PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP DAYA DUKUNG LAHAN UNTUK MENDUKUNG PERENCANAAN PENATAAN RUANG (Studi Kasus di Kota Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat)
DIANA FITHRIAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perubahan Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Daya Dukung Lahan Untuk Mendukung Perencanaan Penataan Ruang (Studi Kasus di Kota Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat) adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, April 2011 Diana Fithriah NIM. A156090124
ABSTRACT DIANA FITHRIAH. Land Use Change and It’s Effect on The Land Carrying Capacity for Spatial Planning (Case Study in Kota Bima Municipality, West Nusa Tenggara Province). Under direction of KHURSATUL MUNIBAH and WIDIATMAKA. In regional development, there are at least 3 aspects that affect each other: land cover/land use (LCLU), environmental carrying capacity, and socioeconomic factors, including population, economic activity development, and institutional. The aims of this study are: (1) to identify land capability, (2) to identify the change of LCLU in the Kota Bima Municipality, (3) to evaluate the suitability of land use with land capability, (4) to identify the status of the land carrying capacity based on productivity in 2005 and 2010, and (5) to set a space pattern based on environmental carrying capacity. The analytical method used are onscreen digitizing to identificate land cover/land use (LCLU). The analytical method used consisted of: operating attributes and processing thematic maps using ArcGIS 9.3, Location Quotient analysis, and regression analysis with binomial logit model. The result in land capability aspect, most areas in Kota Bima Municipality belong to Class IV (l, e), covering 28,5% of the municipality areas, and there is no Class I. During 2005 to 2010 there is a change of LCLU in Kota Bima Municipality, covering an area of 6.692 hectares or 30,6% of the area of Kota Bima Municipality. Trends in change of LCLU that occurred was the forest to cropland and cropland into the settlements. Cultivated land area has increased significantly, effects on the increased value of production. This causes changes in the status of land carrying capacity based on productivity, which is in 2005 the status of land carrying capacity is deficit, but by 2010 the status of the land carrying capacity is surplus. However, increasing of land carrying capacity status is also followed by increasing of land use that is not suitable based on land capability. The suitabilty of land cover regarding to land capabilty show that in 2005 there is 3,7% areas categorized as not suitable, and in 2010 there is 7,4% area categorized as not suitable. Based on land capability, there is 16.342 hectares or 74,8% of the area that can be used as cultivation land, 2.752 hectares or 21,5% of the area can be used as forest, and 2.768 hectares or 12,7% of the area should serve as a protected area. Keywords: land use change, land capability, land carrying capacity
RINGKASAN DIANA FITHRIAH. Perubahan Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Daya Dukung Lahan Untuk Mendukung Perencanaan Penataan Ruang (Studi Kasus di Kota Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat). Dibimbing oleh KHURSATUL MUNIBAH dan WIDIATMAKA. Kecenderungan perubahan penggunaan lahan mempunyai pola yang dinamis dan kecepatan perubahan yang berbeda-beda di setiap tempat dan lokasi, bergantung pada faktor-faktor yang dominan menjadi penyebab terjadinya perubahan penggunaan lahan di suatu wilayah. Beberapa faktor penyebab perubahan penggunaan lahan diantaranya adalah faktor biofisik wilayah, faktor sosial ekonomi dan faktor kelembagaan. Perubahan penggunaan lahan akan dipengaruhi dan berpengaruh terhadap perubahan daya dukung lingkungan. Berdasarkan faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan penggunaan lahan dapat diketahui pusat-pusat terjadinya perubahan penggunaan lahan. Berbagai bentuk kerusakan dan bencana lingkungan seringkali merupakan permasalahan lingkungan yang timbul akibat ketidaksesuaian antara pemanfaatan dengan daya dukung lingkungan hidup. Hal ini umumnya timbul akibat pertumbuhan penduduk atau perkembangan aktifitas manusia yang melampaui kemampuan lingkungan yang mendukungnya. Banjir di Kota Bima yang terjadi setiap tahun sejak tahun 2003 merupakan salah satu indikator yang mengarah kepada ketidaksesuaian antara pemanfaatan dengan daya dukung lingkungan hidup. Ada beberapa aspek terkait kondisi ini, misalnya aspek potensi lahan dan penggunaan lahan. Untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah: (1) Mengidentifikasi kemampuan lahan Kota Bima; (2) Menganalisis perubahan penggunaan lahan Kota Bima periode tahun 2005 2010 dan faktor fisik lahan yang mempengaruhinya; (3) Menganalisis kesesuaian antara penggunaan lahan dengan kemampuan lahan Kota Bima; (4) Menganalisis daya dukung lahan Kota Bima pada tahun 2005 dan tahun 2010. Daya dukung lahan yang dimaksud adalah daya dukung lahan berbasis produktivitas, yaitu kemampuan lahan dalam penyediaan kebutuhan pangan bagi masyarakat. Metode perhitungan daya dukung mengacu kepada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009.; dan (5) Membuat arahan penggunaan lahan sesuai kemampuan lahan. Metode analisis yang digunakan terdiri atas: operasi atribut dan pengolahan peta-peta tematik menggunakan ArcGIS 9.3, analisis Location Quotient, dan analisis regresi dengan model binomial logit. Dari hasil identifikasi diketahui bahwa di Kota Bima tidak terdapat lahan kelas I. Kelas kemampuan lahan terdiri atas 6 kelas, yaitu kelas II, III, IV, VI, VII, dan VIII. Selanjutnya masing-masing kelas kemampuan lahan tersebut dibagi lagi berdasarkan faktor penghambat sehingga menghasilkan 14 sub kelas kemampuan lahan. Luas yang terbesar adalah sub kelas IV (l, e), dengan luasan 6.223 hektar atau 28,46% dari total wilayah, dan secara spasial tersebar di bagian utara, timur, dan tenggara Kota Bima.
Lahan yang mengalami perubahan penggunaan selama periode tahun 2005-2010 adalah seluas 6.692 hektar atau 30,6% dari luas wilayah Kota Bima, sementara yang tidak mengalami perubahan adalah seluas 15.171 hektar atau 69,4% dari luas wilayah Kota Bima. Hutan primer yang pada tahun 2005 masih terdapat seluas 283 hektar, pada tahun 2010 telah hilang sama sekali beralih fungsi menjadi pertanian lahan kering, padang rumput penggembalaan ternak, sawah dan semak belukar. Dari hasil analisis LQ, wilayah kecamatan yang menjadi pusat aktifitas perubahan penggunaan lahan adalah Kecamatan Mpunda dan Raba, yaitu yang memiliki nilai LQ>1. Dari kelima faktor fisik lahan yang dianalisis, yaitu (1) jenis tanah; (2) aksesibilitas; (3) penggunaan lahan pada tahun sebelumnya, yaitu penggunaan lahan tahun 2005; (4) kelas lereng; dan (5) kemampuan lahan, kelima faktor tersebut berpengaruh nyata sebagai penyebab perubahan penggunaan lahan. Pada tahun 2005, luas penggunaan lahan yang tidak sesuai kemampuan adalah sebesar 810 hektar (3,7%). Namun pada tahun 2010 luasan ini meningkat menjadi 1.621 hektar (7,4%). Peningkatan luasan mencapai 100%. Secara spasial, penggunaan lahan yang tidak sesuai kemampuan lahan terletak di bagian timur wilayah Kota Bima, pada area yang memiliki kelas lereng >30%. Area ini sebelumnya merupakan hutan, namun pada tahun 2010 telah beralihfungsi menjadi pertanian lahan kering dan tanah terbuka/kosong. Mempertimbangkan lahan permukiman Kota Bima yang terletak di daerah hilir, maka kondisi ini cukup mengkhawatirkan. Rusak atau berkurangnya daerah tangkapan air di kawasan hulu mulai dirasakan dampak buruknya, antara lain dengan kejadian banjir yang terjadi setiap tahun. Kecederungan perubahan penggunaan lahan yang terjadi adalah hutan menjadi lahan budidaya serta lahan budidaya menjadi permukiman. Luasan lahan budidaya mengalami peningkatan secara signifikan, yang berpengaruh pada meningkatnya nilai produksi. Hal ini menyebabkan berubahnya status daya dukung lahan berbasis produktivitas, dimana pada tahun 2005 status daya dukung lahan adalah defisit, namun pada tahun 2010 status daya dukung lahan menjadi surplus. Penentuan arahan penggunaan lahan sesuai kemampuan lahan dilakukan berdasarkan prinsip bahwa semakin tinggi kelas kemampuan lahannya, maka semakin sedikit pilihan penggunaannya. Kemampuan lahan pada kelas I sampai IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan dan sesuai untuk berbagai penggunaan, seperti untuk penanaman tanaman pertanian umumnya (tanaman semusim dan tahunan), rumput untuk makanan ternak, padang rumput, dan hutan. Tanah pada kelas V, VI, dan VII sesuai untuk padang rumput, tanaman pohon-pohon atau vegetasi alami. Dalam beberapa hal, tanah kelas V dan VI dapat menghasilkan dan menguntungkan untuk beberapa jenis tanaman tertentu, seperti buah-buahan, tanaman hias atau bunga-bungan, dan bahkan jenis sayuran bernilai tinggi dengan pengelolaan dan tindakan konservasi tanah dan air yang baik. Tanah dalam kelas VIII sebaiknya dibiarkan dalam keadaan alami. Berdasarkan kemampuan lahan, terdapat 16.342 hektar atau 74,8% dari wilayah Kota Bima yang dapat dijadikan sebagai lahan budidaya berupa pertanian intensif, 2.752 hektar (12,5%) sebagai hutan produksi, dan 2.768 hektar (12,7%) yang perlu dipertahankan sebagai kawasan lindung.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP DAYA DUKUNG LAHAN UNTUK MENDUKUNG PERENCANAAN PENATAAN RUANG (Studi Kasus di Kota Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat)
DIANA FITHRIAH
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc.
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2010 sampai dengan Maret 2011 ini ialah perubahan penggunaan lahan dan pengaruhnya terhadap daya dukung lahan, dengan judul Perubahan Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Daya Dukung Lahan Untuk Mendukung Perencanaan Penataan Ruang (Studi Kasus di Kota Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat). Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Khursatul Munibah, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Widiatmaka, DEA selaku pembimbing atas segala motivasi, arahan dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hingga penyelesaian tesis ini, serta Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc. selaku penguji luar komisi yang telah memberikan koreksi dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini. Di samping itu, penghargaan dan terima kasih penulis haturkan kepada Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah beserta segenap pengajar dan manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB, Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis, rekan-rekan PWL angkatan 2009 atas segala kebersamaan selama pendidikan, dan pihak lain yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini. Akhirnya ucapan terima kasih yang setinggi-tinginya juga disampaikan kepada ayahanda, ibunda, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan dukungannya. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan semua civitas akademik dan pemerintah, sehingga mampu memperkaya khasanah keilmuan bidang perencanaan wilayah di masa mendatang.
Bogor, April 2011
Diana Fithriah
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bima pada tanggal 22 Agustus 1983 dari pasangan H. Sirajuddin H. Umar dan Hj. St. Maemunah. Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan SD hingga SMA diselesaikan di Bima, sedangkan pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Teknik Informatika Institut Sains dan Teknologi AKPIND Jogjakarta dan lulus tahun 2005. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh tahun 2009 pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah melalui beasiswa pendidikan dari Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Penulis tercatat sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Kantor Sekretariat Pemerintah Daerah Kota Bima sejak tahun 2006 sampai saat ini.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL …………………………………………………………….
iii
DAFTAR GAMBAR .………………………………………………………...
iv
I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ……………………………………………………….. 1 1.2 Perumusan Masalah ……………………………………………………3 1.3 Tujuan Penelitian……………………………………………………….4 1.4 Manfaat Penelitian ……………………………………………………..4
II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan dan Pengembangan Wilayah.................................................................... 5 2.2 Penggunaan dan Penutupan Lahan................................................................................. 6 2.3 Perubahan Pengggunaan Lahan .......................................................
7
2.4 Penginderaan Jauh ……....................................................................
8
2.5 Sistem Informasi Geografis...................................................................10 2.6 Evaluasi Lahan…………................................................................... 11 2.7 Kemampuan Lahan………...................................................................... 12 2.8 Daya Dukung Lingkungan................................................................... 14
III
METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran...............................................................................17 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian..................................................................18 3.3 Bahan dan Alat......................................................................................19 3.4 Pengumpulan Data.................................................................................20 3.5 Analisis Data …………… ................................................................ 20 3.5.1 Perubahan Penggunaan Lahan .…............................................................ 25 3.5.2 Kemampuan Lahan ........................................................................ 28 3.5.3 Kesesuaian Penggunaan Lahan dengan Kemampuan Lahan
31
3.5.4 Daya Dukung Lahan Berbasis Produktivitas................................................. 31
i
3.5.5 Arahan Penggunaan Lahan Sesuai Kemampuan Lahan............................................. 37 3.6 Batasan Penelitian…………… ................................................................ 34
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penggunaan Lahan dan Dinamika Perubahannya.................................................................. 37
4.1.1 Penggunaan Lahan Tahun 2005 dan 2010................................................................... 37
4.1.2 Perubahan Penggunaan Lahan Periode Tahun 2005-2010.......................................... 39
4.1.3 Pusat-pusat Perubahan Penggunaan Lahan.................................................................. 42 4.2 Karakteristik Fisik Lahan …….................................................................... 44 4.2.1 Kemiringan Lereng ................................................................................. 44 56 4.2.2 Jenis Tanah................................................................................. 45 4.2.3 Bentuk Lahan................................................................................. 47 4.2.4 Jenis Bahan Induk Tanah................................................................................. 49 4.3 Kemampuan Lahan …….................................................................... 51
4.3.1 Kemampuan Lahan Tingkat Kelas............................................................................... 55
4.3.2 Kemampuan Lahan Tingkat Sub Kelas....................................................................... 56
4.4 Kesesuaian Penggunaan Lahan dengan Kemampuan Lahan................................................ 57
4.5 Daya Dukung Lahan Berbasis Produktivitas........................................................................ 62 4.6 Penentuan Arahan Penggunaan Lahan Sesuai Kemampuan Lahan ............................................................................................. V
64
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1
Kesimpulan ............................................................................................. 71
5.2
Saran....................................................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………………. 75
LAMPIRAN ..................................................................................................... 79
ii
DAFTAR TABEL 1.
Matriks tujuan, metode analisis, data dan sumber data, serta hasil yang diharapkan dari penelitian……………………………………………….. 22
2.
Kriteria klasifikasi kemampuan lahan pada tingkat sub kelas…………....
29
3.
Contoh perhitungan nilai produksi total …………………………………
33
4.
Penggunaan lahan Kota Bima tahun 2005 ................................................
37
5.
Penggunaan lahan Kota Bima tahun 2010 ................................................
38
6.
Matriks perubahan penutupan/penggunaan lahan Kota Bima periode tahun 2005-2010........................................................................................ 41
7.
Kelas lereng dan relief Kota Bima ……….................................................
44
8.
Luas masing-masing jenis tanah.................................................................
46
9.
Jenis bahan induk tanah Kota Bima………………………..……………..
50
10.
Drainase tanah Kota Bima………………………..………………..……..
51
11.
Tekstur tanah Kota Bima………………………..………………..………
51
12.
Kedalaman efektif tanah Kota Bima………………………..…………….
52
13.
Erosi efektif tanah Kota Bima………………………..…………………..
52
14.
Kemampuan lahan Kota Bima tingkat kelas …………………………….. 56
15.
Kemampuan lahan Kota Bima tingkat sub kelas …...................................
16.
Matriks keputusan kesesuaian penggunaan lahan terhadap kemampuan lahan tingkat sub kelas............................................................................... 59
17.
Kesesuaian penggunaan lahan berdasarkan kemampuan lahan .................
59
18.
Perubahan status kesesuaian terhadap kemampuan lahan……..................
60
19.
Daya dukung lahan berbasis produktivitas pada tahun 2005 dan 2010 .....
63
20.
Nilai produksi per penggunaan lahan……………………………….........
63
21.
Peruntukan lahan yang tidak sesuai dengan penggunaan lahan aktual …..
66
iii
57
DAFTAR GAMBAR 1. Bagan alir kerangka pemikiran…………….............................................
18
2. Peta administrasi Kota Bima.....................................................................
19
3. Bagan alir pengolahan data….. .................................................................
21
4. Metode penghitungan daya dukung lahan berbasis neraca lahan menurut Permen LH 17/2009 …………………………………………..
31
5. Skema hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan lahan ………………. ...............................................
34
6. Peta penggunaan lahan Kota Bima tahun 2005 ......................................
38
7. Peta penggunaan lahan Kota Bima tahun 2010 ......................................
39
8. Peta perubahan penggunaan lahan Kota Bima periode tahun 2005-2010
40
Peta tingkat aktifitas perubahan penggunaan lahan per kecamatan di Kota Bima periode tahun 2005-2010 …………………………………...
42
10. Laju pertumbuhan penduduk Kota Bima per kecamatan periode tahun 2000 – 2010…..........................................................................................
43
11. Contoh perubahan penggunaan lahan pertanian sawah menjadi lahan terbangun .................................................................................................
43
12. Topografi Kota Bima dari citra ASTER GDEM .....................................
44
13. Peta tanah Kota Bima …………………………………………………..
46
14. Peta bentuk lahan Kota Bima ………………………………………….
49
15. Peta bahan induk tanah Kota Bima ……………………………………..
50
16. Peta drainase tanah Kota Bima………………………………………….
53
17. Peta tekstur tanah Kota Bima……………………………….………….
53
18. Peta kedalaman efektif tanah Kota Bima……………………………….
54
19. Peta erosi tanah Kota Bima………………………….………………….
54
20. Peta kemampuan lahan Kota Bima tingkat kelas .............................
55
21. Peta kemampuan lahan Kota Bima tingkat sub kelas .............................
56
22. Peta kesesuaian penggunaan lahan Kota Bima tahun 2005 berbasis kemampuan lahan …………………………………………....................
61
9.
23. Peta kesesuaian penggunaan lahan Kota Bima tahun 2010 berbasis kemampuan lahan …………………………………………....................
61
24. Peta arahan penggunaan lahan Kota Bima berbasis kemampuan lahan ..
65
25. Peta kesesuaian arahan peruntukan penggunaan lahan dengan penggunaan lahan aktual……………….………………………………..
66
iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kota Bima terletak di tepi Teluk Bima yang sebagian besar area permukiman terletak di dataran rendah muara sungai Sori Dodu dan Sori Nae, yang secara alami merupakan daerah yang rawan banjir. Sejak tahun 2003, banjir terjadi setiap tahun dengan ketinggian air rata-rata hingga 25 cm dan area genangan yang meluas dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2006 terjadi banjir
bandang yang merupakan banjir terbesar selama 15 tahun terakhir dan menggenangi hampir seluruh wilayah di tiga kecamatan di Kota Bima, yaitu Asakota, Rasanae Barat, dan Rasanae Timur. Tahun 2008 banjir kembali terjadi dan menggenangi 13 kelurahan1). Banjir merupakan peristiwa yang alami pada daerah dataran banjir, karena dataran banjir terbentuk akibat dari peristiwa banjir. Dataran banjir merupakan daerah yang terbentuk akibat dari sedimentasi (pengendapan) banjir (Wiradisastra at al. 2002). Faktor penyebab banjir dibedakan menjadi dua, yaitu penyebab alami dan penyebab yang tidak alami. Penyebab alami adalah lokasi, sementara penyebab tidak alami adalah perubahan penggunaan lahan (Suripin 2004). Kota Bima, yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Bima, terbentuk pada tanggal 10 April 2002 melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kota Bima. Sebagai sebuah kota yang baru terbentuk, ada beberapa isu terkait perkembangan wilayah Kota Bima, yaitu (1) perkembangan wilayah, baik dalam hal pembangunan infrastruktur maupun aspek sosial budaya masyarakat, dan (2) pertumbuhan jumlah penduduk.
Kota yang sedang
berkembang pada umumnya berusaha untuk mengembangkan dirinya dari suatu keadaan dan sifat masyarakat tradisional dengan keadaan ekonomi terbelakang, menuju ke arah keadaan yang lebih baik.
Dari sudut pandang ekonomi,
pengembangan wilayah ditujukan untuk meningkatkan derajat kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi perhatian terhadap pembangunan ekonomi saja tidak akan memberikan jaminan untuk suatu proses pembangunan yang stabil dan berkelanjutan apabila mengabaikan aspek lain seperti lingkungan (Dardak 2005). 1)
Lombok Pos 15 September 2009
2
Pertumbuhan kegiatan ekonomi dan pembangunan yang terpusat pada daerah perkotaan kemudian memacu perpindahan penduduk dari daerah sekitarnya sehingga berpengaruh terhadap jumlah dan penyebaran penduduk. Dengan meningkatnya jumlah penduduk dan perkembangan aktifitas ekonomi, maka akibatnya adalah meningkatnya kebutuhan akan ruang dan/atau lahan untuk pengembangan permukiman serta kebutuhan lain, misalnya prasarana dan sarana. Untuk memenuhi kebutuhan lahan ini, maka terjadi perubahan penggunaan lahan, umumnya dari lahan pertanian kepada penggunaan non pertanian. Peningkatan jumlah penduduk dan luas lahan yang terbatas akan berakibat terhadap menurunnya kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan, baik lahan, air, maupun udara (Aliati 2007). Berdasarkan ketentuan Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pemerintah harus menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), pemerintah daerah provinsi harus menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), pemerintah daerah kabupaten harus menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRW Kabupaten), dan pemerintah daerah kota harus menyusun Rencana Detil Tata Ruang (RDTR), dengan memperhatikan daya dukung lingkungan hidup. Penyusunan rencana tata ruang wilayah yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan hidup, dapat menimbulkan permasalahan lingkungan hidup seperti banjir, longsor dan kekeringan. Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup RI Nomor 17 Tahun 2009 (Permen LH 17/2009), daya dukung lingkungan hidup terbagi menjadi 2 (dua) komponen, yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas tampung limbah (assimilative capacity). Dalam Permen LH tersebut telaahan daya dukung lingkungan hidup terbatas pada kapasitas penyediaan sumberdaya alam, terutama berkaitan dengan kemampuan lahan serta ketersediaan dan kebutuhan akan lahan dan air dalam suatu ruang/wilayah. Oleh karena kapasitas sumberdaya alam tergantung pada kemampuan, ketersediaan, dan kebutuhan akan lahan dan air, penentuan daya dukung lingkungan hidup dalam pedoman ini dilakukan berdasarkan 3 pendekatan, yaitu (1) kemampuan lahan untuk alokasi
3
pemanfaatan ruang, (2) perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan lahan, dan (3) perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan air. Ketiga aspek tersebut di atas sangat berkaitan erat dengan penggunaan lahan, karena itu dengan sendirinya perubahan penggunaan lahan akan berpengaruh pada daya dukung lingkungan. Perubahan penggunaan lahan dapat diketahui dengan melihat penggunaan lahan yang terjadi dimasa lalu dan masa sekarang. Beberapa perubahan penggunaan lahan ini disebabkan oleh berbagai aspek yang saling berhubungan, antara lain peningkatan jumlah penduduk (aspek sosial), perkembangan ekonomi (aspek ekonomi), arah kebijakan penggunaan lahan (aspek kebijakan) dan ketersediaan aksesibilitas/jaringan jalan yang semuanya memerlukan ketersediaan lahan yang cukup (Winoto at al. 1996). Masalah ketersediaan lahan sendiri dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu dari segi luasan secara umum dan ketersediaan lahan untuk penggunaan tertentu. Dari segi luasan, ketersediaan lahan adalah tetap. Misalnya untuk suatu wilayah administrasi luasan lahan yang tersedia adalah sebatas luas wilayah administrasi tersebut, kecuali jika ada pemekaran atau pemisahan sub wilayah. Dari segi ketersediaan untuk penggunaan tertentu, ketersediaan lahan bersifat dinamis. Misalnya pada suatu wilayah administrasi, ketersediaan lahan untuk sawah adalah dinamis, karena dapat bertambah atau berkurang karena terjadi perubahan penggunaan lahan. Lahan sawah dapat bertambah jika lahan yang penutupan/penggunaan sebelumnya adalah semak/belukar atau rumput, misalnya, dikonversi menjadi sawah, sebaliknya luasan lahan berkurang jika lahan sawah aktual dikonversi menjadi permukiman.
1.2 Perumusan Masalah Berbagai bentuk kerusakan dan bencana lingkungan seringkali merupakan permasalahan lingkungan yang timbul akibat ketidaksesuaian antara pemanfaatan dengan daya dukung lingkungan hidup.
