PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA KELAS XI-IS MA MUHAMMADIYAH 2 PACIRAN Widya Astuti1), Budi Handoyo2), Mustofa2) Prodi Pendidikan Geografi, Universitas Negeri Malang Jl. Semarang 5 Malang e-mail:
[email protected] ABSTRACT: Aim of the research is to determine significant differences in students’ critical thinking skill who are taught by using problem solving model in geography lesson. This research is quasi experimental. Subject of this research is XI-IS-2 as an experimental class and XI-IS-1 as a control class. The research instrument is essay test for pretest and posttest. The analysis technique used is independent sample t-test. The result showed that there are significant differences in the critical thinking skill of students who are taught by using problem solving learning model. The result of data analysis is known that the significant value of gain score is 0,000<0,05. So that an applying the problem solving learning model in teaching and learning process give an effect toward students’ critical thinking skill. Key words: model, problem solving, critical thinking ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan signifikan kemampuan berpikir kritis siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran problem solving pada mata pelajaran geografi. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu. Subyek penelitian yaitu kelas XI-IS-2 sebagai kelas eksperimen dan kelas XI-IS-1 sebagai kelas kontrol. Instrumen penelitian berupa tes essai untuk pretes dan postes. Teknik analisis hipotesis dengan uji-t. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan kemampuan berpikir kritis siswa yang belajar dengan model pembelajaran problem solving. Nilai signifikan gain score 0,000<0,05. sehingga penggunaan model pembelajaran problem solving berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Kata Kunci: model, problem solving, berpikir kritis
Salah satu ketrampilan geografi (geographycal skill) yang perlu dikembangkan melalui proses pendidikan adalah kemampuan berpikir. Kemampuan berpikir perlu dilatih dan dikembangkan karena semakin baik kemampuan berpikir siswa maka semakin baik pula cara siswa dalam menyikapi suatu permasalahan yang terjadi dalam kehidupan nyata nantinya. Salah satu kecakapan hidup yang perlu dikembangkan adalah kemampuan berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis sangat penting untuk diajarkan dan dikembangkan dalam kegiatan pembelajaran. Hal tersebut perlu dilakukan mengingat beberapa hasil penelitian masih mengidentifikasikan rendahnya kemampuan berpikir kritis siswa Indonesia. Hasil penelitian Suryanto dan
1) Mahasiswa Geografi Universitas Negeri Malang 2) Dosen Geografi Universitas Negeri Malang
1
Somerset (Fachrurazi, 2011) terhadap 16 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama pada beberapa provinsi di Indonesia menunjukkan hasil tes mata pelajaran matematika sangat rendah, terutama pada soal cerita matematika. Soal cerita termasuk pada ranah kognitif tingkat aplikasi (C3). Kemampuan aplikasi merupakan bagian dari ranah kognitif yang lebih rendah daripada kemampuan analisis, sintesis, dan evaluasi. Hasil penelitian Priatna (Fachrurazi, 2011) menunjukkan bahwa kemampuan penalaran siswa SMP di kota Bandung masih belum memuaskan, yaitu hanya mencapai sekitar 49% dan 50% dari skor ideal. Selanjutnya Suryadi (Fachrurozi, 2011) menemukan bahwa siswa kelas dua SMP di Kota dan Kabupaten Bandung mengalami kesulitan dalam mengajukan argumentasi, menerapkan konsep yang relevan, serta menemukan pola bentuk umum (kemampuan induksi). Ketiga hal tersebut merupakan bagian dari indikator kemampuan berpikir kritis. Masih rendahnya kemampuan berpikir kritis juga ditunjukkan dari hasil penelitian Mayadiana (Fachrurazi, 2011) bahwa kemampuan berpikir kritis mahasiswa calon guru SD masih rendah, yakni hanya mencapai 36,26% untuk mahasiswa berlatar belakang IPA, 26,62% untuk mahasiswa berlatar belakang Non-IPA, serta 34,06% untuk keseluruhan mahasiswa. Hal serupa juga ditunjukkan oleh hasil penelitian Maulana (Fachrurazi, 2011) bahwa nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis mahasiswa program D2 PGSD kurang dari 50% skor maksimal. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa dalam proses pembelajaran, guru hendaknya tidak hanya menekankan pada hafalan-hafalan materi saja, tetapi juga penting untuk memfasilitasi dan melatih siswa agar kemampuan berpikir kritis mereka dapat berkembang dengan baik, serta mengajak siswa terlibat secara aktif dalam pembelajaran. Berpikir kritis dapat dikembangkan melalui mata pelajaran geografi karena dalam mata pelajaran ini siswa tidak hanya dituntut untuk mampu menghafal konsep melainkan juga mampu menerapkannya dalam menyelesaikan permasalahan dari suatu fenomena yang ada di sekitar mereka. Idealnya, proses pembelajaran geografi adalah pembelajaran yang dalam pelaksanaannya
