PENGELOLAAN SUMBERDAYA PAUS BIRU (Balaenoptera musculus Linnaeus, 1758) BERBASIS TRADITIONAL ECOLOGICAL KNOWLEDGE (TEK) DI LAMAKERA, NUSA TENGGARA TIMUR
CICILIA AYU DWI WAHYUNI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengelolaan Sumberdaya Paus Biru (Balaenoptera musculus Linnaeus, 1758) Berbasis Traditional Ecological Knowledge (TEK) di Lamakera, Nusa Tenggara Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2016
Cicilia Ayu Dwi Wahyuni NIM. C24110037
iv
ABSTRAK CICILIA AYU DWI WAHYUNI. Pengelolaan Sumberdaya Paus Biru (Balaenoptera musculus Linnaeus, 1758) berbasis Traditional Ecological Knowledge (TEK) di Lamakera Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh M. MUKHLIS KAMAL dan YUSLI WARDIATNO. Paus biru (Balaenoptera musculus) merupakan salah satu hewan yang menjadi target penangkapan paus secara tradisional di Lamakera, Nusa Tenggara Barat. Paus biru mengalami ancaman kepunahan dan masuk dalam daftar merah IUCN (EN). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aspek bio-ekologi dan morfologi paus biru serta mengidenfifikasi komponen Traditional Ecological Knowledge (TEK) pada kegiatan penangkapan paus biru di Lamakera. Metode yang digunakan adalah observasi, wawancara mendalam, dan studi literatur. Paus biru yang ditangkap masyarakat Lamakera pada Maret 2015 memiliki panjang tubuh 11 m, berat tubuh 7 ton, volume tubuh 6,86 m3, luas permukaan tubuh 0,69 m2, dan koefisien volumetrik 5,15. Nelayan Lamakera merupakan nelayan kecil dengan kapal perikanan kurang dari 5 GT. Hasil tangkapannya berupa pari manta, pari, hiu, tuna, selar, paus, dan lumba-lumba. Penangkapan paus menggunakan perahu (tena) bermotor, tombak besar (kohawek), tombak kecil (beladek), dan tali. Pengetahuan ekologi tradisional ditemukan berupa pengenalan jenis, tingkah laku, jenis kelamin, area migrasi serta musim migrasi mendasari pengelolaan penangkapan paus biru di Lamakera. Kata kunci: Daftar merah IUCN (EN), lamakera, paus biru, penangkapan paus, pengetahuan ekologi tradisional
ABSTRACT CICILIA AYU DWI WAHYUNI. Traditional Ecological Knowledge (TEK)-based Management of Blue Whale (Balaenoptera musculus Linnaeus, 1758) Resources: The study of Lamakera, East Nusa Tenggara. Supervised by M. MUKHLIS KAMAL and YUSLI WARDIATNO. Blue whales (Balaenoptera musculus) is one of the targeted whale in traditional whaling in Lamakera, West Nusa Tenggara. Blue whales is in under threat of extinction and included into IUCN Red List species with endangered (EN) status. This study aims to assess bio-ecology and morphology aspects of blue whale and to identify traditional ecological knowledge component on whaling activities in Lamakera. This study consisted of: observation, interview and literature study. Blue whales were recently captured in March 2015 by Lamakera community is 11 m long, 7 tons of weight, 6.86 m3 of body volume, 0.69 m2 of body surface area, and 5.15 of volumetric coefficient. Fisheries activity in Lamakera may be categorized into small scale fisheries, as the fishing is based on less than 5 GT fishing vessel. Their fishing target including manta rays, stingrays, sharks, tuna, trevally, whales, and dolphins. Whaling uses motor boat (tena), big harpoon (kohawek), small harpoon (beladek), and rope. Traditional ecological knowledge is in the form of the introduction of species, behavior, sexes, area of migration as well as migration season of Lamakera whaling.
vi
Keywords: Blue whale, lamakera, red list IUCN (EN), traditional ecological knowledge, whaling.
PENGELOLAAN SUMBERDAYA PAUS BIRU (Balaenoptera musculus Linnaeus, 1758) BERBASIS TRADITIONAL ECOLOGICAL KNOWLEDGE (TEK) DI LAMAKERA, NUSA TENGGARA TIMUR
CICILIA AYU DWI WAHYUNI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
viii
x
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Februari 2015, dengan judul Pengelolaan Sumberdaya Paus Biru (Balaenoptera musculus Linnaeus, 1758) Berbasis Traditional Ecological Knowledge (TEK) di Lamakera, Nusa Tenggara Timur. Terima kasih penulis ucapkan kepada: 1 Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan untuk menempuh studi di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. 2 Beasiswa Bidik Misi yang telah memberikan bantuan dana selama perkuliahan. 3 Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc selaku pembimbing akademik yang telah memberikan saran dan masukan selama masa perkuliahan. 4 Dr Ir M. Mukhlis Kamal, MSc dan Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberi dukungan finansial dan arahan saat penelitian serta arahan dan masukan dalam penulisan skripsi. 5 Dr Ir Zairion, MSc dan Dr Ir Isdrajat Setyobudiandi, MSc selaku penguji yang telah bersedia memberikan kritik dan saran dalam karya ilmiah ini. 6 Keluarga penulis: Aloysius Turiswan (Ayah), F. Tunjiyah (Ibu), Christian Dian Wibowo (Kakak), Albertus Hari Gunadi (Adik), Alexander Juniar Pamungkas (Adik), T. Paryati dan Tukijan, Susilowati, Mangirah (Nenek) serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. 7 Saudara Muhammad Ardhi Pratama Kuswara yang telah memberi bantuan, dukungan serta masukan selama proses penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini. 8 Sahabat penulis: Rebo Elfida Karo-Karo, Dewi Maya Sari Sihombing, Qurotu Aini, Icen Fragolia, Sukma Violina Pelawi, Surya Gentha Akmal, Nur Ainun Nasution, Desmalina Agustini, Siti Maesaroh, Ervina Riani, Dita Cicilia, Irma Bismark, Hasfan L Nainggolan, Sherly Agustini dan keluarga MSP48. 9 Segenap keluarga Fisheries Diving Club IPB khususnya Diklat 31: Aflaha Abdul Munib, A Mujrini Yasir, Boy M Kenedi, Eko Sugiarta, Hapsari K Palupi, Intan Destianis H, Muslim, Sari Indriani P, Rizky Ramadhan P, Praditio Anggoro, Tri Nur Sujatmiko, dan Varrenco J Aprillano 10 Kepada Keluarga Rugaya Belaga, Bapak M Nasir dan Bapak Moh Songgae di Lamakera, serta Keluarga Bapak Jamal di Larantuka yang telah banyak memberikan bantuan selama kegiatan observasi lapang. Demikian skripsi ini disusun, semoga dapat bermanfaat.
