INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH UNTUK MENDUKUNG PENATAAN RUANG: STUDI KASUS DI PULAU JAWA
NURWADJEDI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN DISERTASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah untuk Mendukung Penataan Ruang: Studi Kasus di Pulau Jawa adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2011
Nurwadjedi NIM A161080022
ABSTRACT NURWADJEDI. Rice Field Sustainability Index for Supporting Spatial Use Management: Case Study in Java Island. Under direction of Budi Mulyanto, Supiandi Sabiham, Aris Poniman, and Suwardi. A Java island, rice bowl of Indonesia, plays an important role in protecting the national food security. The weakness of the national food security threatens the national unity of the Republic of Indonesia (NKRI). Currently, the sustainability of rice fields of Java which supports the national food security is facing the problems due to the increase of population which causes multidimensional impacts. The objective of this research was (1) to establish the rice field agro-ecological zones as the basis for the assessment of the rice field sustainability, (2) to determine the rice field carrying capacity in provincial regions, (3) to determine the index of rice field sustainability based on rice field agroecological zones, and (4) to formulate the alternative policies of land management for supporting spatial use management in achieving sustainable agricultural development. A rice field agro-ecological zone is defined as a rice area in cultivated land which has similarity of potential productivity and cropping intensity. Data analysis method for delineating rice field agro ecological zones was GIS model base based on the criteria of land suitability, irrigation conditions, and area status; for selecting main indicators and categorizing of rice field sustainability consecutively used factor and discriminant analysis; and for formulating the alternatives policies of land management was Analytical Hierarchy Process (AHP). The results showed that 3,101,354 ha (86.9%) productive rice field agro-ecological zones are dominated by productive rice fields of fertile volcanic soils supported by moderate irrigation condition applied to the number of cropping intensity of 2 (IP200). With the rice consumption scenario of 110 kg/capita/year, most of the rice field carrying capacity of Java with the total rice production of 23,012,032 ton per year is predicted under sustainable condition until 2025 in which the total population achieves 128,470,256 persons. Mostly, the sustainability status of these productive rice fields is categorized into moderately sustainable. The problems of the rice field sustainability are dominantly caused by main indicators of water availability, low content of soil organic matter, N-total nutrient, P-available nutrient, and K-available nutrient, low farmer income, rice field conversion, difficult access of fertilizers, land ownership and fragmentation, low farmer education, and old age of farmers. To solve these problems in conjunction with spatial use management to achieve sustainable agricultural development, the economical factor policy is the most important, compared to the biophysical factor and social-cultural policies; while the social-cultural policy is more important than the biophysical factor policy. Except for social-cultural policy, the determination of the priority locations to apply these policies is affected by the characteristics of rice field agro-ecological zones. The implementation of these policies needs coordination among stakeholders, considering that rice fields have multifunction which can be categorized into common pool resource. Through these policies, it is believed that rice production of Java will be self-sufficiency or rice exporter. To achieve these expectations, it is required to establish National Rice Agency and the spatial data management through the development of National Spatial Data Infrastructure (NSDI). Key words: rice field agro-ecological zone, spatial use management, NSDI GIS modelbase, rice field sustainability, common pool resource
RINGKASAN NURWADJEDI. Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah untuk Mendukung Penataan Ruang: Studi Kasus di Pulau Jawa. Di bawah bimbingan Budi Mulyanto, Supiandi Sabiham, Aris Poniman, dan Suwardi. Pulau Jawa sebagai lumbung beras nasional berperan penting dalam menjaga ketahanan pangan nasional. Rapuhnya ketahanan pangan di pulau Jawa dapat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Saat ini, keberlanjutan lahan sawah di pulau Jawa yang berperan menjaga ketahanan pangan nasional tersebut sedang menghadapi masalah karena peningkatan jumlah penduduk yang dapat mengakibatkan peningkatan konsumsi pangan dan kebutuhan lahan permukiman. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menetapkan zona agroekologi lahan sawah sebagai basis kajian keberlanjutan, (2) menentukan daya dukung lahan sawah di setiap wilayah provinsi, (3) menentukan indeks keberlanjutan pertanian lahan sawah berdasarkan zona agroekologi, dan (4) merumuskan alternatif kebijakan pengelolaan lahan sawah berdasarkan zona agroekologi untuk mendukung penataan ruang dalam rangka mewujudkan pertanian lahan sawah berkelanjutan. Penelitian menggunakan data primer dan sekunder, yang mencakup lingkungan biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya. Penelitian yang berlangsung dari bulan Maret 2009 hingga Juni 2010 dimulai dengan pengumpulan dan kompilasi berbagai data primer dan sekunder baik dalam bentuk spasial (peta) maupun non-spasial (data diskriptif) dari instansi-instansi terkait. Data primer dan sekunder yang terkumpul digunakan untuk membangun basis model Sistem Informasi Geografi (SIG) yang merupakan hasil overlay dari layer sistem lahan, penutup lahan, kawasan hutan, agroklimat, potensi air tanah dan kondisi irigasi, sosial-budaya yang terintegrasi dengan layer batas wilayah. Basismodel SIG ini digunakan untuk mensintesa zona agroekologi lahan sawah, yang didefinisikan sebagai lahan sawah di kawasan budidaya yang memiliki kesamaan kelas kesesuaian lahan dan intensitas pertanaman. Setelah tingkat akurasinya divalidasi di lapangan dengan teknik sampling klaster dan stratifikasi, zona agroekologi lahan sawah yang disintesa kemudian digunakan sebagai basis untuk menentukan daya dukung lahan sawah dan untuk memetakan indeks keberlanjutan lahan sawah yang didasarkan pada indikator utama keberlanjutan lahan sawah yang diseleksi dan dikelompokkan dengan analisis faktor dan diskriminan. Nilai indeks keberlanjutan yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk mengidentifikasi indikator utama dari faktor lingkungan biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya yang berperan sebagai faktor penghambat dan faktor pendorong keberlanjutan lahan sawah. Permasalahan keberlanjutan lahan sawah dari faktor penghambat digunakan sebagai basis kajian pengelolaan lahan untuk merumuskan alternatif kebijakan dalam mendukung penataan ruang yang bertujuan untuk mewujudkan pembangunan pertanian berkelanjutan. Perumusan alternatif kebijakan pengelolaan lahan sawah tersebut dianalisis dengan Analytical Hirarchy Process (AHP), dengan sumber data dari pendapat para birokrat dan pakar dari instansiinstansi pemerintah, lembaga penelitian, perguruan tinggi, dan pedagang beras. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lahan sawah di Jawa dengan luas total 3,569,829 ha dapat dipetakan menjadi 10 tipe zona agroekologi lahan sawah, yang
terdiri dari sembilan zona lahan sawah produktif dengan luas 3,101,354 ha (86.9%) dan satu zona lahan tidak produktif dengan luas 468,475 ha (13.1%). Sebagian besar lahan sawah produktif tersebut merupakan tanah subur yang berbahan induk bahan volkan dengan didukung infrastruktur irigasi yang cukup memadai yang ditanami padi sawah dua kali dalam setahun (IP200). Lahan sawah produktif ini diprediksi memiliki luas panen 6,123,810 ha dengan potensi produksi 35,403,127 ton GKG/tahun atau setara 23,012,032 ton beras/tahun. Ditinjau distribusinya, lahan sawah produktif secara berurutan banyak menyebar di provinsi Jawa Timur ( 1,011,876 ha), Jawa Tengah (953,201 ha), Jawa Barat (892,763 ha), Banten (192,126 ha), DI. Yogyakarta (48,100 ha) , dan DKI. Jakarta (3,288 ha). Dengan menggunakan skenario konsumsi beras 100-140 kg/kapita/tahun, kondisi daya dukung lahan sawah di pulau Jawa dari tahun 2005 hingga 2025 umumnya menunjukkan kategori bersyarat. Namun demikian, daya dukung lahan sawah di setiap provinsi menunjukkan kondisi yang berbeda-beda, tergantung pada jumlah penduduk, luasan lahan sawah produktif, dan konsumsi beras. Dengan skenario konsumsi beras 140 kg/kapita/tahun, daya dukung lahan sawah di provinsi-provinsi yang berperan sebagai lumbung padi andalan seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat mengarah ke kondisi bersyarat mulai tahun 2015. Konsumsi beras 110 kg/kapita/tahun atau setara dengan 1,130 kkal/kapita/hari dinilai paling ideal untuk menjaga keberlanjutan lahan sawah karena energi yang dikandungnya telah sesuai dengan standar Pola Pangan Harapan Nasional (PPHN), yaitu 50% dari energi 2,200 kkal untuk memenuhi kebutuhan energi setiap orang dalam sehari dari kelompok pangan padi-padian. Oleh karena itu, konsumsi beras nasional sebesar 139.15 kg/kapita/hari atau setara dengan 1,430 kkal/kapita/hari dinilai terlalu tinggi karena energi yang dikandungnya telah melebihi standar PPHN. Indeks keberlanjutan yang dapat berperan untuk pengendalian pelaksanaan penataan ruang dalam rangka mewujudkan pemanfaatkan lahan sawah berkelanjutan di Jawa sebagian besar termasuk kategori cukup berkelanjutan. Indikator keberlanjutan lahan sawah yang mencakup faktor lingkungan biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya dapat berperan sebagai faktor pendukung dan penghambat. Indikator faktor pendukung keberlanjutan lahan sawah ditunjukkan oleh kandungan unsur hara P-total dan K-total (sedang-tinggi), bebas pencemaran air laut, fasilitas pengolahan pascapanen, akses pemasaran, budaya menanam padi sawah dengan IP200 yang ramah lingkungan, motivasi bertani yang tinggi, dan persepsi menolak konversi lahan sawah menjadi daerah permukiman dan industri. Adapun indikator faktor penghambat yang dapat mengancam keberlanjutan lahan sawah meliputi ketersediaan air, kandungan C-organik rendah, N-total rendah, Ptersedia rendah, K-tersedia rendah, keuntungan petani yang rendah, akses perolehan pupuk yang sulit, konversi lahan, penguasaan dan fragmentasi lahan, tingkat pendidikan petani rendah, dan usia petani yang lanjut. Kebijakan pengelolaan lahan paling penting untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah adalah kebijakan faktor ekonomi, kemudian diikuti oleh kebijakan faktor sosial-budaya, dan lingkungan biofisik. Dalam kebijakan faktor ekonomi, kebijakan pemberian subsidi/kredit usahatani lebih penting daripada kebijakan peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, revisi peta RTRW Provinsi, pemberian insentif dan disinsentif. Kebijakan pengendalian
iii
jumlah penduduk adalah paling penting untuk mengatasi permasalahan faktor sosial-budaya, kemudian menyusul kebijakan pemberdayaan petani dan Poktan melalui peningkatan pendidikan dan kaderisasi petani serta reforma agraria. Kebijakan pembangunan dan perbaikan saluran irigasi serta konservasi tanah dan air merupakan prioritas pertama untuk mengatasi permasalahan faktor lingkungan biofisik. Setelah itu, kebijakan yang perlu diterapkan adalah pemberian pupuk berimbang dan pengendalian hama dan penyakit tanaman terpadu. Penerapan kebijakan faktor biofisik dan ekonomi dapat ditempatkan di lokasi yang berbedabeda, tergantung pada karakteristik zona agroekologi lahan sawah, sedangkan penerapan kebijakan faktor sosial-budaya dapat ditempatkan di semua lokasi, tanpa ada skala prioritas. Kunci keberhasilan penerapan semua kebijakan pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang terletak pada komitmen pemerintah terhadap masalah pengaturan kelembagaan dan kebijakan pendukung lainnya, seperti merevisi kebijakan konsumsi beras 139.15 kg/kapita/tahun menjadi 110 kg/kapita/tahun dan kebijakan diversifikasi pangan. Pengaturan kelembagaan ini sangat penting, mengingat lahan sawah memiliki multifungsi yang dapat dikategorikan sebagai barang milik bersama (common pool resource). Kegagalan dalam pengaturan kelembagaan ditunjukkan oleh terjadinya pengalokasian kawasan permukiman di lahan sawah produktif pada peta RTRW, yang diprediksi dapat mengakibatkan kehilangan produksi beras sekitar 3 juta ton beras setiap tahun dari konversi lahan seluas 393,739 ha. Selain itu, rendahnya perolehan keuntungan petani yang mengakibatkan pendapatannya semakin pas-pasan (marginal) merupakan bukti terjadinya kegagalan pasar karena ada nilai jasa petani yang tidak diperhitungkan dalam penentuan harga padi. Apabila pemerintah benar-benar komitment melaksanakan kebijakan pengaturan kelembangan, pulau Jawa tidak mustahil akan dapat berswasembada beras atau bahkan sebagai pengekspor beras. Karena lahan sawah bersifat multifungsi, pengaturan kelembagaan ini disarankan dapat dikelola oleh lembaga khusus “Badan Persawahan Nasional” yang mempunyai tugas dan fungsi penyelenggaraan pengelolaan lahan sawah secara terpadu untuk menjaga ketahanan pangan nasional. Selain itu, upaya untuk menjaga keberlanjutan lahan sawah juga memerlukan dukungan kebijakan penataan data lahan sawah melalui pembangunan Infrastruktur Data Spasial Nasional (IDSN). Kata kunci: zona agroekologi lahan sawah, penataan ruang, keberlanjutan lahan sawah, basis model SIG, sumberdaya milik bersama, IDSN
iv
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB
INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH UNTUK MENDUKUNG PENATAAN RUANG : Studi Kasus di Pulau Jawa
NURWADJEDI
Disertasi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Disertasi Nama NIM
: Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah untuk Mendukung Penataan Ruang : Studi Kasus di Pulau Jawa : Nurwadjedi : A161080022
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Budi Mulyanto, MSc Ketua
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, MAgr Anggota
Dr. Ir. Suwardi, MAgr Anggota
Prof. Dr. Aris Poniman Anggota Mengetahui Ketua Program Mayor Ilmu Tanah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Atang Sutandi, MS
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodipuro, MS
Tanggal ujian: 14 Januari 2011
Tanggal lulus: _________________
Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Priyadi Kardono, MSc Deputi Bidang Survei Dasar dan Sumber Daya Alam BAKOSURTANAL 2. Dr. Ir. M. Ardiansyah, MSc Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Asep Karsidi, MSc Kepala Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) 2. Dr. Ir. Baba Barus, MSc Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PRAKATA Dengan memanjatkan rasa syukur kehadirat Allah SWT atas segala rakhmat, nikmat, karunia, dan hidayahNya, penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi sebagai prasyarat memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana IPB. Disertasi dengan judul Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah untuk Mendukung Penataan Ruang: Studi Kasus di Pulau Jawa ini adalah hasil penelitian yang dilaksanakan di laboratorium dan di lapangan dari bulan Maret 2009 hingga bulan Juni 2010. Penulis melakukan penelitian ini diinspirasi oleh
adanya kekhawatiran
dinamika ketahanan pangan nasional yang cenderung bergejolak akibat krisis pangan dunia pada tahun 2007-2008. Penulis memperoleh inspirasi itu sebelum memperoleh tugas belajar di Sekolah Pascasarjana IPB dengan mendapat beasiswa dari Kementerian Riset dan Teknologi. Dengan mengambil lokasi penelitian di pulau Jawa sebagai lumbung beras nasional andalan,
penulis
mempunyai harapan untuk dapat menjawab permasalahan pokok keberlanjutan lahan sawah di Jawa khususnya, dan di Indonesia pada umumnya. Hasil
penelitian ini secara ringkas diorganisasikan menjadi tiga topik
kegiatan pokok, yaitu (1) penetapan zona agroekologi lahan sawah dan daya dukung wilayah, (2) penentuan indeks keberlanjutan
lahan sawah, dan (3)
perumusan alternatif kebijakan pengelolaan lahan sawah. Pembahasan ketiga topik kegiatan pokok tersebut secara utuh dirangkai menjadi delapan bab, daftar pustaka, ringkasan, dan lampiran. Delapan bab tersebut terdiri dari (1) pendahuluan (bab 1), tinjauan pustaka (bab 2), metodologi penelitian (bab 3), zona agroekologi sebagai basis kajian keberlanjutan lahan sawah (bab 4), indeks keberlanjutan lahan sawah (bab 5), kebijakan pengelolaan lahan sawah (bab 6), pembahasan umum (bab 7), serta kesimpulan, saran, dan kebaruan (bab 8). Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, terutama pemangku kepentingan pengambil kebijakan tentang penataan ruang dan ketahanan pangan nasional.
Bogor, Januari 2011 Nurwadjedi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Malang pada tanggal 24 April 1959 sebagai anak kelima dari Bapak Sarbini (Alm) dan Ibu Masrifah (Alm). Pada tahun 1989, penulis menikah dengan Enni Dwi Wahjunie dan pada tahun 2003 dikarunia seorang putra, Fahmi Akbar (7 tahun). Pendidikan sarjana ditempuh di Departemen Ilmu-Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (1979-1983). Pada tahun 1984 penulis bekerja di Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL). Pada tahun 1985 penulis mengikuti pelatihan pemetaan geomorfologi, dari program kerjasama antara BAKOSURTANAL dan International Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences (ITC) Enschede, Belanda. Pada tahun 1986-1989 dengan sponsor Bank Dunia penulis melanjutkan pendidikan program pascasarjana (MSc) di Department of Land Resource Science, University of Guelph, Canada. Pada tahun 2000 dengan sponsor JICA penulis mengikuti pelatihan Advanced GIS and Remote Sensing Traning di Tokyo, Jepang. Dari tahun 2000 hingga 10 September 2010, penulis mendapat amanah sebagai Kepala Bidang Basis Data Sumber Daya Alam Darat dan sejak 11 September 2010 hingga sekarang mendapat amanah sebagai Kepala Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut, BAKOSURTANAL. Pada tahun 2008 dengan sponsor Kementerian Riset dan Teknologi, penulis melanjutkan program Doktor (S3) pada Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Selama mengikuti program S3, penulis mempublikasikan tiga karya ilmiah, yaitu: (1) Pemanfaatan data citra satelit Inderaja optik ALOS untuk pemetaan lahan sawah: studi kasus di beberapa lokasi di Jawa, diterbitkan di Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 15 (1): 36-46/Agustus 2009, diseminarkan di 3rd ALOS Joint PI Symposium Program, Kona, Hawai, November 9-13-2009; (2) The assessment of the rice field sustainability in Java on the basis of regional spatial use planning (RTRW), diseminarkan di Seminar Nasional Ilmu Tanah, Yogyakarta, 20-22 November 2009, diterbitkan di Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 16 (1): 10-20/ Agustus 2010; dan (3) Indeks keberlanjutan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang: studi kasus di kabupaten Jember, Jawa Timur; diterbitkan di Jurnal Tanah dan Iklim No. 32/2010. Artikel-artikel tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyelesaian disertasi ini bukan merupakan usaha penulis semata. Sebagai insan ciptaan Allah subhanahu wata’ala (SWT) yang ditakdirkan banyak memiliki kelemahan, hasil penelitian yang penulis dambakan ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Budi Mulyanto, MSc., Bapak Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, MAgr., Bapak Prof. Dr. Aris Poniman, dan Bapak Dr. Ir. Suwardi, MAgr. atas segala arahan sebagai komisi pembimbing, Bapak Dr. Priyadi Kardono, MSc. dan Bapak Dr. Ir. M. Ardiansyah, MSc. sebagai penguji luar komisi ujian tertutup; serta Bapak Dr. Asep Karsidi, MSc. dan Bapak Dr. Ir. Baba Barus, MSc. sebagai penguji luar komisi ujian terbuka. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Kepala BAKOSURTANAL, Deputi Survei Dasar dan Sumber Daya Alam, serta Kepala Pusat Survei Sumber Daya Alam Darat, yang telah memberikan kesempatan dan dukungan kepada penulis untuk melanjutkan program Doktor di IPB melalui program beasiswa dari Kementerian Negara Riset dan Teknologi (KNRT). Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh jajaran Kementerian Negara Riset dan Teknologi yang telah memberikan beasiswa dan memfasilitasi pelaksanaan kegiatan studi. Penulis juga tidak lupa menyampaikan terima kasih kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua Program Mayor Ilmu Tanah dan Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB, atas perkenannya penulis dapat mengikuti pendidikan S3 melalui jalur penelitian. Kepada seluruh analis dan laboran laboratorium tanah di Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian IPB dan teknisi laboratorium Basisdata Sistem Informasi Geografi, Pusat Survei Sumber Daya Alam Darat, BAKOSURTANAL, terima kasih atas bantuannya. Kepada istri (Enni Dwi Wahjunie) dan ananda Fahmi Akbar, terimakasih atas dorongan motivasi, pengorbanan dan pengertiannya selama penulis melaksanakan pendidikan. Akhirnya, kepada semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu, penulis mengucapkan terima kasih atas segala bantuannya. Semoga semua amal bakti yang diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, amiin. Bogor, Januari 2011 Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ………………………………………………………………
xvii
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………
xx
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………
xxv
1
2
PENDAHULUAN .......................................................................................
1
1.1 Latar Belakang………………………………………………………...
1
1.2 Tujuan Penelitian……………………………………………………....
5
1.3 Hipotesis Penelitian …………………………………………………...
5
1.4 Manfaat Penelitian ……………………………………………………
5
1.5. Kerangka Pemikiran ………………………………………………….
6
1.5.1 Rasional........................................................................................
6
1.5.2 Model Penelitian..........................................................................
9
1.5.3 Rancangan Kebaruan Penelitian...................................................
13
TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................
15
2.1 Perkembangan Lahan Sawah..................................................................
15
2.2 Karakteristik Biofisik .............................................................................
19
2.2.1 Agroklimat ...................................................................................
19
2.2.1 Tanah Sawah ...............................................................................
23
2.3 Ekonomi dan Sosial-Budaya ..................................................................
27
2.3.1 Penduduk ......................................................................................
27
2.3.2 Ekonomi........................................................................................
30
2.3.3 Sosial-Budaya.................................................................................
33
2.4 Multifungsi Lahan Sawah.......................................................................
35
2.4.1 Fungsi Kelestarian Sumberdaya Tanah .......................................
35
3
4
2.4.2 Fungsi Sosial-Budaya ..................................................................
36
2.4.3 Fungsi Ekonomi...........................................................................
37
2.5 Konversi Lahan Sawah............................................................................
37
2.6 Degradasi Lahan dan Kerusakan Lingkungan........................................
48
2.7 Ketimpangan Penguasaan dan Fragmentasi Lahan.................................
48
METODOLOGI PENELITIAN......................................................................
51
3.1 Pengumpulan Data..................................................................................
51
3.2 Pengolahan Data......................................................................................
53
3.2.1 Pembuatan Basisdata Geospasial.................................................
55
3.2.2 Zonasi Agroekologi Lahan Sawah...............................................
57
3.2.3. Penghitungan Daya Dukung Lahan Sawah..................................
61
3.3 Validasi Data............................................................................................
63
3.4 Analisis Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah..........................................
67
3.4.1 Penentuan Atribut Indikator .........................................................
68
3.4.2 Penapisan Variabel Indikator........................................................
70
3.4.3 Standarisasai Data Atribut.............................................................
71
3.4.4 Penilaian Indeks............................................................................
72
3.5 Analisis Kebijakan..................................................................................
72
3.6 Tingkat Keandalan Penelitian ................................................................
75
ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH........................................................
77
4.1 Rasional……………………………………………………………......
77
4.2 Tinjauan Pustaka………………………………………………………
78
4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan..................................................
78
4.2.2 Konsep Agroekologi...................................................................
80
4.2.3 Hubungan Zona Agroekologi dan Daya Dukung Lahan Sawah..
83
xiii
5
4.3 Bahan dan Metode……………………………………………………..
85
4.3.1 Interpretasi Citra Satelit Inderaja................................................
85
4.3.2 Pembuatan Basisdata Geospasial................................................
87
4.3.3 Zonasi Agroekologi Lahan Sawah..............................................
90
4.3.4 Penilaian Daya Dukung Lahan Sawah........................................
96
4.4 Hasil dan Pembahasan............................................................................
97
4.4.1 Karakteristik Zona Agroekologi Lahan Sawah............................
97
4.4.2 Daya Dukung Lahan Sawah.........................................................
116
4.5 Kesimpulan dan Saran............................................................................
127
4.5.1 Kesimpulan...................................................................................
127
4.5.2 Saran.............................................................................................
128
INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI...............................................................................
130
5.1 Rasional...................................................................................................
130
5.2 Tinjauan Pustaka.....................................................................................
131
5.2.1 Konsep Indikator Keberlanjutan Pertanian...................................
131
5.2.2 Konsep Indeks Keberlanjutan Pertanian.......................................
135
5.3 Bahan dan Metode ..................................................................................
140
5.3.1 Penentuan Indikator Keberlanjutan Lahan Sawah........................
140
5.3.2 Penapisan Indikator Keberlanjutan Lahan Sawah.........................
142
5.3.3 Standarisasi Data Atribut..............................................................
143
5.3.4 Penilaian Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah..............................
144
5.3.5 Pengkategorian Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah ...................
144
5.4 Hasil dan Pembahasan............................................................................
145
5.4.1 Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah.............................................
145
5.4.1.1 Faktor Biofisik.................................................................
150
xiv
6
5.4.1.2 Faktor Ekonomi................................................................
162
5.4.1.3 Faktor Sosial-Budaya.......................................................
169
5.4.2 Indeks Keberlanjutan Lahan Sawan untuk Penataan Ruang.........
181
5.4.2.1 Faktor Biofisik..................................................................
182
5.4.2.2 Faktor Ekonomi ...............................................................
187
5.4.2.3. Faktor Sosial-Budaya ......................................................
189
5.5 Kesimpulan dan Saran............................................................................
191
5.5.1 Kesimpulan..................................................................................
191
5.5.2 Saran............................................................................................
192
KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN SAWAH BERBASIS ZONA AGROEKOLOGI UNTUK MENDUKUNG PENATAAN RUANG ...........
193
6.1 Rasional...................................................................................................
193
6.2 Tinjauan Pustaka.....................................................................................
194
6.2.1 Konsep Pengelolaan Lahan Sawah..............................................
194
6.2.1.1 Pengelolaan Sawah dari Fungsi Produsen Padi...............
194
6.2.1.2 Pengelolaan Lahan Sawah dari Fungsi Ekonomi............
196
6.2.1.3 Pengelolaan Lahan Sawah dari Fungsi Sosial-Budaya...
198
6.2.2 Konsep Penataan Ruang..............................................................
199
6.2.2.1 Prinsip Dasar...................................................................
199
6.2.2.2 Proses Penataan Ruang....................................................
201
6.2.2.3 Klasifikasi Penataan Ruang.............................................
201
6.2.2.4 Penyelenggaraan Penataan Ruang...................................
203
6.3 Bahan dan Metode ..................................................................................
205
6.3.1 Perumusan Pilihan Kebijakan.......................................................
205
6.3.2 Penentuan Kebijakan Prioritas......................................................
205
6.4 Hasil dan Pembahasan.............................................................................
209
xv
6.4.1
Kebijakan Pengelolaan Lahan Sawah..........................................
209
6.4.1.1 Kebijakan Faktor Biofisik...............................................
210
6.4.1.2 Kebijakan Faktor Ekonomi..............................................
215
6.4.1.3 Kebijakan Faktor Sosial-Budaya.....................................
220
6.5 Kesimpulan dan Saran ............................................................................
225
6.5.1 Kesimpulan.....................................................................................
225
6.5.2 Saran...............................................................................................
226
PEMBAHASAN UMUM ..............................................................................
228
7.1 Prospek Pulau Jawa Berswasembada Beras............................................
228
7.2 Kelembagaan Pengelolaan Lahan Sawah Terpadu ................................
234
7.3 Pengembangan Peta Zona Agroekologi Lahan Sawah melalui IDSN....
236
8 KESIMPULAN, SARAN, DAN KEBARUAN..............................................
244
8.1 Kesimpulan.............................................................................................
244
8.2 Saran........................................................................................................
245
8.3 Kebaruan ................................................................................................
246
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................
247
LAMPIRAN..........................................................................................................
261
DAFTAR ISTILAH PENTING (GLOSSARY).....................................................
306
7
xvi
DAFTAR TABEL No 1
Halaman Jenis data dan kegunaannya untuk zonasi agroekologi lahan sawah …………………………………………………………...
11
2
Klasifikasi agroklimat Oldeman (Oldeman, 1975) .....................
20
3
Nilai dan laju Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2006 harga konstan tahun 2000 (dalam trilun) ………………...
32
4
Dinamika konversi lahan sawah di Jawa ……………………….
40
5
Luasan penutup lahan di Jawa tahun 2000 (ha)...........................
44
6
Luasan penutup lahan di Jawa tahun 2005 (ha) ……………….
44
7
Perubahan penutup lahan di Jawa (2000-2005) ...........................
45
8
Sebaran lahan sawah di Pulau Jawa tahun 2000-2005 ...............
46
9
Jenis data yang digunakan untuk penelitian ................................
54
10
Data citra satelit inderaja optik untuk penelitian .......................
86
11
Daftar fitur dan struktur atribut basisdata sumberdaya lahan ......
89
12
Kriteria penilaian zona agroekologi lahan sawah ......................
92
13
Kriteria penilaian kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah (CSR/FAO Staff, 1983)................................................................
93
14
15
Hubungan tipe agroklimat Oldeman dengan pola tanam (Oldeman, 1975)........................................................................... Klasifikasi daerah irigasi (Departemen Pekerjaan Umum, 2003) ............................................................................................
95
95
16
Operasi pernyataan logika Boolean …………………………….
95
17
Jumlah penduduk pulau Jawa (2005-2025) ……………………
97
18
Distribusi zona agroekologi lahan sawah di Jawa........................
98
19
Perubahan luas lahan sawah dan permukiman hasil interpretasi citra Landsat ETM, ALOS AVNIR-2, dan PRISM …………...
100
20
Hubungan antara zona agroekologi lahan sawah dan sistem lahan .............................................................................................
104
21
Karakteristik zona agroekologi lahan sawah di Jawa ..................
109
22
Daerah yang berperan sebagai lumbung padi di Jawa (ha) .......
114
23
Luasan lahan sawah berdasarkan tipe irigasi (ha)........................
115
24
Produksi padi sawah potensial di zona agroekologi lahan sawah di Jawa .........................................................................................
117
Potensi luas panen di Jawa per tahun berdasarkan zona agroekologi lahan sawah .............................................................
118
Potensi produksi padi sawah di Jawa berdasarkan zona agroekologi lahan sawah (ton GKG/tahun) .................................
119
Pola konsumsi pangan (% energi) tahun 2002-2020 (Hardinsyah et al., 2001) .............................................................
127
Contoh komponen, indikator, dan variabel untuk kajian keberlanjutan pertanian (modifikasi dari Esty et al., 2005)..........
133
Komponen, indikator, dan variabel untuk kajian keberlanjutan pertanian (modifikasi dari Rao dan Rogers, 2006) ......................
136
Dimensi dan indikator sistem ketersediaan beras (Nurmalina, 2008).............................................................................................
138
31
Faktor kunci dan alternatif kebijakan (Nurmalina, 2008) ..........
139
32
Indikator keberlanjutan lahan sawah ..........................................
141
33
Komponen, indikator, dan variabel untuk kajian keberlanjutan lahan sawah...................................................................................
142
Hasil analisis diskriminan untuk pengkategorian IKLS berbasiskan zona agroekologi.......................................................
146
Indeks keberlanjutan lahan sawah di Jawa berdasarkan zona agroekologi ..................................................................................
150
Indikator utama faktor biofisik yang mengancam keberlanjutan lahan sawah............................................................
151
Prediksi suplai air dan kebutuhan air tanaman padi sawah varietas Ciherang di Jawa...........................................................
158
25 26 27 28
29 30
34 35 36 37
xviii
38
Indikator utama faktor ekonomi yang mengancam keberlanjutan lahan sawah ...........................................................
163
Indikator utama faktor sosial-budaya yang mengancam keberlanjutan lahan sawah............................................................
170
Pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang berdasarkan indeks keberlanjutan lahan sawah (IKLS) dari faktor biofisik ...............................................................................
183
Pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang berdasarkan indeks keberlanjutan lahan sawah (IKLS) dari faktor ekonomi..............................................................................
188
Pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang berdasarkan indeks keberlanjutan lahan sawah (IKLS) dari faktor sosial-budaya .....................................................................
190
Pilihan kebijakan pengelolaan lahan untuk menjaga keberlanjutan lahan sawah...........................................................
206
44
Skala kepentingan dalam pendekatan AHP..................................
209
45
Penerapan kebijakan faktor biofisik berdasarkan zona agroekologi ..................................................................................
212
Kelas status hara P dan K tanah sawah serta rekomendasi pemupukannya (Setyorini et al., 2004).........................................
213
Penerapan kebijakan faktor ekonomi berdasarkan zona agroekologi ..................................................................................
216
Prediksi produksi beras di lahan sawah produktif yang terancam terkonversi menjadi kawasan permukiman .................
219
Penerapan kebijakan faktor sosial-budaya berdasarkan zona agroekologi ..................................................................................
221
50
Daftar varietas padi unggul (Suprihatno et al., 2009)..................
233
51
Kumpulan data untuk pembuatan peta zona agroekologi lahan sawah............................................................................................
238
39 40
41
42
43
46 47 48 49
xix
DAFTAR GAMBAR No 1
Halaman Pulau Jawa terletak di jantung persilangan lalu lintas perdagangan di nusantara dan di sekitar beberapa negara tetangga (Modifikasi dari Lombard, 1990a)...............................
2
Kerangka pemikiran penelitian keberlanjutan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang …………………………......
7
Perkembangan jumlah penduduk Indonesia dari tahun 1980 – 2005 (BPS, 1985-2007) .............................................................
8
4
Keterkaitan antar bab penyajian dalam sistematika disertasi......
12
5
Kekuasaan raja dan pengaturan persawahan abad ke-11 - 15 (Lombard, 1990b)………………………………………………
16
Distribusi tipe iklim di Jawa berdasarkan data curah hujan tahun 1998-2007 (BMG, 2008) ………………………………
20
7
Peta zona agroklimat Oldeman Jawa (BMG, 2008)…………...
21
8
Prakiraan awal musim hujan di Jawa (BMG, 2008).................
22
9
Profil tanah sawah tipikal menurut Koenings (1950) dan Moorman dan van Breemen (1978) ...........................................
24
Pola distribusi oksigen pada tanah sawah dan bentuk unsurunsur utama mineral setelah stabilisasi .....................................
26
Pertambahan penduduk di Jawa dari tahun 1971-2025. (1971 - 2005: hasil sensus, 2010 - 2025: proyeksi) .............................
28
12
Kepadatan penduduk pulau Jawa tahun 2000 dan 2005 .........
29
13
Banyaknya rumah tangga petani (BPS, 2003) ........................
29
14
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2007 atas harga konstan tahun 2000 ..........................................................
30
15
Rencana jalan tol trans Jawa (Litbang Kompas, 2008) ..............
40
16
Perkembangan konversi lahan sawah di Jawa tahun 1979-2005
41
17
Peta penutup lahan Pulau Jawa tahun 2000 ..............................
42
18
Peta penutup lahan pulau Jawa tahun 2005 ................................
43
19
Perubahan penutup lahan di Jawa (2000 – 2005) .......................
45
2 3
6
10 11
Distribusi rumah tangga petani dari penguasaan lahan sawah (McCulloh, 2008; dalam Tambunan, 2008) …………………...
50
Lokasi penelitian keberlanjutan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang .......................................................
51
Diagram alir penelitian keberlanjutan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang .......................................................
52
Hubungan teknologi SIG dengan teknologi spasial lainnya (Maguire, 1991) ..........................................................................
55
24
Proses pembuatan basisdata geospasial lahan sawah .................
57
25
Proses zonasi agroekologi lahan sawah .....................................
59
26
Contoh sistem lahan kerucut gunung api dan kaki lereng (TGM : Tanggamus) yang bannyak dijumpai di Jawa (Wall, 1987)............................................................................................
60
27
Pengumpulan sampel data di lapangan .....................................
64
28
Rancangan teknik pengambilan sampel ……… ………………
65
29
Proses analisis indeks keberlanjutan lahan sawah .....................
68
30
Diagram penentuan indikator keberlanjutan lahan sawah.........
69
31
Diagram alir analisis kebijakan ..................................................
73
32
Diagram alir analisis kebijakan keberlanjutan lahan sawah.......
74
33
Agroekologi merupakan integrasi dari ekologi, agronomi, sosiologi, dan ekonomi (Dalgaard et al., 2003) ........................
82
Hubungan zona agroekologi lahan sawah dengan daya dukung lahan sawah.................................................................................
84
20 21 22 23
34 35
Tahapan proses pembuatan basisdata geospasial .......................
36
Ilustrasi penggabungan data spasial dengan atribut menggunakan DBMS relasional .................................................
90
Basismodel SIG konseptual untuk zonasi agroekologi lahan sawah ..........................................................................................
91
38
Distribusi zona agroekologi lahan sawah di Jawa.......................
98
39
Peta zona agroekologi lahan sawah pulau Jawa ........................
99
40
Contoh hasil delineasi lahan sawah dengan citra Inderaja satelit optik Landsat ETM band 5, 4,2 , Alos PRISM, dan AVNIR-2 band 4, 3, 2 ...............................................................
101
37
xxi
88
41
42 43
Peningkatan akurasi delineasi lahan sawah dari Landsat ETM dengan menggunakan citra Alos Avnir-2 (Daerah kabupaten Subang) ....................................................................................... Distribusi bentukan zona agroekologi lahan sawah berdasarkan genetik sistem lahan....................................................................
102 103
Tingkat kandungan unsur hara P dan K tanah sawah berdasarkan bentukan asal sistem lahan (n = 624, α = 4%) .......
106
Distribusi kandungan C-organik dan N-total tanah sawah berdasarkan bentukan asal sistem lahan (n = 624, α = 4%)........
110
Disribusi zona agroekologi lahan sawah yang dominan sebagai penghasil padi sawah di Jawa .....................................................
113
Contoh pemompaan air tanah untuk mengejar target penanaman padi sawah dengan IP300 di desa Sidoharjo kecamatan Taraman, kabupaten Sragen......................................
115
Perbandingan produksi padi sawah potensial dan aktual di Jawa.............................................................................................
119
Perbandingan produksi padi sawah potensial dan aktual di setiap provinsi di Jawa ...............................................................
120
Pengelolaan lahan sawah sangat intensif dengan memompa air tanah untuk mencapai IP300 (lokasi: desa Parangtritis kecamatan Kretek, kabupaten Bantul, D.I Yogyakarta, 15 Agustus 2009).............................................................................
121
Daya dukung lahan sawah di Jawa berdasarkan lima skenario konsumsi beras ...........................................................................
121
Daya dukung lahan sawah di setiap provinsi berdasarkan lima skenario konsumsi beras (a,b,c,d,e).............................................
124
52
Perkembangan kepadatan penduduk di Jawa (2005-2025) ........
125
53
Kerangka model DPSIR (modifikasi dari Bach, 2005) .............
133
54
Peta indeks keberlanjutan lahan sawah pulau Jawa.................
148
55
Indeks keberlanjutan lahan sawah di setiap zona agroekologi...
149
56a
Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor biofisik zona A (S1/IP300), B (S1/IP200), dan C (S1/IP100) .............................
152
Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor biofisik zona D (S2/IP300), E (S2/IP200), dan F (S2/IP100)...............................
153
Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor biofisik zona G (S3/IP300), H (S3/IP200), dan I (S3/IP100)...............................
154
44 45 46
47 48 49
50 51
56b 56c
xxii
57
Kandungan unsur hara C-organik dan N-total di setiap zona agroekologi lahan sawah di Jawa................................................
156
Tingkat kandungan unsur hara P dan K di setiap zona agroekologi lahan sawah (n = 624, α: 4 %)..............................
156
Produktivitas lahan sawah di Jawa (2001 – 2008) (Sumber data: BPS, 2008)..........................................................................
157
60
Tendensi perubahan frekuensi banjir di Jawa (Guritno, 2006)...
159
61
Kecenderungan perubahan panjang musim (Susandi, 2009)......
160
62
Contoh kearifan lokal petani untuk tetap dapat bertani pada musim kemarau (Lokasi desa Parangtritis, kecamatan Kretek, kabupaten Bantul, provinsi DI. Yogyakarta, tanggal 15 Agustus 2009) ............................................................................
161
Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor ekonomi zona A (S1/IP300), B (S1/IP100), dan C (S1/IP100)..............................
164
Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor ekonomi zona D (S2/IP300), E (S2/IP200), dan F (S2/IP100)...............................
165
Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor ekonomi zona G (S3/IP300), H (S3/IP200), dan I (S3/IP100)
166
Indikator penghambat keberlanjutan lahan sawah dari faktor ekonomi (n = 624, α = 4%) .....................................................
167
Nilai Tukar Petani (NTP) di Jawa periode 2004 – 2007 (Sumber data: BPS, 2008b).........................................................
167
Indikator pendukung keberlanjutan lahan sawah dari faktor ekonomi , a dan b (n = 624, α = 4%)..........................................
169
Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor sosial-budaya pada zona A (S1/IP300), B (S1/IP200), dan C (S1/IP100).........
171
67b Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor sosial-budaya pada zona D (S2/IP300), E (S2/IP200), dan F (S2/IP100)..........
172
67c Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor sosial-budaya pada zona G (S3/IP300), H (S3/IP200), dan I (S3/IP100)..........
173
58 59
63a 63b 63c 64 65 66 67a
68 69 70
Indikator penghambat keberlanjutan lahan sawah dari faktor sosial-budaya: a,b,c,d,e (n = 624, α = 4%)...............................
174
Distribusi rumah tangga petani gurem di Jawa (Sumber data: BPS, 2004)..................................................................................
174
Indikator pendukung keberlanjutan lahan sawah dari faktor sosial- budaya: a,b,c,d,e (n = 624, α = 4%)................................
176
xxiii
71
Intensitas pertanaman padi sawah yang diterapkan petani di Jawa (n = 624, α = 4%) ...........................................................
177
Contoh budaya eksploitatif usahatani padi sawah di kabupaten Sragen, Nganjuk, Bantul, dan Madiun (a, b,c,d) ........................
180
Hubungan antara proses degradasi dan proses konservasi tanah (Stewart et al., 1991).........................................................
195
74
Proses penataan ruang (Rustiadi et al., 2008).............................
201
75
Struktur penyelenggaraan penataan ruang (Rustiadi et al., 2008)............................................................................................
203
Proses penentuan prioritas kebijakan keberlanjutan lahan sawah dengan AHP ....................................................................
208
Hasil perhitungan bobot kriteria dan alternatif kebijakan dengan AHP ...............................................................................
211
Distribusi lahan sawah produktif pada pola pemanfaatan ruang peta RTRW Provinsi ........................................................
218
Contoh alokasi kawasan permukiman dialokasikan di lahan sawah produktif (zona A (S1/IP300)...........................................
219
Model usahatani bersama berbasis padi sawah (Sumber: modifikasi dari Nuryanti, 2005)..................................................
224
81
Perkembangan produksi beras di Indonesia (1981-2005)...........
228
82
Neraca ketersediaan beras di Jawa (1981-2005).........................
229
83
Potensi produksi padi sawah berdasarkan zona agroekologi......
231
84
Simulasi neraca produksi beras di Jawa (2005-2025)...............
231
85
Basisdata zona agroekologi lahan sawah....................................
236
86
Komponen infrastruktur data spasial nasional............................
239
87
Perubahan paradigma dalam pengelolaan data spasial (Matindas et al., 2009) ………………………………………...
240
Ilustrasi pengelolaan data spasial yang belum terpadu sebagai GIS islands (Matindas et al. 2009) ................................
241
Konfigurasi sistem jaringan komputer terintegrasi untuk pertukaran data spasial (Matindas et al., 2009)………………...
243
72 73
76 77 78 79 80
88
89
xxiv
DAFTAR LAMPIRAN No 1
Halaman Diskripsi sistem lahan yang sesuai untuk tanaman padi sawah di Jawa ………………………………………………………….....
261
2
Evaluasi kesesuaian lahan.........................................................
266
3
Kriteria penilaian indikator keberlanjutan lahan sawah ……….
276
4
Nilai Faktor Loading pada zona A (S1/IP300) ...........................
282
5
Nilai faktor loading pada zona B (S1/IP200)..............................
283
6
Nilai faktor loading pada zona C (S1/IP100)..............................
284
7
Nilai faktor loading pada zona D (S2/IP300).............................
285
8
Nilai faktor loading pada zona E (S2/IP200)...............................
286
9
Nilai faktor loading pada zona F (S2/IP100)...............................
287
10
Nilai faktor loading pada zona G (S3/IP300)...............................
288
11
Nilai faktor loading pada zona H (S3/IP200)..............................
289
12
Nilai faktor loading pada zona I (S3/IP100)................................
290
13
Nilai kepentingan Saaty untuk penilaian kebijakan keberlanjutan lahan sawah............................................................
291
14
Indeks keberlanjutan faktor biofisik lahan sawah di Jawa...........
293
15
Indeks keberlanjutan faktor ekonomi lahan sawah di Jawa.........
296
16
Indeks keberlanjutan faktor sosial-budaya lahan sawa di Jawa ..
298
17
Daftar zona agroekologi untuk penerapan kebijakan pengelolaan lahan sawah di Jawa ................................................
301
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampai dengan saat ini, masalah krisis pangan masih sering melanda negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Pada beberapa tahun lalu, krisis pangan
di Indonesia telah membawa dampak kelaparan dan gizi buruk
masyarakat miskin pedesaan di daerah-daerah rawan pangan, seperti di provinsi Nusa Tenggara Timur, Papua, Jawa Timur, dan lain-lain. ancaman krisis pangan tersebut, Bersatu Jilid ke-2 masih
Untuk mengatasi
pemerintahan pada masa Kabinet Indonesia
tetap memprioritaskan ketahanan pangan menjadi
program pembangunan nasional yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) periode 2009 – 2014. Timbulnya ancaman
krisis
pangan
di
Indonesia tentunya patut
dipertanyakan mengingat Indonesia termasuk negara agraris dengan kekayaan sumberdaya alam yang melimpah. Berdasarkan hasil kajian proyek Regional Physical Planning Program for Transmigration (RePPProT) pada tahun 1990, wilayah daratan Indonesia dengan luas sekitar 1,904,556 km² tidak memiliki lahan pertanian produktif yang merata. Wilayah sebagai penghasil beras nasional hanya terkonsentrasi di beberapa wilayah, terutama di pulau Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi; yang dikenal sebagai lumbung beras nasional. Diantara keempat wilayah tersebut, pulau Jawa merupakan lumbung beras andalan. Pada tahun 2008, pulau Jawa dengan luas panen 5.74 juta ha mampu menyumbang 55% dari produksi gabah kering giling (GKG) di Indonesia (BPS, 2009). Selain tanahnya yang subur, pulau Jawa dapat dikatakan sebagai pusat ekonomi, sosial, politik, dan budaya Indonesia (Whitten et al., 1996).
Peran strategis pulau Jawa dalam
pembangunan nasional tersebut tidak terlepas dari geo-historis pulau ini. Lombard (1990a) menjelaskan bahwa posisi geografis pulau Jawa terletak di jantung persilangan jalan lalu lintas perdagangan di Nusantara (Gambar 1). Sejak abad ke-14, pulau Jawa menjadi pusat sebuah sistem pelayaran antar pulau yang sangat canggih, yaitu “Imperium Mojopahit”, yang bermakna citra penyatuan-penyatuan Nusantara yang dicapai kemudian. Pada abad ke-15, islamisasi pantai
Utara
menandai munculnya sebuah tatanan ekonomi dan sosial baru, seperti Kesultanan Banten. Kejayaan Kesultanan Banten tersebut melatarbelakangi
1
Gambar 1. Pulau Jawa terletak di jantung persilangan lalu lintas perdagangan di nusantara dan di sekitar beberapa negara tetangga (Modifikasi dari Lombard, 1990a)
2
pemerintah Hindia Belanda menempatkan bandar utama mereka di Batavia, yang sekarang dikenal Jakarta, sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan yang membawa bentuk wilayah Indonesia. Berdasarkan pertimbangan hal-tersebut, pulau Jawa dengan lahan pertaniannya yang produktif secara politis berperan strategis
dalam
menjaga ketahanan pangan nasional. Rapuhnya ketahanan
pangan di pulau Jawa dapat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Lahan sawah merupakan produsen utama beras di Indonesia. Dengan luas panen 11.26 juta ha pada tahun 2008, lahan sawah mampu menghasilkan 57.17 juta ton gabah/tahun atau 95% dari total produksi gabah di Indonesia. Sedangkan padi gogo yang ditanam di lahan kering, hanya menyumbang 5% dari total produksi gabah. Dari luasan total produksi padi sawah di Indonesia tersebut, sekitar 29.76 juta ton (55%) berada di Jawa (BPS, 2009). Oleh karena itu, peranan lahan sawah di Jawa sangat menentukan kestabilan produksi beras nasional. Kegagalan panen beras di Jawa dapat menggoyahkan ketahanan pangan nasional. Lahan sawah di Jawa yang telah dikembangkan sejak abad ke-3 oleh budaya Dong Son dari Vietnam Utara (Poniman, 1989) saat ini menghadapi ancaman kepunahan karena pertambahan jumlah penduduk. Data hasil sensus penduduk dari tahun 1980 hingga 2005 yang dilakukan oleh BPS menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Jawa mengalami peningkatan dari 82.3 juta menjadi 127.8 juta jiwa atau mengalami peningkatan 155%. Bertambahnya jumlah penduduk tersebut mengakibatkan lahan pertanian banyak yang dialihfungsikan untuk memenuhi kebutuhan sektor perumahan dan industri. Alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan dan industri dimaksud pada umumnya merupakan pilihan pertama bagi perencana penggunaan lahan karena lahan pertanian sebagian besar memiliki karakteristik biofisik dan aksesibilitas yang mendukung untuk kedua tipe penggunaan lahan tersebut. Adimihardja (2003)
mengemukakan
bahwa alih fungsi lahan pertanian dianggap suatu hal yang sifatnya alami dari segi ekonomi. Kondisi ini mengakibatkan areal lahan pertanian menjadi berkurang secara intensif. Dengan menggunakan citra satelit Landsat ETM dan MODIS multitemporal, Poniman dan Nurwadjedi (2008) melaporkan hasil penelitiannya
3
bahwa selama periode lima tahun (2000-2005) lahan sawah di Jawa telah berkurang sebanyak 15.5% (dari 3,646,599 menjadi 3,569,829 ha). Berkaitan dengan penyusutan lahan sawah tersebut, Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air (2008) mengemukakan bahwa pola konversi lahan sawah di pulau Jawa yang menjadi perumahan adalah 58,7%, sedangkan yang menjadi non perumahan adalah 21,8%. pertanian
Persaingan tidak seimbang
antara sektor pertanian dan non
dalam penggunaan lahan tersebut mengakibatkan tekanan terhadap
lahan sawah sangat tinggi. Menurut FAO (1996), tekanan terhadap lahan karena peningkatan jumlah penduduk
mengakibatkan penurunan baik dalam hal
kuantitas (penyusutan lahan) maupun kualitas lahan. Meningkatnya laju alih fungsi lahan yang mengakibatkan penyusutan lahan pertanian produktif dan penurunan kualitas lahan
diperparah oleh adanya
perubahan iklim global yang memicu bencana alam, seperti banjir dan kekeringan. Terjadinya perubahan iklim di Indonesia telah ditunjukkan oleh adanya fenomena cuaca ekstrim, badai tropis semakin sering, dan pergeseran musim tanam (Susandi, 2009). Hasil penelitian Guritno (2006) menunjukkan bahwa kejadian bencana longsor dan banjir yang semakin marak di Jawa mengindikasikan pemanfaatan lahan telah melampaui daya dukungnya. Kondisi ini dikhawatirkan dapat memperlemah
ketahanan pangan nasional, mengingat Jawa sebagai
lumbung beras andalan di Indonesia. Menghadapi keadaan seperti itu, diperlukan penanganan yang serius, agar kelangsungan produksi beras di pulau Jawa dapat terus berlanjut. Untuk mengamankan lahan sawah produktif, pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (UUPLPPB).
Selain itu,
Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR) juga telah menggariskan bahwa alokasi pemanfaatan ruang harus didasarkan pada daya dukung lingkungannya, agar pembangunan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan. Implementasi dari amanat Undang-Undang tersebut tentunya memerlukan dukungan penelitian dari berbagai sektor pembangunan. Salah satu cara untuk mengantisipasi ancaman kepunahan dimaksud
adalah dengan melakukan
pemetaan indeks keberlanjutan lahan sawah yang berbasiskan zona agroekologi.
4
Karena indeks keberlanjutan dapat digunakan untuk mengevaluasi keberlanjutan suatu sistem (Rao dan Rogers, 2006), maka
pemetaan indeks
keberlanjutan lahan sawah berdasarkan zona agroekologi ini perlu diterapkan untuk mengevaluasi keberlanjutan lahan sawah menghambat keberlanjutan lahan sawah di Jawa
agar permasalahan yang yang disebabkan oleh
peningkatan jumlah penduduk dapat diatasi secara cepat dan tepat.
1.2 Tujuan Penelitian 1.
Menetapkan zona agroekologi lahan sawah
sebagai basis kajian
keberlanjutan lahan sawah. 2.
Menentukan daya dukung lahan sawah di setiap wilayah provinsi
3.
Menentukan indeks keberlanjutan pertanian lahan sawah berdasarkan zona agroekologi.
4.
Merumuskan alternatif kebijakan pengelolaan lahan sawah berdasarkan zona agroekologi untuk mendukung penataan ruang dalam rangka mewujudkan pertanian lahan sawah berkelanjutan.
1.3. Hipotesis Penelitian 1.
Sebagian besar zona agroekologi lahan sawah merupakan lahan sawah produktif.
2.
Daya dukung lahan sawah di sebagian besar wilayah provinsi telah terlampaui.
3.
Indeks keberlanjutan lahan sawah sebagian besar termasuk kategori cukup berkelanjutan.
4.
Kebijakan pengelolaan lahan sawah untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan karena faktor lingkungan biofisik adalah paling penting, apabila dibandingkan dengan kebijakan pengelolaan lahan sawah untuk mengatasi faktor ekonomi dan sosial-budaya.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk
berbagai
kepentingan dalam menjaga ketahanan pangan nasional, diantaranya adalah:
5
1.
Sebagai bahan masukan untuk penetapan luas baku lahan sawah.
2.
Sebagai bahan masukan untuk mengevaluasi kebijakan penyediaan pangan, terutama beras.
3.
Mempercepat dan mempermudah perumusan kebijakan pengelolaan lahan sawah untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah.
4.
Sebagai bahan masukan pengambilan kebijakan pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang dalam rangka menjaga keberlanjutan lahan sawah di pulau Jawa.
1.5 Kerangka Pemikiran 1.5.1 Rasional Kelangsungan hidup manusia tergantung pada sumberdaya alam, termasuk sumberdaya lahan sawah sebagai pemasok komoditi beras yang merupakan makanan pokok rakyat Indonesia. Hilang atau berkurangnya sumberdaya lahan sawah tersebut dapat menimbulkan dampak buruk
bagi kelangsungan hidup
rakyat Indonesia. Karena sifatnya yang esensial tersebut, keberlanjutan lahan sawah harus dijaga agar ketersediaan beras di tanah air terjamin. Keberlanjutan lahan sawah tersebut dapat menjamin kelangsungan hidup rakyat Indonesia. Seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2, penduduk merupakan faktor utama
yang
menentukan
keberlanjutan
lahan
sawah.
Seiring
dengan
perkembangan waktu, jumlah penduduk Indonesia terus meningkat. Data hasil sensus kependudukan menunjukkan bahwa jumlah penduduk dari tahun 1980 hingga 2010 mengalami peningkatan dari 147.5 juta menjadi 237.6 juta jiwa (Gambar 3). Peningkatan jumlah penduduk tersebut terbesar terjadi di pulau Jawa, yaitu sekitar 66%. Konsekwensi dari peningkatan jumlah penduduk ini tentunya menimbulkan peningkatan
kebutuhan pangan, terutama beras.
Pemenuhan kebutuhan beras karena peningkatan jumlah penduduk ini mengandung makna terjadinya pengurasan sumberdaya lahan sawah, mengingat ketersediaan lahan sawah semakin terbatas. Upaya peningkatan produksi lahan sawah untuk memenuhi kebutuhan beras tersebut telah dilakukan oleh pemerintah pada era orde baru (1980-1998), yaitu dengan menerapkan revolusi hijau. Adanya peningkatan produksi beras secara
6
besar-besaran melalui revolusi hijau mencapai puncaknya pada tahun 1984-1985, sehingga Indonesia berhasil berswasembada beras dan mampu meningkatkan pendapatan petani. Namun demikian, keberhasilan swasembada beras tersebut
Penduduk
Kebutuhan Lahan Sawah
Sumberdaya Lahan Sawah
ya
Pengurasan Sumber Daya Lahan Sawah
Penyusutan Lahan Sawah
Penurunan Produktivitas Lahan
Pemanfaatan Lahan Sawah Berkelanjutan
Degradasi Lahan Sawah
Ancaman Kepunahan Lahan Sawah
Ancaman Krisis Air
Ancaman Banjir
Analisis Faktor dan Diskriminan
Kebijakan Pengelolaan lahan untuk mendukung penataan ruang
Indikator Keberlanjutan
Zona Agroekologi
Penutup Lahan
Peraturan Perundangan
Kajian Kebijakan Pengelolaan Lahan Sawah
Indek Keberlanjutan
Agroekologi
Sistem Lahan
tidak
Pengurasan > Daya Dukung ?
Daya Dakung Lahan Sawah
Status Kawasan Hutan
Agroklimat
Kondisi Irigasi
Ekonomi Sosial Budaya
Gambar 2. Kerangka pemikiran penelitian keberlanjutan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang
7
tidak berlangsung lama karena berbagai musibah menerpa Indonesia. Pada awal tahun 1990-an, kedaulatan pangan Indonesia mulai terancam karena berkurangnya perhatian pemerintah dalam pemberian subsidi ke sektor pertanian. Perubahan kebijakan pemerintah ini disebabkan oleh berkurangnya pendapatan negara dari sektor minyak
serta penerapan kebijakan deregulasi yang
saing produk sektor pertanian (Modjo, 2009). Selain itu,
menurunkan
daya
musibah kemarau
panjang dan bencana banjir karena dampak perubahan iklim serta krisis moneter yang menerpa Indonesia secara bertubi-tubi pada tahun 1997-2000 juga ikut
Jumlah Penduduk (juta jiwa)
memberikan andil terhadap penurunan produksi beras. Pada masa krisis moneter 250 200
Indonesia Jawa
150
Luar Jawa 100 50 0 1980
1985
1990
1995
2000
2005
2010
Tahun
Gambar 3. Perkembangan jumlah penduduk Indonesia dari tahun 1980 – 2005 (Sumber data: BPS, 1985-2007)
dan reformasi tersebut, laju konversi lahan sawah mencapai 62,271 ha /tahun. Sebagai akibatnya, Indonesia mulai mengimpor beras karena produksi beras mengalami penurunan. Pada masa krisis ekonomi dan reformasi tersebut, Indonesia mengimpor beras sebanyak 9.4 juta ton beras (BPS, 1985-2007). Hingga tahun 2010 (pascareformasi), peningkatan produksi beras masih belum mampu memenuhi konsumsi beras yang semakin meningkat. Peningkatan konsumsi beras ini disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk, yang hingga tahun 2010 telah mencapai 237.6 juta jiwa. Fenomena ini sesuai dengan konsep Maltus yang menyatakan bahwa pertumbuhan jumlah penduduk mengikuti deret ukur sedangkan peningkatan produksi beras mengikuti deret hitung. Penurunan produksi beras tersebut diperparah oleh pelandaian produktivitas lahan sawah (leveling off) di Jawa, sebagai akibat penerapan revolusi hijau dalam jangka
8
waktu lama dan berlangsung secara intensif.
Ketidakmampuan lahan sawah
untuk memenuhi kebutuhan beras karena peningkatan jumlah penduduk
ini
mengindikasikan bahwa pemanfaatan lahan sawah telah melampaui daya dukungnya. Pemanfaatan lahan sawah yang telah melampaui daya dukungnya berarti terjadi pengurasan sumberdaya secara berlebihan. Sebagai akibatnya, lahan sawah dapat terdegradasi baik dari kualitas maupun kuantitasnya, seperti degradasi kualitas dan penyusutan lahan sawah. Kedua dampak ini berpotensi memicu penurunan produktivitas lahan sawah, kepunahan lahan sawah, krisis air, dan bencana banjir. Berbagai dampak negatif ini tentunya dapat mengancam keberlanjutan lahan sawah sebagai penopang produksi beras.
Terancamnya
keberlanjutan lahan sawah yang dapat memperlemah ketahanan pangan nasional ini perlu diteliti secara mendalam.
1.5.2
Model Penelitian Ancaman keberlanjutan lahan sawah karena dampak peningkatan jumlah
penduduk seperti yang telah dijelaskan dapat dideteksi dengan indek keberlanjutan lahan sawah yang berbasiskan zona agroekologi. Dengan zona agroekologi, lahan sawah dapat dipetakan sesuai dengan potensi dan daya dukungnya. Penelitian indeks keberlanjutan lahan sawah dengan pendekatan konsep agroekologi ini belum pernah diteliti oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Nijkamp et al. (1999) dan Esty et al. (2005) telah memformulasikan pengukuran indeks keberlanjutan lingkungan untuk menjaga kelestarian lingkungan. Mendoza et al. (1999) telah membuat pedoman pemilihan kriteria dan indikator indeks keberlanjutan sektor kehutanan dengan metoda sidik ganda kriteria. Cherchye dan Kousmanen (2002) telah meneliti keberlanjutan pembangunan di berbagai negara di dunia dengan pendekatan indek meta sintetik. Pengukuran indeks keberlanjutan untuk evaluasi dan monitoring pembangunan di sektor perikanan dan kelautan telah dilakukan oleh Fauzi dan Anna (2001), Rahardjo (2003), Andrianto et al. (2005), dan Susilo (2005, 2006). Dengan menggunakan metode Multidimensional Scale (MDS) seperti yang digunakan oleh Susilo (2005), Mamat et al. (2005) telah mengaplikasikan indeks keberlanjutan untuk mengkaji keberlanjutan usaha
9
tani tembakau di kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Penelitian indeks keberlajutan untuk analisis keberlanjutan ketersediaan beras dengan menggunakan MDS telah dilakukan oleh Nurmalina (2008). Penelitian indeks keberlanjutan untuk berbagai tujuan yang telah dilakukan oleh para peneliti tersebut tidak berbasiskan pada data spasial, sehingga wilayah status keberlanjutan lahan yang dikaji tidak dapat diketahui secara tepat. Dalam penelitian ini, indeks keberlanjutan lahan sawah dipetakan berdasarkan zona agroekologi. Penerapan konsep agroekologi ini dilatarbelakangi oleh sifatnya yang muldimensi (Gliessman, 2002; Altieri, 2002) dan zona agroekologi yang didefinisikan dapat dipetakan pada tingkat skala yang berbedabeda (Wiradisastra, 2003; Rao dan Rogers, 2006). Zona agroekologi (agroecological zones) seperti yang didefinisikan oleh FAO (1996) merupakan suatu wilayah yang memiliki kesamaan karakteristik tanah, bentuklahan dan iklim, yang difokuskan pada persyaratan iklim dan edafik pertumbuhan tanaman pangan dan sistem pengelolaan budidaya tanaman pangan tersebut. Karena sifatnya yang multidimensi dan dapat menunjukkan potensi dan daya dukung lahan sawah, penelitian indeks keberlanjutan lahan sawah berbasiskan zona agroekologi merupakan jawaban tepat untuk mengantisipasi adanya ancaman keberlanjutan lahan sawah yang dipicu oleh berbagai faktor yang bersifat muldimensional. Zona agroekologi lahan sawah dapat disintesa dari berbagai data lingkungan biofisik, ekonomi, dan sosial budaya. Data lingkungan biofisik yang diperlukan mencakup sistem lahan, penutup lahan, status kawasan hutan, agroklimat, dan kondisi irigasi; sedangkan data ekonomi dan sosial-budaya mencakup semua aspek yang mempengaruhi petani secara langsung dalam melakukan budidaya padi sawah. Masing-masing data tematik ini memiliki peranan penting untuk memetakan komponen atribut zona agroekologi (Tabel 1). Berbagai data tematik tersebut dapat disintesakan menjadi zona agroekologi dengan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografi (SIG). Sintesa data dengan teknologi SIG ini menghasilkan basisdata zona agroekologi yang menghimpun data karakteristik biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya; yang dapat digunakan sebagai basis analisa penghitungan daya dukung dan indeks keberlanjutan. Data daya dukung lahan sawah yang dihasilkan digunakan untuk
10
mengetahui
status
kemampuan
zona
agroekologi
lahan
sawah
dalam
memproduksi padi untuk memenuhi kebutuhan beras di setiap wilayah (provinsi), sedangkan data indeks keberlanjutan
digunakan untuk mengevaluasi status
keberlanjutan lahan sawah.
Tabel 1. Jenis data dan kegunaannya untuk zonasi agroekologi lahan sawah Jenis data
Kegunaan
Sistem lahan
Memetakan kesesuaian lahan padi sawah
Penutup lahan
Mengidentikasi lahan tersedia dari aspek sebaran lahan sawah
Kawasan hutan
Mengidentifikasi lahan tersedia dari aspek status kawasan hutan (produksi, hutan lindung, dan konservasi)
Agroklimat
Mengidentifikasi kondisi iklim (curah hujan dan suhu) untuk pertumbuhan tanaman padi sawah
Kondisi irigasi
Mengidentikasi
ketersediaan air
untuk penetapan
intensitas pertanaman Ekonomi, dan sosial-budaya
Mengidentifikasi kondisi ekonomi, sosial dan budaya petani padi sawah.
Nilai indeks keberlanjutan lahan sawah di setiap zona agroekologi dihitung berdasarkan
nilai
indikator
utama
keberlanjutan
yang
diseleksi
dan
dikelompokkan dengan metode analisis faktor dan diskriminan. Indikator utama yang diperoleh mencerminkan faktor dominan yang menghambat atau mendukung keberlanjutan lahan sawah.
Faktor dominan yang menghambat keberlanjutan
dapat digunakan sebagai basis kajian pengelolaan lahan sawah
untuk
merumuskan alternatif kebijakan untuk mendukung penataan ruang dalam rangka menjaga mengatasi keberlanjutan lahan sawah. Dengan menggunakan Analisis Hirarkhi Proses (AHP) dan mempertimbangkan peraturan dan perundangundangan yang berlaku, hasil kajian pengelolaan lahan sawah tersebut kemudian dirumuskan sebagai alternatif kebijakan pengelolaan lahan sawah yang diarahkan untuk mewujudkan pemanfaatan lahan sawah berkelanjutan.
11
Model penelitian ini secara keseluruhan dirangkai dalam satu kesatuan yang utuh dalam bab 1, bab2, bab 3, bab 4, bab 5, bab 6, bab 7, dan bab 8 (Gambar 4). Bab 1 menguraikan pengantar kondisi faktual dan permasalahan
- Kondisi Faktual & permasalahan - Tujuan, hipotesis, manfaat penelitian - Kerangka pemikiran (bab 1)
Tinjauan Pustaka (bab 2)
Metodologi Penelitian (bab 3)
Penetapan Zona Agroekologi dan Daya Dukung Lahan Sawah di setiap wilayah
Hasil dan Pembahasan: Zona Agroekologi Lahan Sawah dan Daya Dukung Lahan sawah di Setiap Wilayah (Bab 4)
Penentuan Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah
Hasil dan Pembahasan: Status Keberlanjutan Lahan Sawah (Bab 5)
Perumusan Kebijakan Pengelolaan Lahan Sawah
Hasil dan Pembahasan: Kebijakan Pengelolaan Lahan Sawah untuk mendukung penataan ruang (Bab 6)
Pembahasan Umum (bab 7)
Kesimpulan dan Saran (bab 8)
Gambar 4. Keterkaitan antar bab dalam penyajian sistematika disertasi
12
yang mengancam keberlanjutan lahan sawah,
tujuan, hipotesis, manfaat
penelitian, dan kerangka pemikiran (state of the arts).
Kondisi faktual dan
permasalahan lahan sawah yang mencakup lingkungan biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya disajikan secara lengkap di bab 2. Rangkaian bab 1 (Pendahuluan) dan bab 2 (Tinjauan Pustaka) tersebut
menjadi dasar penulisan metodologi
penelitian (bab 3). Bab 3 ini menguraikan filosofi metode yang digunakan untuk menjawab tiga topik bahasan pokok, yaitu (1) penetapan zona agroekologi lahan sawah dan daya dukungnya di setiap wilayah provinsi, (2) penentuan indeks keberlanjutan lahan sawah, dan (3) perumusan alternatif kebijakan pengelolaan lahan sawah berdasarkan status keberlanjutan yang dicerminkan oleh indeks keberlanjutan. Hasil dari pembahasan di bab 4 ini menjadi dasar pembahasan status keberlanjutan lahan sawah berdasarkan nilai indeks keberlanjutan di setiap zona agroekologi yang disajikan di bab 5.
Hasil dari pembahasan di bab 5
kemudian dijadikan dasar pembahasan di bab 6, yaitu tentang
perumusan
kebijakan pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang dalam rangka mewujudkan pemanfaatan lahan sawah secara berkelanjutan. Bab 7 menguraikan pembahasan umum tentang prospek pulau Jawa berswasembada beras,
pengelolaan kelembagaan lahan sawah terpadu, dan pengembangan
pemanfaatan peta zona agroekologi lahan sawah melalui Infrastruktur Data Spasial Nasional (IDSN). Topik bahasan di bab 7 ini lebih difokuskan pada prospek dan pengembangan hasil penelitian untuk menjawab permasalahan keberlanjutan lahan sawah pada masa datang. Bab 8 menyajikan rangkuman kesimpulan dan saran dari bab 4, bab 5, bab 6, dan bab 7. Kesimpulan dan saran yang disajikan tersebut
disinkronkan dengan tujuan, hopotesis, dan manfaat
penelitian secara keseluruhan.
1.5.3. Rancangan Kebaruan Penelitian Berdasarkan pada hasil penelusuran penelitian tentang indeks keberlanjutan yang telah ada, kebaruan penelitian indeks keberlanjutan lahan sawah akan terletak pada: 1.
Pengklasifikasian lahan sawah yang sesuai dengan potensi lahan, intensitas pertanaman dan status kawasan budidaya.
13
2.
Penetapan indikator utama keberlanjutan lahan sawah berbasiskan data spasial agroekologi.
3.
Penentuan prioritas kebijakan pengelolaan lahan sawah berdasarkan indikator utama
dengan pendekatan
mendukung penataan ruang.
14
batas spasial agroekologi untuk
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Lahan Sawah Sistem usahatani lahan sawah di Jawa telah lama dikenal dan dipraktekkan oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lalu (Adiningsih et al., 2004; Soemarwoto, 2008). Teknologi sistem usahatani di Jawa pertama kali diperkenalkan oleh budaya Dong Son dari Vietnam Utara pada abad ke-3 (Yokokura, 1987, dalam Poniman, 1989). Budaya Dong Son tersebut mewariskan sistem usaha tani lahan sawah dalam hal pengolahan tanah dengan kerbau (Buffalo-trampling), penanam padi tipe bulu, dan penggunaan ani-ani
untuk
panen padi. Pengaruh sistem usahatani lahan sawah budaya Dong Son ini kemudian beralkulturasi dengan budaya India pada abad ke-9.
Kedatangan
budaya India mewariskan teknologi pengolahan tanah sawah dengan sapi bajak dan penggunaan sabit untuk panen (Poniman, 1989). Lombard (1990b) mengemukakan bahwa pembukaan lahan persawahan di Jawa Tengah dan Jawa Timur diawali pada abad ke-8 dan ke-13, sedangkan di daerah – daerah Pasundan (Jawa Barat) baru dibuka secara sistimatis pada abad ke-17 dan ke-18. Sejarah awal mula persawahan di Jawa dibuktikan dengan ditemukannya prasasti tentang Tanggul Banjir Harinjing di desa Kepung, di wilayah Sungai Brantas, tertanggal 726 Tahun Caka atau 808 M (Angoedi, 1984, dalam Gani, 2006). Pada zaman Mojopahit (abad ke-14), lahan sawah di Jawa sangat dilindungi.
Perlindungan daerah persawahan ini tertuang dalam kitab
Negarakertagama yang ditulis Pangeran Wengker, paman Hayam Wuruk, yaitu: ”Anda hendaknya memperhatikan segala sesuatu yang sesuai dengan kepentingan pedesaan (pradesa), bendungan (situ), jalanan (damarga), bangunan dari batu (gerha). Semua karya karya yang berguna itu harus dirawat dengan baik”.
Pada masa itu berlaku hukum adat: Barangsiapa membiarkan sawah
terbengkelai, harus dianggap bersalah dan membayar denda sebanyak harga beras yang dihasilkan tanah seluas itu. Pada zaman Jawa kuno tersebut, sistem irigasi (pembagian air) telah diterapkan di lembah Brantas, Jawa Timur. Sistem irigasi kuno lainnya juga dikembangkan, seperti: (1) di hulu Kali Konto yang bersumber di lereng-lereng Gunung Kawi dan mengalir ke Barat sampai bermuara di kali Brantas (sebelah Utara Kertosono) yang dibangun pada tahun 804
15
(pada masa kerajaan Daha di Kediri), (2) di hulu Kali Pikatan yang mengalir dari lereng-lereng Gunung Welirang dan mengalir ke Barat Laut sampai bermuara di Kali Brangkal, satu anak sungai Kali Brantas yang dibangun pada awal abad ke10 (pada masa pemerintahan Mpu Sendok, kerajaan Singasari). Pada masa akhir kerajaan Mojopahit (tahun 1489), Raja Girindrawardana membangun sistem irigasi besar di Selatan Kali Porong di kaki Gunung Penanggungan (di sebelah Timur Mojokerto).
Gambar 5. Kekuasaan raja dan pengaturan persawahan abad ke-11 - 15 (Sumber: Lombard, 1990b) Pada masa kerajaan Mataram (akhir abad ke-16 – awal abad ke-19), lahan persawahan dikembangkan ke arah Barat, sejajar dengan jalan islamisasi di sepanjang wilayah pesisir dari Giri ke Demak, lalu dari Demak ke Cirebon dan
16
Banten. Pada masa itu, pembangunan pertanian mendapat perhatian serius. Laporan perjalanan duta Van Goens dari Semarang ke Mataram menyebutkan luasnya daerah persawahan dengan saluran irigasi yang dibuat dari batu. Di Mataram
para penguasa kebanyakan mempunyai kali kecil yang disalurkan
melintasi rumah mereka.
Nama sebuah ”bendungan” untuk mengingatkan
pentingnya pengairan dicatat di keraton Sultan Agung dan Amangkurat I, yaitu di Plered. Pada masa kesultanan, beras merupakan komoditi ekspor utama selain tembakau yang dikirim ke Sulawesi atau Penang (Malaysia). Pada masa itu pula, mulai muncul
industri pengrajin tenun, batik, pembuatan garam, gula aren,
industri ”kertas jawa” (dluwang) yang dibuat dari kulit jayu pohon rumbai tertentu. Akibatnya,
muncul kegiatan sektor ekonomi yang menggunakan mata uang
sebagai alat tukar. Sementara itu, pemerintahan terus berupaya meningkatkan pemasukan dari pajak. Kemajuan itu tampaknya mendukung perkembangan hak milik, yang membawa akibat munculnya golongan sosial baru, yaitu golongan sikep (orang-orang terkemuka yang menguasai tanah).
Golongan itu tidak
diketahui asalnya, yang jelas adalah bahwa pada akhir abad ke-18 mereka merupakan orang-orang terkemuka di desa-desa, yang mengaku sebagai pewaris dari pendiri desa (Lombard, 1990b). Pada masa Pemerintah Kolonial Belanda – Orde Lama (1965), lahan sawah di Jawa mulai tertekan karena peningkatan jumlah penduduk.
Untuk
mengatasi kepadatan penduduk di Jawa, pada awal abad 20 pemerintah Kolonial Belanda mencanangkan program transmigrasi, yaitu pemindahan penduduk Jawa ke pulau-pulau lain. Setelah kemerdekaan, kepemilikan lahan sawah di Jawa menjadi semakin terpecah-pecah karena semakin banyaknya tuan-tuan tanah. Pada tahun 1963, kepemilikan lahan sawah petani gurem di Jawa adalah 0,637 ha (Lombard, 1990b). masalah.
Pada masa orde lama,
kedaulatan pangan menghadapi
Pada masa demokrasi terpimpin itu,
pemerintah mengabaikan
ketersediaan dan keterjangkauan komoditi beras. Akibat terjadinya kelangkaan produksi beras yang dipasok oleh lahan sawah inilah yang menjadi penyebab kejatuhan rezim Soekarno pada tahun 1965 (Modjo, 2009). Pada masa Orde Baru (tahun 1966-1998), pemerintah mengintesifkan penerapan revolusi hijau, yaitu dengan mencanangkan berbagai program
17
intensifikasi usaha tani padi sawah seperti program Bimas (Bimbingan Massal), Insus (Intesifikasi khusus), Inmas (Intensifikasi Massal), Inmun (Intensifikasi Umum), Opsus (Operasi khusus), dan Supra Insus. Program intensifikasi usaha tani padi tersebut diarahkan untuk mendorong peningkatan produktivitas padi dengan pemakaian benih varietas unggul, pupuk kimia, dan obat-obatan kimia dan pestisida pemberantas hama dan penyakit tanaman. Penerapan revolusi hijau tersebut disertai pembangunan infrastruktur irigasi secara pesat. Namun demikian, sejak tercapainya swasembada beras pada tahun 1984, produksi padi cenderung semakin merosot hingga 2% (Fagi dan Kartaatmadja, 2003; Salikin, 2003). Penurunan produktivitas lahan pertanian
tersebut mengindikasikan bahwa
revolusi hijau juga membawa dampak buruk atau eksternalitas negatif, yaitu meningkatnya erosi tanah, punahnya keanekaragaman hayati, pencemaran air, bahaya residu bahan kimia pada hasil pertanian, dan lain-lain (Salikin, 2003). Menurut Yansen (2008), revolusi hijau yang diterapkan saat ini juga tidak diikuti pengurangan kemiskinan. Pada masa krisis ekonomi, reformasi hingga sekarang (1997 – sekarang) , lahan pertanian sawah di Jawa semakin tertekan karena peningkatan jumlah penduduk dan buruknya infrastruktur irigasi.
Selama satu dekade terakhir,
infrastruktur irigasi yang telah dibangun secara pesat pada masa Orde Baru tidak terpelihara dengan baik (Yansen, 2008; Khudori 2008). Buruknya infrastruktur irigasi tidak disebabkan oleh tidak adanya
dana, melainkan karena para
penyelenggara dan pemutus kebijakan negeri ini masih terjebak belenggu urban bias. Misalnya, dari 24 proyek yang ditransaksikan dalam infrastruktur Summit 2005, mayoritas untuk orang kota (17 proyek jalan tol, dua proyek pipa gas, empat proyek pengadaan air, dan satu proyek pembangkit listrik, dengan total investasi enam miliar dolar AS) (Khudori, 2008).
Agar tidak berdampak lebih buruk
terhadap penduduk desa yang mayoritas pencahariannya mengandalkan usaha tani, Khudori lebih lanjut manyarankan tentang pentingnya pembangunan infrastruktur desa (jalan desa dan irigasi). Kedua infrastruktur ini berperan penting untuk menjaga keberlanjutan usaha tani pada khususnya dan kesejahteraan petani pada umumnya.
18
Agar sektor pertanian pangan tidak semakin terpinggirkan dalam perkonomian nasional, revitalisasi pertanian mutlak diperlukan, yaitu dengan mengambil tiga langkah penting: (1) pemeliharaan dan investasi pembangunan infrastruktur irigasi, (2) melaksanakan reformasi agraria agar pengurangan kemiskinan bisa dicapai, dan (3) target ekspor beras harus tetap diintegrasikan dengan target ketahanan pangan nasional (Yansen, 2008).
2.2 Karakteristik Biofisik 2.2.1 Agroklimat Berdasarkan data curah hujan selama 10 tahun pada periode 1998-2007, agroklimat pulau Jawa dapat dikelompokkan menjadi 9 (sembilan) tipe iklim Oldeman, yaitu A1, B1, B2, B3, C2, C3, D3, E3, dan E4.
Klasifikasi agroklimat
Oldeman tersebut didasarkan pada lama bulan basah dan kering berturut-turut, yang disesuaikan dengan rata-rata hujan bulanan untuk menanam padi sawah (> 200 mm) dan untuk tanaman palawija (100-140 mm). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa bulan basah adalah yang hujannya lebih besar dari 200 mm, sedangkan bulan kering adalah yang hujannya kurang dari 100 mm (Oldeman, 1975). Karakteristik dan peta tipe iklim Oldeman disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 6-7. Seperti yang diperlihatkan pada Gambar 6-7, distribusi tipe iklim di Jawa menunjukkan bahwa bagian Barat Jawa memiliki bulan
basah lebih banyak
daripada bagian Timur atau semakin ke Timur lebih kering. Tipe iklim A1 dan B1 hanya dijumpai di provinsi Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Tipe iklim B3 dijumpai di provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur. Cakupan tipe iklim C2, C3, dan D3 menyebar di semua provinsi, tetapi tipe C3,D3, dan E3 paling luas berada di Jawa Timur. Gambar 8 menunjukkan bahwa awal musim hujan di Jawa sangat bervariasi.
Musim hujan di Jawa Barat dan bagian Barat Jawa Tengah dimulai
pada bulan September.
Musim hujan di pantai utara provinsi Banten –DKI
Jakarta –Bekasi-Karawang dan Gresik, Probolinggo-Banyuwangi dimulai pada bulan Desember. Di sebagian besar wilayah provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, musim hujan dimulai pada bulan Oktober-November.
19
Tabel 2. Klasifikasi agroklimat Oldeman (Oldeman, 1975) Tipe Iklim
Bulan basah berturut-turut
Bulan kering berturut-turut
A1
>9
<2
A2
>9
2-4
B1
7-9
<2
B2
7-9
2-4
B3
7-9
5-6
C1
5-6
<2
C2
5-6
2-4
C3
5-6
5-6
C4
5-6
>6
D1
3-4
<2
D2
3-4
2-4
D3
3-4
5-6
D4
3-4
>6
E1
<3
<2
E2
<3
2-4
E3
<3
5-6
E4
<3
>6
2500000 Banten Jawa Barat
2000000 Luas (ha)
Jawa Tengah 1500000
D.I Yogyakarta Jawa Timur
1000000 500000 0 A1
B1
B2
B3
C1
C2
C3
D3
E3
E4
Tipe Iklim
Gambar 6.
Distribusi tipe iklim di Jawa berdasarkan data curah hujan tahun 1998-2007 (BMG, 2008)
20
Gambar 7. Peta zona agroklimat Oldeman Jawa (BMG, 2008)
21
Gambar 8. Prakiraan awal musim hujan di Jawa (BMG, 2008)
22
2.2.2 Tanah Sawah Menurut Hardjowigeno et al. (2004), tanah sawah adalah tanah kering yang diari, atau tanah rawa-rawa yang dikeringkan dengan membentuk saluran-saluran drainase. Proses pedogenesis tanah sawah tidak terlepas dari proses pedogenesis yang berlangsung sebelum tanah disawahkan (Rayes, 2000).
Gong (1986)
mengemukakan bahwa pembentukan tanah sawah meliputi 2 (dua) aspek, yaitu eluviasi dan pengaruh penanaman dan pemupukan.
Eluviasi dipercepat oleh
terjadinya perkolasi air irigasi, sementara itu kondisi reduksi memungkinkan terjadinya pencucian beberapa unsur yang tidak dapat tercuci pada kondisi lahan kering.
Pengaruh penanaman melalui pola tanam berbeda mengakibatkan
perbedaan lamanya penggenangan. Perbedaan penggenangan mengakibatkan perbedaan sifat-sifat morfologi tanah sawah. Penggenangan selama pertumbuhan padi dan pengolahan tanah pada tanah kering yang disawahkan dapat menyebabkan berbagai perubahan sifat tanah, baik sifat morfologi, fisika, kimia, mikrobiologi maupun sifat-sifat lain (Hadjowigeno et al., 2004). Pengolahan dalam keadaan tergenang menyebabkan perubahan sifat fisika tanah antara lain hancurnya agregat (struktur) tanah, pori-pori kasar berkurang sedangkan pori-pori halus meningkat, tanah menjadi melumpur sehingga partikelpartikel halus bergerak ke bawah bersama air perkolasi membentuk lapisan tapak bajak, dibawah lapisan olah, sehingga bobot isi pada lapisan ini menjadi meningkat (Moorman dan van Breemen, 1978; Kanno, 1978). Menurut Kanno (1978), tanah sawah tipikal mempunyai horison utama: horison eluviasi tereduksi (Ag) yang terdiri dari lapisan olah dan lapisan tapak bajak, horison iluviasi teroksidasi (Bg) dengan karatan besi dan mangan, dan horison iluviasi yang secara berkala tereduksi (BgG) dengan noda-noda glei dan karatan kuning kecoklatan, dan horison yang selalu tereduksi (G atau Gg). Gambar 9 memperlihatkan profil tanah sawah tipikal. Ditinjau dari penyebarannya, lebih dari 60% tanah sawah di Indonesia berada di pulau Jawa, yang secara fisiografis menyebar di dataran banjir (aluvial pantai), dan lereng bawah volkan yang berasal dari bahan-bahan piroklastik (Kawaguchi dan Kyuma, 1976; Rayes, 2000).
Tanah sawah sebagian besar
terbentuk di dataran rendah (lereng bawah), yaitu di bentuklahan berbahan aluvial
23
Holocene dan Pleistosin Atas, seperti dataran banjir (floodplain), delta, dan teras sehingga morfologi tanahnya tidak berkembang baik termasuk dalam
kategori
dan
jenis tanahnya
ordo Entisol atau Inceptisols dalam sistem Soil
Taxonomy (Kyuma, 2004). Hardjowigeno et al., (2004) menjelaskan
bahwa
pada tanah Entisols yang terbentuk di daerah dataran banjir di sekitar sungai dan delta, proses pengendapannya (geogenik) lebih cepat daripada proses horisonisasi (pedogenik). Selain itu, lambatnya perkembangan tanah disebabkan oleh kondisi yang selalu jenuh air atau tergenang. Pada tanah Inceptisols yang terbentuk di daerah lembah, perkembangan tanahnya belum begitu matang apabila dibandingkan dengan tanah matang seperti Ultisols dan Alfisols. Rayes (2000) melaporkan hasil penelitiannya tentang genesis tanah sawah berbahan volkan merapi, yang termasuk ordo Inceptisols. Hasil penelitian Rayes tersebut menunjukkan bahwa proses pedogenesis yang penting dalam lapisan olah tanah sawah bertekstur pasir berbahan volkan Merapi adalah reduksi (saat diolah dan digenangi selama pertumbuhan padi) dan oksidasi (saat kering) yang terjadi secara bergantian. Proses yang paling dominan adalah proses eluviasi dalam keaadan tereduksi, selain terjadinya pengkayaan (penambahan lumpur) dari air irigasi yang menyebabkan kandungan liat lapisan ini lebih tinggi daripada horison di bawahnya. Proses gleisasi tidak begitu nyata karena tanah bertekstur pasir dan berdrainase baik.
