e-Journal MIMBAR PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol. 2 No. 1 Tahun 2014)
PENGARUH MODEL PROBING-PROMTING TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA PADA MATA PELAJARAN IPA KELAS V Putunda Al Arif Hidayatullah1, Gede Raga2, Luh Putu Putrini Mahadewi3 1
Jurusan PGSD, 2Jurusan PG PAUD, 3Jurusan TP, FIP Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia
e-mail:
[email protected],
[email protected],
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kemampuan berpikir kritis antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran Probing-Promting dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional pada mata pelajaran IPA kelas V SD di Gugus Singasari Kecamatan Pekutatan. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu. Populasi penelitian ini adalah kelas V di Gugus Singasari Kecamatan Pekutatan tahun pelajaran 2013/2014 yang berjumlah 142 orang. Sampel penelitian ini yaitu kelas V SDN 2 Pulukan dan kelas V SDN 1 Medewi. Data dikumpulkan dengan instrumen tes berbentuk uraian. Data yang dikumpulkan dianalisis menggunakan analisis statistik deskriptif dan statistik inferensial (uji-t). Hasil penelitian ini menemukan bahwa terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis IPA yang signifikan antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model Probing-Promting dan siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional. Rata-rata skor kemampuan berpikir kritis siswa yang dibelajarkan dengan model Probing Promting adalah 58,70 tergolong kriterian tinggi. Rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa yang dibelajarkan model konvensional adalah 44,58 yang berada pada kategori sedang, dan thitung = 5,11, ttabel = 2,021 pada taraf signifikan 5%. Hal ini berarti bahwa thitung>ttabel. Jadi model Probing-Promting berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis IPA di kelas V gugus Singasari kecamatan Pekutatan. . Kata-kata kunci: model Probing-Promting, berpikir kritis Abstract The aim of this research was to know the difference between students critical thinking who learned using Probing-Promting model and students critical thinking who learned using conventional learning in learning science of the fifth grade students in SDN Gugus Singasari Pekutatan district. This research was quasi experiment. The population of this research ware all fifth grade of SD gugus Singasari Pekutatan district consisted of 142 students in the academic year 2013/2014. The sample of this research were the students of fifth graders SDN 2 Pulukan and fifth graders of SDN 1 Medewi. The data collected by essay test. Data analyses used was descriptive statistic and independent test. The result of this research show that there is significant difference between critical thinking of students by using conventional and students critical thinking by using Probing-Promting model. Average score of the students critical thinking using Probing-Promting model is 58,70 classified as high criteria. Average score of the students critical thinking using conventional learning is 44,58 classified as intermediate criteria, and t observed = 5,11, t table = 2,021 at the significant level 5% which means that tobserved>table. In this reseach Probing-Promting model is preponderant for the critical thinking students in learning natural science of the fifth grade students in gugus Singasari Pekutatan district. Keyword : Probing-Promting model, critical thinking
e-Journal MIMBAR PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol. 2 No. 1 Tahun 2014)
PENDAHULUAN Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Salam (2002) mengemukakan pengertian pendidikan bahwa pendidikan hakikatnya merupakan suatu usaha yang disadari untuk mengembang-kan kepribadian dan keterampilan manusia yang dilaksanakan di dalam maupun di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan semakin terbelakang. Dengan demikian, pendidikan harus diarahkan untuk meng-hasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, di samping memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Hal ini terlihat dari data tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kese-hatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan bahwa indeks pengem-bangan manusia Indonesia semakin menurun. Berdasarkan