Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …
Komunikasi Negosiasi China terhadap Penyelesaian Sengketa Laut China Selatan Ign. Agung Satyawan1
Abstract South China Sea is one source conflict in the world. Some state in around the sea try to claim the sea. Not only connected water area of states but also connected more of wide interest include economic interest. South China Sea is predicated has earth wealth especially as oil and earth gas sources. Some state which they claim existention of the sea are China, Taiwan, Vietnam, Philipina and other state especially states in ASEAN. To finish the conflict, one of China strategy is applicate communication strategy which it’s called is negotiation. In international relations, negotiation is core of diplomacy. Diplomacy is the conduct of international relations by negotiation rather than by force, propaganda, or recourse to law, and by other peaceful means (such as gathering information or engendering goodwill) which are either directly or indirectly designed to promote negotiation. Negotiation is a technique of regulated argument which normally occurs between delegations of officials representing states, international organizations or other agencies. The paper will explain about China interest in South China Sea, how to strategy of China to do implementation its interest and how to China develop negotiation with other states which they have conflict and other actors which they have interest in South China Sea include United Stated of America (USA) and Japan. Key Words: Negotiation, interest, conflict, communication, states, international relations.
Pendahuluan Pada bulan April 2001 pesawat pengintai Angkatan Laut Amerika Serikat jenis EP-3 Aries bertabrakan dengan pesawat tempur Republik Rakyat China (untuk seterusnya disebut China) jenis F-8. Insiden ini terjadi di 70 mil laut sebelah selatan pulau Hainan di atas laut China Selatan. Pesawat China berusaha menyergap pesawat asing yang melanggar wilayah Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil. Namun pihak Amerika menyatakan bahwa pesawatnya masih terbang di 1
Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010
1
Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …
kawasan udara internasional. Hal ini terjadi karena terdapat perbedaan intepretasi hukum internasional yang berbeda. Perbedaan cara pandang ini akan sangat berbahaya di daerah yang sedang menjadi sengketa. Insiden tersebut menunjukkan bahwa Laut China Selatan dapat menjadi sumber konflik antar China dan Amerika Serikat maupun dengan negara-negara lainnya. Konflik yang terjadi antara China dengan negara-negara selain Amerika Serikat yang berkaitan dengan kawasan Laut China Selatan sudah sering terjadi. Pada tahun 1990 terjadi sengketa antara China dengan Vietnam berkaitan dengan wilayah pengeboran minyak dan gas alam. Konflik bersenjata pun juga berkalikali terjadi. Kontak senjata di Laut China Selatan antara kapal angkatan laut Vietnam dengan China terjadi pada tahun 1988. Pada tahun 1995 Angkatan Laut Philipina memaksa China untuk membongkar patok-patok penanda yang dibuat secara sepihak untuk menunjukkan bahwa wilayah itu milik China di gugusan karang Mischief Reef di sisi timur Laut China Selatan. Laut China Selatan adalah wilayah air yang terbentang diantara Selat Taiwan di sebelah utara, Philipina di sebelah timur, daratan Asia Tenggara di sebelah barat dan Selat Malaka di sebelah selatan. Ada 10 negara mengelilingi Laut China Selatan yaitu: China, Taiwan, the Philipina, Malaysia, Brunei, Indonesia, Vietnam, Singapura dan Kamboja. Kawasan laut ini ditaburi dengan pulau-pulau kecil dan gugusan karang. Ada tiga gugusan pulau maupun karang yaitu gugusan pulau-pulau Pratas, gugusan pulau-pulau Paracel, gugusan pulaupulau Spratly yang merurapakan gugusan terbesar serta satu gugusan karang yang tenggelam ketika air pasang yaitu Macclesfield Bank (Amer, 2002). Sumber sengketa di kawasan Laut China Selatan adalah saling tumpang tindih batas yuridiksi wilayah maupun kedaulatan yang diklaim beberapa negara. China dan Taiwan bersama-sama mengklaim gugusan pulau Pratas dan Macclesfield Bank. China dan Vietnam bersama-sama mengklaim gugusan pulau Paracel. Gugusan pulau Spratly diperebutkan antara China, Vietnam, Taiwan, Philipina, Malaysia dan Brunei. China, Vietnam dan Taiwan mengklain seluruh gugusan kepulauan ini, Philipina dan Malaysia mengklaim sebagian wilayah
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010
2
Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …
kepulauan sedangkan Brunei mempunyai persoalan dengan saling tumpang tindihnya Zona Ekonomi Eksklusif. Sampai sekarang sengketa yuridiksi wilayah dan kedaulatan di Laut China Selatan belum tuntas diselesaikan. Hal ini berarti wilayah ini tetap akan menjadi sumber konflik di kawasa Asia Pasifik pada masa depan. China sebagai negara terbesar di kawasan ini sekaligus sebagai aktor dalam sengketa di Laut China Selatan mempunyai peran penting dalam penyelesaian sengketa. Namun perilaku China di kawasan Laut China Selatan tidak dipandu dengan politik luar negeri yang konsisten. Ada perbedaan antara apa yang diucapkan dengan apa yang dilaksanakan (Stenseth, 1998). Sebagai contoh ketika Perdana Menteri Li Peng mengunjungi Singapura dan Malaysia pada tahun 1990 mengatakan bahwa China siap untuk mendiskusikan secara konstruktif pengembangan ekonomi gugusan pulau Spratly yang menjadi kawasan sengketa dengan pihak manapun sambil meminggirkan isu sensitive tentang persoalan