Gambar 9. Profil tanah sawah tipikal menurut Koenings (1950) dan Moorman dan van Breemen (1978) 24
Penggenangan tanah sawah mempengaruhi perilaku unsur hara dan pertumbuhan serta hasil padi (Prasetyo et al., 2004). Pada saat tanah sawah tergenang, oksigen yang terdapat dalam pori-pori tanah dan air dikonsumsi oleh mikroba tanah, sehingga menyebabkan terjadinya keadaan anaerob (Adiningsih et al., 2004; Prasetyo et al., 2004; Kyuma, 2004). Penggenangan tersebut mengakibatkan perubahan-perubahan kimia tanah sawah (Ponnamperuma, 1976), antara lain: •
Penurunan kadar oksigen dalam tanah
•
Penurunan potensial redoks
•
Perubahan pH tanah
•
Reduksi besi (Fe) dan mangan (Mn)
•
Peningkatan suplai dan ketersediaan nitrogen
•
Peningkatan ketersediaan fosfor.
Ketersediaan unsur pada tanah sawah berkaitan dengan distribusi oksigen pada lapisan olah (Gambar 10). Pada saat tanah digenangi air, pertukaran udara yang terjadi antara tanah, air, dan udara menjadi terhenti dan oksigen dari udara masuk ke dalam tanah melalui genangan air dengan proses difusi. Laju difusi oksigen tersebut adalah sangat rendah, yaitu 10 ribu kali lebih lambat daripada melalui pori yang berisi udara, sehingga keadaan tanah menjadi anaerob. Dalam keadaan anaerob ini, menurut Sanchez (1993), persediaan oksigen menurun sampai mencapai titik nol dalam waktu kurang dari sehari. Oksigen yang terdapat dalam pori-pori tanah dan air dikonsumsi oleh jasad mikro tanah untuk respirasi. Pada saat itu pula, kegiatan mikroba tanah aerob segera diganti oleh mikroba tanah anaerob yang menggunakan energi dari senyawa-senyawa yang mudah tereduksi seperti NO3-, SO42-, Fe3+, dan Mn4+. Senyawa-senyawa tersebut segera direduksi menjadi S2- (sulfida), NO2- (nitrit), dan Mn2+ (mangano), dan Fe2+ (ferro). Pada tanah dengan kadar besi tinggi, ion Fe2+ (ferro) yang larut dalam air dapat meracuni tanaman (Adiningsih et al., 2004).
Pengaruh positif yang
menguntungkan pada sistem sawah, seperti yang dijelaskan oleh Ponnamperuma (1976) adalah terjadinya perubahan pH tanah menjadi sekitar netral (5,5 – 7,50), ketersediaan beberapa unsur hara seperti N, P, K, Fe, Mn, Si, dan Mo. Pengaruh
25
yang merugikan adalah menurunnya kadar S, Zn, Cu yang terikat pada sulfida yang mengendap dan hilangnya NO3- karena denitrifikasi. Adiningsih (1984) mengemukakan bahwa pada tanah tereduksi, ketersediaan K menjadi meningkat karena adanya pertukaran ion K di komplek jerapan oleh ion-ion Fe2+ dan Mn2+. Meningkatnya unsur hara P, menurut Sanchez (1993), disebabkan oleh reduksi ion Fe3+ menjadi ion Fe2+ yang mengakibatkan ikatan Fe-P menjadi lepas.
Gambar 10. Pola distribusi oksigen pada tanah sawah dan bentuk unsurunsur utama mineral setelah stabilisasi ( Prasetyo et al. 2004))
Sifat-sifat fisik tanah sawah yang perlu diperhatikan dalam sistem usaha pertanian padi sawah adalah tekstur, struktur, bobot isi, ketahanan tanah, permeabilitas, dan porositas tanah (Prasetyo et al., 2004). Prihar et al. (1985) mengemukakan bahwa tekstur, tipe mineral, struktur, bahan organik tanah, dan kandungan seskuioksida menentukan pengaruh pelumpuran terhadap sifat-sifat fisik tanah. Pada tanah bertekstur halus, tanah yang terdispersi akibat pelumpuran mampu menutup pori di bawah lapisan olah. Kondisi ini akan mempercepat terbentuknya lapisan tapak bajak (plowpan) yang berpermeabilitas lambat. Menurut Prasetyo et al., (2004) kemampuan membentuk lapisan tapak bajak ini sangat penting untuk sawah irigasi, agar air irigasi tidak mudah hilang melalui
26
perkolasi ke lapisan bawah sehingga air irigasi menjadi efisien. Tanah bertekstur lempung halus, debu halus, liat halus sangat sesuai untuk disawahkan. Grant (1965, dalam Prihar et al., 1985) berpendapat bahwa
tanah-tanah dengan
kandungan liat 25-50% pada lapisan atas (olah) dan tekstur yang sama atau lebih tinggi
pada
lapisan bawah (subsoil) sangat mendukung untuk peningkatan
produksi padi. Pada tanah sawah, mikroba perombak berperan penting untuk perombakan bahan organik, seperti bakteri Nitrosomonass dan Nitrobacter berperan pada proses nitrifikasi- denitrifikasi.
Nitrifikasi adalah transformasi aerobik NH4+
(amonium) menjadi NO3- (nitrat), sedangkan denitrifikasi adalah proses reduksi biokimia nitrat atau nitrit menjadi nitrogen gas, baik sebagai nitrogen molekul (N2) atau nitrogen oksida (N2O). Nitrat hasil nitrifikasi merupakan sumber hara N utama bagi tanaman (Alexander, 1976; Mengel dan Kirkby, 1982; Prasetyo et al.,, 2004).
Proses perombakan bahan organik penting lainnya pada tanah sawah
adalah
yang
dilakukan
Metanosarcina.
oleh
kelompok
mikroba
metanogen,
seperti
Mikroba ini memiliki kemampuan untuk memproduksi gas
metan, sebagai salah satu gas rumah kaca selain CO2. Lahan sawah merupakan satu sumber gas metan atmosfer yang signifikan (Sass dan Cicerone, 1999).
2.3 Ekonomi dan Sosial-Budaya 2.3.1 Penduduk Pulau Jawa dengan luas sekitar 13.3 juta ha merupakan pusat ekonomi, sosial, politik dan budaya di Indonesia (Whitten, 1996). Pada tahun 2005, pulau Jawa dihuni oleh 128,47 juta jiwa atau 58.70% dari total penduduk Indonesia sejumlah 218. 869 juta jiwa (BPS, 2005). Selama periode 1971-2005, rata-rata laju pertambahan penduduk adalah 11.4%. Dari pertambahan penduduk yang pesat tersebut, provinsi Jawa Barat merupakan daerah yang paling menderita akibat ledakan migrasi penduduk antar provinsi. Jakarta yang diserbu kaum urbanis dari provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan provinsi lainnya, malah ikut menambah penduduk provinsi Jawa Barat terakhir.
27
3.24 juta jiwa dalam lima tahun
Kepadatan penduduk merupakan cerminan dari tekanan penduduk terhadap lahan.
Semakin tinggi kepadatan penduduk semakin tinggi tekanan
penduduk terhadap lahan (Giyarsih, 2005).
Berdasarkan pada data hasil Sensus
Nasional 2005, kepadatan penduduk di enam provinsi yang ada di pulau Jawa tidak merata. Secara keseluruhan, kepadatan penduduk pulau Jawa adalah 968 jiwa/km2.
Kepadatan penduduk terpadat dijumpai di provinsi DKI Jakarta
(13.605 jiwa/km2 ), kemudian menyusul provinsi D.I Yogyakarta (1.054), Jawa Barat ( 1.050 jiwa/km2), Jawa Tengah (929 jiwa/km2), Banten (965 jiwa/km2), dan Jawa Timur (755 jiwa/km2). Selama kurun waktu 5 tahun (2000-2005), kepadatan penduduk di provinsi DKI Jakarta mengalami peningkatan sangat tajam (Gambar 12). Kepadatan penduduk DKI Jakarta meningkat dari 12.837 jiwa/km2 menjadi 13.603 jiwa/km2. Peningkatan kepadatan penduduk provinsi ini diduga sebagai akibat dari arus urbanisasi penduduk dari provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, dan provinsi-provinsi lain dari luar Jawa. Peningkatan kepadatan penduduk di provinsi lain
yang cukup tinggi adalah
Banten dan DI. Yogyakarta. Di kedua provinsi ini selama kurun waktu 5 tahun, kepadatan penduduknya mengalami peningkatan lebih dari 100 jiwa/km2.
60,000
Jumlah Penduduk ( 000 Jiwa )
50,000
Banten
40,000
DI Yogyakarta DKI Jakarta
30,000
Jawa Barat Jawa Tengah
20,000
Jawa Timur
10,000
0 1971 1980 1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020 2025 Tahun
Gambar 11. Pertambahan penduduk di Jawa dari tahun 1971-2025. (1971-2005: hasil sensus, 2010 - 2025: proyeksi)
28
Jumlah penduduk di Jawa pada tahun 2005 mencapai 12.5 juta jiwa, sekitar 60% tinggal di daerah pedesaan. Sekitar 70% penduduk di pedesaan tersebut bekerja di sektor pertanian (BPS,1985-2007). Hasil Sensus Pertanian 2003 yang diperlihatkan pada Gambar 13 menunjukkan bahwa jumlah Rumah Tangga Petani (RTP) di Jawa mencapai 8.46 juta, yang mana 6.84 juta (80%) mengusahakan tanaman padi sawah sedangkan sisanya 1.62 juta (20%) mengusahakan padi gogo. Jumlah RTP padi sawah sebagian besar terkonsentrasi di provinsi Jawa Barat (Jabar), Jawa Tengah (Jateng), dan Jawa Timur (Jatim).
Kepadatan (jiwa/km 2)
15,000
10,000 T ahun 2005 T ahun 2000 5,000
og ya k D
.I.
D
Y
Ja tim
ar ta
g Ja te n
ar Ja b
K
I.
Ja k
Ba n
ar ta
te n
0
Tahun
3,000 2,500 2,000
Padi
1,500 1,000
Padi Sawah Padi Gogo
500
Ja tim
DI .
Yo gy ak ar ta
Ja te ng
Ja ba r
DK I
Ja ka rta
0
Ba nt en
Jumlah RTP (Ribu)
Gambar 12. Kepadatan penduduk pulau Jawa tahun 2000 dan 2005
Provinsi
Gambar 13. Banyaknya Rumah Tangga Petani (BPS, 2004)
29
Jumlah RTP tersebut adalah 68% dari jumlah RTP padi sawah yang ada di Indonesia (10.06 juta). Selain kepemilikan lahan garapannya yang sempit, petani di Jawa umumnya juga memiliki kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) dengan tingkat pendidikan rendah. Menurut data BPS tahun 2002, tingkat pendidikan tenaga kerja pertanian yang tidak sekolah dan tidak tamat SD sebesar 35%, tamat SD 46%, tamat SLTP 13%. Dibandingkan dengan sektor non pertanian pada tahun yang sama, tingkat pendidikan tenaga kerja yang tidak sekolah dan tidak tamat SD 31%, tamat SLTP sekitar 20%, dan tamat SLTA 27%. Tingginya tingkat pendidikan di sektor nonpertanian ini sebagian besar berasal dari mereka yang melakukan urbanisasi atau yang meninggalkan sektor pertanian di pedesaan.
2.3.2 Ekonomi Selain penduduknya terbesar dan terpadat, pulau Jawa juga merupakan pusat perekonomian nasional. Selama tahun 2007, kinerja perekonomian di pulau Jawa yang digambarkan oleh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan dari provinsi DKI. Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, dan Jawa Timur
mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar
5.79%. Nilai PDRB rata-rata dari 6 provinsi tersebut mencapai
178 triliun.
Nilai PDRB tertinggi dicapai provinsi DKI Jakarta (312.71 triliun), kemudian menyusul provinsi Jawa Barat (257.54 triliun), Jawa Timur (256.37 triliun), Jawa Tengah (150.68), Banten (61.32 triliun), dan D.I Yogyakarta (29.42 triliun).
350
PDRB (trilun)
300 250 200 150 100 50 0 DKI Jakarta
Banten
Jabar
Jateng
DI. Yogyakarta
Jatim
Provinsi
Gambar 14. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2007 atas harga konstan tahun 2000
30
Penduduk di Indonesia, termasuk Jawa,
sebagian besar bekerja pada
sektor pertanian. Lebih dari 83% kabupaten/kota ekonominya berbasis kepada pertanian (Deptan, 2006).
Berdasarkan pada data PDRB tahun 2007 yang
ditampilkan pada Tabel 3, laju pertumbuhan perekonomian rata-rata dari sektor pertanian di Jawa mencapai 7,54%. Terendah dijumpai di provinsi DKI Jakarta, yaitu 0.92, sedangkan yang terbesar di provinsi Jawa Barat (35.44). Sektor pertanian tersebut meliputi tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan. Sensus Pertanian 2003 menunjukkan bahwa sekitar 9.59 juta RTP atau 70% dari 13.7 juta RTP di Jawa mengusahakan padi dan palawija. Kecilnya nilai pertumbuhan dari sektor pertanian di provinsi DKI Jakarta dapat dimengerti, mengingat provinsi ini memiliki lahan pertanian sangat sempit. Tingginya nilai pertumbuhan perekonomian dari sektor pertanian di provinsi Jawa Barat, namun demikian, tidak diikuti peningkatan kesejahteraan petani. Pada tahun 2007, tingkat kesejahteraan petani di Jawa Barat lebih rendah dibandingkan tiga provinsi lainnya yaitu Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Kondisi ini dapat dilihat dari rendahnya indeks Nilai Tukar Petani (NTP), yaitu indeks rasio harga yang
diterima
dengan
harga yang dibayar rumah tangga tani.
Rendahnya NTP disebabkan oleh harga jual petani di Jawa Barat lemah, biaya produksi tinggi, nilai tukar petani rendah, dan
produksi petani dijual ke
tengkulak. Nilai tukar petani di Jawa Barat hanya 95, sedangkan di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur secara berurutan adalah 105, 102, dan 100,3. Nilai tukar petani 96 di Jawa Barat menunjukkan bahwa
petani mengalami defisit,
kenaikan harga produksi relatif lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga barang konsumsinya, dan pendapatan petani di Jawa Barat cenderung turun. Nilai tukar petani di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur lebih dari 100 berarti ketiga daerah tersebut mengalami surplus, harga produksi naik lebih besar dari kenaikan harga komsumsinya dan pendapatan petani naik lebih besar dari pada konsumsinya (Swastiyani, 2008).
31
Tabel 3.
Nilai dan laju Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Tahun 2006 atas harga konstan tahun 2000 (dalam triliun) Provinsi 1
Sektor Usaha
2
DKI Nilai
3
Banten LP
Nilai
Jateng4
Jabar
LP
Nilai
LP
Nilai
DIY5
LP
Nilai
Jatim6 LP
Nilai
LP
Pertanian
0.29
0.92
5.00
1.10
34.72
35.44
31.00
3.60
3.31
0.57
44.70
3.61
Pertambangan & Penggalian
0.94
0.46
0.06
3.75
7.02
-14.54
1.68
15.40
0.20
0.03
5.02
9.13
53.65
4.68
30.55
5.43
114.30
4.19
48.19
4.52
4.08
10.17
70.64
4.62
2.09
4.55
2.51
2.19
5.76
6.69
1.26
6.49
0.38
0.06
4.43
5.73
Bangunan/Konstruksi
31.17
7.62
1.66
5.18
8.11
0.19
8.45
6.10
2.87
0.73
8.90
3.49
Perdagangan, hotel, restoran
67.68
7..04
11.48
7.28
50.61
9.05
7.45
5.85
5.56
1.14
74.55
9.17
Pengangkutan dan komunikasi
26.61
14.65
5.42
10.31
11.14
-0.78
7.45
6.63
3.05
0.61
14.52
4.99
Keuangan, Persewaan
94.28
4.40
1.89
8.23
7.68
1.24
5.40
6.55
2.78
0.43
12.67
7.56
Jasa
36.12
6.07
2.74
9.44
18.20
0.38
15.44
7.89
5.90
20.95
4.29
312.71
6.61
61.32
5.53
257.54
7.27
150.68
5.33
29.42
256.37
5.84
Industri Pengolahan
Listrik, Gas, Air Bersih
PDRB
Sumber: 1) BPS DKI (2008), BPS Banten (2008), BPS Jawa Barat (2008), BPS Jawa Tangeh (2008),
32
BPS DI. Yogyakarta (2008), BPS Jawa Timur (2008).
0.47
4.20
2.3.3 Sosial-Budaya Revitalisasi pertanian lahan sawah di Jawa tidak bisa terlepas dari faktor sosial-budaya. Gany (2006) mengemukakan bahwa berdasarkan pada pengalaman sejarah pengembangan teknologi irigasi di Indonesia harus memperhatikan faktor budaya, disamping faktor sosial, ekonomi, moral, etika, bahkan pertahanan dan keamanan. Budaya suku Jawa dan Sunda yang mendominasi masyarakat petani pedesaan di Jawa berperan penting terhadap kemajuan sistem pertanian padi sawah. Sistem sosial dan budaya dalam masyarakat pertanian telah berperan dalam membangun ketahanan pangan dan ketahanan sosial, seperti lumbung pangan, sistem arisan, dan lainnya (Deptan, 2006).
Gani (2006) menambahkan
bahwa budaya Sistem pertanian padi sawah yang ada di Jawa saat ini tidak terlepas dari pengaruh budaya nenek moyang kita yang telah ditanamkan oleh budaya Dong Son dari Vietnam Utara pada abad ke-3 (Yokokura, 1987, dalam Poniman, 1989) dan budaya India pada abad ke-8 hingga ke-13
(Lombard,
1996b; Poniman, 1989). Dari sistem pertanian padi sawah yang ada, Poniman (1989) mengelompokkan budaya padi di Indonesia menjadi enam wilayah, yaitu wilayah Jawa-Bali, wilayah pegunungan & perbukitan dan pantai luar Jawa, wilayah Aceh, wilayah Wallacea, dan wilayah Timur Indonesia. Budaya padi sawah di Jawa dan Bali dipengaruhi oleh kondisi tanahnya yang berbahan induk volkan. Disamping airnya yang cukup, tanaman padi di Jawa dan Bali dapat tumbuh dengan subur di tanah yang kaya akan unsur hara dari hasil pelapukan batuan volkan.
Sistem pertanian di kedua daerah ini
menggunakan sapi bajak dan cangkul untuk pengolahan tanah dan ani-ani untuk panen padi, yang merupakan warisan dari budaya India pada abad ke-8 dan budaya Dong Son pada abad ke-3 (Poniman, 1989).
Pengolahan tanah sawah
dengan teknologi yang telah diperkenalkan oleh budaya Dong Son dan India tersebut merupakan tindakan adaptif terhadap kondisi lingkungan tanah di Jawa dan Bali yang sebagian besar terbentuk dari bahan induk volkan. Pada tanah mineral yang berbahan induk volkan, unsur hara tanaman sebagai hasil pelapukan dari mineral-mineral primer umumnya berada pada kedalaman sekitar 20-30 cm. Teknologi pengolahan tanah dengan bajak merupakan upaya untuk membalik
33
tanah yang kaya unsur hara agar tanaman padi yang ditanam dapat tumbuh seperti yang diharapkan.
Soemarwoto (2008) mengemukakan bahwa pertanian padi
sawah dapat dianggap sebagai adaptasi manusia terhadap lingkungan yang banyak bergunung dengan curah hujan yang tinggi. Di Jawa Tengah, pertanian padi sawah yang mengikuti garis kontur disebut nyabuk gunung, yaitu seperti ikat pinggang yang melingkari gunung, sedangkan di Jawa Barat disebut ngais pasir, yaitu ibaratnya menggendong gunung dengan selendang. Kelangsungan sistem pertanian padi sawah dengan teknologi modern selain dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, juga dipengaruhi oleh adanya budaya yang mengagungkan Dewi Padi Sang Hyang Sri (mother rice). Budaya pengagungan Dewa Sang Hyang Sri ini masih dilestarikan di beberapa wilayah di Jawa, misalnya adanya cerita legenda burung dan Hainuwele sebagai asal mula tanaman padi (Poniman, 1989). Penerapan budaya Dewi Padi ini merupakan ikatan sakral bagi sebagain besar masyarakat petani di Jawa dan dapat berperan sebagai faktor inherent untuk menjaga keberlanjutan pertanian padi sawah. Pengolahan tanah sawah di daerah pegunungan dan perbukitan diterapkan di daerah yang memiliki tanah-tanah
berbahan induk non volkan.
Sistem
pertanian di wilayah ini umumnya dilakukan secara berpindah-pindah. Sistem pertanian padi sawah yang menetap seperti di Jawa dan Bali, namun demikian, juga masih diterapkan di beberapa daerah, seperti di Tapanuli (Sumatera Utara). Budaya menanak nasi dan memproduksi alkohol, dan pengagungan Dewa Sang Sri juga masih di terapkan di wilayah pegunungan dan perbukitan. Budaya padi wilayah pantai diterapkan di daerah pantai pantai Barat, Selatan, dan Timur Kalimantan.
Timur Sumatera,
Di wilayah-wilayah ini yang
tanahnya didominasi oleh tanah Gambut (Organosol), sistem pertaniannya masih dilakukan secara berpindah-pindah. Penyiapan lahannya menggunakan parang dan tajak, bukan menggunakan sapi bajak seperti di Jawa dan Bali. Penanaman padi dilakukan dengan menggunakan kuku kambing dan tugal, dan panen padi menggunakan ani-ani dari peninggalan budaya Dong Son
(Poniman, 1989).
Penyiapan lahan dengan parang dan tajak ini merupakan teknologi lokal (local knowledge) untuk dapat beradaptasi
dengan karakteristik tanah gambut yang
memiliki bahan beracun sulfidik. Masyarakat petani lokal di daerah Gambut ini
34
secara alami mengetahui bahaya beracun sulfidik yang terungkap di atas permukaan dapat mengakibatkan tanaman padi tidak dapat hidup. Sistem pertanian padi sawah Aceh hampir mirip dengan di Jawa dan Bali, yaitu dilakukan secara menetap, dan pengolahan tanah dengan bajak. Pengagungan dewa padi, seperti Hainuwele juga dikenal, namun legenda asal mula tanaman padi ini berjenis kelamin laki-laki, bukan perempuan seperti Sang Hyang Sri di Jawa dan Bali. Budaya padi sawah di wilayah Wallace diterapkan di daerah Lombok, Sumbawa, Sumba, dan Sulawesi. Sistem pertanian di daerah ini umumnya dilakukan dengan cara berpindah-pindah pada lahan semak belukar (bush fallow system). Namun demikian, sistem bertani dengan berpindah-pindah dan menetap juga dilakukan di sistem budaya ini. Teknologi pengolahan tanah menggunakan pak-pak, mrancah kerbau (buffalo trampling), dan kadang-kadang dengan sapi (Cattle Trampling). Seperti halnya di Jawa, pengagungan kepada Sang Hyang Sri dan legenda Hainuwele juga dikenal di beberapa wilayah. Budaya padi sawah wilayah Timur Indonesia berbeda dengan di Jawa. Sistem pertaniannya umum menggunakan ladang berpindah. Panen padi menggunakan pisau atau tangan. Ani-ani dan arit hampir tidak dikenal di wilayah budaya ini. Sistem pertanian berpindah juga diterapkan di beberapa daerah, walaupun tidak banyak.
Pengagungan kepada dewa padi tidak dikenal, namun
legenda Hainuwele tentang cerita asal mula tanaman padi dijumpai.
2.4 Multifungsi Lahan Sawah 2.4.1 Fungsi Kelestarian Sumberdaya Tanah Lahan sawah merupakan ekosistem yang stabil atau berkelanjutan. Keberlanjutan lahan sawah ini didukung oleh proses fisik, kimia, dan biologi tanah.
Dari proses fisik, terbentuknya lapisan tapak bajak karena proses
pelumpuran (Moorman dan van Breemen, 1978; Kanno, 1978) mengurangi hilangnya air melalui seepage dan perkolasi. Selain itu, pelumpuran pada tanah sawah dapat berperan untuk pengendalian gulma. Tarigan dan Sinukaban (2001) mengemukakan bahwa tanah sawah berperan sebagai filter sedimen yang datang dari lereng atas dan diendapkan pada teras-teras. Karena posisinya di lereng
35
bawah, tanah sawah sebagai tempat berakumulasinya air dan unsur hara yang terlarut maupun yang teradsorpsi koloid tanah. Irawan et al. (2004) melaporkan hasil penelitiannya bahwa peran sawah sebagai pengendali banjir dan pemasok sumberdaya air paling mudah dipahami oleh masyarakat. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Irianto et al. (2001) menunjukkan bahwa areal lahan sawah di suatu DAS (Daerah Aliran Sungai) dapat berperan untuk menghambat debit aliran permukaan, sehingga air tidak cepat terbuang di outlet. Dari proses kimia tanah, seperti yang telah disebut sebelumnya, penggenangan tanah sawah mendorong perubahan pH tanah menjadi sekitar netral (5.5-7.5) yang dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara seperti: N, P, K, Fe, Mn, Si, dan Mo (Ponnamperuma, 1976, Adiningsih, 1984) . Menurut Adiningsih et al. (2004),
ketersediaan nitrogen pada tanah yang digenangi
lebih tinggi
daripada yang tidak digenangi. Bahan organik dimineralisasi pada tanah anaerob lebih lambat daripada tanah aerob, tetapi jumlah neto yang termineralisasi pada tanah anaerob lebih besar karena nitrogen yang termobilisasi lebih sedikit.
2.4.2 Fungsi Sosial-Budaya Pekerjaan pertanian persawahan di Jawa, menurut Sajogyo dan Sajogyo (2005), menciptakan sistem tolong-menolong atau gotong royong. Sabiham (2008) mengemukakan bahwa lahan sawah merupakan pengikat kelembagaan perdesaan sekaligus barang umum (public good) yang mendorong masyarakat pedesaan bekerjasama lebih produktif.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Nurmanaf et al. (2001) menunjukkan bahwa hubungan atau kerjasama antar petani merupakan lembaga yang tumbuh di masyarakat sejak lama dan secara luas dirasakan manfaatnya bagi petani itu sendiri. Hubungan antar petani tersebut terganggu apabila lahan sawah yang ada dialihfungsikan ke keperluan lain. Hilangnya lahan sawah yang merupakan media berinteraksi menjadikan hubungan dan kerjasama antar petani semakin berkurang dan cenderung melakukan kegiatan secara individual. Beralih fungsinya lahan sawah menjadi kawasan industri di daerah pedesaan di Kabupaten Karawang, seperti yang diteliti oleh Jamal (1997, dalam Nurmanaf et al., 2001), mengakibatkan masyarakat cenderung semakin individualis. Seperti yang ditunjukkan di desa Jagakarsa pinggiran kota Jakarta,
36
sistem kerja gotong royong telah berkurang sejak masa peralihan dari pertanian lahan sawah ke pertanian buah-buahan (Sajogyo dan Sajogyo, 2005).
2.4.3
Fungsi Ekonomi Lahan sawah merupakan sumberdaya sangat vital untuk mendorong
perekonomian masyarakat perdesaan. Anwar (2005) mendefinisikan sumberdaya sebagai segala sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi bagi masyarakat baik yang mencakup nilai yang
dikonsumsi maupun nilai yang tidak
dikonsumsikan secara langsung. Dari nilai yang dikonsumsi, lahan sawah dapat menghasilkan utilitas (kepuasan) melalui proses produksi sebagai lumbung beras. Yang tidak dikonsumsi secara langsung, lahan sawah dapat menghasilkan nilai kepuasan karena memiliki panorama yang indah dan fungsi konservasi dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Lahan sawah memiliki nilai ekonomi secara langsung sebagai lapangan kerja bagi petani itu sendiri dan secara tidak langsung sebagai pendorong timbulnya aktivitas ekonomi lainnya.
Nurmanaf et al. (2001) menyimpulkan
hasil penelitiannya bahwa lahan sawah merupakan aset sangat berharga bagi ekonomi rumah tangga masyarakat petani di pedesaan. Sebagian besar petani sangat mengandalkan pendapatan sehari-hari
pada
usaha tani lahan sawah.
Usaha tani dari petani tersebut juga mendorong terciptanya lapangan kerja bagi orang lain, seperti usaha penggilingan beras, industri makanan dan minuman, industri traktor, penyewaan traktor, industri pupuk, dan lain-lain. Selain sebagai tempat lapangan pekerjaan bagi petani itu sendiri dan mendorong terciptanya lapangan kerja bagi orang lain,
nilai ekonomi lahan
sawah dapat dinilai dari biaya pengamanan lahan sawah sebagai pencegah banjir dan pengendali erosi, serta fungsi-fungsi lingkungan lainnya seperti
sebagai
penyedia sumber air, habitat berbagai satwa, tempat rekreasi, dan penyejuk suhu udara sekitar (Nurmanaf et al., 2001; Irawan et al., 2004)
2.5 Konversi Lahan Proses konversi lahan secara langsung dan tidak langsung ditentukan oleh dua faktor, yaitu (1) sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat
37
dan pemerintah, dan (2) sistem non kelembagaan yang berkembang secara alami dalam masyarakat.
Sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat
dan pemerintah antara lain direpresentasikan dalam bentuk terbitnya beberapa peraturan tentang konversi lahan (Nasoetion dan Winoto, 1996). Sumaryanto et al. (2001) mengklasifikasikan konversi lahan sawah berdasarkan pada pelaku konversi dan prosesnya. Ditinjau dari pelaku konversi, konversi lahan dilakukan melalui dua cara: secara langsung oleh pemilik lahan dan pengalihan penguasaan. Yang dilakukan secara langsung oleh pemilik lahan didasarkan pada 3 motif tindakan: (a) untuk memenuhi pemenuhan kebutuhan tempat tinggal, (b) peningkatan pendapatan melalui alih usaha, (c) kombinasi a dan b , yaitu untuk membangun rumah tinggal sekaligus dijadikan tempat usaha. Pola konversi ini berdampak pada jangka panjang. Yang melalui pengalihan penguasaan, pemilik menjual kepada pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha non sawah atau kepada makelar.
Pola konversi lahan sawah seperti ini terjadi dalam
hamparan yang lebih luas, terkonsentrasi, umumnya berkorelasi positif dengan proses urbanisasi, dan dampaknya berlangsung cepat dan nyata. Apabila ditinjau prosesnya, konversi lahan sawah dapat
terjadi secara gradual dan seketika.
Konversi lahan secara gradual umumnya disebabkan fungsi sawah tidak optimal akibat rusaknya saluran irigasi atau usaha tani padi tidak menguntungkan. Konversi lahan secara seketika umumnya terjadi di wilayah sekitar urban, yakni berubah menjadi daerah permukiman atau kawasan industri.
Pasandaran (2006)
mengemukakan bahwa paling tidak ada tiga faktor sebagai penyebab terjadinya konversi lahan, yaitu kelangkaan sumberdaya lahan dan air, dinamika pembangunan, dan peningkatan jumlah penduduk.
Menurut Rustiadi et al.
(2008), konversi lahan berlangsung dari aktivitas dengan land rent yang lebih rendah ke aktivitas-aktivitas dengan land rent lebih tinggi. Lebih lanjut Isa (2006) menjelaskan bahwa faktor yang mendorong terjadinya konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian terdiri dari faktor kependudukan, kebutuhan lahan untuk kegiatan non-pertanian, faktor ekonomi (nilai sewa lahan) , faktor sosial budaya (fragmentasi lahan karena keberadaan hukum waris), degradasi lingkungan, otonomi daerah yang mengutamakan pembangunan pada sektor yang menjanjikan keuntungan jangka pendek lebih
38
tinggi
guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan lemahnya
penegakan hukum. Hingga saat ini konversi lahan baik yang direncanakan melalui sistem kelembagaan maupun non kelembagaan (secara alami) masih terus berlangsung. Dugaan ini terbukti dengan adanya rencana pembangunan jalan tol trans Jawa sepanjang 625 km dari Jawa Barat hingga Jawa Timur (Gambar 15), yang berpotensi memicu konversi lahan sawah produktif sekitar 4.264 ha (Litbang Kompas, 2008).
Konversi lahan yang semakin marak ini sulit dihindari karena
faktor ekonomi yang tercermin dari rendahnya land rent lahan untuk pertanian dibandingkan dengan kegiatan sektor lain (Irawan, 2004). Rasio land rent lahan pertanian adalah 1: 500 untuk kawasan industri dan 1: 622 untuk kawasan perumahan (Nasoetion dan Winoto, 1996). Adimihardja (2006) berpendapat bahwa rendahnya persepsi masyarakat terhadap multifungsi lahan sawah mengakibatkan lahan sawah mudah terkonversi, selain faktor eksternal, yaitu pembangunan sektor non-pertanian yang memilih lahan yang umumnya bertopografi relatif datar yang siap pakai dari karakteristik biofisik dan aksesibiltas.
Menurut Tambunan (2008), umumnya konversi lahan sawah
menjadi daerah permukiman dan industri banyak terjadi di wilayah-wilayah sentra produksi beras yang posisinya dekat dengan jalan raya atau tol, seperti di Jawa Barat
(Karawang,
Subang,
Tasikmalaya,
Cianjur,
Sukabumi,
Bandung,
Purwakarta, dan Cirebon), Jawa Tengah (Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, Demak, Kudus, Pati, dan Grobogan), Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Timur. Adapun menurut Pasandaran (2006), permintaan lahan cenderung tinggi pada kawasan pertanian yang sudah berkembang dengan sasaran konsumen di daerah pinggiran kota.
Secara keseluruhan, konversi lahan sawah untuk
perumahan hampir 58.7% dan untuk industri, perkantoran, dan pertokoan sekitar 21.8%, sedangkan di luar Jawa, hampir 49% untuk perkebunan, dan 16.1% untuk perumahan. Dari hasil pemantauan penutup lahan yang diinterpretasi dari citra Landsat ETM tahun 2000 dan 2005 (Poniman dan Nurwadjedi, 2008), konversi lahan sawah menjadi permukiman dan industri mencapai 26,770.10 ha atau 5,354.02 ha/tahun.
Penyusutan lahan sawah tersebut diikuti oleh penyusutan
hutan seluas 4,975.26 ha, perkebunan 94.44 ha, dan ladang 64,707.32 ha, lahan
39
terbuka, 568.08 ha, semak belukar 544.79 ha, dan tubuh air 35,370.70 ha. Selama kurun waktu lima tahun tersebut, pertambahan lahan permukiman dan industri mencapai 104,799.10 ha atau 34.933 ha/tahun. Seperti yang diperlihatkan pada Tabel 4 dan Gambar
16,
pada masa
kejayaan Orde Baru atau era Presiden Suharto (1979-1990) berhasil mencapai prestasi swasembada pangan dan laju konversi lahan sawah di Jawa cenderung
Gambar 15. Rencana jalan tol trans Jawa (Litbang Kompas, 2008) Tabel 4. Dinamika konversi lahan sawah di Jawa Periode
Masa Pemerintahan
Nama Kabinet
Konversi Lahan (ha)
Laju (ha/tahun)
1979-1984
Orde Baru
Pembangunan III-1V
41,736
8,347
1985-1990
Orde Baru
Pembangunan IV-V
37,631
7,526
1991-1996
Orde Baru
Pembangunan V-VI
142,626
28,525
1997-2000
Krisis Ekonomi dan Reformasi
Pembangunan VI-VII 186,813
62,271
76,770
15,534
Reformasi Pembangunan Persatuan Nasional
2000-2005
Pascareformasi
Gotong Royong Indonesia Bersatu
Sumber: Data 1979-1999 dari Ilham et al. (2005), Data 2000-2005 dari Poniman dan Nurwadjedi (2008)
menurun dari 8,347 ha/tahun menjadi 7,526 ha/tahun. Pada saat itu, diperkirakan pemerintah berhasil mengendalikan konversi lahan sawah yang disertai dengan penerapan
program intensifikasi melalui panca usaha tani, yaitu teknik
pengolahan lahan pertanian, pengaturan irigasi, pemupukan (organik dan kimia), pemberantasan hama, dan penggunaan bibit unggul. Pada periode 1990-1996,
40
laju konversi lahan mulai cenderung naik dan mencapai puncaknya, yaitu sekitar 62,721 ha/tahun, pada masa krisis ekonomi atau reformasi (1997-2000). Fenomena meningkatnya konversi lahan sawah pada masa krisis ekonomi atau masa reformasi ini bisa dimaklumi karena pada masa itu pintu demokrasi dibuka sehingga masyarakat memperoleh kemudahan atau kebebasan dari pemerintah untuk menyalurkan segala aspirasinya, termasuk melakukan konversi lahan sawah menjadi penggunaan lain. Pada masa krisis itu, Pulau Jawa juga sering dilanda bencana alam banjir dan tanah longsor. Guritno (2006) mencatat bahwa sejak
Lahan Sawah Terkonversi (ha)
tahun 1997 kejadian bencana banjir di Jawa cenderung meningkat. Krisis ekonomi /masa reformasi
200,000 180,000 160,000 140,000 120,000 100,000 80,000 60,000 40,000 20,000 0
Orde Baru
1979-1984
1985-1990
Pascareformasi
1991-1996
1997-2000
2000-2005
Tahun
Gambar 16. Perkembangan konversi lahan sawah di Jawa tahun 1979-2005 Pada tahun 2000-2005 (pascareformasi), laju konversi lahan sawah menjadi menurun. Pada masa itu, pemerintah dihadapkan pada masalah krisis pangan dan bencana alam (banjir dan tanah longsor). Prestasi swasembada pangan yang telah dicapai pemerintah orde baru tidak bisa dipertahankan. Indonesia yang terkenal sebagai negara agraris berubah menjadi negara pengimpor beras. Simatupang dan Timmer (2008, dalam Tambunan, 2008) menjelaskan bahwa
penurunan laju
pertumbuhan produksi beras di Indonesia selama tahun 1998-2005 mencapai 1.22%. Menurunnya produksi beras tersebut tentunya dipengaruhi oleh penyusutan lahan sawah di pulau Jawa karena konversi lahan sawah, mengingat hampir 60% produksi beras nasional disuplai dari pulau ini. Masalah penurunan produksi beras ini dibarengi oleh maraknya kejadian bencana banjir dan tanah longsor hampir di setiap wilayah, termasuk di Pulau Jawa. Kedua masalah ini menyadarkan pemerintah untuk mengambil langkah-langkah kebijakan untuk mengendalikan konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian agar krisis
41
Gambar 17. Peta penutup lahan Pulau Jawa tahun 2000
42
Gambar 18. Peta penutup lahan pulau Jawa tahun 2005
43
Tabel 5. Luasan penutup lahan di Jawa tahun 2000 (ha) Provinsi DKI Jakarta
Hutan
Perkebunan
Ladang
Sawah
Permukiman
Lahan Terbuka
Semak Belukar
Tubuh air
Lain-lain*
Total
215.21
0.00
2,778.27
3,758.25
55,989.95
777.63
127.44
720.61
750.47
65,117.83
Banten
150,657.25
37,301.63
348,124.27
248,390.49
71,198.75
12,290.47
26,538.33
16,902.61
23,647.53
935,051.33
Jawa Barat
632,770.79
185,660.35
1,294,264.04
1,183,466.80
253,383.55
47,899.26
52,927.84
91,731.23
31,139.10
3,773,242.96
Jawa Tengah
696,686.45
23,191.95
1,089,538.22
1,075,398.61
410,046.50
4,687.87
38,662.30
53,543.45
49,325.92
3,441,081.27
DI. Yogyakarta Jawa Timur
33,869.64
0.00
162,358.56
55,478.30
60,722.84
364.50
3,614.68
660.85
235.40
317,304.77
1,520,600.67
93,192.01
1,512,127.05
1,080,106.72
371,115.41
36,436.14
17,932.83
97,685.38
73,624.47
4,802,820.68
339,345.93
4,409,190.40
3,646,599.17
1,222,457.00
102,455.86
139,803.42
261,244.12
178,722.89
13,334,618.84
Total 3,034,799.99 Sumber: Poniman dan Nurwadjedi (2008)
Tabel 6 . Luasan penutup lahan di Jawa tahun 2005 (ha) Provinsi DKI Jakarta
Hutan
Perkebunan
Ladang
Sawah
Permukiman
Lahan terbuka
Semak belukar
Tubuh air
Lain-lain*
Total
215.21
0.00
2,225.30
3,288.46
57,651.51
138.85
127.43
720.60
750.47
65,117.83
Banten
152,944.36
37,240.85
353,985.74
247,644.31
80,040.71
12,259.19
26,447.99
17,045.42
7,442.76
935,051.33
Jawa Barat
637,189.46
186,061.86
1,263,299.57
1,154,815.48
259,964.26
47,849.21
52,936.67
89,717.65
81,408.80
3,773,242.96
Jawa Tengah
695,056.52
23,166.00
1,084,917.94
1,057,283.08
426,909.20
4,928.61
38,533.79
22,938.08
87,348.05
3,441,081.27
29,638.95
0.00
149,962.59
54,225.87
73,755.04
357.99
3,426.72
647.83
5,289.78
317,304.77
DI. Yogyakarta Jawa Timur
1,514,780.25
92,782.78
1,490,091.94
1,052,571.86
428,935.38
36,353.94
17,786.03
94,803.83
74,714.67
4,802,820.68
Total
3,029,824.73
339,251.49
4,344,483.08
3,569,829.06
1,327,256.10
101,887.78
139,258.63
225,873.42
256,954.53
13,334,618.84
Sumber: Poniman dan Nurwadjedi (2008) , Lain-lain : awan, rawa, tambak, pelabuhan laut, padang rumput, dan tidak ada data.
44
Tabel 7. Perubahan penutup lahan di Jawa (2000-2005) No.
Tipe Penutup Lahan
(ha)
3,034,799.99
3,029,824.73
-4,975.26
339,345.93
339,251.49
-94.44
Ladang
4,409,190.40
4,344,483.08
-64,707.32
4.
Sawah
3,646,599.17
3,569,829.06
-76,770.11
5.
Pemukiman
1,222,457.00
1,327,256.10
104,799.10
6.
Lahan Terbuka
102,455.86
101,887.78
-568.08
7.
Semak Belukar
139,803.42
139,258.63
-544.79
8.
Tubuh Air
261,244.12
225,873.42
-35,370.70
9.
Lain-lain
166,444.77
193,496.35
27,051.58
13,272,340.65
13,272,340.65
14. Perubahan penutup lahan di Jawa (2000-2005) Tahun 2000
Se m
Te rb uk a ak Be lu ka r Tu bu h Ai r La in -L ai n
Tahun 2005
La da ng
5,000,000Gambar 4,500,000 4,000,000 3,500,000 3,000,000 2,500,000 2,000,000 1,500,000 1,000,000 500,000 0
Hu ta n Pe rk eb un an
Luas (ha)
Total
an
3.
(ha)
uk im
Perkebunan
(ha)
La ha n
2.
Perubahan
Pe m
Hutan
Tahun 2005
Sa wa h
1.
Tahun 2000
Tipe Penutup Lahan
Gambar 19. Perubahan penutup lahan di Jawa (2000 – 2005) pangan dan bencana banjir tidak berkelanjutan. Berdasarkan pada data penutup lahan tahun 2000-2005 (Poniman dan Nurwadjedi, 2008), selama 5 tahun lahan sawah di Pulau Jawa yang beralih fungsi ke penggunaan lain adalah 76,770.11 ha dengan laju 15,354.02 ha/tahun (Tabel 8). Konversi lahan sawah ke bentuk penggunaan lain terbesar terjadi di provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur, yang secara berurutan adalah 28,651.32 ha dan 27,534.86 ha dengan laju 5,730 dan 5,507 ha/tahun. Apabila diasumsikan produktifitas lahan sawah yang terkonversi tersebut berkisar 5-6 ton/ha GKG (gabah kering giling), maka produksi padi yang
45
hilang setiap tahun akibat konversi lahan adalah 76,770 – 92,124 ton. Hasil penelitian Sumaryanto et al., (2001) menunjukkan bahwa di Jawa Barat sekitar 25% dari lahan sawah yang terkonversi
adalah beririgasi teknis/semi teknis,
sementara di Jawa Timur mencapai 45%. Peringkat tertinggi lahan sawah yang terkonversi terjadi di wilayah sekitar urban dengan pertumbuhan penduduk dan industri/jasa yang tinggi. Di Jawa Barat, lahan sawah yang banyak mengalami konversi lahan adalah di wilayah Botabek, Jalur Pantura, dan Kabupaten Bandung; sedangkan di Jawa Timur adalah di Gresik, Sidoarjo, Kediri, dan Mojokerto. Tabel 8. Sebaran lahan sawah di Pulau Jawa tahun 2000-2005* Provinsi
DKI Jakarta
Tahun
Tahun
2000
2005
Beralih Fungsi ke Penggunaan Lain
Laju Konversi Lahan
(ha)
(ha/tahun)
3,758.25
3,288.46
469.79
94
248,390.31
247,644.31
746.18
149
Jawa Barat
1,183,466.80
1,154,815.48
28,651.32
5,730
Jawa Tengah
1,075,398.61
1,057,283.08
18,115.53
3,623
Yogyakarta
55,478.30
54,225.87
1,252.43
250
Jawa Timur
1,080,106.72
1,052,571.86
27,534.86
5,507
Total
3,646,599.17
3,569,829.06
76,770.11
15,354
Banten
* Sumber data: Poniman dan Nurwadjedi (2008).
Seperti yang dilaporkan oleh Sumaryanto et al. (2001), konversi lahan sawah dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti degradasi daya dukung ketahanan pangan nasional,
penurunan pendapatan pertanian dan
meningkatnya kemiskinan masyarakat lokal, pemubaziran investasi, pengubahan struktur kesempatan kerja dan pendapatan komunitas setempat.
Selain itu,
karena fungsinya secara hidrologis dapat menahan aliran permukaan dari daerah hulu, hilangnya lahan sawah sangat dimungkinkan dapat memicu bencana banjir di daerah hilir. Berkurangnya lahan sawah karena konversi lahan bersifat irreversibel. Tidak seperti halnya penurunan produksi yang disebabkan oleh serangan hama 46
dan penyakit tanaman, kekeringan, atau banjir; menurunnya produksi padi akibat konversi lahan sawah bersifat permanen. Hampir tidak pernah dijumpai lahan sawah yang telah terkonversi ke penggunaan lain beralih fungsi lagi menjadi lahan sawah. Kerugian yang ditimbulkan oleh konversi lahan tersebut bersifat linier dengan tingkat produktifitas lahan sawah. Semakin tinggi produktifitas lahan sawah yang terkonversi, semakin tinggi pula kerugian yang ditimbulkannya. Kajian yang dilakukan oleh Sumaryanto et al. (2001) juga menunjukkan bahwa konversi lahan sawah dapat menimbulkan hilangnya kesempatan kapasitas untuk memproduksi padi antara 4.5-12.5 ton/ha/tahun, tergantung pada kualitas lahan sawah, yakni ketersediaan air dan kesuburan tanah. Karena fungsinya sebagai tempat lapangan kerja bagi petani dan pendorong terciptanya banyak lapangan kerja bagi orang lain, hilangnya lahan sawah dapat berdampak negatif bagi kelangsungan ekonomi masyarakat pedesaan yang mengandalkan pada usaha tani padi sawah. Penelitian yang dilakukan oleh Soemaryanto et al. (2001) membuktikan bahwa konversi lahan dapat mengakibatkan masyarakat lokal (pemilik tanah semula dan buruh tani) banyak sekali yang tak dapat menikmati kesempatan kerja dan pendapatan dari aktivitas ekonomi yang baru. Mereka umumnya tidak dapat bersaing dengan para pendatang yang memanfaatkan lahan sawah yang terkonversi. Selain itu, konversi lahan sawah ke penggunaan lain juga berarti memubazirkan nilai investasi yang telah ditanamkan. Menurut Sumaryanto et al. (2001), nilai investasi untuk menghasilkan 1 ha lahan sawah beririgasi teknis beserta sarana pendukungnya semakin mahal seiring dengan makin tingginya harga tanah dan makin sedikitnya sumber air yang potensial. Apabila nilai yang tak terukur (intangible) diperhitungkan, konversi lahan sawah dapat diartikan mencabut budaya usahatani padi yang sejak lama telah diperkenalkan oleh nenek moyang kita.
Nilai budaya yang tercabut tersebut berdampak pada perubahan
struktur kesempatan kerja bagi petani. Bagi buruh tani (petani gurem), kondisi ini memaksa mereka beralih pekerjaan ke sektor non-pertanian atau dari budaya agraris ke budaya urban. Karena mereka tidak dapat bersaing dalam budaya urban, para buruh tani banyak yang tidak memperoleh kesempatan kerja, akibatnya kriminalitas semakin meningkat.
47
2.6 Degradasi Lahan dan Kerusakan Lingkungan Keberlanjutan lahan sawah di Jawa di hadapkan pada masalah kesuburan tanah atau kejenuhan produksi (Adiningsih et al., 2004), berkurangnya suplai air irigasi (Prabowo, 2007, dalam Tambunan, 2008), dan kejadian bencana banjir dan kekeringan sebagai akibat pemanasan global (Samhadi, 2007). Selama periode 2001-2008,
produktivitas lahan sawah
mengalami stagnasi atau pelandaian
(leveling off ) pada tingkat 5,2 ton/ha (BPS, 2008). Kejenuhan tingkat produktifitas ini,
menurut Adiningsih (1992),
disebabkan oleh degradasi
kesuburan tanah dan perubahan fisik akibat reaksi fisiko-kimia tanah sawah. Menurut Samhadi (2007), penurunan produktifitas dan produksi pertanian di Indonesia, termasuk di Pulau Jawa, sebagai akibat terganggunya siklus air karena pemanasan global. Terganggunya siklus hidrologi mengakibatkan perubahan pola hujan dan meningkatnya frekuensi anomali cuaca ekstrim, sehingga
terjadi
pergeseran waktu, musim, dan pola tanam. Akibat perubahan iklim ini, curah hujan akan meningkat sebesar 2-3% per tahun dan musim hujan akan lebih singkat.
Perubahan pola curah hujan ini dapat menambah resiko banjir dan
kekeringan. Menurut Harian Kompas seperti yang dikutip oleh Tambunan (2008), luas tanaman padi di pulau Jawa yang kebanjiran sampai akhir Desember 2007 akibat La Nina
seluas 56,034 ha, dibandingkan total luas tanaman padi yang
kekeringan (El Nino) pada musim tanam 2006-2007 seluas 66.900 ha. Selain terganggunya siklus hidrologi,
pemanasan global juga akan menaikkan
permukaan air laut, yang berpotensi menenggelamkan lahan sawah produktif di sepanjang pantai Utara Pulau Jawa. Diperkirakan produksi beras di kabupaten Karawang dan Subang akan menurun hingga 95%.
2.7 Ketimpangan Penguasaan dan Fragmentasi Lahan Selain konversi dan degradasi lahan serta kerusakan lingkungan, ketimpangan distribusi penguasaan/pemilikan dan fragmentasi lahan merupakan masalah serius yang harus diperhatikan dalam menjaga ketahanan pangan nasional. Menurut Mubyarto (1978) seperti yang dikutip oleh Jamal et al. (2002), masalah penguasaan lahan pertanian yang sempit dan timpang sudah ada sejak awal abad ke-20 pemerintah Belanda. Tidak terselesaikannya masalah ini hingga
48
saat ini disebabkan oleh tekanan penduduk yang makin tinggi yang tidak diimbangi penambahan lahan pertanian (Jamal et al. 2002). Jamal et al. (2002) lebih lanjut menjelaskan bahwa dinamika penguasaan lahan di Jawa dikelompokkan menjadi tiga masa, yaitu masa feodalisme, masa pemerintahan kolonial, dan masa kemerdekaan (Orde Lama dan Orde Baru). Pada masa feodalisme, penguasaan/pemilikan lahan pertanian dikelompokkan menjadi tiga kelas, yaitu para petani tuna kisma (petani yang berlindung pada keluarga petani berlahan), para petani sikep atau kuli yang memiliki hak penguasaan tanah, dan para petani pamong desa yang selain menguasai lahan pribadi juga berhak menguasai sejumlah besar lahan desa (tanah lungguh dan tanah bengkok) sebagai upah mereka dalam mengatur pemerintahan. Pada masa pemerintahan kolonial, pemerintah Belanda memperkenalkan tanah komunal untuk memudahkan penarikan pajak tanah dan pelaksanaan kerja paksa dengan menggunakan lembaga desa. Kedudukan kerajaan digantikan oleh Belanda, namun struktur masyarakat pada tingkat bawah (desa) masih tetap sama. Petani tetap sebagai seorang penggarap dengan kewajiban menyerahkan sebagian hasilnya kepada pihak penguasa. Pada masa kemerdekaan (orde lama dan orde baru), penguasaan tanah ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1965. Dalam UUPA, pemerintah telah memberikan perhatian serius terhadap pentingnya permasalahan agraria sebagai landasan pokok dalam pembangunan pertanian dan pedesaan, walaupun sampai saat ini masih banyak ketentuanketentuan yang belum aplikatif. Tambunan (2008) mengemukakan bahwa pertambahan jumlah penduduk di pedesaan semakin menambah ketimpangan penguasaan lahan. Jumlah petani gurem atau petani yang tidak memiliki lahan sendiri atau dengan lahan yang sangat sempit yang tidak mungkin menghasilkan produksi yang optimal semakin bertambah. Selain itu, terbatasnya lahan pertanian menjadikan harga jual atau sewa lahan semakin mahal, sehingga hanya sedikit petani yang mampu membeli atau menyewanya. Menurut Isa (2006), keberadaan hukum waris menyebabkan terfragmentasinya lahan pertanian, sehingga tidak memenuhi batas minimum skala ekonomi usaha yang menguntungkan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh McCulloh (2008, dalam Tambunan, 2008) menunjukkan bahwa lebih dari 75%
49
dari jumlah rumah tangga petani (RTP) di Indonesia tidak menguasai lahan sawah (Gambar 20).
Gambar 20 Distribusi rumah tangga petani dari penguasan lahan sawah (McCulloh, 2008; dalam Tambunan, 2008) Putra (2009a) menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa fragmentasi lahan atau penyusutan kepemilikan lahan yang menjadi dampak dari sistem bagi waris dan konversi lahan
menyebabkan skala usahatani terus menurun.
Lahan
pertanian petani yang sempit tidak akan dapat memberikan kesejahteraan kepada petani. Agar usahataninya menguntungkan, petani yang memiliki lahan sempit disarankan untuk dapat melakukan usaha bersama dengan pemilik lahan lain di wilayahnya. Menurut Jamal et al. (2002), masalah fragmentasi lahan dimungkinkan dapat dikurangi dengan memperbaiki sistem waris dan mengubah status kepemilikan tanah dari Hak Milik (HM) menjadi Hak Guna Usaha (HGU).
50
3. METODOLOGI PENELITIAN Daerah penelitian mencakup pulau Jawa (Gambar 21), yang terdiri dari provinsi Banten, Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta, dan Jawa Timur. Waktu penelitian berlangsung
mulai
dari bulan Maret 2009 sampai dengan Juni 2010.
Pelaksanaan penelitian dikelompokkan dalam enam tahapan kegiatan utama, yaitu pengumpulan data, pengolahan data, pembuatan
basisdata geospasial, zonasi
agroekologi dan penghitungan daya dukung, validasi data, analisis indeks keberlanjutan, dan analisis kebijakan. Diagram alir pelaksanaan penelitian diperlihatkan pada Gambar 22.
Gambar 21. Lokasi penelitian keberlanjutan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang 3.1 Pengumpulan Data Penelitian menggunakan data lingkungan biofisik, ekonomi, dan sosialbudaya yang mencakup data primer dan sekunder. Penggunaan ketiga jenis data tersebut didasarkan pada kepentingan untuk evaluasi keberlanjutan lahan sawah yang sesuai dengan azas pertanian berkelanjutan, yaitu layak ekologi, layak ekonomi, manusiawi, adil, dan luwes (Gips, 1986; dalam Sabiham, 2008). Data lingkungan biofisik digunakan untuk karakterisasi zona agroekologi lahan sawah agar potensi dan daya dukungnya dapat ditentukan. Data lingkungan biofisik tersebut meliputi topografi (rupabumi), data tanah, sistem lahan, penutup lahan
51
Pengumpulan Data
Data Spasial: Peta&Citra Satelit
Data Atribut: Data Statistik, dll
Pengolahan Data Geospasial : - Kompilasi data - Interptretasi Citra Satelit Inderaja
Pembuatan Basisdata Geospasial Basisdata Geospasial
- Zonasi Agroekologi - Penghitungan Daya Dukung
tidak
Validasi/tidak
Ya Analisis Indeks Keberlanjutan
UU No. 26/2007 PP No.26/2008 (PP-RTRWN), dll
Analisis Kebijakan
Pengelolaan Lahan Sawah
Kebijakan Teknis Penataan Ruang
Gambar 22.
Diagram alir penelitian keberlanjutan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang
lahan, agroklimat, dan ketersediaan air irigasi. Data ekonomi dan sosial-budaya diutamakan pada data yang mempengaruhi petani padi sawah secara langsung dalam menjalankan usaha tani. Selain itu, juga dikumpulkan data spasial yang berkaitan dengan aspek legal penggunaan lahan, yaitu peta status kawasan yang terdiri dari status kawasan hutan dan peta pola pemanfaatan ruang (RTRW)
52
Provinsi. Penggunaan data status kawasan tersebut dimaksudkan untuk mengevaluasi kemungkinan terjadinya tumpang tindih alokasi penggunaan lahan pada zona agroekologi lahan sawah yang dipetakan. Data yang dikumpulkan adalah dalam bentuk geospasial digital (peta dan citra satelit Landsat ETM, SPOT-5/tahun2007, Alos Prism/tahun 2007 dan Avnir2/tahun 2007) dan data diskriptif (data statistik, jurnal ilmiah, laporan). Agar posisi keruangannya menyatu dengan sistem referensi Nasional, georeferensi semua data geospasial yang digunakan tersebut mengacu pada sistem ellipsoid World Geodetic System tahun 1984 (WGS’84). Data geospasial ini memiliki keunggulan dalam memberikan informasi posisi keruangan pada permukaan bumi, sehingga penggunaannya untuk zonasi agroekosistem lahan sawah merupakan pilihan yang tepat. Data untuk penelitian tersebut dikumpulkan dari berbagai sumber. Data primer dikumpulkan melalui interpretasi citra Inderaja, analisis laboratorium, dan survei lapangan; sedangkan data sekunder dikumpulkan dari berbagai instansi terkait,
seperti
Badan
Koordinasi
Survei
dan
Pemetaan
Nasional
(BAKOSURTANAL), Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) Kementerian Pertanian, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Badan Pusat Statistik (BPS), Kemeterian Kehutanan (KemHut), dan Kementerian Pekerjaan Umum (KemPu).
Jenis data, kegunaan, dan sumber data dimaksud
dirangkum pada Tabel 9.
3.2 Pengolahan Data Pengolahan
data
geospasial
Penginderaan Jauh (Inderaja).
menggunakan
teknologi
SIG
dan
Kedua teknologi ini memiliki hubungan erat.
Menurut Maguire (1991), teknologi SIG merupakan hasil integrasi dari teknologi Inderaja, katografi, komputer grafis (CAD: Computer Automated Design), dan basisdata (DBMS = database management system). Teknologi Inderaja berfungsi untuk mendukung kemampuan SIG dalam hal pengolahan data dari citra satelit Inderaja. Teknologi kartografi dan komputer grafis mendukung kemampuan SIG dalam visualisasi data. Teknologi basisdata mendukung kemampuan SIG untuk menghimpun dan mengintegrasikan data geospasial dan atribut (diskriptif).
53
Tabel 9. Jenis data yang digunakan untuk penelitian Nomor
Jenis Data
Kegunaan
Sumber
Keterangan
1
Peta rupabumi
Peta dasar
BAKOSURTANAL
1: 250.000 1: 25.000 Tahun 2007
2
Peta sistem lahan
Evaluasi kesesuaian lahan
BAKOSURTANAL
1: 250.000 Tahun 2007
3
Peta penutup lahan
Identifikasi sebaran lahan sawah
BAKOSURTANAL Interpretasi citra Satelit ALOS
1: 250.000 1:25.000 Tahun 2000-2005
4
SRTM
Pembuatan DEM
NASA Amerika
Resolusi 90 m Tahun 2000
5
Peta agroklimat
Identifikasi agroklimat
BMG
Tipe Oldeman Periode 1998-2007
6
Peta irigasi
Identifikasi kondisi irigasi
Departemen Pekerjaan Umum
1: 250.000 Tahun 2003
7
Peta pola pemanfaatan ruang (RTRW)
Identifikasi kawasan
Departemen Pekerjaan Umum
1: 250.000 Tahun 2003
8
Peta Kawasan Hutan
Identifikasi status kawasan hutan
Departemen Kehutanan
1:250.000 Tahun 2005
9
C-organik tanah N-total P-tersedia K-tersedia
Indikator biofisik keberlanjutan lahan sawah, evaluasi kesesuaian lahan
Survei lapangan
Analisis laboratorium
10
Peta status hara P dan K
Indikator biofisik keberlanjutan lahan sawah, evaluasi kesesuaian lahan
Puslitanak
1: 250.000 Tahun 2003
11
Ekonomi budaya
Indikator keberlanjutan lahan sawah, perumusan kebijakan
Survei lapangan BPS
Persepsi petani Persepsi birokrat Persepsi pakar Kondisi pertanian padi sawah
dan
sosial
status
Pengolahan data geospasial dengan teknologi SIG memiliki keunggulan dalam mengintegrasikan berbagai data dengan format georeferensi
berbeda-beda.
Seperti yang dikemukakan oleh Burrough (1986), SIG mempunyai fungsi utama untuk pengumpulan data spasial, penyajian data pada layar monitor (retrieving), transformasi data (manipulasi dan analisis), dan penyajian hasil akhir (output) dalam bentuk peta dan data tabular. Karena berbasis komputer, pengolahan data
54
geospasial dengan teknologi SIG dan Inderaja dapat dilakukan secara cepat dengan ketepatan yang andal.
Kartografi Berkomputer
DBMS Inderaja
SIG
CAD
Gambar 23. Hubungan teknologi SIG dengan teknologi spasial lainnya (Maguire, 1991) 3.2.1 Pembuatan Basisdata Geospasial Pengertian basisdata geospasial tidak jauh berbeda dengan pengertian basisdata umum yang banyak digunakan di sektor perbankan, telekomunikasi, dan lain-lain.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh para ahli (Date, 1995;
Connoly dan Begg, 2002; Rigaux et al., 2002), pada hakekatnya basisdata merupakan kumpulan berkas (files) dijital yang terorganisasi dan terstruktur yang dirancang untuk tujuan tertentu. Yang membedakan antara basisdata geospasial dan basisdata umum adalah jenis datanya. Pada basisdata geospasial, data yang dikelola adalah data grafis bergeoreferensi, sedangkan pada basisdata umum adalah data tekstual. Walaupun jenis datanya berbeda, tujuan utama kedua jenis basisdata tersebut adalah sama, yaitu
untuk menghindari kemubadiran data,
upaya berbagai data (data sharing), menjaga konsistensi dan integritas data, serta memudahkan pemutakhiran data. Basisdata geospasial yang dibangun dalam penelitian ini adalah untuk menghimpun berbagai data geospasial beserta atributnya yang didesain pada sistem referensi nasional (DGN’95) agar data tersebut mudah ditelusur atau
55
diakses,
ditampilkan kembali, diintegrasikan, dan dianalisis
untuk zonasi
agroekologi lahan sawah. Proses pembuatan basisdata geospasial diilustrasikan pada Gambar 24. Pembuatan basisdata geospasial dalam penelitian ini melalui tiga tahap utama, yaitu pemasukan data (input data), proses dalam DBMS, dan keluaran hasil (output). Input data untuk membangun basisdata geospasial zona agroekologi lahan sawah bersumber dari peta analog (peta sistem lahan, peta penutup lahan, kondisi irigasi, status kawasa, dll), data tracking Global Positioning Satellite (GPS), foto digital, dan data tabular (data ekonomi, dan sosial budaya). Input data tersebut dilakukan dengan dijitasi pada layar komputer atau dengan scanner. Kumpulan data (datasets) geospasial yang diproses dalam DBMS tersebut dikelompokkan menjadi kumpulan fitur (feature)
dasar dan kumpulan fitur
tematik. Kumpulan fitur dasar ini terdiri dari layer perairan (hidrologi), layer komunikasi (jalan raya dan jalan kereta api), layer toponimi (nama sungai, kota, gunung, dll), dan batas wilayah administrasi. Kumpulan fitur tematik terdiri dari layer sistem lahan, agroklimat, penutup lahan, status kawasan, kondisi irigasi, ekonomi dan sosial budaya dalam layer batas wilayah administrasi. Orientasi dari fitur tematik tersebut didasarkan pada fitur dasar. DBMS
adalah kumpulan perangkat lunak (software) yang mengelola
struktur dan mengontrol akses yang disimpan dalam basisdata.
DBMS ini
memfasilitasi fungsi pendefinisian tipe data, struktur, dan kendala yang dihadapi; mengkonstruksi dan menyimpan data, memanipulasi, penelusuran (querying) dan penyajian data tertentu, serta pemutakhiran data (Rigaux et al., 2002). Proses dalam DBMS mencakup building topologi, penggabungan data geospasial dan atribut.
Topologi merupakan model struktur data geospasial
dalam bentuk titik (point), garis (line), dan areal atau poligon yang satu sama lain memiliki hubungan geografis. Atribut dari setiap obyek data geografis tersebut digabungkan satu sama lain dengan menggunakan
konsep DBMS relasional
(Rigaux et al., 2002). Fungsi yang dilaksanakan oleh DBMS ini merupakan proses inti yang ada dalam SIG. Dengan adanya DBMS, semua data atribut yang mendiskripsikan obyek geografis
atau fitur dapat digabungkan sehingga
terintegrasi dalam satuan kesatuan data yang memiliki informasi yang lengkap.
56
Data Tabular
GPS Tracking
Foto
Peta Analog
Input Data
Irigasi Sistem Lahan
Proses DBMS
Penutup Lahan
Output
Basisdata Geospasial
Peta kartografis
Data dijital SIG
Tabel
Gambar 24 . Proses pembuatan basisdata geospasial lahan sawah Produk proses DBMS yang tersimpan dalam basisdata dapat dituangkan dalam berbagai bentuk, misalnya dalam bentuk peta kartografis, peta dijital SIG, dan tabel. Dalam penelitian ini, produk basisdata yang dihasilkan terdiri peta zona agroekologi lahan sawah dan daya dukungnya, peta indeks keberlanjutan, dan peta-peta tematik pendukung, seperti peta penutup lahan, peta sistem lahan, peta irigasi,peta status kawasan, agroklimat, dan lain-lain.
3.2.2
Zonasi Agroekologi Lahan Sawah Zona agroekologi (ZAE)
merupakan konsep pewilayahan yang didasari
pada pengertian bahwa komoditi tanaman
mempunyai tingkat kesesuaian,
sehingga dapat dipilah-pilah berdasarkan perbedaan wilayah dengan skala berbeda-berbeda. Pengertian zona dalam ZAE adalah suatu wilayah yang harus didefinisikan berdasarkan penciri tertentu, yaitu lingkungan pertumbuhan tanaman
57
yang dapat menghasilkan produk
dan membawa keuntungan ekonomi
(Wiradisastra, 2003). Menurut FAO (1996), delineasi ZAE didasarkan kombinasi
pada
karakteristik tanah, bentuklahan, dan iklim, yang difokuskan pada
persyaratan agroklimat dan edafik pertumbuhan varietas tanaman pangan dan sistem pengelolaan budidayanya.
ZAE tersebut menunjukkan pemilahan areal
dari lahan menjadi satuan-satuan lebih kecil yang memiliki kesamaan karakteristik untuk kesesuaian lahan, produksi potensial, dan dampak lingkungan. Syafruddin et al. (2004) mengemukakan bahwa ZAE merupakan salah satu cara untuk menata penggunaan lahan melalui pengelompokkan wilayah berdasarkan kesamaan sifat dan kondisi wilayah. Pengelompokkan wilayah tersebut bertujuan untuk menetapkan areal pertanian dan komoditas potensial, berskala ekonomi, dan tertata dengan baik agar diperoleh sistem usaha tani yang berkelanjutan. Dalam penelitian ini, ZAE lahan sawah didefinisikan sebagai wilayah sistem pertanian persawahan di kawasan budidaya di suatu wilayah yang memiliki kesamaan potensi produksi dan intensitas pertanaman (IP) yang mencerminkan sosial-budaya pola tanam padi sawah. Penentuan kawasan budidaya mengacu pada ketentuan kawasan peruntukan pertanian dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Pasal 66 ayat 1 buitr a, yaitu ”kawasan peruntukan pertanian ditetapkan dengan kriteria memiliki kesesuaian lahan untuk dikembangkan sebagai kawasan pertanian”. Kesamaan potensi produksi didasarkan pada kesamaan kelas kesesuaian lahan yang dicerminkan oleh
kesamaan persyaratan edafik pertumbuhan varietas
tanaman padi sawah, sedangkan kesamaan intensitas pertanaman didasarkan pada kesamaan agroklimat dan kondisi irigasi lahan sawah.
Kesamaan intensitas
pertanaman ini dikorelasikan dengan budaya lokal (sosial-budaya) petani dalam menerapkan pola tanam padi sawah. Zonasi agroekologi lahan sawah (ZAELS) menggunakan basismodel SIG. Penggunaan model ini dilatarbelakangi oleh kemampuan teknologi SIG yang dapat mengintegrasikan berbagai data geospasial melalui proses overlay untuk menghasilkan peta sintesis. Seperti yang diperlihatkan pada Gambar 25, proses sintesa ZAELS dengan basismodel SIG dilakukan melalui tiga tahap, yaitu 1)
58
evaluasi kelayakan faktor biofisik, 2) evaluasi kelayakan status kawasan, dan 3) evaluasi kelayakan sosial-budaya. Evaluasi kelayakan lingkungan biofisik dimaksudkan untuk menilai potensi lahan dan intensitas pertanaman untuk penanaman padi sawah. Penilaian potensi lahan menggunakan metode kesesuaian lahan yang dijelaskan oleh FAO (1976) dan CSR/FAO Staff (1983).
Penilaian dan pendelineasian kesesuaian
lahan
sawah menggunakan basisdata sistem lahan, sedangkan penilaian intensitas pertanaman berdasarkan pada ketersediaan air yang dianalisis dari basisdata agroklimat Oldeman dan kondisi irigasi.
Potensi Lahan Kelayakan Faktor Biofisik
Intensitas Pertanaman ZAE Lahan Sawah
Kelayakan Status Kawasan
Kawasan Budidaya
Kelayakan Sosial-budaya
Sosial-budaya
Gambar 25. Proses zonasi agroekologi lahan sawah Penggunaan data sistem lahan untuk mendelineasi kesesuaian lahan sawah didasarkan pada karakteristik sistem lahan yang dapat menunjukkan pola pengulangan kesamaan topografi (bentuklahan), tanah, vegetasi, dan iklim seperti yang dijelaskan oleh Christian dan Stewart (1968).
Karena karakteristiknya
tersebut, data sistem lahan memiliki keunggulan untuk dapat digunakan mengekstrapolasi data karakteristik lahan dalam hamparan lahan yang luas sehingga pemetaan kesesuaian lahan pada tingkat regional dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Pemetaan kesesuaian lahan dengan pendekatan sistem lahan ini, menurut Dent dan Young (1981), tidak mengedepankan klasifikasi tanah, tetapi lebih pada upaya untuk mengklasifikasi lahan dengan mengintegrasikan faktor iklim, geologi, bentuklahan, vegetasi, dan tanah yang mempengaruhi penggunaan lahan. Tingkat akurasi pemetaan tergantung pada intensitas survei
59
tanah di lapangan. Tingkat akurasi tersebut ditentukan pada kerapatan sampel tanah yang ada di faset lahan-faset lahan yang merupakan komponen penyusun sistem lahan, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 26.
Gambar 26. Contoh sistem lahan TGM (Tanggamus): kerucut gunung api dan kaki lereng, yang banyak dijumpai di Jawa (Wall, 1987) Penggunaan data agroklimat Oldeman dan kondisi irigasi untuk analisis ketersediaan air merupakan pilihan yang tepat. Data agroklimat dapat memberikan informasi
ketersediaan air secara alami dari curah hujan, sedangkan kondisi
irigasi dapat memberikan informasi ketersediaan air secara antropogenik atau rekayasa manusia terhadap sumberdaya air untuk memenuhi kebutuhan air bagi tanaman padi sawah. Klasifikasi agroklimat Oldeman dimaksudkan untuk memetakan periode bulan basah (curah hujan bulanan lebih dari 200 mm) dan periode bulan kering (curah hujan bulanan kurang dari 100 mm). Klasifikasi panjangnya periode bulan basah dan bulan kering ini
sangat penting karena
berhubungan dengan kemungkinan penanaman padi (Manan et al. 1980). Seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 Tentang Irigasi, pembuatan irigasi dimaksudkan untuk mengoptimalkan penggunaan air untuk
60
untuk menunjang keberlanjutan sektor pertanian. Oleh karena itu, dengan adanya data agroklimat dan kondisi irigasi,
informasi intensitas pertanaman
untuk
penanaman padi dapat diidentifikasi secara tepat. Evaluasi status kawasan dimaksudkan untuk mengetahui fungsi kawasan lahan
sawah
apakah termasuk dalam kawasan budidaya atau non-budidaya
(lindung atau permukiman).
Penetapan ZAE lahan sawah
dalam kawasan
budidaya sebagaimana yang telah dikemukakan adalah untuk menjamin status keberlanjutan lahan sawah yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu UUPR Pasal 5 dan Peraturan Pemerintah No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (PP-RTRWN Pasal 64). Dalam prinsip keberlanjutan lahan sawah, kondisi ekonomi, sosial, dan budaya petani perlu dikaji agar usahataninya layak secara ekonomi, manusiawi, dan berkeadilan. Aspek aspek ekonomi, sosial dan budaya yang berperan penting dalam menentukan keberlanjutan lahan sawah diantaranya adalah keuntungan, produksi, akses pupuk, adopsi teknologi, penguasaan lahan, fragmentasi lahan, kearifan lokal, dan lain-lain.
3.2.3 Penghitungan Daya Dukung Lahan Sawah Sebagai produsen beras, sumberdaya lahan sawah berperan strategis dalam menjaga ketahanan pangan nasional karena beras merupakan makan pokok bagi sebagian besar rakyat Indonesia.
Sebagaimana
yang telah dikemukakan,
pertambahan jumlah penduduk merupakan faktor utama yang mengakibatkan penyusutan dan degradasi sumberdaya lahan sawah. Semakin tinggi jumlah penduduk, semakin tinggi tekanannya terhadap sumberdaya lahan sawah. Tekanan terhadap sumberdaya lahan sawah mengakibatkan kerusakan lingkungan biofisik, diiindikasi
ekonomi, dan sosial-budaya.
Kerusakan lingkungan biofisik ini
telah terjadi di Jawa karena produktivitas lahan sawah telah
mengalami kejenuhan atau pelandaian (Adiningsih et al., 2004) sebagai akibat dari penggunaan lahan sawah yang telah berlangsung lama dan sangat intensif dengan penerapan pupuk agrokimia. Kerusakan lingkungan ekonomi dan sosialbudaya disebabkan oleh penyusutan lahan sawah karena konversi lahan sawah menjadi non-pertanian. Bagi pemilik lahan, beralih fungsinya lahan
61
sawah
menjadi non-pertanian tersebut kemungkinan tidak menjadi masalah karena mereka mendapatkan ganti rugi. Sebaliknya bagi petani penggarap atau buruh tani yang mendominasi petani di Jawa menjadi tertekan hidupnya karena dapat mengakibatkan pengangguran. Sebagai akibatnya, para petani penggarap atau buruh tani migrasi ke kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan lain-lain.
Karena pada umumnya mereka berpendidikan rendah, mereka sulit
memperoleh pekerjaan atau menjadi pengangguran di kota karena mereka tidak memiliki ketrampilan.
Fenomena ini
menimbulkan masalah sosial, seperti
kemiskinan, kriminitalitas, prostitusi, dan lain-lain. Soemarwoto
(2008)
menjelaskan bahwa tingginya urbanisasi, menurunnya sanitasi, timbulnya banjir, erosi, tingginya tingkat krimininalitas, pengangguran, kemiskinan, perbudakan dan prostitusi yang banyak terjadi di kota-kota besar di Jawa merupakan indikasi daya dukung lahannya telah terlampaui. Terjadinya kerusakan lingkungan baik fisik maupun sosial-budaya tersebut menunjukkan bahwa sumberdaya lahan tidak mampu lagi untuk menopang kebutuhan hidup manusia secara layak karena peningkatan jumlah penduduk. Kemampuan sumberdaya lahan untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia seperti yang diilustrasikan tersebut
didefinisikan
sebagai daya dukung lahan. Dalam penelitian ini, penghitungan daya dukung lahan sawah diarahkan untuk mengetahui tingkat kemampuan sumberdaya lahan sawah dalam memenuhi kebutuhan beras agar permasalahan yang mengancam ketahanan pangan dari aspek ketersediaan beras dapat diantisipasi sedini mungkin. Pada daya dukung lahan sawah, kemampuan sumberdaya lahan sawah untuk memproduksi padi (beras) ditentukan oleh kualitas lahan seperti kesuburan tanah dan ketersediaan air yang ada di setiap zona agroekologi lahan sawah. Kebutuhan beras ditentukan oleh jumlah penduduk di setiap wilayah dan konsumsi beras yang diskenariokan. Untuk mengetahui apakah daya dukung lahan sawah di suatu wilayah telah terlampaui, suplai beras yang diproduksi di setiap zona agroekologi lahan sawah dibandingkan dengan kebutuhan beras yang diperlukan penduduk di setiap wilayah setiap tahun. Penilaian tingkat daya dukung didasarkan pada besarnya nilai rasio antara suplai beras terhadap kebutuhan beras. Model penghitungan daya dukung lahan sawah tersebut mengasumsikan faktor-faktor yang
62
mempengaruhinya seperti konversi lahan, produktivitas, dan kualitas suberdaya lahan sawah dalam kondisi tetap (sateris paribus). Dalam hal ini, daya dukung lahan sawah hanya merupakan fungsi dari jumlah penduduk sebagai pemicu utama ancaman kepunahan lahan sawah. Tingkat daya dukung lahan sawah diklasifikasikan menjadi tiga kelas, yaitu kondisi
berlanjut
(overshoot).
(sustainable),
bersyarat
(conditional),
Daya dukung lahan sawah dinilai
dan
terlampaui
berlanjut apabila nilai daya
dukung lebih besar dari 2. Kondisi bersyarat apabila nilai daya dukung antara 1 dan 2. Kondisi terlampaui apabila nilai daya dukung kurang dari 1. Nilai daya dukung lebih dari 2 berarti terdapat cadangan beras untuk pemenuhan kebutuhan beras minimal selama satu tahun. Nilai daya dukung antara 1 dan 2 berarti produksi beras sesuai dengan kebutuhannya atau pas-pasan. Nilai daya dukung kurang dari 1 berarti produksi beras mengalami defisit. Penilaian daya dukung lahan tersebut cukup rasional dan sederhana untuk diimplementasikan dalam rangka mendeteksi status kualitas lingkungan lahan sawah di suatu wilayah.
3.3 Validasi Data Kegiatan validasi data dilaksanakan di lapangan. Tujuan kegiatan adalah untuk memverifikasi data lingkungan biofisik dan
pengambilan sampel data
ekonomi dan sosial-budaya yang berkaitan dengan pertanian padi sawah. Obyek sampel yang mencakup data lingkungan biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu yang berkaitan dengan kondisi faktual dan kebijakan. Pengambilan obyek sampel
faktual dilakukan dengan
pengamatan lapangan dan wawancara dengan petani, sedangkan obyek sampel kebijakan dikumpulkan di instansi-instansi terkait baik di tingkat pusat dan daerah dengan melakukan diskusi atau wawancara dengan para birokrat dan ahli (Gambar 27). Pengelompokkan obyek sampel data tersebut disesuaikan dengan tujuan penelitian yang menyangkut kepada kepentingan petani dan pengambil keputusan kebijakan. Verifikasi data lingkungan biofisik dilakukan melalui pengambilan sampel tanah dan pengamatan langsung kondisi lingkungan biofisik seperti bentuklahan, jenis tanah, dan kondisi irigasi. Pengambilan sampel tanah dilakukan secara komposit pada kedalaman 0-20 cm dengan menggunakan bor
63
tanah. Sampel tanah digunakan untuk mengetahui kandungan bahan organik tanah, unsur hara nitrogen (N) total, fosfor (P) tersedia, dan kalium (K) tersedia. Keempat unsur hara tanah tersebut
dianalisis di laboratorium tanah di
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Kandungan C-organik tanah dianalisis dengan metode Walkley and Black, unsur hara N-total dengan metode Kjedahl, P-tersedia dan K-tersedia dengan metode Bray I. Kualitas air tanah diukur tingkat salinitasnya di lapangan dengan water checker. Obyek Sampel
Biofisik
Sosial-budaya
Ekonomi
Faktual
Kebijakan
- Pengamatan Lapangan - Wawancara dengan petani
- Wawancara dengan birokrat - Wawancara dengan pakar
Gambar 27. Pengumpulan sampel data di lapangan Pengambilan sampel data ekonomi dan sosial-budaya
yang mencerminkan
kondisi faktual dilakukan melalui wawancara langsung dengan petani, sedangkan yang menyangkut dengan aspek kebijakan
dilakukan dengan diskusi atau
wawancara dengan para birokrat dan pakar dari instansi-instansi terkait dan Lembaga Swasembada Masyarakat (LSM).
Data ekonomi dan sosial-budaya
yang dikumpulkan melalui wawancara dengan petani mencakup berbagai aspek yang berkaitan usahatani padi sawah, seperti keuntungan, perolehan kredit, akses pemasaran, perolehan pupuk, fasiltas pascapanen, motivasi bertani, adopsi teknologi, dan lain-lain. Diskusi atau wawancara dengan para birokrat dan pakar
64
PULAU JAWA
ZAE BANTEN
ZAE JABAR
ZAE JATENG
Klaster
ZAE DIY
ZAE JATIM
Klaster
ZAE – KAB. 1
ZAE – KAB. 1
ZAE – KAB. n
ZAE – KAB. r
Stratifikasi
Stratifikasi
Kabupaten 1
Kabupaten 2
Kabupaten 1
Kabupaten 5
ZAE.A. (N1..n1a)
ZAE.A. (N1..n1a)
ZAE.A. (N1..n1a)
ZAE.A. (N1..n1a)
ZAE.B. (N1..n1b)
ZAE.B. (N1..n1b)
ZAE.B. (N1..n1b)
ZAE.B. (N1..n1b)
ZAE.G. (N1..n1g)
ZAE.G. (N1..n1g)
ZAE.G. (N1..n1g)
ZAE.G. (N1..n1g)
Gambar 28. Rancangan teknik pengambilan sampel
65
difokuskan pada kebijakan yang perlu diambil dalam mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah. Pengambilan sampel lingkungan biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya yang mencerminkan kondisi faktual dilakukan secara terpadu, dengan menggunakan teknik sampel klaster dan stratifikasi, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 28. Pemilihan teknik pengambilan sampel tersebut didasarkan atas cakupan daerah penelitian yang sangat luas dan penyesuaian dengan ketersediaan biaya dan waktu. Pada teknik sampling yang digunakan tersebut, populasi data ZAE yang ada di setiap provinsi (ZAE-PROV: ZAE Banten, ZAE Jabar, ZAE Jateng, ZAE DIY/Daerah Istimewa Yogyakarta, ZAE Jatim) dikelompokkan berdasarkan pada ZAE yang ada di setiap wilayah kabupaten (ZAE-KAB). Sampel data ZAE-KAB di setiap ZAE-PROV dipilih secara purposive, yaitu di kabupaten Serang dan Pandegelang untuk provinsi Banten; kabupaten Cianjur, Subang, Cirebon, Bogor untuk provinsi Jawa Barat (Jabar); kabupaten Pekalongan, Kudus, Demak, dan Sragen untuk provinsi Jawa Tengah (Jateng); kabupaten Kulon Progo, dan Bantul untuk provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY); kabupaten Tuban, Madiun, Magetan, Malang, dan Jember untuk provinsi Jawa Timur (Jatim). Populasi data di setiap ZAE-KAB distratifikasi berdasarkan tipe ZAE, yaitu A, B, C, D, E, F, G, H, dan I. Pengambilan sampel di setiap kelompok (strata) ZAE yang ada di setiap kabupaten yang terplih dilakukan secara acak proporsioanal yang disesuaikan dengan luasan ZAE.
Dari semua data ZAE-KAB tersebut, empat
kabupaten, yaitu Cianjur, Subang, Sragen, dan Jember dipilih untuk pengambilan sampel secara intensif. Pemilihan empat kabupaten tersebut mewakili kondisi agroklimat
beriklim basah (Cianjur dan Subang), intermediet (Sragen), dan
kering (Jember). Selain itu, keempat kabupaten tersebut juga mewakili daerah penghasil beras unggulan yang ada di Jawa.
Dengan pertimbangan tersebut,
sampel data di keempat kabupaten tersebut dapat berperan sebagai pewakil utama kondisi ekosistem di Jawa. Agar lokasi sampel sesuai dengan ZAE lahan sawah, lokasi geografi dari sampel yang dikumpulkan direkam dengan GPS. Dengan teknik pengambilan sampel tersebut, jumlah sampel yang dikumpulkan adalah 624 sampel dengan tingkat kesalahan sekitar 4%. Penghitungan tingkat kesalahan
66
tersebut menggunakan rumus yang dijelaskan
oleh Eriyanto (2007) sebagai
berikut: n = Z2(p(1-p)/e2 n
= jumlah sampel
Z
= nilai tingkat kepercayaan pada distribusi Z
p (1-p) = variasi populasi (diasumsikan p = 0,5 untuk populasi yang heterogen) e
= tingkat kesalahan (sampling error) yang dikehendaki
3.4 Analisis Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah Pertanian berkelanjutan diartikan sebagai pengelolaan sumberdaya untuk menghasilkan kebutuhan pokok manusia (sandang, pangan, papan), sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam (Sabiham, 2008). Analisis indeks keberlanjutan lahan sawah (IKLS) dimaksudkan untuk mengevaluasi status keberlanjutan pertanian lahan sawah di suatu wilayah yang telah dipetakan zona agroekologi
dan daya
dukungnya. Analisis IKLS dilakukan melalui beberapa tahap kegiatan, yaitu (1) penentuan indikator keberlanjutan di setiap faktor, (2) penapisan indikator, (3) standarisasi data, (4) penilaian IKLS, dan pengkategorian IKLS. Proses analisis IKLS yang didasarkan pada faktor lingkungan biofisik (L), faktor ekonomi (E), dan faktor sosial (S), dan Budaya (B) diperlihatkan pada Gambar 29. Faktor multidimensi tersebut merupakan penentu keberlanjutan lahan sawah
yang
berbasiskan agroekologi. Indikator adalah suatu alat ukur untuk meringkas infomasi yang relevan atau masuk akal dari fenomena tertentu (Bach, 2005). Menurut Rao dan Rogers (2006), indikator menginformasikan status fungsi suatu sistem dari suatu mesin, manusia, ekosistem atau negara.