Hal ini umumnya timbul akibat
pertumbuhan penduduk atau perkembangan aktifitas manusia yang melampaui kemampuan lingkungan yang mendukungnya. Banjir di Kota Bima yang terjadi setiap tahun sejak tahun 2003 merupakan salah satu indikator yang mengarah kepada ketidaksesuaian antara pemanfaatan dengan daya dukung lingkungan
4
hidup. Ada beberapa aspek terkait kondisi ini, di antaranya aspek potensi lahan dan penggunaan lahan.
Untuk lebih memahami kedua aspek tersebut, maka
dibuat rumusan permasalahan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana perubahan penggunaan lahan Kota Bima dari tahun 2005 hingga 2010? 2. Bagaimana kemampuan lahan Kota Bima? 3. Bagaimana kesesuaian antara penggunaan lahan dengan kemampuan lahan Kota Bima? 4. Bagaimana daya dukung lahan pada tahun 2005 dan tahun 2010? 5. Bagaimana arahan penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuan lahan?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah: 1. Menganalisis perubahan penggunaan lahan periode tahun 2005 - 2010. 2. Menganalisis kemampuan lahan. 3. Menganalisis kesesuaian antara penggunaan lahan dengan kemampuan lahan. 4. Menganalisis daya dukung lahan yang berbasis produktivitas pada tahun 2005 dan tahun 2010. 5. Membuat arahan penggunaan lahan sesuai kemampuan lahannya.
1.4 Manfaat Penelitian Informasi tentang dinamika penggunaan lahan, kemampuan lahan, dan daya dukung lahan berbasis produktivitas, dapat digunakan sebagai masukan dalam penataan dan penyusunan kebijakan pemanfaatan/penggunaan lahan bagi pemerintah daerah serta mengarahkan ke penggunaan lahan sesuai peruntukan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Bidang kajian perencanaan pengembangan wilayah mempunyai ruang lingkup dari berbagai disiplin keilmuan, yaitu ilmu-ilmu fisik (geografi, geofisik), ilmu sosial ekonomi (sosiologi, ekonomi), ilmu manajemen, hingga seni/estetika. Menurut Rustiadi at al. (2009), perencanaan pengembangan wilayah merupakan bidang kajian yang mengintegrasikan berbagai cabang ilmu untuk memecahkan masalah-masalah pembangunan serta aspek-aspek politik, manajemen, dan administrasi perencanaan pembangunan yang berdimensi ruang atau wilayah. Proses kajian perencanaan dan pembangunan wilayah memerlukan pendekatanpendekatan yang mencakup: (1) aspek pemahaman, yaitu aspek yang menekankan pada upaya memahami fenomena fisik alamiah hingga sosial ekonomi di dalam dan antar wilayah. Oleh karena itu diperlukan pemahaman pengetahuan mengenai teknik-teknik analisis dan model-model sistem sebagai alat (tools) untuk mengenal potensi dan memahami permasalahan pembangunan wilayah. Selanjutnya (2) aspek perencanaan, mencakup proses formulasi masalah, teknikteknik desain dan pemetaan hingga teknis perencanaan, dan (3) aspek kebijakan, mencakup pendekatan evaluasi, perumusan tujuan pembangunan dan proses pelaksanaan pembangunan seperti proses politik, administrasi, dan manajerial pembangunan. Dengan demikian bidang kajian ini ingin menjawab tidak saja pertanyaan “mengapa keadaan wilayah demikian adanya”, tetapi juga menjawab “bagaimana wilayah dibangun”. Oleh karenanya akan mencakup aspek-aspek perencanaan yang bersifat spasial (spatial planning), tataguna lahan (land use planning), hingga perencanaan kelembagaan (structural planning) dan proses perencanaan itu sendiri (Rustiadi at al. 2009). Adanya kesadaran kritis tentang semakin terbatasnya sumber daya alam yang tersedia dan kebutuhan manusia yang terus meningkat mengharuskan pendekatan pemanfaatan sumber daya alam yang efisien. Lebih dari itu, pemanfaatan sumber daya tidak boleh mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang. Dalam konteks perencanaan dan pengembangan
6
wilayah, konsep ini dikenal sebagai pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yakni suatu konsep pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan generasi yang akan datang (Rustiadi at al. 2009).
2.2 Penggunaan dan Penutupan Lahan Penggunaan lahan dan penutupan lahan dapat memiliki pengertian yang sama untuk hal-hal tertentu, tetapi sebenarnya mengandung penekanan yang berbeda. Penggunaan lahan (land use) mengandung aspek menyangkut aktifitas pemanfaatan lahan oleh manusia sedangkan penutupan lahan (land cover) lebih bernuansa fisik (Rustiadi at al. 2009).
Lillesand dan Kiefer (1990)
mendefinisikan penggunaan lahan (land use) berhubungan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan, sedangkan penutup lahan (land cover) lebih merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap obyek-obyek tersebut. Arsyad (2010) mengelompokkan penggunaan lahan ke dalam dua bentuk yaitu (1) penggunaan lahan pertanian yang dibedakan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditas yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat di atas lahan tersebut; dan (2) penggunaan lahan nonpertanian seperti penggunaan lahan pemukiman kota atau desa, industri, rekreasi, dan sebagainya. Sebagai wujud kegiatan manusia, maka di lapangan sering dijumpai penggunaan lahan baik bersifat tunggal (satu penggunaan) maupun kombinasi dari dua atau lebih penggunaan lahan.
Dengan demikian, sebagai keputusan manusia untuk
memperlakukan lahan ke suatu penggunaan tertentu, selain disebabkan oleh faktor permintaan dan ketersediaan lahan demi meningkatkan kebutuhan dan kepuasan hidup, penggunaan lahan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya karakteristik fisik lahan (suitability), perilaku manusia, teknologi maupun modal, faktor ekonomi (feasibility) yang dipengaruhi oleh lokasi, aksesibilitas, sarana dan prasarana, faktor budaya masyarakat (culture) dan faktor kebijakan pemerintah (policy). Menurut FAO (1976) dalam Arsyad (2010), penggunaan lahan dibedakan atas dua kelompok yaitu (1) penggunaan lahan secara umum (major kind of land
7
use), adalah penggolongan penggunaan lahan secara umum seperti pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang rumput, kehutanan atau daerah rekreasi; dan (2) penggunaan lahan secara terperinci atau dikenal sebagai Land Utilization Type (LUT), adalah tipe penggunaan lahan yang diperinci sesuai dengan syarat-syarat teknis untuk suatu daerah dengan keadaan fisik dan sosial ekonomi tertentu. Contohnya: “tanaman pangan tadah hujan dengan padi sebagai tanaman utama, modal kecil, pengolahan lahan dengan ternak, banyak tenaga kerja, lahan kecil 2-5 hektar”.
2.3 Perubahan Penggunaan Lahan Penggunaan lahan suatu wilayah sifatnya tidak permanen. Suatu lahan memiliki kemampuan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan. Dengan adanya kemampuan lahan yang dapat diterapkan untuk berbagai tujuan inilah suatu lahan tidak terbatas penggunaannya pada suatu tujuan tertentu saja. Bentuk penggunaan lahan dapat berubah sejalan dengan perkembangan kebutuhan dan kebudayaan manusia. Perubahan pola pemanfaatan lahan ini akan memunculkan suatu fenomena dimana satu pemanfaatan lahan dikorbankan untuk pemanfaatan lainnya. Misalnya pemanfaatan lahan yang pada awalnya sebagai lahan pertanian berubah sebagai lahan permukiman. Dalam hal ini dikatakan lahan pertanian dikorbankan untuk pemanfaatan lainnya yaitu sebagai lahan permukiman. Bentuk penggunaan lahan terjadi dalam dua bentuk yaitu perubahan dengan perluasan atas suatu penggunaan tertentu dan perubahan tanpa perluasan untuk penggunaan tertentu. Perubahan penggunaan lahan pada suatu lokasi dapat terjadi dengan berubahnya penggunaan lahan tersebut dari suatu penggunaan tertentu ke penggunaan lainnya. Perluasan penggunaan lahan untuk tujuan tertentu sering terjadi di daerah pinggiran atau pedesaan dimana lahan masih “tersedia” dalam jumlah yang luas. Sedangkan perubahan tanpa perluasan wilayah sering disebut dengan pemadatan, dan terjadi pada wilayah perkotaan atau daerah-daerah tertentu dengan adanya faktor-faktor pembatas.
Pemadatan terjadi atas suatu
penggunaan tertentu. Perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai suatu proses perubahan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan lahan lain yang dapat bersifat
8
permanen maupun sementara, dan merupakan bentuk konsekuensi logis adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang.
Apabila penggunaan lahan untuk sawah berubah
menjadi pemukiman atau industri maka perubahan penggunaan lahan ini bersifat permanen dan tidak dapat kembali (irreversible), tetapi jika beralih guna menjadi perkebunan biasanya bersifat sementara. Perubahan penggunaan lahan pertanian berkaitan erat dengan perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat. Perubahan penggunaan lahan pertanian ke nonpertanian bukanlah semata-mata fenomena fisik berkurangnya luasan lahan, melainkan merupakan fenomena dinamis yang menyangkut aspek-aspek kehidupan manusia, karena secara agregat berkaitan erat dengan perubahan orientasi ekonomi, sosial budaya dan politik masyarakat (Winoto et al. 1996). Informasi perubahan lahan pada suatu wilayah tertentu sangat penting artinya dalam perencanaan wilayah tersebut dimasa yang akan datang. Informasi penggunaan lahan dapat memberikan penjelasan pada pengguna tentang apa yang harus dilakukan terhadap lahan tersebut untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Disamping itu, angka “kecepatan” perubahan lahan pertanian kearah lahan pemukiman merupakan gambaran umum perbaikan taraf hidup dan kemampuan daya beli.
2.4 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu, teknik dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu peralatan tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer 1990). Pendeteksian data penggunaan lahan dan perubahannya dengan metode penginderaan jauh berupa citra satelit sudah umum dilakukan oleh berbagai kalangan, karena berbagai manfaat yang dimilikinya antara lain: 1. Membantu mengumpulkan informasi dari daerah yang sulit dijangkau dan memungkinkan untuk meneliti daerah yang luas sekaligus dalam waktu yang hampir bersamaan (synoptic view), sehingga hubungan antarwilayah dapat dianalisis;
9
2. Memungkinkan dilakukan ulangan pengamatan (repetitive) dengan cermat, dimana rekaman mengenai obyek, area atau kejadian yang sama dapat diulang dengan hasil yang dapat diperbandingkan; 3. Mampu merekam informasi secara kontinyu dan real time dimana informasi tersebut dikirimkan ke stasiun pengolahan bumi menghasilkan data foto dan digital, sehingga memungkinkan dapat diolah secara statistik; 4. Mempunyai kemampuan melihat lebih baik dari pada mata manusia, karena dapat menangkap panjang gelombang tak tampak oleh mata; dan 5. Biaya operasional relatif murah (cost effective) dibandingkan dengan survei secara langsung ke lapangan. Cara memperoleh obyek dalam penginderaan jauh adalah dengan mendeteksi
gelombang
elektromagnetik
yang
dipantulkan,
diserap
dan
ditransmisikan atau dipancarkan oleh masing-masing obyek yang datang padanya, sehingga energi pantulan atau pancaran yang diterima oleh sensor dapat dipergunakan sebagai ciri pengenalan obyek, daerah atau fenomena yang sedang diteliti (Lillesand dan Kiefer 1990). Oleh karena itu kegiatan mengindera obyek di permukaan bumi memerlukan peralatan seperti kamera, radiometer, skener (scanner) atau sensor lainnya yang diterima oleh suatu wahana pengangkut (platform). Salah satu aplikasi teknik penginderaan jauh yang dapat digunakan untuk memantau perubahan penggunaan lahan adalah data penginderaan jauh dari satelit Geoeye. Geoeye merupakan satelit dari Amerika Serikat yang menyediakan citra multispektral (MS) dan pankromatik (PAN) secara komersil. Salah satu produknya adalah citra Ikonos yang memiliki resolusi 1 – 4 meter. Dengan resolusi yang dikategorikan tinggi, penggunaan citra Ikonos dapat dilakukan untuk
pengenalan obyek atau pemetaan yang sangat detail. Pada tanggal 8
September 2008, diluncurkan satelit Geoeye-1 yang diorientasikan sebagai satelit sumber daya alam dengan ketinggian 478 mil (700 km). Satelit ini mampu menyajikan resolusi spasial terbaik untuk saat ini, yaitu 0,41 m. Kemampuan yang sejenis juga telah dirancang untuk satelit OrbView-4. Resolusi spasial 0,41 m itu lebih baik dibanding dengan satelit yang telah masuk di pasaran citra dunia, yaitu QuickBirds (0,64 m), yang citranya telah banyak digunakan di Indonesia. Citra
10
Geoeye-1 memiliki 3 jenis resolusi temporal, yaitu tinggi (<24 jam - 3 hari), sedang (4-16 hari), dan rendah (>16 hari). Demikian juga resolusi spektralnya ada 3 jenis, yaitu tinggi (220 band), sedang (3-15 band), dan rendah (3 band) 2).
2.5 Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu teknologi informasi yang berkaitan dengan pengumpulan dan pengolahan data bereferensi spasial dan berkoordinat geografis (Barus dan Wiradisastra 2000). Menurut Prahasta (2005), Barus dan Wiradisastra (2000), SIG mempunyai empat komponen utama dalam menjalankan prosesnya, yaitu: 1. Data input: komponen ini bertugas mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan atribut dari berbagai sumber serta bertanggung jawab mengkonversi atau mentransformasikan data ke dalam format yang diminta perangkat lunak, baik dari data analog maupun data digital lain, atau dari bentuk data yang ada menjadi bentuk yang dapat dipakai dalam SIG. 2. Data manajemen: Komponen ini mengorganisasikan baik data spasial maupun nonspasial (atribut) ke dalam sebuah basis data sedemikian rupa sehingga mudah untuk dilakukan pemanggilan, updating dan editing. 3. Data manipulasi dan analisis: Komponen ini melakukan manipulasi dan permodelan data untuk menghasilkan informasi sesuai dengan tujuan. Komponen perangkat lunak yang memiliki kedua fungsi tersebut merupakan kunci utama dalam menentukan keandalan sistem SIG yang digunakan. Kemampuan analisis data spasial melalui algoritma atau pemodelan secara matematis merupakan pembeda suatu SIG dengan sistem informasi yang lain. 4. Data output: Komponen ini berfungsi menghasilkan keluaran seluruh atau sebagian basis data dalam bentuk (a) cetak lunak (softcopy) berupa produk pada tampilan monitor monokrom atau warna, (b) cetak keras (hardcopy) yang bersifat permanen dan dicetak pada kertas, mylar, film fotografik atau bahanbahan sejenis, seperti peta, tabel dan grafik, dan (c) elektronik berbentuk berkas (file) yang dapat dibaca oleh komputer. Menurut Barus dan Wiradisatra (2000) aplikasi SIG telah banyak dimanfaatkan dalam berbagai bidang, seperti pengelolaan dalam penggunaan 2)
www.geoeye.com
11
lahan di bidang pertanian, perkebunan, dan kehutanan; dalam bidang bisnis dan perencanaan pelayanan, seperti analisis wilayah pasar dan prospek pendirian suatu bisnis baru; dan dalam bidang logistik dan transportasi, untuk pergerakan subyek/obyek (makanan dan minuman) dikaitkan dengan infrastruktur dan rutenya. Dalam bidang lingkungan aplikasi SIG digunakan dalam analisis erosi dan dampaknya, analisis daerah rawan banjir, kebakaran atau lahan kritis, dan analisis kesenjangan. Seperti juga penginderaan jauh yang telah diaplikasikan oleh berbagai kalangan dan kepentingan, maka aplikasi SIG telah digunakan baik oleh kalangan swasta, perguruan tinggi maupun pemerintah daerah. Aplikasi SIG untuk tugas dan kewenangan pemerintah daerah sebagian besar berkaitan dengan data geografis dengan memanfaatkan keandalan SIG antara lain: kewenangan di bidang pertanahan, pengembangan ekonomi, perencanaan penggunaan lahan, kesehatan, perpajakan, infrastuktur (jaringan jalan, perumahan, transportasi), informasi kependudukan, pengelolaan darurat, dan pemantauan lingkungan.
2.6 Evaluasi Lahan Lahan didefinisikan
sebagai
kesatuan sumber daya daratan yang
merupakan suatu sistem yang tersusun atas komponen struktural, yaitu karakteristik lahan, dan komponen fungsional, yaitu kualitas lahan (Worosuprodjo 2005). Sifat dan karakteristik yang berbeda pada lahan akan ditentukan oleh interaksi komponen sumber daya yang ada pada suatu lahan sehingga lahan yang satu dengan yang lain akan berbeda, baik dalam segi ruang dan waktu (Notohadiprawiro 1991). Oleh karena itu, lahan sebenarnya memiliki sifat yang dinamis yang akan selalu berkaitan dengan kepentingan dan keperluan manusia seiring dengan perubahan aktifitas manusia seperti perubahan sosial, politik, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Cara pandang akan lahan antara satu lokasi dengan lokasi lain tentu berbeda, terutama dalam peruntukan lahan, walaupun mungkin lahan memiliki karakteristik yang sama. Hal ini disebabkan oleh komponen pendamping
dari
lahan
berbeda
sehingga
interaksinya
pun
berbeda
(Notohadiprawiro 1992). Ruang lingkup sumber daya lahan meliputi segala kondisi, sifat, prosesproses karakteristik dan fenomena lahan yang dapat digunakan untuk memenuhi
12
kebutuhan manusia (Worosuprodjo 2005). Kondisi sumber daya lahan yang berbeda akan menentukan potensi lahan itu sendiri sehingga akan berpengaruh terhadap pemanfaatan/penggunaan lahan. Keberagaman sumber daya lahan akan sangat kompleks dalam susunan ruang dan waktu sehingga sumber daya lahan akan selalu bersifat dinamis. Untuk itu, evaluasi lahan sangat diperlukan agar sumber daya lahan dapat di inventarisasi sehingga potensi sumber daya lahan dapat diketahui dan dimanfaatkan sesuai porsinya. Evaluasi lahan dapat diartikan sebagai upaya menilai sumber daya lahan untuk penggunaan atau tujuan tertentu untuk memberikan masukan berupa arahan dalam perencanaan penggunaan lahan yang akan dikembangkan. Sitorus (1985) menjelaskan bahwa dalam evaluasi lahan ada tiga aspek utama yang dibutuhkan yaitu lahan, penggunaan lahan, dan aspek ekonomis. Evaluasi lahan dilakukan pada kondisi sekarang yang memungkinkan dapat diketahui perubahan yang terjadi pada lahan dan bisa dimanfaatkan untuk perencanaan penggunaan lahan kedepan (FAO 1976 dalam Worosuprodjo 2005). Cara-cara dalam evaluasi lahan dibagi menjadi dua, yaitu cara langsung dan tidak langsung (Sitorus 1985). Cara langsung dilakukan dengan melihat kenampakan di lapangan, namun hal ini akan terkendala dengan data. Data yang tidak lengkap menyebabkan evaluasi secara langsung sukar dilakukan sehingga cara langsung ini sudah banyak ditinggalkan. Cara tidak langsung dinilai memiliki keunggulan baik dari segi biaya maupun waktu, karena dalam cara ini digunakan suatu pembatas yaitu satuan pemetaan tanah dengan asumsi bahwa pada satu karakteristik akan menghasilkan produk yang sama ketika lahan digunakan untuk kepentingan tertentu. Penilaian lahan dapat dilakukan menggunakan tiga kriteria, yaitu kemampuan lahan, kesesuaian, dan nilai lahan (Sitorus 1985).
2.7 Kemampuan Lahan Kemampuan lahan merupakan karakteristik lahan yang mencakup sifat tanah (fisik dan kimia), topografi, drainase, dan kondisi lingkungan hidup lain. Berdasarkan karakteristik lahan tersebut, dapat dilakukan klasifikasi kemampuan lahan ke dalam tingkat kelas, sub kelas, dan unit pengelolaan (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Lahan diklasifikasikan kedalam delapan kelas, yang ditandai
13
dengan huruf Romawi I sampai dengan VIII. Dua kelas pertama (kelas I dan kelas II) merupakan lahan yang cocok untuk penggunaan pertanian dan 2 kelas terakhir (kelas VII dan kelas VIII) merupakan lahan yang harus dilindungi atau untuk fungsi konservasi. Kelas III sampai dengan kelas VI dapat dipertimbangkan untuk berbagai pemanfaatan lainnya. Meskipun demikian, lahan kelas III dan kelas IV masih dapat digunakan untuk pertanian. Dalam tingkat kelas, kemampuan lahan menunjukkan kesamaan besarnya faktor-faktor penghambat. Tanah dikelompokkan kedalam kelas I sampai kelas VIII, dimana semakin tinggi kelasnya, kualitas lahannya semakin jelek, berarti risiko kerusakan dan besarnya faktor penghambat bertambah dan pilihan penggunaan lahan yang dapat diterapkan semakin terbatas.
Selanjutnya
kemampuan lahan dalam tingkat sub kelas adalah pembagian lebih lanjut dari kelas berdasarkan jenis faktor penghambat yang sama. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan kedalam beberapa jenis, yaitu: bahaya erosi (e), genangan air (w), penghambat terhadap perakaran tanaman (s), dan iklim (c). Sub kelas erosi (e) terdapat pada lahan dimana erosi merupakan problema utama. Kepekaan erosi dan erosi yang telah terjadi merupakan petunjuk untuk penempatan dalam sub kelas ini. Sub kelas kelebihan air (w) terdapat pada lahan dimana kelebihan air merupakan faktor penghambat utama. Drainase yang buruk, air tanah yang dangkal, dan bahaya banjir merupakan faktor-faktor yang digunakan untuk penentuan sub kelas ini.
Sub kelas penghambat terhadap
perakaran tanaman (s) meliputi lahan yang dangkal, banyak batu-batuan, daya memegang air yang rendah, kesuburan rendah yang sulit diperbaiki, serta garam dan Na yang tinggi. Sub kelas iklim (c) terdiri dari lahan dimana iklim (suhu dan curah hujan) merupakan penghambat utama. Jenis-jenis faktor penghambat ini ditulis di belakang angka kelas seperti berikut: IIIe, IIw, IVs, dan sebagainya, yang masing-masing menyatakan lahan kelas III yang disebabkan oleh faktor erosi (e), lahan kelas II yang disebabkan oleh faktor air (w) dan lahan kelas IV yang disebabkan oleh terhambatnya perakaran tanaman (s). Untuk penyederhanaannya, dalam penentuan kemampuan lahan pada tingkat kelas, karakteristik yang paling berpengaruh signifikan adalah relief.
14
Relief adalah perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah, termasuk di dalamnya perbedaan kecuraman dan bentuk lereng. Sifat-sifat tanah yang umumnya berhubungan dengan relief adalah (Hardjowigeno 1993): 1.
tebal solum;
2.
tebal dan kandungan bahan organik horison A;
3.
kandungan air tanah (relative wetness);
4.
warna tanah;
5.
tingkat perkembangan horison;
6.
reaksi tanah (pH);
7.
kandungan garam mudah larut;
8.
jenis dan tingkat perkembangan padas;
9.
suhu; dan
10. sifat dari bahan induk tanah (initial material).
2.8 Daya Dukung Lingkungan Salah satu pendekatan untuk mengkaji batas-batas keberlanjutan suatu ekosistem adalah ecological footprint (tapak ekologi). Ecological footprint mengukur perminaan penduduk atas alam dalam satuan metrik, yaitu area global biokapasitas. Konsep ecological footprint pertama kali dikemukakan oleh Mathias Wackernagel
dalam
disertasi
yang
berjudul
Ecological
Footprint
and
Appropriated Carrying Capacity: A Tool for Planning Toward Sustainability pada Universitas British Columbia Tahun 1994. Saat ini, pendekatan tersebut menjadi satu referensi yang paling penting untuk analisis keberlanjutan global (Rees dan Wackernagel 1996 dalam Rustiadi at al. 2010). Dengan mengemukakan mengenai bagaimana mengurangi dampak penduduk terhadap alam, konsep ecological footprint menjadi isu dunia yang penting, setidaknya dalam dua cara pandang (McDonald dan Patterson 2003 dalam Rustiadi at al. 2010). Pertama, ecological footprint mengukur total biaya ekologis (dalam area lahan) dari suplai seluruh barang dan jasa kepada penduduk. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk tidak hanya secara langsung memerlukan lahan untuk produksi pertanian, jalan, bangunan dan lainnya, akan tetapi secara tidak langsung lahan pun turut mewujudkan barang dan jasa yang dikonsumsi
15
penduduk. Dalam cara pandang ini, ecological footprint dapat digunakan untuk membuat nyata biaya ekologis dari aktifitas penduduk.