kedaulatan. Namun tidak lama kemudian pada tahun 1992 China
mengesahkan undang-undang baru tentang kewilayahan yang menyatakan bahwa seluruh gugusan pulau di Laut China Selatan adalah milik China yang tak terpisahkan. Undang undang ini tentu saja membuat negara-negara yang terlibat sengketa menjadi cemas. Untuk meredakan ketegangan, Li Peng mengunjungi Vietnam guna menawarkan kerja sama eksplorasi di Laut China Selatan dan menjanjikan tidak akan memaksakan kehendak dengan cara kekerasan. China juga segera mendukung upaya perdamaian yang dilakukan ASEAN melalui Deklarasi ASEAN tentang Laut China Selatan bulan Juli 1992. Namun pada tahun 1994 dan 1995 China secara sepihak membangun patok-patok penanda di kepulauan Mischief Reef sebagai milik China yang juga diklaim Philipina sebagai miliknya. Ketegangan antara kedua negara segera terjadi. Upaya negosiasi yang dilakukan ASEAN dengan China membuahkan hasil dengan disepakatinya prinsip-prinsip bertingkah laku (code of conduct) yang berkaitan dengan wilayah Laut China Selatan tahun 2002. Prinsip-prinsip ini untuk sementara dapat meredakan ketegangan diantara para pelaku sengketa
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010
3
Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …
(Emmers, 2007). China juga mengembangkan proses negosiasi baik bilateral maupun multilateral berkaitan dengan bagaimana penyelesaian sengketa Laut China Selatan. Tulisan ini akan membahas mengenai kepentingan China di Laut China Selatan, bagaimana strategi China untuk mengimplementasikan kepentingannya tersebut sehingga terjadi sengketa dengan negara-negara lain yang mengelilingi Laut
China
Selatan.
Kemudian
juga
akan
dibahas
bagaimana
China
mengembangkan negosiasi atau dialog dengan negara-negara lain yang bersengketa maupun pihak lain yang berkepentingan di Laut China Selatan.
Negosiasi Negosiasi secara umum merupakan inti dari proses diplomasi. Adam Watson menyebutkan bahwa diplomasi sebagai “negotiations between political entities which acknowledge each other independence” (Watson, 1982). Secara lebih rinci, G. R. Berridge menggambarkan diplomasi seperti “the conduct of international relations by negotiation rather than by force, propaganda, or recourse to law, and by other peaceful means (such as gathering information or engendering goodwill) which are either directly or indirectly designed to promote negotiation” (Berridge,1995). Sedangkan pengertian negosiasi dalam politik internasional diartikan sebagai “a technique of regulated argument which normally occurs between delegations of officials representing states, international organizations or other agencies”. Oleh karena itu, negosiasi merupakan fungsi dari diplomasi (Berridge,1995). Negosiasi juga merupakan sarana negara ataupun pihak-pihak yang sedang bersengketa untuk menyelesaikan perselisihan secara damai. Negosiasi dalam kaitan dengan penyelesaian konflik dapat didefinisikan sebagai berikut: “We defined negotiation as a process by which states and other actors communicate and exchange proposals in an attempt to agree about the dimensions of conflict termination and their future relationship” (Bercovitch dan Jackson, 2001)
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010
4
Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …
Negosiasi dapat dibedakan menjadi negosiasi formal (track I diplomacy) dan negosiasi informal (track II diplomasi). Negosiasi formal adalah negosiasi yang para negosiatornya mewakili institusi formal (negara) sehingga hasil kesepakatan negosiasi ini mengikat secara formal pula. Sebaliknya, negosiasi informal adalah negosiasi yang para negosiatornya bukanlah mewakili Negara (Bolewski, 2007). Biasanya negosiasi informal ini membantu terselenggaranya negosiasi formal yang biasanya kaku dan lebih rumit. Pada sisi lain, kaitan antara diplomasi dengan komunikasi sangatlah erat. Stearns mengatakan bahwa: “Communication is the essence of diplomacy. There has never been a good diplomat who was a bad communicator” (Stearns, 1996). Bahkan diplomasi dengan komunikasi adalah dua hal yang identik. Constantinou mengatakan: “In fact, diplomacy is often defined in terms of communication – as a regulated process of communication” (Constantinou, 1996). Dengan nada yang hampir sama, A. James mengatakan bahwa diplomasi adalah “the communication system of the international society” (James, 1980). Hedley Bull juga menyatakan bahwa diplomasi sebagai: “the transmitting of messages between one independent political community and another” (Bull, 1977). Berdasarkan berbagai pendapat dari para pakar hubungan internasional, mereka menyepakati bahwa negosiasi merupakan salah satu sarana dari suatu negara untuk meraih tujuannya disamping sarana lain seperti kekuatan militer. Negosiasi juga merupakan fungsi utama dari diplomasi yang dalam bahasa hubungan internasional juga disebut dengan soft power. Sedangkan diplomasi adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari komunikasi.
