KALIMAT EFEKTIF DALAM BUKU TERJEMAHAN FATH AL-MU’ÎN Studi Kasus Bab “Shalat” dan “Adzan”
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S)
Oleh: M. KHOAS RUDIN SODIK 107024002801
JURUSAN TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011
KALIMAT EFEKTIF DALAM BUKU TERJEMAHAN FATH AL-MU’ÎN Studi Kasus Bab “Shalat” dan “Adzan”
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S)
Oleh: Muh. Khoas Rudin Sodik NIM: 107024002801
Pembimbing,
Dr. Abdullah, M.Ag NIP: 196108251993031002
JURUSAN TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memnuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta,
M. Khoas Rudin Sodik NIM: 107024002801
iii
iv
ABSTRAK
M. Khoas Rudin Sodik. 107024002801. “Kalimat Efektif dalam Buku
Terjemahan Fath Al-Mu’în Studi Kasus Bab “Shalat” dan “Adzan”. Jurusan Tarjamah, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Fath Al-Mu’în karya Syaikh Zain al-Din ibn ‘Abd al-‘Azîz al-Malîbâry membahas fiqh yang berisikan tentang hukum-hukum dan tata cara dalam ibadah maupun muamalah untuk kehidupan sehari-hari. Penulis hanya mengetahui bahwa Fath Al-Mu’în ini baru diterjemahkan oleh Drs. Aliy As’ad. Akan tetapi, dalam hasil terjemahannya masih banyak kalimat-kalimat yang kurang efektif sehingga sedikit berpengaruh terhada pemahaman pembaca.. Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) menilai kualitas keakuratan pengalihan pesan, keberterimaan, dan keterbacaan kalimat dalam teks sasaran, dan (2) dan memberikan kualitas terjemahan yang efektif sesuai tata bahasa Indonesia yang berlaku. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-analitis dengan cara mengumpulkan data-data kemudian dianalisis data tersebut sesuai dengan terjemahan yang berupa kalimat efektif dalam bahasa Indonesia. Sumber data adalah berupa pustaka yang merujuk pada buku-buku mengenai terjemahan dan buku-buku bahasa Indonesia. Dokumen yang dianalisis berupa teks sebuah buku terjemahan mengenai fiqh yaitu buku terjemahan Fath Al-Mu’în berbahasa Arab dan hasil terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Dalam terjemahan buku Fath Al-Mu’în diterjemahkan menggunakan metode terjemahan secara harfiah sehingga menyebabkan:terdapat: (1) adanya kalimat yang
tidak lengkap, (2) adanya ketidakutuhan dalam struktur sintaksis, (3) adanya kalimat yang tidak
logis, (4) adanya ketidaktepatan diksi, (5) adanya
ketidakefesien penggunaan kata, yaitu pemakaian kata kerja gabung, kata depan (atas, daripada, kepada). (6) pemadanan yang tidak tepat, (7) penghilangan yang
v
tidak perlu, (8) penambahan yang tidak perlu, (8) tidak melakukan penambahan pada kalimat yang membutuhkan penambahan (necessary addition).
Oleh sebab itu, tujuan penulisan skripsi ini adalah menganalisis terjemahan Fath Al-Mu’în agar lebih efektif dan pembaca dapat mudah memahami pesan yang disampaikan oleh penulis asli.
vi
KATA PENGANTAR Puji Syukur Selalu terpanjatkan ke hadirat Allah SWT yang selalu melimpahkan berbagai banyak kenikmatan serta pertolongan kepada Penulis, sehingga karya ini bisa selesai dan hadir ke paling agung akhlaknya, manusia yang tidak pernah pergi ke terminal tapi namanya selalu dikenal, manusia yang tidak pernah pergi ke Bogor, namun namanya selalu tersohor, manusia yang tidak pernah pergi ke Bandung, namun namanya selalu tersanjung, dia lah Nabi Besar Muhammad SAW, Penulis mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan atas terselesaikannya skripsi ini: terutama kepada Bapak Dr. Abdullah, M.Ag selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan, masukan, bimbingan yang sangat berharga bagi Penulis, yang telah meluangkan waktunya untuk membaca, mengoreksi, memberikan referensi serta motivasi Penulis dalam proses penyusunan skripsi ini. Semoga Allah SWT senantiasa membalas apa yang telah bapak lakukan dalam hal kebaikan terhadap Penulis. Terima kasih juga kami haturkan kepada: 1. Bapak Dr. H. Abd. Wahid hasyim, M.Ag. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Ahmad Syaikhudin, M.Ag selaku Ketua Jurusan Tarjamah yang telah meminjamkan beberapa bukunya untuk menyelesaikan penulisan skripsi 3. Bapak Syarif Hidayatullah, M.Hum selaku Sekretaris Jurusan Tarjamah yang telah ikut andil dalam memberikan motivasi dan dorongannya dalam mempercepat proses kelulusan kuliah. 4. Seluruh jajaran Dosen Tarjamah: Bapak Irfan Abu Bakar, M.A, Bapak Prof. Dr. Sukron Kamil, MA, Ibu Karlina Helmanita, M.Ag, Bapak Drs. Ahmad Syatibi, M.Ag, Bapak Ali Hasan al-Bahr, LC, MA, Bapak Drs. Ikhwan Azizi, MA, dan lain sebagainya yang tidak bisa Penulis sebutkan namanya satupersatu, namun tidak mengurangi rasa hormat dan ta’dzhim penulis kepada para dosen. Semoga selama Penulis belajar di Jurusan Tarjamah ilmu yang Penulis dapatkan menjadi ilmu yang bermanfaat di kemudian hari. vii
5. Seluruh Staf Perpustakaan Utama dan Adab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terima kasih atas layanan buku-bukunya. 6. Kedua orangtua tercinta, Bapak Muh. Aminullah dan Ibu Tuti Haryani yang tiada henti-hentinya mendoakan, mencurahkan kasih sayang, cinta dan dorongannya
baik
moril
maupun
materil,
sehingga
Penulis
dapat
menyelesaikan Skripsi dengan baik dan maksimal. 7. Adik-adikku M. Ilham budi Utomo, M. Ali Nurdin, Soimatul Hidayah yang telah memberikan semangat dan bantuan-bantuannya. 8. Guruku, Ust. Nasaruddin yang selalu mengajari Penulis akan ilmu Bahasa Arab terutama masalah Nahwu dan shorof. Somoga ilmu yang sudah Penulis dapati agar bermanfaat dan mengetahui lebih dalam lagi mengenai bahasa Arab. 9. Guruku, Ust. Safrudin yang telah rela memberikan ilmu fiqhnya kepada Penulis dalam mengkaji Kitab Fath al-Mu’în serta ilmu nahwu. 10. Pimpinan Pondok Pesantren Salaf Daar al-Musthafa termasuk guruku KH. Ubaidillah Hamdan, yang turut aktif memberikan ilmu-ilmunya kepada Penulis. 11. Sahabat-sahabatku seperjuangan di Jurusan Tarjamah: Hilman, rahmat “mamat” (teman yang selalu menemani bermain-main di kampus), rezha, Sukron “Buluk”, Tohadi, Eka, Ibnu, Aisyah, Rahmawati, Nur Ahdiyani, Nur Hani “nenek”, Farida (teman yang selalu menemani dalam mencari referensi buku terkait pembuatan skripsi), Ismi, Syifa, Sa’adah, Ibnudin, Rido Dinata “Kondor” (teman yang selalu membuat canda dan tawa di kelas) dan seluruhnya yang Penulis tidak bisa sebutkan namanya satu-persatu, namun tidak mengurangi rasa persahabatan kita yang telah memberikan canda, tawanya, serta pinjaman referensinya yang begitu berharga Penulis ucapkan ribuan terima kasih. 12. Sahabat-sahabatku sepermainan di rumah: kiki “Balank”, hendra, rudi, bima, dian “pace” yang telah menghibur dan memberikan doanya dan canda tawanya di saat Penulis sedang kerepotan dalam proses penyusunan skripsi.
viii
13. Terakhir Penulis ucapkan terima kasih banyak kepada orang spesial yang berada di hati Penulis yang isnya Allah akan menjadi pendamping hidup, karena berkat dorongan, motivasi, doanya skripsi ini bisa tercapai. Tak ada untaian kata yang keluar, yang pantas Penulis ungkapkan kecuali ucapan terima kasih, semoga bantuan dan motivasinya dari seluruh pihak bernilai ibadah dan amal shalih di pandangan Allah SWT. Semoga Allah membalasnya dengan yang lebih baik dan semoga skripsi ini dapat beermanfaat bagi kita semua. Saran dan kritik konstruktif sangat Penulis butuhkan untuk interpretasi yang lebih baik lagi.
Jakarta, M. Khoas Rudin Sodik
ix
DAFTAR ISI LEMBARPERNYATAAN ................................................................................. iii PENGESAHAN PANITIA UJIAN .................................................................... iv ABSTRAK ........................................................................................................... v KATA PENGANTAR ........................................................................................ vii DAFTAR ISI ......................................................................................................... x PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ............................................. xii Bab I: Pendahuluan ............................................................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................................... 5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................... 6 D. Tinjauan Pustaka ......................................................................................... 7 E. Metodologi Penelitian ................................................................................. 7 F. Sistematika Penulisan .................................................................................. 8 Bab II: KERANGKA TEORI ........................................................................... 10 A. Teori Tentang Penerjemahan ..................................................................... 10 1. Pengertian Penerjemahan ...................................................................... 10 2. Proses Penerjemahan ............................................................................ 12 3. Metode Penerjemahan .......................................................................... 14 B. Kalimat ..................................................................................................... 20 1. Definisi Kalimat .................................................................................... 20 2. Pembagian Kalimat ............................................................................... 22
x
C. Kalimat Efektif .......................................................................................... 35 D. Ciri-ciri Kalimat Efektif ............................................................................ 37 Bab
III:
INFORMASI
UMUM
BUKU
FATH
AL-MU’IN
DAN
TERJEMAHANNYA ......................................................................................... 49 1. Buku Fath al-Mu’în …………................................................................... 49 a. Biografi Pengarang ............................................................................... 49 b. Siatematika Kitab Fath al-Mu’în .......................................................... 50 2. Buku Terjemahan Fath al-Mu’în ............................................................... 53 a. Biografi Penerjemah ............................................................................. 53 b. Isi Buku Terjemahan ............................................................................. 55 Bab IV: PEMBAHASAN .................................................................................. 57 1. Yang Jelas Kesatuan Gagasannya ………………………......................... 57 2. Subjek Ganda ............................................................................................ 62 3. Penggunaan Bentuk Panjang yang Salah .................................................. 64 4. Melakukan Penonjolon kata Di Depan Kalimat …………........................ 71 5. Variasi Panjang Pendeknya Kalimat ......................................................... 75 6. Variasi Pembentukkan me- dan di- ............................................................ 79 7. Variasi dengan Posisi dalam Kalimat ........................................................ 82 Bab V: Penutup .................................................................................................. 84 A. Kesimpulan ................................................................................................ 84 B. Saran atau Rekomendasi ............................................................................ 85 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………… 87
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN Dalam skripsi ini sebagian data berbahasa Arab ditransliterasikan ke dalam huruf latin. Transliterasi ini berdasarkan Pedoman Transliterasi Arab-Latin dalam buku “Pedoman Karya Ilmiah” CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 1. Pedoman Aksara Huruf Arab
Huruf Latin
Dibaca
ا
a
Tidak dilambangkan
ب
b
Be
ت
t
Te
ث
ts
te dan es
ج
j
Je
ح
h
h dan garis bawah
خ
kh
ka dan ha
د
d
de
ذ
dz
de dan zet
ر
r
er
ز
z
zet
س
s
es
ش
sya
es dan ye
ص
s
es dan garis di bawah
ض
d
de dan garis di bawah
ط
t
te dan garis di bawah
ظ
z
zet dan garis di bawah
ع
‘
koma terbalik di atas hadap kanan
غ
gh
ge dan ha
ف
f
ef
xii
ق
q
ki
ك
k
ka
ل
l
el
م
m
em
ن
n
en
و
w
we
ھ
h
ha
ء
´
apostrof
ي
y
ye
2. Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti voka bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. a. Vokal Tunggal Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
―
A
Fathah
̲
i
Kasrah
̲
u
Dammah
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ي
ai
a dan i
̲ و
au
a dan u
Tanda Vokal Latin
Keterangan
b. Vokal Rangkap Tanda Vokal Arab
c. Vokal Panjang Tanda Vokal Arab
xiii
â
a dengan topi di atas
ﻲ
î
i dengan topi di atas
ﻮ
û
u dengan topi di atas
3. Kata Sandang Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambagkan dengan huruf, yaitu ال, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qomariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-diwân bukan ad-diwân. 4. Syaddah (Tasydîd) Syaddah atau Tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda --- ﱢdalam alihakasara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak perlu jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata اﻟﻀﺮورةtidak ditulis a ḏ-ḏarûrah melainkan al-ḏarûrah, demikian seterusnya. 5. Ta’ Marbû ṯah Jika huruf Ta’ Marbûṯah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (contoh no.1). hal yang sama juga berlaku, jika Ta’ Marbû ṯah tersebut diikuti oleh (na’t) atau kata sifat (contoh no.2). namun jika huruf Ta’ Marbûṯah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (contoh no.3) 6. Huruf Kapital Menikuti EYD bahasa Indonesia, untuk paper name (nama diri, nama tempat, dan sebagainya). Seperti al-Kindi bukan Al-Kindi (untuk huruf “al” a tidak boleh kepital.
xiv
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kitab Fath al-Mu’în merupakan salah satu karya monumental ulama muta’akhirin dari kalangan Syafi’iyah yang menjadi standar kitab bagi pesantren di Indonesia. Bahkan di beberapa pesantren, kitab tersebut sebagai tolok ukur santri dalam penguasaan kitab Salaf. Sebuah Kitab kecil yang banyak sekali memiliki keunggulan dibanding kitab-kitab lain dan diajarkan hampir di semua pesantren yang berhaluan Ahli Sunnah Syafi’iyah di Dunia ini. Kitab Fath al-Mu’în ini juga adalah Kitab Syarah Qurrah al-'Ain Fi Muhimmah al-Din, sebuah Syarah yang menjelaskan ma'na murod, kitab Qurrah al'Ain sendiri merupakan karya Zain al-Din ibn ‘Abd al-‘Azîz al-Malîbâry. Kitab Fath al-Mu’în ini, seperti kitab-kitab fiqh yang lain membahas semua permasalahan fiqhiyah, mulai dari Ubudiyah, Mu’amalah, Munakahah dan Jinayah dengan diklasifikasikan sesuai dengan bab-babnya. Dalam pembahasan Shalat, kitab ini mudah untuk ditelaah, karena di dalamnya membahas kaifiyah atau tata cara Shalat. Kitab Fath al-Mu’în ini lebih runtut dibanding dengan kitab lain, karena dalam penyebutan, tidak diklasifikasikan sesuai dengan Fardlu dan Sunahnya, melainkan di sebutkan sesuai dengan kaifiyah itu. Metode seperti ini juga diterapkan dalam pembahasan haji dan umroh.
2
Kitab kuning mempunyai ciri khusus dalam penulisannya, di antaranya penulisan kitab kuning tidak mengenal tanda baca, pemberhentian, kesan bahasanya yang berat, klasik dan tanpa harakat. Ciri lain adalah terdiri dari dua bagian matn. Matan yaitu teks asal atau inti dan syarh, yaitu komentar atau penjelas matn, matn selalu diletakkan di bagian pinggir sebelah kanan dan kiri. Syarh diletakkan di bagian tengah setiap halaman kitab klasik. Penerjemahan yang dilakukan para santri dan kyai di pesantren pada umumnya menggunakan kata demi kata, mengakibatkan tidak menghasilkan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Penerjemahan yang dilakukan bukanlah mengalihkan ide atau pesan bahasa sasaran, tetapi mengalihkan kata-perkata mengikuti bahasa sumber dan tidak memperlihatkan struktur bahasa sasarannya, sehingga ide atau pesan yang dimaksud oleh penulis atau pengarang tersebut masih kurang diperhatikan. Contoh sederhana adalah cara peletakkan fi’il dan fa’il. Dalam keterangannya fi’il itu dalam bahasa Indonesia bermakna kata kerja (predikat) sedangkan fa’il berarti subjek. Kalimat efektif dalam konteks bahasaa diartikan sebagai kalimat yang memenuhi kriteria jelas, sesuai dengan kaidah, ringkas dan enak dibaca.
1
Dalam
bahasa Indonesia, misalnya: jika bus ini mengambil penumpang di luar agen supaya melaporkan kepada kami. Kalimat tersebut kurang jelas maksudnya karena ada bagian yang dihilangkan atau tidak sejajar. Siapakah yang diminta “supaya melaporkan kepada kami?.” Ternyata imbauan ini untuk penumpang yang membeli 1
Rusnandar, Rd, dkk. Bahasa Indonesia Untuk SMK, (Bandung: Galaxsi Puspa Mega, 2001)
3
tiket di agen. Jika demikian kalimat tersebut harus diubah menjadi jika bus ini mengambil penumpang di luar agen anda diharapkan melaporkannya kepada kami. Jelaslah hubungan antara penerjemahan dengan kalimat efektif sesuai dengan apa yang telah dipaparkan di atas yaitu setiap gagasan, pikiran, atau konsep yang dimiliki seseorang pada praktiknya akan dituangkan ke dalam bentuk kalimat. Kalimat yang benar (dan juga baik) haruslah memenuhi persyaratan gramatikal. Artinya, kalimat itu harus disusun berdasarkan kaidah-kaidah yang berlaku, seperti unsur-unsur penting yang harus dimiliki oleh setiap kalimat (subjek dan predikat); memperhatikan ejaan yang disempurnakan, serta cara memilih kata (diksi), struktur dan logikanya yang terdapat dalam kalimat. Kalimat yang memenuhi kaidah tersebut jelas akan mudah dipahami oleh pembaca atau pendengar. Seperti contoh dibawah ini: Contoh lain seperti: ﻋﺜﻤﺎن ﺗﺤﻤﻞ اﻟﻤﺠﻠﺔ
diterjemahkan menjadi: “usman
membawa makalah”. Contoh kalimat tersebut tidak diterjemahkan sesuai susunan struktur kalimat bahasa Arab, yaitu menjadi membawa majalah usman. Terjemahan itu bukan merupakan kalimat efektif. Karena, dalam bahasa Indonesia tidak menggunakan kalimat sempurna dengan diawali dengan PSOK (predikat Subyek Obyek Keterangan). Pada umumnya kalimat disusun berdasarkan SPOK (Subyek Predikat Obyek Keterangan), dan susunan seperti itu merupakan susunan kalimat efektif. Dalam Kitab Fath al-Mu’în terdapat sebuah kalimat:
4
ﳘﺎ ﻟﻐﺔ ﺍﻻﻋﻼﻡ ﻭﺷﺮﻋﺎ ﻣﺎ ﻋﺮﻑ ﻣﻦ ﺍﻻﻟﻔﺎﻅ ﺍﳌﺸﻬﻮﺭﺓ ﻓﻴﻬﻤﺎ Terjemahannya: Adzan dan iqamah menurut arti bahasanya adalah “memberitahukan”, dan menurut ma’na syara; adalah bacaan berupa kalimat-kalimat seperti yang telah termasyhur diketahui dalam adzan dan iqamah. 2 Jika kita cermati secara seksama, terjemahan di atas bukan merupakan kalimat efektif karena si penerjemah menerjemahkan teks tersebut menggunakan metode secara harfiah atau terjemahan kata demi kata. Kata arti sebaiknya dihilangkan saja. Untuk kata “dan” sebaiknya diganti “sedangkan”, Karena jika kata “dan” tetap digunakan, maka kalimat tersebut tidak nyaman dibaca. Pada kata اﻟﻤﺸﮭﻮرةtetap diterjemahkan apa adanya yaitu “termasyhur” yang merupakan hasil penyerapan bahasa yang tidak tepat untuk diletakkan, sehingga diksi yang tepat untuk menerjemahkan kata tersebut yaitu “dikenal”. Oleh karena itu, menurut Penulis agar terjemahan teks di atas menjadi kalimat yang efektif yaitu dengan membuang kata “arti” serta mengganti kata “dan” dengan sedangkan. Sehingga terjemahannya menjadi,
2
As’ad, Aly, Fath al-Muîn 1, (Kudus: Menara Kudus, 1980), hal.217, baris 1.
