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi2, sehingga kekurangan tersebut harus ditutupi dengan gula impor yang terus meningkat dari tahun ke tahun sejak 1990. Angka ketergantungan impor telah mencapai 47 persen per tahun pada periode 1998-2002, naik pesat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelum liberalisasi radikal diimplementasikan di Indonesia. Pada tahun 2001, impor gula mencapai 1,5 juta ton atau sekitar 50 persen dari kebutuhan dalam negeri. Kini Indonesia telah menjadi negara pengimpor gula terpenting di dunia setelah Rusia. Impor yang tinggi serta harga internasional yang murah telah mempersulit posisi sebagian besar pabrik gula (PG) atau firms untuk bertahan dalam Industri Gula Nasional (IGN), apalagi untuk berkembang. Pemerintah memiliki kekhawatiran besar atas impor gula yang tinggi, yang dipandang sebagai ancaman terhadap kemandirian pangan. Kemandirian pangan merupakan hal penting bagi negara berkembang berpenduduk besar dengan daya beli rendah seperti Indonesia. Sementara itu, pasar internasional gula dikuasai oleh sejumlah kecil negara produsen utama dan pedagang besar, menunjukkan bahwa struktur pasar tersebut bersifat oligopolistik. Lebih jauh lagi, harga gula internasional tidak menggambarkan tingkat efisiensi karena telah terdistorsi oleh berbagai bantuan/subsidi domestik, pembatasan akses pasar, serta subsidi ekspor. Kebijakan pembatasan impor gula dilakukan tidak saja oleh negara net-importir tetapi juga oleh negara net-eksportir. Akibatnya suplai/stok gula meningkat, volume gula yang diperdagangkan terus meningkat, mencapai sekitar 35 juta ton/tahun, sehingga telah mendorong kejatuhan harga gula di pasar dunia.3 Impor gula nasional yang besar telah menarik minat banyak pelaku pasar sehingga menimbulkan kesulitan pengendaliannya. Kemelut pengelolaan impor 1
2
3
Disiapkan sebagai naskah akademis untuk Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan, sesuai dengan Surat Penugasan Menteri Pertanian No. 134/Kp.440/A/VI/2003 tanggal 05 Juni 2003. Pada dekade 1980an, impor gula amat sedikit. Bahkan, pada tahun 1984, Indonesia mampu memenuhi seluruhnya kebutuhan DN (dalam negeri) dari produksi DN. Dalam keadaan seperti ini, adalah keliru untuk menggunakan harga internasional sebagai rujukan yang digunakan untuk menilai efisiensi industri gula nasional.
Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 1 No. 3, September 2003 : 192-209
192
gula terus berlangsung, mendorong pemerintah melalui Deperindag mengatur tataniaga dan impor seperti instrumen NPIK (Nomor Pengenal Importir Khusus) sampai penerapan kuota impor. Kuota impor gula putih hanya diberikan kepada importir terdaftar atau IT Gula yang memenuhi syarat, terutama yang menyerap tebu rakyat lebih dari 75 persen total tebu yang digunakan oleh produsen tersebut. Kuota impor gula putih (white sugar) juga diberikan kepada Bulog, mengingat importir terdaftar belum berpengalaman dalam impor gula serta tidak mempunyai jaringan distribusi seperti halnya Bulog. Importasi gula mentah (raw sugar) diberikan ke IP (Importir Produsen) Gula. Departemen Pertanian juga telah memiliki kebijakan untuk mengatasi masalah pergulaan nasional, yang tertuang dalam sejumlah Program Akselerasi Gula Nasional sampai dengan tahun 2007. Tanpa perlu melakukan pembangunan PG baru, Departemen Pertanian menyatakan bahwa program akselerasi itu dapat mempercepat peningkatan produktivitas dan rendemen gula nasional, yang memang masih relatif rendah, sehingga diharapkan kemandirian gula4 dapat dicapai pada tahun 2007. Walaupun kebijakan Pemerintah akhir-akhir ini dipandang pro-petani, tetapi banyak pula yang melihatnya sebagai kebijakan parsial (tidak komprehensif) dan kurang jelas keterkaitannya antara satu sektor dengan sektor lain dalam kerangka pengembangan industri gula yang efisien. Berbagai kebijakan itu tampaknya tambal sulam, dikeluarkan manakala ada masalah (reaktif) dan cenderung bersifat ad-hoc. Memecahkan masalah produktivitas dan inefisiensi IGN tidaklah cukup hanya dengan menerapkan hambatan perdagangan atau pembatasan impor, tetapi harus dikombinasikan dengan agenda restrukturisasi yang jelas dan terencana, serta support lainnya dari pemerintah. Membangun industri gula yang efisien memerlukan suatu rancangan kebijakan yang menyeluruh, memiliki keterkaitan dan keselarasan yang jelas antara satu kebijakan dengan yang lain, dan terintegrasi sehingga cukup efektif untuk mencapai tujuan yang sama. Demikian juga kebijakan proteksi dan promosi haruslah dilaksanakan secara serasi dan bersamaan. Tujuan penulisan naskah akademis ini adalah untuk mereview secara menyeluruh kinerja kebijakan industri gula nasional sejak tahun 1998. Berdasarkan review tersebut, kemudian disusun rekomendasi kebijakan jangka pendek/menengah untuk mencapai tujuan pengembangan industri gula nasional. JUSTIFIKASI Permintaan gula secara nasional diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, pendapatan masyarakat, dan 4
Kemandirian pangan ini tidak berarti harus swasembada, tetapi ketergantungan terhadap impor harus semakin kecil, sehingga tidak mudah terombang-ambing oleh instabilitas harga dan suplai gula di pasar dunia.
Penyehatan dan Penyelamatan Industri Gula Nasional M Husein Sawit, Erwidodo, Tonny Kuntohartono, dan Hermanto Siregar
193
pertumbuhan industri pengolahan makanan dan minuman. Sebagai negara berpenduduk besar dengan pendapatan yang terus bertambah, maka Indonesia amat potensial menjadi salah satu konsumen gula terbesar di dunia5. Dengan struktur pasar gula (white sugar maupun raw sugar) yang oligopolistik, terdapat risiko yang tinggi akan ketidakpastian dan ketidakstabilan harga. Ketidakstabilan harga menyebabkan ketidakstabilan pendapatan para petani tebu, yang berjumlah sekitar 343 ribu rumahtangga petani6. Selain itu, ketergantungan yang besar pada impor gula dapat mengancam kemandirian Indonesia, disamping pengurasan devisa yang diperlukan untuk pembangunan ekonomi serta pelunasan hutang luar negeri. Indonesia mempunyai keunggulan komparatif sebagai produsen gula tebu dilihat dari sisi sumber daya alam (SDA) dan iklim, mengingat tebu merupakan tanaman tropis yang secara alamiah telah tumbuh secara meluas di daerah tropis. Hal ini dapat dibuktikan dari kenyataan bahwa industri gula Indonesia pernah jaya pada periode penjajahan Belanda. Kejayaan itu tentunya hanya dapat diraih manakala secara fisik-agroklimat, tebu memiliki kesesuaian tanam yang baik, yang pengelolaannya secara tepat dan efisien––baik di tingkat usahatani maupun di tingkat PG––dapat memberikan keuntungan yang memadai. Industri gula terkonsentrasi pada jenis-jenis industri: tepung segala jenis, makanan, industri pengolahan dan pengawetan makanan. Total koefisien keterkaitan langsung ke belakang dan ke depan (forward and backward linkages) mencapai hampir 1 dan indeks relatif total mencapai 1,12. Indeks relatif total yang lebih besar dari satu menunjukkan bahwa pengembangan industri ini akan berimbas pada perkembangan industri-industri lainnya. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa industri gula berpotensi untuk menjadi salah satu industri kunci. Oleh karena itu, pembangunan IGN harus dilihat keterkaitannya dengan pembangunan industri lain, sebagai industri pendorong maupun penarik berkembangnya industri lain, menyerap tenaga kerja7 di wilayah perdesaan maupun di perkotaan.