Indikator keberlanjutan adalah atribut suatu
sistem yang dapat dihitung dan diukur untuk menjastifikasi keberlanjutan sistem tersebut. Atribut indikator keberlanjutan ini bersifat multidimensi dari faktor lingkungan, ekonomi, dan sosial. Indikator-indikator akan
memiliki makna
apabila dituangkan dalam bentuk agregasi indeks. Indeks keberlanjutan dapat digunakan untuk mengkaji keberlanjutan sistem secara terpadu.
67
Penentuan Indikator (Model DPSIR)
Analisis Multivariat: Analisis Faktor
Penapisan Indikator
Standarisasi Data Atribut
Indikator Terpilih
Penilaian IKLS
Nilai IKLS
Pengkategorian IKLS
Analisis Diskriminan
Gambar 29. Proses analisis indeks keberlanjutan lahan sawah
3.4.1
Penentuan Atribut Indikator Diagram penentuan indikator keberlanjutan lahan sawah disajikan pada
Gambar 30.
Konsep penentuan atribut indikator keberlanjutan lahan sawah
memodifikasi konsep yang dikemukakan oleh Rao dan Rogers (2006). Dalam konsep ini, agroekosistem lahan sawah didefinisikan sebagai suatu sistem pertanian berbasis ekologi yang
terdiri dari tanaman padi sawah, manusia, dan
organisme lainnya yang berada di suatu zona agroekologi, yang dimaksudkan untuk produksi pangan (beras). Indikator keberlanjutan lahan sawah diidentifikasi dengan model hubungan sebab akibat (causality) antara (driving force),
tekanan (pressure),
tenaga
pendorong
kondisi keseimbangan (state), dampak
(impacts), dan respon (response), yang dikenal sebagai model DPSIR (Driving
68
Force-Pressure-State-Impact-Response).
Tenaga pendorong
sebagai pemicu adanya ancaman keberlanjutan lahan sawah
yang berperan bersumber dari
aktivitas manusia di berbagai sektor (energi, transportasi, industri, perumahan, pertanian). Tenaga pendorong ini menekan agroekosistem lahan sawah. Tekanan dari tenaga pendorong
mengakibatkan
kondisi
keseimbangan
ekosistem
terganggu.
Komponen Keberlanjutan Lahan Sawah
Tenaga Pemicu
Agroekosistem Lahan Sawah
Indikator/Variabel: Modal SDL Ketersediaan air N-total P-total K-total Penguasaan lahan Modal SDM Pendidikan petani Usia petani Modal Keuangan Modal usaha tani Modal Infrastruktur Kondisi irigasi Fasilitas pascapanen Pemasaran Modal Sosial Motivasi bertani Persepsi terhadap harga padi Persepsi terhadap konversi lahan Keanggotaan Poktan Budaya lokal
Tekanan
Kondisi
Dampak
Kerentanan Agroekosistem Lahan Sawah
Stres Agroekosistem Lahan Sawah
Indikator /Variabel: Kualitas air : Salinitas (ppm) Stres Lahan Potensi konversi lahan Stres Tanaman Serangan hama & penyakit tanaman Degradasi Tanah C-organik tanah P-tersedia K-tersedia
Indikator/Variabel: Lingkungan Bebas bahaya Banjir Ekonomi: Perolehan keuntungan Sosial Fragmentasi lahan
Respon
Pengelolaan Agroekosistem Lahan Sawah
Indikator/Variabel: Ilmu dan Teknologi: Adopsi teknologi Kelembagaan dan Sosial: Fungsi penyuluhan Perolehan pupuk
Indeks keberlanjutan Lahan Sawah
Gambar 30. Diagram penentuan indikator keberlanjutan lahan sawah
69
Terganggunya keseimbangan ekosistem ini menimbulkan dampak. Agar keberlanjutan terjaga,
dampak yang terjadi perlu direspon oleh pemangku
kepentingan (stakeholders)
dalam bentuk pengelolaan agroekosistem lahan
sawah. Indikator tenaga pendorong yang mencerminkan sistem produksi pertanian dikelompokkan dalam komponen agroekosistem lahan sawah, yang terdiri dari modal sumberdaya lahan, modal sumberdaya manusia, modal keuangan, modal infrastruktur, dan modal sosial.
Indikator tekanan menunjukkan stres
agroekosistem karena tekanan yang dipicu oleh tenaga pendorong. Tertekannya agroekosistem lahan sawah dinyatakan dengan empat atribut indikator, yaitu kualitas air, stres lahan, stres tanaman, dan penurunan kesuburan tanah (degradasi tanah). Kondisi gangguan keseimbangan ekosistem dan dampak yang timbul karena tekanan dari tenaga pendorong ditunjukkan oleh kerentanan agroekosistem lahan sawah (vulnerability agroecosystem).
Atribut indikator keberlanjutan untuk
kepekaan agroekosistem ini dinyatakan dengan indikator lingkungan (bahaya banjir),
ekonomi (perolehan keuntungan), dan sosial (fragmentasi lahan).
Pengelolaan agroekosistem lahan sawah adalah untuk merespon timbulnya dampak yang mengancam keberlanjutan sebagai akibat dari tekanan tenaga pendorong. Atribut indikator keberlanjutan
untuk pengelolaan agroekosistem
dituangkan dalam bentuk perangkat kebijakan dari hasil rumusan pengelolaan agroekosistem lahan sawah.
Atribut indikator keberlanjutan untuk perangkat
kebijakan tersebut berkaitan dengan adopsi teknologi (pemupukan berimbang, konservasi tanah dan air, efisisensi pengairan), dan pemberdayaan sosial kelembagaan, seperti
peningkatan fungsi peyuluhan dan mempermudah
perolehan pupuk. Semua atribut indikator keberlanjutan tersebut dapat diintegrasikan dengan teknologi SIG dalam satuan pemetaan zona agroekologi.
Agregasi atribut
indikator yang dihasilkan melalui proses SIG ini merupakan indeks keberlanjutan yang dapat digunakan untuk mengkaji keberlanjutan agroekosistem lahan sawah.
70
3.4.2
Penapisan Variabel Indikator Penapisan variabel indikator dimaksudkan untuk menyeleksi variabel-
variabel indikator, sehingga diperoleh indikator utama yang mempengaruhi keberlanjutan lahan sawah. Proses penapisan variabel indikator menggunakan metode statistik multivariat analisis faktor (factor analysis), seperti yang telah dijelaskan oleh para ahli (King, 1969; Srivasta dan Carter, 1983; Timm, 2002; Supranto, 2004). Fungsi
analisis faktor adalah untuk mereduksi data atau meringkas
variabel, dari variabel yang banyak diubah menjadi sedikit variabel.
Variabel
yang terseleksi merupakan variabel utama yang dapat menjelaskan sebagian besar varian (informasi)
yang terkandung dalam variabel asli (original variables).
Variabel-variabel yang diteliti mempunyai hubungan saling terkait.
Hubungan
interdependensi variabel ini dijadikan sebagai dasar untuk pengurangan variabel. Variabel-variabel yang mempunyai hubungan interdependensi dapat digabung menjadi
satu faktor, sehingga bisa diperoleh variabel-variabel atau faktor
dominan (utama) yang dapat menjelaskan sebagian besar varian (informasi) yang terkandung dalam variabel aslinya.
Seperti yang telah dikemukakan,
keberlanjutan lahan sawah dipengaruhi oleh faktor biofisik, ekonomi, dan sosialbudaya. Atribut indikator keberlanjutan dari masing-masing faktor tersebut memiliki hubungan interdependensi. Oleh karena itu, penggunaan analisis faktor merupakan pilihan tepat untuk menentuan indikator utama menjelaskan
yang dapat
pengaruh faktor biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya
terhadap
keberlanjutan lahan sawah.
3.4.3 Standarisasi Data Atribut Standarisasi adalah upaya untuk membakukan nilai atribut data agar dapat diintegrasikan untuk memperoleh informasi yang standar. Dalam penelitian ini, atribut indikator keberlanjutan
diukur dengan satuan yang berbeda-beda.
Misalnya, ketersediaan air diukur dengan satuan liter/detik/ha, kandungan Corganik tanah dalam persen (%), unsur hara P-tersedia dan K-tersedia dalam ppm, keuntungan petani dalam nilai ordinal, motivasi bertani dalam nilai ordinal, dan lain-lain.
Nilai-nilai atribut indikator tersebut bersifat relatif dan tidak dapat
71
diintegrasikan karena satuannya berbeda-beda.
Hal ini dapat berimplikasi pada
nilai indeks keberlanjutan yang tidak standar (baku). Melalui standarisasi, seluruh nilai atribut indikator keberlanjutan lahan sawah memiliki skala sama dan baku, sehingga dapat dijumlahkan dan nilai indeks yang dihasilkan bersifat standar.
3.4.4 Penilaian Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah Nilai Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah (IKLS) dihitung dari nilai atribut indikator utama dari faktor biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya yang telah distandarkan.
Untuk evaluasi keberlanjutan lahan sawah, nilai IKLS yang
diperoleh diklasifikasikan menjadi empat kelas keberlanjutan, yaitu buruk (0 – 25), kurang (> 25 – 50), cukup (> 50 – 75), baik (> 75 – 100). Pengklasifikasian tersebut didasarkan pada nilai kisaran (range) hasil perhitungan IKLS.
3.4.5 Pengkategorian Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah Pengkategorian IKLS dimaksudkan untuk mengelompokkan nilai IKLS yang dihitung dari indikator utama keberlanjutan lahan sawah (faktor biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya) di setiap zona agroekologi. Proses pengkateogorian IKLS
tersebut menggunakan analisis diskriminan. Penggunaan fungsi
diskrimanan untuk pengkategorian IKLS ini mengacu pada konsep yang dijelaskan oleh Supranto (2004). Dengan analisis diskriminan ini, nilai IKLS di setiap zona agroekologi yang diperlakukakan sebagai variabel tidak bebas dapat dikelompokkan sesuai dengan karakteristik lahan yang dicerminkan oleh indikator-indikator utama sebagai variabel bebas yang dapat berfungsi sebagai faktor penghambat maupun pendukung keberlanjutan lahan sawah.
Peranan
indikator utama sebagai faktor penghambat atau pendukung keberlanjutan lahan sawah dimaksud dapat dicerminkan oleh nilai koefiesien diskriminan. Apabila nilai koefsien diskriminan variabel bebas (indikator utama) bernilai negatif, maka indikator utama tersebut berperan sebagai faktor penghambat. Sebaliknya, nilai koefisien diskriminan variabel bebas (indikator utama) bernilai positif, maka indikator utama tersebut berperan sebagai faktor pendukung keberlanjutan lahan sawah.
72
3.5 Analisis Kebijakan Kebijakan (policy) merupakan serangkaian keputusan yang diambil oleh mereka yang memiliki tanggungjawab dan otoritas di area kebijakan yang ada (Keeley dan Scoones, 1999; dalam Abidin, 2004).
Kebijakan itu biasanya
dikaitkan dengan kepentingan keputusan pemerintah karena pemerintah mempunyai wewenang atau kekuasaan untuk mengarahkan masyarakat dan bertanggungjawab melayani kepentingan umum. Oleh karena itu, kebijakan sering diartikan dengan kebijakan publik (Abidin, 2004). Parsons (2008) menjelaskan bahwa sebuah kebijakan adalah usaha untuk mendefinisikan dan menyusun basis rasional untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan. Yang paling pokok dalam kebijakan adalah adanya tujuan, sasaran atau kehendak (Abidin, 2004). Analisis kebijakan adalah upaya mencapai kehendak untuk mengatasi isu-isu dan masalah yang terjadi di masyarakat. Genesis kebijakan itu diawali dengan pengenalan isu-isu yang berkembang di masyarakat dan mendefinisikannya menjadi suatu masalah. Tindakan untuk menyelesaikan masalah tersebut dituangkan dalam bentuk kebijakan. Dasar utama dalam analisis kebijakan adalah pendefinisian masalah. Pemahaman proses tentang terjadinya masalah adalah sangat penting bagi penanganan suatu masalah tertentu melalui kebijakan (Parsons, 2008). Gambar 31 memperlihatkan diagram alir analisis kebijakan.
Isu
Masalah
Kebijakan
Gambar 31. Diagram alir analisis kebijakan Diagram alir proses analisis kebijakan keberlanjutan lahan sawah diperlihatkan pada Gambar 32. Pendefinisian masalah berdasarkan pada permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang telah dipetakan pada peta IKLS. Rumusan kebijakan untuk penyelesaian masalah
merupakan hasil pengkajian
pengelolaan lahan sawah dengan mempertimbangkan peraturan perundangundangan yang berlaku dalam merespon masalah (dampak) yang ditimbulkan oleh tekanan terhadap agroekosistem lahan sawah karena peningkatan jumlah
73
penduduk. Rumusan kebijakan tersebut diarahkan untuk mendukung panataan ruang dalam rangka mewujudkan pemanfaatan lahan sawah berkelanjutan. Keberhasilan
untuk
mengimplementasikan
rumusan
kebijakan
keberlanjutan lahan sawah ini ditentukan oleh ketepatan dalam penentuan model pengambilan keputusan. Dermawan (2005) menjelaskan bahwa model keputusan yang baik pada dasarnya merupakan fungsi dari pandangan yang menyeluruh tentang sesuatu masalah. Menurut Marimin (2004), model pengambilan keputusan dengan pendekatan
sistem
dapat
mengidentifikasi dan memahami berbagai
aspek dari suatu permasalahan dan dapat mengarahkan pemecahan secara menyeluruh.
Model pengambilan keputusan dengan pendekatan sistem ini
diantaranya adalah Proses Hirarkhi Analitik (Analytical Hierarchy Process-AHP). Metode AHP ini cocok untuk diterapkan dalam pengambilan keputusan dalam rangka mewujudkan pemanfaatan lahan sawah berkelanjutan. Dipilihnya metode AHP karena keunggulannya dalam berbagai hal, yaitu keputusan yang diambil dapat digambarkan secara grafis sehingga mudah dipahami, keputusan yang kompleks dapat diuraikan menjadi keputusan-keputusan lebih kecil yang mudah ditangani, dan penilaian keputusan dapat diperbaiki karena adanya penilaian konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan untuk menetapkan berbagai prioritas (Marimin, 2004).
Peta IKLS
Pengelolaan Lahan Sawah
Peraturan Perundangan
Rumusan Kebijakan Pengelolaan Lahan Sawah
Pemanfaatan Lahan Sawah Berkelanjutan
Penataan Ruang
Gambar 32. Diagram analisis kebijakan keberlanjutan lahan sawah Keunikan atau keunggulan utama metode AHP untuk pengambilan keputusan terletak pada kemampuannya untuk menguraikan masalah secara
74
terstruktur dalam bentuk hirarkhi. Dengan metode AHP, masalah dalam sistem yang kompleks diuraikan secara hirarkhi menjadi sub-sub sistem
yang lebih
sederhana. Selain itu, AHP juga memperlihatkan relasi antar sub-sub sistem yang membentuk masalah. Penguraian masalah secara berhirarkhi ini mempermudah pemahaman penyelesaian masalah sampai ke akar penyebab masalah. Penguraian masalah secara hirarkhi dalam metode AHP didasarkan pada pencapaian tujuan, penentuan kriteria, dan penetapan alternatif kebijakan (Marimin, 2004). Untuk analisis kebijakan dalam keberlanjutan lahan sawah, tujuannya ditetapkan untuk mewujudkan pemanfaatan lahan sawah berkelanjutan berdasarkan zona agroekologi. Penentuan kriteria mengacu pada proses pencapaian pertanian berkelanjutan berdasarkan konsep agroekologi, yaitu melalui tiga aspek: ekologis (lingkungan biofisik), ekonomi, dan sosial-budaya. Masing-masing aspek (kriteria)
diklasifikasikan menjadi beberapa sub-aspek
(sub-kriteria), yang merupakan hasil kajian pengelolaan lahan untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang ditunjukkan oleh indikator utama. Masing-masing sub-kriteria kemudian dijabarkan dengan alternatif zona agroekologi, yang digunakan sebagai acuan pemilihan lokasi prioritas penerapan kebijakan untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah. Lokasi prioritas penerapan kebijakan yang berbasiskan zona aagroekologi tersebut berperan untuk mendukung penataan ruang dalam aspek perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian.
3.6 Tingkat Keandalan Penelitian Penelitian indeks keberlanjutan lahan sawah yang berbasiskan data geospasial ini menggunakan skala 1: 250.000. Oleh karena itu, data dan informasi yang dihasilkan dalam penelitian bersifat indikatif. Data utama untuk delineasi zona agroekologi sebagai satuan pemetaan indeks keberlanjutan lahan sawah memiliki keterbatasan sebagai berikut: 1. Karakteristik lahan di setiap sistem lahan diasumsikan homogen dan distribusi jenis tanah pada tingkat great group yang ditampilkan bersifat dominan (sekitar 60%).
75
2. Luasan
lahan sawah hasil interpretasi citra landsat ETM tahun 2005
diasumsikan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan (lahan baku sawah) yang dilindungi oleh UUPLPPB. 3. Peta status kawasan hutan skala 1: 250.000 yang bersumber dari Kementerian Kehutanan
merupakan hasil pembesaran dari skala 1:
500.000. 4. Peta RTRW yang dibuat oleh Departemen
Pekerjaan Umum pada
tahun 2003 masih belum disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang. 5. Peta agroklimat yang dibuat berdasarkan data curah hujan tahun 19982007 masih belum sepenuhnya mewakili kondisi dampak perubahan iklim saat ini, mengingat perubahan iklim masih terus berlangsung sampai dengan sekarang.
76
4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH 4.1 Rasional Ide konsep pertanian berkelanjutan di dunia diilhami oleh Komisi Brundtland yang mempromosikan pembangunan berkelanjutan pada tahun 1987. Paradigma
pembangunan
berkelanjutan
tersebut
ditindaklanjuti
dengan
diselenggarakannya Konferensi Dunia di Rio de Janeiro pada tahun 1992, yang mendeklarasikan program pertanian berkelanjutan. Keluarnya gagasan pertanian berkelanjutan merupakan respon terhadap penurunan kualitas sumberdaya alam dan timbulnya masalah ekonomi dan sosial, sebagai dampak dari revolusi hijau yang memperkenalkan pupuk agrokimia, obat pestisida (Edward, 1994; dalam Altieri, 2002).
dan bibit unggul
Proposal tentang konsep agroekologi
merupakan upaya untuk memfasilitasi pemecahan masalah yang disebabkan oleh dampak revolusi hijau tersebut (Gliessman, 2002). Tujuan utama konsep agroekologi adalah untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan (Altieri, 1989, 2002). Munculnya konsep agroekologi di negaranegara maju pada hakekatnya merupakan keinginan para pakar pertanian untuk mengembalikan sistem pertanian yang sesuai dengan kaidah-kaidah ekosistem, dalam hal ini adalah agroekosistem. Pengalaman penerapan revolusi hijau yang mengabaikan kaidah-kaidah ekosistem dalam jangka pendek mungkin dapat meningkatkan produktivitas lahan. Namun demikian, dalam jangka panjang akan dapat
mengakibatkan
kehancuran
sumberdaya
alam
dan
lingkungan.
Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep agroekologi untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan. Agroekologi
adalah ilmu tentang aplikasi konsep dan prinsip-prinsip
ekologi untuk mendesain dan mengelola keberlanjutan agroekosistem. Aplikasi agroekologi dapat dikatakan sebagai metode untuk mendiagnosa sistem pertanian yang sehat, dengan mendelineasi prinsip-prinsip ekologi
yang sesuai untuk
mengembangkan sistem pertanian berkelanjutan (Gliessman, 1998, dalam Gliessman, 2002).
Agroekologi
ini bersifat multidimensi karena merupakan
perpaduan ilmu ekologi, ekonomi, dan sosial (Altieri, 2002; Dalgaard et al. 2003). Ketiga dimensi keilmuan tersebut adalah sebagai dasar penilaian keberlanjutan
77
pertanian, yaitu mantap secara ekologis, berlanjut secara ekonomi, adil, manusiawi, dan luwes (Gips, 1986; dalam Sabiham, 2008). Karena aspek-aspek agroekologi dapat dipetakan pada skala yang berbedabeda (Dalgaard et al. 2003; Rao dan Rogers, 2006), maka prinsip-prinsip ekologi dapat didelineasi sebagai zona agroekologi, dengan menggunakan teknologi SIG. Sebagaimana yang telah diterapkan di negara-negara maju,
zona agroekologi
ini cocok untuk digunakan sebagai basis kajian keberlanjutan lahan sawah di Jawa sebagai sentra produksi padi yang nampaknya masih terpuruk karena masalah lingkungan biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya
4.2 Tinjauan Pustaka 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan” terdiri dari dua kata, yaitu kata ”pertanian” dan ”berkelanjutan”.
Menurut Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa (1999), kata ”pertanian” diartikan sebagai segala sesuatu yang bertalian dengan tanam-menanam. Kata ”berkelanjutan” berarti berlangsung terus-menerus atau berkesinambungan. Sehingga, dalam konteks kata, pertanian berkelanjutan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan tanam-menanam yang berlangsung terus-menerus atau berkesinambungan. Dalam kata ”keberlanjutan pertanian, kata kunci ”keberlanjutan” dapat diartikan sebagai ”menjaga agar suatu upaya terus berlangsung atau kemampuan untuk bertahan dan menjaga agar tidak menurun”. Keberlanjutan pada dasarnya berarti sebagai kemampuan lahan untuk tetap produktif sekaligus tetap dapat mempertahankan eksistensi sumberdaya lahan untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup manusia. Dalam konteks pertanian, definisi pertanian berkelanjutan ada bermacammacam. Dari kalangan para pakar ilmu tanah atau agronomi, pertanian berkelanjutan lebih dikenal dengan istilah LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture), yaitu pertanian yang mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dan manusia
yang tersedia di tempat (seperti tanah, air,
tumbuhan, tanaman, dan hewan lokal serta tenaga manusia, pengetahuan, dan ketrampilan) dan yang secara ekonomi layak, mantap secara ekologis, disesuaikan
78
menurut budaya dan adil secara sosial (Reijntjes et al. 1999). Nasution (1995) mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai kegiatan pertanian yang berupaya untuk memaksimalkan manfaat sosial dari pengelolaan sumberdaya biologi dengan syarat memelihara produktivitas dan efisiensi produksi komoditas pertanian, memelihara kualitas lingkungan hidup, dan produktivitas sumberdaya sepanjang masa. Menurut Technical Advisory Committee of the CGIAR (TACCGIAR, 1988, dalam Mangkuprawira, 2007), pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas dan melestarikan sumberdaya alam. Pertanian berkelanjutan diistilahkan oleh Word Bank/Trie Societies (1998, dalam Notohadinegoro, 1999) sebagai sustainable intensification, yaitu sistem pengelolaan pertanian terpadu yang secara berangsur meningkatkan produktivitas lahan sambil mempertahankan keutuhan dan keaneragaman ekologi dan hayati sumberdaya alam selama jangka panjang,
memberikan
keuntungan
ekonomi
kepada
para
perorangan,
menyumbang kepada mutu kehidupan dan memperkuat pembangunan ekonomi negara. Secara ringkas, sistem pertanian berkelanjutan pada hakekatnya adalah back to nature, yakni sistem pertanian yang tidak merusak, tidak mengubah, serasi, selaras, dan seimbang dengan lingkungan atau pertanian yang patuh dan tunduk pada
kaidah-kaidah
alamiah
(Salikin,
2003).
Pembangunan
pertanian
berkelanjutan dapat diartikan sebagai upaya pengelolaan sumberdaya dan usaha pertanian melalui penerapan teknologi pertanian dan kelembagaan secara berkesinambungan bagi generasi kini dan masa depan (Deptan, 2006). Setidaknya, pertanian berkelanjutan mengandung makna empat aspek, yaitu (1) kesadaran ekologi (ecological sound), (2) bernilai ekonomi (economic viability), (3) berkeadilan sosial (social justice), dan (4) berperikemanusiaan (humaness) (Anonim, http://allianceforsustainability.net, 18 Juli 2008). Karena pembangunan pertanian tidak dapat terlepas dari faktor sosial, ekonomi, dan budaya, sistem pertanian berkelanjutan setidaknya mengandung makna sesuai secara teknis, layak secara ekonomi, dan dapat diterima secara sosial dan budaya masyarakat setempat (Puslitanak, 1999). Pertanian bisa dikatakan berkelanjutan jika mantap secara ekologis (kualitas sumberdaya alam dan kemampuan agroekosistem dijaga dan
79
ditingkatkan), bisa berlanjut secara ekonomi (petani mendapat penghasilan yang cukup dan kelestarian sumberdaya alam dijaga), adil (sumberdaya dan kekuasaan didistribusikan kepada petani secara demokratis), manusiawi (integritas budaya dan spiritualitas masyarakat petani dijaga dan dipelihara), dan luwes (masyarakat petani mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi usaha tani yang berkelanjutan) (Gibs, 1986; dalam Reijntjes et al., 1999).
Sabiham (2008)
mengemukakan bahwa pertanian berkelanjutan adalah sebagai pengelolaan sumberdaya untuk menghasilkan kebutuhan pokok manusia (sandang, pangan, dan papan), sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam.
4.2.2 Konsep Agroekologi Istilah agroekologi secara paralel diusulkan oleh ahli zoologi Jerman dan ahli fisiologi tanaman Amerika pada tahun 1930 dan 1939, sebagai sinonim untuk aplikasi ekologi dalam bidang pertanian (Gliessman, 2002; Dalgaard et al., 2003). Pemikiran ahli ekologi pada saat itu, walaupun fokusnya relatif masih sempit, telah memberi wawasan ke depan tentang pengintegrasian ekosistem (Dalgaard et al., 2003).
Lahirnya disiplin ilmu agroekologi, menurut Altieri
(1989), dilatarbelakangi oleh adanya ancaman keberlanjutan pengembangan pertanian selama dua dekade terakhir karena keterbatasan sumberdaya, terjadinya degradasi lingkungan, pertumbuhan penduduk yang tinggi, tidak terkontrolnya atau macetnya pertumbuhan ekonomi, marjinalisasi sosial, dan lain-lain. Faktorfaktor yang mengakibatkan terancamnya pembangunan pertanian berkelanjutan tersebut berasal dari ekternalitas negatif dari penerapan revolusi hijau yang telah mengintrodusir penggunaan pupuk kimia (sintetis), pestisida, dan bahan-bahan kimia lainnya untuk memacu produktivititas hasil panen biji-bijian (Dalgaard et al., 2003; Salikin, 2003).
Kekhawatiran terhadap ancaman pertanian
berkelanjutan tersebut mendorong pengusulan ilmu agroekologi yang diharapkan dapat mengatasi permasalahan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan, serta gizi buruk masyarakat (Dalgaard et al., 2003). Dalam berbagai konsep, agroekologi diusulkan sebagai disiplin ilmu baru yang mendefinisikan, mengklasifikan, dan mempelajari sistem pertanian dari
80
perspektif ekologi, sosial, dan ekonomi (Altieri, 1987, dalam Altieri, 1989). Selain manyajikan metodologi yang mendiagnosa kesehatan sistem pertanian, agroekologi seharusnya mendeliniasi prinsip-prinsip ekologi yang diperlukan untuk mengembangkan sistem produksi pertanian berkelanjutan (Altieri, 1989). Agroekologi sebagai ilmu baru yang mengintegrasikan berbagai bidang keilmuan (Altieri, 1989, GFAR, 2000,
Dalgaard et al., 2003)
diarahkan untuk dapat
menjelaskan aliran energi, informasi dan bahan dalam ekosistem pertanian agar keluaran yang diperoleh dapat optimal, penggunaan masukan eksternal dapat diminimalkan, serta pencemaran terhadap sumberdaya alam dapat dihindari (GFAR, 2000). Agroekologi membahas dimensi agroekosistem secara lebih luas, mulai dari aspek genetik, agronomi, edapologinya, dan lain-lain. Dalam hal ini, agroekologi menitikberatkan hubungan antar komponen dalam agroekosistem dan dinamika yang komplek dari proses ekologi. Karena cakupan bahasannya yang bersifat terpadu dari multidisiplin, agroekologi dapat diartikan sebagai pengkajian agroekosistem yang bersifat holistik, yang mencakup semua unsur-unsur lingkungan dan manusia (Vandemeer, 1995 dalam Altieri, 2002). Dalgaard et al. (2003) mengilustrasikan konsep agroekologi yang bersifat multidisiplin seperti yang diperlihatkan pada Gambar 33. Agroekologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari interaksi antara tanaman, hewan, manusia, dan lingkungan di dalam sistem pertanian. Oleh karena itu, agroekologi merupakan bidang studi yang mengintegrasikan bidang agronomi, ekologi, sosiologi, dan ekonomi (Dalgaard et al., 2003). Menurut Gliesmann (1989, dalam Gliessman, 2000) agroekologi merupakan aplikasi ilmu ekologi untuk mendesain dan mengelola agroekosistem berkelanjutan. Karena pembangunan
pertanian
tidak dapat
terlepas dari faktor sosial, ekonomi, dan budaya (Puslitanak, 1999), sistem pertanian berkelanjutan setidaknya mengandung makna sesuai secara teknis, layak secara ekonomi, dan dapat diterima secara sosial dan budaya masyarakat setempat. Agroekologi
merupakan
suatu
pendekatan
bertani
untuk
merespon
ketidakefisienan agronomi dan ketidak-adilan sosial dari pertanian konvensional. Prinsip dan penerapan agroekologi menggabungkan metode-metode bertani yang telah terbukti, ilmu ekologi baru, dan budaya lokal petani untuk meningkatkan produktivitas, keberlanjutan, dan manfaat sosial bertani (Cohn et al., 2006).
81
Teologi Filosofi
Kepercayaan
Ekonomi Masyarakat
Manusia Sosiologi
Agroekosistem Agronomi Tanaman
Hewan
Lingkungan
Ekologi
Kimia Bahan
Gambar 33.
Fisika
Agroekologi merupakan integrasi dari ekologi, agronomi, sosiologi, dan ekonomi (Dalgaard et al., 2003).
Dalgaard et al. (2003) menjelaskan bahwa faktor ekologi dan agronomi yang mempengaruhi kelangsungan produksi pangan merupakan faktor fisik, dan disebut sebagai faktor piranti keras (hard agroecology). Melalui agroekosistem dimana terjadi interaksi antara tanaman, hewan dan lingkungan, piranti keras agroekologi ini berinteraksi dengan faktor aktifitas manusia (sosiologi), yang disebut sebagai faktor piranti lunak agroekologi (soft agroecology). Menurut Checkland (1999, dalam Dalgaard et al. 2003), masuk-keluarnya modal dalam sistem pertanian tidak hanya ditentukan oleh faktor fisik saja, tetapi juga oleh faktor budaya (cultural knowledge), pengalaman manusia, potensi pengembangan teknologi, dan lain-lain. Berbeda dengan investasi dalam piranti keras, investasi piranti lunak bersifat fleksibel, dan bahkan perannya dapat menggantikan sebagian investasi peran piranti keras agroekologi (Pearce, 1996, dalam Dalgaard et al., 2003). Menurut Reijntjes et al. (1999), konsep utama dalam agroekologi adalah adaptabilitas (relung), yaitu fungsi atau peran suatu organisme dalam ekosistem serta sumberdaya kehidupannya yang menentukan kesempatannya untuk bertahan hidup dan pengaruh positip atau negatipnya terhadap komponen lain.
Agroekosistem dengan tingkat keanekaragaman tinggi cenderung lebih
82
stabil dari pada yang ditempati oleh hanya satu spesies (seperti dalam budidaya monokultur). Suatu agroekosistem yang keanekaragamnya tinggi memberi jaminan yang lebih tinggi bagi petani. Jika keanekaragaman fungsional bisa dicapai dengan mengkombinasikan spesies tanaman dan hewan yang memiliki ciri saling melengkapi dan berinteraksi secara positif, maka bukan kestabilan saja yang bisa diperbaiki, namum juga produktivitas pertanian dengan input rendah. Tujuan utama agroekologi adalah untuk menjawab permasalahan keberlanjutan pertanian. Agroekologi diarahkan untuk meningkatkan ekonomi dan keberlanjutan ekologi dari agroekosistem, dengan memperhatikan kondisi lingkungan, sosial dan ekonomi yang ada di daerah. agroekologi,
pengelolaan
komponen-komponen
kelangsungan produksi pangan
Di dalam strategi
yang
mempengaruhi
diarahkan ke konservasi dan peningkatan
sumberdaya pertanian lokal (plasmanutfah, tanah, fauna, keragaman tanaman, dan lain-lain) dengan mengembangkan metodologi yang mendorong partisipasi petani, penggunaan budaya lokal, dan adaptasi usaha tani yang dapat mempertemukan kebutuhan lokal dan kondisi biofisik, ekonomi dan sosial (Altieri, 1989).
4.2.3 Hubungan Zona Agroekologi dan Daya Dukung Lahan Sawah Dalam agroekologi, faktor ekologis (biofisik), ekonomi, dan sosial-budaya memiliki skala yang berbeda-beda. Ketiga faktor tersebut dapat diintegrasikan dengan teknologi SIG (Rao dan Rogers, 2006). Proses integrasi dengan teknologi SIG ini mendelineasi faktor-faktor ekologi yang mempengaruhi sistem produksi pertanian di suatu wilayah, yang disebut sebagai zona agroekologi (ZAE). Menurut FAO (1996), ZAE adalah suatu wilayah yang memiliki kesamaan karakteristik tanah, bentuklahan (landform), dan iklim, terutama faktor iklim dan edafik untuk persyaratan pertumbuhan tanaman dan sistem pengelolaan yang diterapkan.
Penciri ZAE tersebut, seperti yang dijelaskan oleh Wiradisastra
(2003), utamanya ditekankan pada penciri tertentu, yaitu lingkungan pertumbuhan tanaman yang dapat menghasilkan produk dan membawa keuntungan ekonomi. Syafruddin et al. (2004) mengemukakan bahwa pengelompokkan dalam ZAE bertujuan untuk menetapkan areal pertanian dan komoditas potensial, berskala
83
ekonomi, dan tertata dengan baik agar diperoleh sistem usaha tani
yang
berkelanjutan. Dalam penelitian ini, ZAE lahan sawah merupakan pengelompokan lahan sawah berdasarkan kesamaan tingkat kesesuaian padi sawah
dan tingkat
intensitas pertanaman yang disesuaikan dengan ketersediaan air dan kondisi sosial-budaya masyarakat petani setempat.
Tingkat kesesuaian dan intensitas
pertanaman padi sawah merupakan penciri utama dari ZAE lahan sawah. Tingkat kesesuaian tanaman padi sawah
mencerminkan
tingkat kemantapan
ekologis, sedangkan tingkat intensitas pertanaman menunjukkan budaya lokal masyarakat petani dalam melakukan pengelolaan lahan untuk mendapatkan hasil dengan perolehan keuntungan yang optimal. Sebagai wilayah pengelolaan sumberdaya lahan berkelanjutan, ZAE lahan sawah berperan penting sebagai basis kajian daya dukung lahan. Melalui ZAE lahan sawah, permasalahan keberlanjutan pertanian padi sawah karena tekanan pertambahan jumlah penduduk dapat dideteksi, yaitu dengan mengidentifikasi status daya dukung lahan sawah. Seperti yang diperlihatkan pada Gambar 34, Agroekologi
Penduduk
Kebutuhan Pangan
Biofisik Ekonomi Sos-bud
Status Daya Dukung Lahan Sawah
ZAE Lahan Sawah
Tanaman
Hewan
Produksi Padi
Lingkungan
Agroekosistem
Gambar 34. Hubungan zona agroekologi lahan sawah dengan daya dukung lahan sawah
84
agroekosistem sebagai sistem produksi padi di zona agroekologi lahan sawah berperan sebagai penghasil agroekosistem ini
padi (beras).
Produksi beras
yang dihasilkan
adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan (beras) yang
diperlukan penduduk. Rasio antara suplai beras dari agroekosistem di zona agroekologi lahan sawah terhadap kebutuhan pangan (beras) yang diperlukan penduduk di suatu wilayah mencerminkan status (tingkat) daya dukung lahan sawah. Informasi tentang status daya dukung lahan sawah ini berperan penting untuk mengetahui tingkat tekanan penduduk terhadap sumberdaya lahan (agroekosistem lahan sawah). Semakin tinggi tingkat tekanan penduduk semakin besar tekanan yang diterima
oleh agroekosistem lahan sawah.
Tertekannya
agroekosistem ini mencerminkan terancamnya keberlanjutan lahan sawah karena pertambahan jumlah penduduk.
4.3 Bahan dan Metode 4.3.1 Interpretasi Citra Satelit Inderaja Data Inderaja
satelit optik utama yang digunakan dalam penelitian ini
adalah citra ALOS PRISM dan AVNIR-2 komposit band 4,3,2, (Juni 2007), serta Landsat ETM komposit band 7,4,2 yang difusi dengan band 8 (Mei 2005) sebagai data pembanding. Semua data citra satelit tersebut telah terektifikasi terhadap peta Rupabumi skala 1: 25.000. Data pendukung
yang digunakan
meliputi peta Rupabumi skala 1: 25.000 dan peta penutup lahan skala 1: 250.000 tahun 2000
yang ada di
BAKOSURTANAL. Spesifikasi data citra satelit
Inderaja optik untuk penelitian disajikan pada Tabel 10. Interpretasi obyek diutamakan pada lahan sawah dan daerah permukiman yang bertopografi datar, agar pengaruh topografi terhadap distorsi luasan lahan sawah yang diukur dari data citra dapat diabaikan. Interpretasi obyek dilakukan secara visual dengan dukungan data sekunder dan survei lapangan. Delineasi obyek hasil interpretasi secara visual didijitasi secara langsung pada layar komputer yang diiterasi pada berbagai skala. Interpretasi obyek tersebut didasarkan pada bentuk, ukuran, pola, tekstur, lokasi, dan tone (Lillesand dan Kiefer, 1979).
85
Tabel 10. Data citra satelit Inderaja optik untuk penelitian No.
Jenis Citra
1.
ALOS PRISM
2.
ALOS AVNIR-2
3.
Landsat 7
4.
SPOT-4
Path/Row atau Path/center 110/3730 103/3750 98/3770 118/66 119/65 122/64 285/363 285/364
Akuisisi 13/4/2007 13/4/2007 5 /6/2007 10 /5/2005 17/5/2005 15/5/2005 12/11/ 2003
Resolusi Spasial (m) 2,5 10
Band yang digunakan Panchromatik 4,3,2 7,4,2, dan 8
30, 15 20
1,2,3
Keterangan: Citra Alos AVNIR-2: band 1 (0,42-0,5 µm), band 2 (0,52-0,60 µm), band 3 (0,61-0,69 µm) band 4 (0,76-0,89 µm) Citra Landsat 7 : band 1 (0,45-0,52 µm), band 2 (0,52-0,60 µm), band 3 (0,63-0,69 µm) band 4 (0,76-0,90 µm), band 5 (1,55-1,75 µm), band 7 (2,08-2,35 µm) band 8 : 0.52-0.90 µm (Panchromatic) Citra SPOT-4 : band 1 : 0,50 – 0,59 µm, band 2: 0,61 – 0,68 µm, band 3 : 0,79 – 0,89 µm
Penggunaan metode interpretasi secara visual tersebut mempertimbangkan kondisi sebagai berikut, yaitu 1) pola tanam padi sawah di Jawa bersifat tidak seragam, 2) Basis data luasan lahan sawah yang dibangun berbasis format vektor, 3) Konversi data dari format raster menjadi vektor mengakibatkan sebagian besar struktur topologi terfragmentasi
yang editingnya time consuming
atau sulit
ditangani oleh sistem perangkat lunak SIG yang ada saat ini. Dalam melakukan delineasi obyek hasil interpretasi, tampilan citra pada layar komputer awal mulanya diperbesar (zoom in) atau diperkecil (zoom out) di berbagai skala, sehingga dapat diperoleh tampilan citra skala optimal. Apabila sudah diperoleh tampilan citra skala optimal, dijitasi obyek mulai dilakukan pada tampilan citra terpilih tersebut. Hasil dijitasi obyek disimpan sebagai file SHP dengan menggunakan software ArcGIS versi 9.3, File SHP hasil dijitasi didefinisikan sebagai fitur penutup lahan. Untuk menghitung luasan obyek, fitur SHP penutup lahan hasil dijitasi selanjutnya diedit, dibangun topologinya, dan ditransformasikan pada proyeksi UTM dengan georeferensi WGS’84. Untuk mengevalusi peningkatan tingkat akurasi dari berbagai citra satelit Inderaja optik yang digunakan, data luasan sawah dan permukiman hasil interpretasi citra Landsat 7 ke ALOS PRISM dan AVNIR-2 dihitung perubahannya.
86
4.3.2 Pembuatan Basisdata Geospasial Data yang digunakan terdiri dari primer dan sekunder.
Data primer
meliputi data C-organik tanah, N-total, P-tersedia, K-tersedia, kondisi ekonomi dan sosial-budaya petani; sedangkan data sekunder terdiri dari berbagai data peta skala 1: 250.000 dan 1: 25.000 (peta Rupabumi, sistem lahan, penutup lahan, peta status hara P dan K, status hutan, potensi sumberdaya air dan irigasi, pola pemanfaatan ruang) dan data statistik (jumlah penduduk dan produksi padi sawah). Data primer dikumpulkan melalui survei lapangan, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi-instansi terkait. Dalam penelitian ini, proses pembuatan basisdata geospasial diperlihatkan pada Gambar 35. Tahapan pembuatan basisdata meliputi (1) penentuan fitur dataset, (2) pengklasifikasian fitur, (3) pendefinisan atribut dan tipe fitur, (4) digitalisasi fitur, (5), validasi topologi, (6) standarisasi georeferensi, (7) pengintegrasian atribut fitur, dan (8) finalisasi basisdata. Tahap awal pembuatan basisdata geospasial adalah pengelompokan data menjadi
fitur kumpulan data (dataset) dasar dan tematik. Fitur data dasar
berfungsi sebagai referensi penyajian fitur tematik. Fitur dataset data dasar tersebut kemudian diklasifikasikan berdasarkan temanya, yaitu layer perairan, layer komunikasi (jaringan jalan), layer ketinggian (hipsografi), layer toponimi (nama-nama geografi), dan layer batas wilayah administrasi.
Fitur dataset
tematik dirinci menjadi layer sistem lahan, layer penutup lahan, layer status kawasan, layer agroklimat, layer irigasi, layer sosial-budaya. Data yang telah diklasifikasikan tersebut digunakan sebagai input untuk proses selanjutnya. Dalam inputing data, data-data yang diperoleh dalam bentuk dijital langsung di-loading dan dilakukan pendefinisian atribut, sedangkan data dalam bentuk analog melalui proses dijitalisasi fitur terlebih dahulu.
Tahapan berikutnya,
atribut dari setiap fitur geospasial tersebut didefinisikan strukturnya, seperti yang diperlihatkan pada Tabel 11. Struktur atribut ini digunakan sebagai template data entry nilai-nilai atribut yang diaktualisasikan dalam bentuk angka, simbol, atau deretan karakter. Dijitalisasi fitur dilakukan langsung melalui layar komputer dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS versi 9.3. Validasi topologi dimaksudkan
87
Penentuan Fitur Dataset
Validasi Topologi
Pengklasifikasian Fitur
Standarisasi Georeferensi
Analog Dijitalisasi Fitur
Pengintegrasian Atribut Fitur
Loading Data
Dijital Finalisasi basisdata Pendefinisian Atribut
Basisdata Geogeospasi al
Gambar 35. Tahapan proses pembuatan basisdata geospasial untuk mengecek akurasi geometri setiap fitur. Komponen topologi yang dikoreksi meliputi penghapusan overlaping antar fitur poligon atau garis penyambungan garis poligon yang terputus (dangles atau gaps), penghapusan garis overshoot atau kelebihan fitur titik. Fitur-fitur yang topologinya telah divalidasi, selanjutnya dilakukan standarisasi georeferensi terhadap semua fitur yang sudah bebas dari kesalahan (clean data). nasional, yaitu
Standarisasi georeferensi menggunakan
referensi
Datum Geodesi Nasional Tahun 1995 (DGN95). DGN95 ini
mengadopsi ellipsoid
World Geodetic System tahun 1984 (WGS84). Tahap
berikutnya, semua data atribut dengan format DBF yang di key-in dengan program MS Excel diintegrasikan dengan fitur geospasialnya yang memiliki format SHP. Pengintegrasikan data atribut dan fitur geospasial menggunakan model relasional, seperti yang dijelaskan oleh Fleming dan Halle (1989). Dalam model DBMS (Database Management System) relasional ini, penggabungan atribut dan fitur geospasial menggunakan kunci primer (primary key). Fitur geospasial yang telah
88
Tabel 11. Daftar fitur dan struktur atribut basisdata sumberdaya lahan No. 1.
2.
3.
4.
Fitur/Atribut
Keterangan
SIMBOL
C (3)
NAM_LSYM
C (25)
Kode sistem lahan (kunci primer) Nama sistem lahan
LAN_TYPE
C (25)
Nama bentuklahan
SOIL_DOM
C (15)
Jenis batuan dominan
TC
C (15)
Suhu rata-rata tahunan
W1
C (15)
Lama bulan kering
W2 RC1 RC2 RC3 NR1
C (15) C (15) C (15) C (15) C (15)
NR2 FREQ_BAN EROSI PRODUK dll Penutup Lahan
C (15) C (15) C (15) C (10)
Jenis tanah dominan Curah hujan rata-rata tahunan Kelas drainase tanah Tekstur tanah KTK (me/100g tanah) (subsoil) pH (surface soil) Frekwensi banjir Tingkat erosi tanah Produktivitas padi (ton/ha)
LCOVER
C (5)
NAM_LCOVER
C (25)
. . . .
Poligon Kode penutup lahan (kunci primer) Nama tipe penutup lahan
Batas Wilayah/ SOSEK Wil_PROV
C (10)
Wil_KAB
C (15)
Wilayah provinsi (kunci prmer) Wilayah kabupaten
JUM_PDD
I (15)
Jumlah penduduk (jiwa)
KEP_PDD
N,2 (10)
TH_PDD
C (8)
Kepadatan penduduk (jiwa/km2) Tahun jumlah penduduk
JUM_PTN
I (15)
Jumlah petani
JUM_GUR
I (15)
Jumlah petani gurem
Poligon
C (15)
Nama status kawasan hutan
C (5)
Tipe agroklimat menurut Oldeman
Kawasan Hutan
AGROKLIMAT Oldeman
6.
Bentuk Fitur Poligon
Sistem Lahan
KWH 5.
Karakteristik atribut
Irigasi
Poligon
Klas_irigasi
C (10)
Klasifikasi kondisi irigasi
Debit
N,2 (5)
Debit air irigasi (l/det/km2)
Keterangan: I = integer, C=karakter,N=numerik
89
dilengkapi dengan atribut kemudian difinalkan kembali, yaitu dengan melakukan validasi unsur-unsur data baik dari aspek topologi maupun nilai-nilai atributnya, sehingga diperoleh basisdata geospasial seperti yang diinginkan.
Gambar 36
menyajikan ilustrasi penggabungan data spasial (fitur geospasial) dengan atribut menggunakan model DBMS relasional.
DATA SPASIAL
DATA ATRIBUT
SISTEM LAHAN SIMBOL (kunci primer)
Info
ARC
Nama coverage
AAT
Tic
BND
PAT SIMBOL
LCOVER
PENUTUP LAHAN
LCOVER (kunci primer) KAWASAN HUTAN
KWH
KWH (kunci primer)
Gambar 36. Ilustrasi penggabungan data spasial dengan atribut menggunakan DBMS relasional. 4.3.3 Zonasi Agroekologi Lahan Sawah Zonasi agroekologi lahan sawah menggunakan basismodel SIG (Gambar 37). Model SIG ini merupakan basisdata sintesis yang dibangun melalui proses overlay (menu union dalam perangkat lunak ArcGIS versi 9.3) dari layer sistem lahan, penutup lahan, kawasan hutan,
kondisi irigasi, dan
batas wilayah
administrasi. Setiap layer dalam basismodel SIG ini memiliki skala 1: 250.000 dan georeferensi standar nasional, yaitu DGN95, yang mengadopsi ellipsoid WGS’84.
90
Input
Proses
Output
Sistem Lahan union Kesesuaian Lahan
join Persyaratan Tumbuh Tanaman Padi Sawah
union
Penutup Lahan union Kawasan Hutan
Kawasan Budidaya
ZAE Lahan Sawah
Agroklimat Irigasi
Intensitas Pertanaman
Batas Administrasi join SOSBUD
Gambar 37. Basismodel SIG konseptual untuk zonasi agroekologi lahan sawah Kriteria penilaian zona agroekologi lahan sawah disajikan pada Tabel 12. Delineasi ZAE lahan sawah diawali dengan penilaian kesesuaian lahan dengan menggunakan basisdata sistem lahan sebagai satuan unit lahan (land unit) yang digabungkan dengan data atribut tentang persyaratan tumbuh tanaman padi sawah (menggunakan menu join pada perangkat lunak SIG ArcGIS). Penggabungan data spasial sistem lahan dan atribut ini menggunakan prinsip model DBMS relasional. Analisis kesesuaian lahan menggunakan metode yang dijelaskan oleh FAO (1976) dan CSR/FAO Staf (1983). Kualitas lahan untuk penilaian kesesuaian lahan tersebut terdiri dari rejim temperatur (t), ketersediaan air (w), kondisi perakaran (r), retensi hara (f), ketersediaan hara (n), toksisitas (x),
dan
kondisi
terrain (s).
Kesesuaian
lahan
untuk
padi
sawah
dikelompokkan menjadi 4 (empat) kelas, yaitu S1 (sangat sesuai), S2 (cukup sesuai), S3 (sesuai marginal), dan N (tidak sesuai). Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah dimaksud disajikan pada Tabel 13.
91
Tabel 12 . Kriteria penilaian zona agroekologi lahan sawah Zona
Status Kawasan
Kesesuaian
Kondisi
Lahan
Irigasi
Intensitas Pertanaman
Budidaya Budidaya
S1
Baik
3 (3 PS)
S1
Sedang
2 (2 PS + 1 PL)
C (S1/IP 100)
Budidaya
S1
Buruk
1 (1 PS + 2 PL)
D (S2 /IP 300)
Budidaya
S2
Baik
3 (3 PS)
E (S2 /IP200)
Budidaya
S2
Sedang
2 (2 PS + 1 PL)
F S2 /IP 100)
Budidaya
S2
Buruk
1 (1 PS + 2 PL)
G (S3/IP 300)
Budidaya
S3
Baik
3 (3 PS)
H (S3/IP 200)
Budidaya
S3
Baik
3 (3 PS)
I (S3/IP100)
Budidaya
S3
Buruk
J (N/IP100)
Lindung
N
Tadah Hujan
1 (1 PS + 2 PL) Tidak didefinisikan
Agroekologi
A (S1/ IP 300) B (S1/IP 200)
Keterangan: PS: padi sawah, PL: palawija, IP: Indeks Pertanaman, kondisi irigasi baik: debit air >10 l/det/km2 (sesuai untuk 3 PS ) Kondisi irigasi sedang: debit air 2,5 – 10 l/det/km2 (sesuai untuk 2 PS + 1 PL) , kondisi irigasi buruk: debit air < 2,5 l/det/km2 (1 PS + 2 PL) Penanaman padi diasumsikan menggunakan varietas umur gernjah (105-124 hari) seperti Ciherang, IR64, dll
Lahan kelas S1 memiliki faktor pembatas yang tidak berarti atau minor dan tidak akan mereduksi produktivitas lahan secara nyata. Lahan kelas S2 memiliki faktor pembatas yang berpengaruh terhadap produktivitas, memerlukan tambahan masukan, biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri. Lahan kelas S3 memiliki faktor pembatas berat, berpengaruh nyata terhadap produktivitas, dan memerlukan modal tinggi sehingga perlu intervensi pemerintah atau pihak swasta. Lahan kelas N memiliki faktor pembatas yang sangat berat dan atau sulit diatasi (Balai Penelitian Tanah, 2003)
Dalam penelitian ini, kelas kesesuaian lahan untuk
tanaman padi sawah yang dianalisis adalah kesesuaian lahan potensial, yaitu kesesuaian lahan yang dilakukan pada kondisi setelah diberikan masukan perbaikan. Hasil penilaian kesesuaian lahan kemudian diverifikasi dengan basisdata kawasan budidaya yang diidentifikasi dengan layer penutup lahan dan status kawasan hutan. Basisdata kawasan budidaya ini memiliki atribut ketersediaan lahan yang diklasifikasikan menjadi dua kelas, yaitu lahan tersedia dan lahan tidak tersedia. Lahan tersedia adalah areal dengan penutup lahan sawah (SW) dan berada di kawasan hutan Produksi (HP) dan Areal Penggunaan Lain (APL).
92
Tabel 13. Kriteria penilaian kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah (CSR/FAO Staff, 1983) Kualitas Lahan/ Karakteristik Lahan
Kelas Kesesuaian Lahan S1
S2
S3
N
Rejim Temperatur (t) Suhu rata-rata tahunan (oC)
25-29
30-32, 24-22
33-35, 21-18
> 35, < 18
1. Bulan kering (<100 mm)
0-3
3,1-9
9,1-9,5
> 9,5
2. Rata-rata curah hujan tahunan
> 1500
1200-1500
800-1200
< 800
1. Kelas drainase
Agak buruk, agak baik
Sangat buruk, buruk
Baik
2. Tekstur tanah (permukaan)
Sandy clay, loam, silt
Sandy loam, loam, silty clay loam, silty clay
Loamy sand, massive clay
41-50
20-40
Ketersediaan Air (w)
Kondisi perakaran (r)
loam, silt clay loam 3. Kedalaman tanah (cm)
> 50
Ekstrim berlebih, berlebih Berbatu, pasir < 20
Retensi hara (f) 1. KTK me/100g tnh (subsoil)
> medium
Rendah
Sangat rendah
2. pH (permukaan)
5.5-7.0
7.1-8.0, 5.4-4.5
8.2-8.5, 4.5-4.0
Total N (permukaan)
> medium
Rendah
Sangat rendah
P 2O5 tersedia (permukaan)
Sangat tinggi,
Tinggi
Medium-rendah
K 2O5 tersedia (permukaan)
> medium
rendah
Sangat rendah
> 8.5, < 4.0
Ketersediaan hara (n) Sangat rendah
Medium rendah Sangat rendah Toksisitas (x) Salinitas (mmhos/cm (sub soil
<3
3.1-5
5.5-8
>8
Lereng (%)
0-3
3-5
5-8
>8
Batuan permukaan (%)
0
< 0,01
0,01
> 0,1
Singkapan batuan (%)
0
< 2
2 – 10
> 10
Terrain (s)
Lahan tidak tersedia adalah areal dengan penutup lahan non-sawah dan berada di kawasan non-budidaya, seperti kawasan hutan lindung (HL) dan hutan konservasi (HK) seperti Cagar Alam Darat, Suaka Margasatwa Darat, Taman Nasional Darat, Taman Hutan Raya, Taman Buru, dan Taman Wisata Alam. Hasil penilaian kesesuaian lahan dan ketersediaan lahan tersebut kemudian dipadukan dengan basisdata
intensitas pertanaman yang merupakan hasil
perpaduan antara basisdata agroklimat Oldeman, kondisi irigasi, dan sosialbudaya petani padi sawah di suatu wilayah. Basisdata agroklimat Oldeman dan kondisi irigasi digunakan untuk menentukan ketersediaan air, sedangkan kondisi
93
sosial-budaya digunakan untuk mengetahui kebiasaan para petani padi sawah dalam melakukan pola tanam selama satu tahun. Penilaian ketersediaan air berdasarkan data agroklimat Oldeman dan kondisi irigasi secara berurutan disajikan pada Tabel 14 dan 15.
Hasil penilaian data ketersediaan air dan
kebiasaan (budaya) para petani padi sawah digunakan sebagai dasar penetapan basisdata intensitas pertanaman (IP). Dalam hal ini, intensitas pertanaman dialokasikan untuk tanaman padi sawah varietas umur genjah (105-124 hari), seperti Ciherang yang dominan dijumpai pada saat survei lapangan dilakukan. Basisdata intensitas pertanaman ini kemudian dipadukan dengan basisdata kesesuaian lahan dan kawasan budidaya, sehingga diperoleh zona agroekologi lahan sawah (ZAELS) seperti yang diinginkan. Berdasarkan proses penentuan zona agroekologi lahan sawah tersebut, kriteria setiap zona seperti yang disajikan pada Tabel 14 di-query
dari file
basisdata ZAELS, yaitu hasil overlay (U) sistem lahan (SL), penutup lahan (PL), status kawasan hutan (KWH), agroklimat (IKLIM), kondisi irigasi (IRIGASI), dan kondisi
sosial-budaya (SOSBUD).
Proses overlay tersebut dinotasikan
sebagai berikut: ZAELS = LS U (PL U KWH) U (IKLIM U IRIGASI U SOSBUD) = KES_LAHAN U KET-LAHAN U IP
LS
= sistem lahan (fluvial, volkanik, denudasional, struktural, kars)
PL
= penutup lahan (lahan sawah atau non sawah)
KWH
= status kawasan hutan (HP, HL, APL, atau APL)
IKLIM
= agroklimat Oldeman (periode bulan basah atau kering)
IRIGASI
= kondisi irigasi (kondisi irigasi baik, sedang, atau buruk)
SOSBUD
= kondisi sosial-budaya (kebiasaan pola tanama padi)
KES_LAHAN = kesesuaian lahan (S1, S2, S3, atau N) KET_LAHAN = ketersediaan lahan (tersedia atau tidak tersedia) IP
= intensitas pertanaman (IP 300, 200, atau 100) Query kriteria penetapan ZAELS menggunakan file atribut ZAE-LS. Field
atribut ZAELS yang digunakan untuk query adalah KES-LAHAN, LCOVER,
94
KWH, OLDEMAN, IRIGASI, dan IP-SOSBUD.
Query nilai masing-masing
atribut tersebut menggunakan pernyataan logika Boolean (AND, OR, NOT,
Tabel 14. Hubungan tipe agroklimat Oldeman dengan pola tanam Tipe Iklim
Pola Tanam
A1, A2, B1
Sesuai untuk padi sawah varietas umur genjah terus menerus atau dua kali padi sawah varietas genjah dan satu kali palawija (3 PS atau 2 PS + 1 PL)
B2
Dua kali padi sawah varietas umur genjah dan satu kali palawija (2 PS + 1 PL)
C1, C2, C3, C4 D1
Tanam padi sawah varietas genjah sekali dan palawija dua kali (1 PS + 2 PL) Padi sawah varietas umur genjah satu kali dan palawija (1 PS + 1 PL)
D2,D3,D4
Hanya mungkin satu kali padi sawah atau satu kali palawija (1 PS atau 1 PL)
E
Terlalu kering, hanya mungkin satu kali palawija
Keterangan: PS = padi sawah, PL= palawija Varietas padi sawah berumur genjah: 105-124 hari (Ciherang, Mekongga, Cibogo, dll)
Tabel 15. Klasifikasi daerah irigasi (Deppu, 2003) Kelas
Dangkal
Sedang
Dalam
Debit air (l/det/ ha)
Baik Sedang
Baik
Baik
Baik
> 10
Terbatas
Baik
Baik/terbatas
2.5-10
setempat Langka
setempat
Langka
Langka
Langka
< 2.5
Tabel 16. Operasi pernyataan logika Boolean A
B
NOT A
A AND B
A OR B
A XOR B
1
1
0
1
1
0
1
0
0
0
1
1
0
1
1
0
1
1
0
0
1
0
0
0
Keterangan: 1 = true, 0 = false
95
atau XOR), seperti yang dijelaskan oleh
Burrough (1986) dan Worboys dan
Duckhamm (2004). Operasi pernyataan logika Boolean ini dinyatakan dengan dua alternatif, yaitu benar (true) atau salah (false) (Tabel 16). Pada perangkat lunak ArcGIS (ArcMap versi 9.3), QUERY operasi pernyataan logika Boolean tersedia di fasilitas modul SELECT By Attribute.
4.3.4 Penilaian Daya Dukung Lahan Sawah Dalam penelitian ini, nilai daya dukung lahan sawah didefinisikan sebagai rasio antara produksi beras dan kebutuhan beras yang dikonsumsi penduduk di suatu wilayah. Penghitungan nilai daya dukung lahan sawah dirumuskan sebagai berikut: DDLS = SB/ DB DDLS
= daya dukung lahan sawah
SB (stok beras)
= luas lahan sawah (ha) x 0,65 x produktivitas padi (ton/ha) per tahun DB(kebutuhan beras) = 0.9x jumlah penduduk (orang) x konsumsi beras (kg/kapita/tahun ) Apabila nilai DDLS lebih besar atau sama dengan 2.00
berarti daya
dukung lahan sawah termasuk kategori baik (sustainable). Apabila nilai daya dukung lahan sawah terletak antara 1 dan 2 (1.00 <= DDLS < 2.00 ) berarti daya dukung lahan sawah termasuk kategori bersyarat (conditional). Apabila nilai DDLS lebih kecil dari 1.00 berarti daya dukung lahan sawah termasuk dalam kategori terlampaui (over shoot). Daya dukung lahan sawah diukur di setiap zona agroekologi yang ada di provinsi Banten, Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Jawa Barat (Jabar), Jawa Tengah (Jateng), Daerah Istimewa
(DI) Yogyakarta, dan Jawa Timur (Jawa
Timur). Penghitungan daya dukung lahan sawah diskenariokan pada 5 tingkat konsumsi beras (kg/kapita/tahun): 100, 110, 120, 130, dan 140.
Dari hasil
skenario tersebut dapat diketahui apakah pemanfaatan lahan sawah pada setiap tingkat konsumsi
beras
di setiap wilayah provinsi
telah melampaui daya
dukungnya. Selain itu, kelayakan tingkat konsumsi beras standar nasional saat ini yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu 139.15 kg/kapita/tahun, juga dapat dikaji apakah sudah sesuai atau terlalu besar.
96
Penilaian daya dukung lahan sawah pada lima skenario tingkat konsumsi beras tersebut menggunakan data jumlah penduduk di setiap provinsi dari tahun 2005, 2010, 2015, 2020, dan 2025 (Tabel 17). Data jumlah penduduk tahun 2005 diperoleh dari hasil sensus penduduk tahun 2005, sedangkan lainnya merupakan data proyeksi jumlah penduduk dari BPS. Penghitungan daya dukung lahan sawah menggunakan beberapa asumsi: (1) produksi padi (beras) di lahan sawah bersifat konstan, (2) luas lahan sawah yang didelineasi dalam zona agroekologi tidak mengalami perubahan, (3) tidak terjadi degradasi lahan dan lingkungan, (4) jumlah penduduk Indonesia yang memakan nasi adalah 90%, dan (5) faktor konversi dari massa gabah kering giling (GKG) menjadi beras adalah 65%.
Tabel 17. Jumlah penduduk pulau Jawa (2005-2025) Tahun
Banten
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
D.I. Yogyakarta
Jawa Timur
Total
2005
9,028,816
8,860,381
38,965,440
31,977,968
3,343,651
36,294,000
128,470,256
2010
10,661,100
8,981,200
42,555,300
32,451,600
3,439,000
36,269,500
130,918,700
2015
12,140,000
9,168,500
46,973,800
32,882,700
3,580,300
36,840,400
141,585,700
2020
13,717,600
9,262,600
49,512,100
33,138,900
3,694,700
37,183,000
146,508,900
2025
15,343,500
9,259,900
52,740,800
33,152,800
3,776,500
37,194,500
151,468,000
Sumber: http://www.datastatistik-indonesia.com
4.4 Hasil dan Pembahasan 4.4.1 Karakteristik Zona Agroekologi Lahan Sawah Hasil penelitian yang disajikan pada Gambar
38 dan 39 menunjukkan
bahwa lahan sawah di pulau Jawa dengan luas total 3,569,829 ha (Poniman dan Nurwadjedi, 2008) dapat dikelompokkan menjadi sepuluh tipe zona agroekologi
lahan sawah (ZAELS), yaitu
A (S1/IP300), B (S1/IP200), C (S1/IP100), D
(S2/IP300), E (S2/IP200), F (S2/IP300), G (S3/IP300), H (S3/IP200), I (S3/IP100), J (N/IP100). Sepuluh ZAELS tersebut terdiri dari 9 ZAELS yang merupakan zona agroekologi lahan sawah pada lahan yang sesuai (S1,S2, dan S3) dengan luas 3,101,354 ha (86.9%) dan 1 ZAELS, yaitu zona J (N/IP100) yang merupakan zona agroekologi lahan sawah pada lahan yang tidak sesuai, dengan luas 468.475 ha (13.1%). Faktor pembatas Zona J (N/IP100) adalah topografi (lereng > 65%)
97
dan agroklimat (tipe E). Zona J (N/IP100) di lahan tidak sesuai ini dikeluarkan dalam analisis berikutnya karena status kawasan hutannya termasuk dalam hutan lindung.
Adapun 9 ZAELS di lahan sesuai didominasi oleh zona B (S1/IP200)
dan H (S3/IP200), dengan luasan total 2,776,092 ha (78%). Luasan
ZAELS
yang berada di provinsi Banten, DKI. Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, dan Jawa Timur disajikan pada Tabel 18.
Luas (000 ha)
2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 A (S1/IP300)
B (S1/IP200)
C (S1/IP100)
D (S2/IP300)
E (S2/IP200)
F (S2/IP100)
G (S3/IP300)
H I (S3/IP100) (S3/IP200)
Zona Agroekologi
Gambar 38. Distribusi zona agroekologi lahan sawah di Jawa
Tabel 18. Distribusi zona agroekologi lahan sawah di Jawa (ha) Zona Agroekologi
Banten
DKI. Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
D.I Yogyakarta
Jawa Timur
Total
A (S1/IP300)
0
0
24,447
9,452
339
1,303
35,541
B (S1/IP200)
78,519
1,315
491,044
586,785
38,358
768,239
1,964,259
C (S1/IP100)
0
0
9,290
15,654
1,965
9,735
36,644
D (S2/IP300)
0
0
9,514
0
0
0
9,514
E (S2/IP200)
62,630
1,973
36,464
22,027
0
14,632
137,725
F (S2/IP100)
0
0
51,860
17,508
6,547
7,629
83,544
G (S3/IP300)
0
0
3,918
708
0
4,638
9,264
H (S3/IP200)
50,510
0
263,221
297,303
153
200,646
811,833
467
0
3,006
3,765
740
5,052
13,030
192,126
3,288
892,763
953,201
48,100
1,011,876
3,101,354
I (S3/IP100) Total
Sumber: Hasil analisis
98
Gambar 39. Peta zona agroekologi lahan sawah pulau Jawa
99
Pada peta ZAELS, luasan lahan sawah yang diinterpretrasi citra satelit Landsat ETM komposit band 542 memiliki tingkat akurasi yang sesuai dengan ukuran piksel 30 m atau pada skala optimum 1: 100.000. Hasil uji tingkat akurasi luasan lahan sawah citra satelit Alos PRISM dan AVNIR-2 komposit band 4,3,2, serta SPOT-4 XS1,XS2,XS3 di kabupaten Subang, Sragen, dan Jember seperti yang diperlhatkan pada Tabel 19 menunjukkan bahwa luasan lahan sawah (Sw) mengalami pengurangan dari 3% hingga 33%. Pengurangan luasan lahan sawah tersebut dikonstribusikan kepada luasan daerah luasan
daerah
permukiman
permukiman (P),
sehingga
mengalami peningkatan. Pengurangan luasan
lahan sawah ini kemungkinan disebabkan oleh lahan daerah permukiman yang terkena generalisasi pada saat delineasi lahan sawah dari citra Landsat ETM Tabel 19. Perubahan luas lahan sawah dan permukiman hasil interpretasi citra Landsat ETM, SPOT-4, ALOS AVNIR-2, dan PRISM Wilayah Kabupaten Sragen
Sumber Data
Lahan Sawah (ha)
Landsat ETM
65,920.52
11,806.85
ALOS AVNIR-2
44,138.88
21,585.46
Beda luas (%) Cianjur
- 33 39,685
-
SPOT-4
33.966
- 14
-
Landsat ETM
73,801.82
26,211.48
ALOS AVNIR-2
71,703.34
44,397.40
Beda luas (%) Subang
+ 83
Landsat ETM
Beda luas (%) Jember
Permukiman (ha)
-3
+ 69
Landsat ETM
79,704.94
11,631.86
ALOS PRISM
75,705.60
13,289.06
Beda luas (%)
-5
+ 14
Sumber: Hasil analisis
(Nurwadjedi dan Poniman, 2009). Selain kontribusi dari luasan lahan sawah, peningkatan luasan lahan daerah permukiman juga dimungkinkan adanya fragmentasi (peningkatan detil) daerah permukiman pada saat didelineasi dengan
100
citra
ALOS AVNIR-2 atau PRISM yang memiliki resolusi spasial jauh lebih
tinggi daripada citra Landsat ETM. Kesalahan terbesar seperti yang terjadi di kabupaten Sragen diprediksi disebabkan oleh kondisi topografinya yang banyak bergelombang atau berbukit. Contoh proses uji tingkat akurasi perubahan lahan sawah hasil interpretasi citra Landsat ETM komposit band 7, 4, 2 dengan citra Alos PRISM, AVNIR-2 , dan SPOT-4 dimaksud diperlihatkan pada Gambar 40 dan 41. Hasil penelitian ini bermakna bahwa tingkat akurasi peta penutup lahan sawah dari hasil interpretasi Landsat ETM relatif terhadap citra Alos PRISM, AVNIR-2 , dan SPOT-4 adalah sekitar > 75%.
Fase vegetatif Fase vegetatif Ber
SW SW SW
P
SW
Bera a) ALOS AVNIR-2 daerah kabupaten Sragen, 1: 25.000
b) ALOS PRISM daerah kabupaten Subang
SW
SW SW
c) ALOS AVNIR-2 daerah kabupaten . Jember, 1: 25.000
d) SPOT-4 daerah kabupaten Cianjur 1: 25.000
Gambar 40. Contoh hasil delineasi lahan sawah dengan citra Inderaja satelit optik SPOT-4 band X1, X2,X3, Alos PRISM, dan AVNIR-2 band 4, 3, 2 101
Berdasarkan genetiknya, lahan sawah hasil interpretasi dari citra Landsat ETM yang ditetapkan sebagai zona agroekologi dapat dikelompokkan menjadi lima bentukan asal sistem lahan.
Hasil penelitian
pada
Gambar 42
menunjukkan bahwa ZAELS sebagian besar terbentuk dari sistem lahan bentukan asal fluvial dan volkanik, dengan luas total 2,748,768 ha (77%). ZAELS lainnya terbentuk dari sistem lahan bentukan asal denudasional, struktural dan kars, dengan luas total 352,586 ha (10%).
ZAELS
dari bentukan asal fluvial
merupakan dataran aluvial dari endapan aluvium yang banyak mengandung bahan volkan karena posisinya pada umumnya berada di lereng bawah gunung api.
Delineasi dari Landsat ETM Delineasi dari Avnir-2
Gambar 41. Peningkatan akurasi delineasi lahan sawah dari Landsat ETM dengan menggunakan citra Alos Avnir-2 (Daerah kabupaten Subang) Sistem lahan dari bentukan asal fluvial umumnya merupakan dataran aluvial atau dataran banjir hasil proses agradasi endapan aluvium-volkanik yang terangkut oleh aliran sungai. Sistem lahan bentukan asal volkanik terbentuk dari proses volkanik, yaitu muntahan bahan volkan
yang terdiri dari
bahan piroklastik
(bahan yang disemburkan dan diangkut oleh angin) dan lahar (bahan
102
yang
diangkut melalui aliran). Sistem lahan
bentukan asal fluvial dan volkanik
membentuk zona A (S1/IP300) 35,541 ha (1%)
dan zona B (S1/IP200):
1,964,259 ha (55%). Zona B (S1/IP200) yang terbentuk dari sistem lahan bentukan fluvial (Bf ) adalah 1,162,499 ha (33%), sedangkan yang terbentuk dari sistem bentukan volkanik (Bv) adalah 801,760 ha (22%).
Zona H (S3/IP200)
yang terbentuk dari sistem lahan bentukan asal volkanik (Hv) adalah 265,268 ha (7%), dari denudasional (Hd) 45,022 ha (1%), dan dari struktural (Hs) 322,446 ha (9%) (Tabel 20). Sistem lahan bentukan fluvial yang membentuk zona B (S1/IP200) meliputi
BKN (Bakunan): dataran banjir antar bukit, KHY
(Kahayan): dataran fluvial atau kumpulan estuari, MKS (Makasar): dataran fluvial atau kumpulan estuari di daerah kering, NGR (Nangger): dataran banjir minor di daerah kering LBS (Lubuksikaping): kipas aluvial non-volkanik berlereng landai, APA (Ampala): dataran fluvial luas dan berteras, dan SRI (Sumari): teras sungai datar dan luas.
Luas (juta ha)
1.4 1.2
Fluvial
1.0
Volkanik
0.8
Denudasional
0.6
Struktural
0.4
Kars
0.2
(S 1/ IP 10 0) D (S 2/ IP 30 0) E (S 2/ IP 20 0) F( S2 /IP 10 0) G (S 3/ IP 30 0) H (S 3/ IP 20 0) I( S3 /IP 10 0)
20 0) C
(S 1/ IP B
A
(S 1/ IP
30 0)
0.0
Zona Agroekologi
Gambar 42. Distribusi zona agroekologi lahan sawah berdasarkan bentukan asal sistem lahan Sistem lahan bentukan asal volkanik terdiri dari ABG (Asembagus): dataran volkanik beriklim kering, KNJ (Kuranji): kipas aluvial berlereng landai, SLK (Solok): dataran aluvial volkanik, SSN (Susukan): dataran volkanik datar hingga berombak, TBO (Tombalo): kipas aluvial volkanik berlereng landai di daerah kering, dan TLU (Talamau): kelerengan lahar terdiseksi dan agak curam. Berdasarkan peta tanah skala 1: 250,000 (LPT, 1968), tanah di zona A (S1/IP300)
103
dan zona
B (S1/IP200)
sebagian besar bahan induknya
berbahan volkan
silika (SiO2) dari batuan volkan
intermedier. Pengukuran kandungan
di
gunung-gunung api di Jawa yang dilakukan oleh Mohr (1944) berkisar antara 49.52 – 58.91%. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rayes (2000) di daerah Tabel 20. Hubungan antara zona agroekologi lahan sawah dan sistem lahan ZAE
Sistem Lahan (Jenis Tanah Dominan)
Lahan Sawah
Fluvial (Epiaquepts)
A (S1/IP300)
BKN, KHY, MKS
B (S1/IP200)
Volkanik (Epiaquerts)
Denudasional (Epiaquults)
Struktural (Dystrustepts)
Kars Calciustepts)
ABG, SSN, TLU
-
-
-
BKN, KHY, MKS,NGR, CTM,LBS
ABG,KNJ,SL K, SSN, TBO, TLU
-
-
-
C (S1/IP100)
APA,BKN, CTM,KHY, MKS,NGR, SRI
ABG, SSN, KNJ
-
-
-
D (S2/IP300)
-
BTK,TLU
CKU
-
-
E (S2/IP200)
-
GGK,GJO, JKT
BG1,CGN,CJ B, CKU, OMB, SMI,WTE
CPR
F (S2/IP100)
-
GJO, JKT
AWY,CGN,C KU,CGN,EM K, OMB, PYN,WTE
CPR
G (S3/IP300)
-
BTK,SMD
-
H (S3/IP200)
-
BOM,BRI,BT G,BTK,CBN, CKD,CSG,CT U,GOG,GSM, KDT,LKU,LT G,MLG,MNU, PAN, SMD,TGM,TL U, TYR,UBD
BRN,KMP,LA R, LDH,SAR,SF O, SFO,SKL,SN A, TWH,
DKN,DML,ST R,SBJ
NPA,SKN
I (S3/IP100)
-
BOM,BRI,BT G,BTK,CBN, CTU,GOG,GS M,LKULTG, MLG,PAN,S MD,TGM,TL U
LAR,LDH,SA R,SFO,SNA,T WH
DKN,DML,SB J,STR
NPA,SKN
Keterangan: diskripsi sistem lahan secara lengkap disajikan pada Lampiran 1
104
KPR
-
-
-
kabupaten Sleman- Yogyakarta (lereng gunung Merapi) yang termasuk dalam zona B (S1/IP200) dari sistem lahan bentukan asal volkanik (sistem lahan SSN dan KNJ) menunjukkan bahwa mineral yang dominan dari fraksi pasir tanah sawah
pada
umumnya adalah plagioklas intermedier (35%), augit (12%),
amfibol (3%), magnetit (8%), hiperstin, dan kuarsa.
Mineral utama dalam
fragmen batuan adalah plagioklas. Prasetyo (2007) telah membuktikan kandungan mineral liat
tanah sawah Vertisol
di dataran banjir Karawang
(Chromic Endoaquerts, bahan induk endapan aluvium bersifat andesitik) dan Vertisol di dataran volkanik Gedangan (Madiun) (Chromic Hapluderts, bahan induk alluvium/koluvium
bahan volkan andesitik)
yang termasuk
zona B
(S1/IP200). Pada tanah sawah Vertisol di dataran banjir Karawang yang termasuk zona B (S1/IP200) dari sistem lahan bentukan asal fluvial (sistem lahan BKN), mineral liatnya banyak mengandung smektit. Adapun zona B (S1/IP200) dari sistem lahan bentukan asal volkanik (Sistem lahan ABG), kandungan mineral liat smektitnya sangat tinggi. Kapasitas tukar kation tanah sawah baik di sistem lahan bentukan fluvial maupun di volkanik tergolong sangat tinggi (> 40 me/100g). Kandungan unsur hara fosfat (P2O5) total dan kalium (K20) total pada lapisan olah tanah Vertisol tersebut secara berurutan tergolong sedang (21 – 40 mg/100g) hingga sangat tinggi (> 60 mg/100g). Berdasarkan peta status hara P dan K total (Puslitanak, 1998) dan hasil analisis laboratorium sampel-sampel tanah di zona agroekologi lahan sawah terpilih, kandungan unsur hara P dan K total di zona agroekologi lahan sawah bentukan asal fluvial dan volkanik sebagian besar tergolong tinggi (Gambar 43). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa zona agroekologi lahan sawah dari sistem lahan bentukan asal fluvial dan volkanik memiliki tanah yang subur. Temuan dalam penelitian ini memperkuat pendapat para ahli (Adiningsih et al., 2004) yang mengatakan bahwa tanah sawah di pulau Jawa tergolong tanah yang subur karena bahan induknya berbahan volkan. Zona agroekologi lahan sawah lainnya yang cukup penting dalam menjaga keberlanjutan lahan sawah adalah zona H (S3/IP200) karena cakupannya cukup luas, yaitu 814,136 ha (23%). Zona ini terbentuk dari sistem lahan bentukan asal volkanik Hv (S3/IP200) 265,268 ha (7%) , denudasional Hd (S3/IP200) 226,422
105
ha (6%), dan struktural Hs (S3/IP200) 322,446 ha (9%).
Berbeda dengan
bentukan asal volkanik, zona agroekologi lahan sawah dari sistem lahan bentukan asal denudasional memiliki tanah yang kurang subur karena bahan induknya umumnya berasal dari batuan sedimen non-volkanik. Sistem lahan dari bentukan Tingkat Kandungan Hara
4 3.5 3
P-tersedia
2.5
P-total
2
K-tersedia
1.5
K-total
1 0.5 0 Fluvial
Volkanik
Denudasional
Struktural
Kars
Bentukan Asal
Keterangan:
P-tersedia (ppm) – P2O5 Ketarangan: 0 – 1 : sangat rendah (< 10) 1 – 2 : rendah ( 10 – 15) 2 – 3 : sedang (16 – 25) 3 – 4 : tinggi (26 – 35)
P-total (mg/100g) – P2O5 Ketarangan: 0 – 1 : sangat rendah (< 10) 1 – 2 : rendah ( 10 –20) 2 – 3 : sedang (21 – 40) 3 – 4 : tinggi (41 – 60)
K-tersedia (mg/100g) – K2O Ketarangan: 0 – 1 : sangat rendah (< 5) 1 – 2 : rendah ( 5 - 10) 2 – 3 : sedang (11 - 15) 3 – 4 : tinggi (16 – 25)
K-total (mg/100g) – K2O Ketarangan: 0 – 1 : sangat rendah (< 10) 1 – 2 : rendah ( 10 – 20) 2 – 3 : sedang (21 - 40) 3 – 4 : tinggi (41 - 60)
Sumber: CSR/FAO Staff (1983)
Gambar 43. Tingkat kandungan unsur hara P dan K tanah sawah berdasarkan bentukan asal sistem lahan (n = 624, α = 4%) asal denudasional tersebut merupakan bentuklahan dari hasil degradasi batuan karena proses denudasi. Proses denudasi ini merupakan kumpulan proses yang didominasi oleh proses pelapukan batuan yang disertai proses transport bahan terlapuk melalui erosi dan gerakan tanah (mass wasting) (van Zuidam, 1983). Sistem lahan bentukan asal denudasional yang membentuk zona H (S3/IP200) meliputi BRN (Bogoran): dataran berbatuan napal bergelombang di daerah kering, JBG (Jemblong): bukit membulat (hillock) pada batu-liat dan breksi, KMP (Kumpai): dataran hillock dengan lembah luas pada napal dan batuliat, LAR (Larangan): igir hillock linier pada batuan sedimen campuran, LDH (Lidah): dataran hillok pada batukapur, napal, dan batupasir, SAR (Sungaiaur): dataran hillock pada sedimen tuf, SFO (Sungaifauro): dataran bergelombang dengan
106
hillock pada napal, SKL (Sikali): dataran hillok pada batuan sedimen campuran di daerah kering, SNA (Sumengko): dataran sedimen campuran berombak di daerah kering, TWH (Teweh): dataran hillok pada batuan sedimen campuran. Berbeda dengan proses yang membentuk sistem lahan dari bentukan denudasional, sistem lahan dari bentukan asal struktural yang termasuk zona H (S3/IP200)
merupakan dataran plato yang pembentukannya
lebih dominan
disebabkan oleh proses endogen daripada proses eksogen (degradasi dan agradasi). Dalam pembentukannya, tenaga dari proses endogen mengangkat kerak bumi (earth’crust)
sehingga terbentuk dataran luas, yang dikenal sebagai plato
(Thornbury, 1969). Menurut van Zuidam (1983), bentuklahan dari bentukan asal struktural
terkontrol oleh struktur geologi. Ciri khas dari sistem lahan dari
bentukan struktural ini merupakan dataran luas dengan pola drainase rektangular, paralel atau dendritik.
Sistem lahan dari bentukan asal struktural yang
membentuk zona H (S3/IP200) meliputi CPR (Cipancur): plato miring pada batuliat bertufa, DKN (Dukun): plato miring terdiseksi sedang, DML (Donomulyo): plato miring bergelombang berbatuan sedimen, STR (Salatri): plato hillok miring pada sedimen tuf, dan SBJ (Sumbermanjing): plato miring terdiseksi sedang pada batukapur di daerah kering. Mencermati jenis batuan baik dari sistem lahan bentukan asal denudasional maupun dari bentukan asal struktural yang tersusun dari batuan non-volkanik, kondisi kesuburan tanahnya diperkirakan tidak jauh berbeda. Jenis tanah sawah yang dominan dari sistem lahan dari bentukan asal denudasional dan struktural ini adalah Podsolik (Epiaquults) dan Latosol (Epiaqualfs) dengan tekstur halus. Berdasarkan peta status hara P dan K dari Puslitanak, sistem lahan RePPProT (1989), dan hasil analisis laboratorium, tanah sawah pada kedalaman 0 – 20 cm yang termasuk zona H (S3/IP200) baik dari sistem lahan bentukan asal denudasional maupun struktural memiliki kandungan P-tersedia, P-total, Ktersedia, dan K-total tergolong rendah hingga sedang, serta KTK rendah (5 – 16 me/100g). Pada zona agroekologi lahan sawah dari sistem lahan bentukan asal kars yang terbentuk karena proses pelarutan batukapur, jenis tanah dominannya, berdasarkan peta tanah LPT (1968), adalah Mediteran (Epiaqualfs). Kandungan unsur hara tanahnya seperti
unsur hara P-total, K-total, dan K- tersedia pada
107
kedalaman 0 – 20 cm tergolong sedang; sedangkan K-tersedia tergolong rendah, pH 6.0 – 6.5, dan KTK sedang (17 – 24 me/100g). . Berdasarkan kesesuaian lahannya seperti yang disajikan pada Tabel 21, zona agroekologi lahan sawah yang memiliki kelas S1 (sangat sesuai) untuk tanaman padi sawah adalah zona A (S1/IP300), B (S1/IP200), dan C (S1/IP100). Kecuali zona C (S1/IP100), kondisi irigasi di zona A (S1/IP300) dan
B
(S2/IP200) tergolong baik-sedang (debit air 2.5 - > 10 liter/detik/ha). Pada zona C (S1/IP100) , lahan sawahnya merupakan tadah hujan dengan agroklimat tipe D (bulan basah 3- 4 bulan).
Kelas kesesuaian lahan potensial di ketiga zona ini
dapat dikatakan hampir tidak memiliki faktor pembatas edafik (faktor dari aspek sifat-sifat tanah yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman padi sawah) yang permanen. Ketiga zona agroekologi lahan sawah ini memiliki topografi datar hingga berombak dengan jenis tanah dominan: Alluvial (Epiaquepts) dan Grumusol (Epiaquerts). Permasalahan dari faktor edafik yang perlu diperhatikan adalah kandungan bahan organik tanah. Hasil analisis kandungan bahan organik tanah dari sampel tanah sawah pada kedalaman 0 - 20 cm menunjukkan bahwa kandungan C-organik dan N-total tanah di semua zona agroekologi lahan sawah tergolong sangat rendah (< 1%) hingga rendah (1-2%) (Gambar 44). Dalam hal ini, kandungan C-organik tanah penting diperhatikan karena kandungan N-total tanah tergantung pada kandungan C-organik tanah sebagai sumber energi proses nitrifikasi yang memproduksi unsur hara N (Alexander, 1976; Mengel dan Kirkby, 1982; Prasetyo et al., 2004). Rendahnya kandungan C- organik tanah adalah sebagai dampak dari penggunaan lahan sawah yang sudah sangat lama dan diusahakan secara intensif dengan penerapan pupuk kimia. Rendahnya kandungan C-organik tanah di semua zona agroekologi dari hasil penelitian ini sinergis dengan terjadinya gejala pelandaian produktivitas lahan sawah di beberapa wilayah sentra produksi beras di Jawa.
