i
STUDI PENGARUH KONSEP LANSKAP KERATON SURAKARTA TERHADAP LANSKAP KOTA SURAKARTA
DANUR FEBYANDARI
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Pengaruh Konsep Lanskap Keraton Surakarta terhadap Lanskap Kota Surakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Oktober 2012
Danur Febyandari A44080062
iii
RINGKASAN
DANUR FEBYANDARI. Studi Pengaruh Konsep Lanskap Keraton Surakarta terhadap Lanskap Kota Surakarta. Dibimbing oleh NURHAYATI HADI SUSILO ARIFIN. Keraton Surakarta sebagai pusat budaya memberikan pengaruh kepada masyarakat dan Kota Surakarta. Keberadaan Keraton Surakarta pada tahun 1745 merupakan cikal bakal terbentuknya kota, sehingga memiliki pengaruh besar terhadap wajah kota saat itu. Sejak tahun 2005, Kota Surakarta telah menjadi kota pusaka di Indonesia, dengan tujuan untuk mempertahankan kelestarian karakteristik budaya dan peninggalan sejarah di kota tersebut yang dapat menjadi identitas dari Kota Surakarta. Seiring dengan perkembangan kota maka terjadi banyak perubahan pada lanskap kota yang pada awalnya merupakan sebuah kota tradisional menjadi kota modern. Perubahan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, sehingga untuk menjaga dan melestarikan karakteristik kota perlu adanya suatu acuan guna mempertahankan identitas Kota Surakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) menganalisis konsep lanskap Keraton Surakarta dan mempelajari sejarah perkembangan Kota Surakarta, (2) memetakan dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan lanskap Keraton Surakarta terhadap lanskap Kota Surakarta, dan (3) menghasilkan arahan pengembangan lanskap Kota Surakarta yang beridentitas. Metode yang digunakan pada penelitian ini melalui empat tahap yaitu, (1) tahap persiapan yang meliputi perizinan serta pengadaan alat dan bahan, (2) tahap pengumpulan data, meliputi aspek sejarah, aspek fisik dan aspek sosial, (3) tahap analisis, dilakukan analisis terhadap konsep lanskap Keraton Surakarta, analisis perkembangan Kota Surakarta, analisis sebaran struktur lanskap dan analisis pola sebaran lanskap, dan tahap terakhir adalah (4) tahap sintesis untuk menyusun rekomendasi dalam menciptakan Kota Surakarta menjadi kota yang memiliki identitas budaya yang kuat. Keraton Surakarta merupakan sumber kebudayaan Jawa yang memiliki pemahaman dan konsep tersendiri dalam membentuk wilayahnya. Keraton memiliki konsep tata ruang dengan nilai simbolisme dan filosofi yang kuat
iv
membuat setiap fase pada bangunan di Keraton Surakarta memiliki makna menuju kesempurnaan dan membentuk suatu hirarki pada bangunan-bangunan di Keraton Surakarta. Keberadaan Keraton Surakarta sejak tahun 1745 memberi pengaruh besar pada perkembangan lanskap Kota Surakarta. Permukiman berkembang kearah barat dan aktivitas masyarakat berpusat pada keraton. Dahulu sebelum adanya Keraton Surakarta, Desa Sala merupakan sebuah desa kecil yang dikelilingi oleh banyak sungai. Masuknya pengaruh bangsa Belanda membuat perubahan pada lanskap kota. Kota Surakarta yang pada awalnya merupakan kota dengan konsep tradisional berubah menjadi kota modern dengan memiliki corak dan ragam yang dipengaruhi oleh berbagai budaya. Hasil pemetaan terhadap lanskap Kota Surakarta yang meliputi lanskap permukiman, lanskap perkantoran dan perdagangan, lanskap fasilitas umum dan lanskap jalan didapatkan pengaruh Keraton Surakarta terhadap lanskap kota tersebar pada luasan sebesar 41% pengaruh kuat, pengaruh sedang 35% dan 23% pengaruh rendah. Memudarnya pengaruh Keraton Surakarta terhadap lanskap kota dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu letak/posisisi Keraton Surakarta, batas alam dan infrastruktur, perkembangan mode dan teknologi serta faktor kependudukan. Hasil analisis persepsi masyarakat didapatkan bahwa kurangnya pengetahuan masyarakat Surakarta terhadap konsep lanskap Keraton Surakarta. Namun, masyarakat memiliki rasa kebanggaan yang tinggi terhadap keraton dan memiliki harapan agar dalam perkembangan kota tetap memperhatikan nilai-nilai budaya tradisional. Konsep
pelestarian
yang
diusulkan
adalah
meningkatkan
dan
mempertahankan karakter budaya pada kawasan kota melalui kebijakan pemerintah kota dalam penataan dan pelestarian lanskap peninggalan sejarah dengan didukung oleh partisipasi aktif masyarakat melalui kegiatan yang dapat mempertahankan nilai-nilai budaya. Penataan pada lanskap kota terbagi menjadi tiga zona, yaitu zona inti kota lama Surakarta, zona penyangga dan zona pengembangan. Konsep pelestarian yang diusulkan bertujuan untuk melindungi, melestarikan, meningkatkan integritas budaya dan juga diharapkan dapat menunjang aktivitas ekonomi, budaya dan pariwisata.
v
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
vi
STUDI PENGARUH KONSEP LANSKAP KERATON SURAKARTA TERHADAP LANSKAP KOTA SURAKARTA
DANUR FEBYANDARI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
vii
LEMBAR PENGESAHAN Judul
: Studi Pengaruh Konsep Lanskap Keraton Surakarta terhadap Lanskap Kota Surakarta
Nama
: Danur Febyandari
NRP
: A44080062
Menyetujui, Pembimbing
Dr. Ir. Nurhayati H.S. Arifin, M.Sc NIP. 19620121 198601 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen Arsitektur Lanskap
Dr. Ir. Siti Nurisyah, MSLA NIP. 19480912 197412 2 001
Tanggal disetujui :
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun guna mendapatkan gelar Sarjana Pertanian mayor Arsitektur Lanskap di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian IPB. Penelitian ini berjudul “Studi Pengaruh Konsep Lanskap Keraton Surakarta terhadap Lanskap Kota Surakarta”. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Nurhayati H.S. Arifin, M.Sc selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, masukan, perhatian serta kesabaran dari awal penelitian hingga ahir skripsi ini terselesaikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada GPH Puger, Bapak Mufti Raharjo, Ibu Keksi Sundari, Dinas Tata Ruang Kota Surakarta, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta, Badan Perencanaan Daerah Kota Surakarta, dan warga Surakarta yang telah memberikan segala bantuan dan informasi yang diberikan selama penelitian. Terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Aris Munandar, M.S selaku dosen pembimbing akademik. Ucapan yang sama juga diberikan kepada teman-teman seperjuangan di Arsitektur Lanskap angkatan 45 yang telah memberi dukungan, semangat, doa, keceriaan dan keluh kesah selama kuliah hingga penulisan tugas akhir. Terima kasih juga kepada seluruh keluarga besar arsitektur lanskap IPB atas bantuan dan dukungan selama ini. Terakhir ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada keluarga tercinta, Ayah, Ibu dan Kakak atas segala doa, kasih sayang, dukungan, motivasi dan perhatian. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi Pemerintah Kota Surakarta dalam membentuk Kota Surakarta sebagai kota yang beridentitas budaya dan juga bermanfaat bagi siapapun yang membaca.
Bogor, Oktober 2012
Penulis
ix
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta tanggal 19 Februari 1991, sebagai anak kedua dari dua bersaudara, putri dari Bapak Mazdan Minarno dan Ibu Etty Nurhayati. Pendidikan yang dilewati penulis diawali pada tahun 1994 dan menyelesaikan Taman Kanak-kanak (TK) pada tahun 1996 di TK Permata Jakarta Utara. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 004 Batam. Pada tahun 2005 penulis lulus dari SLTP Negeri 1 Bogor dan pada tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 5 Bogor. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor dan selama setahun menjalankan Tingkat Persiapan Bersama (TPB). Pada Tahun 2009 penulis menjalani pendidikan di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian. Pada tahun ajaran 2012-2013 penulis dipercaya sebagai Asisten Mata Kuliah Sejarah dan Perkembangan Arsitektur Lanskap (semester ganjil). Penulis juga mengikuti kegiatan di luar akademik, seperti menjadi bendahara Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap (HIMASKAP) periode 2009/2010 dan periode 2010/2011.
Selain itu, penulis juga aktif mengikuti berbagai pelatihan dan
seminar yang mendukung kegiatan akademis.
x
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 1.1. Latar belakang ................................................................................................. 1 1.2. Tujuan ............................................................................................................. 2 1.3. Manfaat ........................................................................................................... 3 1.4. Kerangka Pikir ................................................................................................ 3 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 5 2.1. Lanskap Budaya .............................................................................................. 5 2.2. Lanskap Kota .................................................................................................. 6 2.3. Lanskap Keraton ............................................................................................. 8 2.4. Kota Surakarta ................................................................................................. 9 BAB III. METODOLOGI ..................................................................................11 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................................11 3.2. Metode ..........................................................................................................12 3.3. Tahapan Studi................................................................................................13 3.2.1. Persiapan ...........................................................................................13 3.2.2. Pengumpulan Data ............................................................................13 3.2.3. Analisis..............................................................................................15 3.2.4. Konsep dan Arahan Pengembangan Lanskap ...................................19 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...........................................................20 4.1. Keraton Surakarta Hadiningrat ....................................................................20 4.1.1. Lokasi Keraton Surakarta Hadiningrat..............................................20 4.1.2. Sejarah Keraton Surakarta Hadiningrat ............................................20 4.1.3. Lanskap Keraton Surakarta Hadiningrat ...........................................22 4.1.3.1. Konsep Tata Ruang Keraton Surakarta .....................................22 4.1.3.2. Arsitektur dan Filosofi Bangunan Keraton Surakarta ...............27 4.1.3.3. Karakteristik Ruang Terbuka Hijau Keraton Surakarta ............38 4.1.3.4. Ornamen dan Ragam Hias Keraton Surakarta ..........................42 4.2. Kota Surakarta ...............................................................................................46 4.2.1. Kondisi Umum Kota Surakarta .........................................................46 4.2.2 Tata Guna Lahan Kota Surakarta ......................................................47
xi
4.2.3 Peraturan Pemerintah Kota Surakarta ................................................50 4.2.4 Sejarah Perkembangan Lanskap Kota Surakarta ...............................52 4.3. Persepsi Masyarakat terhadap Keraton Surakarta Hadiningrat ....................58 4.4. Analisis Pengaruh Konsep Lanskap Keraton Surakarta terhadap Lanskap Kota Surakarta ...............................................................................61 4.4.1. Analisis Jenis Pengaruh .....................................................................61 4.4.1.1. Lanskap Pemukiman ..................................................................61 4.4.1.2. Lanskap Perkantoran dan Perdagangan ....................................67 4.4.1.3. Lanskap Fasilitas Umum ...........................................................70 4.4.1.4. Lanskap Jalan ............................................................................73 4.4.2. Analisis Pola Sebaran Pengaruh.........................................................76 4.5. Usulan Pengembangan Lanskap ..................................................................79 4.5.1. Konsep Pengembangan Lanskap........................................................79 4.5.2. Arahan Pengembangan Lanskap ........................................................80 4.5.3. Arahan Penataan Lanskap ..................................................................81 BAB V. SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................84 5.1 Simpulan ........................................................................................................84 5.2 Saran ...............................................................................................................85 DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................86 LAMPIRAN .........................................................................................................89
xii
DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka Pikir Penelitian ....................................................................... ......... 4 2. Pela Lokasi Penelitian ............................................................................. .......11 3. Diagram Tahapan Penelitian ................................................................... .......12 4. Diagram Kosmologi Keraton Surakarta .................................................. .....24 5. Konsep Kiblat Papat Kalima Pancer ..............................................................25 6. Sketsa Sumbu Imajiner Lor-Kidul ..................................................................26 7. Tata letak bangunan Keraton Surakarta ..........................................................27 8. Gapura Gladag ................................................................................................28 9. Bangsal Bale Bang ..........................................................................................30 10. Kori Kamandhungan ......................................................................................31 11. Sasana Saweka ...............................................................................................32 12. Sasana Handrawina ........................................................................................33 13. Kolam Bandhengan ........................................................................................34 14. Kori Brajanala Kidul ......................................................................................35 15. Setinggil Kidul ...............................................................................................36 16. Analogi Tata Letak Bangunan Keraton dan Rumah Adat .............................37 17. Pohon Beringin Kurung .................................................................................40 18. Suasana Setinggil Lor ....................................................................................41 19. Pohon Sawo Kecil ..........................................................................................41 20. Sulur-suluran ..................................................................................................43 21. Ragam Hias ....................................................................................................44 22. Ukiran Burung................................................................................................44 23. Radya Laksana ...............................................................................................45 24. Peta Tata Guna Lahan Kota Surakarta ...........................................................49 25. Penulisan Aksara Jawa ...................................................................................50 26. Peta Sebaran BCB di Surakarta......................................................................51 27. Morfologi Kota Surakarta tahun 1500-2000 ..................................................55 28. Tata Letak Gapura Keraton Surakarta............................................................56 29. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Pemukiman ............................64 30. Dalem Purwodiningratan ...............................................................................66
xiii
31. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Perkantoran ............................68 32. Lanskap Perkantoran di Surakarta .................................................................69 33. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Fasilitas Umum......................71 34. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Jalan .......................................74 35. Lanskap Jalan Slamet Riyadi .........................................................................75 36. Tingkat Pengaruh Konsep Lanskap Keraton terhadap Lanskap Kota Surakarta ........................................................................................................77 37. Peta Kota Lama Surakarta ..............................................................................81 38. Penataan Lanskap alun-alun utara ..................................................................82 39. Penataan Lanskap jalur pejalan kaki ..............................................................83
xiv
DAFTAR TABEL
1. Data yang dibutuhkan pada Penelitian ..................................................... .......14 2. Kriteria Penilaian Lanskap Permukiman ................................................. .......17 3. Kriteria Penilaian Lanskap Perkantoran dan Fasilitas Publik .................. .......18 4. Kriteria Penilaian Lanskap Jalan.............................................................. .......19 5. Penggunaan Lahan di Surakarta ............................................................... .......48 6. Pendapat masyarakat terhadap Lanskap Kota Surakarta ......................... .......59 7. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Pemukiman ...................... .......62 8. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Perkantoran dan Perdagangan ............................................................................................ .......67 9. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Fasilitas publik ................ .......70 10. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Jalan ................................ .......73 11. Guideline penataan lanskap kota............................................................. .......83
xv
DAFTAR LAMPIRAN
1.
Lembar Kuisioner........................................................................................ 90
2.
Perhitungan Interval Penilaian .................................................................... 94
3.
Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Permukiman........................ 95
4.
Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Kantor Pemerintah .............. 98
5.
Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Kantor Swasta..................... 99
6.
Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Pertokoan ............................ 101
7.
Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Pasar ................................... 102
8.
Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Hotel ................................... 103
9.
Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Sarana Pendidikan .............. 104
10. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Taman Kota ........................ 106 11. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Sarana Transportasi ............ 106 12. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Sarana Kesehatan ............... 107 13. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Sarana Peribadatan ............. 108
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Keraton Surakarta Hadiningrat merupakan sebuah kawasan bersejarah
yang terbentuk akibat kesinambungan kehidupan masyarakat yang berlangsung dari waktu ke waktu. Terbentuknya kawasan keraton dipengaruhi oleh kepercayaan masyarakat Jawa pada zaman itu dan terus turun temurun menjadikan keraton sebagai suatu bentuk lanskap budaya yang dianggap sebagai pusat dan sumber kebudayaan Jawa. Keraton menjadi pandangan hidup bagi masyarakat Jawa, oleh karena itu keberadaan keraton memberikan pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan lingkungan disekitarnya. Konsep bangunan dan lanskap keraton menjadi pengaruh besar dalam pembentukan lanskap sekitar keraton hingga lanskap Kota Surakarta. Sehingga tercipta suatu lanskap khas dan menjadi pencerminan budaya masyarakat Jawa. Keberadaan Keraton Surakarta merupakan identitas pembentuk karakter lanskap Kota Surakarta. Perkembangan kota sudah sepantasnya mengikuti konsep yang digunakan keraton agar tercipta suatu lanskap kota yang memiliki identitas dan ciri khas tersendiri. Kota Surakarta saat ini tebagi menjadi Solo Lama dan Solo Baru. Menurut Hadi (2001), Solo Lama adalah pusat pemerintahan Kerajaan Surakarta dan Solo Baru merupakan perkembangan kota yang lebih modern. Pada saat sekarang ini, ruang Kota Solo selain dibentuk oleh bangunan-bangunan modern seperti kotakota lainnya di Indonesia, maka secara arsitektural ruang kotanya masih mampu memperlihatkan bangunan-bangunan yang bercirikan era kerajaan (feodal) Jawa dan era kolonial Belanda, bahkan pada beberapa bagian kota masih terdapat bangunan-bangunan dengan arsitektur etnik Cina, Arab dan Indoland/ Campuran (Qomarun dan Budi, 2007). Menurut Zaida (2004), terdapat beberapa faktor yang menentukan perubahan tatanan ruang kota Surakarta, yaitu: pertama, nilai-nilai dan normanorma kepercayaan yang berlaku pada masyarakat sehingga mempengaruhi dan membentuk pola, sikap dan perilaku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam hal penataan kota. Kedua, faktor yang mempengaruhi
2
perkembangan dan perubahan kota adalah kebijakan penguasa/pemerintah pada setiap periode perkembangan dan ketiga adalah kalangan pengusaha dengan modal yang dimiliki mampu mengubah tatanan dan perkembangan tata ruang kota. Hal ini mengakibatkan pengaruh yang berbeda pada setiap bagian kota dan lunturnya penerapan lanskap keraton pada pembentukan lanskap kota. Sejak tahun 2005, Kota Surakarta termasuk kedalam Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI). Penetapan Surakarta sebagai Kota Pusaka bertujuan agar dapat mempertahankan kelestarian karakteristik budaya dan peninggalan sejarah yang berada di Surakarta. Kota Surakarta memiliki karakter budaya yang sangat kuat dipengaruhi oleh keberadaan Keraton Surakarta. Konsep lanskap yang khas dari Keraton Surakarta dapat digunakan dalam penataan ruang lanskap Kota Surakarta, sehingga menjadi pembentuk identitas yang kuat bagi Kota Surakarta. Pengaruh yang tidak merata dan lunturnya pengaruh Keraton Surakarta perlahan-lahan menghilangkan karakteristik budaya dari Kota Surakarta. Oleh karena itu dilakukan penelitian guna mengetahui perkembangan lanskap Kota Surakarta dan dilakukan pemetaan terhadap lanskap kota yang memiliki pengaruh Keraton Surakarta. Kemudian dihasilkan suatu arahan pengembangan kota guna membentuk dan menguatkan karkater budaya dari Kota Surakarta. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan manfaat terhadap masyarakat mengenai karkater budaya Kota Surakarta dan menjadi bahan masukan kepada pemerintah Kota Surakarta dalam menata dan merencanakan penataan Kota Surakarta yang beridentitas.
1.2
Tujuan
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut : 1. menganalisis konsep lanskap Keraton Surakarta dan keterkaitannya dengan sejarah perkembangan Kota Surakarta 2. memetakan dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan lanskap Keraton Surakarta pada lanskap Kota Surakarta 3. menghasilkan arahan pengembangan lanskap Kota Surakarta yang beridentitas.
3
1.3
Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat sebagai berikut : 1. memberi informasi tentang karakteristik dan pola sebaran pengaruh lanskap Keraton Surakarta terhadap lanskap Kota Surakarta 2. memberi masukan kepada pemerintah kota guna menciptakan kota yang beridentitas.
1.4
Kerangka Pemikiran Studi mengenai pengaruh konsep lanskap Keraton Surakarta terhadap Kota
Surakarta dilakukan berdasarkan pemikiran bahwa perkembangan kota yang terjadi dari masa kemasa dipengaruhi oleh banyak faktor. Keraton Surakarta sebagai pembentuk awal dari lanskap kota memberi identitas tersendiri pada kota. Keberadaan Keraton Surakarta dengan konsep ruang, elemen dan ornamen lanskap yang khas memberikan pengaruh pada perkembangan kota. Budaya keraton, termasuk konsep lanskap keraton, turut mempengaruhi bentukan wajah kota. Seiring dengan perkembangan waktu maka dalam perkembangannya, lanskap Kota Surakarta yang terbentuk pada saat ini dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah dan juga faktor-faktor lainnya. Identifikasi lanskap pada jenis dan sebaran pengaruh akan sangat penting untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Keraton Surakarta terhadap lanskap Kota Surakarta saat ini. Sebaran, karakteristik, serta tingkat pengaruh pada seluruh wilayah kota dipengaruhi oleh faktor fisik, kebijakan pemerintah dan faktor-faktor lainnya. Melalui identifikasi konsep ruang, jenis elemen, tata letak dan ornamen dari keraton maka dapat dilakukan pemetaan terhadap sebaran konsep lanskap keraton terhadap lanskap kota dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pola sebaran dan penerapan dari lanskap keraton terhadap lanskap kota. Pemetaan dan deliniasi pada lanskap kota dapat digunakan sebagai acuan dalam menyusun arahan pengembangan lanskap Kota Surakarta yang beridentitas. Kerangka berfikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
4
Lanskap Keraton Surakarta
Lanskap Awal Kota Surakarta
Perkembangan Kota Kebijakan Pemerintah
Lanskap Kota Surakarta Saat Ini
Identifikasi Lanskap Kota Surakarta : Jenis Pengaruh : - Konsep Ruang - Jenis Elemen - Tata Letak Elemen - Ornamen Posisi Penerapan Pengaruh Lanskap Keraton Surakarta
Pemetaan dan deliniasi pengaruh Lanskap Keraton Surakarta terhadap Lanskap Kota Surakarta : - Jenis/ragam pengaruh - Intensitas/pola pengaruh - Visual lanskap Kota Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan lanskap Keraton Surakarta terhadap Lanskap Kota Surakarta
Usulan Arahan Pengembangan Kota Surakarta
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
Pengaruh Luar
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Lanskap Budaya Lanskap budaya merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam dari
waktu ke waktu (Plachter dan Rossler, 1995). Lanskap budaya pada beberapa negara di dunia menonjol sebagai model interaksi antara manusia, sistem sosial dan cara manusia mengatur ruang. Lanskap budaya dapat teridentifikasi menjadi komponen teraba dan tidak teraba. Komponen tidak teraba berupa suatu ide dan interaksi yang berdampak pada persepsi dan pembentukan lanskap, seperti keyakinan yang sudah terlebur dengan lanskap terkait. Lanskap budaya merupakan cerminan dari budaya yang membentuk lanskap itu sendiri. Sedangkan menurut Nurisyah dan Pramukanto (2001) lanskap budaya merupakan suatu model atau bentuk dari lanskap binaan, yang dibentuk oleh suatu nilai budaya yang dimiliki suatu kelompok masyarakat yang dikaitkan dengan sumberdaya alam dan lingkungan yang ada pada tempat tersebut. Hasil interaksi antara manusia dan alam lingkungannya yang merefleksikan adaptasi manusia dan juga perasaan dalam menggunakan dan mengelola sumberdaya alam dan lingkungan yang terkait dengan kehidupannya. Hal ini diekspresikan dalam bentuk dan pola permukiman dan perkampungan, pola penggunaan lahan, sistem sirkulasi, arsitektur bangunan dan struktur lain. Melnick (1983) menyatakan bahwa terdapat setidaknya tiga belas komponen yang merupakan karakter atau identitas lanskap budaya. Ketiga belas komponen tersebut dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu konteks, organisasi, dan elemen. 1. Lanskap budaya dalam kelompok konteks a. sistem organisasi lanskap budaya b. kategori penggunaan lahan secara umum c. aktivitas khusus dari pengguna lahan. 2. Lanskap budaya dalam kelompok organisasi a. hubungan bentuk bangun dari elemen mayor alami b. sirkulasi jaringan kerja dan polanya c. batas pengendalian elemen
6
d. penataan tapak. 3. Lanskap budaya dalam kelompok elemen a. hubungan pola vegetasi dengan penggunaan lahan b. tipe bangunan dan fungsinya c. bahan dan teknik konstruksi d. skala terkecil dari elemen e. makam atau tempat simbolik lainnya f. pandangan sejarah dan kualitas persepsi.
2.2
Lanskap kota Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kota adalah daerah permukiman
yang terdiri atas bangunan rumah yang merupakan kesatuan tempat tinggal dari berbagai lapisan masyarakat, daerah pemusatan penduduk dengan kepadatan tinggi serta fasilitas modern dan sebagian besar penduduknya bekerja di luar pertanian dan juga dinding (tembok) yang mengelilingi tempat pertahanan. Perencanaan kota di negara berkembang, seperti Indonesia, diawali dengan penataan ulang (revitalisasi) struktur kota, politik arsitektur kolonial menjadi sebuah pijakan karena kota di Indonesia sejak zaman dahulu sudah direncanakan dan dirancang oleh Belanda, termasuk di dalamnya penempatan distrik-distrik gedung pemerintahan, pusat perdagangan dan jasa, struktur jalan serta fasilitas lain (Mulyandari, 2011). Pembangunan gedung-gedung pemerintahan, pasar, permukiman, rel kereta api, jalan raya, pabrik gula dan bangunan-bangunan lain di Indonesia adalah kontribusi daru zaman kolonial Belanda. Menurut Freeman (1974) dalam Warlina (2001), struktur perkotaan memiliki empat ciri khas yang meliputi penyedia fasilitas untuk seluruh warga, penyedia jasa (tenaga), penyedia jasa profesional (bank, kesehatan dan lainnya) serta memiliki pabrik (industri). Sedangkan menurut Lynch (1960), elemen penting pada suatu kota dapat diklasifikasikan ke dalam lima bentukan fisik, yaitu paths (jalur/jalan), nodes (simpul), districs (distrik), landmarks (tengaran), dan edges (tepian). Paths atau jalur/jalan merupakan suatu unsur penting pembentuk kota. Berdasarkan elemen pendukungnya, paths meliputi jaringan jalan sebagai prasarana pergerakan dan angkutan darat, sungai, laut, udara, terminal sebagai
7
sarana pengangkutan. Nodes atau simpul merupakan pertemuan antara beberapa jalan/lorong yang ada di kota, sehingga membentuk suatu ruang tersendiri. Nodes merupakan suatu pusat kegiatan fungsional yang menjadi pusat penduduk dalam memenuhi kebutuhan hidup. Distrik yang terdapat dipusat kota merupakan daerah komersial yang didominasi oleh kegiatan ekonomi dan pada daerah yang berbatasan dengan distrik terdapat banyak tempat yang digunakan sebagai pasar lokal, pertokoan dan sebagian lain digunakan sebagai tempat tinggal. Landmarks merupakan citra suatu kota dimana memberikan suatu kesan terhadap kota tersebut. Edges merupakan suatu masa bangunan yang membentuk dan membatasi suatu ruang di dalam kota. Menurut Mulyandari (2011) kondisi kota yang ada di Indonesia sangat kompleks yaitu pertumbuhan/perkembangan kota yang tidak merata, masih dipengaruhi oleh pasar, terjadi proses-proses komersial yang cenderung tidak terkontrol, kerusakan lingkungan yang semakin parah, inefisiensi sumber daya, bahkan terjadi ketidakadilan sosial. Sehingga kota di Indonesia dapat dikarakteristikkan sebagai berikut: a. tumbuh secara tidak terencana (organis) b. cenderung tidak terkendali (sprawl) c. mengabaikan aspek tata guna lahan, sehingga tata guna lahan tercampur (mixed-uses) d. dualisme ekonomi : formal – informal e. budaya kota yang khas f. aturan-aturan pemerintah kota banyak yang tidak terlaksana. Mulyandari menyatakan lebih lanjut, untuk membentuk suatu kota yang memiliki karakteristik, humanisme dan spiritualisme maka diperlukan kualitas dasar manusia yang menjadi penghuni sebuah kota, yaitu a. filosof,
yang
akan
merumuskan
konsep
ideologi,
konsep
ketatanegaraan dan ilmu-ilmu filsafat lainnya b. seniman, yang memiliki kreativitas dan karakteristik nilai keindahan yang akan membentuk watak dan karakteristik masyarakat
8
c. teknokret, yang akan mempengaruhi perkembangan sistem ekonomi, politik sekaligus melakukan percepatan pertumbuhan kehidupan kearah yang lebih baik dengan ilmu pengetahun dan teknologi d. pebisnis, yang mempengaruhi proses urbanisasi dengan cepat. e. ulama, yang memiliki kualitas spiritual untuk menyeimbangkan kemajuan peradaban manusia yang cepat, dengan meningkatkan manusia tentang hubungan manusia-Tuhan-alam.
