KOMPETENSI PENERJEMAHAN DAN DAMPAKNYA PADA KUALITAS TERJEMAHAN
KOMPETENSI PENERJEMAHAN DAN DAMPAKNYA PADA KUALITAS TERJEMAHAN
Yang terhormat,
Pidato Pengukuhan Guru Besar Penerjemahan Pada Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Disampaikan dalam Sidang Senat Terbuka Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada Tanggal 19 April 2008
Oleh : Prof. Drs. M.R. Nababan, M.Ed., M.A., Ph.D.
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008 0
1. Ketua dan para anggota Dewan Penyantun Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2. Rektor/Ketua Senat, Pembantu Rektor, Sekretaris Senat dan para Anggota Senat Universitas Sebelas Maret Surakarta, 3. Para Pejabat Sipil dan Militer 4. Direktur, Pembantu Direktur, dan para Ketua/ Sekretaris Program Studi di lingkungan Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, 5. Dekan, para Pembantu Dekan, para Ketua dan Sekretaris Jurusan di lingkungan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Surakarta, 6. Kepala Laboratorium/Kepala Bagian, Kepala Tata Usaha, dan KaSubBag serta seluruh Tenaga Administrasi di lingkungan Universitas Sebelas Maret Surakarta, 7. Para teman sejawat, para mahasiswa S2 dan S3 Linguistik Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret dan para mahasiswa Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, 8. Para Tamu undangan, sanak keluarga, handai taulan, serta hadirin sekalian yang saya muliakan. Salam sejahtera untuk kita semua, 1
Pada kesempatan yang berbahagia ini, pertama, marilah kita panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala perlindungan, kesehatan, dan rahmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada kita semua sehingga kita dapat berkumpul di ruangan ini untuk menghadiri Sidang Senat Terbuka Universitas Sebelas Maret Surakarta dalam rangka pengukuhan saya sebagai Guru Besar Ilmu Penerjemahan melalui loncat jabatan pada Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kedua, perkenanlah saya mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para hadirin yang telah berkenan meluangkan waktu yang sangat berharga untuk menghadiri upacara pengukuhan ini. Hari ini merupakan hari yang sangat membahagiakan bagi saya dan keluarga saya, karena saya mendapat kesempatan untuk menyampaikan pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Ilmu Penerjemahan pada Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Hadirin yang saya hormati, Untuk memenuhi kewajiban dan tradisi akademik, pada kesempatan ini saya akan menyampaikan pidato pengukuhan saya yang berjudul Kompetensi Penerjemahan dan Dampaknya pada Kualitas Terjemahan. Judul ini saya pilih untuk memberikan gambaran bahwa kompetensi penerjemahan dan kualitas terjemahan mempunyai hubungan timbal balik. Jika suatu terjemahan berkualitas, proses yang dilakukan oleh penerjemah untuk menghasilkan terjemahan tersebut pasti berkualitas dan sudah barang tentu orang yang melakukan 2
proses penerjemahan tersebut mempunyai kompetensi penerjemahan yang baik pula. Sebaliknya, orang yang memiliki kompetensi penerjemahan yang sangat rendah tidak akan mampu melakukan proses penerjemahan dengan baik dan terjemahan yang dihasilkannya tidak akan berkualitas pula. Naskah pidato pengukuhan ini terdiri atas tujuh bagian utama. Bagian pertama memberi gambaran ringkas tentang peran penting penerjemah dalam komunikasi interlingual. Bagian kedua membahas kompetensi bilingual. Bagian ketiga membahas kompetensi penerjemahan dan perkembangan kompetensi penerjemahan. Bagian keempat menguraikan istilah penerjemah dan tipe-tipe penerjemah. Bagian kelima menjelaskan kriteria terjemahan yang berkualitas. Bagian keenam membahas dampak kompetensi penerjemahan pada kualitas terjemahan. Bagian ketujuh merupakan bagian penutup, yang dilanjutkan dengan ucapan terima kasih.
I. Peran Penting Penerjemah dalam Komunikasi Interlingual Hadirin yang saya hormati, Dalam suatu seminar, E. David Seals, presiden AMC Entertainment International menyatakan, “We, the people doing international business, are the ones bringing the world together, not the diplomats.” Genser menambahkan, “But most can’t do it without translators and interpreters because we are the facilitators who allow them to communicate with 3
each other.” (1994: 59). Pernyataan Genser tersebut menunjukkan bahwa penerjemah merupakan fasilitator yang memungkinkan dua pihak yang tidak sebahasa dapat berkomunikasi dengan baik. Sejalan dengan pernyataan di atas, hampir dalam setiap literatur teori penerjemahan disebutkan bahwa penerjemah mempunyai peranan yang sangat penting dalam komunikasi interlingual. Peranan penting penerjemah tersebut akan sangat menonjol apabila pihak-pihak yang terlibat dalam suatu komunikasi tidak saling memahami sebagai akibat dari perbedaan sistem kebahasan dan budaya yang mereka miliki. Fenomena yang seperti itu dapat ditemukan dalam kehidupan kita sehari-hari. Proses persidangan di pengadilan yang melibatkan orang asing sebagai saksi atau terdakwa, misalnya, tidak akan mungkin berlangsung dengan baik tanpa kehadiran seorang penerjemah (baca: alihbahasawan). Demikian pula, dokumen-dokumen seperti ijazah, transkrip akademik, akte kelahiran, akte perkawinan yang dipersiapkan oleh para dosen Indonesia yang hendak studi lanjut keluar negeri tidak akan dapat diproses lebih lanjut tanpa kehadiran penerjemah yang bertugas untuk menerjemahkan dokumendokumen tersebut ke dalam bahasa asing. Dalam skala yang lebih luas, ilmu pengetahuan dan teknologi yang berasal dari negara-negara barat akan sulit kita cerna jika kita tidak memiliki terjemahan buku yang memuat kedua bidang tersebut. Peranan penting para penerjemah dalam menjembatani kesenjangan komunikasi tidak selalu sejalan dengan penghargaan yang mereka terima (Nababan, 2004). Di satu sisi, para penerjemah dituntut untuk mampu menghasilkan 4
terjemahan yang berkualitas. Di sisi lain, penghargaan yang mereka terima tidak sebanding dengan jerih payah mereka. Jika demikian halnya, sudah saatnya bagi kita untuk menganalogikan penerjemah dengan seorang dokter spesialis, bukan dengan seorang tukang sepatu. Analogi yang saya maksudkan disajikan di bawah ini. Seorang ibu yang hendak melahirkan pasti mengetahui bahwa di dalam kandungannya terdapat bayi. Namun, dia tidak tahu cara mengeluarkan bayi tersebut. Jika proses kelahiran bayi itu harus melalui operasi, dia mempunyai dua pilihan. Pilihan pertama adalah dia pergi ke tukang sepatu dan memintanya untuk membedah kandungannya dan menjahit bekas sayatan tadi. Cara ini akan lebih cepat dan murah tetapi resikonya sangat tinggi. Pilihan kedua adalah dia meminta dokter ahli kandungan untuk melakukan pembedahan tersebut. Cara ini akan lebih lama dan mahal, tetapi resikonya sangat rendah. Seorang ibu yang cerdas dan bijaksana sudah pasti akan memilih pilihan yang kedua. Hal yang sama tentunya juga terjadi pada klien terjemahan. Seorang klien terjemahan yang cerdas dan bijaksana tidak akan meminta bantuan seorang penerjemah pemula, yang kualitas terjemahannya sulit dipertanggungjawabkan. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa pada umumnya para klien terjemahan di Indonesia cenderung menggunakan terjemahan yang cepat dan murah walau resiko yang ditimbulkannya bisa fatal. Bahkan, tidak sedikit klien terjemahan di Indonesia yang sangat mengandalkan program komputer seperti TransTool, yang hasil terjemahannya cenderung tidak akurat. Sulit dibayangkan apa yang akan terjadi jika program komputer yang seperti itu digunakan 5
untuk menerjemahkan teks-teks yang beresiko tinggi seperti teks hukum, teks kedokteran, teks keagamaan, teks teknik dan lain sebagainya.