2
disesuaikan dengan kompetensi inti (KI) pembelajaran geografi (Kistiyanto, 2013). Kompetensi inti ini terbagi menjadi empat yaitu: KI-1 ranah spiritual, KI-2 ranah sosial, KI-3 ranah pengetahuan, dan KI-4 ranah ketrampilan. Meskipun urutan kompetensi demikian, tetapi dalam pelaksanaannya menurut Kistiyanto (2013) urutan kompetensi inti yang harus dicapai dalam pembelajaran geografi dimulai dari KI-3, KI-4, KI-2, KI-1. Apabila keempat kompetensi ini diterapkan dalam kegiatan pembelajaran geografi diharapkan siswa selama proses pembelajaran dapat terlibat secara aktif sehingga dapat mengembangkan kemampuan spiritual, kemampuan sosial, pengetahuan, dan ketrampilan, termasuk didalamnya kemampuan berpikir. Pada umumnya, proses pembelajaran geografi di sekolah masih menggunakan pembelajaran klasikal. Siswa hanya menghafalkan materi atau informasi tanpa memahami isi informasi sehingga siswa tidak dapat menghubungkan informasi yang diperoleh dengan kehidupan sehari-hari. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sriartha (2006) yang menyatakan bahwa ”peran guru masih dominan dalam proses pembelajaran geografi pada SMAN di Kota Singaraja sedangkan siswa dominan sebagai pendengar dan pencatat materi saja”. Hal tersebut tentunya kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran sehingga kemampuan berpikir kritis siswa juga kurang berkembang. Hal ini juga dijelaskan oleh Aryana (2006) bahwa salah satu penyebab rendahnya kemampuan berpikir siswa adalah penggunaan model pembelajaran yang kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk memberdayakan kemampuan berpikirnya dan terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang dimungkinkan dapat diterapkan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa adalah model pembelajaran problem solving. Terdapat tiga ciri utama dari pemecahan masalah (problem solving) (Suwito, 2010) yaitu: 1) pemecahan masalah (problem solving) merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran, artinya dalam penerapannya problem solving ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan siswa. Siswa tidak hanya sekedar mendengarkan, mencatat, dan menghafal materi akan tetapi melalui problem
3
solving siswa diharapkan dapat aktif berpikir, mencari, mengolah data, dan menyimpulkan, 2) aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah, 3) pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berpikir secara ilmiah. Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan signifikan kemampuan berpikir kritis siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran problem solving dengan siswa yang belajar menggunakan pembelajaran klasikal pada mata pelajaran geografi kelas XI-IS MA Muhammadiyah 2 Paciran.
METODE Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu (quasi experiment), dengan desain penelitian pretes-postes-control group design. Instrumen yang digunakan berupa tes esai yang disesuaikan dengan indikator kemampuan berpikir kritis. Dalam desain ini kelompok eksperimen dan kontrol dilakukan tes dua kali, yaitu pretest dan postest. Subyek dalam penelitian ini adalah kelas XI-IS-2 sebagai kelas eksperimen dan XI-IS-2 sebagai kelas kontrol. Peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa ditinjau berdasarkan perbandingan gain score antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Gain score dihitung dengan menggunakan rumus:
(Hake dalam Fahrurozi, 2011) Keterangan: Smax = Skor maximum (ideal) dari tes awal dan tes akhir Spre = Skot test awal Spost = Skor tes akhir
Peningkatan kemampuan berpikir kritis dari gain score dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Tabel 1 Kriteria Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Gain Score g ≥ 0,7 0,3 ≤ g ≤ 0,7 g < 0,3 Sumber: Hake dalam Fahcrurazi, 2011
Kriteria Tinggi Sedang Rendah
4
Untuk pengujian hipotesis, data yang berupa gain score dianalisis dengan menggunakan uji-t (independent sample t-test) dengan bantuan program SPSS 16.0 for Windows. HASIL Berdasarkan penghitungan gain score menunjukkan bahwa pada kelas kontrol ada 11 siswa yang termasuk dalam kriteria rendah dan 13 siswa termasuk dalam kriteria sedang. Sedangkan pada kelas eksperimen terdapat 1 siswa yang termasuk dalam kriteria tinggi dan 21 siswa termasuk dalam kriteria sedang. Analisis statistik deskriptif data kemampuan berpikir kritis siswa dapat dilihat pada Tabel 2 Tabel 2 Analisis Statistik Deskriptif Data Kemampuan Berpikir Kritis (Gain Score) N Minimum Maximum Mean Std. Deviation 24 .00 .63 .3421 .15308 Gain Score Kelas Kontrol Gain Score Kelas Eksperimen
