MODEL PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN UNTUK PENATAAN RUANG DALAM KERANGKA PEMBANGUNAN WILAYAH BERKELANJUTAN (Studi Kasus Kabupaten Bandung)
LIA WARLINA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Perubahan Penggunaan Lahan untuk Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah Berkelanjutan (Studi Kasus Kabupaten Bandung) merupakan karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Januari 2007
Lia Warlina NIM P02610161
ABSTRAK LIA WARLINA. Model Perubahan Penggunaan Lahan untuk Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah Berkelanjutan (Studi Kasus Kabupaten Bandung). Dibimbing oleh HADI S ALIKODRA, RALDI H KOESTOER dan HARTRISARI HARDJOMIDJOJO. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi dalam skala global, nasional maupun lokal, mempunyai dampak langsung maupun tidak langsung baik secara lokal, nasional maupun global. Penyebab dan dampak perubahan ruang berbedabeda di setiap wilayah bergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhinya, sehingga diperlukan suatu simulasi dan analisis. Model perubahan penggunaan lahan yang memprediksi penggunaan di masa mendatang, dapat dijadikan suatu masukan untuk kegiatan penataan ruang. Tujuan penelitian adalah untuk membangun model perubahan penggunaan lahan untuk konsep penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan di wilayah Kabupaten Bandung. Tahapan penelitian adalah dengan melakukan pemodelan spasial menggunakan CLUE-S (Conversion of Land Use Change and its Effect at small regional extent) dengan waktu simulasi 20 tahun. Selanjutnya, dilakukan perhitungan tingkat keberlanjutan dengan menggunakan Wellbeing Index. Hasil kedua tahap ini, selanjutnya dijadikan input dalam analisis prospektif dengan metode lokakarya. Pemodelan CLUE-S menggunakan enam skenario, yang merupakan kombinasi dari demand module dan spatial policy. Hasil terbaik adalah skenario ke enam dengan skenario demand module setengah nilai perubahan penggunaan lahan eksisting dan spatial policy cagar alam dan kawasan lindung. Hasil dari analisis keberlanjutan pembangunan wilayah, menunjukkan wilayah kajian tidak berkelanjutan. Analisis prospektif memberikan hasil tujuh faktor yang menjadi faktor kunci yaitu kepadatan penduduk, tingkat pendidikan, perencanaan, tingkat pendapatan masyarakat, status kepemilikan lahan, kebijakan pemerintah dan alokasi dana pembangunan. Berdasarkan faktor kunci tersebut diperoleh skenario agak optimis untuk berkelanjutan dari penataan ruang. Faktor kunci yang perlu didorong agar skenario yang terjadi lebih optimal adalah tingkat pendidikan. Implikasi skenario agak optimis memberikan dampak positif pada perubahan penggunaan lahan untuk penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan. Model perubahan penggunaan lahan dan informasi tingkat berkelanjutan wilayah dapat merupakan pelengkap dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sebagai produk dari perencanaan wilayah. Perencanaan wilayah tersebut merupakan bagian dari penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan. Key words: model perubahan pengunaan lahan, CLUE-S, well being index, penataan ruang, pembangunan wilayah berkelanjutan
ABSTRACT LIA WARLINA. Land use change modeling for spatial use management in term of regional sustainable development (with special reference to Bandung Region). Under the direction of HADI S ALIKODRA, RALDI H KOESTOER and HARTRISARI HARDJOMIDJOJO. Land use change in global, national and local scale has direct impact. The causes and impact of the changes are different in each region and depend on factors influenced. So that, simulation is required to predict future land use change. The future land use information will be beneficial to be applied for spatial use management. The objective of the study was to build land use change model for spatial use management in term of regional sustainable development in Bandung region. The first step was spatial modeling using CLUE-S (Conversion of Land Use Change and its Effect at small regional extent) with time frame of 20 years. The next step was sustainability analysis using well being index. The result of the two steps, then, became an input for prospective analysis workshop. The CLUE-S model used six scenarios those were combinations of demand module and spatial policy. The best scenario was scenario six, with demand module a half of existing land use change rate and spatial policy by protected area and preserving area. The result of sustainability analysis showed that Bandung regional development was not sustainable. Prospective analysis gave seven key factors i.e. population density, educational level, planning, income, land tenure, policy and development fund allocation. Based on these factors, scenario rather optimistic was chosen for sustainable spatial use management. The factor that must be drove or pushed was educational level. The implication of the scenario will give positive impact to the sustainable spatial use management. Land use change model and regional sustainability information can complement spatial regional planning. Key words: land use change modeling, CLUE-S, well being index, spatial use management, regional sustainable development
©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya
MODEL PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN UNTUK PENATAAN RUANG DALAM KERANGKA PEMBANGUNAN WILAYAH YANG BERKELANJUTAN (Studi Kasus Kabupaten Bandung)
LIA WARLINA
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Judul Disertasi
:
Model Perubahan Penggunaan Lahan untuk Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah Berkelanjutan (Studi Kasus Kabupaten Bandung )
Nama Mahasiswa
:
Lia Warlina
NIM
:
P. 026010161
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS Ketua
Dr. Raldi Hendro Koestoer, MSc. APU Anggota
Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam & Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir.Surjono H. Sutjahjo, MS
Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 18 Januari 2007
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia yang dilimpahkanNya, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan, meskipun waktu penyelesaiannya lebih lama daripada waktu yang seharusnya. Penelitian dilakukan sejak Januari 2004 sampai Januari 2006. Tema yang dipilih adalah pemodelan spasial dengan judul disertasi: Model Perubahan Penggunaan Lahan untuk Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah Berkelanjutan (Studi Kasus Kabupaten Bandung). Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Hadi S Alikodra, MS selaku ketua komisi pembimbing juga kepada Dr. Raldi Hendro Koestoer, MSc, APU dan Dr. Ir. Hartrisari H Hardjomidjojo, DEA selaku anggota komisi pembimbing. Penghargaan penulis sampaikan kepada Tom Veldkamp dan Peter Verburg dari Wageningen University, yang telah memberikan ijin untuk menggunakan software CLUE-S. Penghargaan yang sama disampaikan kepada Hari Tri Budianto, MS dari Departemen Kehutanan Republik Indonesia, yang telah membantu memproses data citra dan GIS. Penulis mengucapkan terima kasih pula untuk Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bandung yang telah memfasilitasi kegiatan lokakarya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2007 Lia Warlina
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 26 Agustus 1961 sebagai anak sulung dari lima bersaudara, dari pasangan Kamulyan Agma dan Almarhumah Wangsih Sali. Pendidikan sarjana ditempuh pada jurusan Agrometeorologi Institut Pertanian Bogor, dan lulus pada tahun 1984. Pada tahun 1991 selama satu tahun mengikuti program post graduate diploma dalam Agricultural Sciences di Melbourne University. Tahun 1998 mengikuti program pasca sarjana pada ilmu geografi di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Indonesia, dan lulus pada tahun 2000. Tahun 2001 mengikuti program S3 pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) dengan peminatan Kebijakan Manajemen Lingkungan (KML). Sejak tahun 1986, penulis telah menjadi pegawai negeri di lingkungan Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah IV, dipekerjakan pada Sekolah Tinggi Pertanian Bandung sampai tahun 1993. Sejak tahun 1994 dipekerjakan pada Institut Teknologi Adityawarman (ITA) Bandung. Sejak tahun 2002 mengajar pada jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM), Bandung. Selama mengikuti program S3, karya ilmiah yang telah diterbitkan adalah “Organisasi Keruangan Perkotaan” pada buku Dimensi Keruangan Kota terbitan UI Press tahun 2001 dengan penyunting Raldi Hendro Koestoer dkk. Selanjutnya adalah tulisan dengan judul “Ecotourism Potency of Pulau Dua and Souroundings” dalam Dynamic Situation in Indonesia, terbitan Departement of Geography University of Indonesia (2002). Makalah penulis telah disajikan dalam 3rd International Convention of Asia Scholar (ICAS3) di Singapura pada tanggal 19 sampai 22 Juni 2003 dengan judul “The Role of City Structure in Local Economy (Case of Bandung, Indonesia)”.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
xi
DAFTAR GAMBAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
xiii
DAFTAR LAMPIRAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
xv
I. PENDAHULUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1
1.1. Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1
1.2. Tujuan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
4
1.3. Kerangka Pemikiran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
5
1.4. Manfaat Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
7
1.5. Novelty. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
7
II. TINJAUAN PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
8
2.1. Sistem dan Model. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
8
2.2.Analisis Prospektif dan Kaitannya dengan Strategi. . . . . . . . . . . . . . .
10
2.3. Tata Ruang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
13
2.3.1. Konsep Analisis Keruangan. . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . .
13
2.3.2. Penataan Ruang dan Regulasi Tata Ruang. . . . . . . . . . . . . . . .
16
2.4. Penggunaan Lahan dan Pemodelan Perubahannya . . . . . . . . . . . . . .
18
2.4.1. Penggunaan Lahan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
18
2.4.2. Model Perubahan Penggunaan Lahan . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
20
2.4.2.1. Conversion of Land Use and its Effect (CLUE) . . . . .
21
2.4..2.2. Conversion of Land Use & its Effect at Small regional Extent (CLUE-S) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
25
2.5. Pembangunan Wilayah yang Berkelanjutan. . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
30
2.5.1. Pembangunan Berkelanjutan . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . .
30
2.5.2. Metode-metode Analisis Keberkelanjutan . . . . . . . . .. . . . . . .
31
2.5.2.1. Sustainable Development Indicators. . . . . . . . . . . . . .
31
2.5.2.2. Ecological Footprint . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
32
2.5.2.3. Environmental Sustainability Index . . . . . . . . . . . . . .
34
2.5.2.4. Wellbeing Index (Indeks Kesejahteraan) . . . . . . . . . .
35
III. METODE PENELITIAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
39
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
39
3.2. Formulasi Permasalahan. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
39
3.3. Rancangan Penelitian. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
41
3.3.1. Pemodelan Perubahan Penggunaan Lahan. . . . . . . . . . . . . . . .
43
3.3.1.1. Metode Pengumpulan Data . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
43
3.3.1.2. Pelaksanaan Pemodelan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
45
3.3.1.2. Metode Analisis Data . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
48
3.3.2. Penghitungan Indeks Keberlanjutan Kabupaten Bandung . . .
49
3.3.3. Analisis Prospektif untuk Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah yang Berkelanjutan. . . . . . . . . . . . . . .
51
3.3.3.1. Metode Pengumpulan Data . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
51
3.3.3.2. Metode Analisis Data . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
51
3.4. Definisi Operasional. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
53
IV. KEADAAN UMUM. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
54
4.1. Regulasi Penataan Ruang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
54
4.2. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bandung . . . . . .
55
4.3. Penggunaan Lahan Eksisting Kabupaten Bandung . . . . . . . . . . . . . .
57
4.4. Keadaan Sosial Ekonomi dan Geofisik Wilayah. . . . . . . . . . . . . . . .
59
V. HASIL DAN PEMBAHASAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
62
5.1.. Model Perubahan Penggunaan Lahan. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
62
5.2. Pembangunan Wilayah Berkelanjutan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
76
5.3. Model Perubahan Penggunaan Lahan untuk. Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah Berkelanjutan. . . . . . . . . . . . . . .
80
5.3.1. Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah Berkelanjutan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
80
5.3.2 Implikasi Skenario dan Rekomendasi pada. Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah Berkelanjutan di Kabupaten Bandung. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
86
5.3.3 Model Perubahan Penggunaan Lahan untuk. Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah Berkelanjutan di Kabupaten Bandung. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
90
VI. KESIMPULAN DAN SARAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
95
6.1. Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
95
6.2. Saran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
96
DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
97
LAMPIRAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
104
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
1
Penggunaaan Lahan di Indonesia Tahun 1993 -1997 (000 ha) . . . . . .
19
2
Klasifikasi Model Perubahan Penggunaan Lahan (Briassoulis 2000)
21
3
Kelas penggunaan lahan dan variabel yang digunakan dalam pemodelan CLUE di Pulau Jawa (Verburg et al.1999) . . . . . . . . . . .
24
4
Pengklasifikasian ulang penggunaan lahan di Pulau Sibuyan, Filipina (Soepboer 2001) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
27
5
Faktor driver pada penelitian perubahan penggunaan lahan di Pulau Sibuyan, Filipina (Soepboer 2001) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
27
6
Ecological Footprint Dunia dan Indonesia tahun 2001 (Wackernagel et.al. 2004) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
33
7
Nilai dan peringkat wellbeing index Indonesia (Prescott-Allen 2001)
37
8
Kekuatan dan Kelemahan Metode-metode Pengkajian Keberlanjutan (CSD 2001, Wackernagel & Rees 1996, Bell & Morse 2003, Prescott-Allen 2001) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
38
9
Metode Pengumpulan Data Pemodelan Perubahan Penggunaan Lahan (Kabupaten Bandung) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
46
10
Matriks konversi setiap penggunaan lahan (Verburg et al. 2002) . . .
47
11
Nilai stabilitas (Verburg et al. 2002) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
47
12
Persentase luas perubahan penggunaan lahan di Wilayah Kabupaten Bandung (Hasil analisis) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
48
13
Penentuan skor untuk indikator dalam perhitungan Wellbeing Index (Omar 2003, Prescott-Allen 2001) . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . .
50
14
Standar Nilai dari Wellbeing/Stress Index (WSI) (Omar 2003, Prescott-Allen 2001) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
51
15
Luas Penggunaan Lahan Eksisting Kabupaten Bandung (Hasil analisis). . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
59
16
Jumlah dan Kepadatan Penduduk di wilayah Kota Bandung, Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung pada tahun 2003 (BPS 2003). . . . .
61
17
Distribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dalam persen Kabupaten Bandung tahun 2001, 2002, 2003 (BPS 2003) . . . . . . . . .
62
18
Skenario-skenario yang digunakan dalam pemodelan spasial perubahan penggunaan lahan wilayah Kabupaten Bandung. . . . . . . .
64
19
Hasil analisis regresi logistik biner untuk nilai β dari penggunaan lahan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
65
20
Hasil analisis regresi logistik biner untuk nilai Exp (β) dari penggunaan lahan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
66
21
Perhitungan Wellbeing Index (Indeks Kesejahteraan). . . . . . . . . . . . .
77
22
Indeks keberlanjutan Kabupaten Bandung . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
77
23
Faktor dan karakteristik faktor yang terlibat pada penataan ruang dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan (Hasil analisis) .
81
24
Keadaan faktor kunci pada penyusunan startegi penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan. . . . . . . .
84
25
Skenario penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan di Kabupaten Bandung. . . . . . . . . . . . . . . . . . .
85
26
Hasil penelitian skenario untuk penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan di Kabupaten Bandung . .
85
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1
Kerangka pemikiran penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan (modifikasi dari Verburg et al.2002, Prescott-Allen 2001, dan UU No. 24 tahun 1992) . . . . . . . . . . . . . . .
6
2
Tahapan dari Analisis Prospektif (Hatem 1993) . . . . . . . . . . . . . . . .
11
3
Tahapan pembangunan skenario (Godet et al. 1999) . . . . . . . . . . . . .
12
4
Jenis data spasial dalam analisis keruangan (Martin 1991) . . . . . . . .
14
5
Dua bentuk tidak beraturan dalam bentuk raster dan vektor (Martin 1991) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
14
6
Struktur Umum dari Model CLUE (Veldkamp et.al. 2000) . . . . . . .
22
7
Hasil Pemodelan dengan CLUE di Pulau Jawa (Verburg, Veldkamp & Bouma. 1999) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
23
8
Perbedaan Skala Aplikasi dan Struktur Data dari CLUE dan CLUES (Verburg et al. 2002) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
24
9
Tradeoff diantara tiga tujuan utama dari sustainable development (Munasinghe 1993) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
31
10
Nilai Environmental Sustainability Index Indonesia (Yale Center for Environmental Law and Policy 2005) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
35
11
Keberlanjutan yang dimetaforakan oleh sebuah telur (Prescott-Allen 2001). . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
36
12
Barometer Keberlanjutan dari beberapa negara termasuk Indonesia (Prescott-Allen 2001). . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
37
13
Peta Kabupaten Bandung sebagai lokasi studi . . . . . . . . . . . . . . . . . .
40
14
Tahapan penelitian (Modifikasi dari Verburg et al 2002 dan Prescott-Allen 2001) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
42
15
Diagram penentuan skor pengaruh antar faktor . . . . . . . . . . . . . . . . .
52
16
Grafik tingkat ketergantungan dan pengaruh untuk posisi faktorfaktor pada analisis prospektif (Godet 1999). . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
52
17
Pembagian Zona Metropolitan Bandung (Dinas Tata Ruang dan Permukiman Propinsi Jawa Barat 2005) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
58
18
Peta penggunaan lahan eksisting wilayah Bandung tahun 2003 (interpretasi citra) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
59
19
Grafik jumlah penduduk Kabupaten Bandung dan seluruh wilayah Bandung (Kota Bandung, Cimahi dan Kabupaten Bandung) tahun 1983- 2003 (BPS 1983-2003). . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
61
20
Simulasi pemodelan perubahan penggunaan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003 sampai 2023 dengan skenario pertama. . . . . . .
67
21
Simulasi pemodelan perubahan penggunaan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003 sampai 2023 dengan skenario kedua. . . . . . .
68
22
Simulasi pemodelan perubahan penggunaan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003 sampai 2023 dengan skenario ketiga. . . . . . .
70
23
Simulasi pemodelan perubahan penggunaan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003 sampai 2023 dengan skenario keempat . . . . . .
71
24
Simulasi pemodelan perubahan penggunaan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003 sampai 2023 dengan skenario kelima . . . . . .
72
25
Simulasi pemodelan perubahan penggunaan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003 sampai 2023 dengan skenario keenam. . . . . . .
74
26
Barometer keberlanjutan untuk wilayah Kabupaten Bandung (Hasil perhitungan) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
78
27
Hubungan kualitas hidup dengan daya dukung lingkungan alamiah (Chambers 2002). . . . .
79
28
Hasil perhitungan tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh pada sistem penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
82
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1
Indikator dari Pembangunan yang Berkelanjutan (CSD 2001) . . . . .
104
2
Jumlah Penduduk, Luas Wilayah & Kepadatan Kabupaten Bandung, Kota Bandung dan Kota Cimahi (BPS 2003) . . . . . . . . . . . . . . . . . .
107
3
Persentase tingkat pendidikan di Kabupaten Bandung, Kota Bandung dan Kota Cimahi (BPS 2003) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
108
4
Persentase kondisi tempat tinggal rumah tangga di Kabupaten Bandung, Kota Bandung dan Kota Cimahi (BPS 2003) . . . . . . . . . . .
109
5
Persentase penduduk dengan mata pencaharian di bidang pertanian dan non pertanian di Kabupaten Bandung, Kota Bandung dan Kota Cimahi (BPS 2003) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
110
6
Variabel dependen & independen . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
111
7
Peta sosial ekonomi wilayah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
112
8
Peta geofisik, iklim dan aksesibilitas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
113
9
Peta geologi binari . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
114
10
Peta binari untuk jenis tanah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
115
11
Spatial policy yang digunakan pada pemodelan dengan CLUE-S . . .
116
12
File demand.in 1 dan 2 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
117
13
Matriks Regulasi Tata Ruang (Hasil inventarisasi) . . . . . . . . . . . . . .
118
14
Perhitungan Wellbeing Index untuk wilayah Kabupaten Bandung . .
122
15
Memorandum of Agreement . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
127
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepedulian masyarakat dunia terhadap kerusakan lingkungan baik global maupun
regional
akibat
adanya
pembangunan
ditandai
dengan
diselenggarakannya Konferensi Stockholm tahun 1972, dengan tema hanya satu bumi. Sepuluh tahun kemudian digagas konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan ini merupakan konsep upaya pemenuhan kebutuhan manusia untuk meningkatkan kesejahteraan melalui pemanfaatan sumberdaya tanpa mengurangi potensi generasi selanjutnya untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut (Grunkemeyer & Moss 1999). Pembangunan adalah mengelola
sumberdaya alam untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Sejalan dengan perkembangan teknologi maka kebutuhan konsumsi untuk kebutuhan manusia meningkat. Hal tersebut sesuai dengan teori dari Paul dan Holdren tahun 1972 (Gans & Jost 2005) yang mengemukakan IPAT model. Berdasarkan IPAT model ini maka Impact (dampak) merupakan perkalian dari Population (penduduk) dengan Affluence (kemakmuran) dan Technology (teknologi), atau IPAT = Population X Affluence X Technology (Chambers, Simmon & Wackernagel 2002).
Menurut model ini, dampak lingkungan
merupakan hasil perkalian dari jumlah penduduk atau konsumen, dengan tingkat konsumsi (affluence) dan tingkat teknologi. Lahan merupakan sumberdaya alam yang mendukung kehidupan, yang merupakan permukaan terluar dari bumi.
Sifat biofisik lahan yang
menggambarkan tujuan penggunaan lahan disebut land use atau guna lahan, atau penggunaan lahan (Briassoulis 2000). Penggunaan lahan disebut pula sebagai penggunaan tanah, yang menurut Sandy (1999) merupakan terminologi yang sama dengan penggunaan ruang atau tata ruang. Permasalahan tata ruang dan lahan atau pertanahan, seolah-olah merupakan dua hal yang berbeda. Permasalahan tata ruang Indonesia menghadapi masalah urbanisasi dan persebaran penduduk terkonsentrasi di kota-kota tertentu saja, khususnya wilayah-wilayah metropolitan utama, seperti Jabotabek dan Bandung Raya. Demikian pula dengan sebagian besar penduduk masih sangat terpusat di
Pulau Jawa. Perkembangan penduduk kota terjadi dengan laju dan jumlah yang lebih tinggi di wilayah pinggir kota-kota besar, daripada di pusatnya (core), yang berakibat pada lahan pertanian yang subur di pinggiran kota beralih fungsi menjadi kawasan perkotaan (Firman 2004). Sementara itu, permasalahan lahan di Indonesia, adalah terdapatnya konflik pertanahan antar pihak seperti antara lembaga pemerintah dan rakyat, antara rakyat dengan lembaga tertentu, antara rakyat dengan investor, diantara rakyat sendiri bahkan diantara lembaga pemerintah. Konflik terjadi di hampir semua sektor seperti industri, pariwisata, pertambangan, kehutanan dan sebagainya. Masalah kedua adalah, kepemilikan lahan terkonsentrasi pada sekelompok orang. Masalah ketiga adalah lemahnya jaminan perlindungan kepemilikan lahan, terutama pada golongan miskin (Solihin 2004). Perubahan penggunaan lahan di Indonesia cukup tinggi, yaitu 1.000.000 hektar per tahuan merupakan permasalahan yang berdampak pada kerusakan lingkungan (BKTRN 2003). Aspek penggunaan lahan atau tata ruang merupakan aspek yang penting, karena itu perlu dilakukan suatu studi atau penelitian yang mengkaji aspek tersebut agar dapat menentukan strategi atau langkah untuk mengantisipasi dampak-dampak yang mungkin terjadi. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi dalam skala global, nasional maupun lokal, mempunyai dampak langsung maupun tidak langsung baik secara lokal, nasional maupun global. Penyebab dan dampak perubahan ruang berbedabeda di setiap wilayah bergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhinya, sehingga diperlukan suatu simulasi dan analisis.
Masalah penggunaan lahan
adalah masalah keruangan atau spasial, sehingga pendekatan analisisnya perlu dengan analisis spasial. Kegiatan penataan ruang merupakan proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Kegiatan penataan ruang ini memerlukan analisis spasial dan analisis non spasial. Tahap perencanaan tata ruang wilayah dimulai dengan pengumpulan data sosial ekonomi wilayah, yang kemudian menentukan kebutuhan-kebutuhannya atas ruang berdasarkan kegiatan atau sektor. Dengan kata lain pendekatannya berdasarkan kebutuhan manusia (antropocentris). Sedangkan, sumberdaya alam (ruang atau lahan) memiliki kapasitas maksimal untuk digunakan agar tidak
melampaui daya dukungnya.
Penelitian yang dilakukan adalah dengan
pendekatan kondisi sumberdaya alam (lahan) melalui pemodelan perubahan penggunaan lahan. Berdasarkan dengan pemodelan yang digunakan, dilakukan perkiraan penggunaan lahan dimasa mendatang. Penggunaan lahan yang diduga tersebut berdasarkan pada gambaran penggunaan lahan di masa lalu dihubungkan dengan faktor penyebab terjadi perubahan penggunaan lahan. Perencanaan tata ruang bertujuan untuk mengalokasikan ruang guna memenuhi kebutuhan pembangunan di masa depan. Hasil pembangunan tersebut diharapkan dapat mensejahterakan masyarakat.
Tolok ukur keberhasilan
pembangunan yang diperoleh manusia adalah human development index (HDI) atau indeks pembangunan manusia (UNDP 2004).
Tolok ukur ini, hanya
berorientasi kepada manusia (antropocentris). Pada penelitian ini, pendekatan untuk melihat hasil pembangunan tidak hanya dilihat pada aspek manusia saja, tetapi aspek lingkungan (ekosistem). Karena itu, dicari pendekatan yang dapat menggambarkan keadaan tersebut. Otonomi yang diberikan kepada daeah (kabupaten dan kota) sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, memberikan kewenangan kepada kabupaten dan kota. Kewenangannya tersebut adalah dalam perencanaan dan pengendalian pembangunan, serta menyusun perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang.
Dampak positif dari
kewenangan ini adalah kabupaten dan kota berlomba untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). PAD menjadi tolok ukur keberhasilan pembangunan yang berakibat pada adanya ketimpangan antara desa dan kota serta terjadi peningkatan (semakin intensif) eksploitasi sumberdaya alam. Salah satu wilayah yang cukup pesat perkembangannya adalah wilayah Bandung Raya yang meliputi Kabupaten Bandung, Kota Bandung dan Kota Cimahi. Kota Bandung dan Cimahi didominasi oleh kawasan perkotaan, sementara Kabupaten Bandung penggunaan lahannya tidak didominasi oleh kawasan perkotaan. Wilayah Kabupaten Bandung
memiliki luas 307.370,08
hektar dengan jumlah penduduk 4017582 jiwa yang mempunyai rata-rata kepadatan penduduk 13 jiwa per hektar (BPS 2003). Permasalahan lingkungan Kabupaten Bandung berawal dari permasalahan spasial (keruangan). Masalah
spasial ini meliputi tidak efisiennya penggunaan lahan tertentu, penggunaan lahan tidak sesuai dengan peruntukkan serta tingginya konversi kawasan tidak terbangun menjadi terbangun. Permasalahan tata ruang ini berdampak pada permasalahan lingkungan seperti banjir, kekeringan, erosi, longsor dan turunnya muka air tanah.
Bila permasalah lingkungan tersebut tidak dikaji secara
menyeluruh maka kondisi wilayah Kabupaten Bandung akan semakin parah. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, dilakukan penelitian dengan judul “Model Perubahan Penggunaan Lahan untuk Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah yang Berkelanjutan”. Tahapan penelitian yang dilakukan adalah menganalisis secara spasial perubahan penggunaan lahan, melakukan simulasi perubahannya berdasarkan skenario yang telah ditetapkan.
Hasil
pemodelan ini digunakan sebagai masukan dalam pengembangan penataan ruang wilayah. Aspek non spasial dalam penataan ruang wilayah dilakukan dengan menganalisis keberlanjutan pembangunan wilayah. Pada bagian akhir penelitian, para stakeholder dilibatkan dalam menentukan faktor kunci dari faktor yang telah diperoleh pada penelitian awal (spasial dan non spasial), para stakeholder menambahkan pula faktor yang belum teridentifikasi.
Hasil dari pertemuan
dengan para stakeholder adalah faktor kunci yang memegang peranan penting dalam penelitian. 1.2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah untuk membangun model perubahan penggunaan lahan untuk konsep penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan di wilayah Kabupaten Bandung. Tujuan penelitian di atas dapat dicapai melalui tujuan-tujuan antara yang meliputi: 1. Mengevaluasi kesenjangan rencana tata ruang wilayah dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan. 2. Membangun model perubahan penggunaan lahan Kabupaten Bandung dengan menggunakan beberapa skenario. 3. Menganalisis tingkat keberlanjutan pembangunan wilayah. 4. Menyusun skenario dan rekomendasi serta strategi untuk penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan.
