4 Kesehatan Ekosistem dan Pengelolaan Sumberdaya Laut 4.1. Kompleksitas Pemanfaatan Ekosistem Laut Kebanyakan sumberdaya hayati di muka bumi ditemukan dalam lokasi-lokasi geografis tertentu, seperti wilayah pesisir, sungai, danau atau bagian perairan laut dalam. Saat ini, sekitar 3 milyar manusia hidup di sekitar wilayah-wilayah yang kaya sumberdaya hayati
dan memiliki
ketergantungan pada sumberdaya hayati tersebut, baik untuk sebagian ataupun keseluruhan dari kebutuhan bahan makanannya atau sebagai bahan mentah bagi kegiatan industri. Sebagai konsekuensi dari keadaan ini adalah kebanyakan limbah, industri maupun rumah tangga, dan berbagai jenis perubahan dalam ekosistem serta kerusakan habitat yang ditimbulkan oleh tingginya populasi manusia di sekitar wilayah-wilayah produktif tersebut. Padahal, wilayah-wilayah ini memiliki nilai-nilai penting dalam hal biologi dan ekonomi yang secara signifikan dapat mempengaruhi kualitas kehidupan manusia. Oleh karena masalah kualitas lingkungan menjadi masalah global saat ini, jelas bahwa penting untuk segera mengimplementasikan prosedur-prosedur penilaian dampak ekologis yang dapat diterima secara luas (internasional) untuk mengelola masalah-masalah tersebut. Hal ini terutama disebabkan oleh fakta bahwa pencemaran tidak mengenal batas negara, lokasi kehilangan sumberdaya hayati dan biodiversitas, memiliki dampak kesehatan manusia yang meluas serta tidak mengenal perbedaan aspirasi politik rakyat dan pemerintahan negara untuk pengendalian dan penanggulangannya. Dampak pada kesehatan ekosistem dan manusia, baik oleh sebab alami maupun oleh hasil aktifitas manusia (anthropogenic) merupakan masalah penting yang harus segera diatasi dan merupakan isu 126
Kesehatan Ekosistem dan Pengelolaan Sumberdaya Laut
internasional. Hal ini nampak dari hasil studi ekonomi beberapa waktu lalu, skala kerugian yang ditimbulkan oleh masalah kerusakan ekosistem sebesar 12,6 Trilliun Dollar AS/tahun (Wilayah Pesisir), 6,6 Trilliun Dollar AS/tahun (Sungai, Rawa dan Danau) dengan jumlah rata-rata global mencapai nilai 33,3 Trilliun Dollar AS/tahun (Costanza et al., 1997). Stressor lingkungan utama, termasuk di dalamnya bahan-bahan kimia pencemar dari sektor industri, peningkatan radiasi ultra violet, pengayaaan atau pemiskinan nutrien, hypoxia, gangguan pada habitat dan meningkatnya jumlah jenis penyakit baru, terus bertambah baik dalam hal jumlah frekuensi kejadian maupun tingkat keparahan dampak yang ditimbulkan. Hal ini secara jelas mengindikasikan bahwa dampak dari stressor lingkungan telah dirasakan oleh seluruh hirarki organisasi biologis, dari level molekuler dan seluler, level organisme dan populasi, hingga level komunitas dan ekosistem. Akan tetapi, hingga saat ini pemahaman kita dalam proses pemulihan ekosistem (ecosystem recovery) masih terbatas. Di masa lalu, kerusakan lingkungan sebagian besar dinyatakan sebagai akibat atau sebagai respon akut terhadap bencana-bencana utama, seperti kecelakaan industri nuklir Bhopal, kecelakaan kapal tanker Amoco Cadiz dan Exxon Valdez, serta kasus Teluk Buyat akibat kesalahan dalam pengelolaan limbah tambang emas. Keseluruh dampak ini umumnya diukur dalam konteks kesehatan manusia dan perubahan-perubahan nyata seperti hilangnya populasi atau komunitas tertentu.
Akan tetapi, pemaparan
jangka panjang atau kronik organisme terhadap stressor lingkungan, termasuk bahan kimia pencemar dan faktor-faktor anthropogenik, sangat jarang yang secara langsung memperlihatkan dampak cepat yang merusak atau mematikan. Umumnya, dampak akan timbul secara perlahan, bertahap, tidak terlihat dan sangat sulit untuk dilepaskan dari proses dan dampaknya pada perubahan lingkungan alami. Skala waktu untuk timbulnya suatu dampak kronik dapat dalam hitungan dekade, sehingga kurang menarik minat untuk menelaahnya, walaupun penelaahan terhadap dampak lingkungan telah dimulai sejak awal 1960-an. Kesehatan Ekosistem dan Pengelolaan Sumberdaya Laut
127
Isu utama dalam konteks kerusakan ekosistem saat ini meliputi: industrialisasi global, peningkatan populasi manusia dan ancaman terselubung dari urbanisasi, yang kesemuanya menjadi sumber utama pencemaran. Sulitnya melepaskan dampak perubahan jangka panjang dari seluruh aktifitas manusia ini, membutuhkan dukungan dan kerjasama internasional dalam hal pembiayaan dan transfer teknologi ramah lingkungan
bagi
mempromosikan
negara-negara industri
berkembang
berkelanjutan
dengan
dalam
rangka
prinsip-prinsip
mengurangi, menggunakan kembali dan mendaur ulang (reduce, reuse and recycle). 4.2.
Kesehatan Ekosistem Konsep kesehatan ekosistem (ecosystem health) memiliki banyak
keterkaitan dengan kesehatan manusia. Konsep ini mulai diajukan pada 1992 saat berlangsungnya the United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) dan Convention on Biological Diversity (CBD) yang keduanya bertujuan mempromosikan pembangunan berkelanjutan. Konsep kesehatan ekosistem dibangun di atas dasar prinsip kehati-hatian dan penerapan pendekatan ekosistem melalui pengelolaan terpadu terhadap dampak aktifitas manusia pada ekosistem agar tercapai pemanfaatan berkelanjutan dalam hal barang dan jasa yang disediakan ekosistem dengan tetap memelihara struktur, fungsi dan keutuhan ekosistem. Pendekatan ekosistem telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kebijakan dan kegiatan dari berbagai konvensi, instrumen pengelolaan dan badan-badan internasional (misal: CBD, EC, OSPAR, HELCOM, FAO, European Marine Strategy, dsbnya). Untuk dapat melakukan pemantauan dan penilaian terhadap perubahan dan kondisi dan kecenderungan ekosistem laut dan komponennya, maka dibutuhkan penetapan sistem koheren dari target dan titik-titik acuan (referensi) yang melibatkan indikator-indikator untuk membantu proses konservasi dan restorasi kualitas ekologi, dimana perlu. Sistem dalam isu-isu ekologis dan tujuan kualitas ekologi harus 128
Kesehatan Ekosistem dan Pengelolaan Sumberdaya Laut
ditetapkan, sesuai dan mencakup seluruh komponen dari ekosistem laut tertentu yang terkena dampak dari berbagai hasil aktifitas manusia, sehingga memudahkan untuk mengklasifikasi status kesehatan ekosistem secara tepat (misalnya: Baik, Sedang atau Kurang) dibandingkan dengan lokasi acuan (reference point). Selain itu, dibutuhkan untuk menetapkan hubungan
sebab-akibat,
berdasarkan
analisis
rantai
sebab-akibat
(Gambar 20) antara aktifitas-aktifitas manusia yang dapat menyebabkan dampak serius terhadap satu (atau lebih) komponen ekosistem, sehingga aturan pengelolaan harus ditujukan pada akar masalah yang akan mampu menurunkan dampak-dampak merusak bagi ekosistem.