Menurut Pramono (2004), menurunnya
kandungan bahan organik tanah menunjukkan menurunnya kualitas sumberdaya tanah sawah. Upaya untuk mengembalikan kesuburan tanah karena kandungan Corganik yang rendah diantaranya dapat ditempuh dengan pengggunaan bahan organik tanah pada usahatani padi sawah. Penambahan bahan organik tanah pada tanah sawah sangat penting karena fungsinya dapat meningkatkan kapasitas tukar
108
Tabel 21. Karakteristik zona agroekologi lahan sawah di Jawa ZAE
Topografi
Jenis Tanah Dominan
Kelas Kesesuaian Lahan
Irigasi
Status Kawasan
A (S1/IP300)
Datar - berombak
Alluvial Grumusol
S1
Baik
Budidaya
B (S1/IP200)
Datar - berombak
Alluvial Grumusol
S1
Sedang-Baik
Budidaya
C (S1/IP100)
Datar - berombak
Alluvial Grumusol
S1
Buruk/tadah hujan
Budidaya
D (S2/IP300)
Berombak Bergelombang
Lotosol Podsolik
S2s
Baik
Budidaya
E (S2/IP200)
Berombak Bergelombang
Latosol Podsolik
S2s
Sedang-baik
Budidaya
Berombak Bergelombang
Latosol Podsolik
S2ws
Buruk/tadah hujan
Budidaya
Bergelombang Berbukit
Latosol
S3s
Baik
Budidaya
Bergelombang Berbukit
Latosol Podsolik
S3s
Tadah hujan
Budidaya
Bergelombang Berbukit
Podsolik
S3ws
Tadah hujan
Budidaya
F (S2/IP100)
G (S3/IP300)
H (S3/IP200) I (S3/IP100)
s = kondisi terrain (medan), w = ketersediaan air; Irigasi baik dengan debit air: > 10 liter/detik/ha, irigasi sedang dengan debit air: 2,5 – 10 liter/detik/ha, irigasi buruk dengan debit air: < 2,5 liter/detik/ha.
kation tanah, meningkatkan daya sangga tanah dan meningkatkan ketersediaan beberapa unsur hara serta meningkatkan efisiensi penyerapan P, dan fungsi biologi sebagai sumber energi utama bagi aktivitas mikroorganisme tanah. Tanpa bahan organik, kesuburan tanah akan menurun
meskipun
pupuk
anorganik
diberikan dengan dosis tinggi (Karama et al., 1990). Untuk mengkonservasi dan merehabilitasi tanah sawah yang mengalami gejala sakit, pemberian bahan organik tanah dapat menggunakan dosis 1 – 2 ton/ha. Pemberian bahan organik dengan dosis tersebut
dapat meningkatkan produktivitas lahan sawah irigasi
teknis sekitar 647 kg/ha – 958 kg/ha GKG (Pramono, 2004). Khusus untuk zona B (S1/IP200) dengan jenis tanah Grumusol, selain penanganan masalah bahan organik tanah, pengelolaan airnya perlu diperhatikan untuk menghindarkan tanah dari kondisi kering karena jenis tanah Grumusol ini memiliki sifat yang khas.
109
Ketika basah, tanah menjadi sangat lekat dan plastis serta kedap air, tetapi ketika kering, tanah menjadi sangat keras dan masif atau membentuk pola prisma yang terpisahkan oleh rekahan (van Wambeke, 1992 dalam Prasetyo, 2007).
Persen (%)
1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8
C-organik N-total
0.6 0.4 0.2 0
Lahan sawah denganVolkanik kesesuaian lahan kelasStruktural S2s (cukup sesuai) Fluvial Denudasional Kars Bentukan Asal
Gambar 44. Distribusi kandungan C-organik dan N-total tanah sawah berdasarkan bentukan asal sistem lahan (n = 624, α = 4%)
Lahan sawah dengan kesesuaian lahan kelas S2s diklasifikasikan dalam zona D (S2/IP300), E (S2/IP200), dan F (S2/IP100). Faktor pembatas di ketiga zona dengan jenis tanah dominan Latosol (Epiaqualfs) dan Podsolik (Epiaquults) yang bertekstur halus (lempung liat bedebu, liat berdebut) ini disebabkan oleh kondisi terrain-nya (s), yaitu lereng 8 - 15%
(landai) dengan topografi
bergelombang dan lokal relief 0 - 50 m. Selain faktor pembatas tersebut, khusus untuk zona F (S2/IP100), faktor pembatasnya juga disebabkan oleh ketersediaan air (S2ws).
Faktor pembatas ketersediaan air ini ditunjukkan oleh kondisi
agroklimat tipe D1, yang dicirikan oleh
lama bulan
basah 3 – 4 bulan.
Terbatasnya bulan basah ini menjadi penyebab intensitas pertanaman padi sawah hanya dapat dilakukan satu kali dalam setahun (IP100).
Adapun kondisi
ketersediaan air di zona D (S2/IP300) dan E (S2/IP200) tergolong baik hingga sedang karena agroklimatnya termasuk tipe B dan C yang memiliki bulan basah 6 – 9 bulan serta kondisi irigasinya tergolong baik (debit air > 10 liter/detik/ha) hingga sedang (2,5 – 10 liter/detik/ha).
Ketersediaan air yang cukup atau
berlebih di kedua zona terakhir ini membuat para petani dapat melakukan penanaman padi sawah dua kali (IP200) atau tiga kali (IP300) dalam setahun.
110
Zona G (S3/IP300), zona H (S3/IP200), dan zona I (S3/IP100) dengan jenis tanah dominan Latosol (Epiaqualfs) dan Podsolik (Epiaquults) yang bertekstur halus hingga agak halus (liat berdebu, lempung liat berdebu, liat berpasir) serta topografi berbukit memiliki kelas kesesuaian lahan S3 (sesuai marginal) dengan faktor pembatas kondisi terrain (S3s) serta ketersediaan air (S3ws).
Faktor
pembatas kondisi terrain disebabkan oleh lereng (> 15%) dan banyaknya singkapan batuan (5 – 10 %). Sebagai upaya untuk konservasi tanah dan air, lahan sawah di ketiga zona ini sudah berterasering. Kecuali di zona I (S3/IP100), ketersediaan air di zona G (S3/IP300) dan H (S3/IP200), berdasarkan hasil survei lapangan, termasuk cukup hingga berlebih, terutama zona G (S3/IP300). Berdasarkan peta irigasi dari Departemen Pekerjaan Umum (2003), debit air irigasi di zona G (S3/IP300) dan H (S3/IP200) tergolong baik (> 10 liter/det/ha) hingga sedang (2,5 – 10 liter/detik/ha). Ketersediaan air di zona I (S3/IP100) tergolong langka (debit air irigasi < 2,5 det/ha), sehingga petani dalam melakukan penanaman padi sawah banyak yang mengandalkan air hujan dengan periode pendek (3 – 4 bulan). Masalah kesuburan tanah di zona agroekologi lahan sawah dengan kesesuaian lahan kelas S3 ini hampir sama dengan zona agroekologi lahan sawah lainnya dengan kesesuaian lahan kelas S1 dan S2, yang dihadapkan kepada kandungan C-organik tanah yang rendah. Yang perlu menjadi perhatian adalah masalah kesuburan tanah di zona agroekologi lahan sawah dari bentukan asal denudasional. Pada zona G (S3/IP300), H (S3/IP200), dan I (S3/IP100), zona agroekologi lahan sawah dari bentukan asal denudasional dengan jenis tanah dominan Podsolik (Epiaquults) memiliki kandungan C-organik tanah sangat rendah (< 1,0%). Kondisi ini, selain dari dampak penerapan revolusi hijau yang telah berlangsung lama dan diusahakan secara intensif, rendahnya kandungan Corganik tanah diprediksi juga disebabkan oleh tingkat pelapukan di sistem lahan bentukan asal
denudasional
berlangsung lebih lama dan intensif daripada
bentukan asal lainnya. Pada tanah Podsolik, lebih intensifnya tingkat pelapukan berdampak pada reaksi tanahnya (pH) lebih masam (4,5 – 5,0), KTK rendah (5 – 16 me/100g), P-tersedia rendah (< 10 ppm), K-tersedia rendah (5 – 10 mg/100g), P-total rendah (10 – 20 mg/100g), K-total rendah (10 – 20 mg/100g). Rendahnya kandungan unsur hara P-tersedia merupakan dampak dari pH tanah yang masam.
111
Pada kondisi tanah yang masam, unsur hara P difiksasi oleh ion Fe2+ dan Al3+ menjadi ikatan Fe-P dan Al-P yang sukar larut (Tisdale dan Nelson, 1975). Rendahnya kandungan unsur hara K-total karena bahan induk tanah dari bentukan asal denudasional ini berasal dari batuan sedimen non-volkanik yang miskin mineral primer yang mudah lapuk seperti ferromagnesium, plagioklas, dan lainlain sebagaimana yang ada dalam tanah dengan bahan induk berbahan volkan. Walaupun kesuburan tanahnya kurang baik daripada zona agroekologi lahan sawah dari sistem lahan bentukan asal fluvial dan volkanik, zona H (S3/IP200) yang terbentuk dari sistem lahan bentukan asal denudasional (Hd (S3/IP200)) dinilai masih sangat penting sebagai penghasil padi, mengingat luasannya cukup besar, yaitu
346,375 ha (11%). Masalah kesuburan tanah yang ada dapat
diperbaiki dengan melakukan pengelolaan tanah yang tepat, seperti pemupukan berimbang yang mengkombinasikan pupuk organik dan anorganik sesuai dengan kebutuhan tanaman dan status hara tanah. Ditinjau dari luasannya yang sangat luas, zona B (S1/IP200) dan H (S3/IP200) berpotensi memberikan peran penting dalam menjaga keberlanjutan lahan sawah di Jawa. Zona B (S1/IP200) dengan luasan 1,964,259 ha (55%) merupakan zona agroekologi lahan sawah yang produktif karena tanahnya yang subur didukung dengan infrastruktur irigasi cukup baik ( debit air irigasi 2.5 – 10 liter/detik/ha hingga > 10 liter/det/ha). Walaupun kesesuaian lahannya tergolong marginal, zona H (S3/IP200) masih cukup berperan dalam mendukung produksi padi karena cakupannya cukup luas, yaitu 811,833 ha (23%).
Pada kedua zona
ini, penanaman padi dengan IP200 mencerminkan budaya lokal masyarakat petani di setiap wilayah. Penerapan IP200 ini bukan berarti ketersediaan air yang disuplai dari curah hujan atau saluran irigasi tidak mencukupi untuk penerapan IP300 (penanaman padi sawah tiga kali dalam setahun). Penanaman padi dengan IP200 secara luas diterapkan di provinsi Jawa Timur (968,886 ha atau 35%), kemudian menyusul provinsi Jawa Tengah (884.088 ha atau 31%), Jawa Barat (756,484 ha atau 27%), Banten (179,540 ha atau 6%), dan D.I Yogyakarta (38.511 ha atau 1%) (Gambar 45). Urutan luasan penerapan IP200 di zona B (S1/IP200) dan H (S3/IP200) ini mencerminkan tingkat kontribusi setiap wilayah dalam
112
memproduksi padi sawah. Luas zona agroekologi lahan sawah di setiap
Luas (Ha)
kabupaten/Kota di Jawa yang berperan sebagai lumbung padi (Tabel 22) memang
900,000 800,000 700,000 600,000 500,000 400,000 300,000 200,000 100,000 0
Zona B (S1/IP200) Zona H (S3/IP200)
Banten
Jabar
Jateng
DI. Yogyakarta
Jatim
Provinsi
Gambar 45. Disribusi zona agroekologi lahan sawah yang dominan sebagai penghasil padi sawah di Jawa didukung
dengan saluran irigasi teknis yang memadai (Tabel 23).
Lebih
rendahnya cakupan penanaman padi sawah dengan IP200 di wilayah Banten dan Jawa Barat apabila dibandingkan dengan petani di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah, bukan berarti ketersediaan air lahan sawah mereka tidak mencukupi untuk penanaman padi dengan IP300. Masyarakat petani di provinsi Banten dan Jawa Barat umumnya memiliki kebiasaan untuk menanam padi dengan IP200. Mereka lebih suka menaman padi dengan IP200 dengan alasan ingin beristirahat setelah terus-menerus bekerja selama kurang lebih enam bulan. Sebaliknya, masyarakat petani di Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, dan Jawa Timur yang menanam padi sawah dengan IP200 adalah untuk menyesuaikan dengan kondisi agroklimatnya yang bertipe C dengan bulan basah selama 5 – 6 bulan. Saat ini, banyak diantara para petani di daerah tersebut seperti Madiun, Jember, Nganjuk, Jombang, Bantul, Pemalang, dan Sragen penanaman padi sawah
memaksakan
dengan IP300, yaitu dengan memompa air tanah.
Gambar 46 memperlihatkan contoh pemompaan air tanah untuk penanaman padi sawah dengan IP300 walaupun ketersediaan airnya tidak cukup. Apabila ditinjau dari aspek legalitasnya, zona agroekologi lahan sawah secara teknis telah disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 26/2007 tentang
113
Tabel 22. Daerah yang berperan sebagai lumbung padi di Jawa (ha) Zona Agroekologi Lahan Sawah Kabupaten/Kota Kota. Cilegon
B (S/IP200) 468
H (S3/IP200)
Zona Agroekologi Lahan Sawah Kabupaten/Kota
Total
301
769
25,821
7,631
Total 33,452
1,288
9,445
8,521
17,966
Lebak
7,795
14,467
22,262
Purworejo
23,359
1,675
25,034
Pandegelang
24,859
24,887
49,746
Rembang
13,649
42,209
55,858
Serang
23,675
10,855
34,530
Semarang
2,016
18,052
20,068
Tangerang
20,432
50,510
70,942
Sragen
23,732
8,603
32,335
Bandung
27,049
29,656
56,705
Sukoharjo
21,992
1,461
23,453
Bekasi
54,062
9,922
63,984
Tegal
34,289
2,730
37,019
Bogor
1,170
25,528
26,698
Temanggung
15,990
15,990
Cianjur
7,682
17,416
25,098
Wonosobo
Ciamis
24,090
43,300
67,390
Bantul
Cirebon
55,326
2,494
57,820
Kulonprogo
6,389
21,682
28,071
Sleman
Indramanyu
116,623
Karawang
106,967
Kota Bandung
1,459
Kota. Banjar
1,768
Kota Sukabumi
Purbalingga
H (S3/IP200)
KotaTangerang
Garut
1,288
Pemalang
B (S1/IP200)
12,095
5,045
5,045
36
12,131
4,681 21,474
4,681 117
21,591
28,112
57,084
116,623
Bangkalan
1,578
5,957
112,924
Banyuwangi
1,459
Blitar
48,116
3,058
51,174
1,636
3,404
Bojonegoro
33,931
12,934
46,865
Bondowoso
35,055
28,972
1,578
2,690
2,690
14,619
20,436
4,299
5,889
10,188
Gresik
6,214
412
6,626
410
12,704
13,114
Jember
57,283
14,082
71,365
Majalengka
32,298
5,767
38,065
Jombang
45,831
3,164
48,995
Purwakarta
5,281
4,942
10,223
Kediri
65,294
5,286
70,580
44,463
6,604
51,067
Kota Batu
2,795
2,795
Sukabumi
742
26,547
27,289
Kota. Blitar
1,942
Sumedang
22
14,550
14,572
Kota Kediri
2,800
21
2,821
Tasikmalaya
246
27,721
27,967
Kota Madiun
1,198
Banjarnegara
1,458
1,549
3,007
Kota Malang
1,420
12,247
9,203
21,450
Kota Mojokerto
1,056
1,056 1,910
Kota Tasikmalaya Kuningan
Subang
Banyumas Batang
1,942 1,198 87
1,507
3,959
7,432
11,391
Kota Pasuruan
1,910
Blora
18,818
57,709
76,527
Kota Probolinggo
3,696
3,696
Boyolali
12,671
15,670
28,341
Kota Surabaya
1,631
1,631
Brebes
35,659
7,924
43,583
Kotif Jember
2,236
592
2,828
Cilacap
40,011
1,093
41,104
Lamongan
48,605
5,971
54,576
Demak
62,695
62,695
Lumajang
19,990
23,133
43,123
Grobogan
60,933
14,387
75,320
Madiun
27,608
4,530
32,138
9,293
8,788
18,081
Magetan
18,528
4,754
23,282
Jepara Karanganyar
9,521
9,985
19,506
Malang
16,493
6,153
22,646
Kebumen
28,456
22
28,478
Mojokerto
32,857
1,055
33,912
Kendal
17,792
3,076
20,868
Nganjuk
35,091
2,190
37,281
Klaten
37,147
6
37,153
Ngawi
33,158
11,585
44,743
Kota Pekalongan
981
6
987
Pasuruan
30,208
20,560
50,768
Kota Purwokerto
596
713
1,309
Ponorogo
25,138
1,696
26,834
1,283
1,283
Probolinggo
32,449
9,611
42,060
1,107
1,578
Sidoarjo
32,606
Kota Salatiga Kota Semarang
471
Kudus
12,058
9,347
21,405
Situbondo
35,169
Magelang
13,720
12,361
26,081
Trenggalek
7,016
Pati Pekalongan
39,953 39,953
21,528 21,528
61,481
Tuban Tulungagung
61,481
114
24,167 29,413
32,606 285
35,454
16,658 1,080
40,825
7,016 30,493
Tabel 23. Luasan lahan sawah berdasarkan tipe irigasi (ha) Provinsi Banten
Teknis
½ Teknis
Sederhana
Lainnya
Total
51,908
18,217
46,030
78,349
194,504
510
782
582
370
2,244
Jawa Barat
376,718
119,407
250,525
171,075
917,725
Jawa Tengah
382,569
120,113
188,227
276,899
967,808
18,493
22,630
6,742
9,323
57,188
641,001
110,435
109,866
234,775
1,096,077
1,471,199
391,584
601,972
770,791
3,235,546
DKI. Jakarta
DI. Yogyakarta Jawa Timur Total Sumber: BPS (2005).
Gambar 46. Contoh pemompaan air tanah untuk mengejar target penanaman padi sawah dengan IP300 di desa Sidoharjo kecamatan Taraman, kabupaten Sragen
Penataan Ruang (UUPR), Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (PP No. 26/2008), dan Undang-Undang Nomor 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (UUPLPPB). Delineasi zona agroekologi lahan sawah bersifat sinergis dengan upaya untuk mewujudkan kawasan budidaya sebagaimana yang diatur dalam UUPR Pasal 1 butir 10: “Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan”; UUPR Pasal
115
5 butir 2: “Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budidaya”; Penetapan zona agroekologi lahan sawah yang didesain sebagai kawasan budidaya peruntukan pertanian disesuaikan dengan PP No. 26/2008
Pasal 66 butir 1a: “Kawasan peruntukan pertanian ditetapkan
dengan kriteria memiliki kesesuaian lahan untuk dikembangkan sebagai kawasan pertanian. Sebagai kawasan budidaya peruntukan pertanian yang sesuai dengan UUPR, zona agroekologi lahan sawah dari hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar perencanaan perlindungan lahan pertanian berkelanjutan seperti yang diatur dalam UUPLPPB Pasal 2. Berdasarkan sawah
yang
apa yang telah dibahas tersebut, zona agroekologi lahan
dihasilkan
dalam
penelitian
ini
dapat
mencerminkan
pengklasifikasian lahan pertanian yang telah mempertimbangkan aspek potensi biofisik, legalitas, dan budaya lokal. Ketiga aspek ini merupakan prinsip-prinsip yang melandasi zona agroekologi lahan sawah sebagai basis kajian keberlanjutan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang dalam rangka menjaga ketahanan pangan di pulau Jawa, terutama dari aspek ketersediaan pangan (beras).
4.4.2 Daya Dukung Lahan Sawah Keterkaitan daya dukung lahan sawah dengan zona agroekologi adalah untuk mengetahui kemampuan zona agroekologi lahan sawah di suatu wilayah dalam mendukung kehidupan manusia, terutama dari aspek penyediaan pangan (beras). Hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 24 menunjukkan bahwa kemampuan zona agroekologi lahan sawah dalam memproduksi padi/beras dipengaruhi oleh kualitas lahan zona agroekologi lahan sawah yang dicerminkan oleh kelas kesesuaian lahannya. Berdasarkan sampel data produksi padi sawah di kecamatan-kecamatan terpilih (n = 139) yang dipublikasikan BPS (2003-2008), produktivitas padi rataan di zona agroekologi lahan sawah dengan kelas kesesuaian lahan S1 (sangat sesuai), S2 (cukup sesuai), dan S3 (sesuai marginal) secara berurutan adalah 6.02 ton/ha, 5.64 ton/ha, dan 5.23 ton/ha. Ketiga produktivitas padi tersebut berbeda sangat nyata pada uji-t dengan tingkat kesalahan (α) 5%. Potensi produksi padi setiap tahun di semua zona agroekologi lahan sawah dengan luas 3,101,354 ha dan luas panen 6,123,810 ha adalah
116
Tabel 24. Produksi padi sawah potensial di zona agroekologi lahan sawah di Jawa Zona Agroekologi Lahan Sawah A (S1/IP300)
Luas (ha) 35,541
IP
Produktivitas (ton/ha)
Luas Panen (ha)
6.02 a
Produksi Padi (ton/th)1
3
106,624
641,874
2
3,928,519
23,649,682
1
36,644
220,594
3
28,541
160,969
275,451
1,553,542
(n:73,sd:0.61) B (S1/IP200)
1,964,259
6,02 a (n:73,sd:0.61)
C (S1/IP100)
36,644
6,02a (n:73,sd:0.61)
D (S2/IP300)
9,514
5,64b (n:43,sd:0) 5,64b
E (S2/IP200)
137,725
(n:43,sd:0)
2
F (S2/IP100)
83,544
5,64b
1
(n:43,sd:0) G (S3/IP300)
9,264
471,187 83,544
5,23c
3
27,793
145,356
2
1,623,667
8,491,777
1
13,030
68,145
-
6,123,810
35,403,127
(n:23,sd:0.46) H (S3/IP200)
811,833
5,23c (n:23,sd:0.46)
I (S3/IP100)
13,030
5,23 c (n:23,sd:0.46)
Total
3,101,354
-
Produksi padi GKG = Produktivitas x Luas panen, Luas panen = Luas x IP a, b, c = berbeda sangat nyata (tα = 0,05). Sampel produktivitas padi sawah dari data kecamatan BPS (2003-2008) sd:standar deviasi
35,403,127 ton/ha GK atau setara dengan 23,012,032 ton beras/ha. Potensi produksi padi tersebut dicerminkan oleh varietas Ciherang yang mendominasi tanaman padi sawah di Jawa. Pencapaian potensi produksi padi ini diasumsikan dengan pengelolaan lahan sawah secara intensif melalui pemupukan berimbang untuk mengatasi faktor pembatas kesuburan tanah (bahan organik tanah, N, P, dan K), ketersediaan air sesuai kondisi agroklimat dan potensi air irigasi (debit air 2.5 – 10 liter/det/ha), dan pengendalian
hama dan penyakit tanaman terpadu.
117
Pengelolaan lahan sawah tersebut diasumsikan tanpa adanya gangguan bencana alam yang berarti, terutama banjir dan kekeringan. Potensi luas panen dan produksi padi di setiap provinsi yang berdasarkan zona agroekologi lahan sawah disajikan pada Tabel 25 dan 26. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat merupakan lumbung padi andalan, dengan potensi produksi padi per tahun 11,737,780 ton GKG (33 %), 10,817,616 ton GKG (31 %), dan 10,104,863 ton GKG (29%). Kontribusi produksi padi dari ketiga provinsi ini mencapai 93% dari produksi padi per tahun di Jawa (35,403,127 ton GKG). Tingginya potensi produksi padi tersebut bersesuaian dengan potensi luas panen yang sebagian besar berada di zona B (S1/IP200).
Tabel 25. Potensi luas panen di Jawa per tahun berdasarkan zona agroekologi lahan sawah (ha) Zona Agrokologi Lahan Sawah
Banten
DKI. Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
D.I Yogyakarta
Jawa Timur
Total
A (S1/IP300)
0
0
73,340
28,356
1,017
3,910
106,624
B (S1/IP200)
157,038
2,630
982,087
1,173,569
76,715
1,536,479
3,928,519
C (S1/IP100)
0
0
9,290
15,654
1,965
9,735
36,644
D (S2/IP300)
0
0
28,541
0
0
0
28,541
E (S2/IP200)
125,259
3,946
72,928
44,054
0
29,263
275,451
F (S2/IP100)
0
0
51,860
17,508
6,547
7,629
83,544
G (S3/IP300)
0
0
11,754
2,123
0
13,915
27,793
H (S3/IP200)
101,021
0
526,441
594,606
306
401,293
1,623,667
I (S3/IP100)
467
0
3,006
3,765
740
5,052
13,030
383,785
6,576
1,759,249
1,879,635
87,289
2,007,277
6,123,810
Total Sumber: hasil analisis
Apabila dibandingkan dengan data produksi padi sawah aktual dari BPS tahun 2005, 2006, 2007, dan 2008, produksi padi sawah potensial berdasarkan zona agroekologi lahan sawah di Jawa masih lebih besar (Gambar 47). Hal ini
118
dimungkinkan disebabkan oleh berbagai hal, seperti kejadian banjir, kekeringan, serangan hama dan penyakit tanaman, dan atau pemupukan tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman dan status hara tanah. Kondisi yang tidak menguntungkan ini, namun demikian, belum menimpa semua wilayah lumbung beras. Satu-satunya wilayah lumbung beras
yang produksi padi sawah aktualnya berhasil
Tabel 26. Potensi produksi padi sawah di Jawa berdasarkan zona agroekologi lahan sawah (ton GKG/tahun) Zona Agroekologi Lahan Sawah
DKI. Jakarta
Banten
Jawa Barat
Jawa Timur
D.I Yogyakarta
Jawa Tengah
Total
A (S1/IP300)
0
0
441,510
170,704
6,123
23,537
641,874
B (S1/IP200)
945,370
15,833
5,912,166
7,064,886
461,826
9,249,601
23,649,682
C (S1/IP100)
0
0
55,926
94,235
11,827
58,607
220,594
D (S2/IP300)
0
0
160,969
0
0
0
160,969
E (S2/IP200)
706,461
22,255
411,316
248,465
0
165,045
1,553,542
F (S2/IP100)
0
0
292,491
98,744
36,922
43,030
471,187
G (S3/IP300)
0
0
61,476
11,103
0
72,778
145,356
H (S3/IP200)
528,339
0
2,753,288
3,109,790
1,600
2,098,760
8,491,777
I (S3/IP100)
2,443
0
15,722
19,691
3,868
26,422
68,145
2,182,613
38,088
10,104,863
10,817,616
522,167
11,737,780
35,403,127
(29 %)
(31 %)
(33 %)
(100 %)
Total
(6 %)
(0 %)
( 1%)
Produksi (juta ton/th)
40 35 30 25
Produksi potensial
20
Produksi aktual
15 10 5 0 2005
2006
2007
2008
Tahun
2005
2006
2007
2008
Potensial (ton GKG)
35.403.127
35.403.127
35.403.127
35.403.127
Aktual (ton GKG)
29.764.392
28.880.220
30.466.339
32.346.997
Perbedaan (ton GKG)
-5.638.735
-6.522.907
-4.936.788
-3.056.130
Produksi
(%)
-16
-18
-14
-9
Gambar 47. Perbandingan produksi padi sawah potensial dan aktual di Jawa
119
menembus produksi potensial adalah provinsi D.I Yogyakarta. Selama periode 2005-2008, produksi padi sawah aktual di provinsi ini berkisar antara 559,890 ton/th GKG hingga 798,232 ton/th GKG. Produksi padi di provinsi D.I Yogyakarta adalah 522.127 ton/th GKG. Selain itu, pencapaian produksi padi sawah seperti di D.I Yogyakarta juga diraih oleh provinsi Jawa Barat (Jabar), yaitu dengan produksi 10,111.,069 ton/th GKG. Produksi padi sawah potensial di provinsi Jawa Barat (Jabar) adalah 10,104,863 ton/ha GKG. Berdasarkan survei lapangan di provinsi D.I Yogyakarta, para petani padi sawah di wilayah ini
Produksi (Juta ton/th)
14 Jatim Produksi Potensial
12
Jateng Produksi Potensial
10
Jabar Produksi Potensial Banten Produksi Potensial
8
DI Yogyakarta Produksi Potensial DKI Jakarta Produksi Potensial
6
Jatim Produksi Aktual
4
Jateng Produksi Aktual Jabar Produksi Aktual
2
Banten Produksi Aktual
0
DI Yogyakarta Produksi Aktual
2005
2006
2007
2008
DKI Jakarta Produksi Aktual
Tahun
Gambar 48. Perbandingan produksi padi sawah potensial dan aktual di setiap provinsi di Jawa umumnya mengelola tanah sawahnya sangat intensif. Bahkan, lahan sawah di zona agroekologi yang hanya mampu ditanami dua kali dalam setahun (IP200) dipaksakan dengan penanaman padi tiga kali dalam setahun (IP300) pada musim kemarau, yaitu dengan memompa air tanah (Gambar 49). Di provinsi lainnya, yaitu Jawa Tengah (Jateng), Jawa Timur (Jatim), dan Banten; produksi padi sawah aktualnya belum melebihi produksi potensialnya. Dengan menggunakan 5 skenario konsumsi beras, yaitu 100, 110, 120 , 130, dan 140 kg/kapita/tahun, daya dukung lahan sawah di Jawa dari tahun 2005 hingga 2025 cenderung menurun sesuai dengan peningkatan konsumsi beras dan pertambahan jumlah penduduk (Gambar 50). Daya dukung lahan sawah untuk 5 skenario tersebut semuanya berada pada kondisi bersyarat. Pada tahun 2020, daya dukung lahan sawah dengan potensi produksi beras sekitar 23,012,032 ton
120
Gambar 49. Pengelolaan lahan sawah sangat intensif dengan memompa air tanah untuk mencapai IP300 (lokasi: desa Parangtritis kecamatan Kretek, kabupaten Bantul, D.I Yogyakarta, 15 Agustus 2009) GKG/tahun dan jumlah penduduk mencapai 146.5 juta jiwa akan berada pada kondisi terlampaui apabila diterapkan konsumsi beras 140 kg/kapita/tahun. Kondisi daya dukung lahan sawah tersebut akan terwujud apabila daya dukung lahan hanya dipengaruhi oleh faktor jumlah penduduk, sedangkan faktor lainnya seperti iklim, konversi lahan sawah, kesuburan tanah, ekonomi, dan sosialbudaya dalam kondisi cateris paribus. Dalam penelitian ini, proyeksi jumlah penduduk
dari
tahun
2010
hingga
(http://www.datastatistik-indonesia.com)
2025
yang
diperoleh
menggunakan
laju
dari
BPS
pertambahan
penduduk sebesar 1%. Walaupun hanya faktor penduduk yang mempengaruhi daya dukung lahan sawah, hasil penelitian ini masih memberikan makna cukup
2.5 Berkelanjutan
Konsumsi Beras:100 kg/kap /th
Daya Dukung
2.0 Bersyarat
Konsumsi beras:110 kg/kap/th
1.5 Konsumsi Beras:120 kg/kap/th
1.0 Konsumsi Beras: 130 kg/kap/th Terlampaui
0.5
Konsumsi Beras:140 kg/kap/th
0.0 2005
2010
2015
2020
2025
Tahun
Gambar 50. Daya dukung lahan sawah di Jawa berdasarkan lima skenario konsumsi beras
121
penting untuk menjaga keberlanjutan lahan sawah karena pemicu utama (driving force) dalam kepunahan sumberdaya lahan adalah faktor penduduk. Pengaruh faktor-faktor
lainnya
(biofisik,
ekonomi,
dan
sosial-budaya)
terhadap
keberlanjutan pertanian, seperti yang dijelaskan oleh Rao dan Rogers (2006), pada hakekatnya bersumber dari faktor penduduk. Soemarwoto (2008) menjelaskan bahwa dengan bertambahnya jumlah penduduk, sumberdaya lain di samping lahan juga diperlukan dalam jumlah yang meningkat, sehingga kita dihadapkan pada masalah penyusutan dan habisnya sumberdaya. Selain itu, pertambahan jumlah penduduk juga mengakibatkan pencemaran lingkungan. Oleh karena itu, kondisi daya dukung lahan sawah dengan tingkat konsumsi beras 140 kg/kapita/tahun yang terlampaui pada tahun 2020 patut menjadi perhatian bagi pengambil kebijakan yang berkaitan dengan ketahanan pangan. Apabila ditinjau berdasarkan pada konsumsi energi yang sesuai dengan Pola Pangan Harapan (PPH) Nasional, konsumsi beras 140 kg/kapita/tahun yang mendekati konsumsi beras nasional 139.15 kg/kapita/tahun adalah terlalu besar. Jika dibandingkan dengan negara lainnya di Asia, konsumsi beras di Jepang hanya 60 kg/kapita/tahun Malaysia
80 kg/kapita/tahun.
dan
Konsumsi beras 140 kg/kapita/tahun adalah
setara dengan 1,400 kilo kalori (kkal)/kapita/hari atau 64% dari konsumsi energi yang ditetapkan oleh PPH Nasional, yaitu 2,200 kkal/kapita/hari. Sesuai dengan standar PPH Nasional, konsumsi karbohidrat dari padi-padian adalah 50% atau setara dengan 1,100 kkal/kapita/hari (Hardinsyah et al., 2001). Konsumsi energi 1,100 kkal/kapita/hari setara dengan konsumsi beras 278 gram beras/kapita/hari atau 110 kg beras/kapita/tahun. Namun demikian, berdasarkan penelitian ini, daya dukung lahan sawah di Jawa
dengan
konsumsi 110 kg/kapita/tahun
masih akan tetap berada pada kondisi bersyarat hingga pada tahun 2025. Kondisi daya dukung lahan sawah seperti ini membuat upaya bagi Indonesia untuk mencapai dan mempertahankan ketahanan pangan menjadi berat, mengingat sekitar 54% produksi beras nasional dipasok dari Jawa (BPS, 2008). Apabila kebijakan penerapan konsumsi beras 139.15 kg/kapita/tahun tetap dipertahankan, kebutuhan beras di Jawa tidak dapat dipenuhi sendiri. Bahkan, dalam jangka panjang diperkirakan kebutuhan beras di Jawa harus dipasok dari daerah atau negara lain (harus impor).
Untuk mencapai keberlanjutan lahan sawah agar
122
ketahanan pangan terjaga, beberapa langkah kebijakan yang perlu diperhatikan, diantaranya adalah
pengendalian jumlah penduduk, konversi lahan, serta
diversifikasi pangan. Kondisi daya dukung lahan sawah di Jawa yang cukup mengkhawatirkan tersebut secara detil dijelaskan di setiap provinsi (Gambar 51). Dari 5 skenario konsumsi beras yang dirancang,
kondisi daya dukung lahan sawah terburuk
terjadi di provinsi DKI Jakarta, yang kemudian diikuti secara berurutan oleh provinsi Banten, DI. Yogyakarta, Jawa Barat, serta Jawa Timur,
dan Jawa
Tengah. Kondisi ini bersesuaian dengan urutan kepadatan penduduk seperti yang diperlihatkan pada Gambar 52. Hasil penelitian ini mencerminkan perbedaan tekanan penduduk terhadap sumberdaya lahan sawah sebagai produsen beras. Semakin tinggi kepadatan penduduk semakin tinggi tekanannya terhadap sumberdaya lahan sawah. Dengan demikian, semakin tinggi tekanan penduduk, semakin rendah daya dukung lahan sawah. Hasil yang disajikan pada Gambar 51 juga menunjukkan bahwa titik kritis daya dukung lahan sawah berbeda di setiap provinsi, tergantung pada konsumsi beras. Untuk semua konsumsi beras yang diskenariokan, daya dukung lahan sawah di provinsi DKI. Jakarta dengan produksi padi 38,088 ton GKG/tahun (0%) dari produksi padi sawah di Jawa dari tahun 2005 hingga 20025 telah terlampaui. Kondisi ini bisa dimaklumi mengingat kepadatan penduduk provinsi ini sangat tinggi dan merupakan daerah metropolitan, sebagai pusat kegiatan pelayanan jasa dan manufaktur. Di daerah produsen beras, seperti di provinsi Banten dan Jawa Barat, dengan konsumsi beras 100 kg/kapita/tahun, status daya dukungnya sudah termasuk bersyarat dari tahun 2005 hingga 2025, sedangkan di provinsi DI. Yogyakarta akan menjadi terlampaui pada tahun 2020. Dengan konsumsi beras 110 kg/kapita/tahun, status daya dukung lahan sawah di provinsi-provinsi yang berperan sebagai lumbung padi andalan seperti Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur termasuk bersyarat dan berlanjut dari tahun 2005 hingga 2025. Dengan konsumsi beras 120 kg/kapita/tahun, status daya dukung lahan sawah di provinsi Banten menjadi terlampaui pada tahun 2025, sedangkan di provinsi D.I Yogyakarta telah terjadi pada tahun 2015. Yang penting dicatat dari hasil penelitian ini adalah daya dukung lahan sawah di provinsi Jawa Tengah dan
123
Jawa Timur. Antara tahun 2005-2025, daya dukung lahan sawah di kedua provinsi ini
tetap berada di status berlanjut untuk konsumsi beras 100 dan 110
kg/kapita/tahun, sedangkan di provinsi Banten dan Yogyakarta masih dalam status bersyarat.
Dengan konsumsi beras 130 kg/kapita/tahun, daya dukung lahan
sawah di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur mulai menjadi bersyarat. Hasil penelitian ini bermakna bahwa konsumsi beras 110 kg/kapita/tahun atau setara
Jawa Tengah
Berkelanjutan
1.0 0.5
D.I Yogyakarta
Bersyarat
DKI. Jakarta
Terlampaui
Daya Dukung
1.5
Banten
Jawa Barat
2.0
Bersyarat Bersyarat
1.5 1.0
Banten D.I Yogyakarta DKI. Jakarta
Terlampaui
0.5
0.0
Jawa Timur
Berkelanjutan
2.5
Jawa Barat
2.0
Jawa Tengah
3.0
Jawa Timur
2.5
0.0
2005 2010 2015 2020 2025
2005 2010 2015 2020 2025
Tahun
Tahun
a) Konsumsi beras 100 kg/kapita/tahun
b) Konsumsi beras 110 kg/kapita/tahun
Jawa Tengah
Daya Dukung
3.0 2.5
Jawa Timur
Berkelanjutan
Jawa Barat
2.0
Banten
Bersyarat
1.5
D.I Yogyakarta
1.0
DKI. Jakarta
0.5
Terlampaui
0.0 2005 2010 2015 2020 2025 Tahun c) Konsumsi beras 120 kg/kapita/tahun Jaw a Tengah
2.5
Berkelanjutan
2.0
Jaw a Timur
3.0
Jaw a Barat
2.5
Banten
1.5
D.I Yogyakarta
Bersyarat
DKI. Jakarta
1.0
Terlampaui
0.5
2010
2015
Jaw a Tengah Jaw a Timur
Berkelanjutan
Jaw a Barat
2.0 1.5 1.0
Bersyarat Terlampaui
0.5
Banten D.I Yogyakarta DKI. Jakarta
0.0
0.0 2005
Daya Dukung
3.0 Daya Dukung
Daya Dukung
3.0
2020
2005
2025
2010
2015
2020
2025
Tahun
Tahun
d) Konsumsi beras 130 kg/kapita/tahun
e) Konsumsi beras 140 kg/kapita/tahun
Gambar 51. Daya dukung lahan sawah di setiap provinsi berdasarkan lima skenario konsumsi beras (a,b,c,d,e)
124
dengan 1,130 kkal/orang/hari atau 51.4% dari kebutuhan energi 2,200 kkal/orang/hari (dengan asumsi 1 gram beras mengandung 3.70 kkal) merupakan pilihan yang tepat untuk digunakan sebagai standar konsumsi beras nasional dengan pertimbangan sebagai berikut, yaitu 1) paling mendekati kebutuhan energi 1,100 kkal
standar
atau 50% dari energi 2,200 kkal untuk memenuhi
kebutuhan energi seorang manusia dalam sehari sebagaimana yang telah ditetapkan dalam PPH Nasional, 2) tidak terlalu memberatkan provinsi-provinsi lumbung padi andalan
dalam penyediaan beras, dan 3)
merupakan angka
Kepadatan (jiwa/km 2)
16,000 14,000 12,000
DKI Jakarta
10,000
Jawa Barat
8,000
DI. Yogyakarta
6,000
Jawa Tengah
4,000
Jawa Timur
2,000 0 2005
2010
2015
2020
2025
Tahun
Gambar 52. Perkembangan kepadatan penduduk di Jawa (2005-2025). moderat untuk menjaga keberlanjutan lahan sawah. Dengan penerapan konsumsi beras 110 kg/kapita/tahun, daerah lumbung padi andalan, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur, memiliki peluang untuk mengekspor beras, sedangkan provinsi lainnya seperti Banten dan D.I Yogyakarta masih dapat berswasembada beras untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Penerapan konsumsi beras 140 kg/kapita/tahun (389 gram/kapita/hari) yang mendekati konsumsi beras standar nasional, yaitu 139.15 kg/kapita/tahun, dinilai terlalu tinggi karena konsumsi beras 389 gam/kapita/hari mengandung energi 1,439 kkal (65% energi kebutuhan/orang/hari) yang melebihi standar kebutuhan energi dari padi-padian, yaitu 1,100 kkal/kapita/hari atau 50% dari kebutuhan energi setiap orang dalam sehari, yaitu 2,200 kkal seperti yang ditetapkan dalam PPH nasional. Berdasarkan pada hasil penelitian ini, penerapan konsumsi beras 140 kg/kapita/tahun dapat mengakibatkan kondisi daya dukung lahan sawah di wilayah-wilayah yang berperan sebagai lumbung padi andalan seperti provinsi Jawa Tengah dan Jawa
125
Timur menjadi status bersyarat. Kondisi ini tentunya sangat mengkhawatirkan karena penerapan konsumsi beras 139.15 kg/kapita/hari membawa konsekwensi kepada pemerintah daerah untuk mengejar target produksi padi yang melebihi daya dukungnya. Penerapan konsumsi beras 110 kg/kapita/tahun tentunya harus disertai dengan kebijakan diversifikasi pangan agar kebutuhan energi setiap orang per hari yang masih terbiasa dengan konsumsi beras 139.15 kg/kapita/tahun masih dapat terpenuhi. Kebijakan diversifikasi pangan dimaksud sebenarnya sudah diarahkan dalam GBHN 1999-2004 (bab IV), yang dinyatakan bahwa pembangunan pangan diarahkan untuk mengembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keanekaragaman sumberdaya pangan, kelembagaan, dan budaya lokal dalam rangka menjamin tersedianya pangan dan gizi dalam jumlah dan mutu yang dibutuhkan pada tingkat harga yang terjangkau dengan memperhatikan peningkatan pendapatan petani dan nelayan serta peningkatan produksi (Hardinsyah et al., 2001). Arahan kebijakan pangan tersebut dimaksudkan untuk mendukung terwujudnya ketahanan pangan. Dalam Propenas tahun 2000-2004 (Republik Indonesia, 2000) telah diamanatkan tentang tujuan program ketahanan pangan, yaitu (1) meningkatkan keanekaragaman produksi, ketersediaan, dan konsumsi pangan bersumber pada ternak, ikan, tanaman pangan, hortikultura, dan kebun serta produk-produk olahannya, (2) mengembangkan kelembagaan pangan yang menjamin peningkatan produksi pangan dan distribusi, serta konsumsi pangan yang lebih beragam, (3) mengembangkan usaha/bisnis pangan yang kompetitif dan menghindarkan monopoli usaha/bisnis pangan, dan (4) menjamin ketersediaan gizi dan pangan bagi masyarakat. Untuk mewujudkan program diversifikasi pangan, Hardinsyah et al. (2001) telah memformulasikan susunan konsumsi pangan dari tahun 1999 hingga 2020 seperti pada Tabel 27. Penerapan konsumsi pangan dengan konsumsi beras 110 kg/kapita/tahun atau setara dengan 51,4% kebutuhan energi 2.200 kakl/organg/hari konsumsi energi yang disertai pangan umbi-umbian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berlemak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, dan lain-lain telah memenuhi target konsumsi energi 2.200 kkal yang ditetapkan dalam PPH nasional untuk tahun 2020.
126
Tabel 27 Pola konsumsi energi (%) tahun 2002-2020 (Hardinsyah et al., 2001) Tahun No.
Kelompok Pangan
1
Padi-padian
2
2002
2003
2004
2005
2020
55,4
55,1
54,8
54,5
50
Umbi-umbian
3,5
3,7
3,8
4,0
6,0
3
Pangan hewani
5,2
5,6
5,9
6,3
12,0
4
Minyak dan lemak
8,1
8,2
8,3
8,4
10
5
Buah/biji berlemak
2,0
2,1
2,1
2,2
3,0
6
Kacang-kacangan
2,8
2,9
3,0
3,2
5,0
7
Gula
4,3
4,4
4,4
4,4
5,0
8
Sayur dan buah
3,6
3,7
3,9
4,0
6,0
9
Lain-lain
1,4
1,5
1,6
1,7
3,0
86,4
87,2
87,9
88,7
100
Total
4.5 Kesimpulan dan Saran 4.5.1 Kesimpulan 1.
Lahan sawah di pulau Jawa dengan luas total 3,569,829 ha didominasi oleh zona agroekologi yang sesuai untuk tanaman padi sawah dan berada dalam kawasan budidaya, dengan luas total 3,101,354 ha (87%). Sebagian besar dari zona agroekologi lahan sawah tersebut merupakan tanah sawah yang berbahan
induk bahan volkan, dengan jenis tanah dominan Alluvial
(Epiaquepts) dan Grumusol (Epiaquerts).
Dengan potensi luas panen
6,123,810 ha, zona agroekologi lahan sawah ini memiliki potensi produksi 35,403,127 ton GKG/tahun atau setara dengan 23,012.032 ton beras/tahun. Meskipun didukung oleh budaya usahatani dengan penerapan IP200 yang bersifat ramah lingkungan, produktivitas lahan sawah di semua zona agroekologi masih menghadapi kendala karena rendahnya kandungan Corganik, N-total, P-tersedia, dan K-tersedia. 2.
Kondisi daya dukung lahan sawah di setiap provinsi di Jawa berbeda-beda, tergantung pada kualitas zona agroekologi lahan sawah, jumlah penduduk,
127
dan tingkat konsumsi beras. Penerapan konsumsi beras standar nasional sebesar 139.15 kg/kapita dinilai terlalu tinggi dan berpotensi mengancam keberlanjutan lahan sawah karena daya dukung lahan sawah di wilayahwilayah produsen beras andalan seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat berada dalam kondisi bersyarat. Keberlanjutan lahan sawah di wilayah-wilayah tersebut akan terjaga hingga tahun 2025 apabila diterapkan konsumsi
beras
110
kg/kapita/tahun
atau
setara
dengan
1,130
kkal/kapita/hari. Penerapan konsumsi beras pada level ini dinilai paling ideal karena selain keberlanjutan lahan sawah dapat terjaga, konsumsi energi setiap orang dari pangan padi-padian sesuai dengan yang ditetapkan pada Pola Pangan Harapan nasional, yaitu 50% dari energi 2,200 kkal untuk memenuhi kebutuhan energi setiap manusia per hari.
4.5.2 Saran 1.
Luasan zona agroekologi lahan sawah
sekitar 3.1 juta ha dari hasil
penelitian ini disarankan untuk dapat dimanfaatkan sebagai data indikasi luasan baku lahan sawah. Keunggulan zona agroekologi lahan sawah ini dapat mencerminkan distribusi potensi lahan sawah, status kawasan, dan sosial-budaya petani dalam melakukan penanaman padi sawah. 2.
Agar penggunaan zona agroekologi lahan sawah
sesuai dengan daya
dukungnya, konsumsi beras 110 kg/kapita/tahun atau setara dengan energi 1,100 kkal/kapita/hari dapat dipertimbangkan oleh pengambil kebijakan sebagai pengganti konsumsi beras 139.15 kg/kapita/tahun yang dinilai terlalu tinggi. Penerapan konsumsi beras 110 kg/kapita/tahun dinilai layak untuk menggantikan konsusmsi beras 139.15 kg/kapita/tahun karena kebutuhan energi sebesar 1,100 kkal atau 50% dari energi 2,200 kkal yang dibutuhkan setiap orang per hari sebagaimana yang ditetapkan dalam Pola Pangan Harapan (PPH) Nasional untuk tahun 2020 dapat terpenuhi. Dengan konsumsi beras 110 kg/kapita/tahun, produksi beras di Jawa sangat memungkinkan akan surplus, mengingat produksi beras aktual di Jawa dengan konsumsi beras 139.15 kg/kapital sudah pernah mencapai 90% dari produksi beras potensialnya. Untuk mewujudkan keberlanjutan lahan sawah
128
di setiap wilayah, penerapan konsumsi beras 110 kg/kapita/tahun ini memerlukan
komitmen
pemerintah
untuk
melaksanakan
kebijakan
diversifikasi pangan dan pengendalian jumlah penduduk, konversi lahan, serta konservasi tanah dan air secara konsisten. 3.
Untuk meningkatkan produktivitas lahan sawah, pemupukan anorganik perlu diikuti dengan pupuk organik karena kandungan C-organik tanah sawah di Jawa tergolong rendah. Penambahan pupuk C-organik ini dapat memperbaiki degradasi kesuburan tanah sawah yang telah mengalami pelandaian produktivitas.
129
5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek lingkungan biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya. Permasalahan yang bersifat multidimensi tersebut pada hakekatnya pertama kali dipicu oleh pertambahan jumlah penduduk. Pertambahan jumlah penduduk mengakibatkan sumberdaya lahan sawah menjadi tertekan, sehingga terjadi penyusutan lahan karena adanya konversi lahan sawah menjadi daerah permukiman dan industri. Apabila tekanan penduduk terhadap lahan sawah terus meningkat, cepat atau lambat daya dukung lahan sawah akan terlampaui.
Terlampauinya daya dukung lahan sawah ini
tentunya dapat berdampak pada timbulnya masalah degradasi lingkungan biofisik, ekonomi,
dan
sosial-budaya.
Dampak
multidimensi
tersebut
berpotensi
mengancam keberlanjutan lahan sawah. Terancamnya keberlanjutan lahan sawah dapat mengancam kelangsungan hidup manusia generasi mendatang.
Oleh
karena itu, keberlanjutan lahan sawah sangat berkaitan dengan daya dukungnya dalam menopang kelangsungan hidup manusia dari satu generasi ke generasi berikutnya. Seperti yang telah dikaji di bab sebelumnya (bab 4), daya dukung lahan sawah dapat berperan untuk mendeteksi status keberlanjutan lahan sawah di suatu wilayah. Keunggulan daya dukung lahan sawah tersebut, namun demikian, belum dapat menjelaskan status keberlanjutan lahan sawah yang sesuai dengan kondisi ekologisnya. Keterbatasan ini disebabkan oleh basisdata kependudukan dikelola berdasarkan batas wilayah administrasi, bukan berdasarkan pada batas ekologi. Salah satu cara
untuk mengetahui status keberlanjutan lahan sawah
yang sesuai dengan kondisi ekologisnya adalah dengan melakukan pemetaan indeks keberlanjutan lahan sawah berdasarkan zona agroekologi. Zona agroekologi lahan sawah yang telah didefinisikan di bab 4 mencerminkan pewilayahan lahan sawah yang sesuai dengan potensi lahan dan daya dukung di suatu wilayah. Karena pertambahan penduduk, agroekosistem dalam zona agroekologi lahan sawah menjadi semakin tertekan, sehingga dapat menimbulkan perubahan atribut dimensi lingkungan biofisik (ekologis), ekonomi,
130
dan sosial-budaya yang menjadi kaidah pertanian berkelanjutan. Untuk mendeteksi perubahan setiap dimensi pertanian berkelanjutan tersebut diperlukan indikator yang tepat, yaitu yang dapat mencirikan gejala kondisi keberlanjutan lahan sawah yang mulai terancam.
Menurut Rao dan Rogers (2006), indikator
keberlanjutan harus dari atribut yang dapat diukur dan dikuantifikasikan yang sesuai dengan tujuannya. Dalam penelitian ini,
indikator dimensi ekologis
dicerminkan oleh karakteristik zona agroekologi lahan sawah, seperti ketersediaan air, bahan organik tanah, ketersediaan unsur hara tanah, bahaya banjir, pencemaran air tanah, serangan hama dan penyakit tanaman, dan lain-lain. Indikator dimensi ekonomi dan sosial-budaya dicerminkan oleh kondisi dan nilai manfaat ekonomi, dan sosial-budaya masyarakat yang hidupnya tertumpu pada produksi lahan sawah. Indikator dimensi ekonomi yang penting adalah keuntungan yang diperoleh petani, modal usaha tani, pemasaran hasil produksi, ancaman konversi lahan, dan lain-lain.
Indikator sosial-budaya yang dapat
mencerminkan keberlanjutan lahan sawah diantaranya adalah motivasi bertani, kearifan lokal, adopsi teknologi, peran aktif kelompok tani (Poktan), penguasaan lahan, dan lain-lain.
Indikator multidimensi tersebut dapat diseleksi dengan
analisis faktor, sehingga diperoleh indikator utama yang digunakan sebagai dasar pemetaan indeks keberlanjutan dengan menggunakan perangkat SIG. Peta indeks keberlanjutan digunakan untuk menentukan status keberlanjutan lahan sawah. Indikator utama yang mencakup dimensi ekologis, ekonomi, dan sosial-budaya di setiap zona agroekologi pada peta indeks keberlanjutan tersebut digunakan sebagai basis kajian pengelolaan lahan sawah untuk merumuskan kebijakan teknis dalam mendukung penataan ruang yang berkaitan dengan upaya untuk menjaga ketahanan pangan, terutama dari aspek ketersediaan pangan (beras).
5.2 Tinjauan Pustaka 5.2.1 Konsep Indikator Keberlanjutan Pertanian Istilah indikator dalam keberlanjutan pertanian dapat dianalogikan dengan indikator kesehatan manusia. Apabila kita merasa sakit demam, suhu badan akan naik. Kenaikan suhu badan tersebut, namun demikian, belum dapat memastikan
131
jenis penyakit apa yang kita derita. Yang pasti kesehatan kita mulai terganggu. Contoh lainnya adalah tekanan darah. Apabila kita pergi ke dokter karena merasa kesehatan kita terganggu, dokter dipastikan akan mengukur tekanan darah kita. Tekanan darah yang naik merupakan indikator kesehatan jantung kita terganggu. Menurut Bach (2005), indikator adalah suatu parameter yang digunakan untuk menyederhanakan, mengkomunikasikan, dan mengkuantifikasikan suatu masalah. Indikator harus dapat memberikan informasi tentang makna fenomena yang terdekteksi. Suhu badan kita merupakan informasi sangat penting bagai kesehatan kita.
Demikian juga dalam kesehatan lingkungan,
banyaknya
kandungan muatan sedimen air sungai memberikan informasi penting tentang terganggunya ekologi daerah aliran sungai (DAS) bagian hulu. Dalam contoh tersebut, indikator
muatan sedimen air sungai mampu mengkomunikasikan
masalah kesehatan kita atau lingkungan DAS. Dalam hal ini, komunikasi berperan dalam menyederhanakan fenomena yang kompleks. Ringkasnya, identifikasi indikator lingkungan dimaksudkan untuk mengkuantifikasi aspek penting lingkungan yang dapat menyederhanakan masalah-masalah kompleks sehingga informasi permasalahannya mudah dikomunikasikan untuk dicarikan solusinya. Bach (2005) menjelaskan konsep mengidentifikasi indikator keberlanjutan lingkungan berdasarkan hubungan sebab akibat antara tenaga pemicu (driving force), kondisi tekanan (pressure state), dampak (impacts), dan respon (responses), yang dikenal dengan model DPSIR (Driving Force-Pressure-StateImpacts-Responses)
(Gambar
53).
Model
DPSIR
dimaksudkan
untuk
menginventarisasi dan mengidentifikasi indikator keberlanjutan lingkungan. Tenaga pemicu adalah aktivitas manusia yang dapat mengakibatkan perubahan lingkungan berbagai sektor, seperti pertanian, transportasi, industri, dan lain-lain. Dampak adalah hasil dari tekanan tenaga pemicu pada ekosistem dan kesehatan manusia. Model DPSIR telah banyak diaplikasikan oleh organisasi-organisasi dunia seperti PBB, Bank Dunia, FAO untuk mengidentifikasi indikator keberlanjutan lingkungan. Contoh aplikasi model DPSIR terbaru adalah indeks keberlanjutan lingkungan (Environmental Sustainability Index, ESI) yang dikembangkan oleh Forum Ekonomi Dunia (Wolrd Economic Forum, WEF) yang bekerjasama
132
dengan Yale University dan Columbia University, Amerikat Serikat ( Esty, 2005). ESI menggunakan indikator yang disusun berdasarkan model DPSIR, yang dikelompokkan menjadi lima kategori/komponen tematik, yaitu 1) sistem lingkungan, 2) stres lingkungan, 3) kerentanan manusia (human vulnerability), 4) kapasitas sosial dan kelembagaan, dan 5) pelayanan global (global stewardship). Contoh indikator dari setiap komponen untuk ESI disajikan pada Tabel 28.
Tenaga Pemicu Perkembangan penduduk Sektor : - Pertanian - Industri - Transportasi - Perumahan
Tekanan Akitivias manusia yang mempengaruhi lingkungan: - Eksploitasi hutan - Perubahan land use - Resiko teknologi - Penggunaan pupuk kimia
Respon - Mitigasi bencana alam - Penataan ruang - Pemupukan berimbang - Konservasi tanah & air - Reforma agraria - Program keluarga berencana
Kondisi Perubahan lingkungan terukur: - Kualitas air - Pelandaian produksi padi - Kesuburan tanah - Spesies endemik - Emisi CO2
Dampak Pengaruh perubahan lingkungan - Pelandaian produksi padi - Kekeringan - Banjir - Urbanisasi
Gambar 53. Kerangka model DPSIR (modifikasi dari Bach, 2005) Seperti yang telah dikemukakan di bab sebelumnya, pertanian berkelanjutan pada hakekatnya mengandung empat aspek, yaitu (1) kesadaran ekologi (ecological sound), (2) bernilai ekonomi (economic viability), (3) berkeadilan sosial (social justice), dan (4) berperikemanusiaan (humaneness).
Definisi
tersebut memberikan petunjuk bahwa pertanian berkelanjutan harus menekankan kesadaran ekologi, ekonomi, dan sosial-budaya. Pengalaman pada era revolusi hijau di Indonesia telah membuktikan bahwa
pembangunan pertanian lebih
banyak mengedepankan aspek produksi (ekonomi) telah membawa dampak degradasi lahan dan lingkungan. Selain itu, masalah kemiskinan masih tetap
133
membelenggu kehidupan petani. Kondisi tersebut seharusnya tidak terjadi kalau penerapan revolusi hijau juga memperhatikan aspek ekologis dan sosial-budaya. Tabel 28. Contoh komponen, indikator, dan variabel untuk keberlanjutan lingkungan (modifikasi dari Esty et al., 2005) Kompoenen Sistem lingkungan
Pengurangan stres lingkungan
Pengurangan kerentanan manusia
Kapasitas sosial dan kelembagaan
Indikator
Variabel
Kualitas udara
Konsentrasi NO2, SO2
Keragaman hayati
Spesies burung terancam (%)
Lahan
% lahan terancam konversi
Kualitas air
Konsentrasi oksigen terlaurut
Jumlah air
Ketersediaan air tawar
Pengurangan polusi udara
Emisi NO2, CO
Pengurangan stres ekosistem
Laju deforestasi
Pengurangan tekanan penduduk
Kepadatan penduduk
Pengelolaan sampah
Laju pengolahan sampah
Pengurangan stres air
Penggunaan pestisida per ha
Pengelolaan sumberdaya alam
Produktivitas
Kesehatan lingkungan
% kematian karena infeksi pernapasan
Makanan pokok manusia
% kurang gizi, % penduduk akses air
Kerentanan bencana alam
% korban tewas karena banjir, kekeringan
Pengaturan lingkungan
% Kawasan lindung, indeks korupsi
Efisiensi lingkungan
Pelayanan global
Respon sektor swasta
% perusahaan/lembaga tersetifikasi ISO
Ilmu dan teknologi
% peneliti
Kerjasama internasional
Keikutsertaan organisasi lingkungan dunia
Emisi gas rumah kaca
Emisi karbon/kapita
Pengurangan tekanan lingkungan
Ekpor SO2, % impor barang tercemar
lintas negara
Dampak negatif penerapan revolusi hijau juga telah melanda dunia. Kegagalan revolusi hijau di dunia ditunjukkan oleh masih banyaknya penduduk yang kelaparan dan kurang gizi, selain terjadinya degradasi lahan dan lingkungan (Dalgaard et al., 2003).
Kegagalan revolosi hijau ini memberikan ide bagi
Gliessman (1998; dalam Gliessman, 2002)
untuk mengemukakan konsep
agroekologi yang bertujuan memfasilitasi terwujudnya pertanian berkelanjutan. Konsep agroekologi ini digunakan oleh Rao dan Rogers (2006) untuk mengembangkan metode kajian pertanian berkelanjutan.
134
Kajian pertanian berkelanjutan berdasarkan konsep agroekologi
dari
pemikiran Rao dan Rogers (2006) mengacu model DPSIR yang dikemukakan oleh Bach (2005). Pada model DPSIR untuk mengkaji keberlanjutan pertanian yang berdasarkan konsep agroekologi, hubungan sebab akibat dikelompokkan menjadi empat komponen, yaitu agroekosistem, stres agroekosistem, kerentanan agroekosistem, dan pengelolaan agroekosistem. Indikator tenaga pemicu diarahkan ke lima komponen agroekosistem, yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya keuangan, sumberdaya infrastruktur, dan sumberdaya sosial. Indikator tekanan berkaitan dengan stres agroekosistem yang dicirikan dengan mayor atribut multidimensi keberlanjutan (produktivitas, stabilitas, reliabilitas, resilien, dan adaptabilitas).
Indikator kondisi (state) dan dampak (impact)
menentukan kepekaan agroekosistem dan masing-masing dicirikan dengan indikator
lingkungan
dan
indikator
sosial-ekonomi.
Indikator
respon
mendefinisikan instrumen kebijakan dan pengelolaan, serta strategi kelembagaan untuk menjaga keberlanjutan agroekosistem pada jangka panjang. Variabel yang mencirikan setiap
indikator diidentifikasi pada Tabel 29.
Variabel-variabel
tersebut bisa distandarkan, kemudian dirata-ratakan untuk memperoleh nilai indikator. Untuk menentukan indeks keberlanjutan, nilai atribut indikator dapat dirata-ratakan, seperti yang ada pada ESI. Atribut indikator (variabel)
yang
dapat diagregasi dalam zona agroekologi dan dapat diintegrasikan dengan perangkat SIG.
5.2.2 Konsep Indeks Keberlanjutan Pertanian Indeks keberlanjutan adalah nilai agregasi dari indikator-indikator yang menunjukkan kelangsungan fungsi suatu sistem, sehingga dapat dimanfaatkan untuk pengkajian terpadu dari
keberlanjutan suatu sistem tersebut (Rao dan
Rogers, 2006). Indeks keberlanjutan tersebut ditentukan dari integrasi nilai atribut –atribut indikator dengan menggunakan berbagai metode. Pada Indeks keberlanjutan lingkungan (ESI) yang dikembangkan oleh Esty et al. (2005), indikator yang digunakan sebanyak 21 indikator yang terdiri dari 76 variabel. Nilai indeks pada ESI merupakan nilai rata-rata dari 21 indikator, yang diidentifikasi dengan model DPSIR. ESI digunakan sebagai alat kebijakan untuk
135
mengidentifikasi masalah-masalah lingkungan
yang menjadi perhatian dalam
lingkup nasional dan negara lain. Dengan menggunakan ESI, negara dimudahkan untuk mengambil kebijakan dalam menangani masalah-masalah lingkungan yang paling praktis. Hal ini dapat dilakukan karena ESI memberikan pedoman untuk mengontrol polusi dan tantangan pengelolaan sumberdaya alam, serta memberikan informasi penting tentang kondisi lingkungan di negara lain yang memerlukan bantuan keuangan dalam mengatasi permasalahannya. Kegunaan ESI yang penting adalah dalam hal memberikan informasi kondisi lingkungan negaranegara di dunia, yang dirangking tidak hanya pada produk domestik bruto (GDP: Gross Domestic Product) tetapi juga pada tujuan kebijakan penanganan masalah lingkungan.
Tabel 29. Komponen, indikator, dan variabel untuk kajian keberlanjutan pertanian (modifikasi dari Rao dan Rogers, 2006) Kompoenen Agroekosistem
Indikator
Variabel
Modal sumberdaya alam
Agroklimat , kesuburan tanah, luas lahan (ha)
Modal sumberdaya manusia
Jumlah petani, jumlah petani produktif
Modal keuangan
Modal usaha tani (Rp/ha), subsidi pupuk (Rp/kg)
Modal infrastruktur
Kualitas irigasi, aksesibilitas, fasilitas pascapanen, perolehan pupuk, pasar
Modal sosial
Poktan, kearifan lokal, pemilikan lahan, motivasi bertani
Stres agroekosistem
Kerentanan agroekosistem
Kualitas air
Kadar salinitas (ppm)
Konversi lahan
Potensi konversi lahan
Produksi
Produktivitas (ton/ha), keuntungan diperoleh (Rp/ha)
Stres tanaman
% daerah serangan hama dan penyakit tanaman
Degradasai tanah
Kandungan C-organik tanah (%), erosi (ton/ha)
Lingkungan
Penggunaan air tanah (l/ha), % daerah rawan banjir, erosi (ton/ha), penurunan air tanah
Pengelolaan agroekosistem
Ekonomi
Peningkatan pendapatan petani
Sosial
Fragmentasi lahan (ha), penguasaan lahan
Ilmu dan teknologi
Adopsi teknologi, tingkat pendidikan
Kelembagaan dan sosial
Keaktifan petani dalam keanggotaan Poktan,
Pelayanan lembaga
Uji kualitas tanah, uji kualitas air, rekomendasi pupuk, rekomendasi dosis pestisida, introduksi bibit unggul, penyuluhan
136
Tidak seperti hanya dengan kajian keberlanjutan lingkungan yang telah banyak diinisiatif oleh lembaga internasional dan nasional, kajian keberlanjutan pertanian masih diinisiatif oleh para ahli secara individu. Dengan demikian, metode yang ada berbeda-beda, yang dapat dikelompokkan menjadi tiga grup, yaitu kajian berdasarkan agroekosistem, faktor total produktivitas, dan tingkat usahatani (Rao dan Rogers, 2006). Di Indonesia, kajian indeks keberlanjutan yang berkaitan dengan pembangunan pertanian telah dilakukan oleh beberapa ahli.
Penilaian indeks keberlanjutan pembangunan pulau-pulau kecil telah
dilakukan oleh Susilo (2003), dengan menggunakan Multidimensional Scaling (MDS). Agar lebih mudah diaplikasikan oleh para praktisi di daerah, Susilo (2006) telah membuat Indeks Keberlanjutan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil (IBPK) dengan menggunakan metode Sidik Kriteria Ganda (SKG). Salah satu keunggulan metode SKG selain mudah dan mempunyai basis teori yang kuat, juga dapat menangani berbagai jenis data (kuantitatif dan kualitatif) serta berbagai jenis variabel yang diukur dalam satuan yang berbeda-beda. Penilaian IBPK terdiri dari beberapa tahap kegiatan, yaitu 1) inventarisasi indikator yang relevan berdasarkan dimensi ekologis, ekonomi, sosial, dan kelembagaan; 2) penapisan indikator berdasarkan aspek potensi dan dampak pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan untuk menjamin kehidupan masyarakat pulau-pulau kecil, dan 3) penilaian IBPK dengan menggunakan model penjumlahan terbobot (MJB) yang dirumuskan sebagai berikut: IBPKm= ∑WiXim Wi
= bobot standar setiap atribut indikator ke-i
Xim = nilai skor standar setiap atribut indikator ke-i pada pulau ke-m. Penentuan nilai bobot dalam rumus IBPKm berdasarkan wawancara atau diskusi dengan para praktisi pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia. Untuk masing-masing atribut
mencerminkan
pentingnya atribut tersebut di dalam
menentukan keberlanjutan pembangunan pulau-pulau kecil. Indeks keberlanjutan pertanian yang berkaitan dengan sistem ketersediaan beras (IKSKB) telah diteliti oleh Nurmalina (2008). Penelitian
IKSKB
dimaksudkan untuk menentukan status keberlanjutan sistem ketersediaan beras berbasis wilayah. Analisis indeks keberlanjutan sistem ketersediaan beras ini
137
menggunakan berbagai data statistik yang dikelompokkan menjadi 5 dimensi, yaitu ekologi, ekonomi, sosial-budaya, kelembagaan, dan teknologi; yang kesemuanya terdiri dari 60 atribut indikator (Tabel 30).
Penilaian indeks
keberlanjutan sistem ketersediaan beras dilakukan melalui empat
tahapan
kegiatan, yaitu 1) penentuan atribut indikator, 2) penilaian setiap atribut dalam
Tabel 30. Dimensi dan indikator sistem ketersediaan beras (Nurmalina, 2008) Dimensi
Indikator
Ekologi
% luas hutan, dosis pupuk/ha, suhu tahunan, curah hujan tahunan, jumlah bulan kering, Kesesuaian lahan, kemampuan lahan, sistem irigasi, produktivitas padi, alih fungsi lahan, Pencetakan sawah, puso karena banjir, puso karena kekeringan, puso karena jasad pengganggu, status lahan
Ekonomi
Efisiensi ekonomi, tingkat keuntungan, PDRB, produksi padi, nilai tukar petani, upah riil buuruh, jumlah rumah tangga petani dengan luas lahan > 0,5 ha, jumlah tenaga kerja pertanian di subsektor tanaman pangan, harga eceran beras, % penduduk miskin, % pangsa produksi padi, banyak desa yang memiliki sarana pemasaran produksi
Sosial –budaya
% tingkat partisipasi konsumsi beras wilayah perkotaan, % tingkat partisipasi konsusmi beras wilayah pedesaan, % desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai, penduduk, jumlah rumah tangga petani padi, rumah tangga pertanian yang pernah mengikuti penyuluhan pertanian, pertumbuhan konsumsi per kapita, perempuan berpendidikan, pendidikan formal, desa yang sebagian besar penduduknya bekerja di sektor tanman pangan
Kelembagaan
Perkembangan KUD, kelembagaan sekolah tinggi penyuluhan pertanian, sekolah pertanian pembangunan, Jumlah unit pelaksana teknis Balitbang (BPTP), jumlah unit pelaksana teknis ditjen BP tanaman pangan (BPSBTPH), lembaga keungan mikro, kelompok usaha pertanian, jumlah kelompok taruna tani, junlah kelompok wanita tani
Teknologi
Jumlah mesin pengolah lahan jenis traktor roda dua, jumlah alat penanaman, jumlah alat pemupukan ure tablet, pompa air, jumlah mesin pemberantas jasad penggangu, jumlah mesin pemberantas jasad pengganggu jenis emposan tikus (fumigator). Jumlah mesin perontok padi, jumlah mesin pengering gabah, jumlah mesin pembersih gabah, jumlah mesin penyosoh beras, jumlah mesin penggiling padi, jumlah mesin rice miling unit (RMU), jumlah mesin pemecah kulit gabah
138
skala ordinal (skoring) berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap dimensi, 3) mereduksi dimensi atribut indikator dengan metode MDS seperti yang digunakan oleh Susilo (2003), dan 4) menilai indeks keberlanjutan berdasarkan nilai atribut indikator terpilih yang telah distandarkan dengan menggunakan rumus:
Xik sd =
Xik - Xk Sk
Xik sd = nilai skor standar wilayah ke-i pada atribut ke-k, k = 1,2,.....,p Xik
= nilai skor wilayah ke-i pada atribut ke-k, k = 1,2,..........p
Xk
= nilai tengah skor pada setiap atribut ke-k, k = 1,2,..........p
Xk
= simpangan baku pada setiap atribut ke-k, k = 1,2,..........p
Tabel 31. Faktor kunci dan alternatif kebijakan (Nurmalina, 2008) Faktor kunci
Strategi Kebijakan
Produktivitas
Pengelolaan tanaman padi terpadu
Produksi padi
Peningkatan indeks pertanaman
Konversi lahan sawah dan pencetakan sawah
Lahan berkelanjutan
Kelembagaan pemerintah
Peningkatan optimalisasi
Ketersediaan sistem irigasi
Peningkatan investasi irigasi
Kesesuaian lahan
Pencetakan
sawah
disesuaiakan
dengan zona agroklimat yang sesuai untuk tanaman padi Pertumbuhan penduduk
Keluarga
Berencana
(KB)
ditingkatkan Pertumbuhan konsumsi per kapita
Diversifikasi pangan
Hasil penelitian IKSKB yang dilakukan oleh Nurmalina (2008) menemukan delapan faktor kunci untuk menentukan strategi kebijakan dalam menjaga keberlanjutan sistem ketersediaan beras di Indonesia (Tabel 31). Faktor kunci tersebut merupakan permasalahan utama yang harus diatasi agar keberlanjutan sistem ketersediaan beras terjaga. Penerapan kebijakan yang ditawarkan ini, namun demikian, tidak dapat menjelaskan lokasi lahan sawah yang menghadapi permasalahan keberlanjutan yang disebabkan faktor produktivitas, produksi padi,
139
konversi lahan, sistem irigasi, dan kesesuaian lahan.
Kelemahan ini disebabkan
oleh kajian yang dilakukan berdasarkan pada batas wilayah adminisistrasi, bukan berdasarkan batas dimensi ekologi.
5.3 Bahan dan Metode Indeks keberlanjutan lahan sawah (IKLS) dipetakan pada skala 1: 250. 000. Satuan pemetaan menggunakan satuan pemetaan zona agroekologi lahan sawah yang telah dibahas di bab 4. Analisis IKLS dilakukan melalui beberapa tahapan kegiatan, yaitu penentuan indikator, penapisan indikator, standarisasi nilai atribut indikator, dan penilaian IKLS.
5.3.1 Penentuan Indikator Keberlanjutan Lahan Sawah Analisis IKLS menggunakan 28
atribut indikator atau variabel yang
mencakup 11 atribut indikator dimensi biofisik (ekologi), 6 atribut indikator ekonomi, dan 11 atribut indikator keberlanjutan lahan sawah
sosial-budaya (Tabel
32).
Indikator
tersebut diturunkan dari model DPSIR: Driving
Force-Pressure-State-Impact-Response
(Bach, 2005).
Dalam model DPSIR
(Tabel 33), 28 atribut indikator IKLS diturunkan dari komponen tenaga pemicu (Driving
force):
agroekosistem,
agroekosistem,
komponen
kondisi
komponen
tekanan
(State)-dampak
(Pressure):
(Impact):
stres
kerentanan
agroekosistem, dan komponen respon (Response): pengelolaan agroekosistem. Komponen agroekosistem terdiri dari 5 indikator: modal sumberdaya lahan (6 variabel: ketersediaan air, N-total, P-total, K-total, penguasaan lahan), modal sumberdaya manusia (2 variabel: pendidikan petani, usia petani), modal keuangan (1variabel: modal usahatani), dan modal infrastruktur (3 variabel: kondisi irigasi, fasilitas pengolahan pascapanen, pemasaran), dan modal sosial (5 variabel: motivasi bertani, persepsi terhadap harga padi, persepsi terhadap konversi lahan, keanggotaan Poktan, budaya lokal). Komponen stres agroekosistem terdiri dari 6 indikator : kualitas air (1 variabel: bebas bahaya salinitas), stres lahan (1 variabel: potensi konversi lahan), produksi (1variabel: produktivitas lahan), stres tanaman (1 variabel: bebas serangan hama dan penyakit tanaman), degradasi kesuburan tanah (3 variabel: kandungan C-organik tanah, P-tersedia,
140
K-tersedia).
Tabel 32. Indikator keberlanjutan lahan sawah Faktor/Variabel Indikator
Satuan
Sumber Data
Faktor Biofisik: Ketersediaan air (X1) Kualitas air (X2)
Skala ordinal ppt
Peta Irigasi (PU, 2003), pengamatan lapang Pengukuran di lapangan : water checker
Bebas bahaya banjir (X3)
% area aman
Pengamatan lapangan, peta banjir (PU,2007)
Bebas serangan hama & penyakit tanaman (X4)
% area aman
Pengamatan lapangan
Kandungan C- organik tanah (X5)
%
Analisis laboratorium: Walkley & Black
Kandungan hara N-total (X6)
%
Analisis laboratorium: Kjeldahl
Kandungan hara P-tersedia (X7) Kandungan hara P-total (X8) Kandungan hara K-tersedia (X9) Kandungan hara K-total (X10) Kondisi irigasi (X11)
ppm Skala ordinal ppm
Analisis laboratorium: Bray I Peta status hara P & K (Puslitanak, 2006) Analisis laboratorium: Bray I
Skala ordinal
Peta status hara P dan K (Puslitanak, 2006)
%
Pengamatan lapang, Peta Irigasi (PU, 2003)
Faktor Ekonomi: Perolehan keuntungan (X12)
% keuntungan
Wawancara dengan petani, data sekunder
Modal usahatani (X13)
skala ordinal
Wawancara dengan petani, data sekunder
Perolehan pupuk (X14)
skala ordinal
Wawancara dengan petani, data sekunder
Potensi konversi lahan (X15)
km
Wawancara dengan petani, pengukuran di lapangan
Fasilitas pengolahan pascapanen (X16)
skala ordinal
Wawancara dengan petani, data sekunder
Pemasaran (X17)
skala ordinal
Wawamcara dengan petani, data sekunder
Motivasi petani bertani (X18)
skala ordinal
Wawancara dengan petani
Persepsi terhadap harga padi HPP (X19)
skala ordinal
Wawancara dengan petani
Persepsi terhadap konversi lahan sawah (X20)
skala ordinal
Wawancara dengan petani
Keanggotaan Poktan (X21)
skala ordinal
Wawancara dengan petani
Adopsi teknologi (X22)
skala ordinal
Wawancara dengan petani
Fungsi penyuluhan (X23)
skala ordinal
Wawancara dengan petani
Penguasaan lahan (X24)
skala ordinal
Wawancara dengan petani
Fragmentasi lahan (X25)
ha
Pendidikan petani (X26)
skala ordinal
Wawancara dengan petani
tahun
Wawancara dengan petani
Faktor Sosial -Budaya:
Usia petani (X27) Budaya lokal (X28)
skala ordinal
Wawancara dengan petani, pengukuran lapangan
Pengamatan lapangan, wawancara dengan petani
Komponen kerentanan agroekosistem terdiri dari 3 indikator: lingkungan (1 variabel: bebas bahaya banjir), ekonomi (1 variabel: perolehan keuntungan), sosial (1 variabel: fragmentasi lahan). Komponen pengelolaan agroekosistem terdiri dari 2 indikator: ilmu dan teknologi (1 variabel: adopsi teknologi),
141
kelembagaan dan sosial (1 variabel: fungsi penyuluhan).
Variabel indikator
tersebut dinyatakan dalam satuan berbeda-beda. Penilaian indikator menggunakan kriteria keberlanjutan lahan sawah (Lampiran 3).
Tabel 33. Komponen, indikator, dan variabel untuk kajian keberlanjutan lahan sawah Komponen
Nomor
Indikator
Variabel (atribut)
Indikator
Agroekosistem
Stres agroekosistem
Kerentanan
1
Modal sumberdaya lahan
Ketersediaan air (X1), N-total (X6), P-total (X8), K-total (X10), penguasaan lahan (X24)
2
Modal sumberdaya manusia
Pendidikan petani (X28), usia petani (X27)
3
Modal keuangan
Modal usaha tani (X15)
4
Modal infrastruktur
Kondisi irigasi (X11), fasilitas pengolahan pascapanen (X16), pemasaran (X17)
5
Modal sosial-budaya
Motivasi bertani (X20), persepsi terhadap harga padi (X21), persepsi terhadap konversi lahan (X19), keanggotaan dalam Poktan (X21), budaya lokal (X28),
6
Kualitas air
Bebas bahaya salinitas (X2)
7
Stress lahan
Potensi konversi lahan (X17)
8
Produksi
Produktivitas lahan keuntungan (X14)
9
Stres tanaman
Serangan hama dan penyakit tanaman (X4)
10
Penurunan kesuburan tanah
Kandungan C-organik tanah (X5), P-tersedia (X7), K-tersedia (X9)
12
Lingkungan
Bebas bahaya banjir (X3),
13
Ekonomi
Perolehan keuntungan (X12)
14
Sosial
Fragmentasi lahan (X25)
15
Ilmu dan teknologi
Adopsi teknologi (X22)
16
Kelembagaan dan sosial
Fungsi penyuluhan (X23), perolehan pupuk (X14)
(X12),
perolehan
agroekosistem
Pengelolaan agroekosistem
5.3.2 Penapisan Indikator Keberlanjutan Lahan Sawah Penapisan variabel indikator dimaksudkan untuk menyeleksi variabelvariabel indikator, sehingga diperoleh indikator utama yang mempengaruhi keberlanjutan pertanian lahan sawah. Proses penapisan variabel indikator menggunakan metode statistik
analisis faktor seperti yang dijelaskan oleh
Srivasta dan Carter (1983). Model matematik analisis faktor dapat dinyatakan dengan rumus:
X = µ + Λƒ + ε
142
X
= matrik variabel indikator keberlanjutan (p x n)
µ
= matrik nilai tengah indikator keberlanjutan (p x n)
Λ
= λ jk matrik faktor loading variabel indikator keberlanjutan (p x k)
ƒ
= matrik faktor (laten variables) (k x n)
ε
= matrik galat dengan ukuran k x n
p
= banyaknya variabel indikator keberlanjutan
n
= ukuran sampel
k
= banyaknya faktor yang dipilih. Penetapan banyaknya faktor yang dipilih dalam model ini berdasarkan
nilai eigen
matrik korelasi
> 1.0 (Srivasta dan Carter, 1983).
Untuk
memaksimalkan nilai keragaman, dilakukan rotasi faktor dengan menggunakan metoda varimax. Dalam penelitian ini, variabel indikator yang memiliki faktor loading ≥ 0.50 di setiap faktor dipilih sebagai indikator utama se tiap ZAELS. Penghitungan nilai parameter untuk model analisis
faktor dimaksud
menggunakan program statistik Systat versi 12.0.
5.3.3 Standarisasi Data Atribut Karena variabel indikator memiliki satuan yang berbeda-beda, maka data atribut indikator perlu distandarkan. Standarisasi data atribut diperlakukan di setiap variabel indikator (x) ke-j pada hasil pengukuran sampel ke-i hingga ke-n. Rumus yang digunakan untuk menstandarkan nilai atribut dimaksud adalah: (xji - min xj) Xji = (maks xj - min xj) Xji
= nilai standar pada variabel indikator utama ke-j pada sampel ke-i
xji
= nilai asli variabel indikator utama ke-j pada sampel ke-i
min xj = nilai minimum variabel indikator utama ke-j maks xj= nilai maksimum variabel indikator utama ke-j Melalui standarisasi seperti ini diperoleh data atribut dalam skala yang sama, sehingga dapat digunakan sebagai input data untuk penilaian IKLS. Nilai atribut standar yang dihasilkan memiliki kisaran 0 – 1.
143
5.3.4 Penilaian Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah Nilai Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah (IKLS) didasarkan pada nilai respon variabel-variabel indikator utama untuk masing-masing faktor yang diteliti, yaitu faktor lingkungan biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya. Penghitungan nilai IKLS
di setiap zona agroekologi menggunakan nilai standar dari variabel-
variabel indikator utama ketiga faktor tersebut. Nilai IKLS memiliki kisaran angka 0 – 1 (jika dikalikan 100 kisarannya menjadi 0 - 100). Kisaran nilai indeks ini menunjukkan bahwa semakin besar nilai indeks semakin baik tingkat keberlanjutannya. Sebaliknya, semakin rendah nilai indeks semakin buruk tingkat keberlanjutan. Dalam penelitian ini, nilai IKLS diklasifikasikan menjadi 4 kelas status keberlanjutan, yaitu: 0-25 (buruk), >25-50 (kurang), >50-75 (cukup), >75-100 (baik).
5.3.5 Pengkategorian Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah Pengkategorian nilai IKLS di setiap zona agroekologi menggunakan analisis diskriminan. Dengan analisis diskriminan, status keberlanjutan lahan sawah di setiap zona agroekologi dapat dikelompokkan apakah termasuk kategori buruk, kurang, cukup, atau baik. Model analisis diskriminan untuk pengkategorian IKLS di setiap zona agroekologi merupakan fungsi linear,
yang menurut Supranto
(2004) dapat dinyatakan sebagai berikut: Di = bo + b1Xi1 + b2Xi2 + b3Xi3 ......+ bjXij + .......+ bkXik Di
= nilai (skor) diskriminan dari kategori IKLS ke-i i = 1, 2, ........ n. D merupakan variabel tak bebas
Xij
= variabel (atribut) indikator utama ke-j dari kategori IKLS ke-i
bj
= koefisien diskriminan dari atribut indikator utama ke-j Penghitungan nilai parameter statistik seperti koefisien diskriminan dan nilai
eigen, korelasi kanonik, Wilk’s lamda (λ), serta nilai F untuk uji nyata statistik model menggunakan perangkat lunak Systat versi 12.0. Menurut Supranto (2004), nilai eigen mencerminkan tingkat superior fungsi diskriminan. Korelasi kanonik mengukur seberapa kuat asosiasi antara skor diskriminan dan kelompok (kategori). Wilk’s lamda nilainya antara 0 dan 1.
144
Kalau nilai besar (mendekati 1)
menunjukkan bahwa rata-rata antar kelompok tidak berbeda, sebaliknya kalau angkanya kecil (mendekati 0), rata-rata kelompok sangat berbeda, artinya fungsi diskriminan yang diperoleh adalah cukup nyata untuk membedakan suatu kelompok. 5.4 Hasil dan Pembahasan 5.4.1 Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah Hasil analisis faktor (Tabel Lampiran 4-12) menunjukkan bahwa setiap zona agroekologi lahan sawah memiliki indikator utama yang berbeda-beda. Indikator utama hasil seleksi dengan faktor analisis tersebut didasarkan pada nilai muatan faktor (faktor loading) minimal 50%. Nilai varian faktor dari indikator utama untuk semua zona agroekologi berkisar dari 71.20% hingga 94.2%. Nilai varian minimum ditunjukkan oleh indikator utama keberlanjutan lahan sawah di zona B (S1/IP200), sedangkan terbesar di zona F (S2/IP100). Berdasarkan hasil analisis diskriminan (Tabel 34), nilai IKLS dari indikator utama yang terseleksi dengan analisis faktor dapat dikategorikan menjadi dua kelas, yaitu “cukup berkelanjutan” (nilai IKLS rata-rata: 52% - 60%) dan “kurang berkelanjutan” (nilai IKLS rata-rata: 43% - 50%) . Indikator utama tersebut ada yang berperan sebagai faktor penghambat dan pendukung keberlanjutan lahan sawah. Indikator utama yang berperan sebagai faktor penghambat ditunujukkan dengan nilai koefisien diskriminan negatif, sedangkan yang berperan sebagai faktor pendukung ditunjukkan dengan nilai koefisien diskriminan positif. Kategori IKLS dari hasil analisis diskriminan dipetakan pada Gambar 54. Hasil pemetaan tersebut menunjukkan bahwa status keberlanjutan lahan sawah di P. Jawa dengan luas total 3,101,354 ha terdiri dari 2,867,055 ha (92%) dengan kategori “cukup berkelanjutan” dan 234,299 ha (8%) dengan kategori ”kurang berkelanjutan”.
