PENGARUH PERUBAHAN PENGGUNAAN RUANG TERHADAP KENYAMANAN LANSKAP WILAYAH PENGEMBANGAN BOJONAGARA, KOTA BANDUNG
YOSEP PERMATA
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
RINGKASAN
YOSEP PERMATA. A44051046. Pengaruh Perubahan Penggunaan Ruang Terhadap Kenyamanan Lanskap Wilayah Pengembangan Bojonagara. Dibimbing oleh Dr. Ir. SETIA HADI, MS. Perkembangan
dan
pembangunan
kota
berdampak
pada
semakin
meningkatkannya jumlah penduduk kota. Hal tersebut mengakibatkan kebutuhan ruang di perkotaan semakin meningkat. Namun, dengan keterbatasan lahan, yang terjadi adalah perubahan penggunaan lahan di perkotaan. Perubahan penggunaan ruang di perkotaan ini cenderung menurunkan proporsi ruang-ruang yang sebelumnya merupakan ruang terbuka hijau atau ruang ekologis. Berdasarkan realita yang ada, fenomena penggunaan lahan yang terjadi di Wilayah Pengembangan Bojonagara adalah adanya kecenderungan perubahan penggunaan lahan dari area tak terbangun menjadi area terbangun, serta perubahan fungsi dari kawasan perumahan menjadi fungsi kawasan komersil. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara pertumbuhan penduduk dengan luas RTH dan luas RTH dengan suhu udara serta kelembaban relatik. Tujuan selajutnya adalah untuk mengetahui dan memprediksi pengaruh perubahan
penggunaan
ruang
terhadap
kenyamanan
lanskap
Wilayah
Pengembangan Bojonagara, Kota Bandung. Serta menyusun rekomendasi kebijakan di Wilayah tersebut. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada pemerintahan kota dalam menyusun kebijakan perencanaan, pembangunan dan pengembangan Kota Bandung, khususnya di Wilayah Pengembangan Bojonagara. Penelitian ini terdiri dari empat tahap, yaitu tahap persiapan, inventarisasi, analisis data, dan permodelan. Pada tahap pertama dilakukan persiapa perijinan, bahan dan alat serta pembuatan konsep model. Kemudian pada tahap inventarisasi, dilakukan ground check dan pengukuran iklim mikro sebagai data primer dan pengumpulan data sekunder dari instansi-instansi terkait. Selajutnya dilanjutkan pada tahap analisis pada komponen iklim, penduduk, penggunaan dan penutupan lahan. Komponen iklim dianalisis untuk menentukan nilai THI. Komponen penduduk di analisis dengan metode ekstrapolasi untuk mengetahui laju pertumbuhan rata-rata pertahun, sedangkan penggunaan dan penutupan lahan
di analisis dari peta landsat kota Bandung tahun 1999, 2004, dan 2007. Tahap terakhir adalah permodelan, menurut Hartrisari (2007), metodologi dalam system dinamik adalah analisis kebutuhan, formulasi masalah, identifikasi sistem, permodelan sistem, validasi dan uji model, dan rencana alternative kebijakan. Wilayah Pengembangan Bojonagara adalah salah satu wilayah administrasi di kota Bandung, dengan jumlah penduduk dan kepadatan penduduk 470.976 jiwa dan 222,56 jiwa/Ha. Penggunana lahan paling dominan adalah lahan terbangun yang mencapai 85,33%, sedangkan rung terbuka hijau hanya 14,67%. Dengan suhu udara rata-rata 23,39ºC, dan kelembaban relatif 78%. Serta THI di wilayah ini 22,37. Berdasarkan data penutupan lahan pada tahun 1999, 2004, dan 2007, diperoleh persamaan untuk hubungan jumlah penduduk dengan jenis penutupan lahan dan luas RTH dengan suhu udara serta kelembaban relatif. Berdasarkan koefisien korelasi dan persamaan regresi linear yang diperoleh, diketahui bahwa secara umum pertambahan jumlah penduduk berpengaruh terhadap penurunan tiap jenis RTH serta luas total RTH di Wilayah tersebut. Pengaruh paling kuat pada rumput dan semak, sedangkan pengaruh terendah pada sawah. Selanjutnya, diketahui pula bahwa penurunan luas RTH berpengaruh terhadap peningkatan suhu udara dan kelembaban relatif di wilayah tersebut. Selanjutnya dibuat lima skenario berdasarkan model simulasi yang telah disusun. Kelima skenario itu disimulasikan untuk keadaan 25 tahun mendatang. Dari hasil simulasi, skenario yang terbaik adalah skenario 4, dimana diasumsikan laju pertambahan penduduk dapat ditekan menjadi 1,5%, serta luas RTH minimum harus 30% sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2007 Pasal 29. Dari skenario tersebut diketahui bahwa pada tahun ke-25 luas RTH adalah 691,25 Ha dengan nilai THI sebesar 22,79. Luas RTH pada skenario ini sudah mendekati target yang diinginkan yaitu minimal luas RTH 30 %. Terkait dengan skenario yang dibuat perlu adanya kebijakan dalam pembangunan di wilayah ini, seperti pembangunannya tidak lagi berbasis lahan, namun secara vertikal dengan berbagai pertimbangan. Selanjutnya perlu adanya kebijakan terkait dengan pengendalian pertumbuhan penduduk.
PENGARUH PERUBAHAN PENGGUNAAN RUANG TERHADAP KENYAMANAN LANSKAP WILAYAH PENGEMBANGAN BOJONAGARA, KOTA BANDUNG
YOSEP PERMATA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul
: Pengaruh Perubahan Penggunaan Ruang Terhadap Kenyamanan Lanskap Wilayah Pengembangan Bojonagara, Kota Bandung
Nama
: Yosep Permata
NRP
: A44051046
Disetujui
Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Setia Hadi, MS NIP. 19600424 198601 1 001
Diketahui
Ketua Departemen Arsitektur Lanskap
Dr. Ir. Siti Nurisyah, MSLA NIP. 19480912 197412 2 001
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadiarat Allah SWT karena atas rahmat, taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Pengaruh Perubahan Penggunaan Ruang Terhadap Kenyamanan Lanskap Wilayah Pengembangan Bojonagara, Kota Bandung” ini degan baik. Skripsi ini sebagi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan baik materi maupun spiritual dari berbagi pihak. Oleh karean itu, penlis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Keluarga tercinta, Bapak Nanang Sudrajat, Mamah Lilih Karliah, A Yana Nurbuana Sudrajat beserta keluarga dan A Deni Sugiana Sudrajat bererta keluarga, juga seluruh keluarga besar di Bandung dan Subang. Terima kasih untuk doa, dukungan, kasih sayang dan perhatian yang tak pernah berhenti. 2. Bapak Dr. Ir. Setia Hadi, MS sekalu pembimbing skripsi atas bimbingan, arahan dan nasehatnya dalam penyususnan skripsi ini. 3. Dr. Ir. Aris Munandar, MS dan Dr. Ir. Alinda FM Zain, Msi selaku dosen penguji atas saran dan masukan untuk skripsi ini. 4. Ibu Dr. Ir. Tati Budiarti, MS selaku pembimbing akademik atas bimbingan, dukungan dan nasehatnya dalam akademik. 5. Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung. 6. Badan Pusat Statistik Kota Bandung. 7. Diar Erstantyo sebagai teman seperjuangan saat mengambil data di Bandung. 8. Azi dan Anya atas bantuannya selama di Bandung. 9. Ka Diena atas bantuannya dalam pembuatan model simulasi. 10. Nando dan Vabi sebagai teman satu bimbingan. 11. Intan Tanjung Sari atas bantuan dan dukungannya dalam penyusunan skripsi ini. 12. Teman-teman kostan Wisma Cemara, Jabi, Johan, Tope, Irvan, Reza, Drajat, Farid, Fiul, Ade, Ferry, Arief, Mustofa, Arul, dan Anma untuk dukunganny.
13. Temen-teman ARL 42, Chan-chan, Fran, Nawir, Boep, Danand, Heru, Nando, Azi, Nanang, M, CF, Mamat, Kalla, Hadrian, Cindy, Icha, Endah, Dara, Tika, Dewi, Nina, Indah, Rindha, Ian, Farida, Lia, Echa, Jane, Lya Bapau, Unne, Vella, Manda, Yolla, Zai, Uthe, Sammy, Hadrian, Iqbal, Bayu, Hudi, Teteh, Mega, Anya, Rina, Dina, Puput, Uli, Rizka, Thicute, Dian, Fajar, Diar, Vabi, Dhofir, Arsyad, dan Ferbi. 14. Kaka-kaka ARL 37, ARL38, ARL39, ARL40, dan ARL 41 yang tidak bisa disebut satu per satu 15. Teman-teman ARL 43, ARL 44, dan ARL 45 yang tidak bisa disebut satu per satu. 16. Semua pihak yang tidak dapat disebut dan telah banyak terlibat dan membantu dalam penyusunan skripsi ini terima kasih. Semoga dukungan dan kebaikan yang telah diberikan menjadi amal baik dan mendapat balasan setimpal dari Allah SWT. Serta semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2010
Yosep Permata
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 21 Juli 1987 dari ayah Nanang Sudrajat dan ibu Lilih Karliah. Penulis merupakan putra ketiga dari tiga bersaudara. Penulis menempuh pendidikan di TK Darul Hikam Bandung (1992-1993), kemudian melanjutkan pendidikan di SDN Coblong 2 Bandung (1993-1999), selanjutnya meneruskan pendidikan tingkat menengah pertama di SLTPN 35 Bandung (1999-2002), dan melanjutkan di SMAN 19 Bandung (2002-2005). Selama di SLTP penulis aktif menjadi pengurus OSIS SLTPN 35 periode 20002001 sebagai Wakil Ketua OSIS, dan aktif pula dalam organisasi PRAMUKA. Pada saat di SMA, penulis aktif dalam ekstrakulikuler basket dan IKREMA SMAN 19. Pada tahun 2005 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Setahun kemudian, penulis memilih mayor Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian dengan minor Ekonomi Lingkungan. Namun ketika memasuki semester 6, penulis melepas minor menjadi SC, dengan pertimbangan banyaknya jadwal kuliah minor yang bentrok dengan mayor. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dikeanggotaan PAMAUNG (Paguyuban Mahasiswa Bandung), serta aktif pula di keanggotaan HIMASKAP. Pada tahun 2009 penulis menjadi asisten Mata Kuliah Dasar-Dasar Arsitektur Lanskap.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ………………………………………………………... v DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………...
vii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………...
ix
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ……………………………………………….. 1.2. Tujuan ………………………………………………………... 1.3. Manfaat ……………………………………………………….
1 2 2
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kota …………………………………………………………... 2.2. Ruang ………………………………………………………… 2.3. Ruang Terbuka Hijau ………………………………………… 2.4. Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan ………………. 2.5. Kenyamanan …………………………………………………. 2.6. Model ………………………………………………………… 2.7. Sistem Dinamik ……………………………………………… 2.8. Sistem Informasi Geogfrafis ………………………………….
3 4 5 7 8 9 10 11
III. METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu …………………………………………… 3.2. Bahan dan Alat Penelitian …………………………………… 3.3. Metode Penelitian ……………………………………………. 3.4. Batasan Penelitian ……………………………………………. 3.5. Kerangka Pikir ………………………………………………..
13 13 14 19 20
IV. KONDISI UMUM 4.1. Kondisi Fisik dan Lingkungan ……………………………….. 4.1.1. Wilayah Administrasi ………………………………….. 4.1.2. Ketinggian dan Kemiringan Lereng …………………… 4.1.3. Geologi ………………………………………………… 4.1.4. Klimatologi …………………………………………….. 4.1.5. Hidrologi ………………………………………………. 4.2. Kondisi Sosial ………………………………………………... 4.3. Penggunaan Lahan …………………………………………… 4.4. Penutupan Lahan ……………………………………………..
21 21 23 24 25 25 26 27 29
V. PEMBAHASAN 5.1. Data dan Analisis …………………………………………….. 5.1.1. Pengukuran Komponen Iklim …………………………. 5.1.2. Penghitungan Nilai Temperature Humidity Index (THI). 5.1.3. Penghitungan Komponen Penduduk …………………... 5.1.4. Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan ………… 5.2. Model Dinamik ………………………………………………. A. Skenario 1 (Agresif) ……………………………………… B. Skenario 2 (Semi-Agresif) ………………………………...
34 34 40 42 45 53 58 60
iv
C. Skenario 3 (Terkendali) …………………………………... D. Skenario 4 (Terkendali) …………………………………... E. Skenario 5 (Konservasi) …………………………………..
62 64 66
VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan ……………………………………………………... 6.2. Saran ………………………………………………………….
69 70
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………..
72
LAMPIRAN ………………………………………………………………
75
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1 Standar Luas Ruang Terbuka Umum ………………………….. 6 Tabel 2.2 Klasifikasi Penutupan Lahan …………………………………...
8
Tabel 3.1 Jenis, Sumber, dan Cara Pengumpulan Data …………………...
14
Tabel 4.1 Wilayah Perencanaan RTRW Kota Bandung …………………..
22
Tabel 4.2 Luas Lahan Berdasarkan Kelas Kemiringan di WP Bojonagara, Kota Bandung ……………………………………………………………..
24
Tabel 4.3 Data Iklim Wilayah Pengembangan Bojonagara Tahun 2007 …
25
Tabel 4.4 Sumber Mata Air di Wilayah Pengembangan Bojonagara ……..
26
Tabel 4.5 Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan dan Luas Wilayah serta Kepadatan Penduduk di WP Bojonagara Tahun 2007 ……………………
27
Tabel 4.6 Penggunaan Lahan Eksisting di WP Bojonagara Tahun 2006 …
29
Tabel 5.1 Data Komponen Iklim Pengukuran Lapangan di WP Bojonagara ………………………………………………………………...
34
Tabel 5.2 Data Suhu dan Kelembaban WP Bojonagara Bulan Oktober 2009 ……………………………………………………………………….
35
Tabel 5.3 Data Suhu dan Kelembaban WP Bojonagara Tahun 1999-2007.
39
Tabel 5.4 Nilai THI WP Bojonagara berdasarkan Data Pengukuran Lapang Bulan Oktober 2009 ………………………………………………
41
Tabel 5.5 Nilai THI WP Bojonagara Tahun 1999-2007 ………………….
42
Tabel 5.6 Jumlah Penduduk di Wilayah Pengembangan Bojonagara Menurut Kelurahan Tahun 2002-2007…………………………………….
43
Tabel 5.7 Kepadatan Penduduk di Wilayah Pengembangan Bojonagara Tahun 2002-2007 ………………………………………………………….
44
Tabel 5.8 Penggunaan Lahan di Kecamatan Andir Tahun 2001 dan 2006 .
46
Tabel 5.9 Penggunaan Lahan di Kecamatan Cicendo Tahun 2001 dan 2006 ………………………………………………………………………
47
Tabel 5.10 Penggunaan Lahan di Kecamatan Sukajadi Tahun 2001 dan 2006 ……………………………………………………………………….
48
Tabel 5.11 Penggunaan Lahan di Kecamatan Sukasari Tahun 2001 dan 2006 ……………………………………………………………………….
49
Tabel 5.12 Rekapitulasi Perubahan Penggunaan Lahan di WP Bojonagara Tahun 2001 dan 2006 (Ha) …………………………………..
50
Tabel 5.13 Jumlah Penduduk dan Perubahan Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Bojonagara Tahun 1999, 2004, dan 2007 ………………..
51
vi
Tabel 5.11 Jumlah Penduduk dan Perubahan RTH Wilayah Pengembangan Bojonagara Tahun 1999, 2004, dan 2007 ………………..
53
Tabel 5.12 Nilai Koefisien Korelasi dan Persamaan Fungsi dari Hubungan Linear Peubah X dan Y ………………………………………..
56
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1 Fungsi RTH Perkotaan (Nurisjah et al., 2005) …………………. 5 Gambar 3.1 Lokasi Penelitian WP Bojonagara …………………………...
13
Gambar 3.2 Tahapan Penelitian …………………………………………...
14
Gambar 3.3 Struktur Model Causal Loop ………………………………...
17
Gambar 3.4 Kerangka Pikir ……………………………………………….
20
Gambar 4.1 Contoh Penggunaan Lahan di Wilayah Pengembangan Bojonagara ………………………………………………………………...
28
Gambar 4.2 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Bojonagara Tahun 1999 ………………………………………………………………..
30
Gambar 4.3 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Bojonagara Tahun 2004 ………………………………………………………………..
31
Gambar 4.4 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Bojonagara Tahun 2007 ………………………………………………………………..
32
Gambar 4.5 Persentase Kelas Pentupan Lahan Wilayah Pengembahan Bojonagara Tahun 1999 …………………………………………………...
33
Gambar 4.6 Persentase Kelas Pentupan Lahan Wilayah Pengembahan Bojonagara Tahun 2004 …………………………………………………...
33
Gambar 4.7 Persentase Kelas Pentupan Lahan Wilayah Pengembahan Bojonagara Tahun 2007 …………………………………………………...
33
Gambar 5.1 Lokasi Pengukuran Suhu Udara dan Kelembaban Relatif di Wilayah Pengembangan Bojonagara …………………………………...
37
Gambar 5.2 Grafik Perbandingan Suhu Udara Rata-rata WP Bojonagara Tahun 1999-2007 ………………………………………..
39
Gambar 5.3 Grafik Perbandingan Kelembaban Relatif WP Bojonagara Tahun 1999-2007 ………………………………………..
40
Gambar 5.4 Grafik Perbandingan Nilai THI WP Bojonagara Tahun 1999-2007 ………………………………………..
42
Gambar 5.5 Grafik Perbandingan Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Bojonagara Tahun 1999, 2004, dan 2007 ………………..
52
Gambar 5.6 Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X) dan Luas Kebun Campuran (Y) …………………………………………
53
Gambar 5.7 Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X) dan Luas Rumput dan Semak (Y) …………………………………………
54
Gambar 5.8 Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X) dan Luas Sawah (Y) ……………………………………………………
54
viii
Gambar 5.9 Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X) dan Luas Taman Kota (Y) ………………………………………………...
54
Gambar 5.10 Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X) dan Luas RTH (Y) ………………………………………………………...
55
Gambar 5.11 Diagram Pencar Hubungan Linear Luas RTH (X) dan Suhu Udara (Y) ………………………………………………………………….
55
Gambar 5.12 Diagram Pencar Hubungan Linear Luas RTH (X) dan Kelembaban Relatif (Y) …………………………………………………...
55
Gambar 5.13 Struktur Model Simulasi ……………………………………
57
Gambar 5.14 Grafik Hubungan antara Luas RTH, Suhu Udara, Kelembaban Relatif, dan THI dengan Laju Pertumbuhan Penduduk 3,82% ……………………………………………………………………
58
Gambar 5.15 Sekenario 1 Penutupan Lahan di Wilayah Pengembangan Bojonagara ………………………………………………………………...
59
Gambar 5.16 Grafik Hubungan antara Luas RTH, Suhu Udara, Kelembaban Relatif, dan THI dengan Laju Pertumbuhan Penduduk 3% …………………………………………………………………………
60
Gambar 5.17 Sekenario 2 Penutupan Lahan di Wilayah Pengembangan Bojonagara ………………………………………………………………..
61
Gambar 5.18 Grafik Hubungan antara Luas RTH, Suhu Udara, Kelembaban Relatif, dan THI dengan Laju Pertumbuhan Penduduk 2% …………………………………………………………………………
62
Gambar 5.19 Sekenario 3 Penutupan Lahan di Wilayah Pengembangan Bojonagara ………………………………………………………………...
63
Gambar 5.20 Grafik Hubungan antara Luas RTH, Suhu Udara, Kelembaban Relatif, dan THI dengan Laju Pertumbuhan Penduduk 1,5% ……………………………………………………………………….
