SAHATI 1 MISI PENYELAMATAN Perjalanan hidup ini misterius, gelap, senyap, tak terduga, sulit untuk dikira-kira, kemana kita akan dibawanya. Paling tidak, itulah yang terjadi pada diri ini, aku sedang terdampar. Selama tujuh tahun, aku pontangpanting memburu impian menjadi seorang seniman tulen, musisi rock idealis, penggebuk drum yang anti kemapanan. Sudah terbayang hidup berpindah panggung, menggebrak ribuan masa dengan distorsi menghentak, lirik yang menyuarakan anti kapitalis, hidup menantang arus mainstream, keras, berani, peduli pada keselamatan ibu pertiwi. Namun kenyataannya, kini usiaku beranjak dua puluh empat tahun, masih kuliah mengandalkan beasiswa dari orang tua, menumpang tidur dan makan pada Ayah Ibu, dengan lagu-lagu yang sukses membuat wajah pendengar mengernyitkan kening seakan menelan buah kesemek yang sepet bercampur garam, sungguh menyedihkan. Karena itu, didorong oleh rasa cinta yang teramat besar, Ayah dan Ibu pun membuat misi penyelamatan untuk mengamankan masa depanku yang terindikasi menyimpang dari jalan kebahagiaan, aku dikirim bekerja sebagai pegawai Tata Usaha di sebuah Madrasah Aliyah, mendengarnya membuat pikiranku menggumam, “Benda angkasa apakah gerangan madrasah itu?” Seumur hidup aku tak tahu apa-apa tentang madrasah aliyah, kata “Madrasah” terasa bagaikan cerita kuno di masa lampau. Tentu saja aku menolak! Memberontak dengan idealisme tinggi! Namun tubuh ini masih membutuhkan makan minum dan tempat tidur gratis dari
kedua orang tua, jika tak menurut, derajatku akan terjun bebas ke jalan raya, mengelandangan tanpa kasih sayang. Ayah dan Ibu sudah cukup bersabar melihatku mempertaruhkan nasib pada musik rock yang hanya membuat telinga keduanya meradang sakit, kini aku harus mengikuti cara mereka, atau dicoret dari kartu keluarga!
2
SAHATI 2 MADRASAHATI Hari senin, tanggal dua belas Juli tahun dua ribu dua belas, aku akan mengingatnya sebagai hari yang menyebalkan! Karena mulai hari ini, aku harus bangun pagi-pagi buta, menggebyar-gebyur tubuh kurusku dengan air dingin khas Bandung yang terasa bagaikan tusukan jarum, untuk menjalani hari pertama sebagai pegawai tata usaha. Pukul tujuh pagi, aku sudah keluar dari garasi rumah mengendarai motor bebek suzuki smash berwara biru langit cerah, namun tidak secerah hatiku, wajahku sedari tadi bersungut-sungut. Aku masih sulit menerima nasib menjadi pegawai seperti ini, seumur hidup aku bermimpi menjadi seorang rocker sejati, Metalica, Megadeth, Alter Bridge, Pearl Jam, setiap malam karyakarya megah mereka meninabobokan tidurku, tak kurang empat jam sehari aku melatih pukulan drum agar mumpuni, membangun track-track lagu penuh distorsi, Revshine adalah nama band kebanggaanku, singkatan dari Revolution Shine, kurang lebih bermakna Revolusi Yang Bersinar dalam terjemahan bahasa inggris abstrak. Namun kini, perahu nasibku malah terdampar di sebuah madrasah aliyah yang asing di telinga, meskipun setelah bertanya ke sana-sini aku sedikit tahu, madrasah aliyah adalah sekolah agama Islam setingkat SMA. Tapi tetap saja ini terasa aneh, mengapa setelah dua puluh empat tahun aku baru tahu madrasah aliyah adalah sebuah sekolah? Selama ini seringkali aku menganggap madrasah adalah pesantren, atau lembaga pendidikan yang hanya belajar agama dan mengaji, bukan sekolah tempat mempelajari mata pelajaran umum, seingatku tidak pernah ada satu iklan pun yang mengajak masyarakat bersekolah ke madrasah 3