1.3. Kerangka Pemikiran Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan maupun tidak.
Tata ruang dapat ditunjukan atau digambarkan
dengan penggunaan lahan. Penggunaan lahan aktual merupakan informasi yang penting dalam pemodelan perubahan penggunaan lahan. Peta penggunaan lahan tahun-tahun sebelumnya bila dioverlay atau ditumpang susunkan dengan penggunaan lahan aktual, dapat memberikan informasi perubahan penggunaan lahan. Metode overlay ini menggunakan geographic information system (GIS). Informasi ini tidak dapat memprediksi dimana dan seberapa perubahan yang mungkin dimasa mendatang. Verburg et al. (2002) menggabungkan GIS dengan analisis sistem dinamis untuk memodelkan perubahan penggunaan lahan. Pemodelan ini menggunakan data sosial ekonomi serta biofisik wilayah yang telah dispasialkan dan dengan menggunakan skenario yang telah ditetapkan dapat diprediksi penggunaan lahan dimasa mendatang. Informasi atau data sosial ekonomi wilayah yang ada dapat menggambarkan pembangunan wilayah dengan menggunakan human development index (HDI) atau indeks pembangunan manusia (UNDP 2004). Bila informasi biogeofisik wilayah ini disandingkan dengan informasi pembangunan maka gambaran pembangunan wilayah menjadi lebih lengkap tidak hanya dari aspek manusia saja tetapi sudah melihat aspek lingkungan (Prescott-Allen 2001). Pembangunan wilayah berkelanjutan dianalisis dengan mempelajari aspek sosial ekonomi dan biogeofisik wilayah melalui analisis keberlanjutan. Hal ini dapat memberikan gambaran tingkat keberlanjutan pembangunan dari wilayah yang dianalisis. Informasi tingkat keberlanjutan pembangunan wilayah merupakan informasi penting dalam penataan ruang. Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Produk dari penataan ruang adalah rencana tata ruang wilayah (RTRW). Dalam RTRW ini mengandung aspek spasial, yaitu alokasi ruang berdasarkan kegiatan atau sektor. Penggunaan lahan eksisting, dan hasil pendugaan (prediksi), akan dibandingkan untuk melihat kesenjangan diantara keduanya.
Model perubahan penggunaan lahan
Pembangunan wilayah yang berkelanjutan
Sosek wilayah
Analisis keberlanjutan (sustainability)
Penggunaan lahan aktual Biogeofisik wilayah
Simulasi dengan skenario Tingkat keberlanjutan pembangunan wilayah
Penggunaan lahan mendatang
Penataan Ruang
RTRW
Gambar 1 Kerangka pemikiran penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan (Modifikasi dari Verburg et al. 2002, Presscott-Allen 2001, dan UU No. 24 tahun 1992) Kedua aspek spasial dan non spasial dalam penataan ruang akan dibahas bersama para stakeholder. Pembahasan meliputi faktor yang ditemukan dalam penelitian awal pada aspek spasial (perubahan penggunaan lahan) dan aspek non spasial (pembangunan wilayah, analisis keberlanjutan, regulasi tata ruang dan kelembagaan), akan menjadi faktor penting atau ada faktor lain yang belum termasuk.
Keseluruh faktor yang teridentifikasi, dikaitkan dengan kegiatan
penataan ruang untuk membangun konsep penataan ruang dalam kerangka pembangunan
yang
berkelanjutan.
Kerangka
digambarkan dalam bentuk diagram (Gambar 1).
pemikiran
tersebut
diatas
1.4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang diharapkan adalah terhadap ilmu pengetahuan, para stakeholders dan pemerintah. − Bagi ilmu pengetahuan agar dapat menambah khasanah ilmu bidang lingkungan terutama penataan ruang dan pembangunan wilayah berkelanjutan. − Bagi stakeholder dalam pengambilan keputusan pada penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan. − Bagi Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan acuan untuk menetapkan suatu kebijakan.
1.5. Novelty (Kebaruan) Novelty atau kebaruan dari penelitian ini terdapat pada pendekatan (approach) yang digunakan dan objek penelitian. Pendekatan yang dilakukan adalah secara terpadu atau terintegrasi dalam mengkaji aspek tata ruang agar penataannya memenuhi konsep pembangunan berkelanjutan. Pemodelan spasial dilakukan untuk melihat perubahan penggunaan lahan di masa mendatang sebagai masukan dalam penataan ruang dengan menggunakan CLUE-S (Conversion of Land Use Change and its Effect at small regional extent). Aspek keberlanjutan (sustainability) yang didekati dengan metode Wellbeing Index sebagai indikator keberlanjutan pembangunan wilayah. Secara keseluruhan, pendekatan yang dilakukan berdasarkan aspek wilayah (spasial) yang digabungkan dengan aspek non spasial untuk menentukan penataan ruang dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem dan Model Sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. (Eriyatno 1999). Berdasarkan definisi ini tergambarkan bahwa dalam sistem terdapat elemen-elemen / unsur-unsur, ada hubungan keterkaitan dan ada tujuantujuan. Usaha untuk menggambarkan, menganalisis, menyederhanakan atau menunjukkan sistem dapat ditunjukkan oleh model berdasarkan pada teori. Model yang baik harus dapat menggambarkan sifat penting dari sistem yang dimodelkan. Model merupakan pengganti dari suatu sistem yang nyata. Model digunakan bila bekerja dengan pengganti tersebut lebih mudah dibandingkan dengan sistem aktual. Contoh model adalah: cetak biru arsitekur suatu gedung, grafik pekerjaan analisis ekonomi (Ford 1999). Secara umum model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual.
Model memperlihatkan hubungan-
hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik (sebab akibat).
Karena model merupakan abstraksi dari suatu realitas, maka pada
wujudnya kurang kompleks daripada realitas itu sendiri. Model dapat dikatakan lengkap bila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas itu sendiri (Marimin 2005). Salah satu dasar utama dalam pengembangan model adalah guna menemukan peubah-peubah yang penting dan tepat. Klasifikasi dari jenis-jenis model adalah model fisik (model skala), model diagramatik (model konseptual) dan model matematik. Model fisik atau model skala, merupakan perwakilan fisik dari bentuk ideal maupun dalam skala yang berbeda. Misalnya maket suatu bangunan. Model diagramatik atau model konseptual dapat mewakili situasi dinamik (keadaan yang berubah menurut waktu). Contoh dari model ini adalah kurva permintaan, kurva distribusi frekuensi dan diagram alir. Model matematik, dapat berupa persamaan atau formula (rumus). Persamaan merupakan bahasa universal yang menggunakan suatu logika simbolis (Eriyatno 1999).
Model matematik melibatkan fungsi dan angka dalam menggambarkan sistem, model ini sering disebut dengan model komputer atau model numerik. Di lain pihak bila solusi analitis yang akan diperoleh dapat digambarkan dengan kombinasi dari berbagai fungsi matematis dasar, model ini disebut dengan model analitis. Model matematis ini dapat dikelompokan dalam dua bagian yaitu model statis dan dinamik. Model statik memberikan informasi tentang peubah-peubah model hanya pada titik tunggal dari waktu. Model dinamik mampu menelusuri jalur waktu dari peubah-peubah model (Eriyatno 1999). Penyelesaian suatu permasalahan yang mempunyai tiga karakter yaitu kompleks, dinamik, dan probabilistik disarankan untuk menggunakan pendekatan sistem. Kompleks mengandung arti interaksi antar elemen cukup rumit. Sedangkan dinamik berarti faktornya berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan. Sementara probabilistik adalah diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi. Penelitian dengan pendekatan sistem meliputi delapan unsur yaitu: (1) metodologi
untuk
perencanaan
dan
pengelolaan,
(2)
suatu
tim
yang
multidisipliner, (3) pengorganisasian, (4) disiplin untuk bidang yang nonkuantitatif, (5) teknik model matematik, (6) teknik simulasi, (7) teknik optimisasi, dan (8) aplikasi komputer. Metode dengan pendekatan sistem pada prinsipnya melalui enam tahap yaitu: analisis kebutuhan,
formulasi permasalahan,
identifikasi sistem, pembentukan alternatif sistem, determinasi dari realisasi fisik, sosial & politik, dan penentuan kelayakan secara ekonomi dan finansial. Keenam langkah ini umumnya dilakukan dalam suatu kesatuan yang disebut dengan analisis sistem (Djojomartono 1993). Sistem dinamis untuk perkotaan pertama kali dianalisis oleh Forrester tahun 1969 dengan bukunya berjudul Urban Dynamics. Hal ini merupakan pendekatan sistem pertama yang menganalisis masalah perkotaan yang kompleks dan berbeda dengan sistem dinamis yang menganalisis sistem fisik.
Terdapat hal yang
bertentangan dengan intuisi atau rasional perihal sistem sosial. Pertama, sistem sosial tidak sensitif terhadap perubahan kebijakan. Kedua, sistem sosial memberikan pengaruh yang kecil dalam mengubah perilaku. Ketiga, sistem sosial menunjukkan konflik antara akibat perubahan kebijakan dalam jangka panjang
dan jangka pendek (Forrester 1995). Berdasarkan kajian pustaka tersebut, dapat dijelaskan bahwa model merupakan representasi dari sistem yang kompleks. Aspek penataan ruang, pembangunan wilayah dan masalah perkotaan dapat dianalisis dengan pendekatan sistem. Aspek penataan ruang dapat dikategorikan sistem sosial, sehingga pendekatannya menggunakan metode soft system bukan sistem fisik atau hard system. Salah satu tool untuk analisis pada soft system ini adalah analisis prospektif (Godet 1999).
2.2. Analisis Prospektif dan Kaitannya dengan Strategi Analisis prospektif adalah suatu cara atau pendekatan untuk menganalisis beragam kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa depan, berdasarkan situasi saat ini. Analisis prospektif tidak sama dengan peramalan karena situasi saat ini tidak dapat digunakan untuk meramal masa depan. La prospective berasal dari Bahasa Perancis yang bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris menjadi a preactive and proactive approach atau bila diterjemahkan dalam satu kata yang sepadan adalah foresight karena kata proactivity jarang digunakan (Godet 1999). Bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “tinjauan ke masa depan”. Pendekatan prospektif menekankan pada proses-proses evolusi jangka panjang, sehingga dimensi waktu menjadi salah satu unsurnya. Analisis prospektif ini adalah salah satu dari metoda dengan pendekatan sistem atau pendekatan holistik. Tujuan dari analisis prospektif adalah : (1) untuk mendefinisikan tujuan pembangunan jangka panjang dari sistem yang dipelajari, (2) untuk menentukan strategi yang akan diikuti agar sistem mencapai tujuan. Strategi berupa rangkaian keputusan yang penting untuk mencapai tujuan dan dugaan untuk memperkirakan interaksi yang mungkin sebagai akibat dari setiap keputusan; dan (3) untuk menterjemahkan strategi kedalam perencanaan, tujuan umum dan strategi yang muncul dari analisis prospektif yang berguna untuk menentukan prioritas dalam proses perencanaan (Treyer 2003) Analisis prospektif
dapat digunakan untuk mempersiapkan tindakan
strategis dan melihat apakah perubahan dibutuhkan di masa depan. Terdapat tiga
langkah
yang
harus
dilakukan
dalam
analisis
prospektif,
yaitu:
(1)
mengidentifikasi faktor penentu di masa depan, (2) menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku utama, serta (3) mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan.
Lingkungan, ekonomi, teknologi, sosial, politik
Desain organisasi
Pembatasan sistem Konstruksi dasar Variabel kunci
Cara analisis: − Kecenderungan − Perubahan − Pelaku-pelaku
Hipotesa dasar pada evolusi variabel dan strategi pelaku
Merinci skenario
Memilih kemungkinan di masa depan
Skenario − Pembangunan − Citra
Strategi tindak Memilih strategi tindak
Gambar 2 Tahapan dari Analisis Prospektif (Hatem 1993)
Gambar 2 di atas menggambarkan tahapan analisis prospektif yang dikemukakan oleh Hatem (1993). Tampak bahwa terdapat tiga langkah utama
dalam tahapan analisis prospektif yaitu membangun dasar, merinci skenario dan memilih strategi tindak.
Selanjutnya secara lebih eksplisit adalah penjelasan
mengenai tahapan dalam pembangunan skenario yang diungkapkan oleh Godet et al (1999). Skema dari tahapan ini digambarkan pada Gambar 3 berikut. Workshop Prospektif
Analisis Struktural Metode Micmac
Analisis dari strategi pelaku Metode Mactor
Analisis morfologi Metode Morphol
Pertanyaan Pakar Metode Smic-Prob-Expert
Masalah dirumuskan Sistem diperiksa
Mencari variabel kunci (internal –eksternal) retrospective, tren, pelaku kunci
Arah dan tujuan strategis Posisi pelaku Keseimbangan kekuatan Pemusatan dan pencaran
Memindai kemungkinan Preferensi dan kekecualian Kriteria pemilihan
Pertanyaan kunci di masa depan Gugusan kemungkinan dari hipotesis
Skenario Rute Citra Ramalan
Lima tujuan dari metode Relevansi Koheren Hal yang masuk akal Kepentingan Transparansi
Gambar 3 Tahapan pembangunan skenario (Godet et al. 1999)
2.3. Tata Ruang dan Pembangunan Wilayah
2.3.1. Konsep Analisis Keruangan Ruang (space) dalam ilmu geografi di definisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia
(Jayadinata 1992).
Analisis keruangan atau spatial analysis
mempelajari perbedaan lokasi dalam hal sifat-sifat pentingnya. Dalam analisis ini data yang digunakan disebut data spasial yang pemanfaatannya meliputi data titik (point data) dan data bidang (areal data). Analisis spasial merupakan metode kuantitatif untuk melihat keragaman sesuatu secara spasial.
Sistem informasi
geografis merupakan sistem automatisasi untuk menangani data spasial. Sistem ini dapat merangkum intelegensi informasi secara geografis (keruangan). Dalam sistem informasi geografis, objek yang ada dalam ruang geografis ditunjukan oleh dua jenis informasi. Pertama, berkaitan dengan lokasi yang disebut dengan data spasial,
dan yang kedua berkaitan dengan identitas dari karakter dari objek
tersebut yang disebut dengan data atribut (Unwin 1981). Data spasial merupakan penggambaran objek dalam ruang. Objek dalam ruang tersebut diklasifikasikan ke dalam empat jenis yaitu titik, garis, area dan permukaan. Data atribut dapat ditunjukan dengan nominal, ordinal, interval dan skala rasio. Gambar 4 berikut ini menggambarkan jenis data spasial. Informasi geografis tentang lingkungan disajikan dalam bentuk peta, analog dan digital. Peta analog merupakan penggambaran secara nyata dari kondisi dunia. Kualitas fisik dari garis dan area (panjang, tebal, warna dan sebagainya) digunakan untuk menggambarkan kondisi feature dari alam. Lokasi absolut dari ruang didefinisikan dalam sistem koordinat (x,y) yang tidak berkaitan dengan objek yang dipetakan. Dalam pembuatan peta, perlu diperhatikan unsur-unsur skala, proyeksi dan simbol. Dalam peta analog ketiga unsur ini sudah tetap. Hal ini berbeda dengan peta digital yang tidak tetap, sehingga proyeksi, skala dan simbol dengan mudah diubah sesuai dengan kebutuhan.
Hal ini dimungkinkan dengan manipulasi
matematis. Sebagai ilustrasi untuk melihat perbedaan peta analog dan digital adalah pada informasi jalan. Dalam versi analog, jalan ini digambarkan dengan
skala dan proyeksi yang sudah tetap, simbol yang digunakan adalah garis merah yang lebarnya menggambarkan lebar jalan.
Perubahan peta hanya dapat
dilakukan dengan survey dan pencetakan peta ulang. Dalam bentuk digital jalan tersebut digambarkan oleh suatu seri koordinat, dan data atribut tentang nama jalan, lebar dan sebagainya (Martin 1991).
Kelas Objek
TITIK
DIMENSI Contoh
GARIS
0
AREA
1
Titik Patok
2
Ruas Jalan
+
PERMUKAAN
Kavling lahan
3 Penampakan fisik wilayah
Plot 25
B2120
Titik 6188 DAS 3A
Gambar 4 Jenis data spasial dalam analisis keruangan (Martin 1991) Dalam pemodelan spasial, terdapat dua kategori struktur data dari area yaitu vektor dan raster.
Vektor merupakan struktur data yang berdasarkan pada
koordinat, sedangkan raster merupakan struktur data yang berdasarkan pada sel. Gambar 5 berikut ini adalah penggambaran dari suatu bentuk tidak beraturan dalam bentuk raster dan vektor.
vektor
raster
Gambar 5 Dua bentuk tidak beraturan dalam bentuk raster dan vektor (Martin 1991)
Sistem informasi geografis (SIG) merupakan informasi yang berhubungan dengan lokasi-lokasi tertentu.
Secara harfiah sistem informasi geografis
mengandung tiga kata yaitu sistem, informasi dan geografis. Sistem mengandung arti suatu lingkungan tempat data untuk dikelola dan ditanyai. Informasi, berarti ada kemungkinan untuk menggunakan sistem untuk menanyakan pertanyaan data basis geografis, dan memperoleh informasi dunia geografis. Geografis berarti sistem yang digunakan berkaitan erat dengan ukuran dan skala geografis, dan merujuk pada sistem koordinat dari lokasi dari permukaan bumi. Hampir semua penelitian atau penyajian informasi yang bersifat keruangan (spasial) menggunakan teknik sistem informasi geografis. Penentuan lokasi yang terbaik untuk suatu kegiatan tertentu, penentuan persebaran atau distribusi suatu unit kegiatan, dan penentuan pola jaringan adalah merupakan cotoh penggunaan atau aplikasi dari SIG. Von Thunnen adalah ilmuwan pertama pada tahun 1926 mengamati dan membuat konsep tentang wilayah pertanian di Jerman dalam aspek keruangan. Aspek yang menjadi perhatiannya adalah pola keruangan (persebaran) dari komoditas pertanian
dan lokasi pasar,
sehingga diperoleh model umum
penggunaan lahan di wilayah pedesaan yang menggambarkan wilayah-wilayah penghasil produk pertanian yang mengelilingi pasar. Model ini menggambarkan pola spasial yang paling efisien dari berbagai jenis komoditas pertanian dan penggunaan lahan. Von Thunen mengemukakan bahwa harga sewa lahan hanya bergantung pada faktor jarak (Nugroho & Dahuri 2004). Struktur spasial suatu wilayah secara teoritis dapat dibagi menjadi tiga tipe. Tipe pertama adalah adalah pengelompokan dari lokasi jasa atau industri tertier termasuk administrasi, keuangan, perdagangan eceran dan grosir serta jasa sejenis, yang cenderung memusat dalam menjadai kelompok-kelompok
homogen dan
menyebar secara merata di bentang alam yang memberikan akses terhadap populasi pasar yang terluas.
Tipe kedua, merupakan persebaran lokasi dari
industri yang terspesialisasi seperti manufaktur, pertambangan dan rekreasi, yang cenderung menjadi mengelompok atau aglomerasi berdasar pada lokasi-lokasi sumberdaya fisik seperti timah, dan kondisi fisik seperti sungai dan pantai. Tipe ketiga berupa pola dari rantai transportasi, seperti jalan dan kereta api yang
mengakibatkan pertumbuhan pemukiman secara linier (Glasson 1974, Nugroho & Dahuri 2004).
2.3.2. Penataan Ruang dan Regulasi Tata Ruang Menurut Sandy (1999), penggunaan ruang adalah sama dengan penggunaan tanah. Istilah penataan ruang sama dengan penataan penggunaan tanah, tata ruang adalah sama dengan tata guna tanah. Tetapi ruang tidak bisa dilekati dengan hak, tanah yang dapat dilekati oleh hak, jadi terdapat hak atas tanah. Sedangkan menurut UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataaan Ruang, yang dimaksud dengan tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan maupun tidak. Sedangkan penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang mencakup perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang, yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya. Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya yang didasarkan atas rencana tata ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang. Dalam aplikasinya Djoekardi & Ardiputra (2003) mengungkapkan awal penyusunan Undang-undang Penataan Ruang.
Terdapat dua kelompok yang
mengusulkan rancangan undang-undang. Kelompok pertama adalah Direktorat Jenderal Agraria, Departeman Dalam Negeri yang mengusulkan rancangan undang-undang tata guna tanah. Kelompok kedua adalah Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum yang mengusulkan rancangan undang-undang bina kota.
Kedua kelompok ini dianggap sama-sama
mengusulkan masalah tata ruang.
Sehingga, untuk mengakomodasi kedua
kelompok ini, ditetapkan menjadi undang-undang penataan ruang.
Substansi
penataan ruang pun diperjelas. Sebelumnya, penataan ruang dianggap sama dengan perencanaan tata ruang. Berdasarkan undang-undang tersebut, penataan ruang meliputi perencanaan tata ruang, pemanfataan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Soefaat (2003) mengungkapkan lembaga penataan ruang yang pertama di Indonesia adalah Balai Tata Ruangan dan Pembangunan (BTRP) yang didirikan pada tahun 1947. Lembaga penataan ruang kemudian berubah menjadi Jawatan Tata Kota dan Daerah (1960an), kemudian menjadi Jawatan Tata Ruang Kota dan Daerah kemudian mejadi Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah. Kemudian tahun 1994 menjadi Direktorat Bina Tata Perkotaan dan Perdesaan (BTPP). Pada tahun 2003 menjadi Direktur Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum. Secara umum, terdapat tiga undang-undang yang menjadi payung dalam mengatur tata-ruang di Indonesia yaitu Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA), Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Banyak pihak yang berpendapat bahwa undang-undang pokok-pokok agraria ini sudah saatnya direvisi. Salah satu yang telah melakukan kajian adalah Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) yang telah melakukan diskusi pertanahan nasional dalam rangka pembahasan RUU Pertanahan Nasional.
Undang-undang pokok-pokok agraria ini memberikan
kewenangan yang besar kepada negara (pemerintah) yang dapat disalahgunakan; adanya hak ulayat tidak mendapat kepastian hukum, hak atas tanah amat dibatasi pada hak hak perseorangan. Perusahaan dan kelompok masyarakat tidak berhak memiliki tanah.
Demikian pula dengan adanya paradigma baru pada
pemerintahan Indonesia, yaitu pengalihan kewenangan kepada daerah dengan UU No 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka dibutuhkan perubahan peraturan, kebijakan dan administrasi pertanahan, termasuk penyelarasan UUPA. Hal yang sama terjadi pada UU No 24/1992 tentang Penataan Ruang yang kurang relevan dengan kondisi pemerintahan Indonesia saat ini dengan adanya UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan kewenangan terhadap daerah (Renyansih & Budisantoso 2003). Menurut Haeruman (2004) pendekatan konvensional penataan ruang yang dianut
selama
ini
cenderung
memandang
masyarakat
sebagai
objek
pembangunan/perencanaan dibanding sebagai subjek pembangunan/perencanaan, padahal kegiatan penataan ruang tersebut sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Rencana tata ruang merupakan dokumen pelaksanaan pembangunan
yang harus dipatuhi oleh semua pihak termasuk masyarakat setempat. Dengan terbitnya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 yang telah dicabut dan digantikan dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah maka materi kebijakan penataan ruang wilayah kabupaten/kota meliputi: (1) Kerangka sistem perencanaan; (2) Prinsip, tujuan, kebijakan strategis; (3) Panduan penataan ruang kabupaten/kota; (4) Institusi, program dan prosedur untuk menyiapkan dan melaksanakan rencana tata ruang dan kebijakan penataan ruang; (5) Peraturan, ketentuan dan standar pengelolaan SDA; (6) Strategi sektoral penataan ruang (seperti kawasan lindung, hutan, pertambangan); (7) Indikator untuk mengukur tingkat ketercapaian tujuan penataan ruang. 2.4. Penggunaan Lahan dan Pemodelan Perubahannya
2.4.1. Penggunaan Lahan Istilah penggunaan lahan atau land use sering diikuti dengan istilah land cover atau tutupan lahan.
Terdapat perbedaan yang prinsip dalam kedua
peristilahan tersebut. Land cover atau tutupan lahan merupakan keadaan biofisik dari permukaan bumi dan lapisan di bawahnya. Land cover menjelaskan keadaan fisik permukaan bumi sebagai lahan pertanian, gunung atau hutan. Land cover adalah atribut dari permukaan dan bawah permukaan lahan yang mengandung biota, tanah, topografi, air tanah dan permukaan, serta struktur manusia. Sedangkan land use adalah tujuan manusia dalam mengeksploitasi land cover (Lambin et al. 2003). Land use atau penggunaan lahan menggambarkan sifat biofisik dari lahan yang menggambarkan fungsi atau tujuan dari lahan tersebut digunakan oleh manusia dan dapat dijelaskan sebagai aktivitas manusia yang secara langsung berkaitan dengan lahan, penggunaan dari sumberdaya tersebut atau memberikan dampak terhadapnya (Briassoulis 2000). Penggunaan lahan disebut pula sebagai penggunaan tanah, yang menurut Sandy (1999) merupakan terminologi yang sama dengan penggunaan ruang. Demikian pula dengan tata guna tanah sama dengan tata ruang.
Briassoulis (2000) menyebutkan bahwa selama 300 tahun terakhir perubahan penggunaan lahan secara global, telah secara signifikan mencemaskan, dan penyebab utamanya adalah manusia. Sejak tahun 1700 an jumlah populasi manusia selalu meningkat mencapai lima milyar pada tahun 2000 an. Terdapat penurunan luas hutan satu milyar hektar selama 300 tahun dan areal untuk pertanian bertambah satu milyar hektar lebih. Keadaan perubahan penggunaan lahan secara global hampir mirip dengan keadaan di Indonesia. Data perubahan penggunaan lahan di Indonesia ditunjukkan pada Tabel 1 berikut. Tabel 1 Penggunaan Lahan di Indonesia Tahun 1993-1997 (000 Ha)
No
Penggunaan Lahan
1993
(1)
(2)
(3)
1
Permukiman
2
Lahan kering & padang rumput
3
Tambak & kolam
4
Lahan kosong
5
Perkebunan
6
Sawah
7
1994
Tahun 1995
1996
1997
Rata-rata perubahan per tahun
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
5.142
5.005
5.155
5.291
5.331
47
13.789
13.137
13.257
13.515
13.664
-31
483
606
604
622
635
38
7.160
6.920
6.967
7.335
7.577
104
20.778
22.552
23.390
23.934
24.149
843
8.499
8.439
8.484
8.519
8.490
-2
Hutan lindung
29
29
29
34
29
0,003
8
Hutan suaka & hutan wisata
19
19
19
19
19
-0.021
9
Hutan produksi
62
62
62
58
62
-0,032
10
Hutan produksi yang dapat dikonversi
19
19
19
8
36
4
55.985
56.893
57.448
51.113
59.998
1.003
TOTAL *
Keterangan: * artinya total luas lahan yang digunakan di Indonesia sampai tahun tersebut, data ini tidak termasuk Maluku dan Irian Jaya. Sumber: Statistik Indonesia 1994, 1995, 1996, 1997, 1998; Badan Pusat Statistik. [http://www.bktrn.bappenas.go.id/produk/buletin/buletin4/bulletin4.shtml] Dari data tersebut dapat dilihat bahwa total lahan di Indonesia pada tahun 1996 adalah 60 juta hektar. Data ini tidak termasuk Maluku dan Propinsi Papua. Secara umum lahan yang bertambah luasnya adalah permukiman, tambak, lahan kosong, dan perkebunan. Lahan yang berkurang arealnya adalah sawah dan hutan.
Luas perubahan rata-rata secara total adalah sejuta hektar per tahun. Hal ini mengggambarkan tingkat perubahan ruang yang cukup tinggi yaitu sekitar 1,7%. Kedua contoh di atas merupakan tujuan dari analisis penggunaan lahan yang berupa deskripsi. Deskripsi ini dapat ditunjukkan dalam bentuk grafik atau tabel. Secara umum Briassoulis (2000) menunjukkan bahwa analisis perubahan penggunaan lahan mempunyai tujuan-tujuan yang berbeda. Tujuan dari analisis untuk perubahan penggunaan lahan adalah dalam bentuk: deskripsi atau penjelasan, explanation (eksplanasi), prediksi, impact assessment (kajian dampak), prescription (resep) dan evaluasi. Selanjutnya penyebab dari perubahan penggunaan lahan adalah adanya faktor-faktor (driving factors) seperti: faktor demografi (tekanan penduduk), faktor ekonomi (pertumbuhan ekonomi), teknologi, policy (kebijakan), institusi, budaya dan biofisik. Analisis perubahan penggunaan lahan mencari penyebab (driver) perubahan land use dan dampak (lingkungan dan sosio ekonomi) dari perubahan land use. Penyebab dari perubahan penggunaan adalah lima alasan yaitu kelangkaan sumberdaya; perubahan kesempatan akibat pasar; intervensi kebijakan dari luar; hilangnya kapasitas adaptasi dan meningkatnya kerentanan; perubahan dalam organisasi sosial dalam akses sumberdaya dan dalam tingkah laku (Lambin et al. 2003).
2.4.2. Model Perubahan Penggunaan Lahan Secara umum Briassoulis (2000) menggambarkan klasifikasi pemodelan untuk analisis penggunaan lahan dan perubahannya.
Model-model ini
dikelompokkan ke dalam lima kelompok besar yaitu model statistik dan ekonometrik, model interaksi spasial, model optimisasi, model terpadu (intergrated model) dan pendekatan model lainnya.
Tabel 2 berikut ini
menujukkan pengelompokan model-model perubahan penggunaan lahan.