II. Kompetensi Bilingual Hadirin yang saya hormati, Di atas telah dijelaskan bahwa penerjemah mempunyai peran penting dalam komunikasi interlingual. Dia mampu menjembatani kesenjangan komunikasi karena dia mempunyai kompetensi yang baik dalam dua bahasa, yaitu bahasa sumber dan bahasa sasaran. Kemampuan yang seperti itu pada dasarnya juga dimiliki oleh komunikator lainnya, yaitu dwibahasaan atau bilingual. Oleh sebab itu, ada anggapan bahwa seseorang yang menguasai dua bahasa dapat menerjemahkan dengan baik. Atas dasar pandangan tersebut dapat dikatakan bahwa seorang dwibahasaan akan secara otomatis dapat menerjemahkan dengan baik pula. Para pakar teori penerjemahan tidak sependapat dengan pandangan tersebut. Dalam kaitan itu, perlu kiranya dipaparkan kemampuan bilingual yang dimaksudkan. Dalam Cobuild English Dictionary (1987), bilingual diartikan sebagai (1) involving or using two languages (bilingual education), (2) someone who is bilingual can speak two languages extremely fluently, usually because they learn both languages as a child. Pengertian bilingual (1) berkonotasi negatif atau pejoratif karena merujuk pada para siswa yang mengikuti kelas khusus dalam rangka meningkatkan 6
kemampuan mereka dalam bahasa kedua (baca: bahasa Inggris). Fenomena seperti ini banyak ditemukan di negaranegara penutur asli bahasa Inggris seperti Inggris, Amerika, Australia, dan Selandia Baru, yang memberikan kesempatan pada anak-anak imigran untuk meningkatkan keterampilan berbahasa Inggris mereka. Pengertian bilingual (2) berkonotasi positif karena bilingual diartikan sebagai orang yang mampu berkomunikasi dalam dua bahasa dengan baik. Kemampuan bilingual dalam menggunakan dua bahasa dengan baik sangat ditentukan oleh kompetensi komunikatif yang dimilikinya, yang mencakup: 1. Kompetensi gramatikal: pengetahuan kaidah bahasa yang meliputi kosa kata, pembentukan kata, pelafalan dan struktur kalimat. Pengetahuan dan ketrampilan yang seperti ini sangat dibutuhkan dalam memahami dan menghasilkan tuturan. 2. Kompetensi sosiolinguistik: pengetahuan dan kemampuan untuk menghasilkan dan memahami tuturan yang sesuai dengan konteks (misalnya, siapa berbicara tentang apa, dimana, kapan). 3. Kompetensi wacana: kemampuan untuk menggabungkan bentuk dan makna untuk menghasilkan teks lisan dan tulis yang padu. 4. Kompetensi strategik: penguasaan terhadap strategi berkomunikasi (Bell, 1991: 41) Bilingual mampu menggunakan dua bahasa. Tergantung pada kemampuan bilingual, situasi bilingualisme ditandai oleh adanya interferensi, campur kode, dan alih kode dalam 7
kegiatan berkomunikasi dan merupakan sifat melekat dalam penggunaan bahasa oleh bilingual. Interferensi merujuk pada penggunaan fitur suatu bahasa ketika bertutur dan menulis dalam bahasa lain (Mackey, 1970). Hal yang sama juga terjadi pada campur kode. Fenomena ini terjadi secara tidak disadari dan acapkali dipahami sebagai ketidak mampuan penulis atau penutur dalam menggunakan bahasa kedua. Sebaliknya, alihkode dilakukan secara sadar oleh penulis atau penutur dan merujuk pada penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam proposisi yang sama atau dalam suatu percakapan (Presas, 2000: 26). Alih kode tersebut, menurut Holmes (1992: 4), acap kali sangat pendek dan dilakukan terutama untuk tujuan sosial, misalnya, untuk menunjukkan identitas sosial penutur dan solidaritas dengan mitra tutur. Interferensi dan alih kode juga bisa terjadi di kalangan penerjemah. Namun tujuan interferensi dan alih kode dalam penerjemahan berbeda. Bagi penerjemah, penerjemahan bukan sekedar alihkode. Penerjemahan selalu ditandai oleh perbedaan sistem dan budaya antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Ciri utama penerjemahan ini acapkali digunakan sebagai landasan untuk menyatakan bahwa kedwibahasaan (bilingualism) merupakan fondasi dalam melakukan kegiatan menerjemahkan. Pernyataan tersebut didukung sepenuhnya oleh para pakar teori penerjemahan. Akan tetapi, penguasaan terhadap dua bahasa belum menjamin sesorang dapat menerjemahkan dengan baik.
bahasa dapat menerjemahkan dengan baik. Fakta menunjukkan bahwa pada umumnya sebagian besar anggota masyarakat di Indonesia dapat menggunakan bahasa daerah dan bahasa Indonesia dengan baik. Bahkan, tidak sedikit di antara mereka yang mampu menggunakan lebih dari dua bahasa. Namun, ketika dihadapkan pada penerjemahan dari bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia, mereka akan mengalami kendala. Penutur asli bahasa Jawa, misalnya, akan mengalami kesulitan dalam menerjemahkan kunduran bis ke dalam bahasa Indonesia. Hal yang hampir sama juga dialami oleh penutur asli bahasa Batak Tapanuli ketika berusaha menemukan padanan yang tepat untuk ungkapan tuhor ni manuk dalam bahasa Indonesia (tuhor ni manuk = uang hasil penjualan ayam). Padahal, bahasa Indonesia dan bahasa Jawa atau Batak Tapanuli masih termasuk dalam rumpun yang sama, yang pada hakikatnya memiliki banyak persamaan baik dari segi sistem maupun budaya yang melatarbelakangi kedua bahasa tersebut. Di samping itu, hampir setiap hari mereka menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa daerah baik dalam situasi formal maupun informal. Persoalan akan semakin rumit jika mereka dihadapkan pada dua bahasa (misalnya, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia) yang secara sintaksis dan sosiobudaya berbeda satu sama lain. Timbul pertanyaan, kompetensi apa saja yang dimiliki oleh seseorang sehingga dia dapat disebut sebagai penerjemah? Sebelum pertanyaan ini dijawab, ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan penerjemahan dan penerjemah.
Seguinot (1997: 106) berpendapat bahwa penerjemahan tidak hanya melibatkan bilingualisme. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tidak semua orang yang menguasai dua
Penerjemahan adalah proses pengalihan pesan dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Jika dikaji lebih dalam, yang dimaksud dengan proses pada hakekatnya adalah
8
9
proses pengambilan keputusan dalam komunikasi interlingual lintas dua budaya yang berbeda. Konsep ini menjadi sangat penting karena berhasil tidaknya suatu terjemahan menjalankan fungsinya sebagai alat komunikasi antara penulis teks bahasa sumber dan pembaca teks terjemahan sangat dipengaruhi oleh dua hal. Hal pertama adalah kemampuan atau kompetensi penerjemah dalam menjalankan tugasnya. Jika penerjemah mempunyai kompetensi yang baik, dia akan dapat melakukan proses pengambilan keputusan ini dengan baik. Dia akan dapat memutuskan dengan tepat kata, istilah dan struktur kalimat untuk digunakan dalam terjemahannya. Hal kedua yang turut mempengaruhi proses pengambilan keputusan tersebut adalah pembaca teks bahasa sasaran (Ruuskanen, 1996). Karena suatu terjemahan pada umumnya ditujukan pada pembaca tertentu, penerjemah perlu mempertimbangkan pilihan kata, istilah, struktur kalimat yang sesuai dengan tingkat keterpahaman dan budaya pembaca teks terjemahan. Dalam praktik penerjemahan yang sesungguhnya di Indonesia, aspek pembaca ini acapkali diabaikan oleh penerjemah. Sebagai akibatnya, tidak sedikit terjemahan yang dihasilkan tidak bisa dipahami dan diterima oleh pembaca. Jika hal yang seperti ini terjadi, terjemahannya tidak bisa menjalankan fungsi dengan baik.
III. Kompetensi Penerjemahan dan Perkembangan Kompetensi Penerjemahan Hadirin yang saya hormati,
10
Menerjemahkan merupakan kegiatan yang kompleks (Schaffner & Adab, 2000: viii), sulit dan rumit (Somearno, 2003). Agar dia dapat mengambil keputusan yang efektif, cepat dan tepat dalam setiap proses penerjemahan, penerjemah memerlukan beberapa kompetensi, yang tidak hanya sekadar kompetensi bilingual. Kompetensi merupakan sistem yang mendasari pengetahuan dan keterampilan yang membuat sesorang dapat melakukan hal-hal khusus. Jadi, kompetensi penerjemahan dapat didefinisikan sebagai sistem yang mendasari pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan agar seseorang dapat menerjemahkan (PACTE, 2000: 100). Para pakar penerjemahan mempunyai pendapat yang sama bahwa penerjemah harus mempunyai pengetahuan agar mereka dapat menerjemahkan. Penerjemah harus memiliki pengetahuan deklaratif (pengetahuan tentang penerjemahan) dan pengetahuan prosedural (tahu cara menerjemahkan) (Schaffner & Adab, 2000; Anderson, 1983, dalam PACTE, 2000). Kedua jenis pengetahuan itu mendasari kompetensi yang digunakan sebagai istilah yang membawahi keterampilan dan unsur-unsur keahlian. Sebagai bentuk khusus kompetensi komunikatif, kompetensi penerjemahan terdiri atas beberapa subkompetensi. Dalam kaitan itu, Neubert (2000: 6) mengidentifkasikan lima parameter kualitatif kompetensi penerjemahan, yaitu kompetensi kebahasaan, kompetensi tekstual, kompetensi bidang ilmu, kompetensi kultural, dan kompetensi transfer. Penguasaan terhadap bahasa sumber dan bahasa sasaran (kompetensi kebahasaan) merupakan persyaratan
11
yang harus dipenuhi oleh seseorang agar dia dapat menerjemahkan. Penguasaan yang dimaksud di sini menyangkut penguasaan sistem morfologi, leksikal dan gramatikal kedua bahasa tersebut. Dalam kegiatan penerjemahan yang sesungguhnya, para penerjemah jarang menerjemahkan kalimat-kalimat lepas (isolated sentences). Pada umumnya mereka berhadapan dengan berbagai macam teks. Oleh karena itu mereka harus mengetahui cara kalimat-kalimat digabungkan menjadi paragraf dan cara paragraf-paragraf digabungkan menjadi teks (kompetensi tekstual). Tergantung pada bidang wacana yang sedang diterjemahkan, mereka harus tahu cara teks bahasa sumber dan bahasa sasaran disusun. Pendek kata, mereka harus peka terhadap fitur linguistik dan tekstual bahasa sumber dan bahasa sasaran (Neubert, 2000: 8). Penguasaan seseorang terhadap sistem linguistik fitur tekstual bahasa sumber dan bahasa sasaran tidak selalu dapat menjamin bahwa dia dapat menghasilkan terjemahan yang berkualitas. Aspek lain yang perlu dimilikinya adalah penguasaan bidang ilmu yang diterjemahkan (kompetensi bidang ilmu). Namun, perlu dicatat bahwa penguasaan yang dimaksudkan di sini jangan disamakan dengan penguasaan seorang ahli. Adalah tidak realistis jika seseorang harus menjadi ahli kimia, kedokteran atau biologi terlebih dulu jika dia ingin menerjemahkan teks di bidang-bidang tersebut. Yang paling penting sebenarnya, terlepas dari bidang ilmu yang diterjemahkannya, adalah bahwa penerjemah harus tahu cara dan alat yang dibutukan untuk mengatasi persoalan 12
penerjemahan (baca: ketakterjemahan atau ketidaksepadanan (Neubert, 2000: 9). Namun, bila dia sudah akrab dengan bidang ilmu yang diterjemahkan, dia akan dapat dengan lebih mudah memahami isi atau pesan teks bahasa sumber sebagai langkah awal yang sangat penting ke proses pengalihan pesan tersebut ke dalam teks bahasa sasaran. Hadirin yang saya hormati, Terdapat kesan di kalangan orang yang awam di bidang penerjemahan dan penerjemah pemula bahwa kompetensi kultural hanya diperlukan dalam penerjemahan karya-karya sastra. Jika kita sependapat bahwa proses penerjemahan teks, baik yang bersifat akademik maupun sastra, selalu terikat dengan budaya, maka kompetensi budaya sangat dibutuhkan. Di samping itu, bila kita berpandangan bahwa penerjemah berperan sebagai "agent for affecting a symbiosis of the source culture and target culture at the linguistic level" (Mohanty, 1994: 28), jelaslah bahwa penerjemah harus menguasai budaya bahasa sumber dan bahasa sasasaran. Menurut Witte (1994: 71) penerjemah harus kompeten dalam dua budaya. Kompetensi lainnya adalah kompetensi transfer. Kompetensi ini merujuk pada taktik dan strategi untuk mengalihkan teks bahasa sumber ke dalam teks bahasa sasaran (Neubert, 2000: 10). Pada dasarnya, ke empat kompetensi yang disebutkan di atas juga dimiliki oleh bilingual kecuali kompetensi transfer. Kompetensi transfer
13
inilah yang membedakan penerjemah dari komunikator lainnya. Neubert lebih lanjut mengatakan: “whatever they may boast about their knowledge, their amazing individual competences, their language skills and their multifarious erudition or their indepth specialists expertise, even their profound understanding of two or more cultures, all these competences are feathers in the translators' cap. But if this excellent equipment is not matched by the unique transfer competence to produce an adequate replica of an original they have failed. It is not enough to know about translating, it has to be done” (Neubert, 2000: 10).
Konsep kompetensi transfer tersebut sudah diredefinisi oleh PACTE, sebuah kelompok peneliti yang mengkaji proses pemerolehan kompetensi penerjemahan. Mereka berpendapat bahwa pada dasarnya bilingual juga memiliki kompetensi transfer walau pada tingkat yang masih rendah. Yang tidak dimiliki oleh bilingual adalah kompetensi strategik, yang pada umumnya dimiliki oleh penerjemah profesional untuk mengatasi persoalan penerjemahan (PACTE, 2003). Hadirin yang saya hormati, Terkait dengan cara seseorang memperoleh kompetensi penerjemahan, Harris (1977) dan Harris & Sherwood (1978) memperkenalkan konsep penerjemahan alamiah. Mereka berpendapat bahwa secara alamiah, seorang dwibahasawan memperoleh kemampuan menerjemahkan 14
sejalan dengan perkembangan kompetensinya dalam dua bahasa. Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Toury (1984: 189-190) yang menyatakan bahwa dwibahasawan mempunyai kompetensi penerjemahan bawaan (innate translation competence) yang terdiri atas kompetensi bilingual, kompetensi interlingual dan kompetensi transfer. Dia memandang kompetensi bilingual sebagai fondasi kompetensi penerjemahan (Toury, 1986). Di samping itu, Toury menyatakan bahwa kompetensi dalam dua bahasa bersinggungan dan titik singgung itu disebut kompetensi transfer, yaitu kemampuan untuk menerjemahkan teks. Namun, dia tidak percaya bahwa kemampuan menerjemahkan harus berasal dari proses bilingualisme (dalam Shreve, 1997: 121). Lorscher (1986, 1995) memandang bahwa penerjemahan alamiah merupakan “a result of a translation ability evidenced by bilinguals communicating in real mediating situations” (dalam Shreve, 1997: 122). Dia membedakan kompetensi penerjemahan alamiah dari kompetensi penerjemahan yang dimiliki oleh pembelajar bahasa kedua, yang terbentuk bukan dari situasi komunikasi nyata tetapi dari situasi didaktik atau pengajaran formal. Lebih lanjut, dia mengatakan, “a translation ability, which is acquired naturally is sense oriented while the translation skill of the second language learners is sign oriented.” Dalam pandangan Loscher, penerjemahan profesional merupakan “bentuk penerjemahan alamiah yang sudah dikembangkan” (Shreve, 1997: 122). Konsep Harris & Sherwood tentang penerjemahan alamiah, gagasan Toury tentang titik singgung kompetensi 15
dalam dua bahasa yang menghasilkan kompetensi penerjemahan, dan pandangan Loscher perihal sifat berbeda dari kompetensi penerjemahan yang diperoleh oleh bilingual dan pembelajar bahasa kedua pada umumnya dapat diterima. Para pakar penerjemahan juga menerima pandangan bahwa kompetensi bilingual merupakan fondasi yang ideal bagi kompetensi penerjemahan. Akan tetapi, pernyataan bahwa penerjemahan profesional berkembang dari penerjemahan alamiah masih diperdebatkan. Banyak terjemahan yang berkualitas dihasilkan setiap hari oleh penerjemah profesional yang kompetensi penerjemahannya diperoleh tidak secara alamiah tetapi melalui pelatihan (vokasional atau akademik). Seperti yang telah diuraikan di atas, pakar yang berbeda mempunyai gagasan pandangan yang berbeda perihal cara kompetensi penerjemahan berkembang. Terlepas dari perbedaan tersebut, dalam literatur-literatur teori penerjemahan disebutkan bahwa variabilitas merupakan sifat melekat atau ciri khusus dari penerjemahan. Shreve (1997) menyatakan, “there is little evidence that professional translators translate identically" (h. 125). Hal yang sama juga dikatakan oleh Seguinot (1997: 104): “Translators and people who study translation know that different text types require different approaches, and that different people can translate the same text in different ways. It is also clear that different levels of competence, familiarity with the material to be translated, as well as different interpretations of the nature of the assignment will lead to differences in processes and results”. 16
Seguinot (1997) menyebutkan dua faktor utama yang menyebabkan timbulnya variabilitas dalam penerjemahan. Faktor penyebab pertama adalah berbedanya gaya kognitif penerjemah dan faktor penyebab kedua adalah berbedanya sejarah pemerolehan kompetensi penerjemahan. (1997: 126-127).
IV. Pengertian Istilah “Penerjemah” dan Tipetipe Penerjemah Setelah membahas peran penting penerjemah, kompetensi bilingual dan kompetensi penerjemahan, perlu dikemukakan apa yang dimaksud dengan istilah “penerjemah” dan tipetipe penerjemah. Secara sederhana, penerjemah diartikan sebagai orang yang menghasilkan terjemahan. Namun, apakah setiap orang yang menerjemahkan dapat disebut penerjemah. Apakah siswa SMA yang menerjemahkan teks bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia atas perintah gurunya dapat dikategorikan sebagai penerjemah? Para pembaca naskah pidato pengukuhan ini akan dengan serta merta mengatakan “Tidak”. Penerjemah adalah mediator dalam komunikasi interlingual. Kehadirannya sangat dibutuhkan jika terjadi kesenjangan komunikasi antara penulis teks bahasa sumber dan pembaca teks sasaran. Ketika penerjemah melakukan tugasnya, dia terlibat dalam suatu proses pengambilan keputusan dalam rangka menghasilkan suatu terjemahan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pengambilan 17
keputusan yang dilakukan oleh penerjemah dapat dipengaruhi oleh faktor pembaca. Namun, tepat tidaknya keputusan yang dibuatnya sangat ditentukan oleh kompetensinya. Pembuatan keputusan dalam proses penerjemahan tidak dapat dilakukan oleh setiap orang. Dengan kata lain, tidak semua orang dapat menerjemahkan dan orang yang menerjemahkan tidak secara otomatis dapat disebut sebagai penerjemah (Rothe-Neves, 2007). Bahkan seorang bilingual pun tidak dapat dikategorikan sebagai penerjemah. Pakar psikolinguistik, yang juga tertarik untuk mengkaji mekanisme kognitif dasar yang melandasi penerjemahan, misalnya, cenderung memandang bilingual sebagai pengguna bahasa daripada penerjemah (Presas, 2000: 22). Kecenderungan memperlakukan bilingual sebagai pengguna bahasa daripada penerjemah bukan tanpa alasan. Seperti halnya penerjemah, bilingual dapat berkomunikasi dalam dua bahasa. Bilingual mempunyai beberapa kompetensi komunikatif, yaitu kompetensi gramatikal, kompetensi sosiolinguistik, kompetensi wacana, dan kompetensi strategik (Bell, 1991: 41) yang juga dimiliki oleh penerjemah. Namun, tidak seperti penerjemah, bilingual tidak selalu memiliki kompetensi transfer (Neubert, 1994: 412). Hadirin yang saya hormati, Dipandang dari cara mereka memahami dan menghasilkan teks, penerjemah dibagi menjadi empat tipe: penerjemah asosiatif, penerjemah subordinat, penerjemah majemuk, dan penerjemah koordinat (Presas, 2000). Berdasarkan cara memahami dan menghasilkan informasi, Presas (2000) 18
menyediakan profil psikolinguistik penerjemah pemula dan ahli. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1, ada empat perbedaan utama antara penerjemah ahli dan penerjemah pemula. Pertama, penerjemah ahli mempunyai keterampilan khusus kebahasaan. Sebaliknya, penerjemah pemula tidak memiliki keterampilan itu. Kedua, penerjemah ahli dan penerjemah pemula mempunyai memori dwibahasa. Penerjemah ahli digolongkan sebagai penerjemah koordinat, sedangkan penerjemah pemula dikategorikan sebagai penerjemah kompaun atau subordinat. Ketiga, penerjemah ahli dapat mengendalikan interferensi pada saat dia memahami dan menghasilkan informasi. Sebaliknya, penerjemah pemula tidak mempunyai mekanisme tersebut. Keempat, penerjemah ahli cenderung mempertimbangkan penerjemahan pada tataran teks, sedangkan penerjemah pemula cenderung memandang penerjemahan sebagai proses alih kode pada tataran kata. Novice translator
Expert translator
• Specialized linguistics skills • Non-specialized linguistic skills • Bilingual memory • Bilingual memory (coordinated) (compound or • Control over interference in subordinated) both reception and production • Unconscious interference mechanism • Heuristic text transfer procedures • Code-switching mechanism (lexical level) • Cognitive features: flexibility, lateral thinking, capacity for remote association 19
Gambar 1. Profil Psikolinguistik Penerjemah Pemula dan Penerjemah Ahli. (Presas, 2000: 28). Cara lain untuk menggolongkan penerjemah ialah dengan melihat status profesi dan sifat kerja mereka seharihari. Menurut status profesinya, penerjemah digolongkan ke dalam penerjemah amatir, penerjemah semi-profesional, dan penerjemah profesional. Penerjemah amatir adalah penerjemah yang melakukan tugas penerjemahan sebagai hobi. Sebaliknya, penerjemah profesional adalah penerjemah yang menghasilkan terjemahan profesional bukan demi hobi tetapi demi uang (lihat Robinson, 1997: 33). Penerjemah semiprofesional adalah penerjemah yang melakukan tugas penerjemahan untuk memperoleh kesenangan diri dan uang. Berdasarkan sifat kerja sehari-hari mereka, penerjemah digolongkan menjadi penerjemah paroh waktu dan penerjemah penuh waktu. Penerjemah paruh waktu biasanya melakukan tugas penerjemahan sebagai pekerjaan sampingan. Sebaliknya, penerjemah penuh waktu melakukan tugas itu sebagai pekerjaan utama untuk mencari uang. Pembagian ini mengisyaratkan bahwa penerjemah paroh waktu dapat disebut penerjemah semi-profesional sedangkan penerjemah penuh waktu dapat dikategorikan sebagai penerjemah profesional. Selain status profesi dan sifat kerja sehari-hari yang telah diuraikan di atas, ada beberapa karakteristik yang membedakan penerjemah profesional dari penerjemah semiprofesional atau penerjemah amatir. Robinson (1997: 26-44) 20
menyebutkan tiga ciri penting penerjemah profesional, yaitu 1) rasa bangga terhadap profesi, penghasilan, dan rasa senang dalam melakukan pekerjaan.
V. Kriteria Terjemahan yang Berkualitas Hadirin yang saya hormati, Bagi orang awam di bidang penerjemahan, terjemahan dipandang sebagai alat komunikasi antara para pembaca dan penulis asli. Para pembaca membutuhkan terjemahan karena mereka tidak bisa akses ke dalam teks bahasa sumber. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau mereka menginginkan terjemahan yang dapat dengan mudah mereka pahami. Keinginan yang seperti itu seringkali dijadikan sebagai dasar untuk menentukan kualitas terjemahan. Bagi mereka, terjemahan yang berkualitas adalah terjemahan yang enak dibaca. Bagi mereka yang berpengetahuan banyak di bidang penerjemahan, terjemahan juga dipandang sebagai alat komunikasi. Bagi mereka berhasil tidaknya sebuah terjemahan dalam menjalankan fungsinya sebagai alat komunikasi akan sangat tergantung pada mutunya, dan mutu terjemahan tidak hanya ditentukan oleh faktor “enak dibaca atau mudah dipahami”. Lebih dari itu, aspek keakuratan pengalihan pesan dan keberterimaan terjemahan bagi para pembaca juga merupakan dua aspek penentu berkualitas tidaknya sebuah terjemahan.
21
Peletakan keakuratan pengalihan pesan sebagai salah satu sifat penting dari terjemahan yang berkualitas bukan tanpa alasan. Jika ditilik kembali beberapa definisi yang dikemukakan oleh para pakar penerjemahan, di dalamnya ditonjolkan masalah pengalihan pesan, bukan pengalihan bentuk bahasa. Bahkan, terdapat kesepakatan di kalangan para pakar bahwa suatu teks disebut sebagai terjemahan jika teks tersebut mempunyai hubungan padanan dengan teks bahasa sumber. Yang dimaksud dengan hubungan padanan itu sebenarnya adalah kesamaan isi atau pesan di antara keduanya. Oleh karena itu, teks terjemahan yang mengalami banyak kehilangan pesan bukan terjemahan yang berkualitas. Demikian pula, terjemahan yang kandungan isinya jauh lebih banyak dari isi atau kandungan teks aslinya bukanlah terjemahan yang setia. Kesamaan pesan antara teks bahasa sumber dan teks bahasa sasaran harus diprioritaskan. Di samping itu, pesan tersebut harus dibungkus atau disampaikan dengan bahasa yang sesuai norma dan budaya pembaca bahasa sasaran. Dengan kata lain, aspek keberterimaan merupakan aspek penting lainnya yang turut menentukan berkualitas tidaknya sebuah terjemahan. Suatu terjemahan yang tidak sesuai kaidah, norma dan budaya yang berlaku dalam bahasa sasaran merupakan terjemahan yang tidak alamiah dan akan ditolak oleh pembaca. Konsep keakuratan, keberterimaan dan keterbacaan ini perlu dipahami dengan baik. Akan tetapi, “akurat, berterima dan mudah dipahami” merupakan konsep yang relatif. Dengan kata lain, pernyataan tentang terjemahan yang akurat, berterima dan mudah dipahami akan sangat tergantung pada 22
orang yang menilainya. Dikotomi benar-salah yang dikemukakan oleh Hoed (2003), misalnya, dengan jelas menggambarkan betapa subyektifnya parameter akurat yang digunakan untuk menentukan tingkat kesetiaan teks bahasa sasaran pada teks bahasa sumber. Demikian pula, dikotomi domesticating-foreignizing (Hoed, 2003) menimbulkan keadaan yang dilematis dalam menilai kualitas terjemahan. Di satu sisi, domesticating dan foreignizing pada hakikatnya merupakan strategi yang digunakan penerjemah dalam mengatasi masalah-masalah penerjemahan. Di sisi lain, implementasi dari strategi itu akan sangat dipengaruhi oleh ideologi penerjemah, yang kadang kala tidak sama dengan ideologi orang yang memberikan tugas penerjemahan dan ideologi pembaca teks bahasa sasaran. Banyak orang tidak begitu mempersoalkan hal-hal yang berbau asing (foreingnizing) dalam terjemahan, dan tidak sedikit orang mengharapkan agar terjemahan disesuaikan dengan budaya bahasa sasaran (domesticating).