64
Gambar 5.21 Sekenario 4 Penutupan Lahan di Wilayah Pengembangan Bojonagara ………………………………………………………………...
65
Gambar 5.22 Grafik Hubungan antara Luas RTH, Suhu Udara, Kelembaban Relatif, dan THI dengan Laju Pertumbuhan Penduduk 1% …………………………………………………………………………
66
Gambar 5.23 Sekenario 5 Penutupan Lahan di Wilayah Pengembangan Bojonagara ………………………………………………………………...
67
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Hasil Cross Check Kondisi Lapangan Wilayah Bojonagara Bulan Oktober 2009 ………………………………………………………. 76 Lampiran 2. Data Suhu Udara Bulanan Wilayah Pengembangan Bojonagara ………………………………………………………………...
80
Lampiran 3. Data Kelembaban Udara Bulanan Wilayah Pengembangan Bojonagara ……………………………………………….
81
Lampiran 4. Peta Hasil Ground check Bulan Oktober 2009 ……………...
82
Lampiran 5. Peta Kemiringan Lahan Wilayah Pengembangan Bojonagara
83
Lampiran 6. Peta Tata Guna Lahan Wilayah Pengembangan Bojonagara ..
84
Lampiran 7. Tabel Simulasi Model Skenario 1 …………………………...
85
Lampiran 8. Tabel Simulasi Model Skenario 2 …………………………...
86
Lampiran 9. Tabel Simulasi Model Skenario 3 …………………………...
87
Lampiran 10. Tabel Simulasi Model Skenario 4 ………………………….
88
Lampiran 11. Tabel Simulasi Model Skenario 5 ………………………….
89
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan dan pembangunan merupakan hal yang mutlak terjadi di suatu negara atau wilayah untuk meningkatkan kesejahteran penduduknya. Pembangunan yang tumbuh secara pesat memberikan dampak positif maupun negatif
bagi
perkembangan
suatu
wilayah.
Dampak
positifnya
yakni
meningkatkan kesejahteraan manusia, sedangkan dampak negatifnya berupa penurunan kualitas sumber daya alam dan lingkungan. Dalam pembangunan secara fisik, lahan merupakan salah satu komponen yang penting. Penggunaan lahan atau ruang untuk berbagai kepentingan pembangunan sering kali tanpa adanya pertimbangan-pertimbangan secara ekologis sehingga menyebabkan terjadinya penurunan jumlah luas dan ruang yang berfungsi sebagai komponen penyeimbang lingkungan, khususnya di daerah perkotaan. Kota-kota besar di Indonesia, seperti halnya di negara berkembang lainnya di dunia, pembangunan secara fisik yang beroriantasi kepentingan ekonomi menjadi prioritas utama dibandingkan pembangunan yang berorintasi kepentingan ekologi. Salah satu ciri lain adalah pembangunan yang terpusat di kota-kota besar. Perkembangan dan pembangunan kota berdampak pula pada semakin meningkatnya jumlah penduduk kota. Hal tersebut mengakibatkan kebutuhan ruang di perkotaan semakin meningkat. Namun, dengan keterbatasan lahan, yang terjadi adalah perubahan penggunaan lahan di perkotaan. Perubahan penggunaan ruang di perkotaan ini cenderung menurunkan proporsi ruang-ruang yang sebelumnya merupakan ruang terbuka hijau atau ruang ekologis. Kota Bandung merupakan salah satu contoh kota yang dalam perkembangan perkotaan banyak merubah atau mengkonversi lahan terbuka menjadi lahan terbangun yang lebih komersial. Walaupun saat ini telah banyak pembuatan taman-taman kota namun proporsinya masih sangat jauh dengan ruang yang terbangun. Berdasarkan realita yang ada, penggunaan lahan di Wilayah Pengembangan Bojonagara secara umum memiliki karakteristik mixed use serta aglomerasi kegiatan tertentu yang relatif homogen. Selain mixed use, fenomena penggunaan lahan yang terjadi di Wilayah Pengembangan Bojonagara adalah adanya
2
kecenderungan perubahan penggunaan lahan dari area tak terbangun menjadi area terbangun, serta perubahan fungsi dari kawasan perumahan menjadi fungsi kawasan komersil. Pada tahun 1999 proporsi RTH di WP Bojonagra adalah 56,99%, sedangkan pada tahun 2007 proporsi RTH berkurang menjadi 34,82%. Perubahan penggunaan lahan ini sangat menurunkan kenyamanan di Wilayah Pengembangan Bojonagara, sehingga perlu adanya perencanaan yang bersifat ekologi, sebagai penyeimbang untuk terciptanya keseimbangan dan keserasian lingkungan dan kenyamanan.
1.2. Tujuan Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan adalah : 1. Melihat hubungan antara pertumbuhan penduduk dengan luas RTH dan luas RTH dengan suhu udara serta kelembaban relatif di Wilayah Pengembangan Bojonagara, Kota Bandung. 2. Mengetahui pengaruh perubahan penggunaan ruang terhadap kenyamanan lanskap Wilayah Pengembangan Bojonagara, Kota Bandung. 3. Memprediksi perubahan penggunaan ruang terhadap kenyamanan lanskap Wilayah Pengembangan Bojonagara, Kota Bandung. 4. Menyusun rekomendasi kebijakan di Wilayah Penggunaan Bojonagara, Kota Bandung. 1.3. Manfaat Penelitian
ini
dapat
bermanfaat
sebagai
bahan
masukan
kepada
pemerintahan kota dalam menyusun kebijakan perencanaan, pembanguan dan pengembangan Kota Bandung, khususnya di Wilayah Pengembangan Bojonagara.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kota Sudah umum diketahui dalam suatu wilayah ada tempat-tempat dimana penduduk atau kegiatan yang terkonsentrasi dan ada tempat-tempat dimana penduduk atau kegiatan yang kurang terkonsentrasi. Tempat konsentrasi penduduk dan kegiatannya dinamakan dengan berbagai istilah, yaitu kota, pusat perdagangan, pusat industri, pusat pertumbuhan, dan pusat pemukiman. Daerah diluar pusat konsentrasi dinamakan dengan berbagai istilah seperti daerah pedalaman, wilayah belakang (hinterland), dan daerah pertanian atau pedesaan (Tarigan, 2005). Pengertian kota pada umumnya dicirikan oleh tingginya kepadatan ruang terbangun, dengan struktur bangunan yang semakin mendekati pusat kota semakin rapat. Selain itu dalam sebuah kota terjadi kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsinya sebagai tempat pemukiman, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi (Eckbo, 1964). Menurut Simonds (1983) kawasan perkotaan adalah suatu bentuk lanskap buatan manusia yang terbentuk akibat aktivitas manusia dalam mengelola kepentingan hidupnya. Karena itu faktor-faktor sosial, ekonomi, budaya, kelembagaan, politik, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang mempengaruhi perubahan lanskap perkotaan juga akan berkontribusi terhadap lingkungan fisik perkotaan. Perkotaan diartikan sebagai area terbangun dengan stuktur jalan-jalan, sebagai suatu pemukiman yang terpusat pada suatu area dengan kepadatan tertentu yang membutuhkan saranan dan prasarana pendukung yang lebih lengkap dibandingkan dengan daerah pedesaan (Branch, 1995). Kota, menurut definisi universal, adalah sebuah area urban yang berbeda dari desa ataupun kampung berdasarkan ukurannya, kepadatan penduduk, kepentingan, atau status hukum. Dalam konteks administrasi pemerintahan di Indonesia, kota adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia setelah provinsi, yang dipimpin oleh seorang walikota. Selain kota, pembagian wilayah administratif setelah provinsi adalah kabupaten. Secara umum, baik kabupaten
4
dan kota memiliki wewenang yang sama. Kabupaten bukanlah bawahan dari provinsi, karena itu bupati atau walikota tidak bertanggung jawab kepada gubernur. Kabupaten maupun kota merupakan daerah otonom yang diberi wewenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri (Wikipedia, 2009). Kusbiantoro (1993) dalam Komarudin (1999) menjelaskan sistem wilayah perkotaan yang ideal terdiri atas tiga komponen, yaitu komponen utama, lingkungan,
dan
kelembagaan.
Komponen
utama
meliputi
sistem
aktivitas/kegiatan atau sistem demand (penduduk dan segenap kegiatannya serta ruang darat, laut, dan udara, dan beragam penggunaannya) dan sarana pelayanan sosial dan ekonomi. Komponen lingkungan terdiri atas sistem lingkungan atau sistem environment, fisik-sosial-ekonomi-politik misalnya masalah produktivitas dan kemiskinan, dan local-regional-nasional-internasional misalnya kota dengan wilayah sekitarnya dalam era borderless country. Komponen kelembagaan mencangkup sistem kelembagaan/institusional atau sistem penunjang/pelengkap, aspek legal (kebijaksanaan, hukum, dan peraturan perundang-undangan), keuangan atau sumber dana, dan organisasi (lembaga/pelaku terkait).
2.2. Ruang Ruang merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Ruang merupakan suatu tempat dimana manusia berada, baik secara psikologis dan emosional, maupun dimensional. Kita dapat membayangkan ruang sebagai sesuatu yang hampa tetapi memakan tempat atau isi yang berada pada ruang tersebut, sehingga antara ruang yang satu dan yang lainnya berbeda. Menurut Tarigan, Robinson (2005) ruang adalah tempat untuk suatu benda/kegiatan atau apabila kosong dapat diisi dengan suatu benda/kegiatan. Dimana ruang disini berdimensi tiga sebagai batas dari benda/kegiatan yang merupakan isi dari ruang tersebut. Menurut Hakim dan Utomo (2003), ruang dibentuk oleh tiga komponen yaitu lantai, dinding dan atap atau penutup. Ruang disini dapat berupa ruang dalam dan ruang luar, yang mana ruang dalam dibatasi oleh suatu alas, dinding atau tembok, dan atap atau penutup. Sedangkan ruang luar
5
dibatasi oleh alas berupa hamparan tanah, dinding dapat berupa tegakan pohon atau dinding maya, dan atapnya dapat berupa kanopi pohon atau langit. Dari berbagai pendapat tentang definisi ruang, dapat disimpulkan bahwa ruang merupakan suatu wadah yang tidak nyata, tetapi dapat dirasakan keberadaannya oleh manusia, sehingga manusia dapat melalukan aktifitas didalamnya yang dibatasi oleh alas, dinding, dan atap.
2.3. Ruang Terbuka Hijau Ruang Terbuka Hijau (RTH) suatu kota adalah ruang-ruang terbuka (open spaces) di berbagai tempat di suatu wilayah perkotaan yang secara optimal digunakan sebagai daerah penghijauan dan berfungsi, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk kehidupan dan kesejahteraan manusia atau warga kotanya (Nurisjah, 1997). Nurisjah et al (2005) mengungkapkan fungsi RTH baik RTH public maupun privat memiliki fungsi utama (intrinsik), yaitu fungsi ekologis dan fungsi tambahan (ekstrinsik), yaitu fungsi arsitektural, sosial, dan fungsi ekonomi. Secara tabular fungsi RTH perkotaan digambarkan sebagai berikut : Wilayah Perkotaan
Ruang Terbuka
Ruang Terbangun
Ruang Terbuka Non-Hijau
Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Fungsi Intrinsik
Ekologis
Fungsi Ekstrinsik
Arsitektural
Sosial
Ekonomi
Gambar 2.1 Fungsi RTH Perkotaan (Nurisjah et al., 2005)
6
Simond (1983) menjelaskan ruang terbuka hijau mempunyai peran penting dalam membentuk suatu karakter kota dan menjaga kelangsungan hidupnya. Tanpa keberadaan ruang terbuka di kota akan mengakibatkan ketegangan mental bagi manusia yang tinggal didalamnya. Tabel 2.1 Standar Luas Ruang Terbuka Umum N o
Wilayah/ Hirarki
Jumlah KK/Wilayah
Jumlah Jiwa/Wilayah
Ruang Terbuka m2/1000 jiwa
1
Ketetanggaan
1.200
4.320
12.000
2
Komuniti
10.000
36.000
20.000
3
Kota
100.000
-
40.000
4
Wilayah/ Regional
1.000.000
-
80.000
Penggunaan Ruang Terbuka Lapangan bermain, area rekreasi, taman rumah/ pekarangan Lapangan bermain, taman, koridor lingkingan (termasuk ruang terbuka untuk ketetanggaan) Ruang terbuka umum, taman, taman bermain (termasuk ruang terbuka untuk komuniti) Ruang terbuka umum, taman, area rekreasi, hutan kota, jalur lingkar kota, sawah/kebun.
Sumber : Simond (1983)
Dengan adanya RTH sebagai „paru-paru‟ kota, maka dengan sendirinya akan terbentuk iklim yang sejuk dan nyaman. Hasil penelitian di Jakarta, membuktikan bahwa suhu di sekitar kawasan RTH (di bawah pohon teduh), dibanding dengan suhu di „luar‟nya, bisa mencapai perbedaan angka sampai 2-4 derajat celcius (Purnomohadi, 1995). RTH membantu sirkulasi udara. Pada siang hari dengan adanya RTH, maka secara alami udara panas akan terdorong ke atas, dan sebaliknya pada malam hari, udara dingin akan turun di bawah tajuk pepohonan. Pohon, adalah pelindung yang paling tepat dari terik sinar matahari, di samping sebagai penahan angin kencang, peredam kebisingan dan bencana alam lain, termasuk erosi tanah. Bila terjadi tiupan angin kencang di „atas‟ kota tanpa tanaman, maka polusi udara akan
7
menyebar lebih luas dan kadarnya pun akan semakin meningkat. Suhu udara pada daerah berhutan lebih nyaman daripada daerah yang tidak ditumbuhi oleh tanaman. Selain suhu, unsur iklim mikro lain yang diatur oleh hutan kota adalah kelembaban. Pohon dapat memberikan kesejukan pada daerah-daerah kota yang panas (heat island) akibat pantulan panas matahari yang berasal dari gedunggedung, aspal dan baja (Forest Service Publications, 2003. Trees Modify Local Climate, 2003 dalam Ruswandi, 2007)
2.4. Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan Istilah penggunaan lahan memilki banyak arti yang berbeda. Menurut de Sherbinin (2002) dalam Putri (2006), penggunaan lahan merupaan istilah yang digunakan untuk menggambarkan pengunaan lahan oleh manusia untuk kegiatan mengubah tutupan lahan. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap bentuk intervensi manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik secara materil maupun spiritual. Penggunaan lahan dapat dikelompokkan kedalam dua golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian (tegalan, sawah, kebun, hutan lindung, dan sebagainya) dan penggunaan non pertanian (pemukiman, industry, rekreasi, pertambangan, dan sebagainya) (Arsyad, 2000). Penggunaan lahan berhubungan dengan bagaimana lahan digunakan oleh manusia. Dengan kata lain, penggunaan lahan terkait dengan tujuan penggunaan ekonomis pada suatu lahan, seperti tujuan komersil, industrial, rekreasional, atau agricultural. Sementara itu, penutupan lahan berkaitan vegetasi, struktur, atau fitur-fitur lain yang menutupi lahan, seperti rumput, pohon, air, atau bangunan luas. Dua bidang lahan dapat memiliki penutupan lahan yang sama, namun berbeda penggunaan lahannya, begitu pun sebaliknya (Consortium for Atlantic Regional Assessment, 2006). Menurut Meyer dan Tuner (1994), perubahan penggunaan dan penutupan lahan merupakan suatu kombinasi dari hasil interaksi faktor sosial-ekonomi, politik dan budaya. Berkaiatan dengan penggunaan tanah, kehidupan kota yang dinamis mengharuskan terjadinya perubahan tata guna tanah dalam rangka pengembangan wilayah kota. Adapun perubahan yang paling sering terjadi adalah konversi lahan konservasi, terutama hutan menjadi area pertanian atau
8
pemukiman. Menurut de Sherbinin (2002) dalam Putri (2006), menyatakan bahwa peran ganda manusia sebagai pihak dalam menyebabkan perubahan, sekaligus pihak yang merasakan pengaruh global dari perubahan tersebut, menekankan pentingnya pemahaman akan interaksi antar manusia dan lingkungan, termasuk didalamnya faktor-faktor yang menyebabkan perubahan penggunaan lahan oleh manusia. Faktor-faktor utama yang mempengaruhi perubahan penggunaan dan penutupan lahan, yaitu pertumbuhan populasi penduduk, pertumbuhan ekonomi, demografi, harga produk pertanian dan kehutanan, serta perencanaan wilayah serta kebijakan yang terkait (Consortium for Atlantic Regional Assessment, 2006). Tabel 2.2 Klasifikasi Penutupan Lahan BPN Perkampungan Sawah Tegalan/kebun Lahan berpindah Alang-alang dan Semak belukar Dll.
USGS Perkotaan Pertanian Perternakan Hutan Air Dll.
RePPROT Hutan Perkebunan Semak Padang rumput Pertanian lahan basah Tegalan Ladang Dll.
NSDS Pemukiman Perikanan Sawah Perkebunan Pertanian lahan basah Perhubungan Dll.
Sumber : Maulana(2005), Lillesand dan Kiefer (1979) dalam Dafi (2008)
2.5. Kenyamanan Kenyamanan
(comfort)
merupakan
istilah
yang
digunakan
untuk
menyatakan pengaruh keadaan lingkungan fisik atmosfer atau iklim terhadap manusia. Gates (1972) menyatakan pula, kondisi yang nyaman adalah kondisi dimana sebagian besar energi manusia dibebaskan untuk kerja produktif, yang berhubungan dengan usaha pengaturan suhu tubuh yang minimum. Kondisi nyaman menunjukkan keadaan yang bervariasi untuk setiap individu, sehingga kenyamanan bersifat subjektif dan berhubungan dengan keadaan tingkat aktivitas, pakaian, suhu udara, kecepatan angin, rata-rata suhu pancaran radiasi, dan kelembaban udara. Oke (1978) dalam Diena (2009), menyatakan bahwa manusia akan merasa nyaman pada suhu lingkungan 20°C sampai 25°C, pada suhu tubuh 37°C, dalam keadaan istirahat dan berpakaian. Pada keadaan ini tubuh sanggup untuk mempertahankan keseimbangan neraca kalor dengan usaha pengaturan suhu minimum.
9
Menurut Lakitan (1994), kenyamanan suatu daerah juga sangat dipengaruhi oleh iklim mikro setempat, karena secara langsung unsur-unsur iklim akan terlibat dalam aktivitas dan metabolisme manusia yang ada didalamnya. Dalam penentuan tingkat kenyamanan di suatu daerah, kita tidak bisa memasukan semua parameter iklim secara langsung, diperlukan suatu persamaan yang mengandung dua atau lebih parameter untuk menentukan tingkat kenyamanan. Suhu dan kelembaban relatif merupakan parameter iklim yang biasa digunakan dalam masalah kenyamanan udara (Gates, 1972), yang dinyatakan dalam bentuk “Indeks Suhu Kelembaban” atau Temperature Humidity Index (THI). Ayoade
(1983)
dalam
Diena
(2009),
menyatakan
bahwa
Indeks
Kenyamanan dalam kondisi nyaman ideal bagi manusia Indonesia berada pada kisaran THI 20 – 26. Nilai THI ini dipengaruhi oleh besarnya suhu udara (°C) dan kelembaban relatif (%). Suhu udara setara yang nyaman bagi manusia berbanding terbalik dengan laju metabolisme, dan suhu yang nyaman cenderung turun dengan makin tingginya kerapatan uap (Campbell, 1977). Hal ini sesuai dengan perhitungan bahwa semakin tinggi suhu udara, maka kelembaban relatif harus diturunkan untuk mendapatkan nilai THI yang sama, dan begitu pula sebaliknya. Dalam Brown dan Gillespie (1995), dinyatakan bahwa unsur-unsur iklim memiliki peran yang penting dalam menentukan kenyamanan suatu wilayah/ kawasan. Salah satu faktor iklim yang mempengaruhi kenyamanan yakni suhu udara, sehingga semakin tinggi suhu udara maupun semakin rendah suhu udara akan mengurangi kenyamanan.