Tabel 2 Klasifikasi Model Perubahan Penggunaan Lahan (Briassoulis 2000) Kategori Modeling Model Statistik dan Ekonometrik
Model Interaksi Spasial Model Optimisasi
Model Terpadu (Integrated Models)
Model Pendekatan Lainnya
Model Contoh Penggunaannya Model Regresi Linier Model Ekonometrik (EMPIRIC) Model Multinomial Logit Model Analisis Korelasi Canonical Model Potensial Model Intervening Opportunities Model Gravity/ Interaksi Spasial Model Program Linier- single & multiobjective Program Dinamik Pemograman Tujuan, Pemograman Hirarki, Problem Linier dan Kuadratik, Model Non Linier Program Model Utility-Maximization Model Pengambilan Keputusan Multi Objective/ Multi Kriteria Model Tipe Ekonometrik Terpadu Model Gravity-Interaksi Spasial Based dan Tipe Lowry Terpadu Model Simulasi : ¾ Model Simulasi Level Urban/Metropolitan ¾ Model Simulasi Level Regional, contoh CLUE (Conversion Landuse Change and Its Effect) ¾ Model Simulasi Level Global Pendekatan Pemodelan Berorientasi Ilmu Pengetahuan Alam Pemodelan Perubahan Landuse Markov Pemodelan Perubahan landuse Berbasis GIS
2.4.2.1. Conversion of Land Use and its Effect (CLUE) Conversion of Land Use and its Effect atau CLUE (Veldkamp et al. 2001) merupakan pendekatan empiris yang dilakukan dengan studi kasus antara lain di Atlantic Zone (Costa Rica), China, Ekuador, Honduras dan Pulau Jawa. Model ini merupakan model terpadu, secara spasial nyata, dinamis dan berdasarkan pada sosial ekonomi dan lingkungan. Terdapat dua tahap dalam pemodelan dengan CLUE; yaitu yang pertama adalah analisis pola penggunaan lahan eksisting dan lampau untuk menentukan variabel paling penting dari aspek biogeofisik dan sosial ekonomi; yang kedua adalah menggunakan hasil tahap pertama menentukan skenario untuk mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan. Model CLUE ini terdiri dari modul permintaan (demand module) dan modul alokasi (allocation module). Pada modul permintaan terdapat permintaan nasional untuk komoditas pertanian yang ditentukan berdasarkan jumlah penduduk (pertumbuhan penduduk), pola konsumsi, perkembangan ekspor-impor dan
produktivitas. Perubahan permintaan nasional tahunan mengakibatkan perubahan penggunaan lahan propinsi (level grid).
Perubahan di wilayah propinsi
di
modelkan dalam suatu modul alokasi multi skala. Kerangka pikir dari model CLUE disajikan pada Gambar 6.
Level nasional
Permintaan untuk komoditas pertanian
konsumsi Ekspor/ impor
produktivitas
Pertumbuhan penduduk
Level grid
Perubahan penggunaan lahan
Kondisi biofisik dan sosio-ekonomi
Gambar 6 Struktur Umum dari Model CLUE (Veldkamp et al. 2001)
Verburg, Veldkamp dan Bouma (1999) mengaplikasikan model CLUE untuk mensimulasikan kondisi tekanan penduduk terhadap perubahan penggunaan lahan di Pulau Jawa.
Adanya tekanan penduduk di Pulau Jawa telah
menyebabkan ekspansi dan intensifikasi lahan pertanian di Pulau Jawa. Hal ini berlanjut dengan semakin banyak juga pengubahan lahan pertanian menjadi areal
permukiman dan industri. Data yang digunakan dalam pemodelan ini adalah dengan mengagregasikan enam jenis penggunaan lahan.
Keenam jenis
penggunaan lahan adalah ladang berpindah (shifting cultivation), sawah (paddy field), kebun dan tegalan (dry agriculture), permukiman dan industri (housing dan surroundings) dan perkebunan (estate) dan lainnya (others).
Hasil pemodelan
ditunjukkan pada Gambar 7 berikut. Gambar 6.
Hasil Simulasi dari Perubahan Penggunaan Lahan di Jawa pada tahun 1994-2010 (Verburg et.al, 1999)
Gambar 7 Hasil Pemodelan dengan CLUE di Pulau Jawa (Verburg, Veldkamp dan Bouma 1999) Kelas penggunaan lahan dan variabel yang digunakan dalam menjelaskan persebaran penggunaan lahan di Jawa disajikan pada Tabel 3 berikut. Dari hasil simulasi tampak ada 4 kategori hasil yaitu penurunan tinggi (strong decrease), penurunan sedang (slight decrese), hampir tidak ada perubahan (little change) dan peningkatan (increase).
Pada jenis ladang berpindah tampak bahwa terdapat
penurunan tinggi di bagian barat Pulau Jawa.
Untuk areal tanaman pangan
perubahannya relatif lebih banyak. Keempat kategori hampir terdapat di seluruh pulau.
Pada areal persawahan penurunan areal diperkirakan lebih banyak di
bagian utara dan penurunan yang terjadi tinggi dan sedang. Penggunaan lahan untuk pemukiman meningkat di sebagian besar wilayah pulau terutama bagian barat.
Pada lahan perkebunan terdapat baik penurunan maupun peningkatan,
tetapi peningkatan yang terjadi lebih banyak.
Tabel 3 Kelas penggunaan lahan dan variabel yang digunakan dalam pemodelan CLUE di Pulau Jawa (Verburg, Veldkamp dan Bouma1999) Variabel
Deskripsi
Sumber
Penggunaan lahan Perladangan berpindah
Lahan pertanian merupakan hasil penebangan hutan rakyat, atau hutan alam, kemudian ditanami dengan tanaman pangan tahunan Lahan sawah beririgasi dan sawah tadah hujan Kebun dan lahan pekarangan biasanya ditanami palawija Lahan untuk pemukiman dan sarana serta prasarana Perkebunan rakyat dan negara, meliputi karet, kelapa sawit, teh, kopi, tebu, kelapa, tembakau, kapas, coklat dan rempah-rempah Hutan dan lainnya yang meliputi padang rumput, rawa, kolam, lahan yang diberakan, danau dan jalan.
BPS (1979, 1994)
Kepadatan penduduk
Kepadatan total populasi (jiwa per km2)
BPS (1971, 1980, 1990,1995)
Kepadatan penduduk pedesaan
Kepadatan populasi yang diklasifikasikan sebagai pedesaan (jiwa per km2) Fraksi dari total populasi yang diklasifikasikan sebagai pedesaan Kepadatan penduduk berumur di atas 10 tahun yang bekerja Kepadatan penduduk berumur di atas 10 tahun yang bekerja di bidang pertanian Fraksi dari total tenaga kerja yang bekerja di bidang pertanian
Sawah Kebun dan tegalan Permukiman dan industri Perkebunan
Hutan dan lainnya Demografi
Fraksi populasi pedesaan Kapadatan tenaga kerja Kepadatan tenaga kerja di bidang pertanian Fraksi tenaga kerja di bidang pertanian Ekonomi dan infrastruktur Produk domestik regional bruto
Produk domestik bruto pada harga yang berlaku (juta rupiah) Jarak langsung ke kota terdekat (m) Jarak langsung ke sungai utama terdekat (m) Jarak langsung ke jalan utama terdekat (m)
BPS (1996)
Persen waktu tidak berawan Perbedaan antara presipitasi bulan terbasah dan bulan terkering (mm) Rata-rata presipitasi tahunan (mm) Rata-rata temperatur tahunan (0C) Jumlah bulan dengan presipitasi lebih dari 50 mm (bulan) Zonasi agroklimatik berdasarkan presipitasi musiman
Cramer (data lapangan)
Rata-rata ketinggialn (altitude) Kisaran ketinggian (altitude) Rata-rata slope (kemiringan) Unit geologi Tanah
Rata-rata elevasi (m dpl) Kisaran ketinggian dalam grid berdasarkan 1 km DEM Rata-rata slope (berdasarkan 1km DEM) Klasifikasi berdasarkan batuan induk
USGS (1996) USGS (1996) USGS (1996) CSAR/FAO (1959)
Kelas kesuburan tanah Kelas drainase tanah Kelas permeabilitas tanah Tekstur tanah
Kesuburan tanah (rendah, sedang, tinggi) Kelas drainase tanah (baik, sedang, buruk) Permeabilitas tanah (cepat, sedang, lambat) Tekstur tanah (kasar, sedang, halus)
PPT (1966) PPT (1966) PPT (1966) PPT (1966)
Jarak ke kota terdekat Jarak ke sungai terdekat Jarak ke jalan terdekat Iklim Cahaya matahari Kisaran presipitasi Total presipitasi Rata-rata temperatur Jumlah bulan basah Zona aroklimatik Geomorfologi
Peta topografi ESRI (1993) ESRI (1993)
(data lapangan) (data lapangan) (data lapangan) Oldeman (1975)
2.4.2.2. Conversion of Land Use & its Effect at Small regional extent (CLUE-S) Verburg et al. (2002) mengembangkan pemodelan spasial untuk perubahan penggunaan lahan pada areal lebih kecil dari nasional atau propinsi. Model ini dinamakan Conversion of Land Use and Its Effect at Small regional extent atau CLUE-S. Pada pemodelan dengan CLUE-S ini beberapa konsep digunakan berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan yaitu konektivitas, stabilitas dan resilience. Konektivitas merupakan suatu istilah yang menentukan/ menjelaskan bahwa lokasi-lokasi mempunyai hubungan spasial misalnya suatu jarak tertentu satu sama lain. Stabilitas merupakan karakter suatu jenis penggunaan lahan tertentu untuk terkonversi. Resilience atau daya lenting merupakan kapasitas menyangga dari suatu ekosistem atau masyarakat dalam menerima gangguan. Model CLUE-S ini merupakan gabungan dari pemodelan empiris, analisis spasial dan model dinamis. Analisis spasial menggunakan teknik overlaying dari sistem informasi geografis atau geographic information system (GIS). Hubungan antara penggunaan lahan dan faktor-faktornya menggunakan regressi logistik. Model CLUE-S ini telah diterapkan di DAS Selangor (Malaysia), Pulau Sibuyan (Filipina),
dan Propinsi Bac Kan (Vietnam) selain itu juga telah
dilakukan untuk menggambarkan faktor aksesibilitas sebagai driver dari perubahan penggunaan lahan di Kabupaten San Mariano (Filipina). Keuntungan penggunaan model ini adalah pertimbangan secara eksplisit untuk memfungsikan sistem land use secara keseluruhan. Pemodelan dengan CLUE-S di DAS Selangor. Pemodelan perubahan penggunaan lahan dengan model CLUE-S untuk wilayah perkotaan di DAS Selangor, Malaysia
dilakukan oleh Engelsman (2002).
penggunaan lahan yang dipakai yaitu : hutan,
Terdapat 8 jenis
perkebunan kelapa sawit,
perkebunan karet, perkebunan campuran, semak & padang rumput, lahan pertambangan, lahan urban dan wilayah perairan. Sedangkan driving factorsnya adalah : altitude (meter di atas permukaan laut), jarak ke jalan (jarak dalam meter dari pusat pixel ke jalan terdekat pada tahun 1999), jarak ke laut (jarak dalam meter dari pusat pixel ke sungai terdekat pada tahun 1999), jarak ke pusat permukiman (jarak dalam meter dari tengah pixel ke pusat dari urban terdekat pada tahun 1999), jarak ke pusat hutan (jarak dalam meter dari tengah pixel ke
pusat hutan terdekat pada tahun 1999), tanah alluvial (tanah muda bertekstur halus), fluvisol (tanah bersifat fluvic), lapisan tanah, tanah dangkal (tanah yang bersifat erosif dan slope yang curam), kelas kesesuaian ahan, kepadatan penduduk (penduduk per km2), tenaga kerja sektor pertanian. Hasil dari pemodelan ini menggambarkan bahwa permintaan untuk wilayah urban meningkat dari tahun 1999 sampai 2014. Hasil simulasi menunjukkan persebaran wilayah urban akan menyebar dari selatan sampai ke utara sampai perbatasan Kuala Lumpur.
Perkembangan ini seperti suatu koridor yang
membentang sepanjang jalan utama sampai ke bagian barat Semenanjung Malaysia. Hal ini tergambar dari hasil perhitungan bahwa driving factor yang paling kuat adalah jarak terhadap pusat pemukiman dan jarak terhadap jalan. Sebagai kesimpulan adalah bahwa Model CLUE-S ini telah berhasil diaplikasikan di DAS Selangor. Aplikasi CLUE-S di Pulau Sibuyan (Filipina). Tujuan penelitian aplikasi CLUE-S di Pulau Sibuyan adalah untuk mengaplikasikan program ini secara realistis dan untuk menganalisis kinerjanya. Data dengan menggunakan ukuran sel 250 m2,
pada time-frame 15 tahun yaitu dari 1997 sampai 2012. Kelas
penggunaan lahan adalah hutan, kelapa, rumput, padi dan lainnya yang merupakan hasil reklasifikasi (pengklasifikasian ulang). Tabel 4 berikut ini menunjukkan hasil pengklasifikasian ulang penggunaan lahan di Pulau Sibuyan, Filipina (Soepbroer 2001). Pengklasifikasian ulang dilakukan dari 15 kelas penggunaan lahan menjadi lima kelas penggunaan lahan. Penetapan angka stabilitas pada pemodelan ini adalah sebagai berikut : hutan dengan nilai 1; kelapa dengan nilai 0.8; rumput atau padi dengan nilai 0.2 dan lainnya dengan nilai 1. Faktor penentu (driving factors) pada penelitian perubahan penggunaan lahan di Sibuyan Filipina dengan menggunakan CLUE-S disajikan pada Tabel 5 berikut ini.
Tabel 4 Pengklasifikasian ulang penggunaan lahan di Pulau Sibuyan, Filipina (Soepboer 2001) Kelas awal
Klasifikasi baru
Area (ha)
% total area
Pantai Sungai Mangrove Area terbangun
Lainnya
29518.75
4
Kelapa, mono-crop 100% Kelapa/ semak 100% Kelapa/ semak 90%
Kelapa
7237.5
16
Hutan 100% Hutan 90% Hutan 80%
Hutan
5243.75
65
Rumput
1400
12
Padi
1762.5
3
Rumput 100% Rumput 95% Rumput 90% Padi non- irigasi Padi irigasi
Tabel 5 Faktor driver pada penelitian perubahan penggunaan lahan di Pulau Sibuyan, Filipina (Soepboer 2001) Driver Kepadatan penduduk Geologi
Erosi Elevasi Slope Aspect Jarak ke jalan Jarak ke kota Jarak ke arus Jarak ke laut
Penjelasan Menggunakan fungsi focal dari 5 sel (jiwa/ km2) Batuan diorit Batuan ultramafik Batuan metamorfik Sedimen Tidak ada erosi Erosi kecil Erosi sedang Digital elevation model/ DEM (m) Diturunkan dari DEM (derajat) Diturunkan dari DEM (derajat) (m) (m) (m) (m)
Hasil pemodelan dengan CLUE-S di Pulau Sibuyan ini memberikan gambaran yang baik untuk sistem yang kompleks di wilayah yang relatif lebih kecil. Hasil pemodelan spasial menggambarkan adanya pembangunan sepanjang kaki pegunungan. Di bagian utara padang rumput dan perkebunan kelapa akan berkembang ke bagian barat. Pertanaman padi terkonsentrasi di tiga lokasi yaitu di bagian utara pulau, sepanjang pantai utara dan disepanjang pantai barat.
Aplikasi
CLUE-S
untuk
Pemodelan
Aksesibilitas.
Aksesibilitas
merupakan salah satu penyebab dari terjadinya perubahan penggunaan lahan. Pada penelitian ini, Witte (2003) melakukannya dengan mengaplikasikan CLUE-S model. Klasifikasi dari jaringan jalan sebagai unsur dari aksesibilitas adalah satu level untuk jalan negara, propinsi, kabupaten, kecamatan dan setapak; dua level untuk seluruh musim dan musim kemarau; tiga level untuk jalan kaki atau kerbau atau sepeda motor, roda enam, dan seluruh jenis kendaraan. Pengukuran yang dilakukan merupakan kombinasi dari pengukuran berdasarkan infrastruktur dan pengukuran berdasarkan aktivitas. Digunakan pula pengukuran origin dan destination untuk mengkaji aksesibilitas yang eksplisit secara spasial. Penelitian ini memberikan hasil bahwa 3 tipe
aksesibilitas
berdasarkan waktu tempuh memberikan dampak terbesar terhadap perubahan penggunaan lahan, yaitu waktu tempuh ke pasar, untuk kegiatan membeli dan menjual hasil pertanian ke pasar; waktu tempuh ke jalan terdekat, untuk menggunakan mode transportasi tercepat; waktu tempuh ke kota terdekat, terdapat kenyataan bahwa lebih banyak penduduk tinggal di kota dari pada di ladang atau di kebunnya. Dari ketiga contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa model perubahan penggunaan lahan telah berhasil digunakan dalam menganalis perubahan penggunaan ruang untuk berbagai aspek spasial. Aspek yang telah dilakukan misalnya perubahan wilayah perkotaan yang terjadi di daerah aliran sungai Selangor (Engelsman 2001).
Wilayah pertanian di Pulau Sibuyan
(Filipina) berhasil dianalisis perubahan perubahan areal pertanian (Soepboer 2001). Aspek aksesibitas berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan telah pula berhasil dibuat modelnya di wilayah lembah Cagayan, Filipina (Witte 2003).
Perbedaan antara pemodelan dengan menggunakan CLUE dan CLUE-S adalah dalam aspek skala dan representasi data disajikan pada Gambar 8. Berdasarkan Gambar 8 tersebut terlihat bahwa CLUE diaplikasikan untuk skala luas (nasional atau benua) dengan resolusi kasar (lebih besar dari 1 km x 1 km), data penggunaan lahan diperoleh dengan sensus atau survey. Jenis penggunaan lahan ditetapkan dengan persentase. Sedangkan, CLUE-S, diaplikasikan untuk wilayah lebih kecil dalam skala lokal atau regional. Data yang diperlukan dengan resolusi halus (kurang dari 1 km x 1 km). Data penggunaan lahan diperoleh dari pengideraan jauh (remote sensing) atau citra. CLUE
− − −
CLUE-S
− − −
Skala wilayah nasional sampai benua Data dengan resolusi kasar (> 1x1 km) Data land use diperoleh dari sensus atau survey
Skala wilayah lokal dan regional Data dengan resolusi halus (< 1x1 km) Data land use diperoleh dari peta atau citra penginderaan jauh
Representasi data: 2 Informasi dari sub-pixel dari land use
Representasi data :1 Land use dominan
Persentase dari land use dalam sel grid Land use yang dominan dalam sel
CLUE
CLUE-S
Gambar 8 Perbedaan Skala Aplikasi dan Struktur Data dari CLUE dan CLUE-S (Verburg et al. 2002)
2.5. Pembangunan Wilayah yang Berkelanjutan
2.5.1. Pembangunan Berkelanjutan Istilah berkelanjutan merupakan penterjemahan dari kata sustainable yang berasal dari terminologi sustainable development (pembangunan berkelanjutan). Istilah pembangunan berkelanjutan dipopulerkan oleh World Commission on Environment Development pada tahun 1987. Pada awalnya merupakan laporan dengan judul Our Common Future dikenal sebagai Brundtland Report, yang menyatakan masalah lingkungan global merupakan akibat dari kemiskinan di Selatan dan pola konsumsi serta produksi yang tidak sustainainable di Utara. Laporan ini berisi strategi untuk memperhatikan aspek lingkungan pada pembangunan dan dikenal dengan istilah sustainable development. Pembangunan berkelanjutan adalah suatu konsep upaya pemenuhan kebutuhan manusia untuk meningkatkan kesejahteraan melalui pemanfaatan sumberdaya tanpa mengurangi potensi generasi yang akan datang untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut. Oleh karena itu konsep pembangunan berkelanjutan adalah pertukaran (trade off) antara generasi kini dengan generasi mendatang dalam pemanfaatan sumberdaya guna peningkatan kesejahteraan (Bell & Morse 2003). Munasinghe (1993) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan mempunyai tiga tujuan yang harus dapat dicapai yaitu tujuan sosial, ekonomi dan ekologi.
Bila digambarkan dengan diagram maka pembangunan berkelanjutan
merupakan suatu segitiga sama sisi dengan setiap sisi memiliki tujuan-tujuan tersebut. Gambar 9 menunjukkan adanya pembangunan yang berkelanjutan, yaitu tujuan ekonomi adalah adanya efisiensi dan pertumbuhan, tujuan ekologis dalam pengelolaan sumberdaya alam dan tujuan sosial yaitu adanya pemerataan sosial dan pengentasan kemiskinan. Berdasarkan diagram pembangunan berkelanjutan tampak bahwa untuk mencapai tujuan ekonomi dan tujuan sosial secara bersamaan perlu adanya pendistribuan ulang pendapatan dengan cara membangun lapangan pekerjaan dan dengan adanya bantuan atau subsidi. Sementara untuk mencapai tujuan ekonomi dan ekologi secara bersamaan adalah dengan dilakukan pengkajian atau valuasi lingkungan juga dengan menginternalisasikan biaya lingkungan.
Tujuan Ekonomi Efisiensi/ pertumbuhan - Pengkajian lingkungan - Valuasi - Internalisasi
- Redistribusi pendapatan - Employment - Bantuan
Tujuan Sosial Pengentasan kemiskinan/ Persamaan
- Partisipasi - Konsultasi - Pluralism
Tujuan Ekologi Sumberdaya alam
Gambar 9 Trade off diantara tiga tujuan utama dari sustainable development (Munasinghe 1993)
Bila Munashinge menentukan tiga tujuan yaitu ekonomi, ekologi dan sosial, Commission on Sustainable Development (CSD) menentukan empat dimensi untuk mengkaji tingkat keberlanjutan suatu pembangunan. Menurut CSD (2001) empat dimensi tersebut adalah dimensi ekonomi, lingkungan, sosial dan institusional dalam menentukan indikator keberlanjutan suatu pembangunan. Dalam pengkajiannya setiap dimensi memiliki tema, yang terdiri dari sub tema, yang dijabarkan lebih detail dalam indikator.
2.5.2. Metode-metode Analisis Keberlanjutan Beberapa metode telah dikembangkan untuk menganalisis keberlanjutan antara lain Sustainable Development Indicators (SDI); Ecological Footprint (EF); Environmental Sustainability Index (ESI) dan Wellbeing Index (WI)
2.5.2.1. Sustainable Development Indicators Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa menurut CSD (2001) terdapat empat dimensi yaitu dimensi ekonomi, lingkungan, sosial dan institusional dalam menentukan indikator keberlanjutan suatu pembangunan. Dalam pengkajiannya
setiap dimensi memiliki tema, yang terdiri dari sub tema, yang dijabarkan lebih detail dalam indikator. Tabel Lampiran 1 berikut menyajikan kerangka kerja CSD untuk tema dan indikator keberlanjutan.
2.5.2.2. Ecological Footprint (EF) Ecological footprint adalah jumlah total dari luas permukaan bumi yang diperlukan untuk mendukung tingkat konsumsi dari wilayah tersebut dan menyerap produk limbahnya. Dengan diketahuinya ecological footprint suatu wilayah maka dapat diperkirakan tingkat keberlanjutan pembangunan wilayah tersebut. EF mengukur seberapa area bioproduktif (baik lahan maupun air) dari suatu populasi dibutuhkan agar menghasilkan secara berkelanjutan seluruh sumberdaya yang dikonsumsi dan menyerap limbah yang timbul. EF merupakan alat untuk mengukur dan menganalisis konsumsi sumber daya dan output limbah dalam konteks kapasitas memperbaharui dan regenerasi dari alam (biokapasitas). Hal ini menggambarkan pengkajian kuantitatif dari area produktif secara biologis (jumlah alam) yang dibutuhkan untuk menghasilkan sumberdaya (pangan, energi, dan materi) dan untuk menyerap limbah individu, kota, wilayah atau negara (Venetoulis, Chazan, Gaudet 2004). Biokapasitas (BC) mengukur suplai bioproduktif yaitu produksi biologis dari area, yang merupakan agregasi dari beragam ekosistem. EF dan BC biasanya disajikan bersama-sama, seperti dalam Footprint of Nations dan Living Planet Report. Area bioproduktif merupakan area dengan produksi biologis sekitar 16% dari permukaan bumi (Lewan 2000). Perhitungan EF saat ini diukur dengan global hektar. Satu global hektar adalah satu hektar dari ruang produktif secara biologis berdasarkan rata-rata produktivitas dunia. Hasil pengukuran terbaru (tahun 2001), biosfer memiliki 11.3 milyar hektar area produktif secara biologis (Global Footprint Network 2004). Menurut Wackernagel dan Rees (1996) metode perhitungan EF suatu negara melalui tiga tahapan. Ketiga tahap tersebut adalah tahap pertama menduga ratarata konsumsi tahunan per orang dari item tertentu berdasarkan data agregat regional atau nasional dengan membagi konsumsi total dengan ukuran populasi,
yaitu : konsumsi = produksi + impor – ekspor. Tahap kedua adalah dengan menduga area lahan layak per kapita (aa) untuk produksi setiap konsumsi utama item ‘i’, dengan cara membagi rata-rata konsumsi tahunan item (c) tersebut [c dalam kg/kapita] dengan produktivitas tahunan rata-rata (p), [p dalam kg/ha], yaitu : aai = ci / pi . Tahap ketiga adalah menghitung total ecological footprint dari rata-rata orang (footprint percapita) atau “ef” dengan menjumlahkan seluruh area ekosistem yang memadai (aai) dari seluruh item yang telah dibeli selama setahun (konsumsi barang dan jasa), yaitu : ef = Σ aai. Akhirnya diperoleh EF dari populasi (Efp) dengan mengkalikan rata-rata footprint per kapita dengan ukuran populasi (N), yaitu: Efp = N (ef). Hasil penghitungan ecological footprint untuk dunia dan Indonesia pada tahun 2001 adalah seperti pada tabel 6 berikut ini (Wackernagel, Monfreda dan Moran 2004). Tabel 6 Ecological Footprint Dunia dan Indonesia tahun 2001 (Wackernagel, Monfreda dan Moran 2004)
Negara
Population
(millions)
Total Ecological Footprint
Total food & fiber Footprint
Total energy Footprint
Built-up land
Biocapacity
Ecological Deficit *
(global ha/person)
(global ha/person)
(global ha/person)
(global ha/person)
(global ha/person)
(global ha/person)
Dunia
6,148.1
2.2
0.9
1.2
0.07
1.8
0.4
Indonesia
214.4
1.2
0.7
0.4
0.05
1.0
0.2
EF dunia adalah 2,2 global hektar per orang. Satu global hektar artinya satu hektar produktivitas biologis sama dengan rata-rata secara global. Secara global terdapat defisit sumberdaya alam sebesar 0,4 global hektar per orang. Hal ini merupakan selisih dari total ecological footprint sejumlah 2,2 global ha/ orang dengan biocapacity yang hanya 1,8 global ha/ orang. Nilai EF Indonesia masih jauh dibawah dunia, yaitu 1,2 global ha/ orang tetapi biocapacitynyapun masih dibawah nilai dunia yaitu hanya 1,0 global ha/ orang. Hal ini menggambarkan bahwa Indonesia meskipun menggunakan atau mengeksploitasi sumberdaya alam lebih rendah daripada negara-negara lain, tetapi
suplai bioproduktif atau cadangan sumberdaya pun relatif lebih sedikit. Hal ini disebabkan oleh penggunaan sumberdaya alam relatif lebih rendah dibandingkan negara lain sehingga jumlah cadangan sumberdaya alam masih relatif lebih banyak.
Tetapi hal ini dapat berubah bila penggunaan sumberdaya alam
dilakukan secara tidak seksama.
2.5.2.3. Environmental Sustainability Index (ESI) Environmental Sustainability Index (ESI) menekankan pada aspek lebih luas, berorientasi kebijakan dan jangka waktu lebih pendek. ESI menyediakan alat dari anugerah sumberdaya alam milik masyarakat dan sejarah lingkungan, aliran dan cadangan polusi, laju ekstrasi sumberdaya sebagimana mekanisme kelembagaan dan kemampuan untuk merubah polusi masa datang dan perjalanan penggunaan sumberdaya (Yale Center for Environmental Law & Policy 2005). ESI mengukur dampak dan respons serta kerentanan manusia terhadap perubahan lingkungan. ESI ini mempunyai lima komponen inti yaitu environmental system (sistem lingkungan), reducing environmental stress (mengurangi tekanan lingkungan), reducing human vulnerability (mengurangi kerentanan manusia), social and institutional capacity (kapasitas sosial dan kelembagaan) dan global stewardship (penanganan global). Suatu negara secara lingkungan berkelanjutan bila sistem lingkungan vital terjaga pada level yang sehat; tekanan antropogenik cukup rendah; masyarakat dan sistem sosial tidak rentan terhadap gangguan lingkungan; lembaga dan pola sosial serta jaringan di negara tersebut mempunyai respon yang efektif terhadap tantangan lingkungan; negara tersebut bekerja sama dengan negara lain untuk mengelola masalah lingkungan. Hasil analisis keberlanjutan berdasarkan ESI (2005) memberikan gambaran bahwa Indonesia mempunyai indeks 48,8 dengan peringkat 75. Hal ini memberikan gambaran bahwa ketertinggalan Indonesia dalam memperhatikan keberlanjutan lingkungan. ESI atau indeks keberlanjutan lingkungan memberikan gambaran suatu negara dalam lima aspek yaitu sistem lingkungan, pengurangan tekanan lingkungan, pengurangan kerentanan manusia, kapasitas sosial dan kelembagaan, serta kerjasama global.