Dampak pada Lingkungan Kematian Spesies Laut
Masalah Lingkungan Lintas Batas
Pencemaran Bahan Kimia
Penyebab Langsung Pencemaran Industri
Penyebab Dasar Ketiadaan Insentif untuk Mengurangi Pencemaran Gambar-20. Contoh analisis rantai sebab akibat (causal chain analysis). Kesehatan Ekosistem dan Pengelolaan Sumberdaya Laut
129
Kesehatan didefinisikan sebagai “suatu keadaan dimana organisme fit dan dalam kondisi baik”. Dalam konteks organisasi atau sistem, maka dikatakan ’berfungsi dengan baik’. Oleh karena itu, untuk memastikan bahwa kondisi kerusakan serius (tidak dapat pulih) tidak terjadi, maka harus diambil tindakan kehati-hatian/precautions (Hopkins, 2005). Dalam konteks kesehatan ekosistem, suatu ekosistem dikatakan sehat apabila berada dalam kondisi dan berfungsi dengan baik, berkelanjutan dalam memelihara struktur/organisasi (spesies dan populasi di dalamnya) dan fungsi/vigor (aliran enerji dan bahan) dari waktu ke waktu dalam menghadapi tekanan eksternal (resilience) (Costanza and Mageau, 1999). Suatu ekosistem yang sehat adalah yang mampu secara aktif menghasilkan sumberdaya, memelihara organisasi biologis dan aliran nutrient atau bahan-bahan yang dibutuhkan, serta mampu bertahan dan memiliki daya pulih terhadap tekanan-tekanan yang senantiasa hadir, walaupun hal ini merupakan konsep normatif yang melibatkan aspek interpretasi manusia terhadap nilai-nilai sebuah ekosistem secara keseluruhan. Misalnya, produktifitas dari suatu ekosistem estuaria dapat mengalami peningkatan akibat eutrofikasi, namun peningkatan ini dapat berupa pertumbuhan yang sangat cepat dari organisme-organisme kecil yang merugikan organisme-organisme besar yang mungkin saja berusia lebih panjang dan lebih berharga bagi manusia. Dari perspektif ini, kesehatan estuaria tersebut mengalami penurunan sebagai akibat pengayaan nutrien dan berbarengan dengan menurunnya ketersediaan cahaya
serta
hilangnya
habitat-habitat
yang
menghasilkan
keanekaragaman, misalnya ikan-ikan dan udang yang bernilai ekonomis tinggi. Umumnya, ekosistem yang telah mengalami eutrofikasi mengalami penurunan keanekagaman hayati yang memiliki organisasi baik dan lebih lambat dalam proses pemulihannya dari dampak stressor lingkungan (Ulanowicz, 1997). Indikator kesehatan ekosistem (US.EPA, 2002) : kandungan bahan pencemar dalam air, oksigen terlarut, kondisi habitat pesisir, eutrofikasi, kandungan bahan pencemar sedimen, indeks bentik dan kandungan bahan pencemar dalam jaringan tubuh biota/komoditas. 130
Kesehatan Ekosistem dan Pengelolaan Sumberdaya Laut
Perhatian pada kesehatan ekosistem laut dan samudera bukan hal baru. Contohnya, Komisi Oseanografi Antar-negara (UNESCO – IOC : intergovernmental oceanographic commission) telah melakukan aktifitas penelaahan kesehatan samudera (HOTO: health of ocean observations) selama beberapa dekade, termasuk pembentukan panel HOTO beberapa tahun lalu, yang kemudian dikembangkan menjadi sistem observasi samudera global (GOOS: global ocean observing system) dan panel observasi pesisir dan samudera (COOP: coastal oceans observations panel). Modul GOOS dari HOTO memberikan dasar untuk penilaian kondisi dan kecenderungan lingkungan laut yang berkaitan dengan dampak aktifitas manusia, termasuk peningkatan resiko kesehatan manusia, bahaya bagi sumberdaya laut, perubahan siklus alami dan kesehatan samudera secara umum. Istilah kesehatan samudera merupakan definisi untuk tujuan operasional dalam modul GOOS yang merefleksikan kondisi lingkungan laut dari kemungkinan terjadinya dampak buruk yang disebabkan oleh hasil berbagai aktifitas manusia, khususnya mobilisasi bahan pencemar dan masuknya patogen manusia ke dalam lingkungan laut (IOC, 2001). Kondisi ini dimaksudkan sebagai status lautan kontemporer, prognosis bagi kemajuan atau rusaknya kualitas wilayah lautan: http://ioc.unesco.org/goos/docs/GOOS_099_HOTO_design_plan_3.pdf.
Kesehatan Ekosistem dan Pengelolaan Sumberdaya Laut
131
Aset Lingkungan (Jasa Keanekaragaman Hayati) Keanekaragaman Genetik : - Tetumbuhan dan Hewan yg adaptif terhadap perubahan - Basis ketahanan pangan di masa depan
-
Keanekaragaman Spesies: Bahan makanan Bahan obat-obatan Komoditas perdagangan Sumber pendapatan lain
Keanekaragaman Ekosistem: - Jasa-jasa Ekosistem
Jasa Ekosistem Mendukung : - Siklus Nutrien - Produksi Primer - Pembentukan Sedimen .....
-
Menyediakan : Bahan Makanan Air Bersih Serat dan Kayu Bahan Bakar .....
Mengatur: - Iklim dan Cuaca - Keseimbangan Patogen - Bencana Banjir - Purifikasi Air
Budaya : - Estetika - Rekreasi - Keagamaan - Pendidikan
Manfaat Ekonomi
Penyusun Komponen Kemaslahatan Manusia Keamanan : - Perlindungan dari Bencana - Keamanan diri
Kesehatan : - Sumber enerji - Sumber vit & mineral - Akses air sehat
Hubungan Sosial: - Ikatan Sosial - Sumber bantuan sosial - Saling Hormat
Bahan Baku : - Nafkah Hidup - Perumahan - Makanan Bergizi - Akses ke komoditas
Kebebasan dalam Memilih dan Bertindak
Gambar-21. Peranan Ekosistem Bagi Kehidupan Manusia (Millenium Ecosystem Assessment, 2005). Sejalan dengan semakin meningkatnya bukti-bukti tentang dominasi manusia pada ekosistem bumi, pengakuan terhadap pentingnya kesehatan ekosistem merupakan prasyarat mutlak bagi kesehatan dan kemaslahatan umat manusia (Vasseur et al., 2002). Hal ini vital, sebab tanpa layanan yang diberikan oleh ekosistem-ekosistem kunci, seperti: udara bersih, air bersih, bahan makanan dan iklim yang bersahabat, maka keberlanjutan kehidupan (manusia dan organisme lainnya) tidak akan mampu dipertahankan. Selain itu, fungsi-fungsi ekologis lainnya, 132
Kesehatan Ekosistem dan Pengelolaan Sumberdaya Laut
seperti: regulasi dan penanggulangan guncangan (gejolak), pengendalian biologis dan proses dekomposisi bahan-bahan organik, jelas memainkan peranan penting dalam dukungan jangka panjang terhadap kesehatan dan stabilitas biologis. Oleh karena itu, pemahaman yang lebih komprehensif dalam hal keterkaitan manusia dengan ekosistem alami dan ekosistem yang telah berubah harus lebih ditingkatkan (Gambar 22). FAKTOR MANUSIA : o Meningkatnya Populasi o Pemanfaatan Sumberdaya o Pencemaran Industri dan Pertanian o Perubahan Fungsi Lahan o dsbnya.