2.6. Model Model bisa diartikan sebagai penggambaran sesuatu sehingga kita menjadi lebih jelas memahaminya. Model dapat digambarkan dengan diagram dua dimensi, misalnya diagram rantai makanan atau siklus air, atau miniature tiga dimensi, misalnya maket, ataupun model matematika, seperti persamaan reaksi kimia (Teknik Lingkungan ITB, 2007). Model disusun dan digunakan untuk memudahkan dalam pengkajian sistem karena sulit dan hampir tidak mungkin untuk bekerja pada keadaan sebenarnya. Oleh sebab itu, model hanya
10
memperhitungkan beberapa faktor dalam sistem, dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya (Hartrisari, 2007). Menurut Suwarto (2006) dalam Diena (2009), model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah objek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan-hubungan lansung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab-akibat. Jadi, model adalah suatu penyederhanaan dari suatu realitas yang kompleks (Diena, 2009). Model dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang sedang dikaji. Menurut Hartrisari (2007), model disusun untuk beberapa tujuan yaitu pemahaman proses yang terjadi dalam sistem, prediksi, serta menunjang pengambilan keputusan. Berdasarkan acuan waktu, model dapat digolongkan menjadi model statik dan dinamik. 1. Model statik, yaitu model yang mengabaikan pengaruh waktu. Biasanya model ini menggambarkan sistem dalam bentuk persamaan matematika. Untuk memperoleh hasil, perhitungan dilakukan cukup satu kali saja dan variable yang digunakan dalam persamaan merupakan nilai rata-rata. 2. Model dinamik menempatkan waktu sebagai variable bebas, sehingga model jenis ini menggambarkan dinamika suatu sistem sebagai fungsi dari waktu. Untuk memperoleh hasil, perhitungan dilakukan secara berulang-ulang (iterasi) sampi tercapai nilai kesalahan (error) yang minimal (Teknik Lingkungan ITB, 2007). Menurut Suwarto (2006) dalam Diena (2009), model dinamika lebih sulit dan mahal pembuatanya, namun memberikan kekuatan yang lebih tinggi pada analisis dunia nyata.
2.7. Sistem Dinamik Sistem dinamik adalah suatu model untuk mempelajari dan mengatur sistem-sistem umpan-balik yang kompleks, seperti yang dapat ditemukan pada bisnis dan sistem-sistem sosial yang lain. Faktanya, sistem dinamik telah digunakan untuk memanggil secara praktis setiap jenis dari sistem umpan-balik. Ketika sistem perintah telah diaplikasikan pada tiap jenis situasi, umpan-balik adalah sebagai pendeskripsi yang membedakan disini. Umpan balik mengacu pada situasi dari X yang mempengaruhi Y dan Y pada gilirannya mempengaruhi
11
X, bisa jadi melewati suatu rantai dari sebab dan akibat. Seseorang tidak dapat mempelajari hubungan antara X dan Y, dan secara terpisah, hubungan antara X dan Y, dan memprediksi bagaimana sistem sebagai suatu sistem umpan-balik akan mengantarkan pada hasil yang tepat (System Dynamics Society, 2007). Metodologi
sistem
dinamik
telah
dan
sedang
berkembang
sejak
diperkenalkan pertama kali oleh Jay W. Forrester pada dekade lima puluhan, dan berpusat di MIT Amerika Serikat. Sesuai dengan namanya, metode ini erat berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang tendensi-tendensi dinamika sistem-sistem yang kompleks, yaitu pola-pola tingkah laku yang dibangkitkan oleh sistem itu dengan bertambahnya waktu. Persoalan yang dapat dengan tepat dimodelkan menggunakan sistem dinamik adalah masalah yang mempunyai sifat dinamis (berubah terhadap waktu) serta struktur fenomenanya mengandung paling sedikit satu struktur umpan-balik (Tasrif, 2006).
2.8. Sistem Informasi Geogfrafis Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem yang berbasis komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi geografis (Aronoff, 1989). Menurut Prahasta (2001) SIG adalah suatu kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan personil yang dirancang secara efisien untuk memperoleh, meyimpan, mengupdate, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan semua bentuk informasi yang berbasis geografi. SIG memiliki kemampuan untuk menguraikan unsur-unsur yang terdapat di permukaan bumi ke dalam bentuk beberapa layer atau converage data spasial (Prahasta, 2001). SIG dapat menyimpan dan menampilkan kembali informasi yang diperlukan mengenai sebuah lokasi geografis dengan modifikasi warna, bentuk, dan ukuran simbol yang dapat memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai kondisi geografis di suatu wilayah. Sistem Informasi Geografis dapat diaplikasikan kepada berbagai bidang keilmuan yang berhubungan dengan suberdaya alam. Aplikasi SIG diantaranya adalah pada perencanaan tata guna lahan, analisis mengenai dampak lingkungan,
12
pertanian, kehutanan, pengelolaan kehidupan liar, teknik, geologi, jaringan jalan dan pipa, rencana penataan kota, dan sebagainya (Nurcahyono, 2003). Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sistem informasi khusus yang mengelola data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Atau dalam arti yang lebih sempit, adalah sistem komputer yang memiliki kemampuan untuk membangun, menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi bereferensi geografis, misalnya data yang diidentifikasi menurut lokasinya, dalam sebuah database. Para praktisi juga memasukkan orang yang membangun dan mengoperasikannya dan data sebagai bagian dari sistem ini (Wikipedia, 2008). SIG (Sistem Informasi Geografis) didefinisikan sebagai suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografik. Dengan kata lain, suatu SIG adalah suatu sistem basisdata dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja. Intinya SIG dapat diasosiasikan sebagai peta yang berorde tinggi, yang juga mengoperasikan dan menyimpan data non-spasial. Secara singkat, SIG terdiri atas 4 komponen yaitu input, manajemen basis data, analisis, dan output. Sedangkan secara luas SIG bisa terdiri atas 6 komponen yaitu perangkat lunak, perangkat keras, data, pengguna, prosedur dan organisasi/jaringan.
III. METODOLOGI
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus hingga bulan Oktober 2009. Lokasi penelitian yaitu di Wilayah Pengembangan (WP) Bojonagara, Kota Bandung.
Gambar 3.1 Lokasi Penelitian WP Bojonagara
3.2. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder yang diperoleh dari instansi – instansi terkait. Jenis data fisik yang diambil berupa data wilayah administrasi, data geologi, tanah, ketinggian, kemiringan, data penggunaan lahan, dan data iklim. Sedangkan data sosial yang digunakan berupa data kependudukan.
14
Tabel 3.1 Jenis, Sumber, dan Cara Pengumpulan Data Jenis Data Data wilayah administrasi Fisik dan Lingkungan
Sosial
Pengumpulan Data
Sumber Data
Data iklim Data topografi Data penggunaan dan penutupan lahan Data kependudukan
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung, Dinas Tata ruang dan Cipta Karya Kota Bandung. Badan Meteorologi dan Geofisika BMG) Pusat serta data primer BAKORSUTANAL Dinas Tata ruang dan Cipta Karya Kota Bandung, BIOTROP Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung
Studi Pustaka
Studi pustaka dan survei lapang Studi pustaka Studi pustaka dan survei lapang Studi pustaka
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Global Positioning System (GPS) sebagai alat untuk peninjauan ulang antara data sekunder dengan keadaan asli di lapang, 2. Termohigrometer untuk mengukur suhu dan kelembaban udara, 3. Kamera digital,dan 4. Komputer dengan perangkat lunak Arcview 3.3, ERDAS IMAGE 9.1, dan STELLA 9.0.2 untuk mengolah data. 3.3. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan berupa metode dengan pendekatan sistem dinamik. Tahapan pada penelitian ini berupa :
Gambar 3.2 Tahapan Penelitian
15
A. Persiapan Tahapan ini merupakan tahapan awal dari peneliatian berupa penentuan lokasi, persiapan alat dan bahan, dan perijinan pengambilan data. Serta menentukan konsep model dalam penelitian ini, yaitu hubungan antara perubahan penggunaan ruang (yang terkait dengan jumlah penduduk) terhadap kenyamanan (THI) di Wilayah Pengembangan Bojonagara.
B. Inventarisasi Inventarisasi yang dilakukan berupa pengumpulan data sekunder dari instansi-instansi terkait, yaitu berupa data fisik dan sosial. Data sekunder yang digunakan ialah data jumlah penduduk, data iklim, data penutupan dan penggunaan lahan, peta administrasi wilayah studi, peta penutupan lahan kota Bandung tahun 1999, 2004 dan 2007, peta arahaan penggunaan lahan kota Bandung tahun 2009, dan peta kemiringan. Data primer yang digunakan ialah data hasil ground check penggunaan lahan, serta perhitungan suhu udara dan kelembaban relatif di Wilayah Pengembangan Bojonagara. C. Analisis data Analisis data dilakukan pada data kependudukan, data penggunaan dan penutupan lahan, serta komponen iklim dan THI. 1.
Jumlah penduduk Data kependudukan dianalisis dengan mengunakan metode ekstrapolasi.
Metode ekstrapolasi adalah melihat kecenderungan pertumbuhan penduduk di masa lalu dan melanjutkan kecenderungan tersebut untuk masa yang datang sebagai proyeksi. Metode ekstrapolasi mengasumsikan laju pertumbuhan penduduk masa lalu akan berlanjut di masa yang akan datang. Metode ini dapat dibagi dua, yaitu teknik grafis dan metode trend. Hasil analisis data kependudukan ditabulasi untuk memperlihatkan laju pertumbuhan penduduk di kota Bandung. 2.
Penggunaan lahan Data penggunaan lahan ditabulasi berdasarkan klasifikasi penggunaan lahan
agar dapat diketahui perubahan pengguanan lahannya. Data penggunaan lahan yang dianalisis adalah data penggunaan lahan dari tahun 2001 – 2006, hasil
16
analisis ditabulasi untuk melihat perubahannya dari tahun ke tahun. Data penutupan lahan didapat dengan cara mengolah data landsat kota Bandung (Landsat 7 EMT+, Patch/Row : 122/065) tahun 1999, 2004, dan 2007. 3.
Komponen iklim dan THI Nilai suhu udara dan kelembaban relatif didapat dari pengukuran di tiga
klasifikasi ruang yang berbeda (ruang terbangun, RTH, dan badan air), serta data iklim dari Stasiun Klimatologi kota Bandung.
Komponen iklim berupa suhu
udara dan kelembaban relatif digunakan untuk menentukan nilai THI. THI merupakan nilai yang menunjukan tingkat kenyamanan di suatu area secara kuantitatif. Menurut Ayoade (1983) dalam Diena (2009), di Indonesia suatu area dikatakan nyaman bila memiliki nilai THI antara 20 – 26. Rumus yang digunakan untuk mentukan THI :
THI : Temperature Humidity Index T : Suhu Udara (°C) RH : Kelembaban Relatif (%) Nilai THI dari hasil perhitungan di bandingkan dengan data sekunder yang didapat dari Stasiun Klimatologi. Selanjutnya data tersebut ditabulasi dan dibuat grafik untuk melihat perubahannya dari tahun ke tahun.
D. Permodelan Pemodelan untuk mengetahui pengaruh hubungan antara perubahan penggunaan ruang terhadap kenyamanan menggunakan sistem dinamik. Menurut Hartrisari (2007), metodologi dalam sistem dinamik yaitu : 1.
Analisis Kebutuhan Kebutuhan dari penduduk kota adalah ruang kehidupan, seperti sarana sosial,
ekonomi dan lain-lain. Sedangkan pemerintah harus menjaga ketersediaan ruang terbuka hijau kota agar menciptakan kenyamanan lanskap di Wilayah Bojonagara. 2.
Formulasi Masalah Pengalihfungsian RTH berhubungan dengan pertambahan penduduk dari
tahun ke tahun. Perubahan luas RTH akan mempengaruhi keyamanan di Wilayah
17
Pengembangan Bojonagara. Tingkat kenyamanan dapat dilihat dengan THI yang ditentukan oleh suhu udara dan kelembaban relatif. 3.
Identifikasi Sistem Berdasarkan mekanisme sistem yang diketahui, maka ruang lingkup model
hanya dibatasi terkait dengan hubungan antara jumlah penduduk, luas RTH, suhu udara kelembaban relatif, dan THI. Pendekatan yang digunakan adalah dengan menyusun diagram lingkar sebab-akibat (causal loop diagram). Berikut adalah gambar struktur model causal loop berdasarkan hubungan antara jumlah penduduk, luas RTH, suhu udara, kelembaban reltif, dan THI.
Gambar 3.3 Struktur Model Causal Loop (Diena, 2009). 4.
Permodelan Sistem Berdasarkan causal loop tersebut, diketahui bahwa jumlah penduduk
mempengaruhi tiap jenis RTH. Sementara luas RTH mempengaruhi suhu udara dan kelembaban relatif. Dari hubungan tersebut akan dibuat suatu persamaan fungsi. Persamaan matematik yang memungkinkan kita meramalkan nilai-nilai satu atau peubah tak bebas dari nilai-nilai satu atau lebih peubah bebas disebut persamaan regresi (Walpole, 1995). Sebelum membuat persamaan, perlu dibuat diagram pencar untuk melihat derajat korelasi antara peubah bebas (X) dan peubah terkait (Y). berdasarkan Walpole (1995), analisis korelasi mencoba mengukur kekuatan hubungan antara
18
dua peubah melalui sebuah bilangan yang disebut koefisien korelasi. Koefisien korelasi linear merupakan ukuran hubungan linear antara dua peubah acak X dan Y, dan dilambangkan dengan r. Jadi, r mengukur sejauh mana titik – titik menggerombol sekitar sebuah garis lurus. Selanjutnya, menurut Walpole, jika titik – titik menggerombol mengikuti sebuah garis lurus dengan kemiringan positif, maka ada korelasi positif yang tinggi antara kedua peubah. Namun, jika titik – titik menggerombol mengikuti sebuah garis dengan kemiringan negatif, maka antara kedua peubah itu terdapat korelasi negatif yang tinggi. Korelasi antara peubah semakin menurun secara numeric dengan semakin memencarnya atau menjauhnya titik-titik dari suatu garis lurus. Hubungan linear sempurna antara nilai X dan Y dalam contoh, apabila r = +1 atau r = -1. Rumus koefisien korelasi linear (r) yaitu:
Kemudian berdasarkan Walpole, hubungan X dan Y tersebut dinyatakan secara matematik dengan sebuah persamaan garis lurus yang disebut garis regresi linear. Persamaan garis lurus tersebut adalah :
Pada rumus diatas, a dan b dapat dihitung sebagai berikut :
dan
Berdasarkan causal loop tersebut, diketahui bahwa hubungan antar jumlah penduduk dengan tiap jenis RTH, jumlah penduduk dengan luas RTH secara keseluruhan, serta luas RTH dengan suhu udara dan kelembaban relatif. Dari hubungan tersebut akan dibuat suatu persamaan fungsi. 5.
Validasi dan Uji Model Berdasarkan data jumlah penduduk dan luas tiap jenis RTH tahun 1999
hingga tahun 2007 diperoleh laju pertumbuhan penduduk per tahun dan koefisien
19
desakan laju pengurangan luas tiap jenis RTH terhadap penambahan jumlah penduduk. Nilai – nilai laju tersebut digunakan dalam simulasi model. Selanjutnya, nilai – nilai laju tersebut serta persamaan regresi linear luas RTH dengan suhu dan kelembaban relatif diaplikasikan ke dalam model simulasi dengan bantuan STELLA 9.0.2. tahapan simulasi model yang dilakukan yaitu: a.
Membuat model simulasi.
b.
Memasukan nilai koefisisen dan fungsi persamaan pada model simulasi tersebut, dengan lima skenario.
c.
Membuat simulasi model untuk 25 tahun ke depan.
d.
Memilih skenario yang terbaik atau paling ideal.
6.
Rencana Alternatif Kebijakan Berdasarkan hasil pada tahapan sebelumnya, rencana alternatif kebijakan
dibuat berdasarkan skenario yang terbaik, guna meringankan masalah yang terkait dengan jumlah penduduk, luas RTH, serta kenyamanan.
3.4. Batasan Penelitian Penelitian ini difokuskan pada WP Bojonagara. Penekanan pengkajian permasalahan penelitian pada aspek kenyamanan, aspek kependudukan dan aspek penataan ruang dengan asusmsi adanya variabel waktu sehingga dipergunakan pendekatan sistem dinamik. Aspek kenyamanan yang digunakan adalah THI, dengan parameter iklim berupa suhu udara dan kelembaban relatif.
20
3.5. Kerangka Pikir
Gambar 3.4 Kerangka Pikir
IV. KONDISI UMUM
4.1. Kondisi Fisik dan Lingkungan 4.1.1. Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Secara Geografi Kota Bandung terletak diantara 107 Bujur Timur dan 6 55' Lintang Selatan. Lingkup wilayah Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung meliputi batas administrasi kota Bandung, mencakup seluruh wilayah daratan seluas 16.729,650 Ha dan wilayah udara Kota Bandung. Untuk sektor-sektor tertentu perencanaan tata ruang ini melampaui batas administrasi kota. Secara administratif, wilayah perencanaan mencakup enam wilayah pengembangan (Wilayah Pengembangan Bojonagara, Wilayah Pengembangan Cibeunying, Wilayah Pengembangan Tegallega,
Wilayah
Pengembangan
Karees,
Wilayah
Pengembangan
Ujungberung, dan Wilayah Pengembangan Gedebage). Wilayah pengembangan dan rincian kecamatan serta luasnya pada setiap Wilayah Pengembangan dapat dilihat pada Tabel 4.1. Lokasi yang difokuskan dalam penelitian yaitu Wilayah Pengembangan (WP) Bojonagara. Secara administratif Wilayah Pengembangan Bojonagara terletak pada posisi yang strategis, hal ini dikarenakan Wilayah Pengembangan Bojonagara merupakan pintu gerbang dari dan menuju Kota Jakarta dan kota lainnya (Tol Pasteur), Bandara Husein Sastranegara, Stasiun Kereta Api serta terdapatnya industri berskala nasional dan beberapa Perguruan Tinggi yang memiliki daya tarik bagi Wilayah Pengembangan Bojonagara. Batas Wilayah Pengembangan Bojonagara adalah sebagai berikut : Utara
: Kabupaten Bandung
Selatan
: Wilayah Tegallega (Jl. Jendral Sudirman)
Barat
: Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi (Jl. Raya Cibeureum dan Sungai Cibeureum)
Timur
: Wilayah Cibeunying (Jl. Setiabudi, Jl. Cipaganti, Jl. Cihampelas)
22
Tabel 4.1 Wilayah Perencanaan RTRW Kota Bandung No Wilayah Pengembangan 1
Kecamatan
Wilayah Bojonagara Kec. Andir Kec. Sukasari Kec. Cicendo Kec. Sukajadi
2
Wilayah Cibeunying Kec. Cidadap Kec. Coblong Kec. Bandung Wetan Kec. Cibeunying Kidul Kec. Cibeunying Kaler Kec. Sumur Bandung
3
Wilayah Tegallega Kec. Astana Anyar Kec. Bojongloa Kidul Kec. Bojongloa Kaler Kec. Babakan Ciparay Kec. Bandung Kulon
4
Wilayah Karees Kec. Regol Kec. Lengkong Kec. Batununggal Kec. Kiaracondong
5
Wilayah Ujungberung Kec. Cicadas Kec. Arcamanik Kec. Ujungberung Kec. Cibiru
6
Wilayah Gedebage Kec. Bandung Kidul Kec. Margacinta Kec. Rancasari Kota Bandung
Luas Wilayah (Ha) 2.330,28 403,16 656,94 716,77 554,41 2.933,28 619,67 754,99 355,08 409,54 451,04 342,96 2.707,07 295,26 622,93 326,81 735,32 726,75 2.107,09 441,30 576,89 467,59 621,31 4.050,16 902,28 914,83 1.104,28 1.128,77 2.602,12 436,58 859,58 1.305,96 16.729,65
Sumber : RTRW Kota Bandung
Wilayah Pengembangan Bojonagara ini secara administrasi meliputi 4 (empat) wilayah kecamatan, yaitu : a.