5
Pemerintah telah mendeklarasikan gula sebagai salah satu strategic product atau sensitive product buat Indonesia. 6 Pada tahun 2002, luas kebun tebu petani di Jawa mencapai 169.400 ha dan di Luar Jawa 4682 ha. Dengan asumsi bahwa rataan pengusahaan lahan tebu per rumah tangga petani 0,5 ha di Jawa dan 1 ha di Luar Jawa, maka jumlah rumah tangga petani tebu Indonesia mencapai 343.482. 7 Luas total lahan tebu Indonesia tahun 2002 mencapai 321.581 ha. Dengan asumsi bahwa penyerapan tenaga kerja per hektar per tahun 600 HOK (hari orang kerja), yang merupakan tingkat penyerapan tenaga kerja di lahan tegalan, maka kegiatan usahatani tebu saja menyerap 192,9 juta HOK per tahun. Dengan rata-rata hari kerja 250 hari per tahun, ini berarti usahatani tebu menyerap sekitar 772 ribu tenaga kerja penuh per tahun. Angka ini akan menjadi lebih besar jika serapan tenaga kerja di PG-PG diperhitungkan. Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 1 No. 3, September 2003 : 192-209
194
POSISI SAAT INI Budidaya Tebu Produktivitas gula di Jawa cenderung terus merosot8. Sementara itu, sekitar 80 persen jumlah PG (dari 59 buah PG aktif di seluruh Indonesia tahun 2002) dan sekitar 64 persen areal tebu berada di pulau Jawa. Oleh karena itu, persoalan produksi/produktivitas tebu/gula sesungguhnya adalah persoalan pulau Jawa. Namun demikian, hasil-hasil penelitian menunjukan bahwa PG-PG di Jawa masih berpotensi untuk ditingkatkan produksi dan produktivitasnya9, yakni melalui optimalisasi kapasitas giling serta penggalangan kemitraan dengan petani. Hasil-hasil penelitian juga menemukan bahwa sejumlah PG di bawah manajemen PTPN/PT beroperasi cukup efisien, namun secara umum produktivitasnya masih relatif rendah seperti dikemukakan di atas.10 Karena sebagian besar areal tebu dan PG berada di Jawa, maka upayaupaya pemecahan persoalan budidaya dan masalah kurang efisiennya PG di Jawa akan mempercepat usaha peningkatan produksi gula nasional. Dalam jangka pendek, upaya-upaya ekspansi perluasan areal tanam tebu dan pendirian PG di luar Jawa dipandang belum perlu karena iklim usaha yang belum benar-benar pulih, infrastruktur dasar yang masih lemah—sehingga biaya investasi akan sangat tinggi—serta potensi sengketa pertanahan yang seringkali belum mampu diatasi dengan baik. Sekitar 82 persen dari total luas areal tebu di Jawa (yang pada tahun 2002 tercatat seluas 207 ribu ha) dikuasai oleh petani. Areal tersebut cukup terserak dan terfragmentasi, sehingga menyulitkan integrasi (dalam satu manajemen yang sama) antara aktivitas budidaya dengan aktivitas pengolahan (PG). Akibatnya, tingkat inefisensi menjadi relatif tinggi. Pada umumnya, suplai tebu rakyat (TR) semakin dominan berasal dari tebu ratoon (sekitar 70% dari total areal tebu). Tebu ratoon itu pada umumnya telah lebih dari 3 kali dikepras, kurang terpelihara, serta terserang hama dan penyakit, khususnya ratoon stunting disease (RSD) dan penyakit luka api (PLA). Kondisi tebu ratoon yang demikian menjadi salah satu penyebab utama penurunan produktivitas gula. 8
Namun demikian, dalam dua tahun terakhir, produksi gula di Jawa cenderung meningkat. Hal ini terutama berasal dari peningkatan produktivitas. 9 Hasil giling tahun 2002 menunjukkan bahwa PG-PG di Jawa mengalami kenaikan produksi gula sebesar 14 persen, sedangkan di luar Jawa justeru menurun sebesar 13,9 persen, dibandingkan dengan tahun sebelumnya. 10 Rataan nasional untuk produktivitas hablur sebelum periode TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi, 1965-1975) tercatat 9,01 ton/ha, lalu menurun menjadi 7,42 ton/ha pada masa transisi menuju periode TRI (1976-1982), dan menurun lagi menjadi 5,40 ton/ha pada periode TRI (1983-1998). Trend negatif di level nasional ini masih terus berlanjut, sehingga rataan produktivitas gula periode 1999-2001 hanya 4,82 ton/ha. Penyehatan dan Penyelamatan Industri Gula Nasional M Husein Sawit, Erwidodo, Tonny Kuntohartono, dan Hermanto Siregar
195
Pada umumnya, petani tebu kekurangan modal usaha. Kredit untuk mendukung usahatani tebunya tidaklah tersedia dengan mudah. Tingkat bunga kredit program tidak jauh berbeda dengan tingkat bunga pasar, serta seringkali tidak tepat waktu pencairannya. Hal ini menjadi suatu kendala penting dalam upaya peningkatan produktivitas dan produksi tebu. Luas areal tebu di lahan sawah beririgasi di Jawa semakin berkurang. Kini areal tebu di lahan sawah tinggal sekitar 40 persen, selebihnya telah beralih ke areal tegalan. Penurunan tersebut jelas menunjukkan bahwa tanaman tebu tidak mampu bersaing dengan tanaman padi di lahan sawah beririgasi. Namun tanaman tebu relatif lebih mampu bersaing dengan tanaman-tanaman lain di lahan tegalan. Di wilayah-wilayah dimana peran kelompok tani cukup kuat, maka kerjasama petani dengan PG telah membuat keseimbangan kekuatan dalam rangka memperjuangkan