5
“secara bahasa, adzan dan iqamah berarti pemberitahuan. Sedangkan menurut syara’ (agama), adzan dan iqamah adalah ungkapan-ungkapan tertentu yang telah dikenal sebagai keduanya.” Karena memandang bahwa kitab ini sangat penting bagi masyarakat luas, maka
Penulis
ingin
meneliti
sejauh
mana
efektivitas
terjemahan
dalam
menerjemahkan kitab Fath al-Mu’în ini. B. Batasan dan Rumusan Masalah Melihat latar belakang di atas, penulis tertarik untuk membahas terjemahan yang digunakan oleh Drs. H. Aliy As’ad dalam terjemahan buku Fath al-Mu’în. Buku ini menjadi rujukan untuk belajar-mengajar di pondok-pondok pesantren baik salafi maupun modern dan di tengah masyarakat yang kurang memahami bahasa Arab. Akan tetapi, mengingat buku terjemahan tersebut begitu kompleks, maka Penulis perlu memabatasi permasalahan hanya pada kajian: “Kalimat Efektif dalam Buku Terjemahan Fath al-Mu’în Bab “Shalat” dan “Adzan”. Agar penulisan skripsi ini lebih terarah, maka Penulis membatasi masalah yang akan diteliti yaitu hanya jilid 1 bab shalat dan adzan. Dalam bab shalat ini Penulis lebih mengerucut pada pembahasan pengertian shalat dan syarat-syarat shalat dan adzan. Maka dalam hal ini Penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
6
1. Apakah kalimat yang terdapat dalam terjemahan Kitab Fath al-Mu’în bab adzan dan shalat ini merupakan terjemahan kalimat yang efektif sesuai dengan ciri-ciri: a) Kesatuan (unity) b) Kehematan (economy) c) Penekanan (emphasis) d) Kevariasian (variety) C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarakan latar belakang masalah di atas, maka tujuan penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui bentuk ciri-ciri kalimat efektif. a) Kesatuan (unity) b) Kehematan (economy) c) Penekanan (emphasis) d) Kevariasian (variety) Adapun manfaat penelitian ini adalah untuk menunjang kontribusi ilmiah dalam penerjemahan yang baik sesuai dengan kaidah dan tata bahasa yang baik dan
7
benar serta dalam menyusun sebuah kalimat yang baik sehingga dapat dipahami oleh para pembaca. D. Tinjauan Pustaka Sudah banyak yang membahas tentang kalimat efektif dalam terjemahan kitab-kitab klasik, contohnya: kitab Fath al-Qorib dan Uqudulujain. Namun dalam kitab Fath al-Mu’în ini peneliti terdahulu mengkaji tentang diksi yang diteliti oleh Siti Mawadah dalam skripsinya yang berjudul Diksi dalam Terjemahan Kitab Fath al-Mu’în Bab Puasa Karya Syaikh Zain al-Dîn ibn ‘Abd Azîz al-Malîbary. Ada pula yang mengkaji tentang kata dalam sekripsinya Nubzatus Saniyah yang berjudul Pola Terjemahan Kalimah Mabni Majhul dalam Kitab Fath al-Mu’în (Analisis Semantik Gramatkal Pada Bab Nikah). Sementara itu, untuk mengkaji tentang kalimat efektif itu belum terdapat dalam penelitian. Maka dari itu, Penulis di sini menjelaskan lebih dalam lagi tentang terjemahan kitab Fath al-Mu’în, selain unsur diksi dan kalimah (kata) dalam terjemahan yang Penulis analisis, akan tetapi unsur kalimat dalam terjemahan pun Penulis analisis pula, supaya penerjemah itu dapat merangkaian kalimat yang efektif agar dapat dipahami oleh para pembaca dengan menggunakan tata bahasa yang baik dan benar yang terkandung dalam EYD. E. Metodologi Penelitian Dalam penelitian ini bersifat kajian pustaka (library Research), kemudian metode yang digunakan penulis menggunakan deskriptif analisis, yaitu dengan cara membuat deskripsi atau gambaran mengenai kalimat efektif dalam terjemahan yaitu
8
tata bahasa yang baik dan benar, sehingga memberikan penjelasan terhadap permasalahan-permasalahan yang diteliti. Dalam penelitian ini penulis mengawalinya dengan studi kepustakaan. Penulis mengumpulkan data-data dari beberapa buku yang ada hubungannya dengan penulisan skripsi ini dan untuk dapat dijadikan kerangka teoritis. Setelah data-data tersebut terkumpul, maka Penulis melakukan analisa mendalam terhadap data-data yang ada pada bab adzan dan shalat sesuai dengan kalimat efektif yang berkaitan dengan keadaan bahasa sekarang yaitu EYD. Adapun secara keseluruhan, teknik penulisan skripsi ini mengacu pada Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007. F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan yang akan penulis paparkan ini merupakan strukturalisasi penulisan agar dapat dipahami dengan baik. Penulisan sekripsi ini disajikan dalam lima bab, yaitu: Bab pertama adalah pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah yang berisikan tentang alasan penulis mengambil judul sekripsi “Kalimat Efektif terhadap Terjemahan Kitab Fath al-Mu’în Bab Adzan dan Shalat)”,
pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
9
Bab kedua adalah kajian landasan teori yang berisikan tentang pengertian terjemahan, macam-macam teknik terjemahan, kalimat efektif beserta cirri-ciri kalimat efektif. Dalam bab ini merupakan pengetahuan awal sebelum menganalisis suatu kalimat yang efektif yang terdapat dalam bab IV Bab tiga, adalah biografi berisikan tentang riwayat hidup penulis, dan identifikasi gambaran umum tentang kitab Fath al-Mu’în beserta biografi pengarang kitab Fath al-Mu’în. Bab empat merupakan analisis kalimat yang efektif. Dalam bab ini akan dianalisis kesatuan, kehematan, penekanan, dan kevariasian dalam terjemahan kitab Fath alMu’în. Bab lima merupakan penutup yang mencakup; kesimpulan dan rekomendasi. Kesimpulan ini berisikan semua kesimpulan dari seluruh analisis.
10
BAB II KERANGKA TEORI A. Teori Tentang Penerjemahan 1. Pengertian Penerjemahan Secara bahasa terjemah (translation) berasal dari kata bahasa Arab ﯾﺘﺮﺟﻢ
- ﺗﺮﺟﻢartinya menerangkan atau memindahkan perkataan dari suatu bahasa ke bahasa lainnya. Pelakunya disebut penerjemah ( )ﻣﺘﺮﺟﻢ. Secara istilah terjemah semua kegiatan manusia berkaitan dengan memindahkan informasi atau pesan yang disampaikan secara lisan (verbal dan non verbal) dari informasi asal ke dalam informasi sasaran. Artinya penerjemahan yag dilakukan bukan hanya memindahkan bahasa sumber ke bahasa sasaran, melainkan juga kegiatan yang berkaitan dengan non bahasa, sepanjang memindahkan informasi sumber ke informasi sasaran adalah merupakan kegiatan penerjemahan, seperti orang terkini yang memasang instrument berdasarkan petunjuk skema pemasangannya juga merupakan kegiatan penerjemahan. 3 Newmark memberikan definisi tentang penerjemaan sebagai ”rendering the meaning of a text into another language in the way that the author intended the text” ‘mengalihkan makna suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan apa yang dimaksud oleh pengarang’.
3
h.1
Akmaliyah, Wawasan dan Teknik Terampil Menerjemahkan, (Bandung: N & Z Press, 2007),
11
Brislin mengatakan bahwa penerjemahan adalah sebuah bentuk umum yang mengacu pada pemindahan pemikiran dan ide dari satu bahasa (sumber) ke bahasa yang lain (sasaran), baik bahasa itu dalam bentuk tertulis ataupun dalam bentuk lisan, baik itu telah disusun secara ortografi ataupun belum standar, ataupun baik satu atau dua bahasa itu berdasarkan tanda, seperti bahasa isyarat untuk orang yang tuli. 4 Eguene A. Nida dan Charles R. memberikan definisi penerjemahan yaitu kegiatan yang menghasilkan kembali di dalam bahasa penerima barang secara sedekat-dekatnya dan sewajarnya sepadan dengan pesan dalam bahasa sumber, pertama-tama menyangkut maknanya dan kedua menyangkut gayanya. 5 Secara sederhana, menerjemahkan dapat didefinisikan sebagai memindahkan suatu amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa penerima (sasaran) dengan pertamatama mengungkapkan maknanya dan kedua mengungkapkan gaya bahasanya. Penerjemahan mengimplikasikan adanya dua bahasa, yakni bahasa sumber (BSu) yang sering diistilahkan source language (SL) dan bahasa sasaran (BSa) atau target language (TL). Bahasa sumber adalah bahasa teks yang diterjemahkan dan bahasa sasaran adalah bahasa teks hasil terjemahan. 6 Seorang penerjemah adalah seorang penulis. Tentu saja, ia bukan pengarang (author) bukunya sendiri. Gagasan-gagasan yang ada di dalam terjemahan tetap merupakan gagasan pengarang. Meskipun begitu, ia menuliskan
4
Frans Sayogie, Penerjemahan Bahasa Inggris Ke Dalam Bahasa Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008), hal 9 5 A. Widyamartaya, Seni Menerjemahkan, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hal 11 6 Muh. Rohman Arif, Penerjemahan Teks Inggris, h. 9
12
gagasan-gagasan pengarang itu, dan ia ingin menyampaikan gagasan-gagasan pengarang secara efektif. Oleh karena itu, penerjemah harus mempu menyusun kalimat-kalimat yang efektif dalam bahasa sasaran (bahasa penerima) yang dipakainya. 7 2. Proses Penerjemahan Menerjemahkan bukanlah menuliskan pikiran-pikirannya sendiri, dan bukan pula menyadur saja, dengan pengertian menyadur sebagai pengungkapan kembali amanat dari suatu karya dengan meninggalkan detail-detailnya tanpa harus mempertahankan gaya bahasanya dan tidak harus ke dalam bahasa lain. Penerjemahan merupakan proses yang dilakukan secara bertahap. Larson mengemukakan tahap-tahap penerjemahan sebagai berikut: (1) mempelajari leksikon, struktur gramatikal, situasi komunikasi, dan konteks budaya dari teks bahasa sumber; (2) menganalisis teks bahasa sumber untuk menemukan maknanya; dan (3) mengungkapkan kembali makna yang sama itu dengan menggunakan leksikon dan struktur yang sesuai dengan bahasa sasaran dan konteks budaya. 8 Dalam proses penerjemahan, penerjemah melakukan rangkaian tindakan dalam mencurahkan pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan kebiasaannya untuk mengalihkan pesan dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran melalui
7
A. Widyamartaya, Seni Menerjemahkan, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h 11 Frans Sayogie, Penerjemahan Bahasa Inggris Ke Dalam Bahasa Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008), h 19 8
13
beberapa tahapan dengan menggunakan prosedur penerjemahan, metode penerjemahan, teknik penerjemahan, dan sebagainya. Untuk menghasilkan pesan teks bahasa sasaran (Bsa) yang sesuai dengana pesan yang terdapat pada teks bahasa sumber (Bsu), seorang penerjemah harus memperhatikan proses penerjemahan yang melalui setidaknya 11 proses, mulai dari struktur luar Bsu hingga menjadi struktur luar Bsa, dapat dijelaskan sebagai berikut dengan cara berurutan.9 Struktur luar Tsu (1) → pemahaman leksikal Tsu (2) → pemahaman morfolgis Tsu (3) → pemahaman sintaksis Tsu (4) → pemahaman semantis Tsu (5) → pragmatis Tsu (6) → struktur batin Tsu dan Tsa (7) → pemadanan leksikal Tsa (8) → pemadanan morfologis Tsa (9) → pemadanan sintaksis Tsa (10) → pemadanan semantis (11) → pemadanan pragmatis Tsa (12) → struktur luar Tsa (13). 1) Struktur luas Bsu berarti masih berupa teks sumber (Tsu), belum mengalami proses apapun; 2) Pemahaman leksikal Tsu mengharuskan penerjemah memiliki kepekaan leksikal, sehingga dia bisa memahami makna kosakata yang terlihat pada Tsu; 3) Pemahaman morfologis Tsu mengharuskan penerjemaha memahami bentuk mprfologis kosakata Tsu, sehingga dia mengerti perubahan bentuk kosakata pada Tsu yang berimbas pada perubahan makna; 4) Pemahaman sintaksis TSu mengharuskan penerjemah memahami pola kalimat dalam Tsu, yang pada gilirannya mengontraskannya dengan Tsa. 9
Moch Syarif Hidayatullah, Tarjim Al-An, (Tangerang: Dikara, 2011), hal 13, cet. V
14
5) Pemahaman semantik Tsu mengharuskan penerjemah memahami pemaknaan yang berlaku pada Tsu; 6) Pemahaman
pragmatis
Tsu
mengharuskan
penerjemah
memahami
pemahaman yang dikaitkan dengan konteks yang berlaku pada Tsu; 7) Pada struktur batin Tsu dan Tsa terjadi transformasi pada diri penerjemah untuk kemudian menyelaraskan pemahaman Tsu ke dalam pemadanan Tsa; 8) Pemadanan leksikal Tsa mengharuskan penerjemah memilih padanan yang tepat untuk tiap kata yang ditemuinya pada Tsu; 9) Pemadanan morfologis Tsa mengharuskan penerjemah memiliki pengetahuan soal padanan yang tepat pada suatu kata setelah mengalami perubahan bentuk; 10) Pemadanan sintaksis Tsa mengharuskan penerjemah memiliki kepakaan makna pada tiap pola kalimat dalam Tsa, sehingga dapat memilih pada yang akurat pada tiap kata yang ada di hadapannya; 11) Pemadanan semantis Tsa berhubungan dengan pemadanan sintaksis Tsa; 12) Pemadanan pragmatis Tsa merupakan hasil dari pemahaman kontekstual Tsu, sehingga penerjemah dapat menerjemahkan dengan tepat kalimat dalm konteks tertentu, yang tentu saja akan berbeda maknanya, meskipun bentuknya sama; 13) Ramuan dari pemahaman yang kemudian menghasilkan pemadanan itulah yang bisa melahirkan struktur luar Tsa yang layak dikonsumsi. 3. Metode Penerjemahan Menurut penerjemahan
Machali dan
metode penerjemahan
rencana
dalam
pelaksanaan
adalah cara
melakukan
penerjemahan.
Metode
15
penerjemahan
dapat
diklasifikasikan
berdasarkan
berbagai
perspektif
kebahasaan. 10 Moeliono menggolongkan terjemahan dalam tiga kelompok besar, yaitu (1) terjemahan harfiah, ialah terjemahan yang dilakukan kata demi kata dengan tujuan tidak menyimpang sedikit pun dari bentuk lahiriah bahasa sumber, (2) terjemahan bahasa atau saduran, yaitu terjemahan yang bentuk bahasanya tidak terkait pada naskah sumbernya, tetapi tujuannya adalah mengungkapkan sari idea tau maksud yang terkandung dalam naskah asli, dan (3) terjemahan idiomatik, yaitu terjemahan yang mengarah pada kesepadanan atau ekuivalensi antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Banyak metode penerjemahan yang dikembangkan oleh para ahli. Namun, diantara metode yang ada, metode yang ditawarkan Newmark (1998) dinilai sebagai paling lengkap dan memadai. Menurut Newmark, metode ini terbagi menjadi 8 (delapan) yaitu sebagai berikut: 1. Penerjemahan Kata demi Kata Metode ini Penerjemahan dilakukan antarbaris terjemahan untuk tiap kata berada di bawah setiap Bsu. Urutan kata dalam bahasa sumber tetap dipertahankan, kata-kata diterjemahkan satu demi satu dengan makna yang paling umum tanpa mempertimbangkan konteks pemaikaiannya. Kata yang berkonteks budaya diterjemahkan secara harfiah. 11
10
Frans Sayogie, Penerjemahan Bahasa Inggris Ke Dalam Bahasa Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008), h. 83 11 Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), h. 71
16
Contoh:
ﻭﻋﻨﺪﻱ ﺛﻼﺛﺔ ﻛﺘﺐ Terjemahannya: Dan di sisiku tiga buku-buku.12 2. Penerjemahan Harfiah Dalam metode penerjemahan ini, melingkupi terjemahan-terjemahan yang sangat setia terhadap TSu. Kesetiaan biasanya digambarkan oleh ketaatan penerjemah dterhadap aspek tata bahasa TSu, seperti urutan-urutan bahasa, bentuk frase bentuk kalimat dan sebagainya. Akibatnya serring muncul dari terjemahan ini adalah hasil terjemahannya menjadi saklek dan kaku karena penerjemah memaksakan aturan-aturan tata bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Padahal, keduanya memiliki perbedaan yang mendasar. Hasilnya dapat dibayangkan, yakni bahasa Indonesia yang bergramatika bahasa Arab, sehingga sangat aneh untuk dibaca penutur Bsa. Dalam hal ini Seorang penerjemah mencarikan padanan kontruksi gramatikal teks sumber (Tsu) yang terdekat dalam teks sumber (Tsu). Penerjemahan kata-kata Tsu masih dilakukan terpisah dari konteks. Metode ini biasanya digunakan pada tahap awal (pengalihan) Contoh:
ﺟﺎﺀ ﺭﺟﻞ ﻣﻦ ﺭﺟﺎﻝ ﺍﻟﱪ ﻭﺍﻻﺣﺴﺎﻥ ﺍﱃ ﺑﻨﺪﻧﺞ ﳌﺴﺎﻋﺪﺓ ﺿﺤﺎﻳﺎ ﺍﻟﺰﻟﺰﺍﻝ
12
Moch Syarif Hidayatullah, Tarjim al-An, (Tangerang: Dikara, 2011), cet. V, h. 31
17
Datang seorang laki-laki baik ke Bandung untuk membantu korban-korban goncangan.13 3. Penerjemahan Setia Penerjemahan setia mencoba menghasilkan kembali makna kontekstual walaupun masih terikat oleh struktur gramatikal bahasa sumber. Kata-kata yang bermuatan budaya diterjemahkan tetapi menyimpang dari struktur gramatikal bahasa sasaran. Penerjemahan jenis ini berpegang teguh pada tujuan dan maksud bahasa sumber, sehingga terlihat sebagai terjemahan yang kaku. Terjemahan ini bermanfaat sebagai proses awal tahap pengalihan. Contoh:
ﻫﻮ ﻛﺜﲑ ﺍﻟﺮﻣﺎﺩ Terjemahannya: Dia (lk) dermawan banyak abunya. 4. Penerjemahan Semantis Penerjemahan semantis dibandingkan dengan metode penerjemahan setia, Penerjemahan semantis lebih luwes, sedangkan penerjemahan setia lebih kaku dan tidak berkompromi dengan kaidah Tsa. Berbeda dengan penerjemahan setia, Penerjemahan semantis lebih mempertimbangkan unsur estetika (antara lain kehidupan bunyi) teks BSu dengan mengkompromikan makna selama masih dalam batas kewajaran. Selain itu, kata yang hanya sedikit mengandung muatan budaya dapat diterjemahkan dengan kata yang netral atau istilah yang fungsional. Perbedaan penerjemahan setia dengan penerjemahan semantis 13
Ibid, h. 31
18
adalah
bahwa
penerjemahan
sematis
lebih
fleksibel.
Empati
(pengidemtiifikasian diri) penerjemahan terhadap teks bahasa sumber dalam penerjemahan semantis dibolehkan. 14 Contoh:
(۱۰۸ :ﻭﻣﻦ ﻳﺘﺒﺪﻝ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﺑﺎﻻﳝﺎﻥ ﻓﻘﺪ ﺿﻞ ﺳﻮﺍﺀ ﺍﻟﺴﺒﻴﻞ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ Terjemahannya: Barangsiapa mengambil kekufuran sebagai pengganti keimanan, ia tersesat dari jalan yang benar. 5. Penerjemahan Adaptasi Adaptasi merupakan cara penerjemahan nas yang paling bebas dibanding cara
penerjemahan
lainnya.