semenjak dahulu kala, sehingga wajarlah jika aku dan kebanyakan orang hanya tahu ada dua jenis sekolah tingkat menengah atas di republik ini, SMA dan SMK. Tiga puluh menit berlalu, aku sudah melewati separuh Kota Cimahi, sebuah kota kecil yang dahulu merupakan bagian dari Kabupaten Bandung, namun kini telah menjadi kota otonom sejak sebelas tahun yang lalu. Kota ini hanya terdiri dari tiga kecamatan dan terbagi dalam lima belas kelurahan. Kota kecil ini cukup sibuk setiap hari karena merupakan jalur utama menuju jantung Kota Bandung yang hanya berjarak setengah jam perjalanan. Setelah melewati rumah sakit umum dan pusat perbelanjaan mewah, dari jalan raya yang besar aku berbelok ke dalam sebuah gang sempit, masuk sejauh sepuluh meter, melewati dua buah rumah berukuran sedang, dan tiba di depan pagar hitam setinggi orang dewasa yang terbuka sisi kanannya saja, aku kembali menarik gas, masuk ke halaman madrasah, sekolah ini baru tiga tahun berdiri, statusnya adalah sekolah swasta di bawah yayasan. Aku menstandar dua motor bebek kesayangan, membuka helm dan menggantungkannya pada stang motor, aku cukup terkejut, halaman madrasah ini terhitung sangat sempit bagi sebuah sekolah yang biasanya memiliki lapangan luas untuk upacara bendera dan kegiatan olah raga murid-muridnya, sementara di halaman madrasah ini, hanya cukup memarkir satu buah mobil saja. Aku mulai curiga, kulongok ke atas, bangunan madrasah terdiri dari dua tingkat, dengan luas yang sangat terbatas, aku berusaha mencari plang nama sekolah, siapa tahu saja aku salah alamat masuk kontrakan orang, nyatanya madrasah ini tanpa plang nama sekolah.
4
“Apa mungkin madrasah ini sudah begitu terkenalnya sehingga tidak perlu lagi memajang identitasnya?” Ujarku membatin, aku semakin heran. Agar tidak bertambah bingung, langsung aku bergerak menuju sebuah ruangan yang kuyakini sebagai ruang guru, dari halaman sempit madrasah, aku hanya perlu melangkahkan kaki sebanyak tujuh kali untuk tiba di depan pintu ruangan yang terbuka, aku bisa melihat seorang wanita berjilbab biru sedang mengutak-ngatik isi lemari kayu di dalam ruangan. “Assalamualaikum..” Ucapku berhati-hati, wanita paruh baya itu berbalik, aku mengangguk sopan. “Punten Bu, saya Zaky, mungkin Pak Asep Dadan sudah memberitahu sebelumnya..” Ungkapku membawa nama Ayah agar wanita berwajah kebanyakan ibu-ibu itu langsung mengerti maksud tujuanku. “Waalaikumsalam..Oh iya Pak Zaky, mangga masuk Pak..” Wanita itu tersenyum ramah dan berjalan cepat menyalamiku, aku melangkah masuk ke dalam ruangan yang berukuran 3x4 meter. “Kumaha damang Pak? Perkenalkan saya Bu Ida, Baru kerja juga di sini..” Bu Ida mempersilahkan duduk di atas sebuah sova berwarna hijau yang tampak semakin mempersempit ruangan kecil ini karena sudah disesaki dua buah meja dan lemari besar di sudut ruangan. “Lumayan baik Bu, sedang sibuk ya Bu?” “Ah, enggak kok Pak, di sini banyak nganggurnya, sekali-kali paling bikin laporan. Saya kira Pak Zaky ini sudah berumur lho, ternyata masih muda ya?” “Muda dari mana Bu, Ibunya saja yang lebih tua jadi saya mungkin terlihat lebih muda..” “Ha..ha..Pak Zaky bisa aja..” Bu Ida tampak sangat ramah dan ceria, sepertinya selalu diliputi 5
kegembiraan, sangat supel dan gemar tersenyum lebarlebar. “Ini sekolahnya sedang libur ya Bu?” Tanyaku sambil melongok ke luar, madrasah diliputi kesunyian seperti tak berpenghuni, bahkan tidak ada satu makhluk pun yang melintasi gang di depan madrasah sejak aku datang. “Oh enggak Pak, anak-anak lagi belajar di atas, tapi sehari-hari di sini memang sepi, ya muridnya juga cuman dua puluh orang Pak..” Keningku mengkerut kaget, hanya dua puluh orang? Ini benar sekolah atau tempat kursus menjahit?? Sewaktu aku SMP dan SMK dulu, rata-rata siswa di setiap kelas saja tidak kurang dari empat puluh orang. “Maksud Ibu dua puluh orang per kelasnya?” Tanyaku tidak yakin. “Ha..ha..dua puluh orang itu total murid keseluruhan Pak Zaky, kelas dua delapan orang, kelas satu dua belas orang, kelas tiganya baru lulus bulan kemarin, Ujian Nasionalnya juga masih numpang ke sekolah negeri. Tahun ini nggak ada kelas tiganya Pak, karena sempat satu angkatan tidak ada murid yang mendaftar. Oh iya ini daftar murid dan gurunya..” Dengan gesit Bu Ida menyodorkan dua lembar kertas berisi nama-nama murid dan guru di madrasah ini. Aku membacanya dan semakin bertambah bingung, ada enam belas guru yang tertera pada daftar, namun aku tidak melihat siapapun di dalam ruang guru ini selain Bu ida seorang. “Guru yang lain ada di mana Bu?” Aku mengangkat wajah kembali menatap wajah ramah Bu Ida. “Guru yang mengajar di sini hampir semua honorer Pak, jadi ngajarnya di dua sampai tiga sekolah berbeda, datangnya kalau ada jadwal mengajar di sini, 6