Lahan sawah yang termasuk kategori ”cukup berkelanjutan”
meliputi zona A (S1/IP300), B (S1/IP200), C (S2/IP100), dan D (S2/IP300), G (S3/IP300) dan H (S3/IP200); sedangkan yang termasuk kategori ”kurang berkelanjutan” terdiri dari zona E (S2/IP200), F (S2/IP100), dan I (S3/IP100). Seperti yang diperlihatkan pada Tabel 35, zona agroekologi lahan sawah yang memiliki status ”cukup berkelanjutan” tersebut sebagian besar merupakan dataran aluvial volkanik dengan jenis tanah dominan: Alluvial (Epiaquepts),
145
Tabel 34. Hasil analisis diskriminan untuk pengkategorian IKLS berbasiskan zona agroekologi Zona Agroekologi
Kategori IKLS
A (S1/IP300)
Cukup berkelanjutan
B (S1/IP200)
Cukup berkelanjutan
Fungsi Diskriminan (Di)
Frasio
Nilaip
0.11
29.55
0.00
0.29
30.63
0.00
0.03
23.85
0.01
0.02
20.53
0.06
0.06
15.25
0.00
0.04
25.46
0.00
Wilk’s λ
0.39X1 + 0.34X2 – 0.02X3 + 0.01X4 – 0.16X5 – 0.16X6 – 0.06 X7 + 0.16X8 – 0.11X9 – 0.71X10 – 0.16X12 – 0.01X13 – 1.24X14 + 0.16X15 + 1.24X16 + 0.24X17 + 0.21X18 + 0.20X20 + 0.50X21 + 0.31X22 + 0.14X23 – 1.64X24 – 0.05X25 – 0.08X26 – 0.17X27 – 0.50X28; (Rk = 0.94) – 0.06X1 + 0.18X2 – 0.23X3 – 0.24X5 – 0.40X6 – 0.04X7 + 0.64X8 – 0.34X9 + 0.21X10 + 0.23X11 – 0.16X13 – 0.24X14 – 0.20X15 + 0.19X16 + 0.21X17 + 0.09X18 – 0.03X19 + 0.21X20 + 0.18X21 + 0.57X23 – 0.60X24 – 0.24X26 - 0.23X27 + 0.34X28; (Rk = 0.85)
C (S1/IP100)
Cukup berkelanjutan
–7.53X1 + 6.05X2 + 1.68X3 + 0.03 X4 – 0.46X5 – 4.09X6 + 4.04X7 + 0.24X8 – 7.35X9 + 0.21X10 – 0.23X11 – 0.16X12 – 0.09X13 – 0.24X14 + 0.27X15 + 0.19X16 + 0.21X17 + 0.09X18 – 0.80X19 + 0.25X20 + 0.20X21 + 0.31X22 + 0.57X23 – 0.70X24 -– 0.05X25 – 0.27X26 – 0.23X27 + 0.64X28; (Rk = 0.98)
D (S2/IP300)
Cukup berkelanjutan
1.35X1 + 2.76X2 + 1.21X3 + 0.72X4 + 2.91X5 + 4.23X6 + 0.07X7 + 0.10X8 + 2.64X9 + 0.51X10 + 1.89X11 – 3.23X12 - 0.87X13 - 0.89X14 – 0.65X15 + 1.43X16 + 0.65X17 + 0.09X18 - 0.85X19 + 0.35X20 + 0.22X21 + 0.33X22 + 0.67X23 - 0.71X24 - 0.15X25 - 0.21X26 - 0.25X27 - 0.66X28; (Rk = 0.95)
E (S2/IP200)
Kurang berkelanjutan
0.45X2 + 0.10X3 + 2.07X4 - 1.52X5 – 0.94X6 – 0.15X7 – 0.23X8 – 3.95 X9 – 0.20X10 + 1.51X11 – 0.09X12 – 0.45X13 – 0.78X14 - 0.40X15 + 1.32X16 + 2.34X17 + 0.23X18 - 0.45X19 + 1.10X20 - 0.62X24 - 1.18X26 – 0.75X27 + 2.91X28; (Rk = 0.97)
F (S2/IP100)
Kurang berkelanjutan
– 0.67 X1 + 1.39X3 – 0.23X4 + 1.04X4 – 7.04X5 – 12.40X6 – 0.54X7 – 4.14X8 – 4.05 X9 + 0.67X10 – 0.77X11 – 2.59X12 – 1.46X13 – 0.78X14 + 1.31X15 + 0.45X16 + 0.38X17 + 0.77X18 – 1.45X19 – 0.33X20 – 0.41X21 + 1.66X22 – 0.23X23 – 0.45X24 + 0.33X25 – 0.33X26 – 0.44X27 + 1.31X28 (Rk = 0.98)
146
Tabel 34 (lanjutan) Zona Agroekologi G (S3/IP300)
Kategori IKLS
Fungsi Diskriminan (Di)
Cukup berkelanjutan
1.24X1 + 0.14X2 + 1.60X3 + 1.94X4 +– 0.50X5
Wilk’s λ
Frasio
Nilaip
0.12
2.80
0.05
0.12
3.01
0.03
0.02
26.15
0.00
– 1.60X6 – 1.73X7 + 0.87X8 – 2.08X9 + 0.15X10 + 0.5X11 - 4.28X12 – 1.23X13 – 1.67 X15 + 0.46X16 + 0.26X17 + 0.35X18 – 0.15X19 + 0.58X20 + 1.72X21 + 1.33X22 + 2.83X23 - 1.52X24 - 5.75X25 - 0.94X26 – 0.01 X27 - 0.34X28; (Rk = 0.94)
H (S3/IP200)
Cukup berkelanjutan
–7.60X1 + 0.35X2 + 3.22 X3 + 3.70X4 – 1.02X5 – 0.15X6 – 6.12X7 – 7.06X8 – 6.96X9 + 6.50X10 – 6.40X11 – 0.78X12 – 1.02X13 – 0.63X14 + 2.39X15 + 1.37X16 + 0.19X17 + 1.78X18 – 4.24X19 + 0.80X20 + 0.73X21 + 2.39X22 + 0.72X23 – 1.55X24 – 1.61X 25 – 0.81X27 + 6.60X28; (Rk = 0.94)
I (S3/IP100)
Kurang berkelanjutan
– 1.17X1 + 0.30X3 + 10.13X4 – 1.32X5 – 0.47X6 – 0.11X7 – 0.10X8 – 0.02X9 – 0.10X10 – 1.50X11 – 0.64X12 – 10.27X13 – 0.23X14 + 0.30X15 + 0.20X16 + 1.77X17 + 5.67X18 – 3.50X19 – 2.13X20 + 0.28X21 + 0.31X22 + 0.53X23 – 5.18X24 – 2.74X25 – 0.51X26 – 0.31X27 + 0.30X28; (Rk = 0.99)
Keterangan: X1: ketersediaan air, X2: salinitas, X3 : bahaya banjir, X4 : hama & penyakit tanaman, X5 : C-organik X6 : N-total, X7 : P-tersedia, X8 : P-total, X9 : K-tersedia, X10 : K-total, X11 : irigasi, X12 : keuntungan, X13 : modal usahatani, X14 : akses pupuk, X15: konversi lahan, X16 : fasilitas pascapanen, X17 : pemasaran, X18 : motivasi bertani, X19 : persepsi terhadap harga padi HPP, X20 : penolakan konversi lahan, X21 : keanggotaan Poktan, X22 : adopsi teknologi, X23 : penyuluhan, X24 : penguasaan lahan, X25 : fragmentasi lahan, X26 : pendidikan petani, X27 : usia petani, X28 : budaya lokal Rk : korelasi kanonik
Grumusol (Epiaquerts), Latosol (Eutrudepts), dan Regosol (Udipsamments); sedangkan yang kurang berkelanjutan terjadi pada lahan sawah dengan jenis tanah dominan Podsolik (Epiaquults). Hasil analisis pada Gambar 55 menunjukkan bahwa indeks keberlanjutan lahan sawah di setiap zona agroekologi memiliki nilai indeks faktor biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya yang berbeda-beda. Sebagian besar nilai indeks dari setiap faktor yang mempengaruhi keberlanjutan lahan sawah tersebut berkisar antara 36% dan 76%. Nilai indeks terendah dan tertinggi ditunjukkan oleh faktor biofisik, yaitu 36% di zona I (S3/IP100) dan 76% di zona D (S3/IP300).
Nilai
indeks faktor ekonomi terendah (45%) ditunjukkan oleh zona E (S2/IP200), sedangkan tertinggi (59%) ditunjukkan oleh zona C (S1/IP100). Untuk faktor
147
Gambar 54 . Peta indeks keberlanjutan lahan sawah pulau Jawa
148
sosial-budaya, nilai indeks terendah (44%) ditunjukkan oleh zona I (S3/IP100), sedangkan tertinggi (58%) ditunjukkan oleh zona C (S1/IP100) dan H (S3/IP200). Untuk zona B (S1/IP200) dan H (S3/IP200) yang mendominasi lahan sawah di Jawa, nilai indeks faktor biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya berkisar antara 50% dan 58%. Zona B memiliki nilai indeks antara 53% dan 55%, sedangkan zona H (S3/IP200) antara 50% dan 58%. Nilai indeks terendah di zona B (S1/IP200), yaitu 53%, ditunjukkan oleh faktor biofisik dan ekonomi. Untuk zona Ekonomi (0,56) 100
Ekonomi (59%) 100
Ekonomi (53%) 100 80
80
80 60
60
60
40
40
40
20 0
20 0
20 0
Biofisik (51%) Sos-bud (53%) Zona A (S1/IP300)
Biofisik (53%) Sos-bud (55%) Biofisik (57%) Sos-bud (58%) Zona B (S1/IP200) Zona C (S1/IP100)
Ekonomi (54%) 100
Ekonomi (45%) 100
80 60
Ekonomi (59%) 100
80
80
60
60
40
40
20 0
20 0
40 20 0
Biofisik (44%) Biofisik (76%)
Sos-bud (51%) Zona D (S2/IP300) Ekonomi (54%) 100
Biofisik (71%)
Sos-bud (48%)
Sos-bud (50%)
Biofisik (49%)
Zona F (S2/IP100)
Zona E (S2/IP200)
Ekonomi (50%) 100
Ekonomi (49%) 100
80
80
80
60
60
60
40
40
40
20
20
20
0
0
0
Sos-bud (58%) Sos-bud (55%) Biofisik (54%) Zona G (S3/IP300) Zona H (S3/IP200)
Sos-bud (44%)
Biofisik (36%) Zona I (S3/IP100)
Gambar 55. Indeks keberlanjutan lahan sawah di setiap zona agroekologi
149
Tabel 35. Indeks keberlanjutan lahan sawah (IKLS) di Jawa berdasarkan zona agroekologi ZAE
Bentuklahan
A (S1/IP300)
Dataran alluvial, topografi datar
Jenis Tanah Dominan
Irigasi
IKLS
Aluvial,Grumusol
Baik
Cukup berkelanjutan
Sedang-Baik
Cukup berkelanjutan
(Epiaquepts, Epiaquerts) B (S1/IP200)
Dataran alluvial-volkanik,
Alluvial, Grumusol
topografi datar-berombak
(Epiaquepts, Epiaquerts)
C (S1/IP100)
Dataran alluvial volkanik, topografi datar-berombak
Aluvial (Epiaquerts)
Tadah hujan
Cukup berkelanjutan
D (S2/IP300)
Dataran sedimen tufa, topografi berombak-bergelombang
Latosol , Podsolik (Epiaqualfs, Epiaquults)
Baik
Cukup berkelanjutan
E (S2/IP200)
Dataran sedimen tufa, topografi berombak-bergelombang
Podsolik (Epiaquults)
Sedang-Baik
Kurang berkelanjutan
F (S2/IP100)
Dataran sedimen tufa, topografi berombak-bergelombang
Latosol (Epiaqualfs)
Tadah hujan
Podsolik (Epiaquults)
Kurang berkelanjutan
Dataran volkanik, topografi bergelombang-berbukit
Baik
(Eutrudepts)
Cukup berkelanjutan
Sedang-Baik
Cukup berkelanjutan
Tadah hujan
Kurang berkelanjutan
G (S3/IP300)
H (S3/IP200)
I (S3/IP100)
Lereng volkanik, topografi bergelombang-berbukit Dataran hillok sedimen tuf
berbatuan
Latosol
Latosol (Eutrudepts) Regosol (Udipsamments) Podsolik (Dystrudepts)
H (S3/IP300), nilai indeks terendah ditunjukkan oleh faktor ekonomi (50%). Beragamnya nilai indeks tersebut menunjukkan bahwa tingkat pengaruh faktor biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya terhadap keberlanjutan lahan sawah berbedabeda, tergantung pada karakteristik lahan zona agroekologinya yang dicerminkan oleh indikator dari setiap faktor.
5.4.1.1 Faktor Biofisik Indikator utama faktor biofisik yang mempengaruhi keberlanjutan lahan sawah diilustrasikan pada Gambar 56a, 56b, 56c. Berdasarkan hasil analisis diskriminan (Tabel 34), indikator utama faktor biofisik yang mengancam keberlanjutan lahan sawah (nilai koefisien diskriminan negatif) di zona agroekologi yang telah dipetakan umumnya berbeda-beda (Tabel 36). Dari aspek tanah, indikator C-organik (rata-rata 1.29%), N-total (rata-rata 0.13%), Ptersedia (rata-rata 9.14 ppm), dan K-tersedia (rata-rata 100.45 ppm) mengancam keberlanjutan lahan sawah di semua zona agroekologi. Menurut Pramono (2004),
150
rendahnya kandungan C-organik tanah menunjukkan kondisi tanah sawah sudah diusahakan lama secara
intensif dengan penggunaan pupuk kimia dosis tinggi,
sehingga tanah mengalami gejala sakit. Kondisi ini berakibat tanah menjadi tidak produktif lagi atau mengalami pelandaian produktivitas karena terganggunya Tabel 36. Indikator utama faktor biofisik yang mengancam keberlanjutan lahan sawah Zona Agroekologi
Indikator Utama
A (S1/IP300)
Bahaya banjir (β: -0.02), C-organik (β: -0.16) N-total (β: -0.16 ), P-tersedia (β:-0.06), K-tersedia (β: -0.11), K-total (β: -0.71)
B (S1/IP200)
Ketersediaan air (β: -0.06), Bahaya banjir (β: -0.23), C-organik (β: -0.24), N-total (β: -0.40), P-tersedia (β: -0.04), K-tersedia (β : -0.34)
C (S1/IP100)
Ketersediaan air (β:-7.53), C-organik (β: -0.46), N-total (β:-4.09), Ktersedia (β: -7.53), kondisi irigasi (β:-0.23)
D (S2/IP300)
C-organik (β: -2.91), N-total (β: -4.23). P-tersedia (β:-0.07)
E (S2/IP200)
Bahaya banjir (β: -0.10), C-organik (β: -1.52), N-total (β:-0.94), P-tersedia (β:-0.15), P-total (β: -0.23), K-tersedia (β: -3.95), K-total (β: -0.20)
F (S2/IP100)
Ketersediaan air (β: -0.67), serangan hama dan penyakit tanaman (β: -0.23), C-organik (β: -7.04, N-total (β: -12.40), P-tersedia (β: -0.54), P-total (β: 4.14), K-tersedia (β: -4.05), kondisi irigasi (β: -0.77)
G (S3/IP300)
C-organik (β: -0.50), N-total (β: -1.60), P-tersedia (β: -1.73), K-tersedia (β : -2.08)
H (S3/IP200)
Ketersediaan air (β: -7.60), C-organik (β: -1.02), N-total (β: -0.15), Ptersedia (β: -6.12), P-total (β: -7.06), K-tersedia (β: -6.96), kondisi irigasi (β: -6.40)
I (S3/IP100)
Ketersediaan air (β: -1.17), C-organik (β: -1.32), N-total (β: -0.47). Ptersedia (β: -0.11), P-total (β: - 0.10), K-tersedia (β: -0.02), K-total (β: 0.10), kondisi irigasi (β: -0.150)
Keterangan: β = koefisien diskriminan (disarikan dari fungsi diskriminan pada Tabel 34)
keseimbangan hara tanah. Adiningsih (1992) mengemukakan bahwa indikasi pelandaian produktivitas lahan sawah disebabkan oleh degradasi kesuburan tanah dan perubahan fisik akibat reaksi fisiko-kimia tanah sawah. Berdasarkan data BPS (2001-2008), pelandaian produktivitas lahan sawah mencapai 52,48 kw/ha (Gambar 59). Menurut Mulyanto et al. (2000), rendahnya organik
kandungan
C-
tanah sawah karena dikonsumsi oleh mikroorganisma tanah untuk
151
Zona A (S1/IP300) K-total
51%
Indikator Utama
K-tersedia
33% 70%
P-total P-tersedia
30%
N-total
16%
C-organik
36%
Bebas Hama dan Penyakit Tanaman
60% 52%
Bebas Banjir Tingkat Salinitas
78%
Ketersediaan air
80%
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Nilai Indeks Zona B (S1/IP200) Indikator Utama
Kondisi irigasi
73% 83%
K-total
23%
K-tersedia
67%
P-total
14%
P-tersedia
34%
N-total C-organik
42%
58%
Bebas Banjir Tingkat Salinitas
70% 53%
Ketersediaan air
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Nilai Indeks Zona C (S1/IP100)
Indikator Utama
Kondisi Irigasi
10%
K-total
80% 51%
K-tersedia P-total
80% 65%
P-tersedia
39%
N-total C-organik
40% 80%
Bebas Hama dan Penyakit Tanaman
90%
Bebas Banjir
78%
Tingkat Salinitas Ketersediaan air
0.0
10% 0.2
0.4
0.6
0.8
Nilai Indeks
Gambar 56a.
Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor biofisik zona A (S1/IP300), B (S1/IP200), dan C (S1/IP100)
152
1.0
Zona D (S2/IP300) 90%
Indikator Utama
Kondisi irigasi
86%
K-total
63%
K-tersedia
86%
P-total
52%
P-tersedia
59%
N-total
52%
C-organik
86%
Bebas Hama dan Penyakit Tanaman
93%
Bebas Banjir
79%
Tingkat Salinitas
86%
Ketersediaan air
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Nilai Indeks Zona E (S2/IP200) 72%
Kondisi irigasi
44%
Indikator Utama
K-total
26%
K-tersedia P-total
47%
P-tersedia
26%
N-total
41%
C-organik
39% 64%
Bebas Hama dan Penyakit Tanaman
55%
Bebas Banjir
77%
Tingkat Salinitas
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Nilai Indeks Zona F (S2/IP100) 8%
Indikator Utama
Kondisi irigasi
92%
K-total
26%
K-tersedia
50%
P-total
54%
P-tersedia
27%
N-total
25%
C-organik
Bebas Hama dan Penyakit Tanaman
17%
92%
Bebas Banjir
50%
Ketersediaan air
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
Nilai Indeks
Gambar 56b.
Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor biofisik zona D (S2/IP300), E (S2/IP200), dan F (S2/IP100)
153
1.0
Zona G (S1/IP300) Kondisi irigasi
96% 81%
Indikator Utama
K-total 45%
K-tersedia
76%
P-total P-tersedia
40%
N-total
40% 55%
C-organik
91%
Bebas Hama dan Penyakit Tanaman Bebas Banjir
82%
Tingkat Salinitas
77% 97%
Ketersediaan air 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Nilai Indeks Zona H (S3/IP200) 56%
Kondisi irigasi
Indikator Utama
K-total
67% 28%
K-tersedia P-total
54% 34%
P-tersedia
35%
N-total
39%
C-organik
66%
Bebas Hama dan Penyakit Tanaman Bebas Banjir
93%
Tingkat Salinitas
78% 56%
Ketersediaan air 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Nilai Indeks Zona I (S3/IP100) 4%
Kondisi irigasi
40%
K-total
25%
Indikator Utama
K-tersedia
40%
P-total
33%
P-tersedia
28%
N-total
26%
C-organik
60%
Bebas Hama dan Penyakit Tanaman Bebas Banjir
96% 4%
Ketersediaan air
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Nilai Indeks
Gambar 56c.
Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor biofisik zona G (S3/IP300), H (S3/IP200), dan I (S3/IP100) 154
proses mineralisasi, penguapan dalam bentuk gas karbondioksida (CO2) dan gas metan (CH4). Rendahnya kandungan C-organik tanah mengakibatkan unsur hara N menjadi rendah karena suplai N pada tanah sawah salah satunya berasal dari proses mineralisasi bahan organik oleh mikroba tanah tertentu yang menghasilkan amonium (NH4+) dan nitrat (NO3-) (Prasetyo et al., 2004). Adiningsih et al. (2004) menambahkan bahwa rendahnya kandungan C-organik tanah
dapat
mengakibatkan penurunan efisiensi pemupukan P. Rendahnya ketersediaan unsur hara P, menurut Sofyan et al. (2000) karena sebagian besar terikat dalam tanah. Efisiensi
pemupukan P pada tanah sawah sangat rendah, hanya sekitar 10-
20% dari jumlah pupuk yang diberikan. Rendahnya ketersediaan unsur hara K bisa dimaklumi karena sifat inheren kation K+ ini yang monovalen, sehingga mudah hilang tercuci oleh air. Selain itu, seperti yang dijelaskan oleh Krauskopf (1979), kation K+ hasil pelapukan mineral primer (K-feldspar) terikat cukup kuat pada permukaan lapisan-lapisan Si-tetrahedron
mineral liat (illit dan
muskovit) yang bermuatan negatif. Ketersediaan unsur hara K rata-rata 100 ppm yang terukur dalam penelitian ini sebenarnya cukup memenuhi kebutuhan unsur hara K yang diperlukan oleh tanaman padi sawah karena cadangan unsur hara K (K-total) tanah sawah di semua zona agroekologi cukup tinggi (> 400 ppm). Kelangsungan ketersediaan unsur hara K ini juga didukung oleh kearifan lokal petani dalam pengolahan tanah sawah dengan cara mencangkul atau membajak tanah sawah (sapi bajak) yang membalikkan lapisan olah pada kedalaman 20 – 30 cm sebagai tempat terakumulasinya unsur hara K yang tercuci dari lapisan atas. Menurut Poniman (1989), pengolahan tanah sawah dengan sapi bajak atau mencangkul merupakan ciri khas budaya padi di Jawa dan Bali karena kondisi tanahnya yang berbahan induk bahan volkan. Indikator utama lainnya yang berperan sebagai faktor penghambat keberlanjutan lahan sawah adalah ketersediaan air dan atau kondisi irigasi. Ancaman kedua indikator tersebut
terjadi di zona C (S1/IP100), F (S2/IP100),
dan I (S3/IP100), yang ada di daerah Jawa Barat (64,156 ha; 1.80%),
provinsi Banten
(467 ha; 0.01%),
Jawa Tengah (36,926 ha; 1.03% ), D.I
Yogyakarta (9,251 ha; 0.26%) , dan Jawa Timur (22,147 ha; 0.63%).
Ancaman
indikator ketersediaan air dan kondisi irigasi ini bisa dimaklumi, mengingat
155
1.80 C-organik
1.60
N-total
Persen (%)
1.40 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20
A
(S 1/ IP 30 0) B (S 1/ IP 20 0) C (S 1/ IP 10 0) D (S 2/ IP 30 0) E (S 2/ IP 20 0) F (S 2/ IP 10 0) G (S 3/ IP 30 0) H (S 3/ IP 20 0) I( S3 /IP 10 0)
0.00
Zona Agroekologi
4.00 3.50 3.00
P-tersedia
2.50
P-total
2.00
K-tersedia
1.50
K-total
1.00 0.50 0.00
A
(S 1/ IP 30 0) B (S 1/ IP 20 0) C (S 1/ IP 10 0) D (S 2/ IP 30 0) E (S 2/ IP 20 0) F (S 2/ IP 10 0) G (S 3/ IP 30 0) H (S 3/ IP 20 0) I( S3 /IP 10 0)
Tingkat Kandungan Hara
Gambar 57. Kandungan unsur hara C-organik dan N-total di setiap zona agroekologi lahan sawah di Jawa
Zona Agroekologi
Keterangan:
P-tersedia (ppm) – P2O5 Skor 0 – 1 : sangat rendah (< 10) Skor 1 – 2 : rendah ( 10 – 15) Skor 2 – 3 : sedang (16 – 25) Skor 3 – 4 : tinggi (26 – 35)
P-total (mg/100g) – P2O5 Skor 0 – 1 : sangat rendah (< 10) Skor 1 – 2 : rendah ( 10 –20) Skor 2 – 3 : sedang (21 – 40) Skor 3 – 4 : tinggi (41 – 60)
K-tersedia (mg/100g) – K2O Skor : 0 – 1 : sangat rendah (< 5) Skor : 1 – 2 : rendah ( 5 - 10) Skor : 2 – 3 : sedang (11 - 15) Skor : 3 – 4 : tinggi (16 – 25)
K-total (mg/100g) – K2O Skor : 0 – 1 : sangat rendah (< 10) Skor : 1 – 2 : rendah ( 10 – 20) Skor : 2 – 3 : sedang (21 - 40) Skor : 3 – 4 : tinggi (41 - 60)
Sumber: CSR/FAO Staff (1983)
Gambar 58. Tingkat kandungan unsur hara P dan K di setiap zona agroekologi lahan sawah di Jawa (n = 624, α = 4%)
ketiga zona agroekologi tersebut merupakan sawah tadah hujan dengan agroklimat tipe C3 dan D3 yang memiliki periode bulan Prediksi
suplai
air dan
kebutuhan
156
basah 3–6 bulan.
air tanaman padi sawah
varietas
Produktivitas (kw/ha)
60 50 40 30 20 10 0 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun
Gambar 59. Produktivitas lahan sawah di Jawa (2001 – 2008) (Sumber data: BPS, 2008)
Ciherang
yang
dominan
ditanam
di
Jawa,
seperti pada Tabel 37,
menunjukkan bahwa pada musim hujan (musim tanam), suplai air sekitar 8.4 – 9.7 juta liter/ha di ketiga zona agroekologi ini masih cukup untuk memenuhi kebutuhan air yang diperlukan oleh tanaman padi sawah varietas Ciherang, yaitu sekitar 8.0 – 9.2 juta liter/ha. Selain pada ketiga zona tersebut, indikator ketersediaan air juga cukup berpotensi mengancam keberlanjutan lahan sawah di Jawa karena sebagian besar zona agroekologi yang didominasi oleh zona B (S1/IP200) dan H (S3/IP200) memiliki nilai indeks mendekati angka batas kritis
antara 0.53 dan 0.54, yang
status ”kurang berkelanjutan”. Ancaman
keberlanjutan lahan sawah tersebut dimungkinkan disebabkan oleh menurunnya daya dukung sumberdaya air karena peningkatan jumlah penduduk dan perubahan iklim. Penelitian yang dilakukan oleh Guritno (2006) menyimpulkan bahwa daya dukung sumberdaya air di Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, dan Jawa Timur yang berperan sebagai lumbung beras sudah terlampaui. Terlampauinya daya dukung
sumberdaya air tersebut ditunjukkan oleh indikator bahaya
banjir yang sering menimpa di beberapa wilayah di Jawa. Dalam penelitian ini, indikator bahaya banjir mengancam keberlanjutan lahan sawah yang ada di zona A (S1/IP300) dan zona B (S1/IP200), yang cakupannya cukup luas (sekitar 2 juta ha) Kejadian banjir yang sering terjadi merupakan banjir genangan di dataran
157
Tabel 37. Prediksi suplai air dan kebutuhan air tanaman padi sawah varietas Ciherang di Jawa Zona Agroekologi
Tipe Agroklimat1)
Curah Hujan Efektif 2) (mm/musim)
Tipe Irigasi
Debit Air Irigasi3) (l/det/ha)
Suplai Air per Musim (liter/ha)
Kebutuhan Air per Musim5) ( liter/ha)
4)
A (S1/IP300)
A1, B1, B2
1,040
Teknis
10
105,440,000
9,187,724
B (S1/IP200)
B3
1,000
Teknis
5
57,520,000
9,187,724
C (S1/IP100)
D3
968
Tadah hujan
0
9,680,000
9,187,724
D (S2/IP300)
A1,B1,B2
1,032
Teknis
10
105,360,000
8,607,768
E (S2/IP200)
C3
960
Teknis
5
57,120,000
8,607,768
F (S2/IP100)
D3
888
Tadah hujan
0
8,880,000
8,607,768
G (S3/IP300)
A1,B1, B2
1,020
Teknis
10
105,240,000
7,982,026
H (S3/IP200)
C3
920
Teknis
5
56,720,000
7,982,026
I. (S3/IP100)
D3
840
Tadah hujan
0
8,400,000
7,982,026
Keterangan: 1) 2) 3) 4) 5)
: Berdasarkan peta agroklimat BMG (2008) : Dihitung dengan rumus: 0.80 x CH bulan basah rata-rata pada periode 1998-2007 : Berdasarkan peta potensi indikasi air tanah dan daerah irigasi (Departemen PU, 2003) : Dihitung dengan rumus: suplai air irigasi + curah hujan efektif (Arsyad, 2006) : Dihitung berdasarkan konsumsi air padi sawah varietas Ciherang 2.348 liter/kg beras, hasil penelitian Nurrochmad (2007). Lama muism tanam 110 hari. Data produktivitas padi didasarkan pada data BPS (2007), yaitu Zona A (S1/IP300): 6.02 ton/GKG/ ha, zona B (S1/IP200): 6.02 ton GKG /ha, zona C (S1/IP100): 6.02 ton GKG/ha, zona D (S2/IP300): 5.64 ton GKG /ha, zona E (S2/IP200: 5.64 ton GKG/ha, zona F (S2/IP100): 5.64 ton GKG/ha, zona G (S3/IP300): 5.02 ton GKG /ha, zona H (S3/IP200): 5.02 ton GKG/ha, zona I (S3/IP100): 5.02 ton GKG/ha. Angka rendemen padi sawah 65 %.
banjir atau banjir bandang di daerah perbukitan dari daerah aliran sungai (DAS) bagian hulu; seperti yang terjadi di kecamatan Panti, kabupaten Jember (provinsi Jawa Timur), kecamatan Sidareja, kabupaten Cilacap (provinsi Jawa Tengah), dan kecamatan Kibin, kabupaten Serang (provinsi Banten). Masalah banjir di Jawa salah satunya dipicu oleh penggundulan hutan di DAS bagian hulu seperti yang sering menimpa daerah persawahan dan permukiman dikecamatan Panti, kabupaten Jember. Ancaman bencana banjir di daerah ini adalah sebagai akibat penggundulan hutan oleh masyarakat di wilayah DAS (Daerah Aliran Sungai ) Bedadung bagian hulu atau lereng atas gunung Argopuro. Penggundulan hutan diisebabkan oleh adanya kesenjangan sosial dan ekonomi masyarakat di sekitar
158
wilayah DAS Bedadung bagian hulu tersebut (Tenure dan Huma, 2008). Hasil kajian perubahan penutup lahan dengan citra satelit ETM yang dilakukan oleh LAPAN (2006) menunjukkan bahwa lahan di DAS Bedadung bagian hulu didominasi oleh tanaman semusim dan semak belukar yang tidak memiliki daya serap air baik dan perakarannya kurang dalam. bahwa
Arsyad (2006) menjelaskan
penggundulan hutan mengakibatkan hilangnya penutup vegetasi yang
berperan menekan laju aliran permukaan atau meningkatkan infiltrasi tanah. Sampai saat ini, lahan di DAS Bedadung bagian hulu tersebut masih kritis, sehingga sewaktur-waktu pada musim hujan bencana banjir berpotensi merusak daerah permukiman, tanaman padi dan infrastruktur jaringan irigasi di zona B (S1/IP200) dan G (S3/IP300) yang terletak di bagian hilir DAS Bedadung atau lereng bawah gunung Argopuro. Ancaman bencana banjir terhadap keberlanjutan sawah ini nampaknya masih memerlukan kewaspadaan karena tendensi frekwensi kejadian banjir per tahun diprediksi masih cukup tinggi (Gambar 60).
Frekuensi Banjir/th
30 25 20 Kejadian aktual
15
Tendensi kejadian
10 5 0 1997
1998
1999
2000'
2001
2002
Tahun
Gambar 60. Tendensi perubahan frekuensi banjir di Jawa (Guritno, 2006) Selain disebabkan oleh penggundulan hutan di DAS bagian hulu, masih maraknya kejadian banjir di Jawa dimungkinkan disebabkan oleh perubahan iklim. Susandi (2009) mengemukakan hasil penelitiannya bahwa perubahan iklim di Indonesia telah terjadi, yang ditandai dengan munculnya fenomena cuaca ekstrim, badai tropis yang semakin sering, dan pergeseran musim. Pergeseran musim dapat mengakibatkan musim hujan memendek/musim kemarau memanjang atau musim hujan memanjang/musim kemarau memendek. Seperti yang diperlihatkan pada Gambar 61, sebagian besar wilayah di Jawa telah mengalami pergeseran musim 0.1 – 1.5 hari per tahun. Apabila musim hujan menjadi lebih panjang,
159
petani dimungkinkan diuntungkan karena ketersediaan air untuk menanam padi menjadi surplus. Sebaliknya, apabila musim kemarau menjadi lebih panjang, petani akan mengalami kesulitan air untuk menanam padi. Memanjangnya musim kemarau sebagai dampak perubahan iklim ini diduga juga ikut memicu terjadi keterbatasan air yang sering menimpa lahan sawah di Jawa.
Tetap
0.1-0.3 hari per tahun 0.4-0.6 hari per tahun 0.7-0.9 hari per tahun 1.0-1.2 hari per tahun 1.3-1.5 hari per tahun
0.1-0.3 hari per tahun 0.4-0.6 hari per tahun 0.7-0.9 hari per tahun 1.0-1.2 hari per tahun 1.3-1.5 hari per tahun
Gambar 61. Kecenderungan perubahan panjang musim (Susandi, 2009) Terjadinya fenomena yang terakhir ini ada yang direspon secara cerdas oleh para petani di kabupaten Bantul, provinsi DI. Yogyakarta (Gambar 62). Kearifan lokal petani di daerah ini berupaya untuk tetap dapat melakukan usahatani dengan menanam tanaman palawija (kacang tanah ) dan hortikultura (bawang merah) di lahan sawah pada musim kemarau, yaitu dengan membuat sumur untuk pengairan tanaman. Pengambilan air sumur dilakukan dengan ditimba dan disalurkan melalui parit-parit kecil. Penyiraman tanaman dilakukan dengan menggunakan gayung yang terbuat dari tempurung buah kelapa. Penggunaan penaung daun kelapa dimaksudkan untuk mengurangi evapotranspirasi persemaian bibit tanaman. Cara cerdas yang dilakukan oleh petani Bantul tersebut merupakan contoh sederhana adaptasi terhadap perubahan iklim yang dapat dijadikan contoh oleh petani di daerah lain dalam menyikapi kelangkaan air untuk bertani. Dalam penelitian ini, indikator yang berperan sebagai faktor pendorong keberlanjutan lahan sawah di sebagian besar zona agroekologi, seperti zona B (S1/IP200) dan H (S3/IP200) adalah tingkat salinitas yang rendah atau bebas bahaya salinitas (faktor loading: 0.76 – 0.79; nilai indeks:70% – 78%), kandungan
160
unsur hara K-total (faktor loading: 0.81 – 0.92 nilai indeks: 67% – 92%), dan kandungan unsur hara P-total (faktor loading: 0.77 – 0.83; nilai indeks: 54% – 67%). Bebas dari bahaya salinitas disebabkan oleh genesa bentuklahan yang ada
a) Gayung dari tempurung kelapa untuk menyiram tanaman
b) Sumur untuk pengairan tanaman
d) Naungan untuk mengurangi evapotranspirasi tanaman
c) Parit untuk pengairan
Gambar 62 Contoh kearifan lokal petani untuk tetap dapat bertani pada musim kemarau (Lokasi desa Parangtritis, kecamatan Kretek, kabupaten Bantul, provinsi DI. Yogyakarta, tanggal 15 Agustus 2009) terbentuk dari proses volkanik dan fluvial, bukan proses marin. Tingginya unsur hara K di daerah penelitian ini diduga disebabkan oleh bahan induk tanah berasal dari batuan volkanik andesitik. Mohr (1944) menunjukkan bahwa batuan volkan di seluruh Jawa sebagian besar bersifat intermedier (andesitik atau andesitik basaltik) dengan kandungan silika (SiO2)
berkisar 49,95 hingga 59,91%.
Menurut Krauskopf (1979) dan Sarwono (2003), unsur hara K dalam tanah bersumber dari mineral feldspar (ortoklas) yang bersifat felsik atau masam.
161
kandungan hara P-total yang tinggi diprediksi merupakan hasil akumulasi pemupukan P yang telah berlangsung lama.
5.4.1.2 Faktor Ekonomi Pengaruh indikator utama terhadap keberlanjutan lahan sawah diilustrasikan pada Gambar 63a, 63b, 63c. Berdasarkan koefisisan diskriminan yang bernilai negatif (Tabel 34), indikator utama faktor ekonomi yang mengancam (penghambat) keberlanjutan lahan sawah umumnya meliputi
indikator
keuntungan, modal usahatani, akses pupuk , dan potensi konversi lahan (Tabel 38). Dari keempat indikator utama tersebut, indikator modal usahatani dan akses pupuk sensitif mempengaruhi keberlanjutan lahan sawah di semua zona agroekologi. Hasil wawancara dengan petani memperlihatkan bahwa sebagian besar para petani memperoleh keuntungan pas-pasan (42%) dan rugi (22%). Yang mengaku memperoleh keuntungan layak hanya sekitar 36 %. Selain itu, sebagian besar petani juga mengeluh
kekurangan modal (54%) dan kesulitan
memperoleh pupuk (63%) (Gambar 64). Masalah perolehan keuntungan rendah berkaitan dengan ketimpangan penguasaan dan fragmentasi lahan.
Sempitnya lahan garapan mengakibatkan
proses produksi tidak efisien, sehingga keuntungan yang diperoleh petani bersifat marginal karena hasil yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya produksi yang dikeluarkan. Berdasarkan data BPS (2008b), kenaikan Nilai Tukar Petani (NTP) rata-rata di Jawa dari tahun 2004 – 2007 hanya sekitar 4%, yang tidak sebanding dengan kenaikan nilai inflasi setiap tahun sekitar 10%. Kenaikan NTP tersebut tidak merata di semua wilayah. Nilai NTP tertinggi dicapai di provinsi D.I Yogyakarta: 122.73 – 127.67, kemudian menyusul secara berurutan provinsi Jawa Barat: 117.11 – 116.78, Jawa Tengah 91.42 – 103.12, 101.64 (Gambar 65).
Jawa Timur: 87.78 –
Nilai NTP tersebut menunjukkan usahatani padi sawah
kurang memberikan keuntungan yang layak karena produksinya tidak efisien. Inefisiensi produksi tersebut dimungkinkan disebabkan oleh harga padi penetapan pemerintah (HPP) masih relatif rendah dan subsidi yang diberikan kepada petani masih belum memadai. Pada saat survei dilakukan, harga padi GKG (Gabah Kering Giling) dari HPP adalah sekitar Rp 2,500,-/kg. Kondisi ini diperparah
162
Tabel 38. Indikator utama faktor ekonomi yang mengancam keberlanjutan lahan sawah Zona Agroekologi
Indikator Utama
A (S1/IP300)
Keuntungan (β: -0.16), modal usahatani (β: -0.01), akses pupuk (β: -1.24)
B (S1/IP200)
Modal usahatani (β: -0.16), akses pupuk (β : -0.24), potensi konversi lahan (β: -0.20)
C (S1/IP100)
Keuntungan (β:-0.16), modal usahatani (β: -0.09), akses pupuk (β: -0.24)
D (S2/IP300)
Keuntungan (β: -3.23), modal usahatani (β: -0.87), akses pupuk (β: -0.89), potensi konversi lahan (β: -0.65)
E (S2/IP200)
Keuntungan (β: -0.09), modal usahatani (β: -0.45), akses pupuk (β: -0.78), potensi konversi lahan (β: -0.40 )
F (S2/IP100)
Keuntungan (β: -2.59), modal usahatani (β: -1.46 ), akses pupuk (β: - 0.78)
G (S3/IP300)
Keuntungan (β: -4.28), modal usahatani (β: -1.23 ), potensi konversi lahan (β: -1.67)
H (S3/IP200)
Keuntungan (β: -0.78), modal usahatani (β: -1.02), akses pupuk (β: -0.63)
I (S3/IP100)
Keuntungan (β: -0.64), modal usahatani (β: -10.27), akses pupuk (β: 0.23).
Keterangan: β = koefisien diskriminan (disarikan dari fungsi diskriminan pada Tabel 34)
oleh sulitnya petani
untuk
memperoleh pupuk dan kecilnya modal yang
mereka miliki. Berdasarkan hasil wawancara dengan para petani di beberapa daerah persawahan di semua provinsi, kesulitan memperoleh pupuk disebabkan oleh tidak dijualnya pupuk di pasar bebas. Petani hanya dapat membeli di kelompok tani (Poktan) yang ada. Ironisnya, tidak
semua wilayah pertanian
lahan sawah memiliki Poktan yang dapat melayani kebutuhan pupuk para petani. Pada kondisi demikian, banyak diantara para petani dengan terpaksa membeli pupuk dengan harga mahal. Kesulitan petani yang demikian serius ini, menurut Irawan et al. (2004), disebabkan oleh sifat multifungsi lahan sawah yang dikategorikan sebagai barang publik, sehingga nilai manfaat jasa petani lahan sawah tidak dinilai dalam mekanisme pasar (market failure) dan dalam banyak hal kurang memberikan keuntungan yang layak karena produksinya tidak efisien. Inefisiensi terabaikan dalam pengambilan keputusan. Keengganan pemerintah tetap memberikan harga patokan padi yang relatif rendah karena beras merupakan komoditi politik yang mengorbankan kepentingan petani demi untuk meredam gejolak sosial yang dapat membahayakan kestabilan keamanan nasional.
163
Zona A (S1/IP300) 66%
Fasilitas pascapanen
67%
Indikator Utama
Pemasaran
Konversi lahan
64% 48%
Akses pupuk
44%
Modal usahatani
49%
Keuntungan 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Nilai Indeks
Zona B (S1/IP200) Pemasaran
79% 76%
Indikator Utama
Fasilitas pascapanen
Konversi lahan
31% 41%
Akses pupuk
Modal usahatani
38%
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Nilai Indeks Zona C (S2/IP100) 90%
Pemasaran 80%
Indikator Utama
Fasilitas pascapanen
90%
Konversi lahan 50%
Akses pupuk 35%
Modal usahatani 10%
Keuntungan 0.0
0,35
0,10 0.2
0.4
0.6
0.8
Nilai Indeks
Gambar 63a.
Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor ekonomi zona A (S1/IP300), B (S1/IP200), dan C (S1/IP100)
164
1.0
Zona D (S2/IP300) 79%
Pemasaran
86%
Indikator Utama
Fasilitas pascapanen 50%
Konversi lahan 29%
Akses pupuk 21%
Modal usahatani
45%
Keuntungan 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Nilai Indeks Zona E (S2/IP200) 73%
Pemasaran
Indikator Utama
Fasilitas pascapanen
71%
Konversi lahan
47%
Akses pupuk
13% 19%
Modal usahatani
48%
Keuntungan 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Nilai Indeks Zona F (S2/IP100) 83%
Indikator Utama
Pemasaran
92%
Fasilitas pascapanen 67%
Konversi lahan 17%
Akses pupuk
50%
Modal usahatani
46%
Keuntungan 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
Nilai Indeks
Gambar 63b.
Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor ekonomi zona D (S2/IP300), E (S2/IP200), dan F (S2/IP100)
165
1.0
Zona G (S3/IP300) 68%
Indikator Utama
Pemasaran
Fasilitas pascapanen
82%
Konversi lahan
31% 37%)
Modal usahatani
Keuntungan
50%
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0.8
1.0
0.8
1.0
Nilai Indeks
Indikator Utama
Zona H (S3/IP200) Pemasaran
59%
Fasilitas Pascapanan
59% 64%
Konversi lahan Akses pupuk
23%
Modal usahatani
48%
Keuntungan
47%
0.0
0.2
0.4
0.6
Nilai Indeks Zona I (S3/IP300) 64%
Pemasaran
68%
Indikator Utama
Fasilitas pascapanen 60%
Konversi lahan 28%
Akses pupuk
32%
Modal usahatani
40%
Keuntungan 0.0
0.2
0.4
0.6
Nilai Indeks
Gambar 63c.
Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor ekonomi zona G (S3/IP300), H (S3/IP200), dan I (S3/IP100)
166
a) Keuntungan petani
b) Modal usahatani
60 50
35 30
Proporsi (%)
Proporsi (%)
45 40
25 20 15 10
40 30 20 10
5 0
0 Sangat rugi
Rugi
Pas-pasan
Untung
Sangat untung
Tidak ada
Kurang
Keuntungan
c) Akses pupuk
Besar
Sangat besar
d) Potensi konversi lahan
40
60
35
50
30
Proporsi (%)
Proporsi (%)
70
Cukup Modal Usahatani
40 30 20
25 20 15 10
10
5
0
0
Sangat sulit
Sulit
Sedang
Mudah
Sangat mudah
Sangat Rentan
Rentan
Akses Perolehan Pupuk
Sedang
Sulit
Sangat Sulit
Potensi Konversi
Gambar 64. Indikator penghambat keberlanjutan lahan sawah dari faktor ekonomi (n = 624, α = 4%) Dalam penelitian ini, ancaman keberlanjutan yang disebabkan oleh konversi lahan didekati dengan data tingkat harga tanah sawah yang terletak disekitar jalan arteri. Seperti pada Tabel 37, indikator potensi konversi lahan pada zona B (S1/IP200) yang mendominasi lahan sawah di Jawa (KD: -0.20) berperan sebagai faktor penghambat.
Timbulnya
ancaman
konversi
lahan
tersebut
dimungkinkan disebabkan oleh status kepemilikan lahan yang pada umumnya
140 120 DI. Yogyakarta
NTP (%)
100
Jawa Barat
80
Jawa Tengah
60
Jawa Timur
40
Rata-rata
20 0 2004
2005
2006
2007
Tahun
Gambar 65. Nilai Tukar Petani (NTP) di Jawa periode 2004 – 2007 (Sumber data: BPS, 2008)
167
dikuasai oleh tuan-tuan tanah dari luar wilayah desa dimana lahan sawah berada.
Kondisi ini diperkuat oleh data status penguasaan lahan sawah yang
didominasi oleh petani penggarap.
Selain itu, hasil overlay antara peta zona
agroekologi dengan peta pola ruang RTRW (Departemen Pekerjaan Umum, 2003) mengindikasikan adanya rencana konversi lahan sawah di zona B (S1/IP200) menjadi kawasan permukiman sebesar ± 296,948 ha (9%). Temuan ini menguatkan prediksi yang dikemukakan oleh Isa (2006) tentang adanya indikasi kuat mengenai rencana sistimatis untuk mengkonversi lahan sawah irigasi menjadi non-sawah melalui mekanisme RTRW provinsi atau kabupaten. Ancaman konversi lahan sawah menjadi daerah permukiman tersebut harus dicegah karena
konversi lahan sawah dapat menimbulkan berbagai dampak
negatif, seperti degradasi daya dukung ketahanan pangan nasional, penurunan pendapatan
pertanian
dan
meningkatnya
kemiskinan
masyarakat
lokal,
pemubaziran investasi, pengubahan struktur kesempatan kerja, dan pendapatan komunitas setempat.
Selain itu,
karena fungsinya secara hidrologis dapat
menahan aliran permukaan dari daerah hulu, hilangnya lahan sawah sangat dimungkinkan dapat memicu bencana banjir di daerah hilir (Sumaryanto et al., 2001). Selain adanya indikator yang berperan sebagai faktor penghambat keberlanjutan lahan sawah, hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya faktor pendukung, yaitu indikator fasilitas pascapanen (faktor loading 0.90; nilai indeks 0.76) dan pemasaran (faktor loading 0.80; nilai indeks 0.79). Berdasarkan hasil survei di lapangan (Gambar 66), lebih dari 95% petani merasa mudah dalam pengolahan dan pemasaran hasil panen. Dalam pengolahan hasil panen, fasilitas pengolahan pascapanen hampir tersedia di setiap desa. Dalam hal pemasaran hasil, para petani juga merasa tidak kesulitan. Mereka dapat menjual hasil panennya ke Depot Logistik (DOLOG)
atau ke tengkulak. Walaupun tidak
mengalami kesulitan untuk menjual hasil panennya, para petani di beberapa wilayah, seperti daerah-daerah di kabupaten Jember, ada juga yang mengeluh terhadap peranan DOLOG yang belum optimal untuk membeli hasil panen, apabila dibandingkan dengan penjualan ke tengkulak. Banyak diantara petani
168
menjual padi hasil panennya kepada tengkulak pedagang beras dari kota-kota besar seperti Surabaya. Para petani merasa lebih senang menjual hasil panennya
60
a) Pemasaran
Proporsi (%)
50 40 30 20 10 0 Sangat Sulit
Sulit
Sedang
Mudah
Sangat Mudah
Banyak
Sangat Banyak
Akses Pemasaran
60
b) Fasilitas pascapanen
Proporsi (%)
50 40 30 20 10 0 Sangat Kurang
Kurang
Cukup Ketersediaan
Gambar 66. Indikator pendukung keberlanjutan lahan sawah dari faktor ekonomi , a dan b (n = 624, α = 4%) ke tengkulak daripada ke DOLOG karena tengkulak berani membeli hasil panen petani dengan harga melebihi harga HPP. Hasil temuan ini bermakna bahwa peranan DOLOG dalam membeli hasil panen petani perlu dikaji oleh pihak-pihak terkait.
Peranan DOLOG sebagai
lembaga pemerintah harus
dioptimalkan dalam menampung hasil panen agar para petani sebagai pelaku utama produsen beras tetap bersemangat melakukan usahatani padi sawah.
5.4.1.3 Faktor Sosial-Budaya Pengaruh indikator utama terhadap keberlanjutan lahan sawah yang dicerminkan oleh nilai indeks diilustrasikan pada
Gambar 67a, 67b, 67c.
Berdasarkan koefisien diskriminan yang bernilai negatif (Tabel 34), indikator
169
utama dari faktor sosial-budaya yang mengancam keberlanjutan lahan sawah adalah persepsi terhadap harga padi HPP, fragmentasi lahan, penguasaan lahan, pendidikan petani, usia petani, dan budaya lokal (Tabel 39). Indikator utama tersebut mempengaruhi keberlanjutan lahan sawah di zona agroekologi yang berbeda-beda. Indikator utama yang mengancam keberlanjutan lahan sawah di semua zona agroekologi meliputi indikator penguasaan lahan, pendidikan petani, dan usia petani.
Indikator persepsi terhadap harga padi HPP mengancam
keberlanjutan lahan sawah di semua zona agroekologi, kecuali di zona A (S1/IP300). Indikator fragmentasi lahan mengancam keberlanjutan lahan sawah di zona A (S1/IP300), C (S1/IP100), D(S2/IP300), G (S3/IP300), H (S3/IP200), Tabel 39. Indikator utama faktor sosial-budaya yang mengancam keberlanjutan lahan sawah Zona Agroekologi
Indikator Utama
A (S1/IP300)
Penguasaan lahan (β: -1.64), fragmentasi lahan (β: -0.05), pendidikan petani (β: -0.08), usia petani (β: - 0.17), budaya lokal (β: - 0.50)
B (S1/IP200)
Persepsi terhadap harga padi HPP (β: -0.03), penguasaan lahan (β: -0.60), pendidikan petani (β: -0.24), usia petani (β: -0.23)
C (S1/IP100)
Persepsi terhadap harga padi HPP (β: -0.80), penguasaan lahan (β: -0.70), fragmentasi lahan (β:-0.05 ), pendidikan petani (β: -0.27), usia petani (β: -0.23)
D (S2/IP300)
Persepsi terhadap harga padi HPP (β: -0.85), penguasaan lahan (β: -0.71), fragmentasi lahan (β: -0.15), pendidikan petani (β:-0.21 ), usia petani (β: 0.25), budaya lokal (β: -0.66)
E (S2/IP200)
Persepsi terhadap harga padi HPP (β: -0.45), penguasaan lahan (β: -0.62), pendidikan petani (β: -1.18), usia petani (β: -0.75)
F (S2/IP100)
Persepsi terhadap harga padi HPP (β: -1.45), penolakan konversi lahan (β: 0.33), keanggotaan dalam Poktan (β: -0.41), peranan penyuluhan (β: 0.23), penguasaan lahan (β:-0.45), pendidikan petani (β: -0.33), usia petani (β: -0.44)
G (S3/IP300)
Persepsi terhadap harga padi HPP (β: -0.15), penguasaan lahan (β: -1.52), fragmentasi lahan (β: -5.75). pendidikan petani (β: -0.94), usia petani (β: -0.01), budaya lokal (β: -0.34)
H (S3/IP200)
Persepsi terhadap harga padi HPP (β: -4.24), penguasaan lahan (β : -1.55), fragmentasi lahan (β: -1.61), usia petani (β: -0.81)
I (S3/IP100)
Persepsi terhadap harga padi HPP (β: -3.50), penolakan konversi lahan (β: 2.13), pengusaaan lahan (β: -5.18), fragmentasi lahan (β: -2.74). pendidikan petani (β: -0.51), usia petani (β: -0.31)
Keterangan: β = koefisien diskriminan (disarikan dari fungsi diskriminan pada Tabel 34)
170
Zona A (S1/IP300) 38%
Budaya lokal Usia petani
47% 34%
Pendidikan petani
Indikator Utama
Fragmentasi lahan
17%
Penguasaan lahan
50% 72%
Peranan penyuluhan Adopsi teknologi
62% 71%
Keanggotaan dalam Poktan Penolakan konversi lahan
74% 60%
Motivasi bertani 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Nilai Indeks Zona B (S1/IP200)
Indikator Utama
Budaya lokal
63% 47%
Usia petani
35%
Pendidikan petani Penguasaan lahan
27% 66%
Peranan penyuluhan
60%
Keanggotaan dalam Poktan
74%
Penolakan konversi lahan
50%
Persepsi terhadap harga padi HPP
74%
Motivasi bertani 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Nilai Indeks
Zona C ( S1/IP100)
90%
Budaya lokal
50%
Indikator Utama
Usia petani
13%
Pendidikan petani
46%
Fragmentasi lahan
10%
Penguasaan lahan
80% Peranan penyuluhan
90%
Adopsi teknologi
80%
Keanggotaan dalam Poktan
90% Penolakan konversi lahan
10%
Persepsi terhadap harga padi HPP
80%
Motivasi Bertani 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
Nilai Indeks
Gambar 67a. Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor sosial-budaya zona A (S1/IP300), B (S1/IP200), dan C (S1/IP100)
171
1.0
Zona D ( S2/IP300) 7%
Budaya lokal
49%
Indikator Utama
Usia petani 36%
Pendidikan petani Fragmentasi lahan
44%
Penguasaan lahan
29%
Peranan penyuluhan
86%
Adopsi teknologi
61%
Keanggotaan dalam Poktan
71%
Penolakan konversi lahan
79% 14%
Persepsi terhadap harga padi HPP
86%
Motivasi bertani 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Nilai Indeks Zona E ( S2/IP200) 64%
Indikator Utama
Budaya lokal
48%
Usia petani
37%)
Pendidikan petani
12%
Penguasaan lahan
77% Adopsi teknologi Penolakan konversi lahan
71%
2%
Persepsi terhadap harga padi HPP
93%
Motivasi bertani 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
Nilai Indeks
1.0
Zona F ( S2/IP100) Indikator Utama
Budaya lokal
92% 47%
Usia petani
17%
Pendidikan petani Fragmentasi lahan
65% 33%
Penguasaan lahan Peranan penyuluhan
17% 67%
Adopsi teknologi
17%
Keanggotaan dalam Poktan
54%
Penolakan konversi lahan
42%
Persepsi terhadap harga padi HPP
83%
Motivasi bertani 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
Nilai Indeks
Gambar 67b
Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor sosial-budaya zona D (S2/IP300), E (S2/IP200), dan F (S2/IP100)
172
1.0
Zona G( S3/IP300) 46%
Budaya lokal
46%
Usia petani
Indikator Utama
Pendidikan petani
45% 26%
Fragmentasi lahan Penguasaan lahan
47%
Peranan penyuluhan
90%
Adopsi teknologi
69%
Keanggotaan dalam Poktan
68% 66%
Penolakan konversi lahan 6%
Respon harga padi HPP
94%
Motivasi bertani 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Nilai Indeks Zona H( S3/IP200) Indikator Utama
Budaya lokal
68%
Usia petani
49% 30%
Fragmentasi lahan Penguasaan lahan
49% 86%
Peranan penyuluhan 78%
Adopsi teknologi Keanggotaan dalam Poktan
69%
Penolakan konversi lahan
63% 21%
Persepsi terhadap harga padi HPP Motivasi bertani
64%
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Nilai Indeks Zona I ( S3/IP100) Indikator Utama
Budaya lokal
60%
Usia petani
50%
Pendidikan petani
23% 19%
Fragmentasi lahan Penguasaan lahan
22%
60%
Peranan penyuluhan
64% 60%
Adopsi teknologi Keanggotaan dalam Poktan Penolakan konversi lahan
46% 8%
Persepsi terhadap harga padi HPP
72%
Motivasi bertani 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
Nilai Indeks
Gambar 67c.
Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor sosial-budaya zona G (S3/IP300), H (S3/IP200), dan I (S3/IP100) 173
1.0
b) Penguasaan lahan garapan
70 60 Proporsi (%)
Propori (%)
a) Persepsi terhadap harga padi HPP
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
50 40 30 20 10
Sangat Tidak Puas
Tidak Puas
Kurang Puas
Puas
Sangat Puas
0 Buruh Tani
Penggarap
Persepsi Petani
Penyewa
Pemilik
Konglomerasi
Penguasaan Lahan
45 40
c) Usia petani
Proposri (%)
35 30 25 20 15 10 5 0 Sangat Muda
Muda
Agak Lanjut
Lanjut
Sangat Lanjut
Tingkat Usia
45
70
d) Fragmentasi lahan
40
Usia (tahun)
Proporsi (%)
30 25 20 15
e) Tingkat pendidikan petani
60
35
10
50 40 30 20 10
5 0
0 Sangat Sempit
Sempit
Sedang
Luas
Sangat Luas
Tidak Sekolah
SD
Fragmentasi Lahan
SLTP
SLTA
Diploma/Sarjana
Tingkat Pendidikan
Gambar 68. Indikator penghambat keberlanjutan lahan sawah dari faktor sosial-budaya: a,b,c,d,e (n = 624, α = 4%)
Jawa Timur 3,441,091
D.I. Yogyakarta 374,811
Banten 430,576
Jawa Barat 2,579,063
Jawa Tengah 3,145,975
Gambar 69. Distribusi rumah tangga petani gurem di Jawa (Sumber data: BPS, 2004)
174
dan I (S3/IP100). Indikator budaya lokal hanya mengancam keberlanjutan lahan sawah di zona yang menerapkan IP300, yaitu zona A (S1/IP300), D (S2/IP300), dan G (S3/IP300). Hasil penelitian tersebut bermakna bahwa pengaruh indikator sosial-budaya terhadap ancaman keberlanjutan lahan sawah tergantung pada karakteristik zona agroekologi. Berdasarkan
data hasil wawancara dengan petani, sekitar 81% petani
merasa kurang puas dan tidak puas terhadap harga jual padi HPP (Gambar 68). Menurut mereka harga padi HPP terlalu rendah. Selain itu, penguasaan lahan sawah didominasi oleh petani penggarap (sekitar 58%) yang memiliki lahan garapan sempit (< 0.5 ha) sekitar 49%. Berdasarkan hasil Sensus
Pertanian
tahun 2003 (Gambar 69), jumlah rumah tangga petani gurem (RTPG) di Jawa mencapai 9.97 juta atau 73% dari jumlah RTPG di Indonesia yang mencapai 13.67 juta (BPS, 2004). Dari jumlah tersebut, sebagian besar RTPG berada di provinsi Jawa Timur (3.4 juta), Jawa Tengah (3.1 juta), Jawa Barat (2.6 juta), Banten (0.43 juta), dan DI. Yogyakarta (0.37 juta). Kondisi ini diperparah oleh tingkat pendidikan petani rendah dan umumnya berusia lanjut. Data dari hasil wawancara dengan petani menunjukkan bahwa sebagian besar
petani
di Jawa berpendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) (79%), berusia agak lanjut hingga lanjut atau berumur 40- 60
tahun (83%).
Kedua ancaman sosial yang terakhir ini
mempengaruhi tingkat profesionalitas usahatani dan keberlanjutannya. Semakin profesional petani, semakin cerdas petani dalam melakukan bisnis usahatani. Tingginya usia
lanjut ini
menunjukkan kurangnya regenerasi petani, yang
dapat mengancam usaha pertanian lahan sawah
kekurangan tenaga kerja.
Menurut Mubyarto (1978) seperti yang dikutip oleh Jamal et al. (2002), masalah penguasaan lahan pertanian yang sempit dan timpang sudah ada sejak awal abad ke-20 pemerintah Belanda. Tidak terselesaikannya masalah ini hingga saat ini disebabkan oleh tekanan penduduk yang makin tinggi yang tidak diimbangi penambahan
lahan pertanian.
Tambunan
(2008) mengemukakan
bahwa
pertambahan jumlah penduduk di pedesaan semakin menambah ketimpangan penguasaan lahan. Jumlah petani gurem atau petani yang tidak memiliki lahan sendiri atau dengan lahan
sangat sempit yang tidak mungkin menghasilkan
175
produksi yang optimal semakin bertambah. Selain itu, terbatasnya lahan pertanian menjadikan harga jual atau sewa lahan semakin mahal, sehingga hanya sedikit petani yang
mampu
membeli
atau
menyewanya. Menurut Isa (2006),
keberadaan hukum waris menyebabkan terfragmentasinya lahan pertanian, sehingga tidak memenuhi batas minimum skala ekonomi usaha yang menguntungkan.
80
60
a) Motivasi bertani
b) Persepsi petani terhadap konversi lahan
50
60
Proporsi (%)
Proporsi
(%)
70
50 40 30 20
40 30 20 10
10
0
0 Sangat Terpaksa
Terpaksa
Biasa
Tinggi
Sangat Mendukung
Sangat Tinggi
Mendukung
Motivasi Bertani
90 80
Biasa
Menentang
Sangat Menentang
Mudah
Sangat Mudah
Persepsi Petani
c) Persepsi petani terhadap peranan penyuluhan
Proporsi (%)
70 60 50 40 30 20 10 0 Tidak Ada
Tidak Berguna
Agak Berguna
Berguna
Sangat Berguna
Peranan Penyuluhan
70
70
d) Keaktifan keanggotaan dalam Poktan
60
e) Persepsi terhadap adopsi teknologi
50
50 Porsi (%)
Proporsi (%)
60
40 30
40 30
20
20
10
10 0
0 Tidak ada Poktan
Tidak Aktif
Agak Aktif
Aktif
Sangat Aktif
Sangat Sulit
Keaktifan Petani
Sulit
Agak Mudah Adopsi Teknologi
Gambar 70. Indikator pendukung keberlanjutan lahan sawah dari faktor sosial- budaya: a,b,c,d,e (n = 624, α = 4%)
176
Indikator yang berperan sebagai faktor pendukung keberlanjutan lahan sawah meliputi motivasi bertani (faktor loading 0.61 – 0.85, nilai indeks 0.60 – 0.93), persepsi penolakan konversi lahan (faktor loading 0.66 – 0.99, nilai indeks 54% – 90%), keanggotaan dalam Poktan (faktor loading 0.78 – 0.96, nilai indeks 60% 80%), adopsi teknologi (faktor loading 0.51 – 0.99, nilai indeks 61% – 90%), dan peranan penyuluhan (faktor loading 0.57 – 0.98, nilai indeks 60% – 90%). Hasil survei wawancara dengan para petani menunjukkan bahwa sebagian besar para petani memiliki motivasi yang tinggi (74%) dan sangat tinggi (17%) bertanam padi sawah (Gambar 70).
untuk
Petani yang memiliki motivasi untuk
bertanam padi dalam kategori biasa adalah 8%, yang terpaksa 1%. Motivasi yang tinggi ini dilatarbelakangi oleh pandangan mereka tentang pentingnya meneruskan usahatani padi sawah yang telah diwariskan oleh para leluhur. Walaupun 70
Jumlah Petani (%)
60 50 40 30 20 10 0 IP 100
IP 200
IP 300
Intensitas Pertanaman
Gambar 71. Intensitas pertanaman padi sawah yang diterapkan petani di Jawa (n = 624, α = 4%) pendapatan dari usaha tani padi sawah yang diperoleh petani, yang sebagian besar merupakan petani penggarap, adalah relatif rendah, para petani tetap bersemangat untuk tetap berupaya melakukan usahatani padi sawah. Berdasarkan hasil survei ini, usahatani padi sawah nampaknya sudah terinternalisi
atau
menjadi
budaya, sehingga dapat digunakan sebagai suatu aset budaya untuk menjaga keberlanjutan pertanian lahan sawah. Hasil penelitian ini juga menemukan indikator budaya lokal ada yang bersifat pendukung atau penghambat keberlanjutan lahan sawah.
Indikator budaya lokal yang berperan sebagai
pendukung keberlanjutan diindikasikan dengan nilai indeks 60% – 92%. Hasil
177
survei di lapangan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa sebagian besar petani padi sawah di Jawa menerapkan penanaman padi dengan IP200 (Gambar 71). Data hasil survei menunjukkan bahwa sekitar 65% petani padi sawah di Jawa yang memiliki kearifan lokal dengan menerapkan budaya bertani dengan pola tanam IP200 (2 kali padi sawah, 1 kali palawija). Kearifan lokal ini diterapkan di zona B (S1/IP200), dan H (S3/IP200) yang mendominasi cakupan lahan sawah produktif di Jawa. Pada pola tanam IP200 (2 kali padi sawah, 1 kali palawija), petani secara cerdas memberikan waktu istirahat pada tanah untuk restorasi. Pada saat tanah ditanami tanaman palawija, tanah dalam kondisi kering atau oksidatif. Kyuma (2004) menjelaskan bahwa pengeringan tanah sawah mengakibatkan ion Fe2+ (ion ferro) teroksidasi menjadi ion Fe3+ (ion ferri), yang ditunjukkan oleh bercakbercak (mottles) warna karat (coklat kekuningan) yang umumnya terbentuk pada zona perakaran. Bercak-bercak warna karat ini menunjukkan adanya mineral amorf hematit (Fe2O3.nH2O). Pada saat tanah kondisi kering diari atau terjadi hujan, senyawa
Fe2O3 bereaksi dengan H2O untuk membentuk senyawa ferri
hidrooksida Fe(OH)3, yang mengandung gugusan ion Fe3+ dan OH-. Ion Fe3+ menjadi tercuci dan pH tanah menjadi naik karena meningkatnya ion OH- dalam larutan tanah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yamazaki (1960, dalam Kyuma, 2004) menunjukkan bahwa
pengairan
pada tanah sawah yang
dikeringkan mengakibatkan pH tanah naik dari 5,6 menjadi 6,3. Peningkatan pH ini seiring dengan peningkatan potensi redoks (Eh). 2Fe3+ + 6OH-
Fe2O3 + 3H2O
(tercuci)
Pengelolaan tanah sawah dengan menggunakan intesitas penanaman IP200PL (Padi, Padi, Palawija) yang umum diterapkan di Jawa juga memungkinkan tanah terhindar dari ancaman ion Fe2+ yang dapat meracuni tanaman padi. Pada kondisi pengelolaan tanah dengan intensitas penanaman IP200-PL, reaksi tanah masih dalam kondisi oksidatif, sehingga masih dimungkinkan ion Fe3+ menjadi tercuci ketika terjadi hujan atau dilakukan pengairan. Pengurangan ion besi melalui sistem bera total (IP200-Bera) atau pergiliran dengan tanaman palawija
178
(IP200-PL) merupakan tindakan bijak dari para petani untuk menjaga keberlanjutan pertanian lahan sawah. Kebalikan dari pola tanam IP200, budaya lokal dengan pola tanam IP300 di zona A (S1/IP300) dan G (S3/IP300) yang banyak dijumpai di desa-desa di wilayah kecamatan Ajung, Balung, Jelbuk, Mayang, Silo, dan Tanggul tidak memberi kesempatan tanah beristirahat. Pada kondisi demikian, tanah secara terus menerus dalam kondisi reduksi. Ponnamperuma (1976) menjelaskan bahwa pada tanah sawah tergenang, ion Fe3+ tereduksi menjadi ion Fe2+ yang larut dalam larutan tanah.
Penggenangan tanah sawah secara terus menerus
dikhawatirkan terjadi akumulasi ion Fe2+ yang dapat meracuni tanaman. Selain itu, penggenangan tanah sawah terus menerus diindikasikan dapat menimbulkan pencemaran tanah, air, dan lingkungan karena efek residu pupuk dan pestisida secara berlebihan, serta produksi gas rumah kaca (GRK), terutama gas metan (CH4), nitro oksida (N2O), dan CO2 (Kyuma, 2004; Las, 2006). Munculnya gas metan pada tanah sawah , menurut Kyuma (2004), dipicu oleh kondisi tanah yang ekstrim reduktif. Pada kondisi reaksi tanah yang demikian, gas CO2 tereduksi membentuk gas metan, yang dinyatakan dengan reaksi kimia sebagai berikut: (1/8) CO2 + H+ + e = (1/8) CH4 (g) + (¼ ) H2O Dari penjelasan perspektif ilmu tanah tersebut,
penerapan IP200 dapat
berperan untuk menjaga tanaman padi sawah agar tidak mengalami keracunan ion Fe2+ (ion ferro) yang berlebihan apabila tanah sawah digenangi air terus-menerus. Selain itu, penerapan IP200 juga dapat mengurangi pencemaran lingkungan karena emisi gas rumah kaca, yaitu gas metan (CH4), karbondiosida (CO2) dan nitrooksida (N2O), dari tanah sawah seperti yang dikemukakan oleh Prasetyo et al. (2004).
Pengaruh budaya lokal terhadap proses pedogenesis tersebut tidak
terlepas dari konsep pembentukan tanah yang dikemukakan oleh Jenny (1941), yang dikatakan bahwa tanah sebagai benda alami tiga dimensi terbentuk dari hasil interaksi antara iklim, organisma, relief, bahan induk, dan waktu. Pengaruh budaya dalam konsep pedologi adalah melalui faktor organisma yang mencakup perilaku manusia. Pengaruh budaya melalui perilaku manusia terhadap proses pedogenesis ini mencerminkan konsep pedologi dalam lingkup ekologi, yang dikenal sebagai ekopedologi.
179
Berdasarkan hasil survei di lapangan, pola tanam padi sawah dengan IP300 banyak yang dipaksakan oleh para petani di beberapa daerah kabupaten Jember, Madiun, Nganjuk (provinsi Jawa Timur), Sragen (provinsi Jawa Tengah), Bantul (provinsi DI. Yogyakarta); dengan melakukan penyedotan air tanah pada musim kemarau (Gambar 72). Ketersediaan air di daerah-daerah ini sebenarnya hanya mampu untuk pola tanam padi sawah dengan IP200. Karena tuntutan kebutuhan hidup, para petani di daerah-daerah tersebut memaksakan menanam padi pada musim kemarau, walaupun suplai air dari irigasi tidak mencukupi. Dengan berbekal pengetahuan yang sederhana, mereka memompa air tanah agar dapat menanam padi pada musim kemarau, tanpa menyadari dampaknya yang dapat
a) Lokasi: Desa Mojokerto, kecamatan Kedawung, kabupaten Sragen (16 Agustus 2009)
b) Lokasi: Desa Gandul, kecamatan Bagor, kabupaten Nganjuk (26 September 2009)
c) Daerah Parangtritis, kecamatan Kretek kabupaten Bantul (15 Agustus 2009)
d) Lokasi: desa Bagi, kecamatan Madiun kabupaten Madiun (18 Juli 2009)
Gambar 72. Contoh budaya eksploitatif usahatani padi sawah di kabupaten Sragen, Nganjuk, Bantul, dan Madiun (a, b,c,d)
menimbulkan krisis air karena air tanah berperan sangat vital untuk mendukung sektor kehidupan lainnya, terutama sektor pemukiman dan
industri. Sampai
dengan saat ini, dampak fenomena pemompaan air tanah untuk menanam padi memang belum menimbulkan krisis persediaan air tanah. Namun demikian,
180
budaya lokal petani yang eksploitatif tersebut perlu dicermati agar keseimbangan ketersediaan air secara sunnatullah melalui siklus hidrologi di daerah aliran sungai (DAS) dapat terjaga. Penyedotan air tanah mengakibatkan percepatan penurunan tinggi muka air tanah (water table), sehingga penyedotan air tanah dalam skala luas
dikhawatirkan dapat mengganggu keseimbangan air tanah.
Apabila volume pengisian air tanah (ground water recharge) tidak sebanding dengan volume air yang disedot, maka krisis air dimungkinkan akan terjadi. Berdasarkan hasil pemetaan neraca sumberdaya air yang dilakukan oleh Suryanto et al. (2001), neraca air di Jawa pada musim kemarau (Mei – Agustus) pada umumnya mengalami defisit sebesar
118 – 653 juta m3/th.
yang dilakukan oleh Sukrisno dan Warsono (1990) dalam Asdak (2004)
Hasil penelitian
dan Muhammad (1997)
menunjukkan bahwa pengambilan air tanah telah dan
sedang memberikan dampak serius terhadap kelangsungan persediaan air tanah di daerah Bandung dan sekitarnya. Dari tahun 1970 – 1995, pengambilan air tanah dengan jumlah sumur bor 96 menjadi 2.225 telah mengakibatkan penurunan produksi air tanah rata-rata dari 0.11 juta m3/th menjadi 0.03 juta m3/th. Hasil penelitian para ahli tersebut mengisyaratkan perlunya upaya-upaya pengaturan dari pihak-pihak terkait terhadap pengambilan air tanah untuk pemaksaan pola tanam padi sawah dengan IP300 pada musim kemarau, terjadinya krisis persediaan air
tidak terjadi.
agar
kekhawatiran
Asdak (2004) mengemukakan
bahwa peningkatan pengambilan air tanah yang tidak direncanakan dengan baik dan terutama tidak diikuti dengan usaha-usaha konservasi air tanah yang memadai dapat mengakibatkan terjadinya degradasi dan deplesi sumber-sumber air tanah.
5.4.2 Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah untuk Penataan Ruang Pada hakekatnya tujuan penataan ruang sebagaimana
yang telah
diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang Pasal 2 (UUPR Pasal 2) adalah untuk mewujudkan pembangunan nasional berkelanjutan di berbagai sektor. Untuk mewujudkan pembangunan pertanian berkelanjutan, perlindungan lahan pertanian dilakukan dengan melakukan pengalokasian pemanfaatan ruang (lahan) harus didasarkan pada dukung lingkungannya. Dalam penelitian ini, IKLS yang dipetakan berdasarkan zona
181
agroekologi dapat digunakan untuk mendeteksi status keberlanjutan lahan sawah yang sesuai dengan kondisi ekologisnya. Seperti yang telah didiskusikan sebelumnya, hasil pemetaan IKLS dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar status keberlanjutan lahan di Jawa termasuk dalam kategori cukup berkelanjutan, yang dicerminkan oleh nilai indek indikator utama dari faktor biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya. Berdasarkan nilai indeks di setiap indikator utama yang berperan sebagai faktor penghambat, kegunaan nilai IKLS di setiap zona agroekologi dapat digunakan sebagai basis kajian pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang dalam rangka mewujudkan pemanfaatan lahan sawah berkelanjutan. Kegunaan nilai IKLS berdasarkan hasil kajian pengelolaan sawah dapat berperan untuk mendukung pelaksanaan penataan ruang, terutama dari aspek pengendaliannya.
5.4.2.1 Faktor Biofisik Seperti yang telah didiskusikan sebelumnya, indikator utama dari faktor biofisik yang berperan sebagai faktor penghambat keberlanjutan lahan sawah berbeda-beda di setiap zona agroekologi. Hasil kajian pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang berdasarkan nilai IKLS di setiap zona agroekologi lahan sawah disajikan pada Tabel 40.
Pada zona A (S1/IP300)
dengan nilai rata-rata IKLS 0,36 (kurang berkelanjutan), permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang ditunjukkan oleh indikator kandungan C-organik, N-total, P-tersedia, K-tersedia, K-total, serta serangan hama dan penyakit tanaman dapat diatasi dengan pengelolaan lahan sawah yang menerapkan penambahan unsur hara berimbang dan pengendalian hama & penyakit tanaman secara terpadu. Penambahan unsur hara berimbang dapat dilakukan dengan pemupukan organik dan anorganik secara berimbang. Pengelolaan lahan sawah tersebut bersinergi dengan penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang dikemukakan oleh Zaini et al. (2009). Pemupukan organik dilakukan dengan menggunakan bahan organik berupa sisa tanaman (jerami padi), kotoran hewan, pupuk hijau, dan kompos (humus). Pengendalian hama & penyakit tanaman secara terpadu dilakukan dengan mempertimbangkan jumlah populasi orgasnisma pengganggu
182
tanaman (OPT) yang mengakibatkan tingkat kerusakan tanaman menurut kerugian ekonomi atau aman tindakan. Tabel 40. Pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang berdasarkan indeks keberlanjutan lahan sawah (IKLS) dari faktor biofisik ZAELS
Indikator Utama
(Nilai IKLS)
(Sebagai Faktor Penghambat)
Pengelolaan Lahan Sawah untuk Mendukung Penataan Ruang
A (S1/IP300) (IKLS: 0.36) B (S1/IP200) (IKLS:0.33)
C-organik, N-total, P-tersedia, K-tersedia, K-total, serangan hama dan penyakit tanaman Ketersediaan air, C-organik, N-total, K-tersedia, P-tersedia, kondisi irigasi
Penambahan unsur hara berimbang dan pengendalian hama & penyakit tanaman
C (S1/IP100) (IKLS:0.30) D (S2/IP300) (IKLS:0.54) E (S2/IP200) (IKLS:0.49)
Ketersediaan air, C-organik, N-total, K-tersedia, kondisi irigasi C-organik, N-total, P-tersedia, K-tersedia
Pembangunan irigasi, penambahan unsur hara berimbang
Bahaya banjir, C-organik, N-total, P-tersedia, Ktersedia, P total, dan K-total
Konservasi tanah dan air, penambahan unsur hara berimbang
Ketersediaan air, serangan hama dan penyakit tanaman, C-organik, N-total, P-tersedia, K-tersedia, kondisi irigasi C-organik, N-total, P-tersedia, K-tersedia,
Pembangunan irigasi, penambahan unsur hara berimbang, penyediaan ketersediaan air minimum untuk pertumuhan padi, pengendalian hama & penyakit tanaman. Penambahan unsur hara berimbang
Ketersediaan air, serangan hama dan penyakit tanaman, C-organik, N-total, P-tersedia, P-total, K-tersedia, kondisi irigasi
Pembangunan dan perbaikan irigasi, penambahan unsur hara berimbang, penyediaan ketersediaan air minimum untuk pertumuhan padi, pengendalian hama & penyakit tanaman.
F (S2/IP100) (IKLS:0.32) G (S3/IP300) (IKLS:0.45) H (S3/IP200) (IKLS:0.41)
I (S3/IP100) (IKLS:0.25)
Perbaikan irigasi, penambahan unsur hara berimbang, penyediaan ketersediaan air minimum untuk pertumuhan padi
Penambahan unsur hara berimbang
Ketersediaan air, serangan hama dan penyakit tanaman, C-organik, N-total, P-tersedia, P-total, K-tersedia,, K-total, kondisi irigasi
Pembangunan dan perbaikan irigasi, penambahan unsur hara berimbang, penyediaan ketersediaan air minimum untuk pertumuhan padi, pengendalian hama & penyakit tanaman. Keterangan: nilai IKLS ratar-rata dari indikator yang berperan sebagai faktor penghambat
Pada zona B (S1/IP200) dengan nilai rata-rata IKLS 0.33 (kurang berkelanjutan)
yang dicerminkan oleh indikator utama ketersediaan air, C-
organik, N-total, P-tersedia, dan kondisi irigasi; pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang dapat dilakukan dengan perbaikan saluran irigasi, penambahan unsur hara berimbang, dan penyediaan ketersediaan air minimum untuk pertumbuhan tanaman padi. Perbaikan saluran irigasi dimaksudkan untuk memperbaiki saluran-saluran irigasi yang rusak karena bencana banjir, pendangkalan oleh bahan sedimen karena erosi yang banyak dijumpai pada saat survei lapangan seperti di kabupaten Jember, Malang, Blitar, Nganjuk, Madiun, Tuban, Sragen, Bantul, Cilacap, Tegal, Pemalang; Subang, Pandegelang, dan lain-
183
lain. Adapun penyediaan ketersediaan air minimum untuk pertumbuhan tanaman padi dimaksudkan untuk mengefektifkan dan mengefisiensikan pengairan dengan teknik berselang (intermitten), yaitu teknik pengairan dengan mengatur kondisi sawah tergenang dan kering secara bergantian dalam periode tertentu. Pada zona C (S1/IP100) dengan nilai rata-rata IKLS 0.30 (kurang berkelanjutan), pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang meliputi pembangunan irigasi dan penambahan unsur hara berimbang untuk mengatasi keterbatasan ketersediaan air, rendahnya C-organik, N-total, K-tersedia, P-tersedia, dan kondisi irigasi. Pembangunan irigasi di zona C (S1/IP100) yang merupakan lahan sawah tadah hujan sangat berpotensi untuk meningkatkan produksi padi di zona ini, mengingat kesesuaian lahannya termasuk kategori sangat sesuai (S1). Seperti
di zona A (S1/IP300) dan zona B (S1/IP200),
pengelolaan lahan sawah di zona C (S1/IP100) adalah dengan melakukan penambahan unsur hara berimbang untuk mengatasi permasalahan kesuburan tanah yang disebabkan oleh rendahnya kandungan C-organik, N-total, P-tersedia, dan K-tersedia. Kandungan C-organik tanah yang rendah dapat diatasi dengan pemberian bahan organik berupa sisa tanaman (jerami padi), kotoran hewan, pupuk hijau dan kompos. Kandungan N-total, P-tersedia, dan K-tersedia yang rendah
dapat diatasi dengan pemupukan anorganik berdasarkan kebutuhan
tanaman dan status hara tanah. Pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang
di zona D
(S2/IP300) dengan nilai rata-rata IKLS 54% (cukup berkelanjutan) dapat dilakukan melalui penambahan unsur hara berimbang untuk mengatasi permasalahan kesuburan tanah yang disebabkan oleh rendahnya kandungan Corgani, N-total, K-tersedia, dan P-tersedia. Masalah ketersediaan air di zona D (S2/IP300) ini tidak menjadi kendala karena zona ini memiliki debit air tanah yang besar, yaitu > 10 liter/det/ha, yang dapat mensuplai ketersediaan air untuk kebutuhan air lahan sawah sepanjang tahun. Pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang di zona E (S2/IP200)
dengan nilai rata-rata IKLS 0.49 (kurang berkelanjutan) dapat
dilakukan melalui konservasi tanah dan penambahan unsur hara berimbang. Konservasi tanah dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan
184
lahan sawah yang disebabkan oleh indikator bahaya banjir yang memiliki nilai indeks 0.55, sedangkan penambahan unsur hara berimbang dimaksudkan untuk mengatasi rendahnya kandungan unsur hara tanah (C-organik tanah, P dan K). Indikator ketiga unsur hara tanah ini memiliki nilai
indek < 0.50 (kurang
berkelanjutan). Konservasi tanah di zona E (S2/IP200) ini perlu dilakukan di DAS bagian hulu yang mengalami penggundulan hutan.
Seperti yang telah
dikemukan sebelumnya, bencana banjir akibat penggundulan hutan ini sering dialami
di kecamatan Panti (Kabupaten Jember) yang terletak wilayah DAS
Bedadung (Lereng G.Argopuro). Konservasi tanah di bagian DAS hulu dimaksud dapat dilakukan dengan menggunakan metode vegetatif seperti yang dijelaskan oleh Arsyad (2006, 2008), yaitu dengan melakukan penanaman tumbuhan hutan (penghutanan). Pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang di zona F (S2/IP100) yang merupakan sawah tadah hujan dan memiliki nilai rata-rata IKLS 0.32 (kurang berkelanjutan) meliputi pembangunan
irigasi, penambahan unsur
hara dan ketersediaan air minimum untuk pertumbuhan padi, serta pengendalian hama & penyakit tanaman terpadu. Pembangunan dan perbaikan irigasi adalah untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang dicerminkan oleh indikator kondisi irigasi, yang memiliki nilai IKLS 0.08. Penambahan unsur hara berimbang dan ketersediaan air minimun untuk pertumbuhan padi dimaksudkan untuk mengatasi masalah ketersedian air (IKLS: 0.50) dan unsur hara tanah C-organik (IKLS: 0.25), N-total (IKLS: 0.27), K-tersedia (0.26), dan P-tersedia (IKLS: 0.54). Adapun pengendalian hama & penyakit tanaman terpadu adalah untuk mengatasi serangan hama dan penyakit tanaman, terutama hama tikus sawah, keong emas, wereng coklat, penggerek batang padi, penyakit tungro dan hawar daun bakteri. Seperti halnya di zona D (S2/IP300), pengelolaan lahan sawah
untuk
mendukung penataan ruang di zona G (S3/IP300) juga dapat dilakukan melalui penambahan unsur hara berimbang untuk mengatasi permasalahan kesuburan tanah yang disebabkan oleh rendahnya kandungan C-organik, N-total, K-tersedia, dan P-tersedia. Faktor penghambat keberlanjutan lahan sawah ini dicerminkan oleh nilai IKLS dari
keempat unsur hara tanah yang rendah (0.40 – 0.55).
185
Besarnya debit air irigasi (> 10 liter/der/ha) dari air tanah di zona G (S3/IP300) ini memungkinkan penanaman padi dapat dilakukan 3 kali dalam setahun (IP300). Di zona H (S3/IP200) yang memiliki nilai IKLS 0.41 (kurang berkelanjutan), pengelolaan
lahan sawah untuk mendukung penataan ruang dapat dilakukan
melalui pembangunan dan perbaikan irigasi, penambahan unsur hara berimbang, penyediaan ketersediaan air menimum untuk pertumbuhan padi, dan pengendalian hama & penyakit tanaman secara terpadu. Pengelolaan lahan sawah dengan pembangunan dan perbaikan irigasi didasarkan pada indikator utama ketersediaan air dan kondisi irigasi, yang sama-sama
memiliki nilai IKLS 0.55 (cukup
berkelanjutan). Berdasarkan survei lapangan dan data sekunder, ketersediaan air di zona H (S3/IP200) yang memiliki tipe agroklimat C3 (periode bulan basah 5 – 6 bulan) dan debit air irigasi dari air tanah (2.5 – 10 liter/det/ha) masih dapat dikategorikan cukup untuk dapat menerapkan penanaman padi sawah dengan IP200. Namun demikian, pengelolaan lahan sawah dengan menerapkan penyediaan air minimum untuk pertumbuhan padi dinilai masih cukup penting untuk mengefisiensikan penggunaan air, mengingat musim kemarau panjang sebagai dampak perubahan iklim global (Susandi, 2009) masih sering menerpa Indonesia pada umumnya dan pulau Jawa pada khususnya. Seperti halnya di zona F (S2/IP100), pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang di zona I (S3/IP100) yang merupakan sawah tadah hujan dan memiliki nilai rata-rata IKLS 0.25 (keberlanjutan buruk) juga dapat dilakukan melalui pembangunan irigasi, penambahan unsur hara dan ketersediaan air minimum untuk pertumbuhan adalah untuk
padi.
Pengelolaan lahan sawah dimaksud
mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang
dicerminkan oleh indikator utama ketersediaan air (IKLS: 0.04 ), C-organik (IKLS: 0.26), N-total (IKLS: 0.28 ), K-tersedia (IKLS: 0.25), P-tersedia (IKLS: 0.33), P-total (IKLS: 0.40), K-total (IKLS: 0.40), dan kondisi irigasi (IKLS: 0.04). Pengelolaan lahan sawah untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang dicerminkan oleh nilai IKLS dari indikator faktor biofisik ini adalah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam UUPR, yaitu Pasal 3 butir a (penyelenggaraan penataan ruang harus harmonis antara lingkungan alam dan lingkungan buatan), Pasal 3 butir b (keterpaduan dalam penggunaan
186
sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia), dan Pasal 3 buitir c (terwujudnya perlindungan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang).
5.4.2.2 Faktor Ekonomi Hasil kajian pengelolaan lahan untuk mendukung penataan ruang berdasarkan indeks keberlanjutan lahan sawah disajikan pada Tabel 41. Secara keseluruhan, faktor penghambat keberlanjutan lahan sawah di hampir semua zona agroekologi pada umumnya dicerminkan oleh indikator utama keuntungan, modal usahatani, akses pupuk, dan konversi lahan. Berdasarkan nilai IKLS indikatorindikator utama tersebut, pengelolaan lahan sawah untuk mengatasi keberlanjutan lahan sawah dapat melalui peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, pemberian subsidi/kredit kredit usahatani, revisi peta RTRW, serta pemberian insentif dan disinsentif.
Pengelolaan lahan sawah dengan peningkatan posisi
tawar petani dan pemberian subsidi/kredit usahatani merupakan faktor kunci untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang dicerminkan oleh indikator utama keuntungan yang diperoleh petani (IKLS: 0.10 – 0.50), modal usahatani (0.19 – 0.48), dan akses pupuk (0.13 – 0.50). Revisi peta RTRW provinsi atau kabupaten serta pemberian insentif dan disinsentif dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang disebabkan oleh konversi lahan sawah. Permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang dicerminkan oleh indikator keuntungan yang diperoleh petani (IKLS: 0.10 – 0.50) dan modal usahatani (IKLS: 0.19 – 0.48) merupakan masalah mendasar yang dihadapi oleh petani padi sawah di Jawa. Kedua indikator utama ini berperan esensial dalam menentukan keberlanjutan lahan sawah.
Seperti yang telah didiskusikan sebelumnya,
rendahnya keuntungan yang diperoleh petani dan keterbatasan modal usahatani membuktikan adanya kegagalan mekanisme pasar yang dipicu oleh sifat lahan sawah yang multifungsi yang dapat dikategorikan sebagai barang publik dan ketidakberpihakan pemerintah kepada petani. Oleh karena itu, penataan ruang untuk mewujudkan pemanfaatan lahan sawah berkelanjutan mustahil akan dapat
187
terwujud apabila pemerintah tetap tutup mata terhadap keterpurukan kehidupan ekonomi para petani.
Tabel 41. Pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang berdasarkan indeks keberlanjutan lahan sawah (IKLS) dari faktor ekonomi ZAELS (Nilai IKLS) A (S1/IP300) (IKLS:0.47) B (S1/IP200) (IKLS:0.37) C (S1/IP100) (IKLS:0.32) D (S2/IP300) (IKLS:0.36)
Indikator Utama
Pengelolaan Lahan Sawah untuk Mendukung Penataan Ruang
(Sebagai Faktor Penghambat) Keuntungan,, modal usahatani, dan akses pupuk
Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, pemberian subsidi/kredit usahatani
Modal usahatani, akses pupuk, konversi lahan
Pemberian subsidi/kredit usahatani, dan revisi RTRW, pemberian insentif dan disinsentif
Keuntungan, modal usahatani, dan akses pupuk
Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, pemberian subsidi/kredit usahatani
Keuntungan, modal usahatani, akses pupuk, dan konversi lahan
Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, pemberian subsidi/kredit usahatani , revisi RTRW, pemberian insentif dan disinsentif
E (S2/IP200) (IKLS:0.27)
Keuntungan, modal usahatani, akses pupuk, dan konversi lahan
Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, pemberian subsidi/kredit usahatani , revisi RTRW, pemberian insentif dan disinsentif
F (S2/IP100) (IKLS:0.38) G (S3/IP300) (IKLS:0.39)
Keuntungan, modal usahatani, dan akses pupuk
Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, pemberian subsidi/kredit usahatani
Keuntungan, modal usahatani, konversi lahan
Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, pemberian subsidi/kredit usahatani , revisi RTRW, pemberian insentif dan disinsentif
H (S3/IP200) Keuntungan, modal usahatani, dan akses pupuk Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, pemberian subsidi/kredit usahatani (IKLS:0.39) I (S3/IP100) Keuntungan, modal usahatani, dan akses pupuk Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, pemberian subsidi/kredit usahatani (IKLS: 0.33) Keterangan: nilai IKLS ratar-rata dari indikator yang berperan sebagai faktor penghambat
Pengelolaan lahan sawah dengan melakukan revisi peta RTRW provinsi atau kabupaten serta pemberian insentif dan disinsentif adalah untuk mengatasi ancaman keberlanjutan lahan sawah yang dicerminkan oleh indikator konversi lahan. Indikator utama ini mengancam keberlanjutan lahan sawah di zona B (S1/IP200), zona D (S2/IP300), zona E (S2/IP200), dan zona G (S3/IP300). Nilai IKLS indikator konversi lahan sawah di ZAE-ZAE berkisar antara 0.31 dan 0.50. Berdasarkan penelitian ini, timbulnya ancaman keberlanjutan lahan sawah oleh konversi lahan disebabkan oleh rencana sistematis melalui mekenaisme RTRW (Isa, 2006) dan tuntutan kebutuhan hidup petani. konversi lahan sawah
Untuk mengatasi ancaman
karena mekanisme RTRW, peta RTRW provinsi dan
kabupaten mutlak dilakukan. Ancaman konversi lahan sawah menjadi non-sawah
188
karena RTRW ini sebenarnya tidak boleh terjadi karena hal ini melanggar undang-undang penataan ruang itu sendiri. Menurut Rustiadi et al. (2008), di dalam hukum ekonomi pasar, alih fungsi lahan berlangsung dari aktivitas dengan land rent yang lebih rendah ke aktivitasaktivitas yang land rent lebih tinggi. Alih fungsi lahan merupakan bentuk dan konsekuensi logis dari perkembangan potensial land rent di suatu lokasi. Karena lahan sawah memiliki sifat multifungsi, maka konversi lahan sawah menjadi non sawah karena pergeseran nilai land rent tidak selalu dapat membawa keuntungan bagi petani karena ada nilai fungsi lahan sawah yang tidak ditransaksikan di pasar, seperti fungsi sosial-budaya dan kelestarian sumberdaya tanah. Adanya kegagalan pasar ini harus dikendalikan oleh institusi non-pasar. Oleh karena itu, pengelolaan lahan sawah melalui pemberian insentif dan disinsentif kepada petani dinilai penting agar petani tidak begitu mudah menjual lahan sawahnya karena hanya sekedar untuk memenuhi tuntutan kebutuhan ekonomi semata. Upaya pengelolaan lahan sawah melalui pemberian insentif dan disinsentif ini sesuai dengan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang dalam UUPR, yaitu bab 3 Pasal 35 dan Pasal 38.
5.4.2.3 Faktor Sosial-Budaya Berdasarkan nilai rata-rata IKLS dari indikator utama sosial-budaya yang berperan sebagai faktor penghambat keberlanjutan, pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang
meliputi pengendalian jumlah penduduk,
usahatani bersama, pemberdayaan petani & Poktan dan reforma agraria (Tabel 42). Penentuan pilihan pengelolaan lahan sawah tersebut merujuk pada permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang dicerminkan oleh indikator utama pada Gambar 67a, 67b, dan 67c yang memiliki nilai IKLS ≤ 0.
50, yaitu persepsi
petani
terhadap harga padi HPP (nilai IKLS: 0,06 – 0,50), penguasaan lahan (IKLS: 0.10 – 0.50), fragmentasi lahan (IKLS: 0.17 – 0.49), pendidikan petani (IKLS: 0.13 – 0.48), usia petani (IKLS: 0.47 – 0.50), dan budaya lokal (IKLS: 0.07 – 0.46). Hasil penelitian ini bermakna bahwa permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang disebabkan oleh faktor sosial-budaya terjadi di hampir semua zona agroekologi.
189
Tabel 42. Pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang berdasarkan indeks keberlanjutan lahan sawah (IKLS) dari faktor sosial-budaya ZAELS (Nilai IKLS) A (S1/IP300) (IKLS:0,37) B (S1/IP200) (IKLS:0,40) C (S1/IP100) (IKLS:0,26) D (S2/IP300) (IKLS:0,30) E (S2/IP200) (IKLS:0,25) F (S2/IP100) (IKLS:0,32)
G (S3/IP300) (IKLS:0,36) H (S3/IP200) (IKLS:0,33)
Indikator Utama (Sebagai Faktor Penghambat) Penguasaan lahan, pendidikan petani,
fragmentasi
Pengelolaan Lahan Sawah untuk Mendukung Penataan Ruang
lahan,
Pengendalian jumlah penduduk, usahatani bersama, pemberdayaan petani & Poktan dan reforma agrarria
Persepsi terhadap harga padi HPP, penguasaan lahan, pendidikan petani, usia petani, budaya lokal
Pengendalian jumlah penduduk, usahatani bersama, pemberdayaan petani & Poktan dan reforma agrarria
Penguasaan lahan, fragmentasi pendidikan petani, usia petani
lahan,
Pengendalian jumlah penduduk, usahatani bersama, pemberdayaan petani & Poktan dan reforma agrarria
Persepsi terhadap harga padi HPP, penguasaan lahan, fragmentasi lahan, pendidikan petani, usia petani, budaya lokal
Pengendalian jumlah penduduk, usahatani bersama, pemberdayaan petani & Poktan dan reforma agrarria
Persepsi terhadap harga padi HPP, penguasaan lahan, pendidikan petani, usia petani
Pengendalian jumlah penduduk, usahatani bersama, pemberdayaan petani & Poktan dan reforma agrarria
Persepsi terhadap harga padi HPP, keanggotaaan dalam Poktan, peranan penyuluhan, penguaasaan lahan, pendidikan petani, usia petani
Pengendalian jumlah penduduk, usahatani bersama, pemberdayaan petani & Poktan dan reforma agrarria
Persepsi terhadap harga padi HPP, penguasaan lahan, fragmentasi lahan, usia petani, budaya lokal
Pengendalian jumlah penduduk, usahatani bersama, pemberdayaan petani & Poktan dan reforma agrarria
Persepsi terhadap harga padi HPP, penguasaan lahan, fragmentasi lahan, usia petani
Pengendalian jumlah penduduk, usahatani bersama, pemberdayaan petani & Poktan dan reforma agrarria
I (S3/IP100)
Persepsi terhadap harga padi HPP, penolakan Pengendalian jumlah penduduk, usahatani konversi lahan, peenguasaan lahan, bersama, pemberdayaan petani & Poktan dan fragmentasi lahan, pendidikan petani, usia reforma agrarria petani Keterangan: nilai IKLS ratar-rata dari indikator yang berperan sebagai faktor penghambat (IKLS:0,28)
Pengelolaan lahan dengan melalui pengendalian jumlah penduduk, usahatani bersama, pemberdayaan petani & Poktan, dan reforma agraria merupakan faktor kunci untuk mengatasi permasalahan
keberlanjutan lahan sawah dari faktor
sosial-budaya. Pengendalian jumlah penduduk (petani) dan reforma agraria dapat berperan untuk mengurangi penguasaan lahan yang timpang (hampir 75% petani di Jawa merupakan petani penggarap) dan fragmentasi lahan yang semakin menyempit (lahan garapan petani penggarap < 0.3 ha) karena penerapan sistem hukum waris. Usahatani bersama adalah untuk mengefisiensikan usahatani secara kolektif dari para petani yang memiliki lahan sempit, agar petani dapat memperoleh keuntungan yang layak. Pemberdayaan petani &Poktan dimaksudkan untuk memberdayakan petani yang tergabung dalam Poktan melalui kegiatan penyuluhan (adopsi teknologi, budaya tani yang ramah lingkungan) dan
190
menanamkan “cinta bertani” kepada generasi muda agar usahatani padi sawah tetap dapat berkelanjutan.
Semua upaya pengelolaan lahan sawah dimaksud
adalah untuk mewujudkan penataan ruang kawasan perdesaan yang diarahkan untuk pemberdayaan masyarakat perdesaan (UUPR Pasal 48 ayat 1 butir a) dan konservasi sumberdaya alam dan lingkungan (UUPR Pasal 48 butir c).
5.5 Kesimpulan dan Saran 5.5.1 Kesimpulan 1. Status keberlanjutan lahan sawah ditentukan oleh indikator faktor biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya petani yang ada di setiap zona agroekologi lahan sawah. Jumlah indikator utama dari ketiga faktor tersebut bervariasi, tergantung pada karakteristik zona agroekologi lahan sawah. 2. Indeks keberlanjutan lahan sawah di Jawa sebagian besar termasuk kategori cukup berkelanjutan. Indikator utama yang sebagian besar berperan sebagai faktor penghambat keberlanjutan lahan sawah adalah ketersediaan air, bahaya banjir, kandungan C-organik tanah, N-total, P-tersedia, K-tersedia, perolehan keuntungan, modal usahatani, akses pupuk, potensi konversi lahan, persepsi terhadap harga padi, penguasaan dan fragmentasi lahan, pendidikan petani, dan usia petani.
Indikator utama yang berperan sebagai pendukung
keberlanjutan di semua zona agroekologi lahan sawah adalah tingkat salinitas, kandungan unsur hara K-total dan P-total, fasilitas pengolahan hasil panen dan pemasaran yang kondusif, serta kondisi sosial-budaya masyarakat petani yang memiliki motivasi bertani tinggi, menolak konversi lahan sawah menjadi nonsawah, dan kearifan lokal pengelolaan lahan sawah yang mendukung kelestarian sumberdaya tanah. 3. Indeks keberlanjutan sawah yang dipetakan berdasarkan zona agroekologi dapat digunakan sebagai basis kajian pengelolaan lahan untuk mendukung pelaksanaan penataan ruang, terutama dalam hal pengendalian ruang yang bertujuan untuk mewujudkan pemanfaatan lahan sawah berkelanjutan.
191
5.5.2 Saran 1. Penanganan permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa disarankan untuk dapat difokuskan pada indikator utama yang berperan sebagai faktor penghambat, dengan tetap menjaga indikator yang berperan sebagai faktor pendukung keberlanjutan. Indikator yang berperan sebagai faktor penghambat keberlanjutan lahan sawah dapat digunakan sebagai basis kajian pengelolaan lahan sawah untuk merumuskan kebijakan pengelolaan lahan sawah yang mendukung penataan ruang dalam rangka menjaga ketahanan pangan dari aspek ketersediaan beras. Indikator yang berperan sebagai faktor pendukung perlu dijaga kualitasnya agar tidak berbalik menjadi faktor penghambat yang dapat mengancam keberlanjutan lahan sawah. 2. Kekhawatiran budaya eksploitatif petani dengan melakukan pemompaan air tanah untuk memaksakan penanaman padi dengan IP300 disarankan untuk dikaji lebih detil agar tidak berkembang meluas.
Pengkajian dampak
pemompaan air tanah untuk pengairan padi sawah pada musim kemarau dapat diarahkan ke langkah-langkah pencegahan agar tidak menimbulkan kerusakan lingkungan karena gangguan keseimbangan neraca air. 3. Untuk mengantisipasi ancaman konversi lahan sawah menjadi non-sawah perlu dibuat peraturan yang melarang pemilikan lahan sawah di luar wilayah desa kawasan persawahan. Lahan sawah tidak boleh dikonversi menjadi nonsawah tanpa seijin penduduk di wilayah desa dimana lahan sawah berada. 4. Para pemangku kepentingan disarankan melakukan sosialisasi kepada petani padi sawah tentang konservasi lingkungan dan adaptasi perubahan iklim dengan menggali potensi kearifan lokal, agar kelangkaan air dan bahaya banjir
sebagai dampak perubahan iklim global yang dapat mengancam
keberlanjutan lahan sawah dapat dikurangi secara efektif dan efisien.
192
6. KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN SAWAH BERBASIS ZONA AGROEKOLOGI UNTUK MENDUKUNG PENATAAN RUANG 6.1 Rasional Kebijakan merupakan suatu tindakan untuk mencapai suatu tujuan tertentu berdasarkan permasalahan yang didefinisikan (Parsons, 2008). pertanian, pengelolaan lahan sawah berperanan penting untuk
Dalam sektor menangani
berbagai permasalahan keberlanjutan lahan sawah. Karena lahan sawah bersifat multifungsi yang dapat memberikan manfaat terhadap lingkungan biofisik, sosialbudaya, dan ekonomi (Irawan et al., 2004), maka pengelolaan lahan sawah harus bersifat holistik agar perannya sebagai produsen padi dapat ditingkatkan secara berkelanjutan.
Seperti
yang
telah
dibahas
sebelumnya,
permasalahan
keberlanjutan lahan sawah yang mencakup faktor lingkungan biofisik, sosialbudaya, dan ekonomi telah dipetakan pada peta indeks keberlanjutan berdasarkan zona agroekologi. Oleh karena itu, zona agroekologi dapat digunakan sebagai basis
kajian
pengelolaan
lahan
sawah
untuk
menangani
permasalahan
keberlanjutan lahan sawah. Seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 26/2007 Pasal 2, tujuan penataan ruang pada hakekatnya adalah untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan di berbagai sektor, termasuk sektor pertanian yang mengandalkan potensi sumberdaya alam. Adapun tujuan utama dimunculkannya ide konsep agroekologi adalah untuk menjaga keberlanjutan pertanian (Altieri, 1989). Oleh karena itu, kebijakan teknis hasil kajian pengelolaan lahan sawah yang berbasiskan zona agroekologi dapat dimanfaatkan untuk mendukung penataan ruang di kawasan budidaya, terutama untuk perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian peruntukan lahan sawah agar keberlanjutan lahan sawah dapat dijaga. Dermawan (2005) menjelaskan bahwa ketepatan pemilihan alternatif kebijakan ditentukan oleh model pengambilan keputusan yang diterapkan. Menurut Marimin (2004), model pengambilan keputusan dengan AHP dapat digunakan untuk menangani permasalahan berbagai aspek (multidimensi) secara menyeluruh dengan memberikan berbagai prioritas alternatif kebijakan. Sehingga,
193
keunggulan metoda AHP tersebut dapat diterapkan untuk analisis kebijakan pengelolaan lahan sawah berbasiskan zona agroekologi. Dengan metoda AHP, alternatif kebijakan pengelolaan lahan sawah dapat ditetapkan berdasarkan pada permasalahan yang ada di setiap zona agroekologi.
Dari alternatif kebijakan
yang berbasis zona agroekologi tersebut, pengambil keputusan akan dapat memprioritaskan penerapan kebijakan pengelolaan lahan secara tepat untuk mendukung penataan ruang dalam rangka menjaga keberlanjutan lahan sawah.
6.2 Tinjauan Pustaka 6.2.1 Konsep Pengelolaan Lahan Sawah Pengelolaan berasal
dari kata kelola yang berarti kendali. Sehingga,
pengelolaan lahan sawah berarti kegiatan pengendalian penggunaan lahan untuk budidaya tanaman padi sawah. Tujuan pengelolaan lahan yang tepat adalah untuk mewujudkan penggunaan lahan pertanian yang berkelanjutan. Sabiham ( 2008) menjelaskan bahwa penggunaan lahan pertanian berkelanjutan dicirikan enam ciri utama, yaitu (1) penggunaan sumberdaya lahan yang berorientasi jangka panjang. (2) dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan potensi untuk masa depan, (3) pendapatan per kapita meningkat, (4) kualitas lahan dapat dipertahankan, bahkan kalau bisa ditingkatkan, (5) dapat mempertahankan produktivitas dan kemampuan lahan, dan (6) mampu mempertahankan lingkungan dari ancaman degradasi. Menurut Irawan et al. (2004), lahan sawah memiliki multifungsi, yaitu selain sebagai produsen pangan (beras) juga mempunyai jasa atau manfaat terhadap lingkungan biofisik, sosial-budaya, dan ekonomi. Oleh karena itu, pengelolaan lahan sawah harus memperhatikan multifungsi lahan tersebut.
6.2.1.1 Pengelolaan Lahan Sawah dari Fungsi Produsen Padi Fungsi lahan sawah sebagai produsen padi ditentukan oleh produktivitas lahan. Stewart et al. (1991) menjelaskan bahwa produktivitas lahan merupakan fungsi dari proses degradasi lahan dan konservasi lahan. Menurut Arsyad (2006), degradasi tanah (lahan) adalah hilangnya atau menurunnya fungsi tanah sebagai tempat tumbuh bagi tanaman dan sebagai sumber hara bagi tanaman, sedangkan
194
konservasi tanah adalah penempatan sebidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah.
Lal (1995)
mengemukakan bahwa pengelolaan lahan pada dasarnya adalah menerapkan caracara pemeliharaan lahan per unit area melalui upaya peningkatan kualitas tanah dan perbaikan karakteristik lingkungan sehingga lahan selalu berada pada keadaan produktivitas tinggi. Untuk mewujudkan sistem pertanian berkelanjutan, Stewart et al. (1991) menjelaskan
sistem pertanian berkelanjutan akan terjadi apabila
proses konservasi lebih besar daripada proses degradasi lahan.
Sehingga,
produktivitas tanah pada setiap waktu merupakan hasil interaksi antara proses degradasi dan proses konservasi. Interaksi proses degradasi dan proses konservasi lahan disajikan pada Gambar 73. Adiningsih
et al. (2004) berpendapat bahwa pengelolaan lahan sawah
untuk mencapai produktivitas secara berkelanjutan meliputi penyiapan lahan sawah, pengelolaan air, pengelolaan hara/pupuk, serta pengelolaan usaha tani berbasis pada sawah secara efisien.
Penyiapan lahan sawah irigasi seperti yang
banyak dijumpai di Jawa dilakukan melalui proses pelumpuran untuk mengurangi perkolasi dan kapasitas menyangga air. Proses Degradasi Tanah Erosi tanah Hara terbawa run off Penggenangan Desertifikasi Asidifikasi Pemadatan Pengkerakan Hilangnya bahan organik tanah Salinisasi Pencucian hara Akumulasi bahan beracun
Proses Konservasi Tanah
Produktivitas tanah
Pengolahan tanah konservasi Rotasi tanaman Perbaikan drainase Pengelolaan residu tanaman Konservasi air Terasering Penanaman sesuai kontur Pemupukan anorganik Pemupukan organik Perbaikan siklus hara Dan lain-lain
Gambar 73. Hubungan antara proses degradasi dan proses konservasi tanah (Stewart et al., 1991)
Untuk pengelolaan air, Subagyono et al. (2004) menjelaskan bahwa efisiensi pemanfaatan air dapat dilakukan melalui irigasi macak-macak dan irigasi
195
berselang (intermitten). Dalam irigasi macak-macak, lahan sawah tidak digenangi tetapi cukup hanya dijenuhi untuk mendapatkan hasil padi yang tidak berbeda dengan lahan yang digenangi 5 cm, sedangkan pada irigasi berselang, penggenangan air dilakukan pada selang waktu-waktu tertentu. Menurut Irianto dan Rejekningrum (2008), penerapan teknik irigasi berselang dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan air lebih dari 50%. Efisiensi pemanfaatan air melalui teknik ini penting, mengingat ada kecenderungan periode hujan semakin singkat dengan musim kemarau semakin lama. Untuk mendukung penyediaan air di lahan sawah yang umumnya terletak di lereng bawah, Arsyad (2008) menjelaskan metode konservasi air dengan penanaman vegetasi permanen dengan pohon-pohon hutan (penghutanan) pada tanah dengan kemampuan lahan kelas VI, VII, dan VIII yang berlereng > 30%.
Penghutanan pada lahan di lereng atas tersebut akan
mengurangi air hujan menjadi aliran permukaan dan meningkatkan air hujan masuk kedalam tanah menjadi air bawah tanah yang dapat mengurangi ancaman banjir dan menjamin persediaan air pada musim kemarau. Selain itu, konservasi air juga dapat dilakukan dengan pembuatan penampungan air dalam bentuk waduk, yang berfungsi menghambat air agar tidak segera hilang ke laut dan dapat digunakan untuk berbagai keperluan manusia, termasuk untuk pengairan lahan sawah. Untuk memperbaiki tingkat produksi tanaman dan mempertahankan produktivitas tanah sawah, Setyorini et al. (2004) menyarankan pengelolaan hara tanaman dengan menerapkan teknologi pemupukan berimbang berdasarkan uji tanah yang dipadukan dengan pupuk organik dan hayati. Pemupukan berimbang adalah pemberian pupuk ke dalam tanah untuk mencapai status semua hara essensial seimbang sesuai kebutuhan tanaman dan optimum untuk meningkatkan produksi dan mutu hasil, meningkatkan efisiensi pemupukan, kesuburan tanah, serta menghindari pencemaran lingkungan.
6.2.1.2 Pengelolaan Lahan dari Fungsi Ekonomi Fauzi (2009) mengemukakan bahwa pengelolaan lahan bersifat kompleks karena pemilikan lahan yang berada di tangan perorangan dan lahan memiliki multifungsi. Pemilikan lahan di tangan perorangan sering menimbulkan konflik
196
ketika lahan dibutuhkan untuk kepentingan publik. Adanya multifungsi lahan juga sering menimbulkan masalah karena lahan hanya dianggap sebagai faktor produksi semata, sementara nilai pasif lahan (fungsi hidrologis, fungsi pencegah bencana, dan beberapa aspek ekologis lainnya) cenderung diabaikan. Sifat dari multifungsi seperti yang dimiliki oleh lahan sawah ini juga sering menimbulkan konflik pemanfaatan atas lahan. Ketiadaan informasi mengenai nilai pasif ini sering menyebabkan hilangnya lahan-lahan yang dianggap kurang produktif sekalipun. Kompleksitas permasalahan lahan tersebut menuntut dilakukannya pengelolaan lahan yang bersifat regulatory atau melalui mekanisme insentif. Pengelolaan lahan dengan pendekatan mekanisme insentif
diantaranya
dilakukan melalui tiga cara, yaitu policy-related incentive, market base incentive, dan
mekanisme
institusi.
Kebijakan
policy-related
incentive
umumnya
memberikan stimulus pembangunan sektor yang sering dibarengi instrumen fiskal, seperti pajak dan subsidi maupun instrumen perundangan. Kebijakan market base incentive
lebih didasarkan pada mekanisme pasar, dimana pasar merupakan
sinyal yang kuat dalam penentuan opsi pemanfaatan lahan sehingga akan mempengaruhi proses produksi dan konsumsi dari lahan. Contoh kebijakan ini adalah pemberian subsidi atas pupuk dan pestisida kepada petani padi sawah, agar biaya produksi dapat ditekan. Dengan demikian, petani dapat memperoleh keuntungan yang layak. Kebijakan mekanisme institusi sering digunakan untuk menentukan dan mengendalikan ketentuan-ketentuan yang disepakati mengenai bagaimana sumber daya lahan dikelola. Dalam konteks negara berkembang dimana hak-hak atas lahan sering masih berada ditangan hak ulayat (Fauzi, 2009) Pengelolaan lahan sawah melalui mekanisme pemberian insentif tersebut telah diatur dalam UUPR dan UUPLPPB. Pemberian insentif dalam UUPR dituangkan
dalam
pengendalian
pemanfaatan
ruang
(UUPR
Pasal
35:
pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perijinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi) dan Pasal 38 ayat 2: insentif diantaranya diberikan dalam bentuk keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsidi silang). Pemberian insentif dalam UUPLPPB dituangkan dalam bab perlindungan dan pemberdayaan petani (Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 65). Peraturan-
197
dalam Pasal 61 mengatur tentang kewajiban pemerintah untuk melindungi dan memberdayakan petani, kelompok tani, koperasi petani, serta asosiasi petani. Pasal 62 mewajibkan pemerintah memberikan jaminan tentang harga komoditas pangan pokok (beras) yang menguntungkan, memperoleh sarana produksi dan prasarana pertanian, pemasaran hasil pertanian pangan pokok, pengutamaan hasil pertanian pangan dalam negeri, dan ganti rugi akibat gagal panen. Pasal 63 mengatur kewajiban pemerintah untuk memberdayakan petani, diantaranya pemberian fasilitas sumber pembiayaan/permodalan, pemberian bantuan kredit kepemilikan lahan pertanian, dan pembentukan bank bagi petani.
6.2.1.3 Pengelolaan Lahan dari Fungsi Sosial-Budaya Permasalahan sosial-budaya yang mengancam keberlanjutan lahan sawah di Jawa adalah ketimpangan penguasaan dan fragmentasi lahan, rendahnya tingkat pendidikan petani, serta budaya konsumsi beras yang tinggi. penguasaan dan fragmentasi lahan adalah dampak dari
Ketimpangan
peningkatan jumlah
penduduk (Jamal et al. 2002; Tambunan, 2008) dan sistem waris (Isa, 2006), yang mengakibatkan perlambatan program pengembangan pertanian pada skala yang luas, perlambatan dan instabilitas produksi padi, dan menurunnya pendapatan petani (Jamal et al. 2002). Strategi untuk menangani masalah ketimpangan penguasaan dan fragmentasi lahan telah diusulkan oleh Jamal et al. (2002) dengan menerapkan reforma agraria. Menurut Temenggung (2008), reforma agraria adalah penataan sistem politik dan hukum pertanahan berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang penyelenggaraannya melibatkan land reform (LR) dan access reform (AR) secara bersamaan. LR adalah proses distribusi dan redistribusi tanah untuk menata Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah berdasarkan hukum dan peraturan perundangan di bidang pertanahan, sedangkan AR adalah suatu proses penyediaan akses bagi masyarakat (Subyek Reforma Agraria) terhadap segala hal yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan tanahnya sebagai sumber kehidupan (partisipasi ekonomi-politik, modal, pasar, teknologi, pendampingan, peningkatan kapasitas, dan kemampuan). Adapun tujuan dari reforma agraria
198
adalah:
(a) menata ulang ketimpangan struktur penggunaan, pemanfaatan,
penguasaan dan pemilikan tanah ke arah yang lebih berkeadilan, (b) mengurangi kemiskinan, (c) menciptakan lapangan kerja, (d) Mengurangi sengketa dan konflik pertanahan, (e) memperbaiki akses rakyat kepada sumber-sumber ekonomi, terutama tanah, (f) meningkatkan ketahanan pangan dan energi rumah tangga, (g) memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup.
6.2.2 Konsep Penataan Ruang 6.2.2.1 Prinsip Dasar Penataan ruang mengandung makna menata ruang sebagai tempat kehidupan. Dalam Undang-Undang Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.
Menurut Rustiadi et al. (2008), ruang adalah sebagai wadah atau
tempat dimana sumberdaya dan kehidupan berada. Ruang sebagai sumberdaya dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia. Sumberdaya dalam pengertian umum adalah segala sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi (Anwar, 2005). Rees (1990, dalam Anwar, 2005) menetapkan dua kriteria untuk sesuatu dapat dikatakan sebagai sumberdaya, yaitu: (1) harus ada teknologi, pengetahuan atau skill untuk memanfaatkannya, dan (2) harus ada permintaan terhadap sumberdaya tersebut. Sesuatu (barang) yang tidak memenuhi kedua kriteria tersebut disebut sebagai barang netral.
Dalam berbagai istilah peraturan perundang-undangan
sebelum tahun 1980, istilah sumberdaya lebih disebut sebagai kekayaan atau sumber alam. Pada peraturan perundang-undangan setelah tahun 1980, istilah sumberdaya
merujuk pada konotasi sumberdaya manusia, alam, dan buatan
(Sumardjono et al., 2009).
Oleh karena itu, penataan ruang dapat diartikan
sebagai penataan atau pengelolaan sumberdaya dalam arti luas. Penataan ruang tidak hanya menata aspek sumberdaya alam saja, tetapi juga aspek manusianya karena manusia adalah faktor yang paling menentukan dalam pemanfaatan ruang. Penataan ruang selalu berhadapan dengan berbagai bentuk permasalahan sumberdaya yang dimiliki umum atau bersama (Common Pool Resource, CPR).
199
CPR ini memiliki sifat substractibility atau rivalness di dalam pemanfaatannya, yang berarti setiap konsumsi seseorang atas sumberdaya akan mengurangi jatah orang lain di dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut. Selain itu, sumberdaya yang dikategorikan sebagai CPR memerlukan biaya tinggi untuk membatasi aksesnya pada pihak-pihak lain untuk menjadi pemanfaat. Seperti halnya barang publik, CPR ini memiliki sifat rentan terhadap penunggang gelap (free rider), yakni adanya pihak-pihak yang mendapatkan manfaat tetapi tidak berkonribusi pada biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk menyediakan, memelihara dan mengatur
pemanfaatan
sumberdaya.
Penumpang
gelap
ini
cenderung
memanfaatkan sumberdaya secara berlebihan (over use) yang dapat mengancam keberlanjutan sistem produksi. Selain itu, CPR juga rentan terhadap masalah kemacetan (congestion), dan perilaku korupsi atau perilaku rent-seeking. Oleh karena itu, pemanfaatan CPR memerlukan pengaturan agar terhindar dari tregedy of the common atau fenomena akses terbuka, yaitu suatu fenomena eksploitasi sumberdaya habis-habisan tanpa satu pihakpun memiliki insentif memeliharanya sehingga sumberdaya tersebut mengalami degradasi (Hess dan Ongstrom, 2001; Rustiadi et al. 2006). Tragedy of the commons ini dapat dihindari melalui suatu mekanisme yang dapat menyebabkan individu memandang barang-barang atau sumberdaya sebagai milik bersama serta adanya kelembagaan yang mengaturnya. Konsep pengaturan pemanfaatan sumberdaya CPR agar tidak menimbulkan tragedy of the commons inilah yang melandasi konsep penataan ruang, yang dilembagakan melalui Undang-Undang Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang (UUPR). Tujuan penataan ruang mencakup tiga hal, yaitu: (1) untuk peningkatan efisiensi dan produktivitas (spatial arrangement), (2) mewujudkan distribusi sumberdaya secara merata, berimbang, dan berkeadilan (secara spasial), dan (3) menjaga keberlanjutan: pemanfaatan yang disesuaikan dengan
daya dukung
sumberdaya fisik ruang/wilayah (environmental rent) (Rustiadi et al., 2008). Ketersediaan ruang sebagai tempat kehidupan pada dasarnya adalah tidak tak terbatas karena sifatnya substractibility dan rivalness. Oleh karena itu, orientasi dalam UUPR adalah untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara
200
dan
Ketahanan Nasonal dengan: (a) terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan, (b) terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia; dan (c) terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang (UUPR Pasal 3). Sumardjono et al. (2008) mengemukakan bahwa UUPR berpihak pada perlindungan kepentingan rakyat karena ruang wilayah NKRI akan dikelola secara berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
6.2.2.2 Proses Penataan Ruang Pengelolaan ruang wilayah NKRI melalui penataan ruang dilakukan sebagai suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang (UUPR Pasal 1 butir 5). Rustiadi et al. (2008) menjelaskan proses penataan ruang
sebagai suatu sistem yang terdiri dari sub-sistem
perencanaan, implementasi, dan pengendalian, yang secara sistemik saling mempengaruhi. Gambaran tentang proses penataan ruang disajikan pada Gambar 74. Perencanaan
Pengendalian
Implementasi
Tujuan
Outcome
Gambar 74. Proses penataan ruang (Rustiadi et al., 2008) Sebagai suatu proses setidaknya terdapat dua unsur penataan ruang, yaitu proses penataan fisik ruang (physical arrangement) dan
proses penataan
kelembagaan (institutional arrangement). Proses penataan fisik ruang memiliki tiga peran penting, yaitu: (1) pengalokasian sumberdaya fisik wilayah sesuai dengan kemampuan dan kesesuaiannya agar kegunaannya dapat efisien dan
201
produktif, (2) pemanfaatan sumberdaya fisik yang dapat memberikan dampak positif bagi
wilayah sekitarnya agar azas pemerataan, keberimbangan, dan
berkeadilan dapat terpenuhi, dan (3) pengalokasian sumberdaya fisik wilayah harus sesuai dengan daya dukung, daya tampung, dan potensi wilayah. Proses penataan kelembagaan berperan penting dalam pengaturan permasalahan pemanfaatan sumberdaya bersama yang rentan terhadap overuse, free rider, congestion, dan rent seeking; yang kesemuanya itu merupakan perilaku oportunistik dan menjadi penyebab timbulnya kegagalan mekanisme pasar. Kelembagaan adalah aturan-aturan yang dibangun masyarakat untuk menentukan dilakukan atau tidak dilakukan berkaitan dengan situasi tertentu. Oleh karena itu, dalam penataan
kelembagaan, pemahaman terhadap karakteristik perilaku
manusia (sistem sosial) sebagai pemanfaat sumberdaya adalah sangat penting. Banyak degradasi lingkungan tidak semata disebabkan masalah fisik dan ekonomi, namun lebih pada masalah kelembagaan. Oleh karena itu, penataan kelembagaan berperan sangat penting dan sering menjadi faktor paling menentukan disamping aspek-aspek teknis (fisik). Membangun kelembagaan tersebut sangat ditentukan oleh kapasitas sumberdaya manusia dan faktor modal sosial
dalam bentuk
kepercayaan, jaringan kerja, norma, dan nilai (Rustiadi et al. 2008).
6.2.2.3 Klasifikasi Penataan Ruang Dalam implementasinya, pengklasifikasian penataan ruang didasarkan pada lima hal, yaitu (1) berdasarkan sistem, (2) fungsi utama kawasan, (3) wilayah administrasi, (4) kegiatan kawasan, dan (5) nilai strategis kawasan (UUPR, Pasal 4). Berdasarkan sistem, penataan ruang terdiri atas sistem wilayah dan sistem internal perkotaan. Adapun penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas fungsi kawasan lindung dan fungsi kawasan budidaya. Penataan ruang dengan dasar wilayah administratif dibagi menjadi penataan ruang wilayah nasional, wilayah provinsi, dan wilayah kabupaten/kota. Berdasarkan kegiatan kawasan, penataan ruang diarahkan pada kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan.
Penataan ruang berdasarkan nilai strategis terdiri atas
penataan
kawasan strategis nasional, kawasan strategis provinsi, dan kawasan strategis kabupaten/kota (UUPR Pasal 5).
202
6.2.2.4 Penyelenggaraan Penataan Ruang Secara struktural, penataan ruang diselenggarakan secara proporsional oleh pemerintah dan masyarakat (Gambar 75). Penyelenggaraan penataan ruang tersebut adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pengawasan, dan pelaksanaan penataan ruang. Pelaksanaan penataan ruang dilakukan melalui tiga kegiatan, yakni: (1) perencanaan tata ruang, (2) pemanfaatan ruang, dan (3) pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang menghasilkan rencana umum dan rencana rinci tata ruang. Rencana umum tata ruang disusun secara berjenjang, yaitu Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, RTRW Provinsi, dan RTRW Kabupaten/Kota.
Rencana rinci tata ruang terdiri atas
rencana tata ruang pulau/kepulauan, rencana tata ruang kawasan strategis nasional, rencana tata ruang kawasan strategis provinsi, rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota, dan rencana detail tata ruang kabupaten/kota (UUPR Pasal 5). Penyelenggaraan Penataan Ruang
Pengaturan Pembinaan Pengawasan
Pelaksanaan
Pemerintah
Perencanaan
Pemerintah dan Masyarakat
Pengendalian
Pemanfaatan
Ruang dan Sumberdaya dalam Ruang
Gambar 75. Struktur penyelenggaraan penataan ruang (Rustiadi et al., 2008)
Muatan rencana tata ruang mencakup rencana struktur ruang dan rencana pola ruang. Rencana struktur ruang merupakan rencana sistem pusat permukiman
203
dan rencana sistem jaringan prasarana. Adapun rencana pola terdiri atas ruang peruntukan kawasan lindung dan kawasan budidaya. Lebih lanjut, peruntukan kawasan lindung dan kawasan budidaya yang mencakup peruntukan ruang untuk kepentingan kelestarian lingkungan, sosial, ekonomi, budaya, pertahanan, dan keamanan. Dalam rangka pelestarian lingkungan hidup, pemangku kepentingan harus menetapkan kawasan hutan paling sedikit 30 % dari luas daerah aliran sungai (UUPR Pasal 17 ayat 5). Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya (UUPR Pasal 32 ayat 1)
Pemanfaatan ruang
mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumberdaya alam lain (UUPR Pasal 33 ayat 1). Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perijinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi (UUPR Pasal 35). Peraturan zonasi disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap zona pemanfaatan ruang.
Peraturan zonasi ditetapkan dengan: (a)
peraturan pemerintah untuk arahan peraturan zonasi sistem nasional; (b) peraturan daerah provinsi untuk arahan peraturan zonasi sistem provinsi; dan (c) peraturan daerah kabupaten/kota untuk peraturan zonasi sistem kabupaten/kota (UUPR Pasal 35 dan Pasal 36). Ketentuan perijinan dikeluarkan oleh pemerintah. Ijin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRW dibatalkan oleh pemerintah. Ijin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai lagi akibat adanya perubahan RTRW dapat dibatalkan oleh pemerintah dan pemerintah dengan memberikan ganti rugi yang layak (UUPR Pasal 37). Pemberian insentif merupakan upaya memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang, yaitu berupa keringanan pajak, pembangunan serta pengadaan infrastruktur, kemudahan prosedur perijinan, dan atau pemberian penghargaan (UUPR Pasal 38 ayat 2).
Sebaliknya, disinsentif juga dapat diterapkan apabila terdapat
pelaksanaan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRW, yaitu berupa pengenaan pajak yang tinggi dan pembatasan penyediaan infrastruktur serta penalti (UUPR Pasal 38 ayat 3).
204
Pengawasan penataan ruang
dilakukan terhadap kinerja pengaturan,
pembinaan, dan pelaksanaan penataan ruang; yang terdiri atas pemantauan, evaluasi, dan pelaporan. Pengawasan penataan ruang tersebut dilakukan oleh pemerintah
dan pemerintah daerah menurut kewenangannya masing-masing
dengan melibatkan peran masyarakat (UUPR Pasal 35).
6.3 Bahan dan Metode 6.3.1 Perumusan Pilihan Kebijakan Data yang digunakan untuk merumuskan alternatif kebijakan ini adalah hasil identifikasi permasalahan (faktor penghambat) keberlanjutan lahan sawah berdasarkan indeks keberlanjutan yang telah dibahas di bab 5. Faktor penghambat kebelanjutan lahan sawah tersebut mencakup faktor biofisik, ekonomi, dan sosialbudaya.
Perumusan alternatif kebijakan didasarkan pada telaah pustaka dari
berbagai sumber dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terutama Undang-Undang Penataan Ruang (UUPR). Pilihan kebijakan untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah disajikan pada Tabel 43.
6.3.2 Penentuan Kebijakan Prioritas Penentuan
kebijakan prioritas
menggunakan metoda Proses Hirarkhi
Analitik (AHP), seperti yang dijelaskan oleh Marimin (2004). Penyusunan hirarkhi mengacu pada proses pencapaian pertanian berkelanjutan berdasakan konsep agroekologi, yaitu melalui tiga aspek (kriteria), yaitu (1) biofisik, (2) ekonomi, dan (3) sosial-budaya. Ketiga aspek ini merupakan pilihan kebijakan yang
dipentingkan
keberlanjutan dikelompokkan
atau
lahan
diprioritaskan
sawah.
untuk
Masing-masing
mengatasi
kriteria
permasalahan
tersebut
kemudian
menjadi tiga sub-kriteria, yang merupakan pilihan kebijakan
untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah di setiap faktor penghambat yang ada di setiap zona agroekologi (ZAE). Masing-masing pilihan kebijakan yang dikelompokkan di sub-kriteria selanjutnya dijabarkan di semua zona agroekologi sebagai alternatif untuk penentuan wilayah prioritas penerapan kebijakan (Gambar 76).
205
Tabel 43. Pilihan kebijakan pengelolaan lahan untuk menjaga keberlanjutan lahan sawah. Zona Agroekologi
Permasalahan
Kebijakan Pengelolaan Lahan Sawah
(Berdasarkan Indikator Utama)
Peraturan Pendukung UUPR
Faktor Biofisik A (S1/IP300) (IKLS: 0.36)
C-organik, N-total, P-tersedia, K-tersedia, K-total, serangan hama dan penyakit tanaman
K. Pembangunan dan perbaikan irigasi
- Pasal 3 butir a
B (S1/IP200) (IKLS:0.33)
Ketersediaan air, rendahnya C-organik, N-total, K-tersedia, P-tersedia, kondisi irigasi
- Pasal 3 buitir c
C (S1/IP100) (IKLS:0.30)
Ketersediaan air, C-organik, N-total, K-tersedia, kondisi irigasi
L. Penambahan unsur hara berimbang dan ketersediaan air minimum untuk pertumbuhan padi
D (S2/IP300) (IKLS:0.54)
C-organik, N-total, P-tersedia, K-tersedia
E (S2/IP200) (IKLS:0.48)
Bahaya banjir, serangan hama dan penyakit tanaman, C-organik, N-total, P-tersedia, P-total, K-tersedia, K-total, kondisi irigasi
F (S2/IP100) (IKLS:0.32)
Ketersediaan air, serangan hama dan penyakit tanaman, C-organik, N-total, P-tersedia, K-tersedia, kondisi irigasi
G (S3/IP300) (IKLS:0.45)
C-organik, N-total, P-tersedia, K-tersedia,
H (S3/IP200) (IKLS:0.41)
Ketersediaan air, serangan hama dan penyakit tanaman, C-organik, N-total, P-tersedia, P-total, K-tersedia, kondisi irigasi
I (S3/IP100) (IKLS:0.25)
Ketersediaan air, serangan hama dan penyakit tanaman, C-organik, N-total, P-tersedia, P-total, K-tersedia,, K-total, kondisi irigasi
M. Pengendalian hama & penyakit tanaman terpadu
dan b - Pasal 6 : ayat 1 - Pasal 48: ayat 1 buitr c
Faktor Ekonomi A (S1/IP300) (IKLS:0.47) B (S1/IP200) (IKLS:0.37) C (S1/IP100) (IKLS:0.32) D (S2/IP300) (IKLS:0.36) E (S2/IP200) (IKLS:0.27) E (S2/IP200) (IKLS:0.27) F (S2/IP100) (IKLS:0.38) G (S3/IP300) (IKLS:0.39) H (S3/IP200) (IKLS:0.39) I (S3/IP100) (IKLS: 0.33)
Keuntungan,, modal usahatani, akses pupuk, konversi lahan Keuntungan, modal usahatani, akses pupuk, konversi lahan Keuntungan petani, modal usaha tani, akses pupuk Keuntungan, modal usahatani, akses pupuk, konversi lahan Keuntungan, modal usahatani, akses pupuk, konversi lahan Keuntungan, modal usahatani, akses pupuk, konversi lahan Modal usahatani, akses pupuk Keuntungan, modal usahatani, konversi lahan Keuntungan, modal usahatani, akses pupuk Keuntungan, modal usahatani, akses pupuk
206
N. Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran O. Pemberian subsidi/ kredit usahatani dan peningkatan subsidi P. Revisi RTRW, pemberian insentif dan disinsentif
- Pasal 33: ayat 1 - Pasal 35 - Pasal 38: ayat 1, 2, 3, 5 - Pasal 48: ayat 1 buitri e
Tabel 43 (Lanjutan) Zona Agroekologi
Permasalahan
Kebijakan Pengelolaan Lahan Sawah
(Berdasarkan Indikator Utama)
Peraturan Pendukung UUPR
Faktor Sosial-budaya A (S1/IP300) (IKLS:0.37) B (S1/IP200) (IKLS:0.40) C (S1/IP100) (IKLS:0.26) D (S2/IP300) (IKLS:0.30) E (S2/IP200) (IKLS:0.25) F (S2/IP100) (IKLS:0.32) G (S3/IP300) (IKLS:0.36) H (S3/IP200) (IKLS:0.33)
Penguasaan lahan, fragmentasi lahan, pendidikan petani,
Q. Pengendalian junlah
Persepsi terhadap harga padi HPP, penguasaan lahan, pendidikan petani, usia petani, budaya lokal
R. Usahatani bersama
Penguasaan lahan, fragmentasi lahan, pendidikan petani, usia petani
pendududuk
- Pasal 48: ayat 1 butir a
S. Pemberdayaan petani & Poktan dan reforma agraria
Persepsi terhadap harga padi HPP, penguasaan lahan, fragmentasi lahan, pendidikan petani, usia petani, budaya lokal Persepsi terhadap harga padi HPP, penguasaan lahan, pendidikan petani, usia petani Persepsi terhadap harga padi HPP, Keanggotaaan dalam Poktan, peranan penyuluhan, penguaasaan lahan, pendidikan petani, usia petani Persepsi terhadap harga padi HPP, penguasaan lahan, fragmentasi lahan, usia petani, budaya lokal Persepsi terhadap harga padi HPP, penguasaan lahan, fragmentasi lahan, usia petani
Persepsi terhadap harga padi HPP, penolakan konversi lahan, enguasaan lahan, fragmentasi lahan, pendidikan petani, usia petani Keterangan: IKLS: nilai Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah
I (S3/IP100) (IKLS:0.28)
Penilaian justifikasi terhadap kriteria, sub-kriteria, dan alternatif di setiap zona agroekologi didasarkan pada 50 tanggapan (birokrat, pakar, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan pedagang beras) melalui wawancara atau diskusi. Para birokrat dan pakar berasal dari instansi-instansi terkait, yaitu
Kementerian
Pertanian (Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Dinas Pertanian, Pusat Data dan Informasi Pertanian), Kementerian Pekerjaan Umum (Direktoral Jenderal Sumberdaya Air, Balai Besar Pengelolaan Wilayah Sungai), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), dan Perguruan Tinggi (Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, IPB, Bogor dan Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang).
Materi diskusi atau wawancara diarahkan kepada penilaian tentang
kepentingan relatif kriteria, sub-kriteria, dan alternatif untuk penanganan permasalahan keberlanjutan pertanian lahan sawah di Jawa. Penilaian kepentingan
207
Tujuan: Mewujudkan Pertanian Lahan Sawah Berkelanjutan Berdasarkan Zona Agroekologi
Kriteria
Biofisik
Ekonomi
Sosial-Budaya
Sub Kriteria K
L
M
N
O
P
Q
R
S
A B C D E F G H I
A B C D E F G H I
A B C D E F G H I
A B C D E F G H I
A B C D E F G H I
A B C D E F G H I
A B C D E F G H I
A B C D E F G H I
A B C D E F G H I
ZAE
ZAE
ZAE
ZAE
ZAE
ZAE
ZAE
ZAE
ZAE
Alternatif
Keterangan: K
:
Pembangunan dan perbaikan irigasi
L
:
Penambahan unsur hara berimbang dan ketersediaan air minimum untuk pertumbuhan padi
M
:
Pengendalian hama dan penyakit tanaman terpadu
N
:
Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran
O
:
Pemberian subsidi/kredit usahatani
P
:
Revisi RTRW dan pemberian insentif dan disinsentif
Q
:
Pengendalian jumlah penduduk
R
:
Usahatani bersama
S
:
Pemberdayaan petani & Poktan dan reforma agraria
Gambar 76. Proses penentuan hirarkhi kebijakan keberlanjutan lahan sawah dengan AHP menggunakan skala
kepentingan Saaty seperti pada Tabel 44.
Nilai-nilai
kepentingan relatif Saaty dari hasil diskusi atau wawancara tersebut digabungkan dengan menggunakan rata-rata geometrik (XG). Hasil penilaian gabungan ini kemudian disajikan dalam format matrik perbandingan pasangan (parwise comparison). Nilai-nilai perbandingan relatif selanjutnya diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif, dengan menggunakan persamaan manipulasi matrik.
n
n
√ i=1
XG = π Xi 208
XG
= rata-rata geometrik
n
= jumlah responden
Xi
= penilaian oleh responden ke-i
Tabel 44. Skala kepentingan dalam pendekatan AHP Tingkat Kepentingan
Definisi
1
Sama pentingnya dibanding lainnya
3
Moderat pentingnya dibanding yang lain
5
Kuat pentingnya dibanding lainnya
7
Sangat kuat pentingnya dibanding lainnya
9
Ekstrim pentingnya dibanding lainnya
2, 4, 6, 8
Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan
Sumber: Saaty (1993, dalam Marimin, 2004)
Pengujian konsisten logis dimaksudkan untuk menguji konsistensi tidaknya suatu penilaian atau pembobotan perbandingan berpasangan. Pengujian ini diperlukan untuk mengetahui konsistensi respon (jawaban) yang akan berpengaruh terhadap kesahihan hasil. Konsistensi logis ditunjukkan dengan nilai Indeks Konsistensi (CI). Nilai CI dirumuskan dengan persamaan: CI = (λmax – n) : (n-1) ; n= banyaknya alternatif Untuk mengetahui apakah CI dengan besaran tertentu cukup baik atau tidak, perlu diketahui rasio yang dianggap baik, yaitu apabila CR ≤0,1, dimana CR = CI/RI; RI = nilai random indek (Marimin, 2004; Ishizaka dan Labib, 2009).
Dalam
penelitian ini, analisis kebijakan dengan pendekatan AHP menggunakan perangkat lunak Expert Choice 2000.
6.4 Hasil dan Pembahasan 6.4.1 Kebijakan Pengelolaan Lahan Sawah Hasil analisis dengan AHP (Gambar 77)
menunjukkan bahwa
faktor
ekonomi memiliki nilai bobot terbesar (0.455) apabila dibandingkan dengan nilai bobot faktor sosial-budaya (0.298) dan faktor biofisik (0.246 ).
Data tersebut
bermakna bahwa faktor ekonomi berpengaruh paling besar terhadap keberlanjutan
209
lahan
sawah, sedangkan pengaruh faktor sosial-budaya lebih besar daripada
faktor biofisik.
Masing-masing kebijakan di setiap faktor untuk penerapannya di
setiap zona agroekologi (ZAE) memiliki nilai bobot yang bebeda-beda.
Hasil
analisis AHP ini menyarankan bahwa penerapan kebijakan untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang disebabkan oleh faktor biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya di setiap zona agroekologi memiliki prioritas yang berbeda-beda.
6.4.1.1 Kebijakan Faktor Biofisik Untuk mengatasi permasalahan lingkungan biofisik,
alternatif kebijakan
pengelolaan lahan yang diperlukan meliputi pembangunan dan perbaikan saluran irigasi, penambahan unsur hara dan ketersediaan air minimum untuk pertumbuhan padi, dan pengendalian hama dan penyakit tanaman terpadu. Hasil analisis AHP pada Gambar 77 menunjukkan bahwa kebijakan paling penting untuk mengatasi faktor biofisik adalah pembangunan dan perbaikan saluran irigasi (bobot 0.478), kemudian diikuti oleh kebijakan penambahan unsur hara berimbang dan ketersediaan air minimum untuk pertumbuhan padi (bobot 0.344), dan pengendalian hama dan penyakit tanaman (bobot 0.178). Penerapan masingmasing kebijakan faktor biofisik ini diprioritaskan di zona agroekologi yang berbeda-beda, sesuai dengan kebijakan pengelolaan
urutan nilai bobotnya (Tabel 45). Penetapan
lahan sawah tersebut adalah untuk mendukung
penyelenggaraan penataan ruang yang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan (UUPR-Pasal 3). Kebijakan pembangunan dan perbaikan saluran irigasi (Kebijakan K) dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan ketersediaan air bagi lahan sawah yang ditunjukkan oleh indikator kondisi irigasi.
Fungsi air pada lahan sawah
sangat vital bagi tanaman padi untuk beberapa hal, yaitu (1) pelarut bahan makanan (unsur hara), (2) pengangkut bahan makanan terlarut melalui akar ke tubuh tanaman, dan (3) pembantu proses fotosintesis (Nurrochmad, 2007). Pembangunan saluran irigasi diprioritaskan di zona C (S1/IP100), zona F (S2/IP200), dan zona I (S3/IP100), yang masing-masing memiliki bobot tertinggi,
210
Tujuan: Mewujudkan Pertanian Lahan Sawah Berkelanjutan Berdasarkan Zona Agroekologi (1.00)
Biofisik (0.246)
Ekonomi (0.455)
Sosial-Budaya (0.298)
K (0.478)
L (0.344)
M (0.178)
N (0.324)
O (0.415)
P (0.261)
Q (0.411)
R (0.258)
S (0.331)
A (0.030) B (0.121) C (0.182) D (0.030) E (0.121) F (0.182) G (0.030) H (0.121) I (0.182)
A (0.114) B (0.114) C (0.114 D (0.114) E (0.114) F (0.114) G (0.114) H (0.114) I (0.114)
A (0.156) B (0.031) C (0.063) D (0.063) E (0.156) F (0.188) G (0.031) H (0.156) I (0.156)
A (0.118) B (0.118) C (0.118) D (0.118) E (0.118) F (0.118) G (0.118) H (0.118) I (0.118)
A (0.156) B (0.156) C (0.065) D (0.130) E (0.130) F (0.052) G (0.104) H (0.130) I (0.078)
A (0.218) B (0.206) C (0.059) D (0.103) E (0.118) F (0.029) G (0.097) H (0.147) I (0.021)
A (0.111) B (0.111) C (0.111) D (0.111) E (0.111) F (0.111) G (0.111) H (0.111) I (0.111)
A (0.111) B (0.111) C (0.111) D (0.111) E (0.111) F (0.111) G (0.111) H (0.111) I (0.111)
A (0.111) B (0.111) C (0.111) D (0.111) E (0.111) F (0.111) G (0.111) H (0.111) I (0.111)
ZAE
ZAE
ZAE
ZAE
ZAE
ZAE
ZAE
ZAE
Keterangan: K
:
Pembangunan dan perbaikan irigasi
L
:
Penambahan unsur hara berimbang dan ketersediaan air minimum untuk pertumbuhan padi
M
:
Pengendalian hama dan penyakit tanaman terpadu
N
:
Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran
O
:
Pemberian subsidi/kredit usahatani
P
:
Revisi RTRW dan pemberian insentif dan disinsentif
Q
:
Pengendalian jumlah penduduk
R
:
Usahatani bersama
S
:
Pemberdayaan petani & Poktan dan reforma agraria
Gambar 77. Hasil perhitungan bobot kriteria dan alternatif kebijakan dengan AHP
211
ZAE
Tabel 45. Penerapan kebijakan faktor biofisik berdasarkan zona agroekologi Permasalahan
Kebijakan Pengelolaan Lahan Sawah
Nilai Bobot
Kondisi irigasi
Pembangunan dan perbaikan irigasi (K)
0.478
C-organik, N-total, Ptersedia, K-tersedia rendah, dan ketersediaan air
Penambahan unsur hara berimbang dan ketersediaan air minimum untuk pertum buhan padi (L) Pengendalian hama dan penyakit tanaman terpadu (M)
0.344
Zona A, B, C, D, E, F, G, H, dan I (0.114)
0.178
1. Zona F (0.188) 2. Zona A, H, I (0.156) 3. Zona C dan D (0.063) 4. Zona B dan G (0.031)
Serangan hama dan penyakit tanaman
*Cakupan wilayah
Zona Agroekologi Prioritas* (nilai bobot) 1. Zona C, F, dan I (0.182) 2. Zona B, E, dan H (0.121) 3. Zona A, D, dan G (0.030)
kabupaten untuk setiap zona agroekologi disajikan pada Lampiran 17
yaitu 0.182. Ketiga zona agroekologi lahan sawah tersebut merupakan sawah tadah hujan. Perbaikan saluran irigasi diprioritaskan di zona A (S1/IP300), zona B (S1/IP200), zona D (S2/IP300), zona E (S2/IPIP200), zona G (S3/IP300), dan zona
H (S3/IP200); yang kesemuanya merupakan
sawah irigasi.
Tujuan
penetapan kebijakan pembangunan dan perbaikan irigasi ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 77 tahun 2001 Pasal 2 tentang Irigasi, yaitu untuk mewujudkan kemanfaatan air yang menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan, serta untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama petani. Kebijakan penambahan unsur hara berimbang dan ketersediaan air minimum untuk pertumbuhan padi (Kebijakan L) dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang disebabkan oleh indikator kandungan C-organik tanah, indikator N-total, indikator P-tersedia, dan indikator K-tersedia, serta indikator ketersediaan air. Penetapan kebijakan penambahan unsur hara berimbang dapat mengacu pada pemupukan berimbang, sedangkan ketersediaan air minimum mengacu pada konsep konservasi tanah dan air. Berdasarkan pada hasil penelitian ini, kebijakan tersebut harus diterapkan di semua zona agroekologi lahan sawah, tanpa kecuali, karena semua zona memiliki nilai bobot sama, yaitu 0.114.
212
Implementasi kebijakan pemupukan berimbang dapat mengacu pada konsep yang telah dijelaskan oleh Setyorini et al. (2004), seperti pada Tabel 46. Menurut mereka, pemupukan berimbang adalah pemberian pupuk ke dalam tanah untuk mencapai status semua hara esensial seimbang sesuai kebutuhan tanaman dan optimum untuk meningkatkan produksi dan mutu hasil, meningkatkan efisiensi pemupukan, kesuburan tanah serta menghindari pencemaran lingkungan. Pemupukan berimbang ini mengkombinasikan pupuk organik dan anorganik. Penerapan takaran pupuk berimbang memerlukan data hasil analisa tanah, terutama unsur hara P dan K, dan analisa tanaman. Untuk takaran pupuk organik, Pramono (2004) menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa pemberian pupuk organik dalam bentuk kompos dengan dosis 1000 kg/ha dapat meningkatkan produktivitas padi sawah.
Penggunaan pupuk organik
ini diharapkan dapat
meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk kimia. Selain itu,
seperti yang
dijelaskan oleh Karama et al. (1990), penambahan bahan organik pada tanah sawah dapat meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK), meningkatkan daya sangga tanah, dan penyedia sumber energi utama bagi aktivitas jasad renik. Mengingat begitu pentingnya peranan bahan organik, maka penambahan bahan organik pada tanah sawah yang kesuburannya mulai menurun menjadi sangat penting untuk menjaga kelestarian sumberdaya tanah. Tabel 46. Kelas status hara P dan K tanah sawah serta rekomendasi pemupukannya (Setyorini et al., 2004) Kelas Status Hara
Kandungan Hara (HCl 25 %)
Rekomendasi Pupuk
P2O5
K2O
SP-36 (kg/ha)
Rendah Sedang
mg/100g < 20 20 - 40
mg/100g < 10 10 - 20
100 75
Tinggi
> 40
> 20
50
KCl (kg/ha) -Jerami 100 50 50
+Jerami 50 0 0
Implementasi konservasi tanah dan air diarahkan untuk memperbaiki kondisi ekosistem DAS bagian hulu, tengah, dan hilir.
Arsyad (2008)
menjelaskan bahwa pengelolaan air di bagian hulu DAS dimaksudkan untuk menjaga agar tanah tidak rusak dan fungsi hidrologisnya tidak hilang, dengan
213
melakukan konservasi tanah, yaitu upaya menggunakan tanah sesuai dengan kemampuannya dan memberikan perlakukan sesuai dengan sifat dan kualitas tanahnya. Seperti yang telah disebut sebelumnya, pengelolaan air pada lahan dengan kelas kemampuan lahan VI, VII, dan VIII (lereng > 30%) dapat diterapkan melalui penanaman vegetasi permanen dengan pohon-pohon hutan (penghutanan). Pengelolaan air di bagian tengah dan hilir DAS, tempat sebagian besar pemakaian air terjadi, bertumpu pada kebijakan dan upaya mengefisienkan pemakaian air, yang lebih banyak memerlukan metode konservasi air. Untuk mengefisienkan pemakaian air pada lahan sawah dapat diterapkan irigasi macak-macak atau irigasi berselang (Subagyono et al., 2004).
Nurrochmad (2007) melaporkan hasil
penelitiannya tentang penerapan irigasi berselang yang dapat menghemat pemakaian air 33.8%, apabila dibandingkan dengan pemberian air irigasi dengan penggenangan yang selama ini dipraktekkan oleh petani. Kebijakan pengendalian hama dan penyakit tanaman terpadu dimaksudkan untuk mengendalikan serangan hama dan penyakit agar produki tanaman padi tidak merosot atau gagal panen. Pengendalian hama terpadu (PHT) adalah pengendalian hama yang menggunakan semua teknik dan metode yang sesuai dalam cara-cara yang seharmonis-harmonisnya dan mempertahankan populasi hama di bawah tingkat yang menyebabkan kerusakan ekonomi di dalam keadaan lingkungan dan dinamika populasi spesies hama yang bersangkutan (Smith, 1983; dalam Oka, 2005). Walaupun prioritas penanganannya menempati urutan ke-3, kebijakan ini
sangat penting untuk menjaga keberlanjutan lahan sawah.
Berdasarkan hasil survei lapangan, serangan hama tanaman padi sawah di Jawa terbanyak disebabkan oleh hama wereng batang coklat. Menurut Ismail (2010), serangan hama wereng batang coklat terhadap padi sawah semakin meningkat. Sampai bulan Mei 2010, luas sawah yang terserang hama wereng tercatat 26,008 ha. Provinsi Jawa Barat merupakan daerah terkena serangan wereng paling parah, yaitu mencapai 15,223 ha, kemudian diikuti provinsi Jawa Tengah 3,654 ha, Jawa Timur 2,091 ha, dan Banten 8,555 ha. Penyebab serangan hama wereng coklat tersebut diduga dipicu oleh benih padi hibrida, kesalahan pemakaian pestisida, perubahan iklim yang semakin tak menentu, penanaman padi yang tidak serentak, dan kelalaian petani memberantas serangan wereng. Untung (2010, dalam Ismail,
214
2010) menyarankan agar petani membatasi penggunaan varietas yang peka hama (khususnya hibrida) dan harus jeli terhadap pengunaan jenis pestisida. Kebijakan untuk menangani serangan hama dan penyakit tanaman tersebut sesuai dengan ketentuan yang diamanatkan dalam UUPR Pasal 3 butir c, yaitu terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Keseriusaan pemerintah untuk menerapkan PHT ini didasarkan atas Instruksi Presiden No. 3 tahun 1986 untuk merespon kasus mengganasnya wabah wereng di Jawa Tengah yang menyerang sekitar 75 ribu ha tanaman padi sawah
pada tahun 1986 (Oka, 2005). Pokok-pokok yang
terkandung dalam Instruksi tersebut meliputi (1) pengembangan sumberdaya manusia pada tingkat para petani sendiri dan para petugas lapangan melalui pelatihan-pelatihan, (2) menghindari pencemaran lingkungan oleh pestisida, termasuk menjaga kesehatan para pelaku produksi (petani) dan masyarakat dari dampak-dampak negatif penggunaan pestisida, (3) lebih meningkatkan efisiensi masukan-masukan dalam berproduksi, dan (4) pelarangan penggunaan 57 jenis insektisida yang terbukti selalu atau sesekali menimbulkan resirjensi atau yang diantisipasi akan menimbulkan resirjensi. Hasil analisis AHP dari penelitian ini (Tabel 41) menyarankan agar penerapan kebijakan pengendalian hama dan penyakit tanaman terpadu diprioritaskan di zona F (S2/IP100), kemudian diikuti zona A (S1/IP300), H (S3/IP200), I (S3/IP100); zona C (S1/IP100) dan D (S2/IP300); serta zona B (S1/IP200) dan G (S3/IP300). 6.4.1.2 Kebijakan Faktor Ekonomi Hasil analisis kebijakan dengan AHP (Tabel 47) menunjukkan bahwa kebijakan pemberian subsidi/kredit usahatani menempati urutan pertama (bobot 0.415), kemudian disusul oleh peningkatan posisi tawar petani dalam penawaran (bobot 0.324), dan revisi peta RTRW dan pemberian insentif dan disinsentif (bobot 0.261). Hasil analisis dalam penelitian ini memberikan makna penerapan setiap kebijakan untuk diprioritaskan di zona agroekologi yang berbeda-beda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan pemberian subsidi/kredit usahatani memegang peran paling utama untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan faktor ekonomi. Penerapan kebijakan pemberian subsidi dan kredit lebih utama diprioritaskan di lahan sawah irigasi dengan kelas kesesuaian lahan
215
sangat sesuai, seperti zona A (S1/IP300) dan B (S1/IP200) dengan nilai bobot 0.156. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mengatasi keterbatasan modal yang dimiliki oleh petani dan perolehan keuntungan yang rendah. Berdasarkan hasil survei di lapangan, subsidi yang diberikan oleh pemerintah misalnya dalam
kepada petani,
harga pupuk, dirasakan masih sangat kurang. Bahkan yang
sering terjadi di lapangan adalah tingginya harga pupuk karena permainan para spekulan.
Selain
itu,
pemberian
subsidi
kepada
petani
juga
untuk
mengkompensasi harga padi yang ditetapkan oleh pemerintah (HPP) yang masih rendah. Keberhasilan penerapan kebijakan ini memerlukan dukungan penuh dari sektor perbankan untuk dapat lebih berpihak kepada petani sebagai pemeran sangat penting untuk menjaga kelangsungan produksi beras. Tabel 47. Penerapan kebijakan faktor ekonomi berdasarkan zona agroekologi Permasalahan
Perolehan Keuntungan rendah
Modal usahatani kecil
Konversi lahan
*Cakupan wilayah
Kebijakan Pengelolaan Lahan Sawah
Nilai Bobot
Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran (N)
0.324
Pemberian subsidi/kredit usahatani (O)
Revisi RTRW dan pemberian insentif dan disinsentif (P)
0.415
0.261
Zona Agroekologi Prioritas* (nilai bobot) Zona A, B, C, D, E, F, G, H, I (0.118) 1. Zona A dan B (0.156) 2. Zona D, E, dan H (0.130) 3. Zona G (0.104) 4. Zona I (0.072) 5. Zona C (0.065) 6. Zona F (0.052) 1. Zona A (0.218) 2. Zona B (0.206) 3. Zona H (0.147) 4. Zona E (0,118) 5. Zona D (0.103) 6. Zona G (0.097) 7. Zona C (0.059) 8. Zona F (0.029) 9. Zona I (0.021)
kabupaten untuk setiap zona agroekologi disajikan pada Lampiran 17
Selain kebijakan pemberian subsidi/kredit usahatani, kebijakan peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran juga penting untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan faktor ekonomi. Kebijakan yang harus diberlakukan di semua zona agroekologi ini karena memiliki nilai bobot sama (0.324) dimaksudkan untuk meningkatkan daya jual padi dengan harga yang layak. Saat ini, posisi tawar
216
petani dalam pemasaran hasil panennya di daerah penelitian masih sangat lemah karena tergantung pada harga HPP yang rendah, yaitu sekitar Rp 2,500,-/kg GKG. Berdasarkan wawancara dengan para petani di lapangan, peran DOLOG untuk membeli hasil panen padi petani masih belum optimal. Banyak diantara petani menjual padi hasil panennya kepada tengkulak pedagang beras, bukan langsung ke DOLOG. Menurut Nuryanti (2005), rendahnya posisi tawar petani disebabkan oleh panjangnya jalur distribusi komoditas padi. Untuk mengatasi kondisi ini, penetapan harga padi sesuai dengan kondisi pasar merupakan solusi alternatif yang perlu dikaji oleh pihak-pihak terkait dan peran DOLOG dapat ditingkatkan agar petani dapat memperoleh keuntungan yang memadai. Walaupun menempati urutan prioritas ke-3, kebijakan untuk merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRW) provinsi dan pemberian insentif dan disinsentif kepada petani sangat penting untuk menjaga keberlanjutan lahan sawah dalam jangka panjang. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mengatasi ancaman konversi lahan sawah menjadi non-sawah. Kebijakan untuk melindungi lahan sawah dari ancaman konversi lahan sawah ini didukung oleh UUPR Pasal 3 butir c (terwujudnya perlindungan fungsi ruang), UUPR Pasal 22 (perencanaan tata ruang wilayah provinsi mengacu pada daya dukung dan daya tampung lingkungan), UUPR Pasal 35 (pengendalian pemanfaatan ruang melalui penetapan peraturan zonasi, perijinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi). Hasil analisis pada Tabel 47 juga menunjukkan bahwa kebijakan revisi peta RTRW Provinsi, pemberian insentif, dan disinsentif untuk lebih diprioritaskan di lahan sawah produktif yang terancam konversi lahan. Zona agroekologi lahan sawah yang paling besar terancam konversi lahan dimaksud adalah zona A (S1/IP300), zona B (S2/IP200) dan zona H (S3/IP200), yang ketiganya merupakan lahan sawah produktif yang diunggulkan sebagai penopang produsen padi di Jawa. Pemberian insentif dan disinsentif dimaksud telah diatur pada UUPR Pasal 38 ayat 2 dan 3. Pemberian insentif dalam pemanfaatan ruang dapat berupa a) keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsidi silang, imbalan, sewa ruang, dan urusan saham; b) pembangunan serta pengadaan infrastruktur; c) kemudahan prosedur perizinan; dan/ atau d) pemberian penghargaan kepada masyarakat, swasta dan/atau pemerintah daerah (UUPR Pasal 38 ayat 2).
217
Pemberian disinsentif dapat berupa a) pengenaan pajak yang tinggi, b) pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi, dan penalti. Hasil overlay antara peta ZAELS dan RTRW Provinsi (Gambar 78) menunjukkan bahwa distribusi lahan sawah produktif yang berada di kawasan budidaya, permukiman dan lindung secara berurutan adalah 2,695,204 ha (87%), 393,739 ha (12.7%), dan 12,412 ha (0.4%). Peruntukan kawasan permukiman di lahan sawah produktif terluas berada di provinsi Jawa Timur (148,251 ha; 38%), kemudian diikuti oleh provinsi Jawa Tengah (112,257 ha; 29%), Jawa Barat (102,688 ha; 26%), DI Yogyakarta (18,212 ha; 5%), dan Banten (12,331 ha; 3%). Peruntukan kawasan lindung pada lahan sawah di setiap provinsi sangat kecil (< 10,000 ha atau < 1%). Hasil penelitian ini memberikan makna bahwa hampir 13% lahan sawah produktif di Jawa terancam
terkonversi
menjadi
daerah
permukiman. Ancaman konversi lahan sawah produktif ini berpotensi mengakibatkan kehilangan produksi padi sekitar 4.5 juta ton GKG/th atau 3 juta ton beras/th (Tabel 48).
Luas (juta ha)
1.0
Kaw asan Budidaya Kaw asan Permukiman
0.8
Kaw asan Lindung
0.6 0.4 0.2
ur m Ti Ja wa
DI Yo gy ak ar ta
Te ng ah Ja wa
Ba ra t Ja wa
Ja ka rta DK I
Ba nt en
0.0
Provinsi
Gambar 78. Distribusi lahan sawah produktif pada pola pemanfaatan ruang peta RTRW Provinsi
Rencana pengalokasian daerah permukiman di lahan sawah produktif ini bertentangan dengan kebijakan penataan ruang yang diatur dalam UUPR Pasal 3 butir c (terwujudnya perlindungan fungsi ruang), UUPR Pasal 22 (perencanaan tata ruang wilayah provinsi mengacu pada daya dukung dan daya tampung
218
Tabel 48. Prediksi produksi beras di lahan sawah produktif yang terancam terkonversi menjadi kawasan permukiman Zona Agroekologi A (S1/IP 300) B (S1/IP 200)
Luas (ha) 2,862 296,948
C (S1/IP 100)
4,465
D (S2/IP300) E (S2/IP 200)
811 17,132
F (S2/IP 100)
6,001
G (S3/IP300) H (S3/IP 200)
764 63,772
I (S3/IP 100) Total
984 393,739
Produktivitas1) (ton/ha)
Intensitas Pertanaman
6.02a
3
51,689
Produksi Beras2) (ton/th) 33,598
6.02
a
2
3,575,252
2,323,914
6.02
a
1
26,881
17,473
5.64
b
3
13,720
8,918
5.64
b
2
193,246
125,610
5.64
b
1
33,844
21,999
5.23
c
3
11,992
7,795
5.23
c
2
667,058
433,588
5.23
c
1
5,145
3,344
-
4,578,826
2,976,237
-
Produksi Padi (ton GKG /th)
Keterangan: 1) Sumber data dari BPS (2003-2008), a,b,c : berbeda sangat nyata (P < 0,01) 2) Produksi beras = 0,65 x Produksi padi = 0.65 x Luas x Produktivitas x Intensitas Pertanaman
a) Peta Pola Pemanfaatan Ruang pada RTRW Provinsi
Kawasan Budidaya
Kawasan Lindung
b) Peta zona agroekologi lahan sawah Kawasan Permukiman
Zona A (S1/IP 300)
Gambar 79. Contoh alokasi kawasan permukiman dialokasikan di lahan sawah produktif: zona A (S1/IP300).
219
lingkungan), dan PP-RTRWN Pasal 66 (kawasan peruntukan pertanian ditetapkan dengan kriteria memiliki kesesuaian lahan). Hasil penelitian ini membuktikan pendapat Isa (2006) tentang adaya indikasi kuat konversi lahan sawah irigasi melalui mekanisme RTRW Provinsi. Zona agroekologi lahan sawah produktif yang terancam oleh konversi lahan tersebut
dapat ditetapkan sebagai Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan, sebagaimana yang diatur dalam UUPLPPB Pasal 5. Lahan sawah yang termasuk LPPB dilindungi dan dilarang dialihfungsikan (UUPLPPB Pasal 44 ayat 1). Untuk menjaga keberlanjutan lahan sawah, konversi lahan sawah menjadi kawasan permukiman harus dicegah karena konversi lahan tersebut
bersifat
permanen atau irreversible (Sumaryanto et al., 2001; Rustiadi et al., 2008). Karena lahan sawah bersifat multifungsi, yaitu sebagai produsen padi dan pemberi jasa atau manfaat terhadap lingkungan biofisik, sosial-budaya, dan ekonomi (Irawan et al., 2004),
maka lahan sawah
dapat juga dikategorikan sebagai
sumberdaya milik bersama (Common Pool Resource, CPR). Sehingga, rencana konversi lahan sawah menjadi kawasan permukiman berpotensi menimbulkan dampak negatif yang bersifat multidimensi. Karakteristik sumberdaya CPR yang rentan terhadap overuse, free rider, dan opportunistik dapat menjadi pemicu masalah kelembagaan dalam penataan ruang, yang dapat
mengakibatkan
degradasi berbagai sumberdaya dan kegagalan pasar (market failure).
Untuk
mengatasi masalah pengelolaan CPR seperti yang terjadi dalam penelitian ini, para pemangku kepentingan perlu melakukan dialog dalam proses perencanaan pengalokasian sumberdaya (Adams et al., 2001), dalam hal ini adalah proses perencanaan RTRW. Gerber et al. (2008) mengemukakan bahwa pengelolaan CPR memerlukan kebijakan terpadu dari instansi-instansi terkait di tingkat pusat dan daerah karena pemanfaatan sumberdaya ini bersifat terbatas (substractibility) atau ada persaingan (rivalness) dan tidak bisa dieksklusifkan.
6.4.1.3 Kebijakan Faktor Sosial-Budaya Hasil analisis kebijakan sosial-budaya dengan AHP (Tabel 49) menunjukkan bahwa kebijakan pengendalian jumlah penduduk (bobot 0.411) adalah paling penting untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang
220
disebabkan oleh penguasaan lahan, fragmentasi lahan, usia petani yang lanjut, dan pendidikan petani rendah. Kebijakan pemberdayaan petani dan kelompok tani, dan reforma
agraria (bobot 0.331), dan usahatani bersama (bobot 0.258)
menempati prioritas kedua dan ketiga. Semua alternatif zona agroekologi untuk pemilihan prioritas wilayah penerapan ketiga kebijakan tersebut memiliki nilai bobot yang sama, yaitu 0.111. Hasil analisis AHP ini memberi makna tentang tidak
adanya skala prioritas zona agroekologi untuk
pengelolaan lahan
sawah dimaksud.
Semua wilayah
penerapan kebijakan persawahan di Jawa
disarankan untuk menerapkan ketiga kebijakan ini, tanpa kecuali.
Tabel 49. Penerapan kebijakan faktor sosial-budaya berdasarkan zona agroekologi
Permasalahan - Penguasaan lahan - Fragmentasi lahan - Persepsi petani terhadap harga padi HPP - Pendidikan petani rendah Usia lanjut
*Cakupan wilayah
Kebijakan Pengelolaan Lahan Sawah
Nilai Bobot
Pengendalian jumlah penduduk (Q)
0.411
Usahatani bersama (R)
0.258
Pemberdayaan petani & Poktan dan reforma agraria (S)
0.331
Zona Agroekologi Prioritas* (nilai bobot)
Zona A, B, C, D, E, F ,G, H, I (0,111)
kabupaten untuk setiap zona agroekologi disajikan pada Lampiran 17
Kebijakan pengendalian jumlah penduduk pada hakekatnya merupakan faktor kunci untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan, termasuk dalam pertanian lahan sawah, karena peningkatan jumlah penduduk adalah pemicu awal dari timbulnya semua permasalahan baik dari faktor lingkungan biofisik, ekonomi, dan sosial budaya. Keberhasilan pengendalian jumlah penduduk dalam jangka panjang diprediksi dapat menekan permasalahan ketimpangan penguasaan dan fragmentasi lahan yang berperan sebagai penyebab penurunan kesejahteraan petani, khususnya para petani penggarap yang berpenghasilan pas-pasan (marginal). Putra (2009b) mengemukakan bahwa kebijakan pengendalian jumlah penduduk tersebut dapat dilakukan dengan menggalakkan kembali program keluarga berencana (KB) yang saat ini kurang bergema seperti pada era orde baru. Upaya untuk menggalakkan program KB tersebut dapat dilakukan dengan
221
membuat semboyan “Dua Anak Cukup” seperti yang sukses digalang oleh Prof. Dr. H. Haryono Suyono, MA semasa pemerintahan Orde Baru. Kebijakan penting lainnya untuk menjaga keberlanjutan pertanian lahan sawah adalah pemberdayaan petani dan kelompok tani (Poktan), serta reforma agraria.
Kebijakan pengelolaan lahan tersebut dimaksudkan untuk mengatasi
permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang disebabkan oleh tingkat pendidikan petani yang rendah, keterbatasan sumberdaya manusia usia produktif, penguasaan dan fragmentasi lahan.
Kebijakan pemberdayaan petani untuk meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilan petani dalam usahatani dapat melalui penyuluhan dan kaderisasi petani. Selain meningkatkan pengetahuan petani, kebijakan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan semangat ”cinta bertani” pada
anggota
keluarga rumah tangga petani secara berkelanjutan. Melalui kebijakan pemberdayaan petani seperti ini diharapkan dapat menarik generasi muda untuk berprofesi sebagai petani secara profesional. Kebijakan pemberdayaan Poktan lebih diarahkan untuk mengatasi kesulitan akses yang dialami oleh petani dalam memperoleh sarana produksi (terutama pupuk), adopsi teknologi, pemasaran produksi, dan lain-lain. Seperti yang dibahas di bab sebelumnya, banyak para petani di beberapa wilayah
di semua provinsi kesulitan memperoleh pupuk
disebabkan oleh tidak dijualnya
pupuk di pasar bebas.
Petani hanya dapat
membeli di kelompok tani (Poktan) yang ada. Ironisnya, tidak semua wilayah perdesaan lahan sawah memiliki Poktan yang dapat melayani kebutuhan pupuk para
petani.
Kebijakan
pemberdayaan
mengembalikan fungsi Poktan sebagai
Poktan
fasilitator
ini
dimaksudkan
untuk
agar dapat mempermudah
petani memperoleh berbagai kebutuhan sarana produksi, terutama pupuk. Kebijakan pemberdayaan petani dan Poktan akan lebih mantap apabila disertai reforma agraria. Melalui kebijakan reforma agraria, permasalahan ketimpangan penguasaan dan fragmentasi lahan dimungkinkan dapat diatasi dengan
menata
ulang
ketimpangan
struktur
penggunaan,
pemanfaatan,
penguasaan, dan pemilikan tanah kearah berkeadilan (Temenggung, 2008). Prinsip berkeadilan dari reforma agraria ini bersinergi dengan prinsip pertanian berkelanjutan yang dikemukakan oleh Gibs (1986, dalam Sabiham, 2008). Tujuan mulia dari reforma agraria tersebut, namun demikian, sampai saat ini
222
masih belum dapat diwujudkan karena berbagai kendala. Masalah pokok yang menghambat pelaksanaan reforma agraria yang mencakup land reform dan access reform, terutama yang berkaitan dengan distribusi pemilikan dan penguasaan lahan adalah tidak tersedianya data keagrariaan yang lengkap dan akurat sebagai akibat belum adanya sistem kependudukan di suatu wilayah yang baik (Jamal et al., 2006). Karena ketimpangan penguasaan lahan merupakan masalah mendasar yang dapat menghambat terwujudnya pertanian lahan sawah berkelanjutan dan merupakan amanat dari UUPA Pasal 7 ayat (2), Pasal 17 ayat (2), Undangundang Nomor 56 tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian Pasal 10 ayat (3) dan (4); maka penerapan kebijakan reforma agraria mutlak memerlukan political will dari pemerintah dan dukungan lembaga legislatif agar progam tersebut dapat dilaksanakan secara nasional. Melalui kebijakan ini, ketimpangan penguasaan dan fragmentasi lahan dapat dicegah atau prinsip keadilan dalam pendistribusian
sumberdaya
dan
kekuasaan
dapat
dicapai,
dan
tingkat
kesejahteraan petani atau harkat martabat sosial petani dapat ditingkatkan. Untuk mengimplementasikan reforma agraria tersebut, Nasoetion (2006) mengemukakan bahwa reforma agraria harus sejalan dengan dinamika perkembangan sosial, politik, dan ekonomi Indonesia. Kebijakan usahatani bersama (cooperative farming) dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan ketidakberdayaan petani dalam melakukan usahatani melalui mekanisme usahatani
dengan pendekatan konsep bottom-up policy.