Kecamatan Andir, meliputi 6 (enam) kelurahan, yaitu : a.1. Kelurahan Campaka
23
a.2. Kelurahan Maleber a.3. Kelurahan Garuda a.4. Kelurahan Punguscariang a.5. Kelurahan Ciroyom a.6. Kelurahan Kebonjeruk b.
Kecamatan Cicendo, meliputi 6 (enam) kelurahan, yaitu : b.1. Kelurahan Arjuna b.2. Kelurahan Pasirkaliki b.3. Kelurahan Pamoyanan b.4. Kelurahan Pajajaran b.5. Kelurahan Husen Sastranegara b.6. Kelurahan Sukaraja
c.
Kecamatan Sukajadi, meliputi 5 (lima) kelurahan, yaitu : c.1. Kelurahan Sukawarna c.2. Kelurahan Sukagalih c.3. Kelurahan Sukabungah c.4. Kelurahan Cipedes c.5. Kelurahan Pasteur
d.
Kecamatan Sukasari, meliputi 4 (empat) kelurahan, yaitu : d.1. Kelurahan Sarijadi d.2. Kelurahan Sukarasa d.3. Kelurahan Gegerkalong d.4. Kelurahan Isola
4.1.2. Ketinggian dan Kemiringan Lereng Wilayah Pengembangan Bojonagara terletak pada daerah dataran tinggi dengan kecenderungan ke arah utara semakin tinggi. Daerah tertinggi WP Bojonagara terletak di daerah perbatasan dengan Kabupaten Bandung tepatnya dengan Kecamatan Lembang yaitu dengan ketinggian 1.050 mdpl, sedangkan kearah selatan semakin rendah yaitu 700 mdpl yang berbatasan dengan Wilayah Pengembangan Tegallega. Secara umum kemiringan lahan Wilayah Bojonagara terbagi atas 4 (empat) kelas, yaitu 0-2%, 2-8%, 8-15%, dan 15-30%. Hampir sebagian besar Wilayah
24
Pengembangan Bojonagara berada pada daerah dengan kemiringan 0-8%. Apabila di klasifikasikan, keadaan lerengnya dapat dibagi menjadi : Daerah datar : terdapat dibagian selatan WP Bojonagara, mulai jalan raya antara Cibeureum – Cicaheum menuju arah selatan. Daerah landai – agak curam : meliputi daerah bagian tengah WP Bojonagara, mulai dari jalan raya Cibeureum – Cicaheum kearah utara sampai terusan Pasteur lurus kearah timur. Daerah agak curam – curam : tersebar di bagian utara WP Bojonagara, terutama di kelurahan Isola dan Gegerkalong. Berikut adalah tabel luas lahan berdasarkan kelas kemiringan lahan di WP Bojonagara, Kota Bandung. Tabel 4.2 Luas Lahan Berdasarkan Kelas Kemiringan di WP Bojonagara, Kota Bandung No 1. 2. 3. 4.
Kemiringan (%) Klasifikasi 0–2 Datar 2–8 Landai 8 – 15 Agak Curam 15 – 30 Curam Jumlah Sumber : Hasil Analisis, 2009
Luas (Ha) 842,1797 1.030,1339 338,2285 93,7828 2.304,3249
Persentase (%) 36,55 44,70 14,68 4,07 100,00
4.1.3. Geologi Kodisi geologi Wilayah Pengembangan Bojonagara termasuk kedalam kelompok endapan alluvium/alluvial fan deposits yang didominasi oleh jenis lempung lanauan – pasiran. Wilayah Pengembangan Bojonagara terdiri dari dua struktur geologi yaitu : 1.
Tufa berbatu apung : daerah penyebarannya mencakup keseluruhan kecamatan Andir, kecamatan Cicendo serta sebagian kecil kecamatan Sukajadi dan kecamatan Sukasari.
2.
Tufa pasir : daerah penyebarannya mencakup kecamatan Sukajadi dan Sukasari. Pembentuk kuarter geologi Wilayah Pengembangan Bojonagara terdiri atas : Endapan Dataran Banjir (Floodplain deposits) Endapan Alur Sungai (Channel Deposits) Endapan Kipas Aluvium (Alluvial Fan Deposits)
25
Susunan pembentuk kuarter geologi tersebut mencerminkan kondisi tanah di WP Bojonagara yang subur, namun relatif rawan terhadap terjadinya banjir dan erosi. Daerah rawan banjir banyak ditemui di bagian selatan (Kecamatan Andir dan Cicendo), sedangkan daerah yang dinilai rawan terhadap slope atau erosi adalah wilayah tengah dan utara (Kecamatan Sukajadi dan Sukasari). Kerawanan akan erosi ini ditunjang dengan tingkat kemiringan bagian utara WP Bojonagara yang relatif curam. 4.1.4. Klimatologi Suhu udara di Wilayah Pengembangan Bojonagara cukup beragam hal ini dikarenakan kondisi fisik WP Bojonagara yang terdiri dari wilayah perbukitan serta sebagian berada didaerah yang relatif lebih rendah. Rata-rata suhu WP Bojonagara adalah 23 C, temperature maksimum di wilayah ini adalah 31,4 C serta temperature minimum 17,8 C. Kelembaban rata-rata 81% dengan curah hujan 187,08 mm/bln. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4.3 Data Iklim Wilayah Pengembangan Bojonagara Tahun 2007 Bulan
CH (mm)
Hari Hujan
Rata2
Maks
Min
Penguapan (mm)
1
Januari
127,5
16
24,1
29,2
20,3
4,7
Tekanan Udara (mb) 922,5
2
Februari
405,7
24
22,8
27,5
19,9
3,4
922,6
87
3
Maret
105,4
26
23,4
28,1
20,3
3,6
921,3
83
4
April
462,0
29
22,9
28,1
19,8
3,1
922,2
88
5
Mei
88,6
15
23,6
29,1
19,5
3,3
922,5
82
6
Juni
164,1
14
23,1
28,5
19,1
3,3
921,1
83
7
Juli
11,0
5
23,3
29,1
17,8
3,5
922,4
81
8
Agustus
11,4
1
23,6
29,7
17,8
4,3
923,2
73
No
Temperatur (°C)
RH (%) 77
9
September
44,1
8
24,4
31,4
18,7
5,2
922,8
72
10
Oktober
98,4
16
24,5
30,3
19,5
4,4
922,8
73
11
November
316,2
22
23,6
28,5
19,8
4,1
922,2
87
12
Desember
410,5
31
22,9
27,3
19,9
3,4
920,0
86
187,08
17
23,5
28,9
19,4
3,9
922,1
81
Rata-rata
Sumber : BMG Stasiun Geofisika Kelas 1 Bandung
4.1.5. Hidrologi Wilayah pengembangan Bojonagara dilalui beberapa aliran sungai yang terdiri dari sungai induk dan anak sungai yang semuanya mengalir dari utara ke selatan. Sungai yang melewati Wilayah Pengembangan Bojonagara pada
26
umumnya bermuara pada sungai Citarum. Sungai-sungai tersebut secara umum dipergunakan sebagai saluran induk dalam pengairan air hujan atau lebih dikenal sebagai saluran drainase kota. Namun disamping itu oleh sebagian kecil penduduk masih dipergunakan untuk keperluan MCK. Sampai saat ini sungai di Wilayah Pengembangan Bojonagara yang telah dimanfaatkan sebagai sumber air bersih adalah sungai cibeureum dengan kapasitas 40 lt/dtk (RDTRK WP Bojonagar Bandung, 2006). Lapisan air tanah di Wilayah Pengembangan Bojonagara dibagi dalam tiga lapisan
yaitu
lapisan
air
tanah
bebas/dangkal,
lapisan
air
tanah
menengah/intermedier, dan lapisan air tanah dalam. Kedalaman permukaan air tanah di Wilayah Pengembangan Bojonagara umumnya dangkal dan semakin dalam di daerah perbukitan. Untuk lebih jelas sumber mata air yang terdapat di Wilayah Bojonagara dapat dilihat pada berikut. Tabel 4.4 Sumber Mata Air di Wilayah Pengembangan Bojonagara No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Nama Mata Air Kelurahan Kecamatan Cinotot Sukarasa Sukasari Cibakom Sukarasa Sukasari Balumbang Ajan Geger Kalong Sukasari Cikadal Meteng Geger Kalong Sukasari Seke Ojin Sukawarna Sukajadi Cibogo Sukawarna Sukajadi Seke Blok 26 Sukawarna Sukajadi Cibarunay Sarijadi Sukasari Cidamar Sukaraja Cicendo Pancuran Tujuh Sukarasa Sukasari Citalaga Sukarasa Sukasari Sukawarna Sukawarna Sukajadi Sumber : RDTRK WP Bojonagara, Bandung Tahun 2006
Debit (lt/dtk) 0,35 0,65 0,1 0,5 1 1 Rembesan 1,7 5 Rembesan 2,4 0,35
4.2. Kondisi Sosial Aspek sosial yang dikaji ialah aspek kependudukan, dan faktor – faktor kependudukan yang dianalis adalah faktor jumlah penduduk dan kepadatan penduduk. Berikut adalah data penduduk pada daerah studi di Wilayah Pengembangan Bojonagara.
27
Tabel 4.5 Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan dan Luas Wilayah serta Kepadatan Penduduk di WP Bojonagara Tahun 2007 No. A 1 2 3 4 5 6 B 1 2 3 4 5 6 C 1 2 3 4 5 D 1 2 3 4
Kecamatan / Kelurahan Kecamatan Andir Campaka Malebar Garuda Puguscariang Ciroyom Kebonjeruk Kecamatan Cicendo Arjuna Pasirkaliki Pamoyanan Pajajaran Husen Sastranegara Sukaraja Kecamatan Sukajadi Sukawarna Sukagalih Sukabungah Cipedes Pasteur Kecamatan Sukasari Sarijadi Sukarasa Gegerkalong Isola BOJONAGARA
Luas (Ha) 370,74 64,24 53,00 44,60 69,00 60,00 79,90 686,69 68,00 109,00 52,00 73,00 252,69 132,00 430,90 80,00 131,00 49,90 51,00 119,00 627,53 157,06 123,02 167,77 179,68 2.115,86
Jumlah Penduduk (Jiwa) 140.307 21.740 28.273 13.562 27.966 27.920 20.846 112.323 19.794 12.733 12.950 28.268 19.014 19.564 125.548 17.611 21.817 32.317 28.841 24.962 92.728 31.362 13.994 27.742 19.630 470.906
Kepadatan Penduduk (Jiwa/Ha) 378,45 338,42 533,45 304,08 405,30 465,33 260,90 163,57 291,09 116,82 249,04 387,23 75,25 148,21 291,36 220,14 166,54 647,64 565,51 209,76 147,77 199,68 113,75 165,36 109,25 222,56
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Bandung, 2007
4.3. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan di wilayah Pengembangan Bojonagara secara umum memiliki karakteristik mixed use serta aglomerasi kegiatan tertentu yang relatif homogen. Jika ditinjau dari fungsinya sebagai pelayanan bagi pengembangan pendidikan, industri, perdagangan, dan pemukiman, peruntukan lahan bagi kegiatan tersebut cukup berkembang pesat di WP Bojonagara. Contoh penggunaan lahan di Wilayah Pengembangan Bojonagara dapat dilihat pada Gambar 4.1.
28
a) Pemakaman
c) Sawah
e) Taman Perumahan
b) Perdagangan
d) Perumahan
f) Stasiun Kereta Api
Gambar 4.1 Contoh Penggunaan Lahan di Wilayah Pengembangan Bojonagara Berdasarkan data yang didapat dari Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya kota Bandung, sebagian besar Wilayah Pengembangan Bojonegara adalah berupa lahan terbangun yang mencapai 85,33% dari total luas wilayah, sedangkan ruang terbuka yang terdapat di wilayah ini adalah sebesar 14,67%. Peruntukan penggunaan lahan yang paling dominan adalah perumahan yaitu dengan luasan 1.184,13 Ha, sedangkan peruntukan lahan yang paling kecil luasannya adalah
29
kompleks militer yaitu sebesar 1,64 Ha di kecamatan Sukajadi. Berikut adalah data penggunaan lahan eksisiting di WP Bojonagara tahun 2006. Tabel 4.6 Penggunaan Lahan Eksisting di WP Bojonagara Tahun 2006 No
WP Bojonagara
Luas (Ha)
Guna Lahan (Ha) Andir
Cicendo
Sukajadi
Sukasari
Ha
%
1
Fasilitas Kesehatan
3,52
5,42
10,34
6,40
25,68
1,21
2
Fasilitas Umum
4,45
7,00
7,93
6,34
25,72
1,22
3
Industri
12,90
28,36
0,00
0,00
41,26
1,95
4
Kebun/Sawah/Ladang
15,68
23,67
23,79
87,12
150,26
7,10
5
Kolam
0,44
0,62
5,47
8,53
15,06
0,71
6
Komplek Militer
0,00
0,00
1,64
0,00
1,64
0,08
7
Bandara
3,15
96,21
0,00
0,00
99,36
4,70
8
Lapangan/RTH
6,78
25,06
10,33
19,70
61,87
2,92
9
Pendidikan
13,68
19,50
13,87
42,11
89,16
4,21
10
Perdagangan dan Jasa
51,95
45,64
45,12
42,51
185,22
8,75
11
Peribadatan
5,93
11,81
8,36
12,61
38,71
1,83
12
Perkantoran
12,75
30,40
28,37
34,84
106,36
5,03
13
Permukiman
230,33
367,61
262,40
323,79
1.184,13
55,96
14
Semak/Tanah kosong
4,04
9,13
9,35
38,53
61,05
2,89
15
Stasiun KA
0,00
8,31
0,00
0,00
8,31
0,39
16
Lainnya
5,14
7,95
3,93
5,05
22,07
1,04
370,74
686,69
430,90
627,53
2.115,86
100,00
Luas Wilayah
Sumber : Dinas Tata Ruang dan Cipta karya, 2006.
Data yang ditampilakan pada Tabel 4.6, merupakan data yang didapat dari Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung, sehingga luasan total Wilayah Bojonagara berbeda dengan luas total dari hasil pengolahan citra landsat kota Bandung.
4.4. Penutupan Lahan Penutupan lahan terkait dengan vegetasi, struktur, atau fitur-fitur lain yang menutupi lahan (Consortium for Atlantic Regional Assessment, 2006). Kondisi penutupan lahan dapat diketahui dari peta penutupan lahan hasil olahan citra landsat. Klasifikasi penutupan lahan berdasarkan BPN menjadi acuan dalam pengklasifikasian peta landsat. Peta penutupan lahan Wilayah Pengembangan Bojonagara tahun 1999, 2004, dan 2007 dapat dilihat pada Gambar 4.2, Gambar 4.3, dan Gambar 4.4. Sedangkan persentase kelas penutupan lahan Wilayah Bojonagara dapat dilihar pada Gambar 4.5, Gambar 4.6, dan Gambar 4.7.
30
31
32
33
Gambar 4.5 Persentase Kelas Pentupan Lahan Wilayah Pengembahan Bojonagara Tahun 1999
Gambar 4.6 Persentase Kelas Pentupan Lahan Wilayah Pengembahan Bojonagara Tahun 2004
Gambar 4.7 Persentase Kelas Pentupan Lahan Wilayah Pengembahan Bojonagara Tahun 2007
V. PEMBAHASAN
5.1. Data dan Analisis 5.1.1. Pengukuran Komponen Iklim Pengukuran suhu dan kelembaban udara dilakukan di tiga klasifikasi ruang yang mencakup WP Bojonagara, yaitu badan air, lahan terbangun dan RTH yang masingmasing tiga lokasi dari tiap klasifikasi ruang. Pengukuran tersebut dilakukan pada pagi hari (pukul 07.00 WIB), siang hari (pukul 13.00 WIB), dan sore hari (Pukul 18.00 WIB). Hasil pengukuran suhu udara dan kelembaban relatif dibuat nilai rataratanya. Hasil pengukuran tersebut dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 5.1 Data Komponen Iklim Pengukuran Lapangan di WP Bojonagara Suhu (ºC) Lokasi Waktu Pengukuran 07.00 13.00 18.00 Stasiun KA Bandung 25,0 32,0 29,0 Perumahan Pasirkaliki 25,0 33,0 29,0 Perdagangan Sukajadi 25,0 34,0 29,0 Rata-Rata Lahan Terbangun Sungai Cipedes 23,0 33,0 22,0 Sungai Cibeureum 22,0 30,0 23,0 Kali Lemahneundeut 24,0 31,0 23,0 Rata-Rata Badan Air Pemakaman Kristen 22,0 28,0 23,0 Pandu Taman Sukajadi 22,0 26,0 23,0 Persawahan 22,0 27,0 23,0 Gegerkalong Rata-Rata RTH
RataRata*
Kelembaban Relatif (%) Waktu Pengukuran Rata07.00 13.00 18.00 Rata*
27,8 28,0 28,3 28,0 25,3 24,3 25,5 25,0
68 76 92
73 67 68
64 64 71
91 82 75
67 78 72
91 91 83
23,8
83
77
83
82
23,3
82
84
83
83
23,5
82
84
83
83
23,5 25,5 Rata-Rata Seluruhnya Sumber : Pengukuran Lapangan Bulan Oktober 2009
Keterangan : * : Nilai Rata-rata = (hasil pengukuran jam 07.00 * 2 + hasil pengukuran jam 13.00 + hasil pengukuran jam 18.00)/4 Cara perhitungan mengikuti metode perhitungan BMG
68 71 81 73 85 83 76 81
83 79
35
Tabel 5.2 Data Suhu dan Kelembaban WP Bojonagara Bulan Oktober 2009 Temperatur Udara (°C) Kelembaban Nisbi (%) 07,00 13,00 18,00 Rata-Rata 07,00 13,00 18,00 Rata-Rata 20,0 30,8 28,0 24,7 82 45 58 67 21,6 29,0 25,4 24,4 88 58 66 75 22,0 28,0 25,8 24,5 83 63 72 75 21,4 29,2 22,5 23,6 86 56 83 78 21,8 27,0 21,6 23,1 91 65 91 85 20,6 25,8 23,8 22,7 93 71 82 85 21,0 23,8 21,8 21,9 91 84 93 90 20,2 24,5 21,5 21,6 91 72 91 86 19,4 27,9 26,3 23,3 93 57 68 78 21,2 27,2 23,4 23,3 86 57 82 78 20,2 30,0 26,6 24,3 89 43 57 70 22,3 28,6 22,0 23,8 77 56 91 75 19,8 28,0 22,2 22,5 91 54 91 82 19,4 22,9 21,6 20,8 89 93 93 91 20,3 28,0 25,0 23,4 91 62 81 81 21,0 28,4 27,2 24,4 91 64 55 75 17,6 30,4 27,4 23,3 71 46 63 63 19,8 30,6 26,2 24,1 82 44 54 66 21,6 30,7 26,7 25,2 76 42 54 62 21,5 31,0 27,2 25,3 83 34 51 63 20,8 30,2 23,8 23,9 82 53 79 74 20,8 28,7 23,6 23,5 81 59 87 77 20,4 28,8 23,2 23,2 87 61 80 79 21,4 26,1 22,5 22,9 88 73 91 85 19,9 28,2 25,6 23,4 87 59 63 74 20,2 26,0 23,6 22,5 86 74 79 81 19,7 27,4 24,0 22,7 83 66 77 77 18,6 28,8 22,2 22,1 83 59 91 79 20,4 31,1 26,0 24,5 73 41 44 58 20,2 31,6 26,6 24,7 73 35 70 63 20,8 27,6 25,6 23,7 80 69 74 76 JUMLAH 726,8 JUMLAH 2345 RATA-RATA 23,4 RATA-RATA 76 Sumber : BMG Stasiun Geofisika Kelas 1 Bandung
TGL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
36
Berdasarkan data hasil pengukuran lapang pada Table 5.1, diketahui bahwa RTH memiliki suhu udara rata-rata terendah yaitu 23,5°C dan kelembaban tertinggi yaitu 83%, sedangkan area terbangun memiliki nilai suhu rata-rata tertinggi yaitu 28°C dan kelembaban terendah yaitu 73%. Sementara itu nilai suhu udara dan kelembaban relatif dari badan air adalah 25°C dan 81%. Suhu udara rata-rata di kawasan RTH bernilai rendah karena daerah ini masih memiliki banyak vegetasi. Menurut Griffiths (1976), fluktuasi suhu harian di daerah bervegetasi lebih kecil dibandingkan daerah terbuka. Tajuk vegetasi yang rapat akan menahan atau bahkan menurunkan efek peningkatan radiasi matahari pada siang hari, dan menahan turunnya suhu udara minimum pada malam hari. Kemudian Purnomohadi (1995), melakukan penelitian dan hasilnya membuktikan bahwa suhu di sekitar kawasan RTH (di bawah pohon teduh), dibanding dengan suhu di ‘luar’nya, bisa mencapai perbedaan angka sampai 2-4 derajat celcius. Badan air memiliki nilai suhu udara yang tidak setinggi di area terbangun dan nilai kelembaban relatif yang serendah area terbangun, karena air tidak sebaik tanah dalam menghantarkan panas. Hal yang mempengaruhi tingginya suhu udara dan rendahnya kelembaban relatif di area terbangun ialah banyaknya luasan perkerasan seperti semen dan aspal yang sangat efektif dalam menyerap radiasi surya dan meradiasi energi balik ke atmosfer dekat permukaan, sehingga menyebabkan percepatan peningkatan suhu udara diatas permukaanya. Data pada Tabel 5.2 merupakan data suhu udara dan kelembaban relatif yang didapat dari BMG Stasiun Geofisika Bandung pada bulan oktober 2009. Data digunakan sebagai pembanding dari data pengukuran lapang. Berdasarkan data pengukuran lapang, didapat nilai suhu udara rata-rata adalah 25,5°C dan kelembaban relatif rata-ratan adalah 79%. Sedangkan nilai suhu udara rata-rata dan kelembaban relatif rata-rata dari Stasiun Geofisika Bandung adalah 23,4°C dan 76%. Dari Tabel 5.2 dapat diketahui nilai suhu udara maksimum 25,3°C dan suhu udara minimum 20,8°C. Sedangkan nilai kelembaban relatif maksimum 91% dan kelembaban relatif minimum 58%.
