eJournal Ilmu Hubungan Internasional 2013, 1(3) : 667-678 ISSN 0000-0000 , ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2013
KEBERADAAN CHINA DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN – SUDAN SELATAN ASTRID EZHARA SINAGA1 NIM. 0802045108 Abstract: This research aims to explain how the existence of China in resolving the conflict between Sudan and South Sudan. Type of research is uses analysis descriptive, which describes the problems that occurred in Sudan and South Sudan as well as the existence of China between the two countries in conflict based on existing facts and then draw a conclusion. The data presented is secondary data obtained directly from the review of literature studies such as books, journals, articles and online news such as BBC News. The data analysis technique used is qualitative analysis techniques, namely data obtained systematically arranged for further analysis based on the quality of the data. The results showed that the existence of China in resolving the conflict between Sudan and South Sudan that is present as an impartial and neutral party. China's existence in Sudan's conflict between the two countries was based because of China's oil interests in Sudan and South Sudan. Good relations between China and Sudan into two countries concerns the reason China supports the peace between the two countries. China needs oil from the two countries in conflict, however, China's energy interests in Sudan are not significant. Conflicts that occur due to the seizure of the oil-rich region has reached an agreement that leads to peace. Although China is not entirely due to a mediating role in the conflict resolution is the African Union, but the existence of China which has good relations with both countries Sudan is also influential in reaching a peace agreement. Keywords : Conflict, Oil Interests, neutral, impartial Pendahuluan Pada konflik Sudan – Sudan Selatan ini didasari oleh perebutan wilayah Abyei dan Heglig yang merupakan wilayah kaya akan minyak. Kedua wilayah ini menjadi sengketa karena keberadaannya yang mana Abyei berada di perbatasan kedua negara, sedangkan Heglig yang secara geografis terletak di Sudan Selatan namun secara internasional diakui sebagai wilayah Sudan. Adanya konflik Sudan dan Sudan Selatan ini menarik perhatian negara-negara asing untuk turut membantu dalam penyelesaian. Sudan yang merupakan negara terbesar di Afrika ketika masih menjadi satu dengan Sudan Selatan, adalah juga merupakan salah satu negara Afrika yang kaya akan minyak. Kehadiran pihak asing tidak lepas dari adanya sumber daya alam yang menarik perhatian mereka, salah satunya yaitu minyak. 1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email:
[email protected]
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2013:667-678
Diantara banyaknya pihak asing yang menaruh perhatian terhadap konflik Sudan – Sudan Selatan ini, keberadaan China yang paling berpengaruh. Sebelum kedua negara ini berpisah, China sudah menjalin hubungan yang baik dengan negara ini. China juga menjalin hubungan yang baik dengan pemimpin Sudan yaitu Omar Al-Bashir yang ketika konflik Darfur terjadi dituduh melakukan kejahatan genosida. Tetapi hal tersebut tidak mempengaruhi hubungan China dengan Sudan. China juga menjalin hubungan yang baik dengan pemimpin Sudan Selatan, Salva Kiir. Hubungan China dengan kedua Sudan masih terjalin baik terbukti dengan adanya kerjasama yang baik antara China dan Kedua Sudan. China menempati posisi pertama negara pengimport minyak Sudan dengan 66%. China menjalin hubungan yang baik dengan Sudan jg karena adanya perusahaan China yang berinventasi di Sudan yaitu China National Petroleum Corporation (CNPC) yang merupakan investor asing terbesar di Sudan (Martin Jacques, 2011:358). Rumusan Masalah Melihat kehadiran China di negara Sudan – Sudan Selatan serta hubungan baik yang terjalin diantaranya, memunculkan satu rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana keberadaan China dalam penyelesaian konflik Sudan – Sudan Selatan, yang bertujuan untuk menjelaskan alasan atau beberapa faktor yang mendasari keberadaan China untuk membantu penyelesaian konflik Sudan – Sudan Selatan? Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai yaitu: Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan alasan atau beberapa faktor yang mendasari keberadaan China untuk membantu penyelesaian konflik Sudan – Sudan Selatan. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut: a. Manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan informasi mengenai peranan yang dilakukan China dalam penyelesaian konflik Sudan – Sudan Selatan. b. Manfaat teoritis penelitian ini diharapakan dapat menjadi sumbangan pemikiran ilmiah serta referensi bagi peneliti lain yang memiliki permasalahan yang sejenis. Landasan Konseptual Teori Konflik Menurut Webster, istilah konflik di dalam bahasa aslinya berarti suatu “perkelahian, peperangan, atau perjuangan” yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Tetapi arti kata itu kemudian berkembang dengan masuknya “ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide, dan lain-lain. (Dean G. Pruitt & Jefrey Z. Rubin. 2004:9) Indikator adanya kehadiran konflik adalah jika didalamnya terdapat unsur-unsur seperti: 1. Adanya ketegangan yang diekspresikan. 2. Adanya sasaran tujuan atau pemenuhan kebutuhan yang dilihat berbeda, yang dirasa berbeda, atau yang sesungguhnya bertentangan. 3. Kecilnya kemungkinan untuk pemenuhan kebutuhan yang dirasakan.