Bogor, Maret 2016
Cicilia Ayu Dwi Wahyuni
DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Manfaat METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Metode Pengambilan Data Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pembahasan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
xi xii xii xii 1 1 2 2 2 2 2 3 4 4 4 17 20 20 20 20 23 27
xii
DAFTAR TABEL 1 Jenis dan sumber data sekunder 3 2 Hasil analisis morfologi paus biru (B. musculus) 7 3 Jumlah tangkapan mega fauna laut Desa Motonwutun dan Desa Watobuku (2014) 14 4 Pengetahuan ekologi tradisional pada kegiatan penangkapan paus biru (B. musculus) di Lamakera 15 5 Pengetahuan tradisional masyarakat Lamakera 15 6 Komponen pengetahuan ekologi tradisional pada kegiatan penangkapan paus sperma di Lamalera 16 7 Perubahan tradisi penangkapan paus di Lamakera 16
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Peta lokasi penelitian di wilayah Lamakera 3 Morfologi paus biru (B. musculus) 6 Struktur kemasyarakatan Lamakera 8 Tombak besar (kohawek) dan tali 9 Tombak kecil (beladek) 9 Perahu (tena) bermotor 9 Paledang (miniatur) 9 Daerah penangkapan mamalia laut dan pari manta oleh nelayan Lamakera dan Lamalera 10 Pergerakan migrasi paus biru kerdil (B.m. brevicauda) 11 Pembagian hasil tangkapan secara tradisional 12 Pembagian hasil tangkapan paus sperma (Physeter macrocephalus) 13 Pari manta 14 Daging pari yang dikeringkan 14
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3
Panduan pertanyaan penelitian Daftar penombak atau belwaeng di Lamakera Produksi perikanan nelayan Lamakera
23 24 25
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia termasuk negara yang kaya sumberdaya mamalia laut. Terdapat setidaknya 12 spesies lumba-lumba dan 18 spesies paus, termasuk paus biru (Balaenoptera musculus), paus sperma (Physeter macrocephalus), paus punggung bongkok (Megaptera novaeangliae) (Rudolph et al. 1997). Di samping itu laut nusantara merupakan area migrasi penting bagi mamalia laut tersebut, khususnya di bagian timur wilayah Indonesia yaitu di perairan Laut Sawu (Yusron 2012). Perairan Laut Sawu memiliki keanekaragaman mamalia laut yang cukup tinggi, ditemukan sebanyak 22 spesies jenis cetacea yang terdiri dari 14 spesies paus, 7 spesies lumba-lumba, dan 1 spesies dugong. Pengamatan pergerakan atau migrasi paus menunjukan pola pergerakan paus biru dan paus sperma dari Solor dan Alor (KKP 2014). Paus biru (B. musculus) merupakan salah satu mamalia laut yang melewati perairan Indonesia pada jalur migrasinya. Hewan chondricthyes ini memiliki populasi yang rendah dan menghadapi banyak ancaman kepunahan oleh perburuan, perubahan iklim, polusi, terjerat jaring nelayan, benturan kapal, dan kebisingan antropogenik seperti Sound Navigation And Ranging (SONAR). Perburuan paus di abad 20 ini mengeliminasi hampir 90% popaulasi paus biru dunia. Estimasi populasi setelah perburuan paus adalah sekitar 350.000 individu. Paus biru ditetapkan sebagai satwa yang dilindungi oleh pemerintah Indonesia dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa (Pemerintah Republik Indonesia 1999) dan dilindungi oleh Marine Mammals Protection Act (MMPA) (Bailey et al. 2011). Paus biru masuk dalam Red List oleh Internatioal Union for Conservation of Nature (IUCN) dengan kategori Endangered (EN) atau terancam dan masuk dalam daftar Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) Apendix II (endangered species). Paus biru adalah salah satu spesies dari jenis paus baleen yaitu paus tidak bergigi dari ordo Mysticeti yang menggunakan baleen (berbentuk seperti sikat) sebagai alat penyaring makanan. Hewan ini dimanfaatkan oleh masyarakat Lamakera di Pulau Solor, Nusa Tenggara Timur. Penangkapan paus di Lamakera dilakukan secara tradisional dan berlangsung sejak terbentuknya wilayah Lamakera pada sekitar abad ke 17 saat sebelum masa pendudukan bangsa Belanda (Mustika 2006). Penangkapan paus dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal dan dilakukan dalam skala kecil. Pengelolaan sumberdaya paus biru oleh masyarakat Lamakera menggunakan pengetahuan tradisional dan pengetahuan ekologi tradisional atau traditional ecological knowledge sebagai dasar pengelolaannya. Pengelolaan secara tradisional bertujuan untuk menjamin kelestarian sumberdaya alam dan kesejahteraan masyarakat. Penangkapan sumberdaya perikanan, termasuk paus, dilakukan secara tradisional dan dalam skala kecil dilakukan oleh masyarakat nelayan Lamakera untuk memenuhi kebutuhan.
2
Perumusan Masalah Perairan Lamakera termasuk ekosistem Laut Sawu merupakan area yang sangat penting bagi migrasi berbagai jenis cetacea termasuk paus biru (B. musculus). Kegiatan penangkapan paus menggunakan kapal dan alat tradisional telah dilakukan secara turun temurun yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal. Penangkapan paus dilakukan berdasarkan teknik dan teknologi tradisional serta berdasarkan Traditional Ecological Knowledge (TEK). Informasi mengenai aktivitas penangkapan dan komponen TEK serta informasi bio-ekologi paus biru sangat sedikit, sehingga sangat penting untuk dikaji. Informasi tersebut diharapkan dapat bermanfaat dalam upaya untuk menyusun strategi pengelolaan sumberdaya paus biru (B. musculus) di Lamakera.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menelaah bioekologi paus biru dan mengidentifikasi komponen pengetahuan ekologi tradisional atau Traditional Ecological Knowledge (TEK) pada kegiatan penangkapan paus biru oleh masyarakat nelayan Lamakera sebagai bahan rekomendasi pengelolaan sumberdaya paus biru di Lamakera.
Manfaat 1
2 3
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada: Institusi, dalam hal ini Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Institut Pertanian Bogor berupa sumbangan ilmu dan informasi mengenai pengelolaan sumberdaya paus biru berbasis pengetahuan ekologi tradisional atau Traditional Ecological Knowledge (TEK) di Lamakera, Nusa Tenggara Timur. Masyarakat lokal, berupa informasi terkini mengenai kondisi sumberdaya paus biru sehingga dapat dijadikan acuan untuk pengelolaan di masa depan. Negara, dalam hal ini Kementrian Perikanan dan Kelautan berupa informasi yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam perumusan kebijakan yang terkait pengelolaan dan perlindungan paus biru di perairan Laut Sawu, khususnya di Lamakera, Nusa Tenggara Timur.
METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dimulai dengan penyiapan proposal penelitian pada bulan Februari 2015 hingga Maret 2015. Persiapan alat dan bahan, persiapan keberangkatan, dan observasi lapang secara langsung dilaksanakan pada bulan Juni 2015 selama 2 minggu. Penelitian ini dilaksanakan di Lamakera, Kecamatan Solor Timur, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (Gambar 1).
3
Gambar 1 Peta lokasi penelitian di wilayah Lamakera Sumber: DISHIDROS TNI AL (2004) Metode Pengambilan Data Data primer Data primer diperoleh melalui observasi dan wawancara mendalam (indepth interview). Observasi dilakukan dengan mengamati kegiatan penangkapan paus yang dilakukan oleh nelayan. Wawancara mendalam dilakukan dengan menggunakan panduan pertanyaan atau kuesioner (Lampiran 1) terkait penangkapan paus biru dan kegiatan nelayan kepada responden yang dipilih secara sengaja (purposive). Responden tersebut adalah nelayan yang terlibat secara langsung dengan penangkapan paus biru (Lampiran 2), stake-holder, tokoh masyarakat setempat, serta nelayan. Data primer yang diperoleh berupa data faktor ekologis dan ekonomis terkait dengan pengelolaan sumberdaya paus biru dan data komponen pengetahuan ekologi tradisional atau Traditional Ecological Knowledge (TEK) untuk sumberdaya paus biru. Data sekunder Data sekunder diperoleh melalui studi dokumentasi dan studi literatur. Studi dokumentasi dilakukan dengan mencatat data yang diperlukan dari sumber tertentu seperti tersaji pada Tabel 1. Studi literatur diperoleh melalui hasil penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan penelitian ini. Tabel 1 Jenis dan sumber data sekunder No Jenis Data 1 Data kependudukan:Jumlah penduduk 2 Data sosial-ekonomi:Jenis mata pencaharian dan pendapatan 3 Data perikanan:Jumlah tangkapan paus biru dan kebijakan terkait penangkapan paus
Sumber Data Kantor desa Kantor desa Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Kab. Flores Timur dan tokoh masyarakat
4
Analisis Data Analisis morfologi paus biru Analisis morfologi dilakukan menggunakan data panjang tubuh paus biru. Morfologi paus diestimasi berdasarkan ukuran panjang tubuh, tahapannya adalah sebagai berikut (Woodward et al. 2006): 1 Massa tubuh (M, kg) diestimasi menggunakan formula Lockyer (1976) untuk memprediksi berat paus (W, ton) berdasarkan panjang tubuh paus (L, m). W = a x Lb
2
Dimana a dan b adalah koefisien spesies. Nilai koefisien tersebut telah dikoreksi untuk hilangnya darah dan cairan: paus biru; a = 0,0029, b = 3,25, paus bongkok; a = 0,0165, b = 2,95, paus abu-abu; a = 0,0054, b =3,28, dan right whale; a = 0,0132, b = 3,06. Volume tubuh (V, m3) dihitung berdasarkan asumsi bahwa paus memiliki buoyancy yang hampir netral di dalam air laut (Bose et al. 1990 dalam Woodward et al. 2006). Estimasi M (massa tubuh) digunakan dalam konjungsi dengan densitas air laut (ρairlaut =1.025 kg/m3), menurut persamaan berikut: V=
3
M ρairlaut
Luas permukaan tubuh (SA, m2) ditentukan menggunakan persamaan prediksi (Fish 1993b dalam Woodward et al. 2006) SA = 0,08 x M x 0,65