Laut China Selatan Menurut Biro Hidrografis Internasional, Laut China Selatan didefinisikan sebagai laut yang semi tertutup yang terbentang dari Selat Karimata di selatan ke Selat Taiwan di utara, dari daratan Asia Tenggara di sebelah barat ke Philipina di sebelah timur. Daerah ini mempunyai luas 800.000 kilometer persegi dengan
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010
5
Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …
ratusan karang, koral, daratan pasir maupun pulau-pulau kecil. Beberapa diantaranya tenggelam dalam air ketika pasang. Kedalaman dari daerah ini sangat bervariasi. Beberapa bagian sangat dangkal yang ditandai dengan adanya terumbu karang. Daerah yang dangkal ini menyebabkan beberapa kapal kandas. Beberapa tempat lainnya sangat dalam. Ke dalam maksimum lebih dari 18.000 kaki. Daerah yang paling dalam terletak disebelah timur, berbatasan dengan Pulau Palawan di Philipina. Daerah ini dikenal sebagai Palung Palawan.
Gambar 1 Laut China Selatan
Sumber: http://www.eia.doe.gov/emeu/cabs/South_China_Sea/Background.html
Daratan di wilayah Laut China Selatan dapat dibagi menjadi 3 kelompok kepulauan dan sebuah daratan yang kadangkala tenggelam. Tiga kelompok kepulauan itu adalah Kepulauan Pratas terletak kira-kira 230 mil laut tenggara Hongkong dan barat daya Taiwan. Kepulauan Spratly yang merupakan kepulauan terbesar di Laut China Selatan, terletak di bagian selatan Laut China Selatan. Kepulauan ini terdiri dari lebih 100 pulau-pulau kecil, karang dan daratan pasir. Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010
6
Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …
Bagian paling selatan kepulauan ini hanya berjarak kurang dari 100 mil laut dari Brunei, Malaysia atau Pulau Palawan di Philipina. Sedangkan China daratan berjarak lebih dari 700 mil laut dari Kepulauan Spratly. Sedangkan daratan yang kadangkala tenggelam adalah daratan Macclesfield. Daratan ini terletak disebelah tenggara kepulauan Paracel dan kira-kira terletak di tengah-tengah Laut China Selatan. Walaupun Laut China Selatan beserta pulau-pulaunya tidak cocok untuk mendukung kehidupan manusia, wilayah ini mempunyai tiga aspek penting sehingga menarik negara-negara di sekitarnya untuk bersaing menyatakan kedaulatannya. Tiga aspek penting itu adalah lingkungan, sumber-sumber alam dan lokasi geografis. Dari ketiga aspek ini, kandungan cadangan minyak dan gas bumi serta letak geografis Laut China Selatan adalah hal yang paling penting. Laut China Selatan, terutama kepulauan Spratly, dipercaya kaya akan minyak dan gas bumi. Pada bulan Mei 1989, koran geologi China mengutip laporan penelitian yang dibuat oleh Kementerian Geologi dan Sumber Mineral China yang mengatakan bahwa kandungan minyak di Laut China Selatan mencapai 130 juta barrel. Jumlah ini dapat dibandingkan dengan 112 juta barel di Irak yang merupakan peringkat kedua dari cadangan minyak kedua setelah Arab Saudi. China juga mengestimasi Laut China Selatan mengandung 2000 trilyun kubik cadangan gas alam. Oleh karena itu China menganggap Laut China Selatan sebagai “Teluk Persia Kedua”. Laut China Selatan adalah konektor antara Samudra Hindia dengan Samudra Pasifik. Sejak jaman dulu penguasa-penguasa di sekitar Laut China Selatan menggunakan laut ini untuk transportasi barang-barang dagangan. Laut China Selatan juga dikenal sebagai jalur laut yang tersibuk di dunia. Karena terletak di jalur strategis, sudah barang tentu Laut China Selatan mempunyai nilai tambah dari segi militer. Pangkalan militer yang terletak di Laut China Selatan, terutama di Kepulauan Spartly misalnya, dapat mengamati pergerakan kapal baik kapal komersial maupun kapal perang dan pesawat terbang secara mudah. Pada waktu Perang Dunia II, Jepang menggunakan Kepulauan Spratly sebagai
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010
7
Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …
pangkalan militer untuk melancarkan serangan ke Philipina dan negara-negara lainnya di Asia Tenggara.
Pembahasan Memasuki era pascaperang dingin dan juga dalam rangka menghadapi sangsi ekonomi negara-negara Barat pada tahun 1990-an, China merubah haluan politik luar negerinya untuk mendekat kepada negara-negara Asia Tenggara, baik secara bilateral maupun multilateral. Kedua belah pihak, China dan ASEAN mencoba untuk saling menjalin kerjasama melalui berbagai macam dialog. Salah satu kendala untuk menjalin kerjasama ini adalah sengketa Laut China selatan. Elit politik China dalam memandang posisi strategis Laut China Selatan terbelah menjadi dua yaitu kelompok nasionalis yang berhaluan garis keras dan kelompok modernis yang moderat dan cenderung berhaluan lebih lunak. Kelompok nasionalis yang pada umumnya berasal dari perwira militer, terutama dari angkatan laut serta pimpinan Partai Komunis China. Mereka cenderung mempertahankan
kedaulatan
China
tanpa
kompromi
dan
tidak
segan
menggunakan sarana militer. Hasil kebijakan ini adalah terjadinya konflik militer dengan negara tetangga seperti Vietnam. Kebijakan dari kelompok ini sudah barang tentu merisaukan negara-negara Asia Tenggara dalam berhubungan dengan China. Pada sisi lain, pendukung kelompok modernis berasal elit politik yang propertumbuhan ekonomi China seperti para pengusaha perusahaan minyak negara, petinggi di departemen perdagangan dan petinggi di departemen luar negeri. Kelompok ini lebih menekankan sarana diplomasi sebagai alat penyelesaian masalah. Persaingan kedua kelompok ini menyebabkan kebijakan China di Laut China Selatan seperti tidak konsisten, kadang-kadang keras dan pada suatu saat lunak. Hal ini tergantung dari kelompok elit politik mana yang berkuasa dalam struktur kekuasaan China.
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010
8
Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …
Berkenaan dengan sengketa Laut China Selatan, China dan ASEAN mulai mencari cara pemecahan masalah melalui negosiasi. Kedua belah pihak mencoba untuk bernegosiasi melalui jalur formal misalnya melalui Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN (ASEAN Summit), sidang para menteri ASEAN (ASEAN Ministerial Meeting/AMM) dan Forum Regional ASEAN (ASEAN Regional Forum/ARF). Negosiasi formal merupakan cerminan pendapat dan sikap pemerintah dan sering disebut mekanisme Diplomasi Jalur Pertama (Track I Diplomacy). Di samping negosiasi jalur pertama, dikembangkan pula mekanisme Diplomasi Jalur Kedua (Track II Diplomacy) yaitu negosiasi secara informal dimana pihak-pihak yang terlibat bukan merupakan wakil dari pemerintah.
Negosiasi Formal Setelah memulihkan hubungan diplomatik bilateral dengan negara-negara di Asia Tenggara pada tahun 1990-an, China kemudian mempersiapkan diri untuk memasuki negosiasi multilateral dengan ASEAN. Inisiatif pertama kali dilakukan oleh ASEAN dengan mengundang China sebagai tamu pada ASEAN Miniterial Meeting (AMM) di Kuala Lumpur Malaysia pada bulan Juli 1991. Delegasi China langsung dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Qian Qichen. Pada waktu yang hamper bersamaan, China juga mengirim delegasi yang dipimpin Wang Yinfang Direktur Asia Kementerian Luar Negeri yang dalam kapasitas pribadi menghadiri negosiasi informal yang dikemas dalam acara Lokakarya Tahunan yang Kedua “Managing Potential Conflict in The South China Sea” di Bandung yang selanjutnya disebut Lokakarya. Sejak saat itu China melakukan negosiasi baik formal maupun informal sekaligus dalam penyelesaian sengketa Laut China Selatan. Pada pertemuan AMM yang berlangsung di Kuala Lumpur tersebut, China tidak dapat menghadiri ASEAN Post Ministerial Conference (ASEAN PMC) karena China bukan sebagai mitra dialog ASEAN. Walaupun demikian, China telah memberi sinyal bahwa ia akan bersedia menjadi mitra dialog ASEAN. Qian Qinchen memberi indikasi bahwa Beijing memberi dukungan terhadap Zone of
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010
9
Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …
Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN) dan Nuclear Weapons Free Zone (NWFZ) di wilayah Asia Tenggara. Sebagai hasil atas kesediaan ini, China kemudian diundang Filipina untuk menghadiri AMM yang diselenggarakan di Manila bulan Juli 1992. Berkaitan dengan penarikan basis militer Amerika Serikat di Teluk Subic pada akhir tahun 1992, China mengesahkan Undang-Undang Laut Teritorial dan Zona yang berdekatan (Law on the Territorial Sea and the Contiguous Zone) di bulan Februari serta menandatangani kontrak dengan perusahaan Crestone Energy pada bulan Mei 1992 untuk pengeboran minyak dan gas di wilayah Laut China Selatan. Pengesahan undang-undang dan penandatanganan kontrak kerja dengan Crestone Energy membuat Qian sangat sibuk untuk menjelaskan kepada para mitranya di ASEAN. Dalam kunjungannya ke Brunei, ia menegaskan bahwa sengketa Laut China Selatan harus dipecahkan melalui negosiasi damai. Ia menambahkan bahwa isu Laut china Selatan dapat dikesampingkan sementara serta sengketa Laut China Selatan sebaiknya tidak dijadikan isu internasional. Qian menegaskan lagi ketika berkunjung ke Manila bahwa China sangat menerima pengembangan bersama (joint
development)
di
Laut
China
Selatan
dengan
mengesampingkan
persengketaan. China juga menegaskan bahwa Negara ini tidak mempunyai intensi untuk mengisi kekosongan kekuasaan sepeninggal Amerika Serikat maupun Uni Sovyet di Asia Tenggara ataupun memanfaatkan situasi yang berubah ini untuk kepentingan pribadi negara yang bersangkutan. Dalam pidato pembukaan di AMM, Presiden Fidel Ramos menekankan bahwa usaha pencarian penyelesaian masalah di Kepulauan Spratly di laut China Selatan tidak bisa ditunda lagi dan Manila akan mendorong ke forum internasional untuk mendiskusikan isu tersebut. Walaupun demikian, sejumlah besar anggota ASEAN enggan untuk mengantagoniskan Beijing. Jika Beijing merasa tersudut, ia bisa memainkan “Kartu Kamboja” sehingga persoalan Kamboja yang dirintis penyelesaiannya oleh Indonesia dapat berlarut-larut karena Beijing adalah pemain utama di dalam persoalan Kamboja (Lee Lai To, 1999). Hasil maksimum dalam Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 10
Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …
negosiasi dalam pertemuan ini adalah terbitnya ASEAN Declaration on the South China Sea. Deklarasi ini memuat prinsip-prinsip umum dalam penyelesaian masalah Laut China Selatan yang didasarkan dari pernyataan hasil Lokakarya di Bandung tahun 1991 serta Treaty of Amity and Cooperation (TAC). Patut dicatat pula bahwa dalam negosiasi formal, China tampak tidak begitu siap untuk mendiskusikan isu Laut China Selatan selain hanya mengklarifikasikan keinginannya untuk memajukan kerjasama dan pengembangan bersama (joint development)
kawasan
Laut
China
diantara
negara-negara
yang
mempersengketakan kawasan tersebut sambil mengesampingkan persoalan kedaulatan. Setelah mengumumkan ASEAN Declaration in the South China Sea, Qian Qichen menulis surat kepada Menteri Luar Negeri Filipina Roberto Romulo yang kemudian menjadi Ketua Komite Tetap ASEAN bahwa prinsip-prinsip dalam dokumen tersebut secara umum identik dengan posisi China. Hal ini berarti China juga mendukung dokumen ASEAN tersebut. Dalam pertemuan para pejabat senior dalam ASEAN PMC bulan Mei 1993, ASEAN setuju untuk memperluas negosiasi keamanan dengan melibatkan negera-negara besar di kawasan Asia Pasifik yang kemudian dikenal sebagai ASEAN Regional Forum (ARF). Ketua sidang dalam pertemuan tersebut menegaskan : “The continuing presence of the US, as well as stable relationship among the US, Japan and China and other states of the region-wide would contribute to regional stability. The prime object of a region-wide cooperative security arrangement therefore would be to secure a continuing US involvement in the Asia pacific and to address China’s rising influence in the region” (Emmers, 2003). Sebagai tamu yang menghadiri AMM ke-26 yang diselenggarakan di Singapura pada Juli 1993, China merasa senang untuk berpartisipasi dalam dialog regional dengan ASEAN. Qian Qichen menyatakan bahwa : “China does not seek hegemony today, and it will not seek hegemony even when it becomes strong and developed in the future” (Lee Lai To, 1999). Ia juga menjamin bahwa China tidak Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 11
Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …
akan pernah menjadi ancaman, baik secara riil maupun potensial terhadap negara lain. Pada pertemuan pertama ARF tahun 1994 diputuskan bahwa Taiwan tidak termasuk dalam patner dialog ARF. Menteri Luar Negeri Thailand sebagai ketua ARF pertama menyatakan bahwa ASEAN menolak saran Amerika Serikat untuk mengundang Taiwan untuk berpartisipasi dalam forum ini. Setelah insiden di Mischief Reef, China mengalami kesulitan untuk menghentikan diskusi issue Laut China Selatan dalam ARF. Walaupun China mencoba menegaskan kembali kepada Amerika Serikat ketika Qian Qichen berkunjung ke New York bulan April 1995 bahwa China tidak mempunyai keinginan menggunakan sarana militer untuk menyelesaikan persengketaan di Kepulauan Spratly, Amerika Serikat bahkan mendorong ASEAN untuk mendiskusikan isu ini lebih lanjut di Brunei bulan Agustus 1995 di pertemuan ARF ke 2. Filipina sebagai negara yang paling berkepentingan dalam insiden Mischief Reef menyiapkan proposal untuk menginternasionalkan isu Laut China Selatan, tetapi ditolak oleh anggota ASEAN lainnya karena sensivitas terhadap China. Sebagai kompromi keinginan Filipina, para peserta dapat mengemukakan idenya secara bebas pada pertemuan SOM bulan Juli 1995 sebelum dimulainya pertemuan ARF. Secara jelas ASEAN lebih suka untuk tidak terlalu mengambil posisi konfrontatif terhadap China dalam ARF, tetapi lebih berkonsentrasi terhadap pembentukan rasa saling percaya (Confident Building Measures/CBMs), diplomasi preventif dan penyelesaian konflik dalam arti luas. Akhirnya, dalam laporan ketua sidang ARF pada bulan Agustus 1995 menyebutkan secara spesifik konlik Laut China Selatan pertama kali dalam ARF. Dinyatakan
bahwa
para
menteri
luar
negeri
ARF
mengekspresikan
keprihatinannya terhadap saling tumpang tindih kedaulatan di wilayah tersebut. Para menteri luar negeri mendorong para peserta sengketa untuk menegaskan kembali komitmen mereka terhadap prinsip-prinsip yang relevan dalam hukum internasional maupun UNCLOS dan deklarasi ASEAN tahun 1992 tentang Laut China Selatan. Pada sisi lain, ketika Qian Qichen tiba di Brunei untuk pertemuan Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 12
Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …
ARF, ia menegaskan bahwa China siap untuk bekerjasama dengan negara yang berkepentingan untuk
menyelesaikan sengketa
melalui negosiasi damai
berdasarkan hukum internasional maupun aturan-aturan lain yang relevan dalam UNCLOS. Berkaitan dengan memajukan CBMs, Beijing mengumumkan publikasi yang pertama tentang buku putih persenjataan pada bulan November 1995. Kemudian pada bulan Mei 1996 China meratifikasi UNCLOS sehingga menjadi basis legal untuk penyelesaian sengketa Laut China Selatan serta dasar untuk menarik garis batas pantai beserta dasar lautnya maupun batas Kepulauan Paracel menurut intepretasi China terhadap UNCLOS. Langkah China ke depan mengindikasikan bahwa ia serius untuk menciptakan hubungan bertetangga secara damai di kawasan Asia Pasifik. Pada pertemuan ketiga ARF yang diselenggarakan di Jakarta pada bulan Juli 1996, Laut China Selatan masih disebut sebagai salah satu masalah keamanan yang aktual. Ali Alatas, Menteri Luar Negeri Indonesia sebagai tuan rumah dan ketua sidang, menyampaikan bahwa kawasan Asia Pasifik masih mempunyai problem aktual keamanan termasuk sengketa wilayah yang belum terselesaikan maupun klaim kedaulatan yang tumpang tindih. Dalam pertemuan tersebut juga disebutkan pentingnya kode etik tingkah laku (code of conduct) di kawasan Laut China Selatan. Dalam rangka untuk mencitrakan bahwa China adalah negara yang friendly dengan negara-negara ASEAN, ketika tahun 1997 terjadi krisis finansial yang melanda ASEAN, China dan ASEAN sepakat untuk mendirikan ChinaASEAN Join Cooperation Committee (JCC). Untuk memfasilitasi JCC, China menyediakan dana US$ 700,000. Setelah krisis moneter tahun 1997-1998, negosiasi Laut China Selatan diintensifkan terutama dalam menyusun code of conduct. ASEAN menugaskan Filipina dan Vietnam untuk menyusun formulasi sebuah code of conduct yang didasarkan pada pengalaman mereka dalam membuat code of conduct dengan China. Atas nama ASEAN pada Agustus 1999 Manila mempresentasikan draft code of conduct. Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 13
Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …
Pada pertemuan informal tingkat tinggi di Manila pada November 1999, China menolak draft yang dibuat Manila, tetapi setuju untuk menggelar diskusi lebih lanjut. Ada dua hal yang kontroversial yang terkandung dalam draft code of conduct. Pertama, apakah code ini akan mengikat anggota secara legal ataukah hanya semacam deklarasi politik. Kedua, ketidak-setujuan tentang bagaimana cara untuk menentukan area geografis. China membatasi area persengketaan hanya pada Kepulauan Sprtaly. Sedangkam Vietnam menentang dan mengusulkan Kepulauan Paracel juga termasuk dalam code ini. Untuk mengakomodasikan dua pandangan yang berbeda, konsultasi informal ASEAN-China untuk membicarakan masalah Laut China Selatan diselenggarakan di Thailand Maret 2000. Kedua belah pihak menyepakati tiga prinsip. Pertama, sepakat untuk mendorong penyelesaian sengketa secara damai tanpa menggunakan sarana militer ataupun kekerasan. Kedua, kedua belah pihak setuju untuk mempelajari kemungkinan melakukan proyek bersama di kawasan ini seperti proteksi lingkungan laut, kerja sama SAR, riset kelautan, komunikasi dan navigasi yang aman dan perlawanan terhadap kriminal trans-nasional. Ketiga, setuju untuk menggunakan prinsip-prinsip yang sudah dikenal secara universal dalam hukum internasional termasuk UNCLOS. Walaupun demikian masih terdapat perbedaan pandangan antara kedua belah pihak. Pertama, China menegaskan bahwa code ini hanya berlaku di Kepulauan Spratly sedangkan ASEAN menginginkan code ini diberlakukan di Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel. China berpendapat sengketa yang berkaitan dengan Kepulauan Paracel akan diselesaikan antara China dan Vietnam secara bilateral. Kedua, dalam draft ASEAN terdapat perintah untuk melarang mendirikan bangunan di pulau yang tak berpenghuni, karang ataupun di tempattempat yang menjadi sengketa. Sementara itu, versi China tidak menyebutkan hal ini. Ketiga, China meminta pihak-pihak yang bersengketa untuk tidak menggunakan atau mengancam menggunakan kekerasan termasuk penangkapan kapal-kapal ikan atau kapal-kapal sipil di kawasan sengketa. Sedangkan versi Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 14
Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …
ASEAN hanya mengusulkan penggunaan ukuran-ukuran yang adil dan bersifat humanis.
Keempat,
ASEAN
meminta
pihak-pihak
yang
bersengketa
menginformasikan secara sukarela kepada pihak lain tentang kebijakan yang dilakukan sekiranya berpengaruh terhadap kawasan sengketa; sedangkan versi China tidak menyebutkan hal ini. Kelima, semua pihak diminta untuk menahan diri untuk tidak melakukan latihan militer maupun pengintaian militer di kepulauan Spratly. China juga menginginkan semua patrol militer harus dibatasi di dalam kawasan sengketa, sementara versi ASEAN tidak menyebutkan hal ini (Chin Yoon Chin, 2003) Dalam menyiapkan code of conduct memakan waktu yang lama. Pertemuan-pertemuan konsultasi China-ASEAN secara serial digelar diberbagai tempat antara lain Malaysia pada bulan Mei 2000, di China Agustus 2000, di Vietnam Oktober 2000, di Brunai Juli 2002. Akhirnya pada November 2002 di Phnom Penh Kamboja, Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea di tanda-tangani antara ASEAN dan China. Walaupun deklarasi ini tidak mengikat, hal ini adalah upaya maksimum yang dilakukan oleh kedua pihak untuk menyelesaikan persengketaan di Laut China Selatan. Disebutkan pula bahwa kedua belah pihak sepakat untuk bekerja bersama secara multilateral. Patut dicatat pada Oktober 2003 China menandatangani TAC sebagai aturan dasar hubungan antar Negara di kawasan Asia Tenggara. Oleh karena itu, jalan untuk menyelesaikan sengketa secara permanen menjadi semakin terbuka.