Kedua, ecological
footprint sebagai indikator keberlanjutan, yaitu carrying capacity. Carrying capacity dalam ekologi adalah jumlah populasi maksimum yang dapat didukung oleh area lahan tertentu. Konsep ini merujuk untuk semua anggota ekosistem. Menjadi sangat menarik apabila populasi di sini adalah populasi manusia atau penduduk. Ecological footprint menghitung semua aktivitas manusia, baik yang menghasilkan barang produktif maupun limbah. Jika dipadankan dengan sektorsektor ekonomi, ecological footprint adalah semua bentuk pemanfaatan materi, informasi dan energi di alam. Oleh karena itu, ecological footprint harus dapat dikonversikan pada nilai yang setara dengan area bioproduktif yang bersesuaian dengannya. Dengan demikian, ecological footprint diekspresikan dalam satuan yang sama dengan biokapasitas, yaitu global hektar (gha). Atas dasar itu pula, ecological footprint merupakan apa yang diminta manusia untuk mendukung kehidupannya. Hasil dari permintaan itu adalah penggunaan barang, jasa, dan limbah yang terbuang di alam (Lenzen dan Murray 2003). Di sinilah konsep ecological footprint mendapatkan titik temunya dengan konsep daya dukung lingkungan (Rustiadi at al. 2010). Ecological footprint digunakan salah satunya untuk menghitung daya dukung lingkungan. Konsep daya dukung lingkungan (carrying capacity) dapat dipandang sebagai perkembangan lebih lanjut dari konsep kepadatan penduduk (population density). Kepadatan penduduk menunjukkan hubungan kuantitatif antara jumlah penduduk dan unit luas lahan. Untuk suatu daerah agraris, yang penting adalah kepadatan penduduk agraris yang menunjukkan jumlah penduduk yang tergantung hidupnya pada pertanian (jumlah petani dan keluarganya) per luas lahan pertanian. Konsep daya dukung menekankan kemampuan suatu daerah (wilayah) untuk mendukung jumlah maksimum populasi suatu spesies secara berkelanjutan pada suatu tingakt kebutuhan sumber daya yang diperlukan. Dengan demikian, kemampuan ini sangat tergantung pada kekayaan sumber daya yang dimiliki oleh suatu daerah dan tingkat kebutuhan sumber daya oleh suatu organisme. Dihubungkan dengan jumlah manusia (penduduk) yang mampu didukung
16
(ditampung) oleh lingkungan hidup di suatu wilayah secara berkelanjutan, konsep daya dukung menjadi lebih rumit karena peranan yang unik dari kebudayaan manusia. Terdapat tiga faktor kebudayaan yang saling terkait secara kritikal dengan daya dukung suatu wilayah (Ranganathan dan Daily 2003 dalam Rustiadi at al. 2010), yaitu: 1. Perbedaan-perbedaan individual dalam hal tipe dan kuantitas sumber daya yang dikonsumsi; 2. Perubahan yang cepat dalam hal pola konsumsi sumber daya; dan 3. Perubahan teknologi dan perubahan budaya lainnya. Di Indonesia, secara legal konsep daya dukung sudah diperkenalkan dalam Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Undang-Undang ini membedakan konsep daya dukung lingkungan atas daya dukung alam, daya tampung lingkungan binaan, dan daya tampung lingkungan sosial, dimana pengertian dari masingmasing konsep tersebut adalah sebagai berikut. 1. Daya dukung alam adalah kemampuan lingkungan alam beserta segenap unsur dan sumbernya untuk menunjang perikehidupan manusia serta makhluk lain secara berkelanjutan. 2. Daya tampung lingkungan binaan adalah kemampuan lingkungan hidup buatan manusia untuk memenuhi perikehidupan penduduk. 3. Daya tampung lingkungan sosial adalah kemampuan manusia dan kelompok penduduk yang berbeda-beda untuk hidup bersama-sama sebagai satu masyarakat secara serasi, selaras, seimbang, rukun, tertib, dan aman.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Kerangka Pemikiran Dalam kegiatan pembangunan dan pengembangan wilayah, terdapat 3 (tiga) pilar utama, yaitu faktor sosial, faktor ekonomi, dan faktor daya dukung lingkungan fisik. Interaksi antara ketiga aspek ini selanjutnya akan mengakibatkan perubahan penggunaan lahan. Kecenderungan perubahan penggunaan lahan mempunyai pola yang dinamis dan kecepatan perubahan yang berbeda-beda di setiap tempat dan lokasi, bergantung pada faktor-faktor yang dominan menjadi penyebab terjadinya perubahan penggunaan lahan di suatu wilayah. Beberapa faktor penyebab perubahan penggunaan lahan diantaranya adalah faktor biofisik wilayah, faktor sosial ekonomi dan faktor kelembagaan. Perubahan penggunaan lahan akan dipengaruhi dan berpengaruh terhadap perubahan daya dukung lingkungan. Daya dukung lingkungan hidup seharusnya
menjadi salah satu
pertimbangan terpenting dalam penataan ruang, baik dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) maupun dalam evaluasi pemanfaatan ruang. Pengintegrasian pertimbangan daya dukung lingkungan hidup diperlukan dalam penataan ruang agar alokasi pemanfaatan ruang sesuai dengan kondisi dan kapasitas sumber daya wilayah. dengan demikian, lahan yang misalnya cocok untuk pertanian tetap dipertahankan untuk berlangsungnya kegiatan pertanian, sehingga ketahanan pangan dapat dijaga dan kerusakan tanah akibat pembukaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya dapat dicegah. Berbagai bentuk kerusakan dan bencana lingkungan seringkali merupakan permasalahan lingkungan yang timbul akibat ketidaksesuaian antara pemanfaatan dengan daya dukung lingkungan hidup.
Hal ini umumnya timbul akibat
pertumbuhan penduduk atau perkembangan aktifitas manusia yang melampaui kemampuan lingkungan yang mendukungnya. Banjir di Kota Bima yang terjadi setiap tahun sejak tahun 2003 merupakan salah satu indikator yang mengarah kepada ketidaksesuaian antara pemanfaatan lahan dengan daya dukung lingkungan hidup.
18
Dalam penelitian ini, ruang lingkup pembahasan mengenai daya dukung lingkungan dibatasi pada aspek kelas kemampuan lahan dan daya dukung lahan berbasis produktivitas, yaitu kemampuan lahan dalam hal penyediaan kebutuhan pangan masyarakat.
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis kemampuan
lahan, perubahan penggunaan lahan, dan daya dukung lahan di Kota Bima. Pembangunan dan pengembangan wilayah
Pertambahan jumlah penduduk Peningkatan kebutuhan terhadap lahan Perkembangan aktifitas ekonomi dan pembangunan infrastruktur
Alih fungsi lahan menjadi lahan budidaya
Perubahan daya dukung lingkungan
Perubahan penggunaan lahan
Penggunaan lahan aktual Penggunaan lahan sesuai daya dukung?
Ya
Tidak Arahan penetapan penggunaan lahan sesuai kemampuan lahan
Penurunan kualitas lingkungan, bisa terjadi bencana alam
Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di Kota Bima, yang merupakan kota hasil pemekaran wilayah Kabupaten Bima di Provinsi Nusa Tenggara Barat, terdiri atas 5 kecamatan dan 38 kelurahan. Kota Bima memiliki luas wilayah 22.225 hektar (BPS 2006) atau 21.862 hektar (hasil perhitungan dari peta administrasi Bakosurtanal 2009). Luas yang dipakai dalam pengolahan data dalam penelitian ini adalah angka hasil analisis spasial tersebut.
Secara geografis Kota Bima
19
terletak pada 1180 41’ - 1180 48’ Bujur Timur dan 80 30’ - 80 30’ Lintang Selatan. Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2010,
penduduk Kota Bima berjumlah
142.443 jiwa, terdiri atas 69.841 jiwa laki–laki atau 49,03% dan 72.602 jiwa perempuan atau 50,97% dari jumlah penduduk (BPS 2011). Peta administrasi Kota Bima disajikan dalam Gambar 2. Kegiatan penelitian dilaksanakan selama delapan bulan, yang dimulai bulan Juli tahun 2010 hingga bulan Februari tahun 2011.
Gambar 2 Peta administrasi Kota Bima
3.3 Bahan dan Alat Bahan penelitian terdiri atas citra Geoeye-1 Kota Bima tahun 2010, citra ASTER GDEM, peta tanah, peta lereng, dan peta landform. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa seperangkat komputer yang dilengkapi dengan software Google Earth, Global Mapper 11, ArcGIS 9.3, Statistica 8.0, Microsoft Word, dan Microsoft Excell. Peralatan penunjang lainnya adalah alat tulis dan kamera.
20
3.4 Pengumpulan Data Data yang digunakan terdiri dari data primer berupa hasil pengecekan lapang untuk memverifikasi hasil interpretasi penutupan lahan dari citra Geoeye-1 dan data harga beberapa komoditas pada tingkat produsen; serta data sekunder berupa peta-peta tematik, data kependudukan, dan data produksi. Sumber data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini didapatkan dengan cara menginventarisasi dan penelusuran data baik pada buku, peta, internet, perundang-undangan, penelitian terdahulu, maupun dari beberapa instansi terkait, baik instansi pemerintah di daerah maupun pusat, atau instansi/lembaga independen lainnya. Gambaran mengenai kondisi fisik wilayah, khususnya mengenai penggunaan lahan aktual, diperoleh dari hasil survei/cek di lapangan. Pada data yang terkait dengan aspek spasial, standarisasi mutlak diperlukan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data yang sesuai standar agar dapat digunakan dalam proses pengolahan lebih lanjut. Matriks tujuan, metode analisis, data dan sumber data, serta hasil yang diharapkan dari setiap tahapan penelitian disajikan dalam Tabel 1.
3.5 Analisis Data Analisis data meliputi: (1) analisis perubahan penggunaan lahan, (2) analisis kemampuan lahan, (3) evaluasi kesesuaian penggunaan lahan berbasis kemampuan lahan, (4) analisis status daya dukung lahan berbasis produktivitas, dan (5) penyusunan arahan penggunaan lahan berbasis kemampuan lahan. Bagan alir pengolahan data disajikan pada Gambar 3.
Tahap 1 Peta Penggunaan Lahan Tahun 2005
Peta tanah, peta kelas lereng, peta bentuk lahan, citra ASTER GDEM
Citra Geoeye Tahun 2010
Interpretasi citra
Overlay
Peta Perubahan Penggunaan Lahan
Tahap 3
Tahap 2
Kota Bima Dalam Angka (Tahun 2005 dan 2010)
Identifikasi Kelas Kemampuan Lahan
Pengecekan Lapang
Data Produksi semua komoditas hasil pertanian (Tahun 2005 dan 2010)
Peta Kemampuan Lahan Tingkat Sub kelas
Peta Penggunaan Lahan Tahun 2010
Ketersediaan Lahan (Tahun 2005 dan 2010)
Tahap 4
Overlay
Peta Kesesuaian Penggunaan Lahan Tahun 2005 dan 2010 dengan Kemampuan Lahan
Analisis kuantitatif, spasial dan deskriptif
Tahap 5
Arahan penggunaan lahan yang sesuai kemampuan lahan
Gambar 3 Bagan alir pengolahan data
Jumlah Penduduk, kebutuhan lahan per orang (Tahun 2005 dan 2010)
Kebutuhan Lahan (Tahun 2005 dan 2010)
Status Daya Dukung Lahan berbasis produktivitas (Tahun 2005 dan 2010)
22
Tabel 1 Matriks tujuan, metode analisis, data dan sumber data, serta hasil yang diharapkan dari penelitian No
Tujuan
1
Menganalisis penutupan/ penggunaan lahan tahun 2010
Metode Analisis Interpretasi citra menggunakan 9 kunci interpretasi
Data dan Sumber Data Data yang dibutuhkan: Citra Satelit Geoeye-1 imagery date 30 April 2010
Hasil Peta penggunaan lahan tahun 2010
Sumber data: • Open source – Google Earth 2
Menganalisis perubahan penggunaan lahan periode tahun 2005 – 2010
Analisis SIG: Overlay peta penggunaan lahan tahun 2005 dan 2010 Analisis LQ Analisis deskriptif
Data yang dibutuhkan: • Peta penggunaan lahan tahun 2005 dan 2010 • Peta administrasi
Mengetahui dinamika dan pusat-pusat aktifitas perubahan penggunaan lahan selama periode tahun 2005 – 2010
Sumber data : BAPPEDA Kota Bima Hasil tahapan analisis sebelumnya 3
Menganalisis kemampuan lahan Kota Bima tingkat sub kelas
Analisis SIG: Operasi overlay berbagai peta tematik Analisis kualitatif mengacu pada kriteria klasifikasi kemampuan kelas pada tingkat sub-kelas (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007)
Data yang dibutuhkan: Peta tanah, peta kelas lereng, peta bentuk lahan, citra ASTER GDEM Sumber data : Puslittanak Diunduh dari http://www.gdem.aster.ersdac.or.jp/
Mengetahui kemampuan lahan Kota Bima tingkat sub kelas
23
Lanjutan Tabel 1 No 4
Tujuan Mengevaluasi kesesuaian penggunaan lahan dengan kemampuan lahan
Metode Analisis Analisis SIG: Operasi overlay antara peta penggunaan lahan dengan peta kemampuan lahan
Data dan Sumber Data Data yang dibutuhkan: Peta penggunaan lahan tahun 2005 dan 2010 Peta kemampuan lahan
Hasil Peta kesesuaian penggunaan lahan tahun 2005 dan 2010 dengan kemampuan lahan
Sumber data: BAPPEDA Kota Bima Hasil tahapan analisis sebelumnya 5
Menentukan status daya dukung lahan pada tahun 2005 dan 2010
Perbandingan antara total ketersediaan lahan dan total • kebutuhan lahan • (Supply Side vs Demand Side) • • Metode penghitungan merujuk• pada Permen LH 17/2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup Dalam Penataan Ruang Wilayah
Data yang dibutuhkan: Jumlah penduduk Produksi padi/beras Produksi non padi Harga satuan beras Harga satuan tiap jenis komoditas selain beras pada tingkat produsen Sumber data: BPS dan BAPPEDA Kota Bima
Status daya dukung lahan berbasis produktivitas
24
Lanjutan Tabel 1 No 6
Tujuan Membuat peta arahan penggunaan lahan berbasis kemampuan lahan
Metode Analisis Penentuan arahan penggunaan lahan sesuai kemampuan lahan dilakukan berdasarkan prinsip bahwa semakin tinggi kelas kemampuan lahannya, maka semakin sedikit pilihan penggunaannya (Arsyad 2010)
Data dan Sumber Data Hasil tahapan analisis sebelumnya
Hasil Peta arahan penggunaan lahan sesuai kemampuan lahan
3.5.1 Perubahan Penggunaan Lahan Peta penggunaan lahan tahun 2005 skala 1 : 25.000 diperoleh dari BAPPEDA Kota Bima. Sementara peta penggunaan lahan tahun 2010 diperoleh dari interpretasi citra Geoeye-1 Kota Bima dengan resolusi 0,41 meter atau 16 inci dan imagery date 30 April 2010 yang terdapat pada Google Earth. Menurut Este dan Simonett (1975), interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek dan menilai arti pentingnya obyek tersebut. Dalam interpretasi citra, penafsir mengkaji citra dan berupaya mengenali obyek melalui tahapan kegiatan deteksi, identifikasi, dan analisis. Setelah mengalami tahapan tersebut, citra dapat diterjemahkan dan digunakan ke dalam berbagai kepentingan, misalnya dalam bidang geografi, geologi, lingkungan hidup, dan sebagainya. Deteksi adalah usaha penyadapan data secara global, baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Deteksi merupakan penentuan ada tidaknya suatu obyek, misalnya obyek berupa hutan. Identifikasi adalah kegiatan untuk mengenali obyek yang tergambar pada citra yang dapat dikenali berdasarkan ciri yang terekam oleh sensor dengan alat stereoskop. Dalam kegiatan interpretasi citra, ada tujuh karakteristik dasar yang menjadi pertimbangan (Lillesand dan Kiefer 1990), yaitu: 1. Bentuk, adalah konfigurasi atau kerangka suatu obyek. Bentuk beberapa obyek demikian khas sehingga citranya dapat diidentifikasi langsung hanya berdasarkan kriteria ini. 2. Ukuran, adalah ciri obyek berupa jarak, luas, tinggi, dan volume. Ukuran obyek pada citra adalah berupa skala. Contohnya: lapangan olah raga sepak bola dicirikan oleh bentuk segi empat dan ukuran yang tetap, yaitu sekitar 80100 m. 3. Pola, adalah hubungan susunan spasial obyek. Pola dapat digunakan untuk membedakan obyek bentukan manusia dan beberapa obyek alamiah. Misalnya pola aliran sungai yang berkelok-kelok berbeda dengan pola jalan raya yang umumnya lurus. Kebun karet, kebun kelapa, dan kebun kopi mudah dibedakan dengan hutan atau vegetasi lainnya karena polanya yang teratur. 4. Bayangan, bersifat menyembunyikan detail atau obyek yang berada di daerah gelap. Bayangan juga dapat merupakan kunci pengenalan yang penting dari
26
beberapa obyek yang justru dengan adanya bayangan menjadi lebih jelas. Misalnya lereng terjal tampak lebih jelas dengan adanya bayangan. Foto-foto yang sangat condong biasanya memperlihatkan bayangan obyek yang tergambar dengan jelas. 5. Rona, adalah warna atau kecerahan relatif obyek pada foto. 6. Tekstur, adalah frekuensi perubahan rona pada citra. Biasa dinyatakan dengan “kasar”, “sedang” dan “halus”. Misalnya, hutan bertekstur kasar dan semak bertekstur sedang. Tekstur merupakan hasil gabungan dari bentuk, ukuran, pola, bayangan, dan rona. 7. Situs, adalah letak suatu obyek terhadap obyek lain di sekitarnya. Misalnya permukiman pada umumnya memanjang pada pinggir pantai, tanggul alam, atau sepanjang tepi jalan; atau persawahan banyak terdapat di daerah dataran rendah. Dari tujuh karakteristik dasar tersebut di atas, Sutanto (1992) menambahkan satu karakteristik lagi, yaitu asosiasi. Asosiasi adalah keterkaitan antara obyek yang satu dengan obyek lainnya. Misalnya, stasiun kereta api berasosiasi dengan jalan kereta api yang jumlahnya lebih dari satu (bercabang). Munibah (2008) menambahkan faktor lain yang dapat dijadikan sebagai kunci interpretasi citra adalah kedekatan antara interpreter dengan obyek yang diinterpretasi. Menurut Sutanto (1992), pada dasarnya interpretasi citra terdiri dari dua kegiatan utama, yaitu perekaman data dari citra dan penggunaan data tersebut untuk tujuan tertentu. Perekaman data dari citra berupa pengenalan obyek dan unsur yang tergambar pada citra serta penyajiannya ke dalam bentuk tabel, grafik atau peta tematik. Urutan kegiatan dimulai dari (a) menguraikan atau memisahkan obyek yang rona atau warnanya berbeda; (b) ditarik garis batas/deliniasi bagi obyek yang rona dan warnanya sama; (c) setiap obyek dikenali berdasarkan karakteristik spasial dan unsur temporalnya; (d) obyek yang sudah dikenali diklasifikasi sesuai dengan tujuan interpretasinya; (e) digambarkan ke dalam peta kerja atau peta sementara; (f) dilakukan pengecekan medan (lapangan) untuk verifikasi; dan (g) interpretasi akhir, yaitu pengkajian atas pola atau susunan keruangan (obyek) untuk dapat dipergunakan sesuai tujuannya.
27
Deteksi perubahan penggunaan lahan dilakukan melalui proses tumpang susun (overlay) antara peta penggunaan lahan tahun 2005 dan 2010 menggunakan ArcGIS 9.3.
Identifikasi pusat-pusat perubahan penggunaan lahan dilakukan
dengan menggunakan analisis Location Quotient (LQ). Analisis LQ (Location Quotient) merupakan teknik analisis yang digunakan untuk mengetahui pemusatan suatu aktifitas di suatu wilayah dalam cakupan wilayah agregat yang lebih luas.
Sebagai contoh adalah pemusatan
aktifitas di level provinsi dalam lingkup wilayah nasional, atau pemusatan aktifitas di level kabupaten/kota dalam lingkup wilayah provinsi, demikian seterusnya.
Analisis LQ pada awalnya merupakan salah satu teknik yang
dikembangkan
untuk
melakukan
analisis
ekonomi
basis.
Dalam
perkembangannya, analisis LQ dapat digunakan untuk menganalisis untuk pemusatan aktifitas apapun, dalam hal penelitian ini adalah pemusatan aktifitas perubahan penggunaan lahan. Teknik LQ dilakukan secara berjenjang, dimulai dari unit administrasi terkecil (kecamatan) untuk setiap wilayah kabupaten, kemudian dilakukan pada unit kabupaten (Rustiadi et al. 2009). Persamaan analisis LQ dalam penelitian ini adalah:
LQ
IJ
X /X X /X IJ
I.
.J
..
…………………………………(1)
Dimana: XIJ
: luas perubahan penggunaan lahan di kecamatan ke-i
XI.
:
X.J
: luas kecamatan ke-i
X..
: total luas wilayah Kota Bima
total luas perubahan penggunaan lahan di Kota Bima
Interpretasi hasil analisis LQ adalah sebagai berikut: - Jika nilai LQij > 1, maka hal ini menunjukkan terjadinya konsentrasi suatu aktifitas di sub wilayah ke-i secara relatif dibandingkan dengan total wilayah atau terjadi pemusatan aktifitas di sub wilayah ke-i, sehingga dapat diketahui bahwa suatu wilayah administrasi terkecil yang dianalisis merupakan wilayah yang menjadi pusat perubahan penggunaan lahan. - Jika nilai LQij = 1, maka sub wilayah ke-i tersebut mempunyai konsentrasi aktifitas di wilayah ke-i sama dengan rata-rata total wilayah.
28
- Jika nilai LQij < 1, maka sub wilayah ke-i tersebut mempunyai aktifitas lebih kecil dibandingkan dengan aktifitas yang secara umum ditemukan di seluruh wilayah.
3.5.2 Kemampuan Lahan Kemampuan lahan merupakan karakteristik lahan yang mencakup sifat tanah (fisik dan kimia), topografi, drainase, dan kondisi lingkungan hidup lain. Berdasarkan karakteristik lahan tersebut, dapat dilakukan klasifikasi kemampuan lahan kedalam tingkat kelas, sub kelas, dan unit pengelolaan (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Dalam penelitian ini kriteria yang digunakan untuk mengidentifikasi kemampuan lahan pada tingkat sub kelas adalah kelerengan, jenis tanah, bahan induk, tekstur, kedalaman solum, drainase, dan kepekaan erosi. Bahan induk dianggap sebagai faktor pembentuk tanah yang amat penting oleh para perintis pedologi (Dokuchaev 1883 dalam Hardjowigeno 2003). Pengaruh dan hubungan sifat-sifat bahan induk dengan sifat-sifat tanah terlihat lebih jelas pada tanah-tanah di daerah kering atau tanah-tanah muda, hal ini relevan dengan kondisi fisik lahan Kota Bima dimana jenis tanahnya hanyalah dua ordo yaitu Entisol yang merupakan tanah muda dan Inseptisol yang sedikit lebih matang. Data tersebut diperoleh dari peta tanah skala 1:50.000 yang bersumber dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslittanak). Atribut peta mencakup jenis tanah, landform, relief, kelas lereng, dan ketinggian (altitude). Peta ini kemudian dipertajam dengan menggunakan data pendukung citra ASTER GDEM resolusi 30 m. Penajaman yang dilakukan adalah dengan mendeliniasi manual peta tanah yang ada khususnya atribut landform dan relief. Tahapan penajaman adalah: (1) konversi citra ASTER GDEM menjadi hillshade menggunakan fasilitas ArcToolbox pada ArcGIS; (2) meng-overlay peta tanah dengan DEM hillshade; dan (3) mendeliniasi manual peta tanah berdasarkan kenampakan landform yang serupa. Sukarman (2005) menyatakan bahwa data DEM dapat digunakan untuk membantu deliniasi satuan peta tanah semi detail dengan baik, di daerah bergunung berbahan induk homogen maupun heterogen. Pada daerah demikian, DEM dapat mengidentifikasi landform (bentuk lahan) dan relief dengan baik.
29
Klasifikasi kemampuan kelas pada tingkat sub kelas dilakukan dengan memperhatikan kriteria seperti pada Tabel 2 (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007).
Tabel 2 Kriteria klasifikasi kemampuan lahan pada tingkat sub kelas No.
Faktor I
1.