PENINGKATAN STRESS EKOSISTEM : o o o o o
MENURUNNYA RESPON BIOLOGIS:
Perubahan Iklim Bahan Kimia Sintetis Perubahan Siklus Nutrien Munculnya Penyakit Baru dsbnya.
o o o o
Respon Imun Hewan Respon Tumbuhan pada Stressor Keanekaragaman Hayati Keanekaragaman Genetis
Meningkatnya Ancaman pada Kesehatan Ekosistem dan Manusia Gambar-22. Model Konseptual Ancaman Populasi dan Aktifitas Manusia pada Kesehatan Ekosistem dan Manusia (Vasseur et al., 2002). 4.3.
Masalah Pencemaran dalam Ekosistem Laut Perlindungan
yang
memadai
terhadap
lautan
merupakan
kebutuhan yang sangat vital, sebab tanpa itu maka seluruh manfaat yang diberikan oleh lautan akan sirna. Dari sisi pencemaran laut, bahan-bahan Kesehatan Ekosistem dan Pengelolaan Sumberdaya Laut
133
pencemar berdampak pada seluruh komunitas yang mendiami lautan. Menurut EPA (2002), ancaman utama pada perairan pantai berasal dari limbah kota (urban run-off) yang mengangkut dan membawa seluruh bahan pencemar ke dalam perairan laut. Lebih dari 75% dari kasus pencemaran laut berasal dari hasil aktifitas manusia, termasuk yang memiliki siklus atmosferik. Pencemaran atmosfir akhirnya mencapai daratan dan lautan dalam bentuk hujan asam (acid rain) yang mengandung berbagai jenis bahan pencemar yang merusak dan berbahaya bagi ikan danorganisme laut lainnya. Nutrien, sampah anorganik, bahan kimia toksik dan pathogen merupakan jenis-jenis bahan pencemar yang semakin menumpuk di wilayah perairan saat ini. Nutrien yang kebanyakan berupa nitrat dan posfat yang masuk ke laut melalui proses run-off banyak menimbulkan masalah HAB (blooming alga berbahaya) yang sangat mematikan bagi ikan dan organisme laut penting lainnya. Sampah anorganik, seperti: plastik, ban bekas, kaleng, gelas, yang dibuang dan menimbulkan berbagai dampak bagi organisme laut, misalnya: lebih dari 30.000 hewan laut mati setiap tahun akibat tersangkut pada limbah jaring plastik atau tertelan partikel plasti (USF, 2005). Erosi pada lahan atas yang membawa partikel lumpur ke dalam lingkungan laut menyebabkan dampak yang sangat merusak terhadap padang lamun dan alga, terumbu karang dan tumbuhan laut lainnya, dampak terutama pada menurunnya penetrasi cahaya dan penyumbatan
polip
.
karang Akan
halnya
pencemaran minyak di laut, penyebab utamanya adalah run-off, bukan tumpahan yang berasal dari kapal tanker atau ladang minyak lepas pantai. Sedangkan masuknya pathogen seperti Cholera, Hepatitis A, dsbnya, dari daratan atau buangan kapal di laut, berdampak pada kekerangan dan sanitasi perairan pantai. Logam merupakan bahan pencemar penting dan sangat toksik yang terdapat berbagai kompartemen lingkungan laut. Masuknya logam ke dalam lingkungan laut melalui berbagai aktifitas, termasuk: hasil aktifitas 134
Kesehatan Ekosistem dan Pengelolaan Sumberdaya Laut
manusia, erosi, bongkahan batuan, aktifitas vulkanik, kebakaran hutan, dsbnya. Emisi logam berat dunia ke atmosfir dari sumber alami (‘000 ton/tahun) ditaksir : Ni (26), Pb (19), Cu (19), As (7.8), Zn (4), Cd (1.0), Se (0.4). sedang yang berasal dari aktifitas manusia (anthropogenic) (‘000 ton/tahun) : Pb (450), Zn (320), Ni (47), Cu (56), As (24), Cd (7.5) dan Se (1.1) (Clark et al., 1997). Dari angka-angka tersebut jelas bahwa Pb, Zn, Ni dan Cu merupakan bahan pencemar logam utama yang berasal dari aktifitas manusia. Logam dikelompokkan menurut kelas A dan B dan kelas peralihan
[
A:
kalsium
(Ca),
Magnesium
(Mg),
Mangan
(Mn),
Kalium/Potassium (K), Natrium/Sodium (Na), Strontium (Sr);
B:
Kadmium (Cd), Tembaga (Cu), Merkuri (Hg), Perak (Ag); Peralihan: Seng (Zn), Timbel (Pb), Besi (Fe), Kromium (Cr), Kobalt (Co), Nikel (Ni), Arsen (As), Vanadium (V) dan Tin (Sn)]. Para ahli lingkungan dan ekotoksikologi menggunakan istilah ‘logam berat’ bagi logam-logam yang menimbulkan masalah lingkungan. Beberapa jenis logam berat yang menarik perhatian khusus adalah Hg, Cd dan Pb, karena sifatnya yang sangat toksik dan dampak yang ditimbulkannya pada organisme dan lingkungan. Beberapa jenis logam bersifat esensial bagi organisme [ Fe (haemoglobin), Cu (pigmen respirasi), Zn, Mo, Mn (enzim), Co (vitamin B12) ] namun logam-logam seperti Hg, Pb, Ni, Cr, Se dan As umumnya tidak bermanfaat bagi organisme dan bersifat sangat toksik walaupun dalam konsentrasi rendah (Meria, 1991). Tingkat bioakumulasi logam sangat bergantung pada jumlah total, ketersediaan logam pada setiap media lingkungan, laju pengasupan dan mekanisme penyimpanan dan ekskresinya. Penumpukan logam pada organisme akan secara aktif diekresi, mengalami kompartementalisasi dalam sel dan jaringan atau mengalami immobilisasi metabolik. Logam yang mampu melepaskan diri dari aksi-aksi tersebut akan menyebabkan dampak toksik atau dampak-dampak berbahaya lainnya (Rand and Petrocelli, 1985). Bioakumulasi logam pada organisme perairan terjadi melalui asupan pasif atau terfasilitasi (aktif). Organisme yang terpapar Kesehatan Ekosistem dan Pengelolaan Sumberdaya Laut
135
pada konsentrasi logam tinggi dalam perairan melakukan beberapa mekanisme biokimia dalam menghadapi potensi toksik. Umumnya organisme akan mengurangi asupan, meningkatkan ekskresi atau memerangkap
(sequestration)
logam
dalam
sejenis
protein
(methallothionein) yang terdapat dalam vesikula dan granula sel. Krustase merupakan hewan yang memiliki kemampuan tertinggi dalam mengatur logam-logam Cu, Mn dan Zn di dalam jaringan tubuhnya (Bryan, 1968), demikian juga dengan beberapa jenis ikan, polychaeta dan moluska memiliki kemampuan untuk mengatur konsentrasi logam-logam esensial dalam jaringan tubuhnya (Bryan and Langston, 1991). Evaluasi konsentrasi logam berat dalam sistem biologis harus mempertimbangkan beberapa faktor, seperti: suhu, DO, kondisi redoks, kompleksasi organik,ligand, pH, stadia dan daur hidup organisme. Pencemaran logam dianggap berbahaya bagi sistem biologis karena potensi oksidatif dan karsinogenik yang dimilikinya, sebab logam mampu mengikat pada DNA dan selanjutnya menyebabkan mutasi gen dan menghambat replikasi DNA. Sifat karsinogenik logam termanifestasi dalam mekanisme oksidatifnya yang meningkatkan radikal bebas dan spesies oksigen reaktif (ROS) yang menyerang dan merusak DNA dan protein-protein enzim penting. Lautan merupakan tempat tenggelamnya berbagai jenis logam berat dan senyawa-senyawanya. Siklus logam di alam, baik dari sumbersumber alami maupun dari industri, rumah tangga dan run-off untuk logam-logam Pb, Cd, Hg, Cu dan Zn, sangat mengkhawatirkan (Schindler, 1991). Emisi Merkuri diperkirakan 8.000 - 10.000 ton/tahun sebagai hasil aktifitas manusia, dan yang berasal dari penguapan kulit bumi sekitar 150.000 ton/tahun. Sedang Pb konsentrasinya kini sekitar 200 kali lipat dibanding konsentrasinya 2.700 tahun lalu, yang terukur di Green Land (Harrison and Laxen, 1981). Secara umum dapat dikatakan bahwa pencemaran udara yang paling bertanggung jawab dalam masuknya logam ke lingkungan lautan (GESAMP, 1990).
