PENGARUH PENERAPAN CREATIVE PROBLEM SOLVING (CPS) TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA PADA MATA PELAJARAN FISIKA KELAS XI IPA MAN 3 MALANG
Wahyu Tria Pratiwi(1), Lia Yuliati dan Agus Suyudi Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Negeri Malang (1) email:
[email protected]
ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan model pembelajaran Creative Problem Solving terhadap kemampuan berpikir kritis pada materi Teori Kinetik Gas pada kelas XI IPA. Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimen semu dengan populasi seluruh siswa kelas XI IPA di MAN 3 Malang tahun ajaran 2012-2013. Sampel yang digunakan kelas XI IPA 5 sebagai kelas kontrol dan XI IPA 6 sebagai kelas eksperimen. Teknik pengambilan sampel adalah Only Posttest Control Group Design. Instrumen untuk mengukur kemampuan berpikir kritis siswa terdiri dari 8 butir soal multiple choice dari 2 soal. Analisis data dengan uji-t untuk mengetahui perbedaan kemampuan berpikir kritis dan uji lanjut dengan uji Scheffe untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran Creative Problem Solving terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Hasil penelitian menunjukan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa yang dibelajarkan pada kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol. Hasil dari uji Schefee menunjukan bahwa model pembelajaran Creative Problem Solving tidak berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis siswa pada materi Teori Kinetik Gas. Kata kunci: Creative Problem Solving dan kemampuan berpikir kritis. Belajar fisika merupakan proses aktif. Keaktifan dalam belajar fisika terletak pada dua segi, yaitu aktif bertindak secara fisik (hands activity) dan aktif berpikir (minds activity) (NRC, 1996 dalam Yuliati, 2010:5). Dalam konteks sekolah, belajar fisika merupakan sesuatu yang harus dilakukan oleh siswa, bukan sesuatu yang dilakukan untuk siswa (Yuliati, 2010:5). Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa pembelajaran fisika seharusnya berpusat pada siswa (student centered) bukan berpusat pada guru (teacher centered). Tetapi berdasarkan observasi awal yang dilakukan di MAN 3 Malang, ternyata pembelajaran fisika tidak seperti yang diharapkan, karena pembelajaran masih seringkali berpusat pada guru. Guru masih menerapkan metode ceramah untuk menyampaikan materi. Berdasarkan observasi awal juga model yang diterapkan di MAN 3 Malang adalah model Direct Instruction versi guru. Model Direct Instruction yang diterapkan di MAN 3 Malang mempunyai kelemahan-kelemahan yang menyebabkan kurang tercapainya tujuan pembelajaran fisika yang sesungguhnya yang menuntut siswa tidak hanya melakukan pembelajaran minds on tapi juga hands on. Sesuai dengan observasi yang telah dilakukan, kekurangan dari model Direct Instruction yang digunakan oleh guru di MAN 3 Malang adalah siswa cenderung lebih pasif yaitu hanya 1
2 menerima materi secara final dari guru sehingga pembelajaran kurang efektif. Siswa hanya menjadi objek penerima saja, sehingga peserta didik tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan berpikir kritis (Setyowati, 2011). Jarangnya dilakukan metode ilmiah yaitu kegiatan menyelidiki dan membuktikan (eksperimen) menyebabkan siswa tidak menemukan sendiri konsep yang diajarkan. Guru menggunakan metode ceramah membuat siswa lebih cenderung menghafalkan rumus. Oleh sebab itu, terdapat siswa yang mempunyai nilai di bawah KKM, yaitu kisaran antara 45 hingga 70. Sementara itu KKM yang ditentukan oleh MAN 3 Malang untuk pelajaran fisika adalah 75. Kemampuan berpikir kritis siswa kelas XI IPA MAN 3 Malang tergolong rendah. Hal ini dapat dilihar dari nilai KKM yang menunjukan prestasi belajar siswa yang merupakan salah satu dari indikator berpikir kritis. Menurut Ennis (1996) berpikir kritis ialah kemampuan memberi alasan (reasonable) dan reflektif yang difokuskan pada apa yang diyakini dan dikerjakan. Reflektif berarti mempertimbangkan