VI. Dampak Kompetensi Penerjemahan pada Kualitas Terjemahan Hadirin yang saya hormati, Di atas telah disebutkan perihal hubungan timbal balik antara kompetensi penerjemahan dan kualitas terjemahan. Jika kompetensi penerjemahan yang dimiliki seseorang baik, dia akan mampu menerjemahkan suatu teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Sebaliknya, jika kompetensinya buruk, terjemahan yang dihasilkannya akan tidak berkualitas. 23
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kompetensi penerjemahan mempunyai implikasi pada kualitas terjemahan. Di bawah diberikan contoh-contoh terjemahan untuk menunjukkan rendahnya kompetensi penerjemahan yang dimiliki penerjemah. Contoh 1: Bahasa sumber: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1) pengaruh penerapan metode PBK dan metode tradisional pada praktikum berdesain konstruktivisme (PBK) terhadap pemahaman konsep gerak melingkar beraturan (GMB) dengan memperhatikan prior knowledge, 2) pengaruh investigasi (investigation skill) terhadap pemahaman konsep GMB dengan memperhatikan prior knowledge, 3) interaksi antara PBK dan investigasi (investigation skill) terhadap pemahaman konsep GMB dengan memperhatikan prior knowledge. Sejalan dengan tujuan tersebut, penelitian dilakukan dengan menggunakan metode eksperimen. Penelitian dilaksanakan di SMU NEGERI 3 Sukorharjo dengan teknik pengambilan sampel secara cluster random sampling. Kelompok eksperimen dikenai perlakuan PBK. Teknik pengumpulan data untuk pemahaman konsep dan prior knowledge dilakukan dengan menggunakan tes pilihan ganda, sedangkan investigasi (investigation skill)
24
dinilai dengan 1 (baik) dan 0 (rendah). Data dianalisis dengan teknik ANCOVA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) terdapat pengaruh penerapan metode PBK dan metode traditional pada praktikum fisika terhadap pemahaman konsep gerak melingkar beraturan dengan memperhatikan prior knowledge (F = 0,069, p < α), 2) terdapat pengaruh perbedaan investigation skill terhadap pemahaman konsep GMB dengan memperhatikan kemampuan awal (F = 0,038 p > α). 3) Tidak terdapat interaksi antara penerapan metode PBK dan traditional dan praktikum dan investigation skill terhadap pemahaman pemahaman konsep gerak melingkar beraturan dengan memperhatikan kemampuan awal (F= 0,414; p > α ). Bahasa sasaran: Target of this research is to know: 1) influence applying of PBK method and traditional method at konstruktuvisme berdesain praktikum (PBK) to understanding of circle motion concept of order (GMB) by paying attention knowledge prior 2) influence of[is investigation of (skill investigation) to understanding of GMB concept by paying attention knowledge prior 3) interaction between PBK and investigation (skill investigation) to understanding of GMB concept by paying attention knowledge prior. In line with the target, research conducted by using experiment method. Research executed in SMU NEGERI 3 Sukoharjo with technique intake of sample by cluster 25
sampling random. Experiment group hit by treatment of PBK. Technique data collecting to the understanding of knowledge prior and concept [done/ conducted] by using double helix tes, while investigation (skill investigation) assessed by 1 (good) and 0 is (low). Data analysed with ANCOVA technique. Result of research indicate that: 1) there are influence applying of PBK method and traditional method a] physics praktikum to understanding of circle motion concept of beraturan by paying attention knowledge prior (F= 0,069; p 2) there are influence difference of skill investigation to understanding of GMB concept by paying attention ability early (F= 0,038, p 3) Do not there are interaction between applying of PBK method and traditional in skill investigation and praktikum to understanding of circle motion concept of beraturan by paying attention ability early (F= 0,414; p > α ). Jika dianalisis secara lebih rinci, terjemahan di atas mengandung banyak kesalahan. Kesalahan pertama terkait dengan interferensi struktur bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Dalam teks asli tertulis prior knowledge, dimana susunan ini sudah memenuhi kaidah struktur frasa bahasa Inggris. Dalam teks terjemahan sususunannya malah berubah menjadi knowledge prior. Kesalahan kedua terletak pada penggunaan kalimat yang tidak lengkap, seperti yang ditunjukkan oleh contoh-contoh di bawah ini. 1. In line with the target, research conducted by using experiment method. 26
2. Research executed in SMU NEGERI 3 Sukoharjo with technique intake of sample by cluster sampling random. 3. Experiment group hit by treatment of PBK. 4. Technique data collecting to the understanding of knowledge prior and concept [done/conducted] by using double helix tes, while investigation (skill investigation) assessed by 1 (good) and 0 is (low). 5. Data analysed with ANCOVA technique. Keselahan ketiga berhubungan dengan masalah subjectverb agreement, seperti yang diilustrasikan oleh contoh di bawah ini. 1. Result of research indicate that: 1) there are influence applying of PBK method and traditional method a] physics praktikum to understanding of circle motion concept of beraturan by paying attention knowledge prior (F= 0,069; p 2) there are influence difference of skill investigation to understanding of GMB concept by paying attention ability early (F= 0,038, p 3). Kesalahan keempat terkait dengan penggunaan predikat ganda (double predicate) yang pada hakikatnya tidak sesuai dengan kaidah tatabahasa Inggris. Contoh: 1. Do not there are interaction between applying of PBK method and traditional in skill investigation and
27
praktikum to understanding of circle motion concept of beraturan by paying attention ability early (F= 0,414; p > α ). Contoh di atas menunjukkan bahwa penerjemah kurang menguasai sistem bahasa Inggris. Kesalahan-kesalahan yang dibuatnya mengakibatkan terjemahannya tidak akurat dan berterima serta sulit dipahami. Penguasaan terhadap bahasa sumber dan bahasa sasaran merupakan persyaratan mutlak yang harus dimiliki oleh penerjemah. Namun, penguasaan tersebut tidak selalu menjamin seseorang dapat menerjemahkan dengan baik. Pada bagian awal naskah pidato pengukuhan ini diberikan contoh ungkapan bahasa Jawa kunduran bis. Saya pernah meminta 3 orang penutur asli bahasa Jawa, yang mampu berbahasa Indonesia dengan baik, untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Hasilnya adalah: 1) kemunduran bis, 2) ketabrak bis, dan 3) tertabrak bis dari belakang. Menurut saya, tidak satu pun dari ketiga terjemahan itu akurat karena kunduran bis seharus diterjemahkan menjadi tertabrak oleh bis yang sedang mundur. Kesalahan ketiga orang tersebut dalam menerjemahkan ungkapan bahasa Jawa kunduran bis menunjukkan bahwa ketiganya tidak memiliki subkompetensi strategik dan transfer. Mereka tidak menguasai metode, strategi, dan teknik penerjemahan.
VII. Penutup Hadirin yang saya hormati, 28
Di atas telah disebutkan bahwa menerjemahkan merupakan suatu tugas yang sulit. Itu bukan berarti bahwa penerjemahan tidak mungkin bisa dilakukan dengan baik. Jika kita sependapat bahwa konsep atau pesan yang sama bisa diungkapkan dengan cara yang berbeda dan dalam bahasa yang berbeda, penerjemahan dapat dilakukan dengan baik. Dalam kaitan itu diperlukan penguasaan yang baik terhadap kompetensi penerjemahan, yang memungkinkan seorang penerjemah dapat menjalankan tugasnya secara baik, efisien dan profesional. Kompetensi penerjemahan yang dimiliki seseorang akan secara otomatis membuat dia menjadi ahli penerjemahan. Jika dia menggunakan keahliannya itu dalam menjalankan tugas profesionalnya, sudah sepantasnya masyarakat pengguna jasa penerjemah di Indonesia memberikan penghargaan yang setimpal atas keahlian dan tugas profesionalnya tersebut. Melalui cara itu, mereka sudah turut memajukan penerjemahan di Indonesia.
Ucapan Terima Kasih Hadirin yang saya hormati, Pada bagian akhir pidato pengukuhan ini, saya merasa berkewajiban untuk mengucapkan puji syukur kepada Tuhan atas segala rahmat dan karunia-Nya yang telah dilimpahkan kepada kami sekeluarga sehingga saya dapat menyandang jabatan Guru Besar yang terhormat di Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret.