136
Kesehatan Ekosistem dan Pengelolaan Sumberdaya Laut
Penelitian toksikologi yang menggunakan bahan pencemar logam berat harus memperhitungkan interaksi antar logam yang dapat mempengaruhi laju asupan, akumulasi dan toksisitasnya. Beberapa jenis interaksi bersifat antagonis, misalnya antara Hg dengan Se dan Cd dengan Se, dimana Se dapat menurunkan dampak toksik Hg maupun Cd pada beberapa vertebrate laut (Magos and Webb, 1980). Demikian juga dengan interaksi Fe dan Hg pada kerang Mercenaria mercenaria, Cu dan Mg pada beberapa jenis fitoplankton (Valavanidis
and Vlachogianni, 2010).
Demikian juga dengan penelitian-penelitian ekotoksikologi terkait pencemaran
logam
berat
wajib
memperhitungkan
perbedaan
ketersediaan biologis logam berat diantara organisme laut. Kondisi fisiologis dari organisme perairan diketahui yang paling berpengaruh dalam hal
asupan, distribusi dan dampak-dampak
buruk
yang
ditimbulkan. Parameter-parameter lingkungan seperti salinitas, DO dan suhu dapat mempengaruhi permiabilitas membrane dan laju ekskresi uriner logam berat pada beberapa spesies organisme perairan (McLusky, Bryant and Cambell, 1986). Bahan pencemar yang saat ini paling banyak mendapat perhatian kalangan ilmuwan internasional adalah bahan pencemar organik persisten (POPs: persistent organic pollutants) dan bahan pencemar toksik bioakumulatif persisiten (PBT: persistent bioaccumulated and toxic). Bahan-bahan pencemar tersebut adalah bahan kimia berbasis karbon (C) yang dapat bertahan dari proses degradasi alami di lingkungan dan terakumulasi di dalam jaringan tubuh organisme, yang pada akhirnya dapat menimbulkan dampak-dampak yang tidak diinginkan, baik pada lingkungan, organisme dan manusia, pada konsentrasi-konsentrasi pemaparan tertentu. POPs secara spesifik adalah PBT, yang umumnya dapat ditransportasi dan terdeposisi pada jarak yang sangat jauh dari sumber asalnya. Bahan-bahan yang persisten mampu bertahan terhadap proses-proses degradasi fisik, kimia dan biologis. Uji laboratorium umumnya menggunakan konsumsi oksigen dalam proses degradasi sebagai indikator tidak langsung, dan hasil kalkulasi akhir dinyatakan Kesehatan Ekosistem dan Pengelolaan Sumberdaya Laut
137
dalam waktu menghilang (DT: disappearance time), biasanya dinyatakan sebagai nilai DT50 : waktu paruh. Seperti telah dijelaskan pada Bab II, PBT sebagai bahan yang terakumulasi dalam biota, maka indikator yang digunakan adalah faktor bioakumulasi (BAF) yang merupakan rasio antara konsentrasi bahan kimia dalam tubuh organisme dan konsentrasinya di dalam medium. Jika faktor asupan dari medium tidak didapatkan, maka indikator yang digunakan adalah faktor biokonsentrasi (BCF) yang merupakan nilai relatif daya larut bahan kimia dalam oktanol (mewakili lemak) dibandingkan dengan daya larutnya di dalam air, dikenal sebagai Kow. Nilai log Kow banyak digunakan dalam proses pemeriksaan potensi bioakumulasi bahan kimia. Bahan kimia seperti PCB (polychlorinated biphenyls) dan metal merkuri dapat dijumpai sangat jauh dari sumber masuknya ke dalam lingkungan laut. Pola transportasi yang dianggap berperan dalam hal tersebut adalah atmosfir. Transportasi jarak jauh ini banyak ditentukan oleh sifat-sifat bahan kimia tersebut, terutama dalam hal: volatilitas, daya larut dalam air dan daya tahan dalam udara dan air (biasanya diekspresikan sebagai paruh waktu). POPs dan PBT adalah bahan-bahan kimia yang secara khusus dicermati oleh badan-badan internasional, terutama karena laju masuknya ke dalam lingkungan umumnya lebih besar dari laju menghilangnya.
Kekhawatiran
terutama
pada
aspek
peningkatan
konsentrasi yang demikian cepat sangat sulit untuk dihentikan dan dideteksi fase awalnya. Hal ini terutama didasarkan pada kenyataan bahwa jika suatu bahan kimia bersifat persisten dan memiliki kemampuan bioakumulasi, maka meningkatnya waktu dan konsentrasi pemaparan pada organisme tidak dapat dihindari. Hal ini jelas akan meningkatkan resiko pada bahaya dampak yang ditimbulkannya. Potensi dampak kronik yang berasal dari pemaparan jangka panjang terhadap konsentrasi rendah bahan toksik POPs dan PBT saat ini cukup sulit untuk dideteksi di laboratorium. Oleh karena itu terdapat tingkat ketidakpastian yang tinggi 138
Kesehatan Ekosistem dan Pengelolaan Sumberdaya Laut
dalam mengevaluasi resiko yang dapat ditimbulkannya. Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut di atas, maka PBT ditetapkan sebagai bahan kimia berbahaya prioritas oleh OSPAR (http://www.eurochlor.org). Berbagai badan di tingkat nasional, regional dan internasional saat ini tengah mengembangkan cara-cara mengelola bahan-bahan kimia POPs dan PBT agar dapat memberikan perlindungan yang lebih baik pada lingkungan dan manusia. Misalnya, PBB (UN-ECE, Aarhus Protocols dan UNEP-POPs-Stockholm Convention) yang ditujukan untuk mengendalikan POPs tertentu, OSPAR (Oslo-Paris Convention) untuk perlindungan lingkungan laut Atlantik dengan pencegahan pencemaran melalui pengurangan buangan limbah, emisi dan lepasnya
bahan-bahan
berbahaya ke lingkungan laut (dengan kriteria PBT) dengan tujuan akhir konsentrasi dalam lingkungan laut mendekati konsentrasi asal untuk bahan-bahan yang masuk secara alami atau dekat ke angka 0 untuk bahan pencemar dari hasil aktifitas manusia. Sedang US.EPA mengajukan dua kriteria PBT : bahan yang harus dikendalikan dan bahan yang harus dilarang penggunaannya. Saat ini secara bersamaan dikembangkan metode-metode untuk menentukan tingkat persistensi bahan-bahan pencemar di alam, demikian juga dengan validasi terhadap model prediksi tingkah laku bahan kimia dan dampak jangka panjang melalui kompilasi data-data pemantauan, di tingkat regional dan internasional.