secara aktif, tekun dan hati-hati terhadap segala alternatif sebelum mengambil keputusan. Dalam pendidikan, kemampuan berpikir kritis telah terbukti mempersiapkan peserta didik pada berbagai disiplin ilmu, menuju pemenuhan sendiri akan kebutuhan intelektual dan mengembangkan peserta didik sebagai peserta didik untuk menjadi individu yang berpotensi. Oleh sebab itu, kemampuan berpikir kritis menjadi kemampuan yang sangat diperlukan untuk mengahadapi berbagai permasalahan tersebut. Berpikir kritis memungkinkan siswa untuk menemukan kebenaran dari kejadian-kejadian dan informasi yang mengelilingi mereka setiap hari. Menurut Santrock (2009:11) mengatakan bahwa pemikiran kritis adalah pemikiran reflektif dan produktif dan melibatkan evaluasi bukti. Santrock menjelaskan beberapa pedoman bagi guru dalam membantu peserta didik mengembangkan kemampuan berpikir kritis, yaitu 1. Guru harus berperan sebagai pemandu siswa dalam menyusun pemikiran mereka sendiri 2. Menggunakan pertanyaan yang berbasis pemikiran 3. Membangkitkan rasa ingin tahu dan keintelektualan siswa. Mendorong siswa untuk bertanya, merenungkan, menyelidiki, dan meneliti 4. Melibatkan siswa dalam perencanaan dan strategi 5. Memberi siswa model peran pemikir yang positif bagi siswa. Secara spesifik, Starkey (2009:2) mengatakan bahwa kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan yang mencakup: 1. Melakukan pengamatan 2. Rasa ingin tahu, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan dan mencari sumber-sumber yang dibutuhkan 3. Menguji dan memeriksa keyakinan, asumsi, dan opini dengan fakta-fakta 4. Menganalis dan menetapkan masalah 5. Menilai validitas pernyataan dan argumen 6. Membuat keputusan yang bijak dan solusi yang valid 7. Memahami logika dan argumentasi logis. Model pembelajaran yang tepat dan lebih bermakna bagi siswa yaitu model yang berpusat pada keterampilan dalam pemecahan masalah yang menuntut siswa untuk berpikir kritis. Ketika dihadapkan pada suatu permasalahan, siswa dapat melakukan keterampilan memecahkan masalah dengan memilih dan mengembangkan ide serta gagasannya. Salah satu model pembelajaran tersebut antara lain adalah model Creative Problem Solving.
3 Menurut Treffinger (2005) model Creative Problem Solving disebut sebagai model konseptual mengusulkan tiga komponen proses yang terdiri dari yaitu (1) Mengenali Masalah, (2) Konfirmasi Informasi, (3) Penemuan Masalah, (4) Penemuan Solusi, (5) Pemilihan Solusi, (6) Penerimaan. Kelebihan dari model ini menurut Treffinger (2005) adalah (1) memberikan kesempatan kepada siswa untuk memahami konsep-konsep fisika dengan cara menyelesaikan suatu permasalahan, (2) membuat siswa aktif dalam pembelajaran, (3) mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa, karena disajikan masalah pada awal pemebelajaran dan memberikan keleluasan kepada siswa untuk mencari arah-arah penyelesainya (4) mengembangkan kemampuan siswa untuk mendefinisikan masalah, mengumpulkan data, menganalisis data, dan membangun hipotesis dan percobaan, dan (5) membuat siswa dapat menerapkan pengetahuan yang sudah dimilikinya ke dalam situasi baru. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Nurlita (2008) menunjukan bahwa terdapat penggunaan perangkat pembelajaran berdasarkan masalah berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Dari hasil penelitian tersebut, peneliti ingin melakukan penelitian dengan menggunakan model Creative Problem Solving (CPS) untuk mempelajari secara mendalam bahwa model tersebut berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Hal ini dikarenakan minat siswa terhadap fisika ialah kurang, sehingga kemampuan berpikir siswa terhadap pelajaran fisika juga kurang. Pada penelitian ini, peneliti ingin membandingkan kemampuan berpikir pada dua kelas yang diberi perlakuan berbeda. Peneliti hanya mengkhususkan kemampuan berpikir siswa pada kemampuan berpikir kritis. Pada penelitian ini pokok bahasan yang akan digunakan sebagai eksperimen adalah mengenai Teori Kinetik Gas. Pemilihan materi tersebut didasarkan pada observasi yang dilakukan peneliti terhadap salah satu guru di MAN 3 Malang. Menurut guru tersebut, pada bab Teori Kinetik Gas siswa dirasa mengalami kesulitan dalam memahami materi. Hal itu dikarenakan siswa mengalami kesulitan terhadap materi dikarenakan siswa tidak bisa melihat objek yang dibicarakan secara konkret yaitu mengenai gas. METODE Metode yang digunakan adalah metode eksperimen semu (Quasy Experimental Design). Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah Only Posttest Control Group Design, dikarenakan peneliti hanya melihat kemampuan awal siswa dari data yang telah ada yaitu berupa nilai ulangan harian sebelumnya pada materi Momentum Sudut dan Rotasi Benda Tegar. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI program IPA di MAN 3 Malang. Penentuan sampel menggunakan teknik Sampling Purposive, dimana sampel yang dipilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2010:124), seperti keterbatasan guru untuk mengajar seluruh kelas XI. Jadi, guru hanya mengajar dua hingga tiga kelas saja. Sampel pada penelitian ini merupakan kelas XI IPA 6 terdiri dari 34 siswa sebagai kelas eksperimen dan kelas XI IPA 5 terdiri dari 35 siswa sebagai kelas kontrol. Instrumen perlakuan penelitian ini berupa penerapan pembelajaran, yaitu silabus dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar Kerja Siswa (LKS). Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) akan diterpakan untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol. Terdapat 2 macam silabus dan RPP, yaitu silabus dan RPP untuk kelas eksperimen yang dibelajarkan dengan model Creative Problem Solving serta silabus dan RPP untuk kelas kontrol yang dibelajarkan dengan model Direct Instruction versi guru di MAN 3 Malang.
4 Sementara untuk LKS hanya disajikan untuk kelas eksperimen, sementara pada kelas kontrol tidak diberikan LKS, tetapi hanya menggunakan buku paket yang dipakai di MAN 3 Malang. Kegiatan pada LKS yang diberikan adalah berupa kegiatan praktikum dan atau diskusi untuk melatih kemampuan berpikir kritis siswa. Instrumen pengukuran berupa tes kemampuan berpikir kritis yang akan dujikan saat akhir pembelajaran (posttest). HASIL PENELITIAN Dari hasil posttest, dapat diketahui bahwa kemampuan berpikir kritis siswa kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol. Hal ini dapat dilihat dari rerata yang diperoleh kedua kelas pada tabel 1.1. Tabel 1.1 Hasil Posttest Berpikir Kritis Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Parameter Kelas Eksperimen Kelas Kontrol N 34 35 73,41 57,23 X Med 78,00 58,00 Modus 55,00 75,00 Sd 12,32 13,22 Sesuai dengan langkah-langkah Creative Problem Solving yang dipakai dalam penelitian ini adalah langkah-langkah Creative Problem Solving menurut Treffinger. Berikut merupakan pelaksanaan pembelajaran Creative Problem Solving yang diterapkan pada kelas eksperimen. Pada tahap ke-1 yaitu tahap Mengenali Masalah, yang mana siswa dikenalkan dengan masalah yang terkait dengan materi yang akan dibahas. Berikut merupakan kegiatan pelaksanaan tahap Mengenali Masalah. Pada tahap ini siswa dikenalkan dengan masalah yang terkait dengan materi yang akan dibahas pada tiap pertemuan. Misalnya pada pertemuan kedua, siswa diminta untuk berpikir dengan kritis tentang bagaimana cara memasukan telur ke dalam tabung erlenmeyer tanpa harus menekan telur rebus tersebut. Pada tahap ke-2 yaitu tahap Konfirmasi Informasi, yang mana siswa dituntut untuk mengumpulkan informasi dan fakta. Pada tahap ini, siswa dituntut untuk mengumpulkan informasi dan fakta untuk membentuk konsep yang diperlukan dalam memecahkan masalah melalui tanya jawab. Misalnya pada pertemuan ke-2, siswa diminta untuk menyebutkan cara memasukan telur ke dalam tabung erlenmeyer tanpa harus menekan dengan telur yang merupakan prinsip penerapan dari persamaan umum gas ideal. Disini, siswa harus mengetahui hubungan besaran-besaran fisika pada persamaan umum gas ideal, yaitu apabila suhu meningkat maka jumlah mol juga akan meningkat. Dari prinsip itulah akhirnya siswa dapat mendapatkan informasi tentang cara memasukan telur ke dalah tabung erlenmeyer tanpa harus menekanya. Pada tahap ini siswa diberi tahu bahwa disediakan alat dan bahan berupa telur, tabung erlenmeyer, kertas dan korek. Pada tahap ke-3 yaitu tahap Penemuan Masalah, yang mana siswa dituntut harus membuat rumusan masalah dengan kritis secara berkelompokdengan bimbingan guru yang berkaitan dengan materi yang akan dibahas. Pada tahap ini, siswa dituntut membuat pertanyaan yang kritis secara berkelompok yang berkaitan dengan materi yang dibahas. Misalnya pada pertemuan ke-2, siswa diminta untuk membuat pertanyaan mengenai cara memasukan telur ke dalam tabung erlenmeyer tanpa harus menekanya yang dikaitkan dengan persamaan gas ideal. Setelah tiap kelompok membuat pertanyaan kritis mengenai hal tersebut,
5 tiap kelompok diminta untuk memilih satu pertanyaan yang dianggap sangat mewakili pertanyaan yang kritis dan logis. Pada tahap ke-4 yaitu tahap Penemuan Solusi, yang mana siswa dituntut melakukan eksperimen dan atau diskusi secara berkelompok untuk menemukan solusi dari permasalahan yang muncul dari tahap Penemuan Masalah. Pada tahap ini, siswa dituntut mencari solusi atas permasalahan yang muncul pada tahap sebelumnya, yaitu Penemuan Masalah dengan melakukan eksperimen dan atau diskusi kelompok. Misalnya pada pertemuan ke-2, siswa melakukan praktikum untuk menemukan solusi dari rumusan masalah yang dipilih berdasarkan diskusi kelas. pada pertemuan ke 2 ini tidak dijelaskan cara memasukan telur ke dalam tabung erlenmeyer. Jadi pada LKS hanya disebutkan untuk menggunakan alat dan bahan yang tersedia. Disini berpikir kritis siswa muncul melalui siswa berpikir bagaimana cara memasukan telur ke dalam tabung erlenmeyer. Di awal siswa terkecoh dengan adanya lilin. Beberapa kelompok meletakan lilin ke dalam dalam tabung Erlenmeyer tetapi beberapa kali gagal membuat lilin menyala, hingga terdapat kelompok menyalakan beberapa batang korek sekaligus untuk menyalakan lilin tapi masih gagal. Pada akhirnya kelompok 4 berhasil menemukan cara memasukan telur ke dalam tabung erlenmeyer dengan membakar kertas di dalam tabung Erlenmeyer kemudian menaruh telur di mulut tabung. Pada tahap ke-5 yaitu tahap Pemilihan Solusi, yang mana siswa dituntut untuk memilih dan menyeleksi solusi yang tepat dari rumusan masalah yang muncul dari tahap Penemuan Masalah. Pada tahap ini, siswa dituntut untuk memilih dan meyeleksi solusi yang ditemukan pada saat tahap Penemuan Solusi. Misalnya pada pertemuan ke 2, dari solusi yang ditemukan oleh siswa (tertera pada tahap Penemuan Masalah) akhirnya siswa dapat mengembangkan dan menyeleksi solusi dari permasalahan cara memasukan telur ke dalam tabung erlenmeyer dengan mengaitkan solusi yang ditemukan dan besaran-besaran yang terkandung dalam persamaan umum gas ideal secara berkelompok. Solusi yang didapatkan siswa pada pertemuan ini adalah “memperkecil tekanan gas di dalam tabung dengan cara membakar kertas di dalam tabung kemudian ditutup dengan telur sehingga jumlah mol O2 akan berkurang dan menurunkan suhu gas di dalam tabung dengan cara memasukan es batu atau air dingin ke dalam tabung sehingga tekanan berkurang”. Pada tahap ke-6 yaitu Penerimaan. Pada tahap ini siswa mempresentasikan hasil eksperimen dan solusi yang telah dikembangkan pada tahap sebelumnya. Misalnya saja pada kelompok 2. Guru meminta salah satu kelompok untuk mempresentasikan tentang hasil eksperimen. Setelah presentasi, guru memfasislitasi kelompok lain untuk mengajukan pendapat dan pertanyaan melalui diskusi kelas. Selanjutnya siswa mendengarkan penguatan materi dari guru mengenai persamaan umum gas ideal dan memberikan latiha soal pada siswa. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh Fhitung sebesar 0,13 dengan nilai signifikansi sebesar 0,71. Dapat diketahui juga bahwa sig.2 tailed sebesar 0,00 < 0,05. Hal itu menunjukan bahwa Ho ditolak sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa pada kelas yang diberi perlakuan model Creative Problem Solving lebih tinggi daripada siswa pada kelas yang diberi perlakuan model Direct Instruction. Sementara untuk uji lanjut yang menggunakan uji Scheffee didapatkan nilai untuk Fhitung sebesar 1,74 dengan nilai Ftabel adalah 3,98. Jadi dapat dikatakan bahwa Fhitung < Fkritis sehingga Ho diterima, yaitu tidak terdapat pengaruh antara
6
penerapan model pembelajaran Creative Problem Solving yang dibelajarkan pada kelas eksperimen. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil uji-t berbantuan program SPSS menunjukan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa di kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol. Hal ini ditunjukan dengan perolehan nilai kelas eksperimen dan kelas kontrol yang telah dirata-rata, yaitu pada kelas eksperimen memiliki sebesar 73,41 dan kelas kontrol sebesar 57,23. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Faizi (2011) menunjukan bahwa terdapat perbedaan nilai berpikir kritis siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol, dimana kemampuan berpikir kritis siswa di kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol. Berdasarkan hasil uji lanjut dengan menggunakan analisis Uji Schefee maka diperoleh hasil bahwa tidak terdapat pengaruh model pembelajaran Creative Problem Solving terhadap kemampuan berpikir kritis siswa pada kelas eksperimen. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Nurlita (2008) menunjukan bahwa terdapat pengaruh penggunaan perangkat pembelajaran berdasarkan masalah terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Senada dengan hasil penelitian oleh Dwijananti dan Yulianti yang tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan bahwa terdapat peningkatan rata-rata kemampuan berpikir kritis seiring dengan menningkatnya jumlah siswa yang termasuk kategori sangat kritis. Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa penerapan model Creative Problem Solving belum mampu melatih kemampuan berpikir kritis siswa pada materi Teori Kinetik Gas. Berdasarkan model yang diterapkan pada kelas eksperimen yaitu Creative Problem Solving telah dilakukan sesuai dengan sintaks. Pada model Creative Problem Solving siswa dituntut untuk menyelesaikan masalah yang mengandung banyak solusi. Disini siswa diminta untuk melatih kemampuan berpikir kritis selama pembelajaran fisika berlangsung, yaitu selama 4 kali pertemuan. Dari 4 pertemuan tersebut, dapat dikatakan bahwa untuk melatih kemampuan berpikir kritis siswa dengan maksimal perlu adanya waktu yang relatif lama sehingga bisa tampak pengaruh model yang diterapkan yaitu model Creative Problem Solving terhadap kemampuan berpikir kritis. Hal ini sejalan dengan pernyataan Dwijananti dan Yulianti dalam jurnal Pendidikan Fisika Indonesia bahwa pembiasaan berpikir kritis secara bertahap memiliki kecenderungan membuat anak semakin memandang berbagai hal di sekitarnya dengan rasa ingin tahu, sehingga ada pemberian makna. Dari hasil penelitian terdahulu, maka dapat dikatakan bahwa seharusnya untuk melatih kemampuan berpikir kritis memerlukan waktu yang relatif lama dan harus berkala. Berkala dimaksudkan disini adalah melatih kemampuan berpikir kritis anak harus dilakukan sesering mungkin, agar kemampuan berpikir kritis anak bisa terlatih dan dapat dengan mudah memilih solusi dari penyelesaian permasalahan yang mengandung banyak solusi. Senada dengan pernyataan Fauzi (2012) dalam penelitianya bahwa kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan dan kebiasaan yang harus dilatih sedini dan sesering mungkin. Tetapi pada kenyataanya kemampuan berpikir kritis siswa tidak dibiasakan dan dilatihkan sejak dini. Fakta mendukung yang ditemukan oleh IMSTEP-JICA (1999) bahwa kemampuan berpikir kritis siswa memang tidak bisa dibiasakan untuk diajarkan sejak Sekolah Dasar.
7
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, maka diperoleh kesimpulan bahwa kelas yang dibelajarkan dengan model Creative Problem Solving mempunyai kemampuan berpikir kritis lebih tinggi daripada kelas yang dibelajarkan dengan model Direct Instruction versi guru di MAN 3 Malang. Hal itu didukung dengan perolehan nilai rata-rata kedua kelas. Pada kelas eksperimen memiliki rata-rata kelas sebesar 73,41 sedangkan pada kelas kontrol memiliki rata-rata kelas sebesar 57,23. DAFTAR RUJUKAN Dwijananti dan Yulianti. 2010. Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa melalui Pembelajaran Problem Based Instruction pada Mata Kuliah Fisika Lingkungan.Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, (Online), 6(-):108-114, (http://journal.unnes.ac.id), diakses tanggal 8 Mei 2013. Ennis, R H. 1996. Critical Thinking. New Jersey: Pretince Hall. Faizi, H. K. 2012. Pengaruh Pembelajaran Masalah terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Hasil Belajar Siswa Kelas X-1 SMA Negeri 1 Malang. Skripsi Tidak Diterbitkan. Malang:FMIPA UM. Fauzi, A. 2012. Peningkatan Perilaku Berkarakter dan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Kelas IX MTsN pada Mata Pelajaran Fisika Menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Masalah.Jurnal Penelitian Pembelajaran Fisika, (Online), 1(-):1-16,(http://ejournal.unp.ac.id), diakses tanggal 8 Mei 2013. IMSTEP-JICA.1999. Permasalahan Pembelajaran Matematika SD, SLTP, dan SMU di Kota Bandung. Bandung:FMIPA UPI. Nurlita, F.2008. Penggunaan Perangkat Pembelajaran Berdasarkan Masalah Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Dan Mengembangkan Keterampilan Berpikir Kritis.Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran, (Online), 4(2): 885-901, (http://isjd.pdii.lipi.go.id), diakses 24 Nopember 2012. Santrock, J. W. 2009. Psikologi Pendidikan (Educational Psycology) edisi 2 buku 3.Terjemahan Diana Angelica. Jakarta: Salemba Humanika. Setyowati, A., Subali, B., dan Mosik.2011.Implementasi Pendekatan Konflik Kognitif dalam Pembelajaran Fisika untuk Menumbuhkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMP Kelas VIII. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, (Online), 7: 89-96, (http:// journal.unnes.ac.id), diakses 20 Nopember 2012. Starkey, L. 2009. Critical Thinking Skills Success: Tes Kemampuan Berpikir Kritis Dalam 20 Menit. Jakarta:Book Marks. Sugiyono.2010.Metode Penelitian Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D.Bandung: Alfabeta. Treffinger, D.J., Isaksen S.G., dan Doval B. S. 2005. Creative Problem Solving.(Online), (http://cpsb.com/CPSVersion61B.pdf: diakses 20 Nopember 2012. Yuliati, L.2010.Panduan Penyusunan Perangkat Pembelajaran Fisika.Malang: Universitas Negeri Malang.
8