Tekstur tanah (t) a. lapisan atas (40 cm) b. lapisan bawah Lereng permukaan (%) Drainase Kedalaman efektif Keadaan erosi Kerikil/batuan Banjir
2. 3. 4. 5. 6. 7. (*) (**)
Kelas Kemampuan IV V
II
III
VI
VII
t2/t3
t1/t4
t1/t4
t2/t3
t2/t4 l0
t1/t4 l1
t1/t4 l2
d0/d1 k0 e0 b0 o0
d2 k0 e1 b0 o1
d3 k1 e1 b0 o2
VIII
t2/t3
t2/t3
t2/t3
t2/t3
t2/t4 l3
t2/t4 (*)
t2/t4 l4
t2/t4 l5
t2/t4 l6
d4 k2 e2 b1 o3
(**) (*) (*) b2 o4
(*) k3 e3 (*) (*)
(*) (*) e4 (*) (*)
(*) (*) (*) b3 (*)
= dapat mempunyai sembarang sifat faktor penghambat dari kelas yang lebih rendah = permukaan tanah selalu tergenang air.
Penggolongan besarnya intensitas faktor penghambat dalam kriteria klasifikasi kemampuan kelas pada tingkat sub kelas dapat diuraikan sebagai berikut (Arsyad 1979 dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). a. Tekstur tanah (t) Duabelas tekstur tanah dikelompokkan ke dalam lima kelompok sebagai berikut: - t1 (halus: liat berdebu, liat) - t2 (agak halus: liat berpasir, lempung liat berdebu, lempung berliat, lempung liat berpasir) - t3 (sedang: debu, lempung berdebu, lempung) - t4 (agak kasar: lempung berpasir) - t5 (kasar: pasir berlempung, pasir) b. Lereng permukaan (l) Lereng permukaan dikelompokkan sebagai berikut: - l0 (0-3%: datar) - l1 (3-8%: landai/berombak) - l2 (8-15%: agak miring/bergelombang) - l3 (15-30%: miring/berbukit) - l4 (30-45%: agak curam)
30
- l5 (45-65%: curam) - l6 (>65%: sangat curam) c. Drainase tanah (d) Drainase tanah diklasifikasikan sebagai berikut: - d0 (baik): tanah mempunyai peredaran udara baik. Seluruh profil tanah dari atas sampai lapisan bawah berwarna terang yang uniform dan tidak terdapat bercak-bercak. - d1 (agak baik): tanah mempunyai peredaran udara baik. Tidak terdapat bercak-bercak berwarna kuning, coklat, atau kelabu pada lapisan atas dan bagian atas lapisan bawah. - d2 (agak buruk): lapisan tanah atas mempunyai peredaran udara baik. Tidak terdapat bercak-bercak berwarna kuning, coklat, atau kelabu. Bercak-bercak terdapat pada seluruh lapisan bawah. - d3 (buruk): bagian atau lapisan atas (dekat permukaan) terdapat warna atau bercak-bercak berwarna kelabu, coklat, dan kekuningan. - d4 (sangat buruk): seluruh lapisan permukaan tanah berwarna kelabu dan tanah bawah berwarna kelabu atau terdapat bercak-bercak kelabu, coklat, dan kekuningan. d. Kedalaman efektif (k) Kedalaman efektif dikelompokkan sebagai berikut: - k0 (dalam: >90 cm) - k1 (sedang: 90-50 cm) - k2 (dangkal: 50-25 cm) - k3 (sangat dangkal: <25 cm) e. Keadaan erosi (e) Kerusakan oleh erosi dikelompokkan sebagai berikut: - e0 (tidak ada erosi) - e1 (ringan: <25% lapisan atas hilang) - e2 (sedang: 25-75% lapisan atas hilang) - e3 (berat: >75% lapisan atas hilang, <25% lapisan bawah hilang) - e4 (sangat berat: >75% lapisan atas hilang, >25% lapisan bawah hilang)
31
3.5.3 Kesesuaian Penggunaan Lahan dengan Kemampuan Lahan Untuk memperoleh peta kesesuaian antara penggunaan lahan dengan kemampuan lahan, peta kemampuan lahan tingkat sub kelas di-overlay dengan peta penggunaan lahan tahun 2005 dan 2010.
3.5.4 Daya Dukung Lahan Berbasis Produktivitas Ketersediaan lahan ditentukan berdasarkan data total produksi aktual setempat dari setiap komoditas di suatu wilayah, dengan menjumlahkan produk dari semua komoditas yang ada di wilayah tersebut. Untuk penjumlahan ini digunakan harga sebagai faktor konversi karena setiap komoditas memiliki satuan yang beragam. Sementara itu, kebutuhan lahan dihitung berdasarkan kebutuhan hidup layak. Total Produksi aktual seluruh komoditas setempat
Ketersediaan Lahan
Kebutuhan Lahan
Populasi Penduduk Kebutuhan lahan per orang yang diasumsikan dengan luas lahan untuk menghasilkan 1 ton setara beras/tahun
Daya Dukung Lahan Berbasis Produktivitas
Gambar 4 Metode penghitungan daya dukung lahan berbasis neraca lahan menurut Permen LH 17/2009 Penghitungan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: a. Penghitungan Ketersediaan (Supply) Lahan Rumus:
………………………(2) Dimana: SL
=
Ketersediaan lahan (ha)
Pi
=
Produksi aktual tiap jenis komoditi (satuan ton). Komoditas yang diperhitungkan meliputi pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan.
32
Hi
=
Harga satuan tiap jenis komoditas (Rp/kg) di tingkat produsen.
Hb
=
Harga satuan beras (Rp/kg) di tingkat produsen.
Ptvb =
Produktivitas beras (ton/ha). Dalam penghitungan ini, faktor konversi yang digunakan untuk menyetarakan produk nonberas dengan beras adalah harga.
b. Penghitungan Kebutuhan (Demand) Lahan Rumus: ………………………………….(3) Dimana: DL
=
Total kebutuhan lahan setara beras (ha)
N
=
Jumlah penduduk (orang)
KHLL
=
Luas lahan yang dibutuhkan untuk kebutuhan hidup layak per penduduk: a. Luas lahan yang dibutuhkan untuk kebutuhan hidup layak per penduduk merupakan kebutuhan hidup layak per penduduk dibagi produktivitas beras lokal. b. Kebutuhan hidup layak per penduduk diasumsikan sebesar 1 ton setara beras/kapita/tahun. c. Daerah yang tidak memiliki data produktivitas beras lokal, dapat menggunaan data rata-rata produktivitas beras nasional sebesar 2400 kg/ha/tahun atau 2,4 ton/ha/tahun.
c. Status daya dukung lahan diperoleh dari pembandingan antara ketersediaan lahan (SL) dan kebutuhan lahan (DL) . Bila SL>DL, daya dukung lahan dinyatakan surplus. Bila SL
33
Tabel 3 Contoh perhitungan nilai produksi total No.
Komoditas
1.
Padi dan palawija, antara lain: padi, jagung, dan seterusnya. Buah-buahan, antara lain: mangga, jeruk, dan seterusnya. Sayur mayur, antara lain: bawang merah, bawang putih, dan seterusnya. Tanaman obat-obatan, antara lain: jahe, lengkuas, dan seterusnya. Produksi daging, antara lain: sapi, kambing, dan seterusnya. Produksi telur, antara lain: ayam kampung dan ras. Perikanan. Perkebunan, antara lain: kelapa, kopi, dan seterusnya. Kehutanan : kayu dan non kayu TOTAL
2.
3.
4.
5.
6. 7. 8. 9.
Produksi (Pi)
Harga Satuan (Hi)
Nilai Produksi (Pi ×Hi)
………
…………
……………..
………
…………
……………..
………
…………
……………..
………
…………
……………..
………
…………
……………..
………
…………
……………..
……… ………
………… …………
…………….. ……………..
………
…………
……………..
3.5.5 Arahan Penggunaan Lahan Sesuai Kemampuan Lahan Arahan penggunaan lahan ini hanya didasarkan pada kelas kemampuan lahan. Kemampuan lahan merupakan cara sistematis untuk menilai potensi lahan agar dapat berproduksi secara lestari (Worosuprodjo 2005). Analisis kemampuan lahan dapat digunakan untuk menunjang kebijakan dan perencanaan penggunaan lahan yang optimal yang tujuannya harus berkesinambungan dan berkelanjutan. Lahan diklasifikasikan menggunakan faktor penghambat, sehingga dengan mengetahui faktor penghambatnya maka potensi yang menghambat pemanfaatan dapat diminimumkan. Hal ini dimaksudkan agar peruntukan lahan tidak melebihi kapasitas dan daya dukung lahan sehingga kelestarian lahan pun terjaga. Penilaian ini dapat juga digunakan untuk memperbaiki pengelolaan yang sudah ada sehingga dapat diperoleh bentuk konservasi yang tepat (Notohadiprawiro 1991).
34
Penentuan arahan penggunaan lahan sesuai kemampuan lahan dilakukan berdasarkan prinsip bahwa semakin tinggi kelas kemampuan lahannya, maka semakin sedikit pilihan penggunaannya. Kemampuan lahan pada kelas I sampai IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan dan sesuai untuk berbagai penggunaan, seperti untuk penanaman tanaman pertanian umumnya (tanaman semusim dan tahunan), rumput untuk makanan ternak, padang rumput, dan hutan. Tanah pada kelas V, VI, dan VII sesuai untuk padang rumput, tanaman pohon-pohon atau vegetasi alami. Dalam beberapa hal, tanah kelas V dan VI dapat menghasilkan dan menguntungkan untuk beberapa jenis tanaman tertentu, seperti buah-buahan, tanaman hias atau bunga-bungan, dan bahkan jenis sayuran bernilai tinggi dengan pengelolaan dan tindakan konservasi tanah dan air yang baik. Tanah dalam kelas VIII sebaiknya dibiarkan dalam keadaan alami (Arsyad 2010).
Hambatan/ancaman meningkat, Kesesuaian dan pilihan penggunaan berkurang
Garapan Sangat Intensif
Garapan Intensif
Garapan Sedang
Garapan Terbatas
Penggembalaan Intensif
Penggembalaan Sedang
Penggembalaan Terbatas
Hutan Produksi Terbatas
Kelas kemampuan lahan
Cagar alam/ Hutan lindung
Intensitas dan pilihan penggunaan meningkat
I II III IV V VI VII VIII
Gambar 5 Skema hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan lahan Sumber: Arsyad 2010
3.6 Batasan Penelitian Beberapa batasan dalam penelitian ini adalah: 1.
Analisis daya dukung lingkungan hanya dilakukan terhadap aspek lahan, mencakup analisis kemampuan lahan dan neraca lahan berbasis produk
35
biohayati, yaitu perbandingan ketersediaan lahan untuk menghasilkan produk hayati (bioproduct) dengan kebutuhan lahan berdasarkan jumlah penduduk. 2.
Hutan tidak dihitung sebagai lahan produktif, karena dalam hal Kota Bima tidak terdapat data produksi hasil hutan.
3.
Arahan penggunaan lahan hanya didasarkan pada kelas kemampuan lahan. Hal ini sesuai dengan konsep bahwa dalam perencanaan penataan ruang secara garis besar alokasi ruang dibagi dalam dua jenis, yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya. Untuk deliniasi kawasan lindung, kriteria evaluasi lahan yang paling sesuai untuk digunakan adalah kemampuan lahan.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penggunaan Lahan dan Dinamika Perubahannya 4.1.1 Penggunaan Lahan Tahun 2005 dan 2010 Berdasarkan peta penutupan/penggunaan lahan tahun 2005 skala 1:25.000 yang diperoleh dari BAPPEDA Kota Bima, terdapat sebelas kelas penggunaan lahan di Kota Bima, seperti disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Penggunaan lahan Kota Bima tahun 2005 Penggunaan Lahan Air Hutan Mangrove Sekunder Hutan Primer Hutan Sekunder Permukiman Pertanian Lahan Kering Rumput (Savanna) Sawah Semak/Belukar Tambak Tanah Terbuka/Kosong Jumlah
Luas (ha) 63 6 283 10.692 1.229 7.021 56 834 1.571 105 3 21.862
Persentase (%) 0,3 0,02 1,3 48,9 5,6 32,1 0,3 3,8 7,2 0,5 0,01 100,0
Penggunaan lahan yang dominan adalah hutan sekunder, mencakup 10.692 hektar atau 48,9%, sebagian besar terletak di Kecamatan Asakota dan Rasanae Timur, dimana kedua kecamatan ini memiliki topografi yang umumnya miring berbukit hingga curam. Penggunaan lahan yang paling kecil adalah tanah terbuka, yaitu hanya 3 hektar atau 0,01% luas wilayah. Secara keruangan, lahan permukiman umumnya berada di tengah kota. Pertanian lahan kering mendominasi bagian selatan Kota Bima. Pada tahun 2005 penggunaan lahan untuk keperluan budidaya adalah seluas 8.016 hektar atau 36,7% dari total wilayah Kota Bima. Lahan budidaya mencakup pertanian lahan kering, padang rumput untuk penggembalaan, sawah, dan tambak. Penggunaan lahan untuk permukiman adalah seluas 1.229 hektar atau 5,6% dari total wilayah Kota Bima. Permukiman terpusat pada lahan yang memiliki relief datar.
38
Gambar 6 Peta penggunaan lahan Kota Bima tahun 2005 Peta penggunaan lahan tahun 2010 diperoleh dari hasil interpretasi citra Geoeye-1 resolusi 0,41 meter imagery date 30 April 2010 pada Google Earth. Jenis penggunaan lahan Kota Bima tahun 2010 disajikan sebagai berikut. Tabel 5 Penggunaan lahan Kota Bima tahun 2010 Penggunaan Lahan Air Hutan Mangrove Sekunder Hutan Sekunder Permukiman Pertanian Lahan Kering Rumput (Savanna) Sawah Semak/Belukar Tambak Tanah Terbuka/Kosong Jumlah
Luas (ha) 63 16 7.503 1.455 7.833 11 1.508 3.189 94 191 21.862
Persentase (%) 0,3 0,07 34,3 6,7 35,8 0,1 6,9 14,6 0,4 0,8 100
39
Pada tahun 2010 tinggal tersisa 10 kelas penggunaan lahan, yaitu air, hutan mangrove sekunder, hutan sekunder, permukiman, pertanian lahan kering, rumput (padang
penggembalaan),
sawah,
semak/belukar,
tambak,
dan
tanah
terbuka/kosong. Pertanian lahan kering menempati luasan terbesar yaitu 7.833 hektar atau 35,8% dari total wilayah, dan secara spasial tersebar di semua wilayah kecamatan, namun luasan terbesar adalah di Kecamatan Rasanae Timur.
Gambar 7 Peta penggunaan lahan Kota Bima tahun 2010
4.1.2 Perubahan Penggunaan Lahan Periode Tahun 2005 - 2010 Hasil analisis perubahan penutupan/penggunaan lahan dari tahun 2005 hingga 2010 menunjukkan bahwa lahan yang mengalami perubahan penggunaan adalah seluas 6.692 hektar atau 30,6% dari luas wilayah Kota Bima, sementara yang tidak mengalami perubahan adalah seluas 15.171 hektar atau 69,4% dari luas wilayah Kota Bima. Hutan primer yang pada tahun 2005 masih terdapat seluas 283 hektar, pada tahun 2010 telah hilang sama sekali beralih fungsi menjadi pertanian lahan kering, padang rumput penggembalaan ternak, sawah dan semak belukar. Di Kota Bima terdapat beberapa perubahan penggunaan lahan yang mungkin tidak biasa, misalnya hutan mangrove sekunder menjadi pertanian lahan
40
kering dan semak belukar. Pertanian lahan kering tersebut adalah kebun kelapa, dan hal tersebut terjadi di daerah pantai yang mengalami pendangkalan sehingga akhirnya menjadi lahan terbuka yang selanjutnya dijadikan kebun kelapa dan tertutup semak belukar. Matriks perubahan penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 6.
Gambar 8 Peta perubahan penggunaan lahan Kota Bima periode tahun 2005-2010 Gambar 8 menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan terjadi merata di hampir seluruh wilayah Kota Bima, namun demikian paling banyak terjadi di bagian utara dan bahkan sampai ke daerah berbukit. Perubahan penggunaan lahan pada daerah datar relatif kecil karena sebagian besar area pada lahan datar sudah merupakan daerah terbangun.
41
Tabel 6 Matriks perubahan penggunaan lahan Kota Bima periode tahun 2005-2010 Penggunaan Lahan Tahun 2005
Penggunaan Lahan Tahun 2010 Air
(ha) Air
Hutan Mangrove Sekunder (ha)
Hutan Sekunder
Permukiman
(ha)
(ha)
Pertanian Lahan Kering (ha)
Jumlah
Rumput (savanna)
Sawah
Semak/Belukar
Tambak
Tanah Terbuka
(ha)
(ha)
(ha)
(ha)
(ha)
63
Hutan Mangrove Sekunder Hutan Primer
63 2
3 253
Hutan Sekunder
7.503
Permukiman
7
2.234
10
2
27
37
764
5 283 138
1.229
Pertanian Lahan Kering Rumput
136
10.693 1.229
4.661 54
767
1.443
1
16
7.022
1
56
Sawah
39
96
683
16
1
834
Semak
45
535
19
938
34
1.571
1
105
Tambak
14
91
Tanah Terbuka Jumlah
1 63
16
7.503
1.455
7.833
11
1.508
3.189
1 94
191
21.862
42
4.1.3 Pusat-pusat Perubahan Penggunaan Lahan Berdasarkan nilai LQ, dapat dibuat tipologi wilayah kecamatan berdasarkan aktifitas perubahan penggunaan lahan dengan membagi kecamatankecamatan tersebut kedalam dua kelompok, yaitu yang memiliki nilai LQ>1 dan nilai LQ<1. Nilai LQ>1 menunjukkan terjadinya konsentrasi aktifitas perubahan penggunaan lahan pada suatu kecamatan secara relatif dibandingkan dengan aktifitas perubahan penggunaan lahan di wilayah Kota Bima secara umum. Nilai LQ<1 menunjukkan bahwa di kecamatan tersebut aktifitas
perubahan
penggunaan lahan yang terjadi lebih kecil dibandingkan dengan aktifitas perubahan penggunaan lahan di seluruh wilayah Kota Bima. Dari hasil perhitungan, yang memiliki nilai LQ>1 adalah Kecamatan Mpunda (1,45) dan Raba (1,37), sementara yang memiliki nilai LQ<1 adalah Kecamatan Rasanae Timur (0,95), Rasanae Barat (0,70), dan Asakota (0,56).
Gambar 9 Peta tingkat aktifitas perubahan penggunaan lahan per kecamatan di Kota Bima periode tahun 2005 - 2010 Berdasarkan nilai LQ, pemusatan aktifitas perubahan penggunaan lahan terjadi di Kecamatan Mpunda. Kecamatan Mpunda memiliki jumlah penduduk 25.983 jiwa (BPS 2011), merupakan pemekaran dari Kecamatan Rasanae Barat
43
dan diproyeksikan sebagai pusat pendidikan di Kota Bima. Sebagai kecamatan baru, Mpunda mengalami aktifitas pembangunan infrastruktur yang cukup tinggi, antara lain pembangunan kantor pemerintahan dan Puskesmas. Perubahan penggunaan lahan di Kecamatan Mpunda mencapai 44,2% dari total luas wilayah kecamatan, mencakup perubahan dari pertanian lahan kering dan sawah menjadi lahan permukiman serta semak belukar menjadi sawah. Faktor lain yang mempengaruhi adalah laju pertumbuhan penduduk. Selama sepuluh tahun terakhir atau periode dua sensus (periode tahun 2000 – 2010), rata-rata laju pertumbuhan penduduk di Kota Bima adalah sebesar 2% per tahun. Kecamatan yang mengalami laju pertumbuhan penduduk tertinggi adalah Kecamatan Mpunda sebesar 4,54%, jauh diatas pertumbuhan rata-rata Kota Bima. Sedangkan, Kecamatan Raba meskipun mempunyai jumlah penduduk tertinggi di Kota Bima namun laju pertumbuhan penduduknya terendah, yaitu 0,58% (BPS 2011). Tingginya laju pertumbuhan penduduk di Kecamatan Mpunda menyebabkan pesatnya pertambahan luas lahan terbangun, baik berupa pembangunan kompleks perumahan, kantor pemerintahan dan fasilitas kesehatan, maupun kos-kosan pelajar dan mahasiswa.
Gambar 10 Laju pertumbuhan penduduk Kota Bima per kecamatan periode tahun 2000-2010
Gambar 11 Contoh perubahan penggunaan lahan pertanian sawah menjadi lahan terbangun
44
4.2 Karakteristik Fisik Lahan 4.2.1 Kemiringan Lereng Kondisi kemiringan lereng di Kota Bima beragam dari 0 - 3% hingga lebih dari 65%. Kemiringan lereng Kota Bima terbagi kedalam tujuh kelas yaitu: kelas lereng 0-3%, 3-8%, 8-15%, 15-30%, 30-45%, 45-65%, dan >65%. Kelas lereng 15-30% menempati luasan terbesar, yaitu 6.222 hektar atau 28,5% dari luas wilayah Kota Bima. Luas dan penyebaran masing-masing kelas lereng disajikan dalam Tabel 7. Topografi Kota Bima dari citra ASTER GDEM, disajikan dalam Gambar 12.
Gambar 12 Topografi Kota Bima dari citra ASTER GDEM Tabel 7 Kelas lereng dan relief Kota Bima Kelas Lereng 0 - 3% 3 - 8% 8 - 15% 15 - 30% 30 - 45% 45 - 65% > 65% Jumlah
Relief Datar Berombak Bergelombang Miring/berbukit Agak curam Curam Sangat curam
Luas (ha) 2.886 2.596 4.638 6.223 2.752 2.246 522 21.862
Persentase (%) 13,2 11,8 21,5 28,4 12,6 10,2 2,3 100,0
45
Pada Gambar 12 terlihat bahwa permukiman, yaitu area yang berwarna putih, sebagian besar terletak pada lahan-lahan datar. Lahan-lahan datar tersebut merupakan area yang rawan banjir, karena memang merupakan endapan aluvial atau dataran yang terbentuk akibat adanya banjir.
4.2.2 Jenis Tanah Terdapat dua jenis tanah tingkat ordo di wilayah Kota Bima, yaitu Entisol dan Inseptisol; lima jenis tanah tingkat sub-ordo yaitu Fluvent, Psamment, Orthent, Aquept, dan Ustept; enam jenis tanah tingkat great-group yaitu Ustifluvent, Ustipsamment, Ustorthent, Halaquept, Endoaquept, dan Haplustept; serta dua belas jenis tanah tingkat sub-grup, yaitu Lithic Haplustepts, Lithic Ustorthents, Typic Endoaquepts, Typic Haplustepts, Typic Endoaquepts, Typic Halaquepts, Typic Haplustepts, Typic Ustifluvents, Typic Ustipsamments, Typic Ustorthent, Typic Ustorthents, dan Typic Ustorthents. Entisol adalah tanah yang tingkat perkembangan horisonnya masih sangat sederhana tetapi berbeda dengan bahan induk karena Entisol sudah mempunyai epipedon okrik, sedang horison bawah pencirinya belum terbentuk. Tanah Entisol memiliki kedalaman dangkal sampai dalam, drainase terhambat sampai baik, tekstur halus, pH agak alkalis. Entisol dapat berasal dari bahan endapan baru yang bertekstur pasir sampai liat atau bahan-bahan volkanik muda seperti abu gunung api atau lahar. Entisol dapat juga berasal dari bahan induk tua seperti batuan liat, batuan pasir, batuan beku, dan lain-lain yang karena terus-menerus tererosi perkembangan tanah tidak dapat berjalan lanjut. Bila ditemukan horison penciri selain epipedon okrik, horison-horison tersebut ditemukan di luar penggal penentu untuk klasifikasi ordo tanah sehingga tidak dapat masuk ke dalam ordo tanah yang lain kecuali Entisol. Karena dapat berasal dari berbagai macam bahan induk dengan umur beragam dari muda sampai tua, dan sembarang iklim, relief, serta vegetasi, maka sifat Entisol juga sangat beragam. Sementara Inseptisol adalah tanah yang memiliki tingkat perkembangan yang sudah lebih matang, namun secara umum Entisol dan Inseptisol masih dikategorikan sebagai tanah muda. Pada sub-grup tanah Lithic, kedalaman solum adalah dangkal. Sementara tanah sub-grup Typic mempunyai sifat-sifat yang tidak menyimpang dari great group-
46
nya atau dengan kata lain tidak menunjukkan adanya sifat-sifat tambahan yang nyata selain dari sifat-sifat dasar yang dimiliki oleh great group-nya. Untuk tekstur, tanah-tanah Entisol dan Inseptisol memiliki tekstur pasir berlempung atau lebih halus, kecuali untuk great-group ustipsamment bertekstur lebih kasar. Untuk drainase, tanah-tanah Entisol memiliki drainase yang baik, karena tanah jenis ini memiliki epipedon okhrik yang berwarna terang.