Metode
ini
banyak
digunakan
dalam
menerjemahkan naskah drama dan puisi dengan tetap mempertahankan tema, karakter, dan alur cerita. Pernejemah pun mengubah kultur Bsu ke dalam Bsa.15 Contoh:
ﻋﺎﺷﺖ ﺑﻌﻴﺪ ﺣﻴﺚ ﻻ ﲣﻄﻮ ﻗﺪﻡ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻴﻨﺎﺑﻴﻊ ﺑﺎﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﻬﺎﺭ Terjemahannya: Dia hidup jauh dari jangkauan, di atas gemericik air sungai yang terdengar jernih. 16
14
Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, h. 52 Syihabuddin, Penerjemahan Arab Indonesia (Teori dan Praktek), h 72 16 Moch. Syarif Hidayatullah, Diktat Teori dan Permasalahan Penerjemahan, h. 4
15
19
6. Penerjemahan Bebas Penerjemah memproduksi masalah yang dikemukakan oleh bahasa sumber tanpa menggunakan cara tertentu. Isi bahasa sumber ditampilkan dalam bentuk bahasa si penerima yang benar-benar berbeda. Metode ini bersifat parafrasik, yaitu mengungkapkan amanat yang terkandung di dalaظm bahasa sumber dengan ungkapan penerjemah sendiri di dalam bahasa penerima sehingga terjemahan menjadi lebih panjang dari pada aslinya. 17 Contoh:
ﰱ ﺍﻥ ﺍﳌﺎﻝ ﺃﺻﻞ ﻋﻈﻴﻢ ﻣﻦ ﺃﺻﻞ ﺍﻟﻔﺴﺎﺩ ﳊﻴﺎﺓ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺃﲨﻌﲔ Terjemahannya: Harta sumber malapetaka.18 7. Penerjemahan Idiomatik Metode ini bertujuan untuk mereproduksi pesan dalam teks Bsu, tetapi sering dengan menggunakan kesan keakraban dan ungkapan idiomatik yang tidak didapati pada versi aslinya. Dengan demikian banyak terjadi diatorsi nuansa makna.19 Contoh:
ﻭﻣﺎ ﺍﻟﻠﺬﺓ ﺇﻻ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺘﻌﺐ Terjemahannya: berakit-rakit ke hulu, berenang ke tepian.20
17
Syihabuddin, Penerjemahan Arab Indonesia (Teori dan Praktek), (Bandung: Humaniora, 2005), h 72 18 Moch. Syarif Hidayatullah, Diktat Teori dan Permasalahan Penerjemahan, h. 4 19 Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemahan, h. 54 20 Moch. Syarif Hidayatullah, Diktat Teori dan Permasalahan Penerjemahan, h 5
20
8. Penerjemahan komunikatif Metode ini mengupayakan reproduksi makna kontekstual yang demikian rupa, sehingga baik aspek kebahasaan maupun aspek isi langsung dapat dimengerti oleh pembaca. Oleh karena itu, versi Tsa-nya pun langsung berterima. Sesuai dengan namanya, metode ini memperhatikan prinsip-prinsip komunikasi, yaitu khalayak pembaca dan tujuan terjemahan. Melalui metode ini, sebuah versi Tsu dapat diterjemahkan menjadi beberapa versi Tsa sesuai dengan prinsip-prinsip di atas.21 Contoh:
ﻧﺘﻄﻮﺭ ﻣﻦ ﻧﻄﻔﺔ ﰒ ﻣﻦ ﻋﻠﻘﺔ ﰒ ﻣﻦ ﻣﻀﻐﺔ Terjemahannya: kita tumbuh dari mani, lalu segumpal darah, dan kemudian segumpal daging. 22 B. Kalimat 1. Definisi Kalimat Kalimat mengandung satu kesatuan pikiran yang lengkap. Kalau diucapkan, kalimat selalu diawali dan diakhiri dengan kesenyapan. Di situ situasi atau lagu kalimat menentukan arah atau maksud kalimat. Bila ditulis kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan titik, tanda tanya, atau tanda seru. Kadang-kadang kalimat disertai tanda petik atau tanda elipsis. 23 Kalimat, lebih-lebih dalam bahasa
21
Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemahan, h 55 Moch. Syarif Hidayatullah, Diktat Teori dan Permasalahan Penerjemahan, h 5 23 Sudarrno, A. Rahman Eman, Kemampuan Berbahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: PT. Hikmat Syahid Indah, 1986), h 52, cet 1 22
21
tertulis, mengandung bagian yang tidak boleh ditinggalkan. Kalau ditinggalkan, pendengar atau pembaca menjadi kurang paham akan maksud kalimat tersebut. Contoh kalimat: (1) Hamid sudah mengenal orang itu. Kalimat di atas sudah lengkap dan merupakan satu kesatuan pikiran. Orang tidak akan bertanya-tanya lagi karena sudah memahami pesan yang dikandungnya. Sebaliknya, meskipun deretan kata itu lebih panjang, belum tentu ia merupakan kalimat. Untuhnya kalimat bukan ditentukan oleh banyaknya kata yang dikandungnya, melainkan oleh lengkapnya bagianbagian. Sebagai contoh kalimat di atas itu kita tambah dengan satu kata lagi sehingga menjadi: (2) Bahwa Hamid sudah mengenal orang itu. Deretan kata nomor (2) itu bukanlah kalimat. Adanya kata bahwa di situ justru mengubah kalimat yang sudah sempurna menjadi sekedar bagian kalimat yang lebih luas, misalnya: (3) Bahwa Hamid sudah mengenal orang itu saya sudah tahu. Bagian kalimat yang tidak boleh ditinggalkan itu ialah subjek dan predikat atau pokok dan sebutan. Subjek adalah bagian yang diberitakan atau yang diterangkan (D) dan predikat ialah bagian yang memberitakan atau yang menerangkan (M). Subjek dan predikat itu masing-masing hanya berupa satu kata, misalnya: Hamid lulus. Dalam kalimat ini Hamid merupakan bagian yang diberitakan. Sedangkan lulus merupakan bagian yang menjadi memberitakan. Jadi, Hamid adalah
22
subjek dan lulus adalah predikat. Mungkin juga subjek dan predikat itu masingmasing terdiri dari beberapa kata, misalnya: Hamid, anak rajin, itu sudah lulus dengan baik. Dapat juga kata yang menduduki tempat subjek dan predikat itu jumlahnya lebih banyak lagi sehingga kalimatnya menjadi amat panjang, misalnya: Hamid, anak yang rajin, cerdas dan baik budi itu, sudah lulus ujian SMA dengan nilai yang sangat baik. Dari contoh-contoh di atas dapat kita ketahui bahwa kalimat, baik yang pendek merupakan bagian yang harus ada dalam kalimat. 2. Pembagian Kalimat Kalimat dapat dibagi menurut (a)
bentuk, dan (b) maknanya (nilai
komunikatifnya). Menurut bentuknya kalimat dibagi menjadi: kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Berdasarkan predikatnya, kalimat tunggal dapat dibagi lagi menjadi kalimat yang berpredikat (1) nomina atau frasa nominal, (2) adjektiva atau frasa ajektival, (3) verba atau frasa verbal, dan (4) kata-kata lain seperti sepuluh, hujan, dan sebagainya. Kalimat menjemuk juga dapat dibagi lagi menjadi kelompok yang lebih kecil, yakni kalimat majemuk setara dan kalimat bertingkat.24 Dari segi maknanya (nilai komunikatifnya) kalimat terbagi menjadi kalimat (1) berita, (2) perintah, (3) Tanya, (4) seru, (5) amfatik.
24
Anton M. Muliona, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), h 267
23
a) Kalimat Menurut Bentuk 1) Kalimat Tunggal Kalimat tunggal adalah kalimat yang terdiri atas satu klausa. Hal itu berarti bahwa konstituen untuk tiap unsur kalimat seperti subjek dan predikat hanyalah satu atau merupakan satu kesatuan. Di samping itu, tidak mustahil ada pula unsur bukaninti serperti keterangan tempat, waktu, dan alat. Dengan demikian, maka kalimat tunggal tidak selalu dalam wujud yang pendek. 25 Contoh:
Dia akan pergi.
Kami mahasiswa Atma Jaya
Berdasarkan predikatnya kalimat tunggal dibagi menjadi: a. Kalimat Berpredikat Nomina Dalam bahasa Indonesia ada macam kalimat yang predikatnya terdiri atas nomina. Dengan demikian, maka dua nomina yang dijejerkan dapat membentuk kalimat asalkan syarat untuk subjek dan predikatnya terpenuhi. Syarat untuk kedua unsur tersebut penting karena jika tidak terpenuhi, maka jejeran nomina tadi tidak akan membentuk kalimat. Perhatikan contoh berikut: 1. Buku cetakan Bandung itu 2. Buku itu cetakan Bandung. Urutan kata seperti terlihat pada nomor (1) membentuk satu frasa dan bukan kalimat karena tidak terdapat pemisahan yang wajar antara bagiannya dapat ditafsirkan sebagai dua frasa nominal. Sebaliknya, pada (2) membentuk kalimat karena penanda batas frasa itu memisahkan kalimat menjadi dua frasa nominal. 25
Ibid. h.268
24
b. Kalimat Berpredikat Adjektiva Predikat dalam bahasa Indonesia dapat berupa adjektiva atau frase adjektiva, seperti contoh berikut: 1. Adiknya sakit. 2. Perkataan itu benar. Pada contoh di atas, subjek kalimat itu masing-masing adalah adiknya, perkataan orang itu, dan alasan para pengunjuk rasa, sedangkan predikatnya adalah sakit, benar. Kalimat yang berpredikatnya adjektiva sering juga dinamakan kalimat statif. kalimat statif kadang-kadang memanfaatkan verba adalah untuk memisahkan subjek dari predikatnya. Hal itu dilakukan bila subjek, predikat, atau keduaduanya panjang. Perhatikan contoh berikut!
Pernyataan ketua gabungan koperasi itu adalah tidak benar.
Kadang-kadang, predikat dalam kalimat statif diikuti oleh kata atau frase lain. Contoh:
Adik saya sakit perut.
Warna bajunya biru laut.
Pada contoh tersebut, dapat kita lihat sesudah predikat sakit, dan biru terdapat kata atau frase tambahan, yakni perut, dan laut. Kata atau frase yang berdiri sesudah predikat pada kalimat statif dinamakan pelengkap. Jadi, kata seperti laut adalah pelengkap terhadap masing-masing predikat. Seperti yang dapat dari
25
contoh tersebut, pelengkap dapat berupa kata atau frase, dan kategorinya pun dapat berupa frase nominal, verbal, dan preposisional. c. Kalimat Berpredikat Verba Berdasarkan penggolongan verba itu, kalimat yang berpredikat verba bukan pasif dapat dibagi menjadi empat macam: (1) kalimat taktransitif, (2) kalimat ekatransitif, (3) kalimat dwitransitif. Di samping itu terdapat kalimat dengan verba pasif. Verba ada mempunyai ciri khusus, yaitu terdapat menghasilkan kalimat yang urutan fungsinya terbalik. 1) Kalimat Taktransitif Yaitu kalimat yang tak berobjek dan tak berpelengkap yang hanya memiliki dua unsur fungsi inti, yakni subjek dan predikat.seperti halnya dengan kalimat tunggal lain, kalimat tunggal yang tak berobjek dan tak berpelengkap juga dapat diiringi oleh unsur bukan inti seperti keterangan tempat, waktu, cara, dan alat. Berikut adalah contoh kalimat verba yang tak berobjek dan tak berpelengkap dengan unsur diletakkan dalam tanda kurung.
Bu Camat sedang berbelanja.
Pak Halim belum datang.
Mereka mendarat (di tanah yang datar).
Dia berjalan (dengan tongkat).
Kami (biasanya) berenang (hari minggu pagi).
Padinya menguning.
26
Dari contoh di atas tampak pula bahwa verba yang berfungsi sebagai predikat dalam tipe kalimat ini ada yang berprefiks ber- dan ada pula yang berprefiks meng-. Dari segi semantisnya, verba di atas ada yang bermakna dasar proses (seperti menguning) dan banyak pula yang bermakna dasar perbuatan (seperti belanja, datang, dan mendarat). 2) Kalimat Ekatransitif Yaitu kalimat yang berobjek dan tidak berpelengkap mempunyai tiga unsur yakni subjek, predikat, dan objek. Dari segi semantis, semua verba ekatransitif memiliki makna dasar perbuatan. Contoh:
Pemerintah akan memasok semua kebutuhan lebaran.
Presiden merestui pembentukkan Panitia Pelaksana.
Predikat verba pada kalimat di atas masing-masing adalah akan, memasok, dan merestui, di sebelah kiri tiap-tiap verba itu berdiri subjeknya, dan di sebelah kanan objeknya. 3) Kalimat Dwitransitif Seperti kita ketahui, bahwa ada verba transitif dalam bahasa Indonesia yang secara semantis mengungkapkan hubungan tiga maujud. Dalam bentuk aktif, maujud itu masing-masing merupakan subjek, predikat, objek, dan pelengkap. Verba itu dinamakan verba dwitansitif.26 Contoh:
26
Bagus mencari pekerjaan.
Bagus sedang mencarikan pekerjaan.
Ida Bagus Putrayasa, Analisis Kalimat (Fungsi, Kategori, dan Peran), (Bandung: PT. Refika Aditama, 2007), h. 30
27
Dalam kalimat (a), kita ketahui bahwa yang memerlukan pekerjaan adalah Bagus. Dengan ditambahkan sufiks –kan pada verba dalam kalimat (b), kita rasakan adanya perbedaan makna, yaitu yang memerlukan perbuatan “mencari” memang Bagus, tetapi pekerjaan itu bukan untuk dia sendiri meskipun tidak disebut orangnya. Objek dalam kalimat aktif berdiri langsung di belakang verba, tanpa preposisi, dan dapat dijadikan subjek dalam kalimat pasif. Sebaliknya, pelengkap dalam kalimat dwitransitif itu berdiri di belakang objek jika objek itu ada. 4) Kalimat Pasif Pengertian aktif dan pasif dalam kalimat menyangkut beberapa hal, yaitu (1) verba yang menjadi predikat, (2) subjek dan objek, serta (3) bentuk verba yang dipakai. 27 Kalimat aktif adalah kalimat yang subjeknya berperan sebagai pelaku/aktor, sedangkan kalimat pasif adalah kalimat yang subjeknya berperan sebagai penderita. Contoh kalimat aktif:
Bapak mengangkat meja
Ibu membuka pintu
Verba yang terdapat dalam kalimat yang di atas adalah verba transitif yang mempunyai tiga unsur di dalamnya, yakni subjek predikat dan objek. Contoh kalimat pasif:
27
Meja diangkat oleh bapak.
Ibid. h 33
28
5) Verba Ada dan Urutan Fungsi yang Berbeda Urutan fungsi dalam bahasa Indonesia boleh dikatakan mengikuti (a) subjek, (b) predikat, (c) objek (jika ada), dan (d) pelengkap (jika ada). Akan tetapi, ada satu pola kalimat dalam bahasa kita yang predikatnya mendahului subjek. Contoh:
Ada tamu, pak.
Ada kabar bahwa ia telah meninggal
Dari contoh di atas kita lihat bahwa verba ada terletak di muka nomina. Dengan kata lain, urutan fungsinya adalah (a) predikat dahulu, baru (b) subjek mengikutinya. Tentu saja dua unsur inti itu dapat pula diikuti oleh unsur lain seperti terlihat pada dua contoh terakhir di atas. d. Kalimat Yang Predikatnya Frasa Lain Di samping macam-macam kalimat yang predikatnya dibentuk dengan frasa nominal, adjektival, dan verbal seperti telah digambarkan pada bagian-bagian sebelumnya, ada pula kalimat dalam bahasa Indonesia yang predikatnya menyimpang dari pola yang dibicarakan di atas. Contoh:
Anaknya banyak.
Mulainya pukul Sembilan.
Hujan lagi.
Panas, ya, di Jakarta. Kalimat seperti contoh di atas mempunyai predikat yang beraneka ragam:
ada yang berupa kata bilangan seperti banyak, sedikit, lima, dan lebih. Ada yang
29
berupa frasa nominal dengan makna waktu seperti pukul sembilan, tahun ini, dan besok sore. Ciri khas tipe ini ialah bahwa kalimatnya bukan kalimat ekuatif seperti halnya kalimat lain yang berpredikat nominal. Ada yang berupa kata khusus yang mengacu ke cuaca seperti hujan dan panas. Walaupun itu termasuk kategori nomina dan adjektiva, kalimatnya mempunyai ciri khas, yaitu kenyataan bahwa denagn kata itu sebagai predikat, kalimat itu secara semantis lengkap; artinya tidak ada subjek. 2) Kalimat Majemuk Kalimat majemuk adalah kalimat yang terdiri atas dua klausa atau lebih (Verhaar, 1996:275). Kridalaksana (1985:164), Tarigan (1986:14) mengatakan bahwa kalimat majemuk adalah kalimat yang terdiri dari beberapa klausa bebas. 28 Kalimat majemuk dapat dibedakan atas tiga bagian besar, yaitu kalimat majemuk setara (KMS), (b) kalimat majemuk rapatan (KMR), (c) kalimat majemuk bertingkat (KMB). a. Kalimat Majemuk Setara (KMS) Adalah gabungan dari beberapa kalimat tunggal yang unsur-unsurnya tidak ada yang dihilangkan. Dapat juga dikatakan, bahwa antara unsur-unsur kalimat tunggal yang digabungkan kedudukannya setara. Secara garis besar, KMS bisa dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1. KMS Sejalan. Adalah kalimat-kalimat yang digabungkan itu tidak berlawanan atau pengertiannya sejalan. Contoh: 28
Ida Bagus Putrayasa, Analisis Kalimat (Fungsi, Kategori, dan Peran), h. 55
30
K1
: matahari terbit di ufuk timur.
K2
: margasatwa mulai mencari mangsanya.
K3
: Petani-petani berangkat ke ladang
KMS: Matahari terbit di ufuk timur, margasatwa mulai mencari mangsanya, dan petani-petani bernagkat ke ladang. KMS sejalan dapat dirinci lagi menjadi tiga bagian: a. KMS Sejalan Biasa Contoh: awan menghitam di langit, angin sama sekali tak terasa, dan burung-burung pulang ke sarangnya. b. KMS Sejalan Mengatur Contohnya: mula-mula pencuri itu ditangkap, setelah itu di tangannya diikst,
kemudian
kepalanya
digunduli,
dan
akhirnya
rakyat
menyerahkannya kepada polisi. c. KMS Sejalan Menguatkan Contohnya: makin kudekati rumah tua itu, makin berdebar hatiku. 2. KMS Berlawanan KMS Berlawanan dapat dibagi menajdi tiga macam yaitu: a. KMS Berlawanan Biasa Contohya: Pamannya pendiam sekali, tetapi bibirnya cerewat luar biasa. b. KMS Berlawanan Mengganti
31
Contohnya: kau mau menerima lamarannya atau kau akan mejadi perawan tua. c. KMS Berlawanan Mewatasi Contohnya: ciri khas manusia bukanlah kebijaksanaan, melainkan kemauan manusia untuk hidup. 3. KMS Penunjukkan KMS Penunjukkan memiliki pengertian bermacam-macam, di antaranya: a. KMS Penunjukkan sebab-akibat Contohnya: dia sedang sakit, karena itu dia tidak ikut bertanding. b. KMS Penunjukkan Perlawanan Contohnya: dia sudah kerja keras, namun demikian dia tetap miskin. c. KMS Penunjukkan Waktu Contohnya: petugas pemeriksa bangunan sudah tiba, semantara itu para pekerja tetap berada di posnya. d. KMS Penunjukkan Tempat Contohnya: sayuran banyak ditanam di kintamani, ke tempat itu banyak pupuk dikirim. e. KMS Penunjukkan Syarat Contohnya: istrinya akan segera melahirkan, kalaun begitu bidan harus segera dipanggil.