4
Koefisien volumetrik (Cv) adalah rasio volume tubuh dengan length cubed dan meberikan ukuran kegemukan tubuh (Bose et al. 1990 dalam Woodward et al. 2006). Semakin tinggi nilainya maka semakin gemuk bentuk tubuhnya. Cv =
V (0,1 x L)3
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Keadaan umum wilayah penelitian Lamakera merupakan wilayah yang terletak paling timur dari Pulau Solor, yaitu pulau yang terletak diantara Flores Timur dan Pulau Lembata. Secara
5
administratif, Lamakera terbagi menjadi dua desa, yaitu Watobuku dan Motonwutun. Kedua desa ini termasuk dalam wilayah Kecamatan Solor Timur, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kecamatan Solor Timur terdiri dari 17 desa dengan luas wilayah 66,56 km2. Lamakera memiliki wilayah total seluas 1,84 km2 dengan jumlah penduduk total 2302 jiwa yang terdiri atas 648 kepala keluarga dan seluruhnya memeluk Agama Islam. Sebagian besar penduduk Lamakera berasal dari luar Pulau Solor yaitu Sikka dan Maumere (Pulau Flores) yang bermigrasi akibat bencana alam tsunami. Lamakera memiliki karakteristik topografi berbukit batu dengan kondisi tanah yang tandus. Kondisi tersebut menyebabkan tidak memungkinkan adanya kegiatan pertanian, sehingga mata pencaharian utama penduduk adalah nelayan tradisional. Sumberdaya paus biru (B. musculus) Aspek biologi paus biru Paus biru (B. musculus) termasuk dalam kelas cetacea, yaitu kelompok mamalia laut termasuk di dalamnya paus, lumba-lumba, dan porpoise. Terdapat sekitar 87 spesies yang terbagi dalam dua kelompok utama yaitu paus baleen (Mysticeti) dan paus bergigi (Odontoceti). Berikut adalah klasifikasi paus biru berdasarkan Linnaeaus (Wilson dan Reeder 2005): Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class : Mammalia Ordo : Cetacea Subordo : Mysticeti Family : Balaenidae Genus : Balaenoptera Species : Balaenoptera musculus (Linnaeus, 1758) Nama umum : Paus biru atau Blue Whale Nama lokal : Keraru Paus biru termasuk dalam subordo Mysticeti tidak memiliki gigi, melainkan baleen yaitu penyaring besar dalam mulut. Famili Balaenidae mempunyai lipatan di sekeliling tenggorokannya yang memungkinkan mereka menahan sejumlah besar air. Paus biru terbagi dalam tiga subspesies yaitu B.m. intermedia (Burmeister, 1871) dari Pasifik Utara, B.m. brevicauda (Ichihara, 1966) dari Samudra Hindia, B.m. musculus dari Atlantik Utara, dan B.m. indica (Blyth, 1859) (Monnahan et al. 2014). Paus biru memiliki bentuk tubuh yang ramping memanjang, kulit biru keabu-abuan dan bintik putih keabu-abuan dengan sisi terang. Menurut National Marine Fisheries Service (NMFS), paus biru memiliki panjang total rata-rata mencapai 21 hingga 24 meter (tercatat yang terpanjang adalah 32 meter) dan dapat mencapai bobot 90 hingga 150 ton (NMFS 1998). Hewan ini memiliki dua buah blowhole atau lubang tiup yang terletak di sisi atas kepala, fluke dan flipper sebagai alat gerak dan sirip dorsal berbentuk sabit. Paus biru memiliki lapisan minyak atau blubber setebal 5-30 cm di tubuhnya. Morfologi paus biru disajikan pada Gambar 2.
6
Gambar 2 Morfologi paus biru (B. musculus) Sumber: Scott (2015) Keterangan: 1 2 3 4
Mulut (300-400 pasang baleen) Blowhole (2 buah) Sirip dorsal kecil berbentuk sabit Fluke
5 Blubber 6 Flipper/sirip 7 Lekuk tenggorokan
Paus biru matang seksual pada umur 5-10 tahun, betinanya melahirkan satu anak tiap dua atau tiga tahun sekali dengan waktu kehamilan 10 hingga 12 bulan. Paus betina berukuran lebih besar dibanding jantan. Makanan utama paus biru adalah krill yaitu udang-udang kecil atau organisme kecil. Paus biru mempunyai 300 hingga 400 pasang baleen berwarna hitam yang digunakan untuk menyaring makanan dari air laut. Menurut National Marine Fisheries Service (NMFS), Baleen adalah struktur berbentuk sikat terbuat dari keratin yang tersusun dalam pelat di rahang atas paus (NMFS 1998). Angka harapan hidup hewan ini adalah 80 tahun. Paus biru biasanya hidup soliter atau membentuk kelompok kecil yang terdiri dari dua atau empat individu. Paus biru dapat ditemukan di seluruh lautan kecuali di Arktik, dan beberapa laut regional seperti di Lautan Mediterania, Okhotsk dan Bering (Reilly et al. 2008). Paus biru mulai diburu secara intensif sejak sekitar tahun 1920 hingga tahun 1960 sehingga mengakibatkan populasinya hampir langka. Hewan ini menghadapi ancaman dari belitan jaring penangkapan ikan, polusi, dan perburuan ilegal (Osis et al. 2008). Paus biru masuk dalam Red List Internatioal Union for Conservation of Nature (IUCN) dengan kategori Endangered (EN). Paus biru diketahui banyak menghasilkan suara secara sering dan kompleks. Banyak dari suara yang dihasilkan tersebut diasosiasikan dengan konteks yang spesifik seperti mencari makan, bersosialisasi dan reproduksi (Recalde-Salas et al. 2014). Suara-suara asing yang ditimbulkan dari kegiatan manusia menyebabkan gangguan pada level individual seperti respon perilaku, peyamaran sinyal biologis,
7
hilangnya pendengaran baik temporal maupun permanen (Thompsen et al. 2011). Kebisingan di laut juga mengubah tingkah laku paus dan menyebabkan paus menjauh dari habitat asalnya (WWF 2014). Morfologi paus biru (B. musculus) Kebiasaan makan, jenis makanan, dan habitat dapat diasosiasikan dengan desain morfologi dari tubuh, fluke, dan flippers pada paus baleen. Cetacean mengembangkan bentuk tubuh yang halus, streamlined, dan fusiform didorong oleh fluke yang terhubung dengan tubuh oleh tungkai yang sempit. Konfigurasi bentuk ini memaksimalkan efisisiensi dan pergerakan. Morfologi paus dianalisis berdasarkan data panjang paus biru hasil tangkapan nelayan pada bulan Maret 2015 disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2 Hasil analisis morfologi paus biru (B. musculus) Referensi* Komponen morfologi Nilai (Paus Dewasa) 11 20-22 Panjang tubuh (L) 7,03 88,5 Berat tubuh (W) 6,86 86,43 Volume tubuh (V) 25,33 131,49 Luas permukaan tubuh (SA) 5,15 5,72 Koefisien volumetrik (Cv)
Satuan m ton m3 m2 -
*Referensi data bersumber dari catatan perburuan paus dan data paus terdampar terbaru dari seluruh dunia dalam Journal of Morphology (Woodward et al. 2006)
Melalui Tabel 2, disajikan hasil pendugaan ukuran tubuh paus biru berdasarkan analisis morfologi menurut Woodward et al. (2006). Panjang paus yang ditangkap oleh masyarakat Lamakera berukuran 11 meter sedangkan tubuh paus dewasa adalah 20-22 meter sehingga diduga paus tersebut belum berusia dewasa. Berat tubuh berbanding lurus dengan panjang tubuh. Berat tubuh diestimasi berdasarkan panjang tubuh dan mempertimbangkan faktor hilangnya darah dan cairan tubuh. Nilai perhitungan yang diperoleh yaitu 7,03 ton dengan panjang tubuh 11 meter, sedangkan sebegai referensi paus dewasa berukuran 21-22 meter memiliki berat tubuh 88,5 ton. Berat tubuh yang sebenarnya bervariasi sesuai musim, kondisi tubuh, umur, dan status reproduksi (Woodward et al. 2006). Sama seperti berat tubuh, volume tubuh berbanding lurus dengan panjang dan berat tubuh. Paus hasil tangkapan memiliki volume tubuh 6,86 m3, sedangkan paus dewasa memiliki volume tubuh 86,43 m3. Volume tubuh (V, m3) dihitung berdasarkan asumsi bahwa paus memiliki buoyancy yang hampir netral di dalam air laut (Bose et al. 1990 dalam Woodward et al. 2006). Buoyancy dari jenis paus tertentu tergantung pada komposisi tubuh, kuantitas relatif otot dan blubber atau lapisan lemak. Paus balaenopterid mempunyai proporsi lapisan otot tertinggi dan cenderung mempunyai buoyancy negatif dan sebaliknya pada right whales. Selain itu, ketebalan blubber berfluktuasi pada level individual dengan penggemukan musiman dan status reproduktif (Rice dan Wolman 1971 dalam Woodward et al. 2006). Koefisien volumetrik menggambarkan tingkat kegemukan tubuh berdasarkan panjang tubuh, semakin tinggi nilai koefisien volumetrik maka semakin gemuk bentuk tubuhnya. Paus biru memiliki koefisien volumetrik
8
terendah dibandingkan paus bongkok (Megaptera novaeangliae), paus abu-abu (Eschrichtusn robustus) dan right whale (Eubalaena glacialis). Paus biru memiliki bentuk tubuh paling langsing dengan aspek rasio fluke tinggi, yang mana merupakan perangkat hidrodinamik untuk meningkatkan efisiensi daya dorong. Semakin tinggi efisiensi memungkinkan paus menambah lebih banyak daya dorong pada area fluke untuk menambah kecepatan, tenaga, dan gerakan fluke sambil meminimalkan gesekan. Kecepatan ini berguna untuk penjelajahan saat mencari makan. Jenis makanan paus biru terdiri dari zooplankton yang terdistribusi secara luas dalam kelompok-kelompok. Meskipun jenis makanannya bukan jenis yang dapat bergerak cepat, namun kecepatan gerakan berguna ketika berpindah dari satu kelompok makanan ke kelompok lainnya (Woodward et al. 2006). Penangkapan sumberdaya paus biru (B. musculus) Penangkapan paus secara tradisional oleh masyarakat Lamakera telah dilakukan sejak 500 tahun lalu (Wiadyana 2014). Tradisi ini terbentuk seiring terbentuknya wilayah Lamakera. Masyarakat Lamakera berasal dari Sikka dan Maumere (Pulau Flores) yang melakukan perpindahan karena terjadi bencana alam tsunami. Kedatangan dengan membawa hasil buruan paus yang kemudian diberikan kepada pemilik tanah daerah tersebut (awalnya bernama Tanahwerang) untuk dibagikan kepada warganya dan meminta supaya diperbolehkan menempati wilayah tersebut. Setelah terbentuk, Lamakera didatangi oleh suku-suku lain sehingga berkembang menjadi tujuh suku besar (Gambar 3).