Gambar 13 Peta tanah Kota Bima Tabel 8 Luas masing-masing jenis tanah Jenis Tanah Typic Ustifluvents Lithic Ustorthents Typic Ustipsamments Typic Halaquepts Typic Endoaquepts Lithic Haplustepts Typic Ustorthents Typic Haplustepts Jumlah Keterangan:
Luas (ha) 9 15 40 169 1.789 2.237 3.595 13.339 21.193
Persentase (%) 0,04 0,1 0,2 0,8 8,4 10,6 17,0 62,9 100,0
Luas total tidak sama dengan luas wilayah, karena terdapat area yang tertutupi oleh lahan terbangun (669 hektar) dan tidak tersurvei sehingga tidak memiliki atribut dalam peta tanah (Puslittanak 1997).
47
Tanah jenis Typic Haplustepts menempati luas lahan yang paling besar yaitu 13.339 hektar atau 61% dari luas wilayah Kota Bima. Secara spasial tanah jenis ini tersebar di bagian utara, timur, dan selatan Kota Bima, meliputi empat wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Asakota, Mpunda, Raba, dan Rasanae Timur.
4.2.3 Bentuk Lahan Bentuk lahan wilayah Kota Bima dapat dikelompokkan menjadi 4 bentuk lahan utama, yaitu Aluvial, Marin, Volkanik, dan Karst. Bentuk lahan Aluvial dapat dibedakan menjadi dataran banjir (di daerah dekat pantai), dataran Aluvial (di Kota Bima), dan dasar lembah (jalur aliran sungai). Bentuk lahan Marin dibedakan menjadi dua bagian yaitu pesisir (pesisir pasir dan pesisir lumpur) dan tebing batuan. Bentuk lahan Volkanik menempati wilayah yang paling luas dan secara spasial menempati wilayah bagian utara Kota Bima. Bentuk lahan Karst menempati wilayah paling utara dan bagian tenggara Kota Bima. Pada tingkat sub grup, lima bentuk lahan utama tersebut dibedakan menjadi 16 tipe bentuk lahan yaitu: 1. A1128 :
Jalur Meander, yaitu wilayah sepanjang sungai meander dengan batas pinggir pada ujung-ujung lengkung luar. Biasanya dicirikan oleh adanya bekas-bekas aliran sungai lama.
2. A13
:
Dataran Aluvial, yaitu dataran luas yang terbentuk karena pengendapan bahan aluvial oleh air, terdiri atas lumpur, pasir atau kerikil, umumnya termasuk agak tua (subresen) dan sungai yang membentuk wilayah ini sudah tidak jelas lagi.
3. A15
:
Jalur Aliran, yaitu wilayah sepanjang aliran sungai di wilayah yang relatif datar dan tersusun oleh bahan-bahan baru dari sungai tersebut, umumnya berlapis-lapis.
4. A2
:
Lahan Aluvio-Koluvial, yaitu lahan agak datar sampai miring, terbentuk karena proses fluvial dan koluvial (gravitasi) di antara bukit-bukit atau kaki bukit/gunung.
48
5. B2
:
Grup Fluvio-Marin (B), yaitu Dataran Estuarin Sepanjang Muara/Hilir Sungai dan Pantai, sementara penjelasan lebih lanjut pada tingkat subgroup (B2) adalah merupakan wilayah di sekitar muara/hilir sungai dan pantai estuarin yang dipengaruhi oleh air sungai dan pasang-surut air laut melalui alur-alur kecil (creeks).
6. K2
:
Dataran Karst, yaitu karst dengan bukit-bukit kecil yang relatif sama ketinggiannya, dijumpai di wilayah yang relatif rendah elevasinya, dan tidak terdapat tebing curam di sekitarnya.
7. K3
:
Perbukitan
Karst,
yaitu
wilayah
karst
dengan
relief
perbukitan. 8. M32
:
Grup Teras Marin (M3) subgroup Teras Marin Subresen (M32), yaitu bentuk lahan dimana bahan penyusun teras terdiri atas bahan endapan subresen, biasanya posisinya lebih ke pedalaman dan tererosi.
9. V112
:
Kaldera, yaitu cekungan volkan luas di bagian atas sistem gunung berapi strato, biasanya terbentuk karena penurunan puncak kerucut (collapse atau tererosi), atau karena terjadinya letusan raksasa.
10. V113
:
Lereng Volkan Atas, yaitu bagian lereng atas kerucut volkan yang curam, biasanya dengan garis-garis kikisan yang dalam.
11. V114
:
Lereng Volkan Tengah, yaitu bagian lereng tengah kerucut volkan yang tidak terlalu curam dengan pola drainase radial.
12. V115
:
Lereng Volkan Bawah, yaitu bagian lereng bawah kerucut volkan yang melandai.
13. V16
:
Lungur Volkanik, yaitu bagian dari sistem volkan yang merupakan punggung-punggung atau lungur-lungur karena prosesnya telah berlangsung cukup lama. Bisa terdapat di bagian lereng atas, lereng bawah, atau kaki volkan.
14. V32
:
Perbukitan Volkanik Tua, yaitu perbukitan volkanik tua dengan lereng >15% dan perbedaan tinggi 50-300 m.
49
15. V4
:
Intrusi
Volkanik,
yaitu
penerobosan
magma
melalui
celah/retakan/patahan dalam kulit bumi, membeku di bawah permukaan kulit bumi yang kemudian muncul di permukaan karena erosi; 16. X1
:
Grup X, yaitu bentukan alam atau hasil kegiatan manusia yang tidak termasuk dalam grup yang telah diuraikan sebelumnya, misalnya: lahan rusak, singkapan batuan, penambangan, penggalian, landslide, wilayah sangat berbatu, dan lain-lain.
Sebaran bentuk lahan disajikan dalam Gambar 14. Bentuk lahan yang menempati luas terbesar adalah lungur volkanik, yaitu 7.375 hektar dan secara spasial tersebar di bagian tengah Kota Bima.
Gambar 14 Peta bentuk lahan Kota Bima
4.2.4 Jenis Bahan Induk Tanah Bahan induk dianggap sebagai faktor pembentuk tanah yang amat penting oleh para perintis pedologi (Dokuchaev 1883 diacu dalam dalam Hardjowigeno 2003). Pengaruh dan hubungan sifat-sifat bahan induk dengan sifat-sifat tanah
50
terlihat lebih jelas pada tanah-tanah di daerah kering atau tanah-tanah muda, hal ini relevan dengan kondisi fisik lahan Kota Bima, dimana ordo tanah yang dimiliki Kota Bima adalah ordo Entisol dan Inseptisol yang merupakan kategori tanah muda. Jenis bahan induk tanah Kota Bima disajikan dalam Tabel 9, dan sebarannya disajikan dalam Gambar 15. Tabel 9 Jenis bahan induk tanah Kota Bima Bahan Induk Tanah Luas (ha) Persentase (%) Endapan liat pasir 9 0,04 Endapan pasir marin 40 0,2 Breksi andesit basal 43 0,2 Endapan liat marin 169 0,8 Aluvium dan koluvium 1.179 5,6 Batu kapur kerang 1.336 6,3 Endapan liat 1.863 8,8 Andesit dan basal 3.045 14,4 Breksi andesit 3.577 16,9 Breksi basal 9.933 46,9 Jumlah 21.194 100,0 Keterangan: Luas total tidak sama dengan luas wilayah, karena terdapat area yang tertutupi oleh lahan terbangun (669 hektar) dan tidak tersurvei sehingga tidak memiliki atribut dalam peta tanah (Puslittanak 1997).
Gambar 15 Peta bahan induk tanah Kota Bima
51
Bahan induk tanah yang dominan adalah breksi basalt yang merupakan batuan beku. Batuan jenis ini banyak mengandung mineral kelam (mineral yang banyak mengandung Fe dan Mg) yang merupakan mineral mudah lapuk dan menghasilkan tanah dengan kejenuhan basa yang tinggi. Horison permukaan umumnya bertekstur lempung atau lempung liat (Hardjowigeno 2003).
4.3 Kemampuan Lahan Dalam penelitian ini kriteria yang digunakan untuk mengidentifikasi kemampuan lahan adalah kemiringan lereng, tekstur, kedalaman efektif, drainase, dan kepekaan erosi. Kondisi iklim wilayah juga dapat mempengaruhi karakteristik dan kemampuan lahan. Kota Bima beriklim tropis dengan temperatur antara 19,5° - 30,8° Celcius. Curah hujan pertahunnya berkisar antara 468 hingga 1219,2 mm dengan hari hujan terbanyak terjadi pada bulan Januari, Februari, April, November, dan puncaknya sekitar bulan Desember. Tabel 10 Drainase tanah Kota Bima Drainase tanah Agak cepat Baik Cepat Sedang Terhambat Jumlah Keterangan:
Luas (ha)
Persentase (%) 6.468 30,5 846 4,0 11.715 55,3 206 1,0 1.958 9,2 21.193 100,0 Luas total tidak sama dengan luas wilayah, karena terdapat area yang tertutupi oleh lahan terbangun (669 hektar) dan tidak tersurvei sehingga tidak memiliki atribut dalam peta tanah (Puslittanak 1997).
Tabel 11 Tekstur tanah Kota Bima Persentase Tekstur tanah Luas (ha) (%) Berdebu halus dan kasar 13.552 63,9 Berlempung halus 1.179 5,6 Berliat 1.863 8,8 Lempung berpasir 4.420 20,9 Lempung liat berpasir 178 0,8 Jumlah 21.193 100,0 Keterangan: Luas total tidak sama dengan luas wilayah, karena terdapat area yang tertutupi oleh lahan terbangun (669 hektar) dan tidak tersurvei sehingga tidak memiliki atribut dalam peta tanah (Puslittanak 1997).
52
Tabel 12 Kedalaman efektif tanah Kota Bima Persentase Kedalaman efektif tanah Luas (ha) (%) >100 cm 3.042 13,9 50 - 75 cm 5.173 23,7 50 - 90 cm 12.978 59,4 Jumlah 21.862 96,9 Keterangan: Luas total tidak sama dengan luas wilayah, karena terdapat area yang tertutupi oleh lahan terbangun (669 hektar) dan tidak tersurvei sehingga tidak memiliki atribut dalam peta tanah (Puslittanak 1997).
Tabel 13 Erosi tanah Kota Bima Erosi tanah Berat Ringan Sangat Berat Sangat ringan Sedang Jumlah Keterangan:
Luas (ha) 4.998 5.138 522
Persentase (%) 22,9 23,5 2,4
4.982 22,8 6.223 28,5 100,0 21.862 Luas total tidak sama dengan luas wilayah, karena terdapat area yang tertutupi oleh lahan terbangun (669 hektar) dan tidak tersurvei sehingga tidak memiliki atribut dalam peta tanah (Puslittanak 1997).
Drainase, tekstur, kedalaman efektif, dan erosi tanah merupakan karakteristik tanah yang dapat diinterpretasi dari jenis tanah, bahan induk, bentuk lahan, dan kemiringan lereng.
53
Gambar 16 Peta drainase tanah Kota Bima
Gambar 17 Peta tekstur tanah Kota Bima
54
Gambar 18 Peta kedalaman efektif tanah Kota Bima
Gambar 19 Peta erosi tanah Kota Bima
55
4.3.1 Kemampuan Lahan Tingkat Kelas
Gambar 20 Peta kemampuan lahan Kota Bima pada tingkat kelas Pada tingkat kelas, terdapat 6 kelas kemampuan lahan di Kota Bima, yaitu kelas II, III, IV, VI, VII, dan VIII. Tidak terdapat lahan kelas I atau lahan yang tanpa faktor penghambat sama sekali. Secara spasial, lahan dengan kelas kemampuan yang tinggi terletak di bagian timur dan utara Kota Bima, yaitu pada daerah yang memiliki kelas lereng >30%. Lahan datar memiliki kelas kemampuan yang rendah.
56
Tabel 14 Kemampuan lahan Kota Bima tingkat kelas Kemampuan Lahan
Luas (ha)
II III IV VI VII VIII Jumlah Keterangan:
3.079 6.371 6.223 2.752 2.246 522 21.193
Persentase (%) 14,5 30,1 29,4 13,0 10,6 2,5 100,0
Luas total tidak sama dengan luas wilayah, karena terdapat area yang tertutupi oleh lahan terbangun (669 hektar) dan tidak tersurvei sehingga tidak memiliki atribut dalam peta tanah (Puslittanak 1997).
4.3.2 Kemampuan Lahan Tingkat Sub Kelas Kemampuan lahan pada tingkat kelas dibagi lagi berdasarkan faktor penghambat sehingga menghasilkan 14 sub kelas kemampuan lahan. Luas yang terbesar adalah sub kelas IV (l, e), dengan luasan 6.223 hektar atau 28,5% dari total wilayah, dan secara spasial tersebar di bagian utara, timur, dan tenggara Kota Bima. Sebaran sub kelas kemampuan lahan disajikan pada Gambar 21.
Gambar 21 Peta kemampuan lahan Kota Bima pada tingkat sub kelas
57
Tabel 15 Kemampuan lahan Kota Bima tingkat sub kelas Kemampuan Luas Persentase Lahan (ha) (%) II (e) 500 2,4 II (l) 434 2,0 II (t, l, k) 283 1,3 II (t, d) 1.342 6,3 II (t, l) 145 0,7 II (t, l, d) 376 1,8 III (k) 1.515 7,1 III (l, e) 246 1,2 III (l, k, e) 4.392 20,7 III (t, d) 218 1,0 IV (l, e) 6.223 29,4 VI (l, e) 2.752 13,0 VII (l) 2.246 10,6 VIII (l) 522 2,5 Jumlah 21.194 100,0 Keterangan faktor pembatas: t : tekstur l : lereng d : drainase k : kedalaman efektif e : bahaya erosi Keterangan:
Luas total tidak sama dengan luas wilayah, karena terdapat area yang tertutupi oleh lahan terbangun (669 hektar) dan tidak tersurvei sehingga tidak memiliki atribut dalam peta tanah (Puslittanak 1997).
4.3 Kesesuaian Penggunaan Lahan dengan Kemampuan Lahan Dalam penentuan kesesuaian penggunaan lahan yang dikaitkan dengan kemampuan lahan diperlukan proses interpretasi. Pilihan sesuai atau tidak sesuai sebenarnya belum mampu menggambarkan kondisi penggunaan aktual terkait dengan usaha perbaikan lahan, misalnya sudah diterapkannya teknologi atau belum, atau adanya perbedaan kuantitatif antara satu pilihan penggunaan lahan dengan penggunaan lainnya walaupun tetap termasuk dalam satu kategori. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah pemahaman hubungan antara aktual penutupan/penggunaan lahan dengan kelas kemampuan, mengingat aktual penutupan lahan dapat mempunyai makna ganda jika diletakkan dalam konteks sesuai kemampuan atau tidak. Teknologi dapat mengubah kelas kemampuan lahan, misalnya lahan tertentu menjadi kelas IV karena drainase sangat buruk
58
(d4). Dengan pemanfaatan teknologi, lahan tersebut dapat didrainasekan sehingga drainasenya menjadi baik, dan oleh karenanya kelas kemampuan lahannya pun meningkat. Dalam hal ini kelasnya berubah menjadi kelas III atau II. Kondisi ini membuat pencocokan atau evaluasi penggunaan lahan menjadi sesuatu yang kompleks. Pertimbangan penggunaan/penutupan diletakkan pada kelas tertentu membutuhkan pertimbangan yang seksama. Untuk keperluan praktis, sebelum dilakukan proses pencocokan penggunaan lahan dengan kemamppuan lahan, maka perlu disusun matriks kecocokan seperti disajikan dalam Tabel 16. Dalam penelitian ini, evaluasi kesesuaian antara penggunaan lahan dengan kemampuan lahan hanya dilakukan pada penggunaan lahan sawah, rumput (padang penggembalaan), tambak, dan pertanian lahan kering, karena keempat penggunaan lahan inilah yang menghasilkan nilai produksi terkait dengan penentuan daya dukung lahan berbasis produktivitas. Dalam hal ini terdapat empat kategori kesesuaian penggunaan lahan yaitu: Sesuai, Sesuai Bersyarat, Tidak Sesuai, dan Tidak Dinilai. Yang dimaksud Sesuai Bersyarat adalah bahwa lahan tersebut dapat digunakan untuk tipe penggunaan lahan tertentu setelah dilakukan perbaikan terhadap salah satu atau beberapa faktor penghambat, misalnya perbaikan kelerengan dan bahaya erosi dengan melakukan terasering atau membuat guludan. Penentuan keputusan Sesuai atau Tidak Sesuai setiap tipe penggunaan lahan dilakukan dengan melihat beberapa faktor pembatas, yaitu erosi, lereng, tekstur, kedalaman efektif, dan drainase. Untuk penggunaan lahan sawah, misalnya, lahan harus memiliki kemiringan lereng <5%, sehingga pada lahan pada kelas kemampuan II dengan faktor pembatas lereng dinyatakan sesuai bersyarat bagi penggunaan lahan sawah (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Namun demikian, pada lahan kelas II dengan faktor pembatas yang lebih banyak, yaitu kedalaman efektif dan tekstur, dinilai sesuai untuk penggunaan lahan sawah. Hal ini kembali kepada atribut tekstur, drainase, dan kedalaman. Pada lahan kelas II (t, d), drainase tanahnya agak buruk dan tekstur liat berdebu. Karakteristik ini sesuai untuk sawah. Untuk lebih jelasnya, kriteria kesesuaian lahan untuk sawah, tambak, padang penggembalaan, perkebunan, dan tanaman pangan lahan kering disertakan dalam lampiran.
59
Tabel 16 Matriks keputusan kesesuaian penggunaan lahan terhadap kemampuan lahan tingkat sub kelas Sub Kelas Kemampuan Lahan
Sawah
Penggunaan Lahan Yang Dinilai (Yang menghasilkan nilai produksi) Tambak Pertanian Padang Rumput Lahan (Penggembalaan) Kering S S S
Keterangan
II (e)
S
II (l)
SB
S
S
S
e = erosi
II (t, l, k)
SB
S
S
S
l = lereng
II (t, d)
S
S
S
S
t = tekstur
II (t, l)
SB
S
S
S
k = kedalaman
II (t, l, d)
SB
S
S
S
d = drainase
III (k)
SB
S
S
S
III (l, e)
SB
TS
S
S
Kesesuaian:
III (l, k, e)
SB
TS
S
S
S = Sesuai SB = Sesuai Bersyarat
III (t, d)
S
S
S
S
IV (l, e)
TS
TS
S
SB
VI (l, e)
TS
TS
SB
TS
VII (l)
TS
TS
TS
TS
VIII (l)
TS
TS
TS
TS
Faktor Pembatas:
TS = Tidak Sesuai
Dari hasil overlay peta penggunaan lahan tahun 2005 dan tahun 2010 dengan peta kemampuan lahan, dengan mengacu kepada matriks keputusan tersebut di atas, diperoleh hasil seperti disajikan dalam Tabel 17. Tabel 17 Kesesuaian penggunaan lahan berdasarkan kemampuan lahan Tahun 2005 Keterangan
Luas (ha)
Tahun 2010
Persentase (%)
Luas (ha)
Persentase (%)
Sesuai
2.221
10
4.884
22
Sesuai Bersyarat
4.974
23
1.324
6
Tidak Sesuai
810
4
1.621
7
Tidak Dinilai
13.856
63
14.034
64
Jumlah
21.861
100
21.862
100
Pada tahun 2005, luas penggunaan lahan yang tidak sesuai kemampuan adalah sebesar 810 hektar (4%). Namun pada tahun 2010 luasan ini meningkat menjadi 1.621 hektar (7%). Peningkatan luasan hampir mencapai 100%. Secara spasial, penggunaan lahan yang tidak sesuai kemampuan lahan terletak di bagian timur wilayah Kota Bima, pada area yang memiliki kelas lereng >30%. Area ini
60
sebelumnya merupakan hutan, namun pada tahun 2010 telah beralih fungsi menjadi pertanian lahan kering dan tanah terbuka/kosong. Mempertimbangkan lahan permukiman Kota Bima yang terletak di daerah hilir, maka kondisi ini cukup mengkhawatirkan. Rusak atau berkurangnya daerah tangkapan air di kawasan hulu mulai dirasakan dampak buruknya, antara lain dengan kejadian banjir yang terjadi setiap tahun. Tabel 18 Perubahan status kesesuaian terhadap kemampuan lahan Perubahan kesesuaian
Perubahan penggunaan
Kemampuan
Luas
penggunaan lahan
lahan
lahan
(ha)
Kesesuaian tetap
Umumnya jenis penggunaan
21.342
tetap Dari Sesuai menjadi Sesuai
Pertanian lahan kering
Bersyarat
menjadi sawah
Dari Sesuai menjadi Tidak Sesuai
Pertanian lahan kering
II dan III
415
IV
9
III
77
VI
3
IV
3
VI
13
menjadi sawah Dari Sesuai Bersyarat menjadi
Sawah menjadi pertanian
Sesuai
lahan kering
Dari Sesuai Bersyarat menjadi
Pertanian lahan kering
Tidak Sesuai
menjadi sawah
Dari Tidak Sesuai menjadi Sesuai
Sawah menjadi pertanian lahan kering
Dari Tidak Sesuai menjadi Sesuai
Rumput menjadi pertanian
Bersyarat
lahan kering Jumlah
21.862
Sebaran spasial dari perubahan status kesesuaian penggunaan lahan terhadap kemampuan lahan tahun 2005 dan tahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 22 dan 23.
61
Gambar 22 Kesesuaian penggunaan lahan tahun 2005 berbasis kemampuan lahan
Gambar 23 Kesesuaian penggunaan lahan tahun 2010 berbasis kemampuan lahan
62
4.4 Daya Dukung Lahan Berbasis Produktivitas Data produksi yang dihitung untuk mendapatkan status daya dukung lahan adalah semua komoditas yang mempunyai nilai produksi, mencakup 50 komoditas mulai dari padi/beras, sayur-mayur, buah-buahan, perkebunan, daging, telur, dan perikanan darat, dan budidaya keramba. Hasil perhitungan nilai produksi, ketersediaan lahan, kebutuhan lahan dan status daya dukung lahan disajikan dalam Tabel 19. Untuk lingkup Kota Bima, status daya dukung selama 5 tahun terakhir mengalami perubahan. Pada tahun 2005 status daya dukung adalah defisit, karena ketersediaan lahan belum mampu memenuhi kebutuhan lahan dalam hal pemenuhan produksi hayati (biohayati). Pada tahun 2010 status daya dukung lahan berubah menjadi surplus. Hal ini terkait perubahan penggunaan lahan yang terjadi selama periode tahun 2005 – 2010. Lahan di Kota Bima yang mengalami pengalihfungsian selama kurun waktu 2005 hingga 2010 adalah seluas 6.692 hektar atau 30,61% luas wilayah. Luas pertanian lahan kering meningkat dari 32,12% menjadi 35,83%, sehingga mengakibatkan peningkatan nilai produksi hayati dan oleh karenanya status daya dukung lahan berbasis produktivitas berubah dari defisit menjadi surplus. Namun demikian, penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan juga bertambah luasannya dari 3,70% menjadi 7,42%. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan jika tidak disertai penerapan teknologi yang tepat, akan menyebabkan lingkungan tersebut terdegradasi. Pengembangan wilayah yang berorientasi pada peningkatan nilai produksi tanpa memperhatikan kemampuan lahan akan menyebabkan lahan tersebut mengalami penurunan hingga kehilangan kemampuan produksinya dalam jangka panjang.
Hal yang juga menarik untuk dicermati adalah status daya
dukung untuk masing-masing kecamatan. Untuk tahun 2010, dimana status daya dukung lahan untuk Kota Bima secara keseluruhan adalah surplus, Kecamatan Mpunda memiliki status daya dukung defisit. Terkait dengan pembahasan pada analisis LQ, hal ini dipengaruhi oleh laju pertambahan jumlah penduduk yang paling tinggi dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan yang lain, sementara disisi lain aktifitas perubahan penggunaan lahan juga semakin meningkat, dari penggunaan lahan budidaya menjadi lahan terbangun.