32
b. Kalimat Majemuk Rapatan Adalah kalimat majemuk yang terjadi dari penggabungan beberapa kalimat tunggal yang unsur-unsurnya sama dirapatkan atau dituliskan sekali saja. 29 Kalimat majemuk rapatan terdiri dari atas empat macam, di antaranya: 1. KMR sama S, artinya subjek-subjek dirapatkan. Contoh: Benteng itu ditembaki, dibom bertubi-tubi, dan diratakan dengan tanah. S
P1
P2
P3
KMR sama S merupakan struktur yang baik sekali untuk menyusun gaya bahasa klimaks atau ahli klimaks. Contoh gaya bahasa klimaks: Pekik
merdeka
menggema,
menggemuruh,
mengguntur,
dan
menggledek memecahkan angkasa ibu pertiwi. Contoh gaya bahasa anti klimaks: Jangankan mencuri atau menyembunyikannya, melihatpun dia tidak 2. KMR sama P, artinya predikat-predikat dirapatkan. Contoh: Sawahnya, pekarangannya, dan rumahnya digadaikan. S1
S2
S3
P
3. KMR sama O, artinya objek-objek dirapatkan. Objek dibedakan atas empat bagian, yaitu:
29
Ida Bagus Putrayasa, Analisis Kalimat (Fungsi, Kategori, dan Peran), (Bandung: PT. Refika Aditama, 2007), h. 57
33
(a) Objek Penderita (Open) Contoh: Ayah menulis dan ibu mengirimkan surat itu. S1
P1
S2
P2
Open
(b) Objek Pelaku (Opel) Contoh: baju itu dijahit dan celana itu dicuci oleh ayah. S1
P1
S2
P2
Opel
(c) Objek Berkepentingan (Okep) Contoh: Ayahmu bekerja keras dan ibumu membanting tulang untukmu. S1
P1
S2
P2
Open
Okep
(d) Objek Berkata Depan (Odep) Contoh: Ayahnya ingat dan ibunya rindu akan anaknya. S1
P1
S2
P2
Odep
c. Kalimat Majemuk Bertingkat Kalau sebuah unsur dari kalimat sumber (kalimat tunggal) dibentuk mejadi sebuah kalimat bentukkan ini digabungkan dengan sisa kalimat sumbernya, maka akan terbentuklah kalimat mejemuk bertingkat. Dengan ketentuan: 1. Sisa kalimat sumber disebut induk kalimat 2. Kalimat bentukkan disebut anak kalimat 3. Anak kalimat diberi nama sesuai dengan nama unsur kalimat sumber yang digantinya. Contoh: Kedatangannya disambut oleh rakyat kemarin. Kalau kalimat tunggal di atas kita uraikan menurut jabatannya, akan terjadi:
34
-
kedatangannya = subjek
-
disambut
= predikat
-
oleh rakyat
= objek pelaku
-
kemarin
= keterangan waktu
Ternyata kalimat tunggal di atas terdiri atas empat unsur. Tiap-tiap unsur yang ada itu dapat diganti dengan sebuah kalimat. Perhatikan contoh berikut! Ketika matahari mulai condong ke barat. Kalau kalimat bentukkan di atas digabungkan dengan sisa kalimat sumbernya, maka akan terbentuklah kalimat gabungan yang bunyinya: Kedatangannya disambut oleh rakyat ketika matahari mulai condong ke barat. Analisis KMB di atas: Induk Kalimat (IK)
: Kedatangannya disambut oleh rakyat.
Anak Kalimat (Aka) : Ketika matahari mulai condong ke barat. b) Kalimat Menurut Maknanya Jika kita tinjau dari segi maknanya (nilai komunikatifnya), maka kalimat terbentuk menjadi lima kelompok, yakni (1) kalimat berita, (2) kalimat perintah, (3) kalimat Tanya, (4) kalimat seru, (5) kalimat emfatik. 1. Kalimat Berita (deklaratif) Yakni kalimat berita itu berisikan memberitakan sesuatu kepada pembaca atau pendengar. Contoh: -
Tadi pagi ada tabrakan mobil di dekat Monas.
2. Kalimat Perintah (imperatif)
35
Yaitu kalimat yang berisikan perintah, dan perlu diberi reaksi tanpa tindakan. Dalam bentuk tulis, kalimat perintah seringkali diakhiri dengan tanda seru (!) meskipun tanda titik biasa pula dipakai. -
Konsep perjanjian itu diketik serapi-rapinya, ya!
-
Perbaikilah sepeda minimu itu.
3. Kalimat Tanya Adalah kalimat yang berisi pertanyaan, yang perlu jawaban. Contoh: Apa dia istri Pak Bambang? 4. Kalimat Seruan (interjektif) Yaitu kalimat yang menyatakan ungkapan perasaan kagum. Contoh: Alangkah bebasnya pergaulan mereka 5. Kalimat Emfatik Adalah kalimat yang memberikan penegasan khusus pada subjek. Penegasan itu dilakukan dengan (1) menambahkan partikel lah pada subjek, (2) menambahkan kata sambung yang dibelakang subjek.30 Contoh: -
Dia memulai pertengkaran itu. Dialah yang memulai pertengkaran itu.
C. Kalimat Efektif Kalimat efektif adalah kalimat yang secara cepat dapat mewakili ide pembicara/penulis dan sanggup menimbulkan ide yang sama tepatnya dengan pikiran pendengar/pembaca. Sebuah kalimat efektif, akan mampu mewakili ide yang ada dalam benak pembicara/penulis dan pendengar/pembaca, tanpa 30
Anton M. Muliona, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, h. 293
36
menimbulkan salah paham. 31 Dengan kata lain Kalimat efektif merupakan kalimat yang baik karena apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh pembicara (si penulis dalam bahasa tulis) dapat diterima dan dipahami oleh pendengar (pembaca dalam bahasa tulis) sama benar dengan apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh si penutur atau si penulis. Setiap gagasan, pikiran, atau konsep yang dimiliki seorang pada praktiknya akan dituangkan ke dalam bnetuk kalimat. Kalimat yang benar (dan juga baik) haruslah memenuhi persyaratan gramatikal. Artinya, kalimat itu harus disusun berdasarkan kaidah-kaidah yang berlaku, seperti unsur-unsur yang harus dimiliki oleh setiap kalimat (subjek dan predikat); memperhatikan ejaan yang disempurnakan; serta memilih kata (diksi) yang tepat dalam kalimat. Kalimat yang memenuhi kaidah-kaidah tersebut jelas akan mudah dipahami oleh pembaca atau pendengar. Kalimat yang demikian juga disebut kalimat efektif. Kalimat efektif mampu membuat proses penyampaian dan penerimaan berlangsung dengan sempurna. Kalimat efektif mampu membuat isi atau maksud yang disampaikan pembicara tergambar lengkap dalam pikiran si penerima (pembaca/pendengar), persis apa yang disampaikannya. Hal tersebut terjadi jika kata-kata yang mendukung kalimat itu sanggup mengungkapkan kandungan gagasan. Dengan kata lain, hampir setiap kata secara tepat mewakili pikiran dan keinginan penulis. Hal ini berarti, bahwa kalimat efektif haruslah secara sadar disusun oleh penulis/penuturnya untuk mencapai informasi yang maksimal. Jadi,
31
Fitriyah Mahmudah, Ramlan Abdl Ghani, pembinaan Bahasa Indonesia, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), Cet. 1, h. 106
37
kalimat efektif adalah kalimat yang dapat mengungkapkan gagasan, pikiran, dan perasaan dengan tepat ditinjau dari segi diksi, struktur dan logikanya. Dengan kata lain, kalimat efektif selalu berterima secara tata bahasa dan makna. 32 Sebuah kalimat dikatakan efektif apabila mencapai sasarannya dengan baik sebagai alat komunikasi. Perhatikan contoh berikut ini! Mereka mengambil botol bir dari dapur yang menurut pemeriksaan laboratorium berisi cairan racun. Apakah yang berisi cairan racun itu? Jika jawabannya “dapur” kalimat ini sudah baik. Jika jawabannya “botol bir”, letak keterangannya perlu diubah menjadi: Dari (dalam) dapur mereka mengambil botol air yang menurut pemeriksaan laboratorium berisi cairan racun. D. Ciri-ciri Kalimat Efektif Ada beberapa syarat kalimat efektif. Untuk itu, sabarti Akhdiah menyatakan bahwa secara umum kalimat harus disusun berdasarkan kaidah sebagai berikut: 1. Unsur-unsur yang ada dalam sebuah kalimat 2. Aturan ejaan yang berlaku 3. Cara-cara memilih kata (diksi) Seperti dinyatakan di atas, sebuah kalimat minimal terdiri dari satu objek dan satu predikat. Inilah unsur yang terpenting dari sebuah kalimat. Di samping
32
Ida Bagus Putrayasa, Kalimat Efektif (Diksi, Struktur, dan Logika), h. 2
38
itu, ada lagi unsur lain yang sesuai dengan kebutuhan dan tidak harus ada yaitu keterangan. Dalam ragam resmi baik lisan maupun tulis, deretan kata yang memenuhi kriteria sebuah kalimat minimal harus memiliki unsur subjek dan predikat (S-P). Jika kurang dari itu, deretan kata tersebut bukanlah kalimat, namun hanya frase dan klausa. Jika ditulis, syarat kalimat efektif yang terpenting adalah penggunaan Pedoman Ejaan yang Disempurnakan. Lebih jelasnya, pembaca bisa mempelajari pada pembahasan tentang ejaan. Dalam kalimat efektif itu mempunyai empat sifat/ciri, yaitu: 1. kesatuan (unity) 2. kehematan (economy) 3. penekanan (emphasis) 4. kevariasian (variety) 1. Kesatuan (Unity) Betapa pun bentuk sebuah kalimat, baik kalimat inti maupun kalimat luas, agar tetap berkedudukan sebagai kalimat efektif, haruslah mengungkapkan sebuah ide pokok atau satu kesatuan pikiran. Dalam laju kalimat tidak boleh diadakan perubahan dari satu kesatuan gagasan kepada kesatuan gagasan lain yang tidak ada hubungan, atau menggabungkan dua kesatuan yang tidak mempunyai hubungan sama sekali. Bila dua kesatuan yang tidak mempunyai hubungan disatukan, maka akan rusak kesatuan pikiran itu.
39
Kesatuan tersebut bisa dibentuk jika ada keselarasan antara subjekpredikat, predikat-objek, dan predikat-keterangan. Dalam penulisan tampak kalimat-kalimat yang panjang tidak mempunyai S dan P. Ada pula kalimat yang secara gramatikal mempunyai subjek yang diantarkan oleh partikel. Hal seperti ini hendaknya dihindarkan oleh pemakai kalimat agar kesatuan dan gagasan yang hendak disampaikan dapat ditangkap oleh pembaca atau pendengar. Contoh: a. Dosen sedang menyampaikan perkuliahan bahasa Arab b. Bagi dosen sedang menyampaikan perkuliahan bahasa Arab Kalimat a sepadan dan jelas kesatuan gagasannya karena utuh dan lengkap. Namun, kalimat b tidak sepadan dam tidak jelas kesatuan gagasannya karena tidak lengkap karena kalimat ini tidak memiliki subjek (S). Jadi, kesatuan kalimat dianggap utuh jika unsurnya lengkap. Kesatuan gagasan janganlah pula diartikan bahwa hanya terdapat suatu ide tunggal. Bisa terjadi bahwa kesatuan gagasan itu terbentuk dari dua gagasan pokok atau lebih. Secara praktis sebuah kesatuan gagasan diwakili oleh subjek, predikat ± obyek. Kesatuan yang diwakili oleh subyek, predikat, dan ± obyek itu dapat berbentuk kesatuan tunggal, kesatuan gabungan, kesatuan pilihan, dan kesatuan yang mengandung pertentangan. 33 Contoh-contoh berikut dapat menjelaskan kesatuan gagasan tersebut, baik kesatuan yang terpadu dan kesatuan yang tidak terpadu.
33
Gorys Keraf, Komposisi, (NTT: Nusa Indah, 1994), hal 36
40
a. Yang jelas kesatuan gagasannya Kita bisa merasakan dalam kehidupan sehari-hari, betapa emosi itu seringkali merupakan tenaga pendorong yang amat kuat dalam tindak kehidupan kita (Kesatuan Tunggal). Semua desa itu mendapat penejelasan mengenai Rencana Pembangunan Lima Tahun (Kesatuan Tunggal). Dia telah meninggalkan rumahnya jam enam pagi, dan telah bernagkat dengan pesawat satu jam yang lalu. (Kesatuan Gabungan). Ayah bekerja diperusahaan pengangkutan itu, tetapi ia tidak senang dengan pekerjaan itu (Kesatuan yang mengandung pertentangan). Kamu boleh menyusul saya ke tempat itu, atau tinggal saja di sini (Kesatuan Pilihan). b. Yang tidak jelas kesatuan gagasannya Kesatuan gagasan biasanya menjadi kabur karena kedudukan subjek atau predikat tidak jelas, terutama karena salah menggunakan kata-kata depan. Kesalahan lain terjadi karena kalimatnya terlalu panjang sehingga penulis atau pembicara sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya yang mau dikatakan. Contoh:
Menanggapi tulisan saudara pada harian Kompas hari kamis 27 maret 1975 pada halaman IV kolom redaksi Yth. Mengenai TVRI Palembang yang isinya mengungkapkan perasaan tidak puas, mual, dan jengkel terhadap acara-acara produksi TVRI Palembang, dengan
41
tulisannya antara lain dalam menampilkan acara TVRI Palembang tidak terlebih dahulu menganalisa acara-acara yang diproduksinya sendirinya itu, asal jadi saja. 2. Kehematan (economy) Kehematan adalah penggunaan kata atau frase yang tidak perlu dan adanya hubungan jumlah kata yang digunakan dengan luasnya jangkauan makna yang diacu. Sebuah kalimat dikatakan hemat bukan karena jumlah katanya sedikit, sebaliknya dikatakan tidak hemat karena jumlah katanya terlalu banyak. Yang utama adalah seberapa banyakkah kata yang bermanfaat bagi pembaca dan pendengar. Oleh karena itu, kata-kata yang tidak perlu bisa dihilangkan. 34 Untuk itu, hal-hal yang perlu dihindarkan dalam kalimat adalah sebagai berikut.35 a) Subjek ganda, misalnya:
Karena mahasiswa itu malas mengikuti acara perkuliahan, mahasiswa itu ketinggalan pelajaran. Seharusnya: Karena malas mengikuti acara perkuliahan, mahasiswa itu ketinggalan pelajaran.
Pemuda itu segera mengubah rencananya setelah dia bertemu dengan pemimpin perusahaan itu. Seharusnya:
34 35
Ida Bagus Putrayasa, Kalimat Efektif (Diksi, Struktur, dan Logika), h. 55 Fitriyah Mahmudah, Ramlan Abdul Ghani, pembinaan Bahasa Indonesia, h. 113
42
Pemuda itu segera mengubah rencana setelah bertemu dengan pemimpin perusahaan itu.
b) Penjamakkan yang sudah jamak, misalnya:
Banyak para jamaah yang menjadi korban ketika terjadinya musibah di Jamarat Mina. Lebih hemat: banyak jamaah yang menjadi korban ketika terjadinya musibah di Jamarat Mina.
Bapak-bapak, ibu-ibu, para hadirin sekalian yang kami hormati Lebih hemat: para hadirin yang kami muliakan
c) Penggunaan bentuk panjang yang salah, misalnya:
Dosen itu memberikan teguran kepada mahasiswa yang sering tidak masuk kuliah
Lebih hemat:
Dosen itu menegur mahasiswa yang sering tidak masuk kuliah
d) Penggunaan saling+verba resiprokal, misalnya:
Menjelang berpisah, kedua orang itu saling bersalaman dan saling bermaafan.
Lebih hemat:
Menjelang berpisah, kedua orang itu saling menyalami dan saling memaafkan..
43
Kata kerja resiprokal ialah kata kerja yang dengan sendirinya sudah menunjukkan berbalas-balasan (dilakukan dua piha atau lebih), misalnya: berperang, berselisih, berhadapan, bertemu, dan sebagainya. e) Pemakaian subordinatif pada hiponim kata, misalnya:
Baju berwarna merah yang saya pakai kemarin adalah hadiah dari almarhum pamanku.
Lebih hemat:
Baju merah yang saya pakai kemarin adalah hadiah dari almarhum pamanku.
f) Penggunaan sinonim dalam satu kalimat, misalnya:
Jangankan manusia, kucing saja sangat sayang sekali kepada anaknya.
Lebih hemat:
Jangankan manusia, kucing saja sangat sayang kepada anaknya. Penggunaan sinonim yang harus dihindarkan juga adalah kata hubung
(konjungsi) yang digunakan dua macam dalam satu kalimat, misalnya: ... agar supaya….. …. Adalah merupakan ……….. Jika…….., maka …………….. Meskipun……., tetapi …………. Walaupun ……… tetapi ……….... Agar/supaya ……….., maka ……….. Meskipun ………., namun ……….
44
3. Penekanan (Emphasis) Yang dimaksud dengan penegasan atau penekanan adalah suatu perlakuan penonjolan pada ide pokok kalimat. Kalimat itu memberi penekanan atau penegasan pada penonjolan itu.36 Ada beberapa cara untuk membentuk penekanan dalam kalimat. a. Meletakkan kata yang ditonjolkan itu di depan kalimat (di awal kalimat). Contoh: Presiden mengharapkan agar rakyat membangun bangsa dan negara ini dengan kemampuan yang ada. Penekanannya ialah presiden mengharapkan. b. Membuat urutan kata yang bertahap. Contoh: Bukan seribu, sejuta, atau seratus, tetapi berjuta-juta rupiah, telah disumbangkan kepada anak-anak terlantar. Seharusnya: Bukan seratus, seribu, atau sejuta, tetapi berjuta-juta rupiah, telah disumbangkan kepada anak-anak terlantar. c. Melakukan pengulangan kata (repetisi). Contoh: Saya suka kecantikan mereka, saya suka akan kelembutan mereka. d. Melakukakan pertentangan terhadap ide yang ditonjolkan.
36
Zaenal Arifin, S. Amran Tasai, Cermat Berbahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Akademika Presindo, 2004) h. 92-93
45
Contoh: Anak itu tidak malas dan curang, tetapi rajin dan jujur. e. Mempergunakan partikel penekanan (penegasan) Contoh: Saudaralah yang bertanggung jawab. 4. Variasi (variety) Variasi (variety) merupakan suatu upaya yang bertolak belakang dengan repetisi. Repetisi atau pengulangan sebuah kata untuk memperoleh efek penekanan, lebih banyak menekankan kesamaan bentuk. Pemakaian bentuk yang sama secara berlebihan akan menghambarkan selera pendengar atau pembaca. Sebab itu ada upaya lain yang bekerja berlawanan dengan repetisi yaitu variasi. Variasi tidak lain daripada menganeka-ragamkan bentuk-bentuk bahasa agar tetap terpelihara minat dan perhatian orang. 37 Variasi dalam kalimat dapat diperoleh dengan beberapa macam cara, yaitu: a. Variasi sinonim kata Variasi berupa sinonim kata, atau penjelasan-penjelasan yang berbentuk kelompok kata pada hakekatnya tidak merubah isi dari amanat yang akan disampaikan. Contoh:
Dari renungan itulah penyair menemukan suatu makna, suatu realitas yang baru, suatu kebenaran yang menjadi ide sentral yang menjiwai puisi.