2.3
Lanskap Keraton Keraton sering disebut sebagai kebudayaan masyarakat Jawa. Menurut
kamus besar bahasa Indonesia istilah keraton memiliki arti sebagai tempat kediaman ratu dan raja, kerajaan, maupun istana raja. Pada Keraton Surakarta istilah kedhaton merujuk kepada kompleks tertutup bagian dalam keraton tempat raja dan putra-putrinya tinggal. Lanskap keraton merupakan lanskap yang terbentuk akibat timbal balik antara masyarakat yang tinggal disekitar keraton dengan alam untuk terus bertahan hidup. Keraton yang dianggap sebagai sumber budaya menjadi panutan bagi penduduk sekitar keraton sehingga konsep lanskap pada keraton diterapkan pada tempat tinggal mereka. Pengaruh keraton yang besar terhadap lanskap sekitar mempengaruhi pembentukan lanskap kota tempat keraton berada. Keraton Kasunanan Surakarta yang berdiri pada tahun 1745 Masehi mengalami masa pembangunan selama beberapa periode. Pembangunan dan perbaikannya dilaksanakan mulai dari Raja Pakubuwana II sampai Raja Pakubuwana XII sehingga keraton memiliki wujud fisik seperti yang ada pada saat ini. Dari Alun-alun Utara melalui Gapura Gladag hingga Alun-alun Selatan melalui Gapura gading. Pada bagian tengah Alun-alun Utara dan Selatan terdapat kawasan utama keraton yang dikelilingi tembok setebal dua meter dan setinggi enam meter yang disebut kawasan Baluwerti. Di tengah Baluwerti masih terdapat pagar tembok berkeliling. Di bagian dalam tembok inilah terletak inti keraton yang sering disebut juga Cepuri atau Kedaton. Di dalam Kedaton terdapat tempat tinggal raja dengan keluarganya. Raja tinggal di sebuah bangunan yang disebut Dalem Agung Prabasuyasa (Maruti, 2003).
9
Keraton Surakarta memiliki konsep tata ruang yang khas dalam penataan ruang. Terdapat konsep simbolisme dan filosofi yang kuat pada Keraton Surakarta, sehingga terdapat suatu hirarki pada susunan bangunan-bangunan di Keraton Surakarta. Konsep simbolisme dan filosofi Keraton Surakarta juga ditemukan pada tata ruang luar yang terbagi menjadi empat kriteria, yaitu Alunalun Lor, pelataran pelataran Setinggil Lor, pelataran kedathon dan Alun-alun Kidul (Setiawan, 2000). Alun-alun yang terletak diutara merupakan simbol dari kehidupan di dunia dan alun-alun di selatan mencerminkan kematian. Lanskap keraton merupakan cerminan adat istiadat dan kebudayaan masyarakat Jawa. Taman-taman dan penataan ruang bahkan penanaman pepohonan mengikuti kepercayaan yang mereka percaya, seperti penanaman pohon sawo kecik dibelakang halaman Keraton Surakarta yang memiliki filosofi tersendiri. Filosofi sawo kecik identik dengan sarwo becik yang memiliki arti serba baik. Diharapkan yang menanam dan yang mempunyai tanaman ini dirumahnya akan selalu mendapatkan kebaikan (Wukilarit 2010). Penetapan dan peletakan vegetasi pada kawasan keraton juga memiliki makna tersendiri seperti dua pohon beringin (Ficus benjamina) di bagian depan komplek alun-alun Keraton Surakarta yang melambangakan perlindungan dan keadilan.
2.4
Kota Surakarta Kota Surakarta atau dikenal dengan kota Solo merupakan sebuah kota di
Pulau Jawa yang menjadi sangat menarik karena keberadaan Keraton Surakarta. Keraton Surakarta dengan konsep tata ruang yang memiliki ciri khas tersendiri mempengaruhi pembentukan wajah lanskap pada Kota Surakarta. Keberadaan Keraton Surakarta menjadi panutan masyarakat Surakarta dalam berbagai hal, baik dari kepercayaan mengenai filosofi kehidupan hingga paham-paham maupun ajaran yang dianut oleh keraton. Kota Surakarta merupakan sebuah kota yang tumbuh sebagai pusat pemerintahan kerajaan, yang kemudian berkembang menjadi sebuah kota yang mendukung fungsi komersial, industri, jasa dan sektorsektor lainnya, layaknya sebuah kota modern (Hadi,2001). Surakarta pada awalnya berkembang dengan konsep tata ruang tradisional mengalami perubahan menjadi kota kolonial dan pada akhirnya menjadi kota
10
modern dengan tidak menghiraukan kembali konsep-konsep yang digunakan oleh Keraton Surakarta. Hadi (2001) menyatakan bahwa “Solo Lama” adalah pusat pemerintahan Kerajaan Surakarta Hadiningrat. Dimana pasar-pasar tempat penduduk melakukan transaksi dalam nama-nama Jawa. Pola penyebaran pasarpasar ini membentuk konfigurasi kota yang cenderung berkembang mengikuti pola grid. Kota Surakarta memiliki luas wilayah sebesar 4.404,06 Ha dan terbagi menjadi lima wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Laweyan, Kecamatan Serengan, Kecamatan Pasar Kliwon, Kecamatan Jebres dan Kecamatan Banjarsari. Dari lima kecamatan tersebut terdapat 51 kelurahan. Terjadi konflik penggunaan ruang di pusat kota antara usaha memanfaatkan ruang (wilayah binaan antik) guna mengejar nilai ekonomi tanah dan usaha konservasi budaya. Perkembangan kota yang pesat membawa serta perubahan budaya warga kota, jumlah kepadatan penduduk meningkat mempengaruhi pola penggunaan ruang pada kota Surakarta. Pemukiman penduduk cenderung bergeser keluar, sehingga muncul wilayah-wilayah desa-kota disekeliling Surakarta. Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia, Kota Surakarta terus mengalami perkembangan perubahan yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah seperti perubahan ekologi kota, pertambahan penduduk, dan juga faktor eksternal yang secara langsung mempengaruhi perkembangan kota melalui kebijakan politik dan masuknya kekuatan kapitalis. Surakarta kemudian menampilkan bentuknya sebagai kota yang memadukan unsur-unsur tradisional dan modern (Gunawan, 2010).
11
BAB III METODOLOGI 3.1
Tempat dan Waktu Penelitian mengenai pengaruh konsep lanskap Keraton Surakarta terhadap
lanskap Kota Surakarta ini dilakukan pada kawasan Keraton Kesunanan Surakarta dan kawasan Kota Surakarta. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. Waktu dalam penelitian ini adalah enam bulan, dari bulan Februari 2012 hingga Juli 2012.
Indonesia Pulau Jawa
Kota Surakarta
Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Sumber : BAPEDDA Surakarta
12
3.2.1 Metode Penelitian dilakukan dengan membagi dua wilayah identifikasi, yaitu pada lanskap Keraton Surakarta dan lanskap Kota Surakarta. Penelitian dilakukan melalui empat tahapan, yaitu persiapan, pengumpulan data, analisis dan sintesis serta penyusunan rekomendasi guna meningkatkan identitas Kota Surakarta. Tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.
Persiapan
Pengumpulan Data
Analisis
Sintesis
Pembuatan proposal dan kolokium Perizinan dinas terkait Pengadaan alat dan bahan penelitian
Data Lanskap Keraton Surakarta Data Lanskap Kota Surakarta
Analisis konsep ruang, elemen dan ornamen lanskap Keraton Surakarta Analisis perkembangan lanskap Kota Surakarta Pemetaan pengaruh konsep lanskap keraton terhadap lanskap Kota Surakarta Analisis pola sebaran lanskap dan faktor yang mempengaruhi penerapan konsep lanskap keraton terhadap perkembangan Kota Surakarta
Formulasi pengaruh konsep lanskap keraton pada lanskap kota dan kebutuhan pengembangan Rekomendasi guna pengembangan lanskap kota
Gambar 3. Diagram Tahapan Studi
13
3.3
Tahapan Studi
3.2.1
Persiapan Tahapan persiapan meliputi penyusunan proposal penelitian, pelaksanaan
kolokium yaitu mempresentasikan proposal penelitian dan mendapatkan masukan. Pada tahap persiapan dilakukan kegiatan mengurus perizinan di lokasi penelitian dan dilakukan pencarian informasi umum mengenai lokasi penelitian, serta mempersiapkan alat dan bahan yang diperlukan. 3.2.2
Pengumpulan data Data yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah data lanskap Keraton
Surakarta dan data lanskap Kota Surakarta. Data Keraton Surakarta mencakup data primer dan sekunder yaitu data mengenai aspek kesejarahan, konsep ruang, desain/ragam hias dan ornamen pada elemen lanskap. Data yang diperlukan pada Kota Surakarta terdiri dari aspek kesejarahan, penggunaan lahan, struktur kota, elemen-elemen pembentuk kota, aspek legal dan juga pendapat/pandangan masyarakat Kota Surakarta terhadap lanskap Kota Surakarta. Data yang dibutuhkan pada penelitian akan dijabarkan pada Tabel 1. Pengumpulan data dilakukan dengan cara berikut : a. Observasi : observasi merupakan pengamatan pada tapak guna mengetahui kondisi eksisting pada tapak. Observasi dilakukan dengan mengamati lanskap Keraton Surakarta dan lanskap Kota Surakarta yang meliputi lanskap permukiman, lanskap perkantoran dan perdagangan, lanskap fasilitas umum dan lanskap jalan. b. Wawancara : wawancara dengan narasumber guna mengetahui informasi mengenai hal terkait. Tahapan wawancara juga diperlukan untuk mendapatkan data dan informasi mengenai kondisi sosial budaya yang ada pada masyarakat sekitar yang tidak dapat dilihat secara langsung melalui tahapan observasi. Wawancara dilakukan dengan berbagai narasumber, yaitu : 1. GPH Puger, Kepala Sasana Pustaka Keraton Surakarta 2. Mufti Raharjo, Kepala Bidang Pelestarian Kawasan dan Bangunan Cagar Budaya (BCB) Dinas Tata Ruang Kota Surakarta
14
3. Endah Sita Resmi, Kepala Bidang Perencanaan Tata Ruang Dinas Tata Ruang Kota Surakarta 4. Keksi
Sundari,
kepala
Bidang
Sarana
Wisata
Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta c. Kuisioner : Kuisioner digunakan sebagai media wawancara kepada masyarakat kota Surakarta. Kuisioner disebar kepada masyarakat kota guna mengetahui pandangan maupun pendapat masyarakat Kota Surakarta terhadap Keraton Surakarta dan keinginan masyarakat dalam penataan kota. Kuisioner disebar pada masyarakat yang bermukim di sekitar keraton dan masyarakat yang bermukim di berbagai kecamatan di Kota Surakarta, sehingga diharapkan dapat mewakili pendapat dari masyarakat Kota Surakarta. d. Studi pustaka : Studi pustaka dilakukan guna mengetahui kondisi sosial budaya, maupun kesejarahan yang sudah tidak dapat dilihat karena bentukan fisik sudah hilang tergerus oleh perkembangan zaman. Studi pustaka juga dilakukan terhadap konsep dan sejarah perkembangan kota, dokumen-dokumen maupun peta dan juga kebijakan-kebijakan pemerintah. Tabel 1. Data yang dibutuhkan pada penelitian 1
2
Jenis Data Bentuk Data Lanskap Sejarah Keraton Surakarta Keraton Konsep dan filosofi Tata Ruang dan Lanskap Surakarta Keraton Jenis, tata letak dan makna elemen-elemen keraton (hardscape dan softscape ) Lanskap Kondisi Umum Kota Sejarah dan perkembangan kota Surakarta Penggunaan lahan (landuse) Struktur kota ( pusat kota hingga pinggir kota) Kondisi Biofisik ( iklim, topografi, hidrologi, vegetasi, satwa, tanah dan sirkulasi) Elemen fisik : kantor-kantor pemerintahan, kantor swasta, bangunan dan fasilitas umum (pasar, taman, tempat peribadatan, sarana pendidikan) dan bangunan serta fasilitas komersil Permukiman : Bangunan (arsitektur dan orientasi) dan halaman rumah (elemen hardscape dan softscape)
Sumber Data Arsip keraton, observasi, studi pustaka dan wawancara BMG, observasi lapang , kuisioner dan studi pustaka
15
Tabel 1. Data yang dibutuhkan pada penelitian (Lanjutan) Jenis Data Lanskap Kota Surakarta
2
3.2.3
Bentuk Data Rencana Tata Ruang Kota (RTRK) Kebijakan pengembangan dan pembangunan kota Kebijakan mengenai pelestarian kota dan kawasan bersejarah Persepsi masyarakat mengenai Keraton Surakarta
Sumber Data BAPPEDA, Dinas Tata Ruang Kota Surakarta, wawancara dan kuisioner
Analisis Tahapan analisis meliputi tahap identifikasi dan analisis konsep lanskap
Keraton Surakarta dan lanskap Kota Surakarta. Tahapan analisis dilakukan dengan metode analisis deskriptif kuantitatif, deskriptif kualitatif dan secara spasial. Analisis dilakukan melalui empat tahap, yaitu analisis konsep lanskap Keraton Surakarta, analisis perkembangan lanskap Kota Surakarta, analisis sebaran elemen lanskap dan analisis pola sebaran lanskap. 1.
Analisis konsep lanskap Keraton Surakarta Analisis konsep lanskap Keraton Surakarta dilakukan secara deskriptif
kualitatif. Analisis konsep lanskap Keraton Surakarta dilakukan guna mengetahui tatanan dan karakter lanskap dari Keraton Surakarta. Konsep lanskap pada Keraton Surakarta yang dikemukakan oleh Setiawan (2000) dalam tesis yang berjudul Konsep Simbolisme dalam Tata Ruang Luar Keraton Surakarta merupakan dasar dalam melakukan identifikasi dan analisis konsep lanskap keraton. Setiawan (2000) menyatakan bahwa ruang luar/lanskap pada Keraton Surakarta terdiri dari sejarah keraton, bangunan keraton, pandangan hidup dan adat istiadat, serta konsep tata ruang keraton. Identifikasi pada lanskap keraton juga dilakukan dengan cara observasi langsung dan juga wawancara dnegan pihak-pihak terkait. Hasil deskripsi
lanskap
Keraton
Surakarta
digunakan
untuk
mengidentifikasi
pengaruh/kesamaan pada lanskap Kota Surakarta. 2.
Analisis Perkembangan Kota Surakarta Analisis perkembangan lanskap kota Surakarta dilakukan dengan cara
deskriptif kualitatif dan spasial. Analisis dilakukan dengan menelusuri sejarah Kota Surakarta melalui periode pemerintahan sejak Keraton Surakarta hingga saat
16
ini. Analisis juga dilakukan dengan mengacu pada peta maupun sketsa denah lanskap kota dari berbagai periode pemerintahan. Analisis dilakukan guna mengetahui arah perkembangan kota serta karakteristik lanskap yang terbentuk pada Kota Surakarta. 3.
Analisis pengaruh konsep lanskap Keraton Surakarta Analisis pengaruh konsep lanskap keraton pada lanskap Kota Surakarta
dilakukan dengan cara deskriptif kuantitatif, yaitu pemberian skor nilai pada lanskap kota. Menurut Lynch (1960) elemen penting dari suatu kota terdiri dari paths, nodes, district, landmarks dan edges. Sedangkan menurut Freeman (1974) suatu kota harus menyediakan berbagai fasilitas untuk seluruh warga. Sehingga penilaian jenis pengaruh konsep lanskap keraton terhadap lanskap kota dilakukan dengan penilaian pada empat elemen penting pada kota, yaitu: a. lanskap permukiman b. lanskap perkantoran dan perdagangan c. lanskap fasilitas umum d. lanskap jalan. Analisis skoring pada masing-masing elemen lanskap dilakukan dengan observasi/pengamatan langsung dan juga melalui penelusuran cagar budaya yang telah ditetapkan pada Surat Keputusan Walikota pada Tahun 1997 serta dengan melakukan identifikasi melalui bantuan dari google maps. Metode ini dilakukan guna memetakan lanskap Kota Surakarta. Analisis skoring pada elemen-elemen lanskap kota akan dinilai berdasarkan kriteriakriteria tertentu yang diungkapkan oleh Haris dan Dines (1988) mengenai asosiasi kesejarahan serta kriteria elemen bersejarah seperti pada Undang-Undang No.11 Tahun 2010 dan juga dengan menggunakan karakter lanskap keraton seperti yang diungkapkan oleh Setiawan (2000) seperti konsep tata ruang, arsitektur bangunan keraton, ragam hias dan elemen pendukung lanskap keraton lainnya. Kemudian skor penilaian akan dijumlahkan guna mengetahui apakah elemen-elemen lanskap pada Kota Surakarta masih mengikuti konsep lanskap yang digunakan pada keraton Surakarta. Selanjutnya setelah dihasilkan analisis skoring secara spasial, maka akan dihitung luasan setiap zona guna mengetahui besaran area pada masing-masing zona pengaruh.
17
Kriteria dalam penilaian terhadap masing-masing elemen disajikan pada Tabel 2, Tabel 3 dan Tabel 4. Kriteria penilaian pada lanskap meliputi : a. asosiasi kesejarahan b. konsep tata ruang c. jenis elemen d. posisi/tata letak elemen e. desain elemen f. ornamen atau ragam hias Keraton Surakarta. Kriteria penilaian memiliki bobot penilaian yang berbeda-beda. Asosiasi kesejarahan memiliki bobot nilai terbesar, hal ini dikarenakan nilai sejarah merupakan elemen penting yang dapat menunjukan pengaruh dari Keraton Surakarta. Sedangkan kriteria lain memiliki bobot yang lebih rendah, karena pada kriteria-kriteria tersebut dianggap memiliki kepentingan yang sama. Penilaian terhadap lanskap dihitung berdasarkan metode skoring yang digunakan oleh Slamet (Slamet, 1983 dalam Anggraeni, 2011) yaitu dengan rumus interval sebagai berikut : g. Interval Kelas (IK) = Skor Maksimum (SMa) – Skor minimum (SMi) Jumlah Kategori Tinggi
= SMi + 2IK +1 sampai SMa
Sedang
= SMi + IK + 1 sampai (SMi + 2IK)
Rendah
= SMi sampai SMi +IK
Tabel 2. Kriteria Penilaian Lanskap Permukiman Skor Kriteria Asosiasi Kesejarahan (40%)
Kuat (3) Hubungan kesejarahan yang kuat dengan Keraton Surakarta
Sedang (2) Hubungan kesejarahan yang lemah dengan Keraton Surakarta
Rendah (1) Tidak memiliki hubungan kesejarahan dengan Keraton Surakarta
Tata Ruang (10%)
Tata ruang kawasan menyerupai tata ruang di Keraton Surakarta
Tata ruang kawasan sedikit menyerupai tata ruang di Keraton Surakarta
Tata ruang kawasan tidak menyerupai tata ruang di Keraton Surakarta
18
Tabel 2. Kriteria Penilaian Lanskap Permukiman (Lanjutan) Kriteria Arsitektur Bangunan (20%)
Ornamen Bangunan (15%)
Kesamaan elemen hardscape dan softscape (15%)
Kuat (3) Permukiman mengadopsi gaya arsitektur seperti pada Keraton Surakarta Ornamen bangunan memiliki maupun menyerupai detail yang menunjukan ciri khas Keraton Elemen lanskap memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas Keraton Surakarta
Skor Sedang (2) Permukiman mengadopsi beberapa gaya arsitektur, namun masih mencerminkan gaya arsitektur masa lalu Ornamen bangunan memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas masa lalu Elemen lanskap masih memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas masa lalu
Rendah (1) Permukiman tidak dapat menunjukkan gaya arsitektur masa lalu Ornamen bangunan tidak memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas di masa lalu Elemen lanskap tidak memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas di masa lalu
Keterangan : Skor 1-1,7 = Rendah ; Skor 1,8-2,4 = Sedang; Skor 2,5-3 = Tinggi Tabel 3. Kriteria Penilaian Lanskap Perkantoran dan Perdagangan dan Lanskap Fasilitas Umum Kriteria Asosiasi Kesejarahan (40%) Posisi terhadap Keraton Surakarta (20%) Arsitektur Bangunan (20%)
Kesamaan jenis elemen lanskap (20%)
Kuat (3) Hubungan kesejarahan yang kuat dengan Keraton Surakarta Terletak pada konsep tata ruang Keraton Surakarta
Lanskap bangunan mengadopsi gaya arsitektur seperti pada Keraton Surakarta
Elemen lanskap memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas Keraton Surakarta dan banyak tersebar
Skor Sedang (2) Hubungan kesejarahan yang lemah dengan Keraton Surakarta Terletak pada konsep tata ruang lain
Lanskap bangunan mengadopsi beberapa gaya arsitektur, namun masih mencerminkan gaya arsitektur tradisional Jawa Elemen lanskap masih memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas masa lalu dan tersebar cukup banyak
Rendah (1) Tidak memiliki hubungan kesejarahan dengan Keraton Surakarta Tidak terletak pada konsep tata ruang Keraton Surakarta
Lanskap bangunan tidak mengadopsi gaya arsitektur tradisional Jawa
Elemen lanskap tidak memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas di masa lalu
Keterangan : Skor 1-1,7 = Rendah ; Skor 1,8-2,4 = Sedang; Skor 2,5-3 = Tinggi
19
Tabel 4. Kriteria Penilaian Lanskap Jalan Kriteria Asosiasi Kesejarahan (40%)
Kuat (3) Hubungan kesejarahan yang kuat dengan Keraton Surakarta
Kesamaan elemen hardscape (30%)
Elemen lanskap memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas Keraton Surakarta Elemen lanskap memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas Keraton Surakarta
Kesamaan elemen softscape (30%)
Skor Sedang (2) Hubungan kesejarahan yang lemah dengan Keraton Surakarta Elemen lanskap masih memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas masa lalu Elemen lanskap masih memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas masa lalu
Rendah (1) Tidak memiliki hubungan kesejarahan dengan Keraton Surakarta Elemen lanskap tidak memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas di masa lalu Elemen lanskap tidak memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas di masa lalu
Keterangan : Skor 1-1,7 = Rendah ; Skor 1,8-2,4 = Sedang; Skor 2,5-3 = Tinggi 4. Analisis pola sebaran lanskap Analisis spasial dilakukan guna mengetahui pola sebaran lanskap. Analisis dilakukan dengan menggunakan peta hasil analisis jenis pengaruh konsep lanskap keraton terhadap Kota Surakarta. Analisis pola sebaran lanskap dilakukan guna mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi sebaran lanskap tersebut. 3.2.4. Konsep dan Arahan Pengembangan Lanskap Setelah dilakukan analisis data didapatkan suatu hasil menyeluruh yang merupakan hasil analisis data baik analisis konsep lanskap keraton, analisis perkembangan Kota Surakarta, analisis sebaran jenis pengaruh lanskap maupun analisis pola sebaran lanskap. Pada tahap sintesis didapatkan formulasi mengenai pengaruh konsep lanskap keraton terhadap lanskap Kota Surakarta dan faktorfaktor yang mempengaruhi sehingga didapatkan kebutuhan pengembangan yang dapat digunakan untuk pengembangan Kota Surakarta.
20
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Keraton Surakarta Hadiningrat
4.1.1
Lokasi Keraton Surakarta Hadiningrat Keraton Surakarta terletak pada Kelurahan Baluwerti, Kecamatan Pasar
Kliwon, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Keraton Surakarta terletak pada pusat kota Surakarta dengan batas utara adalah Jalan Slamet Riyadi yang merupakan jalan utama Kota Surakarta, sebelah selatan berbatasan dengan Jalan Veteran, sebelah timur dan barat berbatasan dengan Jalan Supit Urang. Keraton Surakarta memiliki aksesibilitas yang baik karena letaknya berada pada pusat kota dan juga berdekatan dengan kawasan perekonomian kota. Kawasan Keraton Surakarta memiliki luas wilayah ±55 ha yang meliputi Alun-alun Utara, lingkungan dalam tembok Baluwarti (keraton dan perumahan Baluwarti) sampai dengan Alun-alun Selatan.
4.1.2
Sejarah Keraton Surakarta Hadiningrat Keraton Surakarta merupakan bangunan bersejarah yang merupakan
rintisan Kerajaan Mataram. Keraton Surakarta sering juga disebut dengan Keraton Mataram Surakarta (Nitinagoro, 2011). Keraton Mataram mengalami perpindahan ibukota kerajaan sebanyak lima perpindahan sebelum akhirnya berdiri Keraton Mataram Surakarta. Pada tahun 1742 terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang Cina di Kartasura dan berhasil menduduki Keraton Kartasura yang pada saat itu dipimpin oleh Ingkang Sinuhun Susuhanan Paku Buwono II. Pemberontakaan ini dinamai dengan Geger Pecinan. Peristiwa Geger Pecinan merupakan awal mula hancurnya Keraton Mataram Kartasura. Dengan melihat kondisi Keraton Mataram Kartasura yang telah hancur maka Susuhan Paku Buwono II memberi perintah untuk dilakukan pemindahan keraton. Terdapat tiga tempat untuk dijadikan keraton baru sebagai ganti Keraton Mataram Kartasura, yaitu Kadipolo, Sonosewu dan Desa/Dusun Sala. Desa Sala terpilih menjadi tempat untuk dibangun keraton baru.