sayangnya sering bentrok jadwal ngajar atau tugas di sekolah lain, akhirnya kegiatan belajar anak-anak sering bolong-bolong, kasihan sebenarnya Pak murid-murid di sini, tapi ya guru-gurunya juga butuh penghasilan cukup, kalau honor dari sini saja nggak akan kekejar kebutuhannya .he..he.” Aku tertegun diam, tiba-tiba aku menjadi sangat penasaran dengan situasi madrasah ini, yang sepertinya banyak diselimuti kesedihan dan keterbatasan, seumur hidup aku tidak pernah bersentuhan langsung dengan kisah seperti ini, hidupku berjalan mulus, musik dan musik saja yang berputar di dalam kepalaku, sekolahku dulu sangat layak dan berkompeten menjalankan pendidikan, seperti sekolah-sekolah pada umumnya yang dikenal masyarakat, tapi madrasah ini benar-benar berbeda, tampak jauh dari kelayakan, dan terasing dari kualitas pendidikan. “Bu, kalau boleh saya permisi mau lihat-lihat ke atas dulu..” Ungkapku setelah hening sesaat. “Oh iya mangga Pak Zaky, hati-hati naik tangganya, nggak ada pegangannya.” Aku berdiri dari sova dan bergegas melangkah ke luar ruangan, hanya melayangkan satu kaki ke kanan dari mulut pintu ruang guru, anak tangga pertama sudah tampak menuju ke atas, aku beranjak menaiki satunpersatu anak tangga dengan cepat. Sampai di lantai dua, aku bisa melihat jalan raya, berderet-deret toko Alfamart, sebuah showroom mobil, bank dan apotik kimia farma tampak di sisi sebrang jalan, begitu terasa nuansa kesibukan di luar sana, namun di madrasah kecil ini, hening bagaikan rumah kosong yang telah lama ditinggal pergi penguhinya. Aku mulai berbelok kiri, melihat sebuah ruangan dengan pintu terkunci, aku berusaha mengintip dari balik jendelanya, 7
sepertinya ruangan ini tidak terpakai, kosong melompong dengan lantai berlapis debu, tidak ada apa-apa di dalamnya. Aku lalu berbalik, dan berjalan lurus kemudian berbelok ke kanan, bangunan madrasah ini memang berbentuk seperti huruf L yang terlentang. Aku berjalan perlahan melewati ruang kelas satu dan dua, hanya ada dua ruang kelas, sepintas aku bisa melihat murid-murid di dalamnya, para siswi terlihat rapi dengan jilbab putih, namun para siswanya tampak urakan, baju lusuh dengan rambut berantakan tak beraturan. Tentu saja mereka adalah misteri terbesar bagiku, apa yang membawa mereka sampai bersekolah di tempat ini? Dari lantai dua, aku kembali turun ke bawah, masuk ke ruangan luas yang tidak jauh dari ruang guru, ternyata ruangan ini adalah sebuah mushola, aku menatap dari ujung ke ujung, ukurannya setara dua ruang kelas digabung menjadi satu, ruang mushola ini sepertinya adalah area terluas yang dimiliki madrasah, karpet sejadah berwarna hijau membentang di sepanjang lantai ruangan, langit-langitnya tampak masih kokoh dan tinggi. Dengan ditambah dua buah toilet di lantai satu dan dua, itulah keseluruhan bangunan madrasah aliyah ini, tidak ada perpustakaan, tidak ada lab IPA, tidak ada lab komputer, tidak ada mading, tidak ada ruang kesehatan, tidak ada ruang Kepala Sekolah, tidak ada ruang perlatan olahraga, tidak ada lapangan olahraga! Tidak ada apa-apa selain meja bangku dan papan tulis hitam! Tanpa adanya plang nama sekolah, dilihat dari luar bangunan madrasah lebih mirip rumah kos-kosan lima pintu dibanding sebuah sekolah setingkat SMA. *****
8