data Human Development Index tahun 2013, dari 186 negara yang dipublikasikan, Indonesia berada pada urutan ke-121 dengan indeks 1,28. Indonesia berada di bawah Filiphina, Malaysia, Thailand dan di atas Kamboja dan Myanmar (UNDP, 2013). Terpuruknya kualitas pendidikan dan hasil belajar siswa lebih banyak disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya penggunaan model, metode, maupun strategi pembelajaran yang masih bersifat tradisional dan kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan pola pikirnya sesuai dengan kemampuan dan keterampilan masingmasing (Sudiarta, 2008). Belajar akan lebih bermakna jika siswa mengalami apa yang akan dipelajarinya, bukan sekedar hapal terhadap materi pelajaran. Pembelajaran yang berorientasi terhadap target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetensi mengingat jangka pendek, namun gagal dalam membekali siswa memecahkan persoalan-persoalan dalam
kehidupan jangka panjang (Depdiknas, 2002). Tidak dapat dipungkiri adanya kenyataan bahwa proses pembelajaran yang berlangsung sekarang ini masih menerapkan sistem pembelajaran konvensional. Hal ini ditandai dengan adanya transfer ilmu pengetahuan dari guru kepada siswa secara penuh (teacher centered). Proses belajar mengajar dalam pembelajaran konvensional dimulai dengan orientasi dan penyajian informasi yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari siswa, dilanjutkan dengan pemberian contoh soal, diskusi, tanya jawab sampai guru merasa bahwa apa yang telah diajarkan dipahami oleh siswa. Pembelajaran tersebut akan mendorong anak untuk menghapal informasi, otak anak dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa dituntut untuk menghubungkannya dengan kehidupan mereka sehari-hari. Proses seperti ini menyebabkan kurang mendorong anak untuk mengembangkan kemampuan ber-pikir. Akibatnya anak akan menjadi lulusan yang kaya pemahaman teoretis, tetapi miskin penerapan dan pengalaman langsung Hal inilah yang terjadi di beberapa SDN di Kabupaten Jembrana, yakni SD di gugus Singasari Kecamatan Pekutatan yang masih menerapkan model pembelajaran konvensional khususnya pada pembelajaran mata pelajaran IPA. Berdasarkan hasil pengamatan di tujuh SD yang berada di Gugus Singasari, diketahui bahwa proses pembelajaran yang berlangsung masih menerapkan masih didominasi oleh guru. Proses pembelajaran yang berlangsung adalah guru menjelaskan dan siswa mendengarkan penjelasan guru kemudian dilanjutkan dengan pemberian soal-soal latihan kepada siswa, akibatnya keaktifan siswa menjadi berkurang, sehingga siswa merasa kurang tertantang untuk berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran yang tengah berlangsung dikelas. Dampak lain yang ditimbulkan dari permasalah di atas adalah siswa kurang mendapatkan kesempatannya untuk
e-Journal MIMBAR PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol. 2 No. 1 Tahun 2014)
mengembangkan kemampuan berpkirinya sehingga berdampak pada rendahnya kemampuan berpikir kritis siswa. Berdasarkan hasil pengamatan terlihat masih minimnya pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan siswa kepada guru, kurangnya pendapat-pendapat yang muncul dari siswa saat proses pembelajaran, dan kurang mampunya siswa dalam menjelaskan pendapatnya secara logis. Hal serupa juga dikemukakan oleh guru mata pelajaran IPA kelas V di SDN 2 Pulukan yang mengatakan bahwa, keaktifan siswa dalam hal bertanya dan menjawab pertanyaan guru masih minim. Siswa seakan malu bertanya dan takut untuk menjawab pertanyaan oleh guru. Masih rendahnya kemampuan berpikir kritis siswa juga diperkuat dengan hasil tes kemampuan berpikir kritis pada siswa kelas V SD Gugus Singasari Kecamatan Pekutatan, yang menunjukkan masih rendahnya kemampuan berpikir kritis siswa. Skor rata-rata yang diperoleh siswa kelas V di SDN 1 Pulukan (11,52), SDN 2 Pulukan (13,35), SDN 3 Pulukan ( 11,29), SDN 1 Medewi (11,84), SDN 2 Medewi (12,04), SDN 3 Medewi (12,08) dan SDN 4 Medewi (11,69). Data ini menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa berada pada interval 11,00-14,00. Jika mengacu pada Penilaian Acuan Patokan (PAP) Skala 5, nilai tersebut berada pada tingkat rendah. Rendahnya kemampuan berpikir kritis siswa disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, proses pembelajaran yang