PENILAIAN KUALITAS TERJEMAHAN (Studi Kasus Terjemahan Fiqh Al Islâm Wa Adilatuh Bab Salat Pasal 1 Karya Dr. Wahbah Al-Zuhailî)
Universitas Islam Negeri SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Oleh: Amir Hamzah 104024000829
JURUSAN TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 M/1431 H
LEMBAR PERNYATAAN
Bismillahirrahmanirrohim Saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama NIM Jurusan Fakultas
: Amir Hamzah : 104024000829 : Tarjamah : Adab dan Humaniora
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana Strata 1 (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ciputat, Maret 2011
Amir Hamzah
PENILAIAN KUALITAS TERJEMAHAN ( Studi Kasus Terjemahan Fiqh Al Islâm Wa Adilatuh Bab Salat Pasal 1 Karya Dr. Wahbah Al -Zuhailî) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Sastra
Oleh Amir Hamzah NIM: 104024000829
Di bawah Bimbingan
Dr. Akhmad Saehudin M.Ag NIP. 19700505 20003 1003
JURUSAN TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 M/1431 H
PENGESAHAN PANITA UJIAN
Skripsi yang berjudul Penilaian Kualitas Terjemahan (Studi Kasus Terjemahan Fiqh al-Islâm Wa Adillatuh Bab Salat Pasal 1 karya Dr. Wahbah Al-Zuhaili), yang telah diujikan dalam Sidang Munaqosah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada senin tanggal 14 Maret 2011, skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra Strata 1 (S1) pada jurusan Tarjamah.
Jakarta, Senin 14 Maret 2011 Panitia Ujian Munaqosah Ketua Panitia (Ketua Jurusan)
Sekretaris Panitia (Sekretaris Jurusan)
DR. H. Akhmad Saehudin M.Ag NIP. 19700505 20003 1 003 Penguji 1
Dr. Abdullah M.A NIP.19610825 199303 1 002
. Moch Syarif Hidayatullah M.Hum NIP. 19791229 200501 1 004 Anggota Penguji 2
Moch Syarif Hidayatullah M.Hum NIP. 19791229 200501 1 004 Mengetahui Dekan Fakultas Adab dan Humaniora
Dr. Abd. Wahid Hasyim, M.Ag. NIP. 19560817 198603 1 006
PEDOMAN TRANSLITERASI Padanan Aksara Huruf Arab ١ ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و ھ ء ي
Huruf Latin
Keterangan tidak dilambangkan be te te dan es je h dengan garis bawah ka dan ha de de dan zet er zet es es dan ye es dengan garis di bawah de dengan garis di bawah te dengan garis di bawah zet dengan garis bawah koma terbalik di atas hadap kanan ge dan ha ef ki ka el em en we ha apostrof ye
b t ts j h kh d dz r z s sy s d t z ‘ gh f q k l m n w h ’ y
v
Vokal a.
Vokal Tunggal Tanda Vokal Arab
َ ِ ُ b.
Keterangan Fathah
i
kasrah
u
dammah
Tanda Vokal Latin ai au
Keterangan a dan i a dan u
Tanda Vokal Latin â î û
Keterangan a dengan topi di atas i dengan topi di atas u dengan topi di atas
Vokal Rangkap Tanda Vokal Arab ي و
c.
tanda Vokal Latin a
Vokal Panjang Tanda Vokal Arab ﺎ ي و
d. Kata Sandang Kata sandang, yang dialihkan dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik dikuti huruf syamsiah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijal bukan ar-rijal. e. Syaddah (Tasydid) Syaddah atau tasysid yang dalam system tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda ( ّ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. f. Ta Marbutah Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/. hal yang sama juka berlaku jika ta marbutah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t). namun, jika huruf ta marbutah tersebut diikuti kata benda (ism) maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadu huruf /t/.
vi
ABSTRAK Amir Hamzah Penilaian Kualitas Terjemahan (Studi Kasus Terjemahan Kitab Fiqh Al-Islam Wa Adlatuh Karya Dr. Wahbah Al-Zuhaili) Menilai terjemahan adalah kegiatan yang bertujuan melihat keakuratan, mengukur kejelasan, serta menimbang kejelasan. Keakuratan berarti sejauh mana pesan dalam Tsu disampaikan dengan benar dalam Tsa. Kejelasan berarti sejauh mana pesan yang dikomunikasikan dalam Tsa dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca Tsa. Pesan yang ditangkap Tsu sama dengan pesan yang ditangkap oleh pembaca Tsa. Kewajaran berarti sejauh mana pesan dikomunikasikan dalam bentuk yang lazim, sehingga pembaca Tsa merasa bahwa teks yang dibacanya adalah teks asli yang ditulis dalam Bsa. Dalam penilaian terjemahan sesuatu yang dinilai adalah produk bukan proses penerjemahan, hal ini berarti bahwa yang dinilai adalah hasil terjemahan. Sehingga penilaian di sini, bukan lagi menilai bagaimana hasil itu diproduksikan, pada tahap mana kesalahan terjadi. Penelitian ini ingin mengetahui sejauh mana ketepatan, kejelasan dan kewajaran hasil terjemahan yang dilakukan oleh penerjemah pada setiap kata, frase, klausa dan kalimat yang terdapat pada buku Fiqh Al-Islâm Wa adilatuh. Evaluasi dan analisa yang dilakukan merujuk kepada beberapa aspek-aspek pokok penilaian. Aspek-aspek itu antara lain : penyampain pesan yang tepat dan lugas, penggunaan struktur kata yang sepadan dengan bahasa sasaran, pemilihan diksi yang berterima, keefektifan kalimat, serta penggunaan tanda baca dan ejaan yang sesuai hingga penggunaan gaya bahasa yang tepat. Hasil-hasil evaluasi tersebut akan dimasukan ke dalam tabel hitungan matematis yang akan dijumlahkan untuk mengetahui nilai dari terjemahan. Dari segi ketepatan hasil terjemahan buku ini, peneliti banyak mendapati ketidak tepatan dalam mengalihkan pesan sesuai dengan maksud dan tujuan penulis asli sehingga banyak pesan yang tidak tersampaikan secara benar. Hal ini akan berakibat pada pemahaman yang sulit bagi kalangan pembaca teks sasaran. Dari segi kejelasan peneiliti juga banyak menemukan pengalihan teks sumber yang jauh dari kelaziman pada bahasa sasaran. Hal itu terlihat dari penggunaan diksi yang banyak menggunakan kata-kata yang kurang tepat dan salah. Selanjutnya penggunaan kalimat yang tidak efektif serta penggunaan tanda baca yang tidak baku. Kesalahan-kesalahan ini mengakibatkan menurunnya kualitas dan nilai terjemahan buku ini.
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim Saya bersyukur kepada Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya saya dapat merampungkan skripsi ini. Shalawat serta salam tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, yang telah membawa kita sebagai umatnya mampu dalam mengenal, mencari, dan menegakkan syariat Islam. Saya menyadari, skripsi yang saya tulis itu bukan merupakan suatu yang instant. Itu buah dari suatu proses yang relatif panjang, menyita segenap tenaga dan fikiran. Penulisan skripsi itu saya lakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sastra di Jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Yang
pasti tanpa segenap motivasi, kesabaran, kerja keras, dan doa –
mustahil saya sanggup untuk menjalani tahap demi tahap dalam kehidupan akademik saya di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada dasarnya dalam proses penulisan skripsi ini saya mengalami berbagai halangan dan rintangan, akan tetapi dengan adanya bantuan dan partisipasi dari berbagai pihak akhirnya skripsi ini dapat saya selesaikan. Pada Kesempatan ini Penulis menyampaikan terima kasih setulus-tulusnya atas segala dukungan, bantuan, dan bimbingan dari beberapa pihak selama proses studi dan juga selama proses penyusunan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. H. Abd Wahid Hasyim, M.Ag Dekan Fakultas Adab dan Humaniora. 2. Dr. Akhmad Saehudin M.A Ketua Jurusan Tarjamah beserta staff. 3. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Adab dan Humaniora yang telah banyak membimbing dan menyampaikan Ilmu pengetahuannya kepada penulis, mudah-mudahan bermanfaat bagi penulis di dunia dan akhirat. 4. Bapak Dr. Akhmad Saehudin M.Ag. selaku Dosen Pembimbing yang telah berkenan membimbing saya dalam penulisan skripsi. Betapa arahan, petunjuk
serta bimbingan beliau sangat membantu saya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 5. Pimpinan dan staff administrasi Perpustakaan utama UIN, Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk memanfaatkan dan memimjamkan buku-buku yang berhubungan dengan skripsi. 6. Alm ayahanda H.M. Hamdani dan Ibunda Hj. Indah, orang tua saya, yang telah membesarkan dan mendidik saya. Saya mutlak berterima kasih dan sekaligus meminta maaf kepada beliau berdua karena hanya dengan dukungan beliau berdualah saya dapat melanjutkan pendidikan saya hingga perguruan tinggi. Saya menyadari, tanpa beliau berdua, mustahil saya bisa menjadi sekarang. Begitu banyak pengorbanan yang beliau berikan kepada saya, dari kecil hingga dewasa. Pengorbanan serta kasih sayang yang tak terhitung dan tak terhingga banyaknya. 7. Kakak serta adikku tersayang terima kasih banyak karena telah memberikan semangat, bantuan dan doanya, serta menjadi motivasi hidup saya untuk selalu berkarya. Serta seseorang (Chairunnisa) yang telah banyak membantu dan memberikan semangat kepada Penulis untuk senatiasa memberikan yang terbaik. 8. Para guru-guruku K.H Chomim Dzazuli (Gus Miek), K.H Syamsul Maarif Hamzah (Gus Arif), K.H Sholihin Ilyas, Ustd Arif, serta Gus Lubi, doa serta dukungan beliau sangat membantu Penulis untuk senantiasa berbuat yang terbaik. 9. Teman-teman seperjuangan di Dzigho yang senantiasa mengiringi dan menemani Penulis dalam doa. 10. Sahabat-sahabat seperjuangan ( Kojek, Heri, Hafidz, Tatam, Erwan, Omen dan teman-teman tarjamah angkatan 04) atas dorongan dan kebersamaan yang tidak terlupakan. Kehadiran kalian membuat warna dalam hidup ini, semangat dan keceriaan yang pernah kita lewatkan tidak akan pernah tegantikan.
11. Semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu, terima kasih. Semoga Allah Yang Maha Esa senantiasa memberikan Rahmat dan KaruniaNya kepada semua pihak yang telah memberikan segala bantuan tersebut di atas. Skripsi ini tentu saja masih jauh dari sempurna, sehingga penulis dengan senang hati menerima kritik demi perbaikan. Kepada peneliti lain mungkin masih bisa mengembangkan hasil penelitian ini pada ruang lingkup yang lebih luas dan analisis yang lebih tajam. Semoga skripsi ini memiliki nilai manfaat dalam memasuki dunia pendidikan di masa yang akan datang, khususnya bagi penulis dan pembaca umumnya. Amiin…
Jakarta, Maret 2011
Penulis
DAFTAR ISI
lembar Judul ...................................................................................................... i lembar Pernyataan ............................................................................................. ii lembar Persetujuan Pembimbing ........................................................................ iii Lembar Pengesahan ........................................................................................... iv Lembar Pedoman Transliterasi ........................................................................... v abstrak .............................................................................................................. vii Kata Pengantar .................................................................................................. viii Daftar Isi ........................................................................................................... xi Daftar Tabel ...................................................................................................... xiv
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah........................................................ 1 B. Pembatasan dan Perumusan masalah .................................... 7 C. Tujuan dan manfaat Penelitian .............................................. 7 D. Tinjauan pustaka ................................................................... 8 E. Metodologi penelitian ........................................................... 8 F. Sistematika penulisan............................................................ 9
BAB II
KAJIAN TEORI A. Penilaian Terjemahan 1. Pokok-Pokok Penilaian ................................................... 11 a. Struktur (Gramatika) ................................................... 11 b. Pemakaian Ejaan......................................................... 12 c. Diksi ........................................................................... 12 d. Idiom .......................................................................... 13 e. Efektifitas Kalimat ...................................................... 14 f. Gaya Bahasa ............................................................... 15
2. Teknik Penilaian Terjemahan ......................................... 16 a. Tes Perbandingan (Komparatif) .................................. 16 b. Tes Penerjemahan Ulang ............................................ 17 c. Tes Keterpahaman ...................................................... 17 d. Tes Kewajaran ............................................................ 18 e. Tes Kekonsistenan ...................................................... 18 3. Kualitas Terjemahan ...................................................... 19 a. Tepat ......................................................................... 19 b. Jelas ............................................................................ 20 c. Wajar ......................................................................... 20 4. Pedoman Penilaian Terjemahan ...................................... 21 a. Ismail Lubis ............................................................. 21 b. Rochayah Machali .................................................... 23 c. Syarif hidayatullah ................................................... 25 5. Nilai Terjemahan ........................................................... 26 a. Terjemahan Hampir Sempurna .................................. 27 b. Terjemahan Sangat Baik……………………………..27 c. Terjemahan Baik ……………………………….……27 d. Terjemahan Cukup …………….…………………….28 e. Terjemahan Buruk ………………..………….………28 BAB III
Gambaran Umum A Teks Sumber ......................................................................... 29 a. Kitab Terjemahan Fiqh Al-Islâm Wa Adilatuh …...…29 b. Riwayat Singkat Penerjemah (Prof. K.H. Masdar Helmy)…………………………...30 B Teks Sasaran ........................................................................ 31
BAB IV
ANALISIS
1. Halaman Pertama ....................................................... 33 2. Halaman Kedua .......................................................... 48 3. Halaman ketiga ........................................................... 59 4. Halaman Keempat ...................................................... 65 5. Halaman Kelima ........................................................ 72
BAB V
PENUTUP A Kesimpulan .......................................................................... 80 B saran .................................................................................... 81
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penilaian terjemahan sangat penting disebabkan dua alasan: (1) untuk menciptakan hubungan dialektik antara teori dan praktik penerjemahan; (2) untuk kepentingan kriteria dan standar dalam menilai kompetensi penerjemah, terutama apabila kita menemui beberapa versi teks bahasa sasaran (Bsa) dari teks bahasa sumber (Bsu) yang sama.1 Menilai terjemahan juga menilai tingkat keterpahaman, yang berarti ada dan tiadanya dua ungkapan: (a) ungkapan yang dapat menimbulkan salah paham dan (b) ungkapan yang membuat pembaca sangat sulit memahami amanat yang dikandungnya karena faktor kosa kata dan gramatika. 2 Menilai terjemahan juga meliputi: (1) melihat keakuratan atau ketepatan ; (2) mengukur kejelasan; (3) menimbang kewajaran. Keakuratan berarti sejauh mana pesan dalam Tsu disampaikan dengan benar dalam Tsa. Kejelasan berarti sejauh mana pesan yang dikomunikasikan dalam Tsa dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca Tsa. Pesan yang ditangkap Tsu sama dengan pesan yang ditangkap oleh pembaca Tsa. Kewajaran berarti sejauh mana pesan dikomunikasikan dalam bentuk yang lazim, sehingga pembaca Tsa merasa bahwa teks yang dibacanya adalah teks asli yang ditulis dalam Bsa. Karenanya, aspek yang harus dinilai adalah: (1) pesan terterjemahkan atau tidak; (2) kewajaran dan ketepatan pengalihan pesan; (3) 1 2
Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, (Jakarta: Grasindo,2000), h.108. SyihAbûddin, Penerjemahan Arab Indonesia, (Bandung: Humaniora, 2005), h.195.
1
2
kesesuaian hal-hal teknis dalam kerja penerjemahan dengan tata bahasa dan ejaan yang berlaku.3 Dalam penilaian terjemahan sesuatu yang dinilai adalah produk bukan proses penerjemahan, dalam arti bahwa yang dinilai adalah hasil terjemahan. Kita bukan menilai, misalnya bagaimana hasil itu diproduksikan, pada tahap mana kesalahan terjadi, sehingga penilaian terjemahan disini lebih banyak merupakan kepentingan remedial-pedagogik, baik untuk memeriksa terjemahan sendiri maupun hasil terjemahan orang lain, misalnya terjemahan dari para penerjemah buku-buku maupun terjemahan para mahasiswa. Memang, pada akhirnya penilaian terjemahan akan memungkinkan adanya balikan bagi si penerjemah dan bagi teori penerjemahan itu sendiri, yakni adanya hubungan dialektik antara teori dan praktik. Pada gilirannya, memang kegiatan penilaian akan sampai juga pada kepentingan perbaikan mutu terjemahan. Suatu penilaian terjemahan harus mengikuti prinsip validitas dan realibitas. Akan tetapi, karena penilaian terjemahan adalah relatif (berdasar kriteria lebih kurang), maka validitas penilaian dapat dipandang dari aspek conten validity dan face validity. Alasannya adalah karena menilai terjemahan berarti melihat aspek isi (content) dan sekaligus juga aspek-aspek yang menyangkut “keterbacaan” seperti ejaan (face), sekalipun ejaan itu sendiri juga berkaitan dengan segi makna. Dengan mendasarkan kepada dua jenis validitas ini, diharapakan aspek realibitas akan dapat dicapai melalui Kriteria dan cara penilaian.4
3 4
Hidayatullah, Syarif, Moch. Tarjim Al-An, (Tangerang: Dikara, 2010), hal.71. Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, (Jakarta; Grasindo,2000), h.115.
3
Melalui metode penilaian terjemahan, maka akan dihasilkan terjemahan yang baik dan berkualitas yaitu, terjemahan yang mudah dipahami oleh pembaca, yaitu memiliki tingkat keterpahaman yang tinggi. Tingkat keterpahaman atau kualitas terjemahan ini bersifat intristik. Kualitas intristik bertalian dengan ketepatan, kejelasan, dan kewajaran nas. Ketepatan berkaitan dengan kesesuaian amanat terjemahan dengan amanat nas sumber, kejelasan berkaitan dengan struktur bahasa, pemakaian ejaan, diksi, dan panjang kalimat, dan kewajaran berkaitan dengan kelancaran serta kealamiahan terjemahan. Kualitas intristik ini dapat diukur dengan penerjemahan ulang, membandingkan terjemahan dengan nas sumber, tes keterpahaman, tes rumpang, dan penilaian peninjau.5 Hasil terjemahan yang juga dapat dipandang baik apabila terjemahan itu benarbenar mampu memotret target makna dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Seluruh satuan makna di dalam teks sumber ‘seolah-olah’ teralihkan secara sempurna ke dalam bahasa sasaran. Kriteria lainnya, bahwa hasil terjemahan itu proporsional dan wajar, Dalam arti, rajutan kata-kata, kalimat serta style terjemahan benar-benar nyaman dan mudah dipahami ketika dibaca atau didengar pembaca teks sasaran senyaman apabila publik teks sumber membaca atau mendengar naskah aslinya. 6 Pembahasan
penilaian karya terjemahan tidaklah mudah, karena karya
terjemahan biasanya sangat bergantung pada latar belakang (para) penerjemahnya serta untuk tujuan apa penerjemahan itu dilakukan. Ini terutama berlaku pada karya sastra.
5 6
Syihabuddin, Penerjemahan Arab Indonesia, (Bandung: Humaniora, 2005), h.219. Ibnu Burdah, Menjadi Penerjemah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), h.49.
4
Dalam teks berbahasa Arab yang pada umumnya penerjemahan di Indonesia terfokus pada nas-nas keagamaan, mulai dari kitab suci Alquran, Hadis, tafsir hingga buku-buku tentang dakwah, akhlak, dan buku yang menelaah pemikiran Islam. Sebagai penerjemah akan dihadapkan dengan berbagai kesulitan yang berkaitan dengan aspek kebahasaan, non kebahasaaan, dan kebudayaan. Dalam teks bidang ilmu agama seperti karya besar Dr Wahbah Al-Zuhailî, Fiqh Al-Islâm Wa adilatuh,
yang memuat berbagai macam aliran pemikiran
dan
kesimpulan hukum agama Islam menurut empat mazhab ahli sunah, ditambah dengan pendapat sebagian ulama syiah, sebagai penerjemah biasanya akan disuguhkan konsep-konsep pemikiran serta pendapat yang mau tidak mau harus dipahami dan diterjemahkan secara tepat. Seorang penerjemah akan dihadapi dengan tanggung jawab serta konsistensi dalam mengalihkan pesan dalam bahasa sumber (Bsu) yang akan dialihkan kedalam bahasa sasaran (Bsa) secara tepat dan benar, sehingga tidak terjadi distorsi makna yang menjadikan perbedaan aliran menjadi lebih runcing. Belum lagi bila dikaji lebih jauh, ketika bahasa adalah sue generis. Maksudnya, ia mempunyai sistem tersendiri. Maka, setiap bahasa mempunyai karakteristik tertentu yang berbeda dengan bahasa lainnya, misalnya dalam pembentukan pola kata, pola urutan frase dan lain sebagainya. Maka penerjemah akan lebih dibenturkan lagi dengan kesulitan teknis yang mau tidak mau penerjemah harus bisa memecahkan dan menguasai hal tersbut dengan baik. 7 Kenyataan umum yang ditemui adalah hasil terjemahan cenderung unggul di satu sisi dan tidak demikian di sisi lain. Apabila ia cukup setia dengan teks sumber, maka 7
Saifullah Kamalie, Kiat-Kiat Penerjemahan Bahasa Arab, ( Jakarta. Kesaintblank. 2004), h.6.
5
yang akan terjadi adalah bahasa yang dihasilkan terasa kaku untuk ukuran pembaca Indonesia sebagai akibat ketidakmampuan penerjemah membebaskan terjemahannya dari pengaruh bahasa Arab. Atau sebaliknya, hasil terjemahan cenderung berbahasa nyaman dan enak dibaca publik Indonesia, namun pesan teks sumber tercecer bahkan sampai tidak tersampaikan. Pertanyaan yang kemudian muncul, “Apakah hasil terjemahan yang telah ada sekarang ini, dapat dijadikan rujukan sebelum diadakan penelitian tentang kualitas penilaian terjemahan yang dilakukan?”
Memang pertanyaan ini lebih tepat bila
ditanyakan kepada mereka yang hendak mengeksplorasi kandungan hukum islam secara dalam. Namun betapapun keras kerja seorang penerjemah dalam mengalihkan bahasa sumber (Bsu) ke dalam bahasa sasaran (Bsa), tetap saja ia memiliki titik-titik kelemahan yang merupakan hasil distorsi dari dimensi-dimensi yang tidak mewakili dalam bahasa penerjemah. Dan, ini akan berimbas sangat signifikan pada hasil pemahamannya terhadap dasar-dasar utama dalam hukum Islam, terutama yang mencakup permasalahan ibadah. Kendala lainnya yang tidak sepele adalah bahwa mereka yang awam terhadap penguasaan bahasa Arab, tidak akan mengerti apakah pemahaman yang diperoleh oleh penerjemahnya itu sudah benar atau belum. Hal ini karena mereka tidak mengetahui susunan bahasa terjemahan itu dalam teks bentuk aslinya, disamping halhal yang menyangkut cakupan makna yang dimungkinkan muncul dari bentuk teks asli yang berupa pendapat para ulama mazhab, kemudian menelan mentah-mentah
6
apa yang dipahaminya dari terjemahan itu, padahal pemahaman itu belum tentu benar. Penerjemah buku karya Dr. wahbah Al-Zuhailî ini, dalam pengantarnya mendaulat bahwa buku terjemahan yang penerjmah telah selesaikan dan terbit adalah buku yang dapat memberikan kepuasan kepada para pembacanya yang menginginkan memahami seluk beluk ibadah secara menyeluruh dan mendalam. Dari buku ini pula penerjemah menulis bahwa buku ini sangat berguna bagi semua peminat hukum Islam. Bahkan menganjurkan agar buku ini menjadi rujukan bagi para mahsiswa dan kaum terpelajar. Dan, berharap agar buku ini dapat menjadi perbedaan yang ada dikalangan umat Islam menjadi rahmat. Dalam tulisan pengantar yang dibuat oleh penerjemah terlihat bahwa penerjemah sangat yakin bahwa hasil terjemahannya dapat memberikan nilai lebih dan kontribusi yang besar bagi keilmuan Islam khusunya ilmu fiqih. Namun, yang harus diingat bahwa tidak ada hasil dari terjemahan yang sempurna. Hasil terjemahan yang hadir harus bisa dan dapat menjadi jembatan penghubung dari penulis buku asli dengan para pembaca. Sehingga tidak terjadi komunikasi yang terputus yang dapat mengakibatkan kesalahan bagi para pembaca. Baik-buruk, benar-salah suatu terjemahan tidak akan pernah diketahui tanpa adanya penelitian yang menyeluruh mengenai penilaian sebuah produk terjemahan. Jadi, tidaklah salah bila seorang penerjemah mendaulat hasil karya terjemahannya adalah baik dan dapat diakses oleh siapa saja. Namun produk sebuah terjemahan sebaiknya terlebih dahulu harus diperiksa, ditinjau, diselidiki dan diteliti lebih dalam, dari satu tahap ke tahap lain sebelum sampai di tangan pembaca.
7
Berdasarkan latar belakang itulah, Penulis tertarik menulis skripsi dengan judul : “Penilaian Kualitas Terjemahan (Studi Kasus Kitab Fiqh Al-Islâm Wa Adillatuh Karya Dr. Wahbah Al-Zuhailî).’’ B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dikarenakan tebalnya halaman buku asli dan terjemahannya, Penulis membatasi penelitian ini, hanya pada lima halaman muka Bab salat pasal 1, berupa teks Arab beserta terjemahannya, dengan menganalisis tingkat ketepatan, kewajaran, dan kejelasan hasil terjemahan tersebut kepada bahasa Indonesia yang baik dan benar. Berdasarkan pembatasan masalah di atas, Penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apakah terjemahan kitab Fiqh Al-Islâm Wa Adillatuh telah tepat, jelas dan wajar dalam mengalihkan teks-teks pada bahasa sumber? 2. Seberapa baikkah kualitas serta nilai terjemahan kitab Fiqh Al-Islâm Wa Adilatuh? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan masalah yang telah dikemukakan di atas, penelitian ini bertujuan: 1. Mengevaluasi dan menilai ketepatan, kejelasan dan kewajaran pengalihan teks-teks pada bahasa sumber kepada bahasa sasaran. 2. Mengetahui kualitas dan nilai terjemahan. Manfaat dari penelitian ini
adalah untuk menambah khasanah penelitian
penerjemahan yang telah ada dan menambah pengetahuan seputar penilaian karya
8
terjemahan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi inspirasi dan motivasi bagi teman-teman mahasiswa terjemah untuk melakukan penelitian penilaian kualitas terjemahan dengan objek yang lain. D. Tinjauan Pustaka Setelah Penulis menelaah dan meneliti karya-karya ilmiah baik dalam buku-buku penerjemahan, internet, perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora maupun perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sepengetahuan Penulis ada beberapa kajian skripsi yang memiliki kesamaan subtansi dengan penelitian Penulis, Di antaranya: 1. Tatam Wijaya yang menulis Tinjauan Keritik Terjemahan Shohih Bukhori 2. Yuyun yang menulis Tinjaun Kritk Terjemahan Kamus Gaul Selain itu Penulis juga mendapatkan beberapa karya yang hampir sama subtansinya dalam mengevaluasi hasil karya terjemahan yaitu antara lain: 1. Rochayah Machali yang meneliti kualitas terjemahan mahasiswa Universitas Canbera Australia dalam teks gender 2. Syihabuddin yang meneliti kualitas terjemahan Surat Al-Imran terbitan departemen agama 3. Benny H. Hoed yang meneliti kualitas penerjemahan The Origin Of Species karya Charles Darwin ke dalam bahasa Indonesia . E. Metodologi Penelitian Metode yang Penulis gunakan dalam meneliti objek penelitian ini adalah metode dekriptif analisis ekuivalensi (terfokus pada bahasa sasaran dalam menggunakan
9
struktur bahasa Indonesia yang baik dan benar), yaitu menganalisis objek penelitian pada teks-teks yang ada dalam kitab Fiqh al Islâm Wa Adilatuh dengan mengeksplorasi ketepatan, kejelasan dan kewajaran terjemahan meliputi strukur bahasa, pemakaian ejaan, pemilihan diksi, dan keefektifan kalimat yang digunakan. Kemudian hasil penelitian akan dimasukan kedalam hitungan matematis, yaitu menganalisis setiap halamannya dengan memperhatikan kategori-kategori pengalihan Bsu kepada Bsa dengan tehnik ekuivalensi (pemadanan) dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar serta memberikan solusi terjemahan lain. Data yang diambil oleh penulis adalah teks-teks bahasa Arab yang terdapat pada kitab Fiqh al Islâm Wa Adilatuh pada bab salat pasal tentang hal-hal yang membatalkan salat serta terjemahannya. Instrument penelitian adalah teori-teori penilaian terjemahan dari beberapa pakar penerjemahan. Sedangkan prosedur pengolahan data dilakukan melalui melihat teksteks bahasa Arab dan terjemahan serta membuat catatan-catatan penting sebagai kebutuhan data. Dalam penulisan ini, penulis juga merujuk pada sumber-sumber sekunder berupa buku-buku tentang penerjemahan, kamus bahasa Arab dan Indonesia, internet dan lain-lain. Selain itu, Penulis menggunakan kajian Pustaka (library research). Secara teknis, penulisan ini didasarkan pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (skripsi, tesis dan disertasi) yang berlaku di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Center Of Quality Development and Assurance (CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
10
F. Sistematika Penulisan Guna mendapat pemahaman yang terarah dan komprehensif dalam pembahasan masalah ini, Penulis perlu merumuskan sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I Pendahuluan, mencakup: latar belakang permasalahan, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian serta sistematika penulis BAB II Kerangka Teori, Bab ini adalah kelanjutan dari bab selanjutnya, berisi tentang teori-teori yang penulis gunakan dalam menganalisis permasalahan yang Penulis angkat dalam skripsi ini, yaitu berupa teori-teori penilaian terjemahan yang mencakup : penerjemahan dan tahap penerjemah, dan penilaian Terjemahan. BAB III Gambaran Umum meliputi gambaran teks sumber dan gambaran teks sasaran. BAB IV Analisis penilaian terjemahan kitab Fiqh al-Islâm Wa Adilatuh BAB V Penutup, bab ini terdiri dari kesimpulan disertai saran-saran serta rekomendasi bermanfaat yang Penulis berikan untuk masukan bagi penerjemah dan penerbit untuk edisi selanjutnya.
11
BAB II KERANGKA TEORI A. Penilaian Terjemahan Hal yang perlu diingat dalam penilaian terjemahan bukanlah sekadar dari segi benar-salah, bagus-buruk, harfiah-bebas. Namun ada beberapa segi dalam penerjemahan yang harus dipertimbangkan dalam penilaiannya. Sebelum menentukan kriteria penilaian, terlebih dahulu harus diingat kriteria dasar yang menjadi pembatas antara terjemahan yang salah (tidak berterima) dan terjemahan yang berterima. Maka kriteri pertama adalah: tidak boleh ada penyimpangan makna refrensial yang menyangkut maksud penulis asli. Sesudah melewati saringan pertama ini, barulah kriteria lain dapat dipertimbangkan atau diberlakukan. Kriteria penilaian lain akan di jabarkan di bawah ini. 1. Pokok-Pokok Penilaian a. Struktur (gramatika) Struktur (gramatika) adalah pembahasan tentang morfologi dan sintaksis. Dua hal tersebut merupakan pilar terpenting dalam tata bahasa. Sintaksis berbicara tentang jalinan atau relasi satu kata dengan kata lain yang membentuk frase, klausa atau kalimat, sedangkan morfologi membahas aspek internal kata. Sintaksis adalah ruh yang membangun kalimat, maka morfologi adalah ruh dari sebuah kata.18
18
Ibnu Burdah, Menjadi Penerjemah, (Jakarta: Tiara Wacana;2004), h.75.
11
12
Sintaksis mempunyai perananan penting dalam sebuah penerjemahan. Kesalahan dalam pengalihan struktur akan berimplikasi kepada makna yang dihasilkan. Ketika bahasa memiliki sifat sue generis yaitu memiliki peraturan masing-masing. Seorang penerjemah harus dapat mengalihkan segala apa yang ada pada Tsu sesuai dengan maksud pengarang dengan tidak lupa mengikuti aturan dari Tsa. Penerjemah harus dapat keluar dari keterikatan kepada struktur Tsa yang akan berimbas kepada hasil terjemahan yang kaku. Begitu pula dari segi morfologis, seorang penerjemah harus dapat mencari padanan terdekat kata-kata dari Tsu yang ada kepada Tsa, sehingga penikmat terjemahan dapat mudah memahami hasil terjemahan dengan baik karena sesuai dengan kata-kata yang dikenal oleh sidang pembaca terjemahan. Pemilihan padanan atau diksi ini akan dibahas di sub bab diksi. Penilaian struktur ini mendapat posisi paling penting dalam setiap teori penilaian. Karena sintaksis dan morfologi adalah penyusun inti dari setiap lembar teks bahasa. b. Pemakaian Ejaan Ejaan adalah keseluruhan peraturan bagaimana melambangkan bunyi ujaran dan bagaiman hubungan antar lambang-lambang itu (pemisahan dan penggAbûngannya dalam suatu bahasa). 2 Secara teknis, yang dimaksud dengan ejaan adalah penulisan huruf, penulisan kata, dan pemakaian tanda baca. c. Diksi
2
Zaenal Arifin dan S. Amran Tasai, Cermat Berbahasa Indonesia (jakarta : Akapres, 2004), h. 30
13
Diksi ialah pilihan kata. Maksudnya, pilihan kata yang tepat untuk menyatakan sesuatu. Kata yang tepat akan membantu seseorang mengungkapkan dengan tepat apa yang ingin disampaikannya, baik lisan maupun tulisan. Di samping itu, pemilihan kata itu harus pula sesuai dengan situasi dan tempat penggunaan kata-kata itu. Ada lima tingkat dalam memilih diksi.3 Berikut lima tingkat tersebut: a.1 Literal (harfiah) pemilihan kata yang tidak didasarkan semata-mata pada makna kata tersebut di kamus. a.2. Sintatikal (Tata bahasa) pemilihan makna kata yang tidak didasarkan semata-mata pada susunan tata bahasa dalam bahasa sumber. a.3. Idiomatikal (pribahasa) pemilihan kata yang didasarkan pada kesepadanan idiom pada bahasa sasaran. a.4. Astetikal (kesusastraan) pilihan kata yang sudah harus benar-benar mempertimbangkan mutu kesastraan, seperti konotasi dan irama, tentu saja sebisa mungkin setia dengan mutu kesusastraan naskah asli. a.5. Etikal (Kesusilaan) Pilihan kata yang didasarkan pada prinsip kepatuhan yang berlaku pada penutur bahasa sasaran.
3
Moch. Syarif Hidayatullah, Tarjim Al-An (Pamulang: Dikara, 2010), h. 39-40
14
d. Idiom Merujuk kepada pendapat para pakar bahasa dan terjemahan, maka penulis dapati beberapa definisi idiom yaitu antara lain idiom adalah adalah konstruksi yang khas pada suatu bahasa yang salah satu unsurnya tidak dapat dihilangkan atau diganti. Ungkapan idiomatik adalah kata-kata yang mempunyai sifat idiom yang tidak terkena kaidah ekonomi bahasa. 4 Menurut Collins English Dictionary idiom adalah “ a group of words whose meaning cannot be predicate from the meanings of the constituent words” ( idiom adalah sekelompok kata yang maknanya tidak dapat dicari dari makna kata-kata unsurnya). Sedangkan menurut definisi lain dikatakan: “idiom is a linguistic usage that is grammatical and natural to native speakers of language”,5 (idiom adalah ungkapan kebahasaan yang bersifat gramatikal dan alami bagi penutur asli suatu bahasa). Seorang penerjemah harus memahami terlebih dahulu definisi dari idiom ini, agar tidak terjadi kesalahan dalam mengalihkan ungkapan ini dari Bsu ke dalam Bsa secara tepat. Kesulitan yang dihadapi seorang penerjemah dalam memahami konteks idiom ini, menjadikan idiom salah satu unsur penting yang harus diuji dan dinilai, apakah ungkapan ini tepat ataukah malah menyimpang dari maksud yang disampaikan seorang pengarang.
4
Ibnu Burdah, Menjadi Penerjemah, (Jakarta, Tiara Wacana ;2004), h. 76 Moh. Mansyur dan Kustiawan, Pedoman Bagi Penerjemah. (Jakarta, Moyo Segoro Agung.2002), h. 56 5
15
e. Efektifitas kalimat Di antara cirri terjemahan yang baik adalah terjemahan yang mempergunakan kalimat efektif. Oleh karena itu, penggunaan kalimat efektif dalam terjemahan menjadi salah satu unsur intristik yang harus dinilai. Kalimat efektif ialah kalimat yang memiliki kemampuan untuk menimbulkan kembali gagasan-gagasan pada pikiran pendengar atau pembaca seperti apa yang ada dalam pikiran pembicara atau penulis. Kalimat sangat mengutamakan informasi itu sehingga kalimat dapat terjamin.6 Widyamartaya dalam bukunya seni menerjemahkan menyebutkan ciri-ciri kalimat efektif sebagai berikut:7 1. Mengandung kesatuan gagasan Sebuah kalimat dianggap memilki kesatuan gagasan apabila (1) memiliki subjek atau predikat yang jelas ; (2) tidak rancu, mengandung pleonasme atau tautologi, dan membenarkan apa yang sudah benar ; (3) ditandai dengan penggunaan tanda yang tepat dan sesuai kaidah yang telah disepakati. 2. Mampu mewujudkan koherensi yang baik dan kompak Kalimat yang mampu mewujudkan koherensi yang baik biasanya ditandai dengan (1) penggunaan kata ganti (pronomina) yang tepat : (2) penggunaan kata depan (preposisi) yang benar. 3. Memperhatikan asas kehematan
6 7
Zaenal Arifin dan S. Amran Tasai, Cermat Berbahasa Indonesia (Jakarta : Akapres, 2004), h. 89. Ismail Lubis, falsifikasi Terjemahan Al-Quran (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2001), h. 34.
16
Menurut Widyamartaya, penerjemah harus memperhatikan efisiensi kata. Sebab, dalam penerjemahan tidak setiap kata harus diterjemahkan apabila memilki maksud dan tujuan yang sama. f. Gaya Bahasa Pakar teori linguistik terjemahan dari perancis G. Mounin ketika menyinggung masalah gaya bahasa dalam terjemahan mengatakan, “bahwa adanya kata-kata yang mengandung kesamaan makna yang inheren dalam terjemahan tidak boleh bertentangan dengan norma-norma gaya bahasa dalam bahasa sasaran”.8 Setiap bahasa mempunyai sistem fungsional terkait dengan gaya bahasa/stilistika (stylistics). Tetapi, kumpulan tanda-tanda pembeda yang bercirikan sistem fungsional yang satu, maupun yang lain dalam berbagai bahasa sering tidak sesuai. Berkenaan dengan gaya bahasa ini Soepomo meningatkan akan adanya gaya atau ragam bahasa seperti: (1) Ragam santai, (2) Ragam resmi, (3) Ragam indah, (4) Ragam ringkas, (5) Ragam lengkap, (6) Ragam syair.9 Sehingga mumungkinkan dalam suatu naskah Bsu tidak hanya terdapat satu jenis ragam atau gaya bahasa saja, maka seorang penerjemah juga harus mengenalinya dan menggunakan gaya-gaya bahasa yang digunakan oleh penulis aslinya. 2. Tehnik Penilaian Terjemahan a. Tes perbandingan (komparatif) Pada prinsipnya tes perbandingan bertujuan memeriksa kesepadanan isi informasi antara terjemahan dan nas sumber. Pemeriksaan dilakukan untuk meyakini bahwa 8 9
Salihen Moentaha, Bahasa dan Terjemahan (Jakarta : Kesaint Blanc, 2006), h. 22. Syihabuddin, Penerjemahan Arab Indonesia (Bandung: Humaniora, 2005), h. 60.
17
informasi yang ada dalam nas sumber telah terungkap di dalam terjemahan dengan tepat. Tidak ada penambahan; tidak ada pengurangan; dan tidak ada perbedaan.10 Penilaian ini dapat dilakukan oleh penerjemah sendiri atau orang lain yang ahli. Jika dilakukan oleh penerjemah, tes perbandingan merupakan kegiatan revisi nas terjemahan. Secara teknis, perbandingan sebaiknya dilakukan pada naskah terjemahan yang diketik dua spasi sehingga pemeriksa dapat menuliskan informasi tambahan, catatan, saran, dan kritik secara langsung pada naskah. b. Tes penerjemahan ulang Tes penerjemahan ulang dimaksudkan untuk mengetahui ketepatan makna antara nas terjemahan dan nas sumber, bukan untuk mengetahui kejelasan dan kewajaran terjemahan. Secara operasional, tehnik ini dilakukan dengan menerjemahkan kembali terjemahan ke bahasa sumbernya. Kemudian hasil terjemahan ini dibandingkan dengan nas yang asli. Jika makna nas sumber sesuai dengan makna terjemahan-balik, berarti terjemahan dalam bahasa penerima itu sudah tepat. Kelemahan tes ini ialah terlampau mahal biayanya dan memerlukan orang yang benar-benar ahli. Jika dikerjakan oleh orang yang tidak teliti dan kurang ahli, hasil terjemahan-baliknya kurang memuaskan.
10
Ismail Lubis, falsifikasi Terjemahan Al-Quran (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2001), h. 57.
18
c. Tes Keterpahaman Tes keterpahaman bertujuan mengetahui kualitas terjemahan. Melalui tes ini dapat diketahui apakah terjemahan itu dipahami dengan tepat oleh penutur bahasa penerima yang sebelumnya tidak pernah melihat terjemahan itu. Tes ini dirancang untuk mengetahui apakah terjemahan itu komunikatif dengan khalayak penerima sebagai sasaran terjemahan. Tes pemahaman dapat dilakukan dengan meminta pembaca terjemahan agar menceritakan kembali isi nas dan menjawab pertanyaan nas itu. Hasil ini dapat membantu penerjemahan dalam meningkatkan kualitas karyanya. Tes ini dilakukan oleh penerjemah sendiri atau oleh orang lain yang terlatih untuk melakukan tes ini. Jika penerjemah sendiri yang melakukan tes, dia mesti teliti dan hati-hati jangan sampai terlampau mempertahankan karyanya, tetapi dia harus jujur dan benar-benar ingin mengetahui hasil tes. Disamping itu, penerjemah akan sulit untuk bersikap objektif terhadap karyanya. Idealnya, tes ini dilakukan oleh orang lain, karena dia memiliki pandangan yang baru terhadap nas itu. d. Tes kewajaran Tes kewajaran terjemahan bertujuan melihat apakah bentuk dan gaya bahasa terjemahan itu wajar dan alamiah. Tes ini dilakukan oleh penilai ahli. Tugas penilai ialah memeriksa kejelasan terjemahan, kelancaran bahasa yang digunakan, dan pengaruh emotif nas terhadap pembaca. Selanjutnya penilai membuat catatan tentang ketepatan, pengurangan makna yang berlebihan, penambahan makna yang kurang, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan perubahan makna. Di samping itu, peninjau
19
pun memberikan kritik, saran, dan perbaikan kepada penerjemah sehingga diharapkan dia dapat meningkatkan kualitas terjemahannya di kemudian hari. e. Tes Kekonsitenan Tes kekonsistenan sangat diperlukan dalam hal-hal yang bersifat teknis. Doff menegaskan bahwa tidak ada aturan baku mengenai bagaimana cara yang terbaik menyatakan ungkapan Bsu.11 Namun, dapat dicatat bahwa ada beberapa kelemahan yang harus dihindari. Salah satu kelemahan itu adalah kekonsistenan. Tsu biasanya memiliki istilah kunci yang digunakan secara berulang-ulang. Jika Tsu panjang atau proses penyelesaian terjemahan memakan waktu lama, maka ada kemungkinan terjadinya ketidakkonsistenan penggunaan padanan kata untuk istilah kunci. 3. Kualitas Terjemahan Terjemahan yang berkualitas adalah terjemahan yang memiliki tiga ciri, yaitu tepat, jelas, dan wajar. Untuk memahami ketiga karakter ini, berikut ini akan dideskripsikan satu persatu ciri-ciri tersebut: a. Tepat Ketepatan di sini bermakna bahwa terjemahan yang berkualitas adalah terjemahan yang menyampaikan informasi atau pesan dari Tsu secara benar, tepat, dan jujur sesuai dengan maksud dari pengarang Tsu. Informasi yang disampaikan tidak ada yang tertinggal, tidak ada yang bertambah, dan tidak ada yang berbeda. Sehingga pembaca dapat , memahami hasil karya terjemahan itu dengan mudah serta sesuai dengan pesan yang terkandung di dalamya. 11
Salihen Moentaha, Bahasa dan Terjemahan (Jakarta : Kesaint Blanc, 2006), h.40.
20
Sesuai dengan tujuan penerjemahan adalah mengkomunikasikan makna secara akurat. Seorang penerjemah bila ingin mendapatkan kualitas terjemahan yang baik dan berkualitas tidak boleh mengabaikan, menambah, atau mengurangi makna yang terkandung dalam Tsu, hanya karena terpengaruh oleh bentuk formal Bsa. Nida dan Taber mengaskan “…makna harus diutamakan karena isi pesanlah yang terpenting”.12 Penerjemahan bukan bertujuan menciptakan karya baru atau tulisan baru, tetapi penerjemahan bertujuan menjadi jembatan penghubung antara penulis Bsu dengan pembaca Bsa. Dengan kata lain, seorang penerjemah bukan meringkas sebuah teks menjadi sebuah tulisan baru tetapi penerjemah harus mampu menjadi fasilitator komunikasi penyampai pesan yang terkandung pada Bsu ke dalam Bsa dengan tepat. b. Jelas Indikator kejelasan suatu terjemahan sangat dipengaruhi oleh ketidaktepatan dalam menyusun kalimat (struktur), pemakaian ejaan, pemilihan kata (diksi), dan menggunakan kalimat efektif. Seorang penerjemah yang baik harus bisa menyampaikan ide atau pesan pada Tsu secara jelas dan lengkap. Jelas susunan kalimatnya, jelas pemakaian ejaan, jelas pemilihan katanya, dan jelas kalimatnya (efektifitas kalimat) menurut tata bahasa yang baku dan berlaku pada Bsa. c. Wajar Indikator ketiga ini dari beberapa indikator terjemahan yang berkualitas merupakan yang paling sulit dipenuhi karena terkait dengan unsur subjektifitas. Bagi
12
Syihabuddin, Penerjemahan Arab Indonesia (Bandung: Humaniora, 2005), h. 78.
21
sesorang, suatu terjemahan mungkin sudah wajar, tetapi bagi yang lain mungkin tidak. Namun, hal itu bukan berarti terjemahan yang wajar itu sulit diraih. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan seorang penerjemah apabila ingin mendapatkan kewajaran dalam terjemahan,13 antara lain dengan cara: 1. Penerjemah harus memahami hakikat penerjemahan. Penerjemahan bukanlah mengubah kata dan struktur bahasa asing menjadi bahasa penerima, tetapi memahami makna pesan bahasa itu, lalu mengungkapkannya dalam struktur bahasa penerima. Pembaca akan merasa janggal jika terjemahan itu tampil dalam bentuk yang berbeda dari bahasa yang dikuasainya. Adanya perbedaan atau penyimpangan inilah yang menimbulkan ketidakwajaran. 2. Penerjemah dituntut untuk senantiasa mendiskusikan hasil pekerjaannya dengan para ahli di bidang penerjemahan dan dengan para pembaca dari berbagai kalangan. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh masukan tentang berbagai kekurangan pada karyanya, sehingga dia memiliki bahan dan masukan yang sangat berharga untuk memperbaiki dan merevisi pekerjaanya. 3. Penerjemah senantiasa belajar. Setiap nas baru harus dihadapinya menurut perlakuan, pengetahuan, dan tehnik penerjemahan yang relatif baru pula. Dari penjelasan di atas diketahui bahwa terjemahan yang wajar adalah terjemahan yang menggunakan bahasa selaras dan sesuai dengan kaidah yang berlaku. Terjemahan yang ditulis dalam bahasa Indonesia dikatakan wajar jika selaras dengan kaidah yang berlaku dan disepakati oleh penutur bahasa Indonesia. Sebaliknya, ketidawajaran itu muncul jika bahasa yang digunakan menyimpang dari kaidah. 13
Syihabuddin, Penerjemahan Arab Indonesia (Bandung: Humaniora, 2005), h. 215.
22
4. Pedoman Penilaian Terjemahan Mengingat cukup banyaknya tokoh yang mengemukakan cara-cara penilaian terjemahan, pembahasan ini Penulis batasi pada tokoh-tokoh tertentu saja, di antaranya Ismail Lubis, Rochayah Machali dan Moch. Syarif Hidayatullah. a. Ismail Lubis Lubis menegaskan bahwa penerjemah hendaknya dapat menyampaikan pesanpesan yang terdapat dalam bahasa sumber secara efektif. Oleh karena itu, penerjemah harus mampu menyusun kalimat yang efektif dalam bahasa penerima.14 Pendapat ini diperkuatnya dengan menilai terjemahan Alquran versi Departeman Agama terbitan 1990. Lubis mengatakan bahwa terjemahan itu terdapat banyak kesalahan nmenurut tata bahasa Indonesia. Hal ini terjadi karena cara menerjemahkan adakalanya sebatas mendatangkan sinonim dan makna leksikal. Tidak dengan memakai kalimat efektif atau ungkapan yang lazim dan baku dalam bahasa penerima. Tehnik yang dilakukan lubis dalam penilaian yaitu dengan metode linguistik yang mengangkat tataran sintaksis dan kalimat efektif sebagai ‘pisau’ analisisnya. Lubis menyebutkan sejumlah kesalahan yang terdapat dalam terjemahan Alquran tersebut di antaranya: 1. Penggunaan kata yang berlebihan; 2. Penggunaan frasa yang tidak lazim dalam bahasa Indonesia; 3. Penggunaan bentuk superlative yang berlebihan dalam kalimat terjemahan; 4. Ketidaktepatan penggunaan preposisi, seperti preposisi daripada; 5. Banyak kalimat yang taksa dan ambigu ; 14
Ismail Lubis, falsifikasi Terjemahan Al-Quran (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2001), h.24.
23
Kesalahan-kesalahan di atas dikelompokan dengan cara menjaringnya menjadi beberapa jaringan: (1) jaringan pleonasme; (2) jaringan gramatika; (3) jaringan diksi ; (4) jaringan idiom. Kemudian keempat jaringan itu dianalisis dengan cara di bawah ini : 1. Jaringan
pleonasme
(pemakaian
kata-kata
yang
berlebihan
dalam
terjemahan. 2. Jaringan gramatik (pemakaian kata yang tidak sesuai dengan gramatika bahasa Indonesia). 3. Jaringan diksi (pilihan kata yang tepat dalam terjemahan). 4. Jaringan idiom atau ungkapan idiomatik (bentuk bahasa berupa gAbûngan kata yang maknanya tidak dijabarkan dari unsur pembentuknya). Namun, dalam menilai dan mengkritik hasil terjemahan, lubis tidak memberikan penilaian secara matematis atau persentase. Artinya lubis hanya menunjukan kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam terjemahan sekaligus memberikan alternatif pembenarannya yang didasarkan pada kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. b. Rochayah Machali Menurut Rohayah Machali penilaian dapat dilakukan melalui tiga tahap : 15 Tahap pertama : Penilaian fungsional, yakni kesan umum untuk melihat apakah tujuan umum penulisan menyimpang. Bila tidak, penilaian dapat berlanjut ke tahap ke dua.
15
Rochayah Machali, pedoman bagi penerjemah (Jakarta: Grasindo, 2000), h.118 .
24
Tahap kedua : penilaian terinci berdasarkan segi-segi dan kriteria pada tabel berikut. Segi dan Aspek
Kriteria
A. Ketepatan reproduksi makna 1. Aspek Linguistis a. Transposisi b. Modulasi c. Leksikon (kosakata) d. Idiom 2. Aspek semantik a. Makna refrensial b. Makna interpersonal (i) Gaya bahasa (ii) Aspek interpersonallain, misalnya, konotatif-denotatif 3. Aspek pragmatis a. Pemadanan jenis teks (termasuk maksud/tujuan Penulis) b. Keruntutan makna pada tataran kalimat dengan tataran teks B. Kewajaran ungkapan (dalam artri baku)
}benar, jelas, wajar Menyimpang ?(lokal/total)
C. Peristilahan
Benar, baku, jelas
D. Ejaan Benar, baku
Benar, baku
Berubah ?(lokal/total)
Menyimpang ?(lokal/total) Tidak runtut ?(lokal/total)
Wajar dan/atau harfiah?
Tahap ketiga: penilaian terinci pada tahap kedua tersebut digolong-golongkan dalam suatu skala/kontinum dan dapat diubah kedalam nilai.
25
Untuk memudahkan penempatan golongan atau kategori, kriteria rinci pada tahap ke dua diwujudkan dalam indikator umum dalam tabel berikut.16 Kategori
Nilai
Indikator
Terjemahan hampir sempurna
86-90
Penyampaian wajar; hampir tidak terasa seperti terjemahan; tidak ada kesalahan ejaan; tidak ada kesalahan/ penyimpangan tata bahasa; tidak ada kekeliruan penggunaan istilah.
(A) Terjemahan sangat bagus
76-85 (B)
Terjemahan baik
61-75 (C)
Terjemahan
46-60
cukup
(D)
Terjemahan
20-45
buruk
(E)
16
Tidak ada distorsi makna; tidak ada terjemahan harfiah yang kaku; tidak ada kekeliruan penggunaan istilah; ada satu-dua kesalahan tata bahasa/ejaan (untuk bahasa Arab tidak boleh ada kesalahan ejaan) Tidak ada distorsi makna; ada terjemahan harfiah yang kaku, tetapi relative tidak lebih dari 15 % dari keseluruhan teks, sehingga terlalu terasa sebagai terjemahan; kesalahan tata bahasa dan idiom relative tidak lebih dari 15 % dari keseluruhan teks. Ada satu dua-dua kesalahan tata ejaan (untuk Bahasa Arab tidak boleh ada kesalahan ejaan). Terasa sebagai terjemahan; ada beberapa terjemahan harfiah yang kaku, tetapi relative tidak lebih dari 25 % ada beberapa kesalahan idiom dan/ tata bahasa, tetapi relative tidak lebih dari 25 % keseluruhan teks. Ada satu-dua penggunaan istilah yang tidak baku/ tidak umum dan/ atau kurang jelas. Sangat terasa sebagai terjemahan; terlalu banyak terjemahan harfiah yang kaku (relative lebih dari 25 % dari keseluruhan teks). Distorsi makna dan kekeliruan penggunaan istilah lebih dari 25 % keseluruhan teks.
Rochayah Machali, pedoman bagi penerjemah (Jakarta: Grasindo, 2000), h. 119-120.
26
c. Moch. Syarif Hidayatullah Pedoman penilaian yang ditawarkan oleh syarif hidayatullah adalah sebagai berikut :17 1. Klausa atau kalimat yang tidak diterjemahkan, berakibat pada pengurangan skor sebanyak 10 poin. 2. Terjemahan yang salah pesan, berakibat pada pengurangan skor sebanyak 5 poin. 3. Frasa, diksi, kolokasi, kontruksi atau komposisi, dan tata bahasa yang tidak dialihkan secara tepat sesuai kaidah dalam Bsa, berakibat pada pengurangan skor sebanyak 2 poin. 4. Kesalahan ejaan dan tanda baca, berakibat pada pengurangan skor sebanyak 1 poin. Untuk menggunakan model penilaian tersebut, penilai harus memperhatikan beberapa hal di bawah ini: a. Penilaian pada hasil terjemahan yang berbentuk buku dapat dilakukan dengan cara mengambil beberapa halaman. b. Setiap lembar halaman terjemahan diberi skor awal 100 poin. c. Setelah itu, hitunglah skor kesalahan sesuai dengan pedoman di atas. d. Lalu jumlahkan semua skor kesalahan dalam setiap halaman yang dinilai. e. Skor awal setiap halaman kemudian dikurangi skor kesalahan. f. Skor setiap halaman dijumlahkan, lalu dibagi dengan jumlah halaman. g. Hasil skor rata-rata menjadinilai akhir dari terjemahan yang dinilai. 17
Syarif Hidayatullah, Tarjim Al-An (Pamulang: Dikara,2010), h. 71-72
27
h. Setelah itu, nilai akhir itu dipergunakan untuk menilai apakah nilai terjemahan tersebut termasuk terjemahan istimewa (90-100); sangat baik (80-89); baik (70-79); sedang (60-69); kurang (50-59); buruk (0-49). Dari beberapa tehnik yang dikemukakan para tokoh, Penulis menggunakan tehnik yang dikemukakan oleh Rochayah Machali sebagai pijakan dalam menganalisis nilai dan kualitas terjemahan pada objek yang Penulis angkat sebagai objek skripsi Penulis. 5. Nilai Terjemahan Penialaian terjemahan disamping dapat dilakukan secara langsung mengamati dan membacanya secara cermat, juga dapat dilakukan dengan cara memberi penilaian secara matematis. Meski hasil terjemahan itu bersifat relatif, tetapi penilaian secara matematis perlu dilakukan untuk member penilaian kepada hasil terjemahan. Di bawah ini beberapa kategori penilaian matematis dari sebuah terjemahan: a. Terjemahan Hampir Sempurna Penyampaian wajar, hampir tidak terasa seperti tejemahan, tidak ada kesalahan ejaan, tidak ada kesalahan atau penyimpangan tata bahasa, tidak ada kekeliruan penggunaan istilah. Nilai yang dimiliki terjemahan ini berkisar antara 90-100. b. Terjemahan Sangat Bagus Tidak ada distorsi makna, tidak ada terjemahan harfiah yang kaku, tidak ada kekeliruan penggunaan istilah, ada satu-dua kesalahan tata bahasa atau ejaan (untuk bahasa Arab tidak boleh ada kesalahan ejaan). Nilai yang dimiliki terjemahan ini berkisar antara 80-89.
28
c. Terjemahan Baik Tidak ada distorsi makna, ada terjemahan harfiah yang kaku, tetapi relatif tidak lebih dari 15 % dari keseluruhan teks, ada satu dua penggunaan istilah yang tidak baku atau umum. Ada satu dua kesalahan tata ejaan (untuk bahasa Arab tidak boleh ada kesalahan ejaan). Nilai yang dimiliki terjemahan ini berkisar antara 70-79. d. Terjemahan Cukup Terasa sebagai terjemahan, ada beberapa terjemahan harfiah yang kaku, tetapi relatif tidak lebih dari 25 % dari keseluruhan teks. Ada satu dua penggunaan istilah yang tidak baku atau tidak umum dan kurang jelas. Nilai yang dimiliki terjemahan ini berkisar antara 60-69. e. Terjemahan Kurang Sangat terasa sebagai terjemahan, terlalu banyak terjemahan harfiah yang kaku (relatif lebih dari 25 % dari keseluruhan teks) distorsi makna dan kekeliruan penggunaan istilah lebih dari 25 % dari keseluruhan teks. Nilai yang dimiliki terjemahan ini berkisar antara 50-59. f. Terjemahan Buruk Sangat terasa sebagai terjemahan, terlalu banyak terjemahan harfiah yang kaku (relatif lebih dari 40 % dari keseluruhan teks) distorsi makna dan kekeliruan penggunaan istilah dan ejaan lebih dari 40 % dari keseluruhan teks. Nilai yang dimiliki terjemahan ini berkisar antara 0-49.
29
BAB III GAMBARAN UMUM A. Teks Sumber 1. Kitab Terjemahan Fiqh Al Islâm Wa Adilatuh Teks sasaran (selanjutnya disingkat TSa) berapa buku tertulis dalam bahasa Indonesia dalam versi terjemahan. Buku ini diterbitkan oleh penerbit Pustaka Media Utama di Bandung pada April tahun 2004 dan menjadi cetakan pertama. Sebagai bentuk terjemahan buku Fiqh Al-Islâm Wa Adilatuh dengan alih bahasa (penerjemah) Prof. Drs. KH. Masdar Helmy diberi judul Fikih Shalat kajian berbagai mazhab dengan ISBN No. 979-98017-1-2. Buku yang memiliki halaman sebanyak Sembilan ratus tujul puluh delapan ini, di dalamnya terdapat kata pengantar penerbit, kata pengantar penerjemah, daftar isi, catatan-catatan serta riwayat singkat dari penerjemah. Namun Penulis tidak mendapati terjemahan kata pengantar baik dari penerbit maupun penulis aslinya, serta juga tidak mendapati riwayat singkat penulis buku aslinya. Buku terjemahan yang digadang-gadang akan memberikan kepuasan pada para pembaca yang menginginkan memahami permasalahan salat oleh penerbitnya ini, memiliki sepuluh bab yang masing-masing bab diterjemahkan sesuai dengan urutan pada buku aslinya. Namun sebelum memasuki pembahasan pada bab-babnya penerjemah memberikan diawal muka halaman buku ini berupa terjemahan dari daftar isi pada bab dua buku aslinya dan pengantar berupa terjemahan mengenai salat Rasulullah Saw. Selanjutnya penerjemah menerjemahkan bab per bab sesuai dengan urutan aslinya yaitu berupa pengertian salat, waktu-waktu salat, adzan dan iqomah,
28
29
rukun-rukun salat, sunah-sunah salat, hal-hal yang membatalkan salat, salat-salat sunah, jenis-jenis sujud, serta ditutup dengan pembahasan mengenai macam-macam salat. Sebagai catatan buku ini memiliki menggunakan endnote dalam catatan kaki yang dipakainya. 2. Riwayat Singkat Penerjemah Nama lengkapnya adalah Masdar Helmy. Beliau lahir di sebuah desa yang bernama Kandangan, yang terletak di salah satu pelosok Samarinda Kalimantan Selatan pada tiga Juli tahun 1929. Masdar Helmy memulai jenjang pendidikan Ibtida'iyah di kampungnya, Tsanawiyah di Kalimantan, dan melanjutkan ke perguruan tinggi di IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Setelah menyelesaikan kuliah, beliau bekerja sebagai pegawai di jajaran Departemen Agama sebagai Panitera Kepala Pengadilan Agama Bandung pada 19531957 dan pada tahun 1963 beliau dipindahkan tugas ke Jakarta untuk menjabat sebagai Kepala Bagian Penyuluhan Direktorat Pena Depag Jakarta. Pada tahun 1965 Masdar Helmy diberi kepecayaan untuk menjabat sebagai kepala Kantor Penerangan Agama Propinsi Jawa Tengah, ketika pindah ke Jawa Tengah inilah beliau mulai berkecimpung di dunia pendidikan kampus di mulai pada tahun 1963 sebagi dosen luar biasa tafsir pada IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 1966 sebagai dosen luar biasa agama Islam pada IKIP Negeri Jakarta. Pada tahu 1970 beliau dipercaya untuk menjabat sebagai ketua 1 Panitia berdirinya IAIN Walisongo Semarang dan dosen serta diangkat menjadi dekan Fakultas Dakwah IAIN Walisongo pada tahun 1974.
30
Pada tahun 1989 Masdar Helmy pindah ke Bandung dan mengabdikan dirinya menjadi dosen pada IAIN Sunan Gunung Jati serta diangkat menjadi Guru Besar di sana pada tahun 1991. Pada tahun 2001 beliau pun diangkat menjadi Guru Besar Emiritus IAIN Sunan Gunung Jati dan masih tetap mengabdi pada IAIN Sunan Gunung Jati hingga seakarang. B. Teks Sumber
Teks sumber (selanjutnya disingkat Tsu) berupa buku tertulis dalam bahasa Arab yakni yang berjudul Fiqh Al-Islâm Wa Adillatuh karya Dr. Wahbah Al-Zuhailî. Kitab ini adalah kitab yang berisi pemikiran dan pendapat para imam ulama mazhab fiqih yang masyhur diantaranya Maliki, Hambali, Hanafi dan Syafei. Wahbah al-Zuhaili dalam buku ini membahas secara jelas aturan-aturan Sariah Islam yang disandarkan kepada kami dalil-dalil yang shahih baik dari Alquran, Sunah, maupun akal. Oleh sebab itu, kitab ini tidak hanya membahas fiqih yang sunnah saja atau membahas fiqih berasaskan logika semata. Selain itu, karya ini juga mempunyai keistimewaan dalam hal mencakup materi-materi dalam fiqih dari semua madzhab, dengan disertai proses penyimpulan hukum (istinbât al-ahkâm) dari sumber-sumber hukum Islam baik yang naqli maupun aqli (Alquran, Sunah, dan juga ijtihad akal yang didasarkan kepada prinsip umum dan semangat tasyri‘ yang otentik). Pada setiap halaman kitab ini, disajikan pembahasan mengenai seluk-beluk fiqih antara lain arti fiqih dan keistimewaannya, sejarah ringkas tokoh-tokoh madzhab fiqih, peringkat-peringkat tokoh ahli fiqih, seluk-beluk tentang niat belum dari sudut pandang fiqih, juga pembahasan utama mengenai toharah dan salat.
31
BAB IV ANALISIS PENILAIAN KUALITAS TERJEMAHAN KITAB FIQH AL ISLÂM WA ADILLATUH Pada bab ini peneliti akan memberikan evaluasi serta nilai dari hasil terjemahan halaman per halaman. Analisa dan penilaian akan peneliti lakukan dengan mengamati hasil terjemahan kitab Fiqh Al-Islâm Wa Adillatuh baik dari segi ketepatan ( yaitu dengan melihat sejauh mana pesan itu tersampaikan), segi kejelasan ( yaitu melihat struktur kalimat, pemilihan diksi, pemakaian ejaan serta efektifitas kalimat yang sesuai dengan padanan pada bahasa sasaran), serta segi kewajaran dengan memberikan solusi terjemahan yang tepat menurut peneliti. Berikut ini analisa peneliti mengenai hasil terjemahan kitab Fiqh Al-Islam Wa Adillatuh: 1. :ﺻﻔﺔ ﺻﻼة اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠّﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ SIFAT SHALAT NABI MUHAMMAD SAW. Pada terjemahan di atas, peneliti mendapati adanya kekurang tepatan dalam pemilihan diksi kata ﺻﻔﺔyang diterjemahkan seperti bahasa aslinya yaitu sifat. Peneliti melihat konteks pada Tsu adalah membicarakan tata cara salat nabi, bukan menggambarkan sifatnya. Hal ini dapat tersirat dari hadis yang dikutip pada Tsu yang menjelaskan gerakan salat nabi. Seharusnya kata sifat dalam klausa ini akan lebih tepat diterjemahkan menjadi tata cara. Seandainya kata tersebut tetap dialihkan menjadi kata sifat maka akan terjadi ketidak paralelan antara judul subbab dengan isi, sehingga akan berakibat pada pemahaman yang sulit bagi pembacanya.
31
32
Uraian peneliti di atas didasarkan tinjauan dari pengertian kata sifat menurut kamus besar bahasa Indonesia yang memiliki arti rupa dan keadaan yang tampak pada suatu benda.1 Maka akan lebih tepat bila kata ini dialihkan menjadi tata cara salat Nabi Muhammad Saw. Namun dikarenakan klausa ini adalah berkedudukan sebagai judul, akan lebih baik apabila klausa ini diberikan padanan yang lebih tepat. Posisi judul dalam setiap karya ilmiah menjadi poin penting yang harus diperhatikan, dengan judul yang menarik akan menimbulkan keinginan yang tinggi pada diri pembaca untuk mengambil keputusan membaca sebuah buku. 2. ﻛﻤﺎ رواھﺎ،أﺛْﺒﺘﮭﺎ ھﻨﺎ ﻗﺒﻞ ﺗﻔﺼﯿﻞ اﻟﻜﻼم ﻋﻦ اﻟﺼﻼة، ھﺬه ﺻﻔﺔ واﺿﺤﺔ ﻟﺼﻼة اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠّﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ،اﻟﻤﺤﺪﱢﺛﻮن اﻟﺜﻘﺎت Sebelum diuraikan lebih lanjut secara rinci pembahasan tentang berbagai hal yang berkenaan dengan shalat, perlu dikemukakan di sini tata cara shalat Rasulullah saw. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh para muhadditsin, supaya dapat kita jadikan satu-satunya sebagai peringatan dan teladan yang baik untuk selamanya. Penilaian yang dapat peneliti berikan untuk terjemahan di atas, peneliti menemukan adanya kesalahan yaitu penerjemah melakukan penafsiran bukan melakukan penerjemahan. Hal ini terlihat dimana penerjemah menggunakan kata perlu dikemukan. Sedangkan dalam teks aslinya tidak mencerminkan keinginan penulis buku asli untuk merasa perlu mengemukan hal tersebut. Tetapi yang diinginkan penulis adalah penukilan hadis tersebut adalah sebagai pendukung untuk memasuki pemahaman
pembaca tentang isi buku yang ditulisnya. Sebaiknya
terjemahan ini dialihkan menjadi, “ sebelum memasuki pembahasan tentang salat, di
1
Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan, di akses pada 2 januari 2011 dari http.www.pusatbahasa.depdiknas.go.id
33
bawah ini akan dikemukan secara jelas tata cara salat
sebagaimana yang
disampaikan oleh para ahli hadis”. Kesalahan yang lain yaitu pengalihan kata muhadistsin menjadi para muhaditsin. Kata muhaditisin adalah bentuk jamak dari muhadis. Bila kata ini ingin dialihkan sesuai dengan padanan jamak yang lazim digunakan dalam bahasa Indonesia, seharusnya kata ini hanya ditambahkan kata para yang diletakan di depan arti bentuk tunggalnya menjadi para ahli hadis atau para muhadis.2 Pada terjemahan di atas juga terdapat klausa tambahan yaitu, ‘supaya dapat kita jadikan satu-satunya sebagai peringatan dan teladan yang baik untuk selamalamanya’. Disini peneliti menemukan adanya penambahan kalimat yang tidak perlu. Untuk menjaga teks sumber tersampaikan dan terjaga pesan dari penulis aslinya, seyogyanya penerjemah tidak melakukan penambahan ini. sehingga karya yang ada tetap menjadi karya asli penulis dan bukan menjadi hasil tulisan baru atau tafsiran dari penerjemah.
3. ﺳﻤﻌﺖ أﺑﺎ ﺣﻤﯿﺪ اﻟﺴﺎﻋﺪيّ ﻓﻲ ﻋﺸﺮة:أﺧﺮج اﻟﺒﺨﺎري وأﺑﻮ داود واﻟﺘﺮﻣﺬي ﻋﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﻤﺮو ﺑﻦ ﻋﻄﺎء ﻗﺎل ﻣﻦ أﺻﺤﺎب رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠّﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ـ ﻣﻨﮭﻢ أﺑﻮ ﻗﺘﺎدة ـ Al-Bukhori, Abû Dawud, dan Al-Turmudzi meriwayatkan dari Muhammad bin Amr bin Atha’, ia berkata: Saya mendengar Abû Hamid Al-Sa’idi berkata tentang sepuluh orang sahabat Rasulullah saw., di antaranya Qotadah: Penilaian terjemahan di atas yang dapat peneliti kemukakan di sini yaitu peneliti menemukan adanya kesalahan dalam menuliskan kompilator sebagai
2
Syarif hidayatullah, Tarjim Al-An Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia (Pamulang: Dikara,2010), h.90
34
periwayat hadis. Seharusnya penulisan nama kompilator dituliskan pada akhir matan. Penerjemahan nama kompilator seharusnya dituliskan sesuai dengan kelaziman yang dipakai pada bahasa sasaran. Bila diperhatikan dalam susunan hadis di atas bahwa periwayat hadis yang dicantumkan hanyalah salah satu periwayat hadis ini yaitu Muhammad bin ‘Amr bin Ata, sehingga pengalihan penerjemahan di atas sebaiknya dapat dialihkan menjadi ‘Muhammad bin ‘Amr bin Ata meriwayatkan dari Abû Humayd al-Sâ ‘idî’ saja, sedangkan nama-nama kompilator yaitu Al-Bukhori, Abû Dawud, dan Al-Tirmudzi dituliskan pada akhir matan. Kesalahan fatal yang peneliti dapat temukan adalah ketika penerjemah menuliskan kesalahan nama periwayat hadis yang
seharusnya
dituliskan
Abû
Humayd
al-Sâ‘idî’
namun
penerjemah
menuliskannya menjadi Abû Hamid al-Saidi3. Dari hasil pengalihan ini juga, peneliti melihat adanya kesalahan pesan yang dilakukan dalam mengalihkan klausa tersebut. Konteks yang ada dalam klausa tersebut adalah
Muhammad bin ‘Amr bin ‘Atâ -sebagai periwayat hadis-
menjelaskan bahwasanya dirinya mendengar seseorang yang sedang berbicara di sekumpulan sahabat Rasulullah yaitu Abû Humayd dan bukan bermaksud membicarakan tentang sepuluh orang sahabat Rasulullah hal ini dapat terlihat adanya partikel ﻓﻲ, sehingga klausa ini seharusnya dialihkan menjadi Muhammad bin ‘Amr bin Ata meriwayatkan hadis dari Abû Humayd al-Sâ‘idî’. Sebagai catatan Abû
3
Abû Dawud Sulaiman bin al-Asyas al-sajastani, Sunan Abû Dawud (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), h. 276
35
Humayd al-Sâ‘idî’ adalah salah seorang sahabat Nabi yang banyak meriwayatkan hadis-hadis salat.4 Untuk hal lainnya sebaiknya penulisan nama orang yang berasal dari bahasa sumber dituilskan keseluruhannya. Hal ini dikarenakan nama pada bangsa Arab sangat penting dikarenakan banyak memiliki kemiripan. Oleh karena itu kata Abû yang merangkai kata Qotadah agar tidak dilesapkan, namun dituliskan lengkap sesuai yang tertulis pada tek sumber. Kekurangan
lainnya
yang
dapat
peneliti
temukan
adalah
tidak
dicantumkannya penulisan r.a ( radiyallâh ‘anh ) dibelakang nama sahabat atau periwayat hadis. Penulisan r.a pada setiap nama belakang para sahabat menjadi tehnik umum dalam menerjemahkan teks hadis, meskipun pada teks sumber tidak ditemukan.5 4. ، أﻧﺎ أﻋﻠﻤﻜﻢ ﺑﺼﻼة رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠّﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ:ﻗﺎل أﺑﻮ ﺣﻤﯿﺪ Saya adalah orang yang paling tahu di antara kamu sekalian tentang shalat Rasulullah saw. Berdasarkan uraian di atas maka kata ﻗﺎلdalam hadis tersebut akan lebih tepat dialihkan menjadi berujar daripada berkata, hal ini merujuk kepada konteks yang ada. Dengan mengalihkan kata ini menjadi berujar maka bahasa dan suasana yang ditimbulkan akan mengalir dan pembaca akan merasa berada dalam suasana yang sama dalam teks tersebut. Suasana yang terjadi pada konteks di hadis di atas 4
Abû Dawud Sulaiman bin al-Asyas al-sajastani, Sunan Abû Dawud (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), h. 500 5 Syarif hidayatullah, Tarjim Al-An cara mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia (Pamulang: Dikara,2019), h. 40
36
adalah ketika Abû Humayd berada dalam perkumpulan sahabat Nabi, Abû Humayd mengeluarkan kata-kata yang membuat sahabat bertanya-tanya mengapa bisa dirinya mengucapkan kata tersebut. Dengan demikian maka akan tepat bila kata berujar ini digunakan untuk menjadi padanan pengalihan kata ﻗﺎل. Sedangkan pengalihan klausa أﻧﺎ أﻋﻠﻤﻜﻢ ﺑﺼﻼة رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠّﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢmenjadi ‘saya adalah orang yang paling tahu di antara kamu sekalian tentang shalat Rasulullah saw. Dalam terjemahan di atas peneliti berpendapat memiliki kekurang tepatan dalam mengalihkan ism tafdil. Pengalihan ism tafdil yang memiliki kontruksi berupa ism tafdhil + min + majrur biasanya akan dialihkan menggunakan kata lebih + daripada dan bukan menggunakan paling. Penggunaan paling dapat dilakukan apabila kontruksi kalimat itu berbentuk ism tafdhil + mudhof ilaih. tepat penggunaan kata adalah orang Peneliti mendapati adanya pemborosan dalam menggunakan kata. Pemborosan itu terdapat pada frase paling tahu di antara kamu sekalian. Penggunaan kata kamu sekalian sebaiknya di persingkat menjadi kalian saja, dengan membuang kata kamu dan imbuhan se yang terdapat pada frase tersebut. Dengan demikian maka akan lebih tepat bila frase ini dialihkan menjadi di antara kalian. 5. ،ً وﻻ أﻗﺪﻣﻨﺎ ﻟﮫ ﺻﺤﺒﺔ،ً ﻓﻠِﻢَ؟ ﻓﻮاﷲ ﻣﺎ ﻛﻨﺖَ ﺑﺄﻛﺜﺮﻧﺎ ﻟﮫ ﺗَﺒَﻌﺎ:ﻗﺎﻟﻮا : “Mengapa begitu? Padahal kamu bukanlah orang yang paling banyak mengikuti Rasulullah saw. dan bukan orang yang paling dahulu menjadi shahabat diantara kami”, kata ﻓﻠِﻢَ؟sebagai bentuk frase pertanyaan, akan lebih tepat bila dialihkan menjadi mengapa demikian?, pilihan diksi ini peneliti ambil dikarenakan peneliti melihat dari konteks yang ada. Kata ini hadir dikarenakan kebingungan sahabat nabi
37
atas ucapan Abû Humaidi yang menyatakan dirinya sebagi orang yang paling tahu mengenai tata cara salat Rasul. Diksi yang peneliti ambil diperkuat dengan klausa yang hadir setelahnya yaitu وﻻ أﻗﺪﻣﻨﺎ ﻟﮫ ﺻﺤﺒﺔ،ً ﻓﻮاﷲ ﻣﺎ ﻛﻨﺖَ ﺑﺄﻛﺜﺮﻧﺎ ﻟﮫ ﺗَﺒَﻌﺎ. pada terjemahan kalimat ini juga terjadi kekurang tepatan dalam pemilihan diksi. Hal ini terlihat pada pemilihan diksi untuk frase ً ﺑﺄﻛﺜﺮﻧﺎ ﻟﮫ ﺗَﺒَﻌﺎyang dialihkan menjadi banyak mengikuti Rasulullah Saw. Kata banyak mengikuti akan lebih dipahami apabila dialihkan menjadi seringkali mengikuti. Hal lainnya juga peneliti temukan kekurang tepatan dalam pemilihan diksi frase ً وﻻ أﻗﺪﻣﻨﺎ ﻟﮫ ﺻﺤﺒﺔyang dialihkan menjadi orang yang paling dahulu menjadi sahabat. Peneliti melihat diksi yang dipilih oleh penerjemah kurang tepat. Kata ini akan lebih tepat dan akan lebih mudah dipahami apabila dialihkan menjadi orang yang pertama-tama masuk Islam. Karena frase “lebih dahulu menjadi sahabat”, sebelum Islam hadir Rasulullah pun banyak memiliki sahabat yang juga belum tentu memeluk Islam sebagai agamanya, namun yang dimaksudkan oleh kalimat ini adalah orang-orang yang membantu dan mendukung Rasulullah di awal kemunculan Islam. 6. ، ﺑﻠﻰ:ﻗﺎل ia menjawab: Benar. Selanjutnya peneliti juga menemukan kekurang tepatan dalam pemilihan diksi kata ﻗﺎلyang dialihkan menjadi berkata. Bila diperhatikan kata ini muncul dalam kerangka komunikasi. Seharusnya kata ini lebih tepat apabila dialihkan menjadi ‘menjawab’ sebagai bentuk balasan dalam kontruksi konteks percakapan. Berdasarkan hal itu maka pengalihan yang tepat dalam menerjemahkan frase ini
38
adalah ‘Abû Humayd pun menjawab: benar, aku bukanlah orang yang seperti kalian katakan’. 7. ، ﻓﺎﻋﺮض:ﻗﺎﻟﻮا Mereka berkata: kemukakanlah! Dari hasil terjemahan di atas peneiliti berpendapat sebaiknya klausa mereka berkata lebih dicarikan diksi yang mendekati kepada struktur komunikasi. Walaupun penerjemah telah dapat menerjemahkan pesan yang dikandung secara tepat, namun peneliti merasa penggunaan kata ‘berkata’ kurang tepat. Kata ﻗﺎﻟﻮاsebagai bentuk jawaban dari apa yang diucapkan Abû Humayd tidak tepat apabila dialihkan menjadi ‘berkata’ akan lebih tepat apa bila kata ini dimodifikasi dan diberikan padanan yang sesuai dengan telinga pembaca sasaran, sehingga konteks serta konstruksi percakapan yang ada tetap dipertahankan. Bila melihat konteks di atas, maka peneliti lebih condong agar kata ini dialihkan menjadi ‘ para sahabat meminta Abû Humayd menjelaskan perkataannya, dengan berkata “jelaskanlah alasan ucapanmu!”. 8. ، ﯾﺮﻓﻊ ﯾﺪﯾﮫ ﺣﺘﻰ ﯾُﺤﺎذِيَ ﺑﮭﻤﺎ ﻣَﻨْﻜِﺒﯿﮫ، ﻛﺎن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠّﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ إذا ﻗﺎم إﻟﻰ اﻟﺼﻼة:ﻗﺎل Ia berkata: Apabila Rasulullah saw. berdiri untuk melaksanakan salat, maka beliau mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan kedua bahunya, Pada pengalaihan di atas peneliti melihat adanya ketidak tepatan pada pemilihan diksi
kata ‘berkata’, seharusnya pengalihan ini dialihkan dengan
menyesuaikan konteks dan komposisi komunikasi yang tepat mengikuti alur percakapan di awal kalimat penyusun hadis ini. Dengan begitu maka tidak semua kata ﻗﺎلakan di alihkan menjadi berkata, namun akan dialihkan mengikuti konteks
39
yang dibangun pada situasi komuniksai terjadi. Untuk itu penggunaan kata ‘berkata’ terasa kurang tepat bila dipadankan untuk mengalihkan frase ﻗﺎل. Peneliti berpendapat agar klausa ini diubah total, namun tetap menyesuaikan dengan padanan pada bahasa sasaran serta pesan yang tetap tersampaikan. Peneliti menyarankan apabila klausa ini dialihkan menjadi ‘mendengar permintaan para sahabat Abû Humaydi pun menjelaskan:’. Analisa penilaian lainnya yang dapat peneliti kemukakan yaitu kurang tepatnya penggunaan kalimat ‘apabila Rasulullah Saw. berdiri untuk melaksanakan shalat’. Bila melihat struktur kalimat ‘berdiri untuk melaksanakan shalat’ bermakna salat itu baru akan dilakukan Rasulullah, namun konteks pembicaraan pada kalimat itu adalah salat itu sedang dilaksanakan Rasulullah. Untuk itu pengalihan yang tepat menurut peneliti adalah apabila Rasullullah salat. 9. ،ًﺛﻢ ﯾُﻜَﺒﱢﺮ ﺣﺘﻰ ﯾَﻘِﺮﱠ ﻛﻞ ﻋﻈﻢ ﻓﻲ ﻣﻮﺿﻌﮫ ﻣﻌﺘﺪﻻ lalu membaca takbir sehingga seluruh tulang beliau berposisi sempurna pada tempatnya masing-masing, Penggunaan frase ‘membaca takbir’ pada pengalihan di atas megindikasikan frase ini kurang tepat dalam pemilihan diksi. Sebaiknya kata ini dialihkan menjadi bertakbir saja. Diksi yang kurang tepat juga peneliti dapati pada klausa sehingga tulang-tulang beliau berposisi sempurna. Penggunaan klausa tulang-tulang berposisi sempurna tidaklah lazim digunakan (arkais) pada bahasa sasaran dan akan sulit dipahami bagi kalangan pembaca sasaran. Sebaiknya klausa ini dipadankan dengan kata berdiri tegak. Ketidak tepatan dalam pemilihan diksi ini berakibat kepada penggunaan bahasa yang kaku dikarenakan pengalihan TSu yang harfiah.
40
10. ،ﺛﻢ ﯾﻘﺮأ kemudian membaca (Al-Fatihah), Analisa lainnya yang dapat peneliti kemukakan adalah ketidak tepatan dalam mengalihkan pesan. Hal itu terdapat pada frase kemudian beliau membaca (AlFatihah). Kesalahan itu terdapat pada penulisan kata Al-fatihah yang diberikan tanda kurung yang berfungsi sebagai keterangan atau menjelaskan kata membaca. Namun dalam posisi salat seperti ini, bukan hanya surat Al-Fatihah saja yang Rasulullah baca namun surat lain yang beliau kehendaki pun dibacanya sebagai bentuk sunah dalam salat. Pendapat ini peneliti ambil dari hadis lain yang diriwayatkan oleh rifa’ah bin Rafi’.6 Untuk menghindari kesalahpahaman bagi pembaca teks sasaran sebaiknya keterangan ini ditambahkan menjadi ( surat Al-Fatihah dan ayat lain dari Alquran yang beliau kehendaki). Menurut pendapat peneliti klausa pada sisi ini sebaiknya dapat dibentuk menjadi kalimat baru. Dengan membentuk klausa ini menjadi kalimat baru maka efektifitas kalimat dapat terjaga dan pesan akan lebih mudah dipahami oleh para pembaca.
11. ،ًﺛﻢ ﯾﻜﺒﺮ وﯾﺮﻓﻊ ﯾﺪﯾﮫ ﺣﺘﻰ ﯾﺤﺎذي ﺑﮭﻤﺎ ﻣﻨﻜﺒﯿﮫ ﻣﻌﺘﺪﻻ kemudian membaca takbir dan mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua bahunya,
6
Abû Dawud Sulaiman bin al-Asyas al-Sajastani, Sunan Abû Dawud (Beirut: Dâr al-Fikr, 2003), h.256.
41
Hal lainnya yang dapat peneliti kemukakan adalah pemilihan diksi kata hubung yang kurang tepat yaitu dengan menggunakan kata hubung kemudian yang terlalu sering digunakan dalam menghubungkan setiap klausa pada terjemahan di atas. Sebaiknya kata-kata hubung di dalam terjemahan ini diberikan varian yang lain. Penggunaan frase membaca takbir megindikasikan frase ini kurang tepat dalam pemilihan diksi. Sebaiknya kata ini dialihkan menjadi bertakbir saja. Diksi yang kurang tepat juga peneliti dapati pada klausa sehingga tulang-tulang beliau berposisi sempurna. Penggunaan klausa tulang-tulang berposisi sempurna tidaklah lazim digunakan (arkais) pada bahasa sasaran dan akan sulit dipahami bagi kalangan pembaca sasaran. Sebaiknya klausa ini dipadankan dengan kata berdiri tegak. Ketidak tepatan dalam pemilihan diksi ini berakibat kepada penggunaan bahasa yang kaku dikarenakan pengalihan TSu yang harfiah.
12. ،ﺛﻢ ﯾﺮﻛﻊ وﯾﻀﻊ راﺣﺘﯿﮫ ﻋﻠﻰ رﻛﺒﺘﯿﮫ kemudian ruku’ dan meletakan kedua telapak tangannya di lututnya, pada pengalihan di atas peneliti hanya menemukan ketidak tepatan penggunaan kata hubung. Sebaiknya kata hubung yang digunakan diberikian varian lain sehingga pembaca tidak bosan ketika membaca karna selalu menamuka kata kemudian. 13. ، (1) ُﺛﻢ ﯾﻌﺘﺪل وﻻ ﯾَﻨْﺼِﺐُ رأﺳﮫ وﻻ ﯾُﻘْﻨِﻊ kemudian ber-i’tidal dengan tidak menegakan dan mengangkat kepalanya, Pada pengalihan di atas peneliti menemukan kembali penggunaan kata hubung yang kurang tepat. Peneliti berpendapat sebaiknya kata hubung ini diberikan
42
varian yang lain agar hasil terjemahan tidak kaku karna penggunan kata hubung kemudian yang terus menerus muncul. Di sisi lain peneliti juga melihat penggunaan frase tidak meneggakan dan mengangkat kepala berindikasi kepada kepada ketidak tepatan pemilihan diksi. 14. ، ﺳﻤﻊ اﷲ ﻟﻤﻦ ﺣﻤﺪه:ﺛﻢ ﯾﺮﻓﻊ رأﺳﮫ ﻓﯿﻘﻮل kemudian mengangkat kepalanya seraya membaca “sami’a Allahu liman hamidah”, Bila ditinjau Kata iktidal yang bermakna berdiri di waktu salat setelah melakukan rukuk,7 maka pengalihan di atas memiliki ketidak tepatan dalam mengalihkan pesan. Bila dirujuk susunan kalimat pada hasil pengalihan di atas kata iktidal dan rukuk adalah dua kegiatan yang terpisah, namun dalam praktek salat pekerjaan ini adalah satu bangunan, dengan demikian kalimat ini ingin menerangkan bahwa setelah melakukan rukuk Nabi selanjutnya akan melakukan iktidal yang tata caranya dijelaskan oleh klausa selanjutnya yaitu ﺛﻢ ﯾﺮﻓﻊ رأﺳﮫ، (1) ُوﻻ ﯾَﻨْﺼِﺐُ رأﺳﮫ وﻻ ﯾُﻘْﻨِﻊ ً ﺛﻢ ﯾﺮﻓﻊ ﯾﺪﯾﮫ ﺣﺘﻰ ﯾﺤﺎذي ﺑﮭﻤﺎ ﻣﻨﻜﺒﯿﮫ ﻣﻌﺘﺪﻻ، ﺳﻤﻊ اﷲ ﻟﻤﻦ ﺣﻤﺪه:ﻓﯿﻘﻮل. Peneliti melihat penerjemah terlalu kaku dalam menerjemahkan klausa-klausa ini sehingga pesan pun menjadi tercecer dan tidak tersampaikan dengan baik.
15. ،ًﺛﻢ ﯾﺮﻓﻊ ﯾﺪﯾﮫ ﺣﺘﻰ ﯾﺤﺎذي ﺑﮭﻤﺎ ﻣﻨﻜﺒﯿﮫ ﻣﻌﺘﺪﻻ kemudian mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua bahunya, pada pengalihan di atas peneliti hanya melihat ketidak tepatan dalam penggunaan kata hubung. Sebaiknya kata hubung pada klausa ini dapat diberikan
7
M. Abdul Mujib, dkk., Kamus Istilah Fiqih (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 131.
43
varian sehingga pembaca tidak jemu ketika membaca tulisan ini, dikarenakan munculnya kata hubung yang hampir seluruhnya menggunakan kata kemudian. 16. ، ﻓﯿﺠﺎﻓﻲ ﯾﺪﯾﮫ ﻋﻦ ﺟﻨﺒﯿﮫ،( إﻟﻰ اﻷرض2) ﺛﻢ ﯾَﮭْﻮي، اﷲ أﻛﺒﺮ:ﺛﻢ ﯾﻘﻮل lalu membaca “Allahu akbar”, kemudian turun ke tanah, lalu merenggangkan kedua tangannya dari kedua lambungnya, pada
pengalihan
di
atas
peneliti
melihat
penerjemah
berkali-kali
menggunakan Klausa membaca takbir. Peneliti berpendapat bahwa klausa ini kurang lazim digunakan pada kalangan bahasa sasaran. Sebaiknya klausa ini di alihkan menjadi bertakibir saja. Selanjutnya kekurang tepatan juga terdapat pada penggunaan klausa turun ke tanah. Penggunaan klausa ini kurang lazim sebaiknya klausa ini dialihkan menjadi bersujud. 17. ، اﷲ أﻛﺒﺮ: ﺛﻢ ﯾﻘﻮل،وﯾﺴﺠﺪ sujud, lalu membaca “Allahu akbar”, pada pengalihan di atas
peneliti melihat
ketidak tepatan dimana
penerjemahkan mengalihkan frase kata kerja ﯾﺴﺠﺪmenjadi nomina. Ktidaktepatan ini terjadi dikarenakan penerjemah melesapkan kata hubung وyang merangkai frase ini. Sebaiknya pengalihan pada sisi ini dilakukan dengan tetap memunculkan kata hubung . Peneliti memberikan solusi pengalihan ‘selanjutnya beliau pun sujud seraya bertakbir’. 18. ، ﺣﺘﻰ ﯾﺮﺟﻊ ﻛﻞ ﻋﻈﻢ إﻟﻰ ﻣﻮﺿﻌﮫ، وﯾُﺜْﻨﻲ رﺟﻠﮫ اﻟﯿﺴﺮى ﻓﯿﻘﻌﺪ ﻋﻠﯿﮭﺎ،وﯾﺮﻓﻊ mengangkat kepala, dan mendatarkan kaki kirinya lalu didudukinya, sehingga setiap tulang kembali ke posisi semula,
44
19. .8ﺛﻢ ﯾﺼﻨﻊ ﻓﻲ اﻵﺧﺮ ﻣﺜﻞ ذﻟﻚ kemudian dalam raka’at beliau melakukan hal yang sama. 9 Bila dilihat dari struktur bahasa yang menyusun paragraf di atas, kalimat ini adalah bentuk kalimat baru.
Dikarenakan klausa ini adalah kalimat baru maka
penulisannya pun sebaiknya mengikuti kelaziman pada bahasa sasaran dengan menggunakan huruf kapital pada huruf yang mengawali klausa ini. Pada klausa ini peneliti pun menemukan adanya pesan yang tidak tersampaikan. Terputusnya pesan itu terjadi karena penerjemah hanya mengalihkan kata ﻓﯽ اﻵﺧﺮmenjadi ‘kemudian dalam rakaat beliau melakukan hal yang sama’. Sedangkan maksud kata اﻵﺧﺮdari pesan yang tedapat pada klausa itu adalah rakaat lainnya selain rakaat yang menjadi pokok pembicaraan, namun penerjemah hanya menuliskan rakaat saja. Untuk penerjemahan isi hadis yang diriwayatkan oleh Muhammad bin ‘Amr bin ‘Atâ, peneliti banyak menemui kesalahan-kesalahan terjemahan dalam mengalihkan teks sumber ke teks sasaran. Diantaranya dari segi efektivitas kalimat, pemilihan diksi kata yang kurang tepat, pemakaian tanda baca yang tidak sesuai dengan kelaziman pada bahasa sasaran serta terjemahan yang kaku. Untuk keefektifan kalimat peneliti menemukan pada hasil terjemahan isi hadis di atas sangat panjang dan menjemukan untuk dibaca, sehingga akan menimbulkan pemahaman yang sulit bagi pembaca dalam memahami maksud dan pesan yang terkandung.
8
Dr. Wahbah Al-Zuhaili, Fiqh Al-Islam Wa Adilatuh, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2004) h. 571. Dr. Wahbah Al-Zuhaili, Fiqih Shalat Kajian Berbagai Mazhab, penerjemah K.H. Masdar Helmy, (Bandung:2004), h. 3
9
45
Sebaiknya struktur kalimat pada hadis ini dibentuk menjadi beberapa kalimat, namun tetap mengutamakan tersampaikannya pesan yang ada. Menurut Sakri kalimat terpanjang untuk buku ajar perguruan tinggi maksimal 30 kata.10 Kiranya jumlah kata terjemahan yang akan dibaca oleh masyarakat umum pun tidak lebih banyak dari itu. Karena itu kalimat pada terjemahan di atas seyogyanya dapat dijadikan menjadi beberapa kalimat, agar dapat mudah dipahami. Seyogyanya penerjemah dapat memodifikasi kalimatnya menjadi beberapa kalimat, tanpa mengurangi pesan yang menjadi pesan Tsu. Selanjutnya analisa kesalahan dan penilaian yang dapat peneliti berikan pada halaman ini, yaitu peneliti menemukan ketidak tepatan dalam mengalihkan struktur yang tepat pada pengalihan struktur kalimat percakapan. Konteks dalam hadis di atas adalah situasi percakapan antara dua orang atau lebih. Sebagai konteks percakapan yang memiliki definisi sebagai satu kegiatan atau peristiwa berbahasa lisan antara dua orang atau lebih yang saling memberikan informasi dan mempertahankan hubungan yang baik,11 maka diperlukan komponen-komponen yang tepat untuk menghasilkan tujuan bahasa yang baik. Dengan melihat definisi percakapan di atas akan lebih baik apabila konteks percakapan yang terdapat pada hadis di atas dapat juga dipertahankan baik dari segi kalimat, klausa, frase, kata dan tanda baca mengikuti kelaziman yang biasa digunakan dalam bahasa sasaran. Untuk penerjemahannya selanjutnya yaitu penerjemahan isi hadis yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Amr bin Atha, peneliti banyak menemui
10 11
Sakri A., Bangun Kalimat dan Pembentukan Kata, (Jakarta: ITB, 1995), h.138. J.D. Parera, Teori Semantik, (Jakarta: Erlangga, 2004), h.235.
46
kesalahan-kesalahan terjemahan dalam mengalihkan teks sumber ke teks sasaran. Diantaranya dari segi efektivitas kalimat, pemilihan diksi kata yang kurang tepat, pemakaian tanda baca yang tidak sesuai dengan kelaziman pada bahasa sasaran serta terjemahan yang kaku. Untuk keefektifan kalimat peneliti menemukan pada hasil terjemahan isi hadis di atas sangat panjang dan menjemukan untuk dibaca, sehingga akan menimbulkan pemahaman yang sulit bagi pembaca dalam memahami maksud dan pesan yang terkandung. Sebaiknya struktur kalimat pada hadis ini dibentuk menjadi beberapa kalimat, namun tetap mengutamakan tersampaikannya pesan yang ada. Menurut Sakri kalimat terpanjang untuk buku ajar perguruan tinggi maksimal 30 kata.12 Kiranya jumlah kata terjemahan yang akan dibaca oleh masyarakat umum pun tidak lebih banyak dari itu. Karena itu kalimat pada terjemahan di atas seyogyanya dapat dijadikan menjadi beberapa kalimat, agar dapat mudah dipahami. Seyogyanya penerjemah dapat memodifikasi kalimatnya menjadi beberapa kalimat, tanpa mengurangi pesan yang menjadi pesan Tsu. Analisa lainnya yang dapat peneliti kemukakan yaitu pemilihan diksi yang kurang tepat dalam pengalihan frase menjadi ﻛﻞ ﻋﻈﻢ ﻓﻲ ﻣﻮﺿﻌﮫ ﻣﻌﺘﺪﻻً ﺛﻢ ﯾُﻜَﺒﱢﺮ ﺣﺘﻰ ﯾَﻘِﺮﱠ menjadi lalu membaca takbir sehingga seluruh tulang beliau berposisi sempurna pada tempatnya masing-masing’. Frase membaca takbir megindikasikan frase ini kurang tepat pada diksi yang dipilihkan. Sebaiknya kata ini dialihkan menjadi bertakbir saja. Diksi yang kurang tepat juga peneliti dapati pada klausa sehingga tulang-tulang beliau berposisi sempurna. Penggunaan klausa tulang-tulang berposisi sempurna 12
Sakri A., Bangun Kalimat dan Pembentukan Kata, (Jakarta: ITB, 1995), h.138.
47
tidaklah lazim digunakan (arkais) pada bahasa sasaran dan akan sulit dipahami bagi kalangan pembaca sasaran. Sebaiknya klausa ini dipadankan dengan kata berdiri tegak. Hal lain yang dapat peneliti kemukakan adalah berkaitan dengan permasalahan terjemahan isi hadis di atas. Peneliti menememuka hasil terjemahan yang harfiah yang akhirnya menyebabkan hasil terjemahan yang kaku. Kekakuan terjemahan akan berakibat pada pemahaman yang sulit bagi pembaca untuk memahamipesan yang ingin disampaikan. Sedangkan dalam metode penerjemahan, hasil terjemahan harfiah ini disajikan hanya sebatas coret-coretan hanya untuk diberikan modifikasi lain sehingga terjemahan menjadi baku sebagai hasil terjemahan.
20.
ﻛﻤ ﺎ ﻛﺒ ﺮ ﻋﻨ ﺪ اﻓﺘﺘ ﺎح، ﻛﺒﱠ ﺮ ورﻓ ﻊ ﯾﺪﯾ ﮫ ﺣﺘ ﻰ ﯾﺤ ﺎذيَ ﺑﮭﻤ ﺎ ﻣﻨﻜﺒﯿ ﮫ،ﺛ ﻢ إذا ﻗ ﺎم ﻣ ﻦ اﻟ ﺮﻛﻌﺘﯿﻦ ،اﻟﺼﻼة Kemudian ketika beliau bangun dari ruku’ membaca takbir dan mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua bahunya, sebagaimana takbir yang beliau baca ketika memulai shalat, kemudian dalam raka’at lainnya beliau melakukan hal yang sama. Pada penerjemahan di atas peneliti melihat adanya kekurang tepatan dalam pemilihan diksi kata hubung. Penggunaan kata hubung kemudian untuk mengawali kalimat ini kurang tepat, akan lebih tepat apabila digunakan kata selanjutnya. Hal ini dikarenakan kata ini berfungsi untuk mengawali paragraf dan berfungsi pula menjadi penyambung pikiran pokok pada paragraf sebelumnya. Namun bila ditinjau dari panjangnnya isi hadis di atas, peneliti berpendapat agar kalimat ini masuk kepada
48
paragraf sebelumnya dengan membagi hadis ini kepada beberapa kalimat saja dengan tidak menghilangkan pesan yang terkandung di dalamnya. Tinjaun penilaian selanjutnya yang peneliti dapat kemukakan yaitu peneliti menemukan kesalahan dalam mengalihkan pesan. Frase ،إذا ﻗﺎم ﻣﻦ اﻟﺮﻛﻌﺘﯿﻦ diterjemahkan menjadi “ ketika beliau bangun dari ruku’”. Sedangkan pesan yang terkandung dalam frase ini adalah berdiri setelah melakukan rakaat yang kedua bukan berdiri setelah rukuk. Analisa lainnya yang dapat peneliti kemukakan adalah kesalahan pengalihan dalam mengalihkan kalimat syarat. Hal ini terlihat dalam penerjemahan kalimat ‘Kemudian ketika beliau bangun dari ruku’ membaca takbir dan mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua bahunya’. Dalam struktur bahasa sumber terdapat kata syarat إذا. Apabila salah satu kalimat didahului kata syarat, maka dalam menerjemahkannya perlu ditambahkan kata ‘maka’ atau ‘niscaya’ pada kalimat lainnya.13 Dari terjemahan di atas peneliti tidak melihat penerjemah memunculkan kata maka untuk mengawali kalimat selanjutnya sebagai kalimat jawab dari kalimat syarat ini. seharusnya pengalihan yang tepat untuk terjemahan di atas adalah apabila Rasulullah Saw. Bangun dari rakaat kedua, maka beliau bertakbir. Hal lain yang peneliti lihat sebagai kekurang tepatan yaitu pemilihan diksi dimana kata yang diterjemahkan menjadi ketika yang seharusnya akan lebih tepat dialihkan menjadei apabila. Terjemahan di atas juga terdapat pemborosan dalam penggunaan kata, kata menjadi ‘membaca takbir’. Peneliti melihat kata akan cukup
13
Syarif Hidayatullah, Tarjim al-An Cara Mudah Menerjemahkan Arab Indonesia, (Pamulang: Dikara,2010), h.139.
49
dipahami apabila hanya dialihkan menjadi bertakbir saja, dengan analogi kata takbir yang dimulai dengan preposisi ber adalah kata kerja yang pekerjaannya dilakukakan dengan mengucapkan kata takbir.14 Hal lainnya peneliti juga menemukan kekeliruan dalam penggunaan kata hubung. Kata ‘dan’ sebagai kata hubung memiliki fungsi sebagai penghubung dua buah klausa dalam sebuah kalimat majemuk,15 maka kata ini tidaklah tepat bila digunakan untuk menyusun kalimat ini. Menurut pandangan peneliti kata yang tepat adalah digunakan kata ‘dengan’ yang memiliki fungsi menyatakan cara atau sifat perbuatan.16
21. .ﺛﻢ ﯾﺼﻨﻊ ذﻟﻚ ﻓﻲ ﺑﻘﯿﺔ ﺻﻼﺗﮫ kemudian dalam raka’at lainnya beliau melakukan hal yang sama. Pada pengalihan di atas peneliti melihat pengalihan yang baik, namun ada sekit kekurangan saja yaitu dalam pengalihan kata hubung yang tetap menggunakan kata kemudin. Sebaiknya kata hubung ini digunakan kata selanjutnya untuk menghindari penggunaan kata kemudia yang selalu berkali-kali digunakan. 22.
،( ﻋﻠﻰ ﺷِﻘﱢﮫ اﻷﯾﺴﺮ4) ً وﻗﻌﺪ ﻣُﺘَﻮرﱢﻛﺎ،ﺣﺘﻰ إذا ﻛﺎﻧﺖ اﻟﺴﺠﺪة اﻟﺘﻲ ﻓﯿﮭﺎ اﻟﺘﺴﻠﯿﻢ أﺧﺮﱠ رﺟﻠﮫ Sehingga pada sujud yang diiringi dengan salam beliau mengakhirkan kedua telapak kakinya dan beliau duduk tawarruk (dengan menyentuhkan pantatnya ke tempat duduk) pada pantat sebelah kiri. 14 15 16
50
Selanjutnya penilaian yang peneliti dapat berikan yaitu peneliti menemukan adanya ketidak tepatan dalam pemilihan diksi terjemahan. Kekurang tepatan ini terdapat pada pengalihan klausa ﺣﺘﻰ إذا ﻛﺎﻧﺖ اﻟﺴﺠﺪة اﻟﺘﻲ ﻓﯿﮭﺎ اﻟﺘﺴﻠﯿﻢyang dialihkan menjadi “Sehingga pada sujud yang diiringi dengan salam”. Klausa ini diterjemahkan secara harfiah sehingga terasa sekali kekakuan dalam struktur penyusunnya. Akan lebih tepat bila klausa ini dialihkan dengan padanan yang lebih tepat dan lebih dipahami bagi pembaca bahasa sasaran. frase sujud yang diiringi dengan salam akan membuat pembaca berpikir keras dan terbelenggu dengan kata-kata yang sulit dipahami. Terlebih lagi tidak mustahil apabila pengalihan frase ini akan membuat pemahaman yang salah pada diri pembacanya. Peneliti memandang akan lebih tepat apabila frase ini dialihkan menjadi ‘tahiyat akhir’
23. . ھﻜﺬا ﻛﺎن ﯾﺼﻠﻲ ﺻﻠّﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ، ﺻﺪﻗﺖ:ﻗﺎﻟﻮا Mereka berkata: Kamu benar. Begitulah Rasulullah saw. Shalat. Pada pengalihan di atas peneliti melihat penerjemah dapat memberiak pengalaihhan yang tepat. Sehingga bahasa yang digunakan tidak lagi kaku serta dapat menyampaikan pesan yang terkandung. 24. ، »ﻛﻨﺖ ﻓﻲ ﻣﺠﻠﺲ ﻣﻦ أﺻﺤﺎب رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠّﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ:وﻓﻲ رواﯾﺔ ﻗﺎل Dalam satu riwayat Abû Hamid berkata: saya pernah berada dalam majlis bersama para sahabat Rasulullah saw. la berkata: terangkanlah Shalat Rasulullah saw. Pengalihan kurang tepat yang peneliti temukan pada pengaliihan frase dalam satu riwayat. Kata رواﯾﺔyang terdapat pada teks sumber adalah kata yang masuk
51
kedalam golongan kata tak takrif. Dalam bahasa sasaran kata ini biasanya akan dialihkan menjadi seseorang, sebuah atau suatu di depan makna dasarnya mengikuti konteks yang ada, atau dengan tidak menambahkan dengan kata apapun. 17 Namun dalam pengalihan kata ini dijadikan kata yang berjenis takrif yaitu ‘satu riwayat’, untuk itu peneliti berpendapat sebaiknya kata ini dialihkan menjadi ‘dalam sebuah riwayat’ saja. Penilaian selanjutnya yang dapat peneliti kemukakan adalah penilaian berkenaan dengan pengalihan ، ﻛﻨﺖ ﻓﻲ ﻣﺠﻠﺲ ﻣﻦ أﺻﺤﺎب رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠّﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ menjadi ‘Abû Hamid berkata: Saya pernah berada dalam majlis bersama para sahabat Rasulullah saw.’. Pengalihan tersebut peneliti pandang terindikasi adanya kekeliruan dalam mengalihkan pembicara yang meriwayatkan hadis di atas. Pengalihan Abû Humayd berkata mengesankan bahwa Abû Humayd lah yang menceritakan bahwa dirinya yang berada dalam majlis. Namun, apabila melihat konteks dan teks asli hadis ini pada kitab Sunan Abû Dawud sangat jelas bahwa menyampaikan hal itu bukanlah Abû Humayd tetapi Muhammad bin ‘Amr bin Ata.18 Dengan landasan ini maka penerjemahan Abû Humayd berkata’ memiliki ketidak tepatan dalam menyampaikan pesan yang ada. Bila meninjau keutuhan teks, peneliti melihat penulis mengawali kalimat ini dengan struktur kata tak takrif bertujuan untuk memunculkan hadis yang sebangun isinya tanpa mencantumkan periwayat hadis. hal ini dimaksudkan agar pembaca memahami bahwa hadis ini adalah hadis lain yang bukan lagi diriwayatkan
17
18
Abû Dâwud Sulaiman bin al-Asyas as-Sajastani, Abû Dawud. Sunan Abû Dâwud, (Beirut: Dâr alFikr.2003).h. 279
52
oleh Abû Humayd. Untuk itu pengalihan yang tepat menurut peneliti adalah ‘dalam suatu riwayat dijelaskan : aku pernah berada di dalam sebuah majlis sahabat Rasul’. Berkenaan dengan permasalahan di atas, disebabkan dalam teks asli tidak dicantumkannya periwat hadis, maka sebaiknya pengalihan frase ini dicarikan padanan yang tepat tanpa mencantumkan periwayat hadis untuk menghindari kesalahan dalam penyampaian pesan. Hal lainnya yang peneliti dapat kemukakan yaitu ketidak tepatan dalam menyampaikan pesan. Kesalahan penyampain pesan itu terdapat ketika penerjemah memasukan kata bersama dalam menyusun kalimat aku pernah berada dalam majlis bersama para sahabat Rasulullah Saw. Namun pesan yang terdapat pada kalimat itu adalah pembicara ingin menyampaikan bahwa dirinya berada di sebuah perkumpulan yang di dalamnya terdapat para sahabat Rasulullah Saw. Namun tidak di munculkan secara jelas apakah benar dirinya berada bersama ataukah dirinya hanya mendengar.
25. ، اذﻛﺮوا ﺻﻼﺗﮫ:ﻗﺎل la berkata: terangkanlah Shalat Rasulullah saw. Pada pengalihan di atas peneliti melihat adanya ketidak jelasan penggunaan kata ganti orang ketiga tunggal ‘ia’ yang disandarkan kepada subjek yang tidak jelas. Ketidak jelasan penggunaan kata ganti ini mengakibatkan kesulitan bagi pembaca untuk memahaminya. Peneliti berpendapat sebaiknya kata ini dialihkan menggunakan kalimat tak langsung yang dilesapkan subjeknya serta merubah total struktur yang
53
ada. Untuk itu peneliti merasa akan lebih baik apabila klausa ini dialihkan menjadi ‘maka mereka pun diminta untuk menjelaskan salat Rasulullah Saw. 26. وﻓ ﺮﱠج، ﻓ ﺈذا رﻛ ﻊ أﻣْﻜَ ﻦ ﻛﻔّﯿ ﮫ ﻣ ﻦ رﻛﺒﺘﯿ ﮫ:ﻓﻘ ﺎل أﺑ ﻮ ﺣﻤﯿ ﺪ ـ ﻓ ﺬﻛﺮ ﺑﻌ ﺾ ھ ﺬا اﻟﺤ ﺪﯾﺚ ـ ﻓﺘ ﺬﻛﺮ ، (6) وﻻ ﺻﺎﻓِﺢٍ ﺑﺨﺪﱢه، ﻏﯿﺮ ﻣُﻘْﻨِﻊ رأﺳﮫ،( ﻇﮭﺮه5) وھَﺼَﺮ،ﺑﯿﻦ أﺻﺎﺑﻌﮫ Lalu Abû Hamid berkata: (lalu ia menyebutkan sebagian hadits ini). riwayat tersebut menyebutkan: ketika Rasulullah saw. ruku’, maka beliau merengangkan kedua telapak tangannya pada kedua lututnya, merenggangkan jari-jarinnya, mencondongkan punggungnya dengan tidak menundukan kepalanya dan tidak menampakan permukaan pipinya. Penialaian lainnya yang peneliti dapat kemukakan adalah ketidak akuratan dalam mengalihkan kalimat ‘lalu Abû Humyd berkata : (lalu ia menyebutkan sebagian hadis ini). Riwayat itu menyebutkan’. Ketidak akuratan itu antara lain ketidak tepatan diksi pada pengalihan lalu Abû Hamid berkata:. Peneliti memandang klausa ini muncul sebagai bentuk klausa jawaban atas permintaan seseorang yang meminta agar di jelaskan tentang salat Rasulullah yang ditujukan kepada para sahabat Rasul. Sebagai bentuk jawaban dari sebuah permintaan, maka klausa yang di munculkan seharusnya dapat mengakomodir suasana konteks yang ada dengan menggunakan bahasa yang mengalir sehingga mudah dipahami. Dari konteks ini terlihat Abû Humayd menjadi perwakilan dari para sahabat Rasulullah untuk menerangkan salat Rasul. Peneliti berpendapat sebaiknya klausa ini
dialihkan
menggunakan tehnik jiyadah yaitu menambahkan kata yang tidak ada dalam klausa pada teks sumber agar pesan yang ada dapat tersampaikan dengan baik. Peneliti memnerikan opsi agar klausa ini dialihkan menjadi ‘mendengar permintaan itu Abû Humayd pun menjelaskan’.
54
Hal lainnya yang peneliti juga rasa sebagai suatu hal yang kurang tepat yaitu pada pengalihan jumlah mutaridhoh ( kalimat sampiran atau jeda) yaitu ‘lalu ia menyebutkan sebagian hadis ini’. Didasarkan bahwa teks sumber adalah teks modern maka kalimat jeda ini tidaklah sulit untuk ditentukan. Menurut kelaziman yang ada pada bahasa sasaran kalimat ini dialihkan dengan menggunakan tanda pisah. Namun penerjemah menggunakan tanda kurung untuk mengalihkannya, Sehingga klausa ini berfungsi sebagai klausa penjelas. Hal ini berakibat pada pemahaman yang salah di kalangan pembaca teks sasaran. Ketidak tepan juga terdapat pemilihan diksi kalimat sampiran ini. Penggunaan kata lalu ia menyebutkan sebagian hadis ini, peneliti lihat
27. واﺳ ﺘﻘﺒﻞ،( وﻻ ﻗﺎﺑِﻀ ﮭﻤﺎ1) »إذا ﺳ ﺠﺪ وﺿ ﻊ ﯾﺪﯾ ﮫ ﻏﯿ ﺮ ﻣُﻔْﺘ ﺮش: ﻗ ﺎل:وﻓ ﻲ رواﯾ ﺔ أﺧ ﺮى . «ﺑﺄﻃﺮاف أﺻﺎﺑﻌﮫ اﻟﻘﺒﻠﺔ Dalam riwayat yang lain lagi Abû Humaidi menyatakan: ketika beliau sujud, maka beliau meletakan kedua tangannya, tidak meletakan kedua hastanya, tidak menggegamkannya, dan menghadapkan ujung-ujung jarinya kearah kiblat. Pengalihan yang kurang tepat juga penliti temukan pada pengalihan frase وﻓﻲ رواﯾﺔmenjadi dalam satu riwayat. Kata رواﯾﺔadalah kata tak takrif yang dalam bahasa Indonesia biasanya akan dialihkan menjadi seseorang, sebuah atau suatu di depan makna dasarnya, atau tanpa penambahan apapun19. Bila kata tak takrif ini dialihkan menjadi satu, maka kata ini adalah masuk kedalam kategori takrif. Sehingga peneliti melihat sebaiknya kata ini akan lebih tepat bila dialihkan menjadi dalam sebuah riwayat.
19
Syarif Hidayatullah, Tarjim al-An Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia, (Pamulang: Dikara, 2010), h. 111.
55
Selanjutnya peneliti juga menemukan pengalihan yang salah pesan dalam mengalihkan frase ﻗﺎل: وﻓﻲ رواﯾﺔ أﺧﺮىmenjadi dalam riwayat yang lain Abû Humaidi menyatakan:. Pengalihan Abû Hamid menyatakan mengesankan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Abû Hamid. Namun peneliti menganalisa bahwa periwayat hadis yang menyampaikan hadis ini bukanlah Abû Hamid tetapi Muhammad bin Amr bin Ata20 dan tidak ada nama Abû Hamid tercantum dalam periwayatan hadis tersebut. Dengan mengalihkan seperti ini menjadikan pengalihan hadis ini menjadi salah pesan dan berpengaruh kepada pemahaman yang salah bagi kalangan pembaca. Dikarenakan pada teks asli kitab Fiqh al-Islâm wa Adilatuh juga tidak dicantumkan periwayat hadis secara utuh dan hanya mengutip matannya saja, maka pengalihan yang harus dilakukan penerjemah sebaiknya tanpa mencantumkan apapun serta hanya menerjemahkan matan hadisnya saja. Untuk itu pengalihan yang tepat untuk mengalihkan kalimat pembuka sebelum menerjemahkan matan hadis di atas sebaiknya menggunakan pola kata tak takrif seperti teks aslinya. Peneliti menganggap pengalihan yang tepat adalah ‘dalam sebuah riwayat lain dijelaskan’.
28.
اﻟﻠﮭ ﻢ رﺑﻨ ﺎ، ﺳ ﻤﻊ اﷲ ﻟﻤ ﻦ ﺣﻤ ﺪه:ـ ﻓﻘ ﺎل
ـ ﯾﻌﻨ ﻲ ﻣ ﻦ اﻟﺮﻛ ﻮع
»ﺛ ﻢ رﻓ ﻊ رأﺳ ﮫ:وﻓ ﻲ رواﯾ ﺔ ﻗ ﺎل 21 . « ورﻓﻊ ﯾﺪﯾﮫ،ﻟﻚ اﻟﺤﻤﺪ
Dalam riwayat yang lain lagi ia berkata: kemudian beliau mengangkat kepalanya, yakni dari ruku’, maka beliau membaca: sami’a Allahu liman hamidah, Allahumma Rabbana laka al-hamdu dan mengangkat kedua tanganya. 22
20
Sulaiman bin al-Asyas as-Sajastani, Abû Dawud. Sunan Abû Dawud, (Beirut: Dar al-Fikr.2003). h. 280 21 Dr. Wahbah Al-Zuahaili, Fiqh Al-Islâm Wa Adilatuh (Beirut: Dâr Al-Fikr, 2004).h.572
56
Pengalihan yang kurang tepat juga penliti temukan pada pengalihan frase وﻓﻲ رواﯾﺔmenjadi dalam satu riwayat. Kata رواﯾﺔadalah kata tak takrif yang dalam bahasa Indonesia biasanya akan dialihkan menjadi seseorang, sebuah atau suatu di depan makna dasarnya, atau tanpa penambahan apapun23. Bila kata tak takrif ini dialihkan menjadi satu, maka kata ini adalah masuk kedalam kategori takrif. Sehingga peneliti melihat sebaiknya kata ini akan lebih tepat bila dialihkan menjadi dalam suatu riwayat. Hal lain yang peneliti dapat kemukakan adalah kesalahan pesan ketika mengalihkan frase menjadi dalam riwayat yang lain ia berkata:. Kesalahan juga berkenaan dengan kesalahan menuliskan periwayat hadis. kesalahan itu terdapat pada frase ia berkata, berindikasi bahwa hadis ini diriwayatkan juga oleh Abû Hamid. Namun bila diteliti pada kitab Sunan Abû Dawud, hadis ini bukanlah diriwayatkan oleh Abû Huamidi namun oleh Abas bin Ayas bin Sahl. Oleh karena itu, untuk menghindari kesalahan dalam menuliskan periwayat hadis ini sebaiknya farse ini dialihkan tanpa menggunakan atau mencantumkan kata ganti orang ketiga tunggal. Peneliti berpendapat akan lebih tepat apabila frase ini dialihkan menjadi dalam sebuah hadis dijelaskan. Kekurang tepatan yang lain yang peneliti dapati yaitu dalam mengalihkan kalimat jeda atau sampiran. Bila berpegang pada teori penulisan kalimat ini pada bahasa sasaran, seharusnya kalimat ini tetap seperti apa adanya saja tanpa menggunakan tanda koma. Bila menggunakan tanda koma mengindikasikan bahwa
22
Dr. Wahbah Al-Zuhaili, Fiqih Shalat Kajian Berbagai Mazhab, penerjemah Prof. K.H. Masdar Helmy, (Bandung:2004), h. 4 23 Syarif Hidayatullah, Tarjim al-An Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia, (Pamulang: Dikara, 2010), h. 111.
57
kalimat sampiran ini menjadi satu kesatuan dengan kalimat sebelumnya. Sedangkan kalimat sampiran ini tidak memiliki tugas selain hanya menjadi bantuan penjelas saja. Untuk itu, maka peneliti berpendapat kalimat ini di alihkan menjadi ‘-dari ruku-‘ saja. Hal lain yang peneliti lihat sebagai kekurang tepatan yaitu pemilihan diksi dimana kata إذاyang diterjemahkan menjadi ketika yang seharusnya akan lebih tepat dialihkan menjadi apabila. Terjemahan di atas juga terdapat pemborosan dalam penggunaan kata, kata ﻛﺒﱠﺮmenjadi ‘membaca takbir’. Peneliti melihat kata ﻛﺒﱠﺮakan cukup dipahami apabila hanya di alihkan menjadi bertakbir saja, dengan analogi kata takbir yang dimulai dengan preposisi ber adalah kata kerja yang pekerjaannya dilakukan dengan cara mengucapkan kata takbir.24 Selanjutnya peneliti juga menemukakan kekeliruan dalam penggunaan kata hubung. Kata ‘dan’ sebagai kata hubung memiliki fungsi sebagai penghubung dua buah klausa dalam sebuah kalimat majemuk25, maka kata ini tidaklah tepat bila digunakan untuk menyusun kalimat ini. kata yang tepat menurut peneliti adalah kata ‘dengan’ yang memiliki fungsi menyatakan cara atau sifat perbuatan.26 Hal ini diindikasikan bahwa tata cara bertakbir dalam salat adalah dengan mengucapkan kalimat takbir yang diikuti mengangkat kedua belah tangan. Hal lainnya yang peneliti anggap sebagai sebuah ketidak tepatan yaitu pengalihan frase maka beliau membaca. Kata membaca memiliki pengertian yaitu kata kerja yang dilakukan dengan menggunakan alat bantu tulisan seperti membaca buku, membaca Koran atau lainnya. Dengan alasan itu maka kata membaca di sini 24
Redaksi TrasnMedia, Panduan EYD dan Tata Bahasa Indonesia, (Jakarta: TransMedia, 2010), h 45. Ibid, h.71. 26 Redaksi TrasnMedia, Panduan EYD dan Tata Bahasa Indonesia, (Jakarta: TransMedia, 2010), h.72.
25
58
kurang tepat untuk dijadikan diksi pengalihan. Peneliti memandang akan lebih tepat apabila digunakan kata ‘mengucap’ sebagai pilihan diksi. Kemudian ketidak tepatan yang lainnya adanya kata hubung yang tidak diterjemahkan sehingga akan berakibat kepada pemahaman yang salah. Peneliti melihat kata hubung yang mengapit frase sami’a Allahu liman hamidah dan Allahumma Rabbana laka al-hamdu, seharusnya tetap dipertahankan atau setidak-tidaknya dicarikan kata yang sepadan. Hal ini untuk dapat membedakan antara ucapan iktidal dan doanya. Peneliti berpendapat sebaiknya frase ini dialihkan menjadi sami’a Allahu liman hamidah seraya berdoa Allahumma Rabbana laka al-hamdu. Berhubungan dengan paragraf ini peneliti berpendapat paragraf pertama dan kedua pada halaman ini akan lebih tepat bila dijadikan satu dengan membentuknya menjadi beberapa kalimat saja. Hal ini dikarenakan peneliti memandang antara paragraf
pertama dan kedua pada halaman ini memiliki korelasi. Seandainya
dipaksakan untuk dipisahkan, maka yang akan terjadi adalah sulitnya membuat hubungan yang baik antar paragraf dan akan menimbulkan pesan yang sulit dipahami oleh pembaca. Pendapat ini peneliti ambil mengingat buku ini adalah sebuah karya tulis. Sebagai bentuk karya tulis, maka persyaratan keparalelan antar paragraf harus diposisikan sebagai syarat mutlak. Selanjutnya kesalahan yang dapat peneliti kemukakan yaitu pada pengalihan menjadi ketika pada rakaat keempat, maka beliau meneruskan pantatnya yang kiri ke tanah dan mengeluarkan telapak kaki kirinya dari satu arah. Kesalahan itu terdapat pada pengalihan ketika pada rakaat ke empat yang peneliti anggap kurang tepat dalam
59
menggunakan varian kata hubung. Bila dicermati penggunaan kata ‘ketika’ terlalu sering digunakan penerjemah dalam menyusun konstruksi kalimat terjemahanya. Selanjutnya peneliti juga menemukan kekurang tepatan dalam menggunakan kata hubung pada frase ‘dan mengangkat kedua tanganya’. Penggunaan kata dan disini tidaklah tepat dikarenakan kata hubung dan, maka sebaiknya kata ini akan lebih tepat apabila digunakan kata serta. Kesalahan yang lainnnya peneliti menemukan adanya beberapa kesalahan dalam penulisan ejaan yang tepat. Kesalahan-kesalahan itu antara lain peneliti temukan penulisan kata rukuk27 dituliskan ruku’, penulisan kata salat 28 dituliskan shalat. Kesalahan yang lain yaitu pada penulisan kata rakaat 29 dituliskan raka’at, penulisan kata hadis30 dituliskan hadist. Kesalahan yang lain juga terdapat pada penulisan
kata tawaruk31 yang dituliskan miring dan menggunakan double w
menjadi tawwaruk. terakhir kesalahan ejaan ini penulisan Saw.32 Sebagai singkatan yang dituliskan menggunakan huruf kecil sluruhnya menjadi saw, samia
33
sami’a
Allahu liman hamidah, Allahumma Rabbana laka al-hamdu
29. وأﺧﺮج أﺑﻮ داود واﻟﺘﺮﻣﺬي واﻟﻨﺴﺎﺋﻲ ﻋﻦ رﻓﺎﻋﺔ ﺑﻦ راﻓﻊ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﮫ ﺣﺪﯾﺜﺎً ﻋﻠﱠﻢ ﻓﯿﮫ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠّﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ،رﺟﻼً ﺑﺪوﯾﺎً ﻛﯿﻔﯿﺔ اﻟﺼﻼة
27
Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan, di akses pada 2 januari 2011 dari http.www.pusatbahasa.depdiknas.go.id 28 Ibid 29 ibid 30 ibid 31 ibid 32 Redaksi TransMedia, Panduan EYD dan Tata Bahasa Indonesia, (Jakarta: Transmedia, 2010), h.11. 33 Hamid Nasuhi, dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, (Jakarta: Ceqda, 2006), h.50.
60
Abû Dawud, Al-Turmudzi, dan Al-Nasa’i meriwayatkan dari Rifa’ah bin Rafi’ r.a. bahwa Rasulullah saw. mengajari tata cara shalat kepada seorang badui, Dari hasil pengalihan teks terjemahan di atas, peneliti menemukan adanya kekurang tepatan dalam menuliskan kompilator yaitu Abû Dawud, al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i sebagai periwayat hadis. Seharusnya penulisan nama kompilator dituliskan pada akhir matan34. Bila diperhatikan dalam susunan hadis di atas bahwa periwayat hadis tersebut hanya memiliki satu periwayat hadis saja yaitu Rifa’ah bin Rafi’, sehingga pengalihan penerjemahan di atas dapat dialihkan menjadi Rifa’ah bin Rafi’ r.a meriwayatkan. sedangkan penerjemahan nama kompilator dituliskan sesuai dengan kelaziman yang dipakai pada bahasa sasaran yaitu HR Abû Dawud, alTirmidzi, dan al-Nasai.35 Selanjutnya peneliti juga menemukan adanya kekurang akuratan dalam mengalihkan klausa ًﻋﻦ رﻓﺎﻋﺔ ﺑﻦ راﻓﻊ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﮫ ﺣﺪﯾﺜﺎً ﻋﻠﱠﻢ ﻓﯿﮫ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠّﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ رﺟﻼ ﺑﺪوﯾﺎً ﻛﯿﻔﯿﺔ اﻟﺼﻼةyang dialihkan menjadi dari Rifa’ah bin Rafi’ bahwa Rasulullah saw. mengajari tata cara shalat kepada seorang badui. Penerjemahan ini memiliki ketidak tepatan dalam mengalihkan pesan yang ada dalam bahasa sumber kepada bahasa sasaran. Kalimat di atas adalah kalimat pengantar yang dihadirkan sebelum memasuki pembahasan mengenai matan hadis. kesalahan yang terjadi ketika penerjemah tidak menerjemahkan kata
yang menjadi pokok pembicaraan dalam
kalimat tersebut. Dengan tidak menerjemahkan kata ini maka ada ada pesan yang tak tersampaikan. Bila melihat struktur kalimat yang ada bahwa pesan yang ingin 34
Syarif Hidayatullah, Tajim al-An Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia (Pamulang: Dikara, 2010), h.53. 35 Syarif Hidayatullah, Tajim al-An Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia (Pamulang: Dikara, 2010), h.54.
61
disampaikan penulis buku asli dengan mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Rifa’ah bin Rafi’ bukan tentang tata pengajaran Rasul walaupun isi hadis membicarakan hal tersebut.
30. ﻓﯿﻀﻊ اﻟﻮﺿﻮء ـ ﯾﻌﻨﻲ ﻣﻮاﺿﻌﮫ، »إﻧﮫ ﻻ ﺗﺘﻢ ﺻﻼةُ أﺣﺪ ﻣﻦ اﻟﻨﺎس ﺣﺘﻰ ﯾﺘﻮﺿﺄ: ﻓﻘﺎل اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠّﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ـ Lalu Rasulullah saw. Bersabda: “sesungguhnya tidak sempurna shalat seseorang hingga ia berwudhu”. Penilaian selanjutnya yang dapat peneliti kemukakan adalah pengalihan kalimat ‘sesungguhnya tidak sempurna salat seseorang hingga ia berwudhu’. Peneliti menemukan adanya kekurang akuratan dalam memilih diksi sehingga terjemahan yang ada terasa kaku karna dihasilkan dari terjemahan yang sangat harfiah. Penggunaan kata tidak sempurna sebagai pengalihan seharusnya dapat dicarikan padanan yang lebih tepat dan lebih dapat dipahami. Sebaiknya kata ini diganti dengan kata sah saja. 31. ، ﺛﻢ ﯾﻘﺮأ ﺑﻤﺎ ﺷﺎء ﻣﻦ اﻟﻘﺮآن، وﯾُﺜْﻨﻲ ﻋﻠﯿﮫ، وﯾﺤﻤﺪ اﷲ ﻋﺰ وﺟﻞ،ﺛﻢ ﯾﻜﺒﺮ kemudian membaca takbir dan memuja kepada Allah, lalu mebaca Al-Quran yang beliau kehendaki, Kesalahan lainnya yang peneliti dapat kemukakan yaitu pengalihan frase menjadi kemudian membaca takbir dan memuja Allah, lalu membaca Al-Quran yang beliau kehendaki. Hasil penerjemahan di atas terasa sekali sebagai hasil terjemahan.
62
Hal itu terlihat pada pemilihan diksi dan kolokasi kata yang kurang tepat. Dari segi ketidak tepatan kolokasi kata peneliti mendapati penggunaan kata hubung yang kurang tepat. Kata hubung kemudian yang berfungsi sebagai kata hubung yang menyatakan waktu36 tidak lah tepat apabila digunakan untuk mengalihkan frase kemudian beliau bertakbir. Sebaiknya kata hubung yang digunakan pada frase ini adalah kata selanjutnya yang berfungsi menunjukan adanya sebuah aktifitas baru. Sedangkan dari segi diksi ketidak tepatan terlihat dimana penerjemah menerjemahkan kata ﯾﻜﺒﺮmenjadi membaca takbir. Kesalahan penggunaan diksi ini terdapat pada lima kali pengalihan kata ﯾﻜﺒﺮmenjadi membaca takbir. Peneliti berpendapat sebaiknya penerjemah agar dapat lebih memilih diksi yang cukup dipahami oleh para pembaca sasaran. Penggunaan kata yang kurang lazim akan menyulitkan pembaca untuk memamahi pesan dari sebuah tulisan. Untuk itu frase membaca takbir akan lebih tepat bila dipadankan dengan kata bertakbir saja. Disamping menggunakan diksi yang lebih tepat dan juga lebih efektif dalam membentuk kalimat yang akan lebih mudah dipahami oleh kalangan pembaca bahasa sasaran.
Ketidak tepatan lainnya adanya kesalahan pesan pada hasil terjemahan yang lagi-lagi terjadi akibat penerjemahan yang dilakukan secara harfiah. Kesalahan itu terdapat pada frase memuja kepada Allah, sedangkan maksud dari teks asli adalah membaca surat al-Fatihah. Pendapat peneliti ini berdasarkan kebiasaan yang ada dalam bahasa sasaran bahwa memuja Allah lebih cenderung menggunakan kata
36
Redaksi TransMedia, Panduan EYD dan Tata Bahasa Indonesia. (Jakarta: TransMedia: 2010). h.71
63
tahmid yaitu hamdalah. Namun di dalam praktek salat yang diucapkan bukan hanya terbatas pada kalimat tahmid saja, namun keseluruhan ayat dalam surat al-fatihah harus dibaca karena menjadi rukun syarat sah salat 32.
، ﺛﻢ ﯾﺮﻛﻊ ﺣﺘﻰ ﺗﻄﻤﺌﻦ ﻣﻔﺎﺻﻠُﮫ، اﷲ أﻛﺒﺮ:ﺛﻢ ﯾﻘﻮل lalu membaca takbir, lalu ruku’ hingga seluruh ruas tulangnya tenang. Penilaian pada pengalihan di atas penelit menemukan adanya ketidak tepatan dalam penggunaan kata hubung yang hampir berkali-kali digunakan kata lalu. Peneliti memandang agar kata hubung ini agar diberikan varian yang tepat agar setiap frase yang dibentuk menjadi mengalir seperti tulisan sehingga enak dibaca dan pembaca pun tidak jenuh karena penggunaan bahasa yang terlalu kaku. Kesalahan lainnya yaitu adanya kesalahan pesan dalam mengalihkan frase menjadi lalu ruku’ hingga seluruh tulangnya tenang. Sedangkan maksud dari kata disini adalah bermakna tuma’ninah yang dalam kamus istilah fiqh adalah berhenti sebentar dengan tenang37. Namun dalam terjemahan di alihkan menjadi ruas tulang yang tenang. Dalam praktek salat bukan hanya sebatas tulang saja yang harus tenang, namun sisi rohani maupun jasmani pun dianjurkan agar tetap tenang. Dalam fiqih berhenti sebentar (tuma’ninah) ini dijadikan rukun syarat sahnya salat. 33. ،ً ﺣﺘﻰ ﯾﺴﺘﻮي ﻗﺎﺋﻤﺎ، ﺳﻤﻊ اﷲ ﻟﻤﻦ ﺣﻤﺪه: ﺛﻢ ﯾﻘﻮل،ﺛﻢ ﯾﺮﻓﻊ Lalu mengangkat kepalanya, lalu membaca sami’a Allahu liman hamidah, hingga berdiri tegak 37
M. Abdul Mujib, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus,1994), h. 389
64
Selanjutnya ketidak tepatan terjemahan juga peneliti temukan pada penggunaan varian kata hubung. Penerjemah acap kali menggunakan kata lalu untuk menghubungkan antar klausa pada hadis di atas. Terlihat sebanyak tujuh kali penggunaan kata ini untuk pengalihan setiap kata hubung yang ditemui. Seharusnya penerjemah dapat menggunakan varian yang berbeda ketika menggunakan kata hubung. 34. ،ً وﯾﺮﻓﻊ رأﺳﮫ ﺣﺘﻰ ﯾﺴﺘﻮي ﻗﺎﻋﺪا، اﷲ أﻛﺒﺮ: ﺛﻢ ﯾﻘﻮل، ﺣﺘﻰ ﺗﻄﻤﺌﻦ ﻣﻔﺎﺻﻠﮫ، ﺛﻢ ﯾﺴﺠﺪ، اﷲ أﻛﺒﺮ:وﯾﻘﻮل lalu membaca takbir dan mengangkat kepalanya hingga duduk tegak, pada pengalihan di atas peneliti ingin memberikan koreksi terhadap ketidak tepatan penggunaan diksi kata. Klausa membaca takbir peneliti anggap sebagai klausa yang kurang lazim apabila digunakan untuk kalangan pembaca bahasa sasaran hal ini dikarenakan hasil terjemahan harfiah sehingga terlihat sekali kekakuannya, sebaiknya klausa ini dialihkan menjadi bertakbir saja.
Kesalahan lainnya yaitu adanya kesalahan pesan dalam mengalihkan frase menjadi lalu sujud hingga seluruh tulangnya tenang. Sedangkan maksud dari kata disini adalah bermakna tuma’ninah yang dalam kamus istilah fiqh adalah berhenti sebentar dengan tenang.38 Namun dalam terjemahan di alihkan menjadi ruas tulang yang tenang. Dalam praktek salat bukan hanya sebatas tulang saja yang harus tenang, namun sisi rohani maupun jasmani pun dianjurkan agar tetap tenang. Dalam fiqih berhenti sebentar (tuma’ninah) ini dijadikan rukun syarat sahnya salat.
38
M. Abdul Mujib, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus,1994), h. 389
65
35. ، ﺛﻢ ﯾﺴﺠﺪ ﺣﺘﻰ ﺗﻄﻤﺌﻦ ﻣﻔﺎﺻﻠُﮫ، اﷲ أﻛﺒﺮ:ﺛﻢ ﯾﻘﻮل lalu membaca takbir, lalu sujud hingga ruas–ruas tulangnya tenang pada pengalihan di atas peneliti menemukan kembali ketidak tepatan penggunaan diksi kata. Hal itu terlihat ketika penerjemah selalu mengalihkan Klausa membaca takbir. Dalam hal ini peneliti menganggap klausa yang kurang lazim ini digunakan dikarenakanb penerjemah masih tidak dapat keluar dari struktur bahasa sumber. Sebaiknya untuk kalangan pembaca bahasa sasaran ini dialihkan menjadi bertakbir saja menghindari penggunaan bahasa yang kaku.
36. ،وﯾﺮﻓﻊ ﺛﺎﻧﯿﺔ ﻟﯿﻜﺒﱢﺮ dan mengangkat kepala untuk kedua kalinya untuk membaca takbir. pada pengalihan di atas peneliti hanya ingin memberikan koreksi terhadap ketidak tepatan penggunaan diksi kata. Klausa membaca takbir peneliti anggap sebagai klausa yang kurang lazim apabila digunakan untuk kalangan pembaca bahasa sasaran sebaiknya klausa ini dialihkan menjadi bertakbir saja.
37.
:اﻟﻔَﺼْﻞُ اﻷوﱠل PASAL 1 Penerjemahan kata اﻟﻔَﺼْﻞُ اﻷوﱠلyang dialihkan menjadi pasal 1, peneliti melihat pengalihan frase ini kurang tepat. Kelaziman yang ada dalam bahasa Indonesia tidak
66
mengenal kata pasal dalam komposisi penulisan bagian-bagian buku. Peneliti berpendapat bahwa terjemahan ini terjadi karena penerjemahan melakukan terjemahan yang harfiah yang tidak dapat keluar dari struktur bahasa sumber. Seharusnya akan lebih tepat frase ini dapat dialihkan menjadi bab I saja.
38. وﻣﺸﺮوﻋﯿﱠﺘﮭﺎ وﺣﻜﻤﺔ ﺗﺸﺮﯾﻌﮭﺎ،ﺗﻌﺮﯾﻒ اﻟﺼﱠﻼة ﺣﻜﻢ ﺗﺎرك اﻟﺼﱠﻼة،ﻓﺮﺿﯿﱠﺘﮭﺎ وﻓﺮاﺋﻀﮭﺎ PENGERTIAN SHALAT, DISYARI’ATKAN DAN HIKMAHNYA, KEFARDHUAN DAN FARDHU-FARDHUNYA, SERTA HUKUM ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT Penilaian lainnya yang dapat peneliti berikan adalah penerjemahan judul pada bab ini seharusnya dapat diberi judul yang lugas, sehingga mudah dipahami. Penerjemahan judul bab di atas sangat panjang sehingga tidak efektif dalam struktur kalimatnya dan kurang menarik. Penerjemah dalam hal ini memiliki kekuasaan penuh untuk membuat terobosan penting dalam rangka menghasilkan keterpahaman bacaan bagi pembacanya. Terlebih lagi judul memaikan peran yang sangat penting bagi pemahaman awal atas uraian selanjutnya.39 Untuk itu penerjemah harus memiliki kreatifitas dalam memodifikasi judul yang menarik dalam setiap judul bab yang ingin diterjemahkan.
39.
:ﺣﻘﯿﻘﺔ اﻟﺼﻼة
39
Benny H. Hoed, “Tinjauan Atas Penerjemahan The Origin Of Species Karya Charles Darwin Ke Dalam Bahasa Indonesia,” Diktat Teori Dan permasalah Penerjemahan, 2007.
67
1.1 HAKEKAT SHALAT Pengalihan judul subbab hakikat salat hasil dari terjemahan frase ﺣﻘﯿﻘﺔ اﻟﺼﻼة, dalam pandangan peneliti kurang tepat. Dalam hal ini seharusnya padanan yang diambil untuk mengalihkan frase tersebut seyogyanya dapat mewakili seluruh pesan yang ingin disampaikan sehingga memudahkan pembaca untuk mencapai pemahaman awal bagi urai selanjutnya. Bila merujuk kepada makna hakikat yang berarti intisari, dasar, dan kenyataan yang sebenarnya.40 Maka penggunaan kata ini tidak dapat mewakili isi pesan yang ingin disampaikan dalam paragrafh penyusunnnya. Dengan dasar itu maka pemilihan kata yang tepat untuk pengalihan frase ini harus lugas dan berkaitan dengan isi pesan pada paragrapnya. Peneliti berpendapat akan lebih tepat bila frase ini dialihkan menjadi pengertian salat. 40.
، اﻟﺪﻋﺎء أو اﻟﺪﻋﺎء ﺑﺨﯿﺮ:اﻟﺼﻼة ﻟﻐﺔ Shalat menurut bahasa adalah do’a atau berdo’a untuk kebaikan, Penerjemahan di atas penulis melihat adanya gejala tautologi dalam berbahasa yaitu,. Penggunaan kata “doa” dan atau “berdoa untuk kebaikan”, tautologi merupakan satu perumusan kembali kata atau konsep dengan pengulangan makna yang sudah dikandung oleh kata yang hendak di uraikan atau dijelaskan.41 Seyogyanya kata dan klausa ini diterjemahkan salah satunya saja dan melesapkan yang lainnya, dikarenakan kata ini memiliki makna yang sama. Penggunaan
40
Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan, di akses pada 2 januari 2011 dari http.www.pusatbahasa.depdiknas.go.id 41 J.D. Parera, Teori Semantik, (Jakarta: Erlangga, 2004), h.196.
68
konjungsi ‘atau’ yang memisahkan “doa” dan “doa untuk kebaikan, juga dapat berakibat pada pemilihan pada salah satunya. Sedangkan maksud dari kata doa dan doa kebaikan adalah sama. Seharusnya kalimat ini diterjemahkan menjadi “Salat menurut bahasa adalah doa untuk kebaikan.”
41. .[ أي ادﻋﻮ ﻟﮭﻢ301/9: }وﺻﻞ ﻋﻠﯿﮭﻢ إن ﺻﻼﺗﻚ ﺳَﻜَﻦ ﻟﮭﻢ{ ]اﻟﺘﻮﺑﺔ:ﻗﺎل ﺗﻌﺎﻟﻰ .:….dan mendoalah untuk mereka, sesungguhnya do’a kamu itu menjadi ketenteraman jiwa bagi mereka. (QS.9:103) Penerjemahan yang kurang tepat juga peneliti temukan pada pengalihan frase ﻗﺎل ﺗﻌﺎﻟﻰyang dialihkan menjadi seperti dalam firman Allah swt. Peneliti memandang ketidak tepatan terjadi ketika penerjemah menggunakan kata ‘seperti’ untuk menjadi padanan frase ini. Sedangkan kemunculan frase ini adalah ingin memunculkan ayat sebagai dasar hukum pengambilan makna salat secara bahasa. Sehingga pengalihan yang tepat untuk menerjemahkan kata ini adalah berdasarkan firman Allah Swt. Ayat وﺻﻞ ﻋﻠﯿﮭﻢ إن ﺻﻼﺗﻚ ﺳَﻜَﻦ ﻟﮭﻢadalah penggalan ayat 103 dari surat alTaubah dari yang dikutip oleh penulis sebagai penjelas pengertian kata salat yang bermakna doa. Namun dalan kontruksi ayat keseluruhan frase ini berkedudukan sebagai bentuk perintah Allah untuk Rasulullah setelah perintah pertama yaitu mengambil sedekah dari harta orang mukmin untuk membersihkan dan menyucikan dosa mereka.42 Peneliti berpendapat penerjemahan ayat ini sebaiknya huruf وyang
42
Muhammad Nasib Ar-Rifa’i. Taisiru al-Aliyul Qadir li Ikhtisari Tafsir Ibnu Katsir (Riyadh: Maktabah Ma’arif, 1989)
69
mengawali frase ini agar tetap diterjemahkan agar tidak terjadi pesan yang terputus. Walaupun ayat ini hanya menjadi rujukan dalil pengertian salat sebagai doa. Selanjutnya peneliti juga mendapati pemilihan diksi yang kurang tepat terjadi pada kata
ﺻﻞyang dialihkan menjadi mendoalah. Kata ﺻﻞadalah ﻓﻌﻞ اﻻﻣﺮyang
memiliki fungsi sebagai pembentuk kalimat perintah, sehingga kata ini seharusnya dapat dialihkan sesuai dengan fungsinya. Meskipun penerjemah telah penggunakan partikel lah yang berfungsi sebagai pembentuk kalimat perintah yang digunakan di belakang kata kerja43 mendoa, namun hal ini belum dapat memunculkan fungsi yang seharusnya. Hal ini dikarenakan kata kerja yang digunakan menggunakan sufiks me. Pengalihan akan tepat bila partikel ini digAbûngkan dengan kata kerja yang berimbuhan ber, sehingga lebih tepat apabila kalimat ini dialihkan menjadi berdoalah. Di sisi lain pengalihan di atas juga terdapat kekurang tepatan dalam penggunaan tanda baca. Penggunaan tanda koma untuk memisahkan frase ‘mendoalah untuk mereka’ dengan ‘sesungguhnya doa kamu’ berakibat pada ketidakjelasan struktural. Klausa ‘sesungguhnya doa kamu’ merupakan kalimat baru yang muncul sebagai jawaban tujuan Allah memerintakan Rasulullah berdoa untuk orang-rang yang mengeluarkan sedekah.44 Berlandaskan hal itu, sebaiknya klausa ini dipisahkan dengan menggunakan tanda titik. Analisa lainnya peneliti melihat pemilihan diksi kata ﺳَﻜَﻦyang dialihkan menjadi ketentraman menurut peneliti diksi yang dipilihkan kurang tepat, sebaiknya
43
Redaksi TransMedia, Panduan EYD dan Tata Bahasa Indonesia, (Jakarta: Transmedia,2010), h.50. Ar-Rifai’I, Muhammad Nasib. Taisiru al-Aliyul Qadir li Ikhtisari Tafsir Ibnu Katsir (Riyadh: Maktabah Ma’arif, 1989)
44
70
kata ﺳﻜﻦ
akan lebih tepat diterjemahkan menjadi penyejuk sehingga klausa ini
seharusnya dapat dialihkan menjadi penyejuk hati bagi mereka. Sedangkan frase doa kamu seharusnya dapat dituliskan hanya menjadi doamu saja agar keefektifan dalam pemakain kata dapat terjaga.
42. . ﻣﺨﺘﺘﻤﺔ ﺑﺎﻟﺘﺴﻠﯿﻢ، ﻣﻔﺘﺘﺤﺔ ﺑﺎﻟﺘﻜﺒﯿﺮ، ھﻲ أﻗﻮال وأﻓﻌﺎل ﻣﺨﺼﻮﺻﺔ:ًوﺷﺮﻋﺎ menurut pengertian syara’ adalah ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan tertentu yang diawali dengan takbir dan ditutup dengan salam Ketidak tepatan terjemahan juga terdapat pada pengalihan kata ﺷﺮﻋﺎyang dialihkan menjadi syara’. Peneliti melihat penerjemah kurang tepat menggunakan kata syara sebagai bentuk pengalihan untuk kata ﺷﺮﻋﺎ, walaupun kata ini dikenal bagi orang yang mendalami ilmu agama terutama ilmu fiqih. Namun kata ini akan asing bila dihadapkan kepada pembaca awam. Untuk lebih tepatnya kata ini seharusnya dapat dialihkan mengikuti kelaziman yang ada dalam bahasa Indonesia. Kelaziman yang ada pada bahasa sasaran apabila ada pengertian secara bahasa maka akan diikuti pula pengertian secara istilahnya. Maka akan lebih tepat kata ini dapat dialihkan menjadi sedangkan menurut istilah salat adalah. Kesalahan yang lain yang peneliti temukan juga masih berkaitan dengan diksi yang tidak lazim. Kesalahan itu terjadi pada pengalihan klausa
ھﻲ أﻗﻮال وأﻓﻌﺎل
ﻣﺨﺘﺘﻤﺔ ﺑﺎﻟﺘﺴﻠﻲ، ﻣﻔﺘﺘﺤﺔ ﺑﺎﻟﺘﻜﺒﯿﺮ، ﻣﺨﺼﻮﺻﺔyang dialihkan menjadi ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan tertentu yang diawali dengan takbir dan ditutup dengan salam. Pemilihan diksi yang kurang tepat terdapat pada kata أﻓﻌﺎلmenjadi tindakan-tindakan, peneliti melihat pemilihan diksi ini tidak tepat untuk mengalihkan kata أﻓﻌﺎل. Akan
71
lebih tepat apabila kata ini dialihkan menjadi perbuatan saja tanpa menjamakkan. Begitu pula pengalihan kata ucapan juga dialihkan tanpa menjamakan. Selanjutnya ketidak tepatan pengalihan terjadi pada pengalihan klausa ﻣﺨﺘﺘﻤﺔ ﺑﺎﻟﺘﺴﻞ،ﻣﻔﺘﺘﺤﺔ ﺑﺎﻟﺘﻜﺒﯿﺮ ketidak tepatan terjadi ketika penerjemah mengalihkan kata diawali dan ditutup. Peneliti melihat seharusnya ada kombinasi yang sesuai dalam menggAbûngkan dua kata yang berlawanan. Seandainya penerjemah memilih kata ‘awal’ maka kata tersebut berpasangan dengan kata ‘akhir’, bila yang dipilih kata buka maka akan berpasangan dengan kata tutup. Namun dalam kasus ini peneliti lebih condong penggunaan kata diawali serta diakhiri yang lebih tepat dalam menyusun klausa ini.
43. :ﻣﺸﺮوﻋﯿﺘﮭﺎ 1.2 DISYARI’ATKANNYA SHALAT Peneliti menemukan adanya kekurang tepatan dalam pemilihan diksi pada pengalihan sub judul 1.2, pengalihan klausa
menjadi disyariatkannya salat
kurang tepat. Hal ini dikarenakan penggunaan kata syariat yang berkategorini nomina dan bermakna hukum agama yang menetapkan peraturan hidup manusia, hubungan manusia dengan manusia dan alam sekitar berdasarkan alquran dan hadis,45 maka akan lebih tepat bila klausa ini dialihkan menjadi ‘dasar kewajiban salat’. Pemilihan frase ini peneliti ambil karena disyariatkan merupakan kata yang kurang lazim digunakan dalam tutur bahasa sasaran.
45
Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan, di akses pada 2 januari 2011 dari http.www.pusatbahasa.depdiknas.go.id
72
44. :اﻟﺼﻼة واﺟﺒﺔ ﺑﺎﻟﻜﺘﺎب واﻟﺴﻨﺔ واﻹﺟﻤﺎع Shalat adalah wajib berdasarkan Al-Quran, Sunnah, dan ijma’: Pada pengalihan di atas peneliti mendapati pengalihan yang cukup nyaman dan baik dalam penggunaan diksi dan struktur kalimat. Oleh karena itu tidak ada analisa yang peneliti berikan pada terjemahana ini. 45. ،وﯾﻘﯿﻤﻮا اﻟﺼﻼة وﯾﺆﺗﻮا اﻟﺰﻛﺎة، }وﻣﺎ أﻣﺮوا إﻻ ﻟﯿﻌﺒﺪوا اﷲ ﻣﺨﻠﺼﯿﻦ ﻟﮫ اﻟﺪﯾﻦ ﺣﻨﻔﺎء: ﻓﻘﻮﻟﮫ ﺗﻌﺎﻟﻰ:أﻣﺎ اﻟﻜﺘﺎب 46 [89/5:وذﻟﻚ دﯾﻦ اﻟﻘﯿﱢﻤﺔ{ ]اﻟﺒﯿﻨﺔ Landasaan dalam Al-Quran adalah firman Allah: “Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (QS. 98:5).47 46. {
} :
[87/22: ] “….maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan berpeganglah kamu kepada tali Allah. Dia adalah pelindungmu, maka Dialah sebaik-baiknya Pelindung dan sebaik-baiknya Penolong.” (QS. 22:78)
Penerjemahan ayat 78 surat al-Hajj yang terdapat pada halaman ini, peneliti menemukan hasil terjemahan yang harfiah sehingga tidak dapat keluar dari struktur teks bahasa sumber dan terasa kaku, sehingga berakibat pada tingkat keterpahaman bacaan. Ayat ini merupakan penggalan ayat 78 surat al-Hajj, namun penggalan ayat
46
Dr. Wahbah Al-Zuahaili, Fiqh Al-Islâm Wa Adilatuh (Beirut: Dâr Al-Fikr, 2004). h. 574 Dr. Wahbah Al-Zuhaili, Fiqih Shalat Kajian Berbagai Mazhab, penerjemah Prof. K.H. Masdar Helmy, (Bandung:2004), h. 6
47
73
واﻋﺘﺼﻤﻮا ﺑﺎﷲ، ﻓﺄﻗﯿﻤﻮا اﻟﺼﻼة وآﺗﻮا اﻟﺰﻛﺎةadalah sebuah kalimat baru yang muncul sebagai jawaban atas gambaran nikmat-nikmat yang Allah berikaan pada kalimat sebelumnya. Dengan gambaran nikmat tersebut
Allah memerintahkan manusia
beberapa kewajiban berupa salat, zakat, dan berpegang kepada tali Allah. Berdasarkan bahwa kalimat ini adalah kalimat baru, maka menurut kelaziman yang ada dalam bahasa Indonesia permulaan dalam sebuah kalimat harus menggunakan huruf kapital pada awal huruf yang mengawalinya. Kesalahan yang lain adalah penggunaan kata yang berlebihan dalam mengalihkan kalimat ﻓﻨﻌﻢ اﻟﻤﻮﻟﻰ وﻧﻌﻢ اﻟﻨﺼﯿﺮmenjadi ‘Dialah sebaik-baiknya Pelindung dan sebaik-baiknya Penolong’. Penggunaan kata hubung ‘dan’ dalam klausa ini berfungsi sebagai kata hubung yang menggabungkan dua sifat yang tidak bertentangan. Dengan dasar itu maka penggunaan frase sebaik-baiknya pada kata Pelindung dan Penolong akan lebih tepat dituliskan hanya pada awal saja dan melesapkan yang lainnya.
47. .[301/4: ]{ }: `“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. 4:103)
Pada pengalihan cdi atas peneliti menemukan adanya klausa yang tidak diterjemahkan. Peneliti berpendapat sebaiknya klausa
ini tetap
diterjemahkan mengingat klausa ini adalah klausa pembuka yang ditujukan untuk menyambung pikiran pokok kalimat sebelumnya.
74
48. »ﺑﻨﻲ اﻹﺳﻼم ﻋﻠﻰ: ﺣﺪﯾﺚ اﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠّﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ أﻧﮫ ﻗﺎل: ﻣﻨﮭﺎ، ﻓﺄﺣﺎدﯾﺚ ﻣﺘﻌﺪدة:وأﻣﺎ اﻟﺴﻨﺔ وﺣﺞ اﻟﺒﯿﺖ، وﺻﻮم رﻣﻀﺎن، وإﯾﺘﺎء اﻟﺰﻛﺎة، وإﻗﺎمِ اﻟﺼﻼة، وأن ﻣﺤﻤﺪاً رﺳﻮل اﷲ، ﺷﮭﺎدة أن ﻻ إﻟﮫ إﻻ اﷲ،ﺧﻤﺲ (1) «ًﻣﻦ اﺳﺘﻄﺎع إﻟﯿﮫ ﺳﺒﯿﻼ Landasan dalam sunnah sangat banyak, di antaranya hadits Ibnu Umar dari Rasulullah saw. Beliau bersabda: “Islam dibangun atas lima landasan, yaitu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah , mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan haji ke baitullah bagi orang yang mampu menempuh jalannya.”
Dalam penerjemahan hadis kedua yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar peneliti melihat hasil terjemahan memiliki kekurang tepatan dalam menggunakan tanda baca. Seharusnya pada terjemahan hadis ini menggunakan tanda baca titik dua ( : ) yang berfungsi untuk menjelaskan sebuah pernyataan.48 Sehingga pengalihan yang tepat pada terjemahan ini adalah ‘Islam dibangun atas lima landasan, yaitu:’. Selanjutnya penilaian lain yang dapat peneliti berikan untuk terjemahan di atas adalah adanya kekurang tepatan dalam mengalihkan klausa ﺣﺪﯾﺚ اﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠّﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢmenjadi ‘hadis Ibnu Umar dari Rasulullah saw.’. pengalihan klausa tersebut akan berakibat kepada kesalahan dalam memahami kata hadis, sehingga akan menjadikan makna yang dipahami hadis yang dimaksud di sini adalah hadis milik Ibnu Umar. Sedangkan yang ingin disampaikan pada klausa tersebut adalah hadis yang diriwayatkan oleh ibnu Umar dari Rasulullah Saw. Dengan demikian, maka pengalihan yang tepat adalah dengan menambahkan kata diriwayatkan dan Rasulullah Saw., sehingga pengalihan yang tepat adalah hadis yang diriwayatkan
48
Redaksi TransMedia, Panduan EYD dan Tata Bahasa Indonesia, (Jakarta: Transmedia,2010), h.28.
75
Ibnu Umar dari Rasulullah Saw. Kekurangan yang lain dalam terjemahan ini yaitu tidak dituliskannya frase radiyallahu anhu atau disingkat r.a, yang menjadi kelaziman dalam menuliskan periwayat hadis pada bahasa sasaran. Kesalahan yang lain yang peneliti temukan adalah penggunaan kalimat yang kurang efektif dalam mengalihkan klausa ً و ﺣﺞ اﻟﺒﯿﺖ ﻣﻦ اﺳﺘﻄﺎع إﻟﯿﮫ ﺳﺒﯿﻼmenjadi dan menunaikan haji ke baitullah bagi orang yang mampu menempuh jalannya. Penerjemahan kalimat ini seyogyanya dapat lebih diefektifkan dengan syarat pesan yang ingin disampaikan dapat tersampaikan dan tidak menyalahi kaidah tata bahasa yang ada pada bahasa sasaran. Dengan hanya mengalihkan klausa ini menjadi ‘dan berhaji bagi yang mampu’, peneliti rasa lebih tepat dan telah mengakomodir pesan yang ingin disampaikan oleh teks sumber. 49. وأن ﻣﺤﻤﺪاً رﺳﻮل، أن ﺗﺸﮭﺪ أن ﻻ إﻟﮫ إﻻ اﷲ: »اﻹﺳﻼم: وﻓﻲ ﻣﻌﻨﺎه ﺣﺪﯾﺚ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ اﻟﺨﻄﺎب رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﮫ، . (2) « وﺗﺤﺞ اﻟﺒﯿﺖ إن اﺳﺘﻄﻌﺖ إﻟﯿﮫ ﺳﺒﯿﻼ، وﺗﺼﻮم رﻣﻀﺎن، وﺗﺆﺗﻲ اﻟﺰﻛﺎة، وﺗﻘﯿﻢ اﻟﺼﻼة،اﷲ Hadits lain yang semakna diriwayatkan juga dari Umar bin al-Khaththab r.a. bahwa Rasulullah saw. Bersabda: “ Islam adalah kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan ramadhan, dan menunaikan haji ke baitullah apabila kamu mampu menempuh jalannya.”
Selanjutnya kekurang tepatan juga peneliti temukan pada pengalihan klausa و ﻓﻲ ﻣﻌﻨﺎه ﺣﺪﯾﺚ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ اﻟﺨﻄﺎب رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﮫ, menjadi ‘Hadits lain yang semakna diriwayatkan juga dari Umar bin al-Khaththab r.a. bahwa Rasulullah saw. Bersabda:’ . Penggunaan frase ‘hadis lain yang semakna’ untuk pengalihan frase
وﻓﻲ ﻣﻌﻨﺎه
kurang tepat, frase ini ingin menggambarkan bahwa poin atau topik yang ingin disampaikan dalam hadis ini sama dengan hadis sebelumya. Dengan kata lain hadis
76
ini bermaksud menjadi pendukung hadis sebelumnya yang menyatakan salat adalah sebuah ibadah yang wajib, dan bukan ingin menggambarkan makna dari hadis tersebut. Sebaiknya frase ini dapat dialihkan dengan mencari padanan yang lebih mudah dipahami oleh pembaca. Ketidak efektifan kalimat juga peneliti temukan dalam pengalihan klausa وﺗﺤﺞ اﻟﺒﯿﺖ إن اﺳﺘﻄﻌﺖ إﻟﯿﮫ ﺳﺒﯿﻼyang dialihkan menjadi ‘dan menunaikan haji ke baitullah apabila kamu mampu menempuh jalannya’. Peneliti melihat kalimat ini kurang efektif dan terlalu panjang. Kalimat ini seharusnya dapat diperpendek dengan tetap mempertahankan pesan yang tersampaikan dan struktur kalimat yang baik dan sesuai dengan bahasa sasaran. Peneliti memandang apabila kalimat ini di alihkan menjadi ‘dan berhaji jika mampu’, akan lebih tepat dan lebih efektif dalam penggunaan kata dan kalimatnya. Penerjemahan yang dilakukan penerjemah di atas juga memiliki pemborosan dalam penggunaan kata. Hal ini terlihat ketika penerjemah menggunakan kembali kata kamu dalam mengalihkan klausa terakhir. Sedangkan kata kamu telah terdapat dalam klausa pertama yang telah mewakili keseluruhan klausa yang menyusun kalimat ini, terlebih lagi pengunaan kata ‘dan’ sebagai kata hubung di klausa terakhirnya. Kesalahan yang lain yang peneliti temukan adalah minimnya penggunaan kata ganti sebagai varian pembentukan kalimat dan pemborosan dalam penggunaan kata. Hal ini terlihat dalam pengalihan klausa وأن ﻣﺤﻤﺪاً رﺳﻮل اﷲ،أن ﺗﺸﮭﺪ أن ﻻ إﻟﮫ إﻻ اﷲ yang dialihkan menjadi kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Pada terjemahan ini terlihat adanya pengulangan
77
kata ‘bahwa’ dan belum maksimalnya penggunaan kata ganti. Penerjemah seharusnya dapat lebih efektif menggunakan kata dalam membentuk kalimat serta lebih bisa memberikan varian kata ganti dalam terjemahannya. penggunaan kata yang berlebihan akan membuat kalimat menjadi panjang dan sulit dipahami. Seharusnya klausa tersebut dapat dialihkan menjadi kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Sedangkan penulisan matan sebaiknya tidak dituliskan miring dan penulisan nama kompilator juga sebaiknya dituliskan mengikuti kelaziman yang ada dalam bahasa Indonesia. 50. 49
. ﻓﻘﺪ أﺟﻤﻌﺖ اﻷﻣﺔ ﻋﻠﻰ وﺟﻮب ﺧﻤﺲ ﺻﻠﻮات ﻓﻲ اﻟﯿﻮم واﻟﻠﯿﻠﺔ:وأﻣﺎ اﻹﺟﻤﺎع Adapun landasan dalam ijma’ adalah seluruh umat Islam telah sepakat atas wajibnya shalat lima kali dalam sehari semalam. 50 Kesalahan yang lain yang peneliti temukan adalah kesalahan pesan dalam mengalihkan frase ﻓﻘﺪ أﺟﻤﻌﺖ اﻷﻣﺔyang dialihkan menjadi seluruh umat Islam telah sepakat. Penggunaan kata umat islam ini mengesankan seolah-olah ijma ini dapat dilakukan oleh seluruh orang islam tanpa ada batas. Sedangkan maksud yang diinginkan dalam kata اﻷﻣﺔdi sini adalah para sahabat, mujtahid dan ulama. Pendapat peneliti didasarkan pengertian ijma yang memiliki definisi kesepakatan bulat yang dilakukan oleh ulama mujtahidin dalam suatu perkara berkenaan dengan hukum Islam dan berlaku sepanjang masa.51 Bila kata ini dialihkan menjadi seluruh umat Islam, maka hal ini akan bertentangan terhadap pendapat ulama. Bila hal ini dibaca
49
Dr. Wahbah Al-Zuhaili, Fiqh Al-Islâm Wa Adilatuh (Beirut: Dar al-Fikr, 2004). h. 574 Dr. Wahbah Al-Zuhaili, Fiqih Shalat Berbagai Kajian Mazhab. Penerjemah K.H Masdar Helmy (Bandung: 2004), h. 7 51 M. Abdul Mujib dan dkk, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus,1994), h.115. 50
78
oleh orang awam maka akan terjadi distorsi makna yang akan berakibat kesalah pahaman. Penerjemahan lain yang dapat peneliti kemukakan yaitu peneliti melihat diksi yang digunakan dalam mengalihkan frase ﺧﻤﺲ ﺻﻠﻮاتyang dialihkan menjadi ‘salat lima kali’ kurang tepat karena menggunakan ketidaklaziman kata yang dipilih (arkais). Peneliti berpendapat sebaiknya menggunakan kata yang lazim pada bahasa sasaran, sehingga teks atau kata tidak terasa asing di kalangan pembacanya. Oleh karena itu, sebaiknya frase dialihkan menjadi salat lima waktu.
Mengenai kesalahan ejaan, di bawah ini adalah beberapa terjemahan yang memperlihatkan gejala-gejala kekeliruan yang berkenaan dengan pemakain ejaan. Kesalahan penulisan kata yaitu Abû Humaidi al-Sâ’idi
52
dituliskan Abû Hamid Al-
Saidi, al-Bukhori dituliskan Al-Bukhôri, al-Tirmidzi dituliskan Al-Turmudzi, Abû Dâwud dituliskan Abû Dawud, Muhammad53 bin ‘Amr bin ‘Ata seharusnya dituliskan mengikuti pedoman trasliterasi sehingga tidak terjadi kesalahan dalam membaca, “sami’a54 Allahu liman hamidah”, salat 55 yang terdapat pada lima tempat dituliskan shalat dan kata Saw56 dituliskan tanpa menggunakan huruf kapital mengawali singkatan. Di samping itu kata rukuk57 dituliskan ruku’, beriktidal58 dituliskan beri’tidal, serta takbir yang dituliskan 52
miring
(italic) seharusnya
Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan, di akses pada 2 januari 2011 dari http.www.pusatbahasa.depdiknas.go.id 53 ibid 54 Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan, di akses pada 2 januari 2011 dari http.www.pusatbahasa.depdiknas.go.id 55 ibid 56 ibid 57 ibid 58 ibid
79
dituliskan tetap saja, karena kata ini sudah masuk kedalam pembendaharaan kata Indonesia dan bukan lagi menjadi kata asing.59 Kata yang lain juga memiliki kesalahan dalam penulisan ejaan yaitu sahabat yang dituliskan menjadi shahabat. penulisan samiallahu liman hamidah, kata al-Tirmidzi60 dituliskan Al-Turmudzi, alNasai61 dituliskan dan Al-Nasai, Rifa’ah bin Rafi’, alquran62 dituliskan Al-Quran. penulisan kata hakikat63 yang dituliskan hakekat , salat64 yang dituliskan shalat, fardu65 yang dituliskan fardhu,
syariat66 yang dituliskan syaria’t, doa67 yang
dituliskan do’a, syara’68 yang dituliskan syara’ mengingat kata ini adalah kata asing yang seharusnya dituliskan miring (italic), alquran69 dituliskan Al-Quran, sunah dituliskan sunnah70, serta ijma71 dituliskan ijma’ (kata ini merupakan kata asing yang juga belum terdapat pada pembendaharaan kata Indonesia). Kesalahan penulisan lainnya adalah penulisan kutipan langsung dari arti ayat. Seharusnya penulisan .:….dan mendoalah untuk mereka, sesungguhnya do’a kamu itu menjadi ketenteraman jiwa bagi mereka. (QS.9:103) dituliskan dengan tanda kutip ganda (“)
59
Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan, di akses pada 2 januari 2011 dari http.www.pusatbahasa.depdiknas.go.id 60 Hamid Nasuhi, dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, (Jakarta: Ceqda,2006), h.50. 61 Ibid, h.. 62 Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan, di akses pada 2 januari 2011 dari http.www.pusatbahasa.depdiknas.go.id 63 ibid 64 ibid 65 ibid 66 ibid 67 ibid 68 Redaksi TransMedia, Panduan EYD dan Tata Bahasa Indonesia, (Jakarta: Transmedia,2010), h.10. 69 Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan, di akses pada 2 januari 2011 dari http.www.pusatbahasa.depdiknas.go.id 70 ibid 71 Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan, di akses pada 2 januari 2011 dari http.www.pusatbahasa.depdiknas.go.id
80
pada awal dan akhir kutipan serta ditulis menjorok (tabbing) dalam satu spasi72. Bila memungkinkan akan lebih baik apabila kutipan itu ditulis terlebih dahulu dalam bahasa aslinya. Penulisan fardu73 yang dituliskan fardhu, , sunah74 yang dituliskan sunnah, hadis75 yang dituliskan hadist, Saw.76, yang dituliskan saw., Ramadan77 yang dituliskan ramadhan, serta ijma78 yang dituliskan ijma’. Dari hasil analisa lima halaman buku terjemahan Fiqh Al-Islâm Wa Adilatuh bab salat pada pasal 1 yang penulis jadikan objek penilaian yaitu beruapa 50 korpus data, maka peneliti dapat memberikan penilaian baik dari segi kualitas maupun nilai yang sekaligus menjawab perumusan pembatasan masalah yang peneliti ajukan. Dari segi kualitas di dapati dari hasil evaluasi yang peneliti lakukan adalah sebagai berikut: Dari segi ketepatan hasil terjemahan buku ini, peneliti mendapati beberapa terjemahan yang tidak tepat dalam mengalihkan pesan sesuai dengan maksud dan tujuan penulis asli yaitu sebanyak 10 data atau 20 %. Sedangkan 40 data lainnya atau 80 % data peneliti mendapati penerjemah telah menyampaikan pesan sesuai dengan pesan penulis. sehingga banyak pesan yang tidak tersampaikan secara benar. Namun Hal ini akan berakibat pada pemahaman yang sulit dan salah bagi kalangan pembaca teks sasaran dan juga akan menurunkan kualitas dan nilai terjemahan terjemahan yang ada. 72
Redaksi TransMedia, Panduan EYD dan Tata Bahasa Indonesia, (Jakarta: Transmedia,2010), h.33. ibid 74 Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan, di akses pada 2 januari 2011 dari http.www.pusatbahasa.depdiknas.go.id 75 ibid 76 ibid 77 ibid 78 ibid
73
81
Sedangkan dari sisi segi kejelasan peneiliti juga banyak menemukan pengalihan teks sumber yang jauh dari kelaziman pada bahasa sasaran. Hal itu terlihat dari penggunaan diksi yang banyak menggunakan kata-kata yang kurang tepat dan salah. Selanjutnya penggunaan kalimat yang tidak efektif serta penggunaan tanda baca yang tidak baku. Kesalahan-kesalahan ini, juga akan berakibat kepada menurunnya kualitas dan nilai dari terjemahan. Dari segi kewajaran peneliti menemukan bahwa terjemahan buku ini tidak dapat memenuhi tingkat kewajaran dalam kualitas terejmahan. Hal ini dikarenakan fase-fase kualitas sebelumnya tidak dapat dilewati sehingga peneliti dapat menentukan bahwa terjemahan ini adalah tejemahan buruk. Setelah kualitas terjemahan dapat peneliti berikan, maka di bawah ini peneliti akan memberikan penilaian matematis berupa persentase kesalahan dari keseluruhan untuk terjemahan kitab Fiqh Al-Islam Wa Adillatuh pada bab salat pasal 1 yaitu sebagai berikut: Dari 50 korpus data yang peneliti ambil peneliti mendapatkan 32 data atau 64 % data menggunakan kalimat yang kaku serta tidak sesuai dengan kelaziman penggunaan bahasa sasaran. Dari hasil tersebut maka peneliti dapat menentukan Terjemahan kitab Fiqh Al-Islam Wa Adillatuh pada bab salat pasal 1 berkategori buruk dan sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan yang lebih dalam. Namun disisi lain 36 persen terjemahan buku ini sudah baik dan telah menggunakan bahasa yang mengalir.
82
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil analisa lima halaman buku terjemahan Fiqh Al-Islâm Wa Adilatuh bab salat pada pasal 1 yang penulis jadikan objek penilaian yaitu beruapa 50 korpus data, maka peneliti dapat memberikan baik dari segi kualitas maupun nilai yang sekaligus menjawab perumusan pembatasan masalah yang peneliti ajukan. Dari segi kualitas di dapati dari hasil evaluasi yang peneliti lakukan adalah sebagai berikut: Dari segi ketepatan hasil terjemahan buku ini, peneliti mendapati beberapa terjemahan yang tidak tepat dalam mengalihkan pesan sesuai dengan maksud dan tujuan penulis asli yaitu sebanyak 10 data atau 20 %. Sedangkan 40 data lainnya atau 80 % data peneliti mendapati penerjemah telah menyampaikan pesan sesuai dengan pesan penulis. sehingga banyak pesan yang tidak tersampaikan secara benar. Namun Hal ini akan berakibat pada pemahaman yang sulit dan salah bagi kalangan pembaca teks sasaran dan juga akan menurunkan kualitas dan nilai terjemahan terjemahan yang ada. Sedangkan dari sisi segi kejelasan peneiliti juga banyak menemukan pengalihan teks sumber yang jauh dari kelaziman pada bahasa sasaran. Hal itu terlihat dari penggunaan diksi yang banyak menggunakan kata-kata yang kurang tepat dan salah. Selanjutnya penggunaan kalimat yang tidak efektif serta penggunaan tanda baca yang tidak baku. Kesalahan-kesalahan ini, juga akan berakibat kepada menurunnya kualitas dan nilai dari terjemahan.
82
83
Dari segi kewajaran peneliti menemukan bahwa terjemahan buku ini tidak dapat memenuhi tingkat kewajaran dalam kualitas terejmahan. Hal ini dikarenakan fase-fase kualitas sebelumnya tidak dapat dilewati sehingga peneliti dapat menentukan bahwa terjemahan ini adalah tejemahan buruk. Setelah kualitas terjemahan dapat peneliti berikan, maka di bawah ini peneliti akan memberikan penilaian matematis berupa persentase kesalahan dari keseluruhan untuk terjemahan kitab Fiqh Al-Islam Wa Adillatuh pada bab salat pasal 1 adalah dari 50 korpus data yang peneliti ambil peneliti mendapatkan 32 data atau
64 %
data menggunakan kalimat yang kaku serta tidak sesuai dengan kelaziman penggunaan bahasa sasaran. Dari hasil tersebut maka peneliti dapat menentukan Terjemahan kitab Fiqh Al-Islam Wa Adillatuh pada bab salat pasal 1 berkategori buruk dan sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan yang lebih dalam. Namun disisi lain 36 persen terjemahan buku ini sudah baik dan telah menggunakan bahasa yang baku dan lazim pada bahasa sasaran. Setelah meganalisa terjemahan yang terdapat pada buku terjemahan Fiqh alIslam wa Adillatuh,
maka peneliti dapat menyimpulkan hasil terjemahan buku
tersebut memiliki beberapa kekurangan dan dibutuhkan tinjauan-tinjaun lanjutan untuk memperbaiki dan menutupi sisi-sisi terjemahan yang kurang itu, guna menghasilkan terjemahan yang baik namun tidak keseluruhan terjemahnbuku ini buruk ada juga hasil terjemahan yang sudah baik dan dapat menyampaikan pesan secara tepat. Hal itu terlihat tidak ada satu pun dari hasil terjemahan pada buku itu yang memiliki kesalahan yang fatal dalam pengalihan struktur gramatikal maupun morfologi dari bahasa sumber (Arab) kepada bahasa sasaran (Indonesia),dengan kata
84
lain penerjemah sangat memahami seluk beluk bahasa sumber namun kurang memahami seluk beluk bahasa sasaran.
B. Saran Ada beberapa saran yang dapat peneliti berikan di sini, antara lain yaitu: 1. seandainya nanti buku ini diterbitkan untuk kedua kalinya, disarankan untuk meneliti kembali terjemahan di dalamnya agar memenuhi syarat keterbacaan dan sifat komunikatif yang baik. 2. Disarankan agar diadakannya tim penyunting yang dapat mengurangi kesalahankesalahan demi tercapainya sisi keterbacaan yang baik pada hasil terjemahan. 3. Agar setiap para penerjemah untuk dapat lebih menguasai bahasa sasaran yang baik sehingga pemadanan teks yang sesuai bagi kalangan pembaca teks sasaran dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA Al-Rifai’i, Muhammad Nasib. Taisiru al-Aliyul Qadir li Ikhtisari Tafsir Ibnu Katsir. Riyadh: Maktabah Ma’arif, 1989. Al-Zuhaili, Wahbah
Fiqih Salat Kajian Berbagai Mazhab penerjemah, Masdar
Helmy. (Bandung: Pustaka Media Utama, 2004 Al-Zuhaili, Wahbah. Fiqh Al-Islâm Wa Adilatuh Beirut: Dar al-Fikr,2004 Arifin, Zaenal, dkk. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo, 2004. Burdah, Ibnu. Menjadi Penerjemah. Yogyakarta: Tiara Wacana.2004. Chaer, Abdul. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Fahrurozi, Drs. Teknik Praktis Terjemah. Yogyakarta: Teknomedia.2003. Hidayatullah, Moch Syarif. Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia. Pamulang: Dikara, 2010. Kamalie,
Saefullah,
Kiat-Kiat
Penerjemahan
Bahasa
Arab,
Jakarta:
Kesaintblank,2004. Lubis, Ismail. falsifikasi Terjemahan Al-Quran. Yogyakarta : Tiara Wacana. 2001. Machali, Rochaya. Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta: Grasindo. 2000. Mansyur, Moh dan Kustiawan. Pedoman Bagi Penerjemah Arab-Indonesia Indonesia Arab. Jakarta: Moyo Segoro Agung, 2002. Moentaha, Salihen. Bahasa dan Terjemahan. Jakarta: Kesaint Blanc. 2006. Sulaiman bin al-Asyas as-Sajastani, Abu Dawud. Sunan Abu Dawud, Beirut: Dâr al-Fikr.2003. Syihabuddin,. Penerjemahan Arab Indonesia. Bandung: Humaniora.2005. Mujib, M. Abdul, dkk. Kamus istilah Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus.1994. Parera, J.D. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga. 2004. Redaksi Transmedia, Panduan EYD dan Tata Bahasa Indonesia, Jakarta: Transmedia, 2010. Nasuhi, Hamid. dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Ciputat: Ceqda, 2006. Sakri A., Bangun Kalimat dan Pembentukan Kata, (Jakarta: ITB, 1995)