21
Desa Sala merupakan sebuah desa yang dikuasai oleh Ki Gede (Ageng) Sala. Dari Ki Gede Sala ini akan diketahui asal usul dari keberadaan Desa Sala. Nama Sala diambil dari nama pemimpin desa pada masa itu, yaitu seorang abdi dalem Kerajaan Pajang yang bernama Kiai Sala Sepuh. Pembangunan keraton baru dimulai dengan desain bangunan tidak berbeda jauh dengan Keraton Kartasura. Keraton baru ini dikenal dengan nama Keraton Nagari Surakarta dan selesai dibangun pada tahun 1667 Jawa atau 1745 Masehi, walaupun keraton masih berpagar bambu belum memiliki pagar dengan tembok seperti saat ini. Perpindahan keraton dari Keraton Kartasura menuju Keraton Surakarta tercatat dilakukan pada Rabu Pahing bulan Muharram (Sura) tahun Eje 1667 Jawa tahun 1745 Masehi atau 17 Februari 1745 Masehi. Pada masa pemerintahan Paku Buwono III, Surakarta terbagi menjadi dua bagian. Hal ini disebabkan karena ketidakpuasan kaum bangsawan terhadap campur tangan kompeni, pemberontakan ini diprakarsai oleh Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Pada 13 Pebruari 1755 terjadi Perjanjian Giyanti yang berisi bahwa Pangeran Mangkubumi berkedudukan di Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengku Buwana, dengan nama keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Setelah dilakukan Perjanjian Giyanti, masalah semakin rumit sehingga dilakukan Perjanjian Salatiga 17 Maret 1755. Perjanjian ini menghasilkan kesepakatan yaitu Raden Mas Said mendapatkan daerah kekuasaan Keraton Surakarta dan mendapatkan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati (KGPAA) Mangkunegaran dengan wilayah kekuasaan bernama Mangkunegaran dan ditambah dengan tanah lungguh atau tanah yang dijadikan tempat didirikan Pura Mangkunegaran. Dengan kedua perjanjian itu maka wilayah Keraton Surakarta menjadi berkurang. Pada masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwono XII, Negara Indonesia dinyatakan merdeka sehingga seluruh pemerintahan di wilayah Indonesia dipimpin oleh seorang presiden. Raja dan Keraton Surakarta sekarang tidak memiliki kekuasaan secara de facto tertanggal sejak 15 Juli 1946 dikeluarkan PP Nomor 16/SD 1946 yang berisi penetapan pemerintah yang mengatur mengenai pemerintahan di Surakarta dan Yogyakarta (Maruti, 2003).
22
4.1.3 Lanskap Keraton Surakarta Hadiningrat Keraton Surakarta merupakan salah satu pusat kebudayaan nasional, khususnya kebudayaan Jawa atau kebudayaan Jawi (Nitinagoro, 2011). Keraton Surakarta memiliki konsep lanskap yang khas dari bangunan lainya. Keraton yang merupakan tempat tinggal raja dan keluarganya memiliki konsep dan filosofi dari setiap elemen pembentuknya. Konsep lanskap dari Keraton Surakarta merupakan hasil pemikiran yang matang dari para pendahulu yang terus terbawa sampai saat ini sehingga menjadi suatu budaya bagi masyarakat Kota Surakarta. 4.1.3.1 Konsep Tata Ruang Keraton Surakarta Keraton Surakarta Hadiningrat merupakan bagian dari suatu pewarisan budaya dari Keraton Pajang ke Mataram/Kota Gede kemudian ke Kartasura hingga di Surakarta. Nilai budaya yang diwariskan secara turun menurun dalam kehidupan masyarakat
menjadi sumber pandangan, orientasi
kehidupan
masyarakat Surakarta pada khususnya dan masyarakat Jawa pada umumnya (Setiawan, 2000). Konsep tata ruang pada Keraton Surakarta memiliki konsep simbolisme yang kuat. Konsep ini melekat dari bangunan Gapura Gladag di utara hingga ke Gapura Gading di selatan. Konsep tata ruang di Keraton Surakarta terdiri dari Konsep kosmologi dan filosofi, Konsep Dualisme, Konsep Kiblat Papat Kalima Pancer dan Konsep Supit Urang. a. Konsep Kosmologi dan Konsep Filosofi Penataan lanskap Keraton Surakarta menerapkan konsep kosmologi yang dipengaruhi oleh ajaran Hindu dan Budha. Dumadi (2011) menyatakan bahwa masyarakat Jawa merumuskan kehidupan manusia berada pada dua kosmos (alam) yaitu makrokosmos dan mikrokosmos. Makrokosmos memiliki pemahaman bahwa alam semesta merupakan sebuah wadah yang tetap besarannya dan memiliki kekuatan besar. Sedangkan konsep mikrokosmos memiliki pemahaman bahwa raja merupakan perwujudan Tuhan di dunia sehingga dalam diri raja terdapat keseimbangan berbagai kekuatan alam. Dalam konsep mikrokosmos, raja merupakan pusat kehidupan di dunia dan keraton sebagai tempat kediaman raja. Keraton merupakan pusat keramat kerajaan dan bersemayamnya raja, karena raja merupakan sumber kekuatan-kekuatan kosmis yang mengalir ke daerah dan
23
membawa ketentraman, keadilan dan kesuburan. Sehingga, keraton menjadi pusat dari segala aktifitas masyarakat dan menjadi kiblat dari segala macam aktivitas. Keraton Surakarta memiliki karakteristik pola kosmologi yang terbagi menjadi empat lapisan yaitu kuthanegara, negara gung, mancanegara, dan pesisiran. Keraton memiliki sistem tata ruang kota menurut kaidah-kaidah masyarakat tradisional yang masih dipengaruhi oleh tingkat kebangsawanan. Tempat tinggal raja dan kedudukannya disebut kuthanegara atau negari atau negara. Kuthanegara dikelilingi oleh tembok guna melindungi raja dari gangguan luar. Tembok ini memiliki nama yaitu tembok baluwarti. Diluar tembok kuthanegara merupakan tempat tinggal bagi para kerabat dekat raja dan juga abdi dalem yang bertutut-turut berada di lingkar luar kerajaan, yaitu negara agung, mancanegara dan pesisir ( Premordia, 2005). Konsep kewilayahan seperti ini memperlihatkan bahwa masyarakat yang bertempat tinggal dekat dengan keraton adalah masyarakat yang memiliki jabatan penting dan tingkat sosial yang tinggi, atau dikenal dengan istilah bangsawan. Sedangkan yang bertempat tinggal jauh dari keraton dianggap berkedudukan lebih rendah. Konsep wilayah seperti ini menciptakan perkampungan-perkampungan baru yang menjadi tempat tinggal para abdi dalem maupun prajurit-prajurit keraton. Penamaan perkampungan juga diambil dari penghuni pada kampung tersebut, contohnya Kampung Purwaprajan yang dahulu merupakan tempat tinggal RNg Purwaprajan, seorang abdi dalem bupati anom pada zaman Sunan Pakubuwana X (Gunawan, 2010). Dengan terbentuknya permukiman masyarakat maka terlihat adanya pola permukiman yang menyebar pada Kota Surakarta. Tata ruang bangunan di Keraton Surakarta menganut konsep kosmologi yang tercermin dari Gapura Gladag hingga Gapura Gading (Gambar 4). Lapisanlapisan ini berdasarkan pola konsentrik yang pembaginya menyangkut fungsi dan tingkat keselarasannya (Premordia, 2005).
Pola kosmologi menjadi panutan
dalam mendirikan bangunan di Keraton Surakarta, sehingga terbentuk hirarki dalam susunan bangunan keraton dari utara hingga selatan. Terdapat kepercayaan bahwa pada setiap fase bangunan yang dilewati akan menuju ke arah kesempurnaan.
24
Gambar 4. Susunan Kosmologi Keraton Surakarta (Sumber : Premordia 2005) b. Konsep Dualisme Konsep dualisme memiliki pemahaman bahwa segala sesuatu memiliki hubungan dan saling melengkapi sehingga didirikan secara berpasangan. Konsep ini terlihat pada bangunan keraton yang sebagian besar berpasangan, seperti pada Alun-alun Lor-Kidul, Setinggil Lor-Kidul, dan bangunan lainnya. Konsep dualisme memiliki pemahaman kesatuan yang tunggal dan melambangkan kehidupan di dunia.
c. Konsep Kiblat Papat Kalima Pancer Pembangunan Keraton Surakarta dilakukan dengan mempertimbangkan arah/orientasi dengan menggunakan konsep kiblat papat kalima pancer, yaitu suatu konsep yang memiliki arti hidup menuju empat arah mata angin namun berpusat pada satu kiblat di tengahnya. Konsep kiblat papat kalima pancer dapat dilihat pada Gambar 5. Dimana penentuan arah mata angin yang saling berpapasan yaitu lor-kidul (utara-selatan), kulon-wetan (barat-timur) yang merupakan pemahaman dualisme yaitu kesatuan tunggal yang hakiki (Setiawan, 2000). Keraton Surakarta dikenal sebagai kerajaan Islam, kepercayaan secara spiritual ini memberi pengaruh pada konsep kiblat papat kalima pancer. Arah lor merupakan kekuatan ilmu spiritual yang berkaitan dengan kepentingan lahiriah atau kepandaian ilmu dalam usaha mencapai cita-cita masa
25
depan. Arah kidul (selatan) merupakan bersatunya hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan raja dengan rakyat, sedangkan arah wetan-kulon (timurbarat) merupakan asal segala sesuatu. Dapat disimpulkan bahwa arah lor-kidul (utara-selatan) merupakan arah hubungan manusia dengan Tuhan yang dikenal dengan hablu minallah. Sedangkan arah kulon-wetan (timur-barat) merupakan hubungan sosial antara manusia dengan manusia yang dikenal dengan hablu minannas. Letak Keraton Surakarta yang menganut konsep kiblat papat kalima pancer di analogikan sebagai berikut, Keraton Surakarta sebagai pancer atau pusat kiblat dan dikelilingi oleh Hutan Krendhawahana disebelah utara, Gunung Lawu disebelah timur, Gunung Merapi/Merbabu disebelah Barat dan Pantai Selatan disebelah selatan. Setiawan (2000) menyatakan bahwa arah timur (wetan) merupakan asal mula segala sesuatu. Sehingga bangunan keraton disesuaikan dengan arah menghadap pandhapa besar yaitu Sasana Saweka yang berada di timur. Konsep lanskap keraton berpedoman pada keempat mata angin dan terdapat dua poros besar yang saling memotong tegak lurus yang pada umumnya menghasilkan susunan pancer berupa istana sebagai intinya.
Lor Hutan Krendhawahana Hablu minallah
Kulon Gunung Merapi/
Keraton Surakarta
Wetan
Hadiningrat
Gunung Lawu
GunungMerbabu
Hablu minannas
Hablu Minannas
Kidul Pantai Selatan Hablu minallah
Gambar 5. Konsep Kiblat Papat Kalima Pancer (Sumber : Setiawan, 2000)
26
Terdapat sebuah sumbu imajiner yang sejajar dengan garis lor-kidul. Sketsa sumbu imajiner pada Kota Surakarta disajikan pada Gambar 6. Terdapat Tugu yang sekarang ini berada di depan Balaikota Kota Surakarta dan memiliki garis sejajar dengan keraton. Saat raja duduk di Bangsal Sewayana maka pandangannya akan tertuju pada puncak tugu. Tugu ini merupakan simbol dari Tuhan Yang Maha Esa, yang merupakan Maha Pencipta alam beserta segala isinya. Oleh karenanya segala pusat perhatian dan orientasi manusia dalam bertingkah laku dalam kegiatan sehari-hari diarahkan senantiasa untuk mengingatNya. Orientasi merupakan suatu hal penting pada masyarakat Jawa, hal ini diduga menjadi dasar dalam menentukan arah apabila akan membuat maupun melakukan sesuatu. Masyarakat percaya dengan mempertimbangkan adanya orientasi maka setiap hal yang akan dilakukan berjalan dengan baik.
Gambar 6. Sketsa Sumbu Imajiner Lor-Kidul (Sumber : Setiawan 2000) d. Konsep Supit Urang Pada bagian luar benteng keraton terdapat sebuah jalan yang mengelilingi dinding keraton bagian inti, jalan ini bernama Jalan Supit Urang. Jalan Supit Urang merupakan simbolisme dari capit udang yang merangkul dan melindungi lingkungan keraton dari luar. Udang menggunakan capit sebagai alat pertahanan dari musuh. KGPA Puger menyatakan bahwa Jalan Supit Urang dibuat
27
mengelilingi bangunan Keraton Surakarta dengan pemahaman agar dapat melindungi dan merangkul semua orang sehingga dapat tercipta suasana yang aman terjaga. Konsep simbolisme dan konsep lanskap pada Keraton Surakarta merupakan tuntunan perjalanan hidup menuju kearah kesempurnaan yang terwujud dalam wujud fisik bangunan Keraton yang dimulai dari Gapura Gladag hingga Gapura Gading. Konsep tata ruang tersebut menjadikan susunan bangunan-bangunan Keraton Surakarta memiliki suatu hirarki yang kuat. Berikut terdapat gambar tata letak bangunan-bangunan pada Keraton Surakarta yang disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Tata Letak Bangunan Keraton Surakarta Hadiningrat (Sumber : Premordia,2005) 4.1.3.2 Arsitektur Bangunan dan Filosofi Keraton Surakarta Keraton Surakarta yang merupakan turunan dari Kerajaan Mataram memiliki sejarah yang panjang pada bentuk maupun gaya arsitektur bangunan. Konsep dan filosofi dari setiap elemen keraton memiliki pengaruh dari setiap fase yang dilewati. Hal ini berakibat pada bentuk dan corak bangunan Keraton
28
Surakarta. Pada gaya bangunan maupun corak yang digunakan keraton terdapat pengaruh dari gaya arsitektur barat yang dibawa oleh Belanda seperti bentuk pilar, arsitektur Cina yang dibawa oleh para pedagang Cina maupun bergaya Arab yang masuk karena keberadaan bangsa Arab di Solo. Namun, gaya arsitektur tradisional Jawa merupakan hal yang menjadi dasar bentuk dan filosofi bangunan di Keraton Surakarta. berikut adalah susunan bangunan yang berada di Keraton secara berurutan dari utara hingga selatan beserta filosofi dari masing-masing bangunan: 1. Gapura Gladag Gapura Gladag merupakan pintu masuk menuju komplek Keraton Surakarta. Pada bagian depan gapura terdapat sepasang arca penjaga pintu. Gapura Gladag merupakan sepasang gapura yang berbentuk menyerupai tembok setinggi ±4 meter. Pada kedua sisi gapura terdapat arca, yaitu Brahmana Yaksa sebagai kori/ pintu masuk menuju alun-alun utara. Dalam bahasa Jawa, gladag atau nggladag berarti menyeret (Maruti, 2003). Gladag merupakan tempat dikumpulkan hewan buruan yang diseret dengan gerobak untuk disembelih. Hal ini memiliki arti perlambangan kepada manusia untuk mengutamakan kewajiban, harus bisa mengendalikan nafsu, mengekang hawa nafsu dan menguasai hawa nafsu hewani. Maksudnya adalah manusia tidak boleh memberi kebebasan terhadap nafsu. Gapura Gladag dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Gapura Gladag 2. Gapura dan Bangsal Pamurakan Gapura Pamurakan terletak tepat dibelakang Gapura Gladag. Gapura Pamurakan memiliki bentukan fisik menyerupai Gapura Gladag. Bangsal Pamurakan yang terletak di selatan Gapura Pamurakan merupakan bangunan
29
terbuka dengan atap menyerupai joglo (Maruti,2003). Gapura dan Bangsal Pamurakan merupakan tempat penyembelihan hewan dan tempat pembagian daging bagi mereka yang berhak mendapatkan bagian dari daging pemotongan tersebut. Dahulu Bangsal Pamurakan juga digunakan sebagai tempat berteduh bagi kendaraan tamu yang ingin menemui raja. Bangsal Pamurakan saat ini telah direnovasi dan dijadikan sebagai kios kios berjualan cindramata maupun buku bekas. Selain direnovasi juga sudah banyak didirikan kios-kios berjualan yang menyerupai bangunan Bangsal Pamurakan, sehingga sulit untuk melihat bentukan asli dari Bangsal Pamurakan. Hal ini juga disebabkan karena banyak tenda-tenda penjual yang didirikan tidak beraturan. 3. Pagelaran Sasana Sumewa Dalam bahasa Jawa, sasana berarti tempat. Sasana Sumewa merupakan suatu tempat pemerintahan para patih dalem dan juga bawahannya. Keberadaan Sasana Sumewa merupakan sebuah perlambangan bahwa adanya kekuasaan raja yaitu tata aturan pemerintahan di Keraton Surakarta. Bangunan ini memiliki 48 buah pilar/saka. Jumlah tiang tersebut merupakan sebuah pertanda bahwa Sasana Sumewa didirikan pada saat Sinuhun Pakubuwana X berumur 48 tahun. Pada bagian tengah Sasana Sumewa terdapat sebuah bangsal kecil yang bernama bangsal Pangrawit yang digunakan sebagai tempat duduk raja pada saat dilaksanakan acara-acara keraton. Di hadapan Sasana Sumewa terdapat sebuah tugu besar. Tugu ini merupakan tugu peringatan 200 tahun keberadaan serta berdirinya Keraton Surakarta (Nitinegoro, 2011). Pada saat ini Sasana Sumewa dijadikan tempat kegiatan yang tidak bersifat resmi bahkan pada saat ini, Sasana Sumewa kerap digunakan sebagai tempat peristirahatan bagi para pengunjung yang mengunjungi Keraton Surakarta. 4. Setinggil Lor/Utara Nitinegoro (2011) menyatakan bahwa Setinggil, dalam bahasa Jawa berarti tanah yang lebih tinggi. Kori wijil (pintu keluar) merupakan sebuah pintu dengan undakan tangga sebelum memasuki Setinggil. Setinggil dikelilingi oleh pagar besi yang berfungsi sebagai pagar. Terdapat delapan buah meriam yang menghadap ke
30
utara dan berjejer dari timur sampai barat. Meriam-meriam ini adalah peninggalan Belanda yang diletakkan sebagai simbol pertahanan. Setinggil memiliki beberapa bangunan, yaitu bangsal Sewayana dan didalamnya terdapat bangsal Manguntur Tangkil, yaitu merupakan tempat duduk raja yang digunakan pada saat diadakan acara besar. Pada komplek Setinggil terdapat bangunan dengan gaya arsitektur barat seperti pada bangsal Bale Bang di Gambar 9 yang menampilkan bentuk pilar pengaruh barat.
Gambar 9. Bangsal Bale Bang Pada Setinggil juga terdapat bangsal atau bale yang digunakan sebagai tempat menyimpan pusaka-pusaka kramat keraton, diantara lain ada Bale Manguneng, Bale Angun-angun dan juga Bangsal Balembang. Pintu keluar Setinggil dikelilingi oleh tembok aling-aling, kemudian terdapat tangga turun dari barat dan timur. Tangga dari barat disebut dengan Kori Mangu, sedangkan dari timur disebut Kori Renteng. 5. Kori Brajanala (Lor/utara) Kori Brajanala terletak di selatan Setinggil. Kori Brajanala dibangun bersamaan dengan pembangunan tembok keliling Baluwerti atau Cepuri atau benteng yang semula hanya dibangun menggunakan bambu. Kori Brajanala berasal dari kata braja yang artinya senjata tajam dan nala berarti hati. Kori Brajanala memiliki arti dan filsafah, siapa yang ingin memasuki keraton harus memiliki ketajaman hati. Kori Brajanala merupakan bangunan beratap limas yang memiliki dua buah ruang yang digunakan para prajurit raja untuk berjaga dan terdapat sebuah menara dengan lonceng sebagai penunjuk waktu (Maruti, 2003). Di dalam Kori Brajanala terdapat dua buah bangsal, pada bagian luar disebut Bangsal Brajanala dan pada bagian dalam disebut Bangsal Wisamarta. Wisa memiliki arti upas dan
31
marta berarti penawar. Bangsal Wisamarta memiliki makna sebelum masuk ke keraton maka hendaknya menghilangkan maksud-maksud yang tidak baik. Pada saat ini Setelah melewati Kori Brajanala terdapat sebuah halaman luas dengan perkerasan aspal menuju Kori Kamandungan. Terdapat dua pintu gerbang sebelah timur dan barat halaman Kamadhungan, di sebelah barat bernama Lawang Gapit Kulon dan di sebelah timur bernama Lawang Gapit Wetan. 6. Kori Kamandhungan Kamandhungan berasal dari kata Mina dan Andhungan , yang berarti cadangan (Nitinegoro, 2011). Di hadapan kori terdapat bangunan berkanopi yang disebut Bale Rata. Bangunan ini digunakan untuk tempat parkir kendaraan tamu keraton. Pada bagian luar maupun dalam Kori Kamandhungan terdapat bangsal untuk tempat berjaga para abdi dalem keraton. Kori Kamandhungan dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Kori Kamandhungan Pada bagian dalam Kori Kamandhungan terdapat bangunan bernama Smarakata. Bangunan beratap limas ini diperuntukkan sebagai tempat upacara wisuda para sentana maupun acara karawitan. Pada bagian timur terdapat Marchukuda. Terdapat dua buah cermin besar pada pintu masuk Kori Kamandhungan. Keberadaan cermin adalah agar setiap orang yang ingin memasuki Kori Kamandhunagan untuk berkaca dan mawas diri, baik secara lahiriah maupun batiniah. 7. Kori Srimanganti Lor Kori Srimanganti terletak tepat di selatan Kori Kamandhungan dengan bentuk atap “Semar Tinandhu”. Kori Srimanganti merupakan tempat tamu menunggu untuk bertemu dengan Raja. Srimanganti berasal dari kata Sri yang berarti Raja dan Manganti yang berarti menunggu (Nitinegoro, 2011). Pada
32
bagian timur Srimanganti terdapat menara yang dikenal dengan Panggung Sangga Buwana, menara segi delapan dengan empat lantai. Pada puncak menara terdapat gambar dua orang manusia sedang mengendarai ular. Panggung Sangga Buwana merupakan bangunan tertinggi di Kota Surakarta. 8. Sasana Saweka Sasana Saweka adalah sebuah pendapa besar berbentuk pangrawit dan dilengkapi sebuah serambi. Sasana Saweka (Gambar 11) terdiri dari pilar-pilar kokoh yang dihiasi oleh ukiran bernuansa emas, merah dan coklat. Sasana Saweka merupakan tempat singgasana Raja untuk duduk di hadapan para abdi dalem berpangkat tinggi. Pada bagian depan Sasana Saweka terdapat sebuah bangunan berbentuk joglo dengan atap limasan jubang, yaitu tanpa serambi maupun sakaguru dan memiliki pilar sejumlah delapan. Bangunan ini bernama Maligi. Maligi digunakan sebagai tempat acara sunatan/khitanan putra raja (Maruti, 2003). Sasana Saweka dikelilingi oleh Paningrat, yaitu serambi yang ketinggiannya lebih rendah. Paningrat dikelilingi oleh tanaman palem kuning dalam pot cina dan juga dikelilingi oleh patung/prasasti bergaya Eropa.
Gambar 11. Sasana Saweka 9. Sasana Parasdya Terletak dibelakang Sasana Saweka, Sasana Parasdya merupakan bangunan Jawa berbentuk Joglo Kepuhan, yaitu joglo tanpa serambi. Di dalam Sasana Parasdya terdapat singgasana yang menghadap ke barat. Tempat ini merupakan tempat Sinuhun menyaksikan latihan tari Bedhaya atau Srimpi. Dibelakang singgasana terdapat sebuah pintu kayu yang menghubungkan Sasana Parasdya dengan Dalem Ageng Prabasuyasa (Maruti, 2003).
33
10. Sasana Handrawina Sasana Handrawina dibangun pada masa pemerintahan Sinuhun Kanjeng Paku Buwana V. Sasana Handrawina merupakan bangunan dengan gaya modern yang terbuat dari kayu dan kaca. Bangunan ini merupakan tempat raja menerima tamu agung dan juga tempat untuk berpesta. Sasana Handrawina pernah terbakar dan pada tahun 1997 dilakukan renovasi. Saat ini kondisi Sasana Handrawina sangat terjaga dengan dikelilingi oleh tanaman palem kuning didalam pot dan juga patung-patung bergaya eropa yang merupakan cendramata dari berbagai negara. Sasana Handrawina dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Sasana Handrawina 11. Sasana Wilapa Sasana Wilapa terdiri dari kata Sasana yang berarti tempat dan Wilapa yang berarti surat. Sasana Wilapa terletak di sebelah barat Sasana Handrawina. Sasana Pustaka merupakan tempat untuk menyimpan arsip-arsip Keraton beserta tulisan-tulisan para pujangga maupun mengenai sejarah keraton. Sasana Pustaka banyak dikunjungi oleh para pelajar maupun mahasiswa yang ingin mempelajari mengenai Keraton Surakarta. Sasana Wilapa merupakan bagian dari organisasi keraton yang bertugas untuk bagian surat resmi Keraton. Sasana Wilapa terletak pada pelataran barat laut dari Kori Srimanganti. 12. Bangsal Pradangga, Bangsal Bujana dan Bangsal Ngajeng Terdapat tiga buah bangunan pada timur pelataran kedathon, bangunan ini membujur ke selatan dan berbentuk bangsal terbuka dengan atap limasan. Bangsal Pradangga, Bangsal Bujana dan Bangsal Ngajeng membentang dari utara hingga selatan. Bangsal ini digunakan untuk tempat bermain gamelan pada upacara maupun penyambutan tamu agung keraton (Maruti, 2003).