37
Nilai suhu udara dan kelembaban relatif dari kedua sumber nilainya berbeda karena nilai suhu udara dan kelembaban relatif hasil pengukuran lapang merupakan rata-rata dari tiga lokasi pengukuran, yaitu area terbangun, badan air dan ruang terbuka hijau. Data iklim yang didapat dari hasil pengukuran lapang lebih menggambarkan kondisi iklim mikro dari lokasi pengukuran. Sedangkan data iklim yang didapat dari stasiun geofisika merupakan data yang dapat merepresentasikan kondisi iklim di Wilayah Pengembangan Bojonagara. Berikut adalah gambar-gambar lokasi pengambilan data suhu udara dan kelembaban relatif di Wilayah Pengembangan Bojonagara.
(a) Perumahan Pasirkaliki 06°54’.102’’S 107°35’.821’’E
(b) Stasiun Kereta Api 06°54’.885’’S 107°36’.145’’E
(c) Perdagangan Sukajadi 06°53’.711’’S 107°35’.832’’E
(d) Sungai Cibeureum 06°51’.862’’S 107°34’.750’’E
Gambar 5.1 Lokasi Pengukuran Suhu Udara dan Kelembaban Relatif di Wilayah Pengembangan Bojonagara
38
(e) Sungai Cipedes 06°54’.778’’S 107°35’.885’’E
(f) Kali Lemahneundeut 06°52’.668’’S 107°35’.491’’E
(g) Area Sawah Gegerkalong 06°51’.997’’S 107°34’.784’’E
(h) Pemakaman Keristen Pandu 06°53’.909’’S 107°35’.600’’E
(i) Taman Air Mancur Sukajadi 06°53’.130’’S 107°35’.789’’E
Lanjutan Gambar 5.1 Lokasi Pengukuran Suhu Udara dan Kelembaban Relatif di Wilayah Pengembangan Bojonagara
39
Tabel 5.3 Data Suhu dan Kelembaban WP Bojonagara Tahun 1999-2007 Suhu Udara Rata-Rata Kelembaban Relatif Rata - Rata (°C) (%) 1999 22,90 77 2000 23,52 76 2001 23,11 78 2002 23,56 77 2003 23,57 76 2004 23,53 77 2005 23,38 82 2006 23,47 80 2007 23,52 81 Rata-Rata 23,39 78 Sumber : BMG Stasiun Geofisika Kelas 1 Bandung Tahun
Gambar 5.2 Grafik Perbandingan Suhu Udara Rata-rata WP Bojonagara Tahun 1999-2007 Berdasarkan Tabel 5.3, Gambar 5.2 dan Gambar 5.3, dapat dilihat bahwa suhu di Wilayah Pengembangan Bojonagara dari tahun ke tahun terus meningkat, hal ini dikarena bayaknya perubahan penggunaan lahan yang awalnya ruang terbuka hijau menjadi ruang terbangun. Nilai kelembaban udara pun cenderung meningkat, hal ini dikarenakan faktor geografis yang berada di wilayah Cekungan Bandung dan curah hujan yang cukup tinggi di kawasan ini.
40
Gambar 5.3 Grafik Perbandingan Kelembaban Relatif WP Bojonagara Tahun 1999-2007 5.1.2. Penghitungan Nilai Temperature Humidity Index (THI) Dalam penentuan tingkat kenyamanan di suatu daerah, kita tidak bisa memasukan semua parameter iklim secara langsung, diperlukan suatu persamaan yang mengandung dua atau lebih parameter untuk menentukan tingkat kenyamanan. Suhu dan kelembaban relatif merupakan parameter iklim yang biasa digunakan dalam masalah kenyamanan udara yang dinyatakan dalam bentuk Temperature Humidity Index (THI). Indeks Kenyamanan dalam kondisi nyaman ideal bagi manusia Indonesia berada pada kisaran THI 20 – 26. Penentuan nilai THI ditentukan dari data suhu dan kelembaban yang didapat dari pengukuran lapangan dan berdasarakan data BMG Bandung. Nilai THI yang di dapat dari hasil pengukuran lapangan dapat dilihat pada Tabel 5.4 sedangkan dari data BMG dapat dilihat pada Tabel 5.5. Berdasarkan Table 5.4 nilai THI di ketiga lokasi pengukuran (lahan terbangun, badan air, dan ruang terbuka hijau), masih dikatagorikan nyaman yaitu berkisar pada selang THI 20 – 26. Urutan nilai THI dari yang terendah hingga yang tertinggi adalah RTH (THI = 22,7), Badan air (THI = 24,1), serta lahan terbangun (THI = 26,5). Serta nilai THI rata-rata dari ketiga lokasi tersebut adalah 24,4. Semakin tinggi nilai THI,
41
maka semakin menurun tingkat kenyamananya. Sehingga perlu adanya perbaikan lingkungan dan tata ruang (lanskap) pada area terbangun agar nilai THI tetap pada katagori nyaman. Hal yang dapat dilakukan salah satunya adalah penanaman vegetasi terutama pepohonan dan penataan ruang pada area terbangun, sehingga iklim mikro di area ini semakin sejuk dan nyaman. Tabel 5.4 Nilai THI WP Bojonagara berdasarkan Data Pengukuran Lapang Bulan Oktober 2009 Suhu Udara Kelembaban Relatif (ºC) (%) Stasiun KA Bandung 27,8 68 Perumahan Pasirkaliki 28,0 71 Perdagangan Sukajadi 28,3 81 Rata-Rata Lahan Terbangun 28,0 73 Sungai Cipedes 25,3 85 Sungai Cibeureum 24,3 83 Kali Lemahneundeut 25,5 76 Rata-Rata Badan Air 25,0 81 Pemakaman Kristen Pandu 23,8 82 Taman Sukajadi 23,3 83 Persawahan Gegerkalong 23,5 83 83 Rata-Rata RTH 23,5 Rata-Rata Seluruhnya 25,5 79 Sumber : Pengukuran Lapangan Bulan Oktober 2009 Lokasi
THI 26,0 26,4 27,2 26,5 24,5 23,4 24,3 24,1 22,9 22,4 22,7 22,7 24,4
Berdasarkan Tabel 5.5, nilai THI di Wilayah Pengembangan Bojonagara masih dapat dikatakan nyaman karena masih berada pada kisaran nyaman yaitu nilai THI rata-ratanya 22,37. Dengan nilai THI maksimum 22,62 pada tahun 2007 dan nilai THI minimum 21,84 pada tahun 1999. Nilai THI di Wilayah Pengembangan Bojonagara dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan, dan tidak menutup kemungkinan pada tahun-tahun berikutnya nilai THI di Wilayah Pengembangan Bojonagara melebihi ambang nyaman. Sehingga perlu adanya pengendalian lingkungan dan tata ruang agar nilai THInya tetap pada ambang nyaman. Nilai THI di Wilayah Pengembangan Bojonagara yang masih dikatagorikan nyaman, salah satunya dikarenakan letak geografis kota Bandung yang berada di
42
cekungan Bandung dan faktor geografis lain yang mendukung terciptanya kenyamanan. Tabel 5.5 Nilai THI WP Bojonagara Tahun 1999-2007 Suhu Udara Rata-Rata Kelembaban Relatif Rata - Rata (°C) (%) 1999 22.90 77 2000 23.52 76 2001 23.11 78 2002 23.56 77 2003 23.57 76 2004 23.53 77 2005 23.38 82 2006 23.47 80 2007 23.52 81 Rata-Rata 23.39 78 Sumber : BMG Stasiun Geofisika Kelas 1 Bandung (diolah) Tahun
THI 21.84 22.41 22.10 22.45 22.42 22.46 22.54 22.51 22.62 22.37
Gambar 5.4 Grafik Perbandingan Nilai THI WP Bojonagara Tahun 1999-2007 5.1.3. Penghitungan Komponen Penduduk Kependudukan merupakan salah satu komponen yang penting dalam perencanaan kota. Faktor penduduk juga merupakan salah satu penentu tingkat kenyamanan dalam suatu wilayah, karena dengan bertambahnya penduduk akan memerlukan ruang kehidupan seperti perumahan, sarana sosial, sarana ekonomi, dll
43
yang tentunya akan mengkonversi penggunaan ruang lainnya seperti ruang terbuka hijau. Data jumlah dan kepadatan penduduk di Wilayah Pengembangan Bojonagara dapat dilihat pada Tabel 5.6 dan Tabel 5.7. Tabel 5.6 Jumlah Penduduk di Wilayah Pengembangan Bojonagara Menurut Kelurahan Tahun 2002-2007 Jumlah Penduduk (Jiwa) 2002 2003 2004 2005 2006 A Kecamatan Andir 123.305 130.515 133.272 138.192 136.880 1 Campaka 15.891 20.348 20.779 20.829 20.532 2 Malebar 23.885 26.351 26.905 27.638 27.376 3 Garuda 14.151 13.137 13.414 13.819 13.688 4 Puguscariang 24.603 24.518 25.034 26.256 27.276 5 Ciroyom 25.643 27.223 27.808 29.020 27.476 6 Kebonjeruk 19.132 18.938 19.332 20.630 20.532 B Kecamatan Cicendo 82.323 91.321 94.239 100.652 105.822 1 Arjuna 11.467 15.801 16.303 17.111 17.990 2 Pasirkaliki 7.774 10.228 10.550 11.080 11.660 3 Pamoyanan 6.997 9.399 9.693 11.062 11.620 4 Pajajaran 19.868 22.459 23.185 25.163 26.455 5 Husen Sastranegara 14.203 14.867 15.345 16.104 17.990 6 Sukaraja 22.014 18.567 19.163 20.132 20.107 C Kecamatan Sukajadi 102.258 109.460 111.724 116.916 120.723 1 Sukawarna 14.226 15.068 15.382 16.368 16.901 2 Sukagalih 15.604 19.310 19.702 19.876 20.523 3 Sukabungah 22.234 27.474 28.047 29.066 30.181 4 Cipedes 27.429 25.983 26.529 27.054 28.573 5 Pasteur 22.765 21.625 22.064 24.552 24.545 D Kecamatan Sukasari 79.383 84.653 85.062 85.013 89.985 1 Sarijadi 27.586 28.924 29.064 28.904 30.595 2 Sukarasa 11.557 12.963 13.029 12.752 13.498 3 Gegerkalong 28.367 26.113 26.238 26.354 27.895 4 Isola 11.873 16.653 16.731 17.003 17.997 BOJONAGARA 387.269 415.949 424.297 440.773 453.410 Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Bandung Tahun 2002-2007 No.
Kecamatan / Kelurahan
2007 140.307 21.740 28.273 13.562 27.966 27.920 20.846 112.323 19.794 12.733 12.950 28.268 19.014 19.564 125.548 17.611 21.817 32.317 28.841 24.962 92.728 31.362 13.994 27.742 19.630 470.906
Berdasarkan Tabel 5.6, data jumlah penduduk di Wilayah Pengembangan Bojonagara tahun 2002 - 2007, pertumbuhan penduduk rata-rata pertahun adalah 4,04%. Kecamatan yang pertumbuhan penduduknya paling tinggi adalah kecamatan
44
Cicendo sebesar 6,52%, sedangkan kecamatan yang paling rendah pertumbuhan penduduknya adalah kecamatan Andir sebesar 2,68%. Tabel 5.7 Kepadatan Penduduk di Wilayah Pengembangan Bojonagara Tahun 2002-2007 No.
Kecamatan / Kelurahan
Kepadatan Penduduk (Jiwa/Ha)
Luas (Ha)
2002
2003
2004
2005
2006
2007
A
Kecamatan Andir
370,74
332,59
352,04
359,48
372,75
369,21
378,45
1
Campaka
64,24
247,37
316,75
323,46
324,24
319,61
338,42
2
Malebar
53,00
450,66
497,19
507,64
521,47
516,53
533,45
3
Garuda
44,60
317,29
294,55
300,76
309,84
306,91
304,08
4
Puguscariang
69,00
356,57
355,33
362,81
380,52
395,30
405,30
5
Ciroyom
60,00
427,38
453,72
463,47
483,67
457,93
465,33
6
Kebonjeruk
79,90
239,45
237,02
241,95
258,20
256,97
260,90
B
Kecamatan Cicendo
686,69
119,88
132,99
137,24
146,58
154,10
163,57
1
Arjuna
68,00
168,63
232,37
239,75
251,63
264,56
291,09
2
Pasirkaliki
109,00
71,32
93,83
96,79
101,65
106,97
116,82
3
Pamoyanan
52,00
134,56
180,75
186,40
212,73
223,46
249,04
4
Pajajaran
73,00
272,16
307,66
317,60
344,70
362,40
387,23
5
Husen Sastranegara
252,69
56,21
58,83
60,73
63,73
71,19
75,25
6
Sukaraja
132,00
166,77
140,66
145,17
152,52
152,33
148,21
C
Kecamatan Sukajadi
430,90
237,31
254,03
259,28
271,33
280,16
291,36
1
Sukawarna
80,00
177,83
188,35
192,28
204,60
211,26
220,14
2
Sukagalih
131,00
119,11
147,40
150,40
151,73
156,66
166,54
3
Sukabungah
49,90
445,57
550,58
562,06
582,48
604,83
647,64
4
Cipedes
51,00
537,82
509,47
520,18
530,47
560,25
565,51
5
Pasteur
119,00
191,30
181,72
185,41
206,32
206,26
209,76
D
Kecamatan Sukasari
627,53
126,50
134,90
135,55
135,47
143,40
147,77
1
Sarijadi
157,06
175,64
184,16
185,05
184,03
194,80
199,68
2
Sukarasa
123,02
93,94
105,37
105,91
103,66
109,72
113,75
3
Gegerkalong
167,77
169,08
155,65
156,39
157,08
166,27
165,36
4
Isola
179,68
66,08
92,68
93,12
94,63
100,16
109,25
2.115,86
183,03
196,59
200,53
208,32
214,29
222,56
BOJONAGARA
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Bandung Tahun 2002-2007
Salah satu masalah kependudukan yang terdapat di wilayah Bojonagara adalah penyebaran penduduk yang tidak merata. Kelurahan yang memiliki kepadatan tertinggi terdapat di Kecamatan Sukajadi, tepatnya di kelurahan Sukabungah yaitu sebesar 647,64 jiwa/Ha, sedangakan kelurahan dengan kepadatan paling rendah yaitu
45
sebesar 75,25 jiwa/Ha adalah kelurahan Husein Sastranegara, karena di kelurahan ini terdapatnya Bandar Udara Husein Sastranegara. Adapun kecamatan Andir memiliki kepadatan tertinggi dibandingkan dengan kecamatan lainnya yaitu sebesar 378,45 jiwa/Ha, sedangkan kecamatan yang kepadatannya paling rendah adalah kecamatan Sukasari yaitu sebesar 147,77 jiwa/Ha. 5.1.4. Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan A. Perubahan Penggunaan Lahan Penggunaan lahan di wilayah Pengembangan Bojonagara secara umum memiliki karakteristik mixed use serta aglomerasi kegiatan tertentu yang relatif homogen. Selain mixed use, fenomena penggunaan lahan yang terjadi di Wilayah Pengembangan Bojonagara adalah adanya kecenderungan perubahan penggunaan guna lahan dari area tak terbangun menjadi area terbangun, serta perubahan fungsi dari perumahan menjadi fungsi komersil. Perubahan penggunaan lahan di Wilayah Pengembangan Bojonagara menurut kecamatan tahun 2001 dan 2006 dapat dilihat pada Tabel 5.8, Tabel 5.9, Tabel 5.10, dan Tabel 5.11. Berdasarkan Tabel 5.8, penggunaan lahan di Kecamatan Andir didominasi oleh kawasan pemukiman yaitu seluas 230,33 Ha atau 62,13% dari luas total Kecamatan Andir. Walupun penggunaan lahan didominasi oleh kawasan pemukiman, fenomena perubahan penggunaan lahan yang terjadi di Kecamatan Andir adalah perubahan dari area tak terbangun seperti sawah, lapangan, dan tanah kosong menjadi area industri dan area perdagangan dan jasa. Tidak hanya area terbuka yang di konversi menjadi area terbangun, akan tetapi area terbangun pemukiman pun dikonversi menjadi area terbangun perdagangan dan jasa. Dari tahun 2001 ke tahun 2006, luasan kebun/sawah/ladang terkonversi dari luas yang semula 17,14 Ha menjadi 15,68 Ha atau berkurang 1,46 Ha. Luasan lapangan terkonversi dari luas yang semula 7,26 Ha menjadi 6,78 Ha atau berkurang 0,48 Ha. Luasan semak/tanah kosong terkonversi dari luas yang semula 5,66 Ha menjadi 4,04 Ha atau berkurang 1,62 Ha. Begitupun luasan pemukiman terkonversi dari luas yang semula 246,78 Ha menjadi 230,33 Ha atau berkurang 16,45 Ha. Sedangkan area yang
46
luasannya bertambah adalah area industri yang luasnya 10,85 Ha menjadi 12,90 Ha atau bertambah 2,05 Ha. Begitupun luasan area perdagangan dan jasa yang bertambah luasanya 17,69 Ha, yang mana luas semula 33,99 Ha menjadi 51,95 Ha. Dari data tersebut konversi lahan yang sangat tinggi terjadi pada area perdagangan dan jasa yaitu 17,69 Ha. Hal tersebut menunjukan pula bahwa luasan terbangun dari tahun ke tahun semakin meningkat dan menurunkan proporsi ruang terbuka hijau. Tabel 5.8 Penggunaan Lahan di Kecamatan Andir Tahun 2001 dan 2006 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
2001 2006 Luas (Ha) % Luas (Ha) Fasilitas Kesehatan 3,52 0,95 3,52 Fasilitas Umum 4,45 1,20 4,45 Industri 10,85 2,93 12,90 Kebun/Sawah/Ladang 17,14 4,62 15,68 Kolam 0,44 0,12 0,44 Bandara 3,15 0,85 3,15 Lapangan 7,26 1,96 6,78 Pendidikan 13,68 3,69 13,68 Perdagangan dan Jasa 33,99 9,17 51,95 Peribadatan 5,93 1,60 5,93 Perkantoran 12,75 3,44 12,75 Permukiman 246,78 66,56 230,33 Semak/Tanah kosong 5,66 1,53 4,04 Lainnya 5,14 1,39 5,14 Luas Wilayah 370,74 100,00 370,74 Sumber : Dinas Tataruang dan Ciptakarya Bandung Tahun 2006 Guna Lahan (Ha)
% 0,95 1,20 3,48 4,23 0,12 0,85 1,83 3,69 14,01 1,60 3,44 62,13 1,09 1,39 100,00
Pada Tabel 5.9, dapat dilihat bahwa penggunaan lahan di Kecamatan Cicendo didominasi oleh kawasan pemukiman yaitu seluas 367,61 Ha atau 53,53% dari luas total Kecamatan Cicendo. Walupun penggunaan lahan didominasi oleh kawasan pemukiman, fenomena perubahan penggunaan lahan yang terjadi di Kecamatan Cicendo adalah perubahan dari area tak terbangun seperti sawah, lapangan, dan tanah kosong menjadi area industri dan area perdagangan dan jasa. Tidak hanya area terbuka yang di konversi menjadi area terbangun, akan tetapi area terbangun pemukiman pun dikonversi menjadi area terbangun perdagangan dan jasa.
47
Dari tahun 2001 ke tahun 2006, luasan kebun/sawah/ladang terkonversi dari luas yang semula 24,99 Ha menjadi 23,67 Ha atau berkurang 1,32 Ha. Luasan lapangan terkonversi dari luas yang semula 26,01 Ha menjadi 25,06 Ha atau berkurang 0,95 Ha. Luasan semak/tanah kosong terkonversi dari luas yang semula 12,88 Ha menjadi 9,13 Ha atau berkurang 3,75 Ha. Begitupun luasan pemukiman terkonversi dari luas yang semula 376,83 Ha menjadi 367,61 Ha atau berkurang 9,22 Ha. Sedangkan area yang luasannya bertambah adalah area industri yang luasnya 27,88 Ha menjadi 28,36 Ha atau bertambah 0,48 Ha. Begitupun luasan area perdagangan dan jasa yang bertambah luasanya 14,76 Ha, yang mana luas semula 30,88 Ha menjadi 45,64 Ha. Dari data tersebut konversi lahan yang sangat tinggi terjadi pada area perdagangan dan jasa yaitu 14,76 Ha. Hal tersebut menunjukan pula bahwa luasan terbangun dari tahun ke tahun semakin meningkat dan menurunkan proporsi ruang terbuka hijau. Tabel 5.9 Penggunaan Lahan di Kecamatan Cicendo Tahun 2001 dan 2006 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
2001 2006 Luas (Ha) % Luas (Ha) % Fasilitas Kesehatan 5,42 0,79 5,42 0,79 Fasilitas Umum 7,00 1,02 7,00 1,02 Industri 27,88 4,06 28,36 4,13 Kebun/Sawah/Ladang 24,99 3,64 23,67 3,45 Kolam 0,62 0,09 0,62 0,09 Bandara 96,21 14,01 96,21 14,01 Lapangan 26,01 3,79 25,06 3,65 Pendidikan 19,50 2,84 19,50 2,84 Perdagangan dan Jasa 30,88 4,50 45,64 6,65 Peribadatan 11,81 1,72 11,81 1,72 Perkantoran 30,40 4,43 30,40 4,43 Permukiman 376,83 54,88 367,61 53,53 Semak/Tanah kosong 12,88 1,88 9,13 1,33 Stasiun KA 8,31 1,21 8,31 1,21 Lainnya 7,95 1,16 7,95 1,16 Luas Wilayah 686,69 100,00 686,69 100,00 Sumber : Dinas Tataruang dan Ciptakarya Bandung Tahun 2006 Guna Lahan (Ha)
48
Tabel 5.10 Penggunaan Lahan di Kecamatan Sukajadi Tahun 2001 dan 2006 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
2001 2006 Luas (Ha) % Luas (Ha) % Fasilitas Kesehatan 10,34 2,40 10,34 2,40 Fasilitas Umum 7,93 1,84 7,93 1,84 Kebun/Sawah/Ladang 26,41 6,13 23,79 5,52 Kolam 5,47 1,27 5,47 1,27 Komplek Militer 1,64 0,38 1,64 0,38 Lapangan 12,95 3,01 10,33 2,40 Pendidikan 13,87 3,22 13,87 3,22 Perdagangan dan Jasa 20,93 4,86 45,12 10,47 Peribadatan 8,36 1,94 8,36 1,94 Perkantoran 28,37 6,58 28,37 6,58 Permukiman 277,87 64,49 262,40 60,90 Semak/Tanah kosong 12,83 2,98 9,35 2,17 Lainnya 3,93 0,91 3,93 0,91 Luas Wilayah 430,90 100,00 430,90 100,00 Sumber : Dinas Tataruang dan Ciptakarya Bandung Tahun 2006 Guna Lahan (Ha)
Berdasarkan Tabel 5.10 penggunaan lahan di Kecamatan Sukajadi didominasi oleh kawasan pemukiman yaitu seluas 262,40 Ha atau 60,90% dari luas total Kecamatan Andir. Walupun penggunaan lahan didominasi oleh kawasan pemukiman, fenomena perubahan penggunaan lahan yang terjadi di Kecamatan Sukajadi adalah perubahan dari area tak terbangun seperti sawah, lapangan, dan tanah kosong serta area terbangun pemukiman menjadi area Perdagangan dan jasa. Dari tahun 2001 ke tahun 2006, luasan kebun/sawah/ladang terkonversi dari luas yang semula 26,41 Ha menjadi 23,79 Ha atau berkurang 2,62 Ha. Luasan lapangan terkonversi dari luas yang semula 12,95 Ha menjadi 10,33 Ha atau berkurang 2,62 Ha. Luasan semak/tanah kosong terkonversi dari luas yang semula 12,83 Ha menjadi 9,35 Ha atau berkurang 3,48 Ha. Begitupun luasan pemukiman terkonversi dari luas yang semula 277,87 Ha menjadi 262,40 Ha atau berkurang 15,47 Ha. Sedangkan area yang luasannya bertambah adalah area perdagangan dan jasa yang luasnya 20,93 Ha menjadi 45,12 Ha atau bertambah 24,19 Ha. Data tersebut menunjukan bahwa perubahan penggunaan lahan yang terjadi di Kecamatan Sukajadi sebesar 24,19 Ha terkonversi menjadi area perdagangan dan jasa. Hal tersebut menunjukan pula bahwa
49
luasan terbangun dari tahun ke tahun semakin meningkat dan menurunkan proporsi ruang terbuka hijau. Tabel 5.11 Penggunaan Lahan di Kecamatan Sukasari Tahun 2001 dan 2006 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2001 2006 Luas (Ha) % Luas (Ha) % Fasilitas Kesehatan 6,40 1,02 6,40 1,02 Fasilitas Umum 6,34 1,01 6,34 1,01 Kebun/Sawah/Ladang 95,55 15,23 87,12 13,88 Kolam 8,53 1,36 8,53 1,36 Lapangan 23,01 3,67 19,70 3,14 Pendidikan 42,11 6,71 42,11 6,71 Perdagangan dan Jasa 28,03 4,47 42,51 6,77 Peribadatan 12,61 2,01 12,61 2,01 Perkantoran 34,84 5,55 34,84 5,55 Permukiman 318,28 50,72 323,79 51,60 Semak/Tanah kosong 46,78 7,45 38,53 6,14 Lainnya 5,05 0,80 5,05 0,80 Luas Wilayah 627,53 100,00 627,53 100,00 Sumber : Dinas Tataruang dan Ciptakarya Bandung Tahun 2006 Guna Lahan (Ha)
Berdasarkan Tabel 5.11 penggunaan lahan di Kecamatan Sukasari didominasi oleh kawasan pemukiman yaitu seluas 323,79 Ha atau 51,60% dari luas total Kecamatan Andir. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi di kecamatan Sukasari adalah perubahan dari area tak terbangun seperti sawah, lapangan, dan tanah kosong menjadi area pemukiman dan area perdagangan dan jasa. Dari tahun 2001 ke tahun 2006, luasan kebun/sawah/ladang terkonversi dari luas yang semula 95,55 Ha menjadi 87,12 Ha atau berkurang 8,43 Ha. Luasan lapangan terkonversi dari luas yang semula 23,01 Ha menjadi 19,70 Ha atau berkurang 3,31 Ha. Luasan semak/tanah kosong terkonversi dari luas yang semula 46,78 Ha menjadi 38,53 Ha atau berkurang 8,25 Ha. Sedangkan area yang luasannya bertambah adalah area pemukiman yang luasnya 318,28 Ha menjadi 323,79 Ha atau bertambah 5,51 Ha. Begitupun luasan area perdagangan dan jasa yang bertambah luasanya 14,48 Ha, yang mana luas semula 28,03 Ha menjadi 42,51 Ha. Dari data tersebut konversi lahan yang sangat tinggi terjadi pada area perdagangan dan jasa yaitu sebesar 14,48 Ha.
50
Bertambahnya luasan pemukiman di Kecamatan Sukasari, dikarnakan bertumbuhnya perumahan mewah berkavling besar di kecamatan ini. Kondisi ini memerlukan upaya pengendalian karena kecenderungan perubahan ruang ini menurunkan proporsi RTH. Berikut adalah data rekapitulasi penggunaan lahan yang terjadi di WP Bojonagara dari tahun 2001 ke tahun 2006. Tabel 5.12 Rekapitulasi Perubahan Penggunaan Lahan di WP Bojonagara Tahun 2001 dan 2006 (Ha) Guna Lahan
Andir Industri 2,05 Perdaganan dan Jasa 17,96 Total Penambahan 20,01 Kebun/Ladang/Sawah -1,46 Lapangan -0,48 Pemukiman -16,45 Semak/Tanah Kosong -1,62 Total Pengurangan -20,01 Sumber : Hasil Analisis, 2009
Kecamatan Cicendo Sukajadi Sukasari 0,48 0 0 14,76 24,19 14,48 15,24 24,19 14,48 -1,32 -2,62 -8,43 -0,95 -2,62 -3,31 -9,22 -15,47 5,51 -3,75 -3,48 -8,25 -15,24 -24,19 -14,48
WP Bojonagara 2,53 71,39 73,92 -13,83 -7,36 -35,63 -17,10 -73,92
Tabel 5.12, menunjukan bahwa perubahan penggunaan lahan yang dominan di Wilayah Pengembangan Bojonagara adalah pada guna lahan perdagangan dan jasa, dimana dalam kurun waktu 5 (lima) tahun telah terjadi penambahan luas sebesar 73,92 Ha. Guna lahan perdagangan dan jasa ini selain mengkonversi area terbuka, mengkonversi pula guna lahan pemukiman. Hal ini menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi sangat tinggi, sehingga perubahan guna lahannya pun menuju arah yang komersil atau perdagangan. Sedangkan jenis RTH yang mengalami defisit terbesar adalah semak/tanah kosong dimana dalam kurun waktu 5 (lima) tahun luasannya berkurang sebesar 17,1 Ha. Luasan jenis penggunaan lahan yang bertambah ialah guna lahan industri dan perdagangan dan jasa. Pertambahan luas rata-rata pertahun untuk guna lahan industri adalah +1,27%, sedangkan untuk guna lahan perdagangan dan jasa adalah +10,23%. Sementara itu, jenis guna lahan yang mengalami penurunan luas rata-rata pertahun
51
adalah kebun/lading/sawah (-1,75%), lapangan (-2,22%), pemukiman (-0,59%), dan semak/tanah kosong (-4,82%).
B. Perubahan Penutupan Lahan Perubahan penutupan lahan di Wilayah Pengembangan Bojonagara dapat diketahui dari peta landsat tahun 1999, 2004, dan 2007. Klasifikasi penutupan lahan berdasarkan BPN menjadi acuan dalam pengolahan dan pengklasifikasian peta landsat tahun 1999, 2004, dan 2007. Peta landsat diklasifikasikan menjadi 5 (lima) kelas penutupan lahan yaitu kebun campuran, taman kota, rumput dan semak, sawah dan ruang terbangun. Data jumlah penduduk dan perubahan luas tiap kelas penutupan lahan di Wilayah Pengembangan Bojonaraga pada tahun 1999, 2004, dan 2007 dapat dilihat pada Tabel 5.13. Sedangkan grafik perbandingan penutupan lahan di Wilayah Bojonagara dapat dilihat pada Gambar 5.5. Tabel 5.13 Jumlah Penduduk dan Perubahan Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Bojonagara Tahun 1999, 2004, dan 2007 Tahun Jumlah Penduduk Klasifikasi Penutupan Lahan
1999 348.804 Jiwa Luas (Ha)
573,8468 Kebun Campuran 372,4832 Rumput dan Semak 991,1015 Ruang Terbangun 17,1300 Sawah 349,7634 Taman Kota Total 2.304,3249 Sumber : Hasil Analisis 2009
% 24,90 16,16 43,01 0,74 15,18 100,00
2004 424.297 Jiwa Luas (Ha) 629,7181 4,6508 1.059,4899 24,2005 586,2656 2.304,3249
2007 470.906 Jiwa %
27,33 0,20 45,98 1,05 25,44 100,00
Luas (Ha) 551,8268 16,0285 1.502,0107 14,8141 219,6448 2.304,3249
% 23,95 0,70 65,18 0,64 9,53 100,00
Berdasarkan data diatas, dari tahun 1999 ke tahun 2007, pertumbuhan penduduk rata-rata pertahun adalah +3,82%. dengan pertumbuhan penduduk tersebut, kebutuhan lahan untuk pemukiman khususnya semakin meningkat. Hal tersebut terlihat dari luasan ruang terbangun yang semakin meningkat (pertambahan luas ratarata pertahun +5,33%). Sementara itu, luasan jenis penutupan lahan selain ruang terbangun menunjukan nilai negatif, dengan kata lain terjadi pengurangan luas ratarata pertahun pada masing-masing jenis penutupan lahan tersebut, yaitu kebun
52
campuran (-0,49%), rumput dan semak (-32,51%), sawah (-1,79%), dan taman kota (-5,65%).
Gambar 5.5 Grafik Perbandingan Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Bojonagara Tahun 1999, 2004, dan 2007 Klasifikasi penutupan lahan berupa ruang terbangun, kebun campuran, rumput dan semak, sawah dan taman kota dikelompokkan menjadi ruang terbangun dan ruang terbuka hijau (RTH). RTH meliputi kebun campuran, rumput dan semak, sawah, dan taman kota. Perubahan luas RTH pada tahun 1999, 2004 dan 2007 dapat dilihat pada Tabel 5.11. Berdasarkan tabel perubahan RTH, terjadi pengurangan luasan RTH di Wilayah Pengembangan Bojonagara. Pada tahun 1999 – 2004 pertumbuhan penduduk rata-rata pertahun sebesar 3,99%, sedangkan rata-rata penurunan luas RTH pertahun sebesar 1,06%. Dari tahun 2004 – 2007, dengan rata-rata pertumbuhan penduduk pertahun sebesar 3,54%, rata-rata penurunan luas RTH pertahun sebesar 13,62%. Penurunan luas RTH rata-rata pertahun dari tahun 1999 – 2007 adalah 5,97% dengan pertumbuhan penduduk rata-rata per tahun sebesar 3,82%.
53
Tabel 5.11 Jumlah Penduduk dan Perubahan RTH Wilayah Pengembangan Bojonagara Tahun 1999, 2004, dan 2007 Tahun Jumlah Penduduk Klasifikasi RTH
1999 348.804 Jiwa Luas (Ha) % 573,8468 24,90 372,4832 16,16
Kebun Campuran Rumput dan Semak 17,1300 Sawah 349,7634 Taman Kota Total RTH 1.313,2234 Total 2.304,3249 Sumber : Hasil Analisis 2009
0,74 15,18 56,99 100,00
2004 424.297 Jiwa Luas (Ha) % 629,7181 27,33 4,6508 0,20 24,2005 586,2656 1.244,8350 2.304,3249
1,05 25,44 54,02 100,00
2007 470.906 Jiwa Luas (Ha) % 551,8268 23,95 16,0285 0,70 14,8141 219,6448 802,3142 2.304,3249
0,64 9,53 34,82 100,00
5.2. Model Dinamik Berdasarkan struktur model causal loop yang telah dibuat, diketahui bahwa jumlah penduduk mempengaruhi luas tiap jenis RTH serta luas RTH secara keseluruhan. Kemudian, luas RTH mempengaruhi suhu udara dan kelembaban relatif. Tahapan awal pada pengujian model system dinamik adalah menentukan persamaan fungsi regresi linear antara peubah X dan Y. Sebelumnya perlu dibuat diagram pencar yang menggambarkan hubungan antara peubah X dan Y.