37
Gorys Keraf, Komposisi, (NTT: Nusa Indah, 1994), h. 44
46
Pengertian makna, realitas yang baru, dan kebenaran merupakan hal yang sama diperoleh penyair dalam renungan itu. Demikian pula puspa dan wangi sebenarnya menyatakan hal yang sama. b. Variasi panjang pendeknya kalimat Variasi dalam panjang pendeknya struktur kalimat akan mencerminkan dengan jelas pikiran pengarang, serta pilihan yang tepat dari struktur panjangnya sebuah kalimat dapat memberi tekanan pada bagian-bagian yang diinginkan. Bila kita menghadapi kalimat atau rangkaian kalimat panjang yang identik strukturnya, maka itu merupakan pertanda bahwa kalimat tersebut kurang baik digarap, serta pkiran pengarang sendiri tidak jelas. Perhatikan variasi panjang pendek kalimat dalam contoh berikut: Saudara J.U Nasution memberikan alasan untuk menolak sajak tersebut dengan mengutarakan bahwa puisi itu tidak mengikuti logika puisi, pada malam lebaran tidak ada bulan. Sebenarnya tak perlu kita bawa logika puisi untuk menolak puisi tersebut. Penciptaan puisi memang bukanlah hanya dapat melambangkan banyak hal. Tetapi pernyataan itu juga harus intensif, yang dengan sendirinya dapat menimbulkan kesan kepada pembaca, dan kesan itu timbul bukan karena peniliti pernahmengalami hal yang sama atau mengetahui jiwa penyair atau situasi penyair waktu menciptakan sajak itu. Dari segi syarat-syarat tema juga sudah terang sajak itu bukanlah suatu puisi yang baik. Dia juga harus memberi sesuatu kepada manusia dan yang diberikan itu haruslah sesuatu yang berharga.
47
Bila kita perinci fragmen di atas maka kalimat pertama mengandung 23 kata (nama orang dihitung 1 kata). Sedangkan kalimat-kalimat selanjutnya berturut-turut terdiri dari: 11 kata, 9 kata, 37 kata, 15 kata, dan 16 kata. Ternyata fragmen ini tidak membosankan, karena cukup mengandung variasi. c. Variasi penggunaan bentuk me- dan diPemakaian bentuk gramatikal yang sama dalam beberapa kalimat berturut-turut juga dapat menimbulkan kelesuan. Sebab itu haruslah dicari variasi pemakaian bentuk gramatikal terutama dalam mempergunakan bentukbentuk kata kerja yang mengandung prefiks me- dan di-. Perhatikan kutipan berikut: Seorang ahli Inggris yang duduk dalam Team Penelitian dan Pembangunan
Pelabuhan-pelabuhan
di
Indonesia
pernah
mengemukakan bahwa di daerah-daerah yang luas tetapi tipis penduduknya serta kurang aktivitas ekonominya, seyogyanya pemerintah tidak
membangun pelabuhan samudra. Namun, pemerintah tidak
memutuskan demikian. Memang, cukup mengendorkan semangat kalau kita melihat keadaan di Nusa Tenggara (tidak termasuk Bali dan Lombok) yang tetap ‘tidur nyeyak’ meskipun pemerintah sudah membangun banyak fasilitas pengangkutan laut serta udara.
Kutipan di atas akan dirasakan lain kalau dibuat variasi seperti di bawah ini: Seorang ahli Inggris yang duduk dalam team penelitian dan Pengembangan
Pelabuhan-pelabuhan
di
indonesia
pernah
48
mengemukakan penduduknya sert
bahwa
didaerah-daerah
yang
luas
tetapi
tipis
kurang aktivitas ekonominya, seyogyanya tidak
dibangun pelabuhan samudra. Namun pemerintah tidak memutuskan demikian. Memang cukup mengendorkan semangat kalau kita melihat keadaan di Nusa Tenggara (tidak termasuk Bali dan Lombok) yang tetap ‘tidur nyeyak’ meskipun fasilitas-fasilitas pengangkutan laut dan udara sudah banyak dibangun.
d. Variasi dengan posisi dalam kalimat Variasi dengan merubah posisi dalam kalimat sebenarnya mempunyai sangkut paut juga dengan penekanan dalam kalimat. Contoh berikut merupakan variasi kalimat dengan memberi tekanan. Di bidang angkutan udara MNA mempergunakan pesawat Twin Otter Yang harganya tiga kali lebih mahal dari harga Dakota, karena beberapa keunggulannya. Variasi kalimat: Pergunakan; MNA; pesawat Twin Otter; harganya tiga kali lebih mahal; karena beberapa keunggulannya.
49
BAB III INFORMASI UMUM BUKU FATH AL-MU’ÎN DAN TERJEMAHANNYA 1. Buku Fath Al-Mu’în a. Biografi Pengarang Beliau adalah bernama Syaikh Zain al-Dîn ibn ‘Abd al-‘Azîz al-Malîbâry atau Syaikh Zain al-Dîn al-Malîbâry. Ia merupakan ulama' yang di lahirkan di daerah Malabar, India Selatan. Tak diketahui secara persis, kapan Syaikh Zainuddin Al-Malibari lahir. Bahkan, wafatnya pun muncul berbagai pendapat. Beliau diperkirakan meninggal dunia sekitar tahun 970-990 H dan di makamkan di pinggiran kora Ponani, India. Tepatnya terletak di samping masjid Agung Ponani atau Funani. 38 Beliau adalah cucu dari Syaikh Zain al-Din ibn Ali pengarang kitab Irsyadul Qasidin ringkasan kitab munhaj al-Abidin, sejak kecil, Syaih Zain al-Dîn al-Malibari telah terdidik oleh keluarga agamis, selain sekolah di al-Madrasy yang didirikan oleh kakek beliau, beliau juga berguru kepada beberapa Ulama' Arab, diantaranya Ibnu Hajar al Haitami dan Ibn al-Ziad. Syaikh Zain al-Din al-Malibari, selain dikenal sebagai ulama fikih yang mengikuti madzhab Syafi'i, beliau juga dikenal sebagai ahli tasawuf, sejarah dan sastra. Beliau mempunyai beberapa karya yaitu Fath al-Mu’în syarah atas kitab karyanya sendiri Qurrat al-Ayun Fi Muhimmati al-Din, Hidayah al-
38
Saeful. Syaikh Zain al-Dîn ibn ‘Abd al-‘Azîz al-Malîbâry, http://saifanshori.blogspot.com/2010/05/syekh-zeinuddin-bin-abdul-azizi-al.html
50
Azkiya ilâ Thariq al-Auliya, serta Irsyad Al-Ibad ila Sabili al-Rasyad, dan Tuhfat alMujahidin. Seperti kebanyakan ulama lainnya, Syaikh Zain al-Dîn Al-Malîbari juga dikenal sebagai ulama yang sangat tegas, kritis, konsisten, dan memiliki pendirian yang teguh. Ia pernah menjadi seorang hakim dan penasehat kerajaan, dan diplomat. Tak banyak riwayat yang menjelaskan ketokohan dari Syaikh Zain al-Dîn alMalîbâry, ulama asal Malabar, India Selatan. Kalau ada, itu hanya sebatas mengungkapkan keterangannya dalam berbagai karya yang ditulisnya. Tak diketahui secara persis, kapan Syaikh Zain al-Dîn al-Malîbâry lahir. Bahkan, wafatnya pun muncul berbagai pendapat. Ia diperkirakan meninggal dunia sekitar tahun 970-990 H dan dimakamkan di pinggiran kora Ponani, India.
Syaikh Zain al-Dîn al-Malîbâry merupakan keturunan bangsa Arab. Ia dikenal pula dengan nama Makhdum Thangal. Julukan ini dikaitkan dengan daerah tempat dirinya tinggal. Ada yang menyebutnya dengan nama Zainuddin Makhdum, atau Zainuddin Thangal atau Makhdum Thangal. Julukan ini mencerminkan keutamaan dan penghormatan masyarakat setempat kepada dirinya.
b. Sitematika Kitab Fath al-Mu’în Kitab kuning memang menarik tentu saja bukan warnanya kuning, karena kitab itu mempunyai ciri-ciri yang melekat yang untuk memahaminya memerlukan keterampilan tertentu dan tidak cukup hanya untuk menguasai bahasa Arab saja. Sehingga banyak sekali orang pandai berbahasa Arab, namun masih kesulitan
51
mengklarifikasikan isi dan kandungan kitab-kitab kuning secara persis. Sebaliknya, tidak sedikit ulama yang menguasai kitab kuning tidak dapat berbahasa Arab. 39 Sistematika penyusunan kitab-kitab kuning pada umumnya sudah begitu maju dengan urutan kerangka yang lebih besar kemudian berturut-turut sub-sub kerangka itu dituturkan sampai pada yang paling kecil. Pada kitab kuning mempunyai ciri khususnya yang terdapat pada kitab fiqh madzhab Syafi’i. Pada kitab-kitab ini selalu menggunakan istilah (idiom) dan rumusrumus tertentu, salah satu kitab fiqh yang bermadzhab Syafi’i yaitu Fath Al-Mu’în yang dikarang oleh Syaikh Zain ad-Dȋn al-Malȋbary. Dalam kitab ini terdapat menyatakan pendapat yang kuat dipakai kalimat al-madzhab, al-ashah, al-shahih, alaujah, a-rajih dan seterusnya. Misalnya lagi, untuk menyatakan kesepakatan antar ulama beberapa madzhab digunakan kalimat ijma’an dan untuk menyatakan kesepakatan intern ulama satu madzhab digunakan kalimat ittifaqan. Padahal kedua kata tersebut mempunyai arti yang sama menurut bahasa. Pada kitab Fath Al-Mu’în ini terdapat ciri lain yaitu tidak menggunakan tanda baca yang lazim. Tidak pakai titik, koma, tanda seru, tanda tanya dan lain sebagainya. Subyek dan predikat sering dipisahkan dengan jumlah mu’taridhah yang cukup panjang dengan tanda-tanda tertentu. Ciri inilah yang sangat memerlukan kecermatan dan keterampilan agar para pembaca memahami bentuk makna dan kandungannya, bahkan dapat menginterpretasikan dan menganotasikan secara luas. Di dalam kitab
39
Sahal Mahfudh MA, KH, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta: LKiS, 1994), hal 263, cet 1
52
ini yang ada hanya fashlun, kitâbun, far’un, muhimmatun, dan tanbihun yang kesemuanya merupakan tanda kepindahan pokok bahasan Selain dari pada itu kitab-kitab kuning terutama kitab Fath Al-Mu’în ini dalam menyajikan setiap materi persoalan, diawali dengan definisi-definisi yang tajam (jami’ mani’) yang memberi batasan pengertian yang jelas, untuk menghindari kerancuan yang mungkin timbul dalam pemahaman. Selanjutnya diuraikan pula elemen-elemen (arkan)–nya dengan segala persyaratan (syuruth)-nya, yang bersangkutan dengan persoalan itu. Pada kitab ini dijelaskan pula argumentasi yang biasanya meliputi penunjukkan sumber hukumnya (ayat atau hadits) dan analoginya. Sebagaimana dikatakan oleh pengarangnya sendiri yaitu Zain al-Dîn alMalîbâry, murid dari al-Allaamah Ibnu Hajar al-Haitamy, kitab Fath al-Mu’în ini disandarkan atas kitab Syaikh Syihabuddin Ahmad Ibn Hajar al-Haitamy, Wajihuddin Abd Ar Rahman Ibn Zaiyad az-Zubaidy, dan juga syaikhul Islam Zakariya al-Anshari serta Syaikh Ahmad al-Muzajjad az-Zubaidy, juga disandarkan atas dua orang Syaikhul Madzhab Imam Besar an-Nawawi dan ar-Rafi’i.40 Syaikh Zain al-Dîn al-Malîbâry sebagai penulis kitab Fath Al-Mu’în, di dalam kitab membahas berbagai pengetahuan dan permasalahan tentang fiqh secara rinci, mulai dari bab shalat, zakat, puasa, haji, dan umrah, jual beli, ariyah, hibah, wakaf, ikrar, wasiat, faraidh, nikah, jinayad, murtad, hukuman, jihad peradilan, dakwaan, dan bayyinah, bahkan tidak ketinggalan masalah “perbudakan” sempat diperbincangkan, mungkin dari permasalah perbudakan ini, kita akan menganggap perlu menggariskan 40
Zain al-Dîn ibn ‘Abd al-‘Azîz al-Malîbâry, Fath Al-Mu’în, h. XVII
53
secara tegas tentang definisi budak itu sendiri. Masih adakah budak di zaman modern seperti saat ini, ataukah justru tumbuh “perbudakan modern.” 2. Buku Terjemahan Fath Al-Mu’în a. Biografi Penerjemah Drs. ‘Aliy As’ad M.M adalah penerjemah kitab Fath Al-Mu’în. Beliau adalah anak tunggal dari pasangan ‘Aliy As’ad (alm) dan siti Nikmah. Lahir di kota Kudus pada tanggal 16 juli 1952 M. Istrinya bernama R. R Hj. Siti Nuroniyah. Saat ini berdomisili di plaza Kuning, kecamatan Ngagrek, Kabupaten Sleman Daerah istimewa Yogyakarta (DIY). Sepanjang pendidikannya, beliau banyak belajar di pondok pesantren. Dimulai dari SDN Kudus pada tahun 1964 dan santri di Pondok Pesantren “AlQur’an” pada tahun 1964-1969. Lalu beliau melanjutkan sekolah tingkat pertama di Madrasah Tsanawiyah Salafiyah pada tahun 1967. Setelah itu, beliau melajutkan ke sekolah tingkat menengah di PGN pada tahun 1970-1976. Setelah itu, beliau melanjutkan studinya ke perguruan tinggi di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tepatnya di Fakultas Syari’ah pada tahun 1976 dan santri di Pondok Pesantren “AlMunawwir” Krapyak Yogyakarta, asuhan K.H ‘Aliy Ma’sum pada tahun 1970-1983. Setelah menyelesaikan tingkat akhir di fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, beliau berikhtiyar menerjemahkan kitab Fath Al-Mu’în dengan syarah sekali, di samping itu mensistimalisir penyusunan teks Arab dengan bahasa yang sekarang yaitu bahasa Indonesia serta memberikan harokat dan lain-lainnya.
54
Sehingga memudahkan pembacanya. Setelah menyelesaikan studinya di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, beliau melanjutkan di UP3 Surabaya Jurusan Manajemen SDM dan lulus tahun 2004. Selain berjibaku dalam pendidikan formal, beliau juga aktif dalam kegiatan ekstrakulikuler di kampusnya, di antaranya organisasi GEJARSENA, dan PMII. Beliau juga terjun dalam organisasi kemasyarakatan, di antaranya IPNU, GP ANSAR, NU, PPP, PKB, MUI, dan KNPI. Beliau juga mempunyai banyak pengalaman kerja, di antaranya sebagai guru Madrasah Krapyak Yogyakarta pada tahun 1971-1982, wakil kepala sekolah Madrasah Krapyak Yogyakarta pada tahun 1973-1975, dosen bahasa di IAIN Yogyakarta pada tahun 1978-1983, anggota DPRD Yogyakarta pada tahun 1982-1997, anggota DPR pada tahun 1994-2000, dan dosen Pesantren Luhur pada tahun 1998-sekarang. Drs. H. Aliy As’ad mulai berkecimpung dalam dunia penerjemahan sejak berusia 20 tahun. Beliau belajar menerjemahkan melalui otodidak. Kegiatan penerjemahan yang dilakukan beliau terhadap kitab Fath al-Mu’în sekitar tahun 1974 dan menerjemahkannya dengan waktu yang sangat lama kira-kira selama satu tahun. Di samping mempunyai banyak keahlian dan pengalaman kerja, beliau juga telah menghasilkan karya tulis. Sebagian di antaranya adalah karya-karya asli dan sebagian yang lain adalah karya-karya terjemahannya yang sangat penting bagi kalangan pesantren yaitu:
55
1. Syawahid Alfiyah Ibnu ‘Aqil 2. Ibnu Aqil 3. Fath al-Mu’în bi Syarhi Qurrat al-‘Ain 4. Ta’lim al-Muta’allim, tahun 1974 5. Irsyad al-‘Ibad, tahun 1976 Sedangkan karya-karya aslinya adalah: 1. Garis-Garis Besar Pembinaan Dunia Islam, tahun 1986 2. Pendidikan Agama Islam untuk SD, tahun 1984-1994 Menurut beliau, pesan dan kesan terhadap dunia penerjemahan, khususnya bagi para mahasiswa jurusan tarjamah dan penerjemah pemula adalah: 1. Menyadari bahwa aktivitas menerjemah tidak semudah yang dibayangkan. 2. Teliti di dalam menerjemahkan sehingga tidak banyak substansi yanh hilang. 3. Di dalam menerjemahkan dan melakukan penulisan dengan niat dan semangat keilmuwan secara akademik. 4. Suatu karya tulis tidak akan hidup jika penulisannya ingin mencari kehidupan dari karya tulis itu sendiri. b. Isi Buku Terjemahan Kitab Fath al-Mu’în ini ditulis oleh Syaikh Zain al-Dîn ibn ‘Abd al-‘Azîz al-Malîbâry yang diterjemahkan oleh Drs. Aliy As’ad, M.M di bawah bimbingan Talhah Mansoer, S.H. Kitab Fath al-Mu’în jilid satu ini berisi tentang berbagai pengetahuan tentang diqh secara rinci mulai dari bab Shalat hingga bab ziarah kubur.
56
Bab shalat menjelaskan tentang pengertian shalat dan shalat-shalat fardhu, orang yang terkena kewajiban shalat, hokum orang yang meninggalkan shalat, peringatan orang yang sudah meninggal yang mempunyai tanggungan shalat, pendidikan shalat dan ibadah lain terhadap anak, kemudian terdapat juga syarat-syarat shalat, sifat-sifat shalat, hal-hal yang membatalkan shalat, shalat berjama’ah, shalat jum’at, shalat qashar dan jama’, dan terakhir shalat mayat, yang pada isi tersebut mempunyai penjelasan masing-masing.
57
BAB IV PEMBAHASAN Setelah mengetahui apa itu kalimat efektif yang telah diterangkan pada bab II, maka Penulis ingin membahas kalimat efektif pada sebuah buku terjemahan Fath al-Mu’în. Untuk itu Penulis akan menjabarkan pembahasan ini sebagai berikut: A. Yang Jelas Kesatuan Gagasannya (1)
ﻗﹶﺪﺮﹴ( ﻭﻦﹺ )ﻃﹶﺎﻫﻴﺃْﻱﹺ ﺍﻟﹾﻌ ﺭﻲ ﻓﺰﻴﻤﺘﺎ ﻻﹶ ﻳ ﻣﻮﻫﺎﺀِ ﻭﻠﹾﻤﻄﹰﺎ ﻟﺎﻟﺨ ﻣ( ﺍﹶﻱﻂﻴﻠ ﻛﹶﺎﻥﹶ )ﺑﹺﺨﺍﻥﺮﻐﻴ ﺍﻟﺘﺮﺛﺆﻤﺎ ﻳ ﻧﺍﻭ ﻠﹾﺢﹴ ﻣﺍﺏﹴ ﻭﺮ ﻻﹶﺗﺖﻔﹶﺘ ﺗ ﺛﹸﻢﻕﹺ ﻃﹶﺮﹺﺡﺭ ﻭﺎﺀِ ﻭ ﺍﻟﹾﻤﺏ ﻗﹸﺮﺖﺒﺮﹴ ﻧﺠﺮﹺ ﺷﺍﻥﹶ ﻭﺛﹶﻤﻔﹶﺮﻋ( ﻛﹶﺰﻪﻨ( ﺍﳌﹶﺎﺀُ )ﻋ)ﻏﹶﻨﹺﻲ .ﻪﻴﺎ ﻓ ﺇِﻥﹾ ﻃﹸﺮﹺﺣﺎﺀٍ ﻭﻣ Terjemahannya: Hanya sanya perubahan air itu dapat mempengaruhi kemuthlaqannya, jika disebabkan sesuatu campuran tidak terlihat, yang suci, dan air terhindar daripadanya; seperti za’faran, buah pepohonan disebelahnya dan daun yang dibuang ke dalamnya lalu hancur. Bukanlah campuran yang berwujud tanah atau air garam, walaupun sengaja dimasukkan ke dalamnya. 41
41
‘Aly, As’ad, Tarjamah Fath al-Muîn 1, (Kudus: Menara Kudus, 1980), hal. 20, Baris 3.