Konsep usahatani bersama ini telah diusulkan oleh Nuryanti (2005) untuk memperkecil kelemahan yang dihadapi petani padi dan palawija, seperti lemah dalam permodalan, lahan garapan yang sempit, usahatani hanya untuk pemenuhan kebutuhan keluarga (subsisten) dan belum berorientasi pasar, dan lemahnya lembaga ekonomi desa. Model usahatani, seperti yang dijelaskan oleh Nuryanti (2005), merupakan model pemberdayaan petani melalui kelompok, dengan melakukan rekayasa sosial, ekonomi, teknologi, dan nilai nilai tambah.
Rekayasa sosial
dapat
dilakukan dengan penguatan kelembagaan tani, penyuluhan, dan pengembangan SDM. Rekayasa ekonomi dilakukan dengan pengembangan akses permodalan untuk pengadaan saprodi dan akses pasar. Rekayasa teknologi dapat dilakukan
223
dengan pencapaian kesepakatan teknologi anjuran dengan kebiasaan petani. Rekayasa nilai tambah dilakukan melalui pengembangan usaha off farm yang terkoordinasi secara vertikal dan horisonal.
Dalam model usahatani tersebut,
stakeholder yang terlibat antara lain petani, swasta, dan pemerintah. Petani akan bertindak sebagai anggota sekaligus sebagai pengelola. Sebagai anggota, petani harus berpartisipasi secara aktif dalam perencanaan usaha on-farm dan off-farm, serta menyepakati teknologi yang akan dilaksanakan dan menerapkan teknologi tersebut.
Pihak swasta berperan sebagai investor melalui jaringan kemitraan
cooperative farming dari sub-sistem hulu sampai hilir. Sebagai sub-sistem hulu, pihak swasta menanamkan modal dengan menyediakan saprodi pertanian, seperti benih, pupuk, dan obat-obatan.
Sebagai mitra sub-sistem hilir, pihak swasta
bertanggungjawab sebagai penampung produksi dan mitra pemasaran.
Pihak
pemerintah akan bertindak sebagai fasilitator sekaligus katalisator dalam kegiatan perencanaan, penyusunan strategi usaha, introduksi teknologi yang efisien, pengadaan modal, serta fasilitator dalam pemasaran (Gambar 80).
Swasta
Pengelolaan Korporasi - Permodalan - Sarana mekanisasi
Dukungan Saprodi dan Pelayanan
Pengelolaan Usahatani Bersama
Pengelolaan Parsial Berdasarkan Kesepakatan On-Farm Off-Farm (50 -100 ha)
Petani
Pemerintah
Pengelolaan Korporasi - Pengolahan hasil - Pemasaran
Pengumpulan dan Penjualan Hasil
Gambar 80. Model usahatani bersama berbasis padi sawah (Modifikasi dari Nuryanti, 2005) Karena pendekatannya yang memihak kepada kepentingan petani, penerapan kebijakan usahatani bersama akan dapat memperdayakan posisi petani yang pada umumnnya merupakan petani penggarap yang memiliki lahan sempit (< 0.3 ha).
224
Melalui usahatani bersama, para petani yang berlahan sempit dapat berkelompok untuk membentuk sistem pengelolaan secara korporasi, sehingga sistem produksi usahatani akan lebih efisien daripada sistem usahatani yang dilakukan secara individual. Model usahatani bersama ini juga dimungkinkan untuk diterapkan dalam suatu
keluarga tani yang secara parsial memiliki lahan yang sempit.
Dengan menerapkan usahatani bersama, para petani dalam satu keluarga dapat menggabungkan sistem pengelolaan usahataninya secara korporasi. dari model usahatani bersama ini adalah untuk
Keuntungan
mencegah fragmentasi lahan
karena sistem waris.
6.5 Kesimpulan dan Saran 6.5.1 Kesimpulan 1.
Zona agroekologi lahan sawah dapat digunakan sebagai acuan lokasi penerapan kebijakan pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang wilayah dalam rangka menjaga keberlanjutan lahan sawah.
2.
Kunci keberhasilan untuk mewujudkan pertanian lahan sawah berkelanjutan di Jawa lebih dominan ditentukan oleh kebijakan untuk mengatasi permasalahan faktor ekonomi daripada kebijakan untuk mengatasi permasalahan faktor sosial-budaya dan faktor lingkungan biofisik. Secara berurutan, kebijakan prioritas
untuk mengatasi faktor ekonomi meliputi
pemberian kredit dan subsidi usahatani, peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, dan revisi peta RTRW Provinsi dan pemberian insentif dan disinsentif
kepada petani.
Untuk mengatasi permasalahan
faktor
sosial-budaya, kebijakan pengendalian penduduk berperan paling penting apabila dibandingkan dengan penerapan kebijakan pemberdayaan petani dan kelompok tani, reforma agraria maupun usahatani bersama. Kebijakan pembangunan dan perbaikan saluran irigasi serta konservasi tanah dan air berperan paling penting untuk mengatasi permasalahan lingkungan biofisik, apabila dibandingkan dengan kebijakan penambahan unsur hara berimbang dan ketersediaan air minimum untuk pertumbuhan padi serta pengendalian hama dan penyakit tanaman terpadu. Penentuan wilayah prioritas untuk
225
penerapan setiap kebijakan pengelolaan lahan
tersebut sebagian besar
dipengaruhi oleh karakteristik zona agroekologi lahan sawah.
6.5.2 Saran 1.
Implementasi kebijakan pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang wilayah dalam rangka menjaga keberlanjutan lahan sawah harus dikoordinasikan dengan para pemangku kepentingan. Faktor kunci untuk menjaga keberlanjutan lahan sawah tersebut pada hakekatnya terletak pada pengaturan kelembagaan. Kegagalan dalam pengaturan kelembagaan harus dihindari karena dapat mengakibatkan kesejahteraan hidup petani menjadi semakin marginal.
2.
Karena lahan sawah memiliki multifungsi yang dapat dikategorikan sebagai sumberdaya milik bersama, maka peninjauan peta RTRW Provinsi
perlu
dikoordinasikan dengan instansi-instansi pemerintah terkait baik di tingkat pusat maupun
daerah. Koordinasi antar instansi tersebut terutama
dimaksudkan untuk menyelaraskan proses perencanaan pengalokasian pola ruang untuk peruntukan pertanian dan permukiman agar tidak tumpang tindih. 3.
Pola pemanfaatan ruang pada peta RTRW Provinsi di Jawa disarankan untuk dapat ditinjau ulang. Karena lahan sawah memiliki multifungsi yang dapat dikategorikan sebagai sumberdaya milik bersama, maka peninjauan peta RTRW Provinsi tersebut perlu dikoordinasikan dengan instansi-instansi pemerintah terkait baik di tingkat pusat maupun daerah. Untuk peninjauan RTRW Provinsi dimaksud, kelembagaan kabupaten, kecamatan, dan desa perlu difungsikan.
4.
Peta zona agroekologi lahan sawah dari hasil penelitian ini disarankan dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi di Jawa dalam hal perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Untuk perencanaan tata ruang, peta zona agroekologi lahan sawah dapat digunakan sebagai acuan penetapan kawasan budidaya untuk peruntukan pertanian pada peta RTRW Provinsi. Untuk pemanfaatan ruang, peta zona agroekologi lahan sawah
226
dapat digunakan sebagai acuan penetapan luasan kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan untuk ketahanan pangan. Untuk pengendalian pemanfaatan ruang, peta indeks keberlanjutan lahan sawah sebagai peta turunan dari peta zona agroekologi dapat digunakan sebagai perangkat untuk memantau tingkat keberlanjutan lahan sawah dari ancaman kepunahan yang dipicu oleh faktor biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya.
227
7. PEMBAHASAN UMUM 7.1 Prospek Pulau Jawa Berswasembada Beras Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris dengan luas total wilayah daratan sekitar 1.92 juta km2 memiliki lahan sawah 7.9 juta ha, yang terdiri dari 3.64 juta ha (46%) di Jawa dan 4.24 juta ha (54%) ha di luar Jawa . Dengan luas panen sekitar 11.8 juta ha, produksi padi pada tahun 2005 di Indonesia mencapai 54.15 juta ton GKG (35 juta ton beras), yang diproduksi di Jawa 29.76 juta ton GKG (55%) dengan luas panen 5.71 juta ha dan yang di luar Jawa 24.39 juta ton GKG (45%) dengan luas panen 6.13 juta ha (BPS, 2009). Berdasarkan data produksi padi tahun 2005 tersebut, produktivitas lahan sawah di Jawa adalah 5.22 ton/ha, sedangkan di luar Jawa 3.98 ton/ha. Selama periode 1981-2005, produksi padi sawah di Indonesia cenderung mengalami peningkatan (Gambar 81). Peningkatan produksi padi sawah ini mencerminkan keberhasilan pengelolaan lahan sawah baik melalui program intensifikasi maupun ekstensifikasi. Hasil kompilasi data ini memberikan makna bahwa lahan sawah di Jawa lebih produktif daripada lahan sawah di luar Jawa dan produksinya masih dapat ditingkatkan.
Produksi Beras (Juta ton)
40 35 30
Indonesia
25
Jawa
20
Luar Jawa
15 10 5 0 1981
1986
1991
1995
2000
2005
Tahun
Gambar 81. Perkembangan produksi beras di Indonesia (1981-2005) Perkembangan ketersediaan beras di Jawa mengalami fluktuasi sesuai dengan perubahan kondisi lingkungan biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya. Neraca ketersediaan beras yang membandingkan antara produksi dan kebutuhan beras tahun 1981-2005 (Gambar 82) menunjukkan bahwa
228
stok (cadangan)
ketersediaan beras di Jawa mengalami surplus (swasembada). Selama periode 1980-1985, cadangan ketersediaan beras di Jawa mengalami peningkatan pesat, 2,000,000 1,800,000
St o k Be r as (t o n )
1,600,000 1,400,000 1,200,000 1,000,000 800,000 600,000 400,000 200,000 0 1975
1980
1985
1990
1995
2000
2005
2010
T ah u n
Tahun
1981
Produksi (juta ton)
1986
1985
1995
2000
2005
13,035,588
15,421,234
16,711,657
17,711,657
18,304,814
18,650,136
Populasi (juta)
92,778
100,703
108,931
114,734
121,293
128,835
Konsumsi beras
139,15
139,15
139,15
139,15
139,15
139,15
12,910,118
14,012,801
15,157,782
15,965,236
16,877,921
17,925,362
125,470
1,408,433
1,452,810
1,746,421
1,426,893
722,774
(kg/kapita/th) Kebutuhan beras (ton) Stok beras (ton)
Gambar 82. Neraca ketersediaan beras di Jawa (1981-2005) yaitu dari 0.125 juta menjadi 1.408 juta ton. Cadangan ketersediaan beras tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1995, yaitu 1.1746 juta ton. Keberhasilan swasembada beras pada masa orde baru menunjukkan keberhasilan
program
revolusi hijau yang intensif dilaksanakan oleh pemerintah pada saat itu. Namun demikian, swasembada beras itu tidak berlangsung lama. Pada periode 1995 – 2000,
ketersediaan beras menurun cukup tajam. Penurunan cadangan
ketersediaan beras tersebut terjadi pada masa krisis ekonomi/pascareformasi. Terpuruknya cadangan ketersediaan beras pada masa krisis ekonomi diduga disebabkan oleh tidak terurusnya pengelolaan lahan sawah untuk produksi beras oleh sektor terkait karena pada saat itu pemerintah
disibukkan dengan
pembenahan krisis ekonomi yang merebak menjadi krisis politik. Kondisi ini
229
dimungkinkan mengakibatkan petani tidak dapat melakukan usahatani padi sawah secara optimal karena berkurangnya subsidi/kredit dan bantuan-bantuan lainnya yang diberikan pemerintah kepada petani. Walaupun masih surplus, pada masa krisis ekonomi/pascareformasi hingga sekarang, ketersediaan beras cenderung menurun. Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah peningkatan jumlah penduduk yang tidak terkendali, pelandaian produktivitas lahan sawah, tingkat konsumsi beras yang tinggi, dan terjadinya perubahan iklim global yang berdampak pada maraknya bencana banjir atau memanjangnya musim kemarau. Dengan pendekatan zona agroekologi seperti yang telah dibahas di bab 4, potensi produksi padi per tahun di lahan sawah dengan luas 3,101,354 ha dapat diprediksi sekitar 35,403,127 ton GKG atau setara dengan 23,012,032 ton beras. Produksi padi tersebut didasarkan pada luas panen lahan sawah 6,123,810 ha dan produktivitas padi rata-rata 5.78 ton/ha. Berdasarkan distribusi zona agroekologi lahan sawah,
provinsi Jawa Timur memberikan
terbesar, kemudian diikuti oleh provinsi
kontribusi produksi beras
Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, DI.
Yogyakarta, dan DKI. Jakarta (Gambar 83). Berdasarkan simulasi neraca produksi beras dari tahun 2005-2025 (Gambar 84), produksi beras di Jawa diprediksi akan surplus hingga tahun 2025 apabila diterapkan standar konsumsi beras 110-140 kg/kapita/th.
Pada penerapan standar konsumsi beras 110-140 kg/kapita/tahun
tersebut, kebutuhan beras per tahun masih belum melampaui potensi produksi beras sekitar 23 juta ton. Simulasi neraca beras ini bermakna bahwa pulau Jawa diprediksi akan dapat berswasembada beras hingga tahun 2025 apabila luasan lahan sawah sebesar 3,101,354 ha dapat menjadi non-pertanian), walaupun dipertahankan
sebesar
dipertahankan
standar konsumsi
beras
(tidak dikonversi nasional
tetap
139.15 kg/kapita/tahun seperti yang ditetapkan oleh
pemerintah pada saat ini. Apabila standar konsumsi beras dapat ditetapkan menjadi 110 kg/kapita/tahun, pulau Jawa diyakini akan berswasembada atau mengekspor beras. Seperti yang telah dibahas di bab 4, standar konsumsi beras 110 kg/kapita/tahun atau setara dengan kandungan energi 1,130 kkal/orang/hari dinilai optimal untuk konsumsi beras di Indonesia karena kandungan energinya telah memenuhi standar Pola Pangan Harapan Nasional (PPHN), yaitu 50% dari
230
kebutuhan energi 2,200 kkal/orang/hari dari kelompok padi-padian (Hardinsyah et al., 2001). Pada pembahasan di bab 4 juga telah dikemukakan bahwa produksi aktual padi sawah di Jawa belum pernah mencapai produksi potensial 35.4 juta ton GKG. Hingga tahun 2008, produksi aktual baru mencapai 32.35 juta ton GKG. Walaupun demikian, peluang pulau Jawa untuk berswasembada beras masih terbuka. Selain dengan menerapkan kebijakan penurunan standar konsumsi beras dari 139.15 kg/kapita/th menjadi 110 kg/kapita/th dan pelarangan konversi
Prouduksi ( juta ton GKG)
10
Banten 8
DKI Jakarta
6
Jawa Barat Jawa Tengah
4
DI Yogyakarta
2
Jawa Timur
20 0) (S 1/ IP 10 0) D (S 2/ IP 30 0) E (S 2/ IP 20 0) F (S 2/ IP 10 0) G (S 3/ IP 30 0) H (S 3/ IP 20 0) I( S3 /IP 10 0) C
(S 1/ IP B
A
(S 1/ IP
30 0)
0
Zona Agroekologi
Gambar 83. Potensi produksi padi sawah berdasarkan zona agroekologi
Kebutuhan Beras (Juta ton)
30 25 Konsumsi beras 140 kg/kap/th
20
Konsumsi beras 130 kg/kap/th
15
Konsumsi beras 120 kg/kap/th Konsumsi beras 110 kg/kap/th
10
Potensi produksi beras: 23 juta ton
5 0 2005
2010
2015
2020
2025
Tahun
Tahun Penduduk
2005
2010
2015
128.470.256 128,470,256
134.357.700 134,357,700
141.585.700 141,585,700
2020 146.508.900 146,508,900
2025 151.468.000 151,468,000
Gambar 84. Simulasi neraca produksi beras di Jawa (2005-2025)
231
lahan sawah, peluang pulau Jawa dapat berswasembada beras masih dimungkinkan dengan menerapkan kebijakan-kebijakan pengelolaan lahan sawah seperti yang telah dibahas di bab 6.
Kebijakan pengelolaan lahan tersebut
meliputi (1) pembangunan dan perbaikan irigasi, (2) penambahan unsur hara berimbang dan ketersediaan air minimum untuk pertumbuhan padi, (3) pengendalian hama dan penyakit tanaman terpadu, (4) pemberian subsidi/kredit usahatani, (5) peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, (6) revisi peta RTRW dan pemberian insentif dan disinsentif, (7) pengendalian jumlah penduduk, (8) pemberdayaan petani dan Poktan melalui kaderisasi petani dan peningkatan ketrampilan bertani serta reforma agraria, dan (9) usahatani bersama. Harapan untuk mewujudkan pulau Jawa dapat berswasembada beras akan lebih diyakini keberhasilannya
apabila
kebijakan-kebijakan
pengelolaan
lahan
tersebut
dipadukan dengan program Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi sawah yang dikemukakan oleh Zaini et al. (2009).
Konsep PTT padi sawah ini
berlandaskan pada lima hal, yaitu (1) varietas unggul baru, inbrida atau hibrida, (2) benih bermutu dan berlabel, (3) pemberian bahan organik melalui pengembalian jerami atau bentuk kompos atau pupuk kandang, (4) pengaturan populasi tanaman secara optimum, (5) pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara, dan (6) pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) dengan pendekatan PHT. Penggunaan varietas unggul seperti pada konsep PTT padi sawah tersebut mempunyai peluang baik untuk mewujudkan swasembada beras karena potensi produksi beras berdasarkan zona agroekologi dalam penelitian ini menggunakan varietas padi Ciherang yang banyak ditanam oleh petani di Jawa. Varietas padi unggul
yang berpotensi meningkatkan produksi padi di Jawa disajikan pada
Tabel 50. Mengingat kontribusinya dalam produksi beras cukup besar (55%), maka terganggunya produksi beras di Jawa dikhawatirkan dapat memperlemah ketahanan pangan nasional, terutama dari aspek ketersediaan pangan.
Untuk
mencegah kondisi buruk ini, keberlanjutan produksi beras di Jawa perlu dijaga, yakni dengan mengimplementasikan semua kebijakan-kebijakan pengelolaan lahan sawah seperti yang telah dikemukakan. Implementasi kebijakan-kebijakan
232
Tabel 50. Daftar varietas padi unggul (Suprihatno et al., 2009) Nama Varietas Padi
Potensi Hasil (ton/ha)
Ketahanan Hama dan Penyakit Tanaman
Ciherang
8.5
Padi hibrida Maro
9.5
Padi hibrida Rokan
9.0
Padi hibrida Hipa 3
11.0
Padi hibrida Hipa 4
10.0
Padi hibrida Hipa 5 Ceva
18.4
Tahan terhadap wereng coklat biotipe 2 dan agak tahan biotipe 3, tahan terhadap hawar daun bakteri strain III dan IV Rentan terhadap wereng coklat biotipe 2 dan 3, rentan terhadap hawar daun bakteri strain III dan IV Rentan terhadap wereng coklat biotipe 2 dan 3, rentan terhadap hawar daun bakteri strain III dan IV Agak rentan terhadap wereng coklat biotipe 2, agak tahan terhadap hawar daun bakteri strain IV dan VIII Agak tahan terhadap wereng coklat biotipe 2, agak tahan terhadap hawar daun bakteri strain IV dan VIII Tahan terhadap wereng coklat biotipe 2, agak tahan terhadap hawar daun bakteri strain IV dan VIII, agak tahan terhadap penyakit tungro
Padi hibrida Hipa 6 Jete
10.6
Rentan terhadap wereng coklat biotipe 2 , agak rentan terhadap hawar daun bakteri strain III dan IV, rentan terhadap penyakit tungro
Padi hibrida Hipa 7
11.4
Rentan terhadap wereng coklat biotipe 3, agak rentan terhadap hawar daur bakteri strain IV dan VIII, tahan terhadap virus tungro
Padi hibrida hipa 8
10.4
Rentan terhadap wereng ciklat biotipe 3
untuk memantapkan ketahanan pangan dimaksud hanya memerlukan politcal will dari pemerintah karena permasalahan keberlanjutan lahan sawah
sudah jelas
teridentifikasi dan kebijakan solusinya beserta peraturan perundang-undangnya sudah tersedia, seperti UUPR dan UUPLPPB. Untuk memantapkan ketahanan pangan yang berkaitan dengan keberlanjutan lahan sawah di Jawa, Khudori (2009)
mengkritik ketidakpedulian pemerintah untuk menangani berbagai
permasalahan
yang cenderung memperlemah
ketahanan pangan, seperti (1)
masih tingginya pola konsumsi beras dan ketergantungan hampir semua perut penduduk negeri ini pada beras, (2) prestasi menerapkan Pola Pangan Harapan (PPH) mengalami stagnasi sejak tahun 1980-an, (3) keengganan pemerintah untuk melindungi petani dari gempuran pasar global, (4) implementasi kebijakan diversifikasi pangan tidak konsisten, bahkan kontradiktif, (5) pola konsumsi dan penyediaan produksi/ketersediaan pangan warga tidak seimbang, (6) sistem distribusi pangan tidak efisien yang dicerminkan oleh tingginya perbedaan harga riil (price margin) di tingkat produsen (petani) dan konsumen, (7) liberalisasi sektor pangan kebablasan.
Permasalahan liberalisasi ini, tidak menyadarkan
pemerintah kalau harga pangan di pasar dunia bersifat distortif karena subsidi yang diberikan di negara-negara maju sangat besar. Di Amerika, pemerintah mensubsidi pertanian 48.4 miliar dolar AS per tahun, sedang di Uni Eropa 110.3 miliar euro per tahun.
233
Rendahnya subsidi dari pemerintah kepada petani terlihat jelas pada produksi padi di Jawa. Adanya HPP untuk padi membuat kesejahteraan petani semakin terpuruk. Belum pernah terjadi petani padi sawah menjadi semakin kaya. Harga HPP padi mempersempit ruang gerak petani untuk menjual hasil panennya dengan keuntungan yang memadai.
Dalam kehidupannya sebagai petani,
usahatani yang dijalani sepertinya bersifat tambal sulam karena keuntungan yang diperoleh pas-pasan. Kondisi yang memilukan ini tidak menggugah pemerintah untuk peka mengatasinya. Pemerintah nampaknya tutup mata terhadap keterpurukan kehidupan petani.
Kondisi ini merupakan masalah utama yang
melatarbelakangi ditetapkannya rekomendasi kebijakan pemberian subsidi/kredit usahatani dalam penelitian ini menempati prioritas pertama. Penerapan kebijakan faktor ekonomi dalam pemberian subsidi/kredit usahatani, yang diikuti dengan peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, dan peninjauan kembali terhadap peta RTRW serta pemberian insentif dan disinsentif kepada petani merupakan faktor kunci keberhasilan untuk menjaga keberlanjutan lahan sawah yang dapat membawa pulau Jawa berswasembada beras dan berdampak positif kepada kesejahteraan petani.
7.2 Kelembagaan Pengelolaan Lahan Sawah Terpadu Pengaturan kelembagaan memegang peran kunci dalam pengelolaan sumberdaya milik bersama seperti lahan sawah karena sifatnya yang multifungsi. Rustiadi et al. (2008) menjelaskan bahwa pengaturan kelembagaan adalah pengaturan yang tidak bersifat fisik (tidak terlihat), akan tetapi sering dianggap sebagai hal yang terpenting di dalam penataan ruang.
Pengaturan kelembagaan
adalah mengatur hubungan-hubungan antar manusia di dalam penataan ruang dan mengatur cara manusia memanfaatkan atau mengelolola ruang beserta sumberdaya di dalamnya. Pengaturan yang baik unsur-unsur kelembagaan akan menjamin penataan ruang yang berkelanjutan. Seperti yang telah didiskusikan di bab sebelumnya, kawasan permukiman pada peta RTRW Provinsi dialokasikan di lahan sawah produktif sekitar 13% yang diprediksi mengakibatkan kehilangan produksi beras 3 juta ton setiap tahun. Ancaman konversi lahan sawah melalui mekanisme perencanaan RTRW tersebut
234
membuktikan adanya tidak konsistennya pemerintah dalam menerapkan UUPR dan PP-RTRWN yang bertujuan untuk mewujudkan pemanfaatan sumberdaya alam
yang
berkelanjutan.
Permasalahan
kelembagaan
ini
menunjukkan
ketidakpedulian sektor non-pertanian untuk menjaga keberlanjutan lahan sawah di Jawa yang berperan strategis menjaga ketahanan pangan nasional. Dalam permasalahan ini, ego sektor non-pertanian diindikasi terlalu dikedepankan. Adanya indikasi pelanggaran UUPR dan PP-RTRWN tersebut membuktikan lemahnya lembaga terkait dalam menangani penataan ruang secara terpadu. Selain itu, masalah kelembagaan juga ditunjukkan oleh adanya kebijakan pola pangan yang diterapkan pemerintah dengan mengandalkan bahan impor. Khudori (2009) mengungkapkan
kegagalan kebijakan
diversifikasi pangan
karena adanya perubahan pola pangan yang mengarah ke pola yang tidak sesuai dengan budaya rakyat Indonesia umumnya, yaitu menjadikan pangan berbasis tepung terigu dalam bentuk mie instan. Bahan pangan terigu ini jelas mengandalkan bahan impor karena lahan di Indonesia tidak ada yang sesuai untuk budidaya gandum sebagai bahan tepung terigu. Pada saat ini, konsumsi terigu diperkirakan 17 kg/kapita/tahun. Hanya dalam waktu 30 tahun, tingkat konsumsi terigu meningkat 500 persen. Penerapan kebijakan ini lebih mengedepankan keuntungan sektor ekonomi semata, tanpa memperhatikan kepentingan sektor pertanian. Kondisi ini jelas sangat mengkhawatirkan karena dapat mengancam keberlanjutan lahan sawah sebagai produsen beras. Adanya
ketidakterpaduan
kebijakan
pemerintah
dalam
menjaga
keberlanjutan lahan sawah bisa dimaklumi karena sifat lahan sawah yang multifungsi. Oleh karena itu, permasalahan keberlanjutan lahan sawah dikelola oleh
lembaga khusus
Persawahaan Nasional.
setingkat
kementerian,
Dasar hukum pendirian
misalnya
perlu Badan
lembaga khsusus ini dapat
mengacu ke UUPLPPB, yang secara khusus bertujuan untuk menjaga keberlanjutan lahan sawah produktif. Disarankan Badan Persawahan Nasional ini mempunyai tugas pemerintahan di bidang pengelolaan lahan sawah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Adapun fungsinya mencakup: (1)
pengkajian dan penyusunan kebijakan pengelolaan
lahan sawah secara terpadu, (2) melaksanakan tugas untuk menyelenggarakan
235
kebijakan pengelolaan lahan sawah secara terpadu, (3) melaksanakan koordinasi kegiatan fungsional dalam melaksanakan tugas Badan Persawahan Nasional, (4) pemantauan, pemberian bimbingan, dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang pemanfaatan lahan sawah, (5) pelaksanaan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, dan organisasi dan tata laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, hukum, perlengkapan dan rumah tangga.
7.3 Pengembangan Peta Zona Agroekologi Lahan Sawah melalui IDSN Peta zona agroekologi lahan sawah merupakan peta sintesis berbasis SIG yang terbangun dari kumpulan layer dasar dan tematik dalam basisdata (DBMS : database management system) terpadu (Gambar 85). Layer dasar terdiri dari layer hipsografi (garis kontur), utilitas, perairan, batas administrasi, toponimi, garis pantai (jaringan sungai dan tubuh air), layer komunikasi (jaringan jalan), layer nama-nama geografi (toponimi), layer garis kontur, dan batas wilayah administrasi. Sedangkan layer tematik terdiri dari layer sistem lahan, penutup lahan, agroklimat, potensi sumberdaya air dan kondisi irigasi (irigasi), kawasan hutan, dan sosial-budaya yang terintegrasi dalam fitur batas wilayah administrasi. Karena beragamnya tema penyusun, maka pengembangan peta zona agroekologi lahan sawah
sangat tergantung pada ketersediaan data di berbagai instansi.
Sebagai konsekwensinya, kunci keberhasilan pengembangan
peta zona
agroekologi lahan sawah tergantung pada faktor koordinasi dan sinergi antar pemangku kepentingan dalam hal akses data.
Layer Dasar
• • • • • •
Hipsografi
Data spasial dan atributnya tersimpan dalam Database Management System (DBMS)
Utilitas Perairan Batas administrasi
Basisdata Zona agroekologi Lahan Sawah
Toponimi
Layer Tematik
• • • • • •
Sistem Lahan Penutup lahan Agroklimat Kawasan hutan Irigasi Sosial-budaya
Garis pantai
Gambar 85. Basisdata zona agroekologi lahan sawah 236
Dalam penelitian ini, peta zona agroekologi dibuat pada skala 1: 250.000. Untuk pengembangannya dapat dibuat pada skala yang lebih kecil atau lebih besar, tergantung pada tujuannya. Untuk mendukung pengambilan kebijakan di tingkat nasional dapat menggunakan skala 1: 1,000,000, sedangkan di tingkat kabupaten/kota dapat menggunakan skala 1: 50,000/25,000 (Tabel 51). Penggunaan skala peta tersebut disesuaikan dengan format basisdata peta rupabumi (RBI). Peta-peta pendukung untuk pembuatan peta zona agroekologi lahan sawah menggunakan georeferensi nasional Datum Geodesi Nasional tahun 1995 (DGN’95). Menurut Matindas et al. (1997), DGN’95 mengadopsi ellipsoid World Geodetic System tahun 1984 (WGS’84). Penyajian peta untuk semua tingkat skala menggunakan koordinat geografi dan sistem proyeksi Universal Transverse Mercator (UTM). Pengembangan basisdata zona agroekologi lahan sawah berbasis SIG dari kumpulan data spasial pada Tabel 50 diprediksi masih menghadapi berbagai kendala.
Hakim dan Shofiyati (2009) mengemukakan bahwa pembangunan
basisdata berbasis SIG di Indonesia masih terkendala oleh masalah ketersediaan data, kelengkapan, standar, akses data, dan duplikasi data. Kendala ini dapat diatasi dengan pembangunan Infrastruktur Data Spasial Nasional (IDSN). Konsep pembangunan IDSN bertujuan untuk mewujudkan sharing data spasial beserta aplikasinya secara on line antar simpul jaringan (wali data), sehingga data spasial yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal oleh pengambil keputusan untuk perencanaan
berbagai
aspek
pembangunan
nasional.
Komponen
pembangunan IDSN mencakup berbagai aspek, yaitu (1) fundamental data, (2) teknologi, (3) kelembagaan, (4) sumberdaya manusia, dan (5) perundangan (Gambar 86).
peraturan
Sesuai dengan Pasal 5 dari Peraturan Presiden
(Perpres) No. 85/2007, pembangunan aspek fundamental data difokuskan pada ketersediaan data spasial, seperti peta dasar RBI (Rupa Bumi), penutup lahan, sistem lahan, liputan dasar laut, kerangka dasar kadastral bidang pertanahan, jaringan jalan dan hidrologi, klasifikasi tanah, dan data spasial lainnya di bidang pertanian, iklim dan geofisika, dan lain-lain.
Komponen data yang tercakup
dalam Perpres No. 85/2007 tersebut berguna untuk mendukung pembuatan berbagai peta tematik, termasuk peta zona agroekologi lahan sawah.
237
Tabel 51.
Tingkat Skala
Kumpulan data untuk pembuatan peta zona agroekologi lahan sawah Kumpulan Data
Datum
Cakupan Data
Koordinat / Proyeksi
- Hipsografi
N A S I O N A L 1: 1000.000
Wilayah
- Komunikasi - Perairan
Pulau
- Batas administrasi - Toponimi
DGN-95
Geografi UTM
- Garis Pantai - Sistem lahan - Agroklimat - Kawasan hutan - Penutup lahan - Irigasi - Sosial-budaya - Hipsografi
P R O V I N S I
- Komunikasi - Perairan - Batas administrasi - Toponimi - Garis Pantai
DGN-95
Provinsi
Geografi, UTM
- Sistem lahan - Agroklimat
1: 250.000
- Kawasan hutan
s/d
- Penutup lahan
1: 100.000
Wilayah
- Irigasi - Sosial-budaya
K A B U P A T E N / K O T A
- Hipsografi - Komunikasi - Perairan - Batas administrasi - Toponimi - Garis Pantai - Sistem lahan - Agroklimat - Kawasan hutan - Penutup lahan - Irigasi - Sosial-budaya
1: 50,000 s/d 1:25,000
238
Wilayah DGN-95
Kabupaten/ Kota
Geografi, UTM
Gambar 86. Komponen infrastruktur data spasial nasional (IDSN)
Pembangunan IDSN dari aspek teknologi mengandalkan teknologi informasi dan komunikasi (ICT). Paradigma pengelolaan data spasial (Gambar 87) mengalami perubahan karena disesuaikan dengan perkembangan teknologi ICT yang sangat cepat. Sejak munculnya teknologi SIG dan Inderaja sekitar tahun 1970-an, pengelolaan data spasial terus berkembang dari format analog ke dijital. Seiring dengan perkembangan teknologi ICT hingga saat ini, pengelolaan data spasial diarahkan ke penghimpunan basisdata terpadu yang bersifat seamless dan on line. Melalui basisdata terpadu inilah diharapkan pemanfaatan data dapat dilakukan sharing data secara on line. Pengelolaan data spasial secara terpadu ini merupakan solusi untuk pengelolaan data yang masih bersifat stand alone (GIS islands) seperti yang diilustrasikan pada Gambar 88. Pemanfaatan data secara bersama melalui basisdata spasial terpadu
adalah untuk menghindari
duplikasi penyediaan data dan untuk mengoptimalkan daya gunanya dalam mendukung pembangunan nasional (Matindas et al., 2009).
239
Peta digital
Peta cetakan analog
Files and Tiles (NLP)
Individual Workflow Workflows
Basisdata (seamless)
Workflow
Enterprise
Basisdata
Gambar 87. Perubahan paradigma dalam pengelolaan data spasial (Matindas et al., 2009) Keberhasilan membangun basisdata
zona agroekologi lahan sawah
berbasis SIG untuk mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan atau ketahanan pangan ditentukan oleh kesiapan IDSN.
Kenyataan menunjukkan
bahwa kondisi IDSN di negara kita ditinjau dari aspek kelengkapan data utama, kelembagaan,
jaringan komputer dan SDM masih belum memadai.
Belum
siapnya IDSN ini tentunya dapat menghambat keberhasilan pembangunan basisdata zona agroekologi lahan sawah. Dari aspek kelengkapan data utama, ketersediaan peta dasar di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), terutama skala provinsi (1: 250,000) dan kabupaten/kota (1: 50,000, 1: 25,000) masih belum lengkap. Wilayah yang belum lengkap peta dasarnya diantaranya
pulau Kalimantan,
Sumatera, kepulauan Maluku, dan Provinsi Papua. Disamping peta dasar, petapeta tematik sumber daya lahan yang diperlukan untuk membangun basisdata zona agroekologi lahan sawah seperti peta agroklimat, peta potensi sumberdaya air dan kondisi irigasi juga masih banyak yang belum tersedia. Permasalahan belum lengkapnya peta dasar dan tematik juga masih dijumpai sistem format data yang belum standar. Kondisi tersebut jelas akan dapat mempersulit terwujudya basisdata zona agroekologi lahan sawah yang diinginkan.
240
Selain itu, karena
adanya perubahan iklim, data-data sumber daya lahan yang bersifat dinamis seperti penutup lahan dan agroklimat banyak yang mengalami perubahan.
SISTEM BAKOSURTANAL SISTEM . KEM KEHUTANAN
SISTEM BMKG
SISTEM KEM. PU
SISTEM KEM. PERTANIAN
SISTEM BPN
Gambar 88. Ilustrasi pengelolaan data spasial yang belum terpadu sebagai GIS islands (Matindas et al., 2009) Dari aspek kelembagaan, tugas dan fungsi instansi-instansi penghasil data masih ada yang tumpang tindih.
Kondisi ini jelas dapat memberi peluang
terjadinya ego sektor, karena masing-masing instansi penghasil data mempunyai persepsi terhadap apa yang dilakukan telah sesuai dengan tugas dan fungsinya. Disamping itu, belum adanya peraturan perundangan mengenai pemanfaatan data bersama antar instansi penghasil data dan masih maraknya pelanggaran hak cipta merupakan kendala bagi pertukaran data spasial. Dari aspek SDM, ketersediaan SDM yang diperlukan untuk membangun basisdata SDA berbasis SIG di instansi-instansi simpul jaringan
masih belum
memadai, terutama tenaga ahli sistem analis dan programmer yang memahami Inderaja dan SIG. Kedua kualifikasi tenaga ahli tersebut mempunyai fungsi sangat penting untuk pengembangan basisdata SIG. Dari pengalaman proyek Land Resource Evaluation Project (LREP) dan Marine Resource Evaluation Project (MREP),
penyediaan tenaga ahli
bidang Inderaja dan SIG yang
ditempatkan di Bappeda Provinsi tidak berfungsi optimal seperti yang diharapkan. Banyak diantara tenaga ahli yang telah trampil
dimutasikan
untuk alasan
pengembangan karier di unit kerja lain. Kendala dari aspek SDM ini merupakan faktor
penghambat yang perlu diatasi
241
untuk membangun sinergi basisdata
sumberdaya lahan berbasis SIG
untuk mendukung keberlanjutan lahan sawah
dengan pendekatan konsep agroekologi. Hambatan lain yang menghadang pembangunan basisdata spasial secara umum adalah belum adanya peraturan perundangan setingkat Undang-Undang tentang pengelolaan data spasial. Kondisi ini mengakibatkan instansi penghasil data masih enggan untuk melakukan pertukaran data. Tanpa adanya kesediaan wali data untuk melakukan pertukaran data, tujuan pembangunan IDSN mustahil akan dapat direalisasikan.
Hambatan dari aspek kelembagaan ini diharapkan
segera dapat diatasi dengan segera disahkannya Undang-Undang Informasi Geospasial (UUIG), yang sampai sekarang
masih dalam proses legislasi di
lembaga legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tujuan utama pembangunan IDSN adalah untuk menata pengelolaan data spasial secara terstruktur, transparan, dan terintegrasi, sehingga pertukaran data secara on line yang dilakukan oleh instansi-instansi penghasil data (wali data) dapat diwujudkan. Untuk mewujudkan tujuan tersebut dalam kaitannya dengan pembangunan basisdata zona agroekologi lahan sawah diperlukan pertukaran data spasial secara on line yang didukung oleh sistem jaringan komputer yang terintegrasi (Gambar 89). Melalui sistem jaringan komputer yang terintegrasi, masyarakat pengguna dapat mengakses metadata di penghubung simpul atau langsung di simpul jaringan. Metadata tersebut mendiskripsi sifat data spasial yang ada di wali data. Apabila pengguna menginginkan untuk mendapatkan data spasial seperti yang diuraikan dalam metadata, pengguna dapat mengakses data melalui unit kliring yang ada di instansi penghasil data. Melalui
IDSN ini,
instansi-instansi terkait diharapkan dapat mengakses data spasial dari instansiinstansi terkait secara cepat untuk keperluan
pembangunan basisdata zona
agroekologi lahan sawah secara efektif dan efisien. Menurut Rais (2007), pertukaran data melalui jaringan komputer dianalogikan dengan jalan tol agar informasi spasial dapat mencapai para pengguna dengan cepat. Terwujudnya pertukaran data dengan konsep IDSN ini memerlukan kesadaran instansi-instansi penghasil data untuk mau membagi bersama (share) karena “data yang dikembangkan oleh institusi Pemerintah dan dibiayai oleh APBN seharusnya adalah public domain, bukan data milik instansi
242
tersebut. Pemerintah sebagai penghasil data seyogyanya tidak berperilaku sebagai pebisnis data spasial”.
Penghubung Simpul Jaringan Gambar 97.
Konfigurasi sistem jaringan komputer terintegrasi untuk pertukaran data spasial
Simpul Jaringan Gambar 89. Konfigurasi sistem jaringan komputer terintegrasi untuk pertukaran data spasial (Matindas et al., 2009)
243
8. KESIMPULAN, SARAN, DAN KEBARUAN 8.1
Kesimpulan
1. Zona agroekologi lahan sawah di pulau Jawa sebagian besar merupakan lahan di kawasan budidaya yang sesuai untuk tanaman padi sawah dengan didukung oleh infrastruktur irigasi yang memadai. Zona agroekologi lahan sawah yang dipetakan pada skala 1: 250,000 tersebut memiliki luas total 3.10 juta ha dengan potensi produksi 35.40 juta ton GKG atau setara dengan 23. 01 juta ton beras setiap tahun. Meskipun pencapaian potensi produksinya dimaksud cukup tinggi, zona agroekologi lahan sawah di pulau Jawa masih menghadapi kendala pelandaian produktivitas. 2. Kondisi daya dukung lahan sawah di pulau Jawa sebagian besar telah memasuki
kondisi
bersyarat.
Kondisi
daya
dukung
yang
cukup
mengkhawatirkan ini terutama dipicu oleh peningkatan jumlah penduduk dan penerapan standar konsumsi beras yang masih tergolong tinggi. 3. Indeks keberlanjutan yang mencerminkan status keberlanjutan lahan sawah untuk pengendalian pelaksanaan penataan ruang dalam rangka mewujudkan pemanfaatan lahan sawah berkelanjutan di pulau Jawa umumnya termasuk kategori cukup berkelanjutan. Ancaman keberlanjutan lahan sawah terutama disebabkan oleh indikator yang mencakup faktor biofisik (ketersediaan air, Corganik, N-total, P-tersedia, dan K-tersedia), faktor ekonomi (perolehan keuntungan, modal usahatani, akses pupuk, dan konversi lahan), dan faktor sosial-budaya (persepsi terhadap harga padi HPP, penguasaan dan fragmentasi lahan, pendidikan petani, dan usia petani). 4. Kebijakan faktor ekonomi
berperan paling penting
untuk menangani
permasalahan keberlanjutan lahan sawah apabila dibandingkan dengan penerapan kebijakan faktor sosial-budaya dan biofisik. Pemilihan lokasi prioritas untuk menerapkan kebijakan faktor ekonomi dan biofisik umumnya dipengaruhi oleh karakteristik zona agroekologi lahan sawah kecuali untuk penerapan kebijakan faktor sosial-budaya. Ketiga kebijakan tersebut dirumuskan dalam 9 paket kebijakan prioritas dengan urutan (1) pemberian subsidi/kredit usahatani, (2) peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran,
244
(3) revisi RTRW dan pemberian insentif dan disinsentif, (4) pengendalian jumlah penduduk, (5) pemberdayaan petani & Poktan dan reforma agraria, (6) usahatani bersama, (7) pembangunan dan perbaikan irigasi, (8) penambahan unsur hara berimbang dan ketersediaan air minimum untuk pertumbuhan padi, (9) pengendalian hama dan penyakit tanaman terpadu. Penerapan kesembilan paket kebijakan ini diyakini akan memberikan peluang pulau Jawa untuk dapat mempertahankan swasembada beras atau berperan sebagai pengekspor beras apabila diikuti dengan penerapan kebijakan standar konsumsi beras 110 kg/kapita/tahun dan diversifikasi pangan, pengelolaan tanaman terpadu, pengaturan kelembagaan pemangku kepentingan, dan penataan data melalui pembangunan IDSN.
Untuk mendukung penataan ruang, keberhasilan
penerapan kebijakan tersebut memerlukan koordinasi dengan para pemangku kepentingan mengingat lahan sawah
memiliki multifungsi yang dapat
dikategorikan sebagai sumberdaya milik bersama.
8.2 Saran 1. Pulau Jawa diusulkan sebagai pusat produksi beras nasional mengingat 55% produksi beras nasional dikontribusi dari pulau ini. Keberhasilan pulau Jawa untuk berperan sebagai pusat produksi beras tersebut memerlukan komitmen pemerintah dalam menjaga keberlanjutan lahan sawah melalui penerapan 9 paket kebijakan dari hasil penelitian ini. Dengan disertai penerapan kebijakan ektensifikasi lahan sawah di luar pulau Jawa, intensifikasi lahan sawah di pulau Jawa melalui penerapan 9 paket kebijakan dimaksud diyakini akan mendorong Indonesia untuk mampu berswasembada beras atau bahkan sebagai pengekspor beras. 2. Penerapan kebijakan untuk mengfungsikan pulau Jawa sebagai pusat produksi beras nasional perlu sinkronisasi antara Kementerian Pertanian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, mengingat lahan sawah produktif yang berada di pantai utara sebagian merupakan dataran aluvial pantai yang termasuk kawasan pesisir. 3. Untuk memperbaiki daya dukung lahan sawah di pulau Jawa, pemerintah disarankan untuk merevisi kebijakan konsumsi beras nasional dari 139.15
245
kg/kapita/tahun menjadi 110 kg/kapita/tahun dengan diikuti langkah konsisten untuk melakukan program diversifikasi pangan dan mengedepankan produk pangan dalam negeri. 4. Pengelolaan lahan sawah sebaiknya dilakukan oleh lembaga khusus, yaitu Badan Persawahan Nasional agar permasalahan pengaturan kelembagaan dalam penataan ruang dapat diatasi. 5. Pengembangan peta zona agroekologi lahan sawah melalui IDSN memerlukan dukungan kelengkapan peta dasar RBI dan peta-peta tematik pendukungnya, kesiapan
sumberdaya
manusia,
dan
ketersediaan
jaringan
komputer
terintegrasi. Keberhasilan pengembangan peta zona agroekologi tersebut memerlukan dukungan kebijakan akses data yang berbasis free of charge (gratis), terutama peta digital dengan tingkat skala regional (≤ 1: 250,000), agar sharing data melaui IDSN dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.
8.3 Kebaruan Berdasarkan
pada
hasil
penelitian
ini,
kebaruan
penelitian
indeks
keberlanjutan lahan sawah yang diperoleh meliputi: 1. Pengklasifikasian lahan sawah berbasiskan zona agroekologi yang dapat mencerminkan kesamaan potensi produksi padi, intensitas pertanaman, dan status kawasan budidaya. 2. Penetapan indikator utama keberlanjutan lahan sawah berdasarkan pada data geospasial zona agroekologi. 3. Penentuan prioritas kebijakan pengelolaan lahan sawah berdasarkan indikator utama pada zona agroekologi untuk mendukung pengendalian pelaksanaan penataan ruang.
246
DAFTAR PUSTAKA Abidin SZ. 2004. Kebijakan Publik. Jakarta: Penerbit Yayasan Pancur Siwah. Adams B, Brockington D, Dison J, Vira B. 2002. Analytical Framework for Dialogue on Common Pool Resource Management. England: Department of Geography, University of Cambridge. Adimihardja A. 2003. Degradasi Tanah Pertanian Indonesia Tanggung Jawab Siapa?. Tabloid Sinar Tani. 11 Juni 2003. Adimihardja A. 2006. Strategi mempertahankan multifungsi pertanian di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 25 (3): 99- 105. Adiningsih JS. 1984. Pengaruh beberapa faktor terhadap penyediaan Kalium tanah sawah daerah Sukabumi [disertasi]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Adiningsih JS. 1992. Pengaruh efisiensi penggunaan pupuk untuk melestarikan swasembada pangan. Orasi pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Puslitanak, Badan Litbang Pertanian, Dept. Pertanian, Bogor, April 1992. Adiningsih JS, Sofyan A, Nursyamsi D. 2004. Lahan sawah dan pengelolaannya. Di dalam : Adimihardja A, Amien LI, Agus F, Djaenudin D, penyunting. Sumber Daya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Alexander, M. 1976. Introduction to Soil Microbiology. 2nd edition. New York: John Wiley & Sons. Altieri MA. 1989. Agroecology: a new research and development paradigm for world agriculture. Agriculture, Ecosystems and Environment. 25 (1989): 37-46. Altieri
MA. 2002. Agroecology: principles and strategies for designing sustainable farming system. The News Letter of CCOF (California Certified Organic Farmers). 19 (3): 2-5.
Andrianto L, Matsuda Y, Sakuma Y. 2005. Assessing local sustainability of fisheries system: multi criteria participatory approach with the case of Yokon island. Kongoshima Prefecure, Japan. Marine Policy. 29 (2005): 9 – 23. Anonim. 2008. Sustainable Agriculrural Defined. http://allianceforsustainability. net, 18 Juli 2008. Anwar E. 2005. Ketimpangan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan: Tinjauan Kritis. Bogor: P4W Press.
247
Arsyad S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press. Arsyad, S. 2008. Konservasi tanah dan air dalam penyelamatan sumberdaya air. Di dalam: Arsyad, S, Rustiadi E, editor. Penyelamatan Tanah, Air, dan Lingkungan. Jakarta: Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Asdak C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Bach H. 2005. Methodology and Process for Indicators Development. http://www.nea.gov.vn/....indicators/. 17 Maret 2010. [Balai Penelitian Tanah]. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian [BPS]. 1985-2007. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. [BPS]. 2003-2008. Kabupaten Dalam Angka: Majalengka, Mojokerto, Cianjur, Cilacap, Banyumas, Pemalang, Pekalongan, Klaten, Sleman, Kulon Progo, Gunung Kidul, Tangerang, Lebak, Serang, Pandegelang, Bandung, Jember, Tegal, Pati, Rembang, Kendal, Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Banjarnegara, Sukohardjo, Tulungagung, Kediri, Malang, Magetan, dan Jombang. Jakarta: Badan Pusat Statistik. [BPS]. 2004. Sensus Pertanian 2003. Hasil Pencacahan Survei Rumah Tangga Usaha Tanaman Padi. Jakarta: Badan Pusat Statistik. [BPS]. 2006. Survei Pertanian Produksi Tanaman Padi dan Palawija di Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik. [BPS]. 2008. Statistik Nilai Tukar Petani di Indonesia: 2004-2007. Jakarta: Badan Pusat Statistik. [BPS]. 2009. Produksi Tanaman Pangan 2008. Jakarta: Badan Pusat Statistik. [BMG]. 2008. Data Agroklimat 1998-2007. Jakarta: Badan Meteorologi dan Geofisika. Burrough PA. 1986. Principles of Geographic Information System for Land Resources Assessment. Oxford-London: Clarendon Press. Cherchye L, Kuosmanen T. 2002. Benchmarking sustainable development: a synthetic meta-index approach. http://www.sls.wageningen-ur.nl./enr/staff, [19 Okt 2008] Christian CS, Stewart GA. 1968. Methodology of integrated surveys. Proceedings of Unesco Conference on Aerial Surveys and Integrated Studies, Toulouse, France, page 233-280.
248
Cohn A, Cook J, Fernandez M., Reider R, Sterward C. 2006. Agroecology and struggle for food sovereignty in the Americas. International Institute for Environment and Development (IIED), the Yale School of Forestry and Environmental Studies (Yale F&ES), and the IUCN Commission on Environmental, Economic, and Social Policy (CEESP), London. Connolly T, Begg C. 2002. Database Systems. A Practical Approach to Design, Implementation, and Management. 3rd edition. England: Addison Wesly Publishing Company. CSR/FAO Staff. 1983. Reconnaissance Land Resource Surveys 1: 250.000 scale. Atlas Format Procedures. Bogor:Center For Soil Research. Dale PD, McLAughlin, J. 1988. Land Information Management. Oxford: Clarendon Press. Dalgaard T, Hutchings NJ, Porter JR. 2003. Review: Agroecology, scaling and interdisciplinarity. Agricultural, Ecosystems and Environment, 100 (2003): 39-51. Date CJ. 1995. An Introduction to Database System. 6th edition. England: Addison Wesley Publishing Company. Dent D, Young A. 1981. Soil Survey and Land Evaluation. London: George Allen & Unwin Publisher, Ltd. [Deptan], 2004. Revitalisasi Pertanian. Http://Deptan.go.id [26 Sep 2008]
Departemen Pertanian, Jakarta.
[Departemen Pekerjaan Umum]. 2003. Peta potensi indikasi air tanah dan daerah Irigasi, skala 1: 250.00. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum. [Deptan]. 2006. Rencana Pembangunan Pertanian Tahun 2005-2009. Departemen Pertanian, Jakarta. Http://Deptan.go.id [26 September 2008]. Dermawan R. 2005. Model Kuantitatif Pengambilan Keputusan dan Perencanaan Strategis. Bandung: Alfabeta, CV. [Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air]. 2008. Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Rapat Koordinasi Penataan Ruang Pusat dan Daerah. Gorontalo, 23-25 Juli 2008. Eriyanto. 2007. Teknik Sampling : analisis opini publik. Jakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara Publik. Esty, Daniel C, Levy M, Srebotnjak T, De Sherbinin A. 2005. Environmental Sustainability Index: benchmarking national environmental stewardship. New Haven-USA : Yale Center for Environmental Law & Policy. Fagi AM, Kartaatmadja S. 2003.Teknologi Budidaya Padi: Perkembangan dan Peluang. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Ekonomi Padi dan
249
Beras di Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Fairhurst TH., Witt C, Buresh RJ, Dobermann A. 2007. Padi: Panduan Praktis Pengelolaan Hara. Widjono A, penerjemah. Manila-Philippinese: International Rice Research Institutes (IRRI). [FAO]. 1976. A Framework for Land Evaluation. FAO Soils Bulletin 32. Soil Resource Development and Conservation Service land and water Development Division. Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations. [FAO]. 1996. Agro-ecological Zoning. Guidelines. FAO Soils Bulletin 73. Rome: Food Agriculture Organization of United Nations. Fauzi A, Anna S. 2001. Analisis kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil melalui pendekatan multi criteria decision making. Working Paper. Bogor: Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Fauzi A. 2006. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: teori dan aplikasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Fauzi, A. 2009. Peran ekonomi kelembagaan dalam pengelolaan berkelanjutan. http://www.landpolicy.or.id/kajian/2/tahun/2009 [11 Jun 2010] Fleming CC, Von. Halle B. 1989. Handbook of Relational Database Design. New York: Addison Wesley Publishing Company, Inc. Gany AHA. 2006. Dimensi sejarah teknologi keairan dan perspektif: pembelajaran empiris modern. Orasi Ilmiah dalam rangka pengukuhan menjadi Widyaswara Utama. (Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia). Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta, tanggal 13 Desember 2006,. Gerber JD, Nahrath S, Reynard E, Thomi L. 2008. The role of common pool resource institutions in the implementation of Swiss natural resource management policy. International Journal of the Commons. 2 (2): 222247 Gfar. 2000. NRM/Agroecology in the global forum on agricultural research. Global Forum on Agricultural Research (GFAR). GFAR- 2000 Conference, 2000, Dresden, Germany, May 21-23, 2000. Giyarsih SR. 2005. Karakteristik Sosial Ekonomi Sebagai Determinan Pengelolaan DAS Bengawan Solo. Forum Perencanaan Khusus Pembangunan, Edisi Khusu tahun 2005. Gliessman SR. 2002. Making the conversion to sustainable agroecosystems. Getting from here to there with agroecology. The News Letter of CCOF (California Certified Organic Farmers). 19 (3): 6-8.
250
Gong Z. 1986. Origin, evolution and classification of paddy soils in China. Advanced in Soil Science 5: 179-200. Guritno I. 2006. Evaluasi daya dukung pulau Jawa: kasus pendekatan daya dukung Sumberdaya. Workshop Daya Dukung Jawa Dalam Rangka Perumusan Kebijakan Pengembangan Pulau Jawa. Hotel Borobudur, Jakarta, 30 Agustus 2006. Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Jakarta. Hakim DM, Shofiyati R. 2009. Informasi geospasial pertanahan sebagai bagian dari infrastruktur data spasial nasional untuk mendukung ketahanan pangan dan energi. Talk Show & Seminar Nasional Peran Informasi Geospasial Pertanahan untuk Mendukung Kedaultan Pangan dan Energi, Kerjasama Himpunan Ilmu Tanah Indonesia dan Ikatan Surveyor Indonesia, Bandung, 4 Maret 2009. Hardinsyah Y. Baluwati F, Martianto DH, Rachman HS, Widodo A, Subiyakto. 2001. Pengembangan Konsumsi Pangan dengan Pendekatan Pola Pangan Harapan. Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSKPG), Lembaga Penelitian, Institut Pertanian Bogor. Hardjowigeno S. 2003. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Jakarta: Penerbit Akademika Pressindo. Hardjowigeno S, Subagyo H, Rayes ML. 2004. Morfologi dan klasifikasi tanah sawah. Di dalam: Agus F, Adimiharda A, Hardjowigeno S, Fagi AM, Hartatik W, editor. Tanah Sawah dan Teknologi Pengelolaannya. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Hess C, Ongstrom E. 2001. Artifacts, facilities, and content: information as a common-pool resource. Workshop in Political Theory and Policy Analysis, Indiana University, November 9-11, 2001. Ilham NY, Syaukat S, Friyanto. 2004. Perkembangan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah serta Dampak Ekonominya. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dan Departemen Ilmu-Ilmu-Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian, IPB. Irawan B, Husen E, Maswar R, Watung L, Agus F. 2004. Persepsi dan apresiasi masyarakat terhadap multifungsi pertanian: studi kasus di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Prosiding Seminar Multifungsi Pertanian dan Konservasi Sumber Daya Lahan, Bogor, 18 Desember 2003 dan 7 Januari 2004. Agus F, Pawitan H, Husen E, penyunting. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Irawan, B. 2004. Konversi lahan sawah di Jawa dan dampaknya terhadap produksi padi. Di dalam: Kasyrino F, Pasandaran E, Fagi A, editor. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
251
Irianto G, Kartiwa B, Sumaini E, Estingtyas W. 2001. Pengaruh lahan sawah terhadap karakteristik hidrologi Daerah Aliran Sungai (Studi Kasus DAS Kaligarang. Prosiding Seminar Multifungsi dan Revitalisasi Pertanian, Bogor, 1 Mei 2001. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian bekerjasama dengan MAFF (Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries, Japan), dan ASEAN Secretarian, Jakarta. Irianto G, Rejekiningrum P. 2008. Efisiensi pemanfaatan sumberdaya air: suatu tinjauan dari sisi agroklimat dan hidrologi. Di dalam: Arsyad S, Rustiadi E, editor. Penyelamatan Tanah, Air, dan Lingkungan. Jakarta: Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Isa, I. 2006. Strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian. Prosiding Seminar Multifungsi dan Revitalisasi Pertanian. Di dalam: Dariah A, Nurida NL, Husen E, Agus F, editor. Bogor, 27-28 Jun 2006. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian bekerjasama dengan MAFF (Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries, Japan), dan ASEAN Secretariat, Jakarta. Ishizaka A, Labib A. 2009. Analytic Hierarchy Process and Expert Choice: benefits and limitation. ORInseight, 22 (4): 201-220. Ismail EH. 20 Mei 2010. Padi hibrida picu serangan wereng. Republika : 4 (1-5) Jamal E, Syahyuti, Harun AM. 2002. Reforma agraria dan masa depan pertanian. Jurnal Litbang Pertanian. 21 (4): 133-139. Jenny H. 1941. Factors of Soil Formation. New York: McGraw Hill Book Co. Inc. Kanno, I. 1978. Genesis of rice soils with special reference to profil development. In Soil and Rice. Los Banos, Laguna, Phillipine: The International Rice Research Institute (IRRI). P. 237-254. Karama AS, Marzuki AR, Manwan. 1990. Penggunaan pupuk organik pada tanaman pangan. Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi Pupuk V. Cisarua 12-13 November 1990. Kawaguchi K, Kyuma K. 1976. Paddy soils in tropical Asia. South East Asian Studies. 14 (3): 334-364. Khudori. 11 Agus 2008. Urgensi infrastruktur pedesaan. Republika: 4 (4-7). Khudori. 11 Okt 2009. Memantapkan ketahanan Pangan. Republika: 4 (1-5). King LJ. 1969. Statistical Analysis in Geography. London: Prentice-Hall., Inc. Krauskopf KB. 1979. Introduction to Geochemistry. Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha, Ltd.
252
Koening FFFR. 1950. A sawah profile near Bogor (Java). Contr. General Agric. Research Station, Bogor, No. 15. Kyuma, K. 2004. Paddy Soil Science. Kyoto University Press, Japan and Trans Pacific Press, Australia. Lal R. 1995. Sustainable Management of Soil Resources in Humid Tropics. New York: United Nation Univ. Press. [LAPAN]. 2006. Pemantauan Bencana Banjir di Kabupaten Jember (Jawa Timur) dan Banjarnegara (Jawa Tengah) 1 – 4 Januari 2006. PekayonJakarta: Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Las I, Subagyono K, Setiyanto, A.P. 2004. Isu dan pengelolaan lingkungan dalam revitalisasi pertanian. Jurnal Litbang Pertanian. 23 (3): 106 – 115. Lillesand TM, Kiefer RW. 1979. Remote Sensing and Image Interpretation. New York: John Wiley & Sons. Litbang Kompas. 17 Nov 2008. Tol picu konversi lahan sawah. Kompas: 1 (2-5). Lombard D. 1990a. Nusa Jawa: Silang Budaya. Batas-Batas Pembaratan. Buku 1. Jakarta: Penerbit Gramedia. Lombard D. 1990b. Nusa Jawa: Silang Budaya. Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris. Buku 3. Jakarta: Penerbit Gramedia. [LPT]. 1968. Peta tanah tinjau, skala 1: 250.000. Bogor: Lembaga Penelitian Tanah, Departemen Pertanian. Maguire DJ. 1991. An overview and definition of GIS. In Maguire DJ. et al. (editors). Geographical Information Systems. 1: 9-20. New York: Longman Scientific & Technical. Mamat S, Sitorus RP, Hardjomijoyo H, Seta AK. 2006. Analisa mutu, produktivitas, keberlanjutan, dan arahan pengembangan usahatani tembakau di kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Jurnal Littri. 12 (4): 146-153. Manan ME, Chambers, R.E. Sukardi, W., Murdiyarso, D. dan Santoso, I. 1980. Klimatologi Pertanian Dasar. Bogor: Bagian Klimatologi Dasar, Departemen Ilmu-Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Pertanian, IPB. Mangkuprawira TS. 2007. Bahan Kuliah Falsafah Sains Mahasiswa Doktor. Bogor: Program Ekonomi Pertanian, IPB. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan. Majemuk. Jakarta: Grasindo, Gramedia Widiasarana Indonesia.
Kriteria
Matindas RW, Subarya C, Nataprawira R. 1997. Sistem Penomeran untuk Penunjukan Peta Rupabumi dalam Proyeksi UTM Datum Geodesi Nasional
253
(DGN95) Indonesia skala 1: 250.000. Cibinong: Pusat Pemetaan, BAKOSURTANAL. Matindas RW, Poniman A, Nurwadjedi. 2009. Pengembangan infrastruktur data spasial nasional untuk mendukung penyediaan data sumberdaya lahan pertanian: respon terhadap perubahan iklim. Seminar Nasional dan Dialog Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor, 18-20 November 2009. Bogor: Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. McLusky DS. 1971. Ecology of Estuaries. London: Heinemann Educational. Mendoza G, Macoun AP, Prabu R, Sukadri, Purnomo H, Hartanto H. 1999. Guideline for Applying Multi Criteria Analysis, to the Assssement of Criteria and Indicators. CI Tool No. 9. Center for International Forestry Research (CIFOR), Jakarta. Mengel K, Kirby EA. 1982. Principles and Plant Nutrition. International Potash Institute, Bern-Switserland. Modjo MI. 29 Juni 2009. Republika: 4 (4-7).
Kedaulatan pangan dan pembangunan pertanian.
Mohr ECJ. 1944. The Soils of Equatorial Regions with Special Refference to the Netherlands East Indies. Pendleton RL, translator. Ann Arbor, Michigan: Erdwards Brothers, Inc. Moormann FR, Van Breemen N. 1978. Soil and land properties that affect the growth of rice. In Rice: Soil, Water, Land. International Rice Research Institute. Los Banos, Laguna, Philipina. Mulyanto B, Lesniawati E, Tjahyandari D. 2000. Perbandingan efisiensi pemupukan sawah baru dan sawah lama di kecamatan Cugenang, Cianjur. Agrista. 4 (2): 162-167. Nasution LI. 1995. Pertanian berkelanjutan dan kaitannya dengan pelaksanaan kegiatan pendidikan tinggi pertanian. Prosiding Lokakarya Nasional Pendidikan Tinggi Pertanian Masa Depan. Jakarta: PT. Gramedia Widisarana Indonesia. Nasoetion LI, Winoto J. 1996. Masalah alih fungsi lahan pertanian dan dampaknya terhadap keberlangsungan swasembada pangan. Prosiding Lokakarya ” Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air”: Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras. Hasil Kerjasama Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Ford Foundation, Bogor. Nasoetion LI. 2006. Aspek Keagrariaan Dalam Pengelolaan Tanah. Di dalam: Arsyad S, Rustandi E, editor. Penyelamatan Tanah, Air, dan Lingkungan. Jakarta: Crespent Press dan Yayasan Obor Indonesia.
254
Nijkamp P, Rietveld P, Voogd H. 1999. Multicriteria Evaluation in Physical Planning. Amsterdam: Elsevier Science. Notohadinegoro T. 1999. Diagnosis fisik, kimia, dan hayati kerusakan lahan. Seminar Penyusunan Kriteria Kerusakan Tanah/Lahan. Yogyakarta, 1-3 Juli 1999. Bapedal, Jakarta. Nurmalina R. 2008. Analisis indeks dan status keberlanjutan sistem ketersediaan beras di beberapa wilayah Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi. 26 (1): 47-79. Nurmanaf AR, Mayrowani H, Jamal E. 2001. Evaluasi sosial ekonomi multifungsi lahan sawah. Di dalam: Agus F, Kurnia U, Nurmanaf AR, penyunting. Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah, Bogor, 1 Mei 2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian bekerjasama dengan MAAF Jepang dan Sekretariat ASEAN, Jakarta Nurrochmad F. 2007. Kajian pola hemat pemberian air irigasi. Forum Teknik Sipil, No. XVII/2: 517-529. Nurwadjedi, Poniman A. 2009. Pemanfaatan data citra Alos untuk pemetaan lahan sawah. Jurnal Ilmiah Geomatika, 15 (1): 36-46. Nuryanti S. 2005. Pemberdayaan petani dengan model cooperative farming. Analisis Kebijakan Pertanian. 3 (2): 152-158. Oka IN. 2005. Pengendalian Hama Terpadu. University Press.
Yogyakarta: Gadjah Mada
Oldeman LR. 1975. An Agroclimate map of Java. Bogor: CRI (LP3). Parsons W. 2008. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktek Analisis Kebijakan. Santoso TWB, penerjemah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Pasandaran E. 2006. Alternatif kebijakan pengendalian konversi lahan sawah beririgasi di Indonesia. Jurnal Litbang Pengairan, 25 (4): 123-129. Poniman. A. 1989. Agricultural land Use in Indonesia with special reference to rice cultivation [disertasi] Kyoto-Japan: Kyoto University. Poniman A, Nurwadjedi. 2008. The national land cover database in Indonesia. Proceeding of the ICALRD –JIRCAS Workshop on Enhancement of Remote Sensing and GIS Technologies for Sustainable Utilization of Agricultural Resources in Indonesia, Bogor, June 25, 2008. Bogor: Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
255
Ponnamperuma FN. 1976. Physicochemical Properties of Submerged Soils in Relation to Fertility. Taiwan-Taiwan: Food and Fertilizer Technology Center for the Asian and Pacific Region. Pramono J. 2004. Kajian penggunaan bahan organik pada padi sawah. Agrosains. 6 (1): 11-14. Prasetyo BH, Adiningsih JS, Subagyono K, Simanungkalit RDM. 2004. Mineralolgi, Kimia, Fisika, dan Biologi Tanah Sawah. Di dalam: Agus F, Adimihardja A, Hardjowigeno S, Fagi AM, Hartatik W, editor. Tanah Sawah dan Teknologi Pengelolaannya. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Prasetyo BH. 2007. Perbedaan sifat-sifat tanah vertisol dari berbagai bahan induk. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. 9 (1): 20-31. Prihar SS, Ghildyal B.P, Painuli DK,. Sur HS. 1985. Physical properties of mineral soils affecting rice-based cropping System. P. 58-70. In IRRI (1985). Soil Physic and Rice. Los Banos-Philippines: International Rice Research Institute. [Puslitanak]. 1998. Peta status hara P dan K (format dijital). Bogor: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. [Puslitanak]. 1999. Metodologi Analisis Zona Agroekologi: panduan karakterisasi dan analisis zona agroekologi (edisi 1). Bogor: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat & Proyek Pembinaan Kelembagaan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Putra CWL. 2009a. Dampak fragmentasi lahan terhadap biaya produksi dan transaksi petani pemilik.: kasus Ciaruteun Udik, kecamatan Cibungbulang, kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Putra H, 2009b. 2050 dunia akan meledak. Gemari. 99 (10): 68-69. Rahardjo M. 2003. Analisis kebijakan perikanan budidaya laut di kepulauan Seribu: Studi Kasus Kelurahan Palapa (disertasi). Program Pasca sarjana, Institut Pertanian Bogor. Rais J. 2007. Infrastruktur Data Spasial Nasional. siap terbit. Rao NH, Rogers PP. 2006. Assessment of agricultural sustainability. Current Science. 91 (41): 439-448. Rayes ML. 2000. Karakteristik, genesis, dan klasifikasi tanah sawah berasal dari bahan volkan Merapi [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
256
RePPProT. 1989. Review of Phase I Results, Java and Bali. Jakarta: Directorate General of Settlement Preparation, Ministry of Transmigration. RePPProT. 1990. Land Resource of Indonesia. Ministry of Transmigration, Directorate General of Settlement Preparation, BAKOSURTANAL, and Overseas Development Administration (ODA). Foreign and Commonwealth Office, UK., London and Jakarta, Indonesia. Reijntjes C, Haverkort B, Water-Bayer A. 1999. Pertanian Masa Depan. Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Rendah. ILEIA. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Republik Indonesia. 2000. Undang-undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 2000 tentang PROPENAS Tahun 2000-2004. Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68. Jakarta: Sekretariat Negara RI. Republik Indonesia. 2008. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Sekretariat Negara RI. Jakarta. Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Sekretariat Negara RI. Jakarta. Rigaux P, Scholl M, Voisard A. 2002. Spatial Databases. San Francisco: Morgan Kaufmann Publishers. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panudju DR. 2008. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sabiham S. 2008. Manajemen sumberdaya lahan dalam usaha pertanian berkelanjutan. Di dalam Arsyad, S, Rustiadi, E, editor. Penyelamatan Tanah, Air, dan Lingkungan. Jakarta: Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Sajogyo, Sajogyo P. 2005. Sosiologi Pedesaan. Kumpulan Bacaan. Jilid 1. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Salikin KA. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. . Samhadi SH. 1 Des 2007. Perubahan Iklim, Ketahanan Pangan Terancam. Kompas. 6: (3-6). Sanchez A. 1993. Sifat dan Pengembangan Tanah Tropika. Jilid 2. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
257
Sass RL, Cicerone RJ. 1999. Photosynthate allocations in rice plants: food production or atmospheric methane. http://www.pnas.org/cgi/content/, 9 September, 2008 Setyorini D, Widowati LR, Rochayati S. 2004. Teknologi pengelolaan hara lahan sawah intensifikasi. Di dalam: Agus F, Adimihardja A, Hardjowigeno S, Fagi AM, Hartatik W, editor. Tanah Sawah dan Teknologi Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Soemarwoto O. 2008. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Penerbit Djambatan. Soemaryanto S, Friyanto, Irawan B. 2001. Konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian dan dampak negatifnya. Di dalam: Agus F., Kurnia U. dan Nurmanaf AR., penyunting. Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah, Bogor, 1 Mei 2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian bekerjasama dengan MAAF Jepang dan Sekretariat ASEAN, Jakarta Sofyan A, Sediyarso M, Nurjaya, Surjono J. 2000. Laporan Akhir Penelitian Status Hara P dan K Lahan Sawah sebagai Dasar Penggunaan Pupuk yang Efisien pada Tanaman Pangan. Bagian Proyek Sumberdaya Lahan dan Agroklimat. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Srivastava MS, Carter EM. 1983. An Introduction to Applied Multivariate Statistics. New York: Elsevier Science Publishing Co. Stewart BA, Lal R, El-Swaity SA. 1991. Sustaining the resource base of an expanding world agriculture. In: Lal A, Pierce FJ, editor. Soil Management for Sustainability. The Soil and Water Conservation Society. US. Subagyono K., Dariah A., Surmani A.E. dan Hastuti, R.D. 2004. Pengelolaan air pada tanah sawah. Di dalam: Agus F, Adimihardja A, Hardjowigeno S, Fagi AM, Hartatik W, editor. Tanah Sawah dan Teknologi Pengelolaannya. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Sumardjono MS, Ismail N, Rustiadi E, Damai AA. 2009. Kajian Kritis UndangUndang Terkait Penataan Ruang dan Sumber Daya Alam. Environmental Sector Progam (ESP) 2. Jakarta: Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Supranto MA. 2004. Analisis Multivariat: Arti dan Interpretasi. Penerbit Rineka Cipta.
Jakarta:
Suprihatno B, Dardjat AA, Satoto, Baehaki, Suprihanto, Setyono A, Indrasari, SD, Samullah MY, Sembiring H. 2009. Deskripsi Varietas Padi.
258
Sukamandi-Subang: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Suryanto J, Djaendi, Soleman K., Maria H. 2001. Neraca Sumberdaya Air Spasial Nasional. Poniman A, Hadi P, Bayuni T, editor. Cibinong: Pusat Survei Sumberdaya Alam Darat, BAKOSURTANAL. Susandi A. 16 Feb 2009. Kompas: 1 (3-5).
Iklim telah berubah: pulau terancam tenggelam.
Susilo SB. 2003. Keberlanjutan pembangunan pulau-pulau Kecil: studi kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Susilo SB. 2005. Keberlanjutan pembangunan pulau-pulau kecil: Studi Kasus Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakata. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan ”Maritek”. 52 (2): 85 – 110. Susilo SB. 2006. Indeks Keberlanjutan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil (IBPK) dengan Sidik Kriteria Ganda (SKG). Jurnal Pesisir dan Lautan. 7 (2): 53-62. Syarifudin A, Kairupun N, Negara A, Limbongan J. 2004. Penataan sistem pertanian dan penetapan komoditas unggulan berdasarkan zona agroekologi di Sulawesi Tengah. Jurnal Litbang Pertanian, (23) 2: 61-67. Swastiyati E. 2008. Petani Jawa Barat tidak sejahtera. Tempo Interaktif, 18 September 2008. Tambunan T. 2008. Ketahanan pangan di Indonesia: inti permasalahan dan alternatif solusinya. Makalah disampaikan dalam Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), Mataram, 2008. Tarigan S, Sinukaban N. 2001. Peran sawah sebagai filter sediment, studi kasus di DAS Way Besai, Lampung. Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah, Bogor, 1 Mei 2001. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Temenggung YA. 2008. Reforma Agraria Dalam Upaya Penyediaan Lahan Untuk Produksi Pangan dan Bionenergi. Disampaikan pada Semiloka Nasional: Strategi Penanganan Krisis Sumberdaya Lahan Untuk Mendukung Kedaulatan Pangan dan Energi, Bogor, 22-23 Desember 2008. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tenure WG, Huma. 2008. Kisah tragis dari lereng Selatan pegunungan Hyang Argopuro-Jember: adakah kaitan sistem penguasaan lahan dengan bencana banjir bandang. http://www.wg-tenure.org/ (27 Januari, 2010)
259
Theobald DM. 2001. Understanding topology and shapefiles. http://www.oberlin.edu/. (1 Agustus 2008).
Arc User.
Thornbury WD. 1969. Principles of Geomorphology. New York: John Wiley & Sons. Timm NH. 2002. Applied Multivariate Analysis. New York: Springer Verlag. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cetakan kesepuluh. Jakarta: Penerbit Balai Pustaka. Van Zuidam. 1983. Guide to Geomorphologic Aerial Photographic Interpretation and Mapping. ITC, Enschede, The Netherlands. Wall JRD. 1987. Regional Physical Planning Program for Transmigration (RePPProT). Warta Survey & Pemetaan. 2 (2): 5-14. Whitten T, Soeriaatmadja RE, Afiff SA. 1996. The Ecology of Java and Bali. Volume II. Dalhousie University: Periplus Edition (HK), Ltd. Wiradisastra US. 2003. Delineasi zona agroekologi. Bahan Kuliah Evaluasi Lahan. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Worboys M., Duckham M. 2004. GIS: a Computing Perspective. London: CRC Press. Yansen. 11 Agus 2008. Revolusi hijau lestari dan swasembada beras. Republika: 4 (4-7).
Yoshida T. 1978. Microbial metabolism in rice soils. Soil and Rice, pp. 445-463 Los Banos-Philippines.: International Rice Research Institute. Zaini Z, Abdurrahman S, Widiarta N, Wardana P, Setyorini D, Kartaatmadja S, Yamin M. 2009. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah. Sukamandi-Subang: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian..