668
Keberadaan China Dalam Penyelesaian Konflik Sudan (Astrid Ezhara Sinaga)
4. Adanya kemungkinan bahwa masing-masing pihak dapat menghalangi pihak lain dalam mencapai tujuannya. 5. Adanya saling ketergantungan. (Robby Chandra. 1992:3). Daniel Webster mendefinisikan konflik sebagai: 6. Persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain. 7. Keadaan atau perilaku yang bertentangan (misalnya; pertentangan pendapat, kepentingan, atau pertentangan antarindividu). 8. Perselisihan akibat kebutuhan, dorongan, keinginan, atau tuntutan yang bertentangan. 9. Perseteruan.(Peg Pickering. 2001:3). Konsep Peran Pihak Ketiga Pihak ketiga dapat didefinisikan sebagai individu atau kolektif yang berada di luar konflik antara dua pihak atau lebih dan mencoba membantu mereka untuk mencapai kesepakatan. Kehadiran pihak ketiga adalah untuk membuat perubahan yang berarti di dalam hubungan antara para pelaku politik. Pihak ketiga yang paling baik dan efektif adalah pihak yang terlibat hanya bila diperlukan dan berhasil membantu para pemimpinnya untuk menemukan sendiri cara penyelesaian konflik mereka serta berhasil membangun hubungan kerjasama satu sama lain, sehingga pada akhirnya jasanya tidak diperlukan atau diinginkan lagi. Dalam proses penyelesaian konflik suatu negara terdapat beberapa peran dari pihak ketiga, diantaranya adalah intervensi dan mediasi. Menurut Jack C. Plano dan Roy Olton, intervensi adalah keterlibatan kekerasan dalam masalah dalam negeri suatu negara oleh negara lainnya yang dilakukan untuk mempengaruhi kebijakan internal dan eksternal negara tersebut. Sedangkan Peran para mediator, menurut konvensi Den Haag 1899 adalah mendamaikan tuntutan yang saling berlawanan serta meredakan rasa dendam yang barangkali timbul dalam hubungan antarnegara yang bersengketa. Imparsial merupakan kemampuan untuk memiliki hubungan yang objektif dengan masing-masing pihak dan komitmen untuk membantu semua pihak dalam negosiasi penyelesaian. Secara hukum, imparsial merupakan pandangan yang memuliakan kesetaraan hak setiap individu dalam keberagaman latarnya terhadap keadilan. Imparsial dekat kaitannya dengan pidana, sebuah konsep yang tidak berat sebelah dan tidak memihak kepada siapa-siapa. Netralitas merupakan istilah umum yang mencakup sejumlah konsep yang tidak identik. Dengan kekuasaan sedikit atau tidak ada di atas kemampuan pihak berfungsi atau tetap fokus pada proses mediasi. Beberapa istilah yang digunakan untuk mendefinisikan netralitas adalah perhatian yang sama, menyediakan apa yang dibutuhkan oleh masing-masing pihak, rasa hormat, kejujuran, keadilan, kepatutan, hubungan objektif, dan tidak memihak. (Cohen Dattner & Luxenburg. 1999:342). Wujud dari imparsial dan netral adalah ketika pihak ketiga memainkan peran yang sangat adil sehingga dalam membantu menyelesaikan konflik yang ada tidak memihak dengan salah satu pihak yang berkonflik. Kemudian Imparsial dimaksudkan sebagai tindak ikut campur namun tidak mengacaukan. Sehingga pihak ketiga
669
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2013:667-678
hanyalah sebagai pihak netral yang ditentukan untuk ikut serta dalam penyelesaian konflik dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Konsep Energy Security Energy security merupakan istilah yang melekat erat pada suatu kondisi terjaminnya pasokan kebutuhan energi–minyak dan gas alam suatu negara demi keberlangsungan dan eksistensi negara baik secara ekonomi maupun pertahanan. Pasokan energi tersebut dapat berasal baik dari cadangan domestik maupun suplai energi global. Pemenuhan energi merupakan hal yang vital bagi semua negara dimana kebutuhan tersebut terkait satu sama lain dan saling bergantung pada pasokan energi dunia. Hal ini sangatlah fundamental bagi keberlangsungan sistem internasional. Untuk itu, dalam isu energy security ini, masalah distribusi dan akses yang imbang menjadi perhatian utama. Menurut Daniel Yergin (Mallaby. 2006), konsep energy security meliputi dua dimensi, yaitu dimensi keindependenan suatu negara untuk memenuhi kebutuhan energinya yang berasal dari sumber daya energi domestik, dan dimensi interdependensi global dimana pemenuhan energi setiap negara tak lepas dari pasokan energi dunia yang berasal dari khususnya, negara-negara pengekspor yang kaya akan sumber minyak dan gas. Melalui dua dimensi ini, nampak bahwa energy security tidak semata merupakan isu domestik suatu negara tetapi meliputi isu global dimana ketiadaan pasokan energi dapat berimplikasi pada stabilitas internasional, baik itu bidang ekonomi dan perdagangan maupun politik dan sosial. Sementara itu, menurut Anup Shah (2007) ada beberapa hal yang membuat isu energy