Aspek dengan nilai lebih tinggi untuk
Indonesia adalah aspek kerjasama global dan pengurangan tekanan yang berindeks 59, sementara yang terendah adalah sistem lingkungan yaitu 33. Hal ini menggambarkan bahwa usaha Indonesia dengan kerjasama global dan usaha untuk mengurang tekanan lingkungan lebih tinggi dibandingkan dengan pengelolaan sistem lingkungan dan kapasitas sosial dan kelembagaan (Gambar 10).
Gambar 10 Nilai Environmental Sustainability Index Indonesia (Yale Center for Environmental Law & Policy 2005) 2.5.2.4.Wellbeing Index (Indeks Kesejahteraan) Konsep wellbeing index merupakan penjabaran dari konsep sustainable development yang merupakan indikator dari tingkat kesejahteraan manusia tanpa mengabaikan keberadaan ekosistem. Berdasarkan definisinya maka human wellbeing adalah keadaan dari seluruh anggota masyarakat dalam menentukan dan memenuhi kebutuhannya serta memiliki banyak pilihan untuk menggunakan potensinya. Ecosystem wellbeing adalah keadaan dari ekosistem dalam menjaga keragaman dan kualitasnya; mempartahankan kapasitasnya dalam mendukung masyarakat; dan menggunakan potensi untuk menyesuaikan terhadap perubahan di masa mendatang (Prescott-Allen 2001). Pengkajian kesejahteraan (wellbeing assessment) adalah metode untuk mengkaji keberlanjutan dari manusia dan ekosistem dengan bobot yang sama. Pengkajian kesejahteraan dikembangkan dan diuji oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) dan IDRC (the International Development Research Centre). Kajian ini menggunakan cara yang sistematis melalui penggabungan 4 indeks yaitu Human Wellbeing Index (HWI),
Ecosystem Wellbeing Index (EWI), Wellbeing Index (WI), dan Wellbeing/Stress Index (WSI) atau rasio human wellbeing terhadap stres ekosistem. Pengkajian kesejahteraan berbeda dengan metode-metode lain yang mengkaji keberlanjutan. Perbedaan tersebut yaitu adanya dua fokus yang meliputi kesejahteraan manusia dan ekosistem,
dan adanya grafik/ gambaran dari
penggabungan nilai HWI, EWI, WI dan WSI. Grafik ini disebut dengan barometer keberlanjutan yang merupakan skala keragaan (performance) yang dibuat untuk mengukur kesejahteraan manusia dan ekosistem secara bersama. Konsep wellbeing of nations ini menyamakan pembangunan yang berkelanjutan seperti kehidupan yang baik, dan kehidupan yang baik ini berada pada level tertinggi dari kesejahteraan manusia dan ekosistem (Prescott-Allen 2001).
Level yang tinggi dari kesejahteraan manusia diperlukan karena tak
seorangpun yang ingin berada di level kehidupan yang rendah. Kesejahteraan ekosistem
diperlukan
karena
ekosistem
mendukung
kehidupan
dan
memungkinkan manusia hidup di level yang sesuai dengan standar kehidupan. Keadaan ini dapat diilustrasikan dengan metafora sebuah telur.
Ekosistem
diibaratkan putih telur dari suatu telur yang melindungi kuning telur yang merupakan metafora dari manusia. Sebuah telur berkualitas baik bila baik putih dan kuning telur dalam kondisi baik, hal yang sama dimetaforakan kedalam masyarakat yang berkelanjutan bila manusia dan ekosistemnya dalam kondisi yang baik (Gambar 11).
Gambar 11 Keberlanjutan yang dimetaforakan dengan sebuah telur (PrescottAllen 2001)
Pengkajian ketiga berkaitan dengan keberlanjutan Indonesia yang telah dipublikasikan
adalah
Wellbeing
Index
(Indeks
Kesejahteraan).
Hasil
pemeringkatan Indeks Kesejahteraan Negara-negara yang dilakukan pada tahun 2004 oleh IUCN (The World Conservation Union) dan IDRC (the International Development Research Centre), menunjukkan bahwa peringkat pertama berada pada negara Swedia dan peringkat terakhir adalah Irak, sementara Indonesia berada di peringkat tengah yaitu di posisi ke 87 dari 180 negara (Tabel 7). Tabel 7 Nilai dan Peringkat Wellbeing Index Indonesia (Prescott-Allen 2001) Peringkat 1 87 180
Negara
WI
Swedia Indonesia Iraq
64.0 42.0 25.0
HWI
EWI
79 36 19
49 48 31
100 Good 23 80
80
42 80
Austria 1.38
Belgium 1.04 H U M A N
Fair
Estonia 0.94
60 Medium
W E L L B E I N G
34 62
46 62
Latvia 1.15
Mexico 0.57 21 45
40
36 45
China 0.50
28 36
Bad
Poor
Brazil 0.70 48 36
Indonesia 0.69
Poor 20 Bad
0
20
Medium 40
Fair 60
Good 80
100
ECOSYSTEM WELLBEING
Gambar 12 Barometer keberlanjutan dari beberapa negara termasuk Indonesia (Prescott-Allen 2001) Pada Gambar 12 berikut tampak bahwa Indonesia berada di area berwarna pink, yang menggambarkan kesejahteraan ekosistem berada di area yang sedang (medium) tetapi kesejahteraan manusia berada di area miskin (poor).
Tabel 8
Kekuatan dan Kelemahan Metode-metode Pengkajian Keberlanjutan (CSD 2001, Wackernagel & Ress 1996, Bell & Morse 2003, PrescottAllen 2001)
Indikator
SDI 58 indikator
EF
WI
68 indikator
87 indikator
4 aspek 1 aspek (lingkungan, (lingkungan) ekonomi, sosial, kelembagaan)
3 aspek
3 aspek
Kekuatan
komprehensif
Komunikatif, karena angka/ hasilnya dapat secara langsung menggambarkan kondisi cadangan sumberdaya alam
Lebih menunjukan bagaimana masyarakat harus bertindak agar dapat menuju ke tingkat yang lebih berkelanjutan
Adanya barometer keberlanjutan yang berupa grafik berwarna, lebih komunikatif.
Kelemahan
Rumit, dan memerlukan pengolahan data
Kurang dapat menggambarkan aspek lain selain lingkungan
Karena merupakan indeks, tidak menggambarkan kondisi secara utuh
Beberapa indikator penting tidak dimasukkan dalam perhitungan
Lingkup
1 indikator
ESI
Catatan: SDI : Sustainable Development Indicator EF : Ecological Footprint ESI : Environmental Sustainability Index WI : Wellbeing Index
(lingkungan, (sosial, sosial dan ekonomi dan institutional) lingkungan)
III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah Kabupaten Bandung yang memiliki luas sekitar 307.370,08 hektar. Bagian utara dari Kabupaten Bandung berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang, bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Cianjur, bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Sumedang, dan S bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Garut. Gambar 13 berikut menunjukkan peta Kabupaten Bandung.
Waktu penelitian dilakukan
selama sekitar tiga tahun yaitu dari tahun 2004 sampai dengan Januari 2006.
3.2. Formulasi Permasalahan Perencanaan tata ruang sebagai bagian dari penataan ruang, dilakukan berdasarkan pendekatan kebutuhan manusia. Perencanaan tata ruang ini mengalokasikan ruang sesuai dengan kebutuhan untuk kegiatan atau sektor yang telah ditetapkan. Mengacu pada Undang-undang No 24 tahun 1992, dalam setiap perencaanaan tata ruang ditetapkan kawasan lindung sebagai kawasan yang tidak diizinkan untuk dirubah atau dibangun. Penetapan kawasan lindung ini mencerminkan bahwa penataan ruang di Indonesia sudah mempertimbangkan aspek lingkungan. Permasalahan yang ada adalah dalam penedekatannya masih berdasarkan pendekatan kebutuhan manusia (antropocentris) belum melakukan pendekatan berdasarkan aspek sumber daya alam. Aspek sumberdaya alam yang paling vital berkaitan dengan tata ruang adalah lahan. Penggambaran lahan ditunjukkan sebagai tutupan lahan (land cover) atau penggunaan lahan (land use) adalah gambaran lain dari bentuk tata ruang. Perubahan spasial (keruangan) berdasarkan waktu merupakan informasi yang penting untuk perencanaan tata ruang ruang. Perubahan ini perlu dikaji untuk mengantisipasi ketidak patuhan masyarakat terhadap perencanaan tata ruang yang telah ditetapkan.
Gambar 13 Peta Kabupaten Bandung sebagai lokasi studi kasus (Interpretasi Citra Landsat 7 ETM+ 2003)
Dalam aspek pembangunan wilayah, keberhasilan pembangunan lebih ditekankan pada aspek pembangunan manusia.
Tolok ukur pembangunan
manusia dengan menggunakan human development index (HDI) (UNDP 2004). Pendekatan untuk melihat keberhasilan ini masih bersifat antropocentris. Penataan ruang yang bertujuan untuk pembangunan, masih bersifat antropocentris. Penataan ruang yang merupakan kegiatan dengan objek ruang atau lahan dan pelakunya manusia, perlu pendekatan dari kedua pihak. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut perlu dilakukan penelitian.
3.3. Rancangan Penelitian Penelitian dengan judul Model Perubahan Penggunaan Lahan untuk Penataan Ruang dalam kerangka Pembangunan Wilayah yang Berkelanjutan (Studi Kasus Kabupaten Bandung) mengikuti beberapa tahapan penelitian. Tahapan penelitian tersebut meliputi pemodelan spasial perubahan penggunaan lahan, penghitungan indeks keberlanjutan, dan analisis prospektif dengan metode lokakarya. Tahapan penelitian tersebut digambarkan pada diagram tahapan penelitian (Gambar 14).
3.3.1. Pemodelan Perubahan Penggunaan Lahan Pemodelan spasial untuk menganalisis perubahan penggunaan lahan di wilayah Kabupaten Bandung, menggunakan program CLUE-S (Conversion of Land Use Changes and its Effect at small regional extent) version 2.3 dari Laboratory of Soil Science and Geology, Wageningen University, The Netherlands.
3.3.1.1. Metode Pengumpulan Data Data yang dipergunakan dalam
pemodelan spasial adalah citra satelit
Landsat Enhanced Thematic Mapper+7 untuk wilayah Kabupaten Bandung. Data sosial ekonomi dan geo-fisik wilayah dari berbagai sumber
Kondisi sosial ekonomi & biogeofisik wilayah
Kondisi eksisting penggunaan lahan
CLUE-S
Wellbeing index
Skenario
Simulasi
Peta penggunaan lahan di masa datang
Indeks keberlanjutan wilayah
RTRW
Analisis prospektif
Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan yang Berkelanjutan
Gambar 14
Tahapan penelitian (Modifikasi dari Verburg et al 2002, Presscott-Allen 2001)
Kondisi ekisting penggunaan lahan Kabupaten Bandung. Kondisi eksisting penggunaan lahan Kabupaten Bandung diperoleh dari data citra satelit Landsat Enhanced Thematic Mapper+7
tahun 2003.
Citra satelit tersebut
diinterpretasikan menjadi peta penggunaan lahan eksisting.
Kondisi sosial ekonomi dan geofisik wilayah Kabupaten Bandung. Kondisi sosial ekonomi wilayah Kabupaten Bandung meliputi kepadatan penduduk, tingkat pendidikan, kondisi tempat tinggal dan mata pencaharian penduduk bidang pertanian. Data sosial ekonomi merupakan data dari tiga wilayah yaitu Kabupaten Bandung (BPSa 2003), Kota Bandung (BPSb 2003) dan Kota Cimahi (BPSc 2003) Data kepadatan penduduk diperoleh dari data jumlah penduduk dari tiga wilayah yaitu Kota Bandung, Cimahi dan Kabupaten Bandung. Jumlah penduduk dibagi dengan luas area kecamatan atau kota dalam hektar sehingga diperoleh angka kepadatan penduduk dengan satuan jiwa pe hektar. Data tabuler kepadatan penduduk di tiga wilayah disajikan pada Lampiran 2. Tingkat pendidikan dilihat dari persentase penduduk di atas 10 tahun yang memiliki ijasah sekolah dasar. Tabel pada Lampiran 3 menggambarkan tingkat pendidikan masyarakat di wilayah Kabupaten Bandung, Kota Bandung dan Kota Cimahi. Data kondisi tempat tinggal rumah tangga dari masyarakat Kabupaten Bandung mempunyai 3 kategori yaitu milik sendiri, kontrak atau sewa dan lainnya. Data yang digunakan sebagai variabel independen adalah persentase rumah tangga yang memiliki rumah sendiri. Data dari kondisi tempat tinggal ini disajikan pada Lampiran 4. Data penduduk dengan mata pencaharian diperoleh dari data jumlah penduduk
berdasarkan
10
lapangan
usaha
yang
meliputi
pertanian,
pertambangan/penggalian, industri, listrik/gas/air, konstruksi, perdagangan, angkutan & komunikasi, keuangan, jasa dan lainnya.
Data yang digunakan
sebagai input pemodelan adalah persentase penduduk yang berusaha di bidang pertanian yang disajikan pada Lampiran 5.
Kondisi geofisik wilayah Kabupaten Bandung. Kondisi geofisik wilayah diwakili oleh jenis tanah, geologi, ketinggian (elevasi), slope, aspek, aksesibilitas (jarak dari kota dan jarak dari jalan utama) serta iklim (jumlah curah hujan). Data kondisi geofisik wilayah diperoleh dari peta land system dan land suitability (RePPROT 1998), dan peta rupa bumi. Peta jenis tanah untuk wilayah Bandung diklasifikasikan dalam enam kelas, yang meliputi Aluvial C, Andosol C, Asosiasi, Grumosol, Kompleks dan Latosol C. Klasifikasi geologi yang ada di wilayah Kabupaten Bandung meliputi alluvium, alluvium fasies gunung api, eosen, hasil gunung api kwarter tua, hasil gunung api tak teruraikan, miosen fasies sedimen, pliosen fasies sedimen, plistosen sedimen gunung api. Klasifikasi ketinggian merupakan rata-rata ketinggian suatu wilayah yaitu 200 meter, 350 meter, 600 meter, 850 meter, 1250 meter, 1750 meter dan 2000 meter di atas permukaan laut. Slope merupakan ukuran dari perubahan dari permukaan karena jarak, dinyatakan dalam derajat atau persen. Pada peta slope Kabupaten Bandung, satuan yang digunakan adalah derajat Klasifikasi peta slope Kabupaten Bandung ada enam kelas yaitu 0-8 derajat, 8-16 derajat, 16-24 derajat, 24-32 derajat, 32-40 derajat dan 40-48 derajat. Aspek merujuk pada arah dari wajah slope. Satuan dari aspek yaitu derajat, north ditetapkan dengan 0 derajat dan south adalah 180 derajat. Peta jalan utama yang ada di wilayah Kabupaten di buffer sepanjang 2000 meter (atau 2 kilometer) untuk mendapatkan klasifikasi 2000-4000 meter, 40006000 meter, 6000-8000 meter, 8000-10000 meter, 10000-12000 meter dan 1200014000 meter. Jarak dari pusat kota merupakan salah satu kriteria dari aksesibilitas, makin dekan ke pusat kota biasanya aksesibilitas makin tinggi. Pada peta jarak dari pusat kota, titik kota Bandung menjadi pusat dari buffer dalam bentuk cincin (ring) sehingga diperoleh peta jarak dari pusat kota. Data curah hujan adalah curah hujan rata-rata tahunan.
Pewilayahan curah hujan yang sama dengan
menggunakan metode isohyet. Tabel 9 menunjukkan data yang dibutuhkan untuk pemodelan perubahan penggunaan lahan, sumber data dan metode yang digunakan. Variabel dalam Tabel 9 tersebut dikelompokkan kedalam variabel bebas dan tak bebas dan disajikan pada Lampiran 6. Variabel tersebut sebagai input pemodelan disajikan
pada Lampiran 7 sampai 10 sebagai peta tematik dalam bentuk raster. Lampiran 7 menunjukkan peta-peta tematik sosial wilayah. Lampiran 8 berisi peta geofisik, iklim dan aksesibilitas wilayah. Lampiran 9 menunjukan peta geologi binari. Lampiran 10 menunjukkan peta jenis tanah binari. Seluruh peta pada lampiran 7 sampai 10 ini dalam bentuk raster.
3.3.1.2. Pelaksanaan pemodelan Peta penggunaan lahan tahun 2003 (eksisting) dikonversi ke dalam bentuk raster, kemudian setiap jenis penggunaan lahan dibuat peta binarinya. Artinya setiap peta hanya mengandung satu jenis penggunaan lahan, wilayah dengan nilai 0 berarti pada wilayah itu tidak ada jenis penggunaan lahan tersebut.
Pada
wilayah dengan nilai 1 berarti terdapat jenis penggunaan lahan tersebut. Setiap peta tersebut dikonversi ke bentuk teks dengan cara diekspor dari program ArcView lalu diberi nama dengan cov1_0.0 sampai dengan cov1_6.0. Data setiap jenis penggunaan lahan ini menjadi variabel terikat atau dependen (Lampiran 6). Peta penggunaan lahan disajikan dalam bentuk raster dengan ukuran sel grid 250 meter. Sehingga 1 sel grid mempunyai luas 250 meter kali 250 meter sama dengan 6250 meter persegi atau 6.25 hektar. Peta penggunaan lahan dalam bentuk teks yang merupakan variabel tidak bebas (dependent variable) dipadankan dengan variabel bebas atau independent variable yang merupakan driving factors. Kemudian dianalisis secara statistik dengan program SPSS (Statistical Package for Social Science) dengan regresi logistik. Hasil regresi logistik ini dijadikan input data ke dalam program CLUE-S.
Tabel 9 Metode Pengumpulan Data Pemodelan Perubahan Penggunaan Lahan (Kabupaten Bandung) Jenis data
Sumber data
Pengolahan data
Penggunaan lahan
Citra Landsat Enhanced Thematic Mapper+7 (2003)
Interpretasi citra, dan klasifikasi penggunaan lahan menjadi tujuh kelas yaitu air, hutan, lainnya, kawasan terbangun, perkebunan, pertanian lahan kering dan sawah (dalam bentuk raster)
Sosial ekonomi • Kepadatan penduduk • Tingkat pendidikan • Kondisi tempat tinggal • Penduduk dengan mata pencaharian bidang pertanian
BPS (2003)
Data tabular (BPS) digabungkan dengan data spasial (GIS) menjadi peta tematik (raster)
Geofisik wilayah • Jenis tanah • Geologi • Elevasi • Slope • Aspek • Jarak dari jalan utama • Jarak dari pusat kota • Curah hujan
Peta landsystem dan landsuitability (RePPRot 1990)
Dibuat peta tematik (raster)
Demand module
Peta penggunaan lahan 1983 (Citra Landsat Enhanced Thematic Mapper+), peta penggunaan lahan 1993 (BPN 1993, GTL 1993), peta penggunaan lahan 2003 (Citra Landsat Enhanced Thematic Mapper+7 2003)
Data time series untuk demand 1 (laju perubahan penggunaan lahan sama) dan demand 2 (laju perubahan penggunaan lahan setengahnya).
Departemen Kehutanan (1993)
Peta tematik kawasan cagar alam (raster) dan peta cagar alam dan kawasan lindung (raster)
Laju perubahan penggunaan lahan
Spatial policy
Input data selanjutnya adalah matrik konversi setiap penggunaan lahan. Matrik tersebut disajikan dalam Tabel 10 berikut ini. Angka 1 menunjukkan konversi boleh terjadi sedangkan 0 adalah ketidakmungkinan terjadinya konversi. Pada baris pertama adalah matriks untuk Air, tampak bawa Air hanya akan terkonversi menjadi air lagi (nilai 1), sedangkan untuk menjadi jenis menggunaan lain tidak mungkin (nilai 0).
Tabel 10 Matriks konversi setiap penggunaan lahan (Verburg et al. 2002) Jenis Penggunaan Lahan Air (A) Hutan (H) Lainnya (L) Kawasan Terbangun (KT) Perkebunan (Pk) Pertanian Lahan Kering (PLK) Sawah (Sw)
A 1 0 0 0 0 0 0
H 0 1 1 0 1 1 0
L KT 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1
Pk PLK 0 0 0 1 1 1 0 0 1 1 0 1 0 0
Sw 0 1 1 0 1 1 1
Input selanjutnya adalah nilai stabilitas yang berkisar antara 0 sampai 1. Semakin stabil, atau tidak mudah untuk terkonversi semakin mendekati nilai 1. Penetapan stabilitas untuk pemodelan di wilayah Kabupaten Bandung adalah sebagai berikut. Air, Kawasan Terbangun dan Sawah diberi nilai 1 dengan asumsi bahwa ke tiga jenis penggunaan tanah tersebut stabil. Hutan dan perkebunan diberi nilai 0.8 dan Lainnya serta pertanian lahan kering dengan nilai 0.5 (Tabel 11). Tabel 11 Nilai stabilitas (Verburg et al. 2002) Jenis penggunaan lahan Air
Nilai stabilitas 1
Hutan
0.8
Lainnya
0.5
Kawasan Terbangun
1
Perkebunan
0.8
Pertanian Lahan Kering
0.5
Sawah
1
Parameter berikutnya dalam pemodelan spasial dengan program CLUE-s adalah area restriction yang merupakan kebijakan spasial (spatial policy) yang membatasi wilayah mana yang tidak diijinkan untuk dikonversi misalnya kawasan lindung dan cagar alam. Input selanjutnya adalah demand module. Parameter spatial policy ada tiga jenis. Ketiga jenis spatial policy ini adalah tidak ada larangan; ada larangan konversi di kawasan cagar alam; dan ada larangan konversi
di kawasan cagar alam dan kawasan lindung. Parameter ini disajikan dalam bentuk peta raster yang disajikan pada Lampiran 11. Paramater selanjutnya adalah demand module. Perhitungan input ini berdasarkan pada persentase perubahan luas penggunaan lahan di wilayah Bandung (Tabel 12). Demand module merupakan perkiraan luas penggunaan lahan pada tahun dugaan berdasarkan laju perubahan penggunaan lahan sebelumnya. Sebagai input untuk pemodelan ini, telah ditetapkan dua demand, yaitu demand.in1 dan demand.in2. Kedua input ini ditunjukkan pada Lampiran 12. Tabel 12 Persentase luas perubahan penggunaan lahan di Wilayah Kabupaten Bandung tahun 1983 sampai 2003 (Hasil analisis) Jenis penggunaan lahan
Persen perubahan per tahun
Air
0
Hutan
-2,63
Lainnya
+3,62
Kawasan terbangun
+3,42
Perkebunan
-4,46
Pertanian lahan kering
+3,74
Sawah
-3,79
3.3.1.3. Metode Analisis Data Dalam pemodelan dengan CLUE-S terdapat aturan pengambilan keputusan (decision rules) untuk menentukan konversi mana yang diperbolehkan. Indikator dalam penentuan keputusan tersebut adalah stabilitas.
Selang nilai stabilitas
adalah 0 sampai 1, stabilitas bernilai 0 (nol) artinya sangat dinamik (mudah dikonversi) dan nilai 1 (satu) artinya stabil yaitu tak dapat dikonversi. Regresi logistik merupakan bentuk dari regresi yang digunakan bila variabel tidak bebas (dependen) dichotomous dan variabel bebas (independen) kontinyu atau kategorial. Dichotomous mengandung arti bahwa jenis land cover tertentu dalam satu sel grid bernilai 0 atau 1. Nilai 0 berarti tidak ada sedangkan 1 berarti terdapat penggunaan lahan tersebut.
Persamaan regresi yang digunakan adalah : p Log (------ ) = β0 + β1X1i+β2X2i +.......+ βnXni 1-p β : merupakan hasil langsung dari perhitungan regresi p : peluang munculnya jenis land use dan driving factor x Untuk menghitung pengaruh relatif dari setiap variabel terhadap penggunaan lahan, dihitung Exp (B). Exp (B) menunjukkan apakah peluang dari penggunaan lahan tertentu pada grid sel meningkat (lebih dari 1) atau menurun (lebih rendah dari 1) akibat dari satu peningkatan pada variabel bebas. Pada perhitungan relatif influence digunakan persamaan sebagai berikut : Pengaruh relatif = Exp(B X selang), untuk B >1 Pengaruh relatif = -1/Exp(B X selang), untuk B <1 (Verburg et al. 2003) Pengaruh relatif kemudian diurutkan sesuai dengan nilai yang tertinggi. Semakin tinggi nilainya semakin besar pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Urutan pengaruh ini merupakan input untuk alokasi, dimasukan pula secara berurutan sesuai dengan hasil perhitungan. Setelah data siap dan lengkap sesuai program CLUE-s, kemudian di run, berdasar pada skenario yang telah ditentukan. Simulasi yang dilakukan adalah 20 tahun. Bila data yang dimasukkan sesuai dengan program maka simulasi akan berjalan. Hasil simulasi berupa data teks yang perlu dikonversi kedalam aplikasi GIS (Arc View) untuk dapat disajikan dalam bentuk spasial.
3.3.2. Penghitungan indeks keberlanjutan Kabupaten Bandung Penghitungan
indeks
keberlanjutan
wilayah
Kabupaten
Bandung
dilakukan dengan menggunakan WI. Mengkaji keberlanjutan wilayah Kabupaten Bandung menggunakan metode yang digunakan oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resourses) untuk Northtern Areas Pakistan (Omar 2003) yang merupakan penyederhanaan dari metode yang digunakan dalam Wellbeing of Nations (Prescott-Allen 2001).
WI adalah indeks yang mengkaji dua subsistem yaitu subsistem manusia dan subsistem ekosistem. Indikator yang digunakan dalam subsistem manusia adalah: kemakmuran dan ekonomi; pengetahuan, budaya dan keahlian; infrastruktur. Indikator yang digunakan dalam subsistem ekosistem adalah: lahan, air dan flora (penggunaan sumber daya). Tabel 13 Penentuan skor untuk indikator dalam perhitungan Wellbeing Index (Omar 2003, Prescott-Allen 2001) Band
Skala tertinggi
Nilai dari indikator (A)
Nilai dari indikator (B)
Good
100
Nilai terbaik
Nilai terburuk
OK
80
Medium
60
Poor
40
Bad
20
Base
0
Nilai terburuk
Nilai terbaik
Cara perhitungan dengan indikator kondisi A adalah: {[(nilai indikator aktual-nilai
indikator
base):
(nilai
indikator
diatasnya-nilai
indikator
dibawahnya)]X20} nilai dibawahnya dari band dalam skala barometer tersebut. Cara perhitungan dengan indikator kondisi B adalah: Nilai skala diatas aktual dalam skala barometer - {[(nilai indikator aktual-nilai indikator base):(nilai indikator diatasnya-nilai indikator dibawahnya)]X20} Tabel 14 Standar nilai dari Wellbeing/Stress Index (WSI) (Omar 2003, PrescottAllen 2001) Band
Skala tertinggi
Rasio human wellbeing terhadap ecosystem stress (WSI)
Good
100
8.0
OK
80
4.0
Medium
60
2.0
Poor
40
1.0
Bad
20
0.5
Base
0
0
3.3.3. Analisis Prospektif untuk Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah yang Berkelanjutan
3.3.3.1. Metode pengumpulan data Data yang digunakan dalam analisis prospektif adalah pendapat pakar dan stakeholder yang terlibat dalam penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan. Pakar dan stakeholder meliputi pejabat dinas dan instansi yang terkait di lingkungan Kabupaten Bandung. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner dan wawancara serta secara langsung dan melalui lokakarya. Analisis
prospektif
dilaksanakan
dengan
metode
lokakarya
untuk
menentukan kriteria/ faktor sampai membangun skenario. Analisis prospektif dengan metode lokakarya ini terdiri dari enam langkah atau tahap pekerjaan meliputi: menerangkan tujuan studi, identifikasi faktor-faktor, analisis pengaruh antar faktor, membuat keadaan suatu faktor, membangun dan memilih skenario dan implikasi skenario. Tahap pertama: menentukan faktor-faktor yang terlibat dalam sistem penataan ruang yang berkelanjutan. Sebagai bahan informasi untuk peserta adalah hasil pemodelan spasial dan indeks keberlanjutan pembangunan wilayah Kabupaten Bandung. Tahap kedua: menentukan pengaruh antar faktor. Masing-masing peserta memberikan nilai pengaruh antar faktor. Bila tidak ada pengaruh diberi nilai nol dan bila pengaruh antar faktor kecil nilainya satu, pengaruhnya sedang diberi nilai dua dan bila antar pengaruhnya kuat diberi nilai tiga (Gambar 15).
3.3.3.2. Metode Analisis Data Analisis data pada analisis prospektif menggunakan sofware Analisis Prospektif.
Data yang telah diperoleh dari peserta kemudian dimasukkan ke
dalam software analisis prospektif. Hasilnya adalah faktor kunci yang merupakan faktor dengan tingkat pengaruh dan ketergantungan yang tinggi. Berdasarkan faktor kunci yang tepilih disusun keadaan yang mungkin terjadi pada setiap faktor.