34
13. Kedathon Terdapat bangunan-bangunan inti keraton yang terletak di sebelah barat pelataran. Bangunan inti tidak dapat diakses oleh semua orang. Bangunan ini diutamakan bagi keluarga raja dan orang-orang yang mendapat izin untuk berkunjung. Bangunan inti keraton terdiri dari Dalem Ageng Prabasuyasa, Keputren, Keraton Kulon, Masjid Bandengan, Masjid Pudyasana dan bangunan tempat tinggal lainnya. Dalem Ageng Prabasuyasa terletak di sebelah barat Sasana Saweka dihubungkan oleh Pringgitan Parasdya. Dalem Ageng Prabasaya merupakan bangunan yang sangat disakralkan oleh keraton, sehingga penjelasan mengenai bangunan ini hanya didapatkan dari tulisan yang ada. Bangunan ini merupakan tempat tinggal raja dan tempat berkumpul keluarga raja. Dalem Ageng Prabasaya memiliki arsitektur bangunan Jawa yang disebut Joglo Limasan Sinom Mangkurat (Maruti, 2003). Terdapat empat buah kamar pada Dalem Ageng Prabasaya yang digunakan untuk menyimpan benda-benda pusaka milik Keraton Surakarta. Seiring perjalanan waktu, kamar-kamar di Dalem Ageng Prabasaya sudah tidak digunakan sebagai tempat tinggal sehingga berkembang sakralisasi pada seluruh Dalem Ageng Prabasaya. Keputren merupakan tempat tinggal wanita atau puteri keraton. Keputren terletak di selatan dalem Ageng Prabasaya dan memanjang dari barat ke utara. Di dalam Keputren terdapat sebuah taman yang disebut Taman Kadilengen (Maruti, 2003). Masjid Bandengan dan Masjid Pudyasana merupakan masjid yang berada di pelataran keraton. Masjid Bandengan dibangun ditengah-tengah kolam persegi dengan luas 800m2 (disajikan pada Gambar 13).
Gambar 13. Taman Bandengan Sumber: google.com
35
Keraton Kulon merupakan keraton baru yang dibangun oleh Sinuhun Pakubuwana X setelah mendengar ramalan runtuhnya Keraton Surakarta setelah berumur 200 tahun. Keraton Kulon dibangun di sebelah barat gunung. Gunung yang dimaksud adalah timbunan tanah yang tinggi yang menyerupai gunung yang ditanami oleh pepohonan sehingga menyerupai hutan. Keraton Kulon dibangun dengan arsitektur bergaya kolonial dengan pintu gerbang menghadap ke barat. Setelah masa pemerintahan PB X berakhir, bangunan ini tidak ditempati lagi. 14. Kori Srimanganti Kidul Kori Srimanganti Kidul berada di selatan Sasana Handrawina, yaitu timur Sasana Pustaka. Kori Srimanganti Kidul berpasangan dengan Kori Srimanganti Lor. Kori Srimanganti Kidul berfungsi sebagai pintu masuk menuju keraton dari bagian selatan, namun saat ini sudah jarang digunakan karena saat ini pintu masuk keraton hanya lewat pintu utara. 15. Kori Kamandungan Kidul Kori Kamandungan Kidul berpasangan dengan Kori Kamandungan Lor dan memiliki fungsi yang sama sebagai pintu masuk menuju keraton, namun dari arah selatan. Pada Kori Kamandungan Kidul tidak terdapat Bale Rata. Saat ini Kori Kamandhungan Kidul telah menjadi bagian dari Sekolah Dasar Kasatriyan. Dengan keberadaan sekolah ini maka tertutup akses menuju keraton dari arah selatan. 16. Kori Brajanala Kidul Kori Brajanala Kidul berpasangan dengan Kori Brajanala Lor. Kori Brajanala Kidul menghubungkan daerah Baluwarti dengan darah luar Baluwarti. Kori Brajanala Kidul dapat dilihat pada Gambar 14. Pada Kori Brajanala Kidul tidak ditemukan adanya bangsal seperti di bagian utara.
Gambar 14. Kori Brajanala Kidul
36
17. Setinggil Kidul Setinggil Kidul memiliki bentuk bangunan yang sangat berbeda dengan Setinggil Lor. Setinggil Kidul hanyalah bangunan Jawa dengan pendapa besar dikelilingi oleh pagar besi yang menghadap Alun-alun Kidul tanpa adanya pagelaran seperti Sasana Sumewa. Setinggil Kidul dikelilingi oleh Jalan Supit Urang Kidul dan terdapat dua buah meriam yang menghiasi (Maruti, 2003). Saat ini kondisi Setinggil Kidul sangat tidak terawat, rumput-rumput sekitar nya sudah tinggi dan banyak sampah yang bertebaran. Pada Setinggil Kidul terdapat dua buah gerbong kereta bekas yang dahulu digunakan oleh pihak keraton. Setinggil Kidul dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Setinggil Kidul 18. Gapura Gading Gapura Gading merupakan pintu keluar dari keraton bagian selatan. Gapura Gading merupakan sebuah gapura berwarna kuning gading, sesuai namanya, dan terdapat lambang Radya Laksana pada bagian atas gapura (Maruti, 2003). Gapura gading menghubungkan keraton dengan Jalan Veteran. Bangunan tradisional Jawa merupakan bangunan yang menjadi dasar pada bangunan-bangunan Keraton Surakarta. Tata ruang bangunan tradisional Jawa Tengah terdiri dari lima bagian ruang yaitu Pendapa, Pringgitan, Griya Ageng, Gandok dan Pawon. Keraton Surakarta menggunakan konsep bangunan yang sama dengan tata ruang bangunan tradisional Jawa. Analogi bangunan di Keraton Surakarta dengan bangunan rumah tradisional Jawa disajikan pada Gambar 16. Pandapa merupakan bangunan yang terletak paling depan dengan saka/tiang sebagai penopangnya, pandapa biasanya dilengkapi dengan atap berbentuk limasan dan digunakan sebagai tempat berkumpul maupun tempat menerima
37
tamu. Pringgitan adalah ruang penghubung antara Pendapa dengan Griya Ageng yang merupakan pusat maupun inti dari kegiatan keluarga di rumah. Griya Ageng terbagi menjadi dua, bagian depan memiliki luasan lebih besar dan digunakan untuk ruang berkumpul keluarga, sedangkan bagian belakang terdiri dari tiga ruangan, yaitu Krobongan, Senthong Tengen/kanan dan Senthong Kiwa/kiri (Setiawan, 2000). Selanjutnya, Gendok yang berada di sisi kiri dan kanan Griya Ageng yaitu ruang yang digunakan sebagai kamar anggota keluarga dan Pawon ruang yang letaknya paling belakang yang merupakan sebuah dapur.
Gambar 16. Analogi Tata Letak Bangunan Keraton dan Rumah adat Sumber : Setiawan (2000) Terdapat lima bentuk atap pada bangunan pokok rumah adat Jawa, yaitu Panggungpe, Kampung, Tajug , Limasan dan Joglo. Hal ini diterapkan pada bentuk bangunan di Keraton Surakarta, raja tidak diperbolehkan mendirikan bangunan tempat tinggal dengan atap limasan atau joglo atau kampung, melainkan dengan sinom mangkurat untuk Sasana Prabasuyasa. Bangunan limasan maupun joglo digunakan untuk bangunan pelengkap saja (Setiawan, 2000). Masing-
38
masing bangunan memiliki latar belakang sosial yang disesuaikan dengan status sosial pemilik rumah. Ronald (2005) menjelaskan bahwa bentuk bangunan rumah memiliki status sosial tersendiri, seperti rumah tipe Joglo merupakan rumah dengan pemilik berstatus sebagai bangsawan, rumah tipe Limasan dimiliki oleh masyarakat menengah dan bentuk kampung dimiliki oleh masyarakat kebanyakan. Masyarakat Jawa telah lama menggunakan kayu sebagai bahan baku dasar dalam pembuatan rumah. Arsitektur Jawa di Indonesia sebagian besar diterapkan pada bangunan rumah tinggal dan sebagian lain adalah pada bangunan peribadatan, monumen atau makam leluhur, pasar atau sejenis bangunan yang lekat sekali dengan kebutuhan sehari-hari suku bangsa Jawa. Bagi masyarakat Jawa, rumah atau tempat tinggal bukanlah sekedar tempat untuk berlindung dari segi fisik saja, namun juga merupakan suatu tempat yang dapat mengakomodasi kegiatan spiritual maupun ritual sesuai kepercayaan mereka. Masyarakat Jawa terkenal memiliki kepercayaan tersendiri dalam melakukan kegiatan, begitu juga dalam membangun sebuah rumah. Maka untuk mendirikan sebuah rumah, dilakukan perhitungan dimana akan diletakkan pintu, jendela dan sebagainya, tidak dilupakan diadakannya sesajen agar pembangunan rumah berjalan lancar. Bangunan tempat tinggal dengan konsep bangunan rumah adat Jawa/ tradisional Jawa hanya dimiliki oleh beberapa kalangan saja. Seiring dengan perkembangan zaman dan adanya proses globalisasi, maka banyak masyarakat yang tidak menggunakan konsep bangunan seperti ini lagi. Hal ini dikarenakan faktor ekonomi dan juga lahan yang tersedia sudah sangat terbatas, karena bangunan dengan konsep rumah adat memerlukan lahan yang cukup luas.
4.1.3.3. Karakteristik Ruang Terbuka Hijau Keraton Surakarta Ruang terbuka hijau di Keraton Surakarta dihiasi oleh tanaman-tanaman indah yang selain memiliki fungsi ekologis juga memiliki nilai simbolik. Ruang terbuka hijau di Keraton Surakarta terdiri dari Alun-alun lor (utara), Alun-alun Kidul (selatan) dan juga halaman maupun pelataran yang berada di Keraton Surakarta beserta elemen-elemen penyusun ruang terbuka hijau tersebut.
39
1. Alun-alun Lor Alun-alun Lor merupakan sebuah lahan terbuka dengan hamparan pasir. Saat ini Alun-alun Lor maupun Alun-alun Kidul Keraton Surakarta sudah dipenuhi oleh rumput hijau. Pada zaman dahulu, alun-alun merupakan suatu tempat yang sangat lapang dengan permukaan dihampari oleh pasir. Konon pasir yang menutupi lahan alun-alun merupakan pasir yang berasal dari Pantai Selatan Jawa. Pada siang hari, pasir akan menyerap panas, sehingga akan terpantulkan udara yang panas. Namun, pada malam hari pasir akan membawa udara yang sangat menyejukkan. Keadaaan siang dan malam tersebut melambangkan bahwa di dunia terdapat keadaan yang saling berlawanan yaitu ada hal baik dan juga hal buruk (Nitinagoro, 2011). Nitinagoro (2011) menyatakan bahwa pada Alun-alun Lor terdapat beberapa pasang pohon beringin kembar. Pohon beringin yang memiliki tajuk yang besar dan rindang memiliki perlambangan sebagai pengayoman, kewibawaan dan kehidupan. Setiap pohon beringin yang ditanam memiliki julukan tersendiri, seperti pohon beringin yang berada pada pelataran Gapura Gladag yang bernama Wok yang artinya wanita dan Jenggot yang artinya pria. Kedua beringin tersebut merupakan simbol peringatan bahwa asal kehidupan diciptakan Allah melalui pria dan wanita (ayah dan ibu). Sehingga, kedua pohon beringin ini merupakan lambang kesuburan. Dua pohon beringin kembar yang berada dibatas ruang Alun-alun Lor bagian selatan, yaitu pohon beringin Gung yang berarti tinggi ditanam di sebelah timur alun-alun dan pohon beringin Binatur yang berarti pendek ditanam di sebelah barat alun-alun. Kedua beringin ini memiliki arti bahwa Keraton Surakarta adalah duwur tan ngungkul-ngungkuli, andap tan keno kinungkulan (tinggi yang tidak berlebihan dan rendah namun tidak boleh ada yang merendahkan). Terdapat dua buah beringin kembar yang terletak di tengah alun-alun. Beringin tersebut dibawa dari Keraton Kartasura. Kedua pohon beringin dipagari dengan pagar besi sehingga disebut sebagai beringin kurung. Beringin kurung memiliki filosofi tersendiri yaitu kesempurnaan hidup yang harus dicapai oleh manusia dan bahwa dalam kehidupan ini manusia selalu memilik batasan maupun kekurangan dan tidak dapat bertingkah-laku semaunya, hal ini dilambangkan
40
dengan pagar besi yang mengurungi kedua beringin tersebut. Pohon beringin kurung dapat dilihat pada Gambar 17. Pohon beringin ini diberi nama beringin Dewandaru atau Tejadaru ditanam disebelah kanan dan beringin Jayadaru ditanam di sebelah timur Alun-alun Lor.
Gambar 17. Pohon Beringin Kurung Saat ini pohon beringin dari pelataran Gapura Gladag hingga alun-alun masih berdiri tegak dan menjadi ciri khas tersendiri dari Keraton Surakarta. Alunalun Lor mengalami sedikit perubahan dengan kondisi terdahulu. Saat ini terdapat sebuah jalur pedestrian yang ditanami oleh tanaman palem raja. Pada saat ini kondisi Alun-alun lor Keraton Surakarta cukup memprihatinkan. Alun-alun lor digunakan menjadi lahan parkir bagi kendaraan wisatawan yang mengunjungi keraton sehingga banyak rumput yang rusak dan terdapat beberapa infrastruktur pada alun-alun yang sudah tidak berfungsi kembali, seperti lampu taman maupun perkerasan yang mulai rusak. 2. Pelataran Setinggil Lor Pelataran Setinggil Lor/utara yang terletak mengelilingi Setinggil Lor merupakan hamparan pasir yang ditumbuhi oleh berbagai pepohonan. Pelataran Setinggil Lor digunakan oleh raja sebagai tempat duduk untuk melihat tugu yang berada di hadapan Balaikota Surakarta. Pelataran Setinggil Lor menggunakan konsep kiblat papat kalima pancer, yang menempatkan Bangsal Saweyana sebagai pancer dan dikelilingi oleh bangunan-bangunan yang menghadap kearah pancer. Pada kiri dan kanan Setinggil Lor ditanami oleh Pohon Soka (Parinarium glabberinum). Aroma dari bunga soka sering digunakan oleh para ksatria untuk menakuti binatang buas seperti harimau. Selain pohon soka, di Setinggil Lor juga
41
banyak terdapat pohon kepel (Stelechocarpus burahol) yang melambangkan kesatuan (Setiawan,2000). Buah pohon kepel sering digunakan sebagai penghilang bau badan. Pada Setinggil Lor juga banyak ditemukan pohon tanjung (Mimusops elengi). Pohon tanjung dipercaya menjadi tempat yang disukai oleh makhluk halus. Suasana di Setinggil Lor dapat dilihat pada Gambar 18.
(a) Deretan Pohon Kepel (b) Hamparan rumput Gambar 18. Suasana di Setinggil Lor 3. Pelataran Kedathon Pelataran kedathon merupakan sebuah halaman kecil dengan hamparan pasir yang dapat ditemui pada saat melewati Kori Srimanganti dari arah utara. Hamparan pasir ini ditumbuhi oleh tanaman sawo kecik, dapat dilihat pada Gambar 19. Pohon sawo kecik ditanam oleh Susuhan Paku Buwana IX. Terdapat sebanyak 77 buah pohon sawo kecik, hal ini dikarenakan pada saat penanaman Paku Buwana IX sedang berumur 77 tahun 1893 M.
Gambar 19. Pohon Sawo kecik Orang Jawa menganggap bahwa apabila menanam sawo kecik maka dapat memberikan kebaikan. Pohon sawo kecik pada Sasana Saweka diharapkan dapat menghilangkan niat buruk sebelum memasuki wilayah kedathon. Pohon
42
sawo kecik dipercaya menjadi pengharum alami dan buah sawo kecik sangat digemari oleh para putri keraton karena memiliki khasiat untuk mengharumkan tubuh dan konon daunnya dapat digunakan sebagai penurun penyakit kolesterol. Pohon sawo kecil hingga saat ini masih terjaga keberadaannya dan sangat terawat. 4. Alun-alun Kidul Alun-alun Kidul berada tepat dihadapan Setinggil Kidul. Alun-alun Kidul hanya memiliki setengah luasan dari Alun-alun lor. Alun-alun kidul merupakan hamparan rumput hijau dengan sepasang pohon beringin yang berada tepat ditengah Alun-alun Kidul. Sama seperti Alun-alun Lor, halaman Alun-alun Kidul dahulu merupakan hamparan pasir yang berasal dari pantai selatan. Pada Alunalun Kidul terdapat pula jalur pedestrian yang membelah sisi timur dan barat alunalun. Saat ini Alun-alun Kidul kerap digunakan untuk area berwisata oleh warga Surakarta. Pada malam hari alun-alun sangat ramai oleh para pengunjung karena banyak terdapat penjual-penjual makanan di lingkungan Alun-alun Kidul ini, sehingga banyak sampah dan kotor. 4.1.3.4. Ornamen dan ragam hias Keraton Surakarta Ornamen atau ragam hias adalah seni dekoratif yang digunakan untuk memperindah suatu bangunan. Ornamen dapat berupa ukiran maupun pahatan dari batu, kayu bahkan logam mulia. Sebuah bangunan memiliki ragam hias yang berbeda dan disesuaikan dengan bentuk maupun arsitektur pada bangunan tersebut. Pada Keraton Surakarta terdapat banyak bentuk ragam hias. Ragam hias pada keraton merupakan bentukan dua dimensi maupun tiga dimensi yang terinsprasi dari bentuk menyerupai flora dan fauna. Ragam hias pada keraton banyak dipengaruhi oleh ragam hias bercorak Hindu, Budha, Islam maupun Eropa. Ragam hias corak flora dan fauna ini dapat terlihat pada pilar-pilar bangunan maupun atap bangunan sebagai penambah nilai estetika dari bangunan Keraton Surakarta. Ragam hias pada keraton merupakan ukiran dan pahatan indah menggunakan material alami yaitu kayu. Kayu merupakan material yang banyak digunakan karena pada saat itu kayu merupakan material yang mudah didapatkan. Ragam hias pada keraton terbagi menjadi empat jenis yaitu, ragam hias tumbuhan, ragam hias ular naga, ragam hias burung dan Radya Laksana.
43
1. Ragam hias tumbuhan Ragam hias tumbuhan merupakan ragam hias yang paling mendominasi di lingkungan Keraton Surakarta. Ragam hias tumbuhan juga mengalami stilasi, bagian yang diambil adalah buah, daun, maupun bunga saja. Ragam hias bunga teratai banyak digunakan dan digambarkan dengan sangat indah. Menurut Sunarman (2010), bunga teratai dianggap sebagai “bunga dari surga” atau nirwana dan keraton dianggap sebagai surga. Ragam hias dari stilasi daun menghiasi pilarpilar dinding pada bangunan keraton. Pada pilar terdapat ornamen daun yang merambat keatas dikenal dengan istilah sulur-suluran (Gambar 20).
Gambar 20. Sulur-suluran Masyarakat Jawa mengenal falsafah hidup “kiblat papat lima pancer” yang berarti empat penjuru dan berpusat di tengah yaitu pancer. Bahwa sesuatu yang terarah pada Maha Kuasa harus menjadi satu “pancer” menyatunya segala sesuatu pada diri kita untuk menuju pada Tuhan. Hal ini diterapkan pada ragam hias bunga yang berpusat ditengah. Selain bunga ada juga ragam hias wajikan. Ragam hias ini merupakan ragam hias yang berbentuk stilasi daun dan memusat menuju pancer. Bentuk ragam hias wajikan adalah geometris dan menyerupai belah ketupat sehingga dinamakan wajikan. 2. Ragam hias ular naga Ragam hias ular naga merupakan perlambangan ragam hias yang terispirasi dari hewan naga yang memiliki bentuk panjang dan pada bagian kepala naga merupakan bagian yang banyak digunakan. Ragam hias ular naga digunakan sebagai penghias keraton dan untuk menghiasi singgasana Sinuhun Paku Buwana yang berada di Setinggil Lor dan disajikan pada Gambar 21.
44
(a) Ukiran Naga (b) Ukiran Naga di Bangsal Witono Gambar 21. Ragam Hias Naga Sumber : Aditya Darmasurya, 2011 3. Ragam hias burung Ragam hias burung menghiasi keraton dalam bentuk ukiran-ukiran pada ornamen pintu maupun hiasan lainnya. Ragam hias burung umumnya sudah mengalami stilasi, yang diambil adalah bagian sayap, ekor maupun kepala saja. Ragam hias burung dapat dilihat pada Gambar 22. Ragam hias burung khususnya burung garuda telah menjadi bagian ragam kebudayaan Hindu di tanah Jawa selama berabad-abad (Sunarman, 2010). Penggunaan ragam hias burung memiliki filosofi bahwa burung merupakan hewan yang hidup berdampingan dan berkelompok, hal ini memberi arti bahwa manusia sebaiknya hidup saling rukun dan berdampingan (GPH Puger, 2012).
Gambar 22. Ukiran burung 4. Radya Laksana Pada masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwono X dilakukan perubahan besar pada bangunan maupun ornamen Keraton Surakarta. Susuhan Paku Buwono menciptakan suatu logo lambang kebesaran Keraton Surakarta yang disebut dengan “Radya Laksana”. Radya memiliki arti Negara atau Rasta, sedangkan Laksana memiliki arti perjalanan yang tulus arti dan lahir. Lambang tersebut memiliki arti sebagai tuntunan hidup dengan tatanan Jiwa Budaya Jawi (Nitinagoro, 2011). Lambang Radya Laksana dapat dilihat pada Gambar 23.
45
Lambang Radya Laksana merupakan lambang kebesaran Keraton Surakarta, sehingga hanya kalangan kerabat keraton yang dapat menggunakan lambang ini, sehingga Radya Laksana digunakan sebagai simbol identitas dan simbol estetik.
(a) Lambang (b) Ornamen/ukiran Gambar 23 Radya Laksana Sumber : Google.com Lambang Radya Laksana banyak menghiasi bangunan-bangunan Keraton Surakarta. Radya Laksana merupakan tuntunan hidup ajaran tentang kenegaraan dan kehidupan (Setiawan, 2000). Radya Laksana terdiri dari sepuluh unsur yaitu, mahkota, warna merah dan kuning, warna biru muda, matahari, bulan, binatang, bumi, kapas, pita berwarna putih merah dan langit (Setiawan, 2000). Hal ini erat hubungannya dengan hastabrata. Mahkota merupakan perlambangan dari seorang raja dan sebagai simbol kebudayaan Jawa. Matahari, bulan dan bintang merupakan lambang kehidupan. Warna merah dan kuning merupakan simbol kesepuhan. Bumi yang dipaku merupakan bumi yang kokoh. Kapas dan padi adalah lambang sandang dan pangan. Pita berwarna putih adalah lambang ayah dan pita merah adalah lambang ibu. Langit maupun angkasa yang berwarna putih dan biru dianggap dapat menolak hal-hal negatif. Warna merupakan elemen penting yang menghiasi Keraton Surakarta. Keraton Surakarta merupakan bangunan bersejarah yang didominasi dengan warna biru dan putih. Pada masa pemerintahan Sinuhun Paku Buwana X (18921939) terjadi perombakan besar pada Keraton Surakarta. Perombakan ini merubah warna bangunan dengan biru dan putih. Warna biru dan putih diambil dari warna langit, warna biru langit dianggap dapat menolak kenistaan dan juga melambangkan sifat yang berwawasan luas dan pemaaf.
46
4.2
Kota Surakarta
4.2.1
Kondisi Umum Kota Surakarta Kota Surakarta merupakan kota terbesar kedua di provinsi Jawa Tengah.
Kota Surakarta sebagai Pusat Kegiatan Nasional termasuk kedalam Kawasan Subosukawonosraten (Kota Surakarta, Kab. Boyolali, Kab. Sukoharjo, Kab. Karanganyar, Kab. Wonogiri, Kab. Sragen dan Kab. Klaten). Dalam area kerjasama tujuh kabupaten/kota ini, Kota Surakarta menjadi penghubung bagi daerah hinterland-nya. Kota Surakarta sering disebut sebagai pusat pertumbuhan wilayah Jawa Tengah bagian selatan, dengan potensi ekonomi sangat tinggi, khususnya di bidang industri, perdagangan, pariwisata dan jasa lainnya (Bappeda, 2012). Kota Surakarta secara geografis terletak antara 110˚45’15” dan 110˚45’35” BT dan 7˚36’00” dan 7˚56’00” LS. Kota Surakarta dikelilingi oleh tujuh kabupaten pendukung dan memiliki batas wilayah sebagai berikut :
Utara : Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Karanganyar
Timur : Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo
Barat : Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Sukoharjo
Selatan : Kabupaten Sukoharjo
Wilayah Kota Surakarta atau lebih dikenal dengan “Kota Solo” memiliki luas 4.404,06 Ha dan terbagi menjadi lima wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Laweyan, Kecamatan Serengan, Kecamatan Pasar Kliwon, Kecamatan Jebres dan Kecamatan Banjarsari. Keraton Surakarta Hadiningrat terletak pada Kelurahan Baluwerti, Kecamatan Pasar Kliwon yang berada pada bagian selatan Kota Surakarta. Seperti umumnya kota-kota di Indonesia, Kota Surakarta memiliki iklim tropis dengan suhu rata-rata 24,8°C sampai 18,1˚C dengan kelembaban udara berkisar antara 66-84% dan tekanan udara sebesar ±1.010 atmosfir. Kota Surakarta terletak pada ketingian antara 80-130 meter di atas permukaan laut (mdpl). Kemiringan lahan adalah 0% hingga 15% dan tergolong landai. Solo merupakan sebuah kota yang dilewati oleh empat sungai utama, yaitu Bengawan Solo, Kali Pepe, Kali Anyar dan Kali Jenes. Keempat sungai ini sudah ada dari zaman kolonial dahulu dan memiliki kontribusi besar bagi kota. Masing-masing sungai terletak pada posisi yang berbeda dan memberi manfaat pada daerah sekitarnya sebagai sumber air maupun
47
saluran air alami. Kota Surakarta terletak di antara dua gunung berapi yaitu Gunung Lawu (Kabupaten Karanganyar) di sebelah timur dan Gunung Merapi serta Merbabu sebelah barat. Dengan posisi demikian maka Kota Surakarta termasuk sebagai wilayah cekungan air. Terdapat beberapa badan air di Kota Surakarta yang semua bermuara di Sungai Bengawan Solo. Peningkatan berbagai aspek ekonomi menuntut peningkatan di bidang tranportasi, khususnya penigkatan jalan. Panjang jalan di wilayah Kota Surakarta pada tahun 2009 mencapai 675,86 kilometer (Surakarta dalam Angka, 2009).