security semakin intens diperhatikan, yaitu: 1. Semakin berkurangnya ketersedian minyak dan bahan bakar fosil lainnya, 2. ketergantungan pada sumber energi luar negeri, 3. faktor geopolitik–seperti pemerintahan yang diktator, 4. meningkatnya aksi terorisme, “stabilitas” negara penyuplai energi, 5. kebutuhan energi negara-negara berkembang, dan permintaan yang tinggi dari negara-negara yang sedang maju (advancing developing countries) seperti China dan India, 6. efisiensi ekonomi vs pertumbuhan populasi, 7. isu-isu lingkungan, khususnya perubahan iklim, dan 8. pencarian sumber daya-sumber daya yang dapat diperbaruhi dan energi alternatif lainnya. Kombinasi dari berbagai faktor tersebut dapat memunculkan konflik energi global (fueling conflict) apabila terjadi energy insecurity dan krisis energi seperti pengalaman sejarah masa lalu. Terlebih dunia kontemporer sekarang semakin kompleks dan trend kebutuhan energi semakin tinggi untuk menyokong industrialisasi dan teknologi. Dari segi geopolitik, energy security sekarang terancam dengan adanya tindakan terorisme dan instabilitas kawasan, terutama kawasan yang kaya akan minyak seperti Timur Tengah dan Amerika Latin. Hal ini akan berdampak pada harga dan keberlangsungan supplai minyak bagi dunia. Kasus yang menarik adalah ketika Perang Teluk I antara Iraq-Iran, dimana Iraq membakar instalasi-instalasi minyak Iran
670
Keberadaan China Dalam Penyelesaian Konflik Sudan (Astrid Ezhara Sinaga)
yang berakibat pada kerusakan alam dan penurunan pasokan minyak Iran, dan ini berdampak bagi supplai dunia. Bahkan bisa terjadi, teroris menyerang dan menghancurkan instalasi minyak suatu negara. Dengan dinamika seperti ini, energy security bisa terancam. Isu energy security ini terkait erat dengan masalah efisiensi ekonomi dan pertumbuhan populasi penduduk dunia, dimana semakin tidak efisiennya ekonomi dan pertumbuhan populasi yang meningkat telah menyebabkan kebutuhan dan permintaan akan energi dunia semakin meningkat pula. Sementara, supplai energi sangatlah tergantung pada sifat sumber daya energi yang tak dapat diperbarui, yang pada akhirnya akan menyebakan ketimpangan bahkan kelangkaan energi dunia. Hal ini diperparah dengan munculnya negara-negara maju baru seperti China dan India dimana kebutuhan energi mereka sangat tinggi. Sehingga persaingan energi (pursuing energy) akan semakin mengarah pada konflik energi antar negara. Stabilitas kawasan dan internasional akan terancam. Metodologi Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan tipe penelitian deskriptif, yaitu berupaya untuk menggambarkan keberadaan China dalam penyelesaian konflik Sudan – Sudan Selatan. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah, tinjauan pustaka (library research) dengan mengumpulkan data-data sekunder yang bersumber dari buku-buku, artikel, dan data-data dari internet yang tingkat kapabilitasnya terhadap permasalahan yang dihadapi dan validitasnya dapat dipertanggung jawabkan. Teknik Analisa Data Teknik analisis data yang telah digunakan adalah teknik analisis data kualitatif, yang menjelaskan dan menganalisis data dengan cara menggambarkan hasil penelitian melalui sejumlah data yang berhasil diperlukan penulis, kemudian menyajikan hasil dari penelitian tersebut yaitu Keberadaan China dalam penyelesaian konflik Sudan – Sudan Selatan. Pembahasan Keberadaan China secara imparsial dalam penyelesaian konflik Sudan – Sudan Selatan, dapat dilihat melalui indikator-indikator imparsial seperti memiliki komitmen untuk kepentingan kedua belah pihak, tidak adanya kepentingan pribadi dalam hasil atau kepentingan konflik, tidak memihak salah satu pihak yang bersengketa, kemudian tidak memiliki prasangka tentang apa hasil seharusnya dan tetap konsisten dengan keberadaan dari awal dan selama proses berlangsung, untuk tetap netral. Hal-hal tersebut merupakan sikap yang dilakukan China terhadap kedua negara Sudan disaat konflik antara kedua negara tersebut terjadi. Konflik tersebut dikarenakan adanya perebutan wilayah kaya minyak yaitu Heglig dan Abyei. Heglig dan Abyei yang merupakan kota ladang minyak yang berada diperbatasan antara Sudan dan Sudan Selatan menjadi isu yang penting bagi kedua
671
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2013:667-678