4.4. Prinsip Kehati-hatian dan Pendekatan Ekosistem Pada tahun 1983, Perserikatan Bangsa-bangsa (UN) membentuk Komisi Dunia untuk Urusan Lingkungan dan Pembangunan (WECD: World Commission on Environment and Development) yang diketuai oleh Perdana Menteri Norwegia Gro Harlem Brundtland. WECD mengusulkan strategi ‘Pembangunan Berkelanjutan’ yang merupakan cara untuk meningkatkan kemaslahatan umat manusia dalam jangka pendek, tanpa, mengancam keberlanjutan jangka panjang lingkungan lokal maupun global. Laporan pada akhir penugasannya pada tahun 1987 yang berjudul ‘Masa Depan Kita Bersama’ juga dikenal dengan nama ‘Brundtland Report’. Setelah itu, Kesehatan Ekosistem dan Pengelolaan Sumberdaya Laut
139
bermunculanlah berbagai kesepakatan internasional yang secara umum bertujuan
untuk
meningkatkan
kepentingan
dalam
pemanfaatan
lingkungan laut, keanekaragaman hayati laut dan ekosistem, secara bijak dan berkelanjutan (misal: UNCLOS, 1982; Deklarasi Rio, 1982; Prinsip 15 UNCED, 1992; CBD, 1992; UN, 1995 tentang Pengelolaan Stok Ikan Bermigrasi; FAO, 1995 tentang Kode Etik Pelaksanaan Perikanan Secara Bertanggungjawab; dsbnya). Agar keberlanjutan dapat tercapai, maka penting untuk untuk menyeimbangkan dampak eksploitasi terhadap kebutuhan konservasi. Untuk itu, dikembangkanlah prinsip kehati-hatian (Precautionary
Principle)
dan
pendekatan
ekosistem
(Ecosystem
Approach) dalam pengelolaan sumberdaya hayati laut. Prinsip kehati-hatian dan cara-cara implementasi pendekatan kehati-hatian mengemuka dalam Deklarasi Rio (UNCED, 1992), dimana dinyatakan bahwa : “ dimana terdapat ancaman kerusakan serius dan tidak dapat pulih, maka ketidakhadiran kepastian ilmiah tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk menunda cara-cara yang menimbulkan konsekuensi biaya
untuk mencegah kerusakan lingkungan”. Prinsip ini memberi
pengakuan bahwa perubahan dalam sistem yang tereksploitasi dapat pulih secara perlahan-lahan, sulit dikendalikan, tidak dipahami secara baik, dan menyerukan untuk dilakukannya tindakan sedini mungkin dalam hal ketidakpastian dan ketidakpedulian untuk mencegah potensi bahaya. Kehati-hatian menempatkan ‘beban bukti’ (burden of proofs: bentuk tanggung jawab yang ditunjukkan melalui aktifitas penangkapan ikan yang akan atau tidak akan menyebabkan tangkap lebih atau dampak negatif pada ekosistem) pada aktifitas-aktifitas sejalan yang mendukung, yang berarti tidak tepat untuk mengasumsikan bahwa dampak lingkungan dapat dikesampingkan hingga terbukti terjadi. Pembalikan beban bukti merupakan dasar untuk kehati-hatian, dan menciptakan
insentif
bagi
aktifitas-aktifitas
pendukung
untuk
membuktikan bahwa prokduk atau aktifitas mereka adalah aman dan dapat diterima. Hal tersebut dapat dicapai, misalnya, melalui penerapan
140
Kesehatan Ekosistem dan Pengelolaan Sumberdaya Laut
hasil analisis dampak lingkungan (EIA) atau hasil penilaian dampak lingkungan strategis (SEA) di Uni Eropa. Prinsip bahwa biaya dari suatu kerusakan lingkungan atau penurunan stok harus dibebankan kepada pelaku pencemaran dikenal sebagai Polluter-Pays-Principle (PPP) atau pengguna sumberdaya (UPP : User-Pays-Principle), yang mulai dikaji sebagai suatu prinsip ekonomi pada awal 1970-an, diadopsi oleh Pakta Komunitas Eropa pada tahun 1987. Prinsip ini mengharuskan produser atau pemanfaat sumberdaya untuk
mengeluarkan
biaya
untuk
implementasi
standar-standar
lingkungan atau regulasi teknik-teknik pemanfaatan, atau mengharuskan produser bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan yang disebabkannya (Coffey and Newcombe, 2000).
Di Uni Eropa, PPP
membentuk kerangka yang didasarkan pada tanggung jawab lingkungan yang mencakup kerusakan keanekaragam hayati yang dilindungi, pada tingkatat EU maupun negara-negara anggotanya. Pelaksanaan PPP merupakan inti dari perlindungan dan konservasi ekosistem dan keanekaragaman hayati di lingkungan lautan (misalnya: Konvensi OSPAR, 1992). Adapun pendekatan ekosistem merupakan pendekatan holistik dan terpadu dalam pengelolaan ekosistem, yang mengakui kebutuhan akan pengelolaan dampak aktifitas manusia terhadap ekosistem, untuk tercapainya pemanfaatan berkelanjutan dari barang dan jasa yang disediakan ekosistem, dan memelihara keutuhan ekosistem (ICES, 2000). Definisi ini secara jelas ditujukan pada kebutuhan akan pendekatan holistik dan menyeluruh untuk: pemahaman dan antisipasi pada perubahan ekologis, melakukan penilaian terhadap seluruh kisaran konsekuensi yang mungkin timbul, dan mengembangkan respon-respon regulasi dan ilmiah yang tepat. Penting untuk dicatat bahwa penerapan pendekatan ekosistem merupakan suatu proses dan harus digunakan sebagai alat untuk membantu menempatkan akar penyebab dalam masalah-masalah yang ditimbulkan oleh manusia, secara menyeluruh dan sistematik (Hopkins, 2005). Kesehatan Ekosistem dan Pengelolaan Sumberdaya Laut
141
4.5.
Pengelolaan Sumberdaya Laut Berbasis Ekosistem Konsep pengelolaan ekosistem secara resmi telah ada sejak
diperkenalkannya ‘etika konservasi’ oleh Aldo Leopold pada tahun 1966 (Czech and Krausman, 1997). Konsep tersebut mengemuka secara cepat dalam ‘Stockholm Conference on the Human Environment’ pada tahun 1972, lalu semakin diperkuat dalam Konferensi Lingkungan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNCED, 1992). Pengelolaan ekosistem diadopsi dari ‘pengelolaan satwa liar’ di daratan, yang meliputi cakupan area dan batasan ruang yang tegas, struktur dan waktu serta aktifitas manusia yang berdampak pada ekosistem. Pengelolaan ekosistem bertujuan untuk menjaga ekosistem dalam kondisi yang berkelanjutan yang diperlukan untuk tercapainya manfaat bagi manusia. Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa dalam keanekaragaman hayati (CBD, 1992) mendefinisikan pengelolaan berbasis ekosistem/PBE (EBM: ecosystem based management) sebagai: ‘pengelolaan ekosistem dan habitat alami untuk memenuhi keperluan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam, sembari tetap menjaga kekayaan biologis dan prosesproses ekologis yang dibutuhkan untuk mendukung komposisi, struktur dan fungsi habitat atau ekosistem dimaksud. Penting dalam proses ini untuk menetapkan tujuan-tujuan dan cara-cara pencapaiannya secara jelas,
senatiasa
diperbaharui
menurut
hasil
kegiatan-kegiatan
pemantauan dan penelitian’. PBE dikembangkan dalam menanggapi semakin meluasnya penurunan kondisi ekosistem laut di seluruh dunia. Para ilmuwan menyatakan bahwa
60% ekosistem mengalami degradasi dan tidak
satupun ekosistem laut, di seluruh dunia, yang tidak terkena dampak aktifitas manusia (Millenium Ecosystem Assessment, 2005; Halpern et al., 2008). Agar dapat mengambil kebijakan yang lebih jauh daripada sekedar menerapkan kebijakan konvensional yang
terfokus hanya pada satu
sektor atau spesies dalam ekosistem, maka semakin banyak para pihak pengelola wilayah pesisir mengadopsi pendekatan PBE. Hal ini karena PBE selain memasukkan faktor ekologi, juga menambahkan faktor sosial142
Kesehatan Ekosistem dan Pengelolaan Sumberdaya Laut
ekonomi dan dampak kumulatifnya pada wilayah pengelolaan.
PBE
ditujukan untuk wilayah-wilayah yang secara geografis spesifik, pengelolaan sumberdaya secara holistik dari habitat, spesies dan ekosistem yang berdampak pada pemanfaatan sumberdaya, seperti dampak jejaring makanan. Secara spesifik, pengelolaan berbasis ekosistem ditujukan untuk: • Menekankan pada perlindungan struktur, fungsi dan proses-proses kunci dalam ekosistem. • Sebagai dasar dalam pemusatan perhatian pada ekosistem tertentu dan ragam kegiatan yang berdampak pada ekosistem. • Secara tegas memperhitungkan saling keterkaitan dalam sistem, mengenali pentingnya interaksi diantara spesies-spesies target atau layanan-layanan kunci ekosistem dan spesies-spesies non-target lainnya. • Memadukan tujuan-tujuan ekologis, sosial, ekonomi dan institusi melalui pengakuan saling ketergantungannya, satu sama lain. • Mengenali saling keterkaitan antara sistem-sistem udara, daratan dan lautan. PBE ditujukan untuk seluruh sektor yang dimanfaatkan oleh manusia, sehingga untuk efektifitas dan tingkat kepercayaan penggunaan PBE, dibutuhkan pengetahuan kredibel yang memperhitungkan seluruh kelompok pengguna dan mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan kebutuhan dalam masyarakat dan lingkungan, termasuk pemanfaatan lingkungan laut saat ini dan di masa mendatang (Leslie and McLeod, 2007). Sebab, jika parameter-parameter biologi dan fisika untuk modelmodel tertentu tidak secara baik dijelaskan, maka hasil yang diperoleh bisa jadi tidak tepat (Mangel et al., 2001). Ilmu pengetahuan akan memberi bukti kepada para pengguna bahwa ekosistem yang sehat, produktif dan resilient adalah kunci untuk layanan ekosistem yang diinginkan dan dibutuhkan oleh masyarakat. Kesehatan Ekosistem dan Pengelolaan Sumberdaya Laut
143
Elemen Ekosistem
Tujuan Pemanfaatan
Luasan area pengelolaan
Konservasi habitat
Pola (sedimen)
konservasi sifat biogenik
Kualitas air
Konservasi kualitas air
Suhu dan sifat fisika lain
Konservasi sifat-sifat sifat fisik air
Komunitas/ Spesies
Menjaga komunitas, populasi dan spesies
Produktifitas primer
Memelihara level trofik dan produk. primer
Layanan Ekosistem
Konservasi komponen utk keberlanjutan
Gambar-23. Hubungan antara elemen dan tujuan pemanfaatan ekosistem. Pengelolaan perikanan berbasis ekosistem, pertama kali digunakan oleh Dewan Riset Nasional Amerika Serikat (US. NRC, 1998), didefinisikan sebagai “suatu uatu pendekatan yang memperhitungkan seluruh komponen penyusun dan jasa-jasa jasa utama ekosistem (struktural dan fungsional), nilai habitat dalam perspektif multispesies, dan upaya-upaya upaya maksimal yang akan
diberikan
untuk
memahami
seluruh
proses
dalam
ekosistem....bertujuan bertujuan untuk membangun kembali dan memelihara populasi, spesies, komunitas biologis dan ekosistem laut agar tetap 144
Kesehatan Ekosistem dan Pengelolaan Sumberdaya Sumberday Laut
memiliki produktifitas dan keanekaragaman hayati yang tinggi, sehingga tidak menghancurkan berbagai jenis komoditas dan jasa dari ekosistem laut dalam bentuk bahan makanan, pendapatan dan sarana rekreasi bagi manusia”. Terminologi pendekatan ekosistem dalam perikanan, disingkat PEP (EAF: ecosystem approach to fisheries), secara resmi diadopsi oleh FAO pada pertemuan teknis di Reykjavik bulan September 2002, dengan alasan : (1) kehati-hatian yang diekspresikan seperti pada terminologi pengelolaan perikanan berbasis ekosistem, (2) paralel yang sangat bersesuaian dengan ‘pendekatan kehati-hatian’ dalam perikanan dan (3) fakta bahwa PEP tidak hanya sebatas pengelolaan, namun juga mencakup perencanaan, pembangunan, keamanan pangan, dsbnya, sehingga sangat sesuai
dengan
spirit
Kode
Etik
Pelaksanaan
Perikanan
Secara
Bertanggung jawab dari FAO. PEP oleh Ward et al. (2002) dinyatakan sebagai “perluasan dari pengelolaan perikanan konvensional yang lebih mengenali saling ketergantungan antara kemaslahatan umat manusia dan kesehatan ekosistem dan kebutuhan untuk menjaga produktifitas ekosistem untuk generasi sekarang dan generasi mendatang, misalnya: konservasi habitathabitat penting, mengurangi tingkat pencemaran
dan
degradasi
lingkungan, meminimalisasi limbah dan melindungi spesies yang terancam punah.. pada temu Konsultasi Ahli FAO di Reykjavik (FAO, 2003) disepakati bahwa tujuan dari PEP adalah merencanakan, mengembangkan dan mengelola sumberdaya ikan untuk memenuhi keragaman hasrat dan kebutuhan masyarakat, tanpa menghancurkan pilihan-pilihan generasi mendatang untuk memperoleh manfaat dari seluruh komoditas dan jasa yang disediakan oleh ekosistem laut”. Berdasarkan hal tersebut, PEP akan senantiasa memperjuangkan keseimbangan dari keragaman tujuan masyarakat, memanfaatkan seluruh pengetahuan yang dimiliki beserta ketidakpastian dalam komponen-komponen abiotik, biotik dan manusia dan interaksinya, serta menerapkan pendekatan perikanan terpadu dalam batas-batas ekologis yang bermakna (masuk akal). Kesehatan Ekosistem dan Pengelolaan Sumberdaya Laut
145
Akan tetapi untuk mengadopsi dan menerapkan PEP, terdapat beberapa tantangan yang perlu diatasi : (1) karakteristik ekosistem, kompleksitas ekosistem, struktur ekosistem, fungsi ekosistem, keragaman dan batasan-batasan alami ekosistem, dan (2) modifikasi dan degradasi ekosistem hasil aktifitas perikanan, dan aktifitas-aktifitas ekonomi di daratan maupun di laut. Belum lagi, pola-pola eksploitasi sumberdaya perikanan konvensional (yang masih berlangsung) yang senantiasa melakukan penyesuaian dari kapasitas tangkap dengan produktifitas sumberdaya dan berimplikasi pada hak pemanfaatan dan alokasi sumberdaya, yang ternyata gagal karena menurunkan tingkat produksi ikan dunia hingga 13%, dibanding dengan periode puncak produksi hasil tangkap pada tahun 1994 (Worm et al., 2006). Ekosistem, yang menopang aktifitas perikanan dan aktifitasaktifitas ekonomi lainnya, merupakan subyek dari sejumlah perubahan signifikan yang relevan bagi fungsi dan daya pulihnya serta komoditas dan jasa yang mampu disediakannya. Hal ini karena belum sempurnanya pemahaman kita akan struktur dan fungsi ekosistem, yang disertai dengan kesulitan mendasar dalam membedakan antara perubahan alami dan perubahan yang disebabkan oleh manusia yang biasanya sangat sulit diprediksi (Christensen et al., 1996). Sebagai illustrasi, perikanan tangkap diketahui menghasilkan dampak bagi sumberdaya target, mengurangi kelimpahan, potensi memijah dan beberapa parameter populasi (pertumbuhan, kematangan, dsb). Perikanan tangkap juga memodifikasi struktur umur dan ukuran ikan, rasio seks, komposisi spesies dan genetik (Dayton et al., 1995; Agardy, 2000; Kaiser et al., 2003; Gislason, 2003;). Jika
tidak
terkendali,
perikanan
tangkap
dapat
secara
serius
meningkatkan kapasitas tangkap yang berujung pada tangkap lebih, dengan konsekuensi yang harus diterima oleh ekosistem, ekonomi dan sosial. Tangkap lebih secara drastis mampu mentransformasi ekosistem yang tadinya stabil, memiliki komposisi jenis yang matang dan efisien menjadi ekosistem dengan komposisi yang tidak matang dan berada di bawah tekanan. Hal ini dapat terjadi jika spesies pemangsa juga menjadi 146
Kesehatan Ekosistem dan Pengelolaan Sumberdaya Laut
target utama karena nilai ekonominya yang tinggi, hingga level trofik dan aliran biomasa mengalami modifikasi (Pauly, 1979). Alat tangkap ternyata memiliki kemampuan untuk merubah habitat, terutama dalam hal merusak dan mengganggu topografi dasar dan habitat asosiasinya, serta komunitas bentik. Jackson et al. (2001) menyatakan bahwa kepunahan ekologis yang disebabkan oleh tangkap lebih di masa lalu menjadi sebab utama turunnya biomasa dan keanekaragaman hayati laut di seluruh dunia, dimana populasi yang ada sekarang hanya merupakan fraksi kecil dari level populasi yang tercatat dalam sejarah.
Estimasi terkini
menyebutkan bahwa sekitar 90% dari ikan-ikan berukuran besar sudah hilang dari perairan laut (Myers and Worm, 2003) dan sekitar tiga perempat dari stok ikan yang tersedia sudah ditangkap melebihi level maksimum lestarinya, tangkap lebih dan mengalami penurunan drastis (FAO, 2007).
4.6.
Pengelolaan Berbasis Ekosistem Laut Besar (LME) Perkembangan
aplikasi
pendekatan
pengelolaan
berbasis
ekosistem ke arah globalisasi, sebagai upaya pemulihan komoditas dan jasa lautan,
yang saat ini sedang dilaksanakan di sejumlah negara
berkembang, dikenal sebagai pendekatan ekosistem laut besar (LME) yang didukung oleh sejumlah besar pemerintahan dunia dan lembagalembaga keuangan seperti GEF, Bank Dunia dan beragam komunitas keilmuan dunia. LME sebagai suatu konsensus penting dunia yang melakukan pendekatan melalui penelitian-penelitian berbasis ekosistem serta penilaian dan pengelolaan komoditas dan jasa lautan di negaranegara Afrika, Asia, Amerika Latin dan Eropa Timur. Menurut batas-batas geografisnya, terdapat 64 LME (Gambar-8) di seluruh dunia, dimana sekitar 80% produksi ikan setiap tahun dihasilkan. Pada wilayah-wilayah LME ini kondisi ekosistem mengalami tekanan yang sangat berat, dimana tangkap lebih, pencemaran laut, meluasnya eutrofikasi dan meningkatnya kondisi anoxia menjadi fenomena utama. Seperti terlah dijelaskan sebelumnya, LME merupakan wilayah perairan Kesehatan Ekosistem dan Pengelolaan Sumberdaya Laut
147
laut alami yang mencakup perairan mulai dari muara dan estuaria ke arah laut yang berbatasan dengan paparan benua dan bagian tepi dari batasbatas laut dimana terdapat aliran laut dan pergerakan masa air. LME merupakan area yang cukup besar yang dicirikan oleh bathymetri, hydrografi, produktifitas dan populasi yang memiliki ketergantungan melalui sistem trofik. Sejak tahun 1995, badan dunia yang memfasilitasi kegiatankegiatan lingkungan (GEF) telah mendukung pendanaan proyek-proyek di 110 negara berkembang (nilai total 1.8 milyar USD) yang mengaplikasilan pendekatan multisektor dalam penilaian dan pengelolaan berbasis ekosistem untuk tercapainya perbaikan dan keberlanjutan komoditas dan jasa lautan yang berada pada bagian tepi di sekitar batas-batas wilayah samudera, yang memiliki produktifitas primer yang lebih tinggi dibanding samudera bebas (Sherman et al., 2007). Suatu pendekatan yang didasarkan pada 5 modul indikator untuk menilai dan mengelola LME yang telah terbukti sangat bermanfaat dalam proyek-proyek berbasis ekosistem di Amerika Serikat dan beberapa negara
lainnya,
menggunakan
kelompok-kelompok
indikator:
produktifitas, ikan dan perikanan, pencemaran dan kesehatan ekosistem, sosial ekonomi dan sistem tata kelola. Kelompok-kelompok indikator tersebut tersebut digunakan untuk menelaah perubahan-perubahan kondisi LME dalam hubungannya dengan sistem respon-dampakkeadaan-tekanan-pendorong
(DPSIR:
driver-pressure-state-impact-
response) yang berguna dalam mendukung pelaksanaan manajemen adaptif (Gambar 24),. merupakan
upaya untuk lebih memahami
keragaman iklim, meningkatkan keberlanjutan komoditas dan jasa-jasa lautan, dan untuk lebih mempertegas perubahan arah dalam pengelolaan berbasis ekosistem di lautan untuk ke-64 LME dan perairan-perairan yang terhubung dengannya. Sebagai contohnya, peningkatan suhu 1o C di LME Laut Utara dapat menyebabkan turunnya produktifitas primer yang berujung pada menurunnya biomasa perikanan.
148
Kesehatan Ekosistem dan Pengelolaan Sumberdaya Laut
Metodologi yang digunakan sebagai input pada sistem DPSIR didasarkan pada aplikasi pendekatan menggunakan 5 modul indikator. Secara keseluruhan, 5 modul indikator tersebut akan memberikan indikator-indikator dan sistem pengukuran berbasis metrik untuk digunakan dalam penentuan perubahan-perubahan dalam LME dan untuk mendukung
aksi-aksi
pemulihan,
keberlanjutan
dan
pengelolaan
sumberdaya laut beserta habitat-habitatnya. Modul indikator produktifitas : produktiftas primer dapat dihubungkan dengan daya dukung dari suatu ekosistem untuk mendukung sumberdaya perikanan di dalamnya. Menurut Beddington (1995), level maksimum global untuk mendukung rata-rata hasil tangkapan ikan dunia tahunan telah dicapai, dan untuk peningkatan biomasa skala besar berikutnya sangat boleh jadi akan berasal dari level trofik di bawah ikan dalam sistem jejaring makanan di lautan. Pengukuran produktifitas primer suatu ekosistem merupakan sangat bermanfaat sebagai indikator pada peningkatan masalah yang ditimbulkan oleh eutrofikasi di perairan pantai. Pada beberapa LME, penambahan nutrien yang berlebihan pada perairan pantai telah menimbulkan masalah blooming alga yang berbahaya yang berimplikasi pada kematian massal sumberdaya hayati dan meningkatnya jumlah pathogen-patogen baru di laut seperti Cholera, Vibrio, dan paralytic shellfish poisoning serta pertumbuhan berlebih dari spesies nonindigenous (Epstein, 1993). Parameter-parameter ekosistem yang dapat diukur dan digunakan sebagai indikator terhadap perubahan keadaan ekosistem meliputi: keragaman dan komposisi jenis zooplankton, biomasa zooplankton, struktur kolom air, kecerahan perairan, komposisi dan keragaman fitoplankton, chlorofil-a, nitrit dan nitrat. Pola kecenderungan produktifitas primer tahun 1998-2006 tersedia untuk ke 64 LME yang diperoleh melalui data satelit yang tersimpan dalam arsip Laboratorium NOAA di Narragansett, Rhode Island. Estimasi produktifitas primer diperoleh dari sensor warna lautan dan satelit-satelit CZCS, SeaWiFS dan
Kesehatan Ekosistem dan Pengelolaan Sumberdaya Laut
149
MODIS-Aqua/ MODISTerra. Demikian pula dengan profil suhu permukaan data untuk LME tersedia. Modul indikator ikan dan perikanan : perubahan dalam keanekaragaman dan dominasi spesies dalam komunitas ikan di wilayahwilayah LME disebabkan oleh eksploitasi berlebih, pergeseran lingkungan akibat perubahan iklim dan pencemaran di wilayah pantai. Perubahan keanekaragaman dan dominasi spesies dalam suatu komunitas ikan akan menggeser jejaring makanan ke arah predator puncak dan menurun ke arah dasar dimana fitoplankton sebagai komponen dari ekosistem. Modul indikator disusun berdasarkan data-data survei trawl ikan dasar dan survei akustik ikan pelagis dimana diperoleh informasi time-series tentang perubahan keanekaragaman dan tingkat kelimpahan ikan selama periode 2002-2006 (NEFSC 2002-2006). Indikator ikan dan perikanan meliputi: survei ikan demersal, survei ikan pelagis, survei ichthyoplankton, survei avertebrata (kerang, udang, kepiting, lobster, cumi, dsb), habitat ikan penting dan daerah perlindungan laut. Modul indikator pencemaran dan kesehatan ekosistem : pada beberapa wilayah LME, pencemaran dan eutrofikasi menjadi penggerak utama terjadinya perubahan dalam produksi biomasa. Modul pencemaran dan kesehatan ekosistem mengukur dampak pencemaran pada ekosistem menggunakan strategi pemantauan yang digunakan US.EPA, meliputi: pemeriksaan patobiologi ikan dan jaringannya, dampak pencemaran pada kolom air dan sedimen serta beberapa organisme benthik di wilayah estuarin dan perairan pantai. Demikian juga dengan bioakumulasi melalui transfer level trofik, konsentrasi bahan pencemar pada stadia awal kehidupan organisme tertentu (terutama penyusun jejaring makanan), dampak pada
150
Kesehatan Ekosistem dan Pengelolaan Sumberdaya Laut
Evaluasi Manajemen
Penggerak (Driver) : Perubahan Iklim Identifikasi faktor2 manusia & lingkungan yang mempengaruhi ekosistem, jelaskan skalanya.
Respon : Sesuaikan Target Eksploitasi
Organisasi data2 relevan, pilih indikator kunci dari status ekosistem.
Manajemen Adaptif
Evaluasi dampak ekologis, sosial dan ekonomi dari pilihanpilihan manajemen.
Prediksi dan Penilaian Resiko
Indikator Ekosistem
Tekanan (Pressure): Menguatnya
Kondisi : Produksi Primer Menurun
Hubungkan indikator status ekosistem dengan penggerak dan tekanan.
Dampak : Potensi Produksi Perikanan Menurun
Model Ekologi
Gambar-24. Model DPSIR dari Indikator-indikator yang terkait dengan perubahan iklim pada LME (NOAA, 2007).
potensi reproduksi, parasit dan penyakit pada organ, serta dampak bahan pencemar pada pertumbuhan organisme juga diteliti. Penilaian dampak bahan pencemar dilakukan pada level spesies dan populasi, demikian juga dengan frekuensi kejadian blooming alga berbahaya, jenis-jenis penyakit baru di lautan dan kualitas air.
Kesehatan Ekosistem dan Pengelolaan Sumberdaya Laut
151
Modul indikator sosial ekonomi : nilai ekonomi suatu LME adalah sama dengan nilai bersih saat ini (NPV: net present value) dari komoditas dan jasa baik yang berasal dari digunakan (uses) maupun yang tidak digunakan (non-uses). Modul sosial ekonomi menekankan pada perlunya untuk melakukan penerapan dari temuan-temuan ilmiah untuk mengelola LME dan secara eksplisit memadukan indikator-indikator dan hasil analisis dengan seluruh hasil penilaian ilmiah guna memastikan bahwa cara-cara pengelolaan tersebut efektif. Untuk itu, ditekankan agar para hali ekonomi dan perumus kebijakan untuk bekerjasama dengan ahli ekologi dan ilmuwan-ilmuwan lain yang terkait untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi pilihan-pilihan pola pengelolaan (manajemen) yang terpercaya secara ilmiah dan ekonomis dalam kaitannya dengan penggunaan komoditas dan jasa-jasa yang disediakan oleh ekosistem. Untuk
dapat
merespon
secara
adaptif
terhadap
semakin
melimpahnya informasi ilmiah, maka pertimbangan-pertimbangan sosial ekonomi harus secara erat dipadukan dengan ilmu pengetahuan alam. Komponen
pendekatan
sosial
ekonomi
LME
untuk
pengelolaan
sumberdaya laut ini telah diadopsi dan dikenal dengan nama dimensi manusia dalam LME (Hennessey and Sutinen, 2005). Modul Indikator Penatakelolaan: modul penatakelolaan LME terkait dengan kerangka yurisdiksi dengan beragam skala mulai dari lokal, nasional hingga regional yang dibutuhkan untuk memilih dan mendukung penerapan pengelolaan berbasis ekosistem yang hasilnya diharapkan
berujung
pada
pemanfaatan
sumberdaya
secara
berkelanjutan. Terdapat kesulitan mendasar dalam perubahan dunia saat ini untuk menilai apakah penatakelolaan sudah efektif, cukup efektif atau sama sekali tidak efektif, berdasarkan data dan pandangan-pandangan yang diperoleh sektor publik atau sektor swasta maupun dari para pihak (stakeholders) LME. Pada beberapa proyek yang didukung GEF, negara-negara yang berbatasan dalam suatu LME secara bersama-sama mempersiapkan analisis dalam hal peringkat isu-isu sumberdaya pesisir, melakukan 152
Kesehatan Ekosistem dan Pengelolaan Sumberdaya Laut
identifikasi dan menyusun skala prioritas terhadap masalah-masalah perbatasan, melakukan analisis dampak ekonomi, menjelaskan akar penyebab dan upaya-upaya perbaikan dan aksi-aksi yang diperlukan untuk mendukung keberlanjutan komoditas dan jasa LME. Proses perencanaan dan implementasi proyek-proyek LME ini ditujukan untuk : memperbaiki stok ikan yang menurun, menurunkan tingkat pencemaran di wilayah pesisir dan melakukan perbaikan terhadap habitat-habitat yang rusak di dalam wilayah LME untuk periode 10 tahun. Masalahmasalah perbatasan diprioritaskan dalam 12-bulan pertama yang juga dikenal sebagai analisis diagnostik perbatasan (TDA: transboundary diagnostic analysis) yang dilanjutkan dengan penetapan kesepakatan dalam hal program aksi strategis (SAP: strategic action program) untuk selanjutnya kepada negara-negara yang terlibat agar melaksanakan secara penuh 5 modul indikator untuk pendekatan dan pengelolaan LME. Sistem indikator untuk mengukur perubahan kondisi dari aktifitas manusia, dalam kaitannya dengan keuntungan dan kerugian masyarakat pesisir, merupakan sumber data penting dalam kalkulasi ekonomi keberlanjutan ekosistem. Demikian juga dengan pemantauan dan evaluasi terhadap indikator-indikator LME dalam hal perubahan kondisi ekonomi dan ekologi wilayah tahunan merupakan faktor penting untuk ditambahkan dan dipadukan ke dalam keputusan-keputusan berbasis pengelolaan adaptif.
Kesehatan Ekosistem dan Pengelolaan Sumberdaya Laut
153