Selanjutnya adalah penyusunan skenario berdasarkan keadaan yang
mungkin terjadi.
0
tidak
Ada pengaruh ?
Kuat
3
ada
sedang
2
kecil
1
tidak
Gambar 15 Diagram penentuan skor pengaruh antar faktor
Pengaruh Variabel Penentu
Variabel Penghubung
INPUT
STAKES Pengaruh rata-rata
Variabel Autonomous
Variabel Terikat
UNUSED
OUTPUT
Ketergantungan rata-rata
Gambar 16
Ketergantungan
Grafik tingkat ketergantungan dan pengaruh untuk posisi faktor-faktor pada analisis prospektif (Godet et al. 1999)
3.4. Definisi Operasional 1. Model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual. Model digunakan bila bekerja dengan pengganti tersebut lebih mudah dibandingkan dengan sistem aktual (Eriyatno 1999). 2. Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang, berazaskan pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan serta keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum (Undang-undang No 24 tahun 1992) 3. Ruang (space) dalam ilmu geografi di definisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata 1986). 4. Berkelanjutan (sustainable) merupakan penterjemahan dari kata sustainable yang berasal dari terminologi sustainable development (pembangunan berkelanjutan). Istilah pembangunan berkelanjutan dipopulerkan oleh World Commission on Environment Development (The Brundtland Commission) pada tahun 1987. Pembangunan berkelanjutan adalah suatu konsep upaya pemenuhan kebutuhan manusia untuk meningkatkan kesejahteraan melalui pemanfaatan sumberdaya tanpa mengurangi potensi generasi yang akan datang untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut. Oleh karena itu konsep pembangunan berkelanjutan adalah pertukaran (trade off) antara generasi kini dengan generasi mendatang dalam pemanfaatan sumberdaya guna peningkatan kesejahteraan (Munasinghe 1993, Grunkermeyer & Moss 1999). 5. Conversion of Land Use and its Effect at small regional extent atau CLUE-S terdiri dari dua modul, yaitu modul non-spatial demand dan prosedur alokasi spasial. Modul non spasial menghitung perubahan area untuk seluruh jenis land use pada level agregat. Pada modul non spasial, permintaan (demand) ini diterjemahkan pada perubahan land use pada lokasi-lokasi wilayah penelitian dengan berdasar sistem raster (Veldkamp et.al. 2001) 6. Analisis Prospektif merupakan suatu cara atau pendekatan untuk menganalisis beragam kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa depan berdasarkan situasi saat ini (Godet 2000).
IV. KEADAAN UMUM
4.1. Regulasi Penataan Ruang Hasil inventarisasi peraturan perundangan yang paling berkaitan dengan tata ruang ditemukan tiga undang-undang, lima peraturan pemerintah, dan empat keputusan presiden. Hasil inventarisasi peraturan perundangan ini disajikan pada Lampiran 13. Ketiga undang-undang tersebut adalah Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria; Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang; Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang pokok-pokok agraria memberikan kewenangan yang besar kepada negara (pemerintah). Juga dengan adanya paradigma baru pada pemerintahan Indonesia, yaitu pengalihan kewenangan kepada daerah sesuai dengan UU No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah maka dibutuhkan perubahan
peraturan,
kebijakan
dan
administrasi
pertanahan,
termasuk
penyelarasan UUPA. Hal yang sama terjadi pada Undang-undang Nomor 24 tentang Penataan Ruang yang kurang relevan dengan kondisi pemerintahan Indonesia saat ini dengan adanya Undang-undang Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan kewenangan terhadap daerah. Peraturan pemerintah yang berkaitan dengan penataan ruang ada lima buah yaitu Peraturan pemerintah Nomor 69 tahun 1996 tentang pelaksanaan hak dan kewajiban serta bentuk peran serta masyarakat dalam penataan ruang; Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 2004 tentang Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional; Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; Peraturan Pemerintah nomor 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah dan Peraturan Pemerintah nomor 34 tahun 2002 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. Inventarisasi keputusan presiden diperoleh empat keputusan yang mengatur pengelolaan kawasan lindung, pembentukan BKTRN, kebijakan pertanahan dan pembangunan kawasan industri serta pembentukan KAPET.
Keputusan-
keputusan ini ditetapkan untuk menunjang undang-undang dan peraturan pemerintah yang sudah ada berkaitan dengan masalah tata ruang.
Keempat
keputusan presiden ini lebih menekankan dalam pengembangan kawasan dan pembentukan institusi tata ruang. Berdasarkan peraturan perundangan tersebut di atas, tampak bahwa kegiatan penataan ruang melibatkan berbagai pihak terutama masalah lahan atau tanah yang merupakan kewenangan departemen dalam negeri (agraria), masalah tata ruang yang berada dalam kewenangan departemen permukiman dan sarana wilayah. Hal tersebut karena awal pembentukan undang-undang penataan ruang yang diharapkan dapat mengakomodasi masalah tanah (agraria) dan masalah perencanaan tata ruang (Djoekardi & Ardiputra 2003). Rencana tata ruang merupakan dokumen pelaksanaan pembangunan yang harus dipatuhi oleh semua pihak termasuk masyarakat setempat. Dengan terbitnya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah maka materi kebijakan penataan ruang wilayah kabupaten/kota meliputi antara lain: kerangka sistem perencanaan; prinsip, tujuan, kebijakan strategis; panduan penataan ruang kabupaten/kota; institusi, program dan prosedur untuk menyiapkan dan melaksanakan rencana tata ruang dan kebijakan penataan ruang; peraturan, ketentuan dan standar pengelolaan SDA; strategi sektoral penataan ruang (seperti kawasan lindung, hutan, pertambangan); dan indikator untuk mengukur tingkat ketercapaian tujuan penataan ruang (Haeruman 2004).
4.2. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bandung Pemerintah Kabupaten Bandung menyusun rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Bandung berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2001 dan Rancangan Penyempurnaan Peraturan Daerah Nomor 1 tentang RTRW Kabupaten Bandung (2001-2010) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Nurzaman (2002) yang mengevaluasi kedua dokumen tersebut,
menyatakan bahwa terdapat konsekuensi dalam penetapan lahan untuk industri di Cipeundeuy dan Padalarang.
Kedua wilayah tersebut merupakan wilayah
pemukiman yang padat. Selain itu penetapan kawasan industri yang demikian
luas akan membutuhkan air tanah yang besar. Pada strategi penetapan kawasan non budidaya, direncanakan perluasan kawasan lindung dan areal hutan. Wilayah yang ditetapkan untuk perluasan kawasan ini ditetapkan pula untuk perluasan pemukiman dan industri. Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat menetapkan peraturan daerah nomor 2 tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Daerah Propinsi Jawa Barat. Berdasarkan pada perda tersebut pada pasal 21 tentang rencana pengembangan sistem kota-kota, pada ayat 2, wilayah Bandung dijadikan Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dengan istilah Metropolitan Bandung. Sedangkan pada pasal 27 ayat 3, wilayah Bandung ditetapkan sebagai salah satu kawasan andalan, yaitu kawasan andalan Cekungan Bandung dengan kegiatan utama pengembangan sumberdaya manusia, jasa, agribisnis, pariwisata dan industri. Rencana Struktur Ruang Metropolitan Bandung (2005-2025) merupakan penjabaran dari Perda Propinsi Jawa barat
Nomor 2 tahun 2003.
Menurut
dokumen ini, wilayah Metropolitan Bandung adalah Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung dan tiga kecamatan dari Kabupaten Sumedang. Substansi dari rencana ini meliputi strategi pembangunan perkotaan, rencana pengembangan zona
wilayah,
rencana
pengembangan
sistem
kota-kota
dan
rencana
pengembangan infrastruktur wilayah yang terdiri dari rencana pengembangan prasarana
permukiman,
rencana
pengembangan
transportasi,
rencana
pengembangan sumberdaya air dan rencana penanganan lingkungan (Distarkim Propinsi Jawa Barat 2005). Berdasarkan Gambar 17, Metropolitan Bandung dibagi menjadi tujuh zona pembangunan yaitu zona Bandung, Lembang, Padalarang, Gunung Halu-Ciwidey, Soreang, Jatinangor dan Rancaekek. Zona Bandung disebut dengan zona inti merupakan pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat pendidikan dan jasa. Zona Lembang dan Gunung Halu–Ciwidey, direncanakan sebagai zona konservasi. Zona lainnya direncanakan sebagai zona industri, perdagangan dan jasa.
Gambar 17 Pembagian Zona Metropolitan Bandung (Dinas Tata Ruang dan Permukiman Propinsi Jawa Barat 2005) Pada wilayah yang diproyeksikan sebagai zona konservasi yaitu Lembang dan Gunung Halu-Ciwidey, selain itu direncanakan untuk mempunyai fungsi pertanian dan pariwisata. Untuk Zona Lembang, kriteria pemanfaatan ruang adalah untuk pemukiman dan koefisien dasar bangunan (KDB) rendah, perdagangan yang berorientasi agribisnis, pariwisata berbetuk ekowisata dan kegiatan pertanian pada perkebunan dan hortikultura. Pada Zona Gunung Halu dan Ciwidey, kriteria pemanfaatan ruang adalah permukiman skala kecil di setiap kecamatan, ekowisata, agroindustri dan terminal untuk agribisnis Pangalengan. 4.3. Penggunaan Lahan Eksisting Kabupaten Bandung Peta penggunaan lahan eksisting di Kabupaten Bandung tahun 2003 didominasi oleh pertanian lahan kering. Sebesar 56% dari wilayah Kabupaten Bandung didominasi oleh jenis penggunaan lahan kering. Jenis penggunaan lahan kering ini terdiri dari kebun, tegalan, dan sawah tadah hujan. Luas kawasan hutan sebesar 21% dan kawasan terbangun sejumlah 13%. Kawasan terbangun ini
sebagian besar ada di pusat wilayah yaitu di Kota Bandung dan Kota Cimahi. Luas wilayah sawah sejumlah 5% yang sebagian besar berada berada dibagian timur dari Kota Bandung (Tabel 15, Gambar 16) Tabel 15 Luas Penggunaan Lahan Eksisting Kabupaten Bandung (Hasil analisis) Penggunaan Lahan
Luas (ha)
Persen
Air
6675,00
2
Hutan
67331,25
21
Lainnya
4968,75
2
Kawasan Terbangun
41100,00
13
Perkebunan
7875,00
2
Pertanian Lahan Kering
182118,75
56
Sawah
15775,00
5
Total
325843,75
100
Gambar 18 Peta penggunaan lahan eksisting wilayah Bandung tahun 2003 (interpretasi citra)
4.4. Keadaan Sosial Ekonomi dan Geofisik Wilayah di Kabupaten Bandung Jumlah penduduk selama 20 tahun di wilayah Bandung yang meliputi Kota Bandung, Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung secara keseluruhan dan jumlah penduduk Kabupaten Bandung disajikan pada Gambar 19. Tampak bahwa pada tahun 1983 jumlah penduduk wilayah Bandung pada tahun 1983 adalah sekitar empat juta jiwa, yang meningkat hampir mencapai tujuh juta pada tahun 2003. Sedangkan jumlah penduduk Kabupaten Bandung pada tahun 1983 kurang dari tiga juta jiwa dan pada tahun 2023 berjumlah sekitar tiga juta. Bila dilihat dari kurun waktu 20 tahun, pertambahan jumlah penduduk Kabupaten Bandung sendiri relatif rendah. Pada tahun 1989, terjadi penurunan jumlah penduduk Kabupaten Bandung, dari lebih dari tiga juta jiwa pada tahun 1988 menjadi kurang dari tiga juta jiwa, hal ini disebabkan oleh pengurangan wilayah Kabupaten Bandung. Pengurangan wilayah kabupaten dengan adanya pemekaran Kotamadya Bandung yang ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 1987 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung dan Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung. Penurunan jumlah penduduk Kabupaten Bandung terjadi lagi pada tahun 2000. Penurunan jumlah penduduk ini disebabkan karena adanya penurunan luas wilayah kabupaten dengan pemisahan Kecamatan Cimahi Utara, Tengah dan Selatan menjadi Kota Cimahi.
Hal tersebut
ditetapkan melalui
Undang-undang Nomor 9 tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Cimahi.
7000
jiwa (dalam ribuan)
6000 5000 4000 3000 2000 1000
ta hu n ta 1 9 hu 83 n ta 1 9 hu 84 n ta 1 9 hu 85 n ta 1 9 hu 86 n ta 1 9 hu 87 n ta 1 9 hu 88 n ta 1 9 hu 89 n ta 19 hu 9 0 n ta 19 hu 9 1 n ta 1 9 hu 92 n ta 1 9 hu 93 n ta 1 9 hu 94 n ta 1 9 hu 95 n ta 1 9 hu 96 n ta 1 9 hu 97 n ta 1 9 hu 98 n ta 1 9 hu 99 n ta 2 0 hu 00 n ta 2 0 hu 01 n ta 2 0 hu 02 n 20 03
0
Kabupaten Bandung
Gambar 19
Kota Bandung, Cimahi & Kab. Bandung
Grafik jumlah penduduk Kabupaten Bandung dan seluruh wilayah Bandung (Kota Bandung, Cimahi dan Kabupaten Bandung) tahun 1983 -2003 (BPS 1983 -2003)
Tabel 16 Jumlah dan kepadatan penduduk di wilayah Kota Bandung, Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung pada tahun 2003 (BPS 2003) Kota/Kabupaten
Kota Bandung Kota Cimahi Kabupaten Bandung
Luas Wilayah (Ha)
Jumlah Penduduk (Jiwa)
Kepadatan penduduk (jiwa/ha)
16.729
2.228.268
133
4.023
483.242
120
307.370
4.017.582
13
Tabel 16 menggambarkan jumlah dan kepadatan penduduk di tiga wilayah pada tahun 2003. Kepadatan penduduk Kota Bandung adalah 133 jiwa per hektar yang tidak berbeda jauh dengan Kota Cimahi dengan kepadatan penduduk 120 jiwa per hektar.Berbeda dengan wilayah Kabupaten Bandung dengan kepadatan sebesar 13 jiwa per hektar. Pada Lampiran 1 Tabel lengkap kepadatan penduduk berdasarkan kecamatan terlihat bahwa terdapat kecamatan dengan kepadatan penduduk yang sangat rendah yaitu tiga jiwa per hektar (Kecamatan Rancabali),
dan cukup tinggi yaitu 97 jiwa per hektar (Kecamatan Margahayu). Meskipun kepadatan penduduk Kabupaten Bandung secara total rendah yaitu 13 jiwa per hektar, secara parsial kepadatan penduduk wilayah kabupaten terdapat kecamatankecamatan dengan kepadatan cukup tinggi diatas 50 jiwa per hektar. Tabel 17 berikut menunjukkan distribusi PDRB Kabupaten Bandung tahun 2001, 2002 dan 2003. Lapangan usaha dominan adalah pada sektor industri pengolahan yang memberikan kontribusi sekitar 54%.
Sektor terbesar kedua
adalah perdagangan, hotel dan jasa sekitar 17%. Lapangan usaha pertanian hanya menyumbang 10% dari keseluruhan PDRB. Berdasarkan Tabel 17 tampak terjadi penurunan pada sektor pertanian dan industri pengolahan.
Sedangkan sektor
pertambangan dan penggalian persentasenya tetap selama tiga tahun tersebut. Keenam sektor lainnya mengalami peningkatan dalam persentase. Tabel 17 Distribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dalam persen Kabupaten Bandung Tahun 2001, 2002, 2003 (BPS 2003) No 1 2 3 4 5 6 7
Lapangan Usaha
Pertanian Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas & Air Bersih Bangunan/Konstruksi Perdagangan, Hotel & Restoran Pengangkutan & Komunikasi Keuangan, Persewaan & Jasa 8 Perusahaan 9 Jasa-jasa PDRB Bruto (persen)
Tahun 2001 10,1 0,7 54,2 3,4 2,2 17,4 4,9
Tahun 2002 9,9 0,7 54,2 3,5 2,3 17,3 4,9
Tahun 2003 9,4 0,7 53,7 3,5 2,4 17,5 5,1
2,1 5,0 100,0
2,1 5,1 100,0
2,2 5,5 100,0
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Model Perubahan Penggunaan Lahan Pemodelan spasial dengan program CLUE-S memerlukan skenario yang ditentukan berdasarkan pada kebutuhan. Pada penelitian pemodelan spasial ini expert judgment dilakukan berdasarkan studi pustaka dan peneltian-penelitian sebelumnya. Skenario yang digunakan berdasarkan pada demand modul dan spatial policy. Skenario yang ditetapkan ada enam buah yang ditunjukkan pada Tabel 18. Demand module dalam program CLUE-S merupakan tabel time series untuk setiap penggunaan lahan berdasarkan laju perubahan penggunaan lahan sebelumnya. Spatial policy adalah area restriction (areal terlarang) yang membatasi wilayah untuk dikonversi seperti kawasan lindung dan cagar alam. (Lampiran 13). Tabel 20 berikut menjelaskan kombinasi skenario yang dilakukan pada simulasi perubahan penggunaan lahan. Skenario pertama, merupakan skenario baseline, digunakan sebagai pembanding. Skenario ini menggunakan demand module, dengan laju perubahan penggunaan lahan yang sama dengan laju 20 tahun yang lalu (demand.in1) dan tanpa ada larangan konversi pada wilayah tertentu (region_nopark.fil). Bila diterjemahkan kedalam keadaan realitas, tanpa ada larangan konversi adalah keadaan peraturan-peraturan yang melarang wilayah tertentu untuk tidak dikonversi dilanggar. Dengan kata lain, spatial policy ini sama dengan tidak adanya penegakan hukum. Skenario kedua dan kelima menggunakan demand module, dengan laju perubahan penggunaan lahan sama dengan laju 20 tahun yang lalu (demand.in1), tetapi untuk skenario kedua, spatial policy pada cagar alam saja sementara pada skenario kelima spatial policy pada cagar alam dan kawasan lindung. Pada skenario ketiga, keempat dan keenam, demand module yang digunakan adalah separuh dari laju perubahan penggunaan lahan selama 20 tahun yang lalu. Spatial policy yang digunakan pada skenario ketiga, keempat dan keenam adalah tanpa ada larangan, larangan pada cagar alam dan larangan pada cagar alam dan kawasan lindung.
Menurut FAO (2003) selama kurun waktu 1990 sampai 2000 laju deforestasi atau perubahan kawasan hutan menjadi jenis penggunaan lahan lain di Indonesia adalah 1.312.000 hektar per tahun atau 1,2%. Perubahan hutan menjadi jenis penggunaan lain di wilayah Bandung adalah 2,63 % per tahun (Tabel 18). Berdasarkan hal tersebut diatas, ditetapkan demand module dengan prediksi setengah dari laju perubahan penggunaan lahan untuk penetapan skenario. Tabel 18 Skenario-skenario yang digunakan dalam pemodelan spasial perubahan penggunaan lahan wilayah Kabupaten Bandung Skenario
Laju pertumbuhan
pertama
Sama dengan laju selama 20 tahun (1983 sampai 2003) Æ (demand.in1)
Tidak ada Æ(region_nopark.fil)
kedua
Sama dengan laju selama 20 tahun (1983 sampai 2003) Æ (demand.in1)
Ada larangan perubahan penggunaan lahan di kawasan cagar alam Æ (region_park1)
ketiga
Laju perubahan penggunaan lahan setengah dari laju perubahan penggunaan lahan selama 20 tahun (1983 sampai 2003) Æ (demand.in2)
Tidak ada Æ(region_nopark.fil)
keempat
Laju perubahan penggunaan lahan setengah dari laju perubahan penggunaan lahan selama 20 tahun (1983 sampai 2003)Æ (demand.in2)
Ada larangan perubahan penggunaan lahan di kawasan cagar alam Æ (region_park1)
kelima
Sama dengan laju selama 20 tahun (1983 sampai 2003) Æ (demand.in1)
Ada larangan perubahan penggunaan lahan di kawasan cagar alam dan kawasan lindung Æ(region_park2)
keenam
Laju perubahan penggunaan lahan setengah dari laju perubahan penggunaan lahan selama 20 tahun (1983 sampai 2003)Æ (demand.in2)
Ada larangan perubahan penggunaan lahan di kawasan cagar alam dan kawasan lindung Æ (region_park2)
Spatial policy
Hasil perhitungan dengan menggunakan analisis statitik dengan regresi logistik binari adalah seperti yang disajikan pada Tabel 19 dan 20. Hasil dari analisis regresi logistik diuji ketepatannya dengan menggunakan metode ROC (relative operating characteristic).
Nilai ketepatan ini biasanya berada ROC
diantara 0.5 sampai 1.0. Nilai 1.0 mengindikasikan hasil perhitungan tepat sempurna, sedangkan nilai 0,5 mengindikasikan bahwa hasil tersebut karena pengaruh acakan saja (Pontius & Scheneider 2001). Hasil ROC paling tinggi adalah 0.966 diperoleh oleh penggunaan lahan sawah, kemudian 0.936 pada kawasan terbangun, selanjutnya perkebunan dengan
0.921. Nilai cukup tinggi ada pada penggunaan lahan hutan dengan 0.901 dan lainnya dengan 0.892. Nilai yang terendah adalah penggunaan lahan pertanian lahan kering dengan 0.813 (Tabel 19). Persamaan regresi logistik yang digunakan adalah Log [p/(1-p)]= β0 + β1X1i+β2X2i +.......+ βnXni., β merupakan hasil langsung dari perhitungan regresi dan p adalah peluang munculnya jenis penggunaan lahan dan driving factor (variabel bebas) tertentu. Untuk menganalisis persamaan tersebut digunakan Exp(β).
Bila nilai Exp (β) lebih besar dari satu artinya peluang munculnya
penggunaan lahan tersebut akan meningkat bila terdapat peningkatan pada variabel bebas. Sebaliknya, bila nilai Exp (β) lebih kecil atau sama dengan satu, maka peluang munculnya penggunaan lahan tersebut menurun dengan terdapatnya peningkatan pada variabel bebas. Tabel 19 Hasil analisis regresi logistik biner untuk nilai β dari penggunaan lahan Kawasan Terbangun
Lainnya
Kepadatan penduduk
-0,011
-0,023
0,032
-0,010
Tingkat pendidikan
0,041
0,077
0,056
-0,058
Kondisi tempat tinggal
-0,016
-0,068
0,069
-0,019
0,049
-0,073
Usaha bidang pertanian
0,031
0,046
-0,013
-0,005
-0,074
Aluvial
5,505
0,366
Andosol
1,759
-0,626
-1,502
15,811
0,518
-0,399
-0,495
-0,775
-0,261
-0,946
-0,013
-0,043 -0,094
-1,456
Asosiasi Grumosol
Perkebunan
Pertanian Lahan Sawah Kering
Hutan
Driving Factors (variabel bebas)
-0,702
Kompleks
1,426
Latosol
6,299
Aluvium Aluvium, fasies gunung api
1,202
Eosen
-0,736
Hasil gunung api kwarter tua
-3,097
Hasil gunung api tak teruraikan
-1,483
-4,426
Miosen fasies sedimen
-2,005
-3,283
Pliosen fasies sedimen
-2,147
0,439 -1,020
-5,220
-0,720 -21,679
2,408
2,811
-18,525
-1,005
1,398
-23,576
1,195
0,458
-19,525
0,421
-0,452
Plistosen sedimen gunung api
-33,120
1,518
-31,719
2,431 17,801
-1,386
3,615
Elevasi
0,001
-0,005
0,000
-0,002
Slope
-0,005
-0,013
-0,007
0,011
Aspek
-1,966
0,002
0,000
-0,003
0,004 -0,001
Jarak dari jalan raya utama
0,000
0,000
-0,001
0,000
0,000
Jarak dari pusat kota Bandung
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
Curah hujan
-0,001
-0,001
0,001
0,000
0,000
-0,001
Konstanta
-11,844
7,520
-38,822
64,989
-2,091
37,441
0,901
0,892
0,936
0,921
0,813
0,966
Akurasi (ROC)
Tabel 20 Hasil analisis regresi logistik nilai Exp(β) dari penggunaan lahan Driving Factors (vaiabel bebas)
Hutan
Lainnya
Kepadatan penduduk Tingkat pendidikan Kondisi tempat tinggal Usaha bidang pertanian Aluvial Andosol Asosiasi Grumosol Kompleks Latosol Aluvium Aluvium, fasies gunung api Eosen Hasil gunung api kwarter tua Hasil gunung api tak teruraikan Miosen fasies sedimen Pliosen fasies sedimen Pleistosen sedimen gn api Elevasi Slope Aspek Jarak dari jalan raya utama Jarak dari pusat kota Bandung
0,989 1,042 0,984 1,031 245,987 5,807
0,977 1,080 0,934 1,047 1,441
Kawasan Terbangun
Perkebunan
1,033 1,058 1,071 0,987
0,990 0,944 0,981
0,535 1,678 4,161
544,192 3,328
0,495 1,551 0,361
0,005
0,460
Pertanian Lahan Kering 0,987 1,051 0,995 0,223 0,671
0,000
0,770 0,487 11,110
0,479
0,636 16,630
0,000
4,563 0,366
0,045
4,046
0,000
3,304
0,000
1,523
1,000
0,140 1,000 1,004 0,999 1,000
1,000
1,000
0,227 0,135 0,117
0,012 0,038
1,001 0,995
-1,386 -9,037 -0,611
1,000
1,000
1,581 11,369 5,381E+07 37,138 1,000 0,993 1,002 0,999
1,000
1,000
1,000
0,998 1,011
Sawah 0,958 0,910 0,929 0,929 0,233 7,352E+06 0,609 0,388 0,000
0,000
0,997
Pada Tabel 20 terlihat bahwa peluang penggunaan lahan hutan akan meningkat bila variabel pendidikan, usaha bidang pertanian, jenis tanah aluvial, andosol, latosol, aluvium dan elevasi meningkat. Sementara pada peluang penggunaan lahan kawasan terbangun meningkat bila variabel kepadatan penduduk, tingkat pendidikan, kondisi tempat tinggal, jenis tanah kompleks, geologi (eosen, hasil gunung api kwarter tua, hasil gunung api tak teruraikan, miosen fasies sedimen, pliosen fasies sedimen, pleistosen sedimen gunung api) dan akses meningkat. Sedangkan pada peluang penggunaan lahan sawah akan meningkat bila variabel jenis tanah andosol meningkat. Pada pemodelan ini simulasi dilakukan selama 20 tahun, dengan kondisi awal pada tahun 2003 dan terakhir pada ahun 2023. Hasil simulasi setiap tahun
dapat dipetakan secara spasial. Pada pemodelan dengan enam skenario ini peta hasil simulasi disajikan dan dianalisis dalam lima tahunan. Hasil pemodelan skenario pertama yaitu laju perubahan tetap dan tanpa ada kebijakan spasial disajikan pada Gambar 20. Penggunaan lahan hasil pemodelan pada tahun 2008 dibandingkan dengan keadaan awal, akan terdapat penurunan luasan hutan, penggunaan lahan yang tetap adalah kawasan terbangun dan sawah, sementara penggunaan lahan lainnya, perkebunan dan pertanian lahan kering bertambah luas. Pada tahun 2013 kondisi ini akan tetap terjadi, kecuali pada penggunaan lahan perkebunan yang menjadi menurun. Pada tahun 2018, kondisi tetap seperti tahun 2013 tetapi terjadi musnahnya lahan persawahan. Lahan persawahan akan digantikan oleh kawasan terbangun. Pada tahun terakhir simulasi kondisi hampir sama dengan kondisi tahun sebelumnya dengan makin menurunnya kawasan hutan dan makin meluasnya pertanian lahan kering. Pemodelan dengan skenario kedua berdasarkan pada laju perubahan penggunaan lahan tetap, tetapi ada kebijakan spasial bahwa kawasan cagar alam tidak boleh dikonversi. Jenis penggunaan lahan hutan akan mengalami penurunan terutama di bagian utara dan barat yang tergantikan oleh pertanian lahan kering. Hasil simulasi pada tahun 2008, 2013 dan 2018 menghasilkan kondisi yang hampir sama dengan kondisi hasil pemodelan pada skenario pertama (Gambar 21). Perbedaan yang nyata terjadi pada hasil simulasi tahun 2023, tampak luasan hutan yang tersisa merupakan kawasan cagar alam.
Kawasan hutan akan
berkurang di bagian barat laut tergantikan oleh pertanian lahan kering. Secara ukuran luas, wilayah hutan pada tahun 2003 pada skenario pertama dan kedua adalah sama, yang berbeda adalah lokasi hutan tersebut.