negara. Permasalahan muncul dari pengelolaan sumber minyak di Abyei dan keberadaan Heglig yang masih menjadi sengketa kedua negara. Selama ini, Abyei merupakan salah satu sumber minyak yang menyumbang sebagian besar produksi minyak Sudan. Apabila Sudan Selatan resmi menjadi negara baru, maka kedua negara Sudan memerlukan persetujuan yang bisa diterima kedua pihak dalam pengelolaan sumber minyak di Abyei. Namun, hingga saat ini hal tersebut belum memperoleh kesepakatan hingga melahirkan konflik baru bagi kedua negara. Besarnya keinginan Sudan Selatan untuk menguasai industri minyak secara 100% setelah kemerdekaannya tidak akan mampu terealisasi, sebab kilang minyak (pabrik yang memproses substansi natural) berada di Sudan Utara. Sehingga sumber daya alam minyak, walaupun berada dalam wilayah Sudan Selatan, tetap tidak akan berguna tanpa fasilitas yang dimiliki oleh Sudan. Sudan juga telah mengancam akan mematikan saluran pipa apabila terjadi pembagian penghasilan yang tidak adil mengenai persediaan minyak tersebut. China menjalin hubungan yang baik dengan kedua negara Sudan jauh sebelum kedua negara tersebut berpisah. Sehingga ketika permasalahan antara Sudan dan Sudan Selatan muncul, China termasuk negara yang khawatir jika konflik tidak segera terselesaikan. Alasan kekhawatiran China terhadap konflik tersebut yaitu karena China membutuhkan pasokan minyak dari kedua negara Sudan tersebut. Ketika konflik terjadi, produksi minyak mentah Sudan untuk sementara ditutup sehingga tidak adanya operasi yang dilakukan untuk beberapa waktu dan membuat China khawatir jika hal itu berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Keterlibatan China dalam konflik yang terjadi antara Sudan dan Sudan Selatan berdasarkan atas kepentingan energi China dalam memenuhi kebutuhan minyaknya. Kedua Sudan bukan satu-satunya negara pengekspor minyak ke China tetapi produksi minyak Sudan menjadi perhatian khusus China dikarenakan adanya perusahaan minyak milik China yang beroperasi di negara tersebut. Selain kebutuhan energi China terancam terganggu akibat adanya konflik tersebut, hal tersebut juga mengancam keberadaan perusahaan minyak China yang berada di wilayah konflik. China juga bersikap melindungi kedua Sudan dari permasalahan yang lebih besar seperti halnya berkaitan dengan PBB. Kepentingan energi itulah yang memicu keterlibatan China dalam konflik kedua negara ini dan disamping adanya kepentingan ekonomi, secara tidak langsung China juga memiliki kepentingan politik didalamnya. Disaat situasi mengarah pada konflik yang dikarenakan adanya tuduhan Sudan Selatan bahwa Sudan telah menyatakan perang terhadap negara baru tersebut, China mengatakan kepada kedua negara Sudan tersebut untuk menahan diri. China juga mengharapkan kedua negara memilik jalan damai dan saling menghargai kedaulatan negara masing-masing. Keberadaan China ditengah konflik yang terjadi terlihat jelas merupakan sikap imparsial karena China tidak memihak salah satu pihak yang bersengketa dikarenakan juga China memiliki hubungan yang baik dengan kedua negara tersebut. Selain keberadaan China yang bersifat imparsial, China juga memposisikan dirinya sebagai pihak yang netral. Netralitas China dapat diidentifikasi melalui perhatian
672
Keberadaan China Dalam Penyelesaian Konflik Sudan (Astrid Ezhara Sinaga)
yang sama yang diberikan kepada kedua negara Sudan, menyediakan apa yang dibutuhkan oleh masing-masing pihak, memiliki rasa hormat, kejujuran serta keadilan yang dibuktikan melalui sikap yang menghormati keputusan kedua negara dan jujur kepada kedua negara tentang keberadaannya serta bersikap adil dalam memposisikan dirinya diantara kedua negara dan tidak memihak. Sikap netral China dinyatakan ketika Salva Kiir mengadakan kunjungannya ke China dan memberitakan tentang keadaan yang terjadi antara Sudan dan Sudan Selatan kemudian China mengutarakan bahwa China berjanji akan menengahi konflik kedua negara.china juga menyatakan sepakat untuk member pinjaman kepada Sudan Selatan untuk proyek-proyek pembangunan disana. Hal tersebut bukan berarti China memihak kepada Sudan Selatan, China telah bersekutu sejak lama dengan Sudan, oleh karena itu China menjaga hubungan yang baik dengan kedua negara Sudan tersebut. China memiliki hubungan yang baik dengan kedua negara Sudan sehingga keberadaan China akan konflik yang terjadi ini bersikap netral, tidak memihak salah satu negara. Pernyataan tersebut didasarkan karena China memiliki kepentingan di kedua negara tersebut. Keberadaan China di Sudan sebelumnya dapat dilihat dari adanya perusahaan minyak China National Petroleum Corporatiaon (CNPC) yang merupakan investor asing terbesar di Sudan, dengan sekitar US$5 miliar dalam pembangunan ladang-ladang minyak. Sejak tahun 1999 China telah menginvestasikan setidaknya $15 miliar di Sudan. CNPC memiliki 50% keuntungan dari kilang minyak dekat Khartoum bekerjasama dengan pemerintah Sudan. China membutuhkan 65% hingga 80% dari 500.000 barel/hari produksi minyak Sudan. Keberadaan CNPC inilah juga yang mempengaruhi tindakan China