63
Tabel 19 Daya dukung lahan berbasis produktivitas pada tahun 2005 dan 2010
Kecamatan
Total Nilai Produksi (Rp) Tahun 2005 Tahun 2010
Ketersediaan Lahan (ha) Tahun 2005 Tahun 2010
Kebutuhan Lahan (ha) Tahun 2005 Tahun 2010
Status Daya Dukung (ha) Tahun 2005 Tahun 2010
Mpunda Raba Rasanae Barat Rasanae Timur Asakota
36.199.872.000 152.564.776.000 20.891.235.000
17.286.316.915 59.752.844.854 229.414.675.000 519.507.508.231 182.523.250.000
10.513,45 7.359,41 3.154,03
3.675,33 11.026,00 8.085,73 10.290,93 3.675,33
20.560,90 14.392,63 6.168,27
5.594,38 8.517,62 6.246,26 7.949,78 2.839,21
Defisit Surplus Defisit
Defisit Surplus Surplus Surplus Surplus
Kota Bima
209.655.883.000 1.008.484.595.000
21.026,89
36.753,33
41.121,81
31.147,26
Defisit
Surplus
Tabel 20 Nilai produksi per penggunaan lahan Penggunaan Lahan Sawah Pertanian lahan kering Perikanan Padang penggembalaan dan Permukiman Budidaya keramba Jumlah
Nilai Produksi (Rp) Tahun 2005 Tahun 2010 54.735.500.000 181.377.700.000 101.714.823.000 459.915.015.000 2.527.930.000 63.850.000.000 42.662.730.000 52.548.630.000 8.014.900.000 250.793.250.000 209.655.883.000
1.008.484.595.000
64
4.5 Penentuan Arahan Penggunaan Lahan Sesuai Kemampuan Lahan Lahan yang mempunyai kelas kemampuan yang rendah akan mempunyai pilihan penggunaan yang lebih banyak, baik untuk pertanian, kehutanan, atau tujuan lain. Umumnya lahan yang kelas kemampuannya rendah juga baik untuk keperluan non pertanian seperti permukiman, industri, sarana infrastruktur, dan lainnya.
Sebaliknya
lahan
yang
mempunyai
kelas
kemampuan
tinggi
mengindikasikan banyaknya kendala untuk penggunaannya. Jika lahan tersebut dipaksakan digunakan tidak sesuai kemampuannya, maka lahan akan mudah rusak, dan hal ini bisa menghasilkan bahaya yang pada akhirnya menimbulkan kerugian bahkan menjadi bencana. Lahan yang kelas kemampuannya tinggi diorientasikan ke penggunaan yang tidak intensif atau sama sekali dilarang dimanfaatkan untuk pengambilan produk secara langsung. Bentuk produk yang diharapkan pada lahan yang memiliki kelas kemampuan tinggi adalah jasa lingkungan. Dengan kata lain, lahan yang kelas kemampuannya tinggi disarankan menjadi daerah perlindungan atau kawasan lindung. Penggunaan suatu lahan seharusnya sesuai dengan kemampuan atau sesuai daya dukung. Untuk pemanfaatan lahan yang baik, maka diperlukan suatu perencanaan yang baik. Perencanaan ruang biasanya diletakkan dalam peta RTRW, yang di dalamnya terdapat ruang yang direncanakan untuk penggunaan tertentu. Perencanaan penggunaan ruang yang baik adalah perencanaan yang berbasis kemampuan, yang berarti berbasis daya dukung. Kemampuan lahan juga dapat dipakai untuk keperluan bahan petunjuk untuk pemanfaatan atau untuk pengendalian ruang. Berdasarkan kemampuan lahan, terdapat 16.342 hektar atau 74,8% dari wilayah Kota Bima yang dapat dijadikan sebagai lahan budidaya berupa pertanian intensif, 2.752 hektar (12,6%) sebagai hutan produksi, dan 2.768 hektar (12,6%) yang perlu dipertahankan sebagai kawasan lindung. Menurut Undang-Undang Penataan Ruang, proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota. Ruang terbuka hijau tersebut dapat bersifat publik dan privat. Ruang terbuka hijau publik merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Sementara yang termasuk ruang terbuka
65
hijau privat antara lain adalah kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta
yang
ditanami
tumbuhan.
Berdasarkan
peta
arahan
penggunaan lahan Kota Bima dalam penelitian ini, proporsi ruang tebuka hijau dari kawasan lindung dan hutan produksi telah mencakup 25,2% dari luas wilayah. Proporsi 30% yang disyaratkan dalam Undang-Undang Penataan Ruang dapat
dipenuhi
dengan
melakukan
sosialisasi
pada
masyarakat
untuk
mengalokasikan sebagian dari lahan pekarangannya untuk ditanami tumbuhan. Peta arahan peruntukan penggunaan lahan sesuai kemampuan lahan disajikan pada Gambar 24.
Gambar 24 Peta arahan penggunaan lahan berbasis kemampuan lahan Kota Bima Untuk menganalisis kemungkinan penerapannya, peta arahan tersebut kemudian di-overlay dengan peta penggunaan lahan aktual. Terdapat beberapa penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peta arahan. Penggunaan lahan yang sesuai adalah 19.461 hektar (89,02%), sementara yang tidak sesuai seluas 2.401 hektar (10,98%). Keterangan penggunaan lahan yang tidak sesuai ini disajikan dalam Tabel 21, sementara sebaran spasialnya disajikan dalam Gambar 25.
66
Tabel 21 Peruntukan lahan yang tidak sesuai dengan penggunaan lahan aktual Peruntukan dalam peta arahan Hutan Produksi
Kawasan Lindung
Jumlah
Penggunaan aktual Permukiman Pertanian Lahan Kering Rumput (Savanna) Sawah Semak/Belukar Permukiman Pertanian Lahan Kering Rumput (Savanna) Semak/Belukar
Luas (ha) 20 1.285 3 1 647 4 216 3 221 2.401
Gambar 25 Peta peruntukan lahan yang tidak sesuai dengan penggunaan lahan aktual Menghadapi permasalahan semacam ini, perlu ada pengendalian pemanfaatan ruang. Pemerintah selaku pelaku utama dalam pengendalian pemanfaatan ruang, mempunyai berbagai instrumen atau alat pengendalian. Sesuai dengan Undang-Undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007, instrumen tersebut adalah peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi.
67
1) Peraturan zonasi Di Indonesia, peraturan zonasi merupakan instrumen yang baru ada sejak diundangkannya Undang-Undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007. Sesuai UU ini, peraturan zonasi disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap zona pemanfaatan ruang. Selanjutnya peraturan zonasi ditetapkan dengan: (a) peraturan pemerintah untuk arahan peraturan zonasi sistem nasional; (b) peraturan daerah provinsi untuk arahan peraturan zonasi sistem provinsi; dan (c) peraturan daerah kabupaten/kota untuk peraturan zonasi. 2) Perizinan Instrumen perizinan diatur oleh pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Undang-Undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007 juga mengatur hal-hal sebagai berikut: (a) izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (b) izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar, batal demi hukum; (c) izin pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui prosedur yang benar tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya; (d) terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pembatalan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (e), dapat dimintakan penggantian yang layak kepada instansi pemberi izin; f) izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai lagi akibat adanya perubahan rencana tata ruang wilayah dapat dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan memberikan ganti kerugian yang layak; (g) setiap pejabat pemerintah yang berwenang
menerbitkan
izin
pemanfaatan
ruang
dilarang
menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang; dan (h) ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur perolehan izin dan tata cara penggantian yang layak sebagaimana dimaksud diatur dengan peraturan pemerintah.
68
3) Insentif dan Disinsentif Insentif merupakan perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang, berupa: (a) keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsidi silang, imbalan, sewa ruang, dan urun saham; (b) pembangunan serta pengadaan infrastruktur; (c) kemudahan prosedur perizinan; dan/atau (d) pemberian penghargaan kepada
masyarakat,
swasta
dan/atau
pemerintah
daerah.
Disinsentif merupakan perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang, berupa: (a) pengenaan pajak yang tinggi yang disesuaikan dengan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang;
dan/atau (b) pembatasan penyediaan infrastruktur,
pengenaan kompensasi, dan penalti. Selanjutnya, insentif dan disinsentif diberikan dengan tetap menghormati hak masyarakat. Insentif dan disinsentif dapat diberikan oleh: (a) Pemerintah kepada pemerintah daerah; (b) pemerintah daerah kepada pemerintah daerah lainnya; dan (c) pemerintah kepada masyarakat. 4) Pengenaan Sanksi Pengenaan sanksi merupakan tindakan penertiban yang dilakukan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi. Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib: (a) menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan; (b) memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang; (c) mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan (d) memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana kewajiban diatas, dikenai sanksi administratif dapat berupa: (a) peringatan tertulis; (b) penghentian sementara kegiatan; (c) penghentian sementara pelayanan umum; (d) penutupan lokasi; (e) pencabutan izin; (f) pembatalan izin; (g) pembongkaran bangunan; (h) pemulihan fungsi ruang; dan/atau (i) denda administratif.
69
Dalam kasus Kota Bima, pada lahan yang berdasarkan kemampuan lahan seharusnya dijadikan kawasan lindung terdapat penggunaan lahan berupa permukiman, pertanian lahan kering, rumput, dan semak/belukar. Salah satu alternatif solusi yang dapat ditawarkan adalah dengan penyesuaian fungsi lahan, dimana penggunaan lahan tetap dengan kondisi aktual namun fungsinya diupayakan menjadi fungsi lindung, misalnya dengan penanaman pohon keras dengan tidak mengganggu fungsi penggunaan aktualnya sebagai permukiman, pertanian lahan kering, dan padang penggembalaan (rumput).
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 1. Dari hasil identifikasi diketahui bahwa di Kota Bima tidak terdapat lahan kelas I. Kelas kemampuan lahan terdiri atas 6 kelas, yaitu kelas II, III, IV, VI, VII, dan VIII. Selanjutnya masing-masing kelas kemampuan lahan tersebut
dibagi
lagi
berdasarkan
faktor
penghambat
sehingga
menghasilkan 14 sub kelas kemampuan lahan. Luas yang terbesar adalah sub kelas IV (l, e), dengan luasan 6.223 hektar atau 28,5% dari total wilayah, dan secara spasial tersebar di bagian utara, timur, dan tenggara Kota Bima. 2. Selama periode tahun 2005-2010 terjadi perubahan penggunaan lahan seluas 6.692 hektar atau 30,6% dari luas wilayah Kota Bima, sementara yang tidak mengalami perubahan adalah seluas 15.171 hektar atau 69,4% dari luas wilayah Kota Bima. Hutan primer yang pada tahun 2005 masih terdapat seluas 283 hektar, pada tahun 2010 telah hilang sama sekali berubah menjadi pertanian lahan kering, padang rumput penggembalaan ternak, sawah dan semak belukar. 3. Dari segi luasan, perubahan penggunaan lahan yang paling besar terjadi di Kecamatan Raba. Namun pemusatan aktifitas perubahan penggunaan lahan terjadi di Kecamatan Mpunda. Hal ini terkait dengan luas wilayah Kecamatan Mpunda yang lebih kecil, sehingga persentase luasan perubahan penggunaan lahan terhadap luas wilayah kecamatan menjadi lebih besar.
Faktor-faktor yang berpengaruh nyata sebagai penyebab
perubahan penggunaan lahan adalah kemampuan lahan dan jarak dari pusat kota. 4. Pada tahun 2005, luas penggunaan lahan yang tidak sesuai kemampuan adalah sebesar 810 hektar (3,7%). Pada tahun 2010 luasan ini meningkat menjadi 1.621 hektar (7,4%). Peningkatan luasan mencapai 100%. Secara spasial, penggunaan lahan yang tidak sesuai kemampuan lahan terletak di bagian timur wilayah Kota Bima, pada area yang memiliki kelas lereng
72
>30%. Area ini sebelumnya merupakan hutan, namun pada tahun 2010 telah berubah menjadi pertanian lahan kering dan tanah terbuka/kosong. Mempertimbangkan lahan permukiman Kota Bima yang terletak di daerah hilir, maka kondisi ini cukup mengkhawatirkan. Rusak atau berkurangnya daerah tangkapan air di kawasan hulu mulai dirasakan dampak buruknya, antara lain dengan kejadian banjir yang terjadi setiap tahun. 5. Kecenderungan perubahan penggunaan lahan yang terjadi adalah hutan menjadi lahan budidaya serta lahan budidaya menjadi permukiman. Luasan lahan budidaya mengalami peningkatan secara signifikan, yang berpengaruh pada meningkatnya nilai produksi. Hal ini menyebabkan berubahnya status daya dukung lahan berbasis produktivitas, dimana pada tahun 2005 status daya dukung lahan adalah defisit, namun pada tahun 2010 status daya dukung lahan menjadi surplus. 6. Berdasarkan kemampuan lahan, terdapat 16.342 hektar atau 74,8% dari wilayah Kota Bima yang dapat dijadikan sebagai lahan budidaya berupa pertanian intensif, 2.752 hektar (12,5%) sebagai hutan produksi, dan 2.768 hektar (12,7%) yang perlu dipertahankan sebagai kawasan lindung.
5.2 Saran Salah satu kelemahan dari metode penghitungan daya dukung lahan ini adalah karena hanya berbasis nilai produksi, tanpa memperhatikan fungsi kawasan konservasi dan penyangga. produktivitas,
Dalam perspektif daya dukung lahan berbasis
konversi lahan hutan menjadi
lahan budidaya
dianggap
memberikan keuntungan karena meningkatkan nilai produksi.
Namun
berdasarkan hasil penelitian ini, peningkatan status daya dukung lahan tersebut diikuti oleh peningkatan luasan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan. Hal ini merupakan salah satu indikasi adanya perencanaan dan pengembangan wilayah yang tidak memperhatikan aspek keberlanjutan. Penggunaan suatu lahan seharusnya sesuai dengan kemampuan atau sesuai daya dukung.
Untuk memanfaatkan lahan yang baik, maka diperlukan suatu
perencanaan yang baik.
Perencanaan ruang biasanya diletakkan dalam peta
RTRW, yang di dalamnya terdapat ruang yang direncanakan untuk penggunaan
73
tertentu. Perencanaan penggunaan ruang yang baik adalah perencanaan yang berbasis kemampuan, yang berarti berbasis daya dukung.
DAFTAR PUSTAKA Aliati AS. 2007. Kajian Kawasan Lindung untuk Penataan Ruang yang Ramah Lingkungan (Studi Kasus di Kabupaten Bogor Jawa Barat). [Tesis] Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Andriyani. 2007. Dinamika Spasial Perubahan penggunaan Lahan dan Faktorfaktor Penyebabnya di Kabupaten Serang Provinsi Banten. [Tesis] Sekolah Pascasarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah dan Air Jilid Kedua (Cetakan Kedua). Bogor: IPB Press. Barus B, Wiradisastra U.S. 2000. Sistem Informasi Geografis. Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor. [BPS Kota Bima] Badan Pusat Statistik Kota Bima. 2006. Kota Bima Dalam Angka Tahun 2005. Bima: BPS Kota Bima. [BPS Kota Bima] Badan Pusat Statistik Kota Bima. 2011. Kota Bima Dalam Angka Tahun 2010. Bima: BPS Kota Bima. Carolita I. 2005. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan di Jabotabek. [Tesis] Sekolah Pascasarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Dardak H. 2005. Revitalisasi Penataan Ruang untuk Mewujudkan Ruang Nusantara yang Nyaman, Produktif dan Berkelanjutan. Di dalam: Pattimura L, editor. Penataan Ruang untuk Kesejahteraan Masyarakat: Khazanah Pemikiran Para Pakar, Birokrat, dan Praktisi. Edisi Pertama. Jakarta: LKSPI Press. hlm 3-18. Estes, JE, Simonett, DS. 1975. Chapter 14: Fundamentals of image interpretation, in R.G. Reeves (Ed.), Manual of Remote Sensing, Vol. II, Falls Church: American Society of Photogrammetry, pp. 869–1076. Gaona-Ochoa S, & Gonzales-Espinosa M. 2000. Land Use and Deforestation in The Highlands of Chiapas, Mexico. Applied Geography 20 (2000) 17-42. 0143-6228/00/$-see front matter © 2000 Elsevier Science Ltd. Hardjowigeno S. 2003. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Jakarta: Akademika Pressindo. Hardjowigeno S., Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Lahan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
76
[Kementerian Lingkungan Hidup]. Menteri Lingkungan Hidup. 2010. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009. Jakarta: Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Lenzen M., Murray SA. 2003. The Ecological Footprint – Issues and Trends. Sydney: The University of Sydney. Lillesand MT, Kiefer RW. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Munibah K, 2008. Model Spasial perubahan Penggunaan Lahan dan Arahan Penggunaan Lahan Berwawasan Lingkungan (Studi Kasus DAS Cidanau, Provinsi Banten). [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Notohadiprawiro T. 1991. Kemampuan dan Kesesuaian Lahan: Pengertian dan Penetapannya. Makalah. Lokakarya Neraca Sumberdaya Alam Nasional. DRN Kelompik II. Bogor: Bakosurtanal. Notohadiprawiro T. 1992. Konsep dan Kegunaan Evaluasi dan Inventarisasi Harkat Sumberdya Lahan dengan Uraian Khusus Mengenai Gatra Tanah. Fakultas Pertanian. Yogyakararta: Universitas Gajah Mada. Prahasta E. 2005. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung: Penerbit Informatika. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta: Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Rustiadi E, Barus B, Prastowo, Iman LS. 2010. Kajian Daya Dukung Lingkungan Provinsi Aceh. Jakarta: Deputi BidangKementerian Negara Lingkungan Hidup, United Nations Development Programme (UNDP), dan Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W-IPB). Rustiadi, E, Barus, B, Prastowo, Iman LS. 2010. Pengembangan Pedoman Evaluasi Pemanfaatan Ruang (Penyempurnaan Lampiran Permen LH 17/2009). Deputi Bidang Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup, dan Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Institut Pertanian Bogor (P4W – IPB). Saefulhakim HRS, Rustiadi E, Panuju DR, Suryaningtyas DT. 2003. Pengembangan Model Sistem Interaksi Antar Aktifitas Sosial Ekonomi dengan Perubahan Penggunaan Lahan. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sitorus SRP. 1985. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Bandung: PT Tarsito.
77
Sukarman. 2005. Identifikasi Unsur-unsur Satuan Peta Tanah Semi Detail Menggunakan Citra Landsat-7 ETM dan Model Elevasi Digital di Daerah Bogor. [Disertasi] Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Suripin. 2004. Pengembangan Sistem Drainase yang Berkelanjutan. Yogyakarta: Andi Offset. Sutanto. 1998. Penginderaan Jauh Jilid I. Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Winoto J, Selari M, Saefulhakim S, Santoso DA, Achsani NA, Panuju DR. 1996. Laporan Akhir Penelitian Alih Guna Tanah Pertanian. Bogor: Lembaga Penelitian IPB bekerjasama dengan Proyek Pengembangan Pengelolaan Sumberdaya Pertanahan BPN. Wiradisastra US, Tjahjono B, Gandasasmita K, Barus B, Munibah K. 2002. Geomorfologi dan Analisis Landsekap. Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi Jurusan Tanah Fakultas Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Worosuprodjo, Suratman. 2005. Klasifikasi Lahan untuk Perencanaan Penggunaan Lahan di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Forum Perencanaan Pembangunan Edisi Khusus Januari 2005.
