STUDI KASUS: MASALAH TERJEMAHAN TERKAIT DENGAN EKSPRESI, FRASA BIASA DAN FRASA IDIOMATIK
Samantha Kendrigan Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies (ACICIS) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Katolik Parahyangan Bandung December 2014
1
HALAMAN PENGESAHAN
Nama : Samantha Kendrigan NIM : 2014331223 Judul : “Masalah terjemahan umum terkait dengan ekspresi, frasa biasa dan frasa idiomatik” Penulis
_______________ (Samantha Kendrigan)
Telah diuji dalam Ujian Sidang Skripsi Program West Java Field Study Research dari The Australian Consortium for ‘In-Country Indonesian Studies (ACICIS) di Universitas Katolik Parahyangan Bandung pada Senin, 15 Desember 2014, dan dinyatakan LULUS Tim Penguji
________________________________ (Sylvia Yazid, PhD) Ketua sidang merangkap anggota
______________________________ (Aknolt Kristian Pakpahan, S.IP, M.A) Anggota Penguji 1
_______________________________ (Dr. Ida Susanti, SH, LL.M) Anggota Penguji 2
2
________________________________ Elena Williams Resident Director ACICIS
Mengesahkan,
________________________________ Dr. Mangadar Situmorang Ph.D. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
3
ABSTRACT Translation is a refined art which has developed over centuries, with the introduction of new techniques, new discoveries about word and language origins, new insight to the contextual issues of each time period, new technologies have been created to help the masses access more information than ever before, particularly with the introduction of machine translation like Google Translate and Babylon.
However, before we had the technology to simply enter a text into a computer and shoot out text in a language familiar to ourselves, many scholars had developed strategies and steps to create a ‘good translation’, which would provide quality insight from another culture and/or era. These strategies were created as scholars, writers and translators of the times started to notice discrepancies when translating between two languages, particularly if they originated from different language groups with vastly different cultural contexts. To try and avoid these discrepancies, translators began to think about the text on a deeper level, both linguistically and contextual, being that these two factors influence how effective the result of the translation will be. The aim was for speakers of the L2 group to understand and experience the essence of the text in the same way as the speakers of the original L1 group.
This paper will look at how knowledge of languages and translation has changed over the time, with valuable insight appearing over time which has allowed translation to be so accurate these days. With the bulk of research looking directly at how expression is translated, as well as how idiomatic expressions and common literary phrases are translated between languages, I will be
4
looking at how the translator has employed strategies to create a ‘good translation’ and if it has been less than successful, what has gone wrong and why.
In the landasan theory, this paper will talk about the strategies of scholars who have written numerous papers in several languages, and talk about how they would approach a translationwhether they would look at context first, or the linguistic structure of the L1 text. The theories will be separated into three core sections; the process of translation and what problems can occur, linguitic restrictions, and finally expression and idiomatic expressions, which is the focus of the paper. What the scholars have to say about the translation of idiomatic phrases will become important in chapter 3 and 4, whereby using excerpts from Mary Shelley’s iconic ‘Frankenstein’ and some common idiomatic expressions we will see what techniques have been used to translate between the original English and translated Indonesian texts. Chapter 5 will look at results from the interviews and the questionnaire, which will mainly focus on how people connect language patterns, depending on their educational and occupational backgrounds.
Hopefully by looking at excerpts through the eyes of the scholars language patterns and techniques will become apparent, and we will be able to see what techniques are required to create a ‘good translation’ of phrases of expression and idiomatic phrases.
5
ABSTRAK
Terjemahan adalah seni halus yang telah dikembangkan selama berabad-abad, dengan pengenalan teknik-teknik baru, penemuan baru tentang kata dan bahasa asal, wawasan baru terhadap isu-isu kontekstual setiap periode waktu, teknologi baru telah diciptakan untuk membantu massa mengakses informasi lebih sebelumnya, terutama dengan pengenalan terjemahan mesin seperti Google Translate dan Babylon.
Namun, sebelum kami memiliki teknologi untuk hanya memasukkan teks ke dalam komputer dan menembak keluar teks dalam bahasa asing bagi diri kita sendiri, banyak sarjana telah berkembang langkah-langkah untuk membuat 'terjemahan yang baik', yang akan memberikan wawasan yang berkualitas dari budaya lain dan / atau era. Strategi ini diciptakan karena sarjana, penulis dan penerjemah dari masa lalu mulai melihat perbedaan kalau menerjemahkan antara dua bahasa, terutama jika mereka berasal dari kelompok bahasa yang berbeda dengan konteks budaya sangat berbeda. Untuk mencoba dan menghindari perbedaan ini, penerjemah mulai berpikir tentang teks pada tingkat yang lebih dalam, baik secara linguistik dan kontekstual, adalah bahwa kedua faktor ini mempengaruhi seberapa efektif hasil terjemahan akan. Tujuannya adalah untuk pembicara dari kelompok L2 untuk memahami dan mengalami esensi dari teks dengan cara yang sama sebagai pembicara dari kelompok L1 asli.
Tulisan ini akan melihat bagaimana pengetahuan tentang bahasa dan terjemahan telah berubah dari waktu ke waktu, dengan pemahaman yang berharga muncul dari waktu ke waktu yang telah memungkinkan penerjemahan begitu akurat hari ini. Dengan sebagian besar penelitian melihat
6
langsung bagaimana ekspresi diterjemahkan, serta bagaimana idiomatik ekspresi dan frase sastra umum dijabarkan antara bahasa, saya akan melihat bagaimana penerjemah telah mempekerjakan strategi untuk membuat 'terjemahan yang baik dan jika memiliki kurang berhasil, apa yang salah dan mengapa.
Dalam landasan teori, makalah ini akan berbicara tentang strategi sarjana yang telah menulis banyak makalah dalam beberapa bahasa, dan berbicara tentang bagaimana mereka akan mendekati translation- apakah mereka akan melihat konteks pertama, atau struktur linguistik teks L1. Teori-teori akan dipisahkan menjadi tiga bagian utama; proses penerjemahan dan apa masalah dapat terjadi, pembatasan linguitic, dan akhirnya ekspresi dan ekspresi idiom, yang merupakan fokus dari kertas. Apa para sarjana katakan tentang terjemahan frase idiomatik akan menjadi penting dalam bab 3 dan 4, dimana menggunakan kutipan dari 'Frankenstein', yang buku ikonik dari Mary Shelley, dan beberapa ekspresi idiomatik umum kita akan melihat apa yang teknik telah digunakan untuk menerjemahkan antara bahasa Inggris asli dan diterjemahkan teks Indonesia. Bab 5 akan melihat hasil dari wawancara dan kuesioner, yang terutama akan fokus pada bagaimana orang menghubungkan pola bahasa, tergantung pada latar belakang pendidikan dan pekerjaan mereka.
Mudah-mudahan dengan melihat kutipan melalui mata pola bahasa sarjana dan teknik akan menjadi jelas, dan kita akan dapat melihat teknik apa saja yang diperlukan untuk membuat sebuah 'terjemahan yang baik' frase ekspresi dan frase idiomatik.
7
KATA PENGANTAR
Pertama-tama, saya ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada Australian National University untuk memperolehkan program yang mampu pelajar datang ke Indonesia untuk berlatih bahasa dan belajar tentang budaya, masyarakat dan suasana negara bineka ini.
Saya ingin berterima kasih pada tim ACICIS untuk menciptakan program yang membantu pelajar mengatasi kehidupan di Indonesia- khususnya hal-hal yang terkait dengan imigrasi. Khususnya kepada Resident Director Elena Williams dan Mita, yang membantu saya di Yogyakarta dan Bandung. Juga kepada Sinta, yang membantu saya mengatur SKCK saya.
Kepada Universitas Katolik Parahyangan dan pembimbing saya Sylvia, yang membiarkan saya bekerja mandiri, saya sangat berterima kasih.
Akhirnya, tapi tidak kurang penting, saya ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada Ibu Leola Gilliland, yang guru bahasa Indonesia dari SMA, dan selalu mendukung saya dengan studi saya dalam bahasa indonesia dan ambisi saya untuk menjadi seorang penterjemah. Dia juga mendukung saya dengan melakukan program ini, dan dia selalu ada di sana untuk saya.
8
SINGKATAN
ST- Source text (teks asli) TT- Target text (teks sasaran) SL- Source language (bahasa asli) TL- Target Language (bahasa sasaran) L2- Language 2 (Bahasa kedua) ACICIS- Australian Consortium of In-Country Indonesian Studies
9
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN.................................................................................................12 I.1 LATAR BELAKANG..........................................................................................12 I.2 IDENTIFIKASI MASALAH...............................................................................18 I.3 PEMBATASAN MASALAH..............................................................................18 1.4 TUJUAN PENELITIAN.....................................................................................19 I.5 METODOLOGI...................................................................................................19 I.5.1 KUESIONER..............................................................................................19 I.5.2 WAWANCARA.........................................................................................20
II. LANDASAN TEORI........................................................................................21 II.1 TEORI PROSES TERJEMAHAN DAN MASALAH YANG AKAN DIHADAPI OLEH PENTERJEMAH......................................................................................................22 II.2 KENDALA LINGUISTIK.................................................................................26 II.3 EKSPRESI DALAM BAHASA DAN FRASA IDIOMATIK..........................28
III. ANALISIS CONTOH DARI BUKU ‘FRANKENSTEIN’..........................30 III. 1 CONTOH SATU...........................................................................................30 III. 2 CONTOH DUA..............................................................................................32 III.3 CONTOH TIGA..............................................................................................33 IV. 4 CONTOH EMPAT.........................................................................................34
10
IV. ANALISIS FRASA IDIOMATIK..................................................................37 IV. 1 FRASA SATU...............................................................................................37 IV. 2 FRASA DUA.................................................................................................38 IV. 3 FRASA TIGA................................................................................................39 IV. 4 FRASA EMPAT............................................................................................40 IV. 5 FRASA LIMA...............................................................................................41
V. HASIL KUESIONER DAN WAWANCARA-WAWANCARA..................44
VI. KESIMPULAN................................................................................................50
VII. DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................53
VIII. TAMBAHAN.................................................................................................55
11
I.PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
Bahasa bisa sulit untuk menganalisis, kalau kami mempertimbangkan faktor linguistik dan faktor sosial yang berdampak dari konteks dan struktur bahasanya. Yang lebih sulit adalah menerjemah teks antara dua bahasa dari kelompok bahasa lain, yang memiliki struktur berbeda dan sering kali tidak bisa diterjemah langsung. Terjemahan roman bisa menjadi masalah, karena penterjemah harus meninjau beberapa faktor penting, seperti struktur linguistik, konteks buku, ideologi penulis (yang tidak bisa diganti oleh penterjemah), dan juga karena seringkali roman lebih emphatic daripada bahasa yang dipakai. Kasus ini terjadi dengan bahasa indonesia, karena bahasa lebih sederhana daripada bahasa-bahasa seperti bahasa inggris atau bahasa romantis.
Terjemahan sudah berkembangan selama berabad-abad, dan beberapa sarjana, penulis dan penterjemah sudah coba menciptakan beberapa teori baru yang akan membantu terjemahan sastra dan faktual, sebagai ganti menggunakan terjemahan kata-untuk-kata (terjemahan langsung). Perkembangan terjemahan membantu untuk membentuk sumber-sumber dari setiap periode, dan menciptakan sistem terjemahan yang lebih bermanfaat dan yang dapat dipercaya. Baker kata dalam bukunya bahwa “Apa yang dikatakan oleh penterjemah tentang keahlian mereka; bagaimana terjemahan dievaluasi pada masa berbeda; macam apa rekomendasi penerjemah sudah buat, atau bagaimana terjemahan diajar; dan tulisan ini terkait dengan tulisan lain pada masa sama”1. Ini bisa dilihat dengan karya sarjana lain selama berabad-abad yang
1
Baker, Mona, 2005, ‘Routledge Encyclopedia of Translation Studies’, London: Routledge 12
mencoba mendirikan teori baru untuk menbantu sarjana dan penterjemah lain berkembang sistem terjemahan yang akan lebih tepat dan jelas. Pendahuluan sistem terjemahan mesin sudah berdampak pada cara orang mengakses terjemahan, dan karena itu, orang bisa akses informasi dalam bahasa-bahasa asing yang dulu mereka tidak bisa mengerti. Ini membuka dunia lebih banyak karena ini memberikan orang kesempatan untuk berkomunikasi dengan orang di seluruh dunia.
Gerak maju terjemahan bisa dilihat melalui sarjana selama berabad-abad, dan dapat ditelusuri melalui sejarah dari waktu Yunani dan Romawi sampai masa kini. Gerakan terjemahan dapat dilihat dengan tiga periode waktu yang berbeda, yang membawa kita untuk seni modern penerjemahan. Menurut Eric Jacobsen2, dokumen yang diterjemahkan ditemukan di Anicent Mesir dan Irak selama kedua atau ketiga milennium SM. Ia berpikir bahwa penemuan terjemahan adalah setua bahasa itu sendiri, dan bahwa itu mungkin diciptakan oleh orang Romawi. Pertama jangka waktu yang berbeda dari terjemahan menutupi laporan Cicero dan Horace sampai Alexander Fraser Tytler menulis 'Essay tentang Pokok-pokok Translation' di 1791. Ciri utama dari periode ini adalah 'fokus empiris langsung', yang termasuk pernyataan dan teori dari, atau tentang praktik penerjemahan. Selama ini, Horace dan Cicero keduanya bekerja pada teori mereka dan sampai pada kesimpulan bahwa ada perbedaan antara 'kata untuk kata' terjemahan dan rasa untuk rasa’ terjemahan, perbedaan penting dalam menciptakan 'terjemahan yang baik'. Horace di 'Art of Poetry'3 nya memperingatkan semua melawan hanya menciptakan imitasi kaku dari ST, tetapi menulis bahwa jika tema dipandang akrab dengan massa, terjemahan
2 3
Bassnett, Susan, 1988, ‘Translation Studies’, 3rd Edition, London: Routledge Horace, 19 BC, ‘The Art of Poetry’ 13
dapat terbuka untuk penafsiran penerjemah, selama ide dan esensi tetap utuh. Banyak sarjana setuju dengan ideal, dan banyak yang akan dibahas dalam landasan teori makalah ini. Tytler sendiri menulis dalam esainya; "Itu di mana kebaikan karya asli sehingga benar-benar ditransfusikan ke dalam bahasa lain, seperti untuk sebagai jelas ditangkap, dan seperti sangat dirasakan, oleh penduduk asli negara mana bahasa yang dimiliki, karena oleh mereka yang berbicara bahasa karya asli"4. Tytler percaya bahwa ini adalah epitomy 'terjemahan yang baik', dan bahwa penting untuk dicatat faktor sosio-linguitic saat menerjemahkan, karena bahasa adalah cara menghubungkan dengan orang lain, dan menerjemahkan dapat membantu mengedarkan ide dan mendokumentasikan peristiwa sejarah yang penting. Tytler tidak hanya ditentukan apa yang 'terjemahan yang baik' harus, tapi memperkenalkan tiga hukum untuk membantu orang lain panduan dalam menciptakan 'terjemahan yang baik'. Ini akan dibahas dalam landasan teori kertas ini, dan menilai oleh artikel kemudian, makalah, dan buku, teori Tytler yang terkena dampak karya-karya banyak, pasti memungkinkan masyarakat modern untuk mengatur pedoman penerjemahan sehingga segala sesuatu adalah efisien dengan bahasa dan budaya.
Apa yang bisa disebut jangka waktu kedua pembangunan translasi ditandai sebagai periode teori dan penyelidikan hermeneutik, dengan perkembangan kosakata dan metodologi mendekati terjemahan, sehingga tidak hanya menjadi sekitar untuk membuat 'terjemahan yang baik', tapi dengan menjadi mampu menjelaskan bagaimana dan mengapa itu adalah 'terjemahan yang baik'. Periode waktu ini lebih singkat, dan tumpang tindih periode pertama kalinya, meskipun singkat tidak mengurangi dampak yang sarjana mampu membuat selama ini. Seorang sarjana awal dan Woodhouselee, Alexander Fraser Tytler, 1747-1813, ‘Essay on the Principles of Translation’, London: J.M. Dent & Co; New York: E.P Dutton &Co 4
14
penerjemah periode ini, seorang Prancis dengan nama Etiennne Dolet, dalam makalahnya "La Maniere de Bien Traduire d'une Langue en Autre”5 didirikan lima prinsip apa penerjemah harus Anda lakukan untuk mempersiapkan diri untuk menciptakan terjemahan yang berhasil. Prinsipprinsip Dolet adalah;
1. Penerjemah harus memahami arti dan makna dari penulis asli, meskipun ia bebas untuk mengklarifikasi ketidakjelasan. 2. Penterjemah harus memiliki pengetahuan yang sempurna dari kedua SL dan TL 3. Penterjemah harus menghindari kata demi kata rendering 4. Penterjemah harus menggunakan bentuk pidato umum digunakan 5. Penterjemah harus memilih dan kata-kata agar tepat untuk menghasilkan nada yang benar.
Prinsip-prinsip penting dibagikan cita-cita oleh banyak penerjemah dan sarjana, terutama George Chapman (1559-1634), yang menegaskan bahwa "Karya penerjemah yang terampil dan layak adalah untuk mengamati kalimat, angka dan bentuk pidato yang diusulkan dalam penulis-nya". Mengingat bahwa periode ini difokuskan pada teori dan pengembangan metodologi, itu menarik untuk dicatat bahwa kedua penerjemah melihat kedua konteks dan kalimat struktur, serta kalimat dan ekspresi 'rasa', memastikan esensi tetap sama di kedua ST dan TT.
Para sarjana tersebut dan penerjemah, dan mereka yang akan disebutkan dalam landasan teori telah penting karena mereka telah membuka jalan untuk pengembangan modern teori penerjemahan dan strategi, dan cara kita melihat bahasa, linguistik dan konteks teks. Ide Dolet, Etinenne, 1509-1546, ‘La Maniere de Bien Traduire d’une Langue en Autre”, Lyon: E. Dolet 5
15
memiliki seperangkat buritan aturan telah menyebabkan pengenalan mesin terjemahan, penerjemah internet terutama otomatis seperti 'Google Translate' dan 'Babylon'. Namun, kita harus berhati-hati dengan ini penerjemah otomatis, karena mereka hanya menyimpan frasa struktur umum, dan tidak bisa mempertimbangkan semua faktor penting dalam bahasa dan terjemahan. Mereka bekerja dengan baik untuk semua yang memungkinkan lebih banyak orang untuk mengakses teks tertentu, dan memungkinkan mereka untuk melakukannya dalam bahasa asli mereka. Menyatukan terjemahan dengan internet telah memungkinkan informasi menyebar di seluruh dunia, dan meskipun tidak sepenuhnya akurat, masih melayani tujuan.
Dalam makalah ini, dua macam teks akan dipakai untuk menyelidikan masalah terjemahan umum terkait dengan ekspresi, frasa biasa dan frasa idiomatik. Teks pertama akan buku yang berjudul ‘Frankenstein’, oleh Mary Shelley, yang ditulis di tahun 1818 dan menggunakan gaya bahasa inggris yang lebih tua dan lebih canggi, yang bisa menyebabkan masalah kalau mau menerjemah antara bahasa inggris ini dan bahasa indonesia. Teks lain akan termasuk beberapa frasa idiomatik yang dianggap sebagai sulit untuk seorang penterjemah, dan makalah ini akan berfokus pada teori-teori menerjemah frasa ini, dan apa yang dikata oleh sarjana tentang frasa tersebut. Memahami konteks untuk kedua macam teks sangat penting, dan akan dibahas sedikit lagi.
Ekspresi dalam roman seringkali bagian yang paling penting karena pembaca harus mengerti pihak pikiran tokoh dalam cerita. Di teks yang dipakai, ‘Frankenstein’, pembacanya harus menganti pendapat mereka selama roman, dalam kasus mana yang informasi baru diceritakan tentang ‘monster Frankenstein’, yang diciptakan oleh orang gila yang mau mulai revolusi Ilmu
16
Pengetahuan Alam, tapi tidak pikir tentang konsekwensi. Rasa bahasa sangat tegang karena ada suasana yang dulu tidak dijelaskan selama masa itu, dan pembaca harus mengerti bagaimana mengalami roman tersebut seperti mereka masih di masa itu. Karena bahasanya yang dipakai tidak bahasa inggris biasa, penterjemah harus menggangap setiap aspek bahasa dan konteks untuk mendapat terjamahan yang paling akurat. Rasa bahasa harus juga ditetap untuh, karena ada intensitas dalam bukunya yang diekspresikan dengan cerita dan bahasa. Makalah ini akan melihat pada frasa biasa dan ekspresi dalam buku tersebut untuk menyelidikan apakah bahasa indonesia bisa menjadi secanggih dengan bahasa inggris yang dipakai. Apakah ada cukup ekspresi? Apakah frasa-frasa biasa di buku masuk akal? Ini akan dibahas di bab 3, 4 dan 5.
Menerjemah frasa idiomatik sangat sulit, karena seringkali frasa tidak masuk akal dalam dua bahasa, karena frasa idiomatik seringkali menawar frasa yang canggih, tajam dan penuh sesak dengan purwakanti atau perangkat sastra lainnya dari SL. Di landasan teori, makalah ini akan membahas tentang sarjana yang menciptakan peraturan terhadap frasa seperti ini. Contoh macam frasa ini termasuk “Sekali dayung dua tiga pulau terlewati/ Sambil menyelam minum air”, yang di bahasa inggris berarti “Kill two birds with one stone”. Tidak bisa disangkal bahwa terjemahan langsung tidak mungkin karena frasanya telah disesuaikan dengan kemungkinan frase terdekat dalam bahasa tujuan, yang setuju dengan konteks budaya. Contoh lain yang disesuaikan dengan budaya Indonesia adalah “Nasi sudah jadi bubur”, yang terkait dengan frasa original “No use crying over spilt milk”. Seperti dengan ‘Frankenstein’, makalah ini akan menciptakan hubungan antars contoh teks dan frasa dan teori dari landasan teori.
17
I.2 IDENTIFIKASI MASALAH
Masalah dari makalah ini adalah ‘masalah terjemahan umum yang terkait dengan ekspresi, frasa biasa dan frasa idiomatik’. Masalah dengan terjemahan bisa terjadi dari banyak cara. Mungkin dari penterjemah yang tidak memahami konteks dari kedua bahasa, atau mungkin mereka tidak mengerti struktur bahasa TL- ada bisa masalah untuk banyak alasan.
Makalah ini akan berfokus pada masalah yang bisa terjadi kalau mau menerjemah buku-buku atau frasa idiomatik, menggunakan teori-teori dan strategi-strategi dari banyak sarjana, dan juga menggunakan pendapat dari orang yang bekerja dengan bahasa-bahasa dan orang dari masyarakat umum yang cukup fasih dalam kedua bahasa. Saya ingin melihat kalau ada hubungan antara pendidikan atau pekerjaan dan pemahaman lengkap dari teks-teks. Di bab kesimpulan, saya ingin dapat menunjukkan bahwa ada masalah terjemahan dan mengapa mereka terjadi, serta apa kualifikasi yang diperlukan untuk melihat cukup jauh ke dalam teks yang Anda membuat 'terjemahan yang baik'.
I.3 PEMBATASAN MASALAH
Untuk laporan ini, pembatasan masalah akan dibatas dengan contoh dari buku ‘Frankenstein’, dan frasa idiomatik populer yang menunjukkan masalah dengan terjemahan, supaya saya bisa membahas tentang strategi sajana yang bisa membantu dengan mencari solusi. Dari contoh tersebut, dan teori terjemahan dibahas dalam kerangka teori, saya akan menyelidikan pola bahasa
18
yang menyebabkan masalah kalau diterjemahkan antara bahasa-bahasa yang dari kelompok bahasa yang berbeda.
I.4 TUJUAN PENILITIAN
Tujuan utama untuk laporan ini adalah untuk menyelidikan masalah terjemahan umum, dan melihat pada mengapa masalah seperti ini terjadi, memberikan contoh dari frasa idiomatik populer dan kutip khusus dari ‘Frankenstein’. Dengan metologi penelitian saya, saya bisa menyelidikan lebih lanjut masalah ini, dengan kasus dari buku dan pendapat dari penerjemah dan orang lain terhadap masalahnya. Saya ingin mengekspos masalahnya, dan bicara tentang strategi yang bisa dipakai untuk mengatasi ini, dari teori sarjana.
I.5 METODE PENELITIAN
I.5.1 KUESIONER
Dengan kuesioner, saya ingin mendapat jawaban yang lebih luas dari orang yang tidak hanya penerjemah, yang guru, pelajar, dan lain lain. Saya ingin tahu kalau orang yang tidak penerjemah bisa lihat pola bahasa yang bisa dilihat dalam masalah terjemahan. Pertanyaan dalam kuesioner akan lebih general dari pada pertanyaan dalam wawancara, dan akan berfokus pada hubungan antara bahasa indonesia dan bahasa inggris.
19
Dengan hasil wawancara dan kuesioner, saya ingin menciptakan hubungan antara struktur bahasa, teori sarjana yang dibahas dalam kerangka teori, dengan kutip dan struktur bahasa dipakai dalam ‘Frankenstein’. Saya akan menggunakan dua jenis metode penelitian, yang akan berfokus pada pendapat dan keahlian orang-orang yang bekerja dengan bahasa-bahasa asing, khususnya bahasa indonesia. Untuk laporan ini, saya akan memakai wawancara-wawancara dan kuesioner, yang akan membantu saya dengan memperolehkan pandangan berbeda terhadap masalah terjemahan.
I.5.2 WAWANCARA
Untuk wawancara, saya akan tanya satu penerjemah, yang bekerja dengan buku fiksi atau teks lain, pertanyaan tentang aspek bahasa, dan sistem terjemahan yang terjadi dalam teks yang tidak bisa diterjemahkan langsung, dan bagaimana mengatasi masalah dalam katergori ini. Khususnya, dengan berfokus pasa frasa idiomatik dan frasa ekspresi dalam buku Frankenstein.
20
II. LANDASAN TEORI
Banyak sarjana dan penerjemah telah telah bekerja keras selama berabad-abad untuk membangun banyak teori dan strategi untuk membantu penerjemah saat ini dengan penciptaan 'terjemahan yang baik'. Seorang penerjemah dengan nama Alexander Fraser Tylter, sementara bekerja di berbagai transations dan kertas, memperkenalkan tiga aturan yang digunakan untuk membantu dirinya membuat 'terjemahan yang baik'. Aturan-aturan ini juga telah didokumentasikan dalam beberapa makalah oleh terkenal lainnya scholars- Profesor As-Safi setuju dengan aturan ini dan menulis tentang hal itu dalam makalahnya, dan mereka adalah sebagai berikut; 1. terjemahan harus memberikan transkrip lengkap dari ide-ide dari karya asli 2. Gaya dan cara penulisan harus dari karakter yang sama dengan yang asli. 3. terjemahan harus memiliki semua kemudahan komposisi asli6.
Sangat penting untuk diingat bahwa sarjana dan penterjemah yang memiliki metode sendiri menerjemahkan yang berbeda, dan dalam banyak kasus, mereka sama-sama efektif. Namun, untuk tujuan tulisan ini, saya merasa seperti Tytler itu pendapat, teori dan metode translasi adalah yang paling pas, terutama ketika melihat ekspresi di novel dan frase idiomatik yang keduanya dianggap sebagai sangat sulit untuk translation- terutama jika esensi atau konteks diabaikan.
6
Ibid, Tytler 21
Dalam landasan teori ini, saya akan membahas tentang struktur, teori-teori, masalah terjemahan, kendala linguistik, dan perbedaan antara frasa expresi, atau frasa idiomatik. Bagian ini akan menggunakan tiga bagian untuk menjelaskan bagaimana bahasa-bahasa bisa diterjemahan dengan baik, dan masalahnya yang penterjemah menghadap dengan menciptakan produk akhir, yang bernama TT, dari teks asli, yang bernama ST. Untuk menyelidikan masalah terjemahan terkait dengan ekspresi, frasa biasa dan frasa idiomatik, beberapa pendapat sarajana yang berbeda ada dipakai untuk mendapat ide-ide yang paling akurat dan paling pas untuk melihat pada contoh dari buku ‘Frankenstein’, dan juga contoh frasa idiomatik yang dipilih. Sesudah membahas tentang teori-teori dan strategi-strategi yang di bagian ini, di bab 3, 4 dan 5 kami akan menyelidikan kalau contoh menggunakan teori yang dibahas dalam bagian ini, dan melihat bagaimana cara terjemahan di contoh-contohnya.
II.1 TEORI PROSES TERJEMAHAN DAN MASALAH YANG AKAN DIHADAPI OLEH PENTERJEMAH
Terjemahan bisa sulit kalau faktor penting dalam ST tidak dicari oleh penerjemah. Faktor- faktor seperti kelompok bahasa, dan konteks suasana akan berdampak pada hasil akhir. Seorang penterjemah bisa menggunakan beberapa teori-teori untuk menciptakan TT yang natural dan dipahami oleh pembaca. Professor As-Safi, dari universitas Petra menulis dalam artikelnya “Teori Terjemahan, strategi, dan isu-isu teori umum”7, bahwa ada dua macam terjemahan yang bisa dipisahkan antara terjemahan ‘bebas’ dan terjemahan ‘literal’.
Prof. A.B. As-Safi, “Translation theories, strategies and basic theorectical issues”, online article accessed 26/08/2014, https://www.uop.edu.jo/download/Research/members/424_2061_A.B..pdf 7
22
Macam ‘liberal’ adalah lebih benar dengan ST, dan bisa dipisah antara tiga opsi yang; terjemahan intralingual, terjemahan benar, dan transmutasi. Semua strategi ini melibatkan menganti ST sekecil mungkin, dan tidak menganti konteks atau arti dalam teks. Namun, macam ‘bebas’ yang buka untuk interpretasi dan bisa ditukur dengan teks yang dekat sekali. Dalam analisis saya, saya akan menfokuskan pasa terjemahan ‘literal’.
Professor As-Safi juga mengatakan dalam artikelnya bahwa “Teori terjemahan biasanya ditentukan oleh metode terjemahan tepat untuk jankauan terluas teks atau macam teks. Juga memperolehkan kerangka untuk prinsip, peraturan pembatasan dan isyarat untuk menerjemah teks dan mengkritik terjemahan, latar belakang untuk pemecahan masalah. Sebuah teori seharusnya terkait dengan strategi terjemahan yang dipilih untuk menghadapi kesulitan dan masalah dalam teks sulit”. Dari pernyataan ini, mudah dilihat bahwa memakai strategi dan teori dalam terjemahan penting sekali, karena penterjemah harus pasti bahwa arti tidak akan dihilang dari buku atau artikel, atau teks lain.
Nida, dalam artikelnya berjudul “Kerangka untuk analisis dan evaluasi untuk teori terjemahan”8, menulis bahwa ada tiga teori yang bisa diguna untuk menciptakan terjemahan yang lebih benar, menyelidikan struktur dan suasana yang mungkin akan berdampak pada hasil akhir.
Teori pertama adalah ‘Teori filologis’, yang membandingkan struktur antara ST dan TT, khususnya di mana gaya bahasa dan retorika berbeda, dan mencoba mencari solusi terjemahan tanpa menhilangkan arti teks. Nida, Engene. A (1976), “A Framework for the Analysis and Evaluation of Theories of Translation”, In RW Brislin (ed.) 8
23
Teori kedua adalah ‘Teori linguistik’, yang melihat pada struktur, hanya untuk struktur linguistik bukan retorika atau gaya bahasa, seperti teori filologis. Teori linguistik menerjemah ST tanpa memperhatikan konteks dan hanya lewat menggantikan unit linguistik dengan unit setara dalam TL. Dia mengutip “yang termasuk elemen yang bisa berasal langsung dari kata-kata ST, menghindari macam interpolasi jelas atau penyuasaian budaya yang bisa dibenarkan di basis ini”.
Menurut Newmark9, ada dua macam terjemahan dalam teori linguistik, yang bisa dijelaskan dalam diagram di bawah.
(Dua Macam Terjemahan oleh Newmark, 1981:39)
9
Newmark, P (1981). Approaches to Translation, Oxford Pergaman Press. 24
Diagram ini terkait dengan pendapat Professor As-Safi tentang pemisahan katergori terjemahan kalau melihat struktur linguistik, and memperolehkan bukti untuk kebutuhan analisis sebelum menerjemah teks tertentu, karena semua katergori harus ditimbangkan untuk menciptakan terjemahan yang setia dengan ST.
Teori terakhir yang akan dibahas adalah Teori sosio-linguistik, yang menfokuskan pada proses komunikasi, khususnya kata kiasan, tanpa mengabaikan struktur bahasa penting. Teori ini penting untuk membentuk pola bahasa yang setia dalam lingungkan berbeda, dan akan memberikan informasi yang akan diabaikan dalam teori linguistik.
Selain teori, ada masalah dengan kehilangan dalam terjemahan, dan menurut Profesor As-Safi, ini bisa karena ada perbedaan antara kelompok bahasa, yang sebab kesulitan dengan merjemah TT yang setia. Ada dua macam kehilangan dalam terjemahan, yang terdiri dari ‘Kehilangan tidak terelakkan’ dan ‘kehilangan yang dapat dihindari’10. ‘Kehilangan tidak terelakkan’ terlibat ST yang sangat berbeda dari pada TT, dan tidak bisa diciptakan kembali dalam TT tanpa menggunakan strategi kompensasi. Ini bisa melibat teks dengan langgan bahasa, yang harus diganti sebelum bisa diterjemah. ‘Kehilangan yang dapat dihindari’ terjadi di mana penterjemah tidak menerima pemahaman konteks dan arti dalam teks, dan gagal mencari struktur linguistik yang bisa dipakai untuk menerjemah antara ST dan TT. Seorang penterjemah seharusnya menggunakan strategi kompensasi untuk menciptakan teks yang kira-kria sama dengan ST.
10
Ibid (As-Safi), Pages 75-76 25
II. KENDALA LINGUISTIK
Kendala linguistik adalah masalah serius dalam proses terjemahan, khususnya antara dua bahasa dari kelompok bahasa berbeda, seperti bahasa inggris dan bahasa indonesia. Ada banyak peneliti teori berbeda, dan pemahaman tentang memperbaiki masalah terjemahan menggunakan bahasabahasa ini.
Seorang peneliti, Leferve, dari bukunya “Terjemahan, Budaya, Sejarah”11, percaya bahwa penterjemah bekerja dengan lima kendala utama; 1. Kekuatan patronase 2. Puisi 3. Semesta Pembicaraan 4. Pembedaan antara struktur ST dan TT 5. Ideologi penterjemah Leferve percaya bahwa ideologi penterjemah bisa menggangu arti terjemahan, mungkin karena mereka memiliki bias dengan topik dalam teks. Karena ini, penterjemah harus objektif, dan harus memperhatikan konteks dan arti dalam yang tampil dalam teks. Seperti dikatakan oleh Venuti:
“Terjemahan tidak pernah berkomunikasi dalam cara tidak terggangu karena penterjemah bernegosiasi perbedaan liguistik dan budaya dari teks asing, mengurangi teksnya dan
Leferve, A (1992), “Translation, History and Culture: A Sourcebook”. London/New York Routledge 11
26
memberikan kumpulan perbedaan, terutama domestik, dari bahasa dan budaya yang menerima, untuk mengaktifkan teks asing menerima baik di sana (di lingungkan asli untuk TT)”12.
Menurut Venuti, “Terjemahan bisa diganti sehingga mereka akan diterima dengan baik dalam lingkungan sasaran”. Saya sendiri percaya bahwa ini benar, dan akan menyelidikan ini dalam buku “Frankenstein” dalam analisis saya. Saya akan menfokuskan pada kendala linguistik yang dihadapi oleh penterjemah, karena bahasa inggris asli yang dipakai di bukynya jauh berbeda dari bahasa inggris pada jaman sekarang. Mungkin lingkungan akan berdampak pada terjemahan, seperti dikatakan oleh Venuti.
Tentu saja, ada banyak solusi terhadap kendala linguistik, dan solusi yang sangat terkenal adalah Teori Kendala oleh Goldratt. Dia memperolehkan delapan langkah untuk terjemahan berhasil, dan banyak peneliti mengutip dia dalam artikel-artikel mereka, termasuk peneliti Darwish, yang menulis tentang teori Goldratt dalam artikelnya berjudul “Towards! Teori kendala dalam terjemahan”13. Teori Goldratt14 terdiri dari; 1. Identifikasi kendala terjemahan 2. Memutus bagaimana mengeksploitasi kendala 3. Memilih strategi terjemahan menggunakan untuk mengeksploitasi kendala 4. Menyelidikan alternatif (frasa lain) 5. Memilih alternatif 6. Subordinat segalanya lain dalam strategi alternatif ini Venuti, L (2000). “The Translation Studies Reader”. London and New York: Routledge. Darwish, A (1991), “Towards! A theory of constraints in Translation”, online draft pdf, accessed 28/08/2014 from http://www.translocutions.com/translation/constraints_0.1.pdf 14 Goldratt, E.M (1984), “Theories of Constraints, from the novel ‘The Goal’, Gower Publishing Ltd. 12 13
27
7. Memperbaiki kendala 8. Ulangi
Teori Goldratt bisa dipakai untuk menentukan TT bisa diterjemahkan setia dengan ST. Bisa dilihat bahwa kendala linguistik adalah lazim sekali, dan akan sulit untuk menghadapi. Namun, peneliti-peneliti ini membuktikan bahwa ada solusi yang bisa membantu di situasi ini.
II.3 EKSPRESI DALAM BAHASA DAN FRASA IDIOMATIK
Ekspresi dalam bahasa bisa menyebabkan banyak masalah untuk penterjemah, khususnya kalau mereka harus bekerja dengan bahasa yang tidak punyai struktur atau peraturan bahasa yang sama. Masalah dengan frasa idiomatik adalah bahwa seringkali kata-kata yang dipakai tidak terkait dengan arti frasa. Larson menjelaskan bahwa “langgan bahasa adalah metafora mati yang sebagian dari konstruksi idiomatik dari leksikon bahasa”15.Dia menyebut langgan bahasa “kolokasi khusus”, atau “kombinasi tepat kata-kata”16 di mana kata- kata tidak sepenting dengan arti. Di pihak sama, Baker berpendapat bahwa “frasa idiomatik adalah pola tepat yang mengijinkan sedikit atau tidak variasi di bentuk dan di kasus langgan bahasa, seringkali memiliki arti yang tidak bisa dideduksi dari rekan-rekan individu mereka”17. Dia menjelaskan kesulitan dengan menerjemah frasa idiomatik, karena rasa bahasa harus tepat sama, tapi tidak banyak bisa diganti.
Larson, M.L (1984), “Meaning Based Translation”, New York: University Press of America, (page 249) 16 Ibid, (Larson), page 142 17 Baker, M (1992), “In Other Words: A course book on translation”, London and New York: Routledge (Page 63) 15
28
Ada kemungkinan bahwa ada frasa yang tidak bisa diterjemah, karena arti dihilang pada masa yang lalu, dan kami bisa hanya menawar terjemahan perkiraan.
Newmark percaya bahwa “terjemahan literal untuk L2 langgan bahasa mungkin bisa bermanfaat sebagai jalur pemahaman atau untuk memorialisasi. Perbedaan antara kata-untuk-kata dan arti global langgan bahasa dan kolokasi standar harus ditentukan”18. Dia berpendapat bahwa kalau tidak langgan bahasa akan menjadi omong kosong. Saya setuju dengan Newmark, bahwa ada nilai untuk terjemahan literal, tapi bahwa konteks dan arti bagian-bagian yang paling penting. Saya pasti bahwa ini faktor yang saya harus ingat kalau saya mencari contoh dalam “Frankenstein”, karena buku ini ditulis pada masa yang sangat berbeda.
18
Newmark, P (1991), “About Translation”, Great Britain: Longdunn Press, Bristol (page 61) 29
III. ANALISIS DARI BUKU ‘FRANKENSTEIN’
Dalam bagian ini, makalah ini akan berfokus pada analisis buku ‘Frankenstein’ dan akan menggunakan empat contoh yang dari buku tersebut. Contoh yang dipilih akan juga dianalisis oleh para penterjemah dan orang lain yang mengerti bahasa indonesia dan bahasa inggris berdua. Contoh tersebut akan dibahas sama dengan konteks dan structur bahasa juga, untuk menyelidikan teori dan strategi yang bisia dicari dalam setiap contoh. Beberapa tanggapan dari wawancara akan dibahas dengan kalimat berikut, tapi akan dibahas panjang lebar dalam bab 5.
III. 1 CONTOH SATU
“These sublime and magnificent scenes afforded me the greatest consolation that i was capable of recieving. They elevated me from all the littleness of feeling, and although they did not remove my grief, they subdued and tranquillized it” “Pemandangan alam yang menakjubkan di sekelilingku memberi pengaruh yang menenangkan diriku. Kesedihanku masih belum terhapus, tapi kedamaian menenteramkan pikiranku.”
Kontekstual contoh ini datang setelah realisasi karakter utama bahwa ia mungkin bersalah kesalahan, setelah ciptaan-nya (rakasa Frankenstein) yang dilepaskan ke dalam dunia. Protagonis menyadari bahwa ia mungkin telah memberi kontribusi pada kejahatan dunia, namun saat ia melihat ke pegunungan Alpen dan pemandangan ia merasa tenang dan damai dengan dunia, jika hanya untuk saat itu.
30
Ketika melihat teks asli, kita dapat melihat bahwa bahasa yang digunakan sangat deskriptif dan kita sebagai para pembaca menghadapi pemandangan indah dan damai melalui mata protagonis, yang mendampingkan bagaimana karakter terasa dalam. Contoh ini menyoroti kekurangan dari bahasa Indonesia, karena gagal untuk memberikan deskripsi yang kuat yang sama dan tidak membuat pembaca mencerminkan sedalam. Penerjemah telah berhasil memberikan gambaran tentang apa yang terjadi, terutama menggunakan penghitungan daripada bahasa deskriptif. Terjemahan Indonesia sesuai terjemahan yang sangat langsung dari bahasa Inggris modern, sehingga cenderung jatuh pendek dari gaya yang lebih tua dari bahasa Inggris yang digunakan dalam novel. Hal ini dapat dilihat pada segmen bawah.
“afforded me the greatest consolation that I was capable of receiving” “memberi pengaruh yang menenangkan diriku”
Dengan segmen ini, kekuatan menerima penghiburan tidak diterjemahkan dengan baik. Terjemahan Indonesia berfokus pada sensasi menenangkan yang Frankenstein menerima dari pengalaman sementara mengambil dalam pemandangan, tetapi penghiburan dihilangkan, dan belum dikompensasikan sejauh seharusnya, untuk mempertahankan esensi yang sama. Meskipun contoh ini secara teknis diterjemahkan dengan benar yang mungkin terjemahan terdekat, tidak memiliki ekspresi dalam versi bahasa Inggris asli, dan kehilangan sedikit esensi karena ini. Dari wawancara fakta bahwa bahasa Inggris yang digunakan adalah kuno juga disebutkan, yang dikatakan memiliki dampak pada hasil terjemahan. Ibu Bu Bibi dari wawancara menyebutkan
31
bahwa tanpa konteks terjemahan Indonesia masuk akal, tetapi dalam hal novel, terjemahan Indonesia gagal cocok untuk teks bahasa Inggris asli.
III. 2 CONTOH DUA
“Half surprised by the novelty of these sensations, i allowed myself to be borne away by them, and forgetting my solitude and deformity, dared to be happy. Soft tears again bedewed my cheeks, and i raised my humid eyes with thankfulness towards the blessed sun, which bestowed such joy upon me” “Aku terseret perasaan ini dan melupakan kesendirian serta keburukan rupaku. Aku bahkan bahagia. Air mataku meleleh di pipi dan dengan bersyukur aku mengangkat mataku yang basah ke arah matahari yang penuh rahmat dan memberiku rasa gembira”
Di tempat cerita, penciptaan Frankenstein telah bertemu pembuatnya dan perang di antara mereka telah dimulai. Kesepian menjadi buangan tidak diterima secara sosial telah mulai meningkat ke titik di mana ia telah didorong untuk mulai bertindak dengan cara yang berbahaya, dan intensitas kesepian dapat dilihat pada bahasa yang digunakan dalam teks.
Melihat terjemahan, kita dapat melihat bahwa itu cukup berhasil beradaptasi teks ke dalam bahasa Indonesia, karena kehilangan esensi dan ekspresi, dan menghilangkan informasi penting seperti kelainan bentuk penciptaan Frankenstein. Bahkan, kalimat pertama dari teks yang cukup
32
dikenali, dan telah dihilangkan fakta penting dan informasi tambahan yang tidak pernah ada. Penerjemah telah menggunakan interpretasi mereka, meskipun tampaknya bersemangat dan tidak benar untuk menyatakan bahwa penciptaan tidak cacat, tapi ia tampaknya jahat. Segmen kedua terjemahan seakurat mungkin. Ide-ide dan esensi sebagian besar ada, Indonesia hanya gagal untuk memanfaatkan kata-kata Inggris tua, dan masih ada beberapa kata dihilangkan. Penterjemah dari wawancara hanya berpendapat bahwa ada simplifikasi dengan bahasa- selain itu, dia berpikir bahwa ini terjemahan yang baik.
III. 3 CONTOH TIGA
“Alas! Life is obstinate and clings closest where it is most hated” “Aduh! Kenapa napas hidup justru tak mau meninggalkan orang yang tidak menghendakinya lagi?”
Setelah penciptaan Frankenstein menemukan dia untuk membalas dendam untuk diciptakan sebagai sesuatu yang begitu tidak diterima secara sosial, penciptaan membunuh pengantin baru dan Frankenstein sendiri dibiarkan penuh dengan kemarahan dan kesedihan. Kesadaran bahwa ia telah menyebabkan kematian istrinya sendiri mengisi dia dengan kecemasan dan ia membuat rencana untuk balas dendam sendiri.
33
Kemarahan dan kesedihan dinyatakan dalam teks, meskipun bahasa Indonesia tampaknya cukup membingungkan, karena tidak mencerminkan esensi yang sama dari garis tegas di mana Frankenstein menyadari dia yang harus disalahkan atas kematian istrinya. Terjemahan Indonesia juga ternyata kalimat menjadi sebuah pertanyaan retorika, meskipun itu selalu dimaksudkan untuk lebih dari sebuah pernyataan dari pertanyaan retorika. Juga, 'aduh' tidak tampak seperti terjemahan yang tepat untuk 'alas', yang lebih mengacu pada pengertian yang mendalam duka dan kesedihan, sedangkan 'aduh' memiliki lebih dari lebih keras, rasa kurang literal. Selain itu, terjemahan Indonesia sangat jelas, bukan literal, membuat terjemahan yang kurang akurat karena gagal untuk menjaga esensi dari novel tetap. Pendapat yang diekspresikan dalam wawancara adalah bahwa personifikasi kehidupan yang hilang, tapi selain perangkat puitis dan tingkat kecanggihan bahasa yang digunakan, terjemahan sekali lagi, cukup akurat.
III.4 CONTOH EMPAT
“How ignorant art thou in thy pride of wisdom! Cease; you know not what it is you say” “kau membanggakan dirimu sebagai orang bijak, padahal sebenarnya jiwamu kosong! Sudahlah! Kau tak tahu apa yang kaukatakan”
Setelah kematian istri dan pertempuran menembak dengan ciptaan-Nya, Frankenstein telah kembali ke Jenewa, dan kutipan ini mencerminkan pandangan hakim tentang cerita Frankenstein tentang ciptaan-Nya dan kematian akibat rasa haus untuk memajukan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi lebih cepat dari jangka waktu yang siap menerima.
34
Terjemahan dari kutipan ini cukup akurat, memberikan esensi yang sama dengan teks bahasa Inggris. Namun, teks disederhanakan dalam penggunaan bahasa dan rumit dalam hal ungkapan, terlihat dengan:
“How ignorant art thou in thy pride of wisdom!” “kau membanggakan dirimu sebagai orang bijak, padahal sebenarnya jiwamu kosong!”
Karena bahasa indonesia tidak bisa mengimbangi penggunaan bahasa Inggris yang bergaya tua, itu mengimbanginya dengan kembali ungkapan-kalimat dan kehilangan beberapa esensi dari teks. Responden dari wawancara setuju dengan ini, tapi pikir bahwa ini terjemahan cocok untuk kutip ini. Terjemahan dalam bahasa indonesia menyatakan terjemahan harfiah dari teks asli, daripada menggunakan descriptiveness sama dengan teks asli dan sebagai hasil ekspresi tidak sekuat.
Dari empat contoh ini, dapat dilihat bahwa menerjemahkan dari bahasa yang berasal dari kelompok bahasa yang berbeda sangat sulit ketika mencoba untuk membuat terjemahan yang sukses. Kurangnya gaya kalimat yang sama yang berasal dari bahasa Inggris dan Indonesia membuat sangat sulit, terutama dengan buku-buku seperti 'Frankenstein' yang ditulis dalam gaya yang lebih tua dari bahasa Inggris yang kadang-kadang bisa sulit untuk dibaca bagi penutur asli bahasa Inggris. Hal ini juga dapat dilihat dari contoh-contoh dari teks yang kata atau frase telah dihilangkan dan tidak selalu kompensasi, yang dapat menyebabkan beberapa kebingungan mengapa penerjemah memilih untuk tidak menambahkan fitur penting tertentu, seperti kelainan penciptaan itu. Karena itu, esensi belum tetap sama, dan meskipun cerita adalah sama, mereka
35
membaca dengan cara yang berbeda, dengan pandangan yang berbeda pada karakter. Terutama dalam kasus contoh kedua di mana penerjemah telah menambahkan 'jahat' karakteristik penciptaan, meskipun novel Inggris selalu digambarkan penciptaan hanya sebagai disalahpahami. Sangat menarik untuk melihat pendapat dari penerjemah sementara melihat kutipan ini, karena memberikan wawasan yang lebih dalam. Pendapat lebih seperti ini akan dibahas panjang lebar dalam bab 5.
36
IV. ANALISIS FRASA IDIOMATIK Beberapa frase dapat lebih sulit diterjemahkan daripada yang lain, dan frase idiomatic atau ekspresi idiomatik adalah satu dari banyak yang lebih sulit untuk menerjemahkan yang berhasil. Ungkapan-ungkapan ini tidak dapat diterjemahkan secara harfiah, karena mereka memiliki makna yang lebih dalam yang biasanya penasihat dan bijaksana. Berikut contoh frase idiomatik dan ekspresi juga akan dianalisis oleh penerjemah dan responden lainnya kuesioner saya, yang nantinya akan menentukan apakah ada hubungan antara tingkat pendidikan dan pekerjaan dalam menangani penerjemahan. Beberapa tanggapan dari kuesioner akan digunakan pada bagian ini dengan masing-masing frase, dan akan dicussed panjang lebar dalam bab 5.
IV. 1 FRASA SATU
“Look before you leap” “Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna”
Frasa ini adalah peringatan, karena itu adalah peringatan bagi orang-orang yang bertindak atas kemauan, membuat kesalahan ireversibel. Peringatan ini sejalan dengan intuisi manusia, sebagai salah satu biasanya akan berpikir tentang apa yang mereka lakukan sebelum mereka melakukannya, terutama dalam hal itu adalah sebuah keputusan penting yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka.
Ketika melihat terjemahan kalimat ini ke Indonesia, hal pertama yang menjadi nyata adalah bahwa kalimat tersebut telah berubah dan dibagi menjadi dua gagasan. "Pikir dahulu pendapatan' 37
dan 'sesal kemudian tidak berguna’. Ini mengalahkan tujuan sifat singkat dan tajam dari kalimat aslinya, dan juga gagal untuk memahami konsep utama kalimat. Pembicaraan terjemahan tentang keuntungan dan penyesalan, yang mengacu pada sesuatu selain melihat sebelum Anda melompat, di mana orang akan berpikir tentang konsekuensi, daripada keuntungan dan penyesalan. Aliterasi dari 'look dan 'leap' juga telah hilang dalam terjemahan, meskipun orang dapat berargumentasi bahwa 'Pikir' dan 'Pendapatan' bisa menebus kerugian itu. Dari kuesioner, beberapa responden disebut "Pendapatan" sebagai pendapatan, daripada mencari alternatif literal non, yang menyoroti kurangnya kemudahan dalam idiom. Para responden juga melihat hilangnya aliterasi.
Walupun begitu, tampaknya bahwa terjemahan ini belum yang sukses, sebagai makna inti belum tetap sama, dan titik tetap hilang dalam terjemahan, sementara penerjemah mencoba untuk menebus ini dalam memisahkan frase yang memecah esensi frase. Satu hal yang sukses untuk terjemahan ini pengakuan sebagai 'berpikir' sebagai ide penting untuk frasanya.
IV. 2 FRASA DUA
“Where there’s a will there’s a way” “Dimana ada kemauan, di situ ada jalan”
Ini adalah ungkapan untuk motivasi yang mengklaim bahwa jika Anda benar-benar bertekad, dan ingin sesuatu yang cukup, Anda akan menemukan cara untuk mencapainya. Hal ini dapat
38
berhubungan dengan ingin sukses, objek material, tujuan sosial dan lain-lain Frasa ini sering digunakan ketika berbicara dengan seseorang yang mengalami kesulitan, dan digunakan untuk menawarkan motivasi sebagai indikator bahwa tugas yang dimaksud adalah tidak sulit, meskipun tidak mustahil.
Frasa ini diterjemahkan cukup benar, menghindari perangkap terjemahan harfiah dan mengubah kunci bekerja tanpa mengubah kalimat dan ide kontekstual di belakangnya. Ada beberapa kata yang sedikit keluar dari tempat ketika membandingkan asli dengan idiom diterjemahkan seperti 'kemauan' untuk 'will' yang sedekat Indonesia bisa mendapatkan makna yang sama untuk frase ini, dan 'jalan' untuk 'way' , yang bisa saja dinyatakan telah diterjemahkan ke dalam 'cara' atau 'metode'. Meskipun ada beberapa masalah kecil, terjemahan ini tampaknya sebagian besar benar frase, dan penutur asli bahasa masing-masing masing-masing harus bisa mendapatkan pengertian yang sama atau esensi dari frase. Dari kuesioner, kebanyakan responden setuju dengan pencarian analisis ini. Mereka berpendapat bahwa terjemahan agak akurat, tapi ada kata khusus yang bisa diganti untuk menjadi lebih jelas.
IV. 3 FRASA TIGA
“Practice makes perfect” “Alah bisa karena biasa.”
Frasa ini adalah baik motivasi dan peringatan. Ini mengajarkan bahwa jika Anda mengalami kesulitan dengan sesuatu, dan ingin meningkatkan, Anda harus berlatih, dan semakin Anda
39
berlatih Anda akan mulai melihat perbaikan. Hal ini juga bisa dikatakan untuk tindakan negatif seperti perjudian, mabuk-mabukan dan berbohong. Semakin Anda bekerja pada tidak melakukan tindakan, semakin mudah akan menjadi dan Anda akan menyingkirkan kebiasaan.
Masalah dengan terjemahan ini cukup jelas. Esensi frasa ini tidak diterjemahkan ke dalam frase Indonesia, sebagai aliterasi tidak lagi terjadi, dan rasa singkat dan tajam telah hilang. Konsep 'Bisa karena biasa' dapat dibandingkan dengan konsep ‘practice makes perfect’, karena jika Anda melakukan tindakan berkali-kali, Anda akan mendapatkan lebih baik dengan waktu dan ketekunan, tetapi frasa diterjemahkan masih tampak jatuh pendek dari frasa yang kuat, dan responden bisa dibiarkan merasa hilang dalam terjemahan. Sebuah terjemahan disarankan untuk frase Indonesia bisa 'latihan membuat sempurna', terjemahan yang lebih literal, tapi satu yang membuat lebih dari upaya untuk dibandingkan dengan kalimat bahasa Inggris yang asli. Para responden dari kuesioner berpendapat bahwa ‘Alah’ membuat referensi kepada Allah, tapi ini tidak akurat. Selain itu, mereka setuju dengan terjemahan alternatif “latihan membuat sempurna”.
IV. 4 FRASA EMPAT
“The early bird gets the worm” “Siapa cepat dia yang dapat”
Frasa ini mengacu pada peluang yang bisa timbul jika ada yang rajin dan tiba tepat waktu untuk kesempatan yang disebutkan terjadi. Ini berbicara tentang bagaimana jika Anda ingin sesuatu
40
yang lebih baik mengambil kesempatan awal daripada kemudian, untuk menghindari kesempatan tidak lagi berada di sana. Burung dan cacing melambangkan orang tersebut dan kesempatan untuk didapat, dan tidak harus dipahami secara harfiah sebagai ungkapan tentang burung dan cacing.
Terjemahan cepat untuk memanfaatkan kecepatan yang perlu mendapatkan kesempatan, namun gagal untuk fokus hanya pada 'bird' atau 'worm' yang merupakan metafora yang paling penting dalam kalimat ini. Terjemahan ini sangat umum, dan menyederhanakan esensi dari kalimat, yang mengakibatkan hilangnya esensi, karena kita tidak lagi mendapatkan ide dari subjek atau objek dalam kalimat. Ini sangat mungkin bahwa tidak ada terjemahan yang sebanding yang meliputi subjek dan objek untuk bahasa Indonesia, tapi sementara membandingkan dua frasa, kita hampir dapat menggunakannya sebagai dua pemikiran yang berbeda. Untuk kalimat ini, responden kuesioner merasa bahwa itu akurat, dan bahwa hanya puisi kalimat yang hilang. Selain itu, mereka berpikir bahwa konteks diganti oleh penterjemah, karena rasa frasa yang dipakai adalah sedikit berbeda.
IV. 5 FRASA LIMA
“Misery loves company” “Sudah jatuh tertimpa tangga”
Ini adalah sebuah frasa empati yang mencerminkan pada perasaan negatif dan kebutuhan untuk berada di sekitar seperti hati orang melalui emosi dan pengalaman yang sama. Frasa ini sangat
41
singkat, namun mewujudkan konsep yang lebih besar dari depresi dan putus asa, orang yang merasa penderitaan perlu di perusahaan orang-orang yang merasakan hal yang sama sehingga mereka merasa tidak normal untuk merasakan cara mereka.
Pada pandangan pertama, terjemahan ini telah berubah ke titik di mana frase asli tidak lagi dikenali, dan sementara menganalisis terjemahan menjadi jelas bahwa terjemahan lebih cocok untuk idiom bahasa Inggris yang lain; 'getting kicked while you’re down’, mengacu pada gagasan tentang situasi yang buruk di mana hal-hal yang benar-benar lebih buruk dan lebih buruk dari waktu ke waktu, terutama ketika melihat kenyataan bahwa ketika Anda jatuh ke bawah tangga Anda tetap jatuh sampai tidak ada lagi tangga jatuh. Untuk membandingkan dengan frase 'mendapatkan menendang saat Anda sedang down', 'Sudah Jatuh terlimpa tangga' cukup akurat dalam merefleksikan gerakan, dimana tangga adalah fokus, bukan orang akan melalui perasaan. Terjemahan Indonesia dibandingkan dengan idiom bahasa inggris ini hampir menawarkan contoh bagaimana seseorang dapat 'get kicked while they’re down’, yang mungkin masuk akal kontekstual untuk penutur asli Indonesia. Rasanya frasa ini bingung responden kuesioner, karena sebagian besar hanya dapat merujuk ke masalah puitis kecil, daripada pengetahuan di balik kalimat itu sendiri, membuktikan konteks yang sangat penting dalam terjemahan.
Melihat empat frasa ini idiomatik, kita dapat melihat bahwa sangat sulit untuk menerjemahkan frasa di mana kata-kata yang tidak gagasan utama, yang berarti bahwa wawasan budaya dan kontekstual adalah ide yang lebih penting untuk memanfaatkan atas. Pola yang muncul dari analisis frasa tersebut dapat dilihat melalui ketidakmampuan untuk meniru perangkat retorika
42
Inggris, seperti aliterasi dan metafora, dan sebaliknya memberikan deskripsi tindakan yang berkaitan dengan frase atau penggunaan yang tidak efektif dari terjemahan langsung, yang gagal untuk merangkum esensi yang sama yang berasal dari frase aslinya. Ungkapan-ungkapan ini menunjukkan bagaimana Anda dapat menerjemahkan menurut teori bahasa dan strategi, tetapi jika Anda gagal untuk sepenuhnya memahami dan menggunakan informasi kontekstual balik ungkapan-ungkapan seperti ini, Anda pasti akan berhasil. Sangat menarik untuk melihat pendapat dari para responden dari kuesioner sementara melihat frasa ini, karena memberikan wawasan yang lebih dalam. Pendapat lebih seperti ini akan dibahas panjang lebar dalam bab 5.
43
V. HASIL KUESIONER DAN WAWANCARA-WAWANCARA Bagian ini akan melihat hasil wawancara dan kuesioner yang dilakukan pada teori terjemahan, melihat tanda kutip yang sama yang telah dianalisis dalam bab 3 dan 4 dari makalah ini. Juga akan melihat pada bagian ini adalah hubungan antara tingkat kerja dan pendidikan dalam kaitannya dengan kemampuan translasi dan kemampuan untuk melihat kelemahan dalam bahasa.
Wawancara dilakukan dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang sama seperti kuesioner, dengan fokus pada yang diwawancarai yang telah menghabiskan banyak tahun bekerja dengan bahasa Indonesia (yang diwawancarai adalah pembicara bahasa Inggris asli dari Australia). Ibu Bibi sebelumnya bekerja sebagai penerjemah dan saat ini bekerja sebagai bahasa Indonesia dan guru budaya.
Di sisi lain, kuesioner berfokus pada responden yang belum bekerja sebagai penerjemah, tapi telah mempelajari dan memiliki tingkat kefasihan wajar dalam bahasa Indonesia. Untuk tulisan ini, kuesioner ini akan membantu menunjukkan bagaimana orang menanggapi bahasa, terlepas dari latar belakang atau pendidikan mereka. Karena ide bahasa telah berkembang dari waktu ke waktu, itu sangat menarik untuk melihat jenis teori atau pola bahasa yang akal sehat hari ini, karena mereka mungkin tidak telah di masa lalu.
Dalam kuesioner, responden diminta pertanyaan berdasarkan latar belakang pendidikan dan pekerjaan, pertanyaan berdasarkan bahasa dan linguistik, dan kemudian diminta untuk melihat apakah mereka bisa melihat pola bahasa, atau apa yang benar atau salah dengan contoh-contoh translations- contoh yang sama yang digunakan dalam bab 3 dan 4. Ini menarik untuk melihat
44
bahwa untuk pertanyaan lebih mudah dan contoh, sebagian besar responden mampu memberikan penjelasan yang cukup akurat dan jawaban, sedangkan contoh yang lebih sulit gagal untuk menerima analisis mendalam yang sama.
Melihat respon dari pertanyaan latar belakang, sebagian besar responden telah menyelesaikan studi sarjana, dengan beberapa Masters juga telah menyelesaikan adil dan derajat penelitian Phd. Karena ini, sebagian besar pekerjaan yang tercermin dalam mulai dari mahasiswa, peneliti, guru, dan petugas komunikasi. Sebagian besar responden juga menyambut positif ke tingkat yang wajar kefasihan untuk kedua bahasa, yang tercermin dalam jawaban yang diberikan- beberapa yang sangat bijaksana dan menyeluruh. Di sisi lain, diwawancarai saya telah menyatakan kefasihan dalam kedua bahasa dan sebelumnya bekerja sebagai penerjemah, dan karena ini jawaban dia sebagian besar pertanyaan dan analisis berikut rinci dan tepat. Jawabannya memberikan wawasan yang tak tertandingi ke salah satu responden lainnya, dan dengan demikian telah memberikan kesan bahwa penerjemahan adalah dicari keterampilan yang kebanyakan tidak memiliki, karena membutuhkan waktu dan kesabaran untuk benar-benar mengenal kedua bahasa dan mereka latar belakang linguistik agar dapat bekerja dengan mereka untuk meniru teks tanpa kehilangan esensi dan ekspresi dari teks asli.
Melihat pertanyaan dari bahasa dan latar belakang linguistik, jawaban yang diberikan masih sangat teliti, dengan responden sebagian besar mampu memberikan setidaknya jawaban singkat untuk masing-masing pertanyaan dengan temuan adalah bahwa sebagian besar responden, terlepas dari latar belakang yang memiliki pendapat bahwa adalah mungkin untuk menerjemahkan antara dua bahasa tanpa kehilangan esensi, meskipun mereka yang bekerja di
45
posisi penelitian dan komunikasi terkait memiliki pendapat bahwa ini hanya bisa menjadi kemungkinan ke mana. Ketika ditanya tentang pentingnya konteks, semua responden setuju bahwa konteks adalah yang ideal sangat penting yang harus tetap utuh, jika makna yang lebih dalam dari teks bisa hilang. Melihat respon dibandingkan dengan tanggapan dari Ibu Bibi, menjadi jelas bahwa pertanyaan-pertanyaan ini adalah pengetahuan umum bagi mereka yang telah mempelajari bahasa ini dan terjemahan bahwa pada tingkat dasar memiliki akal sehat dan pola diketahui bahwa kita semua mengikuti.
Ketika diminta untuk memberikan pendapat tentang dua penulis tulisan, pendapat responden dibagi. Dalam kasus pertama, ketika ditanya apakah As-Safi teori dari setiap dan semua teori terjemahan semua bahasa itu benar, responden dirujuk kembali ke pentingnya konteks dalam banyak kasus, dan tidak setuju dengan As-Safi. Ketika ditanya tentang teori Newmark tentang Idiom, responden setuju bahwa terjemahan harfiah dapat sementara digunakan untuk membantu menghafal idiom, tetapi itu harus diperbaiki agar sesuai dengan kedua bahasa dan konteks pada akhirnya. Namun, ketika melihat tanggapan dari Ibu Bibi tingkat nya pengalaman membentuk jawaban yang lebih bijaksana, dengan keyakinan dan pengetahuan. Dia cenderung setuju dengan teori As-Safi, dan sebagai orang yang tahu konteks yang dapat datang di bawah sosiolinguistik, dia telah berhasil melihat apa semua responden lainnya gagal tahu atau pemberitahuan. Ketika berbicara tentang teori Newmark tentang idiom, dia berbicara tentang bagaimana terjemahan harfiah dapat membantu memorialization, tapi bagaimana itu sangat sulit untuk mempertahankan makna dan ekspresi ekspresi idiomatik ketika menerjemahkan ke dalam bahasa lain, karena mungkin tidak memiliki relevansi yang sama. Oleh karena itu kita dapat melihat perbedaan
46
pendapat dari orang-orang yang memiliki pengalaman dengan terjemahan dan mereka yang tidak.
Meminta responden bagaimana mereka akan mendekati terjemahan kembali dengan beberapa tanggapan yang berbeda, mulai dari membaca teks melalui beberapa kali untuk membantu pemahaman yang lebih, menggunakan gambar visual dari teks untuk membantu meniru terjemahan yang cocok, menghabiskan waktu bekerja dengan istilah kunci, dan melihat struktur bahasa teks asli dan melihat bagaimana hal itu dapat diterjemahkan ke TT. Ini menarik karena tidak satu responden menjawab dengan terjemahan langsung, yang mungkin berarti bahwa itu akal sehat untuk mengetahui bahwa terjemahan harfiah tidak akan bekerja di sebagian besar keadaan. Ibu Bibi menggambarkan proses yang sangat teliti dia menghadapi terjemahan, daftar konteks sebagai hal pertama yang dia akan lakukan, diikuti dengan membaca teks beberapa kali. Setelah ini ia akan membaca jenis teks yang mirip dalam bahasa target untuk membiasakan diri dengan kosa kata dan struktur, sebelum mencoba untuk memulai menerjemahkan dirinya.
Selain melihat ide-ide dalam bahasa, linguistik, dan terjemahan, kuesioner dan wawancara juga dihadapkan responden dengan menganalisis dua jenis teks; frase idiomatik dan contoh dari teks sastra 'Frankenstein'.
Melihat bagaimana orang menanggapi analisis frasa idiomatik menarik, karena kebanyakan orang memiliki pendapat yang kuat tentang apa yang mereka pikir telah terjadi dalam proses menerjemahkan frase umum. Tanggapan umum dari frasa ini adalah bahwa terjemahan Indonesia tidak bisa menangani perangkat retorika yang digunakan dalam frase bahasa Inggris asli, seperti
47
aliterasi dan metafora. Responden juga cenderung melihat kata-kata tertentu, seperti "kemauan" untuk "will", yang digunakan dalam ekspresi bahasa Inggris "where there’s a will there’s a way", yang menyatakan bahwa mereka tidak mungkin menjadi pilihan yang tepat untuk frase. Lain mencatat bahwa terjemahan kadang tidak membuat banyak akal ketika diterjemahkan seperti yang terjadi sementara orang lain menyarankan bahwa terjemahan tertentu telah berubah untuk alasan budaya, khususnya "Alah bisa karena biasa", yang berasal dari bahasa Inggris "practice makes perfect". Satu responden berkata bahwa Indonesia adalah negara Islam mayoritas sehingga masuk akal untuk frase ini diterjemahkan dan diberi konteks agama- walaupun ini tidak benar di frasa ini. Beberapa berkomentar bahwa kalimat ini akan membuat lebih masuk akal jika itu telah diterjemahkan secara harfiah, bukan mengubah implikasi kalimat , karena tidak awalnya referensi ke agama.
Ketika melihat ekspresi idiom "Misery mencintai perusahaan", dan itu rekan "Sudah Jatuh tertimpa tangga", responden berkomentar bahwa ini tampaknya tidak menjadi terjemahan yang sesuai, dan bahwa terjemahan Indonesia ini cocok baik untuk frase Inggris "getting kicked while you", seperti yang dibahas dalam bab 4.
Secara keseluruhan, sepertinya responden mampu mengungkapkan bahwa dalam semua kasus terjemahan Indonesia tampaknya menyulitkan frase, dan dalam beberapa kasus benar-benar mengubah frase karena kurangnya alternatif yang lebih baik dalam bahasa Indonesia, atau mungkin karena masalah kontekstual lebih dalam. Ketika membandingkan pendapat responden kuesioner dengan diwawancarai, Ibu Bibi- yang juga merasa bahwa ada masalah komplikasi dari ungkapan, menjadi jelas bahwa frasa idiomatik yang hampir mustahil untuk mempertahankan
48
tingkat yang sama penggunaan bahasa dan kontekstual memahami karena bahasa dan kesenjangan budaya dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Ketika melihat contoh-contoh sastra dari buku 'Frankenstein', responden kuesioner tidak dapat memberikan banyak saran untuk apa yang baik atau salah dengan salah satu frase, hanya itu penggunaan bahasa Indonesia merasa tidak mampu ketika membandingkan dengan aslinya bahasa Inggris, mencatat penggunaan gaya yang lebih tua dari bahasa Inggris yang bisa juga kadang-kadang sulit untuk diterjemahkan dengan baik ke modern standar bahasa Inggris. Namun, Ibu Bibi dijelaskan bahwa ada banyak perjuangan yang rumit antara teks asli dan teks yang diterjemahkan. Penghilangan perangkat bahasa Inggris seperti retorika dan kata sifat menyulitkan terjemahan Indonesia untuk hidup sesuai dengan ukuran besar adegan yang digambarkan dalam novel. Dia juga menggambarkan bagaimana frasa telah disederhanakan dan dengan kutipan "Alas! Life is obstinate and clings closest where it is most hated " dan terjemahannya "Aduh! Kenapa napas hidup justru tak mau meninggalkan orang yang tidak menghendakinya lagi ?". Intinya adalah tidak sama dengan personifikasi kehidupan telah hilang, yang meninggalkan terjemahan Indonesia jatuh pendek dari teks asli.
Melihat teks 'Frankenstein' telah menunjukkan bahwa terjemahan sastra bergantung pada petunjuk kontekstual, struktur bahasa yang kompleks dan paralel linguistik, dan itu sering tidak mungkin untuk menemukan terjemahan yang sangat sempurna untuk teks, terutama yang ditulis dalam gaya bahasa mati, mengingat bahwa sebagian besar saat ini penerjemah tidak berpengalaman dalam seni Inggris tua.
49
VI. KESIMPULAN Untuk tujuan tulisan ini, fokus pada pertanyaan telah "masalah terjemahan umum terkait dengan ekspresi, frasa biasa dan frasa idiomatik", yang telah dibahas panjang lebar di seluruh makalah ini, melalui karya-karya sarjana, penerjemah, analisis pribadi teks dan tanggapan dari wawancara dan kuesioner.
Ada banyak teori dan strategi seperti teori As-Safi terjemahan menjadi sebuah seni yang hanya didasarkan pada proses linguistik, atau teori Newmark frase idiomatik, atau bahkan langkah demi langkah panduan terjemahan yang diberikan oleh orang-orang seperti Nida, Tytler dan Dolet oleh . Karena perkembangan strategi penerjemahan dan teori itu telah menjadi lebih jelas apa tindakan pencegahan yang harus mengambil dalam rangka untuk meniru teks untuk mencapai "baik terjemahan", yang telah menunjukkan kemajuan sejak periode pertama ditemukan terjemahan dibahas dalam latar belakang dari makalah ini. Ini menunjukkan bagaimana struktur pengetahuan kita tentang bahasa dan telah dikembangkan dan bahwa masih ada beberapa kemajuan harus dibuat agar mudah sumber dari semua teks dapat dibuat tersedia. Seperti yang telah dibahas, pengenalan mesin terjemahan telah menjadi sumber daya yang berharga, namun masih perlu beberapa perbaikan agar mampu menghadapi semua faktor terjemahan, apakah ini yang bisa benar-benar terjadi.
Melihat teks yang digunakan dalam makalah ini, kita dapat melihat bahwa masih ada cara untuk pergi untuk penerjemah semua bahasa, dengan fokus khusus pada pasangan bahasa tidak berasal dari kelompok bahasa yang sama mengingat perbedaan struktur bahasa dan latar belakang budaya dari negara-negara di mana ini adalah bahasa asli. Ketika melihat frase idiomatik dan
50
rekan-rekan Indonesia mereka menjadi jelas bahwa ada kesenjangan budaya yang besar, dan bahwa tampaknya ada kosa kata yang kurang deskriptif untuk bekerja dengan dalam produksi TT. Masalah penerjemahan yang jelas dan dapat dilihat secara luas di penyederhanaan dan komplikasi setiap frase idiomatik masing. Tingkat bahasa yang digunakan dalam frase bahasa Inggris yang asli tidak dapat direplikasi ke Indonesia tanpa membuat perubahan drastis, kadangkadang mengubah kalimat sama sekali.
Dengan teks sastra 'Frankenstein', jenis yang sama masalah dapat ditemukan, ditambah lagi. Tingkat bahasa yang digunakan dalam novel ini sangat canggih dan formal, sedangkan dalam gaya sastra Indonesia bahasa yang digunakan lebih informal dan kadang-kadang sangat seharihari. Dalam kasus terjemahan dari bahasa Inggris ke Indonesia, penggunaan gaya yang lebih tua dari Inggris telah menyebabkan masalah dengan produksi esensi yang sama dalam terjemahan, sebagai modern Indonesia gagal untuk mengkompensasi ekspresi yang digunakan dengan katakata bahasa Inggris yang lebih tua. Kurangnya berbagai kata sifat Indonesia gagal untuk mengimbangi bahasa sangat deskriptif dalam novel, dan membuktikan betapa bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia tidak selalu dapat dicapai, dan bahwa kadang-kadang bahasa dan budaya gap tidak dapat dikompensasikan, bahkan ketika menerapkan teori dan langkah demi langkah panduan penerjemahan yang dapat bekerja pada dasar terjemahan biasa sehari-hari.
Hal ini jelas bahwa ada banyak masalah yang dapat terjadi dalam terjemahan ekspresi, frasa reguler dan frase idiomatik, dan mereka tidak selalu dapat diperbaiki, seperti yang ditunjukkan dengan berbagai contoh teks dieksplorasi dalam bab 3, 4 dan 5 dari makalah ini. Teori dan panduan yang disediakan oleh penerjemah dan sarjana masa lalu hanya dapat digunakan sebagai
51
panduan kasar, karena tidak selalu mungkin untuk membuat terjemahan sukses jenis teks tertentu.
52
VII. DAFTAR PUSTAKA As-Safi, Prof A.B, “Translation theories, strategies and basic theorectical issues”, online article accessed 26/08/2014, https://www.uop.edu.jo/download/Research/members/424_2061_A.B..pdf
Baker, Mona, 2005, ‘Routledge Encyclopedia of Translation Studies’, London: Routledge Baker, M (1992), “In Other Words: A course book on translation”, London and New York: Routledge (Page 63) Bassnett, Susan, 1988, ‘Translation Studies’, 3rd Edition, London: Routledge Darwish, A (1991), “Towards! A theory of constraints in Translation”, online draft pdf, accessed 28/08/2014 from http://www.translocutions.com/translation/constraints_0.1.pdf Dolet, Etinenne, 1509-1546, ‘La Maniere de Bien Traduire d’une Langue en Autre”, Lyon: E. Dolet
Goldratt, E.M (1984), “Theories of Constraints, from the novel ‘The Goal’, Gower Publishing Ltd. Horace, 19 BC, ‘The Art of Poetry’
Larson, M.L (1984), “Meaning Based Translation”, New York: University Press of America, (page 249) Leferve, A (1992), “Translation, History and Culture: A Sourcebook”. London/New York Routledge Newmark, P (1981), “Approaches to Translation”, Oxford Pergaman Press.
53
Newmark, P (1991), “About Translation”, Great Britain: Longdunn Press, Bristol (page 61) Nida, Engene. A (1976), “A Framework for the Analysis and Evaluation of Theories of Translation”, In RW Brislin (ed.) Shelley, Mary (1818), “Frankenstein”, Lackington, Hughes, Harding, Mavor & Jones (English Version
Shelley, Mary (1994), “Frankenstein”, PT Gramedia, Pustaka Utama anggota IKAPI, Jakarta (Indonesian Version), Penterjemah- Anton Adiwoyoto
Venuti, L (2000), “The Translation Studies Reader”. London and New York: Routledge.
Wawancara, 15th November 2014 dengan Ibu Bibi Ahmed Woodhouselee, Alexander Fraser Tytler, 1747-1813, ‘Essay on the Principles of Translation’, London: J.M. Dent & Co; New York: E.P Dutton
54
TAMBAHAN
PERTANYAAN KUESIONER DAN WAWANCARA
Educational and Language Background:
Current level of completed education?
What is your occupation?
Is English or Indonesian your mother tongue?
Do you speak the other language fluently?
Are you familiar with linguistic backgrounds of both or either languages?
Language and Theory:
Do you believe that it is possible to translate between two languages directly without losing the essence?
How important do you think context is when translating between texts?
Professor As-Safi from Petra University quoted in his paper “translation theories, strategies and basic theoretical issues” that “translation is an activity involving languageany and all theories of translation are linguistic”- do you agree? Why/why not?
Newmark once said “literal translations of idioms may also be useful as a pathway to comprehension and memorialisation”- do you agree? Why/why not?
When looking at translating a text, what would you first do? And why?
Looking at Idioms:
55
Looking at the following idioms originating from English, what observations can be noted when looking at them side by side the Indonesian equivalents. Is there simplification or complication? Has vital essence been omitted? Or is there very little difference between the source and destination texts?
1. Look before you leap - Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna. 2. Where there’s a will there’s a way- Dimana ada kemauan, di situ ada jalan. 3. Practice makes perfect- Alah bisa karena biasa. 4. The early bird gets the worm – Siapa cepat dia yang dapat 5. Misery loves company –> Sudah jatuh tertimpa tangga
Looking at examples from the text -‘Frankenstein’: Looking at examples from Frankenstein by Mary Shelly, from both the English and Indonesian texts, which observations can be drawn? Is there simplification, or complication of the destination text? Does the destination text stay true to context and ideas expressed in each example? Quote One: “These sublime and magnificent scenes afforded me the greatest consolation that I was capable of receiving. They elevated me from all the littleness of feeling, and although they did not remove my grief, they subdued and tranquillized it” “Pemandangan alam yang menakjubkan di sekelilingku memberi pengaruh yang menenangkan diriku. Kesedihanku masih belum terhapus, tapi kedamaian menenteramkan pikiranku.” Quote Two:
56
“Half surprised by the novelty of these sensations, I allowed myself to be borne away by them, and forgetting my solitude and deformity, dared to be happy. Soft tears again bedewed my cheeks, and I raised my humid eyes with thankfulness towards the blessed sun, which bestowed such joy upon me” “Aku terseret perasaan ini dan melupakan kesendirian serta keburukan rupaku. Aku bahkan bahagia. Air mataku meleleh di pipi dan dengan bersyukur aku mengangkat mataku yang basah ke arah matahari yang penuh rahmat dan memberiku rasa gembira” Quote Three: “Alas! Life is obstinate and clings closest where it is most hated” “Aduh! Kenapa napas hidup justru tak mau meninggalkan orang yang tidak menghendakinya lagi?” Quote Four: “How ignorant art thou in thy pride of wisdom! Cease; you know not what it is you say” “kau membanggakan dirimu sebagai orang bijak, padahal sebenarnya jiwamu kosong! Sudahlah! Kau tak tahu apa yang kaukatakan”
57