untuk mengambil bagian dalam penyelesaian konflik di kedua negara Sudan ini. China berupaya untuk memfasilitasi kedua pemimpin negara Sudan, tetapi ketika waktu telah disepakati, hanya Presiden Sudan Selatan saja yang menghadiri undangan pertemuan China. Netralitas China terhadap kedua negara Sudan tersebut terlihat nyata karena China member perhatian yang sama terhadap kedua negara yang berkonflik dan tidak memihak salah satu diantaranya serta menghormati kesepakatan yang disetujui oleh kedua negara. China hanya berperan sebagai pihak imparsial dan netral yang mendukung perdamaian kedua negara Sudan ini. China merupakan negara di Asia yang memiliki kebutuhan energy tertinggi dan negara dengan kekuatan ekonomi yang sangat berpengaruh. China melakukan banyak kerjasama dengan negara-negara didunia. Kehadiran China di Sudan diawali dengan kehadiran China di Afrika dan kerjasama yang dilakukan. China menyempurnakan hubungannya secara resmi dengan Afrika dengan adanya kunjungan Hu Jintao ke berbagai kota negara-negara Afrika. Banyak upaya kerjasama yang telah dilakukan China dengan Afrika, diantaranya menetapkan dana pembangunan China – Afrika senilai US$5 miliar untuk mendorong perusahaan-perusahaan China menanam modal di Afrika, menyediakan pinjaman preferensial US$3 miliar dan kredit pembeli preferensial senilai US$2 miliar bagi Afrika selama tiga tahun kedepan, menghapus utang negara-negara Afrika paling telilit utang dan paling terbelakang dalam bentuk utang pemerintah bebas bunga yang jatuh tempo pada akhir 2005, dan dalam 3 tahun
673
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2013:667-678
berikutnya melatih 15.000 profesional Afrika, mengirim 100 ahli pertanian ke Afrika, membangun 30 rumah sakit dan 100 sekolah pedesaan, dan menambah jumlah beasiswa Pemerintah China bagi mahasiswa Afrika dari 2000 orang menjadi 4000 orang per tahun 2009. Hubungan China dengan Afrika semakin meningkat, terutama dalam hal perdagangan. China menjalin hubungan diplomatic dengan 50 negara di Afrika. Dengan perekonomian yang tergolong kuat, China tentu menjadi mitra dagang yang menjanjikan bagi Afrika. Kerjasama China dengan negara-negara Afrika yang terjalin baik ini yang menjadi dasar hubungan China dan Sudan. Kepentingan China di Sudan dan Sudan Selatan tidak berbeda dengan kepentingan China di banyak negara lain. China dengan tingkat kebutuhan energi tertingginya memiliki kepentingan untuk memenuhi kebutuhan energinya. China melakukan oil diplomacy, yaitu berupaya mengamankan pasokan minyak untuk kelancaran industri dan perekonomian. Konflik yang terjadi di Darfur, sedikit banyaknya dipengaruhi oleh keberadaan China di Sudan. Sudan menjual minyaknya ke China sehingga memperoleh pendapatan bagi negara, sedangkan China selain memperoleh minyak juga mengekspor persenjataan ke pemerintah Sudan. Persenjataan yang diperoleh pemerintah Sudan dari China bukanlah hal yang baru, karena pada saat pemerintahan Jafar Nimeiry (1965-1985) Sudan juga membeli persenjataan di negara China tersebut. Sejak tahun 2004, ketika DK PBB menjatuhkan embargo ke Sudan, China justru semakin menjadi pemasok bagi persenjataan Sudan kira-kira sekitar 90% tiap tahunnya. Anggaran belanja militer Sudan mengalami peningkatan sejak pertama kali ekspor minyaknya dilakukan. Anggaran tersebut diperoleh dari keuntungan yang didapatkan oleh Sudan dari penjualan minyaknya ke China. China berusaha menutupi hal yang sebenarnya, walaupun dunia internasional telah mengetahui hal-hal tersebut namun China tidak memperdulikannya. China merupakan negara yang menjadi sorotan dunia internasional karena sikapnya atas konflik Darfur. Selama ini China dikenal sebagai negara yang “non-intervensi” terhadap permasalahan yang terjadi disetiap negara. Negara ini tidak pernah mencampuri urusan dalam negeri suatu negara kedalam hubungan kerjasama antar negara tetapi mengenai konflik Darfur terlihat China memiliki sikap ganda dimana disatu sisi mereka ikut memberikan bantuan, tetapi disisi lainya mereka menjadi faktor penting dari konflik tersebut. Penjelasan diatas memperlihatkan bagaimana China sangat dekat hubungannya dengan Sudan, memainkan peranan mereka dengan baik dan menjadi arti penting bagi pemerintah Sudan. Kemudian banyak pihak yang mengeluarkan kecaman kepada Bashir terhadap konflik Darfur tetapi China menyatakan bahwa penyebab utama dari konflik ialah kemiskinan dan pembangunan yang tidak maju. Resolusi-resolusi yang seringkali dikeluarkan oleh PBB selalu diabaikan oleh China dan mereka memilih untuk abstain. Terlebih lagi dengan adanya surat perintah penangkapan yang dikeluarkan oleh ICC, China memilih untuk menolaknya.