masih berpusat pada guru atau masih menerapkan metode ceramah dalam proses pembelajaran mengakibatkan kurang termotivasinya siswa untuk berperan aktif dalam proses pembelajaran. Selain itu efek dari penerapan metode ceramah ini adalah siswa cenderung menghafal materi yang diberikan oleh guru. Kedua, pada proses pembelajaran IPA guru kurang memberikan kesempatakan kepada siswa untuk melakukan kegiatan-kegiatan percobaan dan pengamatanan. Melalui kegiatan percobaan, siswa dapat melatih keterampilan proses sains siswa yang didalamnya mencakup kemampuan berpikir kritis siswa. Ketiga, kurangnya kesiapan guru dalam hal penggunaan media pembelajaran. Media
pembelajaran yang digunakan pada saat proses pembelajaran berlangsung adalah Buku Paket. Hal ini menyulitkan siswa untuk menangkap dan menyerap materi yang sedang diajarkan, sebab siswa hanya disajikan konsep-konsep IPA yang bersifat abstrak sehingga siswa kurang dapat mengembangkan pola pikirnya. Berdasarkan pemaparan permasalahan di atas, diketahui bahwa proses pembelajaran yang berlangsung tidak mampu mengembangkan keterampilan berpikir siswa, terutama kemampuan berpikir kritis. Menurut Rosalin (2008), berpikir kritis merupakan sebuah proses terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental, seperti memcahkan masalah, mengambil keputusan, menganalisis asumsi dan melakukan penelitian. Kemudian Anggelo menyatakan bahwa kemampuan berpikir kritis adalah mengaplikasikan rasional, kegiatan berpikir tinggi yang meliputi kegiatan menganalisis, mensitesis, mengenal permasalahan dan pemecahannya, menyimpulkan dan mengevaluasi. (Yudiana, 2012). Berdasarkan pemaparan diatas, diketahui bahwa kemampuan berpikir kritis merupakan suatu kemampuan yang harus dikuasai oleh siswa karena merupakan salah satu ciri manusia yang cerdas. Pentingnya melatih berpikir kritis disebabkan karena berpikir kritis merupakan proses dasar yang memungkinkan siswa mengulangi dan mereduksi ketidakpastian di masa datang (Cabrera dalam Sudiarta, 2008). Kemampuan berpikir kritis yang dimiliki siswa sangat membantu dalam menentukan informasi yang penting didapatkan, diubah, ditransformasi, dan dipertahankan. Mengingat pentingnya kemampuan berpikir kritis pada siswa, guru seharusnya memberikan perhatian pada keterampilan tersebut selama proses pembelajaran, karena siswa yang memiliki keterampilan berpikir yang baik, maka siswa tersebut nantinya akan mampu mangajukan pertanyaan baik, mengumpulkan informasi yang relevan, bertindak secara efisien dan kreatif berdasarkan informasi,dapat mengembangkan argumen yang logis berdasarkan informasi dan dapat mengambil simpulan yang dapat dipercaya. Muara dari
e-Journal MIMBAR PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol. 2 No. 1 Tahun 2014)
itu semua siswa nantinya diharapkan akan memiliki keterampilan dan kemampuannya dalam menyusun strategi dan taktir agar dapat meraih kesuksesan dalam persaingan global di masa depan. Melalui berpikir kritis, siswa diajak berperan serta secara aktif dan efektif untuk membangun pengetahuannya sendiri. Berpikir kritis tidak dapat diajarkan melalui metode ceramah karena berpikir kritis merupakan proses aktif, akan tetapi berpikir kritis akan terjadi apabila didahului dengan kesadaran kritis yang diharapkan dapat ditumbuhkembangkan melalui pendidikan (Murwani, 2006). Keterampilan intelektual dari berpikir kritis mencakup berpikir analisis, berpikir sintesis, berpikir reflektif, dan sebagainya harus dipelajari melalui aktualisasi penampilan (performance). Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa adalah dengan pemberian masalah terbuka (open-ended problem), yaitu permasalahan-permasalahan yang menghendaki banyak solusi dan mungkin juga banyak jawaban yang benar (Shimada, 1997). Masalah terbuka memungkinkan siswa untuk menggunakan dimensi keterampilan berpikir tingkat tinggi dengan menggunakan berbagai metode, sehingga memberikan kontribusi untuk meningkatkan keterampilan berpikir divergen dan kemampuan berpikir kritis siswa. Salah satu cara yang ditempuh untuk menerapkan pemberian masalah terbuka (open-ended problem) di kelas adalah dengan dengan menerapkan model pembelajaran probing-promting. Menurut Suyatno(2009) yang menyakatakan bahwa, model Probing-Prompting merupakan suatu teknik pembelajaran dengan cara guru menyajikan serangkaian pertanyaan yang sifatnya menuntun dan menggali sehingga terjadi proses berpikir yang mengaitkan pengetahuan setiap siswa dan pengalamannya dengan pengetahuan baru yang sedang dipelajari. Proses tanya jawab dilakukan dengan menunjuk siswa secara acak sehingga setiap siswa harus berpartisipasi aktif, siswa tidak bisa menghindar dari proses pembelajaran. Peranan teknik ini adalah menjadi jalan alternatif untuk mempermudah siswa
melakukan akomodasi dan membangun pengetahuannya sendiri. Siswa mengkontruksi sendiri konsep, prinsip, dan aturan menjadi pengetahuan baru. Aktivitas siswa yang diharapkan dalam pembelajaran adalah siswa dapat melakukan observasi (dengan cara mengamati, mengukur, atau mencatat data, menjawab pertanyaan, dan mengajukan pertanyaan atau sangggahan). Sehingga, pada penerapan model Probing-Prompting dikelas terdapat dua aktivitas yang saling berhubungan, yaitu aktivitas siswa yang meliputi aktivitas berpikir dan fisik yang berusaha membangun pengetahuannya dan aktivitas guru yang berusaha membimbing siswanya. Menurut Suherman (2001), model pembelajaran Probing-Promting dilakukan dalam enam tahap. 1) Menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai. 2) Menyampaikan materi ajar. 3) Probing yakni memberikan serangkaian pertanyaan menggali secara teratur kepda siswa yang berkaitan dengan materi. 4) Menampung jawaban siswa. 5) Promting yakni mem-berikan pertanyaan menuntun dengan pertanyaan bimbingan focus terarah. 6) Membimbing siswa untuk menyempurna-kan jawaban. Melalui tahapan pem-belajaran tersebut, siswa diberi ruang untuk melatih kemampuannya dalam hal memecahkan masalah, (problem solving), pembuatan keputusan (decision making), analisis asumsi (analyzing assumption), dan inkuiri sains (scientific inquiry) secara cepat dan cermat. Hal ini akan memberikan pengalaman yang berbeda, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Oleh karena itu penulis tertarik melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran Probing-Promting Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Pada Mata Pelajaran IPA Kelas V SD di Gugus Singasari Kecamatan Pekutatan Tahun Pelajaran 2013/2014”. METODE Jenis penelitian yang digunakan adalah quasi experiment karena tidak semua variabel yang muncul dapat dikontrol secara ketat. Adapun desain penelitian yang digunakan adalah non
e-Journal MIMBAR PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol. 2 No. 1 Tahun 2014)
equivalent post-test only control group design. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V SD di Gugus Singasari Kecamatan pekutatan yang berjumlah 142 siswa yang terbagi dalam tujuh SD, yaitu: SDN 1 Medewi, SDN 2 Medewi, SDN 3 Medewi, SDN 4 Medewi, SDN 1 Pulukan, SDN 2 Pulukan dan SDN 3 Pulukan. Untuk mengetahui kesetaraan keterampilan berpikir kritis siswa kelas V masing-masing SD, maka terlebih dahulu dilakukan uji kesetaraan. Uji kesetaraan pada penelitian menggunakan uji ANAVA satu jalur. Data yang digunakan pada dalam uji kesetaraan ini adalah data hasil tes berpikir kritis IPA pada siswa kelas V SD di Gugus Singasari Kecamatan Pekutatan. Berdasarkan analisis ANAVA diperoleh hasil bahwa populasi dinyatakan setara. Sedangkan sampel penelitian diambil dengan menggunakan teknik class random sampling, dan didapat SDN 2 Pulukan sebagai kelas Eksperimen dan SDN 1 Medewi sebagai kelas kontrol. Untuk mengetahui sampel benar-benar setara, dilakukan uji-t kesetaraan dengan rumus polled varians. Berdasarkan hasil uji kesetaraan diperoleh hasil bahwa sampel dinyatakan setara. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah kemampuan berpikir kritis siswa kelas V SD pada mata pelajaran IPA. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode tes. Sesuai dengan metode, maka
instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar soal tes essay, yang diberikan pada akhir pembelajaran. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis statistik deskriptif dan statistik inferensial. Statistik deskriptif yang digunakan meliputi mean, median, modus. Hasil perhitungan mean median modus kemaudian nantinya disajikan dalam bentuk histogram yang bertujuan untuk menafsirkan sebaran data kemampuan berpikir kritis siswa kelas V pada mata pelajaran IPA baik pada kelas eksperimen maupun pada kelas kontrol. Adapun statistik inferensial menggunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah uji-t sampel independent (tidak berkorelasi) dengan rumus polled varians. Sebelum menggunakan formula uji-t, dilakukan terlebih dahulu uji prasarat yang meliputi uji normalitas dengan uji ChiSquare dan uji homogenitas varians dengan uji-F. HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Data dalam penelitian ini adalah skor kemampuan berpikir kritis siswa kelas V SD pada mata pelajaran IPA, sebagai akibat dari penerapan model pembelajaran Probing-Promting pada kelas Eksperimen dan model pembelajaran Konvensional pada kelas kontrol. Berikut data hasil posttest kelas Esperiment dan kelas Kontrol yang dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Perhitungan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas V Mata Pelajaran IPA Sampel
M
Md
Mo
s
s2
Eksperiment Kontrol
58,70 44,58
60,10 43,25
63,50 40,10
8,92 8,32
79,59 69,15
Skor Maksimal 75 63
Skor Minimal 41 31
R 34 32
Keterangan Tabel: M = Mean, Md = Median, Mo = Modus, s = Standar Deviasi, s 2 = Varians dan R = Rentangan Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa skor rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa kelas eksperimen pada mata pelajaran IPA, adalah 58,70. Jika dikonversi ke dalam PAP Skala Lima berada pada
kategori tinggi. Distribusi frekuensi data kemampuan berpikir kritis siswa kelas V SD pada mata pelajaran IPA di kelas eksperimen yang menerapkan model
e-Journal MIMBAR PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol. 2 No. 1 Tahun 2014)
pembelajaran Probing-Promting disajikan pada gambar 1 berikut ini
Gambar 2. Histogram Skor Kemampuan Berpikir Kritis Kelas Kontrol Gambar 1. Histogram Skor Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas Eksperimen Berdasarkan gambar di atas diketahui bahwa sebaran data kelas eksperiment yang menerakan model pembelajaran Probing-Promting juling negatif Mo>Md>M (63,50>60,10>58,70). Hal ini berarti bahwa sebagian besar skor cenderung tinggi Kecenderungan skor ini dapat dibuktikan dengan melihat frekuensi relatif, dimana frekuensi relatif skor yang berada di atas rata-rata adalah 45%, lebih besar dibandingkan frekuensi relatif skor yang berada di bawah rata-rata yakni 30%, sedangkan frekuensi relatif skor yang berada di sekitar rata-rata adalah 25%. Distribusi frekuensi daka kemampuan berpikir kritis siswa kelas V SD pada mata pelajaran IPA di kelas kontrol yang menerapkan model pembelajaran Konvensional disajikan pada gambar 2 berikut ini.
Berdasarkan gambar di atas diketahui bahwa sebaran data kelas kontrol yang menerakan model pembelajaran Konvensional juling positif Mo<Md<M (40,10<43,25<44,58). Hal ini berarti bahwa sebagian besar skor cenderung rendah. Kecenderungan skor ini dapat dibuktikan dengan melihat frekuensi relatif, dimana frekuensi relatif skor yang berada di bawah rata-rata adalah 47,37%, lebih besar dibandingkan frekuensi relatif skor yang berada di atas rata-rata yakni 31,57%, sedangkan frekuensi relatif skor yang berada di sekitar rata-rata adalah 21,05%. Berdasarkan analisis data diketahui bahwa mean kemampuan berpikir kritis siswa pada mata pelajaran IPA di kelas kontrol adalah 44,58. Jika dikonversi ke dalam PAP skala lima berada pada kategori sedang. Sebelum uji hipotesis dilakukan, terlebih dahulu dilakukan pengujian prasyarat terhadap sebaran data yang meliputi uji normalitas dan uji homogenitas, dengan hasil disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Rangkuman Hasil Uji Normalitas Distribusi Data Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas V pada Mata Pelajaran IPA No
Kelompok Data Hasil Belajar
1 2
Post-test Eksperimen Post-test Kontrol
χ2 2,722 1,373
Kriteria pengujian, jika hit tab dengan taraf signifikasi 5% (dk = jumlah kelas dikurangi parameter, dikurangi 1), maka data berdistribusi normal. Baik data eksepriment maupun data kelas kontrol 2
2
Nilai Kritis dengan Taraf Status Signifikansi 5% 9,488 Normal 11,070 Normal memiliki hit tab maka data kedua kelas berdistribusi normal. Uji homogenitas dilakukan terhadap varians pasangan antar kelas eksperimen 2
2
e-Journal MIMBAR PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol. 2 No. 1 Tahun 2014)
dan kelas kontrol dengan data sebagai
berikut.
Tabel 3. Rangkuman Hasil Uji Homogenitas Varians antar Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Sumber Data
Fhit
Ftab dengan Taraf Signifikansi 5%
Post-test Kelas Eksperimen dan Kontrol
1,15
2,19
Uji yang digunakan adalah uji-F dengan kriteria data homogen jika Fhit < Ftab. Dari tabel 3. diketahui bahwa Fhit < Ftab sehingga varians data kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah homogen. Berdasarkan uji prasyarat analisis data, diperoleh bahwa data hasil post-test kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah normal dan homogen. Setelah diperoleh hasil dari uji prasyarat analisis data,
Status Homogen
dilanjutkan dengan pengujian hipotesis penelitian (H1) dan hipotesis nol (H0). Pengujian hipotesis tersebut dilakukan dengan menggunakan uji-t sampel independent (tidak berkorelasi) dengan rumus polled varians dengan kriteria tolak H0 jika thit > ttab dan terima H0 jika thit < ttab. Rangkuman hasil perhitungan uji-t antar kelas eksperimen dan kelas kontrol disajikan pada tabel berikut ini.
Tabel 4. Rangkuman Hasil Perhitungan Uji-t Data Hasil Belajar
Kelompok Eksperimen Kontrol
N 20 19
Berdasarkan tabel hasil perhitungan uji-t diatas, diperoleh thit sebesar 5,11. Sedangkan ttab dengan dk = 20+19-2 = 37 dan taraf signifikansi 5% adalah 2,021. Hal ini berarti, thit lebih besar dari ttab (thit > ttab), sehingga H0 ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian, dapat diinterpretasikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kritis antara kelompok siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran Probing-Promting dan kelompok siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran Konvensional pada mata pelajaran IPA kelas V SD di gugus Singasari Kecamatan Pekutatan Tahun Pelajaran 2013/2014. PEMBAHASAN Berdasarkan deskripsi data hasil penelitian, kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model ProbingPromting memiliki rata-rata skor kemampuan berpikir kritis yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran konvensional. Tinjauan ini didasarkan pada rata-rata skor
X 58,70 44,58
s2 79,59 69,15
thit
ttab (t.s. 5%)
5,11
2,021
hasil belajar siswa. Rata-rata skor kemampuan berpikir kritis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model Probing-Promting adalah 58,70 dan ratarata skor hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model konvensional adalah 44,58. Perbedaan kemampuan berpikir kritis IPA antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model ProbingPromting dengan kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran model konvensional disebabkan karena perbedaan perlakuan pada langkah-langkah pembelajaran dan proses penyampaian materi. Model Probing-Promting lebih menekankan pada pengembangan kemampuan berpikir siswa, sedangkan model pembelajaran konvensional menekankan pada hafalan. Model pembelajaran probingprompting memberikan kebebasan kepada siswa untuk mengembangkan pembelajarannya, sehingga pembelajaran menjadi berpusat kepada siswa (student centered). Selama proses pembelajaran berlangsung semua siswa terlibat dan dituntut berpartisipasi aktif. Sedangkan, fungsi guru
e-Journal MIMBAR PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol. 2 No. 1 Tahun 2014)
selama proses pembelajaran berlangsung hanyalah sebgai fasilitator dan motivator. Selain itu, model probing-prompting memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan ide-ide baru dalam hal memecahkan masalah ataupun soalsoal yang dilontarkan oleh guru sehingga mampu mengasah kemampuan berpi kirnya. Hal ini sejalan dengan pandangan Suherman (2001) yang menjelaskan bahwa Probing-Promting merupakan suatu model pembelajaran yang mendorong terjadinya proses berpikir sehingga mampu mengaktifkan siswa dan memperoleh pengalaman baru dalam proses pem-belajaran. Dengan pengetahuan baru yang didapat selama proses pembelajaran, siswa mampu mengorganisasikan ide-ide mereka dalam diskusi pemecahan masalah. Kegiatan tersebut membuat siswa memikirkan kembali konsep yang dipelajari dan mendalami pengetahuan yang diperoleh, sehingga keterampikan berpikir kritisnya pun dapat terasah. Dilihat dari segi sintak pembelajarannya, model Probing-Prompting memiliki sintak yang sangat berbeda dengan model konvensional. Pada model ProbingPrompting, langkah-langkah pem-belajaran diatur ketat sesuai dengan sintaks model probing-prompting. Pada awal pembelajaran, setelah guru selesai melaksanakan apersepsi, siswa diajak ke dalam situasi belajar dengan materi yang baru. Siswa dihadapkan dengan beberapa media gambar yang yang mengandung permasalahan terkait materi yang akan dipelajari. Kemudian guru melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya menggali pengetahuan siswa agar siswa dapat memahampi permasalahan yang tersirat pada gambar yang telah disajikan (Probing). Pada tahap ini siswa diberikan kesempatan untuk berpendapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh guru. Setlah siswa paham akan permasalahan yang dilontarkan oleh guru, dilanjutkan dengan kegiatan Promting, yakni guru memberikan serangkaian pertanyaan, baik yang dilontarkan langsung oleh guru atau tertuang pada LKS. Hal ini bertujuan untuk mengaitkan pengetahuan awal siswa dengan materi yang akan
dipelajari. Siswa diminta untuk membentuk kelompok kecil yang nantinya akan mendiskusikan LKS yang akan dibagikan oleh guru. Pada tahap selanjutnya siswa diberikan kesempatan untuk melakukan percobaan-percobaan dan menjawab pertanyaan-peratnyaan yang ada pada LKS. Pada kegiatan ini guru hanya menjadi pembimbing, apabila siswa menemukan kedala atau kesulitan dalam mengerjakan LKS. Setlah siswa selesai mengerjakan LKS, dilanjutkan dengan mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas. Untuk menguji pemahaman siswa, setelah kegiatan diskusi dan presentasi guru kemabali mengajukan pertanyaanpertanyaan. Pertanyaan yang dilontarkan adalah pertanyaan yang sifatnya menggali dan mengarahkan pemahaman siswa. Pada tahap ini guru akan menunjuk siswa secara acak dengan tujuan agar seluruh siswa dapat berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Berbeda halnya dengan pembelajaran yang menerapkan model pembelajaran konvensional, dimana guru mendominasi proses pembelajaran (teacher centered) dengan cara memberikan ceramah untuk menjelaskan materi dari awal pembelajaran hingga akhir pembelajaran. Siswa juga tidak diminta untuk mendiskusikan LKS namun hanya diminta untuk menjawab soal-soal yang ada pada buku pelajaran. Guru mengasumsikan bahwa dengan mampunya siswa menjawab soal pada buku pelajaran maka tujuan pembelajaran telah tercapai. Proses pembelajaran seperti ini hanya menuntut siswa untuk menghafal materi dan tidak memaknai materi pelajaran dengan mendalam, sehingga kemampuan berpikir kritis siswa tidak terasah. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Murwani (2006) yang menyatakan bahwa Berpikir kritis tidak dapat diajarkan melalui metode ceramah karena berpikir kritis merupakan proses aktif, yang terjadi apabila didahului dengan kesadaran kritis. Sehingga model pembelajaran konvensional tidak mampu mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil dari beberapa penelitian tentang penerapan model Probing-Promting. Pene-
e-Journal MIMBAR PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol. 2 No. 1 Tahun 2014)
litian yang dilakukan oleh Himatul Ulya (2012) dengan Keefektifan Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Probing-Promting dengan Penilaian Produk. Pada penelitian ini diketahui bahwa rata-rata hasil belajar peserta didik siswa yang menerima pelajaran dengan model pem-belajaran Kooperatif tipe ProbingPromting lebih baik jika dibandingkan dengan rata-rata hasil belajar siswa yang menerima pelajaran dengan ekspositori. Hasil penelitian lain yang juga mendukung keefektifan penggunaan model pembelajaran kooperatif Probing-Promting adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh I Wayan Eka Swarjawa (2012) yang menunjukkan adanya perbedaan hasil belajar yang cukup signifikan antara siswa yang mendapatkan penerapan model Probing-Promting dan Siswa yang mendapat penerapan model pembelajaran konvesional. Hal ini ditunjukkan dengan hasil belajar IPA siswa kelompok eksperimen (menerapkan model ProbingPromting) adalah 23,13 tergolong kriteria sangat tinggi, sedangkan rata-rata (M) hasil belajar IPA siswa kelompok kontrol (menrapkan model konvensional) adalah 17,38 tergolong kriteria sedang, dan thitung = 4,46, ttabel = 2,02 pada taraf signifikansi 5%, ini berarti bahawa thitung > ttabel. Berdasarkan penjelasan mengenai perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa antara siswa yang belajar dengan model Probing-Promting dengan siswa yang belajar dengan model Konvensioal, dan didukung oleh beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai penerapan model Probing-Promting, maka dalam penelitian ini kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model Probing-Promting memiliki kemampuan berpikir kritis yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model konvensional. PENUTUP Berdasarkan hasil perhitungan uji-t, diperoleh thit sebesar 5,11. Sedangkan ttab dengan dk = 20+19-2 = 37 dan taraf signifikansi 5% adalah 2,021. Hal ini berarti, thit lebih besar dari ttab (thit > ttab), sehingga H0 ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian dapat diinterpresentasikan bahwa
terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kritis antara kelompok siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran Probing-Promting dan kelompok siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran Konvensional pada mata pelajaran IPA kelas V SD di gugus Singasari Kecamatan Pekutatan Tahun Pelajaran 2013/2014. Dari rata-rata ( X ) hitung, diketahui X kelompok eksperimen adalah 58,70 dan X kelompok kontrol adalah 44,58. Hal ini berarti, X eksperimen lebih besar dari X kontrol ( X eksperimen > X kontrol). Berdasarkan hasil temuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran Probing-Promting berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis siswa kelas V pada mata pelajaran IPA di Gugus Singasari Kecamatan Pekutatan tahun pelajaran 2013/2014. Saran yang dapat disampaikan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut. (1) Siswa-siwa di sekolah dasar agar terus mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya dengan cara ikut serta berperan aktif selama proses pembelajaran berlangsung misalnya dengan aktif bertanya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh guru. (2) Guru-guru di sekolah dasar agar lebih berinovasi dalam pembelajaran dengan menerapkan suatu model pembelajaran yang inovatif salah satunya adalah model pembelajaran ProbingPromting dan didukung media pembelajaran yang relevan untuk dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa khususnya pada mata pelajaran IPA, sebab telah terbukti pada penelitian ini bahwa terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa yang signifikan antara siswa yang belajar dengan model pembelajaran Probing-Promting dengan siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional. (3) Sekolahsekolah yang mengalami permasalahan rendahnya kemampuan berpikir kritis siswa, disarankan untuk mengimplementasikan model Probing-Promting dalam pembelajaran di sekolah tersebut. (4) Peneliti yang berminat untuk mengadakan penelitian
e-Journal MIMBAR PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol. 2 No. 1 Tahun 2014)
lebih lanjut tentang model Probing-Promting dalam bidang ilmu Pengetahuan Alam maupun bidang ilmu lainnya yang sesuai agar memperhatikan kendala-kendala yang dialami dalam penelitian ini sebagai bahan pertimbangan untuk perbaikan dan penyempurnaan penelitian yang akan dilaksanakan.
Sudiarta, I G. P. 2008. Membangun kompetensi berpikir kritis melalui pendekatan open-ended. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha.
DAFTAR RUJUKAN Depdiknas. 2002. Pendekatan kontekstual. Jakarta: Depdiknas.
Suherman. 2001. Pembelajaran Probing Prompting. Retrieved Desember, 2013, from Math Face: http://ayuface.wordpress.com.
Murwani, E. D. 2006. Peran guru dalam membangun kesadaran kritis siswa. Jurnal Pendidikan Penabur Vol 6. , 59-68.
Suyatno. 2009. Menjelajah Pembelajaran Inovatif. Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka.
Programme, U. N. D. 2013. Human Development Index trends, 1980– 2012. Retrieved November 2013, 21, from Human Development Report: http://hdr.undp.org/hdr4press/press /outreach/figures/HDI_Trends_201 3.pdf Rosalin, E. 2008. Gagasan Merancang Pembelajaran Kontekstual. Bandung: PT Karsa Mandiri Persada. Salam, B. 2002. Pengantar pedagogik (dasar-dasar ilmu mendidik). Jakarta: PT Rineka Cipta. Shimada, S. 1997. The significance of an open-ended approach. Dalam
Becker dan Shimada Virginia: NCTM.
(Eds).
Swarjawa, I.W. 2012. Pengaruh Model Pembelajaran Probing-Promting Terhadap Hasil Belajar IPA Siswa Kelas V di SD Negeri 1 Sebatu. Mimbar PGSD Vol 1 Tahun 20013. Ulya, H. 2012. Keefektifan Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Probing-Promting dengan Penilaian Produk. Unnes Journal Of Mathematics education Vol. 1 ISSN 2252-6927 , 25-30. Yudiana, K. 2012. Kontribusi Soft Skill, Ketahanmalangan dan Perilaku Religius Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Sekolah Dasar. Tesis (Tidak Diterbitkan): Program Studi Pascasarjana Undiksha.