(b)
(d)
(c)
(e)
Gambar 20 (a) Penggunaan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003 (b) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2008 (hasil simulasi skenario pertama) (c) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2013 (hasil simulasi skenario pertama) (d) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2018 (hasil simulasi skenario pertama) (e) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2023 (hasil simulasi skenario pertama)
(a)
(b)
(d)
(c)
(e)
Gambar 21 (a) Penggunaan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003 (b) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2008 (hasil simulasi skenario kedua) (c) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2013 (hasil simulasi skenario kedua) (d) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2018 (hasil simulasi skenario kedua) (e) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2023 (hasil simulasi skenario kedua)
Pemodelan dengan skenario ketiga berdasarkan pada laju perubahan penggunaan lahan setengah dari laju sebelumnya dan tidak ada kebijakan spasial. Hasil simulasi berupa peta penggunaan lahan hasil simulasi disajikan pada Gambar 22. hasil simulasi pada tahun 2008, 2013, 2018 dan 2023 semua jenis penggunaan lahan masih ada. Penurunan luasan yang tampak jelas adalah pada jenis penggunaan lahan hutan. Penurunan kawasan perkebunan tampak terjadi pada akhir simulasi terutama perkebunan yang berbatasan dengan kawasan terbangun dan sawah. Wilayah yang nyata bertambah luas adalah pertanian lahan kering. Kawasan terbangun dan sawah tidak menunjukkan pertambahan luas yang cukup nyata. Pemodelan dengan skenario keempat berdasarkan pada laju perubahan penggunaan lahan setengah dari laju sebelumnya dan ada kebijakan spasial untuk melarang perubahan penggunaan lahan di kawasan cagar alam.
Peta hasil
simulasi dengan skenario ke empat ini digambarkan pada Gambar 23. Hasil simulasi dengan skenario keempat hampir sama dengan simulasi dengan skenario ketiga, perbedaan yang cukup nyata terjadi pada tahun 2018 dan 2023. Luas hutan tersisa karena tidak terkonversi pada tahun 2018 dan 2023 pada skenario keempat sama luasnya dengan pemodelan dengan skenario ketiga, tetapi lokasilokasi hutan tersebut berbeda. Pada pemodelan skenario keempat lokasi hutan tersisa adalah kawasan cagar alam. Pemodelan dengan skenario kelima berdasarkan pada laju perubahan penggunaan lahan sama dengan sebelumnya tetapi kebijakan spasial adalah larangan konversi untuk cagar alam dan kawasan lindung. Hasil pemodelan skenario kelima digambarkan oleh peta penggunaan lahan pada Gambar 24. Peta penggunaan lahan hasil simulasi kelima ini, mirip dengan hasil simulasi dengan skenario pertama dan kedua. Sebagaima hasil simulasi skenario pertama dan kedua, terdapat penurunan luasan sawah pada tahun 2018, tergantikan oleh kawasan terbangun. Tetapi terdapat perbedaan dengan hasil simulasi pertama dan kedua adalah pada tahun 2018 dan 2023 yang menunjukkan luasan hutan yang tersisa lebih luas daripada simulasi dengan skenario pertama dan kedua. Lokasi hutan tersisa pada akhir simulasi meliputi kawasan cagar alam dan kawasan lindung.
(a)
(b)
(d)
(c)
(e)
Gambar 22 (a) Penggunaan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003 (b) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2008 (hasil simulasi skenario ketiga) (c) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2003 (hasil simulasi skenario ketiga) (d) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2018 (hasil simulasi skenario ketiga) (e) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2023 (hasil simulasi skenario ketiga)
(a)
(b)
(d)
(c)
(e)
Gambar 23 (a) Penggunaan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003 (b) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2008 (hasil simulasi skenario keempat) (c) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2013 (hasil simulasi skenario keempat) (d) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2018 (hasil simulasi skenario keempat) (e) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2023 (hasil simulasi skenario keempat)
(a)
(b)
(d)
(c)
(e)
Gambar 24 (a) Penggunaan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003 (b) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2008 (hasil simulasi skenario kelima) (c) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2013 (hasil simulasi skenario kelima) (d) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2018 (hasil simulasi skenario kelima) (e) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2023 (hasil simulasi skenario kelima)
Pemodelan
dengan
skenario
keenam
berdasarkan
laju
perubahan
penggunaan lahan setengah dari laju sebelumnya dan kebijakan spasial ada larangan konversi pada kawasan cagar alam dan kawasan lindung. Hasil pemodelan dengan skenario keenam ini disajikan pada Gambar 25. Peta penggunaan lahan hasil simulasi kelima ini, mirip dengan hasil simulasi dengan skenario ketiga dan keempat. Sebagaimana pada hasil simulasi skenario ketiga dan keempat, pada tahun 2018 dan 2023 masih terdapat sawah. Perbedaan dengan hasil simulasi ketiga dan keempat adalah luasan hutan yang tersisa pada akhir simulasi lebih luas daripada simulasi dengan skenario ketiga dan keempat. Pada hasil simulasi skenario pertama, kedua dan kelima di tahun ke 10 tampak bahwa kawasan terbangun menggeser kawasan persawahan. Dampak dari habisnya persawahan secara ekonomi akan menurunkan hasil sektor pertanian, meskipun akan meningkatkan hasil sektor lain seperti perdagangan, industri dan jasa.
Bila hal tersebut terjadi, maka produksi padi sawah yang berasal dari
Kabupaten Bandung yang berjumlah 577.616 ton pada tahun 2003 tidak diperoleh lagi (BPS 2003). Hal ini telah terjadi di sepanjang Jalur Pantai Utara Jawa, akibat alih fungsi lahan persawahan menjadi areal industri yang mengkibatkan kerawanan pangan nasional. Menurut Rustan (2004) hal tersebut disebabkan oleh trade off hasil pertanian yang makin turun dibanding produk industri, kebijakan pemerintah yang tidak konsisten, adanya land absentee kepemilikan lahan, adanya kemudahan dalam investasi bidang industri sehingga tidak ada resistensi dari pemilik lahan pertanian (persawahan) untuk mempertahankannya. Semakin meluasnya kawasan terbangun akan mengurangi luasan permukaan tanah, keadaan ini akan menurunkan infiltrasi tanah bila terjadi hujan (Mather 1986), yang akan meningkatkan run off atau aliran permukaan. Bila fasilitas drainase yang ada di kawasan terbangun kurang, maka peluang untuk terjadinya banjir atau genangan akan semakin tinggi pada saat musim penghujan. Dampak sosial yang terjadi dengan hilangnya persawahan adalah akan terjadi pergeseran pada mata pencaharian masyarakat dari sektor pertanian ke sektor non pertanian. Pada simulasi dengan skenario pertama, kedua dan kelima ini, pada tahun ke 20 kawasan hutan akan sangat berkurang terutama di wilayah bagian barat. Wilayah ini terletak di Kecamatan Rongga dan Kecamatan Cipongkor. Dampak
(a)
(b)
(d)
(c)
(e)
Gambar 25 (a) Penggunaan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003 (b) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2008 (hasil simulasi skenario keenam) (c) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2013 (hasil simulasi skenario keenam) (d) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2018 (hasil simulasi skenario keenam) (e) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2023 (hasil simulasi skenario keenam)
yang diakibatkan dengan menurunnya kawasan hutan secara sosial ekonomis, dimungkinkan untuk ada peningkatan pendapatan masyarakat dengan beralih fungsinya hutan menjadi areal pertanian. Tetapi secara ekologis sangat merugikan karena akan menurunkan biodiversitas. Secara hidrologis, berkurangnya kawasan hutan akan menurunkan kawasan resapan air tanah.
Selain itu, penurunan
kawasan hutan akan berpengaruh terdapat debit sungai di daerah aliran sungai. Hal tersebut dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Farida dan van Noordwijk (2004) yang menemukan bahwa penurunan luas hutan akan meningkatkan debit sungai pada DAS Way Besai, Sumberjaya, Lampung. Hal yang berbeda terjadi pada skenario ketiga, keempat dan keenam. Berdasarkan skenario ini, areal persawahan masih dapat dijaga sampai pada akhir simulasi. Berdasarkan skenario ini, kawasan hutan tetap tergeser oleh jenis penggunaan pertanian lahan kering. Dampak yang dapat terjadi sama dengan dampak yang diakibatkan oleh skenario pertama, kedua dan kelima. Meskipun demikian, intensitas dampak diduga tidak seberat pada skenario pertama, kedua dan kelima. Bila dibandingkan hasil pemodelan skenario ketiga, keempat dan keenam pada akhir simulasi, maka yang tampak nyata adalah lokasi kawasan hutan yang ada.
Lokasi kawasan hutan di bagian selatan Kabupaten Bandung dari tiga
skenario tersebut berbeda luasannya. Skenario ketiga paling kecil luasannya, dan skenario keenam paling luas. Rencana Struktur Ruang Metropolitan Bandung (Distarkim 2005) menetapkan wilayah bagian selatan sebagai zona konservasi. Berdasarkan hal tersebut, maka skenario keenam merupakan skenario yang paling baik untuk dipilih. Skenario keenam adalah skenario terbaik yang berdasar pada laju perubahan penggunaan lahan separuh dari laju perubahan penggunaan lahan eksisting dan adanya larangan konversi lahan di kawasan cagar alam dan kawasan lindung.
5.2. Pembangunan Wilayah Berkelanjutan Perhitungan WI di Wilayah Kabupaten Bandung ditunjukkan pada Tabel 21 dan 22. Hasil perhitungan lengkap disajikan pada Lampiran 14. Hasil perhitungan dengan menggunakan kriteria WI menghasilkan angka indeks kesejahteraan manusia (Human Wellbeing Index) Kabupaten Bandung adalah 55. Indeks kesejahteraan ekosistem (Ecosystem Wellbeing Index ) adalah 69. Jadi nilai WI adalah 62; sementara indeks stress kesejahteraan (Wellbeing Stress Index) untuk Kabupaten Bandung adalah 1.8. Bila dibandinglan dengan indeks kesejahteraan Indonesia yang bernilai 42 (Prescott-Allen 2001) termasuk pada area poor, maka indeks kesejahteraan Kabupaten Bandung lebih tinggi. Hal ini mengandung arti bahwa rata-rata wilayah Kabupaten Bandung kebih berkelanjutan bila dibandingkan dengan rata-rata keadaan di Indonesia. Keadaan ini disebabkan karena kondisi Indonesia merupakan rata-rata dari berbagai daerah. Secara umum keadaan sosial, ekonomi dan sebaran penduduk di Indonesia tidak terdistribusi secara merata, pusat kegiatan ekonomi, sosial dan budaya berada di Pulau Jawa. Tabel 21 Perhitungan WI Subsistem
Dimensi
Kemakmuran & Ekonomi Pengetahuan, budaya dan keahlian Infrastruktur Ekosistem Lahan Air Flora (penggunaan sumber daya) Manusia
Jumlah Gabungan indikator total skor 1 2 2 1 1 1
65 82 116 73 62 72
Tabel 22 Indeks keberlanjutan Kabupaten Bandung Indeks (Index)
Nilai
Kesejahteraan manusia (human wellbeing)
55
Kesejahteraan ekosistem (ecosystem wellbeing)
69
Wellbeing
62
Stress kesejahteraan (wellbeing stress)
1.8
Ratarata 65 41 58 73 62 72
Wellbeing Stress Index (WSI) merupakan rasio kesejahteraan manusia terhadap stress ekosistem, untuk menggambarkan tekanan terhadap peningkatan kesejahteraan.
Hal ini berakibat terhadap kehidupan (wellbeing) ekosistem.
Angka WSI sama dengan 1.0 mengandung arti stress dari ekosistem sudah melampaui kesejahteraan manusia (dalam standar termasuk dalam band poor). Semakin rendah nilai ini semakin besar akibat dari tekanan untuk peningkatan kesejahteraan manusia terhadap kehidupan ekosistem. Kabupaten Bandung dengan nilai WSI 1.8, menunjukkan bahwa posisi wilayah ini mendekati band medium. Nilai ini mengandung arti bahwa tekanan untuk peningkatan kesejahteraan manusia belum melampaui tekanan ekosistem. Kondisi ekosistem yang baik dibutuhkan untuk mendukung kehidupan manusia hidup di level yang sesuai dengan standar kehidupan. Kondisi ini dimetaforakan oleh sebuah telur. Ekosistem diibaratkan putih telur dari suatu telur yang melindungi kuning telur yang merupakan metafora dari manusia. Sebuah telur berkualitas baik bila baik putih dan kuning telur dalam kondisi baik, hal yang sama dimetaforakan kedalam masyarakat yang berkelanjutan bila manusia dan ekosistemnya dalam kondisi yang baik. Bila dibandingkan dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), maka untuk wilayah Kabupaten Bandung (tahun 2003) adalah 67.5.
Angka ini
merupakan penggabungan dari keadaan angka harapan hidup dengan nilai 65.4; angka melek huruf 97.5; angka rata-rata lama sekolah 7.7 dan konsumsi per kapita 530.2 (Bapeda & BPS Kabupaten Bandung 2003). Tampak bahwa angka ini sejalan dengan angka WI, tetapi IPM hanya menyoroti aspek manusia, tanpa melihat aspek ekosistem. Hasil perhitungan dipetakan pada barometer sustainability seperti disajikan pada Gambar 26.. Tampak bahwa tingkat berkelanjutan untuk wilayah Bandung adalah dalam posisi medium. Posisi ini adalah posisi di tengah, yang mengarah ke almost sustainable untuk ekosistem, sedangkan untuk manusia mengarah ke almost unsustainable. Hal ini mengandung arti bahwa keadaan ekosistem wilayah Kabupaten Bandung relatif lebih baik dibandingkan dengan keadaan rata-rata wilayah lain di Indonesia.
Gambar 26 Barometer keberlanjutan untuk wilayah Kabupaten Bandung (Hasil analisis)
Chambers, Simmons & Wackernagel (2002) mengkaji hubungan kualitas hidup dengan daya dukung lingkungan alamiah dan menggambarkannya dalam empat kondisi (Gambar 27). Zona A menggambarkan kondisi kualitas hidup tidak tercapai tetapi modal alam terlindungi. Zona B menunjukkan untuk mecapai kualitas lingkungan yang minimal terjadi penurunan modal alamiah. Sementara pada zona C untuk mencapai kualitas hidup yang tinggi modal alam mengalami penurunan. Kondisi ideal adalah pada zona D yaitu untuk mencapai kualitas hidup yang baik dapat sejalan dengan melindungi alam, yang artinya menuju sustainability. Kondisi pada zona-zona A, B dan C dapat diarahkan menuju ke kondisi
D
sustainability).
dengan
cara
mengembangkan
sustainability
(developing
Gambar 27 Hubungan kualitas hidup dengan daya dukung lingkungan alamiah (Chambers, Simmons & Wackernagel 2002) Pengembangan keberlanjutan seperti digambarkan oleh Chambers Simmons & Wackernagel (2002) perlu dilakukan untuk menjaga daya dukung alamiah dan mengurangi penurunan modal alamiah. Bila dikaitkan dengan diagram Chambers tersebut maka kondisi Kabupaten Bandung dapat menuju ke Zona D. Berdasarkan hal tersebut diatas maka hasil perhitungan keberlanjutan ini merupakan salah satu masukan dalam penentuan strategi pengelolaan wilayah Kabupaten Bandung.
5.3. Model Perubahan Penggunaan Lahan untuk Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah Berkelanjutan
5.3.1.
Penataan
Ruang
dalam
Kerangka
Pembangunan
Wilayah
Berkelanjutan Penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan mengandung arti bahwa secara spasial sumberdaya alam yang ada, dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat, tanpa mengurangi daya dukung alamiah, sesuai dengan kebijakan yang berlaku. Pada bagian ini akan dibahas strategi yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Strategi adalah jurus atau cara atau teknik yang taktis dalam mencapai tujuan.
Untuk mencapai tujuan tersebut
sebelumnya telah dilakukan penelitian-penelitian yang meliputi analisis deskripsi regulasi tata ruang, pemodelan spasial untuk melihat perubahan penggunaan lahan pada time frame 20 tahun mendatang, dan analisis tingkat keberlanjutan pembangunan wilayah. Pemodelan spasial dengan CLUE-S untuk wilayah Kabupaten Bandung memberikan hasil pada penggunaan lahan yang masih menggambarkan kondisi paling ideal adalah skenario ketiga, keempat dan keenam. Hasil simulasi dengan skenario-skenario ini, sampai dengan tahun ke 20 masih mengandung semua jenis penggunaan lahan. Dari ketiga skenario ini, terpilih skenario keenam sebagi skenari terbaik. Skenario keenam ini mensyaratkan laju perubahan penggunaan lahan setengah dari laju perubahan penggunaan lahan eksiting dan adanya larangan alih fungsi pada kawasan cagar alam dan kawasan lindung. Kondisi keberlanjutan pembangunan Kabupaten Bandung berdasarkan indeks kesejahteraan manusia dan ekosistem ada posisi di tengah.
Untuk
kesejahteraan manusia levelnya berada pada hampir tidak berkelanjutan dan untuk ekosistem berada pada hampir berkelanjutan.
Artinya, wilayah Kabupaten
Bandung mempunyai kondisi keberlanjutan yang sedang. Hal ini berdasarkan pada kesejahteraan ekosistem yang hampir berkelanjutan, dan kesejahteraan manusia pada level hampir tidak berkelanjutan. Pada penyusunan strategi penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan dilakukan lokakarya analisis prospektif yang melibatkan stakeholder pakar yang terlibat di wilayah penelitian. Identifikasi
faktor-faktor yang ada adalam strategi penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan di Kabupaten Bandung disajikan pada pada Tabel 23. Tabel 23 Faktor dan karakteristik faktor yang terlibat pada penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan (Hasil analisis) Faktor Geofisik
Sosial
Ekonomi
Aksesibilitas Ekologi Iklim Kebijakan
Karakteristik Jenis Tanah Geologi Elevasi Aspek Slope Kepadatan Penduduk Tingkat Pendidikan Rasio Guru/ Murid (Sekolah Dasar) Tingkat putus sekolah dasar Kondisi Tempat Tinggal Persentase tenaga kerja di bidang pertanian Produksi pertanian Listrik tersedia/ kebutuhan Tingkat pendapatan masyarakat Status kepemilikan lahan Jalan Raya Jarak ke pusat kota Persentase jalan yang baik terhadap panjang jalan yang ada Persentase areal budidaya dari seluruh lahan pertanian Persentase kawasan lindung yang dikelola dengan baik Jumlah curah hujan tahunan Koordinasi antar lembaga Alokasi dana pembangunan Kebijakan pemerintah (peraturan) Perencanaan tata ruang
Faktor-faktor tersebut kemudian dimasukkan kedalam tabel pengaruh langsung antar faktor.
Para peserta lokakarya memberikan nilai pengaruh
langsung antar faktor pada tabel tersebut. Kemudian direkapitulasi pengaruh antar faktor dari masing-masing peserta lokakarya untuk dilakukan penggabungan. Hasil penggabungan pengaruh langsung antar faktor berupa
grafik/ diagram
pengaruh dan ketergantungan. Faktor-faktor yang memiliki pengaruh dan ketergantungan yang tinggi dikategorikan sebagai faktor kunci. Faktor kunci
adalah faktor yang berada di variabel penentu dan variabel penghubung (Gambar 28). Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji
2.50
Perencanaan Tingkat pendapatan masyarakat
Kepadatan penduduk
Status kepemilikan lahan
2.00
Pengaruh
Tingkat pendidikan 1.50
Kebijakan pemerintah Alokasi dana pembangunan Tingkat aksesibilitas
1.00 Jenis tanah Elevasi
Tenaga kerja pertanian Kondisi tempat tinggal Slope Persentase jalan raya Geologi Tingkat putusbaik SD Listrik tersedia Rasio guru murid Aspek Rata-rata curah hujan
0.50
-
Koordinasi antar Produksi pertanian lembaga
-
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
1.60
1.80
2.00
Ketergantungan
Gambar 28 Hasil perhitungan tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh pada sistem penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan Hasil identifikasi faktor-faktor tampak bahwa faktor kunci yang berperan penting karena pengaruh dan ketergantungan antar faktor cukup tinggi pada sistem penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan untuk Kabupaten Bandung adalah : (1) kepadatan penduduk; (2) tingkat pendidikan; (3) perencanaan; (4) tingkat pendapatan masyarakat; (4) status kepemilikan lahan; (5) kebijakan pemerintah; (6) alokasi dana pembangunan Hasil penyusunan keadaan atau state dari ketujuh faktor kunci tersebut adalah faktor kapadatan penduduk dan kebijakan pemerintah memiliki dua keadaan. Sedangkan tingkat pendidikan, perencanaan, status kepemilikan lahan dan alokasi dana pembangunan memiliki tiga keadaan. Sementara itu, tingkat pendapatan masyarakat memiliki empat keadaan. Keadaan atau state dari kepadatan penduduk ada dua kondisi.
Pertama, kepadatan penduduk dimasa
datang relatif tetap seperti kondisi saat ini (1A). Keadaan kedua adalah kepadatan
penduduk dimasa datang menjadi lebih tinggi dari sekarang, hal ini berarti jumlah penduduk semakin besar tetapi luasan lahan tetap (1B). Tingkat pendidikan memiliki tiga keadaan.
Keadaan pertama tingkat
pendidikan menjadi semakin buruk, dalam arti terdapat peningkatan jumlah penduduk tidak terdidik, peningkatan jumlah tuna aksara (2A).
Hal ini
dimungkinkan terjadi bila biaya pendidikan semakin mahal dan tidak terjangkau oleh masyarakat. Keadaan kedua, tingkat pendidikan masyarakat relatif tetap seperti kondisi saat ini (2B). Keadaan ketiga, tingkat pendidikan masyarakat menjadi semakin baik, dalam arti terdapat peningkatan jumlah penduduk terdidik dan masa sekolah masyarakat semakin lama (2C). Hal ini dimungkinkan bila kebijakan wajib belajar sembilan tahun benar-benar terlaksana dan biaya pendidikan tinggi semakin terjangkau oleh masyarakat. Keadaan atau state perencanaan memiliki tiga keadaan kondisi perencanaan semakin kurang aplikatif dan kondusif, dalam arti peraturan sebagai acuan yang ada tidak berdasarkan pada aturan/ kebijakan yang lebih tinggi (3A). Keadaan kedua, kondisi perencanaan stabil, dalam arti peraturan sebagai acuan tidak tegas berdasarkan pada aturan yang lebih tinggi tetapi tidak terdapat sangsi terhadap pelanggaran dari perencanaan yang telah ditetapkan (3B). Keadaan ketiga, kondisi perencanaan semakin kondusif dan aplikatif, terdapat aturan yang jelas yang mengacu pada aturan yang lebih tinggi dan ada sangsi terhadap pelanggaran (3C). Keadaan atau state tingkat pendapatan masyarakat memiliki empat keadaan. Keadaan pertama, tingkat pendapatan masyarakat menjadi semakin kecil (4A). Keadaan kedua, tingkat pendapatan masyarakat relatif tetap (4B). Keadaan ketiga, tingkat pendapatan masyarakat semakin besar tetapi nilainya tetap (4C). Keadaan keempat, tingkat pendapatan masyarakat dalam arti nilai yang semakin besar (4D). Status kepemilikan lahan memiliki tiga keadaan. Keadaan pertama, status kepemilikan lahan perseorangan semakin tinggi, dalam arti persentase status kepemilikan lahan makin lebih banyak dimiliki oleh perseorangan (pribadi atau institusi) daripada milik negara (5A). Keadaan kedua, status kepemilikan lahan perseorangan relatif tetap (5B).
Keadaan ketiga, status kepemilikan lahan
perseorangan semakin rendah, dalam arti persentase kepemilikan lahan makin banyak dimiliki oleh negara (5C). Terdapat dua keadaan dari kebijakan pemerintah. Kedaan pertama adalah kebijakan pemerintah relatif tetap (6A). Keadaan kedua, kebijakan pemerintah semakin baik dalam arti semakin kondusif dan aplikatif serta transparan (6B). Alokasi dana pembangunan memiliki tiga keadaan.
Keadaan pertama adalah
alokasi dana pembangunan semakin kecil (7A). Keadaan kedua, alokasi dana pembangunan relatif tetap (7B). semakin besar (7C).
Keadaan ketiga, alokasi dana pembangunan
Secara ringkas ketujuh faktor kunci dan keadaannya
ditampilkan pada Tabel 24. Tabel 24 Keadaan faktor kunci pada penyusunan strategi penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan Faktor Kepadatan penduduk
Keadaan
Tingkat pendidikan
Status kepemilikan lahan
Tetap
Makin tinggi (makin padat)
2A
2B
2C
Tetap
Makin baik
3A
3B
3C
Makin kurang aplikatif
Stabil
Makin aplikatif dan kondusif
4A
4B
4C
4D
Makin kecil
Tetap
Makin besar jumlahnya tetapi nilai tetap
Jumlah dan nilai makin besar
5A
5B
5C
Persentase kepemilikan perseorangan makin kecil
Persentase kepemilikan perseorangan tetap
Persentase kepemilikan perseorangan makin besar
Kebijakan pemerintah Alokasi dana pembangunan
1B
Makin buruk Perencanaan
Tingkat pendapatan masyarakat
1A
6A
6B
tetap
Makin kondusif dan transparan
7A
7B
7C
Makin kecil
tetap
Makin besar nilainya
Tabel 25 Skenario penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan di Kabupaten Bandung No
Skenario
Urutan Faktor
1
Sangat optimis (sangat berkelanjutan)
1A-2C-3C-4D-5A-6B-7C
2
Optimis (berkelanjutan)
1A-2C-3C-4D-5B-6B-7C
3
Agak optimis untuk berkelanjutan (dengan usaha yang keras)
1B-2C-3C-4C-5B-6B-7C
4
Kondisi tetap seperti saat ini
1B-2B-3B-4B-5B-6A-7B
5
Kondisi semakin buruk (semakin tidak berkelanjutan)
1B-2A-3A-4A-5C-6A-7A
Tabel 26 Hasil penelitian skenario untuk penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan di Kabupaten Bandung Skenario
Jumlah
Persen
Sangat optimis (sangat berkelanjutan)
17
13,1
Optimis (berkelanjutan)
18
13,8
Agak optimis untuk berkelanjutan (dengan usaha yang keras)
38
29,3
Kondisi tetap seperti saat ini
29
22,3
Kondisi semakin buruk (semakin tidak berkelanjutan)
28
21,5
Total
130
100.0
Skenario terbanyak terpilih adalah agak optimis untuk berkelanjutan (29,3%). Skenario ini mempunyai keadaan sebagai berikut: kepadatan penduduk semakin tinggi, tingkat pendidikan makin baik; perencanaan wilayah yang makin aplikatif dan kondusif; tingkat pendapatan masyarakat makin besar dalam jumlah tetapi nilai tetap; persentase kepemilikan lahan perseorangan tetap; kebijakan pemerintah makin kondusif dan transparan; alokasi dana untuk pembangunan makin besar.
5.3.2. Implikasi skenario dan rekomendasi pada penataan ruang dalam kerangka
pembangunan
wilayah
berkelanjutan
di
Kabupaten
Bandung Hasil lokakarya analisis prospektif adalah ditemukannya tujuh faktor kunci yang paling berpangaruh pada penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan. Ketujuh faktor kunci tersebut adalah kepadatan penduduk, tingkat pendidikan, perencanaan wilayah, tingkat pendapatan masyarakat, persentasi
kepemilikan
lahan,
kebijakan
pemerintah
dan
alokasi
dana
pembangunan. Aspek penduduk dengan perubahan penggunaan lahan menjadi penelitian di Pulau Jawa (Verburg, Veldkamp & Bouma 1999). Akibat tekanan penduduk ini diperkirakan akan mengakibatkan penuruan areal persawahan di pantai utara. Kepadatan penduduk menjadi faktor kunci, hal ini dibuktikan pula dalam pemodelan perubahan penggunaan lahan. Hasil pemodelan memberikan peluang yang meningkat untuk terdapatnya kawasan terbangun bila kepadatan penduduk meningkat. Tingkat kependidikan menjadi faktor kunci berikutnya pada analisis prospektif. Hal ini dibuktikan pada hasil regresi logistik. Peluang terdapatnya hutan dan kawasan terbangun meningkat dengan meningkatnya tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan menjadi salah satu faktor pula dalam tingkat keberlanjutan (Omar 2003, Prescott-Allen 2001). Pada Lampiran 14 ditunjukkan bahwa tingkat pendidikan di Kabupaten Bandung, yaitu rasio guru dan murid cukup baik. Perencanaan wilayah yang makin aplikatif dan kondusif menjadi faktor kunci. Faktor ini ditetapkan berdasarkan hasil lokakarya analisis prospektif. Saat ini perencanaan lebih menitik beratkan pada bagaimana membuat rencana. Hanya sedikit perhatian diberikan pada kontrol terhadap perencanaan yang telah ditetapkan. Selain itu, perencanaan yang tepat adalah suatu rencana guna lahan yang dapat mengantisipasi perubahan yang sangat cepat (Akbar 2001). Tingkat pendapatan masyarakat sebagai faktor kunci berkaitan dengan keadaan bahwa tingkat pendapatan berhubungan erat dengan tingkat konsumsi dan pada gilirannya akan mempengaruhi kondisi sumberdaya alam.
Tingkat
pendapatan dapat berpenganruh positif dan negatif terhadap penataan ruang. Semakin tinggi tingkat pendapatan akan meningkatkan tingkat atau standar kehidupan yang membutuhkan sumberdaya dan energi serta lahan (Hall 2006). Persentase kepemilikan lahan antara kepemilikan pribadi atau swasta dengan negara merupakan faktor kunci yang ditetapkan berdasarkan analisis prospektif. Kepemilikan lahan pribadi atau swasta memberikan peluang yang lebih tinggi untuk terjadinya konversi penggunaan lahan. Kepemilikan lahan harus didefiniskan dengan jelas yang meliputi batasan, jumlah dan kualitas sumberdaya bersama publik, dan semi publik.