58
Analisis: Menurut Penulis dalam terjemahan di atas itu masih tidak jelas kesatuan gagasanya, sehingga membingungkan para pembaca. Ketidakjelasan kesatuan gagasan di atas itu karena tidak adanya objek serta predikatnya. Selain itu adanya kata واﻧّﻤﺎyang diterjemahkan hanya sanya yang seharusnya tidak dicantumkan terjemahannya dalam teks sasaran. Pada teks sumber di atas objek dan predikatnya tersusun dari fiil (P) dan fail (S). Yang menjabat sebagai fiil (P) yaitu pada kata ﯾﺆﺛﺮ, sedangkan yang menjabat sebagai fail (S) yaitu pada kata اﻟﺘﻐﯿّﺮ. Pada kata واﻧّﻤﺎitu tidak usah diterjemahkan karena tidak mengandung arti apa-apa, jika ia dicantumkan terjemahannya maka akibatnya subjek pada terjemahan di atas menjadi hilang. Pesan pada terjemahan di atas pun belum tersampaikan oleh pembaca dikarenakan susunan kalimat demi kalimat yang tidak pas untuk diletakkam dalam bentuk tulisan. Pada terjemahan di atas yang berkedudukan sebagai subjek itu terletak pada frasa perubahan air yang diletakkan di awal kalimat. Kemudian munculkan kata oleh setelah kata disebabkan, karena kata disebabkan ini merupakan kata yang harus didampingi dengan kata oleh setelahnya, agar sesuai antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain. Pada kata yang suci itu merupakan kata sifat yang tertuju pada air, maka kata air pun seharusnya dimunculkan sebelum kata sifat tersebut. Jadi terjemahan yang sesuai yaitu:
59
Perubahan air itu dapat mempengaruhi kemutlakannya jika disebabkan oleh sesuatu dari campuran yang tidak terlihat, yang suci dan air yang terhindar dari campuran tersebut, seperti za’faran, buah dari pohon yang berdekatan dengan air dan daunnya itu dibuang ke dalam air tersebut, lalu hancur. Bukan campuran yang berwujud tanah atau air garam, walaupun sengaja dimasukkan ke dalamnya. (2)
ﻪﻠﹶﻰ ﺍﹸﻣ ﻋ ﺛﹸﻢﻪﻠﹶﻰ ﺍﹶﺑﹺﻴﻢ ﻋ ﺛﹸﻪﺎﻟﻰ ﻣﺍﺏﹺ ﻓﺍﻟﹾﺎﹶﺩ ﻭﺁﻥ ﻛﹶﺎﻟﹾﻘﹸﺮﻚ ﺫﹶﻟﻪﻤﻴﻠﻌﺓﹸ ﺗﺮﺍﹸﺟﻭ Terjemahannya: Tentang biaya pendidikannya seperti pengajaran al-Qur’an adab, diambilkan dari harta anak itu sendiri. Kemudian diambil dari harta ayah, baru harta ibunya. 42 Analisis: Pada terjemahan no 2. tidak jelas kesatuan gagasannya, karena terjemahan di atas tidak ada subjek dan predikat atau dalam bahasa Arab di sebut ( ﻣﺴﻨﺪP) dan ﻣﺴﻨﺪ
(اﻟﯿﮫS). Musnad ilaih (S) adalah unsur kalimat yang menjadi pokok pembicaraan, atau unsur yang diberi penjelasan oleh musnad (P). Sedangkan musnad (P) adalah unsur jumlah yang menyatakan sesuatu tentang musnad ilaih.43 Subjek dan predikat ini merupakan struktur paling minimal untuk suatu kalimat dan ini disebut kalimat sederhana. Posisi musnad ilaih (S) mempunyai fungsi sintaksis yang lebih khusus
42
‘Aly, As’ad, Tarjamah Fath al-Muîn 1, (Kudus: Menara Kudus, 1980), hal 14, baris 5 43 Abdul Munip, Strategi dan Kiat Menerjemahkan Teks Bahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2009), hal. 76-77
60
seperti fungsi اﻟﻔﺎﻋﻞ، اﻟﻤﺒﺘﺪأdan lain sebagainya. Begitu juga posisi musnad (P) dalam jumlah bahasa Arab mempunyai fungsi sintaksis yang lebih khusus, seperti fungsi
اﻟﻔﻌﻞ، اﻟﺨﺒﺮdan lain sebagainya. Dalam terjemahan di atas Penulis mencantumkan subjek pada kata
ِاُﺟْﺮَةُ ﺗَﻌْﻠِﯿْﻤِﮫyang
diterjemahkan biaya pendidikan di awal kalimat dan menghilangkan kata tentang, sebab kata tentang di sini tidak penting untuk dicantumkan, dan ini menyebabkan hilangnya subjek dalam bahasa sasaran. Dalam bahasa Arab subjek itu disebut sebagai mubtada, sedangkan predikat disebut sebagai khabar. Teks sumber di atas yang menempati sebagai mubtada pada frasa
َاﺟْﺮَةُ ﺗَﻌْﻠِﯿْﻤِﮫِ ذَﻟِﻚ,
sedangkan yang
menempati sebagai khabar di sini pada frasa ِﻓِﻰ ﻣَﺎﻟِﮫ. Pada mubtada dan khabar di sini disebut mubtada jumlah, karena terdiri dari tiga kata dalam bahasa Arab disebut tarkib. Pada khabar di sini disebut juga khabar jumlah, karena khabarnya itu terdiri dari dua kata atau lebih atau bisa juga disebut frasa (tarkib) dan dapat diketahui pula khabar itu karena adanya tanda jar majrur. Adakalanya khabar itu tandanya memakai zaraf, terkadang juga memakai jar majrur. Untuk memperkuat penjelasan khabar pada kasus ini Penulis cantumkan nazam sebagai berikut:
ﻘﹶﺮﺘﺳ ﺍﻦﹴ ﺃَﻭﻰ ﻛﹶﺎﺋﻨﻌﺮﹴ * ﻧﺎﻭﻳﻦ ﻣ ﺟﻑﺮ ﺑﹺﺤ ﺃَﻭﻑﺍ ﺑﹺﻈﹶﺮﻭﺮﺧﺒ ﺍﹶﻭ
61
“mereka membuat khabar dengan zaraf atau dengan huruf jar dimaksudkan untuk makna kaa-in atau istaqarra.”44 Supaya terjemahan di atas terdapat subjek (mubtada) dan predikat (khabar), Penulis merubah terjemahan di atas menjadi: Biaya pendidikan yang diambil dari harta anak itu sendiri, kemudian diambil dari harta ayah, baru harta ibunya, yaitu seperti biaya pengajaran al-Qur’an dan adab (tingkah laku). (3)
( ﺍﹶﻱﻪﻤﻴﻠﻌ )ﺗﺮ ﻣﻦﻠﹶﻰ ﻣ ﻋﺎﺀِ( ﺛﹸﻢﻠﹶﻰ ﺍﹾﻷَﺑﺍ )ﻋﺎ ﻗﹶﺎﻟﹸﻮ ﻛﹶﻤﻼﹶﺓﺮﹺ ﺑﹺﺎﻟﺼﻠﹶﻰ ﺍﻟﹾﺎﹶﻣﻰ ﻋﺘﺍﺟﹺﺐﹴ ﺣﻝﹸ ﻭﺃَﻭﻭ .ﺎ ﺑﹺﻬﺎﺕ ﻣ( ﻭﺔﻨﻳﺪ ﺑﹺﺎﻟﹾﻤﻦﻓﺩﺎ )ﻭﺑﹺﻬﺪﻟﻭﻜﱠﺔﹶ( ﻭﺚﹶ ﺑﹺﻤﻌﺍ ﺑﺪﻤﺤﺎ ﻣﻨﺒﹺﻴ )ﺃﻥﱠ ﻧ:ﺰﹺﻴﻤﺍﻟﹾﻤ Terjemahannya: Adapun permulaan yang wajib termasuk di sini memerintahkan shalat seperti mereka katakan atas bapak kemudian atas orang-orang lain seperti tersebut di atas, adalah mengajar anak mumayiz bahwa: Nabi Muhammad itu diutus di Makkah, lahir di sana juga dan wafat serta dikebumikan di Madinah. 45 Analisis: Terjemahan di atas pun kasusnya sama dengan terjemahan sebelumnya (no.2), yaitu tidak adanya kesatuan gagasan, yang menimbulkan tidak adanya unsur subjek dan
44
Bahaud Din Abdullah Ibnu ‘Aqil, Terjemahan Alfiyah Syarah Ibn ’Aqil 1, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2009), cet. 9, hal. 139. 45 ‘Aly, As’ad, Tarjamah Fath al-Muîn 1, (Kudus: Menara Kudus, 1980), hal 15, baris 4
62
predikat, disebabkan karena di awali dengan kata adapun. Pada kata adapun ini seharusnya tidak perlu dicantumkan karena akan menyebabkan hilangnya unsur subjek pada awal kalimat. Subjek (mubtada) di sini terletak pada frasa اوّل واﺟﺐ, sedangkan yang menempati sebagai predikat (khabar) yaitu ِﺗَﻌْﻠِﯿْﻤِﮫ. Pada subjek tersebut seharusnya di awal kalimat kemudian disusul dengan predikat. Kemudian kata termasuk, tersebut, juga seharusnya dihilangkan saja, karena tidak mempunyai pengaruh apa terhadap konteks terjemahan, namun yang ada hanya pemborosan kata. Penulis merubah terjemahan tersebut menjadi: Kewajiban awal dalam urusan memerintahkan shalat di sini, sebagaimana para ulama katakan kepada bapak kemudian kepada orang-orang yang telah disebutkan seperti di atas yaitu kewajiban untuk mengajarkan anak yang mumayiz bahwa: Nabi Muhammad itu diutus di Makkah, lahir di sana, wafat serta dikebumikan di Madinah. B. Subjek Ganda
.ﺎﻬﹺﻤﻴ ﻓﺓﺭﻮﻬﺸ ﺍﻟﹾﻤ ﺍﻟﹾﺎﹶﻟﹾﻔﹶﺎﻅﻦﺮﹺﻓﹶﺎ ﻣﺎ ﻋﺎ ﻣﻋﺮ ﺷ ﻭﻼﹶﻡﻋ ﺍﹶﻟﹾﺎ:ﺔﹰﺎ ﻟﹸﻐﻤﻫ Terjemahannya: Adzan dan Iqamah menurut arti bahasanya adalah “memberitahukan”; dan menurut ma’na syara’ adalah bacaan berupa kalimat-kalimat seperti yang telah termasyhur diketahui dalam adzan dan iqamah. 46 46
‘Aly, As’ad, Tarjamah Fath al-Muîn 1, (Kudus: Menara Kudus, 1980), hal 217, baris 1
63
Analisis: Jika kita cermati secara seksama, terjemahan di atas bukan merupakan kalimat efektif karena si penerjemah menerjemahkan teks tersebut menggunakan metode harfiah atau terjemahan kata demi kata. Kata arti sebaiknya dihilangkan saja. Kemudian dalam kata bahasanya kata –nya di sini merupakan subjek ganda (subjek kedua) yang merujuk pada kata Adzan dan Iqamah. Untuk itu, kata –nya dihilangkan saja karena tidak bermanfaat apabila diletakkan. Setelah itu pada kata dan terjemahan di atas sebaiknya diganti dengan sedangkan, karena jika kata “dan” tetap digunakan, maka kalimat tersebut tidak nyaman dibaca. Kata اﻟﻤﺸﮭﻮرةtetap diterjemahkan apa adanya yaitu “termasyhur” yang merupakan hasil penyerapan bahasa yang tidak tepat untuk diletakkan, sehingga diksi yang tepat untuk menerjemahkan kata tersebut yaitu “dikenal”. Oleh karena itu, menurut Penulis agar terjemahan teks di atas menjadi kalimat yang efektif yaitu dengan membuang kata “arti” serta mengganti kata “dan” dengan sedangkan. Sehingga terjemahannya menjadi, “Adzan dan iqamah menurut bahasa, berarti pemberitahuan. Sedangkan menurut syara’ (agama), adzan dan iqamah adalah ungkapan-ungkapan tertentu yang telah dikenal dalam keduanya.”
64
C. Penggunaan Bentuk Panjang Yang Salah (1)
ﺏﺪ ﺍﻟﻨﻲﻛﹶﺸﺭ ﺍﻟﺰﺍ ﻭﺃَﻃﹾﻠﹶﻖﺯﻮﺸ ﻧﺶﺨ ﻳ ﺇﻥﹾ ﻟﹶﻢﺮ ﻇﹶﺎﻫﻮﻫ ﻭ:ﺎﻨﺨﻴﻗﹶﺎﻝﹶ ﺷ Terjemahannya: Syaikhuna berkata: hal itu sudah jelas, jika tidak khawatir akan terjadi nusyuz. Dalam pada masalah pendidikan isteri seperti ini, Az-zarkasyi mengemukakan hukumnya sebagai sunah. 47 Analisis: Untuk terjemahan di atas yang menjadi kendala terjemahan itu tidak enak dibaca dan tidak pas apabila diletakkan, yaitu terdapat adanya kata dalam. Selain itu, pada kata pendidikan tidak tepat apabila dicantumkan, seharusnya diganti dengan kata mendidik, sebab dalam maksud terjemahan di atas itu terkait masalah melakukan pekerjaan yaitu mendidik seorang istri bukan mengenai pendidikan yang berarti menyatakan hal. Kemudian kata sebagai itu seharusnya dihilangkan saja, karena sebagai meskipun dihilangkan itu tidak merubah konteks yang ada. Kata syaikhuna masih tetap diterjemahkan sama syaikhuna, yang masih condong melihat teks sumber, padahal kata syaikhuna di sini diartikan guru kami yang merujuk pada guru si penulis kitab Fath al-Mu’în ini. Maka, kata syaikhuna di sini diganti dengan guru kami.
47
‘Aly, As’ad, Tarjamah Fath al-Muîn 1, (Kudus: Menara Kudus, 1980), hal 15, baris 3
65
Jadi menurut Penulis terjemahan di atas yaitu Guru kami berkata: hal itu sudah jelas, jika tidak khawatir akan terjadi nusyuz. Pada masalah mendidik istri seperti ini, Az-zarkasyi mengemukakan hukumnya sunah. (2)
.ﺎﻫﺪﺎﺣ ﺟﻜﹾﻔﹸﺮ ﻓﹶﻴﺓﺭﻭﺮﻦﹺ ﺑﹺﺎﻟﻀﻳ ﺍﻟﺪﻦﺔﹲ ﻣﻣﻠﹸﻮﻌ ﻣﻠﹶﺔ ﻟﹶﻴﻡﹴ ﻭﻮﻰ ﻛﹸﻞﱢ ﻳ ﻓﺲﻤﺔﹸ ﺧﻨﹺﻴﻴ ﺍﻟﹾﻌﺎﺕﺿﻭﺍﹾﳌﹶﻔﹾﺮﻭ Terjemahannya: Shalat-shalat fardhu ‘ain itu lima kali selama satu hari satu malam, yang diketahui dengan pasti dari penjelasan agama. Karena itu, orang yang menentangnya di hukum kafir. 48 Analisis: Dalam terjemahan di atas, memang pesannya sudah dapat dipahami oleh pembaca. Namun, ada beberapa kasus yang menurut Penulis itu harus dirubah. Pertama, pada frasa fardhu ‘ain. Dalam frasa ini si penerjemah masih menggunakan translit, yaitu hanya memindahkan kata Bsu ke dalam Bsu. Mungkin ada sebagian pembaca yang belum mengetahui apa yang dimaksud dengan fardhu ‘ain. Maka dari itu, Penulis untuk menerjemahkan frasa fardhu ‘ain itu menjadi yang wajib supaya sebagian orang lebih memahami secara singkat. Kedua, Penulis melihat terjemahan di atas dalam mempergunakan frasa itu berlebihan, yaitu pada frasa satu hari dan satu malam. Untuk merubah frasa tersebut supaya lebih singkat dan lebih hemat Penulis ganti dengan kata sehari dan semalam. Ketiga, pada kata selama Penulis merubahnya 48
‘Aly, As’ad, Tarjamah Fath al-Muîn 1, (Kudus: Menara Kudus, 1980), hal 9, baris 2
66
dengan kata dalam sebab pada kata selama ini mengandung unsur jangka waktu dalam melakukan shalat bukan mengandung unsur lamanya hari. Jadi kata selama itu diganti dengan kata dalam. Jadi, menurut Penulis terjemahannya adalah: Shalat-shalat yang diwajibkan itu ada lima dalam sehari semalam, yang diketahui dengan pasti dari penjelasan agama. Karena itu, orang yang menentangnya di hukumi kafir. (3)
ﺲﹺﺠ ﺍﹶﻭﹺﺍﻟﻨﺙﺪﻠﹶﻰ ﺍﻟﹾﺤﺐﹺ ﻋﺗﺮﺘﻊﹺ ﺍﻟﹾﻤﻨ ﺍﻟﹾﻤﻓﹾﻊﺎ ﺭﻋﺮ ﺷ ﻭ.ﺲﹺﻧ ﺍﻟﺪﻦ ﻣﺹﻠﹸﻮ ﺍﻟﹾﺨﻨﻈﹶﺎﻓﹶﺔﹸ ﻭﺔﹰ ﺍﹶﻟﺓﹸ ﻟﹸﻐﺎﺭﺍﹶﻟﻄﱠﻬ Terjemahannya: thaharah menurut arti bahasa : suci dan lepas dari kotoran. Dan menurut istilah syara’ ialah : menghilangkan halangan yang itu berupa hadats atau najis. 49
Analisis: Dari terjemahan di atas terdapat kata yang panjang yang seharusnya kata tersebut tidak perlu dicantumkan. Kata panjang tersebut pada kata yang itu. Kata yang itu membuat pemabaca teks terjemahannya agak membingungkan. Kemudian pada kata dan yang bergaris bawah itu tidak sesuai dan kurang enak dibaca dengan memilih diksi. Kata yang sesuai dengan diksi tersebut yaitu kata sedangkan sebab kata 49
‘Aly, As’ad, Tarjamah Fath al-Muîn 1, (Kudus: Menara Kudus, 1980), hal 17, baris 4
67
sedangkan itu merupakan konjungsi yang masih ada keterkaitan dengan pengertian sebelumnya. Jadi kata dan di atas harus diganti dengan kata sedangkan supaya ketika pembaca membaca teks terjemahannya akan terasa nikmat. Pada tanda titik dua (:) pun penempatannya masih kurang sesuai menurut kaidah EYD. Seharusnya pada tanda baca di atas tidak usah memakai spasi. Pada klausa menurut arti bahasa itu pun berlebihan menggunakan kata, cukup dengan menurut bahasa pembaca pun mengerti akan terjemehan tersebut. Jadi terjemahan di atas yang sesuai yaitu: Thaharah menurut bahasa: suci dan lepas dari kotoran. Sedangkan menurut istilah syara’ ialah : menghilangkan halangan berupa hadats atau najis. (4)
ﻢﹴ ﺍﹶﻭﻌ ﻃﻦ ﻣﻪﻔﹶﺎﺗ ﺻﺪ ﺍﹶﺣﺮﻴﻐ ﺑِﺄﻥﹾ ﺗﻪﻠﹶﻴﺎﺀِ ﻋﻢﹺ ﺍﻟﹾﻤ ﺍﺳ ﺇِﻃﹾﻼﹶﻕﻊﻨﻤﺚﹸ ﻳﻴﺍ( ﺑﹺﺤﺮﻴﺍ )ﻛﹶﺜﺮﻴﻐﻴﺮﹺ( ﺗﻐﺘ )ﻣﻴﺮ ﻏﹶﻭ .ﺢﻰ ﺍﻟﹾﺎﹶﺻﺮﹺ ﻓﻄﹶﻬﺘﻮﹺ ﺍﻟﹾﻤﻀﻠﹶﻰ ﻋﺎ ﻋ ﺑﹺﻤﺮﻴﻐ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺍﻟﺘﺎ ﺍﹶﻭﺮﹺﻳﻳﻘﹾﺪ ﺗﻟﹶﻮﺢﹴ ﻭ ﺭﹺﻳ ﺍﹶﻭﻥﻟﹶﻮ Terjemahannya: Dan bukan pula air yang berubah banyak-banyak sekira dapat menghilangkan “kemuthlaqan” air seperti halnya ia telah berubah salah satu sifatnya, baik rasa, warna maupun bau, walaupun secara taqdiriy. Ataupun berubahnya karena sesuatu yang ada pada anggota badan orang yang bersuci, demikian menurut pendapat yang ashah. 50 Analisis:
50
‘Aly, As’ad, Tarjamah Fath al-Muîn 1, (Kudus: Menara Kudus, 1980), hal 20, baris 2
68
Sudah jelas bahwa terjemahan di atas itu sangat membingungkan bagi para pembaca, karena terjemahan kata demi katanya sangat sulit untuk dipahami apa maksud pesan yang ingin diungkapkan. Seperti pada klausa berubah banyak-banyak, orang yang bersuci. Pada klausa yang pertama berubah banyak-banyak, itu tidak sesuai. Seharusnya klausa tersebut lebih efisien cukup diterjemahkan dengan banyak berubah. Pada kasus kedua, klausa orang yang bersuci juga tidak efisien dalam penggunaan kata sehingga mengakibatkan pemborosan kata yang seharusnya terjemahannya itu enak dibaca menjadi tidak enak dibaca. Sehingga pada klausa orang yang bersuci cukup diganti dengan orang yang suci. Yang terakhir Penulis hanya menambahkan pada kata sekira seharusnya ada penambahan kata –nya sesudahnya dan sebelum kata tersebut dibubuhi dengan kata konjungsi yang supaya terjemahan di atas lebih enak dinikmati ketika dibaca. Selain kasus di atas si penerjemah juga mengungkap dengan bahasa yang agak kaku dan ruwet, gaya bahasanya yang tidak sesuai dengan kaidah tata bahasa Indonesia yang berlaku. Menurut Penulis terjemahan yang sesuai yaitu: Dan bukan pula air yang banyak berubah, yang sekiranya dapat menghilangkan “kemutlaqan” air seperti halnya ia telah berubah salah satu sifatnya, baik rasa, warna maupun bau, walaupun secara taqdiriy, atau berubahnya karena sesuatu yang ada pada anggota badan orang yang suci, demikian menurut pendapat yang asah (yang kuat).