LAMPIRAN
79
Lampiran 1 Penutupan/penggunaan lahan Kota Bima tahun 2005 dan sebarannya pada setiap kecamatan Penutupan/Penggunaan lahan
Air Hutan Mangrove Sekunder Hutan Primer Hutan Sekunder Permukiman Pertanian Lahan Kering Rumput (Savanna) Sawah Semak/Belukar Tambak Tanah Terbuka/Kosong Jumlah
Sebaran pada setiap kecamatan Asakota Rasanae Barat Rasanae Timur (ha) (ha) (ha) 2,07 9,31 51,45 5,61 191,64 91,21 4.843,87 135,98 5.713,24 226,87 605,84 395,98 340,93 616,78 6.063,68 17,98 37,94 198,89 179,70 455,22 29,12 442,13 1.099,81 28,38 76,57 1,09 5.879,80 2.073,05 13.908,57
Jumlah
62,83 5,61 282,86 10.693,11 1.228,70 7.021,40 55,93 833,81 1.571,08 104,95 1,09 21.861,43
80
Lampiran 2 Penutupan/penggunaan lahan Kota Bima tahun 2010 dan sebarannya pada setiap kecamatan Penutupan/ penggunaan lahan Air Hutan Mangrove Sekunder Hutan Sekunder Permukiman Pertanian Lahan Kering Rumput (Savanna) Sawah Semak/Belukar Tambak Tanah Terbuka/Kosong Jumlah
Asakota (ha) 2,07 0,78 4.241,36 292,84 847,31 199,97 69,11 27,61 157,45 5.838,52
Sebaran luas pada setiap kecamatan Rasanae Mpunda Raba Barat (ha) (ha) (ha) 1,74 11,92 7,56
Jumlah Rasanae Timur (ha) 39,52
14,85 3,46 368,39 490,49
1.482,41 330,11 2.693,01
223,44 530,03
405,69 1.642,90
20,65 1.638,22
8,58 6.574,64
311,10 134,23
134,35 66,87 4,28 673,27
1.775,55 152,33 3.667,73 10,75 679,22 812,52
7.137,65
62,83 15,63 7.502,80 1.454,78 7.832,78 10,75 1.508,33 3.188,93 94,48 190,97 21.862,32
81
Lampiran 3 Kelas lereng wilayah Kota Bima dan sebarannya pada setiap kecamatan Kelas lereng 0 - 3% 3 - 8% 8 - 15% 15 - 30% 30 - 45% 45 - 65% > 65% JUMLAH
Asakota (ha) 889,15 529,16 1.322,57 2.271,38 343,01 483,22 5.838,52
Sebaran luas pada tiap kecamatan Mpunda Raba Rasanae Barat (ha) (ha) (ha) 666,43 704,02 454,55 223,06 465,13 66,04 591,47 1.365,21 106,21 157,24 1.981,92 46,46 898,25 908,89 251,20 1.638,22 6.574,64 673,27
Rasanae Timur (ha) 172,13 1.312,19 1.252,13 1.765,51 1.510,68 853,73 271,26 7.137,65
Jumlah 2.886,31 2.595,59 4.637,61 6.222,53 2.751,95 2.245,85 522,46 21.862,32
82
Lampiran 4 Sebaran jenis tanah wilayah Kota Bima pada setiap kecamatan
Jenis Tanah Lithic 1 Haplustepts Lithic 2 Ustorthents Typic 3 Endoaquepts Typic 4 Halaquepts Typic 5 Haplustepts Typic 6 Ustifluvents Typic 7 Ustipsamments Typic 8 Ustorthents X9 Jumlah
Asakota (ha)
317,23 35,87 4.493,33 9,22
Sebaran luas pada tiap kecamatan Rasanae Mpunda Raba Barat Rasanae Timur (ha) (ha) (ha) (ha) 570,23 489,42 105,15 1.072,23 14,99 425,26 463,23 3,29 579,80 133,03 413,72 4.220,57 179,87 4.031,25 39,84
941,88 40,97 5.838,52
27,97 201,02 1.638,22
1.193,42 207,99 6.574,64
212,06 673,27
1.431,94 7,41 7.137,65
Jumlah 2.237,05 14,99 1.788,83 168,91 13.338,77 9,22 39,84 3.595,22 669,46 21.862,32
83
Lampiran 5 Sebaran Bentuk lahan pada setiap kecamatan
Bentuk lahan A1128 A13 A15 A2 B2 K2 K3 M32 V112 V113 V114 V115 V16 V32 V4 X1 Jumlah
Asakota (ha) 317,23 9,22 558,61 35,87
Sebaran luas pada setiap kecamatan Rasanae Mpunda Raba Barat (ha) (ha) (ha) 425,26
481,60
3,29938
112,53
Rasanae Timur (ha) 295,49 339,66 508,15
133,03659 106,42
278,77 473,46
222,83 254,31 39,84506
1.088,93 941,88 2.035,46 810,33
40,97 5.838,52
179,44 698,10 27,97 201,02 1.638,22
251,20 942,21
271,26 1.160,68
3.592,29 234,54
285,03133
207,99 6.574,64
212,06170 673,27406
2.792,78 1.270,04 14,99 7,41 7.137,65
Jumlah 295,49 1.567,07 9,22 1.179,29 168,91 501,60 834,20 39,84 1.088,93 522,46 3.044,78 2.035,46 7.374,86 2.487,72 42,96 669,46 21.862,32
84
Lampiran 6 Jenis bahan induk tanah Kota Bima dan sebarannya pada setiap kecamatan
Bahan Induk Aluvium dan koluvium Andesit dan basal Batu kapur kerang Breksi andesit Breksi andesit basal Breksi basal Endapan liat Endapan liat marin Endapan liat pasir Endapan pasirmarin X Jumlah
Asakota (ha) 558,61 941,88 1.088,93 2.845,79 317,23 35,87 9,22 40,97 5.838,52
Sebaran luas pada setiap kecamatan Rasanae Mpunda Raba Barat Rasanae Timur (ha) (ha) (ha) (ha) 112,53 508,15 942,21 1.160,68 106,42 752,23 477,15 698,10 234,54 285,03 1.270,04 27,97 14,99 179,44 3.843,50 3.064,04 425,26 481,60 3,29 635,16 133,03
201,02 1.638,22
207,99 6.574,64
39,84 212,06 673,27
7,41 7.137,65
Jumlah 1.179,29 3.044,78 1.335,81 3.576,65 42,96 9.932,79 1.862,57 168,91 9,22 39,84 669,46 21.862,32
85
Lampiran 7 Sub kelas kemampuan lahan pada setiap lahan homogen ID POLYGON
BENTUK LAHAN
ALTITUDE
1
V32
300 - 700
2
V32
300 - 700
3
V32
100 - 300
4
A2
10 - 50
5
A2
10 - 50
6
K2
50 - 200
7
V32
300 - 700
8
A13
5 - 25
9
V32
300 - 700
10
V32
300 - 700
11
V32
300 - 700
12
V32
300 - 700
13
K2
50 - 200
14
V32
300 - 700
15
K2
50 - 200
16
K3
50 - 300
17
K3
50 - 300
BAHAN INDUK Breksi andesit Breksi andesit Breksi andesit Aluvium & koluvium Aluvium & koluvium Batu kapur kerang Breksi andesit Endapan liat Breksi andesit Breksi andesit Breksi andesit Breksi andesit Batu kapur kerang Breksi andesit Batu kapur kerang Batu kapur kerang Batu kapur kerang
TANAH Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Lithic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Endoaquepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Lithic Haplustepts Typic Haplustepts Lithic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts
KELAS LERENG
DRAINASE
30 - 45%
Cepat
8 - 15%
Agak cepat
8 - 15%
Agak cepat
3 - 8%
Agak cepat
3 - 8%
Agak cepat
0 - 3%
Sedang
0 - 3%
Sedang
3 - 8%
Terhambat
8 - 15%
Agak cepat
3 - 8%
Agak cepat
15 - 30%
Cepat
3 - 8%
Agak cepat
3 - 8%
Agak cepat
8 - 15%
Agak cepat
8 - 15%
Agak cepat
3 - 8%
Agak cepat
15 - 30%
Cepat
TEKSTUR Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berlempung halus Berlempung halus Lempung berpasir Berdebu halus dan kasar Berliat Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Lempung berpasir Berdebu halus dan kasar Lempung berpasir Lempung berpasir Lempung berpasir
RELIEF l4(E) - Agak curam l2(C) - Agak miring/berglmbng l2(C) - Agak miring/berglmbng l1(B) Landai/berombak l1(B) Landai/berombak l0(A) - Datar l0(A) - Datar l1(B) Landai/berombak l2(C) - Agak miring/berglmbng l1(B) Landai/berombak l3(D) Miring/berbukit l1(B) Landai/berombak l1(B) Landai/berombak l2(C) - Agak miring/berglmbng l2(C) - Agak miring/berglmbng l1(B) Landai/berombak l3(D) Miring/berbukit
EROSI TANAH
KEDALAMAN EFEKTIF
KEMAMPUAN LAHAN TINGKAT SUB KELAS
Berat
50 - 75 cm
VI (l, e)
Ringan
50 - 75 cm
III (l, k, e)
Ringan Sangat ringan Sangat ringan Sangat ringan Sangat ringan Sangat ringan
50 - 75 cm
III (l, k, e)
>100 cm
II (l)
>100 cm
II (l)
50 - 75 cm
III (k)
50 - 75 cm
III (k)
>100 cm
II (t, l, d)
Ringan Sangat ringan
50 - 75 cm
III (l, k, e)
50 - 75 cm
III (k)
Sedang Sangat ringan Sangat ringan
50 - 75 cm
IV (l, e)
50 - 75 cm
III (k)
50 - 75 cm
II (t, l, k)
Ringan
50 - 75 cm
III (l, k, e)
Ringan Sangat ringan
50 - 75 cm
III (l, k, e)
50 - 75 cm
II (t, l, k)
Sedang
50 - 75 cm
IV (l, e)
86
ID POLYGON
BENTUK LAHAN
ALTITUDE
BAHAN INDUK
18
V16
100 - 300
Breksi basal
19
V16
100 - 300
Breksi basal
20
V16
100 - 300
21
A2
10 - 50
Breksi basal Aluvium & koluvium
22
V16
100 - 300
Breksi basal
23
V16
100 - 300
24
V32
100 - 300
25
V32
100 - 300
26
B2
0-5
Breksi basal Breksi andesit Breksi andesit Endapan liat marin
27
V16
100 - 300
28
V32
100 - 300
29
A2
50 - 100
30
A2
10 - 50
31
K3
200 - 400
32
A2
10 - 50
Breksi basal Breksi andesit Aluvium & koluvium Aluvium & koluvium Batu kapur kerang Aluvium & koluvium
33
A1128
10 - 25
Endapan liat
34
V16
300 - 500
35
V32
100 - 300
Breksi basal Breksi andesit
TANAH Typic Haplustepts Typic Endoaquepts Typic Haplustepts Lithic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Lithic Haplustepts Lithic Haplustepts Typic Halaquepts Typic Haplustepts Lithic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Endoaquepts Typic Haplustepts Lithic Haplustepts
KELAS LERENG
DRAINASE
3 - 8%
Agak cepat
15 - 30%
Terhambat
3 - 8%
Agak cepat
8 - 15%
Agak cepat
3 - 8%
Agak cepat
3 - 8%
Agak cepat
8 - 15%
Agak cepat
3 - 8%
Agak cepat
0 - 3%
Terhambat
3 - 8%
Agak cepat
8 - 15%
Agak cepat
3 - 8%
Agak cepat
3 - 8%
Agak cepat
8 - 15%
Agak cepat
3 - 8%
Baik
3 - 8%
Terhambat
30 - 45%
Cepat
3 - 8%
Agak cepat
TEKSTUR Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berlempung halus Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Lempung liat berpasir Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berlempung halus Berlempung halus Lempung berpasir Berlempung halus Berliat Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar
RELIEF l1(B) Landai/berombak l3(D) Miring/berbukit l1(B) Landai/berombak l2(C) - Agak miring/berglmbng l1(B) Landai/berombak l1(B) Landai/berombak l2(C) - Agak miring/berglmbng l1(B) Landai/berombak l0(A) - Datar l1(B) Landai/berombak l2(C) - Agak miring/berglmbng l1(B) Landai/berombak l1(B) Landai/berombak l2(C) - Agak miring/berglmbng l1(B) Landai/berombak l1(B) Landai/berombak l4(E) - Agak curam l1(B) Landai/berombak
EROSI TANAH Sangat ringan
KEDALAMAN EFEKTIF
KEMAMPUAN LAHAN TINGKAT SUB KELAS
50 - 90 cm
III (k)
Sedang Sangat ringan
50 - 90 cm
IV (l, e)
50 - 90 cm
III (k)
Ringan Sangat ringan Sangat ringan
>100 cm
III (l, e)
50 - 90 cm
III (k)
50 - 90 cm
III (k)
Ringan Sangat ringan Sangat ringan Sangat ringan
50 - 75 cm
III (l, k, e)
50 - 75 cm
III (k)
50 - 75 cm
III (t, d)
50 - 90 cm
III (k)
Ringan Sangat ringan Sangat ringan
50 - 75 cm
III (l, k, e)
>100 cm
II (l)
>100 cm
II (l)
Ringan Sangat ringan Sangat ringan
50 - 75 cm
III (l, k, e)
>100 cm
II (l)
>100 cm
II (t, l, d)
Berat Sangat ringan
50 - 90 cm
VI (l, e)
50 - 75 cm
III (k)
87
ID POLYGON
BENTUK LAHAN
ALTITUDE
BAHAN INDUK Breksi andesit
36
V32
100 - 300
37
V16
300 - 500
38
V4
50 - 100
39
A2
10 - 50
40
V32
100 - 300
41
V4
200 - 300
Breksi basal Breksi andesit-bsl Aluvium & koluvium Breksi andesit Breksi andesit-bsl
42
V16
100 - 300
Breksi basal
43
V16
300 - 500
Breksi basal
44
A13
5 - 25
45
V32
100 - 300
Endapan liat Breksi andesit
46
V16
100 - 300
47
V32
100 - 300
48
V16
100 - 300
49
M32
5 - 10
50
A13
5 - 25
51
A2
10 - 50
52
V16
100 - 300
53
V32
100 - 300
Breksi basal Breksi andesit Breksi basal Endapan pasirmarin Endapan liat Aluvium & koluvium Breksi basal Breksi andesit
TANAH Lithic Haplustepts Typic Haplustepts Lithic Ustorthents Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Ustorthents Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Ustipsamments Typic Endoaquepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Lithic Haplustepts
KELAS LERENG
DRAINASE
8 - 15%
Agak cepat
30 - 45%
Cepat
8 - 15%
Cepat
0 - 3%
Baik
15 - 30%
Cepat
3 - 8%
Agak cepat
3 - 8%
Agak cepat
30 - 45%
Cepat
3 - 8%
Baik
8 - 15%
Agak cepat
8 - 15%
Agak cepat
8 - 15%
Agak cepat
8 - 15%
Agak cepat
0 - 3%
Sedang
0 - 3%
Terhambat
3 - 8%
Baik
3 - 8%
Agak cepat
8 - 15%
Agak cepat
TEKSTUR Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berlempung halus Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berliat Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Lempung berpasir Berliat Berlempung halus Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar
EROSI TANAH
KEDALAMAN EFEKTIF
KEMAMPUAN LAHAN TINGKAT SUB KELAS
Ringan
50 - 75 cm
III (l, k, e)
l4(E) - Agak curam l2(C) - Agak miring/berglmbng
Berat
50 - 90 cm
VI (l, e)
Ringan
50 - 75 cm
III (l, k, e)
l0(A) - Datar l3(D) Miring/berbukit l1(B) Landai/berombak l1(B) Landai/berombak
Ringan
>100 cm
II (e)
Sedang Sangat ringan Sangat ringan
50 - 75 cm
IV (l, e)
50 - 75 cm
III (k)
50 - 90 cm
III (k)
l4(E) - Agak curam l1(B) Landai/berombak l2(C) - Agak miring/berglmbng l2(C) - Agak miring/berglmbng l2(C) - Agak miring/berglmbng l2(C) - Agak miring/berglmbng
Berat Sangat ringan
50 - 90 cm
VI (l, e)
>100 cm
II (t, l)
Ringan
50 - 75 cm
III (l, k, e)
Ringan
50 - 90 cm
III (l, k, e)
Ringan
50 - 75 cm
III (l, k, e)
Ringan Sangat ringan Sangat ringan Sangat ringan Sangat ringan
50 - 90 cm
III (l, k, e)
50 - 75 cm
III (t, d)
>100 cm
II (t, d)
>100 cm
II (l)
50 - 90 cm
III (k)
Ringan
50 - 75 cm
III (l, k, e)
RELIEF l2(C) - Agak miring/berglmbng
l0(A) - Datar l0(A) - Datar l1(B) Landai/berombak l1(B) Landai/berombak l2(C) - Agak miring/berglmbng
88
ID POLYGON
BENTUK LAHAN
ALTITUDE
BAHAN INDUK Aluvium & koluvium
54
A2
10 - 50
55
V16
100 - 300
56
B2
0-5
Breksi basal Endapan liat marin
57
V16
100 - 300
Breksi basal
58
V16
100 - 300
Breksi basal
59
X1
0-5
60
V113
700 -1200
Breksi basal
61
V16
100 - 300
62
B2
0-5
Breksi basal Endapan liat marin
63
V16
100 - 300
Breksi basal
64
V16
100 - 300
Breksi basal
65
V16
100 - 300
Breksi basal
66
V16
100 - 300
67
A2
10 - 50
68
V114
700 -1200
Breksi basal Aluvium & koluvium Andesit & basal
69
V16
100 - 300
70
A2
10 - 50
Breksi basal Aluvium & koluvium
71
A13
5 - 25
Endapan liat
KELAS LERENG
DRAINASE
3 - 8%
Baik
8 - 15%
Agak cepat
Typic Halaquepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts
0 - 3%
Terhambat
8 - 15%
Agak cepat
3 - 8%
Agak cepat
Kota/Pemukiman Typic Ustorthents Typic Haplustepts
0 - 3%
Typic Halaquepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Ustorthents Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Endoaquepts
TANAH Typic Haplustepts Typic Haplustepts
EROSI TANAH Sangat ringan
KEDALAMAN EFEKTIF
KEMAMPUAN LAHAN TINGKAT SUB KELAS
>100 cm
II (l)
Ringan Sangat ringan
50 - 90 cm
III (l, k, e)
50 - 75 cm
III (t, d)
Ringan Sangat ringan Sangat ringan Sangat Berat
50 - 90 cm
III (l, k, e)
50 - 90 cm
III (k)
50 - 90 cm
VIII (l)
50 - 90 cm
III (l, k, e)
l0(A) - Datar
Ringan Sangat ringan
50 - 75 cm
III (t, d)
l4(E) - Agak curam l1(B) Landai/berombak
Berat Sangat ringan
50 - 90 cm
VI (l, e)
50 - 90 cm
III (k)
l4(E) - Agak curam
Berat
50 - 90 cm
VI (l, e)
l4(E) - Agak curam l1(B) Landai/berombak
Berat Sangat ringan
50 - 90 cm
VI (l, e)
>100 cm
II (l)
l5(F) - Curam l2(C) - Agak miring/berglmbng
Berat
50 - 90 cm
VII (l)
Ringan
50 - 90 cm
III (l, k, e)
l0(A) - Datar
Ringan Sangat ringan
>100 cm
II (e)
>100 cm
II (t, d)
TEKSTUR Berlempung halus Berdebu halus dan kasar Lempung liat berpasir Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar
RELIEF l1(B) Landai/berombak l2(C) - Agak miring/berglmbng
l6(G) - Sangat curam l2(C) - Agak miring/berglmbng
l0(A) - Datar
> 65%
Cepat
8 - 15%
Agak cepat
0 - 3%
Terhambat
30 - 45%
Cepat
3 - 8%
Agak cepat
30 - 45%
Cepat
30 - 45%
Cepat
3 - 8%
Baik
45 - 65%
Cepat
8 - 15%
Agak cepat
0 - 3%
Baik
Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Lempung liat berpasir Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berlempung halus Lempung berpasir Berdebu halus dan kasar Berlempung halus
0 - 3%
Terhambat
Berliat
l0(A) - Datar l2(C) - Agak miring/berglmbng l1(B) Landai/berombak
Permukiman
89
ID POLYGON
BENTUK LAHAN
ALTITUDE
BAHAN INDUK
72
V115
100 - 300
Breksi basal
73
V16
100 - 300
74
V114
300 - 500
75
V114
300 - 500
Breksi basal Andesit & basal Andesit & basal
76
V115
100 - 300
77
A2
10 - 50
Breksi basal Aluvium & koluvium
78
V115
100 - 300
Breksi basal
79
V16
100 - 300
80
V114
300 - 500
Breksi basal Andesit & basal
81
V16
100 - 300
Breksi basal
82
V16
100 - 300
Breksi basal
83
V115
100 - 300
Breksi basal
84
V115
100 - 300
85
V114
300 - 500
Breksi basal Andesit & basal
86
V115
100 - 300
87
V114
300 - 500
88
V114
300 - 500
89
A15
10 - 50
Breksi basal Andesit & basal Andesit & basal Endapan liat,pasir
TANAH Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Ustorthents Typic Ustorthents Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Ustorthents Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Ustorthents Typic Haplustepts Typic Ustorthents Typic Ustorthents Typic Ustifluvents
KELAS LERENG
DRAINASE
15 - 30%
Cepat
3 - 8%
Agak cepat
8 - 15%
Cepat
8 - 15%
Cepat
3 - 8%
Agak cepat
0 - 3%
Baik
15 - 30%
Cepat
15 - 30%
Cepat
8 - 15%
Cepat
8 - 15%
Agak cepat
15 - 30%
Cepat
15 - 30%
Cepat
15 - 30%
Cepat
15 - 30%
Cepat
8 - 15%
Agak cepat
15 - 30%
Cepat
3 - 8%
Agak cepat
0 - 3%
Sedang
TEKSTUR Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Lempung berpasir Lempung berpasir Berdebu halus dan kasar Berlempung halus Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Lempung berpasir Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Lempung berpasir Berdebu halus dan kasar Lempung berpasir Lempung berpasir Lempung liat berpasir
RELIEF l3(D) Miring/berbukit l1(B) Landai/berombak l2(C) - Agak miring/berglmbng l2(C) - Agak miring/berglmbng l1(B) Landai/berombak l0(A) - Datar l3(D) Miring/berbukit l3(D) Miring/berbukit l2(C) - Agak miring/berglmbng l2(C) - Agak miring/berglmbng l3(D) Miring/berbukit l3(D) Miring/berbukit l3(D) Miring/berbukit l3(D) Miring/berbukit l2(C) - Agak miring/berglmbng l3(D) Miring/berbukit l1(B) Landai/berombak l0(A) - Datar
EROSI TANAH
KEDALAMAN EFEKTIF
KEMAMPUAN LAHAN TINGKAT SUB KELAS
Sedang Sangat ringan
50 - 90 cm
IV (l, e)
50 - 90 cm
III (k)
Ringan
50 - 90 cm
III (l, k, e)
Ringan Sangat ringan
50 - 90 cm
III (l, k, e)
50 - 90 cm
III (k)
Ringan
>100 cm
II (e)
Sedang
50 - 90 cm
IV (l, e)
Sedang
50 - 90 cm
IV (l, e)
Ringan
50 - 90 cm
III (l, k, e)
Ringan
50 - 90 cm
III (l, k, e)
Sedang
50 - 90 cm
IV (l, e)
Sedang
50 - 90 cm
IV (l, e)
Sedang
50 - 90 cm
IV (l, e)
Sedang
50 - 90 cm
IV (l, e)
Ringan
50 - 90 cm
III (l, k, e)
Sedang Sangat ringan Sangat ringan
50 - 90 cm
IV (l, e)
50 - 90 cm
II (t, l, k)
50 - 75 cm
III (t, d)
90
ID POLYGON
BENTUK LAHAN
ALTITUDE
90
V112
400 - 700
91
V112
400 - 700
92
V114
300 - 500
93
V115
50 - 300
94
A2
10 - 50
95
V115
50 - 300
96
V112
400 - 700
97
V112
400 - 700
98
V112
400 - 700
99
V112
400 - 700
100
V112
400 - 700
101
V112
400 - 700
102
V112
400 - 700
103
V114
300 - 500
104
V114
300 - 500
105
V114
300 - 500
106
V114
300 - 500
107
V114
300 - 500
BAHAN INDUK Breksi andesit Breksi andesit Andesit & basal Breksi basal Aluvium & koluvium Breksi basal Breksi andesit Breksi andesit Breksi andesit Breksi andesit Breksi andesit Breksi andesit Breksi andesit Andesit & basal Andesit & basal Andesit & basal Andesit & basal Andesit & basal
TANAH Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Ustorthents Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Ustorthents Typic Ustorthents Typic Ustorthents Typic Ustorthents Typic Ustorthents
KELAS LERENG
DRAINASE
8 - 15%
Agak cepat
15 - 30%
Cepat
45 - 65%
Cepat
15 - 30%
Cepat
0 - 3%
Baik
8 - 15%
Agak cepat
15 - 30%
Cepat
15 - 30%
Cepat
45 - 65%
Cepat
8 - 15%
Agak cepat
8 - 15%
Agak cepat
45 - 65%
Cepat
15 - 30%
Cepat
15 - 30%
Cepat
30 - 45%
Cepat
15 - 30%
Cepat
15 - 30%
Cepat
30 - 45%
Cepat
TEKSTUR Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Lempung berpasir Berdebu halus dan kasar Berlempung halus Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Lempung berpasir Lempung berpasir Lempung berpasir Lempung berpasir Lempung berpasir
EROSI TANAH
KEDALAMAN EFEKTIF
KEMAMPUAN LAHAN TINGKAT SUB KELAS
Ringan
50 - 75 cm
III (l, k, e)
Sedang
50 - 75 cm
IV (l, e)
l5(F) - Curam l3(D) Miring/berbukit
Berat
50 - 90 cm
VII (l)
Sedang
50 - 90 cm
IV (l, e)
l0(A) - Datar l2(C) - Agak miring/berglmbng l3(D) Miring/berbukit l3(D) Miring/berbukit
Ringan
>100 cm
II (e)
Ringan
50 - 90 cm
III (l, k, e)
Sedang
50 - 75 cm
IV (l, e)
Sedang
50 - 75 cm
IV (l, e)
l5(F) - Curam l2(C) - Agak miring/berglmbng l2(C) - Agak miring/berglmbng
Berat
50 - 75 cm
VII (l)
Ringan
50 - 75 cm
III (l, k, e)
Ringan
50 - 75 cm
III (l, k, e)
l5(F) - Curam l3(D) Miring/berbukit l3(D) Miring/berbukit
Berat
50 - 75 cm
VII (l)
Sedang
50 - 75 cm
IV (l, e)
Sedang
50 - 90 cm
IV (l, e)
l4(E) - Agak curam l3(D) Miring/berbukit l3(D) Miring/berbukit
Berat
50 - 90 cm
VI (l, e)
Sedang
50 - 90 cm
IV (l, e)
Sedang
50 - 90 cm
IV (l, e)
l4(E) - Agak curam
Berat
50 - 90 cm
VI (l, e)
RELIEF l2(C) - Agak miring/berglmbng l3(D) Miring/berbukit
91
ID POLYGON
BENTUK LAHAN
ALTITUDE
108
V114
300 - 500
109
V114
300 - 500
BAHAN INDUK Andesit & basal Andesit & basal
110
V115
100 - 300
Breksi basal
111
V16
100 - 300
Breksi basal
112
V16
100 - 300
Breksi basal
113
V16
100 - 300
Breksi basal
114
V16
100 - 300
Breksi basal
115
V16
100 - 300
Breksi basal
116
V16
100 - 300
Breksi basal
117
V16
100 - 300
Breksi basal
118
V16
100 - 300
Breksi basal
119
V16
100 - 300
Breksi basal
120
V16
100 - 300
121
V114
700 -1200
122
V114
700 -1200
123
V114
700 -1200
124
V114
700 -1200
125
V114
700 -1200
Breksi basal Andesit & basal Andesit & basal Andesit & basal Andesit & basal Andesit & basal
TANAH Typic Ustorthents Typic Ustorthents Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Ustorthents Typic Ustorthents Typic Ustorthents Typic Ustorthents Typic Ustorthents
KELAS LERENG
DRAINASE
30 - 45%
Cepat
45 - 65%
Cepat
30 - 45%
Cepat
30 - 45%
Cepat
15 - 30%
Cepat
30 - 45%
Cepat
15 - 30%
Cepat
30 - 45%
Cepat
30 - 45%
Cepat
30 - 45%
Cepat
30 - 45%
Cepat
15 - 30%
Cepat
30 - 45%
Cepat
15 - 30%
Cepat
15 - 30%
Cepat
15 - 30%
Cepat
8 - 15%
Cepat
15 - 30%
Cepat
TEKSTUR Lempung berpasir Lempung berpasir Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Lempung berpasir Lempung berpasir Lempung berpasir Lempung berpasir Lempung berpasir
RELIEF
EROSI TANAH
KEDALAMAN EFEKTIF
KEMAMPUAN LAHAN TINGKAT SUB KELAS
l4(E) - Agak curam
Berat
50 - 90 cm
VI (l, e)
l5(F) - Curam
Berat
50 - 90 cm
VII (l)
l4(E) - Agak curam
Berat
50 - 90 cm
VI (l, e)
l4(E) - Agak curam l3(D) Miring/berbukit
Berat
50 - 90 cm
VI (l, e)
Sedang
50 - 90 cm
IV (l, e)
l4(E) - Agak curam l3(D) Miring/berbukit
Berat
50 - 90 cm
VI (l, e)
Sedang
50 - 90 cm
IV (l, e)
l4(E) - Agak curam
Berat
50 - 90 cm
VI (l, e)
l4(E) - Agak curam
Berat
50 - 90 cm
VI (l, e)
l4(E) - Agak curam
Berat
50 - 90 cm
VI (l, e)
l4(E) - Agak curam l3(D) Miring/berbukit
Berat
50 - 90 cm
VI (l, e)
Sedang
50 - 90 cm
IV (l, e)
l4(E) - Agak curam l3(D) Miring/berbukit l3(D) Miring/berbukit l3(D) Miring/berbukit l2(C) - Agak miring/berglmbng l3(D) Miring/berbukit
Berat
50 - 90 cm
VI (l, e)
Sedang
50 - 90 cm
IV (l, e)
Sedang
50 - 90 cm
IV (l, e)
Sedang
50 - 90 cm
IV (l, e)
Ringan
50 - 90 cm
III (l, k, e)
Sedang
50 - 90 cm
IV (l, e)
92
ID POLYGON
BENTUK LAHAN
ALTITUDE
126
V114
700 -1200
127
V114
700 -1200
128
V32
300 - 700
129
V32
300 - 700
130
V32
300 - 700
131
V32
300 - 700
132
V32
300 - 700
133
V32
100 - 300
134
V32
100 - 300
135
V32
100 - 300
136
V32
100 - 300
137
V32
100 - 300
138
V32
100 - 300
139
V32
100 - 300
140
V32
100 - 300
141
V32
100 - 300
BAHAN INDUK Andesit & basal Andesit & basal Breksi andesit Breksi andesit Breksi andesit Breksi andesit Breksi andesit Breksi andesit Breksi andesit Breksi andesit Breksi andesit Breksi andesit Breksi andesit Breksi andesit Breksi andesit Breksi andesit
142
V16
100 - 300
Breksi basal
143
V16
100 - 300
Breksi basal
TANAH Typic Ustorthents Typic Ustorthents Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Lithic Haplustepts Lithic Haplustepts Lithic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Lithic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts
KELAS LERENG
DRAINASE
15 - 30%
Cepat
30 - 45%
Cepat
30 - 45%
Cepat
30 - 45%
Cepat
3 - 8%
Agak cepat
15 - 30%
Cepat
3 - 8%
Agak cepat
3 - 8%
Agak cepat
3 - 8%
Agak cepat
0 - 3%
Sedang
0 - 3%
Sedang
0 - 3%
Sedang
0 - 3%
Sedang
3 - 8%
Agak cepat
3 - 8%
Agak cepat
8 - 15%
Agak cepat
0 - 3%
Sedang
0 - 3%
Sedang
TEKSTUR Lempung berpasir Lempung berpasir Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar
EROSI TANAH
KEDALAMAN EFEKTIF
KEMAMPUAN LAHAN TINGKAT SUB KELAS
Sedang
50 - 90 cm
IV (l, e)
l4(E) - Agak curam
Berat
50 - 90 cm
VI (l, e)
l4(E) - Agak curam
Berat
50 - 75 cm
VI (l, e)
l4(E) - Agak curam l1(B) Landai/berombak l3(D) Miring/berbukit l1(B) Landai/berombak l1(B) Landai/berombak l1(B) Landai/berombak
Berat Sangat ringan
50 - 75 cm
VI (l, e)
50 - 75 cm
III (k)
Sedang Sangat ringan Sangat ringan Sangat ringan Sangat ringan Sangat ringan Sangat ringan Sangat ringan Sangat ringan Sangat ringan
50 - 75 cm
IV (l, e)
50 - 75 cm
III (k)
50 - 75 cm
III (k)
50 - 75 cm
III (k)
50 - 75 cm
III (k)
50 - 75 cm
III (k)
50 - 75 cm
III (k)
50 - 75 cm
III (k)
50 - 75 cm
III (k)
50 - 75 cm
III (k)
Ringan Sangat ringan Sangat ringan
50 - 75 cm
III (l, k, e)
50 - 90 cm
III (k)
50 - 90 cm
III (k)
RELIEF l3(D) Miring/berbukit
l0(A) - Datar l0(A) - Datar l0(A) - Datar l0(A) - Datar l1(B) Landai/berombak l1(B) Landai/berombak l2(C) - Agak miring/berglmbng l0(A) - Datar l0(A) - Datar
93
ID POLYGON
BENTUK LAHAN
ALTITUDE
144
K3
200 - 400
145
K3
200 - 400
146
K3
50 - 300
BAHAN INDUK Batu kapur kerang Batu kapur kerang Batu kapur kerang
147
V16
100 - 300
Breksi basal
148
V16
100 - 300
Breksi basal
149
V16
100 - 300
Breksi basal
150
V115
50 - 300
Breksi basal
151
V115
50 - 300
152
V112
400 - 700
Breksi basal Breksi andesit
153
V115
100 - 300
Breksi basal
154
V115
100 - 300
Breksi basal
155
V115
100 - 300
Breksi basal
156
V115
100 - 300
Breksi basal
157
V115
100 - 300
Breksi basal
158
V16
300 - 500
159
V32
100 - 300
160
V32
100 - 300
Breksi basal Breksi andesit Breksi andesit
TANAH Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Lithic Haplustepts Lithic Haplustepts
KELAS LERENG
DRAINASE
3 - 8%
Agak cepat
3 - 8%
Agak cepat
3 - 8%
Agak cepat
15 - 30%
Cepat
8 - 15%
Agak cepat
3 - 8%
Agak cepat
3 - 8%
Agak cepat
3 - 8%
Agak cepat
3 - 8%
Agak cepat
15 - 30%
Cepat
15 - 30%
Cepat
30 - 45%
Cepat
8 - 15%
Agak cepat
8 - 15%
Agak cepat
15 - 30%
Cepat
0 - 3%
Sedang
3 - 8%
Agak cepat
TEKSTUR Lempung berpasir Lempung berpasir Lempung berpasir Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar Berdebu halus dan kasar
RELIEF l1(B) Landai/berombak l1(B) Landai/berombak l1(B) Landai/berombak l3(D) Miring/berbukit l2(C) - Agak miring/berglmbng l1(B) Landai/berombak l1(B) Landai/berombak l1(B) Landai/berombak l1(B) Landai/berombak l3(D) Miring/berbukit l3(D) Miring/berbukit l4(E) - Agak curam l2(C) - Agak miring/berglmbng l2(C) - Agak miring/berglmbng l3(D) Miring/berbukit l0(A) - Datar l1(B) Landai/berombak
EROSI TANAH Sangat ringan Sangat ringan Sangat ringan
KEDALAMAN EFEKTIF
KEMAMPUAN LAHAN TINGKAT SUB KELAS
50 - 75 cm
II (t, l, k)
50 - 75 cm
II (t, l, k)
50 - 75 cm
II (t, l, k)
Sedang
50 - 90 cm
IV (l, e)
Ringan Sangat ringan Sangat ringan Sangat ringan Sangat ringan
50 - 90 cm
III (l, k, e)
50 - 90 cm
III (k)
50 - 90 cm
III (k)
50 - 90 cm
III (k)
50 - 75 cm
III (k)
Sedang
50 - 90 cm
IV (l, e)
Sedang
50 - 90 cm
IV (l, e)
Berat
50 - 90 cm
VI (l, e)
Ringan
50 - 90 cm
III (l, k, e)
Ringan
50 - 90 cm
III (l, k, e)
Sedang Sangat ringan Sangat ringan
50 - 90 cm
IV (l, e)
50 - 75 cm
III (k)
50 - 75 cm
III (k)
94
Lampiran 8 Kriteria kesesuaian lahan untuk beberapa penggunaan
Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Sawah Kualitas/Karakteristik Lahan Drainase Tanah
Tekstur
Kelas Kesesuaian S1 Terhambat
Berliat, Berdebu halus, Berlempung halus
Sesuai S2 Agak terhambat, Terhambat
Berliat, Berdebu halus, Berlempung halus
Kedalaman Efektif (cm) > 75 >50 Lereng (%) <3 <3 Bahaya Erosi Sumber: Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007
S3 Agak terhambat, Terhambat, Sangat terhambat
Berliat, Berdebu halus dan kasar, Berlempung halus
>25 <5
Tidak Sesuai N1 Cepat, Agak cepat, Baik, Agak terhambat, Sangat terhambat Berliat, Berdebu halus dan kasar, Berpasir (bukan kuarsa) berskeletal >10 <8
N2
Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Tambak Kualitas/Karakteristik Lahan Drainase Tanah
Kelas Kesesuaian S1 Sangat buruk
Sesuai S2 Buruk
Tekstur Agak halus Sedang Kedalaman Efektif (cm) Lereng (%) <2 <2 Bahaya Erosi Sumber: Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007
S3 Agak buruk, baik Halus
N1 Cepat
Tidak Sesuai N2 Sangat cepat
Kasar
Kasar
2-3
>3
95
Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Pangan Lahan Kering Kualitas/Karakteristik Lahan
Kelas Kesesuaian
Drainase Tanah
Baik
Sesuai S2 Baik
Tekstur
Berliat, Berdebu halus, Berlempung halus
Berliat, Berdebu halus, Berlempung halus
Berliat, Berdebu halus dan kasar, Berlempung halus
Kedalaman Efektif (cm) Lereng (%)
>75 <3
>50 <3
>25 <8
Bahaya Erosi
Sangat ringan
Sangat ringan, Ringan
Sangat ringan, Ringan, Sedang
S1
Tidak Sesuai N1 Cepat, Agak cepat, Baik, Agak terhambat, Terhambat Berliat, Berdebu halus dan kasar, Berpasir (bukan kuarsa) berskeletal >10 <15
S3 Agak cepat, Baik
N2
Sangat ringan, Ringan, Sedang , Agak tinggi, Tinggi
Sumber: Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007
Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Perkebunan Kualitas/Karakteristik Lahan
Kelas Kesesuaian S1
Drainase Tanah
Tekstur
Baik
Sesuai S2 Sedang, Agak cepat
Lempung berpasir, Debu lempung, Debu, Lempung Kedalaman Efektif (cm) > 100 75 - 100 Lereng (%) <8 8 - 15 Bahaya Erosi Sangat Ringan ringan Sumber: Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007
S3 Cepat, Agak terhambat Pasir, Liat berstruktur
50 -< 75 >15 - 25 Sedang
Tidak Sesuai N1 N2 Terhambat Sangat terhambat, Sangat cepat Kerikil
>25 - 45 Berbahaya
<50 > 45 Sangat berbahaya
96
Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Penggembalaan Kualitas/Karakteristik Lahan
Kelas Kesesuaian Sesuai S2 Agak cepat, Terhambat Lempung berpasir, Liat berstruktur
S1 Drainase Tanah Agak terhambat, Sedang, Baik Tekstur Pasir berlempung, Lempung, Debu lempung, Debu Kedalaman Efektif (cm) >= 30 20 - <30 Lereng (%) <3 3-8 Bahaya Erosi Sangat Ringan ringan Sumber: Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007
S3 Sangat terhambat, Cepat Pasir
15 - < 20 > 8 - 15 Sedang
N1 Sangat cepat
Tidak Sesuai N2
Kerikil
> 15 - 30 Berbahaya
< 15 > 30 Sangat berbahaya
97
Lampiran 9 Perhitungan Daya Dukung Lahan Tahun 2005
No. Komoditas 1 Padi
No. 1 2 3 4 5 6 7
No. 1 2 3 4 5 6
Komoditas Beras Jagung Ubikayu Ubijalar Kacang Tanah Kacang Hijau Kedelai
Komoditas Bawang Merah Cabe Ketimun Kacang Panjang Kangkung Bayam
Nilai Produksi Beras Luas Panen Produksi (ha) (Ton) 5.488,00 28.500,00 Total
Produksi Beras (Ton) (Kg) 17.100,00 17.100.000,00 17.100.000,00
Nilai Produksi Komoditas Padi dan Palawija Luas Panen Produksi Harga Satuan (Ton) (Rp/Kg) (ha) (Pi) (Hi) 17.100,00 3.200,00 2.688,00 1.000,00 524,00 500,00 19,00 500,00 798,00 4.300,00 48,00 5.500,00 2.572,00 3.800,00 Total Nilai Produksi Komoditas Sayur Mayur Luas Panen Produksi Harga Satuan (Ton) (Rp/Kg) (ha) (Pi) (Hi) 11 82,50 7.500,00 5 27,00 10.500,00 4 76,00 1.200,00 62 65,00 3.500,00 1 0,50 1.200,00 27 6,00 2.000,00 Total
Nilai Produksi (Rupiah) (Pi*Hi) 54.720.000.000,00 2.688.000.000,00 262.000.000,00 9.500.000,00 3.431.400.000,00 264.000.000,00 9.773.600.000,00 71.148.500.000,00
Nilai Produksi (Rupiah) (Pi*Hi) 618.750.000,00 283.500.000,00 91.200.000,00 227.500.000,00 600.000,00 12.000.000,00 1.233.550.000,00
98
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Komoditas Mangga Pisang Pepaya Salak Sawo Jambu Biji Jambu Air Alpukat Rambutan Nangka Srikaya
Nilai Produksi Komoditas Buah-buahan Luas Panen Produksi Harga Satuan (Ton) (Rp/Kg) (ha) (Pi) (Hi) 857,16 2.700,00 15.359,17 1.500,00 26.621,82 950,00 0,16 3.000,00 30,83 2.600,00 4.527,84 1.200,00 933,35 2.500,00 10,46 3.300,00 0,55 3.500,00 4.478,12 2.400,00 2.035,92 3.000,00 Total
Nilai Produksi Komoditas Tanaman Perkebunan Rakyat Luas Panen Produksi Harga Satuan (Ton) (Rp/Kg) Komoditas (ha) (Pi) (Hi) Kelapa 532 132,82 2.750,00 Tembakau Rakyat 7,5 14,76 9.500,00 Kopi 9,5 2,32 4.000,00 Kapuk (buahnya) 35,5 10,97 1.900,00 Asam 172 83,03 900,00 Jambu Mete 192 66,65 5.500,00 Pinang 13 3,80 1.800,00 Jarak (biji) 21 9,07 1.500,00 Kemiri 55 1.395,00 5.500,00 Total
Nilai Produksi (Rupiah) (Pi*Hi) 2.314.332.000,00 23.038.755.000,00 25.290.729.000,00 480.000,00 80.158.000,00 5.433.408.000,00 2.333.375.000,00 34.518.000,00 1.925.000,00 10.747.488.000,00 6.107.760.000,00 75.382.928.000,00
Nilai Produksi (Rupiah) (Pi*Hi) 365.255.000,00 140.220.000,00 9.280.000,00 20.843.000,00 74.727.000,00 366.575.000,00 6.840.000,00 13.605.000,00 7.672.500.000,00 8.669.845.000,00
99
No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Komoditas Sapi Kerbau Kambing Domba Kuda Ayam Buras Ayam Ras Bebek
No. Komoditas 1 Ayam Buras 2 Bebek
No. Komoditas 1 Tambak 2 Kolam 3 Sawah Budidaya 4 keramba 5 Perairan 6 Karamba 7 Karamba
Total Nilai Produksi = ∑(Pi*Hi)
Nilai Produksi Komoditas Daging Luas Panen Produksi Harga Satuan (Ton) (Rp/Kg) (ha) (Pi) (Hi) 695,65 32.000,00 525,15 31.500,00 24,68 37.000,00 7,06 25.000,00 37,13 12.000,00 12,60 11.500,00 27,53 8.500,00 6,16 10.000,00 Total
Nilai Produksi (Rupiah) (Pi*Hi) 22.260.800.000,00 16.542.225.000,00 913.160.000,00 176.500.000,00 445.560.000,00 144.900.000,00 234.005.000,00 61.600.000,00 40.778.750.000,00
Nilai Produksi Komoditas Telur Luas Panen Produksi Harga Satuan (Ton) (Rp/Kg) (ha) (Pi) (Hi) 136,34 8.500,00 116,95 6.200,00 Total
Nilai Produksi (Rupiah) (Pi*Hi) 1.158.890.000,00 725.090.000,00 1.883.980.000,00
Nilai Produksi Komoditas Perikanan Produksi Harga Satuan (Ton) (Rp/Kg) Jenis Ikan (generalisasi) (Pi) (Hi) Bandeng 231,10 9.800,00 Ikan Mas 27,70 9.500,00 Belut 0,62 25.000,00
Nilai Produksi (Rupiah) (Pi*Hi) 2.264.780.000,00 263.150.000,00 15.500.000,00
Kakap Udang Kerapu Ikan lain
1.053,40 23,60 2,50 30,00 Total
6.500,00 23.000,00 70.000,00 15.000,00
Rp 209.655.883.000,00
6.847.100.000,00 542.800.000,00 175.000.000,00 450.000.000,00 10.558.330.000,00
100
KETERSEDIAAN LAHAN BERBASIS PRODUKTIVITAS KOTA BIMA TAHUN 2005 Faktor Total Nilai Produksi Harga Beras Total Beras dari Padi Sawah dan Ladang Luas Panen Padi Produktivitas Beras Ketersediaan Lahan
Rumus ∑(Pi*Hi) Hb
Nilai Satuan 209.655.883.000,00 Rp 3.200,00 Rp/Kg
Pb Lb Ptvb = Pb/Lb Sl = (∑(Pi*Hi)/Hb)*(1/Ptvb))
17.100.000,00 5.488,00 3.115,89 21.026,89
KEBUTUHAN LAHAN BERBASIS PRODUKTIVITAS KOTA BIMA TAHUN 2005 Faktor Jumlah Penduduk Luas Lahan Untuk Hidup Layak Kebutuhan Lahan
Rumus N KHLL= 1 ton/Ptvb DL = N * KHLL
Nilai 128.131,000 0,32 41.121,81
Satuan Jiwa Ha Ha
STATUS DAYA DUKUNG LAHAN BERBASIS PRODUKTIVITAS KOTA BIMA TAHUN 2005 Faktor Ketersediaan Lahan Kebutuhan Lahan Status Daya Dukung Lahan
Rumus SL DL Surplus jika SL > DL Defisit jika SL < DL
Nilai 21.026,89 41.121,81 DEFISIT
Satuan Ha Ha
Kg Ha Kg/Ha Ha
101
Lampiran 10 Perhitungan Daya Dukung Lahan Tahun 2010
No. Komoditas 1 Padi
No. 1 2 3 4 5 6 7
No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Komoditas Beras Jagung Ubikayu Ubijalar Kacang Tanah Kacang Hijau Kedelai
Nilai Produksi Beras Luas Panen Produksi Produksi Beras (ha) (Ton) (Ton) (Kg) 6.585,00 50.191,00 30.114,60 30.114.600,00 Total 30.114.600,00 Nilai Produksi Komoditas Padi dan Palawija Luas Panen Produksi Harga Satuan (Ton) (Rp/Kg) (ha) (Pi) (Hi) 30.114,60 6.000,00 4.116,00 2.000,00 6.680,00 2.200,00 854,56 1.000,00 970,00 13.250,00 122,00 9.600,00 3.775,00 6.000,00 Total
Nilai Produksi (Rupiah) (Pi*Hi) 180.687.600.000,00 8.232.000.000,00 14.696.000.000,00 854.560.000,00 12.852.500.000,00 1.171.200.000,00 22.650.000.000,00 241.143.860.000,00
Nilai Produksi Komoditas Sayur Mayur Luas Harga Panen Produksi Satuan Nilai Produksi (Ton) (Rp/Kg) (Rupiah) Komoditas (ha) (Pi) (Hi) (Pi*Hi) Bawang Merah 211,00 10.500,00 2.215.500.000,00 Cabe 54,60 48.500,00 2.648.100.000,00 Ketimun 16,74 4.000,00 66.960.000,00 Kacang Panjang 25,15 7.000,00 176.050.000,00 Kangkung 7,98 5.000,00 39.900.000,00 Bayam 81,88 4.500,00 368.460.000,00 Terong 8,00 3.200,00 25.600.000,00 Tomat 4,96 17.000,00 84.320.000,00 Total 5.624.890.000,00
102
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Komoditas Mangga Jeruk Durian Pisang Pepaya Jambu Biji Jambu Air Alpukat Rambutan Nangka Srikaya
Nilai Produksi Komoditas Buah-buahan Luas Harga Panen Produksi Satuan Nilai Produksi (Ton) (Rp/Kg) (Rupiah) (ha) (Pi) (Hi) (Pi*Hi) 996,20 5.500,00 5.479.100.000,00 3,89 12.000,00 46.680.000,00 33,60 30.000,00 1.008.000.000,00 2.822,40 7.600,00 21.450.240.000,00 19.414,90 5.200,00 100.957.480.000,00 1.623,00 4.500,00 7.303.500.000,00 1.202,50 5.500,00 6.613.750.000,00 7,50 7.000,00 52.500.000,00 6,10 5.700,00 34.770.000,00 2.521,75 5.500,00 13.869.625.000,00 12.131,14 8.500,00 103.114.690.000,00 Total 259.930.335.000,00
Nilai Produksi Komoditas Tanaman Perkebunan Rakyat Luas Harga Panen Produksi Satuan Nilai Produksi (Ton) (Rp/Kg) (Rupiah) Komoditas (ha) (Pi) (Hi) (Pi*Hi) Kelapa 12.376,00 10.500,00 129.948.000.000,00 Asam 4,63 5.000,00 23.130.000,00 Aren (kolangkaling) 1,65 7.000,00 11.550.000,00 Kopi 6,73 18.000,00 121.140.000,00 Kapuk (buahnya) 4,50 4.000,00 18.000.000,00 Jambu Mete 95,86 10.000,00 958.580.000,00 Pinang 510,40 5.500,00 2.807.200.000,00 Kemiri 1,77 9.000,00 15.930.000,00 Total 133.903.530.000,00
103
No. 1 2 3 4 5 6 7
Komoditas Sapi Kerbau Kambing Domba Ayam Buras Ayam Ras Bebek
No. Komoditas 1 Ayam Buras 2 Bebek
No. 1 2 3 4 5 6 7
Nilai Produksi Komoditas Daging Luas Panen Produksi Harga Satuan Nilai Produksi (Ton) (Rp/Kg) (Rupiah) (ha) (Pi) (Hi) (Pi*Hi) 517,00 60.500,00 31.278.500.000,00 220,00 58.500,00 12.870.000.000,00 46,95 50.000,00 2.347.500.000,00 1,04 48.000,00 49.920.000,00 29,13 27.000,00 786.510.000,00 203,90 16.000,00 3.262.400.000,00 3,95 19.000,00 75.050.000,00 Total 50.669.880.000,00
Nilai Produksi Komoditas Telur Luas Panen Produksi Harga Satuan (Ton) (Rp/Kg) (ha) (Pi) (Hi) 93,60 15.000,00 52,75 9.000,00 Total
Nilai Produksi (Rupiah) (Pi*Hi) 1.404.000.000,00 474.750.000,00 1.878.750.000,00
Nilai Produksi Komoditas Perikanan dan Kelautan Produksi Harga Satuan Nilai Produksi (Ton) (Rp/Kg) (Rupiah) Jenis Ikan Komoditas (generalisasi) (Pi) (Hi) (Pi*Hi) Tambak Bandeng 3.908,50 16.000,00 62.536.000.000,00 Kolam Ikan Mas 73,00 18.000,00 1.314.000.000,00 Sawah Belut 20,60 33.500,00 690.100.000,00 Karamba Kakap 9.953,10 22.500,00 223.944.750.000,00 Perairan Udang 85,60 45.000,00 3.852.000.000,00 Karamba Kerapu 187,00 115.000,00 21.505.000.000,00 Karamba Ikan lain 78,50 19.000,00 1.491.500.000,00 Total 315.333.350.000,00
Total Nilai Produksi = ∑(Pi*Hi)
Rp 1.008.484.595.000,00
104
KETERSEDIAAN LAHAN BERBASIS PRODUKTIVITAS KOTA BIMA TAHUN 2010 Faktor Total Nilai Produksi Harga Beras Total Beras dari Padi Sawah dan Ladang Luas Panen Padi Produktivitas Beras Ketersediaan Lahan
Rumus ∑(Pi*Hi) Hb
Nilai Satuan 1.008.484.595.000,00 Rp 6.000,00 Rp/Kg
Pb Lb Ptvb = Pb/Lb Sl = (∑(Pi*Hi)/Hb)*(1/Ptvb))
30.114.600,00 6.585,00 4.573,21 36.753,33
Kg Ha Kg/Ha Ha
KEBUTUHAN LAHAN BERBASIS PRODUKTIVITAS KOTA BIMA TAHUN 2010 Faktor Jumlah Penduduk Luas Lahan Untuk Hidup Layak Kebutuhan Lahan
Rumus N KHLL= 1 ton/Ptvb DL = N * KHLL
Nilai Satuan 142.443,00 Jiwa 0,22 Ha 31.147,26 Ha
STATUS DAYA DUKUNG LAHAN BERBASIS PRODUKTIVITAS KOTA BIMA TAHUN 2010 Faktor Ketersediaan Lahan Kebutuhan Lahan Status Daya Dukung Lahan
Rumus SL DL Surplus jika SL > DL Defisit jika SL < DL
Nilai 36.753,33 31.147,26 SURPLUS
Satuan Ha Ha