674
Keberadaan China Dalam Penyelesaian Konflik Sudan (Astrid Ezhara Sinaga)
China mendukung secara terus menerus upaya-upaya yang positif dan konstruktif bersama masyarakat internasional untuk membantu memajukan proses perdamaian di Sudan. China membutuhkan 65% hingga 80% dari 500.000 barrel/hari produksi minyak Sudan. CNPC juga merupakan pemilik mayoritas saham perusahaan migas Sudan Greater Nile Petroleum Company. China telah melakukan investasi sebanyak 15 miliar USD, semua pada layanan jasa perminyakan di daerah Abyei. China telah menunjukkan keinginannya untuk memberikan bantuan financial demi pembentukan infrastruktur, serta perluasan infrastruktur jalur pipa di daerah kaya akan minyak. Beberapa fasilitas yang telah dijanjikan oleh China memberikan insentif yang besar untuk mendominasi sumber daya minyak yang ada di Sudan. China membutuhkan minyak Sudan, begitupun sebaliknya dengan Sudan, China merupakan negara tujuan utama eksport minyak Sudan. Besarnya keinginan Sudan Selatan untuk menguasai 100% industry minyak setelah kemerdekaannya tidak akan mampu terealisasi, sebab kilang minyak berada di daerah Sudan Utara. Sehingga sumber daya alam minyak, walaupun berada dalam wilayah Sudan Selatan, tetap tidak akan berguna tanpa fasilitas yang dimiliki oleh Sudan. Kepentingan politik yang dimiliki oleh China yaitu dimana China berupaya meningkatkan reputasi politiknya dengan membina hubungan diplomatic yang baik dengan negara-negara didunia internasional termasuk Sudan dan Sudan Selatan karena China menginginkan kedua negara tersebut memiliki ketergantungan terhadap China. Kemudian China berupaya meningkatkan Soft Power yang dimilikinya, karena dengan keberadaan China yang bersifat imparsial dalam konflik kedua negara ini menunjukkan bahwa China terus memposisikan dirinya dengan tetap menekankan soft power yang merupakan citra politik yang positif yang dimiliki China. Selain China, ada beberapa negara dan pihak-pihak yang memiliki perhatian khusus akan konflik Sudan – Sudan Selatan diantaranya India, Malaysia, Rusia, Uni Afrika, PBB, serta Amerika pun menaruh perhatian khusus ketika konflik tersebut terjadi. Amerika yang merupakan negara konsumen energi tertinggi didunia turut berencana untuk menengahi konflik antara kedua negara tersebut. Amerika juga memiliki kepentingan tersendiri dalam konflik kedua Sudan itu. Amerika tidak akan melakukan intervensi terhadap suatu negara jika didalam negara tersebut tidak ada hal yang cukup membuat Amerika Serikat tertarik untuk melakukan intervensi. Intervensi Amerika Serikat di negara Sudan dikarenakan di negara ini terdapat sumber energy yang dibutuhkan oleh Amerika Serikat untuk membuat industry di negaranya tetap berjalan yaitu minyak sama halnya seperti China. Selain itu terdapat gas alam dan uranium yang cukup potensial untuk dieksplorasi oleh perusahaan tambang dari Amerika Serikat. Amerika juga merupakan pesaing kuat China yang menjadi hambatan China untuk berada diantara Sudan dan Sudan Selatan. Karena saat ini China juga merupakan tantangan terbesar Amerika Serikat dalam dunia ekonomi dan politik dunia. Ketika di suatu kawasan ada hal yang diinginkan oleh Amerika Serikat maka disitu pula China akan masuk sehingga hal ini menyimpulkan bahwa China merupakan tantangan tersendiri bagi Amerika Serikat.
675
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2013:667-678
Akan tetapi, didalam konflik Sudan – Sudan Selatan ini, Uni Afrika yang bertindak sebagai mediator. PBB juga memberikan perhatian terhadap konflik yang terjadi. PBB mengharapkan perdamaian kedua negara Sudan agar konflik yang pernah terjadi tidak terulang kembali sehingga PBB mengancam akan memberikan sanksi terhadap Sudan dan Sudan Selatan jika mereka tidak berhasil mencapai kesepakatan yang komprehensif. Uni Afrika menjadi mediator bagi kedua negara berkonflik ini agar mencapai kesepakatan damai. Sebagai mediator, Uni Afrika memutuskan agar tidak melibatkan pihak lain diluar Uni Afrika itu sendiri. Alasannya adalah mereka berpendapat bahwa melibatkan pihak asing hanya akan merumitkan masalah dan mengancam terjadi satu konflik baru. Itulah sebabnya China tidak dapat menjadi mediator terhadap kedua negara tetapi China mendukung perdamaian kedua negara secara imparsial dan netral. Melalui mediasi Uni Afrika, Sudan dan Sudan Selatan telah mencapai kesepakatan tentang keamanan perbatasan dan produksi minyak, antara lain akan mengizinkan ekspor minyak dari Sudan Selatan melalui Sudan dan menciptakan zona bebas militer di wilayah perbatasan yang diperebutkan serta kesepakatan Sudan Selatan untuk membayar biaya pipa transit senilai US$ 9,48 per barrel di Sudan. Jumlah yang turun signifikan dari tuntutan awal pihak Khartoum yang mencapai US$ 36 per barrel. Kemudian adanya kesepakatan ekonomi yang mengizinkan Sudan Selatan untuk memulai kembali produksi minyaknya. Sebelumnya telah terjadi kesepakatan sementara pada bulan Agustus 2012 untuk menghidupkan kembali ekspor minyak selatan yang sempat tersendat akibat masalah jalur karena harus transit terlebih dahulu sebelum mencapai pelabuhan Laut Merah, tetapi hanya Sudan yang memulai kembali produksi minyaknya pada Agustus. Sudan Selatan baru memulai kembali produksi minyaknya pada 15 November 2012 setelah perjanjian pada 27 November ditandatangani. Pemimpin dua negara ini menyepakati sebagian keputusan penting setelah kebuntuan yang terjadi dalam pembicaraan empat hari di ibukota Ethiopia, Addis Ababa. Tetapi sejumlah masalah penting masih belum dapat diselesaikan, termasuk sengketa wilayah di Abyei belum disepakati, ataupun terhadap zona perbatasan yang diklaim kedua negara. Kemudian, pada Oktober 2012, Badan Keamanan Uni Afrika memutuskan bahwa jika kedua negara tidak dapat menyelesaikan sendiri masalah itu, mereka harus melaksanakan satu usul kepada Uni Afrika bagi satu referendum Oktober tahun 2013 tentang apakah daerah itu bergabung dengan Sudan atau Sudan Selatan. Kesimpulan Keberadaan China secara imparsial dikonflik yang terjadi antara Sudan dan Sudan Selatan merupakan tindakan yang nyata. Walaupun China tidak menjadi mediator dalam pertemuan kesepakatan damai antara kedua negara, namun China membuktikan akan komitmennya untuk mendukung kedamaian di kedua negara tanpa memihak salah satu diantaranya. China memiliki kepentingan di kedua negara, oleh sebab itu China menjaga hubungan yang baik dengan kedua negara Sudan dengan
676
Keberadaan China Dalam Penyelesaian Konflik Sudan (Astrid Ezhara Sinaga)
memberikan perhatian yang sama terhadap kedua negara sebagai wujud netralitas China akan konflik Sudan – Sudan Selatan ini. China juga bertindak tetap konsisten dengan keberadaannya dari awal konflik, selama proses berlangsung hingga mencapai kesepakatan untuk tetap bersikap netral dan menghormati keputusan yang telah disepakati oleh kedua pihak. Keberadaan China dalam konflik ini terlihat dari perhatian China kepada kedua negara yang selalu menyuarakan agar kedua negara Sudan menemukan lebih banyak keberanian politik, bekerjasama dengan upaya mediasi internasional, memelihara suasana dan momentum untuk negoisasi dan menyelesaikan masalah yang tersisa. Hingga terjadi kesepakatan pun, China tetap menaruh perhatian serta selalu member dukungan kepada kedua negara Sudan da China menjalin kerjasama yang baik dengan kedua negara tersebut. Saran 1. China seharusnya dapat lebih berperan dalam penyelesaian konflik ini karena hubungan China dengan Sudan dan Sudan Selatan cukup erat dan telah terjalin lama serta China yang memiliki hubungan kerjasama yang baik dengan kedua negara dapat bersikap netral sehingga mampu menjadi mediator bagi kedua negara. 