29
Pada kesempatan yang berbahagia ini, perkenankanlah saya menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tinggi kepada semua pihak yang telah memberi bantuan, dorongan, dukungan, pengertian dan perhatian kepada saya sehingga proses pengusulan, pengangkatan dan pengukuhan saya sebagai Guru Besar Ilmu Penerjemahan dapat terlaksana dengan baik. Pertama-tama saya sampaikan ucapan terima kasih kepada Pemerintah Republik Indonesia melalui Bapak Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang secara resmi telah memberi kepercayaan dan kehormatan kepada saya untuk memangku jabatan Guru Besar Ilmu Penerjemahan. Terima kasih dan penghargaan saya sampaikan kepada Rektor Universitas Sebelas Maret, Prof. Dr. H. Muh. Syamsulhadi, dr., Sp.KJ (K), yang telah menyetujui pengusulan saya untuk memperoleh jabatan Guru Besar pada Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret, dan atas kesediaannya memimpin acara pengukuhan ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada segenap anggota senat Universitas Sebelas Maret Surakarta dan semua anggota senat Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS atas pertimbangan dan persetujuan bagi saya untuk menjadi Guru Besar. Pada kesempatan yang baik ini, saya juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S. selaku Pembantu Rektor I, Prof. Dr. Ir. Sholahudin, M.S. selaku Pembantu Rektor II, Drs. Dwi Tiyanto, S.U., selaku Pembantu Rektor III, Prof. Dr. Adi Sulistiyono, S.H., M.H, 30
selaku Pembantu Rektor IV, Prof. Dr. dr. H. Aris Sudiyanto, Sp.KJ selaku Sekretaris Senat, Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D. selaku Direktur Pascasarjana UNS, Prof. Drs. Sukiyo, dan Prof. Drs. Anton Sukarno, M.Pd. atas segala dukungan moril dan nasehat yang diberikan kepada saya ketika saya mengajukan usulan Guru Besar saya. Kepada para senior saya Prof. Dr. Soediro Satoto, Prof. Dr. H.D. Edi Subroto, Prof. Dr. H. Maryono Dwirahardjo, S.U., Prof. Dr. Kunardi Hardjoprawiro, M.Pd, Prof. Dr. Herman J Waluyo, M.Pd., Prof. HB. Sutopo, M.Sc., M.Sc., Ph.D., Prof. Dr. Joko Nurkamto, M.Pd., Prof. Dr. Samsi Haryanto, M.Pd., Dr. Suyatno Kartodirjo, Dr. Sudaryanto, Dr. Inyo Yos Fernandes, Dr. H. Sumarlam, M.S., dan Dr. Oesman Arief, M.Pd., atas dukungan dan nasehat yang sangat berharga yang diberikan kepada saya selama ini. Kepada Prof. Drs. H. Haris Mudjiman, M.A., Ph.D., saya mengucapkan terima kasih atas rekomendasi yang beliau berikan kepada saya, pada saat beliau menjabat Rektor UNS, untuk melanjutkan studi S3 di luar negeri. Beliau inilah yang mendorong saya untuk memfokuskan diri pada penerjemahan sebagai antipasi terhadap pembukaan Program Studi Linguistik Minat Utama Penerjemahan Program Pascasarjana di UNS di tahun 1998. Nasehat-nasehat dan dukungan yang Beliau berikan kepada saya semasa Beliau menjabat Rektor dan Direktur Program Pascasarjana UNS telah meningkatkan rasa percaya diri saya dalam meniti karier sebagai dosen. Ucapan terima kasih saya sampaikan pula kepada Ministry of Foreign Affairs and Trade (MFAT) Selandia Baru yang telah memberikan beasiswa kepada saya melalui New
31
Zealand Official Development Assistance (NZODA) untuk menempuh pendidikan S2 dan S3 di Victoria University of Wellington.
dan Dr. John Reed (Direktur Graduate Program, Victoria University of Wellington) yang telah menuntun saya dalam memilih dan menentukan promotor saya.
Kepada Duta Besar Republik Indonesia dan Staff di Selandia Baru, saya mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian dan fasilitas yang diberikan kepada saya selama saya menempuh pendidikan tinggi di Selandia Baru.
Kepada Prof. Howard Jones dan Dr. Nancy Williams, saya mengucapkan banyak terima kasih atas bimbingan, dorongan dan dukungan yang diberikan kepada saya ketika saya menuntut ilmu di University of Houston, Texas, Amerika Serikat.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya saya sampaikan kepada Prof. Dr. Thomas Soemarno, M.Pd., Prof. Dr. Sri Samiati Tarjana, dan Drs. Heribertus Tarjana, M.A., yang telah memberi bekal pengetahuan tentang penerjemahan kepada saya ketika saya menempuh pendidikan S1 di Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, UNS. Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada kedua promotor saya, Prof. Paul Nation dan Rachel McKee, M.A., Ph.D, yang telah membimbing saya dengan penuh perhatian dan kasih sayang sehingga saya dapat menyelesaikan studi S3 saya dengan baik dan tepat waktu. Ucapan terima kasih saya sampaikan pula kepada Dr. Sabine Penton (Auckland University, New Zealand) dan Dr. Rochayah Machali (University of New South Wales, Australia) yang telah bersedia menjadi external examiners untuk disertasi saya. Terima kasih atas kritik, saran dan masukan yang sangat berharga yang diberikan kepada saya dalam menyempurnakan disertasi saya. Terima kasih saya ucapkan kepada Prof. Janet Holmes yang memberi bekal pengetahuan tentang Language and Gender, Language and Society, dan Language in the Workplace, 32
Terima kasih saya ucapkan kepada Dekan, Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, Pembantu Dekan III Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Ketua dan Sekretaris Jurusan Sastra Inggris UNS, dan rekan-rekan pengajar di Program S1 Sastra Inggris dan S2 serta S3 Linguistik, Program Pascasarjana, UNS atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada saya sehingga saya bisa mencapai derajad Guru Besar. Kepada semua mahasiswa saya, khususnya mereka yang mengambil Minat Utama Penerjemahan baik di program S1, S2 maupun S3, saya mengucapkan banyak terima kasih atas doa kalian. Pertanyaan-pertanyaan kritis yang kalian ajukan di ruang perkuliahan semakin menyadarkan saya bahwa pengetahuan saya tentang penerjemahan masih rendah. Saya minta maaf jika selama ini saya tidak bersedia disebut sebagai pakar penerjemahan. Bagi saya, penguasaan seseorang terhadap teori penerjemahan tanpa disertai pengalaman yang luas di bidang praktik penerjemahan belumlah dapat digunakan sebagai parameter untuk menyebut dirinya sebagai pakar penerjemahan. Kepada jajaran administrasi di tingkat universitas dan fakultas, yang secara langsung atau tidak langsung telah turut 33
serta mendukung keberhasilan saya dalam meraih jabatan Guru Besar ini, saya mengucapkan banyak terima kasih.
Hadirin yang saya hormati,
Saya mengucapkan terima kasih kepada wartawan media cetak dan elektronik yang telah meliput acara ini dan kepada pihak panitia yang mendukung kegiatan ini.
Sebelum saya mengakhiri pidato pengukuhan ini, perkenankanlah saya mengucapkan sesuatu kepada orangorang istimewa dalam hidup saya selama ini. Kepada kedua orang tua saya tercinta, ayahanda M. Nababan (alm) dan ibunda S. Br. Agian, yang senantiasa mengiringi setiap derap langkah saya dengan doa, penuh kasih, dan pengorbanan; mertua saya, Bapak Wigyo Soemarmo (alm) dan Ibu Soemarti, yang dengan penuh perhatian dan kasih sayang telah menjaga dan membimbing saya selama ini, saya mengucapkan banyak terima kasih. Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Mbah Hardjomartono (alm) dan Mbah Martowidagdo (alm), yang telah membesarkan saya, sejak saya duduk di SMA hingga saya menyelesaikan pendidikan S1. Seandainya Mbah masih sugeng, mbah akan ikut merasa berbahagia melihat cucumu ini sudah berhasil meraih jabatan Guru Besar. Kepada istri saya tercinta Titik Widjasti dan anak-anakku tersayang Ryan Sheehan Nababan, Adrean Adi Pradana Nababan, dan Nathania Olga Br. Nababan, saya mengucapkan banyak terima kasih atas doa, kasih sayang, dan pengorbanan kalian yang luar biasa terutama pada saat saya harus meninggalkan kalian untuk studi di luar negeri selama enam setengah tahun. Saya selalu menyadari bahwa tanpa doa, pengorbanan, dan dukungan kalian berempat saya tidak akan bisa meraih jabatan Guru Besar ini. Saya minta maaf atas kesalahan-kesalahan saya terhadap kalian selama ini.
34
35
Saya juga mengucapkan banyak terima kasih kepada saudara saudara kandung saya Tom Nababan (alm), Koppen Christinus Nababan, Hetlida Nababan, Marlina Nababan, Linus Nababan, Hestiolinda Nababan, Herianto Nababan dan Donald Nababan atas doa dan dukungan kalian selama ini.
Bell, R.T. 1991. Translation and Translating: Theory and Practice. London: Longman.
Kepada semua kakak ipar saya, khususnya Mas Martono, AS, SH dan adik ipar saya, saya mengucapkan banyak terima kasih atas dukungan moril dan materil yang telah diberikan kepada saya dan keluarga sejak saya memulai hidup berumah tangga hingga sekarang ini.
Fraser, J. 2000. “The broader view: How freelance translators define translation competence”. Dalam Schaffner, C. and Adab, B. (peny.). Developing Translation Competence. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company, 51-62.
Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Drs. Gatot Sunarno beserta ibu, yang telah menganggap saya sebagai anaknya sendiri dan melindungi keluarga saya selama ini, dan khususnya pada saat saya studi di luar negeri. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Riyadi Santoso, M.Ed. yang tiada henti-hentinya memberikan motivasi dan dukungan kepada saya selama ini.
Genser, Doris. 1994. “Translation and International Trade.” Dalam Hammond, D.L. (peny.). Professional Issues for Translators and Interpreters. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.
Saya mengucapkan terima kasih kepada para guru bahasa Inggris saya di SMA, yang telah memberi bekal pengetahuan bahasa Inggris kepada saya, yang kemudian dapat saya gunakan sebagai modal dalam melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Harris, B. and Sherwood, B. 1978. “Translating as an innate skill”. In Gerver, D & Sinaiko, H.W. (eds.). Language, Interpretation and Communication. New York & London: Plenum, 155-170.