Watobuku
Fishing village
Lamakera Motonwutun Suku Kampung Lamakera Suku Lawerang Suku Kuku Onang Suku Lewoklodo Suku Ema Onang Suku Harionang Suku Kiko Onang
Keterangan:
Whaling and Fishing village
: Memanfaatkan
Gambar 3 Struktur kemasyarakatan Lamakera Lamakera secara administratif terbagi menjadi dua desa yaitu Desa Watobuku dan Desa Motonwutun. Nelayan Desa Watobuku adalah tipikal nelayan biasa yang mencari ikan dengan menggunakan pancing. Secara turun temurun kegiatan memburu paus dan hewan-hewan laut berukuran besar lainnya merupakan mata pencaharian nelayan Desa Motonwutun, hingga saat ini hanya nelayan dari
9
Desa Motonwutun saja yang dapat memburu paus. Walaupun demikian, hasil tangkapan paus dimanfaatkan oleh masyarakat Motonwutun maupun Watobuku. Masyarakat Lamakera terdiri dari 7 suku besar yang terbagi lagi menjadi beberapa fam atau marga. Alat tangkap dan proses penangkapan paus Penangkapan paus di Lamakera menggunakan alat tangkap tradisional yang terdiri atas; tombak besar atau kohawek dan tali (Gambar 4), tombak kecil atau beladek (Gambar 5) dan kapal atau tena bermotor (Gambar 6). Tombak diikatkan pada tali dengan panjang ±100 meter. Gambar 7 adalah miniatur kapal tradisional atau paledang yang digunakan untuk menangkap paus.
Gambar 4 Tombak besar (kohawek) dan tali
Gambar 5 Tombak kecil (beladek)
Gambar 6 Perahu (tena) bermotor
Gambar 7 Paledang (miniatur)
Dalam satu armada kapal biasanya terdapat hingga 5 tombak dan 3 atau 4 gulung tali dengan ukuran tertentu (±100 m) dan terdapat minimal dua kapal dalam satu operasi penangkapan. Armada yang digunakan adalah perahu berbahan kayu berukuran 9-11,5 meter yang digerakan dengan motor berukuran 2,5-3,5 gross ton (GT). Sebelum adanya kapal bermesin, masyarakat Lamakera menggunakan kapal tradisional yang disebut paledang. Masyarakat Lamakera menjual perahu tradisional terakhir mereka pada pembeli dari Belanda pada tahun 1990-an (Mustika 2006). Operasi penangkapan tidak dilakukan setiap hari, operasi penangkapan dilakukan apabila paus melintas di perairan Lamakera dan dideteksi kemunculannya melalui pengetahuan masyarakat lokal. Bila paus terlihat muncul di perairan Selat Lamakera atau sekitarnya, maka siapapun yang melihat melapor ke penombak atau belwaeng, kemudian penombak beserta anak buah kapal yang
10
lain segera mengejar paus tersebut lalu menombaknya. Tombak yang digunakan untuk menombak pertama kali adalah kohawek atau tombak besar. Penombak melompat dari kapal kemudian menancapkan tombak pada tubuh paus. Kemudian paus berenang menjauh sambil menarik kapal. Saat paus menarik kapal, mesin tidak boleh langsung dimatikan agar memberatkan paus. Bila paus terlalu besar dan tarikan terlalu kuat, kapal lain datang membantu. Penombakan kedua dilakukan dengan menggunakan tombak kecil atau beladek yang bertujuan untuk membunuh paus dengan menikam bagian bawah sirip atau flipper. Mesin kapal lalu dimatikan dan dibiarkan tertarik oleh paus sampai paus lelah dan mati. Paus kemudian ditarik ke pantai untuk dipotong dan dibagikan sesuai dengan sistem pembagian tradisional. Target dan area penangkapan Target utama penangkapan paus di Lamakera adalah paus baleen (keraru) atau paus tak bergigi dari sub ordo Mysticeti. Berdasarkan pengenalan spesies oleh masyarakat lokal, paus baleen yang pernah ditangkap masyarakat Lamakera diataranya adalah paus biru, pygmy right whale, paus minke, paus bryde dan paus abu-abu. Masyarakat nelayan Lamakera menangkap paus di perairan sekitar Pulau Solor yaitu perairan di Selat Lamakera dan bagian selatan Pulau Solor, Selat Solor, dan Selat Flores (Wiadyana et al. 2014). Peta area perburuan paus, lumba-lumba dan pari manta oleh masyarakat Lamakera dan Lamalera tersaji pada Gambar 8.
Gambar 8 Daerah penangkapan mamalia laut dan pari manta oleh nelayan Lamakera dan Lamalera Sumber: Mustika 2006 Paus biru, khususnya paus biru kerdil (B.m. brevicauda) bermigrasi dari perairan Australia menuju Indonesia melewati Laut Sawu untuk bereproduksi (Double et al. 2014). Pergerakan migrasi paus biru kerdil tersaji pada Gambar 9.
11
Gambar 9 Pergerakan migrasi paus biru kerdil (B.m. brevicauda) Sumber: Double et al. 2014
12
Paus biru khususnya subspesies paus biru kerdil (B.m. brevicauda) yang terdapat di perairan Australia bermigrasi diantara Australia dan Indonesia melalui pesisir barat Australia. Paus biru kerdil bermigrasi pada Maret/April ke utara dari Ngarai Perth atau wilayah Naturaliste Plateu menuju Indonesia melalui bagian tenggara benua Australia. Pada bulan Juni, paus biru kerdil tiba di perairan Indonesia melewati Laut Sawu dan Laut Timor menuju Laut Banda dan Laut Molucca kemudian menetap hingga September. Selanjutnya, paus biru kerdil kembali melakukan migrasi menuju Australia hingga bulan Desember mencapai zona subtropikal depan. Pergerakan paus kemudian melambat hingga tiba di Ngarai Perth atau wilayah Naturaliste Plateu pada Maret atau April (Double et al. 2014) Pembagian dan pengolahan hasil tangkapan Sistem pembagian hasil tangkapan mengikuti kebiasaan yang telah ada. Pembagian ini didasarkan pada tradisi lokal dan keterlibatan dalam kegiatan penangkapan paus. Sistem pembagian hasil tangkapan paus oleh masyarakat Lamakera tersaji pada Gambar 10.
Gambar 10 Pembagian hasil tangkapan secara tradisional Sumber: Mustika (2006) Keterangan: I : Saudara perempuan pemilik kapal/penombak IIa, III dan IV : Pemilik kapal dan penombak IIb dan V : Anak buah kapal (ABK) VI dan VIII : Pemilik kapal Hasil tangkapan paus dipotong dan dibagikan kepada saudara perempuan pemilik kapal, pemilik kapal/penombak dan ABK kapal. Keluarga saudara perempuan pemilik kapal mendapat bagian hasil tangkapan karena kapal yang digunakan adalah kapal warisan dari generasi sebelumnya. Selebihnya, hasil dibagikan berdasarkan keterlibatan dalam proses penangkapan paus. Selanjutnya, daging dibagikan kepada papalele yaitu istri nelayan penjual hasil laut. Daging dijual ke papalele sejumlah 40 potong dengan dimensi masingmasing sekitar 20 x 14 x 3 cm seharga Rp250 000 yang kemudian dijual ke seluruh desa. Masyarakat bisa membeli daging beserta kulit seharga Rp10 000. Produk olahan tradisional yang dibuat adalah dendeng paus dan minyak yang terbuat dari lemak paus.
13
Nelayan tidak memiliki catatan mengenai jumlah tangkapan paus, namun sejak 2013 mulai dilakukan pencatatan terhadap hasil tangkapan nelayan Lamakera. Paus yang ditangkap sejak 2013-2015 berjumlah tiga ekor, yaitu dua ekor di tahun 2014 dan satu ekor pada tahun 2015. Paus yang ditangkap pada 2015 adalah paus biru dengan panjang tubuh 11 meter. Pembagian hasil tangkapan paus nelayan Lamakera lebih sederhana jika dibandingkan pembagian hasil tangkapan nelayan Lamalera. Hasil tangkapan paus sperma di Lamalera dibagi berdasarkan tiga unsur utama yaitu Tuan tanah, suku pemilik perahu dan meng atau awak perahu. Sistem pembagian ini lebih kompleks dibandingkan sistem pembagian nelayan Lamakera (Ramadhan 2015). Berikut disajikan gambar pembagian hasil tangkapan paus sperma oleh masyarakat Lamalera pada Gambar 11.
Gambar 11 Pembagian hasil tangkapan paus sperma (Physeter macrocephalus) Sumber: Ramadhan 2015 Hasil tangkapan dibagikan kepada:(1) Semua awak perahu yang melaut dan semua warga kampung, (2) Juru tikam (lamafa), (3) Oranng tua lamafa dan rumah adat lamafa, (4) Orang yang menikam paus pertama, (5) Pembuat tempuling yang digunakan oleh lamafa, (6) Anggota pemilik perahu dan penjaga perahu (tena alep), (7) Awak perahu yang ikut melaut, (8) Anggota pemilik perahu, (9) Pembuat perahu, (10) Penjaga perahu, para janda, para yatim piatu dan orang yang tidak ikut dalam penangkapan karena kondisi fisik tidak memungkinkan, (11) Anggota suku dari perahu yang turut membantu mengadakan kayu dan bahan makanan pada proses pembuatan perahu, (12) Orang yang ikut mendorong perahu saat melaut maupun mendarat, (13) Orang yang memotong tubuh paus untuk memepercepat kematian, (14) Tena alep yang menikam pertama, dan (15) Paledang yang membuat paus mati. Sementara itu bagian isi perut serta usus dan jantung menjadi milik ume alep atau para penanam saham, sedangkan bagian usus diberikan kepada para matros (Ramadhan 2015). Daerah penangkapan masyarakat Lamalera yaitu Tanjung Suba-Tanjung Atadei ke arah selatan sejauh 20 mil. Musim penangkapannya terbagi menjadi dua, yaitu: Musim Lefa (Mei-September) dan Musim Baleo (Oktober-April). Musim Lefa adalah musim ketika aktif mencari paus, hiu serta pari, sedangkan Musim Baleo hanya menunggu tanda-tanda adanya paus dari pantai (Ramadhan 2015). Kegiatan perikanan di Lamakera Penduduk Lamakera hampir seluruhnya berprofesi sebagai nelayan. Nelayan di Lamakera termasuk dalam kategori nelayan kecil yaitu orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup
14
sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 (Lima) gross ton (GT) (UU No. 45 Tahun 2009). Armada yang digunakan adalah perahu dengan mesin motor tempel 16-32 PK dan berukuran 1,0-4,0 GT. Alat tangkap yang digunakan adalah pancing, bubu, jaring insang, tombak, dan bom. Armada penangkapan beranggotakan 4-6 orang anak buah kapal (ABK) dengan biaya operasional Rp200 000-Rp300 000/hari. Hasil tangkapan mega fauna pada tahun 2014 tersaji pada Tabel 3. Tabel 3 Jumlah tangkapan mega fauna laut Desa Motonwutun dan Desa Watobuku (2014) Jumlah Tangkapan (ekor) Jenis Ikan Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Jumlah Hiu Bintang 35 5 1 1 1 43 Hiu Korea 5 42 47 Pari (manta dan pari lain) 30 57 101 18 4 3 213 Paus 1 1 2 Hasil tangkapan pari sangat tinggi jika dibandingkan dengan hasil tangkapan mega fauna lain. Pari merupakan target tangkapan utama masyarakat Lamakera khususnya nelayan dari Desa Motonwutun. Pari manta (Gambar 12), adalah jenis mega fauna yang paling banyak ditangkap oleh masyarakat Lamakera. Hasil tangkapan pari manta dijual dalam bentuk segar atau dikeringkan (Gambar 13). Daging pari manta dijual seharga Rp125 000 per potong.
Gambar 12 Pari manta Sumber: Kkji.kp3k.kkp.go.id
Gambar 13 Daging pari yang dikeringkan
Hasil tangkapan nelayan Lamakera berupa ikan pelagis, ikan demersal, serta mamalia laut. Hasil produksi perikanan Desa Watobuku dan Desa Motonwutun disajikan pada Lampiran 3. Hasil tangkapan masyarakat Lamakera di antaranya ikan pelagis seperti madidihang, tuna mata besar, cakalang, selayar, selar, dll. Pengetahuan ekologi tradisional (traditional ecological knowledge) Kegiatan penangkapan paus di Lamakera didasarkan pada Traditional Ecological Knowledge (TEK) atau pengetahuan ekologi tradisional masyarakat dan pengetahuan lokal yang telah diketahui secara turun-temurun. Pengetahuan ekologi
15
tradisional atau Traditioal Ecological Knowledge (TEK) sumberdaya paus biru dan pengetahuan tradisional mengenai manajemen penangkapan yang terdapat pada maysarakat Lamakera disajikan pada Tabel 4 dan 5. Tabel 4 Pengetahuan ekologi tradisional pada kegiatan penangkapan paus biru (B. musculus) di Lamakera Komponen TEK Manajemen Lokal Identifikasi Identikasi dengan melihat Jenis paus yang ditangkap spesies bentuk tubuh, tipe adalah paus tidak bergigi. semburan, dan tingkah Masyarakat mampu laku saat ditangkap. membedakan dengan melihat bentuk tubuh. Identifikasi Identifikasi jenis kelamin Sulit membedakan sehingga jenis kelamin berdasarkan bentuk tubuh, nelayan menangkap semua jantan bertubuh ramping jenis paus baleen baik dan panjang, sedangkan jantan maupun betina betina lebih pendek dan besar (gemuk). Identifikasi Memperkirakan dalam Nelayan mengejar paus tingkah laku atau tidaknya paus yang muncul tiga kali secara menyelam dengan berturut-turut. menghitung jumlah kemunculan. Tabel 5 Pengetahuan tradisional masyarakat pada kegiatan penangkapan paus biru (B. musculus) di Lamakera Komponen Pengetahuan tradisional Teknologi Alat penangkapan Daerah penangkapan Musim penangkapan Sistem ekonomi
Sistem bagi hasil Sistem pemasaran hasil
Alat yang digunakan adalah perahu kayu (tena) bermotor, tali, tombak besar (belwaeng) dan tombak kecil (kohawek). Penangkapan dilakukan dimana paus terlihat melintas yaitu di bagian selatan Pulau Solor, Selat Solor, dan Selat flores Maret–Desember, arah migrasi April-Juni ke utara, September hingga Desember ke selatan. Sistem bagi hasil didasarkan adat dan keterlibatan pada proses penangkapan. Sistem pemasaran hasil tangkapan ke seluruh desa oleh para papalele.
Sebagi pembanding, di Indonesia terdapat masyarakat yang memburu paus secara tradisional yaitu masyarakat Lamalera di Pulau Lembata (Ramadhan 2015). Jarak kedua wilayah ini tergolong dekat, Pulau Lembata terletak tepat di sebelah timur Pulau Solor. Namun demikian, terdapat perbedaan pada tradisi penangkapan dan pengetahuan ekologi tradisional yang terdapat pada kedua masyarakat tersebut.
