Sujito, Peningkatan Prestasi Belajar Mata Pelajaran IPA...
1
PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR MATA PELAJARAN IPA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN MAKE A MATCH BAGI SISWA KELAS IV SEMESTER I TAHUN PELAJARAN 2014/2015 DI SDN 2 DUKUH KECAMATAN WATULIMO KABUPATEN TRENGGALEK
Oleh: Sujito SD Negeri 2 Dukuh, Watulimo, Trenggalek
Abstrak. Tujuan yang ingin dicapai pada penyusunan PTK adalah untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan prestasi belajar mata pelajaran IPA melalui model pembelajaran Make a Match bagi siswa Kelas IV Semester I Tahun Pelajaran 2014/2015 di SDN 2 Dukuh Kecamatan Watulimo Kabupaten Trenggalek. Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan kelas (PTK) atau Classroom Action Research. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan sebanyak 2 siklus, dapat disimpulkan bahwa penggunaan model pembelajaran Make a Match memiliki dampak positif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa yang ditandai dengan adanya peningkatan persentase ketuntasan belajar siswa dan nilai rata-rata kelas. Berdasarkan keseluruhan proses dan hasil penelitian, maka saran kepada guru sebagai berikut. (1) Penggunaan model pembelajaran Make a Match memerlukan persiapan yang cukup matang, sehingga guru harus benar-benar mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang pula, baik media maupun alat evalusinya. (2) Untuk terus meningkatkan prestasi belajar siswa hendaknya guru menggunakan model pembelajaran yang bervariasi dan menarik, sehingga tidak menimbulkan kebosanan pa-da diri siswa dalam melaksanakan kegiatan belajar. (3) Hendaknya guru dapat memilih model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik materi dan karakteristik siswa, sehingga penanaman konsep dapat benar-benar dapat diterima oleh siswa dengan baik. Kata kunci: prestasi belajar, IPA, make a match
Apabila kita berbicara masalah pendidikan, tentunya akan berkaitan dengan tenaga pendidik yaitu guru. Guru dapat mengantarkan siswa untuk mencapai keberhasilan dalam pendidikannya apabila guru mampu memberikan layanan yang tepat pada siswa, baik dalam posisinya sebagai pendidik, pengajar, maupun pelatih. Demikianlah sebaiknya kondisi yang tercipta dalam proses pembelajaran. Guru hendaknya mampu merefleksi tentang apa yang telah dilakukannya. Dengan demikian dia dapat menentukan langkah yang tepat untuk kegiatan pembelajaran berikutnya. Guru dengan 3 (tiga) kompetensi yang seharusnya ada pada dirinya (profesional, perso-
nal, dan sosial) hendaknya mampu memberikan layanan pembelajaran yang menarik dan memotivasi siswa, sehingga terciptalah suasana dan situasi kelas yang aktif dan kondusif yang dapat merangsang kreatifitas siswa. Pendidikan yang berkaitan dengan pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, hendaknya juga dilaksanakan dengan tepat. Mata pelajara Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan suatu mata pelajaran yang mengajak peserta didik untuk memandang alam sekitarnya dan pemanfaatannya bagi kehidupan. Oleh karena itu pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) hendaknya dilakukan dengan memanfaatkan alam sekitar. Berba-
2
JUPEDASMEN, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2016
gai media untuk mata pelajarn Ilmu Pengetahuan Alam telah tersedia di alam, misalnya tumbuhan dengan berbagai jenisnya, hewan dengan berbagai jenisnya, dan masih banyak lagi yang lain. Belajar Ilmu Pegetahuan Alam (IPA) dengan memanfaatkan alam sekitar tentunya akan mempermudah siswa utuk menemukan konsep yang benar tentang apa yang dipelajarinya. Hasil pengamatan dari lingkungan sekitar sangat membantu siswa dalam belajar. Apabila kondisi sebagaimana yang disampaikan di atas dapat terlaksana dengan baiik, maka keberhasilan pendidikan sebagai perwujudan dari keberhasilan pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah sudah dapat dipastikan. Tetapi yang perlu diingat, dalam kondisi nyata yang ditemuui sehari-hari, proses pembelajaran masih belum dapat mencapai sasarannya dengan baik. Hal tersebut dapat terjadi diantaranya disebabkan karena penggunaaan metode pembelajaran yang monoton yang kurang bervariasi dan kurang mengaktifkan siswa. Guru seringkali menjadi “Single Actor” dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Guru cenderung menggunakan metode mengajar dengan cara ceramah, sehingga komunikasi hanya berlangsung satu arah saja. Siswa hanya aktif mendengarkan dan sesekali menjawab pertanyaan guru. Siswa kurang bergairah dalam belajar, pasif dan tidak dituntut ubntuk menunjukkan kretifitasnya. Tidak jauh berbeda kondisi yang disampaikan di atas, hal tersebut juga terjadi di SDN 2 Dukuh. Pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dengan KKM yang ditentukan setinggi 74 masih banyak siswa yang berada di bawah KKM, yakni sebanyak 8 siswa tuntas dan 14 siswa tidak tuntas. Jadi ketuntasan mencapai 36 saja.
Hal ini membuktikan tingkat pencapaian yang kecil. Sebenarnya dalam materi “Hubungan antara struktur bunga dengan fungsinya” telah dilakukan dengan menggunakan metode diskusi. Tetapi kelas masih terlihat sepi dan siswa kurang bersemangat. Beberapa masalah yang dimungkinkan menyebabkan rendahnya prestasi belajar siswa adalah, (1) Sebagian siswa tidak terlihat aktif dalam pembelajaran; (2) Guru kurang memotivasi siswa; (3) Media pembelajaran yang kurang lengkap dan kurang menarik. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka untuk meningkatkan kualitas pembelajaran perlu kiranya dilakukan suatu tindakan dari guru untuk merubah pola pembelajaran dengan menggunakan berbagai model pembelajaran. Dengan demikian diharapkan siswa benar-benar termotivasi untuk belajar. Salah satu upaya yang kemungkinan dapat dijadikan sebagai alternatif dalam memecahkan masalah sebagaimana yang disampaikan di atas adalah menggunakan model pembelajaran “Make a Match”. Model pembelajaran ini akan disajikan dalam sebuah judul Penelitian Tindakan Kelas, sebagai berikut, “Peningkatan Prestasi Belajar Mata Pelajaran IPA melalui Model Pembelajaran Make a Match bagi Siswa Kelas IV Semester I Tahun Pelajaran 2014/2015 di SDN 2 Dukuh Kecamatan Watulimo Kabupaten Trenggalek”. Pengertian prestasi belajar dapat dilihat dari kutipan berikut, “Prestasi belajar adalah penilaian hasil usaha kegiatan belajar dalam bentuk simbul, angka, huruf, maupun kalimat yang dapat mencerminkan hasil yang sudah dicapai oleh setiap anak dalam
Sujito, Peningkatan Prestasi Belajar Mata Pelajaran IPA...
periode tertentu“ (Muhammad Fathurrohman, 2012: 119) Prestasi belajar sebenarnya tidak harus berwujud angka. Namun dapat pula berupa huruf atau simbol lain, atau bahkan kalimat. Tetapi kebanyakan prestasi belajar yang terdapat dalam buku raport berwujud angka walaupun terdapat narasinya. Prestasi belajar biasanya dapat diperoleh siswa dalam bentuk laporan dalam kurun waktu tertentu. Misalnya tengah semester, semester atau kurun waktu lain yang ditentukan. Sedangkan pengertian prestasi belajar yang kedua, memisahkan antara pengertian prestasi dan pengertian belajar. Pengertian kata prestasi adalah: “Prestasi menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia adalah hasil baik yang dicapai” (Fajri, 2008:670). Kutipan ini mempunyai makna yang sangat sempit, dimana hanya hasil yang baik saja yang dapat dikategorikan sebagai prestasi, sedangkan yang lain bukanlah prestasi. Sedangkan untuk memahami pengertian belajar, dapat dilihat dari pendapat para ahli. Dari sekian banyak pendapat para ahli, berikut akan kami kutip beberapa saja. Definisi yang pertama dikutip dari pendapat seorang ahli yang menyatakan bahwa: James Q whittaker: Belajar sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman (Djamarah, 2011:12) Belajar adalah sebagai proses baik proses waktu maupun proses mental dan emosional. Dengan demikian, tanpa adanya proses tentunya kegiatan belajar tidak akan terjadi. Proses yang terjadi pada akhirnya akan membawa perubahan pada diri seseorang. Perubahan tersebut dapat dilihat oleh
3
orang lain, dan akan selalu berhubungan dengan latihan. Apa yang dipelajari, apa yang dilatihkan, akan memunculkan perilaku baru. Oleh karena itu perubahan akan sesuai dengan latihan/pengalaman. Pengalaman belajar yang positif akan membawa pada perubahan yang positif, dan sebaliknya. Menurut ahli pendidikan modern, belajar adalah: “Belajar adalah suatu bentuk pertumbuhan atau perubahan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkahlaku yang baru berkat pengalaman dan latihan. Tingkah laku yang baru itu misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, timbulnya pengertian baru, serta timbul dan berkembangnya sifat-sifat sosial, susila, dan emosional. (Aqib, 2012:42) Berdasarkan kutipan-kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah hasil belajar siswa baik yang berupa nilai angka atau kalimat yang menunjukkan adanya perubahan pada diri siswa dalam aspek afektif, kognitif, maupun psikomotor. Dalam kehidupan sehari-hari telah banyak terbukti bahwa prestasi belajar yang data dicapai oleh setiap manusia berbedabeda. Tentunya semua mengharapkan hasil yang baik, namun pada akhirnya ada mencapai prestasi belajar yang baik, sedang, bahkan kurang. Perbedaan tersebut dapat terjadi karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhi. Menurut Syah dalam Muhmmad Fahturrohman menyatakan bahwa faktor-faktor yang dimaksud adalah sebagai berikut. (a) Faktor internal meliputi dua aspek, yaitu: aspek fisiologis dan aspek psikologis. (b) Faktor Eksternal meliputi: faktor lingkungan sosialdan faktor lingkungan non sosial (Muhammad Fahturrohman, 2012: 121). Faktor internal yang pertama adalah aspek fisiologis, sesuai dengan namanya,
4
JUPEDASMEN, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2016
tentunya berhubungan dengan kondisi fisik siswa yang belajar. Kondisi fisk yang sehat dan tidak mengalami cacat tubuh akan lebih mudah menerima pelajaran dari pada siswa yang sedang sakit dan mengalami cacat tubuh. Aspek psikologis tentunya berkaitan dengan kondisi kejiwaan seseorang. Kondisi psikologis yang kacau dan tidak tenang merupakan saah satu faktor yang menghambat kegiatan belajar siswa, sehingga prestasi belajar dapat menurun. Muhammad Fahturrohman mengklasifikasikan kondisi psikologis ini sebagai berikut: (a) Intelegensi atau kecerdasan; (b) Bakat; (c) Minat dan perhatian; (d) Motivasi siswa; (e) Sikap siswa. Faktor eksternal diantaranya adalah lingkungan sosial. Lingkungan sosial yang berpengaruh pada hasil belajar siswa adalah lingkungan sosial yang berkaitan dengan faktor keluarga, sekolah dan masyarakat. Lingkungan keluarga yang mempengaruhi prestasi belajar siswa diantaranya menyangkut sarana dan prasarana belajar, kondisi ekonomi, motivasi orang tua, bimbingan orang tua, dan sebagainya. Apabila faktor-faktor di atas mendukung, maka kegiatan belajr dapat dilakukan dengan baik, sehingga dapat mencapai hasil belajar yang baik pula. Faktor eksternal yang berhubungan dengan prestasi belajar misalnya letak sekolah, ketenangan dari berbagai suara, serta sarana dan prasarana belajar yang mendukung. Sedangkan Merson U. Sangalang dalam Muhammad Fahturrohman menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar adalah sebagai berikut, (a) Faktor internal, meliputi: (1) Faktor kecerdasan; (2) Faktor bakat; (3) Faktor minat dan perhatian; (4) Faktor kesehatan; (5) Faktor cara belajar. (b) Faktor Eksternal, meli-
puti: (1) Faktor lingkungan keluarga; (2) Faktor pergaulan; (3) Faktor sekolah; (4) Faktor sarana pendukung belajar (Muhammad Fahturrohman, 2012:121). Jadi prestasi belajar dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang bersifat intern maupun ekstern, misalnya lingkungan keluarga, sekolah, dan pergaulan. Mata pelajaran Sains, merupakan nama baru dari mata pelajaran IPA. Mata pelajaran ini muncul pada kurikulum 2004. Mata pelajaran Sains merupakan mata pelajaran yang mengantisipasi berbagai perkembangan yang terjadi dalam dunia global. Mata pelajaran Sains menghendaki agar siswa lulusan sekolah mempunyai keterampilan dalam bidang Sains. Untuk memahami lebih mendetail lagi mengenai mata pelajaran Sains dapat dilihat dari kutipan yang berbunyi sebagai berikut: “Sains merupakan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis untuk menguasai pengetahuan, fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, proses penemuan, dan memiliki sikap ilmiah. Pendidikan sains di Sekolah Dasar bermanfaat bagi siswa untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar. “Pendidikan sains menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar siswa mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan sains diarahkan untuk “mencari tahu“ dan “berbuat” sehingga dapat membantu siswa untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar”. (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, 2004:2). Mata pelajaran Sains adalah mata pelajaran yang diberikan di lembaga pendidikan formal, yang memberikan kemampuan kepada siswa untuk dapat berfikir secara sistematis serta dapat memiliki sikap ilmiah,
Sujito, Peningkatan Prestasi Belajar Mata Pelajaran IPA...
sehingga dapat mempelajari diri sendiri dan lingkungan secara ilmiah pula. Mata pelajaran sains yang diberikan kepada siswa merupakan mata pelajaran yang mengajak siswa selain memahami alam sekitar dan diri sendiri, juga mengajak untuk mampu berbuat dengan cara yang tepat. Alam sekitar adalah anugerah Tuhan yang tiada tara. Namun alam sekitar tidak dapat memberikan kesejahteraan yang sebesar-besarnya apabila manusia tidak mampu “berbuat“ kepada alam sekitar dengan benar, baik dalam segi pemeliharaan, segi pengolahan, maupun pemanfaatannya. Mata pelajaran Sains (IPA) tentunya tidak berbeda dengan mata pelajaran lain dilihat dari misinya. Jika mata pelajaran lain memiliki misi yang berupa tujuan yang ingin dicapai, maka pada mata pelajaran Sains (IPAS) juga mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Untuk dapat memahami fungsi dan tujuan dalam mata pelajaran Sains (IPA) dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut. “Mata pelajaran Sains di Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) berfungsi untuk menguasai konsep dan manfaat Sains dalam kehidupan sehari-hari serta untuk melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Madrasah Tsanawiyah (MTs), serta bertujuan: (1) Menanamkan pengetahuan dan konsep-konsep Sains yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. (2) Menanamkan rasa ingin tahu dan sikap positif terhadap Sains dan teknologi. (3) Mengembangkan ketrampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan. (4) Ikut serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam. (5) Mengembangkan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara
5
Sains, lingkungan, teknologi dan masyarakat. (6) Menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan. (Dinas Pendidikan & Kebudayaan, 2004: 3). Pada dasarnya fungsi dan tujuan dari mata pelajaran Sains tetap berorientasi pada lingkungan atau alam sekitar. Dengan mengenal alam sekitar yang disertai dengan pemahaman yang memadai mengenai teknologi, maka alam dapat benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan umat manusia. Adanya kemurahan Tuhan yang berwujud alam semesta adalah anugerah yangtiada tara, msehingga bangsa Indonesia harus benar-benar mengakui, mensyukuri, dan tidak mengingkarinya. Sedangkan kutipan terbaru mengenai mata pelajaran IPA diperoleh dari KTSP, yang mana menyebutkan bahwa pada dasarnya mata pelajaran IPA bertujuan agar siswa memiliki kemampuan: (1) Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaanNya. (2) Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. (3) Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif, dan kesadaran tentang adanya hubunan yang saling mempengaruhi antara IPA, Lingkungan, teknologi dan masyarakat. (4) Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Trenggalek, 2007:42). Dalam kutipan tersebut sebenarnya mempunyai makna yang sangat identik dengan kutipan sebelumnya. Bvahwa pada dasarnya mata pelajaran IPA (Sains) mempunyai tujuan agar siswa benar-benar mengenal lingkungan sebagai anugerah ciptaan Tuhan yang diperuntukkan bagi kemakmur-
6
JUPEDASMEN, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2016
an manusia. Dengan demikian diharapkan adanya kekayaan alam yang melimpah dapat dimanfaatkan secara positif bagi kelangsungan hidup manusia. Mempelajari masalah alam sekitar, kiranya bukanlah hal yang statis. Sebaliknya mempelajari hal tersebut merupakan proses yang dinamis, yang selalu membawa perubahan-perubahan. Oleh karena itu penemuan pada tahun-tahun sebelumnya, selanjutnya masih terus diteliti, sehingga masih memungkinkan munculnya penemuan-penemuan baru. Model pembelajaran Make a Match dikembangkan oleh Lorna Curran. Ciri utama dari model pembelajaran ini adalah siswa mencri pasangan dari kartu yang dipegang. Teknik ini dapat digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia (Aris Aris Shoimin, 2014:98). Karekteristik model pembelajaran Make a Match adalah: “Memiliki hubungan yang erat dengan karakteristik siswa yang gemar bermain. Pelaksanaan model pembelajaran Make a Match harus didukung oleh keaktifan siswa untuk bergerak mencari pasangan dengan kartu yang sesuai dengan jawaban atau pertanyaaan dalam kartu tersebut” (Aris Shoimin, 2014:98). Pemahaman tentang model pembelajaran Make a Match, dapat diawali dengan memahami apa yang dimaksud dengan model pembelajaran. Model pembelajaran adalah: “Suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film, komputer, kurikulum, dan lain-lain” (Joyce dalam Junaedi, 2009:1-10).
Sedangkan model pembelajaran Maker a Macth adalah: “Merupakan model pembelajaran dimana siswa diminta mencari pasangan kartu yang merupakan jawaban atau pertanyaaan materi tertentu dalam pembelajaran” (Shoimin, 2014: 98) Menurut Lorn Curran dalam Maufur dinyatakan bahwa model pembelajaran Make a Match adalah: “Dengan memakai media kartu soal dan jawaban, setiap siswa diajak memikirkan jawaban dari soal yang dipegang. Sedangkan pada siswa yang lain harus memikirkan soal dari jawaban yang diterima sekaligus mencari pasangan masing-masing kata soal dari jawaban kartunya” (Maufur, 2009: 102-103). Sesuai pendapat tersebut di atas, maka model pembelajara Make a Match merupakan model pembelajaran yang mengaktifkan siswa untuk berfikir dan memungkinkan munculnya kerjasama antar sesama anggota kelompok (learning community). Model pembelajaran Make a Match merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran Make a Match sangat membantu siswa untuk bergerak lebih aktif, berfikir lebih aktif dan mereka akan berupaya dan bersaing agar dapat menyelesaikan tugasnya lebih cepat dari yang lain. Model pembelajaran ini dapat memotivasi semangat siswa untuk lebih bersemangat dalam mengikuti pembelajaran. Baik fungsi motorik (fisik) maupun psikisnya akan terlibat langsung dalam kegiatan pembelajaran. Model pembelajaran Make a Match sebagaimana yang telah diuraikan di atas merupakan model pembelajaran dimana siswa mencari jawaban/soal dari kartu yang dipegang. Siswa dituntut untuk menemukan pasangan dari soal/jawaban yang dipegang.
Sujito, Peningkatan Prestasi Belajar Mata Pelajaran IPA...
Adapun langkah-langkah dari metode pembelajaran ini adalah sebagai berikut. (1) Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang cocok untuk sesi review, sebaliknya satu bagian kartu soal dan bagian lainya kartu jawaban. (2) Setiap siswa mendapat satu buah kartu. (3) Tiap siswa memikirkan jawaban/soal dari kartu yang dipegang. (4) Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya (soal jawaban). (5) Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi point. (6) Setelah satu babak kartu dikocok lagi agar setiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya. Demikian seterusnya. (7) Kesimpulan / penutup (Shoimin, 2014:98-99). Model pembelajaran Make a Match dalam pelaksanaannya mungkin tidak semudah yang dibayangkan. Model pembelajaran ini terlihat menyenangkan, tetapi guru harus benar-benar menguasai model pembelajaran ini. Apabila guru kurang menguasai model pembelajaran ini tidak menutup kemungkinan guru akan gagal dalam mencapai tujuan pembelajaran. Penggunaan model pembelajaran Make a Match dengan tidak disertai manajemen atau pengelolaan kelas yang baik tentunya akan memancing kegaduhan siswa. Setiap model pembelajaran pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan. Tidak ada model pembelajaran yang terlalu sempurna maupun terlalu tidak sempurna. Kesempurnaan model pembelajaran terletak bagaimana guru dapat menerapkan untuk materi dan kondisi yang relevan dengan model pembelajaran itu sendiri. Selain itu guru juga harus meguasai model itu sendiri, serta dilaksanakan dengan menggunakan
7
metode yang sesuai pula. Dengan demikian dapat meminimalisir kekurangan yang ada. Kelebihan dari model pembelajarn Make a Match adalah sebagai berikut. (1) Suasana kegembiraan akan tumbuh dalam proses pembelajaran. (2) Kerjasama antar sesame siswa terwujud dengan dinamis. (3) Munculnya dinamika gotong royong yang merata diseluruh siswa.( Shoimin, 2014:99) Kelebihan model pembelajaran Make a Match menurut Saptono dapat disampaikan sebagai berikut. (1) Penerapan model pembelajharan Make a Match dalam pembelajaran memungkinkan siswa untuk memperdalam atau mereview dari marteri yang dipelajarai, aktif sdalam kegiatan pembelajaran, menemukan sendiri konsep-konsep yang dipelajari, aktif dalam kegiatan pembelajaran, menemukan sendiri konsep yang dipelajari tanpa harus selalu tergantung pada guru. (2) Mampu memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan konsep yang dipelajari, bekerjasama dengan siswa lain, dan berani untuk mengemukakan pendapat. (3) Siswa menjadi lebih tertantang untk belajar dan berusaha menyelesaikan semua permasalahan yang ditemui sehingga pengetahuan yang diperoleh agar lebih diingat oleh siswa. (4) Dapat memperkaya pengalaman dan berfikir siswa dengan hal-hal yang bersifat objektif dan realitas. (5) Pembelajaran dengan model Make a Match yang dipadu dengan diskusi mampu mengembangkan sikap toleransi siswa terhadap sesama (Saptono, 2011:132) Model pembelajaran Make a Match mempunyai banyak sekali kelebihan, sehingga apabila dilaksanakan dengan benar dan maksimal dapat menghasilkan prestasi belajar yang maksimal pula. Beberapa hal yang perlu dicatat dari kelebihan ini, dimana siswa dapat menemu-
8
JUPEDASMEN, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2016
kan sendiri konsep-konsep yang dipelajari. Otak siswa akan terus terasah, sehingga dapat berkembang dengan baik. Guru bukan lagi sebagai sigle actor dalam pembelajaran, sehingga pembelajaran lebih bermakna. Penggunaan model pembelajaran Make a Match juga melatih siswa untuk berani mengutarakan pendapatnya. Setelah siswa menemukan konsep, maka siswa dituntut untuk mengutarakan pendapat.Hal ini dapat berlangsung lebih maksimal apabila model pembelajaran ini dilakukan dengan memadukannya dengan metode diskusi. Model pembelajaran Make a Match juga mempunyai beberapa kekurangan disamping kelebihan yang telah disampaikan di atas. Kekurangan dari model pembelajaran ini dapat disampaikan sebagai berikut. (1) Diperlukan bimbingan dari guru untuk melakukan pembelajaran. (2) Suasana kelas menjadi gaduh sehingga dapat mengganggu kelas yang lain. (3) Guru perlu persiapan bahan dan alat yang memadai. (Shoimin, 2014:99) Kekurangan dari model pembelajaran Make a Match menurut Hude adalah sebagai berikut. (1) Kegiatan permainan mencari pasangan menjdi sesuatu yang baru bagi siswa, sehingga mereka membutuhkan waktu yng lama untuk terbiasa dengan kegiatan seperti itu. (2) Sulitnya mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok belajar karena ada beberapa siswa yang masigh memiliki sifat membeda-bedakan teman belajar. (3) Bagi siswa yang kurang aktif tentu model pembelajaran ini mengakibatkan kecemasan (Ancienty) bagi dirinya karena tidak sesuai dengan kehendak dan kebiasaannya sehari-hari” (Hude, 2006: 242). Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan kelas (PTK) atau Classroom ction Research. Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
adalahs: “Suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa suatu tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam suatu kelas secara bersama” (Arikunto, 2011:3). Menurut Mohammad Asrori yang dimaksud dengan Penelitian Tindakan kelas adalah: “Suatu bentuk penelitian yang bersifat reflektif desngan melakukan tindakantindakan tertentu untuk memperbaiki dan meningkatkan praktik pembelajaran di kelas secra lebih berkualitas sehingga siswa dapat memperoleh hasil belajar yang lebih baik “ (Asori, 2011:6). Mc Niff dalam Sukidin, dkk menyatakan bahwa Penelitian Tindakan Kelas adalah: “Bentuk penelitian reflektif yang dilakukan oleh guru sendiri yang hasilnya dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk pengembangan kurikulum, pengembangan sekolah, pengembangan keahlian mengajar, dan sebagainya” (Sukidin, 2012:14). METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan guru sebagai peneliti maupun praktisi, sehingga guru terlibat penuh dalam penelitian. Guru mengalami sendiri proses pembelajaran sekaligus meneliti hasil yang dicapai pada setiap pembelajaran. Dengan cara ini siswa tidak menyadari apabila mereka sedang diteliti, sehingga pembelajaran dapat berlangsung dengan normal. Pada saat pembelajaran dilakukan, peneliti bekerjasama dengan rekan kerja (kolaborator) sehingga dapat memaksimalkan temuan dan kajian selama penelitian berlangsung. Tahapan pada masing-masing siklus dapat disampaikan sebagai bertkut. (a) Tahap Perencanaan, (b) Tahap Pelaksanaan Tindakan, (c) Tahap Pengamatan, (d) Tahap Refleksi.
Sujito, Peningkatan Prestasi Belajar Mata Pelajaran IPA...
Penelitian ini mengambil populasi seluruh siswa kelas IV SDN 2 Dukuh Kecamatan Watulimo Kabupaten Trenggalek Semester I Tahun Pelajaran 2014/2015 yang berjumlah 22 siswa, terdiri dari 10 siswa laki-laki dan 22 siswa perempuan. Penelitian ini mengambil tempat di SDN 2 Dukuh Kecamatan Watulimo Kabupaten Treggalek Propinsi Jawa Timur. Peneliti memilih subjek tersebut karena peneliti mengajar pada subjek yang sama, sehingga akan lebih mudah dalam meneliti, dan siswa tidak menyadari kalau sedang diteliti karena tetap diajar oleh guru yang sama. Penelitian ini menggunakan instrumen penelitian baik yang berupa soal test maupun non test yang menggunakan lembar pengamatan/lembar observasi. (a) Penyusunan soal test, dalam hal ini jenis test yang dipergunakan adalah tes isian. (b) Penyusunan Lembar Observasi, lembar observasi yang dipergunakan pada siklus I dan siklus II sama, sehingga dapat dipergunakan untuk melihat kemajuan pada aspek yang sama pula. Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data hasil observasi langsung tentang aktifitas siswa dalam pembelajaran di setiap siklusnya, serta data tentang prestasi belajar siswa. Metode pengumpulan data yang dipergunakan adalah test dan non tes yang berupa pengamatan (observasi). Untuk melaksanakan observasi ini, dilakukan bersama kolaborator sehingga pelaksanaannya lebih maksimal dan dipergunakan untuk membuat catatan lapangan. Data hasil observasi dianalisis berdasarkan persentase yang sudah ditetapkan, Tabel 1 Hasil Tes Pra Siklus No Rentang Nilai Frekuensi 1 88 -100 3 2 74 - 87 5 3 60 - 73 14 4 ≥ 60 Jumlah 22
9
dan data prestasi belajar dianalisis dengan berdasarkan pada ketuntasan belajar siswa. Setelah diketahui skor yang diperoleh siswa yang kemudian diolah menjadi nilai akhir, maka hasil tersebut akan dikomunikasikan dengan nilai KKM yang ada. Selain itu juga dibandingkan dengan hasil belajar sebelumnya. Perbandingan antara hasil test siklus I dan siklus II dapat memberikan kejelasan apakah penggunaan model pembelajaran Make a Match berhasil ataukah tidak. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pra Siklus 1. Perencanaan Pada tahap ini peneliti melakukan halhal sebagai berikut. (1) Menyiapkan silabus. (2) Menyiapkan RPP. (3) Menyiapkan media pembelajaran. (4) Menyiapkan LKS. (5) Menyiapkan instrument penilaian yaitu lembar tes uraian. Menyiapkan instrumen penilaian yaitu lembar observasi. 2. Pelaksanaan Tindakan Selama kegiatan pembelajaran, peneliti sekaligus praktisi melakukan kegiatan pembelajaran sesuai dengan rencana yang telah disiapkan. Hasil tes pada pra siklus, dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan pada Tabel 1, dapat diketahui bahwa dari jumlah siswa sebanyak 22 siswa ada 14 siswa (63,64 %) yang belum dapat mencapai ketuntasan, dan siswa yang tuntas sebanyak 8 siswa atau mencapai 36,36%, yakni yang mencapai nilai 74 ke atas (sesuai dengan KKM).
Kategori Sangat Baik Baik Kurang Sangat kurang
Persentase 13,64% 22,72% 63,64% 0% 100%
KKM 74
Rata-Rata Kelas 75,45
10
JUPEDASMEN, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2016
Ditinjau dari kategorinya yang termasuk kategori sangat baik sebanyak 3 siswa (13,64%) dan kategori baik sebanyak 5 siswa (22,72%) dan kategori kurang 14 siswa (63,64%). Nilai yang sering muncul adalah antara 60 dan 73 sebanyak 14 siswa (63,64 %). Nilai rata-rata yang dapat dicapai oleh siswa adalah 75,45. Sedangkan lembar observasi siswa menunjukkan 10 siswa aktif dan 12 siswa pasif. Dengan demikian siswa aktif sebesar 45,45% dan siswa pasif sebesar 54,54%. B. Siklus I Pada siklus I ini telah diupayakan adanya perubahan dalam kegiatan pembelajaran, dimana peneliti sekaligus praktisi telah menyusun RPP dengan menggunakan model pembelajaran “Make Match”. 1.
Tahap Perencanaan Pada tahap perencanaan, peneliti mengatur strategi yang akan dilakukan pada tahap pelaksanaan. Hal-hal yang dilakukan adalah: (1) Menyiapkan silabus. (2) Mengembangkan skenario pembelajaran. (3) Menyiapkan sumber dan media pembelajaran. (4) Menyusun LKS. (5) Menyusun instrumen soal tes, dan (6) Menyusun format observasi pembelajaran. 2.
Tahap Pelaksanaan Pada tahap pelaksanaan: (1) Guru menjelaskan teknik pembelajaran. (2) Guru menyajikan pelajaran tentang jenis-jenis makanan hewan. (3) Guru membagikan media Tabel 2 Hasil Tes Siklus I No Rentang Nilai Frekuensi 1 88 -100 3 2 74 – 87 9 3 60 – 73 10 4 ≥ 60 Sumber Data: Hasil tes siklus I
Kategori Sangat Baik Baik Kurang Sangat kurang
berupa kartu soal dan kartu jawaban pada masing-masing siswa. (4) Setiap siswa mencari pasangan dari kartunya, dalam kelompoknya masing-masing. (5) Setiap siswa yang berhasil mencari pasangan dari kartu yang dipegang sebelum batas waktu diberi poin. (6) Setelah satu babak selesai, kartu dikocok dan dibagikan kembali kepada setiap siswa, dan setiap siswa jangan sampai memegang kartu yang sama dengan babak sebelumnya. (7) Setelah semua kartu berpasangan, siswa membuat kesimpulan dibantu oleh guru. (8) Guru mengadakan test akhir yang berupa tes isian. (9) Penutup: Guru memberikan soal/tugas rumah dan menutup Siklus I. 3. Tahap Pengamatan Pembelajaran berlangsung sesuai dengan RPP yang telah disiapkan, dan telah melaksanakan pembelajaran dengan model make a match. Hasil pengamatan dengan menggunakan lembar observasi siswa menunjukkan 15 siswa aktif dan 7 siswa pasif. Dengan demikian ada 68,18% siswa aktif dan 31,81% siswa pasif. 4. Tahap Refleksi Hasil tes pada siklus I ini, dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan pada Tabel 2, dapat diketahui bahwa dari jumlah siswa sebanyak 22 siswa ada 10 siswa (45,45%) yang belum dapat mencapai ketuntasan, dan siswa yang tuntas sebanyak 12 siswa atau mencapai 54,55%, yakni yang mencapai nilai 74 ke atas (sesuai dengan KKM). Persentase Ketuntasan 13,64% 40,91% 45,45% 0%
KKM 74
Rata-Rata Kelas 77,72
Sujito, Peningkatan Prestasi Belajar Mata Pelajaran IPA...
Ditinjau dari kategorinya yang termasuk kategori sangat baik sebanyak 3 siswa (13,64%) dan kategori baik sebanyak 9 siswa (40,91%) dan kategori kurang 10 siswa (45,45%). Nilai yang sering muncul adalah antara 60 dan 73 sebanyak 10 siswa (45,45%). Nilai rata-rata yang dapat dicapai oleh siswa adalah 77,72. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada siklus I maka didapatkan beberapa hal sebagai penyebab terjadinya kekurangan pada siklus I sebagai berikut. (1) Penggunaan metode make a match sebenarnya sangat merangsang siswa, namun terkesan belum efektif karena siswa masih terlihat kurang paham dalam melakukan game sehingga masih banyak bertanya. (2) Interaksi dalam kelompok masih kurang maksimal. (3) Siswa masih ragu-ragu untuk menjodohkan kartu yang dipegangnya. (4) Kelas sangat gaduh karena jumlah siswa di kelas cukup banyak dan masing-masing sibuk mencari pasangannya. Oleh karena itu perlu diadakan pembagian siswa menjadi kelompok kecil pada siklus II. Hasil tes yang dilakukan pada siklus I menunjukkan adanya peningkatan baiik pada tingkat ketuntasan siswa maupun pada rata-rata kelas, jika dibandingkan dengan hasil tes pada pra siklus. Namun karena pelaksaaan model pembelajaran make a match terasa masih belum maksimal, maka peneliti memutuskan untuk melanjutkan pada siklus II, dan diharapkan pada siklus II akan terjadi penigkatan yang signifikan. C. Siklus II Pada siklus II ini telah diupayakan adanya perubahan dalam kegiatan pembelajaran, dimana peneliti sekaligus praktisi telah menyusun RPP dengan menggunakan model pembelajaran “Make a Match” yang
11
dirubah sesuai dengan hasil refleksi pada siklus I. 1. Tahap Perencanaan Pada tahap perencanaan, peneliti mengatur strategi yang akan dilakukan pada tahap pelaksanaan. Hal-hal yang dilakukan adalah: (1) Menyusun silabus, (2) Mengembangkan skenario pembelajaran/ menyusun RPP, (3) Menyiapkan sumber dan media pembelajaran, (4) Menyusun LKS, (5) Menyusun soal tes, dan (6) Menyusun format observasi pembelajaran. 2.
Tahap Pelaksanaan Pada tahap pelaksanaan: (1) Guru menjelaskan metode pembelajaran make a match. (2) Guru menyajikan pelajaran tentang jenis-jenis penggolongan hewan berdasarkan jenis makanannya. (3) Guru membagi kelas menjadi 4 kelompok, sehingga masing-masing kelompok beranggotakan 4 dan 5 siswa. (4) Guru memberui kesempatan kepada siswa untuk mencari sumber belajar yang relevan. (5) Guru membagikan media berupa kartu soal dan kartu jawaban pada masing-masing siswa. (6) Setiap siswa mencari pasangan dari kartunya, dalam kelompoknya masing-masing. (7) Setiap siswa yang berhasil mencari pasangan dari kartu yang dipegang sebelum batas waktu diberi poin. (8) Setelah satu babak selesai, kartu dikocok dan dibagikan kembali kepada setiap siswa, dan setiap siswa jangan sampai memegang kartu yang sama dengan babak sebelumnya. (9) Siswa mengerjakan LKS. (10) Setelah semua kartu berpasangan, siswa membuat kesimpulan dibantu oleh guru. (11) Guru mengadakan test akhir yang berupa tes isian. (12) Penutup: guru menanyakan kesan siswa selama pembelajaran, guru memberikan soal/tugas rumah.
12
JUPEDASMEN, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2016
3.
Tahap Pengamatan Pembelajaran berlangsung sesuai dengan RPP yang telah disiapkan, dan telah melaksanakan pembelajaran dengan model make a match. Hasil observasi terhadap siswa menunjukkan 18 siswa aktif dan 4 siswa pasif. Dengan demikian ada 81,82% siswa aktif dan 18,18% siswa pasif. 4.
Tahap Refleksi Hasil tes pada siklus I ini, dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan pada tabel di atas, dapat diketahui bahwa dari jumlah siswa sebanyak 29 siswa ada 5 siswa 22,73 % (dibulatkan menjadi 23%) yang belum dapat mencapai ketuntasan, dan siswa yang tuntas sebanyak 17 siswa atau mencapai 77,27% (dibulatkan menjadi 77%), yakni yang mencapai nilai 74 ke atas (sesuai dengan KKM) . Ditinjau dari kategorinya yang termasuk kategori sangat baik sebanyak 5 siswa (22,73%) dan kategori baik sebanyak 12 siswa (54,54%) dan kategori kurang 5 siswa (22,73%). Nilai yang sering muncul adalah antara 74 dan 87 sebanyak 12 siswa (54,54 Tabel 3 Hasil Tes Siklus II No Rentang Nilai Frekuensi 1 88 -100 5 2 74 - 87 12 3 60 - 73 5 4 ≥ 60 Sumber Data: Hasil tes
Kategori Sangat Baik Baik Kurang Sangat kurang
%). Nilai rata-rata yang dapat dicapai oleh siswa adalah 80,45. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada siklus II maka didapatkan beberapa hal sebagai berikut: (1) Kegitan pembelajaran berlangsung lebih efektif karena siswa terlihat semakin memahami cara belajar dengan menggunakan model pembelajaran Make a Match. (2) Kelas lebih kondusif, karena berlangung secara kelompok, dan kegaduhan dapat turun dengan sangat signifikan. (3) Interaksi dalam kelompok telah berlangsung secara wajar. (4) Siswa dapat menyelesaikan tugas untuk mencari pasangannya sesuai dengan waktu yang disediakan. Perbandingan Hasil Belajar Siswa pada Siklus I dan Siklus II Berdasarkan pada hasil tes pada siklus I dan siklus II, data dapat dimasukkan dalam Tabel 4. Pada siklus I Siswa tuntas mencapai 12 siswa (54,54%), sedangkan pada siklus II mencapai 17 siswa (77,27%). Dengan demikian ada kenaikan ketuntasan belajar sebesar 22,73%. Persentase Ketuntasan 22,73% 54,54% 22,73% 0%
KKM 74
Rata-Rata Kelas 80,45
Tabel 4 Perbandingan Prestasi belajar siswa Siklus I dan Siklus II Ditinjau dari Ketuntasan Belajar Frekuensi Ketuntasan No Rentang Nilai KKM Kategori Ket SI S II SI S II 1 88 -100 74 3 5 13,64% 22,73% Sangat Baik Tuntas 2 74 - 87 9 12 40,91% 54,54% Baik Tuntas 3 60 - 73 10 5 45,45% 22,73% Kurang Tidak Tuntas 4 ≥ 60 0% 0% Jumlah
22
22
Tabel 5 Perbandingan Prestasi belajar siswa Siklus I dan Siklus II Ditinjau dari Rata-Rata Kelas Rata-Rata Kelas No KKM Siklus I Siklus II 1 70 77,72 80,45
Sujito, Peningkatan Prestasi Belajar Mata Pelajaran IPA...
13
Tabel 6 Perbandingan Hasil Observasi Siswa Setiap Siklus Keaktifan Persentase No Siklus Keterangan Aktif Pasif Aktif Pasif 1 Pra Siklus 10 12 45,45 54,54 Siswa aktif hanya 45% 2 Siklus I 15 7 68,18 31.81 Siswa aktif naik 22,73% dari pra siklus (45,45%) 3 Siklus II 18 4 81,82 18,18 Siswa aktif naik 13,64% dari siklus I (68,18%) 100 95 90 85 80 75 70 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Pra Siklus Siklus 1 Siklus 2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 Gambar 1 Diagram Batang Hasil Tes Akhir Siswa Pra Siklus, Siklus 1 Dan Siklus 2 100 95 90 85 80 75 70 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Pra Siklus Siklus 1 Siklus 2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 Gambar 2 Diagram Garis Hasil Tes Akhir Siswa Pra Siklus, Siklus 1 Dan Siklus 2
Pada siklus I nilai rata-rata siswa mencapai 77,72 dan pada siklus II mencapai 80,45. Dengan demikian terjadi kenaikan sebesar 2,73. Berdasarkan data perbandingan sebagaimana yang disampaikan di atas,
maka terjadi penigkatan prestasi belajar, baik pada fase pra siklus siklus I siklus II. Dengan demikian model pembelajaran Make a Match merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat dijadikan
14
JUPEDASMEN, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2016
sebagai suatu referensi dalam kegiatan pebelajaran. Peningkatan tersebut dapat dilihat dari persentase siswa tuntas dan belum tuntas, serta peningkatan nilai rata-rata kelas. Untuk hasil observasi siswa dapat dilihat pada Tabel 6. Bersadarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa telah terjadi kenaikan persentase siswa aktif dari setiap siklus. baik pada fase pra siklus siklus I siklus II. Dengan demikian maka model pembelajaran Make a Match dapat meningkatkan aktifitas siswa dalam belajar. Berikut ini dapat dilihat hasil tes akhir siswa dari pra siklus, siklus 1 dan siklus 2 dalam bentuk diagram batang, Pada Gambar 1 dan diagram garis Gambar 2.
jadi 86,20%. Kemudian untuk nilai rata-rata kelas, pada siklus I mencapai 76,20 dan nilai rata-rata kelas pada siklus II naik menjadi 79,65. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Make a Match dapat meningkatkan prestasi belajar siswa khususnya pada siswa kelas IV semester I SDN 2 Dukuh Kecamatan Watulimo Kabupaten Trenggalek tahun pelajaran 2014/ 2015.
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan sebanyak 2 siklus, dapat disimpulkan bahwa penggunaan model pembelajaran Make a Match memiliki dampak positif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa yang ditandai dengan adanya peningkatan persentase ketuntasan belajar siswa dan nilai rata-rata kelas. Pada siklus I tingkat ketuntasan mencapai 79,31% dan pada siklus II naik men-
Saran Berdasarkan keseluruhan proses dan hasil penelitian, maka perlu disampaikan saran kepada guru sebagai berikut. (1) Penggunaan model pembelajaran Make a Match memerlukan persiapan yang cukup matang, sehingga guru harus benar-benar mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang pula, baik media maupun alat evalusinya. (2) Untuk terus meningkatkan prestasi belajar siswa hendaknya guru menggunakan model pembelajaran yang bervariasi dan menarik, sehingga tidak menimbulkan kebosanan pada diri siswa dalam melaksanakan kegiatan belajar. (3) Hendaknya guru dapat memilih model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik materi dan karakteristik siswa, sehingga penanaman konsep dapat benar-benar dapat diterima oleh siswa dengan baik.
DAFTAR RUJUKAN Arikunto, Suharsimi. 2011. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.
Djamarah, Syaiful Bahri. 2012. Prestasi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Asrori, Mohamad. 2011 Psikologi Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima. Aqib, Zainal. 2012. Profesionalisme Guru dalam Pembelajaran. Surabaya: Insan Cendekia. Djamarah, Syaiful Bahri. 2011. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Fajri, Em Zul. 2008. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Bandung: Diffa Publisher. Fathurrohman, Muhammad. 2012. Belajar dan Pembelajaran.Yogyakarta: Teras Hude, Darwis. 2006. Emosi. Jakarta: Erlangga
Sujito, Peningkatan Prestasi Belajar Mata Pelajaran IPA...
Maufur, Fauzi. 2009. Sejuta Jurus Mengajar Mengasyikkan.Semarang: Sindu Press. Joyce dan Junaedi. 2009. Strategi Pembelajaran. Surabaya: Revka Putra Media Saptono. 2011. Dimensi-Dimensi Pendidikan Karakter. Jakarta: Erlangga.
15
Shoimin, Aris. 2014. 68 Model Pembelajaran Inovatif dalam Kurikulum 2013. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Sukidin. 2012. Manajemen Penelitian Tindakan Kelas. Surabaya: Insan Cendekia.