2. Uni Afrika seharusnya memberikan kesempatan kepada beberapa negara yang ingin membantu permasalahan yang terjadi karena Sudan dan Selatan memiliki kerjasama dengan beberapa pihak terkait dengan keberadaan minyak di wilayah mereka agar dapat mengantisipasi permasalahan berkelanjutan. 3. Pada penelitian ini masih banyak terdapat kekurangan dalam masalah data-data yang berhubungan dengan penelitian ini, sehingga apabila dengan adanya keterbatasan data yang diperoleh dalam penelitian ini dapat menjadi sebuah acuan untuk melengkapi data-data yang masih kurang dalam penelitian ini bila terdapat penelitian selanjutnya yang mempunyai kemiripan isu serupa. . DAFTAR PUSTAKA Borton, John and Dukes, Frank. 1990. Conflict Practices in Management, Settlement and Resolution, Comes for Conflict Analysis and Resolution. Virginia, USA: George Mason University, St.Martin’s Press. Chandra, Robby. 1992. Konflik Dalam Hidup Sehari-hari. Yogyakarta: Kanisius. Fillip De Beule & Daniel Van Den Bulcke. 2011. China’s Opening Up, From Shenzhen to Sudan : dalam Meine Pieter Van Dijk, ed, The New Presence Of China in Africa, Amsterdam University Press. Fisher dan Keashly dalam Ronald J. Fisher. 1997. Interactive Conflict Resolution. New York: Syracuse University Press. International Energy Agency. 2012. Oil & Gas Security Emergency Response of IEA Countries : dalam People’s Republic of China. Jacques, Martin. 2011. When China Rules The World. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Narwoko, Dwi.J, Bagong Suyanto. 2006. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana. Paul Crompton & Yanrui Wu. 2010. Forthcoming in Energy Economics : dalam Energy Consumption in China Past Trends and Future Directions. University Of Western Australia.
677
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2013:667-678
Pickering, Peg. 2001. How To Manage Conflict, Kiat Menangani Konflik edisi ke-3. Jakarta: Erlangga. Plano, Jack. C & Olton, Roy. 1999. Kamus Hubungan Internasional. Bandung: Putra Abardin. Pruitt, Dean. G & Rubin, Jeffrey. Z. 2004. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Sitepu, Anthonius.P. 2011. Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Graha Ilmu. Touval Saadia & I. William Zartman. 2001. International Mediation in the Post-Cold War Era, Washington, D.C : dalam Chester A. Crocker, ed, Turbulent Peace The Challenges of Managing International Conflict, United States Institute of Peace Press. Sumber Lain : Berita mengenai hubungan Khartoum dan Juba, terdapat di: http://internasional.kompas.com/read/2012/04/24/07374092/Khartoum.dan.Juba diunduh pada 24 April 2012. Berita tentang hasil referendum Sudan, terdapat di: http://www.inilah.com/read/detail/1694142/sudan-mengukir-sejarah-baru diunduh pada 13 Juli 2011. Berita tentang kesepakatan Sudan, terdapat di: http://jaringnews.com/internasional/asia/20273/china-sambut-gembira-kesepakatanminyak-sudan diakses pada 6 Agustus 2012 Data tentang Sudan, terdapat di: http://id.wikipedia.org/wiki/Sudan, diakses pada 15 Mei 2012 Data tentang Energi China Statistik Industri, terdapat di: http://id.prmob.net/cina/batu-bara/amerika-serikat-2393112.html diakses pada 12 Maret 2012 Data tentang Keamanan Energi China, terdapat di: http://jurnalphobia-fisip08.web.unair.ac.id/artikel_detail-35229-UmumKeamanan%20Energi%20China%20di%20Kazakhstan.html diunduh pada 28 Mei 2012 Data tentang kebutuhan energi China, terdapat di: http:// www.eia.doe.gov dalam Country Analysis Briefs, Sudan dan Sudan Selatan diunduh pada 19 Mei 2012 Data tentang kebutuhan energy China, terdapat di: http://www.eia.gov/countries/cab.cfm%3Ffips%3DCH dalan China diakses pada 4 September 2012 Data tentang profil negara Sudan, terdapat di: http://www.kemlu.go.id/khartoum/Pages/CountryProfile.aspx?IDP=2&l=id diakses pada 5 Desember 2012 Data tentang profil negara Sudan, terdapat di: http://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/su.html. Diakses pada 3 Juni 2012. Data tentang kebijakan Energi China, terdapat di : http://www.chinafaqs.org/library/chinafaqs-industrial-energy-efficiency-cooperation diunduh pada 13 Agustus 2012 Data tentang perkembangan energi China, terdapat di : http://www.petersoninstitute.org diunduh pada 11 Januari 2013
678