Pendefinisian penting untuk pengendalian
pemanfaatan dan mencegah akses berlebihan tetapi juga untuk kepentingan kepastian hukum bagi sumberdaya (Nugroho dan Dahuri 2004). Kebijakan pemerintah makin kondusif berkaitan dengan kepemilikan lahan dan perencanaan tata ruang merupakan faktor kunci. Saat ini terdapat adanya kontradiksi antara peraturan perundang-undangan tata ruang yaitu antara Undangundang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria dan Undang-undang Nomor 24 tentang Penataan Ruang dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Alokasi dana pembangunan merupakan faktor kunci hasil analisis prospektif.
Jumlah dana dialokasikan untuk pembangunan mempengaruhi
pembangunan, yang berakibat pada penataan ruang. Alokasi dana pembangunan merupakan salah satu faktor penyebab perubahan penggunaan lahan (Lambin et al. 2003). Dari ketujuh faktor kunci tersebut, faktor yang tinggi pengaruhnya dan tetapi ketergantungannya relatif rendah adalah kepadatan penduduk dan tingkat pendidikan. Keadaan kepadatan penduduk ada dua keadaan yaitu tetap dan makin tinggi atau makin padat. Keadaan tetap relatif lebih sulit untuk dicapai, jadi keadaan kepadatan yang makin tinggi akan terjadi. Sementara tingkat pendidikan terdapat tiga keadaan yaitu makin buruk, tetap dan makin baik. Jadi, tingkat pendidikan dapat dianggap faktor kunci yang paling penting. Hal ini sejalan pula dalam pemodelan perubahan penggunaan lahan yang mempengaruhi peluang untuk terdapatnya jenis penggunaan lahan hutan, jenis penggunaan lahan lainnya dan kawasan terbangun. Selain itu, pada penilaian tingkat keberlanjutan tingkat
pendidikanpun memberikan kontribusi yang tinggi pada level keberlanjutan pembangunan wilayah. Bila skenario agak optimis ini terjadi pada 20 tahun mendatang dengan keadaan kepadatan penduduk makin tinggi, tingkat pendidikan makin baik, perencanaan wilayah makin aplikatif, tingkat pendapatan masyarakat makin besar, persentase kepemilikan lahan perseorangan tetap, kebijakan makin kondusif, alokasi dana pembangunan makin besar; maka faktor yang harus didorong adalah tingkat pendidikan. Faktor tingkat pendidikan dalam grafik hasil analisis prospektif (Gambar 28) berada pada tingkat ketergantungan dibawah satu, tetapi tingkat penaruhnya cukup tinggi yaitu diatas satu. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan perlu didorong. Dorongan terhadap faktor tingkat pendidikan akan mempengaruhi faktor lainnya. Secara umum tingkat pendidikan di Indonesia relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Hal ini dapat ditunjukkan oleh hasil penelitian UNESCO-UIS/OECD (2005) yang melakukan analisis tren tingkat pendidikan beberapa negara termasuk Indonesia. Negara yang diamati adalah Argentina, Brazil, Chile, China, Mesir, India, Indonesia, Jamaika, Jordania, Malaysia, Paraguay, Peru, Philippines, Federasi Rusia, Srilanka, Thailand, Tunisia, Uruguay dan Zimbabwe. Negara-negara ini dikelompokkan dalam negara WEI (World Education Indicator). Indikator tingkat pendidikan yang digunakan dalam WEI adalah harapan bersekolah, tingkat kelulusan dari SLTA, rasio murid dan guru SLTA, biaya per murid di SLTA, persentase murid pada SLTA swasta. Angka harapan bersekolah di Indonesia adalah 11.9 tahun, dan merupakan angka terendah bila dibandingkan dengan negara WEI lainnya, dengan rata-rata adalah 13.5 tahun untuk negara dengan PDB rendah dan 17.3 tahun untuk PDB tinggi. Tingkat kelulusan SLTA adalah 41% sementara negara dengan PDB rendah adalah 57.7% dan negara dengan PDB tinggi adalah 78%. Biaya untuk pendidikan tingka SLTA adalah PPP$ 379 merupakan sepertiga dari negara WEI lain dengan PDB rendah. Sementara itu sesuai dengan tujuan pembangunan milenium atau Millenium Development Goals (MDG) yang terdiri dari delapan tujuan, yaitu (1) pengentasan kemiskinan dan kelaparan, (2) pencapaian pendidikan dasar, (3)
peningkatan persamaan jender dan pemberdayaan perempuan, (4) pengurangan kematian anak, (5) perbaikan kesehatan ibu, (6) perlawanan terhadap HIV/AIDS, malaria dan penyakit lain, (7) penjaminan keberlanjutan lingkungan dan (8) pengembangan kerjasama global untuk pembangunan (United Nation 2006). MDG ini berasal dari deklarasi milenium PBB (United Nation Millenium Declaration) pada tahun 200 yang diadopsi oleh 189 negara. Target yang ditetapkan sebagain besar ingin dicapai pada tahun 2015 berdasarkan situasi global tahun 1990an. Indonesia sendiri telah menyusun MDG (Bappenas 2005), pada tujuan kedua, yaitu pencapaian pendidikan dasar, sejak 1994, target telah ditingkatkan untuk mencapai jenjang pendidikan dasar (sembilan tahun), yang mencakup sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah (SD/MI), sekolah menengah pertama dan madrasah tsanawiyah (SMP/MTs) dan bentuk lain yang sederajat. Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun ditargetkan dapat mencapai angka partisipasi kasar (APK) jenjang SMP/MTs sebesar 90 persen paling lambat pada tahun 2008. Di Kabupaten sendiri komponen pendidikan pada Indeks Pembangunan Manusia, yang diwakili oleh angka melek huruf dengan nilai 97.5% dan rata-rata lama sekolah 7.7 tahun (Bapeda & BPS Kabupaten Bandung 2003). Dari angka tersebut tampak bahwa kebijakan penetapan wajib belajar untuk pendidikan dasar sembilan tahun belum tercapai. Berdasarkan keadaan tingkat pendidikan di Indonesia tersebut diatas, tingkat pendidikan perlu didorong untuk lebih baik sesuai dengan target tujuan MDG Indonesia. Tujuan ini dapat dicapai dengan langkah-langkah kebijakan meliputi: meningkatkan akses dan perluasan kesempatan belajar, meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan, meningkatkan anggaran pendidikan untuk dapat mencapai 20 persen dari APBN, mendorong pelaksanaan otonomi pengelolaan pendidikan, memperkuat manajemen pelayanan pendidikan dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan (Bappenas 2006). Lima penyebab dari perubahan penggunaan diungkapkan oleh Lambin et al. (2003) yaitu kelangkaan sumberdaya; aspek ekonomi akibat pasar; adanya intervensi kebijakan; meningkatnya kerentanan karena berkurangnya kemampuan beradaptasi; perubahan organisasi sosial dan perilaku. Bila kelima alasan ini
dihubungkan dengan implikasi dari skenario agak optimis maka dua penyebab perubahan penggunaan lahan yaitu intervensi kebijakan dan perubahan organisasi sosial dan perilaku, akan memperoleh dampak positif dari skenario ini. Implikasi dari skenario optimis berdampak positif terhadap pembangunan berkelanjutan. berkelanjutan
Seperti diungkapkan oleh Munasinghe (1993) pembangunan mempunyai
tujuan
ekonomi
yaitu
adanya
efisiensi
dan
pertumbuhan, tujuan ekologis dalam pengelolaan sumberdaya alam dan tujuan sosial yaitu adanya pemerataan sosial dan pengentasan kemiskinan.
Dengan
keadaan peningkatan alokasi dana pembangunan, diharapkan adanya pertumbuhan ekonomi, selanjutnya meningkatkan pendapatan masyarakat. Pada aspek ekologi, skenario agak optimis berdampak positf dengan adanya perencanaan dan kebijakan yang transparan yang karena terjadinya peningkatan pendidikan.
5.3.3. Model Perubahan Penggunaan Lahan untuk Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah Berkelanjutan Sesuai dengan Gambar 1 (Kerangka Pikir) pada Bab I, model perubahan penggunaan lahan untuk penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan ini mengandung tiga komponen utama yaitu model perubahan penggunaan lahan, komponen pembangunan wilayah berkelanjutan, komponen penataan ruang. Hasil ketiga komponen ini merupakan umpan balik untuk Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah atau akan disusun. Klasifikasi dari jenisjenis model adalah model fisik (model skala), model diagramatik (model konseptual) dan model matematik (Eriyatno 1999). Model perubahan penggunaan lahan CLUE-S merupakan input dalam penataan ruang.
Model dengan CLUE-S dapat memprediksikan perubahan
penggunaan lahan sampai 20 tahun mendatang.
Hasil prediksi berupa peta
penggunaan lahan yang diperoleh dengan menetapkan skenario perubahan penggunaan lahan. Skenario yang terpilih adalah skenario keenam yaitu laju perubahan penggunaan lahan sebesar setengah dari laju perubahan eksisting dan ada larangan konversi di kawasan cagar alam dan kawasan lindung. Sebagaimana dijelaskan oleh Forrester (1995) yang menganalisis dinamika perkotaan atau wilayah, meskipun termasuk sistem dinamis masalah penataan
ruang termasuk sistem sosial.
Model perubahan penggunaan lahan untuk
penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan, menetapkan laju perubahan penggunaan lahan perlu diturunkan. Penurunan laju perubahan penggunaan lahan dapat diatur oleh regulasi. Faktor kunci dan penurunan laju perubahan penggunanaan lahan saling berpengaruh. Faktor perencanaan untuk menetapkan penurunan laju perubahan penggunaan lahan, bila ditetapkan dengan regulasi, dapat mencapai tujuan penataan ruang yang berkelanjutan. Tingkat keberlanjutan (sustainability), dapat diperoleh oleh ekosistem dengan spatial policy (model perubahan penggunaan lahan) dengan melarang konversi lahan pada wilayah tertentu. Pembangunan wilayah berkelanjutan mengandung aspek sosial ekonomi dan biogeofisik wilayah, atau menurut Munasinghe (1993) mengandung aspek sosial, ekonomi dan ekologi. Sementara menurut konsep dalam analisis keberlanjutan dengan Wellbeing Index (WI) terdapat dua kelompok saja yaitu manusia dan ekosistem (Prescott-Allen 2001). Aspek manusia dalam konsep WI mengandung lima unsur yaitu kesehatan dan kependudukan; kemakmuran, pengetahuan dan kebudayaan, masyarakat, persamaan. Aspek ekosistem mengandung lima unsur yaitu lahan, air, udara, spesies dan diversias genetik, dan penggunaan sumberdaya. WI cukup memberikan informasi keberlanjutan pembangunan wilayah. Indikator dari keberlanjutan meliputi buruk (0-20), miskin (20-40), sedang (40-60), memadai (60-80), baik (80-100). Sementara kondisi keberlanjutan meliputi buruk (tidak berkelanjutan), miskin (hampir tidak berkelanjutan), sedang, hampir berkelanjutan dan berkelanjutan. Pada penataan ruang dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, informasi WI pada wilayah yang dikaji cukup memadai. Informasi nilai WI digunakan untuk menetapkan skenario dan strategi. Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang mencakup perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang, yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya. Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya yang didasarkan atas rencana tata ruang. Pengendalian
pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang (UU No. 24 Tahun 1992). Hasil dari model perubahan penggunaan lahan dengan CLUE-S adalah peta penggunaan lahan masa mendatang berdasarkan skenario. Skenario yang sesuai dipilih untuk penyusunan perencanaan tata ruang.
Skenario perubahan
penggunaan lahan ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak disesuaikan. Aspek perencanaan merupakan salah satu faktor kunci hasil temuan analisis prospektif.
Perencanaan yang disusun selain berdasarkan pada kebutuhan
penduduk di masa datang (antroposentris) perlu didampingi oleh keterbatasan wilayah tersebut. Jadi hasil pemodelan perubahan penggunaan lahan dapat digunakan sebagai batas atau dari wilayah yang tidak dapat dikembangkan lagi. Aspek pemanfaatan ruang berdasar pada RTRW yang telah disusun dan pembiayaan yang diperlukan. Aspek pembiayaan merupakan salah satu faktor kunci yang diperoleh yaitu alokasi dana pembangunan. Berdasarkan skenario terpilih maka alokasi dana pembangunan diperkirakan akan meningkat. Karena itu, pembiayaan untuk pemanfaatan ruang diperkirakan meningkat.
Bila
pemanfaatan ruang telah merujuk pada perencanaan yang baik, maka tahap berikutnya adalah pengendalian pemanfaatan ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan sejalan dengan kegiatan pembangunan.
Aspek pengendalian
menjadi sangat penting dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan. Pengendalian ini dilakukan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban. Aspek pengawasan dan penertiban berdasar pada regulasi yang ada. Tahapan proses penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten
meliputi
persiapan
penyusunan;
peninjauan
kembali
RTRW
Kabupaten sebelumnya; pengumpulan data dan informasi; analisis; konsepsi atau perumusan konsep rencana; legalisasi rencana menjadi Peraturan Daerah. Pada tahap analisis, yang dilakukan meliputi analisis terhadap kondisi sekarang dan kecenderungan di masa depan dengan menggunakan data dan informasi yang dikumpulkan dalam proses pengumpulan data dan informasi. Dokumen RTRW berisi rencana yang berdasarkan pada sektor, program, sasaran, lokasi, instansi, sumber pembiayaan dan dimensi waktu (Kimpraswil 2002). Berdasarkan hal tersebut, model perubahan penggunaan lahan dengan menggunakan CLUE-S
merupakan informasi yang penting karena dapat menduga keadaan penggunaan lahan pada masa datang. Informasi penggunaan lahan masa depan bila dilengkapi dengan informasi sektor prioritas (unggulan), sumberdaya manusia, sumberdaya buatan, dan kelembagaan dapat membantu RTRW yang disusun lebih lengkap dan sesuai dengan kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan. Menurut McKeown (2002), negara dengan tingkat pendidikan penduduknya yang tinggi cenderung konsumsi per kapitanya tinggi.
Contohnya, Amerika
Serikat dengan 25% penduduknya adalah lulusan perguruan tinggi, negara tersebut merupakan pengguna sumberdaya alam tertinggi.
Jadi makin tinggi
pendidikan rata-rata penduduk suatu negara tidak menjamin dapat mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Karena itu, setiap negara harus memeriksa ulang kurikulum pada setiap level pendidikan. Pendidikan secara langsung berpengaruh terhadap keberlanjutan dalam tiga bidang yaitu implementasi, pengambilan keputusan dan kualitas kehidupan.
Pada bidang implementasi:
tingkat keberlanjutan suatu negara meningkat atau menurun dipengaruhui oleh tingkat pendidikan. Negara dengan tingkat buta huruf tinggi dan tenaga kerja tidak punya keahlian memiliki sedikit pilihan untuk membangun. Pembangunan akan bergantung pada pengambilan sumberdaya alam, dan terpaksa membeli energi dan hasil manufaktur dari negara lain. Hal ini akan memacu eksploitasi sumberdaya alam.
Pada bidang pengambilan keputusan, contohnya adalah
masyarakat dengan pendidikan tinggi dapat mencari informasi sendiri dan memberikan masukan pada pengambil keputusan. Sedangkan pada kualitas kehidupan, pendidikan dapat meningkatkan status keluarga, memperbaiki kondisi kehidupan, memperbaiki tingkat pendidikan generasi selanjutnya.
Karenanya
memperbaiki pendidikan dapat berimplikasi pada individu dan nasional. Faktor tingkat pendidikan nyata akan berpengaruh dalam kegiatan penataan ruang yang sesuai dengan pembangunan berkelanjutan.
Dengan didorongnya
aspek pendidikan, maka kemampuan masyarakat untuk mengetahui informasi dampak perubahan penggunaan lahan akan lebih merata. RTRW yang disusun sebelum disahkan diumumkan kepada masyarakat untuk mendapat masukan dari masyarakat. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta
Masyarakat dalam Penataan Ruang. Bila skenario agak optimis terjadi maka akan berdampak positif terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat yang akan makin baik, kondisi ini dapat menekan tingkat “lapar lahan” sehingga alih fungsi lahan dapat ditekan. Meskipun kepadatan penduduk semakin tinggi, tetapi pertambahan penduduk yang diiringi dengan peningkatan kualitas penduduk dalam pendidikan dan pendapatan akan dapat mengendalikan eksploitasi lahan. Jadi faktor yang penting untuk didorong adalah tingkat pendidikan untuk diperbaiki dalam kualitas dan pengelolaannya. Faktor ini akan mempengaruhi keenam faktor kunci lainnya, sehingga akan mencapai penataan ruang yang sesuai dengan pembangunan wilayah berkelanjutan.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Regulasi tata ruang yang ada masih bersifat dualisme antara kepentingan pertanahan dan kepentingan tata ruang.
Perbedaan kepentingan dapat
menimbulkan konflik, karena itu regulasi yang sedang direvisi, dan lembaga yang terkait perlu pemaduserasian agar tujuan penataan ruang dalam pembangunan wilayah yang berkelanjutan dapat tercapai. 2. Model perubahan penggunaan lahan dengan Conversion of Land Use and its Effect at small regional extent atau CLUE-S dapat digunakan untuk penataan ruang. Dalam pemodelan untuk simulasi penggunaan lahan di masa datang digunakan skenario-skenario.
Skenario yang ditetapkan berdasarkan pada
keadaan penggunaan lahan sebelumnya, dan perkiraan perubahan penggunaan lahan masa datang yang rasional. Pada simulasi perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Bandung dengan menggunakan skenario laju perubahan penggunaan lahan sebesar setengah dari laju perubahan eksisting dan adanya larangan konversi di kawasan cagar alam dan kawasan lindung merupakan skenario terbaik. Bila laju perubahan penggunaan lahan berdasarkan pada laju eksisting, maka pada tahun ke 10 simulasi, kawasan persawahan di bagian timur dari Kota Bandung akan tergeser seluruhnya menjadi kawasan terbangun (perkotaan). 3. Tingkat keberlanjutan suatu wilayah dapat dianalisis dengan berbagai metode. Metode yang paling sesuai dalam penelitian penataan ruang adalah dengan perhitungan WI. Hasil perhitungan dengan menggunakan WI di Kabupaten Bandung adalah 55 untuk indeks kesejahteraan manusia dan 69 untuk indeks kesejahteraan ekosistem.
Secara bersama-sama indeks ini memposisikan
wilayah Bandung pada level medium atau sedang dalam tingkat keberlanjutan. Sedangkan, tingkat keberlanjutan manusia di wilayah Kabupaten Bandung pada level hampir tidak berkelanjutan dan tingkat keberlanjutan ekosistem berada pada level hampir berkelanjutan.
4. Ada tujuh faktor kunci yang berperan dalam penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan yaitu kepadatan penduduk, tingkat pendidikan, perencanaan, tingkat pendapatan masyarakat, status kepemilikan lahan, kebijakan pemerintah dan alokasi dana pembangunan. Berdasarkan faktor kunci tersebut diperoleh skenario agak optimis untuk berkelanjutan dari penataan ruang. a. Faktor kunci yang perlu didorong agar skenario yang terjadi pada 20 mendatang optimal adalah faktor tingkat pendidikan.
Faktor tingkat
pendidikan dapat mempengaruhi faktor kunci lainnya dalam mencapai penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan. b. Rekomendasi untuk pencapaian skenario agak optimis tersebut adalah dengan strategi perbaikan pengelolaan pendidikan di setiap level. Sesuai dengan target MDG Indonesia yang ingin dicapai yaitu dengan meningkatkan akses dan perluasan kesempatan belajar, meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan, meningkatkan anggaran pendidikan untuk dapat mencapai 20 persen dari APBN, mendorong pelaksanaan otonomi pengelolaan pendidikan, memperkuat manajemen pelayanan pendidikan dan meningkatkan peran serta masyarakat dan pihak swasta dalam
pembangunan
pendidikan
serta
melaksanakan
community
development dan corporate social responsibility (CSR) dalam aspek pembangunan berkelanjutan. c. Model perubahan penggunaan lahan dan informasi tingkat berkelanjutan wilayah dapat merupakan pelengkap dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sebagai produk dari perencanaan wilayah. Perencanaan wilayah tersebut merupakan bagian dari penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan.
6.2. Saran 1. Regulasi dan peraturan perundangan tata ruang yang ada perlu dianalis dampaknya terhadap pembangunan dengan menggunakan regulatory impact assessment (RIA). Selain itu kelembagaan yang terlibat dan peran serta kontribusinya perlu dianalisis dengan analisis kelembagaan. 2. Penetapan skenario pada pemodelan perubahan penggunaan dengan menggunakan CLUE-S merupakan kombinasi dari modul permintaan penggunaan lahan dan kebijakan spasial.
Modul permintaan penggunaan
lahan selain dengan ekstrapolasi dapat dilakukan dengan pendekatan ekonometrik.
DAFTAR PUSTAKA Akbar, R. 2001. Menuju Penataan Ruang berbasiskan Sistem Informasi Geografis. Prosiding seminar Penetapan Kebijakan Infrastruktur data Spasial Nasional dengan memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi sebagai sarana pendukung Otonomi Daerah dalam menghadapi Era Globalisasi. Bandung, 10-11 Mei 2001. Bandung. [Bapeda] Badan Perencanaan Daerah & [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung. 2003. Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Bandung Tahun 2003. Bapeda & BPS Kabupaten Bandung. [Bappenas] Badan Perencanaan pembangunan Nasional. 2005. Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia. Bappenas. Jakarta. Bell, S., and S. Morse. 2003. Measuring Sustainability. Learning from Doing. Earthscan. London. [BKTRN] Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional. 2003. Penggunaan lahan di Indonesia tahun 1993-1997. Buletin BKRTN No 4. Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional http://www.bktrn. bappenas.go.id/produk/buletin /buletin4/bulletin4.shtml. [1 Februari 2003]. [BPSa] Badan Pusat Statistik. 2003. Kabupaten Bandung dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Bandung. [BPSb] Badan Pusat Statistik. 2003. Kota Bandung dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Bandung. [BPSc] Badan Pusat Statistik. 2003. Kota Cimahi dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Bandung. [BPSd] Badan Pusat Statistik. 2003. Data Sosial Ekonomi Masyarakat Kabupaten bandung Tahun 2003. Publikasi Hasil Suseda 2003. BPS Kabupaten Bandung dan Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bandung. Bandung. Briassoulis, H. 2000. Analysis of land Use Change, Theoretical and Modeling Approaches. Regional Research Institute, West Virginia University. http://www.rri.wvu.edu/WebBook/Briassoulis/content.htm. [27 September 2002]. Chambers, N., C. Simmons, and M. Wackernagel. 2002. Sharing Nature’s Interest. Ecological Footprints as an indicator of sustainability. Earthscan. London.
[CSD] Commission on Sustainable Development. 2001. Indicators of Sustainable Development: Framework and Methodology. Commission on Sustainable Development. Background Paper No. 3. Division for Sustainable Development. New York. Departemen Kehutanan. 1993. Masterplan Departemen Kehutanan. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta. [Distarkim] Dinas Tata Ruang dan Permukiman Jawa Barat. 2005. Kebijakan Struktur Ruang Metropolitan Bandung. Distarkim Jawa Barat. Bandung. Djoekardi, A.D.D., dan I.K. Ardiputra. 2003. Kelembagaan Penataan Ruang di Kementrian Lingkungan Hidup. Pemikiran dan Praktek Perencanaan dalam Era Transformasi di Indonesia. Departemen Teknik Planologi ITB. Bandung. Djojomartono, M. 1993. Pelatihan Analisis Sistem dan Informasi Pertanian. Pengantar Umum Analisis Sistem. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor. Engelsman, W. 2002. Simulating land use changes in an urbanising area in Malaysia. Environmental Science. Wageningen University. Wageningen. Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem, Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB Press. Bogor. Farida dan van Noordwijk, M. 2004. Analisis debit sungai akibat alih guna lahan dan aplikasi genriver pada DAS Way Besai, Sumberjaya. Agrivita 26 (1): 39-47. [FAO] Food and Agricultural Organization. 2003. State of The World’s Forest. FAO. Rome. Firman, T. 2004. Urbanisasi, Persebaran Penduduk dan Tata Ruang di Indonesia. www.bktrn.org. [1 Desember 2004]. Ford, A. 1999. Modeling the Environment. An Introduction to System Dynamics Models of Environmental System. Island Press. Washington DC. Forrester, J.W. 1994. System Dynamics, System Thinking, Soft OR. System Dynamics Review 10 (2): 1-14. Forrester, J.W. 1995. Counterintuitive Behavior of Social System. World Dynamics. Pegasus Communication. Waltham.
Gans, O., and F. Jost. 2005. Decomposing the impact of population growth on environmental deterioration: some critical comments on a widespread method in ecological economics. Discussion Paper Series No. 422. Department Economics, University of Heidelberg. Glasson, J. 1974. An Introduction to Regional Planning. Hutchinson. London. Global Footprint Network. 2004. Living Planet Report 2004. www.panda.org. [7 Juli 2005]. Godet, M., R. Monti, F. Meunier and F. Roubelat. 1999. Scenarios and strategies, a toolbox for scenario planning. LIPS Working Papers. Laboratory for Investigation in Prospective and Strategy. Paris. Godet, M. 2000. The art of scenario and strategic planning: tools and pitfalls. Technological Forecasting and Social Change 65: 3-22. Grunkemeyer, W., and M. Moss. 1999. Key Concepts in Sustainable Development. Regional Research Institute. West Virginia University. West Virginia. Haeruman, H. 2004. Penataan Ruang dalam Era Otonomi Daerah yang Diperluas. www.bktrn.org [1 Desember 2004]. Hall, C.A.S. 2006. Integrating concept and models from development economics with land use change in the tropics. Environment, Development and Sustainability 8:19-52 Hatem, F. 1993. La Prospective. Pratiques et Methodes. Gestion & Economica. Paris. Jayadinata, J.T. 1992. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan dan Wilayah. Penerbit ITB. Bandung. [Kimpraswil] Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah 2002. Pedoman Penyusunan RTRW Kabupaten. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Direktorat Jenderal Penataan Ruang Lambin, E.F., H.J. Geist, and E. Lepers. 2003. Dynamics of land use and land cover change in tropical regions. Annu. Rev. Environ. Resour. 28:205-41 Lewan, L. 2000. Ecological Footprints and Biocapacity. Tools in planning and monitoring of sustainable development in an international perpective. Swedish International Protection Agency. Stockholm. Marimin. 2005. Teori dan Aplikasi SistemPakar dalam Teknologi Manajerial. IPB Press. Bogor.
Martin, D. 1991. Geographic Information System and Their Socioeconomic Application. Routledge. New York. Mather, A.S. 1986. Land Use. Longman Inc. New York. McKeown, R. 2002. Education for Sustainable Development Toolkit. University of Tennesseee, Knoxville. http://www.esdtoolkit.org. [25 September 2006]. Meadows, D. 1998. Indicators and information system for sustainable development. A report to Balaton Group. The Sustainability Institute. Hartland. Munasinghe, M. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development. The World Bank. Washington DC. Nugroho, I. Dan R. Dahuri. 2004. Pembangunan Wilayah. LP3ES. Jakarta. Nurzaman, S.S. 2002. Kemampuan penyusunan RTRW Kabupaten sebagai salah satu indikator kesiapan otonomi. Pemikiran dan Praktek Perencanaan dalam Era Transformasi di Indonesia. Departemen Teknik Planologi ITB. Jakarta. Omar, K.F. 2003. Assessing Northern’s Progress towards Sustainability, Baseline Report. IUCN-The World Conservation Union. Prescott-Allen, R. 2001. The Wellbeing of Nation, A Country by country Index of Quality of Life and the Environment. Island Press. London. Pontius, R.G., and L.C. Schneider. 2001. Land-cover change model validation by and ROC method for the Ipswich watershed, Massachusetts, USA. Agriculture, Ecosystem & Environment 85: 239-248. Renyansih dan Budisantoso. 2003. Kelembagaan tata ruang di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum sampai Departemen Kimpraswil. Beberapa ungkapan Sejarah Penataan Ruang Indonesia 1948-2000. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Jakarta. RePPPRot. 1990. The Land Resource of Indonesia: A National Overview. Directorate General of Settlement Ministry of Transmigration. Jakarta., and Natural Reserach Institute, Overseas Development Administration. London. Rustan, U. 2004. Akan Efektifkah Tata Ruang Perdesaan dalam Pengendalian Sumberdaya Lahan Wilayah. www.bktrn.org [1 Desember 2004]. Sandy, I. M. 1999. Penataan Ruang dalam Pembangunan. Geografi dan Penerapannya dalam Pembangunan Wilayah. Jurusan Geografi. FMIPA. UI. Depok.