Akhirnya, perkenanlah saya mengakhiri pidato pengukuhan ini dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat yang telah dilimpahkanNya kepada kita semua. Amin.
Referensi
36
Dreyfus, H.L. and Dreyfus, S. E. 1986. Mind over Machine. Oxford: Blackwell.
Harris, B. 1977. “The importance of natural translation”. Working papers in Bilingualism, 12, 96-114.
Holmes, J. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. London: Longman. Lauscher, S. 2000. “Translation quality assessment: Where can theory and practice meet?”. The Translator: Studies in Intercultural Communication. Vol. 6, No. 2, 149-168, Manchester: St Jerome Publishing.
37
Mohanty, N. 1994 “Translation: A symbiosis of cultures”. In Dollerup, C. and Lindegaard, A. (peny.). Teaching Translation and Interpreting 2: Insights, Aims, Visions. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company, 25 - 37. Munday, J. 2001. Introducing Translation Studies. London; New York: Routledge. Nababan, M. 2004. “Translation Processes, Practices and Products of Professional Indonesian Translators. Unpublished Doctorate Dissertation. Schools of Linguistics and Applied Language Studies, Victoria University of Wellington, New Zealand. Hoed, Benny. 2003. “Ideologi dalam Penerjemahan” Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Penerjemahan yang diselenggarakan oleh Universitas Sebelas Maret di Tawangmangu, September 2003. Neubert, A. 2000. “Competence in language, in languages, and in translation”. Dalam Schaffner, C. and Adab, B. (peny.). Developing Translation Competence. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company, 3 – 18 _________. 1994. “Competence in translation: A complex skill, how to study and how to teach it”. Dalam Hornby, S.H., Pochhaker, F., and Kaindl, K. (peny.). Translation Studies: An interdiscipline. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company, 411 - 420. PACTE 2000. “Acquiring translation competence: Hypotheses and methodological problems of a research project”. 38
Dalam Beeby, A., Ensinger, D., and Presas, M. (peny.). Investigating Translating. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company, 99 - 106. Presas, M. 2000. “Bilingual competence and translation competence”. Dalam Schaffner, C. and Adab, B. (peny.). Developing Translation Competence. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company, 19 - 31. Robinson, D. 1997. Becoming a Translator: An Accelerated Course. New York: Routledge. Rothe-Neves, Rui. 2007. Notes on the Concept of Translator’s Competence. Quadrens. Rev. trad. 14, 2007. Hal. 125 – 138. Ruuskanen, D.D.K. 1996. “Creating the ‘Other’: A pragmatic translation tool”. Dalam Dollerup, Cay, Appel, and Vibeke (peny). Teaching Translation and Interpreting 3 : New Horizons. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company. Schaffner, C. and Adab, B. 2000. “Developing translation competence: Introduction”. Dalam Schaffner, C. and Adab, B. (peny.). Developing Translation Competence. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company, vii -xv.
Seguinot, C. 1997. “Accounting for variability in translation”. Dalam Danks et al (peny.) Cognitive Processes in Translation and Interpreting. London: Sage Publications, 104 – 119 39
Shreve, G. M. 1997. “Cognition and the evolution of translation competence”. Dalam Danks et al (peny.) Cognitive Processes in Translation and Interpreting. London: Sage Publications, 120-136. Soemarno, Thomas. 2003. “Penerjemahan itu Sulit dan Rumit”. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Penerjemahan yang diselenggarakan oleh Universitas Sebelas Maret di Tawangmangu, September 2003. Toury, G. 1995. Descriptive Translation Studies and Beyond. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company. ________. 1980. In Search of a Theory of Translation. Jerusalem: The Porter Institute for Poetics and Semiotics. Witte, H. 1994. “Translation as a means for a better understanding between cultures”. Dalam Dollerup, C. and Lindegaard, A. (peny.). Teaching Translation and Interpreting 2: Insights, Aims, Visions. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company, 69 - 75.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Data Pribadi
40
1. Nama
: Prof. Drs. M.R. Nababan, M.Ed., MA., Ph.D. 2. NIP : 131 974 332 3. Tempat/Tgl. Lahir : Aceh Tenggara, 28 Maret 1963 4. Agama : Katolik 5. Alamat Rumah : Kompleks Jaten Permai Indah Jl. Nusa Indah No. 6 Jaten Karanganyar 57771 6. Alamat Kantor : Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami No. 36 A Surakarta Telp : (0271) 632 488 Fax : (0271) 632 488 7. Alamat E-mail :
[email protected] 8. Gol./Ruang/Pangkat: III/d/Penata Tingkat I 9. Jabatan Fungsional : Guru Besar 10. Status Perkawinan : Menikah 11. Nama Istri : Titik Widijasti 12. Nama Anak : 1. Ryan Sheehan Nababan (Mahasiswa Semester IV Jurusan Desain Komunikasi Visual FSSR UNS) 2. Adrean Adi Pradana Nababan (Siswa Kelas II SMA St. Yosef Surakarta) 3. Nathania Olga Br. Nababan
41
(Siswa Kelas II SMPN 2 Karanganyar
4
Riwayat Pendidikan Pendidikan Dasar dan Menengah 1 2 3
SD Negeri, Lawe Kinga, Aceh Tenggara SMP Yapenas, Lawe Kinga, Aceh Tenggara SMA Tunas Pembangunan II, Surakarta
1974 1980 1983
Pendidikan Tinggi 1 2
3
Sarjana (S1) Jurusan Sastra Inggris (Linguistik), Fakultas Sastra dan Seni Rupa, UNS Master of Education (M.Ed.), majoring in CUIN/Reading and Language Arts, College of Education, University of Houston, Houston, Texas, USA Master of Arts (M.A) majoring in Sociolinguistics, Applied Linguistics, Schools of Linguistics and Applied Language Studies Victoria University of Wellington, Wellington, New Zealand
1989 1996
Doctor of Philosophy (Ph.D.). majoring in Translation, Schools of Linguistics and Applied Language Studies, Victoria University of Wellington, Wellington, New Zealand.
2004
Riwayat Kepangkatan dan Jabatan Fungsional Riwayat Kepangkatan 1 2 3 4 5
CPNS Penata Muda Penata Muda Tingkat I Penata Penata Tingkat I
1 Januari 1992 1 Juli 1993 1 Oktober 1996 28 September 1998 1 Juli 2001
Riwayat Jabatan Fungsional 2000
1 2 3 4 5
Asisten Ahli Madya Asisten Ahli Lektor Muda Lektor Guru Besar (Loncat Jabatan)
1 Nopember 1993 1 Mei 1996 1 Juli 1998 1 Januari 2001 1 Januari 2008
Riwayat Pekerjaan 1. Staf Staf pengajar Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, UNS, 1992- sekarang.
42
43
2. Staf pengajar Program Studi Linguistik (Penerjemahan), Program Pascasarjana, UNS, 1998-sekarang. 3. Dosen Luar Biasa Program Doktor (Linguistik) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2006 sekarang
Jabatan Profesional 1. Ketua Program S2 Linguistik Program Pascasarjana Universitas Sebelas 2008 – 2012 2. Sekretaris Program S2 Linguistik Program Pascasarjana Universitas Sebelas 2004 – 2007 3. Ketua MPI (Masyarakat Penerjemahan Indonesia) 2006 - 2009
Pengalaman Profesional 1. Sebagai nara sumber dalam penyusunan kurikulum Diklat Fungsional Penerjemah Pertama, yang diselenggarakan oleh Sekretariat Negara, Republik Indonesia di Jogyakarta pada tanggal 12 April 2008. 2. Reviewer DIKTI untuk penelitian PKM, Kajian Wanita, Dosen Muda, Fundamental dan Hibah Bersaing 20072009. 3. Ketua Panitia International Congress on Translation, yang diselenggarakan oleh UNS, 14-15 September 2005. 4. Ketua Short Course on Translation by Prof. Christiane Nord, Magdeburg University, Germany (International), September 2005 44
5. Pimpinan Redaksi Jurnal Bahasa LINGUISTIK. Program Studi Linguistik, Program Pascasarjana UNS. 20042007. 6. Sekretaris Tim Penerbitan Karya Ilmiah Dosen dan Mahasiswa Program Pascasarjana UNS. 2004-2007. 7. Reviewer Buku Pelajaran Bahasa Inggris SMP dan SMU 2005 8. Ketua Pelatihan Bahasa Inggris Bagi Mahasiswa Program Pascasarjana UNS, 2005 - sekarang 9. Dosen Pembimbing Tesis bidang Penerjemahan, Program Studi Linguistik, Program Pascasarjana, sejak tahun 2003. 10. Dosen Pembimbing Disertasi bidang Penerjemahan, Program Studi Linguistik, Program Pascasarjana, sejak tahun 2004. 11. Anggota Panitia Kongres Nasional Penerjemahan, yang diselenggarakan oleh UNS, 2003. 12. Dosen Pembimbing Skripsi bidang Penerjemahan sejak tahun 2003-sekarang 13. Ketua Panitia Seminar Penerjemahan yang diselenggarakan oleh UNS, 1998. 14. Ketua Proyek Pelatihan Penerjemahan UNS, 1998.