tujuan bersama yaitu peningkatan pendapatan dari usahatani tebu dan pengolahan gula. Organisasi petani yang kuat seperti Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) telah mampu mendorong terjadinya perubahan kebijakan pemerintah untuk mengatasi sebagian salah-urus dalam importasi gula, memperjuangkan hak-hak mereka baik melalui PG maupun pemerintah (pusat atau daerah), sehingga berdampak positif bagi pendapatan petani. Lembaga yang relatif telah kuat ini, yang tidak mengalami campur tangan pemerintah di dalamnya, belum membumi sampai ke tingkat petani yang terlemah. Pabrik Gula Pada umumnya, PG-PG di Jawa beroperasi jauh di bawah kapasitas giling (secara rata-rata hanya mampu mencapai sekitar 46%). Hal ini terutama disebabkan karena sebagian besar PG kesulitan dalam memperoleh bahan baku tebu. Bahan baku yang terbatas itu diperebutkan oleh banyak PG. Bahkan, ada PG-PG yang berada dalam PTPN yang sama saling memperebutkan bahan baku tebu. Sebagian besar (53%) pabrik gula di Jawa didominasi oleh PG-PG dengan kapasitas giling kecil (<3.000 TCD), 44 persen berkapasitas giling antara 3.0006.000 TCD, dan hanya 3 persen yang berkapasitas giling >6.000 TCD. Sekitar 68 persen dari jumlah PG yang ada telah berumur lebih dari 75 tahun (umumnya berskala kecil) serta kurang mendapat perawatan secara memadai. Kondisi ini menyebabkan tingkat efisiensi yang rendah (dilihat dari unit cost per kg gula). Biaya produksi gula per unit pada PG berskala kecil jauh lebih tinggi dibandingkan dengan PG berskala besar atau bermesin relatif baru. Suatu penelitian pada tahun 1999 mengungkapkan bahwa 20 PG tidak efisien secara teknis dan ekonomis, enam PG efisien secara teknis namun tidak efisien secara ekonomis. Penelitian tersebut menyatakan bahwa hanya terdapat 10 PG yang efisien secara teknis dan ekonomis. Penelitian lainnya pada tahun 2002 menemukan bahwa, di samping kapasitas giling yang kecil dan umur dan teknologi giling yang sudah tua, inefisiensi pengolahan juga disebabkan oleh Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 1 No. 3, September 2003 : 192-209
196
relatif besarnya kehilangan gula (pol) dalam proses pengolahan. Jika kehilangan ini saja diperbaiki, diperkirakan rendemen dapat ditingkatkan sebesar 0,9 persen. Produktivitas gula yang dihasilkan PG-PG di luar Jawa relatif lebih tinggi dan cenderung terus meningkat. Keadaan ini khususnya terjadi pada PG-PG yang dikelola oleh swasta dengan penguasaan lahan HGU yang cukup memadai. Sebagian besar (75%) dari PG-PG tersebut berskala lebih besar dari 3.000 TCD serta berumur relatif muda—terbanyak dibangun pada tahun 1980an atau setelahnya—sehingga teknologi yang digunakan relatif lebih mutakhir. PG-PG swasta di Lampung kini telah mengambil peran sekitar 30 persen dari produksi gula nasional atau 82 persen dari total produksi gula di luar Jawa. Dari segi areal tebu, PG-PG di luar Jawa menguasai sekitar 96 persen dari total areal tebu milik sendiri/HGU (yakni seluas 114,5 ribu ha). Produktivitas gula di luar Jawa (juga nasional) banyak dipengaruhi oleh PG-PG yang dikelola swasta dengan skala produksi cukup besar (>8.000 TCD) yang didukung oleh penguasaan lahan HGU dalam luasan yang memadai11. PGPG ini mampu meningkatkan efisiensi dengan menerapkan pola pengelolaan budidaya dan penggilingan dalam satu manajemen yang sama, serta mampu pula menerapkan peralatan modern (bersifat capital intensive) pada pengolahan lahan, pada kegiatan-kegiatan tebang-angkut tebu, serta pada penyediaan air. Pada umumnya, PG-PG di Indonesia menggunakan tebu untuk menghasilkan gula pasir, sedikit diantaranya yang memproduksi alkohol dan produk-produk lain. Padahal tebu juga dapat digunakan untuk menghasilkan berbagai produk turunan, seperti pupuk, makanan ternak, jus, molasses dan bagasse. Turunan produk dari molasses masih cukup banyak diperlukan, misalnya oleh distilling industry, fermentation industries, dan lain-lain. Demikian pula dengan bagasse, yang dapat digunakan untuk menghasilkan berbagai macam produk dan turunannya, seperti bahan bakar, fibrous product, dan lain-lain. Di banyak negara, produsen gula melakukan diversifikasi produk gula guna menyiasati penurunan harga gula, menekan ongkos produksi, memperluas pasar, serta mengurangi resiko kerugian PG. Tataniaga dan Impor Volume gula yang diperdagangkan di pasar dunia mencapai sekitar 35 juta ton/tahun atau sekitar 28 persen dari total produksi gula dunia. Ekspor gula terkonsentrasi pada sedikit negara (9 negara utama), dan pelaku ekspor gula ditangani oleh 7 perusahaan besar. Oleh karena itu, struktur pasar gula dunia adalah pasar oligopoli, bukan pasar persaingan.
11
PG-PG di Jawa yang memiliki lahan berstatus HGU yg cukup luas adalah PG Subang dan PG Jatitujuh, milik PT RNI. PG-PG tersebut juga memenuhi syarat untuk dikelola dengan bentuk perkebunan besar.
Penyehatan dan Penyelamatan Industri Gula Nasional M Husein Sawit, Erwidodo, Tonny Kuntohartono, dan Hermanto Siregar
197
Harga gula dunia tidak menggambarkan tingkat efisiensi, karena komoditas tersebut di pasar internasional dijual di bawah ongkos produksi. Negara pengekspor gula mampu menjual gulanya dengan harga yang lebih rendah, karena mereka menerapkan berbagai kebijakan Domestics Support dan Export Subsidy. Kebijakan ini umum dilakukan oleh negara-negara produsen gula dunia (terutama UE, AS atau negara OECD lainnya, dan juga India), sehingga harga gula di pasar internasional telah terdistorsi. Banyak negara, baik yang bersifat net-eksportir gula maupun net-importir gula, melakukan pembatasan impor gula dengan berbagai macam hambatan. Umumnya hambatan yang diterapkan ialah kuota tarif atau tarif. Kebijakan perdagangan luar negeri Indonesia untuk gula berubah drastis sejak tahun 1998 menyusul ditandatangininya Letter of Intent (LOI). Sebelumnya kebijakan tersebut penuh perlindungan (khususnya monopoli impor) dan sarat dengan subsidi. Mengikuti tekanan lembaga-lembaga keuangan asing yang berpartisipasi dalam membantu Indonesia mengatasi krisis ekonomi, kemudian sejak awal 1999 kebijakan tersebut dihapus secara drastis, tanpa suatu persiapan yang matang. Impor dibuat bebas tanpa tarif dan hampir semua subsidi dihapus, sehingga menjadikan Indonesia sebagai negara berkembang yang perdagangannya termasuk paling liberal di dunia. Kebijakan itu dikoreksi dan terus berubah sejak awal tahun 2000. Pemerintah menetapkan BM (bea masuk) sebesar 20 persen AV (ad valorem) untuk raw sugar dan 25 persen untuk gula putih. Untuk lebih mengefektifkan penerapan tarif, maka BM dirubah menjadi tarif spesifik sebesar Rp 550/kg raw sugar dan Rp 700/kg gula putih sejak pertengahan 2002. Akhir 2002, kebijakan itu dikombinasikan dengan impor kuota yang diberikan kepada sejumlah IT (importir terdaftar) untuk gula putih, dan IP (importir produsen) untuk raw sugar. Hal ini membuat Indonesia melangkah ke kebijakan Tariff Rate Quota (TRQ) yang belum lengkap. Ketidaklengkapan itu timbul karena pasar ditutup di luar kuota atau tidak ada tarif out-quota, seperti umumnya TRQ, serta tidak transparannya penetapan dan alokasi kuota impor. Hingga kini, penerapan BM masih sulit untuk diefektifkan, mengingat masih lemahnya lembaga kepabeanan dan penegakan hukum. Penyelundupan dan manipulasi administrasi, seperti under-invoicing, untuk gula impor masih terus berlanjut sampai sekarang. Penelitan dan Pendukung Lainnya IGN perlu memperoleh dukungan lembaga penelitian yang handal seperti P3GI. Hasil-hasil penelitian P3GI belum mampu disebarluaskan secara cepat, dan pengembangan teknologi budidaya yang spesifik lokasi sangat terbatas. Salah satu penyebabnya adalah pola pengelolaan penelitian dan diseminasi hasil penelitian yang terlalu birokratis dan kurang fleksibel, seperti umumnya yang terjadi pada lembaga-lembaga penelitian yang dikelola pemerintah. Sistem birokrasi kegiatan Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 1 No. 3, September 2003 : 192-209
198
R&D (research and development) juga telah menghambat proses diseminasi dan akses petani terhadap teknologi baru. Dalam kaitannya dengan P3GI, lembaga ini sering menghadapi kekurangan dan ketidakpastian dana untuk melakukan kegiatan penelitiannya, serta menghadapi ketidakjelasan dalam hal berinduk ke mana. Rencana restrukturisasi industri gula yang telah bergulir sejak tahun 1996, ternyata banyak menghadapi hambatan dalam implementasinya. Terhambatnya rencana itu dipengaruhi oleh dominasi dan “kepentingan” pemerintah (terutama pemerintah pusat) dalam industri dan bisnis gula nasional. ARAH DAN TUJUAN PENGEMBANGAN Kehendak politik, sebagaimana dijabarkan dari keinginan para anggota DPR-RI/DPRD dan masyarakat luas, menghendaki agar pemerintah mampu mengarahkan berbagai elemen terkait agar dapat memacu: (i) peningkatan produksi dan produktivitas gula nasional, (ii) pengurangan impor gula, dan (iii) peningkatan dan stabilitas pendapatan petani tebu. Kehendak itu, menjadi sikap politik/pemerintah saat ini dan mendatang, yang dirumuskan dalam tujuan pembangunan IGN sebagai berikut: meningkatkan produksi gula nasional secara efisien, sehingga mampu mengurangi impor, dan dalam waktu yang sama meningkatkan pendapatan petani tebu, dengan dukungan harga yang stabil pada tingkat yang wajar. Tujuan itu seyogianya menjadi tujuan bersama dari kebijakan Pembangunan IGN yang dilakukan oleh berbagai Lembaga/Departemen/Sektor. Kalau tujuannya telah sama, maka integrasi kebijakan pembangunan IGN akan lebih mudah dicapai. Kebijakan yang dilaksanakan oleh masing-masing sektor haruslah mampu mempengaruhi keputusan para pelaku dalam IGN, dan secara efektif mampu pula untuk digiring ke tujuan yang sama. Mereka yang perlu dipengaruhi keputusannya adalah para:
Petani produsen tebu
Pabrik Gula
Konsumen umum, termasuk di dalamnya industri-industri pengguna gula
Para pedagang/importir
Investor.
Rekomendasi berikut ini difokuskan pada usaha penyelamatan dan penyehatan dalam jangka pendek dan menengah (sampai periode 2007-2010), tidak dimaksudkan untuk pembangunan industri gula jangka panjang, walaupun kebijakan ini punya dampak positif terhadap perkembangan industri gula jangka panjang. Rekomendasi itu juga dibatasi untuk penyelamatan dan penyehatan industri gula di pulau Jawa, dan tidak secara langsung menyentuh industri hilir Penyehatan dan Penyelamatan Industri Gula Nasional M Husein Sawit, Erwidodo, Tonny Kuntohartono, dan Hermanto Siregar
199
yang terkait dengan gula walaupun industri itu semakin penting perannya di masa mendatang. REKOMENDASI KEBIJAKAN Budidaya Tebu Dianjurkan agar pemerintah melanjutkan Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional (PAPPGN) yang telah dicanangkan oleh Departemen Pertanian sampai dengan tahun 2007. Kebijakan on-farm yang perlu memperoleh penekanan adalah: (i) rehabilitasi tanaman keprasan, (ii) penyediaan bibit bermutu lewat penyelenggaraan kebun bibit, dan (iii) peningkatan mutu budidaya tebu lewat penyediaan dana pengadaan saprodi. Hanya satu program PAPPGN yang dipandang kurang sesuai dengan kesimpulan yang ada, yaitu konsolidasi lahan sawah (areal tebu tradisional di sawah irigasi) di Jawa. Opsi program tersebut amat sulit dan mahal untuk dapat direalisasikan, apalagi kalau mengharapkan air irigasi serta penerapan pengolahan lahan dengan sistem reynoso. Perbaikan budidaya tebu membutuhkan dana yang besar. Hal ini membutuhkan penyediaan kredit produksi yang penyalurannya haruslah tepat waktu, sehingga tidak berdampak buruk terhadap perbaikan budidaya yang akan dilakukan. Rancang kredit untuk petani tebu disarankan agar diajukan secara berkelompok atau melalui koperasi dengan rekomendasi PG, sehingga akan memudahkan keterkaitan antara perencanaan tebang, muat dan angkut dengan pengolahan tebu. Pembangunan sarana irigasi skala kecil (seperti ’embung’ dan semacamnya) di lahan kering dipandang sebagai faktor penting guna peningkatan produksi gula nasional. Untuk itu, support pemerintah berupa dukungan fiskal yang memadai amat penting untuk mendorong pergeseran pertanaman tebu dari lahan sawah beririgasi ke lahan kering dan untuk meningkatkan produktivitas gula nasional. Pengembangan lahan kering sebagai lahan marginal akan berdampak positif terhadap usaha mengatasi kemiskinan yang umum terkonsentrasi di sana, serta mengurangi kesenjangan kesejahteraan antarkawasan.12 Untuk mencapai tujuan pembangunan IGN, dukungan fiskal yang tepat sangat diperlukan. Support pemerintah diperlukan untuk memperkuat kemampuan R&D untuk menghasilkan teknologi baru, khususnya varietas dan pengembangan teknik budidaya tebu lahan kering. Kebijakan fiskal lainnya yang perlu dipertimbangkan adalah targeted/ direct payment yang dapat dikemukakan dalam bentuk dua opsi: 12
Insiden kemiskinan secara dominan terjadi di daerah perdesaan. Menurut data BPS tahun 2002, jumlah orang miskin di kawasan perdesaan mencapai 22.7 juta orang, atau sekitar 64 persen dari total jumlah absolut orang miskin nasional.
Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 1 No. 3, September 2003 : 192-209
200
a. Opsi ke-1: tetap mempertahankan kebijakan procurement yang dilaksanakan seperti sekarang ini oleh Bulog/Swasta dengan dana milik Bulog/swasta. Bulog menjamin harga Rp 3.410 per kg gula kepada petani (sebagai harga referensi atau rujukan). Manakala harga lelang berada di atas harga referensi itu, maka petani memperoleh bagian 60 persen, sisanya 40 persen untuk Bulog. Apabila harga jatuh di bawah harga referensi, maka Bulog membeli gula milik petani dengan harga referensi itu, semua resiko ini dibebankan kepada Bulog. Suatu tugas publik yang dibiayai secara komersial, biasanya akan menimbulkan berbagai ekses13. Kebijakan ini berisiko dan memiliki efektivitas yang relatif rendah, karena amat bergantung pada insentif yang dapat diperoleh oleh pelakunya. Outcome dari opsi kebijakan ini kurang menentu atau penuh ketidakpastian. b. Opsi ke-2: pemerintah menyediakan dana untuk deficiency payment, dalam hal ini jumlahnya telah ditetapkan lebih awal, misalnya untuk 15-20 persen dari produksi nasional. Bulog ditugaskan membeli gula petani (sebanyak 80-90%) pada tingkat harga referensi14 dalam bulan puncak panen raya AgustusSeptember. Setelah disimpan beberapa lama, gula tersebut dijual pada tingkat harga yang lebih tinggi dari harga referensi, sehingga petani mendapat bagian keuntungan 60 persen, setelah dikurangi biaya administrasi, penyusutan, perawatan, bunga bank dan lain-lain yang dilakukan oleh Bulog. Petani akan memperoleh sisa 10-20 persen setelah hasil penjualan dilakukan Bulog. Apabila harga merosot di bawah harga referensi, maka beban risiko ditanggung oleh Bulog. Skim ini mirip dengan pegadaian gabah atau gula (mortgage scheme) yang dilakukan pemerintah Thailand15. Dana itu harus dikembalikan oleh Bulog kepada pemerintah setelah selesai hasil penjualan gula tersebut, dan Bulog mendapatkan fee atas tugas tersebut. Pemerintahlah yang berperan dalam penentuan harga referensi, verifikasi harga lelang, dan asal gula yang digunakan untuk itu (harus benar-benar dari produksi dalam negeri yang dihasilkan pada musim itu). 13
Langkah yang ditempuh itu, sesungguhnya adalah kesepakatan bisnis antara Bulog, pedagang dan asosiasi petani serta PTPN/PG untuk menyerap kelebihan produksi dengan tingkat harga referensi. Seharusnya, Bulog membeli hanya gula milik petani, dan membiarkan gula milik PG dijual sendiri. Akan tetapi, karena suplai gula milik PG cukup besar dan mampu mendorong kejatuhan harga manakala mereka menjualnya dalam waktu yang sama ke pasar akibat dari PG kesulitan likuiditas, sehingga mendorong Bulog untuk membeli juga gula milik PG agar harga dapat dikontrol. KPPU telah menuduh PTPN dan Bulog serta sejumlah kecil swasta/asosiasi petani tebu rakyat telah mempraktekkan kartel, karena secara bersama-sama mengatur harga gula dalam negeri. 14 Penentuan harga referensi dapat dilakukan berdasarkan unit cost of production atau harga internasional yang tidak terdistorsi. 15 Support harga untuk petani padi berdasarkan paddy mortgage scheme yang dioperasikan oleh Bank Pertanian dan Koperasi Thailand. Petani peserta memperoleh hutang sebesar 90 persen dari nilai padi yang digadaikan pada tingkat harga support itu. Penyehatan dan Penyelamatan Industri Gula Nasional M Husein Sawit, Erwidodo, Tonny Kuntohartono, dan Hermanto Siregar
201
Pabrik Gula Dalam kaitannya dengan dukungan kebijakan fiskal untuk PG, perlu dipertimbangkan pemberian pengecualian pembayaran pajak PPn (tax exemption) terhadap PG/PTPN terpilih sampai dengan tahun 2007. Pengecualian itu hendaknya diberikan kepada PG/PTPN yang mengajukannya, dan hanya diberikan setelah dinilai kelayakannya oleh aparat pemerintah yang berwenang (Ditjen Pajak). Untuk itu, persyaratan atau kriteria kelayakan tersebut perlu disusun secara seksama. Pengecualian pembayaran PPn hanya diberikan kepada yang memenuhi kriteria. Dengan kata lain, adalah tidak dianjurkan untuk menghapuskan PPn untuk semua PG. Program akselerasi peningkatan produksi gula dari sisi PG perlu terus dilakukan. Untuk itu harus dilakukan peningkatan kinerja/efisiensi PG melalui rehabilitasi dan/atau peningkatan teknologi pabrik, optimalisasi kapasitas giling, serta pengurangan jam berhenti giling (overall recovery). Dalam konteks pengembangan kelembagaan, dianjurkan tiga hal yang terkait dengan privatisasi yaitu: (i) privatisasi BUMN/PTPN gula, (ii) konsolidasi areal tebu rakyat dalam sistem satu manajemen PG, dengan lahan petani sebagai penyertaan modal di perusahaan, dan (iii) menggalang kerjasama yang harmonis sehingga petani tebu dan PG dapat saling dukung mendukung demi untuk mencapai keuntungan yang layak dan adil. Pengalihan kepemilikan saham dari PN (perusahaan negara) ke PTPN (Perusahaan Terbatas Perusahaan Negara) merupakan suatu langkah awal privatisasi. Setelah penyehatan di PTPN dilakukan, maka PTPN secara bertahap dapat ditawarkan ke pasar bursa sehingga menjadi perusahaan terbuka (Tbk). Rancangan untuk program ini harus dibuat dan dilaksanakan secara bertahap dengan jadwal dan komitmen yang kuat. Apabila PTPN telah bersifat ‘terbuka’, maka kepada petani tebu rakyat diberikan saham atas penyertaan modal di perusahan gula itu. Dengan cara ini, memungkinkan PG menguasai lahan, menerapkan manajemen budidaya dan penggilingan dalam satu tangan; hal ini merupakan salah satu cara konsolidasi lahan TR. Pendekatan ini akan menguntungkan tidak saja kepada PG tetapi juga petani, karena mereka dengan sendirinya berupaya meningkatkan produktivitas agar memperoleh deviden tahunan serta bonus lainnya dari perusahaan, serta dapat bekerja di perusahaan. Sedangkan PG akan memperoleh jaminan tebu dan mampu mengintegrasikan aktivitas budidaya dan penggilingan dalam satu manajemen yang sama, sehingga tingkat efisiensi secara keseluruhan akan menjadi lebih tinggi. Bagi PTPN yang belum memenuhi syarat untuk menjadi perusahaan Tbk, harus segera dilakukan langkah penyehatan perusahaan dan perbaikan manajemen. Pergantian direksi, misalnya, merupakan langkah keharusan seiring dengan kebutuhan budaya kerja baru yang profesional dan efisien. Di samping itu, langkah untuk mengembangkan kerjasama dengan petani TR perlu dilanjutkan. Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 1 No. 3, September 2003 : 192-209
202
Berbagai bentuk pola kemitraan telah berkembang di berbagai daerah, yang terpenting di antaranya adalah: (i) hubungan sewa atau TR-KSU (tebu rakyat kerjasama usaha), (ii) tebu rakyat mandiri, dan (iii) tebu rakyat kredit. Sistem bagi hasil dengan berbagai proporsi bagi hasil adalah lebih disenangi petani daripada SPT (sistem pembelian tebu). Pola kerjasama kemitraan itu tidak perlu harus diseragamkan, namun dibiarkan berkembang menurut kebutuhan masing-masing wilayah yang memang demikian heterogen. Langkah privatisasi PTPN (secara bertahap dan terencana) merupakan pra-kondisi menuju restrukturisasi dan revitalisasi indutri gula nasional. Privatisasi PTPN mencakup, antara lain; (i) mencari strategic partner bagi PTPN dan/atau PG yang belum memenuhi syarat IPO (Initial Public Offering), (ii) melakukan IPO bagi PTPN yang telah memenuhi persyaratan, dan (iii) melakukan uji coba skim khusus privatiasi PG, dengan memperhitungkan lahan sebagai penyertaan modal petani tebu dalam manajemen baru. Pilihan (i) dan (ii) telah menjadi standar operasional peralihan perusahaan ke Tbk, sehingga yang perlu diberi perhatian lebih besar ialah pilihan (iii) sebagai alternatif dari studi IPB (2002) yang dipaparkan pada butir di bawah. Pada pilihan (iii), petani dapat menjadi pemiliki saham PG (PTPN) dengan cara menyertakan lahannya sebagai aset produktif ke PG untuk jangka waktu tertentu (misalnya 1015 tahun). Evaluasi nilai lahan ke dalam nilai saham perlu dikaji lebih lanjut16, mengingat lahan tebu merupakan aset vital untuk kelangsungan PG. Dengan skim ini, pemilik saham PT-PG akan terdiri dari, antara lain: pemerintah pusat/daerah, masyarakat umum, petani tebu, dan PG itu sendiri. IPB (2002) menawarkan model kemitraan sistem lahan untuk konsolidasi. Petani berlahan sempit bergabung sehingga tercapai luas lahan yang dikehendaki. Konsolidasi ini dapat dilakukan oleh APTR (atau koperasi petani yang kuat) atau PG itu sendiri atau perusahaan lain (investor). Pihak yang melakukan konsolidasi (disebut konsolidator) dibuat berbentuk perusahaan terbatas (PT)17. Lahan yang terkonsolidasi tersebut merupakan saham dari petani. Namun untuk perlindungan terhadap petani, jika perusahaan merugi maka petani memperoleh pendapatan senilai sewa. Jika perusahan memperoleh untung, maka petani memperoleh pendapatan yang bersumber dari nilai gula yang dihasilkannya serta deviden. Saham PG adalah yang dimiliki PG sendiri, dan saham investor sesuai dengan jumlah investasi. Dalam operasinya, konsolidator memperoleh dana dengan sistem kredit. Konsolidator itulah yang mengorganisasikan (atau setidaknya mengkoordinasikan) kegiatan budidaya, tebang angkut dan menjual gula dan produk sampingan lainnya. 16
Untuk itu, terlebih dahulu dilakukan appraisal terhadap setiap PG yang akan melaksanakan peralihan operasional, dan penentuan besarnya aset dan nilai aset lahan milik petani tebu. 17 Dalam bentuk ini, maka pertanggungan setiap share holders terbatas pada saham masing-masing pada PT tersebut. Lahan sebagai saham petani harus dilindungi, sehingga bila terjadi kerugian, lahan tersebut tidak diambil alih. Penyehatan dan Penyelamatan Industri Gula Nasional M Husein Sawit, Erwidodo, Tonny Kuntohartono, dan Hermanto Siregar
203
Meneg BUMN sedang melakukan privatisasi terbatas pada PTPN di bawah tanggung jawab BUMN itu sendiri atau disebutkan sebagai ’privatisasi parsial’. Unit produksi yang tidak efisien serta tidak punya HGU dipisahkan dari yang efisien. Kemudian yang efisien itu dijadikan anak perusahaan (holding). Cara ini telah ditempuh oleh RNI, dan tampaknya mampu mempercepat proses privatisasi dan peningkatan efisiensi. Disarankan pula, sejumlah perusahaan PTPN yang menangani beberapa komoditas (khususnya beberapa PTPN di luar Jawa) agar dipisahkan pengelolaannya menurut unit yang sejenis. Dengan cara itu, diharapkan masingmasing perusahaan akan berkonsentrasi pada satu komoditas. Dengan spesialisasi, efisiensi serta profesionalitas tentunya dapat ditingkatkan. Tataniaga dan Impor Dalam kaitannya dengan kebijakan perdagangan, pemerintah dianjurkan untuk menerapkan pola pengelolaan impor dengan TRQ (tariff rate quota). Untuk itu, perlu ditetapkan tingkat kuota sebesar 1,52 juta ton18 (660 ribu ton untuk raw sugar dan 860 ribu ton untuk gula putih). Tingkat tarif in quota cukup Rp 700/kg (gula putih) dan Rp 550/kg (raw sugar) selama periode 2 tahun mendatang. Di luar itu (out-quota), pasar domestik tetap dibuka tetapi dengan penerapan tingkat tarif yang lebih tinggi, diusulkan Rp 1.500/kg19 (setara 70-82% AV, bandingkan dengan tarif yang di bound 95%). Terdapat tiga opsi untuk pengalokasian kuota, dengan alternatif implementasinya seperti yang diringkaskan berikut ini: a. Opsi ke-1: mempertahankan kebijakan seperti sekarang ini yaitu kuota raw sugar (660 ribu ton) diberikan kepada IP Gula (termasuk di dalamnya PG yang ingin meningkatkan kapasitas produksinya), dan kuota white sugar (860 ribu ton) diberikan ke IT Gula (yaitu PTPN IX, X, XI, RNI dan Bulog) dan hanya dilaksanakan manakala harga tingkat petani minimum Rp 3.100/Kg dipertahankan sampai dengan 2 tahun yang akan datang. b. Opsi ke-2: Kuota raw sugar (660 ribu ton) dilelang secara bebas. Kuota untuk gula putih 50 persen dari 860 ribu ton dilelang, akan tetapi sisanya 50 persen diberikan kepada Bulog untuk tujuan stabilisasi harga gula dalam negeri. Dengan Bulog menguasai sekitar 430 ribu ton gula putih, diharapkan mampu meredam gejolak harga. Apabila harga dalam negeri naik20, maka lembaga ini 18
Angka ini merupakan rataan impor selama 6 tahun terakhir (1997-2002). Sebagai alternatif, bisa juga menggunakan data rata-rata 3 tahun terakhir (2000 s/d 2002) yang volumenya sekitar 1,4 juta ton. 19 Pada tingkat tarif ini, tidak akan ada insentif ekonomi untuk melakukan impor, sehingga dengan sendirinya pasar dalam negeri menjadi tertutup. 20 Apabila harga telah naik 25 persen dari harga ditolerir sesuai dengan PP Ketahanan Pangan (lihat penjelasannya) Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 1 No. 3, September 2003 : 192-209
204
diperbolehkan impor gula sesuai kuota (maksimum 430 ribu ton, sesuai kebutuhan dan perkembangan harga DN) tetapi tidak diperbolehkan impor manakala harga DN rendah. Lembaga itu harus bertanggung jawab atas kestabilan harga gula dalam negeri. Pemerintah dapat mengutip quota rent dari importir peserta lelang, sehingga penerimaan pemerintah meningkat. Opsi ini lebih transparan dibandingkan dengan opsi ke-1 c. Opsi ke-3: kuota impor raw sugar (660 ribu ton) hanya diberikan kepada IP Gula21 dengan proporsi sesuai dengan historical performance industri/PG yang bersangkutan. Sedangkan kuota impor gula putih (860 ribu ton) diberikan kepada IT Gula sebanyak 75 persen dengan kriteria seperti yang telah dibuat selama ini (dominan pengolahan tebu rakyat). Sisanya (25%) dilelang kepada swasta, dengan persyaratan antara lain: memiliki sertifikat impor dan merupakan importir berpengalaman (historical importers or and past trading performance) selama 3-5 tahun terakhir. Dengan cara ini, di samping akan membuka peluang persaingan, juga akan memudahkan pengaturan waktu, tempat dan kualitas gula putih yang diimpor, dan memungkinkan untuk pengenaan sanksi apabila pelaku tidak mampu memenuhinya. Pemerintah dapat mengutip quota rent dari importir peserta lelang, sehingga penerimaan pemerintah meningkat. Lembaga perlindungan di border haruslah diperkuat. Lembaga kepabeanan harus diperkuat, baik infrastruktur (terutama kapal cepat dan modern dalam jumlah yang cukup, sistem komputerisasi online, dan prasarana serta fasilitas pendukung lainnya), maupun peningkatan kualitas SDM. Sistim reward and punishment perlu diterapkan dengan tegas untuk memerangi penyelundupan, sehingga kebijakan perlindungan di borders (pelabuhan-pelabuhan) akan lebih terjamin pelaksanaannya dan meningkat efektivitasnya22. Untuk itu, perlu diberikan perhatian lebih pada borders yang paling rawan penyelundupan, seperti di Selat Malaka. Penelitian dan Faktor Pendukung Lainnya Upaya restrukturisasi IGN memerlukan wadah yang berbeda antara pelaku bisnis gula dengan pemerintah. Asosiasi petani, PG, pedagang/importir, industri pengguna gula disarankan agar bergabung dalam satu wadah yang sama, misalnya Sugar Board (SB), dengan tujuan untuk memperjuangkan kepentingan bersama. Disarankan juga apabila IGN telah maju, maka lembaga penelitian P3GI dapat dimasukkan di bawah SB, termasuk pembiayaannya, sehingga penelitian semakin erat kaitannya dengan usaha pengembangan IGN.
21
Semua PG punya hak untuk meningkatkan kapasitas produksinya, termasuk juga industri pengguna gula sebagai input terutama makanan dan minuman. 22 Di Thailand misalnya penyeludup akan dikenakan sanksi berat tidak saja hukuman badan, tetapi juga diusut kekayaan dan pemblokiran dana di bank dsb, disita pemerintah. Penyehatan dan Penyelamatan Industri Gula Nasional M Husein Sawit, Erwidodo, Tonny Kuntohartono, dan Hermanto Siregar
205
Khusus untuk pemerintah (beranggotakan lintas departemen: Deptan, Deperindag, Depkeu, Meneg BUMN) masuk dalam satu wadah yaitu Kelompok Kerja Khusus Gula di bawah Dewan Ketahanan Pangan. Tidak dianjurkan membuat dewan gula tersendiri seperti yang dirancang selama ini. Tugas utama komite itu adalah merancang kebijakan yang bersinergi satu dengan yang lain, memonitor dan evaluasi implementasinya, merancang besaran kuota dan lain-lain. Hasil monitoring dan evaluasi itu disampaikan secara berkala kepada pemerintah atau pada rapat kabinet. Namun pemerintah telah memutuskan wadah DGI (Dewan Gula Indonesia) untuk menampung keinginan pelaku bisnis dan pelaku kebijakan (sesuai dengan Kepres No. 63, tahun 2003, tanggal 11 Agustus 2003). Wadah itu tentu berbeda dengan apa yang disarankan di atas. Kelemahan itu adalah disatukannya wadah antara pelaku bisnis dengan pengambil kebijakan, sehingga dapat memperlemah tujuan pembangunan IGN yang efisien. Di samping itu perlu diperkuat kemampuan R&D sebagai instrumen pendukung yang penting dari pemerintah (dukungan fiskal), termasuk dana penelitian dan karir peneliti, sehingga mendorong peningkatan produktivitas dan efisiensi IGN. Ciptakan insentif sehingga peneliti terangsang mengarahkan penelitian dan pengembangan teknologi ke lahan kering dengan perhatian pada varietas tebu unggul, dan teknologi budidaya. Percepat diseminasi dan difusi hasil penelitian ke petani/PG. Lembaga penelitian juga harus berperan dalam perbaikan teknologi giling dan pengolahan, tidak berkosentrasi penelitian ala Litbang yang mengutamakan karya tulis. Dalam jangka pendek dan menengah, status dan pembiayaan P3GI harus dirancang secara baik, sehingga terus dapat mendorong penelitian ke arah yang diinginkan oleh IGN. Manakala IGN telah maju, maka R&D harus menjadi bagian integral dalam manajemen PG atau di bawah payung Sugar Board (SB) atau DGI. Pada saat itu pula, lembaga penelitian telah dikelola secara profesional, menurut kebutuhan perusahaan dan dibiayai pula oleh perusahaan atau SB atau DGI. Pemerintah hanya memusatkan pada penelitian dasar (basic research), sedangkan riset terapan dilakukan oleh pelaku usaha/PG. Ada dua agenda riset mendesak untuk mendukung IGN sampai 20072010. Agenda pertama dapat dijelaskan sebagai berikut. Gula adalah salah satu input penting dalam industri makanan dan minuman. Gula berperan sebagai bahan pemanis, sebagai pengawet untuk sebagian pangan olahan. Permintaan gula dan pemanis lain merupakan permintaan turunan dari rumah tangga terhadap makanan dan minuman. Permintaan ini terus berkembang seiring dengan urbanisasi, perubahan gaya hidup, meningkatnya pendapatan masyarakat. Peran raw sugar diperkirakan telah meningkat sampai separoh dari kebutuhan total gula nasional. Oleh karena itu, studi khusus tentang ini perlu dilakukan untuk mengkaji perubahan permintaan gula, khususnya raw sugar untuk berbagai pabrik rafinasi Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 1 No. 3, September 2003 : 192-209
206
gula untuk industri makanan dan minuman, serta optimasi kapasitas giling PG di dalam negeri. Kedua, berbagai produk ikutan dapat dihasilkan dari pabrik gula tebu. Produk olahan tetes yang telah diusahakan masih terbatas, terkonsetrasi pada alkohol, CO2, asam asetat, Monosodium Glutamate (MSG), L-lysine, ragi roti dan asam sitrat. Sebagian PG telah manghasilkan produk olahan dari ampas tebu seperti untuk papan partikel, pulp dan kertas serta media tumbuh jamur. Permintaan alkohol terus meningkat di dalam dan luar negeri, namun sebagian besar diantaranya digunakan untuk keperluan dalam negeri. Studi secara rinci untuk keperluan itu perlu segera dilakukan guna memberi arah pengembangan teknologi serta pemahaman pasar dari produk turunan yang akan dihasilkan itu. PENUTUP Komponen kebijakan dan program yang telah diuraikan sebagian merupakan ‘mandat (tupoksi)’ departemen/instansi tertentu, dan sebagian lainnya merupakan langkah lintas-departemen/instansi. Meskipun disadari adanya keterkaitan, tidak berarti bahwa semua komponen kebijakan tersebut harus dimasukkan ke dalam Rencana Komprehensif Restrukturisasi Industri Gula Nasional, mengingat sebagian komponen dak menjadi ‘tupoksi’ departemen/ instansi tertentu. Pemikiran ini penting untuk menghindari kesan dan upaya ‘pemroyekan’ setiap kegiatan. Pada Tabel Lampiran 1, disajikan garis besar kebijakan dan program ‘utama’ Restrukturisasi Industri Gula nasional yang memerlukan keputusan dan dukungan politis, langkah koordinasi dan penanganan lintas-departemen/instansi. Rincian detail, termasuk penjadwalan, harus dibahas lebih lanjut dengan departemen/instansi terkait, yakni dalam forum Tim Teknis Pergulaan Nasional, yang anggotanya berasal dari berbagai departemen/instansi. Langkah pembahasan ini sangat diperlukan mengingat sebagian dari usulan kebijakan dan program tersebut telah dan sedang berjalan, dan sebagian lainnya sedang dalam perencanaan Departemen/instansi tertentu.
Penyehatan dan Penyelamatan Industri Gula Nasional M Husein Sawit, Erwidodo, Tonny Kuntohartono, dan Hermanto Siregar
207
Tabel Lampiran 1. Kebijakan/Program Restrukturisasi Industri Gula Nasional (2004-2010) Kebijakan/Program
Departemen/Instansi
A. Rehabilitasi kebun tebu A1. Penyediaan kredit perbankan (Khusus tebu, atau masuk skim KKP) B. Restrukturisasi PG
Meneg BUMN, Deptan, Depkeu, Depdagri
B1. Privatisasi PG Sehat/Efisien (Jml PG) IPO (umum) IPO + (skim khusus) B2. Penyehatan PG kurang sehat (Jml PG) Mengganti jajaran manajemen Mencari strategic partners Kontrak Operasi (dengan swasta) BOT Joint venture B3. Penutupan PG tidak sehat (Jml PG) Penjualan aset-aset PG C. Stimulus Fiskal/Investasi Publik C1. Sarana irigasi lahan kering
Depkeu, Deptan, Kimpraswil, Bappenas
(embung, dam parit, pompa air dalam) Target areal irigasi baru Target areal perbaikan irigasi Dana irigasi (Rp milyar) C2. Insentif pajak (Jumlah PG)
Depkeu
Keringanan bea-masuk br modal Pembebasan PPn (Jumlah PG) C3. R&D (PG3I) Perbaikan/Pengadaan Laboratorium Pengadaan peralatan (Rp milyar)
Deptan, Ristek, Bappenas Deptan, Ristek, Bappenas
Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 1 No. 3, September 2003 : 192-209
208
2004
2005
2006
2007
Tabel Lampiran 1. (Lanjutan) Kebijakan/Program Pengiriman petugas belajar (Orang)
Departemen/Instansi
2004
2005
2006
2007
Deptan, Depkeu, Bappenas
Jml petugas belajar (Orang) Dana pendidikan-beasiswa Dana Operasional R&D (Rp milyar)
Bappenas, Deptan, Ristek
C4. Dana 'Defficiency payment' (Rp milyar) D. Pengaturan Tataniaga & Impor D1. TRQ (SK 643 perbaikan) Penetapan Kuota
Deperindag, Deptan, Depkeu Deperindag, Deptan
Quota raw sugar Quota white sugar Penetapan in-quota tariff
Depkeu
Penetapan out-quota tariff
Depkeu
Penetapan kriteria IP/IT
Deperindag
D2. Penerapan Harga Referensi
Deperindag, Deptan, Depkeu
Penetapan referensi harga lelang Penetapan referensi harga eceren Catatan: Kebijakan fiskal untuk R&D (sampai 2007) masih diperlukan karena mayoritas PG adalah BUMN Pada tahun 2008, kebijakan fiskal untuk R&D menjadi sangat terbatas, kegiatan R&D menjadi tanggung jawab PG
Penyehatan dan Penyelamatan Industri Gula Nasional M Husein Sawit, Erwidodo, Tonny Kuntohartono, dan Hermanto Siregar
209