Soefaat. 2003. Lembaga Tata Ruang Pertama di Indonesia. Beberapa ungkapan Sejarah Penataan Ruang Indonesia 1948-2000. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Jakarta. Soepbroer, W. 2001. The Conversion of Land Use and its Effects at Small regional extent, an application for Sibuyan Island, The Philippines. Environmental Science, Wageningen University. Wageningen. Solihin, D. 2004. Indonesia: National Land Policies Framework, recommendation from Public Consultation. www.bktrn.org. [ 1Desember 2004]. Treyer, S. 2003. Prospective analysis on agricultural water use in the Mediterranean. Plan Bleu, ENGREF, Environmental Department, Management Research. www. Engref.fr/rgt/doc-pdf/Treyer-polagwatmetodologyproposal.PDF. [14 Agustus 2003]. [UNDP] United Nations Development Programme. 2004. Human Development Report 2004. Cultural liberty in today’s diverse world. UNDP. New York. [UNESCO-UIS/OECD] United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization – UNESCO Institute for Statistics/ Organisation for Economic Co-operation and Development. Education Trends in Prespective, Analysis of The World Education Indicators. Paris: UNESCO-UIS/OECD United Nation. 2006. The Millenium Development Goals Report 2006. United Nation. New York. Unwin, D. 1981. Introductory to Spatial Analysis. Methuen. New York. Veldkamp, A. et al. 2001. The need for scale sensitive approaches in spatially explicit land use change modelling. Environmental Modelling and Assessment 6: 111-121. Verburg, P.H., T.A. Veldkamp, and J. Bouma. 1999. Land use change under condition of high population pressure: the case of Java. Global Environmental Change 9: 303-312. Verburg, P.H., et al. 2002. Modeling the spatial dynamics of regional land use: The CLUE-S Model. Environmental Management 30: 391-405. Verburg, P.H., P. Schot, M. Dijst, and T.A. Veldkamp. 2004. Land use change modelling: current practice and reserach priorities. Geo Journal 61: 306-324 Venetoulis, J., D. Chazan, and C. Gaudet. 2004. Ecological Footprint of Nations. Redefining Progress. www. Redefining progress.org [2 Desember 2004]
Wackernagel, M., C. Monfreda and D. Moran. 2004. National Footprint and Biocapacity Account 2004: The Underlying calculation method. Global Footprint Network. Oakland. Wackernagel, M., and W. Rees. 1996. Our Ecological Footprint. Reducing Human Impact on the Earth. New Society Publisher. Philadelphia. Willeman, L. 2002. Modelling of land cover changes with CLUE-S in Bac Kan Province, Vietnam. Laboratory of Soil Science and Geology Wageningen University. Wageningen. Witte, N. 2003. Accessibility as a driving factor for land use change. Thesis report. Laboratory of Soil Science and Geology. Wageningen University. Wageningen. Yale Center for Environmental Law and Policy. 2005. 2005 Environmental Sustainability Index. Benchmarking National Environmental Stewardship. www.yale.edu/esi [5 Agustus 2005]
LAMPIRAN
Lampiran 1 Indikator dari Pembangunan yang Berkelanjutan (CSD 2001)
SOSIAL TEMA
SUBTEMA Kemiskinan
Equity (Persamaan)
Persamaan gender Status nutrisi Mortalitas
Kesehatan
Sanitasi Air minum Pelayanan Kesehatan
Pendidikan Perumahan
Tingkat pendidikan Melek huruf Kondisi tempat tinggal
Keamanan
Kriminalitas
Kependudukan
Perubahan penduduk
INDIKATOR Persen penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan Indeks gini dari ketidaksamaan pendapatan Tingkat pengangguran Rasio upah wanita terhadap upah pria Status nutrisi anak-anak Tingkat mortalitas anak di bawah 5 tahun Angka harapan hidup saat lahir Persen penduduk dengan fasilitas air buangan yang layak Penduduk dengan akses terhadap air minum yang aman Persen penduduk dengan akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan primer Imunisasi untuk penyakit infeksi anak Tingkat prevalensi kontrasepsi Anak-anak yang mencapai kelas 5 di sekolah dasar Tingkat melek huruf orang dewasa Area lantai per penduduk Jumlah kriminalitas yang terekam per 100.000 penduduk Laju pertumbuhan penduduk Penduduk di perumahan formal dan informal LINGKUNGAN
TEMA Atmosfer
SUBTEMA Perubahan iklim Penipisan lapisan ozon Kualitas udara Pertanian
Lahan Hutan Desertifikasi Urbanisasi Samudra, laut dan pesisir Air tawar
Zona pesisir Perikanan Kuantitas air Kualitas air
Biodiversity
Ekosistem Spesies
INDIKATOR Emisi gas rumah kaca Konsumsi zat-zat penyebab penipisan lapisan ozon Konsentrasi ambien dari polutan udara di area perkotaan Areal Lahan Pertanian dan Lahan yang dapat ditanami Penggunaan Pupuk Penggunaan Pestisida Areal Hutan dalam persen areal lahan Intensitas pemanenan kayu Lahan yang terkena desertifikasi Areal dari Permukiman formal dan informal perkotaan Konsentrasi alga di pesisir Persen jumlah penduduk hidup di pesisir Tangkapan tahunan dari spesies utama Pengambilan air permukaan dan air tanah tahunan sebagai persen dari ketersediaan air BOD dalam badan air Konsentrasi dari bakteri coli dalam feses di air tawar Area terpilih dari ekosistem kunci Area dilindungi sebagai persen dari total area Kelimpahan dari spesies kunci terpilih
EKONOMI TEMA
Struktur ekonomi
SUBTEMA Kinerja ekonomi Perdagangan Status finansial Konsumsi materi
Pola konsumsi dan produksi
Penggunaan energi Tingkat timbulan dan pengelolaan limbah Transportasi
INDIKATOR PDB per kapita Share investasi dalam PDB Neraca perdagangan barang dan jasa Rasio hutang terhadap PDB Total ODA (Official Development Assistance) yang diterima atau diberikan sebagai persen dari PDB Intensitas penggunaan material Konsumsi penggunaan energi per kapita Share konsumsi dari sumberdaya energi yang dapat diperbaharui Intensitas penggunaan energi Tingkat timbulan limbah industri dan rumah tangga Tingkat timbulan limbah berbahaya Tingkat timbulan limbah radioaktif Daur ulang dan penggunaan kembali limbah Jarak tempuh per kapita berdasarkan moda transportasi INSTITUSIONAL
TEMA Kerangka kerja institusi
Kapasitas institusional
SUBTEMA Strategi implementasi dari pembangunan berkelanjutan Kooperasi internasional Akses informasi Infrastruktur komunikasi Sains dan teknologi Respon dan kesiapan menghadapi bencana
INDIKATOR Strategi pembangunan berkelanjutan nasional
Implementasi dari ratifikasi persetujuan global Jumlah pelanggan internet per 1000 pelanggan Jumlah telepon per 1000 penduduk Pengeluaran untuk riset dan pengembangan sebagai persentasi PDB Kehilangan ekonomi dan manusia karena bencana alam
Lampiran 2 Jumlah Penduduk, Luas Wilayah & Kepadatan Kabupaten Bandung, Kota Bandung dan Kota Cimahi (BPS 2003) Kecamatan/Kota Ciwidey Rancabali Pasirjambu Cimaung Pangalengan Kertasari Pacet Ibun Paseh Cikancung Cicalengka Nagreg Rancaekek Majalaya Solokanjeruk Ciparay Baleendah Arjasari Banjaran Pameungpeuk Katapang Soreang Cililin Sindangkerta Gununghalu Rongga Cipongkor Batujajar Margaasih Margahayu Dayeuhkolot Bojongsoang Cileunyi Cilengkrang Cimenyan Lembang Parongpong Cisarua Ngamprah Padalarang Cipatat Cipeundeuy Cikalongwetan Kota Bandung Kota Cimahi Total
Luas Wilayah (Ha) 4984.00 14700.00 23949.36 5499.79 19542.36 15207.38 9194.01 5456.53 5824.90 4053.37 3566.35 4859.00 4529.91 2535.99 2401.00 4617.62 4182.12 6497.79 6753.12 1462.29 2116.24 6737.17 12817.20 12034.79 16079.62 11312.00 7614.65 8368.39 1796.53 1054.34 1102.69 2733.59 3157.50 2990.66 5287.12 9826.54 4339.38 5536.41 3608.58 5157.63 12549.69 10124.66 11207.81 16729.00 4023.00 328122.08
Penduduk (Jiwa) 66971 44446 72047 64792 124780 61180 89804 66294 102628 67928 93254 41210 140095 137340 70898 130674 164983 78971 145768 58576 111500 133048 165611 58116 66098 50445 76013 100012 107147 102212 101790 70924 112330 36359 83298 147986 78648 57486 122046 135452 108553 70016 99853 2228268 483242 6729092
Kepadatan (Jiwa/ Ha) 13 3 3 12 6 4 10 12 18 17 26 8 31 54 30 28 39 12 22 40 53 20 13 5 4 4 10 12 60 97 92 26 36 12 16 15 18 10 34 26 9 7 9 133 120 21
Lampiran 3 Persentase tingkat pendidikan di Kabupaten Bandung, Kota Bandung dan Kota Cimahi (BPS 2003) Kecamatan/Kota Ciwidey Rancabali Pasirjambu Cimaung Pangalengan Kertasari Pacet Ibun Paseh Cikancung Cicalengka Nagreg Rancaekek Majalaya Solokanjeruk Ciparay Baleendah Arjasari Banjaran Pameungpeuk Katapang Soreang Cililin Sindangkerta Gununghalu Rongga Cipongkor Batujajar Margaasih Margahayu Dayeuhkolot Bojongsoang Cileunyi Cilengkrang Cimenyan Lembang Parongpong Cisarua Ngamprah Padalarang Cipatat Cipeundeuy Cikalongwetan Kota Bandung Kota Cimahi
Tidak Tamat Sekolah Dasar 34.48 45.45 25.47 9.88 13.34 35.38 25.98 15.11 37.71 23.68 14.64 18.48 16.81 24.89 25.23 20.31 11.37 16.42 19.55 12.91 13.36 17.06 15.51 23.77 30.50 32.87 22.69 10.97 11.59 7.35 12.21 12.47 16.53 13.67 24.65 16.11 16.88 24.89 17.60 11.79 28.50 21.11 32.92 10.93 10.93
Tamat Sekolah Dasar 65.52 54.55 74.53 90.12 86.66 64.62 74.02 84.89 62.29 76.32 85.36 81.52 83.19 75.11 74.77 79.69 88.63 83.58 80.45 87.09 86.64 82.94 84.49 76.23 69.50 67.13 77.31 89.03 88.41 92.65 87.79 87.53 83.47 86.33 75.35 83.89 83.12 75.11 82.40 88.21 71.50 78.89 67.08 89.07 89.07
Lampiran 4 Persentase kondisi tempat tinggal rumah tangga di Kabupaten Bandung, Kota Bandung dan Kota Cimahi (BPS 2003) Kecamatan
Persen RT ( rumah milik sendiri)
Persen RT (rumah sewa/kontrak)
lainnya
Ciwidey Rancabali Pasirjambu Cimaung Pangalengan Kertasari Pacet Ibun Paseh Cikancung Cicalengka Nagreg Rancaekek Majalaya Solokanjeruk Ciparay Baleendah Arjasari Banjaran Pameungpeuk Katapang Soreang Cililin Sindangkerta Gununghalu Rongga Cipongkor Batujajar Margaasih Margahayu Dayeuhkolot Bojongsoang Cileunyi Cilengkrang Cimenyan Lembang Parongpong Cisarua Ngamprah Padalarang Cipatat Cipeundeuy Cikalongwetan Kota Bandung Kota Cimahi
93.75 80.00 92.31 97.01 81.62 92.64 94.79 88.42 96.23 87.24 92.66 93.70 87.52 82.46 97.64 84.80 77.78 90.60 92.81 80.78 83.17 89.37 93.37 95.83 98.88 91.25 99.05 89.14 85.15 81.25 66.21 84.47 82.86 92.80 86.04 81.31 81.26 90.75 77.33 92.44 93.41 93.53 90.74 62.69 62.69
1.09 5.00 0.89 1.20 1.40 3.58 2.01 7.63 3.03 3.38 2.12 2.15 8.22 8.06 1.38 6.25 6.25 5.99 3.54 7.39 5.87 2.41 1.56 2.10 0.28 2.00 0.95 5.74 6.85 10.71 21.86 14.22 5.36 2.86 3.39 0.97 9.35 2.50 15.47 4.57 0.68 3.37 2.00 20.71 20.71
5.16 15.00 6.80 1.79 16.98 3.78 3.20 3.95 0.74 9.38 5.22 4.15 4.26 9.48 0.98 8.95 15.97 3.41 3.65 11.83 10.96 8.22 5.07 2.07 0.84 6.75 0.00 5.12 8.00 8.04 11.93 1.31 11.78 4.35 10.57 17.72 9.39 6.75 7.20 2.99 5.91 3.10 7.26 16.61 16.61
Lampiran 5 Persentase penduduk dengan mata pencaharian di bidang pertanian dan non pertanian di Kabupaten Bandung, Kota Bandung dan Kota Cimahi (BPS 2003) Kecamatan Ciwidey Rancabali Pasirjambu Cimaung Pangalengan Kertasari Pacet Ibun Paseh Cikancung Cicalengka Nagreg Rancaekek Majalaya Solokanjeruk Ciparay Baleendah Arjasari Banjaran Pameungpeuk Katapang Soreang Cililin Sindangkerta Gununghalu Rongga Cipongkor Batujajar Margaasih Margahayu Dayeuhkolot Bojongsoang Cileunyi Cilengkrang Cimenyan Lembang Parongpong Cisarua Ngamprah Padalarang Cipatat Cipeundeuy Cikalongwetan Kota Bandung Kota Cimahi
pertanian 51.34 82.78 42.08 25.62 45.52 82.86 50.22 30.37 25.21 31.13 12.71 25.97 10.52 6.89 17.28 30.94 9.13 21.28 19.13 7.21 13.27 32.29 33.57 47.02 62.32 58.86 38.18 29.55 7.38 1.61 1.94 11.86 5.11 31.26 12.61 17.61 36.93 69.06 15.74 9.39 32.07 31.39 26.85 1.29 1.02
non pertanian 48.66 17.22 57.92 74.38 54.48 17.14 49.78 69.63 74.79 68.87 87.29 74.03 89.48 93.11 82.72 69.06 90.87 78.72 80.87 92.79 86.73 67.71 66.43 52.98 37.68 41.14 61.82 70.45 92.62 98.39 98.06 88.14 94.89 68.74 87.39 82.39 63.07 30.94 84.26 90.61 67.93 68.61 73.15 98.84 98.84
Lampiran 6 Variabel dependen & independen Variabel Dependen (Terikat) Penggunaan Lahan Air Hutan Lainnya Kawasan Terbangun Perkebunan Pertanian Lahan Kering Sawah
Nilai 0-1 0-1 0-1 0-1 0-1 0-1 0-1
Variabel Independen (Bebas) Nilai / Unit Sosial ekonomi Kepadatan penduduk Jiwa/ hektar Persen Tingkat pendidikan (penduduk yang mempunyai ijasah sekolah dasar dan menengah) Kondisi tempat tinggal Persen (rumah tangga yang memiliki rumah sendiri) Usaha Persen (penduduk yang bekerja di bidang pertanian) Geofisik Jenis Tanah Aluvial C 0-1 Andosol C 0-1 Asosiasi 0-1 Grumosol 0-1 Kompleks 0-1 Latosol 0-1 Geologi Aluvium 0-1 Aluvium, fasies gunung api 0-1 Eosen 0-1 Hasil gunung api kwarter tua 0-1 Hasil gunung api tak teruraikan 0-1 Miosen fasies sedimen 0-1 Pliosen fasies sedimen 0-1 Plistosen sedimen gunung api 0-1 Elevasi Meter Slope Derajat Aspek Derajat Aksesibilitas Jarak dari jalan raya utama Meter Jarak ke pusat kota Meter Iklim Curah hujan milimeter
Nama File Cov1_0.0 Cov1_1.0 Cov1_2.0 Cov1_3.0 Cov1_4.0 Cov1_5.0 Cov1_6.0 Nama File Sc1gr0.fil Sc1gr1.fil Sc1gr2.fil Sc1gr3.fil
Sc1gr4.fil Sc1gr5.fil Sc1gr6.fil Sc1gr7.fil Sc1gr8.fil Sc1gr9.fil Sc1gr10.fil Sc1gr11.fil Sc1gr12.fil Sc1gr13.fil Sc1gr14.fil Sc1gr15.fil Sc1gr16.fil Sc1gr17.fil Sc1gr18.fil Sc1gr19.fil Sc1gr20.fil Sc1gr21.fil Sc1gr22.fil Sc1gr23.fil
(a)
(c)
(b)
(d)
Lampiran 7 Peta Sosial Ekonomi Wilayah (a) Peta kepadatan penduduk Kabupaten Bandung (jiwa/hektar) (b) Peta tingkat pendidikan masyarakat Kabupaten Bandung ditunjukkan dengan persen penduduk usia lebih dari 10 tahun yang telah memiliki ijasah sekolah dasar (SD) (c) Peta kondisi tempat tinggal masyarakat Kabupaten Bandung dinyatakan denga persen rumah tangga yang memiliki rumah sendiri (d) Peta mata pencaharian penduduk pada sektor pertanian dinyatakan dalam persen tenaga kerja yang bekerja pada bidang pertanian
(a)
(c)
(e) Lampiran 8 Peta geofisik, iklim dan aksesibilitas (a) Elevasi (d) Curah hujan (b) Slope (e) Jarak dari jalan raya (c) Aspek (f) Jarak dari pusat
(b)
(d)
(f)
a
b
c
d
e
f
g
h
Lampiran 9 Peta geologi binari (a) aluvium, (b) alluvium, fasies gunung api, (c) eosen, (d) hasil gunung api kwarter tua, (e) hasil gunung api tak teruraikan, (f) miosen fasies sedimen, (g) pliosen fasies sedimen, (h) plistosen sedimen gunung api
(a)
(c)
(b)
(d)
(e) (f) Lampiran 10 Peta binari untuk jenis tanah Kabupaten Bandung (a) Alluvial C (b) Andosol C (c) Asosiasi (d) Grumosol (e) Kompleks (f) Latosol
(a)
(b)
(c)
Lampiran 11 Spatial policy yang digunakan untuk pemodelan dengan CLUE-s (a) Tidak ada larangan tertentu (b) Terdapat larangan konversi (alih fungsi) lahan pada wilayah cagar alam (c) Terdapat larangan konversi (alih fungsi) lahan pada wilayah cagar alam dan kawasan lindung
Lampiran 12 File Demand.in1 Air
Hutan
Lainnya
Kawasan Terbangun
Perkebunan
Pertanian Lahan Kering
Sawah
Tahun 2003
6675.00
67331.25
4968.75
41100.00
7875.00
182118.75
15775.00
Tahun 2004
6675.00
64486.15
4710.41
41809.12
7400.49
185834.15
14928.43
Tahun 2005
6675.00
61704.11
4461.37
42491.10
6948.13
189449.82
14114.22
Tahun 2006
6675.00
58989.09
4221.70
43145.45
6517.57
192962.50
13332.44
Tahun 2007
6675.00
56344.55
3991.44
43771.81
6108.38
196369.56
12583.02
Tahun 2008
6675.00
53773.38
3770.57
44369.98
5720.07
199669.00
11865.75
Tahun 2009
6675.00
51277.97
3559.03
44939.90
5352.11
202859.44
11180.31
Tahun 2010
6675.00
48860.20
3356.74
45481.62
5003.91
205940.03
10526.24
Tahun 2011
6675.00
46521.50
3163.58
45995.33
4674.85
208910.50
9903.00
Tahun 2012
6675.00
44262.80
2979.37
46481.31
4364.29
211771.03
9309.94
Tahun 2013
6675.00
42084.65
2803.96
46939.94
4071.54
214522.31
8746.35
Tahun 2014
6675.00
39987.19
2637.12
47371.70
3795.91
217165.40
8211.43
Tahun 2015
6675.00
37970.18
2478.64
47777.14
3536.69
219701.75
7704.35
Tahun 2016
6675.00
36033.08
2328.28
48156.87
3293.19
222133.14
7224.20
Tahun 2017
6675.00
34175.05
2185.77
48511.57
3064.67
224461.63
6770.06
Tahun 2018
6675.00
32394.96
2050.85
48841.96
2850.44
226689.57
6340.97
Tahun 2019
6675.00
30691.48
1923.25
49148.78
2649.80
228819.47
5935.96
Tahun 2020
6675.00
29063.06
1802.69
49432.85
2462.05
230854.06
5554.05
Tahun 2021
6675.00
27507.97
1688.89
49694.95
2286.51
232796.19
5194.24
Tahun 2022
6675.00
26024.36
1581.55
49935.92
2122.54
234648.83
4855.55
Tahun 2023
6675.00
24610.23
1480.41
50156.60
1969.48
236415.04
4537.00
File Demand.in2 Air
Hutan
Lainnya
Kawasan Terbangun
Perkebunan
Pertanian Lahan Kering
Sawah
Tahun 2003
6675.00
67331.25
4968.75
41100.00
7875.00
182118.75
15775.00
Tahun 2004
6675.00
65899.44
4838.45
41456.95
7635.69
183989.42
15348.80
Tahun 2005
6675.00
64482.93
4710.46
41807.18
7401.91
185835.66
14930.61
Tahun 2006
6675.00
63082.27
4584.80
42150.62
7173.62
187656.99
14520.46
Tahun 2007
6675.00
61697.97
4461.47
42487.19
6950.80
189453.00
14118.35
Tahun 2008
6675.00
60330.51
4340.48
42816.84
6733.38
191223.27
13724.30
Tahun 2009
6675.00
58980.31
4221.84
43139.51
6521.32
192967.41
13338.30
Tahun 2010
6675.00
57647.84
4105.56
43455.20
6314.58
194685.28
12960.35
Tahun 2011
6675.00
56333.41
3991.62
43763.82
6113.07
196376.41
12590.41
Tahun 2012
6675.00
55037.57
3880.04
44065.53
5916.78
198041.26
12228.50
Tahun 2013
6675.00
53760.14
3770.79
44359.90
5725.57
199677.88
11874.47
Tahun 2014
6675.00
52501.87
3663.87
44647.33
5539.44
201287.83
11528.40
Tahun 2015
6675.00
51262.87
3559.28
44927.70
5358.29
202870.46
11190.18
Tahun 2016
6675.00
50043.33
3457.01
45200.99
5182.06
204425.59
10859.77
Tahun 2017
6675.00
48843.46
3357.02
45467.25
5010.66
205953.24
10537.10
Tahun 2018
6675.00
47663.42
3259.32
45726.50
4844.02
207453.39
10222.09
Tahun 2019
6675.00
46503.33
3163.88
45978.77
4682.06
208926.05
9914.68
Tahun 2020
6675.00
45363.30
3070.68
46224.09
4524.71
210371.19
9614.78
Tahun 2021
6675.00
44243.41
2979.70
46462.52
4371.87
211788.98
9322.31
Tahun 2022
6675.00
43143.68
2890.92
46694.10
4223.46
213179.38
9037.17
Tahun 2023
6675.00
42064.19
2804.30
46918.89
4079.39
214542.65
8759.27
Lampiran 13 Matriks Regulasi Tata Ruang (Hasil inventarisasi) Kelompok
Regulasi
Penjelasan
Undangundang
Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokokpokok agraria
Undang-undang tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria berisi ketentuan hakhak atas tanah, air dan ruang angkasa serta pendaftaran tanah, juga ketentuan konversi. Dalam undang-undang ini, yang ditetapkan meliputi pendaftaran tanah, hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa untuk bangunan, hak membuka tanah dan memungut hasil hutan, hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan, hak guna ruang angkasa, hak-hak tanah untuk keperluan suci dan sosial.
Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang
Undang-undang ini mengatur penataan ruang yang meliputi perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penataan ruang yang diharapkan dapat mencapai pemanfaatan ruang yang berwawasan lingkungan dan berkualitas, serta dapat menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan.
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
Undang-undang ini mengatur kewenangan pemerintah daerah baik propinsi mapun kabupaten/ kota. Kewenangan tersebut meliputi antara lain: − perencanaan dan pengendalian pembangunan; − perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; − penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; − penyediaan sarana dan prasarana umum;
Lanjutan Lampiran 13 Kelompok
Peraturan Pemerintah
Regulasi
Penjelasan
Peraturan pemerintah no 69 tahun 1996 tentang pelaksanaan hak dan kewajiban serta bentuk peran serta masyarakat dalam penataan ruang
Peraturan pemerintah ini mengatur hak masyarakat untuk berperan serta dalam proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian tata ruang. Peraturan ini berisi tentang cara memberikan masukan kepada pemerintah dalam penataan ruang.
PeraturanPemerintah nomor 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
RTRWN berisi tujuan nasional pemanfaatan ruang untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan; pola pemanfaatan dan struktur ruang wilayah nasional; dan kriteria dan pola pengelolaan kawasan lindung, kawasan budi daya dan kawasan tertentu. RTRWN ini merupakan pedoman bagi pemerintah daerah propinsi, kabupaten dan kota dalam penataan ruang.
Peraturan Pemerintah nomor 15 tahun 2004 tentang Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional
Peraturan ini mengatur tentang Perum Perumnas yang didirikan untuk melaksanakan penataan perumahan dan permukiman bagi masyarakat; dan membantu memenuhi kebutuhan perumahan bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah.
Peraturan Pemerintah nomor 16 tahun 2004 tentang penatagunaan tanah
Penyelenggarakan penatagunaan tanah meliputi pelaksanaan inventarisasi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah; penetapan perimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan; penetapan pola penyesuaian penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dengan Rencana Tata Ruang Wilayah.
Peraturan Pemerintah nomor 34 tahun 2002 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan
Kawasan hutan meliputi: hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperolehmanfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestarian hutan.dengan memenuhi kriteria dan indikator pengelolaan hutan secara lestari, yang mencakup aspek ekonomi,sosial dan ekologi.
Lanjutan Lampiran 13
Kelompok
Regulasi
Penjelasan
Keputusan Presiden
Keputusan Presiden No 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
Pengelolaan kawasan lindung bertujuan untuk mencegah timbulnya kerusakan fungsi lingkungan hidup. Pemerintah daerah tingkat I menetapkan wilayahnya sebagai kawasan lindung dengan menetapkan peraturan daerah.
Keputusan Presiden No 75 tahun 1993 tentang Koordinasai Tata Ruang Nasional
Koordinasi penataan ruang nasional diselenggarakan dalam sebuah badan yang disebut Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional. Bertugas : − Melakukan inventarisasi sumberdaya dalam rangka penyusunan dan penyempurnaan strategi nedional pengembangan pola tata ruang serta pola pengelolaannya. − Mengkoordinasikan pelaksanaan strategi nasional pengembangan pola tata ruang − Menyelenggarakan pembinaan pelaksanaan penataan ruang daerah. − Merumuskan kebijaksanaan dan mengkoordinasikan penanganan dan penyelesaian masalah yang timbul dalam penataan ruang (nasional dan daerah), memberikan saran pemecahan kepada Pemerintah. − Mengkoordinasikan penyusunan peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Merupakan peraturan dalam penyusunan Rancangan Undang-undang Penyempurnaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria danRancangan Undang-undang tentang Hak Atas Tanah serta peraturan perundangundanganlainnya di bidang pertanahan. Sebagai arahan dalam pembangunan sistim informasi dan manajemen pertanahan yang meliputi : − penyusunan basis data tanah-tanah aset negara/ pemerintah/pemerintah daerah di seluruh Indonesia; − penyiapan aplikasi data tekstual dan spasial dalam pelayanan pendaftaran tanah dan penyusunan basis data penguasaan dan pemilikan tanah, yang dihubungkan
Keputusan Presiden No 34 tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional bidang pertanahan
−
−
Keputusan Presiden No 41 tahun 1996 tentang Kawasan Industri
dengan e-government, e-commerce dan epayment; pemetaan kadasteral dalam rangka inventarisasi dan registrasi penguasaan,pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dengan menggunakan teknologi citra satelit dan teknologi informasi untuk menunjang kebijakan pelaksanaan landreform dan pemberian hak atas tanah; pembangunan dan pengembangan pengelolaan penggunaan dan pemanfaatan tanah melalui sistim informasi geografi, dengan mengutamakan penetapan zona sawah beririgasi, dalam rangka memelihara ketahanan pangan nasional
Pembangunan kawasan industri bertujuan: Mempercepat pertumbuhan industri, memberikan kemudahan bagi kegiatan industri, mendorong kegiatan industri untuk berlokasi di kawasan industri danmeningkatkan upaya pembangunan industri yang berwawasan lingkungan. Pembangunan kawasan industri tidak mengurangi areal lahan pertanian dan tidak dilakukan di atas tanah yang mempunyai fungsi perlindungan sumber daya alam dan warisan budaya.
Keputusan Presiden No 150 tahun 2000 tentang Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu.
Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), merupakan wilayah geografis dengan batas-batas tertentu yang memenuhi persyaratan memiliki potensi untuk cepat tumbuh; dan atau; mempunyai sektor unggulan yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitarnya; dan atau memiliki potensi pengembalian investasi yang besar.