Gambar 5.6 Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X) dan Luas Kebun Campuran (Y)
54
Gambar 5.7 Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X) dan Luas Rumput dan Semak (Y)
Gambar 5.8 Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X) dan Luas Sawah (Y)
Gambar 5.9 Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X) dan Luas Taman Kota (Y)
55
Gambar 5.10 Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X) dan Luas RTH (Y)
Gambar 5.11 Diagram Pencar Hubungan Linear Luas RTH (X) dan Suhu Udara (Y)
Gambar 5.12 Diagram Pencar Hubungan Linear Luas RTH (X) dan Kelembaban Relatif (Y)
56
Berdasarkan gambar diagram pencar, diketahui bahwa hubungan linear antara jumlah penduduk dengan luas tiap jenis RTH serta dengan luas RTH secara keseluruhan adalah negatif. Artinya, semakin banyak jumlah penduduk, luas tiap jenis RTH maupun luas total RTH akan semakin berkurang. Kemudian, luas RTH dengan suhu udara dan kelembaban relatif juga berkolerasi negatif. Jadi, semakin berkurangnya luas RTH, suhu udara akan semakin meningkat, begitu pula sebaliknya. Selanjutnya, dari hubungan linear antara peubah X dan Y tersebut dapat diketahui nilai koefisien korelasi serta persamaan fungsinya yang dapat dilihat pada Tabel 5.12. Tabel 5.12 Nilai Koefisien Korelasi dan Persamaan Fungsi dari Hubungan Linear Peubah X dan Y Hubungan X dan Y r Jumlah Penduduk (X) dan -0,142 Kebun Campuran (Y) Jumlah Penduduk (X) dan -0,915 Rumput dan Semak (Y) Jumlah Penduduk (X) dan -0,103 Sawah (Y) Jumlah Penduduk (X) dan -0,220 Taman Kota (Y) Jumlah Penduduk (X) Luas -0,860 RTH (Y) Luas RTH (X) dan Suhu -0,592 Udara (Y) Luas RTH (X) dan -0,992 Kelembaban Relatif (Y) Sumber : Hasil Anlaisis 2009
r2
Persamaan
0,0201
y = 623,379 – 9,224*10-5 x
0,8372
y = 1.419,127 – 3,106*10-3 x
0,0106
y = 22,109 – 8,187*10-6 x
0,0484
y = 660,475 – 6,638*10-4 x
0,7396
y = 2.725,091 – 3,871*10-3 x
0,3504
y = 24,179 – 7,701*10-4 x
0,9841
y = 87,589 – 8,263*10-3 x
Nilai r pada tabel tersebut menunjukan kekuatan hubungan antara peubah X dan Y, sedangkan r2 menunjukan persentase keragaman dalam nilai-nilai Y yang dapat dijelaskan oleh hubungan linear dengan X. Jadi, nilai r yang semakin mendekati -1 atau +1 dikatakan memiliki hubungan linear yang sangat kuat. Sedangkan, nilai r2 yang mendekati 1 menunjukan bahwa hampir 100% di antara keragaman nilai-nilai Y dapat dijelaskan oleh hubungan linearnya dengan X. Oleh karena itu, berdasarkan koefisien korelasi dan persamaan regresi linear yang diperoleh, diketahui bahwa secara umum pertambahan jumlah penduduk di Wilayah Pengembangan Bojonagara berpengaruh terhadap penurunan tiap jenis RTH serta luas total RTH di Wilayah tersebut. Selanjutnya, diketahui pula bahwa
57
penurunan luas RTH berpengaruh terhadap peningkatan suhu udara dan kelembaban relatif. Berdasarkan Tabel 5.11, diperoleh laju pengurangan luas RTH akibat penambahan penduduk per tahun sebesar 0,000523. Artinya, setiap penambahan penduduk 10.000 jiwa dibutuhkan 5,23 Ha untuk dijadikan lahan terbangun (seperti tempat tinggal dan infrastruktur lainnya). Selanjutnya dibuat struktur model yang memperlihatkan hubungan antara pertumbuhan penduduk terhadap luas jenis tiap RTH dan RTH keseluruhan, dan luas RTH terhadap nilai THI. Berikut adalah gambar struktur model simulasi yang dibuat.
Gambar 5.13 Struktur Model Simulasi Selanjutnya, struktur model tersebut disimulasikan dengan 5 (lima) skenario yang telah dibuat. Dasar dari simulasi penentuan daerah RTH yang terkonversi menjadi ruang terbangun adalah mengacu pada peta kemiringan Wilayah Bojonagara. Diasumsikan perubahan RTH menjadi ruang terbangun terjadi pada area kemiringan 0-8%. Berikut adalah penjelasan dari setiap skenario :
58
A. Skenario 1 (Agresif) Pada Skenario 1, diasumsikan bahwa penambahan jumlah penduduk di Wilayah Pengembangan Bojonagara dengan laju pertumbuhan penduduk 3,82%, akan mendesak semua jenis RTH. Jadi, setiap RTH dapat dialihfungsikan menjadi lahan terbangun. Dengan mengacu peta penutupan lahan tahun 2007, ilustrasi skenario 1 dapat dilihat pada Gambar 5.15. Model tersebut disimulasikan untuk keadaan 25 tahun mendatang. Berdasarkan hasil simulasi, pada tahun ke-25 luas total RTH adalah 419,87 Ha dengan nilai THI sebesar 23,1 (hasil simulasi model skenario 1 terlampir). Nilai THI pada skenario 1 masih berada diambang nyaman walaupun semua jenis RTH terkonversi menjadi ruang terbangun. Hal ini dikarenakan wilayah geografis kota Bandung yang mendukung untuk tercipta kenyamanan. Namun kenyamanan mikro di WP Bojonagara kualitasnya sudah menurun, karena hilangnya RTH di kawasan ini. Berikut adalah grafik yang memperlihatkan hubungan antara luas RTH, suhu udara, kelembaban relatif, dan THI di Wilayah Pengembangan Bojonagara dengan laju pertumbuhan penduduk per tahun 3,82%. 1: RTH 1: 2: 3: 4:
2: Suhu Udara
3: Kelembaban Relatif
4: THI
900 24 85 23 1
4 3 1
1: 2: 3: 4:
2
650 24 83 23
1
3
2 4
1
4
400 24 81 23
2 0.00
Page 1
4
2
3 1: 2: 3: 4:
3
6.25
12.50 Years
18.75
25.00 6:49 PM Tue, Jan 19, 2010
Skenario Suhu 1 Gambar 5.14 Grafik Hubungan antara Luas RTH, Udara, Kelembaban Relatif, dan THI dengan Laju Pertumbuhan Penduduk 3,82%
59
60
B. Skenario 2 (Semi-Agresif) Pada Skenario 2, diasumsikan bahwa laju pertumbuhan penduduk di Wilayah Pengembangan Bojonagara diturunkan menjadi 3% dan luas taman kota diproteksi, sehingga luas taman kota tetap dari tahun ke tahun sebesar 219,6448 Ha. Penambahan jumlah penduduk hanya mendesak kebun campuran, rumput dan semak, serta sawah. Ilustrasi penutupan lahan pada skenario 2 dapat dilihat pada Gambar 5.17. Kemudian, struktur model pada skenario 2 disimulasikan untuk keadaan 25 tahun mendatang. Berdasarkan hasil simulasi, pada tahun ke-25 luas RTH adalah 532.93 Ha, dengan nilai THI sebesar 22,97 (hasil simulasi model skenario 3 terlampir). Berikut adalah grafik yang memperlihatkan hubungan antara luas RTH, suhu udara, kelembaban relatif, dan THI di Wilayah Pengembangan Bojonagara dengan laju pertumbuhan penduduk per tahun 3%. 1: RTH 1: 2: 3: 4:
2: Suhu Udara
3: Kelembaban Relatif
4: THI
900 24 84 23 3
1
4 1
1: 2: 3: 4:
700 24 82 23
2 4
3 500 24 81 23
1
2 4
2 0.00
Page 1
4
1 3
1: 2: 3: 4:
2
3
6.25
12.50 Y ears
18.75 25.00 8:51 PM Mon, Jan 25, 2010
sek2Suhu Udara, Kelembaban Relatif, Gambar 5.16 Grafik Hubungan antara Luas RTH, dan THI dengan Laju Pertumbuhan Penduduk 3%
61
62
C. Skenario 3 (Terkendali) Pada skenario 3, diasumsikan laju pertumbuhan penduduk diturunkan menjadi 2%, dan luas RTH minimum 30%, seperti mengacu pada UU No. 26 Tahun 2007 Pasal 29. Sehingga luas RTH minimum yang dipertahankan adalah 691,2975 Ha. Ilustrasi penutupan lahan pada skenario 3 dapat dilihat pada Gambar 5.19. Kemudian, struktur model pada skenario 3 juga diasumsikan untuk kondisi 25 tahun ke depan. Berdasarkan hasil simulasi, pada tahun ke-25 luas RTH adalah 644,54 Ha dengan nilai THI sebesar 22,84 (hasil simulasi model skenario 3 terlampir). Luas RTH pada tahun ke-25, masih kurang dari luas minimum yang diasumsikan. Luas RTH minimum 30% hanya dapat dipertahankan sampai tahun ke18 dengan luas RTH dan nilai THI sebesar 696,84 Ha dan 22,78. Berikut adalah grafik yang memperlihatkan hubungan antara luas RTH, suhu udara, kelembaban relatif, dan THI di Wilayah Pengembangan Bojonagara dengan laju pertumbuhan penduduk per tahun 2%. 1: RTH 1: 2: 3: 4:
2: Suhu Udara
3: Kelembaban Relatif
4: THI
900 24 83 23
4 3 1
1: 2: 3: 4:
750 24 82 23
3
1
2 3
1 4
2
3
1 2
4 1: 2: 3: 4:
600 24 81 23
2 0.00
Page 1
4
6.25
12.50 Y ears
18.75 25.00 9:01 PM Mon, Jan 25, 2010
Gambar 5.18 Grafik Hubungan antara Luas RTH, Suhu Udara, Kelembaban Relatif, skenario3 dan THI dengan Laju Pertumbuhan Penduduk 2%
63
64
D. Skenario 4 (Terkendali) Skenario 4 merupakan pengembangan dari skenario 3. Pada skenario ini diasumsikan laju pertumbuhan penduduk dapat diturunkan lagi menjadi 1,5%, dan luas RTH minimum tetap 30%, seperti mengacu pada UU No. 26 Tahun 2007 Pasal 29. Sehingga luas RTH minimum yang dipertahankan adalah 691,2975 Ha. Ilustrasi penutupan lahan pada skenario 3 dapat dilihat pada Gambar 5.21. Kemudian, struktur model pada skenario 4 juga diasumsikan untuk kondisi 25 tahun ke depan. Berdasarkan hasil simulasi, pada tahun ke-25 luas RTH adalah 691,25 Ha dengan nilai THI sebesar 22,79 (hasil simulasi model skenario 4 terlampir). Luas RTH pada skenario ini sudah mendekati target yang diinginkan yaitu minimal luas RTH 30 %. Berikut adalah grafik yang memperlihatkan hubungan antara luas RTH, suhu udara, kelembaban relatif, dan THI di Wilayah Pengembangan Bojonagara dengan laju pertumbuhan penduduk per tahun 1,5%. 1: RTH 1: 2: 3: 4:
2: Suhu Udara
3: Kelembaban Relatif
4: THI
850 24 82 23 2
1
4
1 1: 2: 3: 4:
750 24 81 23
1
2
1: 2: 3: 4:
3
2
3 4 1
4
4
650 24 81 23
2 0.00
Page 1
3
3
6.25
12.50 Y ears
18.75 25.00 8:57 AM Tue, Jan 26, 2010
Gambar 5.20 Grafik Hubungan antara Luas RTH, Suhu Udara, Kelembaban Relatif, skenario5 dan THI dengan Laju Pertumbuhan Penduduk 1,5%
65
66
E. Skenario 5 (Konservasi) Berikutnya, skenario 5 merupakan skenario yang menerapkan konsep konservasi, dimana pada skenario 5 diasumsikan bahwa laju pertumbuhan penduduk diturunkan menjadi 1 % dan luas RTH jenis sawah, taman kota dan kebun campuran diproteksi, sehingga penambahan jumlah penduduk hanya dapat mempengaruhi luas rumput dan semak. Oleh karena itu, pengurangan luas RTH ‘dibebankan’ seluruhnya pada luas rumput dan semak. Ilustrasi penutupan lahan pada skenario 4 dapat dilihat pada Gambar 5.23. Kemudian, seperti pada skenario-skenario sebelumnya, struktur model pada skenario 5 juga disimulasikan untuk kondisi 25 tahun mendatang. Berdasarkan hasil simulasi skenario 5, luas RTH sebesar 786,2857 Ha hanya dapat dipertahankan pada tahun ke-6, dengan nilai THI 22,68 (hasil simulasi model skenario 5 terlampir). Gambar 5.23 bukan mengilustrasikan keadaan model skenario 5 pada tahun ke-25, tetapi mengilustrasikan kondisi dimana luas rumput dan semak habis akibat desakan pertumbuhan penduduk. Kondisi tersebut terjadi pada tahun ke-6. Artinya, pada tahun ke-6 luas rumput dan semak tidak mampu memenuhi kebutuhan lahan akibat peningkatan jumlah penduduk. 1: RTH 1: 2: 3: 4:
2: Suhu Udara 810 24 82 23
3: Kelembaban Relatif
4: THI
1 3
4
2 1 1: 2: 3: 4:
3
770 24 81 23
1 3
4
2
4
2
1
4 1: 2: 3: 4:
730 24 81 23
3 2 0.00
Page 1
6.25
12.50 Y ears
18.75 25.00 8:55 PM Mon, Jan 25, 2010
Gambar 5.22 Grafik Hubungan antara Luas RTH, Suhu Udara, Kelembaban Relatif, skenario4 dan THI dengan Laju Pertumbuhan Penduduk 1%
67
68
Berdasarkan skenario-skenario yang dibuat, skenario dengan konsep konservasi (skenario 5) merupakan skenario yang terbaik. Karena luasan RTH diproteksi sehingga kualitas kenyamanan dapat terjaga. Namun skenario ini tidak dapat digunakan dengan asumsi luasan rumput dan semak tidak dapat mengakomodasi kebutuhan ruang akibat pertambahan penduduk, yang mana luas rumput dan semak akan habis di tahun ke-6. Skenario 1 dan 2 jelas tidak baik digunakan karena pertumbuhan penduduk akan menekan semua jenis RTH, sehingga tidak menutup kemungkinan RTH di Wilayah Pengembangan Bojonaga akan habis, dan hal ini akan mempengaruhi kualitas kenyamanan di kawasan ini. Kemudian skenario 3, yang mempertahankan luas RTH minimum 30% dengan laju pertumbuhan penduduk 2%, belum sesuai digunakan untuk kondisi 25 tahun mendatang, karena luas minimum 30% pada skenario ini hanya dapat dipertahankan sampai tahun ke-18. Dari semua skenario yang dibuat skenario yang paling baik adalah skenario 4, dimana luas RTH minimal yang dipertahankan adalah 30%, sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2007 Pasal 29. Dan laju pertumbuhan penduduk dapat diturunkan menjadi 1,5%. Luas RTH dan nilai THI yang didapat dari skenario ini setelah disimulasikan untuk kondisi 25 tahun mendatang adalah 691,25 Ha dan 22,79. Luas RTH pada skenario ini sudah mendekati target yang diinginkan yaitu minimal luas RTH 30 %. Nilai THI yang didapat dari skenario 4, merupakan nilai THI yang paling nyaman dibandingkan skenario-skenario yang lainya. Oleh karena itu, perlu diterapkannya kebijakan yang tegas dan konsisten terkait hal tersebut. Kebijakan yang dapat diambil dalam pengendalaian kelahiran yaitu dengan program Keluarga Berencana (KB). Kebijakan lain yang dapat diterapkan adalah pembangunan secara vertikal, sehingga tidak terlalu memerluakan lahan yang luas. Namun kebijakan ini harus diperhatikan lebih lanjut, baik lokasi, jumlah, maupun tinggi bangunannya. Hal tersebut perlu diperhatikan agar tidak mengurangi kenyamanan serta mempengaruhi identitas lanskap Wilayah Pengembangan Bojonagara.
VI. SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan Perkembangan dan pembangunan Wilayah Pengembangan Bojonagara berdampak pada semakin meningkatkannya jumlah penduduk dikawasan tersebut. Akibatnya, terjadi perubahan penggunaan dan penutupan lahan di wilayah ini yang mana perubahan tersebut meningkatkan proporsi lahan terbangun dan menurunkan proporsi lahan terbuka. Pada tahun 1999 proporsi RTH di WP Bojonagra adalah 56,99%, sedangkan pada tahun 2007 proporsi RTH berkurang menjadi 34,82%. Perubahan penggunaan lahan ini berpengaruh terhadap kenyamanan yang terkait komponen iklim, khususnya suhu udara dan kelembaban relatif. Model persamaan RTH dan suhu udara mempunyai pola hubungan terbalik dimana setiap laju pengurangan RTH menyebabkan peningkatan suhu udara dan begitupun sebaliknya. Berdasarkan Model simulasi, disusun lima skenario struktur model yang menggambarkan hubungan antara jumlah penduduk, luas tiap jenis dan total RTH, suhu udara, kelembaban relatif, dan THI. Kemudian kelima skenario tersebut disimulasikan untuk 25 tahun mendatang. Skenario 1 merupakan skenario agresif,
dimana diasumsikan laju
pertumbuhan penduduk aktual yaitu 3,82% dan semua RTH dapat terkonversi. Berdasarkan hasil simulasi skenario 1, pada tahun ke-25 luas total RTH adalah 419,87 Ha dengan nilai THI sebesar 23,1. Skenario 2 merupakan skenario semiagresif, diasumsikan laju pertumbuhan penduduk 3% dan luas taman kota diproteksi, sehingga penambahan jumlah penduduk hanya mendesak kebun campuran, rumput dan semak, serta sawah. Berdasarkan hasil simulasi skenario 2, pada tahun ke-25 luas RTH adalah 532.93 Ha, dengan nilai THI sebesar 22,97. Skenario 3 merupakan skenario terkendali, dimana diasumsikan laju pertumbuhan penduduk 2% dan luas RTH minimum 30%, seperti mengacu pada UU No. 26 Tahun 2007 Pasal 29. Berdasarkan hasil simulasi skenario 3, pada tahun ke-25 luas RTH adalah 644,54 Ha (27,97%) dengan nilai THI sebesar 22,84. Skenario 4 merupakan pengembangan dari skenario 3, dimana laju pertumbuhan penduduk diturunkan menjadi 1,5% dan luas RTH minimum 30%. . Berdasarkan hasil
70
simulasi skenario 4, pada tahun ke-25 luas RTH adalah 691,25 Ha (29,99%) dengan nilai THI sebesar 22,79. Terakhir, skenario 5 merupakan skenario konservasi, dimana pada skenario 5 diasumsikan bahwa laju pertumbuhan penduduk diturunkan menjadi 1 % dan luas RTH jenis sawah, taman kota dan kebun campuran diproteksi, sehingga penambahan jumlah penduduk hanya dapat mempengaruhi luas rumput dan semak. Berdasarkan hasil simulasi skenario 5, luas RTH sebesar 786,2857 Ha hanya dapat dipertahankan pada tahun ke-6, dengan nilai THI 22,68. Artinya, pada tahun ke-6 luas rumput dan semak tidak mampu memenuhi kebutuhan lahan akibat peningkatan jumlah penduduk. Dari lima skenario yang disimulasikan untuk 25 tahun mendatang, diketahui rekomendasi kebijakan yang terbaik adalah skenario 4, yaitu skenario yang mempertahankan luas RTH minimum 30%, sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2007 Pasal 29. Dan laju pertumbuhan penduduk diturunkan menjadi 1,5%. Terkait dengan rekomendasi skenario yang dipilih perlu adanya kebijakan untuk memproteksi luas RTH agar tidak habis terkonversi menjadi ruang terbagun, sehingga dapat tercipta kenyamanan di Wilayah Pengembangan Bojonagara. Kebijakan yang dapat diterapkan adalah pembangunan secara vertikal, sehingga tidak terlalu memerlukan lahan yang luas. Namun kebijakan ini harus diperhatikan lebih lanjut, baik lokasi, jumlah, maupun tinggi bangunannya. Hal tersebut perlu diperhatikan agar tidak mengurangi kenyamanan serta mempengaruhi identitas lanskap Wilayah Pengembangan Bojonagara. Selajutnya perlu adanya kebijakan dalam pengendalian pertumbuhan penduduk, misalnya dengan program Keluarga Berencana (KB).
6.2. Saran Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, untuk tetap menjaga kenyamanan lanskap di Wilayah Pengembangan Bjonagara, perlu diperhatikan bebera hal terkait dengan penggunaan dan penutupan lahan. 1.
Perlu adanya perencanaan RTH kota yang sesuai dengan fungsi, daya dukung, dan karakteristik lanskap WP Bojonagara, sehingga tercipta kenyamanan lanskap di wilayah tersebut.
71
2.
Dipertegas kembali peraturan kota dalam perijinan pendirian bangunan di kawasan ini.
3.
Diadakan program-program yang dapat mengendalikan laju pertumbuhan penduduk di WP Bojonagara.
4.
Pembangunan di WP Bojonagara, tidak lagi secara horizontal atau berbasis lahan, namun secara vertikal. Pembangunan secara vertikal ini perlu dipertimbangkan dari segi lokasi, jumlah, dan tinggi banguan, sehingga tidak tidak mengurangi kenyamanan serta tmempengaruhi identitas lanskap Wilayah Pengembangan Bojonagara.