4.2.2
Tata Guna Lahan Kota Surakarta Kota Surakarta didominasi oleh lahan-lahan terbangun yang semakin
padat. Sulit ditemukan lahan terbuka hijau di dalam kota. Dengan pertambahan penduduk sebesar 0,37% per tahun membuat semakin banyak lahan yang digunakan sebagai permukiman (BPS, 2011). Dominasi lahan terbangun di Kota Surakarta seluas 3.704,45 Ha atau 84,11% dari luas total wilayah Kota Surakarta (4.404,06 Ha). Padatnya lahan terbangun membuat bangunan-bangunan fisik yang berada di kota tidak memiliki tata letak dan pola yang teratur. Permukiman yang padat tidak memberi ruang lebih untuk adanya halaman maupun pola permukiman yang jelas. Lahan tidak terbangun seluas 699,61 Ha (15,89 %). Permukiman dengan kepadatan tinggi dengan 150 jiwa/Ha tersebar pada bagian selatan kota yang meliput Kecamatan Pasar Kliwon, Kecamatan Serengan, Kecamatan Laweyan meliputi Kelurahan Panularan, Purwosari, Bumi, Pajang dan Kelurahan Sondakan. Permukiman kepadatan tinggi juga meliputi Kecamatan Jebres yang terdiri dari Kelurahan Sewu, Gandekan, Jagalan, Tegalharjo, Sudiroprajan dan
Kepatihan Wetan. Pada Kecamatan Banjarsari meliputi
Kelurahan Kestalan, Ketelan, Tegalharjo dan Gilingan. Permukiman dengan kepadatan sedang yaitu 75-150 jiwa/Ha tersebar pada bagian utara kota meliputi Kelurahan Pucang Sawit, Purwodiningratan, Jebres, Mojosongo, Kepatihan Kulon, Lawiyan, Penumping, Sriwedari, Kerten, Jajar, Keprabon, Timuran, Stabelan, Mangkubumen, Punggawan, Manahan, Sumber dan Banyuanyar. Permukiman dengan kepadatan rendah <75 jiwa/Ha meliputi Kelurahan Karangasem dan Kelurahan Kadipiro.
48
Lanskap perkantoran dan perdagangan tersebar pada wilayah selatan kota. Lanskap perkantoran dan perdagangan berkembang searah dengan infrastruktur jalan. Perkantoran dan perdagangan terpusat pada Jalan Slamet Riyadi dan berkembang disekitar keraton dan mangkunegaran. Lanskap fasilitas umum seperti sekolah tersebar cukup merata di Surakarta. Penggunaan lahan di Surakarta disajikan pada Tabel 5 dan peta tata guna lahan disajikan pada Gambar 24. Tabel 5. Penggunaan Lahan di Surakarta. Kecamatan Laweyan
Serengan
P. Kliwon
Jebres
Banjarsari
Total (Ha)
Perkantoran
45.3
2.7
17.86
38.35
5.47
109.68
Permukiman
724.26
290.37
271.49
1017
650.02
2953.37
Perdagangan/Jasa Fasilitas Pendidikan Fasilitas Peribadatan
70.19
33.19
34.43
105.4
32.71
275.94
65.26
13.64
10.79
130.3
26.68
246.68
4.69
1.8
4.13
5.35
4.53
20.5
Industri
40.5
3.62
3.04
27.39
19.15
93.7
-
-
-
1.01
-
1.01
1.35
0.46
-
1.74
-
3.55
-
-
-
20.82
0.72
21.54
14.86
2.07
10.35
9.16
2.83
39.27
-
-
-
15.67
-
15.67
Danau
6.91
0.92
-
8.37
1.76
17.96
Kuburan
15.1
2.79
1.52
44.05
26.05
89.51
Taman Kota
0.25
-
-
7.9
0.49
8.64
Tanah Kosong
31.8
4.23
9.22
38.83
13.45
97.53
Tegalan
31.8
4.23
9.22
38.83
13.45
97.53
Sawah
50.08
-
-
8.85
95.44
154.37
23
14.36
8.09
76.76
35.4
157.61
1125.35
374.37
380.15
1596
928.14
4404.06
Jenis Penggunaan Lahan
Lahan Terbangun
Instalasi Pengolahan
Limbah Gedung Olahraga TPA Lapangan Olahraga Kebun Binatang Kolam/ Lahan Tidak Terbangun
Sungai/ Tanggul Jumlah
Sumber : RTRW Kota Surakarta 2011-2031
49
50
4.2.3 Peraturan dan Kebijakan Pemerintah Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surakarta Tahun 2011-2031, pemerintah Kota Surakarta memiliki kebijakan untuk melakukan revitalisasi kawasan cagar budaya sebagai pusat kegiatan pariwisata, sejarah, budaya dan ilmu pengetahuan. Kota Surakarta merupakan sebuah kota budaya yang memiliki banyak peninggalan sejarah, bahkan sebagian besar pembentuk kota merupakan bangunan-bangunan yang sudah ada semenjak zaman Keraton Surakarta dan keberadaan Bangsa Belanda. Kebijakan dalam pelestarian terhadap bangunanbangunan bersejarah ditetapkan dalam Surat Keputusan Walikota Surakarta No. No 646/116/1/1997. Surat Keputusan tersebut menetapkan sebanyak 73 benda cagar budaya di Kota Surakarta meliputi Keraton Surakarta, Benteng Vastenburg, sekolah, perkantoran, tempat peribadatan, gapura, monumen, jembatan, rumah tinggal, ruang terbuka hijau (taman), pasar dan juga stasiun. Peta cagar budaya di Kota Surakarta disajikan pada Gambar 26. Keraton Surakarta sebagai benda cagar budaya menjadi daya tarik wisata yang dilindungi oleh UU RI No.11 Tahun 2010. Dalam upaya pelestarian budaya Jawa, dilakukan penetapan kebijakan oleh pemerintah Kota Surakarta dengan penetapan
Surat
Keputusan
Walikota
yang
mewajibkan
kantor-kantor
pemerintahan maupun swasta untuk menggunakan aksara Jawa dalam penulisan papan nama lembaga tersebut. Kebijakan ini dilakukan sejak tanggal 17 Februari 2008. Sehingga, pada setiap bangunan perkantoran terdapat tulisan aksara Jawa, hal ini juga di adopsi oleh pertokoan besar di Surakarta (Gambar 25).
(a) Balaikota Surakarta (b)Pusat perbelanjaan di Surakarta Gambar 25. Penulisan aksara Jawa
51
52
4.2.4 Sejarah Perkembangan Lanskap Kota Surakarta Kota Surakarta atau dikenal dengan nama Kota Solo, memiliki sejarah yang panjang sebelum menjadi kota yang berpengaruh di Jawa Tengah. Kota Surakarta banyak mengalami perubahan pada bentukan lanskap dan kehidupan sosial masyarakat didalamnya. Terbentuknya Kota Surakarta tidak lepas dari keberadaan Keraton Surakarta Hadiningrat pada tahun 1745. Keberadaan Keraton dengan tata cara dan konsep tersendiri memberi dampak pada lanskap kota yang menjadi ciri khas dari Kota Surakarta. Sebelum adanya Keraton Surakarta, Kota Surakarta adalah sebuah desa yang terletak di persimpangan antara dua buah sungai, yaitu Bengawan Solo dan Sungai Pepe, desa ini bernama Desa Sala. Desa Sala merupakan dataran rendah dengan banyak rawa, sehingga pada musim penghujan sering terjadi banjir. Desa Sala memiliki batas pada sebelah utara dengan Sungai Pepe, sebelah timur Bengawan Beton, sebelah selatan dengan Sungai Wingka dan sebelah barat berbatasan dengan liku-liku sungai mulai dari Sungai Pepe turun ke selatan dengan Sungai Wingka (Sajid, 1984). Kondisi masyarakat desa saat itu didominasi oleh suku Jawa yang kental dengan nuansa tradisional dan kejawen. Hal ini membentuk lanskap Desa Sala menjadi suatu kesatuan dengan elemen pembentuk antara lain sungai, sawah, hutan dan bangunan pemukiman yang tradisional. Pemerintahan Keraton Surakarta masih berada di bawah kedaulatan pemerintah Hindia Belanda, yang dikenal dengan nama VOC sebelum tahun 1800. Dengan kedudukan seperti ini maka rakyat yang berada di luar wilayah kerajaan diperintah langsung oleh pemerintahan VOC. Pada tahun 1745 Keraton Surakarta memulai masa pemerintahan di Kota Surakarta. Keberadaan keraton membuat pusat aktivitas masyarakat menjadi terpusat di wilayah Keraton Surakarta. Keraton Surakarta merupakan sebuah kerajaaan Islam yang merupakan rintisan dari Kerajaan Majapahit yang dahulunya menganut kepercayaan Hindu yang hingga saat ini banyak mewariskan ilmu-ilmu yang diterapkan pada kehidupan sehari-hari maupun dalam arsitektur dan tata ruang wilayahnya. Hal ini membuat keraton memiliki ciri khas dalam membentuk wilayahnya.
53
Keberadaan VOC semenjak tahun 1602 hingga 1800 memberi banyak pengaruh dan membuat perubahan pada lanskap maupun tata guna lahan di Kota Surakarta. Pemerintahan VOC di Kota Solo semakin mendominasi, hal ini mengakibatkan terciptanya Perjanjian Giyanti dan Perjanjian Salatiga pada tahun 1755. Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 membuat Keraton Surakarta Hadiningrat membagi daerah kekuasannya dan dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi dan mendirikan Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat. Pada tahun 1757 pihak VOC membagi kembali wilayah Kasunanan Surakarta dengan Raden Mas Said yang kemudian bergelar Kanjeng Adipati Arya Mangkunegara I dan mendirikan Pura Mangkunegaran. Sejak keberadaan Pura Mangkunegaran, Kota Surakarta seperti memiliki dualisme kepemimpinan, sehingga pusat kegiatan terpusat pada Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran (Zaida, 2004). Kedua wilayah ini berkembang dengan memiliki ciri yang berbeda dari setiap kerajaan yang berkuasa. Sejak pemerintahan Hindia-Belanda yang dipimpin oleh Gubernur Jendral Deandles maka pada tahun 1810 dibangun sebuah jalan yang memanjang dari barat menuju timur di Kota Surakarta, jalan ini dibangun di atas Sungai Bathangan. Jalan yang dikenal dengan nama Jalan Slamet Riyadi ini secara tidak langsung menjadi pemisah antara daerah kekuasaan Keraton Surakarta di selatan jalan dan wilayah kekuasan Pura Mangkunegaran di sebelah utara. Peta Kota Surakarta pada awal tahun 1800 disajikan pada Gambar 29. Pada tahun 1864 jalur transportasi kereta api juga mulai merambah Kota Solo yang menghubungkan Semarang dan Surakarta (Iqbal, 2010). Lebih lanjut Zaida (2004) menyatakan bahwa pada bagian utara Jalan Slamet Riyadi dikenal dengan Kampung Lor, yang menjadi kekuasaan mangkunegaran. Sebagian besar pihak Hindia-Belanda bermukim di Kampung Lor ini. Kampung Lor berkembang menjadi lebih modern dengan banyak mendapat pengaruh dari luar. Pada bagian selatan Jalan Slamet Riyadi, dikenal dengan nama Kampung Kidulan yang merupakan daerah kekuasaan Keraton Surakarta. Kampung Kidulan memiliki tipe perkembangan yang konservatif, klasik dan tidak menerima akan pengaruh luar. Kampung Kidulan dianggap sebagai wilayah yang sakral karena pengaruh kuat dari Keraton Surakarta.
54
Pemerintahan Hindia Belanda di Kota Solo memberikan pengaruh yang besar terhadap lanskap kota maupun kehidupan sosial masyarakat. Invasi kekuasaan barat di bawah pemerintahan Hindia-Belanda mengatur penataan kota menyerupai kota modern Eropa. Simbol-simbol masyarakat yang kapitalis diciptakan seperti adanya bangunan perkantoran, loji, balai kota, bank, benteng, gereja, jalur kereta api, stasiun maupun bangunan lain yang sebelumnya tidak dikenal (Gunawan, 2010). Kota Solo yang secara geografis terletak di lembah dan tempuran sungai, sering sekali terjadi banjir. Maka pada awal tahun 1900 pihak Belanda, bersamasama Kasunanan dan Mangkunegaran melakukan proyek besar penganggulangan bahaya banjir, baik berupa pembuatan kanal, pembuatan sungai baru atau pembuatan tanggul. Pada bagian utara kota, Kali Pepe dipotong oleh sungai baru, yang kemudian disebut sebagai Kali Anyar, sehingga air bah tidak memasuki kota melainkan dialirkan melalui luar kota, dan mengikuti Kali Anyar yang bermuara di Bengawan Solo. Pada bagian selatan kota, Kali Laweyan juga dipotong oleh sungai baru dan ditambahi dengan tanggul yang menuju Bengawan Solo, yang kemudian disebut sebagai Kali Tanggul, yang berfungsi menahan air bah dari Kali Laweyan. Sedangkan pada sisi timur kota, dibangun tanggul yang mendampingi Bengawan Solo, sehingga luapan air sungai ketika banjir tidak masuk kota (Qomarun 2007). Pada awal abad 19 untuk pertama kalinya pemerintah Belanda berhasil melakukan politik ruang yang dikenal dengan istilah Wijkenstelsel, yaitu pembagian wilayah berdasarkan etnik tertentu yang diharuskan tinggal di perkampungan-perkampungan
tertentu
agar
mudah
diawasi
dan
tidak
membahayakan kepentingan pemerintah kolonial Belanda. Wilayah Chineesewijk untuk Bangsa Cina ditempatkan di utara Sungai Pepe dan disekitar Pasar Gedhe, wilayah Arabiswijk yaitu membentang dari timur Gladag hingga Pasar Kliwon untuk Bangsa Arab, wilayah Europeeschewijk untuk Bangsa Belanda terdapat di Loji Wetan, Jebres serta Banjarsari, dan selebihnya merupakan permukiman masyarakat pribumi. Sehingga tercipta budaya campuran yang unik di Solo. Morfologi perubahan pada Kota Surakarta sejak tahun 1500 hingga tahun 2000 disajikan pada Gambar 27.
55
Keterangan : (1) Kampung Nusupan, (2) Bandar Kabanaran, (3) Kampung Arab, (4) Kampung China, (5) Kampung Betan, (6) Benteng Vastenberg, (7) Keraton Surakarta, (8) Kampung Eropa, (9) Pura Mangkunegaran, (10) Taman Sriwedari Gambar 27. Morfologi Kota Surakarta Tahun 1500-2000 (Sumber : Qomarun et.al, 2007)
56
Pada awal tahun 1900, Surakarta memiliki enam buah gapura utama sebagai pintu masuk kota dengan bentuk dan ciri yang sama. Gapura merupakan gerbang yang menghubungkan antara wilayah hinterland dan mancanegara dengan negaragung yang merupakan pusat kota (Heins, 2004). Gapura didirikan pada tahun 1847 yang menghubungkan antara kota (negaragung) dengan kabupaten-kabupaten sekitarnya. Keraton Surakarta sebagai tempat tinggal keluarga raja dilengkapi oleh Gapura Gladag di utara dan Gapura Gading di selatan sebagai pintu masuk. Gapura lainnya yaitu Gapura Jurug, Gapura Kleco, Gapura Kandhang sapi dan Gapura Mojo (Heins, 2004). Gapura pertama adalah Gapura Jurug yang merupakan penghubung dan pintu masuk bagi pendatang dari wilayah timur menuju kota. Saat ini Gapura Jurug menjadi pembatas kota dengan Kabupaten Karanganyar. Gapura Kleco merupakan salah satu gapura tertua dan terletak di sebelah barat kota berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo. Selanjutnya adalah Gapura Kandhang Sapi dengan ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan dua gapura sebelumnya. Gapura Kandhang Sapi merupakan akses menuju kota dari utara, namun saat ini sudah dibangun rumah sakit Dr. Oen yang berdekatan dengan gapura, sehingga gapura menjadi tertutup oleh bangunan rumah sakit. Gapura Mojo merupakan gapura yang menjadi pintu masuk dari arah selatan. Kondisi gapura yang masih terjaga secara fisik menjadi landmark tersendiri bagi Kota Surakarta. Posisi masingmasing gapura sebagai pintu masuk menuju kota disajikan pada Gambar 28.
Gambr 28. Tata Letak Gapura Keraton Surakarta
57
Pada tanggal 17 Agustus 1945 negara Indonesia resmi merdeka dengan dicetuskan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Setelah kemerdekaan maka Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta lebur menjadi suatu kesatuan bagian Republik Indonesia. Pihak Keraton Surakarta tidak memperoleh status ”Daerah Istimewa”. Sehingga sistem pemerintahan tidak lagi melibatkan pihak keraton maupun Mangkunegaran. Sri Susuhunan Paku Buwono XII dan Adipati Mangkunegaran (Sri Mangkunegara VIII) masih bertahta di keraton dan juga Pura Mangkunegaran, namun kekuasaannya hanya berbatas pada wilayah spiritual serta kebudayaan dan hanya meliputi kaum kerabat (Maruti, 2004). Perkembangan Kota Surakarta terbagi menjadi dua yang dipisahkan oleh Jalan Slamet Riyadi (Zaida, 2004). Pada selatan jalan yaitu wilayah yang berkembang lebih cepat dan dianggap sebagai pusat perekonomian karena banyak kegiatan ekonomi yang terjadi dengan banyaknya pasar dan perkantoran. Sedangkan pola pengunaan lahan pada bagian utara cenderung lebih modern dengan pembangunan sarana dan prasarana fisik kota seperti jaringan listrik, jaringan air maupun jaringan transportasi. Pada bagian utara Kota Surakarta terdapat banyak sarana pendidikan yang dimulai sejak jenjang taman kanak-kanak hingga universitas. Pada bagian utara kota terdapat lahan-lahan kosong sehingga banyak muncul pemukiman baru. Kalianyar yang dibangun pada tahun 1910 secara tidak langsung menjadi pembatas fisik kota Surakarta pada bagian utara. Pada bagian utara Kalianyar terdapat banyak lahan-lahan terbuka dan belum banyak dibangun fasilitas-fasillitas umum sehingga pada kawasan ini sangat sedikit kegiatan yang dilakukan masyarakat. Perkembangan Kota Surakarta diarahkan menuju tahap modernisasi, dibuktikan dengan bangunan-bangunan modern yang kontras dengan kondisi lingkungan disekitarnya. Pada tahun 1988 terjadi kerusuhan besar di Surakarta yang menyebabkan banyak infrastruktur kota yang rusak. Setelah kerusuhan yang terjadi maka dalam beberapa waktu kemudian dilakukan pembangunan kembali dengan lebih memperhatikan nilai-nilai tradisional dan mengadopsi gaya arsitektur pada Keraton Surakarta. Dengan demikian terbentuk wajah kota yang memiliki perpaduan antara arsitektur modern dengan arsitektur tradisional.
58
4.2.3 Persepsi Masyarakat terhadap Keraton Surakarta Masyarakat merupakan komponen penting dari suatu kota. Masyarakat merupakan pelaku sejarah dan budaya dari suatu kawasan. Keinginan dan harapan dari masyarakat Kota Surakarta berperan penting guna kegiatan pelestarian kawasan, sehingga dilakukan penyebaran kuisioner terhadap 63 responden yang tersebar di seluruh penjuru Kota Surakarta. Responden yang didapatkan memiliki berbagai rentang usia, etnis dan perkerjaan. Hasil kuisioner diharapkan dapat memberikan informasi mengenai persepsi masyarakat terhadap Keraton Surakarta dan seberapa penting elemen-elemen keraton untuk ditampilkan pada Kota Surakarta. Hasil kuisioner juga akan menjadi pertimbangan dalam menentukan tindakan pelestarian guna menciptakan Kota Surakarta yang beridentitas. Responden kuisioner tersebar dari lima kecamatan yang ada di Kota Surakarta, sebanyak 32% responden dari Kecamatan Laweyan, 16% dari Kecamatan Serengan, 19% dari Kecamatan Pasar Kliwon, 16% dari Kecamatan Jebres dan sebesar 17% dari Kecamatan Banjarsari. Sebagian besar responden telah bertempat tinggal do Kota Surakarta selama lebih dari 15 tahun. Masyarakat asli Surakarta merupakan saksi hidup perkembangan kota dari masa ke masa. Sebanyak 81% orang mengetahui sejarah Kota Surakarta. Kota Surakarta yang dikenal dengan slogan Kota Budaya, merupakan sebuah kota yang memiliki nilai budaya kuat. Hal ini dapat tercermin juga dari kegiatan sehari-hari masyarakat yang masih melakukan aktivitas budaya, seperti menggunakan bahasa jawa, busana tradisional bahkan masih melakukan upacaraupacara adat seperti dalam upacara pernikahan, kematian maupun upacara kelahiran. Sebanyak 40% masyarakat masih melakukan kegiatan tersebut. Kota Surakarta sebagai kota budaya dengan keberadaan Keraton Surakarta yang menjadi pusatnya, sebanyak 96.8% masyarakat meyakini bahwa Kota Surakarta memiliki budaya yang khas bila dibandingkan dengan kota-kota lain di Pulau Jawa. Selama responden bertempat tinggal di Kota Surakarta, mereka berpendapat bahwa Kota Surakarta telah banyak mengalami perubahan, sebagian beranggapan perubahan ini menjadi lebih nyaman (65%) dan ada pula yang beranggapan perubahan ini menjadikan Kota Surakarta menjadi tidak nyaman lagi
59
(35%). Dari perubahan yang terjadi, perubahan yang paling dirasakan adalah pada lingkungan/lanskap kawasan (49%), sarana dan prasarana (16%), jumlah penduduk (23%) dan pada aktivitas wisata (12%). Perubahan pada kota mengakibatkan suasana dan situasi yang ada saat ini juga mengalami perubahan, responden telah memberikan pendapat mengenai situasi lanskap kota saat ini. Karakter lanskap masa lalu sedikit banyak diketahui oleh responden. Pendapat masyarakat terhadap situasi lanskap saat ini dan karakter lanskap masa lalu disajikan pada Tabel 6. Tebel 6. Pendapat masyarakat terhadap Lanskap Kota Surakarta No 1
Situasi lanskap Kota Surakarta saat ini
2
Kondisi lanskap masa lalu Kondisi karakter budaya Kota Surakarta di masa lalu Karakter budaya Kota Surakarta masa lalu
3
4
Frekuensi (Orang) 48 46 42 46 54 45 44 39
Presentase (%) 76% 73% % 73% 86% 71% 70% 62%
Mengetahui
22
35%
Mengetahui
31
49%
8
26%
11
35%
10
32%
0
0%
2
7%
Model Wawancara Indah Unik Menarik Membanggakan Bernilai budaya tinggi Bernilai sejarah tinggi Sesuai untuk wisata Kelestarian terjaga
Budaya Jawa secara umum Budaya Jawa khas Surakarta Budaya Keraton Surakarta Budaya Eropa Budaya campuran Jawa dan Eropa
Pada saat ini karakter budaya pembentuk kota dapat dilihat dari kebiasaan hidup masyarakat (27,3%), bangunan tradisional dan semimodern (25%), dari aktivitas sehari-hari seperti berdagang (24,4%) dan dapat dilihat dari kondisi alam (23,2%) yang membentang di Kota Surakarta. Masyarakat memiliki beberapa
60
pendapat mengenai Keraton Surakarta. Sebanyak 67% berpendapat bahwa keraton merupakan suatu situs cagar budaya, sebanyak 15% berpendapat bahwa keraton merupakan sumber kebudayaan bagi masyarakat Jawa, sebanyak 12% masyarakat menyatakan bahwa keraton merupakan cikal bakal dari Kota Surakarta dan sebesar 6% masyarakat berpendapat bahwa Keraton Surakarta adalah cerminan kejayaan kerajaan masa lampau. Namun, hanya sebesar 19% responden yang mengetahui mengenai konsep lanskap dari Keraton Surakarta. Elemen yang diketahui oleh masyarakat adalah pada ornamen, warna, vegetasi khas keraton yang berupa pohon beringin, model dan susunan bangunan. Perkembangan Kota Surakarta yang merupakan perkembangan dari keberadaan Keraton Surakarta juga dinyatakan harus mempertimbangkan mengenai keberadaan Keraton Surakarta dan hal ini juga sejalan dengan pendapat responden yaitu sebesar 81%. Dengan perlu dipertimbangkannya keberadaan Keraton Surakarta maka dalam perkembangan Kota Surakarta sebesar 86% responden berpendapat bahwa perlu ditampilkan elemen-elemen lanskap Keraton Surakarta pada kota, seperti bentuk bangunan tradisional seperti atap joglo, motif dan ragam hias pada bangunan, ukiran-ukiran maupun kesenian tradisional Keraton Surakarta. Responden mengharapkan Kota Surakarta yang bersih, indah dan nyaman dengan tetap mengedepankan nilai-nilai budaya dan juga tata krama yang baik dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat juga mengharapkan selama pembangunan kota selalu memperhatikan ciri khas dari nilai-nilai budaya yang sudah dimiliki, yaitu nilai budaya dari Keraton Surakarta, seperti dalam pembangunan bangunan-bangunan baru perlu diperhatikan nilai arsitektur bangunan kuno seperti rumah joglo, limasan dan lainnya. Dalam pembangunan Kota Surakarta selanjutnya harus diperhatikan kelestarian dari bangunanbangunan kuno dan tidak meninggalkan budaya Keraton Surakarta.
61
4.4
Analisis Pengaruh Konsep Lanskap Keraton pada Lanskap Kota Surakarta Kota Surakarta dikenal dengan kota budaya dimana Keraton Surakarta
merupakan pusat dari kebudayaan. Namun, pengaruh budaya tidak sama di setiap bagian kota. Ada yang mendapat pengaruh kuat dan ada yang mendapatkan pengaruh yang lemah. Sehingga dilakukan identifikasi dan penilaian terhadap struktur lanskap Kota Surakarta. Analisis elemen lanskap dilakukan guna mengetahui bagian-bagian kota yang terpengaruh oleh Keraton Surakarta dan faktor-faktor yang mempengaruhi dari sebaran pengaruh tersebut. Analisis elemen lanskap Kota Surakarta terbagi menjadi dua tahap yaitu analisis sebaran lanskap dan analisis pola sebaran lanskap. 4.4.1
Analisis Jenis Pengaruh Lanskap Struktur lanskap yang diidentifikasi adalah lanskap permukiman, lanskap
perkantoran dan perdagangan, lanskap fasilitas umum dan lanskap jalan. Pemetaan terhadap lanskap Kota Surakarta dilakukan dengan penilaian terhadap masing-masing struktur lanskap dengan kriteria-kriteria penilaian yang meliputi asosiasi kesejarahan, gaya arsitektur beserta ornamen, kesamaan jenis dan desain elemen lanskap yang digunakan. 4.4.1.1 Lanskap Permukiman Lanskap permukiman mendominasi penggunaan lahan di Kota Surakarta, terbukti dengan penggunaan lahan sebesar 62% dari luas total kota digunakan sebagai lahan permukiman. Hal ini berakibat pada penggunaan lahan yang padat permukiman dan menghilangkan penggunaan pekarangan, hanya terdapat sedikit masyarakat yang masih memiliki pekarangan di halaman rumah mereka. Permukiman yang berada di Surakarta sebagian besar merupakan permukiman lama yang merupakan tempat tinggal dari para abdi Keraton Surakarta, posisi permukiman tradisional Jawa mendapat pengaruh dari keraton sesuai dengan konsep kiblat papat kalima pancer. Namun perkembangan permukiman di Solo banyak menggunakan gaya arsitektur baru yang lebih modern. Penilaian pada elemen lanskap permukiman dilakukan dengan beberapa kriteria yang telah disajikan pada Tabel 2. Dengan menggunakan kriteria tersebut maka dapat diketahui lanskap permukiman yang mendapatkan pengaruh dari
62
Keraton Surakarta. Penilaian lanskap permukiman pada Kota Surakarta dibagi terbagi menjadi beberapa zona penilaian, zona penilaian ini disesuaikan dengan jumlah kelurahan yang berada di Kota Surakarta. Hasil analisis pada lanskap permukiman disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Permukiman
Jebres
Pasar Kliwon
Serengan
Laweyan
Kriteria Kelurahan
Asosiasi Kesejarahan
Tata Ruang
Arsitektur Bangunan
Ornamen Bangunan
Kesamaan jenis elemen
Total
Sondakan Panularan Penumping Sriwidari Laweyan Purwosari Bumi Pajang Kerten Jajar Karangasem Serengan Kratonan Kemlayan Jayengan Danukusuman Tipes Joyotakan Kauman Baluwarti Kampung Baru Pasar Kliwon Joyosuran Sangkrah Semanggi Kedung Lumbu Sewu Gandekan Jagalan Sudiroprajan Purwodiningratan Jebres
1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 0.8 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 0.8 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2
0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.2 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.3 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.2 0.1 0.2 0.1 0.1 0.1 0.1
0.6 0.6 0.4 0.6 0.6 0.6 0.4 0.6 0.4 0.2 0.2 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.4 0.6 0.6 0.6 0.4 0.6 0.4 0.4 0.4 0.6 0.6 0.6 0.4 0.6 0.4
0.45 0.3 0.45 0.45 0.45 0.3 0.3 0.3 0.3 0.15 0.3 0.45 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.45 0.45 0.45 0.45 0.3 0.45 0.45 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3
0.45 0.3 0.45 0.3 0.45 0.45 0.45 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.45 0.3 0.45 0.3 0.3 0.3 0.45 0.45 0.45 0.45 0.3 0.3 0.3 0.45 0.45 0.15 0.3 0.45 0.3 0.45
2.8 2.5 2.6 2.65 2.8 2.65 2.45 2.5 2.3 1.95 1.7 2.65 2.65 2.6 2.65 2.5 2.5 2.3 2.8 3 2.4 2.6 2.5 2.45 2.45 2.55 2.65 2.45 2.5 2.45 2.5 2.45
63
Tabel 7. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Permukiman (Lanjutan)
Banjarsari
Jebres
Kriteria Kelurahan
Asosiasi Kesejarahan
Tata Ruang
Arsitektur Bangunan
Ornamen Bangunan
Kesamaan jenis elemen
Total
Kepatihan Wetan Kepatihan Kulon Pucang Sawit Mojosongo Tegalharjo Keprabon Mangkubumen Punggawan Nusukan Setabelan Timuran Gilingan Kadipiro Ketelan Kestalan Sumber Banyuanyar
0.8 0.8 1.2 0.4 0.4 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 0.8 1.2 1.2 0.4 0.4
0.1 0.1 0.1 0.2 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.2 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1
0.4 0.4 0.6 0.4 0.4 0.6 0.6 0.6 0.2 0.4 0.6 0.4 0.2 0.4 0.4 0.4 0.4
0.3 0.3 0.3 0.15 0.15 0.3 0.3 0.3 0.15 0.45 0.3 0.15 0.15 0.15 0.15 0.15 0.15
0.3 0.3 0.3 0.15 0.15 0.45 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3
1.9 1.9 2.5 1.3 1.2 2.65 2.5 2.5 1.95 2.45 2.6 2.15 1.55 2.15 2.15 1.35 1.35
Keterangan : Skor 1-1,7 = Rendah ; Skor 1,8-2,4 = Sedang; Skor 2,5-3 = Tinggi Penilaian terhadap lanskap permukiman yang dilakukan dengan membagi zona sesuai dengan jumlah kelurahan dapat dikelompokkan menjadi lima kecamatan. Pada Kecamatan Laweyan dengan sembilan kelurahan memiliki luasan permukiman sebesar 724,26 ha. Pada Kecamatan Serengan luasan permukiman adalah sebesar 290,37 ha dan terbagi menjadi tujuh kelurahan. Pada Kecamatan Pasar Kliwon dengan luasan permukiman sebesar 271,49 ha terbagi menjadi sembilan jumlah kelurahan. Kecamatan Jebres memiliki luasan permukiman yang paling besar, yaitu 1017,2 ha dan terbagi menjadi 11 kelurahan. Pada Kecamatan Banjarsari luasan permukiman sebesar 650,02 ha dengan 13 kelurahan. Hasil analisis lanskap permukiman secara spasial disajikan pada Gambar 29.
64
65
Hasil analisis menyatakan bahwa lanskap permukiman pada Kelurahan Sondakan, Panularan, Penumping, Sriwedari, Laweyan, Purwosari, Bumi, Pajang, Serengan, Tipes, Kratonan, Kemlayan, Jayengan, Danukusuman, Kauman, Baluwerti, Pasar kliwon, Joyosuran, Sangkrah, Semanggi, Kedung Lumbu, Sewu, Gandekan, Jagalan, Purwodiningratan, Sudiroprajan, Jebres, Pucang Sawit, Keprabon, Mangkubumen, Stabelan, Punggawan dan Timuran memiliki nilai pengaruh yang kuat dari Keraton Surakarta. Pada kelurahan tersebut merupakan permukiman lama yang memiliki sejarah kuat dengan Keraton Surakarta. Permukiman tersebut merupakan kawasan tempat tinggal bagi abdi dalem kerajaan. Sehingga banyak ditemukan bangunan dengan gaya arsitektur tradisional yang dilengkapi dengan ornamen/ragam hias bercirikan keraton. Lanskap permukiman dengan nilai pengaruh sedang terdapat pada Kelurahan Kerten, Karangasem, Joyotakan, Kampung Baru, Kepatihan Wetan, Kepatihan Kulon, Nusukan, Gilingan dan Ketelan. Permukiman dengan pengaruh sedang banyak terdapat pada wilayah utara dan selatan Keraton Surakarta. Pada wilayah permukiman dengan nilai sedang, tata ruang maupun arsitektur bangunan tidak mencirikan Keraton Surakarta. Bagian kota yang terdapat di bagian utara keraton, dahulu merupakan wilayah kekuasaan milik mangkunegaran dan juga tempat tinggal dari Belanda maupun Cina. Sehingga banyak ditemukan permukiman dengan gaya arsitektur dan corak bergaya Indis dan Cina. Kediaman bangsa Belanda di daerah Banjarsari dikenal dengan istilah Villapark. Sedangkan permukiman dengan nilai pengaruh rendah banyak terdapat pada kelurahan di Kecamatan Banjarsari dan Jebres. Permukiman dengan pengaruh rendah meliputi Kelurahan Jajar, Mojosongo, Tegalharjo, Kadipiro, Kestalan, Sumber dan Banyuanyar. Permukiman dengan pengaruh rendah tersebar pada bagian utara kota. Permukiman yang berada pada wilayah utara merupakan wilayah permukiman baru, sehingga tidak memiliki nilai kesejarahan yang berhubungan secara langsung dengan Keraton Surakarta. Konsep tata ruang yang dimiliki oleh Keraton Surakarta seperti kiblat papat kalima pancer maupun gaya arsitektur keraton sudah jarang diterapkan pada lanskap permukiman. Dengan perkembangan penduduk yang semakin meningkat dan kebutuhan lahan yang semakin tinggi maka terjadi penggunaan lahan yang tidak terkonsep/teratur dan
66
masyarakat sudah mulai mengabaikan keberadaan
konsep lanskap keraton.
Secara keseluruhan nilai pengaruh Keraton Surakarta terhadap lanskap permukiman adalah sebesar 52% pengaruh kuat, 9% pengaruh sedang dan 39% pengaruh rendah. Perkembangan permukiman yang melebar menuju barat sejalan dengan konsep tata ruang yang dimiliki oleh Keraton Surakarta, yaitu konsep kiblat papat kalima pancer. Terdapat pemahaman bahwa arah timur dan barat merupakan wilayah yang mencerminkan hubungan raja dengan rakyat, atau dapat dikatakan hubungan raja dengan masyarakat dan kerabatnya (hablu minannas). Sedangkan perkembangan pemukiman menuju utara yang meliputi Kecamatan Jebres dan Kecamatan Banjarsari, terjadi setelah keberadaan pihak Belanda dan juga mangkunegaran. Pada tahun 1910, setelah keberadaan Kali Anyar, perkembangan permukiman semakin melebar menuju utara Kali Anyar dan tercipta perkampungan-perkampungan baru di Kota Surakarta. Bangunan pada Keraton Surakarta menggunakan tata ruang bangunan tradisional Jawa dengan bentukan atap joglo maupun limasan. Pada lanskap permukiman lama yang berada di selatan kota, bangunan dengan gaya arsitektur tradisional Jawa masih banyak ditemukan. Salah satunya adalah Dalem Purwodiningratan (Gambar 30) merupakan rumah tinggal dari kerabat raja.
(a) Bangunan Joglo (b) Pohon Beringin di halaman Gambar 30. Dalem Purwodiningratan
67
4.4.1.2 Lanskap Perkantoran dan Perdagangan Lanskap perkantoran dan lanskap perdagangan di Kota Surakarta memiliki luas sebesar 10.8% dari luas total kota sebesar 4.404 m2. Penilaian dilakukan dengan membagi zona sesuai dengan lima unit lanskap yang merupakan pusat kegiatan pemerintahan dan perekonomian yaitu kantor pemerintahan, kantor swasta, pertokoan, pasar dan hotel. Analisis terhadap lanskap perkantoran dan pertokoan dinilai berdasarkan pada kriteria yang telah ditentukan pada Tabel 3. Hasil analisis pada lanskap disajikan pada Tabel 8 dan secara spasial disajikan pada Gambar 32. Penilaian pada masing-masing unit lanskap disajikan pada Lampiran 4 hingga Lampiran 8. Tabel 8. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Perkantoran dan Perdagangan Keriteria Asosiasi Kesejarahan
Posisi terhadap Keraton Surakarta
Arsitektur Bangunan
Kesamaan jenis elemen lanskap
Total
Kantor Pemerintah
0.4
0.2
0.6
0.6
1.8
Kantor Swasta
0.4
0.2
0.6
0.6
1.8
Pertokoan
0.8
0.2
0.4
0.6
2
Pasar
0.8
0.2
0.6
0.6
2.2
Hotel
0.4
0.2
0.6
0.4
1.6
Unit Lanskap
Keterangan : Skor 1-1,7 = Rendah ; Skor 1,8-2,4 = Sedang; Skor 2,5-3 = Tinggi Lanskap perkantoran dan perdagangan di Kota Solo berpusat di kawasan Jalan Slamet Riyadi hingga Jalan Jendral Sudirman. Perkembangan pada lanskap perkantoran dan lanskap permukiman searah dengan perkembangan infrastruktur jalan, sehingga membentuk pola sesuai dengan jalan yang dilewati. Lanskap pada kantor-kantor pemerintahan seperti Balaikota (Gambar 31), kantor kecamatan maupun kantor kelurahan memiliki tata ruang dan pola bangunan yang mengadopsi konsep Keraton Surakarta, seperti konsep kiblat papat kalima pancer, sehingga terbentuk keseragaman pada bangunan kantor pemerintahan. Dimana bangunan-bangunan yang berada di dalam komplek Balaikota menghadap ke arah pendapa besar yang berada di tengah sebagai pancer dan dilengkapi juga dengan sepasang pohon beringin kurung dihadapan pendapa besar.
68
69
Tidak sedikit bangunan-bangunan lama peninggalan Belanda yang digunakan sebagai kantor oleh swasta maupun pemerintah, seperti kantor PTPN IX Surakarta yang menggunakan bangunan peninggalan pemerintah Belanda. Sedangkan bangunan perkantoran baru memiliki gaya arsitektur modern yang di kombinasikan dengan gaya arsitektur tradisional seperti pada Gambar 32 baik pada bentuk atap maupun ragam hias. Beberapa kantor swasta seperti kantor bank maupun hotel memiliki bangunan dengan gaya arsitektur modern, namun menggunakan bentuk atap maupun ornamen dengan ciri khas keraton, yaitu dengan mengadopsi bentuk atap limasan maupun joglo yang dilengkapi dengan ornamen yang disebut kuku bima disetiap ujung atap.
(a) Balaikota Surakarta (b) Kantor Bank BCA Gambar 32. Lanskap Perkantoran di Surakarta Pada lanskap pertokoan, ornamen maupun gaya arsitektur tradisional sudah banyak ditinggalkan. Lanskap pertokoan lebih banyak menggunakan gaya bangunan ruko yang dahulu diperkenalkan oleh para pedagang Cina. Pada pertokoan besar banyak digunakan penulisan nama dengan menggunakan huruf jawa. Sedangkan pada pasar-pasar tradisional, gaya arsitektur tradisional masih dipertahankan. Pada bangunan pasar yang baru digunakan sentuhan tradisional pada bentuk atap dan juga ornamen bangunan yang mengadopsi gaya Keraton Surakarta. Pasar-pasar tradisional di Kota Surakarta memiliki hubungan sejarah yang kuat dengan keraton. Pasar-pasar tradisional sudah didirikan sejak awal keberadaan keraton (Setiawan, 2000). Didirikannya pasar mencerminkan adanya pelayanan dari pihak keraton untuk rakyat. Sehingga didirikan pasar-pasar tradisional seperti Pasar Gede di utara, Pasar Kliwon di sebelah timur, Pasar Gading di selatan dan Pasar Klewer disebelah barat dari Keraton Surakarta.
70
Pada bangunan-bangunan hotel di Surakarta sudah banyak meninggalkan gaya tradisional. Bangunan perhotelan sudah tidak lagi menggunakan tata ruang seperti keraton. Penilaian pada hotel berbintang satu hingga bintang lima mendapatkan hasil bahwa pada bangunan perhotelan, elemen lanskap yang ditemukan hanyalah bentuk bangunan dengan gaya tradisional yang diadopsi pada bentuk atap maupun ornamen yang menghiasi taman, seperti jenis pohon dan desain pada site furniture. Secara keseluruhan nilai pengaruh Keraton Surakarta terhadap lanskap perkantoran dan pertokoan di Kota Surakarta sebanyak 64% pengaruh kuat, 31% memiliki pengaruh sedang dan 5% memiliki pengaruh yang rendah. 4.4.1.3
Lanskap Fasilitas Umum Fasilitas umum merupakan hal penting pada suatu kota yang didirikan
untuk dapat dinikmati dan di akses oleh seluruh masyarakat kota. Dilakukan penilaian terhadap fasilitas umum yang terdiri dari sarana pendidikan, sarana kesehatan, taman kota, sarana transportasi yang terdiri dari stasiun dan terminal dan tempat peribadatan. Hasil penilaian pada lanskap fasilitas umum disajikan pada Tabel 9 dan secara spasial dapat dlihat pada Gambar 33. Penilaian pada masing-masing unit lanskap disajikan pada Lampiran 9 hingga Lampiran 13. Tabel 9. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Fasilitas Umum Keriteria Unit Lanskap
Sarana Pendidikan Taman Kota Sarana Transportasi Fasilitas Kesehatan Tempat Peribadatan
Asosiasi Kesejarahan
Posisi terhadap Keraton Surakarta
Arsitektur Bangunan
Kesamaan jenis dan desain elemen
Total
0.4
0.2
0.6
0.6
1.8
0.8
0.2
0.6
0.6
2.2
0.8
0.2
0.4
0.6
2
0.4
0.2
0.2
0.4
1.2
0.8
0.2
0.4
0.6
2
Keterangan : Skor 1-1,7 = Rendah ; Skor 1,8-2,4 = Sedang; Skor 2,5-3 = Tinggi Hasil analisis skoring menyatakan bahwa pada lanskap fasilitas umum dengan keterkaitan sedang dimiliki oleh lanskap sarana pendidikan, taman kota, lanskap stasiun dan terminal, dan lanskap tempat peribadatan. Serta pengaruh yang rendah pada fasilitas kesehatan yang tergolong baru.
71
72
Terdapat tujuh buah taman kota di Surakarta, diantaranya Taman Sriwedari dan Taman Balekambang yang memiliki nilai kesejarahan yang tinggi karena terbentuk pada masa pemerintahan Keraton Surakarta. Keberadan taman kota di Surakarta memiliki tatanan lanskap yang mengadopsi gaya arsitektur Keraton Surakarta seperti bentuk bangunan, ragam hias maupun penggunaan tanaman-tanaman ciri khas keraton. Fasilitas umum berupa stasiun dan terminal memiliki nilai pengaruh yang sedang. Terdapat empat stasiun kereta api di Kota Surakarta, keempat stasiun yang didirikan oleh Belanda tersebut memiliki gaya arsitektur Indis. Sedangkan pada Terminal Tirtonadi, bangunan mengadopsi bentuk atap tradisional dan digunakan ragam hias serta tanaman ciri khas keraton. Kota Surakarta memiliki fasilitas dibidang kesehatan yang cukup memadai dengan keberadaan 13 unit rumah sakit yang tersebar di penjuru kota. Pada lanskap sarana pendidikan jarang digunakan konsep tata ruang maupun arsitektur bangunan yang menyerupai Keraton Surakarta. Namun dalam penataan lanskap banyak ditemukan kesamaan pada desain elemen-elemen lanskap seperti ornamen dan juga tanaman-tanaman lokal. Pada tempat ibadah yang meliputi masjid, gereja, klenteng maupun vihara memiliki nilai kesejarahan yang cukup kuat dengan keraton. Keraton sebagai kerajaan Islam memberi pengaruh kepada masyarakat dalam memperkenalkan agama Islam. Sehingga banyak didirikan masjid pada masa itu. Masjid-masjid yang didirikan menggunakan gaya arsitektur tradisional dengan sentuhan ornamen seperti ukiran yang diadopsi dari Keraton Surakarta. Pada masjid-masjid yang baru didirikan juga banyak mengadopsi bentukan atap maupun ornamen dari Keraton Surakarta. Dalam perkembangannya, posisi atau sebaran dari lanskap fasilitas umum sudah tidak lagi mengadopsi konsep tata ruang yang digunakan oleh Keraton Surakarta. Lanskap fasilitas umum tersebar keseluruh penjuru kota, namun keberadaan fasilitas umum lebih banyak berada pada Kecamatan Banjarsari dan Kecamatan Jebres. Hal ini dikarenakan kedua kecamatan tersebut memiliki luasan yang lebih besar dibanding kecamatan lainnya. Nilai pengaruh dari konsep lanskap Keraton Surakarta terhadap lanskap fasilitas umum kota adalah kuat sebesar 8%, pengaruh sedang sebesar 65% dan pengaruh rendah sebesar 26%.
73
4.4.1.4 Lanskap Jalan Lanskap jalan terdiri atas jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal maupun jalan setapak. Dalam penilaian pada lanskap jalan ini dilakukan penilaian pada dua jenis jalan yang dapat menjadi perwakilan dari lanskap kota, yaitu jalan arteri dan jalan lokal. Jalan arteri terdiri dari Jalan Selamet Riyadi, Jalan Ahmad Yani, Jalan Tentara Pelajar dan Jalan Ir. Sutami. Jalan kolektor terdiri dari Jalan Veteran, Jalan Kapten Mulyadi, Jalan Dr. Rajiman, Jalan Kolonel Sugiono, Jalan Kapten Tendean, Jalan Diponegoro, Jalan Honggowongso, Jalan Perintis Kemerdekaan, Jalan Jendral Sudirman, Jalan Urip Sumoharjo, Jalan May Sunaryo, Jalan Brigjen Katamso dan Jalan Mr. Sartono. Terdapat 18 ruas jalan yang tersebar di lima kecamatan di Kota Surakarta. Penilaian dilakukan dengan kriteria yang disajikan pada Tabel 4. Hasil analisis pada elemen lanskap jalan disajikan pada Tabel 10 dan secara spasial disajikan pada Gambar 34. Tabel 10. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Jalan Nama Jalan Jalan Arteri
Jalan Kolektor
Asosiasi Kesejarahan
Kriteria Kesamaan jenis, desain dan ragam hias
Kesamaan jenis elemen lunak
Total
Jl. Slamet Riyadi
1.2
0.9
0.9
3
Jl. Ahmad Yani
1.2
0.6
0.6
2.4
Jl. Tentara Pelajar
1.2
0.6
0.6
2.4
Jl. Ir. Sutami
1.2
0.6
0.9
2.7
Jl. Veteran
1.2
0.6
0.9
2.7
Jl. Kapt. Mulyadi
1.2
0.6
0.6
2.4
Jl. May Sunaryo
1.2
0.9
0.9
3
Jl. Jend. Sudirman
1.2
0.9
0.9
3
Jl. Honggowongso
1.2
0.6
0.6
2.4
Jl. Dr. Rajiman
1.2
0.9
0.9
3
Jl. Adi Sucipto
0.4
0.9
0.9
2.2
Jl. Diponegoro
1.2
0.9
0.9
3
Jl. Urip Sumoharjo
1.2
0.3
0.3
1.8
Jl. Kapt. Tendean
0.8
0.3
0.3
1.4
Jl. Kol. Sugiono
0.8
0.3
0.3
1.4
Jl. Mr. Sartono
0.8
0.3
0.3
1.4
Jl. Brigjen Katamso
1.2
0.3
0.3
1.8
Jl. Perintis Kemerdekaan
0.8
0.9
0.9
2.6
Keterangan : Skor 1-1,7 = Rendah ; Skor 1,8-2,4 = Sedang; Skor 2,5-3 = Tinggi
74
75
Hasil analisis skoring pada ruas jalan didapatkan nilai pengaruh kuat pada ruas Jalan Slamet Riyadi, Jalan Dr. Rajiman, Jalan Ir. Sutami, Jalan Veteran, Jalan May Sunaryo, Jalan Jendral Sudirman, Jalan Diponegoro dan Jalan Perintis Kemerdekaan. Sedangkan nilai pengaruh sedang didapatkan pada Jalan A. Yani, Jalan Tentara Pelajar, Jalan Kapten Mulyadi, Jalan Honggowongso, Jalan Adi Sucipto, Jalan Urip Sumoharjo dan Jalan Kolonel Sugiono. Pengaruh rendah didapatkan pada Jalan Kapten Tendean, Jalan Mr. Sartono dan Jalan Brigjen Katamso. Jalan di Kota Surakarta memiliki nilai sejarah yang tinggi dengan Keraton Surakarta, karena sebagian besar jalan-jalan tersebut terbentuk pada masa pemerintahan Keraton Surakarta. Selain nilai kesejarahan yang kuat, ruas jalan di Kota Surakarta juga ditata dengan baik. Penataan jalan di kota banyak menggunakan site furniture dengan ciri khas ornamen keraton, seperti pada lampu jalan, hiasan dinding pada jalur pejalan kaki, tempat duduk, pergola, petunjuk jalan, tempat sampah dan lainnya. Pada elemen lunak, banyak digunakan tanaman seperti pohon sawo kecik (Manilkara kauki), pohon beringin (Ficus benjamina) maupun pohon tanjung (Mimusophs elengi). Pada lanskap jalan dengan nilai pengaruh sedang, jarang ditemukan site furniture dengan ornamen ciri khas keraton dan masih belum tertata dengan baik. Sehingga diperlukan penataan pada lanskap jalan yang memiliki nilai pengaruh sedang. Pemerintah Kota Surakarta mengembangkan sebuah program yaitu ”Solo city walk” di sepanjang Jalan Slamet Riyadi. Jalan Slamet Riyadi merupakan sebuah jalan arteri yang dikembangkan oleh Pemerintah Kota Surakarta sebagai objek wisata, sehingga dalam penataannya banyak digunakan site furniture yang indah dan dapat menunjang kenyamanan bagi pengguna jalan. Kondisi Jalan Slamet Riyadi disajikan pada Gambar 35.
(a) Pergola pada jalur pejalan kaki (b) Vegetasi pada jalur jalan Gambar 35. Lanskap Jalan Slamet Riyadi
76
4.4.2. Analisis Pola Sebaran Lanskap Kota Surakarta Pengaruh Lanskap Keraton Surakarta terhadap Kota Surakarta dapat dilihat dari gabungan hasil analisis skoring pada masing-masing elemen lanskap, yaitu lanskap permukiman, lanskap perkantoran dan perdagangan, lanskap fasilitas publik dan lanskap jalan. Hasil penilaian terhadap pada keempat elemen dapat disajikan pada Gambar 36. Hasil analisis pada lanskap permukiman pengaruh kuat sebesar 52% kuat, 9% sedang dan 39% pengaruh rendah. Pada lanskap perkantoran dan perdagangan didapatkan nilai pengaruh kuat sebesar 64%, pengaruh sedang sebesar 31% dan pengaruh rendah sebesar 5%. Lanskap fasilitas umum memiliki nilai pengaruh kuat sebesar 8%, sedang 65% dan kuat sebesar 26%. Secara keseluruhan pengaruh Keraton Surakarta terhadap Kota Surakarta tersebar pada luasan sebesar 41% pengaruh kuat, pengaruh sedang 35% dan 24% pengaruh rendah. Peta sebaran pengaruh keraton terhadap lanskap Kota Surakarta disajikan pada Gambar 36. Analisis skoring pada elemen-elemen lanskap kota didapatkan bahwa lanskap yang masih memiliki pengaruh kuat dari Keraton Surakarta tersebar pada wilayah selatan Kota Surakarta. Pengaruh lanskap semakin rendah pada bagian utara kota. Sungai Kalianyar secara tidak langsung telah menjadi batas pemisah pada kota Surakarta. Pada bagian selatan Kalianyar merupakan awal dari Kota Surakarta dan dapat dikatakan sebagai bagian “Surakarta lama”, sedangkan pada bagian utara Kalianyar merupakan wilayah perkembangan baru. Keraton Surakarta terletak pada Kecamatan Pasar Kliwon yang berada pada wilayah selatan kota dan memiliki daerah kekuasaan yang berkembang ke arah barat. Sehingga pada wilayah selatan mendapatkan pengaruh yang besar baik dari nilai kesejarahan maupun dalam tatanan lanskap. Dalam perkembangannya, wilayah selatan kota merupakan pusat dari segala aktifitas masyarakat, karena perkembangan
infrastruktur,
fasilitas
kota
dan
kegiatan
perekonomian
berkembang pesat pada wilayah selatan. Wilayah utara merupakan wilayah pemekaran kota sehinggga keberadaan sarana dan prasarana kota belum cukup memadai pada wilayah tersebut. Terjadi pembangunan yang tidak seimbang antara Kota Surakarta bagian selatan dengan bagian utara.
77
78
Dari hasil pengamatan, memudarnya pengaruh lanskap keraton terhadap kota dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu, posisi Keraton Surakarta terhadap Kota Surakarta, batas alam, perkembangan infrastruktur kota dan faktor kependudukan. Posisi Keraton Surakarta yang berada pada bagian selatan kota mengakibatkan pengaruh yang kuat pada bagian tersebut. Semakin dekat dengan Keraton Surakarta maka semakin kuat pengaruh yang diberikan. Faktor kedua adalah batas alam, setalah dibangun Kali Anyar di utara maka secara tidak langsung menjadi pemisah bagi Kota Surakarta. Pada bagian selatan Kali Anyar nilai pengaruh dari Keraton Surakarta adalah sedang dan pada bagian utara Kali Anyar nilai pengaruh semakin rendah. Perkembangan infrastruktur kota seperti jalan dan jalur kerata api, ikut serta mempengaruhi pudarnya pengaruh dari Keraton Surakarta. Seperti Jalan Slamet Riyadi yang menjadi pembatas wilayah kekuasaan keraton dengan mangkunegaran. Pada wilayah perkembangan kota yang cenderung baru, dipengaruhi oleh adanya perkembangan mode dan teknologi pada masa itu, sehingga tidak lagi mengadopsi gaya tradisional. Dengan berkembangnya mode dan teknologi, maka gaya tradisional khas keraton sudah tidak menjadi acuan/panutan dalam membentuk suatu lanskap. Faktor lain yang memberi pengaruh adalah faktor kependudukan, jumlah penduduk yang semakin bertambah memaksa penggunaan lahan semaksimal mungkin, sehingga banyak rumah tinggal yang terbentuk dengan bentuk bangunan yang tidak berkarakter tradisional. Kedatangan para migran di Kota Surakarta juga menjadikan nilai budaya lokal secara perlahan luntur. Budaya yang berbeda dari setiap migran mengakibatkan beragam budaya.
79
4.5
Usulan Pengembangan Lanskap
4.5.1
Konsep Pengembangan Lanskap Perkembangan lanskap Kota Surakarta dimulai semenjak keberadaan
Keraton Surakarta yang membuat segala aktivitas masyarakat berpusat pada wilayah disekeliling keraton dan perkembangan permukiman menuju kearah barat. Masa penjajahan Belanda memberi pengaruh pada perkembangan lanskap kota dengan dibangunnya infrastruktur kota. Keberadaan infrastruktur kota seperti sarana transportasi membuat lanskap kota berkembang mengikuti pola linier. Analisis sebaran lanskap pada Kota Surakarta dilakukan dengan analisis skoring pada lanskap permukiman, lanskap perkantoran dan perdagangan, lanskap fasilitas umum dan lanskap jalan. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengaruh Keraton Surakarta pada lanskap hanya tersebar pada wilayah selatan kota dengan presentase 41%. Sedangkan pada elemen lanskap dengan pengaruh sedang dengan presentase 35%. Pengaruh rendah sebesar 24% yang berada di Kecamatan Banjarsari dan Jebres. Pengaruh kuat dari Keraton Surakarta terpusat pada bagian selatan kota yang meliputi Kecamatan Laweyan, Kecamatan Serengan, Kecamatan Pasar Kliwon dan beberapa wilayah di Kecamatan Banjarsari. Sehingga pada kawasan tersebut dapat dikatakan sebagai kota lama dari Surakarta. Hasil analisis menyatakan bahwa nilai pengaruh dari Keraton Surakarta hanya sebesar 41%, sehingga diperlukan adanya suatu konsep untuk menjaga dan mempertahankan karakter budaya dari Keraton Surakarta. Konsep yang diusulkan guna
pengembangan
lanskap
kota
adalah
dengan
meningkatkan
dan
mempertahankan karakter budaya yang dimiliki oleh Kota Surakarta dalam penataan dan pelestarian lanskap kota guna keberlanjutan Kota Surakarta sebagai kota pusaka. Upaya meningkatkan karakter budaya pada lanskap kota dilakukan dengan penataan pada lanskap kota agar terbentuk suatu lanskap yang dapat menjadi suatu identitas kota. Sedangkan upaya dalam mempertahankan karakter lanskap kota dilakukan dengan melindungi, memelihara dan memperbaiki peninggalan sejarah budaya yang terdapat pada Kota Surakarta. Penataan dan pelestarian pada lanskap kota membutuhkan adanya suatu kebijakan dari pemerintah kota dan juga partisipasi aktif dari masyarakat Kota Surakarta.
80
4.5.2 Arahan Pengembangan Lanskap Kota Surakarta Berdasarkan hasil analisis terhadap sebaran lanskap pada Kota Surakarta diketahui bahwa pengaruh kuat Keraton Surakarta terpusat pada bagian selatan kota dan semakin menuju utara maka nilai pengaruh dari lanskap keraton menjadi semakin rendah. Pengaruh Keraton Surakarta terhadap lanskap kota berada pada bagian selatan memiliki nilai sejarah penting bagi Kota Surakarta. Pengembangan kota tidaklah bijak apabila tidak memperhatikan kawasan lama yang merupakan cikal bakal dari terbentuknya kota. Dari hasil analisis didapatkan tiga zona pengaruh yaitu, pengaruh kuat, pengaruh sedang dan pengaruh rendah. Pada zona pengaruh kuat meliputi Kecamatan Laweyan, Serengan, Pasar Kliwon, Jebres dan beberapa bagian dari Kecamatan Banjarsari. Zona pengaruh kuat memiliki nilai kesejarahan yang kuat dari Keraton Surakarta dan masih banyak elemen-elemen lanskap yang mencerminkan adanya pengaruh dari Keraton Surakarta. Pada zona pengaruh kuat dilakukan
penguatan
karakteristik
keraton
dengan
melestarikan
dan
memberdayakan area dan elemen bersejarah yang memiliki kaitan dan karakteristik lanskap keraton. Pengaruh kuat yang berada di selatan kota dapat diklasifikasikan menjadi zona inti yang merupakan “Kota Lama Surakarta” yang dahulu merupakan awal perkembangan kota dan pusat pemerintahan Keraton Surakarta (Hadi,2001). Pada zona inti dapat dimunculkan kembali karakterkarakter dari kawasan lama seperti Pecinan, Kauman maupun Loji Wetan yang memiliki ciri khas tersendiri. Wilayah Surakarta lama disajikan pada Gambar 37. Zona pengaruh sedang meliputi beberapa wilayah di Kecamatan Laweyan, Serengan, Jebres dan Banjarsari. Tindakan pelestarian yang dapat dilakukan pada zona dengan nilai pengaruh sedang adalah sebagai zona penyangga guna menyangga zona inti dengan zona pengembangan. Pada zona pengangga dilakukan penguatan karakter keraton dengan meningkatkan nilai karakter dari keraton dilakukan dengan melestarikan dan memberdayakan area dan elemen bersejarah yang memiliki kaitan dan karakteristik lanskap keraton serta penataan dan perbaikan lanskap pada kawasan ini guna meningkatkan nilai sejarah dan budaya kawasan.
81
Gambar 37. Kota Lama Surakarta Sedangkan
zona
pengaruh
rendah
diklasifikasikan
sebagai
zona
pengembangan yang meliputi Kecamatan Jebres dan Banjarsari yang berada pada bagian utara kota. Kawasan ini merupakan wilayah pemekaran kota, sehingga memiliki pengaruh yang rendah dari keraton. Pada kawasan ini masih banyak terdapat lahan-lahan kosong yang dapat dimanfaatkan guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Sehingga pada kawasan ini dapat menjadi bagian baru dari Kota Surakarta. 4.5.3 Arahan Penataan Lanskap Kota Surakarta Dalam menjaga dan menciptakan suatu lanskap yang memiliki nilai budaya tinggi, perlu adanya dukungan dan partisipasi aktif dari seluruh masyarakat kota. Masyarakat kota memiliki peran penting dalam membentuk lanskap kota, sehingga perlu dilakukan dengan memunculkan kembali aktifitas maupun kesenian tradisional yang dapat meningkatkan nilai budaya setempat. Dari hasil kuisioner, diketahui bahwa hanya sedikit masyarakat yang memahami mengenai konsep lanskap keraton, sehingga diperlukan suatu penyuluhan atau himbauan yang informatif mengenai nilai budaya maupun peninggalan sejarah yang merupakan potensi bagi kota. Penyuluhan maupun himbauan ini diharapkan dapat membuat masyarakat dapat berpartisipasi dalam tindakan pelestarian.
82
Pada zona lanskap dengan nilai pengaruh yang kuat, banyak terdapat objek dan elemen bersejarah yang kondisinya sudah tidak baik lagi. Sehingga diperlukan tindakan pelestarian berupa revitalisasi pada elemen lanskap seperti pada Alunalun Lor dan Alun-alun Kidul Keraton Surakarta. Revitalisasi pada alun-alun Keraton Surakarta adalah upaya memperbaiki kualitas fisik guna mengembalikan fungsi semula alun-alun sebagai ruang terbuka hijau sesuai dengan kondisi masa kini tanpa meninggalkan karakter sejarah dan budaya dari alun-alun. Perbaikan kualitas fisik pada alun-alun dapat dilakukan dengan perbaikan infrastruktur, pemeliharaan pada vegetasi rumput, menghilangkan atau mengganti vegetasi yang tidak sesuai dengan karakater alun-alun, perbaikan pada perkerasan, serta meningkatkan nilai aktivitas yang dapat menunjang kegiatan sosial, ekonomi dan pariwisata. Ilustrasi pentaan ulang alun-alun utara disajikan pada Gambar 38.
(a) Sebelum penataan (b) Setelah penataan Gambar 38. Penataan lanskap pada Alun-alun utara Keraton Surakarta yang merupakan cikal bakal dari kota Surakarta, saat ini kondisinya sudah sangat memprihatinkan. GPH Puger menyatakan bahwa sebesar 85% bangunan di keraton sudah rusak, sehingga perlu dilakukan rekonstruksi pada bangunan keraton agar tercipta kembali Keraton Surakarta yang dapat menunjukkan kemegahan pada masa lalu. Pengembangan kota sudah sepatutnya diselaraskan dengan melestarikan peninggalan-peninggalan sejarah dari masa lalu. Diperlukan suatu kebijakan dari pemerintah Kota Surakarta hingga petunjuk teknis dalam melestarikan lanskap sejarah budaya, partisipatif dari masyarakat dalam menjaga dan menata kota, dukungan pelestarian dan pemberdayaan pada area dan elemen bersejarah dan adanya suatu guideline dalam pengembangan lanskap kota. Berikut terdapat
83
beberapa rekomendasi penataan lanskap yang dapat digunakan sebagai guideline dalam penataan kota. Guideline disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Guideline penataan lanskap kota Komponen Karakteristik Tata Ruang/ layout Arsitektur Bangunan
Rumah Tinggal √
Kantor/fasilitas umum √
Taman Kota/RTH √
Lanskap Jalan
√
√
√
Ornamen Bangunan Desain elemen Vegetasi Penamaan dengan aksara jawa
√ √ √
√ √ √
√ √ √
√ √ √
√
√
√
√
Pada lanskap permukiman dapat diadopsi gaya arsitektur seperti bangunan keraton, baik dari konsep ruang maupun dapat digunakan bentuk atap tradisional. Selain itu penerapan konsep bangunan keraton pada rumah tinggal dan penggunaan ornamen bercirikan keraton. Pada lanskap perkantoran dan perdagangan dapat diterapkan konsep tata ruang keraton pada bangunan kantor dan juga penggunaan ornamen, softscape, dan hardscape yang bercirikan keraton. Fasilitas publik yang belum menerapkan konsep lanskap keraton perlu menggunakan ornamen, softscape, dan hardscape yang bercirikan keraton. Penataan pada lanskap jalan dengan menggunakan site furniture seperti lampu jalan, pergola, tempat sampah, atau paving yang mengadopsi gaya atau ornamen yang bercirikan keraton serta penanaman tanaman lokal, seperti beringin, sawo kecik, tanjung, atau kepel. Berikut terdapat beberapa ilustrasi pada penataan lanskap jalan yang disajikan pada Gambar 39.
(a) Sebelum penataan (b) Setelah penataan Gambar 39. Penataan lanskap pada jalur pejalan kaki
84
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1
Simpulan Keraton Surakarta Hadiningrat merupakan cikal bakal terbentuknya Kota
Surakarta dan dianggap sebagai sumber maupun pusat dari budaya Jawa. Keraton Surakarta memberikan pengaruh yang sangat kuat pada Kota Surakarta semenjak berdirinya keraton pada abad ke 17. Keraton Surakarta terbentuk dengan konsep tata ruang hasil pemikirian dan kepercayaan masyarakat Jawa masa itu, sehingga terbentuk suatu hirarki pada susunan bangunan-bangunan di Keraton Surakarta. Konsep kiblat papat kalima pancer membuat Keraton Surakarta sebagai pusat/pancer dari segala aktifitas masyarakat. Orientasi merupakan hal penting bagi masyarakat Jawa dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Konsep kiblat papat kalima pancer menciptakan sebuah sumbu imajiner pada Kota Surakarta. Konsep tata ruang dengan nilai simbolisme dan filosofi yang kuat membuat setiap fase pada bangunan di Keraton Surakarta memiliki makna bahwa setiap fase yang dilewati dipercaya dapat menuju kesempurnaan. Perkembangan pada lanskap Kota Surakarta terjadi melalui beberapa periode yang dipengaruhi oleh pemegang kuasa di kota tersebut. Kota Surakarta yang pada awalnya merupakan kota tradisional dengan nilai budaya keraton yang kuat, secara perlahan berkembang menjadi kota modern dengan keberadaan penjajah. Penggunaan lahan yang padat pada bagian selatan kota membuat perkembangan kota Surakarta menuju wilayah utara. Pemerintah kota memiliki andil besar dalam perkembangan lanskap kota. Hasil pemetaan terhadap lanskap Kota Surakarta didapatkan sebaran pengaruh kuat dari lanskap keraton pada bagian selatan kota dan semakin ke utara maka nilai pengaruh akan semakin rendah. Pada lanskap permukiman pengaruh kuat sebesar 52% kuat, 9% sedang dan 39% pengaruh rendah. Pada lanskap perkantoran dan perdagangan didapatkan nilai pengaruh kuat sebesar 64%, sedang 31% dan pengaruh rendah sebesar 5%. Lanskap fasilitas umum memiliki nilai pengaruh kuat sebesar 8%, sedang 65% dan rendah sebesar 26%. Secara keseluruhan pengaruh Keraton Surakarta terhadap lanskap kota tersebar pada luasan sebesar 41% pengaruh kuat, pengaruh sedang 35% dan 24% pengaruh
85
rendah. Memudarnya pengaruh Keraton Surakarta terhadap lanskap kota dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu letak/posisisi Keraton Surakarta, batas alam dan infrastruktur, perkembangan mode dan teknologi serta faktor kependudukan. Konsep
yang
diusulkan
terhadap
lanskap
kota
adalah
dengan
meningkatkan dan mempertahankan karakater budaya yang dimiliki oleh Kota Surakarta dalam penataan dan pelestarian lanskap kota guna keberlanjutan Kota Surakarta sebagai kota pusaka. Rekomendasi yang diusulkan adalah pada lanskap dengan pengaruh kuat di bagian selatan kota dapat dikategorikan sebagai zona inti kota lama Surakarta yang merupakan perkembangan awal kota dan dahulu merupakan pusat pemerintahan Keraton Surakarta. Pada zona pengaruh sedang tindakan pelestarian yang dapat dilakukan adalah dengan membentuk kawasan sebagai zona penyangga dan dilakukan penguatan karakteristik keraton dan penguatan karakteristik dengan melestarikan dan memberdayakan area dan elemen bersejarah yang memiliki kaitan dan karakteristik lanskap keraton serta penataan dan perbaikan lanskap pada kawasan ini guna meningkatkan nilai sejarah dan budaya kawasan. Zona ketiga adalah zona pengembangan dengan nilai pengaruh rendah yang merupakan wilayah pemekaran kota. Pembagian zona pelestarian dilakukan guna melindungi, melestarikan dan meningkatkan kualitas lanskap kota guna menciptakan Kota Surakarta yang beridentitas. Pelestarian pada lanskap sejarah dan budaya diharapkan dapat meningkatkan kegiatan ekonomi, sosial dan budaya bagi masyarakat Kota Surakarta. 5.2
Saran Berikut terdapat beberapa saran yang dapat menjadi masukan kepada
pemerintah kota maupun masyarakat dalam menjaga lanskap Kota Surakarta : 1. Pemerintah Kota Surakarta segera menyusun Guideline yang berisi mengenai petunjuk teknis dalam pelestarian dan penataan lanskap kota. Serta dilakukan sosialisasi terhadap masyarakat. 2. Dilakukan perancangan secara detail pada tapak-tapak khusus yang dapat
meningkatkan nilai budaya dan menunjang aktivitas ekonomi, budaya dan pariwisata. 3. Dilakukan peningkatan aktivitas budaya (intangible) yang selaras dengan
karakteristik kota.
86
DAFTAR PUSTAKA [Bappeda Kota Surakarta], 2011. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surakarta2011-2013. Solo : Badan Pembangunan Daerah. [BPS Kota Surakarta]. 2008. Surakarta dalam Angka 2007. Solo : Badan Pusat Statistik Kota Surakarta. [Pemerintah Kota Surakarta]. 2011. Visi Misi Kota Surakarta [internet]. [diunduh 28 Desember 2011].Tersedia dari : http://www.surakarta.go.id/ id/news/vis i.misi.kota.surakarta.html Adiningsih, H. 2009. Teori Arsitektur [internet].[diunduh 5 April 2011]. Tersedia dari:http://helmiadiningsih.blogspot.com/2009/05/keratonsolopengorbanan -yang-tak.html. Anggraeni, R. 2011. Assessment Lanskap Sejarah Kawasan Empang untuk Mendukung Perencanaan Tata Ruang Kota Bogor [Skripsi]. Bogor: Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Dumadi, J. 2011. Mikul Dhuwur Mendhem Jero : Menyelami Falsafah dan Kosmologi Jawa. Yogyakarta : Pura Pustaka. Gunawan, R. 2010. Toponimi Surakarta : Keragaman Budaya dalam Penamaan Ruang Kota. Jakarta : Direktorat Geografi Sejarah, Direktorat Jendral Sejarah dan Purbakala, Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata. Hadi, P. 2001. Karakteristik Penggunaan Lahan Kota Solo. Di dalam: Koestoer RH et al. (editor). Dimensi Keruangan Kota: Teori dan Kasus. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Harris, C.W. dan Dines N.T. 1988. Time-Saver Standards for landscape Architecture : Design and Construction Data. United Stated of America : McGraw-Hill Co, Inc. Heins, Marleen. 2004. Keraton Surakarta. Jakarta : Buku Antar Bangsa. Hooper , L.J. 2007. Landscape architectural graphic standards. USA : John Wiley and Sons, Inc.
87
Iqbal, M. 2010. Perencanaan Lanskap Jalur Interpretasi Wisata Sejarah Budaya Jalan Slamet Riyadi Kota Surakarta. [Skripsi]. Bogor: Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Lia W. 2001. Organisasi Keruangan Kota. Di dalam: Koestoer RH et al. (editor). Dimensi Keruangan Kota: Teori dan Kasus. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Lynch, K. 1960. The Image of The City. Mass. MIT. Press. Cambridge. Maruti, A. 2003. Studi Pengelolaan Lanskap Keraton Kasunanan Surakarta [Skripsi]. Bogor:Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Melnick, R.Z. 1983. Protecting rural cultural landscapes : Finding value in the countryside.Landscape J.2(2). Mulyandari, H. 2011. Pengantar Arsitektur Kota. Yogyakarta : ANDI Yogyakarta. Nitinagoro, H. 2011. Babad Keraton Surakarta. Semarang : Grafika Citra Mahkota. Nurisjah S dan Pramukanto Q. 2001. Perencanaan Kawasan untuk Pelestarian Lanskap dan Taman Sejarah. Bogor : Fakultas Pertanian, IPB (tidak dipublikasikan). Plachter, H. dan Rossler M. 1995. Cultural landscapes: reconnecting culture and nature dalam Cultural Landscapes of Universal Value. NewYork: Gustav Fischer. Premodia, I. 2005. Kajian Konsep Kosmologi Jawa Pada Pola Tatanan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat [Skripsi]. Bandung : Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Katolik Parahiyangan. Ronald, A. 2005. Nilai-nilai Arsitektur Rumah Tradisional Jawa. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Qomarun dan Prayitno, B. 2007. Morfologi Kota Solo (1500-2000) dalam Dimensi Teknik Arsitektur. Universitas Kristen Petra, Vol 35: 80-87. Santoso, J. 2008. Asitektur-Kota Jawa : Kosmos, kultur dan Kuasa. Jakarta: Centropolis, Magister Teknik Perencanaan Universitas Tarumanegara.
88
Sajid, R.M. 1984. Babad Sala. Rekso Pustoko Mangkunegaran. Solo Setiawan, E.A. 2000. Konsep Simbolisme Tata Ruang Luar Keraton Surakarta Hadiningrat [Tesis]. Semarang : Fakultas Teknik Arsitektur, Universitas Diponegoro. Simonds, J.O. and Starke, B.W. 2006. Landscape Architecture A Manual of Environmental Planning and Design. New York: McGraw-Hill. Wukiralit. 2011. Misteri Pohon Sawo Kecik di Halaman Kedaton [internet]. [diunduh 3 April 2011]. Tersedia :http://kesehatan.kompasiana.com/makan an/2011/01/10/misteripohonsawokecikdihalamankedatonkeratonsurakarta/. Zaida, S.N.A. 2004. Surakarta: Perkembangan Kota Ditinjau dari Perubahan Kondisi Sosial pada Bekas Ibukota Kerajaan di Jawa [Skripsi]. Bogor: Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
89
LAMPIRAN
90
Lampiran I. Lembar Kuisioner Selamat pagi/siang/sore/malam.
Dengan
Hormat,
saya
memohon
kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/Saudari dalam membantu pengumpulan data penelitian yang sedang saya lakukan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut dengan baik dan benar. Penelitian ini berjudul Studi Pengaruh Konsep Lanskap Keraton Surakarta Terhadap Lanskap Kota Surakarta. Dengan kuisioner ini, peneliti berharap dapat mengetahui pandangan masyarakat Kota Surakarta terhadap Keraton Surakarta dan Lanskap Kota Surakarta serta masukan untuk menyusun arahan pengembangan lanskap kota Surakarta yang beridentitas. Atas kerjasama Bapak/Ibu/Saudara/Saudari saya ucapkan terima kasih.
Danur Febyandari/ A44080062 Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Data Pribadi Responden Jenis Kelamin : a. Laki-laki
b. Perempuan
Umur : a. 18-22 thn
c. 31-40 thn
b. 23-30 thn
d. 41-50 thn f. >60 thn
e. 51-60
Pekerjaan : a. Pelajar
c. Karyawan swasta
e.
d. PNS
f.
a. Tidak sekolah
c. SMP
e. D3
b. SD
d. SMA
f. Sarjana (S1, S2, S3)
a. Sunda
c. Tionghoa
e. Belanda/Eropa
b. Jawa
e. Arab
f. Lainnya
Wirausaha/pedagang b. Mahasiswa
Lainnya
................... Pendidikan terakhir :
Etnik :
91
Berapa lama anda tinggal di kawasan ini : a. <5 thn
d. 15-20 thn
b. 5-10 thn
e. 21-30 thn
c. 11-15 thn
f. 31-40 thn
g. >40 thn
Apakah anda masih melakukan adat/aktivitas budaya etnik anda dalam kehidupan sehari-hari*: (ya/tidak) Contohnya : .............................................................................................................. Pertanyaan Apakah Anda mengetahui sejarah kota Solo ? a. Tahu
b. Sedikit
c. Tidak tahu
Jika jawaban Anda tahu : Dari mana Anda mengetahui tentang sejarah kawasan ini : ................................................................................................................................... ................................................................................................................................... Menurut anda apakah Kota Surakarta merupakan sebuah kawasan yang memiliki budaya yang khas bila dibandingkan dengan daerah lain di Pulau Jawa? a. Ya
b. Tidak
1. Mengapa Anda tinggal di kawasan ini? a. Keluarga di Surakarta
c. Suasananya nyaman e. Lainnya
b. Pekerjaan
d. Murah
2. Apakah kawasan ini telah berubah dibanding waktu pertama tinggal? a. Tidak berubah
c. Sedikit berubah
b. Banyak berubah
d. Sangat banyak berubah
3. Jika berubah, apakah perubahan tersebut? a. Menjadi sangat nyaman
c. Menjadi tidak nyaman
b. Menjadi sedikit lebih nyaman
d. Menjadi sangat tidak nyaman
4. Perubahan apa yang paling terasa/terlihat? a. Lingkungan/lanskap kawasan
f. Aktivitas wisata
b. Aktivitas masyarakat
g. Jumlah wisatawan
c. Sarana dan prasarana
h. Model bangunan
d. Jumlah pohon
i. Jumlah bangunan
e. Jumlah penduduk
j. Lainnya,…………………
92
5. Bagaimana situasi Kota Solo ini menurut Anda? (pilih salah satu jawaban dari setiap poin) a. Indah/Tidah indah b. Unik/Tidak unik c. Menarik/Tidak menarik d. Membanggakan/Tidak membanggakan e. Bernilai budaya tinggi/Tidak bernilai budaya f. Bernilai sejarah tinggi/Tidak bernilai sejarah g. Sesuai/Tidak sesuai untuk wisata h. Terjaga/Tidak terjaga kelestariannya 6. Apakah Anda mengetahui bentuk kawasan ini di masa lampau (masa Kerajaan Kasunanan Surakarta)? a. Ya
b. Tidak
7. Jika ya, apakah karakteristiknya? a. Permukiman
d. Industri
b. Pertanian
e. Hutan alam
c. Perdagangan
f. Lainnya,……………………
8. Apakah anda mengetahui karakter budaya kawasan ini di masa lampau? a. Ya
b. Tidak
9. Jika ya., apa karakteristiknya? a. Budaya Jawa secara umum
e. Campuran (Keraton dan Eropa)
b. Budaya Jawa khas Surakarta
f. Campuran (Keraton dan Eropa)
c. Budaya Keraton
g. Lainnya,………………………
d. Budaya Eropa 10. Apa yang menentukan karakter kawasan ini, dilihat dari sisi : (pilih salah satu jawaban dari setiap poin) a. Masyarakat : tradisional/semi modern/modern b. Bangunan : tradisional/semi modern/modern c. Aktivitas : perdagangan/pertanian/pariwisata d. Alam : sungai/pemandangan/cuaca 11. Bagaimana pandangan anda terhadap Keraton Surakarta?
93
a. Situs Cagar Budaya
d. Cerminan Kejayaan Kekuasaan
Masa Lalu b. Sumber Kebudayaan Masyarakat Jawa
e. Cikal bakal Kota Surakarta
c. Cikal bakal Kota Surakarta
f.Lainnya
12. Apakah anda mengetahui mengenai konsep Keraton Surakarta? a. Ya
b. Tidak
13. Jika ya, apa saja yang anda ketahui mengenai konsep Keraton Surakarta ? ................................................................................................................................... ................................................................................................................................... 14. Apakah kawasan ini perlu dilestarikan? a. Ya
b. Tidak
15. Jika ya, mengapa harus dilestarikan? ................................................................................................................................... ................................................................................................................................... 16. Apakah perkembangan Kota Surakarta harus mempertimbangkan mengenai keberadaan Keraton Surakarta? a. Ya
b. Tidak
17. Jika ya, mengapa demikian? 18. Apakah elemen-elemen maupun karakteristik yang Keraton perlu ditampilkan dalam elemen Kota Surakarta? a. Ya
b. Tidak
19. Jika ya, elemen-elemen maupuan karkater Keraton seperti apa yang perlu ditampilkan pada Kota Surakarta? ................................................................................................................................... ................................................................................................................................... ................................................................................................................................... 20. Komentar dan saran Anda terhadap lanskap Kota Surakarta ini : ...................................................................................................................................
94
Lampiran 2. Perhitungan Interval Perhitungan interval dalam penilaian struktur lanskap pada Kota Surakarta :
IK
=
IK
=
IK
=
Skor Maksimum (SMa) – Skor Minimum (SMi) Jumlah Kategori 3 1 3 2 = 0,66 3 0,7 (dibulatkan)
Kategori Tinggi
= = =
(SMi + 2IK + 1) sampai SMa (1 + 2(0,7) + 0,1) sampai 3 2,5 sampai 3
Kategori Sedang
= = =
(SMi + IK + 1) sampai (SMi + 2IK) (1 + 0,7+ 0,1) sampai (1 + 2(0,7)) 1,8 sampai 2,4
Kategori Rendah
= = =
SMi sampai (SMi + IK) 1 sampai (1 + 0,7) 1 sampai 1,7
Interval Kelas (IK)
=
95
Lampiran 3. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Permukiman Kriteria Asosiasi Kesejarahan
Tata Ruang
Arsitektur Bangunan
Ornamen Bangunan
Kesamaan jenis elemen
Total
Keterangan
Luas (Ha)
Persentase (%)
Sondakan
1.2
0.1
0.6
0.45
0.45
2.8
Kuat
98.8
3.3
Panularan
1.2
0.1
0.6
0.3
0.3
2.5
Kuat
33
1.1
Penumping
1.2
0.1
0.4
0.45
0.45
2.6
Kuat
18.1
0.6
Sriwidari
1.2
0.1
0.6
0.45
0.3
2.65
Kuat
20.2
0.6
Laweyan
1.2
0.1
0.6
0.45
0.45
2.8
Kuat
12.2
0.4
Purwosari
1.2
0.1
0.6
0.3
0.45
2.65
Kuat
42.4
1.4
Bumi
1.2
0.1
0.4
0.3
0.45
2.45
Kuat
21
0.7
Pajang
1.2
0.1
0.6
0.3
0.3
2.5
Kuat
79.6
2.7
Kerten
1.2
0.1
0.4
0.3
0.3
2.3
Sedang
67.3
2.3
Jajar
1.2
0.1
0.2
0.15
0.3
1.95
Rendah
241.6
8.2
Karangasem
0.8
0.1
0.2
0.3
0.3
1.7
Sedang
90.6
3.1
Serengan
1.2
0.1
0.6
0.45
0.3
2.65
Kuat
46.7
1.6
Kratonan
1.2
0.1
0.6
0.3
0.45
2.65
Kuat
33.9
1.2
Kemlayan
1.2
0.2
0.6
0.3
0.3
2.6
Kuat
15.6
0.5
Jayengan
1.2
0.1
0.6
0.3
0.45
2.65
Kuat
27.3
0.9
Danukusuman
1.2
0.1
0.6
0.3
0.3
2.5
Kuat
45.8
1.6
Tipes
1.2
0.1
0.6
0.3
0.3
2.5
Kuat
53.8
1.8
Joyotakan
1.2
0.1
0.4
0.3
0.3
2.3
Sedang
45.6
1.6
Kauman
1.2
0.1
0.6
0.45
0.45
2.8
Kuat
7.1
0.2
Baluwarti
1.2
0.3
0.6
0.45
0.45
3
Kuat
58.4
1.9
Pasar Kliwon
Serengan
Laweyan
Kelurahan
95 95
96
Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Permukiman (Lanjutan) Asosiasi Kesejarahan 0.8
Tata Ruang 0.1
Kriteria Arsitektur Bangunan 0.6
Ornamen Bangunan 0.45
Kesamaan jenis elemen 0.45
Total
Keterangan
Luas (Ha)
Persentase (%)
2.4
Sedang
10.8
0.3
Pasar Kliwon
1.2
0.1
0.4
0.45
0.45
2.6
Kuat
12.7
0.4
Joyosuran
1.2
0.1
0.6
0.3
0.3
2.5
Kuat
40.1
1.4
Sangkrah
1.2
0.1
0.4
0.45
0.3
2.45
Kuat
20.5
0.7
Semanggi
1.2
0.1
0.4
0.45
0.3
2.45
Kuat
104.2
3.5
Kedung Lumbu
1.2
0.2
0.4
0.3
0.45
2.55
Kuat
9.9
0.3
Sewu
1.2
0.1
0.6
0.3
0.45
2.65
Kuat
53.2
1.8
Gandekan
1.2
0.2
0.6
0.3
0.15
2.45
Kuat
43.6
1.5
Jagalan
1.2
0.1
0.6
0.3
0.3
2.5
Kuat
72.1
2.4
Sudiroprajan
1.2
0.1
0.4
0.3
0.45
2.45
Kuat
26.5
0.9
Purwodiningratan
1.2
0.1
0.6
0.3
0.3
2.5
Kuat
30.9
1.1
Jebres
1.2
0.1
0.4
0.3
0.45
2.45
Kuat
284.9
9.7
Kepatihan Wetan
0.8
0.1
0.4
0.3
0.3
1.9
Sedang
24.2
0.8
Kepatihan Kulon
0.8
0.1
0.4
0.3
0.3
1.9
Sedang
23.4
0.8
Pucang Sawit
1.2
0.1
0.6
0.3
0.3
2.5
Kuat
53.7
1.8
Mojosongo
0.4
0.2
0.4
0.15
0.15
1.3
Rendah
367
12.5
Tegalharjo
0.4
0.1
0.4
0.15
0.15
1.2
Rendah
26.6
0.9
Keprabon
1.2
0.1
0.6
0.3
0.45
2.65
Kuat
8.8
0.3
Mangkubumen
1.2
0.1
0.6
0.3
0.3
2.5
Kuat
41.2
1.4
Punggawan
1.2
0.1
0.6
0.3
0.3
2.5
Kuat
Nusukan
1.2
0.1
0.2
0.15
0.3
1.95
Sedang
8.7 68.2
0.3 2.3
Kelurahan
Banjarsari
Jebres
Jebres
Pasar Kliwon
Kampung Baru
96 96
110
97
Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Permukiman (Lanjutan) Tata Ruang 0.1
Kriteria Arsitektur Bangunan 0.4
Ornamen Bangunan 0.45
Kesamaan jenis elemen 0.3
Total
Keterangan
Luas (Ha)
Persentase (%)
Setabelan
Asosiasi Kesejarahan 1.2
2.45
Sedang
18.9
0.6
Timuran
1.2
0.2
0.6
0.3
0.3
2.6
Kuat
7.4
0.2
Gilingan
1.2
0.1
0.4
0.15
0.3
2.15
Sedang
45.3
1.5
Kadipiro
0.8
0.1
0.2
0.15
0.3
1.55
Rendah
220.4
7.5
Ketelan
1.2
0.1
0.4
0.15
0.3
2.15
Sedang
9.9
0.3
Kestalan
1.2
0.1
0.4
0.15
0.3
2.15
Rendah
6.7
0.2
Sumber
0.4
0.1
0.4
0.15
0.3
1.35
Rendah
92.8
3.1
Banyuanyar
0.4
0.1
0.4
0.15
0.3
1.35
Rendah
62.5
2.1
Banjarsari
Kelurahan
97 97
98
Lampiran 4. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Kantor Pemerintah Keriteria Asosiasi Kesejarahan
Posisi terhadap Keraton Surakarta
Arsitektur Bangunan
Kesamaan jenis elemen lanskap
Total
Keterangan
Luasan (Ha)
%
Dinas Kebudayaan & Pariwisata Dinas Sosial, tenaga kerja & trasmigrasi Kantor Kec. Laweyan Kantor Kelurahan Kantor Samsat Kantor Korem Kantor Polwil Kantor Kec. Serengan Kantor Kelurahan Komplek Balaikota Surakarta Dinas perhubungan, komunikasi dan informasi Kantor Kelurahan Dinas PU Dinas Pertanian Kantor Arsip dan perpustakaan daerah Kantor Kelurahan Dinas Pendidikan, pemuda dan olahraga
0.4
0.2
0.6
0.6
1.8
Sedang
0.06
0.3
0.4
0.2
0.6
0.6
1.8
Sedang
0.05
0.3
0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4
0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.4
0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6
0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6
1.8 1.8 1.8 1.8 1.8 1.8 1.8 2
Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
0.4 1.1 0.24 4.4 3.2 0.4 0.7 2.5
2.1 5.8 1.3 23.3 16.9 2.1 3.7 13.2
0.4
0.2
0.6
0.6
1.8
Sedang
0.1
0.5
0.4 0.4 0.4 0.4 0.4
0.2 0.2 0.2 0.2 0.2
0.6 0.6 0.6 0.6 0.6
0.6 0.6 0.6 0.6 0.6
1.8 1.8 1.8 1.8 1.8
Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
1.8 0.2 0.2 0.04 1.1
9.5 1.1 1.1 0.1 5.8
0.4
0.2
0.6
0.6
1.8
Sedang
0.2
1.1
Dinas Kebersihan dan Pertamanan Dinas Koperasi &UKM Dinas Perindustrian dan perdagangan Kantor Ketahanan Pangan Kantor Kecamatan Banjarsari Kantor Kelurahan
0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 1
0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 1
0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 3
0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 3
1.8 1.8 1.8 1.8 1.8 8
Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
0.2 0.1 0.1 0.05 0.4 1.3
1.1 0.5 0.5 0.3 2.1 6.9
Kantor Pemerintahan Laweyan
Serengan Pasar Kliwon
Jebres
Banjarsari
98 98
99
Lampiran 5. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Kantor Swasta Keriteria Kantor Swasta Laweyan
Serengan
Pasar Kliwon
Bank Haga Bank BII Bank Mandiri Bank Maspion Indonesia Bank Mega Bank Pasar Surakarta Bank Syariah Mandiri Bank BTPN Kantor Asuransi Jiwasraya Kantor PLN Bank Mayapada Bank Permata Bank Panin Bank Danamon Bank BRI Bank BPR Bank BCA Bank BCA Bank Indonesia Bank Danamon Syariah Bank BRI Bank BNI Bank Niaga Bank Panin Bank Mandiri
Asosiasi Kesejarahan
Posisi terhadap Keraton Surakarta
Arsitektur Bangunan
Kesamaan jenis elemen lanskap
Total
Keterangan
Luasan (Ha)
%
0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 1.2 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4
0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2
0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6
0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.4 0.4 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6
1.8 1.8 1.8 1.8 1.8 1.8 1.8 1.8 1.6 1.6 1.8 1.8 1.8 1.8 1.8 1.8 1.8 1.8 2.6 1.8 1.8 1.8 1.8 1.8 1.8
Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Rendah Rendah Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Kuat Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
0.05 0.06 0.2 0.06 0.06 0.06 0.06 0.04 0.1 0.6 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.5 0.5 0.1 0.2 0.3 0.04 0.1 0.4
0.8 1 3.4 1 1 1 1 0.7 1.7 10.3 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 8.6 8.6 1.7 3.4 5.1 0.7 1.7 6.9
99
99
100
Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Kantor Swasta (Lanjutan) Keriteria Kantor Swasta Pasar Kliwon Jebres
Banjarsari
Kantor POS Kantor Telkom Bank BII Bank BCA Kantor PDAM Bank BTN Bank Lippo Bank Danamon Kantor PTP Nusantara
Asosiasi Kesejarahan
Posisi terhadap Keraton Surakarta
Arsitektur Bangunan
Kesamaan jenis elemen lanskap
Total
Keterangan
Luasan (Ha)
%
0.8 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 1.2
0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2
0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6
0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6
2.2 1.8 1.8 1.8 1.8 1.8 1.8 1.8 2.6
Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Kuat
0.7 0.45 0.05 0.05 0.1 0.05 0.05 0.05 0.6
12 7.7 0.8 0.8 1.7 0.8 0.8 0.8 10.3
100 100
101
Lampiran 6. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Pertokoan Keriteria Pertokoan Laweyan
Serengan
Pasar Kliwon Jebres
Banjarsari
Solo Grand Mall Solo Square Makro Ruko Kampung Batik Gramedia Ruko Jl. Gatot Subroto Ruko Jl. Yos Sudarso Ruko Jl. Honggowongso Ruko Jalan Dr. Rajiman Ruko Jl. Veteran Pusat Grosir Solo Beteng Ruko Jl. Veteran Ruko Pasar Gede Ruko Jl. Urip Sumoharjo Ruko Jl. Ir. Sutami Solo Paragon Mall Ruko Jl. Slamet Riyadi
Asosiasi Kesejarahan
Posisi terhadap Keraton Surakarta
Arsitektur Bangunan
Kesamaan jenis elemen lanskap
Total
Keterangan
Luasan (Ha)
%
0.4 0.4 0.4 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 0.8 0.4 1.2
0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2
0.4 0.4 0.2 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.4 0.2 0.6
0.6 0.6 0.4 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.4 0.6 0.6
1.6 1.6 1.2 2.6 2.6 2.6 2.6 2.6 2.6 2.6 2.6 2.6 2.6 2.6 2.6 1.8 1.4 2.6
Rendah Rendah Rendah Kuat Kuat Kuat Kuat Kuat Kuat Kuat Kuat Kuat Kuat Kuat Kuat Sedang Rendah Kuat
1.2 2.5 1.5 10 0.5 13.5 27.5 17.8 25.2 3.2 0.8 1.2 9.4 35.9 11.7 55.1 1.5 24.8
0.5 1 0.6 4.1 0.2 5.5 11.3 7.4 10.4 1.3 0.3 0.5 3.8 14.8 4.8 22.6 0.6 10.2
101 101
102
Lampiran 7. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Pasar Tradisional Keriteria Pasar tradisional Laweyan
Serengan Pasar Kliwon
Jebres
Banjarsari
Jongke Sidodadi Kabangan Penumping Kembang Singosaren Harjodaksino Klewer Notoharso Gading Klithikan Gede Ledoksari Pucang sawit Rejosari Mojosongo Legi Nusukan Depok Turisari Ayu Balapan Triwindu Kadipiro Bangunharjo
Asosiasi Kesejarahan
Posisi terhadap Keraton Surakarta
0.8 0.8 0.4 0.8 1.2 0.8 0.8 1.2 0.8 1.2 0.4 1.2 0.8 0.8 0.8 0.8 1.2 0.8 0.8 0.8 0.4 0.8 0.8 0.8
0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.6 0.2 0.6 0.2 0.6 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2
Arsitektur Bangunan
0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6
Kesamaan jenis elemen lanskap
0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6
Total
Keterangan
Luasan (Ha)
%
2.2 2.2 1.8 2.2 2.6 2.2 2.2 3 2.2 3 1.8 3 2.2 2.2 2.2 2.2 2.6 2.2 2.2 2.2 1.8 2.2 2.2 2.2
Sedang Sedang Sedang Sedang Kuat Sedang Sedang Kuat Sedang Kuat Sedang Kuat Sedang Sedang Sedang Sedang Kuat Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
1.2 0.08 0.2 0.1 0.1 0.5 0.9 1.4 1.1 0.2 0.2 0.6 0.05 0.1 0.02 0.1 1.6 0.6 0.4 0.1 0.1 0.1 0.02 0.1
12.2 0.8 2.0 1.0 1.0 5.1 9.1 14.2 11.1 2.0 2.0 6.1 0.5 1.0 0.2 1.0 16.2 6.1 4.1 1.0 1.0 1.0 0.2 1.0
102
102
103
Lampiran 8. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Perhotelan Hotel Laweyan
Serengan Pasar Kliwon Jebres
Banjarsari
The Sunan Hotel Riyadi Palace Solo Inn Dana Diamond Arini Sanasthri De Solo Roemahku Indah Palace Sahid Prince Hotel Best Western Asia Bintang Kusuma Kartika Sari Trio Sahid Jaya Novotel Solo Paragon Agas IBIS Grand Orchid Indah Jaya Graha Indah Baru Omah Sinten Griya Teratai
Asosiasi Kesejarahan
0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4
Keriteria Posisi terhadap Arsitektur Keraton Surakarta Bangunan
0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2
0.6 0.4 0.6 0.6 0.4 0.4 0.4 0.6 0.6 0.4 0.6 0.6 0.4 0.4 0.4 0.6 0.6 0.4 0.4 0.4 0.4 0.6 0.4 0.4 0.6 0.6
Kesamaan jenis elemen lanskap
Total
Keterangan
Luasan (Ha)
%
0.6 0.2 0.6 0.6 0.4 0.2 0.2 0.6 0.6 0.2 0.6 0.4 0.2 0.2 0.6 0.4 0.6 0.6 0.6 0.4 0.6 0.4 0.2 0.2 0.6 0.6
1.8 1.2 1.8 1.8 1.4 1.2 1.2 1.8 1.8 1.2 1.8 1.6 1.2 1.2 1.6 1.6 1.8 1.6 1.6 1.4 1.6 1.6 1.2 1.2 1.8 1.8
Sedang Rendah Sedang Sedang Rendah Rendah Rendah Sedang Sedang Rendah Sedang Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Sedang Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Sedang Sedang
2.2 0.1 0.1 0.75 1.8 0.1 0.1 0.2 0.2 0.1 1.7 0.5 0.3 0.1 0.1 0.2 1.5 0.9 0.45 0.9 0.4 0.1 0.25 0.1 0.35 0.2
16 0.7 0.7 5.5 13.1 0.7 0.7 1.5 1.5 0.7 12.4 3.6 2.2 0.7 0.7 1.5 10.9 6.5 3.2 6.5 2.9 0.7 1.8 0.7 2.5 1.5
103 103
104
Lampiran 9. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Sarana Pendidikan Kriteria Kecamatan Laweyan
Serengan
Pasar Kliwon
Jebres
Sarana Pendidikan
Asosiasi Kesejarahan
Posisi Terhadap Keraton Surakarta
Arsitektur Bangunan
Kesamaan jenis dan desain elemen
Total
Keterangan
Jumlah
TK
0.4
0.2
0.2
0.6
1.4
Rendah
59
SD
0.4
0.2
0.4
0.6
1.6
Rendah
54
SMP
0.4
0.2
0.4
0.6
1.6
Rendah
20
SMA
0.4
0.2
0.4
0.6
1.6
Rendah
13
SMK
0.4
0.2
0.4
0.6
1.6
Rendah
14
Universitas
0.4
0.2
0.4
0.6
1.6
Rendah
3
TK
0.4
0.2
0.2
0.6
1.4
Rendah
31
SD
0.4
0.2
0.4
0.6
1.6
Rendah
31
SMP
0.4
0.2
0.4
0.6
1.6
Rendah
10
SMA
0.4
0.2
0.4
0.6
1.6
Rendah
4
SMK
0.4
0.2
0.4
0.6
1.6
Rendah
6
TK
0.8
0.4
0.6
0.6
2.4
Sedang
40
SD
0.8
0.4
0.6
0.6
2.4
Sedang
50
SMP
0.8
0.4
0.6
0.6
2.4
Sedang
11
SMA
0.8
0.4
0.6
0.6
2.4
Sedang
5
SMK
0.8
0.4
0.6
0.6
2.4
Sedang
3
TK
0.4
0.2
0.6
0.6
1.8
Sedang
77
SD
0.8
0.2
0.6
0.6
2.2
Sedang
56
SMP
0.8
0.2
0.6
0.6
2.2
Sedang
18
SMA
0.8
0.2
0.6
0.6
2.2
Sedang
6
SMK
0.8
0.2
0.6
0.6
2.2
Sedang
6
Universitas
0.8
0.2
0.6
0.6
2.2
Sedang
4
Luasan (Ha)
%
65.26
26.5
13.64
5.5
10.79
4.4
130.31
52.8
104 104
105
Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Sarana Pendidikan (Lanjutan) Kriteria Kecamatan
Sarana Pendidikan
Asosiasi Kesejarahan
Posisi Terhadap Keraton Surakarta
Arsitektur Bangunan
Kesamaan jenis dan desain elemen
Total
Keterangan
Jumlah
Banjarsari
TK
0.8
0.2
0.6
0.6
2.2
Sedang
82
SD
0.8
0.2
0.6
0.6
2.2
Sedang
81
SMP
0.8
0.2
0.6
0.6
2.2
Sedang
20
SMA
0.8
0.2
0.6
0.6
2.2
Sedang
14
SMK
0.8
0.2
0.6
0.6
2.2
Sedang
18
Universitas
0.4
0.2
0.6
0.6
1.8
Sedang
2
Luasan (Ha)
%
26.68
10.8
105
105
106
Lampiran 10. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Taman Kota Kriteria Kecamatan Laweyan Jebres Banjarsari
Total
Keterangan
Luasan (Ha)
%
0.6
2.8
Kuat
10
19.3
0.6
0.6
2.2
Sedang
7.9
15.2
0.2
0.6
0.6
2.2
Sedang
14
27.0
1.2
0.4
0.6
0.6
2.8
Kuat
9.8
18.9
Manahan (Hutan Kota)
0.8
0.2
0.6
0.6
2.2
Sedang
8
15.4
Taman Sekartaji
0.4
0.2
0.6
0.6
1.8
Sedang
1
1.9
Taman Villapark
1.2
0.2
0.6
0.6
2.6
Kuat
1.2
2.3
Taman Kota
Asosiasi Kesejarahan
Posisi Terhadap Keraton Surakarta
Arsitektur Bangunan
Taman Sriwedari
1.2
0.4
0.6
Taman Budaya Solo
0.8
0.2
Jurug (Kebun Binatang)
0.8
Taman Balekambang
Kesamaan jenis dan desain elemen
Lampiran 11. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Sarana Transportasi Kriteria Kecamatan
Sarana Transportasi
Asosiasi Kesejarahan
Posisi Terhadap Keraton Surakarta
Arsitektur Bangunan
Kesamaan jenis dan desain elemen
Total
Keterangan
Luasan (Ha)
%
Laweyan
Stasiun Purwosari
0.8
0.2
0.6
0.6
2.2
Sedang
2.2
21.3
Pasar Kliwon
Stasiun Sangkrah
0.8
0.2
0.6
0.6
2.2
Sedang
0.05
0.5
Jebres Banjarsari
Stasiun Jebres
0.8
0.2
0.6
0.6
2.2
Sedang
0.8
7.7
Stasiun Solo Balapan
0.8
0.2
0.6
0.6
2.2
Sedang
2.6
25.1
Terminal Tirtonadi
0.4
0.2
0.6
0.6
1.8
Sedang
4.7
45.4
106 106
107
Lampiran 12. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Fasilitas Kesehatan Kriteria Kecamatan Laweyan
Pasar Kliwon Jebres
Banjarsari
Sarana Kesehatan
Asosiasi Kesejarahan
Posisi Terhadap Keraton Surakarta
Arsitektur Bangunan
Kesamaan jenis dan desain elemen
Total
Keterangan
Luasan (Ha)
%
RS. Kasih Ibu
0.4
0.2
0.2
0.4
1.2
Rendah
1.05
5.6
RS. Pantiwaluyo
0.8
0.2
0.4
0.4
1.8
Sedang
0.75
3.9
RS. Slamet Riyadi RSK. Jiwa & syaraf Puri Waluyo RS. Islam Kustati
0.8
0.2
0.4
0.4
1.8
Sedang
1.2
6.3
0.4
0.2
0.4
0.4
1.4
Rendah
0.33
1.7
0.4
0.2
0.2
0.4
1.2
Rendah
0.15
0.8
RS. Dr. Oen Solo
0.4
0.2
0.2
0.4
1.2
Rendah
1.72
9.1
RS. Dr. Moewardi
0.4
0.2
0.2
0.4
1.2
Rendah
4.62
24.5
RS. Jiwa
0.4
0.2
0.2
0.4
1.2
Rendah
5.1
27
RS. Yan Med Dasar Mojosongo
0.4
0.2
0.2
0.4
1.2
Rendah
0.15
0.8
RS. Brayat Minulyo RS. PKU Muhammadiyah RS. Tri Harsi
0.4 0.4 0.4
0.2 0.2 0.2
0.4 0.2 0.2
0.4 0.4 0.4
1.4 1.2 1.2
Rendah Rendah Rendah
0.84 2.6 0.15
4.5 13.7 0.8
RS. Daerah Banjarsari
0.4
0.2
0.2
0.4
1.2
Rendah
0.2
1.1
107 107
108
Lampiran 13. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Sarana Peribadatan Kriteria Kecamatan Laweyan Serengan
Pasar Kliwon
Jebres
Banjarsari
Sarana Peribadatan
Asosiasi Kesejarahan
Posisi Terhadap Keraton Surakarta
Arsitektur Bangunan
Kesamaan jenis dan desain elemen
Total
Keterangan
Jumlah
Masjid
0.8
0.2
0.6
0.6
2.2
Sedang
7
Gereja
0.8
0.2
0.4
0.4
1.8
Sedang
12
Masjid
0.8
0.2
0.4
0.6
2
Sedang
1
Gereja
0.8
0.2
0.4
0.4
1.8
Sedang
11
Vihara/Klenteng
0.8
0.2
0.4
0.4
1.8
Sedang
1
Masjid
1.2
0.2
0.6
0.6
2.6
Kuat
9
Gereja
0.8
0.2
0.4
0.6
2
Sedang
10
Vihara/Klenteng
0.8
0.2
0.4
0.6
2
Sedang
1
Masjid
0.8
0.2
0.4
0.4
1.8
Sedang
11
Gereja
0.8
0.2
0.4
0.4
1.8
Sedang
33
Vihara/Klenteng
0.8
0.2
0.4
0.4
1.8
Sedang
2
Masjid
0.8
0.2
0.6
0.6
2.2
Sedang
15
Gereja
0.8
0.2
0.4
0.4
1.8
Sedang
29
Vihara/Klenteng
0.8
0.2
0.4
0.4
1.8
Sedang
1
Luasan (Ha) 4.69
% 8.2 14 0.6
1.8
7.6 9.06
12
5.35
12.64
26 7.3
4.53
14.6
108 108