45
Keanggotaan Profesi 1. Masyarakat Penerjemahan Indonesia (Ketua), 2006 2009 2. Masyarakat Linguistik Indonesia (Anggota) 1992 sekarang
Mata Kuliah yang Diampu 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Teori Penerjemahan Praktik Penerjemahan Penerjemahan Lisan Seminar Masalah Penerjemahan Metode Penelitian Penerjemahan Seminar Proposal Tesis di Bidang Penerjemahan Penerjemahan sebagai Proses Translasi dan Interpretasi (S3 Linguistik USU)
Riwayat Pelatihan Pelatihan Yang Pernah Diikuti 1. Pelatihan Pengembangan Materi Pengajaran Bahasa Inggris (Visual dan Audio-Visual) dan Pengelolaan Laboratorium Bahasa, yang diselenggarakan oleh Indonesia-Australia Language Foundation (IALF), Jakarta, 1998.
46
2. Pelatihan Calon Penerjemah Buku Ajar Perguruan Tinggi (Nasional), yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Bali, 1994. Pelatihan Yang Pernah Diberikan 1. Pelatihan Penerjemahan bagi Staf Pengajar Poltekes Madiun 2008 2. Pelatihan Penerjemahan bagi Staf Pengajar USU 2006 3. Pelatihan Penerjemahan bagi Staf UNY 2005 4. Pelatihan Penerjemahan bagi Staf Pengajar UNS 1998
Karya Ilmiah di Bidang Penerjemahan yang Dipublikasikan (5 Tahun Terakhir) Dalam bentuk Buku 1. Teori Menerjemah Bahasa Inggris, yang diterbitkan oleh Pustaka Pelajar Yogjakarta 1999/2003 (Penulis Utama) Dalam bentuk artikel jurnal 2. Translators and Development of Translation Competence dalam Jurnal Bahasa, Sastra, dan Studi Amerika ISSN 1410 – 5411, Vol. 7(8) September 2003. Hal 411 – 421 3. Sumbangan Sosiolinguistik pada Studi Penerjemahan dalam Jurnal Ilmiah Ilmu Bahasa KAJIAN LINGUISTIK
47
ISSN 1693 – 4660, Tahun 1 (1) Februari 2004. Hal 93 – 100 4. Strategi Penilaian Kualitas Terjemahan dalam Jurnal Linguistik BAHASA ISSN 1412 – 0356 Volume 2/No. 1/Mei 2004. Hal. 54-65 5. Kode Etik Profesi Penerjemahan dan Implikasinya pada Kegiatan Penerjemahan dalam Jurnal Ilmu Bahasa, Sastra, dan Filologi NUANSA INDONESIA ISSN 0853– 6075 Volume X/No. 22/Agustus 2004. Hal. 24 – 31. 6. Hubungan Morfologi dengan Penerjemahan Tulis dalam Jurnal Ilmu Bahasa, Sastra, dan Filologi NUANSA INDONESIA ISSN 0853–6075 Volume X/No. 24/ Agustus 2005. Hal. 1-6. 7. The Significance of Translators’ Background dalam Journal of Language and Literature Phenomena ISSN 1410-5691 Volume 10. No. 1 June 2006. Hal. 1-10 (terakreditasi) 8. Hubungan Fonetik dengan Penerjemahan Lisan dalam Jurnal Ilmu Bahasa, Sastra, dan Filologi NUANSA INDONESIA ISSN 0853–6075 Volume XII/No. 25/ Februari 2006. Hal. 24 – 30 9. Investigating Declarative Knowledge of Professional Translators dalam Jurnal Kajian Linguistik dan Sastra ISSN 0852-9604 Volume 18 No. 35 Desember 2006. Hal. 101-112 (terakreditasi) 10. Translation Process and Strategies: Two Case Studies dalam Journal of Language and Literature Phenomena ISSN 1410-5691 Volume 10. No. 3 February 2007. Hal. 202-214 (terakreditasi)
48
11. Aspek Genetik, Objektif dan Afektif dalam Penelitian Penerjemahan dalam Jurnal LINGUISTIKA ISSN 08549163 Maret 2007 Vol. 14. No. 26 Hal 17-25 (terakreditasi)
Karya Ilmiah dalam Bidang Penerjemahan yang Tidak Dipubli-kasikan (5 Tahun terakhir) Dalam bentuk Buku 1. Pengantar Pengalihbahasaan (Interpreting), Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, 2005 Dalam bentuk Materi ILC (Independent Learning Centre) 1. Translation Methods. Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret, 2005 2. Non-Equivalence: Some Problems-Solving Strategies. Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret, 2005 3. Adequacy, Acceptability, Readability and Their Determining Factors. Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret, 2005 4. Research Orientation in Descriptive Translation Studies. Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret, 2005 5. Types of Meaning in Translation. Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret, 2005
49
6. On Translation Quality Assessment. Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret, 2006 7. Methods of Data Collection in Translation Research. Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret, 2006 8. Designing Research Questions. Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret, 2006 9. The Role of Reader and Expert Judgement in Research on Translation Quality. Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret, 2006 10. Why Should You Limit the Scope of Your Translation Research and How Should You Do It? Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret, 2006 Dalam bentuk makalah 1. Arah Penelitian Penerjemahan. Makalah pendamping yang disajikan dalam Kongres Nasional Penerjemahan, 15-16 September 2003, Surakarta. 2. Peranan Penerjemah dalam Era Globalisasi dan Informasi. Makalah utama yang disajikan dalam Seminar Regional Penerjemahan, yang diselenggarakan oleh Qualified Translation Centre (QTC), Agustus 2003, Yogjakarta. 3. Pelatihan dan Penelitian Penerjemahan. Makalah utama yang disajikan dalam Semiloka Penerjemahan yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Yogjakarta pada tanggal 23 Juli 2004, Yogjakarta. 4. Kecenderungan Baru dalam Studi Penerjemahan. Makalah utama yang disajikan dalam Semiloka 50
Penerjemahan yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Yogjakarta, 24Juli 2004. 5. Pengalihbahasaan: Apa dan Bagaimana. Makalah utama yang disajikan dalam The 2nd Symposium on English in Perspectives: Interpreting and Journalism, yang diselenggarakan oleh Program Studi Kajian Bahasa Inggris, Program Pascasarjana, Universitas Sanata Dharma, 1 Mei 2004. Yogyakarta 6. Apakah Tesis Semi Profesi Merupakan Karya Ilmiah Non-penelitian? Makalah utama yang disajikan dalam Lokakarya Penyusunan Pedoman Penulisan Tesis Semi Profesi Bidang Penerjemahan yang diselenggaran oleh Prodi Linguistik (S2) Program Pascasarjana UNS pada tanggal 24 Juni 2004, Surakarta. 7. Penerjemahan dan Budaya. Makalah pendamping yang disajikan dalam Seminar Linguistik PERAN BAHASA SEBAGAI PEREKAT KEBERAGAMAN ETNIK, 2 Oktober 2004, Yogyakarta. 8. Kompetensi Bilingual dan Kompetensi Penerjemah. Makalah Utama yang disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Bahasa Inggris Tahun Ke-2: Bilingualism, Issues and Implications for Language Planning and Education, 7-8 Mei 2005. Ciamis, Jawa Barat. 9. Described Process in Relation to Observed Performance and Assessed Product Makalah Utama yang disajikan dalam International Conference on Translation: Translation, Discourse and Culture, 14-15 September 2005. Surakarta. 10. Penerjemahan: Konsep Dasar dan Strategi. Makalah Utama yang disajikan dalam Seminar Nasional 51
Penerjemahan di Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra USU, 29 Nopember 2006. Medan – Sumatera Utara. 11. Translation Research Methodology. Makalah utama yang disajikan dalam Kuliah Umum di Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma Yogjakarta, 24 Maret 2007.
Dalam bentuk disertasi 1. Translation Processes, Practices and Products of Professional Indonesian Translators. Unpublished Doctorate Dissertation. Schools of Linguistics and Applied Language Studies, Victoria University of Wellington, New Zealand. 2004
Dalam bentuk laporan penelitian 1. Pengembangan Model Materi Independent Learning Bidang Penerjemahan, Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret (Ketua, 2004) 2. Keterkaitan antara Latar Belakang Penerjemah, Praktik Penerjemahan dan Kualitas Terjemahan: Studi Kasus Penerjemah di Surakarta. Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret (Ketua, 2004 3. Pendekatan dan Strategi Penerjemahan oleh Penerjemah Profesional (Peneliti Utama, 2005) 4. Pengembangan Model Pelatihan dan Materi Pelatihan Penerjemahan Berbasis Kompetensi sebagai Upaya untuk Meningkatkan Kualitas Penerjemah di Yogjakarta dan Surakarta (Ketua, 2006, Penelitian Hibah Bersaing DIKTI) 5. Pengembangan Model Pelatihan dan Materi Pelatihan Penerjemahan Berbasis Kompetensi sebagai Upaya untuk Meningkatkan Kualitas Penerjemah di Yogjakarta dan Surakarta (Ketua, 2007, Penelitian Hibah Bersaing DIKTI)
52
53