16
Pengetahuan ekologi tradisional pada penangkapan paus oleh nelayan Lamalera berdasarkan Ramadhan (2015) disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Komponen pengetahuan ekologi tradisional pada kegiatan penangkapan paus sperma di Lamalera Komponen TEK Manajemen Lokal Identifikasi Identikasi dengan melihat Jenis paus yang ditangkap spesies tipe semburan. paus sperma sedangkan paus biru tidak ditangkap. Identifikasi Perbedaan jantan dan Sulit untuk membedakan jenis kelamin betina dari bentuk tubuh, sehingga nelayan jantan ukuran lebih menangkap tanpa panjang dan besar mempertimbangkan jenis sedangkan betina lebih kelamin pendek dan lebar (gemuk). Pengetahuan Pengetahuan tentang pola Sulit untuk membedakan mengenai reproduksi paus hamil atau tidak. reproduksi Tidak pernah menangkap dan mengasuh paus kecil dan sedang anak menyusui atau diasuh induknya. Nelayan Lamalera memburu paus sperma (Physeter macrocephalus) menggunakan perahu tradisional (paledang atau tena laja) dan tombak (tempuling). Teknologi penangkapan yang ada di Lamalera tidak jauh berbeda yaitu perahu (tena) bermotor, tombak, dan tali. Kegiatan penangkapan tradisional yang dilakukan oleh masyarakat Lamakera mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan pada tradisi penangkapan paus di Lamakera tersaji pada Tabel 5. Tabel 7 Perubahan tradisi penangkapan paus di Lamakera Subyek Dahulu Sekarang Menggunakan tena/perahu Kapal Tradisional (paledang) bermotor sebagai penggerak Tali terbuat dari anyaman Tali terbuat dari anyaman Tali pengikat benang, atau tali tambang lontar atau serat tumbuhan dari plastik Dikonsumsi dan dijual secara Daging dan tulang Hasil barter. Tulang disimpan di dikonsumsi dan dijual. rumah adat Tidak ada, tradisi tersebut Ada, dilakukan sebelum Ritual adat tergerus oleh masuknya kegiatan penangkapan kepercayaan Islam. Masyarakat Lamakera tidak lagi melakukan ritual adat sebelum menangkap paus. Hal ini disebabkan karena masuknya kepercayaan Islam yang melarang adanya kegiatan ritual adat. Meskipun demikian, penghormatan terhadap tombak
17
masih terlihat dari cara menyimpan dan membawa tombak. Tombak disimpan di atas meja khusus dengan alas kain bersih. Perubahan pada alat tangkap terlihat dari penggunaan motor pada perahu sebagai penggerak dan perubahan pada bahan pembuat tali.
Pembahasan Traditional Ecological Knowledge (TEK) dideskripsikan sebagai kumulatif dari pengetahuan dan kepercayaan, yang diturunkan antar generasi oleh transmisi kebudayaan, mengenai hubungan antar makhluk hidup serta hubungan makhluk hidup dengan lingkungannya (Berkes 1993 dalam Mustika 2006). Pendekatan ini sering digunakan dalam sains modern untuk membantu memahami pentingnya aspek biologi pada kebudayaan tradisional seperti bowhead whales dan beluga di Alaska (Freeman 2003 dalam Mustika 2006). Analisis pengetahuan ekologi tradisional atau traditional ecological knowledge (TEK) memiliki beberapa level analisis yang saling berhubungan menurut Berkes (2008). Level analisis tersebut yaitu pengetahuan lokal mengenai tanah, tumbuhan dan binatang, sistem manajemen sumberdaya, institusi sosial dan pandangan hidup. Pengetahuan lokal dan empiris masyarakat Lamakera mengenai ekologi paus tergolong sedikit. Masyarakat mengidentifikasi jenis paus yang menjadi buruan dari tipe semburan dan bentuk tubuh. Indentifikasi ini digunakan untuk membedakan jenis paus yang menjadi target penangkapan nelayan Lamakera dengan jenis paus yang menjadi target Lamalera yaitu paus sperma. Paus yang ditangkap adalah paus baleen atau paus tidak bergigi, sedangkan paus bergigi tidak ditangkap. Masyarakat mampu membedakan kedua jenis paus tersebut dari bentuk tubuh, semburan dan tingkah laku paus. Pada umumnya, masyarakat Lamakera tidak menangkap paus bergigi karena terlalu berbahaya untuk ditangkap dan tidak menyukai rasa dagingnya. Paus sperma melakukan perlawanan saat ditangkap dengan membenturkan badannya ke perahu dan menyelam sehingga perahu beresiko tertarik dan tenggelam. Masyarakat Lamakera menyebut paus sperma dengan sebutan “ikan bodoh”. Paus biru diketahui sebagai perenang cepat yang berenang menjauh dengan cepat saat ditangkap. Masyarakat tidak mengetahui mengenai reproduksi paus. Menurut Double et al. (2014), paus biru berigrasi ke wilayah perairan Indonesia mencari tempat yang hangat untuk bereproduksi. Mengenai pembedaa jenis kelamin, masyarakat hanya mampu membedakan jenis kelamin paus ketika paus sudah ditangkap. Sehingga, masyarakat cenderung memburu semua jenis paus baleen baik betina atau jantan. Pengetahuan ekologi lainnya yaitu masyarakat mampu memperkirakan dalam atau tidaknya paus biru menyelam dari jumlah kemunculan. Sistem manajemen sumberdaya diperlihatkan pada teknologi dan teknik penangkapan, sistem pembagian, dan penjualan. Teknik dan teknologi penangkapan paus biru diperoleh dari turun temurun menggunakan kapal tradisional (paledang), tombak besar (kohawek) dan tobak kecil (beladek). Saat ini penggunaan kapal tradisional digantikan dengan perahu (tena) bermesin. Teknik penangkapan juga diperoleh secara turun temurun.
18
Selanjutnya, terdapat pengetahuan mengenai daerah penangkapan dan musim penangkapan. Masyarakat Lamakera menangkap paus di perairan sekitar Pulau Solor yaitu di Selat Lamakera dan bagian selatan Pulau Solor, Selat Solor, dan Selat Flores (Wiadnyana et al. 2014). Masyarakat mengetahui bahwa paus biasanya bermigrasi di wilayah tersebut pada bulan Mei hingga Desember. Menurut pengamatan Double et al. (2014), paus biru kerdil (B.m. brevicauda) yaitu subspesies dari paus biru (B. musculus), bermigrasi dari Australia melewati perairan Laut Sawu menuju Laut Banda pada bulan Juni dan menetap hingga September. Paus biru mempunyai pola migrasi musiman untuk bereproduksi pada musim panas dan mencari makan pada musim dingin (Reilly et al. 2008). Institusi sosial dalam TEK yaitu seperangkat peraturan dalam pemanfaatan, norma-norma dan kode-kode dalam hubungan sosial (Destriani 2011). Paus biru dimanfaatkan oleh nelayan Lamakera dengan sistem pembagian tradisional yang telah ditetapkan. Daging yang diperoleh dijual dengan sistem barter dan tulangnya disimpan di rumah adat. Namun saat ini, tradisi ini telah berubah. Sistem pembagian hasil tangkapan tidak berubah namun hasilnya baik daging maupun tulang dijual untuk memperoleh keuntungan. Aturan adat dan kepercayaan adat misalnya ritual dalam memulai aktifitas perburuan tidak lagi dilakukan. Kegiatan penangkapan paus di Lamakera dan Lamakera, keduanya memiliki cukup banyak perbedaan. Segi spiritual dan aspek budaya pada penangkapan paus di Lamakera tidak lagi menjadi hal yang penting seperti yang terjadi pada masyarakat Lamalera. Masyarakat Lamalera masih menjalankan aturan dan kepercayaan adat dalam kegiatan penangkapan paus sedangkan masyarakat Lamakera sudah tidak lagi. Upacara adat yang tidak lagi dilakukan telah mengurangi kepercayaan spiritual di Lamakera (Mustika 2006). Ambarwati Kurnianingsih (2004) dalam Mustika (2006) menduga bahwa perubahan tersebut merupakan pengaruh dari perbedaan kepercayaan dan tradisi dari masyarakat Lamakera dan Lamalera. Penduduk Lamakera terlebih dahulu berinteraksi dengan misionaris Katolik pada tahun 1886 (Barnes 1996 dalam Destriani 2011) yang masih memperbolehkan keberlangsungan dari praktik ritual adat. Namun di lain pihak, masyarakat Lamakera berhubungan dengan imam Muslim yang melarang aktivitas mistik atau ritual seperti sesaji ataupun berdoa untuk perburuan paus. Situasi serupa terjadi di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Kepulaun Seribu (Jakarta Utara). Peran dan keterlibatan suku di Lamalera sangat kuat, tiap suku memiliki peran masing-masing. Sebagai contoh pada kegiatan ritual adat sebelum memulai musim penangkapan Lefa, suku tiga tungku (Bataona, Blikololong, dan Levotuan) meminta suku pemilik tanah untuk memulai ritual adat. Selain itu, suku tiga tungku memiliki peran untuk memimpin musyawarah yang membahas mengenai penangkapan paus (Ramadhan 2015). Pembagian hasil tangkapan paus sperma juga didasarkan pada suku, yaitu kepada suku pemilik tanah, suku pemilik perahu dan meng (Ramadhan 2015). Hal serupa tidak terjadi di Lamakera, tidak terdapat keterlibatan suku dalam pengelolaan sumberdaya paus biru. Pengelolaan sumberdaya paus biru (B. musculus) Paus biru merupakan hewan yang mengalami ancaman kepunahan, populasinya menurun secara drastis pada abad ke-20 mengeliminasi sekitar 90% dari populasinya. Di banyak bagian dunia, informasi tentang distribusi, ukuran