69
(5)
ﻲ ﻓﻟﹶﻮﺙﹲ ﻭﺪﺤ ﻣﺲﻤﻐﻟﹶﻮﹺﺍﻧ ﻭ.ﺎﻉﹺﺒﻠﺘﻦﹺ ﻟﻠﹶﻴﺟﺃْﺱﹺ ﻓﹶﺎﻟﺮﻦﹺ ﻓﹶﺎﻟﺮﻳﺪ ﻓﹶﺎﻟﹾﻴﻪﺟﻞﹺ ﺍﻟﹾﻮﻢﹺ ﻏﹶﺴﻳﻘﹾﺪ ﺗﻦ ﻣﺮﺎ ﺫﹸﻛﻛﹶﻤ ﻪﻴ ﻓﻦﻜﻤﺎ ﻳﻨﻣﺎﺱﹺ ﺯﻤﻐﻧﻰ ﺍﻟﹾﺎ ﹸﻜﺚﹾ ﻓﻤ ﻳ ﻟﹶﻢﻟﹶﻮﺀِ ﻭﻮﺿﻦﹺ ﺍﻟﹾﻮ ﻋﺃﻩﺰ ﺃَﺟﺮﻤﺎ ﻣ ﻣﺓﺮﺒﺘﻌ ﻣﻴﺔﻞﹴ ﺑﹺﻨﹺﻴﺎﺀٍ ﻗﹶﻠﻣ .ﺐﻴﺗﺮﺍﻟﺘ Terjemahannya: Berurutan seperti tersebut di atas. Terlebih dahulu membasuh muka, dua tangan, kepala, baru dua kaki. Karena mengikuti urutan disebutnya dalam ayat. Apabila seorang berhadats kecil menyelam walaupun pada air sedikit, dengan niat yang benar seperti di atas, cukuplah sebagai wudlunya; walaupun waktu menyelam itu belum cukup seandainya dipakai berwudlu secara tertib. 51
Analisis: Dalam terjemahan di atas terdapat bentuk panjang yang membuat para membuat para pembaca bingung apa maksud isi terjemahan tersebut. Bentuk panjang itu terdapat pada kalimat walaupun pada air sedikit. Kalimat ini memang sungguh membingungkan serta tidak enak dibaca. Dalam kasus di sini Penulis menggantinya dengan kalimat dengan air sedikit, yang dalam hal ini tidak merubah pesan yang tertuju pada teks sumber tersebut. Selain itu, terjemahan di atas terdapat kata baru ( )فmerupakan terjemahan ungkapan bahasa si penerjemah yang tidak mengacu pada tata bahasa indonesia. Seharusnya diksi yang tepat dalam menerjemahkan kata 51
‘Aly, As’ad, Tarjamah Fath al-Muîn 1, (Kudus: Menara Kudus, 1980), hal 33, baris 5
70
ف
yaitu kemudian, karena merupakan sebuah konjungsi yang merujuk pada
pengurutan. Kemudian dalam penempatan partikel –lah pada kata cukuplah itu tidak sesuai, karena hanya memboroskan kata, partikel –lah seharusnya dihilangkan saja. Pada kata wudlunya pun terdapat imbuhan yang harus dibuang yaitu –nya, karena hanya memborosan kata saja. Sehingga terjemahan di atas Penulis merubahnya menjadi: Berurutan yang disebutkan di atas, yaitu dengan mendahulukan membasuh muka, dua tangan, kepala, kemudian dua kaki, karena mengikuti nabi. Apabila seorang berhadats kecil menyelam dengan air sedikit, dengan niat yang benar seperti di atas cukup hanya wudu, walaupun waktu menyelam itu belum cukup jika dipakai wudu secara tertib. Perlu dipahami, bahwa peran yang dimainkan oleh pembaca sangat jelas, yakni memberikan aspirasi, penilaian, atau ‘mengadili’ buku terjemahan. Melalui logika hukum pasar, pembaca sebagai konsumen jelas merupakan hakim tertinggi. 52 Publik pembaca yang tidak kritis dengan buku terjemahan akan mudah tertipu oleh juduljudul buku bombastis, penampilan cover yang atraktif, ataupun aspek-aspek lain yang tidak substansial. Publik pembaca yang demikian tidak dapat dikatakan sebagai korban semata, sebab mereka sendiri ikut mendorong kepada situasi yang menjadikan dirinya dan orang lain menjadi korban.
52
Ibnu Burdah, Wawasan Penerjemah (Wawasan dan Metode Menerjemah Teks Arab), (Yogyakarta: Tiara Wacana), hal. 61-62
71
Sebaliknya, apabila pembaca bersikap kritis dengan bertindak selektif dalam ‘mengkonsumsi’ buku, maka penerbit, editor, atau penerjemah akan bekerja ekstra hati-hati dan seoptimal mungkin agar hasil penerbitan mereka terhindar dari kesalahan-kesalahan. D. Melakukan Penonjolan Kata Di Depan Kalimat (1)
ﺍﺪﻴﺷ ﺭﻪﻏﻠﹸﻮ ﺇﻻﱠ ﺑﹺﺒﺮ ﻣﻦﻠﹶﻰ ﻣﺮ ﻋ ﺎ ﻣ ﻣﺏﻮﺟﻬﹺﻰ ﻭﺘﻳﻨ ﻻﹶﻭ Terjemahannya: Kewajiban orang tua mendidik anak seperti di atas, baru berakhir setelah menjadi dewasa dan pandai. 53 Analisis: Pada terjemahan di atas kata yang ditonjolkan itu pada kata orangtua, sebab kata tersebut ada sebuah penekanan unsur perintah bagi orangtua untuk mendidik anaknya. Sehingga, kata orangtua itu patut diletakkan di awal kalimat dan kadudukannya sesuai dengan tata bahasa baku bahasa Indonesia. Kemudian kata menjadi itu seharusnya dihilangkan saja, sebab kata setelah itu sudah mewakili kata menjadi. Jadi terjemahannya: orang tua berkewajiban mendidik anak seperti di atas, baru berakhir setelah dewasa dan pandai. 53
‘Aly, As’ad, Tarjamah Fath al-Muîn 1, (Kudus: Menara Kudus, 1980), hal 14, baris 4
72
(2)
ﺕﻔﹸﻮ ﻓﹶﺘ.ﻟﹸﻪ ﺍﹶﻭﻮﺎ ﻫﻬﻧﺎ ﻗﹶﺎﺭﻣ ﻭ.ﻪﻨﺀٍ ﻣﻲﻞﹺ ﺷﺎ ﺇِﻟﹶﻰ ﻏﹶﺴﻬﺒﺤﺼﺘﺴ ﻳﺚﹸ ﻟﹶﻢﻴﻞﹶ ﺣﺎ ﻗﹶﺒﻤﺎ ﺑﻬﻧﻲ ﻗﹶﺮﻜﹾﻔﻻﹶﻳﻭ .ﺔ ﺍﻟﻨﹺﻴﺪﻌ ﺑﻔﹶﺔ ﺍﻟﺸﺓﺮﻤ ﻛﹶﺤﻪﺟ ﺍﻟﹾﻮﻦﺀٌ ﻣﻲﺎ ﺷﻬﻌﻞﹶ ﻣﺴﻐ ﺇِﻥﹾ ﺍﻧﺔﻀﻤﻀﺔﹸ ﺍﻟﹾﻤﻨﺳ Terjemahannya: Tidak boleh meletakkan niat pada sebelum basuhan wajah, sekira tidak mungkin mempersamakannya dengan sebagian dari basuhan itu. Basuhan yang dibarengi niatlah yang dihitung awalnya basuhan. Maka lepaslah kesunahan berkumur, walaupun dapat juga terbasuh sebagian wajah bersama kumur, seperti bibir luar sesudah niat.54 Analisis: Sudah kita ketahui bahwa terjemahan di atas yang kata yang ditonjolkan itu pada kata meletakkan kemudian diiringi dengan kata niat. Pada kata ﺗﻔﻮتditerjemahkan sebagai lepaslah ini tidak tepat dalam menetapkan diksi, ini menyebabkan terjemahan yang tidak efektif, pembaca yang awam pun mungkin tidak akan memahami apa yang dimaksud dengan lepas, maka diksi yang sesuai Penulis ganti kata lepas menjadi hilang55. Pada frasa sesudah niat pun itu masih tidak tepat untuk diletakkan di akhir kalimat, sebab tidak revelan.
54
55
‘Aly, As’ad, Tarjamah Fath al-Muîn 1, (Kudus: Menara Kudus, 1980), hal 28, baris 3 Munawwir, Warson Achmad. Kamus al-Munawwir. (Surabaya: Pustaka Progressif 1997),
hal. 1076
73
Akhirnya penulis merubah terjemahannya menjadi: Meletakkan niat pada sebelum basuhan wajah itu tidak boleh, sekiranya tidak mempersamakan dengan sebagian dari basuhan itu. Basuhan yang dibarengi dengan niatlah yang dihitung awal basuhan. Maka, hilanglah kesunahan berkumur ketika sesudah niat, walaupun dapat terbasuh sebagian wajah bersama kumur, seperti bibir luar. (3)
ﻦﹺﺎﻃ ﻻﹶﺑ.ﺎﻬﻴ ﻓ ﺍﹾﻟﻜﹶﺜﹶﺎﻓﹶﺔﺓﺭﺪﻨ ﻟ ﺇِﻥﹾ ﻛﹶﺜﹸﻒ ﻭﺎﺑﹺﻘﹶﺔﺭﹺ ﺍﻟﺴﻮﻌ ﺍﻟﺸﻦﻦﹴ ﻛﹸﻞﹴّ ﻣﺎﻃ ﺑﺮﹴ ﻭﻞﹸ ﻇﹶﺎﻫ ﻏﹶﺴﺠﺐ ﹺﻳﻭ .ﻓﹰﺎﺮﺎﻃﹸﺐﹺ ﻋﺨﺲﹺ ﺍﻟﺘﻠﺠﻰ ﻣ ﻓﻪﻼﹶﻟ ﺧﻦﺓﹸ ﻣﺮﺸ ﺍﻟﹾﺒﻩﺮ ﺗﺎ ﻟﹶﻢ ﻣ:ﻒﻴ ﺍﻟﹾﻜﹶﺜ ﻭ.ﺎﺭﹺﺽﹴ ﻋ ﻭﺔﻴﺤ ﻟﻒﻴﻛﹶﺜ Terjemahannya: Wajiblah membasuh luar dan dalamnya setiap rambut di daerah muka, sekalipun lebat, karena tidak biasa rambut tumbuh lebat di sana. Tetapi tidak diwajibkan membasuh ke bagian dalam jenggot atau godek yang lebat. Norma lebat yaitu: dalam majlis omong-omong biasa, kulit tidak tampak dari sela-sela rambutnya.56 Analisis: Untuk menganalisis terjemahan di atas, Penulis tertuju pada klausa membasuh luar dan dalamnya setiap rambut di daerah muka itu yang menjadi penonjolan kata terletak pada kata membasuh. Dalam pemilihan diksi terdapat tidak enak untuk dibaca yaitu pada kata ِ ﻧُﺪْرَةyang diterjemahkan tidak biasa. Kata tidak biasa itu seharusnya
56
‘Aly, As’ad, Tarjamah Fath al-Muîn 1, (Kudus: Menara Kudus, 1980), hal 30, baris 3
74
diganti atau lebih menghemat kata dalam bahasa sasaran, Penulis menerjemahkan kata
ِ ﻧُﺪْرَةmenjadi jarang57, dan pada kata tempat
di sana pun seharusnya dirubah
menjadi di dalamnya supaya lebih sesuai. Pada kalimat
ﺎﻃﹸﺐﹺﺨﺲﹺ ﺍﻟﺘﻠﺠﻰ ﻣﻓ
yang di
terjemahkan literlek sekali ‘dalam majlis omong-omong biasa’, sehingga pesannya belum tersampaikan serta mungkin si pembaca pun akan bingung sekali apa yang yang dimaksud dengan terjemahan tersebut. Pada halnya, kalimat
ﺎﻃﹸﺐﹺﺨﺲﹺ ﺍﻟﺘﻠﺠﻰ ﻣﻓ
mengandung sebuah pesan keadaan ‘ketika kita sedang berhadapan dengan orang’. Penulis menerjemahkan Tsu di atas menjadi: Membasuh luar dan dalamnya pada setiap rambut di daerah muka itu hukumnya wajib, meskipun lebat. karena jarang rambut yang lebat terdapat di dalamnya. Akan tetapi tidak wajib membasuh ke bagian dalam jenggot atau godek yang lebat. Lebat itu adalah kulit tidak tampak dari sela-sela rambutnya ketika sedang berhadapan dengan orang menurut kebiasaan (adat).
57
Munawwir, Warson Achmad. Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997),
hal. 1402
75
E. Variasi Panjang Pendeknya Kalimat 1. Variasi panjangnya kalimat (a)
ﻞﹾﻮﹺ ﺑﻀﻊﹺ ﺍﻟﹾﻌﻴﻤﺎﺀِ ﺟﻡﹺ ﺍﻟﹾﻤﻮﻤ ﻋ ﱡﻘﻦﻴ ﺗﺠﹺﺐﻻﹶﻳ ﻭ.ﻪﺘﺎ ﺑﹺﻨﹺﻴﻤﻬﻨﻞﹸ ﻋﺴ ﺍﻟﻐﺃَﻩﺰ ﺃَﺟﺐﻨﺍﹶﺟﺙﹶ ﻭﺪ ﺍﹶﺣﻟﹶﻮﻭ . ﺑﹺﻪﺔﹸ ﺍﻟﻈﱠﻦﻲ ﻏﹶﻠﹶﺒﻜﹾﻔﻳ Terjemahan: Apabila seorang berhadats kecil di samping junub, sudah cukup ia mandi jinabah dibarengi niat wudhu. Lagi pula ia tidak wajib yakin bahwa air telah rata pada seluruh tubuhnya, cukup mengira saja.58
Analisis: Dalam kasus terjemahan di atas, Penulis menerapkan strategi dengan menerapkan menambahkan ()زﯾﺎدة, yaitu dilakukan untuk memperjelas makna, artinya seorang penerjemah memasukkan informasi tambahan di dalam teks terjemahan karena ia berpendapat pembaca memerlukannya. 59 Penambahan ini bukanlah masalah pilihan tetapi keharusan.
58
‘Aly, As’ad, Tarjamah Fath al-Muîn 1, (Kudus: Menara Kudus, 1980), hal 34, baris 2 Abdul Munip, Strategi dan Kiat Menerjemahkan Teks Bahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2009), hal. 27 59
76
Pada teks di atas terdapat hilangnya kata yang seharusnya kata tersebut dimunculkan terjemahannya yaitu salah satunya berupa hurf ﺑﻞ. Ketika terjemahan tersebut dicantumkan mungkin akan lebih relevan dengan kalimat sebelumnya. Jadi, di sini penulis mencantumkan penambahan kata dalam terjemahan (bahasa sasaran), kemudian Penulis menambahkan klausa itu dalam keadaan setelah kata di samping, sebab kata junub merupakan suatu keadaan yang dialami oleh seseorang. Oleh karena itu, supaya pesan terjemahannya tersampaikan, Penulis menambahkannya dengan klausa itu dalam keadaan. Penulis pun menghilangkan kata telah. menghilangkan kata sudah, kata dibarengi pun penulis rubah menjadi disertai karena kata dibarengi itu kata yang tidak sesuai dalam tata bahasa Indonesia. Terakhir Penulis merubah struktur kalimat yang awalnya dibelakang diletakkan ditengah-tengah kalimat. Jadi terjemahan di atas yaitu: Apabila seorang berhadas kecil disamping itu ia juga dalam keadaan junub, ia cukup mandi jinabah disertai dengan niat wudhu, ia pun tidak harus meyakini, tetapi cukup mengira saja bahwa air itu sudah merata ke seluruh tubuh. 2. Variasi Pendeknya Kalimat (a)
77
ﻜﹸﻦ ﻳﺫﹶﺍ ﻟﹶﻢﻔﹶﺔﹶ ﺍﻨﹺﻴ ﺣﺎﹶﺑﹺﻲﻠﹶﺎﻓﹰﺎ ﻟﺎ ﺧﻧﻬﻗﹶﺮﺎ ﻭﻬﻈﹾﻤﻋﺎ ﻭﻫﺮﻌﻛﹶﺬﹶﺍ ﺷﺎ ﻭﻬﻣﺴِﻞﹾ ﺩ ﻳ ﺇِﻥﹾ ﻟﹶﻢﺔﹲ ﻭﺠﹺﺴﺔﹶ ﻧﺘﻤﻴ ﻓﹶﺎﻟﹾ ﺎﺏﹴ ﺇِﻥﹾﺔﹶ ﺫﹸﺑﺘﻴﻠﱢﻰ ﻣﻞﹶ ﺍﳌﹸﺼﻤﺫﹶﺍ ﺣ ﺍﻼﹶﺓ ﺍﻟﺼﺔﺤ ﺑﹺﺼﻘﹶﻼﹶﻥﺴﺮﹺ ﺍﻟﹾﻌﺠ ﺣﻦﻆﹸ ﺍﺑﺎﻓﻰ ﺍﻟﹾﺤﺍﹶﻓﹾﺘ ﻭﻢﺳﺎ ﺩﻬﻠﹶﻴﻋ .ﻪﻨ ﻋﺍﺯﺮﺘﺣ ﺍﻟﹾﺎﻖﺸﻞﱟ ﻳﺤﻰ ﻣﻛﹶﺎﻥﹶ ﻓ Terjemahannya: Karena itu, bangkai adalah najis sekalipun tidak berdarah beredar. Demikian pula rambut, tulang, dan tanduknya. Lain halnya pendapat Abu Hanifah, bila pada kesemuanya itu tidak terdapat lemaknya. Al-Hafidh Ibnu Hajar mengeluarkan fatwa, bahwa shalatnya orang yang membawa bangkai lalat adalah tetap sah, jika ia berada di tempat yang terasa sulit untuk menyingkirkan dari bangkai lalat tersebut.60 Analisis: Untuk memperpendek kalimat terjemahan di atas, Penulis menggunakan teknik membuang, yaitu strategi di mana mengharuskan seorang penerjemah untuk membuang kata dalam bahasa sasaran yang disebut dalam bahasa sumber. 61 Adanya beberapa kata dalam Bahasa sumber yang tidak diterjemahkan. Pertimbangannya adalah kata atau bagian teks bahasa sumber tersebut tidak begitu penting bagi keseluruhan teks dan biasanya agak sulit untuk diterjemahkan. 62 Dalam kasus terjemahan di atas, Penulis nmembuang kata-kata yang mungkin tidak merubah pesan yang ingin diungkapkan, seperti pada, ini merupakan pemborosan kata, pada frasa mengeluarkan fatwa cukup memfatwakan, karena arti dari 60
‘Aly, As’ad, Tarjamah Fath al-Muîn 1, (Kudus: Menara Kudus, 1980), hal 80, baris 2 Moh. Syarif Hidayattullah, Tarjim al-An (Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia), (Tangerang: Dikara, 2011), hal. 29 62 Abdul Munip, Strategi dan Kiat Menerjemahkan Teks Bahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2009), hal. 27 61
78
menfatwakan itu sama dengan mengeluarkan fatwa atau memberikan fatwa. Kemudian kata dari seharusnya tidak perlu dicantumkan sebab frasa menyingkirkan dari bangkai sama saja dengan menyingkirkan bangkai. Menurut Penulis terjemahan di atas dapat diperpendek menjadi: Karena itu, bangkai adalah najis sekalipun darah tidak mengalir. Demikian pula rambut, tulang, dan tanduknya. Lain halnya pendapat Abu Hanifah, jika kesemuanya itu tidak terdapat lemaknya. Al-Hafiz Ibnu Hajar menfatwakan, bahwa shalatnya orang yang membawa bangkai lalat adalah tetap sah, jika ia berada di tempat yang terasa sulit untuk menyingkirkan dari bangkai lalat tersebut. (b)
ﻪﻟﻮﺧ ﺩ ﻇﹶﻦ:ﺎﻀ ﺃَﻳﻁﹸ ﻟﹶﻪﺮﺘﺸﻳ ﻭ.ﺔﺎﺿﺤﺘﺴ ﻣﺲﹴ ﻭﻠ( ﻛﹶﺴﺙﺪﻢﹺ ﺣﺍﺋﺪ ﻟﻗﹾﺖﻝﹸ ﻭﻮﺧ )ﺩ:ﺎﻬﺴﺎﻣ( ﺧ)ﻭ ﺔﻴﺤ ﺗ ﻭ،ﻞﹺﺴﻞﹶ ﺍﻟﹾﻐ ﻗﹶﺒﺓﺎﺯﻨ ﺟﻼﹶﺓﺼﻟ ﻭ،ﻪﻠﻌ ﻓﻗﹾﺖﻞﹶ ﻭ ﻗﹶﺒﻗﱠﺖﺆﻔﹾﻞﹴ ﻣ ﻧﺽﹴ ﺃَﻭﻔﹶﺮﻢﹺ ﻟﻤﻴﺘﺿَّﺄ ﻛﹶﺎﻟﹾﻤﻮﺘﻓﹶﻼﹶ ﻳ .ﺽﹺﻞﹺ ﺍﻟﹾﻔﹶﺮﻌﻞﹶ ﻓ ﻗﹶﺒﺓﺮﺐﹺ ﺍﹾﻟْﻤُﺘَﺄ ّﺧﺍﺗﻭﻠﺮﻟ ﻭ،ﺠﹺﺪﺴﻝﹺ ﺍﻟﹾﻤﻮﺧﻞﹶ ﺩﻗﹶﺒ Terjemahannya: Syarat wudlu nomor lima : masuk waktu, bagi orang yang selalu berkeadaan chadats, semisal orang beser kencing dan wanita istihadloh. Khusus bagi orang yang seperti ini, disyaratkan: perkiraannya (lebih-lebih keyakinannya) bahwa waktu telah tiba. Karena itu, ia belum boleh berwudlu, seperti halnya orang yang bertayammum untuk shalat fardlu atau shalat sunnah yang tertentu waktunya sebelum masuk waktu pekerjaannya, atau untuk shalat jenazah sebelum dimandikannya, atau untuk
79
Tahiyyatil Masjid sebelum ia masuk ke masjid, atau untuk shalat Rowatib Ba’diyah sebelum melakukan shalat fardlunya. 63 Analisis: Untuk memperpendek kalimat pada terjemahan di atas, Penulis banyak membuang kata-kata yang seharusnya tidak perlu dicantumkan serta terdapat kata-kata yang tidak sesuai dengan kaidah tata bahasa, seperti kata chadats. Kata chadats seharusnya bertuliskan hadats. Meskipun terjemahan di atas sudah dapat dipahami, tapi terjemahan masih belum dikategorikan sebagai kalimat yang sedikit tapi pesannya mudah dipahami. Oleh karena itu Penulis merubah terjemahan di atas menjadi: Syarat wudu yang ke lima: masuk waktu, bagi orang yang berhadats, seperti orang yang beser kencing64 dan wanita yang istihadah65. Untuk orang ini disyaratkan: perkiraannya (terlebih keyakinannya) waktu telah tiba. Karena itu, ia belum boleh berwudu -seperti halnya orang yang tayamum- untuk shalat yang wajib, shalat sunah yang tertentu waktunya yang sbelum waktu melakukan shalat, shalat jenazah sebelum dimandikan, shalat tahiyyah al-masjid sebelum masuk masjid atau untuk shalat rawatib ba’diyah sebelum melakukan shalat wajib. F. Variasi pembentukkan me- dan di(1)
63 64
‘Aly, As’ad, Tarjamah Fath al-Muîn 1, (Kudus: Menara Kudus, 1980), hal 26, baris 2 Beser kencing, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebentar-sebentar
kencing. 65
Istihadoh dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yaitu darah yang keluar dari faraj wanita yang tidak biasa. Seperti darah haki dan nifas (darah penyakit)
80
ﺍﺭ ﺍﻟﹾﺒﹺﺪﺔﹲ ﻭﻨ ﺳﻪﺎﹶﻧ ﻟﺐﻴﺗﺮ ﺍﻟﺘﺪﺇِﻥﹾ ﻓﹶﻘﺬﹾﺭﹴ ﻭ ﺑﹺﻌﺎ ﻓﹶﺎﺕﻠﹶﻰ ﻣﺬﹾﺭﹴﻋﺮﹺ ﻋﻴ ﺑﹺﻐﺎ ﻓﹶﺎﺕ ﻣﻢﻳﻘﹾﺪ ﺗﺠﹺﺐﻳﻭ .ﺍﺟﹺﺐﻭ
Terjemahannya: Wajib mendahulukan qodlo’ shalat yang tertinggal tanpa udzur, atas qodlo’ shalat yang tertinggal suatu udzur, walaupun menyebabkan tidak tertibnya waktu. Karena tertib itu sunah, sedangkan bersegera adalah wajib. 66 Analisis: Dalam menganalisis pembentukkan me-, dan di- ini Penulis merubah posisi kalimat. Terjemahan di atas tidak sesuai dengan keefektifan kalimat dalam bahasa Indonesia, sebab subjek diletakkan sesudah predikat. Predikat di sini tertuju pada kata wajib. Untuk kata mendahulukan seharusnya diletakkan setelah predikat, dan berubah menjadi kata didahulukan. Perubahan bentuk me- menjadi bentuk di- ini karena terjemahan masih belum dapat dipahami, serta tidak ada kenyamanan untuk dibaca. Pada kata atas juga perlu dirubah menjadi kata daripada, sebab konteks pada terjemahan di atas merupakan sebuah perbandingan antara klausa qodlo’ shalat yang tertinggal tanpa udzur dengan qodlo’ shalat yang tertinggal suatu udzur. Kata daripada ini berfungsi untuk membandingkan suatu benda atau hal dengan benda
66
‘Aly, As’ad, Tarjamah Fath al-Muîn 1, (Kudus: Menara Kudus, 1980), hal 12, baris 3
81
atau hal lainnya. Kata wajib pun perlu dirubah menjadi kata harus, supaya kalimat dalam terjemahannya pun sesuai dan relevan dengan kalimat sesudahnya. Untuk itu, Penulis menarik terjemahan di atas yang sesuai dalam bahasa Indonesia menjadi: ‘Qada’ shalat yang tertinggal tanpa udzur harus didahulukan daripada qada’ shalat yang tertinggal karena suatu udzur, meskipun ini menyebabkan tidak tertibnya waktu. Karena tertib itu sunah, sedangkan bersegera adalah wajib.’ (2)
ﻮ ﻫﻚ ﺫﹶﻟﻊ ﻣﺎ ﻭﺴﺠ ﻧﻟﹶﺪﻴﺎ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺍﻟﹾﻮﻣ ﺁﺩﺕﻟﹶﺪ ﻓﹶﻮﺔﻴﺍﻣﻠﹶﻰ ﺁﺩ ﻋﺮﺰﹺﻳﻨ ﺧ ﺍﹶﻭﺍ ﻛﹶﻠﹾﺐﺰ ﻧ ﻟﹶﻮ:ﺎﻀﻭﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃَﻳ .ﻪﺘﺴﻼﹶﻣﻟﹶﻰ ﻣﺮ ﺍ ﻄﹶﻀﺎ ﻳﻤﻔﹶﻰ ﻋﻌ ﻳﻪ ﺍﹶﻧﺮﻇﹶﺎﻫ ﻭ.ﺎﺮﹺﻫﻏﹶﻴ ﻭﻠﹶﺎﺓ ﺑﹺﺎﺍﻟﺼﻜﹶﻠﻒﻣ Terjemahannya: Guru kita meneruskan: andaikata seekor anjing atau babi menyetubuhi seorang wanita yang akhirnya membuahkan seorang anak, maka anak ini dihukumi benda najis. Dalam pada itu, ia termasuk orang mukallaf yang wajib shalat dan ibadahibadah lain. Yang jelas, persentuhan secara terpaksa dengan dia diampuni adanya. 67
Analisis: Pada terjemahan di atas memang sudah dapat dipahami, namun Penulis ingin merubah terjemahan di atas yang awal terjemahannya aktif menjadi pasif. Penulis merubah kalimat babi menyetubuhi seorang wanita menjadi seorang wanita disetubuhi oleh babi. Kemudian Penulis merubah kata andaikata menjadi 67
‘Aly, As’ad, Tarjamah Fath al-Muîn 1, (Kudus: Menara Kudus, 1980), hal 83, baris 5
82
seandainya, sebab apabila kata andaikata tetap dicantumkan, maka akan menjadi tidak enak dibaca dan tidak tepat. Pada frasa dalam pada itu pun sangat mengganggu konsentrasi pembaca, sehingga itu membuat kata yang tidak sesuai dengan kata yang sesudahnya. Frasa dalam pada itu seharusnya dirubah mejadi sehubungan hal itu. Pada kata adanya pun seharusnya dihilangkan saja karena tidak berpengaruh pada terjemahan ini, bahkan jika dicantumkan akan mengakibatkan pemborosan kata. Jadi terjemahan dalam kasus ini yaitu: Guru kita meneruskan: seandainya seorang wanita yang disetubuhi oleh seekor anjing kemudian akhirnya membuahkan seorang anak, maka anak tersebut dinyatakan benda najis. Sehubungan dengan itu, ia juga termasuk orang mukallaf yang wajib shalat dan boleh melakukan ibadah-ibadah lain. Yang jelas, apabila persentuhan itu dilakukan secara terpaksa, dia pun dapat diampuni. G. Variasi dengan posisi dalam kalimat
ﻚﺃَ ﺫﹶﻟ ﻗﹶﺮﻦ ﺇِﻥﱠ ﻣ:ﺮﹴﺒﺨ ﻟﻲﺳﺔﹸ ﺍﻟﹾﻜﹸﺮ ﺍﹶﻳﺔﻗﹶﺎﻣ ﺍﻟﹾﺎ ﻭ ﺍﻟﹾﺎﹶﺫﹶﺍﻥﻦﻴﺃ ﺑﻘﹾﺮ ﺃَﻥﹾ ﻳﺐﺤﺘﺴﺮﹺ ﻳﺤﻰ ﺍﻟﹾﺒ ﻓﺎﻧﹺﻲﻳﻭﻗﹶﺎﻝﹶ ﺭ .ﻦﹺﻴﻼﹶﺗ ﺍﻟﺼﻦﻴﺎ ﺑ ﻣﻪﻠﹶﻴ ﻋﺐﻜﹾﺘ ﻳ ﻟﹶﻢﺔﻗﹶﺎﻣ ﺍﻟﹾﺎ ﻭ ﺍﻟﹾﺎﹶﺫﹶﺍﻥﻦﻴﺑ Terjemahannya: Ar-Ruuyaaniy berpendapat di dalam al-Bahr: sunah membaca ayat Kursiy di waktu antara adzan dengan iqomah, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang
83
artinya: “sungguh orang yang membaca ayat Kursiy di waktu antara adzan dengan iqamah, tidak akan dicatat dosa-dosa yang terjadi antara dua shalatnya”.68
Analisis: Dalam terjemahan di atas itu memang sudah dapat dipahami oleh pembaca, namun menurut Penulis, variasi posisi kalimat terjemahan di atas terdapat sebuah penekanan dalam kalimat. Kalimat yang menjadi penekanan itu sunah membaca ayat Kursiy di waktu antara adzan dengan iqomah. Dalam variasi posisi kalimat, Penulis merubah posisi kalimat terjemahan di atas yaitu jenis kalimat yang menjadi penekan itu di letakkan di awal kalimat. Kemudian Pada kata di di sini diganti dengan kata pada. Jadi dalam hal ini Penulis merubah terjemahan di atas menjadi: "Membaca ayat Kursî pada waktu antara adzan dengan iqamah hukumnya sunah, ini merupakan pendapat Ar-Rȗyâniy di dalam kitab al-Bahr, seperti yang disebutkan dalam sebuah hadits yang artinya: “barang siapa yang membaca ayat Kursiy pada waktu antara adzan dengan iqamah, tidak akan dicatat dosa-dosa yang terjadi antara dua shalatnya”.
68
‘Aly, As’ad, Tarjamah Fath al-Muîn 1, (Kudus: Menara Kudus, 1980), hal 230, baris 5
84
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah melakukan analisis secara keseluruhan pada buku terjemahan Fath alMu’în pada jilid 1, maka Penulis menyimpulkan bahwa tidak semua kitab terjemahan itu sudah memenuhi persyaratan terjemahan. Menurut Penulis buku terjemahan yang baik dan terjemahannya yang berkualitas adalah jika terjemahannya menggunakan kalimat efektif. Oleh karena itu, sebagai penerjemah kita harus menguasai persyaratan kalimat efektif, dan penejelasan ini sudah Penulis
jelaskan
pada
bab
sebelumnya.
Setelah
menaganlisis
Penulis
mendapatkan beberapa kasus yang mungkin ini berakibat dapat menyulitkan
85
pembaca untuk mengungkapkan pesan dan menjadikan kurang efektifnya kalimat. Diantara kasus tersebut adalah: 1. Adanya ketidakutuhan dalam struktur sintaksis. 2. Adanya kalimat yang tidak logis. 3. Adanya ketidaktepatan diksi. 4. Adanya ketidakefesien penggunaan kata yaitu pemakaian kata kerja gabung, kata depan (atas, daripada, kepada).
B. Saran Setelah menganalisis objek data, Penulis menyarankan ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam penerjemahan yaitu sebagai berikut: 1. Seorang penerjemah ketika menerjemahkan harus memahami isi alinea pada teks sumber, agar mampu memahami dan menyampaikan pikiran pokok dalam Bsa dengan tepat. 2. Seorang penerjemah juga harus memahami perlu tidaknya penyesuaian struktur
untuk
memudahkan
mengatasi
kalimat
yang
rumit
dan
mengefektifkan penerjemahan, pemahaman makna tanda baca agar maksud Bsu tersampaikan dalam Bsa dengan pemakaian tanda baca yang tepat, dan mengetahui saat tepat menghindari kata-kata mubadzir.
86
3. Seorang penerjemah tidak terlalu bebas dalam menerjemahkan sebuah karya tulis, sehingga terjemahan yang dihasilkan tidak menyimpang dari karya aslinya. 4. Seorang penerjemah harus pandai mencari padanan kata yang sesuai dengan naskah aslinya. 5. Seorang penerjemah harus jujur dalam menerjemahkan sebuah karya tulis, sehingga pesan-pesan yang disampaikan oleh Penulis tidak hilang oleh perubahan kalimat yang dilakukan oleh penerjemah. Penulis sadar bahwa penelitian ini jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, kiranya penelitian ini harus diteruskan serta dijabarkan kembali, khususnya pada tahap gramatikal yang terdapat dalam buku terjemahan Fath al-Mu’în.
87
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, ibn ‘Aqil Bahaud Din. Terjemahan Alfiyah Syarah Ibn ‘Aqil. Bandung: Sinar Baru Algesindo.2009. Akmaliyah. Wawasan dan Teknik Terampil Menerjemahkan (Edisi Revisi). Bandung: N & Press.2007. Al-Malibâry, Zain al-Dîn ibn ‘Abd al-‘Azîz. Fath al-Mu’în bi Syarhil Qurrat al‘Ayun. Penerjemah Ali As’ad. Kudus: Menara Kudus. 1989. Jilid I. Aqil, Siradj Aqil, Hidayatullah, Syarif, dkk. Pesantren Masa Depan (Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren). Bandung: Pustaka Hidayah. 1999. Arifin, Zaenal. E. Tasai, Amran. S. cermat Berbahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Medyatama Sarana Perkasa. 1988.
88
Bagus, Putrayasa Ida. Kalimat Efektif (Diksi, Struktur dan Logika). Bandung: Retrika Aditama. 2002. ---------Analisis Kalimat (Fungsi, Kategori, dan Peran). Bandung: Retrika Aditama. 2007. Burdah, Ibnu. Menjadi Penerjemah (Wawasan dan Metode Penerjemah Teks Arab). Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 2004. Chaer, Abdul. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. 2000. Choliludin. The Technique of Making Idiomatic Translation. Bekasi: Kesaint Blanc. 2006. Dian, Nafi. M, ‘Ala Abdul, Anisa Hindun, Aziz, Abdul. Praktis Pesantren. Yogyakarta: Instite for Training and Delopment (ITD). 2007. Fitriyah, Muhammad ZA, Abdul, Ghani Ramlan. Pembinaan Bahasa Indonesia. Jakarta: UIN Jakarta Press. 2007. Hendoro, Hoed Beni. Penerjemahan dan Kebudayaan. Jakarta: Dunia Pustaka. 2006. Hidayatulloh,Syarif Moch. Tarjim al-An Cara Mudah Menerjemahkan ArabIndonesia. Tangerang: Dikara. 2011. http://saifanshori.blogspot.com
Keraf, Gorys. Komposisi. NTT: Nusa Indah. 1994.
89
M. Muliono, Anton, Dardjowidjoyo, Soenjono. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Machali, Rochayah. Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta: Grasindo. 2000. Moentaha, Solihen. Bahasa dan Terjemahan (language and Translation The New Millenium Publication). Jakarta: Kesaint Blanc. 2006. Munawwir, Warson Achmad. Kamus al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progressif. 1997 Munip, Abdul. Strategi dan Kiat Menerjemahkan Teks Arab ke dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Teras. 2009. Ramlan, Arif, Muh. Penerjemahan Teks Inggris. Yogyakarta: Pyramid Publisher. 2006. Rusnandar, dkk. Bahasa Indonesia untuk SMK. Bandung: Galaxi Puspa Mega. 2001. Saeful.
Syaikh
Zain
al-Dîn
ibn
‘Abd
al-‘Azîz
al-Malîbâry.
http://saifanshori.blogspot.com Sahal, Mahfudh. Nuansa Fiqh Sosial. Yogyakarta: LkiS. 1994. Sayogi, Frans. Penerjemahan Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2008.
90
Sudarmo, A. Rahman Eman. Kemampuan Bahasa Indonesia untuk Meningkatkan Mutu Guru. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan kebudayaan. 1992. Sudarna, Caca. Materi Bahasa Indonesia untuk Meningkatkan Mutu Guru. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1992. Syihabudin. Penerjemah Arab-Indonesia (Teori dan Praktek). Bandung: Humaniora. 2005. Widyamartaya A. Seni Menerjemahkan. Yogyakarta: Kanisisus. 1989.