260
Lampiran 1. Diskripsi sistem lahan yang sesuai untuk tanaman padi sawah di Jawa No
Sistem Lahan
Nama Bentuklahan
1
ABG
Dataran volkanik beriklim kering (Volcanic plains ind dry areas)
Epiaquepts, Epiaquerts
Datarberombak
Dataran berombak pada batukapur dan napal (Undulating plain on marl and limestone)
Epiaqualfs
Berombak
Hydrandepts
Datarberombak
Datarn banjir antar bukit (Floodplains within hills)
Endoaquents
Datar
Dataran volkanik basik berombak hingga bergelombang di daerah kering (Undulating to rolling basic volcanic plains in dry areas)
Haplustalfs
Berombakbergelombang
Dataran lava basik berbukit hillok di daerah kering (Hillocky basic lava plains in dry areas)
Haplustalfs
Hillok
Ustropepts
Bergelombang
(Bogoran)
Dataran berbatuan napal bergelombang di daerah kering (Rolling plains on marls in dry areas)
BTG
Dataran hillok pada tuf volkan masam
Dystrandepts
Hillok
Aliran lava terdiseksi sedang (Moderately dissected lava flows)
Eutropepts
Bergelombang
Epiaqualfs
Hillok
Dataran hillok pada batuan volkan intermediet/basik (Hillocky plains intermediet volcanic rocks )
Eutrandepts
Hillok
Dataran berombak
Epiaqualfs
Berombak
Endapan pantai tua terdiseksi dan terangkat (Raised and dissected old beach deposits)
Dystrudepts
Berombak
CKD
Dataran tuf intermediate terdiseksi
Udipsamments
Bergelombang
(Cikidang)
Dissected intermediate tuff plains Dataran sedimen tuf berombakbergelombang (Undulating to rolling tuffaceous sedimentary plains)
Dystrudepts
Berombak
CPR (Cipancur)
Plato miring pada liat bertufa
Dystrudepts
Berombak
CSG
Kelerengan lahar agak curam
Vitrandepts
Bergelombang
(Cisiung)
Moderately steep lahar slopes
(Asembagus) 2
AWY (Awaay)
3
BGI (Bukittinggi)
4
BKN (Bakunan)
5
BOM (Bombong)
6
BRI (Bontosapiri)
7
8
BRN
(Batuapung) 9
BTK (Barongtongkok)
10
CBN (Cibingbin)
11
CGN (Ciwaringin)
Dataran tuf volkanik masam datar hingga berombak (Flat to undulating acid volcanic tuff plains)
Jenis Tanah Dominan
Topografi
Hillocky acid volcanic tuff plain
sediment
campuran
Undulating mixed sedimentary plains 12
CJB (Cijambe)
13 14
CKU (Cikadu)
15 16
Tilted plateau on tuffaceous clay
261
Lampiran 1 (Lanjutan) No
Sistem Lahan
17
CTM Citarum)
18 19
Nama Bentuklahan Dataran lakustrin tertoreh ringan
Jenis Tanah Dominan
Topografi
Epiaquepts
Datar
Udipsamments
Hillok
Slightly dissected lacustrine plains
CTU
Dataran tuf kristalin terdiseksi
(Cibuntu)
Dissected crystalline tuff plains
DKN
Plato miring terdiseksi sedang
Haplustalfs
Hillok
Plato miring bergelombang
Calciustepts
Bergelombang
EMK (Eromoko)
Teras sungai berombak-bergelombang di daerah kering (ndulating to rolling riverinne terrace in dry areas)
Pelluderts
Berombak
GDG
Dataran hillok pada batuan ultrabasik
Dystrudepts
Hillok
Dataran tuf volkanik masam bergelombang (olling acid volcanic tuff plains)
Dystrandepts
Bergelombang
Perbukitan agak curam pada volkanik basaltik (derately steep hills on basaltic volcanics)
Eutrudepts
Berbukit
Kipas aluvial agak curam di daerah kering (Moderately sloping volcanic alluvial fans in dry areas)
Haplustalfs
Bergelombang
Kipas aluvial agak curam (Moderately sloping volcanic alluvial fans )
Dystrandepts
Berombak
Bukit hillok membulat pada batuliat tuf dan breksi (ounded hillocks on tuffaceous claystone and breccia)
Eutrudepts
Hillok
Kipas alluvial tergabung terdiseksi ringan (lightly dissected coalescent volcanic alluvial fans)
Tropaquets
Datar
Dystropets
Berombak
Eutropepts
Bergelombang
(Kundut)
Kelerengan lahar landai terdiseksi ringan (lightly dissected gentle lahar slopes)
KHY
Dataran fluvial (Coalescent estuarine/
Epiaquepts
Datar
Epiaquepts
Hillok
Epiaquepts
Datar
(Dukun) 20
DML (Donomulyo)
21
22
Bergelombang
(G. Diangan) 23
GOG (Grogo)
24
GSM (G. Samang)
25
GGK (Grogak)
26
GJO (Gajo)
27
JBG (Jemblong)
28
JKT Jakarta
29
30
KDT
(Kahayan) 31
KMP (Kumpai)
Vitrandepts
Berbukit
riverine plains) Dataran hillok dengan lembah luas pada napal dan batuliat Hillocky plain with Wide valleys on marls and clyastone
32
KNJ (Kuranji)
Kipas aluvial volkanik berlereng landai (ently sloping volcanic alluvial fans)
262
Lampiran 1 (Lanjutan) No 33
34
Sistem Lahan KPR
Dataran kars berhum datar-berombak ((Flat to berombak karstic plains with hums)
LAR
LBS (Lubuksikaping)
36
LDH (Lidah)
37
LKU (Laku)
38
LTG (Lantang)
39
LDH (Lidah)
40
LKU (Laku)
41
LTG (Lantang)
42
LKU (Laku)
43
LTG (Lantang)
44
45 46
MKS
Topografi
Eutrudepts
Berombak
Igir hillok linier pada batuan sedimen campuran (Linier hillocky ridges on mixed sedimentary rocks)
Haplustalfs, Dystropepts
Hillok
Kipas aluvial non volkanik berlereng landai (Gently sloping non-volcanic alluvial fans)
Endoaquents
Datar
Fluvaquetns
Hillok pada batukapur napal dan batu pasir (Hillocks on marl limestone and sandstone)
Pellusterts
Hillok
Kelerengan lahar landai dengan hillok basal membulat (Gentle lahan slopes with rounded basalt hiilocks)
Humtropepts
Igir sangat curam pada volkan basik di daerah kering (Very steep ridges on basic volcanics in dry areas)
Paleustults
Hillok pada batukapur napal dan batu pasir (Hillocks on marl limestone and sandstone)
Pellusterts
Kelerengan lahan landai dengan hillok basal membulat (Gentle lahan slopes with rounded basalt hiilocks)
Humtropepts
Igir sangat curam pada volkan basik di daerah kering( Very steep ridges on basic volcanics in dry areas)
Paleustults
Kelerengan lahar landai dengan hillok basal membulat (Gentle lahar slopes with rounded basalt hiilocks)
Dystrudepts
Hillok
Igir sangat curam pada volkan basik di daerah kering (Very steep ridges on basic volcanics in dry areas)
Paleustults
Berbukit
Calciustolls Hillok
Dystropepts Berbukit
Haplustults Hilloks
Calciustolls Hillok
Dystropepts Berbukit
Haplustults
Haplustults
(Makasar)
Dataran fluvial di daerah kering (Coalescent estuarine/riverine plains in dry areas)
Fluvaquepts
Datar
NGR
Dataran banjir minor di daerah kering
Ustifluvents
Datar
(Nangger)
(Minor river floodplains in dry areas) Haplustalfs
Hillok
Paleustults
Hillok
NPA (Nusa Penida)
47
Jenis Tanah Dominan
(Kapor)
(Larangan) 35
Nama Bentuklahan
NMU (Nampu)
Teras kars hillok miring terangkat (Raised tilted terraces)
hillocky
karstic
Dataran hillok pad sedimen tuf di daerah kering (Hillocky plains on tuffaceous sediments in dry areas)
263
Haplustults
Lampiran 1 (Lanjutan) No
Sistem Lahan
Nama Bentuklahan
48
OMB
Dataran berombak pada batukapur dan napal di daerah kering (Undulating plain on marl and limestone in dry areas)
Haplustalfs
Berombak
Dataran hillok pada volkanik intermediet-basik (Hillocky plains on intermediate to basic volcanics)
Epiaqualfs
Hillok
Dataran berombak pada tuf berkapur di daerah kering (Undulating plains on calcareous tuff in dry areas)
Ustropepts
Berombak
Teras sungai di daerah kering (Riverine terraces in dry areas)
Ustropepts
Datar
Dataran hiilok pada sedimen tuf (Hillocky plains on tuffaceous sediments)
Dystropepts
Hillok
Dataran bergelombang dengan hillok pada napal (Rolling plains with hillocks on marls)
Eutropepts
Bergelombang
Dataran hillok pada batuan sedimen campuran di daerah kering (Hillocky plains on mixed sedimentary rocks in dry areas)
Haplustalfs
Hillok
Teras kars berbukit miring di daerah kering (Tilted hilly karstic terraces in dry areas)
Haplustalfs
Berbukit
Dataran aluvial volkanik volcanic alluvial plains)
Epiaquepts
Datar
Kandiudults
Bergelombang
(S. Medang)
Dataran volkanik basik berombak hingga bergelombang (Undulatings toi rolling basic volcanic plains)
SMI
Teras sungai berombak-bergelombang
Epiaquults
Berombak
(Ombo)
49
PAN (Pandegelang)
50
PYN (Paliyan)
51
SRI (Sumari)
52
SAR (S. Aur)
53
SFO (S. Fauro)
54
SKL (Sikali)
55
SKN (Sorokan)
56
SLK (Solok)
57
58
SMD
(Sungai Mimpi) 59
60
to
rolling
Inland
Topografi
riverine
Dataran sedimen campuran berombak di daerah kering (Dataran sedimen campuran berombak di daerah kering)
Haplustults
Berombak
(Sumengka)
SRI
Teras sungai datar di didaerah kering
Epiaquepts
Datar
Epiaquepts
Datarberombak
SNA
(Sumari) 61
Undulating terraces
Jenis Tanah Dominan
SSN (Susukan)
(Flat riverine terrace in dry areas) Dataran volkanik datar hingga berombak (Flat to undulating volcanic plains)
264
Lampiran 1 (Lanjutan) No
Sistem Lahan
62
STR
63
Epiaquepts
Datarberombak
Stratovolkano muda pada volkanik basik (Young stratovolcanoes on basic volcanics)
Humaquepts
Bergunung
Kelerengan lahar terdiseksi dan agak curam (Moderately steep and dissected lahar slopes)
Eutrudepts
Berbukit
Dataran hillok pada batuan sedimen campuran (Hillocky plains on mixed sedimentary rocks)
Dystrudepts
Hillok
Kelerengan lahar agak curam di daerah kering (Moderately steep lahar slopes in dry areas)
Dystrandepts
Igir paralel pada tuf volkanik masam (Parallel ridges on acid volcanic tufos)
Dystrandepts
Berbukit
Plato tertutup abu volkan berombak
Vitrandepts
Berombak
Dystrudepts
Berombak
TGM
TLU
TWH
TYR (Tianyar)
68
UBD (Ulubandar)
69
UKN (Ujung Kulon)
70
Hillok
Kipas aluvial volkanik berlereng landai di daerah kering (Gently sloping volcanic alluvial fans in dry areas)
(Teweh) 67
Paleudults
TBO
(Talamau) 66
Topografi
(Tilted hillocky plateau on tuffaceous sediments)
(Tanggamus) 65
Plato hillok miring pada sedimen tuf
Jenis Tanah Dominan
(Salatri)
(Tombalo)
64
Nama Bentuklahan
WTE (Watampone)
Eutrudepts Berbukit
Vitrandepts
Undulating ash-covered plateaus Dataran sediment tuf berombak Undulating tuffaceous sedimentary plain
Sumber: RePPProT (1989)
265
Lampiran 2. Evaluasi Kesesuaian Lahan Jenis tanaman Zona Agroekologi Sistem Lahan Tanah dominan Kualitas Lahan/ Karakteristik Lahan
: Padi sawah : A (S1/IP300), B (S1/IP200), C (S1/IP100) : Bentukan asal fluvial (BKN, KHY, MKS, NGR, CTM (LBS, APA, SRI) : Aluvial (Epiaquepts) Fluvial
Tingkat Aktual (C)
26 – 29
S1
0–3
S1
16004000
S1
Agak buruk
S1
Input Perbaikan (I)
Tingkat Potensial (P)
I= Li
P = S1
Rejim Temperatur (t) Suhu rata-rata tahunan (oC)
Ketersediaan Air (w) 1. Bulan kering (< 100 mm) 2. Rata-rata curah hujan tahunan
Kondisi perakaran (r) 1. Kelas drainase 2. Tekstur tanah (permukaan) 3. Kedalaman tanah (cm)
S1
Halus
S1
> 100
Retensi hara (f) 1. KTK me/100g tnh (subsoil)
17 – 24
S1
2. pH (permukaan)
5,5 – 6,0
S1 S2n
Ketersediaan hara (n) Total N (permukaan)
Rendah
S2
P 2O5 tersedia (permukaan)
Medium
S2
K 2O5 tersedia (permukaan)
Sedang
S1
<3
S1
0–2
S1
Batuan permukaan (%)
0
S1
Singkapan batuan (%)
0
S1
Toksisitas (x) Salinitas (mmhos/cm (sub soil)
Terrain (s) Lereng (%)
C = S2n Sumber: hasil analisis, I = input, Li = input rendah
266
Lampiran 2 (Lanjutan) Jenis tanaman Zona Agroekologi Sistem Lahan Tanah dominan Kualitas Lahan/ Karakteristik Lahan
: Padi sawah : A (S1/IP300), B (S1/IP200), C (S1/IP100) : Bentukan asal Volkanik (ABG, SSN, TLU, KNJ, SLK, TBO) : Asosiasi Aluvial (Epiaquepts) dan Grumusol (Epiaquerts) Nilai
Tingkat Aktual (C)
26 – 29
S1
<3
S1
1600-3000
S1
Agak buruk
S1
2. Tekstur tanah (permukaan)
Halus
S1
3. Kedalaman tanah (cm)
> 100
S1
1. KTK me/100g tnh (subsoil)
17 – 24
S1
2. pH (permukaan)
6,0 – 6,5
S1
Input Perbaikan (I)
Tingkat Potensial (P)
Rejim Temperatur (t) Suhu rata-rata tahunan (oC)
Ketersediaan Air (w) 1. Bulan kering (< 100 mm) 2. Rata-rata curah hujan tahunan
Kondisi perakaran (r) 1. Kelas drainase
Retensi hara (f)
S2n
Ketersediaan hara (n) Total N (permukaan)
Rendah
S2
Li
P 2O5 tersedia (permukaan)
Medium
S2
Li
K 2O5 tersedia (permukaan)
Tinggi
S1
<3
S1
0–2
S1
Batuan permukaan (%)
0
S1
Singkapan batuan (%)
0
S1
Toksisitas (x) Salinitas (mmhos/cm (sub soil)
Terrain (s) Lereng (%)
C = S2n Sumber: hasil analisis, I = input, Li = input rendah
267
I= Li
P = S1
Lampiran 2 (Lanjutan) Jenis tanaman Zona Agroekologi Sistem Lahan Tanah dominan Kualitas Lahan/ Karakteristik Lahan
: Padi sawah : D (S2/IP300), E (S2/IP200), F (S2/IP100) : Bentukan asal Volkanik (BTK, GGK, GJO, JKT) : Latosol (Epiaqualfs, Haplustlafs) Nilai
Tingkat Aktual (C)
26 – 29
S1
<3
S1
1600-3000
S1
Input Perbaikan (I)
Tingkat Potensial (P)
Rejim Temperatur (t) Suhu rata-rata tahunan (oC)
Ketersediaan Air (w) 1. Bulan kering (< 100 mm) 2. Rata-rata curah hujan tahunan
Kondisi perakaran (r) Agak buruk
S1
2. Tekstur tanah (permukaan)
Halus
S1
3. Kedalaman tanah (cm)
> 100
S1
1. KTK me/100g tnh (subsoil)
17 – 24
S1
2. pH (permukaan)
6,0 – 6,5
S1
1. Kelas drainase
Retensi hara (f)
S2n
Ketersediaan hara (n) Total N (permukaan)
Rendah
S2
Li
P 2O5 tersedia (permukaan)
Medium
S2
Li
K 2O5 tersedia (permukaan)
Tinggi
S1
<3
S1
5 -8
S3
Batuan permukaan (%)
0
S1
Singkapan batuan (%)
0
S1
Toksisitas (x) Salinitas (mmhos/cm (sub soil)
Terrain (s) Lereng (%)
C = S3s Sumber: hasil analisis, I = input, Li = input rendah
268
I= Li
P = S2
Lampiran 2 (Lanjutan) Jenis tanaman Zona Agroekologi Sistem Lahan Tanah dominan Kualitas Lahan/ Karakteristik Lahan
: Padi sawah : G (S3/IP300), H (S3/IP200), I (S3/IP100) : Bentukan asal Volkanik (BTK, SMD) : Latosol (Epiaqualfs) Volkanik
Tingkat Aktual (C)
26 – 29
S1
<3
S1
1600-3000
S1
Agak buruk
S1
2. Tekstur tanah (permukaan)
Halus
S1
3. Kedalaman tanah (cm)
> 100
S1
1. KTK me/100g tnh (subsoil)
17 – 24
S1
2. pH (permukaan)
6,0 – 6,5
S1
Input Perbaikan (I)
Tingkat Potensial (P)
Rejim Temperatur (t) Suhu rata-rata tahunan (oC)
Ketersediaan Air (w) 1. Bulan kering (< 100 mm) 2. Rata-rata curah hujan tahunan
Kondisi perakaran (r) 1. Kelas drainase
Retensi hara (f)
S2n
Ketersediaan hara (n) Total N (permukaan)
Rendah
S2
Li
P 2O5 tersedia (permukaan)
Rendah
S3
Li
K 2O5 tersedia (permukaan)
Sedang
S1
<3
S1
Toksisitas (x) Salinitas (mmhos/cm (sub soil)
Terrain (s) >8
N
Batuan permukaan (%)
0
S1
Singkapan batuan (%)
0
S1
Lereng (%)
C = Ns Sumber: hasil analisis, I = input, Li = input rendah
269
I= Li
P = S3
Lampiran 2 (Lanjutan) Jenis tanaman Zona Agroekologi Sistem Lahan Tanah dominan Kualitas Lahan/ Karakteristik Lahan
: Padi sawah : D (S2/IP300), E (S2/IP200), F (S2/IP100) : Bentukan asal Denudasional (CKU, BGI, CGN, CJB, OMB,SMI, WTE, AWY, EMK, PYN) : Podsolik (Epiaquults) Nilai
Tingkat Aktual (C)
26 – 29
S1
<3
S1
1600-3000
S1
Input Perbaikan (I)
Tingkat Potensial (P)
Rejim Temperatur (t) Suhu rata-rata tahunan (oC)
Ketersediaan Air (w) 1. Bulan kering (< 100 mm) 2. Rata-rata curah hujan tahunan
Kondisi perakaran (r) Agak buruk
S1
2. Tekstur tanah (permukaan)
Halus
S1
3. Kedalaman tanah (cm)
> 100
S1
1. KTK me/100g tnh (subsoil)
17 – 24
S1
2. pH (permukaan)
5,0– 5,5
S2
1. Kelas drainase
Retensi hara (f)
S2n
Ketersediaan hara (n) Total N (permukaan)
S. Rendah
S3
Li
P 2O5 tersedia (permukaan)
S. Rendah
S3
Li
K 2O5 tersedia (permukaan)
S. Rendah
S3
<3
S1
5-8
S3
Batuan permukaan (%)
0
S1
Singkapan batuan (%)
0
S1
Toksisitas (x) Salinitas (mmhos/cm (sub soil)
Terrain (s) Lereng (%)
C = S3ns Sumber: hasil analisis, I = input, Li = input rendah
270
I= Li
P = S2
Lampiran 2 (Lanjutan) Jenis tanaman Zona Agroekologi Sistem Lahan Tanah dominan
: Padi sawah : G (S3/IP300), H (S3/IP200), I (S3/IP100) : Bentukan asal Denudasional (BRN, KMP, LAR, LDH, SAR, SFO, SKL, SNA, TWH) : Podsolik (Epiaquults)
Kualitas Lahan/ Karakteristik Lahan
Nilai
Tingkat Aktual (C)
26 – 29
S1
<3
S1
1600-3000
S1
Input Perbaikan (I)
Tingkat Potensial (P)
Rejim Temperatur (t) Suhu rata-rata tahunan (oC)
Ketersediaan Air (w) 1. Bulan kering (< 100 mm) 2. Rata-rata curah hujan tahunan
Kondisi perakaran (r) Agak buruk
S1
2. Tekstur tanah (permukaan)
Halus
S1
3. Kedalaman tanah (cm)
> 100
S1
1. KTK me/100g tnh (subsoil)
5 - 16
S2
2. pH (permukaan)
5– 5,5
S2
1. Kelas drainase
Retensi hara (f)
S2n
Ketersediaan hara (n) Total N (permukaan)
S. Rendah
S3
Li
P 2O5 tersedia (permukaan)
S. Rendah
N
Li
K 2O5 tersedia (permukaan)
Rendah
S2
Li
<3
S1
Toksisitas (x) Salinitas (mmhos/cm (sub soil)
Terrain (s) >8
N
Batuan permukaan (%)
0
S1
Singkapan batuan (%)
0
S1
Lereng (%)
C = Nns Sumber: hasil analisis, I = input, Li = input rendah
271
I= Li
P = S3
Lampiran 2 (Lanjutan) Jenis tanaman Zona Agroekologi Sistem Lahan Tanah dominan
Kualitas Lahan/ Karakteristik Lahan
: Padi sawah : D (S2/IP300), E (S2/IP200), F (S2/IP100) : Bentukan asal Kars (KPR) : Mediteran (Calciustolls))
Nilai
Tingkat Aktual (C)
26 – 29
S1
3-9
S2
1200-1500
S2
Input Perbaikan (I)
Tingkat Potensial (P)
Rejim Temperatur (t) Suhu rata-rata tahunan (oC)
Ketersediaan Air (w) 1. Bulan kering (< 100 mm) 2. Rata-rata curah hujan tahunan
Kondisi perakaran (r) Agak buruk
S1
2. Tekstur tanah (permukaan)
Halus
S1
3. Kedalaman tanah (cm)
> 100
S1
1. KTK me/100g tnh (subsoil)
17 – 24
S1
2. pH (permukaan)
6,0 – 6,5
S1
1. Kelas drainase
Retensi hara (f)
S2n
Ketersediaan hara (n) Total N (permukaan)
Rendah
S2
Li
P 2O5 tersedia (permukaan)
Rendah
S3
Li
K 2O5 tersedia (permukaan)
Sedang
S1
<3
S1
5-8
S3
Batuan permukaan (%)
0
S1
Singkapan batuan (%)
0
S1
Toksisitas (x) Salinitas (mmhos/cm (sub soil)
Terrain (s) Lereng (%)
C = S3n Sumber: hasil analisis, I = input, Li = input rendah
272
I= Li
P = S2
Lampiran 2 (Lanjutan) Jenis tanaman Zona Agroekologi Sistem Lahan Tanah dominan
Kualitas Lahan/ Karakteristik Lahan
: Padi sawah : G (S3/IP300), H (S3/IP200), I (S3/IP100) : Bentukan asal Kars (NPN, SKN) : Mediteran (Calciustolls))
Volkanik
Tingkat Aktual (C)
26 – 29
S1
9
S3
800-1200
S3
Input Perbaikan (I)
Tingkat Potensial (P)
Rejim Temperatur (t) Suhu rata-rata tahunan (oC)
Ketersediaan Air (w) 1. Bulan kering (< 100 mm) 2. Rata-rata curah hujan tahunan
Kondisi perakaran (r) Agak buruk
S1
2. Tekstur tanah (permukaan)
Halus
S1
3. Kedalaman tanah (cm)
> 100
S1
1. KTK me/100g tnh (subsoil)
17 – 24
S1
2. pH (permukaan)
6,0 – 6,5
S1
1. Kelas drainase
Retensi hara (f)
S2n
Ketersediaan hara (n) Total N (permukaan)
Rendah
S2
Li
P 2O5 tersedia (permukaan)
Rendah
S2
Li
K 2O5 tersedia (permukaan)
Sedang
S1
<3
S1
Toksisitas (x) Salinitas (mmhos/cm (sub soil)
Terrain (s) >8
N
Batuan permukaan (%)
0
S1
Singkapan batuan (%)
0
S1
Lereng (%)
C = Ns Sumber: hasil analisis, I = input, Li = input rendah
273
I= Li
P = S3
Lampiran 2 (Lanjutan) Jenis tanaman Zona Agroekologi Sistem Lahan Tanah dominan Kualitas Lahan/ Karakteristik Lahan
: Padi sawah : D (S2/IP300), E (S2/IP200), F (S2/IP100) : Bentukan asal Struktural (CPR) : Latosol (Dystrudepts) Nilai
Tingkat Aktual (C)
26 – 29
S1
<3
S1
1200-1500
S2
Agak buruk
S1
2. Tekstur tanah (permukaan)
Halus
S1
3. Kedalaman tanah (cm)
> 100
S1
1. KTK me/100g tnh (subsoil)
17 – 24
S1
2. pH (permukaan)
5,5 – 6,0
S1
Input Perbaikan (I)
Tingkat Potensial (P)
Rejim Temperatur (t) Suhu rata-rata tahunan (oC)
Ketersediaan Air (w) 1. Bulan kering (< 100 mm) 2. Rata-rata curah hujan tahunan
Kondisi perakaran (r) 1. Kelas drainase
Retensi hara (f)
S2n
Ketersediaan hara (n) Total N (permukaan)
Rendah
S2
Li
P 2O5 tersedia (permukaan)
Rendah
S2
Li
K 2O5 tersedia (permukaan)
Rendah
S2
<3
S1
5-8
S3
Batuan permukaan (%)
0
S1
Singkapan batuan (%)
0
S1
Toksisitas (x) Salinitas (mmhos/cm (sub soil)
Terrain (s) Lereng (%)
C = S3s Sumber: hasil analisis, I = input, Li = input rendah
274
I= Li
P = S2
Lampiran 2 (Lanjutan) Jenis tanaman Zona Agroekologi Sistem Lahan Tanah dominan
: Padi sawah : G (S3/IP300), H (S3/IP200), I (S3/IP100) : Bentukan asal Struktural (DKN, DML, STR, SBJ) : Latosol (Haplustalfs)
Kualitas Lahan/ Karakteristik Lahan
Volkanik
Tingkat Aktual (C)
26 – 29
S1
<3
S1
1250-1300
S2
Agak buruk
S1
2. Tekstur tanah (permukaan)
Halus
S1
3. Kedalaman tanah (cm)
> 100
S1
1. KTK me/100g tnh (subsoil)
17 – 24
S1
2. pH (permukaan)
6,0 – 6,5
S1
Input Perbaikan (I)
Tingkat Potensial (P)
Rejim Temperatur (t) Suhu rata-rata tahunan (oC)
Ketersediaan Air (w) 1. Bulan kering (< 100 mm) 2. Rata-rata curah hujan tahunan
Kondisi perakaran (r) 1. Kelas drainase
Retensi hara (f)
S2n
Ketersediaan hara (n) Total N (permukaan)
Rendah
S2
Li
P 2O5 tersedia (permukaan)
Rendah
S2
Li
K 2O5 tersedia (permukaan)
Rendah
S2
<3
S1
Toksisitas (x) Salinitas (mmhos/cm (sub soil)
Terrain (s) >8
N
Batuan permukaan (%)
0
S1
Singkapan batuan (%)
0
S1
Lereng (%)
C = Ns Sumber: hasil analisis, I = input, Li = input rendah
275
I= Li
P = S3
Lampiran 3. Kriteria penilaian indikator keberlanjutan lahan sawah No
Faktor/ Indikator (Skor)
Keterangan
Faktor Lingkungan Biofisik: 1
2
3
4
5
Ketersediaan Air Tanah
Departemen Pekjerjaan Umum (2003)
- Sangat Kurang (1)
Persediaan air untuk bertanam padi selama < 3 bulan: 0-2,5 l/de/km2
- Kurang (2)
Persediaan air untuk bertanam padi selama 3- 6 bulan: 2,5 – 5 l/det/km2
- Cukup (3)
Persediaan airuntuk bertanam padai selama 6- 9 bulan: 5- 7,5 l/det/km2
- Berlebih (4)
Persediaan air untuk bertanaman padi selama > 9 bulan dalam setahun: 7,5-10
- Sangat Berlebih (5)
Persediaan untuk bertanam padi ada sepanjang tahun: > 10 l/det/km2
Tingkat salinitas (ppt)
McLusky (1971)
- Tawar/ fresh (5)
< 0,50
- Sedang/oligohaline (4)
0,50 – 3,00
- Payau/mesohaline (3)
3,10 – 16,00
- Asin/polyhaline (2)
16,10 – 30,00
- Sangat asin (marine) (1)
> 30,00 – 40,00
Bebas bahaya banjir
% cakupan daerah aman banjir
Sangat Aman (5)
90 – 100
Aman (4)
80 – 90
Sedang (3)
70 - 80
Bahaya (2)
50 - 60
Sangat Bahaya(1)
< 50
Serangan tanaman
hama
&
penyakit
% lahan sawah aman dari serangan hama & penyakit tanaman
- Sangat ringan (5)
90 – 100
- Ringan (4)
80 – 90
- Sedang (3)
70 - 80
- Berat (2)
50 - 60
- Sangat berat (1)
< 50
C-organik tanah (%)
Sumber : Staf PPT, 1983 dalam Hardjowigeno, 1987
- Sangat rendah (1)
< 1,00
- Rendah (2)
1,00 - 2,00
- Sedang (3)
2,01 - 3,00
276
Lampiran 3 (Lanjutan) No
6
7
8
9
10
Faktor/ Indikator (Skor)
Keterangan
- Tinggi (4)
3,00 – 5,00
- Sangat Tinggi (5)
> 5,00
N-total (Kjeldahl)
Sumber : CSR/FAO Staff (1983)
- Sangat rendah (1)
< 0,10
- Rendah (2)
0,10 – 0,20
- Sedang (3)
0,21 – 0,50
- Tinggi (4)
0,51 – 0,75
- Sangat Tinggi (5)
> 0,75
P2O5-tersedia Bray I (ppm)
Sumber : CSR/FAO Staff (1983)
- Sangat rendah (1)
< 10
- Rendah (2)
10 - 15
- Sedang (3)
16 - 25
- Tinggi (4)
26- 35
- Sangat Tinggi (5)
> 35
K2O –tersedia (Bray I)
Sumber : CSR/FAO Staff ( 1983)
Sangat rendah (1)
< 5 mg/100 g ( < 50 ppm)
Rendah (2)
5 – 10 mg/100 g (50 – 100 ppm)
Sedang (3)
11 – 15 mg/100 g (110 – 150 ppm)
Tinggi (4)
16 – 25 mg/100 g (160 – 250 ppm)
Sangat Tinggi (5)
> 250 ppm
Total K2O (HCL 25%)
Sumber: CSR/FAO Staff (1983)
Sangat rendah (1)
< 10 mg/100 g (100 ppm)
Rendah (2)
10 – 20 mg/100 g (100 – 200 ppm)
Sedang (3)
21 – 40 (210 – 400 ppm)
Tinggi (4)
41 – 60 mg/100 g (410 – 600 ppm)
Sangat Tinggi (5)
> 60 mg/100 g (600 ppm)
Total P2O5 (HCl 25 %) Sangat rendah (1)
< 100 ppm
Rendah (2)
100 - 200
Sedang (3)
210 - 400
Tinggi (4)
410 - 600
Sangat Tinggi (5)
> 600
277
Lampiran 3 (Lanjutan) No 11
12
13
14
15
16
Faktor/ Indikator (Skor)
Keterangan
Kondisi irigasi
% cakupan area lahan sawah yang irigasinya rusak
- Tidak ada (1)
Sawah tadah hujan
- Rusak (2)
Kerusakan > 25 %
- Sedang (3)
Kerusakan 10 – 25 %
- Baik (4)
Kerusakan > 0 – 10 %
- Sangat baik (5)
Tidak ada kerusakan : 0
Perolehan Keuntungan
% keuntungan yang diperoleh petani
- Sangat rugi (1)
Tidak ada keuntungan yang diperoleh : 0
- Rugi (2)
Keuntungan sangat sedikit: >0 - 5
- Pas-pasan (3)
Keuntungan yang diperoleh kurang dari 5 - <10 %
- Untung (4)
Keuntungan yang diperoleh 10 – < 15%
- Sangat untung (5)
Keuntungan yang diperoleh > = 15 %
Modal Usahatani
Jumlah modal untuk menanam padi
- Tidak ada (1)
Hanya memiliki modal tenaga kerja: 0
- Kurang (2)
Memiliki modal tidak cukup untuk 1 kali tanam: 0 – 0,5
- Cukup (3)
Memiliki modal pas-pasan (1 kali tanam): > 0,5 - 1
- Besar (4)
Memiliki modal dua kali tanam: > 1- 2
- Sangat besar (5)
Memilki modal > 2 kali tanam: >2
Perolehan Pupuk
Tingkat akses memperoleh pupuk
- Sangat sulit (1)
Petani sulit membeli pupuk walaupun dengan harga mahal
- Sulit (2)
Petani kesulitan membeli pupuk dengan harga wajar
- Sedang (3)
Petani merasa kurang mengalami kesulitan membeli pupuk
- Mudah (4)
Petani mudah membeli pupuk dengan harga wajar
- Sangat Mudah (5)
Petana sangat mudah mebeli pupuk dengan harga wajar
Potensi konversi lahan
Tingkat kerentanan terkonversi
- Sangat rentan (1)
Harga tanah sawah sangat mahal, jarak ke jalan arteri: < 1 km
- Rentan (2)
Harga tanah mahal, jarak ke jalan arteri : 1 – 5 km
- Sedang (3)
Harga tanah sedang, jarak ke jalan arteri: > 5– 15 km
- Sulit dikonversi (4)
Harga tanah murah, jarak ke jalan arteri > 15 – 20
- Sangat sulit (5)
Harga tanah sangat murah, jarak ke jalan arteri > 20 km
Akses pemasaran
Tingkat kemudahan menjual hasil panen
- Sangat sulit (1)
Hasil panen sangat sulit dijual> 20km
- Sulit (2)
Hasil panen sulit dijual: 15 - 20
278
Lampiran 3 (Lanjutan) No
17
Faktor/ Indikator (Skor)
Keterangan
- Sedang (3)
Hasil panen relatif mudah dijual: 10 – < 15 km
- Mudah (4)
Hasil panen mudah dijual: 5- < 10 km
- Sangat mudah (5)
Hasil panen sangat mudah dijual: < 5 km
Fasilitas Pascapanen
Banyaknya alat pengolah hasil panen
- Sangat kurang (1)
Mesin pengolah hasil panen di desa < 2
- Kurang (2)
Mesin pengolah hasil panen di desa 2 - 3
- Cukup (3)
Mesin pengolah hasil panen di desa 3 - 5
- Banyak (4)
Mesin pengolah hasil panen di desa > 5- 10
- Sangat banyak (5)
Mesin pengolah hasil panen di desa > 10
Faktor Sosial Budaya 18
19
20
21
Motivasi bertanam padi
Budaya bertanan padi
- Sangat terpaksa (1)
Bertanam padi karena ada tekanan dari pihak lain
- Terpaksa (2)
Bertanam padi karena tidak ada pekerjaan lain
- Biasa (3)
Bertanam padi karena kebiasaan keluarga
- Tinggi (4)
Bertanam padi karena sudah membudaya
- Sangat tinggi (5)
Bertanam padi karena sudah sangat membudaya
Persepsi terhadap harga padi HPP
% Keuntungan yang diperoleh
- Sangat tidak puas (1)
<5
- Tidak puas (2)
> 5 - 10
- Kurang puas (3)
> 10 - 15
- Puas (4)
> 15 - 20
- Sangat puas (5)
> 20
Persepsi terhadap konversi lahan - Sangat mendukung (1)
Petani sangat berkeinginan mengkonversi lahan sawahnya
- Mendukung (2)
Petani mendukung mengkonversi lahan sawahnya
- Biasa (3)
Biasa-biasa saja terhadap konversi lahan
- Menentang (4)
Menentang terhadap konversi lahan
- Sangat menentang (5)
Sangat menentang konversi lahan
Keanggotaan Poktan
Keaktifan petani di Kelompok Tani (Poktan)
- Tidak ada (1)
- Tidak ada Poktan
- Tidak aktif (2)
- Petani tidak aktif
- Agak aktif (3)
- Petani agak aktif
- Aktif (4)
- Petani aktif
- Sangat aktif (5)
- Petani sangat aktif
279
Lampiran 3 (Lanjutan) No 22
23
24.
25
26
27
Faktor/ Indikator (Skor)
Keterangan
Adopsi teknologi
Kemudahan penerapan teknologi
- Sangat sulit (1)
Petani sangat sulit menerapkan teknologi
- Sulit (2)
Petani mengalami kesulitan menerapkan teknologi
- Agak mudah (3)
Petani agak mengalami kesulitan menerapkan teknologi
- Mudah (4)
Petani mudah menerapkan teknologi
- Sangat mudah (5)
Petani sangat mudah menerapkan teknologi
Peranan penyuluhan - Tidak ada (1)
Tidak ada kegiatan penyluhan
- Tidak berguna (2)
Petani merasa tidak berguna dengan adanya penyuluhan
- Agak berguna (3)
Petani merasa agak berguna dengan adanya penyuluhan
- Berguna (4)
Petani merasa bergina dengan adanya penyuluhan
- Sangat berguna (5)
Petani merasa sangat berguna dengan adanya penyuluhan
Penguasaan Lahan - Buruh tani (1)
Petani hanya bermodal tenaga, mendapau upah harian
- Penggarap (2)
Petani memperoleh bagi hasil (paron)
- Penyewa (3)
Petani memiliki modal tetapi tidak memiliki tanah
- Pemilik (4)
Petani memiliki modal dan tanah
- Konglomerasi (5)
Usahatani secara korporasi
Fragmentasi lahan - Sangat sempit (1)
Luas lahan garapan < 0,1 ha
- Sempit (2)
Luas lahan garapan 0,1 – < 0,5 ha
- Sedang (3)
Luas lahan garapan 0,5 – < 1, 0 ha
- Luas (4)
Luas lahan garapan 1,0 – < 1,5 ha
- Sangat luas (5)
Luas lahan garapan > 1,5 ha
Pendidikan petani - Tidak pernah sekolah (1)
Petani tidak profesional
- Sekolah Dasar (2)
Petani kurang profesional
- Sekolah Menengah Pertama (3)
Petani agak profesional
- Sekolah Menengah Atas (4)
Petani profesional
- Diploma/Sarjana (5)
Petani sangat profesional
Usia Petani (tahun) - Sangat lanjut (1)
- > 60
- Lanjut (2)
- 50 – 60
- Agak Lanjut (3)
- 40 – 49ga
- Muda (4)
- 30 – 39
- Sangat muda (5)
- < 30
280
Lampiran 3 (Lanjutan) No 28
Faktor/ Indikator (Skor)
Keterangan
Budaya lokal - Eksploitatif (1)
Persediaan air cukup atau kurang, tidak pernah bera (PadiPadi-Padi), dilakukan penyedotan air tanah untuk irigasi, atau penggunaan pupuk an organik berlebih
- Agak eksploitatif (2)
Persediaan air cukup atau berlebih , pola tanam Padi-PadiPadi, dilakukan penyedotan air tanah untuk irigasi jika air kurang, penggunaan pupuk anorganik berlebih atau PadiPalawija-Palawija dengan penggunaan pupuk anorganik berlebih
- Sedang (3)
Persediaan air sangat berlebih, berlebih, cukup atau kurang, pola tanam Padi-Padi-Palawija/Tembakau/Hortikultura atau Padi-Palawija-Palawija Palawija atau Padi-Padi-Padi, atau penggunaan pestisida hayati
- Ramah lingkungan (4)
Persediaan air berlebih atau cukup, pola tanam Padi-Padi-Bera, Padi-Padi-Padi, pestisida hayati, penggunaan pupuk organik
- Sangat ramah lingkungan (5)
Persediaan air berlebih, pola Tanam Padi-Padi-Bera,pakai pupuk organik
281
Lampiran 4. Nilai muatan faktor pada zona A (S1/IP300) Indikator
Faktor 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Ketersediaan Air
-0.040
0.051
0.776
-0.011
-0.073
0.119
-0.017
0.173
0.016
-0.019
Salinitas
-0.143
-0.018
0.067
-0.027
0.006
0.083
-0.052
-0.093
0.031
0.851
Bahaya Banjir
-0.156
-0.021
0.146
0.145
-0.015
0.091
0.098
0.194
0.032
0.66
Hama & Penyakit Tanaman
-0.073
-0.088
-0.049
0.199
0.025
0.194
0.224
0.645
-0.311
0.221
C-organik
-0.178
0.148
0.180
0.023
0.173
0.773
0.091
0.047
-0.021
0.065
N-total
0.064
0.142
0.184
0.088
0.000
0.782
0.004
-0.008
-0.101
0.138
P-tersedia
0.052
-0.109
-0.355
-0.281
0.694
0.073
-0.22
0.166
0.149
-0.004
P-total
0.007
0.173
-0.123
-0.049
0.754
0.357
-0.028
0.071
0.034
-0.029
K-tersedia
0.050
-0.018
0.145
0.015
0.287
-0.190
-0.109
0.700
0.348
-0.115
K-total
-0.011
0.144
-0.099
-0.022
0.698
-0.001
-0.258
0.398
0.206
0.025
Irigasi
-0.341
0.140
0.465
0.136
-0.187
0.244
0.012
0.398
-0.027
0.181
Keuntungan Petani
-0.067
0.858
0.194
0.212
0.004
0.022
0.015
0.005
0.003
0.011
0.18
0.707
-0.316
-0.114
0.213
0.275
-0.206
-0.045
0.112
-0.057
0.093
-0.131
0.691
0.133
0.125
0.347
0.146
-0.238
0.096
0.079
-0.246
0.529
-0.307
-0.155
-0.143
-0.102
-0.451
0.009
0.033
-0.231
Fasilitas Pascapanen
0.937
0.078
-0.075
-0.075
-0.012
0.02
0.095
0.041
0.024
-0.094
Pemasaran
0.936
0.001
0.004
-0.039
0.012
0.019
0.044
-0.079
0.009
-0.087
Motivasi Bertani
0.473
0.089
0.641
0.175
0.004
-0.141
0.138
0.04
-0.015
-0.200
Persepsi terhadap Harga Padi HPP
0.467
0.451
-0.286
0.027
-0.286
-0.329
0.013
-0.071
-0.115
-0.144
Persepsi terhadap Konversi lahan
0.294
0.064
0.015
0.179
-0.203
0.065
0.742
0.138
-0.152
0.126
-0.064
0.047
0.002
0.914
0.024
0.048
0.037
0.061
0.022
-0.013
0.708
0.125
-0.540
-0.118
0.007
-0.211
-0.162
-0.041
-0.061
-0.172
Penyuluhan
-0.044
0.102
0.021
0.849
0.028
0.060
-0.002
0.065
0.068
0.112
Penguasaan Lahan
-0.055
0.666
-0.389
-0.084
0.428
0.009
-0.262
0.061
-0.065
0.027
Fragmentasi Lahan
0.089
0.587
0.063
0.069
0.132
0.369
0.091
-0.015
0.197
-0.098
Pendidikan Petani
0.278
0.224
-0.025
0.205
-0.076
-0.054
0.697
0.093
-0.292
0.145
Usia Petani
0.001
0.098
0.017
0.098
0.030
-0.054
0.040
0.030
0.877
0.080
-0.522
0.097
0.642
-0.012
0.079
-0.077
0.124
0.006
-0.093
0.222
5.559
3.825
2.625
1.897
1.668
1.425
1.255
1.137
1.066
1.007
Total varian (%)
19.853
13.660
9.375
6.775
5.957
5.089
4.482
4.061
3.807
3.596
Kumulatif (%)
19.853
33.513
42.888
49.663
55.619
60.709
65.191
69.251
73.058
76.654
Modal Usahatani Akses Pupuk Konversi Lahan
Kelompok Tani Adopsi Teknologi
Budaya Lokal
Nilai Eigen
282
Lampiran 5. Nilai muatan faktor pada zona B (S1/IP200) Faktor
Indikator
10
11
Ketersediaan Air
0.272
1
-0.274
-0.030
0.189
0.240
0.208
-0.158
0.592
0.049
0.128
0.061
Salinitas
0.196
0.001
-0.097
-0.056
-0.096
-0.152
-0.034
0.118
0.024
-0.119
0.790
Bahaya Banjir
-0.379
0.180
0.119
-0.088
0.210
0.183
-0.247
0.601
0.149
0.100
-0.132
Hama & Penyakit Tanaman
-0.332
0.233
-0.434
-0.148
-0.161
0.082
-0.093
0.178
0.402
-0.122
0.009
C-organik
-0.033
0.914
-0.046
-0.004
-0.047
0.014
-0.004
0.109
0.073
-0.073
0.028
N-total
-0.088
0.921
-0.052
-0.017
0.006
0.023
0.021
0.072
0.103
-0.047
0.025
P-tersedia
0.274
-0.046
0.202
-0.144
0.124
-0.488
0.556
0.035
-0.068
0.172
-0.088
P-total
0.316
0.117
0.112
0.093
0.768
-0.183
0.008
-0.011
-0.037
0.069
-0.145
K-tersedia
0.130
0.039
0.026
0.008
0.100
0.059
0.793
0.008
0.16
-0.19
-0.032
K-total
-0.003
-0.127
-0.017
-0.081
0.808
0.075
0.116
-0.019
0.056
-0.179
0.080
Irigasi
0.126
-0.141
-0.009
0.069
-0.135
-0.016
-0.100
-0.017
0.097
0.839
-0.054
-0.048
-0.051
0.288
0.449
-0.206
0.146
0.469
-0.200
-0.069
0.170
0.045
Modal Usahatani
0.109
-0.039
0.039
0.801
-0.005
-0.105
0.013
-0.037
-0.028
0.030
0.099
Akses Pupuk
0.015
-0.088
0.255
0.131
0.002
-0.221
0.223
-0.313
0.568
-0.137
0.098
-0.021
-0.019
-0.054
0.194
0.040
0.852
-0.080
-0.051
-0.03
-0.022
0.115
Fasilitas Pascapanen
0.895
-0.021
0.030
0.112
0.123
0.032
0.127
0.003
-0.071
0.060
0.028
Pemasaran
0.880
-0.094
0.041
0.162
0.105
-0.059
0.075
-0.073
-0.006
0.059
0.088
Motivasi Bertani
0.107
0.207
0.723
0.030
0.091
0.030
0.008
0.001
0.300
0.016
-0.051
Persepsi terhadap Harga Padi HPP
-0.083
-0.152
0.687
0.248
0.096
0.01
0.063
0.173
-0.221
-0.101
0.007
Persepsi terhadap Konversi Lahan
0.168
0.002
-0.164
0.080
-0.012
0.070
0.013
0.670
0.198
-0.027
0.333
-0.095
0.279
0.02
-0.112
0.125
0.173
-0.071
0.054
0.749
0.172
-0.044
Keuntungan
Konversi Lahan
Poktan
2
3
4
5
6
7
8
9
0.420
-0.018
0.491
0.080
-0.017
0.088
0.014
-0.205
0.351
-0.214
0.071
-0.101
0.151
0.041
-0.032
-0.265
0.148
0.083
0.300
0.644
0.087
0.083
Penguasaan Lahan
0.166
0.020
0.116
0.788
0.019
-0.081
-0.012
-0.001
-0.012
0.017
-0.147
Fragmentasi Lahan
0.062
0.047
-0.349
0.336
0.155
0.294
0.380
0.034
0.155
0.000
0.090
Pendidikan Petani
0.157
-0.207
0.005
0.028
0.241
-0.213
0.194
0.159
0.533
-0.035
-0.216
-0.277
0.176
0.112
0.089
0.292
0.148
0.022
-0.041
-0.181
0.396
0.520
0.025
0.259
0.555
0.048
0.149
0.049
-0.106
0.262
-0.132
-0.263
0.122
4.24
2.747
2.152
1.781
1.688
1.45
1.321
1.275
1.163
1.063
1.026
Total varian (%)
15.143
9.811
7.686
6.361
6.029
5.179
4.718
4.554
4.154
3.797
3.664
Kumulatif (%)
15.143
24.954
32.640
39.001
45.030
50.209
54.927
59.481
63.634
67.431
71.095
Adopsi Teknologi Penyuluhan
Usia Petani Budaya Lokal Nilai Eigen
283
Lampiran 6. Nilai muatan faktor pada zona C (S1/IP100) Faktor
Indikator 1
2
3
4
5
6
0.069 -0.411
-0.040 0.024
0.154 -0.349
-0.181 0.207
0.927 0.747
0.206 -0.199
Bebas Bahaya Banjir
0.987
-0.040
0.080
0.065
-0.053
-0.020
Hama & Penyakit Tanaman C-organik
0.622
-0.141
0.757
0.007
0.002
0.019
0.041
0.891
-0.133
0.305
0.083
0.124
N-total P-tersedia P-total
0.045 -0.238 0.622
0.927 0.759 -0.141
-0.180 -0.126 0.757
0.033 0.217 0.007
0.098 0.386 0.002
0.167 0.246 0.019
K-tersedia K-total Irigasi
-0.300 0.622 0.987
0.901 -0.141 0.04
0.167 0.757 -0.080
0.042 0.007 -0.065
-0.005 0.002 0.053
0.177 0.019 0.020
Keuntungan Petani Modal Usahatani Akses Pupuk
0.067 0.312 -0.059
0.026 0.264 0.750
0.120 0.031 -0.048
0.934 0.805 0.172
-0.024 0.238 0.078
-0.096 0.137 0.317
Potensi Konversi Lahan
0.987
-0.040
0.080
0.065
-0.053
-0.020
Fasilitas Pascapanen Pemasaran Motivasi Bertani Persepsi terhadap Harga Padi HPP Persepsi terhadap Konversi Lahan Kelompok Tani Adopsi Teknologi Penyuluhan Penguasaan Lahan Fragmentasi Lahan Pendidikan Petani Usia Petani Budaya Lokal
0.622 0.987 0.622 0.987
-0.141 -0.040 -0.141 0.04
0.757 0.080 0.757 -0.08
0.007 0.065 0.007 -0.065
0.002 -0.053 0.002 0.053
0.019 -0.020 0.019 0.020
0.987
-0.040
0.080
0.065
-0.053
-0.020
-0.295 0.987 -0.295 0.067 0.190 0.104 -0.407 0.987
0.092 -0.04 0.092 0.026 0.153 -0.254 0.425 -0.04
0.821 0.080 0.821 0.120 0.161 0.182 -0.006 0.080
0.191 0.065 0.191 0.934 -0.194 0.083 -0.256 0.065
-0.166 -0.053 -0.166 -0.024 0.748 0.056 0.596 -0.053
-0.155 -0.020 -0.155 -0.096 0.436 0.882 0.330 -0.020
Nilai Eigen
12.044
4.599
3.618
2.650
2.184
1.111
Total varian (%)
43.017
16.426
12.922
9.465
7.801
3.968
Kumulatif (%)
43.017
59.444
72.366
81.831
89.631
93.600
Ketersediaan Air Salinitas
284
Lampiran 7. Nilai muatan faktor pada zona D (S2/IP300) Faktor
Indikator 1
2
3
4
5
6
Ketersediaan Air Salinitas
0.512 -0.187
0.090 0.402
0.824 0.074
0.071 -0.836
0.096 0.059
-0.025 0.003
Bebas Bahaya Banjir
-0.143
0.752
-0.030
0.059
0.387
-0.156
Hama & Penyakit Tanaman C-organik
-0.111
0.984
0.022
0.024
-0.062
0.049
0.872
0.359
0.056
0.069
-0.096
0.044
0.837
0.348
0.046
0.022
-0.059
-0.148
P-tersedia P-total
0.864 -0.111
0.003 0.984
-0.224 0.022
-0.001 0.024
0.278 -0.062
0.203 0.049
K-tersedia
0.686
0.029
-0.627
-0.022
0.146
-0.025
K-total Irigasi
0.512 0.622
0.090 0.049
-0.824 0.233
0.071 -0.701
0.096 0.168
-0.025 -0.06
N-total
Keuntungan Petani
0.304
0.246
0.402
0.237
0.566
0.423
Modal Usahatani Akses Pupuk
0.470 0.180
-0.274 0.128
0.100 -0.127
0.262 0.031
-0.020 0.830
0.643 -0.198
Potensi Konversi Lahan
0.124
0.007
0.927
-0.076
0.035
0.089
Fasilitas Pascapanen Pemasaran Motivasi Bertani Persepsi terhadap Harga Padi HPP Persepsi terhadap Konversi lahan Kelompok Tani Adopsi Teknologi Penyuluhan Penguasaan Lahan Fragmentasi Lahan Pendidikan Petani Usia Petani Budaya Lokal
-0.111 -0.163 0.573 0.111
0.984 0.778 0.128 0.984
0.022 0.137 -0.087 -0.022
0.024 0.118 0.702 -0.024
-0.062 -0.045 0.168 0.062
0.049 -0.252 0.287 -0.049
0.705
0.141
-0.485
0.412
0.079
0.047
0.940 0.936 -0.111 0.940 0.141 0.060 0.314 0.143
0.148 -0.047 0.984 -0.148 -0.060 -0.020 -0.360 0.752
-0.179 0.070 0.022 0.179 0.106 0.411 -0.051 0.030
0.020 -0.104 0.024 -0.020 0.194 0.456 -0.149 -0.059
0.190 -0.105 -0.062 -0.190 -0.182 0.288 0.775 -0.387
0.067 0.104 0.049 -0.067 0.913 0.532 0.110 0.156
Nilai Eigen
10.042
6.364
3.162
2.432
1.802
1.412
Total varian (%)
35.866
22.729
11.293
8.686
6.436
5.043
Kumulatif (%)
35.866
58.595
69.888
78.574
85.010
90.053
285
Lampiran 8. Nilai muatan faktor pada zona E (S2/IP200) Faktor
Indikator 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Ketersediaan Air
0.441
0.391
0.063
0.226
0.458
0.121
0.222
-0.092
-0.089
Salinitas
0.359
0.142
0.081
0.025
0.209
0.057
0.38
-0.216
0.683
Bebas Bahaya Banjir
0.018
-0.111
0.137
-0.008
0.839
-0.122
-0.075
0.009
0.044
Hama & Penyakit Tanaman C-organik
-0.430
-0.029
0.222
-0.049
0.31
-0.022
0.034
0.685
0.085
-0.250
0.058
0.892
0.111
0.088
-0.086
-0.026
0.137
0.025
N-total
-0.240
0.047
0.899
0.080
0.083
-0.141
-0.040
0.122
0.046
P-tersedia
0.775
0.023
-0.189
-0.169
-0.042
-0.040
0.085
-0.061
0.034
P-total
0.446
0.325
0.048
0.003
0.747
0.164
-0.104
0.201
0.144
-0.320
0.682
0.124
-0.234
-0.175
-0.140
0.154
0.172
0.165
K-total
0.648
0.539
-0.066
0.018
0.420
0.262
0.039
0.061
-0.041
Irigasi
0.276
0.123
0.240
-0.018
0.039
-0.277
0.235
0.773
-0.029
-0.100
-0.325
-0.060
0.291
-0.083
0.693
0.133
-0.162
-0.123
0.153
0.206
-0.217
-0.134
-0.111
0.803
-0.164
0.067
-0.018
-0.090
0.152
0.100
0.545
-0.026
-0.250
-0.171
0.603
0.010
Potensi Konversi Lahan Fasilitas Pascapanen
0.825
-0.140
-0.089
0.057
0.101
0.061
-0.066
0.282
0.143
-0.03
0.940
-0.019
0.112
0.031
0.015
-0.048
-0.062
-0.066
Pemasaran
0.073
0.964
0.065
0.084
-0.01
0.089
-0.044
-0.004
-0.092
Motivasi Bertani
0.185
0.160
-0.118
0.011
-0.211
0.200
0.696
0.061
0.082
Persepsi terhadap Harga Padi HPP Persepsi terhadap Konversi Lahan Kelompok Tani
0.114
0.073
0.237
0.887
-0.163
0.003
-0.100
0.011
0.034
-0.130
-0.116
0.060
-0.085
0.002
-0.245
0.734
0.183
-0.036
0.095
0.347
0.482
0.116
-0.342
-0.225
0.192
0.478
-0.101
Adopsi Teknologi
0.234
0.222
-0.250
0.163
-0.322
0.116
0.045
-0.318
0.629
-0.410
-0.206
0.155
0.499
-0.125
-0.191
0.469
0.309
-0.029
K-tersedia
Keuntungan Petani Modal Usahatani Akses Pupuk
Penyuluhan Penguasaan Lahan
0.408
0.084
-0.136
-0.095
0.096
0.755
-0.064
-0.135
-0.158
Fragmentasi Lahan
-0.270
0.386
0.458
0.090
-0.202
0.373
-0.088
0.385
0.140
Pendidikan Petani
-0.060
0.104
0.215
-0.040
0.169
0.467
0.195
-0.002
0.678
Usia Petani
0.203
0.098
0.083
0.599
-0.422
0.009
-0.410
0.024
0.216
Budaya Lokal
0.890
0.134
0.156
-0.188
0.004
-0.200
0.067
0.139
0.032
Nilai eigen
5.567
3.798
3.152
2.695
2.28
1.959
1.444
1.194
1.062
Total varian (%)
19.884
13.565
11.258
9.626
8.143
6.997
5.158
4.265
3.793
Kumulatif (%)
19.884
33.449
44.707
54.332
62.476
69.473
74.630
78.895
82.688
286
Lampiran 9. Nilai muatan faktor pada zona F (S2/IP100) Faktor
Indikator 1
2
3
4
5
6
0.158
0.488
0.582
0.264
0.155
0.470
-0.212
0.497
0.242
0.201
-0.246
0.323
0.947
0.091
0.068
0.026
0.281
0.067
-0.423
-0.205
-0.173
-0.174
0.845
0.000
C-organik
0.110
0.860
-0.058
0.032
0.218
0.011
N-total
0.132
0.949
-0.038
0.079
0.196
0.014
P-tersedia
0.243
0.526
0.486
0.548
0.114
0.024
P-total
0.196
0.433
-0.349
0.742
0.246
0.172
K-tersedia
0.136
-0.271
0.875
0.274
0.130
-0.050
K-total
0.947
0.091
0.068
0.026
0.281
0.067
Irigasi
0.947
-0.091
-0.068
-0.026
-0.281
-0.067
Keuntungan Petani
-0.164
0.559
0.594
0.139
-0.350
-0.212
Modal Usahatani
-0.196
0.441
0.555
-0.131
0.632
-0.153
Akses Pupuk
-0.423
-0.205
-0.173
-0.174
0.845
0.000
Konversi Lahan
0.281
0.334
0.393
0.729
0.297
0.093
Fasilitas Pascapanen
0.947
0.091
0.068
0.026
0.281
0.067
Pemasaran
0.423
0.205
0.173
0.174
0.845
0.000
Motivasi Bertani
0.423
0.205
0.173
0.174
0.845
0.000
Persepsi terhadap Harga Padi HPP
0.340
0.168
-0.035
0.848
-0.109
-0.123
-0.251
0.617
-0.147
0.655
-0.209
0.196
0.067
0.955
-0.047
0.072
-0.049
-0.092
-0.094
0.643
0.146
-0.339
-0.129
-0.588
0.067
0.955
-0.047
0.072
-0.049
-0.092
Penguasaan Lahan
-0.343
0.193
0.286
-0.175
0.846
-0.103
Fragmentasi Lahan
0.001
0.027
0.381
-0.273
0.635
-0.542
Pendidikan Petani
0.093
-0.158
0.965
-0.074
0.046
-0.113
Usia Petani
0.480
-0.362
-0.030
-0.034
0.054
0.768
Budaya Lokal
0.947
0.091
0.068
0.026
0.281
0.067
11.279
5.683
3.397
2.621
2.285
1.101
Total varian (%)
40.282
20.296
12.132
9.361
8.161
3.932
Kumulatif (%)
40.282
60.579
72.711
82.071
90.232
94.164
Ketersediaan Air Salinitas Bahaya Banjir Hama & Penyakit Tanaman
Persepsi terhadap Konversi Lahan Kelompok Tani Adopsi Teknologi Penyuluhan
Nilai eigen
287
Lampiran 10. Nilai muatan faktor pada zona G (S3/IP300) Faktor
Indikator 1
2
3
4
5
6
7
-0.051
0.049
0.028
0.011
0.927
0.068
0.123
0.027
0.616
-0.016
0.252
0.161
0.061
-0.039
-0.206
-0.563
0.666
0.089
0.067
-0.357
0.086
Hama & Penyakit Tanaman
0.178
-0.095
-0.110
0.929
0.021
-0.029
0.010
C-organik
0.464
-0.304
0.241
-0.179
0.113
0.627
-0.207
N-total
0.507
-0.213
0.185
-0.326
0.184
0.577
-0.190
P-tersedia
0.171
0.113
0.529
0.643
0.161
-0.045
0.010
P-total
0.611
-0.217
-0.334
0.607
0.034
0.042
-0.255
K-tersedia
0.584
0.423
0.045
-0.475
0.136
-0.127
0.198
K-total
0.914
0.194
0.121
-0.180
0.027
0.047
-0.027
Irigasi
0.178
-0.095
-0.110
0.929
0.021
-0.029
0.010
Keuntungan Petani
0.339
-0.033
0.818
0.149
0.128
0.023
-0.142
Modal Usahatani
0.178
-0.014
0.843
0.054
-0.187
0.013
-0.285
Akses Pupuk
0.219
0.323
-0.439
0.355
-0.020
0.450
-0.044
Potensi Konversi Lahan
0.886
0.179
-0.147
0.218
-0.059
0.063
0.148
Fasilitas Pascapanen
0.947
0.171
0.128
0.040
0.029
0.046
-0.014
Pemasaran
0.573
0.568
0.179
0.083
0.121
-0.008
-0.269
-0.085
0.106
-0.131
0.075
0.842
-0.085
0.210
Persepsi terhdap Harga Padi HPP
0.013
0.034
0.087
0.903
-0.008
0.019
0.013
Persepsi terhadap Konversi Lahan
0.163
0.671
0.206
0.330
0.007
0.080
0.342
Kelompok Tani
0.023
0.903
-0.077
0.115
-0.041
0.052
0.175
Adopsi Teknologi
0.011
0.806
0.043
0.307
-0.060
0.344
0.181
-0.151
0.077
-0.273
0.088
-0.200
0.204
0.748
Penguasaan Lahan
0.145
0.133
0.847
0.246
0.196
0.093
-0.174
Fragmentasi Lahan
0.156
-0.116
0.386
-0.319
0.434
-0.097
0.623
Pendidikan Petani
-0.045
0.201
0.026
-0.131
-0.120
-0.059
0.699
Usia Petani
-0.274
0.046
-0.249
0.385
-0.257
0.633
0.052
Budaya Lokal
0.051
-0.289
0.712
0.127
-0.025
0.219
-0.446
Nilai Eigen
7.257
4.796
4.318
2.690
1.863
1.212
1.051
Total varian (%)
25.918
17.129
15.421
9.607
6.654
4.329
3.754
Kumulatif (%)
25.918
43.046
58.468
68.075
74.729
79.057
82.811
Ketersediaan Air Salinitas Bahaya Banjir
Motivasi Bertani
Penyuluhan
288
Lampiran 11, Nilai muatan faktor pada zona H (S3/IP200) Faktor
Indikator
1
2
3
4
5
6
7
8
0.698
0.549
-0.191
0.069
0.127
-0.136
0.217
0.010
Salinitas
-0.145
-0.219
0.095
-0.077
-0.169
0.760
-0.157
0.091
Bebas Bahaya Ban jir
-0.149
0.743
0.236
0.100
-0.391
0.039
-0.302
-0.159
Hama & Penyakit Tanaman C-organik
-0.226
0.100
0.277
-0.138
-0.163
0.063
0.849
-0.017
0.024
0.068
0.880
-0.034
0.074
-0.022
0.084
0.060
N-total
-0.170
0.046
0.905
-0.103
0.031
-0.136
0.069
0.040
P-tersedia
0.688
-0.022
0.039
-0.262
0.289
-0.038
0.158
0.259
P-total
0.831
-0.355
0.057
0.063
0.294
-0.074
0.111
-0.042
K-tersedia
0.565
0.208
0.589
-0.200
0.197
0.157
0.185
-0.085
K-total
0.036
0.122
0.141
-0.009
0.920
-0.081
-0.144
-0.122
Irigasi
0.723
0.232
-0.222
0.245
-0.414
-0.179
0.165
0.133
Keuntungan Petani
-0.042
-0.094
0.006
-0.053
-0.235
0.835
-0.114
0.230
Modal Usahatani
-0.085
-0.105
-0.004
0.825
-0.118
-0.024
-0.064
-0.046
Akses Pupuk
0.254
0.191
0.326
0.537
-0.038
0.124
0.124
-0.430
Konversi Lahan
0.587
0.276
0.539
0.026
0.076
-0.152
-0.022
0.321
Fasilitas Pascapanen
0.835
-0.128
-0.064
0.234
0.153
-0.065
-0.010
-0.179
Pemasaran
0.906
-0.106
-0.147
0.007
-0.060
0.012
-0.025
0.060
Motivasi Bertani
0.608
0.352
0.201
-0.227
0.410
0.079
-0.308
0.168
Persepsi terhadap Harga Padi HPP Persepsi terhadap Konversi Lahan Kelompok Tani
0.175
0.885
-0.024
0.044
-0.070
0.017
-0.197
0.028
0.219
0.693
0.388
0.009
0.044
-0.026
0.196
-0.300
0.330
0.856
0.094
-0.021
0.231
-0.029
-0.229
-0.048
Adopsi Teknologi
0.324
0.506
-0.207
-0.229
0.403
0.083
0.245
0.145
-0.113
0.869
-0.156
-0.138
0.061
0.122
0.153
0.054
Penguasaan Lahan
0.191
-0.137
-0.231
0.716
0.242
0.100
-0.034
0.138
Fragmentasi Lahan
-0.229
0.154
0.049
0.819
-0.145
0.003
0.035
-0.175
Pendidikan Petani
0.314
-0.236
-0.163
0.337
-0.282
0.023
-0.293
-0.387
Usia Petani
0.330
-0.194
0.072
-0.030
-0.176
0.207
-0.037
0.714
Budaya Lokal
0.732
0.089
0.165
0.215
-0.024
-0.124
0.427
-0.234
Nilai eigen
7.117
4.882
3.143
2.232
1.956
1.435
1.229
1.112
Total varian (%)
25.421
17.438
11.226
7.972
6.986
5.126
4.390
3.972
Kumulatif (%)
25.421
42.858
54.084
62.057
69.043
74.169
78.558
82.530
Ketersediaan Air
Penyuluhan
289
Lampiran 12. Nilai muatan faktor pada zona I (S3/IP100) Faktor
Indikator 1
2
3
4
5
6
-0.080 0.371
0.979 -0.037
-0.106 -0.302
-0.125 -0.468
-0.006 -0.356
-0.017 0.398
0.080
0.979
0.106
0.125
0.006
0.017
Hama & Penyakit tanaman C-organik
0.963 -0.327
-0.076 0.134
0.100 0.775
-0.220 -0.204
-0.011 0.168
0.051 0.059
N-total
Ketersediaan Air Salinitas Bahaya Banjir
-0.262
0.124
0.838
-0.152
0.183
0.011
P-tersedia P-total
0.903 0.963
0.058 0.076
-0.080 -0.100
0.233 0.220
0.061 0.011
-0.011 -0.051
K-tersedia
0.913
0.080
-0.072
0.206
0.230
0.006
0.963 -0.080
0.076 0.979
-0.100 -0.106
0.220 -0.125
0.011 -0.006
-0.051 -0.017
Keuntungan Petani
0.963
0.076
-0.100
0.220
0.011
-0.051
Modal Usahatani Akses Pupuk
0.351 0.673
0.039 0.103
0.565 -0.008
0.079 0.655
0.643 0.009
-0.169 0.226
Potensi Konversi Lahan
0.963
-0.076
0.100
-0.220
-0.011
0.051
Fasilitas Pascapanen Pemasaran Motivasi Bertani Persepsi terhadap Harga Padi HPP Persepsi terhadap Konversi Lahan Kelompok Tani Adopsi Teknologi Penyuluhan Penguasaan Lahan Fragmentasi Lahan Pendidikan Petani Usia Petani Budaya Lokal
0.363 0.409 0.323 -0.088
0.179 0.143 0.224 0.746
-0.112 -0.153 -0.188 0.467
0.861 0.863 0.790 -0.238
0.021 0.012 0.040 -0.021
0.164 -0.089 0.341 0.012
-0.140
-0.019
0.016
-0.077
0.916
0.027
0.492 0.409 0.571 0.526 -0.330 0.470 -0.410 0.963
0.132 0.143 0.093 0.042 -0.197 0.072 0.036 -0.076
-0.104 -0.153 0.434 0.046 0.624 0.754 0.079 0.100
0.781 0.863 0.369 0.214 -0.062 -0.169 0.175 -0.220
0.033 0.012 -0.063 0.769 -0.138 -0.050 -0.094 -0.011
-0.105 -0.089 -0.223 -0.117 -0.164 0.295 0.805 0.051
Nilai eigen
12.148
4.273
3.639
2.539
1.731
1.064
Total varian (%)
43.386
15.261
12.996
9.068
6.182
3.800
Kumulatif (%)
43.386
58.646
71.643
80.711
86.893
90.693
K-total Irigasi
290
Lampiran 13. Nilai kepentingan Saaty untuk penilaian kebijakan keberlanjutan lahan sawah Kriteria Keberlanjutan Responden Biofisik Sosbud Ekonomi R1 7 7 5 R2 5 3 7 R3 9 6 7 R4 7 7 7 R5 7 7 7 R6 6 5 7 R7 5 9 7 R8 5 9 7 R9 9 7 5 R10 3 8 5 R11 8 6 7 R12 7 2 9 R13 6 9 7 R14 9 9 9 R15 9 9 9 R16 5 8 5 R17 4 9 8 R18 5 9 7 R19 5 8 7 R20 4 7 7 R21 3 9 7 R22 5 9 7 R23 6 9 5 R24 2 9 6 R25 6 9 8
a
Sub Biofisik b
7 7 8 7.5 5 9 8 9 9 8 9 9 9 9 9 9 9 9 8 7 9 9 9 7 9
7 5 7 7 5 9 5 8 6 5 8 7 8 8 8 6 7 7 7 5 6 8 7 5 7
291
c
Sub Sosial-budaya d e f
Sub Ekonomi g h i
5 3 7 7 7 4 2 3 9 2 3 4 3 2 2 2 4 2 1 1 3 2 2 4 2
1 7 5 7 7 2 5 7 7 5 7 2 7 9 9 5 7 8 6 7 5 5 5 3 7
7 9 2 6 5 9 9 9 5 9 9 9 9 9 9 3 5 5 3 4 5 2 5 3 4
3 7 7 6 7 9 9 9 9 9 9 9 9 7 7 2 3 4 3 2 3 1 2 1 3
7 9 4 6 3 9 4 3 4 4 3 9 3 8 8 3 4 5 4 3 4 2 3 2 4
1 1 7 7 3 4 7 7 6 7 7 4 7 4 4 5 8 6 4 4 6 3 6 4 4
7 9 5 7 7 8 9 5 4 9 5 8 5 9 9 2 2 4 1 3 4 1 4 1 3
Lampiran 13 (Lanjutan) Responden Kriteria Keberlanjutan Biofisik
Sosbud
Ekonomi
a
Sub-biofisik b
c
Sub-sosial budaya d e f
Sub-ekonomi g h i
R26 5 8 7 9 7 4 7 3 4 5 8 2 R27 5 7 5 9 5 2 8 4 5 5 6 4 R28 5 8 7 9 6 1 6 3 4 3 4 1 R29 4 7 7 9 8 1 7 2 3 4 4 3 R30 2 9 7 9 8 3 7 9 3 9 7 5 R31 4 9 6 8 7 3 6 9 3 9 6 5 R32 3 9 7 8 5 2 5 9 4 9 7 9 R33 4 9 7 9 6 2 7 3 4 4 4 3 R34 4 9 7 9 8 4 7 3 4 5 8 2 R35 5 8 5 8 7 2 8 4 5 5 6 4 R36 7 9 7 9 6 1 8 4 5 5 6 4 R37 3 9 7 9 8 1 6 3 4 2 3 1 R38 6 8 7 9 7 5 6 7 8 5 9 7 R39 8 5 3 9 6 4 7 2 9 9 7 4 R40 3 7 9 9 8 5 6 7 8 5 9 7 R41 5 8 5 9 7 2 5 2 3 2 3 1 R42 4 7 6 9 5 3 8 4 5 5 6 4 R43 3 9 8 9 6 5 6 7 8 5 9 7 R44 2 6 7 9 8 1 6 3 4 2 3 1 R45 5 9 7 9 7 2 7 2 3 5 6 4 R46 4 9 7 8 5 2 5 3 4 3 4 1 R47 3 9 7 7 7 1 5 1 2 4 4 3 R48 5 8 5 9 7 1 8 4 5 5 6 4 R49 5 7 6 9 5 3 6 3 4 2 3 1 R50 4 9 8 9 7 1 7 2 3 5 9 3 Keterangan: a = pembangunan dan perbaikan irigasi, b = penambahan unsur hara berimbang dan ketersediaan air minimum untuk pertumbuhan padi, c = pengendalian hama dan penyakit tanaman terpadu, d = peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, e = pemberian subsidi/kredit usahatani, f = revisi RTRW, pemberian insentif, dan disinsentif, g = pengendalian jumlah penduduk, h = usahatani bersama, i = pemberdayaan petani & Poktan dan Reforma Agraria.
292
Lampiran 14. Indeks keberlanjutan faktor biofisik lahan sawah di P. Jawa Zona Agroekologi
A (S1/IP300)
B (S1/IP200)
Indikator Utama
Mutan Faktor*
Nilai Indeks
Status Keberlanjutan
Ketersediaan air
0.78
0.80
Baik
Tingkat Salinitas
0.85
0.78
Baik
Bebas Banjir
0.66
0.52
Cukup
Bebas Hama dan Penyakit Tanaman
0.65
0.60
Cukup
C-organik
0.77
0.36
Kurang
N-total
0.78
0.16
Buruk
P-tersedia
0.69
0.30
Kurang
P-total
0.75
0.70
Cukup
K-tersedia
0.70
0.33
Kurang
K-total
0.70
0.51
Cukup
Rata-rata
0.66
0.51
Cukup
Ketersediaan air
0.59
0.53
Cukup
Tingkat Salinitas
0.79
0.70
Cukup
Bebas Banjir
0.60
0.58
Cukup
C-organik
0.91
0.42
Kurang
N-total
0.92
0.34
Kurang
P-tersedia
0.56
0.14
Buruk
P-total
0.77
0.67
Cukup
K-tersedia
0.79
0.23
Buruk
K-total
0.81
0.83
Baik
Irigasi
0.84
0.73
Cukup
0.76
0.53
Cukup
Ketersediaan air
0.93
0.10
Buruk
Tingkat Salinitas
0.75
0.78
Baik
Bebas Banjir
0.99
0.90
Baik
Bebas Hama dan Penyakit Tanaman
0.76
0.80
Baik
C-organik
0.89
0.40
Kurang
Rata-rata
C (S1/IP100)
N-total
0.93
0.39
Kurang
P-tersedia
0.76
0.65
Cukup
P-total
0.76
0.80
Baik
K-tersedia
0.90
0.51
Cukup
K-total
0.76
0.80
Baik
Kondisi irigasi
0.99
0.10
Buruk
0.85
0.57
Cukup
Ketersediaan air
0.82
0.86
Baik
Tingkat Salinitas
0.84
0.79
Baik
Bebas Banjir
0.75
0.93
Baik
Bebas Hama dan Penyakit Tanaman
0.87
0.86
Baik
C-organik
0.87
0.52
Cukup
N-total
0.84
0.59
Cukup
P-tersedia
0.86
0.52
Cukup
P-total
0.98
0.86
Baik
K-tersedia
0.69
0.63
Cukup
K-total
0.82
0.86
Baik
Kondisi irigasi
0.70
0.90
Baik
0.82
0.76
Baik
Rata-rata
D (S2/IP300)
Rata-rata Keterangan:* nilai eigen > 1.00
293
Lampiran 14 (Lanjutan) Zona Agroekologi
E (S2/IP200)
Indikator Utama
Muatan Faktor*
Nilai Indeks
Tingkat Salinitas
0.68
0.77
Baik
Bebas Banjir
0.84
0.55
Cukup
Bebas Hama dan Penyakit Tanaman
0.69
0.64
Cukup
C-organik
0.89
0.39
Kurang
N-total
0.89
0.41
Kurang
P-tersedia
0.78
0.26
Kurang
P-total
0.75
0.47
Kurang
K-tersedia
0.68
0.26
Kurang
K-total
0.65
0.44
Kurang
Kondisi irigasi
0.77
0.72
Cukup
0.76 0.58
0.49
Kurang
Ketersediaan air
0.50
Kurang
Bebas Banjir
0.95
0.92
Baik
Bebas Hama dan Penyakit Tanaman
0.85
0.17
Buruk
C-organik
0.86
0.25
Buruk
N-total
0.95
0.27
Buruk
P-tersedia
0.55
0.54
Cukup
P-tot
0.74
0.50
Kurang
K-tersedia
0.88
0.26
Kurang
K-total
0.95
0.92
Baik
Kondisi irigasi
0.95
0.08
Buruk
0.44
Kurang
Ketersediaan air
0.82 0.93
0.97
Baik
Tingkat Salinitas
0.62
0.77
Baik
Bebas Banjir
0.56
0.82
Baik
Bebas Hama dan Penyakit Tanaman
0.93
0.91
Baik
C-organik
0.63
0.55
Cukup
N-total
0.58
0.40
Kurang
P-tersedia
0.64
0.40
Kurang
P-total
0.61
0.76
Baik
K-tersedia
0.58
0.45
Kurang
K-total
0.91
0.81
Baik
Kondisi irigasi
0.93
0.96
Baik
0.71
Cukup
Ketersediaan air
0.72 0.70
0.54
Cukup
Tingkat Salinitas
0.76
0.78
Baik
Bebas Banjir
0.74
0.93
Baik
Bebas Hama dan Penyakit Tanaman
0.85
0.66
Cukup
C-organik
0.88
0.39
Kurang
N-total
0.91
0.35
Kurang
P-tersedia
0.69
0.34
Kurang
P-total
0.83
0.54
Cukup
K-tersedia
0.59
0.28
Kurang
K-total
0.92
0.67
Cukup
Kondisi irigasi
0.72
0.56
Cukup
0.78
0.54
Cukup
Rata-rata
F (S2/IP100)
Rata-rata
G (S3/IP300)
Rata-rata
H (S3/IP200)
Rata-rata Keterangan: * Nilai eigen > 1.00
294
Status Keberlanjutan
Lampiran 14 (lanjutan) Zona Agroekologi
I (S3/IP100)
Indikator Utama
Muatan Faktor*
Nilai Indeks
Status Keberlanjutan
Ketersediaan air
0.98
0.04
Buruk
Bebas Banjir
0.98
0.96
Baik
Bebas Hama dan Penyakit Tanaman
0.96
0.60
Cukup
C-organik
0.78
0.26
Kurang
N-total
0.84
0.28
Kurang
P-tersedia
0.90
0.33
Kurang
P-total
0.96
0.40
Kurang
K-tersedia
0.91
0.25
Buruk
K-total
0.96
0.40
Kurang
Kondisi irigasi
Rata-rata Keterangan:* Nilai eigen > 1.00
295
0.98
0.04
Buruk
0.93
0.36
Kurang
Lampiran 15. Indeks keberlanjutan faktor ekonomi lahan sawah di Jawa Zona Agroekologi
A (S1/IP300)
B (S1/IP200)
C (S1/IP100)
D (S2/IP300)
E (S2/IP200)
F (S2/IP100)
G (S3/IP300)
Indikator Utama
Muatan Faktor
Nilai Indeks
Status Keberlanjutan
Keuntungan
0.86
0.49
Kurang
Modal usahatani
0.71
0.44
Kurang
Akses perolehan pupuk
0.69
0.48
Kurang
Potensi konversi lahan
0.53
0.64
Cukup
Fasilitas pascapanen
0.94
0.67
Cukup
Pemasaran
0.94
0.66
Cukup
Rata-rata
0.78
0.56
Keuntungan
0.64
0.50
Kurang
Modal usahatani
0.80
0.38
Kurang
Akses perolehan pupuk
0.57
0.41
Kurang
Potensi konversi lahan
0.85
0.31
Kurang
Fasilitas pascapanen
0.90
0.76
Baik
Pemasaran
0.88
0.79
Baik
Rata-rata
0.80
0.53
Keuntungan
0.93
0.10
Modal usahatani
0.81
0.35
Kurang
Akses perolehan pupuk
0.75
0.50
Kurang
Potensi konversi lahan
0.99
0.90
Baik
Fasilitas pascapanen
0.76
0.80
Baik
Pemasaran
0.99
0.90
Baik
Rata-rata
0.87
0.59
Buruk
Keuntungan
0.57
0.45
Kurang
Modal usahatani
0.64
0.21
Buruk
Akses perolehan pupuk
0.83
0.29
Kurang
Potensi konversi lahan
0.93
0.50
Kurang
Fasilitas pascapanen
0.98
0.86
Baik
Pemasaran
0.78
0.79
Baik
Rata-rata
0.79
0.52
Cukup
Keuntungan
0.69
0.49
Kurang
Modal usahatani
0.80
0.19
Buruk
Akses perolehan pupuk
0.60
0.13
Buruk
Potensi konversi lahan
0.83
0.47
Kurang
Fasilitas pascapanen
0.94
0.71
Cukup
Pemasaran
0.96
0.73
Cukup
Rata-rata
0.80
0.45
Kurang
Modal usahatani
0.63
0.50
Kurang
Akses perolehan pupuk
0.85
0.17
Buruk
Potensi konversi lahan
0.73
0.67
Cukup
Fasilitas pascapanen
0.95
0.92
Baik
Pemasaran
0.85
0.83
Baik
Rata-rata
0.77
0.59
Cukup
Keuntungan
0.82
0.50
Kurang
Modal usahatani
0.84
0.37
Kurang
Potensi konversi lahan
0.89
0.31
Kurang
Fasilitas pascapanen
0.95
0.82
Baik
Pemasaran
0.57
0.68
Cukup
Rata-rata
0.81
0.54
Cukup
296
Lampiran 15 (Lanjutan) Zona Agroekologi H (S3/IP200)
I (S3/IP100)
Indikator Utama
Muatan Faktor*
Nilai Indeks
Status Keberlanjutan
Keuntungan
0.84
0.47
Kurang
Modal usahatani
0.83
0.48
Kurang
Akses perolehan pupuk
0.54
0.23
Buruk
Potensi konversi lahan
0.59
0.64
Cukup
Fasilitas Pascapanan
0.84
0.59
Cukup
Pemasaran
0.91
0.59
Cukup
Rata-rata
0.75
0.50
Kurang
Keuntungan
0.96
0.40
Kurang
Modal usahatani
0.67
0.32
Kurang
Akses perolehan pupuk
0.67
0.28
Kurang
Potensi konversi lahan
0.96
0.60
Cukup
Fasilitas pascapanen
0.86
0.68
Cukup
Pemasaran
0.86
0.64
Cukup
0.83
0.49
Kurang
Rata-rata Keterangan:* Nilai eigen > 1.00
297
Lampiran 16. Indeks keberlanjutan faktor sosial-budaya lahan sawa di Jawa Zona Agroekologi
A (S1/IP300)
B (S1/IP200)
C (S1/IP100)
D (S2/IP300)
Indikator Utama
Muatan Faktor
Nilai Indeks
Status Keberlanjutan
Motivasi bertani
0.64
0.60
Cukup
Penolakan konversi lahan
0.74
0.74
Cukup
Keanggotaan dalam Poktan
0.91
0.71
Cukup
Adopsi teknologi
0.71
0.62
Cukup
Peranan penyuluhan
0.85
0.72
Cukup
Penguasaan lahan
0.67
0.50
Kurang
Fragmentasi lahan
0.59
0.17
Buruk
Pendidikan petani
0.70
0.34
Kurang
Usia petani
0.88
0.47
Kurang
Budaya lokal
0.64
0.38
Kurang
Rata-rata
0.92
0.53
Cukup
Motivasi bertani
0.72
0.74
Cukup
Persepsi terhadap harga padi HPP
0.69
0.50
Kurang
Penolakan konversi lahan
0.67
0.74
Cukup
Keanggotaan dalam Poktan
0.75
0.60
Cukup
Peranan penyuluhan
0.64
0.66
Cukup
Penguasaan lahan
0.79
0.27
Kurang
Pendidikan petani
0.53
0.35
Kurang
Usia petani
0.52
0.47
Kurang
Budaya lokal
0.56
0.63
Cukup
Rata-rata
0.65
0.55
Cukup
Motivasi Bertani
0.76
0.80
Baik
Persepsi terhadap harga padi HPP
0.99
0.10
Buruk
Penolakan konversi lahan
0.99
0.90
Baik
Keanggotaan dalam Poktan
0.82
0.80
Baik
Adopsi teknologi
0.99
0.90
Baik
Peranan penyuluhan
0.82
0.80
Baik
Penguasaan lahan
0.93
0.10
Buruk Kurang
Fragmentasi lahan
0.75
0.46
Pendidikan petani
0.88
0.13
Buruk
Usia petani
0.60
0.50
Kurang
Budaya lokal
0.99
0.90
Baik
Rata-rata
0.86
0.58
Cukup
Motivasi bertani
0.70
0.86
Baik
Persepsi terhadap harga padi HPP
0.98
0.14
Buruk
Penolakan konversi lahan
0.71
0.79
Baik
Keanggotaan dalam Poktan
0.94
0.71
Cukup
Adopsi teknologi
0.94
0.61
Cukup
Peranan penyuluhan
0.98
0.86
Baik
Penguasaan lahan
0.94
0.29
Kurang
Fragmentasi lahan
0.91
0.44
Kurang
Pendidikan petani
0.53
0.36
Kurang
Usia petani
0.78
0.49
Kurang
Budaya lokal
0.75
0.07
Buruk
0.83
0.51
Cukup
Rata-rata Keterangan: * Nilai eigen faktor > 1.00
298
Lampiran 16 (lanjutan) Zona Agroekologi
E (S2/IP200)
F (S2/IP200)
G (S3/IP300)
H (S3/IP200)
Indikator Utama
Muatan Faktor
Nilai Indeks
Status Keberlanjutan
Motivasi bertani
0.70
0.93
Baik
Persepsi terhadap harga padi HPP
0.89
0.02
Buruk
Penolakan konversi lahan
0.73
0.71
Cukup
Adopsi teknologi
0.63
0.77
Baik
Penguasaan lahan
0.76
0.12
Buruk
Pendidikan petani
0.68
0.37
Kurang Kurang
Usia petani
0.60
0.48
Budaya lokal
0.89
0.64
Cukup
Rata-rata
0.73
0.50
Kurang
Motivasi bertani
0.85
0.83
Baik
Persepsi terhadap harga padi HPP
0.85
0.42
Kurang
Penolakan konversi lahan
0.66
0.54
Cukup
Keanggotaan dalam Poktan
0.96
0.17
Buruk
Adopsi teknologi
0.64
0.67
Cukup
Peranan penyuluhan
0.96
0.17
Buruk
Penguasaan lahan
0.85
0.33
Kurang Cukup
Fragmentasi lahan
0.64
0.65
Pendidikan petani
0.97
0.17
Buruk
Usia petani
0.77
0.47
Kurang
Budaya lokal
0.95
0.92
Baik
Rata-rata
0.82
0.48
Kurang
Motivasi bertani
0.84
0.94
Baik
Persepsi terhadap harga padi HPP
0.90
0.06
Buruk
Penolakan konversi lahan
0.67
0.66
Cukup
Keanggotaan dalam Poktan
0.90
0.68
Cukup Cukup
Adopsi teknologi
0.81
0.69
Peranan penyuluhan
0.75
0.90
Baik
Penguasaan lahan
0.85
0.47
Kurang
Fragmentasi lahan
0.62
0.26
Kurang
Pendidikan petani
0.70
0.45
Kurang
Usia petani
0.63
0.46
Kurang
Budaya lokal
0.71
0.46
Kurang
Rata-rata
0.76
0.55
Cukup
Motivasi bertani
0.61
0.64
Cukup
Persepsi terhadap harga padi HPP
0.89
0.21
Buruk
Penolakan konversi lahan
0.69
0.63
Cukup
Keanggotaan dalam Poktan
0.86
0.69
Cukup
Adopsi teknologi
0.51
0.78
Baik
Peranan penyuluhan
0.87
0.86
Cukup
Penguasaan lahan
0.72
0.49
Kurang
Fragmentasi lahan
0.82
0.30
Kurang
Usia petani
0.71
0.49
Kurang
Budaya lokal
0.73
0.68
Cukup
0.74
0.58
Cukup
Rata-rata Keterangan: * Nilai eigen faktor > 1.00
299
Lampiarn 16 (lanjutan) Zona Agroekologi
I (S3/IP100)
Indikator Utama
Muatan Faktor*
Nilai Indeks
Status Keberlanjutan Cukup
Motivasi bertani
0.79
0.72
Persepsi terhadap harga padi HPP
0.75
0.08
Buruk
Penolakan konversi lahan
0.92
0.46
Kurang
Keanggotaan dalam Poktan
0.78
0.60
Cukup
Adopsi teknologi
0.86
0.64
Cukup
Peranan penyuluhan
0.57
0.60
Cukup
Penguasaan lahan
0.77
0.22
Buruk
Fragmentasi lahan
0.62
0.19
Buruk
Pendidikan petani
0.75
0.23
Buruk
Usia petani
0.81
0.50
Kurang
Budaya lokal
0.96
0.60
Cukup
0.78
0.44
Kurang
Rata-rata Keterangan: * Nilai eigen faktor > 1.00
300
Lampiran 17. Daftar zona agroekologi untuk penerapan kebijakan pengelolaan lahan sawah di Jawa Zona Agroekologi Lahan Sawah (ha)
Provinsi/Kabupaten A
B
C
D
E
F
G
H
I
(S1/IP300)
(S1/IP200)
(S1/IP100)
(S2/IP300)
(S2/IP200)
(S2/IP100)
(S3/IP300)
(S3/IP200)
(S3/IP100)
Provisni Banten Kota Cilegeon
468
Kota Tangerang
1,288
Lebak
7,795
301
437
2,359 14,467
Pandegelang
24,859
1,968
24,887
Serang
23,675
27,887
10,855
Tangerang
20,432
30,416
30
Provinsi Jawa Barat Bandung
27,049
Bekasi
54,062
Bogor
1,170
Cianjur
11,771
24,090
Cirebon
55,326
6,318
9,922
4,775
3,965
25,528
340
17,416
Indramanyu
116,623 106,967
Kota Bandung
1,459
Kotan Banjar
1,768
2,494 21,682
11,533 3,318
1,567
95 5,957 40
208
1,636
687
297
Kota Bogor
16 420
Kota Cimahi Kota Cirebon
11
2,476
43,300 5,066
6,389
Karawang
Kota Bekasi
2,325
7,682
Ciamis Garut
29,656 3,583
158
Kota Depok
884
Sumber: hasil analisis
301
Lampiran 17 (Lanjutan) Zona Agroekologi Lahan Sawah (ha) Provinsi/Kabupaten
A
B
C
D
E
F
G
H
I
(S1/IP300)
(S1/IP200)
(S1/IP100)
(S2/IP300)
(S2/IP200)
(S2/IP100)
(S3/IP300)
(S3/IP200)
(S3/IP100)
Kota Sukabumi
2,690
Kota Tasikmalaya
4,299
Kunngan
410
Majalengka
32,298
Purwakarta
5,281
Subang Sukabumi
12,676
5,889 1,521
44,463
9,173
742
1,501
Sumedang
22
2,866
Tasikmalay
246
710
706
4,912 6,781
5,767
2,541
8,587
4,942
18,535
430
1,496 329
12,704
1,531
6,604
39
26,547
407
1,794
14,550
909
27,721
Provinsi Jawa Tengah Banjarnegara Banyumas Batang Blora
1,458
4,803
1,549
12,247
88
3,959
582
803
7,432
18,818
3,122
2,646
57,709
1,318
2,711
15,670
16
7,924
Boyolali
12,671
Brebes
35,659
Cilacap
40,011
Demak
62,695
Grobogan
60,933
10,199
9,203
1,093 2,239
1
296 2,846
14,387
Jepara
9,293
8,788
Karnganyar
9,521
9,985
6
28,456
22
631
Kebumen Kendal
17,792
Klaten
37,147
5 952
3,076 6
Sumber: hasil analisis
302
Lampiran 17 (Lanjutan) Zona Agroekologi Lahan Sawah (ha) Provinsi/Kabupaten
A
B
C
D
E
F
G
H
I
(S1/IP300)
(S1/IP200)
(S1/IP100)
(S2/IP300)
(S2/IP200)
(S2/IP100)
(S3/IP300)
(S3/IP200)
(S3/IP100)
Provinsi Jawa Tengah Kota Magelang
32
Kota Pekalongan Kota Purwokerto
596
Kota Semarang
471
713 219
1,107
Kota Salatiga Kota Surakarta
1,283
109
9,347
148
141
kota Tegal
398
502
Kudus
12,058
Magelang
13,720
Pati
39,953
Pekalongan
13,503
4,011
1,534
2,173
Pemalang
25,821
2,106
320
7,631
Purbalingga
1,587
23,359
rembang
13,649
Semarang
3,324
8,521
470
42,209
682
1,675
2,016 9,452
60
23,732
Sukaharjo
21,992
Tegal
34,289
1,490
21
597
2,691
311
121
18,052 708
8,603 1,461
Temanggung Wonogiri
12,361 21,528
9,445
Purworejo
Sragen
197
981
1,418
2,730 15,990
862
2,272
Wonosobo
109
Sumber: hasil analisis
303
507 5,045
Lampiran 17 (Lanjutan) Zona Agroekologi Lahan Sawah (ha) Provinsi/Kabupaten
A
B
C
D
E
F
G
H
I
(S1/IP300)
(S1/IP200)
(S1/IP100)
(S2/IP300)
(S2/IP200)
(S2/IP100)
(S3/IP300)
(S3/IP200)
(S3/IP100)
Provinsi DI, Yogyakarta Bantul
339
12,095
Gunungkidul Kota Yogyakarta
168
36
12
6,120
468
108
Kulonprogo Sleman
4,681
1,720
418
21,474
65
8
117
272
1,578
1,176 10
28,112
23
899
12,934
456
3,092
20,436
Jawa Timur Bangkalan Banyuwangi
28,972
Blitas
48,116
Bojonegoo
33,931
Bondowoso
14,619
Gresik Jember
6,214 1,303
3,058
2,004
57,283
4,519
412
319
14,082
3,138
Jombang
45,831
3,164
Kediri
65,294
5,286
Kota Batu
2,795
Kota Blitar
1,942
Kota Kediri
2,800
Kota Madiun
1,198
Kota Malang
1,420
Kota Mojokerto
1,056
Kota Pasuruan
1,910
Kota Probolonggo
3,696
Kota Surabaya
1,631
21 456
87
Sumber: hasil analisis
304
390
Lampiran 17 (Lanjutan) Zona Agroekologi Lahan Sawah (ha) Provinsi/Kabupaten Lamongan
A
B
C
(S1/IP300)
(S1/IP200)
(S1/IP100)
48,605
Lumajang
19,990
Madiun
27,608
Magetan
18,528
Malang
16,493
Mojokerto
32,857
Nganjuk
35,091
Ngawi
33,158
Pacitan
D
E
(S2/IP300)
(S2/IP200)
1,276
F (S2/IP100) 1
355
G
H
I
(S3/IP300)
(S3/IP200)
(S3/IP100)
5,971 23,133 4,530
22
4,754
8
6,153 2,728
345
463
1,055 2,190 11,585
1,887
184
Pamekasan Pasuruann
30,208
Ponorogo
25,138
408
3,337
Prtobolinggo
32,449
1,047
8,086
16
915
Sidoarjo
32,606
82
Situbondo
35,169
Sampang
20,560 1,696 9
9,611 408
155
285
708
Sumenep Trenggalek Tuban Tulungagung Sumber: hasil analisis
7,016 24,167
2,920
29,413
16,658 1,080
305
151