19
populasi dan perilaku mamalia laut kurang diketahui, sebagian karena kegiatan survei mamalia laut relatif mahal, memakan waktu dan memerlukan alat logistik yang menantang (Ender 2012). Populasi global paus biru tidak diketahui secara pasti, namun berdasarkan informasi dari Internatioal Union for Conservation of Nature (IUCN), populasi total untuk spesies ini ada di kisaran 10.000-25.000 yaitu sekitar 3-11% dari ukuran populasi pada tahun 1911 (IUCN 2012). Perburuan paus di Lamakera telah terjadi sejak 500 tahun yang lalu. Perburuan secara tradisional diperbolehkan oleh International Whaling Commission karena termasuk ke dalam subsistent whaling, yang mana tidak menyebabkan penurunan populasi paus (Barnes 1996 dalam Mustika et al. 2009). Alat yang digunakan dalam penangkapan adalah tombak, tali dan perahu tanpa mesin, tapi hanya menggunakan dayung dan layar (Wiadnyana 2004). Target utama penangkapan paus di Lamalera adalah paus sperma yang disebut koteklema oleh masyarakat lokal (Rudolph et al. 1997). Setelah beberapa tahun, jumlah tangkapan yang dicatat oleh masyarakat Lamalera mengalami penurunan sejak 1959-2004 (Ramadhan 2015). Namun, masyarakat Lamalera sendiri tidak mengetahui mengapa kondisi tersebut terjadi. Sejak 1980, masyarakat Lamakera mengganti peralatan tradisional untuk penangkapan paus menggunakan kapal dengan mesin (Wiadnyana 2004). Karena masyarakat menangkap paus menggunakan cara-cara tradisonal (hasil tangkapan tidak lebih dari 10 ekor per tahun), aktivitas perburuan di area ini tidak berpengaruh pada populasi paus di dunia (Barnes 1996 dalam Mustika et al. 2009). Untuk mengharmoniskan antara konservasi dan perburuan tradisional, harus dilakukan sebuah control untuk melarang penggunaan kapal bermotor atau teknik dan peralatan modern dalam aktivitas penangkapan paus. Berdasarkan penelitian, salah satu upaya lain yang dapat dilakukan dalam pengelolaan sumberdaya paus yaitu pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat. Pengelolaan ini menitikberatkan pada pendekatan pengelolaan sumberdaya alam dengan meletakan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaanya (Nikijulum 2000 dalam Ramadhan 2015). Masyarakat dapat diberi pengertian kesadaran lingkungan bahwa populasi paus saat ini sudah semakin berkurang, kemudian dapat dibentuk kesepakatan pembatasan penangkapan untuk paus per tahun atau bahkan tidak menangkap. Nelayan Lamakera sendiri sebenarnya tidak terlalu bergantung pada hasil tangkapan paus, target utama nelayan adalah pari manta, paus hanya sebagai tangkapan pelengkap (Mustika 2006). Upaya konservasi paus biru (B. musculus) Paus biru merupakan hewan yang terancam punah sehingga diperlukan upaya konservasi. Beberapa upaya konservasi telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun oleh Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang konservasi sumberdaya alam. Berikut adalah beberapa upaya konservasi yang telah dilakukan: Paus biru ditetapkan sebagai satwa yang dilindungi oleh pemerintah Indonesia dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa (Pemerintah Republik Indonesia 1999) Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu yang dikelola sebagai Taman Nasional Perairan berdasarkan Keputusan nomor
20
5/KEPMEN-KP/2014 oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP 2014) Pembentukan Unit Pelaksanaan Teknis oleh KKP yaitu Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang sejak 2008 (KKP 2011) Upaya dari LSM seperti WWF (World Wildlife Fund) yang terlibat dalam implementasi pengelolaan Marine Protected Areas (MPAs) atau Kawasan Konservasi Laut (KKL) di kawasan seluas 4,9 juta hektar dari total 15,8 juta hektar yang ada di Indonesia termasuk di Solor-Alor, Nusa Tenggara Timur (WWF 2014) Penetapan Paus Biru sebagai hewan yang dilindungi sejak 1966 oleh IWC (International Whaling Comission) dan penetapan batas tangkap nol sejak 1986 untuk semua penangkapan paus komersial (Reilly 2008)
Paus biru merupakan salah satu target penangkapan pada aktivitas penangkapan paus yang dilakukan oleh masyarakat Lamakera. Perburuan paus di Lamakera menggunakan teknik dan teknologi tradisional. Pengelolaan berbasis masyarakat dengan pengetahuan ekologi tradisional atau traditional ecological knowledge (TEK) dan pengetahuan tradisional yang dilakukan oleh masyarakat Lamakera masih belum dapat menjamin kelestarian sumberdaya paus biru. Oleh karena itu diperlukan upaya pengelolaan dari pemerintah untuk menjamin kelestarian sumberdaya paus biru.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Komponen pengetahuan ekologi tradisional atau traditional ecological knowledge (TEK) pada penangkapan paus oleh nelayan masyarakat Lamakera meliputi pengetahuan mengenai bio-ekologi, pengetahuan mengenai teknik, dan teknologi penangkapan serta pengetahuan mengenai sistem ekonomi. Saran Penelitian mengenai populasi dan karakteristik habitat paus biru di perairan Laut Sawu perlu dilakukan sebagai informasi tambahan guna menyususun rancangan pengelolaan yang tepat demi keberlangsungan sumberdaya paus biru di perairan Laut Sawu.
DAFTAR PUSTAKA Bailey O, Birney K, Camillo N, Hall M, Krop L, Pitton-August B, Segee B, Trautwein B, Weber B. 2011. Blue whales learn the facts [internet].
21
Washington [US]: EDC [diunduh pada 2015 okt 7]. Tersedia pada: www.environmentaldefensecenter.org Double MC, Andrews-Goff V, Jenner KCS, Jenner M-N, Laverick SM, Branch TA, dan Gales NJ. 2014. Migratory Movements of Pygmy Blue Whales (Balaenoptera musculus brevicauda) between Australia and Indonesia as Revealed by Satellite Telemetry. PLoS ONE 9(4): e93578 Detriani F. 2011. Perubahan sosial masyarakat nelayan Lamalera (sudut pandang sosiologi ekonomi dan ekologi) [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ender AI. Muhajir, Mangubhai S, Wilson JR, Purwanto, dan Muljadi A. 2014. Cetaceans in the global centre of marine biodiversity. Marine Biodiversity Record. 7:1-9 [IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2012. Marine Mammals and Sea Turtles of the Mediterranean and Black Seas, Gland, Switzerland and Malaga. Spain [ES]: IUCN. [KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2014. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. 6/Kepmen-KP/2014 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Taman Nasional Perairan Laut Sawu dan Sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2014-2034. Jakarta (ID): Kementerian Kelautan dan Perikanan. [KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2011. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.24/MEN/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.23/MEN/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Kawasan Konservasi Perairan Nasional. Jakarta (ID): Kementerian Kelautan dan Perikanan. Monnahan CC, Branch TA, Stafford KM, Ivashchenko YV, Oleson EM. 2014. Estimating Historical Eastern North Pacific Blue Whale Catches Using Spatial Calling Patterns. PLoS ONE 9(6): e98974 Mustika PLP. 2006. Marine mammals in the Savu Sea (Indonesia): Indigenous knowledge, threat analysis and management options [Thesis]. Queensland [AU]: School of Tropical Environment Studies and Geography, James Cook University. Mustika PLP, Hutasoit P, Madusari CC, Purnomo FS, Setiawan A, Tjandra K, dan Prabowo WE. 2009. Whale strandings in Indonesia, including the first record of a humpback whale (Megaptera novaeangliae) in the archipelago. The Raffles Bulletin of Zoology. 57(1): 199–206. [NMFS] National Marine Fisheries Service. 1998. Recovery plan for the blue whale (Balaenoptera musculus), Prepared by Reeves RR, Clapham PJ, Brownell RL Jr., and Silber GK for the National Marine Fisheries Service. Silver Spring [US]: NMFS. [NOOA] National Oceanic and Atmospheric Administration. 2015. Blue whale (Balaenoptera musculus) [Internet]. Washington (US): NOAA [diunduh 2015 Nov 6]. Tersedia pada: http://www.fisheries.noaa.gov/pr/species/mammals/whales/blue-whale Osis V, Snyder SL, Gross R, Hastie B, Broadhurst B. 2008. The Great Whales. Oregon [US]: Oregon State Univ. Pemerintah Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.
22
Ramadhan, S. 2015. Pengeloaan sumberdaya paus sperma (Physeter macrocephalus) berbasis traditional ecological knowledge (TEK) di Lamakera, Nusa Tenggara Timur [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Recalde-Salas A, Kent CPS, Parsons MJG, Marley SA, dan McCauley RD. 2014. Non-song vocalizations of pygmy blue whales in Geographe Bay, Western Australia. J Acoust Soc Am. 135 (5) Reilly SB, Bannister JL, Best PB, Brown M, Brownell Jr RL, Butterworth DS, Clapham PJ, Cooke J, Donovan GP, Urbán J, Zerbini AN. 2008. The IUCN Red List of Threatened Species 2008; Balaenoptera musculus [Internet]. [diunduh 2015 Des 07]. Tersedia pada http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2008.RLTS.T2477A9447146.en Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Peraturan Peraturan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Jakarta (ID): Pemerintah Republik Indonesia. Rudolph P, Smeenk C, dan Leatherwood S. 1997. Preliminary checklist of cetacea in the Indonesian Archipelago and adjacentwaters. Zool Verh. 312: 3–48 Scott D. 2015. Blue Whale [internet]. [diunduh 2015 Nov 28]. Tersedia pada: http://www.corbisimages.com/stock-photo/rights-managed/42-20179354 Thomsen F, McCully SR, Weiss LR, Wood DT, Warr KJ, Barry J, dan Law RJ. 2011. Cetacean stock assessments in relation to exploration and production industry activity and other human pressures: review and data needs. Aquatic Mammals. 37:1-93 Wiadnyana NN, Prunomo FS, Mustika PLK, Oktaviani D, dan Wahyono, MM. 2014. Aquatic mammals assessment in Indonesian waters. Di dalam: Proceedings of the International Symposium on SEASTAR2000 and Biologging Science (The 5th SEASTAR2000 Workshop); 2004; Kyoto, Jepang. Kyoto (JP): Kyoto Univ Pr. Hlm 16-20. Wilson DE, dan Reeder DM. 2005. Mammal Species of the World: A Taxonomic and Geographic Reference (3rd edition). Baltimore [US]: Johns Hopkins University Pr. Woodward BL, Winn JP, Fish FE. 2006. Morphological specialization of baleen whales associated with hydrodynamic performance and ecological niche. JOM. 267: 1284-1294 [WWF] World Wildlife Fund for Nature. 2014. Menyelamatkan paus dan lumbalumba dari kebisingan di laut. Jakarta [ID]: WWF Indonesia Yusron, E. 2012. Biodiversitas jenis cetacean di perairan Lamalera, Kupang, Nusa Tenggara Timur. IJMS. 17(2): 59-62
23
LAMPIRAN Lampiran 1 Panduan pertanyaan penelitian 1. Biodata Nelayan Nama : : Umur Pekerjaan utama : Pekerjaan tambahan : Alamat : Status : Pendidikan terakhir : 2. Operasi Penangkapan 1. Alat tangkap a. Nama alat tangkap : b. Ukuran Alat tangkap : c. Jumlah Alat tangkap : 2. Perahu a. Jenis kapal : b. Bobot Kapal : c. Ukuran Kapal : panjang ( ), lebar ( 3. Tenaga kerja a. Kelompok Nelayan : b. Jumlah ABK : c. Pembagian Kerja : 4. Musim dan Lama Penangkapan a. Musim penangkapan : b. Lama melaut 1 trip : c. Total trip/Musim : 5. Lokasi Penagkapan : 3. Hasil Tangkapan a. Jenis Tangkapan Utama : b. Jenis Tangkapan Sampingan : c. Jumlah Tangkapan/ trip : d. Ukuran Hasil Tangkapan : e. Pembagian Hasil Tangkapan : 4. Keadaan Usaha Penangkapan a. Biaya tetap (fixed cost) 1. Alat tangkap : 2. Harga Kapal : 3. Biaya Administrasi : b. Biaya Tidak Tetap (variable cost) 1. Perbekalan : 2. BBM (Solar) : 3. Konsumsi : c. Pengelolaan pasca penangkapan:1. Harga Jual ( tangkapan ( ), 3. Pemasaran hasil tangkapan (
), tinggi (
)
), 2. Olahan hasil ).
24
Lampiran 2 Daftar penombak atau belwaeng di Lamakera Biaya Nama Ukuran No Nama Pemilik GT Operasional Armada Armada (Rp) Buro 1 Iskandar Usman Be'la 10.5 3.1 200000 Munawar 2 Mahmud Sidrat 9 2.8 200000 3 Iskak Ilyas Klaba 11.5 3.2 300000 4 Haji Kasim Kloba 02 11 3.1 250000 Srikandi 5 Kamsudin Musa 01 10.15 3 250000 6 Hamid Kebakak Siasat 10.5 3 300000 7 Ramli Sulaiman Hida 10.5 2.5 250000 Kahrudin 8 Mahmud Takdir 11 3.5 250000 9 Syukur Atu Gapura 11 3 300000 H. Mansyur H. Putri 10 Umar Kukun 11.5 3.5 250000
PK/HP
Jumlah ABK
26
6
30
4
26 26
5 6
26
6
24 24
5 6
28
5
26
5
26
5
25
Lampiran 3 Produksi perikanan nelayan Lamakera a. Produksi perikanan berdasarkan spesies di Desa Motonwutun dan Watobuku tahun 2014 Produksi/Bulan (Kg) Jenis Ikan 1 2 3 4 5 6 7 8 Madidihang 60 80 251 2451 1445 2206 4032 Tuna Mata Besar 150 196 552 561 1918 452 2300 Cakalang 10 15 67 Belo-Belo Sambe 8815 8417 631 796 4986 1285 753 Selar 2115 2119 2529 2034 2365 1514 1413 Pari 4959 12396 3837 9878 Hiu 280 450 1095 1152 693 2052 3988 Layang 3591 6876 26827 3792 1571 194 472 Marlin 560 557 255 629 527 1069 1285 Tenggiri 10 309 286 520 92 249 Kerapu 637 1283 1005 1318 1351 112 485 Bergahing 490 857 540 379 895 64 396 Ekor Kuning 540 90 83 440 730 315 749 Raja 248 255
9 1438 1968 80
10 925 448 166
11 1814 1208
12 2600 931
2123 1592 4674 1073 65 1205 160
6760 1814 510 2764 877 1867 929
12904 2309
8570 2690
105 820 483
751 1588 1229
3152 1047 2165 1490 65 824 2611 788
65 1996 1712 1620 18 678 2091 1117
25
26
26
b. Produksi perikanan berdasarkan spesies di Desa Motonwutun dan Watobuku tahun 2013 Produksi/Bulan (Kg) Jenis Ikan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Madidihang 1385 500 69 856 80 Tuna Mata Besar 1287 135 125 574 Cakalang 22 22408 Sambe 1430 1988 586 4114 Selayar 422 531 656 410 496 Pari 7077 750 Layang 271 1218 406 124 1625 Marlin 618 474 541 430 Tenggiri 672 189 104 277 Kerapu 80 12 220 Bergahing 384 80 211 47 299 Ekor Kuning 2773 1168 173 1413 Raja 200 144 101 58 Barakuda 20 30 29 Tongkol 50 15547 Paus 1150 Hiu Korea 76 30 2928 Hiu Bintang 110 Cucut Tembang
Oktober
November
Desember 451
8977 15110 1375 185 2213
4762 19622 1276
1226 19144 1061 1429
188
149
300
2615 520
836
232
182 240 809
168
225
27
RIWAYAT HIDUP
Cicilia Ayu Dwi Wahyuni yang dilahirkan di Cilacap pada 28 November 1993, merupakan anak kedua dari empat bersaudara, putri dari pasangan Aloysius Turiswan dan Fransiska Tunjiyah Pada tahun 2005, penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD 01 Sidaurip. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah di SMP Negeri 01 Gandrungmangu pada tahun 2008. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 01 Sidareja dan lulus pada tahun 2011. Selanjutnya di tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN Undangan di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Selama kuliah di IPB, penulis aktif dalam kegiatan keorganisasian di IPB yaitu tergabung sebagai anggota, pengurus, dan mentor selam di Fisheries Diving Club (FDC-IPB). Penulis berkesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan Ekspedisis Zooxanthelae XIII ke Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur sebagai pengambil data makrobenthos pada tahun 2013. Selain itu, penulis aktif dalam beberapa kepanitiaan maupun peserta kegiatan departemen, himpunan profesi maupun universitas dan seminar berskala nasional serta kegiatan di luar kampus. Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian dengan judul Pengelolaan Sumberdaya Paus Biru (Balaenoptera musculus Linnaeus, 1758) berbasis Traditional Ecological Knowledge (TEK) di Lamakera, Nusa Tenggara Timur di bawah bimbingan Dr Ir M. Mukhlis Kamal, MSc dan Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc.