e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN RESOLUSI KONFLIK TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA MATA PELAJARAN PKN KELAS V SD 1
I Wyn. Eka Martawan, 2Ndara Tanggu Renda, 3I Nym. Murda 1,2,3
Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar, FIP Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia
e-mail:
[email protected],
[email protected],
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kritis siswa pada mata pelajaran PKn antara kelompok siswa yang belajar mengikuti model pembelajaran resolusi konflik dan kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional pada siswa kelas V semester genap SD di Gugus VIII Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng Tahun Pelajaran 2014/2015. Penelitian ini merupakan quasi experiment dengan rancangan nonequivalent post test only control group design. Populasi penelitian ini adalah siswa kelas V SD di Gugus VIII Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng tahun pelajaran 2014/2015 yang berjumlah 5 kelas dengan siswa 124 orang. Sampel penelitian ini yaitu kelas V SD No. 1 Paket Agung dengan jumlah siswa 44 orang sebagai kelas eksperimen dan kelas V SD No. 2 Paket Agung dengan jumlah siswa 43 orang sebagai kelas kontrol. Instrumen penelitian ini yaitu tes kemampuan berpikir kritis. Data yang diperoleh dianalisis dalam dua tahap, yaitu analisis statistik deskriptif dan analisis statistik inferensial (uji-t). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran resolusi konflik dan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan pembelajaran konvensional, dengan nilai thitung sebesar 3,211 dan ttab sebesar 1,988. Artinya, thitung lebih besar dari ttab. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh signifikan model pembelajaran resolusi konflik terhadap kemampuan berpikir kritis siswa kelas V semester genap SD di gugus VIII Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng tahun pelajaran 2014/2015. Kata-kata kunci: model resolusi konflik, berpikir kritis Abstract The aim of the research was to Investigated the significant different of student’s critical thinking skill in Pkn subject between groups of student who followed resolution conflict model of learning and groups of students who followed conventional model of learning in fifth grade of even semester’s student in SD VIII group in Buleleng District, Buleleng regency in learning period 2014/2015. This research was quasi experiment with the program nonequivalent post test only control group design. The population of this research was the fifth grade of students in SD VIII group in Buleleng District, Buleleng regency in learning period 2014/2015 which have five class and 124 number of students. The sample of this research was fifth grade SD no 1 Paket Agung with 44 number of students as an experiment and fifth grade SD no 2 Paket Agung with 43 number of students as a control class. The instrument of this research was test of critical thinking skill. The data which was collected was analyzed in two stages, those are descriptive statistical analysis and inferential statistical analysis (T-tes). The result showed that the difference of critical thinking skill between the group of student who treated by using resolution conflict model of learning and group of student who treated
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015
by using conventional learning, with score tvalue 3,211 and ttable was 1,988. Therefor, tvalue more than ttable. Based on the result of the research, can conclude that the resolution conflict model of learning can affect the critical thinking of student of fifth grade in in SD VIII group in Buleleng District, Buleleng regency in learning period 2014/2015. Key words: resolution conflict model, critical thinking.
PENDAHULUAN Dewasa ini pendidikan di pandang sangat penting bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Masyarakat yang berpendidikan akan menjadi modal utama bagi kemajuan suatu negara, karena itu pendidikan di Indonesia mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Pemerintah mengharapkan pendidikan di setiap jenjang terlaksana dengan optimal dan mampu membentuk peserta didik yang berkualitas. Pendidikan yang baik akan mencerminkan kemajuan suatu bangsa. Negara maju sudah pasti memiliki pendidikan yang baik dan warga negara dengan sumber daya manusia (SDM) yang tinggi. Indonesia memiliki pendidikan yang baik dan warga Negara dengan SDM yang tinggi masih jauh untuk dicapai. Jika dilihat sampai sekarang, kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah. Rendahnya kualitas pendidikan Indonesia terlihat dalam hasil survey Human Development Indeks (HDI) sebagai salah satu tolok ukur internasional dalam bidang pendidikan, menyebutkan bahwa pendidikan di Indonesia menempati posisi urutan ke-110 dari 180 negara di dunia yang disurvey (Prawita, 2013). Rendahnya kualitas pendidikan Indonesia membuat membuat persaingan Indonesia dalam dunia pendidikan tidak kompetitif. Sampai saat ini masih jarang siswa-siswi Indonesia yang berprestasi di tingkat internasional. Untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia, pemerintah telah melakukan berbagai perubahan. Perubahan yang terakhir dan masih diingat adalah kembali diberlakukan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang awalnya digantikan oleh Kurikulum 2013. Perubahan kurikulum ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Kualitas pendidikan yang tinggi pasti memiliki peserta didik yang baik dan pintar dalam berbagai bidang pendidikan. Dengan demikian untuk mewujudkan
harapan pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan harus dimulai dari peserta didik. Peserta didik harus diberikan pendidikan yang baik dan diberikan fasilitas yang memadai dalam mengikuti pembelajaran, agar hasil belajar dan kemampuannya menjadi lebih baik. Jadi dasar dari peningkatan kualitas pendidikan adalah meningkatkan kemampuan peserta didik dalam pembelajaran sehingga hasil belajarnya dalam semua mata pelajaran menjadi lebih baik. Harapan tersebut hendaknya dapat tercapai dengan diterapkannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) suatu pembelajaran tidak hanya mempelajari konsep, teori dan fakta tetapi juga aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Materi pembelajaran tidak hanya tersusun atas hal-hal sederhana yang bersifat hafalan dan pemahaman, tetapi juga tersusun atas materi yang kompleks yang memerlukan analisis, aplikasi dan sistesis (Trianto, 2007). Pelaksanaan pendidikan di sekolah dasar, peserta didik dibelajarkan dalam beberapa mata pelajaran. Salah satunya adalah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan mata pelajaran yang wajib diajarkan kepada siswa kelas IV sampai kelas VI. Jadi guru sebagai pendidik mempunyai kewajiban untuk mengajarkan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) kepada peserta didik. Melalui Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), kemampuan berpikir kritis siswa diharapkan menjadi lebih baik, dan hasil belajar Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) juga diharapkan di atas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) di sekolah. “Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, pasal 37 dijelaskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan dimaksudkan untuk
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015
membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air” (Sutoyo, 2011:6). Dengan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), diharapkan mampu membina peserta didik untuk memiliki pengetahuan, nilai-nilai dan sikap yang baik guna menjadikannya sebagai warga negara yang baik. Lasmawan (2010) menyebutkan melalui PKn siswa dapat belajar dan melatih potensi dirinya secara optimal tentang tata cara hidup, menghadapi masalah dan menyelesaikan masalah berdasarkan peraturan formal yang berlaku, sehingga terwujudnya stabilitas nasional yang kondusif. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di sekolah dasar secara umumnya memiliki tujuan untuk mempersiapkan peserta didik sebagai warga negara yang memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang menyangkut tentang kehidupan bermasyarakat. Sejalan dengan tujuan di atas, Sutoyo (2011:6) menyebutkan bahwa “tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah untuk menumbuhkan wawasan dan kesadaran bernegara, sikap serta perilaku yang cinta tanah air, bersendikan kebudayaan bangsa, wawasan nusantara dan ketahanan nasional kepada peserta didik yang menguasai ilmu pengetahuan dan seni yang dijiwai nilai-nilai pancasila”. Berdasarkan penjelasan tersebut, Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
memiliki peran yang sangat penting dalam pendidikan. Siswa diharapkan dapat memahami materi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dengan baik, sehingga kemampuan berpikir kritisnya tinggi dan hasil belajarnya di atas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Tetapi harapan tersebut sepertinya belum tercapai pada kenyataan. Berdasarkan hasil observasi tentang pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di sekolah dasar, ditemukan permasalahan bahwa sebagian besar siswa memiliki kemampuan berpikir kritis yang masih rendah dan hasil belajar Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di bawah KKM. Rendahnya kemampuan berpikir kritis siswa pada pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dibuktikan dengan hasil observasi. Dari 4 pertanyaan yang ditanyakan kepada siswa, hanya pertanyaan dengan tingkat pengetahuan dan pemahaman yang dapat dijawab oleh sebagian besar siswa. Pertanyaan dengan tingkat aplikasi dan analisis hanya bisa dijawab oleh beberapa siswa. Hasil tersebut membuktikan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa pada pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) masih rendah. Kemudian untuk rendahnya hasil belajar siswa pada pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dibuktikan dengan hasil observasi seperti berikut.
Tabel 1. Rata-rata nilai PKn di Gugus VIII Kecamatan Buleleng. Sekolah
Rata-rata
KKM
SD No 1 Paket Agung
67,02
75
SD No 2 Paket Agung
66,52
75
SD No 1 Kendran
64,79
68
SD No 1 Beratan
65,54
70
SD No 2 Liligundi
65,14
68
Rendahnya kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar siswa diakibatkan cara mengajar guru yang masih berpusat pada guru. Semua materi dijelaskan oleh guru, siswa hanya sebagai pendengar dan pencatat yang baik. Pembelajaran seperti itu dikenal dengan model pembelajaran konvensional. Pembelajaran konvensional
yang menekankan metode ceramah dapat menyebabkan kurangnya kemampuan peserta didik dalam mengeksplorasi materi pelajaran secara mandiri. Suasana belajar dengan model pembelajaran konvensional akan semakin menjauhkan peranan pendidikan kewarganegaraan dalam upaya
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015
mempersiapkan warga negara yang baik dan mampu bermasyarakat. Karena kondisi pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional yang didominasi oleh ceramah akan menempatkan guru sebagai sumber informasi (Teacher Center) sehingga siswa hanya sebagai objek pembelajaran yang menerima pengetahuan dari guru saja. Dalam pembelajaran, seharusnya siswa diberikan kebebasan untuk berlatih mengemukakan pendapat dan mengeksplorasi pengetahuan secara mandiri. Kegiatan seperti itu akan melatih kemampuan berpikir kritis, kreatif dan imajinatif siswa. Sehingga siswa akan lebih berani dalam mengemukakan pendapatnya untuk memberikan solusi terhadap suatu permasalahan yang menjadi topik pembicaraan. Untuk merealisasikan pembelajaran seperti itu, guru harus merancang suatu pembelajaran yang tepat. Terkait dengan itu, maka cara yang dapat dilakukan oleh guru adalah memilih model pembelajaran resolusi konflik. Model pembelajaran resolusi konflik dipandang mampu memberikan pemahaman terhadap suatu masalah dan mampu melatih siswa dalam menyelesaikan permasalahan. Selain itu, model pembelajaran ini menawarkan sejumlah solusi kepada guru untuk menjadikan pembelajaran itu menarik. Dengan demikian model resolusi konflik merupakan suatu model pembelajaran yang dipandang relevan untuk dikembangkan dalam merealisasikan tujuan pembelajaran pendidikan kewarganegaraan. Lasmawan (2012:20) menyebutkan bahwa: Model resolusi konflik ialah kemampuan dan keterampilan siswa dalam menyikapi dan memecahkan serta mengambil tindakan terhadap berbagai fenomena dan masalah-masalah sosial budaya yang terjadi di lingkungan masyarakatnya (lokal, regional, nasional, dan internasional) dengan bersandar pada nilai-nilai dan budaya masyarakat dimana mereka hidup dan berkembang. Dalam pembelajaran resolusi konflik, belajar dan membelajarkan merupakan dua sisi yang saling melengkapi satu sama lainnya. Artinya dalam proses belajar mengajar, guru dapat membelajarkan siswa dan siswa itu sendiri
juga dapat belajar dan sekaligus membelajarkan diri dengan siswa yang lainnya. Dengan pola pembelajaran seperti ini, maka pusat pembelajaran bukan lagi pada guru, melainkan pada siswa itu sendiri. Guru sebagai pendidik berkewajiban untuk menjadikan peserta didik yang cerdas dan mampu mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya. Pembelajaran yang menekankan kemampuan berpikir kritis, akan sangat membantu siswa dalam menghadapi dan menyikapi suatu permasalahan dalam pembelajaran. Semakin tinggi kemampuan berpikir kritis yang dimiliki siswa, semakin mudah bagi siswa untuk mengikuti pembelajaran dengan baik. Maka dari itu berpikir kritis sangat perlu untuk dikembangkan dalam pembelajaran. Sadia (dalam Kurniawan, 2012:4) menyatakan “berpikir kritis tidak dapat diajarkan melalui metode ceramah, karena berpikir kritis merupakan proses aktif”. Berpikir kritis dapat diajarkan melalui kegiatan diskusi, inkuiri dan pekerjaan rumah yang menyediakan berbagai kesempatan untuk melatih berpikir kritis. Meningkatkan kemampuan berpikir kritis juga dapat ditingkatkan melalui latihanlatihan. Dalam pembelajaran yang menerapkan model resolusi konflik akan mengajak siswa untuk berlatih menghadapi suatu permasalahan. Dengan pembelajaran seperti itu akan mampu mengaktifkan kegiatan belajar siswa dan melatih kemampuan berpikir kritis siswa. Berdasarkan uraian di atas, model pembelajaran resolusi konflik diduga berpengaruh positif terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Karena itu akan terdapat perbedaan hasil belajar antara kelompok siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran resolusi konflik dengan kelompok siswa yang belajar menggunakan pembelajaran konvensional. Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin mengungkap hal itu melalui suatu penelitian yang berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran Resolusi Konflik Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Pada Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Kelas V Semester Genap SD di Gugus VIII Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng Tahun Pelajaran 2014/2015”.
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimen semu (quasi experiment) karena tidak semua variabel dapat dikontrol secara ketat. Tempat pelaksanaan penelitian ini adalah kelas V SD di Gugus VIII Kecamatan Buleleng. Waktu penelitian ini pada semester genap tahun pelajaran 2014/2015. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas V semester genap SD di gugus VIII Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng tahun pelajaran 2014/2015 dengan jumlah siswa 231 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik simple random sampling, yang dirandom adalah kelas. Teknik simple
random sampling dilakukan dengan sistem undian. Berdasarkan hasil pengundian diperoleh hasil, kelas V SD No 1 Paket Agung dengan jumlah siswa 44 sebagai kelas eksperimen dan kelas V SD No 2 Paket Agung dengan jumlah siswa 43 sebagai kelas kontrol. Kelas eksperimen diberikan perlakuan dengan menerapkan model pembelajaran resolusi konflik dan kelas kontrol tidak diberikan perlakuan (model pembelajaran konvensional). Desain eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah nonequivalent posttest only control group design, dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2. Desain Penelitian Nonequivalent Posttest Only Control Group Design Kelompok Perlakuan Tes akhir (posttest) Eksperimen X O2 Kontrol O4 Keterangan: Agung (2011) X : Perlakuan, yaitu model pembelajaran resolusi konflik : Perlakuan, yaitu pembelajaran konvensional O2 : Posttest yang diberikan kepada kelompok eksperimen O4 : Posttest yang diberikan kepada kelompok kontrol Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah skor kemampuan berpikir kritis dalam mata pelajaran PKn siswa kelas V SD. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode tes. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes essay yang terdiri dari 10 butir soal. Tes kemampuan berpikir kritis PKn yang digunakan dalam penelitian ini dibuat berdasarkan pada indikator kemampuan berpikir kritis. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis statistik deskriptif dan statistik inferensial. Analisis statistik
deskriptif yang digunakan meliputi mean, median, modus, standar deviasi, dan varians. Hasil perhitungan mean, median, modus disajikan dalam bentuk grafik polygon. Adapun analisis statistik inferensial dalam penelitian ini adalah uji-t dengan rumus polled varians. Sebelum menguji hipotesis penelitian, maka dilakukan uji prasarat yang meliputi uji normalitas dengan uji Chi-Square dan uji homogenitas varians dengan uji-F. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis statistik deskriptif data penelitian ini disajikan pada tabel berikut.
Tabel 3. Analisis Data dengan Statistik Deskriptif Statistik Mean Median Modus Standar Deviasi Varians
Kelompok Eksperimen 32,11 33,37 35,83 5,71 32,65
Kelompok Kontrol 27,25 26,78 25,82 5,88 34,62
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015
Berdasarkan data pada tabel di atas, data kemampuan berpikir kritis kelompok eksperimen disajikan dalam bentuk grafik polygon, seperti gambar 1 berikut ini.
kemampuan berpikir kritis siswa kelas kontrol disajikan pada gambar 2 berikut ini.
Mo=25,82
M=27,25 Md=26,78
Titik Tengah
M=32,11 Titik Tengah
Mo=35,83 Md=33,37
Gambar 2. Grafik Poligon Data Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelompok Kontrol
Titik Tengah
Titik Tengah
Gambar 1. Grafik Poligon Data Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelompok Eksperimen
Berdasarkan grafik poligon data kemampuan berpikir kritis kelompok kontrol, dapat diketahui bahwa modus lebih kecil dari median dan median lebih kecil dari mean (Mo<Md<M). Dengan demikian grafik di atas menunjukkan juling positif. Artinya, sebagian besar skor cenderung rendah. Setelah melakukan analisis statistik deskriptif, selanjutnya dilakukan uji prasyarat untuk menguji hipotesis. Uji prasyarat yang dilakukan adalah uji normalitas dan homogenitas. Hasil uji normalitas sebaran data post-test kemampuan berpikir kritis siswa dalam mata pelajaran IPA kelompok eksperimen dan kelompok kontrol disajikan dalam tabel berikut.
Berdasarkan grafik poligon data kemampuan berpikir kritis kelompok eksperimen di atas, dapat diketahui bahwa modus lebih besar dari median dan median lebih besar dari mean (Mo>Md>M). Dengan demikian grafik poligon di atas menunjukkan juling negatif. Artinya, sebagian besar skor cenderung tinggi. Kecenderungan skor ini dapat dibuktikan dengan melihat frekuensi relatif pada tabel distribusi frekuensi. Frekuensi relatif skor yang berada di atas rata-rata lebih besar dibandingkan frekuensi relatif skor yang berada di bawah rata-rata. Sedangkan data
Tabel 4. Rangkuman Hasil Uji Normalitas Data Kemampuan Berpikir Kritis Siswa pada Mata Pelajaran PKn. No
Kelompok Data Hasil Belajar
χ2
1 2
Post-test Eksperimen Post-test Kontrol
7,345 3,363
Kriteria pengujian, jika hit tab dengan taraf signifikasi 5% (dk = jumlah kelas dikurangi parameter, dikurangi 1), maka data berdistribusi normal. 2 2 Sedangkan, jika hit tab , maka data tidak berdistribusi normal. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan 2
2
Nilai Kritis dengan Taraf Signifikansi 5% 9,488 7,815
Status Normal Normal
rumus Chi-Square, diperoleh hit hasil post-test kelompok eksperimen adalah 2 7,345 dan tab dengan taraf signifikansi 5% dan dk = 4 adalah 9,488. Hal ini berarti, 2 hit hasil post-test kelompok eksperimen 2
lebih
kecil
dari
2 tab
(
2
hit
2 tab ),
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015 ( hit tab ), sehingga data hasil posttest kelompok kontrol berdistribusi normal. Selanjutnya, uji homogenitas dilakukan terhadap varians pasangan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil uji homogenitas varians antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol disajikan pada tabel berikut ini.
sehingga data hasil post-test kelompok eksperimen berdistribusi normal. 2 Sedangkan, hit hasil post-test kelompok
2
kontrol adalah 3,363 dan tab dengan taraf signifikansi 5% dan dk = 3 adalah 2 7,815. Hal ini berarti, hit hasil post-test 2
kelompok kontrol lebih kecil dari
2 tab
2
Tabel 5. Rangkuman Hasil Uji Homogenitas Varians Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Ftab dengan Taraf Sumber Data Fhit Status Signifikansi 5% Post-test Kelompok Eksperimen dan 1,060 1,84 Homogen Kelompok Kontrol Uji homogenitas varians yang digunakan adalah uji F dengan kriteria data homogen jika Fhit < Ftab. Berdasarkan tabel di atas, diketahui Fhit hasil post-test kelompok eksperimen dan kelompok kontrol adalah 1,060, sedangkan Ftab dengan dbpembilang = 42, dbpenyebut = 43, dan taraf signifikansi 5% adalah 1,84. Hal ini berarti, varians data hasil post-test kelompok eksperimen dan kelompok kontrol adalah homogen. Berdasarkan uji prasyarat analisis data, diperoleh bahwa data hasil post-test
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol adalah normal dan homogen. Setelah diperoleh hasil dari uji prasyarat analisis data, dilanjutkan dengan pengujian hipotesis penelitian (H1) dan hipotesis nol (H0). Pengujian hipotesis tersebut dilakukan dengan menggunakan uji-t dengan rumus polled varians dengan kriteria H0 tolak jika thit > ttab dan H0 terima jika thit < ttab. Rangkuman hasil perhitungan uji-t antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol disajikan pada tabel 5 di berikut ini.
Tabel 6. Rangkuman Hasil Perhitungan Uji-t Data Kemampuan Berpikir Kritis PKn
Kelompok Eksperimen Kontrol
Berdasarkan tabel hasil perhitungan uji-t diatas, diperoleh thit sebesar 3,951. Sedangkan ttab dengan dk = 44+43-2 = 85 dan taraf signifikansi 5% adalah 1,988. Hal ini berarti, thit lebih besar dari ttab (thit > ttab), sehingga H0 ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan signifikan kemampuan berpikir kritis antara kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran resolusi konflik dengan kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional pada mata pelajaran PKn kelas V semester genap SD
N 44 43
X 32,11 27,25
s2 32,65 34,62
thit
ttab (t.s. 5%)
3,951
1,988
di gugus VIII Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng tahun pelajaran 2014/2015. Berdasarkan hasil analisis data kemampuan berpikir kritis siswa menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan kemampuan berpikir kritis antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan menggunakan model pembelajaran resolusi konflik dengan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional. Tinjauan ini didasarkan pada rata-rata skor kemampuan berpikir kritis siswa dan hasil pengujian hipotesis menggunakan uji-t. Rata-rata skor
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015
kemampuan berpikir kritis kelompok siswa yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran resolusi konflik lebih tinggi dari rata-rata skor kemampuan berpikir kritis kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model konvensional. Perbedaan tersebut disebabkan oleh penerapan model pembelajaran yang berbeda. Model Resolusi Konflik (MRK) adalah kemampuan dan keterampilan siswa dalam menyikapi dan memecahkan serta mengambil tindakan terhadap berbagai masalah-masalah sosial budaya yang terjadi di lingkungan masyarakat dengan bersandar pada nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat (Lasmawan, 2010). Pengertian tersebut menegaskan bahwa model pembelajaran resolusi konflik menekankan pada kemampuan dan keterampilan siswa dalam menentukan sikap terhadap berbagai masalah, kemudian dapat memecahkan masalah tersebut. Sesuai dengan makna Model Resolusi Konflik (MRK), penelitian yang telah dilakukan mengajarkan siswa untuk menghadapi dan menyelesaikan suatu permasalahan yang berkaitan dengan materi pelajaran. Permasalahan yang diambil tidak jauh dari ruang lingkup siswa, sehingga pemecahan masalah akan sangat bermakna bagi siswa. Dalam Model Resolusi Konflik (MRK), siswa belajar berdasarkan tahapan-tahapan yang teratur. Tahapan dimulai dari identifikasi, eksplorasi, eksplanasi, negosiasi dan resolusi konflik. Melalui tahapan tersebut, siswa akan belajar memecahkan permasalahan secara runtut dengan hasil yang pasti. Pembelajaran dengan Model Resolusi Konflik (MRK) sangat cocok digunakan untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Bloom (dalam Filsaime, 2008) menyebutkan bahwa berpikir kritis memiliki arti yang sama dengan tingkat berpikir yang lebih tinggi, terutama evaluasi. Dengan demikian, seorang siswa dikatakan memiliki kemampuan berpikir kritis apabila siswa tersebut memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengkonstruksi argumen, serta mampu memecahkan masalah dengan tepat. Berpikir kritis adalah proses aktif. Untuk melatih dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis harus menggunakan model
yang dapat mengaktifkan siswa. Model Resolusi Konflik (MRK) dengan tahapantahapan pembelajaran yang terstruktur sangat baik digunakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Dengan demikian sangat cocok apabila rata-rata skor kemampuan berpikir kritis kelompok siswa yang dibelajarkan dengan Model Resolusi Konflik (MRK) sebesar 32,11. Selanjutnya model pembelajaran konvensional diterapkan pada kelompok kontrol. “Model pembelajaran konvensional merupakan motode yang paling efisien dalam mengajar yang bersifat hafalan” (Sulaeman dalam Rasana, 2009:18). Model pembelajaran kenvensional menggunakan metode ceramah. Dalam pembelajaran, guru lebih aktif menjelaskan melalui metode ceramah. Kemudian siswa hanya menerima materi melalui penjelasan yang disampaikan oleh guru. Jadi siswa hanya belajar dengan melihat dan mendengar, tanpa melakukan secara langsung. Kegiatan belajar seperti itu biasanya mengurangi kemampuan siswa dalam memahami materi. Penerapan pembelajaran konvensional ditandai dengan penyajian pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari, dilanjutkan dengan pemberian informasi oleh guru, tanya jawab, pemberian tugas oleh guru, pelaksanaan oleh guru, pelaksanaan tugas oleh siswa sampai pada akhirnya guru merasa bahwa apa yang telah diajarkan dapat dimengerti oleh siswa (Putrayasa dalam Rasana, 2009). Berdasarkan penjelasan di atas, model pembelajaran konvensional tidak cocok digunakan untuk melatih dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Berpikir kritis hanya dapat dilatih dan ditingkatkan dengan model pembelajaran yang dapat melibatkan siswa secara aktif. Dengan demikian, sangat tepat apabila rata-rata skor kemampuan berpikir kritis kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional sebesar 27,25 dan lebih kecil dari rata-rata kelompok siswa yang dibelajarkan dengan Model Resolusi Konflik (MRK). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Pramita Ningrat (2013) Universitas Pendidikan Ganesha, dengan judul “Pengaruh Model Pembelajaran
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015
Resolusi Konflik Berbasis Kemampuan Berpikir Kritis Terhadap Hasil Belajar IPS Kelas V SD Gugus I Bangli. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model resolusi konflik berbasis kemampuan berpikir kritis lebih tinggi daripada siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional. Hal itu terbukti dengan nilai rata-rata kelompok eksperimen 74,2 dan nilai rata-rata kelompok kontrol 63,4. Berdasarkan keluruhan pemaparan di atas, dapat diinterpretasikan bahwa hasil penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan signifikan kemampuan berpikir kritis antara kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran resolusi konflik dengan kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional pada mata pelajaran PKn kelas V SD di Gugus VIII Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng tahun pelajaran 2014/2015. Dengan demikian, model pembelajaran resolusi konflik terbukti berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil analisis data, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap kemampuan berpikir kritis siswa pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) antara kelompok siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran resolusi konflik dengan kelompok siswa yang belajar menggunakan pembelajaran konvensional di kelas V semester genap SD di Gugus VIII Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng Tahun Pelajaran 2014/2015. Perbedaan ini ditinjau dari rata-rata skor kemampuan berpikir kritis siswa dan hasil uji-t. Rata-rata skor kemampuan berpikir kritis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran resolusi konflik adalah 32,11 dan rata-rata skor kemampuan berpikir kritis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional adalah 27,25. Selanjutnya berdasarkan hasil perhitungan uji-t, diperoleh thit sebesar 3,951 sedangkan ttab dengan db = 85 pada taraf signifikansi 5% adalah 1,988. Hal ini
berarti, thit lebih besar dari ttab (thit > ttab), sehingga H0 ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian model pembelajaran resolusi konflik berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Berdasarkan hasil penelitian dan simpulan tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan penelitian dalam penelitian ini telah tercapai. Saran yang dapat disampaikan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan adalah (1) kepada guru mata pelajaran PKn agar dapat mempertimbangkan penerapan model pembelajaran resolusi konflik dalam proses pembelajaran, sehingga pembelajaran menjadi efektif dan dapat mencapai tujuan pembelajaran dengan optimal, (2) kepada siswa Sekolah Dasar (SD) harus selalu terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. Keaktifan dalam pembelajaran akan berpengaruh pada kemampuan berpikir kritis, sehingga akan berdampak pada hasil belajar, (3) kepada sekolah, khususnya Sekolah Dasar (SD) hendaknya dapat menjadikan model pembelajaran resolusi konflik menjadi salah satu model pembelajaran yang harus diterapkan dalam pembelajaran, pada aturan guru mengajar dikelas, dan (4) bagi peneliti lain dan mahasiswa yang berminat mengadakan penelitian lebih lanjut tentang model pembelajaran resolusi konflik dalam bidang ilmu PKn maupun bidang ilmu lainnya, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bandingan dan pertimbangan untuk perbaikan dan penyempurnaan terhadap penelitian yang akan dilakukan. DAFTAR RUJUKAN Agung. A. A. G. 2011. Metodologi Penelitian Pendidikan. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha Filsaime, D. K. 2008. Menguak Rahasia Berpikir Kritis dan Kreatif. Jakarta: Prestasi Pustakaraya. Lasmawan, W. 2010. Menelisik Pendidikan IPS. Singaraja: Mediakom Indonesia Press Bali Prawita, Dwi. 2013. Pendidikan di Indonesia Menempati Peringkat Ke-110 Di Dunia. Tersedia pada http://nrmnews.com/2013/03/29/pen
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015
didikan-di-indonesia-menempatiperingkat-ke-110-di-dunia/. Diaskses tanggal 23 januari 2015. -------. 2012. Pembelajaran Inovatif dalam Pendidikan IPS, makalah disampaikan pada seminar pendidikan dan pelatihan profesi guru (PLPG) Singaraja. Universitas Pendidikan Ganesha. Ningrat, Ida A. Model Konflik Berpikir
A. P. 2013. “Pengaruh Pembelajaran Resolusi Berbasis Kemampuan Kritis Terhadap Hasil
Belajar IPS Kelas V SD Gugus I Bangli. Mimbar PGSD, Volume 1. Rasana, I Dewa Putu Raka. 2009. Laporan Sabbatical Leave Model-Model Pembelajaran. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha. Sutoyo. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Graha Ilmu Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka