BAB IV PENUTUP Berdasarkan data – data dan analisa yang telah dilakukan di dalam penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa mekanisme penerapan layanan diplomatik oleh KBRI di Kuala Lumpur dalam memberikan perlindungan terhadap TKI/Wanita di Malaysia berpedoman pada arahan Menteri Luar negeri yang berdasarkan atas UU No. 37 tahun 1999 mengenai Hubungan Luar Negeri Indonesia. Hal tersebut ditunjukkan secara rinci dalam Bab III UU No. 37 tahun 1999 pasal 21 menyebutkan bahwa dalam hal warga negara Indonesia yang terancam
bahaya
nyata,
Perwakilan
Republik
Indonesia
berkewajiban
memberikan perlindungan, membantu dan menghimpun mereka di wilayah yang aman serta mengusahakan untuk memulangkan mereka ke Indonesia atas biaya negara. Sedangkan dalam pasal 13 menyebutkan bahwa lembaga negara dan lembaga pemerintah baik departemen maupun non departemen yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional maupun langkah diplomatik, terlebih dahulu melakukan konsultasi mengenai rencana tersebut dengan menteri. Sehingga dapat dikatakan bahwa mekanisme perlindungan TKI/Wanita di Malaysia menjadi tanggung jawab Perwakilan RI di Indonesia yaitu KBRI, dengan wewenang KBRI kemudian membentuk
Tim
Negosiasi
untuk
menyelesaikan permasalahan kasus Nirmala Bonat, Nurul Aida, Siti Hajar maupun Winfaidah, dimana dalam prosedural pelaksanaan perlindungan tersebut Tim Negosiasi KBRI bekerja atas arahan Menteri Luar Negeri RI yang berdasarkan UU No. 37 Tahun 1999. Kesimpulan kedua
adalah pemberian layanan diplomatik
terkait
perlindungan TKI/Wanita di Malaysia yang dilaksanakan oleh KBRI, telah sesuai dengan prosedur dan peraturan yang ada, akan tetapi terdapat beberapa faktor yang menyebabkan pengorganisasian dan langkah-langkah diplomatik yang diambil oleh KBRI-Kuala Lumpur tidak berjalan secara efektif, yaitu :
60
1. KBRI-Kuala Lumpur tidak optimal dalam menjalankan fungsi dan misi
diplomatik
dalam
situasi
perundingan/negosiasi
terkait
penyelesaian kasus Nirmala Bonat, Nurul Aida, Siti Hajar dan Winfaidah. Dalam menyelesaikan keempat kasus tersebut KBRI-Kuala Lumpur masih menggunakan metode penyelesaian secara kasus per kasus sehingga misi dari layanan diplomatik tidak tercapai, karena langkah diplomatik yang diambil KBRI hanya memperbaiki kondisi, bukan menyelesaikan secara tuntas perbedaan internasional tentang perlindungan TKI. Pelaksanaan fungsi dari misi diplomatik juga tidak berjalan secara optimal, dimana dalam kasus Nurul Aida, fungsi Negosiasi KBRI tidak berjalan secara maksimal karena kemampuan negosiasi KBRI-Kuala Lumpur tidak dapat mencapai tujuan yaitu pengembalian hak-hak Nurul Aida berupa gaji yang tertunda serta pemberatan tuntutan hukuman bagi pelaku pembunuhan. Sedangkan dalam kasus Nirmala Bonat dan Winfaidah, kendala optimalisasi fungsi misi diplomatik terletak pada tidak berjalannya fungsi Proteksi KBRI-Kuala Lumpur karena KBRI-Kuala Lumpur tidak menyediakan pengacara lokal maupun lobi-lobi kultural dalam mempermudah proses peradilan kedua TKI tersebut di Malaysia. Fungsi dari misi diplomatik KBRI-Kuala Lumpur dalam kasus Siti Hajar juga tidak berjalan secara optimal karena KBRI-Kuala Lumpur kurang maksimal dalam menjalankan fungsi Observasi, dimana KBRI memiliki data terkait informasi kasus Siti Hajar, namun tidak dapat digunakan untuk mendesak pemerintah Malaysia dalam proses peradilan Siti Hajar. 2. Terdapatnya kendala dalam layanan perburuhan di Malaysia, dimana secara prosedural, KBRI memiliki beban yang sangat berat dalam memberikan perlindungan terhadap TKI/Wanita di Malaysia karena KBRI diharuskan untuk menguasai persoalan secara menyeluruh terhadap TKI/Wanita yang bekerja di seluruh wilayah bagian Malaysia. Selain itu terdapatnya kasus-kasus pungutan liar terhadap proses administrasi TKI/Wanita oleh oknum KBRI-Kuala Lumpur,
61
termasuk beberapa Mantan Duta Besar RI untuk Malaysia, berdampak pada turunnya tingkat kepercayaan publik terhadap kapasitas KBRI dalam memberikan perlindungan terhadap TKI/Wanita di Malaysia. 3. Persoalan signifikansi isu HAM dan migrasi perburuhan bagi KBRIKuala Lumpur, yaitu langkah diplomatik yang diambil KBRI masih tergolong dalam diplomasi konvensional karena masih lebih berorientasikan kepada permasalahan-permasalahan keamanan dan politik. Hal tersebut ditunjukkan melalui perbandingan antara signifikansi peningkatan mekanisme perlindungan TKI/Wanita di luar negeri dengan empat program lain yang lebih menjadi prioritas KBRI dalam konteks politik, hukum dan keamanan di tahun 2009. Keempat program tersebut diantaranya adalah perluasan layanan warga (citizen service), pemulangan WNI/TKI bermasalah, diplomasi mengenai penyelenggaraan Bali Democracy Forum dan repatriasi warga Papua bersama Kementerian Luar Negeri. Diplomasi yang dilakukan oleh KBRI dalam mendukung suksesnya empat program tersebut sangatlah intensif bila dibandingan dengan tingkat diplomasi KBRI dalam memberikan perlindungan terhadap TKI/Wanita di luar negeri. 4. Persoalan kuantitas dan rendahnya kualitas TKI/Wanita di Malaysia. Jumlah TKI yang bekerja di Malaysia hingga Juni 2009 mencapai 2,76 juta orang sangat berbanding terbalik dengan jumlah total staf KBRI dan KJRI di Malaysia yaitu hanya 68 orang. Timpangnya jumlah TKI dengan jumlah staf KBRI dan KJRI berdampak pada buruknya kualitas pelayanan diplomatik yang diterima oleh para TKI/Wanita di Malaysia. Persoalan rendahnya kualitas TKI/Wanita di Malaysia juga menjadi faktor penghambat bagi efektifitas pelayanan diplomatik KBRI dimana hampir 80% TKI yang dikirimkan ke Malaysia berlatarbelakang pendidikan Lulusan Sekolah Dasar dan Lulusan SMTP Umum. Sehingga sebagian besar TKI/Wanita yang bekerja di Malaysia berada dalam jenis pekerjaan domestik seperti PRT, buruh perkebunan dan buruh tidak tetap. Rendahnya kualitas TKI/Wanita
62
tersebut berdampak langsung pada rentannya mereka terhadap kasuskasus pelanggaran hukum dan korban tindak kekerasan karena rendahnya tingkat pemahaman atas hak dan hukum yang berlaku di Malaysia. Disamping kesimpulan pertama dan kedua, terjadinya tumpang tindih peran antara KBRI dengan lembaga lain seperti BNP2TKI dan Atase-atase ketenagakerjaan juga menjadi faktor penghambat keefektifan mekanisme perlindungan KBRI terhadap TKI/Wanita. Tumpang tindih peran antara KBRI dengan lembaga lain ditunjukkan dalam perbedaan penafsiran terhadap penerapan undang-undang perlindungan TKI/Wanita di luar negeri, yaitu apakah dalam melaksanakan undang-undang tersebut lembaga-lembaga lain seperti BNP2TKI melaksanakan perlindungan secara Government to Personal saja atau disertai dengan mekanisme perlindungan melalui Government to Government yang notabene meruapakan bagian tugas dari KBRI. Tumpang tindih peran yang terjadi menimbulkan
ketidakjelasan
perlindungan
TKI/Wanita.
pihak Padahal
yang
bertanggung
siapapun
yang
jawab
menjadi
terhadap pemangku
kewenangan dalam memberikan perlindungan, bukanlah menjadi ukuran utama karena seluruh badan pemerintahan Indonesia berfungsi dalam melaksanakan perlindungan terhadap TKI/Wanita di luar negeri. Sebagai
Penutup,
dapat
disimpulkan
secara
menyeluruh
bahwa
ketidakefektifan mekanisme perlindungan TKI/Wanita di luar negeri sangat berkaitan dengan lemahnya sifat-sifat kerja KBRI dan diplomatnya serta ketidaksiapan KBRI dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang bersifat non-konvensional. Oleh karena itulah perbaikan secara struktural dan fungsional bagi KBRI-Kuala Lumpur menjadi hal yang harus segera dilaksanakan agar dapat mencegah terjadinya pelanggaran hak-hak asasi kemanusiaan serta memberikan perlindungan yang optimal terhadap TKI/Wanita ketika menjadi korban penganiayaan di masa yang selanjutnya. Mengenai signifikansi penulisan “Perlindungan TKI/Wanita di Luar Negeri oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia : Studi Kasus Kedutaan Besar Republik Indonesia Kuala Lumpur Tahun
63
2004-2009” terhadap studi Ilmu Hubungan Internasional adalah untuk mengetahui peran KBRI selaku lembaga perwakilan pemerintah Indonesia di luar negeri dalam menangani isu-isu kontemporer seperti HAM dan migrasi Internasional. Sedangkan agenda riset yang dapat dilaksanakan kedepan adalah menemukan langkah-langkah diplomatik yang lebih progresif dan bersifat non konvensional untuk
dapat dilaksanakan oleh KBRI-Kuala Lumpur dalam melindungi
TKI/Wanita di Malaysia.
64