DAFTAR PUSTAKA Aronoff, S. 1998. Geographic Information System: A Management Perspective. WDL Publication. Ottawa. Canada. Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor. Badan Pusat Statistik Kota Bandung. Kota Bandung Dalam Angka. BPS. Bandung. Branch, M. C. 1995. Perencanaan Kota Komprehensif: Pengantar dan Penjelasan. (terjemahan).. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Campbell, G.S. 1997. An Introduction to Environment Biophysics. Springer Verlag. New York. 159p. Consortium for Atlantic Regional Assesment. 2006. Land Use Primer. http://www.cara.psdu.edu/land/lu-primer. (9 Februari 2009) Rahman, Davi H. 2006. Analisis Temporal dan Spasial Perubahan Ruang Terbuka Hijau di Kabupaten Purwakarta. Skripsi. Program Studi Arsitektur Lanskap. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Bogor. Departemen Dalam Negeri. 2007. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Departemen Dalam Negeri. Jakarta Diena, A.L. 2009. Pengaruh Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan terhadap Kenyamanan di Suburban Bogor Barat. Skripsi. Program Studi Arsitektur Lanskap. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Bogor. Dinas Tata Ruang dan Ciptakarya Kota Bandung. 2006. Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Wilayah Pengembangan Bojonagara Bandung. Bapeda. Bandung. Eckbo, G. 1964. Urban Landscape Design. McGraw-Hill. Inc USA. Gates, D.M. 1972. Man and His Environment: Climate. Harper and Row. New York. 175p. Griffiths, J.F. 1976. Climate and Environment: The Atmosphere Impact on Man. Paul Elek. London. 148p. Hakim, R. dan Utomom H. 2003. Komponen Perancangan Arsitektur Lansekap Prinsip-Unsur dan Aplikasi Disain. Bumi Aksara. Jakarta.
73
Hartrisari. 2007. Sistem Dinamik: Konsep Sistem dan Permodelan untuk Industri dan Lingkungan. SEAMEO BIOTROP. Bogor. Komarudin. 1999. Pembangunan Kota Berwawasan Lingkungan. Direktorat Jendral Cipta Karya bekertasama dengan Deputi Bidang Pengkajian Kebijakan Teknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta. Lakitan, B. 1994. Dasar – Dasar Klimatologi. Raja Grafindo Persada. Jakarta 173 hal. Meyer, W.B. and Turner, B.L. 1994. Change in Land-use and Land-cover: a global perspective. Cambridge Press. Cambridge. Nurcahyono, G. 2003. Karakteristik RTH di Jakarta Timur (Aplikasi SIG dan Pengindaraan Jauh). Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Htan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Bogor. Nurisjah, S. 1997. Manfaat dan Perencanaan RTH Kawasan Perkotaan. Makalah dalam Seminar Nasional Upaya Pengembangan dan Pembinaan RTH Perkotaan di Masa Datang. Jakarta. Nurisjah, S., Setia Hadi, A.M. Zain dan Qodarian. 2005. Ruang Terbuka Hijau Wilayah Perkotaan. Makalah Diskusi Pengembangan Sistem RTH di Perkotaan. Bappeda Bogor. 8pp. Prahasta, E. 2001. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografi. Perbit Informatika Bandung. Bandung. Purnomohadi, S. 1995. Peran Ruang Terbuka Hijau dalam Pengendalian Kualitas Udara di DKI Jakarta. Disertasi. Program Pascasarjana-IPB. Bogor. Putri, Primaristianti. 2006. Identifikasi Perubahan Luas Ruang Terbuka Hijau di Kota Bandung dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis. Skripsi. Program Studi Arsitektur Lanskap. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Bogor. Ruswandi. 2007. Ruang Terbuka Hijau. http://www.damandiri.or.id/file/ riswandiipbbab2.pdf. (10 November 2009). Simonds, O. J. 1983. Landscape Architecture. McGraw-Hill Pub. Co., New York. System
Dynamics Society. 2007. What is www.systemdynamics.org (4 Ferbruari 2009).
System
Dynamics.
74
Tasrif, M. 2006. Analisis Kebijakan Menggunakan Model System Dynamics. Modul Kursus. Program Magister Studi Pembangunan ITB. Bandung. 262 hal. Tarigan, Robinson. 2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah: Edisi Revisi. Bumi Aksara. Jakarta Teknik Lingkungan ITB. 2007. Permodelan Lingkungan. http://ascala.org/ administrasi/news.php?subaction=showfull&id=115138872&archive=11 89185563&start_from=&ucat=3&. (4 Februari 2009). Walpole, R.E. 1995. Pengantar Statistik. Gramedia. Jakarta. 515 hal. Wikipedia. 2008. Sistem Informasi Geografis. http://id.wikipedia.org/wiki/ Sistem_informasi_geografis. (3 Februari 2009). . 2009. Kota. http://id.wikipedia.org/wiki/Kota. (3 Februari 2009).
LAMPIRAN
76
Lampiran 1. Hasil Cross Check Kondisi Lapangan Wilayah Bojonagara Bulan Oktober 2009 No.
Free Coordinate
Universal Transverse Mecator (UTM)
Altitude
Guna Lahan (Oktober 2009)
Zone 48 1
S6 55.210 E107 35.915
787161 9234292
734 m
Jl. Jendral Sudirman
2
S6 55.236 E107 36.251
787781 9234239
730 m
Jl. Oto Iskandardinata
3
S6 54.313 E107 34.531
784618 9235959
759 m
Taman
4
S6 54.412 E107 35.248
785940 9235770
753 m
Taman
5
S6 54.379 E107 35.823
786999 9235825
752 m
Taman
6
S6 54.778 E107 35.885
787111 9235089
735 m
Sungai Cipedes
7
S6 52.668 E107 35.491
786405 9238983
848 m
Badan Air
8
S6 53.590 E107 35.277
786001 9237286
779 m
Badan Air
9
S6 55.046 E107 35.760
786877 9234596
737 m
Sungai Citepus
10
S6 54.066 E107 35.127
785720 9236409
759 m
Badan Air
11
S6 53.470 E107 34.567
784694 9237514
771 m
Badan Air
12
S6 54.365 E107 33.990
783621 9235869
743 m
Badan Air
13
S6 53.958 E107 35.426
786271 9236605
755 m
Badan Air
14
S6 53.646 E107 35.243
785939 9237183
767 m
Badan Air
15
S6 52.461 E107 34.461
784509 9239376
823 m
Badan Air
16
S6 53.029 E107 35.833
787031 9238314
818 m
BMG
17
S6 51.996 E107 34.610
784788 9240232
853 m
Batas Badan Air
18
S6 53.413 E107 33.410
782562 9237631
766 m
Batas Wilayah
19
S6 51.862 E107 34.750
785048 9240478
871 m
Sungai Cibereum
20
S6 54.948 E107 38.016
791036 9234753
734 m
Distarcip
21
S6 51.823 E107 35.400
786246 9240544
917 m
Darul Tauhid
22
S6 54.423 E107 36.115
787537 9235741
754 m
Gor Pajajaran
23
S6 54.029 E107 34.098
783824 9236488
765 m
Bandara Husen
24
S6 54.903 E107 35.879
787098 9234858
730 m
Hyper Square
25
S6 54.462 E107 36.269
787821 9235667
742 m
Jl. Cicendo
26
S6 52.687 E107 35.733
786851 9238947
839 m
Karang Setra
27
S6 53.816 E107 34.104
783837 9236880
772 m
Landasan Pesat
28
S6 53.909 E107 35.600
786593 9236695
763 m
Pemakaman Pandu
29
S6 54.102 E107 35.821
786998 9236336
757 m
Perumahan Paskal
30
S6 54.854 E107 35.291
786015 9234953
733 m
Pasar Ciroyom
31
S6 53.008 E107 36.862
788929 9238343
801 m
Pasar Simpang
32
S6 53.441 E107 35.977
787292 9237554
783 m
Pasar Sukajdi
33
S6 53.734 E107 35.898
787144 9237014
775 m
RS. Hasan Sadikin
34
S6 55.136 E107 36.024
787363 9234427
728 m
Pemukiman
35
S6 53.775 E107 33.704
783101 9236960
752 m
Pemukiman
36
S6 54.192 E107 35.424
786266 9236175
747 m
Pemukiman
37
S6 54.284 E107 35.774
786910 9236001
751 m
Pemukiman
38
S6 53.084 E107 34.453
784487 9238226
800 m
Pemukiman
77
Lanjutan Lampiran 1. Hasil Cross Check Kondisi Lapangan Wilayah Bojonagara Bulan Oktober 2009 No.
Free Coordinate
Universal Transverse Mecator (UTM)
Altitude
Guna Lahan (Oktober 2009)
Zone 48 39
S6 51.900 E107 34.875
785277 9240406
886 m
Pemukiman
40
S6 51.807 E107 35.355
786163 9240573
913 m
Pemukiman
41
S6 51.369 E107 35.560
786544 9241379
964 m
Pemukiman
42
S6 52.532 E107 35.060
785612 9239239
850 m
Pemukiman
43
S6 54.293 E107 35.945
787226 9235982
768 m
Pemukiman
44
S6 55.128 E107 35.640
786654 9234445
736 m
Pemukiman
45
S6 53.900 E107 36.133
787577 9236705
781 m
Pemukiman
46
S6 53.337 E107 36.019
787372 9237744
797 m
Pemukiman
47
S6 53.103 E107 36.054
787439 9238176
808 m
Pemukiman
48
S6 53.580 E107 35.422
786269 9237302
784 m
Pemukiman
49
S6 53.279 E107 35.288
786024 9237859
797 m
Pemukiman
50
S6 53.131 E107 35.725
786831 9238128
812 m
Pemukiman
51
S6 52.996 E107 35.551
786513 9238377
820 m
Pemukiman
52
S6 52.740 E107 35.617
786637 9238850
837 m
Pemukiman
53
S6 52.853 E107 35.753
786887 9238639
822 m
Pemukiman
54
S6 55.056 E107 35.103
785666 9234583
739 m
Pemukiman
55
S6 53.376 E107 33.597
782907 9237697
768 m
Pemukiman
56
S6 53.476 E107 33.848
783368 9237509
772 m
Pemukiman
57
S6 53.869 E107 35.156
785776 9236772
767 m
Pemukiman
58
S6 53.574 E107 34.193
784004 9237325
772 m
Pemukiman
59
S6 53.555 E107 34.316
784231 9237360
765 m
Pemukiman
60
S6 53.426 E107 34.360
784313 9237597
773 m
Pemukiman
61
S6 54.932 E107 35.893
787124 9234804
736 m
Perdagangan
62
S6 53.711 E107 35.832
787022 9237056
773 m
Perdagangan
63
S6 52.822 E107 34.989
785478 9238705
823 m
Perdagangan
64
S6 53.383 E107 35.950
787244 9237661
784 m
Perdagangan
65
S6 54.956 E107 36.225
787735 9234756
731 m
Perdagangan
66
S6 55.011 E107 36.040
787393 9234656
734 m
Perdagangan
67
S6 55.096 E107 35.433
786273 9234507
736 m
Plaza Andir
68
S6 54.461 E107 34.911
785317 9235683
756 m
Perdagangan
69
S6 53.583 E107 35.121
785714 9237300
770 m
Bandung Trade Center
70
S6 53.460 E107 34.328
784254 9237535
771 m
Perdagangan
71
S6 52.028 E107 35.634
786675 9240162
903 m
Perdagangan
72
S6 52.187 E107 35.365
786177 9239873
891 m
Perdagangan
73
S6 55.175 E107 35.989
787298 9234356
733 m
Gudang
74
S6 53.637 E107 34.244
784097 9237209
773 m
Pabrik
78
Lanjutan Lampiran 1. Hasil Cross Check Kondisi Lapangan Wilayah Bojonagara Bulan Oktober 2009 No.
Free Coordinate
Universal Transverse Mecator (UTM)
Altitude
Guna Lahan (Oktober 2009)
Zone 48 75
S6 54.045 E107 33.796
783267 9236461
750 m
Pabrik
76
S6 54.478 E107 36.277
787836 9235637
740 m
Pabrik
77
S6 54.967 E107 36.021
787359 9234738
735 m
RS. Santosa
78
S6 55.171 E107 35.907
787147 9234363
732 m
Sekolah
79
S6 55.127 E107 36.070
787447 9234444
731 m
Sekolah
80
S6 55.115 E107 35.582
786549 9234470
738 m
Kelenteng
81
S6 54.807 E107 34.590
784722 9235048
743 m
Taman Kanak-Kanak
82
S6 53.166 E107 34.881
785276 9238071
795 m
Sekolah
83
S6 52.046 E107 35.135
785755 9240135
884 m
Taman
84
S6 54.146 E107 36.145
787595 9236252
774 m
Taman
85
S6 53.498 E107 33.918
783497 9237469
771 m
Sawah
86
S6 53.626 E107 34.327
784251 9237228
764 m
Sawah
87
S6 54.226 E107 36.063
787444 9236104
754 m
Taman
88
S6 54.447 E107 35.548
786493 9235702
749 m
Taman
89
S6 52.980 E107 36.072
787473 9238402
814 m
Taman
90
S6 53.042 E107 35.814
786996 9238290
818 m
Taman
91
S6 53.198 E107 35.287
786023 9238008
797 m
Taman
92
S6 53.252 E107 35.791
786952 9237904
805 m
Taman
93
S6 53.049 E107 35.780
786934 9238278
818 m
Taman
94
S6 53.531 E107 34.957
785413 9237398
774 m
Taman
95
S6 52.681 E107 35.761
786903 9238957
842 m
Taman
96
S6 53.280 E107 35.822
787009 9237851
794 m
Taman
97
S6 54.396 E107 35.971
787272 9235792
753 m
Taman
98
S6 53.780 E107 33.637
782976 9236952
749 m
Taman
99
S6 54.443 E107 34.781
785078 9235717
746 m
Taman
100
S6 54.542 E107 35.524
786447 9235528
738 m
Taman
101
S6 54.059 E107 35.898
787140 9236414
754 m
Taman
102
S6 54.259 E107 36.181
787662 9236043
746 m
Taman
103
S6 53.482 E107 33.879
783426 9237499
772 m
Kebun Campuran
104
S6 54.313 E107 34.531
784618 9235959
759 m
Kebun Campuran
105
S6 53.477 E107 34.181
783983 9237505
774 m
Kebun Campuran
106
S6 52.929 E107 34.758
785051 9238510
805 m
Kebun Campuran
107
S6 51.832 E107 34.932
785383 9240532
894 m
Kebun Campuran
108
S6 52.303 E107 35.100
785689 9239661
870 m
Kebun Campuran
109
S6 54.293 E107 35.236
785920 9235990
758 m
Pemakaman
110
S6 55.098 E107 36.067
787442 9234497
735 m
Lapangan
79
Lanjutan Lampiran 1. Hasil Cross Check Kondisi Lapangan Wilayah Bojonagara Bulan Oktober 2009 No.
Free Coordinate
Universal Transverse Mecator (UTM)
Guna Lahan (Oktober 2009)
Altitude
Zone 48 111
S6 54.887 E107 34.515
784584 9234902
740 m
Lapangan
112
S6 52.867 E107 34.722
784985 9238624
815 m
Lapangan
113
S6 51.870 E107 35.192
785863 9240458
902 m
Lapangan
114
S6 52.111 E107 34.957
785427 9240017
885 m
Lapangan
115
S6 53.565 E107 33.950
783556 9237345
770 m
Lahan Kosong
116
S6 52.842 E107 34.726
784993 9238670
818 m
Lahan Kosong
117
S6 51.939 E107 34.701
784957 9240336
870 m
Lahan Kosong
118
S6 53.607 E107 34.711
784958 9237259
774 m
Lahan Kosong
119
S6 53.792 E107 33.919
783496 9236926
764 m
Lahan Kosong
120
S6 53.498 E107 34.534
784633 9237463
770 m
Lahan Kosong
121
S6 53.753 E107 34.289
784178 9236994
769 m
Lahan Kosong
122
S6 53.588 E107 34.357
784306 9237299
768 m
Lahan Kosong
123
S6 53.543 E107 34.350
784294 9237381
771 m
Lahan Kosong
124
S6 54.133 E107 33.841
783349 9236298
751 m
Lahan Kosong
125
S6 54.980 E107 35.725
786813 9234718
728 m
Lahan Kosong
126
S6 51.997 E107 34.784
785109 9240228
878 m
Sawah
127
S6 54.885 E107 36.145
787588 9234889
736 m
Stasiun
128
S6 52.858 E107 34.672
784893 9238642
820 m
Tanaman Hias
129
S6 53.130 E107 35.789
786949 9238130
809 m
Taman Sukajadi
130
S6 51.808 E107 35.673
786749 9240569
916 m
UPI
Sumber : Hasil Observasi Lapang Bulan Oktober
80
Lampiran 2. Data Suhu Udara Bulanan Wilayah Pengembangan Bojonagara Gais Lintang Garis Bujur
: 06° 55' S : 107° 36' E
Tinggi DPL Stasiun
: 791 m : Bandung
Bulan 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Januari 23.1 24.1 22.7 22.7 23.9 23.8 23.3 23.1 24.1 Februari 22.8 22.8 22.8 22.9 23.3 23.1 23.1 23.5 22.8 Maret 23.2 23.4 23.1 23.5 23.4 23.8 23.6 23.9 23.4 April 23.3 22.9 22.3 23.7 24.1 23.9 23.7 23.5 22.9 Mei 22.6 23.6 23.6 23.9 24.2 24.6 23.8 23.3 23.6 Juni 22.6 23.1 22.8 23.4 23.5 22.3 23.4 22.7 23.1 Juli 22.2 23.3 22.9 23.2 22.9 22.9 22.8 23.0 23.3 Agustus 22.4 23.6 23.0 22.9 23.4 23.1 23.3 22.6 23.6 September 23.4 24.4 23.2 23.7 23.6 23.5 23.6 23.6 24.4 Oktober 23.1 24.5 23.7 24.9 23.7 24.5 23.5 24.4 24.5 Nopember 23.1 23.6 23.3 24.3 23.7 23.9 23.3 24.8 23.6 Desember 23.1 22.9 23.9 23.6 23.1 23.0 23.2 23.2 22.9 Jumlah 274.9 282.2 277.3 282.7 282.8 282.4 280.6 281.6 282.2 Rata-rata 22.9 23.5 23.1 23.6 23.6 23.5 23.4 23.5 23.5 Sumber : BMG Stasiun Geofisika Kelas 1 Bandung
81
Lampiran 3. Data Kelembaban Udara Bulanan Wilayah Pengembangan Bojonagara Gais Lintang Garis Bujur
: 06° 55' S : 107° 36' E
Tinggi DPL Stasiun
Bulan 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Januari 82 82 82 82 75 81 Februari 80 78 79 81 82 82 Maret 78 79 80 83 82 77 April 79 80 82 81 78 80 Mei 82 78 79 76 75 80 Juni 74 77 76 77 71 70 Juli 75 73 77 76 67 76 Agustus 67 70 71 70 69 68 September 64 66 74 68 71 75 Oktober 77 78 84 66 77 71 Nopember 83 83 85 76 80 81 Desember 80 73 70 82 81 85 Jumlah 921 917 939 918 908 926 Rata-rata 77 76 78 77 76 77 Sumber : BMG Stasiun Geofisika Kelas 1 Bandung
2005 83 85 84 83 82 85 80 77 79 81 81 84 984 82
: 791 m : Bandung 2006 85 83 82 83 80 77 78 76 73 72 78 88 955 80
2007 77 87 83 88 82 83 81 73 72 73 87 86 972 81
82
83
84
85
86
87
88
89