Negosiasi Informal Negosiasi informal atau biasa disebut Track II Diplomacy adalah negosiasi nonkedinasan terhadap suatu masalah dan dilakukan oleh organisasi non pemerintah. Peserta dalam negosiasi ini hadir dalam kapasitas personal tanpa melihat tingkat status kedinasan. Oleh karena itu, peserta dapat secara bebas mengutarakan pendapatnya. Mekanisme Track II Diplomacy ini biasanya membantu negosiasi formal yang bersifat alot dan berhati-hati. Contoh Track II Diplomacy dalam kasus sengketa Laut China Selatan adalah Lokakarya Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 15
Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …
“Managing Potential Conflicts in the South China Sea” yang diselenggarakan secara tahunan. Lokakarya ini diselenggarakan atas inisiatif Indonesia di bawah pimpinan Duta Besar Hasjim Djalal dan Profesor Ian Townsend Gault dari Canada. Lokakarya berlangsung dari tahun 1990 dan disponsori oleh Canadian Development Agency (CIDA). Proses Lokakarya bergerak dari persoalan-persoalan mudah ke persoalanpersoalan rumit, dari jumlah peserta yang sedikit ke jumlah peserta yang banyak. Menurut Hasjim Djalal, lokakarya ini mempunyai dua tujuan. Pertama, adalah mengelola konflik yang potensial dengan mencari sesuatu yang semua pihak dapat bekerja sama. Kedua, mengembangkan ukuran-ukuran kepercayaan (confidencebuilding measures/CBMs) sehingga berbagai pihak peserta sengketa dapat merasa nyaman dan kemudian dapat menciptakan atmosfir yang kondusif untuk menyelesaikan sengketa (Djalal, 2000). Semua peserta dari ASEAN hadir pada lokakarya pertama di Bali tahun 1990. Tujuan lokakarya pertama ini adalah membangun landasan mekanisme kerja untuk lokakarya selanjutnya. Pada lokakarya ke-2 di Bandung 1991 diundang semua peserta sengketa termasuk Vietnam, China dan Taiwan. Lokakarya mulai membahas hal-hal yang mudah dan tidak menyentuh hal-hal yang sensitif seperti klaim wilayah dan kedaulatan. Pada awalnya peserta berdiskusi dan mengidentifikasi berbagai wilayah yang kemungkinan dapat dilakukan kerja sama. Kemudian berbagai topik tersebut ditempatkan ke dalam beberapa kategori seperti proteksi lingkungan laut, alur pelayaran yang aman dan sebagainya. Setelah lokakarya ke-2 di Bandung tahun 1991 dan yang ke-3 di Yogyakarta tahun 1992, peserta mulai mengarah kepada kongkritisasi dan mewujudkan gagasannya. Kemudian pada lokakarya di Surabaya 1993 telah didentifikasi berbagai topik yang sekiranya dapat dikerjasamakan. Berbagai Kelompok Kerja Teknis (Technical Working Group/ TWG) dibentuk antara lain : TWG di bidang riset ilmiah kelautan, TWG penilaian sumber daya, TWG proteksi
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 16
Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …
lingkungan laut, TWG persoalan hukum dan TWG keamanan pelayaran, navigasi dan komunikasi. Pada lokakarya ke-4 di Bukittinggi tahun 1994, peserta menyetujui proposal TWG riset ilmiah kelautan untuk dilaksanakan kerjasama penelitian di bidang keragaman hayati di Laut China Selatan.
Dua proyek lagi bernama
kerjasama studi permukaan laut dan monitoring pasang naik di Laut China Selatan dalam konteks perubahan iklim global serta pengembangan basis data, pertukaran informasi dan sinergi para ilmuwan disetujui di Lokakarya ke-6 di Balikpapan tahun 1995, Sebagaimana telah disinggung di depan, Diplomasi Jalur II dapat membantu mekanisme Diplomasi Jalur I. Rekomendasi lokakarya ke-2 di Bandung telah diadopsi dan diformulasikan kembali kembali di AMM di Manila tahun 1992 menjadi ASEAN Declaration on the South China Sea. Lokakarya juga dapat menunjukkan bahwa China dan Taiwan dapat bekerja bersama untuk mencari jalan terbaik guna penyelesaian sengketa Laut China Selatan. Sebelum lokakarya, China dan Taiwan bekerja bersama ketika gesekan militer di Laut China Selatan muncul antara China dan Vietnam tahun 1988. Pasukan Taiwan yang berada di Pulau Itu Aba memberi suplai air bersih kepada tentara China selama gesekan militer terjadi. Namun sayang sekali, kerja sama China dan Taiwan menurun pada tahun 1995-1996 karena kunjungan Presiden Taiwan Lee Tenghui ke Amerika Serikat sehingga menimbulkan ketegangan hubungan di Selat Taiwan. Proses berjalannya lokakarya juga menghadapi banyak halangan, terutama dalam mengimplementasikan hasil lokakarya. Pemerintah para peserta lokakarya kadangkala tidak mampu mengadopsi hasil lokakarya menjadi kebijakan resmi. Oleh karena itu, beberapa proyek sudah disetujui tidak dapat dibiayai oleh pemerintah dan karena itu sudah barang tentu proyek tersebut tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 17
Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …
Kesimpulan Laut China Selatan terletak pada jalur pelayaran yang sangat strategis, mempunyai stok ikan yang melimpah, dan mempunyai ekosistem terunik di dunia. Di laut ini pula terkandung deposit minyak dan gas yang sangat besar. Kedaulatan di kawasan ini serta batas-batas jurisdiksi kelautan baik secara keseluruhan maupun secara sebagaian oleh China Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei. Klaim yang tumpang tindih semakin meningkat selama terjadi krisis minyak tahun 1973 dan berlakunya UNCLOS secara efektif menyebabkan munculnya konflik dan gesekan militer diantara mereka yang bersengketa. Oleh karena itu Laut China Selatan merupakan salah satu area panas di dunia. China dengan dilandasi dengan argumen yang kuat dalam mengklaim Laut China Selatan berusaha secara sungguh-sungguh memelihara kedaulatanya. China selalu mengatakan bahwa klaim-nya atas Laut China Selatan tidak terbantahkan dan tidak dapat diganggu gugat. Walaupun demikian, kebijakan China atas kawasan ini banyak dinilai kurang konsisten. Dalam satu sisi China menawarkan cara penyelesaian sengketa dengan jalan damai, namun pada sisi lain China menggunakan kekuatannya untuk menguasai beberapa pulau di kawasan Laut China Selatan. Ketidak-konsistenan ini merupakan hasil dari pertarungan orientasi politik para elit yang ada dipemerintahan yaitu kelompok garis keras (kelompok nasionalis) dan kelompok garis lunak (kelompok modernis). Bersama-sama dengan ASEAN sebagai sebuah institusi, China mencari cara penyelesaian dengan berpartisipasi dalam negosiasi melalui diplomasi jalur I (jalur formal) maupun melalui negosiasi jalur II (jalur informal). Hasil maksimum proses negosiasi, baik melalui jalur formal maupun informal adalah disepakatinya Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea. Selain itu, ukuran saling percaya diri (confidence building measures) diantara peserta sengketa juga sudah mulai terbangun. Meskipun demikian, tumpang tindih jurisdiksi maupun kedaulatan sebagai sumber konflik di Laut China Selatan masih tetap ada dan belum terpecahkan.
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 18
Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …
Hasil negosiasi yang utama, meskipun sumber masalah masih tetap belum terpecahkan, adalah mampu menekan eskalasi konflik sejak adanya Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea. Para peserta sengketa menyepakati bahwa sengketa tidak dapat menghancurkan pengembangan hubungan yang bersahabat dan jalinan kerjasama. Hubungan baik antara China dan peserta sengketa lainnya, terutama hubungannya dengan ASEAN adalah jauh lebih penting daripada esensi sengketa di Laut China Selatan.
Daftar Pustaka Amer, Ramses. (2002). “Claims and Conflict Situations” in Timo Kivimaki, (ed), War or Peace in The South China Sea?, Copenhagen: NIAS Press. Bercovitch, Jacob and Jackson, Richard. (2001). “Negotiation or Mediation?: An Exploration of Factors Affecting the Choice of Conflict Management in International Conflict”, Negotiation Journal; Vol. 17, No. 1. Berridge, G.R. (1995). Diplomacy: Theory and Practice, Harvester Wheatsheaf, London: Prentice-Hall. Bolewski, Wilfried. (2007). Diplomacy and International Law in Globalized Relations. Berlin Heidelberg: Springer-Verlag. Chin, Yoon Chin. (2003). Potential for Conflict in The Spratly Islands, http://www.ccc.nps.navy.mil/research/theses/Chin03.pdf. Constantinou, C. M. (1996). On the Way to Diplomacy, Minneapollis: University of Minnesota Press. Department of Policy Planning, Ministry of Foreign Affairs, People’s Republic of China. (2003). China’s Foreign Affairs: 2003 Edition, Beijing: World Affairs Press. Djalal, Hasjim. (2000). South China Sea Island Dispute, http://rmbr.nus.edu.sg/exanambas/rbzs8-scs/djalal.html. Emmers, Ralf. (2003). Cooperative Security and the Balance of Power in ASEAN and the ARF, London and New York: RoutledgeCurzon. _______ (2007). The De-escalation of the Spratly Dispute in Sino – Southeast Asian Relations, Singapura: S. Rajaratnam School of International Studies, diakses dari http://www.idss.edu.sg/publications/WorkingPapers/WP129.pdf tanggal 15 Maret 2009. James, A. (1980). “Diplomacy and International Society”, dalam International Relations, Vol. 6. Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 19
Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …
To, Lee Lai. (1999). China and the South China Sea Dialogues, London: Praeger. Ministry of Foreign Affairs of the People’s Republic of China, Historical Evidence To Support China's Sovereignty over Nansha Islands, available at http://www.fmprc.gov.cn/eng/topics/3754/t19231.htm. _____ International Recognition Of China's Sovereignty over the Nansha Islands, available at http://www.fmprc.gov.cn/eng/topics/3754/t19232.htm _____ Jurisprudential Evidence To Support China's Sovereignty over the Nansha Islands, available at http://www.fmprc.gov.cn/eng/topics/3754/t19234.htm Stearns, M. (1996). Talking to Strangers: Improving American Diplomacy at Home and Abroad, Princeton-New Jersey: Princeton University Press. Stenseth, Leni. Nationalism and Foreign Policy: The Case of China’s Nansha Rhetoric, diakses dari http://www.prio.nno/research/asiasecurity/Publications/pdf/Stenseth_thesis. pdf tanggal 10 Maret 2009 Watson, A. (1982). Diplomacy: The Dialogue Between States, London: Eyre Methuen.
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 20