22
.39
.71
.5077
.08023
Tabel 2 menunjukkan bahwa gain score kedua kelas mempunyai rata-rata yang berbeda. Rata-rata gain score kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol. Perbandingan rata-rata Gain Score kelas kontrol dan kelas eksperimen digambarkan pada diagram batang berikut: Perbandingan Rata-rata Gain Score Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen 0,51
0.6 0.5 0,34
0.4 0.3 0.2 0.1 0 Gain Score Kelas Kontrol
Kelas Eksperimen
Gambar 1 Diagram Perbandingan Rata-rata Gain Score Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen
5
Gambar 1 menunjukkan rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa (gain score) pada kelas eksperimen dan kelas kontrol berbeda. Dengan demikian, antara kelas kontrol dan kelas eksperimen memiliki rentangan kemampuan berpikir kritis siswa yang berbeda. Kelas eksperimen memiliki rata-rata gain score yang lebih tinggi daripada kelas kontrol. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji-t (independent sample t-test) dengan α (0,05). Berdasarkan penghitungan uji-t tersebut diperoleh nilai sig. (2-tailed) sebesar 0,000. Oleh karena itu, sig. (2-tailed) 0,000<0,05, maka keputusan yang diambil adalah H0 ditolak dan menerima H1. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan signifikan kemampuan berpikir kritis siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran problem solving dengan siswa yang menggunakan pembelajaran klasikal pada mata pelajaran geografi kelas XI-IS MA Muhammadiyah 2 Paciran. PEMBAHASAN Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kritis siswa yang menggunakan model pembelajaran Problem Solving dengan siswa yang belajar menggunakan pembelajaran klasikal pada mata pelajaran geografi kelas XI-IS di MA Muhammadiyah 2 Paciran. Adanya perbedaan yang signifikan tersebut menunjukkan adanya pengaruh model pembelajaran Problem Solving terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Pada kelas kontrol proses pembelajarannya menggunakan metode pembelajaran ceramah menunjukkan kemampuan berpikir kritis siswa yang cenderung lebih rendah daripada kelas eksperimen. Proses pembelajaran yang ada di dalam kelas kontrol merupakan proses transmisi pengetahuan dan kemampuan berpikir kritis siswa cenderung kurang dapat berkembang dengan baik. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kebiasaan siswa yang hanya menunggu dan menerima informasi dari guru tanpa berusaha untuk mendapatkan maupun mencari informasi baru untuk menambah pengetahuan mereka. Berbeda dengan kelas kontrol, pada kelas eksperimen mendapatkan perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran Problem Solving. Model
6
pembelajaran Problem Solving memberikan pengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Hal ini dapat dilihat pada tahap merencanakan (plan) dimana pada tahap ini siswa diajak berpikir untuk menyelesaikan masalah yang mereka diskusikan, dalam tahap ini siswa diajak untuk merumuskan masalah, menganalisis masalah, serta menentukan beberapa alternatif solusi yang sesuai untuk permasalahan tersebut. Kegiatan-kegiatan tersebut menuntut siswa untuk menggunakan kemampuan berpikir mereka. Hal ini sejalan dengan pendapat Purwanto (1999) dan Sanjaya (2009) bahwa model problem solving dapat digunakan salah satunya untuk melatih siswa berpikir kritis. Anderson dan Taraban (Tanpa tahun) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa ”Wankat and Oreovocz models extensively encourages higher-order thinking”. Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa model pembelajaran problem solving berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis siswa, hasil belajar, aktivitas siswa, dan motivasi siswa baik SD, SMP, dan SMA. Model pembelajaran problem solving merupakan salah satu model pembelajaran yang dilandasi oleh paradigma konstruktivistik. Nurhadi & Senduk (2009) menyatakan bahwa teori konstruktivistik menuntut siswa berperan aktif dalam pembelajaran mereka sendiri. Dengan adanya siswa yang aktif selama proses pembelajaran secara tidak langsung juga mengembangkan kemampuan berpikirnya. Pembagian kelompok pada kelas eksperimen didasarkan pada skor ujian akhir semenster ganjil pada mata pelajaran geografi. Data tersebut digunakan untuk pembagian kelompok secara heterogen. Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat saling membantu sesama anggota kelompok apabila mengalami kesulitan sehingga memungkinkan siswa menjadi sumber belajar bagi siswa lain. Dalam penerapan model pembelajaran Problem Solving siswa lebih banyak berdiskusi dan bekerjasama dengan kelompoknya dibandingkan dengan mendengarkan penjelasan materi dari guru. Siswa terlibat secara aktif dalam proses diskusi, saling bertukar pendapat dan ide-ide yang mereka miliki antar anggota kelompok untuk menemukan solusi bagi permasalahan yang mereka diskusikan. Hal ini sesuai dengan teori belajar konstruktivisme yang memberikan pengertian belajar sebagai hubungan timbal balik dan fungsional antara individu
7
dan individu, serta kelompok dan kelompok (Suprijono, 2009). Singkatnya, belajar adalah interaksi sosial, keterlibatan dengan orang lain membuka kesempatan bagi siswa untuk mengevaluasi dan memperbaiki pemahaman mereka saat mereka bertemu dengan pemikiran orang lain dan saat mereka berpartisipasi dalam pencarian pemahaman bersama. Penerapan model pembelajaran problem solving memberikan hasil yang lebih baik terhadap kemampuan berpikir kritis siswa karena model ini memiliki keunggulan antara lain: (1) mengajak siswa untuk berpikir, tidak hanya sekedar mendengarkan tetapi juga menganalisis masalah, dan mencari solusi untuk memecahkan masalah, (2) pembagian kelompok yang heterogen membuat siswa yang memiliki kemampuan tinggi dapat membantu siswa yang memiliki kemampuan rendah, (3) melalui diskusi kelompok dapat membantu siswa untuk menemukan jawaban yang lebih baik dan beragam, (4) adanya proses diskusi membuat siswa saling bertukar pendapat maupun ide-ide yang mereka miliki, hal ini membuat siswa memperoleh pengetahuan atau informasi yang lebih banyak.
KESIMPULAN DAN SARAN Hasil analisis dan pembahasan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kritis siswa yang proses pembelajarannya menggunakan model pembelajaran problem solving dengan siswa yang proses pembelajarannya secara klasikal. Hal ini menunjukkan bahwa model pembelajaran problem solving berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis siswa pada mata pelajaran geografi kelas XI-IS MA Muhammadiyah 2 Paciran. Adapun saran berdasarkan penelitian ini yaitu: 1) pembelajaran dengan menggunakan model problem solving perlu diterapkan oleh guru bidang studi geografi sebagai variasi model pembelajaran karena model tersebut dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa, 2) Untuk peneliti selanjutnya, dalam pelaksanaan model pembelajaran problem solving perlu adanya pengelolaan waktu yang baik agar model pembelajaran problem solving dapat terlaksana dengan baik. Pengelolaan tersebut dapat dilakukan dengan merencanakan waktu yang ada dalam RPP dengan cermat.
8
DAFTAR RUJUKAN Anderson, E.E dan Taraban, R. Comparasion of Recent Engineering ProblemSolving Models. (online). (http://www.ineer.org/Events/ICEE2008/full_papers/full_paper119.pdf), diakses 2 April 2013. Aryana, Ida Bagus Puti. 2006. Pengaruh Penerapan Strategi Pembelajaran Inovatif Pada Pelajaran Biologi Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMA. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran. No 3 tahun XXXIX ISSN 0215-8250. Fachrurazi. 2011. Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Dasar. (online). (http://jurnal.upi.edu/file/8-Fachrurazi.pdf), diakses 01 Februari 2013. Kistiyanto, M.S. 2013.Pelaksanaan Pembelajaran Geografi Menurut Kurikulum 2013. (online), (http://marhadi.ilmusosial.com/pelaksanaan-pembelajarangeografi-menurut-kurikulum-2013/), diakses 14 Januari 2014. Nurhadi dan Senduk, Agus Gerrad. 2009. Pembelajaran Kontekstual. Surabaya: PT. JePe Press Media Utama. Purwanto, Edy. 1999. Desain Teks untuk Belajar ”Problem Solving”. Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial. No. 2 Tahun 1999. Sanjaya, W. 2009. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group. Sriartha, I Putu. 2006. Aneka Widya STKIP Singaraja. No 2 TH. XXXI April 2006: 39-48. Suprijono, Agus. 2009. Cooperative Learning: Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suwito, 2010. Perbandingan Hasil Belajar Menggunakan Model Pembelajaran Problem Solving dan Problem Based Learning Pada Mata Pelajaran Geografi Semester Gasal Kelas XI di MAN 1 Jember. Skripsi. Malang: Jurusan Geografi FIS. Universitas Negeri Malang. Yamin, Martinis. 2008. Paradigma Pendidikan Konstruktivistik. Jakarta: Gaung Persada Press.
9